Teknologi Pengolahan Minyak Kenari -...

63
MODUL PEMBELAJARAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK KENARI G.S.Suhartati Djarkasi Tropical Plant Curriculum Project Sam Ratulangi University

Transcript of Teknologi Pengolahan Minyak Kenari -...

MODUL PEMBELAJARAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK KENARI

G.S.Suhartati Djarkasi

Tropical Plant Curriculum Project Sam Ratulangi University

DISCLAIMERThis publicati on is made possible by the generous

support of the American people through the United

States Agency for Internati onal Development (USAID).

The contents are the responsibility of Texas A&M University

and Sam Ratulangi University as the USAID Tropical Plant

Curriculum Project partners and do not necessarily refl ect

the views of USAID or the United States Government.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University ii

DAFTAR ISI

Halaman Bab. I. Karakteristik tanaman kenari 1

Pendahuluan 1

Taksonomi dan morfologi 1

Pemanenan 6

Produksi 7

Penggunaan biji kenari 7

Daftar Pustaka 8

Bab.II. Ekstraksi dan pemurnian minyak Kenari 10

Pendahuluan 10

Metode ekstraksi 11

a. Rendering 11

b. Pengepresan mekanik 11

c. Ekstraksi dengan pelarut 13

Pemurnian minyak 15

Daftar Pustaka 16

Bab. III. Komposisi dan sifat minyak kenari 18

Pendahuluan 18

Komposisi asam lemak minyak kenari 19

Sifat fisik minyak kenari 24

Sifat kimia minyak kenari 25

Komponen minor minyak kenari 26

Daftar Pustaka 27

Bab.IV. Kerusakan minyak kenari 30

Pendahuluan 30

Kerusakan minyak 31

a. Reaksi hidrolitik 31

b. Reaksi oksidatif 34

1). Autooksidasi 35

2) Fotooksisdasi 39

3) Reaksi yang dikatalisis oleh enzim 42

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University iii

4) Faktor-faktor yang berpengaruh 43

Daftar Pustaka 48

Bab.V. Metode analisis minyak kenari 51

Pendahuluan 51

Metode ekstraksi minyak kenari 51

a. Ekstraksi minyak kenari dengan metode pengepresan 51

b. Ekstraksi minyak kenari dengan metode soxhlet 52

c. Ekstraksi minyak kenari dengan metode maserasi 52

Metode pengukuran sifat kimia minyak kenari 52

Daftar Pustaka 57

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 1

BAB I. KARAKTERISTIK TANAMAN KENARI

Tujuan Instruksional Khusus (Pembelajaran)

Setelah membaca bagian dari bab ini diharapkan mahasiswa/pembaca

dapat menjelaskan tentang karakteristik tanaman, buah, dan biji kenari

sebagai sumber minyak nabati.

PENDAHULUAN Kenari merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak tumbuh di

daerah Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi Utara, Maluku dan pulau

Seram. Diduga, tanaman ini berasal dari Indonesia bagian timur. Beberapa

sumber menyatakan bahwa tanaman kenari juga banyak dijumpai di

beberapa negara seperti Thailand, Filipina, Kepulauan Fiji, dan Papua New

Guinea. Penelitian intensif tentang asal-usul tanaman ini yang sebenarnya

masih perlu dilakukan.

Di Indonesia, tanaman ini masih merupakan tanaman hutan dan

belum banyak dibudidayakan. Sumber lain menyatakan bahwa tanaman ini

banyak dijumpai di daerah Malenesian (Kennedy dan Clarke, 2004, Thomson

dan Evanz, 2004). Tanaman kenari diketahui juga sebagai Canarium nut

(Keneddy dan Clarke, 2004).

TAKSONOMI DAN MORFOLOGI Secara taksonomi, kenari memiliki nomenklatur: Kingdom Plantae,

Subkingdom Tracheobionta, Superdivisi Spermatophyta, Divisi

Magnoliophyta, Klas Magnoliopsida, Subklas Rosidae, Ordo Sapindales,

Famili Burseraceae, Genus Canarium (Leenhouts, 1956, Anonimous, 2004,

Keneddy dan Clarke, 2004). Genus Canarium merupakan genus terbesar

dalam famili Burseraceae yang tersebar dari di Afrika, Asia, dan Kepulauan

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 2

Pasifik (Sui, et al., 1997). Jadi, dari taksonomi dapat diketahui bahwa kenari

merupakan tanaman vascular (mempunyai sistem jaringan pembuluh pada

batangnya), berbunga, dan berbiji dikotil.

Dari spesies yang ada, spesies yang terdapat di Pasifik Barat dapat

diklasifikasikan menjadi 2 group, yaitu: (1) maluense (spesies: Canarium

lamili, Canarium salomonense, Canarium harveyi) dan (2) vulgare (Canarium

vulgare, Canarium indicum, Canarium ovatum) (Leenhouts, 1959, Yen, 1994,

Keneddy dan Clarke, 2004). Kenyataan bahwa kemiripan ketiga spesies

Canarium indicum, Canarium vulgare, dan Canarium ovatum yang termasuk

dalam group vulgare juga dikemukakan oleh Coronel (1996) dan Thomson

dan Evans (2004). Menurut Evans (1994) ketiga spesies yang dominan

tersebut berbeda-beda asalnya Canarium vulgare dari Indonesia, Canarium

ovatum dari Filipina, dan Canarium indicum berasal dari Indonesia, Papua

New Guinea, Solomon, dan Vanuatu. Leenhouts (1959) mengemukakan

bahwa Canarium indicum dan Canarium vulgare sangat mirip (overlap).

Terutama jika didasarkan pada stipula dan morfologi buahnya (bentuk,

ukuran, ketebalan shell, dan warna skin buah). Namun demikian, Canarium

indicum mempunyai produksi lebih tinggi dari spesies yang lain dan ukuran

lebih besar sehingga paling sesuai untuk dijadikan komoditi komersil (Yen,

1994).

Genus Canarium memiliki sekitar 100 spesies yang kebanyakan

tumbuh di hutan lembab dataran rendah di daerah Melanesia (Kennedy dan

Clarke, 2004). Namun demikian, spesies domestik yang paling banyak

terdapat di Indonesia antara lain, Canarium lamili (Irian Jaya), Canarium

vulgare (Sangihe Talaud, Sulawesi, Seram, Morotai, Tanimbar, dan Flores),

dan Canarium indicum (Sulawesi utara, Ambon, Ternate, pulau Seram, dan

Kai) (Leenhouts, 1959, Yen, 1994). Dari sebaran distribusi dan nilai

komersial dari tiga spesies yang disebut diatas yang paling berpotensi

adalah Canarium indicum. Canarium indicum ini dikenal juga dengan nama

Canarium amboinense Hochr., Canarium commune L., Canarium.

mehenbethene Gaertn., Canarium moluccanum Blume, dan

Canariumanarium zephyrinum Rumphius (Thomson dan Evans, 2004).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 3

Tempat tumbuh tanaman kenari umumnya di hutan primer dengan

kondisi tanah bervariasi; berkapur, berpasir, maupun tanah liat. Selain itu,

tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan

ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (Thomson dan Evans, 2004).

Pada kondisi dengan kesuburan optimal, tanaman ini bisa mencapai

ketinggian 40 sampai 50 meter dan diameter batang bagian bawah 1 – 1,5

meter (Gambar 1.1). Daunnya majemuk menyirip ganjil terdiri dari 6 – 8

pasang berhadapan, lonjong, dan pangkal meruncing. Daun tanaman kenari

berukuran panjang daun 7 – 28 cm dan lebar 3,5 – 11 cm. Tanaman ini

termasuk tanaman berbunga. Bunganya kecil berwarna putih kekuning-

kuningan dengan mahkota berbentuk segi tiga.

Gambar 1. 1. Pohon Kenari (Canarium indicum)

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 4

Tanaman ini menghasilkan buah dan biji (kernel) yang biasanya

dimanfaatkan sebagai pangan camilan. Biji (kernel) tersebut mengandung

lemak dan protein tinggi. Berdasarkan pada kandungan lemak dalam biji

kenari, tanaman ini dapat dibandingkan dengan beberapa tanaman lain yang

bijinya mengandung lemak tinggi yaitu almond, cashew, walnut, brazilnut,

hazelnut, pecan, dan macadamia. Semua tanaman tersebut termasuk dalam

golongan tree nut, yaitu tanaman kacang-kacangan sumber minyak yang

dominan dalam perdagangan.

Buah kenari berbentuk lonjong (ovoid) sampai agak bulat, dengan

dimensi morfologi 2-4 x 3-6 cm, dan pada umumnya berwarna hijau pada

saat masih mentah, berubah menjadi hijau tua agak kegelapan sampai

kehitaman pada saat buah matang. Warna hitam terjadi karena degradasi

klorofil pada kulit buah.

Secara morfologi, buah kenari terdiri dari bagian kulit luar (exocarp),

daging buah (mesocarp), dan bagian tempurung dan isinya (endocarp).

Bagian kulit luar dan daging buah ada yang tebal dan ada yang tipis

tergantung pada spesies kenari. Bagian tersebut biasanya dibuang begitu

saja, belum banyak dimanfaatkan oleh manusia. Bagian endocarp, sering

disebut sebagai nut-in-shell (NIS), terdiri dari tempurung dan biji yang

dibungkus oleh kulit ari (testa). Tempurung biji kenari biasanya dimanfaatkan

sebagai bahan bakar. Biji yang dipisahkan dari testa adalah bagian yang

dapat dimakan (edible portion), inilah yang dimaksud dengan kenari yang

biasa digunakan untuk makanan.

Nut-in-shell (NIS) mempunyai 3 – 6 sisi atau bulat, biasanya memiliki

2-3 biji, tergantung pada spesies dan kultivar (Gambar 1.2.). Dimensi

morfologis dari NIS adalah panjang 28 – 62 mm, lebar 20 - 35 mm dengan

berat basah 8 - 20 g (Gambar 1.3). Biji kenari dilindungi oleh kulit ari atau

testa, yang dalam keadaan masih segar mudah sekali dilakukan

pengupasan, tetapi pada biji yang telah kering, kulit ari menyatu dengan

bagian bijinya (biji yang demikian disebut dengan nut in testa, (NIT). Bagian

NIT lebih sulit dilakukan pengupasan, kecuali direndam dalam air hangat

beberapa saat sebelumnya. Atau biasanya, biji kenari harus direndam dalam

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 5

air dingin selama kurang lebih satu jam. Pemisahan biji kenari dari

tempurung dan kulit ari memberikan bagian yang dapat dimakan (Gambar

1.4). Bagian yang dapat dimakan dari biji kenari adalah ± 25 persen dari NIS

kering (Thomson dan Evans, 2004).

Komposisi kimia biji kenari sangat tergantung pada spesies, keadaan

tanah, iklim, dan lokasi tumbuh. Berdasarkan pada komposisi kimia, biji

kenari mengandung lemak (65 – 70%) sebagai komponen utamanya. Oleh

sebab itu biji kenari dapat dijadikan sebagai sumber minyak nabati.

Gambar 1.2. Kenari (Canarium indicum L. var. indicum), A: Cabang dan daun kenari. B: NIS (Nut in Shell) dari beberapa kultivar

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 6

Gambar 1.3. Morfologi biji kenari spesies Canarium indicum, A adalah

NIS dan B adalah NIT

Gambar 1.4. Biji (kernel) kenari spesies Canarium indicum

PEMANENAN

Kenari adalah tanaman musiman, dengan musim panen pada bulan

Maret sampai dengan Agustus..Selebihnya, tanaman berbuah sepanjang

tahun tetapi sangat fluktuatif, tergantung pada musim hujan dan musim

kemarau. Namun demikian, produk kenari dapat dijumpai sepanjang tahun

A B

B

A

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 7

karena biji kenari (NIS) yang sudah dikeringkan mempunyai umur simpan

yang relatif lama.

Sistem pemanenan buah kenari yaitu dilakukan pemanjatan pohon

dengan bantuan galah, buah kenari dirontokkan kemudian dikumpulkan.

Secara tradisional, pemanenan dilakukan setelah buah kenari jatuh.

PRODUKSI

Sampai sekarang, data produksi biji kenari yang akurat masih sulit

dijumpai karena tanaman ini belum dibudidayakan. Namun demikian sebagai

gambaran, satu hektar lahan dapat ditumbuhi kurang lebih 90 pohon kenari

dan setiap pohon, mampu menghasilkan 50 kg biji kenari (Nut in Testa, NIT)

per tahun (Thomson dan Evans, 2004). Dengan demikian, dalam satu hektar,

tanaman kenari dapat menghasilkan sekitar 4,5 ton NIT per tahun. Meskipun

belum dibudidayakan secara intensif, di beberapa propinsi di Indonesia, biji

kenari setiap bulan dibutuhkan secara rutin. Di Sulawesi Utara, misalnya,

sekitar 70-80 ton biji kenari (NIT) per tahun dimanfaatkan sebagai bahan

tambahan pembuatan kue yang diperoleh dari daerah Minahasa, Sangihe

Talaud, Ternate, dan Ambon (Eveline, 2006). Biji sebanyak itu, diperkirakan

minimal diperoleh dari 1400 – 1600 pohon kenari, atau kalau dibudidayakan,

diperoleh dari lahan kenari seluas 15 –17 hektar.

