Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam
Transcript of Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam
Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam (1)
Berikut ini adalah fakta-fakta yang tidak banyak diketahui ataupun diperhatikan
tentang sejumlah kelompok Islam di Indonesia. Anda tidak harus percaya sepenuhnya
dengan kebenaran fakta-fakta ini, silakan cek sendiri kebenarannya. Akan tetapi
seandainya fakta-fakta ini benar maka sudah sewajarnya kita curiga mengapa begitu
banyak perselisihan yang terjadi di antara pelbagai kelompok Islam di Indonesia.
1. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan K.H.
Ahmad Dahlan di Yogyakarta beserta sejumlah muridnya di Yogyakarta pada 18
November 1912. Beliau adalah salah seorang abdi dalem pamethakan yaitu abdi dalem
Keraton Yogyakarta yang bertugas dalam bidang keagamaan.1 Bahwa Kiai Ahmad
Dahlan banyak dipengaruhi ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha sudah jamak diketahui. Namun yang jarang
disadari orang adalah siapa sesungguhnya ketiga tokoh yang disebut-sebut sebagai
“pembaharu Islam” tersebut.
Jamaluddin al-Afghani sebenarnya bukan orang Afghanistan, ia adalah orang Iran
penganut Syi’ah ("Afghani, Jamal ad-Din al-". Oxford Centre for Islamic Studies. Oxford
University Press. Retrieved 2010-09-05). Selain itu al-Afghani adalah seorang anggota
Freemason Ritus Skotlandia (Scottish Rite Freemasonry) (Livingstone, David 2007.
Terrorism and the Illuminati - A Three Thousand Year History: 163). Beberapa orang
yang mengenal al-Afghani menyatakan bahwa ia telah menyimpang dari ajaran Islam.
Luthfi Jum’ah mengatakan “keyakinannya bukan Islam yang sejati meskipun ia
mendakwahkannya (Islam, pen), dan aku tidak bisa menilai keyakinan para
pengikutnya”. Sementara itu Syibli Syumayyil2, seorang penulis asal Suriah yang
mengagumi al-Afghani, ketika mendengar bahwa al-Afghani menulis sebuah risalah yang
menolak materialisme berkomentar, “Aku terkejut, karena aku tahu bahwa ia bukanlah
orang yang religius. Adalah sulit bagiku setelah melewati pengalaman pribadi
bersamanya untuk memberikan penilaian pasti mengenai apa yang aku dengar tentangnya
setelah itu, akan tetapi aku lebih cenderung berpikir bahwa ia bukanlah seorang yang
1 Sekalipun sering dicitrakan sebagai organisasi Islam puritan yang menolak sinkretisme, pada kenyataannya Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan Keraton Yogyakarta yang merupakan patron budaya Jawa yang sinkretis (Lihat Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al Wasat). Tradisi Grebeg Mulud yang kental dengan nuansa sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa juga terus berlangsung tanpa gangguan hanya sepelemparan batu dari kampung Kauman, basis dan tempat lahirnya Muhammadiyah (Lihat “Muhammadiyah, Kraton Yogyakarta, Garebeg Mulud, and Sekaten” dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/04/muhammadiyah-kraton-yogyakarta-garebeg.html ).2 Syibli Syumayyil adalah seorang Kristen asal Suriah yang menyerukan universalisme dan liberalisme di Dunia Arab. Syibli banyak mendapat pengaruh pemikiran dari pencetus Teori Evolusi Charles Darwin (Hourani, Albert. 1983.Arabic Thought in the Liberal Age, 1789 - 1939. Cambridge, U.K., & New York: Cambridge University Press).
beriman” (Livingstone, David. 2010. Surrendering Islam: The Subversion of Muslim
Politics Throughout History Until The Present Day: 88). Dalam pemikirannya al-Afghani
memadukan semangat anti-kolonialisme Eropa, seruan persatuan umat Islam (Pan-
Islamisme), dan seruan untuk mengadopsi sains serta institusi Barat yang dapat
memperkuat umat Islam.
Pemikiran al-Afghani lalu dilanjutkan oleh muridnya dari Mesir, Muhammad
Abduh. Seperti halnya al-Afghani Abduh juga adalah seorang Mason dan ia menjalin
hubungan dengan gerakan Baha’i.3 Tahun 1899 Lord Cromer –kepala administrasi
kolonial Inggris di Mesir- mengangkatnya sebagai mufti Mesir (Livingstone. 2010: 95-
96). Baik al-Afghani maupun Abduh menyerukan dibukanya pintu ijtihad dan menolak
taklid terhadap produk pemikiran para ulama terdahulu termasuk dalam hal fikih. Lebih
dari itu, Abduh berusaha menghidupkan kembali pemikiran rasional dalam tradisi ilmiah
Islam sebagaimana yang pernah dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah. Semangat
“pembaharuan” al-Afghani dan Abduh dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Agak
berbeda dengan 2 orang pendahulunya, Ridha cenderung lebih konservatif. Ia
menyerukan pemurnian Islam dari bid’ah dan khurafat di samping menolak taklid. Ridha
juga adalah pemikir Islam pertama yang meletakkan dasar bagi teori negara Islam
modern. Setelah kaum Wahabi di bawah Ibnu Sa’ud merebut Mekkah dan Madinah
Ridha memuji Ibnu Sa’ud sebagai penyelamat Haramain dan pengamal Islam yang
murni. Konon Kiai Dahlan bertemu dengan Ridha di Tanah Suci dan darinyalah ia
berkenalan dengan pemikiran al-Afghani serta Abduh.
Pulang ke Jawa, Kiai Dahlan mengimplementasikan pemikiran al-Afghani,
Abduh, dan Ridha dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Sebelum mendirikan
Muhammadiyah ia sempat menjadi anggota Budi Utomo, organisasi sekuler berpaham
nasionalisme Jawa yang banyak dihuni anggota Freemason (Bahasa Belanda:
Vrijmetselarij). Di organisasi tersebut Kiai Dahlan sering memberikan ceramah dan
pelajaran agama kepada anggota Budi Utomo.4 Mereka menyambut baik pelajaran agama
Kiai Dahlan karena pendekatannya yang berbeda dengan para kiai pada masa itu. Lewat
bantuan para koleganya di BU ia pun memperoleh kesempatan memberikan pelajaran
agama bagi murid-murid di sekolah kolonial. Atas dorongan para koleganya di BU pula
3 Baha’i adalah sebuah agama monoteis yang lahir di Persia pada abad ke-19, menekankan kesatuan spiritual antara seluruh umat manusia (Houghton (2004). "Bahaism". The American Heritage Dictionary of the English Language (4th ed.). Houghton Mifflin Company dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Baha’i). Agama ini pada mulanya adalah gerakan sempalan dari kaum Syi’ah di Iran. 4 Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Bodi Otomo. Seluruh pendiri Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI (Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo lah satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain di organisasi yang didirikannya sendiri (Burhani, Ahmad Najib. 2007. “Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa” ”. Jurnal Ma’arif dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-sebagai-representasi-islam.html).
