Studi Kasus Perpajakan
-
Upload
muammar-khadafi -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
Transcript of Studi Kasus Perpajakan
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 1/17
STUDI KASUS PERPAJAKAN
KASUS 1
SOAL I
Berikan komentar terkait kasus Sengketa Pajak Tahun 2005 berdasarkan
Putusan Pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 dilihat dari
perspektif regulasi perpajakan tentang pengeluaran dari kantor pusat yang
dibebankan sebagai biaya bagi anak perusahannya atau BUT di Indonesia!
Regulasi Perpajakan tentang Pengeluaran dari Kantor Pusat yang dibebankan sebagai
biaya bagi anak usahanya memiliki dasar hukum antara lain :
1. Pasal 5 ayat (3) UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
2. KEP-62/PJ/1995 tentang Jenis Dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang
Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap
3. SE-08/PJ.42/2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Laba/Rugi Selisih Kurs
Atas Perkiraan Hutang Kepada Kantor Pusat Bagi BUT
4. SE-04/PJ.7/1993 tentang Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP - 1)
Berdasarkan putusan pengadilan Nomor : PUT.28821/PP/M.VII/15/2011 terdapat
sengketa pembebanan biaya yang dilakukan wajib pajak karena adanya:
1. Biaya Marketing Research
Pelaksanaan riset ini dilakukan oleh Kantor Pusat untuk kepentingan pelanggan
wajib pajak. Riset ini dilakukan di Luar Negeri, sedangkan pelanggan wajib pajak
ada di dalam negeri.
2. Biaya Service & Agreement Fee
Biaya ini dikeluarkan oleh Kantor Pusat dan wajib pajak dikenakan charge dan
dibebankan ke wajib pajak
Wajib Pajak, Dalam hal ini, asumsikan PT.X adalah Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk tahun pajak 2005 atas pajak
penghasilan badan. Dari hasil pemeriksaan, Biaya PT.X dikoreksi dan tidak diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto untuk penghasilan kena pajak. Salah satu biaya
yang menjadi sengketa adalah biaya Service & Agreement Fee.
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 2/17
DJP melakukan koreksi atas biaya Service & Agreement Fee sebesar
Rp1.159.751.195,00 dengan dasar sebagai berikut :
1. Secara substansial sebenarnya kepemilikan atas PT X secara modal, manajemen
maupun teknologi berada sepenuhnya di tangan Kantor Pusat, Chui Senko
Adv.Co., Ltd, Japan. Kedudukan pemegang saham yang tercatat secara formal
hanyalah untuk menutupi substansi yang sebenarnya.
2. Selain itu, terdapat hubungan istimewa (related party ) antara PT.X dan Kantor
Pusatnya, Kantor Pusat merupakan pemilik merk dan jaringan “Chuo Senko”.
Atas Penggunaan merk tersebut, tidak ada perjanjian kewajiban pembayaran
royalti oleh PT.X.
Pengadilan dalam hal ini diwakili oleh Majelis berkesimpulan bahwa koreksi yang
dilakukan DJP atas biaya Service & Agreement Fee sebesar Rp1.159.751.195,00 tidakdapat dipertahankan karena melihat fakta-fakta bahwa:
1. Terdapat MoU per tanggal 1 Maret 2000 antara Kantor Pusat dengan PT X atas
penggunaan merk dagang Chuo Senko oleh PT X dan PT X setuju membayar
royalty kepada Kantor Pusat yang besarannya diputuskan atas dasar keuntungan
dan kesepakatan bersama.
2. Terdapat perjanjian manajemen fee antara Kantor Pusat dengan PT X
3.
