STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM · 2017-01-16 · (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 22. 3...
Transcript of STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM · 2017-01-16 · (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 22. 3...
STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM
ASY’ARI DAN HAMKA TENTANG PENDIDIKAN
KARAKTER
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun Oleh:
Nuriah Miftahul Jannah
NIM. 1112011000024
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
i
ABSTRAK
Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), “Studi Komparasi Pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter”
Kata kunci: Komparasi, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Pemikiran Hamka,
Pendidikan Karakter
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan
Hamka tentang konsep pendidikan karakter, serta mengetahui persamaan dan
perbedaan pemikiran pendidikan karakter dari kedua tokoh tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat analisis deskriptif, dengan metode
komparasi dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/library research,
yaitu pengumpulan data yang bersifat kepustakaan
Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa mempelajari dan
mengidentifikasikan data-data melalui berbagai literatur bersumber pada buku primer
dan buku sekunder yang berkaitan dengan kedua tokoh yang dibahas. Adapun data
primer bersumber dari personal dokumen dari KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. Dan
data sekunder diperoleh dari publikasi ilmiah berupa buku, jurnal, artikel, skripsi,
tesis, yang mengkaji tentang pemikiran kedua tokoh tersebut terkait pendidikan
karakter.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pendidikan karakter perspektif
KH. Hasyim Asy’ari adalah adanya usaha yang mendorong terbentuknya karakter
yang positif dalam berperilaku adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan
berpegang teguh pada ketauhidan. Segala kondisi yang terjadi, para pelaku
pendidikan senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah.
Sedangkan pendidikan karakter dalam perspektif Hamka adalah usaha bersama dari
orang tua, guru dan masyarakat untuk membangun budi pekerti. Pendidikan orang
tua, pengetahuan dasar agama, dan keteladanan guru sebagai pelengkap terbentuknya
kesempurnaan jiwa yang berdasarkan pada nilai-nilai budi pekerti luhur.
ii
ABSTRACT
Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), "The Comparative Study of Thought
KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about Character Education"
Keyword: The Comparative, The Thought of KH. Hasyim Asy’ari, The Thought of
Hamka, Character Education
This study aims to determine the thought of KH. Hasyim Asy’ari and Hamka
about the concept of character education, and to know the similarities and differences
in educational character the both of tought. This study used a qualitative approach
that is both descriptive analysis, the comparison method and the type of study is a
literature / library research, namely the collection of data literaturely.
Using the techniques of data collection in the form of studying and identifies
data related to both personage discussed ideas through various literature sourced in
the primer and sekunder about thought of personage both in the researched. The
primary data sourced from personal documents of KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka.
And secondary data sourced from scientific publication (books, journals, articles,
thesis and mini thesis, etc) about tought of personage both which especially character
education.
The results obtained from this study that the character education in the
perspective of KH. Hasyim Asy’ari is there are efforts that encourage the formation
of a positive character in the act is to live up to the noble values and sticking to
monotheism. All conditions that occur, the perpetrators of education always responds
with kindness and morality al-karimah. While character education in the perspective
of Hamka was a joint effort of parents, teachers and the community to build
character. Parent education, basic knowledge of religion, and exemplary of teachers
as a complement to the formation of the perfection of soul based on the values of
noble character.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat sehat
dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan
skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia dan sosok yang
penuh rahmat bagi alam semesta
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
menghadapi rintangan dan hambatan. Maka adanya bimbingan, pengarahan
dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
5. Dr. Akhmad Shodiq, M.A, Dosen Pembimbing yang telah bersedia
memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan saran kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. Achmad Gholib, M.Ag, Dosen Penasihat Akademik yang telah
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama studi.
7. Ayahanda tercinta Mahlil Mochsen (almarhum) dan Ibunda tersayang
Fatmah Ibrahim yang selalu jadi inspirasi dan doa yang tak terhingga,
(semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka).
8. My lovely brothers Ndoa, Boya, Iki, Bamal yang selalu ada buat
penulis yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. My
sisters in law Mbak Dwi, Mbak Tin, Mbak Ni, dan Mbak Yuli yang
senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis.
9. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan seluruh staf Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan yang dengan sabar memberikan bekal ilmu dan
pengalaman kepada penulis selama menempuh studi.
10. Ibu Sabngati Istinganah, Staf administrasi Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu
Tarbiyah UIN Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam
peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.
12. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta yang telah
memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang
dibutuhkan.
13. Terima kasih buat sahabat sejati, sahabat seperjuangan yang
menginspirasi Arruum Arinda, Farisha, Hanny Puspitasari, Syifa
Alawiyah, Bahiyatul Musfaidah yang selalu bersama baik suka maupun
duka.
v
14. Terima kasih buat sahabat terbaik yang pertama kali bersama
menempuh studi Evia Fajriati Kusmana, Annisa Khanza Fauziah,
Mutia Anggraini dan Masturah Yasmin Hafidzoh yang selalu
membantu dan peduli dari awal hingga sekarang.
15. Teman-teman PAI angkatan 2012 yang tidak bisa penulis sebut satu per
satu yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling
membantu, memotivasi dalam proses belajar di kampus UIN Jakarta.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, bagi mereka semua yang telah
membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan skripsi ini tiada kata yang
paling indah selain ucapan terima kasih dan syukur, semoga Allah SWT
membalas semua amal baik mereka semua dan penulis berharap mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca
pada umumnya.
Jakarta, 31 Oktober 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 12
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 13
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan ......................................................................... 14
2. Tujuan Pendidikan .............................................................................. 18
3. Pendidik .............................................................................................. 21
4. Peserta Didik ....................................................................................... 23
B. Konsep Karakter
1. Pengertian Karakter ............................................................................. 25
2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter....................................................... 28
C. Konsep Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter .......................................................... 33
vii
2. Tujuan Pendidikan Karakter ............................................................... 34
3. Fungsi Pendidikan Karakter ................................................................ 37
4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam ............. 38
D. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................ 40
BAB III METODOLOGI PENELITAN
A. Objek dan Waktu Penelitian...................................................................... 43
B. Metode Penelitian...................................................................................... 43
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .......................................... 45
D. Analisis Data ............................................................................................. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KH. Hasyim Asy’ari.................................................................................. 47
1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari .................................................. 47
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari ............................... 48
3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari....................................................... 50
4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari ........................ 52
a. Pendidikan ..................................................................................... 53
b. Tujuan Pendidikan ........................................................................ 54
c. Pendidik ........................................................................................ 55
d. Peserta didik .................................................................................. 57
e. Pendidikan Karakter ...................................................................... 58
B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) ........................................ 60
1. Riwayat Hidup Hamka ........................................................................ 60
2. Latar Belakang Pendidikan Hamka ..................................................... 61
3. Karya-karya Hamka ............................................................................ 64
4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka .............................................. 66
a. Pendidikan ..................................................................................... 66
b. Tujuan Pendidikan ........................................................................ 68
c. Pendidik ........................................................................................ 69
d. Peserta didik .................................................................................. 71
viii
e. Pendidikan Karakter ...................................................................... 72
C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka
tentang Pendidikan Karakter ..................................................................... 74
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari
dan Hamka ................................................................................................ 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 83
B. Implikasi .................................................................................................... 84
C. Saran ......................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 92
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ................................... 30
Tabel 4.1 Konsep pendidikan karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka ........... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Problematika masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya
kontrol diri pada materi ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi
ekonomi, gaya hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia
pendidikan juga turut merasakan dampak dari kemodernan. Semua
penemuan teknologi canggih saat ini mempunyai efek yang tidak terduga.
Perkembangan peradaban yang semakin maju membawa pengaruh yang
signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam kehidupan
keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa.
Dampak globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat
Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan
karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu
ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah
membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.1
Pupuh Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah
mencatat bahwa suatu negara dan bangsa bisa hancur bukan karena
ekonomi, bukan karena militernya lemah, bukan karena tsunami alam yang
menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan negara akan hancur karena akhlak
dan moral bangsanya telah rusak”.2
Adapun kasus datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini
bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang
mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) yang tega melukai
1 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1
2
Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama,
2013), h.2
2
leher dan menebas tangan dosennya sendiri hingga tewas. Kejadian ini
sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan
tinggi.3 Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu
semakin baik akhlaknya.
Data yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Anies Baswedan menyebutkan bahwa Indonesia menjadi
peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap-
menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, pada Oktober
hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam
dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan terorganisir
juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan mengenai
kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di
peringkat 109 dunia.4 Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa
adanya masalah dalam dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga
menjadi potret buruk pendidikan Indonesia.
Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung
berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis),
yang lebih mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan,
kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari
pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada
perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan
baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya tinggi.5 Dalam hal ini,
pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara kemampuan soft
skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar
hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini.
Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal
3 Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45
a.m (http://www.kompas.com)
4 Ika Akbarwati, Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses
16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)
5
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
(Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 22
3
pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur.
Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap
pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur
dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena
telah kehilangan karakter itu sendiri.6
Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan
nilai-nilai al-Qur‟an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan.
Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan
intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan nilai-nilai
etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan
yang diajarkan al-Qur‟an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala
hal.7
Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah
Kementerian Agama Republik Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan
dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu,
ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan
mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut
berpartisipasi secara aktif di dalamnya.8
Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi
pendidikan Islam dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak
terpisah dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam yang semula
ditujukan untuk membentuk karakter anak didik selaku generasi muda
yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan bangsa,
6Ibid., h. 2
7 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 55 8 Sumedi, Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan
Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2,
Desember 2012, h. 185
4
secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah
bersifat pengajaran semata.9
Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah
manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun
ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari
bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia.
Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan
didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya
intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah
tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada
yang tidak beres dalam karakter bangsa.10
Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna
pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan.
Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual
semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat
membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang
merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.11
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1
menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.12
BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
9 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa
Press, 2001), h. 1
10
Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas
Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama
Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016.
30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779
11 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014), h. 123
12 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita
Utama, 2004), h. 4
5
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab.13
Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan
sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu
pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian
bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta
agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini,
khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama
dalam implementasinya.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter
sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya,
pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di
sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan
di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik
tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru
harus dirubah.
Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan
Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter
yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.14
Oleh karena itu, kajian
pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian
pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya
telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa
misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya.
Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak
dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.15
13 Ibid.., h. 7
14
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5 15 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum
(Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
6
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.16
Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali
sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam
dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang
gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama).
Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut
ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi
manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.17
Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur‟an pengertian akhlak (khuluq)
adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang
lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung
jawab dalam proses pendidikan.18
Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu
perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut
akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak
merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap
perbuatan manusia”.19
Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah
Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan
agung. Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.20
16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1
17
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4
18 Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11
19
Mahjuddin, op. cit, h. 3
20 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII
h. 638
7
Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:
ممكارماألخالقإ نمابعثتألتم ”Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak
yang baik” (H.R. Imam Baihaqi).21
Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam
pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani
karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna.
Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang
terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku
moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya
dengan personalitas (kepribadian) seseorang. 22 Karakter adalah watak,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang
lain.23
Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan
perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter,
jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat
menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu
akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan
kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.24
Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian
atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai
upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia
sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.25
21 Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51
bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz,
1994 ), h. 472
22
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52
23
Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116
24 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius,
2015), h. 24
25
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada,
2012), h. 165
8
Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat
melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya
tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia
merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap
Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah
tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik
terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak
bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan
akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam
telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam,
dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan
yang sebenarnya dari pendidikan”.26
Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter
positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari
penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan
manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai
personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan
budaya.27
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi
pembentukan karakter (character building) sehingga melahirkan peserta
didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan
sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang
tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.
26 Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011,
h. 217
27
Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, (Bandung: Ihsan Press, 2015), h.18
9
Diantara tokoh-tokoh intelektual muslim di Indonesia yang memiliki
perhatian besar dan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah KH..
Hasyim Asy‟ari dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Keduanya adalah ulama yang memiliki integritas dan keteguhan dalam
ilmu agama serta banyak melahirkan karya. Kedua tokoh ini merupakan
ulama pejuang dan pejuang yang ulama dalam perlawanannya terhadap
kolonial Belanda.
“Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan
pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”. Ini pernyataan KH.
Hasyim Asy‟ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang
terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya
dengan membuka pengajian dan membangun pesantren.28
KH. Hasyim
Asy‟ari membawa perubahan baru sepulangnya dari Makkah, dengan
mendirikan pesantren Tebu Ireng yang terkenal di Jombang sampai
sekarang. Tebu Ireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan
perkembangan ilmu pengetahuan umum.
Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh agama, yang semenjak kecil
dibesarkan di lingkungan pesantren Nggedang dimana ia belajar agama
langsung dari ayahnya yang seorang ulama yang sangat mendukung
kemajuan ilmu agama. Karena merasa haus akan ilmu, Hasyim Asya‟ari
kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa.
Karakteristik dari Kiai Hasyim adalah kekonsistenannya dalam
memegang tradisi. Dengan pandangan tradisionalisme yang
dipertahankannya KH. Hasyim Asy‟ari banyak mengadopsi tradisi
pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan normativitas.29
KH.
Hasyim Asy‟ari adalah ulama sekaligus penulis yang banyak melahirkan
karya. Sebagaimana nampak dalam karya-karyanya yang meliputi bidang
pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya.
