SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita...

21
f),IIIk: 1. BLA Cabang 'v1.1Lr.llll.1d (liWzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA LE\1BAGA PTTEOl.OGIIAKi\I1TA). No. ::n.2 302 2rlJS 2. H,lIlk 'vtANDIIU r. luallg Clkll1i(LEMBArIA PEIH;(JRIJAN TI\I(~r.1 TEIlIII(zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA 1'.1 I\() I~ HlOO 'i('LS 431 ~___:-- Septemmy Eucharistia Lakawa, Th.D. Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi jakarta Jakarta, 11 Ma,'et 2020 untuk menjadi pembicara dalam kegiatan Kuliah Umum dengan judul "HKBP dan Politik: HKBP Merevitalisasi Pendtdlkan, Kesehatan, Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil" yang diselenggarakan pada 22 Maret 2020 di Sekolah Tinggi Diakones, Balige, Sumatera Utara. Demikian surat ini dibuat untuk dipcrgunakan sebagaimana mestinya. Dosen Tetap dan Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik Jakarta [abatan Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini mcnugaskan: Nama Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D. No. : 079a/Ketua/lJlj2020 Hal : Penugasan MewakiHSTFf Jakarta SURATTUGAS [alan Proklamasi 27 jakarta 103£0. lndonesia Tel. ~62·21·3<)04237 Fax.+0£·21-3')06096 Email: [email protected].:.id http://www.sttJakarta.ac.id/

Transcript of SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita...

Page 1: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

f),IIIk: 1.BLA Cabang 'v1.1Lr.llll.1d (liWzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBALE\1BAGA PTTEOl.OGIIAKi\I1TA). No. ::n.2 302 2rlJS

2. H,lIlk 'vtANDIIU r. luallg Clkll1i(LEMBArIA PEIH;(JRIJAN TI\I(~r.1 TEIlIII(zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA1'.1 I\() I ~ HlOO 'i('LS 431

~___:--

Septemmy Eucharistia Lakawa, Th.D.

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi jakarta

Jakarta, 11 Ma,'et 2020

untuk menjadi pembicara dalam kegiatan Kuliah Umum dengan judul "HKBP dan Politik:

HKBP Merevitalisasi Pendtdlkan, Kesehatan, Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil"

yang diselenggarakan pada 22 Maret 2020 di Sekolah Tinggi Diakones, Balige, Sumatera

Utara. Demikian surat ini dibuat untuk dipcrgunakan sebagaimana mestinya.

Dosen Tetap dan Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik Jakarta[abatan

Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini mcnugaskan:

Nama Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D.

No. : 079a/Ketua/lJlj2020

Hal : Penugasan MewakiHSTFf Jakarta

SURATTUGAS

[alan Proklamasi 27

jakarta 103£0. lndonesia

Tel. ~62·21·3<)04237

Fax.+0£·21-3')06096

Email: [email protected].:.id

http://www.sttJakarta.ac.id/

Page 2: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

1

DIAKONIA DAN POLITIK

HKBP Merevitalisasi Pendidikan, Kesehatan,

Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil

Binsar Jonathan Pakpahan

[email protected]

Pendahuluan

Diskusi mengenai pandangan diakonia gereja selalu berhubungan dengan

pandangannya mengenai relasi gereja dan masyarakat. Diakonia sekarang kita pahami

sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan tertindas,

untuk menyatakan karya Allah dan membawa damai sejahtera kepada dunia.1 Bentuk

pelayanan diakonia juga beragam: pelayanan doa, pendidikan, kesehatan, pelayanan

sosial, pelayanan pastoral, dan lainnya. Dalam Dictionary of the Ecumenical Movement

(2002), diakonia diartikan sebagai

Diakonia, or the "responsible service of the gospel by deeds and by words performed by

Christians in response to the needs of people", is rooted in and modelled on Christ s

service and teachings. The intimate link between the service of God and the service ofhumankind is said by Baptism, Eucharist and Ministry to be exemplified for the whole

church by the ministry of deacons (M31). (Dictionary of the Ecumenical Movement s.v.

diakonia )

Salah satu kata kunci yang bisa kita tangkap dari definisi di atas adalah bahwa diakonia

adalah soal perkataan dan perbuatan dalam merespons kebutuhan orang-orang di

sekitarnya berdasarkan karya dan ajaran Kristus.

Diakonia adalah salah satu dari tanda gereja terutama dalam bidang pelayanan.

Dalam buku terbaru karya John N. Collins yang membahas diakonia dari perspektif

sejarah sejak abad ke-19 hingga sekarang (2014), setelah karyanya yang membahas

diakonia dari sejarah gereja mula-mula (1990), kita bisa melihat bahwa baik

pemahaman mau pun pelaksanaan diakonia telah berkembang dari masa ke masa.

Pada mulanya diakonia adalah pelayanan meja yang dilakukan pada perjamuan

ekaristi. Jemaat berkumpul dan mengumpulkan apa yang mereka miliki untuk dibagikan

secara merata kepada mereka yang membutuhkannya (bnd. Kis. 2:44-47). Sejak abad

ke-3, gereja di Roma sudah memiliki 7 diakoniae yang melayani lebih dari 1500 janda

1 Definisi diakonia tidak selalu mengenai panggilan belas kasih. Pada awalnya diakoniadilihat sebagai partisipasi pelayanan meja dan dihubungkan dengan pelayanan Ekaristi. Definisi

ini kemudian berkembang menjadi pelayanan khusus bagi para janda yang dilayani oleh diaken,

dan kemudian menjadi pelayanan belas kasih sejak pertengahan abad ke-20 sampai sekarang.

Page 3: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

2

dan orang miskin (Collins 1990, Dictionary of the Ecumenical Movement s.v. diakonia ).2

Pada masa ini gereja dan negara kemudian memiliki hubungan yang erat, sehingga

negara ikut membantu pelaksanaan pelayanan gereja kepada warga miskin,

Dalam masa reformasi, Calvin dan Luther memberi penekanan khusus kepada

pelayanan kepada orang miskin, dan bahkan menyarankan para diaken untuk

melakukan pencatatan dan pelayanan yang sistematis bagi mereka yang membutuhkan.

Di masa pasca Reformasi 1517, pelayanan gereja dalam bidang diakonia dan negara

mulai diatur karena gereja tidak lagi berhubungan langsung dengan negara. Pemisahan

pelayanan gereja dan negara tidak sepenuhnya terjadi di negara-negara Eropa Barat

sampai awal abad ke-18 di mana gereja dan negara sudah menjadi dua entitas yang

berbeda. Pengaruh abad pencerahan juga mendorong gereja masuk ke ruang privat dan

masalah publik menjadi tugas negara.

Pemisahan pelayanan gereja dari tugas negara melayani rakyatnya tetap

bersinggungan terutama pada 1865 sejak munculnya gerakan Social Gospel Movement.

Gerakan ini mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad ke-19 hingga awal

abad ke-20. Fokus dari filsafat dan pandangan teologi pada masa itu ditantang oleh

tatanan kehidupan masyarakat yang berubah akibat perkembangan industri modern.

Gerakan ini berkeyakinan bahwa gereja harus mendatangkan pembaruan untuk

mendatangkan dan mewujudnyatakan Kerajaan Allah di bumi ini (Aritonang 1996, 234).

