Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

35
BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pasien usia lanjut terdiri dari segmen dengan pertumbuhan tercepat dari populasi dunia. Jumlah orang di seluruh dunia dengan umur 65 tahun keatas diperkirakan 506 juta pada tahun 2008 dan pada 2040 akan meningkat menjadi 1,3 miliar. Biro Sensus Amerika Serikat menegaskan bahwa ada 38.9 juta orang 65 tahun dan keatas pada tahun 2008, membuat 12.8% dari total populasi. Segmen populasi ini, 5,7 juta adalah 85 tahun dan lebih tua, dan jumlah ini berkembang. Sakit kronis geriatrik dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosi tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut, untuk orang yang baik berusia (65- 79 tahun) atau sangat uzur (80 dan atas) dan yang telah sakit selama lebih dari 3 bulan. Konsekuensi dari rasa sakit ini termasuk gangguan kegiatan kehidupan sehari-hari (ADLs) dan ambulation, depresi dan ketegangan pada perekonomian perawatan kesehatan. Rasa sakit mungkin juga berhubungan dengan komplikasi yang terkait dengan rhabdomiolisis, kelainan kiprah, kecelakaan, polifarmasi, dan penurunan kognitif. Prevalensi sakit terus-menerus meningkat dengan usia peningkatan nyeri sendi dan neuralgia sangat umum. Mayoritas orang tua memiliki masalah nyeri yang signifikan dan yang kurang tertangani. Antara 25% dan 40% pasien kanker lansia dipelajari 1

description

Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Transcript of Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Page 1: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini, pasien usia lanjut terdiri dari segmen dengan pertumbuhan tercepat dari populasi

dunia. Jumlah orang di seluruh dunia dengan umur 65 tahun keatas diperkirakan 506 juta pada

tahun 2008 dan pada 2040 akan meningkat menjadi 1,3 miliar. Biro Sensus Amerika Serikat

menegaskan bahwa ada 38.9 juta orang 65 tahun dan keatas pada tahun 2008, membuat 12.8%

dari total populasi. Segmen populasi ini, 5,7 juta adalah 85 tahun dan lebih tua, dan jumlah ini

berkembang.

Sakit kronis geriatrik dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosi tidak

menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dijelaskan

dalam hal kerusakan tersebut, untuk orang yang baik berusia (65-79 tahun) atau sangat uzur (80

dan atas) dan yang telah sakit selama lebih dari 3 bulan. Konsekuensi dari rasa sakit ini termasuk

gangguan kegiatan kehidupan sehari-hari (ADLs) dan ambulation, depresi dan ketegangan pada

perekonomian perawatan kesehatan. Rasa sakit mungkin juga berhubungan dengan komplikasi

yang terkait dengan rhabdomiolisis, kelainan kiprah, kecelakaan, polifarmasi, dan penurunan

kognitif.

Prevalensi sakit terus-menerus meningkat dengan usia peningkatan nyeri sendi dan

neuralgia sangat umum. Mayoritas orang tua memiliki masalah nyeri yang signifikan dan yang

kurang tertangani. Antara 25% dan 40% pasien kanker lansia dipelajari memiliki sakit harian.

Diantara pasien-pasien ini, 21% yang antara 65 sampai 74 tahun dan 26 % yang berusia 75-84

tahun tidak menerima obat penghilang rasa sakit dan untuk orang-orang di atas usia 84, 30%

yang tersisa tidak diobati. Selain itu, deteksi dan penanganan sakit kronis tetap tidak mencukupi.

Dalam satu studi, 66% dari geriatrik panti jompo memiliki sakit kronis, tapi di hampir setengah

dari kasus (34%) itu tidak terdeteksi oleh dokter yang merawat.

1

Page 2: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NYERI

2.1.1 Fisiologi Nyeri

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah pengalaman

sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik

aktual maupun potensial.1 Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan

yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang

cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan

bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada

kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien

dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.1

Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury

dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon

neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun

tidak ada stimulus noksius.1,3 Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari

nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.

Berdasarkan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.2 Nyeri

akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena ada kerusakan jaringan,

proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau organ dalam (viscera). Biasanya bersifat

nosiseptif. Merupakan bentuk nyeri yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, paska

operasi dan nyeri obstetrik seperti halnya nyeri yang diasosiasikan dengan kondisi medis kritis

yang akut seperti miokard infark, pancreatitis dan calculi renal. Kebanyakan nyeri akut bersifat

terbatas atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu.2 Apabila nyeri gagal untuk sembuh

karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri

menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari

sejak mulai dari dirasakan nyeri.2 Dapat bersifat nosiseptiv atau neuropatik ataupun gabungan

keduanya. Sedangkan tipe nyeri dapat dibagi menjadi nyeri somatik, nyeri visceral, dan nyeri

2

Page 3: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

neuropatik. Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal

kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivasi nosiseptor di jaringan kulit

dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang.

Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan

distensi dari organ dalam.3 Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul dan sukar

dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh

konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat

maupun periferl. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar

belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post

herpetic.3

2.1.2 Mekanisme Nyeri

A. Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut1

Secara klinis nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan

aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik

(seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif

terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses

yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.1

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena

pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena

terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia

oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah

prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan

ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.1

Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula

spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai

respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tract

spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal.

Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan

spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat.

3

Page 4: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja

jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih.

Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi

hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.

Gambar 1. Mekanisme Nyeri

B. Sensitisasi Perifer2

Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat

dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari

terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi

perifer.

C. Sensitisasi Sentral dan Modulasi2

Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan

sinaps transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medulla spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi

untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input

yang intensif dari nosiseptor ke medula spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir

selama waktu stimulus noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari

saraf yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas yang

4

Page 5: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan hipersensitivitas

terhadap nyeri.

D. Nosiseptor

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral

dan vascular.3 Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious

yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,

nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk

melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak

(skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan

saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak

dan thalamus.3 Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.

Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa

menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah

kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut

berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas

kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu

dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya

bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin).3 Beberapa reseptor A-beta

mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk

transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan

produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan)

dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai

reseptor nyeri karena organ interj,gnal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak

stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan

pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme

5

Page 6: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses

patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

E. Perjalanan Nyeri3

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi,

modulasi, dan persepsi.

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik

yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia,

ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi

sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi

dari satu neuron ke neuron berikutnya

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada

sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini

dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga

mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa

tanggapan terhadap nyeri tersebut.

6

Page 7: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Gambar 2. Perjalanan Nyeri

2.2 PERUBAHAN FISIOLOGI PADA LANSIA

Sesuai dengan usia yang bertambah, terjadinya perubahan fisiologi yang multiple pada tubuh

yang akan mempengaruhi farmakodinamik dan farmakokinetic obat-obatan. Hal ini akan

menyebabkan penanganan nyeri menjadi lebih sulit. Perubahan yang berlaku terpapar di Tabel 1.

Sementara terdapat beberapa obat analgetik yang seringkali dapat digunakan pada lansia,

terdapat sebahagian obatan analgetik yang berperan sebagai risiko yang tinggi kepada lansia

yang lemah dan bisa mempunyai gangguan kognitif oleh kerana risiko obatan yang berpotensi

bahaya. Obat anti-inflamasi non-steroid (selektif dan non-selektif) secara umum memberikan

risiko pendarahan saluran cerna yang mengancam nyawa dan memberikan kesan samping yang

signifikan pada fungsi renal pada pasien lansia yang lemah. Pethidine mempunyai metabolit aktif

yang berpotensi berakumulasi pada pasien lansia dengan masalah ginjal. Dextropropoxyphene

mempunyai half-life yang lama pada pasien lansia dan di asosiasikan dengan risiko kesan

samping yang signifikan pada lansia. Kodien dan tramadol mempunyai fungsi yang limited pada

lansia yang lemah, terutama pada yang memiliki gangguan kognitif, meskipun dianggap sebagai

7

Page 8: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

agen opiate lemah, hal ini kerana risiko interaksi antara obat-obat dan interaksi penyakit-obat

yang signifikan dan juga dianggap mempunyai kesan samping yang berbagai.4

Paracetamol diserap secara komplit dan cepat di saluran cerna dan kadar kecepatan atau

ekstensi dari absorpsi tidak terpengaruh oleh umur. Distribusi paracetamol pada orang muda

yang sehat dilaporkan berkurang volume distribusinya yang di asosiasikan dengan peningkatan

umur dan jenis kelamin, dimana konsisten dengan sifat hidrophilicnya dan perubahan dalam

komposisi tubuh yang berkait dengan umur. Terdapat studi mengidentifikasi terdapat penurunan

clearance paracetamol pada lansia. Metabolisma paracetamol di hati termasuk konjugasi kepada

metabolit glucuronit dan sulphat. Sebuah studi menunjukkan clearance secara total berkurang

secara signifikan pada lansia yang sehat dan lemah jika dibandingkan dengan orang yang lebih

muda dan sehat. Berbagai factor yang meningkatkan risiko toksisitas hepar telah dikenalpasti

termasuklah konsumsi alcohol berlebihan, penggunaan dosis yang lebih dari 4g per hari,

penyakit hepar yang telah ada, penggunaan enzim microsomal dan kekurangan gizi, paracetamol

akan lebih berefek samping pada lansia yang lemah berbanding lansia yang lebih sehat.4

Morfin dimetabolisme secara ekstensif oleh hati dengan 10% dari dosis tidak berubah di

urin. Glucuronidasi merupakan jalur biotransformasi mayor untuk morfin dimana menghasilkan

