sunyono, 2010 UPI gas ideal.pdf

40
SUNYONO (NIM: 107966009) 1 TEORI KINETIKA GAS A. Pendahuluan Di pertengahan abad ke-19, ilmuwan mengembangkan suatu teori baru untuk menggantikan teori kalorik. Teori ini berdasarkan pada anggapan bahwa zat disusun oleh partikel-partikel sangat kecil yang selalu bergerak. Bunyi teori kinetik adalah sebagai berikut: Dalam benda yang panas, partikel-partikel bergerak lebih cepat dan karena itu memiliki energi yang lebih besar daripada partikel-partikel dalam benda yang lebih dingin. (Wikipedia, 2011) Teori Kinetik (atau teori kinetik pada gas) berupaya menjelaskan sifat-sifat makroscopik gas, seperti tekanan, suhu, atau volume, dengan memperhatikan komposisi molekular mereka dan gerakannya. Intinya, teori ini menyatakan bahwa tekanan tidaklah disebabkan oleh gerakan vibrasi di antara molekul-molekul, seperti yang diduga Isaac Newton, melainkan disebabkan oleh tumbukan antarmolekul yang bergerak pada kecepatan yang berbeda-beda. Teori Kinetik dikenal pula sebagai Teori Kinetik-Molekular atau Teori Tumbukan atau Teori Kinetik pada Gas. Dengan demikian, teroi kinetika gas membahas sifat-sifat gas yang berhubungan dengan gerakan translasi dari atom dan molekul dalam bentuk gas, serta menguji bagaimana sifat-sifat gas tersebut dapat dibahas berdasarkan pada gerakan translasi yang bebas dan kontinyu dari komponen-komponennya. Untuk dapat membahas sifat-sifat gas dengan lebih sempurna, maka dalam teori kinetika gas digunakan pendekatan gas ideal (Atkin, 2006, Castellan, 1983, dan Mortimer, 2008). Pendekatan terhadap gas ideal ini didasarkan atas asumsi-asumsi berikut ini: Gas terdiri dari partikel-partikel sangat kecil, dengan massa tertentu. Molekul-molekul ini bergerak secara acak. Partikel-partikel yang bergerak sangat cepat itu secara konstan bertumbukan dengan dinding-dinding wadah. Tumbukan-tumbukan partikel gas terhadap dinding wadah bersifat lenting (elastis) sempurna. Interaksi antarmolekul dapat diabaikan (negligible). Mereka tidak mengeluarkan gaya satu sama lain, karenanya tidak ada perubahan energi (artinya tidak ada energi translasi yang diubah menjadi energi rotasi, vibrasi maupun energi lainnya).

Transcript of sunyono, 2010 UPI gas ideal.pdf

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    1

    TEORI KINETIKA GAS

    A. Pendahuluan

    Di pertengahan abad ke-19, ilmuwan mengembangkan suatu teori baru untuk

    menggantikan teori kalorik. Teori ini berdasarkan pada anggapan bahwa zat disusun oleh

    partikel-partikel sangat kecil yang selalu bergerak. Bunyi teori kinetik adalah sebagai berikut:

    Dalam benda yang panas, partikel-partikel bergerak lebih cepat dan karena itu memiliki energi yang lebih besar daripada partikel-partikel dalam benda yang lebih dingin. (Wikipedia, 2011) Teori Kinetik (atau teori kinetik pada gas) berupaya menjelaskan sifat-sifat

    makroscopik gas, seperti tekanan, suhu, atau volume, dengan memperhatikan komposisi

    molekular mereka dan gerakannya. Intinya, teori ini menyatakan bahwa tekanan tidaklah

    disebabkan oleh gerakan vibrasi di antara molekul-molekul, seperti yang diduga Isaac

    Newton, melainkan disebabkan oleh tumbukan antarmolekul yang bergerak pada kecepatan

    yang berbeda-beda. Teori Kinetik dikenal pula sebagai Teori Kinetik-Molekular atau Teori Tumbukan atau Teori Kinetik pada Gas. Dengan demikian, teroi kinetika gas membahas

    sifat-sifat gas yang berhubungan dengan gerakan translasi dari atom dan molekul dalam

    bentuk gas, serta menguji bagaimana sifat-sifat gas tersebut dapat dibahas berdasarkan

    pada gerakan translasi yang bebas dan kontinyu dari komponen-komponennya. Untuk dapat

    membahas sifat-sifat gas dengan lebih sempurna, maka dalam teori kinetika gas digunakan

    pendekatan gas ideal (Atkin, 2006, Castellan, 1983, dan Mortimer, 2008).

    Pendekatan terhadap gas ideal ini didasarkan atas asumsi-asumsi berikut ini:

    Gas terdiri dari partikel-partikel sangat kecil, dengan massa tertentu.

    Molekul-molekul ini bergerak secara acak. Partikel-partikel yang bergerak sangat cepat itu

    secara konstan bertumbukan dengan dinding-dinding wadah.

    Tumbukan-tumbukan partikel gas terhadap dinding wadah bersifat lenting (elastis)

    sempurna.

    Interaksi antarmolekul dapat diabaikan (negligible). Mereka tidak mengeluarkan gaya satu

    sama lain, karenanya tidak ada perubahan energi (artinya tidak ada energi translasi yang

    diubah menjadi energi rotasi, vibrasi maupun energi lainnya).

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    2

    Keseluruhan volume molekul-molekul gas individual dapat diabaikan bila dibandingkan

    dengan volume wadah. Ini setara dengan menyatakan bahwa jarak rata-rata antarpartikel

    gas cukuplah besar bila dibandingkan dengan ukuran molekul gas itu sendiri.

    Molekul-molekul berbentuk bulat (bola) sempurna, dan bersifat lentur (elastic).

    Energi kinetik rata-rata partikel-partikel gas hanya bergantung kepada suhu sistem.

    Efek-efek relativistik dapat diabaikan dan efek-efek mekanika kuantum dapat diabaikan.

    Artinya bahwa jarak antarpartikel lebih besar daripada panjang gelombang panas de

    Broglie dan molekul-molekul dapat diperlakukan sebagai objek klasik.

    Gambar 1. Tumbukan elastis molekul-molekul gas (Sumber: Wikipedia, 2011)

    Tumbukan-tumbukan yang terjadi hanyalah mengubah arah kecepatan dari partikel.

    Jumlah rata-rata tumbukan yang terjadi persatuan waktu yang dibuat oleh partikel tunggal

    disebut frekwensi tumbukan. Frekwensi tumbukan memegang peranan penting dalam membahas sifat-sifat transport gas dan reaksi-reaksi kimia dalam fasa gas. Jarak rata-rata

    gerakan partikel antara tumbukan yang satu dengan tumbukan yang lain disebut jalan bebas rata-rata, yang memegang peranan penting dalam membahas fenomena transport, karena menunjukkan berapa jauh molekul mempunyai sifat tertentu sebelum tumbukan.

    Beberapa konsep fisika yang penting 1. Gaya dan satuannya

    Salah satu konsep yang paling mendasar dalam ilmu fisika adalah gaya. Dalam mekanika

    klasik yang dirumuskan oleh Isaac Newton pada akhir abad ketujuh belas, besarnya gaya (F)

    diberikan oleh hukum kedua Newton tentang gerak (Mortimer, R.G., 2008):

    Gaya = massa x percepatan, atau F = m. a

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    3

    Percepatan gerak jatuh bebas dari suatu benda di permukaan bumi adalah 9,81 m.s2,

    sehingga gaya gravitasi yang bekerja pada massa 1,0 kg

    Dalam hal ini satuan gaya adalah Newton (N), yang setara dengan:

    Mungkin dapat kita bayangkan bahwa gaya 1 N adalah gaya gravitasi yang bekerja

    pada sebuah (misalnya) apel kecil (dengan massa sekitar 102 gram). Gaya adalah kuantitas

    yang memiliki arah, dalam arti bahwa ia memiliki arah dan besaran. Ketika suatu objek

    bergerak pada jarak s dengan gaya tertentu, objek tersebut melakukan kerja..Besarnya

    kerja adalah produk perkalian jarak dan gaya yang yang dimiliki oleh suatu objek:

    Kerja = Gaya x Jarak

    Oleh karena itu, untuk menaikkan objek dengan massa 1,0 kg dari permukaan Bumi dengan

    jarak vertikal 1,0 m mengharuskan kita untuk mengeluarkan sejumlah kerja:

    Kerja = (9,8 N) x (1,0 m) = 9,8 N.m

    Dalam hal ini 1 N m (atau, 1 kg m2 s2) disebut 1 joule ( atau 1 J). Jadi 9,8 J dibutuhkan

    untuk menaikkan massa 1,0 kg pada jarak verikal 1,0 m di atas permukaan bumi.

