STUDI PEMBELAJARAN DAN PEMANFAATAN - PSF Librarypsflibrary.org/catalog/repository/Studi Pembelajaran...
Transcript of STUDI PEMBELAJARAN DAN PEMANFAATAN - PSF Librarypsflibrary.org/catalog/repository/Studi Pembelajaran...
STUDI PEMBELAJARAN DAN PEMANFAATAN
PRO-POOR PLANNING, BUDGETING & MONITORING (P3BM)
KAJIAN SINGKAT DI 9 KABUPATEN
DONNY SETIAWAN dan SUHIRMAN
(Konsultan PSF World Bank – Jakarta)
BANDUNG, 2011
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
LATAR BELAKANG
Dalam rangka membantu Pemerintah mempercepat pemenuhan target Millenium
Development Goals (MDGs), sejak tahun 2006 BAPPENAS dengan dukungan Asian
Development Bank (ADB) dan United Nation Development Program (UNDP)
melaksanakan kegiatan peningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam proses
perencanaan dan penganggaran pembangunan yang pro terhadap masyarakat miskin
(Pro-Poor Planning and Budgeting/P3B). Pada tahun 2009, dengan maksud
penambahan komponen monitoring, kegiatan ini berubah nama menjadi Pro-Poor
Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM).
Terdapat empat komponen utama yang diperkenalkan oleh P3BM di lokasi program
yaitu: 1) penyusunan kartu penilaian MDGs (Scorecard) untuk melihat status
pencapaian MDGs suatu daerah; 2) pemetaan kemiskinan (poverty maping) untuk
menganalisa ketepatan lokasi perencanaan dan penganggaran; 3) Analisis APBD
menggunakan metode pivot, yang mencakup analisa anggaran daerah apakah sudah
berpihak kepada masyarakat miskin;dan 4)instrumen yang dapat membantu
pemerintah daerah untuk menandai kecamatan yang sangat memerlukan program.
Komponen-komponen ini telah diterapkan antara tahun 2007-2010 di 29 kabupaten
melalui tiga kegiatan utama yaitu: sosialisasi pengenalan alat dan pembentukan
komitmen daerah, training of trainers (TOT) alat-alat kepada pejabat, staf pemerintah,
LSM dan pelaksana program lain di daerah selanjutnya pendampingan dalam proses
perencanaan dan penganggaran yang pro-miskin.
TUJUAN DAN METODOLOGI
Kajian ini bertujuan untuk menggali pembelajaran tentang pemanfaatan pendekatan
dan perangkat analisis P3BM dan mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam
pemanfaatan perangkat analisis P3BM serta menggali informasi untuk perbaikan dan
penyempurnaan perangkat analisis P3BM. Studi dilakukan di 9 kabupaten/kota yang
pernah mendapatkan pelatihan/ pendampingan dari P3BM dengan melakukan
wawancara dan FGD dengan mantan peserta pelatihan P3BM. Untuk memperkaya
informasi, peneliti juga melakukan studi dokumen. Lokasi Studi adalah Kabupaten
Wakatobi, Kota Bau-Bau, Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan, Manggarai, Sumba
Barat Daya, Kabupaten Sumbawa Barat, Lombok Barat dan Kabupaten Pekalongan.
Studi dilakukan dari bulan Juli – Oktober 2011.
iii
MANFAAT DAN KELEMAHAN ALAT P3BM
Hasil studi menunjukkan bahwa P3BM mulai memberikan manfaat kepada daerah
terutama dalam mengarahkan dan memonitor proses perencanaan dan penganggaran
agar ber-orientasi pada penanggulangan kemiskinan.
Dalam konteks mengidentifikasi masalah perencanaan pro-poor kabupaten, maka alat
P3BM dapat:
• Memandu kabupaten dalammengidentifikasi permasalahan pokok yang ada di lapangan berkaitan dengan persoalan kemiskinan.
• Memperbaiki perspektif kabupaten untuk memahami prioritas daerah dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
• Bisa memperkuat analisa awal kemiskinan melalui participatory poverty assessment (PPA) yang dilakukan oleh program PNPM Mandiri.
Dalam konteks perencanaan dan alokasi anggaran, alat P3BM dapat:
• Menganalisa dan menentukan pilihan program/kegiatan dan alokasi anggaran. • Mengarahkan SKPD agar membuat perencanaan sesuai dengan Rencana
Strategis (Renstra). P3BM juga membantu SKPD dalam menempatkan lokasi program prioritas.
• Mengevaluasi ketepatan target perencanaan dan alokasi anggaran kemiskinan terutama dari sisi sektor dan prioritas lokasi.
Dalam konteks monitoring dan evaluasi daerah, alat P3BM dapat:
• Memperbaiki database dan jenis data yang terukur. • Dimanfaatkan sebagai alat monitoring dan evaluasi kemajuan daerah dalam
pencapaian MDGs.
Dari paparan di atas tampak bahwa sebagai ‘instrumen teknokratis’ P3BM dapat
memberikan kontribusi dalam membangun sistem-sistem data, mengenali persoalan
daerah baik dari sisi isu maupun lokasi, dan mengarahkan daerah untuk
mengalokasikan anggaran sesuai dengan persoalan yang dihadapi dan tujuan yang ingin
dicapai dalam konteks penanggulangan kemiskinan.
Namun, studi ini juga mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan
P3BM. Yang paling fundamental yaitu P3BM hanya merupakan sebuah alat dan
software, tidak dapat dengan sendirinya mengatasi masalah-masalah sehubungan
dengan komitmen dan mendorong pemerintah daerah agar pro-miskin. Sehingga
terdapat kehati-hatian dalam penggunaan kata-kata ‘dapat’ di atas: jika ditangani oleh
Bappeda yang pro-perubahan, alat P3BM dapat digunakan untuk menjamin bahwa
perencanaan dan anggaran akan lebih sensitif terhadap kesenjangan sosial ekonomi dan
dapat mencapai target-target MDGs. Kelemahan selanjutnya adalah saat ini titik berat
P3BM masih pada fase perencanaan dari skema pemberian pelayanan dasar, dan belum
ada keterkaitan dengan implementasi dan kualitas belanja. Sehingga hal ini masih
iv
membatasi dampak dari penggunaan toolkit ini, karena terdapat gap antara planning,
budgeting dan realisasi dari penyediaan pelayanan dasar.
Beberapa tantangan lainnya adalah: 1) beberapa daerah masih menghadapi kendala
teknis dalam penerapan basis data sehingga memerlukan pendampingan terus-
menerus, 2) pada saat ini alat-alat P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan
anggaran dalam mengatasi masalah kemiskinan (meskipun dapat membantu daerah
dalam menggunakan anggaran minim dengan lebih efektif),3) pemanfaatan alat P3BM
untuk melakukan penelusuran delivery pelayanan dan pertanggung-jawaban anggaran
belum banyak terlihat, 4) peran pemerintah provinsi dalam proses pelatihan dan
pendampingan masih rendah. Kelemahan ini diperparah dengan kebijakan mutasi
pegawai dan tidak ada insentif kepada pejabat dan staf daerah yang bekerja secara
sungguh-sungguh untuk menerapkan alat ini.
REKOMENDASI
Merujuk pada manfaat, kelemahan dan pembelajaran terhadap praktek baik di daerah,
maka untuk meningkatkan efektifitas penerapan dan pengembangan alat P3BM dalam
penanggulan kemiskinan studi ini memberi rekomendasi sebagai berikut:
Perlu dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah:
a. Kebijakan bersama (misalnya Surat Edaran Bersama) antara BAPPENAS,
Kementrian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk mendukung
mobilisasi berbagai sumberdaya yang khusus diperuntukkan bagi pencapaian
target MDGs di daerah-daerah, terutama bagi daerah yang masih jauh dibawah
capaian nasional dengan memanfaatkan P3BM sebagai salah satu instrument;
b. Pembentukan tim khusus atau sekretariat yang sifatnya lebih fungsional di
Bappeda tingkat propinsi sebagai perencana untuk mengawal proses pencapaian
target MDGs di kabupaten/kota;
c. Kebijakan kepala daerah terkait dengan penugasan khusus terhadap aparatur
yang sudah dilatih dan menguasai alat P3BM untuk menjadi tim supply data
perencanaan dan penganggaran, berkoordinasi secara rutin dan berkala dengan
SKPD dan memberikan masukan bagi TAPD dan Badan Anggaran DPRD dalam
menyusun dan membahas anggaran;
d. Peraturan kepala daerah untuk mengintegrasikan analisis P3BM dalam forum
musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten, untuk mengorientasikan
usulan komunitas sesuai dengan target penanggulangan kemiskinan. Sebagai
konsekwensinya kedalaman analisa pemetaan kemiskinan harus sampai ke
tingkat desa.
Perbaikan strategi pelaksanaan program.
P3BM akan terlihat efektifitasnya jika tidak hanya dikembangkan sebagai paket-
paket pelatihan, tetapi mencakup pendampingan teknis yang intensif minimal untuk
v
kurun waktu 1-2 tahun. Beberapa komponen penting yang harus dikembangkankan
P3BM dalam kerangka program adalah:
a) Memperluas peserta pelatihan bukan hanya dari pejabat dan staf pemerintah
tetapi juga dari provinsi, perguruan tinggi, BPS, organisasi komunitas, pelaksana
PNPM dan aktivis LSM. Selanjutnya peserta dari provinsi dan non-pemerintah
daerah dilibatkan menjadi pendamping. Provinsi juga dilibatkan baik dalam
pelatihan maupun dalam pemantauan kegiatan P3BM di kabupaten/kota;
b) Perbaikan data dan informasi kemiskinan di tingkat kabupaten. Para alumni
pelatihan diwadahi dalam forum/tim data daerah dan diberi wahana untuk
mentransfer pengetahuannya kepada peer group yang mungkin akan
menggantikan posisinya jika dia dimutasi:
c) Adanya forum sharing pengalaman dalam meningkatkan kualitas perencanaan
dan penganggaran untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional,
termasuk adanya kegiatan reguler untuk melihat dan memperbaharui capaian
SKPD dengan menggunakan alat P3BM;
d) Peraturan daerah untuk membahas hasil analisis P3BM sebelum pembahasan
anggaran di DPRD agar anggota DPRD memahami situasi kemiskinan di
daerahnya dan mendorong prioritas alokasi anggaran sesuai dengan target
penanggulangan kemiskinan;
e) Finalisasi dan percobaan (pilot) modul monitoring.
Memperkaya materi pelatihan
a) Perlu pendalaman materi analisis anggaran yang mencakup juga analasis
realokasi anggaran, analisis kemampuan fiscal, dan penelusuran anggaran;
b) Poverty mapping sebaiknya dibuat sampai dengan satuan wilayah desa;
c) Mengaitkan target pencapain MDGS dengan SPM (Standard Pelayanan
Minimum), karena dari sisi regulasi daerah lebih terikat dengan SPM;
d) Perlu tambahan materi tentang tabel indikator program kegiatan di SKPD (input,
output, outcome, impact) sehingga lebih mudah untuk tracking pendanaan dan
belanja SKPD.
Untuk mengembangkan materi pelatihan dan teknis delivery dari program-program di
atas, tidak dapat dihindari pelaksana program P3BM harus juga mengembangkan
jaringan dengan pelaku program lain di daerah, misalnya PNPM. Ini terutama
dibutuhkan untuk memudahkan difusi alat-alat P3BM ke dalam skema program lain dan
kepada sistem perencanaan dan penganggaran reguler.
vi
KATA PENGANTAR
Studi Pembelajaran dari Pemanfaatan Alat Pro-poor Planning, Budgeting & Monitoring (P3BM) ini dilaksanakan untuk melihat pemanfaatan instrumen P3BM dan mengidentifikasi keberhasilan, tantangan dan hambatan selama penggunaan alat-alat tersebut. Studi ini bermaksud untuk memberikan masukan bagi perbaikan desain dan pengembangan program. Studi akan dilakukan selama 45 hari pada periode Juni – Oktober 2011 di 9 kabupaten/kota yang meliputi 4 provinsi, yaitu: Kabupaten Sikka (NTT), Kabupaten Manggarai (NTT), Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) , Kabupaten Sumba Barat Daya (NTT), Kabupaten Lombok Barat (NTB), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB), Kabupaten Pekalongan (Jawa Timur), Kota Bau Bau (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Laporan akhir ini berisi hasil studi lapangan di 9 Kabupaten, serta rekomendasi mengenai arah pelaksanaan P3BM ke depan. Laporan akhir ini mendapatkan masukan yang sangat berarti dari tim PSF-World Bank terutama dari Hans Antlov dan Dianty Ayu Sintadewi. Bandung, November 2011
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ii
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR SINGKATAN viii
1 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
2 Tujuan dan Metodologi Studi ...................................................................................... 5
2.1. Tujuan Studi ................................................................................................................................ 5
2.2. Fokus Studi .................................................................................................................................. 5
2.3. Metode Penggalian Data ......................................................................................................... 5
2.4. Lokasi Studi ................................................................................................................................. 6
2.5. Gambaran Umum Wilayah .................................................................................................... 7
3 ANALISIS PEMANFAATAN ALAT ANALISIS P3BM ................................................. 8
3.1 Pelaksanaan dan Pengembangan Program P3BM ....................................................... 8
3.2 Kontribusi Program P3BM ................................................................................................. 10
3.2.1. Tumbuhnya Pengetahuan dan Kesadaran “Baru” ....................................... 10
3.2.2 Memperkuat dan Menginspirasi Inisiatif-Inisiatif Lokal .......................... 10
3.3 Pemanfaatan Alat Analisis P3BM di Daerah ................................................................ 12
3.3.1 Pemanfaatan dalam Penyempurnaan Pengelolaan Basis Data .............. 12
3.3.2 Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran ................ 13
3.3.3 Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan
Pembangunan Daerah ............................................................................................ 14
4 KEKUATAN DAN KELEMAHAN ALAT-ALAT P3BM .............................................. 15
4.1 Kekuatan Penerapan alat P3BM ....................................................................................... 15
4.2 Kelemahan Penerapan alat P3BM ................................................................................... 16
5 CERITA SUKSES DAN PEMBELAJARAN .................................................................... 19
5.1 Cerita Sukses............................................................................................................................ 19
5.2 Pembelajaran ........................................................................................................................... 24
6 Rekomendasi ................................................................................................................... 26
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................................... 30
viii
DAFTAR SINGKATAN
ADB|Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) ADD|Alokasi Dana Desa APBD |Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN |Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BANGGAR |Badan Anggaran BAPPEDA |Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS | Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUPATI |Kepala Daerah Kabupaten DAK |Dana Alokasi Khusus DAU | Dana Alokasi Umum DPRD | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPU | Dinas Pekerjaan Umum FGD | Focus Group Discussion KEPMEN | Keputusan Menteri KEMDAGRI | Kementrian Dalam Negeri KORPROV | Koordinator Provinsi KUA | Kebijakan Umum Anggaran LSM | Lembaga Swadaya Masyarakat PAD | Pendapatan Asli Daerah P3B| Pro-Poor Planning and Budgeting PEMDA | Pemerintah Daerah PERDA | Peraturan Daerah PERMENDAGRI | Peraturan Menteri Dalam Negeri PNPM Mandiri| Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri PNS | Pegawai Negeri Sipil RENJA-SKPD | Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah RENSTRA-SKPD | Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA | Rencana Kerja dan Anggaran RKPD | Rencana Kerja Pemerintah Daerah RPJMD | Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMDes | Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa RPJPD | Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah SKPD | Satuan Kerja Perangkat Daerah TAPD | Tim Anggaran Pemerintah Daerah TKPKD | Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah UU | Undang-undang
1
1 PENDAHULUAN
Pada tahun 2000, 189 negara di dunia yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa menyepakati agenda pembangunan milenium, yang selanjutnya dikenal dengan
sebutan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs memuat delapan kesepakatan
yang menjadi agenda pembangunan negara-negara tersebut sampai dengan tahun 2015.
Sejak disepakatinya MDGs, Pemerintah Indonesia menjadikan agenda MDGs sebagai
salah satu target pembangunan nasional dan daerah. Sebagai bentuk pelaksanaan
MDGs, delapan agenda MDGs dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka
menengah dan tahunan, baik itu di tingkat nasional ataupun di daerah.
Dalam rangka membantu pemerintah daerah mempercepat pemenuhan target MDGs,
sejak tahun 2006 BAPPENAS dengan dukungan ADB dan UNDP melaksanakan kegiatan
peningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan
penganggaran pembangunan yang pro terhadap masyarakat miskin (Pro-Poor Planning
and Budgeting-P3B). Pada tahun 2008, dengan maksud penambahan komponen
monitoring, kegiatan ini berubah nama menjadi Pro-Poor Planning, Budgeting and
Monitoring (P3BM).
