TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

160
TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Agnis Afriani NIM. 109013000099 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

Page 1: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA

PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Agnis Afriani

NIM. 109013000099

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 3: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 4: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 5: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

i

ABSTRAK

Agnis Afriani NIM. 109013000099. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Jakarta. Skripsi, “Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi karya

Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah.” Pembimbing:

Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori interaksi dalam novel Para

Priyayi karya Umar Kayam dan implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah. Hasil

penelitian mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial antara individu,

keluarga, masyarakat, dan Negara. Nilai-nilai sosial, seperti nilai kepedulian, nilai

kerukunan, nilai pengayoman, nilai ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai

kesopanan, nilai kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian

terdapat pada kalimat-kalimat dalam dialog atau cerita para tokoh melalui interaksi sosial

antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam

kategori, yaitu 1) relasi individu dengan dirinya, 2) relasi individu dengan keluarga, 3)

relasi individu dengan lembaga, 4) relasi individu dengan komunitas, 5) relasi individu

dengan masyarakat, dan 6) relasi individu dengan nasion.

Pembahasan dan analisis penelitian novel Para Priyayi dapat diimplikasikan pada

pembelajaran sastra di sekolah untuk materi menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik

novel Indonesia agar peserta didik dapat membangun karakter kritis, kreatif, baik secara

kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang tokoh dan

penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar mengenai bagaimana harus

bersikap, memilih jalan hidup, dan semangat mencapai cita-cita. Semuanya terdapat

dalam kehidupan melalui interaksi sosial dengan menjalin relasi melalui sosialisasi antara

individu dengan individu, keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan Negara.

Kata Kunci: Nilai-nilai, Novel Para Priyayi, Relasi, Interaksi.

Page 6: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

ii

ABSTRACT

Agnis Afriani NIM. 109013000099. Department of Language and Literature

Education of Indonesia. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University

Syarif Hidayatullah, Jakarta. Thesis title, “Simmel’s Theory of Interaction in the Novel

Para Priyayi by Umar Kayam and Implications on Literature Learning in Schools.” The

advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.

This study aimed to describe the social values in the novel Para Priyayi by Umar

Kayam and implications on teaching literature in Schools. The results of the study

describes the social values through social interaction between individuals, families,

communities, and country. Social values, such asconcern value, the value of harmony, the

value of security, the value of the deity, the value of sincerity, the value of compassion,

modesty value, the value of togetherness, closeness values, customs value, and the value

of devotion found in the sentences in the dialogue or story figures through social

interaction between individuals, families, and communities in relationships that are

divided into six categories, namely 1) the relation of individual with himself, 2) the

relation of individual with family, 3) the relation of individuals with institutions, 4) the

relation of individuals with the community, 5) the relation of individuals with the

community, and 6) the relation of individuals with the nation.

Discussion and research analysis can be implied novel Para Priyayi literature on

learning in school to analyze the material elements of intrinsic and extrinsic Indonesian

novel so that learners can build a critical character, creative, whether cognitive, affective,

and psychomotor, through an understanding of the character and characterization as well

as the background social. Learners can also learn about how to behave, choose a way of

life, and the spirit of achieving goals. Everything is there in life through social interaction

by building relationships through socialization among individuals with individuals,

families, institutions, communities, society, and country.

Keywords: Values, Novel Para Priyayi, Relation, Interaction.

Page 7: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teori Interaksi Simmel

dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran

Sastra di Sekolah”. Rasa syukur kepada Allah dan Nabi Muhammad yang tak terhingga.

Penulis bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sungguh

sebuah kerja keras yang luar biasa ditengah berbagai macam kendala yang penulis

hadapi. Akan tetapi, berkat rahmat Allah dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya

karya ilmiah yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan ini dapat

diselesaikan. Maka sudah seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia sekaligus Penasihat Akademik Kelas C yang baik hati, bersahaja,

dan selalu ringan tangan terhadap mahasiswa.

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang sangat

mengayomi, sabar, dan tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

memberikan bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak

dapat saya sebutkan satu per satu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada

Bapak dan Ibu Dosen yang luar biasa baiknya.

5. Keluarga tercinta (Bapak Achmad Yani, Mama Yuyun, Adik-adikku, Ilmiah Hilwani,

Sulton Rizky Muzayyin, dan Abdul Ghani Muhammad) dan seluruh keluarga besar

saya yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk saya.

6. Ferry Abdullah yang selalu memberi semangat dan doa terbaik untuk penulis.

7. M. Sahrul Munir, S.S., yang baik hati telah meminjamkan beberapa buku referensi

dan memberi semangat kepada penulis.

Page 8: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

iv

8. Siti Hasanah, S.Pd yang selalu menyemangati dan mendoakan saya.

9. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu ada; Nada, Nuriel, Kiky, Fuah, dan Khozanah.

10. Dayat, Cecep, Agung, dan Dia, teman-teman 5 CM yang selalu mendukung penulis.

Semoga selalu kompak, kawan.

11. Lenjee; Reny, Suci, Sasya, dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat berkumpul

berlima lagi.

12. TKost Annisa (Ibu Arab); Intan, Nia, Anita, Yeyen, Elsa, Dian, Wardah, Nisa, Trisni,

dan Kiky.

13. Yonita, Wahyu, dan adik-adik Bimbel; Rini, Nabila, Opin, Dita, Ilham, Mayla,

Deska, Nasya, Fajar, Sri, Refi, dan Rifqi. Terima kasih, Semestaku atas doa kalian.

14. Teman-teman PBSI angkatan 2009, khususnya kelas C yang memberikan semangat,

suka duka, canda tawa, persahabatan dan kenangan indah selama ini.

15. Teman-teman PPKT SMP Fatahillah, Pondok Pinang.

16. Uda Is, Bang Tyo, Riski, dan Uda Ade yang setia melayani foto kopi dan juga

memberikan motivasi kepada penulis. Maju Jaya!

17. Rekan-rekan kerja di PT Christalenta Pratama dan PT Citra Gemilang Apik yang

selalu memberi dukungan kepada penulis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengharapkan semoga Allah membalas kebaikan

semua pihak dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga penelitian ini dapat menambah

wawasan dan bermanfaat untuk yang memerlukannya.

Jakarta, 5 Juli 2014

Penulis

Page 9: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH

LEMBAR UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ………………………………………………………………….. i

ABSTRACT ………………………………………………………………... ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………... iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 6

C. Batasan Masalah ............................................................................... 7

D. Rumusan Masalah ............................................................................ 7

E. Tujuan Penelitian............................................................................... 7

F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8

G. Metodologi Penelitian ...................................................................... 8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Sosiologi Sastra .............................................................................. 11

1. Pengertian Sosiologi Sastra ....................................................... 11

B. Novel ............................................................................................... 14

1. Pengertian Novel ...................................................................... . 14

2. Unsur Novel ............................................................................... 16

C. Nilai Sosial ....................................................................................... 21

Page 10: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

vi

1. Pengertian Nilai Sosial ………………………………………… 22

D. Teori Interaksi Simmel ………………………................................ 23

E. Pembelajaran Sastra ......................................................................... 28

F. Penelitian yang Relevan ................................................................... 31

BAB III TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG

A. Tinjauan Internal .............................................................................. 33

1. Sinopsis Novel Para Priyayi........................................................ 33

2. Gambaran Umum Novel Para Pyiyayi.......................................... 36

B. Tinjauan Eksternal ............................................................................ 38

1. Biografi Umar Kayam ................................................................. 38

2. Karya-karya Umar Kayam .......................................................... 42

3. Pandangan Hidup Umar Kayam ................................................... 44

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL

A. Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi............................ 49

B. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi.............................. 113

C. Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah .............................. 129

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ......................................................................................... 138

B. Saran ............................................................................................... 138

DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR UJI REFERENSI

BIOGRAFI PENULIS

Page 11: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Segala sesuatu yang diciptakan di muka bumi ini pasti memiliki nilai.

Nilai merupakan hal yang penting bagi kehidupan, terutama dalam kehidupan

bermasyarakat. Nilai tidak pernah lepas dari kehidupan dan aktivitas manusia,

terutama nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi

dengan sesama manusia, baik itu nilai sosial, moral, agama, maupun

pendidikan. Nilai-nilai tersebut penting untuk generasi penerus bangsa dalam

membentuk kepribadian yang cerdas, dan peka terhadap lingkungan

sekitarnya.

Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan

bermasyarakat. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya

mengarah pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena

masalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk generasi

penerus bangsa yang dapat melanjutkan tonggak perjuangan di masa yang

akan datang dan mampu mengubah suatu masyarakat menjadi lebih baik,

sehingga pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kepribadian

seseorang.

Dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun,

mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban suatu masyarakat dapat

terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change. Lembaga

pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa

luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri.

Lembaga pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan

pada setiap manusia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang berkualitas

Page 12: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

2

mampu menghasilkan perubahan kepribadian dan peradaban setiap manusia

bahkan bangsa yang lebih baik.

Guru adalah pengajar dan pendidik. Oleh karena itu, peran apa pun

yang diberikan masyarakat kepada guru selalu memiliki kaitan dengan posisi

pengajaran dan pendidikan dalam masyarakat itu. Kurangnya peran guru

dapat menjadi salah satu penyebab perubahan nilai yang mengarah pada krisis

moral. Guru seharusnya memberikan perhatian lebih kepada siswa dalam

menggali nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat melalui pelajaran

yang diajarkan, khususnya pada pembelajaran sastra Indonesia. Selain itu,

guru dapat mengarahkan siswa pada hal-hal positif agar nantinya mereka

menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan berguna bagi

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah, bahkan mengatasi

perubahan nilai yang mengarah pada krisis moral, yaitu dengan mengenalkan

sastra, pendidikan sastra usia dini, dan memperbanyak porsi pengajaran sastra.

Sastra yang diperkenalkan tentunya yang disesuaikan dengan perkembangan

anak. Mengenalkan sastra kepada anak berarti mendekatkan nilai-nilai yang

berguna untuk memahami kehidupan. Harus diakui tradisi mendongeng orang

tua kepada anak yang sudah turun-temurun dimiliki negeri ini, kini sudah

semakin terkikis. Selain itu, sedikitnya pendidikan usia dini yang berbasis

sastra membuat semakin kurangnya pengetahuan anak mengenai sastra,

bahkan sampai saat ini, porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil

dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang kompeten di sekolah-

sekolah juga sangat terbatas. Demikian pula dengan pemanfaatan bahan ajar

sastra yang belum optimal.

Sastra sebagai hasil pekerjaan seni kreasi manusia tidak akan pernah

lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan

manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering

bermula dari persoalan dan permasalahan yang ada pada manusia dan

Page 13: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

3

lingkungannya. Kemudian dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang

pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada disekitarnya menjadi

sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra merupakan suatu bentuk seni dan

budaya yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan rangkaian bahasa

yang indah serta mengandung nilai-nilai yang penting bagi kehidupan

bermasyarakat.

Karya sastra adalah hasil pemikiran mengenai kehidupan. Karya sastra

adalah sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam

menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Karya sastra

bersifat imajinatif dan fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berasal dari daya

khayal seorang pengarang. Pengarang menyampaikan apa yang ia lihat,

dengar, dan rasakan. Kemudian ia kemukan melalui karyanya. Cerita yang

ditampilkan pengarang mengandung permasalahan yang sesuai dengan

permasalahan masyarakat pada masa atau peristiwa tertentu. Maka, pengarang

menyampaikan bagaimana keadaan atau situasi di mana ia berada melalui

cerita pada karyanya.

Salah satu hasil karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu

karya sastra yang berjenis prosa. Novel juga merupakan bagian dari karya

fiksi yang memuat khayalan dan kenyataan yang dialami oleh seorang

pengarang. Dapat dikatakan bahwa novel adalah suatu gambaran dari

kehidupan dan diwujudkan melalui bahasa yang indah. Sebagai karya fiksi

hasil kreativitas seorang pengarang, novel mempunyai beberapa unsur

pembangun di dalamnya, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut

pandang, amanat, dan gaya bahasa.

Novel menjadi cerminan dari persoalan sosial yang terjadi dalam suatu

masyarakat. Dengan kata lain, novel juga dapat berupa rekaman dari peristiwa

sejarah yang telah dialami dan dirasakan oleh seorang pengarang. Melalui

karya sastra, seperti novel, pengarang berusaha mengungkapkan peristiwa

yang berisi persoalan sosial, baik suka maupun duka di dalam kehidupan

Page 14: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

4

masyarakat. Pada umumnya, novel menceritakan tentang kehidupan manusia

dan lingkungannya dengan berbagai macam konflik yang ada di dalamnya.

Horatius menyatakan bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce

(indah) dan utile (berguna). Ungkapan ini menunjukkan fungsi karya sastra

tidak hanya sekedar untuk menghibur, tetapi juga mengajarkan sesuatu atau

hal yang berguna. Karya sastra yang baik adalah karya yang dapat bermanfaat

bagi pembaca, dengan kata lain pembaca mampu mengambil pelajaran dan

mampu memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya.

Fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya

terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca

disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti

menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya

tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang-orang yang

membacanya. Hal itu dikarenakan pada dasarnya setiap orang senang cerita,

apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun

mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat

belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang

sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi tersebut akan

mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.

Oleh karena itu, cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya sering dianggap

dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai

“memanusiakan manusia”.1

Novel merupakan sebuah cerminan dari peristiwa-peristiwa yang

terjadi di dalam suatu masyarakat. Novel Para Priyayi merupakan novel yang

mengandung nilai-nilai sosial yang berhasil menggambarkan keadaan sosial

pada masa itu. Novel ini menceritakan perkembangan tiga generasi (tiga

zaman). Berawal dari seorang petani kecil yang tinggal di Wanagalih bernama

1Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2000), h. 3-4.

Page 15: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

5

Soedarsono yang pada akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Kemudian

permasalah-permasalahan sosial muncul pada generasi-generasi penerusnya

(keluarga Soedarsono), yaitu Hardojo dan Harimurti. Peristiwa yang

dikisahkan dalam novel ini adalah masa prakemerdekaan sampai

pascakemerdekaan yang di dalamnya terdapat masalah-masalah sosial dalam

masyarakat.

Novel Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam di New Haven

pada tahun 1991. Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin

menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini

stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan

statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.

Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di

dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang

didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Dalam novel ini, Umar Kayam

menggambarkan perjuangan seorang petani kecil yang ingin menaikkan status

sosialnya menjadi seorang priyayi melalui pendidikan. Hampir seluruh cerita

dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir

setiap bagian dalam novel mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan

bermasyarakat.

Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.2 Melalui sastra, terutama

novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu

karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut

pandang, seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika

membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam, pembaca akan merasakan

bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial

masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan. Selain itu, Para Priyayi sangat

mendidik dan bagus untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa, karena

2Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature

oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 110.

Page 16: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

6

dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para

siswa.

Pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan keseimbangan pada

pengembangan kepribadian dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran sastra

akan memberikan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika,

estetika, dan kinestetika. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak hanya

berkaitan dengan estetika dan etika. Pembelajaran sastra sangat strategis

digunakan untuk mengembangkan kompetensi atau kecerdasan spiritual,

emosional; bahasa, atau untuk mengembangkan intelektual, dan kinestetika.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, peneliti tertarik mengkaji

“Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan

Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Suatu hal yang menarik

untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa

yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Menarik untuk diteliti karena di

dalamnya menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai

kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada di

dalamnya. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priyayi yang

berasal dari seorang petani kecil di Wanagalih. Tentunya perjuangan hidup

yang sangat baik untuk diteladani. Hal ini akan dicapai melalui analisis

sosiologi karya sastra. Kemudian dari isi cerita novel akan dicari dan

dianalasis makna nilai sosial yang terkandung di dalamnya yang nantinya

dapat dijadikan materi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.

1. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya mengarah

pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena masalah

pendidikan.

Page 17: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

7

2. Kurangnya peran orang tua dan guru sebagai agen perubahan dalam

menggali nilai-nilai kehidupan, terutama guru dalam menggali nilai sosial

dalam pembelajaran sastra di sekolah.

3. Kurangnya porsi pengajaran sastra dan terbatasnya ketersediaan guru-guru

sastra yang memiliki kompetensi, serta pemanfaatan bahan ajar sastra

yang belum optimal di sekolah.

C. Batasan Masalah

Untuk membatasi terlalu luasnya pembahasan, maka permasalahan

pada penelitian ini akan difokuskan pada teori interaksi Simmel untuk

menganalisis nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya

Umar Kayam melalui tinjauan sosiologi sastra dan implikasinya pada

pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana teori interaksi Simmel dalam menganalisis nilai sosial yang

terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial

yang terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar kayam.

2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi pada

pembelajaran sastra di sekolah.

Page 18: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

8

F. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra

Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini

juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam kajian sosiologi sastra

dalam mengungkap novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan secara

praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih

memahami isi cerita dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, terutama

menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya

dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif

memberikan perhatian terhadap data ilmiah. Data berhubungan dengan

konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.3

Lebih tepatnya menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode

content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan teks yang

telah dicari berupa masalah atau temuan, kemudian dianalisis dan ditafsirkan.

Strategi yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan mengkaji isi

berdasarkan data yang didapatkan. Metode content analysis atau analisis isi

dari suatu novel. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang

menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap,

dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi.

Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-

mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup

pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah

3Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h. 47.

Page 19: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

9

unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Maka, jenis penelitian

pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang memfokuskan pada deskripsi

mengenai nilai sosial yang terdapat dalam novel. Dengan demikian, penelitian

ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.

Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek dalam penelitian

ini adalah teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial yang terdapat

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan bagaimana implikasinya

pada pembelajaran sastra di sekolah.

Data dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat serta ungkapan

yang ada dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan sumber

data penelitian ini adalah novel Para Priyayi (data primer), dan buku literatur,

serta artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Umar Kayam

(data sekunder).

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang

membahas tentang hubungan antarindividu, individu dengan keluarga,

masyarakat, komunitas, lembaga, dan negara, karena dalam penelitian ini

peneliti mencoba menguraikan berbagai nilai sosial yang terkandung dalam

novel.

Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membaca secara cermat novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

2. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel, dan kalimat yang

menggambarkan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam;

3. Hasil mencatat kalimat dijadikan sebagai data untuk menganalisis nilai

sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

4. Setelah melalui analisis yang mendalam, hasilnya digunakan sebagai data

untuk mengimplikasikan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya

Umar Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah.

Page 20: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

10

Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data

adalah:

1. Menganalisis novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan

menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan

membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya,

mengelompokkan kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel Para

Priyayi karya Umar Kayam yang mengandung unsur tema, tokoh dan

penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat;

2. Analisis dengan tinjauan sosiologi sastra dilakukan dengan membaca dan

memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan

kutipan-kutipan yang diperoleh sesuai teori interaksi Simmel mengenai

nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

3. Mengimplikasikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi

pada pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dengan cara

menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.

Page 21: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sosiologi Sastra

1. Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi

dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak lahir dalam

kekosongan sosial. Kehidupan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra.

Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu yang mampu merefleksikan

zamannya.

Ilmu sosiologi berkembang menjadi ilmu yang benar-benar otonom,

meninggalkan kesusastraan yang dianggap sebagai bidang rumit dengan

definisi yang sangat tidak pasti, dan yang dilindungi oleh semacam rasa

hormat manusiawi.1

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature,

Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai

studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi

mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,

bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup,2

sedangkan sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar

kemasyarakatannya.3

1Robert Escarpit, Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2005), h. 8-9. 2Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.

3Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan

Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 78.

Page 22: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

12

Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dan

masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk

mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra

berbagi masalah yang sama.4

Perbedaan antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah

yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan

sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan

perasaannya.5

Dengan demikian, Objek studi sastra adalah ekspresi kehidupan

manusia yang tidak terlepas dari akar masyarakat di sekitarnya, sedangkan

objek studi sosiologi adalah manusia.

Penelitian sosiologi sastra banyak membahas tentang kaitan pengarang

dengan kehidupan sosialnya. Keduanya dapat saling melengkapi dalam kaitan

cabang ilmu sosiologi sastra. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua

cabang ilmu yang mempunyai perbedaan tertentu dan dianggap rumit, namun

sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya

berurusan dengan masalah manusia dan masyarakat dalam proses-proses

sosialnya dalam kehidupan.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra

memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti

dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.

a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,

disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota

masyarakat.

4Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 10. 5Ibid., h. 11.

Page 23: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

13

b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek

kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga

difungsikan oleh masyarakat.

c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui

kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung

masalah-masalah kemasyarakatan.

d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi

yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga

logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap tiga aspek

tersebut.

e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat

intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu

karya.6

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama,

genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam

menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di

antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki

media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang

juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari,

bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu,

dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif,

karena sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.7

Dengan demikian, dipilihlah novel Para Priyayi karya Umar Kayam

sebagai objek penelitian. Novel Para Priyayi dipilih karena mampu mewakili

perjuangan hidup manusia dalam mobilitas sosial sebuah keluarga di

lingkungan masyarakat pada waktu itu. Selain itu, Para Priyayi memiliki

6Nyoman Kuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h. 332-333. 7Ibid., h. 335-336.

Page 24: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

14

unsur-unsur cerita yang lengkap, menyajikan masalah-masalah

kemasyarakatan yang luas dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan yang

paling umum digunakan dalam masyarakat Jawa. Gaya penulisannya

sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna dengan kritik-kritik

yang segera mengajak pembaca membuat perenungan yang sebenarnya

memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya

pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam

juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan sosial para tokoh yang sangat

mencerminkan masyarakat sosial pada umumnya.

B. Novel

1. Pengertian Novel

Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki bermacam-

macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Dalam hal ini,

penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra, yaitu novel.

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari

kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan

dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain.8

Kata “novel” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti

karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak

dan sifat setiap pelaku.9

Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas

problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.10

8Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar sastra, (Bandung: Angkasa, 2001), h. 167.

9Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 969. 10

E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), Cet. I,

h. 60.

Page 25: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

15

Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah

atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan.

Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata,

tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan

mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan

detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan,

mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka

merupakan “cerminan kehidupan nyata”.11

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karya

fiksi yang berbentuk karangan prosa, tetapi tidak terlalu panjang yang

mengisahkan atau menceritakan para tokoh dengan masing-masing watak dan

masalah atau peristiwa yang merupakan cerminan nyata dalam kehidupan.

Menurut Sumarjo, novel adalah produk masyarakat. Novel berada di

masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan

desakan-desakan emosional dan rasional dalam masyarakat. Menurut Faruk,

novel adalah cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai

yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero problematik dalam suatu dunia

yang juga terdegradasi. Jadi, jelas bahwa kesusastraan dapat dipelajari dari

disiplin ilmu sosial juga.12

Menurut Selden, novel menurut pandangannya adalah cerminan

realitas, tidak hanya melukiskan wajah wajah yang tampak pada permukaan,

tetapi memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih

benar, lebih lengkap, lebih hidup, lebih dinamik”. Sebuah novel mungkin

membawa pembaca “ke arah suatu pandangan yang lebih konkret kepada

realitas.13

11

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2010), Cet. I, h. 2. 12

Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi prosa, (Surakarta: Yuma

Pustaka, 2010), h. 47. 13

Nani Tuloli, Kajian Sastra, (Gorontalo: BMT “Nurul jannah”, 2000), h. 62.

Page 26: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

16

Maka dapat disimpulkan pula bahwa novel adalah cerita rekaan yang

menyajikan aspek kehidupan itu sendiri yang sebagian besar merupakan

kenyataan sosial dan ada yang meniru atau subjektivitas manusia.

2. Unsur Novel

Pada umumnya, para ahli membagi unsur novel menjadi unsur

ekstrinsik dan unsur intrinsik. Pembagian tersebut dimaksudkan untuk

mengkaji novel atau karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra.

Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya

satra. Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya,

sehingga mendapatkan hasil yang akurat.

Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur

yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran

pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks

sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya

sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Misalnya, faktor sosio-

ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata

nilai yang dianut masyarakat.

Unsur ekstrinsik tidak dibahas dalam penelitian ini. Akan

tetapi, dapat dilihat pada BAB III.

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya

sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra

hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan

dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah

novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta dalam

Page 27: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

17

membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang

membuat sebuah novel terwujud.14

Unsur pembangun dari dalam karya ini terdiri dari beberapa

unsur. Unsur yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur,

sudut pandang, latar, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ini akan

dianalisis dalam novel saat kita membacanya.

Berikut adalah unsur-unsur intrinsik yang akan dianalisis lebih

mendalam dalam novel Para Priyayi. Pembahasan dan analisis

tersebut terdapat pada BAB IV.

1) Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.15

Tema sebuah

cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema memberi kekuatan

dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang

diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang

paling umum. Apa pun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan

tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan

kenyataan cerita.16

Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam

Nurgiyantoro, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang

sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai

struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaan.17

Dengan demikian, tema merupakan elemen

yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Dalam

menentukan sebuah tema harus membaca secara mendalam dan

menelusuri seluruh isi cerita, sehingga menghasilkan “benang merah”

yang menjadi gagasan terbangunnya sebuah cerita.

14

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2000), h. 23. 15

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161. 16

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 7. 17

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2000), h. 68.

Page 28: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

18

2) Tokoh dan Penokohan

Menurut Sukada dan Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah

pelaku yang mengemban peristiwa dalam prosa rekaan, sehingga

peristiwa tersebut menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

menampilkan tokoh disebut penokohan.18

Tokoh dan penokohan

merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam unsur intrinsik pada

sebuah prosa rekaan. Keduanya menjadi saling terikat dan tidak dapat

dipisahkan dalam sebuah pembahasan.

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh

dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh

bawahan), dan tokoh komplementer (tambahan).19

Dari tiga jenis

tokoh tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah cerita tidak hanya

ada satu jenis tokoh. Ada berbagai macam tokoh yang sastrawan

tampilkan dalam sebuah novel.

3) Alur

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita.20

Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,

sehingga menjalin sebuah cerita yang yang dihadirkan oleh pelaku

dalam suatu cerita.21

Tahap-tahap tersebut mengandung unsur urutan

waktu, baik secara tersirat maupun tersurat. Tahap awal cerita pun

tidak hanya dimulai dari waktu yang paling awal, sehingga dalam

sebuah cerita urutan waktu bisa diatur sesuai keinginan sastrawan.

Dengan demikian, alur merupakan elemen yang penting karena sebuah

cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya

18

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 19

Ibid., h. 143. 20

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26. 21

Siswanto, Op. Cit., h. 159.

Page 29: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

19

pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh

terhadap jalan cerita.

4) Latar

“The overall setting of a narrative or dramatic work is general

locale, historical time, and social circumstance in which its action

occurs; the setting of a single episode or scene within such a work is

the particular physical location in which it takes place.”22

Abrams

mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu

kesejarahan, dan kebiasaan masyaratkat dalam setiap episode atau

bagian-bagian tempat. Menurutnya, latar atau setting disebut juga

sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan.23

Akan tetapi, tidak semua novel menonjolkan ketiga

latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin dalam sebuah cerita

yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada

kalanya yang menonjol adalah latar sosial.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang

secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan

ceritanya.24

Dari sinilah pengarang menampilkan tokoh dalam cerita

yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang

dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh.

Ada banyak jenis sudut pandang, tetapi semuanya tergantung

dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Jenis sudut pandang yang

peneliti gunakan berdasarkan pemaparan Nurgiyantoro. Berikut ini

adalah jenis-jenis sudut pandang.

22

M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 284. 23

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2000), h. 216. 24

Ibid., h. 248.

Page 30: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

20

a) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini

terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang

menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau

kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia”

dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu

(narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia”

terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui

segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh).

b) Sudut pandang persona pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini

terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita.

Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku”

(tokoh tambahan).

c) Sudut pandang campuran

Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.

Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik

yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang

untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.

6) Gaya Bahasa

“Figurative language is a conspicuous departure from what

the users of a language apprehend as the standard meaning of words,

or else the standard order of words, in order to achive some special

meaning or effect.”25

Abrams mengemukakan bahwa gaya bahasa

adalah cara pengarang menggunakan bahasa agar kata-kata yang

standar dapat mencapai makna khusus. Gaya bahasa pada suatu karya

25

Abrams, Op. Cit., h. 96.

