SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita...
Transcript of SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita...
f),IIIk: 1.BLA Cabang 'v1.1Lr.llll.1d (liWzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBALE\1BAGA PTTEOl.OGIIAKi\I1TA). No. ::n.2 302 2rlJS
2. H,lIlk 'vtANDIIU r. luallg Clkll1i(LEMBArIA PEIH;(JRIJAN TI\I(~r.1 TEIlIII(zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA1'.1 I\() I ~ HlOO 'i('LS 431
~___:--
Septemmy Eucharistia Lakawa, Th.D.
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi jakarta
Jakarta, 11 Ma,'et 2020
untuk menjadi pembicara dalam kegiatan Kuliah Umum dengan judul "HKBP dan Politik:
HKBP Merevitalisasi Pendtdlkan, Kesehatan, Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil"
yang diselenggarakan pada 22 Maret 2020 di Sekolah Tinggi Diakones, Balige, Sumatera
Utara. Demikian surat ini dibuat untuk dipcrgunakan sebagaimana mestinya.
Dosen Tetap dan Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik Jakarta[abatan
Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini mcnugaskan:
Nama Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D.
No. : 079a/Ketua/lJlj2020
Hal : Penugasan MewakiHSTFf Jakarta
SURATTUGAS
[alan Proklamasi 27
jakarta 103£0. lndonesia
Tel. ~62·21·3<)04237
Fax.+0£·21-3')06096
Email: [email protected].:.id
http://www.sttJakarta.ac.id/
1
DIAKONIA DAN POLITIK
HKBP Merevitalisasi Pendidikan, Kesehatan,
Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil
Binsar Jonathan Pakpahan
Pendahuluan
Diskusi mengenai pandangan diakonia gereja selalu berhubungan dengan
pandangannya mengenai relasi gereja dan masyarakat. Diakonia sekarang kita pahami
sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan tertindas,
untuk menyatakan karya Allah dan membawa damai sejahtera kepada dunia.1 Bentuk
pelayanan diakonia juga beragam: pelayanan doa, pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial, pelayanan pastoral, dan lainnya. Dalam Dictionary of the Ecumenical Movement
(2002), diakonia diartikan sebagai
Diakonia, or the "responsible service of the gospel by deeds and by words performed by
Christians in response to the needs of people", is rooted in and modelled on Christ s
service and teachings. The intimate link between the service of God and the service ofhumankind is said by Baptism, Eucharist and Ministry to be exemplified for the whole
church by the ministry of deacons (M31). (Dictionary of the Ecumenical Movement s.v.
diakonia )
Salah satu kata kunci yang bisa kita tangkap dari definisi di atas adalah bahwa diakonia
adalah soal perkataan dan perbuatan dalam merespons kebutuhan orang-orang di
sekitarnya berdasarkan karya dan ajaran Kristus.
Diakonia adalah salah satu dari tanda gereja terutama dalam bidang pelayanan.
Dalam buku terbaru karya John N. Collins yang membahas diakonia dari perspektif
sejarah sejak abad ke-19 hingga sekarang (2014), setelah karyanya yang membahas
diakonia dari sejarah gereja mula-mula (1990), kita bisa melihat bahwa baik
pemahaman mau pun pelaksanaan diakonia telah berkembang dari masa ke masa.
Pada mulanya diakonia adalah pelayanan meja yang dilakukan pada perjamuan
ekaristi. Jemaat berkumpul dan mengumpulkan apa yang mereka miliki untuk dibagikan
secara merata kepada mereka yang membutuhkannya (bnd. Kis. 2:44-47). Sejak abad
ke-3, gereja di Roma sudah memiliki 7 diakoniae yang melayani lebih dari 1500 janda
1 Definisi diakonia tidak selalu mengenai panggilan belas kasih. Pada awalnya diakoniadilihat sebagai partisipasi pelayanan meja dan dihubungkan dengan pelayanan Ekaristi. Definisi
ini kemudian berkembang menjadi pelayanan khusus bagi para janda yang dilayani oleh diaken,
dan kemudian menjadi pelayanan belas kasih sejak pertengahan abad ke-20 sampai sekarang.
2
dan orang miskin (Collins 1990, Dictionary of the Ecumenical Movement s.v. diakonia ).2
Pada masa ini gereja dan negara kemudian memiliki hubungan yang erat, sehingga
negara ikut membantu pelaksanaan pelayanan gereja kepada warga miskin,
Dalam masa reformasi, Calvin dan Luther memberi penekanan khusus kepada
pelayanan kepada orang miskin, dan bahkan menyarankan para diaken untuk
melakukan pencatatan dan pelayanan yang sistematis bagi mereka yang membutuhkan.
Di masa pasca Reformasi 1517, pelayanan gereja dalam bidang diakonia dan negara
mulai diatur karena gereja tidak lagi berhubungan langsung dengan negara. Pemisahan
pelayanan gereja dan negara tidak sepenuhnya terjadi di negara-negara Eropa Barat
sampai awal abad ke-18 di mana gereja dan negara sudah menjadi dua entitas yang
berbeda. Pengaruh abad pencerahan juga mendorong gereja masuk ke ruang privat dan
masalah publik menjadi tugas negara.
Pemisahan pelayanan gereja dari tugas negara melayani rakyatnya tetap
bersinggungan terutama pada 1865 sejak munculnya gerakan Social Gospel Movement.
Gerakan ini mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20. Fokus dari filsafat dan pandangan teologi pada masa itu ditantang oleh
tatanan kehidupan masyarakat yang berubah akibat perkembangan industri modern.
Gerakan ini berkeyakinan bahwa gereja harus mendatangkan pembaruan untuk
mendatangkan dan mewujudnyatakan Kerajaan Allah di bumi ini (Aritonang 1996, 234).
Menurut paham ini, orang Kristen dapat mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini bila ia
berhasil menciptakan masyarakat yang adil dan merata di semua bidang kehidupan.
Pandangan ini kemudian mendorong gereja untuk banyak berkiprah di bidang sosial-
ekonomi dan politik. Permasalahan kesehatan dan pendidikan tidak bisa diselesaikan
hanya dengan pelayanan gereja, namun juga melalui alat politik yaitu negara. Pada
perkembangannya, teologi sosial gereja dipengaruhi oleh teolog seperti Reinhold
Niebuhr, Walter Rauschenbusch (1907) yang ingin mengembalikan peran gereja di
ruang publik, terutama untuk menjawab masalah sosial yang ada.