Tidak ada RUPS yang dilakukan PT X perihal pembagian dividen4. Kantor Pusat bukan pemegang saham PT X
5. Laba bersih PT X masih menunjukkan rugi sehingga tidak memungkinkan untuk
membagikan dividen
6. DJP tidak menentukan jumlah transaksi wajar atas transaksi PT X dengan kantor
pusatnya yang memiliki hubungan istimewa
Atas perbedaan dalam koreksi biaya Service & Agreement Fee dan Biaya marketing
Research, saya melakukan pendekatan dalam studi Kasus ini mengacu berdasarkan
kepada UU PPh Pasal 5 ayat 3 diatur ketentuan sebagai berikut :
Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
1. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
2.
pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah : a) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta,
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 3/17
paten, atau hak hak lainnya;
b) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
c) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
3. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan."
4. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan."
Berdasarkan peraturan pelaksanaan KEP-62/PJ/1995 tentang Jenis Dan Besarnya
Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya
Suatu Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut:
“ Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam
rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya
administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran
usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh
peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Bentuk usaha
tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat, wajib
menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang
meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun
pajak yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi harus sudah diaudit olehakuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan
serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing
bentuk usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha
atau kegiatan.”
Menurut dasar hukum di atas, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk
menetapkan besarnya biaya administrasi kantor pusat yang dapat dibebankan dengan
melakukan analisa kewajaran atas transaksi yang terjadi apabila memenuhi kaidahsebagaimana dimaksud di atas.
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 4/17
Atas kasus di atas, penulis berpendapat, terdapat pokok masalah yang sama yaitu
mengenai hubungan istimewa antara PT. X dan “Chuo Senko”, Japan . Hubungan
istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UU Pajak Penghasilan :
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d),
Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir;
- Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
- terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Hubungan tersebut tidak disanggah Wajib Pajak sehingga Tim Pemeriksa
dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dan peraturan mengenai transaksidengan Hubungan Istimewa. Hal tersebut diatur pada:
“Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan”
a.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tentang PetunjukPenanganan Kasus-. Kasus Transfer Pricing
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan antisipasi
terhadap dinamika perkembangan bentuk transaksi bisnis dengan peraturan-peraturan
yang cukup memadai. Dirasa cukup memadai karena telah menentukan kaidah biaya-
biaya tertentu yang tidak diperbolehkan sehubungan dengan Bentuk Usaha Tetap dan
biaya –biaya tertentu baik BUT maupun Badan apabila melakukan transaksi hubungan
istimewa. Namun salah satu pasal yang penulis rasa cukup efektif namun belummemiliki peraturan teknis adalah Pasal 18 ayat (3) dimana Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 5/17
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.
Kata-kata kelaziman usaha ini menjadi sangat subyektif dan praktiknya di lapangan
tidak mudah untuk mencari kesebandingan dengan usaha yang lain .Apabila merujuk
dalam kasus sengketa banding yang terjadi terkait
- Biaya Marketing Research
perlu dilakukan analisa dan pembuktian lebih mendalam kemanfaatan biaya dan
kewajaran nilai biaya tersebut dalam rangka mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan PT. X di Indonesia. Apabila PT. X melakukan ekspor
produk atau jasa dan biaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan penghasilan
atas pasar di negeri-negeri tempat PT.X mendapatkan penghasilan maka dapat
dibiayakan. Artinya Riset Pemasaran dilakukan untuk melakukan ekspansi
maupun penetrasi pasar di negara-negara tujuan dan hal tersebut telah terjadi
dan dapat dibuktikan. Pembuktian hal tersebut yang menentukan kekuatan Tim
Pemeriksa dalam melakukan koreksi dengan berdasarkan koridor peraturan yang
ada. Selain pengujian terhadap substansi riset, harus dilakukan pengujian
bentuk bisnis utama perusahaan pelaku riset(kantor pusat). Ketika induk
perusahaan melakukan riset sedangkan hasil riset tersebut dibebankan kepada
PT. X di Indonesia tentunya atas pembebanan tersebut lebih pantas menjadi
bentuk hibah(foundation ) dimana atas hasil riset tersebut belum dapat diketahui
kemanfaatan bagi manajemen PT. X dalam mengambil kebijaksanaan. Kecuali
memang Kantor Pusat merupakan perusahaan penjual jasa riset dan atas hasil
risetnya diserahkan kepada PT.X untuk meningkatkan penjualan.
