Studi Kasus Perpajakan

17
 STUDI KASUS PERPAJAKAN KASUS 1 SOAL I Berikan komentar terkait kasus Sengketa Pajak Tahun 2005 berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 dilihat dari perspektif regulasi perpajakan tentang pengeluaran dari kantor pusat yang dibebankan sebagai biaya bagi anak perusahannya atau BUT di Indonesia!  Regulasi Perpajakan tentang Pengeluaran dari Kantor Pusat yang dibebankan sebagai biaya bagi anak usahanya memiliki dasar hukum antara lain : 1. Pasal 5 ayat (3) UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan 2. KEP-62/PJ/1995 tentang Jenis Dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap 3. SE-08/PJ.42/2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Laba/Rugi Selisih Kurs  Atas Perkiraan Hutan g Kepada Kan tor Pusat Bagi BUT 4. SE-04/PJ.7/1993 tentang Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP - 1) Berdasarkan putusan pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 terdapat sengketa pembebanan biaya yang dilakukan wajib pajak karena adanya: 1. Biaya Marketing Research  Pelaksanaan riset ini dilakukan oleh Kantor Pusat untuk kepentingan pelanggan wajib pajak. Riset ini dilakukan di Luar Negeri, sedangkan pelanggan wajib pajak ada di dalam negeri. 2. Biaya Service & Agreement Fee  Biaya ini dikeluarkan oleh Kantor Pusat dan wajib pajak dikenakan charge dan dibebankan ke wajib pajak Wajib Pajak, Dalam hal ini, asumsikan PT.X adalah Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk tahun pajak 2005 atas pajak penghasilan badan. Dari hasil pemeriksaan, Biaya PT.X dikoreksi dan tidak diakui sebagai pengurang penghasilan bruto untuk penghasilan kena pajak. Salah satu biaya yang menjadi sengketa adalah biaya Service & Agreement Fee.

Transcript of Studi Kasus Perpajakan

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 1/17

 

STUDI KASUS PERPAJAKAN

KASUS 1

SOAL I

Berikan komentar terkait kasus Sengketa Pajak Tahun 2005 berdasarkan

Putusan Pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 dilihat dari

perspektif regulasi perpajakan tentang pengeluaran dari kantor pusat yang

dibebankan sebagai biaya bagi anak perusahannya atau BUT di Indonesia! 

Regulasi Perpajakan tentang Pengeluaran dari Kantor Pusat yang dibebankan sebagai

biaya bagi anak usahanya memiliki dasar hukum antara lain :

1.  Pasal 5 ayat (3) UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

2.  KEP-62/PJ/1995 tentang Jenis Dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang

Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap

3.  SE-08/PJ.42/2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Laba/Rugi Selisih Kurs

 Atas Perkiraan Hutang Kepada Kantor Pusat Bagi BUT

4.  SE-04/PJ.7/1993 tentang Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP - 1)

Berdasarkan putusan pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 terdapat

sengketa pembebanan biaya yang dilakukan wajib pajak karena adanya:

1.  Biaya Marketing Research  

Pelaksanaan riset ini dilakukan oleh Kantor Pusat untuk kepentingan pelanggan

wajib pajak. Riset ini dilakukan di Luar Negeri, sedangkan pelanggan wajib pajak

ada di dalam negeri.

2.  Biaya Service & Agreement Fee  

Biaya ini dikeluarkan oleh Kantor Pusat dan wajib pajak dikenakan charge dan

dibebankan ke wajib pajak

Wajib Pajak, Dalam hal ini, asumsikan PT.X adalah Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,

diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk tahun pajak 2005 atas pajak

penghasilan badan. Dari hasil pemeriksaan, Biaya PT.X dikoreksi dan tidak diakui

sebagai pengurang penghasilan bruto untuk penghasilan kena pajak. Salah satu biaya

yang menjadi sengketa adalah biaya Service & Agreement Fee.

