Syarah Hadits Dan Metodenya

24
A. Syarah Hadits dan Metodenya Kata Syarah (Syarḫ) diambil dari kata “Syaraḫa, yasyraḫu, syarḫ” yang secara bahasa berarti menguraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya. Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan atas naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran), 1 sebagaimana dapat dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap hadits maupun kitab lainnya. Selain itu syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap sesuatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap satu kalimat atau suatu hadits, juga disebut syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahih Bukhari, Syarah Alfiyyah Al-iraqi dan Syarah Qurrat Al-‘Ayn, maka yang dimaksud syarah adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadits” secara mutlak, 1 Eksplanasi adalah menguraikan maksud suatu kalimat atau suatu kata dengan uraian yang terbatas pada makna denotasi atau menurut pengertian yang lazim digunakan. Adapun interpretasi adalah uraian terhadap suatu kalimat atau suatu kata berdasarkan makna konotasi atau pemahaman yang logis dari kalimat atau kata tersebut.

description

metode syarah hadits

Transcript of Syarah Hadits Dan Metodenya

A. Syarah Hadits dan MetodenyaKata Syarah (Syar) diambil dari kata Syaraa, yasyrau, syar yang secara bahasa berarti menguraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya. Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan atas naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran),[footnoteRef:1] sebagaimana dapat dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap hadits maupun kitab lainnya. Selain itu syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap sesuatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap satu kalimat atau suatu hadits, juga disebut syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahih Bukhari, Syarah Alfiyyah Al-iraqi dan Syarah Qurrat Al-Ayn, maka yang dimaksud syarah adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan syarah hadits secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadits tertentu, yaitu ucapan, tindakan atau ketetapan Rasulullah SAW beserta sanadnya. [1: Eksplanasi adalah menguraikan maksud suatu kalimat atau suatu kata dengan uraian yang terbatas pada makna denotasi atau menurut pengertian yang lazim digunakan. Adapun interpretasi adalah uraian terhadap suatu kalimat atau suatu kata berdasarkan makna konotasi atau pemahaman yang logis dari kalimat atau kata tersebut.]

Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu hadits, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut sebagai syarah. Demikian juga uraian dan penjelasan hadits secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah, ceramah, dan sejenisnya juga bisa disebut sebagai kegiatan mensyarah hadits.Istilah syarah yang dikemukakan di atas merupakan istilah syarah secara umum, yakni dipakai bagi penjelasan terhadap hadits dan terhadap tulisan para ulama, baik di bidang Fiqh, ilmu hadits, ilmu, kalam, maupun tulisan lainnya. Sementara itu, antara hadits dan karya para ulama terdapat perbedaan yang sangat jelas. Posisi hadits secara umum merupakan sumber ajaran islam yang terpelihara dari kesalahan, sedangkan karya ulama merupakan hasil ijtihad yang kebenarannya relatif. Dengan demikian, syarah hadits berarti mensyarah sumber ajaran islam yang salah satu tuntutannya adalah menggali hukum dan hikmah yang terdapat di dalamnya, sehingga dari sisi ini syarah hadits identik dengan tafsir Al-Quran yaitu sama-sama menjelaskan dan mengungkapkan seluruh kandungan lafal yang dijelaskan, baik hukum maupun hikmah.[footnoteRef:2] [2: Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, Fasygil Grup, Bandung, 2012, hlm. 1-2]

