STUDI PERBANDINGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK...

86
i STUDI PERBANDINGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEJAKSAAN MALAYSIA DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: NADA ULYA QINVI NIM: 11150480000083 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Transcript of STUDI PERBANDINGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK...

  • i

    STUDI PERBANDINGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK

    INDONESIA DENGAN KEJAKSAAN MALAYSIA DALAM PENANGANAN

    PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    NADA ULYA QINVI

    NIM: 11150480000083

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1440 H/2019 M

  • v

    ABSTRAK

    Nada Ulya Qinvi. Nim 11150480000083. STUDI PERBANDINGAN

    KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN

    KEJAKSAAN MALAYSIA DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK

    PIDANA KORUPSI. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. ix- 72

    halaman.

    Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan peran Kejaksaan Republik Indonesia

    dengan Kejaksaan Malaysia dalam tindak pidana korupsi serta persamaan dan

    perbedaan antara kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan

    Malaysia dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

    Penelitian ini menggunakan jenis penelitian penelitian kualitatif. Dalam

    penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan

    (Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan

    pengundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana

    yang berkaitan dengan skripsi ini.. Data yang telah dihimpun dan dianalisis

    menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual.

    Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa yang menjadi persamaan antara

    kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan Malaysia yaitu peran

    Jaksa tetap sebagai Penuntut Umum, sedangkan yang menjadi pembeda kewenangan

    Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan Malaysia yaitu kewenangan dalam

    bidang penuntutan. Di dalam Pasal 51 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjelaskan

    bahwa penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum namun dibatasi dengan

    syarat yang tercantum dalam Pasal 39 Ayat (3) yaitu harus diberhentikan sementara

    dari instansi kejaksaan selama menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dan

    pada Pasal 39 Ayat (1) menjelaskan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

    bertindak berdasarkan perintah dan untuk serta atas nama Korupsi Pemberantasan

    Korupsi (KPK) yang secara eksplisit hal ini dilakukan oleh pihak KPK. Berbeda

    dengan Jaksa Penuntut Umum di Malaysia yang tetap melakakukan penuntutan dan

    divisi penuntutan Malaysia Anti-Corruption Commission (MACC) yaitu Akta

    Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) dapat melakukan penuntutan

    namun atas atau dengan izin Jaksa Penuntut Umum (Pendakwa Raya) tanpa campur

    tangan lembaga manapun yang telah dijelaskan pada Pasal 60 Ayat (2) Akta

    Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) 2009.

    Kata Kunci : Perbandingan, Kewenangan, Jaksa, Tindak Pidana Korupsi.

    Pembimbing : Dr Alfitra, S.H., M.Hum

    Daftar Pustaka : 1994 s.d. 2018

  • vi

    KATA PENGANTAR

    ِحْيمِ ْحَمِن الرَّ بِْســــــــــــــــــِم هللاِ الرَّ

    Alhamdulillahirabbil‘alamin segala puji serta syukur dipanjatkan kepada

    Allah SWT yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak hati

    manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada uswah

    hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW. yang telah mengajarkan kepada umatnya

    bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya, sahabat

    dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang sunnahnya

    sampai hari pembalasan.

    Selama penyusunan skripsi ini dan selama peneliti belajar di Program Studi

    Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis

    banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi serta hasil pikiran dari berbagai

    pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu,

    izinkan peneliti menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar

    besarnya kepada Yang Terhormat:

    1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

    Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam

    pembuatan skripsi ini.

    3. Terkhusus Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. pembimbing skripsi ditengah kesibukannya

    beliau telah banyak meluangkan waktu telah memberikan arahan, motivasi,

    bimbingan dan ilmunya selama peneliti mengerjakan skripsi ini.

    4. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

    membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti

    mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

  • vii

    5. Kepada pihak-pihak yang telah memberikan semangat, doa, dan dukungan

    selama penulisan skripsi ini. Dan semua pihak yang telah memberikan doa dan

    dukungan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi

    rasa terima kasih peneliti.

    Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan yang telah diberikan

    kepada peneiti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dan semoga skripsi

    ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi para pembaca khususnya di bidang

    kelembagaan hukum.

    Jakarta, 7 Juni 2019

    Nada Ulya Qinvi

  • viii

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK …………………………………………………………………… iv

    KATA PENGANTAR ………………………………………………………. vi

    DAFTAR ISI…………………………………………………………………. viii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 10 E. Metode Penelitian ........................................................................ 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 15

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK

    INDONESIA DAN KEJAKSAAN MALAYSIA ............................ 17

    A. Kerangka Teori ............................................................................ 17 B. Tinjauan Terhadap Kewenangan .................................................. 29 C. Tinjauan Terhadap Kejaksaan ..................................................... 31 D. Tinjauan Terhadap Tindak Pidana Korupsi .................................. 34 E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 36

    BAB III KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

    DAN KEWENANGAN KEJAKSAAN MALAYSIA DALAM

    PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI ......................... 38

    A. Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia ................................ 38 B. Kewenangan Kejaksaan Malaysia ................................................ 46 C. Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Republik Indonesia ...... 48

    BAB IV PERBANDINGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN

    REPUBLIK INDONESIA DAN KEWENANGAN KEJAKSAAN

    MALAYSIA DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK

    PIDANA KORUPSI ............................................................................ 51

    A. Peran Kejaksaan Republik Indonesia dan Malaysia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ........................................... 51

    B. Persamaan dan perbedaan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dan kewenangan Kejaksaan Malaysia dalam

    penanganan perkara tindak pidana korupsi ................................... 61

    BAB V PENUTUP . ..........................................................................................

    A. Kesimpulan ................................................................................... 69

  • ix

    B. Rekomendasi ................................................................................ 70

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Terciptanya keadilan dan kesejahteraan warga negara merupakan tujuan

    hukum di dalam sebuah negara. Hukum dapat berjalan dengan baik tidaknya

    terlepas dari peran pemerintah yang tegas dalam memberlakukan sanksi

    hukum, kesadaran masyarakat untuk dapat mematuhi segala aturan hukum

    yang berlaku, serta didukung dengan sikap para penegak hukum dalam

    menegakkan hukum yang berlaku.

    Menurut Soerjono Soekanto, hukum dan penegakan hukum adalah

    sebagian faktor penegakan hukum yang tidak dapat dipisahkan karena dapat

    menyebabkan tidak tercapainya apa yang diharapkan oleh penegakan hukum.1

    Hukum dapat berperan baik dan benar ditengah perilaku masyarakat jika

    instrument pelaksanaannya didampingi dengan kewenangan-kewenangan pada

    penegak hukum, salah satu kewenangannya yaitu ada pada Kejaksaan Republik

    Indonesia.2 Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang

    fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan lembaga pemerintah

    yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan

    lain yang dilakukan secara merdeka oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi

    dan Kejaksaan Negeri sesuai dengan undang-undang kekuasaan negara yang

    berlaku.3 Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang

    menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan

    memberikan penjelasan bahwa kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak

    hukum yang dituntut untuk dapat lebih berperan dalam menegakkan supremasi

    hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta

    pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Maka dulu kejaksaan

    1 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

    Rajawali, 1983), h. 5

    2 Marwan Effendy,Kejaksaan RI (Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum),

    (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.1

    3 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara, (Yogyakarta: Thafa

    Media, 2014), h.110

  • 2

    diberikan mandat untuk dapat bertindak sebagai penuntut umum tunggal dalam

    penyelesaian kasus korupsi. Kasus yang pernah ditangani oleh jaksa selaku

    penuntut umum tunggal yaitu kasus korupsi Mantan Menteri Luar Negeri

    Ruslan Abdulgani pada bulan April 1957. Namun nyatanya dalam penanganan

    a quo tak semudah dan semulus yang dijalankan karena jaksa banyak mendapat

    intervensi dari pihak manapun. Dianggap Undang-Undang Nomor 5 Tahun

    1991 sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, serta

    kurangnya independensi kejaksaan dari pengaruh eksekutif karena

    kedudukannya sebagai lembaga pemerintah maka digantikan dengan Undang-

    Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.4 Di dalam Undang-

    Undang Kejaksaan yang baru menjelaskan bahwa Kejaksaan Republik

    Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di

    bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara

    merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan pengaruh

    kekuasaan lainnya (vibe Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

    2004).