- Biaya Service & Agrement Fee :
perlu dilakukan analisa dan pembuktian lebih mendalam tentag kemanfaatan
biaya Service & Agrement Fee. Pada tahun tersebut adakah Corporate
Guarantee , Jasa Manajemen, dan lainnya yang diberikan dan kemanfaatan yang
didapat PT. X terkait jaminan tersebut. PT. X dalam tahun berjalan mengalami
kerugian, apabila selama beberapa tahun terakhir selalu membebankan biaya diatas namun perusahaan sering mengalami kerugian setiap tahunnya tentunya
bukan hal yang wajar. Tim Pemeriksa harus dapat membuktikan dahulu
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 6/17
keberadaan atau realisasi biaya Biaya Service & Agrement Fee
tersebut kemudian melakukan analisa kewajaran biaya tersebut.
Atas kasus ini juga, penulis tidak sependapat dengan Tim Pemeriksa terkait istilah
Dividen Terselubung atas transaksi pemberian Biaya Service and Agrement Fee
sesungguhnya sangat berisiko karena istilah Dividen Terselubung tersebut tidak diatur
(normanya) dalam batang tubuh Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana
perubahan terakhir sehingga Tim Pemeriksa tidak mempunyai kekuatan hukum yang
jelas dalam mengatakan hal tersebut sebagai dividen terselubung. Istilah Dividen
Terselubung baru muncul pada penjelasan Undang-Undang Pajak Penghasilan
sedangkan Dividen sebagai Objek Pajak penghasilan diatur dalam batang tubuh
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Peraturan teknis(turunan) mengenai Dividen
Terselubung pun akan menjadi tidak efektif karena menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) UU/Perppu;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku sekarang namun berlaku
pada Tahun Pajak 2005. Sebenarnya Tim Pemeriksa dapat mengambil pemahaman lain
atas koreksi Biaya Service and Agrement Fee dengan pembuktian keberadaan dankemanfaatan bagi PT. X. Apabila menggunakan istilah Deviden Terselubung tentunya
Majelis Hakim akan menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai Deviden dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas karena dalam Undang-
undang tersebut diatur lebih mendetail mengenai Dividen. Termasuk tidak mungkin ada
RUPS, Kantor Pusat PT. X bukan pemegang saham, dan laba bersih PT.X masih
menunjukkan “Rugi”. Hal tersebut secara otomatis akan menggugurkan pengenaan
“Deviden Terselubung” oleh Tim Pemeriksa. Sehingga saya mendukung keputusan
Majelis Hakim atas dasar sebagaimana di atas. Supaya lebih konstruktif saya memberi
solusi dengan melakukan perubahan UU Pajak Penghasilan atau menerbitkan Perpunya
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 7/17
jika ingin memperkuat istilah “Deviden Terselubung” menjadi sebuah norma dalam
batang tubuh undang-undang.
Dan terhadap sengketa atas koreksi Biaya Marketing and Research , Saya
tidak setuju koreksi atas Biaya Marketing and Research karena Majelis
Hakim tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan biaya tersebut. Padahal
Majelis Hakim mengakui bahwa tidak terdapat kepemilikan saham Kantor
Pusat pada PT.X namun melakukan pembiaran atas biaya tersebut yang
justru ditanggung oleh PT. X.
Kesimpulan
Pada dasarnya UU Pajak Indonesia mengakomodasi pembebanan biaya
administrasi kantor pusat terhadap BUTnya di Indonesia. Alokasi biaya-biaya
tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang
diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Namun
karena transaksi tersebut memenuhi kriteria transaksi yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa maka Direktorat Jenderal
Pajak harus menganalisis kewajaran nilai biaya yang dibebankan tersebut
dengan mengkomparasi kepada pihak-pihak independen dan memastikan
bahwa biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat tersebut
berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan di Indonesia. DJP juga harus memastikan besarnya
biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan
besarnya peredaran usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia
terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh
dunia.