Page 31: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

21

sastra biasanya menggunakan pilihan kata yang mengandung makna

padat, relektif, asosiatif, bersifat konotatif, dan dipadu dengan kiasan

dan majas, sehingga terwujudlah kalimat yang menunjukkan adanya

variasi dan harmoni.

7) Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan

yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.26

Amanat

merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.27

Amanat

merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang

secara tersirat dalam cerita. Melalui amanat dalam cerita, biasanya

pengarang menuangkan pandangan hidupnya.

C. Nilai Sosial

1. Pengertian Nilai Sosial

Kehidupan bersama manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun

makhluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu,

manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan ini

diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan

kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Aturan-aturan itu dipakai

sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik,

buruk, pantas, janggal, asing, dan seterusnya. Aturan-aturan ini yang biasa

kita sebut dengan istilah nilai.

Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita

cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,

singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-

Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the address of a yes, “sesuatu yang

26

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 162. 27

E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 71.

Page 32: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

22

ditujukan dengan „ya‟ „kita”. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iyakan

atau aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu

yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri—seperti

penderitaan, penyakit, atau kematian—adalah lawan dari nilai, adalah “non-

nilai” atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa

filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam

arti tadi mereka sebut “nilai positif”.28

Kluckhohn, seorang antropolog yang banyak membahas mengenai

nilai-nilai, menyatakan bahwa suatu nilai merupakan (C. Kluckhohn 1951:

395) “A conception, explicit or implicit, distinctive of individual or

characteristic of a group, of the desirable, which influences the section from

available modes, means and ens action.”29

Kata “nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti

sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah

sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya;

berhubungan erat dengan etika. Kata “nilai” diartikan sebagai harga, kadar,

mutu atau kualitas.30

Maka, sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting

dan bermutu atau berguna bagi kemanusiaan dan menyempurnakan manusia

sesuai dengan hakikatnya.

Kata “sosial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti

berkenaan dengan masyarakat.31

Maka, segala hal yang berhubungan dengan

masyarakat, seperti suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong,

dan menderma dapat disebut sebagai sosial.

28

K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993), h. 149. 29

Soerjono Soekanto, Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung:

Alumni, 1983), h. 160. 30

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 963.

31

Ibid., h. 1331.

Page 33: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

23

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai

apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk

menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas

harus melalui proses menimbang. Dengan ukuran itu, suatu masyarakat akan

tahu mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan boleh atau dilarang.

Nilai sosial yang terbukti langgeng dan tahan zaman akan membaku menjadi

sistem nilai budaya. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang

dianut masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tata nilai antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan

hal-hal yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan

bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk

mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga

memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh

anggota masyarakatnya. Di sisi lain ada juga sesuatu yang dilarang untuk

dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara

umum disebut sebagai nilai sosial.

D. Teori Interaksi Simmel

Manusia tercipta sebagai makhluk pribadi sekaligus juga makhluk sosial.

Sebagai makhluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar

dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia tidak dapat

hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya. Itulah

sebabnya manusia berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial.

Para ahli, seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P.Gillin sepakat bahwa adanya

saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai, norma, cara-cara, dan prosedur

yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup

Page 34: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

24

manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat

kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.32

Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan

antarpribadi (interpersonal). Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai

berikut: (1) Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga

mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan

reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis

yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, (2) Jaringan relasi-relasi itu tidak sama

sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi,

bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi

fungsional dan rasional, (3) Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi

dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi

strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan,

sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik

hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek

positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut individu-

individu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada

dalam masyarakat atau organisasi, (4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi

bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang

mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu

dilembagakan.

Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses

interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan

tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat

lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi

32

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT

Refika Aditama, 2001), Cet. IV, h. 122.

Page 35: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

25

sosialisasi. Proses sosialisasi itu sendiri terdapat dalam bentuk-bentuk yang berupa

interaksi.33

Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas di dirinya itu

diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau

penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi

dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu

dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan

identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi-relasi sesaat antara dirinya dengan

berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan-satuan lingkungan sosial yang

melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan

nasion. Individu mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya,

struktur, peranan, dan proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi,

peranan, dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan

lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Relasinya bersifat kompleks dan menjadi

sasaran berbagai disiplin ilmu, tetapi diperoleh gambaran mengenai relasi individu

dengan lingkungan sosialnya sebagai berikut.

1. Relasi Individu dengan Dirinya

Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah-istilah Ego,

Id, dan Superego serta dipersonalisasikan (apabila relasi individu dengan

dirinya adalah seperti dengan orang asing saja), dan sebagainya. Dalam diri

seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut Id atau “es” (jiwa

ibarat gunung es di tengah laut), Ego atau “aku”, dan Superego atau uber ich.

Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat

temporer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan

demi kepuasan. Contohnya, seksual dan libido. Ego bertugas melaksanakan

dorongan-dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dari

Superego. Ego dalam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle.

33

Ibid., h. 56.

Page 36: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

26

Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan

lingkungan sosial, dan punya nilai-nilai moral sehingga merupakan control

terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan

antara Id dan Superego. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara

dorongan dari Id dan larangan dari Superego, maka individu akan mengalami

konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui

mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang

dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856-1939), sarjana berkebangsaan

Jerman.

2. Relasi Individu dengan Keluarga

Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari

keluarga tumbuh, dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri

keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik.

Dengan orang tua, dengan saudara-saudara sekandung, terjalin relasi biologis

yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.

Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari

relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan

lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan,

norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun).

3. Relasi Individu dengan Lembaga

Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi di sekitar

suatu fungsi masyarakat yang penting. Oleh karena itu, ada segi kultural

berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan ada segi strukturalnya berupa

berbagai peranan sosial. Berfungsi dalam integrasi dan stabilitas karena

lembaga sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia dalam

kebersamaan hidup.

Tumbuhnya individu ke dalam lembaga-lembaga sosial berlangsung

melalui proses sosialisasi karena lembaga disadari dan mempunyai arti

sebagai realitas-realitas objektif. Posisi dan peranan individu dalam lembaga

Page 37: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

27

sosial sudah dibakukan berdasarkan moral, adat, atau hokum yang berlaku.

Individualitasnya ditanggung didalam struktur, yaitu hubungan kelembagaan.

Individu bertingkah laku spesifik, berbeda dengan yang lainnya.

Individu merupakan ketua, direktur, pemimpin, tokoh, dan lain-

lainnya. Terjadi kompleksitas interaksi sosial, merupakan struktur baku dalam

pola relasi yang terungkap dalam pranata sosial.

4. Relasi Individu dengan Komunitas

Dalam sosiologi, komunitas diartikan sebagai satuan kebersamanaan

hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri: (1) teritorialitas yang

terbatas, (2) keorganisasian tata kehidupan bersama, dan (3) berlakunya nilai-

nilai dan orientasi nilai yang kolektif (Poplin, 1960). Ketentuan batas wilayah

bersifat objektif dan subjektif, sehingga batas-batas administratif dan batas

kultural tidak tumpang tindih dalam kehidupan komunitas. Komunitas

mencakup individu-individu, keluarga-keluarga, dan juga lembaga yang saling

berhubungan secara interdependen. Bersifat kompleks, dari makna

kehidupannya ditentukan oleh orientasi nilai yang berlaku, artinya oleh

kebudayaannya, yang menumbuhkan pranata-pranata sosial struktur

kekerabatan keluarga dan perilaku individu maupun kolektif. Posisi dan

peranan individu didalam komunitas tidak lagi bersifat langsung, sebab

perilakunya sudah tertampung atau direndam oleh keluarga dan kebudayaan

yang mencakup dirinya. Sebaliknya pengaruh komunitas terhadap individu

tersalur melalui keluarganya dengan melalui lembaga yang ada.

5. Relasi Individu dengan Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang bersifat makro.

Aspek teritorium kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan

wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Kedua aspek itu

menunjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan

hidup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur-unsur masyarakat yang

terdiri dari pranata, status, dan peranan individu. Variable-variabel tersebut

Page 38: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

28

dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut

persepsi makro.

Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada

hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunikasi yang berbeda, sekaligus

mencakup berbagai macam keluarga, lembaga, dan individu-individu.

6. Relasi Individu dengan Nasion

Menurut Ernest Renan (1823-1892), nasion adalah suatu jiwa, suatu

asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk oleh perasaan yang

timbul sebagai akibat pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan yang

dalam masa depan bersedia dibuat lagi. Persetujuan keinginan dinyatakan

dengan jelas untuk melanjutkan kehidupan bersama.

Relasi individu dengan nasionnya dinyatakan pula dengan posisi serta

peranan-peranan yang ada pada dirinya. Semuanya tertampung oleh atau

tersalurkan melalui unit-unit lingkungan sosial yang lebih makro. Hubungan

langsung individu dengan nasion diekspresikan melalui posisinya sebagai

warga Negara.34

E. Pembelajaran Sastra

Istilah pengajaran yang mempunyai makna proses, cara, perbuatan mengajar

atau mengajarkan; perihal mengajar; sedangkan pembelajaran biasa diucapkan

sejalan dengan semangat dan perubahan yang terjadi. Pembelajaran lebih dipilih dan

dipergunakan secara formal, karena didalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah

seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan

diharapkan juga sama-sama kreatif.35

Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau

karangan. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan

34

Ibid., h. 123-127. 35

Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang

Efektif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011), h. 137.

Page 39: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

29

isi yang baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur

pemabacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah

dan baik yang ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile.

Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan.36

Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan

kepribadian. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara

berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah serta cara hidup.

Oleh karena itu, selain memberikan kenikmatan dan keindahan, pembelajaran sastra

juga mampu memberikan nilai-nilai sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.

Pembelajaran sastra di sekolah merupakan sesuatu yang penting dan patut

diajarkan sesuai dengan tingkatannya. Dari usia dini, yaitu tingkat Sekolah Dasar

hingga Perguruan Tinggi. Jika sastra diajarkan dengan cara yang tepat, maka

pengajaran sastra dapat membantu bidang pendidikan.

Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan

secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu

keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta

dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.37

Manfaat tersebut juga berguna untuk

menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, walaupun sastra sendiri

merupakan karya fiktif. Oleh karena itu, pengajaran sastra dapat dijadikan sebagai

pembelajaran yang penting dan patut menempati tempat yang selayaknya.

Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah Kelompok Mata Pelajaran Wajib.

Kelompok Mata Pelajaran Wajib merupakan bagian dari kurikulum pendidikan

menengah dalam kurikulum 2013 yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan

tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan kemampuan penting untuk

mengembangkan logika dan kehidupan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa,

pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta seni budaya daerah

36

Ibid., h. 17. 37

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

Page 40: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

30

dan nasional, sedangkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia termasuk dalam

Kelompok Mata Pelajaran Peminatan. Kelompok Mata Pelajaran Peminatan bertujuan

(1) untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan minatnya

dalam sekelompok mata pelajaran sesuai dengan minat keilmuannya di perguruan

tinggi, dan (2) untuk mengembangkan minat terhadap suatu disiplin ilmu atau

keterampilan tertentu.

Dalam struktur kurikulum SMA/MA terdapat penambahan jam belajar per

minggu sebanyak 4-6 jam sehingga untuk kelas X bertambah dari 38 jam menjadi 42

jam belajar dan untuk kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam

belajar, sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar adalah 45 menit. Dengan

adanya tambahan jam belajar ini dan pengurangan jumlah Kompetensi Dasar, guru

memiliki keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang

berorientasi siswa aktif belajar. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu

yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi karena peserta

didik perlu latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi.

Proses pembelajaran yang dikembangkan guru menghendaki kesabaran dan

menunggu respons peserta didik karena mereka belum terbiasa. Selain itu,

bertambahnya jam belajar memungkinkan guru melakukan penilaian proses dan hasil

belajar.

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu

siswa berlatih keterampilan membaca, keterampilan menyimak, keterampilan

berbicara, dan keterampilan menulis yang masing-masing erat kaitannya. Dalam

pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan

mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman.

Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama.

Siswa dapat pula meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi

atau prosa cerita. Mengapresiasi sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya

dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis.

Page 41: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

31

Pembelajaran sastra dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra.

Melalui sastra, kita dapat mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan

antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan

kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan keseluruhan dan

kemitraan. Selain itu, dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak

untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada dalam karya

sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk

megembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan

mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan kemampuan peserta didik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra bertujuan

untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, menyeimbangkan pengembangan

kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetika peserta didik.

F. Penelitian yang Relevan

Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Para Priyayi sebagai objek

penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji objek

penelitian. Sebelumnya ada beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan

perbandingan dan penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian

ini adalah sebagai berikut.

Skripsi Atik Hendriyati (2009) dengan judul penelitian “Kajian Intertekstual

dan Nilai Pendidikan dalam Novel Canting Karya Arswendo Atwomiloto dengan

Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Berdasarkan analisis Atik Hendriyati, hubungan

intertekstual antara Canting dan Para Priyayi merupakan karya hipogram, yaitu karya

yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya, sedangkan Para Priyayi disebut

karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.

Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur,

penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial.

Perbedaannya terdapat pada nilai yang dianalisis. Penelitian ini meneliti mengenai

nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan dalam sikap atau tindakan, yaitu nilai-nilai

Page 42: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

32

yang diperoleh dan dapat dicontoh dari sikap atau tindakan para tokoh dalam cerita.

Selain itu, nilai pendidikan disampaikan melalui ungkapan atau pepatah dari para

tokohnya yang mengandung ajaran moral yang tinggi. 38

Kedua, skripsi Permadi Hendra Lesmana (2013) “Perubahan Ideologi

Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan

Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di

SMA”. Berdasarkan hasil analisis Permadi Hendra Lesmana, perubahan ideologi

yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam

dikelompokkan menjadi enam, yaitu 1) Perubahan Ideologi Kayam terkait

pernikahan, 2) Perubahan ideologi Kayam terkait sudut pandang agama lain dalam

menilai Islam, 3) Perubahan ideologi Kayam terkait sikap kepada penguasa, 4)

Perubahan ideologi terkait sikap orang tua ditunjukan oleh tokoh utama yang

sebelumnya tidak memberikan restu pernikahan beda agama menjadi sebaliknya, 5)

Perubahan ideologi terkait menyikapi kebudayaan Jawa, sebelumnya Kayam

menjadikan budaya Jawa sebagai panduan kehidupan dan kemudian hanya menjadi

seni hiburan saja, 6) Perubahan ideologi terkait konsep perselingkuhan, sebelumnya

perselingkuhan hanya dianggap sebagai hiburan dan perselingkuhan itu sendiri tidak

pernah terjadi pada tokoh utama tetapi kemudian menjadi sebaliknya, perselingkuhan

menjadi kebutuhan dan benar-benar terjadi.39

Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian relevan di atas adalah sama-

sama meneliti mengenai beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan

perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu, maupun sosial. Perbedaannya adalah

penelitian ini menganalisis nilai sosial, sedangkan kedua penelitian relevan di atas

meneliti mengenai nilai pendidikan dan perubahan ideologi.

38

Atik Hendriyati, “Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo

Atmowiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Sebelas

Maret, Purwakarta, Purwakarta, 2009, tidak dipublikasikan. 39

Permadi Hendra Lesmana, “Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern

dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Islam Negeri, Jakarta, Jakarta, 2013,

tidak dipublikasikan.

Page 43: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

33

BAB III

TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG

A. Tinjauan Internal

1. Sinopsis Novel Para Priyayi

Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage.

Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono

saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih.

Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya

beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan

keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe

buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya

kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.

Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut

menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri

jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik

matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus

yang benar-benar mengeringkan tenggorokan. Sekali waktu Lantip pernah

merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus

Emboknya menjawab dengan ―Hesy! Ora usah‖, dan Lantip pun terdiam.

Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas.

Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau

bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah

satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono.

Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan

―Ndoro Guru‖ dan ―Ndoro Guru Putri‖. Waktu mereka melihat Embok datang

Page 44: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

34

membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah

ulem-nya dan penuh wibawa.

Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan

mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-

lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah

tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah

kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek

atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu

adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang

pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat

seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan

pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.

Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti nama menjadi

Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang

didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan

dapat bertanggung jawab, tapi Soenandar justru menghamili anak penjual

tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih,

dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip.

Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan

abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono

yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari

pertemuan pagi.

Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan

malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi

tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah

gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa

keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem

Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih

tergolong keluarga dari Sastrodarsono.

Page 45: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

35

Keluarga Sastrodarsono perlahan berhasil membangun keluarga

priyayi mereka sendiri. Kelahiran tiga anak mereka, yaitu Noegroho, Hardojo

dan Soemini menambah lengkap keluarga priyayi mereka. Semua anak

mereka pun sukses mengikuti jejak Sastrodarsono menjadi seorang priyayi.

Noegroho yang menjadi Guru HIS kemudian banting setir ikut PETA pada

zaman pendudukan Jepang, dan kemudian pindah menjadi perwira TNI pada

zaman kemerdekaan. Hardojo, menjadi seorang abdi Mangkunegaran dan

menantunya Harjono (suami Soemini) seorang Asisten Wedana.

Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak

petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di

Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang

pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono

dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya

seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya,

ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya

bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur,

karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan

dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.

Sepeninggalannya Mbah putrid, kesehatan Eyang kakung semakin

memburuk yang sampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara

sambutan selamat tinggal untuk Sastrodarsono, semua anggota keluarga

Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir.

Akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang

menyampaikan pidato selamat jalan itu. Lantip, meskipunia adalah anak

haram hasil hubungan Soenandar dan ibu kandungnya, Ngadiyem, tetapi

sesungguhnya dialah yang telah berhasil menjadi seorang priyayi yang

sebenarnya. Terlihat dari ketulusan dan kesediaannya membantu para anggota

keluarga Sastrodarsono. Namun, ia tak bangga dengan semua itu. Cerita pun

Page 46: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

36

ditutup dengan peristiwa Lantip mengajak calon istrinya yang bernama

Halimah ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.

2. Gambaran Umum Novel Para Priyayi

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan 308 halaman yang

diterbitkan pada tahun 1992 ini menggambarkan warna-warni kehidupan

tokoh-tokohnya yang berlatar kehidupan Jawa. Novel ini menceritakan realita

kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa

dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga

Sastrodarsono.

Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berjuang hidup

untuk membangun keluarga besar priyayi. Berkat kesetiaan ayahnya

menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priyayi Kedungsimo, ia disekolahkan

dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Melalui dunia pendidikan itulah

ia masuk golongan para priyayi. Pandangan hidup yang dimulai dari hal yang

sangat sederhana, yaitu sebagai guru bantu ternyata membuahkan hasil yang

tak terduga. Mimpinya membangun keluarga priyayi, disertai dengan

keuletan, taat pada orang tua dengan sikap orang jawa yang ikut, nurut, dan

manut ternyata dapat terwujud. Ia merupakan gambaran pria jawa yang selalu

patuh, mulai dari perjodohannya dengan seorang gadis sampai pada kesabaran

dan ketelatenannya menjalani karir dan juga berumah tangga.

Perjuangan menaiki tangga priyayi yang dibangun oleh Satrodarsono

tidak selamanya berjalan sesuai keinginannya. Perjuangannya mulai luntur

pada generasi anak cucunya. Mereka sudah mulai tergilas arus modernisasi.

Akan tetapi, di sisi yang lain, keluarga Sastrodarsono berhasil menemukan

priyayi yang sesungguhnya, yaitu Lantip. Ia adalah seorang lelaki yang tidak

berdarah priyayi, namun memiliki jiwa priyayi yang sebenarnya.

Dalam konteks kebudayaan Jawa, kata priyayi digunakan untuk

menyebut orang-orang yang terhormat atau disegani dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, semua guru, pejabat atau pemerintah bisa juga disebut

Page 47: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

37

priyayi. Namun, novel Para Priyayi menyajikan ceritayang berbeda mengenai

priyayi yang sebenarnya, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan

dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk

melayani dan mengayomi rakyat. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir

saat tokoh Lantip ketika ia berpidato di pemakaman Eyangnya. Lantip

memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup

dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.

Novel ini menggambarkan kebudayaan lokal dengan penciptaan

suasana, tempat, budaya, gaya bahasa, alur dan banyak hal lainnya dengan

sangat mendetail. Budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dan juga

masalah yang diangkat dalam novel ini. Adanya kelas dalam masyarakat

Jawa, membuat Sastrodarsono ingin membangun keluarga priyayi yang

priyayi agung. Perjalanan Sastrodarsono diwarnai dengan berbagai tradisi

lokal tentang perjodohan, gaya hidup priyayi yang meliputi cara hidupnya,

berpakaian, makan, dan bagaimana posisi seorang istri priyayi harus bersikap

intelek, baik secara pemikiran atau sikap.

Para tokoh dalam novel ini pun dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan

waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada

saat itu. Terlihat jelas karena novel ini diwarnai dengan beberapa penggal

tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian Jawa di bagian tengah

dan akhir novel. Tokoh-tokoh dalam novel terlahir dari latar budaya Jawa

yang sangat kental, terutama dari dialog dan cara mengatasi berbagai konflik.

Dalam novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas

antara golongan priyayi dan masyarakat biasa, dimana seolah priyayi adalah

cerminan tokoh putih dalam suatu cerita yang sangat dihormati dan dipercayai

secara berlebihan. Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam

suasana kehidupan orang Jawa. Priyayi sangat konsekuen dalam menjaga

berlakunya sistem nilai dan rakyat kecil mengacu serta menganggap sistem

nilai tersebut sempurna dan yang terbaik untuk dihormati bahkan diikuti.

Page 48: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

38

Bahasa Jawa yang disajikan dalam novel ada tiga bahasa; Kromo

Inggil (sangat halus), Kromo (halus), dan Ngoko (kasar). Misalnya, pada saat

Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang

terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang

yang statusnya sama atau sebaya dengannya. Biasanya bahasa seperti Kromo

Inggil tersebut dipakai oleh orang yang muda kepada orang yang tua apapun

strata sosialnya, sedangkan kalau orang yang muda berbicara kepada orang

yang muda juga atau yang setara umurnya, biasanya memakai yang halus

(Kromo) atau bahasa yang kasar (Ngoko). Selain itu, disisipi pula istilah atau

ungkapan Jawa disertai artinya.

Bahasa yang digunakan mampu menghidupkan suasana, sehingga

mampu membawa pembaca serasa larut dalam cerita. Terutama bahasa Jawa

(logat Jawa) yang digunakan tokoh untuk berdialog. Selain itu, terdapat

bahasa lain seperti bahasa Belanda dan Bahasa Jepang untuk menunjukkan

masa pemerintahan pada saat itu.

Melalui novel Para Priyayi, pembaca Indonesia yang berlatar

belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian

kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel

tersebut sarat akan nilai sosial. Mereka mengikatkan diri dengan penuh

kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.

B. Tinjauan Eksternal

1. Biografi Umar Kayam

Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April

1932.Ia memperoleh gelar Ph. D di Cornell University dengan tesis mengenai

problem koordinasi pembangunan masyarakat Indonesia. Sejak menjadi

mahasiswa di Universitas Gajah Mada ia telah aktif dalam berbagai kegiatan

kesenian. Namun baru mulai menulis karya-karya sastra pada tahun 1960‘an

ketika berada di New York. Pada tahun 1968, cerita pendeknya ―Seribu

Page 49: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

39

Kunang-kunang di Manhattan‖ dinilai sebagai cerpen terbaik yang dimuat

dalam majalah Horison.1

Dalam dialog santai dengan A.S. Laksana dkk, dua bulan sebelum

meninggal, Umar Kayam sempat mengisahkan masa kecilnya, kegemaran

membaca yang terkondisi sejak kecilnya, dan awal kepengarangannya.

Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru

Hollands Inlands School (HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priyayi yang

menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial

Belanda) di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar itu, ia sekelas dengan

Wiratmo Soekito—Budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor

Manifes Kebudayaan—yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Keragaman

membaca buku secara dini diperolehnya dari ayahnya yang mempunyai

perpustakaan pribadi. Waktu di MULO (sekarang SMP), secara sembunyi-

sembunyi karenatakut dimarahi ibunya – ia telah banyak membaca roman-

roman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel

Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam

bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan

perang saudara di Amerika Serikat itu. walaupun secara jujur ia mengatakan

bahwa banyak yang tidak dipahaminya ketika itu.2

Kayam memulai dunia kesenian sejak SMP dengan giat di bidang

drama, sastra, dan koran dinding. Saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk

membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam

bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda itu memang baik, teratur, dan

disiplin. Di kelas lima HIS, ia sudah menguasai bahasa Belanda. Sehari-

harinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus (kromo)

campur Belanda. Bahasa Melayu dalam waktu itu bukan bahasa sehari-hari.Ia

1DBB,Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, HarianBerita Buana, Jakarta, 14

Juli1987, h. 4. 2B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 1-2.

Page 50: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

40

les bahasa Melayu sore hari. Baru pada masa pendudukan tentara Jepanglah

bahasa Indonesia diwajibkan secara intensif sebagai bahasa pengantar.

Ia mulai belajar mengarang saat duduk di SMA bagian A (Bahasa) di

Yogyakarta. Awalnya, karena memenuhi tugas pelajaran dengan tema-tema

yang diberikan oleh gurunya. Bersama teman-teman sekelasnya, seperti

Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef (dua-duanya pernah menjadi

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), Umar Kayam mendapat tugas

mengelola majalah dinding sekolah. Di majalah dinding itulah Umar Kayan

dan tema-temannya mengekspresikan tulisannya dalam bentuk puisi (katanya

yang paling banyak), cerpen, esai, dan pembicaraan karya-karya pengarang,

seperti Tagore, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.3

Umar Kayam melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia ruang kemahasiswaan

―Universitaria‖ di RRI Nusantara II Yogyakarta yang berisi berita dan

kegiatan mahasiswa dan mendirikan majalah mingguan bertajuk Minggu.

Minatnya terhadap dunia pers ini kelak akan tersalurkan lewat kolom rutinnya

di halaman depan yang diterbitkan di harian Kedaulatan Rakyat setiap hari

Selasa sejak 12 Mei 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Kolom

Kedaulatan Rakyatmenarik minat banyak pembaca kerena dituturkan dengan

singkat, penuh humor cerdas, canda, tidak ngotot, kadang secara tidak

langsung menyampaikan sendirian, protes, usul, nasihat, dan sebagainya.

Kolom ini akhirnya dikumpulkan dan diterbitkan kembali menjadi 4 buah

buku.

Tahun 1955 Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda-nya, lalu

bekerja di Jakarta beberapa tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah di

Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Educationdari Newyork

University School of Education (1963), dan akhirnya memperoleh gelar

3Ibid., h. 2-3.

Page 51: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

41

Doctor of Philosophydi Cornell University dengan disertasi berjudul ―Aspect

of Interdepartmental Coordination Problems in Indonesian Community

Development‖ (1965).

Sepulangnya dari Amerika Serikat, oleh Presiden Soeharto ia ditunjuk

menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan

RI (1966-1969); kemudian ia terpilih untuk menggantikan Trisno Sumardjo

(1969-1972) sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan selama itu pula ia

merangkap sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ;

sekarang Institut Kesenian Jakarta, IKJ) di Jakarta, di samping sebagai

anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang berpusat di

Roma, Italia selama dua tahun. Jabatan lainnya yang pernah diemban adalah

Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin,

Ujungpandang (1975-1976), Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan di UGM

(1977-1997), dosen pascasarjana UGM, dan dosen kontrak di Jurusan Sastra

Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1998-

2001).

Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Sastra UGM dengan

pidato bertajuk ―Transformasi Budaya Kita‖ yang diucapkannya di depan

rapat senat terbuka Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, dan pamit

pensiun dalam seminar untuk Umar Kayam sehubungan dengan purnabakti

sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, 11-12 Juli 1997.4

Umar Kayam juga pernah bermain film dan sinetron, antara lain dalam

film Karmilayang disutradarai oleh Ami Priyono, memerankan Bung Karno

dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI dengan sutradara arifin C. Noer, dan

berperan sabagai Pak Bei dalam sinetron yang diangkat dari novel Arswendo

Atmowiloto yang berjudul Canting.

