Suku Bugis

14
masyarakat suku bugis Masyarakat dan Kebudayaan “Suku Bugis” di Sulawesi Selatan Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu. 2.2. Sejarah Perkembangan Suku Bugis Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan, tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Adat Istiadat Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan

description

kukuujj

Transcript of Suku Bugis

Page 1: Suku Bugis

masyarakat suku bugisMasyarakat dan Kebudayaan “Suku Bugis” di Sulawesi Selatan

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara

setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan.

Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis umumnya adalah nelayan dan

pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain.

Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.

2.2. Sejarah Perkembangan Suku Bugis

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari

“dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan

sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang

sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata

“Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi

Selatan, tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi

menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut

dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari

Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya

sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La

Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,

Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Adat Istiadat

Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang

disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini

terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang

lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling

menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen.

Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang

Selatan’.

 Adat Pernikahan 

Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal:

1. Assialang Maola

Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.

2. Assialanna Memang

Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.

3. Ripaddeppe’ Abelae

Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan

keluarga.

Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):

1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah

2. perkawinan antara saudara sekandung

3. perkawinan antara menantu dan mertua

Page 2: Suku Bugis

4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan

5.  perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu

Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat:

1. Lettu ( lamaran)

Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginannya untu melamar calon

mempelai perempuan.

2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)

Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas

kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya

3. Madduppa (Mengundang)

Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua

kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.

4. Mappaccing (Pembersihan)

Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan). Ritrual ini dilakukan pada

malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk

melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar),kemudian para undangan di

persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon

mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.

Pasangan Pengantin

Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja, ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum

kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah

mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan, dilanjutkan dengan akad nikah.

Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado atau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai

wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki.

Mappaenre botting adalah beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan

keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol

perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut

nalaoanni alena.

Adat Panen

Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah.

Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit

padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun

lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang

padi.

Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui

rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang

berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari

aktifitas ini.

Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi

bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia

memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di

pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Kepercayaan

Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP

(Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa,

Page 3: Suku Bugis

dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut

kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

Tradisi Pamali di BugisPemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang

berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang

memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.

Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan

masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk

membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.

Bentuk-bentuk Pemmali:

   Pemmali Bentuk Perkataan

Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan.

Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk

perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan

diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan

mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buajaâ˜buayaâ dapat mengakibatkan

Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.

Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai

padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan

kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.

    Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan

Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari

datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.

Beberapa contoh pemmali dan maknanya:

   Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui (Pantangan bagi seorang gadis

menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).

Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat

ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah

tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak

merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih

lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat

mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak

dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara

langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.

   Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna (Gadis tidak boleh tidur sampai

tengah hari sebab rezeki akan berlalu).

Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika

seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja.

Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki

bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena

terlambat bangun.

Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah

menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis

Page 4: Suku Bugis

menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas

yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.

     Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata (Pantangan

orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).

Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang

meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan

untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan.

Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan.

Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga

orang yang meninggal.

Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).

Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan.

Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan.

Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang

mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.

Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya

akan cepat meninggal).

Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap

kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh

etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga

ketika besar ia tidak memalukan keluarga.

Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri (Pemali bagi remaja laki-laki

menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).

Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan

menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain.

Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini

adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.

Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat

makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain

yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya,

makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan

karena dapat mendatangkan penyakit.

( Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq) pemali meninggalkan

makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).

Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan

makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang

disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan

makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau

minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah.

Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.

Berdasarkan beberapa contoh yang dipaparkan di atas, pemmali dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, yaitu

menurut jenis kelamin, usia, atau bidang kegiatan. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat

dengan muatan pendidikan. Pemmaliumumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang

dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan,

Page 5: Suku Bugis

etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur,pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang

mutlak untuk terus dipertahankan.

Hukum Adat

Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan

Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan

berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat

namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e

De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak).

Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan

martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang.

Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun,

adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena

tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis

kebanyakan.

Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan

hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek

Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao

Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan

hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut

TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah

Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat

keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang

sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.

Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)

Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu

hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta

perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat

istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.

Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang

(norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘

(syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis

seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh

yang hidup di zaman pra-Islam.

Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan

dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga

konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-

dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang

dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di

masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘

(adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian

besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat

dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.

Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang

berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh

Page 6: Suku Bugis

budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil

kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.

Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan

pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama

Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini

juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga

Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.

Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan

yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat

dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.

Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan

dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan

sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan

sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di

antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan

sehari–hari oleh masyarakat Bugis.