akhirnya Kiai Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan
untuk menaungi sekolah Islam modern yang didirikan Kiai Dahlan agar bisa terus
berjalan bila kelak ia wafat. Setelah didirikan pada bulan November 1912, pada akhir
Desember 1912 kepengurusan Muhammadiyah pertama dideklarasikan di Gebouw Lodge
Malioboro (http://sejarawanmuda.wordpress.com/2012/03/31/biografi-kh-ahmad-
dahlan/). Pengumuman kepengurusan Muhammadiyah itu dibacakan oleh Raden
Dwijosewoyo, seorang anggota BU (http://www.muhammadiyah.or.id/content-177-det-
refleksi-perjuangan.html). Yang menarik, bangunan tempat dilaksanakannya deklarasi
tersebut adalah salah satu loji (lodge) milik kaum Freemason yang ada di kota
Yogyakarta (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/08/resensi-dan-tinjauan-kritis-
terhadap_8480.html). Apakah ini hanya kebetulan belaka? Wallahu a’lam.
Pada 1914 Muhammadiyah mendapat pengesahan resmi sebagai badan hukum
dari Pemerintah Kolonial Belanda dengan Dat het Register der Besluiten van den
Gouverneur-General No. 81. Dengan pengesahan tersebut Muhammadiyah menjadi
organisasi yang diakui secara legal oleh pemerintah kolonial dan berhak mendapat
bantuan dari pemerintah kolonial. Dalam perkembangannya Muhammadiyah sendiri
memang bersedia menerima bantuan dari pemerintah kolonial, hal inilah yang
menimbulkan perselisihan antara Muhammadiyah dengan PSII yang bersikap non-
kooperatif terhadap Belanda (Lihat Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES). Muhammadiyah sebagai organisasi tidak pernah
mengambil sikap konfrontatif terhadap Belanda, organisasi ini lebih berfokus pada
bidang pendidikan dan sosial serta tidak terlibat dalam aktivitas politik.
Muhammadiyah secara tidak langsung ikut bertanggung jawab atas masuk dan
berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia. Adalah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana
Ahmad -2 tokoh Ahmadiyah Lahore- yang datang ke Hindia-Belanda pada bulan Maret
1924. Mereka datang atas undangan pengurus Muhammadiyah untuk menghadiri kongres
Muhammadiyah di Yogyakarta. Dalam kongres tersebut keduanya mendapat kesempatan
menyampaikan pandangan-pandangan Ahmadiyah di hadapan peserta kongres (Adam,
Asvi Warman. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”. Harian Indo Pos edisi Kamis, 24 April
2008 dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/05/belajar-dari-sejarah-
ahmadiyah.html). Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito,
saudara sepupu dari K.H. Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan
K.H. Abdul Wahab Chasbullah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Tahun 1930,
pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat
nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra K.H. Ahmad Dahlan
yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran
tersebut di Thailand. Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar
tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan
PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah,
bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.
Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar
Muzakar di Sulawesi Selatan (Adam. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”). Baru pada
kongresnya di Solo tahun 1929 Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa barang siapa meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW
maka ia telah kafir hanya saja fatwa ini tidak ditujukan secara spesifik kepada
Ahmadiyah. Fatwa ini sendiri lebih mengarah kepada Ahmadiyah Qadiyan yang
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sedangkan kepada Ahmadiyah Lahore
yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid Muhammadiyah sangat jarang
mengeluarkan pernyataan yang memojokkan aliran tersebut (Adam. “Belajar dari Sejarah
Ahmadiyah”).
Sejak era kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1937-1943) Muhammadiyah lebih
banyak berkutat pada usaha purifikasi (pemurnian) ajaran dan praktik Islam dari
takhayul, bid’ah, dan khurafat –disingkat TBC (tachajul, bid’ah, churafat, ejaan lama,
pen.)- di samping meneruskan amal usaha di bidang sosial dan pendidikan sehingga
Muhammadiyah kemudian menjadi organisasi keagamaan yang lekat dengan citra
puritan, kaku, serta konservatif. Namun memasuki medio 1990-an Muhammadiyah
tampaknya ingin mengubah citra ini dengan mengangkat konsep “dakwah kultural” yang
lebih akomodatif terhadap tradisi lokal. Hal ini berlangsung mulai era kepemimpinan
Amien Rais (1993-1998) dan berlanjut di bawah era Ahmad Syafi’i Ma’arif (1998-
2005). Pada periode Syafi’i Ma’arif pemikiran Islam liberal berkembang cukup pesat di
kalangan elit Muhammadiyah.
Ada sejumlah tokoh Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan liberal antara
lain Dawam Rahardjo, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, dan Syafi’i
Ma’arif sendiri. Sejumlah intelektual muda Muhammadiyah yang tergabung dalam
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) juga ikut mengusung ide-ide liberal.
Ditinjau dari satu sisi liberalisasi pemikiran Islam yang berkembang di kalangan
Muhammadiyah dapat dilihat sebagai pengembangan lebih lanjut dari pemikiran al-
Afghani, Abduh, dan Ridha –terutama dua yang pertama- yang dibawa Kiai Dahlan. Para
liberalis dalam tubuh Muhammadiyah sering kali mengklaim bahwa mereka hanya
sekadar “melanjutkan semangat tajdid” yang dirintis Kiai Dahlan. Lebih jauh lagi
gagasan liberalisasi pemikiran agama dan sekularisasi sebagaimana yang diusung kaum
liberalis sejatinya sejalan dengan prinsip kebebasan berpikir serta sekularisme yang
dijunjung tinggi Gerakan Freemason. Berkembangnya pemikiran liberal di sebagian
kalangan Muhammadiyah sesungguhnya bukanlah hal yang terlalu aneh jika kita melihat
siapa tokoh yang pemikirannya mengilhami kelahiran Muhammadiyah serta bagaimana
pemikirannya itu sendiri.
