Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL...

79
Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso Surati | Ramawati | Bugi K. Sumirat | Fentie J. Salaka Retno Maryani | Sylviani | Dewi Ratna Kurnia Sari & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN RESOLUSI KONFLIK serta ISBN : 978-623-256-173-1 Sosial Sintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 2019 & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN RESOLUSI KONFLIK serta Konflik sumber daya hutan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi konflik, baik penegakan hukum maupun pemberdayaan masyarakat, tapi konflik belum juga mereda. Faktor penyebab konflik adalah perbedaan sistem nilai, perbedaan kepenngan, kedaksetaraan/kedak-adilan, kemiskinan, tumpang-ndih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempermbangkan sejarah penguasaan, kurangnya penegakan hukum, dan kekosongan pengelolaan hutan. Ada dua pologi utama konflik di kawasan hutan, yaitu konflik penguasaan lahan dan konflik pengelolaan lahan. Tipe konflik penguasaan lahan memerlukan penegakan hukum dan mediasi, sedangkan pe konflik pengelolaan lahan dimediasi melalui pemberian akses perhutanan sosial. Pusat Penelian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim

Transcript of Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL...

Page 1: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi SantosoSurati | Ramawati | Bugi K. Sumirat | Fentie J. Salaka Retno Maryani | Sylviani | Dewi Ratna Kurnia Sari

& PEMBERDAYAAN MASYARAKATSOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN

RESOLUSI KONFLIKserta

ISBN : 978-623-256-173-1Sosial

SintesaRencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI)

2014 – 2019

& PEMBERDAYAAN MASYARAKATSOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN

RESOLUSI KONFLIKserta

RESOLUSI KONFLIK

Konflik sumber daya hutan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi konflik, baik penegakan

hukum maupun pemberdayaan masyarakat, tapi konflik belum juga

mereda.

Faktor penyebab konflik adalah perbedaan sistem nilai, perbedaan

kepentingan, ketidaksetaraan/ketidak-adilan, kemiskinan,

tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa

mempertimbangkan sejarah penguasaan, kurangnya penegakan

hukum, dan kekosongan pengelolaan hutan.

Ada dua tipologi utama konflik di kawasan hutan, yaitu konflik

penguasaan lahan dan konflik pengelolaan lahan. Tipe konflik

penguasaan lahan memerlukan penegakan hukum dan mediasi,

sedangkan tipe konflik pengelolaan lahan dimediasi melalui

pemberian akses perhutanan sosial.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim

Page 2: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

& PEMBERDAYAAN MASYARAKATSOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN

RESOLUSI KONFLIKserta

Page 3: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 4: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,

Kota Bogor - Indonesia

C.01/07.2020

Sulistya EkawatiSubarudi

Adi SantosoSurati, Ramawati, Bugi K. Sumirat,

Fentie J. Salaka, Retno Maryani, Sylviani, & Dewi Ratna Kurnia Sari

Editor: Syaiful Anwar, Choirul Ahmad, & Dana Apriyanto

& PEMBERDAYAAN MASYARAKATSOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN

RESOLUSI KONFLIKserta

Page 5: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Judul Buku:SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIK

Penulis:Sulistya Ekawati, Subarudi, Adi Santoso, Surati, Ramawati, Bugi K. Sumirat, Fentie J. Salaka, Retno Maryani, Sylviani, & Dewi Ratna Kurnia Sari

Editor:Syaiful Anwar, Choirul Ahmad, & Dana Apriyanto

Desain Cover:Makhbub Khoirul Fahmi

Penata Isi:Army Trihandi Putra

Jumlah Halaman: 60 + 16 halaman romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, Juli 2020

PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

ISBN: 978-623-256-173-1

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 6: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Memahami kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan sangat penting dilakukan untuk memastikan kegiatan pembangunan kehutanan bisa berjalan. Salah satunya adalah bagaimana memahami dan mengelola konflik sumber daya hutan dan menemukan model pemberdayaan masyarakat sebagai resolusinya. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses pengelolaan hutan dalam skema Perhutanan Sosial merupakan upaya jitu yang dipilih pemerintah untuk mengurangi ketimpangan distribusi pemanfaatan hutan.

Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melakukan beberapa penelitian yang terkait dengan sosial, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Kumpulan penelitian tersebut diberi nama Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 13: Sosial Ekonomi, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat serta Resolusi Konflik Tahun 2014-2019. Penelitian tersebut dilakukan secara kolaborasi oleh peneliti dari Pusat Litbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim beserta peneliti di beberapa Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang dan Inovasi. Hasil-hasil penelitian tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah buku sintesis penelitian. Selain itu ada beberapa luaran yang dihasilkan dari penelitian ini, seperti jurnal, prosiding, buku, policy brief, dan draft kebijakan (Peraturan Menteri).

Tersusunnya sintesis ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Koordinator RPPI 13, Dr. Sulistya Ekawati dan Tim Penyusun serta semua pihak yang telah membantu dan memfasilitasi penyusunan sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bogor, Desember 2019Kepala Pusat,

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.NIP 19630216 199003 1 001

KATA PENGANTAR

Page 7: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 8: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Konflik sumber daya hutan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi konflik, baik melalui penegakan hukum maupun pemberdayaan masyarakat, tapi konflik belum juga mereda. Tujuan dari penelitian integratif ini adalah: 1) Merumuskan tipologi dan model resolusi konflik ketimpangan akses sumber daya hutan; 2) Membangun database sosial, ekonomi, dan model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan; dan 3) Merumuskan rekomendasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Penelitian integratif ini dilakukan oleh Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim dengan melibatkan delapan Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang dan Inovasi. Lokasi penelitian adalah di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Bali, dan Papua Barat. Metodologi yang digunakan adalah systematical review. Hasil sintesis menunjukkan bahwa faktor penyebab konflik adalah perbedaan sistem nilai, perbedaan kepentingan, ketidaksetaraan/ketidak-adilan, kemiskinan, tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan sejarah penguasaan, kurangnya penegakan hukum, dan kekosongan pengelolaan hutan. Ada dua tipologi utama konflik di kawasan hutan, yaitu konflik penguasaan lahan dan konflik pengelolaan lahan. Tipe konflik penguasaan lahan memerlukan penegakan hukum dan mediasi, sedangkan tipe konflik pengelolaan lahan dimediasi melalui pemberian akses perhutanan sosial. Kelima skema perhutanan sosial memerlukan beberapa hal krusial yang menjadi perhatian untuk memastikan program tersebut berhasil, antara lain: kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan dari pemerintah pusat ke level desa/adat/kelompok, pemilihan jenis tanaman komersial dalam usahataninya, pendampingan, penguatan kelembagaan kelompok untuk pasca panen dan pemasaran, penguatan kelembagaan pengelolaan hutan di level desa, dukungan pendanaan, dan penyiapan mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas untuk memastikan perhutanan sosial berjalan sesuai dengan peraturan.

Kata kunci: Konflik, hutan, masyarakat, resolusi konflik, pemberdayaan.

RINGKASAN EKSEKUTIF

Page 9: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 10: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

KATA PENGANTAR ............................................................................................... v

RINGKASAN EKSEKUTIF ..................................................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

Latar Belakang ................................................................................................... 1

Tujuan dan Sasaran ........................................................................................... 6

Luaran ................................................................................................................ 7

II. METODE SINTESIS ......................................................................................... 9

Kerangka Pikir Penelitian ................................................................................... 9

Penelitian di Bawah RPPI 13 ........................................................................... 15

Lokasi Penelitian .............................................................................................. 17

Analisis Sintesis Penelitian ............................................................................... 18

III. SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF ............................................................... 21

Luaran 1: Database Tipologi dan Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan ......... 21

Luaran 2: Database Sosial Ekonomi dan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ................................................................................ 28

1. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan ...................................... 28

2. Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar dan di Dalam Hutan .............. 33

Luaran 3: Rekomendasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan .................................................................................................... 43

DAFTAR ISI

Page 11: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

IV. KESIMPULAN dan REKOMENDASI ............................................................... 45

Kesimpulan ...................................................................................................... 45

Rekomendasi ................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 49

LAMPIRAN ......................................................................................................... 53

Page 12: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Tabel 1 Judul-judul penelitian RPPI 13 .................................................................. 15

Tabel 2 Lokasi penelitian RPPI 13 .......................................................................... 17

Tabel 3 Faktor penyebab, aktor, dan resolusi konflik di KHDTK ............................ 24

Tabel 4 Program pemberdayaan masyarakat per fungsi kawasan hutan .............. 35

Tabel 5 Berbagai program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ................... 37

Tabel 6 Analisis peraturan perundang-undangan yang terkait pemberdayaan masyarakat di hutan konservas ................................................................ 43

DAFTAR TABEL

Page 13: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 14: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Gambar 1 Jumlah kasus konflik agraria tahun 2018 berdasarkan sektor .............. 3

Gambar 2 Luasan konflik agraria berdasarkan sektor ........................................... 3

Gambar 3 Konflik agraria sektor kehutanan .......................................................... 5

Gambar 4 Rumusan masalah penelitian ................................................................ 8

Gambar 5 Proses pemberdayaan ........................................................................ 13

Gambar 6 Siklus pemberdayaan .......................................................................... 14

Gambar 7 Kerangka pikir penelitian .................................................................... 15

Gambar 8 Pembukaan lahan dalam kawasan hutan oleh masyarakat ................ 22

Gambar 9 Posisi desa terhadap hutan. ................................................................ 29

Gambar 10 Perbandingan luas hutan dan jumlah penduduk sekitar kawasan hutan .................................................................................... 29

Gambar 11 Mata pencaharian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan ... 31

Gambar 12 Kegiatan pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar hutan ............ 32

Gambar 13 Budidaya madu di desa penyangga .................................................... 34

Gambar 14 Agroforestry jabon putih dengan lengkuas di KHDTK ......................... 35

Gambar 15 Agroforestry jati dan padi gogo pada hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi (kiri); Persemaian jabon di HTR Desa Hajran, Kabupaten Batanghari (kanan) .......................... 36

Gambar 16 Pengolahan madu hutan dari TN Ujung Kulon secara modern oleh Koperasi Hanjuang (kiri); Hasil padi organik desa penyangga TN Ujung Kulon (kanan) ...................................................................... 42

DAFTAR GAMBAR

Page 15: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 16: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Lampiran 1 Luaran RPPI 13 berupa jurnal ............................................................. 54

Lampiran 2 Luaran RPPI 13 berupa prosiding ........................................................ 55

Lampiran 3 Luaran RPPI 13 berupa policy brief, buku, dan luaran lainnya ............ 57

Lampiran 4 KKL RPPI Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat, serta Resolusi Konflik ..................................................... 58

DAFTAR LAMPIRAN

Page 17: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 18: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

PENDAHULUANI

Latar BelakangHutan di Indonesia bukan wilayah kosong yang ditumbuhi pepohonan dan satwa liar karena terdapat 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, 71.06% menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Sekitar 48,8 juta penduduk Indonesia bermukim di wilayah hutan negara. Dari jumlah tersebut, 10,2 juta orang adalah miskin dan sekurangnya 6 juta orang sangat tergantung kehidupannya pada sumber daya hutan (Brown, 2004; KSP, 2017). Data terbaru dari KLHK (2019) menyebutkan jumlah desa di dalam dan sekitar kawasan hutan tetap, tetapi jumlah penduduk dan masyarakat miskin yang bermukim di sana menjadi ±37,2 juta jiwa, terdiri atas 9,2 juta rumah tangga dan sekitar 1,7 juta dari jumlah tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hutan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat di sekitarnya.

Kurang diakuinya dan dibukanya akses dan hak-hak masyarakat sekitar hutan menyumbang kemiskinan. Menurut catatan World Bank (2006), sekitar satu juta rumah tangga hidup di wilayah kawasan hutan negara dengan tutupan hutan yang baik, terisolir, dan merupakan penghuni hutan tradisional. Sunderlin, et al. (2005) mencatat bahwa “kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang-tindih. Kemiskinan bersifat multidimensi dan kompleks. Selain karena struktur kebijakan (kemiskinan struktural), kemiskinan juga disebabkan oleh faktor budaya (kemiskinan kultural). Beberapa hal yang menjadi hambatan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah rendahnya kapasitas masyarakat, pasif (nrima ing pandum), akses informasi lemah, mundurnya modal sosial, ketergantungan terhadap sumber daya hutan, dan minimnya kesempatan kerja.

Disadari atau tidak, kegiatan pengelolaan hutan selama ini yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan

Page 19: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 20192

masyarakat. Beberapa tahun sebelumnya program kehutanan bersifat sentralistik, top down, capital intensive, west biased technology. Akibatnya, banyak terjadi kegagalan dalam implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut masih berorientasi target, bersifat keproyekan, kurang sesuai dengan kondisi dan potensi lokal, tidak konsisten, tidak tepat sasaran serta tidak ada insentif hulu-hilir. Pemerintah kemudian berusaha memperbaiki kebijakan tersebut dengan pendekatan bottom up, padat karya dengan memanfaatkan potensi dan kearifan masyarakat lokal.

Alokasi pengusahaan sumber daya hutan di Indonesia pada tahun sebelum 2015 sebagian besar (99%) diberikan kepada pengusaha, hanya sebagian kecil (1%) yang diberikan kepada masyarakat (Awang, 2015). Ketimpangan tersebut dapat digeser pada angka 30% jika perhutanan sosial 12,7 juta ha terimplementasikan (Supriyanto, 2019). Ketidak-pastian dan ketimpangan pengusahaan kawasan hutan menghambat efektivitas pengelolaan hutan dan menjadi akar ketidakadilan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat rentan adalah masyarakat sekitar hutan, yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan. Selain masyarakat, dunia usaha juga merasakan dampaknya dalam bentuk gangguan keamanan usaha. Banyak program pemerintah juga tidak dapat diimplementasikan karena ketidakjelasan kawasan hutan. Kondisi seperti itu yang menyebabkan ketimpangan akses dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan memicu konflik.

Dilihat dari banyaknya kasus, pada tahun 2018 terjadi 410 konflik agraria. Secara akumulatif, selama empat tahun (2014–2018) telah terjadi sedikitnya 1.769 konflik agraria, mencakup luas wilayah 807.177,6 ha dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflik agraria terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus (35%), disusul oleh konflik di sektor properti sebanyak 137 kasus (33%), pertanian 53 kasus (13%), pertambangan 29 kasus (7%), kehutanan 19 kasus (5%), pembangunan infrastruktur 16 kasus (4%), serta pesisir/kelautan 12 kasus (3%). Sebanyak 60% atau 83 kasus konflik di sektor perkebunan terjadi di perkebunan kelapa sawit (Konsorsium Pembaharuan Agraria/KPA, 2019).

Page 20: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

3I PENDAHULUAN

Sumber: KPA, 2019

Gambar 1 Jumlah kasus konflik agraria tahun 2018 berdasarkan sektor.

Dilihat dari luasannya, persentase konflik agraria terbesar (73%) terjadi di sektor perkebunan dengan luasan 591.640,32 ha, sektor kehutanan dengan luas 65.669,52 ha, disusul dengan pesisir/kelautan seluas 54.052,6 ha, pertambangan 49.692,6 ha, properti 13.004,763 ha, dan terakhir infrastruktur dengan luasan 4.859,32 ha (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2019). Sebagian besar konflik di sektor perkebunan terkait dengan kawasan hutan karena ada tumpang-tindih klaim antara perusahaan dan masyarakat. Masyarakat kian terpinggirkan karena tidak dapat lagi mengakses hutan tempat sandaran hidupnya.

Sumber: KPA, 2019

Gambar 2 Luasan konflik agraria berdasarkan sektor.