PENGGUNAAN BIJI KENARI

Selama ini biji kenari dimanfaatkan untuk bahan pangan camilan

(makanan ringan) yang memiliki nilai potensi komersial. Di Manado, biji

kenari banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, misalnya halua kenari,

ditambah dalam pembuatan roti, kue, dan klarpert tart. Makanan-makanan

yang ditambah dengan biji kenari sangat digemari oleh masyarakat sehingga

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Makanan yang mengandung biji kenari

tersebut menjadi makanan khas daerah sebagai oleh-oleh yang digemari

oleh wisatawan. Makanan yang mengandung biji kenari digemari karena

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 8

kontribusi protein dan lemaknya. Kedua komponen tersebut memberikan

kontribusi rasa gurih pada makanan. Oleh sebab itu di daerah Manado biji

kenari menjadi produk pangan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan

sangat penting untuk dikembangkan secara komersial.

Evaluasi Pembelajaran 1. Ada berapa spesies dari genus Canarium yang anda ketahui? Sebutkan!

2. Sebutkan spesies yang sinonim dengan spesies Canarium indicum!

3. Jelaskan deskripsi tanaman kenari!

4. Apa perbedaan NIS dengan NIT?

5. Sebutkan penggunaan biji kenari dalam pengolahan pangan!

Daftar Pustaka

Anonimous, 1999. Introducing the Molucca Nut. Project Bird Watch and Yayasan Wallacea. PO Box 110-P, Ubud, Bali-Indonesia.

Anonimous, 2004. Plants Profil. Natural resources conservation service

USDA. Coronel, R.E., 1996. Pili Nut (Canarium ovatum Engl.) International Plant

Genetic Resources Institute. Rome, Italy. Evans, B., 1994. Overview of resource potential for indigenous nut

production in South Pacific Indigenous Nuts. Edited by Steven, M.L., R.M. Bourke, and B.R. Evans. Proceedings of a workshop, 31 October – 4 November, Vanuatu. Pp. 10-35.

Kennedy, J and W.Clarke, 2004. Cultivated Landscapes of the Southwest

Pasific. Resource Management in Asia-Pasific, Canberra. Version 1.1. Leenhout, P.W., 1956. Burseraceae. In Van Steenis, C.G.G.J. Ed. Flora

Malesiana Series 1, vol. 5. Pp. 256-296. Noordhoff-Kolff N.V., Djakarta. Leenhout, P.W., 1959. Revision of the the Burseraceae of the Malaysian

area in woder sense. Canarium Stickm. Blumea, 9(2):275-647.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 9

Sui, L., F. Zee, R.M. Manshardt, Mallikarjuna, and K. Aradhya, 1997. Enzyme

polymorphisms in Canarium. Scientia Horticulture, 68: 197-206. Thomson, L.A.J and Barry Evans, 2004. Canarium indicum var. indicum and

C. harveyi (canarium nut) Burseraceae (torchwood family). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry www.traditionaltree.org.

Yen, D.E., 1994. Melanesian Arboriculture: Historical perspective with

emphasis on genus Canarium in South Pacific Indigenous Nuts. Edited by Steven, M.L., R.M. Bourke, and B.R. Evans. Proceedings of a workshop, 31 October – 4 November, Vanuatu. Pp. 36-44.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 10

BAB II. EKSTRAKSI DAN PEMURNIAN MINYAK KENARI

Tujuan Instruksional Khusus (Pembelajaran)

Setelah membaca Bab 2 ini diharapkan mahasiswa/pembaca dapat

menjelaskan tentang ekstraksi minyak kenari, baik secara mekanik maupun

secara kimiawi dan dapat menjelaskan jenis-jenis impurities yang mungkin

ada dalam minyak kenari serta pengaruhnya terhadap kualitas minyak.

PENDAHULUAN

Ekstraksi minyak dari bahan nabati merupakan suatu cabang ilmu

khusus dari teknologi lemak dan minyak. Kebanyakan minyak nabati

diperoleh dari kacang-kacangan atau biji-bijian, yang secara umum memberi

dua komoditi yang bernilai yaitu minyak dan tepung kaya protein (Gunstone,

2002). Pada pengolahan minyak, proses pengolahannya dilakukan

berdasarkan pada sifat alami minyak tersebut dan juga tergantung pada hasil

akhir yang dikehendaki. Perbedaan karakteristik bahan dari sumber yang

bermacam-macam memerlukan penanganan yang berbeda pula (Norris,

1982, Ketaren, 1986).

Lipida alami bergabung dengan molekul lain melalui interaksi van der

waals (interaksi beberapa molekul lipida dengan protein), elektrostatik, ikatan

hidrogen, dan ikatan kovalen (Shahidi dan Wanasundara, 2002). Oleh

karena itu, pemisahan dan isolasi lipida dari makro selular kompleks

dilakukan dengan perlakuan fisik dan kimia. Ekstraksi adalah suatu cara

untuk mendapatkan minyak dari bahan yang mengandung lipida. Tujuan

umum proses ekstraksi sebagai berikut: untuk memperoleh minyak yang

bebas dari kotoran (impurity) yang tidak diinginkan, memperoleh rendemen

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 11

tinggi dengan proses yang ekonomis, dan menghasil residu atau bungkil

yang masih bernilai tinggi (Norris, 1982).

METODE EKSTRAKSI Cara ekstraksi minyak dan lemak dapat dilakukan dengan bermacam-

macam cara, yaitu: rendering, pengepresan mekanik, dan ekstraksi dengan

pelarut (Norris, 1982, Ketaren, 1986, Fils, 2000, Gunstone, 2002).

a. Rendering Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari

bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi.

Penggunaan panas pada proses ekstraksi adalah suatu hal yang spesifik,

yang bertujuan untuk menggumpalkan protein pada dinding sel bahan dan

untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh

minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya. Pada umumnya rendering

untuk ekstraksi minyak atau lemak dari jaringan hewan (Norris, 1982,

Kataren, 1986).

b. Pengepresan Mekanik Pengepresan mekanik merupakan suatu cara ekstraksi minyak

terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian, termasuk biji kenari. Cara

ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak

tinggi sekitar 30-70% dan kadar air rendah yaitu lebih kecil dari 5 % (Ketaren,

1986, Shahidi dan Wanasundara, 2002). Ekstraksi minyak dengan

pengepresan dapat dibagi dalam dua tahap persiapan atau perlakuan

pendahuluan dan ekstraksi. Tahap persiapan (perlakuan pendahuluan)

meliputi, pembersihan, pengupasan, pengecilan ukuran (perajangan dan

penggilingan), dan pemanasan atau pemasakan. Tahap ekstraksi dilakukan

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 12

dengan pengepresan menggunakan kempa hidrolik atau berulir (Gambar 2.1.

dan Gambar 2.2.) (Norris, 1982, Fils, 2000).

Gambar 2.1. Kempa Hidrolik untuk pengepresan biji kenari

Gambar 2.2. Expeller berulir

Tahap pembersihan dilakukan untuk memisahkan biji-bijian dari bahan

asing berupa kayu, batang, daun, dan pasir. Pembersihan biasanya

menggunakan ayakan dengan ukuran pori-pori tertentu. Pengupasan kulit

dilakukan karena kulit dapat menurunkan rendemen minyak yang dihasilkan.

Minyak akan terserap pada kulit dan juga mempengaruhi warna dan flavor

minyak. Hal tersebut juga berdampak pada residu atau bungkil. Perajangan

dan penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel bahan yang

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 13

akan diekstrak. Pemanasan atau pemasakan bertujuan untuk mengimbangi

atau mengontrol kadar air yang bermacam-macam dari bahan mentah.

Tujuan lain dari pemanasan sebagai berikut:

(1) Menurunkan viskositas minyak sehingga mudah terekstrak

(2) Memecahkan dinding sel

(3) Mengkoagulasikan protein

(4) Menginaktifkan enzim

(5) Mencegah pertumbuhan bakteri atau jamur

(6) Mendetoksifikasi racun

Efisiensi ekstraksi minyak dengan pengepresan tergantung pada

perlakuan pendahuluan atau tahap preparasi sebelum pengepresan. Residu

atau bungkil hasil pengepresan mengandung minyak sekitar 2,5 – 5 %

(Noris, 1982), 5 – 10 % (Gunstone dan Norris, 1982), dan 10 – 25% (Pokorny

dan Parkanyiova, 2003). Kandungan minyak dalam residu tergantung pada

tekanan dan waktu proses pengepresan.

c. Ekstraksi dengan Pelarut

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut tergantung pada

perbedaan kelarutan antara lipida dan komponen lain dalam bahan pangan.

Perbedaan kelarutan terutama berhubungan dengan polaritas dan sifat

alami antara lipida dan komponen lain dalam bahan yang akan diekstrak. Biji

kenari dapat diesktrak minyaknya dengan menggunakan pelarut organik.

Polaritas dari jenis lipida dan pelarut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Sifat lemak dan minyak yang tidak larut dalam air menyebabkan lemak

dan minyak dapat dipisahkan dari protein, karbohidrat, dan air dalam bahan.

Kelarutan lemak dan minyak dalam pelarut organik ditentukan oleh proporsi

rantai hidrokarbon non polar dari asam lemak atau alifatik lain dan gugus

fungsional lipida, seperti fosfat atau gula dalam molekulnya. Lemak dan

minyak, mengandung gugus polar yang tidak dapat dibedakan (misalnya,

trigliserida atau ester kolesterol), sangat larut dalam pelarut hidrokarbon

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 14

(heksan, benzen atau sikloheksan) dan pada pelarut lebih polar (kloroform

atau dietileter) tetapi tidak larut dalam pelarut polar (metanol) (Shahidi dan

Wanasundara, 2002). Di sini berlaku kaidah like dissolves like, komponen zat

yang direaksikan non polar akan larut dalam pelarut non polar dan kompoen

zat yang direaksikan polar akan larut dalam pelarut polar.

Tabel 2.1. Polaritas dari jenis lipida dan pelarut

Lipida Non polar Pelarut

Hidrokarbon

Ester lilin

Aldehid

Triasilgliserol

Alkohol lemak

Asam lemak

Sterol

Diasilgliserol

Monoasilgliserol

Fosfolipida

Polar

Heksan

Sikloheksan

Dietil eter

Kloroform

Aseton

Asetonitril

Etanol

Metanol

Sumber: Nichols dan Sanderson, 2002

Komponen non polar atau lipida seperti hidrokarbon, ester sterol,

asilgliserol, dan karotenoid dapat diekstrak dengan pelarut non polar seperti

kloroform atau dietil eter. Sedangkan komponen lipida polar seperti

fosfolipida atau glikolipida diekstrak dengan pelarut yang lebih polar seperti

methanol atau etanol. Campuran pelarut organik dengan berbagai polaritas

dapat juga digunakan untuk mengekstrak minyak. Namun, penggunaan

pelarut yang lebih polar misalnya methanol, hasil ekstrak tercampur dengan

komponen lain seperti gula, asam amino, atau garam.

Prinsip dari ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah proses

ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam pelarut organik. Pada cara ini

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 15

dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang rendah yaitu sekitar 1% (Fils,

2000), 2 – 3 % (Pokorny dan Parkanyiova, 2003). Namun demikian, hasil

minyak yang diperoleh mempunyai mutu sama seperti hasil pengepresan,

karena sebagian fraksi bukan minyak yang dapat larut pada pelarut non polar

akan ikut terekstrak. Oleh sebab itu, proses pemurniaan perlu dilakukan

untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang daya simpan minyak.

PEMURNIAN MINYAK

Lemak dan minyak kasar yang dihasilkan dengan metode rendering,

pengepresan, atau ekstraksi pelarut mengandung sejumlah komponen

minor yang merupakan komponen pengotor (impurities) non gliserida.

Komponen minor tersebut ada yang disukai keberadaannya dan ada yang

tidak disukai. Beberapa komponen yang disukai seperti tokoferol karena

dapat melindungi minyak dari proses oksidasi dan dapat meningkatkan daya

simpan. Sedangkan komponen minor yang tidak disukai karena

mengakibatkan efek merugikan seperti warna minyak menjadi gelap,

menurunkan titik asap, atau mengendapkan ketika minyak dipanaskan. Pada

umumnya komponen pengotor (impurities) pada minyak adalah asam lemak

bebas, yang dapat mempengaruhi citarasa, off-flavor, dan penurunan daya

simpan minyak. Hal ini juga terjadi pada minyak kenari terdapat komponen

minor, antara lain tokoferol dan asam lemak bebas.