Secara garis besar syarah meliputi tiga langkah, sebagai berikut:1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadits, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, baik dari global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik periwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan.2. Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliptui penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan sturuktur kalimat, penjelasan makna leksial dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbath terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadits, baik yang tersurat maupun yang tersirat.Bila diperhatikan, materi yang tertulis dalam kitab-kitab syarah pada umumnya sangat bervariasi sesuai dengan uraian yang diperlukan untuk menjelaskan berbagai aspek dari matan kitab yang bersangkutan. Biasanya kitab-kitab syarah dilengkapi dengan pembahasan-pembahasan sebagai berikut:1. Sharf (sharaf) dan ilal yaitu penjelasan leksial yang meliputi penjelasan mengenai asal suatu kata dn proses pembentukannya, cara membacanya, dan makna asalnya. Dilanjutkan dengan penjelasan makna yang dimaksud dari kata atau kata-kata tersebut sesuai dengan struktur kalimatnya.2. Irab/Nawu yaitu penjelasan gramatikal yang meliputi penjelasan mengenai posisi suatu kata tertentu dalam struktur suatu kalimat dan hubungan satu kalimat dengan kalimat lain, sebelumnya atau sesudahnya. Dalam mensyarah hadits, teknik pembahasan nahwu sering kali perlu diungkapkan, sebagai argumentasi pemaknaannya.3. Balaghah dengan cabangnya, yaitu penjelasan mengenai keindahan suatu kalimat, kedalaman dan keluasan maknanya, serta rahasia makna yang terkandung di dalamnya. Penjelasan yang demikian biasanya dikemukakan dengan ayat Al-Quran, matan hadits, kata-kata hikmah, dan syair.4. Keterangan yang dikutip dari berbagai kitab lain atau pendapat lain yang berfungsi sebagai bahan perbandingan dan koreksi.5. Uraian makna kalimat yang disyarah, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Boleh jadi uraian tersebut berdasarkan pada pendekatan logika, filsafat, kaidah-kaidah bahasa atau dengan pendekatan lainnya.6. Kisah dan cerita yang terkait, baik biografi seorang tokoh yang cukup berpengaruh dalam masalah yang sedang di bahas maupun kisah klasik yang mengandung pelajaran.7. Khusus dalam syarah hadits biasanya disertai penjelasan nama penulis kitab sumber hadits yang bersangkutan dan penilaian terhadap kualitas hadits, baik penilaian pensyarah secara langsung maupun berdasarkan penilaian ulama yang telah diakui kompetensinya di bidang hadits. [footnoteRef:3] [3: Nurkholis, Op.cit, hlm 3-4]

Metode syarah hadits terbagi menjadi 4, yaitu: Metode Syarah Matan Hadits Qawli, Metode Syarah Matan Hadits Fili, Metode Syarah Hadits Taqriri dan Metode Hadits Fadhail Al-Amal.

1. Metode Syarah Matan Hadits QawliMatan hadits qawli adalah ucapan Rasulullah SAW atau ucapan yang disandarkan kepada beliau.[footnoteRef:4] Ciri-ciri matan hadits qawli adalah pada ujung sanadnya diakhiri dengan kata-kata yang menunjukan bahwa redaksi matan yang bersangkutan merupakan ucapan Rasulullah SAW, yaitu kata-kata Qala Rasulullah SAW, Anna Rasulullah SAW qala, Annahu qala, atau Samitu Rasulullah SAW yaqulu, sedangkan matannya berisi pernyataan Rasulullah SAW dan berupa kalimat langsung, baik yang diriwayatkan secara lafzhi maupun maknawi. [4: Alternatif dalam definisi ini dinyatakan karena adakalanya ucapan Rasulullah SAW itu diriwayatkan secara lafal, yaitu dengan mengucapkan kalimat asli, dan adakalanya diriwayatkan secara makna, yaitu dengan menggunakan kalimat lain yang semakna. Bahkan ada juga hadits qawli yang sebenarnya bukan ucapan Rasulullah SAW, melainkan ucapan sahabat yang berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan mereka pada masa beliau, dan hadits ini dikenal dengan hadits mauquf fi hukm al-marfu.]

a. Pendekatan Ilmu Riwayah dan DiroyahDilihat dari titik tolak kebrangkatan kajian terhadap kajian terhadap hadits serta hasil kajian yang akan diperoleh, ilmu hadits terbagi dua kelompok besar, yaitu ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah. Ruang lingkup keduanya meliputi seluruh aspek dalam hadits, yaitu sanad dan matan. Hanya saja karena karakter kajian ilmu riwayah bersifat deskriptif eksploratif, maka hasilnya adalah terungkapnya berbagai hal yang perlu diketahui dari kandungan matan, baik yang berkaitan dengan redaksi (mabani) maupun makna (maani), seperti ikhtilaf al-alfazh wa al-maani, dilalah, dan fiqh al-hadits. Sedangkan ilmu dirayah bersifat analitik evaluatif, maka hasil kajiannya adalah diketahuinya kualitas matan pada kedua sisi tersebut.

