SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas...

14
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG MENIKAH MUDA PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Oleh: DANIS MISWIYAWATI F100130148 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

Transcript of SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas...

Page 1: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG MENIKAH

MUDA

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada

Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:

DANIS MISWIYAWATI

F100130148

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017

Page 2: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

i

Page 3: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

ii

Page 4: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

iii

Page 5: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

1

Subjective Well Being pada Pasangan yang Menikah Muda

Danis Miswiyawati

Rini Lestari

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

[email protected]

Abstrak

Individu usia muda sering membandingkan kehidupanya dengan standar

kehidupan individu lain atau membandingkan kehidupannya dengan kehidupan

individu sebelumnya. Penyesuaian pada perbandingan inilah yang nantinya

membawa dampak positif atau negatif dan sejahtera atau tidaknya individu usia

muda dalam menjalankan peran barunya sebagai pasangan dalam suatu

pernikahan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan

mendeskripsikan subjective well-being pada pasangan menikah muda. Penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 3

pasang suami istri yang menikah muda. Pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah wawancara. Analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah analisis isi. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pasangan yang

menikah muda merasakan subjective well-being yang cukup tinggi dalam

pernikahan. Subjective well-being terbentuk dalam diri pasangan muda tersebut

yaitu pasangan muda dapat menerima kondisi yang telah dialaminya dan

bersyukur atas apa yang dialaminya. Secara keseluruhan pasangan muda lebih

sering merasakan afek positif daripada afek negatif. Faktor-faktor yang

mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah

optimisme, memiliki hubungan yang positif, dan memiliki cita-cita.

Kata kunci :Subjective well-being, Menikah,PasanganMuda

Abstract

Young individual often compares their life with another standart or to

compare their life with previous living. Adjustments to the comparison is what

will bring a positive or negative impact and prosperous young age whether or not

the individual in carrying out his new role as a partner in a marriage. The purpose

of this study is to determine and describe subjective well-being on a young

married couple. This study used a qualitative approach. Subjects in this study

were 3 pairs of husband and wife who married young. The collections of data used

in this study were interviews. Analysis of the data used in this research is content

analysis. The results of the study illustrate that young married couple who feel

Subjective well-being enough high in marriage. Subjective well-being established

with the young couples that young couples can accept the conditions he has

Page 6: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

2

experienced and grateful for what happened. Overall youn couples often fell more

positive affect than negative affect. Factors that influence the subjective well-

being on a young married are optimism, positive relationships, have ideals.

Keyword : Subjective well-being, Married, Young Couples

1. PENDAHULUAN

Masa remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Menjalin

hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis

maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan

tersebut.Individuyang menikah di usia remaja akan dianggap dan diperlakukan

sebagai orang dewasa seutuhnya, remaja tidak lagi menghadapi tugas

perkembangan remaja namun tugas perkembangan dewasa. Remaja yang menikah

pada usia 18-19 tahun juga akan memasuki dunia orang dewasa dan mengalami

masa remaja yang diperpendek (Fajriyah dan Laksmiwati, 2014).

Pernikahan itu sendiri mengandung makna bahwa pernikahan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sejahtera dan kekal

berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2007).Meskipun demikian,

tidak semua orang mampu memahami hakikat dan tujuan dari pernikahan yang

seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah tangga

(Puspitasari, 2006).

Perundang-undangan No. 1 tahun 1974 telah mengatur mengenai batas

usia pernikahan untuk mencegah pernikahan dini. Undang-undang mengenai batas

usia pernikahan yaitu pasal 7 ayat (1) yang berbunyi ‘Perkawinan hanya diizinkan

jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun’ (hukumonline.com).

Berdasarkan data BadanPusatStatistik pada tahun 2015, perkawinan usia

anak di Indonesia, khususnya perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun

sebasar 23%. Perkawinan usia anak di Indonesia cenderung lebih tinggi di

wilayah pedesaan dibanding perkotaan (Julianto, 2016). Data menunjukkan

sebanyak 10 remaja pria dan 12 remaja wanita asal Sragen diketahui menikah di

Page 7: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

3

bawah umur sepanjang Januari hingga Juni 2016. Faktor hamil di luar nikah

mendominasi alasan remaja asal Bumi Sukowati memilih nikah dini (Duhri, 2016)

Di desa KR terdapat 4 pasangan yang menikah mudayaitudibawah 20

tahun. Keempat pasangan menyatakan bahwa masing masing dari subjek menikah

atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun.

