TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN …database.forda-mof.org/uploads/Sosialisasi4.pdf ·...

49
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP. UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH 1. Gunawan Pasaribu, S.Hut., M.Si 2. Dra. Gusmailina, M.Si 3. Dra. Sri Komarayati 4. Dra. Zulnely 5. R. Esa Pangersa Gusti, S.Hut PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, DESEMBER 2014

Transcript of TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN …database.forda-mof.org/uploads/Sosialisasi4.pdf ·...

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN

DRYOBALANOPS SP. UNTUK PENINGKATAN

NILAI TAMBAH

1. Gunawan Pasaribu, S.Hut., M.Si 2. Dra. Gusmailina, M.Si 3. Dra. Sri Komarayati 4. Dra. Zulnely 5. R. Esa Pangersa Gusti, S.Hut

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BOGOR, DESEMBER 2014

ii

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN

PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP UNTUK

PENINGKATAN NILAI TAMBAH

Bogor, Desember 2014 Mengetahui Ketua Kelti,

Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si. NIP. 19770527 200212 1 003

Ketua Tim Pelaksana,

Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si NIP. 19770527 200212 1 003

Menyetujui Koordinator,

Ir. Totok K. Waluyo, M.Si NIP. 19600506 198703 1 004

Mengesahkan Kepala Pusat,

Dr. Ir. Rufi’ie, MSc. NIP. 19601207 198703 1 005

iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .….…….………….………….......……… ii

DAFTAR ISI ……………..…………..……………………………….. iii

DAFTAR TABEL ……………………………..…………………….... iv

DAFTAR GAMBAR…………………………..………………………. v

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................... vi

ABSTRAK….……………………….…….………………………….. 1

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………….. 2

A. Latar Belakang ……………………………………..…... 2

B. Tujuan dan Sasaran ................................................... 3

C. Luaran ...... ................................................................... 4

D. Hasil yang Telah Dicapai ……..….……………....…..... 4

E. Ruang Lingkup.............................................................. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…................................................. 6

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................. 10

A. Lokasi Penelitian........................................................... 10

B. Bahan dan Peralatan...................................................... 10

C. Prosedur Kerja ............................................................. 10

D. Analisis Data.................................................................. 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................... 16

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 35

LAMPIRAN................................................................................... 37

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Formulasi lilin aromaterapi................................................................ 10

Tabel 2. Formulasi sabun antijerawat....……………..……………………….... 11

Tabel 3. Analisis Statistik (Kruskal wallis test).............................................. 24

Tabel 4. Aktivitas antimikroba C. albicans dan S. aureus pada minyak dan

kristal D. aromatica……………………............................................

30

Tabel 5. Komponen kimia miyak Dryobalanops aromatica....................……. 32

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kristal D. keithii, D. lanceolata..................................................... 7

Gambar 2. Struktur kimia borneol................................................................. 8

Gambar 3. Vegetasi utama pandan duri yang tumbuh di rawa basah...... 18

Gambar 4. Tegakan hutan rawa kering........................................................ 18

Gambar 5. Minyak kapur (Dryobalanops aromatica) dan pengumpul......... 19

Gambar 6. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 1.................... 20

Gambar 7. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 2.................... 20

Gambar 8. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 3.................... 20

Gambar 9. Batang dan daun Dryobalanops aromatica.................................. 21

Gambar 10. Pembuatan takik sadapan......................................................... 22

Gambar 11. Daerah penyebaran Dryobalanops aromatica di Tapanuli Utara 23

Gambar 12. Lilin aromaterapi......................................................................... 23

Gambar 13. Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar....................................... 25

Gambar 14. Kesukaan aroma lilin setelah dibakar......................................... 26

Gambar 15. Efek aromaterapi........................................................................ 27

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner Pengujian Organoleptik..................................... 37

Lampiran 2. Hasil uji organoleptik formulasi minyak wangi................... 38

Lampiran 3. Analisis Kruskal wallis........................................................ 39

Lampiran 4. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri P. acnes............... 40

Lampiran 5. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri S. epidermis....... 41

Lampiran 6. Laporan Hasil Uji Aktifitas Antioksidan.............................. 42

Lampiran 7. Kromatogram minyak Dryobalanops aromatica................ 43

1

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH

Oleh: Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Esa Pagersa G

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik, dengan sasaran pada pembuatan lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil uji. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula yang paling disukai adalah formula 1. Terhadap lilin yang sudah dibakar, tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 lebih disukai. Demikian halnya tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1 merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. Aktifitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengannilai MIC tidak menunjukan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut. Dengan nilai aktifitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm.Analisis komponen kimia menunjukkan adanya senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol. Kata kunci : Dryobalanops, produk, kosmetik

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dryobalanops spp merupakan jenis yang termasuk ke dalam suku

Dipterocarpaceae. Penyebarannya mulai dari Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Dryobalanops juga dikenal

dengan nama Kapur, diantaranya yang penting adalah: Dryobalanops

aromatica Gaertn. (kapur singkel), Dryobalanops fusca V.Sl. (kapur empedu),

Dryobalanops lanceolata Burck (Kapur tanduk), Dryobalanops beccarii Dyer

(Kapur sintuk), Dryobalanops rappa Becc. (Kapur kayat), Dryobalanops keithii

Symington (kapur gumpait), dan Dryobalanops oblongifolia Dyer (kapur

keladan) (Heyne, 1987)

Beberapa jenis Dryoblanops seperti aromatica, terkenal sebagai

penghasil barus atau kamper. Di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkan

barus atau kamper ini dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari

keluarga Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia diperoleh dari pohon D.

aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae. Unsur yang

dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur.

Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon (Gambar 1).

Data tentang produksi minyak dan kristal kapur berikut perdagangannya

belum tersedia sampai saat ini. Informasi produksi dan perdagangan menurut

beberapa masyarakat, terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Pemanfaatan produk turunan minyak kamper belum banyak dilakukan di

Indonesia, padahal pengembangan produk berbahan minyak kamper akan

mampu meningkatkan nilai tambah. Bahan aktif utama minyak kamper berupa

borneol mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan

dalam pengembangan produk kosmetika dan obat. Borneol banyak dicari

sekarang, terutama yang berasal dari pohon Dryobalanops, karena manfaatnya

sebagai bio medicine untuk mencegah pengentalan dan pembekuan darah

(Duke, 2005). Borneol yang beredar di pasaran internasional kebanyakan

berasal dari Cinnamommum, atau tumbuhan perdu lainnya seperti sembung,

3

kunyit atau jahe. Teknik pengolahan juga berbeda, karena bukan berasal dari

getah pohon.

Ibnu Masawayh dalam Guillot (2002) menyebutkan bahwa kamper

merupakan salah satu dari lima rempah wewangian dasar. Kelima rempah

tersebut adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, kamper dan safran.

Selanjutnya disebutkan bahwa pada zaman Dinasti Abbasiyah, hanya orang

kaya dan golongan pemimpin saja yang menggunakan pewangi kamper.

Artinya bahwa penggunaan kamper untuk pewangi sudah menjadi tradisi di

awal masehi.

Pengolahan minyak kapur menjadi produk kosmetik seperti parfum

menjadi pilihan yang cermat untuk meningkatkan nilai tambah. Perdagangan

minyak Dryobalanops sebagian besar hanya dijual dalam bentuk minyak

mentah, sehingga harganya lebih murah. Kalau diolah menjadi bentuk kristal

harganya akan menjadi lebih tinggi. Apalagi kalau minyak diolah menjadi

produk kosmetik akan mampu meningkatkan nilai tambahnya. Berdasarkan

sejarah yang ada bahwa minyak kapur banyak dimanfaatkan untuk relaksasi

dan kemampuannya sebagai antimikroba memungkinkan dikembangkannya

sebagai parfum plus.

