“Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan...

22
Penguatan Komunitas Kebijakan : Konsep, Urgensi, dan Implikasinya Dalam Proses Perencanaan Antonius Tarigan *) Prolog Tulisan ini bermaksud memberikan wacana bagi semua stakeholder (masyarakat, swasta, pemerintah dan partai politik) akan pentingnya membangun dan memperkuat komunitas kebijakan dalam konteks perencanaan. Dengan berbagai spiritualitas inherennya, komunitas kebijakan dapat menjadi perangkat ‘intervensi’ yang cukup handal – walaupun mungkin tidak sufisien – dalam mengelola problem kebijakan publik di tanah air. Tidak ada garansi bahwa komunitas kebijakan akan menjadi panacea, tetapi ada seberkas harapan bahwa ia dapat menjadi solusi alternatif atas sejumlah anomali dalam dinamika kebijakan publik di tanah air. Pada bagian penutup ini, saya ingin menekankan kembali pentingnya kemitraan (partnership) yang melibatkan seluruh stakeholders sebagai embrio sekaligus pilar komunitas kebijakan, khususnya dalam proses perencanaan, sehingga terwujud tata pemerintahan yang baik (good governance). Pendahuluan Plato, seorang ahli filsafat menyebutkan bahwa “the most important part of the work is in the beginning”. Dengan kata lain proses dan substansi perencanaan (planning) memegang peran yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Mutu perencanaan yang tinggi akan mampu menjamin keberhasilan suatu program, sebaliknya bila perencanaan dilakukan secara asal saja maka sudah pasti kinerja program tersebut pasti rendah atau gagal sama sekali, terlebih lagi dikaitkan dengan kompleksitas program (Eriyatno, 2002). Perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu (Dior, Y; Vol 29, No.1). Dengan definisi tersebut, maka perencanaan mempunyai unsur- unsur: (1) berhubungan dengan hari depan; (2) mendesain seperangkat * ) Ir. Antonius Tarigan, M.Si adalah Kasubdit Kelembagaan Kerjasama Pembangunan, Direktorat KPSD Kantor Meneg PPN/Bapppenas dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia “Konsentrasi Public Policy”-red. Halaman 1

Transcript of “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan...

Page 1: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Penguatan Komunitas Kebijakan : Konsep, Urgensi, dan Implikasinya

Dalam Proses Perencanaan

Antonius Tarigan*)

Prolog

Tulisan ini bermaksud memberikan wacana bagi semua stakeholder (masyarakat, swasta, pemerintah dan partai politik) akan pentingnya membangun dan memperkuat komunitas kebijakan dalam konteks perencanaan. Dengan berbagai spiritualitas inherennya, komunitas kebijakan dapat menjadi perangkat ‘intervensi’ yang cukup handal – walaupun mungkin tidak sufisien – dalam mengelola problem kebijakan publik di tanah air. Tidak ada garansi bahwa komunitas kebijakan akan menjadi panacea, tetapi ada seberkas harapan bahwa ia dapat menjadi solusi alternatif atas sejumlah anomali dalam dinamika kebijakan publik di tanah air. Pada bagian penutup ini, saya ingin menekankan kembali pentingnya kemitraan (partnership) yang melibatkan seluruh stakeholders sebagai embrio sekaligus pilar komunitas kebijakan, khususnya dalam proses perencanaan, sehingga terwujud tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pendahuluan

Plato, seorang ahli filsafat menyebutkan bahwa “the most important part of the work is in the beginning”. Dengan kata lain proses dan substansi perencanaan (planning) memegang peran yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Mutu perencanaan yang tinggi akan mampu menjamin keberhasilan suatu program, sebaliknya bila perencanaan dilakukan secara asal saja maka sudah pasti kinerja program tersebut pasti rendah atau gagal sama sekali, terlebih lagi dikaitkan dengan kompleksitas program (Eriyatno, 2002).

Perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu (Dior, Y; Vol 29, No.1). Dengan definisi tersebut, maka perencanaan mempunyai unsur-unsur: (1) berhubungan dengan hari depan; (2) mendesain seperangkat kegiatan secara sistematis; dan (3) dirancang untuk mencapai tujuan tertentu (Kunarjo, 1992).

Perencanaan ekonomi baru dikenal tahun 1950-an, terutama oleh negara-negara yang sedang berkembang. Dengan melakukan perencanaan, negara-negara berkembang dapat bekerja lebih sistematis dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pernyataan tersebut diatas tidak berarti bahwa negara-negara yang tidak melakukan perencanaan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan, tetapi yang ingin dikatakan disini adalah dengan melakukan perencanaan biasanya sasaran yang akan dicapai dapat dilakukan lebih baik daripada negara yang tidak melakukan perencanaan sama sekali.

* ) Ir. Antonius Tarigan, M.Si adalah Kasubdit Kelembagaan Kerjasama Pembangunan, Direktorat KPSD Kantor Meneg PPN/Bapppenas dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia “Konsentrasi Public Policy”-red.

Halaman 1

Page 2: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Besar-kecilnya campur tangan pemerintah terhadap perekonomian mempengaruhi ketatnya perencanaan dinegara yang bersangkutan. Di negara yang dikenal sebagai penganut perekonomian bebas tidak berarti tidak ada perencanaan walaupun tidak seketat negara yang menganut paham sosialis. Perencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator untuk mengetahui kekurangan atau kelebihan produksinya. Karena banyak pelaku-pelaku ekonomi dikuasai oleh swasta, maka pengendalian oleh government biasanya dilakukan dengan menciptakan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Sebaliknya di negara-negara sosialis, sebagian besar pelaku ekonomi dikuasai oleh negara, sehingga negara dapat merencanakan secara menyeluruh mulai dari tingkat produksi sampai tingkat distribusi. Karena perencanaan dalam negara sosialis biasanya kaku, maka tidak ada suatu kebebasan bagi warganegaranya untuk melakukan pilihan, baik dalam hal produksi maupun distribusi.

Perencanaan yang lebih luwes biasanya apabila negara hanya menguasai sebagian pelaku-pelaku ekonomi, sedangkan sebagian lainnya dikuasai oleh swasta. Sistem yang terakhir ini banyak digunakan oleh negara-negara yang sedang berkembang seperti juga Indonesia. Sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, perekonomian Indonesia berdasarkan atas demokrasi ekonomi. Ini berarti bahwa baik sistem ekonomi, tujuan yang ingin dicapai, pembangunan ekonomi, kebijaksanaan maupun program, semua berdasar atas demikrasi ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, misalnya listrik, perkeretaapian, perminyakan dan lain sebagainya. Penguasaan oleh negara dapat dilakukan melalui Peraturan Perundang-undangan, melalui kebijaksanaan dan dilakukan dengan peraturan atau pemilikan langsung dan pengusahaan oleh pemerintah. (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, “Penjabaran Demokrasi Ekonomi” Jakarta, 15 Agustus 1990).

Permasalahan dalam Proses Perencanaan

Sebelum era otonomi daerah, peran pemerintah pusat sangat besar didalam menentukan arah dan sasaran pembangunan nasional. Pemerintah daerah hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan mengeliminasi aspirasi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.

