Tartib Nuzuli Dalam Penafsiran Abid Al-Jabiri

24
TARTIB AL-NUZULI DALAM PENAFSIRAN ABID AL-JABIRI (Aplikasi Metode Dalam Pembacaan Surat Al-Kafirun) Oleh : Heriyanto, S.Sy. A. Pendahuluan Dunia pemikiran Islam, dan khususnya Arab, mengalami shock modernitas, setelah Barat hadir dengan peradaban moderennya di awal abad 19. Wabah inferioritas menghinggapi para sarjana muslim ketika berhadapan dengan Barat. Salah satu respon yang muncul dari persinggungan intelektual tersebut adalah gagasan reformasi agama yang dipelopori Jamaludin Afghani (1838 – 1897) dan muridnya, Muhammad Abduh (1849 -1905). Mereka menyerukan pembaruan, kembali kepada Qur’an dan Sunnah serta membongkar tradisi intelektual lama yang dianggap stagnan. Tak dapat disangkal bahwa gerakan pembaruan yang digemakan Afghani dan Abduh merupakan tonggak perubahan kajian tafsir di abad Moderen . Keberanian mereka melawan arus dan mendobrak kemapanan, mengilhami banyak pengkaji tafsir setelahnya untuk melakukan kajian-kajian kritis bahkan radikal. Dapat dikatakan, secara genealogis kajian tafsir kontemporer merupakan anak ideologis Abduh. 1

description

davdvav

Transcript of Tartib Nuzuli Dalam Penafsiran Abid Al-Jabiri

TARTIB AL-NUZULI DALAM PENAFSIRAN ABID AL-JABIRI(Aplikasi Metode Dalam Pembacaan Surat Al-Kafirun)Oleh : Heriyanto, S.Sy.

A. PendahuluanDunia pemikiran Islam, dan khususnya Arab, mengalami shock modernitas, setelah Barat hadir dengan peradaban moderennya di awal abad 19. Wabah inferioritas menghinggapi para sarjana muslim ketika berhadapan dengan Barat. Salah satu respon yang muncul dari persinggungan intelektual tersebut adalah gagasan reformasi agama yang dipelopori Jamaludin Afghani (1838 1897) dan muridnya, Muhammad Abduh (1849 -1905). Mereka menyerukan pembaruan, kembali kepada Quran dan Sunnah serta membongkar tradisi intelektual lama yang dianggap stagnan.Tak dapat disangkal bahwa gerakan pembaruan yang digemakan Afghani dan Abduh merupakan tonggak perubahan kajian tafsir di abad Moderen. Keberanian mereka melawan arus dan mendobrak kemapanan, mengilhami banyak pengkaji tafsir setelahnya untuk melakukan kajian-kajian kritis bahkan radikal. Dapat dikatakan, secara genealogis kajian tafsir kontemporer merupakan anak ideologis Abduh.Usaha-usaha pemikir kontemporer tersebut dari generasi ke generasi terus mengalami perkembangan dan evolusi yang signifikan. Fazlurrahman dengan teori double movement-nya, Syahrur dengan teori hudud-nya, Arkoun dengan semiotika-nya, Muhammad Toha dengan evolusi syariah-nya, dan Nashr Hamid dengan qiraah muashirah-nya, adalah fenomena perkembangan kajian keislaman yang tak bisa dielakkan.Abid Al-Jabiri hadir sebagai pemikir yang punya ambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa tidak puas dengan usaha pembaharuan yang telah dan sedang dilakukan oleh para pemikir dan intelektual Arab-Muslim. Dia mengkritik gerakan salaf, karena kehilangan objektifitas dan historisitas (la tarikhiyyah wa la mawdluiyah) dalam membaca turats.[footnoteRef:2] Meskipun demikian Al-Jabiri juga tidak setuju dengan pendekatan dan solusi yang ditawarkan oleh kelompok liberal yang terlalu silau dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban barat.[footnoteRef:3] Al-Jabiri terkenal dengan trilogi epistemologi pengetahuan, yakni burhani, bayani, dan irfani.[footnoteRef:4] Ketiga pendekatan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan kritik terhadap nalar Arab yang selama ini menurutnya mengalami stagnanasi. [2: Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, 1993 (Beirut: Markaz Al-Tsaqafi Al-Arabi), Cet. VI, h. 13] [3: Muhammad Abid al-Jabiri, Isykaliyatu Al-Fikri Al-Arabi Al-Muashir, 1990 (Beirut: Dirasah Al-Wahdah Al-Arabiyah), Cet. II, h. 35-39 ] [4: Ibid. h. 59]

