Tentang Cover Jajak Pendapat -...

24

Transcript of Tentang Cover Jajak Pendapat -...

Tentang Cover

Terma multikultural, secara niscaya membagi masyarakat ke dalam dua entitas: minoritas-mayoritas. Gesekan akan mudah terjadi bila kurangnya rekognisi antar kelompok. Apalagi, wacana pluralisme yang terus bergulir pasca tumbangnya era Orde Baru, membuat masyarakat melulu menagih janji mengenai implementasi toleransi.

Tahun 2016 merupakan tahun penuh catatan merah di Yogyakarta dalam menyemai wacana pluralisme. Suhu yang meninggi antar golongan dengan kepentingan beragam, menjadi tidak terelakkan. Resolusi atas konflik horizontal tersebut masih dirasa kurang. Tergambarlah dalam foto tersebut, mengenai dikotomi hitam dan putih serta potret beragam kebingungan masyarakat hari-hari ini.

Mata Lensa

Jajak Pendapat

Foto: Nandhika Lupitasari/sin

Segalanya Mungkin Saat Malam Di malam yang terang lagi muram. Akankah kesetiaan dinilai dari sepi. Dan kelap-kelip lampu taman kota. Menerka apa hidup pantas untuk ditunggui. Kita bergumul lewat rasa, cinta, dan nalar yang beradu. Tapi kita lupa induk segala hasrat yang mengurung logika. Cintaku, sepadat apa pun udara malam. Tetap tidak akan mampu menepis mimpi-mimpi buruk. Rokok yang kau habiskan, hanya pengantar deru-deru impian. Yang merangkak lewat nadi, denyut jantung setiap pasang mata. Yang menyaksikan tingkah kita menghadapi malam, penuh liku seperti anak kecil nan manja.

Yogyakarta, tanpa tahun

Suguhan Akhir Tahun

Setiap hasil memiliki waktunya masing-masing untuk memulai dan berproses. Setelah mengandung cukup lama, bayi kami di tahun ini akhirnya lahir juga. Ialah Indikator, majalah rutin Sintesa yang pada edisi kali ini mengulik mengenai tindak represif di Yogyakarta selama tahun 2016 oleh sejumlah organisasi masyarakat berbasis anarkis-represif.

Dalam penentuan tema -dan serangkaian perdebatan- akhirnya muncullah Kegelisahan bersama yang dirasa kerap keli terjadi. Yakni kegelisahan kami terhadap Yogyakarta era 2016 ini dengan banyaknya tindak represif yang terjadi. Dinamika dan pergolakan yang terjadi kami kaji dan analisa bersama.

Semoga kelak bacaan ini dapat membuka sudut pandang baru, semoga kelak bacaan ini dapat menambah khasanah pengetahuan bagi kita semua. Terimakasih banyak, selamat membaca dan sampai jumpa!

Redaksi

Pemimpin Umum SekretarisRani Eva Dewi

U Rmum Pemimpin edaksiAnnisa Nur Indah S.

Odilia Enggar Fahmi Rijalul F.,Staff Redaksi

Yesandia O. Utomo, Desra Israyana, Umaruddin

Wicaksono, Clara, Intan Nur Ulfa, Triyanto

Prabowo, Isrotul Qomaria OdiliaWebmaster

Enggar Irene TantriKepala Litbang Staff

Litbang Agga Arista B., Isa Elfianto, Intan

Ravanza, Andriyan Yuniantoko, Agung Hidayat

Pemimpin Perusahaan Clara MariaArtistik

Rena, Zulfi AgungLayouter dan Fotografer

Prastistha Surya Elizabeth,Awak Magang

Manggiasih, Mega, Novi, Rani, Ivan, Alfian, Fajar,

Jefri, Roby, Kiki, Dyah, Zulfi

Sekretariat Redaksi Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik UGM, Jalan Socio Yusticia 1, Bulaksumur,Yogyakarta 55281 @Email lppmsintesa gmail.comWebsite lppmsintesa.fisipol.ugm.ac.id Twitter@lppmsintesa

Pemimpin Umum: Rani Dwi Putri. Sekretaris Umum: Nisa Nur Irnia. Pemimpin Redaksi: Mega Nur A. Staff Redaksi: Elizabeth Widya Nindianita, Azinuddin Ikram, Ramdayanu Muzakki, Mochammad Ridha, Dzikrullah Umam, Satrio W, Novi I. Webmaster: Mega Nur A. Kepala Litbang: Isa Elfianto. Staff Litbang: Alfian Khoirul A, Fadhil Naufal, Agga Arista B, Andrian Yuniantoko, Sri Rejeki. Pemimpin Perusahaan Manggiasih Tilotama. Fotografer: Agung Pratistha Surya Ilustrator: Ahmad Zulfi Layout: Azinuddin Ikram, Isa Elfianto.

Awak Magang Alfian, Anggit Novita, Mira, Kezia Uli, Nandhika Lupitasari, Imelda Idamayanti, Yogi Maulana.

Sekretariat Redaksi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Jalan Sosio Yustisia 1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Surel [email protected] Website lppmsintesa.fisipol.ac.id Twitter @lppmsintesa OA Line @syd4262l

Indikator DESEMBER 2016

1

Mendapuk diri dengan predikat “City of Tolerance” sebagai slogan Kota Yogyakarta,

kemudian menjadi pongah ketika menilik kembali implemantasi toleransi di kota ini. Awal tahun hingga medio 2016, Yogyakarta pepat dalam pemberitaan mengenai maraknya aksi pembubaran beberapa acara oleh organisasi massa berbasis agama. Ialah acara yang membahas seputar komunisme dan LGBT, menjadi sasaran tembak bagi ormas Islam karena dianggap menyimpang dari ajaran agama. Tersebutlah Forum Ukhuwah Islam (FUI) sebagai salah satu ormas Islam dengan basis masa cukup besar di Yogyakarta. Pada 27 Agustus 2016 lalu, awak SIntesa mendapat kesempatan mewawancarai langsung Andreago Fuad, koordinator umum FUI di Ngabean.

Sekilas FUI dan PandangannyaResmi berdiri pada 2012, FUI merupakan

wadah bagi 120 laskar yang sebelumnya bergerak masing-masing menyikapi permasalahan di Yogyakarta. Adapun permasalahan yang disoroti seputar kemaksiatan, kristenisasi, aliran sesat, komunisme, dan LGBT. Selain penangan kemaksiatan, FUI juga memiliki fokus dalam hal persatuan kaum muslimin. Sebagai wadah koordinasi, FUI memiliki 2 bentuk kepengurusan. Pertama, terdiri dari beberapa ulama yang menjadi rujukan untuk bergerak. Kedua, adalah seluruh komandan dari 120 laskar tergabung untuk rapat pleno ketika akan bereaksi menyelesaikan permasalahan. Dari 120 laskar, 80 diantaranya merupakan anggota Gerakan Pemuda Ka’bah yang dekat hubungannya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedang sisanya tidak memiliki afiliasi khusus

Oleh: Mega Nur

Merekognisi Ormas Islam di Yogyakarta Hari Ini

Andrego Fuad, tokoh FUI di

Ngabean.