28 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa
Press, 2001), h. 19
29 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 82
10
Keinginan yang sangat kuat untuk mempertahankan bangunan tradisi
tersebut, maka bersamaan dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai
Hasyim Asy‟ari mendirikan Nahdatul Ulama atau kebangkitan ulama
(NU). Organisiasi Islam terbesar di tanah air.30
Akan tetapi ketokohan dan
keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas beliau sebagai
pendiri NU, melainkan karena beliau juga termasuk pemikir dan
pembaharu pendidikan Islam yang dilahirkan dari keluarga elit kiai di
Jombang.31
Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy‟ari sebagai
seorang yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, melalui tangan
beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya
menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing.32
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka
adalah seorang ulama dan tokoh Islam yang sangat toleran dalam
kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara
menyangkut akidah.33
Ia adalah putra dari seorang tokoh dan ulama
berdarah minang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang sangat
menginginkan anaknya kelak menjadi seorang ulama. Selain belajar dari
ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak.34
Menurut Sutan Mansyur, dari kecil dalam diri Abdul Malik Karim
Amrullah memang sudah ada tanda-tanda ia akan menjadi orang besar.
Kata dan pikirannya selalu didengar oleh teman-teman sebayanya,
menjadikan dia selalu menonjol dalam pergaulan.35
Hamka menurut
30 Ibid., h. 83
31
Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi Kepustakaan dalam
kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3
32
Ibid., h. 6
33 Irfan Hamka, Ayah, (Republika: Jakarta, 2014), Pengantar Penerbit Republika dalam Novel
Ayah, h. viii
34 Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama
Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h. 109
35 Shalahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,
(Jakarta: Intimedia, 2003), h. 63
11
Abdurrahman Wahid adalah seorang intelektual yang mempunyai
pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum.36
Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya
bahwa semua orang pada dasarnya baik dan punya kemungkinan untuk
menjadi lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, buya
bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap
tegas dalam mempertahankan prinsip terbukti saat ia mundur dari ketua
MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama
bagi umat Islam.37
Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang pemikirannya banyak
dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, dan teori-teori
beliau cetuskan dalam bukunya banyak digunakan untuk memecahkan
masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun,
pendidikan. Selain itu, beliau juga melahirkan karya fenomenal berupa
tafsir Al-Azhar yang banyak digunakan masyarakat dalam memahami al-
Qur‟an.38
KH. Hasyim Asy‟ari dan Buya Hamka adalah sosok yang tidak
diragukan lagi, selain menonjol dalam hal- hal yang telah disebutkan di
atas, keduanya dikenal cukup concern dan sangat peduli dengan nasib
pendidikan umat serta berwawasan jauh ke depan. Dilihat dari sikap dan
karakter mereka yang mempengaruhi pemikiran terhadap sesuatu. Dalam
hal pendidikan, keduanya memfokuskan pentingnya pendidikan akhlak
atau budi pekerti dalam proses pendidikan.
Beranjak dari apa yang dipaparkan di atas, dipahami bahwa karakter
atau budi pekerti adalah perilaku manusia menuju sifat-sifat baik yang
berdampak postif untuk lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul:
36 Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224
37
Ibid., h. 66
38
Laeli Nafilah, “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka (Telaah buku “Lembaga Hidup”
Karya Hamka)” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta: 2011,
tidak dipublikasikan, h.4
12
“Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka
Tentang Pendidikan Karakter”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
beberapa masalah mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia
2. Paradigma guru yang belum mengetahui pentingnya
pelaksanaan pendidikan karakter
3. Media pertelevisian yang kurang memperioritaskan pendidikan
4. Minimnya pengetahuan dasar agama, pendidikan dari orang tua
serta pengawasan kepada anak dalam menghadapi arus
globalisasi
5. Pola hidup bangsa Indonesia yang cendrung westernisasi akibat
perkembangan zaman.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar,
maka dalam pembahasannya penulis membatasi dan merumuskan
permasalahan pada hal-hal ini sebagai berikut :
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk lebih terarahnya
penelitian ini dibatasi pada pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka
terhadap pendidikan karakter.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian yang akan dikaji, yaitu:
a. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang
pendidikan karakter?
b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim
Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter?
13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan
karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka
tentang pendidikan karakter
b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH.
Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah :
a. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang
pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terkait pendidikan
karakter. Dan sebagai salah satu syarat menempuh jenjang
strata satu.
b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan
dalam dunia pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter.
c. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan
bacaan, sehingga masyarakat bisa mengambil pelajaran positif
dari pemikiran kedua tokoh ini.
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau
“peadgogos” yang berarti pembimbing anak, atau seseorang yang
tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya ke arah kemandirian
dan sikap tanggung jawab.1 Pendidikan berasal dari kata “didik” yang
artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.2
Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses
membimbing, mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau
sekelompok orang dalam rangka memelihara dan menumbuhkembangkan
kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang baik dalam
pertumbuhan ke arah kedewasaan.
Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga
istilah, yaitu al-tarbiyah, al-ta‟lim, dan al-ta‟dib. Istilah “tarbiyah” (تربية)
dari kata ( mengandung arti mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan (رب
menumbuh kembangkan dengan penuh kasih sayang. Pengertian “ta‟lim”
1 Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2012), h. 326
15
yang berarti pengajaran, pengarahan, dan (عل م) dari kata kerja (تعليم)
pendidikan. Dan “ta‟dib” (تعدب) dari kata (أدب) yang berarti pendidikan,
kepatuhan, sopan santun.3
Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan
dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis,
bakat, minat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki
manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi manusia yang
terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan
memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut
terdapat unsur pendidik, peserta didik, dan unsur caranya.4
Kata al-ta‟lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya
diartikan dengan pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab
sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengartikan kata yu‟allimu
dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali hanya mengisi benak anak
didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta
fisik. Kata al-ta‟lim ini termasuk yang paling popular dan banyak
digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti
pada kegiatan majelis ta‟lim.
Sedangkan kata al-ta‟dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai
sarana tranformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran
agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses
Islamisasi ilmu pengetahuan.5
Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya
yang dilakukan pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi
3 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), h. 8-14
4 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
19
5 Ibid., h. 20
16
peserta didik baik jasmani maupun rohani melalui serangkaian proses
bimbingan dan arahan agar pesera didik menjadi individu yang lebih baik.
Islam sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada kegiatan
pendidikan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi
siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai
proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan. Bahkan wahyu
pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah perintah untuk
membaca (iqra‟) yang terdapat dalam Q.S. al-„Alaq (ayat 1-5).6
Dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang setinggi-
tingginya karena menguasai ilmu. Bagi mereka yang berilmu dan
menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah akan mencapai
derajat yang paling tinggi di sisi Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-
lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscahaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S
Mujadilah : 11)7
Selanjutnya pengertian pendidikan menurut Drikarya yang
mengungkapkan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia
6 Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1,
Jumadal ula,1430, h.79
7 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h. 22
17
muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut
mendidik. Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan menuntun segala
kodrat yang terdapat dalam diri anak sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.9 Pengertian ketiganya mengenai pendidikan lebih
ditekankan pada proses bimbingan individu menuju pada pembentukan
karakter atau kepribadian menjadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan yang dirumuskan dalam Sistem Pendidikan Nasional
merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan
pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia
yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berkarakter
mulia. Bahwa dalam hal ini, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.10
Dalam buku Higher Education for American Democracy, Education is
an institution of civilized society, but the purpose of education are not the
same in all societies. Pendidikan merupakan suatu lembaga dalam tiap-
tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama
dalam setiap masyarakat.11
Oleh karenanya, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan
secara sadar berupa pembinaan, pengajaran pikiran dan jasmani anak didik
8 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.3
9 Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), h. 3
10 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3
11
Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 21
18
berlangsung sepanjang hayat untuk meningkatkan kepribadiannya, agar
dapat menjalankan peranan dalam lingkungan masyarakat secara tepat
sesuai dengan kondisinya.
Pendidikan pada umumnya menghasilkan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah dapat dikategorikan menjadi
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan yang merupakan proses
mendidik, dalam hal ini tidak hanya pada ranah kognitif (mentransfer
pengetahuan), akan tetapi mendidik berarti mempersiapkan sumber daya
manusia yang unggul lahir batin yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai luhur kehidupan sehingga menjalankan peran
manusia sebagaimana mestinya.12
Jadi, upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka pengajaran,
bimbingan, pelatihan, dan penanaman nilai-nilai luhur pada diri anak
dengan tujuan mempersiapkan mereka sebagai sumber daya manusia
unggul untuk dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik di masa
sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang dinamakan dengan
pendidikan.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus
dirumuskan, peranan tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses
pendidikan. Tidak ada tujuan di luar proses pendidikan yang memberi
makna bahwa pendidikan adalah sepanjang hayat.13
John Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga
dapat berfungsi secara individual dan sebagai anggota masyarakat melalui
12 Tafsir Al-Qur‟an Tematik Jilid 8, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur‟an, 2014), h. 3
13
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 7
19
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif.14
Maksudnya dengan pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik bertujuan
untuk menjalankan perannya sebagai individual dan anggota masyarakat
sesuai yang diharapkan.
Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan bahwa hubungan
antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan
merupakan masalah itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan kemana
arah perkembangan murid-murid akan diarahkan. Nilai-nilai yang dipilih
sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada
akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui
pendidikan.15
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah membentuk kepribadian
yang utama sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidup suatu bangsa.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis, serta bertanggung jawab.16
Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk
kepribadian anak didik yang kuat jasmani, rohani dan nafsaninya (jiwa)
yakni kepribadian muslim yang dewasa.17
Sesuai dengan bimbingan yang
dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju kedewasaan.
14
Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali
Press, 2012), h. 14
15
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), h.47
16 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita
Utama, 2004), h.4
17 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Media Grup, 2014), h. 167
20
Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada
penguasaan kompetensi yang bersifat kognitif, tetapi yang lebih penting
adalah pencapaian pada aspek afektif. Hasil dari pendidikan Islam adalah
sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-hari yang sejalan dengan
ajaran Islam.18
Abdurrahman Saleh Abdullah dalam buku Educational Theory A
Qur‟anic Outlook, sebagaimana yang dikutip oleh Heri Gunawan,
menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus meliputi empat aspek, yang
meliputi :
a. Tujuan jasmani (ahdaf al-jismiyah). Bahwa proses pendidikan
ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri manusia sebagai
pengemban tugas khalifah fi al-ardh, melalui keterampilan fisik.
b. Tujuan rohani dan agama (ahdaf al-ruhaniyah wa ahdaf al-
diniyah). Bahwa proses pendidikan ditujukkan dalam rangka
meningkatkan pribadi manusia dari kesetiaan yang hanya kepada
Allah semata, dan melaksanakan akhlak qurani yang diteladani
oleh Nabi Saw sebagai perwujudan perilaku keagamaan.
c. Tujuan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa proses pendidikan
ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelektual manusia
untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan
menelaah ayat-ayat-Nya yang membawa kepada perasaan
keimanan kepada Allah.
d. Tujuan sosial (ahdaf al-ijtimayyah). Proses pendidikan ditujukan
dalam rangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi yang
tercermin sebagai al-nas yang hidup pada masyarakat plural.19
18 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 13
19
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), h. 11
21
Terkait dengan keempat aspek yang harus diperhatikan dalam
menyusun tujuan pendidikan sebagaimana disebut di atas, memiliki artian
bahwa pendidikan tidak saja mengarahkan pada pengembangan potensi
intelektual, tetapi lebih dari itu perlu keseimbangan antara terpenuhinya
kebutuhan jasmani, kerohaniaan, dan sosial peserta didik. Dalam hal ini,
pendidikan harus mengacu pada ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.
3. Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani
dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan
tugasnya sebagai makhluk Allah.20
Dalam hal ini, pendidik sebagai
pelaksana pendidikan dengan sasarannya adalah peserta didik.
Mempunyai peran dan tanggung jawab dan pada umumnya ditujukan
untuk orang tua, guru, dan pelatih.21
Dari uraian di atas, bahwa pendidik adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, baik jasmani dan
rohaninya dalam memberikan bimbingan menuju kedewasaannya.
Abuddin Nata menyebutkan pendidik secara fungsional menunjukan
kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan
pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.22
Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik ialah tiap
orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai
kedewasaan, pendidik diantaranya adalah orang tua, dan orang dewasa
lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.23
20 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 65
21
Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25
22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.62
23 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 81
22
Menurut Langeveld, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak. Yang disebut
pendidik karena adanya peranan dan tanggung jawab dalam mendidik
seorang anak.24
Dari pengertian ketiga ahli tersebut, dipahami bahwa pendidik ialah
orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan
rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia
mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya. Oleh karena itu,
pendidik bukan saja guru yang bertugas di sekolah, melainkan semua
orang yang terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak kecil sampai ia
dewasa terutama orang tua.
Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi penting dalam
proses pendidikan. Dialah yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik. Potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik
yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan perkembangannya agar
tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang diharapkan sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam.25
Pendidik menurut Islam bukanlah sekedar pembimbing melainkan
juga figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum
tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu, pendidik muslim
haruslah aktif dari dua arah. Secara eksternal dengan jalan mengarahkan
atau membimbing peserta didik dan secara internal dengan jalan
menginternalisasikan karakteristik akhlak mulia.26
Mendidik yang merupakan peran dari seorang guru mempunyai tugas
dan fungsi yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia
24 Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 10
25
Abuddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
h. 205
26Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 112
23
Nomor.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
jalur formal.27
Sejalan dengan tugas yang harus diemban oleh pendidik yang
dimaksudkan dalam undang-undang tersebut, maka yang dinamakan
pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik baik dalam kegiatan pendidikan, pengajaran dan
menginternalisasikan nilai-nilai luhur atau karakter mulia dari pendidikan
anak usia dini hingga menengah melalui jalur formal maupun informal.
4. Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur
pendidikan baik pendidikan formal maupun informal, pada jenjang
pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.28
Peserta didik berstatus sebagai
subjek didik karena ia pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya, yang ingin mengembangkan diri secara terus-menerus
guna memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.29
Dari keterangan tersebut, peserta didik selain sebagai anggota
masyarakat juga merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memerlukan bimbingan orang lain secara berkesinambungan dalam proses
pengembangan potensi diri yang dimiliki, baik pada jalur pendidikan
formal maupun informal.
27 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2
28
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita
Utama, 2004), h. 5
29 Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25
24
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang
yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar
yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk
Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai
taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun keseimbangan pada bagian
lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,
perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.30
Melalui paradigma di atas, jelas bahwa aktivitas pendidikan tidak akan
terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dengan demikian,
untuk mengarahkan tujuan pendidikan dan merancang kurikulum keadaan
mereka harus menjadi perhatian utama.
Selanjutnya, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Isnawati,
bahwa tugas dan kewajiban peserta didik ialah :
a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya
sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah
ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan
berbagai sifat keutamaan
c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di
berbagai tempat
d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya
e. Peserta didik hendaknya belajar dengan sungguh-sungguh dan
tabah dalam belajar.31
Berdasarkan hal tersebut unsur yang paling penting pada diri peserta
didik ialah harus meluruskan niat terlebih dahulu, karenanya menuntut
30 Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 47
31
Isnawati. skripsi, Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Ahmad Dahlan Tentang
Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h.20
25
ilmu adalah sebuah ibadah yang memerlukan hati yang bersih. Peserta
didik diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi diri dan mencari
pengetahuan dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya.
B. Konsep Karakter
1. Pengertian Karakter
Istilah karakter berasal dari charaassein bahasa Latin yang berarti
“dipahat atau diukir”.32
Membentuk karakter diibaratkan mengukir di atas
permukaan besi yang keras. Dalam kamus psikologi, karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran
seseorang, dan biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif
tetap.33
Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifat-
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang
dengan yang lain.34
Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi
character yang berarti, tabiat, budi pekerti, watak.35
Secara istilah,
karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung
pada faktor kehidupannya sendiri.36
Dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang baik yang
terpatri dalam diri manusia dan diimplementasikan dalam perilaku
keseharian. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter tidak diwariskan,
32 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Inrenalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
(Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 27
33
Ibid., h.28
34
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2012) h, 623
35
Jhon M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), h.107
36
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta:
, Ar-Ruzz Media, 2012), h. 20
26
tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari
melalui pikiran dan perbuatan,37
Character is the sum of all the qualities that make you who you are.
It‟s your values, your thoughts, your words, and your action” (Karakter
adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataaan, dan perilaku atau
perbuatan yang telah membentuk diri seseorang). Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.38
Terkait pengertian karakter ada beberapa ahli yang memiliki berbagai
pemahaman. Mereka memberikan pemaknaan karakter sesuai dengan
pendekatan yang dilakukan oleh ahli tersebut. Sudewo menyatakan bahwa
karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang anak
manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran
menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembangkan amanah dan
tanggung jawab.39
Adiwimarta mengartikan karakter sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
lainnya.40
Dalam hal ini Sudewo lebih menekankan pengertian karakter pada
perwujudan perilaku baik manusia yang bersumber dari kesadaran
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan. Simon
Philips mengungkapkan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju
pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
ditampilkan.
37 Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 41
38
Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw,
2015), h. 120
39
Husaini, Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1
Januari-Juni 2014, h.77
40 Jafar Anwar, Op. cit, h. 21
27
Berbeda dengan Doni Kusuma yang mengartikan karakter adalah
kepribadian yang dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau
sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari berbagai bentukan yang
diterima dari lingkungan. Misalnya, lingkungan keluarga.41
Adapun istilah karakter dalam pandangan Islam menurut Quraish
Shihab dinamai rusyd. Ia bukan hanya nalar, tetapi gabungan antara nalar,
kesadaran moral, dan kesucian jiwa. Ia terbentuk melalui perjalanan hidup
seseorang. Karakter dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta
penilaian terhadap pengalaman tersebut. Karakter terpuji merupakan hasil
internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai
oleh sikap dan perilaku positif. Karena ia erat kaitannya dengan kalbu.42
Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak,
perangai, sifat dasar yang khas, tetap, dan bisa dijadikan ciri untuk
mengidentifikasi seorang pribadi.43
Pada dasarnya karakter tidak dapat
dikembangkan secara cepat dan segera (instan) semuanya harus melewati
proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Pendidikan karakter harus
dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai
dewasa.44
Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran
dan perbuatannya. Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya
merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya
karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat
memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul
41 M. Najib, Novan Ardhy Wiyani, Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia
Dini, (Yogyakarta: Gava Media,2016), h. 59
42
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 714
43 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 61
44
Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ( Bandung: PT.Remaja
RosdaKarya, 2011), h. 108
28
dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan
serta bagaimana mengendalikannya.45
Ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed menjelaskan terdapat empat
tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yang meliputi, tahap
pembiasaan, sebagai awal perkembangan karakter anak. tahap pemahaman
dan penalaran terhadadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa tahap
penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-
hari. Dan selanjutnya tahap pemaknaan, yaitu suatu tahap refleksi dari
para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang
telah mereka pahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan manfaatnya
dalam kehidupan.46
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas
moral atau budi pekerti individu yang merupakan ciri khas yang
membedakan dengan lainnya dan menjadi pendorong untuk melakukan
sesuatu yang bernilai baik yang diperoleh dari lingkungannya. Seseorang
bisa dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai-nilai
luhur yang dikehendaki masyarakat yang dapat digunakan sebagai
kekuatan dalam kehidupannya.
2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter
Nilai adalah suatu keyakinan, misi, atau filosofi yang penuh makna.
Nilai dapat bergerak dari sesuatu yang umum dan mengandung arti, tujuan
dan manfaat yang seimbang.47
Adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan dalam
pendidikan karakter, antara lain :
a. Empat karakter utama Rasulullah saw, yaitu:
45 Nur Zaini, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014, h.12
46
Abdul Majid, Op.cit., h. 109
47 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 97
29
1) Shiddiq / Honesty (kejujuran) memupuk nilai pembentukan
karakter untuk tidak berbohong atau tidak berdusta kepada
diri sendiri dan orang lain
2) Amanah / Trustable (bertanggung jawab) memupuk nilai
pembentuk karakter keadilan dan kepemimpinan yang baik,
integritas, disiplin dan tanggung jawab yang tinggi
terhadap kepercayaan yang diberikan
3) Tabligh / Reliable (menyampaikan) memupuk nilai-nilai
pembentukan karakter pecaya diri, bijaksana, toleransi,
cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain
4) Fathonah / smart (cerdas) memupuk nilai-nilai
pembentukan karakter keberanian, mandiri, kreatif, arif,
dan rendah hati.48
b. Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang bersumber
dari agama, pancasila dan tujuan pendidikan nasional.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan
Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai
tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama, yaitu
kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli),
dan kecerdasan (cerdas).49
Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam
berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai
karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa
sekaligus, tetapi harus bertahap. Keempat nilai utama tersebut
menggambarkan peserta didik sangat ditentukan oleh perangainya dari
48 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2005), h.7
49 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 44
30
olah hati (jujur), olah pikir (cerdas), dan olah raga (tangguh) serta olah
rasa dan karsa (peduli).
Kemendiknas kemudian mencanangkan 18 nilai-nilai pembentukan
karakter yang dijabarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1
Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
No. Nilai Deskripsi
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama
lain
2. Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya
4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi
31
berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang dimiliki
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
bergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas
8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain
9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat dan didengar
10. Semangat kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya
11. Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukan kesetiaan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa
12. Menghargai prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk mengasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyaraat, dan
32
mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain
13. Bersahabat/komunikatif Tindakan yang mmeperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain
14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran
dirinya
15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya
16. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan
melakukan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi
17. Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan
18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya
dilakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial,
budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa
33
C. Konsep Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha
sadar untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan
bijak dan memperhatikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.50
Menurut Elkind dan Freddy Sweet sebagaimana dikutip
oleh Pupuh Faturahman bahwa “Character education is the deliberate
effort to help people understand, care about, and act upon core ethical
values”(Pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk
membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan inti nilai
etika).51
Sudrajat mengartikan pendidikan karakter sebagai proses
pembelajaran penguasaan dan pemilikan nilai-nilai karakter, atau nilai-
nilai keimanan kepada Allah SWT yang dilakukan dengan membiasakan
kebenaran dan menanamkan nilai akhlak mulia di dalam hati dan
dilaksanakan oleh panca indera.52
Dalam pengertian yang sederhana,
pendidikan karakter adalah hal-hal positif apa saja yang dilakukan oleh
guru yang berpengaruh pada karakter anak yang diajarnya.
Pendidikan karakter dapat didekati dengan menumbuhkan dan
menanamkan keyakinan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam diri
anak. Metodenya antara lain dengan penyampaian kisah-kisah tentang
50 Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT.
Remaja RosdaKarya, 2011), h.5
51
Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013),
h.15
52 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw,
2015), h. 38
34
figur-figur yang kokoh kepribadiannya, membiasakannya, dan
menerapkan reward and punishment.53
Terdapat tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the
good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan
karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dengan sifat-sifat baik yang
diberdayakan melalui proses yang panjang.
Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan upaya untuk
membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku tentang sifat-
sifat baik. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika,
tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan penting yang
mencakup perkembangan sosial individu.54
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan
tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan
mau melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter tidak hanya terjadi pada lingkungan sekolah, akan
tetapi setiap elemen dalam kehidupan mulai dari lingkungan rumah,
tempat bermain, dan bermasyarakat perlu melakukan usaha bersama
dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter mulia pada diri individu.
Sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.
2. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
53 Salman Harun, Tafsir Tarbawi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h.30
54 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h. 18
35
pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.55
Pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir,
sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang berakhlakul
karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab.56
Pendidikan yang
bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat juga pernah
ditegaskan oleh Martin Luther King, “Intelligence plus character, that is
goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir
pendidikan yang sebenarnya).57
Islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak
pada pilar utama tujuan pendidikan. Untuk mewujudkan pembentukan
akhlak pada anak, Al-Ghazali menawarkan sebuah konsep pendidikan
yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya mendekatkan
diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan
untuk menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan.58
Hal
tersebut menjadi fokus bahwa akhlak atau pembentukan karakter adalah
tujuan utama pendidikan dalam Islam.
Tujuan utama pendidikan karakter dalam Islam adalah agar manusia
berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan
yang telah digariskan oleh Allah SWT. inilah yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.59
55 Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta:
Gava Media, 2013), h. 44
56
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 22
57
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
(Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 29
58 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal
Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h.32
59
Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.
98
36
Menurut Mulyasa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta secara utuh, terpadu dan seimbang
sesuai standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.60
Kemudian ia menambahkan bahwa pendidikan karakter sebagai proses
yang berkelanjutan tanpa akhir (never ending process), sehingga
menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan (countinous
quality improvement), ditunjukkan pada terwujudnya sosok manusia
berkualitas dan memiliki daya saing.
Menurut Kemendiknas, tujuan pendidikan karakter antara lain :
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan
bangsa
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa
yang religius
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta
didik sebagai generasi penerus bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi
manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai
lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.61
Pendidikan karakter idealnya harus diimplementasikan secara utuh
agar dapat membantu siswa dalam hal mengidentifikasi nilai-nilai positif
60 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw,
2015), h. 34
61
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 24
37
bagi diri sendiri serta orang lain, mampu berkomuniaksi secara terbuka
dan jujur dengan orang lain, dan mampu berpikir rasional dan memiliki
kesadaran emosional terhadap pola tingkah laku diri sendiri. Dalam hal ini
tujuan pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian manusia
seutuhnya.62
3. Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berfungsi, mengembangkan potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Memperkuat dan
membangun perilaku bangsa yang multikultur. Selanjutnya dilakukan
perbaikan terhadap perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku
yang sudah baik. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.63
Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, diantaranya ialah:
a. Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan
karakter membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar
berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai yang
mencerminkan falsafah pancasila dan karakter bangsa.
b. Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter
memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara
dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri,
sejahtera dan bermartabat.
c. Fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya bangsa
sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai
62 Jafar Anwar, Op. Cit, h. 34-35
63
Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta:
Gava Media, 2013), h. 45
38
dengan nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang
bermartabat.64
Ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui pengukuhan pancasila
sebagai falsafah dan ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma agama
konstitusional UUD 1945, penguatan komitmen bangsa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai
dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, serta penguatan keunggulan dan
daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.65
4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam, khususnya pendidikan agama Islam (PAI)
mempunyai posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan agama menjadi materi yang wajib diajarkan pada setiap
sekolah. Pendidikan agama Islam pada prinsipnya memberikan
pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai spiritualitas pada peserta didik
agar menjadi manusia yang berakhlak, beretika serta berbudaya sebagai
bagian dari tujuan pendidikan nasional.66
Akhlak merupakan pilar utama dalam pendidikan Islam, hal ini sesuai
dengan latar belakang perlunya diterapkan pendidikan karakter di sekolah
sebagaimana tujuan pendidikan nasional untuk menciptakan generasi
bangsa yang bermutu dimulai dengan pembangunan karakter.
64 Binti Maunah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik
Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1, April 2015, h.92
65
Yopi Fajar Suryadi, skripsi, Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin Fananie Dan
Implikasinya Pada Pendidikan Islam,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 21
66 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal
Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
39
Akhlak Islam menyuguhkan banyak nilai tentang karakter manusia,
baik yang bernilai baik maupun yang bernilai buruk. Pendidikan karakter
Islam tetap harus berpijak kepada konsep dan praktik-praktik berkarakter
yang dicontohkan oleh Nabi Saw melalui sikap dan perilaku sehari-hari
yang merupakan cerminan dari akhlak al-Qur‟an.67
Pendidikan karakter secara implementatif telah tertuang secara
eksplisit yang merupakan nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam yang
diinternalisasikan pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
sehingga terbentuklah kepribadian yang Islami.