    2. Kecepatan

    Menurut mekanika klasik, keadaan dari suatu partikel ditentukan oleh posisi dan

    kecepatannya. Jika partikel bergerak dalam sistem tiga dimensi, kita dapat menentukan

    posisinya melalui koordinat Cartesian (x, y, dan z). Ketiga koordinat tersebut ekuivalen

    dengan vektor tiga dimensi r yang disebut sebagai vektor posisi. Vektor Ini adalah segmen

    garis terarah yang menjangkau koordinat lokasi dari suatu partikel. Kami menyebutnya

    komponen Cartesian x, y, dan z dari vektor posisi. Kita nyatakan vektor tersebut dengan

    tanda panah di atasnya, seperti di . Tiga komponen Cartesian tersebut juga dapat

    dituliskan di dalam tanda kurung, seperti di r = (x, y, z). Kecepatan partikel adalah sebuah vektor v dengan komponen Cartesian vx, vy, dan vz. Komponen-komponen ini merupakan

    differensial waktu dari koordinat Cartesian (Mortimer, R.G., 2008):

    .. (1)

    Ketiga persamaan tersebut setara dengan persamaan vektor tunggal

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    4

    . (2)

    3. Hukum Gerak Newton

    Dalam mekanika klasik, gerak partikel diatur oleh tiga hukum Newton, yang

    didasarkan pada generalisasi fakta eksperimental. Hukum Newton yang pertama disebut

    hukum kelembaman: Sebuah partikel stasioner cenderung untuk tetap diam kecuali ada gaya

    yang bekerja padanya, dan sebuah partikel bergerak cenderung terus bergerak dengan

    kecepatan tidak berubah kecuali ada gaya yang melawannya. Sedangkan hukum kedua

    Newton, menyatakan: jika sebuah partikel bergerak hanya dalam arah x, hukum kedua

    Newton itu (Mortimer, R.G., 2008):

    .. (3)

    Dalam persamaan ini Fx adalah gaya dalam arah x yang bekerja pada suatu benda yang

    memiliki massa m, x adalah koordinat, vx adalah komponen kecepatan dalam arah x, dan ax

    adalah percepatan dalam arah x. Sebagaimana ditunjukkan, percepatan adalah turunan dari

    kecepatan terhadap waktu atau turunan kedua dari vektor posisi. Jika sebuah partikel

    bergerak dalam tiga dimensi, hukum kedua Newton dinyatakan dengan persamaan vektor

    . (4)

    4. Keadaan mikroskopis untuk menyatakan arah (vektor)

    Menurut mekanika klasik, sistem keadaan mikroskopis kita ditentukan dengan

    menentukan posisi dan kecepatan dari setiap partikel. Jumlah partikel dalam sistem model ini

    berkisar dari 1 sampai N. Vektor r dari partikel pada posisi ke- i dapat ditulis sebagai jumlah

    vektor dari tiga koordinat Cartesian (Mortimer, R.G., 2008):

    (5)

    Setiap istilah dalam Persamaan tersebut merupakan produk dari besaran skalar (komponen)

    dan vektor satuan. Sebuah besaran skalar dapat menjadi positif, negatif, atau nol tetapi tidak

    memiliki arah tertentu dalam ruang. Vektor satuan posisi i berada dalam arah positif pada sumbuu x, vector satuan posisi j berada dalam arah sumbu y positif, dan satuan vector posisi

    (Hukum kedua Newton)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    5

    k berada dalam arah sumbu z positif. Gambar 2. menunjukkan vektor ri, sumbu Cartesian,

    vector satuan, dan komponen Cartesian.

    Gambar 2. Sebuah vektor posisi r pada bidang tiga-dimensi. Vektor r menentukan

    posisi partikel. Vektor satuan i, j, dan k juga ditampilkan (Sumber: Mortimer, R.G., 2008).

    Produk dari besaran skalar positif dan vektor satuan adalah vektor dengan arah yang

    sama sebagai vektor satuan dan panjangnya yang sama dengan kuantitas skalar. Jika

    kuantitas skalar adalah negatif, produk tersebut merupakan vektor yang memiliki panjang

    yang sama dengan besarnya kuantitas skalar dan dalam arah yang berlawanan dari vektor

    satuan. Jumlah dari dua vektor dapat dinyatakan secara geometris dengan memindahkan

    vektor kedua tanpa rotasi sehingga ekornya berada di kepala vektor pertama. Jumlah

    vektornya adalah vector dengan ekornya pada ekor dari vektor pertama dan kepalanya

    berada di kepala vektor kedua. Vektor ketiga akan ditambahkan ke jumlah dua vektor

    tersebut dengan cara yang sama. Gambar 3. menunjukkan bagaimana tiga komponen vector

    dikali vektor satuannya menghasilkan vektor posisi ri.

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    6

    Gambar 3. Penambahan dari komponen vektor posisi (Sumber:

    Mortimer, R.G., 2008).

    Kecepatan partikel ke i ditentukan oleh vector kecepatan vi:

    .. (6) Komponen kecepatan vi adalah angka perubahan xi, yi, dan zi:

    Gambar 4. Sebuah vector kecepatan pada ruang tiga dimensi.

    Jvy

    ix+jy

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    7

    Vektor kecepatan dapat direpresentasikan secara geometris seperti pada Gambar.4. Arah

    vektor kecepata merupakan arah di mana partikel bergerak. Kelajuan meruapakan besaran

    dari kecepatan, yang diberikan melalui teorema Pythagoras pada posisi tiga dimensi:

    (7)

    Persamaan ini menunjukkan bahwa besarnya vektor selalu non-negatif (positif atau nol).

    B. Tekanan Gas

    Tekanan dijelaskan oleh teori kinetik sebagai kemunculan dari gaya yang dihasilkan

    oleh molekul-molekul gas yang menabrak dinding wadah. Andaikan satu molekul gas yang

    bermassa m, bergerak dalam sebuah kubus dengan laju vx yang searah dengan sumbu x.

    Molekul ini akan menumbuk dinding sebelah kanan dan memantul balik denagn laju vx.

    Besarnya perubahan momentum pada dinding kanan untuk satu tumbukan = mv x ( mvx)

    = 2 mvx. (Sumber: Atkin, 2006)

    Misalkan ukuran kubus itu dengan luas A. Bagi setiap tumbukan, molekul akan bergerak

    sejauh vx. t dalam selang waktu t.

    Andaikan dalam kubus itu ada N molekul gas dan jumlah molekul gas persatuan

    volume dinyatakan dengan Nv, maka jumlah molekul dalam wadah (kubus tersebut) yang

    bergerak untuk mencapai dinding sebelah kanan adalah Nv A. vx. t . Secara rata-rata,

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    8

    setengah dari jumlah molekul yang ada bergerak kekiri dan setengahnya lagi bergerak ke

    kanan. Sehingga rata-rata jumlah tumbukan dalam interval waktu t adalah (Nv A. vx. t).

    Dengan demikian total perubahan momentum yang diberikan dalam interval waktu tersebut

    adalah

    Perubahan momentum = (Nv A. vx. t) . (2 m.vx) = m. Nv A. vx2. t).Ini adalah kecepatan

    perubahan momentum dan disebut juga gaya. Menurut Hukum Newton II, gaya ialah

    perubahan momentum per satuan waktu

    Perubahan momentumFwaktu

    22m.N .A.v . .N .A.v

    tv x

    v xtF m

    Selanjuntya tekanan (P) adalah gaya persatuan luas atau

    22xm.N .A.v m.N .v v x

    FP vA A

    . (8)

    (A = luas dinding, dan Nv = N / V) Andaikan dalam kubus itu ada N molekul dan tumbukan berlaku ke semua arah dengan laju

    rata-rata ,v dan v ,v zyx dengan demikian dalam persamaan di atas kecepatan molekul

    bergerak dinyatakan dalam kecepatan rata-rata, maka:

    2x

    xNmvP

    V ;

    2y

    yNmv

    PV

    ; 2

    zz

    NmvPV

    (9a)

    Karena gerakan molekul gas acak dan dalam segala arah (dalam ruang tiga dimensi), maka

    diasumsikan bahwa kecepatan rata-rata kuadrat kearah sumbu x, y, dan z sama besarnya.

    2 2 2 2 2 2 2 2, dan 3x y z x y z xv v v v v v v v , sehingga Px = Py = Pz = P, dan 2v dinyatakan

    dengan c2.

    2

    3NmvP

    V

    atau PV = 21 Nmc3

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    9

    atau 21 nMc3

    PV (9b)

    di mana n = N/NAv dan M = mNAv = massa molar, serta NAv = Bilangan Avogadro

    c2 disebut laju rata-rata pangkat dua.