2 metabolit aktif; morphine 3-glucuronide dan morphine 6-glucuronide. Morphine 6-glucuronide

mempunyai afiniti yang tinggi untuk reseptor µ dan mempenetrasi sawar darah-otak dan jika

diberikan secara intravena potensi analgetik menjadi 2 kali lipat. Morphine-3-glucuronide juga

menembusi sawar darah-otak tetapi mempunyai afiniti receptor µ yang rendah. Ianya dikatakan

bertanggungjawab pada efek neurotosik morfin. Fungsi renal amat penting kerana kedua

metabolit glucuronide dieksresi melalui ginjal dan bisa berakumulasi pada pasien dengan

gangguan ginjal yang akan menyebabkan risiki kesan samping yang tinggi.4

8

Page 9: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

2.2 PENILAIAN NYERI

Pengobatan nyeri dimulai dengan penilaian apa yang menyebabkan rasa sakit, bagaimana

ia dapat dihentikan, dan modalitas manajemen paling efektif untuk pasien tertentu. Namun,

penilaian nyeri tidak terlalu mudah. Manifestasi klinis dari sakit terus-menerus seringkali

kompleks dan bisa disebabkan berbagai faktor dalam populasi yang lebih tua. Bahkan persepsi

nyeri mungkin berbeda dari yang dirasakan oleh lansia.5 Isu-isu aksesibilitas fisik ke perawatan,

biaya obat, terdapat penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, dan kemampuan untuk

memahami keluhan pasien yang memiliki kerusakan kognitif yang hanya beberapa faktor yang

berkontribusi terhadap kompleksitas dari situasi ini. Selain itu, kondisi pasien lansia seringkali

dirumitkan oleh depresi, masalah psikososial, penyangkalan, kesehatan yang buruk, dan ingatan

yang memburuk. Tanpa penilaian yang menyeluruh, sakit yang menyebabkan gangguan berat

tidak dapat diungkapkan untuk berbagai alasan pribadi, budaya atau psikologis.4

Rasa sakit sering tidak dipedulikan karena beberapa pasien lansia salah percaya bahwa

rasa sakit adalah proses normal penuaan. Dalam kasus lain, seperti dengan nyeri kanker, rasa

nyeri dibiarkan karena takut perkembangan penyakit. Selanjutnya, pengasuh dan kerabat

merupakan yang paling dapat diandalkan sebagai sumber informasi. Untuk mengatasi kebutuhan

untuk mengidentifikasi dan mendiagnosa sakit secara memadai, banyak artikel yang ditulis pada

penilaian nyeri pada pasien dengan demensia serta penelitian yang berfokus pada pengukuran

sakit.5

Kompleksitas penilaian nyeri pada pasien geriatri sering memerlukan pendekatan

multidisiplin untuk mendiagnosis dan manajemen. Dokter harus bekerja sama dengan seorang

psikolog atau psikiater kerana depresi seringkali hadir di pasien dengan rasa sakit kronis.

Fisioterapis harus menjadi bagian dari tim juga, untuk membantu dengan fungsionalitas.

Laboratorium dan studi pencitraan dapat digunakan untuk membantu menentukan diagnosis jika

riwayat rinci dan pemeriksaan fisik tidak cukup.5

Evaluasi terhadap tingkat fungsi pasien penting karena mempengaruhi derajat

kemandiriaan, tingkat kebutuhan untuk pengasuh, serta kualitas hidup. Kegiatan kehidupan

sehari-hari-makan, mandi, berpakaian dan instrumental ADLs (pekerjaan rumah tangga yang

ringan, belanja, mengelola uang, menyiapkan makanan) harus dinilai. Setelah diagnosis dibuat,

9

Page 10: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

rencana pengobatan harus diterangkan yang mencakup modalitas untuk menurunkan persepsi

nyeri dan meningkatkan fungsi pasien.5

Untuk menilai intensitas nyeri, visual analog scale (VAS), verbal descriptor scale dan

numerical rating scale sering digunakan. Terdapat data yang mendukung penggunaan metode-

metode ini, tetapi pengunaan VAS harus lebih berhati-hati kerana tingginya frekuensi respon dari

lansia yang tidak bisa memberikan skor. Selain itu, pasien usia lanjut dilaporkan kesulitan dalam

menyelesaikan VAS.6

McGill Pain Questionnaire memiliki bukti untuk validitas, kehandalan, dan kemampuan

diskriminatif yang tidak berkaitan dengan usia. McGill Pain Questionnaire dapat digunakan

untuk menilai komponen sensorik, afektif, evaluatif, dan komponen nyeri yang lain.6

