tafsir dunia tanda

12
TAFSIR DUNIA TANDA* sebuah ringkasan Oleh: Cin Pratipa Hapsarin Problem utama filsafat mengalami pergeseran berarti ketika ‘jalan kembali pada bahasa’ dirumuskan, dan pernyataan Paul Ricoeur “manusia adalah bahasa” menjadi bagian dari tonggak peralihan tersebut. Pada akhirnya terkuaknya fungsi bahasa, di luar fungsi deskriptifnya, mempengaruhi pemahaman akan ideologi, imajinasi, metafora, maupun kebenaran. Kini, halhal tersebut berhadaphadapan dengan problem interpretasi teks, yang seluruhnya mengerucut pada bagaimana tafsir atas sesuatu, atau konteks pemahaman akan sesuatu dilahirkan, tidak saja secara metodologis melainkan juga secara ontologis.. *) Bagian ini sepenuhnya disarikan dari Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD; Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius; Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius; Thompson, John B. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana IdeologiIdeologi Dunia (terjemahan). Yogyakarta: IRCiSoD.

description

Problem utama filsafat mengalami pergeseran berarti ketika ‘jalan kembali pada bahasa’ dirumuskan, dan pernyataan Paul Ricoeur “manusia adalah bahasa” menjadi bagian dari tonggak peralihan tersebut. Pada akhirnya, terkuaknya fungsi bahasa, di luar fungsi deskriptifnya, mempengaruhi pemahaman akan ideologi, imajinasi, metafora, maupun kebenaran. Kini, hal-hal tersebut berhadap-hadapan dengan problem interpretasi teks, yang seluruhnya mengerucut pada bagaimana tafsir atas sesuatu, atau konteks pemahaman akan sesuatu dilahirkan, tidak saja secara metodologis melainkan juga secara ontologis..

Transcript of tafsir dunia tanda

Page 1: tafsir dunia tanda

   

TAFSIR DUNIA TANDA* s e b u a h   r i n g k a s a n 

 

 

 

 

 

Oleh: Cin Pratipa Hapsarin 

 

 

 

Problem  utama  filsafat  mengalami  pergeseran  berarti  ketika  ‘jalan  kembali  pada bahasa’ dirumuskan, dan pernyataan Paul Ricoeur  “manusia adalah bahasa” menjadi bagian dari tonggak peralihan tersebut. Pada akhirnya terkuaknya fungsi bahasa, di luar fungsi  deskriptifnya,  mempengaruhi  pemahaman  akan  ideologi,  imajinasi,  metafora, maupun  kebenaran.  Kini,  hal‐hal  tersebut  berhadap‐hadapan  dengan  problem interpretasi  teks,  yang  seluruhnya mengerucut  pada  bagaimana  tafsir  atas  sesuatu, atau  konteks  pemahaman  akan  sesuatu  dilahirkan,  tidak  saja  secara  metodologis melainkan juga secara ontologis.. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*) Bagian  ini sepenuhnya disarikan dari Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam 

Anatomi  Bahasa.  Yogyakarta:  IRCISoD;  Sugiharto,  I.  Bambang.  1996.  Posmodernisme,  Tantangan  Bagi 

Filsafat. Yogyakarta: Kanisius; Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: 

Kanisius; Thompson, John B. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi‐Ideologi Dunia (terjemahan). 

Yogyakarta: IRCiSoD.  

 

 

 

Page 2: tafsir dunia tanda

    Page 2 of 12   

Usaha  tersebut  secara  komprehensif  telah  dilakukan  oleh  Paul  Ricoeur  lewat  ontology  of 

interpretation  (Permata,  2002:  216).  Ricoeur  disebut‐sebut  telah  berhasil  menggabungkan 

wilayah‐wilayah  yang  selama  ini  selalu  dianggap  paradoks  bagi  satu  sama  lainnya  dan 

memecahkan  kebuntuan  diantaranya. Misalkan  saja  berhasil memanfaatkan metodologi  ilmu 

alam  (Naturewissenschaften)  dan  pemahaman  ala  Geisteswissenschaften.  Pada  gilirannya, 

hermeneutika  Ricoeur  juga  dianggap  berhasil  memadumadankan  ketegangan  antara 

metodologi‐Emilio Betti  (soal menyingkap makna objektif dari  teks  yang memiliki  jarak  ruang 

dan waktu dari pembacanya) dan konsep filosofis versi Gadamer (mengenai acuan utama untuk 

memahami teks bukan berasal dari niat penulisnya), Ricoeur juga berhasil mengawinkan konsep 

filosofis  ‘potensi  Ada’  milik  Heidegger  dengan  pandangan  Schleiemecher  dan  Dilthey  yang 

mengatakan bahwa ekspresi  kehidupan  telah  terbakukan  lewat bahasa dan pemahaman  atas 

bahasa  merupakan  usaha  penemuan  diri  sendiri.  Namun  demikian  Ricoeur  juga  merevisi 

pandangan  romantik ala Schleiemecher dan Dilthey, yang ditekankan pada penolakan Ricoeur 

untuk  berhenti  begitu  saja  pada  kondisi  psikologis  pembuat  teks  untuk  merekonstruksi 

pengalaman menulis. Akhirnya Ricoer dianggap berhasil mempertemukan fenomenologi Jerman 

(tendensi metafisik Cartesian dan Edmund Husserl  juga  tendensi eksistensial  versi Heidegger) 

dengan  strukturalisme Prancis  (aliran  linguistik Ferdinand de Saussure dan aliran antropologis 

Claude  Levi‐Stauss)  termasuk  memberikan  kontribusi  bagi  kritik  ideologi  dan  pentingnya 

psikoanalisis  sebagai  satu  kunci  metodologi  untuk  membaca  sebuah  teks.F

1F  Karena 

pandangannya  itulah  Ricoeur  digolongkan  dalam  pendekatan  konstruktivis  atau  revisonis 

(Sugiharto, 1996: 16), sementara beberapa kalangan menyebut pendekatan Ricoeur  ini sebagai 

‘hermenutika fenomenologis’ (Permana, 2002: 199).  