Komponen pengotor yang tidak diinginkan dapat dihilangkan melalui

proses pemurnian. Proses pemurnian dirancang untuk menghilangkan asam

lemak bebas, fosfatida, atau penghilangan aroma yang tidak dikehendaki

(deodorization).

Minyak biji kenari kasar (hasil ekstraksi dengan metoda pengepresan)

dapat dimurnikan dengan metoda kromatografi kolom sistem adsorpsi

menggunakan kolom dengan ukuran diameter 4,0 cm dan panjang 45 cm,

diisi dengan empat macam adsorben kemudian kolom dihubungkan dengan

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 16

pompa vakum menurut metoda yang dilakukan oleh Khan dan Shahidi

(2001) dengan sedikit modifikasi. Bagian paling bawah kolom diisi 40 g asam

silisat yang diaktifkan, kemudian 20 g campuran celite 545 dan arang aktif

(1:2) dan 80 g campuran celite 545 dan sukrosa (1:2), dan paling atas adalah

40 g asam silisat yang diaktifkan. Semua adsorben dilarutkan dalam heksan.

Sebanyak 100 ml minyak biji kenari kasar (hasil ekstraksi dengan

metoda pengepresan) dilarutkan dalam heksan dengan volume yang sama

kemudian minyak tersebut dilewatkan dalam kromatografi kolom. Hasilnya

ditampung dan pelarut diuapkan menggunakan rotary evaporator dengan

suhu 30°C selanjutnya dialiri gas N2 untuk menghilangkan sisa pelarut.

Evaluasi Pembelajaran 1. Jelaskan tujuan dari rendering dalam proses ekstraksi minyak kenari!

2. Ekstraksi dengan pelarut mendasarkan teori like-dissolves-like. Mengapa

hal ini dipertimbangan sangat penting?

3. Selain minyak, kemungkinan terlarutnya senyawa non-polar menjadi

lebih tinggi pada ekstraksi minyak dengan pelarut organik. Mengapa?

4. Apa kelebihan ekstraksi dengan solven dibanding dengan pengepresan?

5. Pemurnian minyak pada umumnya memisahkan minyak dari impurities

lain. Haruskan semua impurities dihilangkan?

Daftar Pustaka

DeMan, J.M., 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Ed. Aspen Pub. Inc. Gaithersbury, Maryland.

Fils, J.M., 2000. The Production of Oils. In: Hamm, W. and R.J. Hamilton. Ed.

Edible Oil Processing. Sheffield, CRC Press, Canada. Pp. 47 – 78.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 17

Gunstone, F.D., 2002. Production and Trade of Vegetable oils. In: Gunstone, F.D. Ed. Vegetable Oils in Food Technology, Composition, Properties, and Uses.Blackwell, CRC Press, Dundee. Pp. 1- 17.

Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-

Press, Jakarta Nawar, W.W. 1985. Lipids. In: Fennema, O.R., Ed. Food Chemistry. Second

edition, revised and expanded. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Pp. 139-244.

Nichols, D.S. dan K. Sanderson, 2003. The Nomenclature, Structure, and

Properties of Food Lipids. In: Sikorski, Z.E and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington. Pp. 29-59.

Norris, F.A., 1982. Extraction of Fats and Oils. In: Allen, R.R., M.W. Formo,

R.G. Krishnamurthy, G.N. McDermott, F.A. Norris, and N.O.V. Sonntag. Ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Volume 2. A Wiley-Interscience Publication, New York.

Pokorny, J. and L. Parkanyiova, 2003. Plant Lipids and Oils. In: Sikorski, Z.E

and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington. Pp. 205-220.

Shahidi, F. and P.K.J.P.D. Wanasundara, 2002a. Extraction and Analysis of

Lipids. In: Akoh, C.C. and D.B. Min. Ed. Food Lipids Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. Marcel Dekker, New York. Pp. 133-168.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 18

BAB III. KOMPOSISI DAN SIFAT MINYAK KENARI

Tujuan Instruksional Khusus (Pembelajaran)

Setelah selesai membaca Bab III ini diharapkan mahasiswa/pembaca dapat

menjelaskan jenis-jenis asam lemak penyusun minyak kenari dan

pengaruhnya terhadap kualitas minyak yang diekspresikan ke dalam sifat

baik sifat fisik maupun sifat kimia.

PENDAHULUAN

Lipida adalah senyawa organik berminyak atau berlemak yang

tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti heksan dan

kloroform Lipida dapat dikelompokkan menjadi lipida sederhana, lipida

komposit, spingolipida, dan lipida turunan. Lemak dan minyak

merupakan bagian dari kelompok lipida sederhana yang disusun oleh

dua komponen utama, yaitu asam lemak dan gliserin.

Minyak kenari diperoleh dari hasil ekstraksi biji (kernel) kenari,

baik dengan metode pengepresan maupun ekstraksi dengan pelarut

organik. Komposisi minyak kenari terdiri dari trigliserida, asam lemak,

dan non gliserida sebagai komponen minor. Pada umumnya komponen

minor minyak nabati adalah fosfolipida, tokoferol, flavonoid, komponen

fenolik, pigmen (karotenoid dan klorofil), sterol, asam lemak bebas,

digliserida, dan monogliserida (Hamilton, 1989). Beberapa komponen

minor penting untuk stabilitas dan flavor minyak kenari.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 19

KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK KENARI

Asam lemak adalah asam karboksilat alifatik, bersama-sama dengan

gliserol merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak. Asam

lemak dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam

lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh meliputi asam lemak tidak jenuh

tunggal atau lebih dikenal dengan MUFA (mono unsaturated fatty acid) dan

asam lemak tidak jenuh majemuk yang biasa disebut PUFA (poly

unsaturated fatty acid) (Gunstobe, 2000). Pada umumnya asam-asam lemak

mempunyai jumlah atom C genap dari C2 sampai dengan C24 dan dalam

bentuk bebas atau ester dengan gliserol.

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak tidak mempunyai ikatan

rangkap dan biasanya lurus. Asam lemak jenuh biasanya dibagi menjadi

asam lemak jenuh rantai pendek, asam lemak jenuh rantai sedang/medium,

dan asam lemak jenuh rantai panjang. Nama umum asam lemak jenuh

dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Nama umum dan struktur kimia asam lemak jenuh

Jumlah atom C Nama umum Struktur kimia

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

Asam asetat

Asam butirat

Asam kaproat

Asam kaprilat

Asam kaprat

Asam laurat

Asam miristat

Asam palmitat

Asam stearat

Asam arakidat

Asam behenat

Asam lignoserat

CH3COOH

CH3(CH2)2COOH

CH3(CH2)6COOH

CH3(CH2)8COOH

CH3(CH2)10COOH

CH3(CH2)12COOH

CH3(CH2)14COOH

CH3(CH2)16COOH

CH3(CH2)18COOH

CH3(CH2)20COOH

CH3(CH2)22COOH

CH3(CH2)24COOH

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 20

Minyak nabati sebagian besar mengandung asam lemak tidak jenuh,

demikian juga minyak kenari. Adanya ikatan rangkap pada asam lemak tidak

jenuh menimbulkan kemungkinan terjadinya isomer. Isomer-isomer terjadi

dapat disebabkan oleh (1) banyaknya ikatan rangkap, (2) kedudukan ikatan

rangkap di dalam rantai, dan (3) konfirgurasi cis dan trans. Asam lemak

tidak jenuh yang penting dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Beberapa asam lemak tidak jenuh

Jumlah atom C

Nama Umum

Struktur kimia Sumber

18:1 Asam

oleat

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Minyak zaitun,

minyak kenari

18:2 Asam

linoleat

CH3(CH2)4(CH=CHCH2)2(CH2)6COOH Biji rami,

kedelai

18:3 Asam

linolenat

CH3CH2(CH=CHCH2)3(CH2)6COOH Bii rami

20:4 Asam

arakidonat

CH3(CH2)4(CH=CHCH2)4(CH2)2COOH Minyak

kacang tanah

Komposisi asam lemak minyak kenari (Canarium indicum) hasil

analisis dengan kromatografi gas adalah laurat (C12:0), miristat (C14:0),

palmitat (C16:0), stearat (C!8:0), oleat (C18:1), linoleat (C18:2), dan linolenat

(C18:3) data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.3. Asam lemak dalam

minyak kenari adalah asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal,

dan asam lemak tidak jenuh majemuk. Perbandingan antara asam lemak

jenuh dan asam lemak tidak jenuh hampir sama.

Komposisi asam lemak minyak kenari (Canarium indicum) ini selaras

dengan hasil penelitian Kakauda et al (2000), pada pili nut (Canarium

ovatum) asam oleat (44,7 %) yang tertinggi diikuti asam palmitat (33,3 %),

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 21

asam stearat (10,9 %), dan asam linoleat (10,1 %). Berbeda dari hasil yang

diperoleh He dan Xia (2007), pada Chinese olive (Canarium album) asam

linoleat yang tertinggi (41,8±0,08 %), asam oleat (30,5±0,16 %), asam

palmitat (18,0±0,06 %), dan asam stearat (7,83±0,02 %).

Pada umumnya minyak nabati mengandung asam palmitat, oleat, dan

linoleat sebagai komponen utama meskipun seringkali asam lemak lain

menjadi signifikan. Biasanya kandungan nasam palmitat pada minyak nabati

adalah dibawah 20% dan ada juga kurang dari 10%, tetapi pada minyak

kelapa asawit kandungan asam palmitat (44%) dan pada minyak biji kapas

(27%). Sisanya merupakan asam oleat dan linoleat (>80%). Sebagai contoh,

asam oleat yang dominan pada minyak olive (zaitun) yaitu 78%, minyak

safflower (74%), dan minyak bunga matahari (81%). Asam linoleat tinggi

pada minyak kedelai (53%), minyak jagung (52%), minyak biji kapas (57%),

minyak wijen (45%), dan minyak kacang tanah (41%) (Gunstone, 1996).

Tabel 3.3. Komposisi asam lemak minyak kenari (Canarium indicum)

yang diperoleh dengan metode pengepresan

Jenis asam lemak Jumlah (%)

Asam laurat

Asam miristat

Asam palmitat

Asam stearat

Asam oleat

Asam linoleat

Asam linolenat

1,16

0,48

24,69

13,67

46,86

11,35

0,43

Sumber: Djarkasi, et al., (2007)

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 22

Jenis asam lemak minyak kenari pada posisi Sn-2

Komposisi posisi sn-2 trigliserida dapat ditentukan dengan

menggunakan enzim lipase pancreas (Brockerhoff dan Jensen, 1974). Enzim

tersebut menghidrolisis trigliserida pada posisi alfa (sn-1 dan sn-3) sehingga

tinggal sn-2 pada molekul monogliserida dan asam lemak bebas. Asam

lemak 2-monogliserida hasil hidrolisis dapat diisolasi dan ditransesterifikasi

untuk menentukan asam lemaknya dengan menggunakan kromatografi gas

(Gunstone dan Norris, 1983).

Minyak kenari yang telah mengalami hidrolisis dengan enzim lipase

dapat dilakukan pemisahan fraksi dari 2-monogliserida, digliserida,

trigliserida, dan asam lemak bebas dengan Thin Layer Chromatography

(TLC). Caranya, minyak kenari (produk hidrolisis) diteteskanpada plat TLC

(20 x 20 cm), kemudian dikembangkan dengan menggunakan larutan

heksan, dietileter, dan asam asetat dengan perbandingan 70:30:1 (Gambar

3.1). Setelah plat kering discan menggunakan scanner CAMAG 3, hasil scan

dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.1. Hasil TLC produk hidrolisa minyak biji kenari menggunakan enzim lipase pankreas (P) dan standar asam lemak 2-monooleat (S)

P S

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 23

Dari Gambar 3.1. dapat diketahui bahwa produk hidrolisis terdiri dari

empat fraksi. Berdasarkan asam lemak standar (2-monooleat) dapat

diketahui fraksi 2-monogliserida dari produk hidrolisis. Hasil yang diperoleh

ini sama dengan hasil scan plat menggunakan scanner CAMAG 3 diketahui

bahwa Rf (Reterdation factor) asam lemak 2-monooleat (standar) adalah

0,029-0,041 (Gambar 3.2a). Hal ini sesuai dengan pustaka bahwa Rf untuk

2-monogliserida (0,035), digliserida (0,18), asam lemak bebas (0,42), dan

trigliserida (0,66).