Menurut catatan Wulan (2004), konflik kehutanan sebanyak 39% terjadi di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27% di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA). Faktor penyebab konflik adalah karena pembatasan akses/tata batas sebanyak 36%, alih

Page 21: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 20194

fungsi 3%, perambahan hutan 26%, pencurian kayu 23%, dan 12% karena kerusakan lingkungan. Konflik kawasan hutan juga disebabkan oleh tumpang-tindih klaim kawasan hutan akibat kebijakan yang tidak terformulasi dengan baik, penggunaan data/peta yang tidak sama, pemberian izin yang tidak terkoordinasi, dan keraguan dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat/lokal. Berdasarkan data, tingginya konflik di hutan produksi seiring dengan tingginya angka deforestasi di kawasan hutan produksi pada periode 1990–2017. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang paling tinggi angka deforestasinya dibanding kawasan hutan lainnya (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2018).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya sudah berupaya mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi konflik sumber daya hutan. Pada awal tahun 1990-an, diperkenalkan program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang mewajibkan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Program ini didasarkan pada SK. Menhut No. 691/Kpts-II/1991 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menhut No. 69/ Kpts-II/1995. Hak pengelolaan atas sumber daya hutan oleh masyarakat kemudian diperluas dengan diperkenalkannya program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Peraturan mengenai HKm pertamakali diterbitkan dalam bentuk SK. Menhut No. 622/Kpts-II/1995, yang terus diperbaharui dengan Permenhut No. P.37/ Menhut-II/2007, Permenhut No. 18 Tahun 2009, Permenhut No. 13 Tahun 2010, dan Permenhut No. P.52/ Menhut-II/2011. Pada tahun 2003 pemerintah telah mencanangkan perhutanan sosial (social forestry) sebagai program nasional dan menjadi payung bagi program pembangunan kehutanan. Kebijakan yang ditetapkan dengan Permenhut No. 01/Menhut-II/2004 ini terutama diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Di samping model HKm yang sudah lebih lama diperkenalkan, berbagai skema baru mulai diperkenalkan, antara lain Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) (Rohadi, Herawati, Firdaus, Maryani, R., & Permadi, 2013).

Page 22: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

5I PENDAHULUAN

Sumber: Wulan, 2004

Gambar 3 Konflik agraria sektor kehutanan.

Sabarnurdin, Budiadi, & Suryanto (2011) menyatakan bahwa sistem agroforestri diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah, baik sosial (kemiskinan) maupun lingkungan (pemanasan global dan degradasi lingkungan). Sistem agroforestri merupakan solusi untuk menjawab tantangan kelangkaan di bidang pangan, papan, energi, dan air. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan melalui sejumlah skema (Sawitri, 2011). Saat ini ada lima skema perhutanan sosial yang disediakan, yaitu Hutan Adat (HA), HTR, HKm, HD, dan Kemitraan.

Zulu (2009), mencatat ada beberapa penyebab kegagalan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, yaitu elite capture, keterbatasan finansial, keterbatasan kapasitas teknis, rendahnya pemahaman kebijakan kehutanan, lemahnya institusi konservasi lokal, lemahnya kepemimpinan lokal, ketegangan antar kepemimpinan modern dan tradisional, kemiskinan dan keterbatasan alternatif ekonomi, rendahnya nilai sumber daya hutan yang menghalangi investasi konservasi secara kolektif.

KLHK menargetkan program resolusi konflik melalui lima skema Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta dalam kurun waktu 2014–2019. Angka tersebut fantastis untuk sebuah program pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses panjang untuk mengenali potensi dan permasalahan yang dihadapi

Page 23: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 20196

masyarakat dan mengajak masyarakat merumuskan pemecahan masalahnya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kehidupan-nya. Angka 12,7 juta ha tersebut kemudian direvisi menjadi 4,38 juta ha. Realisasi izin Perhutanan Sosial sampai dengan 31 Desember 2019 seluas 4.048.376,81 ha, dengan rincian: HD 1.551.601,15 ha, HKm 743.406,82 ha, HTR 352.351,68 ha, HA 950.129,47 ha, Kemitraan Kehutanan Kulin KK 424.940,1 ha, dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhu-tanan Sosial (IPHPS) 25.947,59 ha (KLHK, 2019).

Ada banyak permasalahan yang dihadapi dalam program perhutanan sosial antara lain: 1) kurangnya lembaga pelayanan di tingkat tapak yang mudah diakses masyarakat (Balai PSKL hanya ada di 5 region, POKJA PPS belum bekerja optimal); 2) belum tersosialisasi lima skema program perhutanan sosial kepada masyarakat dan pihak terkait; 3) belum lancarnya komunikasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten; 4) kapasitas sumber daya manusia kurang memadai; 5) sulitnya masyarakat mengakses permodalan; 6) belum dikuasainya peningkatan nilai tambah hasil hutan dan pemasaran; dan 7) banyaknya free rider (penunggang gelap) permohonan Perhutanan Sosial.

Rumusan masalah penelitian tersaji di Gambar 4.

Tujuan dan SasaranTujuan dari penelitian integratif Sosial, Ekonomi, Kebijakan, Pemberdayaan Masyarakat serta Resolusi Konflik adalah:

Merumuskan tipologi dan model resolusi konflik ketimpangan akses sumber 1. daya hutan.

Membangun model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.2.

Merumuskan rekomendasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar 3. hutan.

Sasarannya adalah:

Tersusunnya informasi tipologi dan model resolusi konflik ketimpangan akses 1. SDH.

Tersusunnya model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. 2.

Terumuskannya rekomendasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar 3. hutan.

Page 24: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

7I PENDAHULUAN

LuaranLuaran dari kegiatan sintesa RPPI 13 berupa:

Jurnal ilmiah nasional sebanyak enam (6) judul.1.

Naskah prosiding internasional sebanyak empat (4) naskah.2.

Naskah prosiding nasional sebanyak tiga belas (13) naskah3.

Buku ilmiah sebanyak enam (6) buku4.

Policy brief5. sebanyak tiga (3) judul

Draft Peraturan Menteri tentang Perhutanan Sosial di Lahan Gambut, satu (1) 6. draft.

Secara rinci, luaran kegiatan sintesa RPPI 13 dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3.

Page 25: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 20198

Gambar 4 Rumusan masalah penelitian.

Page 26: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Kerangka Pikir PenelitianIstilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin, con yang berarti bersama dan figure yang berarti benturan atau tabrakan. Ada juga yang mengatakan bahwa konflik berasal dari kata configure yang artinya saling memukul. Fisher (2001) mendefinisikan, “konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan”. Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Menurut Scannell (2010), konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Senada dengan itu, Bartos & Wehr (2002) mendefinisikan konflik sebagai perbedaan atau ketidaksesuaian dalam minat, tujuan, atau persepsi. Sama halnya dengan Yasmi & Colfer (2011) yang mendefinisikan konflik sebagai situasi di mana aktor merasa dirugikan atau dibatasi oleh perilaku aktor lain karena perbedaan dalam minat, persepsi, dan tujuan.

Di belahan manapun di dunia, hutan telah menjadi arena pertentangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sumber daya hutan. Karakteristik konflik kehutanan menurut Wulan (2004) adalah:

Skala konflik mulai dari skala lokal sampai skala nasional, dan bahkan 1. internasional.

Perbedaan status antara pihak yang “kuat” dan yang “lemah” sangat menonjol 2. (pihak yang kuat mempunyai kekuatan, akses informasi yang lebih banyak, dan kemampuan finansial yang lebih besar).

Sering tidak diketahui umum atau tidak muncul ke permukaan (3. laten) dan sangat sulit untuk diselesaikan karena terjadi di tempat yang terpencil. Di masa lalu, konflik semacam ini sering diselesaikan dengan tekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah.

METODE SINTESISII

Page 27: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201910

Resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang dapat tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru (Fisher, 2001). Menurut Mindes (2006), resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegosiasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.

Scannell (2010) menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi: a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi. Ada beberapa cara resolusi konflik yang digunakan dalam proses penyelesaian konflik. Menurut Galtung (2009) menawarkan beberapa model yang dapat dipakai sebagai proses resolusi konflik, di antaranya:

Peace keeping 1. atau operasi keamanan yang melibatkan aparat keamanan dan militer. Hal ini perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain.

Peace making, 2. yakni upaya negosiasi antara kelompok-kelompok yang berkepentingan.

Peace building3. , yakni strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik, dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi daripada kuantitas.

Dahrendorf dalam Putra (2009) menyebutkan ada tiga bentuk pengaturan konflik yang biasa digunakan sebagai resolusi konflik, yakni:

Konsiliasi, semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai 1. kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak.

Mediasi, ketika kedua pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga (tokoh, 2. ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian mendalam tentang subyek yang dipertentangkan). Nasehat yang diberikan oleh mediator tidak mengikat kedua pihak yang bertikai.

Arbitrasi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang 3. bersifat legal dari arbiter sebagai jalan keluar konflik.

Suwandono & Ahmadi (2011) lebih menekankan resolusi konflik dengan basis menciptakan penghalang-penghalang agar eskalasi konflik tidak cepat menjalar,

Page 28: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

11II METODE SINTESIS

sebelum intens dan meluas sudah dapat dikelola. Dalam pendekatan ini ada tiga langkah resolusi konflik, yaitu:

Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat 1. laten (tidak begitu nampak) agar tidak terjadi akumulasi ketegangan yang dapat membuat konflik menjadi sulit diselesaikan. Proses pelembagaan konflik laten ini diharapkan mengurangi bentuk-bentuk politisasi dan bentuk-bentuk provokasi yang tidak produktif bagi resolusi konflik.

Proses penyelesaian konflik secara dini akan menutup kemungkinan proses 2. ideologisasi konflik. Dengan pola ini diharapkan tidak berkembang menjadi konflik ideologis yang cenderung hitam-putih.

Membendung potensi-potensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan 3. komprehensif. Dengan mendesain kebijakan ini diharapkan ruang konflik yang tidak produktif bisa tereliminasi dan ruang konflik yang produktif tetap dapat dipelihara.

Salah satu bentuk resolusi konflik sumber daya alam adalah melalui program pemberdayaan. Konsep pemberdayaan masyarakat muncul karena adanya kegagalan model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Konsep ini membangun paradigma baru dalam pembangunan, yakni yang bersifat people-centered, participatory, empowering, and sustainable (Chambers, 1985). Friedmann (1992) menyebut pemberdayaan sebagai alternative development yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality, and intergenerational equity. Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system’, and so on (Ife, 1995).

Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift & Levin, 1987). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). Dalam konsep pemberdayaan, manusia adalah subyek dari dirinya sendiri (Prijono & Pranarka, 1996). Proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Sumodiningrat (1999) melihat pemberdayaan masyarakat sebagai

Page 29: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201912

upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Konsep pemberdayaan, bukan semata-mata mempengaruhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses kemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya untuk mencari alternatif terhadap pertumbuhan-pertumbuhan di masa lalu.

Menurut Suharto (2006), pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P, yaitu:

Pemungkinan (1. enabling), menciptakan suasana atau iklim memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal dan membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.

Penguatan (2. empowering), memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Perlindungan (3. protecting), melindungi masyarakat, terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat, menghindari persaingan yang tidak seimbang, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah.

Penyokongan (4. supporting), memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.

Pemeliharaan (5. fostering), pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

Tahap-tahap yang harus dilalui meliputi (Sulistiyani, 2004):

Penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli 1. sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

Transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan 2. keterampilan agar terbuka wawasan, dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

Peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif 3. dan kemampuan inovatif untuk menghantarkan pada kemandirian.

Page 30: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

13II METODE SINTESIS

Wilson (1996) memaparkan empat tahapan dalam proses pemberdayaan sebagai berikut:

Awakening1. atau penyadaran, pada tahap ini masyarakat disadarkan akan kemampuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki serta rencana dan harapan akan kondisi mereka yang lebih baik dan efektif.

Understanding2. atau pemahaman, lebih jauh dari tahapan penyadaran masyarakat, diberikan pemahaman dan persepsi baru mengenai diri mereka sendiri, aspirasi mereka, dan keadaan umum lainnya.

Harnessing3. atau memanfaatkan bagi kepentingan komunitasnya.

Using4. atau menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Sumber: Wilson, 1996

Gambar 5 Proses pemberdayaan.

Menurut Wilson (1996) terdapat tujuh (7) tahapan dalam siklus pemberdayaan masyarakat yaitu:

Keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah menjadi lebih baik.1.

Masyarakat mampu melepaskan halangan-halangan atau faktor-faktor yang 2. bersifat resistensi terhadap kemajuan dalam diri dan komunitasnya.

Masyarakat sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki 3. tanggungjawab dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya.

Page 31: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201914

Masyarakat mempunyai upaya untuk mengem-bangkan peran dan batas 4. tanggung jawab yang lebih luas, hal ini juga terkait dengan minat dan motivasi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik.

Hasil-hasil nyata dari pemberdayaan mulai ke-lihatan, di mana peningkatan 5. rasa memiliki yang lebih besar menghasilkan keluaran kinerja yang lebih baik.

Terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap dirinya, di mana keberhasilan 6. dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis di atas posisi sebelumnya.

Masyarakat yang telah berhasil dalam memberdayakan dirinya merasa 7. tertantang untuk upaya yang lebih besar guna mendapatkan hasil yang lebih baik.

Tahap 4Mengembangkan peran dan batas tanggung jawab

Tahap 1Keinginan

untukberubah

Tahap 2Melepaskan halangan-halangan

Tahap 3Rasa

memiliki bertambah

Tahap 5Pencapaian hasil

dan target yang lebih besar

Tahap 6Perubahan perilaku

dan kesan terhadap dirinya

Tahap 7Merasa tertantang

untuk upaya lebih besar

Sumber: Wilson, 1996

Gambar 6 Siklus pemberdayaan.

KLHK sudah mengeluarkan beberapa kebijakan pemberdayaan masyarakat berupa program HKm, HD, HTR, HR, dan Kemitraan. Bagaimana implementasi kebijakan tersebut jika dihubungkan dengan konsep pemberdayaan? Jika saat ini program-program pemberdayaan tersebut sangat lambat progresnya, apa yang salah dengan kebijakan tersebut? Perlu ada penelitian untuk menyingkap gap antara teori pemberdayaan dengan kebijakan yang ada. Secara ringkas kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Page 32: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

15II METODE SINTESIS

Gambar 7 Kerangka pikir penelitian.

Penelitian di Bawah RPPI 13Materi sintesis diambil dari beberapa laporan kajian yang berada di bawah koordinasi Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif Sosial, Ekonomi, Kebijakan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Resolusi Konflik (RPPI 13), terdiri dari 19 judul yang tersebar di 8 UPT BLI. Selain itu, sintesa penelitian ini juga menggunakan penelitian lain yang relevan di luar BLI. Rincian judul penelitian yang tergabung dalam RPPI 13 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Judul-judul penelitian RPPI 13

No Luaran, judul, (institusi, pelaksana)Tahun

2015 2016 2017 2018 2019Luaran 1: Tipologi dan model resolusi konflik ketimpangan akses SDH

1 Resolusi konflik tenurial di Taman Nasional Meru Betiri, Jember(BP2TPDAS Solo: Yudi L. dkk.)

2 Potensi dan resolusi konflik kawasan hutan(P3SEKPI: Sylviani dkk.)

3 Potensi dan penguatan tata kelola lokal kawasan hutan terkonversi pertanian(BP2LHK Palembang: Bondan Winarno dkk.)

4 Konflik kebijakan pengelolaan KHDTK di Kalimantan Timur(BB Samarinda: Tien Wahyuni dkk.)

Page 33: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201916

No Luaran, judul, (institusi, pelaksana)Tahun

2015 2016 2017 2018 20195 Konflik pengelolaan KHDTK di NTT

(BP2LHK Kupang: S. Agung S. Raharjo dkk.)6 Resolusi konflik dan pemberdayaan masyarakat sekitar

hutan di KHDTK Mengkedek(BP2LHK Makassar: Abd. Kadir W. dkk.)