 

Sebelum  masuk  dalam  pemaparan  berikutnya,  patut  disinggung  bahwa  hermeneutik  dalam 

pandangan  Ricoer  dalam  Sumaryono  (1995:  100)  didefinisikan  sebagai  “teori  pengoperasian 

pemahaman dalam hubungannya dengan  interpretasi terhadap teks”, dan tujuan hermeneutik 

dalam  adalah  “menghilangkan  misteri  yang  terdapat  dalam  sebuah  simbol  dengan  cara 

membuka  selubung‐selubung  daya  yang  belum  diketahui  dan  tersembunyi  di  dalam  simbol‐

simbol tersebut” (Sumaryono, 1995: 98) 

 

Berikut akan dipaparkan beberapa konsep milik Ricoeur dalam kaitannya tafsir dengan bahasa 

dan  wacana—termasuk  ideologi  di  dalamnya—lalu  konsep  teks  sebagai  karya  dan  terakhir 

eksplanasi  serta  pemahaman.  Bagian  ini  akan  menjadi  penghantar  sekaligus  dasar  sebelum 

akhirnya pembahasan dilanjutkan pada struktur internal teks pada bagian setelah ini. 

 

0BBAHASA DAN WACANA 

Bahasa  menjadi  isu  sentral  sejak  diketahui  bahwa  filsafat  mengalami  keterbatasan  akibat 

kontradiksi internal tiap usaha untuk membangun kosakata yang logis ketat juga tertutup selain 

kenyataan  adanya  pluralitas  permainan‐bahasa  dan  kritik  epistemologi  Heideggerian  yang 

1  Lebih  lengkap peran mediator Ricoeur  yang mengikat  ambang batas  antara  ini  lihat bagian  apendiks (202‐205)  Permata,  Ahmad  Norma.  2002.  Hermeneutika  Fenomenologis  Paul  Ricoeur,  dalam  Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD. 

Page 3: tafsir dunia tanda

    Page 3 of 12   

kemudian membawa  filsafat menuju problem  sastera dan metafora    (Sugiharto, 1996: 80‐83). 

Atas  dasar  kenyataan  tersebut  tinjauan  mengenai  fungsi  maupun  sifat  bahasa  mengalami 

puncaknya  ketika  keterbatasan  bahasa  dalam  konteks  pengalaman  maupun  dalam  konteks 

konstruk lingustik menjadi perdebatan, terutama ketika diketahui bahwa fungsi deskripsi bahasa 

sesungguhnya  menggiring  kerja  pemaknaan  pada  paradigma  positivis  yang  justru  gagal 

menampilkan  ‘sesuatu  yang  sesungguhnya‐yang  utuh  atau  penuh’.F

2F  Hal  ini  tidak  lain  karena 

fungsi  deskriptif  bahasa  dalam  konteks  pengalaman  justru  menghasilkan  penciutan 

pengalaman.F

3F Keterbatasan bahasa dalam konteks konstruk lingustik dijelaskan Sugiharto (1996: 

86) sebagai berikut 

 “Segala konstruk linguistik atau segala kerangka konseptual umumnya mendasarkan diri pada pengandaian‐pengandaian  yang  tak bisa dieksplisitkan dalam bahasa  itu  sendiri. Dan  ketidakmungkinan  mengeksplisitkan  asumsi‐asumsi  dasar  ini  biasanya  dianggap sebagai isyarat keterbatasan bahasa.” 

 

Dari  anggapan  tersebut  lahir  beberapa  kubu  yang  secara  kasar  dapat  dikelompokan  dalam 

beberapa  tesis,F

4F walau  demikian  perbedaan  pandangan  itu  tidak  berarti mempertentangkan 

fungsi deskripsi bahasa melainkan, secara umum, justru meneguhkan bahwa, 

 “batas  bahasa  bukanlah  sesuatu  yang  ekstern,  bukan  berasal  dari  realitas ekstralinguistik, bukan pula akibat kenyataan lebih tinggi (kenyataan mistik, transenden, atau  apapun),  melainkan  sesuatu  yang  bersifat  intern…batas  intern  bahasa  tadi hanyalah batas‐batas fungsi deskriptif bahasaF.

5F” Sugiarto (1996: 94) 

2  ‘sesuatu  yang  sesungguhnya‐yang  utuh  atau  penuh’  tidak  dapat  disederhanakan  menjadi  yang sepenuhnya  benar  atau  benar  secara  objektif.  Kata  tersebut  sebagaimana  paradigma  hermeneutika Ricoeur haruslah ditafsir sebagai upaya komprehensif ketika kerja pemaknaan sedang dilangsungkan dan merupakan bagian dari upaya mendasar yang berguna untuk—meminjam istilah Heidegger—‘menyingkap potensi sang Ada’. 3  Sugiharto  (1996:  84‐85) menjelaskan  bahwa  hal  tersebut  dapat  terjadi  karena  sifat  bahasa  sendiri. Pertama,  generalitas.  Bahwa  bahasa  selalu  bersifat  umum  dan  gagal mendeskripsikan  keunikan  dunia 

kehidupan.  Artinya  bahasa  menjadi  satu  banding  tak  terhingga  (1:  )  dengan  pengalaman.  Kedua, keeksplisitan. Bahwa bahasa selalu memberi bentuk definitif ketika pengalaman itu berusaha dirumuskan atau dibahasakan. Artinya bahasa bersifat putusan sementara pengalaman bersifat terbuka. Dan ketiga, kekosongan. Bahasa bersifat derivatif dan sekunder seolah ‘kosong’ sementara pengalaman nyata primer dan seolah ‘penuh’. 4 Wittgenstein dan Heidegger mengatakan pada dasarnya ada hal‐hal tertentu yang tidak dapat atau tidak pernah bisa dapat dikatakan,  sementara Foucault, Gadamer dan Kuhn berpendapat bahwa  tiap bentuk skema konseptual yang mau merangkum segala hal umumnya mendasari diri pada asumsi  tersembunyi yang  tidak  dinyatakan  dalam  skema  itu. Namun  demikian  asumsi‐asumsi  tersembunyi  itu  tetap  dapat diketahui yakni melalui penyibakan sejarah intelektual selanjutnya. Berbeda dengan pendapat di atas Karl Popper menganggap walau  selalu  ada  asumsi  tersembunyi  hal  tersebut  dapat  diketahui  dengan  cara mengganti pijakan tempat awal seseorang berdiri. Selama seseorang menyadari tempat awalnya berdiri tabir asumsi tersembunyi memungkinkan untuk diketahui. Tawaran Popper mengandaikan bahwa segala hal dapat diketahui selama seseorang dapat melakukan penjarakan. Lebih lengkap lihat Sugiharto (1996: 87‐93). 5  Pernyataan  di  atas  tentulah  mengandaikan  bahkan  untuk  sesuatu  hal  yang  dianggap  transenden sekalipun  sebenarnya  berangkat  dari  kegagalan  fungsi  deskriptif  bahasa  dan  bukan berangkat  dari  hal 