Gambar 3.2. Kromatogram pemisahan produk hidrolisa minyak kenari dengan

menggunakan TLC (A) standar 2-monogliserida (2-monooleat) dan (B) produk hidrolisa (Puncak 1-5 adalah fraksi 2-monogliserida, puncak 6 adalah digliserida, puncak 10 adalah asam lemak bebas, dan puncak 12 – 13 adalah trigliserida)

B

A

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 24

Analisis asam lemak pada posisi Sn-2 ditentukan dengan

menggunakan enzim lipase pankreas. Enzim ini spesifik memutuskan ikatan

ester alfa gliserida. Komposisi asam lemak posisi Sn-2 pada trigliserida

minyak biji kenari dari spesies Canarium indicum yang dianalisis dengan

kromatografi gas komposisinya disajikan pada Tabel 3.4,

Tabel 3.4. Komposisi asam lemak posisi Sn-2 pada minyak kenari

(Canarium indicum)

Jenis asam lemak Jumlah (%)

Asam palmitat

Asam stearat

Asam oleat

26,83

9,77

59,05

Sumber: Djarkasi, et al., (2008)

SIFAT FISIK MINYAK KENARI

Densitas relatif minyak biji kenari pada suhu 30°C adalah berkisar

0,904 – 0,912. Densitas diperoleh dari perbandingan berat dan volume

minyak, sedangkan densitas relatif adalah perbandingan antara densitas

minyak dan densitas air (Gaman dan Sherrington, 1996). Setiap jenis minyak

mempunyai nilai densitas relatif yang khas, tergantung pada jenis asam

lemak penyusun minyak tersebut. Kenyataan ini seperti yang dikemukakan

oleh Nichols dan Sanderson (2003), densitas relatif dari suatu minyak

meningkat dengan meningkatnya berat molekul dari komponen asam lemak

dan proporsi asam lemak tidak jenuh. Namun demikian, densitas suatu

minyak juga tergantung pada suhu, yaitu nilai densitas akan menurun

dengan meningkatnya suhu (Eskin, et. al, 1996).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 25

Indeks bias minyak biji kenari pada suhu 30°C adalah berkisar 1,463

– 1,464. Indeks bias akan meningkat pada minyak yang mempunyai rantai

panjang dan adanya ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak akan

bertambah dengan meningkatnya berat molekul, selain dengan naiknya

derajat ketidakjenuhan dari asam lemak tersebut (Ketaren, 1986, Gunstone,

2000).

Titik cair minyak biji kenari adalah 22,3 – 22,6°C. Titik cair suatu

minyak mempunyai kisaran tertentu tergantung pada asal atau sumbernya.

Hal ini disebabkan bahwa titik cair minyak atau lemak dipengaruhi sifat asam

lemak, yaitu daya tarik antar asam lemak yang berdekatan dalam kristal.

Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai karbon, jumlah ikatan rangkap, dan

bentuk cis atau trans pada asam lemak tidak jenuh. Sebagai contoh, titik cair

akan menurun dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap. Hal ini dapat

diterangkan bahwa ikatan antarmolekul asam lemak tidak jenuh kurang kuat,

sebab rantai pada ikatan rangkap (cis) tidak lurus. Makin banyak ikatan

rangkap, ikatan makin lemah, berarti titik cair akan lebih rendah. Demikian

pula dapat dimengerti bahwa asam lemak jenuh mempunyai titik cair lebih

tinggi dari pada asam lemak tidak jenuh. Adanya bentuk trans pada asam

lemak akan menyebabkan lemak mempunyai titik cair yang lebih tinggi dari

pada adanya bentuk cis (Winarno, 2002).

SIFAT KIMIA MINYAK KENARI

Angka penyabunan minyak biji kenari adalah 169 – 194 mg KOH.

Angka penyabunan tersebut dapat menunjukkan berat molekul asam lemak.

Pada trigliserida dengan asam lemak yang rantai karbonnya pendek, angka

penyabunan lebih tinggi dari pada asam lemak dengan rantai karbon

panjang. Berat molekul dari trigliserida dalam minyak kira-kira sama dengan

tiga kali angka penyabunan (Rossell, 1986).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 26

Angka iodin minyak kenari adalah 57,1 – 60,7 gram iod/100 gram

minyak. Angka iodin merupakan parameter penting dalam perdagangan yang

dapat menentukan kualitas minyak berdasarkan banyaknya ikatan rangkap

dalam asam lemaknya (Nichols dan Sanderson, 2003). Semakin besar

angka iodin, maka semakin banyak ikatan rangkap yang ada dalam asam

lemak suatu minyak. Sedangkan semakin banyak ikatan rangkap dalam

suatu minyak, maka minyak tersebut akan semakin mudah rusak, karena

sifatnya yang mudah teroksidasi oleh oksigen dari udara, senyawa kimia,

atau proses pemanasan (Nawar, 1985).

Selain itu, angka iodin dapat digunakan untuk klasifikasi minyak

berdasarkan sifat mengering. Berdasarkan sifat mengering, minyak dapat

diklasifikasikan sebagai beriukut: (1) minyak tidak mengering (non drying oil)

adalah minyak yang tidak mengeras ketika terekspose udara, minyak ini

mempunyai angka iodin lebih kecil dari 100, (2) minyak setengah mengering

(semi drying oil) adalah minyak yang mempunyai daya mengering lambat

(parsial), minyak ini mempunyai angka iodin berkisar 100 – 130, dan (3)

minyak mudah mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat

dapat mengering ketika terekspose udara dan akan berubah menjadi lapisan

tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara

terbuka, minyak ini mempunyai angka iodin lebih besar dari 130 (Ketaren,

1985). Minyak biji kenari tergolong pada minyak tidak mengering (non drying

oil) karena mempunyai angka iodin lebih kecil 100.

KOMPONEN MINOR MINYAK KENARI Kandungan tokoferol dan karotenoid dalam minyak kenari adalah

parameter kualitas yang penting karena bisa berpengaruh terhadap

resistensi minyak dari oksidasi. Diketahui, tokoferol dan karoten adalah

senyawa antioksidan, yang dapat melindungi minyak dari proses oksidasi.

Minyak kenari memiliki kandungan tokoferol berkisar 710 – 1140 ppm dan

total karoten 292 – 619 µg/100g. Komponen tersebut bersifat non polar dan

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 27

larut dalam minyak. Pada saat minyak diekstraksi dengan pelarut nonpolar

maka tokoferol dan karoten juga ikut teresktrak karena sifat polaritasnya

sama. Berdasarkan pada kaidah like dissolves like senyawa polar akan larut

dalam pelarut polar, senyawa nonpolar larut dalam pelarut nonpolar. Oleh

sebab itu, kandungan total tokoferol dan karoten tinggi pada minyak yang

diekstraksi menggunakan pelarut non polar.

EALUASI PEMBELAJARAN 1. Apa yang dimaksud dengan asam lemak?

2. Sebutkan jenis asam lemak yang terdapat dalam minyak kenari!

3. Komponen utama asam lemak dalam minyak kenari adalah oleat.

Konsekuensi kandungan asam lemak ini terhadap stabilitas minyak

bagaimana?

4. Jelaskan sifat fisikokimia dari minyak kenari! Bagaimana kualitasnya?

5. Asam lemak pada posisi Sn-2 adalah 18:1. Apa artinya?

Daftar Pustaka

Brockerhoff, H. and R.G. Jensen, 1974. Lipolytic Enzymes, Academic Press, New York.

DeMan, J.M., 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Ed. Aspen Pub. Inc.

Gaithersbury, Maryland. Djarkasi, G.S.S., Slamet Sudarmadji, Zuheid Noor, dan Sri Raharjo 2007.

Sifat Fisik dan kimia Minyak Kenari. Agritech, Volume 27 (4):165-170

Djarkasi, G.S.S., Slamet Sudarmadji, Zuheid Noor, dan Sri Raharjo 2008.

Distribusi dan posisi sn-2 asam lemak minyak biji kenari (Canarium indicum dan Canarium vulgare). Jurnal Agribisnis dan Industri Pertanian, Volume 7 (1):108-113.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 28

Eskin, N.A.M., B.E. McDonald, R. Przybylski, L.J. Malcolmson, R. Scarth, K.Ward, and D. Adolph, 1996. Canola Oil. In: Y.H. Hui. Ed. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. A Wiley-Interscience Publication, New York

Gaman, P.M. and K.B. Sherrington, 1996. The Science of Food, 4th ed.

Butterworth-Heinemann, Oxford Gunstone and Norris, 1983. Lipids in foods: chemistry, biochemistry, and

technology. Pergamon Press Gunstone, F. D., 1996. Fatty Acid and Lipid Chemistry. Blackie Academic &

Professional. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras.

Gunstone, F.D., 2000. Composition and Properties of Edible Oils. In: Hamm,

W. and R.J. Hamilton. Ed. Edible Oil Processing. Sheffield, CRC Press, Canada. Pp. 1 – 33.

Gunstone, F.D., 2002. Production and Trade of Vegetable oils. In: Gunstone,

F.D. Ed. Vegetable Oils in Food Technology, Composition, Properties, and Uses.Blackwell, CRC Press, Dundee. Pp. 1- 17.

Hamilton, R.J., 1989. The Chemistry of Rancidity in Foods. In: Allen, J.C and

R.J. Hamilton. Ed. Rancidity in Foods. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-21.

He, Z. dan W.Xia (2007). Nutritional Composition of the Kernels from

Canarium album L. Food Chem, 102:808-811. Kakuda, Y., F. Jahaniaval, M.F. Marcone, L. Montevirgen, Q. Montevirgen,

and J. Umali. 2000. Characterization of Pili Nut (Canarium ovatum) Oil: Fatty Acid and Triacylglycerol Composition and Physicochemical Propeties. J. Am. Oil Chem. Soc. 77(9): 991-996.

Ketaren, 1986. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan, Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press) Nawar, W.W. 1985. Lipids. In: Fennema, O.R., Ed. Food Chemistry. Second

edition, revised and expanded. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Pp. 139-244.

Nichols, D.S. dan K. Sanderson, 2003. The Nomenclature, Structure, and

Properties of Food Lipids. In: Sikorski, Z.E and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington. Pp. 29-59.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 29

Pokorny, J. and L. Parkanyiova, 2003. Plant Lipids and Oils. In: Sikorski, Z.E and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington. Pp. 205-220.

Rossell, J.B., 1986. Classical Analysis of Oils and Fats. In: Hamilton, R.J.

and J.B. Rossell, Ed. Analysis of Oils and Fats. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-90.

Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 30

BAB IV. KERUSAKAN MINYAK KENARI

Tujuan Instruksional Khusus (Pembelajaran)

Setelah membaca bab IV ini diharapkan mahasiswa//pembaca dapat

menjelaskan tentang stabilitas minyak kenari dan kerusakan yang terjadi

selama penyimpanan.

PENDAHULUAN

Minyak nabati pada umumnya terdiri atas triasilgliserida (95%) dan

non-triasilgliserida sebagai komponen minor (5%). Komponen minor dari

minyak nabati adalah fosfolipida, tokoferol, flavonoid, komponen fenolik lain,

pigment (karotenoid, klorofil), sterol, asam lemak bebas, diasilgliserida, dan

monoasilgliserida (Hamilton, 1989). Asam lemak utama terdapat dalam

minyak kenari adalah asam oleat (46,86±0,04), asam palmitat (24,69±0,14),

asam stearat (13,67±0,27), dan asam linoleat (11,35±0,003) (Djarkasi, et al.,

2007).

Minyak dan lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang

peka mengalami oksidasi. Proses oksidasi minyak dan lemak dapat

menyebabkan flavor dan rasa yang tidak disukai serta penurunan sifat

fungsional dan zat gizi (Min dan Boff, 2002). Mekanisme oksidasi asam

lemak yang menghasilkan peroksida lemak dapat terjadi dengan beberapa

reaksi, yaitu: autooksidasi oleh radikal bebas, foto-oksidasi, dan reaksi yang

melibatkan enzim (Frankel, 1998; Min dan Boff, 2002; Raharjo, 2006). Laju

oksidasi lemak meningkat secara signifikan pada peningkatan suhu dan

tergantung pada jumlah dan jenis oksigen yang ada (Crapiste, et al., 1999).

Oksigen singlet lebih reaktif daripada oksigen triplet (Raharjo, 2006). Produk

oksidatif primer dapat dilihat pada angka peroksida (PV), sedangkan produk

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 31

oksidatif sekunder dapat dilihat pada jumlah malonaldehid yang merupakan

indikator tingkat kerusakan oksidatif. Banyaknya malonaldehid ini dapat

ditera dengan mereaksikannya dengan 2-asam tiobarbiturat (TBA).