SOAL 2
Berikan Opini Saudara (selain putusan pengadilan pajak tersebut di atas)sebagai solusi atas kasus tersebut yang seharusnya dilakukan oleh
fiskus/pengadilan pajak, yang memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak.
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 8/17
Saya berpendapat bahwa putusan pengadilan pajak tersebut di atas belum
memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak. Atas biaya yang menjadi objek sengketa
yaitu biaya marketing research dan biaya service & agreement fee sebaiknya dirincimenjadi lebih detail agar Direktrorat Jenderal Pajak lebih mudah dalam menganalisis
bukti-bukti dokumen pendukung transaksi, yang meliputi MoU ataupun kontrak antara
Kantor Pusat dengan PT X dan melakukan perhitungan ulang kewajaran transaksi
dengan membandingkannya kepada pihak-pihak yang independen.
Majelis juga seharusnya tidak hanya menyandarkan putusannya pada UU Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas lebih banyak mengambil regulasi perpajakan di
Indonesia namun juga membandingkan apa yang telah dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut regulasi UU pajak yang
berlaku di Indonesia dalam memperlakukan biaya administrasi kantor pusat. Sehingga
apabila hal-hal tersebut dilakukan dengan baik, seharusnya objek sengketa tersebut
dapat dipisahkan dan dihitung kembali secara wajar mana yang boleh dibebankan
sesuai dengan poporsi laba PT X terhadap laba Kantor Pusat di seluruh dunia dan mana
yang tidak boleh dibebankan olah PT X.
KASUS 2
Yayasan “ABC” di Jakarta adalah sebuah lembaga nirlaba di bidangpendidikan
SMU hingga Universitas menyajikan laporan keuangan tahun 2011.
1. Bagaimana Perlakuan perpajakan yang benar dan tepat untuk yayasan “ABC”
Jakarta bila diinginkan pengembangan yayasan pendidikan tsb sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku?
2. Jelaskan secara sistematis langkah-langkah/tindakan koreksi apa yang
harus dilakukan oleh manajemen yayasan utk memperbaiki kinerja
keuangan yang terkait dengan kebijakan pajak yayasan tsb yg berbasis
penghematan pajak!
3. Berapa Pajak yang seharusnya dapat dihemat oleh yayasan tsb?
4. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh yayasan yang diinginkan
oleh fiskus terkait dengan pelaksanaan kebijakan pajak yayasan yang
baru tersebut?
5. Masih adakah PPh Badan yang terutang yang seharusnya tahun 2011 dan
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 9/17
2012? Jelaskan hitungannya!Hitung juga PPh Pasal 25 tahun 2012 bila
ada
6. Kapan yayasan nirlaba tsb dikenakan pajak penghasilan badan?
1. Bagaimana Perlakuan perpajakan yang benar dan tepat untuk yayasan “ABC”
Jakarta bila diinginkan pengembangan yayasan pendidikan tsb sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku?
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan terdapat definisi, Yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untukmencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota. Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada
pembina, pengurus, dan pengawas.
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh
Yayasan berdasarkan undang-undang, dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau
bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas,
kecuali:
1. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas;
2. Melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.
Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk
uang atau barang. Kekayaan yayasan dapat diperoleh dari hal-hal berikut ini:
1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat.
2.
Wakaf.