Subjek menyatakan bahwa tidak jarang mengalami ketidakpuasan dan

permasalahan dalam pernikahanya. Subjek menyatakan bahwa belum merasakan

kepuasan yang seutuhnya karena masih sering menghadapi permasalahan dalam

pernikahan dan pemikiranya masih belum dewasa serta kadang masih berpikir

dangkal dalam penyelesaian masalah tersebut. Selain itu, pendapatan atau

keuangan seringkali memicu permasalahan dalam pernikahannya. Subjek juga

menyatakan bahwa kebahagiaannya sebelum menikah dengan sesudah menikah

berbeda karena subjek mengalami permasalahan dalam pernikahannya dan

permasalahan tersebut belum pernah subjek alami saat subjek belum menikah.

Individu yang menikah di usia remaja atau usia muda mengalami masa

remaja yang diperpendek sehingga kurang terpenuhinya tugas perkembangan di

usia remaja dan mengakibatkan pernikahan usia muda rentan terhadap konflik dan

masalah karena belum siap memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai

sepasang suami istri. Hal tersebut membuat pasangan yang menikah muda

membandingkan antara kehidupan sebelum menikah dan sesudah menikah karena

konflik yang dialami setelah menikah tidak pernah pasangan muda alami saat

sebelum menikah, sehingga hal ini membawa pasangan muda sejahtera atau

tidaknya dalam menjalankan peran sebagai pasangan muda dalam pernikahan.

Kesejahteraan tidak didapatkan begitu saja tanpa adanya usaha untuk

mencapainya. Perbedaan kondisi antara sebelum menikah dan sesudah menikah

membuat pasangan yang menikah muda perlu melakukan penyesuaian untuk

mendapatkan kesejahteraan yang sejati dalam pernikahan. Selain itu, peristiwa

yang muncul dalam pernikahan seperti permasalahan atau konflik dan bagaimana

cara menyelesaikan permasalahan tersebut dapat menganggu stabilitas

kesejahteraan dalam pernikahan.

Page 8: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

4

Menurut Joshi (2010) Subjective well-being tidak sama dengan

kebahagiaan meskipun istilah yang digunakan sinonim. Subjective well-being

adalah evaluasi individu terhadap kebahagiaan individu. SWB adalah kategori

yang luas dari fenomena yang mencakup respon individu terhadap emosional,

kepuasan domain, dan penilaian secara umum mengenai kepuasan hidup. SWB

terdiri dari dua komponen khas yaitu bagian afektif yang mengacu pada pengaruh

baik afek positif (PA) dan tidak adanya pengaruh negatif (NA) dan bagian

kognitif.

Wilson (dalam Diener dkk, 2005) menyatakan bahwa faktor kepribadian

dan faktor demografis memiliki hubungan dengan subjective well-being.

Seseorang yang muda, sehat, berpendidikan bagus, ekstrovert, memiliki self

esteem tinggi, optimis, religious, telah menikah, memiliki cita-cita, memiliki

semangat kerja, memiliki tingkat kebahagiaan atau subjective well-being yang

lebih tinggi daripada individu yang tidak tergolong pada kriteria diatas.

Subjective well-being atau kebahagiaan cenderung relatif stabil dalam

sepanjang rentang kehidupan seseorang, tetapi peristiwa tertentu yang dialami

individu dapat mengganggu stabilitas tersebut (Docherty, 2007). Permasalahan

yang muncul serta tidak terpenuhinya hak dan kewajiban sebagai suami istri

dalam pernikahan usia muda merupakan suatu peristiwa yang dapat mengganggu

stabilitas subjective well-being atau kesejahteraan subjektif pasangan yang

menikah muda.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka peneliti merumuskan pertanyaan

penelitian yaitu bagaimana subjective well-being pada pasangan yang menikah

muda dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi subjective well-being pada

pasangan yang menikah muda.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di desa KR dan di desa TG.Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan subjective well-being pada

pasangan yang menikah muda. Pengumpulan data menggunakan metode

wawancara.

Page 9: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

5

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive

sampling, yaitu informan penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan, kriteria

atau ciri-ciri yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.Kriteria informan

penelitian pada penelitian ini yaitu pasangan yang menikah pada usia 11 sampai

20 tahun.Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan yang menikah pada usia 17

sampai 20 tahun.

Tabel Informan Penelitian

No Subjek

Usia Lama

menikah Pekerjaan

Deskripsi

subjek Seka

rang

Saat

Menikah

1 AGR

(laki-

laki/suami

EA)

21 th 19 th

1 th 1 bln

Swasta

(buruh

pabrik) Belum

mempunyai

anak.

Keluarga inti

tinggal

dengan orang

tua suami.

2 EA

(perempuan

/istri AGR)

21 th 19 th Swasta

(lembaga

kursus

bahasa

korea)

3 EM (laki-

laki/suami

YA)

18 th 17 th

1,5 th

Wira

swasta

(tukang

plitur)

Mempunyai 1

anak.

