Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

24
3.1 Intellectual Disability 3.1.1 Pengertian ID Intellectual disability (intellectual developmental disorder) ditandai dengan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang dimulai sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan fungsi intelektual secara umum seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan belajar dari pengalaman. Sedangkan keterbatasan fungsi adaptif meliputi area konseptual, sosial, dan praktis baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Intellectual disability bukan suatu gangguan mental ataupun gangguan medis. (American Psychiatric Association, 2013; Mash, & Wolfe, 2013). 3.1.2 Karakteristik ID Intellectual disability (intellectual developmental disorder) adalah gangguan yang muncul selama periode perkembangan yang meliputi defisit fungsi intelektual dan adaptif dalam konseptual, sosial, dan kegiatan praktis (American Psychiatric Association, 2013). Tiga kriteria berikut harus terpenuhi: A. Defisit dalam fungsi intelektual seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan pembelajaran dari pengalaman dikonfirmasi oleh penilaian klinis dan individual , pengujian standar kecerdasan . B. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar perkembangan dan sosial budaya untuk kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan yang berkelanjutan, batas defisit fungsi adaptif dalam satu atau lebih kegiatan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri, di beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dan masyarakat.

description

Intellectual disability with down syndrome theory from Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5th edition (2013)

Transcript of Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

Page 1: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

3.1 Intellectual Disability

3.1.1 Pengertian ID

Intellectual disability (intellectual developmental disorder) ditandai dengan keterbatasan

fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang dimulai sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan

fungsi intelektual secara umum seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan,

berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan belajar dari pengalaman.

Sedangkan keterbatasan fungsi adaptif meliputi area konseptual, sosial, dan praktis baik di

rumah maupun di lingkungan masyarakat. Intellectual disability bukan suatu gangguan

mental ataupun gangguan medis. (American Psychiatric Association, 2013; Mash, & Wolfe,

2013).

3.1.2 Karakteristik ID

Intellectual disability (intellectual developmental disorder) adalah gangguan yang muncul

selama periode perkembangan yang meliputi defisit fungsi intelektual dan adaptif dalam

konseptual, sosial, dan kegiatan praktis (American Psychiatric Association, 2013). Tiga

kriteria berikut harus terpenuhi:

A. Defisit dalam fungsi intelektual seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan,

berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan pembelajaran dari pengalaman

dikonfirmasi oleh penilaian klinis dan individual, pengujian standar kecerdasan.

B. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar

perkembangan dan sosial budaya untuk kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial.

Tanpa dukungan yang berkelanjutan, batas defisit fungsi adaptif dalam satu atau lebih

kegiatan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri, di

beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dan masyarakat.

C. Awal kemunculan defisit fungsi intelektual dan adaptif selama periode perkembangan.

Penetapan tingkat keparahan (lihat Tabel 1):

Tabel 3.1 Tingkat Keparahan Pada Intellectual Disability

Tingkat

KeparahanArea Konseptual Area Sosial Area Praktis

Mild (ringan) Untuk anak pra

sekolah, mungkin

Dibandingkan

dengan

Individu dapat

merawat dirinya

Page 2: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

tidak ada

perbedaan

konseptual yang

jelas. Untuk anak

usia sekolah dan

dewasa, terdapat

kesulitan dalam

kemampuan

akademik yang

melibatkan

membaca,

menulis,

berhitung, konsep

waktu, dan

konsep uang

dengan dukungan

yang diperlukan

dalam satu atau

beberapa area

untuk memenuhi

ekspektasi yang

terkait usia. Pada

orang dewasa,

berpikir abstrak,

fungsi eksekutif

(seperti

perencanaan,

strategi, setting

prioritas,

fleksibilitas), dan

memori jangka

pendek sama

lemahnya dengan

penggunaan

fungsional

kemampuan

akademik (seperti

perkembangan

anak seusianya

pada umumnya,

individu terlihat

belum matang

dalam berinteraksi

sosial. Contohnya

seperti kesulitan

dalam memahami

petunjuk dari

kelompok sosial.

Komunikasi,

percakapan, dan

bahasa harus

lebih konkret atau

tidak sesuai

dengan usianya.