Terobosan pemanfaatan yang lebih luas yang mampu meningkatkan

nilai tambah perlu dilakukan secara terus menerus. Pemanfaatan minyak

Dryobalanops sebagai lilin aromaterapi, antijerawat dan antioksidan akan dikaji

dalam penelitian ini.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik pemanfaatan minyak

Dryobalanops untuk produk kosmetik. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai

yaitu tersedianya informasi teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk

produk kosmetik berupa lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil

uji.

4

C. Luaran

Luaran dari kegiatan penelitian ini adalah adalah :

1. Laporan Hasil Penelitian (LHP) yang berisi informasi teknik pembuatan

produk, dan pengujian aktivitasnya.

2. Draft karya tulis ilmiah

3. Contoh produk

D. Hasil yang Telah Dicapai

Hasil tahun 2011 diperoleh 4 sampel getah dari Sumatera dan

Kalimantan, namun berdasarkan analisis kromatografi, hanya 2 sampel yang

mengandung senyawa borneol sebagai penciri getah Dryobalanops, sedangkan

2 sampel merupakan getah keruing (Dipterocarpus sp). Data produktivitas

getah Dryobalanops belum dapat dilakukan secara akurat, oleh karena

keberadaan jenis pohon ini sudah sangat langka. Untuk sementara perkiraan

produktivitas getah Dryobalanops aromatica yang diperoleh di hutan

perbatasan Kalimantan-Serawak adalah 20 gram setelah menunggu selama 3

jam. Hasil inventarisasi Dryobalanops yang diperoleh adalah Dryobalanops

lanceolata dan Dryobalanops oblongifolia yang terdapat di Kalimantan Timur,

namun di Sumatera Utara terdapat jenis Dryobalanops aromatica C. F. Gaertn.

Hasil identifikasi Dryobalanops lanceolata menunjukkan 45 senyawa

penyusun yang terdeteksi, dengan senyawa dominan adalah Androstan-3-ol, 9-

methyl-, acetate, (3.beta.,5.alpha.)- (CAS) sebanyak 15%. Sedangkan senyawa

borneol hanya 0,37%.

Hasil identifikasi Dryobalanops aromatica menunjukkan 30 senyawa

penyusun yang terdeteksi. Senyawa dominan yang terdeteksi adalah

Caryophyllene oxide dengan konsentrasi 16,16%, sedangkan senyawa borneol

hanya 0,21%.

Hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan bahwa teknik kristalisasi D.

aromatica dilakukan melalui sublimasi dengan pemanasan kompor induksi 60

0C bertahap hingga 120 0C. Rendemen yang dihasilkan mencapai 5,73%.

Berat jenis minyak dan kadar air akan berpengaruh terhadap rendemen

sublimasi. Berat jenis yang kecil (0,88), kadar air yang rendah (1,77%)

5

berdasarkan hasil uji coba, menghasilkan rendemen sublimasi yang tinggi. Sifat

kimia minyak D. aromatica diketahui dari bilangan asam, bilangan penyabunan,

bilangan ester dan bilangan Yod. Bilangan-bilangan tersebut akan

mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Formula parfum minyak

Dryobalanops adalah campuran Dryobalanops, etanol, minyak nilam, minyak

Eucalyptus citriodora atau Palm flower. Berdasarkan uji organoleptik,

Dryobalanops berpotensi sebagai bahan parfum yang disukai. Minyak dan

kristal Dryobalanops berpotensi sebagai obat karena aktivitas antimikrob

minyak dan kristal sangat baik menghambat pertumbuhan mikroba S. aureus

dan C. albicans. Senyawa borneol merupakan senyawa penciri minyak dan

kristal Dryobalanops.

Hasil penelitian tahun 2013 menunjukkan bahwa formulasi parfum yang

dibuat cukup disukai oleh responden. Formulasi yang dibuat merupakan

campuran minyak Dryobalanops, odorant, etanol dan minyak nilam.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi teknik pembuatan produk kosmetika

meliputi lilin aromaterapi, sabun antijerawat, dan informasi hasil uji.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dryobalanops spp merupakan jenis yang termasuk ke dalam suku

Dipterocarpaceae. Penyebarannya mulai dari Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Dryobalanops juga dikenal

dengan nama Kapur, diantaranya yang penting adalah: Dryoblanops aromatica

Gaertn. (Kapur singkel), Dryobalanops fusca V.Sl. (Kapur empedu),

Dryobalanops. lanceolata Burck (Kapur tanduk), Dryobalanops beccarii Dyer

(Kapur sintuk), Dryobalanops rappa Becc. (Kapur kayat), Dryobalanops keithii

Symington (kapur gumpait), dan Dryobalanops oblongifolia Dyer (kapur

keladan) (Heyne, 1987).

Umumnya pemanfaatan Dryobalanops spp selama ini lebih kepada

kayunya untuk balok, tiang dan konstruksi atap, papan pada bangunan

perumahan dan jembatan, serta juga dipakai untuk perkapalan, peti (koper),

mebel dan juga untuk peti mati. Kecuali beberapa jenis Dryoblanops seperti

aromatica, terkenal sebagai penghasil barus atau kamper. di Korea dan

Jepang, pohon yang menghasilkan barus atau kamper ini dikenal dengan nama

Cinnamomum camphora dari suku Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia

diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam suku

Dipterocarpaceae. Di Pulau Sumatera, pohon kapur tumbuh liar pada tanah

datar, dengan serapan air yang baik maupun pada daerah lereng bukit di hutan

tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut.

Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan

membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata

(Whitten dkk.,1984 dalam Sutrisna, 2008). Pada abad ke-17, selain di daerah

Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang

merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel

(Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008).

Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan

minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang

pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada

7

pohon yang berusia ratusan tahun (Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008). Dahulu

proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih

dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok.

Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari.

Penebanganpun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan

sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus. Bila kemudian ditemukan

pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses

pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara yang dilakukan yaitu : potongan

balok kayu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur.

Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik

tiap potongan balok. Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar

1,5–2,5 kilogram kristal kapur dengan kualitas yang berbeda. Cara lain

pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang

pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Cara ke dua lebih

baik dari cara pertama, karena untuk mendapatkan kamper tidak harus

menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon.

Gambar 1 : Kristal D. keithii, D. lanceolata, yang terletak pada sel-sel parenkim aksial

(Sumber : Toshihiro Yamada and Eizi Suzuki, 2004)

8

Gambar 2. Struktur kimia borneol

Borneol (C10H18O) banyak tersebar di alam sebagai komponen minyak

atsiri (Roland et al.,1995). Di bidang industri borneol murni bersama juga

isoborneol digunakan sebagai bahan baku penyusun parfum dan bahan

pengester. Borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan

mental. Borneol di China dikenal juga dengan nama Bing Pian (Hugo, 1995).

Salah satu penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut

wanita (bio panty) yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan

ketika haid, mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan

darah beku, dan mencegah perkembang biakan kuman (Yuhana, 1991 dan

Long, 2000).

Borneol banyak terdapat pada tanaman lain selain pada minyak

Dryobalanops spp, antara lain seperti sembung, kencur, jahe, sage, thyme, dan

masih banyak tumbuhan lainnya, bahkan pada minyak nilam juga terdapat

kandungan borneol, akan tetapi hanya dalam jumlah dan konsentrasi yang

relatif kecil. Borneol dari Dryobalanops banyak dicari untuk digunakan sebagai

bahan pengobatan alternatif, sebagai aromaterapi. Karena penggunaan

borneol yang tepat, dapat menghancurkan pembekuan darah pada kasus

pembekuan darah pada otak atau jantung.

Pada abad ke-14 dilaporkan bahwa minyak/kristal kapur dipakai untuk

bahan pewangi. Sebagai rempah dasar, kapur dipakai untuk campuran

pewangi. Di antara jenis campuran wangi-wangian yang mengandung kapur,

nadd dan sukk merupakan yang terpenting. Nadd merupakan cara-cara

membuat campuran wewangian, sementara sukk merupakan campuran

wewangian berbahan dasar kapur (Ibn Masawayh dalam Guillot, 2002).