Pada tahun 2006, kegiatan P3B telah dilaksanakan di 11 kabupaten/kota, yaitu:
Kabupaten Manggarai, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat, Purbalingga, Wonosobo,
Banjarnegara, Kota Semarang, Ogan Komiring Ilir, Ogan Ilir dan Palembang.Pada tahap
ini P3B masih bersifat terbuka (open menu) dimana daerah dapat memilih dukungan
penguatan kapasitas dan pendampingan sesuai dengan kebutuhan daerah.Sejak tahun
2007, Pemerintah Indonesia meluncurkan program Target MDGs dengan didukung oleh
UNDP. Target MDGs memiliki 4 (empat) komponen program, yaitu: perbaikan
pendataan, pelaporan, advokasi/kampanye dan dukungan inisiatif lokal untuk
memperkuat kapasitas pemerintah daerah, LSM dan media massa. Komponen kegiatan
ke-empat selanjutnya disebut Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM)
yang merupakan penyempurnaan dari P3B.
Program Target MDGs berlokasi di 3 (tiga) provinsi dan 18 (delapan belas)
kabupaten/kota sebagai berikut:
Provinsi NTB: Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat,
Dompu, Bima dan Sumbawa Barat
Provinsi NTT: Kabupaten Flores Timur, Belu, Kupang, Sikka, Timor Tengah
Selatan dan Sumba Barat Daya
Provinsi Sulawesi Tenggara: Kabupaten Wakatobi, Bombana, Kolaka, Konawe,
Buton dan Kota Bau-Bau
2
Program P3BM merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah untuk
mempercepat pencapaian target MDGs melalui upaya perbaikan kualitas proses
perencanaan dan penganggaran di daerah. Program P3BM diharapkan dapat membantu
pemerintah daerah dalam melakukan “diagnosa” status capaian MDGs di daerah,
meningkatkan kapasitas aparatur dalam menyusun rencana program dan anggaran
yang pro-masyarakat miskin serta monitoring proses dan hasil pembangunan. Dalam
kurun waktu 2007 – 2010, program P3BM telah dilaksanakan di29(dua puluh sembilan)
kabupaten/kota.
Pada tahun 2008 Tim Teknis Asistensi P3B Bappenas-ADB melakukan studi mengenai
perencanaan dan penganggaran daerah. Berdasarkan studi dari Tim Teknis Asistensi
P3B, dari sisi substansi perencanaan dan penganggaran daerah masih memiliki
kekurangan yang mendasar yaitu: 1) tidak memiliki substansi yang jelas dalam
memberantas kemiskinan, 2) penerima manfaat program tidak teridentifikasi dengan
jelas, 3) hanya sedikit mendapat input dari kelompok miskin dan terpinggirkan, 4) tidak
memuat output, outcome dan dampak dari program dan alokasi anggaran, 5) program
dan kegiatan terfragmentasi secara sektoral, 6) tidak ada keterkaitan antara
perencanaan tahunan dan perencanaan jangka menengah, dan 7) tidak ada keterkaitan
yang jelas antara program kabupaten/kota dengan provinsi dan pusat.
Sedangkan dari sisi proses, masalah yang dihadapi dalam perencanaan reguler di
daerah terutama adalah: 1) informasi kebijakan, perencanaan dan pagu anggaran tidak
diketahui pada tingkat perencanaan yang lebih rendah, 2) proses musyawarah
(musrenbang) nyaris tidak dilakukan pada perencanaan di tingkat desa, 3) kalaupun
musrenbang dilakukan di tingkat desa dan kecamatan, hanya dihadiri oleh sedikit
kelompok elit komunitas, 4) waktu musrenbang sangat terbatas untuk menghasilkan
keputusan yang baik, 5) peran LSM lokal dalam musrenbang sangat terbatas, hanya
sebagai partisipan pasif. 6) minsat DPRD dalam menghadiri musrenbang telah ada
terutama di daerah pemilihannya, tetapi perannya belum begitu jelas disamping
pemahaman terhadap strategi penanggulangan kemiskinan yang masih rendah.
Berdasarkan pada hasil studi, Tim Asistensi P3B merekomendasikan agar pengurangan
kemiskinan melalui program P3B fokus pada perbaikan substansi dan proses
perencanaan dan penganggaran. Untuk substansi perencanaan P3B seharusnya fokus
pada perencanaan daerah dengan perhatian yang penuh pada membangun basis data
dan analisis kemiskinan. Untuk itu, usaha yang keras perlu dilakukan untuk mengubah
perencanaan berbasis sektor (SKPD) menjadi berbasis tema/isu yang akan dibahas
bersama dalam forum gabungan SKPD. Setiap tahap perencanaan tahuna perlu dimulai
dengan evaluasi perencanaan dan pelaksanaan sebelumnya dengan menganalisis
output, outcome dan dampak dari program. Perencanaan juga harus menyeimbangkan
penekanan antara pembangunan fisik dengan pembangunan sosial.
3
Sedangkan dari sisi proses perencanaan seharusnya didasarkan pada kiteria yang jelas
sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dalam musrenbang dari di tingkat
komunitas sampai kabupaten. Keputusan berdasarkan kriteria tersebut harus
disepakati dalam forum musrenbang yang mengikat dan diumumkan melalui media
lokal. Agar keputusan musrenbang berkualitas, informasi mengenai kebijakan saat ini –
baik nasional maupun provinsi- termasuk pagu indikatifnya telah diinformasikan
sebelum musrenbang dilakukan. Di tingkat desa sebaiknya hanya ada satu proses,
forum dan produk perencanaan. Desa juga sebaiknya diberikan dana yang mencukupi
(ADD) agar forum musrenbang memiliki arti di tingkat desa. Agar musrenbang dapat
berjalan dengan baik, sebaiknya ada fasilitator profesional pada tiap tahapan
musrenbang. Yang sangat penting dalam pengurangan kemiskinan adalah komponen
masyarakat sipil, masyarakat miskin dan terpinggirkan diberi kesempatan untuk
menyampaikan aspirasi mereka.Untuk mendukung perbaikan perencanaan dan
penganggaran dari sisi substansi dan proses, perlu dilakukan peningkatan kapasitas di
tingka daerah baik terhadap pejabat, staf dan komponen masyarakat sipil.
Merujuk pada rekomendasi Tim Asistensi Teknis, pada tahun 2008 P3B dilanjutkan
dengan nama P3BM dengan dukungan pendanaan dari UNDP. Ada 3 komponen (alat)
utama yang diperkenalkan oleh P3BM di daerah program yaitu:
1. Penyusunan kartu penilaian (balanced scorecard) MDGsuntuk perencanaan dan
pengangaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Komponen ini menganalisa
target dan pencapaian target MDGS daerah dibanding dengan target nasional dan
internasional.
2. Pemetaan Kemiskinan MDGs (poverty maping) untuk perencanaan dan
penganggaran yang tepat lokasi. Komponen ini mengkonversi data-data statistik ke
data spatial (GIS) sehingga bisa diidentifikasi lokasi-lokasi yang tingkat
kemiskinannya rendah, sedang dan tinggi.
3. Analisis APBD yang mencakup:
a. Analis kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran yang tepat lokasi.
Komponen ini menganalisis ketepatan lokasi alokasi anggaran berdasarkan pada
hasil pemetaan kemiskinan.
b. Analisa belanja pembangunan daerah untuk peningkatan kualitas penggunaan
anggaran untuk penanggulangan kemiskinan.
c. Interpretasi dan aplikasi alat P3BM untuk perencanaan dan penganggaran yang
berpihak pada masyarakat miskin.
Kelima komponen di atas diterapkan di daerah melalui tiga kegiatan utama yaitu:
1. Lokakarya pengenalan alat dan pembentukan komitmen daerah. Kegiatan ini
dilakukan pada tahap awal program untuk memperkenalkan alat-alat P3BM dan
menggali komitmen kepada daerah yang akan menjadi lokasi program.
4
2. Pelatihanalat-alat P3BM kepada pejabat, staft, LSM dan pelaksana program lain di
daerah.
3. Pendampingan daerah dalam memanfaatkan alat-alat P3BM dalam proses
perencanaan dan penganggaran daerah.
Setelah berjalan selama 4 tahun, maka perlu dipelajari manfaat P3BM di daerah,
kekuatan dan kelemahannya, serta pembelajaran dari praktek baik yang pernah
dilakukan daerah dalam memanfaatkan alat-alat P3BM.
5
2 TUJUAN DAN METODOLOGI STUDI
2.1. Tujuan Studi
Merujuk pada latar belakang, tujuan dari studi ini terutama adalah:
a. Menggali pembelajaran tentang pemanfaatan pendekatan dan perangkat analisis
P3BM dan merekam aktivitas lainnya yang berhubungan.
b. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan perangkat analisis
P3BM serta menggali informasi untuk perbaikan dan penyempurnaan perangkat
analisis P3BM.
2.2. Fokus Studi
Dalam rangka menjawab tujuan studi sebagaimana dipaparkan di atas,
makapertanyaan-pertanyaan pokok untuk studi ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana P3BM telah berkontribusi dalam peningkatan kualitas perencanaan dan
penganggaran di daerah? Apa kekuatan dan kelemahannya?
b. Seberapa efektif kegiatan pelatihan P3BMdapat mendukung peningkatan kapasitas
aparatur di daerah?
c. Adakah cerita-cerita sukses, pembelajaran dan praktek-praktek baik yang bisa
digambarkan dari P3BM yang menjadi alasan agar kegiatan ini sangat baik untuk
direplikasi dan atau di dikembangkan di lokasi lainnya?
d. Dalam kondisi apa agar P3BM dapat dilaksanakan secara efektif?
e. Apa rekomendasiuntuk memperbaiki kualitas pelaksanaan programP3BM agar
proses perencanaan penganggaran di daerah lebih berpihak bagi masyarakat
miskin?
Berdasarkan pertanyaan pokok studi tersebut, peneliti mengerangkakan studi ini dalam
6 (enam) aspek berikut:
a. Kontribusi P3BM terhadap peningkatan kualitas perencanaan penganggaran daerah
b. Pemanfaatan alat P3BM dalam perbaikan basis data di daerah
c. Pemanfaatan alat P3BM dalam proses perencanaan penganggaran di daerah
d. Pemanfaatan alat P3BM dalam perbaikan kualitas dokumen perencanaan daerah
e. Pembelajaran dan cerita sukses pemanfaatan alat P3BM
f. Rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan program P3BM
2.3. Metode Penggalian Data
6
Proses pengumpulan data dilaksanakan melalui tigacara, yaitu:
a) Studi data sekunder yang dilaksanakan melalui pengumpulan informasi dan data
sekunder dari berbagai dokumen yang tersedia, diantaranya:
Panduan, laporan dan publikasi pelaksanaan program P3BM
Dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, seperti: RPJMD, SPKD, APBD,
RKPD, dll
Dokumen-dokumen terkait lainnya
(Data skunder dan laporan publikasi P3BM yang menjadi rujukan studi ini dapat
dilihat dalam lampiran 1).
b) Wawancara dilakukan terhadap para responden yang memiliki keterkaitan langsung
dengan program penerapan alat P3BM. Responden dalam studi ini dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1)alumni pelatihan P3BM dari SKPD, perguruan
tinggi, LSM dan stakeholder lainnya, dan 2) pejabat provinsi dan kabupaten/kota
yang pernah terlibat dalam program dan kegiatanP3BM. (Kegiatan wawancara dan
daftar responden yang diwawancara dapat dilihat pada lampiran 2)
c) Di beberapa lokasi studi, peneliti melakukan FGD untuk mengidentifikasi manfaat,
kekuatan, kelemahan, contoh-contoh praktek baik dan menyusun rekomendasi
untuk peningkatan pelaksanaan P3BM.
2.4. Lokasi Studi
Lokasi studi adalah daerah-daerah yang pernah terlibat dalam pelatihan P3BM. Daerah-
daerah tersebut ditentukan secara purposif berdasarkan tingkat dukungan dan inisiatif
dalam pelaksanaan metodologi P3BM. Berdasarkan kriteria tersebut, daerah-daerah
yang menjadi lokasi sasaran studi adalah:
1. Sulawesi Tenggara: Kabupaten Wakatobi dan Kota Bau-Bau
2. NTT: Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan, Manggaraidan Sumba Barat Daya
3. NTB: Kabupaten Sumbawa Barat and Lombok Barat
4. Jawa Tengah: Kabupaten Pekalongan
7
2.5. Gambaran Umum Wilayah
Secara umum, profil 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang menjadi lokasi studi dapat
digambarkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Gambaran Umum Wilayah Studi
Lokasi
Luas Wilayah
Jumlah Kec, Kel /Desa
Penduduk (jiwa)
Jumlah Penduduk
Miskin
Total Belanja APBD TA 2011
(Rp)
Total Belanja Pengawai
(BTL+BL) APBD TA 2011 (Rp)
Total Belanja Publik APBD TA
2011 (Rp)
1. Sikka 7.553,24 km
21 kec.,160 kel./desa
232.605)
(2010) 40.200 jiwa
(13,38%)
(2010)
518.000.000.000 291.946.779.192
(56,36%) 226.053.220.808
(43,64%)
2. Manggarai 1.669,42 Km
9 kec.,132 desa, 17 kel
292.037 (2010)
)
67.100 jiwa (22,91%)
(2010)
511.214.721.209 268.782.195.591
(52,58%)
242.432.525.618, (47,42%)
3. Timor Tenggah Selatan
3.947 km 32 kec., 12 kel., 228 desa
441.155 (2010
)
126.600 jiwa (28,71%
(2010)
709.752.826.686
391.078.111.516 (55,10%)
318.674.715.170 (44,90%)
4. Sumba Barat Daya
1.445,77 km
8 kec., 94 desa, 2 kel
285.414 (2010)
)
85.100 jiwa (29,88%)
(2010)
379.046.287.989 163.523.393.641 (43,14%)
215.522.894.348 (56,86%)
5. Lombok Barat
862,62 Km 10 kec., 88 desa
603.223 (2008)
60.117 KK fakir miskin
(2008)
822.332.436.527
477.115.284.677 (58,02%)
345.217.151.850 (41,98%)
6. Sumbawa Barat
1.849,02 Km
8 Kec., 6 kel., 57 desa
101.089
(2009) 2.558 KK
Fakir Miskin
(2009)
649.000.000.000 217.019.689.288 (33,44%)
431.980.310.712 (66,56%)
7. Pekalongan 836,13 Km 19 kec., 285 desa/kel
1002.826 (2010)
151.630 jiwa
(15,32%) (2010)
898.873.262.000 594.456.285.400 (66,13%)
304.416.976.600 (33,87%)
8. Bau Bau 221,00 Km 7 kec., 43 Kel 130.862 (2009)
18.170 jiw (2009)
449.536.798.444 254.089.931.960 (56,52%)
195.446.866.484 (43,48%)
9. Wakatobi 425,97 Km 8 kec, 25 kel., 75 desa
92.995 2010)
26.000 jiwa (2007)
389.280.861.758 177.596.629.736 (45,62%)
211.684.232.022,- (54,38%)
10. Manokwari 14.448,50 Km
29 kec, 9 kel., 412 des
)
183.900 (2008)
36.347 RTM (2008)
728.455.401.743 383.024.446.005 (52,58%)
345.430.955.738,- (47,42%)
Sumber data: 1)
RPJMD Kab. Sikka 2009-2014, 2)
http://ntt.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=47&Itemid=8, 3)
http://ntt.bps.go.id/index.php? option=com_ content&view=article&id=133&Itemid=107, 4)
RPJMD Kab. Manggarai 2011-2015, 5)
RPJMD Kab. Timor Tengah Selatan 2009-2014, 6)
RPJMD Kab. Sumba Barat Daya 2009-2013, 7)
Kabupaten Sumba Barat Daya Dalam Angka 2010,
8)Kabupaten Lombok Barat Dalam Angka 2009,
9) Kabupaten Sumbawa Barat Dalam Angka 2010,
10) Kabupaten
Pekalongan Dalam Angka 2009, 11)
LKPJ Akhir Masa Jabatan Bupati Pekalongan 2006-2011, 12)
Kota Bau Bau Dalam Angka 2010, 13)
Buku Saku Kota Bau Bau 2010, 14)
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2011, 15)
Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007, BPS (Diolah dari Susenas Kor 2007),
16) Kabupaten Manokwari Dalam Angka 2009,
17)Ringkasan APBD Tahun 2011, www.djpk.depkeu.go.id,
18)APBD Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2011,
19)APBD Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011
8
3 ANALISIS PEMANFAATAN ALAT ANALISIS P3BM
3.1. Pelaksanaan dan Pengembangan Program P3BM
Pelaksanaan program P3BM di 10 (sepuluh) kabupaten/kota lokasi sasaran studi
diselenggarakan dalam bentuk pelatihan alat-alat analisis P3BM selama 3 (tiga)-5 (lima)
hari. Selain pelatihan juga dilakukan kegiatan lokakarya (1-2 hari) dan pendampingan
baik dalam kerangka menyusun balance score card, pencapaian MDGs maupun dalam
pengembangan manajemen basis data daerah.