Proses perencanaan setelah pasca otonomi daerah juga tidak luput dari beberapa permasalahan yang krusial dan signifikan. Reformasi kelembagaan politik kepemerintahan belum berjalan baik. Sistem perencanaan belum dilandasi suatu dasar hukum yang kuat sehingga “rule of the game” tidak pernah tercipta. Ketiadaan perangkat peraturan yang jelas dan mengikat membuat sistem perencanaan pembangunan nasional tidak akan menghasilkan sinergi dalam berbagai upaya pembangunan di berbagai tingkatan, sektor dan daerah. Dengan demikian, John R. Commons (1934) menyebutkan bahwa seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns) tidak akan menciptakan 2 demarkasi penting yaitu konvensi (conventions) dan aturan main (rules of the game).

Halaman 2

Page 3: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Contoh konkrit dalam penyusunan Propenas 2000 – 2004, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, pada waktu itu) menginisiasi penyusunan perencanaan pembangunan nasional (propenas) dengan pendekatan baru yang lebih holistik, terfokus, partisipatif, akuntabel, dinamis dan fleksibel. Dalam pelaksanaan banyak sekali dijumpai hambatan-hambatan yang cukup signifikan akibat belum adanya mekanisme perencana pembangunan nasional yang jelas dalam rangka menghadapi otonomi daerah, termasuk program pengumpulan aspirasi masyarakat, serta pelaksanaan konsultasi dan koordinasi perencana di berbagai tingkatan pemerintah. Coase (1991) menyebutnya dengan implikasi negatif terhadap biaya transaksi (transaction cost) dan hak kepemilikan (property rights).

Hal ini telah menimbulkan sederetan masalah dan potensi konflik antara lain berupa ketisakselarasan antara perencanaan program dan pembiayaan, rendahnya tingkat akuntabilitas pemanfaatan sumber daya keuangan publik, rendahnya tingkat keterlibatan aktor berkepentingan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, serta tidak adanya penilaian kinerja kebijakan, perencanaan dan pelaksanaannya.

Pembangunan sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional perlu dilakukan untuk memecahkan permasalahan pokok dalam manajemen pembangunan itu sendiri, antara lain:

Inkonsistensi antar kebijakan yang dilakukan berbagai organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun antara kebijakan dan pelaksanaan.

Rendahnya tingkat keterlibatan aktor berkepentingan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan.

Ketidakselarasan antara perencanaan dan pembiayaan,

Rendahnya tingkat transparansi proses perumusan kebijakan dan perencanaan program, dan tingkat akuntabilitas pemanfaatan sumber daya keuangan publik.

Kurang efektifnya penilaian kinerja kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan itu sendiri.

Komunitas Kebijakan

Komunitas kebijakan merupakan terminologi yang cukup populer dalam literatur kebijakan publik, walaupun masih lebih dimaknai sebagai sekedar wacana ketimbang agenda. Secara empiris, pemikiran-pemikiran cerdik tentang komunitas kebijakan timbul sebagai reaksi terhadap diskrepansi antara tuntutan akan integrasi energi di satu sisi dan minimnya aksi kolektif di sisi lain. Di Indonesia, dua persoalan tersebut seringkali direduksi menjadi sekedar kurangnya koordinasi (kasus : penyusunan propenas) untuk masalah yang mutlak membutuhkan kerjasama dan melibatkan banyak aktor dengan beragam kepentingannya. Sementara secara teoritis, muncul dan berkembanganya wacana komunitas kebijakan merupakan hasil metamorfosis dari beberapa pemikiran sebelumnya terutama “teori pluralisme” dan “korporatisme”. Dua teori tersebut dinilai gagal menjelaskan fenomena ketidakmampuan negara untuk

Halaman 3

Page 4: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

mengelola masalah-masalah yang termasuk dalam domain kebijakan publik seperti rendahnya derajat legitimasi kebijakan, sinisme publik terhadap kebijakan pemerintah, serta munculnya resistensi manakala suatu kebijakan diimplementasikan (as part of problems).

Yang cukup mengejutkan adalah bahwa kedua teori di atas dan derivasinya (pilihan publik, elitisme, marxisme instrumental, marxisme struktural, dan sebagainya) menempatkan negara diposisi yang semakin sentral justru ketika negara melakukan banyak kerancuan (Hill,1997; 65). Dengan demikian, di balik tudingan bahwa negara adalah ‘a part of problem’ , juga terdapat pengakuan bahwa negara merupakan ‘a part of solution’ (Thayer, 1981; Jackson, 1989; Dugger, 1989). Negara dengan perangkat birokrasinya,oleh karenanya, merupakan a necessary evil yang eksistensinya harus tetap dipertahankan dan didayagunakan (Caiden, 1992: 137). Demikian halnya, debat klasik antara ‘too much state’ dengan ‘too little state’ menjadi kurang relevan (Grindle,1997 : 3). “The Truth is that we have simultaneously too much state and too little state,” kata Joao Guilherme Merquior (1993: 1265). Yang dibutuhkan adalah transformasi institusional dan personal secara konsisten dan komprehensif.

Jika beberapa teori itu ‘gagal’ menjalankan fungsinya dalam ranah kebijakan publik, maka solusi alternatif apakah yang bisa ditawarkan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya? Kekosongan itu coba diisi dengan pemikiran generasi sesudahnya yang, sambil mengkritik kelemahan teori-teori sebelumnya, berupaya membangun basis argumentasi baru lewat proses destruksi kreatif dalam konteks ini, “komunitas kebijakan” muncul sebagai kerangka berfikir baru yang dengan kekuatan argumentasinya mencoba menentang berbagai arus utama dan menawarkan gagasan-gagasan yang lebih mengakar.

Dalam menawarkan gagasannya, komunitas kebijakan mencoba memberi peringatan akan pentingnya pengaruh dan kekuatan kelompok-kelompok ekstra negara. Kelompok-kelompok tersebut sebelumnya ditundukkan oleh negara dengan berbagai mekanisme, mulai dari mekanisme “represi kasar” yang dipraktekkan rezim-rezim otoritarian hingga mekanisme “kooptasi terselubung” yang lazim digunakan pemerintahan korporatis. Hasilnya setali tiga uang, yaitu munculnya perlawanan dalam berbagai bentuk yang pada akhirnya melemahkan daya dan legitimasi negara. Sadar akan implikasi negatif ini, komunitas kebijakan tampil dengan spiritualitas baru dimana semua aktor yang memiliki taruhan atas suatu kebijakan turut dilibatkan dalam wujud partisipasi developmental non-artifisial (Considine,1994). Negara, sebaliknya, akan berperan sebagai wasit atau fasilitator yang adil sebagaimana diidealkan para pemikir pluralis (Grindle dan Thomas,1991: 23). Tugas utamanya, dengan demikian, adalah memfasilitasi sebuah forum yang mampu mempertemukan aktor-aktor tersebut untuk secara bersama merumuskan apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan. Dalam ziarah panjang interaksi developmentalnya, para aktor itu akhirnya mampu mengembangkan norma, aturan, nilai, atau budaya yang “mengikat” para anggotanya yang lazim disebut “rezim” (bandingkan dengan pemikiran-pemikiran tentang rezim ekonomi politik internasional sebagaimana diulas oleh Krasner (1980) dan Keohane (1984).

