tafsir dunia tanda
description
Transcript of tafsir dunia tanda
TAFSIR DUNIA TANDA* s e b u a h r i n g k a s a n
Oleh: Cin Pratipa Hapsarin
Problem utama filsafat mengalami pergeseran berarti ketika ‘jalan kembali pada bahasa’ dirumuskan, dan pernyataan Paul Ricoeur “manusia adalah bahasa” menjadi bagian dari tonggak peralihan tersebut. Pada akhirnya terkuaknya fungsi bahasa, di luar fungsi deskriptifnya, mempengaruhi pemahaman akan ideologi, imajinasi, metafora, maupun kebenaran. Kini, hal‐hal tersebut berhadap‐hadapan dengan problem interpretasi teks, yang seluruhnya mengerucut pada bagaimana tafsir atas sesuatu, atau konteks pemahaman akan sesuatu dilahirkan, tidak saja secara metodologis melainkan juga secara ontologis..
*) Bagian ini sepenuhnya disarikan dari Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam
Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD; Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme, Tantangan Bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius; Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius; Thompson, John B. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi‐Ideologi Dunia (terjemahan).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Page 2 of 12
Usaha tersebut secara komprehensif telah dilakukan oleh Paul Ricoeur lewat ontology of
interpretation (Permata, 2002: 216). Ricoeur disebut‐sebut telah berhasil menggabungkan
wilayah‐wilayah yang selama ini selalu dianggap paradoks bagi satu sama lainnya dan
memecahkan kebuntuan diantaranya. Misalkan saja berhasil memanfaatkan metodologi ilmu
alam (Naturewissenschaften) dan pemahaman ala Geisteswissenschaften. Pada gilirannya,
hermeneutika Ricoeur juga dianggap berhasil memadumadankan ketegangan antara
metodologi‐Emilio Betti (soal menyingkap makna objektif dari teks yang memiliki jarak ruang
dan waktu dari pembacanya) dan konsep filosofis versi Gadamer (mengenai acuan utama untuk
memahami teks bukan berasal dari niat penulisnya), Ricoeur juga berhasil mengawinkan konsep
filosofis ‘potensi Ada’ milik Heidegger dengan pandangan Schleiemecher dan Dilthey yang
mengatakan bahwa ekspresi kehidupan telah terbakukan lewat bahasa dan pemahaman atas
bahasa merupakan usaha penemuan diri sendiri. Namun demikian Ricoeur juga merevisi
pandangan romantik ala Schleiemecher dan Dilthey, yang ditekankan pada penolakan Ricoeur
untuk berhenti begitu saja pada kondisi psikologis pembuat teks untuk merekonstruksi
pengalaman menulis. Akhirnya Ricoer dianggap berhasil mempertemukan fenomenologi Jerman
(tendensi metafisik Cartesian dan Edmund Husserl juga tendensi eksistensial versi Heidegger)
dengan strukturalisme Prancis (aliran linguistik Ferdinand de Saussure dan aliran antropologis
Claude Levi‐Stauss) termasuk memberikan kontribusi bagi kritik ideologi dan pentingnya
psikoanalisis sebagai satu kunci metodologi untuk membaca sebuah teks.F
1F Karena
pandangannya itulah Ricoeur digolongkan dalam pendekatan konstruktivis atau revisonis
(Sugiharto, 1996: 16), sementara beberapa kalangan menyebut pendekatan Ricoeur ini sebagai
‘hermenutika fenomenologis’ (Permana, 2002: 199).
Sebelum masuk dalam pemaparan berikutnya, patut disinggung bahwa hermeneutik dalam
pandangan Ricoer dalam Sumaryono (1995: 100) didefinisikan sebagai “teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks”, dan tujuan hermeneutik
dalam adalah “menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara
membuka selubung‐selubung daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol‐
simbol tersebut” (Sumaryono, 1995: 98)
Berikut akan dipaparkan beberapa konsep milik Ricoeur dalam kaitannya tafsir dengan bahasa
dan wacana—termasuk ideologi di dalamnya—lalu konsep teks sebagai karya dan terakhir
eksplanasi serta pemahaman. Bagian ini akan menjadi penghantar sekaligus dasar sebelum
akhirnya pembahasan dilanjutkan pada struktur internal teks pada bagian setelah ini.
0BBAHASA DAN WACANA
Bahasa menjadi isu sentral sejak diketahui bahwa filsafat mengalami keterbatasan akibat
kontradiksi internal tiap usaha untuk membangun kosakata yang logis ketat juga tertutup selain
kenyataan adanya pluralitas permainan‐bahasa dan kritik epistemologi Heideggerian yang
1 Lebih lengkap peran mediator Ricoeur yang mengikat ambang batas antara ini lihat bagian apendiks (202‐205) Permata, Ahmad Norma. 2002. Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur, dalam Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD.
Page 3 of 12
kemudian membawa filsafat menuju problem sastera dan metafora (Sugiharto, 1996: 80‐83).