Page 4: tafsir dunia tanda

    Page 4 of 12   

 

Dominasi  fungsi deskriptif bahasa sendiri pada dasarnya berlandaskan paradigma  representasi 

yang  menganggap  bahasa  dan  pengalaman,  satu  berbanding  satu  atau  apa  yang  dikatakan 

sepenuhnya adalah bagian dari realitas objektif dunia kehidupan. Selanjutnya proses kesadaran 

tentang  keber‐ada‐an  manusia  dalam  pandangan  hermeneutik  akan  mengantar  terbukanya 

fungsi yang lebih mendasar dari bahasa, yakni fungsi transformasi bahasa. Pada taraf ini bahasa 

tidak  lagi digambarkan sebagai cermin semesta yang secara absolut menampilkan wajah dunia 

dalam bentuknya yang paling utuh. Manusia  sebagai binatang yang bercerita atau zoon  logon 

echon menunjukkan bahwa lahirnya bahasa tidak dapat semata dipandang sama seperti lahirnya 

peradaban  dalam  arti  lahirnya  alat‐alat  atau  teknologi  dalam  kehidupan manusia, melainkan 

sebuah fase dimana manusia secara khas berangkat dari kebinatangannya dan berupaya keluar 

dari kungkungan alam.  

 “Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman yang dihayati…(atau) bahasa adalah cara kita sebagai manusia memahami apa yang kita sebut  ‘kenyataan’  (dan) bahasa adalah cara  kenyataan  itu hadir dan bermakna bagi  kita,  cara kenyataan menyingkapkan diri kepada  kita…(dan)  bila  benar  apa  yang  dikatakan  Heidegger  bahwa  ‘bahasa  adalah rumah  tempat  tinggal  sang Ada’, akan  lebih benarlah bila kita katakan bahwa bahasa adalah  rumah  bagi  pengalaman‐pengalaman  yang  bermakna…Dengan  kata  lain, pengalaman  itu  tidak  bermakna  bila  tidak  menemukan  ‘rumah’nya  dalam  bahasa. sebaliknya,  tanpa  pengalaman  yang  nyata  bahasa  adalah,  ibarat  kerang  yang  kosong tanpa kehidupan.” Sugiharto (1996: 87‐93). 

 

Fungsi  transformatif  bahasa  ini  kemudian  disejajarkan  dengan  term  ‘metamorfosis’  di mana 

bahasa tidak lagi dianggap ‘sekedar teks, struktur dan makna’ melainkan sebuah proses dialektis 

yang secara esensial dapat mendorong terciptanya fusi horizon baru lewat usaha pertemuan diri 

dengan  diri.  Atau mengutip  Ricoer  dalam  Sugiharto  (1996:  97)  “metamorfosis  dunia  dalam 

permainan teks adalah juga metamorfosis ego”. 

 

Munculnya bahasa sebagai kemampuan reflektif dalam usaha manusia memahami diri sekaligus 

potensi untuk mengatasi  keterbatasan membuat    kedudukan manusia dengan dunia menjadi 

tidak berjarak—seperti yang  selama  ini diandaikan. Pemahaman dalam kerangka  ini  tidak  lagi 

dianggap  sebagai  tindakan  reproduktif  melainkan  menjadi  sebuah  tindakan  pro‐aktif  dan 

sebagai akibatnya makna kebenaranpun menjadi  

 “tidak  berarti  ‘berkorespondensi’  dengan  kenyataan,  melainkan  menunjuk  pada tersingkapnya kemungkinan‐kemungkinan baru untuk hidup dan bertindak, yang timbul dari atau melalui pertemuan yang ‘bermain’ yaitu, pertemuan dialogis dengan orang lain (sehingga) …‘kebenaran’ menunjuk pada proses  transformasi  yang  terjadi pada  setiap peristiwa pemahaman” (Sugiharto, 1996: 98). 

 

Merujuk  hal  tersebut  berarti  konsep  kebenaran—yang  sebelumnya  disinonimkan  dengan 

kenyataan  objektif—pada  gilirannya  menghasilkan  ‘tafsir  ketakberhinggaan’  dan  ketika 

yang tak dapat dijelaskan secara penuh.  Justru hal yang transenden adalah, mengutip Sugiarto, “adalah sebutan yang kita pakai untuk menunjuk batas bahasa deskriptif.” 

Page 5: tafsir dunia tanda

    Page 5 of 12   

kebenaran  tidak  selamanya  berkorelasi  dengan  kenyataan  onjektif,  kepastianpun  memasuki 

medan terbukanya, ia menjadi semakin tak pasti.F

6F Hal ini secara langsung maupun tak langsung 

jelas berakibat pada satu,  lahirnya ketegangan akibat  ‘keterpecahan’ yang  lahir karena konsep 

peletakan  kepercayaan,  misalkan  saja  kebenaran‐kesalahan,  kepastian‐ketidakpastian, 

multitafsir‐monotafsir  atau  singkatnya  seluruh  paham  binari  dan  yang  kedua,  kondisi  ini 

menimbulkan  semangat  bertanya,  semangat  mengkritisi  keadaan—kalau  term  semangat 

mencurigai kemudian dianggap terlalu sinis. 

 

Pemaparan bagian kedua di atas, dalam filsafat bahasa akan mendorong terbukanya kedudukan 

metafor  sebagai  inti  bahasa  sementara  bagian  pertama  akan mengerucut  pada  pembahasan 

akan  imaji sosial yang menurut Ricoeur  lahir akibat ketegangan  terus menerus antara  ideologi 

dan utopia. MetaforF

7F sendiri kemudian berhubungan dengan  imaji sosial, hal  ini dapat diamati 

mengikuti  anggapan  yang  menyebut  bahwa  metafor  adalah  jalan  keluar  bagi  filsafat 

postmodern.F

8F  Metafor  dalam  fenomena  multimakna  kemudian  tidak  lagi  dianggap  secara 

tradisional—sebagai  bentuk  penyerupaan  yang  terungkap  dalam  satu  kata—melainkan  lebih 

pada  mengutip  Giddens  (Thompson,  2003:  283)  “ketegangan  semantik  atau  semacam 

‘ketidaksopanan’ yang dapat memunculkan makna baru”, atau dalam bahasa Ricoeur metafor 

adalah  “suatu  bentuk wacana  ataupun  proses  yang  bersifat  retorik  yang memungkinkan  kita 

mendapatkan kemampuan aneh untuk me‐redeskripsi kenyataan.F

9F” Oleh karena  itu kebenaran 

metaforis menurut Ricoeur selalu bersifat ‘tensional’F

10 (Sugiharto 1996: 106‐107). 