Wilayah Kajian Ilmu Hadits RiwayahSecara garis besar wilayah kajian ilmu hadits riwayah adalah segala hal yang berkaitan dengan periwayatan, pemeliharaan, pembukuan, dan pemahaman hadits. Setelah matan hadits diriwayatkan, dipelihara, dan dibukukan, maka selanjutnya wilayah kajian ilmu riwayah dan takhrij al-hadits[footnoteRef:5], itibar[footnoteRef:6], dan metodologi syarah hadits. Ketiga langkah ini ditempuh secara berurutan guna memperoleh pemahaman yang sistematis. [5: Takhrij Hadits adalah menunjukkan letak suatu hadits pada sumber-sumber aslinya, yaitu kitab-kitab yang meriwayatkan hadits dengan menggunakan sanad penulisnya sendiri secara bersambung hingga Rasulullah SAW. Metode takhrij ada ijma, yaitu 1) berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan, 2) berdasarkan awal lafal dari matan hadits, 3) berdasarkan lafal-lafal yang dominan dalam matan, 4) berdasarkan tema hadits, dan 5) berdasarkan ciri-ciri khusus pada sanad atau pada matan. Keterangan rincinya lebih lanjut dapat dilihat pada Mahmud Ath-Thahan, Ushil al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid.] [6: Itibar dalam pengertian yang sederhana adalah serangkaian kegiatan meneliti personalia sanad-sanad suatu hadits tertentu untuk mengetahui jumlah sanad yang sebenarnya, yaitu berpangkal kepada siapa saja dari kalangan sahabat dan bagaimana pencanbangan yang terjadi. Takhrij hadits dan itibar, meskipun bagian dari ilmu hadits riwayah, namun sebenarnya tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari ilmu hadits dirayah. Bahkan keduanya telah melibatkan komponen kajian ilmu hadits dirayah, yaitu dalam memahami struktur sanad dan persoalan nama para periwayat yang terlibat di dalamnya. Untuk membuat skema sanad yang benar penguasaan yang baik tentang kedua hal tersebut sangat berperan.]

Dengan takhrij hadits akan diketahui siapa saja yang meriwayatkan hadits yang akan disyarah itu atau hadits tersebut terdapat dalam kitab apa saja. Takhrij hadits mengajarkan kepada para pengkaji hadits bagaimana mencari suatu hadits dan bagaimana menyandarkan suatu hadits-hadits sumber aslinya. Dengan disebutkan kitab-kitab sumber hadits yang akan disyarah, para pembaca atau pendengar dapat memperkirakan kualitas hadits itu. Hal ini disebabkan karena kitab-kitab hadits ditulis berdasarkan kriteria tertentu yang menggambarkan paradigma penulisnya dalam meneliti dan menyeleksi hadits-haditsnya. Takhrij hadits dapat dilakukan berdasarkan tema hadits dan kata-kata yang dominan dalam matan hadits. Dalam menentukan tema atau kata yang paling dominan tersebut supaya efektif- hendaknya dipilih tema yang sangat spesifik atau kata yang dominan dalam tema tersebut, bukan tema pokok yang mencakup banyak sub tema. Apabila dalam tema tersebut atau berada dalam lingkup tema umu tersebut akan muncul, sehingga dituntut untuk memilih hadits-hadits tentang tema khusus yang dimaksud. Demikian juga halnya apabila akan menggunakan kata-kata (salah satu lafal dalam hadits) untuk mentakhrij, maka hendaklah kata-kata tersebut benar-benar spesifik dan dominan dalam hadits yang dicari. Wilayah Kajian Hadits DirayahAdapun wilayah kajian hadits ilmu hadits dirayah pada matan adalah segala hal yang berkaitan dengan penelitian kualitas matan hadits yang akan disyarah, yaitu penelitian terhadap mabani dan maani (redaksi dan makna) hadits yang akhirnya akan diketahui dapat diterima atau ditolaknya matan tersebut. Jadi, fungsi hadits dirayah dalam kajian matan hadits adalah sebagai pedoman dalam mengetahui kualitas matan yang akan disyarah. [footnoteRef:7] [7: TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa kedudukan ilmu hadits dirayah bagi ilmu hadits riwayah adalah sebagai mizan (timbangan), ibarat ushul fiqh bagi fiqh, mantiq bagi ilmu tauhid, dan balaghah bagi bahasa. Lihat Sejaarah dan pengantar ilmu hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, Hlm 152.]