9

Berbagai bahan alami banyak digunakan sebagai sumber minyak wangi

antara lain ekstrak lemon, pala, nilam, peppermint, cinnamon, bunga ros,

cendana, kemenyan, melati, lavender, dll (Calkin and Jellinck, 1994).

Pemanfaatan minyak Dryobalanops dalam berbagai macam produk

kosmetika sangat dimungkinkan seperti produk lilin aromaterapi dan sabun

antijerawat. Lilin aroma terapi adalah lilin yang jika dibakar akan mengeluarkan

wangi aroma terapi yang dihasilkan dari minyak atsiri. Menurut Koo et al.

(2004), bahwa hasil uji bioaktivitas senyawa borneol Dryobalanops aromatica

yang ada di pasar tradisional di Yeongchon, Korea, menunjukkan bahwa

minyak ini mampu memperbaiki sistim saraf dan obat penenang serta sebagai

aroma terapi. Lilin aromaterapi merupakan alternatif aplikasi aromaterapi

secara inhalasi (penghirupan), yaitu penghirupan uap aroma yang dihasilkan

dari beberapa tetes minyak atsiri dalam wadah berisi air panas. Lilin

aromaterapi akan menghasilkan aroma yang memberikan efek terapi bila

dibakar. Aroma lilin dihasilkan dari minyak atsiri yang tergolong ke dalam jenis

aroma yang mampu memberikan efek terapi menenangkan dan merilekskan

(Primadiati, 2002).

Demikian halnya dengan produk sabun kosmetik seperti sabun

antijerawat, fungsinya pada pasien jerawat adalah adanya zat-zat yang bisa

membunuh dan mengurangi jumlah bakteri penyebab jerawat. Sabun

merupakan garam alkali karboksilat (RCOONa). Gugus R ber-sifat hidrofobik

karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidro-filik (polar). Proses yang

terjadi dalam pembuatan sabun disebut sebagai saponifikasi (Girgis 2003). Ada

2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair

(Hambali et al. 2005). Sabun padat dibedakan atas 3 jenis, yaitu sabun opaque,

translucent, dan transparan. Kebanyakan yang dijual bebas mengandung

benzoyl peroksida, sulfacetamide atau triclosan. Penambahan minyak

Dryobalanops yang memiliki antimikroba, diharapkan mampu meggantikan

penambahan zat-zat sintetik pada sabun antijerawat.

10

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Pengambilan bahan penelitian dilakukan di Singkil, Aceh dan Nanga

Pinoh, Malawi, Kalimantan Barat. Penelitian laboratorium dilakukan di

Laboratorium Pengolahan HHBK Pustekolah, dan Laboratorium Kimia

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak jenis

Dryobalanops aromatica, pewarna hijau dan merah, pewangi, akuades, H2SO4

20%, indikator jingga metil 1% , etanol 96 %, indikator fenolftalein, KOH 0,1N

dan 0,5N, HCl 10%, 0,1N dan 0,5N, akuades, Typtic soy agar (TSA), DMSO

20%, tetrasiklin, dan suspensi bakteri Propionibacterium acnes.

Peralatan-peralatan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini

antara lain meliputi: erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas,

spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer,

stopwatch dan GCMS.

C. Prosedur Kerja

1. Formulasi lilin aromaterapi

Lilin aromaterapi dibuat sesuai standar formula pembuatan lilin

aromaterapi yang sudah baku. Formulasinya berupa parafin, stearin, odoran,

pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Dicobakan variasi penambahan

minyak Dryobalanops (2%, 4% dan 6%) dalam formulasinya (Tabel 1).

Tabel 1. Formulasi lilin aromaterapi

No Formula

1

2

3

Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(2%)+nilam(1%)

Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(4%)+nilam(1%)

Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(6%)+nilam(1%)

11

2. Pembuatan dan pengujian sabun antijerawat

Pembuatan sabun antijerawat mengikuti standar pembuatan sabun pada

umumnya dengan variasi penambahan minyak Dryobalanops (Tabel 2.). Bahan

dasar pembuatannya adalah based sabun, odorant, pewarna dan minyak

Dryobalanops.

Tabel 2. Formulasi sabun antijerawat

No Formula

1

2

3

Based sabun (98%)+odoran (1%)+Dryobalanops (1%)

Based sabun (97%)+odoran (1%)+Dryobalanops (2%)

Based sabun (96%)+odoran (1%)+Dryobalanops (3%)

a. Uji antibakteri Propionibacterium acnes

Aktivitas antijerawat ditentukan dengan menentukan aktivitas antimikrob

terhadap Propionibacterium acnes. Pengujian antibakteri terhadap P. acnes

dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka. Uji antibakteri menggunakan

metode mikrodilusi 96 well plate. Bakteri ditumbuhkan dalam media TSA.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan mikroplate 96 sumur steril yang

terbuat dari polistirena. Sampel dilarutkan dalam DMSO. Kemudian stok sampel

dibuat ke dalam beberapa variasi konsentrasi. Masing-masing sumur

ditambahkan medium TSA dan larutan inokulan Propionibacterum acnes. Plate

diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Digunakan DMSO 20% sebagai

kontrol negatif dan tetrasiklin serta kloroamfenikol sebagai kontrol positif.

Setelah inkubasi selama 24 jam, ditentukan konsentrasi hambat minimum

(MIC= minimum inhibition concentration) dari sampel dengan cara melihat

sumur yang jernih dengan nilai konsentrasi terendah sebagai nilai MIC. Nilai

konsentrasi bunuh minimum (MBC= minimum bactericidal concentration) dari

sampel MIC sebelumnya ditentukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu

37°C. Sumur yang masih jernih dengan konsentrasi terendah dipilih sebagai

nilai KBM (Batubara et al. 2009).

12

b. Penetapan sifat fisikokimia sabun

1). Penetapan kadar air sabun

Penetapan kadar air dilakukan dengan cara distilasi, Sebanyak 2,5 gram

sampel dimasukan ke dalam erlenmeyer asah, ditambahkan xilena sebanyak

150 ml. Kemudian erlenmeyer dihubungkan dengan alat aufhauser yeng

kemudian dihubungkan dengan kondensor libig yang panjang. Selanjutnya

radas dipanaskan selama kurang lebih 3 jam sampai air yang terpisah tidak

bertambah lagi. Air yang telah terpisah dalam pipa berskala ditentukan

volumenya.

Perhitungan :

a ar air lu e air terukur

B t c nt h

2). Penetapan kadar jumlah asam lemak

Penetapan kadar jumah asam lemak dilakukan dengan cara cassia,

sebanyak 2,5 gram sampel sabun dilarutkan dengan 50 ml air dan dipanaskan

dengan menggunakan radas refluks. Setelah sabun larut, larutan tersebut

dimasukan ke dalam labu cassia dan ditambahkan indikator jingga metil

kemudian H2SO4 20 % sebanyak 7 ml. Labu cassia diapanasakan kembali di

dalam penangas air, setelah asam lemak terpisah di permukaan larutan,

ditambahkan air panas sampai asam lemak terbaca pada skala yang terdapat

pada labu, labu cassia dipanaskan kembali sampai semua asam lemak

terkumpul di permukaan.

Perhitungan :

a ar t tal asa le ak lu e le ak terukur

B t c nt h

3). Penetapan kadar asam lemak bebas

Kadar asam lemak bebas ditetukan dalam alkohol netral. Sebanyak 50

ml etanol didihkan dalam labu erlenmeyer 250 ml.Kemudian ditambahkan

indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes dan didinginkan sampai suhu 70°C

kemudian dititar dengan KOH 0,1 N dalam alkohol sampai titik akhir. Setelah

itu, 2,5 gram sampel sabun dimasukan kedalam alkohol netral yang telah dibuat

dan dipanaskan di atas penangas air dengan bantuan radas refluks, dan

13

didihkan selama 30 menit. Kemudian dinginkan sampai suhu 70°C dan titar

dengan KOH 0,1 N dalam alkohol sampai warna merah timbul dan tahan

selama 15 detik.