Ketiga alat analisis (poverty mapping, balanced score card dan analisis APBD) P3BM
diperkenalkan dan disimulasikan dalam pelatihan tersebut. Selain ketiga alat analisis di
atas, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Wakatobi mendapatkan satu paket
pelatihan lainnya yaitu manajemen basis data daerah.
Pada sebagian besar lokasi sasaran studi, materi tentang poverty mapping memiliki
durasi waktu yang lebih lama selama penyelenggaraan pelatihan tersebut. Sementara
itu, alat analisis konsistensi program dan anggaran (pivot analysis), adalah materi yang
memiliki durasi waktu yang paling sedikit.
Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Sumba Barat Daya berinisiatif menggelar
kegiatan pelatihan tambahan. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan penyegaran
bagi alumni pelatihan terdahulu serta memperluas cakupan peserta yang berasal dari
SKPD. Sementara itu, Kabupaten Sikka dan Pekalongan berencana menggelar pelatihan
lanjutan pada tahun 2011 ini.
Tabel 2 Pelaksanaan Pelatihan P3BM di 10 Kabupaten/Kota
Lokasi Waktu
Pelaksanaan Peserta Materi Sumber Dana
1. Kabupaten Sikka
Mei 2009 30 orang staf perencana SKPD
Poverty mapping, score card MDGs, pivot analysis
APBN
2. Kabupaten Manggarai
2007 staf perencana SKPD
Identifikasi kebutuhan masyarakat, pohon masalah, alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan
APBN
2008 30 orang staf perencana SKPD
pengenalan score card MDGs, pelatihan pembuatan peta GIS, analisis anggaran
APBN
2010 30 orang staf perencana SKPD di Kab. Manggarai dan Manggarai Timur
Pivot analysis, software Arc-GIS untuk pembuatan peta kemiskinan,Score card MDGs
APBD Kab. Manggarai dan Kab. Manggarai Timur
3. Kabupaten Timor Tengah Selatan
Mei 2009 30 orang staf perencana SKPD
Peta tematik kemiskinan menggunakan Arc-Gis, Pivot analisis menggunakan excel untuk analisis anggaran dan monev
APBN
4. Kabupaten Juni 2009 25-30 orang staf simulasi membuat peta data APBN
9
Lokasi Waktu
Pelaksanaan Peserta Materi Sumber Dana
Sumba Barat Daya
perencana SKPD kemiskinan, pivot untuk analisis anggaran dan program, balanced scorecard
Juni 2010 30 orang staf perencana SKPD (ada tambahan peserta baru)
training monitoring dan pemutakhiran, ada data dan laptop, ada pre-test
APBD
Desember 2010
30 orang staf perencana SKPD
Monitoring dan evaluasi basis data, TOT dan lokakarya data pencapaian MDGs
APBD
5. Kabupaten Lombok Barat
Mei 2008 30 staf Bappeda dan Perencana di SKPD
MDGs Scorecard, proverty mapping, analisa APBD.
APBN & APBD
6. Kabupaten Sumbawa Barat
November 2008
25 staf Bappeda dan Perencana di SKPD
MDGs Scorecard, proverty mapping, analisa APBD
APBN & APBD
7. Kabupaten Pekalongan
21-23 Mei 2011
30 orang staf Perencana SKPD dan PNPM MP
Sebagian besar tentang poverty mapping. Diperkenalkan juga MDGs scorecard dan pivot analysis.
APBD
8. Kota Bau Bau Desember 2010
30 orang staf Perencana SKPD
Poverty mapping, scorecard MDGs dan Pivot Analysis.
APBN
9. Kabupaten Wakatobi
Mei 2008 36 orang Staf Bappeda, Subag Perencanaan SKPD dan LSM lokal
Poverty mapping, scorecard MDGs dan Pivot Analysis.
APBN & APBD
Dari sisi peserta, ada 3 kelompok target group dari Program P3BM di daerah, yaitu:
1. Kelompok pengambil kebijakan. Kelompok ini dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
pendahululuan program baik dalam bentuk lokakarya. Tujuannya adalah untuk
menggali dan meningkatkan komitmen pejabat daerah (terutama Bupati dan
Kepala Dinas) untuk mengorientasikan kebijakan dan program pembangunan
dalam rangka mengurngi kemiskinan di daerah.
2. Kelompok Penyusun Program. Kelompok ini dilibatkan dalam pelatihan untuk
memperkenalkan dan mengusai tiga alat utama yang dikembangkan oleh P3BM.
Kelompok yang menjadi sasaran terutama adalah Kepala Bidang Bappeda dan
Kepala Sub Seksi Perencanaan Program di masing-masing SKPD terutama SKPD
Kesehatan, Pendidikan, Pertanian dan PU. Kelompok ini dipilih dengan alasan
mereka adalah perencana program yang akan mengoperasionalkan rencana
program di SKPD masing-masing.
3. Kelompok Pelaksana Teknis Program. Kelompok ini dilibatkan untuk
menghimpun dan memasukan data capaian MDGs dari masing-masing SKPD
untuk dianalisa oleh Bappeda dan dioleh menjadi balance score card capaian
daerah terhadap MDGs dan pemetaan spasial terhadap keadaan daerahnya, untuk
selanjutnya dianalisa oleh Tim yang dikoordinasikan oleh Bappeda yang akan
disampaikan dalam lokakarya.
10
3.2. Kontribusi Program P3BM
3.2.1. Tumbuhnya Pengetahuan dan Kesadaran “Baru”
Pada tataran konsep dan gagasan, P3BM dianggap oleh sebagian besar responden telah
berhasil mengenalkan pendekatan “baru” untuk menyempurnakan proses perencanaan
dan penganggaran di daerah, khususnya dalam hal pengelolaan basis data perencanaan.
Ketiga alat yang dikenalkan P3BM (poverty mapping, score card MDGs dan analisis
APBD) dianggap membantu para perencana di daerah untuk menstrukturkan data dan
analisisnya dengan tampilan yang lebih mudah dipahami.
Sebelum alat-alat P3BM dikenalkan, beberapa SKPD ternyata pernah menggunakan
software Arc-GIS untuk poverty mapping dan GIS ini untuk membantu pekerjaan
mereka. SKPD-SKPD tersebut diantaranya adalah: Dinas PU untuk membuat peta
kondisi dan kelas jalan dan Dinas Kesehatan untuk membuat peta profil kesehatan di
Kabupaten Manggarai. Namun demikian secara keseluruhan, alat poverty mapping
dengan menggunakan software Arc-GIS merupakan materi pelatihan yang paling diingat
dan diminati oleh para alumni pelatihan P3BM.
Seluruh responden menganggap bahwa dengan dikenalkannya alat-alat P3BM kepada
mereka, terjadi peningkatan pengetahuan dan kesadaran khususnya terkait dengan
perencanaan program dan anggaran dalam rangka pencapaian MDGs dan
penanggulangan kemiskinan di daerah. Seluruh responden meyakini bahwa apabila
alat-alat analisis yang diperkenalkan oleh P3BM diterapkan secara konsisten dan benar
maka akan mempermudah dan mempertajam proses perencanaan penganggaran
menjadi lebih efektif, efisien dan terarah.
Sebelum alat analisis P3BM dikenalkan, sebagian responden menyadari bahwa proses
perencanaan program dan anggaran lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan politik
daripada pendekatan teknokratik. Dengan diterapkannya alat tersebut, para perencana
dan pengambil kebijakan di daerah akan dikenalkan secara lebih mendalam pada
masalah, potensi dan wilayah-wilayah penanganan prioritas.
3.2.2. Memperkuat dan Menginspirasi Inisiatif-Inisiatif Lokal
P3BM dianggap oleh beberapa responden telah memperkuat inisiatif lokal yang
telah/sedang dilaksanakan di daerah. Selain itu, P3BM juga telah menginspirasi lahirnya
beberapa inisiatif lokal terkait upaya perbaikan basis data daerah dan kualitas proses
dan dokumen perencanaan penganggaran.Kontribusi alat analisis P3BM terhadap
beberapa inisiatif lokal tersebut diantaranya:
11
a) Pada tahun 2011 ini Pemerintah Propinsi NTT sedang menyusun Rencana Aksi
Daerah Pencapaian MDGs. Saat studi ini berlangsung, Pemprop NTT sudah
melakukan pengumpulan data terkait pencapaian MDGs 4 (empat) kabupaten/kota
dari 15 kabupaten/kota di Propinsi NTT. Pihak Pemprop NTT menghendaki basis
data dan analisis yang tertuang dalam dokumen RAD diantaranya menggunakan alat
P3B/P3BM. Untuk itu, sejak Februari 2011, mereka meminta data dan hasil analisis
menggunakan alat P3B/P3BM kepada 6 (enam) kabupaten/kota yang menjadi
wilayah kerja P3B/P3BM. Namun sampai dengan laporan studi ini disusun, keenam
kabupaten/kota tersebut belum memberikan datanya ke pihak Pemerintah Propinsi
NTT.
b) Mendukung program Pembangunan Berbasis RT (PBRT) di Kabupaten Sumbawa
Barat, khususnya dalam menentukan lokasi sasaran program.
c) Hasil analisis menggunakan alat P3BM diadopsi dalam penyusunan Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Sikka pada tahun 2010.
d) Menjadi inspirasi dilakukannya studi pendalaman tentang kemiskinan daerah oleh
Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM bekerja sama dengan
Bappeda Sikka tahun 2009.
e) Menjadi salah satu tools yang digunakan di Sekretariat Bersama dalam merumuskan
perencanaan dan evaluasi program pembangunan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
f) Memperkuat pelaksanaan program Desa Bercahaya, Desa Berkecukupan Pangan,
Desa Berkecukupan Air, Desa Aman dan Tertib khususnya dalam menentukan lokasi
sasaran program untuk APBD 2011 di Kabupaten Sumba Barat Daya.
g) Pemetaan kemiskinan digunakan untuk memperkuat program Gerakan Terpadu
Bangun Desa di Kabupaten Lombok Barat. Terutama dalam menetapkan program-
program di tiap desa.
h) Pada tahun 2011 sudah dirancangan konsolidasi dan sinergisasi perencanaan
reguler dengan PNPM Mandiri Perkotaan melalui pelaksanaan program pagu
indikatif anggaran kewilayahan di Kabupaten Pekalongan, khususnya dalam
memperkuat perencanaan pembangunan di tingkat desa/kelurahan melalui siklus
kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan.
i) Menjadi materi dasar pelaksanaan program BASIC (Bantuan dari Pemerintah
Canada) untuk tahun 2011-2014 untuk sektor kesehatan dan pendidikan di Kota
Bau Bau.
j) Setelah lokakarya P3BM, Bupati Wakatobi mengaskan bahwa pencapaian MDGs
bukan hanya tujuan Internasional dan nasional tetapi juga adalah tujuan daerah.
Pernyataan ini menjadi dasar bagi daerah agar memasukan MDGs dalam
penyusunan RPJMD ketika Bupati terpilih kembali dalam pilkada tahun 2011.
Pencapaian MDGs bersama dengan SPM juga menjadi kriteria utama bagi SKPD
dalam menyusun program-program pembangunan di Wakatobi.
12
3.3. Pemanfaatan Alat Analisis P3BM di Daerah
3.3.1. Pemanfaatan dalam Penyempurnaan Pengelolaan Basis Data
Pemanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka perbaikan basis data daerah, setidaknya
tercermin dari adanya beberapa agenda kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di
daerah. Permanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka penyempurnaan pengelolaan
basis data daerah setidaknya dapat dilihat sebagai berikut:
Adanya inisiatif untuk mengorganisir para alumni peserta pelatihan P3BM dalam
rangka penyempurnaan pengelolaan basis data daerah, contoh:
Pada tahun 2009, pasca pelatihan P3BM dibentuk Kelompok Pecinta GIS di
Kabupaten Sikka yang diperankan untuk mendukung upaya perbaikan basis
data daerah. Kelompok Pecinta GIS ini dikoordinir di Bidang Penelitian dan
Pengembangan BPPMD Kabupaten Sikka. Namun sampai dengan studi ini
dilaksanakan, para anggota Kelompok Pecinta GIS ini belum pernah sekalipun
berkoordinasi dan merumuskan agenda kerja. Pada tahun 2011, dikoordinir
oleh Bidang Litbang BPPMD akan dilaksanakan pelatihan penyegaran alat
analisis P3BM bagi para alumni pelatihan sebelumnya.
Pasca pelatihan pada bulan Desember 2010, di Kabupaten Sumba Barat Daya
dibentuk Tim Basis Data Daerah yang anggotanya terdiri dari para alumni
pelatihan P3BM. Tim ini dikoordinasikan oleh Bidang Litbang BPPMD.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, telah dibentuk Sekretariat Bersama yang
berkantor di Bappeda (atas kerjasama Pemda, Plan International, CWS dan NGO
Lokal), memanfaatkan alat P3BM untuk melakukan perencanaan, monitoring
dan evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas pemerintah daerah dan NGO yang
bekerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Di Kabupaten Wakatobi, telah dibentuk Sekretariat Bersama Data Base untuk
mengintegrasikan data-data daerah. Sekretariat ini berada di bawah Bappeda
yang menghimpun dan mengkoordinasikan data-data dari SKPD. Bappeda juga
mengadakan pertemuan koordinasi setiap 3 bulan untuk memperbaharui data
dan mendiskusikan program-program pembangunan.
Penyempurnaan sistem basis data MDGs dan basis data program pembangunan, contoh:
Pada APBD TA 2011 telah dialokasikan anggaran di Bidang Litbang BPPMD
Kabupaten Sumba Barat Daya untuk penguatan kapasitas pengelolaan basis data
MDGs.
Data kemiskinan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang ditampilkan
dalam formatpoverty mapping diperbaharui setiap tahun oleh Sekretariat
Bersama dengan menggunakan satuan sampai dengan tingkat kecamatan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai pasca pelatihan P3BM kerap melakukan
pembaruan data sebaran fasilitas kesehatan dan sebaran penyakit.
13
Di Kabupaten Pekalongan, sejak selesainya pelatihan P3BM pernah akan
dipraktekkan di Dinas PU untuk pembuatan peta sanitasi dan air bersih. Namun,
peta daerah rawan sanitasi dan air bersih datanya sebagian besar tidak ada.
Data air bersih ada, tapi terdapat dua versi dengan perbedaan perhitungan.
Analisis data dengan menggunakan alat P3BM pernah dipublikasikan menjadi
salah satu materi dalam LKPJ akhir masa jabatan bupati,meskipun munculnya
tidak per desa. Target MDGs sudah terjadi untuk sumur gali (+40% dari 77%).
Tapi setelah diteliti lagi belum layak minum (air bersih: hijau, tapi setelah dilihat
detilnya ternyata merah). Di BLK, dipraktekan untuk menginventarisir peserta
pelatihan per kecamatan. Ada perbedaan data antara data SKPD dengan data
statistik dari BPS. Contoh: jumlah fakir miskin.
Di Kota Bau Bau, hasil analisis P3BM ditampilkan sebagai informasi dalam
Profil Kota Bau Bau dan Profil Kesehatan 2010 dan 2011. Selain itu, pada tahun
2011, Bappeda bekerjasama dengan BPS akan melakukan survey penduduk
miskin Kota Bau Bau.
Di Kabupaten Wakatobi, program-program SKPD diumumkan kepada
masyarakat dan menyandingkannya dengan pencapaian MDGs. Tujuan dari
kegiatan ini adalah agar masyarakat memahami hubungan antara program dan
anggaran pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan di
daerah.
3.3.2. Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pemanfaatan alat analisis P3BM proses perencanaan penganggaran daerah, setidaknya
tercermin dari adanya beberapa agenda kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di
daerah yang dapat dilihat dari contoh-contoh berikut:
Dimanfaatkan sebagai alat koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi
terhadap aktivitas program pemerintah daerah dan NGO seperti yang dilakukan
melalui keberadaan Sekretariat Bersama di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Beberapa kabupaten berinisiatif memaparkan hasil analisis menggunakan alat
P3BM tersebut dalam kegiatan musrenbang dan konsultasi dengan DPRD.
