SURIMI_Andika Putri_13700167_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download SURIMI_Andika Putri_13700167_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 23

description

Praktikum THL dengan bab Surimi menggunakan bahan baku daging ikan patin yang digiling, diberi tambahan sukrosa, garam, dan polifosfat, kemudian dibekukan. Praktikum dilaksanakan pada hari Senin, 14 September 2015 di laboratorium Rekayasa Pangan Unika Soegijapranata Semarang

Transcript of SURIMI_Andika Putri_13700167_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

21

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh: Nama : Andika PutriNIM: 13.70.0167Kelompok A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015Acara I

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, penggiling daging, freezer, texture analyzer, alat pengepresan, plastik bening, dan kertas milimeter blok.

1.1.2. BahanBahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan patin, garam, gula pasir, polifosfat, dan es batu.

1.2. Metode

Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya

Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.

Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kertas saring.

Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)

1

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).

Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.

Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer

Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan menggunakan alat penekan (presser)

Dilakukan uji sensoris pada surimi yang meliputi kekenyalan dan aroma.

2

3

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan mengenai uji hardness, WHC dan uji sensoris surimi dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Uji Hardness, WHC serta Uji Sensoris SurimiKelompokPerlakuanHardness (gf)WHC (mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

A1Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%-337.468,35++++++

A2Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%361,64207.510,55++++

A3Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%271,72246.118,14++++

A4Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%105,85237.573,84++++

A5Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%143,79210.042,19++++

Keterangan:Kekenyalan Aroma+: Tidak kenyal+: Tidak amis++: Kenyal++: Amis+++: Sangat Kenyal+++: Sangat amis

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pembuatan surimi pada tiap kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Penambahan polifosfat pada kelompok A1 sebanyak 0,1%; kelompok A2 dan A3 sebanyak 0,3%; kelompok A4 dan A5 sebanyak 0,5%. Sedangkan untuk sukrosa, kelompok A1 dan A2 menambahkan 2,5%; kelompok A3 sampai A5 menambahkan 5%. Nilai hardness tertinggi dihasilkan oleh kelompok A2, yaitu 361,64 gf dengan perlakuan sukrosa 2,5%; garam 2,5% dan polifosfat 0,3%. Sedangkan yang terendah adalah kelompok A4 yaitu 105,85 gf dengan perlakuan sukrosa 5%; garam 2,5% dan polifosfat 0,5%. Pada kelompok A1 tidak dihasilkan nilai hardness. Nilai WHC (Water Holding Capacity) tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 yaitu 337.468,35, dan yang terendah yaitu kelompok A2 dengan nilai 207.510,55. Secara umum, tingkat 4

kekenyalan dan aroma dari masing-masing kelompok sama yaitu kenyal dan amis, kecuali pada kelompok A1 diperoleh hasil sangat kenyal dan sangat amis.

5

3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan salah satu produk hasil pengolahan daging ikan yang sebelumnya telah dipisahkan dari kulit, tulang, sisik, dan bagian lainnya, yang kemudian diproses dengan cara dilumatkan atau digiling (Sonu, 1986). Fiddler et al. (1993) juga menyatakan bahwa surimi adalah suatu produk berbahan baku daging ikan yang sudah dipisahkan dari tulang-tulangnya, baik secara manual ataupun mekanis, lalu dicuci dengan air, diperas, dan diberi tambahan zat cryoprotectant seperti gula dan sorbitol supaya protein miofibril tidak rusak dan proses denaturasi selama pembekuan dapat dicegah. Surimi sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya adalah daging lumat dan berasal dari makanan tradisional Jepang yang disebut Kamoboko. Surimi merupakan produk setengah jadi atau disebut juga intermediate product yang dapat diolah lebih lanjut menjadi udang imitasi, scallop, dan produk-produk daging kepiting. Perbedaan surimi dengan daging cincang biasa dapat dilihat dari kemampuan dalam membentuk gel yang berpengaruh pada tekstur dan kemampuan untuk disimpan dalam keadaan beku. Surimi dapat disimpan dalam keadaan beku untuk waktu yang cukup lama karena adanya penambahan gula dan krioprotektan dalam proses pembuatannya (Turan & Snmez, 2008).

