Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan...

132
Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan Muhammad Mursi di Mesir Pada Tahun 2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos.) Oleh AZHIIM PONTOH NIM: 1111112000094 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M

Transcript of Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan...

Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan

Muhammad Mursi di Mesir Pada Tahun 2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos.)

Oleh

AZHIIM PONTOH

NIM: 1111112000094

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/ 2018 M

iv

ABSTRAKSI

Azhiim Pontoh

Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan Muhammad Mursi di

Mesir Tahun 2013

Arab Spring 2011 telah membawa angin perubahan politik di seluruh wilayah

Timur Tengah dan Afrika Utara. Berawal dari gejolak di negara Tunisia,

gelombang itu mulai merambah negara Mesir dan menjatuhkan rezim militer yang

telah lama berkuasa di sana. Kejatuhan Mubarak menjadi jalan masuknya transisi

demokrasi di negara Mesir. Mubarak menyerahkan seluruh urusan kepada SCAF

(Dewan Tertinggi Militer Mesir) untuk menjalankan roda pemerintahan dan

menyukseskan transisi demokrasi. Ikhwanul Muslimin melalui sayap politiknya

Partai Keadilan mampu memenangi pemilu parlemen dan menempatkan kader

terbaiknya Mursi sebagai Presiden Mesir dalam pilpres yang dipilih secara

langsung. Keberhasilan dalam pesta demokrasi, tidak menjadi jaminan bagi

pemerintahan Mursi dengan Ikhwanul Muslimin mampu bertahan dan

menjalankan tugasnya sampai masa jabatan terakhirnya. Kudeta militer

mengakhir kekuasaan Mursi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kejatuhan

pemerintahan Mursi memunculkan sebuah pertanyaan mendasar mengapa

pemerintahan yang telah terpilih secara demokratis dan menguasai kekuatan

parlemen namun tidak mampu bertahan lama, hingga harus berakhir dalam proses

kudeta militer.

Menjawab pada permasalahan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode

kualitatif dengan analisa studi pustaka terhadap beberapa literatur-literatur yang

relevan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses

dan penyebab dari kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir pada tahun 2013.

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perubahan rezim,

teori transisi demokrasi, dan teori institusional.

Penelitian ini berhasil menjawab bagaimana proses dan penyebab kejatuhan

pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Semua berawal dari tidak terbentuknya

persatuan di dalam pembentukan anggota Majelis Konstituen yang membawa

pada pembubaran parlemen dan penguatan SCAF oleh Mahkamah Konstitusi

Mesir. Proses itu diakhir oleh dekrit presiden yang menyebabkan konflik di

kalangan masyarakat. Menghidupkan kembali gerakan demonstrasi (Gerakan

Tammarod) dan ditutup dengan aksi kudeta militer. Penyebab kejatuhan

pemerintahan Mursi disebabkan oleh kebijakan yang radikal di dalam dekrit

presiden dan konstitusi baru Mesir, gagalnya pelembagaan politik dan tidak

adanya dukungan atau simpati dunia Internasional (khususnya Amerika Serikat)

terhadap pemerintahan Mursi sehingga menganggap proses kudeta yang terjadi

dianggap sebagai proses politik yang biasa.

Keywords: Revolusi Arab Spring 2011, transisi demokrasi, perubahan rezim,

SCAF, Pemerintahan Mursi, Konstitusi 2012, Dekrit Presiden

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT yang telah memberikan karunia, ilham serta inayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Rasul Allah, junjungan Nabi

besar kita Muhammad SAW, orang yang paling dicintai Allah beserta sahabat dan

keluarganya, semoga kita bisa mendapat syafaat di hari akhir nanti. Amin ya

Robbal ‘alamin.

Rasa syukur, keberkahan dan kebahagian yang tidak terhingga dan tidak

ternilai bagi peneliti adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada banyak

pihak yang telah mendukung dan memberikan dukungannya kepada peneliti baik

berupa doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati, izinkan

peneliti untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan

jajarannya.

2. Dr. Iding Rosyidin, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik.

3. Suryani, M.Si sebagai sekertaris Program Studi Ilmu Politik

4. Dr. Sirojuddin Aly, MA sebagai Dosen Pembimbing yang selalu

memberi masukan-masukan yang berharga dan selalu meluangkan

waktu sibuknya untuk peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

5. Bapak Medhi Utomo dan Ibu Elly K.H, orang tua peneliti yang sangat

peneliti cintai. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa dan

perjuang bapak dan ibu untuk putranya ini mendapatkan gelar Sarjana.

Skripsi dan gelar ini dipersembahkan untuk kalian dan mungkin ini

hanya kebanggaan kecil yang bisa peneliti berikan. Doakan terus agar

anakmu ini dapat memberikan kebahagian-kebahagian lainnya yang

lebih besar.

6. Kedua adik peneliti, Ainan Salsabila dan Muhammad Akbar yang sudah

memberikan support berupa dukungan moril. Terima kasih sudah

menjadi Adik yang terbaik.

7. Sahabat sekaligus keluarga selama kuliah di UIN, semua teman-teman

di Prodi Ilmu Politik 2011, Roni Yuliansyah, Ahmad Sidik Wibowo,

Ahmad Haerudin, Koento P. N. Irianto, Romlih, Fadlyansyah Taher,

Ken Anggara Caesar, Riska Zakiyah, Annisa Hidayati, Fadly Noor,

Aulia Akbar, Wiky Yasinta Dewi, Happy Kurnia, Layla Rizky, Fahreza

Rizki, Alfi Syahrin yang sudah menjadi sahabat terbaik selama menjadi

mahasiswa di UIN. Terima kasih sudah menjadi tempat berbagi cerita

keluh-kesah sedih dan bahagia bersama.

8. Sahabat sekaligus keluarga selama kuliah dan belajar berpolitik praktis

di IMM UIN Ciputat, Reza, Alfi, Iqbal, Hadi, Berly, Rusli, Tika, Devi,

Sofi, Ruhul, Bogel, Angga, Moge, Fikri Bum, Fikri Saintek, Farhan, Ali,

Bang Faiz, Bang Imad, Bang Tole dan seluruh keluarga besar IMM

Ciputat yang telah menjadi sahabat terbaik selama peneliti menjadi

vi

mahasiswa di UIN. Terima kasih sudah menjadi tempat berbagi ide

berserta gagasan tentang politik dan bangsa, juga cerita keluh-kesah

sedih, bahagia bersama-sama.

9. Sahabat sekaligus keluarga Katalis 2015, Rizal, Haris, Pane, Saul, Fadil,

Fatmia, Dina, Putri, Bila, Ulu, Tasya, Mia dan Nenden, terima kasih

telah memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi

ini.

10. Sahabat dan keluarga FISIP Reza Rahmat Ramadhan, Bang Mudhari,

Bang Amin, Bang Ferdian, Guntur, Cahyo, Adi, Riza,Yuni, Kim dan

seluruh keluarga besar FISIP UIN terima kasih telah memberikan

semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas

support yang diberikan baik berupa doa, moril maupun materil sehingga

peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah

membalas kebaikan mereka. Peneliti membuka ruang kritik yang seluas-luasnya

demi perbaikan sehingga mampu memperkaya khazanah keilmuan dalam Ilmu

Politik.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 4 Juni 2018

Azhiim Pontoh

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v

DAFTAR ISI………………………………………………………………… vii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………..... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah .................................................................. 1

B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 14

D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 15

E. Metode Penelitian ..................................................................... 19

F. Sistematika Penulisan ............................................................... 21

BAB II KERANGKA TEORI

A. Teori Perubahan Rezim ............................................................ 23

B. Teori Transisi Demokrasi ......................................................... 27

1. Pengertian Transisi Demokrasi ………………………….. 27

2. Bentuk-Bentuk Transisi Demokrasi ……………………... 30

3. Proses dan Tahapan Transisi Demokrasi …………………32

C. Teori Institusional (Kelembagaan) ........................................... 41

BAB III DINAMIKA PERPOLITIKAN MESIR 1920-2011

A. Politik Negara Modern Mesir ................................................... 51

B. Pemerintahan Mesir Pra dan Pasca Kudeta Militer

(Revolusi) 1952 ........................................................................ 58

C. Pemerintahan Mesir di Masa Husni Mubarak…………….......68

BAB IV INSTITUSI POLITIK MESIR

DI MASA TRANSISI DEMOKRASI 2011-2013

A. Mesir Baru…………………………………………………….76

viii

1. Revolusi Arab Spring……………………………………….78

2. SCAF dan Transisi Demokrasi……………………………...86

3. Pemilu Demokratis dan Kebangkitan Partai Islam …………88

B. Konflik dalam Pemerintahan Muhammad Mursi

di Mesir Tahun 2013 ……………………………………….......90

1. Konflik Antar Lembaga Pemerintahan ……………………..91

2. Konstitusi Baru (Islam) …………………………………….94

3. Kudeta Militer 3 Juli………………………………………..98

C. Analisis Kejatuhan Pemerintahan Mursi

di Mesir Tahun 2013…………………………………………..100

1. Kebijakan yang Radikal……………………………….......101

2. Kegagalan Pelembagaan Politik di Masa Transisi…….......103

3. Pengaruh Dunia Internasional…………………………….108

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 111

B. Saran ......................................................................................... 114

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 116

ix

DAFTAR TABEL

Tabel II.B.1 Titik Perbedaan Pandangan Tentang

Istilah dalam Transisi Demokrasi................................................ 31

Tabel II.B.2 Tipe-Tipe Transisi dari Otoritarianisme

ke Demokrasi yang Melibatkan Para Pemimpin Rezim….......... 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Di dalam setiap negara, institusi atau lembaga politik memainkan peran penting

dalam menjalankan setiap roda pemerintahan dan politik. Hal ini dapat dilihat dari

negara-negara maju atau berkembang, menggunakan lembaga politik-nya sebagai

proses menjalankan setiap urusan negara.

Lembaga-lembaga politik itu terbagi menjadi tiga bentuk kekuasaan yang

memiliki fungsi dan kewenangannya masing-masing. Di dalam negara yang

menganut sistem demokrasi, lembaga-lembaga politik terdiri atas lembaga eksekutif,

legislatif dan yudikatif, sesuai dengan asas Trias Politika.1 Negara Mesir yang sangat

disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. Terutama pada keagungan situs bersejarah

Piramida Giza dan keindahan sungai Nil. Dua pesona itu, tidak menghilangkan

pesona Mesir di dalam kehidupan politiknya. Keadaan politik, serta keadaan sosial

Mesir selalu memberikan gambaran keindahan dan daya Tarik yang tidak dapat

ditinggalkan bagi setiap ilmuwan sosial dan politik di dunia. Berbicara tentang politik,

terutama di dalam cakupan lembaga politik yang terdapat di Mesir, sangat menarik

1Gagasan tentang trias politika berakar dari dua orang filsuf yang berasal dari Perancis

(Montesquieu) dan Inggris (John Locke), yang diartikan sebagai pemisahan atau pembagian kekuasaan

negara menjadi tiga. Ketiga kekuasaan itu, terdiri dari kekuasaan eksekutif berfungsi untuk

menjalankan undang-undang, kekuasan legiskatif berfungsi untuk membuat undang-undang dan

kekuaasan yudikatif berfungsi untuk mengadili pelanggaran undang-undang. (lihat, Miriam Budiardjo,

Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, [Jakarta: Gramedia, 2010], 281-287).

2

untuk dikaji dan diteliti. Apalagi jika dihubungkan dengan keadaan situasi Mesir

akhir-akhir ini.

Negara Mesir dalam dekade ini telah mengalami jatuh bangun pemerintahan

sebanyak dua kali. Terutama pasca terjadinya Revolusi Arab Spring yang melanda

setiap negara di Afrika Utara dan Timur Tengah. Revolusi Arab Spring berawal dari

kekecewaan pemuda yang bernama Mohamed Bouazizi terhadap pemerintah Tunsia

yang tidak mau mendengarkan keluhannya. Sikap kekecawaanya berawal dari

perilaku polisi yang bertindak arogan terhadap pengambilan paksa gerobak dagangan

buahnya, yang menjadi sumber penghasilannya. Terhadap perilakuan tersebut,

membuat Bouazizi untuk mencari keadilan dengan menyampaikan kekecewaannya

terhadap pemerintah daerah setempat. Kekecewaan Bouazizi semakin bertambah

besar, ketika aspirasinya tidak didengar oleh pemerintah daerah setempat. Berdasar

pada perilakuan pemerintah yang tidak peduli terhadap nasib rakyatnya, membuat

Bouazizi bertindak nekat untuk membakar dirinya di depan gedung pemerintah

daerah setempat. Tindakan heroik yang dilakukan oleh Bouazizi, memunculkan

semangat solidaritas di masyarakat Tunisia, untuk turun ke jalan dan melakukan

demonstrasi. Ditambah dengan berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi

yang telah melanda Tunisia sehingga membuat masyarakat melakukan demonstrasi,

3

yang pada akhirnya meminta presiden Ben Ali untuk mundur.2 Gerakan itu yang pada

akhirnya disebut Revolusi Melati.3

Pasca tumbangnya rezim otoriter di Tunisia. Sekjen Liga Arab Amir Moussa

pernah memberikan sebuah pidato peringatan terhadap para penguasa di Timur

Tengah untuk berhati-hati terhadap kemarahan rakyat di Timur Tengah yang dapat

memicu revolusi seperti yang terjadi di Tunisia. Amir Moussa juga menyebutkan

bahwa kemarahan yang memuncak pada masyarakat Timur Tengah disebabkan oleh

pengangguran, kemiskinan, dan resesi. Pesan itu dia sampaikan saat membuka

Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Sharm EL-sheikh, Mesir tanggal 19 Januari

2011.4

Tidak perlu menunggu waktu lama semangat revolusi di Timur Tengah tidak

padam. Bahkan untuk yang kedua kalinya semangat Revolusi Arab Spring memakan

korban. Tidak tangggung-tanggung, negara setelah Tunisia dan rezim Ben Ali yang

mengalami gejolak politik ini adalah Mesir. Negara yang memiliki pengaruh dan

kekuatan terkuat di kawasan Arab dan Afrika Utara, selain kerajaan Arab Saudi.

Tepat pada tanggal 25 Januari 2011, sejumlah pemuda dan masyarakat Mesir

berkumpul di pusat kota Kairo yang bernama Tahrir Squere untuk melakukan aksi

protes terhadap pemerintahan Husni Mubarak. Selama delapan belas hari demonstrasi

tidak mengalami penurunan, bahkan terus mengalami peningkatan jumlah dalam

2William L. Clevend dan Martin Buton, A Histroy of The Modern Middle East (Boulder:

Westview Press, 2013), 524. 3Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural Perspective,

2nd

ed. (New York: Routledge, 2013), 259. 4Khamami Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan Afrika

Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 69.

4

melakukan aksi demonstrasi penentangan terhadap rezim Mubarak. Pada tanggal 11

Pebruari 2011, pemerintahan Husni Mubarak berhasil ditumbangkan dengan sebuah

pidato pengunduran diri-nya.5 Tumbangnya Mubarak yang telah berkuasa dari tahun

1980 sampai tahun 2011, maka bersama dengan itu mengakhiri sebuah sistem otoriter

yang telah berkuasa cukup lama di negara Mesir dari tahun 1952 melalui revolusi

yang dilakukan oleh kelompok Nasser (Free Officer).

Kejatuhan pemerintahan Mubarak menyebabkan Mesir memasuki era transisi

politik. Sebelum kejatuhan Mubarak, Mesir berada pada kekuasaan sistem otoriter

yang cukup lama menguasai pemerintahan dan kehidupan masyarakat Mesir.

Berakhirnya pemerintahan Mubarak diharapkan ada sebuah perubahan pada sistem

pemerintahan di Mesir dari yang bersifat otoriter menjadi lebih demokrasi.

Perubahan ini dimulai dengan diadakan pemilu yang demokratis untuk pertama

kalinya di negara Mesir. Pemilu pasca Mubarak dilaksanakan dalam tiga tahapan:6

1. Masyarakat Mesir memilih anggota Dewan Rakyat (Majelis Rendah)

yang berjumlah 508 yang dilaksanakan pada 28 November - 10 januari

2012,

2. Masyarakat Mesir memilih anggota Majelis Shura (Majelis Tinggi) yang

berjumlah 207 dan dilaksanakan pada 29 Januari – 11 Maret 2012,

3. Masyarakat Mesir memilih Presiden Mesir pada pertengahan 2012.

5Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 525.

6“Pemilu Pertama Mesir Pasca Mubarak Digelar,” artikel diakses pada 20 November 2015

dari http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/11/111128_egyptpoll.shtml

5

Ketiga tahapan ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan sementara

Mesir yang dipimpin oleh Jenderal Tantawi.

Keadaaan ini terjadi ketika tumbangnya rezim Mubarak, maka tampuk

kekuasaan eksekutif menjadi kosong. Supaya tidak terjadi kekosongan pemerintahan,

maka Mubarak harus menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada militer. Diharapkan

militer mampu menjalankan roda pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu

secepatnya untuk menghasilkan pemrintahan yang baru, serta untuk meredakan para

demonstran di Mesir. Pemberian kekuasaan pada militer memberikan alasan yang

cukup jelas, bahwa ketika rezim otoriter Mubarak di Mesir berkuasa, militer menjadi

bagian terpenting di dalam kesuksesaan sebuah rezim. Bahkan sesungguhnya militer

adalah kekuatan kelima terpenting di dalam membentuk dan mempertahankan

kekuasaan rezim Mubarak di Mesir. Kebanyakan penasehat tertinggi Mubarak berasal

dari kalangan militer. Bukan hanya itu, keberadaan militer di rezim Mubarak telah

sangat menggurita, dari kantor kepresidenan sampai tingkat terendah pemerintahan

semuanya dikuasai oleh militer.7 Selain alasan tersebut, ada alasan lain ditunjukannya

militer menggantikan Mubarak dalam kekuasaan. Alasan tersebut ialah, posisi netral

yang diambil oleh militer saat Revolusi 2011 Arab Spring di Mesir. Selama

demonstrasi berlangsung militer menyerukan kepada jajarannya untuk tidak

menggunakan kekerasan dan kekuatan bersenjata untuk menghadapi para demonstran.

7Monte Palmer, The Politic Of The Middle East (Belmont CA: Thomson Wadsworth, 2012),

76.

6

Ditambah lagi militer juga memyediakan pembatas fisik di antara para demonstran

dan pihak kepolisian yang menjadi pendukung dari rezim Mubarak.8

Penjelasan itu membuktikan, bahwa lebih dari 30 tahun pemerintahan

Mubarak berkuasa dari tahun 1980 sampai 2011 militer telah lama berada pada

pusaran politik Mesir. Keterlibatan Militer Mesir dalam politik, bahkan telah terjadi

ketika Militer Mesir berhasil menggulingkan pemerintahan Raja Faruq yang telah

berkuasa di Mesir dari tahun 1936 sampai dikudeta tahun 1952.9 Kekuasaan militer

telah cukup lama menggurita di dalam kehidupan politik Mesir.

Kekuasaan raja Faruq pun harus berakhir ditangan kelompok militer yang

menyatakan sebagai Free Officers10

(Perwira-Perwira Bebas). Kelompok ini dipimpin

oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser yang juga mendapat dukungan dari Jenderal

Muhammad Naguib.11

Lengser-nya Raja Faruq dari tampuk kekuasaan Mesir maka

berakhirlah kekuasaan Asing di negara Mesir, sehingga militer menguasai penuh

jalannya pemerintahan.

Keberhasilan Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) dalam melengserkan

Raja Faruq dari kekuasaan, juga mendapat bantuan dari kelompok-kelompok Islam

8J. Stewart, The Middle East Today, 261.

9Ellen Lust, ed., The Middle East (Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014), 448.

10Free Officer (Perwira Bebas) adalah gerakan kelompok militer yang saat itu memiliki

pemikiran dan cara pandangan politik yang berbeda dari yang lain. Mereka tidak terlibat atau ikut serta

dengan kelompok-kelompok yang mendukung pemerintahan yang masih dikendalikan oleh Kerajaan

Inggris (walaupun negara Mesir telah mendapat kemerdekaan, namun terkadang pemerintah Kerajaan

Inggris masih ikut campur dalam urusan dalam negeri Mesir). Ditambah dengan bentuk pemerintahan

yang korup membuat pemerintahan Raja Faruq dibenci dan tidak disukai oleh masyarakat dan

kalangan militer, terutama Kolonel Gamal Abdul Nasser. 11

William Ochsenwald dan Sydney Nettleton Fisher, The Middle East a History (New York:

McGraw-Hill, 2004), 585-587.

7

yang menentang Pemerintahan pada masa itu. Kelompok-kelompok Islam ini,

diantaranya ialah kelompok Ikhwanul Muslimin.12

Bukan hanya kelompok-kelompok

Islam mendukung militer, tetapi kalangan militer juga mendukung gerakan

kelompok-kelompok Islam tersebut. Dukungan dari kalangan militer ini, diberikan

langsung oleh pemimpin gerakan Free Officers (Pewira-Pewira Bebas), yaitu Kolonel

Gamal Abdul Nasser.13

Keharmonisan kelompok militer dengan Ikhwanul Muslimin tidak

berlangsung lama. Ketika Raja Faruq diturunkan pada tahun 1952, dan militer

mengambil alih kekuasaan pemerintahan, saat itu hubungan Ikhwanul Muslimin

dengan kalangan militer mulai memanas. Hal ini disebabkan oleh percobaan

pembunuhan terhadah Nasser yang dilakukan oleh kalangan Ikhwanul Muslimin.

Keadaan itu terus menerus menjadi tidak harmonis, tepat tahun 1954 Gamal Abdul

Nasser menggunakan lembaga RCC (Revolutionary Command Council) atau yang

dikenal sebagai Dewan Pusat Revolusioner, untuk membungkam kelompok Ikhwanul

Muslimin.14

Dewan Pusat Revolusioner (RCC) adalah lembaga yang dibentuk oleh

kelompok Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) untuk menjalankan pemerintahan

Mesir pasca kudeta terhadap Raja Faruq dan pemerintahan parlementernya. Dewan

Pusat Revolusioner (RCC) juga berperan sebagai lembaga eksekutif (pemerintah)

pasca kudeta. Lebih dari itu, Dewan Pusat Revolusioner juga bertugas sebagai

12

Ochsenwald dan Fisher, The Middle East a History, 586-587. 13

Lust, The Middle East, 453. 14

Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 285.

8

lembaga legislatif di Mesir setelah lembaga legislatif (parlementer) dibubarkan dan

menetapkan negara Mesir menjadi republik menggantikan sistem monarki.

Pembubaran lembaga legislatif dikarenakan lembaga tersebut pada waktu itu hanya

sebagai bentuk dominasi Negara Asing (Inggris) di Mesir. Semua Kebijakan-

kebijakan itu dibuat dan diterapkan pada tahun 1953. Bersama dengan itu juga,

Dewan Pusat Revolusioner melarang partai-partai politik untuk aktif dan bermain di

dalam perpolitikan Mesir saat itu. Dewan Pusat Revolusioner (RCC) juga menghapus

sistem politik lama dan mengganti Konstitusi Mesir tahun 1923 dengan konstitusi

yang baru.15

Berkuasannya militer melalui lembaga Dewan Pusat Revolusioner

(RCC), maka saat itu negara Mesir memasuki pemerintahan rezim militer yang lebih

mengutamankan lembaga eksekutif dalam menjalankan kekuasaannya.

Di era-Nasser berkuasa di Mesir, Dewan Pusat Revolusioner (RCC) menjadi

lembaga pemerintah yang tidak memiliki lawan (kelompok oposisi). Nasser sebagai

Presiden Mesir membuat lembaga eksekutif tidak terganggu dan dapat membawa

negara Mesir menuju pemerintahan yang demokrasi dan mengujudkan kesejahteraan

bagi masyarakat Mesir. Tujuan Revolusi 1952 adalah untuk menciptakan

pemerintahan independen (yang tidak lagi diatur oleh negara asing), serta

pemerintahan yang tidak korup dan menciptakan pemerintahan yang demokratis.

Keberhasilan dari tujuan ini bisa dicapai dengan membuat partai politik yang dapat

dikontrol oleh pemerintah khususnya Dewan Pusat Revolusioner (RCC). Perserikatan

15

Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 283-284.

9

Sosialis Arab (ASU16

) adalah jawaban atas permasalahan ini, dengan menggunakan

Perserikatan Sosialis Arab yang digagas oleh Nasser, maka ia dan pemerintahannya

mampu membuat partai politik yang dapat dikontrol oleh pemerintahan Mesir juga.

Perserikatan Sosial Arab, selain berfungsi sebagai partai politik juga berperan sebagai

penangkal gerakan-gerakan anti revolusi, seperti pemilik tanah yang luas, kaum

Komunisme, dan Ikhwanul Muslimin.17

Kekuasaan lembaga eksekutif yang tercermin dari lembaga Dewan Pusat

Revolusioner (RCC) tetap kuat, bahkan setelah Nasser tidak lagi berkuasa di Mesir.

Anwar Sadat adalah wakil presiden dari Nasser ketika ia masih berkuasa, tetapi pasca

pembunuhan terhadap Gamal Abdul Nasser tahun 1970. Anwar Sadat ditetapkan

sebagai pengganti Nasser, untuk memimpin negara Mesir. Di masa Sadat, negara

Mesir masih berada dalam pemerintahan yang otoriter dan dikuasai oleh kalangan

militer. Sadat juga termasuk anggota penting dari kelompok Revolusi 1952, yaitu

anggota dari Free Officers (Perwira-Perwira Bebas). Sadat juga berjanji akan

memberikan masyarakat Mesir pemerintahan yang demokrasi dengan membentuk

dan mengijinkan berdirinya partai-partai politik. Di antara pemberian izin itu, ialah

dengan mengaktifkan dan mengembalikan Partai Wafd untuk berpartisipasi di dalam

kehidupan politik Mesir tahun 1977.18

16

ASU adalah singkatan dari The Arab Socialist Union 17

Palmer, The Politic Of The Middle East, 54. 18

Palmer, The Politic Of The Middle East, 59-62.

10

Partai Wafd adalah satu dari beberapa partai yang dilarang di masanya Nasser

berkuasa.19

Walaupun Sadat berjanji memberikan pemerintahan yang demokrasi

dengan mengijinkan banyak partai yang berpartisipasi dalam kehidupan politik Mesir,

namun pada kenyataannya Sadat tetap mengontrol partai-partai tersebut dengan Partai

Nasional Demokrasi (NDP20

) yang dibentuk oleh Sadat sendiri.21

Pemerintahan Sadat

yang berkuasa selama 10 tahun, tetap menunjukan kekuasaan eksekutif sangat

dominan dari lembaga-lembaga yang lain.