Sebagaimana diungkapkan M. Arifin, bahwa pendidikan Islam adalah
sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai
Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kehidupannya.68
Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter mulia,
secara umum, pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan
manusia, yaitu menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliki sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan al-
Qur‟an dan hadis Nabi Saw yang pada akhirnya akan terwujud manusia
paripurna (insan kamil).
Dalam al-Qur‟an penjelasan tentang pendidikan karakter
mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua karakter yang berlawanan.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
67 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 38
68
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Isam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h.10
40
itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S Asy-
Syam: 8-10)69
Berdasarkan ayat tersebut, pada hakikatnya manusia adalah makhluk
yang memiliki dua dimensi dalam tabiatnya, potensi-potensi yang telah
tercipta sebelumnya dan melekat menjadi tabiat yang dalam kecendrungan
arahnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan memiliki kadar yang
sama akhirnya dijadikan acuan dasar pendidikan karakter.
Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk
peserta didik yang berakhlak mulia, sebagai wujud keimanannya kepada
Allah SWT dan wujud kepatuhannya kepada syariat Islam. Pendidikan
Islam mengutamakan penanaman budi pekerti dan akhlak mulia dalam
semua komponen kurikulumnya. Melalui pembiasaan dan pemaknaan
setiap nilai-nilai kebaikan, maka pendidikan karakter akan menjadi kokoh
dalam pelaksanaan pendidikan Islam dan menjadi pondasi berbangsa dan
bernegara.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Khoiruddin, dengan judul
“Pendidikan Karakter Menurut KH. Hasyim Asy‟ari (Studi
Kepustakaan dalam Kitab Adab al „Alim wa al-Muta‟allim)”. Skripsi
ini memfokuskkan pada persoalan-persoalan etika dalam mencari dan
menyebarkan ilmu semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT,
faktor pendukung dan penghambat pendidik dan tenaga kependidikan
dalam pendidikan, serta penelitian ini cendrung memaparkan sistem
nilai yang dibangun KH. Hasyim Asy‟ari dalam teori maupun praktik
pendidikan.70
69 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h.676
70
Khoiruddin, tesis, Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy‟ari (Studi Kepustakaan dalam
kitab Adab al-Alim Wal Muta‟allim), (Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h.17
41
2. Penelitian yang dilakukan oleh Roudhatul Jannah, dengan judul
“Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti”.
Skripsi ini membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya
kalau dispesifikan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti
terhadap Allah tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah,
nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri tidak lain adalah
penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai pendidikan budi pekerti
terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan
birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain
tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.71
3. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman Zuhdi dengan judul,
“Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari
(Studi: Analisis dan Komparatif)”. Skripsi ini lebih menekankan studi
komparatif mengenai konsep pendidikan akhlak KH. Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy‟ari dilihat dari persamaan dan perbedaan antar
kedua tokoh yang sama-sama memiliki pengaruh yang kuat di tengah
masyarakat dalam kurung waktu yang bersamaan.72
4. Penelitian yang dilakukan oleh Sudin, dengan judul Pemikiran Hamka
tentang Moral. Penelitian ini berkaitan dengan keseluruhan pemikiran
Hamka, tidak terkecuali dalam bidang filsafat moral, dibangun di atas
sendi-sendi agama. Ia sangat menekankan pentingnya memperkuat
tauhid. Tauhid bagi Hamka, selain sebagai sumber moral juga sebagai
sumber kekuatan diri untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Baik buruknya perbuatan menurut Hamka ditentukan oleh sejauh
71
Roudathul Jannah, skripsi, Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti.
Salatiga: STAIN, 2015), h.10 72 Rahman Zuhdi, Skripsi, Studi: Analisis dan Komparatif Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy‟ari (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 9
42
mana seseorang berpegang teguh pada keimanannya kepada Tuhan,
yang tidak lain adalah tauhid itu sendiri.73
Dengan demikian, kajian ini berbeda dari sisi substansi dan
signifikansinya, karena lebih menegaskan perbandingan pendidikan karakter
dari KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka dilihat dari konsep pendidikan secara
keseluruhan yang akan memberikan implikasi baik dari aspek teoritis maupun
praktis pendidikannya. Adapun penelitan yang mengkaji tentang
perbandingan pendidikan karakter perspektif dari kedua tokoh tersebut belum
ditemukan.
73 Sudin. Pemikiran Hamka Tentang Moral, Jurnal Esensia, Vol. XII, No. 2 ,Juli 2011
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
dan Hamka tentang Pendidikan Karakter ini dilakukan dari bulan Mei sampai
dengan Oktober 2016, waktu tersebut digunakan untuk mengumpulkan data
mengenai berbagai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari referensi yang ada
di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian terutama yang
berkaitan dengan konsep pendidikan karakter dari kedua tokoh yang diteliti
sebagai penguat dalam penulisan skripsi ini. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis sesuai dengan kebutuhan.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan.1
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang
diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam
bentuk bilangan atau angka melainkan tetap dalam bentuk kualitatif,
1 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendeketan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h. 6
44
sifatnya menganalisa dan memberi pemaparan mengenai situasi yang
diteliti dalam bentuk uraian naratif.2
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan/library
research yakni mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya
tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan
data yang bersifat kepustakaan3
Penguraian dari seluruh konsep yang dikemukakan oleh tokoh yang
akan diteliti menggambarkan penelitian ini menggunakan metode
komparasi, yakni membandingkan secara objektif dari pemikiran dua
tokoh mengenai substansi yang akan dikaji dalam tulisan ini.
Dalam metode komparasi menggunakan pendekatan historis dan
filosofis dalam mengungkapkan persamaan dan perbedaan serta kemudian
membandingkan pemikiran dari dua tokoh tersebut. Adapun pendekatan
yang dimaksud adalah :
a. Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan yang digunakan
untuk mengkaji, menjelaskan biografi (riwayat hidup) KH. Hasyim
Asy’ari dan Buya Hamka yang diperoleh dari berbagai literatur
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter.
b. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka secara
kritis, evaluative, dan reflektif yang berkaitan dengan pendidikan
karakter.
2. Sumber Data Penelitian
2S.Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.39
3 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), h.60-61
45
Untuk mendapatkan data yang valid, maka diperlukan sumber data
penelitian yang valid pula. Dilihat dari sumber datanya, maka penelitian
ini menggunakan data primer dan data sekunder. Sumber data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti. Dalam hal
ini, karya-karya KH. Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka berupa buku-buku,
cuplikan dan naskah.
Adapun karya monumental dari KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi
masterpiece dalam bidang pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim wa al-
Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama
Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih yang banyak dikaji
isinya mengenai pendidikan karakter, yang menjelaskan karakter bagi para
pelajar dan pendidik. Kemudian karya Buya Hamka yang meliputi
Lembaga Budi, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup turut menjadi sumber
rujukan.
Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data
primer, yaitu buku-buku atau literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah buku-
buku, jurnal, skripsi, tesis, yang mengkaji pemikiran kedua tokoh tersebut
yang berhubungan dengan pendidikan karakter.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumenter, yaitu studi yang dilakukan untuk mempelajari
dan mengkaji informasi dari sumber data yang telah terkumpul,
kemudian dijadikan dokumen. Dokumen lalu dibaca dan dipahami
secara keseluruhan. Dalam proses ini, data-data yang menjadi
46
fokus penelitian dikelompokan secara sistematis selanjutnya
dilakukan analisis komparatif.
b. Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan penelusuran
pustaka dengan membaca dan mencatat literatur yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas melalui riset kepustakaan untuk
memperoleh data dari bahan bacaan seperti buku, artikel, jurnal,
ensiklopedi, biografi, dan sebagainya.
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul secara lengkap, selanjutnya yang penulis
lakukan adalah membaca, meneliti, menyeleksi, mempelajari dan
mengklasifikasi data-data yang relevan yang mendukung pokok bahasan
untuk selanjutnya penulis analisis dan dideksripsikan dalam satu
pembahasan yang utuh.
D. Analisis Data
Dalam menganalisis data, metode yang digunakan adalah analisis
deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat
mengenai objek penelitian disertai argumen-argumen. Kemudian menguraikan
data yang dibahas dengan mendeksripsikan secara sistematis dan
diformulasikan sedemikian rupa hingga pada suatu kesimpulan yang
komprehensif.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KH. Hasyim Asy’ari
1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri pesantren Tebu Ireng,
tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang, desa Tambakrejo 2
km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24
Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga
dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari
adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur
ayah, nasab kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu,
nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang
berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja Pajang
pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.1
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini
hari bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 H dalam usia 79 tahun.
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mengajarkan ilmu-ilmu al-
Qur’an dan beberapa literatur keagamaaan. Sejak kecil kiai Hasyim sudah
dikenal kegemarannya dalam membaca. Boleh jadi inilah yang menurun
pada cucunya KH. Abdurrahman Wahid yang menjadi kutu buku.
Ketokohannya tidak sekedar dalam bidang sosial, pendidikan dan
keagamaan melainkan juga dalam bidang kenegaraan. Kehadirannya di
ranah politik memberikan sumbangsih besar bagi tercapainya
kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, berdasarkan keputusan
1 Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebu Ireng, (Jombang: Pustaka
TebuIreng, 2011), h. 38
48
Presiden No. 29/1964 kiai Hasyim Asy’ari yang bergelar Hadrat Asy-
Syaikh diakui sebagai pahlawan nasional.2
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya
sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula belajar ilmu
tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka dalam
usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan
oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para
santri senior.
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi
seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai
pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo,
Siwalan Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan
Sidoarjo. Selama di pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku
pimpinan pondok merasa sangat tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan
berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi pemimpin besar dan sangat
berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim Asy’ari dengan
putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun KH.
Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub.3
Setelah menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istri segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua KH. Hasyim
menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Makkah. Karena didorong oleh
keinginan pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup
ilmunya apabila belum belajar di Makkah selama bertahun-tahun.
2Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam
Nusantara, 2016), pengantar xxiii
3 Salahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta:
Intimedia, 2003), h. 2
49
Pasca menikah, kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di
Makkah. Ketika tepatnya tujuh bulan menetap disana, istrinya melahirkan
seorang anak laki-laki dan diberi nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa
hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya meninggal dunia, disusul
putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia mendapatkan
cobaan bertubi-tubi, hal ini tidak mematahkan semangatnya dalam
menuntut ilmu.4
Dalam perjalanan menuntut ilmu di Makkah, ia bertemu dengan
beberapa tokoh terkenal dan dijadikannya sebagai guru. Diantaranya
adalah Syeikh Mahfudz al-Tarmisi seorang putra KH. Abdullah bin Abdul
Manan pemimpin pesantren Tremas yang sama-sama pernah belajar di
pesantren Darat Semarang. Syeikh Mahfudz lebih terkenal sabagai ahli
hadits Bukhari. Dari gurunya ini, KH. Hasyim Asy’ari memperoleh ijazah
sebagai pengajar Shahih Bukhari.
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik
dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh al-Allamah Abdul
Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan
masih banyak lagi lainnya.
Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama
di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, tauhid,
tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq,
balaghah, dan lain-lain).
Selama kurang lebih tujuh tahun menuntut ilmu di Makkah, membuat
KH. Hasyim Asyari memiliki kecakapan tersendiri, terutama dalam
pengetahuan agama. Ia memutuskan pulang ke tanah air, dengan
membawa bekal keteguhan iman dan kematangan jiwa untuk berjuang
4 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.16-17
50
menegakkan agama. Setelah kembalinya ke kampung halaman, ia mula-
mula mengajar di pesantren milik kakeknya kiai Usman, tetapi tidak lama
kemudian ia mulai merintis pendirian pesantren sendiri yang diberi nama
Tebu Ireng di Jombang.5
Dalam pendidikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari membawa
perubahan dan pembaruan dengan mengenalkan sistem belajar madrasah
dan memasukan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan
keagamaan. Sebelumnya, Tebu Ireng hanya menggunakan sistem
pengajian sorogan dan bandongan atau dikenal dengan sistem halaqah.
Patut diketahui bahwa sistem madrasah merupakan sesuatu yang relatif
baru dalam dunia pesantren pada saat itu.6
3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan jawaban atas berbagai
problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan penulis yang
produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun
karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya :
a. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al-
Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan
pentingnya interaksi sosial.
b. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama.
Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi
Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang berkaitan dengan
Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan
hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
5 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press,
2001), h. 9
6 Ibid, h.20
51
c. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah.
Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Berisikan
tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat
uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam),
metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
d. Mawaidz. Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang
merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-
Qur’an dan hadis, dan lain sebagainya.
e. Arbain Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’.
40 hadis yang terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul
Ulama’.
f. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas
menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar
kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan
mencintai Nabi Muhammad Saw.
g. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat.
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang
dicampuri dengan kemungkaran.
h. Risalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-
Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah
Wal-Jama’ah berisikan tentang hadis-hadis yang menjelaskan
kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan
bid’ah.
i. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-
Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin
Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin
Yasin. Dan di dalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang
berbahasa Jawa.
52
j. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang
benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah
secara syar’i, hukum-hukum, syarat, rukun dan hak-hak dalam
perkawinan.
k. Ad-durrah al-Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang
memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisikan kajian tentang
wali dan thariqah dalam bentuk tanya jawab sebanyak 19 masalah.
l. Al-Risalah fi al-‘Aqaid. Berbahasa Jawa, berisikan kitab kajian tauhid.