Berdasarkan jurnal Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as a Surimi Replacer (Ismail, I., et al., 2011), pada umumnya surimi dibuat dengan bahan baku daging ikan. Namun, surimi juga bisa diproduksi menggunakan bahan selain ikan seperti daging ayam, daging kalkun, daging bebek, dan produk poultry lainnya. Pada jurnal ini, diketahui produk surimi yang dibuat dari daging ayam menghasilkan yield sebesar 70,5% dan memiliki kekuatan gel yang tinggi. Surimi yang diproduksi menggunakan bahan baku poultry memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi surimi replacer karena kandungan lemak dan asam lemak jenuhnya lebih rendah jika dibandingkan dengan red meat (daging sapi, daging babi, daging domba).

6

Menurut Tanaka (2001), proses pembuatan surimi dapat dilakukan dengan mencuci lumatan daging ikan secara berulang-ulang (leaching), kemudian dilakukan pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengepakan dan pembekuan. Faktor yang mempengaruhi tingkat kekenyalan dan elastisitas dari surimi adalah konsentrasi protein miofibril yang sangat tinggi (Agustiani et.al, 2006). Produk surimi dapat digolongkan menjadi 2 jenis berdasarkan penggunaan garam, yaitu mu-en surimi (surimi yang dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam). Selain kedua jenis surimi tersebut, ada pula Na-ma Surimi yaitu produk surimi yang tidak mengalami pembekuan. Pada umumnya, surimi komersial mengandung kadar air 75%, protein 18%, lemak kurang dari 0,5% dan bahan-bahan lain 6,5% (Park et al. 1996).

Bahan yang digunakan untuk membuat surimi pada praktikum ini adalah ikan patin. Ikan yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat supaya produk surimi yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan protein dalam ikan tidak terdenaturasi. Kondisi ikan sebaiknya dalam keadaan segar karena semakin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin tinggi. pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 7.0 dan sebaiknya ikan tersebut berlemak rendah. Kandungan lemak yang tinggi pada ikan akan mempengaruhi daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik sehingga harus diekstrak lebih dulu (Suzuki, 1981).

Pertama - tama ikan patin dicuci dengan air mengalir. Proses pencucian dengan air mengalir dilakukan supaya komponen yang tidak diperlukan yang bersifat larut air dan larut lemak dapat dihilangkan, menghilangkan darah, serta meningkatkan kekuatan gel dan memperbaiki penampakan (Amalia, 2002). Setelah dicuci, ikan ditimbang beratnya. Kemudian daging ikan di fillet dengan cara membuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut dan kulit, lalu bagian daging putih ikan diambil sebanyak 100 gram. Peranginangin, et al. (1999) menjelaskan bahwa kepala, isi perut ikan, dan sisik harus dihilangkan dan dicuci bersih. Fortina (1996) menambahkan, daging ikan yang hendak dijadikan surimi perlu di fillet untuk membuang bagian yang tidak diperlukan, terutama kepala dan isi perut karena memiliki kandungan minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis pada surimi. Selain itu, protease yang terkandung dalam isi perut ikan dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel (Miyake et al., 1985).

Daging ikan yang telah diperoleh kemudian digiling hingga halus. Selama penggilingan ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah. Proses penghancuran daging akan menghasilkan daging yang lebih lembut dan lunak. Selain itu, luas permukaan daging akan bertambah sehingga memudahkan proses pengolahan selanjutnya dan kontak dengan bahan tambahan lain juga akan semakin optimal. Es batu yang ditambahkan saat proses penghancuran dapat menjaga kesegaran daging ikan dan mempercepat proses pengurangan air dari daging lumat (Buckle et al., 1978).

Daging ikan yang telah digiling kemudian dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kain saring. Salah satu tahapan yang terpenting dalam pembuatan surimi adalah pencucian karena dapat mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan beku. Kekuatan gel pada produk surimi juga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian. Proses pencucian dapat dikatakan efektif dilihat dari kandungan ion garam inorganik, protein larut air serta komponen non protein yang hilang dari jaringan otot atau surimi tersebut (Matsumoto, 1992). Menurut Lanier & Lee (1992), pencucian daging ikan secara mekanis biasanya dilakukan dengan menggunakan air dingin (suhu 5oC 10oC) dengan tujuan untuk menghilangkan lemak dan bahan lainnya yang tidak diinginkan, seperti darah, pigmen, enzim, dan zat yang berbau seperti trimetilamine, sehingga konsentrasi protein miofibril dalam ikan meningkat yang akan menyebabkan meningkatnya kemampuan pembentuk gel pada surimi.