Menurut paham ini, orang Kristen dapat mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini bila ia

berhasil menciptakan masyarakat yang adil dan merata di semua bidang kehidupan.

Pandangan ini kemudian mendorong gereja untuk banyak berkiprah di bidang sosial-

ekonomi dan politik. Permasalahan kesehatan dan pendidikan tidak bisa diselesaikan

hanya dengan pelayanan gereja, namun juga melalui alat politik yaitu negara. Pada

perkembangannya, teologi sosial gereja dipengaruhi oleh teolog seperti Reinhold

Niebuhr, Walter Rauschenbusch (1907) yang ingin mengembalikan peran gereja di

ruang publik, terutama untuk menjawab masalah sosial yang ada.

Teologi sosial kemudian dikembangkan sebagai cara gereja merespons

perkembangan zaman dengan memperlihatkan bahwa gereja juga adalah bagian dari

masyarakat dan karena itu beberapa ekstrem relasi gereja dan negara kembali muncul

di abad ke-20. Di satu sisi, gereja bisa menjadi pendukung loyal negara dan

menghasilkan dukungan buta seperti Landeskirchen (German Evangelical Church) di

Jerman dan Dutch Reformed Church di Afrika Selatan.3 Beberapa dokumen penting

kemudian lahir untuk memberi peringatan sekaligus juga pernyataan teologis akan

2 Collins membahas khusus kata dalam Markus 10:45 dan memperlihatkan

bahwa diakonia tidak berasal dari pelayanan belas kasih melainkan pelayanan wajib yang

diperintahkan oleh atasan kepada bawahan (Collins 1995, 167).3 Sejarah mencatat bahwa kehadiran gereja pendukung kebijakan pemerintah ini juga

selalu mendapat perlawanan dari gereja lain seperti The Bekennende Kirche (Confessing Church)

di Jerman dan Gereja Anglikan di Afrika Selatan.

Page 4: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

3

bahaya tidak kritisnya gereja terhadap kebijakan negara seperti Barmen Declaration dan

Dokumen Kairos.

Di awal abad ke-21 kita bisa melihat beberapa model relasi gereja dan negara

berdasarkan perkembangan paham teologi tersebut. Perkembangan paham relasi gereja

dan negara mau tidak mau juga mempengaruhi paham diakonia gereja. Pertanyaan-

pertanyaan yang kemudian mengundang respons yang berbeda adalah: Siapa pelaku

diakonia? Apa tujuan diakonia, apakah untuk melawan kemiskinan struktural atau

menolong orang miskin? Bagaimana cara gereja menyatakan dukungan atau sikap

kritisnya terhadap pemerintah? Beberapa pertanyaan ini kemudian membawa

perbedaan juga terhadap sikap gereja dalam aksi diakonianya.

Dalam dokumen The Church, World Council of Churches menyatakan beberapa

hal yang perlu diperhatikan sebagai posisi gereja akan pelayanan kasih. Pertama, adalah

bahwa Kristus datang untuk mentransformasi dunia, karena itu gereja juga hadir untuk

mentransformasi dunia (WCC 2013, ¶33). Sebagai tubuh Kristus, pekerjaan gereja

adalah pendamai, pemulih, dan gereja yang membawa keadilan dan kedamaian bagi

seluruh ciptaan (WCC 2013, ¶34). Yang paling penting adalah,

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa setiap individu ataupun kelompok Kristen

memiliki tanggung jawab untuk menyatakan dan mengejawantahkan keadilan dankedamaian. Tindakan moral ini didasarkan pada Injil. Injil menjadi patokan dan

pengevaluasi dari keadilan dan kedamaian yang dinyatakan di dunia. Tidak hanya itu,

gereja-gereja juga perlu mewujudnyatakan misi ini. Gereja-gereja saling mendukung,

melalui Roh Kudus menyatakan tanggung jawab moral mereka di masyarakat sekitar

mereka. (WCC 2013, ¶36)

Pandangan WCC memperlihatkan bahwa gereja perlu menyatakan tanggung jawab

moral dalam masyarakat. Karena itu pertanyaan yang kita ajukan di atas menjadi

semakin relevan, bagaimana cara gereja berperan dalam pelayanan kasih dalam

penegakan keadilan dan kedamaian jika dilihat dari relasi mereka dengan negara?

Karena itu, saya berargumen dalam makalah ini, bahwa pandangan diakonia

gereja tidak dapat dipisahkan dari teologi politik gereja. Politik yang saya maksud

adalah pengelolaan kehidupan bersama dalam sebuah polis. Jika demikian, apa relasi

diakonia gereja dan pandangan politik gereja, terutama bagi gereja-gereja di Indonesia

ditinjau dari Pengakuan Iman (Konfesi) mereka? Makalah ini akan mencoba menjawab

pertanyaan ini dengan menyandingkan pemahaman dua teolog yang akan menjadi

poros ujung dari pemahaman teologi keterlibatan gereja dalam masyarakat, sekaligus

juga akibatnya terhadap suara gereja di tengah masyarakat, yaitu Abraham van de Beek

dan Martin Luther King Jr. Setelah itu kita akan melihat tipologi gereja dan politik

menurut Wogaman untuk mendapatkan perspektif posisi gereja dalam politik. Akhirnya,

saya akan menyampaikan skema teologi diakonia dan politik gereja sambil mengujinya

dalam pandangan teologis beberapa gereja di Indonesia.

Page 5: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

4

Jenis-jenis DiakoniaMenurut Yosef Widyatmadja, ada tiga jenis diakonia berdasarkan perwujudan

bentuk diakonianya.

a. Diakonia karitatif. Diakonia jenis ini adalah bentuk yang pasti digunakan dalam

berbagai pelayanan gereja. Dalam bentuk ini diakonia diartikan dalam bentuk

pertolongan kepada orang miskin dalam bentuk charitas, charity. Pada dasarnya

diakonia memang adalah pekerjaan charitas, dan pertolongan kepada orang

yang membutuhkan diberikan atas dasar perintah Allah bahwa kita harus

memberi makan yang lapar, membesuk yang sakit dan terpenjara, memberi

tumpangan kepada mereka yang tidak punya rumah, dan memberi baju kepada

mereka yang tidak memilikinya. Diakonia bentuk ini sering diumpamakan

seperti memberi ikan kepada yang lapar. Kelemahan diakonia bentuk ini adalah

bahwa kebutuhan jangka panjang dari orang miskin tidak diperhatikan karena

orang miskin akan tetap lapar.

b. Diakonia reformatif memberi perhatian kepada pemberian pelatihan kepada

mereka yang membutuhkannya agar mereka bisa melakukan sesuatu untuk

keluar dari jerat kemiskinan. Dengan jenis diakonia ini, kita bisa memberi

bantuan tools kepada orang miskin untuk keluar dari kemiskinannya sendiri.

Dalam bentuk ini, diakonia digambarkan seperti memberi pancing kepada orang

miskin agar dia bisa memancing. Kelemahan bentuk ini adalah sistem yang

membuat orang miskin akan tetap ada dan pancingnya mungkin tidak berguna

karena tidak ada kolam yang tersedia.

c. Diakonia transformatif. Dalam bentuk ini diakonia diharap mampu

membebaskan rakyat miskin dari struktur dan sistem yang tidak adil.