Terbunuhnya Sadat di tahun 1981 oleh aksi kelompok fundamental Islam,

membuat Mesir memasuki era pemerintahan Husni Mubarak yang juga merupakan

anggota militer dan akan berkuasa lebih lama dari kedua pendahulunya. Di-era

Mubarak, Mesir kembali memiliki lembaga legislatif yang berfungsi, setelah lama

absen. Bersamaan kembali-nya lembaga legislatif di Mesir, pemilu kembali hadir

pula dikalangan masyarakaat Mesir. Tahun 1984 adalah pemilu pertama setalah

Revolusi 1952. Mubarak juga merubah sistem politik Mesir, dengan perubahan yang

terjadi di dalam lembaga eksekutif Mesir. Ia mulai menunjuk Perdana Menteri untuk

membantu tugas-tugasnya menjalankan pemerintah Mesir.22

Adanya Perdana Menteri

tidak merubah kekuasaan Mubarak atas pemerintahan Mesir. Ini terbukti dari calon

yang diajukan oleh parlemen di Mesir tetap saja calonnya hanya satu, yaitu Mubarak.

Hal ini bisa terjadi karena aturan yang diberlakuan oleh pemerintah Mesir, yang

19

Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 284. 20

NDP adalah singkatan untuk National Democratic Party. 21

Palmer, The Politic Of The Middle East, 63. 22

Palmer, The Politic Of The Middle East, 63-73.

11

menyerahkan nama calon presiden kepada parlemen, dan parlemen pun juga selalu

dikuasai oleh Partai Nasional Demokrasi (NDP) yang merupakan partai pendukung

rezim Mubarak di Mesir. Perubahan besar terjadi pada bulan Mei tahun 2005 ketika

Mubarak membuat sebuah peraturan yang mengejutkan dengan mengijinkan adanya

calon lain selain diri-nya, tetapi hasilnya masih dapat diketahui bahwa Mubarak

tetaplah Firaunnya.23

Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang

bernama Revolusi 2011 Arab Spring.

Revolusi Arab Spring 2011 menghasilkan sebuah pemerintahan Mesir yang

lebih demokrasi dengan terpilihnya Muhammad Mursi pada pemilu presiden yang

diselengarakan pada 30 Juni 2012. Muhammad Mursi mengalahkan pesaingnya dari

kalangan militer dan pendukung rezim Mubarak, yaitu Ahmad Shafik dengan

perolehan suara 52% berbanding 46%.24

Mursi pun kemudian dilantik menjadi

presiden sipil pertama serta perwakilan dari kubu partai Islam di Mesir.25

Kemenangan partai Islam ternyata tidak membuat Mursi dapat bertahan lama

ditampuk kekuasaannya. Ini terbukti dari keadaan dan situasi politik yang terjadi di

Mesir pasca Revolusi Arab Spring 2011 yang tidak mengalami perbaikan. Keadaan

ini dipersulit dengan hubungannya terhadap para oposisi, yang mulai tidak setuju

terhadap kebijakan yang ia buat. Keadaan mulai menjadi panas, di saat militer mulai

ikut campur dalam urusan politik. Keterlibatan militer di dalam urusan politik mesir

23

J. Stewart, The Middle East Today, 157. 24

Ellen Lust, ed., The Middle East, 463. 25

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21 November

2015 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi

12

mengakibatkan pemerintahan Muhammad Mursi harus dikudeta dan mengakhir

pemerintahannya.26

Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi dipaksa untuk mengakhir

masa jabatannya ketika pengumuman pengambil alihan kekuasaan disuarakan oleh

Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi. Pada

pengumuman itu, Jenderal al-Sisi didampingi oleh Ulama Al-Azhar, Pemimpin

Kristen Koptik, Pemimpin kelompok oposisi Muhammad ElBaradei, pemimpin Partai

Islam Nour, dan tokoh gerakan Tamarod yang mengatur unjuk rasa di Lapangan

Tahrir. Penyebab Pemerintahan Mursi dianggap gagal dan dilengserkan melalui

militer, diantaranya adalah dominisasi kelompok Ikhwanul Muslimin terhadap seluruh

kekuasaan di Mesir, memburuknya keadaan ekonomi Mesir, Dekrit Presiden 22

November 2012, dan pelanggaran demokrasi dan HAM yang dilakukan oleh

pemerintah Mursi dan pendukungnya.27

Tumbangnya pemerintahan Mursi mengakhiri semangat demokrasi yang mulai

berhembus ke negara Mesir. Roda pemerintahan setelah as-Sisi menurunkan bosnya

sendiri dengan kekuatan militernya, selanjutnya urusan pemerintahan diberikan

kepada Ketua Mahkamah Agung sebagai Caretake.28

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, telah melihatkan bagaimana

militer berkuasa di Mesir, serta lembaga eksekutif menjadi lembaga yang sangat kuat

26

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” 27

WD, “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21 November 2015

dari https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-presiden-mesir-digulingkan 28

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,”

13

di Mesir. Pergantian kekuasaan di Mesir dari Mubarak ke Mursi awalnya diprediksi

akan memberikan harapan baru terhadap berkembangnya sistem demokrasi yang akan

berdampak pada kelembagaan politik di Mesir. Harapan itu ternyata tidak

berlangsung lama kerena pemerintahan Mursi tidak menstabilkan keadaan politik

namun hanya memperburuk keadaan politik di Mesir sehingga ia dan pemerintahanya

harus dikudeta oleh militer melalui persetujuan masyarakat Mesir. Keadaan ini

membuat lembaga politik menjadi di pertanyakan. Apa lagi dengan keadaan transisi

politik Mesir yang mulai kembali memberikan militer untuk berkuasa kembali di

lembaga eksekutif dan bahkan pada seluruh pemerintahan Mesir. Berdasarkan hal-hal

tersebut, penulis mencoba memunculkan sebuah pertanyaan penelitian mengenai

kelembagaan politik Mesir di masa transisi demokrasi, khususnya penyebab

kejatuhan pemerintahan Mursi di dalam pendekatan institusionalisme atau

kelembagaan.

B. Pertanyaan Penelitian

Dengan melihat pada latar belakang dan tema besar yang diangkat dalam

penelitian ini, maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah-masalah tersebut

ke dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kelembagaan politik Mesir pada masa transisi demokrasi

(pasca Revolusi Arab Spring 2011) ?

2. Apa faktor-faktor kejatuhan pemerintahan Muhammad Mursi di Mesir

tahun 2013 ?

14

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mendiskusikan kelembagaan politik Mesir di era transisi

demokrasi

b. Menjelaskan faktor-faktor kejatuhan pemerintahan Muhammad Mursi.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1) Mengembangkan khazanah ilmu politik dengan memberikan kritik dan

masukan atas pemikiran lembaga politik yang telah berkembang dengan

menunjukkan kasus kelembagaan politik di dalam negara berkembang,

terutama pada masa transisi politik di negara Mesir. Semoga penelitian

ini dapat berguna dalam memgamati lembaga politik di masa transisi

demokrasi.

2) Penelitian ini diharapkan bisa memberikan jawaban alternatif atas

fenomena politik yang tidak dapat diteropong menggunakan studi

institusinalisme di dalam kelembagaan politik pada era transisi

demokrasi dan kejatuhan pemerintahan.

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan data studi

mengenai institusionalisme dan transisi demokrasi di dalam politik

15

negara berkembang, khususnya lembaga politik dan berguna bagi

perkembangan kajian ilmu sosial dan politik.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa literatur yang digunakan penulis sebagai dasar pijakan

penelitian dan bantuan dalam analisa skripsi yaitu, Pertama, buku dari seorang

ahli perpolitikan Timur Tengah dan Hubungan Internasional, Steven A. Cook

yang berjudul “The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square”.29

Di

dalam buku ini Steve mencoba mendeskripsikan keadaan perpolitikan Mesir dari

masa kekuasan asing di Mesir tahun 1882 saat Inggris mulai menjajah Mesir

sampai kepada kekuasaan para Firaun militer (Nasser, Sadat dan Mubarak)

selama 60 tahun terakhir. Tidak hanya itu, Steven juga menjelaskan tetntang

berakhirnya rezim Mubarak di Mesir dan demonstrasi panjang selama 18 hari

menuntut turunnya Mubarak. Ia juga membicarakan secara detail bagaimana

sebuah revolusi bisa terjadi di Mesir. Terakhir Steven menjelaskan sikap yang

harus diambil oleh negara Amerika terhadap Mesir. Menurutnya Amerika tidak

perlu ikut campur di dalam penentuan nasib masyarakat Mesir dalam memilih

sistem politik mereka dan memberikan hal itu kepada masyarakat Mesir sendiri.

29

Steven A. Cook, The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square (Oxford University

Press: New York, 2012).

16

Kedua, buku yang berjudul “Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di

Mesir, Turki, dan Israel” yang ditulis oleh M. Hamdan Basyar.30

Buku ini

menjelaskan tentang bagaimana proses demokrasi yang terjadi di wilayah Timur

Tengah, khususnya negara Mesir, Turki dan Israel. Perkembangan demokrasi dan

hubungan militer-sipil menjadi bagian proses politik yang terjadi di ketiga negara

tersebut yang dijelaskan oleh buku ini.

Ketiga adalah artikel yang ditulis oleh Amri Mushlih dan Hurriyah yang

berjudul “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir Tahun 2011-

2013”.31

Artikel itu menjelaskan bagaimana transisi demokrasi terjadi di Mesir

dan kertelibatan para elit politik di dalam kegagalan transisi demokrasi di Mesir.

Hasil dari penelitian tersebut, menemukan bahwa peran para elit politik di Mesir,

khususnya yang terdiri dari kalangan militer, kelompok Islam, elit rezim lama dan

kelompok sekuler mengalami kegagalan elit settlement (konsep yang menjelaskan

tentang permusuhan para elit yang pada akhirnya mereka bersatu di dalam kondisi

kompromi atau negosiasi saat keadaan tertemtu). Penyebab kegagalan elit

settlement di Mesir karena faktor perbedaan ideologi dan tidak terjadinya koalisi

antara kelompok Islam dan kelompok sekuler.

30

M. Hamdan Basyar, Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel (UI

Press: Jakarta, 2015). 31

Amri Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir Tahun

2011-2013,” politik 2 (Agustus 2016).

17

Keempat, artikel yang ditulis oleh Nathan J. Brown yang berjudul

“Tracking The Arab Spring: Egypt’s Failed Transition”.32

Pada artikel ini

menjelaskan bagaimana proses kegagalan transisi demokrasi di negara Mesir.

Menurutnya kegagalan transisi demokrasi di negara Mesir disebabkan oleh

beberapa faktor yang terdiri dari motivasi para partisipan politik Mesir, perilaku

buruk, dan pilihan yang buruk. Ketiga hal itu menjadi alasan kegagalan dari

transisi demokrasi yang terjadi di Mesir. Ditambahkan juga pengaruh Ikhawanul

Muslimin yang menguat dan menguasai perpolitikan Mesir sehingga mengancam

kepentingan lain yaitu militer dan kelompok politik lain.

Keempat literatur tersebut banyak berbicara mengenai keadaan perpolitikan

Mesir dan Timur Tengah. Pada literatur pertama, Steve A. Cook terhadap

penelitian ini memiliki kesamaan dalam hal kejatuhan Mubarak namun berbeda

pada kejatuhan pemerintahan Mursi. Hal itu terjadi karena buku yang ditulis Cook

hanya terbatas pada kejatuhan Mubarak dan Revolusi Arab Spring 2011 tidak

membahas mengenai politik Mesir pada masa Transisi sampai kepada kejatuhan

pemerintahan Mursi. Di buku tersebut juga tidak membahas mengenai

kelembagaan politik di masa Mesir mengalami transisi demokrasi.

Literatur kedua, yang ditulis M. Hamdan Basyar terhadap penelitian ini

memiliki titik persamaan dan perbedaan. Persamaan dari M. Hamdan Basyar

dengan penelitian ini banyak mengulas tentang gejokan perpolitikan Mesir dari

32

Nathan J. Brown, “Tracking The Arab Spring: Egypt’s Failed Transition,” Journal of

Democracy 24 (Oktober 2013).

18

Arab Spring sampai kepada kejatuhan Presiden Muhammad Mursi di Mesir. Titik

perbedan dengan penelitian yang penulis tulis terletak pada sebab-sebab kejatuhan

Presiden Mesir dari sisi lembaga politik.

Pada literatur ketiga yang ditulis oleh Mushlih dan Hurriyah terhadap

penelitian ini memiliki banyak kesamaan di dalam membahas permasalahan yang

terjadi pada masa transisi demokrasi di Mesir sampai kepada kudeta militer

terhadap pemerintahan Mursi. Walaupun memiliki kesamaan terhadap literatur

ketiga, namun penelitian ini juga memiliki perbedaan yang terletak pada

permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini berkaitan dengan objek penelitian.

Penelitian yang dilakukan Mushlih dan Hurriyah lebih berfokus pada kegagalan

transisi demokrasi di Negara Mesir yang disebabkan oleh para aktor elit politik

Mesir. Berbeda dengan penelitian yang penulis kaji. Dalam hal ini penulis lebih

berfokus pada kejatuhan pemerintahan Mursi dan bukan pada kegagalan transisi

demokrasi yang disebabkan oleh para elit seperti yang dikaji oleh Mushlih dan

Hurriyah. Lebih jauh lagi penulis juga mengkaitkan kejatuhan pemerintahan

Mursi di Mesir karena permasalahan kelembagaan politik yang tidak terkendali

pada proses transisi demokrasi.

Terakhir, literatur keempat yang ditulis oleh Nathan J. Brown dengan

penelitian ini memiliki sedikit kesamaan dalam hal proses kejatuhan

pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Meskipun memiliki kesamaan dengan

literatur keempat, tapi penelitian yang penulis tulis juga memiliki perbedaan

dengan literatur ini. Perbedaan itu terletak pada fokus pertanyaan penelitian yang

19

penulis coba angkat dalam penelitian ini. Fokus yang diteliti dalam literatur ini

lebih banyak membahas tentang kegagalan transisi demokrasi di Mesir sampai

kepada kudeta militer dan langkah-langkah yang dilakukan oleh kelompok

Ikhawanul Muslimin setalah pengkudetaan. Sedangkan dalam penelitian yang

penulis kaji lebih banyak berbicara mengenai kejatuhan pemerintahan Mursi dari

sudut pandang institusionalisme.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang

menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan dan

dengan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.

Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai

bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat

hidup, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual.33 Menggunakan

metode penelitian kualitatif yang berfokus pada studi kasus akan

mempermudah penulis di dalam melakukan penelitian dengan permasalahan

kelembagaan politik di masa transisi demokrasi dan kejatuhan pemerintahan

Mursi di Mesir tahun 2013.

2. Teknik Pengumpulan Data

33

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

2001), 5.

20

Teknik untuk melakukan pengumpulan data merupakan hal yang

penting, di sini instrumen yang akan digunakan oleh penulis dalam

pengumpulan data penelitian adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau

peristiwa pada waktu yang lalu, dan dokumentasi juga merupakan teknik

pengumpulan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti

melalui literatur buku, catatan, transkip, surat kabar, majalah dan internet.

Dokumentasi diperlukan untuk mempermudah penulis memberikan

jawaban dan kejelasan dari permasalahan penelitian.

Dalam mengumupulkan data, Penulis mengunakan data-data

mengenai dokumentasi peristiwa politik baik dari majalah, koran, dan

internet telah memadai untuk menjadi sumber-sumber rujukan dalam

penelitian ini yang berkaitan dengan peristiwa politik di Mesir pada

transisi demokrasi dari Husni Mubarak ke Muhammad Mursi dan sampai

terjadinya kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal As-Sisi.

Keterbukaan informasi yang begitu luas di alam demokrasi saat ini sangat

membantu penulis dalam memperoleh sumber-sumber rujukan.

Pernyataan-pernyataan politik para politisi yang penulis butuhkan sebagai

rujukan bisa dengan mudah diakses dari media, baik cetak maupun

elektronik, terhadap kasus yang dibahas di dalam penelitian ini, yaitu

21

kelembagaan politik di masa transisi demokrasi dan kejatuhan

Pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.

3. Teknik Analisis Data

Dalam bagian analisa data, penulis menggunakan metode analisa

penelitian secara deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan hal-

hal yang menjadi objek penelitian atau menggambarkan suatu keadaan

secara tepat, sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan

tersebut. Proses ini terbagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan.34

F. Sistematika Penulisan

Dalam mempermudah memahami isi dari skripsi ini, penulis membagi

skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun

sistematikanya sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Di dalam bab ini penulis menguraikan perumusan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Kerangka Teori. Di dalam bab ini meliputi pengertian perubahan rezim,

pengertian transisi demokrasi sebagai akibat dari perubahan politik dan pengertian

kelembagaan (institusionalisme) menurut ahli.

34

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif

(Jakarta: Erlangga, 2009), 148.

22

Bab III: Dinamika Perpolitikan Negara Mesir 1920-2011. Di dalam bab ini,

peneliti akan coba mendekripsikan perpolitikan negara Mesir Moderan dan

perkembangan pemerintahan sebelum masa transisi demokrasi, agar pembaca

memahami isi bacaan dari penelitian ini.

Bab IV: Institusi Politik Mesir di Masa Transisi Demokrasi 2011-2013. Pada

bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi, karena berisikan

tentang permasalahan yang penulis angkat. Penulis akan memaparkan temuan-

temuan mengenai proses terjadinya transisi demokrasi di Mesir, lembaga politik

Mesir pada masa transisi demokrasi dan mengenai sebab-sebab kejatuhan

pemerintahan Mursi di Mesir.

Bab V: Penutup. Di dalam bab ini meliputi kesimpulan dan saran-saran penulis,

serta rekomendasi studi kasus yang diangkat, sekaligus merupakan akhir dari

keseluruhan tulisan ini. Di bagian akhir, penulis juga mencantumkan daftar

pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini.

23

BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan kerangka teori yang digunakan

untuk menganalis permasalahan dan pertanyaan penelitian, yang terdapat dalam

penelitian ini. Penggunaan teori-teori yang tepat di dalam membahas dan menganalisi

permasalahan dan pertanyaan penelitian, akan mampu memberikan jawaban-jawaban

penelitian yang objektif sesuai dengan penggunan teori. Teori-teori yang digunakan

oleh penulis diantaranya adalah teori perubahan rezim, teori transisi demokrasi, dan

teori kelembagaan (Institusionalisme).

A. Teori Perubahan Rezim

Di setiap negara demokrasi yang telah mapan, pemerintahan negaranya selalu

memiliki keyakinan dan kepercayaan pada sistem demokrasi. Hal itu bisa dilihat di

Negara-Negara Eropa dan Amerika Serikat. Di mana sistem demokrasi yang telah

dianut tidak mengalami perubahan menjadi sistem otoriter, bahkan demokrasi

mengalami penguatan di negara-negara tersebut. Hal berbeda terjadi pada negera-

negara yang baru mengalami demokratisasi. Keyakinan para elit serta warga

negaranya terhadap sistem demokrasi masih pada posisi yang labil atau tidak stabil.

Keadaan itu yang mengakibatkan banyaknya transisi demokrasi mengalami

kegagalan atau berbalik kembali menjadi otoriter. Proses demokratisasi yang

mengalami kegagalan atau kemunduran menjadi pusat perhatian dalam dunia ilmu

politik. Hal itu banyak terjadi di Negara-Negara Amerika Latin yang pada awalnya

24

menganut sistem otoriter lalu mengalami transisi demokrasi, namun karena beberapa

alasan kembali lagi menjadi otoriter. Pada keadaan seperti itu, para ilmuwan politik

mulai mengkaji dan menganalisa penyebab terjadinya perubahan tersebut dan

penyebab kegagalan atau stagnan proses demokratisasi di negara-negara tersebut.1

Akhirnya kajian-kajian itu melahirkan sebuah teori yang dikenal sebagai teori

perubahan rezim.

Kajian-kajian di dalam perubahan rezim selalu menghubungkan pada

demokratisasi yang terjadi di negara-negara yang otoriter. Pembahasan dan kasus

lebih banyak dikaji oleh para ilmuwan politik di Wilayah Amerika Latin, Asia, Afrika

dan sebagian Benua Eropa Timur. Di antara banyaknya ilmuwan politik yang

mengkaji dan membahas perubahan rezim ada dua tokoh yang menjelaskan

perubahan rezim dengan sangat detail dan baik. Mereka adalah Scott Mainwaring dan

Anibal Perez-Linan. Mereka berdua menjelaskan tentang sebab-sebab bertahan dan

jatuhannya sebuah pemerintahan yang demokratis atau rezim otoriter di Negara-

Negara Amerika Latin dari tahun 1945-2010. Kajian mereka juga membahas

mengenai kegagalan demokratisasi di Negara-Negara Amerika Latin. Menurut

mereka teori perubahan rezim disebabkan oleh empat alasan mendasar yang

mengakibatkan rezim itu mampu bertahan atau gagal (jatuh). Ke-empat penyebab

bertahan atau jatuh rezim menurut mereka adalah2:

1Ethan B. Kapstein dan Nathan Converse, “Why Democracies Fall,” Journal of Democracy

19 (Oktober 2018): 57-58. 2Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan, Democracies and Dictatorships In Latin America

(New York: Cambridge University Press, 2013), 61.

25

1. Kebijakan yang radikal dapat membuat kehancuran dari kemungkinan

pemerintahan yang kompetitif (rezim yang kompetitif3

) dan sebaliknya

kebijakan yang moderat atau tidak berlebihan mampu membuat pemerintahan

yang kompetitif dapat bertahan.

2. Nilai-nilai4

yang dimiliki oleh aktor-aktor politik atau elit politik dapat

menentukan keberhasilan pemerintahan. Nilai-nilai itu terlihat dari sikap para

aktor yang mendukung demokrasi, otoriter, atau tidak mendukung demokrasi

melainkan sistem yang lain namun tetap menganggap pemerintahannya

menjalankan sistem demokrasi.

3. Ketika tercipta nilai-nilai demokrasi yang telah disepakati dikalangan para

aktor atau elit politik maka meningkatkan daya tahan pemerintahan yang

kompetitif

4. Pengaruh dari Dunia Internasional yang mendukung pemerintahan demokrasi

dapat memberikan kemungkinan bertahannya pemerintahan yang kompetitif

dan mampu meningkatkan transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju

kepada pemerintahan yang demokratis.

Penggunaan teori perubahan rezim untuk mengupas dan mengkaji sebab-sebab

kejatuhan Pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Diketahaui sebelumnya bahwa

3

Istilah yang digunakan oleh Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Lisan dalam

mengkategorikan pemerintahan yang demokratis dan semi-demokrasi. (Lihat Mainwaring dan Linan,

Democracies and Dictatorships, 4-5.) 4Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan pemikiran atau

ideologi para aktor politik. Biasanya pemikiran dan ideologi itu akan berhubungan dengan prinsip-

prinsip demokrasi atau terkadang pemikiran dan ideologi tersebut bisa tidak berhubungan dengan

prinsip-prinsip demokrasi. Di antara pemikiran dan ideologi yang tidak berhubungan dengan prinsip-

prinsip demokrasi adalah pemikiran otoriterianisme dan komunisme.

26

pemerintahan Mursi yang terpilih melalui pemilihan presiden seecara langsung pada

tanggal 30 Juni 2012. Setelah Mursi terpilih dan menjalankan roda pemerintahan

Mesir namun situasi politik yang terjadi di Mesir tidak mengalami perbaikan dan

bahkan semakin menegangkan. Walaupun pemerintahn Mursi berusaha memperbaiki

keadaan itu dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk meredakan ketegangan

politik. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mursi hanya membawa

ia kepada kejatuhannya melalui proses yang tidak demokratis (kudeta militer).

Penyebab jatuhnya pemerintahan Mursi di Mesir menurut pandangan teori

perubahan rezim adalah gejolak politik yang berawal dari tidak terciptanya nilai-nilai

demokrasi di kalangan para elit politik Mesir mengakibatkan konflik politik yang

berkembangan di dalam lembaga Konstituen Mesir dalam merumuskan konstitusi

baru. Selanjutnya konflik tersebut membuat Mursi mengambil tindakan dengan

mengeluarkan dekrit presiden. Terciptanya dekrit presiden tidak meredakan gejolak

politik di Mesir, mengakibatkan dekrit itu menjadi sebuah kebijakan yang radikal.

Pengaruh dari dekrit yang mengakibatkan gejolak politik berkepanjang di Mesir,

membawa Militer Mesir bertindak untuk menyelesaikan gejolak politik tersebut

dengan melakukan tindakan kudeta terhadap pemerintahan Mursi. Kejatuhan

pemerintahan Mursi yang dilakukan oleh kudeta militer tidak mendapat simpati dari

kalangan dunia Internasional, khususnya Negara Amerika Serikat yang menganggap

bahwa kudeta militer yang terjadi di Mesir bukan-lah proses kegagalan demokrasi

atau kejahatan internasional dan hanya dianggap sebagai permasalahan politik dalam

negeri Mesir.

27

B. Teori Transisi Demokrasi

1. Pengertian Transisi Demokrasi

Pemahaman makna dari transisi demokrasi memiliki banyak pengertian,

khususnya untuk kata transisi itu sendiri. Kata Transisi merupakan serapan dari

bahasa asing yang diartikan sebagai peralihan, jika dihubungkan dengan kata “masa”

maka berarti sebagai masa peralihan atau masa pancaroba.5 Di lain hal, makna kata

transisi sesungguhnya diambil dari bahasa latin, yaitu “trans” dan “cendo”. Kata

trans sendiri memiliki banyak arti yaitu diseberang, disebelah sana, dibalik, dan

menyebrangi. Berbeda dengan cendo yang memiliki dua arti, yaitu melangkah ke

sesuatu yang lain atau berpindah, maka jika kata “trans” dan “cendo” digabungkan

dan menjadi kata Transcendo memiliki arti sebagai berikut6:

1. Melangkah ke sesuatu yang lain,

2. Berpindah,

3. Memanjat, melewati, menyebrangi, melangkahi, melalui, melanggar,

mengatasi, melebihi, melampaui.

Penjelasan-penjelasan tersebut telah memaparkan pengertian dari kata

transcendo, sehingga bisa disimpulkan bahwa kata transcendo atau transisi adalah

melangkah ke sesuatu yang lain atau berpindah ke sesuatu yang lain.

5W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4

th ed. (Jakarta: Balai Pustaka,

1976), 1089. 6Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, (Bantul: Pondok Edukasi,

2004), 30-31.

28

Makna transisi dapat berarti kekuasaan jika dihubungkan dengan kata

“power”, di dalam bahasa Inggris, menjadi “power transition” yang berarti peralihan

kekuasaan. Penjelasan tentang kata transisi dan kekuasaan, jika diartikan dan

dimaknai kata transisi sebagai transisi kekuasaan memiliki dua pengertian, yang

pertama sebagai peralihan kekuasaan atau perpindahan kekuasaan. Makna pertama

memiliki arti sebagai proses perpindahan atau peralihan kekuasaan dari satu tangan

atau dari satu kelompok ke tangan atau kelompok lain. Pengertian kedua sebagai

masa penantian dimana akan terjadinya pergantian kekuasaan (pancaroba). Kedua

pengertian tersebut tentang transisi kekuasaan dapat dipahami sebagai sebuah proses

perguliran kekuasaan yang sedang dan akan terjadi pergantian kekuasaan.7

Pengertian dari transisi akan memiliki arti dan makna yang cukup berbeda jika

dihubungkan dengan kata demokrasi. Pengertian dari transisi demokrasi atau

“transition to democracy” adalah perubahan ke demokrasi atau peralihan ke

demokrasi. Arti perubahan di sini sebagai masa atau periode sebelum terjadinya

transisi, tepatnya masa di mana sebelum terjadinya perubahan atau peralihan ke arah

demokrasi. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa transisi demokrasi ialah suatu

masa peralihan atau perpindahan kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan

demokratik atau dari sistem otoriter ke sistem demokrasi.8

Pandangan berbeda coba dijelaskan oleh Martins yang dikutip oleh Sahdan

dalam buku Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, menjelaskan bahwa

7Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 31-32.

8Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 32.

29

pengertian dari transisi demokrasi tidak diartikan sebagai peralihan atau perpindahan

kekuasaan melainkan sebagai perubahan yang diperkenalkan oleh rezim yang

berkuasa kepada rakyatnya. Ia meyakini bahwa transisi adalah tranfomasi kekuasaan.

Transfomasi ini diartikan sebagai perubahan kekuasaan dari rezim otoritarian ke

demokrasi atau sebaliknya. Baginya perubahan yang terjadi terletak pada bentuk

kekuasaannya, bukan kepada elit yang berkuasa sehingga dapat disimpulkan bahwa

elit yang berkuasa meminta dan mengadakan modifikasi pada bentuk kekuasaan.

Bentuk ini nantinya bisa bersifat kooperatif atau represif tergantung dari para elit

yang berkuasa.9

Ada juga pandangan ilmuwan politik yang mengkaji tentang teori transisi

demokrasi lebih menyeluruh, di antaranya adalah O’Donnell dan Schimtter. Menurut

mereka transisi adalah masa interval atau periode waktu diantara rezim yang satu

dengan rezim yang berikutnya, atau bisa dengan kata lain transisi diartikan sebagai

suatu era-antara (interval-period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu

jelas sosoknya. Kata ketidakjelasan ini, dapat dipahami sebagai rangkaian

kemungkinan yang akan terjadi dalam tercipta bentuk orde politik. Hal ini seperti

yang diungkapan oleh O’Donnell dan Schimtter sebagai berikut10

:

“Transisi dibatasi di satu sisi oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim

otoritarian, dan di sisi yang lain, oleh pengesahaan beberapa bentuk

demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau

kemunculan suatu alternatif revolusioner.”

9Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 33-34.

10Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule:

Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: The Johns Hopkins University Press,

1986), 6.

30

Penjelasan tersebut, memberikan gambaran tentang pemahaman mengenai

makna transisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa transisi ialah periode waktu

diantara berakhirnya atau hancurnya rezim otoriter menuju ke arah rezim demokrasi

yang dalam prosesnya mengalami ketidak pastian menuju demokrasi atau bentuk

rezim yang lain. Di tambahkan juga oleh O’Donnell, bahwa proses transisi ini tidak

dapat diramalkan bagaimana akhirnya dan mengandung resiko kegagalan demokrasi.

Hal itu disebabkan karena di dalam transisi banyak mengandung aspek dan faktor

yang saling berkaitan dan bertentangan, sehingga bisa dikatakan ketidak pastian dan

kemungkinan akan selalu membayangi proses demokrasi di suatu negara.11

Pada

akhir-nya transisi itu selalu berhubungan dengan proses demokratisasi di negara yang

mengalami transisi demokrasi.

2. Bentuk-bentuk Transisi Demokrasi

Di lain pihak, seperti Huntington dan J. Linz memberikan pandangan yang lain

tentang pemahaman transisi demokrasi yang lebih komplek dibanding Martins.

Menurut Huntington dan J. Linz yang dikuip oleh Sahdan dalam Jalan Transisi

Demokrasi. Menurut mereka transisi demokrasi memiliki tiga bentuk kategori, yaitu

pertama, transformasi sedangkan J. Linz menyebutnya sebagai reforma. Bagian

pertama terjadi ketika elit politik mengambil alih kekuasaan ke demokrasi seperti

yang dijelaskan oleh Huntington: “Transformation is occurred when the elite in

power took the lead in bringing about democracy.” Kedua, disebut sebagai

11

O’Donnell dan C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule, 6.

31

replasementasi (replacement) atau ruptura menurut J. Linz. Bagian kedua terjadi

ketika pihak oposisi mengambil alih kekuasaan ke demokrasi dan rezim otoritarian

mengalami pengkolapan atau penghancur yang dikarenakan penggulingan, seperti

yang dijelakskan oleh Huntington: “Replacement is occurred when the opposition

groups took the lead in bringing about democracy, and authoritarian rezime

collapsed or was overthrow.” Terakhir, disebut sebagai transplasementasi

(transplacement), terjadi ketika demokratisasi disebabkan perluasan aksi bersama

yang berbentuk negosiasi, kompromi, dan dialog komunikatif antara pihak oposisi

dengan pemerintah, seperti pada penjelasan Huntington12

: “Transplacement or

ruptroma (Linz) occurred when democratization rezulted largely from joint action by

government and opposition groups.”

Ketiga bentuk transisi demokasi menurut Huntington dan J. Linz dapat

dipahami dengan mudah dengan melihat tabel berikut ini.

Tabel II.B.1. Titik Perbedaan Pandangan Tentang Istilah dalam Transisi

Demokrasi

Huntington J. Linz Penjelasan

Tranformation Reforma Transisi elit

Replacement Ruptura Transisi revolusi

Transplacement Ruptforma Transisi reformasi

12

Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 34-35.

32

Sumber: Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto,

(Bantul: Pondok Edukasi, 2004), 35.

3. Proses dan Tahapan Transisi Demokrasi

Perjalanan menuju transisi demokrasi selalu ditandai oleh tahapan awal yaitu

berakhirnya rezim otoriter. Berbagai hal yang menyebabkan jatuh atau lepasnya

rezim otoriter di dalam sebuah negara-negara yang mengalami transisi demokrasi

memiliki banyak faktor atau alasan penyebab berakhirnya rezim otoriter. Banyak

kalangan ilmuwan politik yang mengkaji persoalan tentang transisi demokrasi

melihat permasalahan berakhirnya rezim otoriter menjadi hal penting untuk mengkaji

dan menerangkan sebelum membahas transisi demokrasi.

Faktor-faktor tumbangnya pemerintahan otoriter di suatu negara, menurut

Guiseppe Di Palma yang dikutip oleh Sahdan, dalam Jalan Transisi Demokrasi

menjelaskan bahwa ada tiga faktor tumbangnya pemerintahan otoriter. Ketiga faktor

itu adalah:

1. Economic prosperity and equality. (Kesejahteraan dan kesetaraan ekonomi)

2. A modern and diversivied social structure in nondependent middle classes

occupy center stage. (Struktur sosial yang beragam dan modern di dalam

kelas menengah yang tidak tergantung sehingga menempatkan mereka pada

posisi utama)

3. A national culture that, by tolerating diversity and preferring accommodation,

is already implicitly democratic. (Budaya nasional yang dapat mentoleransi

33

pada keragaman dan lebih mudah menyesuaikan diri secara tidak langsung

terhadap demokrasi)

Ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan jalannya demokratisasi

di suatu negara. Di tambahkan oleh Palma, jika ketiga faktor itu tidak ada, maka

jalannya demokratisasi akan digerakan oleh dua hal yaitu mobilisasi massa untuk

kategori yang dipelopori oleh rezim, dan yang terakhir adalah tindakan kekerasan

untuk mencapai demokratisasi yang sulit untuk mencapai tingkat demokratisasi

sesungguhnya. Bagian kedua cenderumg lebih dipelopori oleh kaum oposisi radikal.13

Huntington mencoba memberikan penjelasannya mengenai faktor-faktor

penyebab terjadinya proses transisi demokrasi. Menurut Huntington faktor transisi

demokrasi yang terjadi pada gelombang ketiga14

, disebabkan oleh15

:

1. Hilangnya legitimasi yang dimiliki oleh rezim yang berkuasa, sehingga rezim

kehilangan pamornya di mata masyarakat.

2. Adanya krisis ekonomi global yang melanda negara-negara yang memiliki

sistem otoriter.

3. Adanya perubahan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pejabat gereja

Katolik di Vatikan yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan gereja di negara

13

Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 38-39. 14

Gelombang ketiga demokrasi terjadi dari tahun 1970-an di Negara Spanyol dan Portugal.

Gelombang demokrasi ketiga terus melanda seluruh dunia dari sekitar tahun 1970-an sampai tahun

1989. Sebelum terjadi gelombang demokrasi ketiga, dunia juga pernah dilanda gelombang demokrasi,

yaitu gelombang demokrasi pertama tahun 1820 sampai 1926 dan diikuti oleh gelombang demokrasi

kedua yang terjadi pada tahun 1945 sampai 1962 (Lihat, Samuel P. Hungtinton, “Democracy’s Third

Wave,” Journal of Democracy 2 [Mei 1991]: 12.) 15

Suprisno Baderan, “Pola Transisi Demokrasi yang Terjadi Di Indonesia dan Brasil,” Farabi

11 (Juni 2014): 43-44.

34

lainnya. Hal ini banyak terjadi di Negara-Negara Amerika Latin dan Eropa

Selatan yang agama mayoritasnya adalah Katolik.

4. Adanya promosi demokratisasi dan hak-hak asasi manusia oleh diplomatik

Amerika yang mendapat dukungan dari kalangan Masyarakat Ekonomi Eropa

(MEE).

5. Adanya pengaruh pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di beberapa

negara non-demokrasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya menghasilkan

perluasan kelas menengah dan perluasan lembaga-lembaga otonom yang

bersikap berlawanan terhadap pemerintah.

6. Adanya kejatuhan atau keruntuhan rezim otoritarian, yang disebabkan oleh

menurunnya basis legitimasi yang menjadi unsur penopang rezim dan

keterbukaan komunikasi Dunia Internasional yang mempromosikan

demokratisasi oleh Negara Eropa Barat seperti Amerika dan Masyarakat

Ekonomi Eropa (MEE).

7. Adanya demonstrasi besar yang terjadi di negara non-demokrasi. Demonstrasi

besar menyebabkan efek yang diantaranya adalah contagion (penularan),

diffusion (penyebaran), emulation (penyamaan atau emulasi), snowballing

(penggumpalan/efek bola salju), dan the dominio effect (efek domino).

Sebab-sebab kejatuhan rezim otoriter menjadi jalan untuk masuknya transisi

demokrasi di negara otoriter. Tahap selanjutnya setelah rezim otoriter jatuh maka elit-

elit yang tersisa mulai menjalankan agenda-agenda transisi demokrasi di negaranya.

35

Penjelasan itu coba diuraikan oleh Samuel P. Huntington yang mengkaji mengenai

proses demokratisasi gelombag ketiga yang terjadi di dunia. Gagasan awal mengenai

perilaku masyarakat di dalam proses transisi mengalami perubahan ke arah perilaku

elit atau yang dikenal sebagai faktor elit di dalam tumbangnya rezim otoriter dan

lahirnya proses transisi demokrasi. Menurut Huntington tahap-tahap transisi yang

bersumber pada faktor elit berakar dari pemikiran yang diantaranya16

:

1. Aktor utama di dalam proses transisi adalah elit politik, yang terdapat di

pemerintahan atau menjadi oposisi dan bukan lagi kelompok kepentingan,

organisasi massa, gerakan sosial atau kelas-kelas tertentu di dalam

masyarakat.

2. Aktor-aktor tersebut dapat dibedakan secara tipikal menurut orientasi mereka

terhadap perubahan rezim, seperti moderat-ekstrem dan menurut kepentingan

yang berakar pada struktur dan kondisi ekonomi maupun peranan

institusionalnya.

3. Aktor-aktor tersebut berperilaku strategis, semua tindakan mereka sangat

dipengaruhi oleh penilaian mereka terhadapan lawan dan sekutu-nya sendiri.

4. Demokrasi adalah hasil dari sebuah negosiasi yang dilakukan secara ekplisit

ataupun implisit.

Elit menjadi bagian terpenting di dalam proses transisi demokrasi di suatu

negara, semakin diperkuat oleh gagasan yang diberikan oleh Share. Ia berpandangan

16

Ali Martin, “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia Ditengah

Demokrasi Pasar,” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.

36

bahwa adanya peran pemerintah di dalam tercipta transisi demokrasi di suatu negara.

Peran pemerintah atau rezim berkuasa sangat ditentukan oleh waktu keberlangsungan

proses transisi tersebut. Menurutnya demokratisasi bisa terjadi secara bertahap atau

cepat. Keduanya sangat dipengaruhi oleh pemerintah atau rezim yang berkuasa.

Proses yang melibatkan para elit dan berlangsung dengan cara bertahap hanya terjadi

pada Negara-Negara Eropa Barat dan Amerika Serikat atau terjadinya proses

perjuangan revolusioner kecil jika ada kelompok oposisi yang tumbuh di dalam

pemerintahan otoriter. Di lain hal itu, untuk proses transisi demokrasi yang sangat

cepat, terjadi karena adanya perpecahan dan tidak adanya konsensus yang tercipta.

Perpecahan disebabkan oleh karena adanya kelompok pro-demokrasi yang memilih

jalan revolusi, adanya kudeta militer yang dilakukan oleh elit militer atau polisi,

adanya keruntuhan rezim karena penyebab peperangan, dan adanya proses ekstrikasi

(ectrication), yaitu proses di mana rezim yang berkuasa kehilangan legitimasi secara

tiba-tiba dan memberikan kekuasaanyan pada pihak oposisi yang demokratis.17

Secara umum gagasan Share ini dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

17

Martin, “Qou Vadis Transisi Demokrasi”, 31.

37

Tabel II.B.2. Tipe-Tipe Transisi dari Otoritarianisme ke Demokrasi yang

Melibatkan Para Pemimpin Rezim

KETERLIBATAN

ELIT

PROSES

YA

(KONSENSUS)

TIDAK

(NON-KONSENSUS)

BERTAHAP Transisi Inkremental

(Demokratisasi Secara

Bertahap)

Transisi Melalui Proses

Perjuangan Revolusioner

Secara Berkepanjangan

CEPAT Transisi Transaksi Transisi Melalui

Perpecahan:

a. Revolusi

b. Kudeta

c. Keruntuhan

d. Ekstrikasi

Sumber: Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto,

(Bantul: Pondok Edukasi, 2004), 62.

Penjelasan-penjelasan tersebut telah memberikan gambaran yang jelas dan

lengkap bagaimana rezim yang berkuasa di negara otoriter juga mengambil peranan

di dalam terciptanya proses transisi demokrasi di negara tersebut. proses transisi

demokrasi di negara tersebut akan memasuki tahapan-tahapan selanjutnya di dalam

menjadikan negara-nya menjadi negara demokrasi. Penjelasan mengenai tahap-tahap

38

yang di alami oleh negara otoriter menuju negara demokrasi menjadi ruang pendapat

Rustow. Ia mencoba meneliti tentang proses transisi demokrasi yang terjadi di dunia.

Berdasarkan kajian Rustow tentang transisi, menurutnya ada tiga tahapan di

dalam transisi demokrasi. Tahapan pertama, transisi ditandai dengan perjuangan yang

panjang dan melibatkan pemain-pemain baru di dalam politik. Pada tahapan awal

biasanya terjadi polarisasi dan beberapa sarana demokrasi, walau pada tingkat yang

lebih minimal menjadi ajang mencapai tujuan. Proses tahapan berikutnya, di mana

masing-masing pihak yang berlawan mengalami kebuntuan untuk dapat menang

sendiri dan menyatakan untuk dilakukan negosasi serta kompromi. Bagian ini di

dalam studi transisi disebut sebagai “pact” atau pakta. Pada tahapan ini, adanya

aturan-aturan yang menguntungkan kedua pihak (kelompok lama atau pendukung

rezim dan kelompok baru atau oposisi rezim) yang mulai disepakati. Terakhir atau

tahapan ketiga adalah tahapan yang dikenal sebagai konsolidasi demokrasi, yang

menurut Rustow disebut sebagai “habituation” atau pembiasaan. Di tahapan terakhir

ini, pemain mulai beradaptasi dengan aturan-aturan main yang lebih demokrasi

(democratic rules), selain itu warganegara juga memiliki keterikatan terhadap aturan

tersebut. Pada aturan tersebut (democratic rules) memiliki tiga dimensi yang saling

berkaitan dengan konsolidasi demokrasi. Ketiga dimensi itu ialah18

:

18

E. Shobirin Nadj, ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional: Studi

Transisi Politik Pasca Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2003), 16-17.

39

1. Legal-organisasional merupakan aturan-aturan yang menyangkut tentang

legalitas keberadaan partai-partai politik dan kelompok kepentingan serta

pengintergrasinya ke dalam legal orde konstitusional.

2. Dimensi normatif berhubungan pada pluaralisme, yang diartikan sebagai

pengakuan bahwa tidak ada satu pun kelompok yang diizinkan atau

mengklaim serta dapat memonopoli kebenaran politik. Pluaralisme juga

mengandaikan adanya toleransi, pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas,

pemerintahan dengan kekuasaan terbatas dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia.

3. Dimensi kekuasaan yang mencakup pada pembagian kekuasaan, pamekaran

pusat-pusat kekuasaan (seperti otonomi daerah/regional), dan akuntabilitas

kekuasaan.

Pandangan-pandangan itu memberikan penjelasan mengenai demokrasi yang

diartikan bukan sebagai alternatif utama terhadap komitmen penuh atas nilai-nilai dan

prinsip-prinsip filosofis demokrasi. Penjelasan itu memberikan pengertian demokrasi

sebagai fungsional yang menjadikan demokrasi solusi kedua terbaik “a second best-

solution” terhadap berbagai konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat.19

Mengingat bahwa pemerintahan Mursi yang terpilih melalui Pemilihan

Presiden di Mesir pasca jatuhnya rezim militer Mubarak tahun 2011. Pemilihan itu

merupakan bagian dari hasil transisi demokrasi yang terjadi di negara Mesir.

Peristiwa transisi demokrasi di Mesir lebih dikenal sebagai Revolusi Arab Spring,

19

Shobirin Nadj, ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional, 17.

40

namun dalam teori transisi demokrasi apa yang terjadi di Mesir bukan termasuk

dalam kategori transisi demokrasi yang dikenal sebagai transisi revolusi tapi transisi

reformasi. Walaupun peristiwa yang terjadi di Mesir disebut sebagai revolusi tapi

melihat bagaimana proses yang terjadi di Mesir dari demonstrasi masa yang berakhir

pada pengunduran diri Presiden Mubarak di Mesir tahun 2011 lebih menyerupai

transisi reformasi.

Demonstasi besar yang terjadi di Mesir merupakan bentuk hancurnya legitimasi

pemerintahan otoriter Mesir. Lemahnya atau memudarnya legitimasi pemerintahan

otoriter Mesir yang disebabkan oleh permasalahan ekonomi hingga pada masalah

korupsi memberikan kesulitan hidup terhadap rakyat Mesir. Keadaan itu melahirkan

sebuah gerakan protes besar terhadap rezim yang berkuasa. Peristiwa yang berawal

dari demonstrasi besar yang dilakukan oleh masyarakat Mesir dalam menentang

rezim Mubarak, lebih menyerupai transisi reformasi yang lebih mengutamakan aksi

masa dalam menuju tercipta transisi demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang

demokratis. Peritiwa demonstrasi besar itu, juga mengakibatkan terjadinya negoisasi

antara pemerintah dan kelompok oposisi pemerintah untuk mengakhir kekuasaan

rezim otoriter dan melaksanakan pemilu parlemen dan pemilihan presiden

secepatnya. Proses-proses politik yang terjadi di dalam transisi demokrasi dalam

mencapai kesepakatan dengan para elit politik Mesir akan terus terjadi hingga

kejatuhan pemerintahan Mursi di tahun 2013.

41

C. Teori Institusional (Kelembagaan)

March dan Oslcn, keduanya memberikan gambaran tentang pengertian dari

teori institusional. Mereka menegaskan bahwa teori institusional lebih banyak

mengkaji permasalahan-permasalahan di dalam institusi politik. Bagi mereka institusi

politik memiliki peran yang otonom dalam memainkan dan membentuk hasil politik,

sehingga organisasi politik menghasilkan suatu yang berbeda. Secara lengkap mereka

memberikan penjelasan bahwa20

:

“Agensi birokrasi, komite legislatif, pengadilan yang berwenang meninjau

kembali putusan hakim, adalah arena untuk memperjuangkan kekuatan sosial,

tapi mereka juga merupakan kumpulan prosuder operasi standar dan struktur

yang mendefinisikan dan mempertahankan kepentingan. Mereka adalah aktor

politik bagi diri mereka sendiri”

Gagasan itu melahirkan sebuah pemahaman baru dalam teori institusional.

Perubahan itu memungkinkan kajian-kajian teori institusional tidak harus terus dalam

model Westminter21

. Di sisi lain teori institusional juga tidak meninggalkan dasar

pijakan dari teori institusional yaitu lembaga-lembaga politik dan seluruh aktivitas di

dalamnya. Perubahan-perubahan itu mengakibatkan pengertian-pengertian teori

institusional semakin bervariasi dan luas. Teori institusional (kelembagaan), menurut

Rhodes ialah suatu subjek masalah yang mencakup peraturan, prosedur, dan

organisasi formal pemerintahan. Ia memakai alat-alat ahli hukum dan sejarawan

20

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Penerjemah Helmi

Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media, 2010), 112. 21

Model Westminter adalah model pemerintahan Eropa Barat dengan kekuasaan yang terletak

pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan menggunakan asas Trias Politica. Model

Westminter memiliki tujuan untuk menciptakan sistem politik yang demokratis dan liberalisme dalam

kebebasan politik dan HAM.

42

untuk menjelaskan batas-batas pada perilaku politik maupun efektivitas demokrasi

dan ia membantu perkembangan model Westmister tentang demokrasi representatif.22

Pengertian dari teori institusional (kelembagaan), menurut Rhodes lebih

didasarkan pada permasalahan-permasalahan yang tejadi pada lembaga-lembaga

politik dan aturan-aturan yang melingkupinya, dengan bantuan-bantuan dari

pendekatan hukum dan ilmu sejarah akan lebih memudahkan menerangkan tentang

perilaku politik serta dampak yang dihasilkan demokrasi. Lebih jauh, Rhodes juga

menyakini bahwa teori institusional (kelembagaan) menjadi peran penting di dalam

mengembangkan model Westmister tentang demokrasi perwakilan ke seluruh dunia.

Pada akhirnya, pandangan Rhodes tentang teori institusional menurut David Marsh

dan Gerry Stoker, telah dengan tegap mempertahankan teori institusional pada studi

tentang pemerintahan dan politik.23

Di pihak lain, Samuel P. Huntington mencoba melihat kajian mengenai teori

institusional lebih komplek dari pada membahas mengenai seputar pemerintahan dan

aturan-aturannya. Huntington berpandangan bahwa teori institusional (kelembagaan)

ialah suatu teori yang mencari sebuah jawaban atas kelembagaan politik yang ada di

negara-negara berkembang untuk mencapai tingkat kestabilan politik seperti pada

negara-negara maju, khususnya Negara-Negara Barat. Pandangan Huntington

terhadap teori institusional berlandaskan pada perubahan-perubahan yang terjadi di

dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah komunitas politik yang sederhana

22

Rod Rhodes, Understanding Governance (Buckingham: Open University Press, 1997), 68. 23

Marsh dan Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, 109.

43

namun dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan majemuk,

maka untuk mengatur sebuah komunitas politik itu dibutuhkan sepak terjang dari

lembaga-lembaga politik.24

Komunitas politik, menurut Huntington tercipta dari interaksi kekuatan-

kekuatan sosial yang terdapat di dalam masyarakat, semakin komplek dan majemuk

kekuatan sosial di dalam masyarakat, maka semakin dibutuhkan lembaga politik

untuk mengatur dan menata kekuatan sosial itu. Di lain pihak, lembaga politik

tercipta dari hasil interaksi dan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan

sosial, maupun kerena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana

yang diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut. Komunitas politik dan lembaga

politik menjadi bagian yang penting dan tidak terpisahkan di dalam teori institusional

oleh Huntington. Hal ini seperti pada penjelasan Huntington sebagai berikut ini25

:

“Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat komunitas di dalam suatu

masyarakat yang kompleks tergantung dari kekuatan dan ruang lingkup

lembaga-lembaga politik yang ada. Lembaga merupakan perwujudan perilaku

konsensus moral dan kepentingan timbal balik. Keluarga, clan, suku atau desa

yang terpencil dapat menjadi suatu komunitas dengan usaha yang dilandasi

oleh sedikit kesadaran. Dari salah satu segi, kelompok-kelompok semacam itu

merupakan komunitas alamiah. Apabila jumlah anggota komunitas bertambah

banyak, strukturnya bertambah kompleks, dan kegiatannya semakin beraneka

ragam, maka hasil yang dicapai atau pembinaan terhadap tingkat komunitas

yang tinggi akan semakin tergantung dari lembaga politik.”

Penjelasan tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa komunitas politik

dan lembaga politik menjadi bagian terpenting di dalam teori institusional

24

Samuel P. Huntington, Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Penerjemah

Sahat Simamora (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 1-15. 25

Huntington, Tertib Politik, 11-14.

44

Huntington. Bagian komunitas politik dan lembaga politik saling terikat di dalam

masyarakat yang kompleks jika dibandingkan oleh masyarakat alamiah atau

tradisonal.

Keadaan ini akan berbalik jika melihat keadaan negara-negara berkembang, di

mana kekuatan sosial yang terdapat di dalam komunitas politik berada pada posisi

yang kuat, sedangkan lembaga politik yang ada berada pada posisi lemah. Pada

bidang legislatis dan eksekutif, kekuasaan pemerintahan dan partai politik masih

lemah dan tidak teratur. Berbanding terbalik dengan evolusi masyrakatnya yang

semakin berkembang dari pada negara. Keadaan itu berbeda dengan negara-negara

maju yang mengalami penguatan di dalam kelembagaannya. Pada bagian ini

Huntington memberikan ide-nya untuk menyelesaikan pemasalahan kelembagaan di

negara berkembang. Menurut Huntington penguatan lembaga politik itu sangat

dipengaruhi oleh kriteria-kriteria pelembagaan politik.26

Hal ini juga yang

membedakan teori institusional Huntington dengan ilmuwan politik lain.

Pada kriteria pelembagaan politik ini menjadi kunci utama terhadap teori

institusional Huntington. Pelembagaan adalah proses di mana organisasi dan tata cara

memperoleh nilai baku dan stabil. Bagi Huntington tingkat pelembagaan setiap

sistem politik dapat ditentukan dari segi kemampuan untuk menyesuaikan diri,

kompleksitas, otonomi dan keterpaduan organisasi berserta tata cara-nya. Hal ini juga

berlaku pada tingkat pelembagaan setiap organisasi atau tata cara tertentu dapat

26

Huntington, Tertib Politik, 15.