Dalam jurnal Recovery and Characterization of Protein Precipitated from Surimi Wash-Water (Bourtoom, T., et al., 2009), limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian surimi mengandung protein larut air yang dapat diolah kembali. Pada jurnal ini, proses recovery protein dilakukan dengan menggunakan pelarut organik, pengaturan pH dan karakterisasi protein. Protein yang berasal dari limbah pencucian surimi akan mengalami pengendapan, dan dapat diolah lagi menjadi pengemulsi, penstabil, dan edible film pada industri pangan.

Setelah itu, daging ikan ditambah dengan sukrosa sebanyak 2,5% untuk kelompok A1 dan A2; 5% untuk kelompok A3, A4, dan A5. Pada proses pembuatan surimi, penambahan sukrosa berfungsi sebagai senyawa cryoprotectant yang dapat melindungi membran plasma sel supaya tidak mengalami kerusakan selama proses penyimpanan pada suhu rendah, dan mencegah denaturasi protein selama pembekuan. Terdapat 2 jenis krioprotektan, yaitu intraseluler dan ekstraseluler. Krioprotektan intraseluler akan masuk ke sitoplasma dan melindungi sel dari dalam, contohnya yaitu gliserol. Sedangkan krioprotektan ekstraseluler berfungsi melindungi sel dari luar, contohnya yaitu gula (contoh: sukrosa, sorbitol, maltosa, dll) (Yulnawati, dkk., 2010). Selain krioprotektan, dikenal pula istilah dryoprotectant. Dryoprotectant merupakan krioprotektan yang digunakan untuk melindungi protein selama proses pengeringan berlangsung pada produksi surimi dalam bentuk bubuk. Contoh dryoprotectant yang digunakan adalah sukrosa, sorbitol, polidekstrosa, palatinosa, dan trehalosa ( Huda, N., et al., 2012).

Berdasarkan jurnal Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Serdinella albella), (Kudre, T., Benjakul, S., 2013), untuk mencegah kerusakan protein pada produk surimi, dapat juga menggunakan bahan tambahan protein yang berasal dari biji tumbuhan polong (legume). Biji polong yang diisolasi proteinnya adalah kacang hijau dan kacang hitam. Protein yang telah diisolasi kemudian dijadikan sebagai bahan tambahan protein yang dapat meningkatkan gel pada surimi karena mengandung trypsin inhibitor, yang mampu menghambat aktivitas protease pada jaringan ikan dan surimi.

Setelah ditambah sukrosa, daging ikan diberi garam sebanyak 2,5% dari berat sampel 100 gram untuk semua kelompok. Produk surimi yang diberi tambahan garam akan lebih awet dan tidak cepat busuk karena garam dapat mempercepat pengeluaran air, menghilangkan lendir, darah dan kotoran lain dari daging. Selain itu, garam juga digunakan sebagai bumbu untuk menambah cita rasa asin (Wilson, 1981). Lan et al. (1995) menambahkan bahwa fungsi dari penggunaan garam adalah untuk membentuk gel yang kuat karena miosin dari serat-serat ikan yang berpengaruh terhadap kekuatan gel akan terlepas. Gel yang terbentuk akan mempengaruhi dari WHC surimi itu sendiri. Selain itu, protein miofibril akan mudah larut dengan adanya penambahan garam. Konsentrasi penambahan garam harus diperhatikan dan tidak bisa ditambahkan secara asal. Surimi yang diberi konsentrasi garam kurang dari 2% akan menyebabkan miofibril tidak dapat larut, sedangkan jika konsentrasinya lebih dari 12% maka miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out. Secara umum, konsentrasi garam yang digunakan untuk membuat surimi adalah 2-3%, karena jika lebih tinggi akan memberikan rasa yang terlalu asin (Lanier & Lee, 1992). Hal tersebut sesuai dengan praktikum yang dilakukan dimana pada pembuatan surimi dilakukan penambahan garam sebanyak 2,5% dari berat sampel. Oleh karena adanya penambahan garam maka jenis surimi yang dibuat dalam praktikum ini termasuk dalam jenis ka-en surimi.