6 Hermeneutik sendiri tidak secara utama—seperti halnya epistemologi ilmu—mengejar klaim kebenaran agar  sesuatu  dapat  dikatakan  absah  secara  ilmiah melainkan  lebih mengacu  pada  usaha meneropong bagaimanakah pola pemahaman ilmiah tersebut dilahirkan. 7 Bambang Sugiharto (1996: 107) menjelaskan metafor sebagai “‘imigrasi’ skema‐skema kategori tentang realitas yang kadang terasa ‘anarkis’ namun toh menghasilkan tatanan‐tatanan baru dalam persepsi kita. Olehnya  gambaran  kita  tentang  realitas  itu  dirombak  dan  dirumuskan  ulang,  di‐redeskripsikan  secara baru” 8 Mengenai postmodern dan filsafat yang mendasarinya lebih lengkap simak Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme,  Tantangan Bagi  Filsafat.  Yogyakarta:  Kanisius.  Sementara metafor  sendiri,  pada  buku tersebut, dijelaskan (1996: 82‐83) menjadi problem, pertama, ketika filsafat akhirnya memilih pendekatan pragmatis‐kontekstual ketimbang deskriptif‐logis dan representasional‐ketat dalam pendekatannya pada bahasa.  Hal  tersebut  membuat  keragaman  ‘bentuk‐bentuk  kehidupan’  termasuk  ‘permainan  bahasa’ harus  diterima  termasuk  hadirnya  status  penggunaan  kiasan.  Menjadi  polemik,  apakah  ungkapan metaforis  kemudian  dianggap  salah  secara  literal  atau  justru  ia menjadi  bentuk  tersamar  literal  yang masih  harus  ditafsir.  Kedua, merujuk  pada  pluralitas  permainan  bahasa  yang menyulitkan  penetapan hubungan  yang  baku  dan  universal  antar  konsep,  membuat  pernyataan  makin  sulit  diukur.  Hal  ini membuat  kekaburan,  apakah  sebuah  pernyataan  harus  ditafsir metaforis  atau  tidak  dan  yang  ketiga lahirnya motifasi yang kuat pasca Heidegger—yang  jauh hari sebelumnya telah diawali oleh Nietzsche—untuk membongkar suatu yang tersembunyi dibalik teks. 9 Untuk mengefektifkan peran metafor, Ricoeur bukan saja menyarakan untuk mengalihkan perhatian dari kata metafor menjadi pernyataan metafor,  tetapi  ia  juga menyarakan untuk mengkontekskan metafor sehingga ia juga bersinggungan dengan kebenaran dan kenyataan juga. Untuk itu metafor membutuhkan ‘referensi’. 10 Menurut  Ricoeur  sifat  tensional  itu  berada  dalam  kopula  ‘to  be’  atau  adalah  yang  selalu  berada  di tengah‐tengah  subjek  dan  predikat.  Kopula  ‘adalah’  dalam metafor  selalu menunjuk  ‘adalah  seperti’ sekaligus  ‘adalah bukan (seperti)’.  Inilah yang kemudian dalam filsafat bahasa, menunjukkan kedudukan 

Page 6: tafsir dunia tanda

    Page 6 of 12   

 

Penjelasan  tentang  metafor,  sifat  retorik  dan  pemaparan  multimakna  dari  tensional  posisi 

kenyataan,  sekali  lagi ditekankan,  yang  tidak  lagi menjadi  sama dengan  kebenaran—akhirnya 

memaksa  pemahaman  untuk menggeluti  alur  pembacaan.  Dalam  hal  ini  harus  pula  diingat 

Ricoeur  (Thompson,  2003:  295)  berpendapat  landasan  primordial  fenomena  ideologi  dimulai 

ketika  tindakan  diarahkan  menjadi  bermakna,  persis  sebagaimana  halnya  ketika  suatu  teks 

dapat diinterpretasikan oleh siapapun dan sejarah sendiri—sebagai mata penjuru—tak lain dan 

tak bukan adalah gambaran dari jejak langkah tradisi yang memuat juga di dalamnya bagaimana 

usaha  pewarisan  atau  bahkan  penyelamatan  akan  ‘nilai’  ketika  ia  dikondisikan.F

11F  Menjadi 

penting karena jika mengutip VN Voloshinov (Takwin, 2003: 120), ideologi adalah “…the struggle 

of antagonistic  social  interest at  the  level of  the  sign.”  atau  “…pergulatan  kepentingan  sosial 

yang bertentangan pada tingkatan tanda.” Itu artinya, pada tataran ini tanda yang menjadi bidak 

ideologi  akan bertemu dengan  tafsir dan pemahaman. Oleh  karenanya  tidak menggherankan 

jika Voloshinov mengatakan “tanpa tanda tidak ada ideologi.” 

 

Bagi Ricoeur  sendiri  (Thompson, 2003: 295‐298),  ideologi  jelas memiliki  fungsi  integrasi  sosial 

karena di dalamnya  ‘makna diarahkan’  lewat pembentukan  image pada suatu kelompok sosial 

dengan jalan menekankan ‘persamaan identitas’—yang sebelumnya telah disepakati sehingga ia 

merupakan  representasi  sosial.  Namun  demikian  Ricoeur  menganggap  ideologi  tidak 

berhubungan dengan dominasi secara umum melainkan sebuah ‘dominasi kelas’ yang dijalankan 

melalui distorsi yang membalikkan realitas dan ide yang menyembunyikan ciri‐ciri tertntu dunia 

sosial.  Oleh  karena  itu  ideologi  menutup  kesempatan  dialektika  (atau  pertentangan  yang 

mungkin  lahir)  antara masa  lalu  dan masa  kini  sehingga  Ricoeur menyebut  ideologi  “bersifat 

lembam yang intoleran, yang menolak perubahan.” 