    21 . . .3 Av

    PV n N m c (9c)

    21 . . .3 Av

    nRT n N m c

    2 3.Av

    RTcN m

    123

    .Av

    RTcN m

    (10a)

    Karena Av

    R kN

    (suatu tetapan Boltzmann), maka:

    123kTc

    m

    ... (10b)

    Ini adalah persamaan kecepatan alur kuadrat rata-rata (crms) atau kecepatan akar kuadrat

    rata-rata, yang menunjukkan bahwa gerakan molekul-molekul gas sangat bergantung pada

    suhu. Selanjutnya dari persamaan (10b) dapat diturunkan persamaan untuk menghitung

    suhu dan energi kinetik rata-rata dari molekul gas yang bergerak bebas.

    2 3mc kT

    2.

    3m cT

    k . (11a)

    Energi kinetik dari suatu benda yang bergerak adalah Ek = m. v2, atau Ek = m.c2.

    Dengan demikian, energi kinetik rata-rata molekul gas yang bergerak adalah:

    21 .2k

    E m c

    1 3.32 2k

    E kT kT (11b)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    10

    Persamaan ini sesuai dengan prinsip Boyle bahwa suhu absolut merupakan besaran yang

    berbanding lurus dengan energi kinetik rata-rata dari semua molekul dalam sistem.

    Prinsip Ekuipartisi

    Anggap campuran gas-gas tidak bereaksi maka tekanan total adalah jumlah tekanan parsial

    komponen-komponen gas (Hukum Dalton). Bila gas-gas yang bercampur diberi nomor 1,2,3

    dan seterusnya., sehingga tekanan parsial masing-masing P1, P2, Pn. dengan jumlah

    molekul: N1, N2, dan seterusnya (Moore, 1972, dan Mortimer, R.G., 2008), maka:

    P1V = N1kT, P2V = N2kT, dan seterusnya

    Untuk massa masing-masing komponen m1, dan m2.

    21 2 1 1 1

    1 . . .3 Av

    PV n N m c , 22 2 2 2 21 . . .3 Av

    P V n N m c , dan

    21 . . . .3 Av

    P V n N m c N kT

    Dengan menyamakan ekspresi: P1V1 = P2V2, N1 = N2 = N (dimana N = n NAv), dan V1 = V2

    = V (Volume wadah), maka dengan mengambil persamaan (11b) kita dapatkan bahwa:

    2 21 1 1 2 2 2 3 .P V N m c N m c N kT

    2 21 1 2 2 3m c m c kT

    2 21 1 2 2

    1 1 32 2 2

    m c m c kT . (11c) Persamaan (11c) menunjukkan bahwa dalam campuran gas pada suatu wadah dengan suhu

    tertentu, maka Ek rata-rata ini bernilai sama, selanjutnya disebut sebagai prinsip ekuipartisi

    energi.

    Gambar 5. Prinsip Ekuipartisi Energi, dimana semua molekul dalam campuran

    memiliki energi kinetik yang sama

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    11

    C. Distribusi Maxwell-Boltzmann sebagai Distribusi Kecepatan Molekul Sekarang perhatikan sistem gas bervolume V yang mengandung molekul dalam

    jumlah besar, N. Setiap molekul bergerak dengan kecepatan masing-masing. Kecepatan

    suatu molekul tidak selalu sama, bisa berubah setiap saat. Perubahan terjadi akibat

    tumbukan dengan sesama molekul. Tumbukan yang menyebabkan pertukaran energi kinetik

    antara molekul tersebut dengan molekul yang lain (Atkin, 2006).

    Gambar 6. Perubahan kecepatan molekul gas karena tumbukan

    Kecepatan awal suatu molekul dengan kecepatan awal molekul yang lain di antara

    tumbukan-tumbukan dapat saja sama dan dapat juga berbeda. Dengan demikian ada

    sebaran jumlah molekul mulai dari kecepatan nol hingga kecepatan sangat besar. Sebaran

    tersebut digambarkan dengan suatu fungsi distribusi kecepatan molekul (v) yang disebut

    fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann. Dalam dua dimensi, fungsi distribusi Maxwell-

    Boltzmann digambarkan dengan cara sebagai berikut.

    Gambar 7. Alur fraksi molekul (vx) terhadap kecepatan dalam arah x

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    12

    Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa molekul-molekul gas yang bergerak acak

    akan mengalami agihan (distribusi) sedemikian rupa, sehingga jika kita dapat

    menggambarkan fraksi molekul-molekul yang memiliki kecepatan dari vx sampai dengan vx +

    dvx, sebagai berikut (Atkin, 2006):

    Gambar 8. Distribusi molekul-molekul yang memiliki kecepatan vx sampai vx+ dvx.

    xdNvN

    = f(vx)= fraksi molekuk-molekul yang memiliki kecepatan antara vx sampai vx+ dvx.

    Sedangkan alur (v) terhadap kecepatan molekul v dengan perbedaan suhu dapat dilihat

    pada gambar berikut.

    Gambar 9. Distribusi kecepatan Maxwell-Boltzmann dan kebergantungannya

    pada suhu dan massa molekul.

    v

    vx vx+ dvx

    xdN vN f(v)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    13

    Fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann digunakan untuk menghitung kecepatan rata-

    rata c (mean speed) molekul dalam gas. Perlu dipahami bahwa fraksi molekul atau jumlah

    relatif molekul yang mempunyai kecepatan v sampai v+dv ditulis sebagai (v)dv. Perkalian

    fraksi molekul dengan kecepatan ditulis v(v)dv. Kecepatan rata-rata c diperoleh dengan

    mengevaluasi integralnya,

    .. (12)

    Bentuk persamaan (12) merupakan bentuk kontinyu (fungsi kontinyu) dari perhitungan rata-

    rata diskrit. Dalam bentuk diskrit, rata-rata dari molekul-molekul yang memiliki kecepatan vx1,

    vx2, dan seterusnya dihitung melalui: 1 1 2 2

    1 2

    . . ......

    x xx

    N v N vc vN N

    ,

    tetapi karena 1NN

    dan 2NN

    dan seterusnya sangat kecil, maka bentuk diskrit tersebut perlu

    diubah ke dalam bentuk kontuinyu:

    0

    xx x

    dNvc v vN

    , dimana dNvx = N . f(vx) dvx, sehingga:

    0. ( )x x x xc v v f v dv

    (13a)

    atau dalam sistem tiga dimensi: 0

    . ( )c v v f v dv

    (13b)

    Dengan mengikuti persamaan ini, kecepatan kuadrat rata-rata juga dinyatakan:

    2 2 2. ( )x x x xc v v f v dv

    .. (13c)

    Kecepatan partikel gas dapat dibagi ke dalam komponen-komponen kecepatan yang tidak

    bergantung satu terhadap lainnya, sehingga probabilitas F(vx, vy, vz)dvxdvydvz molekul akan

    mempunyai komponen-komponen kecepatan dalam daerah vx sampai (vx + dvx), vy sampai

    (vy +dvy), dan vz sampai (vz+ dvz), serta probabilitas tersebut merupakan hasil perkalian

    probabilitas masing-masing komponennya (pada setiap sumbu x, y, dan z).

    F(vx, vy, vz) dvxdvydvz = f(vx).f(vy).f(vz) dvxdvydvz.

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    14

    Probabilitas F(vx, vy, vz) hanya bergantung pada kecepatan kuadarat v2. Dimana harga

    2 2 2 2x y zv v v v tidak bergantung pada arah kecepatan masing-masing. Oleh sebab itu, F

    dapat ditulis sebagai fungsi F( 2 2 2, ,x y zv v v ), sehingga:

    2 2 2( , , ) ( ). ( ). ( )x y z x y zF v v v f v f v f v .. (14) Persamaan (14) menunjukkan bahwa probabilitas untuk mendapat molekul-molekul gas yang

    memiliki kecepatan dari v sampai dengan (v+dv) merupakan fungsi differensial orde dua.

    Oleh sebab itu, perlu diupayakan fungsi-fungsi yang memenuhi persamaan 14 tersebut.

    Dalam hal ini, fungsi eksponensial merupakan fungsi yang cocok untuk persamaan (14).