Keluarga inti

tinggal

dengan orang

tua suami

4 YA

(perempuan

/istri EM)

20 th 19 th Swasta

(buruh

konveksi)

5 RB (laki-

laki/suami

YN)

24 th 19 th

4,5 th

Swasta

(tukang

mebel dan

jual

burung) Mempunyai 1

anak.

Keluarga inti

tinggal di

rumahsendiri

6 YN

(perempuan

/istri RB)

21 th 17 th Wira

Swasta

(mende

sain bunga

pernika

han)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, rata-rata subjek melakukan

pernikahan di usia muda karena keinginan dari diri subjek sendiri untuk

Page 10: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

6

menghindari zina, serta dengan menikah muda maka masih banyak tenaga untuk

merawat anak cucu kelak.

Pasangan yang menikah muda juga menilai bahwa pernikahan saat ini

sudah mendekati pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai dengan teori Eddington

dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa individu yang menikah lebih sering

merasa bahagia dibandingkan individu yang belum atau tidak menikah.

Pernikahan menawarkan keuntungan yang lebih besar bagi pria atau wanita dalam

hal emosi positif, namun tidak dalam kepuasan hidup.

Masing-masing subjek masih menyatakan adanya perbandingan antara

pernikahan yang dijalani saat ini dengan pernikahan yang ideal. Hal ini sesuai

dengan pendapat Eddington dan Shuman (2005) yang menyatakan bahwa

pasangan yang menikah muda belum tentu dapat mencapai kepuasan hidup yang

didalamnya mencakup kepuasan hidup secara global yang melibatkan persepsi

seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standar unik yang

dimilikinya.

Selama menikah, pasangan yang menikah muda tidak pernah menemui

kendala kesehatan. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan oleh Sen (dalam

Haughton dan Khandker 2006) bahwa status kesehatan merupakan indikator dari

karakteristik individu yang memiliki korelasi dengan kebahagiaan individu.

Pasangan yang menikah muda dapat merasakan kepuasan terhadap

keluarganya mulai dari orang tua hingga saudara. Menurut Hadikusuma (2007)

pola perilaku keluarga yang mencerminkan sinkronisasi dan integrasi di antara

anggota keluarga yang juga diindikasikan melalui anggota keluarga merupakan

ciri-ciri dari keharmonisan yang diperoleh dari kepuasan anggota terhadap

keluarga.

Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang telah ditekunioleh

pasangan yang menikah muda dapat memenuhi kebutuhan mulai dari kebutuhan

rumah tangga dan kebutuhan anak. Surya (2001) menyatakan bahwa tidak jarang

pria dan wanita yang tercukupi dalam pekerjaan dapat membina rumah tangga

yang harmonis, dengan karir yang dimiliki suami dan istri dapat menunjang

Page 11: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

7

kebahagiaan dan kemajuan bagi rumah tangga, karena secara ekonomi dengan

bekerja dapat membantu kelangsungan hidup keluarga secara finansial.

Pasangan yang menikah muda setiap hari merasakan afek positif yang

meliputisenang dapat satu rumah sehingga bertemu setiap hari dengan pasangan,

menghabiskan waktu bersama keluarga dengan cara main dan berkumpul dengan

keluarga untuk menjalin kedekatan, bercanda dan bermanja bersama keluarga,

serta merasa senang karena merasa disayangi oleh pasangan dan mendapat

dukungan dari keluarga.Menurut Duran dan Barlas (2016), individu memiliki

subjective well-being yang tinggi jika individu lebih sering menghadapi

pengalaman yang menyenangkan daripada yang tidak menyenangkan.

Pasangan yang menikah muda juga merasakan afek negatif yang

meliputimerasakan kecemburuan terhadap pasangan, mudah marah-marah, dan

mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ratnawati (2014) yang

menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kematangan emosi dan

keharmonisan keluarga dimana semakin tinggi kematangan emosi maka semakin

tinggi keharmonisan keluarga, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi

maka semakin rendah keharmonisan keluarga.

Faktor pertama yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan

yang menikah muda adalah optimisme. Menurut Herbyanti (2009) kebahagiaan

merupakan hal yang bisa ditumbuhkan oleh setiap individu dengan salah satu cara

yang bisa dilakukan yaitu optimis terhadap segala hal yang dilakukan.

Faktor kedua yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan

yang menikah muda adalah memiliki hubungan yang positif.Hal ini sesuai dengan

teori Pavot dan Diener (dalam Linely dan Joseph, 2004) bahwa hubungan yang

positif dengan orang lain berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan

adanya hubungan yang positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan

kedekatan emosional.