 

Berbanding  terbalik  dengan  hal  itu,  utopia  justru  menumbangkan  tatanan  sosial  dengan 

menciptakan  ‘ruang‐ruang  terbuka’ dalam  arti membuka  kemungkinan  lahirnya pertentangan 

melalui pemunculan dari  apa  yang diinginkan masyarakat  saat  ini. Bagi Ricoeur,  ideologi dan 

utopia merupakan bagian dari praktek  imajinatif  yang pertemuan  antara  keduanya  kemudian 

disebut Ricoeur dengan “imaji sosial.” Dalam Thompson dijelaskan,  imajinasi menurut Ricoeur 

adalah 

 “hal  yang  produktif,  dimensi  kreatif  bahasa,  tindakan  dan  kehidupan  sosial;  ia  tidak sekedar  refleksi  tentang  realitas  tapi  sebagai  sebuah  medium  untuk  memunculkan realitas‐realitas baru dan untuk mengkritisi apa yang diterima sebagai ‘kenyataan’.” 

 

Pertemuan  ideologi dan utopia pada gilirannya akan menghasilkan sebuah kritik  ideologi yang 

dalam pandangan Ricoeur, “haruslah dilihat sebatas jenis hermeneutika.” Ketermilikan (mode of 

manusia dalam posisinya yang tragis sebab selalu berada dalam antara atau sebuah dunia‐ambang—‘yang ini’ sekaligus ‘yang itu’. 11 Nilai pada konteks lepas dari pemahaman kategoris baik‐buruk, dan lebih ditekankan pada ‘isi’ sebagai substansi esensial yang terkandung dalam ‘diri’ sesuatu, termasuk di dalamnya misalkan idea ala Plato, ide dalam versi Aristoteles juga klaim‐klaim atas nilai itu sendiri.  

Page 7: tafsir dunia tanda

    Page 7 of 12   

belonging) atas sejarah, tradisi, kelompok, termasuk objektifikasi pengetahuan yang sebelumnya 

tidak berjarak, kini haruslah dipandang memiliki  ‘otonomi  relatif’.  Lewat penegakan  jarak dan 

kemampuan mengatasi partikularitas, pemahaman diri dan usaha untuk mengekspos kesadaran 

sangat  dimungkinkan  lahir.  Oleh  karena  itu  metafora  dalam  hubungannya  dengan  tanda, 

retorika dan imaji sosial menjadi berguna untuk ‘membongkar yang tersembunyi di dalam teks’ 

dan  ‘distansiasi  untuk memahami  sejarah,  yang  bagi  Ricoeur  adalah  juga  bagian  dari  proses 

interpretasi atau dengan kata lain “akhir tugas hermeneutika dalam memperbaharui dan menilai 

warisan sejarah sosial kita.” 

 

TEKS SEBAGAI KARYA 

Teks menurut Ricoeur dalam Thompson (2003: 284) adalah inskripsi wacana karena itu ia adalah 

karyaF.

12F Teks bukan hanya bahasa melainkan  tiap  tindakan manusia yang memiliki makna atau 

tiap tindakan yang disengaja untuk mencapai maksud tertentu (Permata, 2002: 224). Di sini teks 

menjadi  sebuah wahana  yang  berguna  untuk menjabarkan  keluasaan  dunia  kehidupan  atau 

lebenswelt  yang  dapat  dilakukan  dengan  mengedepankan  langkah‐langkah  sistematik  yang 

reflektif, dan yang terikat sekaligus otonomF.

13F Mewadahi kedua hal tersebut dalam satu konsepsi 

umum adalah tujuan yang berguna untuk membongkar wacana. Untuk menjadi  lebih  jelasnya, 

jawaban  atas  hal  tersebut  dijabarkan  Ricoeur melalui  pemaparan  atas  ciri  khas  suatu  karya 

secara semantik.  

 

Namun  sebelum masuk  dalam  ruang  pembahasan  tersebut,  ada  baiknya  disinggung  dahulu 

mengenai  syarat  yang  diajukan Ricoeur  (Thompson,  2003:  285‐287;  permata,  2002:  225‐227) 

agar karya dapat menjadi bagian dari wacana. Ricoeur menyebut kerja  ini sebagai distansiasiF.

14F 

Konsep  ini  sendiri  berkorelasi  dengan  otonomisasi  teks,  yang  merupakan  modal  awal  bagi 

lahirnya  kerangka  pemahaman  dalam  pandangan  hermeneutik  Ricoeur,  sehingga  distansiasi 

sebenarnya menjadi tidak berbeda dengan otonomisasi teks secara semantik. Pertama, fixation 

of  action  atau  fiksasi wacana.  Ricoeur mengatakan  bahwa  bagian  ini  adalah  usaha  awal  dari 

distansiasi  karena  peristiwa  coba  dilampaui  sekaligus  diungkapkan.  Pengungkapan  sendiri 

merupakan penerjemahan tindak‐tutur yang harus diwujudkan melalui pembakuan‐pembakuan. 

Atau dengan kata lain fiksasi adalah usaha penterjemahan realitas sosial lewat struktur‐struktur 

tertentu  ataupun  mekanisme  tertentu.  Kedua,  the  outomatization  of  action,  bahwa  teks—

sebagai  tindakan  sosial—memiliki  makna  objektifnya  sendiri.  Ia  menjadi  tidak  tergantung 

dengan maksud  pembuat  teks  atau  dengan  kata  lain makna  teks  tidak  selalu  sama  dengan 

12 Dengan kata lain teks adalah penampang wacana sekaligus karya, artinya teks adalah usaha pemadatan atau pengkapsulan dunia kehidupan atau lebenswelt. Wacana sendiri kemudian ditafsir Ricoeur (2002: 17) sebagai logos, yang dalam pandangan lingusitik sejak awal dianggap Ricoeur bermasalah karena memiliki fungsi afeksi sebagai kata benda sekaligus kata kerja.   13  Konsep  ini  akan  dijabarkan  dalam  bagian  berikut:  Eksplanasi  dan  Pemahaman  antara metode  dan filsafat. 14 Distansiasi merupakan  pernyataan  Ricoeur  (2002:  159)  yang menolak  pandangan  romantik maupun pendekatan  psikologis  yang  sebelumnya  cenderung  digunakan  hermeneutika.  Peletakan  distansiasi sebagai syarat merupakan bagian dari agenda pembebasan teks sehingga teks benar‐benar dapat menjadi otonom, sehingga sebagai bahan kajian ia diandaikan menjadi mampu membuka dirinya sendiri sekaligus menampilkannya kepada penafsir sehingga usaha pemahaman dapat berjalan. 