Momen-momen yang dimanfaatkan antara lain adalah musrenbang kecamatan,
musrenbang kabupaten untuk pembahasan rancangan RKPD serta proses-
proses konsultasi dengan DPRD seperti yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat
Daya dan Sikka.
Dijadikan sebagai salah satu instrumen evaluasi Kepala Daerah terkait capaian
program, realisasi pendapatan dan belanja SKPD seperti yang terjadi di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Menjadi salah satu dasar penentuan realokasi anggaran untuk alokasi-alokasi
yang dianggap tidak terlalu efisien, contoh:
Dilakukannya rasionalisasi anggaran perjalanan dinas luar daerah pada
APBD 2010 di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
14
Terjadinya kenaikan alokasi anggaran pencapaian target MDGs di Lombok
Barat dari tadinya pada APBD TA 2008 sebesar 19,2%, pada APBD TA
2009 menjadi 22,6% dan APBD TA 2010 menjadi 22%.
Di Kabupaten Pekalongan, alat analisis P3BM digunakan untuk mendukung
pelaksanaan program pagu anggaran indikatif kewilayahan yang mulai
diterapkan pada APBD TA 2011.
Di Kabupaten Wakatobi, alat analisis P3BM dijadikan alat analisis untuk KUA-
PPAS. Sebagai hasilnya Kabupaten Wakatobi melakukan realokasi anggaran dan
memperbesar anggaran untuk pendidikan dan kesehatan lebih besar untuk
mencapai target MDGs yang telah ditetapkan.
3.3.3. Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
Pemanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka perbaikan kualitas dokumen
perencanaan pembangunan daerah, setidaknya tercermin dari adanya beberapa agenda
kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di daerah. Permanfaatan alat analisis
P3BM dalam rangka penyempurnaan kualitas dokumen perencanaan pembangunan
daerah setidaknya dapat dilihat sebagai berikut:
Beberapa kabupaten/kota berinisiatif memasukan hasil analisis menggunakan
alat P3B/P3BM tersebut dalam beberapa dokumen perencanaan. Di Kabupaten
Sikka, hasil analisis alat P3B/P3BM khususnya poverty mapping dijadikan dasar
penyusunan Profil Kemiskinan Kabupaten Sikka yang disusun oleh BPPPMD
bekerja sama dengan Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional
Universitas Gadjah Mada pada akhir tahun 2009. Profil kemiskinan ini menjadi
materi dasar dalam menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
Kabupaten Sikka 2009-2013. Namun demikian, hasil analisis ini tidak digunakan
sebagai dasar penyusunan rancangan RKPD dan Renja SKPD sejak 2009-2011.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, hasilanalisis APBD digunakan oleh Bappeda
sejak tahun 2009 untuk mengevaluasi alokasi anggaran SKPD. Sebagai contoh,
hasil pivot analysis APBD TA 2009 ditemukan alokasi anggaran untuk biaya
perjalanan dinas luas kota cukup besar. Karena itu Bappeda bersama-sama
SKPD melakukan realokasi anggaran yang tidak efisien ini pada saat
penyusunan APBD TA 2010.
Sementara itu di kabupaten lainnya, hasil analisis menggunakan ketiga alat
P3BM yang dilakukan selama pelatihan tidak digunakan sebagai landasan dalam
menyusun dokumen perencanaan maupun penganggaran. Demikian pula, pasca
pelatihan data dan analisis tersebut tidak diperbaharui/update.
15
4 KEKUATAN DAN KELEMAHAN ALAT-ALAT P3BM
Selain dampak pemanfaatan P3BMdalam praktek perencanaan dan penganggaran
daerah, studi ini juga berusaha mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari alat-alat
P3BM menurut partisipan pelatihan dan pihak-pihak yang menggunakan alat-alat P3BM
di daerah. Identifikasi dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan FGD dengan para
pelaku di daerah. Berikut adalah kekuatan dan kelemahan P3BM menurut persepsi
responden dan peserta FGD di daerah.
4.1 Kekuatan Penerapan alat P3BM
Terkait dengan kekuatan alat analisis P3BM, responden berpendapat sebagai berikut:
Dalam konteks pengembangan data daerah, alat P3BM dapat:
• P3BM memandu daerah untuk menghasilkan database yang bagus, sistematis
dan lebih terukur.
• Menampilkan data/informasi dengan informatif, mudah difahami dan mudah
diperbaharui.
• Secara teknis tidak terlalu sulit untuk melaksanakan proses pengembangan
basis data sesuai prosedur yang dikembangkan P3BM.
Dalam konteks identifikasi persoalan daerah, alat P3BM dapat:
• Memandu mengarahkan pada permasalahan pokok kemiskinan yang ada di
lapangan.
• Memperbaiki perspektif kabupaten dalam memahami prioritas daerah dalam
penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
• Bisa memperkuat analisis awal kemiskinan menggunakan alat participatory
poverty assessment (PPA) yang dilakukan oleh program PNPM Mandiri.
Dalam konteks perencanaan dan alokasi anggaran, alat P3BM dapat:
• Memudahkan dalam menganalisis, menentukan pilihan program/kegiatan dan
alokasi anggaran.
• Mengarahkan SKPD agar membuat perencanaan sesuai dengan Rencana
Strategis (Renstra).
• Membantu SKPD dalam menempatkan lokasi program prioritas.
• Mengevaluasi ketepatan target perencanaan dan alokasi anggaran terutama
dari sisi sektor dan prioritas lokasi.
Dalam konteks monitoring dan evaluasi daerah, alat P3BM dapat:
• Memperbaiki database dan jenis data yang terukur.
16
• Digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi kemajuan daerah dalam
pencapaian MDGs.
Dari paparan di atas tampak bahwa sebagai ‘instrumen teknokratis’ P3BM dapat
memberikan kontribusi besar dalam membangun sistem-sistem data, mengenali
persoalan daerah baik dari sisi isu maupun lokasi, dan mengarahkan daerah untuk
mengalokasikan anggaran sesuai dengan persoalan yang dihadapi dan tujuan yang ingin
dicapai dalam konteks penanggulangan kemiskinan.
4.2 Kelemahan Penerapan alat P3BM
Sementara itu, dari hasil wawancara dan FGD responden mengidentifikasi kelemahan-
kelemahan alat analisis P3BM sebagai berikut:
Aspek teknis
• Peserta pelatihan tidak serta merta memahami alat yang digunakan dalam
pelatihan di kelas. Peserta lebih memahami ketika proses simulasi dan
pendampingan terutama dalam membuat balance scorecard MDGs dan
pemetaan kemiskinan.
• Seringkali data yang digunakan ketika simulasi belum up to date, peta yang
digunakan juga belum menggambarkan kondisi topografis/kemiringan sebagai
input untuk perencanaan program infrastruktur (jalan, irigasi, jenis bangunan,
dll).
• Data yang dihasilkan kurang detil. Kalaupun detil tampilan data seringkali
menumpuk.
• Sangat bergantung pada media elektronik (komputer) sehingga menjadi
hambatan bagi daerah-daerah yang tidak punya fasilitas pendukung.
• ID wilayah di BPS berbeda dengan yang diajarkan;
• Setelah ‘intervensi P3BM’ selesai, kegiatan tidak bisa dilakukan terus menerus
karena:
• Software terbatas (ketika pelatihan tidak diberi CD, yang dapat hanya saat
pelatihan pertama).
• SDM yang dapat menggunakan alat ini hanya sedikit.
• Kode tools harus di update sesuai dengan perkembangan wilayah dan
lingkungan (contoh: pemekaran wilayah).
• Tumpang tindih beban kerja untuk staf perencana di SKPD yang dilatih oleh
P3BM sehingga menghambat proses pembaharuan data.
Aspek Perencanaan dan Penganggaran
• Alat P3B dapat membantu daerah untuk memanfaatkan anggaran yang minim
dengan efektif untuk memenuhi target penanggulangan kemiskinan. Tetapi alat
P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan anggaran daerah itu sendiri.
Seringkali masalah daerah dalam penanggulangan kemiskinan bukanlan
17
masalah kemampuan memahami persoalan dan mengalokasikan anggaran
untuk mengatasi kemiskinan, tetapi justru ketiadaan dana lokal (APBD) dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
• Alat P3BM juga tidak bisa digunakan secara luas untuk melakukan penelusuran
delivery pelayanan/program dan pertanggung-jawaban anggaran. Alat yang
dikembangkan P3BM baru dapat digunakan untuk mengarahkan alokasi.
• Pada saat ini alat ini sangat menitikberatkan hanya pada proses perencanaan
dari skema pemberian pelayanan dasar dan tidak ada keterkaitan dengan
implementasi dan kualitas belanja;
• Hasil analisis –MDGs score card dan pemetaan kemiskinan belum menjadi
rujukan utama dalam musrenbang. Hal ini disebabkan –MDGs score card dan
pemetaan kemiskinan hanya disajikan dalam forum musrenbang kabupaten.
Sementara usulan yang dibahas dalam musrenbang banyak yang berasal dari
forum desa dan kecamatan yang tidak merujuk pada MDGs score card dan
pemetaan kemiskinan.
Aspek Politis
• Sebagai instrumen teknokratis, alat P3BM baru menjawab persoalan-persoalan
yang sifatnya teknis. Dengan kata lain, jalan atau tidaknya alat ini tergantung
“the man behind the gun”/pengambil kebijakan di daerah dan SKPD. Jika
pengambil kebijakan memiliki komitmen terhadap penanggulangan
kemiskinan, maka alat ini akan sangat berguna. Sebaliknya jika komitmennya
tidak kuat, maka alat ini tidak akan memberikan banyak pengaruh dalam
pengambilan kebijakan.
• Dalam praktek perencanaan penganggaran, banyak faktor “X” (politik
anggaran) di DPRD. Untuk itu sebelum sidang pembahasan anggaran, hasil
analisis perlu disosialisasikan ke DPRD untuk mengevaluasi kinerja eksekutif
sekaligus juga untuk mengarahkan anggota DPRD agar memprioritaskan
alokasi anggaran sesuai dengan hasil analisis balanced scorecard dan pemetaan
kemiskinan.
Alat analisis P3BM tidak sampai pada membongkar persoalan mendasar terkait
dengan tiga keterlambatan pola kerja pemerintahan daerah yang menjadi sumber
persoalan efektivitas layanan pemerintah daerah, yaitu: (i) lambat dalam
pengambilan keputusan karena kompleksitas motif dan interes politik; (ii) lambat
dalam mobilitas; (iii) lambat melakukan tindakan penanganan segera dan
terobosan karena batasan-batasan aturan pada level nasional.
Keterlibatan pemerintah propinsi sangat minim dan belum diletakkan dalam
kerangka pembagian urusan provinsi dan kabupaten/kota. Hampir di semua daerah
peran provinsi hanya membantu pelaksanaan Lokakarya Nasional Koordinasi
Program P3BM dan fasilitasi ruangan untuk Tim Target MDGs tingkat propinsi.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa Bappeda Provinsi perlu kapasitas
mengoperasikan alat analisis P3BM serta memonitor capaian MDGs di
18
kabupaten/kota. Ini untuk menjamin keberlanjutan program ketika Tim P3BM
Tingkat Provinsi sudah tidak ada lagi. Tugas ini sesuai dengan fungsi Bappeda
propinsi untuk memonitor, mengkoordinasikan dan memberikan asistensi teknis
bagi Bappeda di tingkat kabupaten/kota. Sebagai contoh kasus adalah Bappeda
Provinsi NTT yang akan menyusun Rencana Akasi Daerah (RAD) Pencapaian
daerah MDGs di NTT. Bappeda kesulitan menghimpun data capaian MDGs di
Kabupaten/Kota NTT karena tidak memiliki akses data dan kapasitas untuk
mengolah data di tingkat kabupaten/kota.
Berbagai kelemahan tersebut semakin terakumulasi dan mengancam implementasi
alat-alat P3BM di daerah manakala dihadapkan pada beberapa faktor penghambat
dalam implementasi alat P3BM. Berdasarkan wawancara dan diskusi, faktor
penghambar penerapan P3BM terutama adalah:
Mutasi pegawai yang tadinya menguasai alat-alat P3BM, sementara penggantinya
sama sekali tidak mamahami alat P3BM. Dalam banyak kasus, situasi ini
menyebabkan supply data menjadi berhenti yang dapat mengganggu pembaharuan
dan analisis data secara keseluruhan.
Tidak adanya kebijakan di tingkat kabupaten yang memberikan insentif kepada
SKPDuntuk mengalokasikan staf khusus agar konsisten memperbaharui data dan
memantau alokasi anggaran sesuai dengan tujuan.
Yang paling fundamental yaitu P3BM hanya merupakan sebuah alat dan software, tidak
dapat dengan sendirinya mengatasi masalah-masalah sehubungan dengan komitmen
dan mendorong pemerintah daerah agar pro-miskin. Sehingga terdapat kehati-hatian
dalam penggunaan kata-kata ‘dapat’ pada awal bagian ini (di atas): jika ditangani oleh
Bappeda yang pro-perubahan, alat P3BM dapat digunakan untuk menjamin bahwa
perencanaan dan anggaran akan lebih sensitif terhadap kesenjangan sosial ekonomi dan
dapat mencapai target-target MDGs.
19
5 CERITA SUKSES DAN PEMBELAJARAN
5.1 Cerita Sukses
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
Kegiatan pelatihan P3BM di Kabupaten TTS dilaksanakan pada bulan Mei 2009. Pada
tahun 2009 juga Pemerintah Kabupatan TTS membentuk Sekretariat Bersama (Sekber)
yang berfungsi untuk mengkoordinasikan program-program yang dilaksanakan di
Kabupaten TTS baik yang didanai oleh APBD (anggaran daerah), APBN (anggaran
nasional), maupun lembaga donor. Sekber ini dibentuk atas kerjasama Pemda TTS, Plan
International, CWS dan NGO Lokal dan berkantor di Bappeda. Pada kerja-kerjanya,
Sekber memanfaatkan alat P3BM yang senantiasa diperbaharui dalam melakukan
koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas
pemerintah daerah dan NGO.
Poverty mapping dan analisis APBD adalah dua alat P3BM yang sejak tahun 2009
digunakan dan terus diperbaharui oleh Bappeda bersama-sama SKPD. Data untuk
poverty mapping diperbaharui setiap tahun dengan menggunakan basis data dari
BKKBS, bukan BPS. Data BKKBS digunakan karena instansi tersebut menyelenggarakan
pembaharuan data setiap tahun dan satuannya sampai dengan tingkat kecamatan.
Analisis APBD digunakan oleh Bappeda sejak APBD TA 2009 sampai dengan sekarang.
Hasil analisis APBD terhadap tahun berjalan menjadi dasar untuk menentukan alokasi
anggaran tahun berikutnya. Telah banyak kegiatan yang terkena dampak realokasi
anggaran dikarenakan hasil analisis memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk
kegitan tersebut dinilai tidak efisien oleh alat ini.
Pada tahun 2010, Bappeda berinisiatif melaksanakan pelatihan selama lima hari dengan
materi membedah APBD menggunakan alat pivot analysis. Kegiatan ini dihadiri oleh 10
orang perwakilan dari SKPD, LSM dan BPS. Pada tahun itu pula dilakukan evaluasi oleh
Bupati terkait realisasi pendapatan dan belanja SKPD dengan menggunakan data hasil
analisis APBD.
Meskipun tidak ada kebijakan khusus tentang pemanfaatan alat P3BM, Bappeda
bersama-sama dengan SKPD memanfaatkan keberadaan Sekber sebagai media untuk
mengkonsolidasikan data dan menganalisisnya. Hasil analisis tersebut dimanfaatkan
dasar perumusan program pembangunan dan alokasi anggaran sekaligus sebagai dasar
untuk monitoring dan evaluasi.
20
Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD)
Pelatihan P3BM di Kabupaten Sumba Barat Daya telah dilaksanakan sebanyak 3 kali.
Pertama pada bulan Juni 2009 melalui pendanaan dari pemerintah pusat dengan materi
pengenalan 3 (tiga) alat analisis P3BM. Kedua, pada bulan Juni 2010 melalui pendanaan
APBD dengan materi yang sama. Serta ketiga, pada bulan Desember 2010 melalui
pendanaan dari APBD dengan materi pengelolaan basis data MDGs.
