Subdural Hematoma FIX
-
Upload
ayu-nabila-kusuma-pradana -
Category
Documents
-
view
168 -
download
11
description
Transcript of Subdural Hematoma FIX
LAPORAN KASUS
SUBDURAL HEMATOMA
Disusun oleh:
Attika Dini Ardiana
(030.10.042)
Pembimbing :
dr. Budi Wahjono, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
RSAL Dr. MINTOHARDJO JAKARTA
PERIODE APRIL - MEI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
MEI 2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
SUBDURAL HEMATOMA
Disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Ujian Profesi Kedokteran
Bagian Ilmu Saraf
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta
Pada Tanggal : 7 Mei 2015
Tempat : RSAL Dr. Mintohardjo
Telah Disetujui Oleh :
Dokter Pembimbing
dr. Budi Wahjono, Sp.S
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus dengan judul
“Subdural Hematom”. Laporan kasus ini diajukan dalam rangka melaksanakan tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo periode April
2015 – Mei 2015 dan juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi penulis serta pembaca
mengenai epidural hematom. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan laporan kasus ini,
kepada dr. Budi Wahjono, Sp.S, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan
saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar case report ini dapat menjadi
lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang membacanya. Penulis memohon maaf sebesar-
besarnya apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam laporan kasus ini.
Jakarta, Mei 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN......................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 5
BAB II LAPORAN KASUS..................................................................... 6
1.1 Status Neurologis Pasien........................................................ 6
1.2 Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 9
1.2.1 Hasil Pemeriksaan CT Scan........................................... 14
1.2.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium................................. 14
1.3 Ringkasan................................................................................ 16
1.4 Assesment............................................................................... 16
1.4.1 Dx1................................................................................ 16
1.4.2 Dx 2.............................................................................. 16
1.5 Penatalaksanaan...................................................................... 16
1.5.1 Penatalaksanaan Non Medikamentosa......................... 16
1.5.2 Penatalaksanaan Medikamentosa................................. 17
1.6 Prognosis................................................................................. 17
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………... 21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 45
4
BAB I
PENDAHULUAN
Di beberapa negara maju menunjukkan data trauma kepala mencapai 26% dari
jumlah keseluruhan kecelakaan, yang menyebabkan seseorang tidak bisa bekerja. Kurang
lebihnya 33% kecelakaan berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitisnya.
Di Indonesia, Depkes RI th 2007, cedera kepala menempati urutan ke 7 dari 10
penyakit penyebab kematian dari keseluruhan pasien rawat inap di rumah sakit, dan pada
2008 menjadi urutan ke 6.
Trauma kapitis merupakan kegawat daruratan sehingga perlu segera ditangani.
Trauma akibat adanya daya mekanik yang langsung menghantam kepala. Akibatnya
biosa terjadi fraktur tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan
intyrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intracerebral hematom.
Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambahnya volume
perdarahan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri
kepala,papil edem, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap selanjutnya
hematoma yang terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang
ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya pupil anisokor dan terjadinya hemiparesis
kontralateral.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Status Neurologis Pasien
STATUS NEUROLOGI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Pendidikan
Alamat
Tanggal Masuk
Nomor CM
: Tn. Imam
: 23 Tahun
: Laki Laki
: Menikah
: SLTA
: Jl. Pondok pinang no 15
: 3 Mei 2015
: 13.23.65
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama Nyeri kepala sejak 2 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan nyeri pada
kepalanya, setelah jatuh terpeleset dari lantai 15 ke lantai 14 kurang lebih sekitar 3
meter dengan kepala terbentur terlebih dahulu pada saat pasien sedang bekerja
sebagai tukang bangunan. Setelah terjatuh kemudian pasien tak sadarkan diri dan
langsung segera dibawa ke rumah sakit oleh temannya dengan cara pasien
digendong badan dan kakinya kemudian pasien langsung diantar ke rumah sakit
menggunakan mobil. Sesampainya di rumah sakit, pasien langsung sadar dan
mengeluhkan sakit pada kepalanya. Selain sakit kepala, pasien juga mengalami
mual dan muntah di rumah sakit, muntah yang dialami pasien bersifat menyembur
dan memuntahkan muntah yang berisi makanan. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya rasa penuh dan berdenging pada telinganya, serta adanya
cairan bewarna merah segar yang keluar dari telinga sebelah kanannya. Gejala lain
6
seperti kejang, lemah tubuh sesisi, bicara pelo ataupun pingsan berulang disangkal
oleh pasien. Pasien juga menyangkal adanya konsumsi alkohol dan obat obatan
tertentu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien menyangkal adanya riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, alergi makanan
dan alergi obat
4. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien menyangkal adanya riwayat keluarga
yang menderita hiertensi, diabetes mellitus,
alergi makanan dan alergi obat
5. Riwayat Sosial Ekonomi dan
Pribadi
Pasien bekerja sebagai tukang bangunan
III. OBJEKTIF
1. Status Pasien
- Kesadaran
- Tekanan darah
- Nadi
- Pernafasan
- Suhu
- Kepala
- Leher
- Thoraks
Jantung
Paru-paru
- Abdomen
: GCS E4V5M6
: 120/80
: 88x/Menit
: 20x/Menit
: 36.40 C
: Normo cephali
: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar, JVP Tidak meningkat simetris.