Foto: Mega/sin

Indikator DESEMBER 2016

2

dengan partai politik. Fuad sendiri mengaku, di dalam FUI selalu mengesampingkan urusan politik.

Dari beberapa kejadian ‘menyelesaikan masalah’ seperti pembubaran acara LadyFast (2/4) dan penurunan karya secara paksa di IAM Gallery (30/5), Fuad mengaku tidak ada rapat pleno sebelumnya. Reaksi tersebut terjadi karena keresahan dan spontanitas ormas setempat yang juga tergabung dalam FUI. Mereka beranggapan kalau acara yang diselenggarakan berpotensi menuju kemaksiatan serta tidak sesuai dengan norma di masyarakat.

Ketika ditanya soal LGBT dan komunisme, Fuad meyoal minoritas-mayoritas sebagai terma. Ia tidak mempermasalahkan ketika seseorang berpaham komunisme atau pun seorang LGBT meski hal tersebut melanggar agama. Permasalahannya muncul ketika kelompok-kelompok tersebut membawa hal itu ke ranah publik. Menurutnya, dengan membawa isu-isu tersebut ke ranah publik meski melalui medium diskusi, pemutaran film, dan sebagainya, hal tersebut berpotensi menggiring opini publik untuk mengakui sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama. “Jadi begini, semua diskusi yang di situ kemudian sifatnya untuk keilmuan dan tertutup, hanya untuk kajian keilmuan di suatu kelas tanpa publikasi yang berlebihan, itu nggak jadi masalah buat kami”, papar Fuad. “Kita nggak mau sebenarnya mereka (komunis dan LGBT—red) terlalu muncul. Kalau umat islam terprovokasi, siapa yg bisa menahan mereka (orang islam—red) ketika bersatu?”, tambahnya.

“Masing-masing harus menyadari. Apa perlunya, apa kepentingan menyuarakan kepentingan PKI, LGBT, Kristen, Syiah dan lain-lain? Kenapa tidak mereka merasa diri mereka minoritas kemudian cukup itu, jangan sampai ini menjadikan konflik lagi. Jalani hidup sebagai orang normal. Toh nggak ada yang ngurusi “Kamu PKI bukan?”, jaman itu sudah berlalu. Tapi kalau mereka meminta pengakuan, permintaan maaf, itu kan mengungkit luka lama.”, pungkas Fuad.

Membaca Perilaku Ormas Islam di Yogyakarta Hari-hari Ini

Perilaku yang ditampilkan ormas ketika membubarkan acara secara sepihak, mungkin menimbulkan kesan kalau ormas bersangkutan

merupakan entitas yang powerful. Dana Hasibuan, seorang Sosiolog muda, melihat kalau jalur kekerasan yang selama ini ditempuh ormas merupakan cerminan kalau mereka ingin berpartisipasi di ranah publik tetapi tidak pernah mendapatkan kesempatan tersebut. Kekerasan merupakan spektrum yang bisa terjadi melalui fisik, verbal, maupun struktural. “Islam memang mayoritas di sini, tapi mereka (ormas Islam—red) sendiri bukan mewakili Islam mayoritas, kan?” paparnya.

Mengkomparasikan pergerakan ormas hari-hari ini dengan era Orde Baru, Dana menilai kalau mereka lahir bukan karena keran kebebasan telah terbuka seluas-luasnya, melainkan hari ini dinilai lebih totalitarian dari Orde Baru. “Hari ini, kekuasaannya tidak terlihat, tapi masih ada. bentuknya apa? Yaitu wacana toleransi, multikulturalisme, bahwa setiap orang itu harus bersifat baik. Itu wacana-wacana yang bagi mereka (ormas—red) “Kita jaman dulu hidup dalam keberagaman kok, kenapa harus belajar toleransi?” kemudian mereka dijadikan objek yg tidak paham dan harus diedukasi kembali. jadi mereka merasakan ada totalitas wacana, dan itu yang membuat mereka bereaksi.”, jelasnya.

Menanggapi hadirnya aparat negara dalam setiap kasus pembubaran paksa meski terasa pongah karena tidak melakukan tindakan apa pun, hal ini terjadi karena keterbatasan aparat dalam resolusi konflik. Mereka hanya menghindari terjadinya kontak fisik. “This is not about law, this is about politics”, pungkas Dana.

Toleransi bukanlah sekedar utopia jika masing-masing dari kita memiliki keinginan dan kesadaran untuk merekognisi entitas lainnya. Mengurangi labeling terhadap kelompok tertentu merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh. Benar adanya ketika berhadapan dengan orang lain yang cenderung konservatif, mendedah yang tabu menjadi tidak mungkin. Namun hal tersebut bukan menjadi alasan untuk saling mengerti dan mewujudkan toleransi.

Indikator DESEMBER 2016

3

Setiap manusia kini menuntut kebebasan berpikir dan berideologi. Universitas merupakan salah satu

institusi yang mewadahi proses berpikir, khususnya bagi para civitas akademika di lingkungan kampus yakni para dosen, peneliti, dan mahasiswa. Mahasiswa merupakan salah satu sosok penting dalam pembelajaran berpikir dan berideologi. Para mahasiswa mengadakan diskusi-diskusi, kajian ilmiah, pemutaran film bersama dan pelbagai kegiatan lainnya. Namun, apakah kegiatan-kegiatan yang menunjang proses berpikir mahasiswa itu berjalan mulus?

Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan represi terhadap kebebasan berpikir di kalangan kampus. Sebagai contoh; pembubaran screening film Senyap yang diadakan Sintesa tahun 2014, tekanan dari luar saat pemutaran film Pulau Tanah Buruh pada bulan Mei 2016 lalu, penarikan kembali majalah Balairung edisi Mahasiswa Baru bulan Agustus 2016, serta kegiatan diskusi lain mengenai komunisme, LGBT, waria, isu seks dan sebagainya selalu mendapat tekanan dari pihak-pihak luar. Biasanya, tindak represif yang terjadi melulu berkedok agama atau kepentingan tertentu.

Jika UGM ini benar-benar wadah bagi para mahasiswanya untuk berekspresi dan berpikir, lantas mengapa kejadian penekanan dari pihak yang tidak bertanggung jawab masih sering terjadi? Bahkan, ada kekhawatiran bahwa kasus-kasus dengan pola yang serupa masih akan terjadi di masa mendatang. Artinya, masih ada persoalan mengenai kebebasan berpikir yang belum selesai di UGM.