Selain triloginya, al-Jabiri juga dikenal mempunyai teori penafsiran yang menurut penulis agak unik karena bersebrangan dengan kebanyakan para penafsir yang ada. Dalam membaca Al-Quran (baca: penafsiran), al-Jabiri mempunyai pendekatan yang disebutnya sebagai Tartib al-Nuzuli. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengejawentahkan perjalanan sejarah dakwah dan kejiwaan Rasulullah Saw.[footnoteRef:5] [5: Muhammad Abid al-Jabiri, Al-Madkhal Ila Al-Quran Al-Karim fi Tarif bi Al-Quran, 2007 (Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyyah), h. 257 ]

Menurut penulis ini menarik untuk dikaji, sebab teori tersebut tidak lazim digunakan oleh mayoritas Ulama. Selain itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang aplikasi teori tersebut dalam penafsiran-penafsiran Abid Al-Jabiri. Untuk itu dalam tulisan singkat ini penulis tertarik mengkajinya lebih dalam dengan mengajukan pertanyaan : Bagaimana sebenarnya teori tartib al-Nuzuli yang digagas Abid Al-Jabiri? Bagaimana aplikasinya dalam penafsiran Al-Quran? Dan di sini penulis sengaja memilih Surat Al-Kafirun sebagai contoh aplikasi metode tersebut, karena sebagaimana tujuan dari teori al-Jabiri tersebut adalah untuk menguak perjalanan dakwah Nabi Muhammad Saw, maka dalam Surat Al-Kafirun sedikit banyak dapat ditemukan korelasinya.

B. Sketsa Biografi Abid Al-JabiriDalam kancah intelektual muslim kontemporer nama al-Jabiri, sebutan Muhammad Abid al-Jabiri, bukanlah nama yang asing. Al-Jabiri lahir di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh di kotanya sendiri, mulanya ia dikirim ke sekolah agama, lalu ke sekolah swasta nasionalis (Madrasah hurrah wathaniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Sejak tahun 19511963 Ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan negeri (setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka, al-Jabiri mendapatkan gelar diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan).[footnoteRef:6] [6: Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Terj Moch Nur Ikhwan, 2003 (Yogyakarta: Islamika), Cet I, h. xviii]

Kebesaran nama al-Jabiri memang tidak lepas dari lingkungan dan dunia politik yang melingkarinya sebagaimana keluarganya yang juga aktivis partai. Salah satu pemimpin sayap kiri pecahan partai Istiqlal[footnoteRef:7] yakni Mehdi ben Barka, yang dalam perkembangannya partai ini kemudian memisahkan diri dan mendirikan The Union Nationale De Forces Populaires (UNFP) kemudian berganti nama menjadi Union Socilieste Des Forces Populaires (USFP), adalah orang dekat al-Jabiri yang mendampingi dan membimbing al-Jabiri semasa muda. Ia juga yang menyalurkan al-Jabiri untuk bisa bekerja disalah satu lembaga penerbitan resmi partai Istiqlal yakni Jurnal al-Alam yang saat itu menjadi tulang punggung dan pusat informasi bagi partai Istiqlal. [7: Muhammad Abid al-Jabiri Formasi Nalar Arab;Kritik Tradisi menuju pembebasan dan PluralismeWacana Intereligius, terj Imam Khoiri, 2003 (Yogyakarta: IRCISOD), Cet I, h. 591]

Tahun 1958 al-Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk memperdalam filsafat di Universitas Damaskus, Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat yang saat itu baru didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktivitas politiknya, sampai kemudian tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap negara yang saat itu memang banyak disematkan kepada anggota partai UNFP lainnya.[footnoteRef:8] [8: Berkaitan dengan aktifitas al-Jabiri dalam bidang politik, khususnya prototife tentang penegakan HAM dan Demokrasi lihat: Muhammad Abid al-Jabiri, Syuro, Tradisi, Partikularitas, Universalitas, 2003 (Yogyakarta: LKiS), Cet I, h. 18. Lihat juga: Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Kontemporer h. 4]