Stabilitas oksidasi minyak dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor

eksternal, seperti komposisi asam lemak, kandungan dan aktivitas

prooksidan dan antioksidan, irradiasi, suhu, oksigen, luas permukaan kontak

dengan oksigen, tingkat pengolahan, dan kondisi penyimpanan (Kolakwska,

2003).

Biasanya, stabilitas minyak nabati sangat dipengaruhi oleh kandungan

asam lemak bebas sebagai trigger penyebab kerusakan. Asam lemak bebas

terjadi karena proses hidrolisis minyak atau lemak. Sehingga, kerusakan

minyak biasanya didahului oleh kerusakan hidrolitik.

KERUSAKAN MINYAK

Pada umumnya bahan yang mengandung minyak, kerusakan dapat

terjadi melalui dua reaksi yaitu reaksi hidrolitik dan reaksi oksidatif. Reaksi

hidrolitik, yang membebaskan asam lemak dari molekul trigliserida, dapat

menjadi pemicu (trigger) terjadinya reaksi oksidatif yang menjurus kearah

perusakan minyak.

a. Reaksi Hidrolitik

Bahan pangan sumber minyak, termasuk biji kenari, biasanya

mengandung enzim lipase. Lipase berperan dalam hidrolisis trigliserida

menghasilkan digliserida, monogliserida, asam lemak bebas, dan gliserol.

Hidrolisis ini dikenal dengan hidrolisis enzimatik. Hidrolisis enzimatik oleh

lipase terjadi secara selektif pada posisi alfa (α) menghasilkan 1,2 dan 2,3-

digliserida, senyawa 2-monogliserida, dan dua asam lemak bebas (Gambar

4.1, Frankel, 1998).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 32

Pada umumnya pH optimal untuk lipase adalah pH 8 – 9, meskipun

beberapa lipase memerlukan pH optimal tertentu. Sebagai contoh, lipase dari

biji jarak aktif pada pH 4,2, lipase liposom pH optimal di bawah 5, dan lipase

mikroorganisme Mucor pussilus pH optimal antara 5 – 6. Enzim lipolitik

memiliki kisaran aktivitas suhu yang relatif luas. Pada umumnya suhu

optimum enzim lipase 30 – 40 °C. Enzim lipase yang diekstrak dari biji

kenari mempunyai suhu optimum 40°C. Namun, beberapa lipase mikrobia

masih aktif pada suhu -20 °C, dan lipase dari biji-bijian tertentu dapat

mencapai 65°C (Brockerhoff dan Jensen, 1974).

Gambar 4.1. Mekanisme hidrolisis triasilgliserol oleh lipase (Frankel, 1998)

Spesifitas substrat didefinisikan sebagai spesifisitas posisional, yaitu

kemampuan menghidrolisis hanya ikatan ester primer atau keduanya primer

dan sekunder pada molekul trigliserida, dengan stereospesifitasnya, yaitu

kemampuan untuk menghidrolisis hanya ester 1 atau hanya ester 3 atau

trigliserida; dengan kesukaannya untuk asam lemak lebih panjang atau lebih

CH2OCOR1

R2COOCH

CH2OCOR3

CH2OCOR1

R2COOCH

R2COOCH

CH2OH

R2COOCH

CH2OCOR3

CH2OH

+

CH2OH

CH2OH

+ 2 Asam lemak

2-monoasilgliserol

Triasilgliserol (Trigliserida)1,2-diasilgliserol 2,3-diasilgliserol

lipase

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 33

pendek, jenuh atau tidak jenuh, atau secara umum, dengan ketergantungan

pada laju reaksi pada struktur substrat.

Selain oleh enzim, hidrolisis ikatan ester pada lemak dapat

disebabkan karena panas dan kimiawi, misalnya oleh suhu dan pH ekstrim

(Nawar, 1985). Pada bahan segar yang mengandung minyak, seperti halnya

biji kenari, ransiditas hidrolitik terjadi sebagai hasil akumulasi asam lemak

bebas selama hidrolisis dengan adanya air yang dikatalisa oleh enzim lipolitik

seperti lipase (Rossell, 1989 dan Gunstone, 1996). Oleh sebab itu, kadar air

dalam sistem bahan yang mengandung enzim lipase indigenous, menjadi hal

yang paling kritis dalam menunjang terjadinya proses ransiditas.

Selama hidrolisis, golongan aldehid, alkohol, dan hidrokarbon

meningkat dari hidroperoksida yang dihasilkan melalui autoksidasi atau

fotooksidasi. Metil keton, lakton, dan ester dapat terbentuk melalui reaksi

hidrolitik. Jadi molekul gliserida, pada keadaan panas dan kadar air cukup,

dapat terpisahkan menjadi asam-asam keto dengan melepaskan CO2.

Pelepasan asam lemak hidroksi dapat sebagai prekusor untuk γ atau δ lakton

(Gambar 4.2). Ini diyakini bahwa reaksi hidrolitik, termasuk lipolisis,

memberikan asam oleat, asam linoleat atau linolenat bebas yang dapat

mempercepat autooksidasi (Hamilton, 1989).

Pentingnya kadar air dalam memacu proses hidrolisis minyak dan

lemak telah banyak diteliti. Calavetto et. al, (1966) dalam Kaijser et. al

(2000) mengemukakan bahwa Macadamia nuts cenderung mengalami

ransiditas secara cepat selama penyimpanan pada kadar air dan suhu

berbeda. Diketahui, bahwa faktor kadar air berperan lebih dominan dari pada

faktor suhu. Pada waktu panen, biji kenari segar mempunyai kandungan air

30-35% (Maima, 1994). Kadar air setinggi itu sangat berperan pada reaksi

hidrolitik apabila tidak dilakukan penanganan dengan tepat.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 34

Gambar 4.2. Reaksi hidrolisa minyak hingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol serta terbentuknya senyawa prekursor lakton (Hamilton, 1989)

Sebagai hasil hidrolisis, asam lemak bebas jumlahnya meningkat.

Asam lemak bebas, selanjutnya dapat mengalami oksidasi, baik auto-

oksidasi maupun foto-oksidasi (Nawar, 1985, Robards et al., 1988). Reaksi

auto-oksidasi dan foto-oksidasi masing-masing dipengaruhi oleh faktor luar

seperti oksigen dan cahaya.

b. Reaksi Oksidatif

Oksidasi lemak dalam sistem minyak merupakan proses yang

merugikan karena reaksi tersebut dapat menurunkan kualitas, nilai gizi, dan

membentuk senyawa toksik. Oksidasi lemak dipengaruhi oleh faktor intrinsik

dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain meliputi komposisi asam lemak dan

senyawa prooksidan dan antioksidan. Faktor ekstrinsik terdiri dari iradiasi,

suhu, oksigen, luas permukaan yang kontak dengan oksigen, dan aktivitas

air (Aw) (Nawar, 1985, Belitz dan Grosch, 1987, Nichols dan Sanderson,

CH2OCO(CH2)16CH3

CH2OCO(CH2)16CH3

CHOCO(CH2)16CH3

HO2C(CH2)2CHOH(CH2)13CH3 + HO2C(CH2)3CHOH(CH2)12CH3 +

CH2OH

CH2OH

CHOH

2. H2O/Lipase

1. Oksidasi

O C CH(CH2)13CH3 +

O

(CH2)2

O C

O

(CH2)3

CH(CH2)12CH3

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 35

2003). Hasil dari oksidasi adalah senyawa hidroperoksida. Mekanisme

oksidasi lemak dapat terjadi melalui beberapa reaksi yaitu: autooksidasi oleh

radikal bebas, fotooksidasi yang melibatkan oksigen singlet, dan reaksi yang

dikatalisa oleh enzim.

1). Autooksidasi

Menurut Jadhav et al., 1996, Frankel, 1998, Gordon, 2001, dan Sri-

Raharjo, 2006, mekanisme reaksi autooksidasi ada tiga tahap, yaitu inisiasi,

propagasi, dan terminasi (Gambar 4.3). Inisiasi dan propagasi adalah reaksi

pembentukan radikal, sedang terminasi adalah penetralan atau penghilangan

radikal.

Gambar 4.3. Mekanisme autooksidasi lipida (Gordon, 2001)

Inisiasi RH + H

Propagasi + O2

RH ROOH +

Terminasi

+

+ ROOR + O2

+ ROOR

+ RR

R

ROOR

ROO R

ROO ROO

ROO R

R R

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 36

a). Tahap Inisiasi

Pada tahap inisiasi, terjadi pembentukan radikal dari molekul lipida

atau trigliserida. Pengurangan atom hidrogen oleh spesies reaktif, seperti

hidroksi radikal dapat menyebabkan reaksi inisisasi. Tetapi, dalam minyak

nabati, ada hidroperoksida dalam jumlah sedikit yang kemungkinan dibentuk

oleh aktivitas lipoksigenase dalam tanaman sebelum atau selama ekstraksi

minyak berlangsung. Inisiasi selanjutnya merupakan pemecahan secara

homolitik dari hidroperoksida yang pada umumnya merupakan reaksi rendah

energi, dan reaksi ini biasanya dikatakan sebagai reaksi inisiasi utama dalam

minyak makan. Semua reaksi itu pada umumnya dikatalisa oleh ion logam

(Gordon, 2001).

Pada tahap inisiasi, pengambilan hidrogen dari asam lemak terjadi

pada atom karbon yang bersebelahan dengan ikatan rangkap dua dan hal ini

terjadi karena bantuan prooksidan seperti logam hingga terbentuk radikal

bebas. Reaksi inisiasi dan interelasinya dengan tahap reaksi lainnya dapat

dilihat pada Gambar 4.3 (Jadhav et al, 1996 dan Gordon, 2001).

b). Tahap Propagasi

Prinsipnya, reaksi tahap propagasi terjadi dimana satu radikal lipida

dikonversi menjadi radikal lipida berbeda. Pada saat radikal bebas sudah

terbentuk, senyawa tersebut akan bereaksi dengan oksigen membentuk

radikal peroksi dan selanjutnya dapat mengambil hidrogen dari molekul tak

jenuh yang lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas baru. Atau, reaksi

propagasi terjadi karena penambahan oksigen pada radikal alkil. Dengan

demikian mulai terjadi reaksi penyebaran (spread reaction). Reaksi dapat

diulangi sampai beberapa ribu kali dan mempunyai sifat sebagai reaksi

berantai. Reaksi penyebaran yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 4.3

(Nawar, 1985; Jadhav et al., 1996; DeMan 1999; dan Gordon, 2001).

Radikal peroksi (ROO•) akan bereaksi dengan molekul-molekul lain

dan membentuk hidroperoksida dan radikal bebas. Hidroperoksida (ROOH)

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 37

yang terbentuk pada bagian reaksi penyebaran merupakan produk oksidasi

primer (Gambar 4.4). Produk oksidasi ini biasanya tidak stabil dan segera

terurai menjadi produk oksidasi sekunder, yang mencakup berbagai senyawa

seperti karbonil dan lain-lain. Reaksi penyebaran merupakan proses yang

berlangsung terus menerus selama tersedia asam lemak tidak jenuh dalam

sistem pangan atau dalam minyak makan.

Gambar 4.4. Mekanisme Pembentukan Hidroperoksida (Sri-Raharjo, 2006)

c). Tahap Terminasi

Reaksi penyebaran dapat diikuti oleh penghentian jika antar radikal

bebas bereaksi sendiri menghasilkan produk yang tidak aktif. Jadi, pada

tahap terminasi, semua radikal bereaksi membentuk molekul dengan

pasangan elektron. Reaksi ini adalah reaksi energi rendah, tetapi dibatasi

oleh konsentrasi radikal.

Menurut DeMan (1999), pada tahap reaksi terminasi akan terjadi

kenaikan kandungan peroksida secara tiba-tiba. Karena peroksida mudah

H

O-O

H

HH

O-O-H

H Abstraksi hidrogen (-H )

Pengaturan kembali ikatan rangkap

Reaksi dengan oksigen (triplet)

Asam lemak belum teroksidasi Asam lemak mulai teroksidasi

Hidroperoksida

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 38

ditentukan kadarnya dalam lemak, maka angka peroksida sering digunakan

untuk mengukur perkembangan oksidasi (sudah sampai tahap terminasi atau

belum).

Perubahan secara organoleptik lebih erat kaitannya dengan produk

oksidasi sekunder, yang dapat diukur dengan berbagai cara, termasuk

dengan menentukan nilai benzidina yang berkaitan dengan hasil urai

aldehida. Pada saat itulah mulai terbentuk flavor ransid yang menunjukkan

bahwa minyak telah mengalami kerusakan.