Teologi sosial kemudian dikembangkan sebagai cara gereja merespons
perkembangan zaman dengan memperlihatkan bahwa gereja juga adalah bagian dari
masyarakat dan karena itu beberapa ekstrem relasi gereja dan negara kembali muncul
di abad ke-20. Di satu sisi, gereja bisa menjadi pendukung loyal negara dan
menghasilkan dukungan buta seperti Landeskirchen (German Evangelical Church) di
Jerman dan Dutch Reformed Church di Afrika Selatan.3 Beberapa dokumen penting
kemudian lahir untuk memberi peringatan sekaligus juga pernyataan teologis akan
2 Collins membahas khusus kata dalam Markus 10:45 dan memperlihatkan
bahwa diakonia tidak berasal dari pelayanan belas kasih melainkan pelayanan wajib yang
diperintahkan oleh atasan kepada bawahan (Collins 1995, 167).3 Sejarah mencatat bahwa kehadiran gereja pendukung kebijakan pemerintah ini juga
selalu mendapat perlawanan dari gereja lain seperti The Bekennende Kirche (Confessing Church)
di Jerman dan Gereja Anglikan di Afrika Selatan.
3
bahaya tidak kritisnya gereja terhadap kebijakan negara seperti Barmen Declaration dan
Dokumen Kairos.
Di awal abad ke-21 kita bisa melihat beberapa model relasi gereja dan negara
berdasarkan perkembangan paham teologi tersebut. Perkembangan paham relasi gereja
dan negara mau tidak mau juga mempengaruhi paham diakonia gereja. Pertanyaan-
pertanyaan yang kemudian mengundang respons yang berbeda adalah: Siapa pelaku
diakonia? Apa tujuan diakonia, apakah untuk melawan kemiskinan struktural atau
menolong orang miskin? Bagaimana cara gereja menyatakan dukungan atau sikap
kritisnya terhadap pemerintah? Beberapa pertanyaan ini kemudian membawa
perbedaan juga terhadap sikap gereja dalam aksi diakonianya.
Dalam dokumen The Church, World Council of Churches menyatakan beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebagai posisi gereja akan pelayanan kasih. Pertama, adalah
bahwa Kristus datang untuk mentransformasi dunia, karena itu gereja juga hadir untuk
mentransformasi dunia (WCC 2013, ¶33). Sebagai tubuh Kristus, pekerjaan gereja
adalah pendamai, pemulih, dan gereja yang membawa keadilan dan kedamaian bagi
seluruh ciptaan (WCC 2013, ¶34). Yang paling penting adalah,
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa setiap individu ataupun kelompok Kristen
memiliki tanggung jawab untuk menyatakan dan mengejawantahkan keadilan dankedamaian. Tindakan moral ini didasarkan pada Injil. Injil menjadi patokan dan
pengevaluasi dari keadilan dan kedamaian yang dinyatakan di dunia. Tidak hanya itu,
gereja-gereja juga perlu mewujudnyatakan misi ini. Gereja-gereja saling mendukung,
melalui Roh Kudus menyatakan tanggung jawab moral mereka di masyarakat sekitar
mereka. (WCC 2013, ¶36)
Pandangan WCC memperlihatkan bahwa gereja perlu menyatakan tanggung jawab
moral dalam masyarakat. Karena itu pertanyaan yang kita ajukan di atas menjadi
semakin relevan, bagaimana cara gereja berperan dalam pelayanan kasih dalam
penegakan keadilan dan kedamaian jika dilihat dari relasi mereka dengan negara?
Karena itu, saya berargumen dalam makalah ini, bahwa pandangan diakonia
gereja tidak dapat dipisahkan dari teologi politik gereja. Politik yang saya maksud
adalah pengelolaan kehidupan bersama dalam sebuah polis. Jika demikian, apa relasi
diakonia gereja dan pandangan politik gereja, terutama bagi gereja-gereja di Indonesia
ditinjau dari Pengakuan Iman (Konfesi) mereka? Makalah ini akan mencoba menjawab
pertanyaan ini dengan menyandingkan pemahaman dua teolog yang akan menjadi
poros ujung dari pemahaman teologi keterlibatan gereja dalam masyarakat, sekaligus
juga akibatnya terhadap suara gereja di tengah masyarakat, yaitu Abraham van de Beek
dan Martin Luther King Jr. Setelah itu kita akan melihat tipologi gereja dan politik
menurut Wogaman untuk mendapatkan perspektif posisi gereja dalam politik. Akhirnya,
saya akan menyampaikan skema teologi diakonia dan politik gereja sambil mengujinya
dalam pandangan teologis beberapa gereja di Indonesia.
4
Jenis-jenis DiakoniaMenurut Yosef Widyatmadja, ada tiga jenis diakonia berdasarkan perwujudan
bentuk diakonianya.
a. Diakonia karitatif. Diakonia jenis ini adalah bentuk yang pasti digunakan dalam
berbagai pelayanan gereja. Dalam bentuk ini diakonia diartikan dalam bentuk
pertolongan kepada orang miskin dalam bentuk charitas, charity. Pada dasarnya
diakonia memang adalah pekerjaan charitas, dan pertolongan kepada orang
yang membutuhkan diberikan atas dasar perintah Allah bahwa kita harus
memberi makan yang lapar, membesuk yang sakit dan terpenjara, memberi
tumpangan kepada mereka yang tidak punya rumah, dan memberi baju kepada
mereka yang tidak memilikinya. Diakonia bentuk ini sering diumpamakan
seperti memberi ikan kepada yang lapar. Kelemahan diakonia bentuk ini adalah
bahwa kebutuhan jangka panjang dari orang miskin tidak diperhatikan karena
orang miskin akan tetap lapar.
b. Diakonia reformatif memberi perhatian kepada pemberian pelatihan kepada
mereka yang membutuhkannya agar mereka bisa melakukan sesuatu untuk
keluar dari jerat kemiskinan. Dengan jenis diakonia ini, kita bisa memberi
bantuan tools kepada orang miskin untuk keluar dari kemiskinannya sendiri.
Dalam bentuk ini, diakonia digambarkan seperti memberi pancing kepada orang
miskin agar dia bisa memancing. Kelemahan bentuk ini adalah sistem yang
membuat orang miskin akan tetap ada dan pancingnya mungkin tidak berguna
karena tidak ada kolam yang tersedia.
c. Diakonia transformatif. Dalam bentuk ini diakonia diharap mampu
membebaskan rakyat miskin dari struktur dan sistem yang tidak adil.
Perlawanan yang dilakukan dalam diakonia transformatif diarahkan kepada
sistem, bukan hanya kepada orang yang sedang tertindas.
Menurut Elsie Anne McKee, diakonia kontemporer memiliki 8 ciri (McKee 1989, 106-
107):
a. Diakonia adalah tindakan mendasar dalam gereja.
b. Diakonia menyesuaikan diri dengan bentuk lokal.
c. Diakonia tidak pernah dilakukan sendiri, melainkan memerlukan kerjasama dari
gereja lainnya.
d. Diakonia seharusnya lebih fokus kepada tindakan prefentif.
e. Diakonia juga terpanggil untuk mengubah sistem dan struktur secara politik.
f. Diakonia memiliki sifat manusiawi (humanitarian).
g. Diakonia adalah saling membutuhkan, pada saat diakonia memberi, dia juga
menerima.
h. Diakonia harus bersifat membebaskan.