Faktor ketiga yang mempengaruhi subjective well-being pada pasangan

yang menikah muda adalah memiliki cita-cita. Hal ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan Wilson (dalam Diener dkk, 2005) bahwa memiliki cita-cita

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Individu

Page 12: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

8

yang memiliki cita-cita dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik

terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang

masa depan.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pasangan yang

menikah muda merasakan kesejahteraan yang cukup tinggi dalam pernikahan.

Kepuasan hidup secara umum yang didapat oleh ketiga pasangan muda terlihat

dari penilaian subjek terhadap pernikahan yang sudah harmonis dan sudah

mendekati pernikahan yang ideal, meskipun terkadang masih terjadi konflik

dalam pernikahan. Ketiga pasangan muda juga merasakan kepuasan hidup pada

domain tertentu seperti kesehatan, keluarga, pasangan, pekerjaan dan pendidikan

yang membuat subjek selalu mensyukuri dan menerima apa yang diperolehnya.

Secara keseluruhan pasangan muda lebih sering merasakan afek positif daripada

afek negatif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi subjective well-being pada pasangan yang menikah muda adalah

optimisme, memiliki hubungan yang positif, dan memiliki cita-cita.

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, maka saran yang

perlu diperhatikan adalah :

Subjek diharapkan mampu berpikir dan bersikap positif terhadap segala

hal yang dialami dalam pernikahan dan selalu menjadi pribadi yang lebih baik dan

bijak dalam menjalani kehidupan pernikahan

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama

diharapkan untuk lebih memperdalam faktor-faktor yang mempengaruhi

subjective well-being pada pasangan yang menikah muda dan menambah kriteria

subjek penelitian. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah pertemuan dan

menambah durasi wawancara dengan subjek penelitian, karena dalam penelitian

ini peneliti hanya melakukan satu kali pertemuan wawancara yang berdurasi

kurang lebih satu jam.

Page 13: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

9

DAFTAR PUSTAKA

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishii, R. (2005). The Satisfaction with Life Scale.

Journal of Personality Assesment, 49, 71-75

Docherty, G. (2007). The Effects of Romantic Dissolution on Well Being.

Psychological Bulletin, 127, 276-312

Duhri, M. K. (2016). Sebanyak 22 pasangan di Sragen Melakukan Pernikahan

Dini. Solopos. Diunduh dari http://www.solopos.com/2016/08/07/22-

remaja-sragen-jalani-pernikahan-dini-terbanyak-dipicu-hamil-duluan-

743173

Duran, S., & Barlas, G. U. (2016). Effectiveness of psychoeducation intervention

on subjective well-being and self compassion of individuals with mental

disabilities. International Journal of Research in Medical Sciences, 4(1),

181-188

Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being

(Happiness).Continuing Psychology Education:6 Continuing Education

Hours. Diunduh dari http://www.texcpe.com/html/pdf/ca/ca-happiness.pdf

Fajriyah., & Laksmiwati, H. (2014). Subjective Well-Being pada Pasangan yang

Menikah karena Hamil. Character. 03(2), 1-9

Hadikusuma, H. (2007). HukumPerkawinanIndonesia ;MenurutPerundangan,

HukumAdat, &Hukum Agama. Bandung: CV. MandarMaju

Haughton, J., & Khandker, S. (2006). Handbook on Poverty and Inequality.

Washington DC: World Bank

Herbyanti, D. (2009). Kebahagiaan (Happiness) pada Remaja di Daerah Abrasi.

Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(2),

Hukumonline. (n.d). Batas UsiaKawinCegahPernikahanDini

:Pengaturanbatasumurperkawinanmemberikepastianhukum.

Diunduhdarihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt536ced2eafaf5/bat

as-usia-kawin-cegah-pernikahan-dini

Joshi, U. (2010). Subjective well-being by Gender. Journal of Economics and

Behavioral Studies, 1(1), 20-26

Julianto, A. P. (2016). Pernikahan Usia Dini Bisa Hambat Laju Ekonomi.

Kompas. Diunduh dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/07/20/153639126/pernikaha

n.usia.dini.bisa.hambat.laju.ekonomi

Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive Psychology in Practice. New Jersey:

John Wiley & Sons. Inc

Puspitasari, F. (2006). Perkawinan Usia Muda : Faktor-Faktor Pendorong dan

Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa

Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya).Skripsi.

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Page 14: SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASANGAN YANG …eprints.ums.ac.id/51437/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · atas kemauanya sendiri dan tidak ada paksaan dari keluarga atau pihak manapun. ... Perbedaan

10

Ratnawati, P. (2014). Keharmonisan Keluarga antara Suami Istri Ditinjau dari

Kematangan Emosi pada Pernikahan Usia Dini. Jurnal Psikologi

Universitas Semarang. 155-165

Surya, M. (2001). Bina keluarga. Semarang: CV Aneka Ilmu