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 2/17

DJP melakukan koreksi atas biaya Service & Agreement Fee   sebesar

Rp1.159.751.195,00 dengan dasar sebagai berikut :

1.  Secara substansial sebenarnya kepemilikan atas PT X secara modal, manajemen

maupun teknologi berada sepenuhnya di tangan Kantor Pusat, Chui Senko

 Adv.Co., Ltd, Japan. Kedudukan pemegang saham yang tercatat secara formal

hanyalah untuk menutupi substansi yang sebenarnya.

2.  Selain itu, terdapat hubungan istimewa (related party ) antara PT.X dan Kantor

Pusatnya, Kantor Pusat merupakan pemilik merk dan jaringan “Chuo Senko”.

 Atas Penggunaan merk tersebut, tidak ada perjanjian kewajiban pembayaran

royalti oleh PT.X.

Pengadilan dalam hal ini diwakili oleh Majelis berkesimpulan bahwa koreksi yang

dilakukan DJP atas biaya Service & Agreement Fee   sebesar Rp1.159.751.195,00 tidakdapat dipertahankan karena melihat fakta-fakta bahwa:

1.  Terdapat MoU per tanggal 1 Maret 2000 antara Kantor Pusat dengan PT X atas

penggunaan merk dagang Chuo Senko oleh PT X dan PT X setuju membayar

royalty kepada Kantor Pusat yang besarannya diputuskan atas dasar keuntungan

dan kesepakatan bersama.

2.  Terdapat perjanjian manajemen fee antara Kantor Pusat dengan PT X

3. 

Tidak ada RUPS yang dilakukan PT X perihal pembagian dividen4.  Kantor Pusat bukan pemegang saham PT X

5.  Laba bersih PT X masih menunjukkan rugi sehingga tidak memungkinkan untuk

membagikan dividen

6.  DJP tidak menentukan jumlah transaksi wajar atas transaksi PT X dengan kantor

pusatnya yang memiliki hubungan istimewa

 Atas perbedaan dalam koreksi biaya Service & Agreement Fee   dan Biaya marketing

Research, saya melakukan pendekatan dalam studi Kasus ini mengacu berdasarkan

kepada UU PPh Pasal 5 ayat 3 diatur ketentuan sebagai berikut :

Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :

1.  biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya

yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

2. 

pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai

biaya adalah : a) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta,

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 3/17

paten, atau hak hak lainnya;

b) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

c) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

3. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari

kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan

dengan usaha perbankan."

4.  pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari

kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan

dengan usaha perbankan."

Berdasarkan peraturan pelaksanaan KEP-62/PJ/1995 tentang Jenis Dan Besarnya

Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya

Suatu Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut:

 “ Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari

penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia

adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam

rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan

untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya

administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto

di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran

usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh

peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Bentuk usaha

tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat, wajib

menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang

meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun

pajak yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan. Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi harus sudah diaudit olehakuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan

serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing

bentuk usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha

atau kegiatan.”  

Menurut dasar hukum di atas, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk

menetapkan besarnya biaya administrasi kantor pusat yang dapat dibebankan dengan

melakukan analisa kewajaran atas transaksi yang terjadi apabila memenuhi kaidahsebagaimana dimaksud di atas.

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 4/17

 Atas kasus di atas, penulis berpendapat, terdapat pokok masalah yang sama yaitu

mengenai hubungan istimewa antara PT. X dan “Chuo Senko”, Japan . Hubungan

istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UU Pajak Penghasilan :

Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d),

Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

-  Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling

rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara

Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen)

pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau

lebih yang disebut terakhir;

-  Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak

berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;

atau

-  terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis

keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hubungan tersebut tidak disanggah Wajib Pajak sehingga Tim Pemeriksa

dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dan peraturan mengenai transaksidengan Hubungan Istimewa. Hal tersebut diatur pada:

 “Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau

kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan

dengan pekerjaan yang dilakukan”  

a. 