2. Sarekat Islam
Banyak orang yang memuji Sarekat Islam (SI) sebagai pelopor pergerakan politik
Islam di Indonesia, bahkan menyatakan bahwa SI-lah pelopor pergerakan nasional
Indonesia namun sepertinya tidak banyak orang berusaha menelaah sejarah SI secara
lebih kritis. SI yang didirikan di Solo pada tahun yang sama dengan pendirian
Muhammadiyah pada mulanya sesungguhnya bukan termasuk gerakan politik yang
agresif. Ide-idenya masih kalah radikal dibandingkan Indische Partij. Bahkan pada masa-
masa awal berdirinya, pemimpin SI yang terkemuka H.O.S. Tjokroaminoto menyatakan
loyalitasnya dan loyalitas organisasinya pada Kerajaan Belanda. Sebagai sebuah
organisasi yang menyandang nama Islam, SI pada awalnya belum mempunyai konsepsi
ideologi Islam yang jelas. Label Islam pada SI lebih dimaksudkan untuk menarik dan
menghimpun rakyat pribumi yang ketika itu diidentikkan sebagai orang Islam –terlepas
sedalam apakah pemahamannya tentang Islam dan sejauh mana ketaatannya dalam
melaksanakan ajaran Islam. Islampun menjadi label identitas bagi bangsa pribumi yang
saat itu belum bernama (Lihat Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak; Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912—1926. Jakarta: Grafiti).
Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa SI mampu berkembang
menjadi organisasi yang berhasil menghimpun massa rakyat dalam jumlah besar. Hal ini
menarik perhatian kaum komunis yang hendak menyemai ide-idenya di Hindia-Belanda.
Sneevliet, seorang komunis Belanda yang memimpin Indische Social Demokratische
Veereniging (ISDV) berhasil merekrut sejumlah anggota SI di Semarang –antara lain
Semaun dan Alimin- menjadi kader komunis. Menyebarnya paham komunis di tengah-
tengah anggota SI memicu radikalisasi SI sekaligus menimbulkan perpecahan pada
organisasi tersebut. Akhirnya pada kongres SI tahun 1921 diputuskan bahwa seluruh
anggota SI yang memiliki keanggotaan ganda harus melepaskan salah satu
keanggotaannya. Keputusan ini membuat para anggota PKI –metamorfosis dari ISDV-
yang bergabung dalam SI melepaskan keanggotaannya dan membentuk organisasi
tersendiri yang dikenal dengan nama SI Merah. Adapun para anggota yang tetap bertahan
di SI kemudian dikenal sebagai SI Putih.
Pasca pembersihan SI dari anasir-anasir komunis organisasi ini lebih meneguhkan
identitas serta ideologi keislamannya. Tahun 1922 SI –yang kemudian berganti nama
beberapa kali hingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)- menyelenggarakan
Kongres Al Islam dengan mengundang organisasi dan kelompok-kelompok Islam
lainnya. Kongres ini diadakan untuk membicarakan pelbagai hal terkait kondisi umat
Islam di Hindia-Belanda ketika itu. Dalam rangkaian kongres berikutnya yang
diselenggarakan mulai 1924 Kongres Al Islam lebih banyak mengangkat pembicaraan
seputar perkembangan politik umat Islam internasional menyusul dihapuskannya
Kekhalifahan Utsmani oleh pemerintahan sekuler Republik Turki pada 1924.
Rangkaian Kongres Al Islam yang diprakarsai SI menunjukkan kapasitas
organisasi ini dalam menggalang persatuan umat Islam pada zaman itu. Perbedaan antara
Kaum Tua (tradisionalis) yang diwakili kalangan pesantren dengan Kaum Muda
(modernis) yang diwakili oleh organisasi seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, dan SI dapat
dikesampingkan untuk sementara waktu ketika dalam Kongres Al Islam ke-3 pada bulan
Desember 1924 di Surabaya disepakati pembentukan delegasi untuk menghadiri
Konferensi Khilafah yang sedianya akan digelar di Kairo Mesir. Delegasi tersebut terdiri
dari wakil-wakil Kaum Tua dan Kaum Muda (van Bruinessen, Martin. 1995. Muslims of
The Dutch East Indies and The Caliphate Question dalam Studia Islamika, Vol. 2 no.3:
10).
Namun sayangnya Konferensi Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar itu
ditunda pelaksanaannya. Lebih disayangkan lagi persatuan yang sudah sempat terbangun
itu kembali harus merenggang akibat perselisihan yang kembali timbul antara Kaum Tua
dan Kaum Muda dalam kongres Al Islam ke-4 pada bulan Agustus 1925. Kali ini
perselisihan terjadi di seputar program tanzim yang merupakan program pembaharuan
kehidupan umat Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.5 Program yang diinisiasi SI
ini banyak merepresentasikan pandangan golongan Kaum Muda sehingga mendapat
penolakan dari Kaum Tua. Penolakan Kaum Tua selanjutnya bukan hanya pada program
tanzim tetapi juga kepada SI itu sendiri karena Agus Salim sebagai tokoh SI kerap
menyatakan pujian dan dukungannya pada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud yang sejak akhir
1924 telah berhasil merebut Mekkah dan Madinah (van Bruinessen. 1995: 12). Ibnu
Sa’ud sebagai pengikut paham Wahabi dianggap sebagai ancaman oleh Kaum Tua karena
kaum Wahabi dikenal sangat anti terhadap praktik-praktik Islam tradisionalis seperti
taklid terhadap mazhab, tarekat, ziarah ke makam para wali dan sebagainya yang oleh
kaum Wahabi dianggap sebagai bid’ah. Kaum Tua yang merasa tidak terwakili suaranya
dalam Kongres Al Islam lalu memutuskan untuk membentuk Komite Hijaz yang menjadi
cikal-bakal Nahdlatul Ulama (NU).
Kongres-kongres Al Islam setelah Kongres Al Islam ke-4 tidak lagi dihadiri
golongan Kaum Tua. Belakangan Muhammadiyah pun tidak lagi mengirim utusannya ke
kongres tersebut sebagai buntut perselisihannya dengan SI –yang sejak 1926 berganti
nama menjadi PSI lalu menjadi PSII pada 1929. Organisasi-organisasi Islam lainnya
mengikuti langkah Muhammadiyah dengan alasan-alasan yang berbeda dan praktis sejak
Kongres Al Islam ke-9 tahun 1929 kongres tersebut hanya menjadi hajatan PSII belaka.
PSII pun kehilangan perannya sebagai garda depan pergerakan Islam di Hindia-Belanda
(van Bruinessen. 1995: 14). Dalam lingkup pergerakan kemerdekaan yang lebih luas
PSI/PSII kehilangan pengaruhnya dengan kemunculan Partai Nasional Indonesia (PNI) 5 Nama program tanzim mengingatkan kita pada tanzimat di Turki, yaitu era reformasi yang digulirkan untuk memodernisasi Kekhalifahan Turki Utsmani pada abad ke-19 (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Tanzimat). Era tanzimat merupakan titik tolak dari berlangsungnya proses sekularisasi di Turki.
tahun 1927 yang mengusung ide nasionalisme sekuler. Sebelumnya saingan bagi
SI/PSI/PSII muncul dari PKI yang mendapat dukungan yang cukup luas dari massa
rakyat hingga menimbulkan pemberontakan PKI tahun 1926. Perlu dicatat bahwa
Soekarno yang merupakan pendiri PNI adalah salah satu murid politik dan bahkan juga
menantu Tjokroaminoto.