    Dengan demikian, kita dapat memasukkan fungsi eksponensial untuk f(v) dengan

    menggunakan beberapa konstanta untuk mengkonversikan perubahan dari fungsi f(v) ke

    dalam fungsi eksponensial. Untuk memudahkan perhitungan kita lakukan satu persatu, yaitu

    fungsi f(vx) kita kerjakan lebih dahulu. Dimana, menurut Maxwell-Boltzmann bahwa molekul-

    molekul bergerak dengan komponen-komponen kecepatannya vx, vy, dan vz sebanding

    dengan fungsi eksponensial energi kinetiknya, yaitu:

    /( ) . E kTf v e .. (15a)

    Dimana: adalah suatu konstanta proporsionalitas pada suhu konstan, dan E adalah energi

    kinetik dengan persamaan:

    2 2 21 1 12 2 2x y z

    E mv mv mv . (15b)

    Dengan menggunkan hubungan . .x y z x y za a a a , maka persamaan (15a) dapat ditulis: 2 2 21 1 1( )// 2 2 2( ) . . x y z

    mv mv mv kTE kTf v e e

    22 2

    2 2 2( ) . . .yx zmvmv mv

    kT kT kTf v e e e

    .... (15 c)

    Karena 2 2 2( ) ( , , ) ( ). ( ). ( )x y z x y zf v F v v v f v f v f v , maka jika kita hanya mengambil

    fungsi dari molekul-molekul gas yang bergerak pada sumbu x saja, maka:

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    15

    213 2( ) .

    xmvkTxf v e

    (15d) Begitu juga untuk molekul yang bergerak dalam arah sumbu y dan z:

    213 2( ) .

    ymvkT

    yf v e

    (15e) 21

    3 2( ) .zmv

    kTzf v e

    (15f) Untuk menentukan harga kita harus menghitung probabilitas molekul yang bergerak dalam

    daerah < vx < dan harganya harus sama dengan 1, artinya dalam daerah tersebut

    kemungkinan menemukan molekul yang bergerak dengan kecepatan dari vx sampai dengan

    (vx+dvx) sama dengan 100%. Dengan demikian:

    ( ) 1x xf v dv

    Dengan mensubstitusikan fungsi f(vx) persamaan (15d) kita dapatkan:

    213 2 1

    xmvkT

    xe dv

    , dengan memanfaatkan integral standar Gauss:

    1123 2 1kT

    m

    32

    2mkT

    Jadi pada sumbu x kita dapatkan fraksi molekul-molekul yang bergerak dengan kecepatan vx

    sampai (vx+dvx) adalah

    212 2( )

    2

    xmvkT

    xmf v ekT

    . (16a)

    Demikian pula untuk f(vy) dan f(vz):

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    16

    212 2( )

    2

    ymvkT

    ymf v ekT

    (16b)

    212 2( )

    2

    zmvkT

    zmf v ekT

    .. (16c)

    Dengan mensubstitusikan persamaan (16) ke dalam persamaan (14) kita peroleh:

    2 2 2( ) ( , , ) ( ). ( ). ( )x y z x y zdf v F v v v f v f v f v dv

    2 2 23 ( )2 2( ) . .

    2

    x y zm v v vkTmdf v e dv

    kT

    232 2( ) . .

    2

    mvkTmf v e

    kT

    ... (17a)

    Dan 23

    2 2( ) .2

    mvkTmdf v e dv

    kT

    232 2df(v) = .

    2

    mvkT

    x y zm e dv dv dvkT

    . (17b)

    Semua unsur-unsur dalam dvxdvydvz pada titik (vx, vy, dan vz) merupakan perubahan volume

    bola dengan jari-jari v sampai (v +d v ). Perubahan volume ini adalah 24 v dv . Oleh karena

    itu, probabilitas kecepatan yang terletak dalam daerah v sampai (v +d v ) dengan perubahan

    volume bola dvx dvy dvz = 24 v dv , maka

    2322 2( ) 4 .

    2

    mvkTmf v v e

    kT

    (17c)

    Dengan mensubstitusikan persamaan ini (17c) ke dalam persamaan (13b) dengan

    memanfaatkan integral standar Gauss, kita peroleh kecepatan rata-rata (c ), yaitu:

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    17

    0. ( )c v f v dv

    232 3 2

    04 .

    2

    mvkTmc v e dv

    kT

    3 122 21 2 84 .

    2 2m kTckT kT m

    . (18)

    Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapatkan dua macam kecepatan dari molekul-molekul

    gas yang bergerak acak dan bebas, yaitu kecepatan alur kuadrat rata-rata (crms) dan

    kecepatan rata-rata (c ). Namun masih ada satu lagi kecepatan yang paling boleh jadi ( *c ). Sedangkan dari kecepatan rata-rata dapat diturunkan menjadi kecepatan relatif (crel).

    Dengan demikian, ada empat macam kecepatan yang dinyatakan untuk menentukan posisi

    molekul yang bergerak acak dan bebas, yaitu:

    1. Kecepatan alur kuadrat rata-rata (crms), sebagaimana persamaan (10b), yaitu

    kecepatan akar pangkat dua rata-rata ( 2v ). 123

    rmskTcm

    2. Kecepatan rata-rata (c ), yaitu dengan merata-ratakan semua kecepatan molekul yang bergerak dalam bidang tiga dimensi, sebagaimana persamaan (18):

    128kTc

    m

    3. Kecepatan relatif, Kecepatan rata-rata relatif relc , (relatif mean speed) yang merupakan kecepatan rata-rata molekul mendekati molekul lain dapat pula dihitung

    dari fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann. Walaupun susah diturunkan, hal ini dapat

    ditentukan dengan penjelasan yang masuk akal melalui diagram kecepatan-

    kecepatan molekul berikut:

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    18

    Gambar 10. Representasi tentang kecepatan rata-rata relatif (Atkin, 2006).

    Harga kecepatan rata-rata relatif yang dihubungkan dengan kecepatan akar kuadrat

    rata-rata adalah

    Kecepatan rata-rata relatif dari dua molekul yang tidak identik bermassa mA dan mB

    dapat dirumuskan sebagai:

    dengan (19)

    Perhatikan bahwa massa di sini merupakan massa molekul (bukan massa molar)

    dengan disebut sebagai massa tereduksi. Untuk dua molekul yang identik, maka mA

    = mB = m, sehingga = m/2.

    4. Kecepatan yang paling mungkin atau kecepatan paling boleh jadi ( *c ), yaitu kecepatan molekul gas pada saat frekwensinya terbesar dan ditentukan berdasarkan

    distribusi Maxwell-Boltzmann yang mencapai harga maksimum.

    Jika (v ) diganti dengan c, maka persamaan (17c) ditulis: 23

    2 2 2( ) 4 .2

    mckTmf c c e

    kT

    Kecepatan yang paling mungkin ( *c ) ditentukan berdasarkan turunan pertama dari

    persamaan tersebut yang berharga nol, atau ( ) 0df c

    dc , dan diperoleh:

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    19

    12* 2kTc

    m

    (20)

    Gambar 11. Distribusi Maxwell untuk molekul dengan massa molar M pada suhu T: c*

    adalah kecepatan yang paling mungkin, c adalah kecepatan rata-rata, dan c adalah kecepatan akar kuadrat rata-rata.

    Tabel 1. Integral Standar Gauss untuk Teori Kinetika Gas (Castellan, 1983)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    20

    D. Frekwensi Tumbukan Antar Molekul D1. Tumbukan molekul tunggal dan tumbukan antar molekul sejenis (identik)

    Teori kinetika gas memungkinkan kita memperkirakan frekwensi tumbukan antar

    molekul dan jarak rata-rata yang ditempuh oleh molekul untuk mencapai tumbukannya.

    Pendekatan paling sederhana untuk memcahkan masalah ini adalah dengan mengganggap

    semua atom diam kecuali satu yang bergerak sepanjang tabung (Gambar 11). Jika atom

    bergerak dengan kecepatan rata-rata relatif terhadap mol;ekul lain relc selama selang waktu t, di dalam tabung akan terjadi tumbukan dengan luas = .d2, menempuh jarak

    (sepanjang tabung) = relc . t, dan volume tabung = . relc . t (dimana = tampang lintang tumbukan). (Atkin, 2006, dan Oxtoby, 2008).

    Gambar 12. Sebuah molekul (paling kiri) melaju dalam silinder yg volumenya . relc .

    t, dalam selang waktu t. Molekul ini akan berbenturan dengan molekul lain yang juga ada dalam silinder.

    Jumlah molekul yang ada dalam silinder dengan volume tersebut adalah . relc . t.

    Nv. Dimana Nv adalah jumlah molekul persatuan volum, dan jumlah tumbukan dalam waktu

    t sama dengan jumlah molekul dalam silinder (yaitu . relc . t. Nv). Dengan demikian,

    jumlah tumbukan persatuan waktu atau frekwensi tumbukannya = . relc . Nv. Dimana: =

    .d2. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa , sehingga frekwensi tumbukan

    untuk atom/molekul tunggal (ZA) dapat dihitung dengan persamaan:

    .2. . VNAZ c . .. (21)

    V= c t

    c t,

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    21

    Jika yang dihitung adalah total tumbukan untuk dua buah molekul, maka persamaan

    (21) harus diubah dengan mengalikan persamaan tersebut dengan N (faktpr berasal

    dari tumbukan A dengan A, atau A dengan A, dihitung sebagai satu kali tumbukan). Jadi

    jumlah tumbukan persatuan volum persatuan waktu untuk tumbukan antar molekul sejenis

    adalah

    '1 . .2 A VA A

    Z Z N ... (22a) Atau

    122 2

    '4 .( )A A V

    kTZ d Nm

    (22b)

    Dimana: VN PNV kT

    D2. Tumbukan antar molekuk tak sejenis (tidak identik)

    Selanjutnya tumbukan yang ditinjau adalah tumbukan antar molekul tak sejenis

    (berbeda), maka perumusannya perlu dimodifikasi. Tumbukan terjadi bila dua molekul saling

    mendekat dalam jarak d. Jarak sebesar ini disebut sebagai diameter tumbukan. Harga

    diameter tumbukan tersebut bagi molekul-molekul model bola keras yang sejenis sama

    dengan diameter molekul bola keras tersebut (persaamaan 22). Untuk molekul model bola

    keras A dan B yang tak sejenis, maka massa molekulnya merupakan massa molekul

    terreduksi (persamaan 19), dan diameter tumbukannya adalah rata-rata dari diameter

    kedua molekul yang bertumbukan (Atkin, 2006).

