SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT...
Transcript of SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT...
Bank: 1.BCACabang Matraman (YAYLEMBAGAPTTEOLOGIJAKARTA),No. 342 302 26352. Bank MANDIRICabang Cikini (LEMBAGAPERGURUANTINGGITEOLOGl),No. 123 000 5625431
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
untuk menjadi pembicara dalam kegiatan pembinaan Komisi Pengkajian Teologi GKI SW
Jawa Tengah dengan tema "MeDeari Bentuk Revitalisasi Ibadah" yang diselenggarakan
pada tanggal 18 Februari 2020 di Kantor Sinode Wilayah GKI SW [awa Barat. Demikian
surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jabatan
Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.
Dosen Tetap dan Formator Spiritual Ekumenis STFT Jakarta
Nama
Berdasarkan surat dari Komisi Pengkajian Teologi Gereja Kristen Indonesia Sinode
Wilayah [awa Barat No. 21/KPT/XI/2019, maka Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta melalui surat ini menugaskan:
SURATTUGAS
No. : 181/Ketua/XI/2019
Hal : Penugasan Mewakili STFT Jakarta
[alan Proklamasi 27Jakarta 10320, IndonesiaTel. +62-21-3904237Fax. +62-21-3906096Email: [email protected]://www.sttjakarta.ac.id/
SEKOLAH TINGGI FILSAFATTHEOLOGI JAKARTA(SEKOLAH TINGG I TEOLOG 1 JAKARTA)JAKARTA
Tembusan : - Pdt. Ester Pudjo
Demikianlah surat ini kami sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan danperhatiannya. Tuhan Yesusmemberkati pelayanan kita bersama.
Bentu acara : Diskusi Panel
Tempat : Kantor Sinode Wilayah GKI SW Jawa Barat
Waktu : Pk. 09.00-13.00 WIB
Tanggal : Selasa, 18 Februari 2020
Adapun tanggal, waktu, tempat pelaksanaan serta bentuk acaranya adalah sebagai berikut:
Bersama dengan surat ini, kami menginformasikan bahwa Pdt. Ester Pudjo akan memimpinpembinaan yang diselenggarakan oleh Komisi Pengkajian Teologi GKISWJawa Barat.
Salamdalam kasih Kristus,
KepadaYth,STFTJAKARTAJI. Proklamasi no. 27JAKARTA PUSAT
Lamp. 1Perihal: DISKUSI PANEL
JI. Tanjung Duren Raya No.4, Blok E Lt. IV Jakarta 11470, P.O. Box 2705, Telp. 5666961, 5688635, 5688636 Fax. (021) 5666957
Hormat Kami,
KOMI&I PENGKL\JIl\N TEOLOGIGEREJA KRI&TEN INDONE&IA &W JAWA BARAT
Jakarta, 05 November 2019: 21/KPT /XI/2019No
Ruang kre tas dalam revitalisasi ibadah. Dengan berkaea daripengalaman mengelola ibadah di GKI Gejayan, pergumulan,tantangan serta kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini,pembieara juga diharapkan dapat melihat dan mengubungkannyadengan hasil hasil penelitian Jemaat dalam lingkup GKI SW JawaBarat tentang peribadatan dan pentingnya revitalisasi ibadah
Musik Gereja dan Revitalisasi Ibadah yang coeok bagi jernaatjemaat dalam lingkup GKI SW Jawa Barat. Dalam hal ini, pembiearajuga diharapkan dapat melihat dan mengubungkannya denganhasil hasil penelitian Jemaat dalam lingkup GKI SW Jawa Barattentang peribadatan dan pentingnya revitalisasi ibadah
Teori Liturgika tentang Revitalisasi Ibadah. Dalam hal ini,pembieara juga diharapkan dapat melihat dan mengubungkannyadengan hasil hasil penelitian Jemaat dalam lingkup GKI SW JawaBarat tentang peribadatan dan pentingnya revitalisasi ibadah
Membahas gambaran urnum hasil penelitian Jemaat dalam lingkupGKI SW Jawa Barat tentang peribadatan dan pentingnya revitalisasiibadah
..
4. Pdt. Paulus Lie
Pdt. Juswantori lehwan3.
2.