Setelah menilai intensitas nyeri, pemeriksaan yang mendalam harus dilakukan, ianya

meliputi:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan lebih berfokus kepada nyeri yang

dialami pasien

2. Tinjauan terhadap lokasi nyeri, intensitas, faktor-faktor pemberat dan kesan terhadap

mood dan tidur pasien

3. Screening untuk masalah kognitif

4. Screening untuk adanya depresi

5. Tinjauan terhadap aktivitas kehidupan seharian

6. Penilaian keseimbangan dan cara berjalan

7. Screening untuk depresi sensori untuk menilai fungsi visual dan audiotori

Seorang dokter harus mencari bukti-bukti adanya nyeri kronis. Nyeri dianggap signifikan

jika ianya nyeri yang persisten, berulang dan mempengaruhi kapasitas fungsional dan/atau kualiti

hidup pasien. Karena sakit dapat diwujudkan dalam beberapa cara, berbagai istilah yang bisa

digunakan untuk mendeteksi gejala pada pasien lansia, seperti rasa terbakar, sakit, sesak,

ketidaknyamanan, tajam, dan berdenyut-denyut. Seseorang itu bisa menggunakan suara atau

perubahan pada fungsi untuk menyatakan sakitnya terutama pada pasien yang mempunyai

gangguan kognitif atau bahasa. Isyarat ini dapat ditunjukkan sebagai menangis, mengerang,

10

Page 11: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

perubahan dalam kiprah atau postur atau perilaku ditarik/gelisah. Selain itu, jika terdapat

gangguan kognitif atau bahasa, dokter harus mencari laporan dari pengasuh atau keluarga

terdekat. Alasan mendasar gangguan ini harus ditangani secara optimal. Pendekatan multidisiplin

selalu dianjurkan.6

Pemeriksaan dilanjutkan dengan penilaian nyeri yang komprehensif meliputi

pemeriksaan fisikal dan anamnesis yang mendalam, tinjauan sistem dan hasil laboratorium yang

bersangkutan, pencitraan dan tes diagnostik.6 Perlu dicatat hubungan temporal di antara

peristiwa, intervensi medis, dan keluhan membantu menjelaskan diagnosis dan mungkin

prognosis. Intensitas, karakter, frekuensi, lokasi, dan durasi dari rasa sakit harus diselidiki.

Faktor memperbaik atau memperburuk membantu menunjukkan sifat rasa sakit tersebut.

Kemudian, riwayat pengobatan yang harus diteliti, serta penggunaan suplemen herbal over-the-

counter.

Daftar efek obat harus dicatat. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada sistem

neuromuskuler dengan memerhatikan adanya gangguan, kelemahan, hyperalgesia / hypoalgesia,

hyperpathia, " allodynia " mati rasa, dan kesemutan. Mungkin ada poin memicu, kelainan tulang,

atau peradangan lokal di situs tertentu yang mungkin menyarankan patologi tertentu. Fungsi fisik

dapat ditentukan dengan menilai kemampuan pasien untuk melakukan ADLs.7 Pemeriksaan

range of motion, kiprah, dan pengujian keseimbangan amat sesuai pada tahap ini. Fungsi

psikososial pasien bisa di ketahui dengan menilai mood, kelompok dukungan sosial, hubungan

keluarga dan pengasuh yang dipilih. Seterusnya penilaian nyeri pasien yang bersifat kuantitatif

dapat dipastikan dengan penggunaan VAS, numerical rating scale atau skala nyeri yang lain.

Akhirnya, buku catatan nyeri atau diari dapat membantu mengenalpasti bagaimana

modalitas penanganan yang berbeda akan berpengaruh pada fungsi dan intensitas nyeri pasien.7

Disfungsi dan tingkat keparahan akan menentukan waktu interval untuk follow-up. Ini mungkin

bisa dari 1 hingga 4 minggu tergantung dengan situasi pasien dan kepatuhan dalam berobat.

Kunjungan rutin akan membantu menilai semula pembaikan atau pemburukan kondisi,

komplikasi dengan pengobatan dan kepatuhan pasien. Pasien yang tidak bisa memandu untuk

bertemu dokter mungkin memerlukan panggilan kerumah atau bantuan keperawatan dirumah

11

Page 12: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

untuk di follow-up. Efek positif dan negative obat analgetik dan modalitas terapi perlu dicatat

dan barulah rancangan perawatan dimodifikasi.7

Penilaian nyeri pada pasien dengan masalah kognitif amatlah rumit. Pertama, dokter

haruslah menilai terlebih dahulu fungsi kognitif pasien lansia. Untuk menilai fungsi kognitif,

banyak alat penilaian yang bisa digunakan. Mini Mental State Examination (MMSE),

Abbreviated Mental Test (AMT), Six-Item Screener (SIS), Six-Item Cognitive Impairment Test

(6CIT), Clock Drawing Test (CDT) dan Mini-Cog.8,9

Untuk menilai nyeri pada pasien dengan masalah kognitif, laporan sendiri oleh pasien

amatlah susah untuk diperoleh dan bisa tidak tepat. Oleh itu, penilaian berdasarkan pengamatan

perilaku adalah optimal pada pasien kelompok ini. Perilaku nyeri yang biasa ditunjukkan melalui

(1) ekspresi wajah seperti mengerutkan dahi, meringis, distorsi ekspresi dan berkedip mata yang

cepat, (2) verbal seperti mendesah, mengerang, meminta bantuan, (3) Pergerakan tubuh juga bisa

menunjukkan adanya nyeri seperti kaku, tegang, berjaga-jaga, gelisah, peningkatan mundar-

mandir, perubahan mobilitas seperti tidak aktif atau kegelisahan motorik, (4) perubahan

hubungan interpersonal seperti bertambah agresif, menolak perawatan, mengasingkan diri, (5)

perubahan pola aktivitas seperti perubahan nafsu makan, tidur dan penghentian rutinitas secara

tiba-tiba, (6) perubahan status mental seperti menangis, kebingungan, lekas marah dan tertekan.

