Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK...
Transcript of Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK...
1
Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi1
Eddy O.S Hiariej2 Pengantar
Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah
menandatangani deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-
11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara3.
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration Of 8th International
Conference Against Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan
moral masyarakat, mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan
kurang mampu dan lemah.
Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak
aturan hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan
pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas
dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu. Konferensi tersebut juga
mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap
masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan
memperkuat nilai-nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting
untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan
pihak usaha swasta4.
Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The
Negotiation Of The United Nations Conventions Against Corruption sejak
tanggal 1 Oktober 2003, lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi
sebagai transnational Crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang
telah menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di
1Disampaikan dalam Expert Meeting, 12 – 13 Oktober 2006, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan, Yogyakarta. 2 Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 3 International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th International Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11 September 1997 4 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal, Jakarta, hlm. 33 – 34.
2
Wina tersebut5. Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak
cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai
korupsi serta cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode dan cara
tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara
ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa,
sehingga pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa6.
Dalam rangka pemberantasan tersebut yang tentunya memerlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa pula, sinyalemen Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 20017 telah mengamanatkan pembentukan Badan khusus yang
kemudian beken dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan
secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Sejak terbentuknya, KPK yang dikomandoi Taufikurachman Ruki, telah memperlihatkan sepak terjangnya dalam membongkar sindikat korupsi
di Komisi Pemilihan Umum dan suap di Mahkamah Agung dalam perkara
korupsi dana reboisasi dengan terdakwa Probosutedjo. Namun saat ini,
eksistensi KPK sedang digugat, menyusul Permohonan Pengujian Materiil
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 oleh Mulyana W. Kusumah, Tarcisius Wala, dan
5 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm.V. 6 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid, hlm. 69. 7 Pasal 43 ayat (1) : “ Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (2) menyebutkan : ”Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
3
sejumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf.
Hak konstitusional yang dirugikan menurut masing-masing pemohon
adalah : Pertama, Mulyana W. Kusuma telah disidik, dituntut dan diadili
serta telah diputus sebagai terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, yang tidak berdasarkan due process of law dengan
dilakukannya penyadapan yang mengarah pada penjebakan. Kedua,
Tarcisius Wala telah di vonis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI
N0. 1557/K/PID/2005, tertanggal 16 November 2005, ternyata tempus delicti
perbuatan Pemohon dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang No. 30
tahun 2002.
Ketiga, Nazaruddin Sjamsuddin dan kawan-kawan, telah
terdiskriminasi karena diperiksa di persidangan pengadilan Tindak Pidana
Korupsi baik di tingkat pertama, banding dan / atau kasasi serta jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil telah dilanggar karena legalitas
atau dasar keberadaan Pengadilan Tipikor tidak benar atau cacat secara
hukum. Demikian pula terhadap Ramlan Surbakti, Chusnul Mari’yah dan
Valina Singka Subekti karena dengan adanya kewenangan KPK
melakukan penyadapan dan perekaman secara nyata sangat mengganggu
rasa aman, ketenangan dan perlindungan pribadinya karena secara terus –
menerus merasa terancam dan khawatir dan merasa sangat tertekan dan
kehilangan rasa aman serta merasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, karena terus dibayang-bayangi oleh kekhawatiran sewaktu-waktu
akan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Pasal - Pasal Undang-Undang KPK Yang Dimohonkan Untuk Uji Materiil Dan Alasan Pemohon
Secara garis besar ada 7 pasal dalam undang-undang KPK yang
dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil terhadap UUD
1945. Pertama, keberadaan pengadilan Tipikor. Pasal 1 Angka 3 dikaitkan
4
dengan Pasal 53 undang-undang KPK Melanggar Prinsip Kemandirian dan
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman serta menimbulkan Ketidakpastian
Hukum dan Ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 24 (1) dan
(2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah
bahwa Pasal 1 angka 3 undang-undang KPK telah menempatkan
pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana
korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran bagian
“Menimbang” huruf b undang-undang KPK menunjukkan bahwa pengadilan
tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan kehakiman (kekuasaan
yudikatif), dan Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan / atau merupakan
bagian dari kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif).