Peran SKKK Mengenai persoalan kemanan, SKKK

menjadi salah satu pilar yang penting terkait penjagaan terhadap kebebasan berpikir mahasiswa dalam bentuk kegiatan diskusi, pemutaran film dan lain-lain. Nur Sulis, salah satu petinggi di SKKK memaparkan, “Untuk

kepentingan kajian ilmiah mahasiswa, kami sepenuhnya mendukung dan menjaga kegiatan tersebut. “

“Tanggung jawab kami memantau acara tersebut agar lancar. Universitas itu kegiatannya ilmiah. Kita merangkul segala aspek, intel, ormas, polisi, mengkoordinasi supaya kegiatan aman dari ormas-ormas yang kolot. Ini kajian ilmiah di lingkungan kampus. Saat pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta di Fisipol saya juga hadir dan ikut mengawasi. Dekan fisipol juga ikut menyambut acara kala itu,” paparnya.

Selain mendapat tekanan dari ormas luar, kajian-kajian yang ‘sensitif’ seringkali mendapat tekanan dari pihak rektorat sendiri. Dengan saran agar kegiatan diskusi tersebut dibatalkan. Barangkali sebagai dalih agar citra UGM tetap berada di jalur moral yang baik.

Ketika SKKK dihadapkan pada dua pilihan yakni menjaga keberlangsungan kegiatan ilmiah atau mengikuti kehendak rektorat maka SKKK akan tetap memilih mengikuti kehendak rektorat, meski kehendak rektorat melarang keberlangsungan kajian ilmiah tersebut. “Kita perlengkapan rektorat, dapat komando dari rektorat. Jika terdapat perintah rektorat ya kami harus patuh,” ujar Nur Sulis.

Senada dengan Nur Sulis, Parijono, salah satu SKKK di Fisipol juga memaparkan, “Kami hanya mengikuti instruksi dari pusat, apakah mengharuskan menjaga atau malah ikut membubarkan saja acara demi kebaikan bersama. Fungsi kita untuk mengantisipiasi adanya kerusakan terhadap perlengkapan kampus atau tidak.”

Penarikan Majalah BalairungKeamanan dan kebebasan berpikir

mahasiswa UGM diuji lagi pada bulan Agustus 2016 lalu. Sebagian masyarakat UGM dibuat kaget mendengar adanya penarikan kembali majalah Balairung UGM edisi Balkon

Oleh: Azinuddin Ikram, Ramdayanu Muzakki

Pasang Surut Kebebasan Berpikir Mahasiswa UGM

Indikator DESEMBER 2016

4

Indikator DESEMBER 2016

5

Mahasiswa Baru 2016. Kejadian itu terjadi pada saat PPSMB UGM yang dilaksanakan pada awal Agustus.

Salah satu alasan mengapa majalah tersebut ditarik kembali yakni karena terdapat tulisan mengenai Himag; Himpunan Mahasiswa Gay di lingkungan kampus UGM. Pada tajuk Eureka tersebut terdapat tulisan berjudul Himag, Geliat Interaksi Gay dalam Kampus. Arif, penulis dari tajuk tersebut memaparkan, “Tulisan itu telah dikaji dan diteliti secara ilmiah oleh mahasiswa Antropologi UGM, Dany Nugraha.” Barangkali isu sensitif mengenai gay ini yang menyebabkan penarikan majalah tersebut, meski tulisan tersebut pun masih dalam ruang lingkup kajian ilmiah.

“Alasan mengapa penarikan itu terjadi adalah kesalahan komunikasi saja,” ujar Adit, anggota Menwa dan panitia keamanan PPSMB di Vokasi Barat. Adit memparkan kronologinya, ”Terdapat kerumunan mahasiswa baru yang sedang membaca majalah tersebut pada bagian geliat mahasiswa gay. Pihak keamanan melaporkan pada Korgus Vokbar lalu Korgus tersebut memutuskan untuk menarik dulu saja majalahnya. Kita ikut Pembina, Pembina ini dosen, penanggung jawab di Vokbar. Yang ditarik juga hanya di Vokbar saja.”

“Karena ada kerumunan tersebut, maka mengganggu keberlangsungan acara

dan keamanan PPSMB, fungsi Menwa yakni menstabilkan keamanan tersebut,” pungkas Adit.

Penarikan majalah ini disebabkan adanya kesalahpahaman antara Menwa dan Balairung. Kedua belah pihak juga telah berkoordinasi dan saling klarifikasi terkait pemberitaan tersebut. Ketika tidak adanya tindak lanjut lebih jauh terkait konten majalah ini, maka kasus ini pun terkesan menggantung.

Kegiatan, diskusi dan kajian ilmiah merupakan metode bagi mahasiswa untuk bereskpresi, mengemukakan pendapat, dan mengeksplorasi ideologi-ideologi secara bebas. Para mahasiswa meyakini bahwa proses berekspresi dan berdiskusi secara ilmiah merupakan hak yang harus didapatkan bagi setiap mahasiswa. Sehingga kajian dan ruang lingkup ilmiah ini sepantasnya mendapatkan penjagaan dari pihak universitas. Sudah sewajarnya mahasiswa mendapat dukungan maksimal dari rektorat, SKKK, dan segala aspek demi berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih baik.

Mahasiswa baru 2016 setelah

perayaan dan hingar bingar

PPSMB.

Foto: Lupi/sin

Indikator DESEMBER 2016

6

Karena Allah aja menolak, ini kan perintah, makanya kita juga menolak. Kalau Allah mengizinkan nggak

mungkin kita tolak.” Papar salah satu pengurus FJI sebagai kalimat yang mengantarkan mereka pada setiap tindakan organisasinya. Front Jihad Islam (FJI) sendiri merupakan salah satu dari sekian organisasi masyarakat (Ormas) di Yogyakarta.

Memang tidak ada yang salah dari Ormas Islam ini, tujuan kehadirannya hampir sama dengan ormas-ormas lain. Yaitu Islam sebagai landasan, membasmi kemungkaran dan kemaksiatan sebagai tujuan, dan amalan sebagai pengharapan. “Awal dibentuk karena melihat lingkungan Jogja yang kebanyakan maraknya tempat maksiat, selama ini tidak ada yang mengontrol, tidak ada kejelasan dari aparat, ya yang pasti amar ma’ruf nahi munkar.”, ujar pengurus FJI.

