Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan...
Transcript of Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan...
Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan
Muhammad Mursi di Mesir Pada Tahun 2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos.)
Oleh
AZHIIM PONTOH
NIM: 1111112000094
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
iv
ABSTRAKSI
Azhiim Pontoh
Studi Institusionalisme: Analisis Kejatuhan Pemerintahan Muhammad Mursi di
Mesir Tahun 2013
Arab Spring 2011 telah membawa angin perubahan politik di seluruh wilayah
Timur Tengah dan Afrika Utara. Berawal dari gejolak di negara Tunisia,
gelombang itu mulai merambah negara Mesir dan menjatuhkan rezim militer yang
telah lama berkuasa di sana. Kejatuhan Mubarak menjadi jalan masuknya transisi
demokrasi di negara Mesir. Mubarak menyerahkan seluruh urusan kepada SCAF
(Dewan Tertinggi Militer Mesir) untuk menjalankan roda pemerintahan dan
menyukseskan transisi demokrasi. Ikhwanul Muslimin melalui sayap politiknya
Partai Keadilan mampu memenangi pemilu parlemen dan menempatkan kader
terbaiknya Mursi sebagai Presiden Mesir dalam pilpres yang dipilih secara
langsung. Keberhasilan dalam pesta demokrasi, tidak menjadi jaminan bagi
pemerintahan Mursi dengan Ikhwanul Muslimin mampu bertahan dan
menjalankan tugasnya sampai masa jabatan terakhirnya. Kudeta militer
mengakhir kekuasaan Mursi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kejatuhan
pemerintahan Mursi memunculkan sebuah pertanyaan mendasar mengapa
pemerintahan yang telah terpilih secara demokratis dan menguasai kekuatan
parlemen namun tidak mampu bertahan lama, hingga harus berakhir dalam proses
kudeta militer.
Menjawab pada permasalahan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode
kualitatif dengan analisa studi pustaka terhadap beberapa literatur-literatur yang
relevan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses
dan penyebab dari kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir pada tahun 2013.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perubahan rezim,
teori transisi demokrasi, dan teori institusional.
Penelitian ini berhasil menjawab bagaimana proses dan penyebab kejatuhan
pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Semua berawal dari tidak terbentuknya
persatuan di dalam pembentukan anggota Majelis Konstituen yang membawa
pada pembubaran parlemen dan penguatan SCAF oleh Mahkamah Konstitusi
Mesir. Proses itu diakhir oleh dekrit presiden yang menyebabkan konflik di
kalangan masyarakat. Menghidupkan kembali gerakan demonstrasi (Gerakan
Tammarod) dan ditutup dengan aksi kudeta militer. Penyebab kejatuhan
pemerintahan Mursi disebabkan oleh kebijakan yang radikal di dalam dekrit
presiden dan konstitusi baru Mesir, gagalnya pelembagaan politik dan tidak
adanya dukungan atau simpati dunia Internasional (khususnya Amerika Serikat)
terhadap pemerintahan Mursi sehingga menganggap proses kudeta yang terjadi
dianggap sebagai proses politik yang biasa.
Keywords: Revolusi Arab Spring 2011, transisi demokrasi, perubahan rezim,
SCAF, Pemerintahan Mursi, Konstitusi 2012, Dekrit Presiden
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan karunia, ilham serta inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Rasul Allah, junjungan Nabi
besar kita Muhammad SAW, orang yang paling dicintai Allah beserta sahabat dan
keluarganya, semoga kita bisa mendapat syafaat di hari akhir nanti. Amin ya
Robbal ‘alamin.
Rasa syukur, keberkahan dan kebahagian yang tidak terhingga dan tidak
ternilai bagi peneliti adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada banyak
pihak yang telah mendukung dan memberikan dukungannya kepada peneliti baik
berupa doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati, izinkan
peneliti untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
2. Dr. Iding Rosyidin, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik.
3. Suryani, M.Si sebagai sekertaris Program Studi Ilmu Politik
4. Dr. Sirojuddin Aly, MA sebagai Dosen Pembimbing yang selalu
memberi masukan-masukan yang berharga dan selalu meluangkan
waktu sibuknya untuk peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
5. Bapak Medhi Utomo dan Ibu Elly K.H, orang tua peneliti yang sangat
peneliti cintai. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa dan
perjuang bapak dan ibu untuk putranya ini mendapatkan gelar Sarjana.
Skripsi dan gelar ini dipersembahkan untuk kalian dan mungkin ini
hanya kebanggaan kecil yang bisa peneliti berikan. Doakan terus agar
anakmu ini dapat memberikan kebahagian-kebahagian lainnya yang
lebih besar.
6. Kedua adik peneliti, Ainan Salsabila dan Muhammad Akbar yang sudah
memberikan support berupa dukungan moril. Terima kasih sudah
menjadi Adik yang terbaik.
7. Sahabat sekaligus keluarga selama kuliah di UIN, semua teman-teman
di Prodi Ilmu Politik 2011, Roni Yuliansyah, Ahmad Sidik Wibowo,
Ahmad Haerudin, Koento P. N. Irianto, Romlih, Fadlyansyah Taher,
Ken Anggara Caesar, Riska Zakiyah, Annisa Hidayati, Fadly Noor,
Aulia Akbar, Wiky Yasinta Dewi, Happy Kurnia, Layla Rizky, Fahreza
Rizki, Alfi Syahrin yang sudah menjadi sahabat terbaik selama menjadi
mahasiswa di UIN. Terima kasih sudah menjadi tempat berbagi cerita
keluh-kesah sedih dan bahagia bersama.
8. Sahabat sekaligus keluarga selama kuliah dan belajar berpolitik praktis
di IMM UIN Ciputat, Reza, Alfi, Iqbal, Hadi, Berly, Rusli, Tika, Devi,
Sofi, Ruhul, Bogel, Angga, Moge, Fikri Bum, Fikri Saintek, Farhan, Ali,
Bang Faiz, Bang Imad, Bang Tole dan seluruh keluarga besar IMM
Ciputat yang telah menjadi sahabat terbaik selama peneliti menjadi
vi
mahasiswa di UIN. Terima kasih sudah menjadi tempat berbagi ide
berserta gagasan tentang politik dan bangsa, juga cerita keluh-kesah
sedih, bahagia bersama-sama.
9. Sahabat sekaligus keluarga Katalis 2015, Rizal, Haris, Pane, Saul, Fadil,
Fatmia, Dina, Putri, Bila, Ulu, Tasya, Mia dan Nenden, terima kasih
telah memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
10. Sahabat dan keluarga FISIP Reza Rahmat Ramadhan, Bang Mudhari,
Bang Amin, Bang Ferdian, Guntur, Cahyo, Adi, Riza,Yuni, Kim dan
seluruh keluarga besar FISIP UIN terima kasih telah memberikan
semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas
support yang diberikan baik berupa doa, moril maupun materil sehingga
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah
membalas kebaikan mereka. Peneliti membuka ruang kritik yang seluas-luasnya
demi perbaikan sehingga mampu memperkaya khazanah keilmuan dalam Ilmu
Politik.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 4 Juni 2018
Azhiim Pontoh
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI………………………………………………………………… vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 14
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 15
E. Metode Penelitian ..................................................................... 19
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 21
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Perubahan Rezim ............................................................ 23
B. Teori Transisi Demokrasi ......................................................... 27
1. Pengertian Transisi Demokrasi ………………………….. 27
2. Bentuk-Bentuk Transisi Demokrasi ……………………... 30
3. Proses dan Tahapan Transisi Demokrasi …………………32
C. Teori Institusional (Kelembagaan) ........................................... 41
BAB III DINAMIKA PERPOLITIKAN MESIR 1920-2011
A. Politik Negara Modern Mesir ................................................... 51
B. Pemerintahan Mesir Pra dan Pasca Kudeta Militer
(Revolusi) 1952 ........................................................................ 58
C. Pemerintahan Mesir di Masa Husni Mubarak…………….......68
BAB IV INSTITUSI POLITIK MESIR
DI MASA TRANSISI DEMOKRASI 2011-2013
A. Mesir Baru…………………………………………………….76
viii
1. Revolusi Arab Spring……………………………………….78
2. SCAF dan Transisi Demokrasi……………………………...86
3. Pemilu Demokratis dan Kebangkitan Partai Islam …………88
B. Konflik dalam Pemerintahan Muhammad Mursi
di Mesir Tahun 2013 ……………………………………….......90
1. Konflik Antar Lembaga Pemerintahan ……………………..91
2. Konstitusi Baru (Islam) …………………………………….94
3. Kudeta Militer 3 Juli………………………………………..98
C. Analisis Kejatuhan Pemerintahan Mursi
di Mesir Tahun 2013…………………………………………..100
1. Kebijakan yang Radikal……………………………….......101
2. Kegagalan Pelembagaan Politik di Masa Transisi…….......103
3. Pengaruh Dunia Internasional…………………………….108
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 111
B. Saran ......................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 116
ix
DAFTAR TABEL
Tabel II.B.1 Titik Perbedaan Pandangan Tentang
Istilah dalam Transisi Demokrasi................................................ 31
Tabel II.B.2 Tipe-Tipe Transisi dari Otoritarianisme
ke Demokrasi yang Melibatkan Para Pemimpin Rezim….......... 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Di dalam setiap negara, institusi atau lembaga politik memainkan peran penting
dalam menjalankan setiap roda pemerintahan dan politik. Hal ini dapat dilihat dari
negara-negara maju atau berkembang, menggunakan lembaga politik-nya sebagai
proses menjalankan setiap urusan negara.
Lembaga-lembaga politik itu terbagi menjadi tiga bentuk kekuasaan yang
memiliki fungsi dan kewenangannya masing-masing. Di dalam negara yang
menganut sistem demokrasi, lembaga-lembaga politik terdiri atas lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif, sesuai dengan asas Trias Politika.1 Negara Mesir yang sangat
disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. Terutama pada keagungan situs bersejarah
Piramida Giza dan keindahan sungai Nil. Dua pesona itu, tidak menghilangkan
pesona Mesir di dalam kehidupan politiknya. Keadaan politik, serta keadaan sosial
Mesir selalu memberikan gambaran keindahan dan daya Tarik yang tidak dapat
ditinggalkan bagi setiap ilmuwan sosial dan politik di dunia. Berbicara tentang politik,
terutama di dalam cakupan lembaga politik yang terdapat di Mesir, sangat menarik
1Gagasan tentang trias politika berakar dari dua orang filsuf yang berasal dari Perancis
(Montesquieu) dan Inggris (John Locke), yang diartikan sebagai pemisahan atau pembagian kekuasaan
negara menjadi tiga. Ketiga kekuasaan itu, terdiri dari kekuasaan eksekutif berfungsi untuk
menjalankan undang-undang, kekuasan legiskatif berfungsi untuk membuat undang-undang dan
kekuaasan yudikatif berfungsi untuk mengadili pelanggaran undang-undang. (lihat, Miriam Budiardjo,
Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, [Jakarta: Gramedia, 2010], 281-287).
2
untuk dikaji dan diteliti. Apalagi jika dihubungkan dengan keadaan situasi Mesir
akhir-akhir ini.
Negara Mesir dalam dekade ini telah mengalami jatuh bangun pemerintahan
sebanyak dua kali. Terutama pasca terjadinya Revolusi Arab Spring yang melanda
setiap negara di Afrika Utara dan Timur Tengah. Revolusi Arab Spring berawal dari
kekecewaan pemuda yang bernama Mohamed Bouazizi terhadap pemerintah Tunsia
yang tidak mau mendengarkan keluhannya. Sikap kekecawaanya berawal dari
perilaku polisi yang bertindak arogan terhadap pengambilan paksa gerobak dagangan
buahnya, yang menjadi sumber penghasilannya. Terhadap perilakuan tersebut,
membuat Bouazizi untuk mencari keadilan dengan menyampaikan kekecewaannya
terhadap pemerintah daerah setempat. Kekecewaan Bouazizi semakin bertambah
besar, ketika aspirasinya tidak didengar oleh pemerintah daerah setempat. Berdasar
pada perilakuan pemerintah yang tidak peduli terhadap nasib rakyatnya, membuat
Bouazizi bertindak nekat untuk membakar dirinya di depan gedung pemerintah
daerah setempat. Tindakan heroik yang dilakukan oleh Bouazizi, memunculkan
semangat solidaritas di masyarakat Tunisia, untuk turun ke jalan dan melakukan
demonstrasi. Ditambah dengan berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi
yang telah melanda Tunisia sehingga membuat masyarakat melakukan demonstrasi,
3
yang pada akhirnya meminta presiden Ben Ali untuk mundur.2 Gerakan itu yang pada
akhirnya disebut Revolusi Melati.3
Pasca tumbangnya rezim otoriter di Tunisia. Sekjen Liga Arab Amir Moussa
pernah memberikan sebuah pidato peringatan terhadap para penguasa di Timur
Tengah untuk berhati-hati terhadap kemarahan rakyat di Timur Tengah yang dapat
memicu revolusi seperti yang terjadi di Tunisia. Amir Moussa juga menyebutkan
bahwa kemarahan yang memuncak pada masyarakat Timur Tengah disebabkan oleh
pengangguran, kemiskinan, dan resesi. Pesan itu dia sampaikan saat membuka
Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Sharm EL-sheikh, Mesir tanggal 19 Januari
2011.4
Tidak perlu menunggu waktu lama semangat revolusi di Timur Tengah tidak
padam. Bahkan untuk yang kedua kalinya semangat Revolusi Arab Spring memakan
korban. Tidak tangggung-tanggung, negara setelah Tunisia dan rezim Ben Ali yang
mengalami gejolak politik ini adalah Mesir. Negara yang memiliki pengaruh dan
kekuatan terkuat di kawasan Arab dan Afrika Utara, selain kerajaan Arab Saudi.
Tepat pada tanggal 25 Januari 2011, sejumlah pemuda dan masyarakat Mesir
berkumpul di pusat kota Kairo yang bernama Tahrir Squere untuk melakukan aksi
protes terhadap pemerintahan Husni Mubarak. Selama delapan belas hari demonstrasi
tidak mengalami penurunan, bahkan terus mengalami peningkatan jumlah dalam
2William L. Clevend dan Martin Buton, A Histroy of The Modern Middle East (Boulder:
Westview Press, 2013), 524. 3Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural Perspective,
2nd
ed. (New York: Routledge, 2013), 259. 4Khamami Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan Afrika
Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 69.
4
melakukan aksi demonstrasi penentangan terhadap rezim Mubarak. Pada tanggal 11
Pebruari 2011, pemerintahan Husni Mubarak berhasil ditumbangkan dengan sebuah
pidato pengunduran diri-nya.5 Tumbangnya Mubarak yang telah berkuasa dari tahun
1980 sampai tahun 2011, maka bersama dengan itu mengakhiri sebuah sistem otoriter
yang telah berkuasa cukup lama di negara Mesir dari tahun 1952 melalui revolusi
yang dilakukan oleh kelompok Nasser (Free Officer).
Kejatuhan pemerintahan Mubarak menyebabkan Mesir memasuki era transisi
politik. Sebelum kejatuhan Mubarak, Mesir berada pada kekuasaan sistem otoriter
yang cukup lama menguasai pemerintahan dan kehidupan masyarakat Mesir.
Berakhirnya pemerintahan Mubarak diharapkan ada sebuah perubahan pada sistem
pemerintahan di Mesir dari yang bersifat otoriter menjadi lebih demokrasi.
Perubahan ini dimulai dengan diadakan pemilu yang demokratis untuk pertama
kalinya di negara Mesir. Pemilu pasca Mubarak dilaksanakan dalam tiga tahapan:6
1. Masyarakat Mesir memilih anggota Dewan Rakyat (Majelis Rendah)
yang berjumlah 508 yang dilaksanakan pada 28 November - 10 januari
2012,
2. Masyarakat Mesir memilih anggota Majelis Shura (Majelis Tinggi) yang
berjumlah 207 dan dilaksanakan pada 29 Januari – 11 Maret 2012,
3. Masyarakat Mesir memilih Presiden Mesir pada pertengahan 2012.
5Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 525.
6“Pemilu Pertama Mesir Pasca Mubarak Digelar,” artikel diakses pada 20 November 2015
dari http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/11/111128_egyptpoll.shtml
5
Ketiga tahapan ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan sementara
Mesir yang dipimpin oleh Jenderal Tantawi.
Keadaaan ini terjadi ketika tumbangnya rezim Mubarak, maka tampuk
kekuasaan eksekutif menjadi kosong. Supaya tidak terjadi kekosongan pemerintahan,
maka Mubarak harus menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada militer. Diharapkan
militer mampu menjalankan roda pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu
secepatnya untuk menghasilkan pemrintahan yang baru, serta untuk meredakan para
demonstran di Mesir. Pemberian kekuasaan pada militer memberikan alasan yang
cukup jelas, bahwa ketika rezim otoriter Mubarak di Mesir berkuasa, militer menjadi
bagian terpenting di dalam kesuksesaan sebuah rezim. Bahkan sesungguhnya militer
adalah kekuatan kelima terpenting di dalam membentuk dan mempertahankan
kekuasaan rezim Mubarak di Mesir. Kebanyakan penasehat tertinggi Mubarak berasal
dari kalangan militer. Bukan hanya itu, keberadaan militer di rezim Mubarak telah
sangat menggurita, dari kantor kepresidenan sampai tingkat terendah pemerintahan
semuanya dikuasai oleh militer.7 Selain alasan tersebut, ada alasan lain ditunjukannya
militer menggantikan Mubarak dalam kekuasaan. Alasan tersebut ialah, posisi netral
yang diambil oleh militer saat Revolusi 2011 Arab Spring di Mesir. Selama
demonstrasi berlangsung militer menyerukan kepada jajarannya untuk tidak
menggunakan kekerasan dan kekuatan bersenjata untuk menghadapi para demonstran.
7Monte Palmer, The Politic Of The Middle East (Belmont CA: Thomson Wadsworth, 2012),
76.
6
Ditambah lagi militer juga memyediakan pembatas fisik di antara para demonstran
dan pihak kepolisian yang menjadi pendukung dari rezim Mubarak.8
Penjelasan itu membuktikan, bahwa lebih dari 30 tahun pemerintahan
Mubarak berkuasa dari tahun 1980 sampai 2011 militer telah lama berada pada
pusaran politik Mesir. Keterlibatan Militer Mesir dalam politik, bahkan telah terjadi
ketika Militer Mesir berhasil menggulingkan pemerintahan Raja Faruq yang telah
berkuasa di Mesir dari tahun 1936 sampai dikudeta tahun 1952.9 Kekuasaan militer
telah cukup lama menggurita di dalam kehidupan politik Mesir.