Sebagai fungsi waktu reaksi autooksidasi dari lipida tidak jenuh

(PUFA) dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dari Gambar 4.5 dapat diketahui,

bahwa asam lemak tidak jenuh mulai mengalami penurunan kuantitas pada

tahap inisiasi, dan penurunan drastis pada tahap propagasi. Penurunan itu

terjadi karena PUFA mengalami reaksi menjadi senyawa hidroperoksida

terutama pada tahap propagasi. Pembentukan hidroperoksida diikuti juga

oleh pembentukan senyawa radikal bebas. Pada tahap terminasi, PUFA

akan mengalami penurunan hingga mendekati titik terendah. Sejalan

dengan itu, semua gugus radikal saling bereaksi menjadi senyawa dimer

yang bersifat netral yang merupakan produk akhir oksidasi, baik yang

bersifat volatil maupun non-volatil.

Senyawa volatil antara lain adalah alkohol dan aldehid. Aldehid volatil

ini yang berperan pada penyimpangan bau (off-flavor) minyak yang telah

mengalami oksidasi, dan heksanal adalah senyawa produk oksidasi

sekunder dominan selama minyak mengalami reaksi oksidasi (Gordon,

2001). Alkohol dan keton non-volatil juga terbentuk selama proses oksidasi

sekunder.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 39

Gambar 4.5. Berbagai reaksi autooksidasi dari lipida tidak jenuh sebagai fungsi waktu, tampak berbagai tahap reaksi (Whitaker, 1991)

2). Fotooksidasi

Mekanisme lain pembentukan senyawa hidroperoksida yang tanpa

melalui mekanisme jalur pembentukan radikal bebas adalah melalui jalur

fotooksidasi. Dalam hal ini, eksitasi lipida (fotooksidasi tipe-1) atau eksitasi

oksigen (fotooksidasi tipe-2) dapat terjadi dengan adanya cahaya dan

sensitiser. Pada jalur fotooksidasi, tidak terdapat periode induksi.

a). Fotooksidasi tipe-1 Dengan adanya sensitiser, seperti klorofil, mioglobin, eritrosin,

riboflavin, dan ion logam berat, fotooksidasi tipe-1 dapat segera terjadi. Tipe

oksidasi ini ditandai dengan transfer atom hidrogen atau transfer elektron

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 40

antara sensitiser triplet tereksitasi dengan substrat, seperti asam lemak tidak

jenuh, menghasilkan radikal bebas atau radikal ion. Mekanisme foto-oksidasi

tipe-1 dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Mekanisme foto-oksidasi tipe-1 (Frankel, 1998 dan Gordon,

2001) Dari Gambar 4.6 dapat diketahui, dengan adanya cahaya, sensitizer

tereksitasi menjadi sensitizer radikal yang labil, dan senyawa ini segera

berubah menjadi sensitizer triplet. Sensitiser triplet akan bereaksi dengan

rantai karbon asam lemak, membentuk senyawa intermediet. Senyawa

tersebut dengan oksigen akan bereaksi membentuk sensitizer dan

hidroperoksida.

Jika dalam suatu sistem pangan atau minyak makan terdapat

sensitiser, maka dengan adanya cahaya, senyawa tersebut akan tereksitasi

membentuk senyawa radikal yang tereksitasi. Senyawa ini, dengan lipida

atau aseptor elektron membentuk senyawa kompleks intermediat. Senyawa

terakhir dengan oksigen triplet membentuk senyawa teroksidasi dan

sensitiser. Sebagaimana pada autooksidasi, hasil dari proses fotooksidasi

juga bisa berupa senyawa penyebab penyimpangan citarasa minyak (off-

flavor).

1Sens + hv 1Sens 3Sens

3Sens + (aseptor) [Intermediat-I]RH

[Intermediat-I] + 1Sens + Hidroperoksida3O2

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 41

b). Fotooksidasi tipe-2

Oksigen yang berada dalam udara terutama terdapat dalam bentuk

elektronik triplet, 3O2. Senyawa ini dalam keadaan energi terendah, dimana

dua energi elektron tertinggi memiliki spin paralel dan terdapat di dalam

orbital molekular berbeda. Reaksi secara langsung antara 3O2 dengan

molekul lipida akan menghasilkan perubahan momentum angular spin.

Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4.7a.

Gambar 4.7a.Mekanisme reaksi foto-oksidasi tipe-2. Reaksi secara langsung antara oksigen dengan molekul lipida (Gordon, 2001)

Tetapi, oksigen triplet dapat dieksitasi oleh cahaya menjadi oksigen

singlet dengan adanya sensitiser seperti klorofil (Gambar 4.7b). Oksigen

singlet bereaksi lebih cepat dari pada oksigen triplet dengan lipida tidak

jenuh melalui reaksi ‘ene’ menghasilkan alil hidroperoksida. Dengan

demikian, selain sangat dipengaruhi oleh sensitizer, reaksi ini juga

dipengaruhi oleh adanya senyawa O2 dari udara. Minyak yang terkena

cahaya akan mengalami reaksi seperti dikemukakan sebelumnya.

R H R O O H3O 2 +

(Spin elektron)

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 42

Gambar 4.7b.Mekanisme reaksi foto-oksidasi tipe-2. Reaksi yang diawali

dengan perubahan oksigen triplet ke oksigen singlet (Gordon, 2001)

3). Reaksi yang dikatalisa oleh enzim

Enzim yang berperan dalam reaksi oksidasi adalah enzim

lipoksigenase (linoleat oksigen oksidoreduktase, EC 1.13.11.12). Aktivitas

enzim ini memerlukan asam lemak tidak jenuh bebas. Substrat enzim

tersebut adalah asam linoleat, linolenat, dan arakhidonat tetapi tidak untuk

asam oleat (Jadhav, et al., 1996). Enzim ini terdapat dalam beberapa

isoenzim yang sangat bervariasi pH optimumnya sebagaimana spesifitas

produk dan substratnya.

Sebagai kofaktor, lipoksigenase memiliki satu atom ferum. Atom ferum

terdapat dalam spin tinggi Fe(II), dan atom ini harus dioksidasi membentuk

Fe(III) dengan produk reaksi asam lemak hidroperoksida atau hidrogen

peroksida sebelum aktif sebagai katalis oksidasi. Dalam kondisi aerob, enzim

aktif dioksidasi oleh molekul oksigen membentuk kompleks enzim-alkil

radikal sebelum transfer elektron dari atom fero ke gugus peroksi terjadi.

Protonasi dan disosiasi dari enzim ini menyebabkan terbentuknya

hidroperoksida yang merupakan produk dari oksidasi aerob.

1O2

1Sens 1Sens (tereksitasi)hv

3Sens (tereksitasi) 1Sens +3O2

silang antar sistem

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 43

Sebaliknya, dalam kondisi anaerob, alkil radikal mengalami disosiasi

dari kompleks enzim-alkil radikal menghasilkan campuran produk yang

meliputi dimer, senyawa golongan keton dan epoksi. Senyawa-senyawa

tersebut dihasilkan oleh reaksi radikal, sebagai indikasi telah terjadi reaksi

anaerobik (Gordon, 2001). Mekanisme reaksi oksidasi yang dikatalisa oleh

enzim lipoksigenase dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Reaksi oksidasi enzimatis dapat terjadi pada suatu sistem pangan

yang mengandung minyak dan enzim lipoksigenase aktif, seperti kedelai,

kacang tanah, kacang merah, dan biji bunga matahari. Dalam biji kenari,

kemungkinan terjadinya reaksi ini sangat kecil karena asam linoleat dan

asam linolenat dalam biji kenari jumlahnya relatif kecil.

Gambar 4.8. Jalur oksidasi yang dikatalisa oleh lipoksigenase yang meliputi reaksi aerob dan anaerob (Whitaker, 1991)

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 44

4. Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Terjadinya proses deteriorasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain: komposisi asam lemak, asam lemak bebas versus asilgliserol yang

berhubungan, konsentrasi oksigen, suhu, luas permukaan, kadar air,

antioksidan dan pro-oksidan (Nawar, 1985). Faktor-faktor tersebut dapat

mempercepat atau memperlambat terjadinya kerusakan minyak serta

berpengaruh secara individu maupun secara sinergis.

a. Jenis Asam Lemak

Jenis asam lemak, posisi, dan geometri dari ikatan rangkap asam

lemak dalam trigliserida mempengaruhi laju oksidasi. Sebagai contoh, laju

oksidasi relatif untuk asam arakidonat, asam linolenat, asam linoleat, dan

asam oleat secara berurut-urut adalah 40:20:10:1 (Nawar, 1985, Maskan dan

Karatas, 1999). Data tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak ikatan

rangkap pada suatu minyak semakin mudah mengalami oksidasi. Lebih

lanjut, Bonvehi dan Rosua (1996) mengemukakan bahwa kandungan asam

oleat dan asam linoleat yang tinggi memungkinkan terjadinya auto-oksidasi

lebih cepat. Ini berarti bahwa faktor geometri berpengaruh pada reaksi

oksidasi. Faktor geometri berhubungan langsung dengan aktivitas enzim

lipase, seperti yang dikemukakan oleh kedua peneliti tersebut bahwa

aktivitas enzim pada asam lemak C18:2 (linoleat) menjadi kunci pada reaksi

oksidasi minyak hazelnuts. Namun demikian, aktivitas lipase masih

tergantung pada faktor lain terutama faktor lingkungan, seperti suhu, kadar

air, dan aktivitas air (Aw).

Bentuk cis dan trans asam lemak juga mempengaruhi reaksi oksidasi.

Diketahui, bentuk cis lebih mudah dioksidasi dari pada bentuk isomernya,

trans. Ikatan rangkap terkonjugasi lebih mudah mengalami oksidasi dari

pada ikatan rangkap tak terkonjugasi. Asam lemak jenuh pada suhu ruang

relatif lebih tahan terhadap oksidasi dari pada ketahananya pada suhu lebih

tinggi. Diketahui, apabila terdapat pada lingkungan bersuhu tinggi, asam

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 45

lemak jenuh juga dapat mengalami perubahan reaksi oksidasi secara

signifikan.

b. Asam Lemak Bebas versus Asilgliserol yang Berhubungan

Asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi dari pada asam lemak

yang terikat dalam bentuk ester atau terikat pada gliserol. Dalam minyak atau

makanan berlemak, adanya asam lemak bebas dalam jumlah kecil, tidak

berpengaruh secara signifikan pada stabilitas oksidasi. Dalam minyak

komersial, adanya asam lemak bebas dalam jumlah besar dan ditunjang

cukup adanya katalitik logam, dapat memacu laju oksidasi (Nawar, 1985).

c. Konsentrasi Oksigen

Oksigen berperan dalam auto-oksidasi lemak. Dalam perannya,

oksigen ada hubungannya dengan tekanan. Pada tekanan oksigen sangat

rendah, laju oksidasi lambat (Maskan dan Karatas, 1999), dan sebaliknya.

Selain tekanan, pengaruh oksigen juga sangat tergantung pada faktor lain

seperti suhu dan luas permukaan (Nawar, 1985).

d. Suhu Secara umum, laju reaksi akan meningkat dengan meningkatnya

suhu. Demikian juga, untuk reaksi oksidasi akan sangat dipengaruhi oleh

suhu, sehingga semakin tinggi suhu, semakin cepat proses oksidasi dan

proses ransiditas. Sebagai contoh, macadamia nut cenderung mengalami

ransiditas dengan cepat selama penyimpanan pada suhu kamar (Kaijser et

al., 2000). Tetapi, semua itu ditentukan oleh oksigen yang tersedia.

Meningkatnya suhu tidak menyebabkan peningkatan laju oksidasi meskipun

konsentarsi oksigen meningkat kalau oksigen itu tidak terlarut dalam sistem

minyak atau bahan yang mengandung minyak.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 46

e. Luas Permukaan

Oksidasi meningkat dengan semakin besarnya porsi luas permukaan

yang kontak dengan udara. Tetapi, begitu rasio permukaan-volume

meningkat, penurunan tekanan parsial oksigen menjadi kurang efektif dalam

penurunan laju oksidasi. Pada sistem emulsi minyak dalam air, laju oksidasi

dikendalikan oleh laju dimana oksigen terdifusi dalam fase minyak (Nawar,

1985).

f. Kadar Air

Oksidasi lemak sangat tergantung pada kadar air atau aktivitas air

(Aw). Calavetto et al. (1966) dalam Kaijser et al. (2000) mengemukakan

bahwa Macadamia nuts cenderung mengalami ransiditas secara cepat

selama penyimpanan pada kadar air dan suhu relatif tinggi. Diketahui, bahwa

faktor kadar air berperan lebih dominan terhadap proses oksidasi dari pada

faktor suhu.