Individu juga

mengalami

kesulitan dalam

meregulasi emosi

dan perilaku

berpakaian;

kesulitan ini dapat

dilihat pada situasi

sosial. Ada

batasan

memahami resiko

dalam situasi

sosial; penilaian

sosial adalah

individu

mengalami

ketidakmatangan

untuk seusianya,

dan beresiko

mudah tertipu

secara tepat

sesuai anak

usianya. Namun

dibandingkan

anak seusianya,

individu

membutuhkan

beberapa bantuan

dalam melakukan

tugas sehari-hari

yang lebih

kompleks. Pada

orang dewasa,

biasanya

dukungan terkait

dengan proses

berbelanja,

transportasi,

rumah tangga,

perawatan anak,

nutrisi makanan,

dan pengelolaan

keuangan.

Keterampilan

rekreasi mirip

dengan

seusianya,

walaupun

penilaian

berhubungan

dengan

kesejahteraan dan

dukungan

kelompok. Pada

orang dewasa,

kompetisi kerja

sering terlihat

Page 3: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

membaca,

pengelolaan

keuangan).

oleh orang lain. dalam pekerjaan

yang tidak

menekankan

kemampuan

konseptual.

Secara umum

individu

membutuhkan

dukungan untuk

membuat

keputusan

perawatan

kesehatan dan

keputusan hukum,

serta untuk belajar

menampilkan

kemampuan

secara kompeten.

Dukungan

biasanya

dibutuhkan untuk

membangun

sebuah keluarga.

Moderate

(sedang)

Melalui semua

perkembangan,

kemampuan

konseptual

individu tertinggal

di belakang anak

seusianya. Untuk

anak pra sekolah,

bahasa dan

kemampuan pra

akademik

berkembang

lambat. Untuk

Individu

menunjukkan

perkembangan

yang berbeda

dengan anak

seusianya dalam

perilaku sosial dan

komunikasi.

Bahasa pada

umumnya

digunakan

sebagai alat untuk

berkomunikasi,

Individu dapat

merawat

kebutuhan

personal seperti

makan,

berpakaian,

buang air, dan

menjaga

kebersihan

selayaknya orang

dewasa,

walaupun

memerlukan

Page 4: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

anak usia

sekolah, progres

dalam membaca,

menulis,

berhitung,

pemahaman

konsep waktu dan

uang terjadi

secara lambat

berlawanan

dengan tahun

sekolahnya jika

dibandingkan

anak seusianya.

Untuk orang

dewasa,

perkembangan

kemampuan

akademik pada

umumnya setara

dengan tingkat

sekolah dasar,

bantuan

diperlukan saat

belajar dan bina

diri. Bantuan

tersebut

berdasarkan pada

kebutuhan untuk

melengkapi tugas

konseptual sehari-

hari.

tetapi individu

hanya sedikit

menggunakannya.

Kapasitas untuk

menjalin

hubungan di

seputar keluarga

dan teman,

individu juga

dapat menjalin

hubungan

persahabatan dan

percintaan di

masa dewasa.

bagaimanapun

juga, individu tidak

dapat melihat

petunjuk sosial

secara akurat.

Penilaian sosial,

dan kemampuan

membuat

keputusan

terbatas, dan

pengasuh harus

membantunya

membuat

keputusan.

Persahabatan

pada umumnya

berkembang

dipengaruhi oleh

komunikasi dan

pembatasan

sosial. Dukungan

sosial dan

komunikasi

waktu yang lebih

lama untuk

mengajarkan

kemandirian pada

individu. Sama

halnya dengan

pekerjaan rumah

yang biasa

dilakukan oleh

orang dewasa,

individu

memerlukan

waktu yang lebih

lama untuk

diajarkan agar

dapat mandiri dan

dukungan

berkelanjutan

biasanya terjadi

untuk kinerja

tingkat dewasa.

Kerja independen

dalam pekerjaan

yang

membutuhkan

batasan

konseptual dan

keterampilan

komunikasi dapat

tercapai, tetapi

dukungan yang

cukup dari rekan

kerja, supervisor,

dan lainnya

dibutuhkan untuk

mengelola

ekspektasi sosial,

Page 5: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

dibutuhkan agar

individu dapat

sukses dalam

lingkungan

pekerjaan.

kompleksitas

pekerjaan, dan

tanggung jawab

tambahan seperti

penjadwalan,

transportasi,

manfaat

kesehatan, dan

pengelolaan

keuangan.

Kegiatan

keterampilan

dapat dibangun.

Pada umumnya

membutuhkan

dukungan

tambahan dan

kesempatan

belajar yang

membutuhkan

waktu lebih lama.

Perilaku

maladaptif sedikit

terjadi dan

menyebabkan

permasalahan

sosial.