7 Upaya penanganan konflik tenurial di KPHP Model Poigar melalui pengembangan kemitraan(BP2LHK Manado: Arif Iriawan dkk.)

Luaran 2: Sosek masyarakat dan model pemberdayaan masyarakat8 Model pengelolaan KPH berbasis masyarakat adat di

Papua (BP2LHK Manokwari: Abdullah Tuharea, Iga Nurapriyanto, Susan S.)

9 Pencegahan kebakaran hutan dan lahan: perspektif pemanfaatan oleh komunitas lokal di Sumatera Selatan (BP2LHK Palembang: Mamat Rahmat, dkk.)

10 Ketersediaan dan manfaat perhutanan sosial terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, obat, dan energi bagi masyarakat(P3SEKPI: Setiasih Irawanti dkk.)

11 Kajian pendekatan lanskap dalam implementasi perhutanan sosial lingkup DAS(P3SEKPI: Donny Wicaksono)

12 Diversifikasi produk spesies kunci dalam pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan(BP2LHK Kupang: Gerson Njurumana dkk.)

13 Studi pengembangan model kemitraan kehutanan di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau(BB Samarinda: Catur Budi Wiati dkk.)

14 Rasionalitas persyaratan hutan adat dalam mendukung legalitas hutan(P3SEKPI: Surati dkk.)

15 Pembaruan model pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi(P3SEKPI: Sulistya Ekawati dkk.)

16 Efektivitas kelembagaan hutan tanaman rakyat: upa-ya mendukung akselerasi perhutanan sosial(P3SEKPI: Iis Alviya dkk.)

17 Model pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa untuk menjamin keberlanjutan fungsi lindung di hulu DAS Musi(BP2LHK Palembang: Edwin Martin dkk.)

18 Pemberdayaan masyarakat untuk mendukung ekowisata TWA Manipo, NTT(BP2LHK Kupang: Budiyanto Dwi Prasetyo dkk.)

Luaran 3: Rekomendasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan19 Membedah kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar

hutan(P3SEKPI: Sulistya Ekawati dkk.)

Tabel 1 Judul-judul penelitian RPPI 13 (lanjutan)

Page 34: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

17II METODE SINTESIS

Lokasi PenelitianKegiatan penelitian dilaksanakan di lokasi yang sesuai dengan wilayah sebarannya seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Lokasi penelitian RPPI 13No Judul Lokasi1 Kajian potensi dan resolusi konflik kawasan hutan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur-

Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Prov. Jambi- Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung- Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah-

2 Kajian ketersediaan dan manfaat perhutanan sosial (PS) terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, obat, dan energi bagi masyarakat

Kabupaten Tanggamus Lampung- KPH Banyumas Timur (Jateng)- Kabupaten Sukabumi (Jabar)-

3 Kajian pendekatan lanskap dalam implementasi perhutanan sosial lingkup DAS

Kabupaten Lampung Barat (Liwa), Tanggamus, Lampung

4 Studi pengembangan model kemitraan kehu-tanan di KHDTK Labanan Kabupaten Berau

KHDTK Labanan, Kaltim

5 Potensi dan penguatan tata kelola lokal kawasan hutan terkonversi pertanian

KHDTK Subanjeriji, Sumsel

6 Resolusi konflik tenurial di Taman Nasional Meru Betiri, Jember

TN Merubetiri, Jatim

7 Konflik kebijakan pengelolaan KHDTK di Kalimantan Timur

KHDTK Muara Keli, Kaltim

8 Konflik pengelolaan KHDTK di NTT KHDTK Hambala, NTT9 Resolusi konflik dan pemberdayaan masyara-kat sekitar

hutan di KHDTK MengkedekKHDTK Mengkendek, Kabupaten Toraja, Sulsel

10 Model pengelolaan KPH berbasis masyarakat adat di Papua

KPHL Model Remu, KPHP Sorong Selatan, Sorong, Papua

11 Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di KPHP Model Poigar

KPHP Poigar, Gorontalo

12 Pencegahan kebakaran hutan dan lahan: perspektif pemanfaatan oleh komunitas lokal di Sumatera Selatan

Kabupaten OKI, Sumsel

13 Diversifikasi produk spesies kunci dalam pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan

Kabupaten Soe, NTT

14 Membedah kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

Jambi- Jawa Barat-

15 Rasionalitas persyaratan hutan adat dalam mendukung legalitas hutan

Kabupaten Lebak, Banten- Kalteng-

16 Model pembaruan kebijakan pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi

TN Bali Barat- TN Ujung Kulon-

17 Pemberdayaan masyarakat untuk mendukung ekowisata TWA Manipo, NTT

TWA Manipo, NTT

18 Efektivitas kelembagaan hutan tanaman rakyat: upaya mendukung akselerasi perhutanan sosial

Jambi- Sulawesi Selatan-

19 Model pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa untuk menjamin keberlanjutan fungsi lindung di hulu DAS Musi

Kabupaten Muara Enim, KPH Semendo

Page 35: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201918

Analisis Sintesis PenelitianSecara etimologis, sintesis berasal dari bahasa Yunani syntithenai (syn- + tithenai) yang berarti ‘meletakkan’ atau ‘menempatkan’ (Meriam-Webster Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam sumber yang sama, entri sintesis diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Depdikbud (2003), sintesis diartikan sebagai “paduan berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras”.

Selain itu, sintesis juga diartikan sebagai kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren, dan penalaran induktif atau kombinasi dialektika dari tesis dan antitesis untuk memperoleh kebenaran yang lebih tinggi. Dalam perspektif lain “sintesis” merupakan kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatakan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh (Nurrochmat, Darusman, & Ekayani, 2014).

Sintesis penelitian adalah proses/kegiatan untuk menyatukan dua atau lebih hasil-hasil penelitian yang ada dipadukan menjadi temuan penelitian yang baru. Kata kerja operasional yang dapat digunakan dalam sintesis adalah mengategorikan, mengombinasikan, menyusun, mengarang, menciptakan, mendesain, menjelaskan, mengubah, mengorganisasi, merencanakan, menyusun kembali, menghubungkan, merevisi, menyimpulkan, menceritakan, menuliskan, mengatur (Thahir, 1995).

Metode hasil sintesis merupakan agregasi dari hasil-hasil penelitian yang dianggap memiliki nilai informasi dan implikasi penting sesuai dengan tujuan dan sasaran RPPI. Metode yang digunakan dalam sintesis adalah meta-etnography yang memiliki karakteristik: data umumnya bersifat data kualitatif, berdasarkan interpretasi dan berdasarkan jumlah studi yang kecil (Weed, 2005). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Langkah 1: Framing pertanyaan penelitian

Penentuan masalah yang akan di-review harus dituangkan dalam bentuk pertanyaan yang jelas, tidak ambigu, dan terstruktur sebelum pekerjaan systematical review dimulai. Pertanyaan yang akan dijawab dalam sintesis ini adalah:

Bagaimana tipologi dan model resolusi konflik sumber daya hutan?1.

Bagaimana menentukan model pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan 2. kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan?

Apa pembaruan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dapat diberikan?3.

Page 36: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

19II METODE SINTESIS

Langkah 2: Mengidentifikasi pustaka yang relevan

Pustaka yang di-review berasal dari hasil-hasil penelitian di bawah RPI 13 ditambah dengan hasil-hasil penelitian lain yang relevan. Hasil penelitian lain yang bukan RPPI 13 dipilih berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Alasan memasukkan dan mengeluarkan pustaka untuk di-review juga harus jelas.

Langkah 3: Menilai kualitas penelitian

Penilaian kualitas pustaka sangat relevan dilakukan pada setiap langkah review. Beberapa hal yang digunakan untuk menilai kualitas adalah menjawab semua tujuan yang tertulis dalam tulisan tersebut, up to date (berdasarkan waktu dan isu terkini), data dan referensi yang digunakan mencukupi. Kualitas pustaka yang dipilih harus dianalisis secara kritis.

Langkah 4: Meringkas temuan

Setiap pustaka diringkas untuk memperoleh temuan-temuan penting dan saran. Ringkasan tersebut ditabulasi dan dikelompokkan berdasarkan karakteristik pustaka. Selain itu, juga digali perbedaan antar pustaka dan menggabungkan temuan-temuan sejenis.

Langkah 5: Menafsirkan temuan

Temuan-temuan yang ada harus digunakan untuk menghasilkan kesimpulan. Setiap rekomendasi harus diuji dengan mengacu pada kekuatan dan kelemahan temuan-temuan serta data dan informasi yang ada. Temuan-temuan yang ada dibuat matrik dalam bentuk tabel, grafik atau rata-rata untuk diperbandingkan dan dilihat trend-nya. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif.

Page 37: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 38: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Luaran 1: Database Tipologi dan Resolusi Konflik Sumber Daya HutanSebanyak 75% kawasan hutan di Asia diwarnai konflik pengelolaan. Burley et al. (2001) bahkan menyatakan bahwa “the culture of forestry has become a culture of conflict”, budaya kehutanan telah berubah menjadi budaya konflik. Upaya resolusi konflik menjadi sebuah keniscayaan dalam pengelolaan hutan pada era sekarang.

Menurut Larson (2013), tenurial lahan hutan berkenaan dengan siapa yang memiliki lahan hutan dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan perihal sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan siapa yang diizinkan untuk menggunakan sumber daya apa, dengan cara bagaimana, selama berapa lama, dengan syarat apa, siapa yang berhak mengalihkan kepada pihak lain, dan bagaimana caranya. Kegiatan ekonomi dengan memberikan porsi kepada pemanfaatan sumber daya alam yang tidak diikuti dengan penataan yang baik, melahirkan praktik sistem penguasaan lahan yang semakin tidak jelas dan menjadi ruang konflik pemanfaatan (Muhdar & Nasir, 2012).

Konflik Sumber Daya Alam (SDA) atau agraria di Indonesia memperlihatkan trend peningkatan yang masif dalam beberapa tahun belakangan ini. Tirto (2019) mencatat ada 555 kasus per tahun, luasnya mencapai 627.000 hektare tanah, dan berdampak pada lebih dari 106.000 KK di seluruh Indonesia. Kon-flik agraria tertinggi terjadi di perkebunan sebanyak 306 kasus dengan luasan wilayah konflik lebih dari 341.000 hektare dan berdampak pada 52.000 KK.

Ada kecenderungan peningkatan kasus konflik sumber daya hutan di Indonesia sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pulau dengan jumlah kasus konflik tertinggi berturut-turut adalah pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Sulawesi. Dari 316 kasus yang dilaporkan ke Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (Direktorat PKTHA), 68,35% (216 kasus) pada tahap desk study, 5% (16 kasus) pada tahap assessment, 5% (15 kasus) pra mediasi, 9% (30 kasus) tahap mediasi, 12% (39 kasus) penandatanganan MoU, dan 82 kasus dialihkan. Dialihkan di sini dapat berarti datanya perlu dilengkapi atau dikembalikan

SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIFIII

Page 39: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201922

pada direktorat teknis terkait atau masih memerlukan pengecekan lokasi. Sebagian besar konflik yang masuk ke Direktorat PKTHA adalah konflik yang melibatkan perusahaan dan masyarakat yaitu sebanyak 204 kasus (65%). Urutan kedua adalah konflik antara pemerintah dengan masyarakat, tercatat ada 89 kasus (28%). Sisanya adalah konflik antara pemerintah dengan pemerintah, LSM dengan pemerintah, LSM dengan perusahaan, perusahaan dengan pemerintah, perusahaan dengan perusahaan, dan masyarakat dengan masyarakat (Direktorat PKTHA, 2019).

Ada tiga elemen utama penyebab konflik, yaitu: akar konflik (faktor struktural), pemicu konflik, dan akselerator konflik. Akar konflik adalah faktor struktural yang menciptakan sebuah kondisi awal terhadap kemungkinan terjadinya sebuah konflik, seperti perbedaan kepentingan, perbedaan nilai (ketidaksepakatan status lahan, perbedaan tata batas), ketimpangan akses sumber daya hutan (ketidakadilan), kemiskinan, kurangnya penegakan hukum/pembiaran, dan sistem tenurial.

Pemicu konflik adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Pemicu konflik seringkali diidentifikasi sebagai faktor yang muncul tiba-tiba dalam kejadian konflik, seperti penyerobotan lahan, penggusuran, penangkapan pelaku pelanggaran (perambahan, penangkapan satwa liar, penebangan kayu), operasi illegal logging, pembakaran rumah/kantor, dan sebagainya. Faktor yang mempercepat konflik adalah peristiwa yang dapat mempercepat terjadinya konflik atau meluasnya konflik, seperti kebijakan yang diskriminatif (keberpihakan), pelanggaran HAM, isu yang disebarkan provokator, dan sebagainya.

Foto: Sulistya Ekawati

Gambar 8 Pembukaan lahan dalam kawasan hutan oleh masyarakat.

Page 40: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

23III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Dari tulisan-tulisan konflik KHDTK, dapat disarikan penyebab konflik KHDTK adalah:

Status KHDK sebagian masih penunjukan, belum penetapan. Kondisi ini 1. mempengaruhi kepastian hukum KHDTK tersebut.

Tumpang-tindih pemanfaatan lahan untuk kegiatan HTI, perkebunan kelapa 2. sawit, aktivitas tambang, pemanfaatan lahan berupa kebun dan ladang oleh masyarakat.

Klaim bahwa lahan KHDTK merupakan bagian dari lahan hutan adat (KHDTK 3. Mengkendek dan KHDTK Kepau).

Masyarakat merasa tidak pernah mendapatkan informasi terkait perubahan 4. status kawasan (KHDTK) tersebut serta tidak memperoleh manfaat dari perubahan tersebut.

Pembangunan wilayah meningkatkan tekanan terhadap KHDTK, misalnya 5. pembangunan bandara (KHDTK Mengkendek), perkembangan ibu kota Kabupaten Sumba Timur (KHDTK Hambala).

Minimnya kegiatan penelitian di KHDTK karena keterbatasan biaya dan SDM 6. sehingga terkesan sebagai lokasi tak bertuan, padahal KHDTK bisa dijadikan lokasi pengembangan sebelum teknologi tersebut dilepas ke masyarakat (Subarudi, Ekawati, & Sumirat, 2019).

Kekosongan pengelolaan hutan pasca Izin Pengelolaan Hutan untuk Hutan 7. Tanaman Industri (IUPH-HTI) berakhir yang menimbulan kekosongan pengelolaan sehingga memicu perambahan. Setelah kondisinya penuh konflik, baru diserahkan untuk dikelola sebagai KHDTK.

Pihak yang berkonflik di KHDTK sangat beragam, mulai dari pengelola KHDTK (UPT BLI) dengan masyarakat, konflik masyarakat dengan masyarakat, konflik antar desa, konflik antar pemegang izin, konflik masyarakat dengan pemegang izin, konflik antar pemda (Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten), dan konflik pengelola KHDTK dengan tahura (KHDTK Carita).

Sebagian konflik di hutan konservasi disebabkan oleh perubahan fungsi hutan dari hutan lindung atau hutan produksi menjadi hutan konservasi (taman nasional) yang mengurangi akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya hutan (SDH). Ketika kawasan tersebut berstatus sebagai hutan lindung dan hutan produksi, masyarakat boleh magersari di dalam kawasan hutan tersebut. Setelah menjadi taman nasional akses masyarakat terhadap hutan menjadi semakin terbatas. Penetapan kawasan hutan secara sepihak menyebabkan kondisi tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada hutan. Peraturan

Page 41: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201924

yang ada mengabaikan eksistensi dan kebutuhan masyarakat lokal. Terobosan kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengakomodir situasi dan kebutuhan masyarakat.

Ada beberapa modus masyarakat menguasai lahan di kawasan hutan, yaitu: 1) sistem membuka hutan bekas penjarahan dengan cara pengkaplingan sepihak secara kelompok; 2) sistem klaim lahan berdasarkan surat wasiat, surat perintah, sejarah/warisan; 3) sistem jual-beli lahan di bawah tangan; 4) sistem bagi hasil/sewa; 5) pembangunan infrastruktur/fasilitas sosial dan keagamaan; dan 5) pembujukan perubahan zonasi di taman nasional.