: Simetris, retraksi sela iga (-)
: Bj I&II regular, murmur (-) gallop (-)
: SDV +/+, rh -/-, Nh -/-
: buncit, warna sama dengan sekitar, BU (+)
timpani, nyeri tekan (-)
2. Status Psikikus
- Cara berpikir
- Perasaan hati
- Tingkah laku
- Ingatan
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
7
- Kecerdasan : Baik
3. Status Neurologis
A. Tanda rangsal meningeal- Kaku kuduk
- Brudzinski I
- Brudzinski II
- Laseque
- Kernig
B. Kepala- Bentuk
- Nyeri tekan
- Pulsasi
- Simetri
C. Leher- Sikap
- Pergerakan
D. Afasia motorik
- Afasia sensorik
- Disartria
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Norma cephalic
: Negatif
: Tidak ada
: Simetris
: Tegak / lurus
: Mobile / tidak ada hambatan
: Negatif
: Negatif
E. Nervi kranialis
N.I (Olfactorius)
- Subjektif
- Dengan beban
N.II (Optikus)
- Tajam penglihatan
- Lapang penglihatan
- Melihat warna
KANAN
: Kesan normal
: Kesan normal
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak dilakukan
KIRI
: Kesan normal
: Kesan normal
: Tidak ada Kelainan
: Tidak ada Kelainan
: Tidak dilakukan
8
- Fundus Okulie
N.III (Okulomotorius)
- Sela mata
- Pergerakan bulbus
- Strabismus
- Nistagmus
- Eksoftahalmus
- Pupil
Besarnya
Bentuknya
- Reflex cahaya
- Reflex cahaya konsensual
- Reflex konvergensi
- Melihat kembar
N.IV (Trokhlearis)
- Pergerakan mata
- (kebawah-kedalam)
- Sikap bulbus
- Melihat kembar
N.V (Trigeminus)
- Membuka mulut
- Mengunyah
- Menggigit
- Reflex kornea
- Sensibilitas muka
: Tidak dilakukan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: ± 3mm
: Bulat / regular
: Positif
: Positif
:
: Tidak ada
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Positif
: Tidak ada kelainan
: Tidak dilakukan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
± 3mm
Bulat / regular
Positif
Positif
Tidak ada
Tidak ada Kelainan
Tidak ada Kelainan
Tidak ada Kelainan
Tidak ada Kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Positif
: Tidak ada kelainan
9
N.VI (Abducen)
- Pergerakan mata (ke lateral)
- Sikap bulbus
- Melihat kembar
N.VII (Facialis)
- Mengerutkan dahi
- Menutup mata
- Memperlihatkan gigi
- Bisul
- Perasaan lidah (2/3 depan)
- Hiperakusis
N.VIII (Vestibulokokhlearis)
- Detik arloji
- Suara berbisik
- Tes Swabach
- Tes Rinne
- Tes Weber
N.IX (Glossefaringeus)
- Perasaan lidah (1/3 belakang)
- Sensibilitas faring
N.X (Vagus)
- Arcus faring
- Berbicara
- Menelan
- Nadi
- Reflex okulokardiak
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Positif
: Positif
:Positif
: Tidak Dilakukan
: Tidak Dilakukan
: Tidak Dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Simetris
: Normal
: Tidak ada Kelainan
: 87 x/menit, regular
: Tidak dilakukan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: Positif
: Positif
:Positif
: Tidak Dilakukan
: Tidak Dilakukan
: Tidak Dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Simeteris
: Normal
: Tidak ada Kelainan
: -
: Tidak dilakukan
10
N.XI (Accecorisus)
- Mengangkat bahu
- Memalingkan kepala
N.XII (Hipoglossus)
- Pergerakan lidah- Tremor lidah- Artikulasi
F. Badan dan Anggota gerak
1. Badan
- Respirasi
- Gerak kolumna vertebralis
- Sensibilitas
- Takil
- Nyeri
- Suhu
- Diskriminasi titik
2. Anggota gerak atas
- Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus
- Reflex fisiologis
Biseps
Triseps
Radius
Ulna
- Reflex patologis
:Tidak ada Hambatan
: Tidak ada hambatan
: Lateralisasi kanan
: Tidak ada
: Pelo
: abdomino-thoracal
: Simetris
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak ada hambatan
: 5
: eutrofi
: Normotonus
: Positif
: Positif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Tidak ada hambatan
: Tidak ada hambatan
: Lateralisasi kanan
: Tidak ada
: Pelo
: abdomino-thoracal
: Simetris
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak ada hambatan
: 3
: Eutrofi
: Normotonus
: Positif
: Positif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
11
Horman – Tromner
- Sensibilitas
Takil
Suhu
Nyeri
Diskriminasi 2 titik
3. Anggota gerak bawah
- Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus
- Reflex fisiologis
Patela
Achiles
- Reflex patologis
Babinski
Chaddock
Schaeffer
Oppanheim
Gordon
Meridei
Bechterew
Rossalimo
- Klonus
Paha
Kaki
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Positif
: Tidak dilakukan
: Tidak ada hambatan
: 5
: Eutrofi
: Normotonus
: Positif
: Positif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Menurun
: Tidak dilakukan
: Tidak ada hambatan
: 5
: Eutrofi
: Normotonus
: Positif
: Positif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
12
- Sensibilitas
Takil
Suhu
Nyeri
Diskriminasi 2 titik
G. Koordinasi, gait dan keseimbangan
- Cara berjalan
- Tes Rombers
- Disdiadokinesis
- Ataksia
- Rebound phenomenoa
- Dismetri
H. Gerak abnormal
- Tremor
- Athetose
- Mioklonik
- Chorea
I. Alat vegetativ
- Miksi
- Defekasi
- Reflex anal
- Reflex kramaster
- Reflex bulbokavernosus
J. Laseque
- Patrick
- Kontra Patrick
: Positif
: Tidak dilakukan
: Positif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Tidak ada Kelainan
: Tidak ada Kelainan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
: Positif
: Tidak dilakukan
: Positif
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Tidak ada Kelainan
: Tidak ada Kelainan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Negatif
: Negatif
13
2.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit
Eritosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
- 18.100
4.22
- 12.6
- 38
209.000
ribu/ul
juta/ul
gldL
%
ribu/ul
5.000 – 10.000
4.6 – 6.7
14 – 16
47 – 48
150.000 – 450.000
2. Foto Thorax
14
Gambar 1. Foto Thorax
3. CT Scan
Gambar 2. CT Scan Kepala
15
2.3 Ringkasan
Pasien datang ke UGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan nyeri pada kepalanya,
setelah jatuh terpeleset sekitar 3 meter dengan kepala terbentur terlebih dahulu pada saat pasien
sedang bekerja sebagai tukang bangunan. Setelah terjatuh kemudian pasien tak sadarkan diri dan
sesampainya di rumah sakit, pasien langsung sadar dan mengeluhkan sakit pada kepalanya.