Atas dasar kenyataan tersebut tinjauan mengenai fungsi maupun sifat bahasa mengalami
puncaknya ketika keterbatasan bahasa dalam konteks pengalaman maupun dalam konteks
konstruk lingustik menjadi perdebatan, terutama ketika diketahui bahwa fungsi deskripsi bahasa
sesungguhnya menggiring kerja pemaknaan pada paradigma positivis yang justru gagal
menampilkan ‘sesuatu yang sesungguhnya‐yang utuh atau penuh’.F
2F Hal ini tidak lain karena
fungsi deskriptif bahasa dalam konteks pengalaman justru menghasilkan penciutan
pengalaman.F
3F Keterbatasan bahasa dalam konteks konstruk lingustik dijelaskan Sugiharto (1996:
86) sebagai berikut
“Segala konstruk linguistik atau segala kerangka konseptual umumnya mendasarkan diri pada pengandaian‐pengandaian yang tak bisa dieksplisitkan dalam bahasa itu sendiri. Dan ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi‐asumsi dasar ini biasanya dianggap sebagai isyarat keterbatasan bahasa.”
Dari anggapan tersebut lahir beberapa kubu yang secara kasar dapat dikelompokan dalam
beberapa tesis,F
4F walau demikian perbedaan pandangan itu tidak berarti mempertentangkan
fungsi deskripsi bahasa melainkan, secara umum, justru meneguhkan bahwa,
“batas bahasa bukanlah sesuatu yang ekstern, bukan berasal dari realitas ekstralinguistik, bukan pula akibat kenyataan lebih tinggi (kenyataan mistik, transenden, atau apapun), melainkan sesuatu yang bersifat intern…batas intern bahasa tadi hanyalah batas‐batas fungsi deskriptif bahasaF.
5F” Sugiarto (1996: 94)
2 ‘sesuatu yang sesungguhnya‐yang utuh atau penuh’ tidak dapat disederhanakan menjadi yang sepenuhnya benar atau benar secara objektif. Kata tersebut sebagaimana paradigma hermeneutika Ricoeur haruslah ditafsir sebagai upaya komprehensif ketika kerja pemaknaan sedang dilangsungkan dan merupakan bagian dari upaya mendasar yang berguna untuk—meminjam istilah Heidegger—‘menyingkap potensi sang Ada’. 3 Sugiharto (1996: 84‐85) menjelaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena sifat bahasa sendiri. Pertama, generalitas. Bahwa bahasa selalu bersifat umum dan gagal mendeskripsikan keunikan dunia
kehidupan. Artinya bahasa menjadi satu banding tak terhingga (1: ) dengan pengalaman. Kedua, keeksplisitan. Bahwa bahasa selalu memberi bentuk definitif ketika pengalaman itu berusaha dirumuskan atau dibahasakan. Artinya bahasa bersifat putusan sementara pengalaman bersifat terbuka. Dan ketiga, kekosongan. Bahasa bersifat derivatif dan sekunder seolah ‘kosong’ sementara pengalaman nyata primer dan seolah ‘penuh’. 4 Wittgenstein dan Heidegger mengatakan pada dasarnya ada hal‐hal tertentu yang tidak dapat atau tidak pernah bisa dapat dikatakan, sementara Foucault, Gadamer dan Kuhn berpendapat bahwa tiap bentuk skema konseptual yang mau merangkum segala hal umumnya mendasari diri pada asumsi tersembunyi yang tidak dinyatakan dalam skema itu. Namun demikian asumsi‐asumsi tersembunyi itu tetap dapat diketahui yakni melalui penyibakan sejarah intelektual selanjutnya. Berbeda dengan pendapat di atas Karl Popper menganggap walau selalu ada asumsi tersembunyi hal tersebut dapat diketahui dengan cara mengganti pijakan tempat awal seseorang berdiri. Selama seseorang menyadari tempat awalnya berdiri tabir asumsi tersembunyi memungkinkan untuk diketahui. Tawaran Popper mengandaikan bahwa segala hal dapat diketahui selama seseorang dapat melakukan penjarakan. Lebih lengkap lihat Sugiharto (1996: 87‐93). 5 Pernyataan di atas tentulah mengandaikan bahkan untuk sesuatu hal yang dianggap transenden sekalipun sebenarnya berangkat dari kegagalan fungsi deskriptif bahasa dan bukan berangkat dari hal
Page 4 of 12
Dominasi fungsi deskriptif bahasa sendiri pada dasarnya berlandaskan paradigma representasi
yang menganggap bahasa dan pengalaman, satu berbanding satu atau apa yang dikatakan
sepenuhnya adalah bagian dari realitas objektif dunia kehidupan. Selanjutnya proses kesadaran
tentang keber‐ada‐an manusia dalam pandangan hermeneutik akan mengantar terbukanya
fungsi yang lebih mendasar dari bahasa, yakni fungsi transformasi bahasa. Pada taraf ini bahasa
tidak lagi digambarkan sebagai cermin semesta yang secara absolut menampilkan wajah dunia
dalam bentuknya yang paling utuh. Manusia sebagai binatang yang bercerita atau zoon logon
echon menunjukkan bahwa lahirnya bahasa tidak dapat semata dipandang sama seperti lahirnya
peradaban dalam arti lahirnya alat‐alat atau teknologi dalam kehidupan manusia, melainkan
sebuah fase dimana manusia secara khas berangkat dari kebinatangannya dan berupaya keluar
dari kungkungan alam.
“Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman yang dihayati…(atau) bahasa adalah cara kita sebagai manusia memahami apa yang kita sebut ‘kenyataan’ (dan) bahasa adalah cara kenyataan itu hadir dan bermakna bagi kita, cara kenyataan menyingkapkan diri kepada kita…(dan) bila benar apa yang dikatakan Heidegger bahwa ‘bahasa adalah rumah tempat tinggal sang Ada’, akan lebih benarlah bila kita katakan bahwa bahasa adalah rumah bagi pengalaman‐pengalaman yang bermakna…Dengan kata lain, pengalaman itu tidak bermakna bila tidak menemukan ‘rumah’nya dalam bahasa. sebaliknya, tanpa pengalaman yang nyata bahasa adalah, ibarat kerang yang kosong tanpa kehidupan.” Sugiharto (1996: 87‐93).