Jawaban atas berbagai problematika masyarakat yang belum paham
persoalan tauhid atau aqidah.
m. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tasawuf, penjelasan
tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan hakikat. Ditulis dengan bahasa
Jawa, dicetak bersama kitab Al-Risalah fi al-‘Aqaid
n. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi
Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat
Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi
para pelajar dan pendidik.7
4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari
Pemikiran pendidikan berkembang sejak masa awal Islam hingga
sekarang. Ciri khas sebuah pemikiran dipengaruhi oleh konstruk sosial
politik dan keagamaan, sehingga sebuah pemikiran atau literatur dengan
keadaan sosial ketika itu memiliki korelasi yang signifikan. Artinya,
lingkungan sosial masyarakat dan pengalaman pribadi akan
mempengaruhi pola pikirnya.
Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim Asy’ari mengalami
perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama (tradisional) ke
7 Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam
Nusantara, 2016), h.672-675
53
dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini dipengaruhi oleh
sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di Indonesia.8
Berikut ini, akan dijelaskan lebih mendalam mengenai pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari tentang konsep pendidikan karakter yang terdiri dari
makna dan tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, dan paradigma
pendidikan karakter.
a. Pendidikan
Karakter pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat
digolongkan ke dalam garis mazhab Syafi’iyyah. Sebagai buktinya
adalah ia sering kali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyyah, termasuk
Imam al-Syafi’i sendiri. Hal ini dimungkinkan oleh faktor bahwa
pengalaman pendidikan, terutama pengajaran di beberapa
pesantren Jawa didominasi oleh kitab-kitab menurut mazhab
Syafi’i.9
Adapun hal lain yang menjadi kecendrungan pemikiran
pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai-
nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Oleh karenanya pandangan
tentang pendidikan selalu berorientasi pada landasan Islam yang
bersumber pada wahyu dan pendekatan diri melalui cara sufi.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengartikan bahwa yang menjadi
sentral pendidikan adalah hati.
Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah
upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa
taqwa (takut) kepada Allah SWT, dengan benar-benar
mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan keadilan di
muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang
8 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.25
9 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h. 60
54
predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi
derajatnya dari segala jenis makhluk Allah lainnya.10
KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan
lingkungan sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk
kepribadian seseorang. Hal ini dinilai bahwa pendidikan banyak
memberikan andil dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan
dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai memberikan
perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi
pekerti.11
b. Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan penentuan sasaran yang ingin dicapai.
Dalam pendidikan tujuan menjadi hal yang sangat mendasar, sebab
peranan tujuan paling penting yang harus dirumuskan dalam
menentukan arah proses pendidikan.
Tujuan utama ilmu pengetahuan yang sesungguhnya menurut
KH. Hasyim Asy’ari adalah mengamalkan ilmu dalam tingkat
lebih praktis, yakni dengan memanifestasikan dalam bentuk
perbuatan. Perbuatan-perbuatan yang didasarkan atas ilmu
pengetahuan akan memberi kemanfaatan tersendiri yang menjadi
bekal dalam kehidupan di akhirat.12
Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam konsep
pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan,
pengamalan dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik
diarahkan untuk selalu mengembangkan keilmuannya, tidak saja
keilmuan agama melainkan pengetahuan umum. Peserta didik
dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan.
10 Rohinah, Op.cit, h. 18
11
Ibid., h.30
12 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h. 44
55
Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan
keilmuannya untuk kebaikan bersama dan bertanggung jawab
terhadap anugrah keilmuan dari Allah. Adapun dimensi religius,
adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual keagamaan
melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah.13
Dalam menetapkan tujuan pendidikan, sesunggguhnya KH.
Hasyim Asy’ari tidak lepas dari konsep Islam yang menjadi
sandaran berfikirnya yang mengharuskan pendidikan mencapai
dua hal. Pertama, mendorong manusia untuk mengenal Tuhannya
sehingga sadar dengan penuh keyakinan untuk menyembah-Nya.
Kedua, mendorong manusia untuk memahami sunnah Allah di
alam semesta yang bertugas sebagai khalifah fil ardh.14
Sehingga, bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut
KH. Hasyim Asy’ari adalah menjadi insan purna yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan, insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh
karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar
menghilangkan kebodohan.
c. Pendidik
Menurut KH. Hasyim Asy’ari pendidik adalah ulama. Bahwa
ulama sebagai simbol manusia secara umum dijadikan tipologi
makhluk terbaik (khair al-bariyyah), sehingga derajatnya setingkat
lebih rendah di bawah nabi.15
KH. Hasyim Asy’ari melihat ulama
sebagai makhluk yang memiliki kedekatan kepada Tuhan dan
13 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press,
2001), h.104
14 Rohinah, Op.,cit, h. 18
15
Suwendi, Op.,cit, h.65
56
senantiasa mengembangkan pikirannya sebagai potensi yang luar
biasa dan adanya kesungguhan mencari ilmu harus diarahkan.
Pendidik sebagai orang yang mempunyai kapasitas keilmuan
patut diprioritaskan daripada peserta didik, mengingat kedudukan
pendidik sebagai ulama atau ahl al-ilm sangat dekat (taqwa) dan
derajatnya lebih tinggi dibanding ahli ibadah. Dalam hal ini, kiai
Hasyim berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan
integritas ketuhanan dalam berperilaku sosial adalah makhluk
Tuhan yang terbaik. Sehingga, segala usaha keras dalam
pencapaian keilmuan dan sosial harus mencerminkan nilai-nilai
yang luhur dan segalanya disandarkan kepada Allah SWT.
KH. Hasyim Asy’ari memandang pendidik sebagai pihak yang
sangat penting dalam pendidikan. Baginya, pendidik adalah sosok
yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuannya di samping
pembentuk sikap dan etika peserta didik.16
Dilihat dari peran seorang pendidik menjadi sangat penting
dalam memperhatikan nilai-nilai moral dan etis, KH. Hasyim
Asy’ari tampak berusaha untuk menekankan bahwa pendidik
merasa berkewajiban untuk memberikan arahan-arahan dan nasihat
yang berarti bagi peserta didik untuk membiasakan sikap hidup
yang berlandaskan akhlakhul karimah dan membimbing peserta
didik menuju jalan yang diridhai Allah.17
Menurut KH. Hasyim Asy’ari seorang guru atau ulama yang
mengajarkan ilmu hendaknya mempunyai niat yang tulus, tidak
mengharapkan materi semata. Di samping itu, guru hendaknya
mampu menyesuaikan antara perkataan yang diucapkan di hadapan
16 Rijaluddin, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam UHAMKA, 2008),
h.183
17 Ibid.,h.35
57
peserta didik dengan tindakan perilaku yang diperbuat, sehingga
tidak sekedar hanya menyampaikan belaka.
Kriteria pendidik dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari
adalah, menjaga akhlak dalam pendidikan. Tidak hanya peserta
didik yang dituntut berkarakter baik, apalah artinya etika hanya
diterapkan pada peserta didik, jika guru yang mendidiknya tidak
mempunyai akhlak mulia.
Oleh karena itu, kiai Hasyim juga menawarkan beberapa etika
yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, antara lain senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah, tidak menggunakan ilmunya untuk
meraih keduaniawian semata, karena akan merendahkan
keagungan ilmu, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disukai
Allah, menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
pengetahuan, tidak menggunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya.18
d. Peserta didik
KH. Hasyim Asy’ari mengharuskan peserta didik untuk patuh
dan tunduk pada anjuran dan perintah pendidik. Bahkan, meskipun
pendidik itu salah maka tetap harus diikuti. Kepatuhan peserta
didik dalam segala hal, merupakan kemestian. Sebab, kesalahan
yang ada pada pendidik lebih baik daripada kebenaran yang
dimiliki peserta didik. Selain itu, peserta didik tidak dibenarkan
mempunyai gagasan yang berlawanan dengan pendidik.19
Bagi peserta didik untuk tekun dan giat belajar dalam proses
mengoptimalkan potensi akal sebagai pemberian Tuhan yang
sangat istimewa. KH. Hasyim Asy’ari menganggap ilmu adalah
18 Sururin, Etika Pendidik dan Peserta didik menurut KH. Hasyim Asy’ari, Tahdzib Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vol. III, No. 1, Januari 2009, h.50
19 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.79
58
sebuah anugrah yang sangat agung dan mencarinya merupakan
ibadah, karenanya peserta didik hendaknya membersihkan dirinya
dari segala perbuatan dan sifat tercela, ilmu yang suci juga
didekatkan oleh orang yang suci hatinya sehingga bermakna.
Niat bagi para penuntut ilmu hendaknya didasari oleh motivasi
semata-mata demi kepentingan Allah, tidak bertujuan duniawi atau
untuk kepentingan pribadi, mengamalkan ilmu, menghidupkan
syari’at, menerangi hati, menghias nurani, meluaskan daya berpikir
intelektual dan menjaga kesucian jiwa untuk mencapai ridho
Allah.
Peserta didik dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin
untuk belajar secara efektif. Waktu tersebut digunakan untuk
mempertajam pengetahuan. Pemanfaatan waktu lebih jelas
diperinci oleh KH. Hasyim Asy’ari antara lain waktu sahur untuk
menghafal, pagi untuk membahas dan diskusi, tengah siang untuk
menulis, dan malam untuk diskusi dan mengkaji ulang.20
e. Pendidikan Karakter
KH. Hasyim Asy’ari meyakini bahwa dalam meluruskan
karakter dan mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti
adalah sebuah keniscayaan. Bahkan lebih lanjut dijelaskan
operasional pendidikan pada hakikatnya adalah proses saling
mempengaruhi antara fitrah dengan lingkungan. Dengan demikian,
peran pendidikan di samping berfungsi dalam mengembangkan
kreatifitas dan produktifitas, juga berperan besar dalam upaya
mengembangkan nilai-nilai, baik nilai-nilai insani maupun nilai-
nilai ilahi.21
20 Ibid, h. 90
21
Rijaluddin, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam UHAMKA, 2008),
h.27
59
Dalam proses belajar mengajar, agar mencapai tujuan yang
diharapkan, dengan cara mengaplikasikan perilaku-perilaku yang
luhur. Segala kondisi yang terjadi, peserta didik senantiasa
meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah.
Pembiasaan ini menjadi keharusan tersendiri bagi peserta didik
untuk mencapai tujuan belajarnya. Sehingga, pada akhirnya
kegiatan belajar memiliki makna dan mempunyai nilai mulia yang
mampu mengantarkan pelajar pada derajat yang lebih tinggi.22
Pendidikan karakter mempengaruhi fitrah manusia dengan
lingkungannya. Berada di tengah lingkungan rumah, sekolah
maupun masyarakat akan membentuk integritas kepribadian anak,
dan anak itu sendiri harus mampu menyaring nilai-nilai karakter
yang nantinya akan dipergunakan untuk kehidupannya. Dalam hal
ini, bagi peserta didik dan pendidik hendaknya meluruskan niat
dan memperhatikan etika (adab) yang mencerminkan budi pekerti
luhur dan segalanya disandarkan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, dalam proses mencari dan menyebarluaskan
ilmu dilihat dari tujuan utamanya adalah mengharapkan ridho
Allah semata. Sehingga pentingnya usaha yang mendorong
terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia adalah
menghayati nilai-nilai luhur yang dianggap baik dan berpegang
teguh pada ketauhidan.
Sebelum pemerintah mencanangkan pendidikan karakter, jauh
sebelum itu KH. Hasyim Asy’ari telah terlebih dahulu menerapkan
nilai-nilai karakter pada kegiatan pendidikan di pesantren. Tahap
awal pendirian pesantren Tebu Ireng yang bersifat mandiri adalah
salah satu dari sekian banyak nilai-nilai yang dikembangkan
22 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.22
60
pesantren. Kemudian pada saat perjuangan mengusir penjajah
peran KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama pejuang turut
berkontribusi dalam menanamkan rasa cinta tanah air kepada para
santri guna untuk menegakan jihad dalam merebut kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Pesantren dalam hal ini sebagai lembaga pendidikan dipandang
berhasil membentuk karakter positif para santri, karena
menerapkan pendidikan yang holistik, berupa tarbiyah
(pembelajaran) yang meliputi ta’lim (pengajaran) dan ta’dib
(pembentukan karakter atau kedisiplinan).23
B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
1. Riwayat Hidup Hamka
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di
desa Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat
pada tanggal 17 Februari 1908 atau bertepatan dengan 14 Muharram 1326
H dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung binti
Haji Zakaria. Hamka dibesarkan dari sebuah keluarga yang taat beragama.