5
Myra Blyth dan Wendy S. Robins menyatakan bahwa diakonia merupakan tindakan aktif
dari umat Kristen sebagai respons terhadap tantangan dalam bentuk penderitaan dan
struktur sosial yang menindas kaum yang lemah (Blyth 1988, 23). Oleh karena itu,
diakonia tidak bisa dipisahkan dari pergumulan masyarakat di mana terdapat
ketidakadilan serta struktur sosial yang menindas kaum miskin.
Beberapa bentuk sikap yang bisa kita terjemahkan sebagai diakonia dalam
Perjanjian Lama adalah:
1. Tahun Sabat (Ul. 15:1-11) menetapkan setiap tujuh tahun sebagai tahun
penghapusan hutang dan pembebasan budak (Noordegraaf 2004, 36).
2. Tahun Yobel (Im. 25:1-22) menetapkan pengembalian kembali tanah orang yang
pernah diambil sebagai jaminan, dan pembebasan budak di tanahnya sendiri
(Noordegraaf 2004, 36).
3. Perpuluhan (Kel. 22:29-30; 23:19; Ul. 14:22-29; 26:1-15).
4. Larangan mengambil bunga dari orang miskin.
5. Peraturan panen (Ul. 24:19-22) yang mengatur pemilik kebun untuk
menyisakan hasil panen di lading bagi orang miskin.
6. Perlakuan terhadap pekerja yang adil dan tidak boleh menahan gaji (Ul. 24:14-
15).
7. Pembatasan kekayaan raja/kepala negara (Ul.17:14-17).
Dalam Baru kita melihat perjalanan hidup Yesus yang banyak menyinggung
orang kaya dan mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rakyat miskin
menjadi tanggung jawab orang-orang kaya (de Santa Ana 1979, 18). Yesus banyak
mengingatkan orang kaya untuk menggunakan kekayaannya bagi kepentingan orang
banyak. Bukan hanya orang kaya, kita semua diminta untuk menolong mereka yang
membutuhkan (Mat. 25:35-48). Pelayanan kasih haruslah juga menjangkau semua orang
yang tidak berasal dari kalangan sendiri, bahkan sampai pada orang yang membenci kita
(Luk. 10:25-37). Yesus juga memberi makan orang banyak sebelum dia memberitakan
Firman. Contoh perbuatan Yesus ini menjadi dasar bagi banyak gereja untuk melakukan
diakonia kepada orang miskin.
Antara Abraham van de Beek dan Martin Luther King Jr.Dalam bagian ini, kita akan melihat diskusi antara dua teolog yang sepertinya
memiliki arah berteologi yang berbeda dalam memandang bagaimana gereja harus
terlibat dalam masalah kemasyarakatan. Pandangan pertama adalah dari Abraham van
de Beek (1946-...), seorang teolog asal Belanda yang pernah menjadi Ketua seksi Teologi
dan Filsafat dalam the Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (2002-2006).
6
Van de Beek menulis sebuah artikel Religion without Ulterior Motive (2005) yang
menyatakan bahwa agama tidak boleh menjadi subordinasi dari tujuan apa pun.4
Mengutip tulisan Rabbi Samuel Hirsch (1854), dia mengatakan bahwa Religion allied to
progress means sacrificing religion and morality to every man s momentary whim.
(Hirsch 1854 dalam Frank, Leaman & Manekin 2000, 393). Agama harusnya menjadi
tujuan pada dirinya sendiri dan bukan digabung dengan berbagai semangat seperti
untuk kesejahteraan masyarakat atau untuk kemajuan. Karena begitu kita
menempatkan agama sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, agama
menjadi alat dari kesejahteraan. Akibatnya, jika agama tidak membawa perubahan
kepada masyarakat, agama menjadi tidak relevan dan bisa kita tinggalkan.
Van de Beek menolak penggunaan agama (dan dalam beberapa bagian saya juga
terjemahkan menjadi institusi iman) sebagai instrumen apa pun. Baginya, Allah telah
memberi instrumen yang cukup untuk manusia, dan kita tidak akan bisa mengubah apa
pun sampai Allah datang kembali. Yang sering menggunakan jargon agama untuk
perubahan justru adalah pemerintah. Agama digunakan oleh para politisi dan terutama
negara untuk menjalankan agendanya. Di Indonesia, kita juga melihat bahwa setiap ada
agenda negara, tentang pajak atau korupsi misalnya, mereka akan menghubungi
institusi agama untuk menjalankan ide tersebut. Akibatnya, agama sering menjadi alat
propaganda agenda politik dan politisi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam contoh
ini, agama menjadi alat dari tujuan lain yang lebih penting.
Menurut van de Beek, iman harusnya menghasilkan buah, tetapi buah iman tidak
boleh menjadi tujuan dari seseorang untuk menggunakan agama. Buah iman adalah
konsekuensi, bukan tujuan. Karena kasih Allah yang besar terhadap dunia, manusia
memuji Allah. Konsekuensinya, menurut van de Beek, tujuan gereja bukanlah untuk
mengubah dunia, melainkan untuk menjadi pelaku firman dan menjalani kehidupannya
dengan baik sebagai orang Kristen. Tugas gereja adalah menyiapkan umat untuk
menjadi orang Kristen yang baik, yang melaksanakan hukum Allah dan menjalankan
kewajiban dunianya. Keterlibatan dalam masyarakat akan terjadi secara otomatis
karena seseorang adalah Kristen yang baik. Karena itu, van de Beek agak kritis terhadap
teologi yang memiliki agenda pembebasan sebab teologi pembebasan memiliki motif
menjadikan agama sebagai alat untuk mengubah dunia. Agama harusnya menjadi tujuan
pada dirinya sendiri dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai hal yang
lain. Argumen van de Beek akan banyak beresonansi dalam pihak yang memiliki
kekhawatiran bahwa gereja akan menjadi semacam lembaga swadaya masyarakat.
Menurut van de Beek, peran gereja dalam masyarakat adalah:
First, if we are Christians and our dwelling is in heaven, we do not fight for our position
in the world. We can be patient, helpful, and all the other characteristics of Christian life
4 Artikel ini mendapat tanggapan yang cukup serius dari komunitas teolog sistematikayang bergabung dalam The International Reformed Theology Institute (IRTI) yang mengadakan
konferensi dengan judul tulisan van de Beek dan menerbitkan sebuah buku respons Religion
without Ulterior Motive yang diedit oleh Eduardus J.G.H. Van Der Borght (2006).
7
we can find in New Testament paraenesis no hate for enemies, no divorce, no
resentment by slaves.
.