Perlawanan yang dilakukan dalam diakonia transformatif diarahkan kepada

sistem, bukan hanya kepada orang yang sedang tertindas.

Menurut Elsie Anne McKee, diakonia kontemporer memiliki 8 ciri (McKee 1989, 106-

107):

a. Diakonia adalah tindakan mendasar dalam gereja.

b. Diakonia menyesuaikan diri dengan bentuk lokal.

c. Diakonia tidak pernah dilakukan sendiri, melainkan memerlukan kerjasama dari

gereja lainnya.

d. Diakonia seharusnya lebih fokus kepada tindakan prefentif.

e. Diakonia juga terpanggil untuk mengubah sistem dan struktur secara politik.

f. Diakonia memiliki sifat manusiawi (humanitarian).

g. Diakonia adalah saling membutuhkan, pada saat diakonia memberi, dia juga

menerima.

h. Diakonia harus bersifat membebaskan.

Page 6: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

5

Myra Blyth dan Wendy S. Robins menyatakan bahwa diakonia merupakan tindakan aktif

dari umat Kristen sebagai respons terhadap tantangan dalam bentuk penderitaan dan

struktur sosial yang menindas kaum yang lemah (Blyth 1988, 23). Oleh karena itu,

diakonia tidak bisa dipisahkan dari pergumulan masyarakat di mana terdapat

ketidakadilan serta struktur sosial yang menindas kaum miskin.

Beberapa bentuk sikap yang bisa kita terjemahkan sebagai diakonia dalam

Perjanjian Lama adalah:

1. Tahun Sabat (Ul. 15:1-11) menetapkan setiap tujuh tahun sebagai tahun

penghapusan hutang dan pembebasan budak (Noordegraaf 2004, 36).

2. Tahun Yobel (Im. 25:1-22) menetapkan pengembalian kembali tanah orang yang

pernah diambil sebagai jaminan, dan pembebasan budak di tanahnya sendiri

(Noordegraaf 2004, 36).

3. Perpuluhan (Kel. 22:29-30; 23:19; Ul. 14:22-29; 26:1-15).

4. Larangan mengambil bunga dari orang miskin.

5. Peraturan panen (Ul. 24:19-22) yang mengatur pemilik kebun untuk

menyisakan hasil panen di lading bagi orang miskin.

6. Perlakuan terhadap pekerja yang adil dan tidak boleh menahan gaji (Ul. 24:14-

15).

7. Pembatasan kekayaan raja/kepala negara (Ul.17:14-17).

Dalam Baru kita melihat perjalanan hidup Yesus yang banyak menyinggung

orang kaya dan mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rakyat miskin

menjadi tanggung jawab orang-orang kaya (de Santa Ana 1979, 18). Yesus banyak

mengingatkan orang kaya untuk menggunakan kekayaannya bagi kepentingan orang

banyak. Bukan hanya orang kaya, kita semua diminta untuk menolong mereka yang

membutuhkan (Mat. 25:35-48). Pelayanan kasih haruslah juga menjangkau semua orang

yang tidak berasal dari kalangan sendiri, bahkan sampai pada orang yang membenci kita

(Luk. 10:25-37). Yesus juga memberi makan orang banyak sebelum dia memberitakan

Firman. Contoh perbuatan Yesus ini menjadi dasar bagi banyak gereja untuk melakukan

diakonia kepada orang miskin.

Antara Abraham van de Beek dan Martin Luther King Jr.Dalam bagian ini, kita akan melihat diskusi antara dua teolog yang sepertinya

memiliki arah berteologi yang berbeda dalam memandang bagaimana gereja harus

terlibat dalam masalah kemasyarakatan. Pandangan pertama adalah dari Abraham van

de Beek (1946-...), seorang teolog asal Belanda yang pernah menjadi Ketua seksi Teologi

dan Filsafat dalam the Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (2002-2006).

Page 7: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

6

Van de Beek menulis sebuah artikel Religion without Ulterior Motive (2005) yang

menyatakan bahwa agama tidak boleh menjadi subordinasi dari tujuan apa pun.4

Mengutip tulisan Rabbi Samuel Hirsch (1854), dia mengatakan bahwa Religion allied to

progress means sacrificing religion and morality to every man s momentary whim.

(Hirsch 1854 dalam Frank, Leaman & Manekin 2000, 393). Agama harusnya menjadi

tujuan pada dirinya sendiri dan bukan digabung dengan berbagai semangat seperti

untuk kesejahteraan masyarakat atau untuk kemajuan. Karena begitu kita

menempatkan agama sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, agama

menjadi alat dari kesejahteraan. Akibatnya, jika agama tidak membawa perubahan

kepada masyarakat, agama menjadi tidak relevan dan bisa kita tinggalkan.

Van de Beek menolak penggunaan agama (dan dalam beberapa bagian saya juga

terjemahkan menjadi institusi iman) sebagai instrumen apa pun. Baginya, Allah telah

memberi instrumen yang cukup untuk manusia, dan kita tidak akan bisa mengubah apa

pun sampai Allah datang kembali. Yang sering menggunakan jargon agama untuk

perubahan justru adalah pemerintah. Agama digunakan oleh para politisi dan terutama

negara untuk menjalankan agendanya. Di Indonesia, kita juga melihat bahwa setiap ada

agenda negara, tentang pajak atau korupsi misalnya, mereka akan menghubungi

institusi agama untuk menjalankan ide tersebut. Akibatnya, agama sering menjadi alat

propaganda agenda politik dan politisi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam contoh

ini, agama menjadi alat dari tujuan lain yang lebih penting.

Menurut van de Beek, iman harusnya menghasilkan buah, tetapi buah iman tidak

boleh menjadi tujuan dari seseorang untuk menggunakan agama. Buah iman adalah

konsekuensi, bukan tujuan. Karena kasih Allah yang besar terhadap dunia, manusia

memuji Allah. Konsekuensinya, menurut van de Beek, tujuan gereja bukanlah untuk

mengubah dunia, melainkan untuk menjadi pelaku firman dan menjalani kehidupannya

dengan baik sebagai orang Kristen. Tugas gereja adalah menyiapkan umat untuk

menjadi orang Kristen yang baik, yang melaksanakan hukum Allah dan menjalankan

kewajiban dunianya. Keterlibatan dalam masyarakat akan terjadi secara otomatis

karena seseorang adalah Kristen yang baik. Karena itu, van de Beek agak kritis terhadap

teologi yang memiliki agenda pembebasan sebab teologi pembebasan memiliki motif

menjadikan agama sebagai alat untuk mengubah dunia. Agama harusnya menjadi tujuan

pada dirinya sendiri dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai hal yang

lain. Argumen van de Beek akan banyak beresonansi dalam pihak yang memiliki

kekhawatiran bahwa gereja akan menjadi semacam lembaga swadaya masyarakat.

Menurut van de Beek, peran gereja dalam masyarakat adalah:

First, if we are Christians and our dwelling is in heaven, we do not fight for our position

in the world. We can be patient, helpful, and all the other characteristics of Christian life

4 Artikel ini mendapat tanggapan yang cukup serius dari komunitas teolog sistematikayang bergabung dalam The International Reformed Theology Institute (IRTI) yang mengadakan

konferensi dengan judul tulisan van de Beek dan menerbitkan sebuah buku respons Religion

without Ulterior Motive yang diedit oleh Eduardus J.G.H. Van Der Borght (2006).