45

diukur dari kemampuannya, kompleksitas, otonomi dan keterpaduannya. Kriteria

pelembagaan politik menurut Huntington, yaitu27

:

1. Penyesuaian diri, yaitu proses di mana lembaga atau tata cara dapat

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Semakin tinggi menyesuaikan diri

lembaga atau tata cara-nya, maka semakin tinggi tingkat pelembagaannya.

Sebaliknya apabila kurang dapat menyesuaikan diri dan lebih kaku,

pelembagaannya akan semakin rendah pula. Kemampuan untuk

menyesuaikan diri merupakan suatu ciri khas yang harus dicapai. Tiga cara

untuk mengukur lembaga atau tata cara berhasil melakukan penyesuaian diri-

nya, yaitu melalui perhitungan kronologis, usia generasi, dan fungsi-nya.

2. Kompleksitas, yaitu proses pengkompleksitas lembaga pada keadaannya.

Semakin komplek suatu lembaga akan semakin tinggi pula tingkat

pelembagaannya. Kompleksitas dapat menambah jumlah sub-unit lembaga,

baik dari segi hierarki maupun fungsional, dan diferensiasi berbagai tipe sub-

unit lembaga yang terpisah. Semakin banyak keanekaragaman sub-unit, akan

semakin besar pula kemampuan lembaga untuk menjamin serta

mempertahankan kesetiaan anggota-anggotanya.

3. Otonomi, yaitu proses sejauh mana lembaga dan prosedur tidak tergantung

dari kelompok sosial dan metode perilaku yang lain.

4. Kesatuan atau keterpaduan, yaitu proses lembaga mengalami kesatuan atau

keterpaduan terhadaap lingkungannya. Semakin terpadu dan utuh suatu

27

Huntington, Tertib Politik, 16-30.

46

lembaga, semakin tinggi pula tingkat pelembagaannya, dan sebaliknya

semakin terpecah lembaga, semakin rendah pula tingkat pelembagaannya.

Pada kesatuan dan keterpaduan lembaga sangat disyaratkan adanya konsensus

di antara kelompok sosial yang terdapat pada lembaga tersebut.

Di sisi lain dari teori institusional, ada sebuah gagasan yang mencoba

memberikan dan mengembangkan nilai-nilai tentang demokrasi. Hal ini seperti

pandangan teori institusional yang digagas oleh David E. Apter. Pandangan teori

institusionalnya berbeda dari gagasan yang diberikan oleh Huntington. Pandangan

Apter di dalam teori institusional lebih berdasarkan pada nilai-nilai liberian dan

pemerintahan demokrasi, walau terkadang dia juga membandingkan lembaga-

lembaga itu dengan sistem politik yang tidak demokrasi (otoriter atau totalriter).

Gagasan dan ide-ide yang dituangkan oleh Apter lebih kepada bagaimana lembaga-

lembaga politik itu bisa berkerja dalam nilai-nilai yang demokrasi. Apter

berkeyakinan sistem demokrasi ialah sistem yang dapat menyelesaikan konflik-

konflik yang terjadi di dalam masyarakat dengan diubah menjadi sebuah persaingan

damai melalui badan-badan perwakilan dalam pemerintahan. Hal itu terlihat dari

penjelasan yang diuraikan oleh Apter mengenai teori institusional28

:

“Paham kelembagaan mendukung sisi pencerahan dalam perdebatan itu.

Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan pemecahan-pemecahan

universal dengan menerjemahkan cita-cita libertarian (nilai-nilai liberal) ke

dalam pemerintahan perwakilan.”

28

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES,

1988), 135.

47

Pandangan teori institusional Apter berlandaskan pada ide-ide generatif

(umum) tentang kelembagaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar demokrasi,

yang bersumber pada kekuasaan. Menurut Apter kekuasaan adalah kekuatan yang

dapat dipakai dan dikendalikan, persoalan utama-nya ialah mengubah kekuasaan

mutlak untuk dipakai secara demokrasi. Secara umum Apter menjelaskan sebagai

berikut29

:

“Kekuasaan merupakan dasar politik. Dalam demokrasi, pemakaiannya harus

sesuai dengan patokan-patokan kewajaran atau keadilan. Hal ini selanjutnya

tercermin dalam hukum. Hukum menciptakan wewenang dan memungkinkan

perwakilan menjadi sarana pembuatan hukum. Selanjutnya jika perwakilan

didasarkan pada pesamaan, maka ia akan mendorong kebebasan dan

demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sistem yang menjamin kebebasan.

Kebebasan-kebebasan itu diabadikan dalam hak-hak, yang diungkapkan secara

politik dalam perwakilan. Dalam demokrasi, melalui kedaulatan rakyat hak

menimbulkan wewenang, suatu wewenang yang didukung oleh hukum.

Hasilnya adalah sebuah sistem ketertiban yang menjadi landasan yang

memungkinkan dijalankannya kekuasaan serta ditetapkannya asas-asas

kewajaran atau keadilan.”

Keyakinan Apter terhadap sistem demokrasi pada teori institusionalnya, bukan

hanya dapat menghentikan dan menyelesaikan konflik-konflik tersebut, tapi sistem

demokrasi adalah sistem terbuka. Sistem yang berusaha mencari pemecahan sedikit

demi sedikit berdasarkan persetujuan dari rakyat. Sistem ini juga memiliki

kelemahan, yaitu proses kerja yang lambat, sulit digunakan, dan mungkin dapat kalah

terhadap pengaruh-pengaruh yang membahayakan. Kelemahan-kelemahan yang ada

pada sistem itu tidak membuat keyakinan Apter berubah melainkan semakin yakin

terhadap sistem ini. Hal itu karena sistem ini dapat diperbaharui dan banyak para

29

Apter, Pengantar Analisa Politik, 137.

48

penganut kelembagaan beranggapan bahwa betapapun buruknya kerja sistem ini, ia

masih lebih baik dari pada sistem yang lain. Keyakinan itulah yang melahirkan

prinsip-prinsip demokrasi yang secara umum disimpulkan oleh Apter sebagai

berikut30

:

“Persamaan dan demokrasi menjamin kebebasan. Ketertiban dan kekuasaan

menjamin keadilan. Keadilan dan kebebasan merupakan variabel-variabel

yang menentukan atau independen. Persamaan dan ketertiban merupakan

variabel-variabel bergantung.”

Gagasan dan ide teori institusional Apter menjelaskan bahwa sebuah lembaga-

lembaga politik memiliki kekuasaan yang harus dikelola dengan sebuah sistem

demokrasi berlandaskan pada persamaan, kebebasan, keadilan, dan ketertiban. Pada

prinsip-prinsip ini, lembaga akan berjalan dengan baik dan menciptakan ketertiban

politik.

Bagian berikutnya Apter menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip dasar

demokrasi membentuk lembaga-lembaga yang demokrasi. Apter mencoba

menjelaskan sebagai berikut31

:

“kedaulatan rakyat dibutuhkan untuk jalannya demokrasi. Tetapi kedaulatan

rakyat membutuhkan persetujuan dari yang diatur. Dan, tanpa bagian ruang

lingkup yang dicadangkan untuk kehidupan pribadi, kedaulatan rakyat

mengakibatkan suatu tirani mayoritas. Maka pemerintahan harus dibatasi.

Sejauh mana batasnya merupakan masalah konstitusional. Namun

pemerintahan terbatas berarti bahwa, agar efisien dalam ruang lingkup

kekuasaannya, pemerintah harus mampu bertindak. Tetapi, kekuasaan

bertindak perlu juga diawasi oleh kekuasaan badan legislatif. Dengan

demikian tanggung jawab untuk pengaturan kekuasaan diserahkan kepada

badan legislatif maupun kepada publik. Mewujudkan tanggung jawab publik

membutuhkan pemungutan suara, yang agar efektif harus diorganisir oleh

30

Apter, Pengantar Analisa Politik, 136-137. 31

Apter, Pengantar Analisa Politik, 137-138.

49

partai-partai yang mempromosikan persaingan damai. Partai-partai tidak

dapat bersaing secara damai tanpa sistem pemilihan yang telah ditentukan

terlebih dahulu. Sistem pemilihan mengandaikan bahwa rakyat mempunyai

alasan untuk memberikan suara terhadap masalah-masalah yang mereka

ketahui. Publik yang banyak mengetahui membutuhkan jaminan adanya pers

bebas dan hak berkumpul dalam rangka mengkomunikasikan pandangan-

pandangan mereka yang bertentangan. Unsur-unsur ini mengawasi dan

menyeimbangkan kekuasaan.”

Keseluruhan dari lembaga-lembaga demokrasi menghasilkan sebuah sistem

demokrasi yang diatur dan dikendalikan oleh konstitusi. Konstitusi ini baik yang

tertulis maupun tidak, akan menciptakan sebuah kebebasan dan ketertiban di dalam

politik dan kelembagaan negara. Pada bagian ini, jenis-jenis pemerintahan demokrasi

akan terbentuk. Apter meyakini bahwa konstitusi (baik tertulis maupun tidak) akan

menciptakan bentuk pemerintahan yang federal atau kesatuan, yang akan melahirkan

dua sistem pemerintahan, yaitu presidensiil dan parlementer.32

Bagi Apter untuk menciptakan dan membentuk lembaga-lembaga yang bebas

dan tertib maka ada dua cara untuk membentuknya, yaitu dengan revolusi dan

evolusi. Cara yang paling tepat dalam membentuk kelembagaan adalah dengan

menggunakan cara evolusi, dibandingkan revolusi. Evolusi memberikan sebuah

bangsa tentang kesadaran sejarahnya sendiri, yang dapat menciptakan bentuk-bentuk

lembaga-nya sendiri. Lembaga-lembaga itu terbentuk sebagai sebuah kelangsungan

dan kebanggaan nasional yang pada awalnya berada pada bahasa, kelas, tata krama,

gaya dan kegiatan-kegiatan komersial serta ekonomi kelompok nasional. Semua hal

itu menghasilkan sebuah penghargaan publik yang akan menciptakan kebanggaan

32

Apter, Pengantar Analisa Politik, 138.

50

nasional pada lembaga-lembaga pemerintah yang terbentuk. Keadaan berbeda jika

lembaga-lembaga pemerintah terbentuk dari jalur revolusi. Di mana keadaan itu

menghasilkan kesulitan-kesulitan, kekurangan-kekurangan, dan kekejaman-

kekejaman yang dahsyat, yang mampu meluluhkan dan menghancurkan harga diri

sebuah bangsa. Pada akhirnya, meninggalkan suatu warisan kebencian, kemerosotan

wibawa, dan melenyapkan kebanggaan rakyat terhadap masa lampu mereka. Hal itu

terjadi karena revolusi adalah suatu proses perpecahan atau pemutusan masa lalu.33

Perkembangan yang terjadi di Negara Mesir pasca Revolusi Arab Spring 2011

dan mundurnya Mubarak. Tidak menghancurkan sistem kelembagaan politik yang

telah tercipta di dalam perpolitikan Mesir. Pemerintahan eksekutif yang selalu

mendapatkan perlindungan dari institusi militer dari masa pemerintahan Nasser

sampai Mubarak dalam menjaga kestabilan politik Mesir. Hal ini juga terjadi di

dalam masa transisi demokrasi Mesir, yang mana kekuasaan setelah lengsernya

Mubarak berada di tangan SCAF. Institusi SCAF merupakan kepanjangan tangan dari

Militer Mesir di dalam perpolitikan Mesir. Keadaan itu akan terus terjadi sampai

terpilihnya pemerintahan Mursi hingga kepada kejatuhan-nya (pemerintahan Mursi).

33

Apter, Pengantar Analisa Politik, 138-139.

51

BAB III

DINAMIKA PERPOLITIKAN MESIR 1920-2011

Pada bagian ini, penulis akan mencoba mendeskripsikan secara singkat

tentang dinamika politik negara modern Mesir dari diberikannya kemerdekaan oleh

Kerajaan Inggris sampai saat ini. Di lain itu, penulis juga akan mendeksripsikan

perkembangan politik Pemerintahan Mesir, khususnya dari negara modern Mesir.

Perkembangan politik Pemerintahan Mesir akan diuraikan oleh penulis dari awal

Negara Mesir mendapatkan kemerdekaan, berkuasanya para Militer Mesir (Dari

kudeta yang dilakukan Nasser sampai Husni Mubarak berkuasa) serta dinamika-

dinamika politik yang terjadi di dalam rezim Militer Mesir.

A. Politik Negara Modern Mesir

Kejayaan negara modern Mesir di antara Negara-Negara Arab atau Timur

Tengah, tidak terlepas dari lahirnya Bangsa Mesir (kurang lebih sekitar 5000 tahun

SM) sampai terbentuknya negara modern Mesir.1 Hal ini semua berawal dari kisah-

kisah sejarah kejayaan para Firaun yang tersimpan dalam monumen-monumen

sejarah seperti Piramida dan Patung Spinx. Kemasyuran masa para Firaun berkuasa di

Mesir telah berakhir beberapa ribu tahun yang lalu. Berakhirnya era-Firaun yang

disebabkan oleh penaklukan bangsa asing, dari mulai Bangsa Babylonia, Persia,

Yunani, Romawi, Arab, Pasukan Salib, Turki, Perancis, hingga Inggris telah

1Ellen Lust, The Middle East 13

th ed. (Los Angles: Sage & CQ Press, 2014), 450.

52

menaklukan dan menduduki negara Mesir. Kenyataan tersebut, telah membuktikan

bahwa negara Mesir tidak pernah dikuasai oleh Bangsa Mesir sendiri. Sampai

akhirnya di tahun 1952 kekuasaan negara Mesir kembali kepada bangsa-nya sendiri.2

Tahun 1952, dapat dikatakan sebagai kelahiran kembali Bangsa Mesir yang lebih

modern dan masih memiliki kebanggaan yang kuat terhadap warisan kejayaan para

Firaun. Warisan kejayaan Firaun di tahun 3000 SM, telah membentuk sebuah

identitas politik negara Mesir sendiri.3

Negara modern Mesir diawali dengan memerintahnya Mohammad Ali sebagai

pemimpin sementara Mesir. Mohammad Ali yang merupakan seorang tentara

berpangkat perwira yang berasal dari Albania dan seorang komandan di kesatuan

Militer Albania yang saat itu berada di dalam kekuasaan Kesultanan Ottaman. Ia

dikirim ke Mesir pada tahun 1789 oleh koalisi Kerajaan Inggris dan Kesultanan Turki

sebagai bentuk operasi militer untuk mengakhiri kekuasaan Perancis di negara

Mesir.4 Penunjukan Ali sebagai penguasa di negara Mesir. Melahirkan sebuah

keluarga Kerajaan Mesir dari tahun 1789-1952.5

Di tahun 1923, pasca Mesir mendapatkan legitimasi sebagai negara merdeka

oleh Kerajaan Inggris. Mesir membuat konstitusi pertamanya sebagai negara yang

merdeka. Konstitusi itu dikenal sebagai Konstitusi 1923. Isi dari Konstitusi 1923

menjelaskan bahwa Mesir adalah Negara Kerajaan Islam dan Bahasa Arab sebagai

2Monte Palmer, The Politics of the Middle East, (Belmont CA: Thomson, 2002), 45.

3J. P. Bannerman, Islamic in Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and Law (New

York: Routledge, 1988), 129. 4Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, A Short History of Modern Egypt, (Cambridge: Cambridge

University Press, 1985), 51. 5Palmer, The Politics of the Middle East, 46.

53

bahasa resmi negara, tapi konstitusi itu memiliki kebebasan politik yang luas kepada

masyarakat Mesir. Konstitusi 1923, juga menjelaskan tentang warga negara dan hak-

haknya, khususnya dalam memberikan suara pada pemilu. Hak suara hanya diberikan

kepada laki-laki dewasa saja. Konstitusi 1923 juga menetapkan parlemen dengan

sistem bikameral, pengadilan yang indepeden, dan kekuasan eksekutif yang sangat

kuat pada lembaga kerajaan, khususnya raja. Di tahun 1930, Konstitusi 1923

mengalami amademan dan memberikan kekuasaan lebih luas kepada lembaga

eksekutif, yaitu raja dan para menterinya.6

Kekuasaan yang diberikan oleh Konstitusi 1923 telah melahirkan banyak

penyelewengan kekuasaan sehingga membuat banyak pihak merasa kecewa dan tidak

suka terhadap raja dan para menterinya. Apa lagi Raja Faruq terlalu banyak diatur

oleh pemerintahan asing yang tidak lain ialah negara Inggris.7 Semua permasalahan

yang mencengkram Raja Faruq, akhirnya membuat ia dilengserkan oleh kelompok

militer yang menyatakan diri mereka sebagai Free Officers (Perwira-Perwira Bebas).

Kelompok ini dipimpin oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser yang mendapat dukungan

dari Jenderal Muhammad Naguib.8

Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) adalah gerakan kelompok militer yang

memiliki pemikiran dan cara pandangan politik yang berbeda pada saat itu. Mereka

tidak terlibat atau ikut serta dengan kelompok-kelompok yang mendukung

6“Government and Society Egypt,” arikel diakses pada 7 September 2017 dari

https://www.britannica.com/place/Egypt/Government-and-society. 7Lust, The Middle East, 452-453.

8William Ochsenwald dan Sydney Nettleton Fisher, The Middle East a History (New York:

McGraw-Hill, 2004), 585-587.

54

pemerintahan yang masih dikendalikan dan dikuasai oleh Kerajaan Inggris. Ditambah

dengan pemerintahan yang korup membuat pemerintahan Raja Faruq dibenci dan

tidak disukai oleh masyarakat dan kalangan militer, terutama Kolonel Gamal Abdul

Nasser.9

Pasca Revolusi 1952, kelompok Free Officers mulai menjalankan roda

pemerintahan Mesir dengan membentuk lembaga RRC (Revolutionary Command

Council) atau yang dikenal sebagai Dewan Pusat Revolusioner, yang merupakan

lembaga untuk menjalankan pemerintahan Mesir pasca kudeta terhadap Raja Faruq

dan pemerintahan parlementernya. Melalui Dewan Pusat Revolusioner partai-partai

politik mulai dilarang beraktivitas di dalam panggung politik Mesir berserta

organisasi-organisasi yang mengancam pemerintahan Revolusi 1952 Mesir.10

Dewan

Pusat Revolusioner (RCC) juga menghapus sistem politik lama dan mengganti

Konstitusi Mesir 1923 dengan konstitusi yang baru, yaitu Konstitusi 1953. Di tahun

1964 Pemerintahan Nasser menerapkan konstitusi sementara untuk mengganti

Konstitusi 1953.11

Berkuasannya militer melalui lembaga Dewan Pusat Revolusioner

(RCC), saat itu negara Mesir mulai memasuki pemerintahan rezim militer.

Di era-Nasser berkuasa, Mesir berada dalam dominasi militer dan kekuasaan

partai tunggal. Partai tunggal Mesir disebut sebagai Perserikatan Sosialis Arab atau

The Arab Socialist Union (ASU). Melalui Perserikatan Sosialis Arab yang digagas

9Palmer, The Politics of the Middle East, 49.

10William L. Cleveland dan Martin Buton, The History of The Modern Middle East, 5

th ed.

(Philadelphia: Westview Press, 2013), 283-284. 11

“Government and Society Egypt.”

55

oleh Nasser, Pemerintah Mesir dapat mengontrol setiap kehidupan politik bangsa

Mesir. Perserikatan Sosial Arab bukan hanya berfungsi sebagai partai politik, tapi

juga berperan sebagai penangkal gerakan-gerakan anti-revolusi, seperti para tuan

tanah, kaum Komunisme, dan Ikhwanul Muslimin.12

Di tahun 1970 Pemimpin Revolusi 1952 Gamal Abdul Nasser meninggal

dunia, selanjutnya tampuk kekuasaan diserahkan kepada wakilnya Anwar Sadat

sebagai pemimpin negara Mesir. Di masa Sadat, Mesir mulai menghidupkan kembali

partai-partai politik yang dilarang sebelumnya. Sadat juga berjanji akan memberikan

masyarakat Mesir pemerintahan yang demokratis. Bukti dari dihidupkanya partai-

partai politik di masa Sadat ialah Partai Wafd yang mulai berpartisipasi kembali

dalam kehidupan politik Mesir tahun 1977.13

Pemerintahan Sadat yang berkuasa selama 10 tahun, tetap menunjukan

kekuasaan eksekutif yang sangat dominan dari lembaga-lembaga lain, namun ia

mampu membawa pemilihan umum untuk parlemen Mesir yang pertama semenjak

berakhirnya sistem monarki-parlementer di Mesir.14

Di masanya Sadat banyak partai

yang kembali dalam percaturan politik Mesir tetapi tidak menjamin lahirnya

kebebasan partai politik secara demokrasi. Hal itu terjadi karena Sadat tetap

12

Palmer, The Politic Of The Middle East, 54. 13

Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 284. 14

Lust, The Middle East, 455.

56

mengontrol partai-partai tersebut melalui Partai Nasional Demokrasi (NDP15

) yang

dibentuk oleh-nya.16

Terbunuhnya Sadat oleh aksi kelompok fundamental Islam (ekstrimis Islam),

membuat Mesir memasuki era Pemerintahan Husni Mubarak yang juga merupakan

seorang militer dan berkuasa lebih lama dari kedua pendahulunya. Di-era Mubarak,

pemilu kembali rutin digelar.17

Mubarak juga merubah sistem politik Mesir, dengan

mulai menunjuk Perdana Menteri untuk membantu tugas-tugasnya menjalankan

pemerintahan Mesir.18

Adanya Perdana Menteri tidak merubah kekuasaan Mubarak

atas pemerintahan Mesir. Ini terbukti dari calon yang diajukan oleh parlemen Mesir

tetap saja calonnya hanya satu, yaitu Mubarak. Hal itu terjadi karena parlemen Mesir

selalu dikuasai oleh Partai Nasional Demokrasi (NDP) yang merupakan partai

pendukung rezim Mubarak di Mesir. Calon Presiden Mesir hanya dipilih melalui

parlemen Mesir. Di bulan Mei tahun 2005 Mubarak membuat sebuah peraturan yang

mengejutkan dengan mengijinkan adanya calon lain selain diri-nya dalam pemilihan

Presiden Mesir di parlemen Mesir, tetapi hasilnya tetap sama yaitu Mubarak sebagai

Presiden Mesir.19

Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang

disebut Revolusi Arab Spring 2011.

Revolusi Arab Spring 2011 menghasilkan sebuah pemerintahan Mesir yang

lebih demokrasi dengan terpilihnya Muhammad Mursi pada pemilu presiden yang

15

NDP adalah singkatan untuk National Democratic Party. 16

Palmer, The Politic Of The Middle East, 63. 17

Palmer, The Politic Of The Middle East, 63-65. 18

Palmer, The Politic Of The Middle East, 72-73. 19

Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural Perspective,

2nd

ed. (New York: Routledge, 2013), 157.

57

diselengarakan pada 30 Juni 2012. Kemenangan Muhammad Mursi dari lawannya

Ahmad Shafik dengan perolehan suara 52% berbanding 46%.20

Membuat ia dilantik

menjadi presiden sipil pertama serta perwakilan dari kubu partai Islam di Mesir.21

Kemenangan partai Islam ternyata tidak membuat Mursi dapat bertahan lama

ditampuk kekuasaannya. Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi di

kudeta oleh Militer Mesir melalui pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang

disuarakan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.

Pada pengumuman itu, Jenderal al-Sisi didampingi oleh Ulama Al-Azhar, Pemimpin

Kristen Koptik, Pemimpin Kelompok Oposisi Muhammad El Baradei, Pemimpin

Partai Islam Nour, dan Tokoh Pergerakan Tamarod yang melakukan unjuk rasa di

Lapangan Tahrir. Penyebab pemerintahan Mursi dilengserkan oleh militer karena

dominisasi kelompok Ikhwanul Muslimin terhadap seluruh kekuasaan di Mesir,

memburuknya keadaan ekonomi Mesir, Dekrit Presiden 22 November 2012, dan

pelanggaran demokrasi dan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Mursi dan

pendukungnya.22

Roda pemerintahan selanjutnya diberikan kepada Ketua Mahkamah

Agung Mesir sebagai Caretake pasca Mursi dikudeta.23

20

Lust, The Middle East, 463. 21

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21 September

2017 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi 22

WD, “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21 November 2015

dari https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-presiden-mesir-digulingkan 23

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,”

58

B. Pemerintahan Mesir Pra dan Pasca Kudeta Militer (Revolusi) 1952

Negara Mesir moderan, terutama sebelum kudeta militer di tahun 1952, ialah

sebuah monarki konstitusi. Puncak hirarki dari kekuasaan di negara Mesir adalah para

keturunan dari Muhammad Ali. Di tangan mereka wewenang untuk mengangkat dan

memberhentikan perdana menteri serta kabinet berada. Mereka memiliki kekuatan

yang kuat di dalam menjalankan pemerintahan Mesir, tapi disisi lain kekuasaan yang

mereka miliki masih di lingkupi oleh bayang-bayang dari Kerajaan Inggris. Bahkan

Kerajaan Inggris dengan sangat jelas telah mencampuri urusan dalam negeri

pemerintahan Mesir. Dominasi Kerajaan Inggris terhadap negara Mesir semakin kuat

saat pecahnya Perang Dumia I 1914, dengan mendekralasikan negara Mesir sebagai

wilayah protektorat24

dari Kerajaan Inggis.25

Terbukti dengan ditetapkannya Mesir sebagai wilayah protektorat dari Kerajaan

Inggris, maka terbentuk sebuah Komisioner Agung. Tugas utama dari Komisioner

Agung Kerajaan Inggris di Mesir ialah mengontrol dan mengawasi jalannya

pemerintahan dalam negeri Mesir dan ikut campur di dalam urusan keuangan yang

dikelola oleh pihak istana Kerajaan Mesir. Di sisi yang lain hal, penetepan Mesir

sebagai wilayah protektorat Kerajaan Inggris memberikan akses yang kuat terhadap

datangnya kekuatan Militer Inggris di tanah Mesir.26

Pembentukan daerah protektorat

Kerajaan Inggris terhadap negara Mesir, juga mengakhiri bayang-bayang kedaulatan

24

Wilayah protektorat adalah sebuah wilayah negara yang setengah independen, artinya

bahwa negara itu merdeka secara de jure sedangkan secara de facto tidak mengakuinya. Wilayah

protektorat bias dikatakan sebagai bentuk penjajahan yang lebih modern. 25

Lust, The Middle East, 452. 26

Palmer, The Politics of the Middle East, 47.

59

Kesultanan Turki Utsmani pada negara Mesir.27

Di masa itu hingga berakhirnya

Perang Dunia 1 1918, pemerintahan negara Mesir dikendalikan oleh dua kekuatan

besar yaitu pihak istana Kerajaan Mesir sendiri (Raja) dan pihak Kerajaan Inggris

dengan Komisioner Agung-nya.