Page 8: tafsir dunia tanda

    Page 8 of 12   

maksud pengarang. Ketiga, berkait dengan ketidaksamaan antara  teks dan kondisi  sosial yang 

melingkupi  teks  itu  sendiri  atau  relevance  and  importance.  Artinya  apabila  teks  dilekatkan 

dengan situasi sosial yang berbeda dengan situasi teks—ketika pada awalnya dibuat—selama ia 

relevan menjadi dimungkinkan dan yang keempat, terbebasnya teks dari batas‐batas acuan yang 

bersifat  lahiriah misalkan saja efek oral. Meaningful action, artinya  teks  tidak semata merujuk 

pada situasi dan ciri dimana teks dihasilkan melainkan terbuka pada makna‐makna baru. 

 

Nah, menjadi  tidak  sulit dipahami  apabila Ricoeur—dalam  Thompson  (2003: 284)—kemudian 

menetapkan ciri khas suatu karya secara semantik,F

15F seperti yang telah disinggung sebelumnya, 

 pertama,  “suatu karya adalah  totalitas  terstruktur yang  tidak dapat direduksi menjadi kalimat”, kedua, “bahwa suatu karya dihasilkan sesuai dengan aturan‐aturan atau kode‐kode yang menegaskan arah aliran sastranya dan merubah wacana menjadi novel, puisi, atau  permainan,  dan  ketiga  “…  (genre)  memberikan  kerangka  kerja  turunan  yang berpengaruh  baik  kepada  produksi  wacana  sebagai  satu  bentuk  karya  dan interpretasinya  sebagai  satu  bentuk  karya  yang  lain.  Jika  suatu  karya  yang  dihasilkan sesuai dengan genrenya, maka karya tersebut hadir sebagai satu konfigurasi yang unik yang membentuk gayanya sendiri.” 

 

Tafsir  sendiri  kemudian  dapat  diberlakukan  bukan  hanya  teks  ilmiah  melainkan  juga  pada 

bentuk‐bentuk  lain,  termasuk  pada  sastera  yang  awalnya  dianggap  memiliki  makna  (sense) 

tanpa  memiliki  dunia  acuan  (reference)  atau  hanya  mengandung  konotasi  belaka.  Untuk 

permasalahan  tersebut  Ricoeur  menjawab,  “maknanya  adalah  struktur  karya  itu,  sedang 

acuannya adalah ‘dunia’ yang ditampilkan oleh karya itu” (Sugiharto, 1996: 105).  

 

EKSPLANASI DAN PEMAHAMAN: SEBUAH PERJALANAN ONTOLOGIS 

Interpretasi dalam perspektif hermeneutik adalah usaha pembacaan  yang merespon otonomi 

teks dengan menggunakan bahan acuan  ‘penjelasan’ dan  ‘pemahaman’ secara bersama‐sama. 

Gambaran  ini dapat dipahami apabila  interpretasi kemudian dikaitkan dengan makna. Seperti 

telah  diungkapkan,  makna  dalam  kacamata  Ricoeur  menyebut‐menyebut  dua  hal  secara 

mendasar,  yakni  ‘struktur  karya’  dan  ‘dunia  acuan’.  ‘Struktur  karya’  sendiri  kemudian  akan 

diletakkan  dalam  kerangka  ‘penjelasan  atau  eksplanasi’  sementara  ‘dunia  acuan’  akan 

dikorelasikan  dengan  ‘pemahaman’.  Konsep  eksplanasi  dan  pemahaman  Ricoeur  sendiri 

dibangun  dari  penggabungan  secara  komprehensif  metode‐metode  ilmu  alam 

(Naturwissenschaften) dan  ilmu‐ilmu  sosial atau humaniora  (Geistesswissenschaften)F.

16F Okulasi 

ini sendiri dapat dikatakan sebagai puncak konsep dari hermeneutika Ricoeur. 

15  Pengendepanan  konsep  semantika  kalimat  Ricoeur  berangkat  dari  kritiknya  atas  semiotika  tanda. Menurut Ricoeur,  semiotika  tanda hanya berkutat pada  level  tanda dalam  fungsinya  sebagai pembeda. Sesuatu yang khas dapat dijelaskan dengan memaparkan bedanya sementara  tingkat kalimat—hal yang justru  lepas  dari  perhatian  semiotika  tanda—menjadi  penting  karena  kalimat  adalah  unit  dasar  yang kemudian disebutnya sebagai wacana. Dari titik itulah dimensi referensial—yang  selama ini dilewati oleh semiotika tanda—memperoleh tempatnya. 16 Ricoeur sendiri pada dasarnya tidak menganggap adanya dua pemilahan dalam wilayah  ilmu, baginya kedua  bagian  itu  tetap  dianggap  berada  dalam  satu wilayah  pemahaman Geistesswissenschaften  saja. Mungkin  maksudnya  adalah  pemaknaan  secara  luas—dalam  arti  melihat  kerja  ‘pemahaman  dalam 

Page 9: tafsir dunia tanda

    Page 9 of 12   

 

Baiklah pada permulaaan, secara mendasar menyimak konsep Ricoeur mengenai  tiga  tahapan 

yang harus dilalui hingga akhirnya peta pemahaman dapat terbukaF.

17F Pertama, bahasa sebagai 

teks dan sebagai karya mengandung didalamnya kodifikasi yang khas, yang dalam hal  ini harus 

dipandang juga sebagai bagian dari ekspresi ontologi, Ricoeur menyebut tahap ini berada dalam 

level semantik. Penjabaran wilayah semantik akan berfungsi untuk melihat sistem kebahasaan 

beserta seluruh simbol‐simbolnya selain berguna untuk menyingkap distorsi‐distorsi komunikasi 

termasuk memperhatikan makna  yang  tak  terkatakan  sebab  represi maupun  derivasi makna 

yang mungkin  lahir karena berbagai alasanF.

18F Level semantik secara khusus memang digunakan 

Ricoeur untuk menjembatani ‘metode’ dan ‘konsep’ sehingga tujuan dari kerja penafsiran tidak 

lepas pada wilayah ontologis yang semena‐mena ataupun masuk dalam pemahaman struktural 

yang  kaku. Metode  dan  kebenaran  sendiri  tidak  perlu  dipertentangkan  secara  sengit  karena 

manusia di sini harus dipandang bukan sebagai yang statis melainkan intensional. 