Page 8: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

7

we can find in New Testament paraenesis no hate for enemies, no divorce, no

resentment by slaves.

.

Second, we are not dependent on what happens in the world. We do not fear those whocan kill the body. We fear God, who has the ultimate power to decide about our being. We

do not fear persecution or suppression. The Letter to the Hebrews goes so far as to say

that Christians joyfully accepted the confiscation of their property (Heb 10:34). We do

not depend on possessions. We depend only on the Lord. Therefore we have no need to

change the state or societal structures. (van de Beek 2005, 523-524)

Meski terdengar sangat pasif, van de Beek juga adalah seorang teolog yang percaya

bahwa tugas kita bukanlah mengubah dunia melainkan meyakinkan masyarakat untuk

memegang nilai Kristus dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang serupa.

Tentu pada poin ini kita memiliki banyak pertanyaan atau mungkin gugatan terhadap

pandangan van de Beek, misalnya, bagaimana dengan gereja yang berada dalam konteks

minoritas, atau ketidakadilan sistematis yang dijalankan negara, atau bahkan mungkin

ada yang merasa sesuai dengan pandangan ini. Tetapi saya tidak akan mengelaborasi

pertanyaan-pertanyaan tersebut di sini. Kita hanya mengambil paham van de Beek

dengan peringatannya bahwa agama tidak boleh menjadi alat kemajuan. Dengan

demikian, saya menempatkan pandangan van de Beek yang kontroversial ini di satu

kutub ekstrem relasi gereja dan masyarakat yang menyatakan bahwa gereja tidak boleh

menjadikan perubahan masyarakat sebagai tujuan beragama.

Di sini kita masuk ke teolog kedua, yaitu Martin Luther King Jr. (1929-1968). Dia

berada dalam konteks ketidakadilan ras di Amerika Serikat terutama di Alabama. Pada

1955 ada demonstrasi besar-besaran di Montgomery, Amerika Serikat yang menentang

pemisahan tempat duduk di dalam bus, dipicu oleh Rosa Parks. King Jr. kemudian

mendorong gereja untuk aktif dalam menentang pemisahan rasial di Amerika dan

mendorong adanya demonstrasi damai. Pada April 1963, SCLC mulai sebuah kampanye

antipemisahan rasial di Birmingham, Alabama. Mereka jalan di tempat umum, dan

duduk di tempat mereka tidak dibolehkan duduk oleh hukum. Tujuan King adalah untuk

memulai penangkapan massal, sehingga menciptakan situasi krisis yang memulai

negosiasi. Tetapi karena dianggap kurang berhasil, seseorang mulai menyertakan anak-

anak dan remaja dalam demonstrasi ini. Kepala polisi Birmingham menggunakan jet air

dan anjing polisi, termasuk terhadap anak-anak. Liputan televisi akan hal ini

mengejutkan banyak kulit putih dan menyatukan kulit hitam. Tidak dapat dihindari,

kekerasan juga muncul. King ditangkap dan dipenjara selama kampanye ini

(penangkapan ke-13 dari 29), dan di sinilah dia menulis surat.

Dalam suratnya dia mengajukan tiga proposisi. Pertama adalah soal waktu. King

Jr. berpendapat bahwa setiap kali orang mengatakan tunggulah datangnya perubahan,

terutama jika diajukan oleh kaum penindas, itu hampir selalu berarti tidak. Orang

Kristen tidak boleh menunggu dengan pasif karena ketidakadilan sering terjadi karena

diamnya orang baik. Kejahatan yang ada di dunia harus dilawan, dan kita tidak bisa

Page 9: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

8

hanya tinggal diam dan berharap bahwa kejahatan itu hilang dengan sendirinya. King Jr.

berpendapat,

We will have to repent in this generation not merely for the vitriolic words and actions of

the bad people but for the appalling silence of the good people. We must come to see that

human progress never rolls in on wheels of inevitability. It comes through the tirelessefforts and persistent work of men willing to be coworkers with God, and without this

hard work time itself becomes an ally of the forces of social stagnation. (King 1963)

Kita bisa melihat bahwa King Jr. berbicara mengenai perlunya gereja aktif sebagai

lembaga sosial dalam mendorong perubahan. Dalam argumennya, King mengatakan

bahwa ketidakadilan di mana pun adalah ketidakadilan bagi semuanya, karena itu

gereja perlu mengambil langkah aktif untuk menentangnya. Bagi mereka yang aktif

dalam pembelaan kaum marginal dan isu-isu masyarakat, landasan teologis yang

diberikan King terdengar lebih tepat.

Proposisi kedua yang diajukan oleh King Jr. adalah kepatuhan terhadap hukum

dan pemerintah. Baginya hukum tertinggi adalah hukum yang adil, The answer is found

in the fact that there are two types of laws: there are just laws, and there are unjust laws.

I would agree with St. Augustine that "An unjust law is no law at all. Kita harus

melawan hukum yang tidak adil karena dia bertentangan dengan hukum alami yang

berasal dari Allah. Perlawanan orang Kristen, menurut King Jr., harus tetap

mengutamakan prinsip nirkekerasan.

Pandangan King Jr. mendapatkan dukungan dari para teolog pembebasan dan

para aktivis gereja yang terlibat dalam perubahan di masyarakat. Meski demikian, kita

juga bisa mengajukan pertanyaan kritis kepada King Jr., siapa yang menetapkan standar

keadilan? bagaimana kita bisa menjamin perubahan tidak membawa ketidakadilan yang

lain? Apakah mungkin ketidakadilan kita hapuskan sama sekali? Sekali lagi, kita tidak

akan membahas pertanyaan lebih lanjut ini dan hanya memasukkan King Jr. sebagai

kutub yang lain dari pandangan van de Beek.

Meski keduanya memperdengarkan nada bicara yang berbeda, kita berharap

bisa mengambil jalan tengah untuk menjalani konteks Indonesia. Bagaimana kita bisa

memahami kedua posisi yang bertentangan ini untuk konteks Indonesia? Sebelum

masuk ke dalam diskusi mengenai Indonesia, kita akan melihat logika pemikiran kedua

teolog ini dengan lebih dulu melihat konteks di mana mereka berbicara dan isu yang

sedang mereka hadapi.

Pandangan King Jr. ini terdengar jauh berbeda dengan van de Beek, karena itu

King Jr. saya masukkan ke dalam kutub yang lain, yaitu kutub bahwa gereja harus

terlibat dalam perubahan masyarakat.

Page 10: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

9

Tentu, tidak semua pandangan keterlibatan gereja dalam masyarakat jatuh ke dalam

dua spektrum ini. Dari pemaparan selanjutnya, kita akan melihat beberapa pandangan

yang bisa menjembatani kedua langkah yang berbeda di atas, dengan argumen teologis

masing-masing.