Perhitungan :

Keterangan :

V = Volume KOH 0,1 N dalam alkohol yang terpakai (ml)

N = Normalitas KOH yang digunakan

B = Bobot contoh (g)

0,205 = Berat setara asam laurat

4). Penetapan kadar lemak tak tersabunkan

Penentuan kadar lemak tak tersabunkan dilakukan dengan

menggunakan larutan bekas penentuan asam lemak bebas. Larutan tersebut

ditambah 5 ml KOH 0,5 N alkoholis. Kemudian dipanaskan diatas penangas air

dan menggunakan kondensor alin selama 1 jam.Setelah itu didinginkan sampai

suhu 70°C dan dititar dengan HCl 0,5 N alkoholis sampai warna merah dari

indikator fenolftalein tepat hilang.

Perhitungan :

( )

Keterangan :

N = Normalitas HCl

V1 = Volume HCl untuk penitaran blanko (ml)

V2 = Volume HCl terpakai (ml)

W = Bobot contoh (g)

0,0561= Setara bobot KOH

0,2580= Rerata bilangan penyabunanan minyak kelapa

14

5). Penetapan kualitatif lemak mineral

Uji kualitatif lemak mineral dilakukan dengan menggunakan lemak yang

didapat dari penentuan kadar total asam lemak. Lemak dari labu cassia

dipindahkan sebanyak 0,3 ml ke dalam ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan

KOH 0,5 N dalam alkohol sebanyak 5 ml. Kemudian dipanaskan di atas

penangas air dan menggunakan kondensor alin, larutan didihkan selama 2

menit. Larutan diuji dengan meneteskan akuades ke dalamnya.Jika larutan

mengalami kekeruhan maka contoh sabun mengandung lemak mineral, jika

larutan tetap jernih setelah diuji, contoh sabun tidak mengandung lemak

mineral.

c. Pengujian aktivitas antioksidan

Pengujian antioksidan dilakukan pada minyak dan produk sabun.

Menggunakan metode dari Blois (1958) yaitu Metode Diphenyl-2-picrylhydrazyl

(DPPH). Minyak dan produk sabun dibuat dalam berbagai konsentrasi (5, 7.5,

10, 15, 25, 50, dan 75 ppm). Masing-masing dimasukkan kedalam tabung

reaksi. Kedalam tiap tabung reaksi ditambahkan 500 µl larutan DPPH 1mM

dalam metanol. Volume dicukupkan sampai 5 ml, kemudian diinkubasi pada

suhu 370 C selama 30 menit, selanjutnya serapan diukur dengan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai kontrol

positif digunakan vitamin C (konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm). Nilai IC50

dihitung masing-masing dengan menggunakan rumus persamaan regresi dan

dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

3. Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan pada produk lilin aromaterapi. Jumlah

responden sebanyak 30 orang dari berbagai tingkat umur remaja sampai

dewasa pada kisaran 15-60 tahun. Parameter yang diukur meliputi kesukaan

aroma lilin sebelum dibakar, kesukaan aroma lilin setelah dibakar dan efek

terapi yang dirasakan.

15

D. Analisis Data

Data kuantitatif hasil pengujian organoleptik dianalisa secara statistika

non parametrik dengan uji Kruskall Wallis (Steel and Torrie, 1995). Analisis

kualitatif pada pengujian organoleptik untuk mengetahui kualitas lilin

aromaterapi dilakukan dengan cara pengujian skoring terhadap produk dengan

cara mengintruksikan responden/panelis untuk memberikan tanggapan

pribadinya terhadap respon sesuai skala yang sudah ditentukan. Skala skoring

yang digunakan adalah 5 dan 12.

16

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Asal Dryobalanops aromatica

Lokasi penelitian yang pertama dilakukan di Kabupaten Singkil, Aceh.

Kawasan hutan Singkil memiliki luasan sekitar 18.000 ha. Kebanyakan hutan di

Singkil didominasi oleh hutan Rawa, namun belum ada inventarisasi yang jelas

sehingga tidak ada data pasti mengenai potensi yang ada. Umumnya jenis

yang diketahui berdasarkan data sepintas kebetulan melewati hutan tersebut,

serta informasi dari masyarakat yang terkadang masih mengambil kayu dari

hutan untuk kebutuhan sendiri. Kabupaten Singkil terletak pada 20.02 -30.0

Lintang Utara dan 970.04 - 980.12 Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Tenggara, sebelah Selatan dengan Lautan Hindia dan

kabupaten Nias, Sebelah Timur dengan kabupaten Dairi/Tapanuli Tengah,

sebelah Barat dengan kecamatan Trumon. Kabupaten Singkil memiliki 9

kecamatan antara lain : 1. Kecamatan Danau Paris, 2. Kecamatan Gunung

Meriah, 3. Kecamatan Kota Baharu, 4. Kecamatan Pulau Banyak, 5.

Kecamatan Simpang Kanan, 6. Kecamatan Singkil, 7. Kecamatan Singkil

Utara, 8. Kecamatan Singkohor, dan 9. Kecamatan Suro Baru. Potensi

sumber daya alam Kabupaten Singkil antara lain : Kehutanan berupa Hutan

Produksi seluas 18.000 an hektar; Perkebunan berupa kelapa sawit seluas

150.000 an hektar, kelapa seluas 44.000 an hektar, dan karet seluas 18.140

ha; Pertanian sekitar 250.000 an hektar berupa pertanian teknis, semi teknis

dan non teknis; dan Perikanan berupa perikanan darat dan perikanan laut

sekitar 780.00 an hektar.

Nilai keanekaragaman hayati yang ada di Rawa Singkil cukup tinggi.

Hutan Rawa Singkil memiliki kekayaan flora yang bernilai biologis dan

ekonomis tinggi. Data Dinas Kehutanan kabupaten Aceh Singkil tahun 2004

menunjukkan bahwa jenis Kayu Meranti, damar laut/semantok, Kapur, Keruing,

Lesi-lesi/Medang adalah jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi dan

sebagian besar kayu-kayu ini berasal dari hutan di sekitar Rawa singkil. Selain

itu Hutan Rawa ini juga kaya akan jenis-jenis pohon bernilai ekonomi tinggi

17

seperti Alstonia pneumatophora, Campnosperma macrophylla, Dyera lowii,

Pentapadon motleyi, Elaeocarpus littoralis, Palaquium leicarpum, Shorea

balangeran, Lophopethalum multinervium, dan lain-lain.

Hutan Rawa Singkil merupakan sebuah mosaik jenis vegetasi yang

beragam. Memiliki kubah gambut dengan ketebalan yang bervariasi, tanggul

dan lembah, pantai bergelombang dan padang yang lembab, dataran

berlumpur, serta dasar laut yang berteras-teras. Vegetasi tumbuhan yang ada

di hutan rawa Singkil merefleksikan bentuk hutan air tawar, hutan rawa

gambut, hutan rawa, hutan bakau dan hutan aliran sungai. Kalau dilihat tipe

vegetasinya, Rawa Singkil dapat dibedakan menjadi beberapa tipe ekosistem

yaitu ekosistem pantai, ekosistem hutan rawa, ekosistem sungai dan ekosistem

buatan. Tipe ekosistem ini dapat dijumpai sepanjang sungai utama yang

melintasi kawasan ini, yaitu Sungai Alas dan sungai-sungai kecil yang berhulu

di sungai ini. Hutan rawa Singkil memiliki fungsi yang penting tidak hanya bagi

masyarakat yang bermukim di sekitarnya namun juga bagi masyarakat Aceh

Singkil pada umumnya. Beberapa jenis tumbuhan kayu dengan nilai ekonomi

tinggi yang dapat ditemukan dalam ekosistem hutan rawa di kawasan Rawa

Singkil seperti kayu meranti, kayu kapur, keruing, damar laut, dan medang.