    Gambar 13. Tampang lintang tumbukan

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    22

    Jumlah tumbukan satu molekul A dengan molekul B adalah . . .B ArelN NcV V

    , dimana NA

    adalah jumlah molekul A dan NB adalah jumlah molekul B. Jadi jumlah tumbukan A dan B

    persatuan volum dinyatakan dengan persamaan:

    2. . .A BrelA BN NZ d cV V

    , atau

    122

    28 .. . A BA BkT N NZ d

    V

    (23)

    Persamaan-persamaan (21), (22), dan (23) di atas memperlihatkan bahwa

    peningkatan suhu sistem menyebabkan peningkatan kecepatan rata-rata relatif dari molekul-

    molekul yang bertumbukan. Hal ini menyebabkan frekwensi tumbukan meningkat.

    Persamaan ini menunjukkan bahwa pada suhu tertentu, frekwensi tumbukan berbanding

    lurus dengan tekanan. Bila tekanan diperbesar maka kerapatan molekul membesar sehingga

    kebolehjadian tumbukan antar molekul meningkat. Hal ini menyebabkan frekwensi tumbukan

    juga meningkat. Sebagai contoh, molekul N2 pada tekanan 1 atm dan suhu 25 oC

    mempunyai frekwensi tumbukan 7 109 s-1 yang berarti setiap detik molekul-molekul N2

    bertumbukan 7 109 kali (Pengaruh suhu dan tekanan tersebut tercermin dari hubungan

    VN PNV kT

    ).

    D3. Jalan bebas rata-rata

    Diantara tumbukan-tumbukan yang beruntun, sebuah molekul dalam suatu gas akan

    bergerak dengan laju yang konstan sepanjang sebuah garis lurus. Jarak rata-rata diantara

    tumbukan-tumbukan yang beruntun seperti itu dinamakan jalan bebas rata-rata (mean free

    path = ). Jika molekul bergerak dengan kecepatan c dan bertumbukan dengan molekul-molekul lain secara beruntun dengan frekwensi Z, waktu untuk mencapai tumbukan yang

    satu dengan lainnya adalah 1/Z dan jarak antar tumbukan dinyatakan dengan c /Z (dimana Z adalah frekwensi tumbukan molekul tunggal), sehingga jalan bebas rata-ratanya adalah

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    23

    . . . 2V

    c cZ c N

    1 .. 2

    VN

    Karena VN PNV kT

    , maka V kTN P

    , sehingga diperoleh:

    . . 2kT

    P

    (24)

    E. Tumbukan dengan Dinding dan Permukaan

    Dinding suatu tabung dengan luas A tegak lurus terhadap sumbu x di dalam tabung

    tersebut bersisi gas dengan kerapatan Nv yang mempunyai kecepatan vx, akan menumbuk

    dinding tabung dalam waktu t. Jika jarak yang ditempuh oleh molekul gas untuk mencapai

    dinding lebih kecil atau sama dengan vx. t, maka semua moleku yang berada dalam volume

    A. vx. t, yang bergerak kearah dinding dengan kecepatan rata-rata xv yang berkisar dari 0

    sampai akan menumbuk dinding dengan interval waktu t. Sehingga jumlah total tumbukan

    dalam interval waktu tersebut adalah (Atkin, 2006, dan Oxtoby, 2008):

    0 . . . ( )x x x

    NJumlah tumbukan A t v f v dvV

    .. (25a)

    Gambar 14. Tumbukan antar molekul gas dengan dinding

    Bentuk integrasi dari persamaan (25) diselesaikan dengan mensubsitusikan

    persamaan distribusi kecepatan (persamaan 16a):

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    24

    212 2

    0 0. ( ) . .

    2

    xmvkT

    x x x x xmv f v dv v e dvkT

    12

    0. ( )

    2x x xkTv f v dv

    m

    . (25b)

    Dengan demikian, jumlah tumbukan molekul dengan dinding persatuan waktu persatuan luas

    dinyatakan dengan Zw yang besarnya adalah:

    12 .

    2wkT NZ

    m V

    1 .. .

    416.wN c NZ cV V

    .. (25c)

    Atau: 1 ..4w

    P cZkT

    . (25d)

    Persamaan sederhana ini mempunyai banyak kegunaan, terutama untuk menentukan

    laju molekul gas yang berefusi lewat lubang kecil pada dinding wadah, sehingga dapat

    menjelaskan hukum efusi Graham.

    F. Beberapa Aplikasi Teori Kinetika Gas untuk Mempelajari Fenomena Kimia

    F1. Hukum Graham tentang efusi

    Hukum efusi Graham menyatakan bahwa laju efusi gas melalui lubah kecil ke dalam

    vakum berbanding terbalik dengan akar kuadrat massa molarnya (Gambar 15). Efusi gas

    adalah perpindahan gas dari daerah dengan tekanan yang lebih besar ke daerah dengan

    tekanan yang lebih kecil. Dengan mengkaji gas yang berbeda memiliki suhu dan tekanan

    yang sama, jumlah rapatan Nv tidak berubah dan laju efusi dari tiap gas hanya bergantung

    pada faktor 1

    dalam persamaan (25c). Kesesuaian hasil pengamatan Graham ini

    memberikan dukungan bagi teori kinetika gas (Oxtoby, 2008).

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    25

    Gambar 15. Sebuah lubang kecil dalam kotak yang menyebabkan molekul berefusi ke

    vakum (Sumber: Oxtoby, 2008). Hukum Graham dapat diterapkan pada efusi campuran dua gas melalui sebuah

    lubang kecil. Nisbah laju efusi kedua molekul gas tersebut (A dan B) adalah

    Persamaan (25c) : .

    4wc NZ

    V , karena

    128kTc

    , maka kecepatan molekul

    gas menembuk dinding persatuan waktu adalah 128. .

    4wN kTZ AV

    Untuk campuran molekul gas A dan B, diperoleh perbandingannya:

    12

    12

    1 8. . .4laju efusi molekul A

    laju efusi molekul B1 8. . .4

    A

    Aw A

    w BB

    B

    N kT AVZ

    ZN kT AV

    1 . .4

    Bw A A

    w B B A

    Z NZ N

    .. (26)

    Persamaan ini menunjukkan perbandingan jumlah kedua molekul gas yang keluar

    melalui lubang dalam selang waktu yang pendek. Gas yang ke luar diperkaya oleh komponen

    yang lebih ringan, sebab molekul yang lebih ringan berefusi lebih cepat dibandingkan molekul

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    26

    yang lebih berat. Jika molekul B lebih berat dibandingkan molekul A, faktor pengkayaannya

    adalah A B (dimana A merupakan gas yang lebih ringan).

    Hukum efusi Graham akan berlaku jika lubang wadah cukup kecil dan tekanan cukup

    rendah, sehingga sebagian besar molekul mengikuti garis lurus lubang tanpa mengalami

    tumbukan sesamanya. Gejala yang sama dengan efusi adalah difusi gas yang melewati

    penghalang berpori. Ini berbeda dengan efusi, karena molekul mengalami banyak tumbukan

    dengan sesamanya sewaktu melewati pori-pori. Menariknya laju difusi ini juga berbanding

    terbalik dengan akar kuadrat massa molar gas, meskipun alasannya tidak sejelas pada efusi

    gas. Jika suatu campuran molekul gas dimasukkan ke dalam wadah yang memiliki

    penghalang berpori (membran semipermeabel), molekul yang lewat akan kaya dengan

    komponen yang lebih ringan dengan faktor A B , dan molekul-molekul yang tertinggal

    kaya akan komponen yang lebih berat.

    Aplikasi dari hukum Graham ini dapat digunakan untuk menghitung massa molekul

    yang hilang dari wadah jika terjadi kebocoran, dengan memanfaatkan rumus (25c). Jika luas

    lubang bocoran adalah Ao, maka jumlah molekul yang lolos dalam satuan waktu adalah

    Zw.Ao. (Atkin, 2006):

    ..

    2o

    w oP AZ A

    mkT (27)

    Persamaan ini merupakan dasar dari metode Knudsen untuk menentukan massa

    molekul relatih (Mr), dengan menghitung massa molekul yang lolos. Misalnya uap padatan

    belerang (S) dimasukkan ke dalam rongga yang dilengkapi dengan lubang kecil, maka

    kecepatan hilangnya massa molekul S dari wadah berbanding langsung dengan teklanan P.