Fungsi transformatif bahasa ini kemudian disejajarkan dengan term ‘metamorfosis’ di mana
bahasa tidak lagi dianggap ‘sekedar teks, struktur dan makna’ melainkan sebuah proses dialektis
yang secara esensial dapat mendorong terciptanya fusi horizon baru lewat usaha pertemuan diri
dengan diri. Atau mengutip Ricoer dalam Sugiharto (1996: 97) “metamorfosis dunia dalam
permainan teks adalah juga metamorfosis ego”.
Munculnya bahasa sebagai kemampuan reflektif dalam usaha manusia memahami diri sekaligus
potensi untuk mengatasi keterbatasan membuat kedudukan manusia dengan dunia menjadi
tidak berjarak—seperti yang selama ini diandaikan. Pemahaman dalam kerangka ini tidak lagi
dianggap sebagai tindakan reproduktif melainkan menjadi sebuah tindakan pro‐aktif dan
sebagai akibatnya makna kebenaranpun menjadi
“tidak berarti ‘berkorespondensi’ dengan kenyataan, melainkan menunjuk pada tersingkapnya kemungkinan‐kemungkinan baru untuk hidup dan bertindak, yang timbul dari atau melalui pertemuan yang ‘bermain’ yaitu, pertemuan dialogis dengan orang lain (sehingga) …‘kebenaran’ menunjuk pada proses transformasi yang terjadi pada setiap peristiwa pemahaman” (Sugiharto, 1996: 98).
Merujuk hal tersebut berarti konsep kebenaran—yang sebelumnya disinonimkan dengan
kenyataan objektif—pada gilirannya menghasilkan ‘tafsir ketakberhinggaan’ dan ketika
yang tak dapat dijelaskan secara penuh. Justru hal yang transenden adalah, mengutip Sugiarto, “adalah sebutan yang kita pakai untuk menunjuk batas bahasa deskriptif.”
Page 5 of 12
kebenaran tidak selamanya berkorelasi dengan kenyataan onjektif, kepastianpun memasuki
medan terbukanya, ia menjadi semakin tak pasti.F
6F Hal ini secara langsung maupun tak langsung
jelas berakibat pada satu, lahirnya ketegangan akibat ‘keterpecahan’ yang lahir karena konsep
peletakan kepercayaan, misalkan saja kebenaran‐kesalahan, kepastian‐ketidakpastian,
multitafsir‐monotafsir atau singkatnya seluruh paham binari dan yang kedua, kondisi ini
menimbulkan semangat bertanya, semangat mengkritisi keadaan—kalau term semangat
mencurigai kemudian dianggap terlalu sinis.
Pemaparan bagian kedua di atas, dalam filsafat bahasa akan mendorong terbukanya kedudukan
metafor sebagai inti bahasa sementara bagian pertama akan mengerucut pada pembahasan
akan imaji sosial yang menurut Ricoeur lahir akibat ketegangan terus menerus antara ideologi
dan utopia. MetaforF
7F sendiri kemudian berhubungan dengan imaji sosial, hal ini dapat diamati
mengikuti anggapan yang menyebut bahwa metafor adalah jalan keluar bagi filsafat
postmodern.F
8F Metafor dalam fenomena multimakna kemudian tidak lagi dianggap secara
tradisional—sebagai bentuk penyerupaan yang terungkap dalam satu kata—melainkan lebih
pada mengutip Giddens (Thompson, 2003: 283) “ketegangan semantik atau semacam
‘ketidaksopanan’ yang dapat memunculkan makna baru”, atau dalam bahasa Ricoeur metafor
adalah “suatu bentuk wacana ataupun proses yang bersifat retorik yang memungkinkan kita
mendapatkan kemampuan aneh untuk me‐redeskripsi kenyataan.F
9F” Oleh karena itu kebenaran
metaforis menurut Ricoeur selalu bersifat ‘tensional’F
10 (Sugiharto 1996: 106‐107).