Severe (berat) Pencapaian

kemampuan

konseptual

terbatas. Secara

umum individu

hanya sedikit

memahami

bahasa tulisan

atau konsep yang

Bahasa lisan

terbatas dalam hal

tata bahasa dan

kosa kata.

Berbicara dengan

satu kata dan

dapat dilengkapi

melalui cara

augmentatif. Cara

Individu

membutuhkan

dukungan untuk

semua aktifitas

sehari-hari seperti

makan,

berpakaian,

mandi, dan buang

air. Individu

Page 6: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

melibatkan angka,

jumlah, waktu,

dan uang.

Pengasuh perlu

mengurus secara

ekstensif sebagai

dukungan untuk

menyelesaikan

permasalahan.

bicara dan

komunikasi

berfokus pada

sekarang dan saat

ini dalam kejadian

sehari-hari.

Bahasa

digunakan untuk

komunikasi

sosiallebih dari

penjelasannya.

Individu

memahami cara

bicara dan bahasa

tubuh yang

sederhana.

Hubungan dengan

anggota keluarga

dan orang yang

familiar adalah

sumber

kesenangan dan

bantuan.

membutuhkan

supervisi dalam

setiap waktu.

Individu tidak

dapat

bertanggungjawab

dalam

menyejahterakan

hidupnya. Pada

orang dewasa,

partisipasi dalam

tugas di rumah,

hiburan, dan

pekerjaan

membutuhkan

dukungan.

Akuisisi

keterampilan

dalam seluruh

area melibatkan

pengajaran dan

bantuan dalam

waktu yang

panjang. Perilaku

maladaptif

termasuk melukai

diri sedikit terjadi.

Profound (sangat

berat)

Secara umum

kemampuan

konseptual

melibatkan proses

fisik daripada

proses simbolik.

Individual

menggunakan

obyek dengan

Individu sangat

terbatas dalam

memahami

komunikasi

simbolis baik

dalam bahasa

lisan maupun

bahasa tubuh.

Individu dapat

Individu

bergantung pada

orang lain dalam

segala aspek

kehidupannya

seperti bina diri,

kesehatan, dan

keamanan

meskipun individu

Page 7: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

tujuan merawat

diri, perkerjaan,

dan hiburan.

Individu memiliki

kemampuan

visual spasial

seperti

memasangkan

dan mengurutkan

berdasarkan

karakteristik.

Namun defisit

fungsi motor dan

sensori pasti

terjadi.

memahami

beberapa instruksi

yang sederhana.

Individu

mengekspresikan

perasaan dan

emosinya melalui

bahasa non

verbal, komunikasi

non simbolis.

Individu menikmati

hubungan dengan

anggota keluarga

yang dikenal baik

olehnya,

pengasuh, dan

orang lain yang

familiar dan

merespon

interaksi sosial

dengan bahasa

tubuh dan emosi.

Defisit fungsi fisik

dan sensoris

dapat terjadi

dalam berbagai

aktifitas sosial.

dapat dilibatkan

dalam aktifitas

tersebut dengan

baik. Individu

tanpa defisit fisik

yang berat dapat

melakukan

beberapa

pekerjaan rumah

seperti mengelap

meja. Partisipasi

dalam tugas

sederhana

dengan obyek

dasar dalam

beberapa

kegiatan tingkat

tinggi memerlukan

dukungan yang

berkelanjutan.

Aktifitas hiburan

dapat dilibatkan

seperti

mendengarkan

musik, menonton

film, pergi

berjalan-jalan,

atau aktifitas di

dalam air, yang

tentunya semua

itu memerlukan

bantuan orang

lain. Defisit fungsi

fisik dan sensoris

yang terjadi sering

menghambat

keterlibatan

Page 8: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

individu dalam

beraktifitas.

Perilaku

maladaptif sedikit

terjadi.

3.1.3 Komorbid

Intellectual disability memiliki prevalensi populasi umum keseluruhan sekitar 1%, dan

tingkat prevalensi bervariasi menurut usia. Prevalensi untuk intellectual disability tingkat

severe (berat) sekitar 6 per 1.000. Komorbiditas permasalahan mental, perkembangan

saraf, dan kondisi fisik medis sering terjadi pada individu yang mengalami intellectual

disability dengan beberapa tingkat kondisi (misalnya, gangguan mental, cerebral palsy, dan

epilepsi) tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum (American

Psychiatric Association, 2013).

Prognosis dan hasil diagnosis dapat dipengaruhi oleh kehadiran intellectual disability.