Secara umum, ada dua tipologi konflik di kawasan hutan, yaitu konflik penguasaan lahan dan konflik pemanfaatan lahan. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengakui kawasan hutan sebagai lahan miliknya atau peninggalan nenek moyangnya sehingga disebut konflik penguasaan lahan. Konflik penguasaan lahan ditandai dengan adanya lahan-lahan yang hanya sekedar dikapling tanpa disertai pengolahan secara intensif. Kelompok kedua adalah masyarakat tidak mengklaim atas lahan yang mereka garap tetapi minta diberi hak untuk mengelola lahan tersebut. Tipe ini disebut sebagai konflik pemanfaatan lahan. Status lahan (hutan negara atau bukan) tidaklah begitu penting selama mereka dapat menggarap lahan dan hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tabel 3 Faktor penyebab, aktor, dan resolusi konflik di KHDTKNo KHDTK Faktor Aktor Resolusi konflik1 Hambala Berbedaan sistem -

nilai/ persepsiSejarah penguasaan - lahan

Masyarakat, Pemda, LSM, PLN, Polsek, Dinas Kelautan dan Perikanan, BP2LHK Kupang

Pengembangan ekowisata (rest area)

2 Mengkedek Perbedaan - kepentinganSejarah penguasaan - lahan oleh nenek moyang

Masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja (sekarang Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH Saddang I), Balai Gakum, Brimob, Pemda dan BP2LHK Makasar

Awalnya pendekatan penegakan hukum, kemudian dilakukan mediasi dalam wadah kemitraan kehutanan

3 Parung Panjang Sejarah pengelolaan - lahan, dahulu penggarap lahan PerhutaniPerbedaaan - kepentingan

Masyarakat, BKPH Parung Panjang (Perum Perhutani), Dishut Bogor, Pemerintah Desa, BP2TPTH

KTH Guna Bakti dan KTH Harapan Sejahtera dalam proses pengajuan skema PS (kemitraan)

Page 42: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

25III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Tabel 3 Faktor penyebab, aktor, dan resolusi konflik di KHDTK (lanjutan)No KHDTK Faktor Aktor Resolusi konflik4 Sebulu Tumpang-tindih -

pemanfaatan lahan (HTI, perkebunan kelapa sawit, tambang, ladang masyarakat)Kepastian hukum - dari KHDTK Sebulu masih pada tahap penunjukan Kurang sosialisasi saat - pengukuran kawasan oleh BPKH

PT Kintandin, PT Tanito Harum, PT Kutai Timber Indoensia, KPH Santan, PT Sumbodo (3 bulan), PT Pajar Bumi Sakti, PT Kaltimex Jaya Group, Sumitomo Forestry Co. Ltd, The University of Tokyo dan Tsukuba Research Institute, PT Surya Hutani Jaya, PT Malaysia Sawit Khatulistiwa, BPKH Wilayah IV Samarinda, KPH Santan, Dishut Kaltim dan Kukar, Dinas Pertambangan Kaltim, Bapedalda Kukar, dan masyarakat

Pendekatan kelembagaan (gakum, membangun komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak lain/ collaborative management) dan pemberdayaan (pengembangan Kemitraan Kehutanan)

5 Suban-jeriji Kekosongan pengelola - kawasanKurangnya penegakan - hukumKegagalan - pembangunan Pusat Perlebahan Sumatera Selatan yang terlanjur membabat hutan

Masyarakat (lokal dan pendatang), PT Musi Hutan Persada (MHP), PT Inhutani, pemerintah desa, pemerintah kecamatan, makelar, LSM

Pengelolaan kolaboratif untuk penyusunan rencana kemitraan pengelolaan KHDTK Subanjeriji

6 HPP Barat Muara Kaeli

Tumpang-tindih lahan VICO, Gubernur Kaltim, perusahaan sawit (PT Tri Tunggal Sentra Buana, PT Mitra Bangga Utama), KPHP Delta Mahakam dan Pusat Informasi Mangrove, BBP2 LHK Dipterocar-pacea, masyara-kat, Pertamina Hulu Sang Sanga (PHSS), Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, BKSDA, BPKH Kaltim, BP2HP Kaltim, Dinas Perikanan dan kelautan Kaltim dan Kukar, Dishut Kaltim dan Kukar, SKK Migas, Bapedalda Kukar

Pendekatan kelembagaan (legalitas kawasan, collaborative mangement, penegakan hukum) dan pemberdayaan (kemitraan kehutanan)

Page 43: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201926

No KHDTK Faktor Aktor Resolusi konflik7 Haurbentes Perbedaan persepsi-

Konflik kepentingan- Peralihan pengelola - tidak diikuti dengan pelaksanaan rencana pengelolaan KHDTK

Masyarakat, Perhutani, Puslibang Hutan

Memberikan insentif untuk keberhasilan tumbuh tanaman; pembagian zonasi: zona rehabilitasi dan zona penyangga untuk mengakomodir kepentingan lahan garapan masyarakat dengan pola agroforestry, zona arboretum dan zona hutan tanaman disterilkan dari masyarakat

8 Labanan Pergeseran lahan (perambahan, illegal logging) karena dampak kerusakan perusahaan tambang

PT HSLL, PT Berau Coal, PT Rimba Anugerah Kaltim, Gakum KLHK, BKSDA Kaltim, Dishut Kab. Berau, PT Inhutani I, BPDAS–HL Mahakam Berau, Pusat Perlindungan Orangutan (Center for Orangutan Protection/COP), BKSDA Kaltim, Polres Berau, Dishut Kab. Berau (KPHP Berau Barat), Balai Gakum wilayah Kalimantan

Penegakan hukum dan kemitraan kehutanan

9 Carita Minimnya lahan - garapanKlaim/pengakuan - sepihak terutama untuk wilayah-wilayah obyek wisata

Perum Perhutani, Pemda Pandeglang, Dishut Provinsi Banten (tahura), masyarakat

Pembentukan pokja penyelesaian konflik; konflik di antara para penggarap diselesaikan dengan mediasi dari tokoh masyarakat/ pamong desa

Sumber: Ekawati, 2019.

Konflik telah ada sejak lama dan bersifat laten. Upaya penyelesaian telah beberapa kali dilakukan, seperti dialog, peneguran, hingga penertiban yang melibatkan aparat keamanan. Upaya tersebut kadang berhenti di tengah jalan, tidak tuntas, tidak berkesinambungan serta kurang didukung oleh perencanaan yang matang. Beberapa KHDTK melakukan tindakan penegakan hukum dengan operasi gabungan

Tabel 3 Faktor penyebab, aktor, dan resolusi konflik di KHDTK (lanjutan)

Page 44: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

27III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) KLHK. Operasi ini justru menyulut kemarahan rakyat dan terkesan arogan karena membawa senjata api. Mediasi untuk menemukan resolusi konflik juga telah dilakukan melalui pembuatan zonasi KHDTK, pembentukan Pokja KHDTK, kemitraan antara pengelola KHDTK dengan masyarakat, dan pengelolaan kolaboratif untuk stakeholder yang beragam.

Pengelola hutan (KHDTK, KPH maupun pemegang izin) harus melakukan upaya mediasi dengan melibatkan pihak ketiga yang independent. Mediasi dapat dipahami sebagai suatu proses (formal atau informal) di mana pihak ketiga (mediator) memfasilitasi manajemen konflik tanpa memiliki wewenang untuk memberikan solusi (Dhiaulhaq et al., 2014). Baru-baru ini telah dilakukan pendekatan yang lebih transformasional dalam mediasi, dikenal sebagai mediasi transformatif. KLHK sebenarnya tengah melakukan proses ini melalui program perhutanan sosial. Pendekatan mediasi transformatif bertujuan tidak hanya untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga untuk mempromosikan kondisi yang menciptakan hubungan kerja sama jangka panjang dan membuat interaksi antar pihak bergerak ke keadaan yang lebih positif dan konstruktif. Peran mediator adalah membantu pihak-pihak yang bertikai dengan memfasilitasi interaksi yang positif bergeser ke arah pemberdayaan dan pengakuan, mendukung kapasitas pihak dalam melakukan komunikasi perspektif mereka, membuat keputusan serta meningkatkan hubungan jangka panjang (Bush & Folger, 2005).

Augsberger (1992) dalam Dhiaulhaq et al. (2014) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga hasil yang menunjukkan bahwa konflik sedang diubah:

Transformasi sikap, ada perubahan pada persepsi para pihak yang bertikai 1. berdasarkan pada komitmen, niat baik, dan saling menghormati.

Transformasi perilaku para pihak. Para pihak akan fokus pada kolaborasi 2. perilaku, ini termasuk dalam komunikasi, berkomitmen untuk tindakan yang saling menguntungkan.

Transformasi konflik, para pihak berusaha menghapus ketidakcocokan untuk 3. mengejar keuntungan bersama.

Ada dua pilihan dalam menangani konflik tenurial di kawasan hutan. Pertama, peningkatan sumber ekonomi alternatif di luar kawasan hutan sehingga dapat mengurangi tekanan dan ketergantungan pada hutan. Kedua, menjalin ikatan manfaat hutan bagi masyarakat sehingga mereka berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan.

Page 45: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201928

Resolusi konflik di hutan lindung adalah melalui pengembangan jenis-jenis tanaman kehidupan untuk diambil manfaat hasil hutan bukan kayu. Resolusi konflik di hutan produksi dilakukan dengan pemilihan jenis-jenis tanaman yang diminati masyarakat dan memiliki prospek pasar yang menjanjikan. Resolusi konflik di hutan konservasi diarahkan pada wisata alam, penangkaran satwa/flora dan usaha tani organik pada zona khusus dan zona tradisional.

Luaran 2: Database Sosial Ekonomi dan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan1. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar HutanHutan juga merupakan tempat tinggal bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Hasil Survei Kehutanan (2014) menyebutkan, masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan berjumlah 32.447.851 jiwa. Jumlah desa di dalam hutan sekitar 2.037 desa dan di sekitar hutan sebesar 19.247 desa (BPS, 2015). Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adalah bagian dari kawasan hutan sehingga pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Pertumbuhan penduduk terus meningkat sedangkan ketersediaan lahan tetap. Masyarakat sekitar hutan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap hutan untuk memenuhi kehidupannya. Pertambahan penduduk yang tinggal di sekitar hutan akan meningkatkan kecenderungan perambahan hutan, illegal logging, perburuan satwa, dan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lain (mengumpulan HHBK). Salah satu mata pencaharian yang mudah diperoleh oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah bercocok tanam dalam kawasan hutan. Tingginya tekanan penduduk terhadap hutan, jika tidak dikendalikan, akan menyebabkan kerusakan hutan. Pada Gambar 10 terlihat bahwa hutan di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mempunyai tekanan yang besar.

Page 46: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

29III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Sumber: BPS, 2015

Gambar 9 Posisi desa terhadap hutan.

Sumber: BPS, 2015

Gambar 10 Perbandingan luas hutan dan jumlah penduduk sekitar kawasan hutan.

Secara garis besar ada tiga kelompok masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yaitu:

Masyarakat adat, adalah sekelompok masyarakat asli yang secara sosial, 1. ekonomi, dan budaya masih mengacu pada pranata hukum adat.

Masyarakat lokal, adalah sekelompok masyarakat asli yang karena proses 2. akulturasi dan adaptasi budaya tidak lagi menjadi pranata adat sebagai pedoman hidup.

Page 47: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201930

Masyarakat pendatang, adalah sekelompok masyarakat yang datang ke wilayah 3. tersebut karena berbagai alasan (ekonomi, sosial, dan politik).

Menurut Safitri (2012), masyarakat di dalam dan sekitar hutan terbagi dalam dua tipologi. Pertama adalah kelompok ‘komunitas di lingkungan hutan’ (forest communities). Kedua adalah pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers atau forest users). Forest communities merupakan kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan, dalam waktu yang lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran yang dibangun bersama (shared collective awareness) sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah masyarakat hukum adat dan komunitas lain di lingkungan hutan yang telah menunjukkan kemampuannya membangun komunitas sosial. Pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers/users) adalah mereka yang secara individual berada di dalam dan sekitar hutan dan memanfaatkan hutan pada periode tertentu tanpa membangun norma bersama sebagai satu kelompok masyarakat. Motivasi utama kelompok ini adalah kepentingan ekonomi.

Menurut Ekawati (2019), ada lima (5) tipologi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, yaitu:

Masyarakat asli yang sejak awal hidup di dalam atau sekitar hutan sebelum 1. kawasan tersebut ditunjuk dan ditetapkan menjadi hutan. Mereka masih memelihara tatanan adatnya, hidup secara subsisten dan selaras dengan alam. Termasuk kelompok ini adalah masyarakat adat.

Masyarakat asli yang sejak awal hidup di dalam atau sekitar hutan sebelum 2. kawasan tersebut ditunjuk dan ditetapkan menjadi hutan, tetapi sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan perubahan jaman dan tidak menganut pranata adat dalam kehidupannya. Masyarakat jenis ini sudah mengenal alat-alat modern untuk menunjang kehidupannya.

Masyarakat pendatang yang bermigrasi untuk menetap di kawasan dan 3. bercocok tanam di hutan untuk tujuan ekonomi, sosial, dan politik.

Masyarakat pendatang yang tidak bertempat tinggal tetapi bercocok tanam 4. di dalam kawasan hutan untuk memperluas usaha taninya. Biasanya mereka masih bertempat tinggal di tempat semula.

Masyarakat pendatang yang tidak bertempat tinggal di dalam dan sekitar 5. kawasan hutan tetapi mengklaim kawasan tersebut sebagai lahan miliknya. Kelompok ini tidak serius mengelola kawasan karena hanya ingin mendapatkan

Page 48: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

31III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

pengakuan dari masyarakat sekitarnya bahwa lahan itu adalah wilayah kekuasaanya. Termasuk dalam kelompok masyarakat ini adalah orang-orang berpengaruh di wilayah tersebut.

Berbagai tipologi masyarakat tersebut memiliki perbedaan karakteristik dalam mengelola lahan hutan sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda. Tipologi kelompok pertama cocok untuk diberikan skema hutan adat. Kelompok kedua, ketiga, dan keempat dapat dipertimbangkan untuk masuk ke skema HKm, HD, HTR, dan Kemitraan walaupun skema PS yang ada menyebutkan hanya masyarakat setempat yang dapat dikabulkan untuk diberikan izin mengelola hutan. Kelompok kelima harus ditindak tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan karena mereka sebenarnya lapar lahan.

Sebagian besar (57%) masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian, sebanyak 38% bergerak di sektor lainnya (pertambangan, industri, perdagangan, kerajinan, dan lain-lain), sedangkan 5% bergerak di sektor kehutanan.

Sumber: BPS, 2015

Gambar 11 Mata pencaharian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Ketergantungan masyarakat akan hutan dapat terlihat dari pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil Survei Kehutanan (SKH-2014) dari 8,64 juta rumah tangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan, sebesar 20,39% menguasai kawasan hutan. Dari angka tersebut, 60,29% mendapatkan izin dan sisanya tidak mendapatkan izin. Pemanfaatan kawasan hutan cukup beragam, di antaranya untuk bercocok tanam, padang penggembalaan, dan penggunaan lainnya. Sebanyak 37,35% masyarakat memanfaatkan/memungut hasil hutan dan hanya 0,17% yang melakukan pemanfaatan wisata alam.

Page 49: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201932

Sumber: BPS, 2015

Gambar 12 Kegiatan pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar hutan.

Secara umum masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Sebagian masyarakat secara historis memiliki ikatan sejarah pengelolaan lahan yang cukup lama sehingga memiliki perasaan memiliki wilayah lahan garapannya. Bahkan sebagian masyarakat sudah terlebih dahulu mengelola wilayah tersebut, kemudian secara sepihak negara menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan negara.