Tipologi Teologi Politik Gereja

Ketika kita bicara teologi publik, dia tidak bisa lepas dari bagaimana gereja

melihat teologi politiknya, karena teologi publik selalu bicara mengenai keadilan dan

perdamaian. Dalam mewujudkan kedua hal tersebut, mau tidak mau gereja juga harus

terlibat dalam kehidupan politik masyarakatnya. Philip Wogaman yang mengajukan

tipologi pandangan politik gereja dilihat dari wujud keterlibatannya. Tipologi ini, meski

tidak memberi landasan teologis yang cukup komprehensif karena dia mengategorikan

berdasarkan aksi gereja, akan membantu kita untuk menempatkan posisi van de Beek

dan King Jr. berdasarkan aksi gereja. Menurut Wogaman, gereja bisa aktif dalam politik

melalui tujuh langkah atau level berikut.

1. Gereja mempengaruhi etos. Dalam konteks ini, gereja menjadi suara moral

yang selalu mengingatkan negara akan kebijakan-kebijakan yang

diambilnya. Gereja tidak terlibat langsung, namun muncul sesekali ketika

dibutuhkan.

2. Gereja memberikan pendidikan bagi warga gereja mengenai politik. Dalam

level ini, gereja menjadi lembaga aktif yang mengajar rakyat mengenai

politik, namun tidak memberi suara atau pengaruh kepada kelompok atau

partai tertentu. Contoh konkret hal ini bisa kita lihat dalam berbagai surat

pastoral yang dikeluarkan oleh gereja atau Persekutuan Gereja-gereja di

Indonesia menjelang pemilu.

3. Gereja melakukan berbagai lobi. Lobi bukanlah suatu hal asing bagi gereja

apalagi ketika ada peraturan perundang-undangan yang dianggap

bertentangan dengan kepentingan gereja. Contoh beberapa lobi yang

dilakukan adalah ketika pemerintah Indonesia hendak membahas RUU

Antipornografi atau RUU Pendidikan yang kemudian mendapatkan

penolakan dari gereja.

Van de Beek:

Transformasi

masyarakat tidak boleh

menjadi tujuan gerejaKing Jr.: Gereja harus

mentransformasi

masyarakat

Page 11: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

10

4. Gereja mendukung kandidat tertentu. Sebuah gereja tentu memiliki hak

untuk mendukung calon tertentu yang dianggap mewakili kepentingan

mereka. Namun, level keempat ini adalah batas di mana gereja sekarang

mulai turut dalam politik praktis. Politik praktis adalah sebuah situasi di

mana seseorang/sebuah badan mulai melakukan aksi konkret dalam

mewujudkan pilihan politiknya. Pengarahan warga atas sebuah pilihan

tertentu juga terjadi di Pilpres 2014 dan Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012

dan 2017, di mana ada persekutuan gereja/gereja yang mendukung calon

tertentu melalui surat pastoral resmi. Kelemahan dari cara ini tentu adalah

ketika warga gereja justru mendukung calon lain yang berlawanan dengan

calon yang didukung gerejanya. Sementara itu, gereja-gereja evangelikal di

Amerika Serikat tidak asing lagi dengan kampanye untuk mendukung calon

presiden tertentu.

5. Gereja mendirikan partai politik. Di Pemilu 1999, beberapa gereja sepakat

mendirikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa dan Partai Katolik Demokrat

adalah contoh keterlibatan langsung gereja membentuk partai politik di

Indonesia. Hasilnya, kedua partai ini tidak mendapatkan cukup suara untuk

tetap muncul di pemilu berikutnya. Partai Damai Sejahtera juga tidak

mendapatkan cukup suara di Pemilu 2009.

6. Gereja melaksanakan pembangkangan sosial. Gereja bisa aktif berkampanye

untuk menyuruh warganya untuk tidak membayar pajak atau tidak

mematuhi aturan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan pesan

moral mereka. Contoh ini bisa kita lihat ketika Gereja Katolik di Filipina

berhasil menjalankan pembangkangan terhadap pemerintahan Presiden

Ferdinand Marcos.

7. Gereja ikut serta dalam gerakan revolusi. Ini adalah tahap keterlibatan

politik praktis gereja. Dalam langkah ini, gereja justru menjadi motor dari

penggulingan atau revolusi terhadap pemerintahan yang dianggap otoriter

dan melanggar berbagai norma moral. Ketika semua pilihan sudah habis,

jalan ini adalah langkah terakhir yang bisa dilakukan oleh gereja untuk

menyuarakan kebenaran.

Dari berbagai pilihan di atas, pilihan nomor 4 adalah ambang batas keterlibatan

politik praktis gereja. Jika pilihan 1-3 adalah soal ajaran internal gereja dalam bentuk

suara dan advokasi untuk menyikapi situasi politik, pilihan 4-7 adalah aksi gereja secara

langsung di luar gerejanya untuk memengaruhi jalannya proses politik sebuah negara.

Tentu langkah di atas bukanlah tangga yang harus diikuti untuk sampai ke level

berikutnya. Sebuah gereja bisa saja melompati level tertentu untuk sampai kepada

praktik politik yang lebih aktif.

Sebagai organisasi, gereja tentu dilihat sebagai sebuah vote-getter organization

yang seksi, apalagi jika gereja menjadi institusi yang diikuti oleh kebanyakan

Page 12: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

11

masyarakat di sebuah lokasi tertentu. Praktik-praktik keagamaan yang bersifat searah

seperti khotbah membuat warga tidak terlalu menggunakan filter kritisnya, karena dia

memiliki sikap percaya terhadap pendeta dan materi khotbah yang akan disampaikan

adalah soal Firman Tuhan. Sikap seperti ini bisa menjadi celah yang digunakan oleh

mereka yang ingin berkampanye dan menyampaikan pesan politik praktis mengenai

pemilihan calon atau kelompok tertentu dalam khotbah. Karena itu, salah satu kode etik

yang harus dipegang dalam khotbah adalah prinsip untuk tidak berkampanye politik

dalam penyampaian Firman Tuhan.

Keterlibatan gereja dalam politik tentu memiliki risiko seperti yang telah

diperlihatkan oleh tipologi Wogaman di atas. Kita bisa membandingkan pandangan van

de Beek dengan tipologi pertama yang diajukan Wogaman, yaitu gereja yang

mempengaruhi etos dengan menyuarakan ajaran bermasyarakat yang baik kepada

orang Kristen. Sementara itu, kita juga bisa memasukkan pemikiran King Jr. ke dalam

tipologi terakhir Wogaman yaitu gereja yang ikut serta dalam gerakan revolusi.

Relasi Diakonia dan PolitikBerdasarkan pemahaman peran gereja dalam masyarakat dan bagaimana apa

pendapat politik gereja, saya melihat bahwa ada empat tipe relasi diakonia dan politik

dalam gereja dilihat dari landasan teologis memandang perubahan, siapa yang bertugas

untuk mengubah masyarakat dan menegakkan hukum serta keadilan, apa tugas gereja,

dan bentuk aksi diakonia apa yang dilakukan oleh gereja.

Level 1: Gereja menolong yang miskin

Pada level ini, gereja memahami bahwa Allah adalah pencipta dunia dan Allah juga yang

akan menggenapi janji-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia (bnd. Mat.

22:15-22; 25:1-13). Karena itu, bagi level ini, gereja hadir untuk menolong mereka yang

membutuhkan karena seharusnya negara juga hadir untuk masalah masyarakatnya.