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tentang PetunjukPenanganan Kasus-. Kasus Transfer Pricing

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan antisipasi

terhadap dinamika perkembangan bentuk transaksi bisnis dengan peraturan-peraturan

yang cukup memadai. Dirasa cukup memadai karena telah menentukan kaidah biaya-

biaya tertentu yang tidak diperbolehkan sehubungan dengan Bentuk Usaha Tetap dan

biaya –biaya tertentu baik BUT maupun Badan apabila melakukan transaksi hubungan

istimewa. Namun salah satu pasal yang penulis rasa cukup efektif namun belummemiliki peraturan teknis adalah Pasal 18 ayat (3) dimana Direktur Jenderal Pajak

berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 5/17

menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak

bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya

sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan

istimewa.

Kata-kata kelaziman usaha ini menjadi sangat subyektif dan praktiknya di lapangan

tidak mudah untuk mencari kesebandingan dengan usaha yang lain .Apabila merujuk

dalam kasus sengketa banding yang terjadi terkait

-  Biaya Marketing Research  

perlu dilakukan analisa dan pembuktian lebih mendalam kemanfaatan biaya dan

kewajaran nilai biaya tersebut dalam rangka mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan PT. X di Indonesia. Apabila PT. X melakukan ekspor

produk atau jasa dan biaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan penghasilan

atas pasar di negeri-negeri tempat PT.X mendapatkan penghasilan maka dapat

dibiayakan. Artinya Riset Pemasaran dilakukan untuk melakukan ekspansi

maupun penetrasi pasar di negara-negara tujuan dan hal tersebut telah terjadi

dan dapat dibuktikan. Pembuktian hal tersebut yang menentukan kekuatan Tim

Pemeriksa dalam melakukan koreksi dengan berdasarkan koridor peraturan yang

ada. Selain pengujian terhadap substansi riset, harus dilakukan pengujian

bentuk bisnis utama perusahaan pelaku riset(kantor pusat). Ketika induk

perusahaan melakukan riset sedangkan hasil riset tersebut dibebankan kepada

PT. X di Indonesia tentunya atas pembebanan tersebut lebih pantas menjadi

bentuk hibah(foundation ) dimana atas hasil riset tersebut belum dapat diketahui

kemanfaatan bagi manajemen PT. X dalam mengambil kebijaksanaan. Kecuali

memang Kantor Pusat merupakan perusahaan penjual jasa riset dan atas hasil

risetnya diserahkan kepada PT.X untuk meningkatkan penjualan.

-  Biaya Service & Agrement Fee  :

perlu dilakukan analisa dan pembuktian lebih mendalam tentag kemanfaatan

biaya Service & Agrement Fee.  Pada tahun tersebut adakah Corporate

Guarantee , Jasa Manajemen, dan lainnya yang diberikan dan kemanfaatan yang

didapat PT. X terkait jaminan tersebut. PT. X dalam tahun berjalan mengalami

kerugian, apabila selama beberapa tahun terakhir selalu membebankan biaya diatas namun perusahaan sering mengalami kerugian setiap tahunnya tentunya

bukan hal yang wajar. Tim Pemeriksa harus dapat membuktikan dahulu

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 6/17

keberadaan atau realisasi biaya Biaya Service & Agrement Fee  

tersebut kemudian melakukan analisa kewajaran biaya tersebut.

 Atas kasus ini juga, penulis tidak sependapat dengan Tim Pemeriksa terkait istilah

Dividen Terselubung atas transaksi pemberian Biaya Service and Agrement Fee  

sesungguhnya sangat berisiko karena istilah Dividen Terselubung tersebut tidak diatur

(normanya) dalam batang tubuh Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana

perubahan terakhir sehingga Tim Pemeriksa tidak mempunyai kekuatan hukum yang

 jelas dalam mengatakan hal tersebut sebagai dividen terselubung. Istilah Dividen

Terselubung baru muncul pada penjelasan Undang-Undang Pajak Penghasilan

sedangkan Dividen sebagai Objek Pajak penghasilan diatur dalam batang tubuh

Undang-Undang Pajak Penghasilan. Peraturan teknis(turunan) mengenai Dividen

Terselubung pun akan menjadi tidak efektif karena menurut Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

1)  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2)  UU/Perppu;

3)  Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden;

5)  Peraturan Daerah.

Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku sekarang namun berlaku

pada Tahun Pajak 2005. Sebenarnya Tim Pemeriksa dapat mengambil pemahaman lain

atas koreksi Biaya Service and Agrement Fee dengan pembuktian keberadaan dankemanfaatan bagi PT. X.  Apabila menggunakan istilah Deviden Terselubung tentunya

Majelis Hakim akan menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai Deviden dalam

Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas karena dalam Undang-

undang tersebut diatur lebih mendetail mengenai Dividen. Termasuk tidak mungkin ada

RUPS, Kantor Pusat PT. X bukan pemegang saham, dan laba bersih PT.X masih

menunjukkan “Rugi”. Hal tersebut secara otomatis akan menggugurkan pengenaan

 “Deviden Terselubung” oleh Tim Pemeriksa. Sehingga saya mendukung keputusan

Majelis Hakim atas dasar sebagaimana di atas. Supaya lebih konstruktif saya memberi

solusi dengan melakukan perubahan UU Pajak Penghasilan atau menerbitkan Perpunya

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 7/17

 jika ingin memperkuat istilah “Deviden Terselubung” menjadi sebuah norma dalam

batang tubuh undang-undang.

Dan terhadap sengketa atas koreksi Biaya Marketing and Research  , Saya

tidak setuju koreksi atas Biaya Marketing and Research   karena Majelis

Hakim tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan biaya tersebut. Padahal

Majelis Hakim mengakui bahwa tidak terdapat kepemilikan saham Kantor

Pusat pada PT.X namun melakukan pembiaran atas biaya tersebut yang

 justru ditanggung oleh PT. X.

Kesimpulan

Pada dasarnya UU Pajak Indonesia mengakomodasi pembebanan biaya

administrasi kantor pusat terhadap BUTnya di Indonesia. Alokasi biaya-biaya

tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang

diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Namun

karena transaksi tersebut memenuhi kriteria transaksi yang melibatkan

pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa maka Direktorat Jenderal

Pajak harus menganalisis kewajaran nilai biaya yang dibebankan tersebut

dengan mengkomparasi kepada pihak-pihak independen dan memastikan

bahwa biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat tersebut

berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk

usaha tetap yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan di Indonesia. DJP juga harus memastikan besarnya

biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari

penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan

besarnya peredaran usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia

terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh

dunia.

SOAL 2

Berikan Opini Saudara (selain putusan pengadilan pajak tersebut di atas)sebagai solusi atas kasus tersebut yang seharusnya dilakukan oleh

fiskus/pengadilan pajak, yang memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak. 

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 8/17

 

Saya berpendapat bahwa putusan pengadilan pajak tersebut di atas belum

memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak. Atas biaya yang menjadi objek sengketa

yaitu biaya marketing research   dan biaya service & agreement fee sebaiknya dirincimenjadi lebih detail agar Direktrorat Jenderal  Pajak lebih mudah dalam menganalisis

bukti-bukti dokumen pendukung transaksi, yang meliputi MoU ataupun kontrak antara

Kantor Pusat dengan PT X dan melakukan perhitungan ulang kewajaran transaksi

dengan membandingkannya kepada pihak-pihak yang independen.