Selanjutnya ditambah polifosfat sebanyak 0,1% untuk kelompok A1; 0,3% untuk kelompok A2 dan A3; 0,5% untuk kelompok A4 dan A5. Fungsi dari penambahan polifosfat adalah untuk meningkatkan daya ikat air (water holding capacity) sehingga penyusutan produk saat pemasakan dapat diminimalkan. Selain itu, polifosfat juga dapat meningkatkan keempukan, memberikan warna yang stabil, meningkatkan pH, dan membantu fungsi senyawa krioprotektan. Batas penambahan polifosfat dalam produk makanan adalah sebanyak 5% (Lanier & Lee, 1992). Penggunaan polifosfat dan senyawa krioprotektan dalam pembuatan surimi akan menghasilkan produk surimi yang dengan sifat fisikokimiawi yang baik dan memiliki tekstur yang kompak. Surimi yang diberi penambahan polifosfat juga tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee, 1984).

Setelah penambahan polifosfat dan tercampur hingga homogen, daging lumat kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik bening tertutup dan diletakkan dalam wadah, lalu dibekukan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Surimi merupakan produk perantara atau produk setengah jadi sehingga rentan terhadap kerusakan. Salah satu cara untuk mencegah kerusakan surimi dapat dilakukan dengan proses pembekuan, sehingga kualitas atau mutu surimi saat penyimpanan dapat dipertahankan. Hal tersebut didukung oleh Murniyati (2005) yang menjelaskan bahwa pembekuan ikan merupakan cara yang efektif untuk mempertahankan kualitas ikan karena panas dari ikan akan mengalami penarikan yang menyebabkan suhu ikan menjadi turun sampai pada tingkat suhu rendah yang stabil. Suhu rendah tersebut akan melindungi produk ikan selama proses pembekuan, penyimpanan beku dan distribusi sehingga sampai ke tangan konsumen dan dapat dinikmati secara maksimal. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan mutu dari surimi agar tidak busuk.

Sebelum diolah lebih lanjut, surimi perlu melalui proses thawing (Lee, 1984). Hari berikutnya dilakukan thawing terlebih dahulu pada sampel dengan membilas plastik bening berisi surimi di bawah air mengalir. Setelah itu, dilakukan beberapa analisa yang meliputi nilai WHC (Water Holding Capacity), hardness, aroma, serta kekenyalan.

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai hardness terbesar hingga terendah dihasilkan oleh kelompok A2 (penambahan sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,3%), A3 (penambahan sukrosa 5% dan polifosfat 0,3%), A5 (penambahan sukrosa 5% dan polifosfat 0,5%), A4 (penambahan sukrosa 5% dan polifosfat 0,5%), sedangkan kelompok A1 tidak memperoleh nilai hardness namun memperoleh nilai WHC yang tertinggi. Dari data tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa semakin banyak penambahan sukrosa dan polifosfat, maka nilai hardness yang dihasilkan semakin menurun, sedangkan nilai WHC nya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan sukrosa sebagai krioprotektan dan fungsi dari polifosfat itu sendiri. Tekstur surimi menjadi tetap elastis karena ikatan hidrogen pada gugus polihidroksi gula dapat bereaksi dengan molekul air sehingga menyebabkan tegangan permukaan menjadi meningkat dan molekul air yang ada pada protein tidak keluar (Fennema 1985). Sedangkan polifosfat berperan dalam proses pemisahan aktomiosin yang kemudian akan berikatan dengan miosin sehingga mampu menahan air, mineral, dan vitamin. Ketika mengalami proses pemasakan, miosin tersebut akan membentuk gel dan polifosfat akan mencegah keluarnya air dengan cara menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler sehingga dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat juga mampu memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin, et al., 1999). Oleh karena itu, penambahan polifosfat dengan konsentrasi yang semakin meningkat juga menyebabkan nilai WHC yang semakin tinggi dan seharusnya memeberikan tekstur surimi yang semakin kenyal. Sedangkan penambahan sukrosa yang semakin tinggi juga akan menyebabkan kenaikan nilai WHC namun menurunkan nilai hardness dari surimi tersebut.Pada kelompok A1 dengan penambahan sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,1% tidak dihasilkan nilai hardness karena produk surimi yang terbentuk memiliki tekstur yang sangat lembut, namun menghasilkan nilai WHC paling tinggi. Ketidaksesuaian antara hasil dan pustaka yang ada dapat disebabkan karena air yang digunakan untuk proses pencucian tidak diperas secara maksimal sehingga kandungan air dalam daging ikan menjadi bertambah. Polifosfat yang ditambahkan pada surimi akan menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler sehingga dapat menambah nilai kelembutan sehingga surimi yang dihasilkan kelompok A1 memiliki tekstur yang lebih lembut (Peranginangin, et al., 1999).