Berbicara tentang SI dan PSII memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Haji
Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Tokoh asal Surabaya ini membawa SI menjadi
gerakan yang merakyat. Ia disegani oleh kawan maupun lawannya sebagai seorang
pemimpin karismatis bahkan pemerintah kolonial pun menjulukinya sebagai “Raja Jawa
Tanpa Mahkota”. Tjokroaminoto bukan sekadar pemimpin massa yang pandai berorasi
belaka tetapi ia pun tergolong seorang pemikir. Salah satu buah karya pemikirannya
adalah buku berjudul “Islam dan Sosialisme” yang ditulis tahun 1924. Secara umum buku
ini berisi uraian mengenai konsep “sosialisme” dalam bingkai pemahaman Islam. Dalam
“Islam dan Sosialisme” Tjokroaminoto menunjukkan kesejajaran antara Islam dengan
sosialisme, ia menyebutkan nilai-nilai Islam yang sejalan dengan konsep sosialisme
antara lain kedermawanan dan persaudaraan. Lebih lanjut Tjokroaminoto menyatakan
ada 3 anasir dalam sosialisme yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan
(gelijkheid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity) yang ketiga-tiganya
terdapat dalam ajaran Islam (“Islam & Sosialisme; H.O.S. Tjokroaminoto” Sumber:
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/01/islam-sosialisme-hos-tjokroaminoto/).
Tidak lain dan tidak bukan tiga anasir sosialisme yang dikemukakan Tjokroaminoto
adalah 3 semboyan Revolusi Perancis yang terkenal itu (liberte, egalite, fraternite). Perlu
diingat, Revolusi Perancis adalah awal terwujudnya tatanan baru di Eropa, sebuah tatanan
yang murni sekuler yang kemudian diekspor oleh negara-negara penjajah Eropa ke
seluruh penjuru dunia.6
Sintesis antara sosialisme dan Islam yang dilakukan Tjokroaminoto bukanlah hal
yang aneh pada pergantian abad ke-19-20. Pada masa itu para pemikir Muslim memang
sedang gandrung-gandrungnya pada pemikiran modern yang datang dari Barat sembari
tetap mempertahankan identitas keislamannya. Dalam situasi semacam itu “perkawinan”
antara gagasan Barat dengan Islam menjadi hal yang jamak terjadi. Pelopor sintesis ini
tiada lain adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Pemikiran mereka
berdua banyak memengaruhi para pemikir Muslim di berbagai belahan dunia pada zaman
itu. Seperti halnya K.H. Ahmad Dahlan, Tjokroaminoto tampaknya banyak terinspirasi
pemikiran al-Afghani, Abduh, dan juga Rasyid Ridha meskipun tidak pernah bertemu
langsung dengan mereka.7 Selain al-Afghani dan Abduh kita pun mengenal nama Sir
6 Illuminati diduga ikut berperan di belakang timbulnya Revolusi Perancis (Livingstone. 2010: 70).
7 Tjokroaminoto tampaknya mengenal pemikiran al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha lewat majalah-majalah Islam berbahasa Melayu seperti Al Munir (Padang), Al Munir Al Manar (Padang Panjang) atau Al Imam (Singapura). Majalah-majalah tersebut banyak menyebarkan pemikiran tokoh-tokoh “pembaharu” itu
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)8 dan Muhammad Iqbal (1877-1938)9 dari anak benua
India yang termasuk tokoh-tokoh besar dalam jajaran penggemar sintesis ini -selanjutnya
kita sebut saja kaum modernis. Tidak jelas benar apakah sintesis yang dilakukan para
pemikir ini bisa dikategorikan sebagai ‘Islamisasi’ terhadap pemikiran Barat atau
sebaliknya pembaratan terhadap pemikiran Islam –secara perlahan-, kedua pandangan itu
bisa jadi benar, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tentu saja keliru apabila kita
menganggap pemikiran kaum modernis pada pergantian abad yang lalu itu sama dengan
pemikiran kaum liberal dewasa ini –semacam JIL- yang sampai pada taraf menggugat
keabsahan atau relevansi ayat-ayat Al Qur`an yang qath’i misalnya. Para pemikir
modernis seperti Abduh, Rasyid Ridha, atau Ahmad Khan tetap mengakui sakralitas teks-
teks Al Qur`an. Akan tetapi tampaknya tidak berlebihan jika seruan “membuka kembali
pintu ijtihad” yang diserukan para pemikir modernis tersebut dipandang sebagai gerbang
awal bagi berkembangnya pemikiran Islam yang lebih liberal. Bagaimanapun agak sulit
melepaskan kesan adanya kesinambungan antara para pemikir Muslim modernis generasi
awal yang menggugat penafsiran para ulama terdahulu yang sudah mapan dengan para
pemikir Muslim liberal yang juga menyuarakan hal serupa.
Selain sebagai pemimpin SI Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru politik bagi
para tokoh pergerakan nasional Indonesia. Musso, Alimin, Semaun, Darsono,
Kartosuwiryo, dan Soekarno adalah sejumlah nama yang pernah ‘berguru’ pada
Tjokroaminoto. Pada perjalanannya, meskipun “seguru seilmu” para tokoh ini menempuh
jalur yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan satu sama lain. Musso, Alimin,
Semaun, dan Darsono memilih komunisme sebagai ideologi yang mereka anut.
Kartosuwiryo memilih berjuang di jalur Islam. Sedangkan Soekarno mengusung
nasionalisme sekuler. Sebagian pihak mengklaim Kartosuwiryo sebagai sebagai pewaris
pemikiran Tjokroaminoto yang sebenarnya. Klaim ini tidak salah tetapi tidak mengubah
fakta bahwa Tjokroaminoto juga adalah guru politik dari tokoh komunis seperti Musso
atau Soekarno yang nasionalis sekuler. Sedikit banyak pastilah ada pengaruh yang
ditanamkan Tjokroaminoto terhadap tokoh-tokoh tersebut, terlepas dari ideologi yang
dianutnya.