Kedua, keberadaan KPK. Pasal 2 undang-undang KPK jo. Pasal 3 jo.
Pasal 20 undang-undang KPK melanggar prinsip dan konsep negara,
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Adapun alasan
pemohon bahwa keseluruhan ketentuan baik dalam Pembukaan UUD 1945
maupun dalam Pasal 1 UUD 1945 bermakna bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum dan UUD 1945 menetapkan 8 (delapan)
organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat, yang
secara langsung menerima konstitusional dari UUD 1945, yaitu MPR,
Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.
Kewenangan organ negara yang berdasarkan perintah Undang-
undang seharusnya didasarkan dalam kerangka sistem ketatanegaraan
yang diatur dalam UUD 1945 guna menghindarkan kekacauan sistem
ketatanegaraan, menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta
menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaaan (abuse of power).
Kenyataannya dalam undang-undang KPK, telah menjadikan KPK sebagai
lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka sistem
ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem
pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan
peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden.
Dengan demikian sebagai organ kenegaraan baru yang mengambil alih
5
kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD 1945, yang sebetulnya
telah terbagi dalam beberapa kekuasaan, maka dapat dimaknai bahwa KPK
merupakan atau dapat disebut sebagai lembaga ekstra konstitusional.
Ketiga, Pasal 6 huruf c undang-undang KPK bertentangan dengan
pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon
adalah bahwa wujud dari adanya kepastian hukum dalam suatu negara
adalah adanya ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum (lex certa)
yang mengharuskan suatu aturan hukum berlaku mengikat secara tegas
karena tidak ada keragu-raguan dalam pemberlakuannya. Dengan
pemberlakuan pasal 6 huruf c undang-undang KPK sesungguhnya
mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum,
sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam UU
yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur
materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga
penegak hukum.
Penegasan tugas dan wewenang Kepolisian maupun Kejaksaan
dalam upaya penegakan hukum di bidang korupsi diatur dalam pasal 13 dan
14 Ayat (1) huruf g undang-undang kepolisian negara mengatur tugas dan
wewenang Kepolisian dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara pidana
termasuk perkara tindak pidana korupsi tetap menghormati prinsip
pengawasan keseimbangan (check and balances) dengan Kejaksaan dan
Penyidik lain berdasarkan Undang-undang. Dalam teori hukum acara pidana
prinsip ini dikenal sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) dan telah berjalan selama ini sebelum pemberlakuan
pasal 6 huruf c undang-undang KPK.
Demikian pula penegasan tugas dan wewenang Kejaksaan RI dalam
hal penyidikan dan penuntutan diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf a dan
huruf d undang-undang kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya pasal 6
huruf c undang-undang KPK, dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi terdapat dua aturan yang sama-sama berlaku. Hal ini jelas
6
bertentangan dengan prinsip lex certa. Bahwa dengan adanya keragu-
raguan dalam pemberlakuan dua atau lebih undang-undang, tentu telah
berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum. Padahal kepastian
hukum merupakan hak konstitusional pemohon yang dijamin berdasarkan
pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Sehingga dengan demikian, pasal 6 huruf c
undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Pasal 11 huruf b
undang-undang KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Adapun
alasan pemohon adalah bahwa Pasal 11 huruf b undang-undang KPK yang
menyatakan pada pokoknya bahwa KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, jadi sangat sumir jika
sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Bahwa KPK sengaja
membocorkan informasi kepada wartawan / pers secara tendensius
mengenai segala hal atas diri Pemohon yang dipersangkakan atau diselidiki
oleh KPK. Bahkan secara sistematik KPK telah melakukan pembentukan
opini di masyarakat luas berdasarkan informasi dan bukti yang sangat sumir
dan lemah.
Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pasal 12 Ayat (1) huruf a
undang-undang KPK melanggar Hak Warga Negara atas rasa aman dan
jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan
Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan
pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk
melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa
aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada
aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam
penegakan hukum. Hal tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dan
bahkan ketakutan serta perasaan tidak aman pada diri Pemohon.
7
Keenam, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence).