3. Hibah.
4. Hibah wasiat.
5. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar Yayasan dan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Yayasan adalah subjek
pajak. Yayasan menjadi wajib pajak jika menerima atau memperoleh penghasilan yang
merupakan objek pajak. Namun, meskipun tidak menerima atau memperoleh
penghasilan yang merupakan objek pajak, Yayasan tetap menjadi wajib pajak jika
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 10/17
memenuhi kriteria sebagai pemotong pajak. Dalam hal ini, Yayasan bertindak sebagai
pemotong PPh pasal 21 atas penghasilan berupa gaji, honorarium, upah, tunjangan
yang dibayarkan kepada karyawan/peserta kegiatan/pihak lain. Secara umum
pelaksanaan hak dan kewajiban Yayasan sama dengan bentuk usaha lain, kecuali hal-
hal khusus yang diatur tersendiri.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 80/PMK.03/2009 Tentang Sisa
Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam
Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan, Yang Dikecualikan
Dari Objek Pajak Penghasilan merupakan hal khusus yang harus diperhatikan dalam
kasus ini antara lain sebagai berikut:
1. Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
2. Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selisih dari seluruh
penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya
operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
3. Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan
atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
4. Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan
pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung
dan prasarana tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;
c. pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau
karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi
lembaga pendidikan formal.
5.
Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 11/17
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai
Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat)
tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
6. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat
sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai
penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku.
Maka bisa kita simpulkan bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai kewajiban
penyetoran SPT Tahunan PPh Badan apabila dalam jangka empat tahun sisa laba
yayasan digunakan untuk pembangunan gedung dan sarana prasarana. Hanya
Wajib Pajak berkewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Nihil.
2. Jelaskan secara sistematis langkah-langkah/tindakan koreksi apa yang
harus dilakukan oleh manajemen yayasan utk memperbaiki kinerja
keuangan yang terkait dengan kebijakan pajak yayasan tsb yg berbasis
penghematan pajak!
a. Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik
sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.
b. Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih
tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai,
dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
c. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun
yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 12/17
dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan
d. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun
berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau
lembaga nirlaba.
e. Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa
lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak boleh dilakukan penyusutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
f. Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya
bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga
perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan.
g. Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya
proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan
atau lembaga nirlaba.
h. Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih
dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana,
biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga
perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan.
i. Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat :
1) pernyataan bahwa:
a) sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, dan
b) sisa lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 13/17
digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut.
yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;
2) pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap
tahun; dan
3) laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan
menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
3. Berapa Pajak yang seharusnya dapat dihemat oleh yayasan tsb?
Tidak dapat diketahui karena Laporan Keuangan yang disajikan tidak lengkap.
KASUS 3
Berikan komentar Saudara sesuai instruksi untuk menyikapi kasus belum
dilaporkannya PPN JLN dengan cara:
4. Mengkuantfisir VAT exposures atas kelalaian tadi
5. Menginventarisir tindakan yang mungkin dilakukan perusahaan atas
temuan tersebut
6. Merekomendasikan pilihan mana yang paling tepat dari kacamata pajak
Dasar Hukum
1. Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN
2. Pasal 11 ayat (1) huruf e UU PPN
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE - 147/PJ/2010 tentang Penjelasan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak
Dari Luar Daerah Pabean
PPN atas Jasa Luar Negeri merupakan salah satu objek Pajak Pertambahan Nilai
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN yang berbunyi “Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean”.
Berdasarkan hasil penelaahan PPN untuk tahun pajak 2009 yang meliputi masa
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 14/17
Januari s.d. Desember 2009 diketahuin bahwa perusahaan telah mengakui adanya
accrual management services fee di bulan Juni dan Desember masing-masing sebesar
Rp500.000.000,00. Billing yang diterima pun sudah dilunasi pada bulan Juli 2009 dan
Januari 2010. Hanya saja perusahaan lupa untuk melakukan penyetoran atas PPN JLN
tersebut.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e, terutangnya PPN terjadi pada saat
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean atau pada Pasal 11 ayat (2),
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Dijelaskan lebih detail
dalam SE-147/PJ/2010 bahwa Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 15/17
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut. Saat dimulainya pemanfaatan adalah
saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut secara
nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena
Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Sehingga kalau dilihat dari ilustrasi temuan perusahaan yang telah mencatat akun
accrual management services fee maka PPN JLN telah terutang dan harus dilakukan
penyetoran ke kas Negara. PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib dipungut dan
disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak dan dilaporkan
sebagai Pajak Masukan, PPN yang telah disetor dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Masa PPN bulan terutangnya pajak dan dapat dilaporkan pada masa pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang
bersangkutan. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean.