Prosedur penilaian mungkin memerlukan modifikasi karena gangguan yang terkait,

termasuk gangguan komunikasi, gangguan autism spectrum, sensorik-motorik, atau

gangguan lainnya. Peran informan sangat penting untuk mengidentifikasi gejala seperti

mudah marah, disregulasi emosi, agresi, masalah makan, masalah tidur, dan untuk menilai

fungsi adaptif di berbagai kehidupan masyarakat (American Psychiatric Association, 2013).

Komorbiditas permasalahan mental dan perkembangan saraf yang paling umum terjadi

pada individu dengan intellectual disability adalah attention-deficit/hyperactivity disorder

(ADHD); Depressive and bipolar disorders; anxiety disorders; autism spectrum disorder

(ASD); stereotypic movement disorder (dengan atau tanpa perilaku melukai diri sendiri);

impulse-control disorders; dan major neurocognitive disorder. Gangguan dapat terjadi

sepanjang rentang keparahan intellectual disability. Perilaku melukai diri sendiri

membutuhkan perhatian diagnostik yang cepat dan diagnosa yang berbeda dari stereotypic

movement disorder. Individu dengan intellectual disability, khususnya individu dengan

intellectual disability tingkat berat, memungkinkan untuk menunjukkan agresi dan perilaku

mengganggu, termasuk membahayakan orang lain atau merusak barang (Mash, & Wolfe,

2013).

Page 9: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

3.1.4 Etiologi

Intellectual disability mulai terlihat pada periode perkembangan. Usia dan karakteristik

yang muncul tergantung pada etiologi dan tingkat keparahan disfungsi otak. Pada individu

yang mengalami intellectual disability tingkat profound (sangat berat), keterlambatan

perkembangan motorik, bahasa, dan sosial diidentifikasi dalam dua tahun pertama

kehidupan. Sementara tingkat mild (ringan) tidak dapat diidentifikasi sampai individu usia

sekolah, ketika mengalami kesulitan dengan pembelajaran akademis. Semua kriteria

(termasuk kriteria C) harus dipenuhi (American Psychiatric Association, 2013).

Penyebab intellectual disability dibagi menjadi dua kelompok, yaitu organic group dan

cultural-familial group. Penyebab dari organic group berdasarkan biologis yang meliputi

faktor genetik dan konstitusional, seperti abnormalitas kromosom, kondisi gen tunggal, dan

pengaruh neurobiologis. Organic group biasanya berasosiasi dengan intellectual disability

dengan tingkat keparahan severe (berat) dan profound (sangat berat). Sedangkan cultural-

familial group bukan berdasarkan biologis, namun meliputi faktor resiko dalam ragam sosial,

perilaku, dan pendidikan (Mash & Wolfe, 2013).

Cultural-familial group biasanya berasosiasi dengan intellectual disability tingkat

keparahan mild (ringan). Beberapa faktor resiko dari intellectual disability meliputi minuman

alkohol, timbal, atau racun lain dan cedera yang mempengaruhi masa kehamilan dan

perkembangan pasca kelahiran. Faktor resiko lain yang mempengaruhi kualitas

perkembangan fisik dan emosional dalam menstimulasi masa bayi seperti tingkat

perekonomian dan dukungan keluarga yang tidak memadai (Mash & Wolfe, 2013).

3.1.5 Down Syndrome

Banyak masalah atau gangguan lain pada individu, baik anak-anak atau dewasa,

dengan gangguan mental atau intellectual disability. Down syndrome merupakan gangguan

yang paling umum terjadi pada gangguan mental. Kromosom yang abnormal pada individu

merupakan penyebab umum dan utama pada individu dengan gangguan mental, serta

gangguan ini umum terjadi pada individu dengan intellectual disability pada taraf moderate

(Mash & Wolfe, 2013).

A. Pengertian Down Syndrome

Down syndrome merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada anak dengan

gangguan mental dan gangguan perkembangan. Studi penelitian menemukan bahwa

Page 10: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

gangguan ini disebabkan oleh terdapatnya kelainan kromoson yang disebut sebagai trisomy

21, yang dikarenakan kegagalan kromosom dalam tubuh yang tidak berpisah ketika di

dalam kandungan, sehingga anak memiliki 47 kromosom atau 3 kromosom 21 di dalam sel

tubuhnya (Beirne-Smith, Ittenbach & Patton, 2002). Anak dengan down syndrome umumnya

mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21

yang berlebih (Soetjiningsih, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Cate dan Ball (dalam

Beirne-Smith, Ittenbach & Patton, 2002) menemukan bahwa prevalensi down syndrome

terjadi pada 1 dari 1.000 kelahiran dan umumnya 5% - 6% individu dengan down syndrome

teridentifikasi memiliki gangguan mental. Diperkirakan bahwa 20% anak dengan down

syndrome dilahirkan oleh ibu yang berumur di atas 35 tahun (Soetjiningsih, 1995).

