Tax Palaning

31
MANAJEMEN PERPAJAKAN TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA KELOMPOK 6 : ANDRE KURNIAWAN RENAL RIFAL SIXNALDI PUTRA

description

good

Transcript of Tax Palaning

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA

KELOMPOK 6 :ANDRE KURNIAWANRENAL RIFALSIXNALDI PUTRA

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS ANDALAS2015

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA1. Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan Untuk Menghitung Angsuran Masa PPh Pasal 25Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak. Penghitungan besarnya penghasilan dan PPh yang terhutang untuk satu tahun pajak secara prinsip hanya bias dilakukan manakala tahun pajak yang bersangkutan telah berakhir dan WP sudah melakukan tutup pembukuan. Dengan demikian, perhitungan besarnya penghasilan dan besarnya PPh yang terhutang tersebut baru dapat diketahui pada saat WP membuat SPT Tahunan PPh.Akan tetapi dalam konteks perpajakan Indonesia, WP tidak diperkenankan melakukan pembayaran seluruh jumlah PPh yang terhutang sekaligus hanya pada saat menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan PPh kepada kantor pajak. WP dalam hal ini diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil pembayaran PPh-nya selama tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT Tahunan PPh. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kitamengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentusaja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudahberakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekuranganbayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebihbayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaranpajak yang telah dilakukan.Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPTTahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21,22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.Sebelum menghitung besarnya angsuran atau cicilan PPh Pasal 25, dilakukan pengelompokkan jenis penghasilan terlebih dahulu.Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 25, pengelompokan jenis penghasilan yang dilakukan adalah sebagai berikut:a. Penghasilan Non Obyek (pasal 4 ayat 3)b. Penghasilan Obyek Pajak (pasal 4 ayat 1) Bersifat Tidak Final / Final (Pasal 4 ayat 2)Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan. Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.Objek pajak dari PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut meliputi: a) Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa girob) Penghasilan dari transaksi lainnya di bursa efekc) Bunga/diskoto Obligasid) Hadiah Undiane) Jasa Konstruksif) Persewaan Tanah/bangunang) Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunanh) Penghasila tertentu lainnya Bersifat Tidak Teratur / TeraturPenghasilan yang bersifat teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Adapun contoh penghasilan berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut:1) Penghasilan dari Pekerjaan, contoh: gaji, honor, dan lain-lain.2) Penghasilan dari Pekerjaan Bebas, contoh: dokter, akuntan, konsultan, dan lain-lain.3) Penghasilan dari Usaha, contoh: laba usaha4) Penghasilan dari Harta/Modal, contoh: sewa, bunga, dividen, dan lain-lain.5) Penghasilan Lain-lain, contoh: pembebasan utang, hadiah, dan lain-lain.Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Dalam perhitungan PPh pasal 25, variabel penghasilan-penghasilan yang tidak teratur harus dihitung ulang dari Penghasilan Kena Pajak.Dimana variabel tersebut bisa ditambahkan atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.Penghindaran pajak dengan cara illegal dapat dikategorikan penggelapan pajak. Berikut ini beberapa kasus penggelapan pajak: Melaporkan penjualan lebih kecil dari data sebenarnya Meningkatkan biaya perusahaan Melakukan transaksi fiktif Memalsukan dokumen keuanganDasar Perencanaan Pajak (Tax Planning)Tax Planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak (WP) untuk menyusun aktivitas keuangan guna mendapat pengeluaran (beban) pajak yang minimal. Secara teoritis, tax planning dikenal sebagai effective tax planning, yaitu seorang wajib pajak berusaha mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU Perpajakan.Tax planning harus dibedakan antara tax avoidance dan tax evasion. Istilah tax evasion mempunyai makna adanya kesalahan penyajian laporan keuangan atau kesengajaan menghilangkan informasi kunci dengan maksud mengemplang pajak yang seharusnya terutang secara legal. Tax avoidance adalah upaya pengurangan utang pajak secara konstitusional dan sah/legal secara yuridis.Perencanaan Pajak PerusahaanOrang selalu berpikir bahwa dengan memperkecil beban pajak maka tujuan perencanaan pajak sudah berhasil. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena beban pajak tidak semata-mata dikenakan atas keuntungan usaha dan kekayaan wajib pajak. Selain itu juga harus memperhitungkan keuntungan dari nilai tunai uang (time value of money), seperti menunda pembayaran pajak di belakang hari atau mengenakan tarif pajak yang berbeda (tax rate arbitrage) melalui skema harga transfer (transfer price).Perencanaan pajak mencakup pemahaman dan implementasi dari berbagai strategi yang dapat meminimalisasi jumlah beban pajak dalam beberapa periode. Perencanaan pajak yang baik dapat menjadi sumber penyediaan modal kerja perusahaan. Berikut ini ruang lingkup perencanaan pajak:1. Upaya legal untuk menghemat beban pajak dengan memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan (loopholes), dengan berbagai metode sbb: Maximizing tax deductible: upaya membebankan biaya secara tunai/non-tunai semaksimal mungkin yang diperbolehkan Undang-Undang. Legal standing of corporate entity: mencari bentuk usaha yang tepat, seperti CV/Fa atau PT, dengan tujuan menghemat pajak. Melakukan konglomerasi usaha: berupa penyatuan bentuk usaha secara vertical dan horizontal. Memecah satu unit usaha menjadi beberapa perusahaan, dan Tax deffered income: menunda pengakuan penghasilan.2. Mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sehingga utang pajak, baik PPh maupun pajak-pajak lainnya , dalam posisi sehemat mungkin sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak,3. Mendeteksi cacat teoritis dari ketentuan Undang-Undang Pajak untuk menemukan cara penghindaran pajak yang dapat menghemat pembayaran pajak.Strategi mengurangi Beban Pajak Secara LegalPengurangan beban pajak yang maksimal dari penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun berjalan, dapat dilakukan dengan mengurai bentuk formula penghitungan Pajak Penghasilan sebagai berikut:1. Upayakan mendapatkan penghasilan yang bebas pajakBanyak cara untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak atau penghasilan yang telah dikenakan pajak secara final. Jadi, tidak perlu melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan (SPT) PPh akhir tahun. Misalnya, hasil penjualan asset yang didepositokan akan terhindar dari pengenaan pajak penghasilan di akhir tahun.2. Ambil keuntungan dari kredit pajak selama tahun berjalanStrategi perencanaan yang dilakukan dengan cara pengakuan kredit pajak yang telah dibayar sendiri (angsuran tahun berjalan) atau yang dipotong (dipungut) pihak III, dapat membuat pembebanan pajak menjadi efisien. Kredit pajak adalah pajak yang dibayarkan dimuka kepada Negara dan pajak yag telah dipotong/dipungut pihak lain dari penghasilan yang diterima. Pajak jenis ini dikenal sebagai withholding tax atau pajak yang dibayarkan dimuka.Sering kali, tanpa disadari, pajak yang dibayarkan di muka dapat menutupi perhitungan pajak terutang, tetapi akibat ketidaktahuan atau keteledoran wajib pajak, bukti pemotongan/pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikreditkan. Salah satu penyebabnya adalah bukti pemotongan dari penerima jasa tidak ada, cacat, atau hilang sehingga merugikan wajib pajak sendiri.3. Tunda (menangguhkan) pembayaran terutang tanpa dikenakan sanksi administrasi (penalty) oleh kantor pajakMenunda pembayaran pajak hingga batas akhir masa pembayaran seperti fasilitas pinjaman kredit tanpa bunga dari pemerintah. Sebagaimana sudah diketahui, pembayaran pajak terdiri atas pembayaran pembayaran masa/bulan dan pembayaran akhir tahun. Setiap bulan, setoran masa yang wajib dibayarkan sendiri adalah angsuran PPh Pasal 25, wajib dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Sisa PPh PPh yang kurang bayar harus disetorkan paling lambat akhir bulan Maret tahun berikutnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya bagi Wajib Pajak Badan. Sesuai konsep nilai waktu dari uang maka kesempatan melakukan penghematan dari penundaan pembayaran pajak hingga last minute merupakan peluang yang sah menurut Undang-Undang.4. Maksimalisasi pengurang pajak (tax deduction)Semakin besar pengurang atau beban usaha, maka beban pajak terutang semakin kecil. Komposisi biaya yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak bergantung pada jenis dan sumber penghasilan yang diperoleh wajib pajak. Bagi pekerja belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan yang semata-mata hanya memperoleh penghasilan dari pemberi kerja maka maksimal pengurang pajak dilakukan dengan menerapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Biaya Jabatan setahun yang besarnya masing-masing Rp15.840.000,00 (Diri Sendiri Tidak Kawin) dan Rp6.000.000,00 setahun. Bagi wajib pajak yang memiliki usaha atau pekerjaan bebas maka jumlah biaya yang dapat mengurangi penghasilan neto sangat fleksibel bergantung pada jenis usaha dan pelaksanaan kewajiban pembukluan serta pencatatan akuntansi.5. Usahakan untuk mendapat pengurangan lapisan tarif PPh Pasal 17Pengurangan lapisan tarif pajak tertinggi dapat dicapai melalui penggeseran penghasilan kena pajak (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1)) menjadi penghasilan yang dikenakan tarif final (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2)), seperti saham, deposito, dividen (khusus yang diterima perseorangan) real estate, dan penghasilan yang bukan objek pajak (UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3)), seperti hibah dan sambungan. Dalam hal ini, pengurangan pajak hanya relevan untuk penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, sedangkan sejak tahun pajak 2010, Wajib Pajak Badan dikenakan single tariff sebesar 25%.6. Usahakan untuk dapat menggeser beban pajak ke pihak lain (tax shifting to others)Jika penghasilan seseorang sudah terkena lapisan tarif pajak penghasilan yang tertinggi, misalnya tarif 30%, beban pajak terutang dapat digeser ke pihak terkait yang masih berada dalam lapisan pajak yang lebih rendah, seperti memberikan hibah kepada anak. Namun, yang mendapat pembebasan pajak adalah si penerima hibah. Si pemberi hibah tetap dalam kategori penghasilan yang dikenakan pajak pada saat pertama kali memperolehnya.7. Ambil keuntungan dari status Surat Pemberitahuan Masa / Tahunan (SPT) dan pengecualian pajak (tax exemption)Berbagai pengecualian dapat mengurangi beban pajak apabila kita jeli mengelola penghasilan yang merupakan objek pajak dan bagian mana yang dapat menjadi pengecualian pajak. Tentu tidak mudah untuk merealisasikan dan mengarahkan orang awam tanpa rekomendasi perencana pajak yang handal. Yang perlu dipahami adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan ruang yang cukup lebar kepada masyarakat untuk menghindar dari pajak. Contohnya, jika seseorang membentuk usaha partnership, penghasilan yang dibagikan kepada tiap-tiap partner, menurut UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3) huruf I, adalah penghasilan bersih yang telah dikurangi pajak (bukan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan) sehingga menjadi bebas pajak secara legal.2. Foreign Exchange Revenue(Laba Selisih Kurs)Wajib Pajak yang transaksinya menggunakan mata uang rupiah tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut akan timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut. Pada prinsipnya wajib pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang rupiah tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut akan timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut. Keuntungan atau kerugian selisih kurs juga memungkinkan timbul dari transaksi utang-piutang, selisih kurs ini timbul akibat perbedaan kurs antara tanggal pencatatan hutang atau piutang dengan kurs tanggal neraca atau tanggal akhir periode akuntansi atau perbedaan juga timbul akibat selisih kurs mata uang asing pada tanggal neraca dengan tanggal pelunasan. Adapun jenis-jenis transaksi yang memungkinkan transaksi dalam mata uang asing diantaranya adanya pendapatan atau pembelian barang dan jasa dimana harganya ditetapkan dalam mata uang asing, adanya pembelian aktiva tetap, dan adanya utang atau pinjaman dalam mata uang asing.Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, keuntungan selisih kurs merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undang-undang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK Nomor 10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang penghasilan tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.Dasar Hukum Laba Rugi Selisih KursLaba rugi selisih kurs merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi laba perusahaan.Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, keuntungan selisih kurs merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l. Dimana di dalamnya disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia dan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undang-undang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK Nomor 10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang penghasilan tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.3. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN Keluaran dan DPP PPh yang Diotong/DipungutRekonsiliasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN ini penting dengan tujuan untuk memastikan semua peredaran usaha telah di laporkan di dalam SPT PPN; dan untuk memberikan penjelasan kepada fiskus jika terdapat perbedaan antara jumlah peredaran usaha yang dilaporkan di SPT PPh dan SPT PPN. Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena dua kondisi, yaitu:a. Karena karakteristik transaksib. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain dikarenakan oleh:a. Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.b. Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak. Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan dengan taat asas.Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi.Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu menggunakan kurs transaksi.Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.c. Pemberian Cash DiscountPada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo/syarat pembayaran yang telah disepakati sebelumnya.Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.d. Adanya kesalahan tulis atau hitungPerbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT Masa PPN.Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi PPN ini dilakukan secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan cara mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan 10%.Apabila sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan PPN masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya.Apabila masih ada yang tertinggal belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera dilakukan pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya.Meskipun hal ini tetap menjadi exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan.4. Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran UsahaProses sistematik dalam membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi disebut Benchmarking. benchmarking umumnya digunakan dalam dunia bisnis. Namun Direktorat Jenderal Pajak mengadopsi benchmarking dalam rangka melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama akan cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-masing Wajib Pajak dibandingkan dengan suatu benchmark yang mewakili karakteristik yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut Total Benchmarking.Benchmarking (perbandingan) adalah suatu proses sistematik dalam membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Model benchmarking umumnya digunakan dalam dunia bisnis.Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi dalam rangka melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama akan cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang mewakili karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut Total Benchmarking.Karakteristik Total BenchmarkingSesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut:1. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha;2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan ingkat laba dan input-input perusahaan;3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark;4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan.Tujuan Total BenchmarkingTujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:1. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT Tahunan yang dilaporkan Wajib Pajak;2. Membantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, terutama menyangkut kepatuhan materialnya. Manfaat total benchmarking menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:1. Supporting tools bagi program intensifikasi/ penggalian potensi pajak;2. Alat bantu dalam penghitungan tax gap.Proses dan Metode penetapan BenchmarkingProses dan Metode penetapan Benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:1. Nilai masing-masing benchmarking ditetapkan untuk masing-masing kelompokusaha berdasarkan 5 digit kode KlasifikasiLapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak.Klasifikasi Lapangan Usaha dimaksudadalah KLU sesuai Keputusan DirjenPajak nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal 14Februari 2003;2. Penetapan rasio-rasio benchmarking untuk keseluruhan kelompok usaha dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmarking adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari:a. Elemen-elemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan;b. Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN;c. Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan.Perhitungan semua rasio selain rasio PPN menggunakan elemen data hasil perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Data penjualan, HPP, Laba bersih dari operasi, Laba sebelum pajak diambil dari formulir 1771 Lampiran I, sedangkan data PPh terutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Data-data gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biaya-biaya lain diambil dari perekaman formulir 1771 Lampiran II.Apabila data perekaman formulir 1771 Lampiran II tidak lengkap, maka data tersebut dilengkapi menggunakan data perekaman transkrip Laporan Keuangan.Data Pajak Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN baik formulir 1195 maupun 1107.Rasio Total BenchmarkingMenurut pedoman Surat Edaran DirjenPajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapanRasio Total Benchmarking tahap IIyang menindaklanjuti ketentuan Surat EdaranDirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentangRasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya,rasio-rasio yang digunakandalam total benchmarking meliputi 14 rasioyang terdiri dari rasio-rasio yang mengukurkinerja operasional, rasio input, rasio PPN danrasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasiotersebut didasarkan pada pertimbangan bahwarasio yang digunakan sedapat mungkin mampumemberikan gambaran secara menyeluruhatas kegiatan operasional perusahaan dalamsatu periode dan berkaitan dengan semua jenispajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.Rasio-rasio tersebut meliputi:1. Gross Profit Margin (GPM)2. Operating Profit Margin (OPM)3. Pretax Profit Margin (PPM)4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR)5. Net Profit Margin (NPM)6. Dividend Payout Ratio (DPR)7. Rasio PPN (pn)8. Rasio Gaji/Penjualan (g)9. Rasio Bunga/ Penjualan (b)10. Rasio Sewa/ Penjualan (s)11. Rasio Penyusutan/ Penjualan (py)12. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl)13. Rasio Biaya Luar Usaha/ Penjualan (bl)14. Rasio Input Lainnya/ Penjualan (x)Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl maka, didapatkan gambaran yang utuh mengenai kegiatan/ operasi perusahaan dalam suatu tahun pajak.5. Pengendalian Atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang Terutang Bea KeluarBea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor.Harga ekspor adalah harga yang digunakan untuk perhitungan Bea Keluar. Barang ekspor yang dikenakan bea keluar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012, adalah:a. Kulit dan kayu;b. Biji kakao;c. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya; dand. Bijih (raw material atau ore) mineral.Terdapat 2 cara menghitung bea keluar, yaitu dengan cara Advalorum dan Spesifik. Tarif advalorum adalah pajak yang dikenakan berdasarkan presentase tertentu misalnya 5%, 10%, dan lain-lain. Sedangkan tariff spesifik merupakan besaran pajak berdasarkan satuan barang misalnya Rp. 1000,- per batang, Rp. 2000,- per keeping, dan lain-lain. Perhitungan bea keluar adalah sebagai berikut:a. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga Ekspor, Bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uangb. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea Keluar per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang.Dalam perhitungan bea keluar khusus untuk barang campuran CPO dan turunannya diatur harga dan tariff yang digunakan adalah harga dan tariff ekspor yang tertinggi dari barang yang dicampur tersebut dengan jumlah barang adalah volume dan atau berat total. Sedangkan untuk campuran bijih (raw material atau ore) mineral harga yang digunakan adalah harga ekspor tertinggi dengan jumlah barang adalah berat total.Cara menghitung bea masuk dan pajak dalam rangka impor serta pungutan ekspor/bea keluar sangat penting bagi importir dan eskportir atau pengguna jasa kepabeanan yang lainnya. Bea masuk menurut undang-undang kepabeanan adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang di impor.Bea masuk merupakan pajak tidak langsung dan dipungut kepada pemakai akhir dari suatu produk, pada dasarnya bea masuk dibayar oleh para pemakai produk, dibayar lebih dahulu oleh importir, yaitu saat barang akan dikeluarkan dari kawasan pabean. Selanjutnya, importir akan menghitung bea masuk dan pajak yang dibayar sebagai komponen harga jual barang di dalam daerah pabean. Atas pertimbangan bahwa barang-barang yang dibongkar dan akan dimasukkan ke dalam daerah pabean harus memenuhi kewajiban kepabeanannya kepada pengguna jasa kepabeanan, antara lain importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha pengurus jasa kepabeanan (PPJK), penyelenggara kawasan berikat, pengusaha kawasan berikat, pengusaha entreport untuk tujuan pameran, pengusaha toko bebas bea, dan importir tempat penimbunan barang.