FJI memang cukup aktif dalam menindak kemaksiatan yang terjadi di masyarakat. Salah satu yang cukup menjadi fenomenal adalah tindakan pembubaran Pesantren Al-Fatah atau sering disebut sebagai pesantren waria. Menurut penuturan salah satu pengurus FJI, kejadian ini bermula dari laporan masyarakat tentang adanya pesantren khusus waria. Selain itu, yang cukup menjadi puncak masalah ialah kabar pembuatan Fiqih waria. “Apa pun alasannya mereka melanggar kan, laki-laki menyerupai perempuan dan sebaliknya. Maka dari itu kita menegaskan untuk menolak pondok pesantren itu.”, ujarnya.

Pondok pesantren yang bertempat di daerah Kotagede Yogyakarta ini merupakan wadah untuk belajar agama Islam, khususnya

bagi para waria. Namun sesuai dengan ajaran agama Islam pula, FJI tetap menolak adanya pesantren waria tersebut. Landasan sebagai ruang ibadah dan arena belajar bagi waria dirasa akan sia-sia belaka. Hal ini mengingat perbuatan mereka yang jauh dari perintah-Nya dan dekat dengan laknat-Nya. “Silahkan beribadah, yang kita permasalahkan adalah mereka laki-laki tapi pakai baju perempuan, Allah aja melaknat. Ya sebenarnya kasian mereka sudah niat semangat beribadah, tapi ditolak semuanya amal ibadahnya terkecuali mereka kembali menjadi laki-laki.”, papar pengurus FJI.

Sisi lain ditunjukkan oleh Mami Vinolia, salah satu waria yang juga merupakan pendiri KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). Menurutnya, keberadaan waria adalah sebuah keberagaman, pun juga sama dengan keberadaan gay ataupun lesbian. “Tidak apa-apa hidup sebagai seorang waria, tidak salah. Tidak semua orang mau hidup kayak kita. Kita diberi ujian dan harus kita nikmati.”, tambahnya.

Kehidupan seorang waria khususnya di Indonesia memang masih terbilang sulit. Hal ini dikarenakan adanya kontradiksi budaya dalam masyarakat. Stigma negatif yang melekat dalam diri seorang waria membuat para waria tercerabut dari haknya di masyarakat. Alhasil, banyak dari mereka hanya menempati sektror-sektor ‘rendah’, seperti pengamen dan pekerja seks.

Menurut Mami Vinolia, waria perlu diberi kesempatan untuk membangun ruang dialog dan memberikan posisi tawar di masyarakat. Hal ini diharapkan dapat mengubah stigma buruk dalam masyarakat. Salah satu aksi nyata yang dilakukan

Berebut Ruang KebenaranOleh: Rani Dwi Putri, Elizabeth W N

Indikator DESEMBER 2016

7

oleh Mami Vinolia yang kerap disapa Mami Vin yaitu memberikan fasilitas edukasi kepada masyarakat melalui ruang diskusi yang tersaji di lingkup akademik. Sebagian masyakarat masih memberikan stigma negatif tanpa mau berdialog dan melihat kenyataannya. Padahal apabila diberi ruang dan diarahkan tentu akan memberikan sumbangsih yang bersifat positif.

Diskriminasi dan stigma negatif sendiri berangkat dari ajaran agama yang dianut oleh sebagaian besar masyarakat. Tak heran, jika kehadiran waria sulit untuk diterima di banyak kalangan, terutama bagi ormas fundamentalis berbasis agama. “Dalam ajaran Islam sendiri, jenis kelamin manusia ditentukan oleh letak keluarnya air kencing, yaitu hanya ada perempuan dan laki-laki.” Tegas pengurus FJI.

Namun, menurut Mami Viona, hidup sebagai seorang waria merupakan sebuah perjalanan

dunia, saat di alam lain semua akan kembali pada fitrahnya. “Ya ini bagian dari menjalani hidup sebagai sosok yang berbeda sesuai dengan kata hati, nanti yang ditanya adalah amal ibadah bukan jenis kelaminnya.” Pungkas Mami Vin.

Kebebasan berekspresi dan memegang suatu kebenaran tertentu memang hak bagi setiap manusia, baik itu pihak FJI maupun kelompok waria itu sendiri. Namun, rasa menghargai dan menghormati sebagai sesama manusia patut tersemat di setiap kebenaran yang dianut. Seperti yang dikatakan oleh Mami Viona diujung penuturannya dalam sebuah wawancara bahwa hidup adalah sebuah tanggungjawab, yang dilihat adalah kebermanfaatan bukan perbedaan.

Berfoto bersama Mami Vin, salah satu

waria pendiri KEBAYA (Keluarga Besar Waria

Yogyakarta)

Foto: Elizabeth/sin

Indikator DESEMBER 2016

8

Alam telah menakdirkan perempuan dengan segala anugerah dan kerumitannya. Rahim, sel telur,

dan vagina adalah anugerah dari Sang Kuasa. Di sisi lain, justru anugerah yang dipunya terkadang sebagai senjata untuk melemah dan dilemahkan.

Kehadiran mereka tidak seperti bangsa kulit hitam yang tertindas oleh bangsa kulit putih atau kaum proletar oleh para borjuis. Setidaknya mereka punya musuh dan kekuatan yang sama, melawan dan memberontak sang lawan. Sedangkan perempuan melihat laki-laki terkadang sebagai teman, ayah, saudara, bahkan sebagai sosok kekasih. Sulit untuk menggambarkan posisi laki-laki sebagai lawan bahkan musuh, atau memang laki-laki bukanlah musuh yang tepat untuk dipermasalahkankan.

Bagaimanapun juga perempuan memiliki posisi yang sulit dalam masyarakat. Keberadaannya seolah terus menjadi persoalan, mereka adalah tumbal dari fenoomena di masyarakat. Tengok saja kisah gadis 19 tahun yang diperkosa pacar dan kawannya. Simpati dan empati memang terus membanjiri mereka, namun celotehan tentang pakaian yang ketat, penggoda, pembangkit nafsu juga selintas terdengar dari mulut masyarakat. Satu sisi mereka adalah korban tapi juga ‘sosok tertuduh’, penyebab dari apa yang menimpa dirinya sendiri.

Belenggu Sejarah Bicara tentang posisi perempuan dalam

masyarakat tak terlepas dari jejak sejarah. Takdir seolah memang menghendaki laki-laki sebagai penguasa dan alam akan tunduk padanya. Tubuh dan struktur biologis yang kuat mampu menaklukan alam sebagai sumber penghidupan. Sedangkan perempuan, kehamilan, kelahiran, dan proses menstruasi mengurangi kapasitasnya untuk bergulat dengan alam. Takdir biologi menghambat aktivitas produksi mereka. Bersamaan dengan itu, laki-laki terus menunjukkan keaktifannya dengan menciptakan berbagai alat berburu. Laki-laki benar-benar menang, mereka menguasi alam dan perempuan.