Masyarakat lokal memanfaatkan hutan rawa untuk berbagai keperluan,

kayunya untuk membuat perahu, rumah dan kayu bakar, sebagai sumber

tanaman obat dan lain-lain. Selain itu kelapa sawit yang telah lebih dahulu

mendominasi sebagai tanaman perkebunan rakyat ataupun perkebunan

perusahaan telah memberikan sumbangan terbesar bagi pendapatan

masyarakat.

18

Gambar 3. Vegetasi utama pandan duri yang tumbuh di rawa basah.

Gambar 4. Tegakan hutan rawa kering

Pengumpul minyak dan kristal di Singkil adalah Bapak Haji Hasyim.

Beliau sudah sejak lama melakukan usaha pengumpulan komoditi hasil hutan

bukan kayu seperti gaharu, damar, kristal kapur dan minyak kapur yang

berpusat di Rimo, Singkil. Semua komoditi diperoleh dari perorangan baik

warga Singkil, Rimo, bahkan terkadang juga dari Subulussalam serta daerah

lainnya. Kristal dan minyak kapur diambil dari hutan alam yang terdapat di

19

Kabupaten Singkil masih dengan cara penebangan, walaupun secara selektif.

Salah seorang pengumpul menjelaskan bahwa persediaan stok dari komoditi

yang diusahakan terutama minyak dan kristal kapur tidak bisa dipastikan waktu

atau musimnya, tergantung dari kemauan dan keinginan masyarakat pencari

minyak dan kristal kapur. Umumnya komoditi yang diperdagangkan terutama

minyak dan kristal kapur (Dryobalanops aromatica) biasanya si pembeli datang.

Umumnya pembeli datang dari Medan dan Jakarta, namun terkadang dijual

langsung ke Medan bahkan ke Jakarta. Terkadang juga diekspor sendiri ke

China.

Kristal kapur yang diperoleh terdiri dari tiga kualitas dengan harga yang

cukup tinggi. Yang membedakan antara kualitas adalah ukuran kristalnya.

Kualitas satu kristalnya paling besar, dan kecil untuk kualitas dua, dan kualitas

tiga terlihat seperti bubuk yang tercampur dengan serbuk kayu (Gambar 6,7,8),

namun mempunyai aroma yang sama.

Gambar 5. Minyak kapur (Dryobalanops aromatica) dan pengumpul

20

Gambar 6. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 1

Gambar 7. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 2

Gambar 8. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 3

21

Lokasi penelitian berikutnya dilakukan di areal kerja IUPHHK-HA PT.

Sari Bumi Kusuma (PT. SBK) di Kamp Tontang, Sintang-Kalimantan Barat.

Secara administratif kehutanan, areal PT. SBK termasuk ke dalam Kesatuan

Pemangkuan Kehutanan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Sintang Propinsi

Kalimantan Barat. Termasuk dalam kelompok hutan sungai Lekawai. Lokasi

penelitian berada pada ketinggian 150 mdpl. Dari kegiatan eksplorasi yang

dilakukan, diketahui bahwa jenis yang ada di lokasi penelitian adalah jenis

Dryobalanops aromatica (Gambar 9.). Jenis ini tumbuh berkelompok di

punggung-punggung bukit. Lokasi penelitian merupakan areal bekas tebangan

tahun 2010, walaupun demikian, komposisi tegakan terlihat sangat baik.

Diameter pohon Dryobalanops aromatica bervariasi mulai dari 30 cm sampai

71 cm. Jenis pohon lain yang berasosiasi dengan Dryobalanops aromatica

antara lain Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus sp), Kempas

(Koompassia excelsa), Ulin (Eusideroxylon zwageri), Geronggang (Cratoxylon

sp), Medang (Litsea sp) dan Nyatoh (Palaquium sp). Regenerasi alamnya juga

sangat baik, terlihat dengan banyaknya anakan Dryobalanops aromatica di

sekitar pohonnya.

Gambar 9. Batang dan daun Dryobalanops aromatica

Pada kegiatan ini juga dilakukan percobaan penyadapan minyak pada

pohon Dryobalanops aromatica sebanyak 12 pohon. Teknik yang digunakan

22

adalah dengan cara membuat takikan dengan cara digergaji sampai kedalaman

mendekati empulur (Gambar 10).

Gambar 10. Pembuatan takik sadapan

Sebanyak 12 pohon yang disadap, kemudian dilihat hasilnya berturut-

turut selama 2 hari. Dari 12 pohon yang disadap, terlihat hasil sadapan yang

berbeda-beda mulai dari 50 ml sampai dengan 1 liter. Terhadap 2 pohon yang

lain, yang tampak sudah tua, dilakukan penebangan. Dari hasil penebangan,

didapatkan minyak yang lebih banyak, dengan cara membuat beberapa takikan

di sepanjang batang rebah. Tidak ditemukan deposit kristal pada bantang kayu.

Akan tetapi sudah mulai terlihat titik-titik putih bakal calon kristal kapur. Adapun

harga minyak di pedagang bervariasi mulai dari Rp 200.000 s.d Rp 500.000 per

liter.

Dari hasil koordinasi di Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara di

Tarutung, diketahui bahwa kawasan hutan di Tapanuli Utara merupakan daerah

penyebaran pohon Kapur (Dryobalanops aromatica). Daerah sebaran ini

meliputi kawasan yang berbatasan dengan kabupaten Tapanuli Tengah.

Daerah ini mencakup Simanungkalit, Adian Koting dan Lobu Sikkam di

Sipoholon (Gambar 11 dengan warna hijau tua). Menurut informasi, tegakan

kapur masih dapat dijumpai dengan diameter 240 cm. Masyarakat sudah

mengetahui keberadaan minyak dan kristal kapur yang bernilai ekonomi tinggi,

akan tetapi tidak mengetahui peruntukannya.

23

Gambar 11. Daerah penyebaran Dryobalanops aromatica di Tapanuli Utara

B. Formulasi Lilin Aromaterapi

Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran,

pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Berbagai formula yang dibuat seperti

pada Tabel 1, menghasilkan lilin yang cukup keras dan dapat menyala dengan

sempurna. Lilin aromaterapi yang dibuat (Gambar 12) memiliki karakter yang

hampir sama pada berbagai sifat lilin yang diuji.

Gambar 12. Lilin aromaterapi

24

Lilin aromaterapi akan memberi efek terapi bagi konsumen karena adanya

penambahan minyak atsiri sebagai aroma lilin. Aroma tersebut memiliki fungsi

terapi menenangkan pikiran dan hati, disamping sebagai penyegar ruangan.

Hasil 3 (tiga) macam formulasi lilin aromaterapi sesuai dengan rancangan

penelitian kemudian diujikan organoleptik (uji indra) kepada responden

sebanyak 30 orang. Hasil pengujian organoleptik terhadap 30 orang responden

disajikan pada Gambar 13,14 dan 15.

Tabel 3. Analisis Statistik (Kruskal wallis test)

Test Statisticsa,b

Parameter data

Kesukaan sebelum

dibakar

Chi-square 12,520

df 2

Asymp. Sig. ,002

Kesukaan setelah

dibakar

Chi-square 2,954

df 2

Asymp. Sig. ,228

Efek aromaterapi Chi-square 8,609

df 2

Asymp. Sig. ,014

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: parfum

1. Kesukaan aroma sebelum dibakar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden

menyatakan bahwa lilin aromaterapi formula 1 sebelum dibakar disukai,

sementara formula 2 dan 3 agak disukai (Gambar 13). Dari hasil analisis

statistik (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata

tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula

yang paling disukai adalah formula 1. Formula ini adalah dengan konsentrasi

minyak Dryobalanops aromatica yang rendah. Tidak terdapat pengaruh tingkat

umur terhadap kesukaan aroma lilin sebelum dibakar. Baik tingkat umur 15-30

tahun, 31-50 tahun dan lebih besar dari 50 tahun menilai formula 1 yang paling

25

disukai. Dari analisis perbedaan jenis kelamin terhadap kesukaan terhadap

aroma lilin sebelum dibakar, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan

preferensi. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan kesukaan terhadap

formula 1.