Berakhirnya Perang Dunia I 1914-1918, ikut membawa perubahan besar

terhadap negara Mesir. Berawal dari kehadirannya para tokoh terkemuka Wafd (yaitu

kelompok yang mengorganisir gerakan nasionalisme di Mesir dan menginginkan

negara Mesir menjadi negara yang merdeka, terbebas dari Kerajaan Inggris) yang

hadir di dalam konfersi perjanjian perdamaian di Versailes, Perancis. Kehadiran

mereka di sana adalah untuk meminta kemerdekaan negara Mesir dari kekuasaan

Kerajaan Inggris, serta berkeinginan menjadikan negara Mesir sebagai negara

berbentuk republik demokrasi.28

Kemerdekaan yang sangat diharapkan oleh bangsa Mesir dapat terwujud

dengan penyerahan kedaulatan Mesir dari Kerajaan Inggris kepada pemerintahan

Mesir tahun 1922. Menunjuk Fuad (seorang Putra Mahkota yang pernah dilengserkan

dari keturunan Ismail, yang memiliki sifat boros) sebagai Raja Mesir dan menetapkan

Mesir sebagai negara kerajaan. Perwakilan kelompok Wafd yang hadir di

perundingan perdamaian Versailes, setelah tiba di Mesir langsung mendirikan partai

politik yang bernama Hizb al-Wafd. Kehadiran partai Hizb al-Wafd yang berideologi

27

Lust, The Middle East, 452. 28

Lust, The Middle East, 452.

60

nasionalis membuat partai ini menjadi kekuatan utama baru di dalam perpolitikan

bangsa Mesir.29

Setelah bangsa Mesir mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris, tidak

perlu menunggu terlalu lama untuk membentuk sebuah konstitusi baru. Tepat di

tahun 1923, konstitusi baru lahir dan mulai diberlakukan di seluruh negara Mesir.

Konstitusi 1923 memberikan hak kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat Mesir

untuk memilih anggota dewan atau badan legislatif.30

Lahirnya konstitusi baru

menjadikan kekuatan politik di negara Mesir menjadi bertambah. Sebelumnya

kekuatan politik di negara Mesir terkutub pada dua sisi, yaitu istana (yang diwakili

oleh Raja dan para bawahannya) dan Kerajaan Inggris (yang diwakili oleh

Komisioner Agung). Pasca pemberian kemerdekaan dan Konstitusi 1923 berlaku,

maka poros kekuatan politik di Mesir bercabang menjadi tiga, yaitu Raja Mesir,

Kerajaan Inggris dan Partai Wafd.31

Pada tahun 1945 gerakan kelompok Persaudaran Muslim atau yang dikenal

Ikhwanul Muslimin mulai mendapatkan simpati yang besar dari masyarakat Mesir.

Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada tahun 1928 di Ismailia, merupakan sebuah

gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membebaskan negara Mesir dari dominasi

Kerajaan Inggris. Gerakan ini sering melakukan protes-protes di jalan-jalan kota

Mesir untuk menentang pemerintahan yang berkuasa dan Kerajaan Inggris. Keadaan

itu membuat Perdana Menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrashi harus mengeluarkan

29

Lust, The Middle East, 452. 30

“Government and Society Egypt.” 31

Lust, The Middle East, 452.

61

peraturan yang melarang gerakan Ikhwanul Muslimin untuk beraktivitas dan

menjalankan roda organisasi di tahun 1948.32

Tidak lama berselang pelarangan Ikhwanul Muslimin diterbitkan, Perdana

Menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrasi ditembak mati oleh kelompok yang tidak dikenal.

Meninggalnya Perdana Menteri Mesir memunculkan kecurigaan terhadap kelompok

Ikhwanul Muslimin sebagai dalang penembakan Perdana Menteri. Aksi penembakan

terus terjadi, tepat pada bulan Februari 1949, Hassan al-Bannna yang merupakan

tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin ditembak hingga tewas di sebuah jalan kota.

Peristiwa itu mulai membuat keadaan politik Mesir semakin bergejolak. Di bulan

Januari 1952 terjadi penembakan dan kerusahan anti-Barat di jalan-jalan kota Kairo.

Puncak dari ketegangan politik itu adalah pergerakan para anggota perwira menengah

Militer Kerajaan Mesir yang dikomando oleh Kolonel Gamal Abdel Nasser dan

didukung oleh Mayor Jenderal Muhammad Naguib melakukan aksi kudeta militer

dengan menggulingkan Raja Faruq dari singgahsana kekuasaan Mesir.33

Jatuhnya

Raja Faruq dari kekuasaannya maka berakhirlah kekuasaan Kerajaan Inggris berserta

Partai Wafd yang berhaluan nasional mengalami nasib yang sama yaitu menghilang

dari peredaran kekuatan di dalam politik Mesir.

Kudeta 1952 atau yang lebih dikenal sebagai Revolusi 1952 membawa Mesir

pada sebuah era baru, yang lebih optimis dari pada sebelumnya. Lembaga semi-

parlementer yang sudah berkembang pada sistem monarki Mesir telah dibubarkan

32

Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (New York: Oxford University

Press, 1993), 71. 33

Lust, The Middle East, 453.

62

dan digantikan oleh Dewan Pusat Revolusi atau yang dikenal sebagai Revolutionary

Command Council (RCC). Anggota-anggota dari Dewan Pusat Revolusi Mesir terdiri

dari para pengikut Nasser yang telah mendapatkan kepercayaan darinya, serta yang

tergabung di dalam Kesatuan Perwira Bebas.34

Pembubaran juga tidak terbatas pada

lembaga parlementer tapi berlaku juga pada partai politik. Kesemuannya itu diatur di

dalam konstitusi baru Mesir yaitu Konstitusi 1952. Di tahun 1956, Konstitusi 1952

diganti dengan yang baru dan nantinya mengalami dua kali perbaikan di tahun 1958

dan 1964.35

Di tahun 1954, kelompok Ikhwanul Muslimin mulai mencoba melakukan

usaha percobaan pembunuhan terhadap Nasser. Akibatnya dari peristiwa itu

kelompok Ikhwanul Muslimin harus bergerak secara sembunyi-sembunyi dan

membuat gerakannya itu tidak berkembang atau tidak aktif selama pada era Nasser

berkuasa.36

Pasca Revolusi 1952, posisi kepemimpinan tertinggi di dalam pemerintahan

Mesir diserahkan kepada Jenderal Naguib sebagai Presiden dan Perdana Menteri

Mesir. Nasser menempatkan dirinya sebagai Menteri Dalam Negeri Mesir.37

Bagi

Nasser dan kelompok Perwira Bebas, menganggap Jenderal Naguib adalah seorang

pemimpin militer yang dihormati dan memiliki pandangan politik yang netral.

Jenderal Naguib mulai merasa bahwa kepemimpinnya hanya sebuah sandiwara

politik. Ia pun mulai menentang Nasser dalam perebutan kepemimpinan Revolusi

34

Palmer, The Politics of The Middle East, 50. 35

Lust, The Middle East, 454. 36

Palmer, The Politics of The Middle East, 50. 37

Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 284.

63

Mesir.38

Akhirnya di tahun 1954 Jenderal Naguib dilengserkan dari kekuasaannya.

Penyebab pelengseran Naguib karena diduga sebagai pendukung kelompok Ikhwanul

Muslimin yang menjadi lawan dari militer dan dianggap sebagai organisasi terlarang

pasca tahun 1954.39

Posisi Naguib mulai digantikan oleh Nasser sebagai Presiden

Mesir.40

Pemerintahan Mesir di bawah kekuasaan Nasser memiliki wajah yang

berbeda. Di era-nya, Nasser membuat tiga kebijakan penting. Kebijakan penting

pertama adalah di bidang ekonomi. Nasser membuat negara Mesir menjadi negara

dengan sistem ekonomi sosialis. Menasionalisasi aset-aset kepemilikan asing

terutama Inggris dan Perancis adalah langkah awal Mesir menuju sistem sosialisme.

Proses itu dilakukan tidak lama setelah perang dengan Israel tahun 1956 dan proses

ini terus berlanjut beberapa tahun berikutnya sampai hampir seluruh perusahaan, serta

para pekerja yang bukan dibidang pertanian telah dinasionalisasi dan diatur langsung

oleh pemerintah. Mengubah negara menjadi sosialis bukan berarti mengatakan Nasser

sebagai komunis atau pendukung komunis. Gagasan tentang penggunaan sistem

sosialis terhadap sistem ekonomi Mesir didasarkan oleh Nasser dari pemahaman Al-

Quran. Menurutnya dan kelompok Perwira Bebas (Free Officer) menganggap

sosialisme adalah cara terbaik bagi negara Mesir dibandingkan dengan sistem

kapitaslisme dan sistem kepartaian yang hanya membawa Mesir kepada kemiskinan,

38

Palmer, The Politics of The Middle East, 51. 39

Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 285. 40

Palmer, The Politics of The Middle East, 51.

64

ketimpangan, dan konflik. Sebuah sistem sosial selalu berjalan beriringan dengan

kekuatan militer yang berkuasa (rezim militer).41

Kebijakan penting kedua yang dibuat Nasser adalah menciptakan sebuah

organisasi politik yang mampu menggerakan dan menghubungkan masyarakat Mesir

dengan pemerintah yang berkuasa dan tidak menciptakan sebuah perpecahan serta

konflik. Akhirnya Nasser memutuskan membuat sebuah organisasi politik yang

bernama Perserikatan Arab Sosialis (The Arab Socialist Union)42

. Pembentukan

partai tunggal yang berfungsi sebagai sarana untuk tukar-pikiran, saluran komunikasi,

agen sosial-politik, dan yang terpenting sebagai saluran pencarian anggota baru atau

kader baru yang mampu menjalankan semangat Revolusi Mesir.43

Kebijakan penting Nasser yang terakhir adalah menggagas atau membentuk

sebuah ideologi politik yang mampu menyatukan seluruh bangsa Arab, tanpa harus

dipecah-belah oleh kekuatan asing. Melihat pada karakteristik masyarakat Timur

Tengah yang memiliki kebiasaan yang sama, seperti bahasa, budaya dan agama.

Melahirkan sebuah gagasan baru bagi Nasser untuk menggabungkan dan menyatukan

bangsa Arab dalam sebuah negara persemakmuran yang berlandaskan ideologi

Nasionalisme Arab. Pada akhirnya impian untuk membentuk sebuah Negara

Persemakmuran Arab yang berlandaskan ideologi Nasionalisme Arab dapat terwujud

41

Palmer, The Politics of The Middle East, 53. 42

The Arab Socialist Union atau disingkatan menjadi ASU 43

Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 296-297.

65

di dalam penyatuan negara Mesir dan Suriah, walaupun akhirnya penyatuan itu tidak

berlangsung lama.44

Goncangan politik mulai kembali melanda Mesir dan pemerintahan Nasser.

Kegagalan perang melawan Israel tahun 1967 serta keadaan ekonomi dan politik

dalam negeri Mesir menjadi penyebab goncangan politik yang melanda pemerintahan

Nasser. Keadaan itu juga menciptakan ketegangan antara pemerintahan Nasser

dengan kelompok ekstrimis yang menolak konsep pemerintahan Nasser. Di lingkaran

utama khususnya dalam pemerintahan Nasser juga terjadi konflik antara para faksi

dalam tubuh lembaga legislatifnya yaitu RCC. Konflik itu juga membuat rekan

seperjuangan Nasser di dalam perpolitikan negara Mesir, Abdul Hakim Panglima

Militer Mesir melakukan tindakan bunuh diri. Keadaan-keadaan itu membuat

Presiden Nasser berkeinginan untuk mundur sebagai Presiden Mesir namun hal itu

ditolak oleh RCC. Keadaan tegang ini tidak berakhir sampai pada kematian Nasser di

tahun 1970.45

Pasca kematian Presiden Nasser, kekuasaan pemerintahan Mesir digenggam

dan kendalikan oleh Wakilnya yang bernama Anwar Sadat. Penunjukannya sebagai

pengganti Nasser memberikan sebuah keraguan dan ketidakyakinan masyarakat

Mesir terhadapnya. Banyak masyarakat Mesir memandang ia sebagai sosok yang

lemah menduduki jabatan Presiden Mesir dan menganggapnya sebagai sosok

presiden palsu yang mungkin akan digantikan oleh seseorang yang lebih kuat dari

44

Palmer, The Politics of The Middle East, 53-56. 45

Palmer, The Politics of The Middle East, 57-59.

66

kelompok Revolusi 1952. Keraguan itu diperkuat dengan melemahnya keadaan

politik dan ekonomi Mesir setelah kekalahan perang tahun 1967.46

Persoalan-persoalan itu mulai muncul pertama kali saat ia menjabat sebagai

Presiden Mesir. Partai tunggal Mesir, Partai Sosialis Mesir (ASU) berani terang-

terangan menolak dan bahkan berseberangan dengan Presiden Sadat di tahun 1970.

Sikap penolakan dan bersebarangan Partai Sosialis Mesir (ASU) terlihat dari sikap

para pemimpin partai yang memerintahkan para anggotanya untuk menolak atau

bahkan membatalkan seluruh kebijakan pemerintah Sadat. Di tambah dengan rencana

kudeta oleh kelompok-kelompok kiri dari Partai ASU pada tahun 1971.47

Untungnya rencana itu berhasil digagalkan oleh Sadat. Supaya peristiwa

kudeta dan rencana buruk yang dilakukan oleh kelompok kiri dari Partai ASU tidak

terulang lagi. Sadat mulai melakukan pergerakan cepat dengan menciptakan kekuatan

yang berimbang melalui pengaktifkan kembali kelompok Ikhwanul Muslimin sebagai

organisasi masyarakat.48

Sadat juga mengubah Konstitusi Darurat Mesir 1964 yang

bersifat sosialis dengan Konstitusi 1971 dengan sistem ekonomi liberal namun tetap

pada kerangka pembatasan kebebasan politik masyarakat Mesir.49

Sadat mulai

melakukan reformasi di bidang ekonomi Mesir pada tahun 1974 dengan meluncurkan

sebuah kebijakan ekonomi yang bernama Infitah (ekonomi terbuka). Kebijakan itu

berfokus pada tujuan menghidupkan serta menumbuhkan kembali ekonomi

46

Palmer, The Politics of The Middle East, 57-59. 47

Palmer, The Politics of The Middle East, 59-60. 48

Palmer, The Politics of The Middle East, 59-60. 49

Lust, The Middle East, 456.

67

masyarakat Mesir dengan mencabut larangan terhadap sistem kapitalisme yang telah

diberlakukan sejak rezim Nasser.50

Di ranah politik Sadat membuka jalan bagi Partai Wafd kembali aktif dalam

percaturan politik Mesir dengan nama yang baru, ialah Partai New Wafd. Pada sisi

yang lain, Sadat juga melarang partai-partai yang memiliki ideologi atau pemikiran

politik seperti Komunisme dan Nasserisme dan kelompok Ikhwanul Muslimin, yang

juga dilarang aktif sebagai partai politik dalam percaturan politik Mesir. Keadaan itu

mengarahkan Mesir menuju pada bentuk sistem kepartian multi-partai yang terbatas.

Di tahun 1978, tepatnya pada bulan Juli, Sadat membentuk partai baru yang bernama

The National Democratic Party (NDP) yang bertujuan untuk menjaga kelompok-

kelompok pendukung Sadat di Partai ASU dan Partai NDP.51

Tahun 1979,

pemerintahan Sadat mulai kembali mengadakan pemilu parlementer untuk pertama

kalinya sejak berakhirnya sistem monarki-parlementer di Mesir.52

Pemilu itu pun

membawa negara Mesir menjadi negara yang menganut sistem multi-partai, tetapi

tetap saja hanya satu partai yang menjadi dominan dan penting, yaitu Partai NDP.53

Di ranah politik Internasional Sadat berhasil berdamai dengan Israel dan melakukan

perjanjian damai disponsori oleh Amerika Serikat melalui Presiden Carter. Perjanjian

itu bernama Perjanjian Damai Camp David yang ditandatangani pada 26 Maret 1979.

Langkah itu juga membawa ia mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian, sebuah

50

Palmer, The Politics of The Middle East, 61. 51

Palmer, The Politics of The Middle East, 62-63. 52

Lust, The Middle East, 455. 53

Palmer, The Politics of The Middle East, 63.

68

keberhasilan yang besar untuk Sadat di dalam menjalankan roda pemerintahan negara

Mesir.54

Pada bulan September 1981 Sadat dibunuh dalam sebuah rangkai acara parade

militer beberapa bulan setelah penangkapan serta penahanan para aktivis politik

Mesir.55

Penangkapan dan penahanan para aktivis politik Mesir terjadi akibat sikap

pemerintah mulai memberlakukan pelarangan kembali terhadap seluruh aktivitas

kegiatan politik masyarakat Mesir. Ada dugaan bahwa kelompok bersenjata yang

melakukan pembunuhan kepada Sadat berasal dari kelompok fundamentalisme Islam.

Husni Mubarak yang sebagai Wakil Sadat mulai menggantikannya dan menempatkan

Mubarak sebagai pemimpin tertinggi Mesir.56

C. Pemerintahan Mesir di Masa Husni Mubarak

Sepeninggal Sadat dan naiknya Mubarak sebagai Presiden Mesir, keadaaan

politik dalam negeri Mesir terus mengalami ketidak pastian dan bahkan melahirkan

sebuah kebingungan. Keadaan ini dipersulit dengan berkembangannya gerakan

fundametalisme Islam. Gerakan itu mendapat letupan semangat baru dengan

kemenangannya di negara Iran. Keberhasilan itu membawa Negara-Negara Arab

cemas dan Mesir pun menjadi sasaran berikutnya bagi gerakan fundamentalisme

54

Palmer, The Politics of The Middle East, 61-63. 55

Lust, The Middle East, 455. 56

Palmer, The Politics of The Middle East, 63.

69

Islam. Kekacauan pun melanda institusi Mesir, yang pada akhirnya memberikan

sedikit dukungan untuk Presiden baru Mesir, yaitu Husni Mubarak.57

Keadaan sulit yang dihadapi oleh Husni Mubarak mulai muncul saat ia

ditunjukan dan bertugas sebagai Presiden Mesir pada bulan Oktober tahun 1981.

Proses pergantian kekuasan dari Sadat ke Mubarak berjalan dengan baik tanpa ada

sedikit pun kendala atau hambatan, tapi keadaan tegang yang menyelimuti

perpolitikan Mesir tidak bisa disembunyikan lagi dan mulai terlihat jelas. Pada

keadaan seperti itu, Husni Mubarak tetap memberlakukan Undang-Undang Dasar

Darurat seperti yang dilakukan oleh seniornya dulu, Anwar Sadat. Ia juga berjanji

akan menjalankan sistem demokrasi, jika keadaan di Negara Mesir telah kembali

normal. Ia pun meminta kepada masyarakat Mesir untuk terus berkerja keras dan

melakukan yang terbaik bagi negaranya. Ia yakin bahwa keadaan ekonomi Mesir

yang terpuruk serta permasalahan yang terjadi di dalamnya dapat diselesaikan dengan

kerjasama antara pemerintah dan masyarakatnya. Baginya setiap persoalan dan

permasalahan Negara Mesir tidak bisa diselesaikan dan diperbaiki oleh pemerintahan

Mesir saja.58

Pada kesempatan tersebut, Mubarak mencoba melakukan manuver politik

untuk menghentikan kelompok-kelompok fundamentalisme. Ia mencoba memisahkan

dan memetakan kelompok-kelompok fundamentalisme dari Ikhwanul Muslimin dari

kelompok-kelompok radikal yang lain sejak sekitar tahun 1970-an, saat dimana

57

Palmer, The Politics of The Middle East, 64. 58

Palmer, The Politics of The Middle East, 65.

70

kelompok-kelompok tersebut mulai muncul dan aktif di Mesir. Ikhwanul Muslimin

yang manjadi dalang penyebab pembunuhan terhadap Anwar Sadat, tetap dibiarkan

untuk beraktivitas di dalam masyarakat Mesir, walaupun status dari organisasi

tersebut bersifat semi-legal.59

Pemisah itu hanya menjadi bukti akan meningkatnya kekerasan di dalam

politik Mesir. Peningkatan kekerasan dalam politik berpusat pada isus-isu yang

bersifat agama, dalam hal ini Agama Islam. Keadaan itu diperparah dengan adanya

kerusuhan yang terjadi pada tahun 1986. Kerusuhan di tahun 1986 yang disebabkan

oleh Aparat Bersenjata Mesir, khususnya Pasukan Penjaga Keamanan Mesir

(Pasukan Guard). Pasukan Penjaga Keamanan Mesir yang merupakan unit terendah

di dalam Kemiliteran Mesir dan berada langsung di bawah Kementerian Dalam

Negeri Mesir dengan tugas menjaga fasiltas publik. Pada saat itu, para anggota yang

termuda dari Pasukan Keamanan Mesir melakukan aksi kekerasan dan mengamuk di

setiap bar-bar, hotel-hotel tempat menginapnya para turis asing, dan berbagai simbol-

simbol Barat lainnya selama empat hari yang dipengaruhi oleh semangat

fundametalisme Islam.60

Untungnya keadaan tersebut dapat dihentikan dan dinetralkan, ketika

pemerintahan Mesir meminta militer untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan

tersebut. Keadaan tersebut, menjadikan sebuah tamparan besar terhadap otoritas

kekuasaan pemerintahan Mubarak di Mesir. Aksi-aksi yang melibatkan kelompok-

59

Palmer, The Politics of The Middle East, 65. 60

Palmer, The Politics of The Middle East, 66-68.

71

kelompok fundamentalisme Islam atau kelompok yang dipengaruhinya masih terus

terjadi dalam periode rezim Mubarak selama ia berkuasa. Dua aksi yang cukup

menjadi perhatian rezim Mubarak untuk melawan dan menghentikan kelompok-

kelompok fundamentalisme Islam. Aksi pertama terjadi saat penyerangan dan

pembunuhan terhadap Warga Negara Asing di Mesir, Aksi yang terakhir sungguh

menjadi peristiwa yang tidak terbayangkan dan terduga, karena pada aksi yang kedua

kelompok-kelompok fundamentalisme Islam mencoba menghilangkan nyawa

Presiden Mubarak dengan percobaan pembunuhan secara langsung menggunakan

pisau. Untungnya Mubarak dapat terselamatkan serta hanya mengalami luka goresan

di bagian tangannya.61

Rezim Mubarak walaupun terganggu oleh ulah beberapa kelompok

fundamentalisme, tetapi ia mampu menjalankan pemilu parlementer secara teratur.

Dimulai pada tahun 1984, tepatnya setelah 5 tahun pemilu parlementer pertama di

Mesir pasca Revolusi 1952.62

Kelompok Ikhwanul Muslimin walaupun dilarang aktif

dalam perpolitikan nasional bangsa Mesir, tapi mampu terlibat di dalam pemilu

tersebut dengan berkerjasama dengan Partai Wafd. Pada akhirnya, pemilu parlemen

1984 dimenangkan secara mutlak oleh Partai NDP dari pada gabungan Partai Wafd

dengn Ikhwanul Muslimin. Meski begitu gabungan Partai Wafd dan Ikhwanul

61

Palmer, The Politics of The Middle East, 66-68. 62

Lust, The Middle East, 455.

72

Muslimin mampu memberikan sebuah perlawanan terhadap partai penguasa yaitu

Partai NDP di dalam Pemilu 1984.63

Di Pemilu 1987 pasca kerusuhan 1986, Partai NDP tetap mampu keluar

sebagai pemenang atas pemilu tersebut, walau Kelompok Ikhwanul Muslimin

bergabung dengan Partai Buru, yang beridelogi kiri dan menyuarakan semangat Islam

sebagai penyelesaian permasalahan bangsa Mesir. Tetap saja pemilu tersebut

dimenangkan oleh partai penguasa. Pemilu parlementer Mesir selanjutnya diadakan

pada tahun 1990, yang mendapat pemboikotan besar oleh mayoritas partai oposisi di

Mesir. Mereka menganggap Pemilu 1990 hanya sebuah pertunjukan komedi yang

tidak memberikan hasil yang signifikan. Pemboikotan itu tidak membuat jalan pemilu

tertunda dan tetap berjalan semestinya dan Mubarak pun menyesali peristiwa

pemboikotan tersebut.64

Di tahun 1995, pemilu parlementer Mesir yang paling kelam di masa

pemerintahan Mubarak berkuasa di Mesir. Pada Pemilu 1995, terjadi peristiwa

kerusuhan di tempat pemungutan suara, khususnya di sekitaran Ibukota Mesir, Kairo.

Peristiwa itu disebabkan oleh penolakan polisi terhadap para pendukung partai

oposisi di Mesir dan polisi juga menutup tempat pemungutan suara, sehingga

menciptakan bentrokan antara polisi dan para pemilih yang mendukung partai oposisi

di Mesir. Bentrokan itu mengakibatkan setidaknya 620 terluka dan 45 orang

meninggal. Peristiwa yang mencengkam itu tidak membuat Pemilu 1995 ditunda atau

63

Palmer, The Politics of The Middle East, 65. 64

Palmer, The Politics of The Middle East, 65-70.

73

dibatalkan tetapi tetap dijalankan dan sekali lagi Partai NDP memenangkan lebih dari

96 persen kursi di Majlis as-Saab atau DPR-nya Mesir.65

Kejutan terjadi pada tahun 2005, saat di mana Mubarak mencoba untuk

mengamademen Konstitusi Darurat Mesir 1980. Perubahan yang terjadi pada

konstitusi Mesir memberikan sebuah angin demokrasi di negara Mesir. Konstitusi

2005 memerintahkan untuk mengadakan Pemilihan Presiden Mesir yang jumlah

kandidatnya lebih dari satu calon dalam bersaing pada pemilihan presiden di

parlemen. Sebelum Konstitusi 2005, Pemilihan Presiden Mesir rutin diadakan oleh

parlemen Mesir dengan kandidat calonnya hanya satu dan dipilih oleh anggota

parlemen Mesir. Selama era Mubarak berkuasa tidak ada satu pun calon lain yang

diusulkan oleh parlemen Mesir sampai tahun 2005. Di tahun itu, Mubarak kembali

maju dan bersaing dengan calon kandidat presiden dari jalur independen yaitu Ayman

Nour. Hasil dari Pemilihan Presiden 2005 tetap dimenangkan oleh Mubarak dengan

perolehan suara 88,6 persen dari seluruh anggota parlemen Mesir. Kemenangan telak

itu, membuat Mubarak sekali lagi memimpin Mesir sebagai Presiden Mesir.66

Pemilu

parlementer dan pemilihan presiden yang multi-kandidat di Mesir untuk tahun-tahun

berikutnya tetap berjalan seperti biasa walaupun pemenangannya sudah pasti bisa

diketahui.