Pandangan “orang luar” terhadap orang miskin sebagai manusia boros, malas, fatalistik, dungu, bodoh sangat menyakitkan dan sebagian besar meleset. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang miskin itu pekerja keras, cerdik, dan ulet. Demikian juga halnya dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, mereka harus memiliki sifat-sifat pekerja keras, ulet, dan cerdik untuk dapat bertahan hidup dan melepaskan hidup dari belenggu rantai kemiskinan. Menurut Chambers (1985), masyarakat perdesaan yang miskin mempunyai tipologi sebagai berikut:

Rumah tangga miskin. Kelompok ini tidak mempunyai sedikitpun kekayaan, 1. tempat tinggalnya terbuat dari bambu, tanah liat, jerami, alang-alang, dilengkapi dengan sedikit perabot rumah tangga, ranjangnya tikar, dan kondisi sanitasinya sangat minim.

Rumah tangga yang lemah jasmani. Kelompok ini mempunyai tanggungan 2. keluarga yang sangat banyak sedangkan pencari nafkahnya seorang kepala rumah tangga saja. Selain itu, anggota keluarganya ada yang sakit kronis, menahun, dan tua yang tidak produktif sama sekali.

Rumah tangga yang tersisih dari kehidupan. Termasuk dalam kelompok ini 3. adalah rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar, terpencil, di pinggir hutan, terkadang buta huruf.

Page 50: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

33III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Rumah tangga yang rentan, yaitu rumah tangga yang tidak memiliki penyangga 4. untuk memenuhi kebutuhan yang tiba-tiba, misalnya keluarganya jatuh sakit, kena musibah, gagal panen, kecelakaan, kematian, dan lain sebagainya.

Rumah tangga tidak berdaya. Dalam kelompok ini, rumah tangga rentan 5. mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diperas, diintimidasi, dan tindakan kriminal lainnya.

Masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan bisa jadi masuk ke dalam lima tipe tersebut tetapi sebagian besar masuk pada tipe pertama dan ketiga karena secara geografis masyarakat terebut terisolasi dengan aksesibilitas yang jauh dari fasilitas pasar dan pendidikan. Dalam buku “Menghadapi Tantangan Kehidupan”, Hirschman (1970) menyatakan kaum miskin mempunyai tiga strategi, yaitu:

Menyingkir adalah strategi yang dilakukan mereka melalui migrasi atau dengan 1. menyekolahkan anak dengan harapan kelak akan memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak di tempat lain.

Bersuara, diwujudkan melalui pengorganisasian kekuatan, protes atau unjuk 2. perasaan.

Menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada.3.

Masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan, karena keterbatasannya, sebagian memilih strategi ketiga dengan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Akibatnya mereka terkungkung dalam kemiskinan.

2. Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar dan di Dalam Hutan

Sudah hampir 35 tahun program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dilaksanakan. Banyak peraturan dikeluarkan, dicabut, dan direvisi, namun program pemberdayaan masyarakat memerlukan kerja lebih keras lagi agar masyarakat sejahtera dan hutan lestari segera terwujud. Model pemberdayaan yang dibangun harus sesuai dengan karakteristik biofisik dan sosial-ekonomi setempat serta menjawab permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Per-masalahan utama adalah tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Solusi yang harus dipilih ada dua, yaitu:

Opsi pertama, memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat agar hutan 1. menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dengan memberikan batas-batas pengelolaan sesuai fungsi hutan yang ada.

Page 51: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201934

Opsi kedua, memberikan lapangan pekerjaan/mata pencaharian lain sehingga 2. masyarakat mempunyai sumber pendapatan lain yang berdampak pada berkurangnya intensitas pengelolaan kawasan. Opsi kedua harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: aksesibilitas mudah, sudah tersedia pasar, dan masyarakat mempunyai kapasitas untuk menjalankan mata pencaharian barunya.

Pemberdayaan masyarakat sekitar dan di dalam hutan diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan sumber pendapatan. Produksi hanya sekedar sarana, bukan tujuan. Tujuan akhirnya yaitu kehidupan manusia itu sendiri. Selama ini penggiat pemberdayaan masyarakat merasa puas dengan peningkatan produktivitas lahan yang dikelola petani, padahal, sebagai contoh, keuntungan dari melimpahnya panen jagung dan buah-buahan tidak dinikmati oleh masyarakat karena harganya jatuh. Sebenarnya yang harus dilakukan oleh penggiat pemberdayaan adalah memetakan komoditi yang ada untuk dicarikan lokasi industri pengolahan pasca panen dan pemasarannya atau melatih masyarakat dan menyiapkan peralatan sederhana untuk meningkatkan nilai jual produk-produk mereka.

Foto: Sulistya Ekawati

Gambar 13 Budidaya madu di desa penyangga.

Page 52: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

35III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Foto: Sulistya Ekawati

Gambar 14 Agroforestry jabon putih dengan lengkuas di KHDTK.

Tabel 4 Program pemberdayaan masyarakat per fungsi kawasan hutanFungsi hutan Program pemberdayaan yang dilakukan

Hutan Lindung Hutan Kemasyarakatan- Hutan Desa- Kemitraan- Hutan Adat- Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (khusus di wilayah Perum - Perhutani)

Hutan Produksi Hutan Kemasyarakatan- Hutan Tanaman Rakyat- Hutan Desa- Kemitraan- Hutan Adat- Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (khusus di wilayah Perum - Perhutani)

Hutan Konservasi Model Desa Konservasi- Kemitraan Konservasi- Hutan Kemasyarakatan (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional)- Hutan Adat-

Sumber: PP No. 6 Tahun 2007, Permen No. P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016, P.32/Menlhk-Setjen/2015.

Page 53: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201936

Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan bukan pemberdayaan ekonomi semata tetapi juga pemberdayaan sosial dan sekaligus pemberdayaan lingkungan. Dalam praktiknya, motif ekonomi mempunyai banyak benturan dengan motif lingkungan sehingga tugas yang diemban KLHK menjadi lebih berat dibanding kegiatan pemberdayaan pada umumnya. Pemberdayaan ekonomi adalah pendekatan kepada masyarakat kelas bawah untuk mampu beraktivitas dalam bidang ekonomi dan memiliki penghasilan yang lebih baik sehingga mampu menanggung dampak negatif dari pertumbuhan pembangunan yang terjadi. Pemberdayaan sosial merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan menyadarkan posisi dan peran seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial dalam komunitasnya. Permberdayaan lingkungan adalah upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menjalin hubungan baik dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Ada lima skema perhutanan sosial yang disediakan pemerintah. Tujuan besar dari skema tersebut adalah untuk pemberdayaan masyarakat sedangkan tujuan spesifiknya sedikit berbeda, tergantung sasarannya. Seringkali program perhutanan sosial yang dipilih masyarakat tidak sesuai dengan kondisi sosek dan biofisik masyarakat setempat. Masyarakat sasaran skema HKm sama dengan skema HTR, padahal seharusnya masyarakat skema HTR adalah petani maju untuk mendukung peningkatan produktivitas kayu oleh masyarakat. Masyarakat harus diberi informasi yang benar terkait karakteristik berbagai skema PS agar dapat memilih program yang tepat. Pilihan jenis tanaman perhutanan sosial harus sesuai aspirasi masyarakat

Foto: Sulistya Ekawati

Gambar 15 Agroforestry jati dan padi gogo pada hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi (kiri); Persemaian jabon di HTR Desa Hajran, Kabupaten Batanghari (kanan).

Page 54: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

37III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

dengan mempertimbangkan penguasaan mereka atas teknik budidaya, pengolahan paskapanen, dan pemasaran hasilnya. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan adalah pemilihan jenis-jenis komersial untuk memastikan pemasaran produk perhutanan sosialnya.

Tabel 5 Berbagai program pemberdayaan masyarakat sekitar hutanNo Program Tujuan Sasaran1 Hutan

KemasyarakatanPemberdayaan masyarakat Kelompok masyarakat/kelompok tani/

koperasi2 Hutan Tanaman

RakyatMeningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan

Koperasi, perorangan (petani hutan), perorangan (pendidikan kehutanan atau bidang ilmu lainnya yang pernah sebagai pendamping atau penyuluh yang pernah bekerja di bidang kehutanan dengan membentuk kelompok atau koperasi bersama masyarakat setempat)

3 Hutan Desa Kesejahteraan desa Lembaga desa (koperasi, BUMDes)4 Kemitraan Pemberdayaan masyarakat Masyarakat di areal konflik, masyarakat

yang tergantung pada hutan, masyarakat di areal tanaman kehidupan di wilayah kerja IUPHHK-HTI

5 Hutan Adat Legalitas pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat

Masyarakat hukum adat

Setelah penetapan areal perhutanan sosial, masyarakat memerlukan pendampingan. Pendamping selama ini hanya melibatkan institusi di sektor kehutanan, yakni berasal dari penyuluh kehutanan PNS, penyuluh kehutanan swadaya masyarakat, penyuluh kehutanan swasta, dan bakti rimbawan. KLHK sudah mengeluarkan 6.078 lokasi perhutanan sosial, baru ada 1.215 orang pendamping (Supriyanto, 2019). Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) menargetkan 1 SK didampingi 1 pendamping tetap. Saat ini tersedia 3.600 tenaga pendamping, masih diperlukan 1.400 orang lagi. KLHK mengaku telah menyampaikan secara terbuka kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga donor, dan masyarakat luas untuk bergabung menjadi pendamping, tetapi harus mempunyai kompetensi penyuluh perhutanan sosial dengan mengikuti in house training selama 20 jam untuk menguasai 7 modul. Akan lebih efektif jika pendampingan diperluas dengan institusi di luar sektor kehutanan sehingga diperlukan pembagian peran pendampingan antara KLHK, pemerintah daerah, kementerian terkait (Kementerian Desa, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Dalam Negeri), dan swasta.

Page 55: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201938

KLHK sudah menyiapkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dalam rangka mempercepat implementasi Program Perhutanan Sosial. PIAPS yang sudah ditetapkan dapat di-review setiap enam bulan sekali. Beberapa kriteria lokasi perhutanan sosial yang dapat dimasukkan dalam PIAPS adalah:

Keberadaan masyarakat setempat yang menggantungkan kehidupannya pada 1. hutan.

Semua fungsi kawasan hutan dapat dialokasikan untuk program Perhutanan 2. Sosial kecuali cagar alam, zona rimba, dan zona inti taman nasional.

Diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut, dan/atau 3. restorasi ekosistem.

Lokasi PIAPS sebaiknya tidak sporadis tetapi berupa hamparan dalam satu 4. kesatuan lanskap sehingga tidak menimbulkan fragmentasi dalam pengelolaan hutan.

Lokasi PIAPS perlu memperhatikan 5. high conservation value forest (HCVF).

Catatan kritis PIAPS disampaikan oleh Tropenbos Indonesia (2018) yang menyatakan bahwa banyak wilayah PIAPS yang masih berhutan namun jauh dari pemukiman dan bukan merupakan lahan kelola masyarakat. Sementara itu banyak wilayah yang telah lama dikelola masyarakat dalam bentuk kebun atau agroforestri justru tidak masuk dalam PIAPS. Menurut Ekawati (2017), lokasi PIAPS sebagian besar di hutan lindung dan hutan produksi terbatas sehingga perlu dipastikan program Perhutanan Sosial yang dipilih dan pemanfaatan hutannya disesuaikan dengan fungsi kawasan.

Beberapa temuan terkait kelima skema perhutanan sosial adalah sebagai berikut:

Salah satu faktor yang menghambat perkembangan pembangunan HTR adalah 1. rendahnya efektivitas kelembagaan di tingkat lokal dan sulitnya akses pendanaan oleh para pelaku HTR. Untuk meningkatkan efektivitas kinerja pembiayaan BLU-KLHK harus ada pendampingan secara langsung kepada peminjam untuk mengawasi pengelolaan dana, mulai dari awal perencanaan sampai dengan proses pemasaran dan menanggung bersama untung dan rugi. Selain itu BLU-P3H harus membangun kerja sama dengan lembaga penjaminan kredit untuk mengurangi risiko kegagalan pengembalian pinjaman dan membangun jejaring dengan lembaga/kementerian lain yang memiliki potensi sebagai sumber pendanaan komplemen bagi BLU-P3H untuk pembangunan HTR.

Pengelola hutan desa belum menjadi insentif terjadinya reforestasi oleh 2. masyarakat. Tantangan utama Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) adalah bagaimana melembagakan peran dan fungsi hutan desa dan keberadaan LPHD

Page 56: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

39III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

dalam kehidupan petani yang telah sejak lama memanfaatkan kawasan hutan. Pelembagaan ini membutuhkan media dan proses. Jika tidak, maka hutan desa hanya akan ada di atas kertas serta tidak ada perbedaan pengelolaan hutan sebelum dan setelah penetapan hutan desa. Konsep hutan desa harus diperjelas sebagai sebuah bentuk desentralisasi pengelolaan hutan oleh lembaga desa. Salah satu media dan proses pelembagaan hutan desa dimulai dengan membangun persemaian yang dikelola oleh LPHD dengan melakukan identifikasi jenis pohon, membangun persemaian, menentukan petani dan lokasi tanam, membangun jaringan, dan dukungan untuk produksi bibit secara kontinu.

Pembangunan hutan kemasyarakatan yang ada sekarang perlu ditingkatkan 3. melalui pendampingan pasca penetapan izin. Pengetahuan dan keterampilan teknis tidak cukup sehingga perlu ada pengolahan produk dan jaringan pemasaran yang membutuhkan penguatan kelembagaan (SDM, sapras, dan pendanaan) serta perencanaan pengelolaan hutan, termasuk jenis tanaman yang dipilih dengan mempertimbangkan jaringan pemasaran.

Hasil pembelajaran kegiatan kemitraan kehutanan di beberapa KHDTK 4. bukan hanya dimaknai sebagai sekedar melibatkan masyarakat dalam proses pengelolaan hutan, namun juga sebagai proses belajar agar masyarakat memahami status lahan yang mereka garap dan belajar berkomitmen memenuhi hak dan tanggung jawab seperti yang tertuang dalam perjanjian kerja sama. Mitra masyarakat berkewajiban melakukan pendampingan teknis, penguatan kelembagaan kelompok, dan pemasaran.

Pola pengelolaan hutan adat pada masyarakat hukum adat ditandai dengan 5. adanya kearifan lokal, nilai historis dan struktur adat yang jelas, identitas budaya, norma adat, pengetahuan dan keterampilan lokal yang sama, batas-batas wilayah adat serta aturan-aturan, dan tata kepengurusan hidup bermasyarakat dalam lingkungan masyarakat hutan adat (MHA). Implementasi di lapangan untuk penetapan hutan adat dengan persyaratan yang telah diatur dalam peraturan akan semakin sulit apabila pola pengelolaan hutan adat berubah. Berubahnya pola pengelolaan sumber daya hutan berdampak pada penurunan proses produksi dan konservasi, sehingga mengurangi hasil pertanian dan koservasi MHA di wilayah adatnya. Hilangnya tempat-tempat untuk kegiatan budaya tradisional, hilangnya sumber kehidupan, semakin langkanya tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan tradisional akan berdampak pada hilangnya kearifan lokal dan menurunnya kesejahteraan MHA.

Page 57: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201940

Pengelolaan perhutanan sosial oleh masyarakat harus mengacu pada fungsi hutan. Hutan lindung dan hutan konservasi mempunyai banyak larangan yang membatasi masyarakat mengelola hutannya, perlu ada insentif untuk menjamin masyarakat taat pada aturan tersebut. Selain itu, pengelolaan hutan konservasi minim informasi (kondisi sosek, interaksi masyarakat dengan hutan, tipologi masyarakat, potensi SDH) dan kurang pendampingan. Peluang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan wisata di hutan konservasi hanya sebatas izin jasa wisata, pembuatan pondok wisata, budidaya, dan wisata tradisional. Model pembaruan kebijakan yang diusulkan adalah dengan memberikan izin wisata alam berbasis masyarakat.