Ayahnya sering disebut Haji Rasul pernah belajar agama di Makkah yang
merupakan seorang ulama besar dan pembawa paham pembaharuan Islam
di Minangkabau, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh
Muhammadiyah yang sangat berpengaruh. Ia hidup dan berkembang
dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem
matrineal.24
Hamka begitu ia disapa dikenal sebagai pribadi lembut namun
berkarakter, sosok halus tapi berprinsip, dan tokoh modernis yang
23 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h.10
24 Abdul Rouf, Dimensi Tasawuf HAMKA, (Selangor: Piagam Intan SDN.BHD, 2013), h.18-19
61
kharismatik. Dakwahnya sejuk menyirami dahaga spiritual. Karya-
karyanya hidup mengurai berbagai problematika masyarakat, dapat
memberi solusi bagi kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga,
merekat sekat-sekat dan jurang pemisah dalam tatanan sosial, bahkan
mengkompromikan kesenjangan hubungan yang sering terjadi antara
pemerintah dan rakyat tanpa harus kehilangan jati diri.25
Ia wafat pada hari Jum’at 24 Juli 1981, pukul 10 lewat 37 menit di
Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di
TPU Tanah Kusir.26
2. Latar Belakang Pendidikan Hamka
Masa kanak-kanak Hamka tidak jauh berbeda dengan anak seusianya
yaitu ingin bermain bebas dan mencari jati dirinya, tapi hal ini terkadang
dikekang oleh sifat oteriter sang ayah yang menginginkan Hamka menjadi
ulama besar sepertinya, sehingga membuat Hamka merasa tidak
menyenangkan. Sejak kecil, Hamka telah diajarkan langsung dasar-dasar
agama oleh ayahnya. Pada usia enam tahun ia dibawa ayahnya pindah ke
Padang Panjang. Sewaktu berusia tujuh tahun ia dimasukkan ke sekolah
desa di pagi hari dan malam harinya ia belajar mengaji al-Qur’an dengan
ayahnya sampai khatam.27
Dua tahun kemudian Hamka meneruskan belajar agama di sekolah
Diniyah Padang Panjang yang didirikan oleh Zainudin Labay el Yunuisi,
dan dilanjutkan pada malam harinya belajar mengaji di surau di samping
itu juga belajar pada ayahnya.28
Setelah itu, ayahnya memasukan Hamka
25 Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5,
No.1, Jumadal ula,1430. h.82
26 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika, 2014), h. 279
27
Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press
Group, 2005), h. 261
28 Abdul Rouf., Op.cit, h.36
62
ke pondok pesantren Sumatra Thawalib di Parabek. Alasannya, karena
intitusi tersebut dianggap sebagai tempat pendidikan terbaik dan modern
pada saat itu dan ayahnya merupakan salah satu guru di intitusi tersebut.
Meskipun dikatakan modern, kurikulum dan bahan pelajaran masih
menggunakan cara lama, dengan keharusan menghafal merupakan ciri
utama sekolah ini. Hal ini membuat Hamka cepat bosan dan merasa
pusing kepala. Oleh karena itu, ia tidak menyelesaikan sekolahnya secara
tuntas, ia hanya mengikuti pendidikan tersebut selama empat tahun dari
masa pendidikan yang seharusnya tujuh tahun.29
Akhirnya Hamka banyak menghabiskan waktu untuk belajar otodidak
di perpustakaan milik gurunya, Zainuddin Labay. Hamka banyak
membaca berbagai literatur yang ada di perpustakaan tersebut, mulai dari
buku-buku agama, filsafat, sampai sastra. Dengan membaca buku-buku,
cakrawala pemikiran Hamka semakin luas sehingga timbul motivasi
kegairahannya terhadap ilmu.
Dengan membaca buku-buku tersebut, membuat Hamka semakin
kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Kegelisahan
intelektual yang dialaminya telah menyebabkan ia berkeinginan untuk
merantau guna menambah wawasannya. Ia memutuskan untuk ke
Yogyakarta, tinggal bersama pamannya, Ja’far Amrullah. Kemudian
Hamka mulai berkenalan dengan organisasi Muhammadiyah dan Serikat
Islam. sehingga ia bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, R.M.
Suryopranoto, H. Fachruddim, dengan HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali
Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir dan AR. Sutan
Mansur yang dijadikannya mereka guru.30
Ide-ide gerakan ini banyak
mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai
29 Ibid., h.38-39
30
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 101
63
sesuatu yang hidup dan dinamis yang ia lihat terdapat perbedaan di
Minangkabau yang bersifat statis dan tradisional.
Kemudian Hamka melanjutkan perjalanan ke Pekalongan, belajar
bersama iparnya, AR. Sutan Mansur tentang filsafat Islam dan juga
politik. Ia mulai mengenal paham Jamaluddin al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha, yang berupaya mendobrak kebekuan umat.
Segala kemajuan dalam hidup Hamka ia menyadari bahwa gurunya AR.
Sutan mansyur adalah yang banyak memberikan tuntunan dan sangat
berpengaruh.31
Setelah setahun berkelana di pulau Jawa, ia kembali pulang
ke Maninjau dengan membawa semangat baru tentang Islam.
Pada usia 17 tahun telah tampak dalam jiwa Hamka semangat dan
kesadaran untuk mengenalkan wawasan Islam yang modernis. Lalu ia
membuka kursus pidato untuk teman-temanya di surau Jembatan Besi.
Hasil kumpulan naskah pidato ia cetak menjadi sebuah buku dengan judul
Khatib al- Ummah.32
Berawal dari sinilah kemampuan menulisnya mulai dikembangkan. Ia
banyak menulis pada majalah seruan Islam, menjadi koresponden di
harian Pelita Andalas. Ia juga diminta untuk membantu pada harian
Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah Yogyakarta. Berkat
kepiawaiannya dalam menulis, Hamka diangkat sebagai pemimpin
majalah kemajuan Zaman.33
Di samping kegiatan menulisnya, Hamka sering diajak oleh ayahnya
untuk memberi tausiyah di setiap acara yang dihadiri oleh masyarakat
Padang Panjang. Namun, beliau mendapat celaan dan kritikan yang cukup
mengecewakan dari masyarakat hanya karena penggunaan bahasa
Arabnya tidak mengenal Nahwu dan Shorof. Mereka menilai bahwa
31 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), Pengantar Prof. Dr. Hamka, h.
xiiii
32
Susanto, Op.cit, h.102
33 Ibid, h. 102
64
Hamka hanya pandai berpidato saja. Untuk itu, Hamka merasa tidak
dibutuhkan lagi di Padang Panjang, ia memutuskan untuk mantap ke
Makkah, menimba ilmu agama lebih dalam.34
Setelah bermukim di Makkah selama kurang lebih tujuh bulan, Hamka
pulang ke tanah air dengan menyandang gelar haji. Karena pengalaman
hidup yang telah membentuk jiwa Hamka, ia mulai mengarang kisah-
kisah perjalanan hidupnya. Dan dengan kemampuan bahasa Arab yang
semakin lancar beliau terus menyebarkan ajaran Islam. Jalan dakwah
Islam menjadikan Hamka sebagai seorang ulama dan sastrawan yang
cukup dikenal baik di dalam negeri maupun di luar.
3. Karya-karya Hamka
Hamka bukan hanya memiliki kemajuan berpikir dalam hal ceramah
agama melalui berbagai mimbar, tetapi beliau juga merefleksikan
kebebasan berpikir yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Tidak heran
orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi,
tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra, tafsir dan
otobiografi. Sebagai penulis yang produktif Hamka menulis puluhan buku
yang tidak kurang dari 118 karya tulisan yang telah dipublikasikan.
Adapun beberapa karya-karya Hamka diantaranya :
a. Khatibul Ummah, diterbitkan tahun 1927 di Padang Panjang. Buku
ini berisi tentang kumpulan pidato pada lembaga pendidikan yang
ia dirikan di Padang Panjang.
b. Lembaga Hidup, Lembaga Budi berbicara tentang dunia
pendidikan.
c. Tasawuf Modern dan Filsafat Hidup, berisi tentang kaidah-kaidah
dalam pergaulan hidup.
34 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), h. 234-235
65
d. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck¸ buku roman yang pertama
kali ditulis Hamka, yang berisi tentang konflik adat dan agama
e. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Novel yang berisi sindiran kepada
masyarakat modern yang terpengaruh kehidupan materialistik.
f. Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Haji Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera.
g. Kenang-kenanan Hidup, jilid I-IV.
h. Sejarah Ummat Islam, buku yang berisi tentang keadaan dan
sejarah tanah Arab sampai pengaruh ajaran Muhammad datang.
i. Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniaannya, buku yang
mengulas berbagai hal tentang tasawuf.
j. Pelajaran Agama Islam, buku tentang pendidikan dan pelajaran
agama dan filsafat.
k. Tafsir Al- Azhar, satu karya yang monumental tafsir al-Qur’an
yang terdiri dari 30 Juz. Ditulis pada tahun 1966, saat beliau
berada dalam tahanan pada masa pemerintahan Soekarno.
l. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, dan lain-lain.35
Pada tahun 1961 Hamka mendapatkan berbagai gelar kehormatan,
yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir.
Dalam sejarah Al-Azhar di Kairo, ayah dan anak mendapatkan gelar
tersebut barulah Indonesia, Hamka dan ayahnya H. Abdul Karim
Amrullah pada tahun 1926. Gelar yang sama diperoleh Hamka dari
Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Dr. Moestopo
Beragama. Setelah meninggal dunia, Hamka mendapat Bintang Mahaputra
35 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 106-107
66
Madya dari pemerintahan RI di tahun 1986. Dan terakhir, di tahun 2011,
Hamka mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.36
4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka
Pandangan Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan
sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi
dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai
keilmuan.37
Melalui pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat
dikembangkan sehingga tercapai tujuan budi.
a. Pendidikan
Ditinjau dari segi istilah, Hamka membedakan makna
pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam
merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk
membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian
peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk
mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan.38
Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila
tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya.
Tujuan pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran.
Dengan terjalinnya kedua proses ini, manusia akan memperoleh
kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena
yang demikian tidaklah membawa pada kepuasaan batin.
Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan, bahwa di atas
36 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), h. 290
37
Susanto, Op.cit, h.99
38
Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press
Group, 2005), h. 266
67
dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar, yaitu Tuhan.
Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu
saja. Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai
rohani keagamaan tidak dijadikan dasarnya.39
Pendidikan juga menanamkan rasa bahwa individu ialah
bagian anggota masyarakat dan tak dapat melepaskan diri dari
kehidupan masyarakat. Pendidikan yang sejati ialah membentuk
anak-anak berkhidmat kepada akal dan ilmunya. Bukan kepada
hawa dan nafsunya, bukan kepada orang yang menggagahi dia.40
Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya, manusia dapat
menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang
demikian dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga
akan sampai pada perubahan dan kemajuan pendidikan. Dalam hal
ini, potensi akal adalah sebagai alat untuk mencapai terbentuknya
kesempurnaan jiwa.
Dengan demikian, orintasi pendidikan Hamka tidak hanya
mencakup pada pengembangan intelektualitas berpikir tetapi
pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan
melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan
mengenal eksistensi dirinya.
b. Tujuan Pendidikan
Segala sesuatu yang dapat dijadikan standar, arahan, dan
keberhasilan atas apa yang dilakukan diartikan tujuan. Tujuan
mempunyai peran penting dalam pendidikan. Tujuan pendidikan
menurut Hamka memiliki dua dimensi, yaitu bahagia di dunia dan
di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus
menjalankan tugas dengan baik, yaitu beribadah.
39 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 304
40
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h.241
68
Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya
bertujuan agar dapat menjadikan peserta didik sebagai hamba
Allah. Sehingga tujuan pendidikan dalam Islam sama dengan
tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan
beribadah kepada Allah.41
Pentignya manusia mencari ilmu menurut Hamka adalah untuk
membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi
lebih dari itu dengan ilmu manusia akan mampu mengenal
Tuhannya, memperhalus akhlaknya, membangun budi pekerti dan
senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.42
Hanya dengan
pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh
kebahagiaan (hikmat) dalam hidupnya.
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal
dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti yang luhur
agar terciptanya akhlak mulia serta mempersiapkan peserta didik
dalam pengembangan kehidupan secara layak dan berguna di
tengah lingkungan sosialnya.
Tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, tidak
terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut
Hamka ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan
sebab ilmu tanpa didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan
membahayakan orang lain, oleh karena itu manusia semakin
berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah. Salah
Ilmu yang dibarengi iman tidaklah cukup, namun harus
dibarengi dengan amal, kerja dan usaha. Hubungan antara iman
dan amal sama halnya hubungan antara budi dan perangai,
sehingga berbudi dan bergaul yang baik juga termasuk amal.
41 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 107
42
Hamka., Op.cit, h. 283
69
Persamaan hak dalam hidup mendefinisikan adanya keadilan yang
diantaranya terkandung unsur keadilan dan kepemilikan. Untuk itu
eksistensi pendidikan merupakan hajat hidup manusia.43
Dengan demikian, tujuan pendidikan menurut Hamka sejalan
dengan tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah, karena
sejatinya pendidikan adalah menciptakan manusia sebagai hamba
Allah, sehingga dengan ilmu yang dimiliki dapat menjalankan
tugasnya sebagai khalifah yang utama ialah beribadah kepada
Allah. Adapun ilmu yang diperoleh tidak saja dengan iman, namun
harus ada amal, kerja dan usaha sungguh-sungguh untuk
mencapainya.
c. Pendidik
Pendidik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan pendidikan. Pendidik menurut Hamka adalah seseorang
yang memiliki pengorbanan, kejujuran serta kelapangan hati untuk
mempengaruhi, melatih, membimbing peserta didik agar berguna
untuk kehidupan masyarakat.44
Dalam pandangan Hamka tugas pendidik pada umumnya
adalah membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik
untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang luas.45
Pendidik dituntut terlebih dahulu mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya yaitu, berupaya membantu dalam rangka
membimbing peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang
luas, berakhlak mulia, dan menguasai keterampilan yang
bermanfaat, baik bagi dirinya maupun masyarakat. Pendidik dalam
43 Susanto., Op.cit, h. 108
44
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 294
45Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. h. 135
70
hal ini guru tidak hanya mencukupkan ilmu dari sekolah guru,
akan tetapi diperluas pergaulan dan bacaannya, menjalin hubungan
baik dengan wali murid, membuka diri dengan kemajuan modern.