Lamanya kekuasaan Mubarak di Mesir, memberikan sebuah indikasi yang

kuat bahwa ia dan para pendukungnya telah membuat sebuah kekuatan politik yang

65

Palmer, The Politics of The Middle East, 65-70. 66

J. Stewart, The Middle East Today, 157.

74

mampu memberi ia kekuasaan lebih lama dibandingkan para seniornya, yaitu Nasser

dan Sadat. Kekuatan-kekuatan tersebut berasal dari para pendukung rezim Mubarak

yang terdiri dari para elit dan institusi Mesir. Mereka menjadi penjaga dan pelindung

rezim Mubarak dari ancaman kelompok-kelompok yang berusaha menghancurkan

atau menjatuhkan rezim tersebut. Kekuatan-kekuatan itu tersebar dari institusi

eksekutif yang melingkupi birokrasi, parlementer (legislatif) yang dikendalikan oleh

Partai NDP, yudikatif yang selalu tunduk serta menjadi pengesah setiap tindakan

politik dari insitusi eksekutif (Presiden Muabarak dengan Kabinetnya), kelompok

para Ulama senior yang selalu terikat serta sejalan dengan pemerintahan dari masa

Nasser berkuasa sampai kepada Mubarak, dan terakhir militer yang selalu berada di

dalam lingkaran utama Mubarak serta memainkan peran yang penting di dalam

kehidupan politik bangsa Mesir. Kesemuanya itu menjadi bagian pendukung dari

langgengnya Mubarak sebagai penguasa di Mesir.67

Keadaan itu tidak ada yang bisa

mampu menghancurkan pondasi-pondasi yang telah dibangun Mubarak dan para

pendukung loyatisnya, hingga revolusi besar menghantam negara Mesir kembali.

Revolusi itu yang nanti dikenal sebagai Revolusi Arab Spring, mampu

menumbangkan para pemimpin otoriter di Negara-Negara Afrika Utara sampai Timur

Tengah, dan diantara korban dari Revolusi Arab Spring adalah Presiden Mubarak di

Mesir.

Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang disebut

Revolusi Arab Spring 2011. Revolusi Arab Spring 2011 melahirkan pemerintahan

67

Palmer, The Politics of The Middle East, 70-79.

75

sipil pertama yaitu pemerintahan Muhammad Mursi. Keberhasilan Mursi dalam

kemenangan di Pemilu Presiden Mesir tidak dapat membuat dia bertahan lama

ditampuk kekuasaannya. Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi di

kudeta oleh Militer Mesir melalui pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang

disuarakan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.

76

BAB IV

INSTITUSI POLITIK MESIR DI MASA TRANSISI DEMOKRASI 2011-

2013

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa temuan dari hasil

penelitian ini. Temuan-temuan tersebut adalah bagian dari sebuah jawaban atas

pertanyaan penelitan yang diajukan. Bukan hanya sebuah jawaban dalam bentuk

opini melainkan sebuah analisa penelitian, yang di dalamnya tersusun dari sebuah

teori dan analisis. Pada penelitian ini, penulis mencoba menelaah sebuah

permasalahan kelembagaan atau institusi politik di dalam sebuah negara

berkembang. Berfokus pada permasalahan kejatuhan pemerintahan Muhammad

Mursi yang terjadi di negara Mesir pada masa transisi politik. Penulis mencoba

menganilisis permasalahan tersebut melalui pendekatan studi kelembagaan politik,

sehingga dapat memberikan sebuah temuan baru atau membedakan dari penelitian

sebelumnya. Berawal dari berakhirnya rezim Mubarak di Mesir sampai kepada

tercipta pemerintahan baru melalui proses yang demokrasi hingga kejatuhan

pemerintahan Muhammad Mursi dengan cara kudeta menjadi hal utama di dalam

bagian ini.

A. Mesir Baru

Sebuah era baru tercipta di negara Mesir. Pemerintahan otoriter yang telah

berkuasa cukup lama di negara itu tumbang, melalui sebuah gerakan massa yang

menuntut pemerintahan demokratis. Pemerintahan otoriter Mesir, yang terwakili

77

melalui pemerintahan (rezim) Mubarak adalah bagian dari sebuah sistem

pemerintahan otoriter yang mana militer dan kekuatan eksetutif (lembaga

eksekutif) menjadi yang dominan di dalam setiap kehidupan politik di bangsa

Mesir. Kuatan lembaga eksekutif dalam perpolitikan bangsa Mesir dimulai dari

masa pemerintahan Nasser, yang merebut kekuasaan dari tangan Raja Faruq di

tahun 1952. Peristiwa itu disebut sebagai Revolusi 1952, yang menjadi tonggak

awal berkuasanya rezim militer dan kekuatan lembaga eksekutif yang dominan.

Melalui Revolusi 1952 perpolitikan bangsa Mesir berada di dalam cengkrama

kuat militer dan kroni-kroninya. Sistem itu terus diwariskan oleh para penerusnya

yaitu Sadat dan Mubarak.

Keadaan itu juga mengakibatkan jalannya demokrasi di negara itu menjadi

stagnan atau bahkan tidak berjalan sama sekali sampai pada akhirnya sistem itu

ditumbangkan oleh gerakan masa yang dikenal sebagai Revolusi Arab Spring.

Gerakan tersebut yang terjadi di tahun 2011 menjadi sebuah akhir dari cerita

panjang rezim militer di Mesir. Berakhirnya rezim militer yang terwakili melalui

kejatuhan pemerintahan Mubarak, tidak langsung membawa bangsa Mesir menuju

impiannya untuk merasakan sebuah perubahan atau era yang baru dalam

kehidupan mereka. Kejatuhan Mubarak hanya menjadi sebuah gerbang bagi

negara Mesir menuju ke arah transisi politik dari otoriter ke demokrasi. Di masa

itu keadaan politik berada dalam gejolak yang sangat tidak pasti. Hal yang perlu

dicatat dalam proses itu adalah lahirnya sebuah gerakan masa yang dikenal

sebagai Revolusi Arab Spring. Revolusi itu yang menjadi sebuah langkah dan

awal dari negara Mesir yang baru.

78

1. Revolusi Arab Spring

Munculnya sebuah revolusi besar bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan

ada sebuah sebab yang menjadi faktor terciptanya sebuah revolusi tersebut.

Sejarah dunia telah mengajarkan bagaiman revolusi itu tercipta. Lihatlah apa yang

terjadi di dalam Revolusi Amerika 1775, Revolusi Perancis 1789, dan bahkan di

abad ke-20 yang terwakili melalui Revolusi Cina 1911. Semua revolusi tersebut

memiliki sebuah faktor utama yang hampir sama yaitu menuntut sebuah

kehidupan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya dengan menghancurkan

serta mengganti sistem dan tatanan yang lama dengan yang baru. Hal itu juga

yang terjadi di dalam meletus dan menyebarnya Revolusi Arab Spring di sekitar

daerah Afrika Utara dan Timur Tengah.

Banyak hal yang bisa menjadi faktor penyebab meletus dan menyebarnya

Revolusi Arab Spring 2011 di daerah Afrika Utara dan Timur Tengah. Perhatian

terbesar berfokus pada keterlibatan genarasi muda di wilayah tersebut yang berani

turun ke jalan dan memimpin sebuah protes serta demonstrasi untuk menyuarakan

aspirasi serta keinginan mereka. Banyak generasi muda yang terlibat di dalam aksi

tersebut. Seperempat sampai sepertiga populasi penduduk di wilayah itu

merupakan genarasi muda. Faktor lain yang menyebabkan banyak genarasi muda

menjadi penggerak dalam aksi tersebut ialah pengaruh politik. Banyak genarasi

muda tersebut yang berada di negara Libya, Mesir dan Tunisia hanya mengetahui

satu sosok pemimpin atau presiden di negaranya.1 Di Mesir sendiri, banyak dari

masyarakatnya terutama yang lahir setelah tahun 1980 yang berusia di bawah 30

1

Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural

Perspectives, 2nd

ed. (New York: Routledge, 2013), 259.

79

tahun pada tahun 2011, telah menghabiskan seumur hidupnya berada di dalam

aturan rezim Mubarak. Rezim yang hanya memberikan sedikit kebebesan untuk

berpartisipasi secara politik maupun mengekpresikan pendapatnya tentang

pemerintahan. Keadaan tersebut terlihat sebagai bentuk penidasan pemerintahan

kepada rakyatnya.2

Pembungkaman kebebasan dan ketidakhadiran demokrasi di beberapa

wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah, tidak memastikan atau menjamin bahwa

generasi mudanya bersedia melakukan sebuah revolusi terhadap pemerintahan

yang berkuasa. Penggerak utama dari generasi muda ini, ialah permasalahan

ekonomi yang mengakibatkan kekurangan kesempatan untuk berkerja sehingga

menciptakan masyarakat yang setengah menganggur dan menganggur.3 Keadaan

itu menyebar luas di wilayah tersebut dan menjadi katalisator di dalam tercipta

revolusi di wilayah tersebut. Berkaca pada Gerakan Hijau4 di Iran yang dilakukan

oleh generasi mudanya, seorang penulis dan wartawan Robin Wright dalam buku

The Middle East Today, menyebut kelompok genarsi muda itu sebagai „Generasi

U‟. Menurutnya „Generasi U‟ adalah kelompok masyarakat yang berusia di bawah

30 tahun yang bercirikan sebagai pengangguran, setengah menganggur atau

kelompok yang tidak dipeduliakan dan diremehkan.5

2J. Stewart, The Middle East Today, 259.

3The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Egypt Uprising of 2011,” artikel diakses pada

20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/event/Egypt-Uprising-of-2011 4Gerakan Hijau atau yang dikenal sebagai Revolusi Hijau adalah gerakan politik yang

menentang dan memprotes hasil pemilu 2009 di negara Iran. Penyebutan warna hijau di dalam

gerakan tersebut karena diambil dari warna hijau yang digunakan sebagai warna kampanye Calon

Presiden Mousavi (lihat Mohamad Susilo, “Setelah Demo Besar Antipemerintah di Iran, Sulit

Memastikan Apa Yang Akan Terjadi Namun Rakyat Sudah Bersuara,” artikel diakses pada 2

Pebruari 2018 dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42604143 ) 5J. Stewart, The Middle East Today, 259.

80

Peristiwa yang membuat Revolusi Jasmine meletus di Tunisia adalah hal

yang biasa terjadi di sana. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu sudah terjadi lebih

dari ribuan kali, namun baru kali ini hasilnya sangat berbeda. Seorang pedagang

buah yang berusia 25 tahun, Mohamed Bouazizi, menjual buah dari gerobaknya

tanpa memiliki izin saat polisi kota setempat menghentikannya. Biasanya polisi

setempat menerima sogokan, setara dengan apa yang akan diperoleh dari hasil

berdagang dalam sehari, untuk mendapatkan atau mengeluarkan sebuah izin dari

polisi setempat. Bouazizi menolak membayar dan polisi setempat menyita

dagangan buahnya. Bukan hanya menyita dagangannya, mungkin saja polisi juga

melakukan pemukulan kepada Bouazizi.6

Perilaku yang semena-mena itu membuat Bouazizi mencari bantuan untuk

mendapatkan keadilan baginya. Ia mencoba untuk melaporkan hal itu melalui

pemerintah daerahnya. Ia berharap bahwa dengan melaporkan hal itu ke Balaikota,

maka akan memperoleh keadilan atas perilaku aparat kepadanya. Pada

kenyataanya ia harus kembali mendapatkan kekecewan dangan diusirnya ia dari

Balaikota. Pengusiran itu tidak langsung membuat ia menyerah begitu saja dalam

mencari keadilan sehingga ia mencoba untuk mendatangkan kembali ke Balaikota

tapi lagi-lagi ia harus kecewa karena kembali diusir oleh petugas.7 Putus asa akan

sikap yang diberikan oleh pemerintah setempat, ia kembali mendatangi ke

Balaikota. Di depan Balaikota itu, ia menuang bensin ke seluiruh tubuhnya,

6William L. Clevend dan Martin Buton, A Histroy of The Modern Middle East (Boulder:

Westview Press, 2013), 526. 7Khamami Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan Afrika

Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 68.

81

berteriak "Bagaimana kalian dapat mengharapkan saya mencari nafkah?", dan

menyalakan api lalu menyulut ketubuhnya dan membakarnya.8

Peristiwa yang terjadi di Tunisia itu membuka dua fakta dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA). Dua fakta

tersebut adalah pertama, sistem pemerintahan yang tidak responsif terhadap

keadaan masyarakatnya, ditambah dengan mengakar kuat budaya korupsi di

dalam tubuh pemerintahan setempat. Kedua, ialah perilaku pemerintah yang

semena-mena, serta tidak pantes yang terus terjadi terhadap masyarakat di wilayah

tersebut. Pada akhirnya percikan api yang muncul di Tunisia membawa api itu

menuju negara-negara lain yang ada di Afrika Utara dan Timur Tengah.9

Rezim-rezim lama telah berhasil diturunkan di beberapa Negara Afrika

Utara dan Timur Tengah. Tetapi tantangan terbesar yang dihadapi oleh kawasan

tersebut ialah menciptakan sistem pemerintahan yang responsif, partisipatif dan

akuntabel serta peluang ekonomi yang terbentang luas bagi masyarakat. Kecuali

tantangan-tantangan itu terpenuhi, keluhan yang mendasar membuat orang-orang

melakukan berbagi tindakan di wilayah tersebut akan terus ada dan menciptakan

sebuah potensi ketidakstabilan dalam jangka waktu panjang.10

Gelombang besar revolusi bangsa Mesir yang mekar di dalam Revolusi

Arab Spring pada akhirnya membawa hasil yang memuaskan. Berakhirnya

kekuasaan rezim Husni Mubarak menandakan akhir dari kekuasaan militer dan

munculnya harapan baru bagi bangsa Mesir untuk menikmati sebuah

demokrasisasi yang lebih dari 30 tahun dibendung oleh kekuasaan rezim Mubarak.

8J. Stewart, The Middle East Today, 259-260.

9Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik,” 68-69.

10J. Stewart, The Middle East Today, 260.

82

Tepat tanggal 18 Februari 2011, Mubarak resmi mengundurkan diri sebagai

Presiden Mesir yang telah ia jabat dari tahun 1981. Pengunduran diri Mubarak itu

adalah bentuk jawaban pemerintahan Mesir atas tuntutan rakyat Mesir yang

tergerak di dalam demonstrasi besar 25 Januari 2011.11

Awalnya demontrasi itu

mengalami berbagai macam penolakan dari kubu pemerintahan Mubarak seperti

penggunaan aparatus keamanaan negara sampai kepada tindakan kekerasan serta

memutus jalur komunikasi masyarakat Mesir, namun keadaan itu tidak

menyurutkan semangat rakyat Mesir untuk terus melakukan aksi demonstrasi

sampai Mubarak turun dari kekuasaannya.12

Demonstrasi besar yang dilakukan oleh rakyat Mesir dalam menentang

rezim Mubarak bukan aksi penentang pertama yang terjadi di negara Mesir. Aksi-

aksi penentang itu sudah mulai terjadi jauh sebelum tahun 2011. Di tahun 2004,

sebuah gerakan politik yang bernama Kefayah (cukup sudah) digelar oleh para

aktifis politik yang terdiri dari berbagai spektrum ideologi. Gerakan Kefayah

memiliki tujuan untuk menentang rencana Mubarak untuk menunjuk anaknya

Gamal Mubarak sebagi penerus dan penggantinya berkuasa di dalam perpolitikan

negara Mesir. Gerakan Kefayah menjadi gerakan politik terkuat di dalam

penetangan terhadap rezim Mubarak, bahkan gerakan ini sempat membesar pada

tahun 2005. Pada akhirnya gerakan ini mengalami penurunan dan surut karena

11

Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 525. 12

Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (KomNasKDM), Buku

Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir (Jakarta: KomNasKDM, 2014), 7.

83

sikap represif yang dilakukan oleh pemerintahan Mesir semakin kuat terhadap

mereka.13

Di tahun 2010, gelombang protes terhadap pemerintahan Mubarak di

Mesir kembali muncul. Melalui media sosial di internet gerakan protes itu

kembali bangkit yang di awali dengan kematian seorang pemuda Mesir bernama

Khaleed Saeed.14

Revolusi Melati di Tunisia yang mengakibatkan tergulingnya

Presiden Zine El Abidine Ben Ali dari kekuasaanya. Peristiwa Revolusi Melati di

Tunisia menjadikan momentum besar untuk gerakan aksi penentangan rakyat

Mesir terhadap rezim Mubarak. Puncak dari aksi tersebut terjadi di dalam

demonstrasi besar pada tanggal 25 Januari 2011 yang meminta reformasi

perubahan di dalam politik Mesir dengan turunnya Mubarak sebagai Presiden

Mesir.15

Peristiwa demonstrasi besar tersebut membuat pemerintah Mubarak

bersikap secara represif untuk menghentikan gerakan tersebut. Ternyata sikap

represif pemerintahan tidak menghentikan aksi tersebut, melainkan terus berlanjut

dan membesar. Keadaan itu membuat Mubarak mulai menawarkan berbagai

konsesi kepada masyarakat Mesir yang melakukan aksi demonstrasi tersebut. Di

antara konsesi tersebut ialah menjanjikan kepada masyarakat Mesir bahwa ia tidak

akan maju lagi sebagai presiden pada pemilihan umum selanjutnya. Penawaran itu

bukan menghentikan massa demonstran untuk menghentikan aksinya namun

mereka terus melanjutkan aksi protes tersebut dan tetap meminta Mubarak untuk

13

Freedom House, “Egypt,” artikel diakses pada 20 Maret 2018 dari

https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2009/egypt?page=22&year=2009&country=7601 14

Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 527. 15

Atep A Rofiq, “Melacak Dinamika Sipil-Militer Pasca Revolusi Mesir,” Salam 2 (Juni

2015): 104.

84

mundur sebagai Presiden Mesir. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 2011,

Presiden Mubarak mengundurkan diri sebagai Presiden Mesir.16

Merujuk pada beberapa pakar dalam demokratisasi dan transisi politik, di

antaranya Samuel P. Huntington yang menjelaskan bagaimana sebab transisi

demokrasi melanda suatu negera.17

Dalam kasus Mesir transisi demokrasi berawal

dari kejatuhan rezim Mubarak dan menurut Huntington penyebab jatuhnya sebuah

rezim ada tujuh penyebabnya dan yang sesuai dengan keadaan Mesir hanya tiga,

yaitu:

1. Hilangnya legitimasi yang dimiliki oleh rezim yang berkuasa, sehingga

rezim kehilangan pamornya di mata masyarakat. Penyebabnya karena

periode yang lama pemerintahan otoriter berkuasa di Mesir sehingga

menciptakan berbagai keadaan yang menghilangkan legitimasi pada rezim

tersebut. Keadaan itu berawal dari permasalahan ekonomi dan tertutupnya

akses di dalam aktivitas politik masyarakatnya yang mengarahkan pada

lunturnya legitimasi rezim otoriter di Mesir. Lihat bagaimana pemerintah

pertama militer Mesir melalui Presiden Nasser yang di masa akhirnya

sebagai Presiden Mesir, keadaan ekonomi mulai memburuk tapi

pemerintahan Nasser mampu meredam permasalahan konflik politik hanya

berada di dalam lingkaran utamanya dan tidak terjadi di dalam masyarakat.

Hal itu bisa terjadi karena aturan yang ketat diberlakukan di dalam

pemerintahan Nasser. Berbeda Nasser dengan Sadat tapi aturan ketat di

16

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Unrest in 2011,” artikel diakes pada 20

Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-regime#ref308469 17

Ali Martin, “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia Ditengah

Demokrasi Pasar,” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.

85

dalam kebebasan politik masyarakat Mesir masih dibatasi melalui

Konstitusi 1970, walaupun partai-partai politik boleh dan bebas berdiri

dalam panggung politik Mesir. Hal itu masih berlaku di masa rezim

Mubarak berkuasa. Di masa akhirnya Mubarak berkuasa di Mesir,

keadaannya menjadi tidak stabil. Ketidak stabilan itu tercermin dari

banyaknya masyarakat Mesir yang menganggur atau tidak bekerja

ditambah dengan adanya permasalah ekonomi. Namun yang menjadi

penyebab lunturnya legitimasi razim Mubarak adalah korupsi dan

keterbatasan politik yang menyebabkan pelanggaran HAM di Mesir.

keterbatasan politik dan pelanggaran HAM membuat masyarakat Mesir

merasakan kerinduan pada sistem demokrasi yang tidak pernah hadir

dalam kehidupan politik masyarakat Mesir.18

2. Adanya kejatuhan atau keruntuhan rezim otoritarian, yang disebabkan oleh

menurunnya basis legitimasi yang menjadi unsur penopang rezim dan

keterbukaan komunikasi Dunia Internasional yang mempromosikan

demokratisasi oleh Negara-Negara Eropa Barat seperti Amerika dan

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Demonstrasi besar-besaran yang

terjadi di seluruh Mesir menuntut agar Presiden Husni Mubarak yang telah

berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Aksi ini

merupakan salah satu aksi revolusi seperti yang terjadi di Tunisia. Di

Mesir, gelombang aksi demontrasi besar berawal dari pesan-pesan yang

terdapat di internet. Masyarakat Mesir pun bergerak melalui pengguna

18

Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik,” 68-69.

86

jejaring sosial di internet. Pemerintah berusaha meredam para demonstran

yang menggalang aksinya dari internet dengan cara memberhentikan

saluran internet dan komunikasi hingga batas waktu yang tidak

ditentukan.19

Revolusi itu merupakan keterbukaan dari faktor komunikasi

global yang telah dikampanyekan oleh Negara-Negara Barat seperti Eropa

Barat atau Amerika Serikat.

3. Adanya demonstrasi besar yang terjadi di negara non-demokrasi.

Demonstrasi besar menyebabkan efek yang diantaranya adalah contagion

(penularan), diffusion (penyebaran), emulation (penyamaan atau emulasi),

snowballing (penggumpalan/efek bola salju), dan the dominio effect (efek

domino). Revolusi Arab Spring merupakan demonstrasi besar yang seperti

dijelaskan oleh penulis dalam sub-bab sebelumnya.

2. SCAF dan Transisi Demokrasi

Mundurnya Mubarak sebagai Presiden Mesir mengarahkan Mesir menuju

transisi demokrasi. Menurut O‟Donnell dan Schimtter transisi adalah masa

interval atau periode waktu diantara rezim yang satu dengan rezim yang

berikutnya, atau dengan kata lain transisi diartikan sebagai suatu era-antara

(interval-period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu jelas sosoknya.

Kata ketidakjelasan ini, dapat dipahami sebagai rangkaian kemungkinan yang

19

Zada, “Revolusi dan Transisi Politik”, 68.

87

akan terjadi dalam tercipta bentuk orde politik. Hal ini seperti yang diungkapan

oleh O‟Donnell dan Schimtter sebagai berikut20

:

“Transisi dibatasi di satu sisi oleh dimulainya proses perpecahan sebuah

rezim otoritarian, dan di sisi yang lain, oleh pengesahaan beberapa bentuk

demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau

kemunculan suatu alternatif revolusioner.”

Penjelasan tersebut, memberikan gambaran tentang pemahaman mengenai

makna transisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa transisi ialah periode waktu

diantara berakhirnya atau hancurnya rezim otoriter menuju ke arah rezim

demokrasi yang dalam prosesnya mengalami ketidak pastian menuju demokrasi

atau bentuk rezim yang lain. Di tambahkan juga oleh O‟Donnell, bahwa proses

transisi ini tidak dapat diramalkan bagaimana akhirnya dan mengandung resiko

kegagalan demokrasi. Hal itu disebabkan karena di dalam transisi banyak

mengandung aspek dan faktor yang saling berkaitan dan bertentangan, sehingga

bisa dikatakan ketidak pastian dan kemungkinan akan selalu membayangi proses

demokrasi di suatu negara.21

Mubarak menyerahkan urusan negara kepada Dewan Tertinggi

Anggkatan Bersenjata (SCAF) mengarahkan Mesir menuju transisi demokrasi

seperti penjelasan O‟Donell dan Schimtter.22

Pindah kekusaan eksekutif ke tangan

para petinggi militer melalui SCAF, membuat para demonstran ragu terhadap

komitmen SCAF pada demokrasi. Keadaan tersebut, membuat massa terus

20

Guillermo O‟Donnell dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule:

Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: The Johns Hopkins University

Press, 1986), 6. 21

O‟Donnell dan C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule, 6. 22

Ellen Lust, ed., The Middle East, 13th

ed. (Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014), 456.

88

melakukan aksi demontrasi menuntut militer untuk menarik diri dari politik dan

segera menyelenggarakan pemilihan umum.23

Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) Mesir mulai menjalankan

roda pemerintahan negara Mesir pasca Mubarak memberikan tampung kekuasaan

kepada mereka. Kekuasaan politik saat itu mulai berada di tangan militer melalui

SCAF. Mereka pun mulai menjanjikan akan mengadakan pemilihan umum dan

membuat konstitusi sementara untuk negara Mesir. Mereka juga menjanjikan

kepada masyarakat Mesir untuk memberikan dan membuka demokrasi dalam

kehidupan masyarakat Mesir. Ternyata SCAF belum juga mengadakan pemilihan

umum dalam waktu dekat sehingga membuat publik semakin ragu dan mulai

bertanya-tanya tetang sikap politik SCAF. Keadaan tersebut mengakibatkan

publik kembali melakukan sebuah tekanan dan tuntutan secara terus menerus

terhadap SCAF supaya segera mengadakan pemilihan umum. Atas desakan publik

secara terus menerus, akhirnya pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen

Mesir mulai diselenggarakan pada bulan November 2011 sampai dengan bulan

Januari 2012.24

3. Pemilu Demokratis dan Kebangkitan Partai Islam

Pemilihan umum tersebut dimenangkan oleh kelompok Aliansi Demokrasi

untuk Mesir yang dipimpin oleh Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and

Justice party-FJP) yang merupakan sayap politik dari Ikhwanul Muslimin (IM).

Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memperoleh kursi parlemen sebanyak 235

23

KomNasKDM, Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir, 7. 24

Britannica, “Unrest in 2011.”

89

kursi. Di bawah FJP ada blok islamis yang dipimpin oleh Partai An-Nour

(kelompok Salafi) dengan perolehan kursi sebanyak 121 kursi. Sementara itu,

untuk partai-partai lainnya yang berideologi sekuler (Nasseris, Sosialis, Liberal,

dan anasir rezim lama) mendapatkan perolehan kursi yang kurang memuaskan.

Keadaan itu juga dialami oleh partainya Mubarak, yaitu NDP yang memperoleh

hasil kurang maksimal dari pemilihan umum tersebut.25

Pemilihan umum Mesir dapat terlaksana dengan baik dan berikutnya

SCAF mulai mengadakan Pemilihan Presiden Mesir secara langsung. Pemilihan

Presiden Mesir secara langsung dilaksanakan sebanyak dua putaran. Itu terbukti

bahwa adanya persaingan yang ketat antara kelompok lama dengan kelompok

baru. Kelompok lama (bagian dari rezim Mubarak) diwakili oleh Ahmad Syafik

memperoleh suara sebesar 23,66%, yang menempatkan ia berada di bawah

Muhammad Mursi sebagai perwakilan dari kelompok baru. Mursi yang didukung

oleh FJP mendapatkan peroleh suara terbanyak dari seluruh kandidat calon

presiden yang bersaing di dalam pemilihan Presiden Mesir putaran pertama.