Ketika masa pengembara berubah menjadi pengolahan, perempuan menunjukkan kemuliaan. Tidak hadir sebagai subjek, tetapi sebagai objek dari penghidupan. Mereka dianalogikan sebagai sumber kesuburan alam, tubuhnya menyimpan misteri bagaikan bumi. Saat itulah masyarakat mempercayai adanya dewi-dewi agung dan roh-roh sebagai pemberi penghidupan. Namun, laki-laki tak mau kalah di posisi ini. Mereka kembali datang dengan menciptakan alat yang mempermudahkan proses pertanian. Mitos-mitos yang dibangun mulai luntur bersamaan dengan munculnya nilai-nilai praktis.

Nasib cukup baik menghampiri ketika industrialisasi berlangsung. Perkembangan mesin-mesin produksilah yang membawa

Menjadi Sosok KeduaOleh: Rani Dwi Putri, Elizabeth W N

Indikator DESEMBER 2016

9

perubahan. Pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik kini mulai sirna. Laju industri mulai merangkak naik dengan cepat. Saat itulah dirasa peran perempuan mulai menjadi penting. Perempuan mulai keluar dari persembunyian, menjelma menjadi budak-budak industri. Namun mereka tetaplah perempuan, berpendapatan rendah dan kehilangan hak-hak dasarnya.

Kuat bersama Komunitas

Revolusi industri memang membawa perempuan pada bentuk eksploitasi, namun di sinilah mereka mulai menerima hak yang lama hilang. Perempuan mulai menciptakan dunia melalui emansipasinya. Berserikat, berkumpul memperjuangkan hidup dan haknya yang lama terampas oleh sejarah maskulinitas. Perempuan benar-benar mulai bangkit, menerobos dinding maskulin melalui berbagai daya dan upaya. Salah satunya adalah bergabung membentuk komunitas perempuan, setidaknya di sinilah mereka memperoleh kekuatan.

“Kita merasa punya posisi yang sama, latar belakang yang sama, punya resiko yang sama di masyarakat,” paparan Mila menjelaskan sumber kekuatan yang menyatukan mereka dalam sebuah komunitas. Mila sendiri merupakan salah satu penggagas komunitas perempuan bernama Kolektif Betina. Komunitas ini terbentuk melalui kesadaran akan posisi minoritas dalam kehidupan luar yang sangat bersifat maskulin. Berawal dari kesadaran perempuan di kelompok punk yang

merasa terancam atas dunia luarnya, munculah niatan membuat komunitas virtual kolektif.

Diharapkan memalui komunitas ini, perempuan bisa mengubah paradigma akan diri perempuan sendiri, terlebih lagi bagi masyarakat. Memang tidak mudah, semua membutuhkan proses yang panjang. Menurut

Mila, untuk mengubah paradigma dan kultur masyarakat mengenai perempuan, butuh pendidikan kritis, bukan normatif. Ialah pendidikan yang mengajarkan pada keberanian berpikir, bukan pendidikan yang bersifat penyeragaman. Sayangnya, tidak banyak pendidikan Indonesia yang menyentuh pada tahap berpikir kritis.

Tak hanya itu, membangun kontradiksi akan kultur dominan dalam masyarakat juga merupakan basis yang penting. Melalui kontradiksi, setidaknya masyarakat mulai tergugah hatinya. Kontradikasi sebagai senjata perlawanan, itu salah satu jalan mengubah sistem yang ada. Perempuan wajib memperjuangkan hak dan dirinya,

tidak ada kekerasan dan tidak ada eksploitasi.

RefrensiBeauvoir, Simone (Toni Febrianto – terj.).

2016. Secand Sex: Fakta dan Mitos. Jakarta: PT Buku Seru.

Ilustrasi: Rena/sin

Indikator DESEMBER 2016

10

Indikator DESEMBER 2016

11

Kebebasan berkespresi di negeri ini makin patut untuk dipertanyakan. Setelah akhir tahun lalu media marak

memberitakan aksi pembubaran diskusi dan pemutaran film Senyap. Tahun 2016 represi atas kebebasan berekspresi masih terjadi. Tercatat hampir tiap bulan terjadi peristiwa pembubaran diskusi atau intimidasi yang dilakukan oleh golongan tertentu.

Tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang dikenal sebagai daerah berbudaya dan ibukotanya disebut sebagai Kota Pelajar, justru memiliki daftar panjang kasus represi dalam berekpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi terjadi di berbagai tempat, tak terkecuali di lingkungan kampus. Represi dilakukan oleh berbagai aktor, baik organisasi masyarakat (ormas) bahkan petinggi kampus itu sendiri.

Dari catatan kami, terjadi sembilan kali aksi pembubaran diskusi atau intimidasi terhadap kelompok tertentu. Seperti yang terjadi di bulan Februari 2016 Pondok Pesantren untuk Waria Al-Fatah ditutup oleh aparat pemerintah setempat karena dianggap tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai- nilai agama.

Selanjutnya pada bulan April 2016 menjadi masa kritis darurat berkespresi di Yogyakarta dimana terjadi empat kali pembubaran acara oleh ormas setempat. Yang pertama pada 2 April 2016 terjadi pembubaran acara Lady Fast oleh aparat dan Forum Umat Islam (FUI).

Penyerbu melontarkan tudingan komunis kepada peserta acara. Acara yang diselenggarakan di Survive Garage itu sudah mendapatkan izin dari rukun tetangga setempat, dan hanya menyelanggarakan acara diskusi, pemutaran film dan hiburan musik yang telah disepakati untuk selesai sebelum pukul 23.00 WIB.

Penyerbuan acara berikutnya pada tanggal 26 April 2016 terjadi intimidasi dari Pemuda Pancasila (PP) pada Simposium Nasional 1965 dan Penyelesaian Pelanggaran HAM yang diselenggarakan oleh MAP Corner. Tepat sehari setelahnya pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan oleh Dema Justicia Fakultas Hukum UGM mendapatkan intimidasi dari Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri (FKKPI), bahkan mendapat intimidasi melalui telepon dari Pemuda Pancasila dan FPI.

Di hari yang sama, terjadi pemberedalan Pers mahasiswa POROS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) oleh petinggi kampus. Alasan dari pemberedelan tersebut adalah POROS dianggap hanya memberitakan sisi buruk dari UAD tanpa menunjukkan prestasi yang telah UAD capai. Pengurus POROS merasa apa yang diberitakan POROS tidak melanggar etika jurnalistik karena POROS menyampaikan berita apa adanya. Ketika pihak kampus diminta untuk menjelaskan apakah POROS melanggar etika jurnalistik, pihak kampus tidak dapat menjelaskannya.