Satu hal yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa Tjokroaminoto
mempunyai hubungan erat dengan Ahmadiyah Lahore. Ia adalah orang yang
menerjemahkan tafsir Al Qur`an berbahasa Inggris The Holy Qur`an karya Presiden
Ahmadiyah Lahore Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Penerjemahan ini
yang diterjemahkan dari tulisan-tulisan mereka yang dimuat di jurnal Al Manar Mesir (Lihat Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942).8 Sir Sayyid Ahmad Khan adalah pendiri Universitas Aligarh India. Ia merupakan salah satu anggota Freemason terkemuka di India (Lihat http://www.masonindia.org/WellKnownFreeMasons.htm). 9 Muhammad Iqbal adalah filosof dan penyair terkemuka pencetus Teori Dua Bangsa (Two Nations Theory) yang melahirkan negara Pakistan. Ia adalah murid orientalis Inggris Thomas W. Arnold. Iqbal banyak mengambil elemen-elemen pemikiran Nietzsche, Bergson, dan Goethe di samping tokoh sufi Jalaluddin Rumi dalam merumuskan pemikirannya (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Iqbal).
dilakukan dengan dukungan Wali Ahmad Baig, utusan Ahmadiyah Lahore yang dikirim
ke Hindia-Belanda
(http://historia.co.id/artikel/2/658/Majalah-Historia/Jejak_Tafsir_Kaum_Ahmadi). Proyek
penerjemahan tafsir Al Qur`an ini kemudian dijadikan sebagai program resmi PSII.
Mengenai proyek penerjemahan ini Agus Salim berkata: “Kongres Serikat Islam 26-29
januari 1928 di Jogjakarta memperingati hari S.I. 15 tahun. Sebagai dimaksudkan dahulu
itu, diadakan juga Majelis Ulama itu, tetapi Muhammadiyah tidak mau turut duduk di
Majelis itu sebenarnya Majelis S.I. adanya, jadi di luar organisasi ini, tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa. Di Kongres itu dibicarakan juga tafsir Qur’an yang sedang dikerjakan
oleh Cokroaminoto. Dari penerbitan-penerbitan pertama, ternyatalah bahwa tafsir itu
didasarkan atas Tafsir Ahmadiyah. Lantaran ini timbullah dalam kalangan sendiri
perlawanan yang keras. Salim menerangkan, bahwa dari segala jenis tafsir Qur’an, yaitu
dari kaum kuno, kaum Muktazilah, ahli sufi dan golongan moderen (di antaranya
Ahmadiyah, Wahabi baru, dan kaum Theosofi), Tafsir Ahmadiyah-lah yang paling baik
untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar“
(Pringgodigdo, A.K. 1946 Sejarah Pergerakan-pergerakan Rakjat Indonesia (cetakan
kelima). Pustaka Rakyat halaman 47 dalam
http://www.tabligh-tarbiyat.web.id/tabligh/206269-100-tahun-khilafat-ahmadiyah-fakta-
dan-sejarah.html). Upaya penerjemahan ini mendapat banyak kritik, terutama dari
kalangan Muhammadiyah. Akan tetapi Tjokroaminoto terus melanjutkan usaha tersebut
dengan dukungan dari pimpinan Ahmadiyah (Adam. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”).
Ia menyatakan bahwa dirinya sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin
Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin
berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun Tjokroaminoto tetap
diserang dengan sengit
(http://historia.co.id/artikel/2/658/Majalah-Historia/Jejak_Tafsir_Kaum_Ahmadi). Usaha
penerjemahan tafsir Al Qur`an ini akhirnya berhasil dirampungkan dan diterbitkan tahun
1930.
Tidak hanya menerjemahkan tafsir milik Ahmadiyah Lahore, Tjokroaminoto
dikabarkan juga bergabung dengan aliran tersebut. Hal ini dituturkan oleh Djalaluddin
Irsyad, putra dari mendiang Muhammad Irsyad salah satu tokoh pendiri organisasi
Ahmadiyah Lahore di Indonesia. Bahkan menurut Djalaluddin ia adalah orang
Ahmadiyah Lahore pertama di Indonesia
(http://suaramuslimindonesia.wordpress.com/2011/04/05/h-o-s-tjokroaminoto-orang-
indonesia-yang-pertama-masuk-gerakan-ahmadiyah/). Benar atau tidaknya pengakuan ini
memang harus diselidiki lagi kebenarannya namun mengingat Tjokroaminoto
mengagumi tafsir Al Qur`an Ahmadiyah Lahore dan bahkan menerjemahkannya klaim
tersebut adalah suatu hal yang masuk akal.
Selain Tjokroaminoto, tokoh SI lainnya yang terkemuka adalah H. Agus Salim.
Bersama dengan Tjokroaminoto ia menjadi bagian dwitunggal kepemimpinan SI (Kahfi,
Erni Haryanti (2000). Haji Agus Salim : His Role in Nationalist Movements in Indonesia
During the Early Twentieth Century (Master of Arts thesis). Canadian theses. Ottawa:
National Library of Canada: 8 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim). Tokoh
kelahiran Koto Gadang Agam Sumatra Barat tahun 1884 ini mengenyam pendidikannya
di sekolah elit Belanda mulai dari Europeesche Lagere School (ELS) –sebuah sekolah
yang hanya diperuntukkan bagi golongan masyarakat Eropa dan kaum pribumi yang
terpandang- hingga Hogere Burgher School (HBS). Ketika berusia 22 tahun Salim
menerima tawaran dari pemerintah kolonial untuk bekerja sebagai pegawai di konsulat
Belanda di Jeddah (Kahfi. 2000: 17 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim).
Sewaktu menjadi pegawai konsulat Belanda ini Salim sempat berguru kepada pamannya
Syaikh Ahad Khatib, salah seorang ulama besar di Mekkah ketika itu. Sekembalinya ke
Tanah Air tahun 1911 ia bekerja di Jawatan Pekerjaan Umum di Batavia selama setahun
sebelum kembali ke kampung halamannya dan mendirikan Hollandsche Indische School
(HIS) –sekolahdasar- di sana. Pada 1915 Salim bergabung dengan SI dan memutuskan
untuk tinggal di Batavia dan membawa serta keluarganya pindah ke Batavia. Tak lama
setelah bergabung ia segera masuk dalam jajaran kepengurusan SI yang dipimpin
Tjokroaminoto.
Keterlibatan Salim dalam SI sendiri sesungguhnya berawal dari upaya pemerintah
kolonial memata-matai gerakan tersebut. Untuk mengawasi sepak terjang SI pemerintah
kolonial menugaskan Salim masuk ke dalam organisasi itu untuk meneliti keberadaan
dan sepak terjangnya (Purwoko, Dwi dkk. 2001. Negara Islam; Percikan Pemikiran H.