Kekuasaan raja Faruq pun harus berakhir ditangan kelompok militer yang
menyatakan sebagai Free Officers10
(Perwira-Perwira Bebas). Kelompok ini dipimpin
oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser yang juga mendapat dukungan dari Jenderal
Muhammad Naguib.11
Lengser-nya Raja Faruq dari tampuk kekuasaan Mesir maka
berakhirlah kekuasaan Asing di negara Mesir, sehingga militer menguasai penuh
jalannya pemerintahan.
Keberhasilan Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) dalam melengserkan
Raja Faruq dari kekuasaan, juga mendapat bantuan dari kelompok-kelompok Islam
8J. Stewart, The Middle East Today, 261.
9Ellen Lust, ed., The Middle East (Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014), 448.
10Free Officer (Perwira Bebas) adalah gerakan kelompok militer yang saat itu memiliki
pemikiran dan cara pandangan politik yang berbeda dari yang lain. Mereka tidak terlibat atau ikut serta
dengan kelompok-kelompok yang mendukung pemerintahan yang masih dikendalikan oleh Kerajaan
Inggris (walaupun negara Mesir telah mendapat kemerdekaan, namun terkadang pemerintah Kerajaan
Inggris masih ikut campur dalam urusan dalam negeri Mesir). Ditambah dengan bentuk pemerintahan
yang korup membuat pemerintahan Raja Faruq dibenci dan tidak disukai oleh masyarakat dan
kalangan militer, terutama Kolonel Gamal Abdul Nasser. 11
William Ochsenwald dan Sydney Nettleton Fisher, The Middle East a History (New York:
McGraw-Hill, 2004), 585-587.
7
yang menentang Pemerintahan pada masa itu. Kelompok-kelompok Islam ini,
diantaranya ialah kelompok Ikhwanul Muslimin.12
Bukan hanya kelompok-kelompok
Islam mendukung militer, tetapi kalangan militer juga mendukung gerakan
kelompok-kelompok Islam tersebut. Dukungan dari kalangan militer ini, diberikan
langsung oleh pemimpin gerakan Free Officers (Pewira-Pewira Bebas), yaitu Kolonel
Gamal Abdul Nasser.13
Keharmonisan kelompok militer dengan Ikhwanul Muslimin tidak
berlangsung lama. Ketika Raja Faruq diturunkan pada tahun 1952, dan militer
mengambil alih kekuasaan pemerintahan, saat itu hubungan Ikhwanul Muslimin
dengan kalangan militer mulai memanas. Hal ini disebabkan oleh percobaan
pembunuhan terhadah Nasser yang dilakukan oleh kalangan Ikhwanul Muslimin.
Keadaan itu terus menerus menjadi tidak harmonis, tepat tahun 1954 Gamal Abdul
Nasser menggunakan lembaga RCC (Revolutionary Command Council) atau yang
dikenal sebagai Dewan Pusat Revolusioner, untuk membungkam kelompok Ikhwanul
Muslimin.14
Dewan Pusat Revolusioner (RCC) adalah lembaga yang dibentuk oleh
kelompok Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) untuk menjalankan pemerintahan
Mesir pasca kudeta terhadap Raja Faruq dan pemerintahan parlementernya. Dewan
Pusat Revolusioner (RCC) juga berperan sebagai lembaga eksekutif (pemerintah)
pasca kudeta. Lebih dari itu, Dewan Pusat Revolusioner juga bertugas sebagai
12
Ochsenwald dan Fisher, The Middle East a History, 586-587. 13
Lust, The Middle East, 453. 14
Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 285.
8
lembaga legislatif di Mesir setelah lembaga legislatif (parlementer) dibubarkan dan
menetapkan negara Mesir menjadi republik menggantikan sistem monarki.
Pembubaran lembaga legislatif dikarenakan lembaga tersebut pada waktu itu hanya
sebagai bentuk dominasi Negara Asing (Inggris) di Mesir. Semua Kebijakan-
kebijakan itu dibuat dan diterapkan pada tahun 1953. Bersama dengan itu juga,
Dewan Pusat Revolusioner melarang partai-partai politik untuk aktif dan bermain di
dalam perpolitikan Mesir saat itu. Dewan Pusat Revolusioner (RCC) juga menghapus
sistem politik lama dan mengganti Konstitusi Mesir tahun 1923 dengan konstitusi
yang baru.15
Berkuasannya militer melalui lembaga Dewan Pusat Revolusioner
(RCC), maka saat itu negara Mesir memasuki pemerintahan rezim militer yang lebih
mengutamankan lembaga eksekutif dalam menjalankan kekuasaannya.
Di era-Nasser berkuasa di Mesir, Dewan Pusat Revolusioner (RCC) menjadi
lembaga pemerintah yang tidak memiliki lawan (kelompok oposisi). Nasser sebagai
Presiden Mesir membuat lembaga eksekutif tidak terganggu dan dapat membawa
negara Mesir menuju pemerintahan yang demokrasi dan mengujudkan kesejahteraan
bagi masyarakat Mesir. Tujuan Revolusi 1952 adalah untuk menciptakan
pemerintahan independen (yang tidak lagi diatur oleh negara asing), serta
pemerintahan yang tidak korup dan menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Keberhasilan dari tujuan ini bisa dicapai dengan membuat partai politik yang dapat
dikontrol oleh pemerintah khususnya Dewan Pusat Revolusioner (RCC). Perserikatan
15
Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 283-284.
9
Sosialis Arab (ASU16
) adalah jawaban atas permasalahan ini, dengan menggunakan
Perserikatan Sosialis Arab yang digagas oleh Nasser, maka ia dan pemerintahannya
mampu membuat partai politik yang dapat dikontrol oleh pemerintahan Mesir juga.
Perserikatan Sosial Arab, selain berfungsi sebagai partai politik juga berperan sebagai
penangkal gerakan-gerakan anti revolusi, seperti pemilik tanah yang luas, kaum
Komunisme, dan Ikhwanul Muslimin.17
Kekuasaan lembaga eksekutif yang tercermin dari lembaga Dewan Pusat
Revolusioner (RCC) tetap kuat, bahkan setelah Nasser tidak lagi berkuasa di Mesir.
Anwar Sadat adalah wakil presiden dari Nasser ketika ia masih berkuasa, tetapi pasca
pembunuhan terhadap Gamal Abdul Nasser tahun 1970. Anwar Sadat ditetapkan
sebagai pengganti Nasser, untuk memimpin negara Mesir. Di masa Sadat, negara
Mesir masih berada dalam pemerintahan yang otoriter dan dikuasai oleh kalangan
militer. Sadat juga termasuk anggota penting dari kelompok Revolusi 1952, yaitu
anggota dari Free Officers (Perwira-Perwira Bebas). Sadat juga berjanji akan
memberikan masyarakat Mesir pemerintahan yang demokrasi dengan membentuk
dan mengijinkan berdirinya partai-partai politik. Di antara pemberian izin itu, ialah
dengan mengaktifkan dan mengembalikan Partai Wafd untuk berpartisipasi di dalam
kehidupan politik Mesir tahun 1977.18
16
ASU adalah singkatan dari The Arab Socialist Union 17
Palmer, The Politic Of The Middle East, 54. 18
Palmer, The Politic Of The Middle East, 59-62.
10
Partai Wafd adalah satu dari beberapa partai yang dilarang di masanya Nasser
berkuasa.19
Walaupun Sadat berjanji memberikan pemerintahan yang demokrasi
dengan mengijinkan banyak partai yang berpartisipasi dalam kehidupan politik Mesir,
namun pada kenyataannya Sadat tetap mengontrol partai-partai tersebut dengan Partai
Nasional Demokrasi (NDP20
) yang dibentuk oleh Sadat sendiri.21
Pemerintahan Sadat
yang berkuasa selama 10 tahun, tetap menunjukan kekuasaan eksekutif sangat
dominan dari lembaga-lembaga yang lain.
Terbunuhnya Sadat di tahun 1981 oleh aksi kelompok fundamental Islam,
membuat Mesir memasuki era pemerintahan Husni Mubarak yang juga merupakan
anggota militer dan akan berkuasa lebih lama dari kedua pendahulunya. Di-era
Mubarak, Mesir kembali memiliki lembaga legislatif yang berfungsi, setelah lama
absen. Bersamaan kembali-nya lembaga legislatif di Mesir, pemilu kembali hadir
pula dikalangan masyarakaat Mesir. Tahun 1984 adalah pemilu pertama setalah
Revolusi 1952. Mubarak juga merubah sistem politik Mesir, dengan perubahan yang
terjadi di dalam lembaga eksekutif Mesir. Ia mulai menunjuk Perdana Menteri untuk
membantu tugas-tugasnya menjalankan pemerintah Mesir.22
Adanya Perdana Menteri
tidak merubah kekuasaan Mubarak atas pemerintahan Mesir. Ini terbukti dari calon
yang diajukan oleh parlemen di Mesir tetap saja calonnya hanya satu, yaitu Mubarak.
Hal ini bisa terjadi karena aturan yang diberlakuan oleh pemerintah Mesir, yang
19
Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 284. 20
NDP adalah singkatan untuk National Democratic Party. 21
Palmer, The Politic Of The Middle East, 63. 22
Palmer, The Politic Of The Middle East, 63-73.
11
menyerahkan nama calon presiden kepada parlemen, dan parlemen pun juga selalu
dikuasai oleh Partai Nasional Demokrasi (NDP) yang merupakan partai pendukung
rezim Mubarak di Mesir. Perubahan besar terjadi pada bulan Mei tahun 2005 ketika
Mubarak membuat sebuah peraturan yang mengejutkan dengan mengijinkan adanya
calon lain selain diri-nya, tetapi hasilnya masih dapat diketahui bahwa Mubarak
tetaplah Firaunnya.23
Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang
bernama Revolusi 2011 Arab Spring.
Revolusi Arab Spring 2011 menghasilkan sebuah pemerintahan Mesir yang
lebih demokrasi dengan terpilihnya Muhammad Mursi pada pemilu presiden yang
diselengarakan pada 30 Juni 2012. Muhammad Mursi mengalahkan pesaingnya dari
kalangan militer dan pendukung rezim Mubarak, yaitu Ahmad Shafik dengan
perolehan suara 52% berbanding 46%.24
Mursi pun kemudian dilantik menjadi
presiden sipil pertama serta perwakilan dari kubu partai Islam di Mesir.25
Kemenangan partai Islam ternyata tidak membuat Mursi dapat bertahan lama
ditampuk kekuasaannya. Ini terbukti dari keadaan dan situasi politik yang terjadi di
Mesir pasca Revolusi Arab Spring 2011 yang tidak mengalami perbaikan. Keadaan
ini dipersulit dengan hubungannya terhadap para oposisi, yang mulai tidak setuju
terhadap kebijakan yang ia buat. Keadaan mulai menjadi panas, di saat militer mulai
ikut campur dalam urusan politik. Keterlibatan militer di dalam urusan politik mesir
23
J. Stewart, The Middle East Today, 157. 24
Ellen Lust, ed., The Middle East, 463. 25
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21 November
2015 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi
12
mengakibatkan pemerintahan Muhammad Mursi harus dikudeta dan mengakhir
pemerintahannya.26
Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi dipaksa untuk mengakhir
masa jabatannya ketika pengumuman pengambil alihan kekuasaan disuarakan oleh
Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi. Pada
pengumuman itu, Jenderal al-Sisi didampingi oleh Ulama Al-Azhar, Pemimpin
Kristen Koptik, Pemimpin kelompok oposisi Muhammad ElBaradei, pemimpin Partai
Islam Nour, dan tokoh gerakan Tamarod yang mengatur unjuk rasa di Lapangan
Tahrir. Penyebab Pemerintahan Mursi dianggap gagal dan dilengserkan melalui
militer, diantaranya adalah dominisasi kelompok Ikhwanul Muslimin terhadap seluruh
kekuasaan di Mesir, memburuknya keadaan ekonomi Mesir, Dekrit Presiden 22
November 2012, dan pelanggaran demokrasi dan HAM yang dilakukan oleh
pemerintah Mursi dan pendukungnya.27
Tumbangnya pemerintahan Mursi mengakhiri semangat demokrasi yang mulai
berhembus ke negara Mesir. Roda pemerintahan setelah as-Sisi menurunkan bosnya
sendiri dengan kekuatan militernya, selanjutnya urusan pemerintahan diberikan
kepada Ketua Mahkamah Agung sebagai Caretake.28
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, telah melihatkan bagaimana
militer berkuasa di Mesir, serta lembaga eksekutif menjadi lembaga yang sangat kuat
26
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” 27
WD, “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21 November 2015
dari https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-presiden-mesir-digulingkan 28
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,”
13
di Mesir. Pergantian kekuasaan di Mesir dari Mubarak ke Mursi awalnya diprediksi
akan memberikan harapan baru terhadap berkembangnya sistem demokrasi yang akan
berdampak pada kelembagaan politik di Mesir. Harapan itu ternyata tidak
berlangsung lama kerena pemerintahan Mursi tidak menstabilkan keadaan politik
namun hanya memperburuk keadaan politik di Mesir sehingga ia dan pemerintahanya
harus dikudeta oleh militer melalui persetujuan masyarakat Mesir. Keadaan ini
membuat lembaga politik menjadi di pertanyakan. Apa lagi dengan keadaan transisi
politik Mesir yang mulai kembali memberikan militer untuk berkuasa kembali di
lembaga eksekutif dan bahkan pada seluruh pemerintahan Mesir. Berdasarkan hal-hal
tersebut, penulis mencoba memunculkan sebuah pertanyaan penelitian mengenai
kelembagaan politik Mesir di masa transisi demokrasi, khususnya penyebab
kejatuhan pemerintahan Mursi di dalam pendekatan institusionalisme atau
kelembagaan.
B. Pertanyaan Penelitian
Dengan melihat pada latar belakang dan tema besar yang diangkat dalam
penelitian ini, maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah-masalah tersebut
ke dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kelembagaan politik Mesir pada masa transisi demokrasi
(pasca Revolusi Arab Spring 2011) ?
2. Apa faktor-faktor kejatuhan pemerintahan Muhammad Mursi di Mesir
tahun 2013 ?
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mendiskusikan kelembagaan politik Mesir di era transisi
demokrasi
b. Menjelaskan faktor-faktor kejatuhan pemerintahan Muhammad Mursi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Mengembangkan khazanah ilmu politik dengan memberikan kritik dan
masukan atas pemikiran lembaga politik yang telah berkembang dengan
menunjukkan kasus kelembagaan politik di dalam negara berkembang,
terutama pada masa transisi politik di negara Mesir. Semoga penelitian
ini dapat berguna dalam memgamati lembaga politik di masa transisi
demokrasi.
2) Penelitian ini diharapkan bisa memberikan jawaban alternatif atas
fenomena politik yang tidak dapat diteropong menggunakan studi
institusinalisme di dalam kelembagaan politik pada era transisi
demokrasi dan kejatuhan pemerintahan.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan data studi
mengenai institusionalisme dan transisi demokrasi di dalam politik
15
negara berkembang, khususnya lembaga politik dan berguna bagi
perkembangan kajian ilmu sosial dan politik.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa literatur yang digunakan penulis sebagai dasar pijakan
penelitian dan bantuan dalam analisa skripsi yaitu, Pertama, buku dari seorang
ahli perpolitikan Timur Tengah dan Hubungan Internasional, Steven A. Cook
yang berjudul “The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square”.29
Di
dalam buku ini Steve mencoba mendeskripsikan keadaan perpolitikan Mesir dari
masa kekuasan asing di Mesir tahun 1882 saat Inggris mulai menjajah Mesir
sampai kepada kekuasaan para Firaun militer (Nasser, Sadat dan Mubarak)
selama 60 tahun terakhir. Tidak hanya itu, Steven juga menjelaskan tetntang
berakhirnya rezim Mubarak di Mesir dan demonstrasi panjang selama 18 hari
menuntut turunnya Mubarak. Ia juga membicarakan secara detail bagaimana
sebuah revolusi bisa terjadi di Mesir. Terakhir Steven menjelaskan sikap yang
harus diambil oleh negara Amerika terhadap Mesir. Menurutnya Amerika tidak
perlu ikut campur di dalam penentuan nasib masyarakat Mesir dalam memilih
sistem politik mereka dan memberikan hal itu kepada masyarakat Mesir sendiri.
29
Steven A. Cook, The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square (Oxford University
Press: New York, 2012).
16
Kedua, buku yang berjudul “Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di
Mesir, Turki, dan Israel” yang ditulis oleh M. Hamdan Basyar.30
Buku ini
menjelaskan tentang bagaimana proses demokrasi yang terjadi di wilayah Timur
Tengah, khususnya negara Mesir, Turki dan Israel. Perkembangan demokrasi dan
hubungan militer-sipil menjadi bagian proses politik yang terjadi di ketiga negara
tersebut yang dijelaskan oleh buku ini.
Ketiga adalah artikel yang ditulis oleh Amri Mushlih dan Hurriyah yang
berjudul “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir Tahun 2011-
2013”.31
Artikel itu menjelaskan bagaimana transisi demokrasi terjadi di Mesir
dan kertelibatan para elit politik di dalam kegagalan transisi demokrasi di Mesir.
Hasil dari penelitian tersebut, menemukan bahwa peran para elit politik di Mesir,
khususnya yang terdiri dari kalangan militer, kelompok Islam, elit rezim lama dan
kelompok sekuler mengalami kegagalan elit settlement (konsep yang menjelaskan
tentang permusuhan para elit yang pada akhirnya mereka bersatu di dalam kondisi
kompromi atau negosiasi saat keadaan tertemtu). Penyebab kegagalan elit
settlement di Mesir karena faktor perbedaan ideologi dan tidak terjadinya koalisi
antara kelompok Islam dan kelompok sekuler.
30
M. Hamdan Basyar, Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel (UI
Press: Jakarta, 2015). 31
Amri Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir Tahun
2011-2013,” politik 2 (Agustus 2016).
17
Keempat, artikel yang ditulis oleh Nathan J. Brown yang berjudul
“Tracking The Arab Spring: Egypt’s Failed Transition”.32
Pada artikel ini
menjelaskan bagaimana proses kegagalan transisi demokrasi di negara Mesir.