Second, we are not dependent on what happens in the world. We do not fear those whocan kill the body. We fear God, who has the ultimate power to decide about our being. We
do not fear persecution or suppression. The Letter to the Hebrews goes so far as to say
that Christians joyfully accepted the confiscation of their property (Heb 10:34). We do
not depend on possessions. We depend only on the Lord. Therefore we have no need to
change the state or societal structures. (van de Beek 2005, 523-524)
Meski terdengar sangat pasif, van de Beek juga adalah seorang teolog yang percaya
bahwa tugas kita bukanlah mengubah dunia melainkan meyakinkan masyarakat untuk
memegang nilai Kristus dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Tentu pada poin ini kita memiliki banyak pertanyaan atau mungkin gugatan terhadap
pandangan van de Beek, misalnya, bagaimana dengan gereja yang berada dalam konteks
minoritas, atau ketidakadilan sistematis yang dijalankan negara, atau bahkan mungkin
ada yang merasa sesuai dengan pandangan ini. Tetapi saya tidak akan mengelaborasi
pertanyaan-pertanyaan tersebut di sini. Kita hanya mengambil paham van de Beek
dengan peringatannya bahwa agama tidak boleh menjadi alat kemajuan. Dengan
demikian, saya menempatkan pandangan van de Beek yang kontroversial ini di satu
kutub ekstrem relasi gereja dan masyarakat yang menyatakan bahwa gereja tidak boleh
menjadikan perubahan masyarakat sebagai tujuan beragama.
Di sini kita masuk ke teolog kedua, yaitu Martin Luther King Jr. (1929-1968). Dia
berada dalam konteks ketidakadilan ras di Amerika Serikat terutama di Alabama. Pada
1955 ada demonstrasi besar-besaran di Montgomery, Amerika Serikat yang menentang
pemisahan tempat duduk di dalam bus, dipicu oleh Rosa Parks. King Jr. kemudian
mendorong gereja untuk aktif dalam menentang pemisahan rasial di Amerika dan
mendorong adanya demonstrasi damai. Pada April 1963, SCLC mulai sebuah kampanye
antipemisahan rasial di Birmingham, Alabama. Mereka jalan di tempat umum, dan
duduk di tempat mereka tidak dibolehkan duduk oleh hukum. Tujuan King adalah untuk
memulai penangkapan massal, sehingga menciptakan situasi krisis yang memulai
negosiasi. Tetapi karena dianggap kurang berhasil, seseorang mulai menyertakan anak-
anak dan remaja dalam demonstrasi ini. Kepala polisi Birmingham menggunakan jet air
dan anjing polisi, termasuk terhadap anak-anak. Liputan televisi akan hal ini
mengejutkan banyak kulit putih dan menyatukan kulit hitam. Tidak dapat dihindari,
kekerasan juga muncul. King ditangkap dan dipenjara selama kampanye ini
(penangkapan ke-13 dari 29), dan di sinilah dia menulis surat.
Dalam suratnya dia mengajukan tiga proposisi. Pertama adalah soal waktu. King
Jr. berpendapat bahwa setiap kali orang mengatakan tunggulah datangnya perubahan,
terutama jika diajukan oleh kaum penindas, itu hampir selalu berarti tidak. Orang
Kristen tidak boleh menunggu dengan pasif karena ketidakadilan sering terjadi karena
diamnya orang baik. Kejahatan yang ada di dunia harus dilawan, dan kita tidak bisa
8
hanya tinggal diam dan berharap bahwa kejahatan itu hilang dengan sendirinya. King Jr.
berpendapat,
We will have to repent in this generation not merely for the vitriolic words and actions of
the bad people but for the appalling silence of the good people. We must come to see that
human progress never rolls in on wheels of inevitability. It comes through the tirelessefforts and persistent work of men willing to be coworkers with God, and without this
hard work time itself becomes an ally of the forces of social stagnation. (King 1963)
Kita bisa melihat bahwa King Jr. berbicara mengenai perlunya gereja aktif sebagai
lembaga sosial dalam mendorong perubahan. Dalam argumennya, King mengatakan
bahwa ketidakadilan di mana pun adalah ketidakadilan bagi semuanya, karena itu
gereja perlu mengambil langkah aktif untuk menentangnya. Bagi mereka yang aktif
dalam pembelaan kaum marginal dan isu-isu masyarakat, landasan teologis yang
diberikan King terdengar lebih tepat.
Proposisi kedua yang diajukan oleh King Jr. adalah kepatuhan terhadap hukum
dan pemerintah. Baginya hukum tertinggi adalah hukum yang adil, The answer is found
in the fact that there are two types of laws: there are just laws, and there are unjust laws.
I would agree with St. Augustine that "An unjust law is no law at all. Kita harus
melawan hukum yang tidak adil karena dia bertentangan dengan hukum alami yang
berasal dari Allah. Perlawanan orang Kristen, menurut King Jr., harus tetap
mengutamakan prinsip nirkekerasan.
Pandangan King Jr. mendapatkan dukungan dari para teolog pembebasan dan
para aktivis gereja yang terlibat dalam perubahan di masyarakat. Meski demikian, kita
juga bisa mengajukan pertanyaan kritis kepada King Jr., siapa yang menetapkan standar
keadilan? bagaimana kita bisa menjamin perubahan tidak membawa ketidakadilan yang
lain? Apakah mungkin ketidakadilan kita hapuskan sama sekali? Sekali lagi, kita tidak
akan membahas pertanyaan lebih lanjut ini dan hanya memasukkan King Jr. sebagai
kutub yang lain dari pandangan van de Beek.
Meski keduanya memperdengarkan nada bicara yang berbeda, kita berharap
bisa mengambil jalan tengah untuk menjalani konteks Indonesia. Bagaimana kita bisa
memahami kedua posisi yang bertentangan ini untuk konteks Indonesia? Sebelum
masuk ke dalam diskusi mengenai Indonesia, kita akan melihat logika pemikiran kedua
teolog ini dengan lebih dulu melihat konteks di mana mereka berbicara dan isu yang
sedang mereka hadapi.
Pandangan King Jr. ini terdengar jauh berbeda dengan van de Beek, karena itu
King Jr. saya masukkan ke dalam kutub yang lain, yaitu kutub bahwa gereja harus
terlibat dalam perubahan masyarakat.
9
Tentu, tidak semua pandangan keterlibatan gereja dalam masyarakat jatuh ke dalam
dua spektrum ini. Dari pemaparan selanjutnya, kita akan melihat beberapa pandangan
yang bisa menjembatani kedua langkah yang berbeda di atas, dengan argumen teologis
masing-masing.
Tipologi Teologi Politik Gereja
Ketika kita bicara teologi publik, dia tidak bisa lepas dari bagaimana gereja
melihat teologi politiknya, karena teologi publik selalu bicara mengenai keadilan dan
perdamaian. Dalam mewujudkan kedua hal tersebut, mau tidak mau gereja juga harus
terlibat dalam kehidupan politik masyarakatnya. Philip Wogaman yang mengajukan
tipologi pandangan politik gereja dilihat dari wujud keterlibatannya. Tipologi ini, meski
tidak memberi landasan teologis yang cukup komprehensif karena dia mengategorikan
berdasarkan aksi gereja, akan membantu kita untuk menempatkan posisi van de Beek
dan King Jr. berdasarkan aksi gereja. Menurut Wogaman, gereja bisa aktif dalam politik
melalui tujuh langkah atau level berikut.