Agus Salim, K.H. Mas Mansur, Mohammad Natsir, K.H. Hasyim Asy’ari. Depok:
Permata Artistika Kreasi: 105). Sebagai orang yang mempunyai bekal pengetahuan Islam
yang memadai serta pernah cukup lama tinggal di Jazirah Arab agaknya Salim adalah
orang yang cocok menjalankan tugas tersebut. Sejarah kemudian mencatat Salim adalah
bagian dari pucuk kepemimpinan SI yang disegani. Tidak diketahui apakah ia terus
menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial setelah menjadi pemimpin SI. Sejauh
mana hubungan itu berlangsung dan bagaimana sifat hubungannya –jika hubungan
tersebut memang masih ada- tetap menjadi misteri sejarah. Yang jelas pada dekade 1920-
an Salim masih mendapat jabatan sebagai hoofd redacteur (redaktur kepala) untuk
Bahasa Melayu di Komisi Bacaan Rakyat yang berganti nama menjadi Balai Pustaka
(Purwoko dkk. 2001: 103). Seperti kita ketahui Balai Pustaka pada waktu itu adalah salah
satu lembaga yang bernaung di bawah pemerintah kolonial. Dalam catatan perjalanan
hidupnya meskipun Salim adalah tokoh yang kritis terhadap Belanda namun nyatanya ia
tidak pernah ‘bermasalah’ dengan pemerintah kolonial sebagaimana sejumlah tokoh
pergerakan kemerdekaan lainnya yang sampai harus menjalani penahanan atau hukuman
pengasingan dari Belanda.
Selain menjadi mata-mata pemerintah kolonial, Salim juga pernah bergabung
dengan Perkumpulan Theosofi yang memiliki hubungan erat dengan Freemason.10 Hal ini
diakui sendiri olehnya saat memberikan ceramah dalam pertemuan The Indonesian-
Pakistan Culture Association yang diselenggarakan di Amerika Serikat pada 9 Desember
1953. Dalam ceramahnya tersebut tokoh diplomat ulung yang oleh sejarawan Harry J.
Benda dijuluki “The Grand Old Man” itu menyatakan bahwa keterlibatannya dalam
Perkumpulan Theosofi membuatnya ‘terjerumus’ ke dalam dunia politik selama lebih
dari 40 tahun. Ia lalu berkata “Namun di sini hendak saya ikrarkan, bahwa mulai saat ini
pesan yang hendak saya bawa ialah pesan agama Islam. Saya tidak akan menghiraukan
soal-soal politik, karena bila ada terdapat suatu upaya untuk menyembuhkan segala
penyakit di dunia ini, saya yakin upaya itu tidak lain daripada mencari jalan menuju ke
Allah, dan memperjelas jalan itu.” Tak lama setelah mengeluarkan pernyataan itu ia
menyatakan keluar dari Perkumpulan Theosofi (http://irengputih.com/mewaspadai-
bahaya-freemasonry-15-pengaruhi-sejarah-indonesia/2510/). Salim sendiri akhirnya
meninggal dunia pada 4 November 1954 di Jakarta. Bila kita mencermati pengakuan
Salim tentang keterlibatannya dalam Perkumpulan Theosofi maka ia sudah amat lama
berkecimpung dalam organisasi tersebut. Bahkan keterlibatannya dalam Theosofilah
yang membawanya masuk dalam dunia politik (Ingat bahwa Salim mulai terjun ke politik
saat bergabung dengan SI dan keputusannya itu sendiri berdasarkan tugas dari
pemerintah kolonial untuk memata-matai SI!). Dengan kata lain masa-masa ketika Salim
menjadi seorang Theosofi adalah masa yang sama dengan masa-masa keaktifannya dalam
politik. Sebegitu lamanya Salim menjadi bagian dari Perkumpulan Theosofi ia baru
keluar dari perkumpulan tersebut menjelang akhir hayatnya. Hanya saja ada satu hal yang
kontradiktif terkait posisi Salim sebagai orang Theosofi sewaktu ia menyindir keras
perkumpulan itu dalam tulisannya di harian “Fajar Asia”. Dalam tulisan itu Salim
menandaskan “Theosofi soedah terang-terangan mengadjarkan agama Hindoe, karena
memberikan peladjaran Baghavad Gita, Khresna dan Ardjoena. Mereka terboekti
mengandjoerkan persaoedaraan manusia dengan berpaham Christoes. Maka perloe
diperiksa betoel azaz keneutralan itoe, soepaja djangan mendjadi anti igama, ataoe anti
sesoeatoe igama, jang tentoe misalnja Islam.”
(http://www.globalmuslim.web.id/2012/02/sejarah-gerakan-theosofi-di-
indonesia_07.html). Hanya saja sindiran keras itu menjadi tidak ada artinya jika kita
10 Perkumpulan Theosofi adalah sebuah perkumpulan yang dibentuk untuk mempelajari warisan pengetahuan spiritual dan supranatural dari berbagai tradisi di dunia khususnya agama-agama Timur dalam rangkai mencapai suatu persaudaraan manusia yang universal, didirikan oleh antara lain Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, di New York tahun 1875 (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Theosophical_Society).
melihat fakta bahwa Salim baru meninggalkan perkumpulan yang banyak dihuni
kalangan elit modern Indonesia itu beberapa puluh tahun kemudian.
Setelah wafatnya Tjokroaminoto tahun 1934 Salim menggantikan posisi
Tjokroaminoto sebagai Ketua Central PSII. Dalam Kongres PSII dua tahun berikutnya
Abikoesno Tjokrosoejoso terpilih menjadi ketua menggantikan Salim. Tjokrosoejoso
kemudian mengangkat SM. Kartosuwiryo sebagai Ketua Muda PSII dan menugaskannya
membuat brosur tentang Sikap Hijrah PSII. Apa yang dinamakan Sikap Hijrah itu adalah
haluan politik yang dipilih PSII sebagai penegasan atas sikap non-kooperatif yang
diambilnya terhadap pemerintah kolonial. Salim menolak politik non-kooperatif serta
Sikap Hijrah tersebut karena menurutnya dengan bertindak non-kooperatif PSII tidak lagi
mewakili kepentingan rakyat tetapi hanya mewakili kepentingan partai sehingga pada
akhirnya sikap itu hanya akan merugikan rakyat. Salim bersama Mohammad Roem lalu
membentuk faksi tersendiri dalam tubuh PSII yang dinamakan “Barisan Penyadar” untuk
mengkritik politik non-kooperatif yang menjadi sikap resmi partai itu. Akibat tindakan ini
Salim, Roem, dan sejumlah pengurus PSII lainnya yang tergabung dalam Barisan
Penyadar akhirnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII pada bulan Februari 1937. Mereka
lalu memutuskan membentuk partai sendiri yang dikenal sebagai PSII-Penyadar.
Belakangan PSII di bawah Abikoesno terpecah lagi menjadi Partai Islam Indonesia (PII)
yang diketuai Wiwoho, Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang dipimpin
Kartosuwiryo, dan PSII di bawah Abikoesno sendiri. Kesemua pecahan PSII itu bubar
setelah Jepang masuk ke Indonesia dan melarang segala bentuk organisasi politik. Setelah
kemerdekaan, PSII berdiri kembali pada 1947 tetapi tidak pernah mengulangi kembali
kejayaannya di masa lalu dan semakin tenggelam setelah partai ini berfusi dengan partai-
partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973.