 

Setelah  secara  aflikatif masuk  pada wilayah  kebahasaan,  pembacaan  kemudian  digiring  pada 

level  yang  lebih  filosofis,  yakni  masuk  pada  level  reflektif.  Pada  tahap  ini  pembacaan 

dipertemukan dengan ‘dunia acuan’ artinya subjek—secara sadar—harus melakukan penjarakan 

dengan teks. Maksud dari  langkah  ini tiada  lain untuk melengkapi konsep pemahaman dengan 

cara ‘mempertemukan diri dengan diri’ melalui pemahaman akan ‘yang lain’. Atau dengan kata 

lain mengamati  intensi yang  terjadi akibat pertemuan  subjek—sebagai bentuk pertemuan diri 

dengan diri—dengan realitas, yang merupakan wujud pemahaman akan ‘yang lain’ itu. 

 

Tahapan  selanjutnya  merupakan  tujuan  akhir  dari  prosedural  kerja  hermeneutika,  dimana 

pemahaman mencapai  level eksistensial, sesuatu yang diharapkan mampu menyeruak  ‘paham 

ada’  secara  ontologis.  Sesuatu  yang  awalnya  dimulai  dari  methodology  of  interpretation 

kemudian diarahkan pada ontology of interpretation—bukan semata ontology of understanding. 

Pembukaan  wilayah  ini  bagi  Ricoeur  sebenarnya  hanya  meneguhkan  bahwa  proses 

tersingkapnya makna sebenarnya juga berasal dari akar‐akar atau dorongan‐dorongan instingtif. 

Dapat  dipahami  bahwa  Ricoeur  kemudian  berharap  sesuatu  yang  naluriah  dalam  diri  subjek, 

akhirnya  dapat  berguna  untuk  menjawab  realitas  yang  lebih  tinggi—phenomenology  of 

religion—dimana  kesadaran  akan  diri,  kesadaran  akan  kala‐raya  semesta—yang  sebelumnya 

tereliminir dalam proses pemaknaan—kembali mendapat tempat. Proses ini sendiri sebenarnya 

bagian dari upaya fenomeologi yang pada dasarnya berusaha memberi ruang bagi lorong‐lorong 

kesadaran melalui penapakan dan pelacakan kembali apa yang disebut archeology of subject. 

 

bentuknya yang paling esensial pada diri manusia’  (ada baiknya merujuk konsep Heidegger yang bicara mengenai ‘potensi menyibak sang Ada’ pada tataran ini – kebenaran manusia autentik atau Dasein)—dan bukan pemahaman dalam artiannya yang  sempit, karena  toch, dapat kita  lihat   bahwa  secara material atau secara khusus Ricoeur tetap membedakan langkah kerja dalam usaha pemahaman teks tersebut. 17 Lihat Permata, 2002: 210‐217; Sumaryono, 1995: 103‐104; Thompson, 2003: 287‐291. 18  Pada  wilayah  ini  Ricoeur menyarankan  untuk menelaah makna  dengan menggunakan  pendekatan psikoanalisis. Pendekatan  ini—dalam wilayah komunikasi—dapat membantu mencermati distorsi makna melalui pengamatannya pada posisi subjek termasuk ketertekanannya. 

Page 10: tafsir dunia tanda

    Page 10 of 12   

Penjelasan Ricoeur di atas dengan jelas menunjukkan bahwa eksplanasi atau penjelasan secara 

material  adalah  kerangka  dasar  yang  secara  struktural  berusaha membedah  sistem  internal 

dalam faktor kedirian karya atau mudahnya, penelaahan instrinsik karya, yang sekali lagi dalam 

bahasa Ricoeur (2002: 154) disebut “mendapat lahan aplikasi paradigmatiknya dalam ilmu‐ilmu 

alam”  sementara  pemahaman  sebagai  proses  verstehen,  menggarisbawahi  referensi  dunia 

acuan yang “mendapatkan orisinalitas aplikasinya dalam ilmu‐ilmu kemanusiaan.” 

 

Secara  metodologis  pernyataan  Ricoeur  (Sumaryono,  1995:  101‐102)  dapat  digambarkan 

sebagai  berikut:  bahwa  teks  yang  otonom  harus  ‘didekontekstualisasi’  agar  lepas  dari makna 

psikologis  atau  intensi  pengarang.  Dengan  cara  ini  ‘kita’  berarti  “mengizinkan  teks memberi 

kepercayaan  (pada)  diri  kita”  sehingga  ia—teks—dapat  menampilkan  dirinya  sendiri.  Upaya 

‘rekontekstualisasi’  sendiri  kemudian  baru  dapat  dilakukan,  yakni  dengan  jalan  memberi 

kesempatan  terbuka  bagi  teks  untuk  dimaknai,  sehingga  ia  dapat  menghasilkan  sebuah 

‘cakrawala baru’ yang dapat menggiring terbentuknya pemahaman ontologis. Dengan demikian 

dekontekstualisasi  tidak  lain  adalah  proses  membebaskan  diri  dari  konteks  sementara 

rekontekstualisasi adalah proses  kembali menuju pada  konteks  sebelum akhirnya pemaknaan 

lahir menjadi fusi horison baru. 

 

Namun  sebelum  memasuki  lingkar  dialektis  erklaren  dan  verstehen,  masih  ada  landasan 

penafsiran yang harus dicermati, yakni perlunya menebak atau memperkirakanF.

19F Dugakira  ini 

menurut Ricoeur (2002: 161) tidak bisa dihindari karena  

 “bila makna objektif adalah sesuatu selain daripada maksud pengarang, maka tentulah (makna  objektif  )  dapat  diartikan  dalam  berbagai  cara…untuk  mengartikan  makna sebagai makna verbal teks harus membuat perkiraan.” 

 

Dan untuk  ini tidak ada aturan baku untuk membuat sebuah perkiraan yang baik. Satu‐satunya 

jalan  yang  ditawarkan  Ricoeur  hanyalah melalui metode  validasi.  Ricoeur  sendiri  (2002:  161) 

mengutip ED Hirsch dan bersepakat bahwa  

 “tindakan pemahaman pada awalnya merupakan semata‐mata praduga (atau salah) dan tidak  ada  metode‐metode  untuk  untuk  berpraduga,  tak  ada  aturan  dalam menggeneralisasikan  pengetahuan  (wawasan)ini.  Aktifitas  metodologi  interpretasi dimulai ketika kita mulai mengetes dan mengkritisi dugaan kita.” 