6 Hermeneutik sendiri tidak secara utama—seperti halnya epistemologi ilmu—mengejar klaim kebenaran agar sesuatu dapat dikatakan absah secara ilmiah melainkan lebih mengacu pada usaha meneropong bagaimanakah pola pemahaman ilmiah tersebut dilahirkan. 7 Bambang Sugiharto (1996: 107) menjelaskan metafor sebagai “‘imigrasi’ skema‐skema kategori tentang realitas yang kadang terasa ‘anarkis’ namun toh menghasilkan tatanan‐tatanan baru dalam persepsi kita. Olehnya gambaran kita tentang realitas itu dirombak dan dirumuskan ulang, di‐redeskripsikan secara baru” 8 Mengenai postmodern dan filsafat yang mendasarinya lebih lengkap simak Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Sementara metafor sendiri, pada buku tersebut, dijelaskan (1996: 82‐83) menjadi problem, pertama, ketika filsafat akhirnya memilih pendekatan pragmatis‐kontekstual ketimbang deskriptif‐logis dan representasional‐ketat dalam pendekatannya pada bahasa. Hal tersebut membuat keragaman ‘bentuk‐bentuk kehidupan’ termasuk ‘permainan bahasa’ harus diterima termasuk hadirnya status penggunaan kiasan. Menjadi polemik, apakah ungkapan metaforis kemudian dianggap salah secara literal atau justru ia menjadi bentuk tersamar literal yang masih harus ditafsir. Kedua, merujuk pada pluralitas permainan bahasa yang menyulitkan penetapan hubungan yang baku dan universal antar konsep, membuat pernyataan makin sulit diukur. Hal ini membuat kekaburan, apakah sebuah pernyataan harus ditafsir metaforis atau tidak dan yang ketiga lahirnya motifasi yang kuat pasca Heidegger—yang jauh hari sebelumnya telah diawali oleh Nietzsche—untuk membongkar suatu yang tersembunyi dibalik teks. 9 Untuk mengefektifkan peran metafor, Ricoeur bukan saja menyarakan untuk mengalihkan perhatian dari kata metafor menjadi pernyataan metafor, tetapi ia juga menyarakan untuk mengkontekskan metafor sehingga ia juga bersinggungan dengan kebenaran dan kenyataan juga. Untuk itu metafor membutuhkan ‘referensi’. 10 Menurut Ricoeur sifat tensional itu berada dalam kopula ‘to be’ atau adalah yang selalu berada di tengah‐tengah subjek dan predikat. Kopula ‘adalah’ dalam metafor selalu menunjuk ‘adalah seperti’ sekaligus ‘adalah bukan (seperti)’. Inilah yang kemudian dalam filsafat bahasa, menunjukkan kedudukan
Page 6 of 12
Penjelasan tentang metafor, sifat retorik dan pemaparan multimakna dari tensional posisi
kenyataan, sekali lagi ditekankan, yang tidak lagi menjadi sama dengan kebenaran—akhirnya
memaksa pemahaman untuk menggeluti alur pembacaan. Dalam hal ini harus pula diingat
Ricoeur (Thompson, 2003: 295) berpendapat landasan primordial fenomena ideologi dimulai
ketika tindakan diarahkan menjadi bermakna, persis sebagaimana halnya ketika suatu teks
dapat diinterpretasikan oleh siapapun dan sejarah sendiri—sebagai mata penjuru—tak lain dan
tak bukan adalah gambaran dari jejak langkah tradisi yang memuat juga di dalamnya bagaimana
usaha pewarisan atau bahkan penyelamatan akan ‘nilai’ ketika ia dikondisikan.F
11F Menjadi
penting karena jika mengutip VN Voloshinov (Takwin, 2003: 120), ideologi adalah “…the struggle
of antagonistic social interest at the level of the sign.” atau “…pergulatan kepentingan sosial
yang bertentangan pada tingkatan tanda.” Itu artinya, pada tataran ini tanda yang menjadi bidak
ideologi akan bertemu dengan tafsir dan pemahaman. Oleh karenanya tidak menggherankan
jika Voloshinov mengatakan “tanpa tanda tidak ada ideologi.”
Bagi Ricoeur sendiri (Thompson, 2003: 295‐298), ideologi jelas memiliki fungsi integrasi sosial
karena di dalamnya ‘makna diarahkan’ lewat pembentukan image pada suatu kelompok sosial
dengan jalan menekankan ‘persamaan identitas’—yang sebelumnya telah disepakati sehingga ia
merupakan representasi sosial. Namun demikian Ricoeur menganggap ideologi tidak
berhubungan dengan dominasi secara umum melainkan sebuah ‘dominasi kelas’ yang dijalankan
melalui distorsi yang membalikkan realitas dan ide yang menyembunyikan ciri‐ciri tertntu dunia
sosial. Oleh karena itu ideologi menutup kesempatan dialektika (atau pertentangan yang
mungkin lahir) antara masa lalu dan masa kini sehingga Ricoeur menyebut ideologi “bersifat
lembam yang intoleran, yang menolak perubahan.”
Berbanding terbalik dengan hal itu, utopia justru menumbangkan tatanan sosial dengan
menciptakan ‘ruang‐ruang terbuka’ dalam arti membuka kemungkinan lahirnya pertentangan
melalui pemunculan dari apa yang diinginkan masyarakat saat ini. Bagi Ricoeur, ideologi dan
utopia merupakan bagian dari praktek imajinatif yang pertemuan antara keduanya kemudian
disebut Ricoeur dengan “imaji sosial.” Dalam Thompson dijelaskan, imajinasi menurut Ricoeur
adalah
“hal yang produktif, dimensi kreatif bahasa, tindakan dan kehidupan sosial; ia tidak sekedar refleksi tentang realitas tapi sebagai sebuah medium untuk memunculkan realitas‐realitas baru dan untuk mengkritisi apa yang diterima sebagai ‘kenyataan’.”
Pertemuan ideologi dan utopia pada gilirannya akan menghasilkan sebuah kritik ideologi yang
dalam pandangan Ricoeur, “haruslah dilihat sebatas jenis hermeneutika.” Ketermilikan (mode of
manusia dalam posisinya yang tragis sebab selalu berada dalam antara atau sebuah dunia‐ambang—‘yang ini’ sekaligus ‘yang itu’. 11 Nilai pada konteks lepas dari pemahaman kategoris baik‐buruk, dan lebih ditekankan pada ‘isi’ sebagai substansi esensial yang terkandung dalam ‘diri’ sesuatu, termasuk di dalamnya misalkan idea ala Plato, ide dalam versi Aristoteles juga klaim‐klaim atas nilai itu sendiri.