Perhutanan sosial di hutan lindung dan hutan konservasi memiliki dua pilihan utama, yaitu:

Ekowisata adalah salah satu pilihan terbaik yang memastikan aspek ekonomi, 1. sosial, dan ekologi dapat tercapai. Kendati demikian, ekowisata mempunyai prasyarat berupa sapras dan aksesibilitas yang memerlukan campur tangan pemerintah untuk membangunnya.

Pemanfaatan HHBK menjadi peluang usaha yang menjanjikan di hutan lindung. 2. Banyak komoditas ekspor yang dapat dikembangkan dari HHBK di hutan lindung.

Pemberdayaan masyarakat di daerah gambut melalui larangan penggunaan api dalam pembukaan lahan menunjukkan bahwa masyarakat telah berusaha beradaptasi meskipun belum dapat sepenuhnya dilakukan. Ada beberapa macam alternatif mata pencaharian tanpa menggunakan api yang dilakukan masyarakat, antara lain bekarang (mencari ikan), membuat kerajinan tikar purun, dan pembangunan rumah walet. Larangan penyiapan lahan tanpa bakar yang disertai ancaman sanksi hanya menghilangkan atau mengurangi kejadian kebakaran di sekitar areal pertanian/perkebunan warga, namun menghilangkan partisipasi masyarakat dalam pemadaman api di areal lain. Tidak semua lahan dapat diolah tanpa pembakaran. Pengelolaan lahan tanpa bakar dapat dilakukan apabila lahan sudah pernah dibuka, pernah dijadikan lahan budidaya atau bervegetasi semak belukar tipis. Penggunaan api dapat dilakukan dengan pengawasan dari Masyarakat Peduli Api (MPA) maupun Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dan hanya dapat dilaksanakan pada malam hari yaitu setelah pukul 19.00 WIB dengan luas maksimal satu hektare dan telah dibatasi oleh sekat bakar.

Sebagian besar masyarakat mencoba menanam sawit pada wilayah gambut dalam tetapi hasilnya tidak sebanding dengan biayanya. Mereka berpendapat bahwa sawit tidak cocok ditanam di lahan gambut tebal dan pupuk tidak efektif untuk

Page 58: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

41III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

meningkatkan produksi sawit karena air terlalu asam. Sirkulasi air di kebun hanya terjadi pada saat banjir besar yaitu adanya luapan air sungai. Sebagian masyarakat mulai menanami gambut dalam dengan tanaman kayu lokal seperti jelutung, tetapi belum disadap getahnya karena pasarnya belum tersedia sehingga sawit masih menjadi tanaman andalan masyarakat. Masyarakat sadar jika sawit tidak cocok ditanam di lahan gambut tebal, namun tidak ada pilihan tanaman lain. Perlu sosialisasi di level masyarakat atau pembuatan demplot agroforestri tanaman gambut agar dapat dijadikan model dan diadopsi oleh masyarakat (Irawanti et al., 2017).

Menurut Ekawati (2019), model pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

Pemberdayaan masyarakat dengan memberi akses pemanfaatan hutan. Dilihat dari ragam sumber daya hutan yang dimanfaatkan, model pemberdayaan ini dipilah menjadi lima jenis, yaitu:

Model pemberdayaan penangkaran satwa (misalnya penangkaran burung, 1. rusa, ikan arwana, ayam bekisar).

Model pemberdayaan penangkaran flora (contohnya budidaya anggrek dan 2. tanaman obat oleh masyarakat sekitar hutan).

Model pemberdayaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (pemungutan dan 3. budidaya madu, rotan, jernang, bambu, dan sebagainya).

Model pemberdayaan masyarakat ekowisata (contohnya ekowisata di HKm 4. Kalibiru, wisata mangrove di HKm Gempa 01 di Kabupaten Bangka Tengah, Hutan Desa Selat di Bali).

Model pemberdayaan masyarakat jasa air (seperti air minum dalam kemasan di 5. Taman Nasional Gunung Palung).

Pemberdayaan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Model pemberdayaan ini melakukan kegiatan produktif di luar kawasan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tipe ini dapat dipilah menjadi tujuh jenis, yaitu:

Pemberdayaan masyarakat berbasis usahatani, contoh: padi organik, 1. pembibitan tanaman, budidaya jamur.

Pemberdayaan masyarakat berbasis usaha peternakan, contoh: ternak kambing, 2. kerbau, sapi, ayam.

Page 59: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201942

Pemberdayaan masyarakat berbasis usaha perikanan, contoh: budidaya lele, 3. ikan mas, kepiting rawa.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengolahan hasil pertanian, contoh: 4. pembuatan keripik pisang, produk olahan kopi, nuget ikan.

Pemberdayaan masyarakat melalui pembuatan kerajinan tangan dan 5. souvenir, contoh: anyaman, patung kayu, tikar.

Pemberdayaan masyarakat dari jasa wisata, misalnya: pemandu wisata, atraksi 6. budaya, penyewaan prasarana wisata (tenda, tikar, peralatan snorkeling dan sebagainya).

Pemberdayaan masyarakat usaha lainnya, misalnya: membuka toko kelontong, 7. sablon, pembuatan pupuk organik.

Setelah hampir 4,38 juta izin perhutanan sosial diberikan kepada masyarakat, perlu disiapkan mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas untuk memastikan perhutanan sosial berjalan sesuai dengan peraturan. Penyusunan kriteria dan indikator evaluasi perhutanan sosial mengacu pada konsep evaluasi pemberdayaan masyarakat (yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan ekologi).

Foto: Sulistya Ekawati

Gambar 16 Pengolahan madu hutan dari TN Ujung Kulon secara modern oleh Koperasi Hanjuang (kiri); Hasil padi organik desa penyangga TN Ujung Kulon (kanan).

Page 60: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

43III SINTESIS PENELITIAN INTEGRATIF

Luaran 3: Rekomendasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar HutanHasil analisis peraturan perundangan terkait pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi mengindikasikan bahwa peraturan perundangan yang ada sudah mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan konservasi. Namun demikian, peraturan tersebut belum banyak mengarah ke upaya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Tabel 6 Analisis peraturan perundang-undangan yang terkait pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi

No. Peraturan Masyarakat Partisipasi Kesejahteraan Pemberdayaan Konservasi Kelestarian1 UU ( 5 UU) 245 9 41 13 160 302 PP (10 PP) 265 11 19 39 115 233 Permen (24) 572 44 30 83 676 494 Perdirjen (8) 83 1 0 27 91 4

Total 1.165 65 90 162 1.042 106Sumber: Ekawati, 2019.

Ditemukan beberapa gap kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi: belum ada konsep HKm di Hutan Konservasi, belum ada ketegasan Peraturan Presiden 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Selama ini, ada sekitar 259.738 ha usulan perhutanan sosial di lahan gambut, namun demikian hak kelola warga di lahan gambut masih mengambang karena belum ada payung hukum. BLI diamanati oleh Ditjen PSKL untuk menyusun draf peraturan menteri terkait perhutanan sosial di lahan gambut. Setelah melewati proses pembahasan dan harmonisasi Peraturan Menteri LHK No. 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Gambut; Instruksi Presiden No. 5/2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, KLHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut.

Skema perhutanan sosial di lahan gambut ada empat, yaitu HD, HKm, Kemitraan, dan HA. Usulan perhutanan sosial di lahan gambut akan di-overlay dengan peta Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) untuk menentukan bisnis model Perhutanan Sosial di Lahan Gambut. Pada areal gambut dengan fungsi lindung, pilihan bentuk perhutanan sosial adalah pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan non kayu. Pada areal gambut dengan fungsi budidaya, skema pilihan adalah penanaman dengan pola agroforestry menggunakan teknik paludikultur yang sesuai ekologis

Page 61: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201944

gambut. Pemanfaatan kayu hanya diperbolehkan untuk keperluan masyarakat setempat dan tidak diizinkan untuk tujuan komersial (dijual). Peraturan menteri tersebut juga mengatur pendamping sebagai syarat diberikannya izin perhutanan sosial di lahan gambut dan agar masyarakat tak membuka lahan gambut dengan cara membakar.

Dalam pemanfaatan ekosistem gambut untuk perhutanan sosial, setiap orang dilarang: 1) Membuka lahan baru dengan cara land clearing atau clear cutting (tebang habis); 2) Membuat kanal pada bentang lahan ekosistem gambut; 3) Membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering; 4) Membakar lahan gambut dan/atau melakukan pembiaran terjadinya pembakaran; dan 5) Melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan ekosistem gambut.

Page 62: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Kesimpulan Dilihat dari keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan, mereka sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Penetapan kawasan hutan secara sepihak menyebabkan kondisi tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat yang secara historis memiliki ikatan sejarah pengelolaan lahan yang cukup lama. Secara umum penyebab konflik adalah adanya perbedaan sistem nilai, ketidaksetaraan dan ketidakadilan, kemiskinan, ketidaksepakatan status lahan, ketidak-sepakatan tata batas, dan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran.

Ada dua tipologi konflik klaim lahan hutan. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengklaim kawasan hutan sebagai lahan miliknya atau peninggalan nenek moyangnya. Tipe ini dikategorikan sebagai kelompok penguasaan lahan. Konflik penguasaan lahan ditandai dengan adanya lahan-lahan yang hanya sekedar dikapling tanpa disertai pengolahan secara intensif. Kelompok kedua adalah masyarakat yang tidak mengklaim atas lahan yang mereka garap, tetapi minta diizinkan mengelola lahan tersebut. Tipe ini disebut sebagai kelompok pemanfaatan lahan. Status lahan (hutan negara atau bukan) tidaklah begitu penting selama mereka dapat menggarap lahan dan hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hi-dup sehari-hari. Dua kelompok tersebut memerlukan pendekatan yang berbeda. Tipe penguasaan hutan memerlukan penelusuran historis kawasan untuk me-nentukan kebijakan terbaik untuk kedua belah pihak. Apabila secara historis tidak terbukti bahwa mereka berhak menduduki wilayah tersebut sesuai peraturan yang berlaku, opsi-opsi hukum harus tetap ditegakkan. Resolusi konflik untuk kelompok pemanfaatan lahan adalah melalui program perhutanan sosial.

Resolusi konflik dilakukan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat yang disesuaikan dengan karakteristik sosek, permasalahan, dan kebutuhan masyarakat. Permasalahan utama adalah tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Solusi yang harus dipilih ada dua opsi. Opsi pertama memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat agar hutan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat untuk

KESIMPULAN dan REKOMENDASIIV

Page 63: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201946

memenuhi kebutuhannya dengan memberikan batas-batas pengelolaan sesuai fungsi hutan. Opsi kedua adalah memberikan lapangan pekerjaan/mata pencaharian lain di luar kehutanan sehingga masyarakat mempunyai sumber pendapatan lain dan intensitas pengelolaan kawasan hutan menjadi berkurang.

Penetapan SK Perhutanan Sosial harus diikuti dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh tenaga pendamping. Sampai saat ini pendampingan hanya melibatkan internal sektor kehutanan sehingga masih banyak kekurangan tenaga pendamping. Terobosan yang dapat dilakukan adalah berbagi peran pendampingan dengan pemda, lembaga swadaya masyarakat, kementerian terkait, dan swasta. Kelima skema perhutanan sosial memerlukan beberapa hal krusial yang menjadi perhatian untuk memastikan program tersebut berhasil, antara lain: kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan dari pemerintah pusat ke level desa/adat/kelompok, pemilihan jenis tanaman komersial dalam usaha taninya, penguatan pendampingan, penguatan kelembagaan kelompok untuk pascapanen dan pemasaran, penguatan kelembagaan pengelolaan hutan di level desa, dukungan pendanaan, dan penyiapan mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas untuk memastikan perhutanan sosial berjalan sesuai dengan peraturan.

RekomendasiBeberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti dalam sintesis ini adalah:

Mediasi transformatif menjadi pilihan untuk lebih dikembangkan karena tidak 1. hanya bertujuan untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga untuk menciptakan hubungan kerja sama jangka panjang dan membuat interaksi antar pihak bergerak ke keadaan yang lebih positif dan konstruktif. Perhutanan sosial dapat dipilih menjadi salah satu bentuk mediasi transformatif.

KLHK sudah menyediakan lembaga dan mekanis-me penyelesaian konflik 2. tetapi sangat terbatas. Peningkatan kapasitas KPH dalam mediasi konflik dan kolaborasi dengan pemda setempat dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan.

Perhutanan sosial di hutan konservasi dan hutan lindung memiliki aturan 3. main yang lebih ketat sehingga sudah sewajarnya pemerintah memberikan penghargaan dan insentif kepada masyarakat yang sudah mengelola dan menjaga hutannya dengan baik. Insentif tersebut dapat dalam bentuk bantuan fasilitas pengelolaan hutannya (penunjang wisata alam, bantuan pemasaran, dan sebagainya).

Page 64: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

47IV KESIMPULAN dan REKOMENDASI

Badan Litbang dan Inovasi perlu mengawal perhutanan sosial dengan 4. melakukan beberapa penelitian dengan topik: 1) Dampak perhutanan sosial bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan, 2) Model HKm di hutan konservasi, 3) Proses pelembagaan hutan desa sebagai bentuk pengelo-laan hutan secara komunal, 4) Bentuk dan ukuran kepercayaan (trust) dalam membangun kemitraan kehutanan, 5) Pola kelembagaan pengelolaan hutan desa, 6) Dampak penetapan hutan adat terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat, 7) Efektivitas kelembagaan penyelesaian konflik di kehutanan, dan 8) Terobosan kebijakan hutan tanaman rakyat.

Page 65: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan
Page 66: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

Awang, S.A. (2015, 21-22 Mei). Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan alokasi SDA. Disampaikan pada Peluncuran kajian Indeks Tata Kelola Hutan dan Perizinan Online dan Lokakarya Kebijakan Alokasi Sumber Daya Hutan, Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bartos, O. J. & Wehr, P. (2002). Using conflict theory. Cambridge: Cambridge University Press.

BPS. (2015). Analisis rumah tangga sekitar hutan di Indonesia (Hasil survei kehutanan 2014). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Brown, T. (2004). Analysis of population and poverty in Indonesia’s forest (Laporan). Jakarta: Natural Resources Management Program.

Burley, R.S., Sepala, R., Lakany, H., Sayer, J., & Krott, M. (2001). Voicing interest and concern: challenges for forest research. Forest Policy and Economy, 2(1), 79–88.

Bush, R.A.B. & Folger, J.P. (2005). The promise of mediation: the transformative approach to conflict. San Francisco: John Wiley & Sons.

Chambers, R. (1985). Rural development: putting the last first. London, New York: Longman.

Depdikbud. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dhiaulhaq, A., De Bruyn, T., Yasmi, Y., Zazali, A., & Silalahi, M. (2014). Transforming conflict in plantations through mediation: lessons and experiences from Sumatera Indonesia. Forest Policy and Economics. Diakses dari http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2014.01.003.

Direktorat PKTHA. (2019). Daftar pengaduan konflik tenurial yang masuk dan ditangani Direktorat Penanganan Konflik. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

DAFTAR PUSTAKA

Page 67: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201950

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. (2018). Data dan informasi pemetaan tematik kehutanan Indonesia. Penutupan lahan Indonesia. Deforestasi Indonesia. Moratorium hutan lahan primer dan gambut. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ekawati, S. (2017). Memastikan program perhutanan sosial 12,7 juta ha tepat sasaran. Policy Brief, 11(04).

Ekawati, S. (2019). Model-model pemberdayaan masyarakat di hutan konservasi. In Ekawati, S., Suhardjito, D. & Anwar, S (Eds.), Merangkai Esai Pemberdayaan Masyarakat di Hutan Konservasi. Yogyakarta: Kanisius.