Langkah operasiaonal kajian ilmu hadits dirayah terhadap matan adalah menganalisis matan dari aspek redaksi dan aspek maknanya, hanya saja tahapannya lebih kritis dibandingkan dengan analisis ilmu hadits riwayah. Redaksi matan hadits dan makna dasarnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan ilmu nawu, ilmu sharf, dan ilmu balaghah untuk menganalisis keadaan kata perkatanya, susunan kata-katanya, struktur kalimatnya, hingga kekayaan maknanya, dilanjutkan dengan analisis dengan menggunakan pendekatan-pendekatan lain yang relevan, seperti dikomparasikan dengan dalil-dalil yang lain terkait yang lebih kuat atau bahkan qathi dan kaidah-kaidah yang baku dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini perlu diperhatikan karena salah satu ciri dari kedhaifan dan kepalsuan hadits adalah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku dalam suatu disiplin ilmu atau fakta-fakta yang kongkret. Sehubungan dengan itu para ulama telah menetapkan kriteria keshahihan hadits dalam kaitannya dengan analisis matan dengan pendekatan ilmu hadits dirayah ini. b. Pendekatan Ilmu Nahwu dan Ilmu SharfPendekatan ilmu nahwu dan sharf dalam konteks syarah hadits sebenarnya merupakan bagian dari kajian teknis analisis riwayah dan analisis dirayah, seperti telah dijelaskan di muka. Akan tetapi, secara teoritis perlu dibahas tersendiri. Al-Quran dan matan hadits qawli merupakan standar bagi kaidah-kaidah bahasa Arab, karena firman Allah SWT itu mustahil salah, sementara Rasulullah SAW senantiasa dalam pemantauan-Nya, sehingga ucapan dan tindakannya tidak pernah dibiarkan salah, baik redaksi maupun maknanya. Di samping itu beliau merupakan afsah al-Arab, orang Arab yang paling fasih sehingga beliau menjadi barometer tertinggi bagi bahasa Arab.Dengan analisis ilmu nahwu akan diketahui struktur kalimat, mana subyek dan mana predikatnya. Dan dengan analisis ilmu sharf akan diketahui asal kata, bentuk kata dan makna dasarnya. Ilmu sharf berkaitan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Arab, sehingga bangunan huruf atau cara baca kata-katanya dapat diteliti dengannya.Makna dasar yang akan diperoleh dari ilmu nawu adalah makna gramatikal yang sederhana (tekstual), sedangkan makna dasar yang diperoleh melalui analisis ilmu sharf adalah makna leksial (harfiah, makna asal, sesuai kamus). Pengetahuan yang benar akan makna hadits sangat menentukan pemahaman lebih lanjut. Hal ini akan lebih sempurna apabila pemaknaan suatu kata disertai dengan pertimbangan kamus-kamus klasik yang lengkap. c. Pendekatan Ilmu BalaghahSyarah hadits dengan pendekatan ilmu balaghah merupakan upaya rekonstruksi nilai-nilai kebahasaan dalam kajian hadis, karena dalam ucapan Rasulullah SAW penuh dengan muatan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian pendekatan ilmu balaghah dalam kegiatan mensyarah hadits bukan hanya mengungkap muatan sastera dan keindahan bahasa lainnya dalam hadits, melainkan juga untuk membantu mengetahui makna asal dan makna dasr teks hadits. [footnoteRef:8] [8: Dalam kaitan ini sebagian kaum intelektual kontemporer bertanya-tanya apakah mungkin hadits dikaji dengan menggunakan pendekatan ilmu balaghah. Mereka menganggap kajian ilmu balaghah terhadap teks hadits sangat tidak relevan karena banyak hadits yang redaksinya tidak orosinal lagi sebagai akibat dari proses periwayatan. Dalam kajian hadits tidak dapat dilakukan generalisasi. Seorang pengkaji hadits sebaiknya tidak puas dengan penguasaan ilmu hadits yang setengah-setengah, karena itu dapat berakibat buruk.]