Meskipun aparat perencana di Pemkab SBD sudah mendapat pelatihan-pelatihan ini,
namun training di SBD belum berdampak pada perbaikan dokumen perencanan (hasil
analisis alat P3BM belum pernah dipaparkan dalam musrenbang ataupun menjadi
bahan untuk merumuskan rancangan RKPD). Hal ini dikarenakan sebagai kabupaten
yang baru berdiri pada tahun 2007, sumber daya manusia aparatur masih belum
memenuhi proporsi yang ideal sehingga sumber daya manusia yang ada dianggap
belum dapat menampung beban kerja yang ada. Hal ini mengakibatkan seringnya
terjadi “overload” beban kerja, terutama pada aparatur yang dianggap memiliki
kapasitas dan etos kerja yang baik. Selain itu dari sisi kapasitas sumber daya manusia
aparatur dianggap belum merata sehingga masih kesulitan untuk melakukan sinergi.
Namun demikian, kesadaran akan pentingnya pemanfaatan alat P3BM sudah tumbuh,
setidaknya pada beberapa pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang selama ini
terlibat dalam kegiatan P3BM. Sebagai aktualisasi dari kesadaran ini, pada tahun
anggaran 2011, Bappeda mengalokasikan anggaran untuk penguatan tim pengelola data
di Bappeda dan pengadaan laptop untuk seluruh staf perencana di SKPD.
Pada sisi inovasi program daerah khususnya yang berorientasi pada penanggulangan
kemiskinan, sejak tahun 2010 Pemkab SBD memiliki beberapa program unggulan, yaitu
Desa Bercahaya, Desa Berkecukupan Pangan, Desa Berkecukupan Air dan Desa Aman
dan Tertib. Program Desa Bercahaya berupa bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
(PLTS) bagi rumah tangga yang belum tersentuh listrik melalui pendanaan dari APBD
dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada APBD 2011, target sasaran program ini
dialokasikan untuk 3.000 KK Desa Berkecukupan Pangan yang ditujukan untuk
peningkatan produksi pertanian. Program ini berupa bantuan benih dan bantuan
traktor besar per kecamatan. Kegiatannya antara lain: optimalisasi lahan-lahan tidur,
pembukaan area pertanian baru. Pada tahun 2010 program ini memiliki target
pembukaan area pertanian baru seluas 100 Ha, sementara pada tahun 2011 seluas 200
Ha. Total target area pertanian baru yang akan dibuka adalah seluas 1.000 Ha. Program
Desa Berkecukupan Air dilaksanakan melalui pembuatan 42 penampungan air hujan,
sumur bor bekerjasama dengan PROAIR di 4 desa di Kec. Kodi ditambah dengan
perpipaan sambungan rumah dan 2 desa di Kec. Situlondo. Penetapan lokasi-lokasi
program ini memanfaatkan hasil analisis pemetaan kemiskinan yang diperkenalkan
oleh P3BM.
21
Kabupaten Sikka
Kegiatan pelatihan P3BM di Kabupaten Sikka pada kepulauan Flores, NTT dilaksanakan
pada bulan Mei 2009. Informasi hasil analisis data yang didapat dalam simulasi
pelatihan tersebut digunakan oleh Bappeda untuk mengkonsolidasikan SKPD dalam
rangka melengkapi basis data yang ada. Pada saat penyusunan rancangan awal RKPD
2010 dan draft Renja SKPD, Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi Bappeda
mengkonsolidasikan Dinas Pendidikan, Kesehatan, KB & Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Nakertrans) untuk konsolidasi target pencapaian MDGs. Sebelumnya, target
pencapaian MDGs ini dibagikan ke SKPD sebelum penyusunan rancangan RKPD dan
draft Renja SKPD. Informasi hasil analisis data yang didapat dalam simulasi pelatihan
juga pernah dicoba disosialisasikan pada musrenbang kecamatan tahun 2010 dan 2011.
Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (PPO) menerapkan alat
poverty mapping pada program Rencana Pengembangan Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dikdasmen) yang didanai melalui program AIBEP-USAID. Peta yang dibuat
adalah Indikator Utama Pendidikan (2008-2011).
Program mapping dan pivot analysis masih digunakan karena dirasa paling bermanfaat.
Alat tersebut digunakan untuk perencanaan dan penganggaran tahunan di Bappeda dan
penyusunan proposal DAK SKPD (bupati mewajibkan usulan rencan kerja tertuang
dalam format peta). Sementara scorecard MDGs tidak sering digunakan karena tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan rutin. Namun demikian, data dan analisis yang
dulu dihasilkan dalam simulasi pelatihan belum pernah diperbaharui dengan alasan
kesibukan tugas rutin, mutasi pegawai dan ketiadaan kebijakan yang mengharuskan.
Pada tahun anggaran 2011, Bappeda mengalokasikan anggaran untuk mengukur
capaian MDGs dari tahun 2006-2010 dengan melihat 18 indikator untuk goal 1-7 dan
mengupdate data. Kegiatan ini akan dilakukan oleh tim kecil di Bappeda berkoordinasi
dengan SKPD dengan diawali oleh kegiatan pelatihan penyegaran alat P3BM.
Pasca pelatihan, difasilitasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Desa
(BPMPD), para alumni pelatihan P3BM diorganisir dalam Komunitas Pecinta Arc-GIS.
Tetapi karena kesibukan masing-masing, sampai sekarang komunitas ini belum sempat
berkumpul.
Propinsi Nusa Tenggara Timur
Dalam rangka mengakselerasi pencapaian target MDGs di Propinsi NTT, pada tahun
anggaran 2011, Bappeda NTT melaksanakan kegiatan perumusan RAD MDGs. Pihak
Pemprop NTT menghendaki basis data dan analisis yang tertuang dalam dokumen RAD
diantaranya menggunakan alat P3BM. Saat ini masih dilakukan pengumpulan data
pencapaian target MDGs di 15 kabupaten/kota.
22
Sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di Propinsi NTT, pada tahun 2011
dilaksanakan program ANGGUR MERAH (Anggaran Menuju Rakyat Sejahtera).
Pembiayaan program ini didorong melalui sharing dari APBD Propinsi dan APBD
Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011 sebagai proyek percontohan dipilih lokasi sasaran
untuk yang dibiayai oleh APBD Propinsi adalah satu desa untuk satu kecamatan. Sisanya
didanai berdasarkan kesanggupan APBD Kabupaten/Kota. Kriteria penentuan desa
sasaran program diantaranya adalah jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dll.
Fasilitator program ini berasal dari desa yang bersangkutan. Fasilitator yang direkrut
utamanya adalah sarjana-sarjana senior yang menganggur di desa tersebut. Pada APBD
2011 untuk program ini dianggarkan sebesar 500 milyar rupiah.
Contoh implementasi program ANGGUR MERAH dapat dilihat di Kabupaten TTS. Lokasi
sasaran di Kabupaten TTS adalah 32 desa dibiayai dari APBD Propinsi TA 2011 dan 4
desa oleh APBD kabupaten. Bentuk kegiatan dari program ini adalah bantuan modal
usaha. Fasilitator desa program ini juga berperan menjadi fasilitator musrenbang.
Mekanisme yang dilakukan adalah kelompok masyarakat membuat usulan kegiatan
kemudian diverifikasi oleh Pemprop dan Pemkab. Masing-masing desa sasaran
mendapatkan 250 juta rupiah.
Kabupaten Wakatobi
Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pencapaian target MDGs adalah: (i)
penggunaan score card MDGs, pemetaan kemiskinan (poverty mapping) dan analisa
APBD dalam Musrenbang tahun 2009; (ii) pengoperasian basis data MDGs dan basis
data program oleh bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda; (iii) perbaikan dokumen
perencanaan Rencana Kerja Anggaran (RKA); (iv) pelaksanaan forum/rapat koordinasi
data 6 bulan sekali yang dimulai tahun 2009; dan (v) analisis kebutuhan pencapaian
target MDGs di Kabupaten Wakatobi.
Sebagai hasil dari proses tersebut, mulai tahun 2009 pemerintah memberikan
pelayanan pengobatan gratis dan sekolah gratis mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga
SLTA. Kabupaten Wakatobi juga meluncurkan program PERAK (Program Ekonomi
Kerakyatan) yang lokasinya merujuk pada data-data yang dikembangkan di sekretariat
bersama. Untuk komitmen dan prestasinya dalam menanggulangi kemiskinan
Kabupaten Wakatobi mendapat Metro TV MDGs Award 2009 dan menjadi nominasi
nasional dalam kualitas pelayanan publik. Prestasi ini menjadi penguat komitmen
pemerintah daerah untuk menerapkan alat-alatP3BM secara konsisten.
Kabupaten Lombok Barat
Untuk mempercepat pencapaian target MDGs, Pemda Lobar telah mencanangkan
program terobosan pada bidang sosial, ekonomi, infrastruktur dan fisik dengan nama
GerduBangdes (Gerakan Terpadu Bangun Desa). Dalam bidang sosial, program
terobosan yang dilakukan adalah sinergitas peningkatan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) melalui gerakan pendidikan untuk semua (Duta), sadar kesehatan (Sahat), dan
23
sadar aksara (Dara). Kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan, gratis, revitalisasi
lembaga kesehatan tradisional, koran berita desa, getas melalui kelompok pengajian,
dan pembangunan politeknik “patut patuh patju”. Anggaran yang dialokasi untuk
pencapaian target MDGs pada tahun 2008 adalah sebesar 19,2% dari total APBD
kemudian meningkat menjadi masing-masing 22,6% pada tahun 2009 dan 22,0% pada
tahun 2010.
Kabupaten Sumbawa Barat (KSB)
Sebagai best practices, KSB menerapkan inovasi model Pembangunan Berbasis Rukun
Tetangga (PBRT) yang menempatkan rukun tetangga (RT) sebagai basis kegiatan
pembangunan mulai dari pengurusan administrasi penduduk seperti sistem informasi
orang susah (SIOS), musrenbang dimulai dari tingkat RT, penentuan penerima Bantuan
Langsung Tunai (BLT), penentuan rumah untuk bedah rumah, koperasi di setiap RT,
hingga program pembangunan sektoral lainnya. Model PBRT ini diintegrasikan ke
dalam upaya percepatan pencapaian target MDGs.
Pelaksanaan PBRT di lapangan telah memunculkan beberapa hal positif yang sangat
mendukung pembangunan seperti: (i) komitmen dan good will yang kuat dari
pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat; (ii) partisipasi aktif masyarakat, khususnya
perangkat RT, pendamping RT dan warga setempat untuk terlibat dalam proses PBRT;
(iii) keterlibatan dan kerja sama dari berbagai pihak (perguruan tinggi, LSM, ormas,
dunia usaha dan lain-lain); (iv) kebijakan/regulasi yang menjamin keberlangsungan
PBRT serta standard operasi dan prosedur (SOP) yang sistematis untuk mendukung
teknis operasional kegiatan; dan (v) adanya dukungan kebijakan anggaran bagi warga
miskin.
Beberapa contoh program yang dilakukan antara lain: Musyawarah RT (Rembug
Warga), pemberian Dana Stimulan Rp. 1,5 Juta per RT, Lomba dan pemberian Reward
RT unggulan, RT sebagai Juru Pemantau Kesehatan Masyarakat (Jumantara),
Pemanfaatan lahan tidak produktif dan peningkatan peran ibu rumah tangga dan
Pembentukan Koperasi RT.
Kabupaten Lombok Timur
Pengalaman di Lombok Timur menunjukan pembelajaran mengenai pola relasi
pemerintah daerah dan CSO dalam penerapan P3BM. Keterlibatannya dalam sosialisasi
tools P3BM, Lokakarya Nasional dan training, telah memberikan inspirasi untuk
mengembangkan praktek alat-alat tersebut untuk memperkuat kerja-kerja
pengorganisasian dan advokasinya yang memang fokus pada upaya pencapaian target
MDGs dan pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat miskin.
Proses pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan kapasitas jaringan nasional
yang dimiliki. Diantaranya adalah pengembangakan kemampuan untuk penelusuran
anggaran dari FITRA dan pengembangan Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Penilaian
24
Bersama (KPB) dari JIKEP dan PPKM, dan pengembangan sistem database dari ACE.
Kemampuan tersebut diujicobakan pada proses pengorganisasian 4 (empat) kelompok
perempuan miskin di wilayah pesisir Lombok Timur mulai dari pengenalan dan training
KPB, penyusunan KPB, analisis anggaran, fasiliasi training anggota DPRD tentang
Gender Budget Analysis, sampai dengan advoksi ke pemerintahan daerah.
Salah satu dampak langusng dari proses tersebut, pada ABPD 2010 Lombok Timur
terjadi peningkatan alokasi anggaran untuk program-program peningkatan kapasitas
perempuan. Program-program tersebut antara lain berbentuk: (i) pendidikan politik
perempuan: (ii) pemberdayaan UKM perempuan; (iii) pemberian dan penambahan
insentif kader Pos Yandu dari tidak ada pada APBD 2008 kemudian menjadi Rp 10.000
pada APBD 2009/2010 dan RP 20.000 pada APBD 2010/2011.
5.2 Pembelajaran
Merujuk pada cerita-cerita sukses pendampingan dan penerapan alat-alat P3BM, maka
ada beberapa pembelajaran terkait dengan faktor pendukung agar alat analisis P3BM
dapat dilaksanakan secara efektif, yaitu:
Kepala Daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mengentaskan kemiskinan di
daerahnya. Komitmen ini terbentuk bila ada kasus-kasus dan data-data yang nyata
mengenai kemiskinan di daerah.
Komitmen politik kepala daerah diwujudkan dalam kebijakan (berupa Peraturan
Bupati) yang memberikan insentif kepada SKPD, pejabat dan staf daerah untuk:
• Memanfaatan alat P3BM dalam mengidentifikasi, merumuskan program dan
mengalokasikan anggaran secara konsisten –keserasian perencanaan dan
pengangaran- dan tepat sasaran dalam konteks penanggulangan kemiskinan.
• SDM yang sudah dilatih dapat dioptimalkan meskipun jabatan belum sesuai
kompetensinya.
• Adanya penyepakatan sumber data yang akan digunakan yang diwujudkan
dengan pembentukan sekretariat data bersama.
• Untuk mengatasi persoalan mutasi, para alumni pelatihan diikat dengan
penugasan khusus dari kepala daerah, atau melalui pelembagaan pelatihan di
tingkat daerah.
• Mendukung program-program dan alokasi anggaran yang berdampak nyata
dalam pengentasan kemiskinan.
Selain oleh pemerintah, alat P3BM juga dimanfaatkan oleh LSM lokal yang bergerak
di bidang tata pemerintahan. Bersama dengan alat-lata lain, alat P3BM memperkuat
LSM lokal dalam memantau dan melakukan advokasi alokasi anggaran pemerintah.
Fakta ini menunjukkan bahwa P3BM sebaiknya dilatihkan juga kepada LSM lokal
25
bersama-sama dengan staf pemerintah. Akan lebih baik jika basis data juga
dibangun secara kolaboratif dengan melibatkan LSM, program lain di daerah
tersebut, dan organisasi komunitas yang telah lama dibentuk oleh PNPM.
Implementasi program P3BMakan memiliki eskalasi yang lebih besar jika
bersinergi dengan program lain baik yang bergerak di bidang pengembangan
komunitas –misalnya PNPM- maupun reformasi kelembagaan pemerintah daerah.
Dengan demikian maka kerja-sama implementasi P3BM dengan program lain
menjadi penting dalam konteks difusi alat-alat ini dalam program-program yang
lebih teknis dan sektoral (program peningkatan infrastruktur komunitas,
pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya).
P3BM sebagai instrumen teknokratis juga dapat dikombinasikan dengan
pendekatan ‘bottom up’. Dalam hal ini, alat P3BM dapat membantu komunitas
dalam memahami persoalan yang mereka hadapi dan merancang proposal program
yang akan diajukan pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, kedalaman
data P3BM sampai ke tingkat desa dapat membantu menjembatani antara proses
perencanaan yang berasal dari komunitas (pendekatan partisipatif) dengan
perencanaan yang berasal dari SKPD (pendekatan teknokratis). Demikian juga
diskusi hasil analisis P3BM di tingkat desa akan sangat baik dalam penentuan
prioritas usulan program yang diusulkan oleh desa dalam forum musrenbang desa.
26
6 Rekomendasi
Secara umum seluruh responden meyakini bahwa P3BM layak untuk dikembangkan.