Kondisi yang ditandai dispersi kepentingan diantara sekian banyak aktor tidak hanya terjadi dan dijumpai dalam interaksi antara negara dengan masyarakat sipil tetapi juga dalam interaksi internal dilingkungan birokrasi pemerintahan itu sendiri. Yang dimaksudkan adalah masih kuatnya ego sektoral

Halaman 4

Page 5: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

sehingga aksi kolektif dilingkungan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan publik yang memang mutlak memerlukan integrasi energi diantara berbagai unit birokrasi pun semakin sulit dijalin. Setiap sektor akan memperjuangkan kepentingannya sehingga kerjasama antar sektor (dinas/departemen) hanya akan dijalin jika terdapat garansi bahwa kepentingan unit kerja mereka turut diamankan. Dengan kata lain, kuatnya ego sektoral telah menumpulkan upaya-upaya koordinasi serta menjadikan koordinasi sebagai sekadar aktivitas “artifisial simbolik tanpa makna”. Dalam artian ini, koordinasi seyogyanya tidak secara simplitis dimaknai sebagai aktivitas teknis murni, tetapi lebih merupakan aktivitas politik yang berupaya melibatkan aktor lain yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan langsung dengan suatu persolaan atau isu kebijakan. Koordinasi, dengan demikian, akan melibatkan pamor atau prestise masing-masing unit birokrasi sehingga keberhasilan koordinasi sekaligus akan menunjukkan dan membangun hirarki pamor diantara unit-unit tersebut. Meminjam bahasa Harold Wolman, “….everyone wants coordination on his own terms. Achieving coordination means getting your own way” (Wolman, 1981: 448).

Persoalan koordinasi akan mengalami kekusutan yang cukup serius dalam salah satu atau kedua kondisi berikut ini, yaitu jika (1) terdapat perbedaan kepentingan yang sangat tajam, dan (2) adanya keterlibatan dua atau lebih struktur pemerinthaan dengan tingkat otoritas (eselon maupun departemen) yang berbeda, (Lele, 2001). Dua kondisi tersebut dapat ditemui pada hampir semua isu kebijakan sehingga performa suatu kebijakan akan ditentukan oleh derajat sensitivitas para elit penentu kebijakan terhadapnya. Jika esensi kebijakan publik adalah kompromi atas ragam kepentingan yang saling berbeda yang formulasi dan implementasinya melibatkan berbagai struktur pemerintahan – disamping struktur sosial-politik-ekoomi non pemerintahan tentu saja – maka masa depan kebijakan harus dilihat sebagai proyek bersama. Interpretasi paling simplistis terhadap berbagai kegalaan kebijakan yang terjadi selama ini dapat ditelusuri dari persepektif ini. Hal itu tidak perlu terjadi jika terdapat koordinasi dalam pengertian yang paling substansial. Atau selaras dengan topik tulisan itu, kondisi-kondisi itu dapat dicegah jika semua aktor (lembaga) yang terlibat dalam suatu masalah kebijakan, apalagi dengan sasaran yang sama, membentuk suatu komunitas kebijakan dimana mereka dapat berdialog, berbagi beban, informasi, pengetahuan dan keahlian dan menjalankan suatu agenda dalam semangat kolegial.

Gagasan tentang komunitas kebijakan pertama kali lahir dan berkembang di AS yang kemudian menyebar ke Inggris pada sekitar dekade 1970-an. Gagasan tersebut muncul sebagai respon intelektual atas berbagai persoalan publik, terutama yang memerlukan tanggapan yang cepat dan terintegrasi. Berbeda dengan persoalan-persoalan publik pada era sebelumnya, terutama dalam hal lingkup dan intensitasnya, persoalan publik sejak era 1970-an jauh lebih kompleks, variatif, serta interdependen seiring semakin menyatunya dunia dalam jaringan interaksi global (Keohane & Nye, 1976). Fenomena itu diperkuat intensitasnya oleh terjadinya proses demasifikasi masyarakat yang berimplikasi pada munculnya multiplikasi atau fragmentasi kepentingan, dan karenanya, kebijakan publik yang (seharusnya) diformulasikan. Dalam konteks yang demikian dibutuhkan respon kebiajakn yang akurat dan integratif dimana kesatuan aksi serta integrasi energi merupakan pilar-pilanya. Sebaliknya, respon yang keliru dan terkotak-kotak hanya akan berakibat pada munculnya gejala leviathan pluralistik (Freeman, 1965: 5). Ini merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh dominasi beberapa elit pada level-level sub sistem dalam proses

Halaman 5

Page 6: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

pembuatan kebijakan yang seharusnya menjadi domain pemerintahan secara keseluruhan yang pada gilirannya akan melahirkan kebijakan yang terpecah-pecah atau bahkan saling bertentangan. Atau wujud respon lain yang keliru adalah terjadinya molekulisasi diskrit dalam proses formulasi kebijakan yang diwarnai oleh ego sektoral serta parokialisme masing-masing lembaga.

Urgensi komunitas kebijakan, atau jaringan kebijakan dalam pengertian yang lebih luas, semakin meningkat bersamaan merebaknya gejala keterpecahan kebijakan sebagai akibat adanya frgamentasi dalam mesin pembuatan kebijakan yang dimotori pemerintah. Komunitas kebijakan juga muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan korporatisme negara dalam menundukkan masyarakat sipil dibawah tampuk kekuasaannya serta asumsi absurd tetang kohesivitas birokrasi. Dalam artian tertentu, negara bahkan tidak mampu berhadapan dengan masyarakat sipil yang tidak saja semakin berdaya tetapi juga tampil sebagai aktor otonom untuk menggerogoti kedaulatan dan otoritas negara (Rosenau, 1991). Sementara itu, asumsi tentang kohesivitas birokrasi sebagai aktor otonom dalam proses pembuatan keputusan juga semakin kehilangan daya gunanya sebagai instrumen ekplanasi untuk banyak situasi. Munculnya kajian politik birokratik (Jackson & Pye, 1978) yang menggambarkan kompetisi internal dalam tubuh birokrasi pemerintah semakin menggoyahkan pandangan tentang keutuhan birokrasi itu.

Sebagai wujud respon intelektual, gagasan komunitas kebijakan turut diperkuat kedudukannya oleh pandangan pluralisme dan korporatisme dalam literatur kebijakan publik. Tepatnya dapat dikatakan bahwa komunitas kebijakan membangun basis argumentasinya diatas anomali-anomali kedua tradisi berpikir itu sekaligus berusaha menertibkannya. Menggunakan pluralisme dan korporatisme sebagai pijakannya, pemerintahan yang terekspresikan dalam produk kebijakan publik. Ini tidak berarti bahwa perspektif-perspektif tersebut sama sekali tidak berguna. Komunitas kebijakan lebih merupakan cara pandang alternatif yang mampu- minimal dalam pandangan para pendukungnya-merefleksikan dinamika kebijakan publik yang kian hari kian kompleks ketimbang sebagai substitut perspektif-perspektif sebelumnya.

Dari sudut pandang pluralisme, proses kebijakan merupakan proses multi-aktor, dan karenanya, multi-kepentingan serta berlangsung secara sirkular. Dengan sendirinya, proses kebijakan adalah juga proses negosiasi, kerjasama, kompromi, sekaligus proses konflitual (Bardach, 1979). Korporatisme-suatu sistem representasi kepentingan di mana unit-unit konstituen diorganisasi ke dalam satuan-satuan yang bersifat tunggal, kompulsif, ditata secara hirarkis serta terdiferensiasi secara fungsional, yang diakui dan dilisensi (kalau bukan diciptakan) oleh negara dan mendapatkan monopoli representasional atas kelompoknya sebagai imbalan atas kontrol dalam pemilihan pemimpin serta artikulasi tuntutan dan dukungan (Schmitter, 1974) – nampaknya lahir untuk mengantisipasi proses konfliktual itu dimana negara cenderung menggunakan segala daya dan perangkatnya.