Kemudian pada 3 Mei 2016, pemutaran

Yogyakarta Darurat BerekspresiOleh: Manggiasih Tilotama TB

Indikator DESEMBER 2016

12

film Pulau Buru Tanah Air Beta di Kantor Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta dibubarkan oleh FKKPI dan aparat kepolisian. Polisi awalnya menekan penyelenggara acara untuk membatalkan acara tersebut, namun penyelenggara bersikeras untuk tetap memulai acara. Kemudian hadir FKKPI untuk membubarkan acara tersebut dan dimanfaatkan pihak kepolisian untuk semakin menekan penyelenggara acara.

Masih di bulan yang sama, pada tanggal 30, ormas FUI menyerbu galeri seni Independent Art Management (IAM). Mereka datang dengan membawa poster sarasehan LGBT memperingati hari IDAHOT yang tidak berhubungan sama sekali dengan IAM. Dulu memang IAM satu alamat dengan PLU Satu Hati yang bergerak di bidang LGBT. Namun sejak 2013, IAM sudah tidak berhubungan sama sekali dengan PLU Satu Hati. Penjelasan itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Akhirnya, FUI tetap bersikeras untuk menurunkan karya di rumah tersebut dan memblok mural dengan cat putih.

Selanjutnya, pada 15 Juni 2016 terjadi pembubaran aksi damai yang diselenggarakan oleh mahasiswa Papua. Aksi damai tersebut berisi dukungan mahasiswa Papua terhadap Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement

for West Papua (ULMWP). Aksi damai tersebut dibubarkan oleh personel gabungan dari Polda DIY dan ormas lain, yaitu FKKPI, PP, Paksi Katon dan Laskar Jogja. Ormas-ormas tersebut bahkan mengepung asrama Papua dan meneriaki dengan kata-kata tak seronoh, seperti sebutan hewan seraya melempar batu ke halaman asrama Papua. Sejumlah mahasiswa Papua di luar asrama juga ditangkap oleh polisi.

Terakhir, pada 23 Agustus 2016 LPM Ekspresi UNY mendapatkan intimidasi dari seseorang yang mengaku aparat keamanan pada acara display UKM di GOR UNY. Ia melarang penyebaran pamflet yang berisikan kalimat perlawanan. Ia juga meminta aparat keamanan kampus lainnya untuk menyita pamflet, namun hanya satu orang yang mengikuti perintah tersebut.

Catatan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di Yogyakarta masih memprihatinkan. Hukum di Indonesia seolah diambil alih oleh ormas dari golongan tertentu. Sedangkan aparat keamanan seringkali tidak mampu mengatasi bila terjadi kerusuhan. Seolah masyarakat juga dibuat fobia terhadap isu tertentu, seperti bangkitnya komunisme dan LGBT. Bahkan represi ini juga berujung pada fasisme dan rasisme yang menimbulkan ketakutan berlebihan terhadap kelompok atau golongan tertentu.

Indikator DESEMBER 2016

13

Indikator DESEMBER 2016

14

SKA merupakan genre musik yang dapat dibilang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia.

Tipe-X, Shaggydog, The Authentic, Monkey Boot, serta Band SKA lainnya turut memeriahkan genre musik ini. Genre ini muncul dengan ciri khas pengkombinasian nada – nada reggae ala Negara Karibia dengan kombinasi blues, dan jazz, kemudian muncul sebuah genre musik yang mencampurkan antara unsur SKA dengan Punk Rock yaitu Third Wave Ska. Streetlight Manifesto muncul mewarnai industri musik SKA dunia saat ini. Terbentuk pada tahun 2002 ketika sang vokalis Tomas Kalnoky hengkang dari proyek purwarupa dari Streetlight Manifesto yaitu Catch 22. Sebelum mendirikan Streetlight, Thomas juga

sempat membentuk sebuah side project kolektif bernuansa orchestra-ska yang diberi nama Bandit Of The Acoustic Revolution. Thomas sebagai otak dibalik ketiga band tersebut seringkali mengusung musik bertemakan eksistensialisme dan juga perlawanan.

The Hand That Thieve merupakan album kelima mereka. Dalam album ini tema perjuangan dan juga perlawanan sangat terasa kental. Album yang dirilis pada 30 April 2013 merupakan album paling kontroversial yang pernah mereka rilis, pasalnya peluncuran album ini sempat ditunda karena permasalahan label dan juga penulisan ulang konten. Victory Record sebagai label rekaman juga menjadi tempat bagi Kalnoky merilis versi akustik dari album ini yang digarap

Melawan dan Membebaskan Diri Melalui SKA

Oleh: Fadhil Naufal

Artis: Streetlight Manifesto/TohKay. Jumlah Track: 10 Lagu. Genre: Ska-Punk, Punk-Rock/Folk, Acoustic. Label: Victory Record/Pentimento Music. Tanggal Rilis: 30 April 2013

Foto sumber: http://www.talkingship.com/The Hand That Thieve

Indikator DESEMBER 2016

15

bersama projek sampingannya yaitu Toh Kay. Sayangnya, pihak label menarik semua rilisan dari album side project bergenre akustik tersebut. Alhasil, album The Hand That Thieve mengalami penundaan dan perubahan dalam kontennya sebagai upaya melawan label rekaman mereka sendiri secara terselubung.

Diisi dengan 10 lagu bertemakan perlawanan, The Hand That Thieves dikemas secara apik dengan lirik-lirik luar biasa yang merepresentasikan sebuah perjuangan. Tempo bernergi, lirik cerdas, serta instrument dan vokal yang bersinergi membuat album ini wajib untuk didengarkan. The Three Of Us merupakan lagu pertama di album ini dengan lirik bertemakan mosi tidak percaya dengan tempo cepat dan musik bergaya punk rock. Di nomor dua, The Hand That Thieve, Streetlight membawa pendengar untuk merasakan perjalanan band yang dibentuk oleh Kalnoky dalam melawan label rekamannya sendiri di mana mereka bernaung. Lirik yang cerdas dan menginspirasikan perlawanan serta alunan musik dan trumpet yang bersinergi

turut menghidupi lagu ini. With Any Sort of Certainty merupakan salah satu lagu andalan mereka di dalam album ini. Liriknya bercerita mengenai bagaimana perjalanan manusia dalam mencari kepastian. Alunan musik rock dan trompet yang mengiringi di sepanjang lagu serta permainan instrumen dasar lainnya yang luar biasa membuat lagu ini terasa sangat apik. Lagu ini sangat cocok untuk menemani perjalanan ataupun dinyanyikan bersama sahabat perjuangan.