Fisher, S. (2001). Mengelola konflik, keterampilan, dan strategi untuk bertindak (Cetakan Pertama). S.N. Kartikasari, dkk (Alih Bahasa). Jakarta: The British Council, Indonesia.

Friedman, J. (1992). Empowerment the politics of alternative development. Cambridge: Blackwell Publishers.

Galtung, J. (2009). Theories of conflict. Definitions, dimension, negations, formation. Diunduh 4 Agustus 2015 dari https://www.transcend.org/files/Galtung _Book_Theories_Of_Conflict_single.pdf.

Hirschman, A. O. (1970). Exit, voice, and loyalty. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ife, J.W. (1995). Community development: creating community alternatives-vision, analysiis and practice. Melbourne: Longman.

Irawanti, S., Handoyo, Mulyadin, Charity, D., & Surati. (2017). Penguasaan dan pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat. Info Brief, 1.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2019). Status hutan dan kehutanan Indonesia tahun 2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). (2019). Catatan akhir tahun 2018 Konsorsium Pembaharuan Agraria. Diunduh 27 September 2019 dari www.kpa.or.id.

KSP. (2017). Pelaksanaan reforma agraria. Arahan Kantor Staf Presiden: prioritas nasional reforma agraria dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017. Jakarta: Kantor Staf Kepresidenan.

Page 68: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

51

Larson, A. M. (2013). Hak tenurial dan akses ke hutan (Manual Pelatihan untuk Penelitian). Bogor: CIFOR.

Merriam-Webster (2009). Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary (11th ed.) Merriam-Webster Inc.

Mindes, G. (2006). Teaching young children social studies. United States of America: Prager Publisher.

Muhdar, M. & Nasir. (2012). Resolusi konflik terhadap sengketa penguasaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam (Kertas Kerja Epistema 03/2012). Jakarta: Epistema Institute.

Nurrochmat, D.R., Darusman, D.R., & Ekayani, M. (2014). Kebijakan pembangunan kehutanan dan lingkungan: teori dan implementasi. Bogor: IPB Press.

Prijono, O.S. & Pranarka, A.M.W. (1996). Pemberdayaan: konsep, kebijakan, dan implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Putra, P.F.G. (2009). Meretas perdamaian dalam konflik pilkada langsung. Yogyakarta: Gava Media.

Rappaport, J. (1984). Studies in empowerment introduction to the issue. Prevention in Human Services 3: 1-7.

Rohadi, D., Herawati, T., Firdaus, N., Maryani, R, & Permadi, P. (2013). Strategi nasional penelitian agroforestry 2013-2030. Jakarta: Forda Press.

Sabarnurdin, S., Budiadi, & Suryanto, P. (2011). Agroforestri untuk Indonesia: strategi kelestarian hutan dan kemakmuran. Yogyakarta: Cakrawala Media.

Safitri, M. (2012, 13 Desember). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, konflik kehutanan dan keadilan tenurial: peluang dan limitasi. Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sawitri, M. (2011). Menuju kepastian dan keadilan tenurial. Jakarta: Kelompok Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tenurial.

Scannell, M. (2010). The big book of conflict resolution games. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.

Subarudi, Ekawati, S., & Sumirat, B. K. (2019). Sintesa konflik di KHDTK dan perspektif resolusinya (Penutup). Dalam Ekawati, S., Sumirat, B.K., Subarudi, & Anwar, S. (Eds.), Miniatur Resolusi Konflik Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus. Yogyakarta: Kanisius (in press).

DAFTAR PUSTAKA

Page 69: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201952

Suharto, E. (2006). Membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Bandung: PT Refika Aditama.

Sulistiyani, A.T. (2004). Memahami good governance dalam perspektif sumber daya manusia. Yogyakarta: Gaya Media.

Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan masyarakat dan jaringan pengaman sosial. Jakrta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sunderlin, W.D., Angelsen, A., Belcher, B., Burgess, P., Nasi, ..., & Wunder, S. (2005). Livelihoods, forests, and conservation in developing countries: an overview. World Development 33(9): 1383–1402.

Supriyanto, B. (2019, 12 November). Inovasi kebijakan perhutanan sosial untuk keadilan pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat. Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Kehutanan USU ke-5, Medan: Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Suwandono & Ahmadi, S. (2011). Resolusi konflik di dunia Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Swift, C. & Levin, G. (1987). Empowerment: An emerging mental health technology. Journal of Primary Prevention, 8(1-2): 71-94.

Thahir, T. (1995). Filsafat ilmu (Catatan kuliah). IAIN Walisongo, Semarang.

Tirto. (2019). WALHI desak kedua capres serius bahas konflik agraria di Indonesia. Diakses 1 Januari 2019 dari http://tirto.id.

Tropenbos Indonesia. (2018). Laporan pemetaan dan penandaan areal potensial perhutanan sosial di Kalimantan Barat, Indonesia. Yogyakarta: Debut Press.

Weed, M. (2005). Meta interpretation: a method for the interpretive synthesis of qualitative research. Jurnal Forum Qualitative Research, 6(1), Art. 37.

Weiten, W. (2004). Psychology: themmes & variations (6th ed.). Belmont, CA: Surya Wadsworth/Thomson Learning.

Wilson, T. (1996). The empowerment kehutanan di Indonesia. Jakarta: World Bank.

Wulan, Y.C. (2004). Analisis konflik sektor kehutanan tahun 1997-2003. Bogor: CIFOR.

Yasmi, Y. & Colfer, C.J.P. (2011). Forestry and fishery conflict in Danau Sentarum: application of impairment approach. Borneo Research Bulletin, 41, 145–161.

Zulu, L.C. (2009). Politics of scale and community-based forest management in southern Malawi. Geoforum 40 (pp 686–699). Oxford, UK: Elsevier.

Page 70: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

LAMPIRAN

Page 71: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201954

Lam

pira

n 1

Lua

ran

RPPI

13

beru

pa ju

rnal

Luar

anJu

dul

nam

a ju

rnal

Pene

liti/p

enul

isIn

stitu

si1

Pera

n pa

rapi

hak

dala

m p

enan

gana

n ko

nflik

di

KPH

P De

lta M

ahak

am, K

altim

Jurn

al A

nalis

is Ke

bija

kan

Kehu

tana

n Vo

l. 13

No.

3, 2

016

Sura

ti da

n Sy

lvia

niP3

SEKP

I

Dam

pak

peng

emba

ngan

sekt

or e

kono

mi

terh

adap

kon

flik

peng

elol

aan

kaw

asan

hut

an

di K

PHP

Delta

Mah

akam

dan

KPH

L Su

ngai

Br

am H

itam

Jurn

al P

enel

itian

Sos

ial d

an

Ekon

omi K

ehut

anan

Vol

. 14

No.

3,

2017

Sylv

iani

dan

Elv

ida

Yo

sefi

Sury

anda

riP3

SEKP

I

Anal

isis p

erse

psi d

an p

erila

ku m

asya

raka

t te

rhad

ap k

eber

adaa

n ka

was

an h

utan

KPH

P Po

igar

Jurn

al P

enel

itian

Sos

ial d

an

Ekon

omi K

ehut

anan

Vol

. 14

No.

1,

2017

Arif

Iraw

an,

Chris

tian

Mai

ri

dan

Sulis

tya

Ekaw

ati

BPPL

HK

Man

ado

Anal

isis k

onfli

k te

nuria

l di K

PHP

Mod

el P

oiga

rJu

rnal

Was

ian

Vol.3

No.

2 Ta

hun

2016

Arif

Iraw

an, I

wan

uddi

n,

Jafr

ed E

. Hal

awan

e

dan

Sulis

tya

Ekaw

ati

BPPL

HK

Man

ado

Farm

ers h

ouse

hold

eco

nom

y w

orki

ng o

n co

nflic

t are

a in

the

Mer

ubeti

ri N

ation

al P

ark

Jurn

al Il

mu

Ling

kung

an U

ndip

, Vo

l 15

(2),

2017

Purw

anto

, S.

And

y Ca

hyon

o,

C. Y

udi L

astia

ntor

o,

dan

Nan

a Ha

ryan

ti

BP3D

AS S

olo

2-

--

-3

--

--

Page 72: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

55LAMPIRAN

Lam

pira

n 2

Lua

ran

RPPI

13

beru

pa p

rosid

ing

Luar

anJu

dul

Pros

idin

gPe

neliti

/pen

ulis

Insti

tusi

1U

npac

king

con

flict

of f

ores

t man

agem

ent:

an

ethi

cal a

naly

sisIn

tern

ation

al A

cade

mic

Con

fere

nce:

Gr

een

Politi

cal D

ynam

icPa

sund

an U

nive

rsity

Budi

yant

o DP

&

Agun

g SR

BP

2LHK

Kup

ang

Upa

ya p

enan

gana

n ko

nflik

di K

HDTK

Lab

anan

Ka

bupa

ten

Bera

u m

elal

ui p

emba

ngun

an

kem

itraa

n ke

huta

nan

Pros

idin

g Se

min

ar “

Solu

si Pe

nang

anan

Ko

nflik

Mas

yara

kat H

utan

Mel

alui

Pe

ngel

olaa

n Hu

tan

Seca

ra P

artis

ipati

f”

BBP

Dipt

erok

arpa

Catu

r Bud

iwiy

atiBB

P Sa

mar

inda

Stak

ehol

der m

appi

ng in

con

flict

reso

lutio

n eff

orts

in K

HDTK

Lab

anan

, Dist

rict o

f Ber

auIn

tern

ation

al C

onfe

renc

e on

Tro

pica

l St

udie

s and

its a

pplic

ation

ann

ual

conf

eren

ce, M

ulaw

arm

an U

nive

rsity

an

d Is

lam

ic D

evel

opm

ent B

ank

, 9 N

ov

2017

(IO

P Pr

occe

ding

s)

Catu

r Bud

iwiy

atiBB

P Sa

mar

inda

Peril

aku

Kom

unik

asi M

asya

raka

t Sek

itar

Huta

n Te

rhad

ap P

engu

asaa

n La

han

di K

HDTK

Su

ban

Jerij

i

Pros

idin

g Ek

spos

e Ha

sil P

enel

itian

Ta

ta K

elol

a Hu

tan

untu

k M

ewuj

udka

n Pe

mba

ngun

an H

ijau

Sum

ater

a Se

lata

n,

Pale

mba

ng 1

Sep

tem

ber 2

016

Ari N

urlia

BP

2LHK

Pal

emba

ng

Pros

es A

wal

Neg

osia

si Pe

ngua

saan

Lah

an

oleh

Mas

yara

kat p

ada

KHDT

K Su

ban

Jerij

i, Su

mat

era

Sela

tan

Pros

idin

g Ek

spos

e Ha

sil P

enel

itian

Ta

ta K

elol

a Hu

tan

untu

k M

ewuj

udka

n Pe

mba

ngun

an H

ijau

Sum

ater

a Se

lata

n,

Pale

mba

ng 1

Sep

tem

ber 2

016

Ari N

urlia

BP

2LHK

Pal

emba

ng

Peng

uasa

an d

an P

enge

lola

an L

ahan

Kaw

asan

Hu

tan

Terd

egra

dasi

oleh

Mas

yara

kat :

Upa

ya

Mem

bang

un K

erja

sam

a

Sem

inar

Nas

iona

l Lah

an S

ub O

ptim

alBo

ndan

W d

an

Ari N

urlia

BP2L

HK P

alem

bang

Page 73: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201956

Luar

anJu

dul

Pros

idin

gPe

neliti

/pen

ulis

Insti

tusi

2Pe

luan

g da

n Ta

ntan

gan

Perh

utan

an S

osia

l di

Sub

DAS

Lem

atan

g: K

asus

di H

utan

Pen

eliti

an

Suba

n Je

riji,

Sum

ater

a Se

lata

n

Sem

inar

Nas

iona

l Pen

gelo

laan

DAS

Te

rpad

uBo

ndan

W d

an

Ari N

urlia

BP2L

HK P

alem

bang

Part

ners

hip

mod

el in

Sub

anje

riji F

ores

t Re

sear

ch. S

outh

Sum

atra

Pro

vinc

eIU

FRO

-INAF

OR

Join

Sem

inar

201

7Ar

i Nur

lia d

an

Bond

an W

BP2L

HK P

alem

bang

Culti

vatin

g ru

drak

sha

(Ela

eoca

rpus

sp.)

by

loca

l peo

ple

in S

outh

Sum

atra

: pot

entia

l non

tim

ber f

ores

t pro

duct

for c

omm

unity

fore

stry

IUFR

O-IN

AFO

R Jo

in S

emin

ar 2

017

Ari N

urlia

and

Bo

ndan

WBP

2LHK

Pal

emba

ng

Penc

egah

an k

arhu

tla u

ntuk

men

duku

ng

pert

umbu

han

hija

u di

Sum

ater

a Se

lata

n:

stud

i kas

us d

i Des

a Ri

ding

, OKI

Pros

idin

g Ek

spos

e Ha

sil P

enel

itian

BP

2LHK

Pal

emba

ng “

Tata

Kel

ola

Huta

n un

tuk

Mew

ujud

kan

Pem

bang

unan

Hi

jau

di S

umse

l”

Mam

at R

ahm

at

BP2L

HK P

alem

bang

Pers

epsi

mas

yara

kat l

okal

(pet

ani)

terh

adap

po

la b

udid

aya

pert

ania

n ta

npa

baka

r di l

ahan

ga

mbu

t: st

udi k

asus

di D

esa

Ridi

ng, O

KI

Pro

sidin

g Lo

kaka

rya

Nas

iona

l Tek

nisi

Litk

ayas

a: M

enuj

u Ka

rya

Nya

ta Te

knisi

Li

tkay

asa

dala

m In

ovas

i Tek

nolo

gi

Mam

at R

ahm

at

BP2L

HK P

alem

bang

Iden

tifika

si pa

ra p

eman

gku

kepe

nting

an

di H

PP B

arat

Mua

ra K

aeli:

lang

kah

men

uju

kem

itraa

n da

n Ke

rjasa

ma

Pro

sidin

g Se

min

ar “

Solu

si Pe

nang

anan

Ko

nflik

Mas

yara

kat H

utan

Mel

alui

Pe

ngel

olaa

n Hu

tan

Seca

ra P

artis

ipati

f”

BBP

Dipt

erok

arpa

Tien

Wah

yuni

BB

P Sa

mar

inda

3-

--

-

Lam

pira

n 2

Lua

ran

RPPI

13

beru

pa p

rosid

ing

(lanj

utan

)

Page 74: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

57LAMPIRAN

Lam

pira

n 3

Lua

ran

RPPI

13

beru

pa p

olic

y br

ief,

buku

, dan

luar

an la

inny

aLu

aran

Judu

lPe

nerb

itPe

neliti

In

stitu

si1

Buku

: Min

iatu

r res

olus

i kon

flik

di K

HDTK

Ka

nisiu

sSu

listy

a E.

, Bug

i K.S

., Su

baru

di, A

bd. K

adir,

In

dah

B., K

resn

o H.

, Bud

iyan

to, T

ien

W.,

Catu

r B.

W.,

Irmay

eni,

Aam

Am

inah

, Dem

i, Ah

mad

Ri

zal,

Agun

g R.

, Kris

no D

.R.

P3SE

KPI

dan

UPT

BLI

Buku

: Mer

etas

jala

n ko

nflik

keh

utan

anKa

nisiu

sSu

listy

a E.

, Sur

ati, S

ylvi

ani,

Bugi

K.S

., Fe

nti J.

SP3

SEKP

I2

Buku

: Mem

bang

un k

emitr

aan

kehu

tana

n m

elal

ui

agro

fore

stry

, seb

uah

upay

a pe

nyel

esai

an k

onfli

k KH

DTK

Laba

nan

IPB

Pres

sCa

tur B

udi W

iyati

BB S

amar

inda

Buku

: Mer

angk

ai e

say

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t di

huta

n ko

nser

vasi

Kani

sius

Sulis

tya

E., H

endr

a G.