Cara pandang yang menonjolkan potensi konflik ini telah berakibat pada timbulnya defisit atensi publik terhadap kontribusi positif negosiasi, kerjasama dan kompromi. Ketiga nilai inilah yang coba ditangkap perspektif komunitas kebijakan dan didayagunakan dalam proses kebijakan publik. Dengan kata lain, substansi proses kebijakan publik sebenarnya adalah bagaimana mencapai kompromi dan menjalin kerjasama melalui proses negosiasi. Nilai-nilai tersebut hanya akan tercipta jika ada interaksi intensif dalam jangka panjang diantara

Halaman 6

Page 7: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan yang bermuara pada terbangunnya saling percaya dan komitmen serta terjaganya sustainabilitas kebijakan. Tuntutan terakhir inilah yang coba diangkat kembali dan menjadi perhatian utama konsep komunitas kebijakan. Dengan kata lain, komunitas kebijakan lahir dengan komitmen utama untuk menegakkan sustainabilitas kebijakan publik.

Secara sederhana, komunitas kebijakan dapat dimengerti sebagai latar kebijakan tertentu dimana resolusi konflik dapat diwujudkan dengan lebih mudah karena adannya hubungan jangka panjang serta nilai-nilai bersama (shared values). Oleh Rhodes (dalam Jordan, 1990: 326-327) komunitas kebijakan dipahami sebagai suatu jaringan yang ditandai oleh stabilitas interaksi, kontinuitas keanggotaan yang bersifat terbatas, interdependensi vertikal yang didasarkan pada kesamaan tanggung jawab dalam menyediakan pelayanan/jasa atau menghasilkan produk tertentu, serta adanya jarak tertentu dari jaringan lain dan publik secara umum. Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Hogwood (juga dalam Jordan, 1990: 327) yang melihat komunitas kebijakan sebagai suatu tatanan yang ditandai oleh adanya pengalaman bersama, bahasa yang sama, pertukaran antar staf, serta frekuensi dan modal komunikasi tertentu. Karenanya, konsep komunitas kebijakan berkaitan erat dengan konsultasi informal yang memfasilitasi proses pembuatan kebijakan diantara berbagai organisasi yang memiliki perhatian terhadap persoalan yang sama. Konsep itu sekaligus menegasi kecenderungan pemerintahan yang kaku dan berorientasi penuh pada prosedur standar (the ethnic of ulimate means) dalam proses pembuatan kebijakan atau yang dikenal dengan Ossfied Government. Sebaliknya, sosok pemerintahan ideal dalam konsepsi ini adalah pemerintahan yang mampu menjalin kerjasama dan interaksi dengan sebanyak mungkin aktor yang memiliki perhatian yang sama atas masalah tertentu atau yang dikenal sebagai pemerintahan interaksionis (Kooiman, 1993). Dalam sosok pemerintahan yang demikian, proses pembuatan kebijakan tidak hanya akan berlangsung secara efisien dan efektif tetapi juga mampu meneggakkan harmoni, dan oleh karenanya, legitimasi dan sustainabilitas.

Konsep komunitas kebijakan mirip dengan konsep lain dalam literatur ekonomi politik yang dikenal sebagai rezim. Konsep ini dipahami sebagai “…… sets of governing arrangements that include networks of rules, norms, and procedurs that regularize behavior and control its effects” (Keohane, 1984; Krasner, 1981). Walaupun pengertian tersebut lebih diarahkan pada konteks interaksi makro antar bangsa, namun terdapat relevansi yang kuat dengan tema yang sedang kita bahas ini. Rezim menjadi sarana penting yang berfungsi untuk membentuk atau mengarahkan perilaku tertentu yang harus diikuti oleh para anggota yang menyepakatinya sekaligus menjadi pembeda suatu komunitas dengan komunitas lain. Dengan similaritas pemahaman seperti ini, rezim atau komunitas kebijakan memainkan beberapa peran vital dalam mengawal dinamika kebijakan publik.

Pertama, adanya aturan, nilai, atau norma yang dikembangkan didalam suatu komunitas kebijakan dapat meningkatkan transaksi antar-anggota dalam jangka waktu tertentu serta mengurangi kemungkinan terjadinya cheating. Setiap anggota yang melanggar kesepakatan bersama akan kehilangan reputasi dan prospek kerjasama dimasa depan (the shadow of the future) (Lipson, 1984:4-18).

Halaman 7

Page 8: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Kedua, komunitas kebijakan dapat menyatukan interaksi antar-anggota dalam berbagai issue-area tertentu. Diantara berbagai isu tersebut dapat diciptakan suatu hubungan sehingga terjalin issu-linkage. Hubungan antar berbagai isu inilah yang pada akhirnya akan menciptakan interdepensi yang semakin luas sehingga semua pihak enggan melanggar norma kesepakatan kerjasama atau harus menanggung biaya retaliatif yang tidak kecil.

Ketiga, adanya komunitas kebijakan memungkinkan tersedianya informasi yang memadai terutama bagi para anggota yang terlibat dalam suatu kerjasama sekaligus memperbesar kemungkinan melakukan pengawasan. Setiap anggota secara langsung maupun tak langsung dapat mengakses informasi dalam jumlah yang memadai, atau kalaupun tidak, tingkat akurasi informasi yang masuk dapat dikelola secara maksimal.

Keempat, rezim atau komunitas dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost), yaitu semua biaya yang dikeluarkan dalam proses pertukaran, yang meliputi biaya untuk memperoleh informasi, melakukan penawaran atau negosiasi, menegakkan dalam keseluruhan proses tersebut (Hindmoor, 1997:13 ; Kreps, 1990:97 ; Cohen, 1991:45 ; North, 1984:7-17); Caporaso, 1992:609); Coase, 1991). Semua anggota komunitas dapat menghemat biaya transaksi karena sebagian tugas dan bebannya telah dilimpahkan kepada komunitas tadi sebagai wadah kolektif.

Dengan beberapa peran vital tersebut, komunitas kebijakan menjadi salah satu konsep sentral dalam literatur kebijakan publik walaupun tidak jarang disalahartikan. Untuk membedakan komunitas kebijakan memiliki beberapa karakter tipikal berikut :1) memiliki keanggotaan yang terbatas dengan latar belakang kepentingan tertentu yang terkadang secara sadar atau tidak sadar dapat mengeksklusi kelompok lain; 2) memiliki nilai bersama; 3) berinteraksi secara periodik; 4) adanya pertukaran sumber daya yang dikelola oleh para pemimpinnya; 5) adanya keseimbangan kekuasaan relatif (relative balance of power) diantara para anggotanya.