Pasal 40 undang-undang KPK melanggar prinsip persamaan di muka hukum
dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan
dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal
28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa berdasarkan Pasal
40 undang-undang KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang untuk
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan
membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai
Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi Terdakwa.
Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang
penanganan perkaranya diajukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Sehingga,
ketentuan ini jelas-jelas telah mencabut dan melanggar hak-hak asasi warga
negara atas kedudukan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagaimana diberikan dan dijamin oleh konstitusi, yaitu dalam Pasal 27
ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Secara faktual proses
penegakan hukum terhadap seorang Warga Negara Indonesia, dapat
dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu: Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Namun
demikian mengenai ketentuan hukum acaranya berbeda-beda, yaitu untuk
Kepolisian dan Kejaksaan menggunakan hukum acara sebagaimana diatur
dalam KUHAP dan undang-undang korupsi, sedangkan untuk KPK,
disamping menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP
dan undang-undang korupsi, juga menggunakan undang-undang KPK
sebagai ketentuan khusus (lex specialis) sebagaimana disebutkan dalam
Bagian Penjelasan Umum undang-undang KPK. Sehingga, ketentuan ini
jelas sangat diskriminatif.
Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang
menyangkut tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang
KPK berlaku sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27
Desember 2002. Adanya penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No.
8
069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a quo berlaku ke depan
(prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam pemberlakuannya.
Sistem Peradilan Pidana8
Berbicara mengenai sistem peradilan pidana sangatlah berkaitan erat
dengan sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu
kewajaran sebab sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub
sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh
suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem
peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun
memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial
masyarakat, budaya dan politik yang dianut.
Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang
dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana.
Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan.
Sebagaimana yang diungkapkan Cavadino dan Dignan bahwa sistem
peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which respond
officially to the commission of offences, notably the police, prosecution
authorities and the court”.9 Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini
tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa
institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum
yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat
penegak hukum yang lain. Secara tegas dikatakan oleh Feeney “ …..what
once criminal justice agency does likely to affect and be affected by other
8 Intisari tulisan mengenai Sistem Peradilan Pidana ini pernah dimuat dalam : Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute. 9 Michael Cavadino dan James Dignan, The Penal Sistem An Introduction, 1997, SAGE Publication Ltd. hlm. 1.
9
agencies and …..a detailed knowledge of the kinds of interactions that are
likely to take is essential for undertaking system improvement “10
Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu
dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan dua
model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan due
process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi,
mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt sehingga tingkah laku
kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri
yang melakukan perlawanan. Model ini diibaratkan seperti sebuah bola yang
sedang digelinding dan tanpa penghalang.
Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak
efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga
peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai
menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti orang
yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada nilai-nilai
yang bersaing tetapi tidak berlawanan11.
Sementara itu King mengemukakan beberapa model dalam sistem
peradilan pidana guna melengkapi apa yang dikemukakan oleh Packer. Selain crime control model dan due porocess model, King menambahkan
empat model lainnya yaitu medical model, bureaucratic model, status pasage
model dan power model12.
Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti
mengobati orang sakit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “ …..the
restoration of the defendant to a state of mental and social health whereby
10 University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester, hlm. 13. 11 Hebert L Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm. 164 – 165. 12 University Of Leicester, Ibid, hlm. 24.
10
s/he will be able to cope with the demands society makes oh him/her and
refrain from the conduct which causes further intervention to be necessary 13”
Bureaucratic model memandang sistem peradilan pidana sebagai
konflik antara negara dan terdakwa. Hukum acara pidana dinilai diskriminatif
terhadap individu atau kelompok tertentu. Dikatakan demikian karena
dengan aturan yang terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara
bebas memilih untuk membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan
kejadian yang sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic model
dan due process model mempunyai hubunngan yang jelas namun
didasarkan pada aspek yang berbeda. Due process model mengutamakan
perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan
negara sedangkan bureaucratic model mengutamakan proses terhadap
terdakwa berdasarkan standar prosedur. Akan tetapi baik due process model
maupun bureaucratic model didasarkan pada aturan yang baku dalam
sistem peradilan pidana14.