Kajian balaghah terhadap teks hadits tidak pernah terhenti, dan bahkan dewasa ini menjadi semarak. Di antara karya ulama klasik yang memfokuskan aspek kajian balaghah adalah Al-Majazat al-Nabawiyyah karya Al-Syarif al-Ridha. Karya ulama klasik lainnya banyak memperhatikan aspek kajian balaghah adalah Nayl al-Authar karya Al-Syaukani. Setidaknya ada tiga karya ulama kontemporer yang memfokuskan kajiannya di bidang ini, yaitu Al-hadits al-Nabawi min Jihat al-Wijhat al-Balaghiyyah karya Dr. Izzuddin Ali al-Sayyid, Fil Zhilal al-Hadits al-Nabawi karya Prof Dr. Nuruddin Itr, dan Min Kunuz al-Sunnah karya Syekh Muhammad Ali al-Shabuni.d. Pendekatan Ilmu DilalahRedaksi matan hadits dari wujudnya sekarang adalah kalimat-kalimat, dan kalimat itu menyimpan sejumlah makna. Maka dari itu memahami makna hadits mutlak harus melalui analisis terhadap redaksi matan hadits secara seksama, kata demi kata.[footnoteRef:9] Sedangkan setiap kata itu dapat berubah-ubah maknanya ketika terdapat dalam struktur kalimat yang berbeda-beda. Perbedaan makna suatu kata juga bisa disebabkan oleh perbedaan kondisi pembicara, situasi pembicaraan dan kondisi orang yang diajak bicara. Maka, pembahasan tentang makna erat kaitannya dengan pembahasan psikologi, filsafat, antropologi, dan sosiologi. Sehubungan dengan mensyarah hadits, hendaknya hal ini dijadikan bahan pertimbangan dan indikasi perubahan makna suatu kata itu hendaknya benar-benar diperhatikan guna memperoleh pemahaman yang komprehensif dari seitiap hadits. Dalam kajian semantik, makna suatu kata atau kalimat dalam bahasa sehari-hari dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu maksud pembicara, makna kata atau kalimat yang terucap, da informasi obyektif dari kalimat yang diucapkan. [9: Para filosuf dan ahli bahasa merumuskan sejumlah teori analisis makna yang kemudian dikenal dengan ilmu dilalah atau semantik. Semantik secara umum adalah the study of meaning, studi tentang makna atau pemaknaan, sebagaimana dinyatakan Aminudin dalam buku semantik, Pengantar Studi tentang Makna.]