Selain sakit kepala, pasien juga mengalami mual dan muntah di rumah sakit, muntah yang
dialami pasien bersifat menyembur dan memuntahkan muntah yang berisi makanan. Selain itu,
pasien juga mengeluhkan adanya rasa penuh dan berdenging pada telinganya, serta adanya cairan
bewarna merah segar yang keluar dari telinga sebelah kanannya.
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal, pemeriksaan neurologi terdapat
refleks fisiolois positif, refleks patologis negatif, kekuatan motorik baik ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah didapat kan nilai 5, dan tidak ada penurunan fungsi sensibilitas. Tanda
rangsang meningeal dan lesi nervus kranialis negatif. Dari hasil pemeriksaan penunjang: Foto
thorax: dalam batas normal, CT-Scan : terdapat subdural hematom pada temporo parietal dextra.
Hasil laboratorium didapatkan hasil leukosit : 18.100, eritrosit: 4.22 juta/dl, hemoglobin : 12,6,
hematokrit : 38%, trombosit : 209.000/ul
2.4 Assesment
1. Dx1
- Diagnosis klinis : Cephalgia, Tinnitus AS, Bloody ottorhea
- Diagnosis etiologis : Trauma Kapitis
- Diagnosis topis : Temporal dextra
- Diagnosis patologis : SDH, Fraktur os temporal dextra
2. Dx 2
Vulnus laceratum temporal dextra
2.5 Penatalaksanaan
- Penatalaksanaan Non Medikamentosa
bed rest
- Penatalaksanaan Medikamentosa
16
Infus NaCl 0,9% 1500cc/24 jam
Injeksi Neulin 500 mg 2 x 1 amp I.V
Injeksi Ketesse 2x1 amp
Mannitol 4x125 cc
Ranitidin 2x50 mg IV
Ketetorolac 3x30 mg IV
Ceftriaxon 2x2 gr IV
Ondansetron 3x1 tablet
Konsul THT
Rontgen Cervical
CT Scan kontras dan non kontras
2.6 Prognosis
a. Ad Vitam : dubia ad bonam
b. Ad Functionam : dubia ad malam
c. Ad Sanationam : dubia ad malam
17
Follow up tanggal 3 Mei 2015
Subjektif Nyeri kepala, pusing berputar, telinga kiri berdenging, nyeri
dada
Objektif TSR , GCS E4M6V5
TD : 110/80 mmHg FN : 88 x/menit RR : 16x/menit T : 36,7oC
Mata : Pupil Isokor, RCL +/+, RCTL +/+
M
S
RF
RP
LNK : -TRM : -
Assessment Ax1
Klinis : cephalgia, vertigo, tinnitus AS, bloody ottorhea AD
Etiologi : Trauma kapitis
Patologis : SDH Akut
Topis : Temporal kanan
Ax2 : Vulnus laceratum parietal dextra
Planning IVFD NaCl 0,9% 1500 CC/24 JAM
Injeksi neulin 2x 500mg
Injeksi manitol 4x 125 cc
Ketorolac 3 x 30 mg
Fenitoin 3x100mg po
Ondansetron 3x4 mg IV
18
5 5
5 5
+ +
+ +
+ +
+ +
- -
- -
Ceftriaxon 2x2 gr
Rontgen cervical
Follow up tanggal 4 Mei 2015
Subjektif Kepala sakit seperti ditusuk tusuk, mual, muntah berisi makanan,
telinga kiri masih berdenging
Objektif TSS , GCS E4M6V5
TD : 110/80 mmHg FN : 88x/menit RR : 16x/menit T : 36,4oC
Mata : Pupil Isokor, RCL +/+, RCTL +/+
M
S
RF
RP
LNK : -TRM : -
Assessment Ax1 Klinis : cephalgia, tinnitus AS, bloody ottorhea AD
Etiologi : Trauma kapitis
Patologis : SDH
Topis : Temporal kanan
Ax2 : Vulnus laceratum parietal dextra
Planning IVFD RL 14 tpm
Injeksi Terfacef 2x2 gr
Inj ketesse 3x1 amp (Dalam 20 cc cairan)
Injeksi neulin 2x 500mg
Ranitidin 2x1 tablet
19
5 5
5 5
+ +
+ +
+ +
+ +
- -
- -
Ondansetron 3x4 mg IV
Zinc 1x1 tablet
Konsul THT
Follow up tanggal 5 Mei 2015
Subjektif Kepala sakit seperti ditusuk tusuk, mual -
Objektif TSS , GCS E4M6V5
TD : 120/80 mmHg FN : 84x/menit RR : 16x/menit T : 36,5oC
Mata : Pupil Isokor, RCL +/+, RCTL +/+
M
S
RF
RP
LNK : -TRM : -
Assessment Ax1 Klinis : cephalgia, tinnitus AS, bloody ottorhea AD
Etiologi : Trauma kapitis
Patologis : SDH
Topis : Temporal kanan
Ax2 : Vulnus laceratum parietal dextra
Planning IVFD RL 14 tpm
Injeksi Terfacef 2x2 gr
Inj ketesse 3x1 amp (Dalam 20 cc cairan)
Injeksi neulin 2x 500mg
Ranitidin 2x1 tablet
Ondansetron 3x4 mg IV
20
5 5
5 5
+ +
+ +
+ +
+ +
- -
- -
Zinc 1x1 tablet
Otopain tetes telinga 3x4 tetes AD
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
hematoma subdural adalah penimbunan darah didalam rongga subdural ( diantara
durameter dan arakhnoid ). Perdarahan ini sering terjadi akibat robekna vena jembatan yang
berada diantara kortek cerebri dan sinus venous.
Gambar 1. Subdural Hematoma
Perdarahan subdural disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang terkumpul
hanya 100 - 200 cc dan berhenti karena tamponade hematoma sendiri. setelah 5 - 7 hari hematom
mengadakan reorganisasi sendiri dan selesai dalam 10 - 20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memicu lagi terjadinya
perdarahan perdarahan kecil yang membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan
21
dan sisa darah. Subdural hematom dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut, dan kronik. Akut
kurang dari 72 jam, subakut 3 - 7 hari setelah trauma, kronik bila 21 hari atau lebih setelah
trauma.
3.2 Anatomi
3.2.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan "SCALP" yaitu Skin, Connective tissue, Aponeurosis,
Loose connective tissue, dan Pericranium.
Gambar 2. SCALP
3.2.2 Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Rongga tengkorak dasar
22
dibagi menjadi 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis,
dan fosa posterior ruang bagian bawah otak dan serebelum.
Gambar 3. Calvaria
3.2.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater terdiri atas dua lapisan yaitu endosteal dan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari kranium. karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, terdapat suatu ruang
potensial (subdural) yang terletak antara durameter dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.pada cedera otak, pembuluh vena yang menuju sinus sagitalis superior
digaris tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural.
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan selaput yang tipis tembus pandang. Selaput ini terletak
antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak.
23
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks cerebri. Piamater adalah membrana
vaskuler yang membungkus otak dengan erat.
Gambar 4. Meningen
3.2.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan), mesensefalon (otak tengah),
dan rhombensefalon (otak belakang).
Gambar 5. Lobus otak
24
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus yaitu, frontal, parietal, temporal.
Mesensefalon dan pons bagian ataas berisi sistem aktifasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertugas dalam
fungsi keseimbangan.
3.2.5 Cairan Serebrospinalis
Cairan Serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi 20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direarbsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata rata pada dewasa volume CSS
sekitar 150 ml.
Gambar 6. CSS
3.2.6 Tentorium
Tentorium serebli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
3.2.7 Perdarahan Otak
25
Arteri carotid interna membekalkan darah ke daerah sirkulasi serebral anterior.
Arteri vertebral dan basilar membekalkan di daerah sirkulasi posterior. Arteri carotid externa
paling banyak membekalkan darah di daerah ekstrakranial dan struktur leher (kecuali pada
daerah orbit) dan penting untuk pembekalan darah di meningea. Banyak pertemuaan
anastomoses di antara arteri karotis externa dengan sirkulasi anterior dan posterior.8
Gambar 2: Perjalanan A. meningea mediaPara arteri meningeal medial ke atas melewati foramen spinosum. Dalam tengkorak
melewati lateral dan kemudian naik pada tulang temporal skuamosa di dalam alur, dengan vena
yang sesuai. Cabang anterior melewati ke atas dan mundur menuju titik dan cabang posterior
melewati mundur. Ini memasok dura mater dan tulang-tulang tempurung kepala. Setelah cedera
kepala mungkin berdarah untuk menghasilkan subdural perdarahan, gejala yang mungkin
tertunda selama beberapa waktu setelah cedera.17 Percabangan di daerah posterior termasuk arteri
occipital. Arteri ini membekalkan otot, scalp dan dura mater melalui percabangan arteri
petromastoid. Arteri mengingeal media (97.24) ke atas melewati arteri temporal superficial
melalui foramen spinosum dan membentuk angular. Kemudian percabangan posterior ke arah
26
lambda melewati tulang temporal squamous. Arteri meningeal media membekalkan dura mater
dan daerah dalam tengkorak serta ateri oftalmikus. Arteri temporal superficial merupakan
pembekal utama scalp. Kemudiannya bercabang di daerah proksimal, arteri fasial transversal ke
zygomatik arc, percabangan di atas cranium
3.3 Epidemiologi
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5- 25% pasien dengan trauma kepala
berat. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1 - 3 kasus per 100.000 populasi. Laki - laki
lebih sering terkena dibanding perempuan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional tentang
morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan
dengan faktor umum yang berhubungan dengan faktor resiko pada cedera kepala. Lebih sering
ditemukan pada pasien dengan umur 50 - 70 tahun. Pada orang tua bridging veins mulai agak
rapuh sehingga mudah pecah bila terkena trauma.
3.4 Klasifikasi
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. biasanya terjadi pada
cedera kepala yang berat, pada pasien biasanya sudah terganggu kesadarannya dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT-
scan terdapat gambaran hyperdens.
b. Perdarahan subakut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4 - 21 hari setelah trauma. Awal
pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap.
Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda tanda status neurologis
yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi
27
fase herniasi yang menekan batang otak. pada gambaran scaning tomografinya didapatkan
gambaran lesi isodens atau hypodens.lesi isodens didapatkan karena adanya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma atau lebih. Bahkan hanya terbentur ringan
pun bisa mengalami perdarahan subdural bila pasien juga mengalami gangguan vaskuler atau
gangguan pembekuan darah.pada subdural kronik kita harus berhati hati karena hematoma ini
bisa membesar dan mengakibatkan penekanan dan herniasi.
3.5 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera / trauma kepala hebat, seperti perdarahan yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdura.
Perdarahan subdural terjadi pada:
Trauma
Trauma kapitis
Trauma ditempat lain pada badan yang berakibat terjadinya pergeseran atau putaran otak
terhadap durameter, misalnya pada orang jatuh terduduk.
Non trauma
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.
3.6 Patofisiologi
28
Perdarahan terjadi antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya bridging veins yang menghubungkan vena dipermukaan otak dan sinus venosus di
dalam durameter atau karena robeknya arachnoidea. Karena otak yang dipenuhi cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek vena - vena halus pada tempat dimana
mereka menembus duramater.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan disekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat nyang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan menggembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intrakranial yang berangsur meningkat.
gambar 7. Lapisan subdural.
Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun trauma kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan hematoma yang besar sebelum klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang
kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus perdarahan subdural tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah didalam membran ini memegang peranan penting, karena
29
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke
axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. pada fase ini peningkatan tekanan intrakranial
terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun
demikian pembesaran hematoma pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains kranial berkurang menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial yang sangat besar.
Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya pendarahan subdural kronik, teori
Gardner mengatakan bahwa sebagian bekuan darah akan mencair dan akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat didalam kapsul dari subdural hematom.karena tekanan onkotik
yang meningkat tersebut mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ada
kontoversional dari teori tersebut, yaitu ternyata dari penelitian bahwa tekanan onkotik didalam
didalam subdural kronik adalah normal mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang kedua
mengatakan bahwa, pendarahan berulang yang dapat mengakibatkan perdarahan subndural
kronik.
Penyembuhan pada dimulai dari pembekuan darah. Pembentukan skar dimulai dari sisi
dura dan secara perlahan meluas ke seluruh permukaan bekuan. Hasil akhir dari penyembuhan
tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis menempel pada duramater.
Sering kali pembuluh darah besar menetap pada skar sehingga rentan terjadi perlukaan
berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu untukm penyembuhan
tergantung imunitas per individu sendiri.
30
3.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat
benturan dan kecepatan pertambahan volume SDH.
Penderita - penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus
yang menyebabkan mereka tidak sadar dengan gejala gangguan batang otak. Penderita dengan
SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai berat nya
benturan trauma pada saat kecelakaan. Keadaan selanjutnya akan dipengaruhi oleh percepatan
pertambahan hematoma dan penanggulangannya.
Gejala - gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma.
Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering. Lesi pasca
trauma baik hematoma atau lesi pada parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil
yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Tetapi gambaran motorik dan gambaran
pupil tidakmerupakan indikator mutlak untuk menentukan letak hematoma. Gejala motorik
mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH.Trauma
langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat trauma menyebabkan dilatasi pupil
kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak
SDH.
a. Hematoma Subdural Akut
Menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan
dengan cedera berat. Gangguan progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada
31
batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut dan tekanan darah.
b. Hematoma subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan devisit neurologik dalam waktu lebih dari 48jam tapi kurang
dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu penderita menunjukkan tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita dapat
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respons terhadap rangsang bicara
maupun nyeri. Seperti hematoma subdural akut, pergesaran isi intracranial dan peningkatan
tekanan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus
atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologic dari kompresi batang otak
c. Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural kronik, trauma otak yang menjadi penyebab sangat ringan sehingga
terlupakan. Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cederah pertama.4
Tanda dan gejala pada hematoma subdural kronis biasanya tidak spesifik, tidak
terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh proses penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh sakit
kepala. Tanda dan gejala paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran
termasuk apati, letargi dan berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Hemianopsia, hemiparesis dan kelainan
pupil ditemukan kurang dari 50% kasus. Bila terdapat afasia, pada umumnya tipe anomik yaitu
afasia lancar dengan pengulangan dan pengertian (Cohen et al., 1983)
32
3.8 Diagnosis
3.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik adanya jejas ataupun
tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran. Jika pernah ditanyakan
pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah tanyakan
juga tetap sadar atau kembali menurun kesadarannya, dan perhatikan juga periode lamanya sadar
atau lucid interval. Untuk tambahan perlu juga ditanyakan pernah muntah atau kejang pada saat
setelah terjadinya trauma kepala. Hal ini untuk mengetahui penyebab utama penderita tidak sadar
apakah karena sumbatan saluran nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih
berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya
kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit
lain yang sedang diderita, obat - obatan yang sedang dikonsumsi , dan apakah dalam pengaruh
alkohol.
3.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas, pernafasan dan tekanan darah atau nadi yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas
harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi dan juga diberikan bantuan nafas
dengan pemberian oksigen. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk
memantau terjadinya hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segera di terapi cairan.
33
Pemeriksaan kesadaran dengan menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik,dan juga verbal atau nyeri.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS,
lateralisasi dan reflek pupil untuk deteksi dini gangguan neurologis.
3.8.3 Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/ koagualsi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk melihat SDH. Sering dipakai untuk
meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan konsistensi
antara fraktur tengkorak dengan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap
SDH.
c. CT-scan
34
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostic standar terpilih (gold standard) untuk
kasus cedera kepala dan prosedur ini tidak bersifat invasive, juga memiliki kehandalan yang
tinggi. Dari pemeriksaan ini dapat diperoleh infrmasi yang lebih jelas tentang lokasi dan adanya
perdarahan intracranial, edema, kontusi, udara, benda asing intracranial serta pergeseran struktur
di dalam rongga tengkorak.3
Ada pendapat yang menyatakan, pemeriksaan CT-scan selepas kejadian akan memberikan
keputusan yang negative. Namun, insidens menunjukkan sangat rendah yaitu <0.02%. Oleh
kerana itu indikasi CT-scan pada pemeriksaan triage dapat dipercayai 100%.13
CT scan kepala dapat dibuat dalam dua window level, yaitu: window jaringan (window
normal) untuk melihat hematoma intra dan ekstrakranial; window tulang untuk melihat fraktur
neurocranium maaupun viscerocranium. Densitas lesi dapat dibagi atas high density atau
hiperdens, isodensiti dan low density atau hipodense.1 Densitas normal otak ialah 18 – 30 H.5
Perbedaan gambaran sken computer tomografi antara lesi akut, subakut dan kronis agak
sulit. Kebanyakan hematom berkembang segera setelah cedera, tetapi ada juga yang baru timbul
kemudian sampai satu minggu.3
Pada hematoma subdural akut tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit)
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan hematoma epidural. Batas medial
hematom bergerigi. Adanya hematoma di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukaN adanya hematoma subdural.1 Ukuran densitas hiperdens ialah kira-kira 50 – 60 H.
Berbeda pada pasien yang mengalami anemia berat atau kehilangan darah massive (hyperakut
subdural hematoma) akan mengalami isodens atau hipodens.5
35
Gambar 3: Gambaran crescent shape yang hiperdens dan bilateral
Gambaran CT Scan untuk hematom subdural kronik ialah kompleks perlekatan,
transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam perubahan, oleh karena itu tidak
ada pola tertentu. Tampak juga area hipodens, isodens atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi prinsipnya, gambaran hematoma subdural
akut adalah hiperdens. Semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga menjadi isodense,
bahkan akhirnya menjadi hipodens.1
36
Gambar 5: CT Scan potongan axial pada hematoma subdural akut disertai kompresi ventrikel lateral kiri.7
Gambar 4: Gambaran subdural hematoma setelah 3 minggu. Gumpalan darah telah terserap dan density rendah.10
Ada 4 macam tampilan CT-scan untuk Hematoma subdural kronik, yaitu:
1. Tipe I Hipodens kronik subdural Hematoma
2. Tipe II Kronik subdural hematoma densitas inhomogen
3. Tipe III Isodens kronik subdural hematoma (2 – 4 minggu)
4. Tipe IV Slightly hiperdens kronik subdural hematoma
Densitas hematoma subdural meningkat kerna adanya clot retraksi. Densitas semakin
menurun kerana berlakunya degradasi protein di dalam hematoma. Jika terjadinya perdarah
ulang pada saat hematoma mulai berevolusi akan terlihat gambaran dengan densitas yang
berbeda. Efek hematokrit akan tergambar pada perdarahan ulang atau pasies dengan gangguan
pembekuan darah.5
37
Gambar 7: Subdural hematoma pada Ct –scan potongan axial dengan gambaran hiperdens di daerah frontoparietal sinistra. Ventrikel kiri terdorong sehingga ventrikel kanan dilatasi.7
Gambar 6: gambaran subdural hematoma isodens pada pemeriksaan Ct-scan kontras
Jika hematoma subdural terletak di daerah vertex, pada potongan axial tidak akan dapat
tergambar, oleh itu diperlukan potongan coronal untuk gambaran yang jelas.7
Penemuan spesifik yang dapat ditemukan pada hematoma subdural kronik ialah
pemindahan parenkim otak jaoh dari tulang cranium dan batas convex menjadi rata bahkan
konkave. Bilateral hematoma bisa menyebabkan kompresi medial pada kedua-dua ventrikel
hingga tergambar ventrikel yang menyempit atau berbentuk garisan(rabbit’s ear sign). Gejala-
gejala lain yang dapat membantu mendiagnosa ialah hilangnya gambaran sulci, terjadinya
midline shift, deformitas anatomy ventrikel dan obliterasi sistern basal. Semua gejala ini dapat
menegakkan diagnose jika lokasinya di seperolateralli
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
Pemeriksaan MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun
kerusakan otak yang kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan gambaran yang lebih
jelas terutama lesi hipodens pada CT Scan atau lesi yang sulit dibedakan densitasnya dengan
korteks.2
Gambaran hematoma subdural pada MRI tergantung pada status biokemikal
hemoglobinnya, yang berbeda-beda mengikut usia hematoma. Hematoma subdural akut isointens
pada T1W1 berbanding otak dan hipointens pada T2W1. MRI membantu pada fase subakut,
dimana hematoma tampak isodens atau hipodens di gambaran CT scan. Kewujudan
methemoglobin di hematoma subdural memberikan signal intensity yang tinggi. Signal tinggi
dapat dibedakan secara jelas pada pengumpulan cairan non-hemoragik.5
38
Gambar 8: Kronik subdural hematom pada gambaran CT scan dengan potongan coronal7
Hematoma akut memberikan gambaran TR yang gelap kerana efek suseptibel. Pada awal
fase subakut gambaran perifer yang terang dengan sentral yang hipointens kerna adanya
terbentuknya extracellular methemoglobin di bagian perifer. Pada fase lanjut subakut pembekuan
akan terjadi secara menyeluruh hiperintens. Apabila darah mula diserap kembali secara perlahan-
lahan, signal intensitas akan berkurang pada T1 menjadi hipointens atau isointens berbanding
white matter tapi lebih intens dari cairan cerebrospinal kerna kandungan protein.5 Pada fase
kronik, MRI dapat mengklasifikasikan kepada lima tipe yaitu; low, high, mixed intensity,
isointensity dan layered.
MRI dapat memberikan gambaran lentiform atau gambaran biconvex jika diambil dari
potongan coronal, berbanding gambaran crescent-shaped appearance pada potongan axial CT
Scan. Gambaran MRI yang multiplanar dapat membantu identifikasi convex yang kecil dan
vertex hematom yang mungkin tidak dapat terdeteksi pada CT Scan potongan axial atau coronal.5
Untuk membedakan hematoma subdural dan hygroma subdural, pemeriksaan proton-
density weighted sequences atau FLAIR diperlukan. Hematoma subdural dapat dibedakan
39
Gambar 9: gambaran MRI (T1-weighted) subdural hematoma pada hemisfera kiri10
Gambar 10: Gambaran subdural hematoma bilateral
dengan CSF-like substansi melalui signal proton T1- dan T2 sequence. Namun dalam gambaran
FLAIR, hematoma akan tergambar lebih jelas tinggi intensnya dari cairan serebrospinal.9
E. DIFFUSION-WEIGHTED IMAGING (DWI)
DWI memberikan gambaran hematoma subdural dengan intensitas yang berbeda
tergantung usi hematoma. Kelebihan penggunaan DWI ialah kemampuannya untuk deteksi
mendasari atau terkait lesi parenchymal.
Gambar 12: Gambaran perdarahan subdural 2 minggu setelah onset a) T1-weighted b) T2-weighted c) dan d)
hiperintense DWI e) hipointens lesi f) gambaran coronal hiperintens6
40
Gambar 11: Gambaran hematoma subdural kronik pada pemeriksaan MRI (FLAIR) yang hiperintense
F. ANGIOGRAFI
Pada kasus post-traumatik hematoma subdural sangat jarang digunakan angiografi untuk
mendapatkan diagnostic. Tetapi angiografi dapat membantu menegakkan diagnosis jika etiologi
terjadinya hematoma subdural akibat gangguan pada vessel di serebral seperti rupture dinding
vena, postrauma aneurisme, arterio-venous malformation atau fistula. Pemeriksaan ini dapat
membedakan koleksi darah yang mildly hiperdens dengan tulang-tulang adjacent yang
hiperdensity.
3.9 Diagnosis Banding
1. EPIDURAL HEMATOM
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural, mempunyai ciri gambaran khas
berupa bentuk bikonveks atau lentikuler (ada perlekatan yang erat antara dura dengan tabula
interna sehingga hematom menjadi terbatas). Hematom subdural cenderung lebih difus
berbanding dengan hematom epidural dan mempunyai tampilan batas dalam yang konkav sesuai
dengan permukaan otak.
EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL HEMATOM
INSIDEN 1-4% kasus trauma;
10% kasus trauma fatal
10-20% semua kasus trauma;
30% kasus trauma fatal
ETIOLOGI 85-95% disertai fraktur;
70-80% laserasi Arteri meningeal
media/sinus dural venous
Vena kortikal di pon robek
SITE Diantara tulang cranial dan dura mater;
Melintasi dura mater tapi tidak sutura
cranialnya;
95% supratentorial
Diantara dura mater dan
arachnoid mater;
Melintasi sutura cranial tapi
tidak dura mater;
41
5% subtentorial
5% bilateral
95% supratentorial
5% bilateral
PENEMUAN
CT
Bentuk biconvex;
Pendorongan white-gray matter pada
daerah yang terganggu;
66% hiperdens;
33% campuran (hiper-/hipodens)
Akut: 60% hiperdens;
40% campuran
(hiper-/hipodens)
Subakut: isodens
Chronic: hipodense
Crescent shape;
Gambar 13: CT Scan menunjukkan epidural hematoma (anak panah putih), subdural hematoma (anak panah hitam), intracerebral hematoma (anak panah putih kecil) dan subarachnoid hemorage (anak panah hitam kecil).
Jika gejala-gejala hilangnya gambaran sulci, terjadinya midline shift, deformitas anatomy
ventrikel dan obliterasi sistern basal di lokasi yang lebih anterior dan medial, intensity yang
hiperdens, diselaputi kapsul yang tebal serta berkemungkinan bentuk bikonvek mengelirukan
dengan ekstradural hematoma. Untuk membedakannya, pemeriksaan MRI diperlukan
2. NEOPLASMA
42
Intracranial neoplasma dan hematoma subdural kronik amat sukar dibedakan tanpa
bantuan neuroimaging. Menifestasi klinis untuk neoplasma seperti nyeri kepala, gangguan status
mental berubah dan tanda neurologic fokal sama dengan hematoma subdural. Untuk
membedakannya pemeriksaan CT-scan atau MRI diperlukan.16
3. EKSTRADURAL HEMATOMA
Extradural hematoma ini dipandang sebagai cembung gandayang high-density daerah segera
yg terletak di bawah ke kubah. Paling sering di daerah frontoparietal, tetapi mungkin terjadi di
fossa posterior. Kadang-kadang daerah kurang padat muncul, mungkin karena darah tidak
membeku, dan jika mereka harus kambuh setelah operasi bentuk klasik mungkin akan hilang.
Ventrikel lateral yang khas mengungsi ke sisi kontralateral, dan biasanya ada beberapa
pembengkakan pada belahan otak yang terkena, meskipun edema yang jelas mungkin tidak
terlihat.
4. SUBDURAL HYGROMA
Higroma subdural adalah kumpulan cairan serebrospinal tidak berdarah yang terletak di ruang
subdural, mirip dengan hematoma. Dengan pemeriksaan CT-scan, subdural hematoma kronis
dapat dibedakan dari hygroma subdural. Namun, intensitas dinding hygromas tidak
43
Gambar 14: gambaran neoplasma pada pemeriksaan Ct scan yang hiperdense.
Gambar 15: Ekstradural hematoma akut pada CT Scan gambaran biconvex pada frontoparietal kanan.7
meningkatkan. MRI menunjukkan bahwa hygromas memiliki intensitas sinyal yang sangat mirip
dengan CSF pada semua urutan, termasuk pemulihan inversi atenuasi cairan (FLAIR) gambar.
Secara kasar seperlima dari semua pasien dengan hygroma subdural menunjukkan lesi traumatis
di otak.
3.10 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan pengobatan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.
Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10mg intravena.
3.10.1 Tindakan Tanpa Operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (30cc atau kurang) dilakukan tindakan konservatif.
Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti
oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Pada penderita SDH akut yang ada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal
injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik karenanya tidak
diindikasikan untuk operasi.
3.10.2 Tindakan operasi
Kriteria pasien SDH dilakukan tindakan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midle shift > 5mm
pada ct scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
44
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan pendarahan <10mm dan pergeseran midline
shift . jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk RS
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan didapati pupil dilatasi asimetris
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan TIK >20mmhg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. dan yang palingn banyak untuk perdarahan subdural kronik adalah
burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukkan resiko minimal.
Craniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif.
Pada psien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
reflek cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi operasi, :
Penurunan kesadaran tiba - tiba didepan mata
Adanya tanda herniasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergency, dimana CT-scan kepala
tidak bisa dilakukan
Perawatan pasca bedah
Monitor kondisi umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Jahitan dibuka pada hari
ke 7 post op. TIndakan pemasangan fragmen tulang kranoplasti setelah 6 - 8 minggu kemudian.
45
3.11 Komplikasi
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang mengalami operasi drainase,
sebanyak 5,4 - 19% mengalami komplikasi medis atau operasi.komplikasi medis, sperti kejang,
pneumonia, empiema, dan infeksi lain. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom
intraparenkim, atau tension pneumocephalus tejadi pada 2,3% kasus.
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan ct-scan 4 hari pasca operasi
3.12 Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,
sekitar 90% kasus pada umumnya akan sembuh total.
Menurut jamieson dan yellan derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan opersi adalah
satu satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir penderita SDH akut. Penderita sadar pada
waktu dioperasi memiliki mortalitas 9% sedangkan SDH akut tidak sadar pada waktu operasi
memiliki mortalitas 40 - 65%. Tetapi Richards dan Holf tidak menemukan hubungan yang
signifiklan antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis
berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH
akut dengan kombinasi reflek okulo - sefalik negatif, reflek pupil bilateral negatif dan postur
deserebrasi, hanya mempunyai fungsional survival sebesar 10%.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta - fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297 - 306. FK USU: Medan.
2. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma, MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.
3. Tom, S., dkk, Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference, 2011
4. Price, Sylvia dan Willson, Loraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.
5. Sjamsuhidajat, R 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi kedua hal
818, Jon W.D. jakarta : EGC
6. Charles, F. 2010. Schwart'z Principles of surgery, edition Ninth. United State Of
America: The McGraw-Hill
7. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven, Halaman
837-843
8. Engelhard, H. H., dkk, Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference, 2011.
9. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011
10. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar, jakarta: Dian Rakyat
11. Ayu, IM. 2010. Chapter II. USU Respiratory: Universitas Sumatera Utara
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21258/.../Chapter%2011.pdf.
12. Dugdale, D., Chronic Subdural Hematoma, MedlinePlus, 2010.
13. Cowles, R. A., dkk. Craniotomy series. MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2007.
47