Page 7 of 12
belonging) atas sejarah, tradisi, kelompok, termasuk objektifikasi pengetahuan yang sebelumnya
tidak berjarak, kini haruslah dipandang memiliki ‘otonomi relatif’. Lewat penegakan jarak dan
kemampuan mengatasi partikularitas, pemahaman diri dan usaha untuk mengekspos kesadaran
sangat dimungkinkan lahir. Oleh karena itu metafora dalam hubungannya dengan tanda,
retorika dan imaji sosial menjadi berguna untuk ‘membongkar yang tersembunyi di dalam teks’
dan ‘distansiasi untuk memahami sejarah, yang bagi Ricoeur adalah juga bagian dari proses
interpretasi atau dengan kata lain “akhir tugas hermeneutika dalam memperbaharui dan menilai
warisan sejarah sosial kita.”
TEKS SEBAGAI KARYA
Teks menurut Ricoeur dalam Thompson (2003: 284) adalah inskripsi wacana karena itu ia adalah
karyaF.
12F Teks bukan hanya bahasa melainkan tiap tindakan manusia yang memiliki makna atau
tiap tindakan yang disengaja untuk mencapai maksud tertentu (Permata, 2002: 224). Di sini teks
menjadi sebuah wahana yang berguna untuk menjabarkan keluasaan dunia kehidupan atau
lebenswelt yang dapat dilakukan dengan mengedepankan langkah‐langkah sistematik yang
reflektif, dan yang terikat sekaligus otonomF.
13F Mewadahi kedua hal tersebut dalam satu konsepsi
umum adalah tujuan yang berguna untuk membongkar wacana. Untuk menjadi lebih jelasnya,
jawaban atas hal tersebut dijabarkan Ricoeur melalui pemaparan atas ciri khas suatu karya
secara semantik.
Namun sebelum masuk dalam ruang pembahasan tersebut, ada baiknya disinggung dahulu
mengenai syarat yang diajukan Ricoeur (Thompson, 2003: 285‐287; permata, 2002: 225‐227)
agar karya dapat menjadi bagian dari wacana. Ricoeur menyebut kerja ini sebagai distansiasiF.
14F
Konsep ini sendiri berkorelasi dengan otonomisasi teks, yang merupakan modal awal bagi
lahirnya kerangka pemahaman dalam pandangan hermeneutik Ricoeur, sehingga distansiasi
sebenarnya menjadi tidak berbeda dengan otonomisasi teks secara semantik. Pertama, fixation
of action atau fiksasi wacana. Ricoeur mengatakan bahwa bagian ini adalah usaha awal dari
distansiasi karena peristiwa coba dilampaui sekaligus diungkapkan. Pengungkapan sendiri
merupakan penerjemahan tindak‐tutur yang harus diwujudkan melalui pembakuan‐pembakuan.
Atau dengan kata lain fiksasi adalah usaha penterjemahan realitas sosial lewat struktur‐struktur
tertentu ataupun mekanisme tertentu. Kedua, the outomatization of action, bahwa teks—
sebagai tindakan sosial—memiliki makna objektifnya sendiri. Ia menjadi tidak tergantung
dengan maksud pembuat teks atau dengan kata lain makna teks tidak selalu sama dengan
12 Dengan kata lain teks adalah penampang wacana sekaligus karya, artinya teks adalah usaha pemadatan atau pengkapsulan dunia kehidupan atau lebenswelt. Wacana sendiri kemudian ditafsir Ricoeur (2002: 17) sebagai logos, yang dalam pandangan lingusitik sejak awal dianggap Ricoeur bermasalah karena memiliki fungsi afeksi sebagai kata benda sekaligus kata kerja. 13 Konsep ini akan dijabarkan dalam bagian berikut: Eksplanasi dan Pemahaman antara metode dan filsafat. 14 Distansiasi merupakan pernyataan Ricoeur (2002: 159) yang menolak pandangan romantik maupun pendekatan psikologis yang sebelumnya cenderung digunakan hermeneutika. Peletakan distansiasi sebagai syarat merupakan bagian dari agenda pembebasan teks sehingga teks benar‐benar dapat menjadi otonom, sehingga sebagai bahan kajian ia diandaikan menjadi mampu membuka dirinya sendiri sekaligus menampilkannya kepada penafsir sehingga usaha pemahaman dapat berjalan.
Page 8 of 12
maksud pengarang. Ketiga, berkait dengan ketidaksamaan antara teks dan kondisi sosial yang
melingkupi teks itu sendiri atau relevance and importance. Artinya apabila teks dilekatkan
dengan situasi sosial yang berbeda dengan situasi teks—ketika pada awalnya dibuat—selama ia
relevan menjadi dimungkinkan dan yang keempat, terbebasnya teks dari batas‐batas acuan yang
bersifat lahiriah misalkan saja efek oral. Meaningful action, artinya teks tidak semata merujuk
pada situasi dan ciri dimana teks dihasilkan melainkan terbuka pada makna‐makna baru.