Bea MasukPengertian impor secara yuridis ialah pada saat barang memasuki daerah pebean dan menetapkan saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan.a.Perhitungan bea masuk

Keterangan:BM: besarnya bea masuk yang harus dibayarHarga CIF: nilai pabean harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayardengan cara penyerahan barang yang telah dibayar semua biaya handling, asuransi, dan biaya sarana pengangkutNDPBM: kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara periodik atas dan ditentukan untuk beberapa mata uang asingTarif: tarif yang ditetapkan sesuai dengan klasifikasi barang yang terdapat dalam buku Tarif Bea Masuk Indonesiab. Perhitungan pajak dalam rangka impor sebagai berikut.

Keterangan:PPN: dipungut atas dasar bahwa setiap terjadi penyerahan barang atau jasa akan dikenakan PPN sebesar 10%PPh PS.22: pajak penghasilan ini dipungut atas importasi barang dari Departemen Perdaganganc. Perhitungan jika biaya freight tidak ada ialah sebagai berikut. Biaya angkutan sarana pengangkut dapat diketahui dari B/L, AirWay Bill atau Master Airway Bill atau dari daftar biaya pengangkutan asosiasi forwarder internasional (IATA) dan asosiasi perusahaan penerbangan internasional, tetapi biaya yang tertera dari daftar tersebut sebenarnya bukan merupakan patokan bagi biaya pengangkutan yang sebenarnya. Dalam sistem pengangkutan dikenal adanya beberapa potongan biaya pengangkutan, seperti diskon, pengurangan biaya atas dasar volume dan frekuensi pengangkutan barang, dan sebagainya. Untuk biaya pengangkutan (terutama melalui laut), harus dimasukkan dalam komponen perhitungan biaya pengangkutan dengan biaya penanganan barang di pelabuhan atau terminal handling cost (THC) yang dibayar di pelabuhan muat/transit atau pelabuhan tujuan. Dalam hal di invoice diberikan catatan atau tulisan freight collect, berarti bahwa biaya pengangkutan belum dibayar baik oleh pengirim maupun penerima. Biaya ini akan dibayar di pelabuhan tujuan dengan bukti pembayaran dari agen sarana pengangkut. Asuransi dibuka di luar negeri jika incoterm (cara penyerahan barang) cost insurance freight (CIF), tetapi jika terminology yang digunakan adalah free on board (FOB), berarti polis asuransi belum ada atau tidak diterbitkan, sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nomor 02 Tahun 2005 ditetapkan besar asuransi adalah 0,5% x bea masuk, asuransi dapat dibuka di luar negeri atau di dalam negeri.Contoh Kasus:Perhitungan PPh Pasal 25PT Abadi yang bergerak pada bidang manufaktur, pada bulan April 2013 melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut:1. Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Neto) yang dilaporkan di Induk SPT Tahunan PPh sebesar Rp. 500.000.000,00 dan untuk PPh yang terutang diasumsikan tarif PPh Badan yang digunakan adalah 25%.2. Namun Penghasilan Kena Pajak tersebut terdiri dari penghasilan neto dari kegiatan usaha setelah ditambah dengan laba penjualan aktiva Rp. 10.000.000,00 dan laba selisih kurs Rp. 5.000.000,00.3. Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan berjumlah Rp. 100.000.000,004. Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan berjumlah Rp 10.000.000,00

Bagaimana pengelompokan jenis penghasilan yang ada untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT Abadi setiap bulannya di Tahun 2013?

Pembahasan:Dalam kasus ini, PT Abadi merupakan perusahaan yang tidak bergerak di bidang jual beli valuta asing (money changer), maka laba-rugi selisih kurs yang terjadi termasuk penghasilan yang bersifat tidak teratur, dan begitu pula dengan laba dari penjualan aktiva yang diperoleh. Namun, apabila dalam setiap transaksi yang dilakukan PT Abadi menggunakan mata uang asing, maka laba rugi kurs yang terjadi merupakan penghasilan teratur meski PT Abadi bukanmoney changer.Maka, perhitungan PPh Pasal 25 PT Abadi adalah sebagai berikut:Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000,00Laba Penjualan Aktiva(tidak teratur)(Rp 10.000.000,00)Laba Selisih Kurs (tidak teratur)(Rp 5.000.000,00)Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Teratur) Rp 485.000.000,00

PPh Terutang (Tarif Pajak diasumsikan 25%) Rp 121.250.000,00Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23(Rp 100.000.000,00)Kredit PPh Pasal 24(Rp 10.000.000,00)PPh yang harus dibayar Rp 11.250.000,00PPh Pasal 25 setiap bulannya Rp 937.500,00

REFERENSIhttp://www.slideshare.net/puspa/tax-planning-peredaran-usahahttp://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-umum/202-menghitung-angsuran-pph-pasal-25http://ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=10&q=&hlm=http://tanyapajak1.wordpress.com/2013/11/26/pajak-penghasilan-final-atau-tidak-final-pph/http://www.nusahati.com/2013/10/sekilas-tentang-laba-atau-rugi-selisih-kurs/http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-penghasilan-atas-selisih-kurs.htmlhttp://masalahpajak.blogspot.com/2007/08/perlakuan-atas-selisih-kurs.htmlhttp://www.himappi.com/2013/11/rekonsiliasi-ppn.htmlhttp://ar4pajak.blogspot.com/2012/01/benchmarking-ala-direktorat-jenderal.htmlhttp://catatankecik.blogspot.com/2012/05/barang-ekspor-yang-dikenakan-bea-keluar.htmlhttp://keuanganlsm.com/menghitung-bea-masuk-pajak-dalam-rangka-impor-dan-pungutan-eksporbea-keluar/#sthash.VdUGJ0k