Nyeri juga bisa bermanifestasi secara physiological seperti peningkatan denyut jantung, tekanan

darah, kadar pernapasan, berpeluh dan dilasi pupil. Pada pasien dengan masalah kognitif,

indikator nyeri bisa hadir sebagai perilaku yang merupakan karakteristik dari kebutuhuhan lain

yang tidak terpenuhi. Misalnya, suatu indikator bisa menunjukkan kelaparan, haus, stimulasi

yang berlebihan atau kurang, depressi atau cemas.10

Dokter haruslah memiliki berbagai alat penilaian nyeri yang bisa digunakan pasien lansia

dengan mudah. Setelah suatu alat dipilih, alat yang sama harus digunakan untuk menilai semula

nyeri pada pasien yang sama. Antara alat menilai nyeri secara laporan sendiri adalah:10

Verbally administered 0-10 scale: 0 is “no pain at all” and 10 is “the worst possible pain”

Visual analige scale

Verbal descriptor scale

Faces pain scale

Pain thermometer

12

Page 13: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

McGill Pain Questionnaire

Penilaian nyeri perilaku untuk pasien lansia adalah:10

The Assessmnet of Discomfort in Dementia Protocol (ADD)

Checklist of Nonverbal Pain Indicators (CNPI)

Doloplus 2

Nursing Assistant-Administered Instrument to Assess Pain in Demented individual

(NOPPAIN)

The Pain Assesment Scale for Seniors with Severe Dementia (PACSLAC)

The Pain Assessment in Advanced Dementia Scale (PAINNAD)

2.4 PERUBAHAN FARMAKOKINETIC DAN FARMAKODINAMIK

2.4.1 Perubahan Farmakokinetic11

Distribusi obat akan dipengaruhi oleh perubahan fisiologi pada lansia dimana ia

menyebabkan bertambahnya lemak tubuh, berkurangnya otot dan air dalam tubuh. Penggunaan

obat diuretic juga menyebabkan pengurangan volume darah. Dengan pengurangan massa lemak

relatif, obat-obatan yang sangat lipophylic, seperti fentanil dan lidokain, dapat memiliki

peningkatan durasi efek kerana sedikit yang diserap oleh lemak. Sebaliknya, obat yang larut

dalam air seperti morphine kurang effisien dalam distribusinya dan tinggi konsentrasi dalam

darah pada dosis yang sama, menyebabkan terjadinya efek samping yang lebih sering.

Penurunan albumin serum khususnya di pasien lanjut usia dengan penyakit kronis dan

kekurangan gizi secara signifikan akan meningkatkan ketersediaan obat bebas. Perubahan

tersebut akan meningkatkan potensi terjadinya efek samping yang terkait dengan obat analgetik

yang sangat terikat dengan protein seperti NSAIDs dan agen anti kejang seperti valproate,

phenytoin dan carbamazepine. Ternyata pada pasien lansia, jumlah alpha 1-acid glycoprotein

pembawa dalam serum untuk obat dasar seperti meperidine) tidak berubah.

Fungsi hati dan ginjal akan berkurang seiring pertambahan usia dan akan kurang effisien

secara progresif untuk clearance obat. Half-life obat, kadar distribusi per clearance, adalah

meningkat untuk sebahagian antidepresi jenis benzodiazepine dan tricyclic.

13

Page 14: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Obat-obatan yang larut dalam lemak seperti lidokain dan analgesic narkortika adalah

contoh yang baik dari obat-obatan yang menjalani metabolisme first-pass secara signifikan

selama bagian dari saluran pencernaan ke hati. Puncak konsentrasi dalam plasma akan

meningkat dengan adanya potensi kesan samping yang berhubungan dengan dosis. Situasi ini

diperburuk dengan adanya kelainan pada curah jantung yang disebabkan penyakit. Obat yang

cenderung berikat dengan protein kurang dipengaruhi oleh metabolism first-pass. Reaksi hepatic

fase 1 iaitu oksidasi, hidrolisis dan reduksi lebih dipengaruhi oleh umur berbanding dengan

prosen konjugasi fase 2 (acetylation, glucuronidation, sulfation dan glycine conjugation).

Pengurangan clearance melalui ginjal merupakan efek farmakokinetic dari usia. Ini akan

diperberat dengan adanya penyakit yang akan menurunkan lagi fungsi ginjal. Hal ini akan

menyebabkan toksisitas obat pada dosis yang sesuai untuk pasien lebih muda dengan fungsi

renal yang normal. Obat yang secara dominant dieksresi melalui ginjal seperti gabapentin akan

terakumulasi sekiranya fungsi ginjal gagal.