Budaya Bugis Makassar Budaya Siri’ Na Pacce

Budaya Bugis Makassar Budaya Siri’ Na Pacce Budaya Siri’ Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat

Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri’ na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat

melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin

menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri’ na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan

sulit untuk didefenisikan karena siri’ na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis-

Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi

tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.

 

 

Budaya Bugis Makassar Budaya Siri’ Na Pacce

 

Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri’ adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi

masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan

kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-

Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban

dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul”

 

Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri’ na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dalam

kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri’ na

pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri’ na pacce merupakan jati diri dari orang-

orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri’ na pacce maka keterikatan antar sesama dan

kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri’ na pacce bukan

hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan

Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya

memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

 

Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi atas 2 yaitu:

Siri’ Nipakasiri’

Page 7: Suku Bugis

Siri’ Nipakasiri’ terjadi apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya harus

menegakkan siri’nya untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas, jika tidak ia akan disebut “mate siri” atau mati

harkat dan martabatnya sebagai manusia. Bagi orang Bugis dan Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih

tinggi dari pada menjaga siri’nya, mereka lebih senang mati dari pada hidup tanpa siri’. Mati karena mempertahankan siri’

disebut “mate nigollai..mate nisantangngi” yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri.

Siri’ Masiri’

Siri’ masiri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi

yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri’ itu sendiri.

Seperti sebuah penggalan syair sinrili’ “Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’ gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia”

yang berarti “Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah

surut”. Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi

dalam mengarungi kehidupan ini.

 

Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri’ na pacce terbagi atas 3 yaitu:

 

Nilai Filosofis.

Nilai Filosofis siri’ na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai

persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani

dan konstruktif.

 

Nilai Etis.

Pada nilai-nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati,

sopan, cinta dan empati.

Nilai Estetis

Nilai estetis dari siri’ na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam

nabati, dan benda alam hewani

 

Budaya siri’ na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar.

Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon

pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri’ na

pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.

 

Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri’ na pacce dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki

keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan

membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu

mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu

Demokrasi.

 

Mata Pencaharian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup

sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis

juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Bahasa Suku Bugis

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian

Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian

Page 8: Suku Bugis

kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten

Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng.

Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya

beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan

mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu

melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

Aksara Bugis

Kesenian

Alat musik:

1.Kacapi(kecapi)

Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis,

Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau

diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang

memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.

Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan,

bahkan hiburan pada hari ulang tahun.

2. Sinrili

Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan

membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain

duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

3. Gendang

Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar

seperti rebana.

4. Suling

Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:

• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.

• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan

dimainkan bersama penyanyi

• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah

Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau

acara penjemputan tamu.

Seni Tari

• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.

• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika

kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran

dan kehormatan

• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang

sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan

perempuan-perempuan Bugis.

• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria),

namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.

• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari

Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).

Makanan Khas Sulawesi Selatan

1. COTO MAKASSAR

Page 9: Suku Bugis

2. KONRO

3. SOP SAUDARA

4. PISANG EPE’

5. PISANG IJO

6. PALU BASSAH

7. PALA BUTUNG

8. NASU PALEKKO (Bebek)

Permainan

Beberapa permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo, Mappadendang, Ma’gasing,

Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga, Mappasajang (layang-layang), Malonggak

Senjata Suku Bugis

KAWALI senjata khas suku bugis

RUMAH ADAT KHAS BUGIS

Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan

Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [

orang bugis menyebutnya lego - lego ].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan

dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.

2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.

3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

 

Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit – langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di

panen.

2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah (

posi’ bola ).

3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Kepustakaan

Suriana. Makna Pemmali dalam Masyarakat Bugis Soppeng.

Sulo, Hartati. Makna Pemmali dalam Masyarakat Petani di Kabupaten Soppeng.

Mattulada. Kebudayaan, Kemanusian, dan Lingkungan.

Sumber: http://lagaligo.net/2008/11/makna-pammali-dalam-budaya-bugis/

http://bugiesmakassar.blogspot.com/2012/07/budaya-bugis-makassar-budaya-siri-na.html

Sabtu, Juli 21, 2012  Bugis Makassar  No comments

 

Sumber : http://fairuzelsaid.wordpress.com/2011/06/27/siri-na-pacce/

 

Sumber :

id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis

http://indonesia-life.info/kolom/msgview/1250/6889/no/6889.html

http://deedde.wordpress.com/2010/10/31/suku-bugis-adat-istiadat/

Sumber :  www.kaltimpost.web.id

Kredit foto :  www.indonesiatourism.com

Wati Puspitasari

Page 10: Suku Bugis

Watipuspitasari.blogspot.com