Gambar 13. Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar

2. Kesukaan aroma setelah dibakar

Tingkat kesukaan lilin aromaterapi setelah lilin dibakar menunjukkan

bahwa responden umumnya menilai formula yang dibuat berada pada kisaran

agak disukai sampai sangat disukai (Gambar 14). Secara statistik tidak terlihat

perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat

kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 lebih disukai. Artinya formula yang

memiliki konsentrasi sedang minyak Dryobalanops aromatica yang lebih

disukai. Pengaruh tingkat umur terlihat dimana kelompok umur 15-30 tahun

lebih menyukai formula 2. Berbeda dengan tingkat umur 31-50 tahun dan lebih

besar dari 50 tahun lebih menyukai formula 1. Dari analisis perbedaan jenis

kelamin terhadap kesukaan terhadap aroma lilin setelah dibakar, diketahui

bahwa tidak terdapat perbedaan preferensi. Baik perempuan dan laki-laki

memiliki kesamaan kesukaan terhadap formula 2.

3%

67%

27%

3%

sangat suka sukaagak suka tidak suka

10%

13%

54%

23%

sangat suka sukaagak suka tidak suka

7%

23%

47%

23%

sangat suka suka

agak suka tidak suka

Formula 1 Formula 2 Formula 3

26

Gambar 14. Kesukaan aroma lilin setelah dibakar

3. Efek aromaterapi

Responden menilai formula 1 memiliki efek aromaterapi segar dan hangat,

formula 2 memiliki efek ngantuk dan kurang segar. Sementara formula 3

memiliki efek hangat dan agak pusing (Gambar 15). Hasil analisis statistik

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek

aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1

merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. Formula yang

memberi efek disukai responden adalah formula dengan konsentrasi minyak

Dryobalanops aromatica yang paling rendah. Berdasarkan tingkat umur terlihat

bahwa tidak terdapat perbedaan efek aromaterapi yang dirasakan pada semua

tingkat umur. Semua tingkat umur lebih menyukai aroma formula 1. Dari

analisis perbedaan jenis kelamin terhadap efek aroma yang ditimbulkan,

diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan preferensi. Baik perempuan dan laki-

laki memiliki menyatakan bahwa formula 1 memberi efek yang lebih positif.

0%

37%

33%

30%

sangat suka suka

agak suka tidak suka

7%

37%

43%

13%

sangat suka sukaagak suka tidak suka

40%

17%

40%

3%

sangat suka sukaagak suka tidak suka

Formula 1 Formula 2 Formula 3

27

Gambar 15. Efek aromaterapi

C. Pembuatan dan Pengujian Sabun Antijerawat

1. Penetapan Sifat Fisikokimia Sabun

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu

sampel sebagai persen bahan kering. Pada penentuan kadar air sabun ini

menggunakan metode distilasi karena banyak zat mudah menguap pada sabun

terutama yang berasal dari bahan aktif yang ditambahkan. Metode distilasi

biasa menggunakan pelarut diantaranya toluena, xilena, dan heptana yang

berat jenisnya lebih rendah daripada air namun titik didihnya lebih tinggi dari air.

Sampel dimasukan ke dalam labu bulat bersama dengan pelarut, dan

dihubungkan dengan radas aufhauser dan dipanaskan, sehingga jumlah air

yang diuapkan dapat dilihat pada skala tabung aufhauser tersebut.

Kadar air untuk sabun F (sabun warna hijau), MM (sabun warna merah

dengan pewarna jernang, K (sabun kristal dengan pewarna jernang), dan KH

(sabun kristal dengan pewarna hijau) masing-masing sebesar 29,83%, 27,84%,

29,77%, dan 33,43%. Kadar air maksimal yang diijinkan menurut SNI 06-3532-

1994 tentang syarat mutu sabun mandi padat adalah 15%. Sangat jelas

ditunjukan bahwa kadar air sabun jauh diatas ambang batas menurut SNI. Hal

ini disebabkan dalam industri sabun mandi padat terdapat proses pengeringan,

sedangkan dalam penelitian ini tidak dilakukan. Menurut Sukarno (2012),

proses drying berfungsi untuk menurunkan kadar air dalam sabun dan

mengatur tingkat asam lemak bebas dalam sabun. Pembandingan data yang

didapat menunjukan bahwa sabun dengan pewarna hijau lebih besar kadar

27%

6%

20% 20%

10% 3%

7% 7%

segar senanghangat kurang segaragak tenang ngantukpusing sesak

7% 3% 10%

23%

3% 7% 20%

3% 7%

7% 10%

segar senanghangat kurang segaragak tenang kurang tenangngantuk ingin tiduragak pusing pusingsesak

7% 3%

20%

3%

17% 3% 3% 7%

17%

13% 7%

segar senang

hangat agak segar

kurang segar kurang tenang

ngantuk ingin tidur

agak pusing pusing

Formula 1 Formula 2 Formula 3

28

airnya, karena pewarna hijau yang dipakai adalah cairan sedangkan pewarna

merah adalah pewarna alami dari serbuk jernang.

Pengukuran jumlah asam lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah

asam lemak yang terdapat dalam sabun dengan memutus ikatan antara asam

lemak dengan Na pada sabun menggunakan asam kuat. Jumlah asam lemak

pada sabun menunjukkan total jumlah asam lemak yang tersabunkan dan asam

lemak bebas yang terkandung pada sabun (Yuspita 2011). Dari perlakuan yang

dilakukan pada setiap sabun baik dari jumlah penambahan zat aktif ataupun

base sabun tidak semuanya menunjukan hubungan yang linear dengan

semakin banyaknya penambahan zat aktif. Namun menunjukan tren yang

semakin menurun dengan semakin banyaknya zat aktif yang ditambahkan.

Salah satu penyebab hal ini terjadi dapat karena kurang homogennya

sabun yang telah dibuat dan penambahan zat aktif yang perbedaanya hanya

1%. Kadar jumlah asam lemak yang didapat dari semua jenis sabun yang telah

dibuat berkisar antara 27-33%. Menurut SNI 06-3532-1994, kadar minimal

jumlah asam lemak adalah 70%. Hal ini terjadi karena base sabun yang

digunakan mempunyai kadar jumlah asam lemak sebesar 30%. Base sabun

yang digunakan merupakan sabun transparan. Hal tersebut disebabkan adanya

penambahan transparent agent dan berbagai bahan lain yang membuat sabun

transparan mengandung lebih sedikit asam lemak daripada sabun mandi biasa.

Asam lemak dalam sabun transparan berperan sebagai pengatur konsistensi

sabun. Hal ini disebabkan sabun memiliki kemampuan terbatas untuk larut

dalam air (Spitz 1996) , sehingga jika jumlah asam lemak sabun rendah maka

sabun akan cepat habis ketika digunakan (Yuspita 2011).

Fraksi tak tersabunkan dalam konteks ini dapat berupa alkali bebas,

asam lemak bebas, lemak netral, dan minyak mineral. Adanya alkali bebas

dapat disebabkan karena penambahan alkali yang berlebih saat proses

penyabunan, ataupun adanya asam lemak bebas dalam sabun disebabkan

asam lemak yang berlebih saat proses penyabunan sehingga asam lemak tidak

bereaksi semuanya dengan alkali menjadi sabun. Sabun yang telah dibuat

memilki kadar alkali bebas yang negatif, artinya sabun yang dihasilkan tidak

kelebihan basa, melainkan memiliki asam lemak yang berlebihan. Hal ini juga

29

dapat dilihat pada saat melakukan analisis awal, dimana sabun yang berubah

warna menjadi merah muda setelah ditetesi fenoftalein yang menandakan

bahwa sabun tersebut kelebihan basa, maka dilakukan pengujian alkali bebas.