Dengan tujuh lagu lainnya yang tidak kalah keren, The Hand That Thieve dirasa sangat direkomendasikan untuk didengar bagi mereka yang berada dalam perjuangan menyuarakan kebenaran. Khususnya bagi penikmat genre Ska-Rock, album ini dirasa sangat sempurna. Namun untuk kalian yang lebih menyukai genre yang lebih santai, beruntung Thomas Kalnoky membuat album ini dalam versi akustik. Alhasil semangat untuk melawan ketidakadilan dapat kalian dengarkan sesuai gaya masing-masing.

Foto sumber: http://www.mattmusicreview.blogspot.com

Mata Len

sa

Jajak Pendapat

Indikator DESEMBER 2016

16

I barat mata rantai yang saling berkesinambungan, kasus represif terhadap masyarakat begitu marak

terjadi. Banyaknya rentetan peristiwa yang hadir akibat perlakuan diskriminatif dari pihak-pihak tertentu kepada pihak lainnya. Sebut saja tragedi pilu yang baru saja terjadi di Desa Sukamulya, Majalengka. Aparat gabungan yang terdiri dari Polda Jabar, Kodam Siliwangi dan Satpol PP mengusir sekitar 1.478 Kepala Keluarga yang memilih bertahan karena tak ingin melepas tanah mereka untuk dijadikan landasan pacu bandara internasional.

Enak saja! Sosialisasi hanya rayuan singkat belaka, hanya ada paksaan, belum lagi bicara soal hak ganti rugi yang sepadan; tak sama sekali. Kontak fisik pun tak terhindarkan. Lucunya, mereka yang hanya sedemikian kecil dan bertahan tanpa ada perlawanan ini diserang ganas oleh serdadu perang utusan pemerintah. Gas air mata, dorong-dorongan bahkan gebukan senjata tumpul keras menghantam mereka yang bertahan dan tak sependapat dengan para aparat. Tak hanya di Majalengka, terdapat pula kasus petani yang dihajar babak belur oleh Polisi dan TNI di Langkat, Sumatera Utara. Demikian itu menambah buramnya catatan-catatan kriminalitas yang dilakukan

oleh aparat pemerintahan.Melihat hal itu, tidak aneh jika kita membaca

pola pikir pemerintah sekarang ini dalam penanganan konflik yang terjadi, yakni lebih memilih tindakan fisik serta kehadiran militer daripada tindakan persuasif-kekeluargaan. Sosialisasi dengan harapan terjadinya interaksi antar dua belah pihak pun pada akhirnya hanya wacana. Padahal sepatutnya komunikasi antar dua belah pihak bisa terjalin. Sangat disayangkan ketika yang terjadi di lapangan adalah kekerasan fisik dan verbal.

Jika kita cermati kembali, hal ini mirip dengan pola serta alur yang pernah dialami bangsa ini. Jika ada oknum-oknum yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah maka musnahkan. Buang mereka yang menghalangi jalan. Tak ada tawar-menawar.

Tentu masih tak lekang dari ingatan kita nukilan-nukilan dari Pulau Buru, peristiwa Talangsari, atau tragedi Tanjung Priok. Kejadian tersebut tak jauh berbeda polanya dengan rentetan tindak represif hari-hari ini. Bahwa ada satu hal yang perlu kita cermati yakni; ketika kejahatan “kemanusiaan” itu kembali hadir dan bersemi di Tanah Indonesia.

Bayi-bayi Orba Menginjak Usia RemajaMengutip perkataan Gusdur, “Soeharto itu

jasanya besar, tetapi dosanya juga besar,” sangat

Mata Len

sa

Jajak Pendapat

Opin

i

Bayi Jendral Lahir Kembali

Oleh: Mochammad Ridha

Indikator DESEMBER 2016

17

menarik untuk disimak. Bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemberian gelar pahlawan nasional untuk presiden kedua RI, Soeharto, bertentangan dengan konteks keadilan. Hal ini dibuktikan dengan dugaan kuat kepada Sang Jendral yang dirasa memiliki peran besar dalam kasus-kasus kemanusiaan kala itu.

Seperti yang pernah ditulis oleh Jawahir Thontowi bahwa sejak tahun pertama ia hadir sebagai orang nomor satunya Indonesia hingga ia lengser, sejarah nasional juga internasional mencatat dengan rinci peristiwa-peristiwa kemanusiaan serta tragedi berdarah dibawah rezim orde baru. Misalnya, Gerakan 30 September PKI, Komando Jihad 1977, Asas tunggal Pancasila Tanjung Priok 1983, kasus sarangan Dilli di Timor, Timor, pembunuhan misterius atas gali-gali di DIY 1983 dan lain yang merupakan pelanggaran HAM kejahatan kemanusiaan (Gross Violation of Human Rights).

Terlepas dari tujuan awal serta tolak ukurnya yakni stabilitas daerah, kepentingan keamanan dan untuk entah apapun itu, kejadian-kejadian tersebut justru merampas kemanusiaan para korban. Bayangkan saja

ketika kepala dipukul serta diinjak seenak kaki, pentungan dihempas tak melihat arah, dan ironisnya ini dilakukan oleh pihak yang seharusnya “melayani” masyarakatnya, membela rakyatnya, melindungi kepentingan bersama.

Jika dibahas kembali, sebenarnya masih banyak jalan yang bisa ditempuh, pun cara-cara yang bersifat represif ini sepatutnya memang tidak terjadi. Sehingga, sepatutnya kita cemas dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini bahwa praktik-praktik orbaisme perlahan tumbuh kembali. Ia berkembang seiring dengan perlakuan represif yang dilakukan oleh negara. Ia lahir bersamaan dengan praktik-praktik represif yang kental akan kekerasan. Maka ketahuilah kawan; bayi-bayi orba kini mulai menginjak usia remaja dan sedang lucu-lucunya.

Tentunya hal-hal yang buruk dimasa lalu biarlah jadi guru, kita tak perlu untuk mengulangi hal yang buruk untuk kesekian kalinya. Negara seharusnya bisa memberi perlindungan tehadap warga negaranya. Bukan justru membiarkan perlakuan diskriminatif ataupun tindakan represif yang intoleran tetap terjadi. Kita perlu khawatir. Khawatir ketika bayi-bayi orba kini mulai remaja, ketika otoritarian kembali dihadirkan ke tanah ini. Serta agaknya kita patut khawatir ketika senyuman sang “Jendral” tersimpul kembali.