Majelis juga seharusnya tidak hanya menyandarkan putusannya pada UU Nomor 1

Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas lebih banyak mengambil regulasi perpajakan di

Indonesia namun juga membandingkan apa yang telah dilakukan oleh Direktorat

Jenderal Pajak dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut regulasi UU pajak yang

berlaku di Indonesia dalam memperlakukan biaya administrasi kantor pusat. Sehingga

apabila hal-hal tersebut dilakukan dengan baik, seharusnya objek sengketa tersebut

dapat dipisahkan dan dihitung kembali secara wajar mana yang boleh dibebankan

sesuai dengan poporsi laba PT X terhadap laba Kantor Pusat di seluruh dunia dan mana

yang tidak boleh dibebankan olah PT X.

KASUS 2 

 Yayasan “ABC” di Jakarta adalah sebuah lembaga nirlaba di bidangpendidikan 

SMU hingga Universitas menyajikan laporan keuangan tahun 2011. 

1.  Bagaimana Perlakuan perpajakan yang benar dan tepat untuk yayasan “ABC”

Jakarta bila diinginkan pengembangan yayasan pendidikan tsb sesuai

ketentuan perpajakan yang berlaku?

2.  Jelaskan secara sistematis langkah-langkah/tindakan koreksi apa yang

harus dilakukan oleh manajemen yayasan utk memperbaiki kinerja

keuangan yang terkait dengan kebijakan pajak yayasan tsb yg berbasis

penghematan pajak!

3.  Berapa Pajak yang seharusnya dapat dihemat oleh yayasan tsb?

4.  Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh yayasan yang diinginkan

oleh fiskus terkait dengan pelaksanaan kebijakan pajak yayasan yang

baru tersebut?

5.  Masih adakah PPh Badan yang terutang yang seharusnya tahun 2011 dan

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 9/17

2012? Jelaskan hitungannya!Hitung juga PPh Pasal 25 tahun 2012 bila

ada

6.  Kapan yayasan nirlaba tsb dikenakan pajak penghasilan badan?

1.  Bagaimana Perlakuan perpajakan yang benar dan tepat untuk yayasan “ABC”

Jakarta bila diinginkan pengembangan yayasan pendidikan tsb sesuai

ketentuan perpajakan yang berlaku?

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan terdapat definisi, Yayasan adalah

badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untukmencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak

mempunyai anggota. Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada

pembina, pengurus, dan pengawas.

Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh

 Yayasan berdasarkan undang-undang, dilarang dialihkan atau dibagikan secara

langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau

bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas,

kecuali:

1. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas;

2. Melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.

Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk

uang atau barang. Kekayaan yayasan dapat diperoleh dari hal-hal berikut ini:

1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat.

2. 

Wakaf.

3. Hibah.

4. Hibah wasiat.

5. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar Yayasan dan atau

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Yayasan adalah subjek

pajak. Yayasan menjadi wajib pajak jika menerima atau memperoleh penghasilan yang

merupakan objek pajak. Namun, meskipun tidak menerima atau memperoleh

penghasilan yang merupakan objek pajak, Yayasan tetap menjadi wajib pajak jika

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 10/17

memenuhi kriteria sebagai pemotong pajak. Dalam hal ini, Yayasan bertindak sebagai

pemotong PPh pasal 21 atas penghasilan berupa gaji, honorarium, upah, tunjangan

yang dibayarkan kepada karyawan/peserta kegiatan/pihak lain. Secara umum

pelaksanaan hak dan kewajiban Yayasan sama dengan bentuk usaha lain, kecuali hal-

hal khusus yang diatur tersendiri.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 80/PMK.03/2009 Tentang Sisa

Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam

Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan, Yang Dikecualikan

Dari Objek Pajak Penghasilan merupakan hal khusus yang harus diperhatikan dalam

kasus ini antara lain sebagai berikut:

1.  Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali

dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun,

dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih

tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

2.  Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selisih dari seluruh

penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang

dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya

operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

3.  Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan

atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang

penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang

membidanginya.

4.  Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan

pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung

dan prasarana tersebut;

b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;

c.  pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau

karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi

lembaga pendidikan formal.