Akan tetapi, mengetahui maksud pembicara berdasarkan kondisi psikologisnya secara obyektif bukan suatu hal yang mudah. Yang bisa dilakukan dalam mengetahui maksud pembicara adalah menganalisis kalimat yang diucapkannya berdasarkan tradisi kebahasaan yang mengikatnya. Maka dari itu pendekatan ilmu balaghah sangat berperan untuk membantu memahami maksud Rasulullah SAW dalam hadits-haditsnya.e. Pendekatan Ilmu-ilmu TerkaitKecenderungan seseorang memandang suatu hadits dengan menggunakan paradigma yang telah demikian melekat dalam pikirannyatidak dapat dipungkiri adanya dan dapat ditoleransi, selama paradigma tersebut dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan yang memiliki titik singgung dengan tema hadits yang bersangkutan dan hasilnya tidak keluar dari batas-batas kebenaran yang universal. Para fuqaha dan ulama ushul fiqh memandang bahwa hadits dan sunnah Rasulullah SAW merupakan petunjuk dan sumber hukum, sehingga setiap hadits yang berkenaan dengan perilaku manusia, mereka jadikan sebagai bahan kajian yang menghasilkan sejumlah kesimpulan hukum, baik di bidang ibadah, muamalah, jinayah, maupun ahwal syakhshiyyah. Hadits-hadits dalam kategori ini rasanya akan dapat dipahami dan disyarah dengan maksimal berdasarkan displin ilmu fiqh atau dengan pendekatan epistimologi hukum islam dan disiplin ilmu lain yang terkait dengan penunjang. Hadits-hadits politik akan dapat dipahami dan disyarah dengan maksimal berdasarkan fiqh siyasah Islamiyyah dan ilmu-ilmu politik. Hadits-hadits akidah, akhlaq dan tasawuf dan pendekatan ilmu kalam dan filsafat islam, dan hadits-hadits tentang tatanan kehidupan masyarakat dengan pendekatan sosiologi dan antropologi. Inilah prinsip-prinsip dan pemahaman dan syarah hadits maudhui atau tematik. Akan tetapi makna leksial, makna gramatikal, dan petunjuk formal hadits hadits tersebut mutlak diperoleh dengan pendekatan ilmu sharf, nawu, balaghah, dan dilalah, serta kaidah-kaidah kebahasaan.Ilmu fiqh merupakan kajian ilmu keislaman yang paling tua dan paling banyak menyita perhatian para ulama pemerhatinya dan merupakan displin ilmu keislaman yang tidak henti-hentinya mengalami perkembangan, karena ia erat kaitannya dengan kehidupan sosial umat manusia yang sangat riil. Ia mengatur teknik hubungan antara manusia dengan Tuhannya serta hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam sekitar. f. Syarah dengan pendekatan HermeneutikKehadiran hermeneutika sebagai metodologi pemahaman dan penafsiran berbagai teks, terutama teks Al-Quran dan hadits, merupakan tawaran yang menggiurkan.[footnoteRef:10] Para ahli dalam kedua bidang tersebut mengakui perlunya perkembangan metodologi tafsir Al-Quran dan syarah hadits agar hasil kajian terhadap keduanya senantiasa aktual dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang senantiasa muncul dalam kehidupan global ini. Akan tetapi, apakah hermeneutika dapat dan diterapkan seutuhnya atau dapat mewakili syarah hadits yang telah berjalan sekian lama. [10: Semula penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran dan hadits diadopsi oleh kelompok pemikir Islam liberal dan pada awalnya ditolak oleh kelompok pemikir Islam literal. Namun, belakangan banyak pemikir yang mengambil jalan tengah.]