Selamat Atas Kelulusan

Agung HidAyAt StaffLitbang2013

AnnisA nur indAH SekretarisUmum2014

ClArA PemimpinPerusahaan2014

Indikator DESEMBER 2016

18

Mat

a Le

nsa

Jaja

k Pe

ndap

at

Paragraf hanya kalimatKalimat hanya kataKata hanya aksaraAksara hanya garis

Garis hanya titikTitik hanya simbol

Bukan lagi ide orisinilHanya melebar dan mempersempit

Dari obrolan kecil penuh tafsir

16 November 2016

Aku adalah manusia,Manusia yang sudah terlalu muakMuak diperlakukan bagai domba

Domba yang patuh,Patuh kepada sang anjing

Patuh kepada sang pengembalaTidak berdaya

Hendaklah tunduk kepada sistemMelawan, sang anjing akan menyerang

Melawan sistem,Sang serigala akan menerkam

Tunduk kepada sistem,Aku akan berakhir di rumah jagal

Simbol EkspresiOleh: Isa Elfianto

(................................)Oleh: Fadhil Naufal

Indikator DESEMBER 2016

19

Ce

rpe

n

Para Kekasih Bulan

Badala masih merasa bahwa dirinya adalah kekasih bulan yang tak sedikitpun dianggap bulan sebagai

kekasih. Berkali-kali sudah ia mencoba mengajak bulan sekedar bercakap-cakap, mencoba membicarakan hal-hal kecil yang sepele, mencoba bercerita tentang kisah romantis, tapi bulan tetap saja acuh. Melirik sedikit pun tidak. Agaknya rayuan Badala tak sebagus para kekasih bulan terdahulu. Selalu saja sunyi yang tersisa setelah Badalah berbicara agak lama. Tak ada balasan.

Pernah suatu kali Badala belajar bersenandung demi menyenangkan hati pasangannya; bulan. Dipasanginya ekspresi pengkhayatan lagu pada raut wajahnya. Meski beberapa orang yang kebetulan lewat dan memandang ekspresi Badala akan segera ragu membedakan apakah itu ekspresi mengkhayati lagu atau menahan buang air besar. Begitu mirip. Begitu miris. Beberapa diantaranya tertawa, ada yang menahan tawanya agar tak membuncah, ada yang menundukkan kepala –barangkali malu-,

ada yang nyinyir, serta ada yang mengusir. Begitulah masyarakat, bertindak sesuka hati mereka. Namun hal itu tak pernah sedikitpun menyurutkan semangat juang Badala menggapai cintanya. Sungguh kisah percintaan yang patut diacungi jempol.

Suaranya yang meski dianggap oleh Badala sendiri merupakan suara terbaik di dunia, tetapi akan tampak buruk oleh sejumlah pemuda SMA tanggung yang kebetulan lewat naik motor, juga oleh anak-anak kecil jalanan yang pakaiannya kucel dan lusuh. Dengan kasar dan sedikit gunjingan akan mereka lontarkan hingga bibir-bibir mereka terlihat monyong, setelah itu dengan gesit meninggalkan Badala sendiri disertai cekikikan berkepanjangan. Badala jadi punya prasangka buruk pada mereka, barangkali orang-orang yang mengejeknya merupakan musuh bebuyutan dalam perlombaan meminang bulan sebagai kekasih. Siapa cepat mengejar bulan, dia dapat! Maka setelah itu dengan agak marah Badala akan mengejar pesaing-pesaingnya itu seraya

Oleh: Azinuddin Ikram

Ilustrasi: Dina

Indikator DESEMBER 2016

20

mendengus mengatakan, “Bulan hanya untukku, ia kekasihku!”

Dalam pikiran Badala, ia kadang menganggap bulan juga sebenarnya mencintainya, namun sangat disayangkan bahwa bulan belum berhasil melupakan jajaran mantan kekasihnya. Badala meyakinkan dirinya sendiri bahwa bulan butuh suatu proses, barangkali bulan di atas sana juga sedang galau dan berusaha mati-matian mencari cara agar bisa melupakan para kekasihnya terdahulu. Dan tentu saja agar bisa sesegera mungkin bisa berbahagia dengan Badala. Ah Badala jadi malu membayangkan betapa kebahagiaannya yang sebentar lagi akan ia capai. Pernikahan besar-besaran, tatapan cemburu pesaingnya yang kalah, malam pertama, menjalani kehidupan bersama, susah bahagia bersama. Ia jadi tersipu sendiri. Termanggut-manggut dengan senyum terukir penuh harapan serta suka cita.

Sepanjang siang Badala tak henti-hentinya menanti malam. Sepanjang malam Badala tak henti-hentinya memandang bulan dengan harapan malam takkan berganti siang. Ada secercah harapan yang bersinar pada raut-raut wajahnya yang sayu namun juga terlihat tampak tegas dengan semburat-semburat kecil berwarna merah pada dahi dan pipinya. Bekas luka sayatan di wajahnya itu akan selalu membuatnya iba, bekas kenangan masa lalunya yang mengenaskan, tahun 98 silam. Namun tampaknya ia sudah lumayan bahagia saat ini sebab ia sudah memiliki bulan, kekasih yang dianggapnya namun tak menganggapnya. Ia sudah jarang bersedih.

Maka pada malam itu saat Badala ingin melupakan kenangan pahit masa lalunya, ia bersenandung keras-keras, perihal menyanyikan

lagu cinta, barangkali agar bulan menoleh dan tak sungkan untuk mendengarkan sedikit saja suara merdunya. Bulan berwarna kuning di tengah gemerlap langit malam yang gelap tak bergeming. Sayangnya justru warga yang sedang tertidur nyenyak sontak terbangun kaget mendengar suara nyanyian bagai lolongan anjing itu. Memang sudah sering warga-warga mendengarkan nyanyian Badala, namun lama kelamaan mereka merasa tak betah juga, dan kebetulan sekali pada malam itu adalah puncak batas kesabaran mereka.

Kemarahan warga malam itu memutuskan suatu kesepakatan baru bahwa Badala harus ditangkap malam itu juga lalu sesegera mungkin dibawa pada pihak-pihak terkait yang semestinya mengurusi Badala. Berbondong-bondonglah mereka ke jalanan menjemput Badala.

Kenangan melihat berbondong-bondong orang dengan wajah marah tiba-tiba memaksa Badala mengingat kembali masa silamnya; saat orang-orang berebut menyakitinya hanya sebab matanya sipit dengan kulit berwarna putih. Luka masih membekas pada dahi, pipi serta jiwanya. Merasa terusik dengan kehadiran banyak orang yang menghampirinya membuat Badala berpikir macam-macam. Siapa gerangan orang-orang ini?

Dalam penglihatan Badala, warga yang berdesak-desakan itu menjelma para kekasih bulan. Satu persatu dari mereka mengaku bahwa ada yang telah menjadi mantan, pacar, calon suami, calon istri, suami, istri, bahkan selingkuhan bulan! Maka mengamuklah Badala malam itu, merasa tersinggung dan kalah, merasa tersaingi oleh para musuh bebuyutannya. Ia menyerang membabi buta tak ingin kekasihnya direbut! Sungguh kisah perjuangan cinta yang romantis dari seorang Badala.