Selanjutnya terhadap model yang kelima dari King adalah status
passage model. Model ini memandang sistem peradilan pidana sebagai
suatu proses penerimaan status bagi si terpidana oleh masyarakat yang
diwakili pengadilan. Terhadap status passage model, King berpendapat, “
….. this perspective stresses the function of the criminal court as institutions
for denouncing the defendant, reducing his social status and promoting
solidarity within the community . The reduction of social status in the offender
results …..not only in the stigmatization of the defendant as a person with a
tarnished moral character , but also in the enhancement of social
cohesiveness among law – abiding members of the community by setting the
defendant apart from the community and by emphasizing the difference
between him and law abiding citizens 15”
13 M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20. 14 University Of Leicester, Ibid, 25. 15 M. King, Ibid, 24.
11
Model yang terakhir dari King adalah power model. Berdasarkan
power model, sistem peradilan pidana adalah instrumen dari (Ruling class)
golongan yang berkuasa yang melakukan diskriminasi terhadap kelompok-
kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis minoritas. Sistem
peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan yang berkuasa
kendatipun terdapat perbedaan antara das sollen dan das sein. Hal ini
disebabkan golongan yang berkuasa dapat mengontrol dan menginterpretasi
aturan dengan diskriminasi dan represif16.
Model yang dikemukakan Packer dan King selanjutnya oleh King dibagi ke dalam dua pendekatan, yakni participant approaches dan social
approaches. Participant approaches adalah sistem peradilan dilihat dari
sudut pandang aparat penegak hukum yang meliputi 3 model, yakni crime
control model, due process model dan medical model. Sedangkan social
approaches adalah sistem peradilan pidana dilihat dari sudut pandang
masyarakat yang mencakup bureaucratic model, status passage model dan
power model.
Menurut King, dalam participant approach, ketiga model pertama
tersebut telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan
aparat penegak hukum diberi kebebasan untuk memilih mana yang akan
digunakan. Ketiga model tersebut tidak ada satu model pun mengungguli
yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Oleh sebab itu,
para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak
menerapkan satu model secara tegas tetapi tergantung pada individu atau
kasus yang dihadapi. Sementara, dalam social approaches, ketiga model
yang terakhir didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan
antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur
lainnya dalam masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan
proses beracara secara keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-
16 University Of Leicester, Ibid, 26 – 27.
12
tujuan tertentu mengapa terjadi kesenjangan antara retoika dan kenyataan
hukum17.
Dalam peraturan hukum kongkrit, sistem peradilan pidana biasanya
dituangkan dalam hukum acara pidana. Oleh Enschede hukum acara
pidana adalah hukum yang riskan sebagai instrumen penegak hukum yang
pelaksanaaannya dengan pengawasan yang rumit. Secara tegas Enschede menyatakan, ”Strafprocesrecht is riskant recht : De strafrechtspleging,
instrumen voor handhaving van het recht, vertoont nu in dit opzicht een
eigenaardigheid....”18. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan dengan
mengingat hukum acara pidana pada dasarnya adalah hak subjektif negara
– biasa disebut jus puniendi – untuk menegak hukum pidana19. Oleh Vos,
jus puniendi didefinisikan : ”..... subjectieve recht van de overhied om te
straffen, omvattend dus het recht om straf te bedreigen, starf op te legen en
straf te voltreken20”.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, bila dikaitkan dengan
sistem peradilan pidana seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut : PERTAMA, perihal integrated criminal
justuce system yang diungkapkan baik oleh Packer maupun King, pada
kenyataannya tidak dianut sepenuhnya dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Sebab, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal asas
difererensiasi fungsional. Artinya, masing-masing aparat penegak hukum
mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lain.
17 University Of Leicester, Ibid,hlm. 28. Lihat juga : Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4. 18 Ch.J.Enschede, 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer, hlm. 63. 19 D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 1. 20 Hak penguasa terhadap pemidanaan yang meliputi hak menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana : H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 2.