Pendekatan hermeneutika dalam syarah hadits tidak dapat lepas dari pendekatan-pendekatan lain yang telah dikemukakan di atas, melainkan justru harus berpijak kepada hasil syarah dengan pendekatan-pendekatan yang berbasis penguasaan berbagai kaidah ilmu bahasa dan pada disiplin ilmu yang relevan dengan tema hadits tersebut. Maka dari itu, boleh jadi pendekatan hermeneutik dapat diterapkan dan merupakan pelengkap. 2. Metode Syarah Matan Hadits FiliHadits fili adalah tindakan yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW atau hadits yang berupa laporan tentang sahabat tentang tindakan Rasulullah SAW, baik tindakan nyata maupun tindakan yang tidak nyata. Berikut metode syarah hadits fili :a. Menghimpun seluruh riwayat mengenai suatu tindakan yang sama atau serupa (takhrij hadits). Dengan langkah ini akan ditemukan gambaran yang relatif lebih lengkap dibandingkan apabila berpegang kepada satu riwayat saja, karena sering kali riwayat-riwayat tersebut saling melengkapi.b. Menganalisa dengan menggunakan pendekatan kebahasaan untuk dipahami makna leksial dan makna gramatikal riwayatnya. Bagaimanapun wujud dari hadits-hadits fili itu adalah teks-teks berbahasa arab yang berisi laporan-laporan hasil pengamatan para sahabat atas tindakan Rasulullah SAW dalam berbagai konteks dan kesempatan.c. Mengklasifikasi tindakan yang bersangkutan berdasarkan latar belakangnya, sehingga diketahui apakah tindakan dimaksud merupakan refleksi kemanusiaan Rasulullah SAW, tindakan yang terikat oleh tradisi bangsa Arab, tindakan yang berkenaan dengan urusan duniawi, tindakan supra rasional, tindakan yang spesifik, ataukah termasuk tindakan yang merupakan bayan dan tasyri. Klasifikasi ini akan mempermudah langkah syarah lebih lanjut karena tahu posisi tindakan tersebut dalam kaitannya dengan syariat Islam dan kehidupan beliau sehari-hari.d. Merekonstruksi tindakan yang bersangkutan dengan mengaitkannya kepada tindakan-tindakan lain yang terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap seluruh rangkaian tindakan beliau berkenaan dengan satu tema tertentu.3. Metode Syarah Hadits TaqririIstilah Taqrir berasal dari kata Qarra, aqarra, qarrara. Qarra Qarar berarti menetap di suatu tempat, diam dan tenang. Qurrata ain berarti penyejuk mata hati. Aqarra, iqrar berarti menempatkan sesuatu pada suatu tempat. Ia juga mengakui dalam arti tidak menolak dan tidak mengingkari. Hadits Taqriri berarti hadits yang berupa sikap Rasulullah SAW membiarkan atau menyetujui tindakan yang dilakukan oleh para sahabat, baik yang beliau saksikan secara langsung maupun yang dilaporkan kepada beliau. Namun pengertian hadits Taqriri tidak terbatas pada hadits yang berisi tentang persetujuan Rasulullah SAW, melainkan juga yang berisi tentang pengingkaran beliau. Artinya apabila Rasulullah SAW tidak suka atau ingkar kepada sesuatu, namun beliau tidak mengungkapkan pengingkaran tersebut secara lisan, melainkan hanya dengan sikap, maka disebut sebagai hadits Taqriri. Sebagaimana halnya hadits qawli dan hadits fili, seluruh hadits taqriri kini telah terkodifikasikan, maka langkah syarah terhadapnya yang pertama adalah melakukan takhrij terhadap hadits yang bersangkutan, yaitu mengimpun seluruh riwayat hadits tersebut, lalu menganalisis matannya dengan pendekatan-pendekatan ilmu bahasa. Mengingat hadits taqriri berisi tentang persetujuan atau pengingkaran Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau ucapan para sahabat, maka hadits taqriri termasuk kategori hadits fili. Namun ditinjau dari materi tindakan yang menjadi rujukan hukum merupakan tindakan sahabat, maka dari sisi ini ia berbeda dari hadits fili. Oleh karena itu, dalam rangka memahami sikap Rasulullah SAW secara umum metodologi syarah hadits fili dapat berlaku bagi syarah hadits taqriri. Hanya saja materi tindakan sahabat yang bersangkutan dijelaskan secara rinci, sehingga menjadi jelas batas-batas tindakan yang diperbolehkan dan tindakan yang tidak diperbolehkan.Penjelasan dimaksud tentunya dengan memperhatikan berbagai faktor yang melingkupinya, seperti faktor tradisi para sahabat dan tradisi bangsa Arab saat itu, faktor psikologis, faktor dampaknya bagi perkembangan moral dan