Menurutnya kegagalan transisi demokrasi di negara Mesir disebabkan oleh
beberapa faktor yang terdiri dari motivasi para partisipan politik Mesir, perilaku
buruk, dan pilihan yang buruk. Ketiga hal itu menjadi alasan kegagalan dari
transisi demokrasi yang terjadi di Mesir. Ditambahkan juga pengaruh Ikhawanul
Muslimin yang menguat dan menguasai perpolitikan Mesir sehingga mengancam
kepentingan lain yaitu militer dan kelompok politik lain.
Keempat literatur tersebut banyak berbicara mengenai keadaan perpolitikan
Mesir dan Timur Tengah. Pada literatur pertama, Steve A. Cook terhadap
penelitian ini memiliki kesamaan dalam hal kejatuhan Mubarak namun berbeda
pada kejatuhan pemerintahan Mursi. Hal itu terjadi karena buku yang ditulis Cook
hanya terbatas pada kejatuhan Mubarak dan Revolusi Arab Spring 2011 tidak
membahas mengenai politik Mesir pada masa Transisi sampai kepada kejatuhan
pemerintahan Mursi. Di buku tersebut juga tidak membahas mengenai
kelembagaan politik di masa Mesir mengalami transisi demokrasi.
Literatur kedua, yang ditulis M. Hamdan Basyar terhadap penelitian ini
memiliki titik persamaan dan perbedaan. Persamaan dari M. Hamdan Basyar
dengan penelitian ini banyak mengulas tentang gejokan perpolitikan Mesir dari
32
Nathan J. Brown, “Tracking The Arab Spring: Egypt’s Failed Transition,” Journal of
Democracy 24 (Oktober 2013).
18
Arab Spring sampai kepada kejatuhan Presiden Muhammad Mursi di Mesir. Titik
perbedan dengan penelitian yang penulis tulis terletak pada sebab-sebab kejatuhan
Presiden Mesir dari sisi lembaga politik.
Pada literatur ketiga yang ditulis oleh Mushlih dan Hurriyah terhadap
penelitian ini memiliki banyak kesamaan di dalam membahas permasalahan yang
terjadi pada masa transisi demokrasi di Mesir sampai kepada kudeta militer
terhadap pemerintahan Mursi. Walaupun memiliki kesamaan terhadap literatur
ketiga, namun penelitian ini juga memiliki perbedaan yang terletak pada
permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini berkaitan dengan objek penelitian.
Penelitian yang dilakukan Mushlih dan Hurriyah lebih berfokus pada kegagalan
transisi demokrasi di Negara Mesir yang disebabkan oleh para aktor elit politik
Mesir. Berbeda dengan penelitian yang penulis kaji. Dalam hal ini penulis lebih
berfokus pada kejatuhan pemerintahan Mursi dan bukan pada kegagalan transisi
demokrasi yang disebabkan oleh para elit seperti yang dikaji oleh Mushlih dan
Hurriyah. Lebih jauh lagi penulis juga mengkaitkan kejatuhan pemerintahan
Mursi di Mesir karena permasalahan kelembagaan politik yang tidak terkendali
pada proses transisi demokrasi.
Terakhir, literatur keempat yang ditulis oleh Nathan J. Brown dengan
penelitian ini memiliki sedikit kesamaan dalam hal proses kejatuhan
pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Meskipun memiliki kesamaan dengan
literatur keempat, tapi penelitian yang penulis tulis juga memiliki perbedaan
dengan literatur ini. Perbedaan itu terletak pada fokus pertanyaan penelitian yang
19
penulis coba angkat dalam penelitian ini. Fokus yang diteliti dalam literatur ini
lebih banyak membahas tentang kegagalan transisi demokrasi di Mesir sampai
kepada kudeta militer dan langkah-langkah yang dilakukan oleh kelompok
Ikhawanul Muslimin setalah pengkudetaan. Sedangkan dalam penelitian yang
penulis kaji lebih banyak berbicara mengenai kejatuhan pemerintahan Mursi dari
sudut pandang institusionalisme.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan dan
dengan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.
Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai
bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat
hidup, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual.33 Menggunakan
metode penelitian kualitatif yang berfokus pada studi kasus akan
mempermudah penulis di dalam melakukan penelitian dengan permasalahan
kelembagaan politik di masa transisi demokrasi dan kejatuhan pemerintahan
Mursi di Mesir tahun 2013.
2. Teknik Pengumpulan Data
33
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001), 5.
20
Teknik untuk melakukan pengumpulan data merupakan hal yang
penting, di sini instrumen yang akan digunakan oleh penulis dalam
pengumpulan data penelitian adalah:
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau
peristiwa pada waktu yang lalu, dan dokumentasi juga merupakan teknik
pengumpulan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti
melalui literatur buku, catatan, transkip, surat kabar, majalah dan internet.
Dokumentasi diperlukan untuk mempermudah penulis memberikan
jawaban dan kejelasan dari permasalahan penelitian.
Dalam mengumupulkan data, Penulis mengunakan data-data
mengenai dokumentasi peristiwa politik baik dari majalah, koran, dan
internet telah memadai untuk menjadi sumber-sumber rujukan dalam
penelitian ini yang berkaitan dengan peristiwa politik di Mesir pada
transisi demokrasi dari Husni Mubarak ke Muhammad Mursi dan sampai
terjadinya kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal As-Sisi.
Keterbukaan informasi yang begitu luas di alam demokrasi saat ini sangat
membantu penulis dalam memperoleh sumber-sumber rujukan.
Pernyataan-pernyataan politik para politisi yang penulis butuhkan sebagai
rujukan bisa dengan mudah diakses dari media, baik cetak maupun
elektronik, terhadap kasus yang dibahas di dalam penelitian ini, yaitu
21
kelembagaan politik di masa transisi demokrasi dan kejatuhan
Pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.
3. Teknik Analisis Data
Dalam bagian analisa data, penulis menggunakan metode analisa
penelitian secara deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan hal-
hal yang menjadi objek penelitian atau menggambarkan suatu keadaan
secara tepat, sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan
tersebut. Proses ini terbagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.34
F. Sistematika Penulisan
Dalam mempermudah memahami isi dari skripsi ini, penulis membagi
skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun
sistematikanya sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Di dalam bab ini penulis menguraikan perumusan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Kerangka Teori. Di dalam bab ini meliputi pengertian perubahan rezim,
pengertian transisi demokrasi sebagai akibat dari perubahan politik dan pengertian
kelembagaan (institusionalisme) menurut ahli.
34
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
(Jakarta: Erlangga, 2009), 148.
22
Bab III: Dinamika Perpolitikan Negara Mesir 1920-2011. Di dalam bab ini,
peneliti akan coba mendekripsikan perpolitikan negara Mesir Moderan dan
perkembangan pemerintahan sebelum masa transisi demokrasi, agar pembaca
memahami isi bacaan dari penelitian ini.
Bab IV: Institusi Politik Mesir di Masa Transisi Demokrasi 2011-2013. Pada
bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi, karena berisikan
tentang permasalahan yang penulis angkat. Penulis akan memaparkan temuan-
temuan mengenai proses terjadinya transisi demokrasi di Mesir, lembaga politik
Mesir pada masa transisi demokrasi dan mengenai sebab-sebab kejatuhan
pemerintahan Mursi di Mesir.
Bab V: Penutup. Di dalam bab ini meliputi kesimpulan dan saran-saran penulis,
serta rekomendasi studi kasus yang diangkat, sekaligus merupakan akhir dari
keseluruhan tulisan ini. Di bagian akhir, penulis juga mencantumkan daftar
pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini.
23
BAB II
KERANGKA TEORI
Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan kerangka teori yang digunakan
untuk menganalis permasalahan dan pertanyaan penelitian, yang terdapat dalam
penelitian ini. Penggunaan teori-teori yang tepat di dalam membahas dan menganalisi
permasalahan dan pertanyaan penelitian, akan mampu memberikan jawaban-jawaban
penelitian yang objektif sesuai dengan penggunan teori. Teori-teori yang digunakan
oleh penulis diantaranya adalah teori perubahan rezim, teori transisi demokrasi, dan
teori kelembagaan (Institusionalisme).
A. Teori Perubahan Rezim
Di setiap negara demokrasi yang telah mapan, pemerintahan negaranya selalu
memiliki keyakinan dan kepercayaan pada sistem demokrasi. Hal itu bisa dilihat di
Negara-Negara Eropa dan Amerika Serikat. Di mana sistem demokrasi yang telah
dianut tidak mengalami perubahan menjadi sistem otoriter, bahkan demokrasi
mengalami penguatan di negara-negara tersebut. Hal berbeda terjadi pada negera-
negara yang baru mengalami demokratisasi. Keyakinan para elit serta warga
negaranya terhadap sistem demokrasi masih pada posisi yang labil atau tidak stabil.
Keadaan itu yang mengakibatkan banyaknya transisi demokrasi mengalami
kegagalan atau berbalik kembali menjadi otoriter. Proses demokratisasi yang
mengalami kegagalan atau kemunduran menjadi pusat perhatian dalam dunia ilmu
politik. Hal itu banyak terjadi di Negara-Negara Amerika Latin yang pada awalnya
24
menganut sistem otoriter lalu mengalami transisi demokrasi, namun karena beberapa
alasan kembali lagi menjadi otoriter. Pada keadaan seperti itu, para ilmuwan politik
mulai mengkaji dan menganalisa penyebab terjadinya perubahan tersebut dan
penyebab kegagalan atau stagnan proses demokratisasi di negara-negara tersebut.1
Akhirnya kajian-kajian itu melahirkan sebuah teori yang dikenal sebagai teori
perubahan rezim.
Kajian-kajian di dalam perubahan rezim selalu menghubungkan pada
demokratisasi yang terjadi di negara-negara yang otoriter. Pembahasan dan kasus
lebih banyak dikaji oleh para ilmuwan politik di Wilayah Amerika Latin, Asia, Afrika
dan sebagian Benua Eropa Timur. Di antara banyaknya ilmuwan politik yang
mengkaji dan membahas perubahan rezim ada dua tokoh yang menjelaskan
perubahan rezim dengan sangat detail dan baik. Mereka adalah Scott Mainwaring dan
Anibal Perez-Linan. Mereka berdua menjelaskan tentang sebab-sebab bertahan dan
jatuhannya sebuah pemerintahan yang demokratis atau rezim otoriter di Negara-
Negara Amerika Latin dari tahun 1945-2010. Kajian mereka juga membahas
mengenai kegagalan demokratisasi di Negara-Negara Amerika Latin. Menurut
mereka teori perubahan rezim disebabkan oleh empat alasan mendasar yang
mengakibatkan rezim itu mampu bertahan atau gagal (jatuh). Ke-empat penyebab
bertahan atau jatuh rezim menurut mereka adalah2:
1Ethan B. Kapstein dan Nathan Converse, “Why Democracies Fall,” Journal of Democracy
19 (Oktober 2018): 57-58. 2Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan, Democracies and Dictatorships In Latin America
(New York: Cambridge University Press, 2013), 61.
25
1. Kebijakan yang radikal dapat membuat kehancuran dari kemungkinan
pemerintahan yang kompetitif (rezim yang kompetitif3
) dan sebaliknya
kebijakan yang moderat atau tidak berlebihan mampu membuat pemerintahan
yang kompetitif dapat bertahan.
2. Nilai-nilai4
yang dimiliki oleh aktor-aktor politik atau elit politik dapat
menentukan keberhasilan pemerintahan. Nilai-nilai itu terlihat dari sikap para
aktor yang mendukung demokrasi, otoriter, atau tidak mendukung demokrasi
melainkan sistem yang lain namun tetap menganggap pemerintahannya
menjalankan sistem demokrasi.
3. Ketika tercipta nilai-nilai demokrasi yang telah disepakati dikalangan para
aktor atau elit politik maka meningkatkan daya tahan pemerintahan yang
kompetitif
4. Pengaruh dari Dunia Internasional yang mendukung pemerintahan demokrasi
dapat memberikan kemungkinan bertahannya pemerintahan yang kompetitif
dan mampu meningkatkan transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju
kepada pemerintahan yang demokratis.
Penggunaan teori perubahan rezim untuk mengupas dan mengkaji sebab-sebab
kejatuhan Pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013. Diketahaui sebelumnya bahwa
3
Istilah yang digunakan oleh Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Lisan dalam
mengkategorikan pemerintahan yang demokratis dan semi-demokrasi. (Lihat Mainwaring dan Linan,
Democracies and Dictatorships, 4-5.) 4Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan pemikiran atau
ideologi para aktor politik. Biasanya pemikiran dan ideologi itu akan berhubungan dengan prinsip-
prinsip demokrasi atau terkadang pemikiran dan ideologi tersebut bisa tidak berhubungan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Di antara pemikiran dan ideologi yang tidak berhubungan dengan prinsip-
prinsip demokrasi adalah pemikiran otoriterianisme dan komunisme.
26
pemerintahan Mursi yang terpilih melalui pemilihan presiden seecara langsung pada
tanggal 30 Juni 2012. Setelah Mursi terpilih dan menjalankan roda pemerintahan
Mesir namun situasi politik yang terjadi di Mesir tidak mengalami perbaikan dan
bahkan semakin menegangkan. Walaupun pemerintahn Mursi berusaha memperbaiki
keadaan itu dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk meredakan ketegangan
politik. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mursi hanya membawa
ia kepada kejatuhannya melalui proses yang tidak demokratis (kudeta militer).
Penyebab jatuhnya pemerintahan Mursi di Mesir menurut pandangan teori
perubahan rezim adalah gejolak politik yang berawal dari tidak terciptanya nilai-nilai
demokrasi di kalangan para elit politik Mesir mengakibatkan konflik politik yang
berkembangan di dalam lembaga Konstituen Mesir dalam merumuskan konstitusi
baru. Selanjutnya konflik tersebut membuat Mursi mengambil tindakan dengan
mengeluarkan dekrit presiden. Terciptanya dekrit presiden tidak meredakan gejolak
politik di Mesir, mengakibatkan dekrit itu menjadi sebuah kebijakan yang radikal.
Pengaruh dari dekrit yang mengakibatkan gejolak politik berkepanjang di Mesir,
membawa Militer Mesir bertindak untuk menyelesaikan gejolak politik tersebut
dengan melakukan tindakan kudeta terhadap pemerintahan Mursi. Kejatuhan
pemerintahan Mursi yang dilakukan oleh kudeta militer tidak mendapat simpati dari
kalangan dunia Internasional, khususnya Negara Amerika Serikat yang menganggap
bahwa kudeta militer yang terjadi di Mesir bukan-lah proses kegagalan demokrasi
atau kejahatan internasional dan hanya dianggap sebagai permasalahan politik dalam
negeri Mesir.
27
B. Teori Transisi Demokrasi
1. Pengertian Transisi Demokrasi
Pemahaman makna dari transisi demokrasi memiliki banyak pengertian,
khususnya untuk kata transisi itu sendiri. Kata Transisi merupakan serapan dari
bahasa asing yang diartikan sebagai peralihan, jika dihubungkan dengan kata “masa”
maka berarti sebagai masa peralihan atau masa pancaroba.5 Di lain hal, makna kata
transisi sesungguhnya diambil dari bahasa latin, yaitu “trans” dan “cendo”. Kata
trans sendiri memiliki banyak arti yaitu diseberang, disebelah sana, dibalik, dan
menyebrangi. Berbeda dengan cendo yang memiliki dua arti, yaitu melangkah ke
sesuatu yang lain atau berpindah, maka jika kata “trans” dan “cendo” digabungkan
dan menjadi kata Transcendo memiliki arti sebagai berikut6:
1. Melangkah ke sesuatu yang lain,
2. Berpindah,
3. Memanjat, melewati, menyebrangi, melangkahi, melalui, melanggar,
mengatasi, melebihi, melampaui.
Penjelasan-penjelasan tersebut telah memaparkan pengertian dari kata
transcendo, sehingga bisa disimpulkan bahwa kata transcendo atau transisi adalah
melangkah ke sesuatu yang lain atau berpindah ke sesuatu yang lain.
5W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4
th ed. (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), 1089. 6Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, (Bantul: Pondok Edukasi,
2004), 30-31.
28
Makna transisi dapat berarti kekuasaan jika dihubungkan dengan kata
“power”, di dalam bahasa Inggris, menjadi “power transition” yang berarti peralihan
kekuasaan. Penjelasan tentang kata transisi dan kekuasaan, jika diartikan dan
dimaknai kata transisi sebagai transisi kekuasaan memiliki dua pengertian, yang
pertama sebagai peralihan kekuasaan atau perpindahan kekuasaan. Makna pertama
memiliki arti sebagai proses perpindahan atau peralihan kekuasaan dari satu tangan
atau dari satu kelompok ke tangan atau kelompok lain. Pengertian kedua sebagai
masa penantian dimana akan terjadinya pergantian kekuasaan (pancaroba). Kedua
pengertian tersebut tentang transisi kekuasaan dapat dipahami sebagai sebuah proses
perguliran kekuasaan yang sedang dan akan terjadi pergantian kekuasaan.7
Pengertian dari transisi akan memiliki arti dan makna yang cukup berbeda jika
dihubungkan dengan kata demokrasi. Pengertian dari transisi demokrasi atau
“transition to democracy” adalah perubahan ke demokrasi atau peralihan ke
demokrasi. Arti perubahan di sini sebagai masa atau periode sebelum terjadinya
transisi, tepatnya masa di mana sebelum terjadinya perubahan atau peralihan ke arah
demokrasi. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa transisi demokrasi ialah suatu
masa peralihan atau perpindahan kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan
demokratik atau dari sistem otoriter ke sistem demokrasi.8
Pandangan berbeda coba dijelaskan oleh Martins yang dikutip oleh Sahdan
dalam buku Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, menjelaskan bahwa
7Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 31-32.
8Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 32.
29
pengertian dari transisi demokrasi tidak diartikan sebagai peralihan atau perpindahan
kekuasaan melainkan sebagai perubahan yang diperkenalkan oleh rezim yang
berkuasa kepada rakyatnya. Ia meyakini bahwa transisi adalah tranfomasi kekuasaan.
Transfomasi ini diartikan sebagai perubahan kekuasaan dari rezim otoritarian ke
demokrasi atau sebaliknya. Baginya perubahan yang terjadi terletak pada bentuk
kekuasaannya, bukan kepada elit yang berkuasa sehingga dapat disimpulkan bahwa
elit yang berkuasa meminta dan mengadakan modifikasi pada bentuk kekuasaan.