Ciri-ciri diatas sekaligus juga membedakan komunitas kebijakan dari jaringan kebijakan. Kendati tidak untuk dipertentangkan, konsep yang kedua ini memiliki cirikhas yang agak berbeda dengan komunitas kebijakan seperti jumlah anggotanya yang relatif lebih banyak, adanya fluktuasi dalam tingkat interaksi, tingkat kesepakatan yang juga relatif rendah, adanya keanekaragaman sumber daya serta ketidak mampuan mengelolanya secara kolektif, dan tidak adanya kesederajatan kekuasaan (Hill, 1997: 72-73). Demikian halnya dengan sifat open access dimana tidak ada limitasi terhadap keanggotaan atau utilisasi sumber dayanya, atau sebagaimana diungkatpkan Frances Horibe (2000), jaringan kebijakan memiliki karakter yang lebih luwes seperti adanya interaksi fungsional yang bersifat egaliter (non-hierachical interaction), adanya fokus bersama yang menjadi common area of concern, adanya koneksitas yang relatif intens, saling berbagi informasi dan pengetahuan, serta terwujudnya sinergi. Kecuali ciri khas pertama, keempat ciri lainnya lebih mendekati karakteristik komunitas kebijakan. Perbedaan antara komunitas kebijakan dengan bentuk jaringan kebijakan lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini,:

Dimensi Sub-Dimensi Komunitas Kebijakan Jaringan Kebijakan

Keanggotaan Jumlah partisipan

Sangat terbatas, bahkan ada yang bersifat eksklusif.

Tidak terbatas

Halaman 8

Page 9: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Dimensi Sub-Dimensi Komunitas Kebijakan Jaringan Kebijakan

Tipe kepentingan

Didominasi oleh kepentingan ekonomi atau profesional

Mencakup semua kepentingan yang dipengaruhi

Integrasi

Frekuensi interaksi

Sering dan berkualitas yang melibatkan semua anggota yang berkaitan dengan isu kebijakan tertentu

Frekuensi dan intensitas interaksi bersifat fluktuatif

KontinuitasKeanggotaan, nilai dan outcomes bertahan dalam jangka panjang

Akses berflutuasi secara signifikan

KonsensusSemua partisipan memiliki nilai yang sama dan mengakui legitimasi komunitas tersebut

Sudah terdapat beberapa kesepakatan disamping potensi konflik

Sumberdaya

Distribusi sumber daya (didalam jaringan)

Semua partisipan memiliki sumber daya dan hubungan yang terjalin bersifat transaksional

Sejumlah partisipan mungkin memiliki sumber daya, tetapi agak terbatas, dan hubungan yang terjalin lebih bersifat konsultatif

Distribusi sumber daya (diantara organisasi partisipan)

Masih hirarkis, pemimpin dapat mengatur anggotanya

Terdapat variasi distribusi dan kapasitas untuk mengatur anggota

Kekuasaan

Ada keseimbangan kekuasaan di antara anggota. Walaupun kelompok tertentu dapat saja mendominasi, namun sifatnya masih positive sum demi kelanggengan komunitas

Terdapat ketimpangan kekuasaan yang merefleksikan ketimpangan pemilikan sumber daya dan akses; sifatnya seringkali zero-sum

Sumber : D. Marsh & R. Rhodes (eds), 1992. Policy Networks in British Government, Oxford: Oxford University Press, Hal. 251.

Rhodes dan Marsh (1992: 182-183) lebih lanjut mencoba memecahkan gagasan komunitas kebijakan ke dalam beberapa sub-gagasan seperti jaringan profesional yang hanya terdiri atas orang-orang dari latar belakang profesi yang sama, jaringan inter-pemerintahan yang merupakan representasi berbagai otoritas lokal, serta jaringan isu yang ditandai oleh keanggotaan yang bergitu terbuka dengan tingkat interdependensi yang relatif terbatas.

Dibandingkan dengan pecahan komunitas lainnya, komunitas kebijakan lebih memiliki keunggulan yang ditandai oleh adanya stabilitas, keanggotaan yang bersifat terbatas, adanya interdependensi vertikal serta terbatasnya artikulasi horisontal. Dengan kata lain, substansi perbedaan antara konsep-konsep lain dengan konsep komunitas kebijakan adalah tingkat integrasi, stabilitas dan eksklusivitasnya. Kendati demikian, konsep-konsep itu memiliki suatu kecenderungan umum yaitu adanya dominasi oleh satu atau lebih kelompok terhadap kelompok lainnya, walaupun hal itu tidak berlaku umum.

Kendati memiliki ciri khas yang berbeda, baik komunitas kebijakan maupun sub-gagasan sama-sama memainkan peran vital dalam proses kebijakan

Halaman 9

Page 10: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

publik sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Komunitas dan jaringan kebijakan merupakan perangkat penting untuk memfasilitasi konsultasi dalam tubuh pemerintah yang dapat mempermudah proses pembuatan kebijakan, mengurangi konflik, mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan politisasi masalah publik, meningkatkan derajat prediktabilitas arah kebijakan, serta mampu menghubungkan berbagai organisasi pemerintah dengan aktor-aktor ekstra birokrasi dalam hampir semua proses kebijakan. Selain itu, hadirnya komunitas dan jaringan kebijakan menjanjikan legitimasi, sustainabilitas, dan kualitas kebijakan. Dalam iklim semacam itu dimungkinkan penajaman agenda publik dimana iklim “adu visi” dan “hirarki ide” lebih ditonjolkan dan mendapat tempat ketimbang “adu otoritas” dan “hirarki struktur” (Beer, 1994: 35). Dengan kata lian, logika pembuatan kebijakan akan lebih didasarkan pada spesialisasi dan pemahaman substansi permasalahan kebijakan publik, daripada posisi konstitusional partisipannya.

Hal itu sejalan dengan spirit administrasi publik baru di mana isu-isu konvensional seperti kontrol, pembagian kekuasaan, check and balance, serta hirarki semakin tergeser oleh agenda pluralisme yang berakar pada kecenderungan-kecenderungan dispersif serta proses multiplikasi yang berlangsung pada semua lini kehidupan (Jordan, 1990: 320). Dengan demikian, wacana yang mencuat dan menemukan relevansi kontemporernya adalah jaringan atau komunitas kebijakan. Dalam pengertian ini, proses kebijakan publik akan terbuka untuk dipahami sebagai proses sosial daripada melulu sebagai prose politik (Arce, 2000).

Spiritualitas baru dalam adminitrasi publik yang beresensikan jaringan dan komunitas juga menemukan akar eksplanasinya pada beberapa kajian baru dalam berbagai literatur kebijakan dan manajemen publik. Subtansi tulisan-tulisan tersebut intinya ingin ‘memicu kerusuhan’ pada kecenderungan instrumental-teknokratis dalam proses kebijakan publik yang telah secara total mengeksklusi publik dari dinamika wacana dan proses kebijakan di sekitarnya, untuk selanjutnya membuka ruang partisipasinya yang semakin luas bagi masyarakat umum. Dalam konteks yang demikian, kemitraan (partnership) antara pemerintah dan aktor-aktor lain di luarnya (masyarakat, swasta, partai politik) semakin mendapatkan ruang ekspresinya walaupun dengan derajat performa empiris yang masih relatif rendah.