hukum, dan sebagainya. Karena hakikatnya suatu tindakan tidak pernah lepas dari rangkaian situasi yang melingkupinya. Apabila faktor-faktor tersebut telah diketahui, maka konteks sikap Rasulullah SAW dengan tindakan tersebut tidak sulit dipahami dan kesimpulannya juga mudah diambil. Tinggal selanjutnya merumuskan konteks kekinian dan kedisiniannya.4. Metode Hadits Fadhail Al-AmalHadits fadhail al-amal adalah hadits yang mengemukakan keutamaan-keutamaan amal kebaikan dan dosa-dosa kejahatan. Hadits ini juga disebut hadits al-targib wa al-tarhib. Kebanyakan hadits fadhail al-amal adalah hadits qawli karena pengungkapan hadits fadhail al-amal melalui qawli lebih mudah. Akan tetapi banyak juga hadits fili dan hadits taqriri yang dilalahnya dapat memberikan kesan yang sama dengan hadits-hadits fadhail al-amal yaitu menunjukkan kelebihan dan keistimewaan sesuatu yang baik sehingga dapat menggairahkan umat untuk meningkatkan kebaikan dan menjauh mereka dari kejahatan.Hadits fadhail al-amal yang termasuk dalam kelompok hadits qawli disyarah dengan metodologi yang berlaku pada syarah matan hadits qawli. Namun, karena sebagian hadits fadhail al-amal memiliki karakteristik tersendiri, maka metode syarah matan hadits fadhail al-amal yang spesifik adalah tidak mengejar makna tekstual redaksinya, melainkan mencari maksud yang berada di balik redaksi tersebut, khususnya pada hadits fadhail al-amal yang redaksinya (makna harfiahnya) lebih jauh daripada maksudnya.Cara mengetahui makna yang dimaksud Rasulullah SAW adalah dengan mendasarkan pemaknaannya kepada fungsi dan status hadits fadhail al-amal, yang sebagai pemberi motivasi untuk beramal shaleh sekecil apapun dan meninggalkan kejatahan secara total. Jadi hadits fadhail al-amal tidak menetapkan ketentuan hukum baru, baik yang berkaitan dengan kebaikan maupun kejahatan.Langkah-langkah yang ditempuh adalah berawal dengan memahami makna hadits secara tekstual, sebagaimana layaknya mensyarah hadits qawli lainnya. Maka kajian nahwu, sharaf, dan balaghah tetap dipergunakan sebagaimana mestinya. Apabila makna tekstual itu belum bisa dipahami petunjuknya, maka dilanjutkan dengan membandingkan makna tekstual tersebut dengan dalil-dalil lain yang berkaitan dengan pokok permasalahannya, seperti pada kedua contoh hadits tersebut di atas. Selanjutnya hukum pokok amal yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, karena kadang-kadang sesuatu yang kesunnahannya telah mahsyur berdasarkan sejumlah dalil yang pasti, namun dinyatakan sebagai sesuatu yang wajib, seperti hadits tentang mandi pada hari jumat[footnoteRef:11] dan shalat witir[footnoteRef:12]. Sehubungan dengan itu penguasaan prinsip akidah, maqasid al-syariah, kaidah-kaidah ushul, dan kaidah-kaidah fiqh sangat membantu dalam menempuh langkah-langkah syarah hadits fadhail al-amal. [11: Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut: (BUKHARI - 846) : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari 'Atha' bin Yaar dari Abu Sa'id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mandi pada hari Jum'at adalah wajib bagi setiap orang yang sudah baligh." ] [12: Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut: (ABUDAUD - 1210) : Telah menceritakan kepada Kami Al Qa'nabi dari Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz bahwa seorang laki-laki dari Bani Kinanah yang dipanggil Al Makhdaji telah mendengar seorang laki-laki di Syam yang dipanggil Abu Muhammad berkata; sesungguhnya shalat witir adalah wajib. Al Makhdaji berkata; kemudian aku pergi kepada 'Ubadah bin Ash Shamid dan mengabarkan hal tersebut kepadanya. 'Ubadah berkata; Abu Muhammad telah berdusta, aku telah mendengar Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Lima shalat, telah Allah wajibkan bagi para hamba, barang siapa yang melakukannya dan tidak memenyia-nyiakan sedikitpun darinya karena meremehkan haknya maka baginya di sisi Allah sebuah perjanjian untuk Allah masukkan dirinya ke dalam Surga. Sedangkan orang yang tidak melaksanakannya maka ia tidak memiliki perjanjian di sisi Allah, apabila Allah menghendaki maka Dia akan menyiksanya aan apabila menghendaki maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga."]