Pendidik menurut Hamka berfungsi sebagai lembaga yang
berupaya mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri
peserta didik secara maksimal, sesuai dengan irama
perkembangannya, baik jasmaniah maupun mental spiritual.46
Hamka memberikan posisi yang sangat tinggi terhadap
pendidik karena ia bekerja untuk mengisi rohani manusia. Maka
selayaknya pendidik harus memiliki sifat-sifat terpuji yang dapat
menjadi teladan oleh muridnya. Namun, Hamka tidak suka kepada
sikap guru yang otoriter dan melarang membangun sikap murid
yang terlalu mengkultuskan guru. Karena hal ini, akan
mengakibatkan pada sikap fanatik dan kemujudan berpikir pada
diri anak.47
Sebagaimana pandangan Hamka terkait pendidik sangatlah
besar upayanya dalam mewujudkan peserta didik yang mampu
mengoptimalkan akalnya, meraih cita-citanya, dan mengarahkan
cita-cita tersebut pada nilai-nilai yang dinamis dan religius.
Seorang pendidik dikatakan berhasil apabila peserta didik
mencapai kemajuannya.
d. Peserta Didik
Pandangan Hamka tentang peserta didik berangkat dari konsep
tentang manusia. Setiap manusia yang lahir membawa
gharizah/fitrah yang dilengkapi dengan akal, hati, dan panca
46 Ibid., h.148-149
47 Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Islam Vol. II,
No. 2, Juli 2008, h.115
71
indera yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.48
Sehingga melalui proses pendidikan dapat
memadukan berbagai potensi fitrah manusia akal pikiran, perasaan,
dan sifat-sifat kemanusiaannya secara seimbang dan serasi.
Dengan keluasan ilmu dan kehalusan akhlak yang dimiliki,
peserta didik dapat mengendalikan diri, membersihkan hati,
memiliki wawasan yang luas, meraih kesempurnaan. Melalui ilmu
yang dimilikinya, peserta didik dapat mengenal Khaliknya dan
menambah keimanannya.
Cara menuntut ilmu yang terbaik ialah pada guru yang banyak
pengalaman, luas pengetahuan, bijaksana dan pemaaf, tenang
dalam memberi pengajaran, tidak lekas bosan lantaran pelajaran itu
sulit dimengerti. Dan hendaknya peserta didik rindu dan cinta pada
ilmu, percaya pada keutamannya dan yakin pada manfaatnya.49
Terlepas dari kriteria memilih seseorang yang akan dijadikan
guru, dalam hal ini Hamka menegaskan bahwa hendaknya peserta
didik memiliki sikap kritis, tidak mengkultuskan gurunya. Tidak
langsung menerima dan mengikuti walaupun salah, dan taqlid
buta. Meski guru memiliki posisi yang terhormat, mengkramatkan
guru adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. 50
e. Pendidikan Karakter
Menurut Hamka, fitrah setiap manusia pada dasarnya
menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk
mengabdi kepada Khaliqnya. Jika ada manusia yang tidak berbuat
kebajikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrahnya
tersebut. Hamka menambahkan, pada diri manusia terdapat tiga
48 Ibid., h.115
49
Hamka. Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 283
50
Ibid, h.287
72
unsur utama yang menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh
maupun ‘abd Allah. Ketiga unsur tersebut antara lain akal, hati,
pancaindra.51
Agar fitrah dalam diri manusia berkembang secara optimal,
maka adanya kerja sama antara guru di sekolah, orang tua di
rumah serta peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam
mengintegrasikan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam terciptanya
kepribadian yang berkarakter mulia.52
Dalam membentuk kepribadian anak, tidak terlepas dari
pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang
ingin membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah
membentuk anak-anaknya menurut pembentukan pada masanya
terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk anaknya mengikuti
masa anaknya.53
Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan orang
tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan
guru.
Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya
dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara
menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali yang mesti
ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan
agama yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang
anak. Menurut Hamka, pendidikan tersebut dimulai sejak anak
dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan dan iqamah. Hal ini,
diharapkan agar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai ketundukan
kepada Khaliqnya.54
51 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 106
52
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. h. 156
53 Hamka. Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h.264
54
Samsul Nizar,Op.Cit, h. 140
73
Pembentukan karakter yang sederhana dapat diperolah dari
akal orang yang bijaksana, maka hubungannya dengan pendidikan
sangat berpengaruh. Maksud dari pendidikan ialah membentuk
anak supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dalam
pergaulan hidup. Hal ini yang dimaksudkan Hamka dari
pendidikan karakter ialah membiasakan berkata terus terang
(jujur). Berani karena benar, sabar atas rintangan dan bantahan,
tahan kena kritik, dan kuat serta teguh. Perlu adanya pengorbanan
yang ditempuh walaupun tidak sedikit akan melewati berbagai
rintangan.55
Dengan demikian, pendidikan bukan saja sebagai proses
pengembangan intelektual dan kepribadian anak, akan tetapi juga
proses sosialisasi anak dengan lingkungan dimana ia berada.
Dalam membentuk kepribadian anak, orang tua memiliki peran
penting dalam menanamkan dasar-dasar agama, sebab dengan
iman yang kuat, maka anak akan mempunyai pegangan hidup yang
benar. Sama halnya dengan guru yang memberikan keteladanan di
sekolah dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur serta
dukungan masyarakat sebagai kontrol sosial.
Dalam hal pendidikan karakter, Buya Hamka adalah sosok
yang paling ideal untuk dijadikan panutan dalam toleransi. Buya
Hamka bersahabat baik dengan KH. Abdullah Syafi’i pendiri dan
pemimpin perguruan Asy-Syafi’iyah. Suatu ketika KH. Abdullah
Syafi’i mengunjungi Buya Hamka di masjid al-Azhar Jakarta
Selatan. Bertepatan dengan hari jumat, menurut jadwal seharusnya
Buya Hamka yang menjadi Khatib. Untuk menghargai sahabatnya
ia meminta KH. Abdullah Syafi’i naik mimbar untuk menjadi
55 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 372
74
khatib jumat. Dan adzan dikumandangkan dua kali, padahal
biasanya sekali saja. Rupanya Buya Hamka menghormati pendapat
ulama betawi mengenai ketentuan adzan sholat jumat.56
C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
dan Hamka tentang Pendidikan Karakter
Seperti yang dideskripsikan sebelumnya bahwa KH. Hasyim Asy’ari dan
Hamka adalah ulama sekaligus pengajar yang memfokuskan pada pentingnya
karakter/akhlak dalam proses pendidikan. Keduanya memilki latar belakang
dan pendekatan yang berbeda dalam pemikiran pendidikan. KH. Hasyim
Asy’ari yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan kental dengan
kehidupan agama yang bergelut dengan kitab kuning dan pandangan mazhab
Syafi’iyyah.
Semasa hidupnya, kiai Hasyim mendapatkan pendidikan dari ayahnya
sendiri, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an dan beberapa penguasaan literatur
keagamaan. Namun, rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat kiai
Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Mulai menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren di Jawa sampai berguru langsung ke ulama di Masjid al-
Haram, Makkah. Di Makkah, kiai Hasyim bermukim selama kurang lebih
tujuh tahun, ia mendapatkan ijazah sebagai pengajar hadis Shahih Bukhari,
langsung dari gurunya Syekh Mahfudz al-Tarmisi.
Sedangkan Hamka, yang diharapkan oleh ayahnya menjadi seorang
ulama, sejak kecil Hamka disibukan dengan rutinitas sekolah dan mengaji
pada ayahnya sampai khatam. Sikap otoriter sang ayah membuat Hamka tidak
menyenangi belajar, dan merasa bosan dengan pendidikan saat itu. Ia
kemudian memilih belajar otodidak dengan membaca berbagai tulisan.
56 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h.105
75
Sampai pada akhirnya ia merantau ke Jawa dan memperoleh pembaharuan
pemikiran yang dinamis dan modernis dari tokoh pembaharuan Islam di
Yogyakarta. Dan menurut Hamka kebebasan intelektualitas berpikir
merupakan pangkal kemajuan dunia.
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai bagaimana persamaan dan
perbedaan pendidikan karakter antara KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang
berbeda latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui, akan tetapi
memiliki misi yang sama pada jalan dakwah untuk membina umat di masanya
masing-masing.
Persamaan pemikiran pendidikan karakter antara KH. Hasyim Asy’ari
dan Hamka, sebagai berikut :
1. Pendidikan
KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka memiliki pandangan yang sama
terkait pendidikan yang menekankan bahwa pendidikan merupakan
sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah dan yang bermanfaat
bagi manusia.
Pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah memanusiakan
manusia secara utuh yang memiliki akhlak mulia dan menjadikan
manusia bertaqwa (takut) kepada Allah SWT.57
Menurut Hamka
pelaksanaan pendidikan diharapkan akan membantu peserta didik
memiliki kepribadian akhlaq al-karimah dan mewujudkan tujuan
hidupnya, baik hubungan antar manusia (khalifah fi al-ardh), maupun
hubungan kepada sang Khaliq (‘abd Allah).
2. Tujuan Pendidikan
Perlunya pengamalan ilmu pengetahuan yang diperoleh
merupakan kesamaan pandangan antara KH. Hasyim Asy’ari dan
Hamka. KH. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa tujuan utama ilmu
57 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.18
76
pengetahuan yang sesungguhnya adalah mengamalkan ilmu dalam
tingkat yang lebih praktis, yakni dengan memanifestasikan dalam
bentuk perbuatan. Sama halnya dengan Hamka yang berpendapat
bahwa ilmu yang tidak diikuti dengan amal perbuatan tidak berguna
bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan, bukan hanya
untuk dipelajari saja.58
3. Pendidik
Dalam menanamkan akhlak mulia, pendidik hendaknya
memperbaiki sikap dan menjadi teladan bagi peserta didik. Menurut
KH. Hasyim Asy’ari pendidik adalah sosok yang mampu
mentransmisikan ilmu pengetahuannya di samping pembentuk sikap
dan etika peserta didik. Bagi Hamka, pendidik harus memiliki sifat-
sifat terpuji yang dapat menjadi teladan oleh muridnya, oleh karena ia
bekerja mengisi rohani manusia.
Berkaitan dengan ini, keduanya memposisikan kedudukan yang
tinggi dan terhormat kepada pendidik, karena selain mentrasfer ilmu,
pendidik juga membentuk dan menanamkan nilai-nilai luhur dan
karakter mulia kepada peserta didik. Oleh karenanya, pendidik
seharusnya memiliki perilaku terpuji dan menjauhi dari segala
perbuatan dan sifat-sifat tercela yang mengurangi derajat
keilmuannya.
4. Peserta Didik
Mengenai peserta didik KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka
mengasumsikan dalam pengembangan potensi akal sebagai pemberian
yang sangat istimewa dari Allah SWT. Maka menurut KH. Hasyim
Asy’ari bagi peserta didik untuk tekun dan betul-betul giat dalam
proses pencerdasan akal serta memiliki waktu tertentu untuk
58 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h.99
77
pengembangan daya inteleknya. Menurut Hamka, untuk
mengembangkan potensi akal, maka harus memberikan kebebasan
berpikir dinamis bagi peserta didik untuk mendorong daya kreatif
dalam rangka pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
5. Pendidikan Karakter
Menurut KH. Hasyim Asy’ari pendidikan karakter
mempengaruhi fitrah manusia dengan lingkungannya. Berada di
tengah lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat akan
membentuk integritas kepribadian anak, dan anak itu sendiri harus
mampu menyaring nilai-nilai karakter yang nantinya akan
dipergunakan untuk kehidupannya. Sejalan dengan hal tersebut,
menurut Hamka fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk
senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi kepada Khaliqnya.
Untuk mengoptimalkan fitrah manusia, maka adanya kerja sama
antara guru di sekolah, orang tua di rumah serta peran masyarakat
sebagai kontrol sosial dalam mengintegrasikan nilai-nilai budi pekerti
luhur dalam terciptanya kepribadian yang berkarakter mulia.
Untuk lebih jelasnya perbandingan pemikiran pendidikan karakter
menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka dalam berbagai aspek pendidikan,
berikut ini penulis sajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah
memahami perbandingan kedua tokoh tersebut :
Tabel 4.1
Konsep Pendidikan Karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka
No. Aspek KH. Hasyim Asy’ari Hamka
1. Pendidikan Berorientasi pada wahyu
dan pendekatan diri
melalui cara sufi
Pendekatan
pendidikan melalui
cara berpikir yang
78
Hati menjadi sentral
pendidikan
dinamis dan prinsip
pendidikan yang
ketauhidan
Akal (alat/sarana)
dalam pengembangan
intelektualitas dan
kemajuan peradaban
2. Tujuan Pendidikan Mencapai Ridho Allah
dan meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat
Dimensi keilmuan,
pengamalan, dan religius
Beriman kepada Allah
dan membentuk anak-
anak berkhidmat
kepada akal dan ilmu
Dimensi ilmu, amal
(akhlak), dan keadilan
3. Pendidik Pendidik adalah makhluk
terbaik/ulama (pewaris
nabi)
Pendidik tidak pernah
salah
Menjaga akhlak dalam
pendidikan
Menjadi teladan bagi
siswanya
Menyesuaikan
perkembangan
jasmaniah dan mental
spiritual siswa
4. Peserta Didik Tidak ada alasan untuk
berlawanan dengan guru
Mensucikan diri/hati
terlebih dahulu
Bersikap kritis kepada
guru (tidak taqlid
buta)
Rindu dan cinta
kepada ilmu
5. Paradigma
Pendidikan Karakter
Segala kondisi yang
terjadi meresponnya
dengan kebaikan budi dan
Fitrah setiap manusia
pada dasarnya berbuat
kebajikan dan tunduk
79
akhlaq al-karimah.
Dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat
kepada Khaliqnya.