Terdapat 2 hipotesis penting pada proses perkembangan pada anak dengan down

syndrome. Bennett-Gates dan Zigler (dalam Mash & Wolfe, 2013) mengemukakan hipotesis

pertama adalah simple sequence hypothesis, yang berpendapat bahwa semua anak,

dengan atau tidak dengan gangguan mental, akan dapat mencapai tahap-tahap

perkembangan kognitif dengan urutan yang sama; yang membedakan adalah batas

pencapaian individu pada perkembangan kognitif. Misalnya saja A adalah individu normal

dengan usia remaja dengan perkembangan kognitif tahap formal operations, namun

perkembangan kognitif B yang merupakan seorang individu remaja yang memiliki gangguan

mental hanya mencapai tahap concrete operational dan tidak mampu berkembang lagi.

Hipotesis ke dua adalah similar structure hypothesis, yang berpendapat bahwa anak

dengan gangguan mental akan menampilkan perilaku dan kemampuan yang sama dengan

anak normal yang usia mentalnya sesuai. Misalnya saja seperti yang terjadi pada Dan,

seorang anak laki-laki usia 15 tahun dengan down syndrome, yang memiliki proses

perkembangan yang sama dengan anak normal, hanya saja lebih lambat (Mash & Wolfe,

2013). Ketika usia kronologis Dan 15 tahun, dengan usia mental 2 tahun, perkembangan

kognitif Dan mencapai tahap yang sama dengan adiknya yang normal dan memiliki usia

kronologis 2 tahun. Bukti ini menampilkan bahwa anak dengan gangguan mental akan

mengalami perkembangan sesuai dengan usia mental mereka, sehingga nantinya mereka

juga akan mencapai tahapan-tahapan perkembangan kognitif, seperti memecahkan

masalah, mengeja dan memahami moral, namun lebih lambat.

Terdapat pandangan lain yang berargumen tentang dua hipotesis tersebut, yang disebut

sebagai difference viewpoint, yaitu bahwa perkembangan kognitif anak dengan gangguan

mental dan anak normal akan tetap berbeda pada hal yang lebih spesifik. Misalnya seperti

yang terjadi pada Dan serta adiknya, yaitu walaupun usia mental Dan sesuai dengan

kronolgis adiknya, secara kualitatif Dan akan memiliki perbedaan kemampuan pada hal

Page 11: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

yang lebih spesifik, seperti misalnya dalam memecahkan masalah. Pada kasus Dan,

kemampuan yang berbeda dari Dan dan adiknya adalah dalam kemampuan berbahasa,

yang kurang berkembang dibandingkan dengan adiknya (Mash & Wolfe, 2013).

B. Etiologi Down Syndrome

Sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada down syndrome pada tahun 1959,

kini penyebab down syndrome lebih dipusatkan pada kejadian non-disjunctional, yaitu 1)

genetik, 2) radiasi, 3) infeksi, 4) autoimun, 5) umur ibu dan 6) umur ayah (Soetjiningsih,

1995). Hasil penelitian epidemiologi menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila

dalam keluarga terdapat anak dengan down syndrome. Prevalensi down syndrome

diturunkan secara genetik berkisar antara 4,8-6,3%. Apabila anak dengan down syndrome

disebabkan oleh faktor genetik, maka sebaiknya kromosom orangtuanya diteliti untuk

menentukan adanya karier atau tidak. Uchida (dalam Soetjiningsih, 1995) menyatakan

bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome pernah mengalami

radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Terdapat perkiraan bahwa infeksi juga

dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya down syndrome, tetapi sampai saat ini

belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat memaastikan terjadinya

non-disjunction.

Penelitian yang dilakukan oleh Fialkow (dalam Soetjiningsih, 1995) di tahun 1966,

secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang

melahirkan anak dengan down syndrome dengan ibu yang melahirkan anak normal, namun

dengan usia yang sama. Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat

perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom. Selain

pengaruh umur ibu terhadap down syndrome, juga dilaporkan adanya pengaruh dari umur

ayah (Soetjiningsih, 1995). Penelitian sitogenik pada orangtua dari anak dengan down

syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari

ayahnya, namun korelasinya tidak setinggi dengan faktor usia ibu.

C. Karakteristik Down Syndrome

Karakteristik anak dengan down syndrome dapat terlihat dari berat badan pada waktu

lahir dan pada umumnya bayi dengan down syndrome memiliki berat badan kurang dari

normal (Soetjiningsih, 1995). Diperkirakan 20% kasus anak dengan down syndrome

mempunyai berat badan lahir 2500 gram atau kurang.

Pueschel (dalam Soetjiningsih, 1995) membuat suatu table tentang frekuensi secara

karakteristik fenotif dan paling sering terdapat pada bayi dengan down syndrome, yaitu

sebagai berikut.

Page 12: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

Tabel 3.1 Karakteristik down syndrome

Karakteristik Persentase (%)

Sutura sagitalis (belahan pada puncak tempurung otak) yang

terpisah

98

Fisura palpebralis (ruang antara pinggiran kelopak mata) yang

miring

98

Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II 96

Fontanela (ubun-ubun kepala) “palsu” 95

Plantar crease jari kaki I dan II 94

Hiperfleksibilitas 91

Peningkatan jaringan sekitar leher 87

Bentuk palatum (langit-langit mulut) yang abnormal 85

Hidung hipoplastik (tulang hidung kecil) 83

Kelemahan otot 81

Hipotonia 77

Bercak Brushfield pada mata 75

Mulut terbuka 65

Lidah terjulur 58

Lekukan epikantus 57

“Single palmar crease” (garis telapak tangan) pada tangan kiri 55

“Single palmar crease” pada tangan kanan 52

“Brachyclinodactily” (kelainan pada tulang jari) tangan kiri 51

“Brachyclinodactily” tangan kanan 50

Jarak pupil yang lebar 47

Tangan yang pendek dan lebar 38

Oksiput (belakang kepala) yang datar 35

Ukuran telinga yang abnormal 34

Kaki yang pendek dan lebar 33

Bentuk/struktur telinga abnormal 28

Letak telinga yang abnormal 16

Kelainan tangan lainnya 13

Kelainan mata lainnya 11

Sindaktili (kelainan jari berupa pelekatan 2 jari atau lebih,

sehingga telapak tangan menjadi berbentuk seperti kaki

bebek atau angsa)

11

Page 13: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

Kelainan kaki lainnya 8

Kelainan mulut lainnya 2

Sumber: Soetjiningsih (1995).

Peneliti lain mungkin akan mendeskripsikan fenotif yang berbeda, terutama jika

ditemukan pada anak dengan down syndrome dengan usia yang lebih besar, karena

karakteristik dapat berubah dengan bertambahnya usia anak.

Masalah yang sering terjadi dengan anak yang memiliki down syndrome adalah

gangguan tidur dan banyak insiden yang terjadi ketika tidur (Wood & Sacks, 2004). Terdapat

2 masalah utama dalam tidur pada anak dengan down syndrome, yaitu masalah tidur yang

berkaitan fisik atau pernapasan dan masalah perilaku ketika tidur. Anak dengan down

syndrome umumnya mengalami masalah pernapasan ketika tidur, yang disebut sebagai

apnoea, yaitu anak akan terdengar seperti mengorok atau nafas tercekik dan menampilkan

tanda-tanda tampak kurang tidur, posisi tidur yang tidak umum, keringat berlebihan dan

terdapat jeda ketika bernafas, seperti Nampak berhenti bernafas (Wood & Sacks, 2004).

Masalah perilaku ketika tidur dapat tampil dalam 2 hal, yaitu kesulitan untuk tidur dan

seringkali terbangung tengah malam atau lebih cepat. Anak dengan down syndrome

umumnya sulit tidur jika harus sendirian, dan mereka akan ingin tidur bersama orangtua

mereka atau orang lain yang dikenal. Ketika mereka sulit tidur, maka hal ini akan

menyebabkan mereka tidur larut malam.

Banyak anak dengan down syndrome memiliki masalah dalam berbahasa, namun

penelitian yang dilakukan Cologon (2013) membuktikan bahwa anak dengan down

syndrome mampu diajarkan untuk membaca. Ketika anak down syndrome diajarkan untuk

membaca, maka kosakata yang mereka miliki akan semakin banyak dan otomatis mereka

akan mampu mengembangkan kemampuan berbahasa.

D. Penanganan pada anak down syndrome

Anak dengan down syndrome memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang baik

melalui kondisi internal dan eksternal anak tersebut.