5. 

 Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 11/17

kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai

Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat)

tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

6.   Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat

sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai

penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai

ketentuan yang berlaku.

Maka bisa kita simpulkan bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai kewajiban

penyetoran SPT Tahunan PPh Badan apabila dalam jangka empat tahun sisa laba

yayasan digunakan untuk pembangunan gedung dan sarana prasarana. Hanya

Wajib Pajak berkewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Nihil.

2.  Jelaskan secara sistematis langkah-langkah/tindakan koreksi apa yang

harus dilakukan oleh manajemen yayasan utk memperbaiki kinerja

keuangan yang terkait dengan kebijakan pajak yayasan tsb yg berbasis

penghematan pajak!

a.  Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan

dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik

sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana

kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor

Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi

yang membidanginya.

b.  Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih

tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan

prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai,

dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

c.  sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun

yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana

kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 12/17

dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan

dan/atau penelitian dan pengembangan

d.  pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan

prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun

berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan

dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau

lembaga nirlaba.

e.   Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana

kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa

lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak boleh dilakukan penyusutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 11  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang 

Nomor 36 Tahun 2008. 

f.   Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan

dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya

bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga

perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan.

g.  Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya

proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan

dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan

atau lembaga nirlaba.

h.  Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih

dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana,

biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga

perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan.

i.  Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan

pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat :

1)  pernyataan bahwa:

a)  sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana

pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat)

tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, dan

b)  sisa lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 13/17

digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan

dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak

diperolehnya sisa lebih tersebut.

yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;

2)  pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap

tahun; dan

3)  laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan

menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak

terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

3.  Berapa Pajak yang seharusnya dapat dihemat oleh yayasan tsb?

Tidak dapat diketahui karena Laporan Keuangan yang disajikan tidak lengkap. 

KASUS 3 

Berikan komentar Saudara sesuai instruksi untuk menyikapi kasus belum

dilaporkannya PPN JLN dengan cara: 

4.  Mengkuantfisir VAT exposures atas kelalaian tadi

5.  Menginventarisir tindakan yang mungkin dilakukan perusahaan atas

temuan tersebut

6.  Merekomendasikan pilihan mana yang paling tepat dari kacamata pajak

Dasar Hukum

1.  Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN

2.  Pasal 11 ayat (1) huruf e UU PPN

3.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE - 147/PJ/2010 tentang Penjelasan

 Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010  Tentang Tata Cara

Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai

 Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak

Dari Luar Daerah Pabean

PPN atas Jasa Luar Negeri merupakan salah satu objek Pajak Pertambahan Nilai

berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN yang berbunyi “Pajak Pertambahan Nilai

dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean”. 

Berdasarkan hasil penelaahan PPN untuk tahun pajak 2009 yang meliputi masa

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 14/17

Januari s.d. Desember 2009 diketahuin bahwa perusahaan telah mengakui adanya

accrual management services fee di bulan Juni dan Desember masing-masing sebesar

Rp500.000.000,00. Billing yang diterima pun sudah dilunasi pada bulan Juli 2009 dan

Januari 2010. Hanya saja perusahaan lupa untuk melakukan penyetoran atas PPN JLN

tersebut.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e, terutangnya PPN terjadi pada saat

pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean atau pada Pasal 11 ayat (2),

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum

penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya

pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah

Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Dijelaskan lebih detail

dalam SE-147/PJ/2010 bahwa Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 15/17

 Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean

terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau

Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut. Saat dimulainya pemanfaatan adalah

saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:

a.  saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut secara

nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;

b.  saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak

tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;

c.  saat harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena

Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau

d.  saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak

tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.