Nah, menjadi tidak sulit dipahami apabila Ricoeur—dalam Thompson (2003: 284)—kemudian
menetapkan ciri khas suatu karya secara semantik,F
15F seperti yang telah disinggung sebelumnya,
pertama, “suatu karya adalah totalitas terstruktur yang tidak dapat direduksi menjadi kalimat”, kedua, “bahwa suatu karya dihasilkan sesuai dengan aturan‐aturan atau kode‐kode yang menegaskan arah aliran sastranya dan merubah wacana menjadi novel, puisi, atau permainan, dan ketiga “… (genre) memberikan kerangka kerja turunan yang berpengaruh baik kepada produksi wacana sebagai satu bentuk karya dan interpretasinya sebagai satu bentuk karya yang lain. Jika suatu karya yang dihasilkan sesuai dengan genrenya, maka karya tersebut hadir sebagai satu konfigurasi yang unik yang membentuk gayanya sendiri.”
Tafsir sendiri kemudian dapat diberlakukan bukan hanya teks ilmiah melainkan juga pada
bentuk‐bentuk lain, termasuk pada sastera yang awalnya dianggap memiliki makna (sense)
tanpa memiliki dunia acuan (reference) atau hanya mengandung konotasi belaka. Untuk
permasalahan tersebut Ricoeur menjawab, “maknanya adalah struktur karya itu, sedang
acuannya adalah ‘dunia’ yang ditampilkan oleh karya itu” (Sugiharto, 1996: 105).
EKSPLANASI DAN PEMAHAMAN: SEBUAH PERJALANAN ONTOLOGIS
Interpretasi dalam perspektif hermeneutik adalah usaha pembacaan yang merespon otonomi
teks dengan menggunakan bahan acuan ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ secara bersama‐sama.
Gambaran ini dapat dipahami apabila interpretasi kemudian dikaitkan dengan makna. Seperti
telah diungkapkan, makna dalam kacamata Ricoeur menyebut‐menyebut dua hal secara
mendasar, yakni ‘struktur karya’ dan ‘dunia acuan’. ‘Struktur karya’ sendiri kemudian akan
diletakkan dalam kerangka ‘penjelasan atau eksplanasi’ sementara ‘dunia acuan’ akan
dikorelasikan dengan ‘pemahaman’. Konsep eksplanasi dan pemahaman Ricoeur sendiri
dibangun dari penggabungan secara komprehensif metode‐metode ilmu alam
(Naturwissenschaften) dan ilmu‐ilmu sosial atau humaniora (Geistesswissenschaften)F.
16F Okulasi
ini sendiri dapat dikatakan sebagai puncak konsep dari hermeneutika Ricoeur.
15 Pengendepanan konsep semantika kalimat Ricoeur berangkat dari kritiknya atas semiotika tanda. Menurut Ricoeur, semiotika tanda hanya berkutat pada level tanda dalam fungsinya sebagai pembeda. Sesuatu yang khas dapat dijelaskan dengan memaparkan bedanya sementara tingkat kalimat—hal yang justru lepas dari perhatian semiotika tanda—menjadi penting karena kalimat adalah unit dasar yang kemudian disebutnya sebagai wacana. Dari titik itulah dimensi referensial—yang selama ini dilewati oleh semiotika tanda—memperoleh tempatnya. 16 Ricoeur sendiri pada dasarnya tidak menganggap adanya dua pemilahan dalam wilayah ilmu, baginya kedua bagian itu tetap dianggap berada dalam satu wilayah pemahaman Geistesswissenschaften saja. Mungkin maksudnya adalah pemaknaan secara luas—dalam arti melihat kerja ‘pemahaman dalam
Page 9 of 12
Baiklah pada permulaaan, secara mendasar menyimak konsep Ricoeur mengenai tiga tahapan
yang harus dilalui hingga akhirnya peta pemahaman dapat terbukaF.
17F Pertama, bahasa sebagai
teks dan sebagai karya mengandung didalamnya kodifikasi yang khas, yang dalam hal ini harus
dipandang juga sebagai bagian dari ekspresi ontologi, Ricoeur menyebut tahap ini berada dalam
level semantik. Penjabaran wilayah semantik akan berfungsi untuk melihat sistem kebahasaan
beserta seluruh simbol‐simbolnya selain berguna untuk menyingkap distorsi‐distorsi komunikasi
termasuk memperhatikan makna yang tak terkatakan sebab represi maupun derivasi makna
yang mungkin lahir karena berbagai alasanF.
18F Level semantik secara khusus memang digunakan
Ricoeur untuk menjembatani ‘metode’ dan ‘konsep’ sehingga tujuan dari kerja penafsiran tidak
lepas pada wilayah ontologis yang semena‐mena ataupun masuk dalam pemahaman struktural
yang kaku. Metode dan kebenaran sendiri tidak perlu dipertentangkan secara sengit karena
manusia di sini harus dipandang bukan sebagai yang statis melainkan intensional.
Setelah secara aflikatif masuk pada wilayah kebahasaan, pembacaan kemudian digiring pada
level yang lebih filosofis, yakni masuk pada level reflektif. Pada tahap ini pembacaan
dipertemukan dengan ‘dunia acuan’ artinya subjek—secara sadar—harus melakukan penjarakan
dengan teks. Maksud dari langkah ini tiada lain untuk melengkapi konsep pemahaman dengan
cara ‘mempertemukan diri dengan diri’ melalui pemahaman akan ‘yang lain’. Atau dengan kata
lain mengamati intensi yang terjadi akibat pertemuan subjek—sebagai bentuk pertemuan diri
dengan diri—dengan realitas, yang merupakan wujud pemahaman akan ‘yang lain’ itu.