1. Gereja mempengaruhi etos. Dalam konteks ini, gereja menjadi suara moral
yang selalu mengingatkan negara akan kebijakan-kebijakan yang
diambilnya. Gereja tidak terlibat langsung, namun muncul sesekali ketika
dibutuhkan.
2. Gereja memberikan pendidikan bagi warga gereja mengenai politik. Dalam
level ini, gereja menjadi lembaga aktif yang mengajar rakyat mengenai
politik, namun tidak memberi suara atau pengaruh kepada kelompok atau
partai tertentu. Contoh konkret hal ini bisa kita lihat dalam berbagai surat
pastoral yang dikeluarkan oleh gereja atau Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia menjelang pemilu.
3. Gereja melakukan berbagai lobi. Lobi bukanlah suatu hal asing bagi gereja
apalagi ketika ada peraturan perundang-undangan yang dianggap
bertentangan dengan kepentingan gereja. Contoh beberapa lobi yang
dilakukan adalah ketika pemerintah Indonesia hendak membahas RUU
Antipornografi atau RUU Pendidikan yang kemudian mendapatkan
penolakan dari gereja.
Van de Beek:
Transformasi
masyarakat tidak boleh
menjadi tujuan gerejaKing Jr.: Gereja harus
mentransformasi
masyarakat
10
4. Gereja mendukung kandidat tertentu. Sebuah gereja tentu memiliki hak
untuk mendukung calon tertentu yang dianggap mewakili kepentingan
mereka. Namun, level keempat ini adalah batas di mana gereja sekarang
mulai turut dalam politik praktis. Politik praktis adalah sebuah situasi di
mana seseorang/sebuah badan mulai melakukan aksi konkret dalam
mewujudkan pilihan politiknya. Pengarahan warga atas sebuah pilihan
tertentu juga terjadi di Pilpres 2014 dan Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012
dan 2017, di mana ada persekutuan gereja/gereja yang mendukung calon
tertentu melalui surat pastoral resmi. Kelemahan dari cara ini tentu adalah
ketika warga gereja justru mendukung calon lain yang berlawanan dengan
calon yang didukung gerejanya. Sementara itu, gereja-gereja evangelikal di
Amerika Serikat tidak asing lagi dengan kampanye untuk mendukung calon
presiden tertentu.
5. Gereja mendirikan partai politik. Di Pemilu 1999, beberapa gereja sepakat
mendirikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa dan Partai Katolik Demokrat
adalah contoh keterlibatan langsung gereja membentuk partai politik di
Indonesia. Hasilnya, kedua partai ini tidak mendapatkan cukup suara untuk
tetap muncul di pemilu berikutnya. Partai Damai Sejahtera juga tidak
mendapatkan cukup suara di Pemilu 2009.
6. Gereja melaksanakan pembangkangan sosial. Gereja bisa aktif berkampanye
untuk menyuruh warganya untuk tidak membayar pajak atau tidak
mematuhi aturan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan pesan
moral mereka. Contoh ini bisa kita lihat ketika Gereja Katolik di Filipina
berhasil menjalankan pembangkangan terhadap pemerintahan Presiden
Ferdinand Marcos.
7. Gereja ikut serta dalam gerakan revolusi. Ini adalah tahap keterlibatan
politik praktis gereja. Dalam langkah ini, gereja justru menjadi motor dari
penggulingan atau revolusi terhadap pemerintahan yang dianggap otoriter
dan melanggar berbagai norma moral. Ketika semua pilihan sudah habis,
jalan ini adalah langkah terakhir yang bisa dilakukan oleh gereja untuk
menyuarakan kebenaran.
Dari berbagai pilihan di atas, pilihan nomor 4 adalah ambang batas keterlibatan
politik praktis gereja. Jika pilihan 1-3 adalah soal ajaran internal gereja dalam bentuk
suara dan advokasi untuk menyikapi situasi politik, pilihan 4-7 adalah aksi gereja secara
langsung di luar gerejanya untuk memengaruhi jalannya proses politik sebuah negara.
Tentu langkah di atas bukanlah tangga yang harus diikuti untuk sampai ke level
berikutnya. Sebuah gereja bisa saja melompati level tertentu untuk sampai kepada
praktik politik yang lebih aktif.
Sebagai organisasi, gereja tentu dilihat sebagai sebuah vote-getter organization
yang seksi, apalagi jika gereja menjadi institusi yang diikuti oleh kebanyakan
11
masyarakat di sebuah lokasi tertentu. Praktik-praktik keagamaan yang bersifat searah
seperti khotbah membuat warga tidak terlalu menggunakan filter kritisnya, karena dia
memiliki sikap percaya terhadap pendeta dan materi khotbah yang akan disampaikan
adalah soal Firman Tuhan. Sikap seperti ini bisa menjadi celah yang digunakan oleh
mereka yang ingin berkampanye dan menyampaikan pesan politik praktis mengenai
pemilihan calon atau kelompok tertentu dalam khotbah. Karena itu, salah satu kode etik
yang harus dipegang dalam khotbah adalah prinsip untuk tidak berkampanye politik
dalam penyampaian Firman Tuhan.
Keterlibatan gereja dalam politik tentu memiliki risiko seperti yang telah
diperlihatkan oleh tipologi Wogaman di atas. Kita bisa membandingkan pandangan van
de Beek dengan tipologi pertama yang diajukan Wogaman, yaitu gereja yang
mempengaruhi etos dengan menyuarakan ajaran bermasyarakat yang baik kepada
orang Kristen. Sementara itu, kita juga bisa memasukkan pemikiran King Jr. ke dalam
tipologi terakhir Wogaman yaitu gereja yang ikut serta dalam gerakan revolusi.
Relasi Diakonia dan PolitikBerdasarkan pemahaman peran gereja dalam masyarakat dan bagaimana apa
pendapat politik gereja, saya melihat bahwa ada empat tipe relasi diakonia dan politik
dalam gereja dilihat dari landasan teologis memandang perubahan, siapa yang bertugas
untuk mengubah masyarakat dan menegakkan hukum serta keadilan, apa tugas gereja,
dan bentuk aksi diakonia apa yang dilakukan oleh gereja.
Level 1: Gereja menolong yang miskin
Pada level ini, gereja memahami bahwa Allah adalah pencipta dunia dan Allah juga yang
akan menggenapi janji-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia (bnd. Mat.
22:15-22; 25:1-13). Karena itu, bagi level ini, gereja hadir untuk menolong mereka yang
membutuhkan karena seharusnya negara juga hadir untuk masalah masyarakatnya.
Gereja yang ada dalam level ini biasanya memiliki sistem pemerintahan yang memberi
jaminan sosial yang baik kesejahteraan rakyat adalah tugas negara, dan gereja ada di
ruang privat. Bantuan yang diberikan gereja pada level ini adalah pelayanan karitatif
terhadap yang membutuhkan.