, And

ri S.

, Nan

a H.

, And

y S.

, Rah

mi,

Mon

ica

DR, F

enti

J.S.

P3SE

KPI,

P3H,

UPT

BL

I, TN

, Mitr

a (F

KKM

, Ya

yasa

n As

ri)Bu

ku: B

ersa

ma

mem

bang

un p

erhu

tana

n so

sial

IPB

Pres

sSu

listy

a E.

, Edw

in M

., Ca

tur B

.W.,

Dede

J., S

urati

P3SE

KPI,

P3H,

UPT

BLI

Buku

: Eva

luas

i pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t di s

ekita

r/di

dal

am h

utan

unt

uk m

emas

tikan

terc

apai

nya

tuju

an p

erhu

tana

n so

sial

Kani

sius

Sulis

tya

E.P3

SEKP

I

MoU

ant

ara

BLI d

enga

n Pe

mda

Sum

ba Te

ngah

yan

g be

rkai

tan

deng

an p

enge

mba

ngan

tind

ak la

njut

has

il pe

neliti

an d

alam

skal

a de

mpl

ot y

ang

lebi

h lu

as.

Pem

biay

aan

bers

ifat c

ost-s

harin

g an

tara

BPP

LHK

Kupa

ng d

an P

emda

Sum

ba Te

ngah

Gers

on N

juru

man

aBP

2LHK

Kup

ang

Disk

usi i

nter

aktif

di R

adio

@M

ax 9

6,9

FM:

Peng

emba

ngan

keh

utan

an d

an sp

esie

s kun

ci

Gers

on N

juru

man

aBP

2LHK

Kup

ang

Disk

usi i

nter

aktif

di R

adio

@M

ax 9

6,9

FM: E

duka

si ke

bang

saan

dan

ling

kung

an h

idup

Ge

rson

Nju

rum

ana

BP2L

HK K

upan

g

3Po

licy

Brie

f: Ba

gaim

ana

mem

astik

an p

rogr

am

perh

utan

an so

sial (

12,7

juta

ha)

tepa

t sas

aran

P3

SEKP

ISu

listy

a E.

P3SE

KPI

Polic

y Br

ief:

Kiat

men

seja

hter

akan

mas

yara

kat l

okal

m

elal

ui p

erhu

tana

n so

sial (

perm

inta

an M

ente

ri LH

K)P3

SEKP

I Se

tiasih

Iraw

anti

P3SE

KPI

Polic

y Br

ief:

Regu

lasi

Perh

utan

an S

osia

l di L

ahan

Ga

mbu

t: An

tara

Pol

itica

l Will

dan

Rea

lita

P3SE

KPI

Hand

oyo

dkk

P3SE

KPI

Page 75: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201958

Lam

pira

n 4

KKL

RPP

I Sos

ial,

Ekon

omi,

Kebi

jaka

n, d

an P

embe

rday

aan

Mas

yara

kat,

sert

a Re

solu

si Ko

nflik

Nar

asi

Indi

kato

r ter

ukur

Alat

ver

ifika

siAs

umsi

kun

ciTu

juan

:Be

rkur

angn

ya k

onfli

k su

mbe

rday

a al

am d

an m

enin

gkat

nya

prog

ram

pe

mbe

rday

aan

mas

yara

kat d

i sek

itar

huta

n

Dala

m 5

tahu

n ke

dep

an:

Kead

ilan

alok

asi p

eman

faat

an

- hu

tan

dan

laha

n ke

pada

m

asya

raka

tTe

rsus

unny

a -

data

base

kon

flik

sum

berd

aya

alam

di I

ndon

esia

Ters

usun

nya

- da

taba

se

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t di

seki

tar h

utan

Min

imal

ada

3 p

erat

uran

terk

ait

- pe

ngel

olaa

n HK

m, H

D, H

TR y

ang

dise

mpu

rnak

an

Doku

men

tasi

peny

empu

rnaa

n 3

- Pe

rmen

hut

Doku

men

tasi

lapo

ran

tipol

ogi

- da

n m

odel

reso

lusi

konfl

ik

sum

berd

aya

alam

di I

ndon

esia

Doku

men

tasi

lapo

ran

- da

taba

se

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

tJu

rnal

- Pr

osid

ing,

-

wor

ksho

p

Adan

ya d

ukun

gan

parti

sipas

i -

aktif

dar

i ins

titus

i ter

kait

dan

mas

yara

kat s

ebag

ai su

byek

dan

ob

yek

pem

berd

ayaa

n Ja

dwal

pel

aksa

naan

yan

g te

pat

- Ke

giat

an b

erja

lan

seca

ra

- in

tegr

atif

Duku

ngan

pen

dana

an y

ang

- m

emad

ai

Sasa

ran:

1. Te

rsus

unny

a in

form

asi ti

polo

gi

dan

mod

el re

solu

si ko

nflik

ke

timpa

ngan

aks

es S

DH2.

Ters

usun

nya

data

base

so

sial e

kono

mi d

an m

odel

pe

mbe

rday

aan

mas

yara

kat s

ekita

r hu

tan

3. Te

rum

uska

nnya

reko

men

dasi

kebi

jaka

n pe

mbe

rday

aan

mas

yara

kat s

ekita

r hut

an

Ters

edia

nya

info

rmas

i tipo

logi

-

dan

reso

lusi

konfl

ik a

ntar

a pe

mer

inta

h de

ngan

mas

yara

kat

dala

m a

kses

SDH

min

imal

di 5

(li

ma)

loka

siDi

pero

lehn

ya

- da

taba

se

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t se

kita

r hut

anM

inim

al a

da 3

(tiga

) keb

ijaka

n -

Pem

erin

tah

yang

terk

ait

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t

Info

rmas

i tipo

logi

dan

reso

lusi

- ko

nflik

Data

base

- p

rogr

am p

embe

rday

aan

mas

yara

kat

Draft

- re

visi

pera

tura

n te

rkai

t ke

bija

kan

yang

pro

raky

at

Mas

yara

kat b

erpa

rtisip

asi

- ak

tif d

alam

men

emuk

an

reso

lusi

konfl

ik d

an p

rose

s pe

mbe

rday

aan

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

-

baik

Duku

ngan

pen

dana

an y

ang

- m

emad

ai

Page 76: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

59LAMPIRAN

Nar

asi

Indi

kato

r ter

ukur

Alat

ver

ifika

siAs

umsi

kun

ciLu

aran

1:

Ters

edia

nya

data

base

tipo

logi

re

solu

si ko

nflik

ant

ara

pem

erin

tah

deng

an m

asya

raka

t dal

am a

kses

SDH

Ters

edia

nya

peta

kon

flik

SDH

- (ti

polo

gi d

an p

enye

bab)

Te

rsed

iany

a in

fom

asi m

edia

si -

dan

mod

el re

solu

si ko

nflik

di 5

tip

olog

i

Lapo

ran

hasil

pen

eliti

an

- Da

taba

se-

Publ

ikas

i ilm

iah

- Pe

ta se

bara

n-

Mas

yara

kat b

erpa

rtisip

asi a

ktif

- da

lam

mer

umus

kan

reso

lusi

konfl

ikPe

neliti

an b

erja

lan

sesu

ai

- re

ncan

aKo

ordi

nasi

berja

lan

deng

an b

aik

- Du

kung

an p

enda

naan

yan

g -

mem

adai

Luar

an 2

:Te

rsed

iany

a da

taba

se so

sek

dan

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t sek

itar

huta

n

Ters

edia

nya

info

rmas

i kon

disi

- so

sek

mas

yara

kat s

ekita

r hut

anTe

rsed

iany

a in

form

asi m

odal

-

sosia

l mas

yara

kat s

ekita

r hut

anTe

rsed

iany

a da

ta a

kses

pas

ar d

an

- pe

rmod

alan

mas

yara

kat s

ekita

r hu

tan

Ters

edia

nya

data

kel

emba

gaan

-

loka

l mas

yara

kat h

utan

Te

rsed

iany

a da

mpa

k -

soci

al

fore

stry

terh

adap

pen

ingk

atan

so

sek

mas

yara

kat

Ters

edia

nya

dam

pak

ekol

ogi

- so

cial

fore

stry

Lapo

ran

hasil

pen

eliti

an (L

HP)

- Pu

blik

asi i

lmia

h-

Data

base

-

Pem

erin

tah,

swas

ta, d

an

- m

asya

raka

t men

duku

ng

pela

ksan

an ri

set

Pend

anaa

n m

endu

kung

rise

t -

mul

ti-ye

ars

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

bai

k-

Lam

pira

n 4

KKL

RPP

I Sos

ial,

Ekon

omi,

Kebi

jaka

n, d

an P

embe

rday

aan

Mas

yara

kat,

sert

a Re

solu

si Ko

nflik

(lan

juta

n)

Page 77: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN, & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT serta RESOLUSI KONFLIKSintesa Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2014 – 201960

Nar

asi

Indi

kato

r ter

ukur

Alat

ver

ifika

siAs

umsi

kun

ciLu

aran

3:

Ters

edia

nya

kebi

jaka

n pe

mer

inta

h ya

ng p

ro ra

kyat

Ters

edia

nya

kebi

jaka

n al

okas

i -

SDH

yang

adi

l Te

rsed

iany

a in

form

asi e

valu

asi

- ke

bija

kan

CBFM

Te

rsed

iany

a po

la k

emitr

aan

- us

aha

yang

seja

jar d

an sa

ling

men

gunt

ungk

an

Ters

edia

nya

akse

s pas

ar

- m

asya

raka

t sek

itar h

utan

Ters

edia

nya

prog

ram

per

mod

alan

-

bagi

pro

gram

CBF

MTe

rsed

iany

a po

la k

erja

sam

a an

tar

- se

ktor

dal

am p

embe

rday

aan

mas

yara

kat d

i 5 lo

kasi

LHP

- Pu

blik

asi i

lmia

h-

Reko

men

dasi

kebi

jaka

n-

Duku

ngan

KLH

K un

tuk

mer

espo

n -

reko

men

dasi

kebi

jaka

n da

ri ha

sil-h

asil

pene

litian

Pend

anaa

n m

endu

kung

rise

t -

mul

ti-ye

ars

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

bai

k-

Kegi

atan

Lua

ran

1:1.

Pem

etaa

n ko

nflik

SDH

(tipo

logi

, es

kala

si)2.

Men

gide

ntifik

asi p

enye

bab

konfl

ik

SDH

3. M

engi

denti

fikas

i akt

or d

an

kepe

nting

an d

alam

kon

flik

SDH

4. P

enyu

suna

n in

form

asi m

edia

si ko

nflik

5. P

erum

usan

mod

el re

solu

si ko

nflik

6. P

enyu

suna

n da

taba

se ti

polo

gi d

an

reso

lusi

konfl

ik

Ters

usun

ya p

eta

konfl

ik S

DH-

Tera

nalis

isnya

dat

a je

nis d

an

- es

kala

si ko

nflik

SDH

Tera

nalis

isnya

sum

ber p

enye

bab

- ko

nflik

SDH

Tera

nalis

isnya

akt

or d

an

- ke

penti

ngan

dal

am k

onfli

k SD

HTe

rana

lisisn

ya d

ata

med

iasi

- ko

nflik

Teru

mus

kann

ya m

odel

reso

lusi

- ko

nflik

Ters

usun

nya

- da

taba

se ti

polo

gi

dan

mod

el re

solu

si ko

nflik

ROP

- RP

TP-

LHP

- Pu

blik

asi i

lmia

h-

Pend

anaa

n m

endu

kung

rise

t -

mul

ti-ye

ars

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

bai

k-

Lam

pira

n 4

KKL

RPP

I Sos

ial,

Ekon

omi,

Kebi

jaka

n, d

an P

embe

rday

aan

Mas

yara

kat,

sert

a Re

solu

si Ko

nflik

(lan

juta

n)

Page 78: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan

61LAMPIRAN

Nar

asi

Indi

kato

r ter

ukur

Alat

ver

ifika

siAs

umsi

kun

ciKe

giat

an L

uara

n 2:

1. M

enga

nalis

is da

ta so

sek

mas

yara

kat s

ekita

r hut

an2.

Men

gide

ntifik

asi m

odal

sosia

l m

asya

raka

t sek

itar h

utan

3. M

enga

nalis

is ak

ses p

asar

da

n pe

rmod

alan

mas

yara

kat s

ekita

r hu

tan

4. M

engi

denti

fikas

i kel

emba

gaan

lo

kal m

asya

raka

t hut

an

5. M

enga

nalis

is da

mpa

k so

cial

fo

rest

ry te

rhad

ap p

enin

gkat

an

sose

k m

asya

raka

t6.

Men

gana

lisis

dam

pak

ekol

ogi

soci

al fo

rest

ry

Ters

edia

nya

anal

isis d

ata

sose

k -

mas

yara

kat s

ekita

r hut

anTe

rsed

iany

a an

alisi

s dat

a m

odal

-

sosia

l mas

yara

kat s

ekita

r hut

anTe

rsed

iany

a ak

ses p

asar

dan

-

perm

odal

an m

asya

raka

t sek

itar

huta

nTe

rsed

iany

a da

ta k

elem

baga

an

- lo

kal m

asya

raka

t hut

an

Ters

edia

nya

data

dam

pak

- so

cial

fo

rest

ry te

rhad

ap p

enin

gkat

an

sose

k m

asya

raka

tTe

rsed

iany

a da

ta d

ampa

k ek

olog

i -

soci

al fo

rest

ry

ROP

- RP

TP-

LHP

- Pu

blik

asi i

lmia

h-

Pend

anaa

n m

endu

kung

rise

t -

mul

ti-ye

ars

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

bai

k-

Kegi

atan

Lua

ran

3:1.

Men

gana

lisis

kebi

jaka

n al

okas

i SD

H ya

ng a

dil

2. M

enge

valu

asi k

ebija

kan

CBFM

3.

Men

gana

lisis

pola

kem

itraa

n us

aha

yang

seja

jar d

an sa

ling

men

gunt

ungk

an

4. M

enga

nalis

is ak

ses p

asar

m

asya

raka

t sek

itar h

utan

5. M

enga

nalis

is pr

ogra

m p

erm

odal

an

bagi

pro

gram

CBF

M6.

Men

gana

lisis

pola

ker

jasa

ma

anta

r sek

tor d

alam

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t di 5

loka

si

Ters

edia

nya

kebi

jaka

n al

okas

i -

SDH

yang

adi

l Te

rsed

iany

a in

form

asi e

valu

asi

- ke

bija

kan

CBFM

Te

rsed

iany

a po

la k

emitr

aan

- us

aha

yang

seja

jar d

an sa

ling

men

gunt

ungk

an

Ters

edia

nya

akse

s pas

ar

- m

asya

raka

t sek

itar h

utan

Ters

edia

nya

prog

ram

per

mod

alan

-

bagi

pro

gram

CBF

MTe

rsed

iany

a po

la k

erja

sam

a an

tar

- se

ktor

dal

am p

embe

rday

aan

mas

yara

kat d

i 5 lo

kasi

ROP

- RP

TP-

LHP

- Pu

blik

asi i

lmia

h-

Pend

anaa

n m

endu

kung

rise

t -

mul

ti-ye

ars

Pene

litian

ber

jala

n se

suai

-

renc

ana

Koor

dina

si be

rjala

n de

ngan

bai

k-

Lam

pira

n 4

KKL

RPP

I Sos

ial,

Ekon

omi,

Kebi

jaka

n, d

an P

embe

rday

aan

Mas

yara

kat,

sert

a Re

solu

si Ko

nflik

(lan

juta

n)

Page 79: Sulistya Ekawati | Subarudi | Adi Santoso SOSIAL ...simlit.puspijak.org/files/buku/CROP_03-Sosial_Ekonomi...tumpang-tindih pemanfaatan lahan, penetapan kawasan tanpa mempertimbangkan