4Ibid., h. 4-5

Page 52: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

42

Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang

budayawan. Sebagai sastrawan ia telah menulis beberapa karya sastra, antara

lain, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Kumpulan Cerpen), Sri Sumarah

dan Bawuk, (dua novel pendek dalam satu buku), Parta Krama (Kumpulan

Cerpen), Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Sementara itu, sebagai seorang

budayawan ia telah menghasilkan beberapa kumpulan tulisan mengenai seni

dan budaya yang antara lain terkumpul dalam Mangan Ora Mangan Kumpul,

Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih,

Perubahan Nilai dalam Islam, dan Seni dan Tradisi dalam Masyarakat.5

Umar Kayam menikah dengan Roosliana Hanum, 1 Maret 1959,

dikaruniai dua orang putri, yang sulung bernama Sita Aripurnami dan si

Bungsu Wulan Anggraeni. Ia meninggal dunia di Jakarta menjelang usianya

yang genap 70 tahun, Sabtu, 16 Maret 2002, dan dimakamkan di Tempat

Pemakaman Umum Karet, Jakarta.

2. Karya-karya Umar Kayam

Dalam karya-karyanya yang berlatar Amerika, Umar Kayam bertutur

sebagai pengamat. Umar Kayam mulai menulis cerpen dengan agak teratur

ketika ia tugas belajar di Amerika Serikat. Begitu tugas belajar selesai dan

pulang ke tanah air, muncullah cerpen pertamanya di majalah Horison, No. 4

Tahun I, 1966 berjudul ―Seribu Kunang-kunang di Manhattan‖. Cerpen ini

terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Horison1966/1967. Cerpen ini sangat

populer sehingga oleh Yayasan Obor Indonesia (1999) diterbitkan dalam

terjemahan 13 bahasa daerah yang masih hidup di Indonesia dalam rangka

Program Pemetaan Bahasa Nusantara 1999.

Setelah kumpulan cerpennya ―Seribu Kunang-kunang di Manhattan‖,

Umar Kayam menerbitkan kumpulan cerita panjang ―Bawuk dan Sri

Sumarah‖. Cerpen-cerpennya ini menceritakan tentang kejiwaan dan

5Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya

Sastra Indonesia, (Jakarta: Pilar Media, 2006), h. 112.

Page 53: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

43

pergolakan batin wanita-wanita Jawa, dan telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Dua cerpennya yang terakhir ini

diterbitkan kembali pada tahun 1986, dengan ditambah beberapa cerpen

lainnya yang terbaru seperti ―Kimono Biru untuk Istriku‖, bukunya yang

terakhir inilah yang mengantarkan Umar Kayam menjadi pemenang SEA

Write Award 1987.6

Umar Kayam pernah menulis buku kanak-kanak Totok dan Toni

(1975).Dua noveletnya yang berjudul ―Sri Sumarah‖ dan ―Bawuk‖ pernah

diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Sri Sumarah dan Bawuk(1975).

Akan tetapi, akhirnya disatukan dengan kumpulan cerpennya Seribu Kunang-

kunang di Manhattan (1972) ke dalam judul Sri Sumarah dan Cerita Pendek

lainnya (1986). Tiga cerpennya, yaitu ―Seribu Kunang-kunang di

Manhattan‖.―Bawuk‖, ―Musim Gugur Kembali di Connecticut‖, telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam antologi Harry

Aveling (ed.) From Surabaya to Armagedon (1976). Cerpen-cerpennya yang

lain juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling

dan diterbitkan di Singapura dengan judul Sri Sumarah and other stories

(1976).

Kumpulan cerpennya yang lain adalah Parta Krama (1997) yang

diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-65, dan Lebaran di Karet,

di Karet ... (2002) yang diterbitkan setelah Umar Kayam meninggal. Ia juga

menulis dua buah novel yang berjudul Para Priyayi (1992), dan Jalan

Menikung Para Priyayi 2 (1999). Para Priyayi sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Jerman. Sebagai sastrawan, tahun 1987 ia memperoleh Hadiah Sastra

ASEAN.7

6DBB, Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, Harian Berita Buana, Jakarta,

14 Juli 198, h. 4. 7B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 5-6.

Page 54: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

44

Umar kayam dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya

karena cerpen panjangnya ―Sri Sumarah‖ dan ―Bawuk‖ serta beberapa cerpen

lainnya yang dimuat di majalah Horison. Melalui cerpen-cerpennya ia berhasil

mengangkat kultur Jawa dengan sangat meyakinkan. Begitu pula dengan

novelnya, yaitu Para Priyayi. Novel Para Priyayi menghadirkan kebudayaan

Jawa melalui tokoh-tokohnya yang sangat kental dengan citra priyayinya.

Karya Umar Kayam yang berbentuk buku nonfiksi, antara lain Seni,

Tradisi, Masyarakat (1981) dan The Soul of Indonesian, A Culture Journey

yang diterbitkan oleh Louisiana University Press yang kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semangat Indonesia: Suatu

Perjalanan Budaya (1985). Selain menjadi kolumnis di beberapa surat kabar

dan majalah, kolom-kolomnya yang sangat digemari pembaca di harian

Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kolom-kolomnya yang secara rutin hadir

setiap hari Selasa, akhirnya diterbitkan secara berseri dengan judul Mangan

Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor

sugih, Madhep Ngidul Sugih (1998), dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit

(2000). Sebelum wafatnya, Umar Kayam masih sempat menerbitkan hasil

penelitiannya pada tahun 1993-1995 tentang wayang kulit dan dibukukan

dengan2 judul Kelir Tanpa Batas (2001).8

3. Pandangan Hidup Umar Kayam

Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang

budayawan. Dua predikat yang disandang Kayam tersebut tidak bertolak

belakang, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.

Melalui karya sastra, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya mengenai

kebudayaan dan sebaliknya, gagasan-gagasan besarnya mengenai kebudayaan

dapat dilihat dalam nilai-nilai yang terdapat dalam tulisannya.

8Ibid., h. 6.

Page 55: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

45

Ia berpandangan terhadap para penulis bahwa seorang penulis

mempunyai tugas sosialnya sendiri. tugas ini bukan memimpin, bukan

mewejang karena dia bukan seorang pendeta atau kyai, bukan

‗menyelamatkan dunia‘ karena dia bukan seorang nabi. Menurutnya, tugas

seorang penulis adalah sederhana: bercerita dengan jujur, pada tempatnya dan

indah‖.

Ia tidak alergi terhadap kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia

adalah ―… kemajemukan budaya dan kreativitas kita ‗memainkan‘

kemajemukan kita itu. Ini berarti bahwa kita mesti bersedia memiliki ‗bidang

bahu yang selebar-lebarnya‘ dalam menyediakan ruang gerak yang bebas

untuk mengembangkan ‗kepribadian bangsa‘ yang akan muncul bersama

kultur kita yang majemuk dinamis itu‖.9

Kayam dengan semangat sosialnya selalu mengikhtiarkan seni tradisi

yang kini baur dengan timbulnya seni kontemporer yang elitis hingga

kesenian rakyat makin terpencil dan kesenian klasik ―kraton‖ menjadi

kesenian salon, maka ia menghimbau: ―Sudah waktunya kreativitas dipahami

dalam konteks perkembangan masyarakat. ―Sudah waktunya ‗strategi

pengembangan kesenian‘ mengacu kepada kaitan kreativitas seni dengan

perkembangan masyarakat‖.

Salah satu pandangannya mengenai kebudayaan adalah masalah

transformasi. Kayam berpandangan bahwa nilai-nilai budaya yang

berkembang di masyarakat terbentuk melalui proses transformasi. Melalui

tulisannya, Transformasi Budaya Kita, Kayam mengandaikan transformasi

sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk baru yang akan

mapan. Transformasi dapat pula dibayangkan sebagai suatu proses yang lama

9Diro Aritonang, Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh, Harian Pikiran Rakyat,

Bandung, 30 Oktober 1982, h. 7.

Page 56: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

46

bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang

cepat, bahkan abrupt.10

Masyarakat Jawa adalah salah satu komunitas budaya yang mengalami

proses transformasi. Gambaran budaya Jawa tersebut, selain dapat dilihat dari

perilaku, adat istiadat, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat, juga tercermin

dalam berbagai karya sastra. Transfrormasi nilai budaya Jawa dalam novel

Para Priyayi tercermin melalui peristiwa-peristiwa yang dialami keluarga

Sastrodarsono (sebagai generasi pertama) dan keluarga Hardojo dan Harimurti

(generasi kedua dan ketiga).

Umar Kayam terkenal dengan teorinya mengenai manusia Indonesia

sebagai ―Pejalan Budaya‖ (Cultural Commuter), yaitu sebagai orang-orang

yang bergerak secara bolak-balik dari budaya tradisional ke budaya modern,

dari desa ke kota, dan sebagainya. Berbagai ilustrasi mengenai sudut pandang

serta teori perubahan dan transformasi menunjukkan bahwa masyarakat

Negara dibayangkan, pada suatu masa, berubah, bahkan menghendaki

perubahan yang terakhir (sementara) dengan status transformasi. Kenyataan

tersebut menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat suatu budaya yang

menyangga, anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat, pada suatu saat

akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak berfungsi lagi sebagai

pengikat suatu kebudayaan.

Dalam konteks kebudayaan Jawa secara khusus dan Indonesia pada

umumnya, Kayam menguraikan secara historis terjadinya transformasi

tersebut. Menurutnya, transformasi itu mulai terjadi ketika agama Hindu dan

Budha dianut masyarakat. Ketika itu terjadi transformasi budaya India ke

dalam kebudayaan Indonesia. Berikutnya transformasi budaya terjadi lagi

ketika pada abad ke-13 Islam datang. Terjadilah pertemuan antara Hindu-

Budha dan Islam yang kemudian di Jawa dikenal juga dengan Islam-Jawa.

10

Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya

Sastra Indonesia, (Jakarta: Pilar Media, 2006), h.114.

Page 57: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

47

Selanjutnya bangsa Barat, antara lain Inggris, Portugis, dan Belanda pun

menyusul berdatangan ke Indonesia. Maka sekali lagi transformasi budaya

terjadi, yakni menyebarnya budaya Barat yang secara otomatis dibawa oleh

bangsa-bangsa tersebut.

Kayam menawarkan beberapa kriteria perilaku, yakni terbuka

(kompromis dan dialogis), luwes, dan kreatif. Kayam mengatakan bahwa

sikap ini adalah ―perintah historis‖. Ia telah lama dimiliki oleh nenek moyang

kita. Ketika Hindu dan Budha datang dengan budaya Indiannya, yang terjadi

bukan Indianisasi, melainkan Indonesianisasi atau Jawanisasi dalam konteks

kebudayaan Jawa. Yang menarik dari transformasi itu, menurut Kayam,

adalah nampaknya bahasa ―perintah historis‖ yang agaknya selalu

mengingatkan pada nenek moyang kita untuk pandai-pandai

memperhitungkan serta memanfaatkan kondisi geografis, geoekonomis, serta

geopolitik dari kepulauan kita. Bahasa tersebut mengisyaratkan idiom luwes,

lentur, adaptable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai budaya luar. Dari

sikap tersebut terciptalah suatu hasil yang mengagumkan sebagaimana

ungkapan berikut ini.

Kebudayaan yang terbentuk di Sriwijaya, Mataram I, Singasari,

Majapahit, Aceh, Makasar, Bone, Kemudian Mataram II, dan

sebelumnya Demak dan Pajang adalah contoh-contoh dari hasil dialog

budaya dengan agama-agama Budha, Hindu, dan Islam. Dialog

budaya tersebut manghasilkan, baik arsitektur ―dalam‖ seperti seni

memerintah, pertunjukan, tari, kesusastraan, dan berbagai macam seni

ritual yang kaya dan canggih.

Karena sikap terbuka, luwes, dan kreatif tersebut, konflik-konflik

budaya dapat dihindarkan meskipun budaya yang datang mengikis habis

hegemoni politik dan kekuasaan pada saat transformasi terjadi di Demak.

Untuk hal ini Kayam memberi contoh transformasi Islam yang terjadi di

Demak. Menurutnya, meskipun Demak muncul untuk menggantikan

hegemoni Majapahit dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya, ia

Page 58: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

48

memberikan satu indikator adanya transformasi yang tidak menimbulkan

konflik-konflik sosial, transformasi itu berjalan melalui penyebaran gagasan

dan ide.11

Cara pandang tersebut ternyata bukan sebatas retorika, melainkan juga

melekat dalam perilakunya. Ia adalah seorang Islam abangan, Islam yang

unsur Jawanya sangat kental, Islam yang merupakan hasil dialog terbuka

dengan budaya Jawa. Dengan perkataan lain, Islam abangan adalah Islam

hasil transformasi budaya yang kompromis. Jika sebuah cara pandang

terhadap sesuatu telah menjadi jalan hidup, sebagai seorang sastrawan,

terbuka peluang besar bagi kawan untuk mengemukakan gagasan-gagasannya

tersebut melalui karya-karyanya.12

Demikianlah inti dari gagasan Kayam mengenai transformasi

budaya.Dari gagasannya tersebut dapat ditemukan bagaimana sikap Kayam

dalam ―memandang dunia‖. Cara pandangnya yang terbuka dalam arti

kompromis dan dialogis dengan diimbangi oleh kreativitas adalah sikap

mendasar Kayam dalam menyikapi transformasi budaya yang terjadi di

masyarakat, dalam hal ini terutama budaya Jawa tempat ia dilahirkan, hidup,

dan bergaul secara intens, baik melalui media literer maupun interaksi

langsung sebagai manusia Jawa.

11

Ibid., h. 115. 12

Ibid., h. 117.

Page 59: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

49

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL

A. Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi

1. Tema

Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan

tema. Tema merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Sebuah karya

sastra, seperti novel tentulah tidak terlepas dengan adanya tema. Selain karena

tema adalah sebuah topik dalam cerita, tema juga merupakan gagasan dasar

yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks,

sehingga tema sering menjadi kiblat untuk menentukan konflik dalam

rangkaian peristiwa.

Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam

mengenai perubahan status sosial. Bagaimana perjuangan hidup untuk

mengubah status sosial demi membangun satu generasi priyayi yang berusaha

diwujudkan oleh seorang anak petani yang sebagai pemula telah berhasil

menjadi priyayi. Tema ini menonjol pada kutipan di bawah ini.

“Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa

Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit

guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama

dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun

priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang

penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi.”1

Sastrodarsono, nama aslinya Soedarsono adalah anak Atmokasan

seorang petani desa Kedungsimo yang berhasil menempuh pendidikan dengan

baik sehingga diangkat menjadi guru bantu di Ploso. Itulah awal

kepriyayiannya, meski priyayi yang paling rendah tingkatannya. Dia

1Umar Kayam, Para Priyayi Sebuah Novel, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2011), Cet. XIII,

h. 32.

Page 60: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

50

mengawali karir priyayinya dengan menjadi guru bantu hingga akhirnya naik

pangkat dan menjadi priyayi sungguhan. Ia membangun keluarga besar

priyayi.

Para Priyayi karya Umar Kayam menampilkan kehidupan sosok

priyayi dari berbagai perspektif kepriyayian. Priyayi merupakan sebuah

takdir, karena terlahir dari rahim perempuan priyayi. Akan tetapi, priyayi juga

dapat diperoleh dari sebuah proses pendidikan dan pemerolehan jabatan

pemerintahan. Novel Para Priyayi menunjukkan hal ini. Status kepriyayian

diungkapnya. Seperti apa sebenarnya kehidupan priyayi, bagaimana seorang

priyayi seharusnya berperilaku di masyarakat, dan bagaimana jika priyayi

tidak memiliki etika idealnya seorang priyayi. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “… Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada

gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih

memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan

kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan

menjadi priyayi yang terpandang.”2

Masalah pendidikan pun ikut menentukan status sosial dan

mengangkat martabat seseorang dalam masyarakat. Pendidikan ikut

menentukan kepriyayian seseorang, dan kesanggupannya mengejawantahkan

status kepriyayian itu dalam kehidupan ini, terutama pertanggungjawabannya

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “... semangat kerukunan dan persaudaraan itu yang terpenting

...semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. ... perjalanan

mengabdi pada masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada

habisnya.”3

Priyayi adalah sebuah status sosial yang dianggap terhormat di

masyarakat, yang tidak semua orang dapat menyandang status tersebut.

2Ibid.,

3Ibid., h. 333-335.

Page 61: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

51

Keluarga priyayi harus bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang

priyayi agar keturunannya tidak keluar dari konsep “kepriyayian”, namun

faktanya banyak keluarga priyayi yang tidak mampu menjaga harkat dan

martabatnya sebagai seorang priyayi. Justru orang yang berasal dari keturunan

wong cilik, dengan usahanya dapat mencapai status priyayi dan mampu

menjaga sikap dan perilakunya layaknya seorang priyayi.

Perjuangan priyayi sejati demi mengayomi keluarga dan rakyat kecil

ini ditunjukkan oleh Lantip. Lantip yang merupakan anak hasil hubungan di

luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil

sebagai pahlawan. Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu

Sastrodarsono dan menjadi priyayi yang sebenarnya. Bukan sekedar priyayi

yang terhormat, tetapi bagaimana sesungguhnya menjadi seorang priyayi yang

mriyayeni atau mengayomi rakyat kecil.

Dengan demikian, dalam novel Para Priyayi digambarkan bahwa

status priyayi tidak mutlak milik darah biru saja, melainkan lebih merupakan

sebuah proses pencapaian. Lantip dan Sastrodarsono merupakan tokoh yang

mengemban proses menjadi priyayi. Keduanya bukan berasal dari keluarga

priyayi, melainkan hanya wong cilik yang hidup di desa. Hanya saja dengan

usaha, ketrampilan, kecakapan, dan keberuntungan keduanya mencapai

tingkatan priyayi.

Setelah menganalisis tema yang merupakan unsur yang paling penting

dan dominan dalam unsur intrinsik, selanjutnya peneliti akan menganalisis

tokoh dan penokohan.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam

unsur intrinsik pada sebuah cerita rekaan. Keduanya menjadi saling terikat

dan tidak dapat dipisahkan dalam sebuah pembahasan. Tokoh adalah pelaku

yang memegang peran sebuah peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin

Page 62: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

52

suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan citra tokoh dalam cerita

disebut penokohan.

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat

dibedakan atas tokoh primer, tokoh sekunder (bawahan), dan tokoh

komplementer (tambahan).

a. Lantip

Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu

Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga

Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan

Satenan di Wanagalih. Dalam bahasa Jawa, nama ini punya makna

yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,

“Nama anakmu akan kami ganti. Nama Wage rasanya kok kurang

pantes buat anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip

artinya cerdas, tajam otaknya. Bagaimana?”4

“Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian

nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian,

menghidupkan.”5 Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam

menciptakan tokoh dengan nama yang indah sesuai dengan

karakternya. Seperti “Lantip”, maka ia betul-betul seperti itu dalam

ceritanya. Benar-benar tajam otaknya, cerdas. Dia selalu menjadi juru

selamat tatkala anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono terkena

musibah. Karena kepintarannya juga, dia dengan mudah lulus dari

UGM, dan menjadi dosen. Dia juga dengan luwes dan berhasil

menyesuaikan diri dalam etika kepriyayian. Lantip direpresentasikan

sebagai priyayi ideal. Dalam ceritanya pun, Lantip nyaris tidak

mengalami konflik.

4Ibid., h. 20.

5Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature

oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 287.

Page 63: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

53

Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya di desa

Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih.

Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai

dari penjualan tempe keliling. Rupanya tempe buatan Embok Lantip

itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Hingga akhirnya keluarga

Sastrodarsono menjadi pelanggan tetap tempe Emboknya Lantip.

Selain itu, Lantip diminta tinggal di Setenan dan disekolahkan oleh

Sastrodarsono dan Ngaisah. Lantip sangat bersyukur atas kesempatan

yang ia peroleh. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Saya tidak

membayangkan apa-apa. Saya sudah merasa bersyukur mendapat

kesempatan bersekolah, diongkosi, mendapat tempat berteduh lagi di

Setenan.”6

Lantip merupakan tokoh primer. Tokoh primer merupakan

tokoh utama dalam sebuah cerita. Ia menjadi tokoh penting, karena

semua cerita terfokus dan tertuju kepadanya (sentral). Dalam novel

Para Priyayi, Lantip menjadi tokoh yang cukup banyak mengambil

bagian dalam cerita. Ia juga berfungsi sebagai pengantar cerita dari

tokoh satu kepada tokoh yang lain.

Dalam novel diceritakan bahwa Lantip menjadi tokoh yang

paling dominan, karena tahapan kehidupan Lantip diceritakan secara

tuntas dari awal cerita hingga akhir cerita. Selain karena tahapan

kehidupan Lantip yang diceritakan secara tuntas, ia juga menjadi

sentral dari penyampaian tema cerita yang tergambar dalam setiap

tahapan yang dilaluinya. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada

kutipan-kutipan di bawah sebagai berikut.

Tahap pertama kehidupan Lantip digambarkan telah menjadi

priyayi agung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada

6Kayam, Op. Cit., h. 28.

Page 64: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

54

masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip

diceritakan belum mengetahui ayah kandungnya. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan berikut, “Ayah saya... wah, saya tidak pernah

mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk

mencari duit.”7

Setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Soeto,

Dukuh Wanalawas, mengenai ayah kandungnya. Lantip akhirnya tahu

bahwa ia adalah anak jadah (haram) antara ngadiyem dan Soenandar,

yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu

bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu

kebetulan, karena jiwa besar dan baktinya kepada keluarga

Sastrodarsono yang ternyata adalah Embah Kakungnya, ia pun telah

mengerti dan berjanji tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah,

kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak

maling. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan Embah Guru

yang penuh humor itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang

lain sekali. Menakutkan. “Guoblok! Disuruh minta uang saja tidak

bisa. Dasar anak gento, anak maling cecrekan….” Begitulah umpat

serapah itu.”8

“Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang

dapat saya katakan selain rasa terima kasih saya yang tulus dan

utang budi yang tidak akan mungkin lunas hingga akhir hayat

saya. Saya akan kembali ke Wanagalih, ke dalem Setenan, ke

bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu.

Umpatanmu yang sekali-sekali kau lontarkan, “anak maling,

perampok, gerombolan kecu”, tidak akan mungkin menyakiti

saya lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat

saya untuk menjunjung keluarga Sastrodarsono.”9

7Ibid., h. 11.

8Ibid.,

9Ibid., h. 134.

Page 65: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

55

Tokoh Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar, rajin,

taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan dalam mengerjakan tugas-

tugas dalam rumah tangga priyayi. Ketika itu, Lantip masih kecil dan

baru saja ikut keluarga Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat

mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet

belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah.10

Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar. Ketika masuk

sekolah pertama kali, Lantip diganggu teman-temannya. Teman-

temannya berusaha membuat Lantip marah, tetapi ia selalu ingat pesan

emboknya bahwa jangan mudah tersinggung dengan omongan bahkan

ejekan teman. Pesan emboknya itu begitu kuat sehingga menjadi rem

yang sangat manjur dalam tubuh Lantip. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “Berapa kali sudah saya kena coba kawan-kawan

yang seperti biasanya selalu ingin menjajaki kekuatan anak-anak baru.

Tidak pernah saya ladeni.”11

….

“Anak ini selalu dapat kami diandalkan. Dalam usianya yang

mendekati tiga puluh tahun itu belum juga sempat berumah

tangga. Padahal dia sudah menjadi sarjana Gadjah Mada, sudah

menjadi dosen, dan kabarnya ada kemungkinan akan ditarik ke

Jakarta untuk satu jabatan yang lebih penting. Meski sudah

sarjana dan pangkat sudah tinggi, dia masih saja tinggal

bersama Hardojo dan menjadi anak yang setia di rumah itu.

Semua tugas, mulai dari membantu mengurus rumah tangga

hingga menjadi pendamping Hari, dilaksanakan dengan rasa

enteng, gembira, dan beres.”12

Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh

keluarga besar Sastrodarsono dan suka menolong. Sikap Lantip ini

10

Ibid., h. 21. 11

Ibid., h. 24. 12

Ibid., h. 253-254.

Page 66: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

56

digambarkan secara dramatik. Ngaisah memberikan pandangannya

mengenai Lantip yang selalu dapat diandalkan keluarganya. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan berikut, “Setiap kali saya ingat anak ini

tidak habisnya saya mengucap syukur. Gusti Allah Maha Adil. Anak

jadah ini tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti

kepada semua keluarga kami.”13

Lantip kuliah bersama dengan Harimurti. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan berikut, “Gus Hari, seperti telah saya katakan, adalah

anak yang cerdas. Kuliah-kuliah di fakultas tidak ada yang Nampak

sulit baginya. Saya mengambil jurusan fakultas yang sama, yaitu ilmu

sosial dan ilmu politik, membutuhkan waktu sedikitnya dua kali lipat

lebih lama daripada waktu Gus Hari untuk belajar.”14

Ketika Harimurti berpacaran dengan Retno Dumilah, seorang

penyair yang juga merupakan teman organisasinya di Lekra, Lantip

masih belum menemukan pasangan. Akan tetapi, ia tertarik pada

seorang perempuan bernama Halimah. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “…. Akan saya sendiri, yang usianya sudah merayap

mendekati tiga puluh satu tahun, masih juga belum bertemu dengan

pacar yang pas. Tetapi, Halimah, rekan asisten asal Pariaman, Sumatra

Barat, itu semakin tampil menarik saja. Mungkinkah ….”15

Ternyata Lantip dan Halimah berjodoh. Akhirnya ia

bertunangan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kang Lantip

bertunangan dengan Halimah akhirnya. Saya ikut senang. Kakak saya

itu sudah terlalu terlambat untuk bertunangan pada usia setua itu.”16

Setelah Ngaisah meninggal dunia, tidak lama setelah itu

Sastrodarsono pun mengalami kemunduran pada kesehatannya, hingga

13Ibid., h. 255.

14Ibid., h. 281.

15Ibid., h. 284.

16Ibid., h. 300.

Page 67: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

57

akhirnya ia meninggal dunia. Pada saat jenazah Sastrodarsono dibawa

menuju makam, keluarga bermusyawarah mengenai siapa yang akan

berpidato selamat jalan sebagai perwakilan dari keluarga. Pada

akhirnya, Lantiplah yang dipilih karena ia dianggap paling berjasa

besar. Lantiplah priyayi sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “…. Calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya

buat keluarga besar kita. Dialah orang yag paling ikhlas, tulus, dan

tanpa pamrih berbakti kepada kita semua. Dialah priyayi yang

sesungguhnya lebih daripada kita semua. Dia adalah Kakang

Lantip.”17

Tahapan terakhir tokoh Lantip adalah ketika ia ikhlas

menerima keputusan keluarga besar Sastrodarsono sebagai perwakilan

keluarga dalam menyampaikan pidato selamat jalan. Kemudian ia

sedikit merenung mengenai siapa dirinya. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “…. Saya menundukkan kepala. Saya anak pungut,

anak haram jadah dari seorang bajingan, perusak nama baik keluarga,

penghancur remuk nasib Embah Wedok dan embok saya, diusulkan

untuk mewakili keluarga besar Satrodarsono.”18

Pada akhirnya, Lantip menyampaikan pidato selamat jalan

kepada Sastrodarsono sebagai baktinya kepada keluarga yang sangat

dicintainya itu. Jika merujuk pada pendapatnya P.J. Suwarno, dapat

disimpulkan bahwa Lantip ialah “misioner” Umar Kayam, sebagai

bentuk kritiknya terhadap penelitian Geertz.19

Di samping karena

menikah di usia tua, ada usaha Umar Kayam untuk membuktikan

“ucapannya”. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “... Kata itu

17

Ibid., h. 332. 18

Ibid., 19

P.J. Suwarno, Novel Multidimensional, Majalah Basis, Yogyakarta, No.10/XL1/Oktober

1992, h. 386-389.

Page 68: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

58

(priyayi maksudnya) tidak terlalu penting lagi bagi saya.”20

Lantip

adalah orang yang ikhlas, sabar, tulus, dan tanpa pamrih. Dia adalah

sosok priyayi yang sebenarnya.

b. Sastrodarsono

Sastodarsono adalah anak tunggal seorang petani yang

bernama Atmokasan, petani Desa Kedungsimo. Sebelumya ia hanya

bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu,

berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang

berhasil menjadi priyayi. Ia berhasil menjadi guru bantu pertama

dalam keluarga besarnya. Hal itu menandakan bahwa dialah orang

pertama yang menjadi priyayi dikeluarga besarnya yang semuanya

adalah petani desa.

Dalam novel Para Priyayi, Sastrodarsono merupakan tokoh

sekunder. Setelah tokoh primer, tokoh sekunder juga dianggap penting

dalam sebuah cerita. Ia juga berfungsi sebagai pengantar dari cerita.

Hal ini jelas digambarkan pada bagian ia pulang ke kampungnya

setelah mendapat pangkat guru bantu.

Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau

menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat ketika ia diberi

nama tua. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh

untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan.

“Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua,

Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak.

Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang

Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang

guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar.

Sastro rak artinya tulis to, Le?”

Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat

seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan.

“Inggih, Pak.”21

20

Kayam, Op. Cit., h. 307.

Page 69: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

59

Nama Sastrodarsono diambil dari kata Sastro yang artinya

tulis. Sastro, jika dikaitkan dengan “sastra”, bermakna bahasa yang

tinggi, punya makna, dan berharga. Bahasa sastra mengacu pada

bahasa kitab suci. Nama Satrodarsono dianggap pantas untuknya

karena ia seorang guru yang pasti menulis ketika sedang mengajar. Hal

ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“… Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami

anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak

menulis di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to,

Le?”22

Awalnya nama Soedarsono (nama awal Sastrodarsono),

diberikan oleh priyayi yang bernama Ndoro Seten, sedangkan kedua

orangtua Soedarsono, jelas petani. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut, “....Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama

Soedarsono, nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki

anak-anak priyayi saja. Dan Ndoro Seten, menurut Bapak, begitu saja

menghadiahi nama kepada Embok saya waktu diketahuinya Embok

hamil tua. ...”23

Dari peristiwa itu jelas sekali bahwa anak yang

dikandung oleh istri Atmokasan, kelak akan menjadi priyayi. Ternyata

benar, dia menjadi priyayi pertama dalam keluarganya.

Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi mendapat nama tua

ketika seseorang akan membangun rumah tangga. Inilah yang terjadi

kepada Soedarsono yang kemudian berubah nama menjadi

Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

21

Ibid., h. 39. 22

Ibid., 23

Ibid., h. 31.

Page 70: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

60

“Saya duduk termangu, tidak mengira kalau saya akan

mendapat nama tua pada hari itu. Tentu saya berharap juga

pada suatu ketika mendapat nama tua itu karena memang

sudah menjadi kebiasaan orang Jawa untuk mengubah nama

anaknya menjadi nama tua pada waktu anak itu sudah mulai

siap untuk membangun keluarga…”24

Sastrodarsono, sesuai dengan namanya, pintar membaca dan

menulis, sampai akhirnya sekolah dan setamatnya langsung menjadi

guru bantu, kemudian menjadi mantri guru atau kepala sekolah. Ini

jelas suatu prestasi, bahkan diakui juga bahwa kedudukannya sebagai

priyayi menjadi mapan.

....

“Le, begini yo, Le. Bapak dan embokmu sudah mendapatkan

jodoh buat kamu. Ini juga sudah kami rundingkan dengan

pakde dan paman-pamanmu. Sudah kami pertimbangkan

masak-masak. Sudah kami perhitungkan pula kedudukanmu

sebagai priyayi. Sudah, to, calonmu ini akan cocok betuk

dengan kamu.”25

Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah memasuki jenjang

priyayi, Sastrodarsono mendapatkan beberapa kehormatan dari

keluarganya. Sastrodarsono diberi nama tua dan dijodohkan oleh

orang tuanya. Selain itu, kelihatan bagaimana Umar Kayam berusaha

memformulasikan karakter seorang ayah di kalangan priyayi dan bagaimana

peran seorang ayah dalam sebuah keluarga priyayi ketika menangani sebuah

perjodohan anaknya. Di situ tercermin adanya karakter khas kehidupan

priyayi Jawa yang bersifat patriarki tanpa harus didefinisikan dengan

kalimat-kalimat kaku dan mati.

Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya

Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik

Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang

24

Ibid., h. 40. 25

Ibid.,

Page 71: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

61

mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya

pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena

memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan

dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.

“Dalam waktu yang tidak terlalu lama saya tidak merasa terlalu

kikuk menjadi kepala rumah tangga seperti yang dibentuk oleh

istri saya itu. Dan ploso, desa yang lebih kecil dari

Kedungsimo, jelas tidak susah menerima rumah tangga kami

sebagai rumah tangga priyayi. Kami, karena penampilan Dik

Ngaisah, dipandang oleh para guru di sekolah Desa Ploso

sebagai lebih priyayi dari mereka.”26

Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Ia tinggal di Ploso

dan membangun rumah tangga priyayi bersama Ngaisah yang berasal

dari keluarga priyayi. Maka akhirnya menjadi tidak sulit bagi

keduanya untuk menciptakan rumah tangga priyayi. Akan tetapi,

mereka hanya setahun tinggal di Ploso. Berkat usul atasannya, Ndoro

Seten, Sastrodarsono dinaikkan pangkatnya menjadi guru di

Karangdompol. Kemudian ia pindah dari Ploso ke Wanagalih. Itu pun

atas usul Ndoro Seten dan mertuanya, Romo Mukaram. Alasannya

karena jika tinggal di Karangdompol, rumah tangga Sastrodarsono

tidak akan berkembang menjadi rumah tangga priyayi seperti yang

diharapkan Sastrodarsono.

Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta),

Hardojo (Guru), dan Soemini (istri Asisten Wedana). Anak-anak

mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain.

Noegroho anak yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adik-

adik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-anaknya mereka masukan

ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian

meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti

26

Ibid., h. 50.

Page 72: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

62

MULO, AMS atau sekolah-sekolah guru menengah, seperti Sekolah

Normal, Kweek Sekul dan sebagainya.

Sastrodarsono hidup berkecukupan. Oleh karena itu, ia merasa

wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga

keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan

di sekolahkan di Wanagalih. Salah satu keponakannya Soenandar

memiliki perangai yang berbeda dari yang lain, jahil, nakal, dan selalu

gagal dalam belajar. Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti

nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus

sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar

lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab, tetapi Soenandar justru

menghamili anak penjual tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang

kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan,

kemudian diganti namanya menjadi Lantip.

Sastrodarsono memiliki sifat yang mudah menaruh belas kasih

kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono melihat

Ngadiyem membawa Lantip, yang masih kecil, berjalan berkilo-kilo

meter untuk menjual tempe. Begitu melihat Lantip, Sastrodarsono

meresa kasihan dan langsung bertanya kepada Ngadiyem yang

membawa anaknya berjualan.

Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro

Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya

bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangat penuh

wibawa. Percakapan itu kira-kira berbunyi seperti ini.

“Lho, Yu, anakmu kok kamu bawa?”

“Inggih, Ndoro. Di rumah tidak ada orang ynag

menjaga, tole.”

“Lha, kasian begitu. Anak sekecil itu kamu eteng-eteng

ke mana-mana.”27

27

Ibid., h. 15.

Page 73: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

63

Sastrodarsono juga memiliki sifat yang mudah terharu akan

perilaku orang lain. Sifat ini dapat terlihat ketika Sastrodarsono

melepas kepergian Martoadmodjo yang dipindahtugaskan. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan berikut, “Pada satu sore menjelang pesta

selamatan perpisahan dengan Mas Martoadmodjo di sekolah, beliau

dengan anak dan istri mampir ke rumah. Kami nerima mereka dengan

penuh keakraban dan keharuan.”28

Sastrosardono, meskipun orangnya baik dan adil, juga keras

dan bila marah suka membentak sembari misuh, mengumpat. Hal ini ia

lakukan pada Lantip. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “ Nah,

pada waktu kadang-kadang saya mendapat hadiah umpatan itulah saya

diberitahu secara tidak langsung siapa ayah saya itu. Umpatan itu

berbunyi “bedes, monyet, goblok anak kecu, gerombolan anak

maling……” umpatan itu biasanya keluar bila saya sudah dianggap

keterlaluan bodoh dalam menjalankan tugas.”29

Sastrodarsono sangat mencintai istrinya, Ngaisah. Ketika

Ngaisah meninggal ia begitu terpukul. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan di bawah sebagai berikut.

“….Mungkin pada saat Embah Kakung menyadari bahwa istri

yang sangat dikasihinya itu pergi untuk selama-lamanya, beliau

juga semakin menyadari akan arti kehadiran istrinya, Dik

Ngaisah itu di sampingnya. Istri yang sudah membagi susah

dan senang selama ini bersama Embah Kakung. Hal itu

nampak benar pada waktu Embah Kakung menabur bunga di

atas pusara Embah Putri. Ditaburkannya berkali-kali dengan

irama gerak tangan yang sangat pelan dari arah utara, tempat

kepala Embah Putri diletakkan, kea rah selatan, tempat kaki

Embah Putri diletakkan.”30

28

Ibid., h. 71. 29

Ibid., h.11. 30

Ibid., h. 267.

Page 74: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

64

Setelah Ngaisah meninggal dunia, Sastrodarsono semakin

mundur kesehatan dan pikirannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di

bawah sebagai berikut.

“Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde

Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur

kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering

menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya

dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde

Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah

Kakung. Tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kira-

kira delapan puluh tiga tahun. Untuk orang Jawa itu sudah

merupakan usia yang sangat lanjut. Kami seluruh keluarga

besar mulai mengkhawatirkan bahkan sesungguhnya juga

sudah bersiap untuk menghadapi keadaan yang paling buruk

dengan kesehatan Embah Kakung.”31

Benar saja pada akhirnya Sastrodarsono meninggal dunia

setelah ia begitu bersemangat ketika pemotongan pohon nangka yang

ia anggap sebagai perlambangan keluarga besarnya, ia terjatuh tak

sadarkan diri. Ia meninggal ketika seluruh keluarga besarnya

berkumpul. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Kami semua para cucu pada ikut tertawa dan merasa gembira

melihat Embah Kakung kembali bersemangat. Pada waktu

kemudian pemotongan kayu itu selesai dan orang-orang pada

kembali ke rumah mereka masing-masing dengan bagian

mereka, Embah Kakung memberi isyarat untuk digandeng

masuk ke ruang dalam. Saya dan Gus Hari segera

menggandeng beliau masuk. Jalannya pelan sekali. Srek, srek,

srek, srek. Tiba-tiba Embah Kakung menggelantungkan

tubuhnya. Masya Allah Embah Kakung pingsan ….”

“Kelurga demi keluarga pada berdatangan pada hari-hari

berikutnya. Bahkan Halimah ikut datang bersama Bapak dan

Ibu. Tepat pada waktu keluarga terakhir datang, yaitu Mbak

31

Ibid., h. 329.

Page 75: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

65

Marie dan Mas Maridjan, Embah Kakung meninggal, seda ….

”32

Sastrodarsono sangat sadar akan status sosialnya. Sebagai

seorang priyayi yang hidup berkecukupan, ia mengajak keponakan-

keponakannya yang tidak mampu untuk tinggal dan disekolahkan. Ia

adalah orang yang pennuh belas kasihan dan mudah terharu. Ia

orangnya baik dan adil, juga keras dan bila marah suka membentak

sembari misuh, mengumpat. Akan tetapi, ia begitu mencintai istrinya,

Ngaisah.

c. Siti Aisah/Dik Ngaisah

Dalam novel Para Priyayi, Siti Aisah atau Ngaisah merupakan

tokoh komplementer. Tokoh komplementer merupakan tokoh

tambahan sebagai pelengkap cerita. Namun, tokoh komplementer juga

dapat menjadi penjelas dari tema yang dibahas dalam sebuah cerita.

Pada hakikatnya tokoh komplementer merupakan tokoh selain tokoh

primer dan sekunder.

Siti Aisah atau Ngaisah adalah istri Sastrodarsono. Mereka

menikah karena dijodohkan. Perjodohan yang direncanakan karena

keduanya adalah seorang priyayi. Ngaisah merupakan anak perempuan

dari paman jauhnya, Mukaram, mantri penjual candu. Seperti dalam

kutipan berikut, “Calonmu itu, Le, masih sanak jauh. Itu lho, Ngaisah,

putrinya pamanmu jauh, Mukaram, mantri penjual candu di Jogorogo.

Masih ingat kamu, Le?”33

Ternyata perjodohan dan pernikahan berjalan lancar sesuai

harapan. Ngaisah adalah sosok istri yang diharapkan Sastrodarsono. Ia

perempuan yang mumpuni dalam mengurus rumah tangga dan

32

Ibid., h. 330-331. 33

Ibid., h. 41.

Page 76: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

66

berwibawa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“Dik Ngaisah, alhamdulillah adalah istri seperti yang saya

harapkan semula. Ia adalah perempuan yang agaknya, memang

sudah disiapkan orang tuanya untuk menjadi istri priyayi yang

mumpuni, lengkap akan kecakapan dan keperigelannya. Di

dapur ia tidak hanya tahu memasak, tetapi juga memimpin para

pembantu di dapur. Wibawa kepemimpinannya dalam

pekerjaan mengatur rumah tangga langsung terasa. Dalam

mengatur meja makan serta kamar tidur dan mengatur kursi

dan meja di ruang depan dan ruang dalam jelas Dik Ngaisah

lebih berpengalaman dari saya. Segera saja terlihat bagaimana

bekas tangan rumah tangga priyayi melekat pada semua yang

disentuhnya.”34

Sebagai putri dan juga istri seorang priyayi, Ngaisah dapat

dikatakan telah berhasil menciptakan suasana rumah tangga priyayi.

Selain itu, ia juga perempuan yang halus dalam bersikap dan

berbicara, murah senyum serta mampu mengendalikan perasaan.

Seperti dalam kutipan berikut, “Dik Ngaisah jelas hasil dari halus yang

sudah berakar lebih lama dari saya. Sikap dan bahasanya halus.

Meskipun ia perempuan yang sumeh, murah senyum, ia adalah

perempuan yang tahu mengendalikan perasaan.”35

Meskipun demikian, Ngaisah tetaplah seorang perempuan dan

istri yang memiliki rasa takut dan rasa khawatir yang berlebihan,

karena dia sangat tahu bagaimana watak suaminya, Sastrodarsono. Hal

ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Dik Ngaisah ternyata gugup dan takut sesudah saya ceritakan

tentang percakapan saya dengan Opziener dan Mas

Martoatmodjo. Apalagi sesudah melihat-lihat surat kabar

Medan Priyayi.

34

Ibid., h. 49. 35

Ibid., h. 50.

Page 77: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

67

“Wah, mbok Kamas jangan ikut-ikutan Mas Marto. Kok terus

mau cari molo, cari sakit saja lho, Kamas ini. Kalau ada apa-

apa bagaimana dengan saya dan anak-anak.”36

....

“Belum. Saya gelisah dan takut memikirkan hari depan kita

sesudah Kamas bercerita tentang percakapanmu dengan Romo

Opziener dan Mas Martoatmodjo.”

....

“Lha, bagaimana bisa memikirkan membesarkan anak, kalau

hari depan kita jadi menakutkan begitu?”

....

“Soalnya Kamas kalau sudah punya kehendak ....”

....

“Dengan itu percakapan larut malam saya tutup. Saya lihat dari

sudut mata saya Dik Ngaisah kelihatan tegang dan matanya

mulai mengeluarkan airmata. Perempuan.”37

Akan tetapi, sekali lagi Ngaisah memang perempuan sekaligus

istri yang kuat. Selain cerdas, ia juga menjadi tumpuan keluarganya

ketika berbagai macam masalah menimpa keluarganya. Bahkan ketika

ayahnya tersandung masalah yang cukup berat hingga akhirnya

meninggal. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“Saya tertawa. Dik Ngaisah, (ah, sudah berapa lama nama itu

tidak pernah saya sebut lagi) memang istri yang cerdas. Dia

selalu bekerja keras, jarang sekali mengeluh, dan selalu

menjadi tumpuan kami serumah setiap kali kami tertumbuk

pada macam-macam persoalan. Dan selalu saja dia bisa

mengatasi dengan baik. Bahkan waktu ayahnya, Romo

Mukaram, kena musibah diberhentikan oleh gupermen karena

dituduh kong-kalikong dengan cina-cina penyelundup candu,

istri saya menerima itu dengan tabah. Begitu juga pada waktu

tidak terlalu lama kemudian mertua saya itu jatuh sakit,

mengenas, dan malu karena pemberhentian itu, dan akhirnya

meninggal, istri saya, sekali lagi menghadapi itu dengan hati

yang tabah.”38

36

Ibid., h. 63. 37

Ibid., h. 65-66. 38

Ibid., h. 91-92.

Page 78: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

68

Ngaisah adalah istri yang selalu setia kepada suaminya.

Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang kebaktiannya

yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia tidak

pernah mengubah sikap terhadap suaminya. Hal ini terdapat pada

kutipan berikut, “Orang jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane

nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa

bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang satu

lagi?”39

Ngaisah adalah pribadi yang riang dan ikhlas. Lantip begitu

mengagumi Embah Putrinya ini dengan mengatakan bahwa beliau

adalah wanita cantik, meskipun usianya sudah tujuh puluh tahun.

Menurut dia, cantiknya bukan hanya karena kebiasaan minum jamu

Jawa, tetapi karena sikapnya yang gembira dan ikhlas dalam menjalani

hidup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya selalu heran dengan bagaimana seorang ibu rumah

tangga yang bekerja begitu keras, mendampingi seorang suami

seperti Embah Kakung Sastrodarsono yang begitu aktif di

masyarakat serta mengelola tegalan dan sawah ladah hujan dan

mengurus begitu banyak orang di rumah, bisa menjaga tubuh

yang sehat serta wajah yang tetap segar dan cantik pada usia

yang tujuh puluh tahun. Pastilah itu hanya bukan karena beliau

teratur minum jamu Jawa saja. Pastilah kegembiraan serta

kelenturan dan keikhlasan sikap beliau dalam menjalankan

semua pekerjaan itu yang membuat Embah Putri awet muda.”40

Akan tetapi, setelah beberapa masalah yang dihadapi oleh

anak-mantunya selesai, rupanya itu cukup menguras pikiran hingga

memengaruhi kesehatannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di

bawah sebagai berikut.

39

Ibid., h. 227. 40

Ibid., h. 256.

Page 79: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

69

“Dalam kunjungan teraturnya yang terakhir, Dokter Waluyo

menasihatkan kepada saya agar saya lebih berhati-hati menjaga

badan. Dari pemeriksaannya terlihat bahwa tekanan darah saya

tinggi. Dia menganjurkan agar saya banyak istirahat dan

mengurangi garam. Rupanya kunjungan Soemini dan Sus

dalam dua bulan terakhir ini berpengaruh juga bagi tubuh

saya.”

“…. Saya selalu pasrah terhadap kemauan tubuh saya. Saya

sadar bahwa tujuh puluh tahun adalah umur yang cukup

panjang yang dianugerahkan Gusti Allah kepada saya. Saya

hanya bisa bersyukur dibolehkan mengeyamhidup hingga

sejauh ini.41

Terlebih lagi ternyata ia mengidap penyakit yang

dirahasiakannya dari Sastrodarsono. Hingga pada akhirnya ia

meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah

sebagai berikut.

“…. Tetapi, Allah Maha Besar. Bel pintu berdering keras

sekali. Seorang pembawa telegram menyerahkan telegram.

Embah Putri Sastrodarsono meninggal di Wanagalih.”42

“Embah Putri, menurut Gus Hari yang mendengar itu dari

Bapak ternyata telah lama mengidap penyakit lever. Dokter

Waluyo bahkan wanti-wanti pesan kepada Bapak dan Pakde

Noeg dan lainnya agar tidak membocorkan kepada Embah

Kakung.”43

Dapat disimpulkan bahwa Ngaisah adalah seorang perempuan

yang cakap dan prigel dalam mengurus keluarga priyayinya. Ia paham

betul bagaimana menjadi seorang istri, ibu, dan nenek. Ia begitu lihai

dalam segala pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, memimpin

pembantu di dapur, mengatur meja makan, merapikan rumah. Selain

itu, ia adalah perempuan yang berpendidikan halus. Sikap dan

41

Ibid., h. 254. 42

Ibid., h. 265. 43

Ibid., h. 266.

Page 80: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

70

bahasanya halus, sumeh, murah senyum, dan pandai mengendalikan

perasaan.

d. Noegroho

Kedekatan kaum priyayi dengan wong cilik mengalami

kelunturan pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono.

Tidak ada hubungan erat antar tokoh yang berbeda status seperti

Ngadiyem dan Sastrodarsono, bahkan dapat dikatakan anak-anak

Sastrodarsono cenderung bersikap acuh tak acuh pada wong cilik.

Misalnya, Noegroho, hidup dalam kemewahan ala Belanda. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan berikut, “di meja makan kami biefstuk

daging has yang lengkap dengan segala kentang dan jus dan slada

hussar adalah hidangan yang tidak asing.”44

Mereka enggan

„mencicipi‟ kesederhanaan yang tercermin melalui penganan tempe.

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana priyayi menjauhkan

diri dari wong cilik, berlawanan dengan sifat Sastrodarsono yang

masih merasakan kedekatan dengan wong cilik. Tidak tampak lagi

relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada masa generasi anak-

anak dan cucu Sastrodarsono. Kesan yang terjadi justru berkebalikan,

para priyayi semakin menjauhkan diri dari wong cilik.

Dalam novel Para Priyayi, Noegroho merupakan tokoh

komplementer. Tokoh komplementer merupakan tokoh tambahan

sebagai pelengkap cerita. Namun, tokoh komplementer juga bisa

menjadi penjelas dari tema yang dibahas dalam sebuah cerita. Pada

hakikatnya tokoh komplementer merupakan tokoh selain tokoh primer

dan sekunder.

Noegroho merupakan anak pertama Sastrodarsono dan

Ngaisah. Akan tetapi, Noegroho sangat berbeda dengan ayahnya.

44

Ibid., h. 179.

Page 81: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

71

Salah satu perbedaannya adalah sifat pemberani yang tidak dimiliki

oleh Noegroho. Misalnya, disaat Sastrodarsono berani membangkang

terhadap perintah Jepang, Noegroho malah sebaliknya. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Saya ternyata tidak seberani Bapak yang

menolak untuk menjalani upacara saikere kita ni muke, membungkuk

dalam-dalam ke arah utara….”45

Noegroho terpilih menjadi tentara Peta (Pembela Tanah Air).

Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kemudian, tanpa saya duga

sama sekali, datanglah panggilan itu. Saya terpilih atau terpanggil

untuk ikut tentara Peta atau Pembela Tanah Air ….”46

Noegroho memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas. Sikap ini

ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena

tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah

Noegroho ditunjukkan pula ketika ia mengetahui bahwa Lantip

diangkat anak oleh Hardojo. Hal ini dapat dilihat pada beberapa

kutipan berikut, “Iya, iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita

ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya, Marie dan Tommi,

ikhlaskan kamas-mu pergi.”47

, dan “Sudah, sudah, Bu. Ingat. Sing

tawakal, Bu. Kita manusia hanya dititipi Gusti Allah anak-anak kita.

Kalau Dia mau mengambil kembali, Dia akan mengambil kembali.

Dan pasti itu untuk alasan yang baik. Pasti itu untuk kebaikan Toni

juga.“, serta “… kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak

ikhlas, Le.”48

Meskipun terlihat mengikhlaskan kematian Toni, Noegroho

ternyata berubah. Ia menjadi lemah, tidak segagah dulu. Karena

setelah peristiwa itu, ia memanjakan anak-anaknya yang pada akhirnya

45Ibid., h. 194.

46Ibid., h. 196.

47Ibid., h. 223.

48Ibid., h. 224.

Page 82: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

72

malah mencoreng nama besar keluarga Sastrodarsono. Menurut

Sastrodarsono, Noegroho telah dilenakan oleh kekayaan dan

kedudukan. Begitu yang ia katakan kepada Ngaisah. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Yang saya sesalkan itu, Noegroho yang

dulugagah begitu, kok sekarang lemah, mlempem, tidak menguasai

rumah tangganya. Apa kekayaan dan kedudukan dia yang

membuatnya dia begitu ya, Bune.”49

Noegroho adalah anak pertama Sastrodarsono yang menjadi

tentara. Gaya hidupnya tinggi. Ia memiliki sikap pasrah, tabah, dan

ikhlas. Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal

dunia. Akan tetapi, ia berubah menjadi lemah. Ia terlena dengan

kekayaan dan kedudukan sehingga tidak dapat menjaga keluarganya

dengan baik.

e. Hardojo

Hardojo adalah anak kedua dalam keluarga Sastrodarsono.

Hardojo adalah orang yang cerdas. Keberhasilannya dalam meniti

karier tidak terlepas dari modal kualitas tokoh tersebut. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“HARDOJO, anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya

yang paling cerdas dan mungkin yang paling disenangi orang.

Soemini sangat sayang kepadanya. Noegroho, yang cenderung

paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat

dengan adiknya itu, dan kami orang tuanya selalu bisa dibikin

menuruti kemauannya”.50

Selain Noegroho, Hardojo pun menjauhkan diri dari wong

cilik. Tidak tampak lagi relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada

masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan berikut, “Anak-anak kampung itu lain betul dengan Hari,

49

Ibid., h. 252. 50

Ibid., h. 102.

Page 83: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

73

lho, Sum. Mereka suka omong jorok dan suka misuh. Kita ini orang

Mangkunegaran, lho, Sum.”51

Dari kutipan tersebut kita dapat

mengerti bahwa seiring dengan meningkatnya status priyayi pada diri

Hardojo ia semakin mengambil jarak dengan wong cilik. Tanpa

disadarinya ia telah menggunjing kaum wong cilik dan ayahnya

sendiri, karena Sastrodarsono dahulunya adalah anak petani desa.

Priyayi adalah keluarga terhormat sehingga harus menghimpun

keluarga terhormat dengan mencari besan dari kalangan terhormat

pula. Dengan demikian pada keluarga priyayi muncul tradisi

mencarikan jodoh bagi anak. Orang tua memiliki hak khusus dalam

memilihkan jodoh dari keluarga tertentu yang cocok dengan kriteria

keluarga mereka. Si anak yang akan dengan senang hati menerima

pilihan orang tuanya karena pilihan priyayi adalah priyayi dengan

berbagai kriteria pula. Ngaisah adalah pilihan Ndoro Seten untuk

Sastrodarsono. Begitu pula Noegroho dan Soemini mendapat pasangan

hidup hasil pilihan orang tuanya. Lain halnya dengan Hardojo yang

memiliki pilihan sendiri. Ia memilih perempuan priyayi kristen yang

tidak sesuai dengan dengan agama keluarganya. Maka tidak

diterimalah kehendak Hardojo oleh keluarganya. Ia harus

merelakannya.

Dalam novel Para Priyayi, Hardojo merupakan tokoh

komplementer. Tokoh komplementer merupakan tokoh tambahan

sebagai pelengkap cerita. Hardojo adalah anak yang cerdas. Ia berhasil

menjadi priyayi dengan menjadi orang Mangkunegaran. Ia menikah

dengan Sumarti dan dikaruniai seorang anak bernama Harimurti.

f. Soemini

51

Ibid., h. 167.

Page 84: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

74

Soemini adalah anak bungsu Sastrodarsono dan Ngaisah. Ia

digambarkan memiliki sifat bandel, keras kepala, dan selalu ingin

dituruti kemauannya. Akan tetapi, ketika dewasa ia menjadi

perempuan yang penurut dan sangat mementingkan pendidikan.

Emansipasi wanita ditunjukkan dengan perlawanan wanita

untuk keluar dari kekangan patriarkal. Seorang wanita biasanya

dijodohkan sejak masih muda, seperti yang dialami tokoh Ngaisah.