1. Pdt. Stephen Suleeman
Sub TemaNo Pembicara
Tema : Meneari Bentuk Revitalisasi Ibadah: Berangkat dari Hasil Penelitian Jemaat dalam lingkup
GKI SW Jawa Barat.
LAMPIRAN
•
IBADAH YANG MENGGAIRAHKAN (KAUM MUDA):
Beberapa Catatan bagi Revitalisasi Ibadah di Gereja-gereja Kristen Indonesia
[Disampaikan dalam Diskusi Panel Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jawa Barat di Jakarta pada
tanggal 18 Februari 2020]
Ester Pudjo Widiasih, Ph. D.
Dalam sejarah gereja, kita dapat selalu temukan upaya untuk membarui atau mereformasi
atau merevitalisasi ibadah jemaat, khususnya pertemuan ibadah komunal yang dilaksanakan pada
hari Minggu. Pada abad pertama Kekristenan, jemaat kristiani menyatakan diri berbeda dengan
jemaat Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus sebagai Mesias dengan berkumpul pada hari
Minggu untuk memperingati kebangkitan Yesus Kristus dengan mendengarkan pengajaran para
rasul (kemungkinan besar melalui surat-surat mereka), makan bersama dan berdoa (bnd. Kis.
2:42). Pada abad-abad selanjutnya, ciri khas ibadah Kristen semakin terbentuk dengan doa,
nyanyian dan hari raya yang mengungkapkan iman kristiani, khususnya iman kepada Yesus
Kristus, serta ritual baptisan dan perjamuan yang mengungkapkan penyelamatan Allah melalui
benda dan aksi simbolis. Ritual Yahudi yang dulu juga merupakan ritual utama para murid Yesus
telah “dibarui” menurut iman kristiani mereka. Setelah agama Kristen menjadi agama publik,
pembaruan ibadah terus berlanjut dengan memeluk unsur-unsur ritual Yunani-Romawi, bahkan
upacara dan protokol kekaisaran pun diikuti.
Kontekstualisasi ibadah bukan hanya isu yang dihadapi oleh gereja pada masa kini,
melainkan juga saat abad-abad pertengahan. Gaya misa Romawi yang “kering”, misalnya, menjadi
diperhangat ketika dilakukan di gereja-gereja di Prancis pada waktu itu. Para reformator pun
memberi bentuk ibadah mereka dengan memakai unsur-unsur budaya setempat. Ibadah dilakukan
dalam bahasa lokal dan nyanyian jemaat digubah sesuai dengan nyanyian kontemporer pada
zaman Martin Luther dan Yohanes Calvin merupakan upaya pembaruan ibadah yang kontekstual.
Upaya pembaruan ibadah terus dilakukan, termasuk pada abad ke-20 dengan munculnya
liturgical movement, yang memengaruhi gereja-gereja arus utama, juga Gereja Katolik Roma.
Dapat kita katakan, pergumulan untuk membarui atau merevitalisasi ibadah merupakan
hal yang lumrah terjadi di hampir semua gereja di segala abad dan tempat. Biasanya, pembaruan
ibadah yang mendasar dengan dampak perubahan yang sangat kentara selalu dibarengi dengan
upaya pembaruan cara begereja pada umumnya. Hal ini nampak, misalnya, pada zaman Reformasi
dan Konsili Vatikan II. Para reformator dengan berani memangkas misa, menghapuskan berbagai
ritual dan hari-hari raya, membuat umat bernyanyi kembali setelah sekian abad hanya
mendengarkan paduan suara bernyanyi, dan memberikan pengajaran serta berdoa dalam bahasa
lokal. Bukankah reformasi ibadah yang dilakukan oleh para reformator itu juga disertai oleh
pembaruan di berbagai bidang kehidupan berjemaat lainnya? Pembaruan ibadah di Gereja Katolik
setelah Konsili Vatikan II juga terjadi cukup menguncang, karena sekarang umat dapat berdoa
2
dalam bahasa ibu mereka masing-masing. Dampak hasil pembaruan setelah Konsili tersebut
adalah peran umat dalam kehidupan bergereja menjadi semakin beragam dan menguat. Gereja
bukan hanya milik kaum klerus.
Belajar dari sejarah pembaruan ibadah dan sehubungan dengan revitalisasi ibadah di GKI,
apakah GKI menginginkan juga revitalisasi ini merambah ke bagian kehidupan bergereja lainnya?