No. Deskripsi Juni 2009 Desember 2009
1 Penjualan bulan ybs 2.000.000.000 1.750.000.000
2 PPN Keluaran 200.000.000 175.000.000
3 PPN Masukan 125.000.000 75.000.000
4 PPN KB 75.000.000 100.000.000
5 Tanggal bayar PPN terutang 9 Juli 2009 8 Januari 2010
6 Tanggal Lapor SPT Masa PPN 17 Juli 2009 20 Januari 2010
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 16/17
7 Sanksi telat bayar PPN JLN bila 24.000.000 24.000.000
ditemukan dalam pemeriksaan: 2% x
24 bln x 50.000.000
8 Pajak Masukan yang seharusnya 175.000.000 125.000.000dapat dikreditkan
Asumsi saat ini adalah akhir bulan November Tahun 2014, ada beberapa kemungkinan
yang bisa terjadi :
1. Jika perusahaan membiarkan temuan tersebut dan perusahaan mungkin saja
diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak lalu atas PPN JLN bulan Juni dan Desember
2009 yang belum dibayarkan tersebut ditemukan oleh pemeriksa, makaakan dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak dengan rincian :
Pokok Pajak 100.000.000
Sanksi administrasi 48.000.000+
Jumlah Pajak yg hrs dibayar 148.000.000
2. Jika perusahaan segera membayar PPN JLN PPN JLN bulan Juni dan Desember 2009
tersebut sebesar 100.000.000 dan atas pembayaran tersebut pihak DJP tahu bahwa
ada keterlambatan pembayaran PPN JLN maka akan diterbitkan STP sanksi
administrasi atas keterlambatan penyetoran dengan rincian :
Masa Juni 2009 : 2% x 65 bulan x 50.000.000 = 65.000.000
Masa Desember 2009 : 2% x 59 bulan x 50.000.000 =
59.000.000
Total sanksi administrasi sebesar 124.000.000 sehingga total pajak yang harus
dibayar perusahaan menjadi 224.000.000.
3. Jika perusahaan membiarkan temuan tersebut dengan asumsi bahwa DJP tidak
mengetahui hal tersebut dan tidak dilakukan pemeriksaan terhadap perusahaan
maka 5 tahun setelah saat terutangnya PPN adalah batas akhir daluwarsa
penetapan pajak. Untuk PPN JLN yang terutang masa Juni 2009 maka pada akhir
Juni 2014 lah batas akhir daluwarsa penetapan pajaknya sehingga pada saat ini
utang pajak yang belum dibayar yang masih bisa ditetapkan hanya atas PPN JLN
masa desember 2009.
Apabila kita melihat dari kacamata kepatuhan terhadap Undang-undang pajak tanpa
bermaksud menghindari kewajiban perpajakan dengan cara melanggar Undang-
undang, maka saya sarankan untuk memilih opsi pertama karena secara matematis
7/26/2019 Studi Kasus Perpajakan
http://slidepdf.com/reader/full/studi-kasus-perpajakan 17/17
17
perusahaan lebih untung karena jumlah pajak yang dibayar tidak sebesar opsi ke 2 dan
tidak ada pelanggaran terhadap UU perpajakan. Konsekuensi dari semua pilihan adalah
bahwa pajak masukan yang timbul sudah tidak dapat dikreditkan di PST Masa PPN
karena sudah melampaui masa 3 bulan pengkreditan di masa tidak sama, namun masih
ada opsi pembetulan SPT masa Juni dan Desember 2009 sepanjang belum dilakukan
pemeriksaan atau bisa juga dengan dijadikan biaya di SPT Tahunan PPh Badan
Perusahaan.