Gereja yang ada dalam level ini biasanya memiliki sistem pemerintahan yang memberi

jaminan sosial yang baik kesejahteraan rakyat adalah tugas negara, dan gereja ada di

ruang privat. Bantuan yang diberikan gereja pada level ini adalah pelayanan karitatif

terhadap yang membutuhkan.

Level 2: Gereja menolong yang miskin untuk mendapatkan jaminan pendidikan

dan kesehatan

Pada level kedua, gereja melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari persiapan

kedatangan Kerajaan Allah, karena itu selama bisa, mereka akan membantu masyarakat

dalam dua hal mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan (bnd. Mat. 28:19-20; kisah-

kisah penyembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus). Negara bertugas untuk

menyejahterakan rakyatnya, namun gereja berkesempatan untuk menolong mereka

yang belum memiliki akses kepada pendidikan dan kesehatan yang baik. Pada level ini

Page 13: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

12

gereja menyadarkan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dan menyediakan

Lembaga Pendidikan dan kesehatan non-profit.

Level 3: Gereja menolong yang miskin melalui perjuangan perubahan tatanan

sosial

Pada level ini gereja merasa bahwa dirinya adalah bagian dari perwujudan kerajaan

Allah karena kejahatan adalah realitas yang ada dalam dunia. Ketika ketidakadilan

terjadi dalam tatanan masyarakat, tugas memberi pelayanan pendidikan dan kesehatan

tidak cukup jika sistem sosial tidak berubah. Gereja harus mengambil peran aktif dalam

perubahan masyarakat melalui advokasi, terutama melawan ketidakadilan (bnd. Gal.

6:1-10). Tetapi dalam level ini, gereja tetap tidak mau terlibat dalam politik praktis.

Gereja akan mendirikan organisasi swadaya masyarakat resmi milik gereja, namun

gerakan ini tidak akan menjadi sebuah partai politik.

Level 4: Gereja yang mentransformasi masyarakat dengan melawan ketidakadilan

Ini adalah level yang telah dilakukan oleh gereja di Filipina melalui gerakan revolusi

mereka terhadap Ferdinand Marcos dan gereja di Amerika Serikat dalam melawan

segregasi sosial. Keadilan tidak bisa dicapai melalui doa semata, umat Tuhan juga harus

bekerja secara aktif dan menyuarakan perubahan (bnd. Mat. 10:34-39; Yoh. 2:13-16; Ef.

6:12). Inilah level aksi diakonia yang paling aktif dalam tujuan untuk mengubah dan

mentransformasi masyarakat.

Perkembangan level ini bisa dilihat dalam tabel di bawah:

Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Landasan Teologis Allahmenciptakandunia baik, danAllah akan datanguntukmenghadirkanKerajaan-Nya(penggenapan)

Allahmenciptakandunia baik, danAllah akan datanguntukmenghadirkanKerajaan-Nya.Gereja perlumenyiapkanorang untukmenyambutkerajaan Allah.

Allahmenciptakandunia, namunkehendak bebasmanusiamembuatkejahatanmenjadi takterhindarkan.

Allahmenciptakandunia, namuntercemar olehdosa, karena ituumat Tuhandipanggil untukmenghadirkankerajaan Allah didunia danmenegakkankeadilan

Waktu Perubahan/Kegenapan

Parousia Parousia Bekerja sejaksekarang

Bekerja sejaksekarang

Siapa yang bertugasuntuk mengubah/mentransformasimasyarakat

Negara Negara danmasyarakatsendiri

Masyarakat dangereja

Gereja

Tugas Gereja Menolong merekayangmembutuhkan

MemberiPendidikan agarmasyarakat sadarakanketidakadilan danpenindasan

Mengadvokasimasyarakatmelawanketidakadilan

Terlibat secaraaktif mengubahstruktur (secarapolitik)

Page 14: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

13

Bentuk AksiDiakonia WajahPublik Gereja

- Sumbangan danaksi diakoniakaritatif

- MendirikanLembagaPendidikan danLembagakesehatan

- Memberiadvokasi, timpenyusunanundang-undang

- MemberiPendidikanpolitik

- MendirikanLembaga studikajian kebijakannegara

- Sumbangan dandiakonia karitatif,

- MendirikanLembagaPendidikan danLembagakesehatan

- Memberiadvokasi, timpenyusunanundang-undang

- MemberiPendidikanpolitik

- MendirikanLembaga studikajian kebijakannegara

- Memberi nasihatkepadapemerintah

- Ikut dalamprosespembuatankebijakanpemerintah

- Memimpinrevolusi jikadiperlukan

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Diakonia

Diakonia di tanah Batak dimulai dengan fokus Pendidikan oleh Gerrit van Asselt.

Ia membeli tujuh orang anak-anak dari penjual anak-anak lalu mengajari mereka di

Sipirok (Hutauruk 2011, 261). Penguasa Belanda di Padangsidempuan dan beberapa

raja kemudian menyerahkan anak-anak untuk memperoleh pendidikan dari van Asselt.

Jumlah anak yang pertama kali dididik oleh van Asselt sebanyak 20 orang (Hutauruk

2011, 262). Pada tahun 1891, dua orang suster bernama Liesette Niemann dan Thora

von Wedell-Jarsberg tiba di Laguboti dengan tujuan khusus untuk memberikan

pendidikan bagi kaum perempuan. Terdapat beberapa pengajaran yang diberikan pada

waktu itu, antara lain penelaahan Alkitab, pengajaran katekisasi, menjahit, memasak,

membersihkan kamar dan pekarangan. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan

pada tahun 1891 ini selanjutnya menjadi awal dari munculnya inspirasi untuk membuka

pendidikan bagi kaum perempuan yang kemudian dikenal dengan jabatan gerejawi

bibelvrouw (Hutauruk 2011, 268).

Diakonia di tanah Batak tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan dan

hukum. Pada tahun 1888, seorang penginjil bernama Hanstein melakukan tindakan

diakonia untuk menolong orang-orang sakit, khususnya yang terkena penyakit kusta (na

huliton) di Sipirok. Pada waktu itu, setiap orang yang terkena penyakit kusta akan

Page 15: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

14

dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari desa. Masyarakat menganggap bahwa orang-orang

yang menderita penyakit kusta merupakan orang-orang yang menjadi sumber penyakit

dan mereka mendapatkan kutukan dari roh jahat (Hutauruk 2011, 271). Melihat hal

tersebut, Hanstein kemudian mendirikan beberapa rumah untuk para penderita

penyakit kusta serta menyediakan pengasuh untuk merawat mereka di Situmba

(Hutauruk 2011, 267).

Selain itu, penginjil lain bernama Steinsik dari Rheinische Missionsgesellschaft

(RMG) menolong orang-orang yang sakit kusta di Laguboti. Orang-orang yang menderita

penyakit kusta di Laguboti mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang-orang yang

ada di Sipirok. Tindakan diakonia yang dilakukan oleh Steinsik pada waktu itu adalah

pendirian beberapa pondok untuk para penderita kusta di desa Sitalaktak (Hutauruk

2011, 270). Pada tahun 1900, para penderita penyakit kusta memiliki sebuah

perkampungan yang lebih memadai serta jauh dari pemukiman masyarakat yang

mengucilkan mereka. Tempat tersebut diberi nama Hutasalem. Pada waktu itu terdapat

30 orang yang tinggal di Hutasalem.