Dengan kata lain, apakah percakapan kita pada hari ini merupakan bagian dari upaya revitalisasi
kehidupan bergereja, terutama pelayanan kepada para kaum muda, secara menyeluruh? Atau,
percakapan ini akan berhenti sampai di sini saja? Sebab, menurut saya, ibadah tidak bisa dijadikan
kambing hitam semua permasalahan yang terjadi dalam gereja. Jangan-jangan, ibadah yang
dianggap tidak menarik atau tidak menggairahkan bagi kaum muda merupakan cerminan dari
kehidupan bergereja yang juga suam-suam kuku. Pelayanan lainnya tidak berkembang, sehingga
kaum muda merasa tidak bertumbuh dalam gereja. Selain itu, revitalisasi ibadah seharusnya juga
tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muda, melainkan berlaku untuk seluruh peribadahan
gereja. Oleh karena itu, dalam judul catatan saya ini, saya menggunakan tanda kurung dalam
menyebut kaum muda.
Dalam hasil sensus yang diadakan oleh PPDI – Pokja Litbang GKI SW Jabar dan Pdt.
Stephen Suleeman, disebutkan bahwa di kalangan remaja dan pemuda GKI SW Jabar, ibadah
bukan menjadi hal utama yang membuat mereka menjadi anggota sebuah GKI. Mereka tetap setia
pada sebuah GKI karena mereka sudah lama menjadi anggota dan karena letak gedung gereja yang
berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Hal penting lainnya yang membuat mereka betah
menjadi anggota adalah karena mereka memiliki banyak teman dan anggota gereja lainnya ramah.
Saya melihat, bagi kaum muda ini, gereja telah menjadi rumah bagi mereka. Meskipun di dalam
rumah itu ada kemungkinan mereka menjumpai hal-hal yang tidak membuat mereka selalu
senang, mereka tetap mau tinggal dalam rumah itu. Di lain pihak, frekuensi kehadiran para
responden dalam ibadah Minggu masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah Minggu
tetap menjadi kegiatan gereja yang cukup penting. Dengan kata lain, ibadah Minggu masih
memiliki kemungkinan menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk tetap kembali dan tetap tinggal
di gereja (rumah) mereka. Kenyataan inilah yang mungkin menjadi pendorong bagi
diselenggarakannya diskusi panel ini.
Ada beberapa catatan kecil yang hendak saya bagikan pada kesempatan kali ini, yang
mungkin dapat menolong GKI mendapatkan cara merevitalisasi ibadah (bagi kaum muda) dan
merevitalisasi kehidupan bergereja pada umumnya. Sekali lagi, catatan ini tidak dimaksudkan
untuk merevitalisasi ibadah bagi remaja dan pemuda saja, tetapi juga dapat diberlakukan bagi
kehidupan peribadahan seluruh jemaat. Saya memilih menggunakan istilah ibadah yang
menggairahkan sebagai indikasi ibadah yang dapat memberikan pengalaman perjumpaan yang
penuh gairah (passion) antara Allah dengan umat-Nya, umat dengan umat, dan umat dengan
“dunia,” yang menginspirasi kehidupan sehari-hari.
3
1. Ibadah yang menggairahkan merupakan perwujudan relasi.
Constance Cherry, seorang ahli liturgi, menggunakan metafor ibadah sebagai dialog tiga arah. Ia
mengatakan: “God is relational, and worship is relational at its core. Seeing worship as a
conversation—God to us, us to God, and us with others—helps us understand God as relational.”1
Saya ingin menambah satu relasi lagi yaitu relasi umat kristiani dengan “dunia.” Relasi tiga arah
yang saya maksudkan adalah Allah dengan umat, umat dengan umat dan umat dengan “dunia.”