Penanganan secara medis. Mereka memerlukan pemeliharaan medis yang sama

dengan anak normal, yaitu dengan diberikan imunisasi, penanganan darurat secara medis,

serta dukungan dan dan bimbingan dari keluarganya. Walau demikian, terdapat beberapa

keadaan ketika anak dengan down syndrome memerlukan perhatian khusus, yaitu dalam

hal 1) Pendengaran, karena 70-80% anak dengan down syndrome dilaporkan terdapat

gangguan pendengaran, sehingga diperlukan pemeriksaan telinga sejak kecil dan

pemeriksaan berkala oleh ahli THT; 2) Penyakit jantung bawaan, ditemukan bahwa 30-40%

anak dengan down syndrome disertai penyakit jantung bawaan, sehingga mereka

Page 14: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

memerlukan penanganan jangka panjang oleh seorang ahli jantung; 3) Penglihatan, anak

dengan down syndrome sering mengalami gangguan penglihatan atau katarak, sehingga

perlu evaluasi ruitn oleh ahli mata; 4) Nutrisi, terjadi pada beberapa kasus yang disertai

kelainan berat badan, maka biasanya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi

atau prasekolah, atau terjadi obesitas pada masa remaja atau setelah dewasa, sehingga

diperlukan kerja sama dengan ahli gizi; 5) Kelainan tulang, anak dengan down syndrome

dapat mengalami kelainan tulang yang mencakup dislokasi patela (tempurung), subluksasio

(dislokasi sebagian) pangkal paha atau ketidakstabilan atlantoaksial (otot penghubung pada

leher bagian atas dengan tulang belakang), sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis; 6)

Masalah lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahli dalam masalah imunologi, fungsi

metabolisme atau biokimiawi (Soetjiningsih, 1995).

Penanganan melalui pendidikan. Anak dengan down syndrome mampu berpartisipasi

dalam belajar melalui intervensi dini, taman kanak-kanak dan melalui sekolah dengan

pendidikan khusus yang akan berpengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak secara

menyeluruh. Intervensi dini yang dilakukan pada bayi dengan down syndrome dan

keluarganya akan menyebabkan kemajuan yang tidak mungkin dicapai oleh mereka yang

tidak mengikuti program tersebut. Intervensi dini pada anak akan mencakup manfaat dari

stimulasi sensoris dini, latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasa dan halus,

serta petunjuk agar anak mampu berbahasa (Soetjiningsih, 1995). Demikian juga dengan

mengajari anak agar mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar buang air

kecil atau besar, mandi, berpakaian dan lainnya. Anak yang masuk ke taman kanak-kanak

juga memperoleh manfaat berupa peningkatan keterampilan motorik kasar dan halus

melalui bermain dengan temannya. Anak juga dapat melakukan interaksi sosial dengan

temannya. Program pendidikan khusus pada anak dengan down syndrome akan membantu

anak melihat dunia sebagai suatu tempat yang menarik untuk mengembangkan diri dan

bekerja. Program pendidikan khusus yang umumnya diberikan adalah melalui SLB-C, yaitu

sekolah yang diperuntukkan bagi anak dengan kebutuhan khusus. Pengalaman yang

diperoleh di sekolah akan membantu mereka memperoleh perasaan tentang identitas

personal, harga diri dan kesenangan. Lingkungan sekolah akan memberikan kepada anak

tentang dasar kehidupan dalam perkembangan keterampilan fisik, akademis dan

kemampuan sosial. Kebanyakan anak dengan down syndrome adalah mampu didik,

sehingga selama di sekolah anak akan diajarkan untuk biasa bekerja dengan baik dan

menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya (Soetjiningsih, 1995).

Penyuluhan pada orangtua. Menyampaikan masalah down syndrome akan

menyakitkan bagi orangtua, tetapi ketidakjujuran dalam menyampaikan masalah akan dapat

meningkatkan isolasi atau harapan-harapan yang tidak mungkin dari orangtuanya. Orangtua

perlu diberi penjelasan tentang down syndrome, karakteristik fisik yang ditemukan dan

Page 15: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

antisipasi dalam masalah tumbuh kembangnya. Orangtua juga perlu diberi penjelasan

bahwa fungsi motorik, perkembangan mental dan bahasa biasanya terlambat jika

dibandingkan dengan anak seusianya yang normal. Hal penting lainnya yang perlu

ditekankan adalah bahwa bukan ibu atau ayah yang dapat dipersalahkan tentang kasus ini.