2.4.2 Perubahan Farmakodinamik12

Perubahan farmakodinamik yang berkait dengan umur merupakan hasil dari perubahan fungsi

system efektor yang berkaitan dengan umur. Respon terhadap organ ini dipengaruhi oleh

perubahan fisiologis yang terjadi dengan bertambahnya usia dalam ketiadaan patologi.

Perubahan pada calcium channels dan reseptor beta-adrenergic yang berkait dengan umur

menarik minat ahli farmakologi dengan implikasi untuk kegunaan klinis mereka sebagai agonists

dan antagonists. Sebagai contoh, respon beta-adrenergic berkurang dengan pertambahan usia,

dan untuk mengontrol konsentrasi plasma, respon bradikardi terhadap labetolol berkurang pada

lansia. Kerana perubahan farmakokinetic dan farmakodinamik, lansia menunjukkan lebih sensitif

terhadap efek sedasi beberapa obat misalnya, mereka akan hilang kesadaran pada dosis dan

konsentrasi dalam plasma propofol yang rendah disitus efektor berbanding orang yang lebih

muda dan lebih sensitif terhadap sedasi dengan benzodiazepine seperti triazolam. Perubahan

terkait umur dalam sistem saraf otonom mempengaruhi orang tua untuk memiliki hipotensi

postural, yang mungkin lebih lanjut diperburuk oleh obat-obatan dengan efek antikolinergik dan

antihipertensi.

14

Page 15: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

2.5 Terapi Nyeri9,10,11,12

Lansia sangat rentan untuk mengalami efek samping suatu pengobatan, oleh karena itu pada

pemberian obat untuk mengobati rasa nyeri perlu diperhatikan dosis yang akan diminum. Usia

berhubungan erat dengan efek metabolisme obat di dalam tubuh, jadi pemberian obat pada lansia

harus dilakukan dengan hati-hati. 9

2.5.1 Farmakologi

Nonopioids

a. Asetaminofen

Asetaminofen merupakan pilihan utama untuk dianggap sebagai farmakoterapi awal dan

berkelanjutan dalam pengobatan nyeri persisten, nyeri musculoskeletal dan pemberiannya

harus dibatasi. Maksimum dosis harian yang direkomendasikan dari 4 g per 24 jam tidak

boleh melebihi. Misalkan pemberian asetaminofen lebih dari 4000 mg sehari (dosis 4 kali

1000mg) dalam jangka lama dapat menimbulkan gangguan pada hepar. Pada dosis terapi,

salah satu metabolit Asetaminofen bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation

membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada

dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk

mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah

nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan asetaminofen terapi

ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Ini akan menyebabkan Serum Glutamik Piruvik

Transaminase ( SGPT) dan Serum Glutamik Oksaloasetik Transaminase (SGOT) yaitu enzim

yang dipakai didalam hati semakin banyak akan dapat masuk ke aliran darah jika fungsi hati

terganggu.9,10

15

Page 16: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

b. Nonselektif NSAID

Penggunaan NSAID adalah untuk nyeri akut ringan-sedang dimana menghambatkan sintesa

prostaglandin, prostacyclin dan thromboxane. NSAID ini menggurangkan inflamasi dan anti

nyeri dimana nonselektif NSAIDs menghambat 2 jenis enzim COX yaitu COX-1 dan COX-2

dimana COX-1 melindungi mukosa gastro daripada asam lambong dan COX-2

bertanggungjawab untuk proses inflamasi dan nyeri. Penggunaan jangka panjang harus dihindari

karena seringkali terjadi efek samping misalnya perdarahan gastrointestinal dan gangguan fungsi

ginjal. Orang tua mengambil NSAID nonselektif seperti Ibuprofen dan Ketoprofen harus

menggunakan proton pump inhibitor atau misoprostol untuk perlindungan gastrointestinal.

Secara umum, COX-1 fungsi dalam pengendalian hemodinamik ginjal dan clearance creatinine

(CTT) dan COX-2 fungsi mempengaruhi garam dan air ekskresi. Sindrom ginjal disebabkan oleh

NSAID nonselektif dan coxib dapat dikelompokkan menurut efeknya terhadap prostaglandin