Perhatian para penginjil di tanah Batak pada waktu itu tidak hanya untuk orang-

orang yang terkena penyakit kusta. Sekitar tahun 1899, mulai muncul pelayanan

terhadap penyandang tunanetra dan tunarungu. Para penyandang tunanetra dan

tunarungu memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan penderita penyakit kusta.

Mereka juga dijauhi oleh masyarakat serta hanya dapat mengharapkan belas kasihan

dari orang lain bagi kelangsungan hidupnya. Perkembangan pelayanan bagi penyandang

tunanetra dan tunarungu membuahkan hasil, yaitu dengan didirikannya perkampungan

atau desa bagi yang diberi nama Hepatha bagi mereka pada tahun 1923 (Hutauruk

2011, 270).

Pelayanan diakonia di tanah Batak semakin berkembang, khususnya pada

bidang kesehatan. Hal ini dapat terlihat dengan didirikannya rumah sakit pertama di

Pearaja Tarutung pada tanggal 2 Juni 1900 (Hutauruk 2011, 276). Pendirian rumah sakit

ini jelas membutuhkan tenaga medis yang jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu,

badan zending yang ada di tanah Batak membantu untuk menyelenggarakan pendidikan

keperawatan bagi masyarakat Batak yang dapat mengerti huruf dan memiliki

pengetahuan umum yang memadai (Hutauruk 2011, 278). Tindakan yang dilakukan

oleh badan zending ini memberikan suatu peluang untuk terbukanya lapangan

pekerjaan bagi masyarakat Batak pada waktu itu. Pada tahun 1902, orang-orang Batak

yang mengikuti pendidikan keperawatan telah bekerja di rumah sakit Pearaja. Mereka

berjumlah tujuh orang, yang terdiri dari satu orang apoteker, dua orang perawat laki-

laki, satu orang penjaga keamanan, dua orang buruh bangunan, dan satu orang pelayan

(Hutauruk 2011, 278).

Berdasarkan Aturan (tata gereja) HKBP 2002 Dung Amandemen Paduahon,

tidak ada secara eksplisit dipaparkan mengenai pengertian diakonia menurut HKBP.

Page 16: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

15

Dalam aturan dan peraturan HKBP tahun 2002, dijelaskan bahwa diakonia secara

sinodal dipimpin oleh departemen diakonia yang merupakan organ umum yang

melayankan segala kegiatan yang berkenaan dengan diakonia di segenap HKBP dan

dipimpin oleh Kepala Departemen Diakonia (HKBP 2002, 96).

Sementara itu, dalam tingkat jemaat, diakonia dijalankan oleh dewan diakonia

yang merupakan organ pelayanan di tingkat jemaat, yang memikirkan dan

melaksanakan pelayanan diakonia, meningkatkan pengetahuan dan kesehatan,

demikian juga melaksanakan percakapan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar

maupun pemerintah, yang mencakup seksi diakoni sosial, seksi pendidikan, seksi

kesehatan, dan seksi kemasyarakatan (HKBP 2002, 94). Dengan demikian, dapat terlihat

dengan jelas bahwa belum ada perumusan yang jelas mengenai pengertian diakonia

menurut HKBP, namun pelaksanaan kegiatan diakonia tetap berjalan dan dilakukan oleh

empat seksi yang ada dalam dewan diakonia.

Pada masa ini HKBP memiliki tugas untuk merumuskan panggilan diakonia.

Dalam Renstra HKBP 2016-2020, HKBP memiliki visi untuk menjadi berkat bagi dunia

dan diwujudkan dalam 8 misi:

1. Beribadah kepada Allah Tritunggal, Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan bersekutu

dengan saudara-saudara seiman.

2. Mendidik jemaat supaya sungguh-sungguh menjadi anak Allah dan warga negara

yang baik.

3. Mengabarkan Injil kepada yang belum mengenal Kristus dan yang sudah

menjauh dari gereja.

4. Mendoakan dan menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat dan

Negara.

5. Menggarami dan menerangi budaya Batak, Indonesia dan Global dengan Injil.

6. Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih melalui

pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

7. Membangun dan mengembangkan kerjasama antar gereja dan dialog lintas

agama.

8. Mengembangkan penatalayanan (pelayan, organisasi, administrasi, keuangan,

dan aset) dan melaksanakan pembangunan gereja.

Poin 6 berkaitan erat dengan tugas gereja di poin 4 kalau kita mau fokus kepada

perubahan sistem dan struktur, bukan hanya diakonia dalam bentuk karitatif.

Huria Kristen Batak Protestan adalah gereja yang mengaku memiliki

pemahaman teologi Lutheran dan berbasis di Sumatera Utara. Pengakuan Iman yang

kita gunakan untuk memahami pandangan teologis mengenai diakonia dan politik

adalah Konfesi HKBP 1951 dan Konfesi HKBP 1996. HKBP melihat dirinya sebagai gereja

Page 17: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

16

yang harus terlibat dalam kehidupan berbangsa namun bukan sebagai gereja negara.

Pengakuan Iman HKBP 1951, Pasal 8 poin A tentang Gereja menyatakan,

A. Kita percaya dan menyaksikan :

Gereja ialah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yangdipanggil, dihimpun, dikuduskan dan ditetapkan Allah dengan Rohu'l Kudus(1Kor. 1:2; 1Ptr.2: 9; Ef. 1:2,22; 1Kor. 3).

Dalam penjelasan poin 3, dicantumkan,

Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan:

3. Pemikiran bahwa Gereja harus menjadi Gereja Negara, sebab kewajiban dari Gereja

dan kewajiban negara adalah berlainan.

Konfesi HKBP 1951 dipengaruhi oleh Deklarasi Barmen yang berusaha

mengingatkan bahwa gereja tidak boleh menjadi Der Volkskirche (gereja bangsa), yang

mementingkan suara bersama dalam persekutuan orang-orang percaya (lht. Barmen

Declaration 1934 dalam Bradstock & Rowland 2002, 201-203). Tema penolakan ide Der

Volkskirche ini kembali diulangi di Konfesi HKBP 1996 Pasal 7 C dengan kalimat yang

kurang lebih serupa. Lebih lanjut, pemahaman HKBP mengenai relasi gereja dan

pemerintah di atas diperkuat dalam pasal 12 tentang Pemerintah yang menyatakan,

Kita menyaksikan :

Pemerintah yang berkuasa adalah dari Allah datangnya. Ialah pemerintah yang melawan

kejahatan, yang mempertahankan keadilan yang berusaha agar orang percaya dapat

hidup sejahtera seperti tercantum pada Roma 13 dan 1 Timotius 2:2.

Pada lain pihak kita harus ingat yang tercantum pada Kisah Rasul 5:29: Wajiblah orang

menurut Allah lebih daripada manusia.

Dengan ajaran ini kita menyaksikan: Gereja harus mendoakan Pemerintah agar berjalan

di dalam keadilan. Sebaiknya Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan

suaranya terhadap Pemerintah.