Pengaruh pendidikan
orang tua dan agama
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim
Asy’ari dan Hamka
Tujuan pendidikan karakter pada intinya membentuk kepribadian
seseorang yang dijiwai oleh iman dan takwa sehingga melahirkan perilaku-
perilaku terpuji. Kebutuhan pendidikan karakter dalam proses pendidikan
merupakan sesuatu yang sangat penting dan berarti. Hal demikian sejalan
dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang memfokuskan
pentingnya pendidikan karakter dalam proses pendidikan.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari bahwa pada dasarnya pendidikan harus
mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan dengan perbuatan, tapi lebih dari
itu perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang luhur secara
integratif.59
Dalam pandangan Hamka ekspresi fitrah manusia akan terpancar
dalam tabiat kemanusiannya. Eksistensi fitrah hendaknya senantiasa
disempurnakan dan diperhalus supaya tercapai tujuan budi. Proses ini akan
terwujud secara efektif melalui pendidikan. 60
Pemikiran pendidikan karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka
sangat relevan untuk pendidikan saat ini, mengingat beberapa komponen
pendidikan karakter di Indonesia meliputi makna dan tujuan pendidikan,
makna dan landasan filosofis karakter, serta paradigma pendidikan karakter
memiliki keterkaitan yang signifikan. Terkait dengan pendidikan karakter
59 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.77
60
Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press
Group, 2005), h. 264
80
pendidik dan peserta didik dapat dikatakan sebagai insan kamil, maka harus
berpegang teguh kepada tauhid dan moral.
Merujuk pada ide-ide pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang
paling mendasar ialah tentang konsep pendidikan karakter cukup relevan
dengan tujuan pendidikan nasional yang dicetuskan dalam UU Sisdiknas No.
20 Tahun 2003 adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.61
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
mengangkat pendidikan karakter menjadi program prioritas pendidikan dan
kebudayaan. Kebijakan tersebut ditetapkan sebagai upaya mempersiapkan
generasi muda yang tangguh dan berkarakter kuat dalam menghadapi
perkembangan zaman. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut,
Kemendikbud menetapkan Program Penguatan Karakter (PPK) dengan
menambahkan durasi waktu anak didik di sekolah ataupun di luar sekolah
dalam tanggung jawab sekolah sebagai rumah kedua.
Implementasi PPK akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas satuan pendidikan. Dengan tahapan pelaksanaannya
melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler para siswa diluar jam
belajar merupakan jam pelajaran tambahan dalam rangka penguatan karakter,
yang dilakuakan di sekolah, dan/atau di luar sekolah dalam tanggungjawab
sekolah.62
Adapun manfaat dari implikasi program PPK diantaranya adalah
penguatan karakter siswa dalam mempersiapkan daya saing siswa dengan
61 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita
Utama, 2004), h.4
62 sumber: Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta: 8 September 2016, (http://www.kemendikbud.go.id)
81
kompetensi abad 21, yaitu berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan
kolaborasi.
Dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter manusia dan
bangsa Indonesia agar memiliki karakter yang baik, unggul dan mulia. Upaya
yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki
peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk
potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang
dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari
yang tidak baik menjadi baik.63
Implementasi pendidikan karakter dikembangkan dalam proses
pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta
didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan
pembudayaan (habitual). Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan
yakni dalam satuan pendidikan formal dan nonformal, keluarga, dan
masyarakat. Lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan terjadi proses
penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku
berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan
nonformal sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan
masyarakat masing-masing.64
Pendidikan karakter sangatlah penting untuk dikembangkan, karena di
dalam pendidikan karakter terdapat pembelajaran hidup untuk untuk
mempertahankan eksistensi diri dalam bekerja sama sebagai anggota keluarga,
masyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga membantu dalam pengambilan
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain,
perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan
keteladanan yang ditularkan, pembentukan karakter dapat diperoleh dari
63 Direktorat Pendidikan Nasional, Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010,
h. 4
64
Ibid, h.24
82
keteladanan tokoh, guru, orang tua dengan menjadikan mereka sebagai role
model dalam kehidupan keseharian.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan mengenai “Studi
Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang
Pendidikan Karakter” maka, penulis menyimpulkan bahwa :
1. Pemikiran Pendidikan Karakter
a. KH. Hasyim Asy‟ari
Pemikiran pendidikan karakter KH. Hasyim Asy‟ari memiliki
kecendrungan mengetengahkan nilai-nilai estetika yang
bernafaskan sufistik dengan memberikan perhatian khusus
dalam mendidik akhlak yaitu melalui pendidikan karakter.
Proses mencari dan menyebarluaskan ilmu hanya bertujuan
untuk mengharapkan ridho Allah semata. Pendidik dan peserta
didik dituntut untuk menjaga akhlak dalam pendidikan, segala
kondisi yang terjadi senantiasa meresponnya dengan kebaikan
budi dan akhlaq al-karimah., dan pentingnya usaha yang
mendorong terbentuknya karakter positif dalam berperilaku
adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh
pada ketauhidan.
b. Hamka
Pemikiran pendidikan karakter Hamka berangkat dari konsep
tentang manusia yang memiliki fitrah untuk senantiasa berbuat
kebajikan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah fi al-
ardh dan hamba Allah hendaknya mengoptimalkan akal, hati,
dan pancaindera. Pendidikan menurut Hamka tidak hanya
mengoptimalkan kecerdasan intelektual, tetapi lebih dari itu
dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya,
memperhalus akhlaknya, membangun budi pekerti dan
senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Pendidikan orang
84
tua di rumah dan keteladanan guru di sekolah dalam
menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur serta dukungan
masyarakat sebagai kontrol sosial yang bertanggung jawab
dalam pengembangan pendidikan karakter.
2. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Pendidikan Karakter
Persamaan pemikiran pendidikan karakter KH. Hasyim
Asy‟ari dan Hamka menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan perhatian khusus
dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti. Tujuan
pendidikan adalah mengamalkan ilmu pengetahuan dan meraih
Ridho Allah, pendidik mampu menjadi teladan bagi muridnya.
Pendidikan karakter mempengaruhi fitrah manusia dengan
lingkungannya.
Sedangkan perbedaannya terletak pada Hamka menegaskan
bahwa hendaknya peserta didik memiliki sikap kritis, tidak
mengkultuskan gurunya, tidak taqlid buta dan selalu membenarkan
apa yang disampaikan guru. Adapun KH. Hasyim Asy‟ari
memiliki pendekatan yang cendrung sufistik serta pusat
pendidikan terletak pada hati. Berbeda dengan Hamka yang
mengoptimalkan potensi akal, panca indera dan hati dalam proses
pendidikan.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengemukakan implikasi
dari pemikiran kedua tokoh tersebut bahwa:
1. Pendidikan hendaknya bukan pada ranah kognitif tapi lebih
kepada penanaman nilai dan makna sehingga melahirkan peserta
didik yang tidak hanya cerdas akal pengetahuan tetapi memiliki
karakter yang baik.
2. Pendidikan orang tua, keteladanan guru di sekolah dan kontrol
sosial dari masyarakat merupakan tri pusat pendidikan yang
85
bertanggung jawab untuk bekerja sama dalam pengembangan
pendidikan karakter.
3. Guru memberikan pengetahuan tentang kebaikan, setelah siswa
menjadi paham, kemudian dilatih dan dibiasakan, mampu
merasakan sehingga siswa senantiasa berbuat baik (mencintai
kebaikan), dan mau melakukan kebaikan.
C. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi Pendidik
Mengenai konsep pendidikan karakter yang diusung oleh KH.
Hasyim Asy‟ari dan Hamka, sebagai pelaksana dan penanggung jawab
pendidikan, selain untuk meningkatkan profesional dan kompetensi,
pendidik diharapkan senantiasa memperbaiki sikap dan tingkah laku
karena apa yang kita lakukan akan menjadi cerminan keteladanan bagi
peserta didik.
2. Bagi Orang Tua
Anak merupakan anugrah dan investasi akhirat bagi orang tua,
didiklah mereka dengan pengetahuan agama, penuhilah segala
kebutuhan jasmani dan spiritualnya, orang tua tidak harus menuntut
anaknya untuk pintar, tapi lahirlah anak yang berkarakter baik dan
takut kepada Khaliqnya.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat sebagai unsur pendidikan menjadi kontrol sosial dalam
berkontribusi pada pengembangan karakter seseorang. Karena
masyarakat adalah bagian dari lingkungan pendidikan dimana anak
tumbuh dan berkembang.
4. Bagi Pemerintah
Diharapkan untuk berkomitmen dalam mengembangkan kebijakan
pendidikan yang fokus pada pendidikan karakter sehingga terwujudnya
anak bangsa yang cerdas intelektualnya dan berkarakter mulia.
86
DAFTAR PUSTAKA
Ainiyah, Nur. Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal
Al- Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013
Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-
Kubra, Juz 51 BAB Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis
21301, Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994
Akbarwati, Ika. Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat,
diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Anwar, Muhammad Jafar. Membumikan Pendidikan Karakter, Jakarta: CV. Suri
Tatu‟uw, 2015
Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara , 2009
Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011
Asmani, Jamal Ma‟mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di
Sekolah, Yogyakarta: Diva Press, 2013
Burhanudin, Tamyiz. Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak,
Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001
Chairul, Mahfud. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Daryanto & Darmiatun, Suryatri. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
Yogyakarta: Gava Media, 2013
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012
Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006
Faturrohman, Pupuh. Pengembangan Pendidikan Karakter, Bandung: Refika
Aditama, 2013
Fitri, Agus Zainul. Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di
Sekolah, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
87
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014
Hamid, Shalahuddin & Ahza, Iskandar. 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di
Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2003
Hamka. Lembaga Hidup, Jakarta: Republika Penerbit, 2015
---------. Falsafah Hidup, Jakarta: Republika Penerbit 2015
Hamka, Irfan. Ayah, Jakarta: Republika, 2014
Harun, Salman. Tafsir Tarbawi, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013
Hasan, Sholeh. “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif
Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya
terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang :
Universitas Negeri Semarang 2016
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Husaini. Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman,
Vol. XXI, No. 1 Januari-Juni 2014
Isnawati. “Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Ahmad Dahlan
Tentang Konsep Pendidikan Islam”. Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2015. tidak dipublikasikan
Jannah, Roudathul. “Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi
Pekerti”. Skripsi pada jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama
Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga: 2015. tidak
dipublikasikan
Kesuma, Dharma. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2011
Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2015
Khon, Abdul Majid. Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Media Grup, 2014
Khoiruddin. “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi
Kepustakaan dalam kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak
dipublikasikan
88
Leandha, Mei. Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses
2016/05/02 10:45 a.m (http://regional.kompas.com)
M. Noor, Rohinah. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam,
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010
MN, Aguk Irawan. Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari,
Yogyakarta: Kalam Nusantara, 2016
Margono, S. Metodelogi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Marzuki. Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf , Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Majid, Abdul & Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Prespektif Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2008
Maunah, Binti. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan
Kepribadian Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1,
April 2015
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2005
Musli. Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2,
April 2011, h. 217
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2015
Najib, Muhammad & Wiyani, Novan Ardhy. Manajemen Strategik Pendidikan
Karakter Bagi Anak Usia Dini, Yogyakarta: Gava Media,2016
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2012
------. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada,
2012
------. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2010
------. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012
89
------. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
------. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Nafilah, Laeli. “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka (Telaah buku “Lembaga
Hidup” Karya Hamka)” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan
KaliJaga Yogyakarta: 2011, tidak dipublikasikan
Octavia, Lanny, dkk. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014
Purwanto, Nanang. Pengantar Pendidikan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014
Ramayulis & Nizar, Syamsul. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: PT.
Ciputat Press Group, 2005
Rijaluddin. Bunga Rampai Pendidikan Islam, Jakarta: Pusat Kajian Islam
UHAMKA, 2008
Rouf, Abdul. Dimensi Tasawuf HAMKA, Selangor: Piagam Intan SDN.BHD,
2013
Sabri, Alisuf. Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998
Saliman. Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2012
Samani, Muchlas & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011
Shobahussurur. Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal
TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430
Shidiq, Sapiudin. Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan
Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, 2010
Sudin. Pemikiran Hamka Tentang Moral, Jurnal Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli
2011
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendeketan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D, Bandung: Alfabeta, 2013
Sukardjo & Komarudin, Ukim. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya,
Jakarta: Rajawali Press, 2012
90
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007
Sumedi. Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng
Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012
Sururin. Etika Pendidik dan Peserta didik menurut KH. Hasyim Asy’ari, Tahdzib
Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. III, No. 1, Januari 2009
Susanto. Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Suwendi. Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, Ciputat: LekDis, 2005
Syah, Darwyn. Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2007
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta:
CV. Tamita Utama, 2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Yasin, Mubarok & Karyadi, Fathurrahman. Profil Pesantren Tebu Ireng,
Jombang: Pustaka TebuIreng, 2011
Yaumi, Muhammad. Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2014
Yopi Fajar Suryadi. Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin
Fananie Dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam,Skripsi pada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2013. tidak
dipublikasikan
Zaini, Nur. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8,
No.1, 2014
Ziaulhaq, Mochamad. Sekolah Berbasis Nilai, Bandung: Ihsan Press, 2015
Zuhdi, Rahman. “Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim
Asy’ari (Studi: Analisis dan Komparatif). Skripsi pada jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta: 2013. tidak dipublikasikan
BIODATA PENULIS
Nuriah Miftahul Jannah, kelahiran Ende, 13 Februari 1995.
Semenjak menjadi mahasiswa, penulis berdomisili di Kosan
Darwin, Jalan Kertamukti Gg H. Nipan, No.74 RT.001/008,
perumahan Griya Nipah, Pisangan, Ciputat Timur-Tangerang
Selatan. Ketika menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), HMJ PAI (Himpunan
Mahasiswa Jurusan). Pernah menjadi pengurus Asrama Putri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Penulis pernah
menjadi admin/staff di kantor jurusan PAI. Anggota di Lentera
Muda Ciputat. Selain itu, penulis adalah tim dalam akreditasi
jurusan PAI tingkat ASEAN (AUN-QA).