Namun apabila tidak terjadi perubahan warna berarti sabun kelebihan asam

maka dilakukan pengujian asam lemak bebas (Purnamawati 2006) atau biasa

disebut bilangan asam. Kadar asam lemak bebas dari setiap jenis sabun yang

telah dibuat berada pada kisaran 0,69%-0,79%. Menurut SNI 06-3532-1994,

kadar maksimum asam lemak bebas adalah sebesar 2,5%, berdasarkan hal

tersebut kadar asam lemak bebas masih memenuhi syarat mutu SNI.

Apabila NaOH yang ditambahkan terlalu pekat atau jumlahnya berlebih,

maka alkali bebas yang tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak

akan terlalu tinggi dan mamberikan pengaruh negatif yaitu iritasi pada kulit.

Sebaliknya, apabila NaOH yang ditambahkan terlalu encer atau jumlahnya

terlalu sedikit, maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak

bebas yang tinggi. Asam lemak bebas pada sabun mengganggu proses emulsi

dan kotoran pada saat sabun digunakan (Purnamawati 2006).

Menurut SNI (1994) lemak tak tersabunkan merupakan lemak netral atau

trigliserida netral yang tidak bereaksi selama proses penyabunan atau yang

sengaja ditambahkan untuk mendapatkan hasil sabun superfat. Kadar

maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 2,5% dan 7,5% untuk tipe

sabun superfat. Kadar lemak tak tersabunkan dari semua sabun yang dibuat

berkisar antara 0,99% - 1,99%. Hasil analisis lemak taktersabunkan tidak

menunjukan linearitas, namun menunjukan tren yang semakin tinggi dengan

penambahan zat aktif yang lebih banyak.

Kadar fraksi tak tersabunkan merupakan jumlah komponen yang tidak

tersabunkan karena tidak bereaksi dengan senyawa alkali (biasanya natrium)

namun dapat larut dalam minyak pada saat pembuatan sabun. Adanya fraksi

tak tersabunkan dapat menurunkan kemampuan membersihkan (deterjensi)

pada sabun (Spitz, 1996). Ketaren (1986) menambahkan bahwa senyawa-

senyawa yang larut dalam minyak dan tidak dapat disabunkan dengan soda

alkali termasuk di dalamnya yaitu sterol, zat warna dan hidrokarbon. Semua

30

sabun Dryobalanops aromatica yang telah dibuat menunjukan hasil yang

negatif untuk kandungan minyak mineral.

2. Uji Aktivitas Terhadap Propionibacterium acnes

Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (MIC), yaitu konsentrasi minimum

yang dibutuhkan sampel untuk menghambat pertumbuhan bakteri ditentukan

dalam pengujian antibakteri. Hasil pengujian sampel tidak menunjukan adanya

aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml.

Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol

dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai

MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut (Lampiran 4). Dengan nilai

aktifitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. Pada

penelitian Pasaribu, et.al. (2013) menunjukan bahwa minyak dan kristal aktif

terhadap Candida albicans dan Staphylococcus aureus dengan metode difusi

cakram yang menghasilkan zona bening cukup lebar (Tabel 4). Dengan

demikian aktivitas zat aktif Dryobalanops aromatica terhadap P. acnes dan C.

Albicans serta S. aureus sangat berbeda.

Tabel 4. Aktivitas antimikroba Candida albicans dan Staphylococcus aureus

pada minyak dan kristal Dryobalanops aromatica

No Jenis

Aktivitas antimikroba

Candida albicans Staphylococcus aureus

Diameter zona (mm)

Indeks Diameter zona (mm)

Indeks

1 Minyak 1 32,5 4,42 13,5 1,25

2 Minyak 2 27,5 3,58 12,5 1,08

3 Minyak 3 30,0 4,00 9,0 0,50

4 Minyak 4 0,0 0,00 0,0 0,00

5 Kristal 7,5 0,25 8,0 0,30

Uji coba terhadap bakteri yang berhubungan dengan kesehatan kulit

lainnya adalah antibakteri Staphylococcus epidermis dengan metode difusi

cakram. Hasil uji menunjukkan bahwa minyak, kristal maupun produk sabun

yang dibuat berespon negatif terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri

(Lampiran 5). Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produk

31

sabun yang paling prospektif dikembangkan adalah sabun antiseptik. Hal ini

didasari aktifitas antibakteri terhadap S. aureus yang sangat baik, sehingga

dapat menggantikan peran kloramfenikol sebagai antiseptik pada produk

sabun.

3. Uji Aktifitas Antioksidan

Prinsip penentuan aktivitas antioksidan diukur dengan melihat

kemampuan ekstrak ataupun produk dalam menangkap radikal bebas DPPH.

Kemampuan penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan dinyatakan

dalam persen penangkapan radikal. Metode DPPH dipilih karena metode ini

sederhana, mudah, cepat, dan peka serta memerlukan sedikit sampel.

Parameter yang digunakan untuk melihat aktivitas antioksidan adalah inhibitory

concentration (IC). IC50 adalah konsentrasi larutan contoh yang menyebabkan

berkurangnya aktivitas DPPH sebesar 50%. IC50 didapat dari kurva hubungan

antara persen penangkapan radikal dengan konsentrasi (ppm) menggunakan

persamaan regresi. Semakin kecil konsentrasi larutan contoh untuk

mengurangi aktivitas DPPH sebesar 50% maka aktivitas antioksidannya

semakin kuat. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan

sabun (Lampiran 6) menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas

antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm.

Nilai antioksidan yang tergolong baik adalah berada pada nilai IC50 < 200 ppm.

Hal ini berbeda dengan nilai antioksidan ekstrak bagian kayu

Dryobalanops aromatica, dimana ekstrak daun dan kulit berturut-turut memiliki

nilai IC50 sebesar 6,54 ppm dan 16,05 ppm.

D. Analisis Komponen Kimia

Hasil analisis komponen kimia minyak Dryobalanops aromatica disajikan

pada Tabel 5.

32

Tabel 5. Komponen kimia minyak Dryobalanops aromatica

No Komponen %

1 2 3 4 5 6

Caryophylene ALPHA.-PINENE, (-)- alpha.-Humulene Endo borneol ALPHA. TERPINEOL dl-Limonene

28,55 18,17 10,37 9,55 6,09 4,36

Senyawa borneol sebagai senyawa penciri dijumpai pada sampel minyak

dalam bentuk endo borneol. Ditemukan juga senyawa-senyawa prekursor

borneol lainnya seperti senyawa alpha pinene.

33

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui

teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat.

2. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran,

pewarna minyak Dryobalanops dan nilam.

3. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin

dibakar antar formulasi yang dibuat dan formula dengan konsentrasi minyak

Dryobalanops paling rendah yang paling disukai.

4. Tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat pada

penilaian lilin setelah dibakar. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa

lilin dengan formula 2 (tingkat konsentrasi minyak Dryobalanops sedang)

lebih disukai.

5. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi

pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi dengan konsentrasi

minyak Dryobalanops paling rendah merupakan formulasi yang memberi

efek positif pada responden.

6. Aktifitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengan nilai

MIC tidak menunjukan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua

sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang

digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016

mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah

dari kontrol positif tersebut. Dengan nilai aktifitas MIC yang rendah,

sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya.

7. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun

menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang

rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm.

8. Ditemukan senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari

Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol.