Soemini di lain pihak, mengikuti pemikiran R.A. Kartini menolak

untuk menikah pada usia dini dan memilih untuk melanjutkan sekolah

di Van Deventer School. Hal ini terdapat pada kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Bukankah kita termasuk keluarga priyayi maju pengikut

pikiran Raden Ajeng Kartini yang tidak setuju perempuan

kawin terlalu muda.”52

“Saya mau sekolah dulu di Van Deventer School. Selesai itu

baru saya bersedia jadi istri Kamas Harjono.”53

Seorang priyayi harus memiliki pribadi khas karena

terpelajarnya. Sehingga tindaknya harus sesuai dengan norma yang

mulia. Sastrodarsono dan ketiga anaknya berusaha mencontohkan

perilaku priyayi ini, namun keturunan mereka yang mendapat status

priyayi karena pemberian, justru menunjukkan perilaku bukan priyayi.

Perilaku mereka jelek, tidak dapat menjaga diri dan perilakunya.

Soemini menikah dengan Harjono dan dikaruniai beberapa orang anak.

Masalah pun datang dalam rumah tangganya. Ia mengetahui suaminya

selingkuh dengan perempuan lain. Soemini aktif dalam organisasi. Hal

ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.

52

Ibid., h. 79. 53

Ibid., h. 86.

Page 85: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

75

“…. Mas Harjono ternyata punya selir gelap yang disimpan di

Rawamangun. Hal itu saya ketahui secara kebetulan dari rekan

di organisasi.”54

“…. Saya memang kurang waspada karena karena saya sendiri

juga banyak terlibat dengan organisasi.”55

Soemini adalah aktivis wanita. Ia merupakan pengurus anggota

Perwari. Organisasi ini anti madu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut, “…. Dan bagaimana malu kami kepada tantemu Mini yang

anggota pengurus Perwari itu kalau mendengar ini. Juga tantemu mini

sendiri akan malu juga. Pengurus Perwari yang anti madu kok

membiarkan kemenakan sendiri dimadu orang.”56

Soemini merupakan tokoh komplementer. Tokoh

komplementer merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita.

Soemini adalah perempuan yang sangat mengutamakan pendidikan. Ia

memiliki sifat bandel, keras kepala, dan selalu ingin dituruti

kemauannya. Soemini adalah contoh perempuan modern yang sangat

aktif.

g. Sus

Sus merupakan tokoh komplementer. Ia adalah istri Noegroho.

Menurut Ngaisah, sus adalah perempuan yang cantik dan lemah. Hal

ini terdapat pada kutipan berikut, “Ah, saya kira tidak, Pakne. Sus lain

dengan Soemini. Sus cantik dan lemah. Tidak seperti anakmu, atos,

keras. Tapi justru karena gabungan cantik dan lemah itu membuat

Noegroho akan terus lengket dengan istrinya.?”57

Akan tetapi, sikap memanjakan anak-anaknya menjadi

bumerang baginya. Hal itu ia lakukan karena trauma akan peristiwa

54

Ibid., h. 233. 55

Ibid., h. 234. 56

Ibid., h. 277. 57

Ibid., h. 244.

Page 86: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

76

meninggalnya Toni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Saya masih belum bisa melupakan keterkejutan serta

kepedihan saya waktu ditinggal mati Toni. Sungguh sangat

sedih dan kosong rasanya sehabis Toni pergi itu. Maka saya

bertekad tidak mau kehilangan anak-anak saya lagi. mereka

kami jaga baik-baik. Kami turuti semua kemauan mereka asal

mereka senang dan berbahagia.”58

Sus merasa bersalah kerena sikapnya itu pada akhirnya

menimbulkan masalah yang besar bagi kehormatan keluarga

Sastrodarsono.

“Bapak, Ibu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya tidak

dapat menjaga cucu Bapak dan Ibu. Saya yang salah, kurang

waspada dan terlalu jauh memanjakan dia. Bagaimana nanti

kalau Mas Noeg mendengar ini. Pasti saya akan kena marah

habis-habisan.”59

Kutipan di atas menjelaskan betapa Sus merasa bersalah. Ia

merasa gagal mendidik anak-anaknya, karena Marie hamil di luar

nikah dan Tommi menjadi anak yang tidak peduli, tidak dapat

diandalkan.

Sus merupakan tokoh komplementer. Tokoh komplementer

merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita. Sebagai istri

Noegroho dan ibu dari Marie dan Tommi, Sus merasa gagal dalam

menjaga rumah tangganya. Ia cantik, tetapi lemah. Ia begitu manjakan

anak-anaknya yang lain semenjak ia kehilangan anaknya yang

meninggal karena tertembak.

h. Marie

Marie adalah anak perempuan Noegroho dan Sus. Ia anak

tertua dan memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Tommi dan Toni.

58

Ibid., h. 245. 59

Ibid., h. 251

Page 87: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

77

Setelah Toni meninggal dunia, Sus, ibu Marie memanjakan Marie dan

Tommi karena takut kehilangan anaknya lagi. Akan tetapi, karena

sikap itulah Marie tumbuh menjadi anak yang sangat bebas dalam

pergaulan, bahkan kuliahnya berhenti di tengah jalan. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

….

“Setiap kami menduga ada seorang laki-laki agak akrab

dengandia adalah calon suaminya, segera pula kami dibuatnya

kecele. Kuliah Marie, seperti Bapak dan Ibu tahu, berhenti di

tengah jalan. Alasan bosan. Dan kami tidak kuasa

membujuknya apalagi memaksanya agar dia mau terus kuliah.

Memang harus kami akui bahwa kami cenderung lemah,

bahkan agak kami manjakan anak-anak kami. Sejak Toni

gugur dulu, kami, terutama saya, selalu diliputi perasaan takut

satu ketika akan kehilangan anak lagi.”60

Marie bekerja di kantor ayahnya. Ia bekerja semau hatinya. Hal

itu tentu membuat ibunya khawatir. Akan tetapi, ada hal lain yang

lebih mengkhawatirkan Sus dibandingkan dengan sikap semena-mena

Marie, yaitu hubungannya dengan Maridjan. Benar saja kekhawatiran

ibunya itu. Marie memberi pengakuan kepada Sus. Marie hamil di luar

nikah. Lelaki itu adalah Maridjan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

percakapan di bawah sebagai berikut.

“Ma!”

“Huh!”

Untuk beberapa saat diam lagi. Marie tidak meneruskan

kalimatnya.

“Ma, saya mau bilang.”

“Ngomonglah.”

Marie kemudian membalikan tubuhnya, mukanya menghadap

muka saya yang menatap langit-langit. Saya terkejut. Muka

Marie kelihatan kusut, bawah matanya kelihatan hitam

kelelahan. Kemudian airmatanya mulai menitik. Marie yang

badung menangis?

“Ma, saya sedang susah, nih.”

60

Ibid., h. 245.

Page 88: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

78

Saya diam memperhatikan muka anak saya itu.

“Ma, saya … mungkin hamil.”

“Hah?”61

Marie memiliki sifat manja dan acuh tak acuh. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “…. Sedang Marie, anak manja dan

sering bersikap acuh tak acuh, hari itu Nampak agak gugup.”Marie

merupakan tokoh komplementer. Sebagai pelengkap cerita, ia

merupakan salah satu tokoh yang membuat konflik dalam keluarga

besar Sastrodarsono.

Marie merupakan tokoh komplementer. Ia adalah anak

perempuan satu-satunya Noegroho dan Sus. Marie memiliki sifat

manja dan tak acuh. Gaya hidupnya tinggi dan bebas.

i. Harimurti

Harimurti merupakan anak tunggal Hardojo dan Sumarti.

Harimurti merupakan tokoh komplementer. Tokoh komplementer

merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita. Keberadaannya

mendukung tokoh utaadan sekunder dalam cerita.

Harimurti atau Hari adalah tokoh yang namanya memiliki

makna yang indah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“... Anak kami, laki-laki, Harimurti, tahu-tahu juga sudah lima

tahun umurnya. Kami namakan dia Harimurti karena waktu

baru lahir merah sekali warna kulitnya. Kata orang bayi yang

kulitnya merah mangar-mangar akan menjadi hitam bila sudah

tumbuh dewasa. Maka kami namakan dia Harimurti, dengan

harapan ia akan sehitam Batara Kresna, titisan Wisnu itu.

Tentulah kami tahu benar bahwa dia bukan titisan Wisnu.

Tetapi, setidaknya kami berharap semoga anak itu akan

menjadi orang yang bijaksana seperti Prabu Kresna dari

61

Ibid., h. 250.

Page 89: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

79

Dwarawati itu. Juga orang yang peka serta tajam perasaannya,

sanggup membaca perubahan zaman. ...”62

Hari tumbuh menjadi pribadi yang memiliki sikap peduli dan

solidaritas yang tinggi, apalagi terhadap keluarganya ketika Embah

putrinya, Ngaisah meninggal dunia. Ia bersedia menemani Embah

Kakung Sastrodarsono di Wanagalih bersama dengan anggota

keluarga lainnya. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“Kesediaan Gus Hari untuk ikut tinggal bersama ibu dan

buliknya mengharukan pakde dan paklik-nya dan sudah tentu

juga bulik, bude, dan ibunya. Saya sendiri sesungguhnya tidak

terkejut. Dan mestinya juga Bapak dan Ibu. Kami tahu betul

sifat Gus Hari, momongan saya itu. Orangnya penuh belas dan

gampang merasa trenyuhkepada penderitaan orang lain, apalagi

ini adalah Embah Putrinya yang disayanginya. Rasa

solidaritasnya juga kuat betul dengan mereka yang

menderita.”63

Harimurti memang pemuda yang peka, mudah trenyuh, cerdas,

dan sangat menyukai kesenian. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut, “Gus Hari seperti selalu saya amati dan duga sejak kecil,

tumbuh sebagai seorang pemuda yang peka, gampang menaruh belas

kepada penderitaan orang. Dia juga anak yang sangat cerdas dan

menaruh perhatian yang besar pada kesenian.”64

Hari yang cerdas itu ikut bergabung dalam organisasi Lekra

dan CGMI. Hal ini ia akui dan tanyakan pada Lantip. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Tip, saya beri tahu, ya? Aku sekarang

bergabung dengan Lekra dan CGMI. bagaimana kau setuju, „kan?”65

62

Ibid., h. 161. 63

Ibid., h. 269. 64

Ibid., h. 280. 65

Ibid., h. 282.

Page 90: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

80

Sejak mengenal dan bersahabat dengan Sunaryo yang

berpandangan Marxis, pandangan Harimurti pada kesenian yang

sebelumnya ia nikmati sebagai keindahan sekarang bergeser menjadi

menjadi alat politik. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “….

Kesenian bagi Gus Hari bergeser menjadi bagian dari politik dan

berubah menjadi alat politik. Saya baru mulai sadar bahwa Sunaryo

adalah seorang yang berpandangan Marxis berkat pergaulannya dan

pendidikannya dengan kawan-kawannya Marxis, baik yang ada di

Lekra, CGMI maupun kemudian yang di HIS.”66

Hari semakin bergairah dengan Lekra. Ia semakin meyukai

seni. Akan tetapi, kesenian yang ia tekuni sekarang adalah seni

pinggiran. Baginya seni adalah alat perjuangan kelas. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Perkembangan kemudian adalah perkembangan Gus Hari

yang semakin bergairah dengan Lekra. Wayang orang, wayang

kulit serta klenengan gamelan tidak lagi diminati karena,

katanya, itu semua adalah klenengan adiluhung, indah tinggi,

dari kaum feodal. Yang dia tekuni adalah ketoprak dan ludruk

serta gamelan pinggiran. Itulah, katanya, seni oleh rakyat dan

untuk rakyat. Seni sebagai alat perjuangan kelas wong

cilikmelawan kelas feodal, katanya lagi.”67

Harimurti sangat sayang kepada kedua orang tuanya walaupun

kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati kedua orang tuanya.

Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya kejujuran dan

ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan

orang tua saya. Jelas kami sudah berbeda pandangan. Dan

perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan

antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang

66

Ibid., 67

Ibid., h. 284.

Page 91: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

81

terpenting adalah gaya penampilan karena itu dipandang

sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak. Bagi saya

kejujuran dan ketulusan lebih penting. Gaya penampilan dapat

dikembangkan sambil berjalan.”68

Hari memiliki kekasih yang ternyata juga satu organisasi

dengannya. Namanya Retno Dumilah. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “Saya juga mengamati Gus Hari mulai pacaran. Ah,

itu perkembangan yang menyenangkan. Pacarnya adalah seorang

penyair, Lekra tentu, bernama Retno Dumilah, tetapi lebih suka

dipanggil dengan nama samaran sebagai penyair, Gadis Pari.”69

Ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap organisasi-

organisasi yang diduga pemberontak atau anggota PKI, Hari dan Gadis

berpisah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“…. Sesudah pawai, kami diberi tahu bahwa Angkatan

Bersenjata telah mengambil alih semuanya dan mulai

mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan

ormas—ormasnya. Kami dianjurkan bersembunyi dan

menunggu keadaan. Saya pulang dan Gadis pulang ke

Wates.”70

Hari dipenjara karena aktif di Lekra yang dicurigai sebagai

sayap organisasi PKI. Keturunan priyayi justru rusak moralnya. Seolah

kepriyayiannya hilang tanpa bekas. Hari begitu liberal dan tidak dapat

menjaga diri. Ia berperilaku amoral. Tidak mengindahkan nilai. Hari

meminta maaf kepada orang tuanya karena ada hal lain yang telah

terjadi dalam hubungan dengan Gadis waktu Lantip memberi kabar

bahwa Gadis di tahan dalam keadaan hamil tujuh bulan. Hal ini dapat

dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.

….

68

Ibid., h. 293. 69

Ibid., h. 284. 70

Ibid., h. 306.

Page 92: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

82

“Menurut informan saya, tahanan Gerwani bernama Retno

Dumilah sekarang ini sedang hamil tujuh bulan. Bagaimana itu

mungkin?”

….

“Perempuan itu hampir bisa saya pastikan Gadis.”

“Bagaimana kamu bisa pasti, Le.”

“Bapak, Ibu, dan kang Lantip. Saya minta maaf. Saya akan

menceritakan bagian lain dari hubungan saya dengan Gadis

yang belum sempat saya laporkan kepada Bapak, Ibu, dan

Kang Lantip. Hubungan saya dengan Gadis sesungguhnya

sudah amat jauh dan mendalam. Menjelang kemelut itu, Gadis

sudah bercerita kepada saya bahwa dia sudah satu bulan tidak

mendapat haid. Kalau kata Kang Lantip, Gerwani itu hamil

tujuh bulan, dan namanya Retno Dumilah, pastilah dia itu

Gadis. Yang ada dalam kandungannya adalah anak saya.”71

Harimurti sangat sedih ketika ia tahu ternyata Gadis meninggal

dunia karena melahirkan anaknya terlalu cepat. Karena begitu sedih, ia

sampai tidak bisa menangis dan diam membatu. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Oh, Allah, Lee. Sudah nasibmu, Nggeer. Istrimu, Naak,

istrimu sudah tidak ada …..”

Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis lagi, tidak

bisa apa-apa.

“Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis

meninggal beberapa hari lalu sebelum mereka datang. Gadis

meninggal melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki

dan perempuan.”72

Harimurti memang pemuda yang peka, mudah trenyuh, cerdas,

dan sangat menyukai kesenian. Harimurti ikut dalam pemberontakan

dengan masuk ke dalam Lekra, sebuah organisasi kesenian beraliran

komunis. Setelah berkenalan dan berhubungan dengan Gadis pengaruh

komunis semakin meresap, namun sebenarnya dalam dirinya ia

mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Sampai pada akhirnya ia dan

71

Ibid., h. 319. 72

Ibid., h. 326.

Page 93: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

83

Gadis dipenjarakan. Hari merasa bersalah kepada Gadis dan anaknya

yang lahir terlalu cepat itu. akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia

tidak dapat lagi menjalani hidup bersama Gadis.

j. Retno Dumilah (Gadis Pari)

Retno Dumilah adalah kekasih Harimurti. ia adalah seorang

penyair. Ia juga ikut dalam organisasi Lekra dan tidak menyukai

feodalisme, hingga ia lebih suka dipanggil Gadis Pari.

Ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap organisasi-

organisasi yang diduga pemberontak atau anggota PKI, Hari dan Gadis

berpisah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“…. Sesudah pawai, kami diberi tahu bahwa Angkatan

Bersenjata telah mengambil alih semuanya dan mulai

mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan

ormas—ormasnya. Kami dianjurkan bersembunyi dan

menunggu keadaan. Saya pulang dan Gadis pulang ke

Wates.”73

Di mata Hari, Gadis adalah perempuan yang beda dengan yang

lain. Hal itu yang membuat Hari langsung tertarik kepada Gadis.

Hubungan Hari dan Gadis melebihi seorang kekasih, hingga akhirnya

Gadis hamil. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“Dan Gadis? Bagaimana saya bisa terpikat dan akhirnya saya

tetapkan dialah calon istri saya? Gadis adalah potret

keterombang-ambingan juga seperti saya. Makanya saya

langsung saja jatuh cinta kepadanya. Beda Gadis dengan saya

adalah Gadis anak Priyayi yang lebih merasakan kepahitan

hidup, sedang saya, seperti dikatakan oleh Gadis, adalah anak

priyayi yang mujur. Ah, kekasihku. Gadisku, di mana kau

sekarang? Betulkah kau mengandung bibitku, anak kita ….?”74

73

Ibid., h. 306. 74

Ibid., h. 310.

Page 94: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

84

Gadis memang anak priyayi. Akan tetapi, nasibnya pahit.

Kebalikan dari Harimurti. Gadis adalah anak dari seorang pensiunan.

Ia mempunyai saudara laki-laki yang cacat bernama Kentus. Kentus

cacat otak sejak lahir. Gadis menganggap Kentus sebagai anak yang

cacat karena penindasan kapitalisme dan bukan karena bawaan lahir.

Gadis dan keluarganya perna mengalami secara langsung penderitaan

kelas yang tertindas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Ah, kau priyayi yang selalu beruntung dan sukses. Orang tua

saya, meski juga priyayi, priyayi kecil yang hanya hidup dari

gaji. Kentus itu anak sepupu ibu saya yang priyayi lebih kecil

lagi dan mengalami nasib yang sial. Suaminya guru desa yang

pernah punya sebidang sawah yang kecil. Sawah yang kecil itu

digadaikan kepada seorang haji tuan tanah untuk mengongkosi

pengobatan Kentus ke sejumlah dukun, dan akhirnya juga

dokter. Sampai habis uang gadai itu, Kentus ya tetap begitu

saja keadaannya. Uang gadai tidak dapat dikembalikan dan

tentu saja swah yang kecil itu kemudian jatuh ke tangan haji

tuan tanah itu. Akhirnya mereka merana, sakit tbc dan seorang

demi seorang meninggal. Jadilah Kentus kami ambil menjadi

adik saya. Kalau bukan kelas yang tertindas, apalagi nama

keluarga saya itu?”75

Gadis sendiri walaupun mengakui statusnya sebagai priyayi

kecil tetap menganggap dirinya seperjuangan dengan rakyat tertindas.

Menurutnya, komunisme telah menguras pemikiran mereka untuk

mengabdi pada wong cilik dengan cara yang bersih, dengan “sistem

yang tidak percaya lagi pada pendapat bahwa untuk mengangkat nasib

rakyat harus dibunuhi beratus atau beribu orang.”76

Kutipan di atas menjelaskan bahwa gadis begitu membenci

priyayi yang kaya raya dan feodalisme. Beberapa nilai buruk dari

feodalisme di antaranya adalah mentalitas berorientasi kepada atasan,

75

Ibid., h. 299. 76

Ibid., h. 291.

Page 95: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

85

hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan

sampai merendahan diri, dan mengutamakan kesenangan atasan.

Feodalistik, artinya setia pada atasan, bertindak dengan maksud

memelihara hubungan baik dengan atasan, menerima segalanya dari

atasan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Tole semua.

Dengarkan baik-baik perintahku ini... Begitulah perintah dari sesepuh

keluarga Sastrodarsono dijatuhkan. Kami semua tidak bisa lain

daripada manaatinya dan melaksanakannya.”77

Orang jawa cenderung fatalistik, yaitu menganggap baik

buruknya nasib sudah diatur oleh takdir. Namun, dalam menanggung

semuanya ini ada juga sikap menggerutu diam-diam, atau hanya

berkata “Ya” di bibir, tetapi “tidak” di hati, bahkan jika mencoba

mencermati maka akan nampak bahwa feodalistik ini tidak hanya erat

hubunganya dengan wong cilik, tetapi ternyata golongan priyayi juga

sangat feodalistik.

Feodalistik digambarkan Umar kayam dalam novelnya saat

masuk penjajahan Jepang segalanya harus berbau dan mengikuti pola

yang dipergunakan Jepang termasuk juga sekolah. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Setiap pagi kami, baik guru, mesti membungkukkan badan

dalam-dalam memberi hormat kepada Tenno Heika, yaitu

kaisar Jepang yang katanya adalah keturunan dewa. Habis itu

kami semua diwajibkan taiso, yaitu olahraga, baru kemudian

mulai dengan pelajaran. Setiap hari mesti ada pelajaran bahasa

Nippong buat guru-guru yang terpilih. Ndoro putri diam

mendengar gerutu Ndoro Kakung yang panjang itu.”78

Seluruh gaya hidup di lingkungan priyayi dipolakan menurut

ethos (feodalistik), baik yang privat maupun publik, baik yang formal

77

Ibid., h. 302. 78

Ibid., h. 138.

Page 96: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

86

maupun yang informal, seluruh hubungan sosial, sikap pribadi, baik

pada tingkat etis maupun pada tingkat estetis ataupun etiket, semuanya

dijiwai oleh prinsip feodalistik.

Gadis ditahan di Plantungan. Ia dituduh termasuk dalam

Gerwani yang galak. Lantip berusaha menemuinya dan

menguatkannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai

berikut.

“Retno Dumilah, Gerwani yang ditahan di Plantungan itu,

memang ternyata Gadis. Waktu kang Lantip dipertemukan

Gadis di kantor kepala tahanan, keduanya saling memandang

dengan terheran-heran. Gadis sama sekali tidak menyangka

kalau akan kedatangan tamu Kang Lantip. Sedang Kang

Lantip, meski sudah tahu, terheran-heran juga waktu melihat

Gadis tampil dengan perut yang sudah besar karena hamil tua.”

….

“Sabarlah, Gadis. Kami sekeluarga sedang mencari upaya

untuk mengeluarkan kau.”

“Huh, bagaimana bisa, Kang. Aku di sini sudah dinilai sebagai

Gerwani galak. Padahal anggota Gerwanisaja tidak lho, saya.

Saya memang penyair Lekra, anggota Lestra. Tetapi apa mau

dikata. Buat mereka kami ini semuanya Gerwani. Dan memang

dalam Tanya-jawab, interogasi. Saya sering dianggap galak

karena saya suka mengundang polemik dengan mereka.” 79

Ketika keluarga Harimurti hendak menjemput Gadis di

Plantungan, ternyata Gadis sudah meninggal dunia beberapa hari yang

lalu karena melahirkan terlalu cepat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut, “Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis

meninggal beberapa hari lalu sebelum mereka datang. Gadis

meninggal melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan

perempuan.”80

79

Ibid., h. 321-322. 80

Ibid., h. 326.

Page 97: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

87

Dapat disimpulkan bahwa tokoh Gadis adalah perempuan yang

tertindas, tetapi berjiwa kuat. Gadis tidak menyukai feodalistik

manusia Jawa.

k. Ngadiyem

Ngadiyem adalah ibu kandung Lantip, anak Embah Wedok

seorang penjual tempe yang tinggal di desa Wanawalas, tempat

sekolah bantu yang didirikan oleh Sastrodarsono.

Ngadiyem digambarkan sebagai tokoh yang, murah hati,

hemat, dan tegas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dengan

ketus Embok menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan saya pun jadi

terdiam. Saya tahu Embok, meskipun murah hati, juga sangat hemat

dan tegas.”81

Semasa hidupnya, Ngadiyem selalu menderita. Ngadiyem anak

Mbok Soemo warga Dukuh Wanalawas. Adanya Lantip dimulai

dengan berdirinya sekolah di Wanalawas dengan guru Den Bagus

Soenandar yang tinggal di rumah Mbok Soemo. Soenandar menjadi

seorang guru karena turut membantu Sastrodarsono. Ia akrab dengan

Ngadiyem anak Mbok Soemo. Seiring kedekatan itu membuahkan

Lantip di rahim Ngadiyem. Kebahagiaan Mbok Soemo anaknya

kecipratan bibit priyayi kandas ketika menemui Den Bagus Soenandar

minggat dan membawa seluruh tabungan keluarga itu.

Ia bekerja keras berjualan membantu ibunya dan

membahagiakan Lantip, anaknya. Ngadiyem adalah perempuan hebat

yang selalu tabah menjalani takdir hidupnya. Lantip, anaknya memuji

kehebatan Ngadiyem sebagai perempuan. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan di bawah sebagai berikut.

“Dan di tengah himpitan kesedihan itu, dia selalu tersenyum

bahkan tertawa berderai setiap kali dia reriungan bersama saya.

81

Ibid., h. 14.

Page 98: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

88

Perempuan yang istimewa. Perempuan yang hebat. Dan begitu

saya menyimpulkan sosok embok saya, saya jadi ikhlas

melepasnya ke dunia sana. Bahkan saya mengucap syukur

kepada jamur yang membunuhnya dengan cepat. Sebab

alangkah sudah besar dan banyak penderitaannya.”82

Ngadiyem adalah sosok perempuan yang hebat. Meskipun

begitu banyak hal yang berat dalam hidupnya yang harus ia lalui. Ia

tetap kuat dan ikhlas. Ia juga pekerja keras.

l. Soenandar

Soenandar adalah keponakan Sastrodarsono dan juga

merupakan ayah kandung Lantip. Soenandar diserahkan orang tuanya

agar dididik oleh keluarga Sastrodarsono. Akan tetapi, Soenandar

malah membuat malu keluarga Satrodarsono karena ulahnya yang

selalu membuat onar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Belum lagi keponakan saya seperti Soenandar yang nakalnya

bukan main, yang kerjanya selain membikin onar di rumah

tidak ada lagi. Bila Sri sedang bersembahyang Isya pada

malam hari, Soenandar kadang-kadang dengan berkerudung

sarung akan menggodanya dari balik jendela yang menghadap

ke kebun. Bila Sri menjerit-jerit karena kaget dan ketakutan,

Soenandar akan tertawa terkekeh-kekeh. Dan di waktu yang

lain saya dapati Sri dan Darmin menangis karena kena

dibohongi Soenandar untuk makan saren, darah ayam goreng.

Enak enggak makan saren haram, enak enggak, ganggu

Soenandar.”83

Soenandar merupakan tokoh komplementer. Ia digambarkan

sebagai tokoh yang nakal, cerdas, licik, pemalas dan kurang jujur. Hal

ini dapat dilihat dari kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya tidak habis mengerti bagaimana keponakan yang satu ini

bisa begitu jahat kepada sepupu-sepupunya yang lain. Seakan-

82

Ibid., h. 134. 83

Ibid., h. 78.

Page 99: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

89

akan mengganggu sepupu-sepupu, atau mungkin orang mana

saja, merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa baginya.

Dari guru-gurunya di sekolah kami sering mendapat laporan

akan kenakalan Soenandar. Sesungguhnya Soenandar adalah

anak yang cukup cerdas, kata gurunya. Hanya saja dia malas,

sering tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya, jelas gurunya

lebih lanjut. Kesenangannya mengganggu anak-anak

perempuan dan mengajak berkelahi anak-anak laki-laki.”84

Hal lain yang membuat keluarga Sastrodarsono malu bukan

main adalah saat guru Soenandar, Menir Soerojo, mengantar pulang

Soenandar karena ia kedapatan mencuri di sekolah. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Ini, Kamasdan Mbakyu. Wah, nuwun sewu betul, lho, Kamas

dan Mbakyu. Kali ini kenakalan Soenandar agak terlalu jauh.

Dia kedapatan mencuri sangu, uang jajan temannya sekelas dan

kami mendapat laporan dari embok kebon sekolah yang

membuka warung di sekolah kalau Soenandar suka jajan tapi

tidak mau bayar.”85

Dalam mendidik keponakan-keponakannya, Sastrodarsono

merasa ia telah gagal. Terutama mendidik Soenandar. Ulahnya makin

menjadi-jadi. Bahkan Paerah, pembantu di rumah keluarga

Sastrodarsono pun dikerjai olehnya sampai seperti orang kesurupan.