Bentuk ini nantinya bisa bersifat kooperatif atau represif tergantung dari para elit
yang berkuasa.9
Ada juga pandangan ilmuwan politik yang mengkaji tentang teori transisi
demokrasi lebih menyeluruh, di antaranya adalah O’Donnell dan Schimtter. Menurut
mereka transisi adalah masa interval atau periode waktu diantara rezim yang satu
dengan rezim yang berikutnya, atau bisa dengan kata lain transisi diartikan sebagai
suatu era-antara (interval-period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu
jelas sosoknya. Kata ketidakjelasan ini, dapat dipahami sebagai rangkaian
kemungkinan yang akan terjadi dalam tercipta bentuk orde politik. Hal ini seperti
yang diungkapan oleh O’Donnell dan Schimtter sebagai berikut10
:
“Transisi dibatasi di satu sisi oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim
otoritarian, dan di sisi yang lain, oleh pengesahaan beberapa bentuk
demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau
kemunculan suatu alternatif revolusioner.”
9Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 33-34.
10Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: The Johns Hopkins University Press,
1986), 6.
30
Penjelasan tersebut, memberikan gambaran tentang pemahaman mengenai
makna transisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa transisi ialah periode waktu
diantara berakhirnya atau hancurnya rezim otoriter menuju ke arah rezim demokrasi
yang dalam prosesnya mengalami ketidak pastian menuju demokrasi atau bentuk
rezim yang lain. Di tambahkan juga oleh O’Donnell, bahwa proses transisi ini tidak
dapat diramalkan bagaimana akhirnya dan mengandung resiko kegagalan demokrasi.
Hal itu disebabkan karena di dalam transisi banyak mengandung aspek dan faktor
yang saling berkaitan dan bertentangan, sehingga bisa dikatakan ketidak pastian dan
kemungkinan akan selalu membayangi proses demokrasi di suatu negara.11
Pada
akhir-nya transisi itu selalu berhubungan dengan proses demokratisasi di negara yang
mengalami transisi demokrasi.
2. Bentuk-bentuk Transisi Demokrasi
Di lain pihak, seperti Huntington dan J. Linz memberikan pandangan yang lain
tentang pemahaman transisi demokrasi yang lebih komplek dibanding Martins.
Menurut Huntington dan J. Linz yang dikuip oleh Sahdan dalam Jalan Transisi
Demokrasi. Menurut mereka transisi demokrasi memiliki tiga bentuk kategori, yaitu
pertama, transformasi sedangkan J. Linz menyebutnya sebagai reforma. Bagian
pertama terjadi ketika elit politik mengambil alih kekuasaan ke demokrasi seperti
yang dijelaskan oleh Huntington: “Transformation is occurred when the elite in
power took the lead in bringing about democracy.” Kedua, disebut sebagai
11
O’Donnell dan C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule, 6.
31
replasementasi (replacement) atau ruptura menurut J. Linz. Bagian kedua terjadi
ketika pihak oposisi mengambil alih kekuasaan ke demokrasi dan rezim otoritarian
mengalami pengkolapan atau penghancur yang dikarenakan penggulingan, seperti
yang dijelakskan oleh Huntington: “Replacement is occurred when the opposition
groups took the lead in bringing about democracy, and authoritarian rezime
collapsed or was overthrow.” Terakhir, disebut sebagai transplasementasi
(transplacement), terjadi ketika demokratisasi disebabkan perluasan aksi bersama
yang berbentuk negosiasi, kompromi, dan dialog komunikatif antara pihak oposisi
dengan pemerintah, seperti pada penjelasan Huntington12
: “Transplacement or
ruptroma (Linz) occurred when democratization rezulted largely from joint action by
government and opposition groups.”
Ketiga bentuk transisi demokasi menurut Huntington dan J. Linz dapat
dipahami dengan mudah dengan melihat tabel berikut ini.
Tabel II.B.1. Titik Perbedaan Pandangan Tentang Istilah dalam Transisi
Demokrasi
Huntington J. Linz Penjelasan
Tranformation Reforma Transisi elit
Replacement Ruptura Transisi revolusi
Transplacement Ruptforma Transisi reformasi
12
Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 34-35.
32
Sumber: Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto,
(Bantul: Pondok Edukasi, 2004), 35.
3. Proses dan Tahapan Transisi Demokrasi
Perjalanan menuju transisi demokrasi selalu ditandai oleh tahapan awal yaitu
berakhirnya rezim otoriter. Berbagai hal yang menyebabkan jatuh atau lepasnya
rezim otoriter di dalam sebuah negara-negara yang mengalami transisi demokrasi
memiliki banyak faktor atau alasan penyebab berakhirnya rezim otoriter. Banyak
kalangan ilmuwan politik yang mengkaji persoalan tentang transisi demokrasi
melihat permasalahan berakhirnya rezim otoriter menjadi hal penting untuk mengkaji
dan menerangkan sebelum membahas transisi demokrasi.
Faktor-faktor tumbangnya pemerintahan otoriter di suatu negara, menurut
Guiseppe Di Palma yang dikutip oleh Sahdan, dalam Jalan Transisi Demokrasi
menjelaskan bahwa ada tiga faktor tumbangnya pemerintahan otoriter. Ketiga faktor
itu adalah:
1. Economic prosperity and equality. (Kesejahteraan dan kesetaraan ekonomi)
2. A modern and diversivied social structure in nondependent middle classes
occupy center stage. (Struktur sosial yang beragam dan modern di dalam
kelas menengah yang tidak tergantung sehingga menempatkan mereka pada
posisi utama)
3. A national culture that, by tolerating diversity and preferring accommodation,
is already implicitly democratic. (Budaya nasional yang dapat mentoleransi
33
pada keragaman dan lebih mudah menyesuaikan diri secara tidak langsung
terhadap demokrasi)
Ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan jalannya demokratisasi
di suatu negara. Di tambahkan oleh Palma, jika ketiga faktor itu tidak ada, maka
jalannya demokratisasi akan digerakan oleh dua hal yaitu mobilisasi massa untuk
kategori yang dipelopori oleh rezim, dan yang terakhir adalah tindakan kekerasan
untuk mencapai demokratisasi yang sulit untuk mencapai tingkat demokratisasi
sesungguhnya. Bagian kedua cenderumg lebih dipelopori oleh kaum oposisi radikal.13
Huntington mencoba memberikan penjelasannya mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya proses transisi demokrasi. Menurut Huntington faktor transisi
demokrasi yang terjadi pada gelombang ketiga14
, disebabkan oleh15
:
1. Hilangnya legitimasi yang dimiliki oleh rezim yang berkuasa, sehingga rezim
kehilangan pamornya di mata masyarakat.
2. Adanya krisis ekonomi global yang melanda negara-negara yang memiliki
sistem otoriter.
3. Adanya perubahan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pejabat gereja
Katolik di Vatikan yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan gereja di negara
13
Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi, 38-39. 14
Gelombang ketiga demokrasi terjadi dari tahun 1970-an di Negara Spanyol dan Portugal.
Gelombang demokrasi ketiga terus melanda seluruh dunia dari sekitar tahun 1970-an sampai tahun
1989. Sebelum terjadi gelombang demokrasi ketiga, dunia juga pernah dilanda gelombang demokrasi,
yaitu gelombang demokrasi pertama tahun 1820 sampai 1926 dan diikuti oleh gelombang demokrasi
kedua yang terjadi pada tahun 1945 sampai 1962 (Lihat, Samuel P. Hungtinton, “Democracy’s Third
Wave,” Journal of Democracy 2 [Mei 1991]: 12.) 15
Suprisno Baderan, “Pola Transisi Demokrasi yang Terjadi Di Indonesia dan Brasil,” Farabi
11 (Juni 2014): 43-44.
34
lainnya. Hal ini banyak terjadi di Negara-Negara Amerika Latin dan Eropa
Selatan yang agama mayoritasnya adalah Katolik.
4. Adanya promosi demokratisasi dan hak-hak asasi manusia oleh diplomatik
Amerika yang mendapat dukungan dari kalangan Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE).
5. Adanya pengaruh pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di beberapa
negara non-demokrasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya menghasilkan
perluasan kelas menengah dan perluasan lembaga-lembaga otonom yang
bersikap berlawanan terhadap pemerintah.
6. Adanya kejatuhan atau keruntuhan rezim otoritarian, yang disebabkan oleh
menurunnya basis legitimasi yang menjadi unsur penopang rezim dan
keterbukaan komunikasi Dunia Internasional yang mempromosikan
demokratisasi oleh Negara Eropa Barat seperti Amerika dan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE).
7. Adanya demonstrasi besar yang terjadi di negara non-demokrasi. Demonstrasi
besar menyebabkan efek yang diantaranya adalah contagion (penularan),
diffusion (penyebaran), emulation (penyamaan atau emulasi), snowballing
(penggumpalan/efek bola salju), dan the dominio effect (efek domino).
Sebab-sebab kejatuhan rezim otoriter menjadi jalan untuk masuknya transisi
demokrasi di negara otoriter. Tahap selanjutnya setelah rezim otoriter jatuh maka elit-
elit yang tersisa mulai menjalankan agenda-agenda transisi demokrasi di negaranya.
35
Penjelasan itu coba diuraikan oleh Samuel P. Huntington yang mengkaji mengenai
proses demokratisasi gelombag ketiga yang terjadi di dunia. Gagasan awal mengenai
perilaku masyarakat di dalam proses transisi mengalami perubahan ke arah perilaku
elit atau yang dikenal sebagai faktor elit di dalam tumbangnya rezim otoriter dan
lahirnya proses transisi demokrasi. Menurut Huntington tahap-tahap transisi yang
bersumber pada faktor elit berakar dari pemikiran yang diantaranya16
:
1. Aktor utama di dalam proses transisi adalah elit politik, yang terdapat di
pemerintahan atau menjadi oposisi dan bukan lagi kelompok kepentingan,
organisasi massa, gerakan sosial atau kelas-kelas tertentu di dalam
masyarakat.
2. Aktor-aktor tersebut dapat dibedakan secara tipikal menurut orientasi mereka
terhadap perubahan rezim, seperti moderat-ekstrem dan menurut kepentingan
yang berakar pada struktur dan kondisi ekonomi maupun peranan
institusionalnya.
3. Aktor-aktor tersebut berperilaku strategis, semua tindakan mereka sangat
dipengaruhi oleh penilaian mereka terhadapan lawan dan sekutu-nya sendiri.
4. Demokrasi adalah hasil dari sebuah negosiasi yang dilakukan secara ekplisit
ataupun implisit.
Elit menjadi bagian terpenting di dalam proses transisi demokrasi di suatu
negara, semakin diperkuat oleh gagasan yang diberikan oleh Share. Ia berpandangan
16
Ali Martin, “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia Ditengah
Demokrasi Pasar,” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.
36
bahwa adanya peran pemerintah di dalam tercipta transisi demokrasi di suatu negara.
Peran pemerintah atau rezim berkuasa sangat ditentukan oleh waktu keberlangsungan
proses transisi tersebut. Menurutnya demokratisasi bisa terjadi secara bertahap atau
cepat. Keduanya sangat dipengaruhi oleh pemerintah atau rezim yang berkuasa.
Proses yang melibatkan para elit dan berlangsung dengan cara bertahap hanya terjadi
pada Negara-Negara Eropa Barat dan Amerika Serikat atau terjadinya proses
perjuangan revolusioner kecil jika ada kelompok oposisi yang tumbuh di dalam
pemerintahan otoriter. Di lain hal itu, untuk proses transisi demokrasi yang sangat
cepat, terjadi karena adanya perpecahan dan tidak adanya konsensus yang tercipta.
Perpecahan disebabkan oleh karena adanya kelompok pro-demokrasi yang memilih
jalan revolusi, adanya kudeta militer yang dilakukan oleh elit militer atau polisi,
adanya keruntuhan rezim karena penyebab peperangan, dan adanya proses ekstrikasi
(ectrication), yaitu proses di mana rezim yang berkuasa kehilangan legitimasi secara
tiba-tiba dan memberikan kekuasaanyan pada pihak oposisi yang demokratis.17
Secara umum gagasan Share ini dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
17
Martin, “Qou Vadis Transisi Demokrasi”, 31.
37
Tabel II.B.2. Tipe-Tipe Transisi dari Otoritarianisme ke Demokrasi yang
Melibatkan Para Pemimpin Rezim
KETERLIBATAN
ELIT
PROSES
YA
(KONSENSUS)
TIDAK
(NON-KONSENSUS)
BERTAHAP Transisi Inkremental
(Demokratisasi Secara
Bertahap)
Transisi Melalui Proses
Perjuangan Revolusioner
Secara Berkepanjangan
CEPAT Transisi Transaksi Transisi Melalui
Perpecahan:
a. Revolusi
b. Kudeta
c. Keruntuhan
d. Ekstrikasi
Sumber: Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto,
(Bantul: Pondok Edukasi, 2004), 62.
Penjelasan-penjelasan tersebut telah memberikan gambaran yang jelas dan
lengkap bagaimana rezim yang berkuasa di negara otoriter juga mengambil peranan
di dalam terciptanya proses transisi demokrasi di negara tersebut. proses transisi
demokrasi di negara tersebut akan memasuki tahapan-tahapan selanjutnya di dalam
menjadikan negara-nya menjadi negara demokrasi. Penjelasan mengenai tahap-tahap
38
yang di alami oleh negara otoriter menuju negara demokrasi menjadi ruang pendapat
Rustow. Ia mencoba meneliti tentang proses transisi demokrasi yang terjadi di dunia.
Berdasarkan kajian Rustow tentang transisi, menurutnya ada tiga tahapan di
dalam transisi demokrasi. Tahapan pertama, transisi ditandai dengan perjuangan yang
panjang dan melibatkan pemain-pemain baru di dalam politik. Pada tahapan awal
biasanya terjadi polarisasi dan beberapa sarana demokrasi, walau pada tingkat yang
lebih minimal menjadi ajang mencapai tujuan. Proses tahapan berikutnya, di mana
masing-masing pihak yang berlawan mengalami kebuntuan untuk dapat menang
sendiri dan menyatakan untuk dilakukan negosasi serta kompromi. Bagian ini di
dalam studi transisi disebut sebagai “pact” atau pakta. Pada tahapan ini, adanya
aturan-aturan yang menguntungkan kedua pihak (kelompok lama atau pendukung
rezim dan kelompok baru atau oposisi rezim) yang mulai disepakati. Terakhir atau
tahapan ketiga adalah tahapan yang dikenal sebagai konsolidasi demokrasi, yang
menurut Rustow disebut sebagai “habituation” atau pembiasaan. Di tahapan terakhir
ini, pemain mulai beradaptasi dengan aturan-aturan main yang lebih demokrasi
(democratic rules), selain itu warganegara juga memiliki keterikatan terhadap aturan
tersebut. Pada aturan tersebut (democratic rules) memiliki tiga dimensi yang saling
berkaitan dengan konsolidasi demokrasi. Ketiga dimensi itu ialah18
:
18
E. Shobirin Nadj, ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional: Studi
Transisi Politik Pasca Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2003), 16-17.
39
1. Legal-organisasional merupakan aturan-aturan yang menyangkut tentang
legalitas keberadaan partai-partai politik dan kelompok kepentingan serta
pengintergrasinya ke dalam legal orde konstitusional.
2. Dimensi normatif berhubungan pada pluaralisme, yang diartikan sebagai
pengakuan bahwa tidak ada satu pun kelompok yang diizinkan atau
mengklaim serta dapat memonopoli kebenaran politik. Pluaralisme juga
mengandaikan adanya toleransi, pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas,
pemerintahan dengan kekuasaan terbatas dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.
3. Dimensi kekuasaan yang mencakup pada pembagian kekuasaan, pamekaran
pusat-pusat kekuasaan (seperti otonomi daerah/regional), dan akuntabilitas
kekuasaan.
Pandangan-pandangan itu memberikan penjelasan mengenai demokrasi yang
diartikan bukan sebagai alternatif utama terhadap komitmen penuh atas nilai-nilai dan
prinsip-prinsip filosofis demokrasi. Penjelasan itu memberikan pengertian demokrasi
sebagai fungsional yang menjadikan demokrasi solusi kedua terbaik “a second best-
solution” terhadap berbagai konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat.19
Mengingat bahwa pemerintahan Mursi yang terpilih melalui Pemilihan
Presiden di Mesir pasca jatuhnya rezim militer Mubarak tahun 2011. Pemilihan itu
merupakan bagian dari hasil transisi demokrasi yang terjadi di negara Mesir.
Peristiwa transisi demokrasi di Mesir lebih dikenal sebagai Revolusi Arab Spring,
19
Shobirin Nadj, ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional, 17.
40
namun dalam teori transisi demokrasi apa yang terjadi di Mesir bukan termasuk
dalam kategori transisi demokrasi yang dikenal sebagai transisi revolusi tapi transisi
reformasi. Walaupun peristiwa yang terjadi di Mesir disebut sebagai revolusi tapi
melihat bagaimana proses yang terjadi di Mesir dari demonstrasi masa yang berakhir
pada pengunduran diri Presiden Mubarak di Mesir tahun 2011 lebih menyerupai
transisi reformasi.
Demonstasi besar yang terjadi di Mesir merupakan bentuk hancurnya legitimasi
pemerintahan otoriter Mesir. Lemahnya atau memudarnya legitimasi pemerintahan
otoriter Mesir yang disebabkan oleh permasalahan ekonomi hingga pada masalah
korupsi memberikan kesulitan hidup terhadap rakyat Mesir. Keadaan itu melahirkan
sebuah gerakan protes besar terhadap rezim yang berkuasa. Peristiwa yang berawal
dari demonstrasi besar yang dilakukan oleh masyarakat Mesir dalam menentang
rezim Mubarak, lebih menyerupai transisi reformasi yang lebih mengutamakan aksi
masa dalam menuju tercipta transisi demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang
demokratis. Peritiwa demonstrasi besar itu, juga mengakibatkan terjadinya negoisasi
antara pemerintah dan kelompok oposisi pemerintah untuk mengakhir kekuasaan
rezim otoriter dan melaksanakan pemilu parlemen dan pemilihan presiden
secepatnya. Proses-proses politik yang terjadi di dalam transisi demokrasi dalam
mencapai kesepakatan dengan para elit politik Mesir akan terus terjadi hingga
kejatuhan pemerintahan Mursi di tahun 2013.
41
C. Teori Institusional (Kelembagaan)
March dan Oslcn, keduanya memberikan gambaran tentang pengertian dari
teori institusional. Mereka menegaskan bahwa teori institusional lebih banyak
mengkaji permasalahan-permasalahan di dalam institusi politik. Bagi mereka institusi
politik memiliki peran yang otonom dalam memainkan dan membentuk hasil politik,
sehingga organisasi politik menghasilkan suatu yang berbeda. Secara lengkap mereka
memberikan penjelasan bahwa20
:
“Agensi birokrasi, komite legislatif, pengadilan yang berwenang meninjau
kembali putusan hakim, adalah arena untuk memperjuangkan kekuatan sosial,
tapi mereka juga merupakan kumpulan prosuder operasi standar dan struktur
yang mendefinisikan dan mempertahankan kepentingan. Mereka adalah aktor
politik bagi diri mereka sendiri”
Gagasan itu melahirkan sebuah pemahaman baru dalam teori institusional.