    Meskipun adanya perubahan Undang-Undang Tentang Kejaksaan

    Republik Indonesia nyatanya belum mampu menjadikan jaksa sebagai penuntut

    umum tunggal dalam perkara tindak korupsi. Berbagai usaha pemerintah telah

    dilakukan dalam membuat peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan

    tindak pidana korupsi serta pembentukan lembaga-lembaga untuk

    pemberantasan korupsi nyatanya belum mampu memberantas tindak pidana

    korupsi yang ada di Indonesia.5 Atas ketidakefektifannya lembaga kejaksaan

    dan badan-badan anti korupsi dalam mengatasi problem korupsi yang sudah

    sistematik di Indonesia, serta tindak pidana korupsi yang semakin meluas dan

    berkembang melanggar hak-hak ekonomi, sosial kehidupan masyarakat. Maka

    4 Tentang Tinjauan Terhadap Undang-Undang Kejaksaan dan Draft RUU Kejaksaan

    Topo Santoso di website http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/1311/1233

    diakses pada 11 Mei 2019

    5 Mario Rendy Lengkong, Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana

    Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Jurnal

    Fakultas Hukum Unsrat: Lex Crimen, Vol. 4 No.2, 2015, h. 3

    http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/1311/1233

  • 3

    diperlukannya penanganan yang luar biasa dengan membentuk suatu badan

    baru yang diberikan kewenangan secara independen, luas, serta bebas dari

    kekuasaan manapun. Sehingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi

    (KPK) dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important)

    yang fungsi lembaganya berkaitan dengan kekuasan kehakiman. Berdasarkan

    aturan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

    Republik Indonesia juga menjelaskan jaksa yang diberi surat kuasa khusus

    mampu bertindak baik di luar maupun di dalam pengadilan untuk dan atas

    nama negara atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.

    Ditambah lagi Kejaksaan Republik Indonesia juga dapat berperan sebagai

    penyidik dalam beberapa tindak pidana khusus sebagaimana telah di atur di

    dalam undang-undang.

    Diberikannya kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

    (KPK) sebagai lembaga tunggal yang dapat melakukan pemberantasan tindak

    pidana korupsi, implementasinya menyebabkan adanya pengurangan tugas dan

    wewenang jaksa dalam penyidikan dan penuntutan serta menimbulkan

    dualisme kewenangan antara lembaga KPK dengan pihak Kejaksaan.

    Mengingat Kejaksaan memiliki asas dominus litis yaitu sebagai institusi utama

    pemilik perkara dan satu-satunya yang melaksanakan kekuasan negara di

    bidang penuntutan secara nyata dalam memonopoli penuntutan dan

    penyelesaian perkara pidana, sehingga hakim tidak bisa meminta perkara

    pidana yang terjadi diserahkan kepadanya, hakim pun dalam penyelesaian

    perkara hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari penuntut umum.

    Namun aturan yang terdapat dalam rumusan Pasal 6 huruf c Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan,

    penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu dalam

    Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) bahwa dalam melaksanakan wewenang KPK

    dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak

    pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dan

    dalam mengambil alih penyidikan dan penunutan itu, kepolisian atau kejaksaan

  • 4

    wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas waktu paling lama 14 hari

    kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

    Penuntut umum yang melakukan penuntutan tindak pidana korupsi

    memanglah seorang Jaksa Penuntut Umum (vibe Pasal 51 Ayat (3) Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK) yang berasal dari lembaga

    Kejaksaan itu sendiri, namun kewenangan yang diberikan terbatas karena pada

    Pasal 39 Ayat (2) dan Ayat (3) menjelaskan bahwa penyelidikan, penyidikan,

    dan penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan

    atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga penyelidik,

    penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi

    Pemberantasan Korupsi (KPK) diberhentikan sementara dari instansi

    kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan

    Korupsi. Maka secara eksplisit peran jaksa yang melakukan penuntutan

    merupakan pegawai KPK. Padahal di dalam Guidelines on the Role of

    Prosecutors dan International Association of Prosecutors yang menjelaskan

    bahwa jaksa adalah lembaga tunggal penuntutan (single prosecution system)

    dan dicantumkan juga dalam Pasal 8 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 16

    Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI bahwa negara akan menjamin jaksa di

    dalam menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur

    tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji kebenarannya baik

    terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana maupun lainnya.

    Berbeda dengan negara Malaysia dimana peran jaksa tetaplah tunggal

    menjadi penuntut umum meskipun adanya divisi penuntutan khusus di dalam

    lembaga anti korupsi malaysia atau MACC (Malaysia Anti-Corruption

    Commission) yang dikenal dengan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia

    (SPRM) yang menjadi lembaga di bawah Jabatan Perdana Menteri Malaysia.

    Jaksa Agung dalam bahasa Melayu di Negara Malaysia dikenal dengan

    peguam negara yaitu sebagai seorang penasihat undang-undang utama dalam

    pemerintah Malaysia yang berperan juga menjadi seorang peguam (Pengacara)

    https://ms.wikipedia.org/wiki/Malaysia

  • 5

    dan pendakwa raya (Jaksa Penunut Umum) bagi kerajaan.6 Dalam Pasal 145

    Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan mengatur tentang

    kedudukan, fungsi dan wewenang jaksa agung yang dilantik oleh Yang

    Dipertuan Agung berdasarkan saran dari Perdana Menteri. Kedudukan jaksa

    agung sebagai pejabat hukum tertinggi negara bagian wajib member nasihat

    kepada Yang Dipertuan Agung atau Dewan Menteri mengenai segala

    permasalahan hukum yang merujuk kepadanya dan untuk menjalankan fungsi

    yang diberikan kepadanya oleh konstitusi dan undang-undang tertulis lainnya.

    Ada dua wewenang utama jaksa agung yang diberikan oleh lembaga

    persekutuan yaitu kewenangan penuntutan dan penjaga kepentingan publik

    yaitu kewenangan yang diperoleh berdasarkan hukum common. Di dalam Pasal

    145 Ayat (3) Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan

    menyebutkan bahwa Peguam Negara adalah mempunyai kuasa, dan kuasa itu

    hendaklah dijalankan menurut budi bicaranya, bagi membawa, menjalankan

    atau memberhentikan apa-apa perbicaraan mengenai sesuatu kesalahan, lain

    daripada perbicaraan di hadapan Mahkamah Syariah, Mahkamah Bumiputra

    atau Mahkamah Tentera.7

    Pada perkara tindak pidana korupsi dalam pengajuan tuntutan ke

    pengadilan, peran Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) harus

    mendapat ijin dari pihak Pendakwa Raya (Jaksa Penuntut Umum) yang

    memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut

    diteruskan ke pengadilan atau tidak dengan memenuhi bukti yang cukup untuk

    diadili. Di dalam Bagian I Pasal 2 Akta SPRM 2009 menjelaskan bahwa tugas

    utama adanya akta ini adalah untuk mempromosikan integritas dan

    akuntabilitas administrasi sektor publik dan swasta dengan membentuk agen

    anti korupsi gratis dan bertanggung jawab serta mendidik otoritas publik,

    6Tentang Peguam Malaysia dari website

    https://ms.wikipedia.org/wiki/Peguam_Negara_Malaysia diakses pada tanggal 27 April 2019

    7Di dalam Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan menyebutkan

    Peguam Negara hendaklah mempunyai kuasa yang boleh dijalankan menurut budi bicaranya,

    untuk memulakan, menjalankan atau memberhentikan apa-apa prosiding bagi sesuatu

    kesalahan, selain prosiding di hadapan mahkamah Syariah, mahkamah anak negeri atau

    mahkamah tentera.

    https://ms.wikipedia.org/wiki/Peguam_Negara_Malaysia

  • 6

    pejabat publik dan publik tentang korupsi dan dampak buruknya pada sektor

    publik dan swasta serta pelayanan masyarakat. Lembaga ini berada di bawah

    Jabatan Perdana Menteri Malaysia dalam permasalahan keuangan dan

    kepegawaian. Dalam penanganan perkara korupsi tetap dilakukan secara

    mandiri, tanpa intervensi dari pihak manapun, namun tetap berada di bawah

    pengawasan Direktur Jenderal (Ketua Pengarah). Akta Suruhanjaya

    Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) 2009 menjadi dasar dalam melakukan

    pemberantasan korupsi. Di dalam Bahagian II Pasal 5 Ayat (6) berbunyi Ketua

    Pesuruhjaya hendaklah mempunyai segala kuasa pegawai Suruhanjaya dan

    hendaklah mempunyai apa-apa kuasa Timbalan Pendakwa Raya sebagaimana

    yang diberi kuasa oleh Pendakwa Raya bagi maksud akta ini.

    Hal ini dapat dimengerti bahwa komisaris utama (ketua pesuruhjaya)

    memiliki semua wewenang yang dimiliki oleh pegawai suruhanjaya dan dapat

    memiliki wewenang sebagai Wakil Jaksa Penuntut Umum apabila diizinkan

    oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana untuk tujuan undang-undang ini.

    Maka jelaslah bahwa Jaksa Penuntut Umum tetaplah menjadi penuntut umum

    dan Ketua Pesuruhanjaya (Komisaris) sekaligus menjadi Wakil Jaksa Penuntut

    Umum dalam kasus korupsi. Kewenangan yang diberikan kepada Jaksa

    Penuntut Umum di bawah Pasal 145 (3) adalah mutlak, tidak dapat ditantang

    atau digantikan oleh mana-mana kekuasaan termasuk Pengadilan. Dengan kata

    lain, jika setiap pihak yang tidak setuju dengan tindakan Kejaksaan Agung

    dalam menangani sesuatu penuntutan, maka mereka tidak memiliki dasar untuk

    memprotesnya. Selain itu juga dijelaskan dalam wewenang untuk melakukan

    penuntutan di dalam proses persidangan mengacu pada Bahagian VII Pasal 58

    Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009 berbunyi Pendakwaan

    sesuatu kesalahan di bawah Akta ini tidak boleh dimulakan kecuali oleh atau

    dengan keizinan Pendakwa Raya.8

    Maka jelaslah bahwa tidak dapat dimulainya penuntutan apabila atas

    atau dengan izin dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga adanya penegasan di

    8 Pasal ini menjelaskan bahwa penuntutan atas pelanggaran berdasarkan Undang-

    Undang ini tidak akan terjadi dan tidak dapat dimulai kecuali oleh atau dengan persetujuan dari

    Jaksa Penuntut Umum.