Optimisme awal akan dampak berantai yang dibawa kemitraan dilandasi oleh keyakinan realistis bahwa baik negara maupun masyarakat memiliki karakter yang unik yang dapat saling mengisi. Jika sinergi dilihat sebagai pilar komunitas kebijakan, maka kerjasama dan kemitraan di antara berbagai aktor tersebut menjadi kondisi sine quo non. Melalui interaksi tersebut, beban negara dalam penyediaan pelayanan publik atau pembangunan umumnya akan semakin ringan sambil pada saat yang sama meningkatkan partisipasi, rasa memiliki, tanggung jawab, dan komitment masyarakat (Rubin dan Rubin, 1986; Esman, 1994; Ife; 1996; Denhart,1998). Demikian halnya dengan peningkatan derajat efisiensi dan efektivitas utilisasi sumber daya publik. Yang demikian harus diciptakan dan dimanfaatkan dalam semua proses atau tahapan kebijakan. Ini dapat memberikan garansi bahwa pembangunan dan pelayanan publik yang dijalankan melalui berbagai inisiatif kebijakan itu akan menemukan makna yang lebih substansial, yaitu oleh karenanya, adalah bagaimana menciptakan sistem dan kultur yang demikian dengan pembentukan komunitas kebijakan sebagi muaranya.

Halaman 10

Page 11: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Implikasi: Kemitraan (Partnership) Sebagai Embrio Komunitas Kebijakan

Gagasan-gagasan visioner ynag diungkapkan sebelumnya mengandung spiritualitas yang cemerlang. Sudah lama bangsa ini tenggelam dalam parokialisme birokrasi yang sangat akut dengan sejumlah implikasi yang ditimbulkan. Di antaranya adalah inkosistensi antar berbagai kebijakan yang pada gilirannya menimbulkan konvolusi implementasi, pemborosan anggaran publik untuk berbagai program yang sebenarnya bisa dihemat, serta kompetisi atas sumber daya publik di antara pelaku kebijakan yang akhirnya bermuara pada timbulnya ketidak percayaan publik dan terjadi pembusukan sistem birokrasi pemerintahan. Akar dari semua persoalan tersebut terletak pada absennya kesatuan, visi, dan aksi, yang sebenarnya bisa diatasi dengan mengembangkan suatu komunitas kebijakan. Dalam komunitas semacam itu, terdapat dan dikembangkan nilai, norma, atau aturan yang sama, serta terbuka peluang untuk mengembangkan visi bersama, mendialogkan agenda aksi, serta mengintegrasikan energi dan sumber daya dalam iklim interaksi dan konsultasi yang lebih intesif. Kondisi tersebut menjadi barang langka karena beberapa alasan yang sudah disinggung sekilas sebelumnya.

Sebenarnya sudah ada beberapa terobosan penting yang dilakukan selama ini dalam upaya mencari solusi atas berbagai persoalan di atas. Gagasan yang sempat mencuat sebelum belakangan diselewengkan adalah pembentukan birokrasi representasional. Model tersebut merefleksikan komposisi riil kekuatan sosial masyarakat dengan memperkenalkan nilai-nilai simbolik yang membantu beroperasinya sistem pemerintahan yang demokratis (Kingsley, 1994: 230). Model ini dinilai sangat efektif untuk menciptakan pemerintahan yang responif dan akuntable (Levine, Peters, dan Thompson, 1990: 194-195) karena adanya pengawasan langsung dari konstituen terhadap wakilnya. Model ini juga mirip dengan demokrasi konsosiasional (consociationsl democracy) yang diterapakan di beberapa negara multi SARA seperti Lebanon dan Swiss di mana nilai-nilai kolektivitas, harmoni, dan kerjasama menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan (Lijphart, 1968: 3-44, Steiner, 1990). Walaupun implementasinya membutuhkan sejumlah kondisionalitas seperti adanya iklim yang kondusif bagi terlaksananya power-sharing serta adanya kesederajatan status ekonomi, namun model tersebut minimal sudah memberi perhatian terhadap realitas pluralisme yang merentang sepanjang garis bahasa, etnis, suku, agama, ideologi, kelas sosial, dan sebagainya (Kim, 1993; McRae, 1990).

Kedua model di atas, untuk konteks Indonesia, diplesetkan sebagai distribusi kekuasaan di antara elit politik sekedar untuk mengamankan kepentingan politik kelompoknya. Dengan kata lain, model yang seharusnya memiliki akar hingga ke lapisan akar rumput ini hanya mengawang-awang pada level elit suprastruktur. Ditambah dengan beberapa persyaratan teknis yang sulit dipenuhi oleh negara-negara sekelas Indonesia serta konsiderans politik yang melatarbelakanginya menjadikan kedua model tersebut sulit beradaptasi, atau hanya diarsipkan untuk Indonesia pada dekade-dekade mendatang.

Dibandingkan dengan dua model yang mempersyaratkan legalitas konstitusi itu, model komunitas kebijakan jauh lebih sederhana dalam hal fisibilitas politiknya. Tantangan kontemporer yang lebih mengemuka, oleh karenanya, adalah bagaimana memenuhi sejumlah kondisionalitas termasuk dengan mengeliminasi beberapa hambatan yang ada dan berkembang didalam tubuh birokrasi dan masyarakat secara umum seperti fenomena iron triangle

Halaman 11

Page 12: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

antara pemerintah, militer dan pemilik kapital (Skocpol, 1987), orientasi kebijakan yang cenderung sempit dan sektoral (ego sektoral/departemental), di samping kompleksitas masalah komunitas kebijakan itu sendiri. Demikian halnya, bagaimana birokrasi pemerintah yang seharusnya menjadi sarana simplifikasi konflik (Cox & Miller, 1995) dengan menjinakkan beragam konfigurasi aspirasi dan kepentingan dalam masyarakat justru tenggelam dalam praktek-praktek kekuasaan sempit untuk memperjuangkan keperntingan-kepentingan parokial kelompoknya. Akibatnya tidak saja menimbulkan sinisme terhadap institusi tersebut tetapi justru menebar benih-benih konflik tambahan dalam masyarakat. Berbagai perbedaan kepentingan yang seharusnya diakomodasi untuk dicarikan titik temu justru menjadi energi ekstra bagi meledaknya konflik sosial.

Kondisi di atas, secara sengaja atau tidak, diciptakan oleh birokrasi untuk melanggengkan dominasinya atas publik. Dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya, birokrasi tidak saja muncul sebagai institusi otonom yang lepas dari pengaruh publik tetapi juga mampu menciptakan ketergantungan pada diri masyarakat terhadapnya. Dalam iklim yang demikian, komunitas kebijakan tidak saja sulit diciptakan tetapi juga tidak relevan dibicarakan. Birokrasi menjadi perangkat arbitrasi rezim yang berkuasa yang menentukan segalanya dengan berpijak pada kontrol dan hirarki. Pembagian kekuasaan, pembentukan kemitraan, saling bagi informasi dan pengetahuan, partisipasi dan tema-tema semacamnya yang dekat dengan komunitas kebijakan menjadi wacana eksklusif yang hanya dikonsumsi oleh ‘barisan sakit hati’ yang alergi dengan kekuasaan negara. Wacana-wacana tersebut menjadi diskursus marginal tanpa bobot pengaruh yang cukup berarti. Dengan demikian, komunitas kebijakan hanya mungkin diciptakan jika negara sebagai aktor yang selama ini dominan bersedia mengubah kultur birokrasinya dengan memperluas agenda-agenda kebijakan yang membuka ruang partisipasi yang seluas-luasnya bagi publik secara umum.