Perubahan itu memungkinkan kajian-kajian teori institusional tidak harus terus dalam
model Westminter21
. Di sisi lain teori institusional juga tidak meninggalkan dasar
pijakan dari teori institusional yaitu lembaga-lembaga politik dan seluruh aktivitas di
dalamnya. Perubahan-perubahan itu mengakibatkan pengertian-pengertian teori
institusional semakin bervariasi dan luas. Teori institusional (kelembagaan), menurut
Rhodes ialah suatu subjek masalah yang mencakup peraturan, prosedur, dan
organisasi formal pemerintahan. Ia memakai alat-alat ahli hukum dan sejarawan
20
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Penerjemah Helmi
Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media, 2010), 112. 21
Model Westminter adalah model pemerintahan Eropa Barat dengan kekuasaan yang terletak
pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan menggunakan asas Trias Politica. Model
Westminter memiliki tujuan untuk menciptakan sistem politik yang demokratis dan liberalisme dalam
kebebasan politik dan HAM.
42
untuk menjelaskan batas-batas pada perilaku politik maupun efektivitas demokrasi
dan ia membantu perkembangan model Westmister tentang demokrasi representatif.22
Pengertian dari teori institusional (kelembagaan), menurut Rhodes lebih
didasarkan pada permasalahan-permasalahan yang tejadi pada lembaga-lembaga
politik dan aturan-aturan yang melingkupinya, dengan bantuan-bantuan dari
pendekatan hukum dan ilmu sejarah akan lebih memudahkan menerangkan tentang
perilaku politik serta dampak yang dihasilkan demokrasi. Lebih jauh, Rhodes juga
menyakini bahwa teori institusional (kelembagaan) menjadi peran penting di dalam
mengembangkan model Westmister tentang demokrasi perwakilan ke seluruh dunia.
Pada akhirnya, pandangan Rhodes tentang teori institusional menurut David Marsh
dan Gerry Stoker, telah dengan tegap mempertahankan teori institusional pada studi
tentang pemerintahan dan politik.23
Di pihak lain, Samuel P. Huntington mencoba melihat kajian mengenai teori
institusional lebih komplek dari pada membahas mengenai seputar pemerintahan dan
aturan-aturannya. Huntington berpandangan bahwa teori institusional (kelembagaan)
ialah suatu teori yang mencari sebuah jawaban atas kelembagaan politik yang ada di
negara-negara berkembang untuk mencapai tingkat kestabilan politik seperti pada
negara-negara maju, khususnya Negara-Negara Barat. Pandangan Huntington
terhadap teori institusional berlandaskan pada perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah komunitas politik yang sederhana
22
Rod Rhodes, Understanding Governance (Buckingham: Open University Press, 1997), 68. 23
Marsh dan Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, 109.
43
namun dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan majemuk,
maka untuk mengatur sebuah komunitas politik itu dibutuhkan sepak terjang dari
lembaga-lembaga politik.24
Komunitas politik, menurut Huntington tercipta dari interaksi kekuatan-
kekuatan sosial yang terdapat di dalam masyarakat, semakin komplek dan majemuk
kekuatan sosial di dalam masyarakat, maka semakin dibutuhkan lembaga politik
untuk mengatur dan menata kekuatan sosial itu. Di lain pihak, lembaga politik
tercipta dari hasil interaksi dan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan
sosial, maupun kerena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana
yang diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut. Komunitas politik dan lembaga
politik menjadi bagian yang penting dan tidak terpisahkan di dalam teori institusional
oleh Huntington. Hal ini seperti pada penjelasan Huntington sebagai berikut ini25
:
“Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat komunitas di dalam suatu
masyarakat yang kompleks tergantung dari kekuatan dan ruang lingkup
lembaga-lembaga politik yang ada. Lembaga merupakan perwujudan perilaku
konsensus moral dan kepentingan timbal balik. Keluarga, clan, suku atau desa
yang terpencil dapat menjadi suatu komunitas dengan usaha yang dilandasi
oleh sedikit kesadaran. Dari salah satu segi, kelompok-kelompok semacam itu
merupakan komunitas alamiah. Apabila jumlah anggota komunitas bertambah
banyak, strukturnya bertambah kompleks, dan kegiatannya semakin beraneka
ragam, maka hasil yang dicapai atau pembinaan terhadap tingkat komunitas
yang tinggi akan semakin tergantung dari lembaga politik.”
Penjelasan tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa komunitas politik
dan lembaga politik menjadi bagian terpenting di dalam teori institusional
24
Samuel P. Huntington, Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Penerjemah
Sahat Simamora (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 1-15. 25
Huntington, Tertib Politik, 11-14.
44
Huntington. Bagian komunitas politik dan lembaga politik saling terikat di dalam
masyarakat yang kompleks jika dibandingkan oleh masyarakat alamiah atau
tradisonal.
Keadaan ini akan berbalik jika melihat keadaan negara-negara berkembang, di
mana kekuatan sosial yang terdapat di dalam komunitas politik berada pada posisi
yang kuat, sedangkan lembaga politik yang ada berada pada posisi lemah. Pada
bidang legislatis dan eksekutif, kekuasaan pemerintahan dan partai politik masih
lemah dan tidak teratur. Berbanding terbalik dengan evolusi masyrakatnya yang
semakin berkembang dari pada negara. Keadaan itu berbeda dengan negara-negara
maju yang mengalami penguatan di dalam kelembagaannya. Pada bagian ini
Huntington memberikan ide-nya untuk menyelesaikan pemasalahan kelembagaan di
negara berkembang. Menurut Huntington penguatan lembaga politik itu sangat
dipengaruhi oleh kriteria-kriteria pelembagaan politik.26
Hal ini juga yang
membedakan teori institusional Huntington dengan ilmuwan politik lain.
Pada kriteria pelembagaan politik ini menjadi kunci utama terhadap teori
institusional Huntington. Pelembagaan adalah proses di mana organisasi dan tata cara
memperoleh nilai baku dan stabil. Bagi Huntington tingkat pelembagaan setiap
sistem politik dapat ditentukan dari segi kemampuan untuk menyesuaikan diri,
kompleksitas, otonomi dan keterpaduan organisasi berserta tata cara-nya. Hal ini juga
berlaku pada tingkat pelembagaan setiap organisasi atau tata cara tertentu dapat
26
Huntington, Tertib Politik, 15.
45
diukur dari kemampuannya, kompleksitas, otonomi dan keterpaduannya. Kriteria
pelembagaan politik menurut Huntington, yaitu27
:
1. Penyesuaian diri, yaitu proses di mana lembaga atau tata cara dapat
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Semakin tinggi menyesuaikan diri
lembaga atau tata cara-nya, maka semakin tinggi tingkat pelembagaannya.
Sebaliknya apabila kurang dapat menyesuaikan diri dan lebih kaku,
pelembagaannya akan semakin rendah pula. Kemampuan untuk
menyesuaikan diri merupakan suatu ciri khas yang harus dicapai. Tiga cara
untuk mengukur lembaga atau tata cara berhasil melakukan penyesuaian diri-
nya, yaitu melalui perhitungan kronologis, usia generasi, dan fungsi-nya.
2. Kompleksitas, yaitu proses pengkompleksitas lembaga pada keadaannya.
Semakin komplek suatu lembaga akan semakin tinggi pula tingkat
pelembagaannya. Kompleksitas dapat menambah jumlah sub-unit lembaga,
baik dari segi hierarki maupun fungsional, dan diferensiasi berbagai tipe sub-
unit lembaga yang terpisah. Semakin banyak keanekaragaman sub-unit, akan
semakin besar pula kemampuan lembaga untuk menjamin serta
mempertahankan kesetiaan anggota-anggotanya.
3. Otonomi, yaitu proses sejauh mana lembaga dan prosedur tidak tergantung
dari kelompok sosial dan metode perilaku yang lain.
4. Kesatuan atau keterpaduan, yaitu proses lembaga mengalami kesatuan atau
keterpaduan terhadaap lingkungannya. Semakin terpadu dan utuh suatu
27
Huntington, Tertib Politik, 16-30.
46
lembaga, semakin tinggi pula tingkat pelembagaannya, dan sebaliknya
semakin terpecah lembaga, semakin rendah pula tingkat pelembagaannya.
Pada kesatuan dan keterpaduan lembaga sangat disyaratkan adanya konsensus
di antara kelompok sosial yang terdapat pada lembaga tersebut.
Di sisi lain dari teori institusional, ada sebuah gagasan yang mencoba
memberikan dan mengembangkan nilai-nilai tentang demokrasi. Hal ini seperti
pandangan teori institusional yang digagas oleh David E. Apter. Pandangan teori
institusionalnya berbeda dari gagasan yang diberikan oleh Huntington. Pandangan
Apter di dalam teori institusional lebih berdasarkan pada nilai-nilai liberian dan
pemerintahan demokrasi, walau terkadang dia juga membandingkan lembaga-
lembaga itu dengan sistem politik yang tidak demokrasi (otoriter atau totalriter).
Gagasan dan ide-ide yang dituangkan oleh Apter lebih kepada bagaimana lembaga-
lembaga politik itu bisa berkerja dalam nilai-nilai yang demokrasi. Apter
berkeyakinan sistem demokrasi ialah sistem yang dapat menyelesaikan konflik-
konflik yang terjadi di dalam masyarakat dengan diubah menjadi sebuah persaingan
damai melalui badan-badan perwakilan dalam pemerintahan. Hal itu terlihat dari
penjelasan yang diuraikan oleh Apter mengenai teori institusional28
:
“Paham kelembagaan mendukung sisi pencerahan dalam perdebatan itu.
Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan pemecahan-pemecahan
universal dengan menerjemahkan cita-cita libertarian (nilai-nilai liberal) ke
dalam pemerintahan perwakilan.”
28
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES,
1988), 135.
47
Pandangan teori institusional Apter berlandaskan pada ide-ide generatif
(umum) tentang kelembagaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar demokrasi,
yang bersumber pada kekuasaan. Menurut Apter kekuasaan adalah kekuatan yang
dapat dipakai dan dikendalikan, persoalan utama-nya ialah mengubah kekuasaan
mutlak untuk dipakai secara demokrasi. Secara umum Apter menjelaskan sebagai
berikut29
:
“Kekuasaan merupakan dasar politik. Dalam demokrasi, pemakaiannya harus
sesuai dengan patokan-patokan kewajaran atau keadilan. Hal ini selanjutnya
tercermin dalam hukum. Hukum menciptakan wewenang dan memungkinkan
perwakilan menjadi sarana pembuatan hukum. Selanjutnya jika perwakilan
didasarkan pada pesamaan, maka ia akan mendorong kebebasan dan
demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sistem yang menjamin kebebasan.
Kebebasan-kebebasan itu diabadikan dalam hak-hak, yang diungkapkan secara
politik dalam perwakilan. Dalam demokrasi, melalui kedaulatan rakyat hak
menimbulkan wewenang, suatu wewenang yang didukung oleh hukum.
Hasilnya adalah sebuah sistem ketertiban yang menjadi landasan yang
memungkinkan dijalankannya kekuasaan serta ditetapkannya asas-asas
kewajaran atau keadilan.”
Keyakinan Apter terhadap sistem demokrasi pada teori institusionalnya, bukan
hanya dapat menghentikan dan menyelesaikan konflik-konflik tersebut, tapi sistem
demokrasi adalah sistem terbuka. Sistem yang berusaha mencari pemecahan sedikit
demi sedikit berdasarkan persetujuan dari rakyat. Sistem ini juga memiliki
kelemahan, yaitu proses kerja yang lambat, sulit digunakan, dan mungkin dapat kalah
terhadap pengaruh-pengaruh yang membahayakan. Kelemahan-kelemahan yang ada
pada sistem itu tidak membuat keyakinan Apter berubah melainkan semakin yakin
terhadap sistem ini. Hal itu karena sistem ini dapat diperbaharui dan banyak para
29
Apter, Pengantar Analisa Politik, 137.
48
penganut kelembagaan beranggapan bahwa betapapun buruknya kerja sistem ini, ia
masih lebih baik dari pada sistem yang lain. Keyakinan itulah yang melahirkan
prinsip-prinsip demokrasi yang secara umum disimpulkan oleh Apter sebagai
berikut30
:
“Persamaan dan demokrasi menjamin kebebasan. Ketertiban dan kekuasaan
menjamin keadilan. Keadilan dan kebebasan merupakan variabel-variabel
yang menentukan atau independen. Persamaan dan ketertiban merupakan
variabel-variabel bergantung.”
Gagasan dan ide teori institusional Apter menjelaskan bahwa sebuah lembaga-
lembaga politik memiliki kekuasaan yang harus dikelola dengan sebuah sistem
demokrasi berlandaskan pada persamaan, kebebasan, keadilan, dan ketertiban. Pada
prinsip-prinsip ini, lembaga akan berjalan dengan baik dan menciptakan ketertiban
politik.
Bagian berikutnya Apter menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip dasar
demokrasi membentuk lembaga-lembaga yang demokrasi. Apter mencoba
menjelaskan sebagai berikut31
:
“kedaulatan rakyat dibutuhkan untuk jalannya demokrasi. Tetapi kedaulatan
rakyat membutuhkan persetujuan dari yang diatur. Dan, tanpa bagian ruang
lingkup yang dicadangkan untuk kehidupan pribadi, kedaulatan rakyat
mengakibatkan suatu tirani mayoritas. Maka pemerintahan harus dibatasi.
Sejauh mana batasnya merupakan masalah konstitusional. Namun
pemerintahan terbatas berarti bahwa, agar efisien dalam ruang lingkup
kekuasaannya, pemerintah harus mampu bertindak. Tetapi, kekuasaan
bertindak perlu juga diawasi oleh kekuasaan badan legislatif. Dengan
demikian tanggung jawab untuk pengaturan kekuasaan diserahkan kepada
badan legislatif maupun kepada publik. Mewujudkan tanggung jawab publik
membutuhkan pemungutan suara, yang agar efektif harus diorganisir oleh
30
Apter, Pengantar Analisa Politik, 136-137. 31
Apter, Pengantar Analisa Politik, 137-138.
49
partai-partai yang mempromosikan persaingan damai. Partai-partai tidak
dapat bersaing secara damai tanpa sistem pemilihan yang telah ditentukan
terlebih dahulu. Sistem pemilihan mengandaikan bahwa rakyat mempunyai
alasan untuk memberikan suara terhadap masalah-masalah yang mereka
ketahui. Publik yang banyak mengetahui membutuhkan jaminan adanya pers
bebas dan hak berkumpul dalam rangka mengkomunikasikan pandangan-
pandangan mereka yang bertentangan. Unsur-unsur ini mengawasi dan
menyeimbangkan kekuasaan.”
Keseluruhan dari lembaga-lembaga demokrasi menghasilkan sebuah sistem
demokrasi yang diatur dan dikendalikan oleh konstitusi. Konstitusi ini baik yang
tertulis maupun tidak, akan menciptakan sebuah kebebasan dan ketertiban di dalam
politik dan kelembagaan negara. Pada bagian ini, jenis-jenis pemerintahan demokrasi
akan terbentuk. Apter meyakini bahwa konstitusi (baik tertulis maupun tidak) akan
menciptakan bentuk pemerintahan yang federal atau kesatuan, yang akan melahirkan
dua sistem pemerintahan, yaitu presidensiil dan parlementer.32
Bagi Apter untuk menciptakan dan membentuk lembaga-lembaga yang bebas
dan tertib maka ada dua cara untuk membentuknya, yaitu dengan revolusi dan
evolusi. Cara yang paling tepat dalam membentuk kelembagaan adalah dengan
menggunakan cara evolusi, dibandingkan revolusi. Evolusi memberikan sebuah
bangsa tentang kesadaran sejarahnya sendiri, yang dapat menciptakan bentuk-bentuk
lembaga-nya sendiri. Lembaga-lembaga itu terbentuk sebagai sebuah kelangsungan
dan kebanggaan nasional yang pada awalnya berada pada bahasa, kelas, tata krama,
gaya dan kegiatan-kegiatan komersial serta ekonomi kelompok nasional. Semua hal
itu menghasilkan sebuah penghargaan publik yang akan menciptakan kebanggaan
32
Apter, Pengantar Analisa Politik, 138.
50
nasional pada lembaga-lembaga pemerintah yang terbentuk. Keadaan berbeda jika
lembaga-lembaga pemerintah terbentuk dari jalur revolusi. Di mana keadaan itu
menghasilkan kesulitan-kesulitan, kekurangan-kekurangan, dan kekejaman-
kekejaman yang dahsyat, yang mampu meluluhkan dan menghancurkan harga diri
sebuah bangsa. Pada akhirnya, meninggalkan suatu warisan kebencian, kemerosotan
wibawa, dan melenyapkan kebanggaan rakyat terhadap masa lampu mereka. Hal itu
terjadi karena revolusi adalah suatu proses perpecahan atau pemutusan masa lalu.33
Perkembangan yang terjadi di Negara Mesir pasca Revolusi Arab Spring 2011
dan mundurnya Mubarak. Tidak menghancurkan sistem kelembagaan politik yang
telah tercipta di dalam perpolitikan Mesir. Pemerintahan eksekutif yang selalu
mendapatkan perlindungan dari institusi militer dari masa pemerintahan Nasser
sampai Mubarak dalam menjaga kestabilan politik Mesir. Hal ini juga terjadi di
dalam masa transisi demokrasi Mesir, yang mana kekuasaan setelah lengsernya
Mubarak berada di tangan SCAF. Institusi SCAF merupakan kepanjangan tangan dari
Militer Mesir di dalam perpolitikan Mesir. Keadaan itu akan terus terjadi sampai
terpilihnya pemerintahan Mursi hingga kepada kejatuhan-nya (pemerintahan Mursi).
33
Apter, Pengantar Analisa Politik, 138-139.
51
BAB III
DINAMIKA PERPOLITIKAN MESIR 1920-2011
Pada bagian ini, penulis akan mencoba mendeskripsikan secara singkat
tentang dinamika politik negara modern Mesir dari diberikannya kemerdekaan oleh
Kerajaan Inggris sampai saat ini. Di lain itu, penulis juga akan mendeksripsikan
perkembangan politik Pemerintahan Mesir, khususnya dari negara modern Mesir.