Hasil pengamatan secara sensoris menghasilkan tingkat kekenyalan yang paling tinggi pada kelompok A1 dengan penambahan polifosfat paling rendah, sedangkan pada kelompok A2-A5 menghasilkan tekstur surimi yang kenyal. Seharusnya ,semakin tinggi konsentrasi polifosfat yang diberikan maka kekuatan gelnya atau tingkat kekenyalan juga semakin tinggi. Hal ini dapat disebabkan dari proses pembekuan dan thawing yang tidak serempak dari masing-masing kelompok sehingga kekenyalan yang dihasilkan menjadi tidak valid. Penyebab lainnya yaitu kelemahan dari metode sensori yang sulit menstandarisasi pandangan orang-orang yang bersifat relatif. Orang yang sudah terlatih dapat dengan mudah mengalisa dengan metode sensori, tetapi metode sensori sulit untuk dilakukan oleh orang yang belum terlatih, sehingga akhirnya dapat menyebabkan data hasil pengamatan yang kurang presisi (Windsor, et al., 1982).

Dari hasil pengamatan aroma, dapat dilihat bahwa aroma surimi yang dihasilkan kelompok A1 sangat amis, sedangkan pada kelompok A2-A5 berbau amis. Pada kelompok yang menunjukkan aroma amis bahkan sangat amis menandakan bahwa kemungkinan perlakuan pencucian sebagai treatment awal pembuatan surimi kurang maksimal. Berdasarkan pustaka Irianto (1990), perlakuan pencucian seharusnya dapat menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh senyawa trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk flavor/ aroma pada ikan).

Kualitas surimi dapat ditentukan oleh beberapa parameter, namun parameter utama yang menunjukkan kualitas dari surimi adalah kekuatan gelnya. Kekuatan gel adalah karakteristik yang penting pada produk surimi karena berkaitan dengan breaking force, tekstur dan ciri fungsional dari gel (Yiin, T.A., et al., 2014). Selain kekuatan gel, kualitas surimi tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Bahan mentah yang digunakanBahan baku yang baik akan menghasilkan produk surimi dengan kualitas yang baik pula. Surimi yang memiliki kualitas yang baik dapat dilihat dari segi warnanya yang terang, berbau netral, dan elastis atau memiliki kemampuan membentuk gel yang baik. Bahan baku yang digunakan harus memenuhi syarat yaitu rendah lemak, segar (agar tidak menghasilkan surimi yang berbau amis dan berwarna gelap), serta memiliki kandungan protein miofibril yang tinggi karena protein tersebut merupakan salah satu komponen terpenting dalam pembentukan karakteristik gelling dari surimi itu sendiri (Jin, et al., 2008). Pencucian daging ikan Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi harus melalui proses pencucian dengan menggunakan air dingin (suhu 5oC 10oC) dengan tujuan untuk menghilangkan lemak dan bahan lainnya yang tidak diinginkan, seperti darah, pigmen, enzim-enzim pencernaan, garam-garam anorganik, komponen organik low-molecular yang berbau seperti trimetilamine oxide, serta untuk menghilangkan protein sarkoplasma pada daging sehingga konsentrasi protein miofibril dalam daging ikan meningkat yang akan menyebabakan meningkatnya kemampuan pembentuk gel pada surimi (Lanier & Lee, 1992). Penggunaan krioprotektan, polifosfat, dan garamKrioprotektan akan menghambat denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku yaitu dengan cara menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melaui ikatan hidrogen. Contoh senyawa krioprotektan yang biasa digunakan yaitu sukrosa dengan dosis 4% dan sorbitol dengan dosis 4-5% sering digunakan bersamaan dengan 0,3% sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan lebih dari satu tahun. Jenis polifosfat yang sering digunakan antara lain dinatritum fosfat (DSP), natrium heksametafosfat (SHMP), dan natrium tripolifosfat (STTP). Sedangkan penambahan garam akan membentuk gel yang kuat karena miosin dari serat-serat ikan yang berpengaruh terhadap kekuatan gel akan terlepas. Konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3% (Lanier & Lee, 1992). Metode pembekuanMetode pembekuan yang sesuai untuk surimi adalah metode pembekuan cepat (quick freezing) yang biasanya menggunakan alat air blast freezer. Pembekuan cepat akan meminimalkan kerusakan mekanis karena kristal es yang terbentuk berukuran kecil. Selain itu, drip loss yang terjadi selama thawing juga dapat diminimalkan sehingga komponen-komponen yang ada pada surimi terutama protein miofibril yang bertanggung jawab terhadap kekuatan gel (Lanier & Lee, 1992). Suhu penyimpanan bekuSuhu penyimpanan beku pada pembuatan surimi yang baik adalah pada suhu -20oC atau lebih rendah. Suhu tersebut harus konstan dan sebisa mungkin tidak mengalami perubahan yang drastis. Tempat penyimpanan beku surimi (cold storage) sebaiknya dilengkapi dengan ruangan anteroom untuk meminimalkan perubahan suhu yang besar pada saat buka-tutup pintu cold storage. Perubahan suhu yang drastis dapat memengaruhi mutu surimi beku terutama pada sifat fungsional proteinnya (Lanier & Lee, 1992).16