13
KEDUA, perihal model dalam beracara baik yang dikemukakan oleh
Packer, maupun King, sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut
secara strik satu model tertentu. Kendatipun kecenderungannya pada crime
control model, namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain.
Sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan legal
normatif bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap
tersangka. Artinya, si tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah.
Namun di sisi lain, secara formal KUHAP kita menyatakan dalam Pasal 17
nya bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan suatu tindak pidana (baca : presumption of guilt). Hal ini
berarti berdasrkan diskiptif faktual, polisi dan jaksa harus yakin bahwa terhadap
orang yang sedang disidik atau didakwa, dia adalah pelaku kejahatan yang
sesungguhnya21. Demikian pula dalam penanganan narapidana di lembaga
pemasyarakatan, sedikit – banyaknya, sistem kita mengikuti medical model dari
King.
KETIGA, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, khususnya
kejahatan yang terjadi di masyarakat, tugas penegakan hukum tidak semata
dibebankan kepada polisi, jaksa dan hakim, namun dimungkinkan pembentukan
badan-badan khusus untuk membantu penegakan hukum di Indonesia. Hal ini
sangat dimungkinkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP dan Pasal 284 ayat (2) KUHAP.
Substansi kedua pasal tersebut secara implisit memberi peluang bagi
pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi.
Maksud Pasal 103 KUHP maupun Pasal 284 KUHAP adalah bahwa
dalam mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan
21 Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 33 – 34.
14
timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada
saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian
pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan
dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara
diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan22.
Sebagai misal, dalam mengungkap pelanggaran berat hak asasi manusia,
polisi sama sekali tidak dilibatkan. Penyelidikannya dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Sedangkan penyidikan dan penuntutan berada
dalam satu tangan yakni kejaksaan agung. Demikian pula halnya dengan
kejahatan korupsi yang sudah sangat akut di Indonesia, jika korupsi tersebut
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara; korupsi yang mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat atau korupsi yang menyangkut kerugian negara paling
sedikit 1 milyar rupiah, maka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tanggapan Terhadap Susbtansi Permohonan Pengujian Undang-Undang KPK Berdasarkan pemahaman terhadap sistem peradilan pidana secara
kahfaah dan realitanya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana
telah diuraikan di atas, adapun tanggapan penulis terhadap dasar permohonan
pengujian undang-undang KPK adalah sebagai berikut : PERTAMA, mengenai
keberadaan Pengadilan Tipikor. TIDAK BENAR argumentasi pemohon yang
menyatakan Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif
dengan merujuk Pasal 53 undang-undang KPK23. Pengadilan Tipikor tetap
merupakan bagian kekuasaan yudikatif yang mempunyai dasar cantolan yang
jelas. 22 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid, hlm. 2 – 3. 23 Pasal 53 : “Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”
15
Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : ”Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, .......”. Sementara dalam
Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan, ” Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, ......”.
Sedangkan Pasal 15 ayat (1) nya menyatakan, ”Pengadilan khusus hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 yang diatur dalam undang-undang”. Secara eksplisit penjelasan Pasal
15 ayat (1) menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ”Pengadilan Khusus dalam
ketentuan ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan
hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, ......”.
KEDUA, perihal keberadaan KPK yang menurut pendapat para pemohon
bukan merupakan organ yang disebut dalam UUD 1945. Masih menurut para
pemohon, KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di
luar kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan
sistem pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan
peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden.
Pendapat penulis, argumen para pemohon TERLALU MENGADA-ADA .
Bukankah, institusi kejasaan yang nota bene adalah aparat penegak hukum juga
tidak disebut dalam UUD 1945 sehingga eksistensinya perlu dipertanyakan ?
Berdasarkan Pasal 15 undang-undang KPK dan juga dalam penjelasan
umum, KPK berkewajiban menyusun laporan tahunan sebagai
pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Presiden, DPR dan BPK.
Bukankah hal ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas ? Selain itu dalam
hubungan kemitraannya dengan aparat penegak hukum yang lain (baca : polisi
dan jaksa), KPK dapat senantiasa diawasi dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini
terbukti dengan kasus yang sudah diputus pengadilan mengenai pegawai KPK
16
yang mencoba memeras tersangka kasus korpusi yang kemudian dipidana
dengan menggunakan Pasal 67 undang-undang KPK24.