Konfesi GKI berdasarkan pada pemahaman Allah Trinitas sebagai Allah yang berelasi dan relasi
antar personal Allah Trinitas ini menjadi model dari relasi antar anggota jemaat dan umat dengan
sesamanya serta ciptaan Allah lainnya. Bagaimanakah kita mewujudkan relasi antara Allah dengan
umat-Nya, umat dengan umat di dalam sebuah persekutuan, dan umat dengan “dunia” di dalam
doa, nyanyian, khotbah, dan ungkapan simbolis? Apakah ibadah di gereja kita telah menjadi
sebuah moment perjumpaan tiga arah tersebut? Apakah ibadah kita menolong umat untuk
bertumbuh dalam relasi mereka secara pribadi dengan Allah, memperkuat relasi mereka dengan
warga jemaat dan umat Kristen lainnya, serta menginspirasi mereka untuk membangun relasi
dengan sang liyan, bahkan dengan bumi dan segala isinya.
2. Ibadah yang menggairahkan bersumber dari kekayaan Kitab Suci dan mengarahkan umat
untuk semakin mendalami perjumpaan dengan Sang Sabda dan Injil-Nya.
Menurut hasil survey, banyak responden yang mengaku jarang membaca Alkitab dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Melalui ibadah Minggu, paling tidak dalam seminggu, kaum muda dapat
berjumpa dengan Allah yang bersabda melalui Alkitab. Penggunaan system bacaan Alkitab
menurut the Revised Common Lectionary dapat menjadi salah satu cara perjumpaan dengan
Alkitab dalam ibadah. Pelaksanaan kalender liturgi secara lengkap pun dapat menolong umat
untuk lebih menghayati isi pesan Alkitab sehubungan dengan hari raya yang diperingati, dan lebih
jauh lagi, umat dimungkinkan untuk mengikuti peristiwa-peristiwa yang dialami Tuhan Yesus
sebagaimana diwartakan dalam Alkitab. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimanakah ibadah menolong
umat untuk mengalami perjumpaan dengan Kitab Suci tidak hanya melalui bagian “pelayanan
firman” tetapi juga melalui teks-teks liturgis dan lirik nyanyian, bahkan simbol visual? Apakah ada
upaya untuk mendorong umat yang beribadah pada hari Minggu untuk bergairah mempelajari
Alkitab setiap hari, misalnya, dengan memberi PR, memprovokasi keingin-tahuan dengan
penafsiran baru (bnd. usulan pembuat survey untuk mengadakan “membaca Alkitab dengan mata
baru.”)
1 Lihat https://worship.calvin.edu/resources/resource-library/constance-cherry-on-competing-metaphors-for-worship/
4
3. Ibadah yang menggairahkan menolong umat untuk berpartisipasi dalam ibadah secara
penuh, sadar, dan aktif.
“Full, conscious, and active participation” merupakan motto dari pembaruan ibadah di Gereja
Katolik. Dalam ibadah, diupayakan umat tidak hanya menjadi penonton saja, tetapi terlibat dalam
setiap moment ibadah secara aktif dan penuh. Ia juga menyadari apa yang terjadi saat itu.
Partisipasi yang penuh, sadar, dan aktif tidak bermaksud untuk menjadikan ibadah bersifat
kognitif saja. Sebaliknya, motto ini hendak menolong umat untuk beribadah dengan seluruh
keberadaannya. Bagaimanakah dengan ibadah umum dan ibadah khusus kaum muda di gereja
kita, apakah sudah mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar, dan aktif?
4. Ibadah yang menggairahkan muncul dari partisipasi umat yang penuh, sadar, dan aktif.
Motto pembaruan liturgi lainnya adalah ibadah sebagai sumber dan puncak dari kehidupan
bergereja. Hal ini mengandaikan pembaruan kehidupan bergereja yang menyeluruh. Apabila
warga jemaat tidak merasa memiliki relasi yang baik dengan gereja, maka mereka tentu saja secara
sadar tidak akan sepenuhnya aktif dalam peribadahan. Dengan kata lain, ibadah akan gagal
menjadi puncak dari kegiatan bergereja. Di lain pihak, apabila tidak ada partisipasi akitf, sadar dan
penuh dalam ibadah, maka ibadah akan menjadi aksi ritual yang tidak menggairahkan. Akibatnya,
ibadah dapat saja tidak akan menjadi sumber inspirasi relasi yang menghidupkan. Para
remaja/pemuda pun diharapkan secara aktif terlibat dalam perancangan ibadah, selain menjadi
petugas (pelayan) dan pelaku ibadah, supaya ibadah dapat mengekspresikan penghayatan dan
kebutuhan spiritual mereka.