Selain gagalnya Soenandar menamatkan sekolahnya, ia juga tidak

dapat bertanggung jawab atas apa yang telah di percayakan padanya.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan dibawah sebagai berikut.

“Yang repot adalah Soenandar. Saya tidak tahu setan apa yang

masuk dalam kepalanya. Sifatnya jahat, jahil, suka menipu, dan

rupanya juga suka perempuan. Paerah yang tempo hari

digodanya hingga jadi seperti kesetanan rupanya mengalami

beberapa kali godaannya sehingga hampir saja Paerah mau

minta pulang ke desanya.”86

84

Ibid., h. 79-80. 85

Ibid., h. 80. 86

Ibid., h. 109.

Page 100: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

90

“Setelah kegagalannya menamatkan pelajaran di HIS tempo

hari, dia kami beri tanggung jawab untuk menjadi mandor yang

mengawasi buruh-buruh yang pada mengerjakan tegalan dan

sawah kami di belakan rumah. Gagal juga. Hubungan dengan

para buruh tidak baik, suka membentak-bentak dan uang hasil

penjualan palawija dan kelebihan padi sering tidak beres

pertanggungjawabannya.”87

Hal lain yang menjadi puncak dari kenakalan Soenandar adalah

perbuatannya terhadap Ngadiyem. Soenandar menjalin kasih

dengannya hingga akhirnya ia hamil di luar nikah. Akan tetapi, setelah

mengetahui kehamilan Ngadiyem, Soenandar malah meninggalkannya

dengan membawa tabungan Mbok Soemo dan Ngadiyem. Hal ini

dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.

“Rupanya Soenandar, sesudah beberapa waktu tinggal di

rumah Mbok Soemo, dapat merebut hati Ngadiyem ....”88

....

“Sampai pada suatu ketika Ngadiyem merasa haidnya sudah

mulai tidak teratur lagi datangnya ....”

....

“Tetapi, waktu hal ini diceritakan kepada Soenandar,

Soenandar diam saja.”

....

“.... Kemudian pada suatu malam Soenandar minggat. Mbok

Soemo dan Ngadiyem baru tahu keesokan harinya, waktu

ditemuinya kamarnya kosong, pakaian yang bergantungan di

kamar tidak ada dan, lebih celaka dari itu, semua uang

tabungan keluarga yang ditabung dalam celengan ayam-

ayaman dari tanah, yang ditaruh di atas rak bambu di ruang

tengah, juga hilang ....”

Akhirnya keluarga Sastrodarsono mencarinya dang ternyata dia

menjadi anggota perampok. Malang nasibnya ketika ditangkap polisi

87

Ibid., h. 109-110. 88

Ibid., h. 121.

Page 101: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

91

dan ia hangus terbakar di dalam rumah rumah kosong yang sengaja

dibakar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan di berikut,

....

“.... kemudian saya melihat Soenandar diantara gerombolan itu.

Masya Allah, Soenandar keponakan saya, anak sepupu saya

yang dititipkan kepada saya untuk menjadi priyayi, ikut

gerombolan kelompok Samin Genjik?”

....

Nuwun sewu, Dimas. Gambar ini diambil beberapa minggu

yang lalu, waktu mereka tertangkap sehabis merampok di

daerah Gorang-gareng. Sehabis digambar waktu mereka mau

dibawa ke Madiun, di jalan mereka entah bagaimana, bisa

lepas dan melawan polisi. Mereka lari masuk ke sebuah rumah

kosong di sebuah kampung. Mereka dikepung. Kemudian atas

nasihat dukun yang mengetahui kesaktian Samin Genjik,

rumah itu mesti dibakar. Dan rumah itu dibakar habis oleh

polisi dan orang-orang kampung.89

Tokoh Soenandar merupakan simbol keretakan relasi yang

terjadi dalam keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun Soenandar

hanya keponakan Sastrodarsono. Ia tetap telah mencoreng nama baik

keluarga dengan menghamili Ngadiyem kemudian lari membawa harta

Ngadiyem dan ibunya. Soenandar memiliki sifat yang buruk. Ia

digambarkan sebagai tokoh yang nakal, cerdas, licik, pemalas dan

kurang jujur.

m. Martoatmodjo

Ia adalah senior Sastrodarsono sekaligus kepala sekolah di

Karangdompol. Ia senangi dan dihormati, kerena sifatnya yang baik

dan mau mengayomi juniornya, seperti Sastrodarsono. Hal ini dapat

dilihat dari kutipan berikut, “Saya selalu senang dan hormat kepada

kepala sekolah saya. Dia adalah seorang atasan yang baik, penuh

89

Ibid., h. 122.

Page 102: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

92

pengertian, cerdas, dan selalu mau membimbing rekan-rekannya yang

masih muda dan kurang berpengalaman seperti saya.”90

Martoatmodjo diduga melakukan pergerakan dan mempunyai

gundik seorang penari tayub oleh School Opziener. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Ada dua perkara. Pertama, hubungannya

dengan pergerakan. Kedua, hubungannya dengan penari tayub di Desa

Karangjambu.”91

“Dimas Sastro tertarik dengan Medan Priyayi? Bawalah kalau

tertarik untuk membacanya. Tetapi, mingguan ini sudah tidak

boleh terbit lagi. Pemimpinnya sudah dihukum dan dibuang.”

“Lantas apa salah Mas Marto dengan menyimpan mingguan-

mingguan yang sudah berhenti terbit ini?”

“Ya, karena menyimpan dan membaca mingguan-mingguan

ini.”

“Cuma itu?”

“Nyaris cuma itu. Tetapi koran ini dianggap koran pergerakan,

Dimas. Mingguan ini yang dianggap oleh gupermen menghasut

masyarakat. Dan juga orang-orang Serikat Dagang di Lawean

Solo itu hampir semua membaca mingguan-mingguan ini.”92

Kutipan di atas menjelaskan bahwa membaca dan menyimpan

koran Medan Priyayi itu dianggap sebagai kegiatan pergerakan

melawan gupermen pada waktu Pemerintah Hindia menguasai negeri

kita. Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel

perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi

pejabat yang korup. Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak

Martoatmodjo karena takut kehilangan status dan kemapanan. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan berikut, “Mereka takut dengan bacaan

seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka.”93

90

Ibid., h. 59. 91

Ibid., 92

Ibid., h. 62. 93

Ibid., h. 57.

Page 103: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

93

Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi

idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualitis menjadi

dinamis. Oleh karena itu, Martoatmodjo dituduh menghasut

masyarakat. Pergerakan yang dilakukan Martoatmodjo dikhawatirkan

oleh Opziener dapat mengancam keberadaan gupermen dan pada

akhirnya barisan priyayi maju.

Martoadmodjo adalah tokoh yang memiliki sifat berani. Selain

itu, ia juga seorang atasan yang baik, penuh pengertian, cerdas, dan

selalu mau membimbing rekan-rekannya yang masih muda dan kurang

berpengalaman, seperti Sastrodarsono. Akan tetapi, pemerintah

Belanda tidak menyingkirkannya karena dianggap sebagai

pemberontak yang dapat mengancam pemerintahan Belanda.

Setelah menganalisis tokoh dan penokohan, peneliti akan

menganalisis alur Para Priyayi.

3. Alur

Novel Para Priyayi terdiri atas beberapa episode, di antaranya yaitu,

Wanagalih, Lantip, Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri,

Lantip, Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya

sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dengan yang lain

mempunyai hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode

Lantip. Lantip merupakan penghubung antara episode yang satu dengan yang

lain. Dengan adanya pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan

untuk menuturkan dirinya sendiri bahkan menilai tokoh lain.

Secara umum, alur novel Para Priyayi adalah alur campuran,

menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena itu,

setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat

digambarkan secara jelas. Berikut ini adalah tahapan alur novel Para Priyayi

secara keseluruhan dilihat dari sisi tokoh utama.

a. Tahap Awal (Perkenalan)

Page 104: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

94

Tahap ini melukiskan latar tempat yang menjadi pusat cerita

dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Pada bagian yang berjudul

“Wanagalih” (hlm. 1—8). Tahap perkenalan ini diceritakan oleh tokoh

Lantip. Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung

Jakarta.Bagian berikutnya, “Lantip” (9—28), yang bercerita masih

tokoh Lantip mengenai keadaan Lantip pada masa kanak-kanak

dengan ibunya yang berjualan tempe hingga ikut keluarga

Sastrodarsono. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah

kandungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Ayah saya....

wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah

saya pergi jauh untuk mencari duit.”94

Baru setelah ibunya meninggal,

Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah

kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem

dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono.

Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono

bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati

ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan

anak gento ataupun anak maling.“Dan Embah Guru yang penuh humor

itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang lain sekali.

Menakutkan. “Guoblok! Disuruh minta uang saja tidak bisa. Dasar

anak gento, anak maling cecrekan….” Begitulah umpat serapah itu.”95

b. Tahap Pemunculan Konflik

Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono

mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriyayiannya.

Ketika ia bersimpati pada tokoh Martoatmodjo, seorang tokoh

pergerakan. Ia harus melakukan sesuatu. Atas nasihat

Martoatmodjolah, ia mendirikan sekolah di Wanalawas yang pada

94

Ibid., h. 11. 95

Ibid.,

Page 105: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

95

akhirnya ditutup setelah mendapat teguran School Opziener karena

dianggap menghidupkan sistem ”sekolah liar”. Padahal mendirikan

sekolah itu ia sebut sebagai ideologi keluarga. Tetapi yang lebih

memalukan adalah karena ulah Soenandar, Kemenakannya yang ia

beri tanggung jawab. Soenandar menghamili Ngadiyem, seorang anak

gadis Desa Wanalawas—tempat didirikanya “sekolah liar”. Selain

mencoreng nama keluarga besarnya, hal ini juga menghancurkan

seluruh reputasi kepriyayian Sastrodarsono.

“Pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur

koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan

dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang

kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal

ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk

menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa

inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati! Dan

alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung air mata saya

berlelehan.”96

Peristiwa tersebut membuat Noegroho dan Sus terlalu

memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila

sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni.

Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan

anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak

permasalahan.

c. Tahap Klimaks (Penanjakan Konflik)

Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato dari kantor

pemerintahan daerah. keputusannya pensiun dan tidak mau

membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk

menyembah dewa matahari, Sastrodarsono dianggap tidak

menghormati Jepang. Padahal bukan itu permasalahannya,

96

Ibid., h. 222.

Page 106: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

96

Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya

yang telah senja.

Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba

membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan

bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa

kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro

Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan

cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di

kursi goyang. ”Darusono, jerek, busuk. Genjimin bogero!” Sehabis

mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya.

Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa

mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung

pucat pasi, nglokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau

menangis.

Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui

bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan. Kejadian ini sangat

mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono. Terlebih lagi,

ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian

ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama

Marie yang juga belum mengetahui permasalahan ini.

“Heeh?! Maridjan sudah punya istri dan anak? Asu, bajingan

tengik Maridjan!” Bude Sus hampir pingsan mendengar

laporan saya. Pakde Noegroho merah padam mukanya. Sedang

Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang

entah ke mana. Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut

gelisah tidak menentu.”

Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia.

Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono. Sebelum

meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini,

dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam

Page 107: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

97

mendidik anak-anaknya. Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap

penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya. Kepergian

Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono.

d. Tahap Peleraian

Setelah peristiwa penempelengan itu, Ngaisah mengirimkan

surat kepada ketiga anaknya untuk pulang ke Wanagalih. Kedatangan

mereka adalah obat yang mujarab bagi Sastrodarsono. Ia merasa lebih

baik.Ketika usia Sastrodarsono delapan puluh tahun, Ngaisah

meninggal dunia. Sastrodarsono pun sakit karena usianya sudah lanjut

yakni 83tahun.

Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya

menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara.

Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.

Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang

bolong. Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan

perempuan.

e. Tahap Penyelesaian

Sastrodarsono mengalami kemunduran pada kesehatannya.

Ketika ia ikut menyaksikan pohon nangka yang merupakan saksi

perjalanan hidup keluarga besarnya, ia pingsan hingga akhirnya

meninggal dunia setelah semua keluarganya berkumpul.

“Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde

Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur

kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering

menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya

dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde

Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah

Kakung.”97

97

Ibid., h. 329.

Page 108: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

98

Di akhir cerita, Lantip berpidato sebagai perwakilan dari

keluarga besar Sastrodarsono.

Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur

longgar. Tergolong alur longgar disebabkan peristiwa-peristiwa dalam

cerita seolah-olah berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan

terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan

antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini

memiliki banyak tokoh.

Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa,

Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan

berhasil masuk jenjang priyayi. Cerita tersebut memiliki kemungkinan

terjadi di masyarakat dan masuk akal. Akan tetapi, mungkin hanya

orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang

membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga

priyayi yang mumpuni. Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi

ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya

menjemput Gadis dari penjara. Sementara itu, kejutan (surprise) dalam

novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat

melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh

keluarganya. Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat

dikatakan berakhir bahagia. Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah

mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan

Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.

Setelah menganalisi alur, peneliti akan menganalisis latar Para

Priyayi.

4. Latar

a. Latar tempat

Latar tempat merupakan lokasi kejadian dalam novel. Melalui

latar tempat, pembaca dapat membayangkan kondisi suasana tempat

Page 109: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

99

yang sedang terjadi, sedangkan suasana yang dimaksud di atas terkait

dengan alur cerita yang sudah dipaparkan di atas.

Latar tempat dalam novel Para Priyayi berada di beberapa

tempat berikut ini.

1) Wanagalih

Wanagalih adalah sebuah ibukota Kabupaten di Jawa. Kota itu

lahir sejak pertengahan abad ke-19. Wanagalih merupakan tempat

tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat

berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Hal ini dapat

dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.

“Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan

tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga

atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang

didukung oleh mertua saya Romo Mukaram.”98

“Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami

akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah

induk keluarga kami di Jalan Setenan, ….”99

2) Wanalawas

Wanalawas merupakan tempat Sastrodarsono mendirikan

sekolah bantu untuk warga Wanalawas agar mereka dapat membaca

dan menulis.Hal ini dapat dilihat pada kutipan,“Akhirnya semua

persiapan untuk sekolah itu selesai juga. Semua perlengkapan, meski

sangat sederhana, tersedia. Bangku dan meja secara gotong royong

dibuat oleh orang-orang Wanalawas dengan alat-alat sederhana dan

dari kayu-kayu yang didapat di sekitar Wanagalih.”

3) Karangdompol

Desa Karangdompol merupakan tempat di mana Sastrodarsono

mendirikan sekolah bantu atas usulan dari seniornya, Martidiatmojo.

98

Ibid., h. 52. 99

Ibid., h. 198-199.

Page 110: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

100

Inilah salah satu kutipannya, “Desa Karangdompol, tempat sekolah

saya berada itu, ada di seberang Kali Madiun.”100

4) Wonogiri

Wonogiri sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo.

Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun. Beliau juga

mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu

kutipannya, “Tempat saya mengajar di HIS Wonogiri, yang berjarak

lebih kurang tiga puluh kilometer dari kota solo….”101

5) Solo

Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat

tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi

bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena

itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia

datangi. Berikut kutipannya. “… untuk akhirnya waktu menjelang

masuk stasiun Sangkrah di Solo hanya wajah Sumantri saja yang

terbayang.”102

6) Yogyakarta

Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho

sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja

sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal

di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang

memihak Belanda.Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.“Kami

pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus,

yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang. Rumah itu

100

Ibid., h. 23. 101

Ibid., h. 151. 102

Ibid., h. 171.

Page 111: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

101

tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah

dasar, tempat saya mengajar dulu.”103

7) Jakarta

Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika

keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip

ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan

membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga

Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta. Hal

ini dapat dilihat pada kutipan berikut,“Di Jakarta, di rumah Pakde

Noegroho, saya langsung bertemu dengan Marie dan Tommi. Saya

langsung pula berhadapan dengan sepupu-sepupu yang angkuh dan

manja.”104

dan “Bagi mereka berdua yang terpenting akad nikah itu

akhirnya sudah berlalu dengan selamat dan direstui oleh hadirnya

semua anggota keluarga besar yang pada datang berkumpul di

Jakarta.”105

b. Latar Waktu

Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda

kemudian pendudukan Jepang, awal kemerdekaan hingga

pemberontakan PKI.

Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai

menapakkan kakinya ke jenjang priyayi. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “…. Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di

sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya....”106

Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu

pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai

pribumi yang berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan

103Ibid., h. 207.

104Ibid., h. 257.

105Ibid., h. 278.

106Ibid., h. 36.

Page 112: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

102

masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal

awal bagi kaum wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya.

Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk

membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan

dengan jalan pendidikan. Selain itu perubahan juga dapat terlihat pada

perkembangan seni budaya, emansipasi wanita, dan idealisme

pengabdian.

Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong

cilik karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi

priyayi, dengan bantuan kaum priyayi. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan berikut, “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus

menjadi priyayi.”107

Status priyayi berarti kehormatan, pangkat dan

kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian

hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu

pendidikan menjadi modal dasar, seperti kutipan berikut, “Kalian

harus sekolah.”108

Dengan memiliki pendidikan mereka akan

diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan.

Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan,

Sastrodarsono. Hal ini terdapat pada kutipan berikut. “… dicarikan

jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat

diterima magang menjadi guru bantu.”109

Sastrodarsono melakukan

proses yang sama dengan mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi.

Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang

dan revolusi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Seperti di

tempat-tempat lain di Jawa, tentara Jepang masuk dan menguasai

107

Ibid., h. 30. 108

Ibid., 109

Ibid., h. 31.

Page 113: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

103

Wanagalih dengan mudah.”110

Tokoh yang muncul pada waktu itu

adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota tentara,

Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi

istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun

keluarga priyayi dapat dikatakan berhasil.

Zaman Jepang, yang walaupun sebentar, menjadi masa paling

memprihatinkan bagi Sastrodarsono. Pada masa ini, berdasarkan fakta

sejarah, terjadi tahun 1942-1945. Tidak secara eksplisit disebutkan

angka tahun ini dalam novel Para Priyayi, tetapi peristiwa-peristiwa

yang menampilkan keberadaan Jepang di Indonesia sangat kentara.

Misalnya, saat Sastrodarsono disuruh saikere ke arah utara, hal ini

terdapat pada kutipan berikut, “Bayangkan, Bune, orang setua saya

disuruh membungkuk-bungkuk menghadap ke utara setiap pagi untuk

menyembah dewa. ...”111

.

Awal kemerdekaan, ditandai dengan kalahnya Jepang pada

1945. Angka ini tidak muncul secara nyata dalam novel, tetapi

digambarkan pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Tahu-tahu Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan

dan dilucuti senjata kami. Begitu saja. Kami pun lantas untuk

sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang

menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang….”

….

“…. Untunglah juga segera sesudah kita memproklamasikan

kemerdekaan, kita mulai memikirkan akan pembentukan

Badan Keamanan Rakyat. Saya segera bergabung dengan

kawan-kawan bekas Peta, Heiho dan Polisi dan para pemuda

untuk menyusun Badan Keamanan Rakyat di Yogya.

Kemudian kami harus memperlengkapi diri dengan senjata

yang harus kami rebut dari Jepang.”112

110

Ibid., h. 135. 111

Ibid., h. 126. 112

Ibid., h. 207.

Page 114: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

104

Tak lama setelah itu, zaman revolusi masuk. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Zaman revolusi ternyata adalah kepanjangan penderitaan

zaman Jepang. Bedanya tentu zaman Jepang adalah

penderitaan orang yang dijajah dengan sangat kejam oleh

negeri yang sedang perang, sedang penderitaan zaman revolusi

adalah penderitaan yang memang diniati oleh bangsa yang

ingin punya negara merdeka.”113

Secara spesifik tahun 1947 tidak ada, akan tetapi peristiwa

yang mewakili tahun itu terlihat jelas dalam Para Priyayi. Hal ini

terdapat pada kutipan berikut, “Akhirnya Belanda menyerbu

Yogyakarta juga. ...”, Dalam sejarah Indonesia, tahun ini merujuk pada

Agresi Militer Belanda I, dan salah satu kota sasaran Belanda ialah

Yogyakarta. Dalam agresi ini, anak Noegroho (Toni) meninggal

ditembak tentara Belanda.114

Pada masa-masa ini, terjadi pemberontakan PKI di Madiun

pada tahun 1948 dan karena itu pasukan Siliwangi ditugaskan untuk

menggempur kekuatan PKI di daerah Madiun, Solo, dan Pati, tetapi

kemudian usaha ini tidak cukup berhasil, karena revolusi tidak

dipimpin dan dilaksanakan oleh rakyat. Situasi makin tidak terkendali

tatkala Muso datang dari Rusia dan mengambil alih kepemimpinan

PKI. PKI melakukan pemberontakan dan beberapa teman

Sastrodarsono seperti Pak Haji Mansur, ikut menjadi korban

pembantaian PKI. Sampai pada gilirannya, pasukan Siliwangi datang

dan mengambil alih keadaan sehingga orang PKI dan antek-anteknya,

termasuk Pak Martokebo, digiring ke alun-alun yang kemudian

mereka meregang nyawa di ujung regu penembak Siliwangi.

113

Ibid., h. 209. 114

Ibid., h. 202.

Page 115: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

105

Penyerahan kedaulatan terjadi pada tahun 1950. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Pada waktu sebagian besar pegawai republik ikut pindah ke

Jakarta sesudah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950.

Bapak memilih pindah ke Yogya dan bekerja pada

pemerintahan DIY. Rupanya Bapak yang pernah dikecewakan

oleh Mangkunegaraan yang tidak tegas memilih republik dan

kemudian malah membantu Belanda, tetap senang bekerja

dalam lingkungan kerajaan. Pemerintahan Daerah Istimewa

Yogyakarta dipandangnya sesuai benar baginya. Dia merasa

sekaligus dipuaskan keinginannya untuk mengabdi kepada

republik dan suatu lingkungan budaya tradisi Jawa yang

dipimpin oleh seorang sultan yang berjiwa modern dan

republiken.”115

Pada 8 Mei 1964, Soekarno mengumumkan pelarangan

Manifes Kebudayaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Gadis mau mentraktir saya malam itu. Hari itu, saya ingat

benar, adalah tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar

revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan.

Gadis ingin merayakan kekalahan Manikebu, kekalahan-

kekalahan penulis-penulis lawan Lekra, bersama saya. Saya

ingin merayakan kemenangan ini hanya dengan kamu,

katanya.”116

Setahun setelah itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

mengambil alih semuanya (termasuk Dewan Revolusi) dan mulai

mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan ormas-

ormasnya. Pada peristiwa ini, Gadis masuk penjara sementara

Harimurti, atas saran Lantip, menyerahkan diri. Cerita dalam novel

berakhir padaperiode awal Orde Baru. Hal ini dapat dilihat pada

115

Ibid., h. 281. 116

Ibid., h. 285.

Page 116: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

106

kutipan berikut, “Tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kira-

kira delapan puluh tiga tahun.”117

Dengan waktu cerita yang begitu panjang itu, Para Priyayi

seolah-olah menjadi semacam sintesis dari waktu cerita yang pernah

digunakan dalam sejumlah novel Indonesia modern yang mengangkat

latar sejarah sejak zaman awal pergerakan hingga masa Orde Baru.

c. Latar Sosial

Latar sosial yang menonjol dalam Para Priyayi adalah latar

status sosial tokoh Sastrodarsono yang turut menentukan kelas

sosialnya dalam masyarakat Jawa. Kenaikan status sosialnya dalam

masyarakat begitu mengagumkan bagi keluarga besarnya. Ia mendapat

beslit guru bantu dan berhasil menjadi seorang priyayi, meskipun

hanya menjadi priyayi tingkat rendah. Akan tetapi, di mata masyarakat

kedudukan priyayi sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut, “Pada zaman itu kedudukan seorang mantri guru sekolah desa

adalah kedudukan yang cukup tinggi di mata masyarakat, seperti

masyarakat Wanagalih. Mantri guru jelas didudukan masyarakat dan

pemerintah sebagai priyayi. Ia punya jabatan, ia punya gaji tetap.”118

Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi

orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup

dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk

memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya

dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan

ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya

kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam

tingkatan-tingkatan sosial.

117

Ibid., h. 301. 118

Ibid., h. 16.

Page 117: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

107

Menurut Geertz pembagian kelas dalam masyarakat Jawa

tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi tiap orang, namun

lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan, dan spiritual. Kaum priyayi

dianggap sebagai kaum tingkat menengah ke atas karena mereka

mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaaan dalam

pemerintahan dan memimpin upacara adat.

Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya

tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antar status.

Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan

abangan/wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut

memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum

tersebut. Akan tetapi, Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru

memutarbalikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik

antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar

mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang

individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik. Hubungan sosial

antar kaum terjalin lewat peranan priyayi dalam menjembatani kaum

abangan/wong cilik yang ingin menjadi priyayi. Sebagai contoh,

budaya ngenger membuka peluang bagi semua kaum untuk menjadi

priyayi. Sehingga dengan kata lain orang dengan kelas yang lebih

rendah dapat berelasi dengan kaum priyayi.

Anak yang dingegerkan oleh kerabatnya atau masyarakat dari

pedesaan, Anak-anak tersebut secara ekonomis merupakan beban

rumah tangga priyayi. Akan tetapi, dengan adanya anak pungut dan

anak ngengeran itu terjalin hubungan antara keluarga priyayi dengan

kerabat si anak di pedesaaan atau kerabat priyayi yang lebih rendah.

Paling tidak kerabat dari anak pungut atau anak ngengeran akan

menjunjung nama baik keluarga priyayi bersangkutan di daerahnya.

Anak pungut dan anak ngenger ini dapat pula memperkuat kedudukan

Page 118: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

108

orang tua angkatnya (keluarga priyayi) dan nantinya anak pungut dan

anak ngenger akan menjadi priyayi pada derajat yang lebih rendah.

Hal inilah yang melatarbelakangi Sastrodarsono mengangkat Wage

menjadi anak asuhnya dan mengganti namanya dengan Lantip.

Ada dua alasan menurut asumsi penulis, mengenai “Lantip”

ini. Pertama, Umar Kayam setuju terhadap pendapat Geertz yang

menyatakan bahwa unsur “bangsawan” ini sekarang kurang penting.119

Kedua, sebagai bentuk kompromi (negosiasi) terhadap karya Geertz.

Kita tahu bahwa Geertz menyatakan, priyayi itu sebagai sesuatu yang

fix, bahwa ia merupakan sesuatu yang diperoleh secara keturunan,

terutama dari Raja-raja Jawa klasik; bahwa priyayi akarnya ialah

Hindu-Jawa. Terhadap kedua pandangan tersebut, Umar Kayam

berlaku resistens, buktinya ialah ketika menceritakan Hardojo, putera

kedua Sastrodarsono. Priyayi baru itu jatuh cinta kepada Nunuk, gadis

Katolik dari Solo. Ketika Hardojo meminta ayahnya melamar,

ayahnya menolak karena alasan agama. Dengan demikian priyayi

abangan menurut Umar Kayam sebenarnya masih berakar pada Islam

juga, bagaimanapun bentuknya. Begitu juga mengenai asal usulnya

Sastrodarsono, atau Lantip, keduanya bukan keturunan raja. Yang satu

petani desa, yang satu lagi hasil dari hubungan gelap: anak jadah.

Akan tetapi untuk satu masalah yang lain, yaitu perihal kepriyayian

sekarang tidak penting lagi, Umar Kayam bersepakat dengan Geertz.

Setelah mengalisis latar, peneliti akan menganalisis sudut

pandang Para Priyayi.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang

pertama. Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.

119

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan Aswab

Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 308.

Page 119: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

109

Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan

pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya”

atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada

bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, begitupula

seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi

beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita. Hal ini dapat dilihat

dari beberapa kutipan sebagai berikut.