Tahapan selanjutnya merupakan tujuan akhir dari prosedural kerja hermeneutika, dimana
pemahaman mencapai level eksistensial, sesuatu yang diharapkan mampu menyeruak ‘paham
ada’ secara ontologis. Sesuatu yang awalnya dimulai dari methodology of interpretation
kemudian diarahkan pada ontology of interpretation—bukan semata ontology of understanding.
Pembukaan wilayah ini bagi Ricoeur sebenarnya hanya meneguhkan bahwa proses
tersingkapnya makna sebenarnya juga berasal dari akar‐akar atau dorongan‐dorongan instingtif.
Dapat dipahami bahwa Ricoeur kemudian berharap sesuatu yang naluriah dalam diri subjek,
akhirnya dapat berguna untuk menjawab realitas yang lebih tinggi—phenomenology of
religion—dimana kesadaran akan diri, kesadaran akan kala‐raya semesta—yang sebelumnya
tereliminir dalam proses pemaknaan—kembali mendapat tempat. Proses ini sendiri sebenarnya
bagian dari upaya fenomeologi yang pada dasarnya berusaha memberi ruang bagi lorong‐lorong
kesadaran melalui penapakan dan pelacakan kembali apa yang disebut archeology of subject.
bentuknya yang paling esensial pada diri manusia’ (ada baiknya merujuk konsep Heidegger yang bicara mengenai ‘potensi menyibak sang Ada’ pada tataran ini – kebenaran manusia autentik atau Dasein)—dan bukan pemahaman dalam artiannya yang sempit, karena toch, dapat kita lihat bahwa secara material atau secara khusus Ricoeur tetap membedakan langkah kerja dalam usaha pemahaman teks tersebut. 17 Lihat Permata, 2002: 210‐217; Sumaryono, 1995: 103‐104; Thompson, 2003: 287‐291. 18 Pada wilayah ini Ricoeur menyarankan untuk menelaah makna dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis. Pendekatan ini—dalam wilayah komunikasi—dapat membantu mencermati distorsi makna melalui pengamatannya pada posisi subjek termasuk ketertekanannya.
Page 10 of 12
Penjelasan Ricoeur di atas dengan jelas menunjukkan bahwa eksplanasi atau penjelasan secara
material adalah kerangka dasar yang secara struktural berusaha membedah sistem internal
dalam faktor kedirian karya atau mudahnya, penelaahan instrinsik karya, yang sekali lagi dalam
bahasa Ricoeur (2002: 154) disebut “mendapat lahan aplikasi paradigmatiknya dalam ilmu‐ilmu
alam” sementara pemahaman sebagai proses verstehen, menggarisbawahi referensi dunia
acuan yang “mendapatkan orisinalitas aplikasinya dalam ilmu‐ilmu kemanusiaan.”
Secara metodologis pernyataan Ricoeur (Sumaryono, 1995: 101‐102) dapat digambarkan
sebagai berikut: bahwa teks yang otonom harus ‘didekontekstualisasi’ agar lepas dari makna
psikologis atau intensi pengarang. Dengan cara ini ‘kita’ berarti “mengizinkan teks memberi
kepercayaan (pada) diri kita” sehingga ia—teks—dapat menampilkan dirinya sendiri. Upaya
‘rekontekstualisasi’ sendiri kemudian baru dapat dilakukan, yakni dengan jalan memberi
kesempatan terbuka bagi teks untuk dimaknai, sehingga ia dapat menghasilkan sebuah
‘cakrawala baru’ yang dapat menggiring terbentuknya pemahaman ontologis. Dengan demikian
dekontekstualisasi tidak lain adalah proses membebaskan diri dari konteks sementara
rekontekstualisasi adalah proses kembali menuju pada konteks sebelum akhirnya pemaknaan
lahir menjadi fusi horison baru.
Namun sebelum memasuki lingkar dialektis erklaren dan verstehen, masih ada landasan
penafsiran yang harus dicermati, yakni perlunya menebak atau memperkirakanF.
19F Dugakira ini
menurut Ricoeur (2002: 161) tidak bisa dihindari karena
“bila makna objektif adalah sesuatu selain daripada maksud pengarang, maka tentulah (makna objektif ) dapat diartikan dalam berbagai cara…untuk mengartikan makna sebagai makna verbal teks harus membuat perkiraan.”
Dan untuk ini tidak ada aturan baku untuk membuat sebuah perkiraan yang baik. Satu‐satunya
jalan yang ditawarkan Ricoeur hanyalah melalui metode validasi. Ricoeur sendiri (2002: 161)
mengutip ED Hirsch dan bersepakat bahwa
“tindakan pemahaman pada awalnya merupakan semata‐mata praduga (atau salah) dan tidak ada metode‐metode untuk untuk berpraduga, tak ada aturan dalam menggeneralisasikan pengetahuan (wawasan)ini. Aktifitas metodologi interpretasi dimulai ketika kita mulai mengetes dan mengkritisi dugaan kita.”
Menjadi relevanlah bila Heissenberg, dalam Sugiharto (1996: 112) menjadi lebih suka bicara
‘probabilitas yang tinggi’ ketimbang kebenaran ‘objektif’ dan untuk menutup bagian ini baiklah
digarisbawahi bahwa interpretasi lebih
“merupakan persoalan validasi daripada verifikasi, atau kemungkinan daripada kenyataan. Interpretasi teks merupakan suatu disiplin argumentatif yang dapat menghindari skeptitisme tanpa menuntut kepastian.” (Thompson, 2003: 288)
19 Lihat Sumaryono, 1995: 99; Sugiharto, 1996: 92; Thompson, 2003: 287‐288.
Page 11 of 12
MODERNISME DAN POSTMODERNISME
Sebagai penutup bagian ini, ada baiknya memberi gambaran yang lebih lugas mengenai
perbedaan antara modernisme dan postmodernisme.