KETIGA, mengenai penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang berada dalam satu tangan, yakni KPK. Menurut para pemohon
Pasal 6 huruf c undang-undang KPK25 bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1)
UUD 194526. Adapun alasan pemohon bahwa pemberlakuan pasal tersebut
sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan
hukum, sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam
undang-undang yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama
dan mengatur materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh
lembaga penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa. Hal ini jelas bertentangan
dengan prinsip lex certa.
Tanggapan penulis, penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan pada KPK dalam perkara korupsi, TIDAK ADA KAITANNYA dengan
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Penyatuan ketiga fungsi tersebut pada KPK lebih
pada faktor efisiensi dan efektifitas dalam penanganan kasus korupsi. Sebab
dalam konteks hukum acara, meskipun dikenal intergrated criminal justice
system dari para aparat penegak hukum yang terlibat didalamnya, namun pada
kenyataannya antara satu institusi dengan institusi yang lain saling berkompetisi,
bekerja dalam sistem yang tertutup dan kurang koordinasi.
Mengenai hal ini secara tegas dinyatakan oleh Feeney, “Despite the fact
that no one denies that the stages and processes of criminal justice are
interconnected, many commentators argue that the process can not be viewed
as a system because it is dysfunctional because it is made up of different
agencies all of which have different and sometimes competing objectives and
exercise wide and unaccountable discretionary powers. The agencies work in
24 Pasal 67 : “ Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok”. 25 Pasal 6 C : “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. 26 Pasal 28 D Ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
17
isolation and there is a lack of communication and cooperation both between
stages and agencies. As a result, the criminal justice process is ill coordinated27.”
Bila kita menggunakan metode perbandingan, fungsi penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan di negeri Belanda berada dalam satu kekuasaan.
Meskipun polisi merupakan institusi tersendiri, tetapi dalam hal strafrechtelijke
handhaving van de rechtsorde di Belanda, polisi berada di bawah kekuasaan
jaksa. Artinya, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan berada dalam kekuasaan officier van justitie, polisi hanyalah hulp
magistraat atau pembantu dari jaksa28.
terhadap asas lex certa, dalam konteks hukum pidana materiil, tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang jelas29. Artinya, ketentuan pidana yang
tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum
dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan30. Dalam konteks hukum
pidana formal, ketentuan beracara haruslah pula dirumuskan secara tegas
sehingga tidak dapat diinterpretasikan lain dari apa yang tertulis. Ketentuan
Pasal 6 C SAMA SEKALI TIDAK BERTENTANGAN dengan asas lex certa,
namun merupakan lex specialis dari ketentuan KUHAP, ketentuan dalam
undang-undang kepolisian dan ketentuan dalam undang-undang kejaksaan
selama kasus korupsi tersebut memenuhi kriteria Pasal 11 undang-undang KPK.
KEEMPAT, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Menurut para pemohon
Pasal 11 huruf b UU KPK31 menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
Alasannya KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat,
27 University Of Leicester, Ibid,hlm. 14. 28 Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, 1995, hlm. 171. 29 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, hlm.12 30 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 358. 31 Pasal 11 huruf b : “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat”.
18
jadi sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta
merta dijadikan bahan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK.
Tanggapan penulis terhadap hal ini adalah bahwa ketentuan dalam Pasal
11 UU KPK tidaklah dapat dipisahkan dengan ajaran sifat melawan hukum yang
terkandung dalam undang-undang korupsi. Seperti yang kita ketahui bahwa
berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) undang-undang korupsi yang dimaksud
dengan melawan hukum tidak hanya dalam artian formil semata tetapi juga
dalam arti materiil. Artinya, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Ajaran sifat melawan hukum materiil ini sebenarnya berasal dari Jerman
dengan salah satu ilmuannya adalah Von Liszt. Secara tegas Von Liszt menyatakan bahwa setiap perbuatan yang anti-sosial adalah wederrechtelijk32.