Dalam sistem pangan kering, seperti biji-bijian yang mengandung

kadar minyak tinggi dan memiliki nilai Aw lebih kecil dari 0,1, oksidasi

berlangsung sangat cepat. Pada peningkatan Aw sampai 0,3, laju oksidasi

dihambat atau terjadi pada kecepatan minimum. Sifat protektif dari air

diyakini karena menurunkan aktivitas katalitik dari katalis logam. Dalam

beberapa hal, pada nilai Aw sebesar 0,55-0,85, laju oksidasi meningkat lagi,

kenyataan ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan mobilitas katalis.

g. Antioksidan

Antioksidan adalah suatu senyawa yang mudah mengalami oksidasi,

sehingga apabila berada dalam suatu sistem yang mengandung minyak

tinggi senyawa tersebut dapat berperan sebagai protektan terjadinya

oksidasi pada minyak. Dalam biji-bijian, beberapa antioksidan yang biasa

dikenal adalah senyawa golongan fenol, tokoferol, dan beta karoten.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 47

Antioksidan berdasarkan pada mekanisme kerjanya dapat

diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu antioksidan primer dan

antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah senyawa yang berfungsi

sebagai akseptor radikal bebas atau senyawa yang mampu menghentikan

reaksi berantai radikal bebas dengan membentuk produk yang lebih stabil.

Senyawa-senyawa yang tergolong antioksidan primer, antara lain: tokoferol,

BHA, BHT, katekin, dan galat. Sedangkan antioksidan sekunder adalah

senyawa yang berfungsi sebagai pengkelat prooksidan (ion logam) atau

pengurai peroksida-peroksida. Senyawa-senyawa yang tergolong

antioksidan sekunder, antara lain: asam sitrat, asam askorbat, dan asam

tartarat (Gunstone dan Norris, 1982; Gordon, 1990).

Dalam sistem pangan, antioksidan (AH) yang berfungsi

menghentikan reaksi berantai dengan bertindak sebagai donor hidrogen atau

akseptor radikal bebas bereaksi dengan radikal peroksi (ROO•). Pada reaksi

ini, antioksidan memberi atom hidrogennya pada radikal peroksi (ROO•)

menjadi hidroperoksida (ROOH) dan radikal bebas antioksidan (A• ). Radikal

bebas antioksidan dalam reaksi berantai membentuk senyawa antioksidan

peroksi yang bersifat netral (Gambar 4.9) (Reische, et al., 2002).

Gambar 4.9. Mekanisme reaksi antioksidan dengan radikal peroksi

(Reische, et al., 2002).

h. Pro-oksidan

Pro-oksidan pada umumnya adalah logam-logam bervalensi satu dan

dua. Logam-logam yang dimaksud adalah Co (kobalt), Cu (tembaga), Fe

AH ROO+ ROOH + A

A + ROO ROOA

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 48

(besi), Mn (mangan), dan Ni (nikel). Jika dalam sistem minyak atau bahan

pangan yang mengandung minyak terdapat logam-logam itu, meskipun

konsentrasinya hanya 0,1 ppm, keberadaannya akan meningkatkan laju

oksidasi.

Beberapa mekanisme reaksi prooksidasi dari logam telah

dikemukakan, antara lain mempercepat dekomposisi hidroperoksida,

bereaksi langsung dengan substrat takteroksidasi, dan aktivasi molekul

oksigen hingga menghasilkan oksigen singlet dan radikal peroksi.

Evaluasi Pembelajaran

1. Stabilitas minyak kenari ditentukan oleh asam lemak bebas, baik yang

terbentuk secara enzimatik maupun yang terbentuk oleh hidrolisis.

Mengapa demikian?

2. Kerusakan minyak kenari meliputi kerusakan hidrolitik dan kerusakan

oksidatif. Jelaskan masing-masing jenis kerusakan tersebut!

3. Jelaskan mekanisme reaksi oksidasi secara autooksidasi!

4. Faktor apa saja yang berpengaruh pada kerusakan minyak nabati,

terutama kerusakan oksidatif?

5. Kerusakan minyak erat sekali dengan penyimpangan flavor pada minyak,

Jelaskan hubungan antara kerusakan kimiawi dan perubahan flavor!

Daftar Pustaka

Belitz, H.D. and W. Grosch, 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin, Heidelberg, Germany.

Bonvehi, J.S. dan N.S. Rosua. 1996. Enzymatic Activities in the Varieties of

Hazelnuts (Corylus Avellana L.) Grown In Tarragona, Spain. Food Chem. 56 (1): 39-44.

Brockerhoff, H. and R.G. Jensen, 1974. Lipolytic Enzymes, Academic Press,

New York.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 49

Crapiste, G.H., M.I.V. Brevedan, dan A.A. Carelli, 1999. Oxidation of Sunflower Oil During Storage. J. Am. Oil Chem. Soc. 76 (12): 1437-1443.

DeMan, J.M., 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Ed. Aspen Pub. Inc.

Gaithersbury, Maryland. Djarkasi, G.S.S., Slamet Sudarmadji, Zuheid Noor, dan Sri Raharjo 2007.

Sifat Fisik dan kimia Minyak Kenari. Agritech, Volume 27 (4):165-170

Frankel, E.N., 1998. Lipid Oxidation. The Oily Press Ltd. Dundee, Scotland Gordon, M.H., 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. In:

Hudson, B.J.F. Ed. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-18.

Gordon, M.H., 2001. The development of oxidative rancidity in foods. In:

Pokorny, J., N. Yanishlieva, and M. Gordon, Ed. Antioxidants in Food Practical Applications. CRC Press, Boca, Raton, Boston, New York, Washington. Pp. 7-21.

Hamilton, R.J., 1989. The Chemistry of Rancidity in Foods. In: Allen, J.C and

R.J. Hamilton. Ed. Rancidity in Foods. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-21.

Jadhav, S.J., S.S. Nimbalkar, A.D. Kulkarni, and D.L. Madhavi, 1996. Lipid

Oxidation in Biological and Food Systems, In: Madhavi, D.L., S.S. Deshpande, and D.K. Salunkhe, Ed., Food Antioxidants: Technological, Toxicological, and Health Perspectives. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, HongKong. Pp. 5-63.

Kaijser, A., P. Dutta, and G. Savage. 2000. Oxidative Stability and Lipid

Composition of Macadamia Nuts Grown in New Zealand. Food Chem. 71: 67-70.

Kolalowska, A. 2003. Lipid Oxidation in Food Systems. In: Sikosrski, Z.E and

A. Kolalowska. Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Pres, Boka, Raton, London, New York, Washington DC. Pp. 133-166.

Maima, M., 1994. Processing of Galip (Canarium indicum) in Papua New

Guinea in South Pacific Indigenous Nuts, Proceedings of a workshop 31 October – 4 November, Vanuatu. Pp. 118-121.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 50

Maskan, M. and S. Karatas. 1999. Storage stability of whole-split pistachio nuts (Pistachia vera L.) at various conditions. Food Chem. 66: 227-233

Min, D.B and J.M. Boff, 2002. Lipid Oxidation of Edible Oil. In: Akoh, C.C and

D.B. Min. Ed. Food Lipids: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel.

Nawar, W.W. 1985. Lipids. In: Fennema, O.R., Ed. Food Chemistry. Second

edition, revised and expanded. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Pp. 139-244.

Nichols, D.S. dan K. Sanderson, 2003. The Nomenclature, Structure, and

Properties of Food Lipids. In: Sikorski, Z.E and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington. Pp. 29-59.

Reische, D.W., D.A. Lillard, and R.R. Eitenmiller, 2002. Antioxidants. In:

Akoh, C.C and D.B. Min. Ed. Food Lipids: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel.Pp. 489 – 516.

Robards, K., A.F. Kerr, and E. Patsalides, 1988. Rancidity and its

measurement in edible oils and snack food. Rev. Analyst. 113(2): 213-225.

Rossell, J.B., 1989. Measurement of Rancidity in Food. In: Allen, J.C. and

R.J. Hamilton, Ed., Rancidity in Foods, Second Edition, Elsevier Applied Science. Pp. 23-52.

Sri-Raharjo, 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. Whitaker, J.R., 1991. Lipoxygenases, In: Robinson, D.S. and N.A.M. Eskin,

Ed. Oxidative Enzymes in Foods, Elsevier Applied Science, New York. Pp. 175-215.

Whitaker, J.R., 1994. Principles of Enzymology for the Food Sciences.

Marcel Dekker, New York, Basel, Hongkong

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 51

BAB V. METODA ANALISIS MINYAK KENARI

Tujuan Instruksional Khusus (Pembelajaran)

Setelah membaca Bab V ini diharapkan /pembaca dapat melakukan analisis

minyak kenari, terutama karakteristik biologi, kimia, dan fisik serta

organoleptik.

PENDAHULUAN

Sebelum menganalisis karakteristik minyak, perlu dikemukakan

metoda untuk memperoleh minyak biji kenari. Ada beberapa metoda yang

bisa diaplikasikan, terangkum pada sub-bab berikutnya.

METODE EKSTRAKSI MINYAK KENARI

Buah kenari segar dikupas kulitnya untuk memperoleh Nut-in-shell

(NIS). NIS dipecah temperungnya (shell) sehingga diperoleh kernel atau biji

kenari. Biji kenari dikeringkan dengan menggunakan alat pengering kabinet

pada suhu 60°C selama 10 jam. Selanjutnya biji kenari kering diekstrak

minyaknya menggunakan metoda pengepresan dengan kempa hidrolik,

sedangkan soxhlet dan maserasi menggunakan pelarut heksan.

a. Ekstraksi minyak biji kenari dengan metoda pengepresan

Biji kenari kering dikupas kulit arinya (testa) dan dibersihkan dari bahan

ikutan lain. Sebanyak 500 gram biji kenari bersih dipanaskan menggunakan

oven pada suhu 70°C selama satu jam. Dalam keadaan panas, biji kenari

dibungkus dengan kain saring dan dimasukkan dalam rumah pres yang

berbentuk tabung silinder pada alat pengepres. Selanjutnya biji kenari dipres

menggunakan kempa hidrolik secara bertahap, hingga mencapai tekanan

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 52

200 kg/cm² dan dipertahankan selama 5 menit. Minyak yang diperoleh

disaring menggunakan kain saring lalu dimasukkan dalam wadah berwarna

gelap.

b. Ekstraksi minyak biji kenari dengan metoda Soxhlet

Biji kenari kering dikupas kulit arinya (testa) dan dibersihkan dari

bahan ikutan lain. Biji kenari bersih dihaluskan dengan menggunakan

grinder, hingga berbentuk pasta (homogenat). Sebanyak 25 g pasta biji

kenari ditimbang dan dimasukkan dalam wadah sampel (timble). Timble yang

berisi sampel dimasukkan dalam tabung Soxhlet. Labu Soxhlet diisi dengan

pelarut heksan sebanyak 250 mL. Unit Soxhlet dilengkapi dengan pendingin

balik, selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu 70-80°C selama 5 jam.

Hasil ekstraksi selanjutnya dipisahkan antara minyak dan pelarut heksan

menggunakan rotary evaporator dengan suhu 40°C. Minyak yang diperoleh

dialiri gas N2 untuk menghilangkan sisa pelarut kemudian dimasukkan dalam

wadah berwarna gelap.

c. Ekstraksi minyak biji kenari dengan metoda maserasi

Biji kenari kering dikupas kulit arinya (testa) dan dibersihkan dari

bahan ikutan lain. Biji kenari bersih sebanyak 100 g dihaluskan dengan

menggunakan grinder. Biji kenari yang digiling halus hingga berbentuk pasta.

Selanjutnya pasta biji kenari dimasukkan dalam labu Erlenmeyer dan

ditambahkan pelarut heksan 1: 5 (b//v). Campuran diaduk hingga homogen

kemudian dimaserasi selama 24 jam pada suhu ruang (suhu 28 - 30°C).

Setelah 24 jam, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring

Whatman No. 1. Minyak dan pelarut dipisahkan menggunakan rotary

evaporator dengan suhu 40°C. Minyak yang diperoleh dialiri gas N2 untuk

menghilangkan sisa pelarut kemudian dimasukkan dalam wadah berwarna

gelap.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 53

METODE PENGUKURAN SIFAT KIMIA MINYAK KENARI Mutu minyak sangat dipengaruhi oleh jenis produk oksidasi dan

jumlahnya pada konsentrasi yang signifikan. Kerusakan minyak

berhubungan dengan tingkat penerimaan konsumen terhadap minyak

tersebut. Metoda pengukuran deteriorasi menjadi penting apabila mutu

minyak harus ditentukan tingkat kelayakan bagi konsumen. Banyak metoda

yang tersedia untuk penentuan deteriorasi oksidatif pada minyak baik secara

kualitatif maupun kuantitatif. Penentuan dengan tujuan mengukur secara

kuantitatif tingkat oksidasi asam lemak pada minyak antara lain, angka

peroksida, angka TBA, angka anisidin, asam lemak bebas, dan uji sensoris

terhadap flavor (Sri-Rahardjo, 2006).

a. Angka Peroksida

Pada umumnya penyebab deteriorasi minyak adalah oksidasi. Produk

primer yang dibentuk oleh oksidasi minyak adalah hidroperoksida. Metoda

pengukuran tingkat oksidasi minyak yang umum yaitu menentukan angka

peroksida yang dinyatakan sebagai unit mili-ekuivalen oksigen per kg minyak

(meq O2/kg minyak).