    Bila besarnya tekanan dapat dihitung, maka hilangnya massa molekul (m) dapat dihitung

    dan Mr dapat dicari. Bila persamaan (27) dimodifikasi dalam bentuk lain, dimana molekul

    yang lolos selama t adalah Zw.Ao.m. t, maka hilangnya massa molekul dari wadah dihitung

    dengan persamaan:

    m = Zw. Ao. m. t .. (28)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    27

    F2. Difusi Gas

    Molekul gas bergerak pada garis lurus hanya pada jarak pendek sebelum ia berbelok

    dan bertukar arah karena tumbukan (Gambar 16). Karena setiap molekul gas bergerak

    dengan zigzag, molekul-molekul tersebut memerlukan waktu yang lebih lama untuk sampai

    tujuan dari titik awalnya dibandingkan jika ia tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa

    proses difusi gas berlangsung lambat (Oxtoby, 2008).

    Gambar 16. Satu molekul gas mengikuti lintasan garis lurus hanya sekejab

    sebelum ia berbenturan, sehingga secara keseluruhan lintasannya zigzag (Sumber: Oxtoby, 2008)..

    Kita dapat menjelaskan difusi gas dengan menggunakan kuantitats rata-rata yaitu

    jarak rata-rata kuadrat: 2 2 2 2r x y z . Jika tidak ada aliran gas lain yang

    mengusik gerakan molekul gas tersebut, maka 2r ternyata berbanding lurus dengan waktu tempuhnya t.

    2 6r Dt (29a) Nilai 6D adalah tetapan proporsionalitas. Dimana D adalah tetapan difusi molekul. Jarak akar

    kuadrat rata-ratanya adalah

    2 6r Dt . (29b) Persamaan ini juga menunjukkan bahwa tetapan difusi gas berbanding lurus dengan jalan bebas rata-rata dan dengan rata-rata kecepatan molekul c . Namun, tetapan proporsionalitasnya sukar dihitung. Contoh yang paling sederhana adalah tetapan

    proporsionalitas dari satu komponen gas dengan nilai 316

    , jadi:

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    28

    123 3 8. .

    16 16 2kT kTD c

    P

    12

    23 .8 .

    kT VDd N

    Hukum Fiks tentang Difusi Molekul

    Laju diffusi (ZwD) menurut Hukum Fiks, adalah berbanding lurus dengan gradient

    perubahan perubahan jumlah molekul gas dalam wadah yang searah dengan sumbu x

    (Atkin, 2006):

    wDd NZdx

    wDd NZ Ddx

    ... (29c)

    Persamaan (29c) ini disebut sebagai hukum Fiks I, dengan D adalah koefisien difusi.

    Sedangkan hukum Fiks II, lebih menkankan pada persamaan kontinuitas yang

    dinyatakan dengan:

    2

    2A AdN d ND

    dt dx

    .. (29d)

    Penyelesaian dari persamaan (29d) diperoleh:

    2

    41 . ( )2

    xA DtN e f x

    N Dt

    . (29e)

    Dengan menggunakan teori kinetika gas dan bila molekul telah berdifusi sejauh x selama

    waktu t, keboleh jadian (fraksi) molekul berdifusi nyatakan oleh f(x)dx

    ( ) xN dxf x dxN

    2

    41( ) . .2

    xDtf x dx e dx

    Dt

    (29f)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    29

    Jika kecepatan (laju) alur kuadrat rata-rata (crms) yang ditempuh oleh satu molekul dalam

    waktu t detik adalah 2 2 2 ( )rms rmsx c x f x dx

    , penyelesaiaan persamaan 29f) adalah

    2rms rmsx c Dt .. (29g) F3. Dinamika Reaksi (Teori Tumbukan dan Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi)

    Sebagaimana di bahas dalam teori kinetika gas bahwa kecepatan tumbukan untuk atom atau molekul tunggal dinyatakan oleh persamaan (21), yaitu: .2. . VNAZ c Untuk kecepatan tumbukan antara molekul satu dengan molekul lain yang sama jenisnya

    dinyatakan dalam persamaan (22b), yaitu

    122 2

    '4 .( )A A V

    kTZ d Nm

    Sedangkan untuk tumbukan antar molekul yang tak sejenis, misalnya tumbukan antara

    molekul A dengan molekul B, telah dinyatakan ke dalam persamaan (23), yaitu:

    122

    28 .. . A BA BkT N NZ d

    V

    Kita tinjau sekarang reaksi bimolekuler untuk membahas teori tumbukan dan

    pengaruh suhu terhadap laju reaksi. Menurut teori tumbukan bimolekuler ini, laju reaksi

    adalah hasil kali dari frekwensi tumbukan dan fraksi tumbuksn yang memiliki cukup energi.

    Untuk tumbukan antar molekul sejenis, kita hubungkan persamaan (21) di atas dengan

    tetapan laju reaksi orde dua, untuk reaksi (Oxtoby, 2008):

    A + A produk

    Jika energi aktivasi untuk reaksi ini adalah Ea, maka hanya sebagian [exp (Ea/RT)]

    dari tumbukan tersebut yang akan memiliki energi yang cukup untuk menghasilkan produk

    (ini kemudian disebut sebagai frekwensi tumbukan). Setiap tumbukan yang efektif dari

    sepasang molekul A tersebut menghasilkan penurunan jumlah molekul A dalam campuran

    reaksi sebanyak dua kali, Jadi, laju perubahan jumlah molekul A persatuan volume adalah

    / 2 . aE

    RTAAd N V

    Z edt

    . (30a)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    30

    122 2/ 42 .( ) .

    aERTV

    d N V kTd N edt m

    1

    222/ 4 . .aE

    RTr

    d N V RT Nd edt M V

    . (30b)

    Dimana Mr = Massa molar = massa molekul realtif

    Karena harga tetapan laju reaksi (kr) melibatkan jumlah mol A per volume, yaitu [A], bukan

    jumlah molekul A, maka keduanya (jumlah molekul A dan [A]) dihubungkan

    oleh: .[ ]AvNN AV

    , dengan NAv adalah bilangan Avogadro. Dengan mengambil definisi laju

    reaksi untuk reaksi orde dua di atas:

    122 21 [ ] 2 . .[ ]

    2aE

    RTAvr

    d A RTlaju reaksi d N e Adt M

    .. (31a)

    Selanjutnya untuk reaksi orde dua dengan dua reaktan yang berbeda, maka jumlah

    tumbukan antara molekul A dan molekul B, dihitung dengan persamaan (23) di atas. Dengan

    cara yang sama untuk reaksi (Atkin, 2006):

    A + B produk

    Diperoleh: 122[ ] . .[ ][ ]

    aERTAv

    r

    d A RTlaju reaksi d N e A Bdt M

    . (31b)

    Sedangkan hukum laju untuk kedua reaksi tersebut adalah

    Untuk reaksi ; 2A produk, hukum lajunya:

    21 [ ] .[ ]2 r

    d Alaju reaksi k Adt

    (32a)

    Dan untuk reaksi: A + B produk, hukum lajunya:

    [ ] .[ ][ ]rd Alaju reaksi k A B

    dt (32b)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    31

    Berdasarkan persamaan (31) dan (32), maka bila dinyatakan persamaan (31a) =

    persamaan (32a), dan persamaan (31b) = persamaan (32b),, kita dapat menentukan harga

    tetapan laju reaksi (kr) berdasarkan teori tumbukan, yaitu:

    1222 .

    aERTr Av

    r

    RTk d N eM

    .. (33a)

    Atau: 122 8 .

    aERTr

    kTk d e

    .... (33b)

    Seberapa jauh teori tumbukan bimolekuler sederhana ini sesuai dengan hasil

    eksperimen? Namun, yang pasti bahwa harga tetapan laju reaksi sangat dipengaruhi oleh

    suhu reaksi, yang berarti bahwa bila suhu semakin besar, maka harga tetapan laju juga

    semakin besar akibatnya laju reaksi makin cepat. Dengan mencocokkan data laju reaksi

    elementer fasa gas dalam bentuk persamaan Arrhenius, energi aktivasi dan faktor pre-

    eksponensial A dapat diperoleh dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan teori, bila

    diameter molekulnya diketahui. Hubungan persamaan (33) dengan persamaan Arrhenius

    akan menghasilkan harga faktor A.

    Persamaan Arrhenius: aE

    RTrk A e

    , dengan harga A adalah suatu konstanta. Dengan

    menyamakan persamaan (33) dan persamaan Arrhenius, diperoleh harga A yang ternyata

    masih bergantung pada suhu (T):

    122 8kTA d

    . (34)

    Meskipun faktor A masih mengandung fungsi T, tetapi jika range perubahan suhu tidak lebar,

    maka perubahan harga A tidak signifikan, sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, pada

    range perubahan suhu yang sempit, harga A dianggap konstan, sehingga persamaan

    Arrhenius tetap berlaku.