14

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk olahan daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit, tulang, sisik, dan bagian lainnya, lalu dilumatkan atau digiling. Proses pembuatan surimi adalah pencucian lumatan daging ikan secara berulang-ulang (leaching), pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengepakan dan pembekuan. Ikan yang rendah lemak, segar, serta memiliki kandungan protein miofibril yang tinggi akan menghasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Dalam pembuatan surimi dapat ditambahkan garam, krioprotektan seperti gula sukrosa, serta polifosfat (STTP) untuk memperbaiki tekstur, elastisitas, kemampuan mengikat air, serta memperbaiki rasa surimi itu sendiri. Ada 2 jenis dari surimi yakni Mu-en Surimi dan Ka-en Surimi. Fungsi dari penggunaan garam adalah untuk membentuk gel yang kuat, mengawetkan dan sebagai bumbu. Semakin banyak penambahan sukrosa dan polifosfat, maka nilai hardness yang dihasilkan semakin menurun, sedangkan nilai WHC semakin meningkat. Semakin segar ikan yang digunakan, maka tingkat elastisitas dari surimi akan semakin tinggi. Kandungan protein miofibril yang tinggi pada ikan akan membantu pembentukan gel. Faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah kondisi bahan mentah yang digunakan, pencucian daging ikan, penggunaan krioprotektan, polifosfat, dan garam, metode pembekuan, serta suhu penyimpanan beku.

Semarang, 22 September 2015Praktikan,Asisten Dosen,

Andika PutriYusdhika Bayu S.

13.70.016716

5. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, T. W., Akhmad, S. F,Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi ProdukPerikanan. Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bourtoom, T., Chinnan, M.S., Jantawat, P., & Sanguandeekul, R. (2009). Recovery and Characterization of Proteins Precipitated from Surimi Wash-Water. Food Science and Technology 42 599605.

Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo Hdan adiono, penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Fennema, O.R. (1985).Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.

Fiddler, W., J. W. Pensabene, R.A. Gates, M. Hale, M. Jahncke and J.K. Babbit. (1993). Alaska Pollock (Theragra chalcogramma) mince and surimi as partial meat substitutes in frankfurters: N-nitrosodimethylamine formation. Journal of Food Science Vol. 58, 1:62-65. USA.

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Huda, N., Abdullah, R., Santana, P., & Yang, T.A. (2012). Effects of Different Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder. Journal of Fisheries and Aquatic Science 7 (3) : 215-223. Universitas Sains Malaysia.

Irianto B. 1990. Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan ikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35 39.

Ismail, I., Huda, N., & Ariffin, F. (2011). Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as a Surimi Replacer. Journal of Poultry Science. Universitas Sains Malaysia.Jin, Sang-Keun; Il-Suk Kim; Yeung-Joon Choi; Gu-Boo Park; Han-Sul Yang. (2008). Quality Characteristics of Chicken Breast Surimi as Affected by Water Washing Time and pH Adjustment. Asian-Aust J. Anim. Sci. Vol. 21, No. 3 : pp. 449 455.

Kudre, T. & Benjakul, S. (2013). Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Sardine albella). International Journal of Chemical, Environmental & Biological Sciences. Vol 1. Prince of Songkla University, Thailand.

Lan, H. Y.,MuW.,Nikolic-PatersonD.J.,and AtkinsR.C.(1995).A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens.J Histochem Cytochem43:9710.