“Saya ingat bagaimana kemudian suami-istri sastrodarsono

memandang kami lama-lama. Tentulah saya hanya dapat melihat

sekilas dari sudut mata saya karena saya hanya berani menundukkan

kepala selama percakapan itu berlangsung. Untuk seorang anak desa

yang baru berumur enam tahun, anak bakul tempe lagi, keberanian apa

yang bisa saya kerahkan untuk mendongak melihat ke atas menatap

muka priyayi-priyayi itu. Tidak mungkin ada keberanian itu. Mungkin

terpikirkan pun tidak. Mungkin wajar saja, begitu saja, saya

menundukkan kepala di hadapan seorang priyayi.”120

(Lantip)

Tokoh-tokoh dalam Para Priyayi yang bertindak sebagai pencerita,

terus berlanjut ganti-berganti secara konsisten. Oleh karena yang

digunakannya bentuk pencerita akuan (saya), maka secara efektif terasa lebih

dekat pada model catatan biografis—atau autobiografis—dari masing-masing

tokohnya. Umar Kayam menceritakan setiap tokoh melalui sudut pandang

orang pertama sehingga pembaca lebih merasakan peran tokoh dibandingkan

peran penulis dalam cerita.

Setelah menganalisis sudut pandang, peneliti akan menganalisis gaya

bahasa Para Priyayi.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan khas pengarang dalam

karya. Hal ini dapat di lihat dari cara pengarang menyampaikan idenya

dengan kalimat-kalimat yang indah.

120

Ibid., h. 15.

Page 120: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

110

Gaya bahasa mengandung pengertian tiga hal yang terkait gaya

bahasa; pertama, berupa media, berupa kata, dan kalimat. Kedua, berupa

hubungan gaya dengan makna dan keindahannya. Ketiga, berupa ekspresi

pengarang yang akan berhubungan erat dengan masalah individual

kepengarangan dan latar belakang masyarakat sekitar pengarang. Gaya

penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang

menjadikan sastra hadir. Pada dasarnya karya sastra merupakan salah satu

kegiatan pengarang yang membahas atau menuturkan sesuatu kepada orang

lain.

Gaya bahasa yang digunakan Umar Kayam dalam novel Para Priyayi

antara lain menggunakan majas hiperbola.

Majas hiperbola yang digunakan Umar Kayam dalam novel Para

Priyayi terdapat pada kutipan berikut, “Tanah Wanagalih yang ganas itu akan

segera menghancurkannya.”121

Gaya penulisan Umar Kayam memiliki ciri khasnya. Cara

penyampaian yang apa adanya dan sederhana membuat pembaca akan dengan

mudah mengerti apa yang ingin disampaikannya. Ia menulis dengan rinci dan

jelas. Sebagai seorang sejarawan tulisan-tulisan yang dia buat menyangkut

kehidupan yang nyata.

Bahasa yang digunakan Kayam dalam menyampaikan cerita sehingga

mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual, dan mampu

menggugah emosi pembaca. Oleh karena itu, ia mampu menarik pembaca

untuk masuk ke dalam cerita sehingga pembaca pun seolah-olah mengetahui

secara pasti situasi dan kondisi dari cerita yang dibacanya. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang

menggunakan diksi yang cocok ketika memadukan cerita dengan unsur

intrinsik yang membuat cerita tersebut menjadi lebih hidup. Karakteristik

121

Ibid., h. 2.

Page 121: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

111

sebuah karya dan pengarangnya pun dapat terlihat melalui gaya bahasa yang

digunakan. Kecerdasan Umar Kayam dalam bercerita seolah-olah seperti

kenyataan, juga turut mempengaruhi pembaca untuk masuk ke dalam cerita.

Setelah menganalisis gaya bahasa, peneliti akan menganalisis amanat

Para Priyayi.

7. Amanat

Amanat yang dapat kita petik dalam novel Para Priyayi ini adalah

sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang priyayi yang mempunyai

kedudukan dan pendidikan terhadap keluarganya yang lain. Tidak boleh

menikmati rezeki dan pangkatnya untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri,

begitulah saya dengar Ndoro Guru berkali-kali menasihati anak-

anaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota

keluarga besar priyayi yang kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan

tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu

nasihatnya yang lain. Priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi

yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh.”122

Pesan yang dapat diteladani pula adalah kita tidak boleh lupa asal usul

kita, dan berterima kasih serta bersyukur dengan pencapaian yang kita dapat.

Selain itu, menjaga nama baik sebagai orang yang terpandang karena

berpendidikan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Le, kamu, meski

sudah jadi priyayi, jangan lupa aka asal usulmu. Kacang masa akan lupa

dengan lanjaran-nya. Rumah tanggamu, meski rumah tangga priyayi, tidak

boleh tergantung dari gajimu, Le. Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di

masyarakat, bukan jadi orang kaya. Priyayi itu terpandang kedudukannya,

karena kepinterannya….”123

122

Ibid., h. 17. 123

Ibid., h. 53.

Page 122: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

112

Selain itu, bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan "priyayi"

yaitu seorang yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat miskin, memiliki

pendirian yang kokoh, dan berjuang keras tanpa pamrih. Selalu menjaga nama

baik keluarga, "Mikul duwur mendhem jero, menjunjung tinggi-tinggi

keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib keluarga ....”124

Cerita dalam novel ini memberikan pelajaran hidup kepada kita bahwa

hidup ini adalah perjuangan yang keras. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan

di bawah sebagai berikut.

“Embah Kakung ingin melihat keluarga besar ini tumbuh kukuh, kuat,

dan berisi galih, bagian kayu yang paling keras. Adapun galih, bagian

kayu yang paling keras yang ingin beliau kembangkan dan tumbuhkan

itu adalah semangat, nilai mengabdi dari priyayi kepada orang banyak,

kepada masyarakat luas. Sebagai keturunan petani desa, beliau ingin

memulai usaha untuk ikut mengisi dan memberi bentuk sosok

semangat priyayi itu suatu kerja raksasa yang selama ini hanya boleh

dikerjakan oleh mereka yang dianggap darah biru.”125

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat pernyataan bahwa priyayi adalah

tentang kerja keras dan semangat mengabdi kepada masyarakat luas. Hal ini

tampak dari kehidupan Sastrodarsono yang memulai kepriyayiannya dari

bawah. Sastrodarsono merupakan pemula dari keseluruhan priyayi dalam

cerita. Ia adalah asal mula pendiri kepriyayian di keluarganya. Orang tuanya

hanya seorang petani yang mengabdi dengan tekun dan jujur kepada

majikannya. Pengabdian itu pula yang membawa Lantip menjadi sosok

priyayi yang sesungguhnya.

Umar Kayam ingin menyampaikan pesan bahwa priyayi yang

sesungguhnya tidak memandang asal mula ia berada. Seperti yang

digambarkan dalam dua sosok, yakni Sastrodarsono dan Lantip.

Sastrodarsono anak seorang petani bahkan Lantip justru anak haram yang

124

Ibid., h. 132-133. 125

Ibid., h. 305.

Page 123: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

113

lahir dari dari Soenandar yang diketahui menjadi perampok. Akan tetapi,

kedua orang inilah yang mampu menggambarkan sosok priyayi ideal.

Setelah menganalisis unsur-unsur intrinsik, selanjutnya peneliti akan

menganalisis nilai sosial dalam novel Para Priyayi.

B. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam terbit pada tahun 1992 dengan

ketebalan 337 halaman ini mengandung nilai sosial yang sangat beragam. Nilai-nilai

sosial tersebut nampak dari penggambaran kesepakatan masyarakat dan pandangan

hidup para tokoh dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Hal

ini terlihat dalan percakapan atau narasi yang disampaikan oleh para tokoh dalam

novel yang telah penulis teliti. Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan

nilai-nilai sosial tersebut melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, dan

masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam kategori Simmel sebagai

berikut.

1. Relasi Individu dengan Dirinya,

2. Relasi Individu dengan Keluarga,

3. Relasi Individu dengan Lembaga,

4. Relasi Individu dengan Komunitas,

5. Relasi Individu dengan Masyarakat, dan

6. Relasi Individu dengan Nasion.

Adanya aspek sosial—kebersamaan yang melekat pada individu

menyebabkan kodratnya hidup bersama individu lain. Individu yang mewujudkan

pola perilakunya yang khas pada suatu lingkungan sosial disebut bagian dari

masyarakat. Satuan-satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari

keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Berikut nilai sosial dalam

enam kategori relasi sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam.

Page 124: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

114

1. Relasi Individu dengan Dirinya.

Hubungan ini berkaitan erat dengan masalah kejiwaan seseorang.

Masalah ini dialami oleh Sastrodarsono ketika ia harus mengalami konflik

intern tentang penentuan sikap kepriyayiannya. Ia bersimpati pada tokoh

Martoatmodjo, seorang tokoh pergerakan yang merupakan seniornya di

Sekolah. Akan tetapi, ia juga memikirkan nasib keluarga kecilnya yang baru

mulai menapaki kehidupan rumah tangga priyayi. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan dalam Novel Para Priyayi di bawah sebagai berikut.

“Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di

Jogorogo dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. saya

diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoadmodjo

yang dipindah ke sekolah desa Gesing. Gesing! Itu adalah satu daerah

yang cengkar, tandus, tanahnya keras, pecah-pecah, berbongkah-

bongkah, terpencil di kaki Pegunungan Kendeng. Kasihan Mas

Martoadmodjo disingkirkan ke neraka yang begitu mengenaskan.”126

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, nilai sosial digambarkan melalui

nilai kepedulian Sastrodarsono yang merasa iba terhadap nasib

Martoadmodjo. Martoadmodjo adalah senior sekaligus kepala sekolah tempat

ia mengajar. Hal ini menunjukan bahwa ia seorang ia orang yang mudah

menaruh belas kasihan dan mudah terharu terhadap perilaku orang lain.

Martoadmodjo dituduh melakukan pergerakan karena membaca harian

Medan Priyayi. Pada waktu itu membaca harian tersebut dianggap melakukan

pergerakan dan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Sastrodarsono

datang menemui Martoatmodjo setelah diberitahu oleh Nippon mengenai

tuduhan pergerakan yang dilakukan Martoatmodjo. Ia ingin memastikan

kebenarannya.

Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan

terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup.

Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Martoatmodjo karena takut

126

Ibid., h. 71.

Page 125: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

115

kehilangan status dan kemapanan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,

“Mereka takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan

mereka.”127

Sastrodarsono mengalami konflik batin yang cukup hebat, karena ia

sangat menghormati Martoatmodjo sebagai senior sekaligus kepala sekolah di

Karangdompol. Selain itu, sebagai kepala rumah tangga, ia pun gelisah

dengan istri dan anak-anaknya. Jika ia membantu Martoadmodjo, maka ia

akan bernasib sama dengannya, yaitu disingkirkan dari Karangdompol bahkan

diasingkan, sedangkan ia baru saja mendapatkan status priyayi. Pada akhirnya

dengan berat hati ia menuruti nasihat keluarga dan saran Martoatmodjo untuk

tidak mengikuti jejak Martoadmodjo. Meskipun hatinya tidak sejalan.

Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi idealisme

priyayi yang terkesan pasif dan individualitis menjadi dinamis. Oleh karena

itu, Martoatmodjo dituduh menghasut masyarakat. Pergerakan yang dilakukan

Martoatmodjo dikhawatirkan oleh Opziener dapat mengancam keberadaan

gupermen dan pada akhirnya barisan priyayi maju.

Selain Sastrodarsono, Harimurti juga mengalami konflik dengan

dirinya sendiri. Ia merasa menjadi pribadi yang terombang-ambing dalam

ketidakjelasannya untuk menentukan sikap sebagai keturunan priyayi. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya adalah orang yang terombang-ambing antara berbagai perasaan

simpati dan solider. Simpati dan solider kepada wong cilik yang tidak

kunjung beruntung nasibnya menjadi bulan-bulanan mereka yang

berkuasa. Simpati dan solider kepada para priyayi yang muncul dari

lumpur-lumpur sawah dan ingin menyeret seluruh kerabatnya ke

permukaan untuk ikut mengecap dan menikmati dan akhirnya ikut

menentukan sosok budaya besar, apapun itu artinya. Dan

keterombang-ambingan saya ini aneh sekali saya lihat hanya dapat

ditampung oleh Lekra.”128

127

Ibid., h. 57. 128

Ibid., h. 310.

Page 126: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

116

Harimurti ikut dalam pemberontakan dengan masuk ke dalam Lekra,

sebuah organisasi kesenian beraliran komunis. Setelah berkenalan dan

berhubungan dengan Gadis pengaruh komunis semakin meresap, namun

sebenarnya dalam dirinya ia mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Ia

terombang ambing antara perasaan simpati dan solider. Hal ini menunjukkan

ia adalah orang memiliki sifat simpati sekaligus solider terhadap orang lain.

Seni yang dipelihara oleh priyayi sebagai bentuk estetika justru

dieksploitasi sebagai alat politik. Hal ini terjadi ketika Hari bergabung dalam

Lekra, sebuah kelompok pencinta seni yang diprakarsai oleh kaum komunis.

Seni tradisional dihubungkan dengan feodalisme yang ditujukan untuk

kekuasaan, dengan kata lain cerita rakyat Jawa adalah “… cerita

kekuasaan.”129

Beberapa tokoh seperti Bung Naryo beranggapan bahwa “cinta

memang bisa indah, tetapi dalam kisah cinta itu embel-embel dari strategi

kekuasaan yang sangat kejam.”130

Dari sini tampak bahwa kaum priyayi

mencemari seni dengan idealisme sosialis demi kepentingan politis. Hal inilah

yang awalnya menjerumuskan Hari ke dalam Lekra.

2. Relasi Individu dengan Keluarga

Hubungan ini merupakan relasi yang mutlak. Relasi ini membentuk

kedekatan biologis, psikologis, dan sosial. Dalam kekerabatan, nilai

kerukunan sangat diperlukan dalam membangun relasi yang harmonis antara

priyayi dan wong cilik. Relasi yang awalnya antar status antara priyayi dan

wong cilik bertransformasi menjadi hubungan yang lebih bersifat

kekeluargaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan karena

hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono, …. nama yang

menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja.”131

Soedarsono adalah nama asli Sastrodarsono.

129

Ibid., h. 270. 130

Ibid., 131

Ibid., h. 31.

Page 127: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

117

Dari situlah kedekatan yang sudah seperti keluarga sendiri terjalin,

bahkan Ndoro Seten sampai memberikan nama priyayi untuk anak yang

sedang dikandung oleh istri Atmokasan. Dalam kehidupan bermasyarakat,

hubungan ini terjadi melalui sosialisasi karena interaksi yang sering antara

keduanya.

Pada masa Sastrodarsono masih tinggal di Kedungsimo, Atmokasan

menjaga hubungannya dengan Ndoro Seten sehingga kerukunan tercipta.

Hubungan kemudian bersifat timbal balik, Atmokasan mengerjakan

kewajibannya sebagai petani dengan selalu jujur dalam bekerja. Di lain pihak

Ndoro Seten menghargai kerja kerasnya dengan membantu Sastrodarsono

menjadi seorang priyayi. Ia menghormati Ndoro Seten dengan berbuat jujur

dan tidak mengecewakannya. Kerukunan pun terjaga dengan baik karena

kedua pihak saling mengerti. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Bukan main besar, sesungguhnya, utang budi orang tua saya kepada

Ndoro Seten. Waktu orang tua saya menyatakan hal itu kepada Ndoro

Seten, dengan tersenyum mereka mengatakan bahwa itu adalah hadiah

mereka buat kejujuran dan ketulusan orang tua kami menggarap sawah

Ndoro Seten. Orang tua kami dinyatakan oleh Ndoro Seten sebagai

petani yang tahu menepati kewajiban, menyetor hasil panen kepada

mereka tak pernah mencoba mengurangi atau mencuri bawonan atau

ikatan panenan padi waktu habis menuai.”132

Relasi kekeluargaan terlihat ketika Ndoro Seten telah menganggap

Atmokasan sebagai saudara tua dengan memanggil „kamas‟, sedangkan

Sastrodarsono kini memanggilnya dengan „romo‟. Tradisi kekerabatan

diturunkan pada Sastrodarsono. Ia mengangkat sepupunya Soenandar untuk

masuk dalam keluarganya supaya mendapat pendidikan yang memadai dan

mampu menjadi priyayi seperti dirinya. Sastrodarsono juga banyak

berhubungan dengan warga desa Wanalawas dan membantu dengan

132

Ibid., h. 35.

Page 128: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

118

mendirikan sekolah bagi wong cilik, yang diserahkan pada Soenandar. Hal ini

menunjukkan sifat kepriyayian Sastrodarsono yang bak hati dan suka

membantu. Hal ini juga merupakan keharusan sebagai seorang priyayi.

Keluarga besar Sastrodarsono merupakan relasi yang terjalin dengan

kuat antara individu yang satu dengan yang lainnya. Saling membantu dan

menjaga kerukunan adalah pembagian kerja dalam keluarga menjadi hal yang

biasa dilakukan oleh setiap individu dalam keluarga besar Sastrodarsono. Hal

ini terbukti ketika masalah demi masalah menimpa keluarga besarnya, semua

anggota keluarga ikut merasakan dan membantu menyelesaikan. Hal ini dapat

dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya memenuhi janji saya untuk sowan ke Wanagalih sesudah

menjalani latihan di Bogor. Saya datang dengan seluruh keluarga saya.

Demikian juga dengan adik-adik saya yang juga datang bersama

keluarga mereka. Alangkah rukun dan guyub keluarga besar kami

sesungguhnya. Pada saat-saat yang kami anggap penting, apalagi yang

kami nilai peka, kami selalu berkumpul di Wanagalih.”133

Berdasarkan kutipan di atas, nilai sosial yang yang terdapat di

dalamnya adalah nilai kerukunan. Keluarga Sastrodarsono selalu berkumpul

di Wanagalih dalam setiap keadaan yang penting. Hal itu sudah menjadi

kebiasaan.

Nilai sosial yang berupa nilai kerukunan antarindividu dalam keluarga

juga diwujudkan melalui pembagian kerja seorang istri dan suami agar

seimbang dan selalu tercipta kerukunan dalam keluarga. Ngaisah meyakini hal

ini dalam kehidupan rumah tangganya. Ngaisah adalah istri yang sangat setia

dan berbakti kepada suaminya. Meskipun anak-mantunya suka menggodanya.

Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Anak-anak mantu saya sering mengganggu saya dengan mengatakan

bahwa saya terlalu memanjakan dan terlalu berbakti kepada bapak

mereka. Saya heran dengan jalan pikiran anak sekarang. Masa begitu

dikatakan memanjakan dan terlalu berbakti. Bukankah itu pembagian

133

Ibid., h. 198.

Page 129: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

119

kerja saja antara saya dan bapak mereka? Bapak sudah membanting

tulang mencari nafkah, saya yang ada di garis belakang mengurus

semuanya agar dalam keadaan beres. Kalau sampai tidak beres,

bapake tole bingung dan marah-marah, bisa kacau dia bekerja.”134

Nilai kerukunan juga ditunjukkan oleh seluruh keluarga yang hadir

dalam acara pertunangan Lantip dan Halimah. Harimurti terharu dengan

ikatan keluarga besar Sastrodarsono yang masih kuat. Meskipun Ngaisah

sudah tidak ada dan Sastrodarsono tidak dapat hadir, ternyata kerukunan

keluarganya masih dapat dibanggakan.Hal ini terdapat pada kutipan berikut,

“…. Kemudian saya terharu karena melihat ikatan keluarga besar

Sastrodarsono yang ternyata masih kukuh. Kerukunan keluarga kami ternyata

masih dapat dibanggakan dan diandalkan.”135

Selain nilai kerukunan antarindividu dalam keluarga, hubungan

individu dengan keluarga juga terdapat nilai pengayoman yang biasanya

dilakukan oleh anggota keluarga yang lebih tua, seperti orang tua ke anak-

anaknya. Hal inilah yang dilakukan Ngaisah dan Sastrodarsono dalam

membantu menyelesaikan masalah rumah tangga anak dan menantunya.

“Begini saja, Pak. Saya coba dulu ngobrol dengan dia, ya? Nanti

pelan-pelan kita luruskan hatinya. Kalau Bapak yang bicara sekarang,

saya khawatir anakmu malah jadi mau manja.”

“Yo, wis. Terserah kamu, Bune. Cuma hati-hati-hati, lho, Bune. Kita

usahakan agar ikan bisa kita tangkap tanpa harus membuat airnya

keruh. Kecekel iwake, ojo nganti butek banyune, Bune.”

“Begitulah kami putuskan. Saya mendapat tugas untuk melumerkan

hati Soemini yang keras itu.”136

Dari beberapa kutipan di atas, nilai sosial yang terdapat di dalamnya

adalah nilai pengayoman. Masih melalui pembagian kerja, nilai pengayoman

ditunjukan oleh Ngaisah dan Sastrodarsono sebagai orang tua untuk

menyelesaikan konflik yang sedang dialami anak perempuannya, Soemini.

134

Ibid., h. 230. 135

Ibid., h. 301. 136

Ibid., h. 238.

Page 130: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

120

Soemini terkenal dengan sifat keras kepalanya. Oleh karena itu, Ngaisah dan

berusaha dengan hati-hati bicara dan menasihati untuk meluluhkan hatinya

agar masalah dengan suaminya cepat selesai.

“Asal kau sabar dan pintar. Kau jangan terus larut dalam kemarahan.

Saya perhitungkan suamimu hari-hari ini mungkin akan datang

menyusulmu. Setidaknya akan berkirim surat. Kalau surat atau

suamimu itu datang, jangan kau menghadapi dia dengan hati yang

keras atau angkuh. Kau terima dia dengan baik.”

“Lho, ini buat lekernya semua to, Nduk. Nah, kalau sudah sampai di

Jakarta, kau kurangi dulu pergi ke luar rumah buat organisasi. Kau

urusi suami dan anak-anakmu dengan baik, meskipun tidak diurusi pun

mereka juga tidak apa-apa sesungguhnya. Tapi tunjukkan kalau kau

bisa memegang mereka semua. Nah, nanti pelan-pelan kau bisa desak

suamimu supaya mundur dari sangres itu. Mungkin tanpa kau desak

pun dia akan mundur sendiri. Wis to, percayalah sama ibumu.”137

Setelah berbicara dengan hati-hati terhadap anak perempuannya itu, ia

mulai memberi nasihat. Nilai pengayoman ditunjukkan oleh Ngaisah melalui

nasihat-nasihatnya. Sebagai orang tua terhadap anak dalam sebuah keluarga.

Setelah masalah Soemini selasai, giliran Noegroho dan keluarga yang

mengalami musibah. Anak perempuannya, Marie hamil diluar nikah. Sebagai

ibu, Sus sangat frustasi hingga ia pergi ke Wanagalih, mencurahkan isi

hatinya kepada Sastrodarsono dan Ngaisah. Awalnya mereka pun kaget dan

menyesalkan apa yang menimpa cucunya. Akan tetapi, pada akhirnya mereka

menerima dan memberikan nasihat kepada Sus agar pulang saja ke Jakarta

dengan Lantip karena Noegroho masih bertugas di luar. Lantip diberi amanat

untuk menyelesaikan masalah Marie dengan Maridjan. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan di bawah sebagai berikut.

“Hari berikutnya kami melanjutkan perbincangan kami dengan Sus.

Kami menganjurkan agar Sus pulang kembali ke Jakarta dengan

diantar Lantip. Maksudnya di samping Lantip dapat ikut menjaga Sus

sementara suaminya belum datang, juga untuk segera menghubungi

137

Ibid., h. 241.

Page 131: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

121

Maridjan dan mengatur segala sesuatunya. Sus menurut dan kami

segera memanggil Lantip dari Yogya.”138

Sastrodarsono mengangkat Lantip, anak Ngadiyem, sebagai bagian

dari keluarganya dan memberikan pendidikan yang layak untuk merekatkan

kembali relasi tersebut. Di lain pihak, Lantip merasa berterima kasih atas

kebaikan Sastrodarsono yang telah mengangkatnya sebagai bagian dari

keluarga priyayi. Lantip bersumpah pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada

keluarga Sastrodarsono. Pengabdiannya pada keluarga Sastrodarsono

dibuktikan dengan sikap „kepahlawanan‟ dalam membantu menyelesaikan

konflik dalam keluarga.

Nilai sosial yang ditunjukkan oleh Noegroho adalah nilai religiositas.

Bagaimana ia tidak berkeberatan melakukan saikere waktu pendudukan

Jepang. Baginya itu soal keyakinan dalam hati. Karena ia sekeluarga tetap

sholat dan Tuhan yang ia yakini dalam hati adalah Allah, bukan matahari. Hal

ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan soal keberatan harus

membungkuk kepada dewa matahari, bukankah kalau itu tidak kita masukkan

dalam hati kita tidak berarti apa-apa? Dan kami serumah tetap sholat seperti

biasa. Buat kami Tuhan itu tetap Allah dan Muhammad tetap Rasulullah. Jadi,

membungkuk ya membungkuk, salat ya salat.”139

Setelah satu per satu masalah anak mantunya selesai, kesehatan

Ngaisah mengalami kemunduran. Akan tetapi, ia bersyukur masih diberi

kesempatan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Hal ini terdapat pada

kutipan di bawah sebagai berikut.

“Saya sadar bahwa umur tujuh puluh tahun adalah umur yang cukup

panjang yang dianugerahkan Gusti Allah kepada saya. Saya hanya bisa

bersyukur dibolehkan mengenyam hingga sejauh ini. Juga lebih-lebih

ikut bersyukur melihat kesehatan dan kegesitan tubuh bapake tole.”

138

Ibid., h. 253. 139

Ibid., h. 195.

Page 132: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

122

“Saya harus lebih rendah hati. Peringatan dokter untuk orang yang

setua saya, saya artikan bahwa hari sungguhlah amat senja. Saya

ikhlas. Saya malah merasa bersyukur masih mendapat kesempatan

untuk ikut memecahkan persoalan berat anak-anak saya.”140

Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah nilai

keikhlasan. Sebagai orang tua sekaligus nenek, Ngaisah sangat ikhlas dengan

kemunduran kesehatan yang ia alami karena masalah-masalah dalam

keluarganya. Ia malah bersyukur masih diberi kesempatan membantu

keluarganya di usianya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa Ngaisah

adalah perempuan yang ikhlas dan pandai bersyukur.

Nilai keikhlasan pun ditunjukkan oleh tokoh Lantip. Ia begitu rendah

hati dengan tidak memikirkan perlakuan kedua sepupunya (Marie dan

Tommi). Ia menerima kenyataan sejak keluarga Hardojo mengambilnya

sebagai anak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “…. Bagi mereka

mungkin masih saja sulit untuk menerima saya sebagai sepupu mereka. Saya

tidak terlalu memikirkan itu dalam-dalam. Saya terima itu sebagai suatu

kenyataan yang sejak semula saya diambil oleh Bapak Hardojo.”141

Sekali lagi Lantip menunjukkan nilai keikhlasannya dalam membantu

dan menjalankan amanah Embah yang sangat ia kasihi. Itulah nilai sosial

berwujud nilai keikhlasan dalam hubungan individu dengan keluarga. Hal ini

terdapat pada kutipan berikut, “Saya mengangguk. Tetapi, di dalam hati

kecewa juga melihat sikap Pakde itu. Kok hanya sampai begitu jauh rasa

sembodo yang dimilikinya. Tetapi, saya ikhlas melaksanakan tugas ke

Wonosari itu. Demi amanah Embah Putri dan Embah Kakung.”142

“Saya bertekad untuk kembali lagi ke Wanagalih begitu tugas saya

untuk membantu membereskan urusan Marie dan Maridjan selesai.

Saya ingin dekat-dekat beliau dan ikut menjaga beliau. Sokur-sokur

140

Ibid., h. 255. 141

Ibid., h. 257. 142

Ibid., h. 272.

Page 133: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

123

kalau kehadiran saya itu dapat mengembalikan kegembiraan dan

kegairahan beliau.”143

Nilai sosial yang terdapat pada kutipan di atas adalah nilai kasih

sayang. Lantip yang sangat sayang kepada Embah Putrinya, Ngaisah, merasa

ada yang berbeda dengan Embah Putrinya setelah menyelesaikan masalah

yang menimpa anak mantunya. Ngaisah terlihat mengalami kemunduran

dalamkesehatannya. Ia tidak terlihat gembira seperti biasanya. Maka dari itu,

Lantip yang diutus Embah Putri dan Embah Kakung untuk membantu

keluarga Paklik Noegroho berniat akan menjaga Ngaisah setelah urusannya

selesai. Hal itu adalah wujud kasih sayang seorang cucu kepada neneknya

sebagai bagian dari keluarga.