    Sekarang kita tinjau reaksi bimolekuler dari molekul sejenis, ambil contoh reaksi

    elementer peruraian NOCl gas menghasilkan gas NO dan gas Cl2. Reaksinya:

    2NOCl(g) 2NO(g) + Cl2 (g)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    32

    Tetapan laju hasil pengukuran dari reaksi ini adalah 0,16 kali tetapan laju hasil perhitungan

    (Oxtoby, 2008). Ini menunjukkan bahwa tidak semua tumbukan mampu menghasilkan reaksi,

    meskipun molekulnya memiliki energi kinetik yang relatif memadai. Hasil perhitungan ini

    nampaknya masuk akal, sebab orientasi relatif dari molekul yang bertumbukan akan

    berperan dalam menentukan apakah tumbukan tertentu akan menghasilkan reaksi stau tidak.

    Dari reaksi tersebut dan gambaran berikut (Gambar 17), jelas bahwa agar molekul Cl2

    memisah, dua molekul NOCl harus mendekat sedemikian rupa sehingga terjadi tumbukan

    dan atom klorin saling mendekat menghasilkan Cl2. Dengan demikian, frekwensi tumbukan

    harus memperhitungkan faktor sterik (p) (dalam hal ini p = 0,16), sebab hanya sebagian

    tumbukan yang terjadi dengan orientasi yang benar yang akan menghasilkan reaksi.

    Gambar 17. Efek sterik pada probabilitas reaksi peruraian NOCl. Dimana dua molekul NOCl saling mendekat sedemikian sehingga dua atom klorin berdekatan, agar mengahsilkan gas Cl2 dan gas NO.

    Perbandingan tetapan laju hasil perhitungan dan yang diperkirakan menghasilkan

    nilai-nilai factor sterik, sebagaimana Tabel 2. Semakin besar dan semakin rumit molekul yang

    bertumbukan, semakin kecil harga p, sebab semakin kecil fraksi tumbukan yang efektif yang

    dapat menghasilkan reaksi. Faktor sterik merupakan koreksi empiris yang hanya dapat

    diramalkan untuk kasus sederhana saja. Nilai dari factor sterik (p) cenderung berada pada

    daerah 1 sampai 106. Oleh sebab itu, faktor sterik ini perlu untuk dimasukkan ke dalam

    persamaan (33), sehingga dapat dijelaskan mengapa reaksi yang satu berjalan cepat,

    sedangkan yang lain berjalan lambat, bahkan ada tumbukan yang tidak menghasilkan reaksi.

    122 8 . .

    aERTr

    kTk p d e

    .. (35)

    Tidak ada reaksi

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    33

    Meskipun demikian, teori tumbukan tidak dapat meramalkan nilai dari faktor sterik atau

    energy minimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan reaksi. Di samping itu, teori tumvukan

    juga tidak dapat menjelaskan mengapa reaksi tertentu adalah unimolekuler, dan reaksi

    lainnya adalah termolekuler (Atkin, 2006). Tabel 2. Faktor sterik untuk reaksi fasa gas (contoh kasus sederhana) (Oxtoby, 2008).

    No. Reaksi Faktor Sterik (p) 1. 2 NOCl 2 NO + Cl2 0,16 2. 2 NO2 2 NO + O2 5,0 x 10

    2 3. 2 ClO Cl2 + O2 2,5 x 10

    3 4. H2 + C2H4 C2H6 1,7 x 10

    6

    F4. Kinetika fluoresensi dan fosforesensi

    Pembahasan masalah fotokimia juga menyangkut fenomena fluoresensi dan

    fosforsensi dalam sistem yang tidak mengalami perubahan kimia. Karena semua elektron

    telah berpasangan dalam keadaan dasar, maka hasil penyerapan kuanta radiasi akan

    membebaskan dua elektron dan menghasilkan keadaan tereksitasi dalam tingkat singlet atau

    triplet. Tingkat energi molekul terbagi (seperti tingkat energi pada atom-atom alkali tanah)

    menjadi sistem tingkat singlet dan sistem tingkat triplet. Susunan tingkat molekul tersebut

    ditunjukkan secara skematis dala diagram jablonski (Gambar 18). Dimana sumber vertikal

    merupakan ukuran energi dari sistem dan sumbu horizontal merupakan penghamburan

    cahaya yang digambarkan secara sederhana.

    Tingkat elektronik singlet dan triplet berturut-turut diberi lambang S dan T. Subskrit

    menunjukkan urutan peningkatan nenrgi, huruf V yang ditlis di atas menunjukkan bahwa

    molekul mempunyai kelebihan energi vibrasi, simbol tanpa huruf diatasnya menunjukkan

    bahwa energi vibrasi molekul berada dalam kesetimbangan thermal, angka nol (0)

    menunjukkan bahwa molekul berada dalam tingkat vibrasi yang paling mudah. (Castellan,

    1983). Jika sistem mula-mula dalam keadaan dasar S0, sejumlah kuanta radiasi dapat

    diserap untuk menaikkan sistem dari keadaan singlet yang satu ke singlet lainnya, S1 atau S2

    dalam diagram. (transisi radiatif ditunjukkan dengan garis padat, dan transisi non-radiatif

    dengan garis berombak).

    Equilibrasi thermal energi vibrasional pada tingkat elekronik Sv2 terjadi dengan cepat,

    proses ini di gambarkan dengan tanda panah berombak yang berakhir pada S2. Transisi non-

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    34

    radiatif dari S2 ke Sv1 juga cepat, proses ini di gambarkan dengan tanda panah horizontal

    berombak dan disebut konversi dalam (Internal Conversion = IC). Di laporkan bahwa dalam

    proses konversi dalam ini tidak terjadi perubahan energi. Padahal equilibrasi energi

    vibrasional mengharuskan terjadinya pengurangan energi, oleh sebab itu, diperlukan satu

    atau lebih tumbukan-tumbukan untuk dapat mengurangi kelebihan energi tersebut.

    Equilibrasi energi vibrasional pada tingkat S1v1 juga cepat terjadi melalui tumbukan-tumbukan

    ini. Setelah tercapai tingkat paling rendah dari S1, sistem menyediakan tiga bagian garis edar

    untuk dapat kembali ke keadaan dasar S0. (Castellan, 1983)

    Gambar 18. Keadaan tereksitasi dan transisi fotolisis. Transisi radiatif diantara keadaan

    tersebut diberikan oleh garis padat, dan proses penghilangan radiasi oleh garis berombak ; IC = internal conversin dan ISC = Inter sistem crossing. Garis vertical berombak adalahproses relaksasi. (Sumber: Castellan, 1983).

    Bagian 1 : Transisi radiatif dengan emisi kuantum radiasi fluoresen , hv1.

    Radiasi fluoresen mempunyai frekuensi lebih rendah daripada cahaya yang

    diserap yang dinaikkan dari S0 ke S2v. Transisi S1 S0, fluoresensi yang

    diperbolehkan menurut aturan seleksi terjadi sangat cepat. Karena pada transisi

    ini proses pengosongan pada tingkat eksitasi terjadi sangat cepat, tetapi

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    35

    selanjutnya berhenti dengan segera setelah mengeksitasi radiasi yang pada

    akhirnya terjadi proses pemadaman.

    Bagian 2 : Penyilangan non-radiatif ke T1v yang diikuti oleh equilibrasi vibrasio yang cepat ke

    T1. Proses ini di ikuti juga oleh transisi T1 S0. Radiasi yang di emisi disebut

    fosforesensi. Penyilangan antar sistem non-radiatif (ISC) lebih lambat daripada

    equilibrasi vibrasional, tetapi bersaing dengan emisi fluoresen pada molekul-

    molekul yang memperlihatkan fosforesensi.

    Transisi radiatif T1 S0 biasanya sangat lambat, karena transisi triplet singlet

    merupakan spin yang terlarang menurut aturan seleksi. Konsekwensinya

    fosforesensi berlangsung lama dan sewaktu-waktu terjadi pemadaman setelah

    mengeksitasi radiasi.

    Bagian 3a : Konversi dalam (IC) non-radiatif ke S0v1 dan thermalisasi cepat dari energi

    vibrasional untuk membawa sistem ke S0.

    Bagian 3b : Quenching non-radiatif S1 oleh tumbukan.

    Jadi, pada prinsipnya pemancaran fluoresensi akan berhenti dengan segera

    sesudah radiasi dihentikan. Tetapi dalam beberapa hal fluoresensi masih bertahan untuk

    beberapa waktu setelah radiasi di hentikan, gejala ini dinamakan fosforesensi.