Setelah ia keluar dari penjara, tahun 1964 al-Jabiri kembali ke lingkungan akademiknya dengan mulai mengajar filsafat ditingkat sarjana muda, selain itu juga ia tergabung dalam beberapa forum. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan Mustofa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran Islam dan filsafat yang diperuntukkan bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas al-Jabiri baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah membentuk dia menjadi intelektual yang sangat penting era itu. Beberapa artikel dengan beragam isu yang dihembuskan berhasil dipublikasikan di Maroko.Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah al-Tarikh inda Ibnu Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat itu dia sudah mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko. Tahun berikutnya sampai 1970 al-Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Ph.D dengan disertasi tentang pemikiran Ibn Kholdun, dibawah bimbingan Najib Baladi. Nah, selama dekade 1970 an nama al-Jabiri terus berkibar lewat beberapa tulisannya yang diterbitkan secara berkala baik khususnya yang berkenaan dengan Pemikiran Islam, sehingga cepat mendapat respon dari berbagai kalangan baik intelektual maupun akademisi dunia Arab.Tahun 1976 ia mulai mengenalkan dua buah karyanya tentang epistemologi (satu tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang lain tentang metode empiris dan perkembangan pemikiran ilmiah), sekalipun sampai saat itu ia tidak bisa meninggalkan aktifitas politiknya yang telah ia geluti semenjak awal. Hal itu terbukti dengan ia menjadi anggota biro politik USFP sejak tahun 1975, sekaligus sebagai salah satu pendirinya. Tapi bagaimanapun, ia akhirnya harus memilih antara di dunia akademis intelektual atau terus menggeluti politik.[footnoteRef:9] Tahun 19801981 setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya ia memilih untuk untuk mencurahkan energi dan pikirannya untuk intelektualitas dan menggeluti bidang keilmuan, sekaligus mengundurkan diri dari biro politik yang telah dijabatnya. Semenjak itu ia terus berkonsentrasi untuk dunia ilmiah beberapa tulisan dan artikelnya ia kumpulkan dan ia terbitkan termasuk beberapa artikel yang pernah ia presentasikan dalam beberapa forum seminar ataupun konferensi. Beberapa judul buku yang telah berhasil ia himpun adalah Nahnu wa al-turats, dua tahun kemudian ia menerbitkan sebuah buku lagi dengan judul Al-Khittab Al-Arabi Al-Muassir Dirasah Taqliliyah Naqdiyyah (Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritis Dan Analitis) karya-karyanya terus bertebaran dengan terbitnya magnum opus yakni Naqd al-Aql al-Arabi yang dipublikasikan tahun 1984, 1986 dan tahun 1990. [9: Muhammad Abid al-Jabiri, Syuro, Tradisi,. h. 85]

Kalau dirunut perjalanan intelektual al-Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan kurang lebih 17 karya[footnoteRef:10] dan beberapa tulisan yang tersebar di berbagai terbitan, sungguh menakjubkan. Kredibilitas al-Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian diakui dikalangan pemikir Islam kontemporer, sebut saja Mohammad Arkoun dan Fetimma Mernisi yang keduanya sama-sama berasal dari Maghribi. Secara geografis, lingkungan di Maroko sangat mendukung bagi perkembangan intelektual al-Jabiri. Selain Aljazair dan Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan negeri yang pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung, tradisi dan bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Maroko, efeknya sarjana dan intelektual Maroko lebih mudah mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis. Nama-nama seperti Hichem Djait, Abd al Razaq al Daway, Abdullah Laroui, Muhammad Arkoun dan Fetimma Mernisi adalah sederet nama yang menggandrungi filsafat Prancis, mulai dari strukturalis, post strukturalis sampai post modernis. [10: Ahmad Baso secara panjang lebar menulis beberapa kumpulan karya dan tulisan al-Jabiri yang tersebar secara acak. Perjalanan intelektual dan epistemologinya juga dikupas habis oleh Baso dalam buku yang akhirnya diberi judul Post Tradisonalisme Islam yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta tahun 2000. Tema ini sempat mengemuka dalam belantika wacana keislaman di Indonesia. Post Tradisionalisme Islam adalah istilah populer dikalangan muda Nahdlatul ulama. Secara panjang lebar konsep dan metodologi Post Tradisionalisme Islam dikupas dalam Jurnal Taswirul Afkar edisi 10 tahun 2000, dengan judul Post tradisionalisme Islam, Konsepsi, Metode dan Sejarahnya atau Jurnal Justisia edisi 21 tahun 2002.]