Di negeri Belanda, pengikut fanatiknya adalah Vos, yang dalam Leerbook nya ia
mengatakan, “..... het strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale
gedragingen....33”. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang mendapatkan
perhatian masyarakat, sudah barang tentu menganut unsur dapat dicelanya
suatu perbuatan yang merupakan salah satu elemen dari perbuatan pidana34.
KELIMA, Penyadapan dan Perekaman. Pendapat para pemohon, Pasal
12 Ayat (1) huruf a undang-undang KPK35 melanggar Hak Warga Negara atas
rasa aman, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 194536. Adapun
alasan pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk
32 Utrecht, , 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm. 270. 33 Hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal. Lihat : H.B. Vos, Ibid, hlm. 136. 34 Ch.J. Enschede, Ibid, hlm. 156 35 Pasal 12 Ayat (1) huruf a : ” Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan“. 36 Pasal 28 G Ayat (1) : ” Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
19
melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa
aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan
tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum.
Perihal penyadapan dan perekaman seperti yang dimohonkan oleh para
pemohon, ada beberapa tanggapan penulis. Pertama, penyadapan dan
perekaman adalah dalam rangka menemukan bukti untuk membuat terang suatu
peristiwa pidana. Artinya, kita sedang berbicara mengenai apa yang dikenal
dengan istilah bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah
bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan.
Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model37
dalam sistem peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan
perhatian. Dalam due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi
manusia (hak-hak tersangka), sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan
oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra peradilan, lantaran alat bukti diperoleh
dengan cara yang tidak sah atau yang diesbut dengan istilah unlawful legal
evidence38. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang
bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya, seirngkali mengkesampingkan
kebenaran dan fakta yang ada.
Lain hanlnya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun
tidak sepenunhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model
dalam beracara. Di sini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka
menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat disimpangi dari
ketentuan umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus
yang mengatur tentang itu. Dalam pengungkapan kasus korupsi, demikian pula
dalam pengungkapan kasus narkotika, psikotropika dan terorisme teknis
37 Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas dapatlah dikatakan mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada sutau titik yang paling ekstrim, ketika seorang polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan. 38 Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003, hlm.37
20
penyelidikan dan penyidikan secara khsus seperti under cover, penyadapan dan
perekaman pembicaraan dapat dibenarkan. Sehingga tidaklah dapat
dikualifikasikan sebagai unlawful legal evidance karena sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
Kedua, kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 F Ayat (1) UUD 194539, demikian pula
Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang
dimaksud oleh para pemohon, BUKANLAH PASAL-PASAL YANG TIDAK
DAPAT DISIMPANGI DALAM KEADAAN APAPUN. Hal ini berbeda dengan
ketentuan dalam Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan dengan tegas
dan rinci hak-hak yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Meskipun
ada yang berpendapat bahwa pembatasan terhadap Pasal 28 I Ayat (1) terdapat
dalam Pasal 28 J UUD 1945, namun masih bisa diperdebatkan lebih lanjut.
Ketiga, penyadapan dan perekaman TIDAK ADA KAITANNYA dengan
asas presumption of innocent yang akan penulis jelaskan lebih lanjut dalam
uraian di bawah ini.
KEENAM, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent).
Menurut para pemohon, Pasal 40 undang-undang KPK40 melanggar prinsip
persamaan di muka hukum dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif,
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D
Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa
berdasarkan Pasal 40 undang-undang KPK yang menyatakan KPK tidak
berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan
penuntutan membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa
sebagai Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi terdakwa.
Terhadap masalah asas praduga tidak bersalah yang dikaitkan dengan
tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian
39 Pasal 28 F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. 40 Pasal 40 : “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.
21
penyidikan dan penuntutan, ada dua hal yang menjadi tanggapan penulis :
Pertama, ketentuan dalam Pasal 40 undang-undang KPK merupakan prudential
principle bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab,
begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK,
membawa konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Oleh karena itu,
sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK dituntut untuk bekerja
semaksimal dan secermat mungkin, terutama yang berkaitan dengan masalah
pembuktian.