    Dapat kita uraikan sistem iluminasi keadaan Steadi melalui persamaan kecepatan untuk

    setiap proses, sebagai berikut (Castellan, 1983): Tabel 3. Sistem iluminasi keadaan steadi dan kecepatan reaksinya

    Proses Reaksi Kecepatan Eksitasi S0 + hV S1 Ia ............................. (36) Fluoresensi S1 S0 + hV A10[S1] .................... (37) Fluoresensi Quenching S1 + M S0 + M Fqk [S1][M] ............... (38) Konversi dalam S1 S0 SIck [S1] ................... (39) Penyilangan antar sistem (singlet) S1 T1 SISck [S1] ................... (40) Fosforesensi T1 S0 + hV TSA [T1] ................... (41) Fosforesensi Quenching T1 + M S0 + M Pqk [T1][M] ........ (42) Penyilangan antar sistem (triplet) T1 S0 TISck [T1] ................... (43)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    36

    kS ; kT adalah konstanta kecepatan untuk proses-proses yang bervariasi, kq adalah konstanta

    kecepatan quenching. A10 dan ATS adalah koefisien Einstein untuk emisi spontan. [M] adalah

    konsentrasi M yaitu konsentrasi total dari semua spesies dalam larutan. Sedangkan dalam

    fasa gas [M] adalah tekanan total spesies.

    Intensitas yang di emisi pada fluoresensi (I Fem ) diberikan oleh :

    I Fem = A10[S1] ............................................................................... (44)

    Jika [S1] dan [T1] tidak berubah-ubah terhadap waktu, maka pada kondisi Steady State:

    dtSd 1 = Ia - A10[S1] - Fqk [S1][M] -

    SISck [S1] = 0 .................................................. (45a)

    dan :

    dtTd 1 = SISck [S1] - TSA [T1] - Pqk [T1][M] - TISck [T1] = 0 .............................................. (45b)

    Dari defenisi TF (waktu hidup fluoresensi) dan TP (waktu hidup fosforesensi) :

    FT

    1 = A10 +

    SIck +

    SISck +

    Fqk [M] .......................................................................... (46a)

    PT

    1 = TSA +

    TISck +

    Pqk [M] ................................................................................. (46b)

    Persamaan (46a) dan (46b) di subtitusikan ke (45a) dan (45b) :

    dtSd 1 = Ia -

    FTS1 = 0 ............................................................................................ (47a)

    dan

    dtTd 1 = SISck [S1] -

    pT

    T1 ......................................................................................... (47b)

    Dengan menyamakan kedua persamaan untuk [S1] dan [T1] dihasilkan: [S1] = TF . Ia

    Sehingga :

    [T1] = SISck . TF . Tp . Ia .......................................................................................... (47c)

    Harga [S1] disubtitusikan ke persamaan (44) di peroleh :

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    37

    I Fem = A10 . TF . Ia ................................................................................................. (48a)

    Hasil kuantum dari fluoresensi adalah :

    F = IaI Fem = A10 . TF .............................................................................................. (48b)

    Subtitusi persamaan (48a) ke dalam persamaan (46a) :

    FemI

    1 =

    Ia1

    101

    A

    kk SISCSIC +

    IaA

    Mk Fq.10

    ........................................................ (49)

    Dengan memplot FemI

    1 versus [M] diperoleh garis linier dan di sebut grafik Stern-Volmer.

    Konstanta A10 di hitung dengan mengukur koefisien absorpsi molar pada pita absorpsi

    (absorption band). Jika kita asumsikan setiap tumbukan adalah efektif, maka kecepatan

    quenching adalah jumlah tumbukan spesies-spesies tereksitasi S1 dengan spesies lain ; M.

    Menurut teori kinetika gas dan teori tumbukan, jumlah tumbukan diberikan oleh:

    Z12 = 212d .

    Tk.81. 2 . e- Eo / RT..................................................................... (50)

    Sehingga harga kqF adalah :

    Fqk =

    212d .

    Tk.8 ........................................................................................... (51a)

    Harga E0 sangat kecil sehingga dapat di abaikan. Untuk quenching harga kq adalah:

    Fqk = 2qd .

    Tk.8 .................................................................................................. (51b)

    Dimana d12 adalah diameter rata-rata dua molekul dan faktor d122 adalah tampang lintang

    (cross section) tumbukan. Jika terjadi fosforesensi, maka :

    I pem = ATS [T1] ............................................................................................................. (52)

    Dari harga [T1] pada persamaan (47c) diperoleh :

    I pem = ATS . SISck . TF . Tp . Ia ..................................................................................... (53a)

    Hasil kuantum untuk fosforesensi adalah :

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    38

    p = IaI Fem = ATS . SISck . TF . Tp ............................................................................... (53b)

    Dengan menggunakan persamaan (48a), maka persamaan (53b) menjadi :

    p = F

    10AATS

    . SISck . Tp ......................................................................................... (53c)

    Dari pesamaan (46b) dan (53c) diperoleh :

    p1

    = F

    1

    10AATS

    SsISC

    pq

    TISCTS

    k

    MkkA ....................................................... (54)

    Grafik Stern-Volmer antara p

    1 versus [M] dapat memberikan cross section quenching

    untuk fosforesensi. Dalam kasus lain, cross section quenching ditentukan oleh dua proses

    paralel dari atom atau molekul tereksitasi. Pendekatan ini rasanya lebih sederhana dari

    persamaan-persamaan di atas. Ungkapan kinetik untuk fluoresensi quenching diamati

    dengan mempertimbangkan dua proses paralel untuk atom molekul tereksitasi B*.

    Fluoresensi : B* k B + hv ..If

    dtBd *

    = If = k . [B*]

    Quenching : B* + M qk B + M + energi kinetik (I0)

    Kecepatan diaktivasi total:

    - dtBd *

    = k . [B*] + kq [B*] [M] = I0 .. (55)

    Jika intensitas cahaya yang diserap I0 dan intensitas fluoresensi adalah If, maka fraksi

    molekul-molekul yang tereksitasi pada fluoresen adalah fluorecence yield (Yf).

    Yf = 0I

    I f =

    MBkBk

    Bkq **

    *

    f = Yf =

    Mk

    kq

    1

    1 ... (56)

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    39

    Harga k di peroleh dengan mengetahui waktu hidup T untuk keadaan eksitasi tanpa adanya

    quencher,

    k = T-1 . (57)

    Sehingga harga kq dapat dihitung melalui kecepatan spesifik dari proses quenching

    (persamaan 56). Selanjutnya dapat dihitung quenching cross section Tq atau d122 melalui

    persamaan (3.43) atau 51b). Karena ada 2 molekul yang bertranslasi maka d12 merupakan

    diameter rata-rata dari kedua molekul yang bertumbukan:

    221221

    12dddd

    d12

    Cross section : Q = 12d 2

    Q = 2

    122

    d

    Q = 4

    212d ........................................... (58)

    Dari persamaan (51b) :

    kq = d212

    2/18

    kT

    kq = 4Q 2/18

    kT

    Q = 41

    2/18

    kT

    kq .................................................................. (59)

    Karena kq ada dalam satuan m3.mol1.s1, maka persamaan (59) harus dibagi dengan

    bilangan avogadro (NAv) untuk menyesuaikan satuannya :

    d2 d1

  • SUNYONO (NIM: 107966009)

    40

    Q = 1

    4 AvN

    2/18

    kT

    kq ............................................................. (60)

    Satuan [B*] dan [M] adalah mol.m 3, sehingga TQ mempunyai satuan m2.

    adalah massa tereduksi, yaitu :

    = 21

    21.mm

    mm

    x a m ................................................................. (61)

    yang berperan sebagai quencher pada umumnya adalah gas (seperti : O2, H2, N2, CO, NO,

    CH4, NH3, He, Ar dsb). Oleh sebab itu konsentrasi quencher ; [M] dapat dihitung dari

    hubungan (Moore, 1972) :

    [M] = RTp

    = . .Av

    pN k T

    .................................................................... (62)

    Tabel 4. Cross section efektif untuk quenching pada fosforesensi merkuri.

    Gas Q x 1016 (cm2) Gas Q x 1016 (cm2)

    O2 13,9 CO2 2,48

    H2 6,07 PH3 26,2

    CO 4,07 CH4 0,06

    NH3 2,94 n C7H16 24,0

    Sumber: Moore, 1972.

    Sumber bacaan: 1. Atkins, P.W.,, 2006. Physical Chemistry, 8th Ed. Oxford University Press. New York.

    2. Castellan, G.W., 1983. Physical Chemistry, 3th Ed. Addison-Wesley Publishing Company. Singapore.

    3. Mortimer, R.G., 2008. Physical chemistry. 3th Ed. Elsevier Academic Press. London.

    4. Moore, W.J., 1972. Physical Chemistry. Printice-Hall Inc. New Jersey.

    5. Oxtoby, D.W., et al., 2008. Principles of Modern Chemistry, Sixth Edition. Thomson Brooks/Cole, a part of The Thomson Corporation. USA.

    6. Wikipedia, 2011. Teori Kinetik. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kinetik. Diakses pada tanggal: 02 Mei 2011.