Namun demikian, dengan mencermati uraian sebelumnya, masukan dari responden dan
untuk meningkatkan efektifitas penerapan dan pengembangan alatP3BM dalam upaya
pencapaian target MDGs dan pengurangan angka kemiskinan, maka peneliti
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Kebutuhan atas dukungan kebijakan dan peraturan di tingkat pusat dan daerah:
a) Kebijakan bersama (misalnya Surat Edaran Bersama) antara BAPPENAS,
Kementrian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk menyelaraskan dan
menyusun kebijakan untuk mendukung konsolidasi dan mobilisasi berbagai
sumberdaya yang khusus diperuntukkan bagi bantuan/dukungan terhadap
upaya-upaya pencapaian target MDGs di daerah-daerah, terutama bagi daerah
yang masih jauh dibawah capaian nasional dan menggunakan P3BM sebagai
instrumen utama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu meminimalisir
persoalan kemampuan fiskal daerah bersangkutan. Kebaikan ini diperlukan
karena daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi –capaian
MGDs yang rendah- umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki kapasitas
fiskal daerah yang rendah.
b) Pembentukan tim khusus atau sekertariat yang sifatnya lebih fungsional di
Bappeda tingkat propinsi sebagai perencana untuk mengawal proses pencapaian
target MDGs di Kabupaten/Kota. Tim ini memiliki kewenangan dan tugas untuk
menkonsolidasi berbagai sumberdaya di daerah dan dari pusat serta melakukan
penguatan kapasitas pada daerah dan sektor yang dinilai masih lemah.
c) Optimalisasi peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
(TKPKD) sebagai “forum multi-actor untuk pencapaian MDGs dan
penanggulangan kemiskinan” (pemerintahan, LSM, media, dll) yang terbukti
concern dan bekerja dalam ruang lingkup pencapaian target-target MDGs dan
penanggulangan kemiskinan. Forum ini berfungsi sebagai media dan ruang
untuk saling bertukar informasi dan pembelajaran atas pengalaman serta
koordinasi antar berbagai kegiatan SKPD dan di luar pemerintah. Dalam TKPKD
inilah berbagai data mengenai kemiskinan dikonsolidasikan dan digunakan
sebagai basis bagi penyusunan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan
oleh berbagai pelaku pembangunan yang bekerja di daerah –termasuk program
SKPD, P3BM, PNPM, Program Donor, Program LSM. Melalui proses diharapkan
TKPKD dapat secara efektif mengubah program/proyek daerah yang
terfragmentasi ke dalam sektor pemerintah dan program di luar pemerintah
menjadi ‘tematik’ yaitu menjadikan isu sebagai masalah yang harus dipecahkan
bersama-sama oleh SKPD maupun program di luar pemerintah. Isu tematik
27
inilah yang seharusnya menjadi pembahasan dalam musrenbang forum
gabungan SKPD.
d) Mengintegrasikan hasil scorecard MDGs, pemetaan kemiskinan dan analisis
APBD dengan proses-proses musrenbang mulai dari tingkat desa sampai
kabupaten/kota. Dalam hal ini hasil analisis scorecard MDGs dan pemetaan
kemiskinan harus dipresentasikan dalam forum-forum musrenbang sehingga
dapat mengarahkan peserta dalam menyusun proposal program/kegiatan ke
tingkat yang lebih tinggi. Penyampaian scorecard MDGs dan pemetaan
kemiskinan juga dapat mendorong peserta musrenbang untuk lebih berfikir
strategis dan tematis dalam menyusun program/kegiatan untuk menanggulangi
kemiskinan, bukan usulan-usulan terpisah yang belum jelas target, output,
outcome dan dampaknya.
e) Mendorong DPRD untuk membahas analisis scorecard MDGs dan pemetaan
kemiskinan sebelum pembahasan RAPBD. Proses ini dilakukan agar DPRD
memiliki pemahaman mengenai situasi daerah dalam pencapaian MDGs
sekaligus juga mengorientasikan DPRD agar memprioritaskan program dan
alokasi anggaran sesuai dengan target penanggulangan kemiskinan. Jika proses
ini didahului dengan proses perencanaan bottom up yang baik dan menggunakan
alat scorecard MDGs dan pemetaan kemiskian, maka prioritas komunitas akan
bertemu dengan prioritas DPRD dalam alokasi APBD.
f) Peraturan kepala daerah terkait dengan penugasan khusus terhadap aparatur
yang sudah dilatih, misalnya: ditugaskan menjadi tim supply data untuk
perencanaan dan penganggaran tahunan, keharusan untuk berkoordinasi secara
rutin dan berkala dengan SKPD, tidak melakukan mutasi bagi staf yang memiliki
kompetensi dalam perencanaan dan penganggaran tanpa disertai mekanisme
kaderisasi yang jelas, secara berkala mengunjungi SKPD dan mempresentasikan
hasil analisisnya kepada TAPD dan Badan Anggaran DPRD;
g) Mengantisipasi proses mutasi yang setiap saat terjadi dengan dua cara: (i)
adanya kebijakan khusus yang mendesak bahwa seluruh aktor strategis yang
terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran harus memahami dan
menguasai alatP3BM, bukan hanya terbatas pada tim teknis; dan (ii) fokus pada
penyiapan tim khusus yang posisi dan sifat jabatannya adalah fungsional
perencana, baik di Bappeda maupun SKPD lainnya. Selain itu, kebijakan mutasi
harus didasarkan pada kompetensi yang jelas (“the right man on the right place”);
h) Jika diperlukan, daerah harus mempunyai kebijakan untuk mengawal peserta
yang sudah dilatih agar tidak terkena mutasi. Atau, meskipun harus promosi dan
mutasi, para alumni pelatihan tersebut tetap diberi penugasan khusus atau
wahana untuk mentransfer pengetahuan dan keterampialan kepada
penggantinya.
28
Terkait strategi pelaksanaan program.
P3BM akan efektif jika dikembangkan dalam konteks program pendampingan di
daerah. Dengan kata lain, P3BM tidak akan terlihat efektifitasnya jika dikembangkan
hanya sebagai paket-paket pelatihan tetapi mencakup pendampingan teknis (technical
assistance) yang intensif minimal untuk kurun waktu 1-2 tahun dan prosesnya inheren
pada setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa komponen
penting yang harus dikembangkankan P3BM dalam kerangka program adalah:
a) Pembentukan komitmen dari Kepala Daerah, Kepala Dinas dan Anggota DPRD.
Komitmen –terutama dari kepala daerah- perlu dijadikan sebagai syarat bagi
kehadiran/intervensi program P3BM di daerah tersebut.
b) Format pelatihan dilakukan secara berkelanjutan dan levelnya terus meningkat
dengan jangka waktu tidak terlalu lama. Karena itu peserta pelatihan harus
selektif. Dari sisi pemerintah, peserta yang dipilih adalah yang memiliki tugas
untuk menyusun perencanaan dan anggaran serta anggota Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD).
c) Ada kegiatan reguler untuk melihat dan memperbaharui capaian SKPD dengan
menggunakan alat P3BM;
d) Melibatkan propinsi baik dalam pelatihan maupun dalam pemantauan kegiatan
P3BM di kabupaten/kota. Keterlibatan propinsi terutama adalah sebagai peserta
pelatihan, pelatih dan juga monitoring capaian MDGs di kabupaten/kota.
e) Memperluas peserta pelatihan bukan hanya dari pejabat dan staf pemerintah
tetapi juga dari propinsi, perguruan tinggi, BPS, organisasi komunitas, pelaksana
PNPM dan aktivis LSM. Selanjutnya peserta dari propinsi, perguruan tinggi, BPD
dan LSM dapat dilibatkan sebagai pelatih dan pendamping. Provinsi harus
dilibatkan dalam pelatihan dan monitoring kegiatan P3BM di tingkat kabupaten
dan memperbaiki data dan informasi kemiskinan kabupaten;
f) Para alumni pelatihan diwadahi dalam forum/tim data daerah dan diberi
wahana untuk mentransfer pengetahuannya kepada peer group yang mungkin
akan menggantikan posisinya jika dia dimutasi.
g) Pengembangan jaringan kerja sama dengan program-program pengentasan
kemiskinan yang berbasis komunitas –misalnya PNPM- dan lembaga donor yang
bekerja di daerah untuk menjembatani perencanaan bottom up dengan
perencanaan teknokratis yang dikembangkan SKPD. Kerja sama ini terutama
penting untuk mendukung integrasi perencanaan (‘satu perencanaan untuk
semua’). Dalam proses integrasi perencanaan ini, maka hasil analisis balance
scorecard dan pemetaan kemiskinan bisa menjadi rujukan bersama untuk
mengidentifikasi masalah, merumuskan prioritas program dan alokasi anggaran.
h) Adanya program khusus bagi daerah peserta program P3BM oleh Bappenas
untuk sharing pengalaman dalam meningkatkan kualitas perencanaan dan
penganggaran di tingkat nasional. Hal ini bisa mencakup kegiatan reguler untuk
mereview dan mengupdate capaian SKPD dalam memanfaatkan alat P3BM;
29
Terkait materi pelatihan
Pelatihan adalah materi utama dalam P3BM. Beberapa aspek yang perlu dikembangkan
untuk memperkaya materi pelatihan adalah:
a) Perlu pendalaman materi analisis anggaran karena pada pelatihan sebelumnya
kurang begitu mendalam. Di dalamnya mencakup juga analasis realokasi
anggaran, analisis kemampuan fiskal daerah, dan penelusuran anggaran (budget
tracking).
b) Untuk mengintegrasikan program komunitas/desa dengan SKPD maka balanced
scorecard dan poverty mapping sebaiknya dibuat sampai dengan satuan wilayah
desa;
c) Mengaitkan target pencapain MDGS dengan SPM (Standard Pelayanan
Minimum), karena dari sisi regulasi daerah lebih terikat dengan SPM.
d) Perlu tambahan materi tentang tabel indikator program kegiatan di SKPD (input,
output, outcome, impact); sehingga lebih mudah untuk tracking pendanaan dan
belanja SKPD
e) Proses ini perlu dikaitkan dengan pengelolaan basis data, indikator MDGs dan
siklus perencanaan penganggaran daerah;
f) Perlu dilaksanakan finalisasi dan percobaan (pilot) modul monitoring.
Untuk mengembangkan materi pelatihan dan penyampaian dari program-program di
atas, tidak dapat dihindari pelaksana program P3BM harus juga mengembangkan
jaringan dengan pelaku program lain di daerah misalnya PNPM. Ini terutama untuk
memudahkan difusi alat-alat P3BM ke dalam skema program lain dan kepada sistem
perencanaan dan penganggaran reguler.
30
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar Dokumen
1. Bappenas, Alat Analisia Tepat Guna untuk Perencanaan dan Penganggaran yang
Berpihak pada Masyarakat Miskin, April 2010.
2. Bappenas dan UNDP, Laporan Akhir P3BM Tahun 2009, Desember 2009.
3. Bappenas dan UNDP, Laporan Akhir P3BM Tahun 2009, Desember 2009.
4. Bappenas, Handbook Pro-poor Planning and Budgeting, Mei 2008
5. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Juli 2009.
6. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Agustus 2009.
7. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Oktober 2009.
8. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi November 2009.
9. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Januari 2010.
10. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 1 – Mataram,
November 2008.
11. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 2– Kupang,
Maret 2008.
12. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional Seri 1 tahap
2– Lombok Barat, Maret 2008.
13. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 2– Kupang,
Desember 2009.
14. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 3– Kendari,
Juni 2009.
15. Bappenas dan ADB, Improving Local Government Planning for Enhance Poverty
Reduction: Central Java, South Sumatera and NTT, April 2008
31
Lampiran 2: Matriks Analisis hasil survey di 9 Daerah
I. Pelaksanaan Pelatihan dan Kontribusi P3BM
Lokasi Pelaksanaan Pelatihan P3B/M Kontribusi P3B/M
1. Sikka Pelaksanaan pelatihan: pada Mei 2009 di Hotel
Pelita, Maumere dilaksanakan selama 5 hari.
Peserta pelatihan sebanyak 30 orang. Mayoritas
staf perencana di masing-masing SKPD.
- Membantu penyusunan Renstra dan Renja SPKD
menjadi lebih terarah.
- Menjadi inspirasi dilakukannya studi tentang
kemiskinan daerah oleh Pusat Studi Perencanaan
Pembangunan Regional UGM bekerja sama dengan
Bappeda Sikka tahun 2009
- Meningkatkan koordinasi tim perencana antar SKPD
(khususnya alumni pelatihan)
2. Manggarai Pelaksanaan pelatihan:
- 2007: pelatihan pro poor planning and
budgeting, materinya;Identifikasi kebutuhan
masyarakat, pohon masalah, alokasi anggaran
berdasarkan kebutuhan
- 2008: pengenalan score card MDGs,
pelatihan pembuatan peta GIS di Bappeda
(umum). Semua dinas membawa data,
contoh: sebaran kawasan hutan dan analisias
anggarannya
- 2010: dilaksanakan bersama-sama dengan
Kab. Manggarai Timur di Hotel Dahlia,
Ruteng, materinya: Pivot, Arc-GIS untuk
pembuatan peta kemiskinan., Score card
MDGs..
- Menginspirasi beberapa SKPD untuk membuat peta
sektoral sebagai basis data untuk perencanaan dan
monitoring capaian program (Dinkes, Dinas Bina
Marga).
3. Timor
Tengah
Selatan
- Mei 2009. Dulu ada expert dari GED
(Jerman) yang membantu. Peta tematik
menggunakan data kemiskinan dengan alat
Arc-GIS, Pivot analisis, menggunakan excel
untuk analisis anggaran dan monev.
- Alat analisis P3BM dijadikan tools untuk
memperkuat Sekber dalam melakukan perencanaan
dan monev program.
4. Sumba Barat
Daya - Juni 2009, pelatihan tools P3BM di Aula
Seruni dibiayai pusat. Diikuti 25-30
orang.Materi mencakup simulasi membuat
peta data kemiskinan, pivot untuk analisis
anggaran dan program, balanced scorecard
MDGs. Masalahnya, data kurang dan tidak
ada laptop
- Juni 2010, pelatihan tools P3BM di Aula
SMK Pancasila dibiayai APBD. Diikuti 30
orang (ada tambahan peserta baru), materi
sama, data dari SKPD, training monitoring
dan pemutakhiran, ada data dan laptop, ada
pre-test
- Desember 2010, pelatihan database MDGs di
aula SMK Pancasila dibiayai APBD.
Monitoring dan evaluasi basis data, TOT dan
lokakarya data pencapaian MDGs
- Memperkuat pelaksanaan program Desa Bercahaya,
Desa Berkecukupan Pangan, Desa Berkecukupan
Air, Desa Aman dan Tertib khususnya dalam
menentukan lokasi sasaran program (APBD 2011)
5. Lombok
Barat
- Pelaksanaan pelatihan: Mei 2008 - Memperkuat inisiatif lokal yang sudah ada yaitu
program Gerakan Terpadu Bangun Desa
- Peningkatan alokasi anggaran untuk pencapaian
MDGs (2008: 19,2%, 2009: 22,6%, 2010: 22%
6. Sumbawa
Barat
Pelaksanaan pelatihan: November 2010 - Memperkuat inisiatif lokalyang sudah ada yaitu
Program Berbasis RT dan Dana Stimulan Ekonomi
32
Lokasi Pelaksanaan Pelatihan P3B/M Kontribusi P3B/M
7. Pekalongan - Pelaksanaan pelatihan: 21-23 Mei 2011,
pelatihan alat P3BM dilaksanakan oleh
Bappeda atas dorongan Korkot PNPM
Perkotaanyang mengenal P3B dari KMP
PNPM Perkotaan. Diikuti oleh sekitar 30
orang staf perencanaa dari berbagai SKPD.
Materi pelatihan sebagian besar tentang
poverty mapping. Diperkenalkan juga
MDGs scorecard dan pivot analysis.
- Menjadi media konsolidasi dan sinergisasi
perencanaan reguler dan PNPM:
- Akan digunakan untuk memperkuat proses
perencanaan ditingkat kelurahan/desa melalui
program PNPM
- Akan dibuat laporan capaian MDGs skala desa
8. Kota Bau
Bau
- Pelaksanaan Pelatihan: Desember 2009 di
Ruang Rapat Bappeda dengan materi
poverty mapping, scorecard MDGs dan
Pivot Analysis.
- Menjadi materi dasar pelaksanaan program BASIC
(CIDA) dari tahun 2011-2014 untuk sektor
kesehatan dan pendidikan.
- Kesehatan: gizi buruk dan penyakit pencegahan
penyakit menular, termasuk pembuatan peta sebaran
penyakit malaria dan DB.