5. Ibadah yang menggairahkan merupakan pengalaman perjumpaan dan berelasi yang
menubuh.2
Ibadah adalah sebuah ritual. Sebagai aksi ritual, tubuh menjadi situs dan media dalam
mewujudkan perjumpaan relasional tiga dimensi tersebut di atas. Apakah ibadah kita telah
menjadi sebuah pengalaman yang menubuh (embodied experience)? Artinya, semua unsur ibadah
secara strategis diarahkan supaya umat secara ragawi mengalami perjumpaan relasional umat
dengan Allah, dengan sesama umat sebagai sebuah persekutuan, dan dengan dunia sekitar melalui
cara verbal dan non-verbal. Ibadah menjadi aksi ritual yang menyalurkan dan membentuk makna.
Dengan demikian, para perancang ibadah perlu mengupayakan setiap hal yang dilakukan dalam
ibadah menjadi sebuah happening. Dalam survey dikatakan bahwa tidak banyak kaum muda
memilih “ibadah yang tidak membosankan” dan “liturgi yang menarik” sebagai alasan mereka
2 Lihat makalah saya pada pembukaan Viveka 6 “Liturgi: Sebuah Ritual yang Stagnan?”.
5
tetap menjadi anggota gereja. Apakah itu berarti ibadah gereja mereka membosan dan tidak
menarik karena tidak mengalami perjumpaan yang menubuh itu?
6. Ibadah yang menggairahkan melibatkan keseluruhan (atau paling tidak sebagian besar)
indera manusia.
Sebagai sebuah ritual, ibadah akan menggairahkan apabila menstimulasi sebagian besar dari
indera kita. Seringkali dalam ibadah di gereja-gereja Protestan, indera telinga dan mulut lebih
sering digunakan. Pemakaian media visual dan simbol kasat mata dapat menolong umat
mengalami perjumpaan tersebut. Perjamuan Kudus dan aksi simbolis pengecapan lainnya
memungkinkan umat menggunakan indera pengecapannya. Selain itu, aksi ritual yang melibatkan
gerakan tubuh dapat menjadikan ibadah lebih ekspresif dan experiential. Namun, melibatkan
indera tidak berarti ibadah harus terkesan sibuk. Ibadah kontemplatif atau yang melibatkan saat
hening yang cukup panjang juga dapat menolong umat untuk mengalami perjumpaan dengan
Allah. Ibadah sebagai ritual juga mengganggap ibadah sebagai sebuah drama yang dipersiapkan
dan dilakukan dengan kreatif.
7. Ibadah yang menggairahkan tidak hanya berpusat pada pelayanan sabda, tetapi juga
sakramen.
Sejak gereja perdana, pelayan firman dan sakramen mencirikan ibadah Kristen. Salah satu hal
yang dipromosikan oleh kelompok liturgical movement adalah kesatuan pelayanan sabda dan
pelayanan meja. Tidak sedikit gereja-gereja Protestan yang dipengaruhi oleh gerakan tersebut
merayakan perjamuan kudus setiap minggu atau paling tidak sebulan sekali. Pembaptisan juga
diupayakan menjadi sebuah peristiwa yang memorable dan experiential. Makna tindakan simbolis
ini juga mendasari ibadah Minggu dan dengan sengaja dihadirkan melalui ritus pembaruan janji
baptisan dalam hari-hari raya tertentu.
8. Ibadah yang menggairahkan menjadi situs pelaksanaan misi penyelamatan Allah dan
menginspirasi umat untuk menjadi kawan sekerja Allah.
Bagian pengutusan merupakan ajakan untuk menjadi kawan sekerja Allah turut terlibat dalam
menjalankan misi-Nya bagi dunia ini. Sayangnya, kita sering melupakan bahwa umat seharusnya
juga dapat merasakan dan mengalami pelaksanaan misi Allah di dalam ibadah. Apa bentuk misi
Allah yang perlu dihadirkan bagi para remaja/pemuda dalam ibadah di gerea kita? Dalam survey,
didapatkan data bahwa banyak kaum muda GKI telah merasakan hospitalitas di gereja. Jika misi
Allah yang diyakini oleh GKI adalah merangkul semua orang, maka ibadah telah mewujudkan misi
ini. Adakah misi Allah lainnya yang perlu dialami oleh kaum muda GKI?