  • 7

    dalam aturan yang menjadi dasar sepenuhnya penuntutan sudah jelas menjadi

    wewenang dari pihak Jaksa Penuntut Umum itu sendiri. Selain itu dijelaskan

    pula pada Pasal 60 ayat (2) berbunyi Kuasa Pendakwa Raya di bawah

    subseksyen (1) hendaklah dijalankan olehnya sendiri.

    Adanya perbedaan mengenai kewenangan antara Kejaksaan Republik

    Indonesia dengan Kejaksaan Malaysia di dalam penanganan tindak pidana

    korupsi dimana jaksa di negara Indonesia harus berhenti sementara dari

    jabatanya di Kejaksaan selama melakukan penanganan tindak pidana korupsi,

    selain itu dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi jaksa bekerja

    berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi

    Pemberantasan Korupsi (KPK). Maka secara eksplisit peran jaksa yang bekerja

    disini sudah menjadi pegawai KPK sehingga KPK lah yang berhak menjadi

    penyidik dan penuntut tunggal dalam pemberantasan korupsi, sedangkan jaksa

    di negara Malaysia tetaplah berperan sebagai Jaksa Penuntut Umum tunggal

    meskipun adanya divisi penuntutan khusus di dalam Lembaga Anti Korupsi

    Malaysia (MACC) yaitu Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM).

    Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) dapat berperan melakukan

    penuntutan dengan memenuhi syarat-syarat bahwa mulainya penuntutan dapat

    dilakukan dengan atau atas izin dari Jaksa Penuntut Umum itu sendiri sehingga

    adanya penegasan di dalam aturan yang menjadi dasar sepenuhnya penuntutan

    sudah jelas menjadi wewenang dari pihak Jaksa Penuntut Umum itu sendiri.

    Aturan yang mutlak dan tidak bisa terbantahkan karena selain diatur dalam

    Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) 2009 juga dalam

    Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan.

    Disinilah letak perbedaannya mengenai Kewenangan Kejaksaan

    Republik Indonesia dan Kewenangan Kejaksaan Malaysia sehingga dengan

    adanyapermasalahan yang aktual ini menarik untuk peneliti lakukan penelitian

    dengan judul “Studi Perbandingan Kewenangan Kejaksaan Republik

    Indonesia Dengan Kewenangan Kejaksaan Malaysia Dalam Penanganan

    Perkara Tindak Pidana Korupsi”

  • 8

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan, maka peneliti

    mengidentifikasikan beberapa masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

    a. Kejaksaan adalah lembaga tunggal mutlak yang diberikan

    wewenang untuk menjalankan asas dominus litis di dalam

    persidangan dan negara akan menjamin jaksa di dalam

    menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan dari pihak

    manapun baik pertanggungjawaban pidana maupun perdata, selain

    diatur di dalam United Nations Concention Against Corruption,

    Guidelines on the Role of Prosecutors dan International

    Association of Prosecut ors, juga dalam Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 16

    Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

    b. Peran dan wewenang jaksa dalam melakukan penuntutan tindak

    pidana korupsi secara eksplisit menjadikannya ia sebagai pegawai

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga menjadikan KPK

    sebagai penyidik dan penuntut tunggal dalam perkara korupsi yang

    hal ini berbeda dengan wewenang Kejaksaan yang ada di negara

    Malaysia, dimana penuntutan dilakukan mutlak oleh pihak jaksa itu

    sendiri tanpa ada intervensi dan campur tangan dari pihak

    manapun.

    c. Terbentuknya lembaga anti-korupsi di Indonesia menimbulkan

    dualisme kewenangan antara pihak Komisi Pemberantasan Korupsi

    dengan Kejaksaaan Republik Indonesia berbeda dengan Malaysia

    menimbulkan pembagian kewenangan lembaga anti-korupsi

    MACC dalam divisi penuntutan (Suruhanjaya Rasuah Malaysia)

    tetap harus bertindak atas atau dengan izin dari Jaksa Penuntut

    Umum (Pendakwa Raya).

  • 9

    2. Pembatasan Masalah

    Agar permasalahan yang peneliti paparkan dan kaji tidak terlalu

    melebar, maka pembahasan didalam skripsi ini dibatasi mengenai Ruang

    lingkup penulisan skripsi mengenai kewenangan dari Kejaksaan Republik

    Indonesia dan kewenangan Kejaksaan Malaysia dalam penanganan

    perkara tindak pidana korupsi.

    3. Perumusan Masalah

    Sesuai dengan uraian pada latar belakang masalah, maka

    pembahasan skripsi ini akan membahas mengenai “Studi Perbandingan

    Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan Malaysia

    Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi”

    Perumusan masalah tersebut dirinci dalam bentuk pertanyaan riset

    sebagai berikut:

    a. Bagaimana peran Kejaksaan Republik Indonesia dan Kejaksaan

    Malaysia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?

    b. Apa persamaan dan perbedaan kewenangan Kejaksaan Republik

    Indonesia dan kewenangan Kejaksaan Malaysia dalam penanganan

    perkara tindak pidana korupsi?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah

    dipaparkan dan diuraikan diatas, maka tujuan penelitian yang hendak

    dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah:

    a. Untuk mengetahui peran Kejaksaan Republik Indonesia dan

    Kejaksaan Malaysia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

    b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kewenangan Kejaksaan

    Republik Indonesia dan Kewenangan Kejaksaan Malaysia dalam

    penanganan perkara tindak pidana korupsi.

  • 10

    2. Manfaat Penelitian

    Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka manfaat

    penelitian dari penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

    a. Manfaat Teoritis

    1) Mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan menambah

    wawasan akademisi peneliti dalam melakukan penelitian secara

    ilmiah dan menuliskan hasil-hasil penelitian dalam bentuk tulisan.

    2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku

    perkuliahan untuk dipraktikan di lapangan.

    3) Memperoleh manfaat dibidang hukum pada umumnya maupun

    dalam bidang ketatanegaraan secara khususnya dengan

    mempelajari literatur yang ada.

    b. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis

    yang berguna untuk badan atau lembaga hukum dalam menganalisis

    kewenangan dalam penegak hukum yaitu Kejaksaan baik di Indonesia

    maupun Malaysia. Di samping itu bermanfaat untuk bahan masukan

    yang beredukatif dalam menganalisis penegak hukum di Indonesia.

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti

    menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan

    kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

    1. Nama : Eko Pahala N

    Tahun : 2015

    Institusi : Universitas Sumatera Utara

    Judul Skripsi : Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

    Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Kajian

    Tentang Kewenangan KPK dan Kejaksaan)

    Hasil Penelitian skripsi ini memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan

    kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi dualisme

  • 11

    kewenangan KPK dan Kejaksaan dalam manangani tindak pidana korupsi.

    KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan

    yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru

    ditempatkan secara yuridis didalam sistem ketatanegaraan yang rangka

    dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih

    kewenangan lembaga lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan

    dari pembuat UU bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di

    bidang penegakan hukum, peradilan, dan kekuasaan kehakiman dan

    dibandingkan dengan beberapa negara seperti Australia, Singapura dan

    Malaysia sedangkan peneliti lebih membandingkan kewenangan antara

    Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan Malaysia dalam

    penanganan perkara tindak pidana korupsi berdasarkan aturan dan ketentuan

    yang berlaku dikedua negara.

    2. Nama : Widha Sinulingga, SH

    Tahun : 2010

    Institusi : Universitas Islam Indonesia

    Judul Tesis : Kedudukan Lembaga Kejaksaan Dalam Sistem

    Ketatanegaraan di Indonesia (Analisis Kewenangan Penuntutan Dalam

    Perspektif Negara Hukum dan Pembagian Kekuasaan)

    Hasil penelitian tesis ini menyatakan untuk mengetahui kewenangan

    penuntutan yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan RI dalam perspektif

    negara hukum dan pembagian kekuasaan: termasuk pula untuk mengetahui

    konsep ideal lembaga Kejaksaan RI dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi

    kejaksaan di bidang penuntutan, sedangkan peneliti lebih membahas

    mengenai kewenangan Kejaksaan RI dalam penanganan perkara tindak

    pidana korupsi dan dibandingkan dengan kewenangan Kejaksaan Malaysia.