(PG) E dan PGI. Jadi sedangkan PGI atau prostasiklin, kebanyakan mempengaruhi mekanisme

homeostatis ginjal, PGE dan PGD melebarkan vaskular ginjal, dimana ginjal lebih rendah untuk

resistensi vaskuler, dan meningkatkan perfusi ginjal terutama pada lansia. Prostaglandin ini

menjadi kritis terlibat dalam mempertahankan GFR.9,10,12

Opioid

Pasien dengan nyeri sedang sampai berat, atau mempunyai gangguan fungsional yang berkaitan

nyeri berat atau berkurang aktivitas hidup karena sakit harus dipertimbangkan untuk terapi

opioid. Dosis aman maksimal dari acetaminophen atau NSAID tidak boleh melebihi saat

menggunakan dosis tetap agen kombinasi opioid sebagai bagian dari analgesic. Ketika persiapan

long-acting opioid,  nyeri terobosan harus diantisipasi, dinilai, dan dicegah atau diobati dengan

menggunakan short-acting obat opioid untuk menghilangkan dengan segera. Tujuan opioid harus

untuk mengurangi rasa sakit cukup untuk memfasilitasi keterlibatan dengan rehabilitasi dan

pemulihan fungsi yang berguna dimana ia mengaktifkan reseptor µ, δ, к, σ dan menghambat

tranmisi input nosiseptif dari perifer ke spinal. Ini mempengaruhi aktivitas sistem limbic dan

aspek sensorik & afektif nyeri. Efek samping -mual muntah, pruritus, sedasi dan konstipasi.

Pengelolaan nyeri persisten tidak hanya berfokus pada pengurangan intensitas nyeri tapi juga

pada perbaikan dalam tidur, suasana hati, dan fisik, sosial dan emosional kesejahteraan.

16

Page 17: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

Pengobatan Adjuvan

Pengobatan adjuvan (adjuvant medications) dapat diberikan untuk mengobati rasa nyeri kronik

pada lansia seperti golongan steroid, antikonvulsan, anestesi lokal topikal dan antidepresan..

Penatalaksaan rasa nyeri pada lansia yang mengalami rasa nyeri neuropatik seringkali

memerlukan antikonvulsan (karbamesepin, gabapentin), lidokain topikal 5% atau obat anti-

depresan. Golongan anti-depresan trisiklik seperti amitriptilin, nortriptilin dan desipramin

merupakan mendekatan tradisonal untuk mengobati rasa nyeri yang kronik ada lansia. Terutama

amitritilin dan nortriptilin merupakan obat analgesik yang efektif untuk mengobati rasa nyeri

neuropatik pada lansia. Pengobatan secara topikal dapat pula digunakan untuk mengurangi rasa

17

Page 18: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

nyeri yang bersifat neuropatik atau sindrome rasa nyeri kompleks regional. Lidokain 5% secara

topikal sangat bermanfaat untuk mengatasi rasa nyeri yang terjadi pada postherpetic neuralgia.

Preparat topikal aspirin, kapsaisin, antidepresan trisiklik, lidokain dapat mengurangi rasa nyeri

terutama gangguan muskuloskeletal.9,10

Sekilas Rekomendasi WHO: Analgesik Ladder  yang signifikan terjadi antara geriatri rasa sakit

dan nyeri kanker kronis. Untuk ini alasannya, mengikuti rekomendasi WHO untuk

nyeri manajemen yang tepat. Dalam rangka mempertahankan nyeri analgesic ladder harus

digunakan WHO merekomendasikan :

(1) administrasi obat mengikut jam (misalnya, setiap 3-6 jam)

(2) obat melalui mulut individual bagi pasien

(3) mengikuti'' tangga'' analgesik

Untuk nyeri ringan, yang paling tepat pilihan pertama untuk analgesia relatif aman adalah

acetaminophen. Untuk nyeri ringan sampai sedang atau nyeri yang tidak terkontrol dengan

acetaminophen, penggunaan NSAID adalah tepat. Untuk nyeri refrakter terhadap NSAID, atau

nyeri dinilai sebagai moderat awalnya, suatu opioid lemah (misalnya, kodein) adalah sesuai

pilihan pertama. Opioid lemah lainnya digunakan mencakupi hydrocodone, propoxyphene, dan

oxycodone dalam kombinasi dengan acetaminophen. Untuk nyeri refrakter dengan rencana

sebelumnya, atau sakit dinilai sebagai parah, suatu agonis opioid (misalnya, morfin)

dipilih. Opioid murni lain untuk dipertimbangkan termasuk hidromorfon, fentanil, levorphanol,

18

Page 19: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

dan oxycodone. Obat ajuvan dapat digunakan untuk meredakan rasa takut dan kecemasan pada

pasien serta untuk sinergisme.9,10

2.5.2 Non Farmakologi

Walaupun pendekatan secara farmakologik lebih banyak digunakan dalam penatalaksaan

rasa nyeri, intervensi secara non-farmakologik merupakan strategi yang harus dimasukkan pada

penatalaksanaan rasa nyeri kronik pada lansia. Pendekatan non-farmakalogik merupakan

pengobatan yang efektif untuk rasa nyeri yang ringan dan sedikit terjadi efek samping. Teknik

mengurangi stres (stressreduction), konseling psikososial dan terapi fisik/pekerjaan

(physical/occupational), transcutaneous electric nerve stimulation (TENS), akupuntur dan

olahraga teratur bermanfaat untuk mengobati rasa nyeri kronik. Pengobatan alternatif

komplementer (complementary and alternative medication/ CAM) dapat pula diberikan,

terutama bagi penderita yang menyukainya. Pendidikan pada pasien dan pendampingnya dalam

penatalaksanaan rasa nyeri sangat diperlukan dan efektivitas dari program ini dalam

meningkatkan penanganan rasa nyeri telah dilaporkan. 9,10,11

Pendidikan dapat diberikan secara perorangan atau kelompok dengan menggunakan

media cetak untuk mendorong pasien dan pendampingnya memahami bahwa penanganan rasa

nyeri meliputi terapi secara farmakologik dan nonfarmakologik. Terapi kognitf perilaku juga

19

Page 20: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

bermanfaat untuk meningkatkan ketrampilan dan pencegahan timbulnya serangan rasa nyeri.