9. Ibadah yang menggairahkan memperhatikan lokalitas dan ekumenitas.
6
Dalam survey, para responden menggarisbawahi pentingnya nyanyian jemaat kontemporer yang
dihadirkan dalam ibadah Minggu. Hal ini menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya
kontekstualisasi dalam ibadah. Ibadah harus relevan. Namun, apa saja bentuk kontekstualisasi
ibadah itu? Apakah hanya jenis musik kontemporer yang hanya mereka ingin untuk dinyanyikan
ataukah juga semua jenis musik yang membangun repertoire nyanyian jemat? Misalnya, dalam
hasil survey dikatakan angklung dan musik tradisional Indonesia tidak terlalu menarik bagi
mereka. Lokalitas atau konteks Indonesia juga termasuk menghargai budaya tradisionl Indonesia.
Kesadaran akan relevansi dan lokalitas ibadah perlu dibarengi dengan keyakinan bahwa sebagai
anggota jemaat yang hidup saat ini, kita disatukan di dalam Kristus dengan jemaat di segala abad
dan tempat. Sisi ekumenitas ini dapat diwujudkan melalui penghargaan pada tradisi liturgis
berbagai gereja dari segala abad dan tempat. Ketegangan antara lokalitas dan ekumenitas dalam
ibadah harus selalu dijaga, sehingga ibadah kita kontekstual dan ekumenis sekaligus.
10. Ibadah yang menggairahkan dapat terjadi bila ada pengajaran tentang ibadah.
Salah satu hasil survey mengatakan bahwa kaum muda tidak memahami makna saat teduh
sebelum/setelah ibadah. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengajaran mengenai ibadah bagi
generasi muda. Learning by doing memang sangat penting. Namun, mereka pun perlu diajarkan
makna dari setiap unsur ibadah sebagi upaya menolong mereka untuk secara penuh, sadar dan
aktif menjadi pelaku ibadah.
Bagi saya, revitalisasi ibadah tidak cukup hanya memikirkan gaya peribadahan dan gaya
musik yang dipakai dalam ibadah. Revitalisasi/pembaruan ibadah melibatkan upaya yang
menyeluruh untuk menjadikan ibadah menggairahkan. Hal ini juga perlu disertai dengan
revitalisasi kehidupan bergereja.
Semoga catatan ini membantu!
Daftar Acuan:
Cherry, Constance. “On Competing Metaphors for Worship.”https://worship.calvin.edu/resources/resource-library/constance-cherry-on-competing-metaphors-for-worship/
PPDI – Pokja Litbang GKI SW Jabar dan Stephen Suleeman. “Potret Pemuda GKI SWJabar: Pergumulan dan Harapannya (sebuah makalah hasil survey Pokja Litbang GKI SW Jabardan Stephn Suleeman)” Jakarta, 2016.
Widiasih, Ester Pudjo. “Liturgi: Ritual yang Stagnant?” (Makalah Seri Viveka VI), Jakarta,2019.
7
Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada Diskusi Panel Komisi PengkajianTeologi GKI SW Jawa Barat
1. Setelah mengadakan survey mengenai pelayanan bagi kaum muda yang selesai padatahun 2016, Komisi Panel Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Baratmengadakan suatu diskusi panel yang khususnya membahas tentang ibadah di kalanganorang muda.
2. Saya diundang menjadi salah satu panelis dan mempresentasikan beberapa usulanmenjawab hasil survey Komisi Pengkajian tersebut. Judul presentasi saya adalah “Ibadahyang Menggairahkan (Kaum Muda).” Saya menyampaikan 10 catatan yang berdasarkanpembahasan bidang keilmuan Liturgika dan Ritual, sebagai usulan untuk revitalisasiibadah kaum muda.
3. Peserta panel diskusi tersebut terdiri dari 70 orang dari berbagai tingkatan usia, yangkebanyakan merupakan pekerja gereja.
4. Kegiatan ini diselenggarakan di Kantor Sinode GKI Wilayah Jawa Barat di daerah TanjugDuren, Jakarta Barat, pada tanggal 18 Februari 2020.
5. Terlampir adalah sertifikat dan makalah ceramah.
Jakarta, 25 Februari 2020
Ester Pudjo Widiasih, Ph. D.