    3. Nama : Dr. Marwan Effendy, SH

    Tahun : 2005

    Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

    Judul Buku : Kejaksaan RI (Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif

    Hukum)

  • 12

    Buku ini menjelaskan atau membahas tentang posisi dan fungsi dari

    perspektif hukum Kejaksaan Republik Indonesia dan beberapa negara

    lainnya, sedangkan peneliti membahas untuk mengetahui lebih apa saja

    yang menjadi kewenangan Kejaksaan Indonesia dan Kejaksaan Malaysia

    dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

    E. Metode Penelitian

    Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan skripsi

    ini antara lain :

    1. Jenis Penelitian

    Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang

    tidak mengadakan perhitungan dan mempunyai tujuan penelitian untuk

    memperoleh pemahaman, pengembangan teori, penggambaran secara

    kompleks. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data

    sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-

    keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan,

    Peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945,

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi, Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 1961 Tentang

    Pokok-Pokok Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

    Kejaksaan RI, Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan, Akta

    Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009, dan Peraturan

    perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan

    dengan masalah yang diteliti seperti tulisan-tulisan ilmiah dan sumber

    tertulis lainnya, buku-buku, literatur, dokumen resmi hasil penelitian yang

    berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

    Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih

    menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih

    bersifat sebagai penunjang.

  • 13

    2. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

    perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-

    undangan akan dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan

    regulasi yang bersangkutpaut dengan masalah yang menjadi objek

    penelitian. Sementara, pendekatan konseptual dalam penelitian ini akan

    beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

    di dalam ilmu hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.9

    3. Data Penelitian

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder

    terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

    tersier.

    a. Bahan hukum primer

    Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

    autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

    terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

    dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.10

    Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

    1. Undang-Undang Dasar 1945

    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    4. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

    Republik Indonesia

    5. Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Pokok-

    Pokok Kejaksaan

    6. Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan

    9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja

    Grafindo Persada, 2011), h.13 10

    Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana

    Prenadamedia, 2005, h.181

  • 14

    7. Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009

    b. Bahan hukum sekunder

    Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

    bahan hukum primer seperti:

    1. Hasil karya ilmiah para sarjana yang terkait dengan penelitian

    2. Hasil-hasil penelitian yang terkait dengan penelitian.

    c. Bahan hukum tersier atau penunjang

    Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau

    penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder

    seperti:

    1. Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini

    2. Kamus hukum (Black’s Law Dictionary).

    3. Wawancara dengan para pihak yang bersangkutan

    4. Metode Pengumpulan Data

    Dalam metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan

    studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan

    mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai

    literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, dokumen resmi, artikel,

    jurnal, skripsi, tesis, undang-undang diberbagai perpustakaan umum serta

    universitas, internet yang relevan dengan penelitian ini, dan kamus hukum

    (Black’s Law Dictionary).

    5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan metode analisis deskripstif-kualitatif.

    Analisis deskriptif-kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut

    kategori masing-masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau

    ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian. Secara

    detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis adalah

    Pertama, semua bahan ajar yang diperoleh melalui normatif disistematis dan

    diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematis dan

    diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplisit, yang diuraikan dan

    dijelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang

  • 15

    dilakukan evaluasi, yakni dinilai menggunakan ukuran ketentuan hukum

    maupun teori hukum yang berlaku.

    6. Metode Penulisan

    Dalam penulisan penelitian ini penulis mengacu pada buku pedoman

    penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

    F. Sistematika Penulisan

    Agar dapat memberikan kejelasan dalam isi skripsi ini maka dibuatlah

    sistematika penulisan skripsi, adapun rinciannya yaitu sebagai berikut:

    BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi Latar Belakang

    Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan

    dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode

    Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

    BAB II Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual mengenai

    keselarasan antara kewenangan kejaksaan dalam penanganan

    perkara tindak pidana korupsi yang dikaji berdasarkan seluruh

    peraturan perundang-undangan dan aturan hukum terkait serta

    teori-teori yang mendasarkan adanya perbedaan kewenangan

    antara kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan

    Malaysia Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi.

    BAB III Pada bab ini peneliti akan membahas diantaranya yaitu

    mengenai Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dan

    Kewenangan Kejaksaan Malaysia Dalam Penanganan Perkara

    Tindak Pidana Korupsi.

    BAB IV Peneliti akan mengkaji mengenai perbandingan persamaan

    Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kejaksaan

    Malaysia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi berdasarkan

    seluruh peraturan perundang-undangan dan aturan hukum

    terkait.

  • 16

    BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan

    yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan

    perumusan masalah yang telah ditetapkan dan rekomendasi yang

    akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya

    dalam skripsi.

  • 17

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

    DAN KEJAKSAAN MALAYSIA

    A. Kerangka Teori dan Konseptual

    1. Kerangka Teori

    Sebuah konsep dalam ilmu sosial diambil dari teori.1

    Kerangka teori

    dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a)

    teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan

    pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya.2 Kerangka teori

    yang akan dijadikan landasan oleh peneliti adalah teori-teori, asas-asas

    hukum dan doktrin para ahli hukum dalam berbagai kajian keilmuan, antara

    lain:

    a. Teori Perbandingan Hukum (Theory of Comparative Law)

    Istilah perbandingan hukum atau comparative law dalam bahasa

    Inggris bukanlah hukum yang dimaksudkan adalah hukum perdata, pidana,

    tata usaha negara, administrasi negara/pemerintahan dan lain sebagainya

    serta berbeda dengan makna hukum perbandingan (law of comparative).3

    Menurut Ishaq pengertian perbandingan hukum adalah cabang ilmu

    pengetahuan hukum yang membandingkan sistem hukum yang berlaku

    dalam satu atau beberapa bangsa, negara ataupun didalam masyarakat

    untuk mencari perbedaan dan persamaan. Dengan demikian, ruang lingkup

    perbandingan hukum adalah membandingkan antara sistem hukum dari

    satu atau beberapa masyarakat yang berkaitan dengan isi kaedah-kaedah,

    dasar kemasyarakatannya, serta sebab-sebabnya sehingga didapat

    1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2008), h.127

    2 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum Cetakan 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.79

    3 Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, (Bandung : Melati, 1989), h. 131

  • 18

    persamaan dan juga perbedaannya.4 Definisi lain mengenai kedudukan

    perbandingan hukum dikemukakan oleh Zwiegert dan Kort yaitu

    ”comporative law is the comparable legal institutions of the solution of

    comparable legal problems in different system”5. Selain itu juga,

    perbandingan hukum dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mencari

    persamaan dan perbedaan dari lembaga hukum dalam sistem hukum.

    Lembaga hukum yang diperbandingkan adalah lembaga hukum yang sama,

    karena apabila berbeda maka akan mengurangi nilai manfaatnya. Misalnya

    seperti yang penulis teliti saat ini membandingkan Kejaksaan Republik

    Indonesia dengan Malaysia. Membandingkan lembaga hukum dalam satu

    sistem pun juga dapat dilakukan seperti membandingkan Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi. Maka tujuan objek perbandingan adalah untuk

    menemukan persamaan dan perbedaan dari objek yang diperbandingkan.

    Untuk memahami perbandingan hukum lebih jauh, maka beberapa ahli

    mengklasifikasikan hukum menjadi beberapa bagian yaitu :

    Menurut Prof. Lambert’s6 perbandingan hukum diklasifikasikan

    menjadi 3 bagian yaitu :

    1) Perbandingan hukum secara deskriptif (Descriptive Comparative

    Law) yaitu perbandingan yang mempunyai tujuan untuk mencoba

    4 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 232

    5 Zwigert dan Kort mengatakan bahwa perbandingan hukum adalah perbandingan dari

    jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga hukum yang

    berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem

    hukum yang berbeda-beda dikutip dari buku Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum

    Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 1990), h. 4

    6 Pandangan Lambert pada buku La Fonction du Droit Civil Compare yang dicetak

    ulang buku Encylopaedia of Social Sciences Vol. IV Karya Johnson, Alvin Penerbit Free Press

    tahun 1968 h. 1279

  • 19

    menginventarisasi sistem hukum menjadi satu kesatuan pada masa

    lalu dan masa kini ataupun menjadi peraturan terpisah lainnya yang

    didalamnya ada beberapa kategori hubungan hukum. Secara

    sederhananya perbandingan ini mengumpulkan bahan-bahan

    tentang sistem hukum dari berbagai kalangan masyarakat yang

    menitikberatkan pada lembaga hukum.

    2) Perbandingan mengenai sejarah hukum (Comparative History of

    Law) yaitu perbandingan yang mencoba membangun sejarah hukum

    secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara

    langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum untuk

    dapat menemukan irama atau hukum alam didalamnya.

    Perbandingan ini sangat berkaitan dengan sosiologi hukum,

    antropologi hukum ataupun filsafat hukum.