3. Al Irsyad
Organisasi ini adalah sebuah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan oleh
sekelompok masyarakat keturunan Arab di Batavia pada 6 September 1914. Tokoh utama
yang mendirikan Al Irsyad adalah seorang ulama asal Sudan bernama Syaikh Ahmad as-
Surkati yang sebelumnya bekerja sebagai penilik sekolah-sekolah milik organisasi
Jami’atul Khair.11 Berdirinya Al Irsyad tidak bisa dilepaskan dari perselisihan yang
terjadi di kalangan masyarakat keturunan Arab di Hindia-Belanda ketika itu antara
golongan Sayyid (golongan yang mengklaim memiliki garis keturunan dari Nabi
Muhammad SAW) dengan golongan non-Sayyid. Golongan Sayyid mempunyai sejumlah
tradisi yang membedakannya dari masyarakat umum seperti aturan tentang kafa`ah
(persamaan derajat) dalam perkawinan dan taqbil (mencium tangan). Kaum Sayyid
melarang perkawinan antara wanita Sayyid dengan pria non-Sayyid karena menurut
11 Jami’atul Khair adalah organisasi Islam yang didirikan oleh warga keturunan Arab di Batavia tahun 1901 untuk memajukan pendidikan Islam khususnya di kalangan masyarakat keturunan Arab (Lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/1177).
keyakinan mereka seorang wanita tidak boleh menikahi pria yang kufu` (kedudukan atau
martabat)-nya lebih rendah sementara kaum non-Sayyid dianggap lebih rendah kufu`-nya
daripada Sayyid meskipun seorang pria Sayyid diperbolehkan menikahi wanita non-
Sayyid. Kaum Sayyid juga mewajibkan orang non-Sayyid mencium tangan Sayyid jika
bertemu dengan seorang Sayyid meskipun orang non-Sayyid itu lebih tua atau lebih
berilmu daripada sang Sayyid. Secara umum golongan Sayyid memiliki kedudukan yang
istimewa dalam struktur masyarakat di Hadhramaut –daerah asal sebagian besar
keturunan Arab di Indonesia- dan hal ini terbawa hingga ke Indonesia. Di luar kalangan
masyarakat Arab kaum Sayyid juga mendapatkan penghormatan yang luar biasa bahkan
pengultusan dari masyarakat pribumi.
Pelbagai tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Arab khususnya
golongan Sayyid itu mendapat kritikan dari Syaikh Ahmad Surkati. Lahir di Pulau Arqu,
Dunggula, Sudan, pada 1874, Surkati mulai mempelajari Al-Qur’an sejak kecil. Setelah
ayahnya meninggal dunia, Surkati meneruskan pelajarannya ke negeri Arab. Di sana, ia
pernah belajar di Makkah dan Madinah. Pada 1906, ia menerima sertifikat tertinggi untuk
guru agama dari pemerintah Turki Utsmani di Istambul dan mulai mengajar di Tanah
Suci (Natamarga, Rimbun. “Pembawa Salafi ke Indonesia Ahmad Surkati?” dalam
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/12/pembawa-salafi-ke-indonesia-ahmad.html).
Atas permintaan para Sayyid dari Jami’atul Khair Syaikh Ahmad tiba di Hindia-Belanda
tahun 1911 bersama dua orang kawannya Syaikh Muhammad Thoyyib al-Maghribi dan
Syaikh Muhammad bin Abdul Hamid as-Sudani. Syaikh Ahmad Surkati diundang oleh
pengurus Jami’atul Khair untuk diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah yang dibuka
Jami'atul Khair di Batavia dan Bogor. Di negeri barunya ini, Syaikh Ahmad
menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia
(http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).
Kehadiran Syaikh Ahmad berhasil memajukan sekolah-sekolah milik Jami’atul Khair,
namun ia banyak mendapatkan penentangan dari kalangan Sayyid karena kritik-kritiknya
yang tajam terhadap tradisi para Sayyid. Syaikh Ahmad memandang tradisi para Sayyid
yang berbau feodal itu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat
egaliter. Ia misalnya pernah memfatwakan bolehnya perkawinan antara wanita golongan
Sayyid dengan pria non-Sayyid selama pria tersebut adalah Muslim.
Syaikh Ahmad banyak terpengaruh pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha, selain
berusaha mewujudkan pemikiran-pemikiran Abduh dalam pendidikan di Al-Irsyad,
Surkati sendiri adalah seorang Muslim rasionalis seperti Abduh. Kecenderungan
rasionalis ini terkadang menimbulkan sikap yang kontroversial dari Syaih Ahmad. Ia
misalnya, dengan tegas menolak memercayai berita kedatangan Imam Mahdi,
kemunculan Dajjal, serta turunnya Nabi Isa AS sebagaimana yang diriwayatkan di
sejumlah hadits shahih (Natamarga.“Pembawa Salafi ke Indonesia Ahmad Surkati?”)
karena hadits-hadits yang meriwayatkan kabar tersebut adalah hadits ahad. Sementara
menurutnya hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam urusan akidah.12
Akibat pertentangan tajam antara Syaikh Ahmad dengan golongan Sayyid
akhirnya setelah 3 tahun ia memutuskan untuk keluar dari Jami’atul Khair dan
mendirikan madrasahnya sendiri yaitu Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Untuk menaungi
madrasah tersebut dibentuk organisasi yang diberi nama Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad al-
Arabiyah –belakangan nama al-Arabiyah diganti dengan al-Islamiyah- atau kemudian
dikenal sebagai Al Irsyad (http://alirsyad.net/index.php?
option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41). Pembentukan organisasi ini
didukung oleh masyarakat keturunan Arab dari golongan non-Sayyid dan dalam
perkembangannya memang Al Irsyad didominasi oleh orang-orang Arab sehingga
kemudian Al Irsyad identik dengan organisasi orang Arab.
Bersama-sama dengan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad
menjadi bagian dari “3 serangkai” gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Di antara
ketiga organisasi tersebut menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper yang benar-benar
merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan
gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang
Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang
Indonesia (http://alirsyad.net/index.php?
option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).
Sebagaimana halnya Muhammadiyah, Al Irsyad juga bergiat di bidang
pendidikan. Organisasi ini banyak mendirikan madrasah bercorak modern di berbagai
daerah yang menarik tidak hanya murid-murid dari kalangan keturunan Arab tetapi juga
pribumi. Kurikulum di Madrasah Al Irsyad menekankan pentingnya pelajaran Bahasa
Arab yang sebagai bahasa Al Qur`an dan bahasa keilmuan Islam penting untuk dikuasai
guna memahami Islam langsung dari sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-
Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan
daya kritis. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah
(http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).