Tujuan dari program pendidikan dalam penanganan rasa nyeri adalah untuk meningkatkan fungsi

dan menghindari ketidak pastian kondisi yang dirasakan lansia. Kegagalan untuk mengobati rasa

nyeri pada lansia seringkali terjadi bila edukasi pada penderita dan pendampingnya tidak cukup

memadai.Penderita dengan rasa nyeri kronik tidak hanya disarankan untuk meningkatkan

kekuatan otot dan mencegah terjadinya disfungsi, tetapi diperkenalkan pula penggunaan terapi

panas, dingin atau mengurut (massage).9,10

20

Page 21: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

BAB III

KESIMPULAN

Sakit kronis geriatrik dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosi tidak

menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dijelaskan

dalam hal kerusakan tersebut, untuk orang yang baik berusia (65-79 tahun) atau sangat uzur (80

dan atas) dan yang telah sakit selama lebih dari 3 bulan. Konsekuensi dari rasa sakit ini termasuk

gangguan kegiatan kehidupan sehari-hari (ADLs) dan ambulation, depresi dan ketegangan pada

perekonomian perawatan kesehatan. Rasa sakit mungkin juga berhubungan dengan komplikasi

yang terkait dengan rhabdomiolisis, kelainan kiprah, kecelakaan, polifarmasi, dan penurunan

kognitif.

Penatalaksanaan yang optimal bagi lansia yang menderita serangan rasa nyeri, baik nyeri

akut maupun kronik adalah dengan melakukan diagnosis dan penilaian yang tepat terhadap

sindroma nyeri yang dirasakan. Pemberian terapi farmakologik dan non-farmakologik yang

sesuai dengan diagnosis sangat efektif untuk mengobati rasa nyeri kronik ada lansia. Perlu

dipertimbangan efek farmakokinetik dan farmakodinamik penggunaan obat farmakologik pada

lansia. Edukasi bagi lansia dan pendampingnya harus diberikan supaya pengobatan rasa nyeri

pada lansia dapat lebih efektif.

21

Page 22: Tatalaksana Nyeri Pada Lansia

DAFTAR PUSTAKA

1. Macintyre PE, Schug SA, Scott DA, Visser EJ, Walker SM; APM:SE Working Group of

the Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine

(2010), Acute Pain Management: Scientific Evidence (3rd edition), ANZCA & FPM,

Melbourne.

2. Charlotte ES. The Anatomy and Physiology of Pain. Basic Science, Surgery 27:12.

Elsevier. 2009:507-511.

3. Patel NB. "Physiology of Pain." In: Guide to Pain Management in Low Resource

Settings. Washington, USA: International Association for the Study of Pain (IASP);

2009.

4. McLachlan AJ, Bath S, Naganathan V, Hilmer SN, Le Couteur DG, Gibson SJ et al.

Clinical pharmacology of analgesic medicines in older people: impact of frailty and

cognitive impairment. Br J Clin Pharmacol; 71:3: 351–364.

5. Alan D. Kaye, Amir Baluch, Jared T. Scott. Pain Management in the Elderly Population:

A Review. Ochsner J. 2010 Fall; 10(3): 179–187.

6. Keela Herr. Pain Assessment Strategies in Older Patients. The Journal of Pain, Vol 12,

No 3 (March), Suppl. 1, 2011:pp S3-S13.

7. Rahul R and Brian DM. Management of chronic pain in elderly, frail patients: finding a

suitable, personalized method of control. Clinical Interventions in Aging 2013:8 37–46.

8. Woodford H.J and George J. Cognitive assessment in the elderly: a review of clinical

methods. QJ Med 2007; 100; 469-484.

9. Rosen SL and Reuben DB. Geriatric Assessment Tools. MOUNT SINAI JOURNAL OF

MEDICINE 2011 78:489-497.

10. Lee KL. Pain Assessment in Persons with Cognitive Impairment. Medscape Reference

2013;1-8.

11. Gary McCleane. Pharmacological pain management in the elderly patient. Clinical

Interventions in Aging 2007:2(4) 637–643.

12. Sarah N. Hilmer, Andrew J. McLachlan and David G. Le Couteur. Clinical

pharmacology in the geriatric patient. Fundamental & Clinical Pharmacology 21 (2007)

217–230.

22