Kedua, sebagai konsekuensi logis sistem peradilan pidana di Indonesia
yang didominasi oleh crime control model yang menggunakan asas praduga
bersalah dalam beracara, tidaklah dapat dilawankan dengan asas praduga tidak
bersalah. Secara tegas dinyatakan oleh Packer dalah keliru jika asas praduga
bersalah sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.
Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah
bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, kedua konsep
itu berbeda tetapi tidak bertentangan.
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak
hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan
mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap
tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak
berorientasi padsa hasil akhir. Sedangkan asas praduga bersalah bersifat
deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangkan akhirnya
akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses
hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pada tahap
peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan41.
KETUJUH atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK42
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun
alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang menyangkut
tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang KPK berlaku
41 Hebert L Packer, 1968, Ibid, hlm. 164. Lihat juga dalam Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4. 42 Pasal 72 : Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan“.
22
sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002.
Adanya penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang
apakah undang-undang a quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya
dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah menimbulkan tidak adanya kepastian
hukum dalam pemberlakuannya.
Tanggapan penulis, ketentuan Pasal 72 undang-undang a quo, TIDAK
ADA KAITANNYA DENGAN KEPASTIAN HUKUM. Persoalan yang selalu
diperdebatkan dalam ketentuan Pasal 72 undang-undang KPK ini adalah
apakah KPK dapat menyidik perkara korupsi sebelum KPK dibentuk berdasarkan
undang-undang a quo ? Mengenai persoalan ini terlebih dulu harus dijelaskan
bahwa kewenangan untuk melakukan proses penuntutan sebagai bagian yang
tidak dipisahkan proses beracara merupakan salah satu makna yang tergantung
dalam asas legalitas.
Menurut sejarahnya, asas legalitas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach. Dengan mantap dalam bahasa Latin ia mengatakan : nulla poena
sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) ;
nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) ; nullum
crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang)43. Berdasarkan ketiga frase tersebut, asas legalitas ini
mempunyai dua fungsi. Kedua frase yang pertama adalah fungsi melindungi dari
asas legalitas. Artinya, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap
kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan frase ketiga adalah
fungsi instrumentasi dari asas legalitas. Artinya, di dalam batas-batas yang
ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-
tegas diperbolehkan44.
Asas legalitas dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam hukum pidana
materiil dan hukum pidana formal. Sebagaimana pembagian umum dalam
hukum pidana seperti yang dinyatakan van Hamel, ”..... strafrecht omvat naar de
43 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Ibid, , hlm. 5 44 Ibid, hlm. 4.
23
gangbare onderscheiding twee deelen, een materieel en een formeel”45. Fungsi
melindungi ada dalam hukum pidana materiil, sementara fungsi instrumentasi
ada dalam hukum pidana formal. Asas legalitas dalam hukum pidana formal
(hukum acara pidana) mempunyai makna setiap perbuatan pidana harus
dituntut. Dengan demikian, KPK sejak terbentuk berwenang untuk melakukan
proses pidana terhadap kasus korupsi selama memenuhi kriteria yang terdapat
dalam Pasal 11 undang-undang KPK tanpa dibatasi batas waktu kapan
perbuatan koruspi tersebut dilakukan.
Pustaka Cavadino Michael dan Dignan James,1997, The Penal Sistem An
Introduction, SAGE Publication Ltd.
Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto
dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan
amal, Jakarta.
Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse
Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, 1995.
Enschede, Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.
Hiariej, Eddy O.S., 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak
Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002.
Hiariej, Eddy O.S ., Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6
November 2003.
Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between
Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean
Legislation Research Institute.
International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th
International Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11
September 1997
King, M.,1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London.
45 G.A Van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-Gravenhage, hlm. 4.
24
Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford
University Press.
Remmelink, Jan., 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal
Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan
Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama.
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan
Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., Diterjemahkan oleh J.E
Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Liberty.
Suringa Hazewinkel, D., 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het
Nederlandse Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tetang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice
Process”, Scarman Center, University Of Leicester.
Utrecht, E., 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung.
Van Hamel, G.A., 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche
Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-
Gravenhage.
Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene
Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.