Perolehan suara Mursi mencapai 24,78% sehingga membuat ia dan Ahmad Syafik

harus kembali lagi bersaing di dalam putaran kedua pemilihan presiden secara

langsung.26

Di pemilihan presiden putaran kedua, persaingan ketat tetap terjadi antara

Muhammad Mursi dengan Ahmad Syafik. Persaingan ketat itu dapat terlihat dari

perolehan suara masing-masing calon kandidat. Di mana Muhammad Mursi

mendapatkan suara 51,78% sedangkan Ahmad Syafik mendapatkan suara 48,27%.

25

M Hamdan Basyar, Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan

Israel (Jakarta: UI Press, 2015), 28. 26

KomNasKDM, Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir, 8.

90

Hasil itu menunjukan bukti bahwa persaingan pengaruh antara kelompok lama

dan baru di dalam masyarakat Mesir sangat ketat. Selisih antara kedua pasangan

hanya berjarak 3,51%. Itu menjadi bukti bahwa pengaruh rezim Mubarak tidak

langsung mengalami penurunan atau memudar. Khususnya peran serta militer di

dalam perpolitikan dan masyarakat Mesir tidak langsung luntur pasca Mubarak

lengser dari kekuasaan. Perbedaan selisih yang kecil tersebut, tetap membawa

Mursi terpilih menjadi Presiden Mesir pertama yang dipilih melalui proses

pemilihan langsung. Memenangkan pemilihan Presiden Mesir, Mursi pun berjanji

untuk melibatkan berbagai kelompok di dalam menjalankan roda

pemerintahannya.27

B. Konflik dalam Pemerintahan Muhammad Mursi di Mesir Tahun 2013

Pergulatan kepemimpinan politik Mesir tidak mereda atau menghilang sedikit

pun, bahkan setelah pemilihan umum demokrasi pertama dilaksanakan. Keadaan

perpolitikan Mesir berjalan tidak mulus. Hal itu terjadi karena adanya fregmentasi

di antara kelompok-kelompok revolusioner yang berhaluan sekuler dengan

kelompok Islam membelah panggung politik Mesir. Di posisi transisi demokrasi

negara Mesir, tetap berada kekuatan kelompok lama atau kekuatan rezim lama

yang sering disebut sebagai “deep state” pun masih bercokol di birokrasi negara

Mesir. Keadaan-keadaan itu menyebabkan sebuah benturan di antara kekuatan-

kekuatan politik tersebut.28

27

Sita Hidriyah, “Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di Mesir,”

Hubungan Internasional 4 (Juli 2012): 5. 28

Amri Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir

Tahun 2011-2013,” politik 2 (Agustus 2016): 51.

91

1. Konflik Antar Lembaga Pemerintahan

Terpilihnya Mursi menjadi penanda akhir dari kekuasaan rezim militer, akan

tetapi periode ini sebenarnya menyimpan beragam persoalan yang memperburuk

situasi Mesir setelahnya. Permasalahan yang sebenarnya terjadi di masa SCAF

berkuasa adalah pembentukan Majelis Konstituen oleh parlemen Mesir yang baru

terpilih. Posisi mayoritas yang dimiliki kelompok berideologi Islam membuat

kelompok yang berideologi sekuler tidak dapat menerima kenyataan bahwa

jumlah anggota Majelis Konstituen Mesir didominasi oleh kelompok berideologi

Islam. Keadaaan itu membuat pemilihan anggota Majelis Konstituen Mesir harus

dilaksanakan sebanyak dua kali demi menyelesaikan perselisihan yang terjadi di

dalam anggota parlemen Mesir. Meski demikian konflik yang terjadi di antara

mereka tidak terselesaikan bahkan berlanjut pada pembuatan naskah konstitusi

Mesir yang baru. Permasalahan lain yang terjadi pada masa kepemimpinan SCAF

adalah dibubarkannya parlemen terpilih Mesir oleh Mahkamah Konstitusi Mesir

atau Supreme Constitutional Court (SCC). Pembubaran itu terjadi pada tanggal 14

Juni 2012, setelah Majelis Konstituen Mesir dibentuk.29

Alasan SCC membubarkan parlemen Mesir disebabkan oleh mekanisme

pemilihan anggota parlemen yang dianggap menyalahi konstitusi sementara Mesir.

Kesalahan tersebut berkaitan dengan pasal yang menyatakan bahwa siapapun

berhak mengikuti pemilihan umum. Sementara aturan pemilu tidak memberi

tempat bagi calon independen untuk terpilih melalui pendaftaran dengan jalur

29

Maria Haimerl, “The Supreme Constitusional Court of Egypt (SCC) After Mubarak:

Rethinking The Role of An Established Court In An Unconstitutional Setting.” In The ECPR

General Conference Glasgow, Glasgow 3-6 September 2014 (Glasgow: The ECPR, 2014), 1-2

92

partai politik. Sebaliknya, calon dari partai politik dapat terpilih dengan melalui

jalur independen. Meskipun demikian, pembubaran ini lebih memiliki motif

politik dari pada hukum.30

Hal ini disebabkan karena keputusan SCC disambut baik oleh SCAF dengan

mengeluarkan addendum Deklarasi Konstitusional 30 Maret 2011 pada 17 Juni

2012 yang berisi tentang, 1) keistimewaan militer dalam hal pembahasan apapun

yang berkaitan langsung dengan militer, 2) kewenangan kepada badan di

bawahnya sendiri untuk mengambil kekuasaan legislatif karena dibubarkannya

Majlis Ashaab oleh SCC, 3) hak SCAF menunjuk 100 anggota Majelis Konstituen

karena parlemen sebelumnya dianggap tidak mampu menyelesaikan berbagai

perseteruan di internal parlemen dalam merumuskan hal tersebut, 4) kekuasaan

SCAF bersama dengan partai-partai untuk merumuskan naskah konstitusi, dan 5)

penyusunan ulang jadwal transisi termasuk pemilihan umum parlemen ulang.31

Hal ini memperlihatkan bagaimana militer ingin tetap memiliki pengaruh dalam

politik Mesir meskipun presiden baru telah terpilih. Bukan hanya itu, tapi

permasalahan itu membuktikan bahwa lembaga politik lama Mesir tidak bisa

dihancurkan atau dihilangkan. Telah diketahui bahwa lembaga politik di masa

rezim militer berkuasa adalah militer sebagai pembentuk lembaga eksekutif Mesir

yang nasionalis. Tidak dapat terlepaskan artinya Militer Mesir tidak pernah

meninggalkan ranah politik sekali pun perubahan melanda Mesir.

30

Carter Center, “Presidential Election in Egypt: Final Report May – June 2012,” artikel

diakses pada 19 April 2018 dari

https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/egypt-final-

presidential-elections-2012/ 31

Carter, “Presidential Election in Egypt.”

93

Peristiwa pembubaran parlemen Mesir hasil dari perolehan pemilihan umum

yang diselenggrakan secara demokrasi membuat Ikhwanul Muslimin dan Mursi

merasa khawatir terhadap penyusunan dan perumusan konstitusi baru negara

Mesir. kekhawatiran tersebut didasarkan pada ketakutan akan pembatalannya

rumusan konstitusi baru oleh Mahkamah Konstitusi Mesir yang merupakan legasi

dari rezim Mubarak. Kekhawatiran itu juga membuat Muhammad Mursi bereaksi

dengan mengelurkan dekrit presiden.32

Dekrit itu dikeluarkan pada bulan November, yang isinya memberikan sebuah

wewenang besar dan menempatkan ia (sebagai Presiden Mesir) berada pada posisi

yang tidak dapat disentuh oleh hukum sampai batas waktu tertentu. Dekrit itu juga

memberikan gerak luas kepada Presiden Mursi untuk melakukan berbagai usaha

untuk melindungi jalannya Revolusi Mesir dan menjaga demokrasi yang sudah

tercipta di Mesir. Selain itu, penunjukan jaksa penuntut umum yang baru

disebabkan oleh kegagalan Jaksa Abdel Maguid Mahmoud yang menduduki

jabatannya sejak era Mubarak dalam menangani kasus pembunuhan terhadap

demonstran pada peristiwa “Battle of Camel”. Kegagalan tersebut membuat

keadilan terhadap korban dianggap tidak terpenuhi sehingga Presiden Mursi

Memberhentikan Mahmoud dari jabatannya dan kemudian diberi jabatan sebagai

Duta Besar Mesir untuk Vatikan.33

32

BBC, “Egyptian President Mursi Reverses Paliament Dissolution,” artikel diakses pada

20 April 2018 dari https://www.bbc.com/news/world-middle-east-18761403 33

BBC, “Mursi Reverses Paliament Dissolution,”

94

2. Konstitusi Baru (Islam)

Pada 30 Juni 2012 Mursi resmi dilantik dan diambil sumpah sebagai Presiden

Mesir yang baru. Langkah pertama yang dia lakukan sebagai Presiden Mesir

adalah mengeluarkan dekrit untuk mengembalikan posisi Majlis Ashaab untuk

dapat kembali bersidang. Selain itu, melalui dekrit tersebut Mursi juga

mengatakan bahwa pemilihan umum akan diadakan dalam waktu 60 hari setelah

konstitusi selesai dibuat oleh Majelis Konstituen yang telah terpilih sebelumnya.

Namun, upaya ini dianggap tidak sah oleh SCC. Mahkamah Konstitusi Mesir

tersebut memperingatkan Mursi bahwa langkah yang diambilnya adalah tidak sah

dan jika melawan akan dianggap sebuah tindakan pelanggaran hukum. SCAF

kemudian juga menanggapi dekrit ini dengan mengadakan pertemuan darurat

namun tidak ada keterangan apapun yang dibagikan ke publik terkait pertemuan

tersebut.34

Majelis Konstituen masih menjalankan fungsinya, namun masa kerja badan

tersebut dibatasi oleh SCC yang akan berakhir pada 24 September 2012. Di lain

pihak, SCAF menyatakan siap mengambil perannya sesuai dengan addendum 17

Juni bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mengambil alih legislatif dan

melakukan veto terhadap konstitusi apabila Majelis Konstituen Mesir tidak

berjalan dengan benar.35

Adanya dekrit ini presiden dapat memberikan waktu tambahan jika memang

diperlukan. Alasan Mursi mengeluarkan dekrit tersebut adalah adanya keinginan

dari otoritas lembaga yudikatif Mesir, yaitu SCC yang merencanakan untuk

34

BBC, “Mursi Reverses Paliament Dissolution.” 35

Ivan, Watson, “Court Overrules Egypt „s President on Parliament,” artikel diakses pada

20 April 2018 dari https://edition.cnn.com/2012/07/10/world/meast/egypt-politics/index.html.

95

membubarkan Majelis Konstituen yang dianggap tidak dapat menyelesaikan

perdebatan karena dominasi kelompok Islam yang terlalu kuat.36

Penyebab utama Majelis Konstituen gagal bersatu karena koalisi yang

dibangun oleh Mursi sebelum dilantik sebagai presiden, yaitu koalisi besar

penetang rezim lama (Mubarak). Koalisi besar yang melibatkan hampir seluruh

elemen oposisi tersebut terancam bubar akibat gesekan yang tidak kunjung

berakhir dalam Majelis Konstituen. Perpecahan di antara kelompok oposisi

Mubarak terjadi terkait dengan penyusunan konstitusi dalam isu penerapan syariat

Islam. Kondisi deadlock yang terjadi dalam pembahasan konstitusi memicu aksi

walkout dan boikot yang dilakukan kelompok sekuler. Hal ini membuat hubungan

koalisi tersebut terpecah belah dan konstitusi terancam gagal dibuat. Kondisi

pembahasan konstitusi yang tidak menemui titik terang tersebut ditanggapi oleh

Mursi dengan Dekrit Presiden 22 November 2012 yang isinya menyatakan

bahwa37

:

1. Investigasi kasus pembunuhan dan aksi kekerasan terhadap demonstran

akan dilaksanakan dan proses pengadilan akan dilakukan kembali.

2. Semua deklarasi konstitusional, aturan dan dekrit yang dikeluarkan oleh

Mursi tidak dapat dibatalkan oleh siapapun termasuk individu, badan

pemerintahan dan organisasi politik.

36

David D Kirkpatrick dan Mayy El Sheikh, “Citing Deadlock, Egypt‟s Leader Seizes

New Power and Plans Mubarak Retrial,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.nytimes.com/2012/11/23/world/middleeast/egyptspresidentmorsigiveshimselfnewpo

wers.html. 37

Ahram Online, “English Text of Morsi‟s Constitutional Declaration,” artikel diakses

pada 20 April dari https://english.ahram.org.eg/News/58947/

96

3. Presiden akan menunjuk jaksa penuntut umum baru yang akan ditugaskan

oleh presiden untuk masa jabatan empat tahun dan berusia paling tidak 40

tahun.

4. Majelis Konstituen Mesir mendapatkan waktu tambahan 2 bulan untuk

menyelesaikan naskah konstitusi.

5. Tidak adanya otoritas yudikatif yang dapat membubarkan parlemen.

6. Presiden dapat mengambil tindakan apapun yag diperlukan untuk

melindungi revolusi, melindungi persatuan nasional ataupun untuk

melindungi ketertiban nasional.

Di tengah ketegangan tersebut, Majelis Konstituen yang didominasi kelompok

Islam menyelesaikan naskah konstitusi baru yang siap untuk direferendum.

Menanggapi hal ini, gabungan oposisi terhadap Mursi yang bernama NSF

(National Salvation Front) menolak konstitusi tersebut dan mengampanyekan

untuk memilih “tidak” dalam referendum konstitusi. Salah satu tokoh popular

yang tergabung dalam NFS, Mohamed el-Baradei, mengatakan bahwa konstitusi

tersebut sama seperti sampah yang harus dibuang. Amr Moussa, mantan

Sekretaris Umum Liga Arab yang juga merupakan anggota NSF

mengatakan38

:“Dikeluarkannya konstitusi tersebut tidak dapat dibenarkan,

apalagi dengan banyaknya protes yang diterima oleh Majelis Konstituen.”

Khaled Dawoud selaku juru bicara NSF mempertegas penolakan tersebut melalui

38

Umar Farooq, “Seeking New Leadership, Millions of Egyptians Take to the Streets,”

artikel diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.theatlantic.com/international/archive/2013/06/seeking-new-leadership-millions-of-

egyptians-take-to-the-streets/277419/

97

pernyataannya pada 12 Desember 2012 yang mengatakan39

: “Kami meminta

semua warga memilih „tidak‟ dalam referendum konstitusi.” Meskipun demikian,

seruan-seruan tersebut tampak tidak mempengaruhi hasil dari referendum karena

konstitusi berhasil disetujui dan kemudian ditandatangani oleh Mursi pada 26

Desember 2012. Setelah konstitusi baru disahkan, situasi justru semakin

memburuk. Mursi masih terus dihujat atas konstitusi yang dianggap tidak sah

tersebut. Kelompok anti-Mursi terus melakukan protes. Kondisi yang semakin

kacau memunculkan satu gerakan yang terlahir untuk melakukan protes terhadap

pemerintah dan meminta Mursi untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden

Mesir. Gerakan tersebut bernama Tamarrod (berontak).

Gerakan Tamarrod mengampanyekan kepada masyarakat Mesir untuk

meminta Mursi mundur dari jabatan sebagai presiden dengan cara mengumpulkan

15 juta tanda tangan. Angka ini diambil karena kemenangan Mursi sebagai

presiden hanya didukung oleh 13,2 juta pemilih sehingga dengan angka tersebut

mayoritas rakyat yang meminta Mursi untuk turun lebih besar dari pada

pendukungnya. Hingga tanggal 29 Juni 2013, gerakan ini mengklaim telah

mengumpulkan 22 juta tanda tangan. Selain mengumpulkan tanda tangan, gerakan

ini juga mengajak masyarakat Mesir untuk melakukan aksi demonstrasi di hari

peringatan satu tahun pemerintahan Mursi berkuasa pada tanggal 30 Juni 2013.

Seruan aksi ini kemudian ditanggapi oleh Ikhwanul Muslimin yang melakukan

39

Farooq, “Seeking New Leadership.”

98

aksi tandingan. Kelompok Ikhwanul Muslimin mengumpulkan masanya di

wilayah Rabaa al Adawiya.40

3. Kudeta Militer 3 Juli

Pada 30 Juni 2013 protes besar kembali terjadi di hampir seluruh Kairo

bahkan menyebar ke Iskandariah, El Mahalla dan kota-kota di sekitara Terusan

Suez. Pihak militer mengklaim terdapat 14 juta orang dari 84 juta total penduduk

Mesir yang berada di jalanan pada 30 Juni 2013. Menanggapi kekacauan yang

terjadi, Al-Sisi memutuskan bahwa Mursi harus mengundurkan diri dan seluruh

kegiatan presiden diawasi oleh badan intelijen. Mursi kemudian mencoba

melakukan lobi untuk mendapatkan dukungan kelompok militer, namun usaha itu

mengalami kegagalan. Militer malah mengeluarkan ultimatum terhadap presiden

dan seluruh partai penguasa untuk turun dari jabatan dalam waktu 48 jam

terhitung sejak 1 Juli 2013. Ikhwanul Muslimin mengatakan bahwa ini merupakan

upaya kudeta, namun militer menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan

bahwa militer hanya menjalankan keinginan rakyat.41

Gerakan Tamarrod dan

National Salvation Front (NSF) sebagai oposisi Mursi pun menganggap bahwa

hal ini bukanlah kudeta melainkan upaya militer untuk melindungi rakyat Mesir.42

Pada 3 Juli 2013. Al-Sisi mengajak FJP, Gerakan Tamarrod, Al Nour Party,

Imam Besar Al Azhar, Pemimpin Ortodok Koptik, dan Muhammad El Baradei

40

Farooq, “Seeking New Leadership.” 41

Al Jazeera English, “Egypt‟s Morsi says he will not step down-Middle East,” artikel

diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/07/20137222343142718.html. 42

Daily News Egypt, “National Salvation Front and Tamarrod call on Army to Intervene,”

artikel diakses pada 20 April 2018 dari http://www.dailynewsegypt.com/2013/07/03/national-

salvation-front-and-tamrrod-call-on-army-to-intervene/

99

untuk melakukan pertemuan. Di waktu yang sama, kelompok pro-Mursi menolak

negosiasi dengan militer. Sementara tokoh-tokoh yang lainnya memenuhi

permintaan tersebut. Pertemuan tersebut kemudian membahas tentang roadmap

masa depan Mesir. Akhirnya, pada pukul 21.00 waktu setempat, Al-Sisi

memberikan pidato langsung melalui televisi yang berisi roadmap masa depan

Mesir termasuk mengakomodasi tuntutan oposisi untuk menurunkan Mursi dari

jabatan Presiden Mesir. Militer dengan cepat mengambil alih kekuasaan dan

menggantikan dengan pemerintahan sementara. Pengumuman pergantian

kekuasaan, dilakukan oleh Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi. Di mana Presiden Mursi

digantikan oleh Ady Mansour sebagai pejabat presiden sementara. Ady Mansour

sebelum ditunjuk sebagai presiden sementara Mesir menjabat sebagai ketua

Mahkamah Konstitusi Mesir. Militer juga bukan hanya mengganti posisi Presiden

Mesir tapi juga mengganti posisi Perdana Menteri Mesir. Di mana posisi Perdana

Menteri Mesir masa Mursi dijabat oleh Hisyam Qandil dan setalah kudeta posisi

itu diberikan kepada Hazem al Beblawi.43

Tindakan yang dilakukan oleh Militer bukan hanya mengganti Presiden dan

Perdana Menteri Mesir setelah mereka melakukan aksi kudeta. Militer juga mulai

membekukan konstitusi baru Mesir yang dibuat di masa pemerintahan Mursi

setelah proses penggulingan pemerintahan Mursi. Menjanjikan akan mengadakan

pemilihan umum yang akan dilaksanakan dan dipimpin oleh pemerintahan

sementara Mesir. Tindakan lebih jauh dilakukan oleh militer terhadap para

petinggi Ikhwanul Muslimin dengan melakukan penangkapan dan pelarangan

43

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Transition to an elected government,” artikel

diakes pada 20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-

regime#ref308469

100

perjalanan (travel ban) kepada mereka. Terakhir tindakan yang diambil oleh

militer adalah pembubaran Majeslis Syuro (MPR) dan penutupan sejumlah media

Mesir.44

C. Analisis Kejatuhan Pemerintahan Mursi di Mesir Tahun 2013

Pada 3 Juli 2013 gelombang demonstrasi kembali tumpah-ruah di Mesir yang

nantinya melengserkan Mursi dari kursi kepresidenan. Dalam pergolakan politik

tersebut sebagian masyarakat Mesir meliputi kelompok Sekuler, Liberal, dan

Kristen Koptik atau anti Islam ikut serta dalam penggulingan Muhammad Mursi.

Menurut mereka Presiden Mursi dinilai bersikap diskriminatif karena sebagian

besar pemerintahan dipegang oleh Ikhwanul Muslimin.45

Gelombang besar itu

mengakibatkan gejolak politik yang mengakibatkan jatuh atau tumbangnya

pemerintahan Mursi di Mesir.

Merujuk pada pendapat Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan yang

membahas tentang sebab-sebab bertahan dan jatuhannya sebuah pemerintahan

yang demokratis atau rezim otoriter di Negara-Negara Amerika Latin dari tahun

1945-2010. Menurut mereka teori perubahan rezim disebabkan beberapa alasan

mendasar yang mengakibatkan rezim itu mampu bertahan atau gagal (jatuh).

Beberapa penyebab bertahan atau jatuh rezim menurut mereka adalah kebijakan

yang radikal, nilai-nilai yang dimiliki para elit politik, terjalinnya kesepakatan

44

Britannica, “Transition to an elected government.” 45

Rosy Prameswari K, “Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penggulingan Muhammad

Mursi di Mesir Tahun 2013,” Journal Hubungan Internasional 3 (2015): 361-362.

101

antara elit, dan pengaruh dunia Internasional.46

Ke-empat penyebab itu yang

sangat berhubungan dengan kejatuhan pemerintahan Mursi dari sisi institusi

politik ada dua, yaitu kebijakan yang radikal dan pengaruh dunia Internasional. Di

samping pengguna teori perubahan rezim, penulis juga menggunakan teori

institusionalisme di dalam mengkaji kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun

2013. Teori institusionalisme dari Hungtinton yang digunakan oleh penulis untuk

menganalisis sebab-sebab kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.

Melalui pandangnya, penulis berharap dapat menemukan jawaban dari penyebab

kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013 dari sisi institusionalisme.

1. Kebijakan yang Radikal

Menurut mereka kebijakan yang radikal dapat membuat kehancuran dari

kemungkinan pemerintahan yang kompetitif (rezim yang kompetitif47

) dan

sebaliknya kebijakan yang moderat atau tidak berlebihan mampu membuat

pemerintahan yang kompetitif dapat bertahan. Pada kasus kejatuhan pemerintahan

Mursi di Mesir tahun 2013, Konstitusi Islam dan Dekrit Presiden 22 November

2012 yang digagas oleh Ikhwanul Muslimin dan kelompok Partai Islam lainnya

dipandang berbeda oleh kalangan oposisi yaitu kelompok sekuler. Dekrit yang

dikeluarkan Mursi adalah upaya untuk menumpuk kekuasaan pada presiden

sehingga tidak ada yang dapat menghalangi pembahasan konstitusi yang

dilaksanakan di dalam majelis yang didominasi oleh kelompok Islam tersebut.

46

Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan, Democracies and Dictatorships In Latin

America (New York: Cambridge University Press, 2013), 61. 47

Istilah yang digunakan oleh Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Lisan dalam

mengkategorikan pemerintahan yang demokratis dan semi-demokrasi. (Lihat Mainwaring dan

Linan, Democracies and Dictatorships, 4-5.)

102

Perpanjangan waktu tidak akan ada artinya selagi kelompok Islam masih

mendominasi majelis sehingga tujuan utama dari protes yang dilakukan kelompok

sekuler adalah menuntut Mursi untuk segera membatalkan dekrit tersebut.48

Dekrit Presiden 22 November 2012 menjadi kebijakan yang radikal di dalam

pemerintahan Mursi, sehingga dektrit ini membuat konflik yang terjadi di dalam

Majelis Konstituen Mesir terbawa sampai ke ranah masyarakat. Konflik itu yang

memunculkan gerakan-gerakan demonstrasi penentang Mursi semakin kuat. Apa

lagi ditambah dengan telah disahkan konstitusi baru Mesir pada 26 Desember

2012 yang selalu menjadi perdebatan kesahannya oleh kalangan oposisi.

Bergulirnya Konstitusi 2012 maka menandai gejolak politik Mesir yang tidak

mereda ditambah dengan mulai banyaknya masyarakat yang terlibat di dalam

Gerakan Tamarrod (Berontak). Gerakan yang bertujuan untuk menuntut Mursi

mundur dari Presiden Mesir. Gerakan yang pada akhirnya menciptakan konflik di

dalam masyarakat sehingga Militer Mesir mulai bertindak dengan melakukan aksi

kudeta terhadap Mursi dan membatalkan Konstitusi 2012.49

Dekrit dan konstitusi 2012 Mesir menjadi langkah awal dari hilangnya

legitimasi pemerintahan Mursi di mata masyarakat Mesir. Merujuk pada makna

dan fungsi lembaga eksekutif yaitu sebagai pelaksana terhadap keinginan rakyat,

maka lembaga eksekutif memiliki beberapa tanggung jawab yang utama.

Keutamaan dari tanggung jawab lembaga eksekutif ialah menjalankan hukum,

48

Max Fisher, “Egypt‟s constitutional crisis, explained as a simple timeline,” artikel

diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2012/12/06/egypts-constitutional-crisis-

explained-as-a-simple-timeline/ 49

Eko Huda Setyawan, “Militer Cabut Konstitusi Mesir, Istana Presiden Dikepung,”

artikel diakses pada 20 April 2018 dari https://global.liputan6.com/read/629765/militer-cabut-

konstitusi-mesir-istana-presiden-dikepung

103

membuat hukum, mengelola partai, dan mengelola konstitusi negara.50

Seharusnya Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir dengan melihat fungsi dan

tanggung jawabnya sebagai pemimpin dari lembaga eksekutif Mesir mampu

menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, yaitu melaksanakan keinginan rakyat

dengam membuat konstitusi yang lebih adil, bukan konstitusi yang memihak

segelintir kelompok. Hal ini tidak terlihat dari pemerintahan Muhammad Mursi di

Mesir, bahkan Mursi tetap gigih untuk mempertahankan keputusan menetapkan

konstitusi baru Mesir yang berwajah Islam, dan mendapat banyak tentangan dari

masyarakat Mesir. Fungsi utama dari lembaga eksekutif yang tidak dijalankan

dengan baik oleh Mursi mengakibatkan ia harus dijatuhkan oleh kudeta militer

dan demonstrasi rakyat.