C. Intelektualitas Abid Al-JabiriAda hal yang berbeda dari pemikir-pemikir Islam lainnya, Muhammad Abid al-Jabiri selama kurang lebih 20 tahun membangun tradisi kritik dalam pemikiran Islam, sejak tahun 1970-an ia menghabiskan waktunya untuk menghasilkan beberapa karya yang cukup brilian. Diantara karyanya yang terkenal adalah trilogi Naqd al-Aql al-Arabi. Buku ini berisi 1200 halaman lebih. Konsep triloginya ini juga tersebar di tiga buku beliau, pertama, Taqwin al-Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab, 1982), Bunyah al-Aql al-Arabi (Struktur Nalar Arab, 1986), al-Aql al Siyasi al-Arabi (Nalar Politik Arab, 1990) semuanya diterbitkan oleh Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, Libanon.Sejak awal memang al-Jabiri dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat produktif, itu terlihat dari beberapa karya yang lebih dahulu diterbitkan semisal Fikr ibn Khaldun al-Ashabiyah wa al-Daulah terbit tahun 1971, awalnya tulisan ini adalah disertasinya di Universitas Muhammad al-Khamis, Maroko, tahun 1970, secara tuntas al-Jabiri mengupas pemikiran Ibnu Khaldun tentang kekuasaan, negara dan Primordialisme di Arab. Tahun 1973 ia kembali menulis sebuah buku tentang pendidikan dan tradisi pengajaran di kota kelahirannya, Maroko yang kemudian ia beri judul Adlwa ala Musykil al-Talim.Tahun 1976 ia kembali melanjutkan karyanya dengan menulis tentang epistemologi pengetahuan, dengan judul Madkhal ila Falsafah al-Ulum (pengantar Filsafat Ilmu). Buku ini merupakan hasil pergulatannya dengan beberapa referensi filsafat Prancis dan Barat. Tahun 1980 al-Jabiri juga menerbitkan karya berikutnya Nahnu wa al-Turats: Qiraah Muasyiroh fi Turatsina al Falsafi yang kemudian diterjemahkan menjadi Kita dan Tradisi: Pembacaan kontemporer atas Tradisi Filsafat Kita. Dalam buku ini, al-Jabiri menulis beberapa sebab kemunduran peradaban Islam diantaranya menyebut beberapa pemikiran filsuf muslim seperti Ibnu Sina sebagai penyebabnya, karena bagi al-Jabiri Ibnu Sina telah menelorkan konsep irasionalitas dengan astrologi dan ilmu-ilmu saihirnya yang kemudian dikonsumsi oleh bangsa Arab dan ini salah satu faktor bangsa peradaban Arab tidak maju. Ia juga menulis al-Khitab al-Arabi al-Muashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah dalam edisi Indonesia menjadi Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritik Analitik. Untuk pertama kali buku ini terbit tahun 1982 dan cukup menjadi perhatian publik kala itu karena dengan keberaniannya ia memakai metode Analisis Wacana untuk memetakan pemikiran arab Modern-Kontemporer. Tahun 1989 ia menulis Isykaliyat al-Fikr al-Arabi (judul terjemahan Beberapa Problematika Pemikiran Arab Kontemporer) dan secara kontinyu ia meneliti tradisi Arab dan selalu menulisnya dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis Hiwal al-Masyriq wa al-Maghrib:Talihi Silsilah al-Rudud wa al-Munaqasat (Meleburkan Timur Dan Barat Dalam Cakrawala Kritik Dan Dialog), kemudian tahun 1991 ia kembali menerbitkan sebuah karya al Turats wa al-Hadasah:Dirasah wa Munaqasah yang kemudian diterjemahkan menjadi Tradisi dan Modernitas: Studi Kajian dan Perdebatan). Tahun 1992 buku berikutnya terbit dengan Judul Wijhah Nazhr Nahwa Iadah Bina Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Muashir (judul terjemahan Satu Sudut Pandang Menuju Rekonstruksi Persoalan pemikiran Arab Kontemporer).Dengan tidak mengenal lelah, al-Jabiri terus menorehkan buah karyanya lewat tulisan yang terus-menerus ia hasilkan tahun 1994 ia menulis al-Masalah al-Tsaqafiyah (terjemahan ; Problem kultural), di tahun yang sama ia juga menulis Masalah al-Hawiyah (Problem Identitas), tahun berikutnya 1995 buku yang lain terbit yakni al-Mutsaqqafun al-Arab fi al- Hadlarah al-Islamiyah. Tahun 1998 al-Jabiri terlibat dalam penerbitan buku karya filsuf besar Islam, Ibnu Rusyd. Buku itu diberi judul al-Dharuri fi al-Siyasah: Mukhtasar kitab al-Siyasah li aflathun, dalam buku ini al-Jabiri hanya sebagai editor dan memberikan pengantar atas pemikiran Plato dan Aristoteles yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut.[footnoteRef:11] [11: Untuk lebih jelas tentang jejak intelektualitas Abid Al-Jabiri, lihat: Ahmad Baso, Post Tradisonalisme Islam, 2000 (Yogyakarta: LKiS), dan karya-karya Abid Al-Jabiri yang penulis pakai dalam penulisan makalah ini ]