 

Menjadi  relevanlah  bila Heissenberg,  dalam  Sugiharto  (1996:  112) menjadi  lebih  suka  bicara 

‘probabilitas yang tinggi’ ketimbang kebenaran ‘objektif’ dan untuk menutup bagian  ini baiklah 

digarisbawahi bahwa interpretasi lebih 

 “merupakan  persoalan  validasi  daripada  verifikasi,  atau  kemungkinan  daripada kenyataan.  Interpretasi  teks  merupakan  suatu  disiplin  argumentatif  yang  dapat menghindari skeptitisme tanpa menuntut kepastian.” (Thompson, 2003: 288) 

 

19 Lihat Sumaryono, 1995: 99; Sugiharto, 1996: 92; Thompson, 2003: 287‐288. 

Page 11: tafsir dunia tanda

    Page 11 of 12   

 

MODERNISME DAN POSTMODERNISME 

Sebagai  penutup  bagian  ini,  ada  baiknya  memberi  gambaran  yang  lebih  lugas  mengenai 

perbedaan antara modernisme dan postmodernisme.  

 

 No  C I R I  ‐ K A R A K T E R I S I T I K 

 

  M o d e r n i s m  P o s t m o d e r n i s m  

01  Pandangan dualisme (oposisi biner) a la Aristotelian yang menganggap A adalah A dan A tidak mungkin bukan A.   

Pandangan a la Aristotelian ini ditentang karena meniadakan jalan tengah (excluced middle) dan menutup kemungkinan alternatif dari tindakan kreatif manusia.  

02  Penempatan kedaulatan subjek yang dikemukakan Descartes pada gilirannya justru meniadakan subjek karena kekakuan sifat objektif‐empirik, rasional dan positivistis justru semakin memperjarak manusia dengan realitasnya.   

Postmodernism menawarkan hermeneutika yang berusaha menjembatani kajian‐kajian ilmu alam yang objektif atau ‘berjarak’ (Naturewissenschaften) dan pemahaman versi ilmu sosial (Geisteswissenschaften), untuk selanjutnya membuka ruang‐ruang penemuan yang bersifat ontologis.   

03  Dalam tataran ilmu, fenomena positifis‐empirik menjadi standart kebenaran tertinggi, terutama mengingat hukum verifikasinya.   

Kebenaran tidak bersifat immortal‐abadi‐atau never ever end, melainkan merupakan bagian dari pergulatan manusia yang menyejarah atau bagian dari dialektika yang tidak akan pernah usai hingga cenderung bersifat ‘kebenaran untuk ruang dan waktu yang ini atau yang itu’. Kebenaran tidak pernah dapat secara holistik atau general dibakukan secara keras.   

04  Pun temasuk bahasa dan pengalaman yang dianggap satu banding satu (1:1).  

Mengutip Heissenberg bicara ‘probabilitas yang tinggi’ menjadi lebih relevan ketimbang memaksakan ‘kebenaran objektif’, oleh karena itu bahasa dan pengalamanpun harus dilihat satu banding tak terhingga karena di dalam bahasa maupun manusia sebagai subjekpun didapati kenyataan keterbatasan.   

05  Kerasnya modernism dengan postulat‐postulatnya, langsung maupun tak langsung berakibat pula pada menghilangkan nilai‐nilai moral dan religius (penemuan tafsir ontologis) yang terindikasi dengan meningkatnya kekerasan, keterasingan, dan seterusnya—hal yang malahan dimanfaatkan sebagai alat penekan untuk mengatur, mengontrol, dan menguasai manusia lainnya.  

Ruang terbuka memungkinkan argumentasi terus dikembangkan. Hal ini secara tidak terasa justru membangun pemahaman ontologis yang tidak mengawan (tetap berjejak‐berpijak) pada diri subjek.   Pada titiknya, usaha ini diharapkan dapat membangun kerangka pemahaman diri termasuk pemahaman lingkungan yang lebih manusiawi: toleran.  

Page 12: tafsir dunia tanda

    Page 12 of 12   

06  Materialisme menjadi filsafat dasar yang mendasari logika penguasaan. Dalam tataran praktis, hidup menjadi semata ditujukan untuk pada pemenuhan hal‐hal material dan hal ini sejalan dengan munculnya kembali tribalisme sebagai konsekuensi logis yang lahir dari hukum survival of the fittest.  

Penempatan yang relevan dari kerja hermeneutik kembali menempatkan filsafat, lewat tafsir ontologisnya, pada tataran yang harus dipertimbangkan untuk menjaga apa yang disebut nietzsche sebagai ‘kehendak berkuasanya manusia’.  

07  Sebagai gilirannya, manusia yang lain kerap dibaca semata sebagai objek kajian dan masyarakatpun direkayasa menjadi mesin. Pada bagian ini tubuh mekanik tercipta dengan sempurna.   

Frame tubuh mekanik pun harus dibongkar demi menempatkan kesadaran kesejajaran antara subjek yang satu dengan yang lain. Dengan ini tubuh yang patuh dapat diusahakan terbebas dari berbagai tekanan (intervensi) sehingga tubuh organis dapat tumbuh kembang tak kempis.  

08  Seluruh kenyataan di atas sebenarnya hanya menegaskan kokohnya klaim kebenaran tunggal dan dengan demikian berarti cenderung menutup ruang‐ruang dialektika.   Dalam lintas apapun (baik secara sosial, politik, budaya, akademik) ini berarti tidak memberi ruang pada wacana‐wacana alternatif terutama yang tidak sejalan dengan wacana dominan.  

Sebagai gantinya postmodernism menawarkan dibukanya berbagai ruang, yang dapat dimaknai sebagai ruang tandingan ataupun sebagai ruang alternatif bermain.   Dengan demikian kenyataan bahwa segala sesuatu demikian terseraknya dan sama sekali tidak tunggal menyebabkan wacana‐wacana yang sempat termarjinalkan—secara sosial maupun akademik—seperti gerakan minoritas sosial dan politik macam subkultur, etnis, dan politik budaya marjinal pantas mendapat perhatian yang sama. Dan inilah waktu yang disebut‐sebut sebagai carnaval terbesar: sebuah perayaan bagi heterogenitas, pluralitas dan dekonstruksi.