2. Kegagalan Pelembagaan Politik di Masa Transisi

Kejatuhan Mubarak pada tahun 2011 membawa perubahan besar di dalam

perpolitikan Mesir. Duduknya Mursi di bangku kekuasaan Presiden Mesir dan

kemenangan partai Islam pada pemilu Mesir, tidak menjadi jaminan untuk mereka

mampu mengontrol dan merubah peta perpolitikan bangsa Mesir. Bahkan keadaan

yang tadinya menguntungkan mereka pada akhirnya berbalik menjadi sesuatu

yang merugikan mereka. Kudeta 3 Juli 2013 menjadi akhir dari perjalanan manis

politik Islam khususnya Ikhwanul Muslimin dan Muhammad Mursi di dalam

perpolitikan Mesir.

50

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi (Jakarta:

LP3ES, 1988), 149.

104

Kejatuhan pemerintahan Mursi berawal dari keadaan politik dan lembaganya

tidak berjalan dengan baik. Pada keadaan tersebut bisa dikatakan bahwa

kelembagaan politik yang terjadi setelah Mubarak menggundurkan diri terjadi

kegagalan di dalam pelembagaannya. Keadaan itulah yang menyebabkan

ketegangan politik tidak kunjung reda bahkan setelah Mursi menduduki kursi

Presiden Mesir. Seperti yang dijelaskan oleh Huntington bahwa perubahan-

perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah

komunitas politik yang sederhana namun dengan perkembangan masyarakat yang

semakin kompleks dan majemuk, maka untuk mengatur sebuah komunitas politik

itu dibutuhkan sepak terjang dari lembaga-lembaga politik.51

Keadaan yang komplek terjadi di dalam masyarakat Mesir dengan tercipta

kelompok oposisi Mubarak dalam aksi demonstran tersebut mengakibatkan

terlahirnya komunitas politik Mesir baru. Komunitas politik yang terdiri dari

kelompok Islam, nasionalis, Kristen, dan sekuler Mesir mewarnai arah jalannya

transisi politik di Mesir pasca jatuhnya rezim Mubarak.52

Terciptanya komunitas politik Mesir maka dibutuhkan sebuah lembaga politik

baru Mesir yang dapat memenuhi keinginan dari komunitas politik Mesir baru.

Respon cepat coba diberikan oleh SCAF selaku pengganti pemerintahan Mesir

sementara dengan berhasil menjalankan pemilu dan pilpres Mesir. Namun

disayangkan hasil dari pemilu tersebut tidak bisa memenuhi permintaan dari

komunitas politik Mesir baru untuk menciptakan konstitusi baru yang tidak

51

Samuel P. Huntington, Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa.

Penerjemah Sahat Simamora (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 1-15. 52

Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 42.

105

memihak kelompok tertentu.53

Keadaan semakin parah dengan dibubarkan

parlemen Mesir oleh Makhamah Konstitusi Mesir, seperti yang dijelaskan dalam

sub-bab “Konflik Antara Lembaga”.

Komunitas politik dan pembubaran parlemen Mesir menjadi persoalan yang

harus diselesaikan Muhammad Mursi ketika ia berhasil menjadi pemenang dalam

pilpres Mesir. Kedua permasalahan itu tidak dapat diselesaikan dan

mengakibatkan pelemahan atau kegagalan pelembagaan politik di masa transisi

atau tepatnya di masa pemerintahan Mursi. Seperti yang dijelaskan oleh

Huntington, tingkat pelembagaan setiap sistem politik dapat ditentukan dari segi

kemampuan untuk menyesuaikan diri, kompleksitas, otonomi dan keterpaduan

organisasi berserta tata cara-nya.54

Empat penilaian dalam tingkat pelembagaan politik tidak terlihat di dalam

masa pemerintahan Mursi di Mesir. Sehingga dapat diartikan bahwa pelembagaan

politik di masa transisi mengalami kegagalan. Penyebab kegagalannya adalah:

1. Lembaga politik Mesir tidak bisa menyesuaikan diri, khususnya di

masa Mursi berkuasa. Telah diketahui bahwa keadaan politik yang

terjadi di Mesir mengakibatkan komunitas politik yang terbentuk pasca

rezim Mubarak mengundurkan diri terpecah menjadi dua kelompok

yang sama kuatnya. Namun yang terpenting bagaimana perminta dari

komunitas politik Mesir baru dapat didengar dan dipertimbangkan di

dalam penyusunan konstitusi baru Mesir. Untuk memenuhi permintaan

tersebut maka terciptalah lembaga Konstituen Mesir tetapi seiring

53

Nathan J. Brown, “Tracking The Arab Spring: Egypt‟s Failed Transition,” Journal of

Democracy 24 (Oktober 2013): 49. 54

Huntington, Tertib Politik, 16-17.

106

berjalannya waktu lembaga tersebut dikuasai oleh kelompok Islam

karena kemenangan partai Islam di pemilu Mesir. Keadaan itu

membuat kelompok sekuler merasa terhimpit dan menciptakan konflik

baru di dalam penyusunan konstitusi baru Mesir. Ketidak mampuan

lembaga politik di masa pemerintahan Mursi adalah permintaan untuk

menyusun ulang anggota Majelis Konstituen Mesir secara adil dan

proposonal di antara kelompok Islam dan sekuler. Pada kenyataannya

permintaan itu tidak dilakukan oleh pemerintahan Mursi dan hanya

menempatkan sedikit anggota kelompok sekuler di Majelis Konstituen

Mesir.55

2. Tidak terciptanya lembaga politik Mesir yang kompleksitas. Penyabab

itu didasarkan dengan tidak adanya sub-unit perancang konstitusi baru

di dalam lembaga legislatif Mesir sehingga memutuskan untuk

menciptakan lembaga tersendiri yaitu Majelis Konstituen, yang

akhirnya majelis itu menjadi arena konflik politik antara kepentingan.

Ditambah lagi dengan adanya SCAF sebagai pengganti Mubarak untuk

menjalankan pemerintahan di masa transisi yang setelah terpilihnya

Mursi pun kekuasaaan SCAF tidak tergantikan bahkan mengalami

penguatan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Mesir.56

Keadaan

itulah yang mengakibatkan konflik di pemerintahan Mursi tidak reda

dan membuat Mursi harus dikudeta.

55

Brown, “Tracking The Arab Spring”, 51-52. 56

Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 49-51.

107

3. Tidak ada lembaga politik Mesir yang benar-benar otonomi. Hal itu

dapat terlihat dengan adanya campur tangan SCC (Mahkamah

Konstitusi) Mesir yang dapat melakukan pembubaran terhadap

parlemen Mesir dan keterlibatan pemerintah Mursi di dalam

penyusunan kembali anggota Majelis Konstituen. Jika lebih jauh lagi

adanya keterlibtan kelompok Ikhwanul Muslimin di dalam setiap

keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Mursi.

Keadaan juga diperparah dengan adanya SCAF dalam lingkaran

kekuasaan politik Mesir pasca setelah pilpres Mesir yang memiliki

kekuasaan lembaga legislatif Mesir setelah parlemen dibubarkan dan

wewenang SCAF ditambah oleh Mahkamah Konstitusi Mesir.57

Jenis

kewenangan itu seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab

sebelumnya.

4. Tidak adanya keterpaduan atau kesatuan antara lembaga politik Mesir

dengan lingkungannya. Ketidak terpaduan itu dapat terlihat dengan

adanya konflik anatara lembaga, yaitu pemerintahan Mursi dengan

SCC (Mahkamah Konstitusi) Mesir atau lembaga eksekutif dengan

yudikatif. Lembaga legislatif Mesir yang terwakili melalui parlemen

Mesir yang berkonflik dengan badan yudikatif Mesir, khususnya

Mahkamah Konstitusi Mesir. Ketidak terpaduan itu terjadi karena

57

Brown, “Tracking The Arab Spring”, 55-56.

108

perebutan di dalam Majelis Konstituen, pembubaran parlemen Mesir,

Dekrit Presiden Mursi dan Konstitusi Islam.58

3. Pengaruh Dunia Internasional

Pengaruh dari dunia Internasional yang mendukung pemerintahan demokrasi

dapat memberikan kemungkinan bertahannya pemerintahan yang kompetitif dan

mampu meningkatkan transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju kepada

pemerintahan yang demokratis. Menghubungkan dengan teori institusionalisme,

maka pengaruh dunia Internasional sangat berhubungan dengan sikap yang

diambil oleh pemimpin lembaga eksekutif atau yang sangat berperan adalah

presiden dan para menterinya. Melihat pada fungsi dan tanggung jawab lembaga

eksekutif terhadap pemenuhan keinginan rakyat, maka kekuasaan lembaga

eksekutif meliputi beberapa bidang.59

1. Administrasi, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan

peraturan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.

2. Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya

dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.

3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan

bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan

dalam negeri.

4. Yudikatif, artinya memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.

58

Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 53-54. 59

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, 4th

ed. (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2010), 296-297.

109

5. Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan

diplomatik dengan negara-negara lain.

Dari kelima tugas lembaga eksekutif yang sangat berhubungan dengan pengaruh

dunia Internasional adalah tugas diplomatik, yaitu menjalin hubungan baik dengan

negara-negara lain. Hubungan itu dapat terlihat dari kebijakan luar negeri yang

diterapkan oleh negara melalui pemerintah.

Pada kasus Mesir, terutama pemerintahan Mursi saat berkuasa kebijakan

politik luar negeri yang diambilnya adalah sikap tegas dan menolak tunduk

terhadap Negara-Negara Barat yang merugikan Mesir dan Islam. Kebijakan itu

berhubungan dengan dukungan pemerintahan Mursi terhadap negara Palestina dan

Suriah. Kebijakan ini membuat Amerika Serikat dan sekutunya Israel menjadi

gerah.60

Kebijakan itu juga membuat Amerika Serikat memilih untuk bersikap

ganda terhadap persoalan kejatuhan Presiden Mursi di Mesir. Sikap itu terlihat

dari awal bermulanya Arab Spring di Mesir membawa pesan yang bercampur dari

pemerintahan Obama, yang mana pertama sekali Obama memberikan dukungan

penuh kepada rezim Mubarak. Kemudian dukungan berpindah kepada demonstran

atau para protes yang ingin menurunkan Mubarak. Namun, pada tahun 2013

setelah Mursi dilengserkan lagi oleh sisa-sisa pewaris Mubarak juga lewati aksi

yang serupa yaitu demonstrasi tapi ditambah dengan kudeta oleh Militer Mesir.

Amerika Serikat lewat Hillary Clinton bahkan mengatakan bahwa Mesir berada

dalam keadaan yang stabil. Presiden Obama bahkan menyerukan reformasi dan

transisi untuk sesegera mungkin dijalankan. Amerika Serikat seperti menutup

60

Linda Nur Ramly dan Rr. Terry Irenewaty, “Kebijakan Muhammad Mursi sebagai

Presiden Mesir (2012-2013),” Socia 12 (September 2016): 96-97.

110

mata kepada implikasi dari kudeta militer yang bahkan tidak diakui oleh Amerika

sendiri.61

Alasan utama Amerika Serikat tidak melakukan atau bahkan tidak

mengusulkan kasus HAM berat di Mesir untuk diinternasionalkan dan

diintervensi baik militer maupun non-militer karena pengaruh yang kuat dari Arab

Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel. Pada kasus Mesir, Amerika Serikat bersikap

ganda dalam menjalankan kebijakan luar negerinya.

Kebijakan luar negeri yang rasional bagi Amerika Serikat terlihat dari setiap

sikap pernyataan politik Amerika Serikat, baik lewat Menteri Luar Negerinya

ataupun lewat Presiden Obama sendiri tidak pernah menyebutkan kata kudeta

dalam membicarakan masalah Mesir. Amerika Serikat tidak mengakui adanya

kudeta di Mesir. Logikanya, jika merumuskan apakah yang terjadi di Mesir

kudeta atau bukan tidak mencapai konsensus, maka dengan ini Amerika Serikat

tidak harus mendukung atau menolak kudeta itu sendiri dan yang terpenting

segala kepentingan Amerika di Mesir dapat terjaga.62

Kepentingan Amerika

tersebut bisa terjalin dengan baik apabila hubungan diplomatik dan kebijakan luar

negeri pemerintahan Mursi tidak merugikan atau mengacam kepentingan Amerika

di Mesir. Pada kenyataannya kebijakan luar negeri pemerintahan Mursi terlihat

sangat merugikan Amerika sehingga membuatnya harus bersikap ganda terhadap

permasalahan di Mesir.

61

Prameswari, “Keterlibatan Amerika Serikat,” 364-365. 62

Prameswari, “Keterlibatan Amerika Serikat,” 365.

111

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Revolusi Arab Spring 2011 telah membawa angin perubahan di sebagian

Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Mesir Revolusi Arab

Spring 2011 telah membuat rezim Militer Mubarak yang berkuasa hampir

selama 30 tahun lebih harus tumbang. Tumbangnya rezim Mubarak membawa

Mesir pada transisi demokrasi keduanya. Transisi demokrasi pertama negara

Mesir terjadi setelah Mesir mendapatkan kemerdekaan dari negara Inggris

tahun 1923. Namun sangat disayangkan proses demokrasitisasi di masa awal

negara Mesir harus dirampas oleh kekuatan asing dan para elit politik yang

korup sehingga membuat sebagian Militer Mesir menjadi berang dan kesal.

Kekesalan mereka diluapkan dalam proses kudeta militer yang disebut sebagai

Revolusi 1952. Selanjutnya negara Mesir berada di dalam kekuasaan para

militer hingga sampai revolusi menjatuhkan penguasa militer ketiga Husni

Mubarak dari singgasana Presiden Mesir.

Kejatuhan Mubarak melalui Revolusi Arab Spring disebabkan karena tiga

hal, yaitu:

1. Pemerintahan yang kehilangan legitimasi.

2. Pengaruh kuat media internet dalam menggerak massa untuk

berkumpul dan melakukan unjuk rasa menentang pemerintahan

Mubarak.

112

3. Demonstrasi besar yang berawal di Tunisia yang menghancurkan

rezim militer di sana sehingga membuat masyarakat Mesir terinspirasi

serta mengikuti jejak negara Tunisa.

Semua penyebab itu bersumber pada permasalahan ekonomi dan politik di

masa rezim Mubarak. Ekonomi di masa berakhirnya Mubarak keadaannya

sangat mengkhawatirkan. Itu terlihat dari banyaknya masyarakat Mesir yang

menganggur dan tidak memiliki pekerjaan. Keadaan diperparah dengan

pemerintahan yang korup dan otoriter sehingga membuat masyarakat

melakukan perlawan untuk menurunkan rezim Mubarak.

11 Februari 2011 rezim Militer Mubarak jatuh. Di awali dengan

pengunduran dirinya dan penyerahan pemerintahan Mesir kepada Dewan

Tertinggi Militer (SCAF). Melalui mereka negara Mesir mulai memasuki masa

transisi demokrasi. Pada masa itu keadaan politik tidak mengalami kepastian

bahkan ketidakstabilan. Institusi politik Mesir saat masa transisi demokrasi

berada pada kekuasaan militer melalui SCAF dan Mahkamah Konstitusi Mesir

(SCC). Di tangan mereka lah politik Mesir diatur bahkan konflik yang terjadi

dalam ruang legislatif Mesir juga akibat dari kuatnya lembaga politik yang

diwariskan oleh Mubarak.

Pada proses transisi demokrasi, Mesir mendapatkan Presiden pertama dari

kalangan Islam dan sipil. Presiden itu adalah Muhammad Mursi. Bukan hanya

Presiden Mursi yang mendapatkan keuntungan dari transisi demokrasi tapi

partai-partai yang berideologi Islam juga mengalami kebangkitan. Di tambah

dengan meningkatnya kekuatan politik Ikhwanul Muslimin yang berhasil

113

menguasai parlemen Mesir dan menempatkan kadernya pada posisi Presiden

Mesir.

Kekuasaan Mursi tidak selama kekuasaan seorang Presiden Mesir

sebelumnya. Ia berkuasa hanya satu tahun. Ia mengakhiri kekuasaannya

karena faktor keadaan politik yang tidak stabil dan situasi ekonomi Mesir

yang menurun. Keadaan-keadaan itu membawa pemerintahan Mursi harus

berakhir cepat dengan proses kudeta militer. Kudeta militer adalah akibat dari

pemerintahan Mursi tidak mampu meredam demonstrasi besar yang kembali

melanda negara Mesir dan mengalami bentrokan berdarah dengan kelompok

pendukung Pemerintahan Mursi. Gelombang demonstrasi besar itu kemudian

dikenal sebagai Gerakan Tamarrod (Berontak). Kejatuhan pemerintahan

Mursi disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

1. Kebijakan yang radikal, yang berupa Dekrit Presiden 22 November

2012 dan konstitusi baru Mesir yang lebih Islamis. Konstitusi dan

dekrit presiden Mursi menyebabkan perpecahan dikalangan elit poltik

Mesir semakin tajam dan bahkan sudah mulai terbawa ke dalam

masyarakat sipil Mesir. Kebijakan itu menyebabkan masyarakat Mesir

terbelah menjadi dua kubu yang saling berbenturan sehingga membuat

jalan Militer Mesir untuk melakukan kudeta dengan upaya untuk

menjaga persatuan dan keamanan negara Mesir.

2. Gagalnya pelembagaan politik di masa transisi, khususnya pada saat

Muhammad Mursi berkuasa di Mesir. Kegagalan itu disebabkan oleh

empat faktor yaitu pertama, tidak bisanya lembaga politik Mesir di

114

masa Mursi menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Kedua,

tidak tercipta lembaga yang kompleksitas dalam menghadapi tantang

dan permintaan dari perubahan masyarakat berserta komunitas politik

Mesir. Ketiga, tidak adanya lembaga politik Mesir di masa Mursi yang

memiliki otonomi sendiri sehingga membuat beberapa lembaga politik

dikendalikan oleh lembaga yang lain. Dan keempat, tidak adanya

keterpaduan atau kesatuan di dalam lembaga politik Mesir,

3. Tidak adanya dukungan pemerintahan atau komunitas Internasional

terhadap peristiwa kudeta yang terjadi di Mesir. Hal itu terjadi karena

kebijakan luar negeri Mesir di masa Mursi lebih berpihak pada

kalangan Islam dan Palestina, sehingga Negara-negara pendukung

Israel, khususnya Amerika Serikat merasa terancam atas segala

kepentingannya yang ada di Mesir dan membuat Amerika bersikap

ganda terhadap keadaan yang terjadi di Mesir. Terutama pada kasus

pengkudetaan pemerintah Mursi. Ketiga hal itu menjadi penyebab

dasar dari kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.

B. Saran

Kajian-kajian dalam analisa kejatuhan pemerintah demokrasi atau pun

sebaliknya telah cukup banyak di dalam khazannah ilmu politik. Penelitian ini

juga menjadi bagian dari hal tersebut. Melihat apa yang ada dalam penelitian

ini dan perkembangan dunia poltik khususnya kajian dalam ranah institusi

politik dan kejatuhan rezim yang besifat dinamis. Meyakini bahwa penelitian

115

ini bisa dikembangkan lebih mendalam dan diekspor lebih jauh lagi. Variable-

variable yang masih banyak dalam kajian tersebut menjadikan dasar dan saran

untuk para penelitian lain yang mencoba menggali dan meneliti sebuah proses

kejatuhan pemerintahan. Melihat kasus kejatuhan dan perkembangan dunia

penelitian ini akan selalu tetap dan sesuai untuk membahas kasus-kasus

kejatuhan pemerintahan atau rezim di masa yang akan datang.

Penulis juga menyarankan bagi para penelitian yang mencoba mengkaji

kasus yang sama akan lebih baik jika para penulis lain menggunaka metode

wawancara kepada ahlinya untuk mendapatkan jawaban dan hasil penelitian

yang lebih baik dari penelitian ini. Pembahasan secara literatur dan

pemahaman para ahli dalam menjelaskan fenomena kasus ini akan

memperkaya penelitian-penelitian lainnya yang memiliki tema sama.

Eksporasi yang dalam pada data-data penelitian akan memberikan hasil yang

baik untu penelitaian selanjutnya dan bisa menjelaskan secara komperensif

dari penelitian ini.

116

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi. Jakarta:

LP3ES, 1988.

Bannerman, J. P. Islamic in Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and

Law. New York: Routledge, 1988.

Basyar, M Hamdan. Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki,

dan Israel. Jakarta: UI Press, 2015.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2010.

Clevend, William L dan Martin Buton. A Histroy of The Modern Middle East.

Boulder: Westview Press, 2013.

Cook, Steven A. The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square Oxford

University Press: New York, 2012.

Huntington, Samuel P. Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa.

Penerjemah Sahat Simamora Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif. Jakarta: Erlangga, 2009.

Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (KomNasKDM).

Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir.

Jakarta: KomNasKDM, 2014.

Lust, Ellen ed., The Middle East. Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014.

117

Mainwaring, Scott dan Anibal Perez-Linan. Democracies and Dictatorships In

Latin America. New York: Cambridge University Press, 2013.

Marsh, David dan Gerry Stoker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.

Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah. Bandung: Nusa Media, 2010.

Marsot, Afaf Lutfi Al-Sayyid. A Short History of Modern Egypt. Cambridge:

Cambridge University Press, 1985.

Mitchell, Richard P. The Society of the Muslim Brothers. New York: Oxford

University Press, 1993.

Nadj, E. Shobirin ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi

Nasional: Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 2003.

Ochsenwald, William dan Sydney Nettleton Fisher. The Middle East a History.

New York: McGraw-Hill, 2004.

O‟Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian

Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore:

The Johns Hopkins University Press, 1986.

Palmer, Monte. The Politic Of The Middle East. Belmont CA: Thomson

Wadsworth, 2012.

Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4th ed. Jakarta: Balai

Pustaka, 1976.

Rhodes, Rod. Understanding Governance. Buckingham: Open University Press,

1997.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 2001.

118

Sahdan, Gregorius. Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto. Bantul: Pondok

Edukasi, 2004.

Stewart, Dona J. The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural

Perspective, 2nd ed. New York: Routledge, 2013.

JURNAL DAN KARYA ILMIAH :

Baderan, Suprisno. “Pola Transisi Demokrasi yang Terjadi Di Indonesia dan

Brasil.” Farabi 11 (Juni 2014): 43-44.

Brown, Nathan J. “Tracking The Arab Spring: Egypt‟s Failed Transition.”

Journal of Democracy 24 (Oktober 2013): 47-48.

Hidriyah, Sita. “Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di

Mesir.” Hubungan Internasional 4 (Juli 2012): 5.

Haimerl, Maria. “The Supreme Constitusional Court of Egypt (SCC) After

Mubarak: Rethinking The Role of An Established Court In An

Unconstitutional Setting.” In The ECPR General Conference Glasgow,

Glasgow 3-6 September 2014 (Glasgow: The ECPR, 2014), 1-2.

Hungtinton, Samuel P. “Democracy‟s Third Wave.” Journal of Democracy 2

(Mei 1991): 12.

Kapstein, Ethan B dan Nathan Converse. “Why Democracies Fall.” Journal of

Democracy 19 (Oktober 2018): 57-58.

Martin, Ali. “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia

Ditengah Demokrasi Pasar.” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.

119

Mushlih, Amri dan Hurriyah. “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi

Mesir Tahun 2011-2013.” politik 2 (Agustus 2016): 51.

Prameswari, Rosy. “Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penggulingan

Muhammad Mursi Di Mesir Tahun 2013.” Jurnal Hubungan Internasional

3 (2015): 361-362.

Ramly, Linda Nur dan Rr. Terry Irenewaty, “Kebijakan Muhammad Mursi

sebagai Presiden Mesir (2012-2013),” Socia 12 (September 2016): 96-97.

Rofiq, Atep A. “Melacak Dinamika Sipil-Militer Pasca Revolusi Mesir.” Salam 2

(Juni 2015): 104.

Zada, Khamami. “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan

Afrika Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 69.

WEBSITE :

Ahram Online. “English Text of Morsi‟s Constitutional Declaration,” artikel

diakses pada 20 April dari https://english.ahram.org.eg/News/58947/

Al Jazeera English. “Egypt‟s Morsi says he will not step down-Middle East,”

artikel diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/07/20137222343142718

.html.

BBC. “Egyptian President Mursi Reverses Paliament Dissolution,” artikel diakses

pada 20 April 2018 dari https://www.bbc.com/news/world-middle-east-

18761403

120

Carter Center. “Presidential Election in Egypt: Final Report May – June 2012,”

artikel diakses pada 19 April 2018 dari

https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/elect

ion_reports/egypt-final-presidential-elections-2012/

Daily News Egypt. “National Salvation Front and Tamarrod call on Army to

Intervene,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari

http://www.dailynewsegypt.com/2013/07/03/national-salvation-front-and-

tamrrod-call-on-army-to-intervene/

Freedom House. “Egypt,” artikel diakses pada 20 Maret 2018 dari

https://freedomhouse.org/report/freedom-

world/2009/egypt?page=22&year=2009&country=7601

Farooq, Umar. “Seeking New Leadership, Millions of Egyptians Take to the

Streets,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.theatlantic.com/international/archive/2013/06/seeking-new-

leadership-millions-of-egyptians-take-to-the-streets/277419/

Fisher, Max. “Egypt‟s constitutional crisis, explained as a simple timeline,” artikel

diakses pada 20 April 2018 dari

https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2012/12/06/egypts

-constitutional-crisis-explained-as-a-simple-timeline/

“Government and Society Egypt,” arikel diakses pada 7 September 2017 dari

https://www.britannica.com/place/Egypt/Government-and-society

Kirkpatrick, David D dan Mayy El Sheikh. “Citing Deadlock, Egypt‟s Leader

Seizes New Power and Plans Mubarak Retrial,” artikel diakses pada 20

121

April 2018 dari

https://www.nytimes.com/2012/11/23/world/middleeast/egyptspresidentm

orsigiveshimselfnewpowers.html.

“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21

November 2015 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-

jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi

“Pemilu Pertama Mesir Pasca Mubarak Digelar,” artikel diakses pada 20

November 2015 dari

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/11/111128_egyptpoll.shtml

Setyawan, Eko Huda. “Militer Cabut Konstitusi Mesir, Istana Presiden

Dikepung,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari

https://global.liputan6.com/read/629765/militer-cabut-konstitusi-mesir-

istana-presiden-dikepung

Susilo, Mohamad. “Setelah Demo Besar Antipemerintah di Iran, Sulit

Memastikan Apa Yang Akan Terjadi Namun Rakyat Sudah Bersuara,”

artikel diakses pada 2 Pebruari 2018 dari

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42604143

The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Egypt Uprising of 2011,” artikel

diakses pada 20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/event/Egypt-

Uprising-of-2011

The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Transition to an elected government,”

artikel diakes pada 20 Maret 2018 dari

https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-regime#ref308469

122

The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Unrest in 2011,” artikel diakes pada 20

Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-

regime#ref308469

Watson, Ivan. “Court Overrules Egypt „s President on Parliament,” artikel diakses

pada 20 April 2018 dari

https://edition.cnn.com/2012/07/10/world/meast/egypt-politics/index.html.

WD. “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21

November 2015 dari

https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-

presiden-mesir-digulingkan