D. Metode Penafsiran Abid Al-JabiriSebagaimana telah disinggung di muka, corak pemikiran al-Jabiri bias disebut eklektisme, yaitu berusaha menggabungkan antara otoritas tradisi(turats)yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran semacam ini bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran Arab sebagai reaksi atas dua ekstrimitas pemikiran yang terjadi pada saat itu.Turatsdikalangan pemikir Arab selalu disandingkan denganhadatsah (modernitas) karena problem antara turats dan hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagai pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-Jabiri begitu berkepentingan untuk menelusuri akar tardisi yang membentuk nalar Arab.Turatskemudian menjadi gerbang bagi al-Jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.Dalam penafsiran Al-Quran, untuk berlaku secara obyektif maka al-Jabiri menawarkan untuk menggunakan teori al-fashl dan al-washl.[footnoteRef:12] menemukan antara kemurnian kandungan teks dengan analisa dari pra-pemahaman seorang penafsir. Dalam melakukan penafsiran, seorang penafsir harus membiarkan teks berbicara dengan dirinya sendiri secara apa adanya. Baru kemudian di analisa dengan sepenuh pemahaman penafsir dalam menentukan hakikat makna, hal ini bertujuan agar teks bisa difahami secara objektif. [12: Al-fashl dalam arti terpisah atau memisah dimaksudkan agar teks jangan sampai tercampuri kemurnianya dengan pemikiran dari luar teks, teks harus terpisah dengan penafsir, teori ini memiliki beberapa metode pertama, pendekatan struktural, yang menjelaskan bahwa teks adalah keseluruhan yang dibentuk dari suatu kesatuan yang konstan. Yang menunjukkan bahwa teks tidak bisa berdiri sendiri namun harus difahami secara menyeluruh dengan mempertimbangangkan hubunganya dengan teks lainnya, sebagaimana satu ayat al-Quran harus difahami siaq al-kalam atau hubungan sintagmasinya atau munasabah dengan ayat lainya.Kedua, analisis Historis, dimana teori ini menjelaskan bahwa teks memiliki realitas konteks maupun asbab al-Nuzul yang harus dicari guna menemukan maksud dan tujuan dari pesan yang sebenarnya,ketiga,Kritik Ideologi, dimana teori ini adalah sebagai pengingat bagi penafsir sebagaimana semangatal-fahsl,dalam melakukan penafsiran, teks harus ditempatkan pada posisinya yang murni tidak terikat oleh suatu tendensi apapun. Adapun Al-Washl adalah merupakan teori yang digunakan dalam menganalisa teks sesaat sebelumnya seorang penafsir memisahkan diri agar teks berbicara dengan dirinya sendiri kemudian di sinilah tugas penafsir dalam mengaitkan teks, Historisitas teks, dan sosiologis teks pada masa turunnya al-Quran dengan kebutuhan masa ini. Lihat: Dwi Haryono,Hermeneutika al-Quran Abid al-Jabiri, dalamSyahiron Syamsuddin (ed.),Hermeneutika al-Quran dan Hadits, 2010 (Yogyakarta: Elsaq) h. 100]