Perkembangan politik Pemerintahan Mesir akan diuraikan oleh penulis dari awal
Negara Mesir mendapatkan kemerdekaan, berkuasanya para Militer Mesir (Dari
kudeta yang dilakukan Nasser sampai Husni Mubarak berkuasa) serta dinamika-
dinamika politik yang terjadi di dalam rezim Militer Mesir.
A. Politik Negara Modern Mesir
Kejayaan negara modern Mesir di antara Negara-Negara Arab atau Timur
Tengah, tidak terlepas dari lahirnya Bangsa Mesir (kurang lebih sekitar 5000 tahun
SM) sampai terbentuknya negara modern Mesir.1 Hal ini semua berawal dari kisah-
kisah sejarah kejayaan para Firaun yang tersimpan dalam monumen-monumen
sejarah seperti Piramida dan Patung Spinx. Kemasyuran masa para Firaun berkuasa di
Mesir telah berakhir beberapa ribu tahun yang lalu. Berakhirnya era-Firaun yang
disebabkan oleh penaklukan bangsa asing, dari mulai Bangsa Babylonia, Persia,
Yunani, Romawi, Arab, Pasukan Salib, Turki, Perancis, hingga Inggris telah
1Ellen Lust, The Middle East 13
th ed. (Los Angles: Sage & CQ Press, 2014), 450.
52
menaklukan dan menduduki negara Mesir. Kenyataan tersebut, telah membuktikan
bahwa negara Mesir tidak pernah dikuasai oleh Bangsa Mesir sendiri. Sampai
akhirnya di tahun 1952 kekuasaan negara Mesir kembali kepada bangsa-nya sendiri.2
Tahun 1952, dapat dikatakan sebagai kelahiran kembali Bangsa Mesir yang lebih
modern dan masih memiliki kebanggaan yang kuat terhadap warisan kejayaan para
Firaun. Warisan kejayaan Firaun di tahun 3000 SM, telah membentuk sebuah
identitas politik negara Mesir sendiri.3
Negara modern Mesir diawali dengan memerintahnya Mohammad Ali sebagai
pemimpin sementara Mesir. Mohammad Ali yang merupakan seorang tentara
berpangkat perwira yang berasal dari Albania dan seorang komandan di kesatuan
Militer Albania yang saat itu berada di dalam kekuasaan Kesultanan Ottaman. Ia
dikirim ke Mesir pada tahun 1789 oleh koalisi Kerajaan Inggris dan Kesultanan Turki
sebagai bentuk operasi militer untuk mengakhiri kekuasaan Perancis di negara
Mesir.4 Penunjukan Ali sebagai penguasa di negara Mesir. Melahirkan sebuah
keluarga Kerajaan Mesir dari tahun 1789-1952.5
Di tahun 1923, pasca Mesir mendapatkan legitimasi sebagai negara merdeka
oleh Kerajaan Inggris. Mesir membuat konstitusi pertamanya sebagai negara yang
merdeka. Konstitusi itu dikenal sebagai Konstitusi 1923. Isi dari Konstitusi 1923
menjelaskan bahwa Mesir adalah Negara Kerajaan Islam dan Bahasa Arab sebagai
2Monte Palmer, The Politics of the Middle East, (Belmont CA: Thomson, 2002), 45.
3J. P. Bannerman, Islamic in Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and Law (New
York: Routledge, 1988), 129. 4Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, A Short History of Modern Egypt, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 51. 5Palmer, The Politics of the Middle East, 46.
53
bahasa resmi negara, tapi konstitusi itu memiliki kebebasan politik yang luas kepada
masyarakat Mesir. Konstitusi 1923, juga menjelaskan tentang warga negara dan hak-
haknya, khususnya dalam memberikan suara pada pemilu. Hak suara hanya diberikan
kepada laki-laki dewasa saja. Konstitusi 1923 juga menetapkan parlemen dengan
sistem bikameral, pengadilan yang indepeden, dan kekuasan eksekutif yang sangat
kuat pada lembaga kerajaan, khususnya raja. Di tahun 1930, Konstitusi 1923
mengalami amademan dan memberikan kekuasaan lebih luas kepada lembaga
eksekutif, yaitu raja dan para menterinya.6
Kekuasaan yang diberikan oleh Konstitusi 1923 telah melahirkan banyak
penyelewengan kekuasaan sehingga membuat banyak pihak merasa kecewa dan tidak
suka terhadap raja dan para menterinya. Apa lagi Raja Faruq terlalu banyak diatur
oleh pemerintahan asing yang tidak lain ialah negara Inggris.7 Semua permasalahan
yang mencengkram Raja Faruq, akhirnya membuat ia dilengserkan oleh kelompok
militer yang menyatakan diri mereka sebagai Free Officers (Perwira-Perwira Bebas).
Kelompok ini dipimpin oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser yang mendapat dukungan
dari Jenderal Muhammad Naguib.8
Free Officers (Perwira-Perwira Bebas) adalah gerakan kelompok militer yang
memiliki pemikiran dan cara pandangan politik yang berbeda pada saat itu. Mereka
tidak terlibat atau ikut serta dengan kelompok-kelompok yang mendukung
6“Government and Society Egypt,” arikel diakses pada 7 September 2017 dari
https://www.britannica.com/place/Egypt/Government-and-society. 7Lust, The Middle East, 452-453.
8William Ochsenwald dan Sydney Nettleton Fisher, The Middle East a History (New York:
McGraw-Hill, 2004), 585-587.
54
pemerintahan yang masih dikendalikan dan dikuasai oleh Kerajaan Inggris. Ditambah
dengan pemerintahan yang korup membuat pemerintahan Raja Faruq dibenci dan
tidak disukai oleh masyarakat dan kalangan militer, terutama Kolonel Gamal Abdul
Nasser.9
Pasca Revolusi 1952, kelompok Free Officers mulai menjalankan roda
pemerintahan Mesir dengan membentuk lembaga RRC (Revolutionary Command
Council) atau yang dikenal sebagai Dewan Pusat Revolusioner, yang merupakan
lembaga untuk menjalankan pemerintahan Mesir pasca kudeta terhadap Raja Faruq
dan pemerintahan parlementernya. Melalui Dewan Pusat Revolusioner partai-partai
politik mulai dilarang beraktivitas di dalam panggung politik Mesir berserta
organisasi-organisasi yang mengancam pemerintahan Revolusi 1952 Mesir.10
Dewan
Pusat Revolusioner (RCC) juga menghapus sistem politik lama dan mengganti
Konstitusi Mesir 1923 dengan konstitusi yang baru, yaitu Konstitusi 1953. Di tahun
1964 Pemerintahan Nasser menerapkan konstitusi sementara untuk mengganti
Konstitusi 1953.11
Berkuasannya militer melalui lembaga Dewan Pusat Revolusioner
(RCC), saat itu negara Mesir mulai memasuki pemerintahan rezim militer.
Di era-Nasser berkuasa, Mesir berada dalam dominasi militer dan kekuasaan
partai tunggal. Partai tunggal Mesir disebut sebagai Perserikatan Sosialis Arab atau
The Arab Socialist Union (ASU). Melalui Perserikatan Sosialis Arab yang digagas
9Palmer, The Politics of the Middle East, 49.
10William L. Cleveland dan Martin Buton, The History of The Modern Middle East, 5
th ed.
(Philadelphia: Westview Press, 2013), 283-284. 11
“Government and Society Egypt.”
55
oleh Nasser, Pemerintah Mesir dapat mengontrol setiap kehidupan politik bangsa
Mesir. Perserikatan Sosial Arab bukan hanya berfungsi sebagai partai politik, tapi
juga berperan sebagai penangkal gerakan-gerakan anti-revolusi, seperti para tuan
tanah, kaum Komunisme, dan Ikhwanul Muslimin.12
Di tahun 1970 Pemimpin Revolusi 1952 Gamal Abdul Nasser meninggal
dunia, selanjutnya tampuk kekuasaan diserahkan kepada wakilnya Anwar Sadat
sebagai pemimpin negara Mesir. Di masa Sadat, Mesir mulai menghidupkan kembali
partai-partai politik yang dilarang sebelumnya. Sadat juga berjanji akan memberikan
masyarakat Mesir pemerintahan yang demokratis. Bukti dari dihidupkanya partai-
partai politik di masa Sadat ialah Partai Wafd yang mulai berpartisipasi kembali
dalam kehidupan politik Mesir tahun 1977.13
Pemerintahan Sadat yang berkuasa selama 10 tahun, tetap menunjukan
kekuasaan eksekutif yang sangat dominan dari lembaga-lembaga lain, namun ia
mampu membawa pemilihan umum untuk parlemen Mesir yang pertama semenjak
berakhirnya sistem monarki-parlementer di Mesir.14
Di masanya Sadat banyak partai
yang kembali dalam percaturan politik Mesir tetapi tidak menjamin lahirnya
kebebasan partai politik secara demokrasi. Hal itu terjadi karena Sadat tetap
12
Palmer, The Politic Of The Middle East, 54. 13
Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 284. 14
Lust, The Middle East, 455.
56
mengontrol partai-partai tersebut melalui Partai Nasional Demokrasi (NDP15
) yang
dibentuk oleh-nya.16
Terbunuhnya Sadat oleh aksi kelompok fundamental Islam (ekstrimis Islam),
membuat Mesir memasuki era Pemerintahan Husni Mubarak yang juga merupakan
seorang militer dan berkuasa lebih lama dari kedua pendahulunya. Di-era Mubarak,
pemilu kembali rutin digelar.17
Mubarak juga merubah sistem politik Mesir, dengan
mulai menunjuk Perdana Menteri untuk membantu tugas-tugasnya menjalankan
pemerintahan Mesir.18
Adanya Perdana Menteri tidak merubah kekuasaan Mubarak
atas pemerintahan Mesir. Ini terbukti dari calon yang diajukan oleh parlemen Mesir
tetap saja calonnya hanya satu, yaitu Mubarak. Hal itu terjadi karena parlemen Mesir
selalu dikuasai oleh Partai Nasional Demokrasi (NDP) yang merupakan partai
pendukung rezim Mubarak di Mesir. Calon Presiden Mesir hanya dipilih melalui
parlemen Mesir. Di bulan Mei tahun 2005 Mubarak membuat sebuah peraturan yang
mengejutkan dengan mengijinkan adanya calon lain selain diri-nya dalam pemilihan
Presiden Mesir di parlemen Mesir, tetapi hasilnya tetap sama yaitu Mubarak sebagai
Presiden Mesir.19
Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang
disebut Revolusi Arab Spring 2011.
Revolusi Arab Spring 2011 menghasilkan sebuah pemerintahan Mesir yang
lebih demokrasi dengan terpilihnya Muhammad Mursi pada pemilu presiden yang
15
NDP adalah singkatan untuk National Democratic Party. 16
Palmer, The Politic Of The Middle East, 63. 17
Palmer, The Politic Of The Middle East, 63-65. 18
Palmer, The Politic Of The Middle East, 72-73. 19
Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural Perspective,
2nd
ed. (New York: Routledge, 2013), 157.
57
diselengarakan pada 30 Juni 2012. Kemenangan Muhammad Mursi dari lawannya
Ahmad Shafik dengan perolehan suara 52% berbanding 46%.20
Membuat ia dilantik
menjadi presiden sipil pertama serta perwakilan dari kubu partai Islam di Mesir.21
Kemenangan partai Islam ternyata tidak membuat Mursi dapat bertahan lama
ditampuk kekuasaannya. Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi di
kudeta oleh Militer Mesir melalui pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang
disuarakan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.
Pada pengumuman itu, Jenderal al-Sisi didampingi oleh Ulama Al-Azhar, Pemimpin
Kristen Koptik, Pemimpin Kelompok Oposisi Muhammad El Baradei, Pemimpin
Partai Islam Nour, dan Tokoh Pergerakan Tamarod yang melakukan unjuk rasa di
Lapangan Tahrir. Penyebab pemerintahan Mursi dilengserkan oleh militer karena
dominisasi kelompok Ikhwanul Muslimin terhadap seluruh kekuasaan di Mesir,
memburuknya keadaan ekonomi Mesir, Dekrit Presiden 22 November 2012, dan
pelanggaran demokrasi dan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Mursi dan
pendukungnya.22
Roda pemerintahan selanjutnya diberikan kepada Ketua Mahkamah
Agung Mesir sebagai Caretake pasca Mursi dikudeta.23
20
Lust, The Middle East, 463. 21
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21 September
2017 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi 22
WD, “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21 November 2015
dari https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-presiden-mesir-digulingkan 23
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,”
58
B. Pemerintahan Mesir Pra dan Pasca Kudeta Militer (Revolusi) 1952
Negara Mesir moderan, terutama sebelum kudeta militer di tahun 1952, ialah
sebuah monarki konstitusi. Puncak hirarki dari kekuasaan di negara Mesir adalah para
keturunan dari Muhammad Ali. Di tangan mereka wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan perdana menteri serta kabinet berada. Mereka memiliki kekuatan
yang kuat di dalam menjalankan pemerintahan Mesir, tapi disisi lain kekuasaan yang
mereka miliki masih di lingkupi oleh bayang-bayang dari Kerajaan Inggris. Bahkan
Kerajaan Inggris dengan sangat jelas telah mencampuri urusan dalam negeri
pemerintahan Mesir. Dominasi Kerajaan Inggris terhadap negara Mesir semakin kuat
saat pecahnya Perang Dumia I 1914, dengan mendekralasikan negara Mesir sebagai
wilayah protektorat24
dari Kerajaan Inggis.25
Terbukti dengan ditetapkannya Mesir sebagai wilayah protektorat dari Kerajaan
Inggris, maka terbentuk sebuah Komisioner Agung. Tugas utama dari Komisioner
Agung Kerajaan Inggris di Mesir ialah mengontrol dan mengawasi jalannya
pemerintahan dalam negeri Mesir dan ikut campur di dalam urusan keuangan yang
dikelola oleh pihak istana Kerajaan Mesir. Di sisi yang lain hal, penetepan Mesir
sebagai wilayah protektorat Kerajaan Inggris memberikan akses yang kuat terhadap
datangnya kekuatan Militer Inggris di tanah Mesir.26
Pembentukan daerah protektorat
Kerajaan Inggris terhadap negara Mesir, juga mengakhiri bayang-bayang kedaulatan
24
Wilayah protektorat adalah sebuah wilayah negara yang setengah independen, artinya
bahwa negara itu merdeka secara de jure sedangkan secara de facto tidak mengakuinya. Wilayah
protektorat bias dikatakan sebagai bentuk penjajahan yang lebih modern. 25
Lust, The Middle East, 452. 26
Palmer, The Politics of the Middle East, 47.
59
Kesultanan Turki Utsmani pada negara Mesir.27
Di masa itu hingga berakhirnya
Perang Dunia 1 1918, pemerintahan negara Mesir dikendalikan oleh dua kekuatan
besar yaitu pihak istana Kerajaan Mesir sendiri (Raja) dan pihak Kerajaan Inggris
dengan Komisioner Agung-nya.
Berakhirnya Perang Dunia I 1914-1918, ikut membawa perubahan besar
terhadap negara Mesir. Berawal dari kehadirannya para tokoh terkemuka Wafd (yaitu
kelompok yang mengorganisir gerakan nasionalisme di Mesir dan menginginkan
negara Mesir menjadi negara yang merdeka, terbebas dari Kerajaan Inggris) yang
hadir di dalam konfersi perjanjian perdamaian di Versailes, Perancis. Kehadiran
mereka di sana adalah untuk meminta kemerdekaan negara Mesir dari kekuasaan
Kerajaan Inggris, serta berkeinginan menjadikan negara Mesir sebagai negara
berbentuk republik demokrasi.28
Kemerdekaan yang sangat diharapkan oleh bangsa Mesir dapat terwujud
dengan penyerahan kedaulatan Mesir dari Kerajaan Inggris kepada pemerintahan
Mesir tahun 1922. Menunjuk Fuad (seorang Putra Mahkota yang pernah dilengserkan
dari keturunan Ismail, yang memiliki sifat boros) sebagai Raja Mesir dan menetapkan
Mesir sebagai negara kerajaan. Perwakilan kelompok Wafd yang hadir di
perundingan perdamaian Versailes, setelah tiba di Mesir langsung mendirikan partai
politik yang bernama Hizb al-Wafd. Kehadiran partai Hizb al-Wafd yang berideologi
27
Lust, The Middle East, 452. 28
Lust, The Middle East, 452.
60
nasionalis membuat partai ini menjadi kekuatan utama baru di dalam perpolitikan
bangsa Mesir.29
Setelah bangsa Mesir mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris, tidak
perlu menunggu terlalu lama untuk membentuk sebuah konstitusi baru. Tepat di
tahun 1923, konstitusi baru lahir dan mulai diberlakukan di seluruh negara Mesir.
Konstitusi 1923 memberikan hak kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat Mesir
untuk memilih anggota dewan atau badan legislatif.30
Lahirnya konstitusi baru
menjadikan kekuatan politik di negara Mesir menjadi bertambah. Sebelumnya
kekuatan politik di negara Mesir terkutub pada dua sisi, yaitu istana (yang diwakili
oleh Raja dan para bawahannya) dan Kerajaan Inggris (yang diwakili oleh
Komisioner Agung). Pasca pemberian kemerdekaan dan Konstitusi 1923 berlaku,
maka poros kekuatan politik di Mesir bercabang menjadi tiga, yaitu Raja Mesir,
Kerajaan Inggris dan Partai Wafd.31
Pada tahun 1945 gerakan kelompok Persaudaran Muslim atau yang dikenal
Ikhwanul Muslimin mulai mendapatkan simpati yang besar dari masyarakat Mesir.
Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada tahun 1928 di Ismailia, merupakan sebuah
gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membebaskan negara Mesir dari dominasi
Kerajaan Inggris. Gerakan ini sering melakukan protes-protes di jalan-jalan kota
Mesir untuk menentang pemerintahan yang berkuasa dan Kerajaan Inggris. Keadaan
itu membuat Perdana Menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrashi harus mengeluarkan
29
Lust, The Middle East, 452. 30
“Government and Society Egypt.” 31
Lust, The Middle East, 452.
61
peraturan yang melarang gerakan Ikhwanul Muslimin untuk beraktivitas dan
menjalankan roda organisasi di tahun 1948.32
Tidak lama berselang pelarangan Ikhwanul Muslimin diterbitkan, Perdana
Menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrasi ditembak mati oleh kelompok yang tidak dikenal.