Beberapa prosedur analisa dapat dilakukan untuk pengukuran angka

peroksida dalam minyak. Menurut Rossell (1982) dan Frankel (1998),

metoda yang umum adalah iodometri dengan cara titrasi, kalorimetri, atau

elektrometri. Metoda tersebut dilakukan berdasarkan pada pengukuran

sejumlah iod yang dibebaskan dari kalium iodida melalui reaksi oksidasi oleh

peroksida dalam minyak yang dilarutkan dalam medium campuran asetat

dan kloroform. Iod bebas dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat.

Sensitivitas cara titrasi adalah 0,5 meq/kg. Namun demikian, sensitivitas

dapat ditingkatkan dengan penentuan cara kalorimetri dengan penambahan

pati dalam larutan HCl 0,01 N atau cara elektrometri.

Pengukuran angka peroksida dapat juga dilakukan dengan metoda

lain, yaitu metoda feritiosianat (ferric thiocyanate). Metoda tersebut disusun

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 54

berdasarkan pada oksidasi ion fero menjadi feri, dan pengukuran dilakukan

terhadap senyawa feritiosianat dengan kalorimetri. Metoda feritiosianat lebih

sensitif dan sampel yang digunakan untuk analisa lebih sedikit (0,1 g) dari

pada metoda iodometri yang menggunakan sampel sebanyak 5 g. Namun,

angka yang diperoleh dengan metoda feritiosianat lebih tinggi dari pada

metoda iodometri. Pada umumnya metoda feritiosianat digunakan untuk

produk-produk susu yang angka peroksidanya relatif rendah.

b. Angka TBA (Thiobarbituric acid)

Analisa TBA digunakan untuk mengukur produk sekunder dari

oksidasi lemak. Analisa tersebut disusun berdasarkan pada terbentuknya

pigmen berwarna merah sebagai hasil reaksi kondensasi antara dua molekul

TBA dengan satu molekul malonaldehid, produk dekomposisi hidroksida

lemak di bawah kondisi asam dan panas. Intensitas warna dapat dilakukan

pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 – 535

nm. Karena reaksi tidak spesifik dan dihasilkan oleh produk sekunder

oksidasi, maka produk itu disebut sebagai TBA-reactive substances

(TBARS). Larutan standar metoda ini adalah menggunakan 1,1,3,3-

tetraethoxypropana. Angka TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per

kg minyak (Frankel, 1998).

c. Angka Anisidin

Angka anisidin didefinisikan sebagai absorbansi larutan yang

diperoleh dari reaksi satu gram lemak dalam 100 ml isooktan dengan reagen

p-anisidin (0,25 % anisidin dalam asam asetat glasial) yang diukur dengan

spektrofotometri pada panjang gelombang 350 nm. Pengujian tersebut

memberi informasi yang bermanfaat pada komponen karbonil non-volatil

yang terbentuk dalam minyak selama proses pengolahan. Pada pengujian ini

yang diukur adalah tingkat pembentukan senyawa aldehid, terutama 2-

alkenal yang ada dalam minyak (Rossell, 1986, Frankel, 1998).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 55

d. Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas dalam minyak merupakan indikasi pengolahan

tidak cukup menghambat aktivitas enzim lipase atau reaksi hidrolitik lain

yang cenderung menunjukkan ketengikan hidrolitik. Namun demikian, masih

dimungkinkan oksidasi lemak menghasilkan asam-asam organik lainnya.

Secara sederhana, angka asam lemak bebas dari minyak atau lemak hasil

ekstraksi dapat ditentukan dengan cara titrasi. Angka asam lemak bebas

dinyatakan dalam % asam lemak yang dianggap dominan pada sampel dari

produk yang sedang dianalisa. Angka asam lemak bebas sering dinyatakan

dalam % asam oleat untuk lemak sapi atau minyak kedelai. Sedangkan

untuk minyak kelapa lebih sering dinyatakan sebagai % asam laurat. Metoda

lain untuk menentukan angka asam lemak bebas dilakukan dengan

kalorimetri (Shahidi dan Wanasundara, 2002b, Sri-Rahardjo, 2006). Syarat

mutu minyak berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2902-1992)

bahwa kandungan asam lemak bebas dalam minyak adalah maksimum 5 %.

Analisis kandungan asam lemak bebas dilakukan menurut prosedur

AOAC Official Method 940.28. Sampel sebanyak 2,82 ± 0,2 g ditimbang dan

dimasukkan dalam labu Erlemeyer. Ke dalam sample kemudian ditambahkan

50 mL alkohol netral yang panas dan 2 mL indikator phenolphtalein (PP).

Larutan sampel dititrasi dengan 0,1 N NaOH sampai warna merah

jambu tercapai. Asam lemak bebas dinyatakan sebagai % (asam oleat) =

[(ml NaOH x N x BM asam lemak)/ berat sampel x 1000] x 100.

e. Komposisi Asam Lemak Komposisi asam lemak dianalisis dengan kromatografi gas (Gas

Chromatographic, GC) menurut prosedur AOAC Official Method 963.22.

Kromatografi gas yang digunakan adalah HP 5890 series II dengan

spesifikasi alat dan kondisi analisis adalah sebagai berikut: kolom kapiler HP-

5 (Cross linked 5% phenyl metil silicone), panjang kolom 30 m, diameter

kolom 0,32 mm, jenis detektor FID, suhu detektor 270°C, suhu injektor

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 56

260°C, gas pembawa helium dengan kecepatan 10 mL/menit, suhu awal

80°C, dan suhu akhir: 250°C

j. Determinasi Posisi 2-Asam Lemak pada Trigliserida (Aranda et al, 2004 dan Schreiner et al, 2006)

Metoda determinasi meliputi beberapa tahap; purifikasi, hidrolisa

selektif, separasi (pemisahan), dan identifikasi. Purifikasi: sebanyak 5 g

minyak dilarutkan dalam 25 ml heksan, dilewatkan melalui kolom yang berisi

alumina aktif (alumina aktif dalam 50 ml heksan). Eluen yang diperoleh

selanjutnya dihidrolisa secara selektif dengan enzim lipase pankreas, untuk

melepas asam lemak pada posisi 1 dan 3. Hasil hidrolisa adalah

monogliserida (pada posisi dua) dan asam lemak bebas (dari posisi 1 dan 3).

Monogliserida selanjutnya dipisahkan dari asam lemak bebas dengan

menggunakan TLC menggunakan gel silika 60 plate (Merck) dan larutan

pengembangnya adalah campuran heksan:dietil eter: asam format dengan

proporsi 70:30:1 (Aranda et al, 2004) atau heksan:dietil eter:asam asetat

dengan proporsi 75:25:1,5 (Schreiner et al, 2006). Setelah pengembangan

satu kali, plat dikeringkan dengan N2 dan spot yang dihasilkan dilihat di

bawah sinar UV. Rf untuk TG (0,65), asam lemak bebas (0,29), DG (0,10),

dan MG tetap pada posisi semula (atau 0,035, Aranda et al, 2004). Fraksi

MG selanjutnya ditarnsfer dalam vial reksi untuk transmetilasi. Hasilnya

dianalisa dengan Gas-Liquid Chromatography.

k. Uji Sensoris terhadap Flavor

Ketengikan dapat dipertimbangkan berdasarkan pada penilaian

organoleptik secara subjektif dari off-flavor minyak. Hal ini berkaitan dengan

rasa, aroma, dan flavor yang tidak diinginkan dari minyak. Ketengikan dapat

disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dari reaksi dengan

oksigen yang disebut ketengikan oksidatif. Dan dapat juga dihasilkan dari

reaksi hidrolitik yang dikatalisa oleh enzim yang disebut ketengikan hidrolitik

(Hamilton, 1989).

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 57

Menururt Sri-Raharjo (2006), uji sensoris terhadap flavor dapat

dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu afektif dan analitik. Pada kelompok

pertama mencakup pengujian yang lebih difokuskan untuk mengetahui

kesukaan, penerimaan, atau opini dari konsumen terhadap flavor produk

makanan. Metoda ini biasanya melibatkan paling sedikit 50 panelis atau

calon konsumen. Para konsumen ini bukanlah penguji yang terlatih dan

mereka dipilih secara acak atau berdasarkan strata tertentu. Oleh karena itu

metoda afektif ini sangat bermanfaat untuk mendukung pengembangan

pangsa pasar dari produk tertentu, namun kurang sesuai untuk keperluan

riset-riset pada tingkat dasar.

Kelompok yang kedua adalah uji sensoris secara analitik. Pada uji

sensoris analitik tersebut difokuskan untuk mengetahui perbedaan antar

produk dan menilai baik kualitas atau intensitas aroma maupun flavor

produk. Uji sensoris analitik masih dapat dikelompokkan menjadi dua jenis

yaitu, diskriminatif dan deskriptif. Pada kelompok uji sensoris diskriminatif

ada dua tipe yaitu, pembedaan dan sensitivitas. Pada uji pembedaan

ditujukan untuk mengetahui apakah dua atau lebih sampel memiliki

kesamaan. Sebagai contoh, pengujian secara triangle, duo-trio, paired

comparison, ranking atau scoring perbedaan dengan kontrol yang disajikan.

Dalam pelaksanaan uji ini sedapat mungkin kondisi sampel dibuat serupa

dari segi kenampakan, bentuk, tekstur, dan suhu agar tidak mengacau

penilaian terhadap atribut flavor. Pada uji sensitivitas dimaksudkan untuk

mengetahui kemampuan panelis dalam mendeteksi atau mengindentifikasi

flavor. Sebagai contoh, uji nilai ambang yang banyak digunakan untuk

melaksanakan pelatihan terhadap calon panelis.

Evaluasi Pembelajaran 1. Sebutkan kelebihan ekstraksi minyak dengan metoda pengepresan!

2. Bandingkan hasil pengepresan dengan metoda ekstraksi lainnya

terutama sifat kimiawi minyak kenari yang dihasilkan!

3. Mengapa minyak kenari perlu dianalisa kandungan peroksidanya?

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 58

4. Untuk apa tujuan menganalisa posisi asam lemak pada sistem

trigliserida (posisi sn-1, sn-2, dan sn-3)?

5. Mengapa analisa flavor minyak menjadi penting jika dihubungkan

dengan sifat fisik dan kimia minyak?

Daftar Pustaka

AOAC, 1995. Food Composition; Additivies; Natural Contaminats. Official Methods of Analysis of AOAC International Ed. 16th Vol .IV. (41):1 -52.

Aranda, F., S. Gomez-Alonso, R.M. Rivera del Alamo, M.D. Salvador, and G.

Fregapane, 2004. Triglyceride, total and 2-position fatty acid composition of Cornicabra virgin olive oil: Comparison with other Spanish cultivars. Food Chem. 86: 485-492.

Frankel, E.N., 1998. Lipid Oxidation. The Oily Press Ltd. Dundee, Scotland Hamilton, R.J., 1989. The Chemistry of Rancidity in Foods. In: Allen, J.C and

R.J. Hamilton. Ed. Rancidity in Foods. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-21.

Nawar, W.W. 1985. Lipids. In: Fennema, O.R., Ed. Food Chemistry. Second

edition, revised and expanded. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Pp. 139-244.

Raharjo, S., 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. Rossell, J.B., 1986. Classical Analysis of Oils and Fats. In: Hamilton, R.J.

and J.B. Rossell, Ed. Analysis of Oils and Fats. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 1-90.

Rossell, J.B., 1989. Measurement of Rancidity in Food. In: Allen, J.C. and

R.J. Hamilton, Ed., Rancidity in Foods, Second Edition, Elsevier Applied Science. Pp. 23-52.

Schmedes, A and G. Holmer, 1989. A new thiobarbituric acid (TBA) method

for determination of free malonaldehyde (MDA) and hydroperoxides selectivity as a measure of lipid peroxidation. J. Am. Oil Chem. Soc. 66: 813-817.

TPC Project Sam Ratulangi University-Texas A&M University 59

Schreiner, M., R. G. Moreire and H. W. Hulan. 2006. Positional Distribution of

Fatty acids in Egg Yolk Lipids. J. Food Lipids 13 : 36-56. Shahidi, F. and U.N. Wanasundara, 2002. Method for Measuring Oxidative

Rancidity in Fats and Oils. In: Akoh, C.C. and D.B. Min. Ed. Food Lipids Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. Marcel Dekker, New York. Pp. 465-487.