- Pendidikan: pemberantasan buta huruh, termasuk
pembuatan peta angka putus sekolah/buta aksara (by
name, by address)
9. Wakatobi - Dimulai dengan kegiatan lokakarya yang
langsung diikitu oleh Buppati. Pelaksanaan
pelatihan tahun 2010 dengan peserta dari
Bappeda dan Kasubsi Perencanaan Program
di SKPD-SKPD. Materi pelatihan mencakup
balance scorecard, pemetaan kemiskinan dan
analisis SPBD. Dilanjutkan dengan
pengembangan basis data MDGs melalui
pembentukan sekretariat bersama.
- Menginspirasi pembentukan sekretariat data
bersama, penyusunan program di berbagai SKPD
dan analisis APBD.
- Alokasi APBD dipublikasikan kepada masyarakat
dan menyandingkannya dengan persoalan
keminskinan dan capaian MDGs.
- Menginspirasi penyusunan RPJMD tahun 2011.
II. Pemanfaatan Alat-alat P3BM
Lokasi Pemanfaatan dalam Perbaikan
Basis Data
Pemanfaatan dalam Proses
Perencanaan Penganggaran
Pemanfaatan dalam Perbaikan
Kualitas Dokumen Perencanaan
1. Sikka - Alumni pelatihan diorganisir
dalam Kelompok Pecinta GIS
Sikka oleh Bappeda untuk
mendukung upaya perbaikan
basis data daerah
- Tahun 2011, dilakukan
pelatihan penyegaran tentang
P3BM bagi para alumni peserta
pelatihan sebelumnya
- Hasil analisis sebagai input
musrenbang, penyusunan
renja SKPD dan proses
konsultasi dengan DPRD.
Hasil pemetaan kemiskinan
menjadi dasar penyusunan
dokumen Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
Daerah
2. Manggarai Dinas Kesehatan melakukan
update data sebaran fasilitas
kesehatan dan sebaran
penyakit
3. Timor
Tengah
Selatan
Para alumni pelatihan
terkoordinasi dalam sekretariat
bersama yang tugasnya
memperkuat basis data daerah
Setiap tahun, Sekber
melakukan permbaharuan data
kemiskinan bersumber dari
data BKPP, bukan BPS
Hasil analisis sebagai input
dalam proses perencanaan
program (musrenbang dan
proses konsultasi dengan
DPRD)
Realokasi anggaran
perjalanan dinas luar daerah
untuk belanja publik pada
APBD 2010
Alat koordinasi perencanaan,
monitoring dan evaluasi
terhadap aktivitas program
hasil pivot analysis untuk dasar
perumusan alokasi APBD 2010
dan 2011
33
Lokasi Pemanfaatan dalam Perbaikan
Basis Data
Pemanfaatan dalam Proses
Perencanaan Penganggaran
Pemanfaatan dalam Perbaikan
Kualitas Dokumen Perencanaan
pemerintah daerah dan NGO
melalui pembentukan Sekber
Alat evaluasi Kepala Daerah
terkait capaian program,
realisasi pendapatan dan
belanja SKPD
4. Sumba Barat
Daya Ada alokasi dana untuk
pembentukan Forum data
berupa dukungan prasarana
bagi 6 orang alumni pelatihan
dari Bappeda padat APBD TA
2011.
Pembentukan Tim Basis Data
Penyusunan sistem database
MDGs dan database program
pembangunan
Alat evaluasi Kepala Daerah
terkait capaian program,
realisasi pendapatan dan
belanja SKPD
5. Lombok
Barat
Kenaikan alokasi anggaran
pencapaian target MDGs,
2008: 19,2%, 2010: 22%)
6. Sumbawa
Barat
7. Pekalongan Pernah akan dipraktekkan di
DPU untuk pembuatan peta
sanitasi dan air bersih.
Analisis data dengan
menggunakan alat P3B pernah
dipublikasikan menjadi salah
satu materi dalam LKPJ akhir
masa jabatan bupati.
Di BLK, dipraktekan untuk
menginventarisir peserta
pelatihan per kecamatan.
Ada perbedaan data antara
data SKPD dengan data
statistik dari BPS. Contoh:
jumlah fakir miskin.
Mendukung program pagu
anggaran indikatif
kewilayahan yang mulai
diterapkan 2011
8. Kota Bau
Bau Hasil analisis P3BM
ditampilkan sebagai informasi
dalam Profil Bau Bau dan
Profil Kesehatan 2010/2011.
Bekerjasama dengan BPS
akan melakukan survey
penduduk miskin
-
9. Wakatobi Ada SK Bupati untuk
pengembangan sekretariat data
bersama.
Dipraktekkan di dalam
pengembangan basis data di
Dinas Tata Ruang untuk
pendataan desa.
Menjadi dasar bagi realokasi
APBD pada TA 2010.
Hasil analisis scorcare
diumumkan secara luas
kepada masyarakat.
Capaian MDGs dan SPM
menjadi dasar penyusunan
program SKPD.
Capain MDGs dan SPM
menjadi dasar bagi penetapan
prioritas program dan alokasi
anggaran.
MDGs dan SPM menjadi
kriteria utama dalam
menetapkan program-program
RPJMD 2011.
III. Pembelajaran dan Rekomendasi
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
1. Sikka - P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan - Peningkatan pemahaman para kepala SKPD
34
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
anggaran,
- Faktor penghambat: ketersediaan sarana
pendukung (seperti: laptop, data dari SKPD), tidak
diakuinya data SKPD padahal lebih akurat karena
di update tiap tahun (yang diakui data BPS
padahal kurang upto date), kualitas SDM
- Faktor pendukung: political will dan komitmen
dari pimpinan daerah untuk membangun dari
bawah
- Alat pemetaan P3BM belum menggambarkan
kondisi topografis/kemiringan untuk input
perencanaan program infrastruktur (jenis
bangunan, dll) harus tambah GPS.
- Membantu menghasilkan database yang bagus
sehingga menjadi lebih terukur
- Prioritas program dan alokasi anggaran didasarkan
pada data (lebih matang) dan mudah untuk
evaluasi
- Hambatan: mutasi dan tidak terkonsolidasi
- Kesulitan: kesibukan dan ketiadaan anggaran.
terhadap manfaat tools P3BM, kapasitas teknis
untuk aparat yang tidak ikut pelatihan,
pengembangan manajemen data MDGs di tiap
SKPD.
- Perbup untuk mengukur kinerja SKPD,
termasuk capaian MDGs
- Penguatan kontrol kegiatan dan koordinasi
antar SKPD oleh Bappeda.
- Perlu pendampingan intensif dan pertemuan
rutin selama 1-2 tahun, materi pelatihan harus
lebih banyak terapan.
- Perlu pelatihan lanjutan/ulangan, fasilitas yang
adaptif terhadap perubahan di kabupaten
(seperti peta terbaru, dll).
- Perlu penguatan tim (Kelompok Pecinta GIS)
agar kuat dan solid dengan memanfaatkan
Perda No. 4/2008 tentang pembagian tugas dan
kewenangan SKPD.
- Sosialisasi MDGs disemua level (pemerintah,
masyarakat, DPRD)
- Ada momen reguler untuk melihat/up date
capaian SKPD dengan menggunakan tools
P3BM, misal: semesteran atau pada akhir tahun
anggaran
- Tools pivot; perlu diajarkan lagi untuk
menampilkan data agar lebih komunikatif
- Perlu tambahan materi siklus perencanaan dan
penganggaran
- Perlu tambahan materi GPS
- Perlu tambahan program analysis di Arc-Gis
- Program mapping harus sampai desa
2. Manggarai - Kelebihan P3BM: menampilkan data/informasi
dengan cukup informatif, mudah di update,
mempermudah dan mempercepat untuk pelaporan
- Kekurangan P3BM: kurang detil. Kalaupun detil,
hasilnya tidak informatif karena informasinya
menumpuk, update tidak terkontrol
- Faktor penghambat: mutasi, beban kerja, belum
data minded dalam perencanaan penganggaran,
konsistensi untuk selalu memperbaharui data,
sistem/kebijakan daerah belum memprioritaskan
P3BM, keterbatasan SDM, “gaptek”, orang yang
dikirim selalu sama, software yang diberikan
bukan asli/original
- Faktor pendukung: semangat dan motivasi untuk
mengentaskan kemiskinan, SDM tersedia
meskipun jabatan belum sesuai kompetensinya,
kesiapan peserta terlatih untuk concern dalam
pemanfaatan alat P3BM, tidak “gaptek”, pelatihan
yang kontinu
- Tertarik untuk diaplikasikan dalam penyusunan
perencanaan, evaluasi dan pelaporan kegiatan
- Data itu penting, teknologi (menguasai dan
mendalami) adalah hal baru.
- Komitmen pimpinan yang tertuang dalam
regulasi (pemda-DPRD) mengenai prioritas
penanggulangan kemiskinan.
- Penguatan TKPKD untuk penanggulangan
kemiskinan.
- Daerah harus punya kebijakan untuk mengawal
peserta yang sudah dilatih tersebut agar tidak
terkena mutasi.
- Satker PNPM harus dilibatkan dalam kegiatan
P3BM.
- Transparansi dan akuntabilitas mekanisme
perencanaan penganggaran bagi eksekutif dan
legislatif.
- Perlu kebijakan seperti Bintek Perpres 54/2010.
- Ada badan khusus yang mengawal.
- Perlu SK Bupati untuk menaungi asosiasi
alumni pelatihan
- Memberikan basis data ke-PU-an yang benar
sebagai dasar perencanaan program
- Sosialisasi kepada semua SKPD
- Menjaga konsistensi antara tools dengan
perencanaan penganggaran di SKPD hasil
analisis tools tsb harus tercermin dalam
program dan kegiatan di SKPD
- Strategi program:
- Perlu ada pendampingan & TA, tidak
hanya pelatihan. Harus masuk dalam
proses perencanaan penganggaran (ikut
35
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
dalam proses)
- Tiap kabupaten ada yang
dimagangkan/dididik khusus oleh
Bappenas untuk meningkatkan kualitas
perencanaan penganggaran
- Pelatihan yang berkelanjutan dan
bertingkat, jarak waktu tidak terlalu
jauh1 tahun bisa 2-3 kali
- Ada pendampingan day to day pada saat
pengumpulan dan analisis data, termasuk
evaluasi perencanaan program dan
anggaran.
- Materi pelatihan:
- Menentukan/membuat tabel indikator
program kegitan di SKPD (input, output,
outcome, benefit)
- Pengetahuan ttg MDGs dkaitkan dengan
perencanaan penganggaran daerah.
- Pendalaman GIS untuk perencanaan dan
monitoring program.
- Lebih spesifik berdasarkan sektor
tertentu dengan menggunakan Arc-Gis.
3. Timor
Tengah
Selatan
- TTS adalah daerah yang tidak mampu tapi
terkesan menghambur-hamburkan uang. Tools ini
membantu agar uang digunakan lebih berharga
(efektif).
- Membuka cara berfikir untuk merencanakan
menjadi lebih terarah (program dan anggaran)
dalam hal penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan kualitas SDM. Mengarahkan SKPD
agar membuat perencanaan sesuai dengan Renstra.
- Digunakan untuk input revisi RPJMD 2009-2014.
- Kekurangan:
- Sangat tergantung pada elektronik
(komputer based).
- Software tidak original ada aplikasi-
aplikasi yang tidak bisa digunakan.
- Tidak bisa melakukan tracking anggaran
(baru tracking alokasi)
- Faktor penghambat:Komitmen pimpinan yang
rendah, mutasi pegawai.
- Faktor pendukung:Insiatif dari aktivis sekber.
- Penguasaan terhadap aturan/regulasi
baru/perubahan regulasi.
- Aparat-aparat perencana harus punya
setifikat/dilatih khusus tentang perencanaan.
- Fasilitas dan SDM pengelolaan data harus
melekat ke SKPD/Bappeda.
- Harus ada forum musrenbang data untuk
mengukur capaian kinerja
- Pusat dan daerah membuat komitmen jangka
panjang (5 tahun) termasuk personil dan cost
sharing.
- Peran Bappeda: pada saat rancangan RKPD,
membuat arahan-arahan sesuai hasil analisis
dari tools P3BM
- Perlu pelatihan lanjutan/penyegaran, MoU,
pendampingan. Orang yang sudah dilatih harus
diberi tugas secara formal didasari keputusan
bupati. Misal: menjadi tim supply data untuk
perencanaan penganggaran tahunan, ada waktu
pertemuan rutin, datang ke SKPD dan
mempresentasikan hasil analisisnya. Hal ini
akan menjadi input bagi TAPD dan Banggar.
4. Sumba Barat
Daya
- Bisa mengetahui ketepatan dari proses dan target
perencanaan penganggaran, terutama lokasi.
- Kekurangan: dalam perencanaan penganggaran,
banyak faktor “x” di DPRD (politik anggaran).
- Penghambat: tidak ada SDM yang fokus
menangani ini, mutasi
- Pendukung: SDM yang sudah dilatih dapat
dioptimalkan
- Menambah nilai jual/nilai tambah; membantu
presentasi dengan tampilan yang baik yang
menggambarkan kondisi daerah
- Bisa diketahui gambaran kebijakan yang sudah
berjalan sehingga bisa jadi alat koreksi dan
evaluasi untuk merumuskan arah kebijakan baru
- Jika tools ini digunakan dengan benar, ada alasan
- Strategi pelaksanaan program:
- Pembimbingan/pendampingan
- Ada wadah tim data di daerah
- Materi:
- Menghubungkan indikator MDGs dengan
data, terutama untuk SKPD
“kemakmuran” (ekonomi) (Dinas
Peternakan, Perikanan, Kehutanan,
Koperasi, Ketahanan Pangan, BLH)
- Bagaimana menyediakan data yang
akurat (pelatihan dan konsolidasi potensi
yang ada).
- Sebelum sidang anggaran,perlu disosialisasikan
ke DPRD hasil analisis menggunakan tools
P3BM untuk mengevaluasi kinerja eksekutif.
36
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
untuk argumentasi SKPD ketika berkonsultasi
dengan Bappeda dan DPRD
- Menampilkan data yang lebih baik
- Kemampuan untuk mengolah dan analisis data
sehingga menjadi rumusan program dan kegiatan
yang sesuai dan menjawab persoalan daerah.
- Perlu ada kebijakan khusus tentang penerapan
tools P3BM untuk melengkapi data sebelum
proses perencanaan penganggaran.
5. Lombok
Barat
- Mendukung program Gardu Bangdes (Gerakan
Terpadu Bangun Desa) sebagai upaya untuk
mempercepat capaian target MDGs.
- Dalam bidang sosial, program terobosan yang
dilakukan adalah sinergitas peningkatan IPM
melalui gerakan pendidikan untuk semua (Duta),
sadar kesehatan (Sahat), dan sadar aksara (Dara).
Kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan, gratis,
revitalisasi lembaga kesehatan tradisional, koran
berita desa, getas melalui kelompok pengajian, dan
pembangunan politeknik “patut patuh patju”.
- Anggaran yang dialokasi untuk pencapaian target
MDGs pada tahun 2008 adalah sebesar 19,2% dari
APBD kemudian meningkat menjadi masing-
masing 22,6% dan 22,0% pada tahun 2009 dan
2010.
- Ada ketidakpastian atau keberlanjutan posisi dan
karir aparat birokrasi. Setiap saat mereka harus
menghadapi proses mutasi dari satu posisi ke
posisi lainnya dalam waktu yang relaitf singkat.