Meninggalnya Perdana Menteri Mesir memunculkan kecurigaan terhadap kelompok
Ikhwanul Muslimin sebagai dalang penembakan Perdana Menteri. Aksi penembakan
terus terjadi, tepat pada bulan Februari 1949, Hassan al-Bannna yang merupakan
tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin ditembak hingga tewas di sebuah jalan kota.
Peristiwa itu mulai membuat keadaan politik Mesir semakin bergejolak. Di bulan
Januari 1952 terjadi penembakan dan kerusahan anti-Barat di jalan-jalan kota Kairo.
Puncak dari ketegangan politik itu adalah pergerakan para anggota perwira menengah
Militer Kerajaan Mesir yang dikomando oleh Kolonel Gamal Abdel Nasser dan
didukung oleh Mayor Jenderal Muhammad Naguib melakukan aksi kudeta militer
dengan menggulingkan Raja Faruq dari singgahsana kekuasaan Mesir.33
Jatuhnya
Raja Faruq dari kekuasaannya maka berakhirlah kekuasaan Kerajaan Inggris berserta
Partai Wafd yang berhaluan nasional mengalami nasib yang sama yaitu menghilang
dari peredaran kekuatan di dalam politik Mesir.
Kudeta 1952 atau yang lebih dikenal sebagai Revolusi 1952 membawa Mesir
pada sebuah era baru, yang lebih optimis dari pada sebelumnya. Lembaga semi-
parlementer yang sudah berkembang pada sistem monarki Mesir telah dibubarkan
32
Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (New York: Oxford University
Press, 1993), 71. 33
Lust, The Middle East, 453.
62
dan digantikan oleh Dewan Pusat Revolusi atau yang dikenal sebagai Revolutionary
Command Council (RCC). Anggota-anggota dari Dewan Pusat Revolusi Mesir terdiri
dari para pengikut Nasser yang telah mendapatkan kepercayaan darinya, serta yang
tergabung di dalam Kesatuan Perwira Bebas.34
Pembubaran juga tidak terbatas pada
lembaga parlementer tapi berlaku juga pada partai politik. Kesemuannya itu diatur di
dalam konstitusi baru Mesir yaitu Konstitusi 1952. Di tahun 1956, Konstitusi 1952
diganti dengan yang baru dan nantinya mengalami dua kali perbaikan di tahun 1958
dan 1964.35
Di tahun 1954, kelompok Ikhwanul Muslimin mulai mencoba melakukan
usaha percobaan pembunuhan terhadap Nasser. Akibatnya dari peristiwa itu
kelompok Ikhwanul Muslimin harus bergerak secara sembunyi-sembunyi dan
membuat gerakannya itu tidak berkembang atau tidak aktif selama pada era Nasser
berkuasa.36
Pasca Revolusi 1952, posisi kepemimpinan tertinggi di dalam pemerintahan
Mesir diserahkan kepada Jenderal Naguib sebagai Presiden dan Perdana Menteri
Mesir. Nasser menempatkan dirinya sebagai Menteri Dalam Negeri Mesir.37
Bagi
Nasser dan kelompok Perwira Bebas, menganggap Jenderal Naguib adalah seorang
pemimpin militer yang dihormati dan memiliki pandangan politik yang netral.
Jenderal Naguib mulai merasa bahwa kepemimpinnya hanya sebuah sandiwara
politik. Ia pun mulai menentang Nasser dalam perebutan kepemimpinan Revolusi
34
Palmer, The Politics of The Middle East, 50. 35
Lust, The Middle East, 454. 36
Palmer, The Politics of The Middle East, 50. 37
Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 284.
63
Mesir.38
Akhirnya di tahun 1954 Jenderal Naguib dilengserkan dari kekuasaannya.
Penyebab pelengseran Naguib karena diduga sebagai pendukung kelompok Ikhwanul
Muslimin yang menjadi lawan dari militer dan dianggap sebagai organisasi terlarang
pasca tahun 1954.39
Posisi Naguib mulai digantikan oleh Nasser sebagai Presiden
Mesir.40
Pemerintahan Mesir di bawah kekuasaan Nasser memiliki wajah yang
berbeda. Di era-nya, Nasser membuat tiga kebijakan penting. Kebijakan penting
pertama adalah di bidang ekonomi. Nasser membuat negara Mesir menjadi negara
dengan sistem ekonomi sosialis. Menasionalisasi aset-aset kepemilikan asing
terutama Inggris dan Perancis adalah langkah awal Mesir menuju sistem sosialisme.
Proses itu dilakukan tidak lama setelah perang dengan Israel tahun 1956 dan proses
ini terus berlanjut beberapa tahun berikutnya sampai hampir seluruh perusahaan, serta
para pekerja yang bukan dibidang pertanian telah dinasionalisasi dan diatur langsung
oleh pemerintah. Mengubah negara menjadi sosialis bukan berarti mengatakan Nasser
sebagai komunis atau pendukung komunis. Gagasan tentang penggunaan sistem
sosialis terhadap sistem ekonomi Mesir didasarkan oleh Nasser dari pemahaman Al-
Quran. Menurutnya dan kelompok Perwira Bebas (Free Officer) menganggap
sosialisme adalah cara terbaik bagi negara Mesir dibandingkan dengan sistem
kapitaslisme dan sistem kepartaian yang hanya membawa Mesir kepada kemiskinan,
38
Palmer, The Politics of The Middle East, 51. 39
Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 285. 40
Palmer, The Politics of The Middle East, 51.
64
ketimpangan, dan konflik. Sebuah sistem sosial selalu berjalan beriringan dengan
kekuatan militer yang berkuasa (rezim militer).41
Kebijakan penting kedua yang dibuat Nasser adalah menciptakan sebuah
organisasi politik yang mampu menggerakan dan menghubungkan masyarakat Mesir
dengan pemerintah yang berkuasa dan tidak menciptakan sebuah perpecahan serta
konflik. Akhirnya Nasser memutuskan membuat sebuah organisasi politik yang
bernama Perserikatan Arab Sosialis (The Arab Socialist Union)42
. Pembentukan
partai tunggal yang berfungsi sebagai sarana untuk tukar-pikiran, saluran komunikasi,
agen sosial-politik, dan yang terpenting sebagai saluran pencarian anggota baru atau
kader baru yang mampu menjalankan semangat Revolusi Mesir.43
Kebijakan penting Nasser yang terakhir adalah menggagas atau membentuk
sebuah ideologi politik yang mampu menyatukan seluruh bangsa Arab, tanpa harus
dipecah-belah oleh kekuatan asing. Melihat pada karakteristik masyarakat Timur
Tengah yang memiliki kebiasaan yang sama, seperti bahasa, budaya dan agama.
Melahirkan sebuah gagasan baru bagi Nasser untuk menggabungkan dan menyatukan
bangsa Arab dalam sebuah negara persemakmuran yang berlandaskan ideologi
Nasionalisme Arab. Pada akhirnya impian untuk membentuk sebuah Negara
Persemakmuran Arab yang berlandaskan ideologi Nasionalisme Arab dapat terwujud
41
Palmer, The Politics of The Middle East, 53. 42
The Arab Socialist Union atau disingkatan menjadi ASU 43
Cleveland dan Buton, The Modern Middle East, 296-297.
65
di dalam penyatuan negara Mesir dan Suriah, walaupun akhirnya penyatuan itu tidak
berlangsung lama.44
Goncangan politik mulai kembali melanda Mesir dan pemerintahan Nasser.
Kegagalan perang melawan Israel tahun 1967 serta keadaan ekonomi dan politik
dalam negeri Mesir menjadi penyebab goncangan politik yang melanda pemerintahan
Nasser. Keadaan itu juga menciptakan ketegangan antara pemerintahan Nasser
dengan kelompok ekstrimis yang menolak konsep pemerintahan Nasser. Di lingkaran
utama khususnya dalam pemerintahan Nasser juga terjadi konflik antara para faksi
dalam tubuh lembaga legislatifnya yaitu RCC. Konflik itu juga membuat rekan
seperjuangan Nasser di dalam perpolitikan negara Mesir, Abdul Hakim Panglima
Militer Mesir melakukan tindakan bunuh diri. Keadaan-keadaan itu membuat
Presiden Nasser berkeinginan untuk mundur sebagai Presiden Mesir namun hal itu
ditolak oleh RCC. Keadaan tegang ini tidak berakhir sampai pada kematian Nasser di
tahun 1970.45
Pasca kematian Presiden Nasser, kekuasaan pemerintahan Mesir digenggam
dan kendalikan oleh Wakilnya yang bernama Anwar Sadat. Penunjukannya sebagai
pengganti Nasser memberikan sebuah keraguan dan ketidakyakinan masyarakat
Mesir terhadapnya. Banyak masyarakat Mesir memandang ia sebagai sosok yang
lemah menduduki jabatan Presiden Mesir dan menganggapnya sebagai sosok
presiden palsu yang mungkin akan digantikan oleh seseorang yang lebih kuat dari
44
Palmer, The Politics of The Middle East, 53-56. 45
Palmer, The Politics of The Middle East, 57-59.
66
kelompok Revolusi 1952. Keraguan itu diperkuat dengan melemahnya keadaan
politik dan ekonomi Mesir setelah kekalahan perang tahun 1967.46
Persoalan-persoalan itu mulai muncul pertama kali saat ia menjabat sebagai
Presiden Mesir. Partai tunggal Mesir, Partai Sosialis Mesir (ASU) berani terang-
terangan menolak dan bahkan berseberangan dengan Presiden Sadat di tahun 1970.
Sikap penolakan dan bersebarangan Partai Sosialis Mesir (ASU) terlihat dari sikap
para pemimpin partai yang memerintahkan para anggotanya untuk menolak atau
bahkan membatalkan seluruh kebijakan pemerintah Sadat. Di tambah dengan rencana
kudeta oleh kelompok-kelompok kiri dari Partai ASU pada tahun 1971.47
Untungnya rencana itu berhasil digagalkan oleh Sadat. Supaya peristiwa
kudeta dan rencana buruk yang dilakukan oleh kelompok kiri dari Partai ASU tidak
terulang lagi. Sadat mulai melakukan pergerakan cepat dengan menciptakan kekuatan
yang berimbang melalui pengaktifkan kembali kelompok Ikhwanul Muslimin sebagai
organisasi masyarakat.48
Sadat juga mengubah Konstitusi Darurat Mesir 1964 yang
bersifat sosialis dengan Konstitusi 1971 dengan sistem ekonomi liberal namun tetap
pada kerangka pembatasan kebebasan politik masyarakat Mesir.49
Sadat mulai
melakukan reformasi di bidang ekonomi Mesir pada tahun 1974 dengan meluncurkan
sebuah kebijakan ekonomi yang bernama Infitah (ekonomi terbuka). Kebijakan itu
berfokus pada tujuan menghidupkan serta menumbuhkan kembali ekonomi
46
Palmer, The Politics of The Middle East, 57-59. 47
Palmer, The Politics of The Middle East, 59-60. 48
Palmer, The Politics of The Middle East, 59-60. 49
Lust, The Middle East, 456.
67
masyarakat Mesir dengan mencabut larangan terhadap sistem kapitalisme yang telah
diberlakukan sejak rezim Nasser.50
Di ranah politik Sadat membuka jalan bagi Partai Wafd kembali aktif dalam
percaturan politik Mesir dengan nama yang baru, ialah Partai New Wafd. Pada sisi
yang lain, Sadat juga melarang partai-partai yang memiliki ideologi atau pemikiran
politik seperti Komunisme dan Nasserisme dan kelompok Ikhwanul Muslimin, yang
juga dilarang aktif sebagai partai politik dalam percaturan politik Mesir. Keadaan itu
mengarahkan Mesir menuju pada bentuk sistem kepartian multi-partai yang terbatas.
Di tahun 1978, tepatnya pada bulan Juli, Sadat membentuk partai baru yang bernama
The National Democratic Party (NDP) yang bertujuan untuk menjaga kelompok-
kelompok pendukung Sadat di Partai ASU dan Partai NDP.51
Tahun 1979,
pemerintahan Sadat mulai kembali mengadakan pemilu parlementer untuk pertama
kalinya sejak berakhirnya sistem monarki-parlementer di Mesir.52
Pemilu itu pun
membawa negara Mesir menjadi negara yang menganut sistem multi-partai, tetapi
tetap saja hanya satu partai yang menjadi dominan dan penting, yaitu Partai NDP.53
Di ranah politik Internasional Sadat berhasil berdamai dengan Israel dan melakukan
perjanjian damai disponsori oleh Amerika Serikat melalui Presiden Carter. Perjanjian
itu bernama Perjanjian Damai Camp David yang ditandatangani pada 26 Maret 1979.
Langkah itu juga membawa ia mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian, sebuah
50
Palmer, The Politics of The Middle East, 61. 51
Palmer, The Politics of The Middle East, 62-63. 52
Lust, The Middle East, 455. 53
Palmer, The Politics of The Middle East, 63.
68
keberhasilan yang besar untuk Sadat di dalam menjalankan roda pemerintahan negara
Mesir.54
Pada bulan September 1981 Sadat dibunuh dalam sebuah rangkai acara parade
militer beberapa bulan setelah penangkapan serta penahanan para aktivis politik
Mesir.55
Penangkapan dan penahanan para aktivis politik Mesir terjadi akibat sikap
pemerintah mulai memberlakukan pelarangan kembali terhadap seluruh aktivitas
kegiatan politik masyarakat Mesir. Ada dugaan bahwa kelompok bersenjata yang
melakukan pembunuhan kepada Sadat berasal dari kelompok fundamentalisme Islam.
Husni Mubarak yang sebagai Wakil Sadat mulai menggantikannya dan menempatkan
Mubarak sebagai pemimpin tertinggi Mesir.56
C. Pemerintahan Mesir di Masa Husni Mubarak
Sepeninggal Sadat dan naiknya Mubarak sebagai Presiden Mesir, keadaaan
politik dalam negeri Mesir terus mengalami ketidak pastian dan bahkan melahirkan
sebuah kebingungan. Keadaan ini dipersulit dengan berkembangannya gerakan
fundametalisme Islam. Gerakan itu mendapat letupan semangat baru dengan
kemenangannya di negara Iran. Keberhasilan itu membawa Negara-Negara Arab
cemas dan Mesir pun menjadi sasaran berikutnya bagi gerakan fundamentalisme
54
Palmer, The Politics of The Middle East, 61-63. 55
Lust, The Middle East, 455. 56
Palmer, The Politics of The Middle East, 63.
69
Islam. Kekacauan pun melanda institusi Mesir, yang pada akhirnya memberikan
sedikit dukungan untuk Presiden baru Mesir, yaitu Husni Mubarak.57
Keadaan sulit yang dihadapi oleh Husni Mubarak mulai muncul saat ia
ditunjukan dan bertugas sebagai Presiden Mesir pada bulan Oktober tahun 1981.
Proses pergantian kekuasan dari Sadat ke Mubarak berjalan dengan baik tanpa ada
sedikit pun kendala atau hambatan, tapi keadaan tegang yang menyelimuti
perpolitikan Mesir tidak bisa disembunyikan lagi dan mulai terlihat jelas. Pada
keadaan seperti itu, Husni Mubarak tetap memberlakukan Undang-Undang Dasar
Darurat seperti yang dilakukan oleh seniornya dulu, Anwar Sadat. Ia juga berjanji
akan menjalankan sistem demokrasi, jika keadaan di Negara Mesir telah kembali
normal. Ia pun meminta kepada masyarakat Mesir untuk terus berkerja keras dan
melakukan yang terbaik bagi negaranya. Ia yakin bahwa keadaan ekonomi Mesir
yang terpuruk serta permasalahan yang terjadi di dalamnya dapat diselesaikan dengan
kerjasama antara pemerintah dan masyarakatnya. Baginya setiap persoalan dan
permasalahan Negara Mesir tidak bisa diselesaikan dan diperbaiki oleh pemerintahan
Mesir saja.58
Pada kesempatan tersebut, Mubarak mencoba melakukan manuver politik
untuk menghentikan kelompok-kelompok fundamentalisme. Ia mencoba memisahkan
dan memetakan kelompok-kelompok fundamentalisme dari Ikhwanul Muslimin dari
kelompok-kelompok radikal yang lain sejak sekitar tahun 1970-an, saat dimana
57
Palmer, The Politics of The Middle East, 64. 58
Palmer, The Politics of The Middle East, 65.
70
kelompok-kelompok tersebut mulai muncul dan aktif di Mesir. Ikhwanul Muslimin
yang manjadi dalang penyebab pembunuhan terhadap Anwar Sadat, tetap dibiarkan
untuk beraktivitas di dalam masyarakat Mesir, walaupun status dari organisasi
tersebut bersifat semi-legal.59
Pemisah itu hanya menjadi bukti akan meningkatnya kekerasan di dalam
politik Mesir. Peningkatan kekerasan dalam politik berpusat pada isus-isu yang
bersifat agama, dalam hal ini Agama Islam. Keadaan itu diperparah dengan adanya
kerusuhan yang terjadi pada tahun 1986. Kerusuhan di tahun 1986 yang disebabkan
oleh Aparat Bersenjata Mesir, khususnya Pasukan Penjaga Keamanan Mesir
(Pasukan Guard). Pasukan Penjaga Keamanan Mesir yang merupakan unit terendah
di dalam Kemiliteran Mesir dan berada langsung di bawah Kementerian Dalam
Negeri Mesir dengan tugas menjaga fasiltas publik. Pada saat itu, para anggota yang
termuda dari Pasukan Keamanan Mesir melakukan aksi kekerasan dan mengamuk di
setiap bar-bar, hotel-hotel tempat menginapnya para turis asing, dan berbagai simbol-
simbol Barat lainnya selama empat hari yang dipengaruhi oleh semangat
fundametalisme Islam.60
Untungnya keadaan tersebut dapat dihentikan dan dinetralkan, ketika
pemerintahan Mesir meminta militer untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan
tersebut. Keadaan tersebut, menjadikan sebuah tamparan besar terhadap otoritas
kekuasaan pemerintahan Mubarak di Mesir. Aksi-aksi yang melibatkan kelompok-
59
Palmer, The Politics of The Middle East, 65. 60
Palmer, The Politics of The Middle East, 66-68.