34

B. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan berbagai produk kosmetik

dan kesehatan dengan berbagai variasi formula yang lebih disukai konsumen.

Produk sabun antiseptik merupakan produk yang paling potensial

dikembangkan.

35

DAFTAR PUSTAKA

Batubara I, Mitsunaga T, Ohasi H. 2009. Screening antiacne potency of Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant activities. J Wood Sci. 55: 230-235.

Blois, M.S. 1958 Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature, 181 1199-1200

Calkin, R.R and Jellinck, J.S. 1994. Perfumery: Practice and Principle. A WILEY-INTERSCIENCE PUBLICATION. John Wiley & Sons, Inc.

Dharmananda S., 2003. D ryobalanops for medicine. Director, Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon.

Duke S. 2005. Plants containing Borneol. Phytochemical and Ethnobotanical Databases. Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon.

Girgis, A.Y. 2003. Production of High Quality Castile Soap from High Rancid Olive Oil. Gracas y Aceites. 54(3):226-233.

Guillot, C. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia.

Hambali, E., A. Suryani, dan M. Rifai. 2005. Membuat Sabun Tranparan untuk Gift dan Kecantikan. Penebar Swadaya, Jakarta : 19-23.

Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Huo G. Z. 1995. Bing pian's anti-inflammation and analgesia effects on laser burn wounds. China Journal of Pharmacy 1995;30(9):532-534.

James D. White, Duncan J. Wardrop, and Kurt F. Sundermann. 2004. Organic Syntheses. Vol. 79, p.130.

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press.

Koo, B.S., S-I. Lee, J-H. Ha. and D-U. Lee. 2004. Inhibitory Effects of the Essential Oil from SuHeXiang Wan on the Central Nervous System after Inhalation. Biol. Pharm. Bull. 27(4) 515—519

Long X. H., 2000. Research on quality standards of natural bing pian produced in China. Journal of Traditional Chinese Medicine Material 2000;23(7):394-395.

Primadiati Rachmi. 2002. Aromaterapi: Perawatan Alami Untuk Sehat dan Cantik. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Purnamawati Dewi. 2006. Kajian pengaruh konsentrasi sukrosa dan asam sitrat terhadap mutu sabun transparan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Roland J., Keith E. D., and L. Jimenez. 1995. Borneol as an attractant for cyzenis albicans, a tachinid parasitoid of the winter moth, operophtera brumata l. (lepidoptera: geometridae). The Canadian Entomologist. 127:(3) 413-421. Canada

BSN. 1994. Sabun Mandi. Standar Nasional Indonesia SNI 06-3532-1994. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Spitz, L. 1996. Soap and Detergents, A Theoretical and Practical Review. Illinois : AOCS Press.

36

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sukarno Doni. 2012. Penerapan metode taguchi untuk peningkatan kualitas produk pada unit drier proses pembuatan sabun di PT. X Indonesia [Tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sutrisna, D. 2008. Kapur barus: pohon dan sumber tertulis asing. Laporan Penelitian Arkeologi Ekskavasi Permukiman Kuna Di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)

Toshihiro Yamada and Eizi Suzuki. 2004. Ecological role of vegetative sprouting in the regeneration of Dryobalanops rappa, an emergent species in a Bornean tropical wetland forest. Journal of Tropical Ecology (2004), 20 : pp 377-384. Cambridge University Press.

Whitten, A.J. dkk., 1984. The Ecology Of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Young K. Chen, Sang-Jin Jeon, Patrick J. Walsh, and William A. Nugent. 2005. Organic Syntheses. Vol. 82, p.87

Yuhana, C. 1991. Usaha mengembangkan teknik-teknik analitik dan isolasi untuk memperoleh borneol kristal dari minyak Dryobalanops aromatica. Laporan penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung.

Yuspita Armi KK. 2011. Pengaruh penggunaan kombinasi jenisMinyak terhadap mutu sabun transparan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

37

Lampiran 1. Form uji organoleptik

Uji Organoleptik Lilin Aromaterapi Borneol

Data responden

No :

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Pendidikan :

Hasil Penilaian

1. Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)

No Tingkat Kesukaan Nomor Lilin

1 2 3

1 Sangat suka

2 Suka

3 Agak suka

4 Tidak suka

5 Sangat tidak suka

2. Kesukaan aroma lilin saat dibakar (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)

No Tingkat Kesukaan Nomor Lilin

1 2 3

1 Sangat suka

2 Suka

3 Agak suka

4 Tidak suka

5 Sangat tidak suka

3. Efek terapi yang dirasakan (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)

Terimakasih atas partisipasi Anda...

No Efek terapi Nomor Lilin

1 2 3

1 Segar

2 Senang

3 Hangat

4 Agak segar

5 Kurang segar

6 Agak tenang

7 Kurang tenang

8 Ngantuk

9 Ingin tidur

10 Agak pusing

11 Pusing

12 Sesak

38

Lampiran 2. Hasil uji organoleptik formulasi lilin aromaterapi

No resp.

Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar

Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar

Efek terapi yg dirasakan

J.Kel Umur Pend 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 2 4 2 3 3 4 6 6 11 L 27 S2

2 2 3 4 3 3 4 1 10 10 P 44 SMA

3 2 4 2 4 4 4 11 11 11 P 50 S1

4 3 3 3 4 4 4 5 5 5 P 54 S1

5 2 3 3 2 3 2 1 8 9 L 31 S1

6 3 4 3 4 2 4 3 1 11 P 18 SMA

7 2 4 3 4 3 2 11 11 11 P 18 SMA

8 2 4 2 4 2 2 3 5 5 P 16 SMA

9 4 4 4 2 4 5 2 10 10 P 51 S1

10 2 4 4 2 2 4 1 7 7 P 18 SMA

11 2 3 3 2 2 4 5 5 10 P 51 SMA

12 2 3 4 2 3 3 3 8 9 L 34 S1

13 2 2 2 3 3 4 5 5 12 P 52 S1

14 2 3 2 4 4 2 6 12 3 P 18 SMA

15 1 2 3 4 3 2 12 12 5 P 17 SMA

16 2 3 3 2 3 4 2 3 3 L 31 SMA

17 3 1 2 2 1 4 8 8 8 P 54 S2

18 2 3 4 2 2 4 3 3 3 P 55 S1

19 2 1 3 3 3 2 12 3 1 L 26 S1

20 2 3 3 3 3 3 1 12 4 L 17 SMA

21 3 2 3 3 2 2 1 9 10 L 22 S1

22 3 3 3 3 3 3 5 5 5 P 50 D3

23 2 3 4 4 2 2 3 5 2 L 16 SMA

24 3 1 4 4 2 4 1 2 12 P 16 SMA

25 2 3 2 2 3 3 3 7 3 L 28 SMA

26 3 3 3 3 2 2 1 8 10 L 35 S1

27 2 2 1 3 2 2 5 5 1 P 15 SMK

28 2 3 1 2 1 2 1 1 5 P 16 SMK

29 3 3 3 2 2 2 5 8 3 L 50 S1

30 2 3 3 3 3 3 6 8 3 L 30 SMA

39

Lampiran 3. Analisis Kruskal wallis

Ranks

Parameter parfum N Mean Rank

Kesukaan aroma A data

dime

nsion

2

lilin 1 30 32,62

lilin 2 30 52,78

lilin 3 30 51,10

Total 90

Kesukaan aroma B data

dime

nsion

2

lilin 1 30 47,08

lilin 2 30 39,40

lilin 3 30 50,02

Total 90

efek yang dirasakan data

dime

nsion

2

lilin 1 30 34,20

lilin 2 30 51,82

lilin 3 30 50,48

Total 90

40

Lampiran 4. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri P. acnes

41

Lampiran 5. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri S. epidermis

42

Lampiran 6. Laporan Hasil Uji Aktifitas Antioksidan

43

Lampiran 7.Kromatogram minyak Dryobalanops aromatica