    3) Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan

    yurisprudensi (Comparative Legislation/Comparative

    Jurisprudence) yaitu perbandingan yang mencoba untuk

    menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana hasil

    dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan

    hukum internasional adalah doktrin hukum nasional yang

    diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri. Perbandingan

    ini terdiri dari bahan primer (bahan yang langsung dari masyarakat)

    ataupun bahan sekunder (bahan dari studi kepustakaan). Akan

    tetapi, bahan dari studi kepustakaan ini dapat menjadi bahan hukm

    primer, sekunder ataupun tersier berdasarkan sudut kekuatan

    mengikatnya menjadi bahan hukum primer apabila yang dicangkup

    peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang dikodifikasi,

    jurisprudensi, dan traktat. Bahan hukum sekunder sendiri terdiri

  • 20

    dari peraturan perundang-undangan dan hasil penelitian terdahulu,

    bahan hukum tersier apabila digunakan untuk mencari penjelasan

    dari bahan hukum primer dan sekunder.

    Menurut Wigmore7 perbandingan hukum diklasifikasikan menjadi 3

    bagian yaitu :

    1) Perbandingan Nomoscopy yaitu perbandingan untuk memastikan

    dan menjelaskan sistem hukum lainnya menjadi sebuah fakta

    karena perbandingan ini menaruh perhatian pada deskripsi secara

    formal hukum di berbagai sistem hukum yang ada.

    2) Perbandingan Nomothetics yaitu perbandingan yang mencoba untuk

    memastikan politik dan manfaat relatif dari institusi yang berbeda

    berdasarkan berbagai sudut pandang untuk memperbaiki peraturan

    hukum. Dengan kata lain, perbandingan ini membuat penafsiran

    dari manfaat-manfaat relatif peraturan hukum berdasarkan sebuah

    perbandingan sudut pandang.

    3) Perbandingan Nomogenetics yaitu perbandingan yang mencoba

    untuk mengikuti jejak perkembangan dari berbagai sistem

    berhubungan dengan kronologi dan sebab-sebab lainnya. Dengan

    kata lain, perbandingan ini menaruh perhatian untuk mempelajari

    perkembangan sistem-sistem hukum yang berhubungan antara satu

    sama lain.

    7 John Henry Wigmore, A Panorama of World’s Legal System, Saint Paul West

    Publishing Company Vol. III, 1928, h. 1120

  • 21

    Menurut Kaden8 perbandingan hukum diklasifikasikan menjadi 2

    bagian yaitu :

    1) Perbandingan Formal (Formelle Rechstver Gleichung) merupakan

    perbandingan yang berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber

    hukum, misalnya bobot substansi yang diberikan pada berbagai

    sistem terhadap peraturan hukum, perkara hukum dan kebiasaan,

    serta aplikasi dari metode yang berbeda tentang teknik hukum guna

    menafsirkan berbagai peraturan. Metode ini dengan kata lain untuk

    melihat berbagai sistem yang berbeda dari peraturan hukum dan

    kebiasaan serta berbagai teknik untuk melakukan interpretasi

    terhadap peraturan-peraturan hukum

    2) Perbandingan Dogmatik (Dogmatische Rechsvergleichun)

    merupakan perbandingan yang meletakan perhatiannya dengan

    memberikan berbagai solusi dari masalah yang dialami oleh sistem

    hukum yang berbeda. Perbandingan ini digunakan untuk

    memastikan adanya pengaplikasian hasil berdasarkan perbandingan

    berbagai masalah hukum di suatu negara.

    Menurut Gutteridge9 perbandingan hukum diklasifikasikan menjadi 2

    bagian yaitu :

    1) Perbandingan hukum secara deskriptif yaitu menyangkut dengan

    deskripsi dari berbagai macam fakta hukum yang ditemukan di

    berbagai negara. Perbandingan ini tidak membahas hasil dari

    perbandingan akan tetapi, fungsi utama dari perbandingan hukum

    8 Mathias M. Siems, Comparative Law Second Edition, (Cambridge: United Kingdom:

    Cambridge University Press, 2018), h. 8

    9 H.C. Gutteridge, Comparative Law : An Introduction to the Comparative Method of

    Legal Study & Research, (Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press, 1946), h. 7

  • 22

    secara deskriptif ini adalah untuk menemukan perbedaan antara dua

    atau lebih sistem hukum terhadap permasalah hukum secara

    tersendiri, karena Gutteridge beranggapan bahwa Descriptive

    comparative law differs from applied comparative law because it is

    confined to an analysis of variations between the laws of two or

    more countries, and is not directed to the solution of any problem

    either of an abstract or a practical nature. The comparison has no

    other aim than that of furnishing information, and it is no concern

    of the person undertaking it ti ascertain what use will be made of

    the result of his investigation.10

    2) Perbandingan hukum yang dapat digunakan adalah perbandingan

    yang terkait dengan pemeriksaan dari fakta-fakta hukum dengan

    tujuan untuk memperoleh hasil, sehingga patut dihargai untuk

    dinyatakan sebagai penelitian hukum, sebab penelitian tersebut

    dapat memberikan suatu kesimpulan dan menggambarkan

    perbandingan dari berbagai fakta hukum setelah melakukan analisa

    dan studi yang tepat dan hati-hati, selain itu juga perbandingan ini

    merupakan praktik alamiah yang menggunakan metode untuk

    mencapai berbagai tujuan seperti reformasi hukum, unifikasi

    hukum, dan lain sebagainya. Ahli hukum yang berpengalaman

    dapat menggunakan metode ini karena prosesnya yang tidak terlalu

    mudah.

    10

    Gutteridge mengatakan bahwa perbandingan hukum secara deskriptif berbeda

    dengan perbandingan hukum yang dapat digunakan sebagai suatu penelitian hukum, sebab

    perbandingan ini lebih mengkhususkan untuk menganalisa variasi antara hukum dari dua negara

    atau lebih sehingga tidak secara langsung menghasilkan solusi dari permasalahan yang ada, baik

    itu secara abstrak maupun dalam tataran praktik alamiah, selain itu tidak mempunyai tujuan lain

    selain memberikan informasi dan bukan merupakan kewajiban dari orang yang melakukan

    penelitian untuk memastikan apa yang harus dilakukan terhadap hasil penelitiannya untuk

    selanjutnya dikutip dari buku An Introduction to the Comparative Method of Legal Study &

    Research, 1946, h. 8

  • 23

    b. Asas Contante Justitie

    Asas Contante Justite yaitu Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan

    Biaya Ringan (vibe Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan

    Kehakiman). Penjelasan mengenai asas Contante Justite dipertegas

    kembali dalam penjelasan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan

    Kehakiman yang bunyi perumusannya sebagai berikut : Yang dimaksud

    dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan

    dengan cara yang efisien dan efektif, yaitu dengan menggunakan waktu

    yang singkat supaya diusahakan tercapainya penyelesaian perkara dengan

    tuntas. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya

    perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun, dalam penjelasan undang-

    undang ini tidak dirumuskan tentang pengertian cepat. Namun dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cepat diartikan dengan kencang,

    segera, keras, dapat menempuh jarak dalam waktu singkat, cekatan,

    tangkas. Maka berdasarkan pengertian cepat tersebut, kata peradilan cepat

    diartikan dengan peradilan yang dilakukan dengan segera.

    Fundamental Hukum Acara Pidana bersumber pada Undang-Undang

    Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang di dalamnya memiliki asas-asas

    hukum. Salah satu asas hukum tersebut ialah asas peradilan cepat,

    sederhana dan biaya ringan, dimana asas tersebut dimaksudkan untuk

    mempercepat proses penyelesaian perkara pidana dengan memperhatikan

    kepentingan-kepentingan terdakwa tanpa mengurangi kebenaran dan

    keadilan bagi para pencari keadilan hukum. Pembahasan mengenai asas

    tersebut dapat dilihat dari implementasi dalam norma hukum yang terdapat

    dalam rumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    yang terdiri dari jangka waktu penahanan, pemeriksaan sidang, pengajuan

    banding, pengajuan kasasi, serta penggabungan perkara dan gugatan ganti

    rugi. Dapat diketahui mengenai bagaimana perwujudan dari asas paradilan

    cepat, sederhana dan biaya ringan yang merupakan prinsip yang abstrak

  • 24

    dalam pengaturan bersifat konkrit dalam ketentuan di beberapa pasal

    KUHAP.11

    Peradilan cepat menjadi dasar tolak ukur batas waktu proses

    peradilan. Proses peradilan itu sendiri dimulai dari penyelidikan,

    penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di depan persidangan. Secara

    teoritis asas peradilan cepat membahas mengenai hubungan antara penyidik

    dengan penuntut umum. Penyidik setelah selesai melakukan penyidikan

    segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut

    umum mempelajari berkas perkara penyidikan dari pihak Kepolisian untuk

    diteliti dengan seksama baik dalam materi dan berita acara penyidikan.

    Proses penyerahan berkas acara penyidikan dari Kepolisian ke Kejaksaan

    di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditentukan batas

    waktu 14 (empat belas) hari. Apabila dalam waktu tersebut penuntut umum

    tidak mengembalikan berkas dari penyidik, maka penyidikan dianggap

    telah selesai. Hal ini menandakan adanya batas waktu yang tegas dalam

    proses prapenuntutan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 106, Pasal 110 dan

    Pasal 111 tentang Penyidikan, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 143

    ayat (1) tentang Penuntutan, Pasal 233 Ayat (2), Pasal 236 Ayat (1) dan

    (2), serta Pasal 238 Ayat (3) tentang Pengajuan Banding, sedangkan Pasal

    245 dan Pasal 246 tentang Pengajuan Kasasi.

    Sedangkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan terdapat dalam

    ketentuan mengenai penggabungan perkara dan tuntutan ganti kerugian

    pada tindak pidana yang mengakibatkan kerugian secara perdata bagi

    korban, Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat

    kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya telah mendapat kekuatan

    hukum tetap (vibe Pasal 99 Ayat (3) KUHAP), maka selama putusan

    11

    Wiratih Dwi Pangestu, Pengaturan Asas Contante Justitie (Asas Peradilan Cepat,

    Sederhana, dan Biaya Ringan) Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, (Skripsi S-1 Fakultas

    Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008), h. 32

  • 25

    pidananya belum memperoleh kekuatan hukum tetap, selama itu pula

    putusan ganti kerugian belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

    c. Asas Dominus Litis

    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    kewenangan untuk melakukan penuntutan dipegang oleh Kejaksaan yang

    dalam hal ini dilakukan oleh seorang jaksa selaku penuntut umum dan

    kewenangan melakukan penuntutan menjadi kekuasaan utama yang

    dipegang seorang penuntut umum. Maka kewenangan utama jaksa adalah

    melakukan penuntutan. Tugas jaksa sebagai penuntut umum yaitu

    menerima dan memeriksa berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik

    yang kemudian diserahkan kepada hakim untuk diperiksa di muka

    persidangan, sehingga jaksa berwenang apakah suatu perkara dapat

    dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak.12

    Monopoli kewenangan

    melakukan penuntutan oleh seorang jaksa inilah yang lazim disebut dengan

    asas Dominus Litis. Kata Dominus Litis berasal dari bahasa Latin yaitu

    Dominus berarti pemilik dan Litis berarti perkara atau gugatan sehingga

    kata dominus litis adalah penguasa perkara/gugatan. Asas Dominus Litis ini

    berarti Kejaksaan menjadi institusi utama pelaksana putusan pidana di

    Indonesia yang dijelaskan pada Pasal 13 dan 14 KUHAP 13

    dan satu-

    satunya yang melaksanakan kekuasan negara di bidang penuntutan secara

    nyata dalam memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana,

    sehingga hakim tidak bisa meminta perkara pidana yang terjadi diserahkan

    kepadanya, hakim pun dalam penyelesaian perkara hanya bersifat pasif dan

    menunggu tuntutan dari penuntut umum. Wewenang mutlak penuntut

    12

    Bambang Waluyo, Desain Fungsi Kejaksaan Pada Restorative Justice, (Jakarta:

    Rajawali Pers, 2016), h. 61

    13 Adrea Ariefano, Fungsi Kejaksaan Terkait Penegakan Hak Asasi Manusia, Fiat

    Justitia, Vol. 1 No. 1 Maret 2013, h. 20.

  • 26

    umum selaku pengendali perkara yang dapat atau tidaknya dilakukan

    penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan dan

    dapat menghentikan penuntutan dengan alasan yaitu tidak cukup bukti,

    peristiwanya bukan tindak pidana dan perkaranya ditutup demi hukum.

    Maka peran penuntut umum dalam hal pembuktian sangatlah penting,

    karena pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan

    merupakan tanggungjawab jaksa selaku penuntut umum. Sistem

    pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia

    memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak penuntut umum14

    Tugas jaksa sebagai penuntut umum di Indonesia pun diatur dalam Pasal

    14 KUHAP dan dipertegas kembali dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut

    umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa

    melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan

    melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.15

    Penjelasan yang mengatur mengenai wewenang Jaksa Penuntut

    Umum dalam penuntutan yang menangani perkara pidana dalam Pasal 14

    KUHAP ialah bahwa di samping tugas pokoknya sebagai penuntut umum,

    jaksa juga dapat langsung mengadakan penyidikan dalam keadaan-keadaan

    tertentu. Mengenai kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh penuntut

    umum terhadap yang lain berdasarkan penjelasan dalam Pasal 37

    KUHAP.16

    Atas batasan inilah dapat disebutkan bahwa pengertian jaksa

    berhubungan dengan perspektif jabatan atau pejabat fungsional, sedangkan

    14

    Hari Sasangka, Buku Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya:

    Dharma Surya Berlian, 1996), h.20

    15 Muhammad Ishar Helmi, Tugas dan Tanggung Jawab Jaksa Komisi Pemberantasan

    Korupsi Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Korupsi, Tesis Fakultas Hukum Universitas

    Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Tahun 2017 h.56

    16 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Ghalia

    Indonesia, 1984), h. 77

  • 27

    pengertian penuntut umum berhubungan dengan perspektif fungsi dalam

    melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim di depan

    persidangan sehingga hal ini bertitik tolak dengan perspektif jabatan atau

    pejabat fungsional dalam pengertian jaksa.17

    Eksistensi jaksa sebagai

    penuntut umum dalam melakukan penuntutan yang sesuai dengan asas

    dominus litis ini secara proporsionalisme dan profesionalisme dalam

    melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan pada peraturan

    perundang-undangan, baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

    Tentang Hukum Acara Pidana ataupun dalam Undang-Undang Nomor 16

    Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI beserta aturan pelaksanaanya.

    Aturan perundang-undangan yang harus dipedomani dalam

    melaksanakan tugas dan wewenang dan menegaskan bahwa asas dominus

    litis bersifat absolut dan mandiri menjadikan penuntutan sebagai tugas

    utama dan menjadi satu yang tak terpisahkan (een en ondeelbarheid). Pada

    asas ini menjadikannya semakin kuat dan tegas untuk menjelaskan bahwa

    jaksa sebagai penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap

    perkara pidana yang terjadi dan hanya seorang jaksalah yang yang secara

    proporsional dan professional untuk menentukan dapat tidaknya

    diselesaikan perkara pidana tersebut, sehingga jelaslah tidak ada dasar

    untuk orang perseorangan yang menyelesaikannya mengingat seorang

    hakim pun juga tidak dapat meminta dan memaksa seorang jaksa untuk

    menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena hakim harus bersifat

    pasif dan menunggu perkara atau perkara itu sudah dilimpahkan dari

    seorang jaksa kepada hakim sehingga baru dapat mengadili.18

    17

    Lilik Muluadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan

    Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), h. 63

    18 Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas Dominus

    Litis Dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum, Jurnal

    Arena Hukum Volume 7 Nomor 3 Tahun 2014, h. 337

  • 28

    2. Kerangka Konseptual

    Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep

    khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah

    yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.19

    Berkenaan dengan

    uraian diatas, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini yakni::

    a. Perbandingan

    Perbandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

    banding. Perbandingan memiliki arti dalam kata benda yaitu perbedaan

    (selisih) kesamaan, persamaan; ibarat, dan pedoman pertimbangan.

    b. Kewenangan

    Kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

    wenang. Kewenangan memiliki arti dalam kata benda yaitu hal berwenang

    hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.

    c. Kejaksaan

    Kejaksaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

    jaksa. Kejaksaan memiliki arti dalam kata benda yaitu kantor jaksa, dan

    kekuaaan menurut perkara.

    d. Indonesia

    Indonesia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu nama negara

    kepulauan di Asia Tenggara yang terletak di antara benua Asia dan benua

    Australia.

    e. Malaysia

    Sebuah negara federal yang terdiri dari tiga belas negeri (negara bagian)

    dan tiga wilayah federal di Asia Tenggara.20

    19

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h.132

    20 Tentang Malaysia, https://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia diakses pada 11 Januari 2019

    https://id.wikipedia.org/wiki/Federalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia

  • 29

    f. Penanganan

    Penanganan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses,

    cara, perbuatan menangani; penggarapan : penanganan kasus itu terkesan

    lambat.

    g. Tindak Pidana Korupsi

    Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

    1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang

    yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya

    diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau suatu

    korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana

    yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

    keuangan negara atau perekonomian negara.

    B. Tinjauan Terhadap Kewenangan

    Kata wewenang atau kewenangan biasanya dihubungkan dengan hal

    kekuasaan yang dalam bahasa Inggris disebut “authority” dan “bevoegdheid”

    dalam bahasa Belanda. Kata Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan

    sebagai Legal Power; a right to command or to act; the right and power of

    public officers to require obedience to their orders lawful ly issued in scope of

    their public duities.21

    (Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum,

    hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat public untuk

    mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).

