summary

3
SUZAN ASTYAMALIA 14811187 Summary 1. Drug Management Cycle di Apotek 1. Mahasiswa Dapat Memahami Drug Management Cycle (DMC) Di Apotek DMC merupakan proses dan siklus manajemen obat dimana pengelolaan perbekalan farmasi termasuk didalamnya . Sesuai dengan Kepmenkes no.1027 tahun 2004, pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan (kemenkes 1027, 2004). Perencanaan adalah suatu proses pemilihan jenis, jumlah dan harga dari perbekalan farmasi yang mana perencanaan akan pemilihan suatu sediaan farmasi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat (binfar, 2011) . Ada tiga metode perencanaan yang bisa digunakan yaitu (MSH, 2012) : a. metode morbiditas atau epidemiologi, berdasarkan insiden penyakit yang ada , terapi yang paling sering digunakan untuk suatu jenis penyakit yang sering muncul pada suatu lingkungan masyarakat, b. metode konsumsi, berdasarkan pada kebutuhan obat peri d oe sebelumnya. Metode konsumsi ini umumnya digunakan di apotek ataupun dirumah sakit karena tidak memerlukan data penyakit dan standar pengobatan. c. metode kombinasi atau gabungan antara keduanya , meminimalisir kekurangannya. Yang menggunakan metode ini kombinasi ini umumnya rumah sakit besar yang telah berjalan cukup lama atau apotek yang telah cukup maju. Pengadaan ialah suatu kegiatan yang merealisasikan yang telah direncanakan. Biasanya di apotek bisa menggunakan metode pengadaan terbatas, berencana dan spekulatif. Apotek harus memiliki semua obat wajib dan 80% obat generik harus tersedia di apotek. Sedangkan, obat yang jarang digunakan sedikit saja dipesan. Obat yang sering digunakan sebaiknya dibeli lebih banyak,

description

farmacy

Transcript of summary

Page 1: summary

SUZAN ASTYAMALIA14811187

Summary 1. Drug Management Cycle di Apotek

1. Mahasiswa Dapat Memahami Drug Management Cycle (DMC) Di ApotekDMC merupakan proses dan siklus manajemen obat dimana pengelolaan

perbekalan farmasi termasuk didalamnya. Sesuai dengan Kepmenkes no.1027 tahun 2004, pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan (kemenkes 1027, 2004).

Perencanaan adalah suatu proses pemilihan jenis, jumlah dan harga dari perbekalan farmasi yang mana perencanaan akan pemilihan suatu sediaan farmasi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat (binfar, 2011). Ada tiga metode perencanaan yang bisa digunakan yaitu (MSH, 2012):

a. metode morbiditas atau epidemiologi, berdasarkan insiden penyakit yang ada, terapi yang paling sering digunakan untuk suatu jenis penyakit yang sering muncul pada suatu lingkungan masyarakat,

b. metode konsumsi, berdasarkan pada kebutuhan obat peridoe sebelumnya. Metode konsumsi ini umumnya digunakan di apotek ataupun dirumah sakit karena tidak memerlukan data penyakit dan standar pengobatan.

c. metode kombinasi atau gabungan antara keduanya , meminimalisir kekurangannya. Yang menggunakan metode ini kombinasi ini umumnya rumah sakit besar yang telah berjalan cukup lama atau apotek yang telah cukup maju.Pengadaan ialah suatu kegiatan yang merealisasikan yang telah

direncanakan. Biasanya di apotek bisa menggunakan metode pengadaan terbatas, berencana dan spekulatif. Apotek harus memiliki semua obat wajib dan 80% obat generik harus tersedia di apotek. Sedangkan, obat yang jarang digunakan sedikit saja dipesan. Obat yang sering digunakan sebaiknya dibeli lebih banyak, untuk menghindari menumpuknya stok dan pengosongan stok (binfar, 2011).

2. Mahasiswa dapat memahami pelaksanaan program BPJS kesehatan Bentuk kerjasama langsung apotek dengan BPJS berupa program rujuk balik

(JKN, 2014) . Program ini merupakan program BPJS Kesehatan dalam menjamin kebutuhan obat bagi peserta yang memiliki penyakit kronis, sehingga dapat dimonitoring terapi pasien dan pasien akan datang kembali ke apotek. Sesuai dengan pasal 15, UU nomor 24 tahun 2011 bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS. Dalam pasal 16, UU nomor 40 tahun 2004, setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang BPJS.

Pada skenario, pasien BPJS ingin menebus obat tetapi obat masih dalam pesanan e-katalog. Seharusnya obat untuk pasien BPJS harus tersedia, ini merupakan tanggung jawab penyelenggara kesehatan. Jika adanya kekosongan obat seharusnya ada pernyataan tertulis dari pihak penyelenggara bahwa obat itu belum

Page 2: summary

ada atau masih dalam tahap orderan. Obat yang tersedia yaitu obat untuk umum, maka kita harus memberi tahu pasien bahwa obat sedang kosong, jika tetap mau membeli obat yang biasa, pasien harus membayar selisih harga obat antara BPJS dan obat untuk umum. Jika tidak mau, bisa ke apotek lain dan tidak lupa menyampaikan maaf pada pasien.

3. Mahasiswa dapat memahami perundang undangan tentang praktek kefarmasian Pada PP nomor 51 tahun 2009, telah diatur mengenai pekerjaan

kefarmasian. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya di apotek, seorang apoteker pengelola dapat dibantu dengan apoteker pendamping atau tenaga teknis kefarmasian seperti yang tertulis dalam pasal 20 (PP no.51, 2009). Selain itu, pada pasal 19, kemenkes 1332 tahun 2002 juga disebutkan APA harus memiliki apoteker pendamping dan jika APA berhalangan hadir maka digantikan oleh apoteker pengganti (kemenkes 1332, 2002). Jika apotek buka 24 jam, apoteker pengelola tidak mungkin selalu hadir di apotek sehingga harus memiliki apaoteker pendamping.

4. Mahasiswa dapat memahami jenis pelayanan kefarmasian di apotek.Pelayanan kefarmasian di apotek terdiri dari pelayanan obat dengan resep,

pelayanan obat tanpa resep (swamedikasi) termasuk obat wajib apotek. Dalam pelayanan obat dengan resep, apoteker harus skrinning resep terlebih dahulu, kemudian mengecek ketersediaan obat dan memberikan obat dengan PIO. Begitu juga dengan pelayanan swamedikasi, apoteker harus menanyakan sakit apa, obat untuk siapa dan lainnya, sehingga dapat memberi pilihan obat untuk pasien. Pasien memilih lalu tidak lupa pemberian informasi terkait efek samping, indikasi, cara meminum, dan lainnya (binfar, 2011). OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien tanpa resep obat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176 tahun 1999 berisi daftar obat wajib apotek terbaru yang dapat apoteker berikan tanpa resep obat.

Referensi:1. Anonim, 2014, http://www.jkn.kemkes.go.id . ( diakses tanggal 27 September 2014).2. Binfar Kemkes RI, IAI, 2011, editor Ali Mashuda, Pedoman Cara Pelayanan

Kefarmasian yang Baik.3. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek.4. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176 tahun 1999 tentang daftar obat wajib

apotek.5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang

Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik6. Management Science for Health, 2012. MDS-3; Managing Acces to Medicine and

Health technologies, Arlington, VA : management Science for Health.7. Peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.8. Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional9. Undang-Uundang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial