LAPORAN KASUS PENINGKATAN GLASGOW COMA SCALE … · Subdural Hematoma adalah perdarahan yang...

29
i LAPORAN KASUS PENINGKATAN GLASGOW COMA SCALE YANG SIGNIFIKAN PADA PASIEN EPIDURAL HEMATOME POST OPERASI TREPANASI EVAKUASI KLOT dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn.KAR PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2018

Transcript of LAPORAN KASUS PENINGKATAN GLASGOW COMA SCALE … · Subdural Hematoma adalah perdarahan yang...

  • i

    LAPORAN KASUS

    PENINGKATAN GLASGOW COMA SCALE YANG SIGNIFIKAN PADA

    PASIEN EPIDURAL HEMATOME POST OPERASI

    TREPANASI EVAKUASI KLOT

    dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn.KAR

    PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

    FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

    2018

  • ii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN DEPAN ........................................................................................... i

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

    1.1 Duramater ........................................................................................... 1

    1.2 Arachnoidea ....................................................................................... 1

    1.3 Piamater .............................................................................................. 1

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA EPIDURAL DAN SUBDURAL

    HEMATOM TRAUMATIK ........................................................... 3

    2.1 Definisi ............................................................................................... 3

    2.2 Etiologi ............................................................................................... 3

    2.3 Patomekanisme................................................................................... 4

    2.4 Gejala Klinis ....................................................................................... 6

    2.5 Diagnosis ............................................................................................ 7

    1. Foto Polos Kepala ......................................................................... 8

    2. Computed Tomography (CT-Scan) .............................................. 8

    3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) ............................................ 8

    2.6 Penatalaksanaan ................................................................................. 9

    2.7 Indikasi ............................................................................................... 12

    2.8 Subdural Hematom ............................................................................. 12

    2.9 Komplikasi ......................................................................................... 13

    2.10 Prognosis ............................................................................................ 14

    BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 15

    3.1 Identitas Pasien ................................................................................... 15

    3.2 Anamnesis .......................................................................................... 15

    3.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 16

    3.4 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 16

    3.5 Persiapan Pra Anestesia .................................................................... 17

    3.6 Pengelolaan Anestesia ........................................................................ 18

    3.7 Follow UP Pasien ............................................................................... 20

    BAB IV DISKUSI KASUS ................................................................................. 21

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang

    membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali

    terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak

    dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu

    jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap

    kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak

    dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila

    robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat

    menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.1,3

    Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya

    adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi

    menjadi arachnoidea dan piamater.2,5

  • 2

    1.1 Duramater

    Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat

    dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua

    lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat

    dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus

    (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di

    tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.2

    1.2 Arachnoidea

    Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya

    terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia

    menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum

    subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa

    yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang

    saling berhubungan.

    1.3 Piamater

    Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi

    permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar pembuluh

    darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di

    bawah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari

    ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-

    pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-

    ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan

    membentuk telah choroida di tempat itu.2

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    EPIDURAL DAN SUBDURAL HEMATOM TRAUMATIK

    2.1 Definisi

    Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena

    fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan

    duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera

    kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural

    paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea

    media.1,2

    Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan

    araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Pada subdural

    hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein”, karena

    tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling

    sering terjadi 4 pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di

    daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.1,2,4

    2.2 Etiologi

    Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater

    dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma kapitis,

    tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya

    destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau

  • 4

    fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun

    fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada

    pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya

    arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.

    Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma

    kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena

    yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de

    akselerasi bias menarik dan memutuskan vena-vena. Pada waktu akselerasi

    berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan

    pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. Akselerasi

    kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear. Maka dari itu lesi-

    lesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak

    disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi,

    sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di

    namakan lesi kontusio “contercoup”.1,3,7

    2.3 Patomekanisme

    Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang

    subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragik subdural) antara dura bagian

    luar dan tengkorak (hemoragik ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.

    Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura

    mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang

  • 5

    arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang

    tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah

    frontal dan oksipital.8,10

    Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural

    adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini

    seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin

    terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak (karena anak-anak

    memiliki venavena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak (karena

    memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih

    besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas

    hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging

    veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,

    maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.

    Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.

    Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan

    dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya

    pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan

    hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi

    timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh

    dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya

    berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.1,2,8

    Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,

    yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan

    mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam

    kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

    onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang

    meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

    Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari

    penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

    hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua

    mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya

    perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat

  • 6

    meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi

    bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau

    kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim

    fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan

    terjadinya perdarahan subdural kronik.6,10

    2.4 Gejala Klinis

    Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran

    menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini sering kali tampak

    memar disekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang

    keluar pada saluran hidung dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala

    yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul

    akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak : 1,2,5

    1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma

    2. Bingung

    3. Penglihatan kabur

    4. Susah bicara

    5. Nyeri kepala yang hebat

    6. Keluar cairan dari hidung dan telinga

    7. Mual

    8. Pusing

    9. Berkeringat

    Gejala yang timbul pada subdural :

    1. Subdural Hematoma Akut

    a. Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma sampai

    dengan hari ke tiga

    b. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat

    mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah

    terganggu kesadaran dan tanda vitalnya

    c. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas

    d. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan

    kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa

    hemiparese/plegi

  • 7

    e. pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens

    yang berupa bulan sabit

    2. Subdural Hematoma Subakut

    b. Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu ke 3

    sesudah trauma

    c. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di

    sekitarnya

    d. adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya

    diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.

    e. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda

    statusneurologik yang memburuk.

    f. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.

    g. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,

    penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan

    respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

    3. Subdural Hematoma Kronis

    a. Biasanya terjadi setelah minggu ketiga

    b. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua

    c. Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat

    tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.

    d. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah

    menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.

    e. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah

    ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika

    volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun

    cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat

    pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau

    lumpuh tiba-tiba.

    2.5 Diagnosis

    Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

    lebih mudah dikenali.

  • 8

    1. Foto Polos Kepala

    Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai

    epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan

    sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang

    yang memotong sulcus arteria meningea media.

    2. Computed Tomography (CT-Scan)

    Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

    potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian

    saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk

    bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang

    homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.

    Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi

    pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari

    pembuluh darah.

    3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

    MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

    posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga

    dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu

    jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.6,7,11

  • 9

    Gambar 6. Subdural hematom6

    2.6 Penatalaksanaan

    EPIDURAL HEMATOME

    Penanganan darurat :

    1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana

    2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma

    Terapi medikamentosa

    1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

    Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang

    dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/

    orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka

    jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline

    2. Mengurangi edema otak

    Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

    a. Hiperventilasi.

    Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

    vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

    membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

    kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100

    mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.

  • 10

    b. Cairan hiperosmoler.

    Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk

    “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk

    kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang

    dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam

    waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 10-30 menit.

    Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada

    kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat

    dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan

    harinya.

    c. Kortikosteroid.

    Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

    beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan

    bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.

    Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan

    sawar darah otak.

    Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason

    pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd

    4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6

    dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

    d. Barbiturat.

    Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat

    ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan

    menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari

    kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen

    berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang

    ketat.1,12

    3. Penatalaksanaan secara Anestesi

    Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan

    intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasien

    datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan

    bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini

  • 11

    mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine

    injury.

    Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang

    stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat

    dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun

    prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.

    Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau

    propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5

    mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat

    diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan

    hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan

    tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada

    pasien dengan hipovolemia.

    Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis

    kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan

    intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin

    tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan

    intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang

    memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya

    pada dinamika intrakranial.

    Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat

    dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya

    pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming

    terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh

    kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg

    diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan

    intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum

    laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.

    Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan

    pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir

    secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal

    disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan

    masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.

  • 12

    Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu

    menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang

    adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat

    anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan

    adanya multiple trauma.

    Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah

    otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini

    berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak

    akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien

    yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital

    mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala,

    iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin

    efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled

    Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera

    otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk

    bila tekanan darah turun.

    2.7 Indikasi

    Operasi di lakukan bila terdapat :

    a. Volume hamatom > 30 ml

    b. Keadaan pasien memburuk

    c. Pendorongan garis tengah > 5 mm

    d. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan

    kedalaman >1 cm

    e. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah

    dengan GCS 8 atau kurang

    f. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

    2.8 Subdural Hematom

    Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu

    kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa

    mempersiapkan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan

    dengan medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial.

  • 13

    Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena,

    dihiperventilasikan. Tindakan operatif baik pada kasus akut maupun kronik,

    apabila diketemukan ada gejala-gejala yang progresif maka jelas diperlukan

    tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil

    kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway,

    breathing, dan circulation.

    Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

    1. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran

    midline shift >5 mm pada CT-Scan

    2. Semua pasien SDH dengan GCS

  • 14

    2.10 Prognosis

    :

    1. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

    2. Besarnya

    3. Kesadaran saat masuk kamar operasi.

    Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,

    karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk

    ada pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Prognosis dari penderita SDH

    ditentukan dari:

    1. GCS awal saat operasi

    2. lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi

    3. lesi penyerta di jaringan otak

    4. serta usia penderita pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya

    50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin

    jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

  • 15

    BAB III

    LAPORAN KASUS

    3.1 Identitas Pasien

    Nama : Shodikin

    Jenis Kelamin : Laki-Laki

    Umur : 17 Tahun

    Agama : Islam

    No Cm : 17053901

    Ruang : Triage Bedah

    Alamat : Batu Yang Batu Bulan Sukawati Gianyar

    Mrs : 15 Desember 2017

    Diagnosis : Cedera Kepala Sedang dengan Epidural Hemoragik

    temporoparietal dekstra dengan odema cerebri

    dengan closed fraktur cruris dekstra dengan fraktur

    basis cranii

    Tindakan : Trepanasi evakuasi clot dan debridement elevasi dan

    rekontruksi

    3.2 Anamnesis

    Penderita datang dengan keluhan gelisah dan penurunan kesadaran setelah

    mengalami kecelakaan 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan tidak disertai

    mual, muntah ataupun kejang. Selain itu pasien juga mengeluh kaki kanan

    bengkok dan luka di kepala bagian kanan.

    MOI : Pasien dibonceng menaiki sepeda motor tidak memakai helm terjatuh

    setelah menabrak mobil.

    Dari AMPLE :

    1. (Allergic) pasien tidak ada riwayat alergi

    2. (Medication) pasien tidak meminum obat-obatan rutin

    3. (Past Illness) pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Riwayat

    hipertensi tidak ada, riwayat diabetes mellitus disangkal dan riwayat

    penyakit bawaan disangkal.

  • 16

    4. (Last Meal) pasien telah direncanakan puasa sejak awal kejadian (kurang

    lebih 6 jam )

    5. (Environment) pasien memiliki kebiasaan merokok, pasien biasa

    menghabiskan kurang lebih 5 batang sehari. Riwayat minum- minuman

    beralkohol disangkal oleh pasien. Pasien adalah seorang siswa yang baru

    tamat sekolah menengah atas yang dapat melakukan aktifitas sehari- hari

    tanpa keluhan sesak nafas atau nyeri dada.

    3.3 Pemeriksaan Fisik

    BB = 55 Kg, TB= 155 cm,BMI= 22,5 kg/m2

    SSP = GCS=E2V2M5, Reflek Pupil+/+ Isokor

    RES = RR=16-18x/menit, Vesikuler, Rhonki-/-, Wheezing -/-, Mallampati II

    KV = TD=110/80 mmHg, Nadi=75-85x/menit, S1S2 Tunggal, regular,

    Murmur (-)

    GI = Bising Usus (+) Normal, Distensi (-)

    UG = BAK Dalam Batas Normal

    MS = Fleksi/Defleksi Leher sulit di evaluasi, gigi geligi utuh, melampaui

    sulit di evaluasi.

    3.4 Pemeriksaan Penunjang

    1. Darah Lengkap (15 Desember 2017): WBC 19.10 103/mcgl; neutrofil

    76,3%; Hb 12 g/dl; Ht 36 %; plt 213 x103/mcl

    2. Faal Hemostasis (15 Desember 2017): PT 16,4 detik; APTT 26,3 detik; INR

    1,4

    3. Kimia Darah (15 Desember 2017): SGOT 33 U/L; SGPT 32 U/L; BUN 17,3

    mg/dL; Sc 0,94 mg/dL; GDS 80 mg/dL; Na 137 mmol/L; K 4,5 mmol/L; Cl

    98,7 mmol/L; Albumin 4,5 g/dL

    4. Thorak Foto AP (16 Desember 2017): Cor dan pulmo tak tampak kelainan

    5. CT Scan Kepala irisan Axial tanpa Kontras (16 Desember 2017)

    Epidural hemorage di region temporoparietalis kanan yang menyebabkan

    deviasi midline struktur ke kiri sejauh 1,3 cm, ICH lobus temporoparieta

    kanan, edema cerebri, suspect mucocele dd/ sinusitis spenoidalis kanan,

  • 17

    depressed fracture pada os temporoparietalis kanan, SCALP hematoma

    region temporoparietalis kanan.

    6. Foto Cervical AP/Lateral (16 Desember 2017)

    Paracervical muscle spasme , saat ini tak tampak kompresi/ fraktur/ listhesis

    3.5 Persiapan Pra Anestesia

    1. Persiapan Di Ruang Perawatan

    a. Evaluasi identitas penderita

    b. Psikis : Anamnesis umum & anamnesis khusus

    c. Penjelasan tentang rencana anestesi yang akan dilakukan pada pasien

    mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan.

    d. Fisik : Perhiasan dilepaskan sebelum ke ruang operasi.

    e. Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi.

    f. Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang.

    g. Memeriksa surat persetujuan tindakan medis.

    2. Persiapan Di Ruang Persiapan Anestesi (OK Instalasi Gawat Darurat)

    Pukul 04.10 WITA

    a. Memeriksa ulang catatan medik pasien, identitas dan persetujuan

    operasi.

    b. Menanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan

    c. Evaluasi ulang status present dan status fisik

    d. Penjelasan ulang kepada pasien tentang rencana anestesi

    e. Premedikasi : -

    3. Persiapan di Kamar Operasi

    a. Mempersiapkan mesin anestesi dan aliran gas

    b. Mempersiapkan obat dan alat anestesia

    c. Mempersiapkan obat dan alat resusitasi

    d. Mempersiapkan monitor dan kartu anestesia

    e. Evaluasi ulang status present penderita : GCS E1V1M3

    RR 16 x/menit

    TD 116 / 68 mmHg

    Nadi 86 x / menit

  • 18

    3.6 Pengelolaan Anestesia

    1. Jenis Anestesi : Anestesi Umum

    2. Teknik Anestesi : Anestesi Umum pemasangan pipa endo trakeal kinking

    a. Penderita tidur telentang dengan kepala diganjal bantal

    b. Pasang monitor EKG, tensimeter dan saturasi oksigen

    c. Evaluasi ulang terhadap status present

    d. Preoksigenasi dengan O2 5 liter/menit selama 3-5 menit.

    e. Obat-obat untuk melakukan induksi sudah disiapkan.

    f. Pemberian analgesia dengan Fentanyl 150 mcg disuntikkan pelan-pelan

    selama 2 menit.

    g. Setelah menunggu 1 menit, induksi dengan Propofol TCI target effect 3

    mcg/ml

    h. Setelah 2-3 menit dilanjutkan dengan menyuntikkan obat Rokuronium

    30 mg untuk fasilitas intubasi.

    i. Setelah 2 menit, di berikan lidokain 120 mg intratrakea dan dilakukan

    ventilasi lagi selama 2 menit. Setelah itu baru dilakukan laringoskopi

    dan intubasi dengan memasukkan PET no 7,0.

    j. Berikan tekanan pada pompa untuk memberikan ventilasi, sambil

    mengecek apakah sudah simetris masuk pada paru-paru kanan kiri.

    Setelah simetris, kembangkan balon cuff dan fiksasi PET menggunakan

    plester hipafik.

    k. Maintenance Compress air : O2, dan Propofol TCI dengan target effect

    2-3 mcg/mL, sevoflurane , rocuronium intermitten, fentanyl intermitten

    l. Setelah itu dilakukan setting Ventilator Mekanik dengan pressure

    Control 15, rate 14 kali/menit

    m. Memasang Dauer Kateter untuk memantau kebutuhan cairan durante

    operasi

    n. Dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah awal untuk mengetahui

    keadaan metabolik penderita selama diberikan ventilasi mekanik.

    o. Operasi mulai pukul 04.40 WITA selesai pukul 07.00 WITA, operasi

    berlangsung selama 3 jam 40 menit.

    p. Dosis total Fentanyl selama rumatan anestesia adalah 300 mcg.

    q. Durante operasi perdarahan sekitar + 1500 cc

  • 19

    r. Setelah operasi pasien di ekstubasi dan di rawat di ruang intensif

    sementara

    s. Keadaan akhir Anestesia : TD 114/62 mmHg,Nadi 78x/menit,SaO2

    100%.

    t. Diberikan analgetik dengan drip Analgetika (Fentanyl 0,25 μg/kgBB/24

    Jam) syringe pump dengan Paracetamol 1 gr tiap 8 jam

    3. Lama operasi 3 jam 40 menit.

    Lama anestesia : 3 jam 55 menit.

    Produksi urine durante operasi : 200 cc.

    4. Rekapitulasi Cairan masuk durante operasi:

    BB=55 Kg

    Kebutuhan Cairan Dasar 115 cc/jam

    Defisit Cairan Puasa Puasa 5 Jam = 575 ml

    Sequester 6 x 70 = 420 ml

    EBV= 75 x 70 = 5250 ml

    ABL = 20% x 5250 = 1050 ml

    Jumlah Total Cairan yang masuk durante operasi:

    Kristaloid = 2500 cc, koloid = 500 cc, PRC = 500 cc dengan jumlah

    perdarahan ± 1500 cc, urine + 200 cc

    5. Jumlah Medikasi yang diberikan selama pembedahan:

    - Midazolam 2 mg

    - Fentanyl 300 mcg

    - Propofol 1200 mg

    - Rocuronium 60 mg

    - Manitol 250 cc (50 gram)

    - Asam Traneksamat 1 Gram

    - Lidokain 80 mg

    6. Pukul 08.40 Wita Penderita dipindahkan ke ruang terapi intensif dengan

    monitor

    7. Pukul 08.50 Wita Penderita sampai di HCU dan dilakukan monitoring ketat

    dan posisi kepala head up 30⁰ . Vital sign di HCU sbb:

    TD=127/85 mmHg,Nadi=85x/menit,SaO2=99% on simple mask 5 L/menit

  • 20

    3.7 Follow UP Pasien

    Hari I Post Operasi (16 Desember 2017):

    1. Penderita masih dirawat di HCU

    2. Vital sign dengan GCS E3 V5 M6, Tax 36,7 C, TD 122/76 mmHg,

    Nadi 80-95x/menit, SaO2 99%

    3. BPS 2 dengan Analgetika Fentanyl 300 mcg/kgBB/jam

    4. Paracetamol IV 1 gr tiap 8 jam

    5. Pasien dengan hasil pemeriksaan penunjang dari DL : WBC 19,04

    10µ/µL, Hb 12,00 g/dL, HCT 36,04%, PLT 213,30 10µ/µL (Faal

    hemostasis) PPT 16,4 detik, APTT 26,3 detik, INR 1,40 , (kimia darah)

    SGOT 73,2 U/L, SGPT 32,60 U/L, Albumin 4,5 g/dL, GDS 80 mg/dL,

    BUN 17,3 mg/dL, Kreatinin 0,89 mg/dL, K 4,19 mmol/L, Na 143

    mmol/L.

    Hari II Post Operasi (17 Desember 2017):

    1. Penderita masih dirawat di HCU

    2. Vital sign dengan GCS E4 V5 M6, Tax 36,8 C, TD 118/66 mmHg,

    Nadi 83-92 x/menit, SaO2 100%

    3. VAS 1-2 dengan Analgetika Fentanyl 300 mcg/kgBB/jam

    4. Paracetamol IV 1 gr tiap 8 jam

    5. Dengan hasil laboratorium DL : WBC 9,51 10µ/µL, Hb 9,57 g/dL, HCT

    29,20%, PLT 101,90 10µ/µL

    Hari III Post Operasi (18 Desember 2017):

    1. Penderita sudah pindah ke Ruang Perawatan (Angsoka 1)

    2. Vital Sign TD 117/62 mmHg, Nadi 80-95x/menit

    3. VAS 1-2 dengan Analgetika Fentanyl 200 mcg/kgBB/jam

    4. Paracetamol 500 mg tiap 6 jam peroral

  • 21

    BAB IV

    DISKUSI KASUS

    ¨Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada

    usia muda. Di Inggris dan Wales, 1,4 juta pasien datang ke Unit Gawat Darurat

    karena cedera kepala, 200.000 di antaranya harus mendapatkan perawatan intensif

    di rumah sakit dan seperlimanya mengalami fraktur tulang tengkorak dan

    kerusakan otak. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera

    kepala.12

    Epidural Hemorrhage biasanya terjadi karena robeknya arteri meningea

    media (paling sering), sinus duramatis dan arteri atau vena diploica sehingga

    menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dengan tulang tengkorak.13

    Epidural Hemorrhage terjadi pada 2,7 hingga 4% kasus dari seluruh kasus cedera

    kepala dan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

    Penelitian menyatakan bahwa EDH sering terjadi pada usia di antara 2 tahun

    sampai 60 tahun.14,15

    Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan

    periode sadar kembali (lucid interval) yang dapat berlangsung beberapa jam

    sebelum fungsi otak memburuk, bahkan menyebabkan koma. Gejala lain termasuk

    nyeri kepala, muntah dan kejang. Jika kondisi ini tidak ditatalaksana dengan cepat

    dan baik, EDH dapat menyebabkan herniasi transtentorial progresif dengan tanda

    klinis seperti extensor posturing atau tidak adanya repons, pupil dilatasi, pupil

    tidak simetris, perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari 2 dari

    GCS terbaik sebelumnya pada pasien dengan permulaan GCS < 9) dan

    kematian.13,14,16

    Pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera kepala seperti ini difokuskan

    pada stabilisasi pasien dan mengendalikan tekanan intrakranial, serta

    mempertahankan oksigenasi dan perfusi otak, diikuti dengan dekompresi dengan

    pembedahan. Waktu sangatlah penting pada pembedahan EDH, evakuasi dan

    kontrol perdarahan dalam waktu yang singkat sangat esensial untuk menghindari

    cedera.1,16

  • 22

    Pada kasus ini, Seorang laki-laki berusia 17 tahun dengan diagnosa Cedera

    Kepala Sedang dengan Epidural Hemoragik temporoparietal dekstra dengan

    odema cerebri dengan fraktur cruris dekstra tertutup dengan fraktur basis cranii

    dibawa ke RSUP Sanglah Denpasar dengan penurunan kesadaran. Enam

    jam sebelum masuk RS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien

    mengalami penurunan kesadaran, tidak kejang, muntah sekali. Lalu pasien di

    bawa oleh keluarga ke RSUP Sanglah. Tidak ada riwayat penyakit lain

    sebelumnya.

    Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg, laju nadi 78

    x/menit (reguler), laju napas 12 kali/menit reguler), suhu tubuh 37,2 °C. Jalan

    napas bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing.

    Pada awal pemeriksaan status neurologis GCS 2M2V5 (9), pupil isokor 3 mm/ 3

    mm, refleks cahaya (+/+). Lalu saat dilakukan evaluasi ulang sebelum pasien

    masuk ke dalam ruang operasi didapatkan status neurologis pasien GCS E1V1M3.

    Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Darah lengkap : WBC 19.10

    103/mcgl; neutrofil 76,3%; Hb 12 g/dl; Ht 36 %; plt 213 x103/mcl, dengan faal

    hemostasis PT 16,4 detik; APTT 26,3 detik; INR 1,4, dan pemeriksaan kimia

    darah: SGOT 33 U/L; SGPT 32 U/L; BUN 17,3 mg/dL; Sc 0,94 mg/dL; GDS 80

    mg/dL; Na 137 mmol/L; K 4,5 mmol/L; Cl 98,7 mmol/L; Albumin 4,5 g/dL . dari

    hasil CT scan kepala: Epidural hemorage di region temporoparietalis kanan yang

    menyebabkan deviasi midline struktur ke kiri sejauh 1,3 cm, ICH lobus

    temporoparieta kanan, edema cerebri, suspect mucocele dd/ sinusitis spenoidalis

    kanan, depressed fracture pada os temporoparietalis kanan, SCALP hematoma

    region temporoparietalis kanan. Pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan

    kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat monitor non-invasif (tekanan

    darah, denyut jantung, EKG, SaO2). Pasien diintubasi dengan menggunakan

    laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal non-kinking ukuran 7,5 dan

    dilakukan pemasangan kateter urine. Pasien diberikan manitol dengan dosis 1

    gr/kgBB dan dilakukan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9%.

    Pengelolaan Anestesi Di kamar operasi, pasien diposisikan dalam posisi

    supinasi dengan kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat-alat monitor

    non-invasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG, SaO2), telah dilakukan intubasi

  • 23

    dan telah terpasang kateter urine. Pasien diinduksi dengan 150 mcg fentanyl,

    pasien di induksi menggunakan propofol dengan alat TCI ( Target Controlled

    Infusions) dan 40 mg rocuronium. Rumatan anestesi dengan sevoflurane dengan

    O2 : udara (50:50), propofol kontinu dengan TCI dan rocuronium kontinu.

    Operasi berlangsung selama 1,5 jam dengan jumlah pendarahan 500 ml d an

    diuresis 750 ml. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan ringerfundin

    sebanyak 1000 ml, NaCl 0,9% 500 ml. Tanda-tanda vital selama operasi stabil.

    Pada Pengelolaan Pasca bedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif

    (High care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum dipindahkan ke ruangan. Pasien

    dirawat dengan respirasi spontan, dengan pemberian analgetik fentanyl 25 μg/jam.

    Posisi kepala head up 30–45°. Cairan rumatan diberikan ringerfundin 1.500 ml

    dan NaCl 0,9% 500 ml serta omeprazole selama 24 jam pertama. Pemeriksaan

    darah lengkap, elektrolit, gula darah acak 12 jam pascaoperasi. Hari pertama di

    ICU, hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah rerata 100 mmHg, laju

    nadi 75–80 kali/ menit, saturasi O2 99%, temperatur 36-36,5°C. Hasil

    laboratorium pascaoperasi WBC 19,04 10µ/µL, Hb 12,00 g/dL, HCT 36,04%,

    PLT 213,30 10µ/µL (Faal hemostasis) PPT 16,4 detik, APTT 26,3 detik, INR 1,40

    , (kimia darah) SGOT 73,2 U/L, SGPT 32,60 U/L, Albumin 4,5 g/dL, GDS 80

    mg/dL, BUN 17,3 mg/dL, Kreatinin 0,89 mg/dL, K 4,19 mmol/L, Na 143

    mmol/L. Setelah 2 hari di rawat ri ruang HCU (High Care Unit) pasien

    dikembalikan ke ruang perawatan biasa, dan pasien dirawat dalam kondisi saat itu

    kesadaran komposmentis, GCS E4M6V5.

    Epidural Hemorrhage terjadi sebagai akibat benturan hebat yang dapat

    merobek pembuluh darah meningen dan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan

    yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga keadaan neurologi dapat

    memburuk dengan cepat. Karena itu, penanganan difokuskan pada waktu.

    Evakuasi dan kontrol perdarahan dengan segera sangat penting untuk keselamatan

    pasien, meningkatkan status neurologis dan menghindari cedera neurologis yang

    permanen pada pasien.17,18

    Tindakan operatif pada trauma kepala, terutama trauma kepala yang

    menyebabkan cedera otak traumatik (COT), diindikasikan bila terjadi efek masa

    yang bermakna. Hal ini didefinisikan pada danya herniasi serebral atau pergeseran

  • 24

    garis tengah (midline shift) 5 mm atau lebih. Midline shift diukur pada CT-scan

    aksial dengan melihat pergeseran septum pellucidum dari garis tengah setinggi

    foramen level foramen monroe. Epidural Hemorrhage dengan volume lebih dari

    30 cc harus dievakuasi, walaupun pasiennya asimptomatik. Pasien EDH dengan

    GCS kurang dari 9, disertai dengan pupil yang dilatasi harus dilakukan tindakan

    evakuasi perdarahan dan dekompresi segera. Perdarahan akut pada EDH dapat

    dievakuasi dengan kraniotomi ataupun kraniektomi.19,20

    Penanganan Cedera Otak Traumatik (COT) memiliki kaitan erat dengan

    tugas ahli anestesi. Sesuai dengan prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah

    saraf, ahli anestesi harus mengatur ABCDE neuroanestesi (airway, breathing,

    circulation, drugs dan environment). Airway, jalan nafas harus selalu bebas

    sepanjang waktu. Breathing, ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi yang

    adekuat. Circulation, hindari lonjakan tekanan darah untuk mencegah terjadinya

    edema berat dan kenaikan tekanan intrakranial dan hindari faktor-faktor mekanis

    yang meningkatkan tekanan vena serebral. Drugs, gunakan obat- obatan anestesi

    yang memberikan efek neuroprotektif. Environment, pertahankan suhu hipotermia

    ringan (35°C, core temperature).16,17

    Teknik dan pemilihan obat anestesi yang ideal didasarkan pada sasaran

    pelaksanaan anestesi tersebut. Penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan

    tekanan intrakranial dan mengganggu hemodinamik seperti ketamin dan narkotik

    analgesi harus dihindari. Obat-obat yang digunakan harus dapat menurunkan

    tekanan intrakranial dengan meningkatkan resistensi vaskular serebral,

    menurunkan aliran darah otak, menurunkan volume darah otak dan menurunkan

    metabolisme otak. Mekanisme-mekanisme seperti ini yang pada akhirnya akan

    memberikan efek neuroprotektif terhadap otak.16.24

    Anestesi intravena seperti propofol dan fentanyl secara signifikan

    menurunkan aliran darah otak, metabolisme otak dan menurunkan tekanan

    intrakranial. Selain itu kombinasi keduanya dapat mengurangi respon stres selama

    intubasi dan mempercepat proses pemulihan pasca bedah. Anestesi inhalasi,

    meskipun pada umumnya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah serebral dan

    meningkatkan tekanan intrakranial, sevofluran dapat dipilih karena efek

    vasodilatasinya paling kecil dibandingkan dengan jenis anestesi inhalasi lainnya.