Selain dari metode tersebut, Al-Jabiri dalam beberapa kesempatan menggembor-gemborkan pembacaan Al-Quran yang disesuaikan dengan urutan turunnya Al-Quran (Tartib Al-Nuzuli). Pembacaan model seperti ini menurutnya sangat perlu dilakukan karena Al-Quran walaupun tidak semuanya banyak yang diturunkan karena adanya peristiwa yang terjadi pada masa Nabi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa walaupun Al-Quran dalam penyusunannya disesuaikan secara tauqifi (petunjuk dari Nabi langsung) akan tetapi esensi wahyunya tetap tidak bisa dilepaskan dari konteks peristiwa dan kondisi masyarakat pada saat itu.[footnoteRef:13] [13: Muhammad Abid al-Jabiri, Al-Madkhal Ila Al-Quran., h. 243]

Dengan merujuk pada apa yang telah dilakukan Teodore Noldeke dan Regis Blachere, yang mana keduanya sama-sama pernah melakukan penyusunan Al-Quran sesuai urutan turunnya, al-Jabiri pun kemudian terdorong untuk melakukan penafsiran Al-Quran berdasarkan metode Tartib al-Nuzuli, menurutnya yang dilakukan Noldeke dan Blachere tersebut sama sekali tidak menghadirkan sesuatu yang baru, karena keduanya tidak menjadikan Tartib al-Nuzuli tersebut sebagai metode untuk memahami perkembangan turunnya Al-Quran.[footnoteRef:14] Dari teori tersebut al-Jabiri kiranya maju selangkah lebih baik dibanding pemikir-pemikir kontemporer lainnya, paling tidak ia tidak hanya mandeg pada tataran teori saja, dengan hadirnya karya al-Jabiri yang berjudul: Fahmu al-Quran-Tafsir al-Wadlih Hasba al-Tartib al-Nuzul telah membuktikan bahwa teori Tartib Al-Nuzuli-nya bisa diaplikasikan dengan baik dalam upayanya memahami Al-Quran. [14: Ibid. h. 240-243]

Dalam karya tersebut al-Jabiri berkesimpulan bahwa untuk dapat memahami dan berinteraksi dengan baik terhadap teks Al-Quran maka harus berangkat dari asumsi bahwa Al-Quran bukan semata-mata lembaran teks yang terjilid dalam satu mushaf, tapi ia adalah teks yang sudah melewati fase pembentukan teks dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun.[footnoteRef:15] Dengan demikian Al-Quran adalah teks yang hidup, searus dengan gelombang realitas sejarah kenabian Muhammad Saw. Tentunya hal itu menyebabkan terbentuknya perbedaan karakter antara surat-surat Makkiyah dan Madaniyah, dan di sinilah letak urgensi teori Tartib al-Nuzuli-nya Abid al-Jabiri. [15: Muhammad Abid Al-Jabiri, Fahmu al-Quran-Tafsir al-Wadlih Hasba al-Tartib al-Nuzul, 2008 (Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyah), Juz I, h. 10]

E. Pembacaan Abid Al-Jabiri Terhadap Surat Al-KafirunDari awal agaknya penulis sedikit sudah menyinggung bahwa dari sekian banyak karya yang dihasilkan oleh al-Jabiri pada realitanya lebih banyak bernuansa sejarah. Apalagi secara akademik, al-Jabiri pernah mengulas konsepsi sejarah menurut Ibnu Khaldun secara panjang lebar dalam karya-karyanya. Hal ini kemudian memberikan warna penafsirannya yang sarat akan nuansa sejarah. Dalam menafsiri Surat Al-Kafirun, al-Jabiri memulainya dengan menjabarkan asbab al-nuzul-nya terlebih dahulu, yakni diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad Saw sedang melaksanakan Thawaf, para pembesar suku Quraisy mendatangi beliau untuk mengajak koalisi (baca: kerjasama) dalam agama dengan tawaran mereka mau saja menyembah apa yang beliau sembah, akan tetapi mereka menuntut Nabi agar mau menyembah apa yang mereka sembah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sebelum mereka merayu Nabi untuk melakukan koalisi agama, mereka menawarkan iming-iming harta, kekuasaan, dan wanita terlebih dahulu.[footnoteRef:16] [16: Ibid. h. 65]