Selain persyaratan politik tersebut, pembentukan komunitas kebijakan juga mempersyaratkan beberapa aspek teknis berupa kompetensi-kompetensi kunci yang mutlak ditumbuhkembangkan. Pengembangan kompetensi tersebut terutama harus dimulai dari lingkungan birokrasi sebagai pelaku utama kebijakan publik. Pola yang dikembangkan Pemerintah Kanada (2000 & 2001) dengan tipologi kompetensi kuncinya dapat diadaptasi di sini. Di antaranya adalah kompetensi intelektual, kompetensi personal, kompetensi pengetahuan, kompetensi hubungan, dan kompetensi organisasional. Kompetensi intelektual antara lain diwakili oleh pengembangan kapasitas kognitif dan kreativitas; kompetensi personal diwakili oleh etika, nilai, daya tahan serta pembelajaran berkelanjutan; kompetensi pengetehuan ditunjukkan oleh pemahaman terhadap konteks pemerintahan, proses kebijakan, serta konteks eksternal di samping pengembangan beberapa keahlian khusus; kompetensi interaksi ditunjukkan oleh hubungan interpersonal, orientasi kolaboratif serta komunikasi; sedangkan kompetensi organisasional diwakili oleh pengembangan manajemen aksi.

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa perwujudan komunitas kebijakan mempersyaratkan begitu banyak kemampuan kunci. Orientasi kolaboratif misalnya mengharuskan agar semua anggota suatu komunitas kebijakan dapat mengembangkan kompetisi yang kooperatif (cooperative competition) serta kerjasama yang kompetitif (competitive cooperation), baik dengan lingkungan internal maupun eksternal komunitas bersangkutan. Hal itu juga perlu diimbangi dengan pengembangan kreativitas serta etika dan nilai tertentu. Misalnya dengan menumbuhkembangkan saling percaya (mutual trust) dan menghargai nilai dan keyakinan pihak lain serta memegang teguh imparsialitas dan netralitas

Halaman 12

Page 13: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

politik sehingga hanya kepentingan publiklah yang menjadi basis perjuangan dan gerakan mereka. Juga dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, kejujuran, obyektivitas, integritas, dan kesederajatan.

Beberapa kesulitan dan tuntutan yang dipaparkan di atas tidak dimaksudkan untuk membangkitkan pesimisme tambahan akan absurditas komunitas kebijakan (policy community as the art of impossible). Sebaliknya, uraian tersebut dimaksudkan untuk memberikan potret obyektif tentang betapa sulitnya mewujudkan sebuah gagasan yang visioner. Dengan melihat komunitas kebijakan sebagai ‘the art of possible’, maka beberapa langkah taktis realistis dapat mulai dirintis.

Tema yang cukup relevan dibicarakan di sini dan dapat memberikan amunisi tambahan kepada komunitas kebijakan adalah kemitraan. Tema ini menjadi wacana yang hangat sepanjang beberapa tahun terakhir yang menjelajah hampir semua isu dan produk kebijakan. Bahaya reduksi yang mengintip di balik eksesifnya penggunaan kemitraan sebagai payung suatu kebijakan tetap tidak bisa mengurangi sentralitasnya sebagai solusi alternatif atas berbagai persoalan publik yang masih diwarnai oleh kesenjangan kapasitas, sumber daya, dan akses di antara berbagai aktor, minimnya koordinasi, kerjasama, dan saling pengertian, serta masih terkotak-kotaknya proses dan output kebijakan publik. Kemitraan tampil sebagai jawaban alternatif untuk menerobos berbagai kebuntuan itu dengan satu kesadaran bahwa, pertama, kebijakan publik seyogyanya melibatkan semua stakeholders, baik pemerintah, kalangan swasta, partai politik, maupun masyarakat sipil; kedua, masing-masing aktor tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang ditandai oleh berbagai keterbatasan di satu sisi serta keunggulan di sisi lain sehingga interaksi yang komplementer merupakan prasyarat bagi keberhasilan intergrasi energi; dan ketiga, kemitraan merupakan pilar penting bagi pembentukan good governace, atau, sebagaimana dinyatakan beberapa analis, kemitraan merupakan salah satu ciri khas penting dari model new governance (Rouban, 1999; The Jean Monnet Program, 2001). Hanya melalui kemitraan dapat dikembangkan nilai-nilai penting seperti keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Nilai-nilai tersebut juga menjadi batu penjuru bagi komunitas kebijakan.

Dalam implementasinya, penerapan langkah-langkah kemitraan di Indonesia masih terkesan setengah hati. Jika ditelusuri ke belakang, yaitu pada dekade 1980-an ketika gagasan kemitraan mulai diperkenalkan, harus diamini bahwa ada beberapa kepentingan terselubung yang bermain di balik introduksinya. Tidak mengherankan kalau yang terjadi kemudian adalah koncoisme atau kronisme, di mana kemitraan hanya dipakai sebagai piranti penangkal resistensi publik. Pola semacam ini masih begitu melekat di dalam beberapa program kemitraan yang dijalankan selama ini. Meninjau kembali semua bentuk kemitraan yang terjalin selama ini dengan mengintroduksi nilai-nilai fundamental dari konsep kemitraan merupakan upaya kritis yang perlu segera dilakukan di mana nasib komunitas kebijakan turut dipertaruhkan.

Salah satu prasyarat kunci bagi bekerjanya kemitraan menuju pembentukan komunitas kebijakan adalah kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pemilikan sumber daya, akses informasi, dan sebagainya. Dominasi oleh salah satu pihak hanya akan berakibat pada penarikan diri pihak lain. Sustainabilitas suatu forum kemitraan, dengan demikian, sangat bergantung pada sejauh mana terdapat kerangka kerja institusional yang mampu menggaransi kesetaraan tadi. Di dalam kerangka kerja yang demikian dapat

Halaman 13

Page 14: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

diatur pula mekanisme resolusi konflik, kontribusi dan distribusi sumber daya, komposisi dan kompetensi keanggotaan, prinsip-prinsip pengembangan atmosfir kolegialitas, serta dasar kepentingan sebagai pengikat. Adanya kerangka kerja yang jelas dan efektif akan menjadi garansi tambahan bagi terselesaikannya dilema aksi kolektif di mana naluri free rider menjadi salah satu kendalanya (Olson, 1971). Banyak literatur yang membahas tema ini secara lebih tuntas dan mendalam. Tulisan ini hanya ingin menyentil ingatan kolektif kita bahwa implementasi kemitraan yang sungguh-sungguh menjanjikan sejumlah keuntungan. Kemitraan yang demikian dapat menjadi embrio komunitas kebijakan sehingga berbagai kekusutan dalam kebijakan publik di tanah air menemukan solusi substansialnya.

Selain persyaratan tersebut, pengalaman di beberapa negara yang sudah dan sedang mengembangkan program-program kemitraan memberikan suatu pelajaran penting bahwa kemitraan hanya akan efektif dan berkelanjutan jika terdapat visi bersama, kejelasan misi, sense of purpose, adanya kepemimpinan yang efektif yang dapat menjamin tercapainya keuntungan kolaboratif, akuntabilitas mutual dan multi-arah, interdependensi dan komplementaritas, adanya proses pembelajaran bersama, serta kesetaraan kekuasaan. Demikian halnya dengan saling percaya, saling menghargai, kredibilitas dan kompetensi semua partisipan, dan komunikasi yang partisipatoris dan sejajar.