No C I R I ‐ K A R A K T E R I S I T I K
M o d e r n i s m P o s t m o d e r n i s m
01 Pandangan dualisme (oposisi biner) a la Aristotelian yang menganggap A adalah A dan A tidak mungkin bukan A.
Pandangan a la Aristotelian ini ditentang karena meniadakan jalan tengah (excluced middle) dan menutup kemungkinan alternatif dari tindakan kreatif manusia.
02 Penempatan kedaulatan subjek yang dikemukakan Descartes pada gilirannya justru meniadakan subjek karena kekakuan sifat objektif‐empirik, rasional dan positivistis justru semakin memperjarak manusia dengan realitasnya.
Postmodernism menawarkan hermeneutika yang berusaha menjembatani kajian‐kajian ilmu alam yang objektif atau ‘berjarak’ (Naturewissenschaften) dan pemahaman versi ilmu sosial (Geisteswissenschaften), untuk selanjutnya membuka ruang‐ruang penemuan yang bersifat ontologis.
03 Dalam tataran ilmu, fenomena positifis‐empirik menjadi standart kebenaran tertinggi, terutama mengingat hukum verifikasinya.
Kebenaran tidak bersifat immortal‐abadi‐atau never ever end, melainkan merupakan bagian dari pergulatan manusia yang menyejarah atau bagian dari dialektika yang tidak akan pernah usai hingga cenderung bersifat ‘kebenaran untuk ruang dan waktu yang ini atau yang itu’. Kebenaran tidak pernah dapat secara holistik atau general dibakukan secara keras.
04 Pun temasuk bahasa dan pengalaman yang dianggap satu banding satu (1:1).
Mengutip Heissenberg bicara ‘probabilitas yang tinggi’ menjadi lebih relevan ketimbang memaksakan ‘kebenaran objektif’, oleh karena itu bahasa dan pengalamanpun harus dilihat satu banding tak terhingga karena di dalam bahasa maupun manusia sebagai subjekpun didapati kenyataan keterbatasan.
05 Kerasnya modernism dengan postulat‐postulatnya, langsung maupun tak langsung berakibat pula pada menghilangkan nilai‐nilai moral dan religius (penemuan tafsir ontologis) yang terindikasi dengan meningkatnya kekerasan, keterasingan, dan seterusnya—hal yang malahan dimanfaatkan sebagai alat penekan untuk mengatur, mengontrol, dan menguasai manusia lainnya.
Ruang terbuka memungkinkan argumentasi terus dikembangkan. Hal ini secara tidak terasa justru membangun pemahaman ontologis yang tidak mengawan (tetap berjejak‐berpijak) pada diri subjek. Pada titiknya, usaha ini diharapkan dapat membangun kerangka pemahaman diri termasuk pemahaman lingkungan yang lebih manusiawi: toleran.
Page 12 of 12
06 Materialisme menjadi filsafat dasar yang mendasari logika penguasaan. Dalam tataran praktis, hidup menjadi semata ditujukan untuk pada pemenuhan hal‐hal material dan hal ini sejalan dengan munculnya kembali tribalisme sebagai konsekuensi logis yang lahir dari hukum survival of the fittest.
Penempatan yang relevan dari kerja hermeneutik kembali menempatkan filsafat, lewat tafsir ontologisnya, pada tataran yang harus dipertimbangkan untuk menjaga apa yang disebut nietzsche sebagai ‘kehendak berkuasanya manusia’.
07 Sebagai gilirannya, manusia yang lain kerap dibaca semata sebagai objek kajian dan masyarakatpun direkayasa menjadi mesin. Pada bagian ini tubuh mekanik tercipta dengan sempurna.
Frame tubuh mekanik pun harus dibongkar demi menempatkan kesadaran kesejajaran antara subjek yang satu dengan yang lain. Dengan ini tubuh yang patuh dapat diusahakan terbebas dari berbagai tekanan (intervensi) sehingga tubuh organis dapat tumbuh kembang tak kempis.
08 Seluruh kenyataan di atas sebenarnya hanya menegaskan kokohnya klaim kebenaran tunggal dan dengan demikian berarti cenderung menutup ruang‐ruang dialektika. Dalam lintas apapun (baik secara sosial, politik, budaya, akademik) ini berarti tidak memberi ruang pada wacana‐wacana alternatif terutama yang tidak sejalan dengan wacana dominan.
Sebagai gantinya postmodernism menawarkan dibukanya berbagai ruang, yang dapat dimaknai sebagai ruang tandingan ataupun sebagai ruang alternatif bermain. Dengan demikian kenyataan bahwa segala sesuatu demikian terseraknya dan sama sekali tidak tunggal menyebabkan wacana‐wacana yang sempat termarjinalkan—secara sosial maupun akademik—seperti gerakan minoritas sosial dan politik macam subkultur, etnis, dan politik budaya marjinal pantas mendapat perhatian yang sama. Dan inilah waktu yang disebut‐sebut sebagai carnaval terbesar: sebuah perayaan bagi heterogenitas, pluralitas dan dekonstruksi.