  • 25

    Tidak berbeda dengan anestesi inhalasi, obat pelumpuh otot juga pada umumnya

    dapat meningkatkan aliran darah otak. Ringerfundin digunakan sebagai cairan

    intraoperatif untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial dengan sifatnya

    yang sedikit hiperosmolar. Sifatnya ini akan membantu menarik cairan dari

    interstitial otak masuk ke dalam pembuluh darah otak. Meskipun memiliki sifat

    yang hampir sama dengan NaCl 0,9%, ringerfundin lebih dipilih untuk

    menghindari terjadinya hiperkloremik asidosis saat resusitasi cairan. Pascabedah,

    tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien suctioning, fisioterapi

    dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan

    komplikasi yang dapat memperburuk keadaan pasien.16,17,25,26

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

    2. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of

    Neurotrauma.

    3. Bigler E.D,William L, 2012, Neuropathology of Mild traumatic brain Injury.

    Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.

    4. Wilkins, Williams L, 2008, Contralateralb Acute Epidural Hematoma After Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.

    5. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma, Turkish journal of trauma & emergency surgey. Vol 87

    6. Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and subdural hematoma, Indian Journal of Neurotrauma, Vol.5, No.2.

    7. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma, Brainline.org.

    Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in

    situ for the presence of brain Haematoms.

    8. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2, UI.

    9. Tito.R.T, 2011, Subdural hematoma and epidural hematoma, Brain and spain injury law blog, Titolooffice.com

    10. National Institute for Health and care excellence. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early Management of Head Injury in

    Children, Young People and Adults. NICE Clinical Guideline. 2014.

    11. Ul Haq, MI. Traumatic extradural hematoma. Professional Med J. 2014; 21(3): 540–43.

    12. University of California Los Angeles Neurosurgery. Epidural Hematoma. Diakses dari: http://neurosurgery.ucla.edu/body.cfm.id=1123&ref=41&

    action=detail pada tanggal 1 September 2016.

    13. Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung:KORPS Sukarela PMIUNPAD. xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+

    Pembidaian.pptx (10 Desember 2012)

  • 27

    14. Polinsky S, Muck K. Increased intracranial pressure and monitoring. Diakses dari : http://faculty.ksu.edu.sa/73717/Documents/Increased_

    Intracranial_ Pressure_and_ Monitoring_site.pdf pada tanggal 30 Desember

    2014.

    15. Saleh SC. Neuroanestesia Klinik. Surabaya: Zifatama Publisher. 2013; 47–162.

    16. Hawthorne G, Gruen RL, Kaye AH. Traumatic brain injury and long-term quality of life: findings from an Australian study. J Neurotrauma. 2009; 26:

    1623–33.

    17. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of head injury. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, editors. Neurotrauma. New

    York: McGraw- Hill. 1996;61–69.

    18. Baron EM, Jallo JI. Traumatic brain injury: pathology, pathophysiology, acute care and surgical management, critical care principles and outcome.

    Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editors. Brain Injury Medicine:

    Principles and Practice. New York: Demos Medical Publishing. 2007; 265–

    82.

    19. Woods M. Aspect of perioperative neuroscience practice. Dalam: Smith B, Rawling P, Wicker P, Jones C, editors. Core Topics in Operating

    Departement Anaesthesia and Critical Care. Cambridge: Cambridge

    University Press. 2007;61–76.

    20. RichardBuckley2012. TreatmentFracturehttp://emedicine. medscape.com/ article/1270717 treatment#showall Diakses tanggal 29 Agustus 2016

    21. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar: 2007, 352–489

    22. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetics agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism and intracranial pressure. Dalam: Cottrell

    and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010,

    317–26.

    23. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: FK Unpad. 2012; 83–124, 143-68, 187–208.

    24. Ertmer C, Aken HV. Fluid therapy in patients with brain injury: what does physiology tell us. Critical Care. 2014; 18: 199.