Pendidikan di Madrasah Al Irsyad telah menghasilkan sejumlah besar alumni yang
menjadi tokoh yang diperhitungkan di bidangnya masing-masing. Beberapa nama alumni
Madrasah Al Irsyad yang terkemuka antara lain K.H. Abdul Kahar Muzakkir (anggota
BPUPKI dan salah satu penanda tangan Piagam Jakarta), Muhammad Rasjidi (mantan
Menteri Agama), dan T.M. Hasbi ash-Shiddiqui (pakar tafsir, fikih, dan hadits). Selain
ulama dan intelektual Islam Madrasah Al Irsyad juga menghasilkan alumni yang menjadi
politisi seperti A.R. Baswedan pendiri Partai Arab Indonesia yang setelah kemerdekaan
12 Pendapat yang sama dianut oleh Hizbut Tahrir.
aktif di Masyumi. Para politisi alumni Al Irsyad tidak hanya bergabung dengan pertai
Islam tetapi ada juga yang bergabung dengan partai sekuler seperti PNI (Yuslam Badres),
PSI (Awod Baharmus) dan bahkan PKI (Abdullah Baraba13). Tidak hanya itu, dari
Madrasah Al Irsyad juga lahir seorang tokoh evolusionis seperti Sa’id al-Hilabi yang
meyakini bahwa Nabi Adam yang dihadapkan oleh Allah kepada para malaikat pada awal
penciptaannya berbentuk kera (Belanawane. S, Muhammad. 2008. Identitas dan
Pengonstruksiannya dalam Komunitas Salafi-Ahlus Sunah wal Jama’ah Masjid
Fatahillah di Tanah Baru, Beji, Jawa Barat. Depok: FISIP UI: 89).
Madrasah Al Irsyad memang tergolong sekolah Islam yang “liberal” untuk ukuran
zamannya dalam arti memberikan ruang kebebasan berpikir bagi murid-muridnya. Di
sekolah ini karya-karya para sastrawan Arab modern seperti Mushthafa Shadiq ar-Rifa’i,
Luthfi al-Manfaluthi, Ahmad Syauqi Bek, dan lain-lain yang pemikirannya amat kental
dengan warna Mu’tazilah adalah bacaan wajib murid-murid Al Irsyad (Belanawane. S.
2008: 89). Oleh karena nuansa “liberal” tersebut sebagian kalangan Salafi dewasa ini
yang notabene beberapa antaranya berlatar belakang keluarga warga Al Irsyad mengritik
keras organisasi itu (Lihat misalnya tulisan Ja’far Umar Thalib “Pasang Surut Perjuangan
Menegakkan Syariah Islamiyah” dalam
http://alghuroba.org/artikel/PasangSurutPerjuanganMenegakkanSyariahIslamiyah.doc).
Dalam perjalanan sejarahnya Al Irsyad menjadi salah satu organisasi Islam yang
berafiliasi dengan Partai Masyumi dan menjadi pendukung setia Masyumi hingga
dibubarkannya partai ini oleh Presiden Soekarno tahun 1960. Pasca dibubarkannya
Masyumi, Al Irsyad tidak lagi terlibat dalam percaturan politik meskipun sebagian
warganya ikut terjun ke dunia politik secara individual. Kini Al Irsyad hanya menjadi
salah satu dari sekian banyak organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial,
pendidikan, dan dakwah. Terakhir Al Irsyad terpecah menjadi dua kubu dengan
kepengurusan yang berbeda, satu diketuai Abdullah Jaidi sementara kubu yang satu lagi
diketuai Yusuf Ba’isa.14
Walaupun pengaruhnya tidak sebesar NU atau Muhammadiyah namun kaum
Irsyadiyyin (sebutan bagi warga Al Irsyad) tersebar di berbagai lapangan kehidupan dan
ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kaum Irsyadiyyin yang nyaris identik
dengan keturunan Arab non-Sayyid memiliki orientasi paham keagamaan yang beragam
dari mulai yang tergolong “Islam garis keras” dan konservatif sampai yang “moderat”
(baca: longgar dalam beragama) bahkan cenderung liberal. Sejumlah nama dari mulai
Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir (keduanya tokoh gerakan Darul Islam dan
13 Abdullah Baraba adalah anggota Politbiro Comite Sentral (CC) PKI dan pernah menjadi anggota Konstituante (Thalib, Ja’far Umar “Pasang Surut Perjuangan Menegakkan Syariah Islamiyah” dalam http://alghuroba.org/artikel/PasangSurutPerjuanganMenegakkanSyariahIslamiyah.doc).14 Terpecahnya Al Irsyad menjadi dua buntut dari perselisihan yang terjadi di organisasi ini sejak akhir 90-an. Belakangan salah satu kubu membentuk organisasi tersendiri yang diberi nama Perhimpunan Al Irsyad Al Islamiyah di bawah kepemimpinan Yusuf Ba’isa. Ia adalah mantan pengasuh Pesantren Al Irsyad Tengaran Semarang dan salah satu pembawa serta penyebar paham Wahabi/Salafi di Indonesia.
kemudian Jamaah Islamiyah), Fuad Bawazier (Menteri Keuangan terakhir era Orde
Baru), Munir15 (aktivis HAM), sampai Anies Baswedan16 (Rektor Universitas Paramadina
yang juga cucu A.R. Baswedan) adalah contoh orang-orang yang mempunyai hubungan
historis dan emosional dengan Al Irsyad meskipun tidak semua dari mereka adalah
anggota atau pernah menjadi anggota Al Irsyad. Mereka mewakili pandangan keagamaan
yang beragam dalam keluarga besar Al Irsyad atau masyarakat keturunan Arab secara
umum. Terlepas dari perbedaan tajam dalam pandangan keagamaan di antara sesama
anggota keluarga besar Al Irsyad, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan bahwa
pembaharuan di kalangan masyarakat keturunan Arab di Indonesia –dengan segala
macam konsekuensi dan derivasinya- yang dimotori Al Irsyad berawal dari Syaikh
Ahmad Surkati sebagai pelopornya, seorang ulama yang mendapat inspirasi dari
pemikiran Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan (pada akhirnya) Jamaluddin al-
Afghani.
(Bersambung....)
15 Munir, nama lengkapnya adalah Munir bin Sa’id Thalib –satu marga dengan Panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib dan tokoh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Muhammad Thalib- konon pernah menjadi seorang Muslim “garis keras” sebelum berpindah haluan menjadi aktivis pembela HAM. 16 Sebagai Rektor Universitas Paramadina Anies adalah pelanjut pemikiran mendiang Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang merupakan pendiri universitas tersebut. Tahun 2008 namanya masuk dalam daftar Top 100 intelektual publik versi majalah Foreign Policy –majalah yang didirikan pencetus teori “Benturan Peradaban” (The Clash of Civilization) Samuel Huntington (http://www.foreignpolicy.com/articles/2008/04/18/the_top_100_public_intellectuals_bios).