Dampaknya adalah proses konsolidasi untuk
pengembangan tools P3BM secara lebih sistemtik
sulit dilakukan
- Pada tataran lebih teknis, para peserta training
tidak mampu pengoperasian lebih lanjut software
dan metoda analisis karena: (i) kegagalan proses
instalasi software yang mereka lakukan dan tidak
ada rujukan tempat untuk bertanya untuk
mengatasi kegagalan proses instalasi ini: (ii)
sekalipun instalasi software berhasil, tapi terjadi
kegagalan berulangkali ketika mencoba
mengoperasikannya; (iii) adanya keterbatasan
fasilitas computer karena seringkali ketika terjadi
mutasi software dan hardware nya juga ikut
berpindah; (iv) keterbatasan kemampuan dan
peralatan untuk mengupdate base map yang lebih
terinci karena pada saat training digunakan base
map yang telah jadi dan skalanya makro; (v)
kebingungan dalam penggunaan data dari berbagai
sumber yang seringkali tidak sinkron; (vi)
kemampuan yang dilatihkan fokus pada bagaimana
caranya mengkalasifiksai dan menampilkan data,
tidak pada bagiamana cara mengupdate, mengolah
dan menganalisa data
- Penggunaan tools P3BM tidak cukup
dikembangkan untuk membongkar secara
mendasar pilihan-pilihan strategi dan pendekatan
secara sistemik untuk mengatasi persoalan
kemiskinan. Padahal dari pemetaan dan
identifikasi struktur persoalan yang menjadi dasar
penyusunan prioritas seharusnya lebih jauh dipakai
untuk membongkar perspektif dan kerangka
berfikir mengenai strategi dan pendekatan dalam
- Perlu adanya upaya mengantisipasi fenomena
proses mutasi yang setiap saat terjadi dengan 2
cara: (i) adanya kebijakan khusus yang
mendesak bahwa seluruh aktor strategis yang
terlibat dalam proses perencanaan dan
penganggaran harus memahami dan menguasai
tools P3BM, bukan hanya terbatas pada tim
teknis; dan (ii) fokus pada penyiapan tim
khusus yang sifatnya posisi atau jabatan
fungsional perencana, baik di Bappeda maupun
di SKPD-SKPD lainnya.
- Seharusnya ada proses pengawalan, pemberian
technical assistance dan bantuan fasilitas-
fasilitas pendukung, minimal untuk 3 tahun
proses perencanaan dan penganggaran. Dengan
pengawalan tiga tahun ini dipandang cukup
memadai untuk membangun system dan tradisi
secara lebih berkelanjutan (Ka Bappeda NTB,
Sekr.Bappeda Lombok Barat dan Pa Idrus);
- Pada level kebijakan nasional, harus ada
terobosan untuk:
- Membuat SKB 3 Menteri (Bappenas, Kuangan
dan Depdagri) untuk menyelaraskan dan
menyusun pengaturan ulang terkait dengan
kebijakan-kebijakan: system perencanaan dan
penganggaran, system pengolaan keuangan
daerah, penyelenggaraan desentralisasi/otonomi
daerah dan pengaturan postur birokrasi pada
pemerintahan daerah;
- Mengkonsolidasi dan memobilisasi berbagai
sumberdaya yang kemudian khusus
diperuntukkan bagi bantuan/dukungan terhadap
upaya-upaya pencapaian target MDGs di
daerah-darah, terutama bagi daerah yang masih
jauh dibawah capaian nasional. Hal ini untuk
membantu meminimalisir persoalan
kemampuan fiscal daerah bersangkutan;
- Pada level kebijakan propinsi dan kabupaten,
perlu dilakukan:
- Pembentukan tim khusus yang sifatnya lebih
fungsional di Bappeda tingkat propinsi sebagai
perencana untuk mengawal proses pencapaian
target MDGs. Tim ini memiliki kewenangan
dan tugas untuk menkonsolidasi berbagai
sumberdaya di daerah dan dari pusat dan
melakukan penguatan-penguatan kapasitas pada
sektor dan daerah yang dinilai masih lemah;
- Dikembangkannya semacam “forum multi-
aktor pro-poor dan MDGs” (pemerintahan,
LSM, media, dll) yang terbukti concern dan
bekerja dalam ruang lingkup pencapaian target-
target MDGs. Forum Mutli-Aktor Pro-Poor dan
MDGs ini berfugnsi sebagai media dan ruang
37
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
upaya pengurangan kemiskinan. Misalkan, tools
P3BM tidak sampai pada membongkar persoalan
mendasar terkait dengan 3 keterlambatan
pola/langgam kerja pemerintahan daerah, yaitu: (i)
lambat dalam pengambilan keputusan; (ii) lambat
dalam mobilitas; (iii) lambat melakukan penangan.
- Tidak cukup tersedia ruang dan keleluasaan untuk
pengimplementasian tools P3BM dalam proses
perencaan dan penganggaran. Hal ini disebabkan
adanya keterbatasan fiscal yang berdampak pada
pengalokasian pagu inidikatif setiap SKPD.
Alokasi ini harus dihadapkan pada pengalokasikan
untuk operasional SKPD, usulan dari Musrenbang
Kecamatan dan ‘titipan’ dari para anggota
legistaltif yang biasanya fokus pada sarana
prasarana fisik (FGD KSB dan KLB).
untuk saling bertukar informasi dan
pembelajaran atas pengalaman serta koordinasi
antar berbagai kegiatan;
- Pendekatan tidak hanya bertumpu pada sekali
dua kali pelatihan tanpa pengawalan lebih
lanjut. Tapi harus ada skema pendampingan
melalui pemberian asistensi teknis yang dapat
diakses setiap saat dan bantuan pengadaan
fasilitas pendukung untuk pembaruan dan
analisis data dan informasi baik secara kuatitatif
maupuan secara spasial;
- Memperluas target group program dari hanya
terfokus pada pemerintah kabupaten ke
pemerintahan propinsi, legislatif dan kalangan
CSOs;
- Meningkatkan koordinasi dan konsolidsai
dengan berbagai pihak yang mengembangkan
berbagai program dan tools untuk pencapaian
target MDGs dan pengurangan kemiskinan, baik
dari kalangan pemerintah, lembaga donor
maupun kalangan organisasi masyarakat sipil;
- Target pengembagan kapasitas lebih diarahkan
pada kemampuan untuk menyusun strategi
mendasar untuk penanggulangan kemiskinan
serta kemampuan untuk mengupdate, mengolah
dan menganalisis data.
6. Sumbawa
Barat
- Kendala dalam proses implementasi tools P3BM
terkait dengan tarik-mernaik kepentingan dan
kompleksitas dalam hal sinkronisasi 3 sistem yan
terkait, yaitu: (i) sisem perencanaan pembangunan
yang telah memiliki alurnya sendiri dari
Musrenbang Desa/Keluruhan, Kecamatan sampai
dengan Kabupaten; (ii) system perencanaan yang
dikembangkan oleh PNPM yang menawakan
kejelasan alokasi anggaran: (iii) system politik
lokal yang lebih mengedepankan proses kompromi
dan pemenuhan aspirasi basis konstituen para
pejabat dan politiuks lokal.
- Pada tataran lebih teknis, para peserta training
tidak mampu pengoperasian lebih lanjut software
dan metoda analisis karena: (i) kegagalan proses
instalasi software yang mereka lakukan dan tidak
ada rujukan tempat untuk bertanya untuk
mengatasi kegagalan proses instalasi ini: (ii)
sekalipun instalasi software berhasil, tapi terjadi
kegagalan berulangkali ketika mencoba
mengoperasikannya; (iii) adanya keterbatasan
fasilitas computer karena seringkali ketika terjadi
mutasi software dan hardware nya juga ikut
berpindah; (iv) keterbatasan kemampuan dan
peralatan untuk mengupdate base map yang lebih
terinci karena pada saat training digunakan base
map yang telah jadi dan skalanya makro; (v)
kebingungan dalam penggunaan data dari berbagai
sumber yang seringkali tidak sinkron; (vi)
kemampuan yang dilatihkan fokus pada bagaimana
caranya mengkalasifiksai dan menampilkan data,
tidak pada bagiamana cara mengupdate, mengolah
dan menganalisa data
- Untuk menjembatani ketiga proses perencanaan,
Kabupaten Sumbawa Barat perlu merancang
peraturan daerah tentang perencanaan dan
penganggaran daerah yang didalamnya
mencakup: 1) pengintegrasian proses partisipatif
dengan penggunaan alat-alat P3BM untuk
penanggulanan kemiskinan mulai dari tingkat
desa; 2) peran pemerintah daerah dalam
mendukung program-program pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah
pusat, termasuk PNPM; dan 3) pengintegrasian
proses perencanaan partisipatif dengan proses-
proses politik oleh DPRD.
- Perlu dibentuk ’kelompok kerja P3BM’ di
tingkat daerah yang bertugas untuk: mengatasi
masalah teknis dari P3BM, termasuk sofware
dan pengoperasiannya, mgnkonsolidasi sumber-
sumber data untuk pemantauan MDGs,
memantau dan meng-update data kemajuan
MDGs, dan memberikan masukan terhadap
dokumen perencanaan/penganggaran untuk
pencapaian MDGs. Kelompok kerja ini melekat
di Bappeda/TKPKD.
38
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
- Seringkali aturan-aturan pada tingkat nasional
yang penghambat terhadap upaya terobosan dan
invoasi pendekatan dalam penanggulangan
kemiskinan. Misalkan pengalaman Pemda
Kabupaten Sumbawa Barat. Bupati berani
melakukan terobosan-terobosan dengan melakukan
program rehabilitasi rumah masyarakat
miskin/pra-sejahtera dan bantuan sapi untuk
peternak. Program ini berbuntut menjadi temuan
BPK karena terjadi polemik pada nomenklatur
apakah masuk kedalam belanja modal yang
dampaknya bahwa bantuan-bantuan tersebut
menjadi asset pemerintahan atau bantuan sosial
yang implikasinya sulit untuk membiaya skema
pendampingannya. Terobosan yang dilakukan
kemudian adalah proses pelimpahan asset
pemerintahan untuk periode waktu tertentu agar
dapat dialokasikan juga angaran untuk
pendampingannya.
- Pada proses pemberian asistensi penyusunan
RPJMD yang terkait dengan MDGs belum dapat
memberikan asistensi secara maksimal, hal ini
disebabkan karena SKPD di desak oleh
waktu/DPRD untuk segera menyerahkan ke DPRD
walaupun waktunya tidak sesuai dengan jadwal
semula. Hal ini disebabkan karena masa kerja
anggota DPRD yang akan berakhir.
7. Pekalongan - Bisa memperkuat analisis awal kemiskinan
(Participatory Poverty assessment) yang dilakukan
oleh PNPM
- Baru terpilih bupati baru dan sedang dalam proses
penyusunan RPJMD. Tools ini dapat dimanfaatkan
dalam proses penyusunan RPJMD.
- Mempermudah pemetaan dengan syarat data
tersedia
- Mengajak masyarakat menentukan prioritas
program sesuai warna (dulu menggunakan
peringkat 1-5)
- Memudahkan pengalokasian anggaran
- Mempermudah analisis untuk formasi PNS
(tenaga-tenaga fungsional)
- Peta potensi daerah menjadi mudah terlihat; pada
2007 pernah dibuat oleh pihak ketiga namun tidak
diberikan softwarenya sehingga tidak bisa di
update.
- Akan kesulitan jika semua OS komputer di pemda
diubah ke linux (sudah disosialisasikan) dan
mungkin akan diimplementasikan 2 tahun ke
depan.
- Faktor penghambat;
- Ketersediaan data
- Kerangka metodologis untuk membuat
kebijakan alat ini harus menjadi
kebijakan
- Mutasi pegawai
- Faktor pendukung:
- Alat ini teknisnya mudah dan sederhana,
lebih mudah dipraktekkan, pengetahuannya
lebih gampang ditransfer.
- Perlu ada forum data untuk sinkronisasi data.
- Perlu pendampingan yang lebih intensif hingga
bisa memanfaatkannya
- Menyelenggarakan pelatihan yang
berkelanjutan
- Tim PNPM bisa mendampingi penerapan alata
P3BM.
- Harus ada pembekalan yang lebih mendalam
dan spesifik untuk SKPD tertentu. Alat ini
harus dikenalkan juga kepada kepala-kepala
SKPD.
- Terkait dengan adanya mutasi pegawai terhadap
alumni pelatihan, sebisa mungkin di SK-kan
oleh bupati dan diorganisir sebagai tim data.
- Perlu aplikasi bantu untuk melihat nilai
kemanfaatan dari program yang sudah
dilaksanakan. Bukan hanya melihat sebaran
wilayah untuk menentukan prioritas. Ketika
perbandingan sangat tergantung persepsi.
Bappeda memiliki program jaring spasial yang
akan dipublikasikan melalui internet.
- Pelatihan juga mengikutsertakan pejabat
daerah.
- Strategi pelaksanaan program;
- Perlu lokakarya untuk mengenalkan alat
ini ke pimpinan daerah
- Pendampingan intensif untuk 1-2 SKPD
39
Lokasi Pembelajaran Rekomendasi
- Ada contoh dari kabupaten/kota yang
pernah mempraktekkan alat P3B
- Penyepakatan sumber data
- Regulasi untuk memanfaatkan alat ini
- Dukungan politik dari DPRD
- Konsistensi dari penentu kebijakan
- Mutasi para alumni pelatihan harus
diikat dengen penugasan khusus.
8. Kota Bau
Bau
- Pelatihan hanya meningkatkan keterampilan.
Harusnya ada dukungan dari pengambil kebijakan
(komitmen pimpinan SKPD).
- Belum dapat dirasakan karena belum
diimplementasikan.
- Kelebihan: lebih informatif. Kelemahan: butuh
konsentrasi, lebih teliti, data harus akurat.
- Aplikasinya tidak sulit.
- Waktu pelatihannya kurang cukup
- aplikasinya tidak compatibel untuk beberapa
operating system dan spesifikasi laptop.
- Kelebihan: lebih informatif. Kelemahan: butuh
konsentrasi, lebih teliti, data harus akurat.
- Alat P3BM belum sepenuhnya digunakan dalam
perencanaan awal (renja SKPD). Setelah selesai
pelatihan, tidak ada pendampingan sehingga tidak
terpakai.
- Sosialisasi pernah dilakukan ke para pimpinan
SKPD di Bappeda diundang oleh Kepala Bappeda,
tim MDGs dari pusat. Tapi mungkin tidak cukup
untuk meyakinkan mereka. Mereka mungkin
belum ada komitmen dari pimpinan daerah.
- Terdapat perbedaan jumlah penduduk versi BPS
dan Dukcapil karena perbedaan kriteria. Contoh:
BPS: sudah tinggal > 6 bulan dianggap penduduk
setempat. Dukcapil: liat data administrasi, BPS:
real fisik. Tapi yang disepakati digunakan adalah
data BPS
- Ada instruksi dari pemerintah pusat kepada
pimpinan SKPD dan kepala daerah untuk
menggunakan alat ini
- Strategi pelaksanaan program: peserta diperluas
dengan melibatkan sekolah, modelnya harus
pelatihan, instrumen/aplikasinya sampai dengan
sekolah (di link dengan aplikasi yang sudah
ada).
- Perlu base peta berdasarkan cakupan wilayah
puskesmas, peta bisa dipecah per puskemas,
lebih bagus yang dilatih fokus per instansi,
perlu surat edaran walikota yang mewajibkan
penggunaan alat ini, No. ID kecamatan berubah
terus karena adanya pemekaran, perlu
pendampingan intensif, cukup pelatihan jika
semua sudah tersampaikan.
- Perlu ada tambahan fasilitas komputer
- Tambahan waktu simulasi dan spesifik per
instansi, jika sudah cukup dengan hanya
pelatihan tidak perlu lagi pendampingan.
9. Wakatobi - Komitmen kepala daerah terhadap MDGs sangat
besar dengan menyatakan bahwa target MDGs
adalah target daerah. Komitemen ini ditegaskan
dalam bentuk SK Bupati untuk membentuk
sekretariat data bersama dan tim Bappeda yang
bertugas memantau capaian MDGs.
- Komitmen kepala daerah menjadi dasar bagi
SKPD untuk menyusun program berdasarkan pada
capaian MDGs dan SPM.
- Realokasi program dan pendanaan dilakukan di
tiap SKPD agar sesuai dengan capaian MDGs.
- Hasil analisis MDGs dan alokasi APBD
diumumkan secara luas.
- Analisis MDGs dan SPM menjadi dasar
penyusunan RPJMD tahun 2011-2-15.
- Sayang program berhenti begitu saja pada tahun
2010. Sehingga apa yang telah dibangun tidak
berlanjut (tidak mendapatkan dukungan asistensi
di tingkat provinsi dan nasional).
- Mutasi pegawai tanpa transper pengetahuan juga
menjadi ancaman serius bagi kelanjutan program-
pencapaian MDGs.
- Perlu dukungan dari tim P3BM pusat untuk
terus mendampingi reformasi perencanaan dan
penganggaran untuk 1 – 2 tahun ke depan agar
sistem yang dikembangkan menjadi mapan.
- Pendataan perlu dilakukan sampai ke desa.
- Kerja sama kabupaten dengan PNPM dalam
perencanaan perlu ditingkatkan. Kalau perlu
dilakukan perencanaan bersama.
- Perlu kelompok kerja untuk mentransfer alat-
alat P3BM kepada Kasubsi Perencanaan
Program di tiap SKPD. Terutama bagai yang
beru menempati posisi tersebut.