Level 2: Gereja menolong yang miskin untuk mendapatkan jaminan pendidikan
dan kesehatan
Pada level kedua, gereja melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari persiapan
kedatangan Kerajaan Allah, karena itu selama bisa, mereka akan membantu masyarakat
dalam dua hal mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan (bnd. Mat. 28:19-20; kisah-
kisah penyembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus). Negara bertugas untuk
menyejahterakan rakyatnya, namun gereja berkesempatan untuk menolong mereka
yang belum memiliki akses kepada pendidikan dan kesehatan yang baik. Pada level ini
12
gereja menyadarkan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dan menyediakan
Lembaga Pendidikan dan kesehatan non-profit.
Level 3: Gereja menolong yang miskin melalui perjuangan perubahan tatanan
sosial
Pada level ini gereja merasa bahwa dirinya adalah bagian dari perwujudan kerajaan
Allah karena kejahatan adalah realitas yang ada dalam dunia. Ketika ketidakadilan
terjadi dalam tatanan masyarakat, tugas memberi pelayanan pendidikan dan kesehatan
tidak cukup jika sistem sosial tidak berubah. Gereja harus mengambil peran aktif dalam
perubahan masyarakat melalui advokasi, terutama melawan ketidakadilan (bnd. Gal.
6:1-10). Tetapi dalam level ini, gereja tetap tidak mau terlibat dalam politik praktis.
Gereja akan mendirikan organisasi swadaya masyarakat resmi milik gereja, namun
gerakan ini tidak akan menjadi sebuah partai politik.
Level 4: Gereja yang mentransformasi masyarakat dengan melawan ketidakadilan
Ini adalah level yang telah dilakukan oleh gereja di Filipina melalui gerakan revolusi
mereka terhadap Ferdinand Marcos dan gereja di Amerika Serikat dalam melawan
segregasi sosial. Keadilan tidak bisa dicapai melalui doa semata, umat Tuhan juga harus
bekerja secara aktif dan menyuarakan perubahan (bnd. Mat. 10:34-39; Yoh. 2:13-16; Ef.
6:12). Inilah level aksi diakonia yang paling aktif dalam tujuan untuk mengubah dan
mentransformasi masyarakat.
Perkembangan level ini bisa dilihat dalam tabel di bawah:
Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Landasan Teologis Allahmenciptakandunia baik, danAllah akan datanguntukmenghadirkanKerajaan-Nya(penggenapan)
Allahmenciptakandunia baik, danAllah akan datanguntukmenghadirkanKerajaan-Nya.Gereja perlumenyiapkanorang untukmenyambutkerajaan Allah.
Allahmenciptakandunia, namunkehendak bebasmanusiamembuatkejahatanmenjadi takterhindarkan.
Allahmenciptakandunia, namuntercemar olehdosa, karena ituumat Tuhandipanggil untukmenghadirkankerajaan Allah didunia danmenegakkankeadilan
Waktu Perubahan/Kegenapan
Parousia Parousia Bekerja sejaksekarang
Bekerja sejaksekarang
Siapa yang bertugasuntuk mengubah/mentransformasimasyarakat
Negara Negara danmasyarakatsendiri
Masyarakat dangereja
Gereja
Tugas Gereja Menolong merekayangmembutuhkan
MemberiPendidikan agarmasyarakat sadarakanketidakadilan danpenindasan
Mengadvokasimasyarakatmelawanketidakadilan
Terlibat secaraaktif mengubahstruktur (secarapolitik)
13
Bentuk AksiDiakonia WajahPublik Gereja
- Sumbangan danaksi diakoniakaritatif
- MendirikanLembagaPendidikan danLembagakesehatan
- Memberiadvokasi, timpenyusunanundang-undang
- MemberiPendidikanpolitik
- MendirikanLembaga studikajian kebijakannegara
- Sumbangan dandiakonia karitatif,
- MendirikanLembagaPendidikan danLembagakesehatan
- Memberiadvokasi, timpenyusunanundang-undang
- MemberiPendidikanpolitik
- MendirikanLembaga studikajian kebijakannegara
- Memberi nasihatkepadapemerintah
- Ikut dalamprosespembuatankebijakanpemerintah
- Memimpinrevolusi jikadiperlukan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Diakonia
Diakonia di tanah Batak dimulai dengan fokus Pendidikan oleh Gerrit van Asselt.
Ia membeli tujuh orang anak-anak dari penjual anak-anak lalu mengajari mereka di
Sipirok (Hutauruk 2011, 261). Penguasa Belanda di Padangsidempuan dan beberapa
raja kemudian menyerahkan anak-anak untuk memperoleh pendidikan dari van Asselt.
Jumlah anak yang pertama kali dididik oleh van Asselt sebanyak 20 orang (Hutauruk
2011, 262). Pada tahun 1891, dua orang suster bernama Liesette Niemann dan Thora
von Wedell-Jarsberg tiba di Laguboti dengan tujuan khusus untuk memberikan
pendidikan bagi kaum perempuan. Terdapat beberapa pengajaran yang diberikan pada
waktu itu, antara lain penelaahan Alkitab, pengajaran katekisasi, menjahit, memasak,
membersihkan kamar dan pekarangan. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan
pada tahun 1891 ini selanjutnya menjadi awal dari munculnya inspirasi untuk membuka
pendidikan bagi kaum perempuan yang kemudian dikenal dengan jabatan gerejawi
bibelvrouw (Hutauruk 2011, 268).
Diakonia di tanah Batak tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan dan
hukum. Pada tahun 1888, seorang penginjil bernama Hanstein melakukan tindakan
diakonia untuk menolong orang-orang sakit, khususnya yang terkena penyakit kusta (na
huliton) di Sipirok. Pada waktu itu, setiap orang yang terkena penyakit kusta akan
14
dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari desa. Masyarakat menganggap bahwa orang-orang
yang menderita penyakit kusta merupakan orang-orang yang menjadi sumber penyakit
dan mereka mendapatkan kutukan dari roh jahat (Hutauruk 2011, 271). Melihat hal
tersebut, Hanstein kemudian mendirikan beberapa rumah untuk para penderita
penyakit kusta serta menyediakan pengasuh untuk merawat mereka di Situmba
(Hutauruk 2011, 267).
Selain itu, penginjil lain bernama Steinsik dari Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG) menolong orang-orang yang sakit kusta di Laguboti. Orang-orang yang menderita
penyakit kusta di Laguboti mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang-orang yang
ada di Sipirok. Tindakan diakonia yang dilakukan oleh Steinsik pada waktu itu adalah
pendirian beberapa pondok untuk para penderita kusta di desa Sitalaktak (Hutauruk
2011, 270). Pada tahun 1900, para penderita penyakit kusta memiliki sebuah
perkampungan yang lebih memadai serta jauh dari pemukiman masyarakat yang
mengucilkan mereka. Tempat tersebut diberi nama Hutasalem. Pada waktu itu terdapat
30 orang yang tinggal di Hutasalem.