Dalam mengembangkan kemitraan, masing-masing partner harus sensitif dan menunjukkan komitmen dan empatinya tidak saja terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan bersangkutan tetapi terutama terhadap apa yang menjadi tujuan masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap anggota harus sensitif terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan, tujuannya sendiri, serta tujuan partnernya. Pencapaian tujuan forum kemitraan dengan mengorbankan apa yang menjadi tujuan individual identik dengan mencabut akar kemitraan itu sendiri (The Peter F. Drucker Foundation, 1996; Austin, 2000; The Jean Monnet Program, 2001).

Pesan utama paparan terakhir ini sangat jelas yaitu reposisi peran pemerintah, revitalisasi kontribusi masyarakat dan sektor swasta, serta konstruksi dan penguatan kerangka institusional untuk mengimplementasikannya. Atau mengutip paparan Robert F. Durant, Rosemary O’Leary, dan Daniel Fiorino (2001), jantung dari sebuah reformasi kebijakan yang diintroduksi melalui pembentukan kemitraan terletak pada 3 R: rekonseptualisasi rezim (aturan, nilai, norma ataupun prinsip) yang mengaturnya, reproduksi interaksi dengan semua stakeholders, dan reframing rasionalitas administratif yang dianut pemerintah untuk juga memberi ruang ekspresi bagi rasionalitas publik. Implikasi derivatif dari ketiga poin tersebut tidak perlu diuraikan di sini. Yang diharapkan adalah agar poin-poin tersebut bisa semakin memperkuat kapasitas dan menjamin sustainabilitas lembaga kemitraan. Hadirnya lembaga kemitraan yang kuat dan efektif merupakan pintu masuk menuju pembentukan komunitas kebijakan dalam lingkup yang lebih luas dan strategis. Sebaliknya, jika itu semua tidak bisa digapai, maka sulit diharapkan komunitas kebijakan bisa tercipta. Taruhannya pun kian serius, yakni terulanginya kegagalan-kegagalan masa lalu yang hanya akan semakin memperburuk wajah Republik ini. Benar kiranya kalau dikatakan bahwa…a nation is poor not because it is poor but due mainly to a poor policy!

Halaman 14

Page 15: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Epilog

Komunitas kebijakan merupakan desain ideal bagi proses kebijakan masa datang yang dapat mengakomodasi nilai-nilai partisipasi, kolektivitas, inklusivitas, dan yang paling penting, sustainabilitas. Sebagai sebuah gagasan ‘baru’ pada level praktis, implementasi komunitas kebijakan dalam praksis kebijakan publik di tanah air kini mendapatkan momentumnya di era reformasi. Urgensinya kian meningkat manakala patologi kebijakan seperti yang terjadi selama ini menjadi pertimbangan utama. Jelas komunitas kebijakan bukanlah panacea yang dapat memberikan jaminan solusi atas semua persoalan kebijakan bangsa selama ini, tetapi minimal ada optimisme yang dihembuskannya. Pada tahap awal, pengembangan komunitas kebijakan dapat dimulai dengan pembentukan lembaga-lembaga kemitraan dalam arti yang sesungguhnya. Kendati belum sepenuhnya bisa berjalan normal, namun setidak-tidaknya beberapa forum kemitraan yang ada selama ini sudah mulai belajar merangkak. Masih dibutuhkan political will serta dukungan berbagai kompetensi strategis untuk menjadikannya benar-benar bekerja. Forum-forum inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komunitas kebijakan

Halaman 15

Page 16: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Daftar Bacaan

Arce, Alberto. 2000, “The Policy Community and Collective Action: Power, Agency and Knowledge”, Working Paper.

Austin, James E., 2000. “Principles for Partnerships”, Leader to Leader, No. 18, Fall 2000.

Bardach, Eugene, 1979. The Implementation Game: What Happens After a Bills Becomes a Law, Cambridge: The MIT Press.

Beer, Michael, 1994. “Managing Strategic Allignment,” dalam Lance A. Berger & Martin J. Sikora (eds.), The Change Management Handbook, Chicago: Irwin Professional Publishing.

Coase, Ronald. 1960. “The Problem of Social Cost”. Journal Law and Economics. Vol. 3, hlm. 1-44.

Considine, Mark, 1994. Public Policies: A Critical Approach, Melbourne: MacMillan Education Australia Pty Ltd.

Durant, Robert F., Rosemary O’Leary, Daniel Fiorino, 2001. “A New Governance Paradigm (Topic: Natural Resources Management)”, The American Society for Public Administration, Vol. 4, No. 8.

Depdagri, 2002. Pedoman Pelaksanaan Rapat Koordinasi Pembangunan Propinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2002 dan Penyusunan Repetada Tahun 2003.

England Health Action Zone, 2000. “Governance in Partnerships: Checklist of Good Practice”, Annual Publication.

Eriyatno. 2002. Strategi Implementasi Program Pengembangan UKM. Lokakarya Penguatan UKM, Mempercepat Agenda Reformasi Kebijakan.

Freeman, J. Leiper, 1965. The Political Process, New York: Random House.

Grindle, Merilee, 1997. “The Good Government Imperative: Human Resources, Organizations and Institutions,” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Boston: Harvard University Press, p. 3-30

Grindle, Merilee S., dan John W. Thomas, 1991, Pubic Choices and Policy Change: The Political Economy of Reform in Developing Countries, Maryland: John Hopkins University Press.

Hill, Michael, 1997. The Policy Process in the Modern State, London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf.

Hindmoor, Andrew, 1997. “The Importance of Being Culture: Rediscovering Policy Network Theory”, PSA Annual Conference, Ulster: University of Exeter

Horibe, Frances, 2000. “The Status of Functional Community Networks”, Working Paper (presented for The Leadership Network).

Halaman 16

Page 17: “Suatu Tinjauan atas Koordinasi Perencanaan … · Web viewPerencanaan di negara dengan perekonomian bebas ini menggunakan mekanisme harga pasar (market mechanism) sebagai inikator

Jackson, Karl D., and Lucian Pye (eds.), 1978. Political Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California Press

Jordan, Grant, 1990. “Sub-Governments, Policy Communities and Networks: Refilling the Old Bottles?”, Journal of Theoritical Politics, Vol. 2, No. 3, Pp. 319-338.

Kooiman, J. (ed), 1993. Modern Governance: New Government-Society Interactions, London: Sage Publications.

Kunarjo. 1992. Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Lele, Gabriel, 2001. Studi Implementasi Kebijakan KAPET Mbay, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM

Mas’oed, Mochtar, 1997. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pemerintah Kanada, 2000. The Competency Profile for the Policy Community.

Pemerintah Kanada, 2001. Universal Classification Standard: Reference Tool for the Policy Community, Treasury Board of Canada Secretariat.

The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnerships”, Report

The Jean Monnet Program, 2001. “Overall Assessment: Creating New Governance Mechanism and Preserving the European Social Model”, Research Report, Harvard: Harvard Law School.

Rhodes, R.A.W., 1990. Policy Networks: A British Perspective, Journal of Theoritical Politics, Vol. 2, No. 3, Pp. 293-317.

Rhodes, R.A.W, & David Marsh, 1992. “New Directions in the Study of Policy Networks”, European Journal of Political Research, Vol. 21, Pp. 181-205.

Schmitter, Phillipe C., 1974. “Still the Century of Corporatism?”, dalam Frederick B. Pike & Thomas Stritch (eds.), The New Corporatism, Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Wolman, Harold, 1981. “The Determinants of Program Success and Failure,” dalam Journal of Public Policy, Vol.1, No.4, Pp. 433-464.

Halaman 17