Sehingga kalau dilihat dari ilustrasi temuan perusahaan yang telah mencatat akun

accrual management services fee maka PPN JLN telah terutang dan harus dilakukan

penyetoran ke kas Negara. PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak

Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib dipungut dan

disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan

menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan

Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,

paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak dan dilaporkan

sebagai Pajak Masukan, PPN yang telah disetor dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan

(SPT) Masa PPN bulan terutangnya pajak dan dapat dilaporkan pada masa pajak

berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang

bersangkutan. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN

atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari

luar Daerah Pabean.

No.  Deskripsi  Juni 2009  Desember 2009 

1 Penjualan bulan ybs 2.000.000.000 1.750.000.000

2 PPN Keluaran 200.000.000 175.000.000

3 PPN Masukan 125.000.000 75.000.000

4 PPN KB 75.000.000 100.000.000

5 Tanggal bayar PPN terutang 9 Juli 2009 8 Januari 2010

6 Tanggal Lapor SPT Masa PPN 17 Juli 2009 20 Januari 2010

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 16/17

7 Sanksi telat bayar PPN JLN bila 24.000.000 24.000.000

ditemukan dalam pemeriksaan: 2% x

24 bln x 50.000.000

8 Pajak Masukan yang seharusnya 175.000.000 125.000.000dapat dikreditkan

 Asumsi saat ini adalah akhir bulan November Tahun 2014, ada beberapa kemungkinan

yang bisa terjadi :

1.  Jika perusahaan membiarkan temuan tersebut dan perusahaan mungkin saja

diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak lalu atas PPN JLN bulan Juni dan Desember

2009 yang belum dibayarkan tersebut ditemukan oleh pemeriksa, makaakan dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak dengan rincian :

Pokok Pajak 100.000.000

Sanksi administrasi 48.000.000+

Jumlah Pajak yg hrs dibayar 148.000.000

2.  Jika perusahaan segera membayar PPN JLN PPN JLN bulan Juni dan Desember 2009

tersebut sebesar 100.000.000 dan atas pembayaran tersebut pihak DJP tahu bahwa

ada keterlambatan pembayaran PPN JLN maka akan diterbitkan STP sanksi

administrasi atas keterlambatan penyetoran dengan rincian :

Masa Juni 2009 : 2% x 65 bulan x 50.000.000 = 65.000.000

Masa Desember 2009 : 2% x 59 bulan x 50.000.000 =

59.000.000

Total sanksi administrasi sebesar 124.000.000 sehingga total pajak yang harus

dibayar perusahaan menjadi 224.000.000.

3.  Jika perusahaan membiarkan temuan tersebut dengan asumsi bahwa DJP tidak

mengetahui hal tersebut dan tidak dilakukan pemeriksaan terhadap perusahaan

maka 5 tahun setelah saat terutangnya PPN adalah batas akhir daluwarsa

penetapan pajak. Untuk PPN JLN yang terutang masa Juni 2009 maka pada akhir

Juni 2014 lah batas akhir daluwarsa penetapan pajaknya sehingga pada saat ini

utang pajak yang belum dibayar yang masih bisa ditetapkan hanya atas PPN JLN

masa desember 2009.

 Apabila kita melihat dari kacamata kepatuhan terhadap Undang-undang pajak tanpa

bermaksud menghindari kewajiban perpajakan dengan cara melanggar Undang-

undang, maka saya sarankan untuk memilih opsi pertama karena secara matematis

7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan

http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 17/17

17

perusahaan lebih untung karena jumlah pajak yang dibayar tidak sebesar opsi ke 2 dan

tidak ada pelanggaran terhadap UU perpajakan. Konsekuensi dari semua pilihan adalah

bahwa pajak masukan yang timbul sudah tidak dapat dikreditkan di PST Masa PPN

karena sudah melampaui masa 3 bulan pengkreditan di masa tidak sama, namun masih

ada opsi pembetulan SPT masa Juni dan Desember 2009 sepanjang belum dilakukan

pemeriksaan atau bisa juga dengan dijadikan biaya di SPT Tahunan PPh Badan

Perusahaan.