Perhatian para penginjil di tanah Batak pada waktu itu tidak hanya untuk orang-
orang yang terkena penyakit kusta. Sekitar tahun 1899, mulai muncul pelayanan
terhadap penyandang tunanetra dan tunarungu. Para penyandang tunanetra dan
tunarungu memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan penderita penyakit kusta.
Mereka juga dijauhi oleh masyarakat serta hanya dapat mengharapkan belas kasihan
dari orang lain bagi kelangsungan hidupnya. Perkembangan pelayanan bagi penyandang
tunanetra dan tunarungu membuahkan hasil, yaitu dengan didirikannya perkampungan
atau desa bagi yang diberi nama Hepatha bagi mereka pada tahun 1923 (Hutauruk
2011, 270).
Pelayanan diakonia di tanah Batak semakin berkembang, khususnya pada
bidang kesehatan. Hal ini dapat terlihat dengan didirikannya rumah sakit pertama di
Pearaja Tarutung pada tanggal 2 Juni 1900 (Hutauruk 2011, 276). Pendirian rumah sakit
ini jelas membutuhkan tenaga medis yang jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu,
badan zending yang ada di tanah Batak membantu untuk menyelenggarakan pendidikan
keperawatan bagi masyarakat Batak yang dapat mengerti huruf dan memiliki
pengetahuan umum yang memadai (Hutauruk 2011, 278). Tindakan yang dilakukan
oleh badan zending ini memberikan suatu peluang untuk terbukanya lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Batak pada waktu itu. Pada tahun 1902, orang-orang Batak
yang mengikuti pendidikan keperawatan telah bekerja di rumah sakit Pearaja. Mereka
berjumlah tujuh orang, yang terdiri dari satu orang apoteker, dua orang perawat laki-
laki, satu orang penjaga keamanan, dua orang buruh bangunan, dan satu orang pelayan
(Hutauruk 2011, 278).
Berdasarkan Aturan (tata gereja) HKBP 2002 Dung Amandemen Paduahon,
tidak ada secara eksplisit dipaparkan mengenai pengertian diakonia menurut HKBP.
15
Dalam aturan dan peraturan HKBP tahun 2002, dijelaskan bahwa diakonia secara
sinodal dipimpin oleh departemen diakonia yang merupakan organ umum yang
melayankan segala kegiatan yang berkenaan dengan diakonia di segenap HKBP dan
dipimpin oleh Kepala Departemen Diakonia (HKBP 2002, 96).
Sementara itu, dalam tingkat jemaat, diakonia dijalankan oleh dewan diakonia
yang merupakan organ pelayanan di tingkat jemaat, yang memikirkan dan
melaksanakan pelayanan diakonia, meningkatkan pengetahuan dan kesehatan,
demikian juga melaksanakan percakapan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar
maupun pemerintah, yang mencakup seksi diakoni sosial, seksi pendidikan, seksi
kesehatan, dan seksi kemasyarakatan (HKBP 2002, 94). Dengan demikian, dapat terlihat
dengan jelas bahwa belum ada perumusan yang jelas mengenai pengertian diakonia
menurut HKBP, namun pelaksanaan kegiatan diakonia tetap berjalan dan dilakukan oleh
empat seksi yang ada dalam dewan diakonia.
Pada masa ini HKBP memiliki tugas untuk merumuskan panggilan diakonia.
Dalam Renstra HKBP 2016-2020, HKBP memiliki visi untuk menjadi berkat bagi dunia
dan diwujudkan dalam 8 misi:
1. Beribadah kepada Allah Tritunggal, Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan bersekutu
dengan saudara-saudara seiman.
2. Mendidik jemaat supaya sungguh-sungguh menjadi anak Allah dan warga negara
yang baik.
3. Mengabarkan Injil kepada yang belum mengenal Kristus dan yang sudah
menjauh dari gereja.
4. Mendoakan dan menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat dan
Negara.
5. Menggarami dan menerangi budaya Batak, Indonesia dan Global dengan Injil.
6. Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih melalui
pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
7. Membangun dan mengembangkan kerjasama antar gereja dan dialog lintas
agama.
8. Mengembangkan penatalayanan (pelayan, organisasi, administrasi, keuangan,
dan aset) dan melaksanakan pembangunan gereja.
Poin 6 berkaitan erat dengan tugas gereja di poin 4 kalau kita mau fokus kepada
perubahan sistem dan struktur, bukan hanya diakonia dalam bentuk karitatif.
Huria Kristen Batak Protestan adalah gereja yang mengaku memiliki
pemahaman teologi Lutheran dan berbasis di Sumatera Utara. Pengakuan Iman yang
kita gunakan untuk memahami pandangan teologis mengenai diakonia dan politik
adalah Konfesi HKBP 1951 dan Konfesi HKBP 1996. HKBP melihat dirinya sebagai gereja
16
yang harus terlibat dalam kehidupan berbangsa namun bukan sebagai gereja negara.
Pengakuan Iman HKBP 1951, Pasal 8 poin A tentang Gereja menyatakan,
A. Kita percaya dan menyaksikan :
Gereja ialah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yangdipanggil, dihimpun, dikuduskan dan ditetapkan Allah dengan Rohu'l Kudus(1Kor. 1:2; 1Ptr.2: 9; Ef. 1:2,22; 1Kor. 3).
Dalam penjelasan poin 3, dicantumkan,
Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan:
3. Pemikiran bahwa Gereja harus menjadi Gereja Negara, sebab kewajiban dari Gereja
dan kewajiban negara adalah berlainan.
Konfesi HKBP 1951 dipengaruhi oleh Deklarasi Barmen yang berusaha
mengingatkan bahwa gereja tidak boleh menjadi Der Volkskirche (gereja bangsa), yang
mementingkan suara bersama dalam persekutuan orang-orang percaya (lht. Barmen
Declaration 1934 dalam Bradstock & Rowland 2002, 201-203). Tema penolakan ide Der
Volkskirche ini kembali diulangi di Konfesi HKBP 1996 Pasal 7 C dengan kalimat yang
kurang lebih serupa. Lebih lanjut, pemahaman HKBP mengenai relasi gereja dan
pemerintah di atas diperkuat dalam pasal 12 tentang Pemerintah yang menyatakan,
Kita menyaksikan :
Pemerintah yang berkuasa adalah dari Allah datangnya. Ialah pemerintah yang melawan
kejahatan, yang mempertahankan keadilan yang berusaha agar orang percaya dapat
hidup sejahtera seperti tercantum pada Roma 13 dan 1 Timotius 2:2.
Pada lain pihak kita harus ingat yang tercantum pada Kisah Rasul 5:29: Wajiblah orang
menurut Allah lebih daripada manusia.
Dengan ajaran ini kita menyaksikan: Gereja harus mendoakan Pemerintah agar berjalan
di dalam keadilan. Sebaiknya Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan
suaranya terhadap Pemerintah.