Al-Jabiri menganggap penyebutan kata al-kafirun secara eksplisit pada awal surat tersebut cukup dapat merepresentasikan dua sifat kekafiran yang dimiliki orang Quraisy, yakni kafir (baca: kufur) nikmat dan kafir (tidak mau mengakui) terhadap ketauhidan dan kenabian. Al-Jabiri juga membuat pemetaan khusus terhadap Surat tersebut, yaitu ayat: Artinya: 2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.[footnoteRef:17] [17: Semua ayat dan terjemahnya dalam penulisan makalah ini diambil dari software Plugins Quran in Word]

Kedua ayat tersebut menurut al-Jabiri mengandung arti waktu sekarang (aal-an/al-hal). Maksudnya ayat tersebut adalah sebagai penolakan terhadap ajakan dari orang kafir Quraisy pada saat itu juga. Adapun dua ayat setelahnya, yakni: Artinya: 4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Mengandung arti waktu yang akan datang (mustaqbal).[footnoteRef:18] Dari pemetaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan dari surat tersebut berisi tentang penolakan terhadap ajakan orang-orang kafir baik pada konteks saat itu juga ataupun setelahnya. Sebenarnya hal ini bukanlah hal baru, senada dengan itu pun pernah disampaikan oleh al-amasy.[footnoteRef:19] Akan tetapi paling tidak hal tersebut merupakan wujud pembacaan kreatif al-Jabiri dalam usahanya berinteraksi dengan teks Al-Quran. [18: Ibid. h. 66] [19: Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Nukatu wa Al-Uyun, t.t. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), Juz VI, h. 385]

Al-Jabiri melihat bahwa asbab al-nuzul ayat tersebut menggambarkan realitas masyarakat arab (Quraisy) pada saat itu. Tawaran orang kafir Quraisy untuk mengadakan koalisi (syirkah) dalam masalah ubudiyah menurut al-Jabiri dianggap sebagai fenomena sosial yang didasari mainstream logika seorang pedagang (al-manthiq al-tujjari). Di mana pada saat itu masyarakat arab terkenal dengan ekonomi perdagangannya.[footnoteRef:20] Pembacaan model al-Jabiri ini membawa kita pada kesimpulan bahwa turunnya surat Al-Kafirun sedikit banyak mewakili kondisi sosio-kultural masyarakat pada saat itu, Nabi hadir untuk berdakwah kepada mereka dengan menyampaikan wahyu dari Allah Swt sebagai bentuk reaksi dari aksi yang dilakukan orang-orang kafir. Yang mana pada saat itu mereka sedang bergelimang harta, dan harta tersebut mereka manfaatkan sebagai media untuk melakukan perlawanan terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw. [20: Muhammad Abid Al-Jabiri, Fahmu al-Quran...., h. 66]