Akan lebih baik jika orangtua yang memiliki masalah yang sama bertemu dan saling saling

berbagi. Mendengar tentang pengalaman dari orang yang berada pada kondisi dan situasi

yang sama biasanya akan lebih menyentuh perasaannya, serta lebih dapat menolong

secara efektif, sehingga orangtua akan lebih tegar dalam menghadapi kenyataan yang

dihadapi dan menerima anaknya sebagaimana adanya.

3.1.6 Penanganan Pada Anak ID

Bentuk penanganan yang dapat dilakukan pada individu dengan intellectual disability

ada berbagai cara, tergantung pada tingkat keparahannya. Hal yang pertama dapat

dilakukan adalah prenatal education and screening, yaitu pendidikan dan pemeriksaan

pada masa kehamilan. Walaupun tidak semua bentuk dari intellectual disability disebabkan

saat masa kehamilan, namun berbagai bentuk kelemahan berhubungan dengan janin yang

mengandung alkohol, keracunan timbal, atau rubella dapat dicegah jika diambil tindakan

pencegahan yang tepat (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).

Pada penanganan ini, wanita yang sedang hamil harus memeriksakan kandungan ke

dokter secara berkala hingga masa kelahiran serta mencari informasi tambahan terkait

kehamilan, baik dari membaca buku ataupun informasi dari orang lain. Pemeriksaan pada

masa kehamilan sebagai bentuk pemeriksaan genetis untuk melihat apakah terdapat

abnormalitas genetik pada janin, seperti down syndrome atau permasalahan keterbatasan

fisik (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).

Psychosocial treatment juga dapat dilakukan dengan cara keterlibatan secara intensif

dan intervensi dini untuk keluarga dengan anak-anak yang didesain untuk menurunkan

faktor resiko dan meningkatkan perkembangan anak. keterlibatan secara intensif dapat

dilakukan dengan behavioral treatment, pertama kali muncul sebagai bentuk untuk

mengontrol atau megarahkan perilaku negatif seperti agresi dan perilaku melukai diri sendiri.

Pelatihan berbahasa sering dianggap sebagai dasar untuk mengajarkan kemampuan yang

lebih sulit pada anak dengan intellectual disability (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).

Olahraga dan interaksi sosial juga cara penting untuk mendorong kemandirian,

kompetensi sosial, dan self-esteem pada individu dengan intellectual disability. Beberapa

teori perkembangan kognitif yang menjelaskan mengenai teknik terapi untuk anak dengan

permasalahan belajar dan perilaku juga dapat diterapkan pada anak intellectual disability.

Page 16: Teori Intellectual Disability with Down Syndrome

Metode ini efektif digunakan untuk anak dengan gangguan bahasa secara reseptif atau

ekspresif (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).

Self instructional training mengajarkan anak untuk menggunakan isyarat verbal yang

pada awalnya diajarkan oleh terapis untuk meproses informasi, untuk menjaga ketahanan

mereka mengerjakan tugas, dan mengajarkan mereka bagaimana memulai tugas yang baru.

Anak dengan intellectual disability menggunakan lebih sedikit kemampuan kognitif dan pasif

dalam menggunakan memori serta dalam mempelajari situasi (Haugaard, 2008; Mash, &

Wolfe, 2013).

Teknik terapi yang paling berhasil dan paling luas untuk anak-anak intellectual disability

adalah behavior modification. Teknik ini meliputi prinsip operant dengan mengubah

perilaku yang tidak menyenangkan dengan mengubah konsekuensi spesifik yang

memperkuat mereka dan dengan penguatan baru, respon yang lebih dapat diterima secara

sosial. Teknik ini telah digunakan untuk meningkatkan kesatuan yang luas dari perilaku:

perilaku self-help (pergi ke toilet, makan, berpakaian), perilaku yang berorientasi pada

pekerjaan (produktivitas, pengumpulan tugas), perilaku sosial (kerjasama, aktivitas

kelompok), perilaku kelas non-akademis (hadir, mengambil giliran, berbicara pada waktu

yang tepat), pembelajaran akademis (aritmatika, perbendaharaan kata yang terlihat), sama

seperti menurunkan perilaku yang tidak diinginkan seperti perilaku mendapatkan perhatian,

agresif atau perilaku melukai diri sendiri. Keuntungan yang penting adalah orangtua dapat

secara aktif berpartisipasi dalam program terapi di rumah. Keluarga merupakan pusat

perkembangan pada anak, namun untuk anak intellectual disability keluarga harus

memberikan komitmen yang lebih untuk memperhatikan anak dari segi waktu, energi, dan

keterampilan (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).