Dengan ajaran ini kita menolak paham yang mengatakan: Negara adalah negara
keagamaan, sebab Negara dan Gereja mempunyai bidang-bidang tersendiri (Mat.
22:21b).
Jika perlu di hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh
bersumpah, demikian pula waktu menerima jabatan atau pangkat. (Konfesi HKBP 1996
Pasal 12)
Dari pemahaman di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa HKBP melihat dirinya
sebagai suara kritis terhadap pemerintahan. Dia tidak menentang pemerintah karena
pemerintah berasal dari Allah, namun kepatuhan terhadap Allah tetap di atas kepatuhan
terhadap pemerintah dunia. Karena sikap kritis ini, HKBP bukanlah gereja negara,
namun juga bukan gereja yang tidak aktif dalam kehidupan berbangsa. Bahkan, gereja
dilihat sebagai penyuara norma moral terhadap pemerintahan.
Pandangan tentang diakonia ditemukan dalam pasal 12 mengenai Perbuatan
dan Iman, di mana gereja diminta untuk menghasilkan buah bagi manusia dan bagi
sekitarnya. Dalam pasal 4 mengenai masyarakat, HKBP menuliskan
17
Kita menekankan pentingnya iman dan tanggung jawab kita dalam masyarakatIndonesia yang majemuk dalam melayani orang miskin, yang sakit, yang melarat, orang
asing, yang terbelakang, yang bodoh, korban ketidakpastian hukum (penyelewengan
hukum).
Kita menekankan kesamaan hidup dan hak azasi manusia bagi manusia yang hidup di
kota dan di desa/ petani, dalam perencanaan, dalam mengambil keputusan dan
pengawasan.
Dari pengamatan di atas kita bisa melihat bahwa HKBP berusaha menjaga untuk tidak
terlibat aktif dalam pemerintahan sebagai agama negara, namun berperan serta dalam
menolong mereka yang menjadi korban ketidakpastian hukum.
KesimpulanSetelah membaca dan menganalisis berbagai pendekatan diakonia, baik dari
teori politik dan keterlibatan gereja dalam masyarakat kita bisa melihat bahwa dalam
teologi publik, pemahaman diakonia gereja memang tidak bisa dilepaskan dari
pandangannya mengenai politik. Ketika gereja melihat keterlibatannya dalam
masyarakat sebagai panggilan untuk menegakkan keadilan, dia juga akan memiliki
pandangan politik yang lebih aktif. Ketika gereja melihat bahwa negara bertanggung
jawab untuk rakyatnya, gereja juga bertugas untuk mengingatkan negara jika dia
menyimpang dari tugasnya. Meski demikian, kita tidak melihat pandangan gereja di
Indonesia yang mengambil level empat dalam tipologi pandangan diakonia dan politik
gereja yang saya ajukan di atas, paling tidak dalam 5 gereja yang kita bahas di atas.
HKBP bisa memfokuskan diri pada tiga bidang: Pendidikan, Kesehatan,
Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil. Dua bidang menyiratkan keinginan untuk
perubahan transformatif yaitu Pendidikan dan Kesehatan, sementara Kepedulian Sosial
masih tidak terlalu jelas fokusnya, dan Pekabaran Injil lebih fokus kepada tugas
marturia. Untuk menjalankan tugas ini secara teratur, tiap huria, ressort, distrik, dan
terakhir pusat, perlu secara strategis merumuskan apa yang perlu dilakukan, bagaimana
melakukannya, dan siapa pelakunya, untuk jangka pendek dan panjang dengan realistik.
Semoga paparan ini bisa mendorong HKBP untuk melakukan tugas diakonianya di
tengah gereja dan masyarakat.
Biodata PenulisBinsar Jonathan Pakpahan (1980) received his Ph.D. in systematic theology at the Vrije
Universiteit, Amsterdam, The Netherlands (2011). He is now the dean of student affairs
and associate professor at the Jakarta Theological Seminary in the field of ethics,
philosophy and public theology. He is also a pastor of the Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), in which he is a member of the theological commission and the research and
development commission). His main publication is God Remembers: Towards a Theology
18
of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict (Amsterdam: VU
University Press, 2012) and The Power of Shame (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016). He
has published several articles in Indonesian and international theological journals, He is
now working on his habilitation dissertation at the Evangelisch-Theologische Fakultät,
Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster, Germany (starting 2016), on the
theme of the role of shame and honor in Indonesian society and the practice of
forgiveness in Indonesian Christian communities and its contribution to the formation
of the Indonesian society.
•••• <:::>zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
• ~<:::>• Q ~
.~• •~• .c
.~ ~• Q. .~ ~• -.~
c ~~
ta ~ ;f~ ~
.c~~•zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
". ta .~ V)~• ~ c. ~~• ~zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA•• ~ ~~• (§) ~ ta ~~
• .~ ~Q. .~ S2
• ~ ~
~~• ~ ~ c~
~.!:l ~
~
~• nszyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAC4 ~ 0
~~ .c ~~ .~
""' ••
~fJ)
""'.... ~ .l:::S~ N• ~ .~ Q
.9~ ••
~
ta~ 'N QO •C
~ ~~T
~~ •• 0 ~ .~ ~N
•~~ fJ) •~
~Z•
~~ •• ... \....~
Q~ •• ns~ <;::)
•~~• '" ~~
•• c ~~
•~~• zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA.-~ <;::)
•• ~ ~ ~
•....... ~
• • ~~
•• .... ~~
•~ ~• -cV) ~ •• Q.
~ •~• .~•~
••
~••
-
~
•••
••••
������� ������ ��������� ������ ��������
� ��� ����� � � � ������� ��� �������� ����� ������ � �
����� ������ ��� ���� � ������
������� �� ������� ����
������� �!""� �����!�# ���� $�!"�%���! �&���� �$&$ '�!" %�(�)���! ���� %�#�!*�$& ��+�%� #�,�*�# ���%�$��� %�!"�! *�$�-*�$� (�)%�#�)��! +�!���*��! *�)��!� +�)�%�#�! '(#� ��'� $�!'�$+����! �&���� &$&$ +�%� *�!""�� �� �)�* �����
����$ �&���� �$&$ �!�� #�'� $�!'�$+����! $�!"�!�� )���#� %����!�� %�! +���*�����)�.� *�%�� (�#� $�!"�#�$+�!"��! +�!%�!"�! %����!��!'� %�)� +�!%�!"�! +���*��!'����� �!� ��$&%��! #�'� /�(� (&�*���! $����&� �!���#�# +�!%�!"�! "�)�.� �*�# *�"� ���0
)���#� "�)�.� %�! !�"�)�� �+� �*& %����!��� +�!%�!"�! #��� 1��*&� %�! *&.&�! "�)�.��
�&���� &$&$ %���&*� ���� #���*�) ��� �)�!" %�)� /�,�*�# ���%�$��� �� �����!�# �����
����)*�� �2 ��()&�)� ����
��!#�) �� ���+���!� ����