    Kewenangan memiliki tingkat kedudukan yang tinggi karena konsep inti didalam

    hukum tata negara dan hukum administrasi. Negara hukum yang berasaskan

    legalitas menjadi prinsip dasar wewenang pemerintah berasal dari peraturan

    perundang-undangan karena setiap perbuatan pemerintah haruslah bertumpu

    21

    Nur Basuki Winarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,

    (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), h. 65

  • 30

    pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah, seorang

    pejabat atau badan tata usaha negara tidaklah dapat melaksanakan perbuatan

    pemerintahan sebagaimananya. Kewenangan yang sah inilah menjadi atribut

    menjadi setiap pejabat atau setiap badan yang telah ditentukan. Apabila ditinjau

    mengenai sumber kewenangan ini diperoleh, maka terdapat tiga macam

    kewenangan antara lain22

    1. Kewenangan Atribut

    Kewenangan atribut berasal dari adanya pembagian kekuasaan oleh

    peraturan perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan

    sendiri oleh pejabat atau badan yang telah ditentukan dalam undang-

    undang sekaligus juga memiliki kewenangan atributif tanggung jawab dan

    tanggung gugat.

    2. Kewenangan Delegatif

    Kewenangan delegatif berasal dari pelimpahan suatu organ

    pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-

    undangan. Dalam kewenangan delegatif pelimpahan tanggung jawab dan

    tanggung gugat beralih kepada yang diberi wewenang tersebut dan beralih

    kepada delegataris.

    3. Kewenangan Mandat

    Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari

    proses atau prosedur pelimpahn dari pejabat atau badan yang lebih tinggi

    kepada pejabat atau badan yang lebih rendah Kewenangan mandat terdapat

    dalam hubungan rutin atasan dan bawahan kecuali bila dilarang secara

    tegas.

    Dari ketiga kewenangan yang telah dipaparkan sebelumnya, Brouwer

    mengatakan bahwa pada kewenangan atribut yang diberikan kepada badan

    administrasi oleh badan legislatif bersifat independen sehingga

    22

    Nur Basuki Winarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, ... h.

    70-75

  • 31

    kewenangan ini tidak diambil dari kewenangan sebelumnya, dan badan

    yang memberikan kewenangan dapat menguji kewenangan tersebut yang

    beratas namakan dirinya, sedangkan pada kewenangan mandat tidak

    terdapat pemindahan kewenangan, tetapi pemberi mandat yang

    memberikan kewenangan kepada badan lain dilakukan untuk membuat

    suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan yang beratas namakan

    dirinya.

    C. Tinjauan Terhadap Kejaksaan

    Istilah jaksa atau kejaksaan disebut sebagai institusi yang mempunyai tugas

    utama untuk melakukan penuntutan terhadap perkara pidana ke pengadilan ini

    tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai

    bahasa di dunia. Dalam bahasa Inggris dibedakan menjadi attorney general

    (jaksa agung) dan public prosecutor (penuntut umum). Selain itu, dalam Bahasa

    Belanda dibedakan antara officer van justitie untuk istilah jaksa dan openbaar

    aanklager untuk penuntut umum,23

    sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia

    digunakan istilah peguam negara untuk jaksa dan pendakwa raya untuk penuntut

    umum yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara dimana

    jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam

    Negeri. Berbagai istilah yang ada telah dijelaskan dapat kita ketahui bahwa

    penuntut umum pastilah seorang jaksa, namun seorang jaksa belum tentu menjadi

    penuntut umum, sehingga penuntutan hanyalah menjadi kewenangan yang

    dimiliki oleh penuntut umum diatur dalam Pasal 1 butir 6 KUHP bahwa24

    :

    a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

    bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

    telah memperoleh kekuasaan hukum tetap.

    23

    RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di

    Berbagai Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), h. 50

    24 Suharto RM, Penuntut dalam Praktek Peradilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 5

  • 32

    b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

    untuk melakukan dan melaksanakan penetapan hakim.

    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menggantikan Undang-undang

    Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah menjelaskan

    pengertian jaksa dalam pasal 1 Ayat (1) yaitu pejabat fungsional yang diberi

    wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai sebagai penuntut umum

    dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

    serta wewenang lain berdasarkan undang-undang, sedangkan kejaksaan dalam

    Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah lembaga

    pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta

    kewenangan lain berdasarkan undang-undang sehingga kejaksaan memiliki peran

    sentral dalam penegakan hukum sebagai pengendali proses perkara (dominus

    litis) karena hanya institusi kejaksaanlah yang mampu menentukan apakah kasus

    tersebut dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah

    menurut Hukum Acara Pidana, selain itu kejaksaan juga memiliki peran dalam

    hukum perdata dan tata usaha negara sebagai Jaksa Pengacara Negara yang

    dapat mewakili Pemerintah serta menjadi pelaksana putusan pidana yang telah

    mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (executive

    ambtenaar) dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.25

    Kejaksaan sendiri

    dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab

    kepada Presiden serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya membawahi 6

    (enam) Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi

    dan Kejaksaan Negeri pada tingkat kabupaten/kota yang semuanya merupakan

    satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai kekuasaan negara

    khususnya dalam bidang penuntutan.26

    25

    Tentang Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia yang diakses dari web resmi

    kejaksaaan https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3) tanggal 28 Maret 2019

    26 Tentang Pengertian Kejaksaan yang diakses dari web resmi kejaksaan

    https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=1) tanggal 29 Maret 2019

    https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=1

  • 33

    Model kejaksaan di beberapa negara, ada dua prinsip bidang penuntutan

    dalam perspektif yudikatif yaitu (1) Kewenangan bidang penuntutan untuk

    melakukan penyidikan dan interogasi (2) Kewenangan bidang penuntutan dalam

    memutuskan untuk menuntut. Peran jaksa berkaitan dengan penyidikan ada 3

    model yang dianut oleh berbagai negara yaitu:

    1. Jaksa hanya bertindak sebagai penuntut umum, tidak melakukan penyidikan

    seperti yang dianut di negara Thailand, China, India, Singapura, Sri Lanka,

    Papua New Guinea, Inggris dan Fhilipina.

    2. Jaksa sebagai penuntut umum namun juga memiliki peran untuk berpartisipasi

    dalam penyidikan seperti yang dianut oleh Amerika Serikat

    3. Jaksa tidak saja melakukan penuntutan tetapi juga dapat langsung melakukan

    penyidikan sendiri seperti yang dianut di negara Korea, Jepang, Swedia, dan

    Belanda

    Selain itu, kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan penyidikan dalam

    The Asian Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on

    “The Role of the Presecutor in the Changing World di Bangkok tahun 1999,

    peran jaksa dikelompokkan menjadi 2 sistem yang dianut di berbagai negara

    yaitu27

    :

    1. Mandatory Prosecutorial System

    Jaksa tergantung pada alat-alat bukti yang sudah ada dan tidak melebihi

    hal-hal yang telah ditentukan dalam menyelesaikan suatu perkara

    2. Discretionary Prosecutorial System

    Jaksa selain mempertimbangkan alat-alat bukti yang ada juga dapat

    mempertimbangkan hal-hal lain yang melatarbelakangi terjadinya suatu

    tindak pidana, keadaan-keadaan dilakukannya tindak pidana, atribut-atribut

    yang korban dan terdakwa miliki secara pribadi, tingkat penyesalan dari

    terdakwa, tingkat pemaafan dari pihak korban, dan pertimbangan-

    27

    The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on, The

    role of the Prosecutor in the Changing World, Bangkok, Thailand, February, 15-18, 1999, h. 3

  • 34

    pertimbangan mengenai kebijakan publik. Melihat permasalahan ini maka

    jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan dan mengambil berbagai

    tindakan dalam menyelesaikan suatu perkara.

    Kejaksaan Republik Indonesia dalam penanganan tindak pidana umum

    termasuk dalam sistem Mandatory Prosecutorial System, sedangkan dalam

    penanganan tindak pidana khusus seperti korupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM)

    termasuk dalam sistem Discretionary Prosecutorial System. Maka sistem yang

    dianut oleh Kejaksaan Republik Indonesia adalah perpaduan dari kedua sistem

    yang ada yang mengacu pada Pasal 284 Ayat (2) KUHAP dan tindak pidana

    berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang

    Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.28

    D. Tinjauan Terhadap Tindak Pidana Korupsi

    Lord Acton pernah membuat ungkapan “power tends to corrupt, and

    absolute power corrupts absolutely” menjelaskan bahwa kekuasaan cenderung

    untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut sehingga

    dengan penjelasan tersebut menegaskan adanya hubungan antara korupsi dengan

    kekuasaaan.29

    Korupsi adalah instrumental crime yang dilakukan oleh

    instrument-instrumen yang mempunyai tujuan sehingga diperlukan sanksi yang

    tegas dengan memberikan sanksi pengganti berupa berapa kerugian yang telah

    ditimbulkan atas perbuatan yang dilakukan baik dengan financial maupun

    penjara. Saat ini tindak pidana korupsi bukan lagi digolongkan menjadi kejahatan

    biasa yang ada didunia, akan tetapi sudah menjadi masalah serius (extraordinary

    crime) yang harus segera ditangani karena bukan hanya membahayakan stabilitas

    28

    Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Berbagai Pespektif

    Hukum, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 86-87

    29 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU

    Nomor 30 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002,

    (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 1

  • 35

    dan keamanan negara dan kehidupan masyarakatnya tetapi juga dapat

    membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi bahkan dapat pula merusak

    nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat bedampak

    membudayakannya tindak pidana korupsi.30

    Terjadinya korupsi disebabkan oleh

    3 (tiga) hal yaitu corruption by greed (keserakahan), corruption by need

    (kebutuhan), dan corruption by chance (adanya peluang).31

    Apabila mempelajari

    dari kasus-kasus yang mencuat belakangan ini pun penyebab yang ketiga lah

    yang menjadi penyebab utama tindak korupsi dan suap-menyuap yaitu karena

    adanya peluang atau kesempatan, oleh sebab itu pendapat Lord Acton benarlah

    adanya bahwa korupsi sangat lekat dengan kekuasaan pada posisi penentu, key

    person dan pemegang kekuasaan dalam sebuah lembaga, instansi, atau badan

    pemerintah. Hampir disetiap negara mengalami permasalahan tindak pidana

    korupsi sehingga untuk melakukan pencegahannya maka dibentuklah

    lembaga/badan/komisi yang tugasnya khusus diberikan untuk memberantas

    korupsi antara lain di Indonesia sendiri disebut dengan Komisi Pemberantasan

    Korupsi (KPK), Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura,

    Badan Pencegah Rasuah (BPR) atau Anti-Corruption Agency (ACA) di

    Malaysia, dan Independent Commision Against Corruption (ICAC) di Hong

    Kong.

    Dalam upaya memberantas korupsi perlu adanya dukungan beberapa hal

    yang dilakukan antara lain32

    :

    1) Perlu adanya kemauan politik (political will) pemerintahan yang dapat

    direalisasikan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang kuat

    30

    Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU

    Nomor 30 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, ... h.2

    31 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

    Indonesia Cetakan Kedua, (Jakarta : Raih Asas Sukses, 2012), h. 147-148

    32 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Berbagai Pespektif

    Hukum, ... h. 98

  • 36

    diciptakan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi dan adanya

    contoh konret dari pejabat pemerintah untuk melaksanakan peraturan tersebut.

    2) Perlu adanya perancangan dan perumusan strategi yang komprehensif dan

    terintegrasi secara nasional, baik mencakup aspek represif maupun preventif

    dalam pemberantasan korupsi.

    3) Dengan membentuk lembaga/badan/komisi yang mandiri dan independen

    yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi.

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti menyertakan

    beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi

    yang akan dibahas, sebagai berikut:

    1. Nama : Eko Pahala N

    Tahun : 2015

    Institusi : Universitas Sumatera Utara

    Judul Skripsi : Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam

    Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Kajian Tentang

    Kewenangan KPK dan Kejaksaan)

    Hasil Penelitian skripsi ini memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan

    kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi dualisme

    kewenangan KPK dan Kejaksaan dalam manangani tindak pidana korupsi.

    KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang

    kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan

    secara yuridis didalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada

    di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan lembaga

    lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat UU bagian dari

    upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum,

    peradilan, dan kekuasaan kehakiman dan dibandingkan dengan beberapa negara

    seperti Australia, Singapura dan Malaysia sedangkan peneliti lebih

  • 37

    membandingkan kewenangan antara Kejaksaan Republik Indonesia dengan

    Kejaksaan Malaysia dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi

    berdasarkan aturan dan ketentuan yang berlaku dikedua negara.

    2. Nama : Widha Sinulingga, SH

    Tahun : 2010

    Institusi : Universitas Islam Indonesia

    Judul Tesis : Kedudukan Lembaga Kejaksaan Dalam Sistem

    Ketatanegaraan di Indonesia (Analisis Kewenangan Penuntutan Dalam

    Perspektif Negara Hukum dan Pembagian Kekuasaan)

    Hasil penelitian tesis ini menyatakan untuk mengetahui kewenangan

    penuntutan yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan RI dalam perspektif negara

    hukum dan pembagian kekuasaan: termasuk pula untuk mengetahui konsep

    ideal lembaga Kejaksaan RI dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi kejaksaan

    di bidang penuntutan, sedangkan peneliti lebih membahas mengenai

    kewenangan Kejaksaan RI dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi

    dan dibandingkan dengan kewenangan Kejaksaan Malaysia.

    3. Nama : Dr. Marwan Effendy, SH

    Tahun : 2005

    Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

    Judul Buku : Kejaksaan RI (Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif

    Hukum)

    Buku ini menjelaskan atau membahas tentang posisi dan fungsi dari perspektif

    hukum Kejaksaan Republik Indonesia dan beberapa negara lainnya, sedangkan

    peneliti membahas untuk mengetahui lebih apa saja yang menjadi kewenangan

    Kejaksaan Indonesia dan Kejaksaan Malaysia dalam penanganan perkara tindak

    pidana korupsi.

  • 38

    BAB III

    KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DAN

    KEWENANGAN KEJAKSAAN MALAYSIA DALAM PENANGANAN

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    A. Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia

    Jaksa bukanlah lembaga baru yang ada di Indonesia, akan tetapi lembaga

    negara yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dibawah kekuasaan

    Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), namun jabatan ini dikenal dengan nama

    Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadyaksa.1 Jaksa masuk menjadi badan di dalam

    lembaga peradilan pada zaman penjajahan Belanda yang mengemban tugas

    negara sebagai openbaar ministerie (OM) dimana tugas pokoknya

    mempertahankan semua peraturan negara, melakukan penuntutan segala tindak

    pidana, berwenang melaksanakan putusan pidana, dan melakukan penyidikan

    dan penyidikan lanjutan berdasarkan pasal 35 Reglement Organisatie dan

    Reglement op de Strafvordering (Sv) serta dibidang perdata pada S.1922-522

    sebagai wakil negara dalam perkara perdata.2 Ketika berlakunya Rrechterlijke

    Organisatie en het beleid der justitie pada 18 April 1827 dibuatlah lembaga

    penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem Perancis oleh Belanda yang

    bergantung pada kekuasaan eksekutif dan asas yang terpenting dari penuntut

    umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeelbarheid).

    Indonesia menggunakan H.I.R sebagai dasar ketentuan menyelesaikan

    perkara tindak pidana, namun ketentuan ini tidak terpakai lagi sejak tahun 1981

    karena mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHAP yang didalamnya juga

    telah mengatur kewenangan Jaksa dalam melakukan penuntutan, sebagaimana

    1 Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik,

    (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), h.45-46

    2 Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem

    Peradilan Pidana Indonesia Cetakan Pertama, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia Publishing, 2011),

    h. 63

  • 39

    dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 hurut a KUHAP yang menyebutkan bahwa

    jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang yang bertindak

    sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

    memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sedangkan yang menjadi kewenangan

    seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak

    sebagai pelaksana putusan pengadilan serta dapat menentukan suatu perkara hasil

    penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk diadili didalam persidangan

    yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP yang berbunyi setelah penuntut umum

    menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik,

    ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan

    untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.3 Apabila kita telaah bersama,

    dalam melaksanakan tugas dan wewenang jaksa yang berkedudukan sebagai

    lembaga penuntut atas penuntutan yang dilakukan pada setiap perkara antara

    lain:

    1. Pada suatu pihak menerima berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan dari

    penyidik;

    2. Pada pihak lain, berkas perkara yang diterimanya dilimpahkan kepada hakim

    untuk dituntut dan diperiksa dalam sidang pengadilan”.4

    Jaksa memiliki peran utama sebagai penuntut umum pada pemeriksaan

    sidang, sedangkan kata penuntut yang diberikan kepada jaksa pada Pasal 1 butir

    7 KUHAP adalah tindakan dari penuntut umum untuk menyerahkan perkara

    pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

    diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus

    oleh hakim di sidang pengadilan. Maka hal ini menjadi penjelasan kebijakan

    yang dirumuskan dalam KUHAP bahwa eksistensi tugas dan wewenang dari

    3 Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas Dominus

    Litis Dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum, Jurnal

    Arena Hukum Volume 7 Nomor 3 Tahun 2014, h.331-332

    4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapaan KUHAP (Edisi Kedua)

    Seri: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 26

  • 40

    seorang jaksa adalah melakukan penuntutan yang dalam kedudukannya sebagai

    penuntut umum secara eksplisit ini mampu memonopoli wewenang penuntutan

    yang diatur dan dipegang oleh penuntut umum sehingga menimbulkan asas

    dominus litis yaitu tiada badan lain yang berhak untuk melakukan penuntutan

    selain itu juga menjadi instansi yang dapat mengimplementasikan putusan pidana

    (executive ambtenaar) dan merupakan satu dan tak terpisahkan (een en

    ondeelbaar). Hal ini menyebabkan hakim hanya bisa menunggu tuntutan dari

    penuntut umum dan tidak bisa meminta supaya delik diajukan kepadanya.5

    Meskipun eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi yang

    melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

    belum tercantum secara jelas dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia

    1945 yang sebagai landasan konstitusional negara Indonesia, namun dalam Pasal

    24 Ayat (1) Undang-Undang 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman

    dilakukan oleh sebuah Mahkamah