Selain Lantip, Harimurti juga merupakan cucu yang sangat sayang

kepada kedua Embahnya. Hal ini terlihat pada kutipan di atas. Terdapat nilai

sosial yang ditunjukkan oleh Hari sebagai seorang cucu, yaitu nilai kasih

sayang. Ketika Ngaisah meninggal dunia, ia dengan kesediaannya mau tetap

tinggal di Wanagalih menemani Sastrodarsono yang begitu terpukul atas

kematian istri yang sangat dicintainya itu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di

bawah sebagai berikut.

“Kesediaan Gus Hari untuk ikut tinggal bersama ibu dan buliknya

mengharukan pakde dan paklik-nya dan sudah tentu juga bulik, bude,

dan ibunya. Saya sendiri sesungguhnya tidak terkejut. Dan mestinya

juga Bapak dan Ibu. Kami tahu betul sifat Gus Hari, momongan saya

itu. Orangnya penuh belas dan gampang merasa trenyuh kepada

penderitaan orang lain, apalagi ini adalah Embah Putrinya yang

disayanginya.”144

3. Relasi Individu dengan Lembaga

Hubungan ini menjadi sangat penting bagi keutuhan tatanan perilaku

manusia dalam kebersamaan hidup. Interaksi sosial antara individu dengan

143

Ibid., h. 257. 144

Ibid., h. 269.

Page 134: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

124

lembaga sosial terjadi melalui proses sosialisasi. Lembaga dapat

mengintegrasikan norma-norma dan nilai-nilai yang menjadi patokan hidup

dalam bermasyarakat.

“Saya sungguh tidak mengerti lagi cara berpikir priyayi muda zaman

sekarang. Mereka begitu pasti dan berani dengan pikiran-pikiran

mereka. Apakah lagi-lagi ini pengaruh sekolah Belanda? Untunglah

anak-anak saya itu, meskipun mulai seenaknya mengemukakan pikiran

mereka kepada orang tua, masih terpelihara tata kramanya. Mereka

tidak kurang ajar kepada kami, masih sopan, dan bahasa Jawanya

masih lengkap, itu membesarkan hati saya….”145

Nilai sosial yang ditunjukkan pada kutipan di atas adalah nilai

kesopanan. Bagaimana seorang priyayi muda seperti Noegroho, Hardojo, dan

Soemini yang berpendidikan tinggi, mengeyam pendidikan di sekolah

Belanda masih tetap menjaga nilai-nilai kesopanan terhadap orang tua.

Bahkan mereka masih menjaga bahasa yang menjadi ciri khas dalam hidup

masyarakatnya, yaitu bahasa Jawa.

Jawa adalah sebuah pulau yang berada di wilayah Indonesia. Secara

umum pulau jawa dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Jawa Timur, Jawa

Tengah, dan Jawa Barat. Tetapi dalam masyarakat berkembang perspektif

bahwa yang dinamakan “Jawa” adalah wilayah Jawa Tengah (Yogyakarta)

dan Jawa Timur, sedangkan Jawa Barat lebih idendik dengan sebutan sunda.

Perspektif demikan tidak serta merta muncul begitu saja dalam masyarakat

tanpa ada hal-hal yang melatarbelakangi. Bahasa tentu menjadi salah satu

faktor utama karena sebagai sarana komunikasi, tetapi lebih jauh lagi bahasa

juga merupakan faktor utama pendukung kebudayaan. Setiap daerah pasti

mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Kebudayaan merupakan cirri

khas dari daerah tersebut. Salah satunya adalah kebudayaan Jawa.

Budaya Jawa dikenal sebagai budaya yang menjunjung tinggi tata

krama dan unggah-ungguh. Jawa kaya akan simbol-simbol yang filosofis

145

Ibid., h. 88-89.

Page 135: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

125

sebagai ajaran hidup bermasyarakat. Tata bersosial di masyarakat diatur

secara rinci melalui tindak laku manusianya. Begitu pula dalam konsep

priyayi, unggah-ungguh sangat kental bahkan tidak boleh tidak ada kehidupan

priyayi. Priyayi lahir dan batin menjadi ukuran kualitas seseorang disebut

sebagai priyayi.

Perubahan kemudian mencangkup masyarakat yang lebih luas.

Pembangunan sekolah desa di Wanalawas yang ditujukan untuk mengajari

pengetahuan dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Tokoh

Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman penulis akan

sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, “Beliau masih prihatin

dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan …”146

. Dia menghapus

keterbelakangan dengan membangun sekolah bagi orang-orang yang buta

huruf. Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri

Sastrodarsono didasari oleh tokoh Mas Martoatmodjo yang beranggapan

bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di

kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong

cilik.”147

Nilai sosial pada kutipan di atas menunjukkan sifat Sastrodarsono

yang sangat peduli terhadap warga desa Wanawalas. Meskipun pada awalnya

hal ini merupakan pemikiran Martoadmodjo.

4. Relasi Individu dengan Komunitas

Hubungan ini dilatarbelakangi oleh visi dan misi hidup yang sama

antarindividu. Komunitas mencakup individu dengan individu, keluarga

dengan keluarga, dan juga lembaga yang saling berhubungan secara

interdependen.

“…. Gus Hari langsung terpikat oleh Sunaryo. Orang yang juga

secerdas Gus Hari dan memiliki perhatian yang sama tentang

146

Ibid., h. 158. 147

Ibid., h. 63.

Page 136: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

126

kesenian, terutama seni tari, teater, dan gamelan. Dalam waktu dekat

mereka sudah menjadi sahabat. Mereka semakin sering kelihatan aktif

dalam acara-acara kesenian universitas. Waktu itu kami sudah berada

pada tahap-tahap terakhir kuliah kami dan dalam waktu yang tidak

lama lagi akan menjadi sarjana ilmu sosial dan politik.”148

Nilai sosial yang terdapat pada kutipan di atas adalah nilai

kebersamaan. Harimurti yang cerdas dan suka dengan seni bertemu dengan

Sunaryo, seorang kakak kelas di Universitasnya yang juga sama cerdas dan

suka kesenian. Mereka memiliki pandangan yang sama mengenai seni.

Mereka bersahabat dan sering menghabiskan waktu bersama dalam berseni.

5. Relasi Individu dengan Masyarakat

Hubungan ini sangat bersifat sosial. Karena individu melakukan

interaksi sosial melalui proses sosialisasi dengan suatu lingkungan sosial yang

bersifat makro. Aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif

mempunyai bobot yang besar. Dalam keluarga dan masyarakat, misalnya,

orang Jawa harus menjaga kehormatan dan kerukunan dengan berbahasa yang

pantas untuk menghindari perselisihan. Rasa rikuh dipertahankan dalam

hubungan sosial masyarakat Jawa untuk menjaga sikap dan kelakuan. Selain

itu dalam hal etika dan budaya perkawinan, baik sebelum dan sesudah

pernikahan mengalami berbagai perubahan, namun inti dari perkawinan yaitu

kesetiaan dan penjagaan diri tidak berubah.

“…. Karena mendapat kesempatan mengerjakan sawah Ndoro Seten

itu pula, maka hubungan NdoroSeten dengan bapak saya jadi akrab.

Tentu saja akrabnya hubungan seorang Ndoro Seten yang priyayi

dengan Atmokasan yang petani desa. Dan karena hubungan itu pula

saya mendapat nama yang Soedarsono ini. Bila tidak karena hubungan

itu bagaimana kita orang desa bisa membayangkan mendapat nama

Soedarsono, nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki

anak-anak priyayi saja. Dan Ndoro Seten, menurut Bapak, begitu saja

menghadiahi nama kepada embok saya waktu diketahuinya Embok

hamil tua. “Nanti kalau anakmu itu laki-laki, Mbok, namakan

Soedarsono,” kata Ndoro Seten. Embok saya terkejut mendengar nama

148

Ibid., h. 282.

Page 137: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

127

itu. Menurut Embok sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam

(meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman.149

Berdasarkan kutipan di atas, nilai sosial ditunjukkan melalui nilai

keakraban yang terjalin antara Atmokasan dengan Ndoro Seten yang dapat

dikatakan sebagai majikan. Atmokasan adalah seorang petani desa yang

menggarap sawah milik Ndoro Seten. Atmokasan sebagai seorang petani

berstatus wong cilik bekerja di sawah milik Ndoro Seten menjalin hubungan

yang bersifat vertikal, antara priyayi dan petani desa. Namun, hubungan

tersebut berubah menjadi hubungan akrab, Ndoro Seten menyerahkan separuh

sawahnya untuk diurus oleh Atmokasan.

Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi mendapat nama tua ketika

seseorang akan membangun rumah tangga. Inilah yang terjadi kepada

Soedarsono yang kemudian berubah nama menjadi Sastrodarsono. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan berikut, “Saya duduk termangu, tidak mengira

kalau saya akan mendapat nama tua pada hari itu. Tentu saya berharap juga

pada suatu ketika mendapat nama tua itu karena memang sudah menjadi

kebiasaan orang Jawa untuk mengubah nama anaknya menjadi nama tua pada

waktu anak itu sudah mulai siap untuk membangun keluarga…”150

Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah nilai kebiasaan

atau tradisi yang dijalankan oleh setiap anak dalam masyarakat Jawa, yaitu

mengubah nama sebelumnya menjadi nama tua bagi mereka yang akan

memasuki kehidupan baru, yaitu berkeluarga. Hal ini jelas menunjukkan relasi

antara individu dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam

kehidupan bermasyarakat.

Ketika Sastrodarsono meninggal, Noegroho sebagai anak tertua

menggantikan ayahnya memimpin keluarga Sastrodarsono. Namun pada

rembukan malam itu ia menginginkan seorang cucu dari keluarga

149

Ibid., h. 34. 150

Ibid., h. 40.

Page 138: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

128

Sastrodarsonolah yang sebaiknya memimpin yang menunjukkan bahwa

keluarga ini terus mampu menumbuhkan diri. Dalam hal ini Harimurti sebagai

cucu menjadi satu-satunya pilihan, namun ia menolak karena merasa tidak

pantas, dirinya terlalu banyak menimbulkan masalah dalam keluarga besar

Sastrodarsono, namun ia mengajukan sebuah nama. Dia adalah orang yang

ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih. Dialah Lantip.

6. Relasi Individu dengan Nasion

Hubungan ini berkaitan erat dengan posisi dan peranan-peranan yang

ada dalam diri setiap individu sebagai warga Negara. Harimurti menceritakan

bagaimana ayahnya, Hardojo, setia mengabdi kepada Negara meskipun

pernah dikecewakan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah

sebagai berikut.

“Noegroho terpilih menjadi tentara dan mengikuti latihan di Bogor.

Setelah terpilih, ia memutuskan untuk membela negerinya. Sebagai

warga Negara dalam peranannya membela Negara. Nilai sosial yang

ditunjukkan oleh Noegroho adalah nilai pengabdian. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Jadi, saya akan berperang untuk

negeriku sendiri, putusku. Begitulah saya memasuki latihan di Bogor

….”151

“Pada waktu sebagian besar pegawai republik ikut pindah ke Jakarta

sesudah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950. Bapak memilih

pindah ke Yogya dan bekerja pada pemerintahan DIY. Rupanya Bapak

yang pernah dikecewakan oleh Mangkunegaraan yang tidak tegas

memilih republik dan kemudian malah membantu Belanda, tetap

senang bekerja dalam lingkungan kerajaan. Pemerintahan Daerah

Istimewa Yogyakarta dipandangnya sesuai benar baginya. Dia merasa

sekaligus dipuaskan keinginannya untuk mengabdi kepada republik

dan suatu lingkungan budaya tradisi Jawa yang dipimpin oleh seorang

sultan yang berjiwa modern dan republiken.”152

Kutipan di atas menjelaskan bahwa nilai sosial yang ditunjukkan oleh

tokoh Hardojo adalah nilai pengabdian. Sebagai warga Negara yang baik dan

151

Ibid., h. 197. 152

Ibid., h. 281.

Page 139: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

129

berbakti pada Negara. Hal ini juga disampaikan oleh Harjono yang dapat

dilihat pada kutipan berikut, “Saya setuju dengan Mas Noeg. Kita yang ada di

sini adalah semua alat Negara. Cuma ada yang tentara, ada yang sipil. Tapi

semuanya alat Negara. Jadi, kalau Negara berperang kita juga harus ikut

perang. Ini semua adalah kewajiban.”153

Hal di atas menunjukkan nilai pengabdian sebagai warga Negara, baik

secara langsung yang dilakukan oleh Noegroho sebagai tentara, maupun

Harjono sebagai rakyat sipil. Menurutnya, kita semua wajib membela Negara.

C. Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mengembangkan kompetensi

apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Dengan pembelajaran

semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami,

menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.154

Tujuan pembelajaran sastra terlihat bahwa peserta didik harus mampu

menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan

memperluas wawasan. Tujuan ini juga berhubungan dengan pembentukan dan

pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem pendidikan

nasional. Oleh karena itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik

diperlukan adanya campur tangan dari berbagai pihak, khususnya pendidik. Pendidik

diharapkan mampu membimbing, memberikan teladan, dan mendukung peserta didik

agar memiliki kepribadian yang luhur.

Pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan

pembelajaran kepada peserta didik. Pembelajaran tersebut cakupannya sangat luas,

pendidik dapat memberikan pembelajaran melalui contoh, kisah nyata, aturan-

aturan,dan sikap. Selain yang telah disebutkan, pembelajaran untuk membentuk

karakter peserta didik juga dapat dilakukan melalui pengenalan sastra, baik dongeng,

153

Ibid., h. 205. 154

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra ( Jakarta: Grasindo, 2008), h. 167.

Page 140: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

130

cerpen maupun novel. Hal ini dikarenakan dalam karya sastra tertanam nilai-nilai

yang sangat baik dan dapat dijadikan teladan oleh peserta didik. Akan tetapi, pendidik

harus mampu menimbang, memilih, dan menetapkan karya sastra yang baik dan

sesuai dengan perkembangan peserta didik. Karena pemilihan karya sangat

berpengaruh terhadap kualitas bacaan peserta didik. Dengan demikian, pendidik harus

pandai memilih bacaan yang tepat dan mengandung nilai-nilai yang baik untuk

dijadikan sumber belajar bagi peserta didik.

Jika dikaitkan dengan novel Para Priyayi, peserta didik dapat mengambil

nilai-nilai sosial yang sangat kentara dalam cerita melalui peristiwa dan pandangan

para tokoh. Guru dapat mengajarkan kepada peserta didik bagaimana berinteraksi

dengan masyarakat dengan menjunjung sikap saling tolong-menolong antarsesama

manusia. Dengan begitu, kepekaan yang dimiliki oleh peserta didik terhadap

lingkungan sekitar dapat menimbulkan sikap saling toleransi dan terhadap perbedaan

yang terjadi. Selain itu, peserta didik dapat mengimplikasikan nilai-nilai sosial yang

positif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Berdasarkan kajian terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam,

kompetensi dasar yang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra adalah

menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Kompetensi tersebut dapat

dikembangkan melalui novel Para Priyayi sebagai bahan ajar novel Indonesia.

Pembelajaran unsur intrinsik dalam novel Para Priyayi dapat meningkatkan

kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra untuk mempertajam perasaan,

meningkatkan penalaran, daya imajinasi, serta kepekaan terhadap masyarakat dan

lingkungan sekitar.

Pengajaran sastra mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan

ranah psikomotorik. Ranah kognitif terkait respons yang diberikan peserta didik

dalam bentuk penafsiran setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya guru

dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan yang diperoleh

setelah membaca. Karena terkait dengan pemahaman dari hasil membaca, ranah ini

menjadi ranah yang paling awal dalam proses kegiatan belajar-mengajar. Ranah

Page 141: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

131

afektif terkait respons yang diberikan peserta didik terhadap karya sastra yang telah

dibacanya, apakah peserta didik tersebut antusias dan merasa terlibat di dalamnya

atau tidak sama sekali, sehingga guru dapat mengetahui perubahan yang dialami

peserta didik setelah membaca karya sastra, sedangkan ranah psikomotorik terkait

respons yang diberikan peserta didik terhadap penerapan nilai-nilai yang terdapat

dalam karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, guru dituntut agar dapat memposisikan dirinya sebagai

guru bahasa Indonesia dalam pengajaran sastra. Guru harus memiliki kompetensi

sastra yang memadai. Guru dapat menggunakan kiat khusus dalam menyampaikan

materi pelajaran kepada peserta didik. Dari kiat tersebut, guru dapat membangkitkan

minat belajar para peserta didik agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga

peserta didik dapat menikmati pelajaran sastra dan nilai-nilai yang terkandung dalam

novel, khususnya nilai sosial dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga dapat

menumbuhkan perilaku-perilaku yang positif bagi setiap individu. Selain itu, sekolah

juga dituntut agar menambah koleksi perpustakaan dengan bukusastra yang variatif,

sehingga dapat digunakan sebagai penunjang pembelajaran peserta didik.

Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan novel ini diharapkan

dapat membantu siswa dalam membentuk kepribadian menjadi manusia yang

berkatakter. Oleh karena itu, setelah pembelajaran diharapkan peserta didik mampu

menerapkan sikap-sikap positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga pada

akhirnya turut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian dan watak dari peserta

didik tersebut.

Pembelajaran nilai-nilai sosial yang telah didapatkan oleh peserta didik

tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam perjalanan

hidup peserta didik, sehingga peserta didik lebih bijaksana dalam menghadapi

kehidupan yang kompleks dan multidimensi seperti sekarang ini. Dengan kata lain,

pembelajaran karya sastra, dalam hal ini novel pun turut membantu dalam

pembentukan karakter bangsa.

Page 142: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

132

Dari pernyataan di atas dapat ditunjukkan bahwa sastra mempunyai relevansi

dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang

sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika

pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat

memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata di

lingkungan masyarakat.

Dalam pembelajaran sastra di sekolah, novel Para Priyayi dapat diterapkan di

tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester satu pada pertemuan yang membahas

tentang memahami pembacaan novel melalui kegiatan mendengarkan pembacaan

penggalan novel, seperti yang terlampir pada silabus berikut.

SILABUS PEMBELAJARAN

Sekolah : SMA/MA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XI

Semester : 1

Standar Kompetensi : Membaca

Memahami berbagai novel Indonesia

Kompetensi

Dasar

Materi

Pembelajaran

Kegiatan

Pembelajaran

Indikator

Pencapaian

Kompetensi

Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber/

Bahan/

Alat

Menganalisis

unsur-unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

novel

Indonesia

Novel Indonesia

unsur-unsur

intrinsik (alur,

tema,

penokohan,

sudut pandang,

Membaca

novel

Indonesia

Menganalisis

unsur-unsur

ekstrinsik

Menganalisis

unsur-unsur

ekstrinsik dan

intrinsik

(alur, tema,

penokohan,

Jenis

Tagihan:

Tugas

individu

Tugas

kelompok

45

Menit

Novel

Indonesia

Page 143: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

133

latar, dan

amanat)

unsur ektrinsik

dalam

novelIndonesia

(nilai budaya,

sosial, moral,

dll)

dan

intrinsik

(alur, tema,

penokohan,

sudut

pandang,

latar, dan

amanat)

novel

Indonesia

sudut

pandang,

latar, dan

amanat)

novel

Indonesia

Ulangan

Bentuk

Instrumen:

Uraianbeb

as

Pilihangan

da

Jawaban

singkat

Berikut ini merupakan rencana pembelajaran yang dapat diaplikasikan

berdasarkan pembahasan dan silabus di atas.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas/Semester : XI/1 (Satu)

Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat dan novel Indonesia

Kompetensi Dasar : Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia

Alokasi Waktu : 3 X 45 menit

Indikator : 1. Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan

ekstrinsik novel Indonesia

1. Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur,

tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan

unsur ekstrinsik (nilai sosial, budaya, dll) novel Indonesia

A. Tujuan Pembelajaran

Page 144: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

134

Siswa mampu menjelaskanunsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dari pembacaan

penggalan novel.

B. Materi Pokok

o Novel Indonesia

o Unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

C. Nilai Budaya dan Karakter Bangsa

Bersahabat/komunikatif

Kreatif

Gemar Membaca

D. Nilai Kewirausahaan/Ekonomi Kreatif

Kedisiplinan

Kepemimpinan

E. Metode dan Skenario Pembelajaran

Presentasi

Diskusi Kelompok

Tanya Jawab

Penugasan

F. Kegiatan Belajar Mengajar

1. Kegiatan Awal

a) Guru mengucap salam, kemudian mengajak berdoa bersama

b) Guru mengabsen untuk mengecek peserta didik yang tidak hadir dan

berkoordinasi dengan siswa agar siap untuk belajar

c) Guru menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar

d) Guru memberikan apersepsi dengan cara memberi pertanyaan kepada

peserta didik tentang materi yang akan dibahas

Page 145: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

135

2. Kegiatan Inti

a. Eksplorasi

Guru meminta peserta didik mencari novel di perpustakaan

Guru meminta peserta didik dengan demokratis menentukan bersama

salah satu novel yang ingin dicari unsur intrinsik dan ekstrinsik

Guru meminta kepada peserta didik untuk membaca dan memahami

novel yang dipilih.

b. Elaborasi

Guru meminta kepada peserta didik untuk membentuk kelompok

diskusi yang terdiri atas 3-4 orang peserta didik.

Guru menjelaskn unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik yang terdapat

dalam novel.

Peserta didik berdiskusi untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dan ekstrinsik novel Indonesia.

Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik

(alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan

ekstrinsik (nilai sosial, budaya, dll) novel Indonsia.

Peserta didik berdiskusi untuk membandingkan unsur intrinsik dan

ekstrinsik novel Indonesia.

Salah satu peserta didik mempresentasikan hasil diskusi

kelompoknya.

Peserta didik yang lain menanggapi presentasi hasil diskusikelompok

yang presentasi.

c. Konfirmasi

Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan

tentang hal-hal yang belum diketahui.

Page 146: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

136

Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.

2. Kegiatan Akhir

Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan terhadap

materi pembelajaran yang telah dilakukan.

Guru memberikan tugas di rumah kepada peserta didik agar mencari

novel lain untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Guru menutup kegiatan dan mengucap salam.

G. Sumber Belajar

NovelPara Priyayi karya Umar Kayam

Biografi Umar Kayam

Cara menganalisis unsur-unsur intrinssik dan ekstrinsik novel Indonesia

Buku Bahasa Indonesia (Pelajaran Bahasa Indonesia: Untuk SMA/MA

Kelas XI), Tateng Gunadi, Arya Duta, 2007.

H. Penilaian

1. Teknik

Tes (PG, isian, dan uraian)

Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

2. Instrumen soal

a. Apa pengertian dari unsur intrinsik dan ekstrinsik?

b. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur intrinsik novel Para Priyayi?

c. Sebutkan dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam novel Para Priyayi

Page 147: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

137

Rubrik Penilaian Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik

Novel Indonesia

Kompetensi Dasar :Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia

Nama Siswa :

Kelas/No. Absen :

Tanggal Penilaian :

UNSUR YANG DINILAI SKOR

1 2 3 4 5

Analisis

Unsur

Intrinsik

Analisis

Unsur

Ekstrinsik

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan unsur yang dianalisis

3. Keruntutan penyajian hasil analisis

4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur intrinsik

dalam novel

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan unsur yang dianalisis

3. Keruntutan penyajian hasil analisis

4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur ekstrinsik

dalam novel

5. Kesimpulan hasil analisis

Perolehan Nilai = Total skor x 2

Jakarta,………….. 2014

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia

(Dwi Astuti) (Agnis Afriani)

Page 148: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

138

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait dengan novel Para

Priyayi Karya Umar Kayam, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi

sosial antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi

yang terbagi menjadi enam kategori. Relasi-relasi terdapat dalam teori

interaksi Simmel. Dalam novel Para Priyayi ini terdapat nilai-nilai

sosial, yaitu nilai kepedulian yang ditunjukkan oleh tokoh

Sastrodarsono, nilai kerukunan oleh keluarga besar Sastrodarsono,

nilai pengayoman orang tua (Sastrodarsono dan Ngaisah), nilai

ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai kesopanan, nilai

kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian

oleh Noegroho dalam membela Negaranya.

2. Implikasi novel Para Priyayi karya Umar Kayam pada pembelajaran

sastra di sekolah adalah peserta didik dapat mengambil nilai-nilai

sosial yang sangat jelas digambarkan dalam cerita, baik secara

kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang

tokoh dan penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar

mengenai bagaimana harus bersikap, memilih jalan hidup, dan

semangat mencapai cita-cita seperti yang telah digambarkan oleh

tokoh Lantip, Sastrodarsono, dan yang lainnya.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, maka penulis menyarankan

beberapa hal berikut ini.

Page 149: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

139

1. Orang tua atau guru harus memberitahu kepada anak mengenai tata

cara hidup bermasyarakat. Anak diajarkan bagaimana seharusnya

dalam bersikap agar tidak melanggar norma dan nilai yang berlaku

ketika hidup bersama dalam masyarakat. Guru dan orang tua harus

memberi contoh yang baik agar anak mempunyai panutan dalam

berperilaku.

2. Guru harus meningkatkan kreativitasnya dalam kegiatan proses belajar

mengajar agar peserta didik dapat antusias dan memahami pelajaran

sastra.

3. Guru sebaiknya mengajarkan kepada peserta didik agar

mengaplikasikan nilai-nilai sosial yang baik yang terkandung di dalam

karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.

4. Orang tua harus memberi dukungan kepada anak untuk

mengembangkan minatnya terhadap sastra, dengan cara memfasilitasi

anak dengan menyediakan buku-buku terkait dengan sastra di rumah

(minat baca) dan menyemangati anak agar mau belajar membaca

bahkan menulis sejak dini.

Page 150: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

DAFTAR PUSTAKA

Abram, M. H. A Glossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle, 1999.

Hendriyati, Atik. Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya

Arswendo Atmowiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam.

Purwakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009.

Aritonang, Diro. Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh. Harian Pikiran

Rakyat, 1982.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor:

Ghalia Indonesia, 2010.

Bertens, K. ETIKA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993.

DBB, Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987. Harian Berita Buana,

1987.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1979.

Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan

Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013.

Page 151: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2005.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar sastra. Bandung: Angkasa, 2001.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa terjemahan

Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi prosa. Surakarta:

Yuma Pustaka, 2010.

Saidi, Acep Iwan. Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai

Karya Sastra Indonesia. Jakarta: Pilar Media, 2006.

Kayam, Umar. Para Priyayi Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2011.

Cet. XIII.

Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007.

Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral

yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial.

Bandung: PT Refika Aditama, 2001.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajan Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2000.

Lesmana, Permadi Hendra. Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke

Page 152: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar

Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Jakarta:

Universitas Islam Negeri, 2013.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

__________ . Umar Kayam: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo, 2004.

Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung:

Alumni, 1983.

Sumarno, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni, 1984.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Suwarno, P. J. Novel Multidimensional, Majalah Basis, No.10/XL1/Oktober 1992.

Tuloli, Nani. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT “Nurul jannah”, 2000.

Wellek, Rene & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of

Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, 1989.

Page 153: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 154: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 155: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 156: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 157: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 158: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 159: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...
Page 160: TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA ...

BIOGRAFI PENULIS

Agnis Afriani, lahir di Bekasi, 6 Agustus 1990.

Menuntaskan pendidikan dasar di MI Attaqwa 16 Wates.

Kemudian Ia menuntut ilmu di MTs Al- Falak Kota Bogor.

Setelah itu, Ia melanjutkan kejenjang sekolah menengah di MAN

1 Kota Bekasi. Setelah lulus dari MAN 1 Kota Bekasi, Ia

meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Jakarta, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia.

Anak dari Achmad Yani dan Yuyun ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru sejak

duduk di bangku sekolah menengah atas. Baginya, menjadi seorang guru bukan hanya profesi

yang ideal bagi perempuan. Akan tetapi, merupakan kegiatan sosial dan pembelajaran sepanjang

masa bagi seorang manusia untuk sesama manusia lainnya. Perempuan yang berzodiak Leo ini

juga memiliki hobi membaca karya sastra. Ia sangat menyukai puisi dan novel.