Dengan ajaran ini kita menolak paham yang mengatakan: Negara adalah negara

keagamaan, sebab Negara dan Gereja mempunyai bidang-bidang tersendiri (Mat.

22:21b).

Jika perlu di hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh

bersumpah, demikian pula waktu menerima jabatan atau pangkat. (Konfesi HKBP 1996

Pasal 12)

Dari pemahaman di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa HKBP melihat dirinya

sebagai suara kritis terhadap pemerintahan. Dia tidak menentang pemerintah karena

pemerintah berasal dari Allah, namun kepatuhan terhadap Allah tetap di atas kepatuhan

terhadap pemerintah dunia. Karena sikap kritis ini, HKBP bukanlah gereja negara,

namun juga bukan gereja yang tidak aktif dalam kehidupan berbangsa. Bahkan, gereja

dilihat sebagai penyuara norma moral terhadap pemerintahan.

Pandangan tentang diakonia ditemukan dalam pasal 12 mengenai Perbuatan

dan Iman, di mana gereja diminta untuk menghasilkan buah bagi manusia dan bagi

sekitarnya. Dalam pasal 4 mengenai masyarakat, HKBP menuliskan

Page 18: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

17

Kita menekankan pentingnya iman dan tanggung jawab kita dalam masyarakatIndonesia yang majemuk dalam melayani orang miskin, yang sakit, yang melarat, orang

asing, yang terbelakang, yang bodoh, korban ketidakpastian hukum (penyelewengan

hukum).

Kita menekankan kesamaan hidup dan hak azasi manusia bagi manusia yang hidup di

kota dan di desa/ petani, dalam perencanaan, dalam mengambil keputusan dan

pengawasan.

Dari pengamatan di atas kita bisa melihat bahwa HKBP berusaha menjaga untuk tidak

terlibat aktif dalam pemerintahan sebagai agama negara, namun berperan serta dalam

menolong mereka yang menjadi korban ketidakpastian hukum.

KesimpulanSetelah membaca dan menganalisis berbagai pendekatan diakonia, baik dari

teori politik dan keterlibatan gereja dalam masyarakat kita bisa melihat bahwa dalam

teologi publik, pemahaman diakonia gereja memang tidak bisa dilepaskan dari

pandangannya mengenai politik. Ketika gereja melihat keterlibatannya dalam

masyarakat sebagai panggilan untuk menegakkan keadilan, dia juga akan memiliki

pandangan politik yang lebih aktif. Ketika gereja melihat bahwa negara bertanggung

jawab untuk rakyatnya, gereja juga bertugas untuk mengingatkan negara jika dia

menyimpang dari tugasnya. Meski demikian, kita tidak melihat pandangan gereja di

Indonesia yang mengambil level empat dalam tipologi pandangan diakonia dan politik

gereja yang saya ajukan di atas, paling tidak dalam 5 gereja yang kita bahas di atas.

HKBP bisa memfokuskan diri pada tiga bidang: Pendidikan, Kesehatan,

Kepedulian Sosial, dan Pekabaran Injil. Dua bidang menyiratkan keinginan untuk

perubahan transformatif yaitu Pendidikan dan Kesehatan, sementara Kepedulian Sosial

masih tidak terlalu jelas fokusnya, dan Pekabaran Injil lebih fokus kepada tugas

marturia. Untuk menjalankan tugas ini secara teratur, tiap huria, ressort, distrik, dan

terakhir pusat, perlu secara strategis merumuskan apa yang perlu dilakukan, bagaimana

melakukannya, dan siapa pelakunya, untuk jangka pendek dan panjang dengan realistik.

Semoga paparan ini bisa mendorong HKBP untuk melakukan tugas diakonianya di

tengah gereja dan masyarakat.

Biodata PenulisBinsar Jonathan Pakpahan (1980) received his Ph.D. in systematic theology at the Vrije

Universiteit, Amsterdam, The Netherlands (2011). He is now the dean of student affairs

and associate professor at the Jakarta Theological Seminary in the field of ethics,

philosophy and public theology. He is also a pastor of the Huria Kristen Batak Protestan

(HKBP), in which he is a member of the theological commission and the research and

development commission). His main publication is God Remembers: Towards a Theology

Page 19: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

18

of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict (Amsterdam: VU

University Press, 2012) and The Power of Shame (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016). He

has published several articles in Indonesian and international theological journals, He is

now working on his habilitation dissertation at the Evangelisch-Theologische Fakultät,

Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster, Germany (starting 2016), on the

theme of the role of shame and honor in Indonesian society and the practice of

forgiveness in Indonesian Christian communities and its contribution to the formation

of the Indonesian society.

Page 20: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

•••• <:::>zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA

• ~<:::>• Q ~

.~• •~• .c

.~ ~• Q. .~ ~• -.~

c ~~

ta ~ ;f~ ~

.c~~•zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA

". ta .~ V)~• ~ c. ~~• ~zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA•• ~ ~~• (§) ~ ta ~~

• .~ ~Q. .~ S2

• ~ ~

~~• ~ ~ c~

~.!:l ~

~

~• nszyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAC4 ~ 0

~~ .c ~~ .~

""' ••

~fJ)

""'.... ~ .l:::S~ N• ~ .~ Q

.9~ ••

~

ta~ 'N QO •C

~ ~~T

~~ •• 0 ~ .~ ~N

•~~ fJ) •~

~Z•

~~ •• ... \....~

Q~ •• ns~ <;::)

•~~• '" ~~

•• c ~~

•~~• zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA.-~ <;::)

•• ~ ~ ~

•....... ~

• • ~~

•• .... ~~

•~ ~• -cV) ~ •• Q.

~ •~• .~•~

••

~••

-

~

•••

••••

Page 21: SURATTUGAS - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/...Diakonia sekarang kita pahami sebagai panggilan belas kasih kepada gereja untuk melayani yang miskin dan

������� ������ ��������� ������ ��������

� ��� ����� � � � ������� ��� �������� ����� ������ � �

����� ������ ��� ���� � ������

������� �� ������� ����

������� �!""� �����!�# ���� $�!"�%���! �&���� �$&$ '�!" %�(�)���! ���� %�#�!*�$& ��+�%� #�,�*�# ���%�$��� %�!"�! *�$�-*�$� (�)%�#�)��! +�!���*��! *�)��!� +�)�%�#�! '(#� ��'� $�!'�$+����! �&���� &$&$ +�%� *�!""�� �� �)�* �����

����$ �&���� �$&$ �!�� #�'� $�!'�$+����! $�!"�!�� )���#� %����!�� %�! +���*�����)�.� *�%�� (�#� $�!"�#�$+�!"��! +�!%�!"�! %����!��!'� %�)� +�!%�!"�! +���*��!'����� �!� ��$&%��! #�'� /�(� (&�*���! $����&� �!���#�# +�!%�!"�! "�)�.� �*�# *�"� ���0

)���#� "�)�.� %�! !�"�)�� �+� �*& %����!��� +�!%�!"�! #��� 1��*&� %�! *&.&�! "�)�.��

�&���� &$&$ %���&*� ���� #���*�) ��� �)�!" %�)� /�,�*�# ���%�$��� �� �����!�# �����

����)*�� �2 ��()&�)� ����

��!#�) �� ���+���!� ����