Sebelum surat tersebut turun, Allah Swt dalam surat Al-Maun menggambarkan tentang perihal orang-orang yang mendustakan agama dari golongan munafiqin. Baru setelah surat itu turunlah surat Al-Kafirun yang secara implisit bercerita tentang kondisi orang-orang kafir mekkah. Dan setelahnya turun surat Al-Fiil yang menceritakan kondisi Abrahah sebagai peringatan bahwa barangsiapa yang menentang kenabian maka pasti akan bernasib sama dengan Abrahah dan pasukannya. Barangkali di sinilah letak urgensi metode al-Jabiri dalam penafsiran Al-Quran, yakni menghendaki analisa tafsirnya sesuai dengan urutan turunnya ayat per-ayat dan surat per-surat. Dengan semacam itu kiranya perjalanan dakwah muhammadiyah yang dimaksud oleh al-Jabiri dapat dijelaskan. F. AnalisisAl-Jabiri hadir dalam ranah kajian keislaman sebagai seorang pemikir yang mengusung ide modernitas dengan tidak menafikan eksistensi turats. Keberaniaannya mengkritik gerakan salaf (kembali pada Quran dan Sunnah) dan para pemikir modern yang kebarat-baratan merupakan nilai plus tersendiri baginya. Pembacaan Tartib Al-Nuzuli model al-Jabiri ini menurut penulis harus bisa kita dudukkan sesuai dengan porsinya. Penulis melihat bahwa pembacaan model tersebut sesuai dengan tujuannya yakni untuk melihat fase perjalanan dakwah muhammadiyah hanya dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan historis bukan normatif (hukum) atau bahkan teologis. Jadi metode Tartib Al-Nuzuli-nya al-Jabiri menurut penulis akan lebih tepat jika diterapkan pada proyek pembacaan kisah dalam Al-Quran, metode tersebut paling tidak dapat membantu untuk mencari hubungan (munasabat) dari satu kisah ke kisah yang lain. Karena bicara Tartib Al-Nuzuli maka sama saja mengangkat tema Asbab Al-Nuzul, dan seberapa penting pun sebab-sebab turunnya teks Al-Quran, dalam wacana teks-teks normatif dikenal kaidah; al-ibrah bi umum al-lafdli la bi khusus al-sabab, yang maksudnya adalah mengharuskan kita meninggalkan kekhususan sebab tersebut dan kembali pada keumuman lafadlnya. Untuk menafsirkan Al-Quran dalam wacana pemikiran al-Jabiri, penulis menilai akan lebih menarik jika menggunakan teori al-fashl dan al-washl-nya. Dengan pendekatan itu kiranya kita tidak akan terjebak dalam kungkungan sejarah masa lalu yang jika dipahami secara sempit maka hanya akan menyulitkan kita dalam mengkontekstualisasikan teks-teks yang ada. G. KesimpulanSampai di sini dapat ditarik beberapa kesimpulan dari permasalahan yang penulis ajukan, yakni:1. Tartib Al-Nuzuli adalah metode pembacaan Al-Quran yang disesuaikan dengan urutan turunnya Al-Quran. Pembacaan model seperti ini menurut al-Jabiri sangat perlu dilakukan karena Al-Quran walaupun tidak semuanya banyak yang diturunkan karena adanya peristiwa yang terjadi pada masa Nabi. Menurutnya bahwa untuk dapat memahami dan berinteraksi dengan baik terhadap teks Al-Quran maka harus berangkat dari asumsi bahwa Al-Quran bukan semata-mata lembaran teks yang terjilid dalam satu mushaf, tapi ia adalah teks yang sudah melewati fase pembentukan teks dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun.2. Dalam penafsiran Al-Quran al-Jabiri, Tartib Al-Nuzuli diaplikasikan dengan menyusun urutan surat-suratnya sesuai dengan urutan turunnya Al-Quran, hal ini bertujuan untuk menguak perjalanan dakwah muhammadiyah. Dalam penafsiran al-Jabiri terkait surat Al-Kafirun, ia kemudian menyimpulkan bahwa surat tersebut merupakan gambaran realitas kondisi masyarakat pada saat itu, di mana dalam melakukan perlawanan terhadap Nabi Muhammad Saw mereka cenderung menggunakan logika seorang pedagang (al-manthiq al-tujjari) yakni dengan menawarkan koalisi (syirkah) dalam hal ibadah kepada Tuhan. Pada konteks tersebut orang-orang kafir menawarkan tukar menukar ritual sebagaimana dalam asbab al-nuzul-nya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhammad Abid, Al-Madkhal Ila Al-Quran Al-Karim fi Tarif bi Al-Quran, 2007 (Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyyah)--------------------------------, Fahmu al-Quran-Tafsir al-Wadlih Hasba al-Tartib al-Nuzul, 2008 (Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyah)--------------------------------, Formasi Nalar Arab;Kritik Tradisi menuju pembebasan dan PluralismeWacana Intereligius, terj Imam Khoiri, 2003 (Yogyakarta: IRCISOD), Cet I--------------------------------, Isykaliyatu Al-Fikri Al-Arabi Al-Muashir, 1990 (Beirut: Dirasah Al-Wahdah Al-Arabiyah), Cet. II--------------------------------, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Terj Moch Nur Ikhwan, 2003 (Yogyakarta: Islamika), Cet I--------------------------------, Nahnu wa al-Turats, 1993 (Beirut: Markaz Al-Tsaqafi Al-Arabi), Cet. VI--------------------------------, Syuro, Tradisi, Partikularitas, Universalitas, 2003 (Yogyakarta: LKiS), Cet IAl-Mawardi, Muhammad bin Habib, Al-Nukatu wa Al-Uyun, t.t. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)Baso, Ahmad, Post Tradisonalisme Islam, 2000 (Yogyakarta: LKiS)Syahiron Syamsuddin (ed.),Hermeneutika al-Quran dan Hadits, 2010 (Yogyakarta: Elsaq)1