Lanier, T.C. dan C.M. Lee. (1992). Surimi Technology, Marcell Decker, Inc., New York.

Lee CM. (1984). Surimi Process Technology.Journal Food Techonology38(11):69-80.

Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of protein in surimi. In: Lanier T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Murniyati, A.S. (2005). Pembekuan Ikan, SUPM Tegal. Tegal.

Park S, Brewer MS, Novakovski J, Bechtel PJ, McKeith FK. (1996). Process and characteristics for a surimi-like material made from beef or pork. Journal Food Science 61(2):422-427.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

Sonu S . C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island, California.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ. Ltd. London.

Tanaka, M. (2001).Surimi and Surimi Products.Department of Food Science and Technology. Jepang.

Turan, Hlya and Snmez, Glah. (2008). Changes in Proximate Composition of Thornback Ray (Raja clavata, L. 1758) Surimi During Washing and Frozen Storage. Journal of Food Processing and Preservation 34. pp. 24 34.

Wilson, N.R.P., E.J. Dyett, R.W. Hughes dan C.R.V. Jones. (1981). Meat and Meat Products. Aplied Science Publisher, London.

Windsor, M. L.; A. Aitken; I. M. Mackie & J. H. Merrit. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.Yiin, T.A., Huda, N., Ariffin, F., & Easa, A.M. (2014). Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi. Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy. Vol. 2 (2) : 9-16. Universitas Sains Malaysia.Yulnawati; Hera Maheshwari; Muhammad Rizal; Herdis. (2010). Maltosa Mempertahankan Viabilitas Spermatozoa Epididimis Kerbau Belang yang Disimpan dalam Bentuk Cair. Jurnal Veteriner Vol. 11 No. 1: pp. 126 130.

17

18

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)Luas atas = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)Luas bawah = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)Luas Area Basah = LA - LBmg H2O =

Kelompok A1a = 60 mmh1 atas = 185 mmh1 bawah = 35 mm ho = 99 mmh2 atas = 200 mmh2 bawah = 16 mmhn = 120 mmh3 atas = 182 mmh3 bawah = 24 mmLuas atas = x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)= 41.740 mm2Luas bawah = x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)= 9.740 mm2Luas Area Basah = 41.740 9,740= 32.000 mm2mg H2O = = 337.468,35 mg

Kelompok A2a = 40 mmh1 atas = 172 mmh1 bawah = 19 mm ho = 79 mmh2 atas = 176 mmh2 bawah = 8 mmhn = 107 mmh3 atas = 148 mmh3 bawah = 16 mm

Luas atas = x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)= (79 + 688 + 352 + 592 + 107)

19

= 24.240 mm2Luas bawah = x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)= (79 + 76 + 16 + 64 +107)= 4.560 mm2Luas Area Basah = 24.240 4.560= 19.680 mm2mg H2O = = 207.510,55 mg

Kelompok A3a = 45 mmh1 atas = 173 mmh1 bawah = 24 mm ho = 87 mmh2 atas = 192 mmh2 bawah = 10 mmhn = 60 mmh3 atas = 172 mmh3 bawah = 23 mmLuas atas = x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)= 28.665 mm2Luas bawah = x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)= 5.325 mm2Luas Area Basah = 28.665 5.325= 23.340 mm2mg H2O = = 246.118,14 mg

Kelompok A4a = 45 mmh1 atas = 161 mmh1 bawah = 14 mm ho = 75 mmh2 atas = 178 mmh2 bawah = 7 mmhn = 90 mmh3 atas = 153 mmh3 bawah = 10 mmLuas atas = x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)= 26.655 mm2Luas bawah = x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)= 4.125 mm2Luas Area Basah = 26.655 4.125= 22.530 mm2mg H2O = = 237.573,84 mg

Kelompok A5a = 40 mmh1 atas = 154 mmh1 bawah = 33 mm ho = 75 mmh2 atas = 196 mmh2 bawah = 3 mmhn = 99 mmh3 atas = 169 mmh3 bawah = 13 mmLuas atas = x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)= (75 + 616 + 392 + 676 + 99)= 24.773,33 mm2Luas bawah = x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)= (75 + 132 + 6 + 52 + 99)= 4.853,33 mm2Luas Area Basah = 24.773,33 4.853,33= 19.920 mm2mg H2O = = 210.042,19 mg

6.2. Laporan Sementara6.3. Diagram Alir6.4. Abstrak Jurnal