71
kelompok fundamentalisme Islam atau kelompok yang dipengaruhinya masih terus
terjadi dalam periode rezim Mubarak selama ia berkuasa. Dua aksi yang cukup
menjadi perhatian rezim Mubarak untuk melawan dan menghentikan kelompok-
kelompok fundamentalisme Islam. Aksi pertama terjadi saat penyerangan dan
pembunuhan terhadap Warga Negara Asing di Mesir, Aksi yang terakhir sungguh
menjadi peristiwa yang tidak terbayangkan dan terduga, karena pada aksi yang kedua
kelompok-kelompok fundamentalisme Islam mencoba menghilangkan nyawa
Presiden Mubarak dengan percobaan pembunuhan secara langsung menggunakan
pisau. Untungnya Mubarak dapat terselamatkan serta hanya mengalami luka goresan
di bagian tangannya.61
Rezim Mubarak walaupun terganggu oleh ulah beberapa kelompok
fundamentalisme, tetapi ia mampu menjalankan pemilu parlementer secara teratur.
Dimulai pada tahun 1984, tepatnya setelah 5 tahun pemilu parlementer pertama di
Mesir pasca Revolusi 1952.62
Kelompok Ikhwanul Muslimin walaupun dilarang aktif
dalam perpolitikan nasional bangsa Mesir, tapi mampu terlibat di dalam pemilu
tersebut dengan berkerjasama dengan Partai Wafd. Pada akhirnya, pemilu parlemen
1984 dimenangkan secara mutlak oleh Partai NDP dari pada gabungan Partai Wafd
dengn Ikhwanul Muslimin. Meski begitu gabungan Partai Wafd dan Ikhwanul
61
Palmer, The Politics of The Middle East, 66-68. 62
Lust, The Middle East, 455.
72
Muslimin mampu memberikan sebuah perlawanan terhadap partai penguasa yaitu
Partai NDP di dalam Pemilu 1984.63
Di Pemilu 1987 pasca kerusuhan 1986, Partai NDP tetap mampu keluar
sebagai pemenang atas pemilu tersebut, walau Kelompok Ikhwanul Muslimin
bergabung dengan Partai Buru, yang beridelogi kiri dan menyuarakan semangat Islam
sebagai penyelesaian permasalahan bangsa Mesir. Tetap saja pemilu tersebut
dimenangkan oleh partai penguasa. Pemilu parlementer Mesir selanjutnya diadakan
pada tahun 1990, yang mendapat pemboikotan besar oleh mayoritas partai oposisi di
Mesir. Mereka menganggap Pemilu 1990 hanya sebuah pertunjukan komedi yang
tidak memberikan hasil yang signifikan. Pemboikotan itu tidak membuat jalan pemilu
tertunda dan tetap berjalan semestinya dan Mubarak pun menyesali peristiwa
pemboikotan tersebut.64
Di tahun 1995, pemilu parlementer Mesir yang paling kelam di masa
pemerintahan Mubarak berkuasa di Mesir. Pada Pemilu 1995, terjadi peristiwa
kerusuhan di tempat pemungutan suara, khususnya di sekitaran Ibukota Mesir, Kairo.
Peristiwa itu disebabkan oleh penolakan polisi terhadap para pendukung partai
oposisi di Mesir dan polisi juga menutup tempat pemungutan suara, sehingga
menciptakan bentrokan antara polisi dan para pemilih yang mendukung partai oposisi
di Mesir. Bentrokan itu mengakibatkan setidaknya 620 terluka dan 45 orang
meninggal. Peristiwa yang mencengkam itu tidak membuat Pemilu 1995 ditunda atau
63
Palmer, The Politics of The Middle East, 65. 64
Palmer, The Politics of The Middle East, 65-70.
73
dibatalkan tetapi tetap dijalankan dan sekali lagi Partai NDP memenangkan lebih dari
96 persen kursi di Majlis as-Saab atau DPR-nya Mesir.65
Kejutan terjadi pada tahun 2005, saat di mana Mubarak mencoba untuk
mengamademen Konstitusi Darurat Mesir 1980. Perubahan yang terjadi pada
konstitusi Mesir memberikan sebuah angin demokrasi di negara Mesir. Konstitusi
2005 memerintahkan untuk mengadakan Pemilihan Presiden Mesir yang jumlah
kandidatnya lebih dari satu calon dalam bersaing pada pemilihan presiden di
parlemen. Sebelum Konstitusi 2005, Pemilihan Presiden Mesir rutin diadakan oleh
parlemen Mesir dengan kandidat calonnya hanya satu dan dipilih oleh anggota
parlemen Mesir. Selama era Mubarak berkuasa tidak ada satu pun calon lain yang
diusulkan oleh parlemen Mesir sampai tahun 2005. Di tahun itu, Mubarak kembali
maju dan bersaing dengan calon kandidat presiden dari jalur independen yaitu Ayman
Nour. Hasil dari Pemilihan Presiden 2005 tetap dimenangkan oleh Mubarak dengan
perolehan suara 88,6 persen dari seluruh anggota parlemen Mesir. Kemenangan telak
itu, membuat Mubarak sekali lagi memimpin Mesir sebagai Presiden Mesir.66
Pemilu
parlementer dan pemilihan presiden yang multi-kandidat di Mesir untuk tahun-tahun
berikutnya tetap berjalan seperti biasa walaupun pemenangannya sudah pasti bisa
diketahui.
Lamanya kekuasaan Mubarak di Mesir, memberikan sebuah indikasi yang
kuat bahwa ia dan para pendukungnya telah membuat sebuah kekuatan politik yang
65
Palmer, The Politics of The Middle East, 65-70. 66
J. Stewart, The Middle East Today, 157.
74
mampu memberi ia kekuasaan lebih lama dibandingkan para seniornya, yaitu Nasser
dan Sadat. Kekuatan-kekuatan tersebut berasal dari para pendukung rezim Mubarak
yang terdiri dari para elit dan institusi Mesir. Mereka menjadi penjaga dan pelindung
rezim Mubarak dari ancaman kelompok-kelompok yang berusaha menghancurkan
atau menjatuhkan rezim tersebut. Kekuatan-kekuatan itu tersebar dari institusi
eksekutif yang melingkupi birokrasi, parlementer (legislatif) yang dikendalikan oleh
Partai NDP, yudikatif yang selalu tunduk serta menjadi pengesah setiap tindakan
politik dari insitusi eksekutif (Presiden Muabarak dengan Kabinetnya), kelompok
para Ulama senior yang selalu terikat serta sejalan dengan pemerintahan dari masa
Nasser berkuasa sampai kepada Mubarak, dan terakhir militer yang selalu berada di
dalam lingkaran utama Mubarak serta memainkan peran yang penting di dalam
kehidupan politik bangsa Mesir. Kesemuanya itu menjadi bagian pendukung dari
langgengnya Mubarak sebagai penguasa di Mesir.67
Keadaan itu tidak ada yang bisa
mampu menghancurkan pondasi-pondasi yang telah dibangun Mubarak dan para
pendukung loyatisnya, hingga revolusi besar menghantam negara Mesir kembali.
Revolusi itu yang nanti dikenal sebagai Revolusi Arab Spring, mampu
menumbangkan para pemimpin otoriter di Negara-Negara Afrika Utara sampai Timur
Tengah, dan diantara korban dari Revolusi Arab Spring adalah Presiden Mubarak di
Mesir.
Kekuasaan Mubarak berakhir dengan demonstrasi besar yang disebut
Revolusi Arab Spring 2011. Revolusi Arab Spring 2011 melahirkan pemerintahan
67
Palmer, The Politics of The Middle East, 70-79.
75
sipil pertama yaitu pemerintahan Muhammad Mursi. Keberhasilan Mursi dalam
kemenangan di Pemilu Presiden Mesir tidak dapat membuat dia bertahan lama
ditampuk kekuasaannya. Tepat pada tanggal 3 Juli 2013 pemerintahan Mursi di
kudeta oleh Militer Mesir melalui pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang
disuarakan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi.
76
BAB IV
INSTITUSI POLITIK MESIR DI MASA TRANSISI DEMOKRASI 2011-
2013
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa temuan dari hasil
penelitian ini. Temuan-temuan tersebut adalah bagian dari sebuah jawaban atas
pertanyaan penelitan yang diajukan. Bukan hanya sebuah jawaban dalam bentuk
opini melainkan sebuah analisa penelitian, yang di dalamnya tersusun dari sebuah
teori dan analisis. Pada penelitian ini, penulis mencoba menelaah sebuah
permasalahan kelembagaan atau institusi politik di dalam sebuah negara
berkembang. Berfokus pada permasalahan kejatuhan pemerintahan Muhammad
Mursi yang terjadi di negara Mesir pada masa transisi politik. Penulis mencoba
menganilisis permasalahan tersebut melalui pendekatan studi kelembagaan politik,
sehingga dapat memberikan sebuah temuan baru atau membedakan dari penelitian
sebelumnya. Berawal dari berakhirnya rezim Mubarak di Mesir sampai kepada
tercipta pemerintahan baru melalui proses yang demokrasi hingga kejatuhan
pemerintahan Muhammad Mursi dengan cara kudeta menjadi hal utama di dalam
bagian ini.
A. Mesir Baru
Sebuah era baru tercipta di negara Mesir. Pemerintahan otoriter yang telah
berkuasa cukup lama di negara itu tumbang, melalui sebuah gerakan massa yang
menuntut pemerintahan demokratis. Pemerintahan otoriter Mesir, yang terwakili
77
melalui pemerintahan (rezim) Mubarak adalah bagian dari sebuah sistem
pemerintahan otoriter yang mana militer dan kekuatan eksetutif (lembaga
eksekutif) menjadi yang dominan di dalam setiap kehidupan politik di bangsa
Mesir. Kuatan lembaga eksekutif dalam perpolitikan bangsa Mesir dimulai dari
masa pemerintahan Nasser, yang merebut kekuasaan dari tangan Raja Faruq di
tahun 1952. Peristiwa itu disebut sebagai Revolusi 1952, yang menjadi tonggak
awal berkuasanya rezim militer dan kekuatan lembaga eksekutif yang dominan.
Melalui Revolusi 1952 perpolitikan bangsa Mesir berada di dalam cengkrama
kuat militer dan kroni-kroninya. Sistem itu terus diwariskan oleh para penerusnya
yaitu Sadat dan Mubarak.
Keadaan itu juga mengakibatkan jalannya demokrasi di negara itu menjadi
stagnan atau bahkan tidak berjalan sama sekali sampai pada akhirnya sistem itu
ditumbangkan oleh gerakan masa yang dikenal sebagai Revolusi Arab Spring.
Gerakan tersebut yang terjadi di tahun 2011 menjadi sebuah akhir dari cerita
panjang rezim militer di Mesir. Berakhirnya rezim militer yang terwakili melalui
kejatuhan pemerintahan Mubarak, tidak langsung membawa bangsa Mesir menuju
impiannya untuk merasakan sebuah perubahan atau era yang baru dalam
kehidupan mereka. Kejatuhan Mubarak hanya menjadi sebuah gerbang bagi
negara Mesir menuju ke arah transisi politik dari otoriter ke demokrasi. Di masa
itu keadaan politik berada dalam gejolak yang sangat tidak pasti. Hal yang perlu
dicatat dalam proses itu adalah lahirnya sebuah gerakan masa yang dikenal
sebagai Revolusi Arab Spring. Revolusi itu yang menjadi sebuah langkah dan
awal dari negara Mesir yang baru.
78
1. Revolusi Arab Spring
Munculnya sebuah revolusi besar bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan
ada sebuah sebab yang menjadi faktor terciptanya sebuah revolusi tersebut.
Sejarah dunia telah mengajarkan bagaiman revolusi itu tercipta. Lihatlah apa yang
terjadi di dalam Revolusi Amerika 1775, Revolusi Perancis 1789, dan bahkan di
abad ke-20 yang terwakili melalui Revolusi Cina 1911. Semua revolusi tersebut
memiliki sebuah faktor utama yang hampir sama yaitu menuntut sebuah
kehidupan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya dengan menghancurkan
serta mengganti sistem dan tatanan yang lama dengan yang baru. Hal itu juga
yang terjadi di dalam meletus dan menyebarnya Revolusi Arab Spring di sekitar
daerah Afrika Utara dan Timur Tengah.
Banyak hal yang bisa menjadi faktor penyebab meletus dan menyebarnya
Revolusi Arab Spring 2011 di daerah Afrika Utara dan Timur Tengah. Perhatian
terbesar berfokus pada keterlibatan genarasi muda di wilayah tersebut yang berani
turun ke jalan dan memimpin sebuah protes serta demonstrasi untuk menyuarakan
aspirasi serta keinginan mereka. Banyak generasi muda yang terlibat di dalam aksi
tersebut. Seperempat sampai sepertiga populasi penduduk di wilayah itu
merupakan genarasi muda. Faktor lain yang menyebabkan banyak genarasi muda
menjadi penggerak dalam aksi tersebut ialah pengaruh politik. Banyak genarasi
muda tersebut yang berada di negara Libya, Mesir dan Tunisia hanya mengetahui
satu sosok pemimpin atau presiden di negaranya.1 Di Mesir sendiri, banyak dari
masyarakatnya terutama yang lahir setelah tahun 1980 yang berusia di bawah 30
1
Dona J. Stewart, The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural
Perspectives, 2nd
ed. (New York: Routledge, 2013), 259.
79
tahun pada tahun 2011, telah menghabiskan seumur hidupnya berada di dalam
aturan rezim Mubarak. Rezim yang hanya memberikan sedikit kebebesan untuk
berpartisipasi secara politik maupun mengekpresikan pendapatnya tentang
pemerintahan. Keadaan tersebut terlihat sebagai bentuk penidasan pemerintahan
kepada rakyatnya.2
Pembungkaman kebebasan dan ketidakhadiran demokrasi di beberapa
wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah, tidak memastikan atau menjamin bahwa
generasi mudanya bersedia melakukan sebuah revolusi terhadap pemerintahan
yang berkuasa. Penggerak utama dari generasi muda ini, ialah permasalahan
ekonomi yang mengakibatkan kekurangan kesempatan untuk berkerja sehingga
menciptakan masyarakat yang setengah menganggur dan menganggur.3 Keadaan
itu menyebar luas di wilayah tersebut dan menjadi katalisator di dalam tercipta
revolusi di wilayah tersebut. Berkaca pada Gerakan Hijau4 di Iran yang dilakukan
oleh generasi mudanya, seorang penulis dan wartawan Robin Wright dalam buku
The Middle East Today, menyebut kelompok genarsi muda itu sebagai „Generasi
U‟. Menurutnya „Generasi U‟ adalah kelompok masyarakat yang berusia di bawah
30 tahun yang bercirikan sebagai pengangguran, setengah menganggur atau
kelompok yang tidak dipeduliakan dan diremehkan.5
2J. Stewart, The Middle East Today, 259.
3The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Egypt Uprising of 2011,” artikel diakses pada
20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/event/Egypt-Uprising-of-2011 4Gerakan Hijau atau yang dikenal sebagai Revolusi Hijau adalah gerakan politik yang
menentang dan memprotes hasil pemilu 2009 di negara Iran. Penyebutan warna hijau di dalam
gerakan tersebut karena diambil dari warna hijau yang digunakan sebagai warna kampanye Calon
Presiden Mousavi (lihat Mohamad Susilo, “Setelah Demo Besar Antipemerintah di Iran, Sulit
Memastikan Apa Yang Akan Terjadi Namun Rakyat Sudah Bersuara,” artikel diakses pada 2
Pebruari 2018 dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42604143 ) 5J. Stewart, The Middle East Today, 259.
80
Peristiwa yang membuat Revolusi Jasmine meletus di Tunisia adalah hal
yang biasa terjadi di sana. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu sudah terjadi lebih
dari ribuan kali, namun baru kali ini hasilnya sangat berbeda. Seorang pedagang
buah yang berusia 25 tahun, Mohamed Bouazizi, menjual buah dari gerobaknya
tanpa memiliki izin saat polisi kota setempat menghentikannya. Biasanya polisi
setempat menerima sogokan, setara dengan apa yang akan diperoleh dari hasil
berdagang dalam sehari, untuk mendapatkan atau mengeluarkan sebuah izin dari
polisi setempat. Bouazizi menolak membayar dan polisi setempat menyita
dagangan buahnya. Bukan hanya menyita dagangannya, mungkin saja polisi juga
melakukan pemukulan kepada Bouazizi.6
Perilaku yang semena-mena itu membuat Bouazizi mencari bantuan untuk
mendapatkan keadilan baginya. Ia mencoba untuk melaporkan hal itu melalui
pemerintah daerahnya. Ia berharap bahwa dengan melaporkan hal itu ke Balaikota,
maka akan memperoleh keadilan atas perilaku aparat kepadanya. Pada
kenyataanya ia harus kembali mendapatkan kekecewan dangan diusirnya ia dari
Balaikota. Pengusiran itu tidak langsung membuat ia menyerah begitu saja dalam
mencari keadilan sehingga ia mencoba untuk mendatangkan kembali ke Balaikota
tapi lagi-lagi ia harus kecewa karena kembali diusir oleh petugas.7 Putus asa akan
sikap yang diberikan oleh pemerintah setempat, ia kembali mendatangi ke
Balaikota. Di depan Balaikota itu, ia menuang bensin ke seluiruh tubuhnya,
6William L. Clevend dan Martin Buton, A Histroy of The Modern Middle East (Boulder:
Westview Press, 2013), 526. 7Khamami Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan Afrika
Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 68.
81
berteriak "Bagaimana kalian dapat mengharapkan saya mencari nafkah?", dan
menyalakan api lalu menyulut ketubuhnya dan membakarnya.8
Peristiwa yang terjadi di Tunisia itu membuka dua fakta dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA). Dua fakta
tersebut adalah pertama, sistem pemerintahan yang tidak responsif terhadap
keadaan masyarakatnya, ditambah dengan mengakar kuat budaya korupsi di
dalam tubuh pemerintahan setempat. Kedua, ialah perilaku pemerintah yang
semena-mena, serta tidak pantes yang terus terjadi terhadap masyarakat di wilayah
tersebut. Pada akhirnya percikan api yang muncul di Tunisia membawa api itu
menuju negara-negara lain yang ada di Afrika Utara dan Timur Tengah.9
Rezim-rezim lama telah berhasil diturunkan di beberapa Negara Afrika
Utara dan Timur Tengah. Tetapi tantangan terbesar yang dihadapi oleh kawasan
tersebut ialah menciptakan sistem pemerintahan yang responsif, partisipatif dan
akuntabel serta peluang ekonomi yang terbentang luas bagi masyarakat. Kecuali
tantangan-tantangan itu terpenuhi, keluhan yang mendasar membuat orang-orang
melakukan berbagi tindakan di wilayah tersebut akan terus ada dan menciptakan
sebuah potensi ketidakstabilan dalam jangka waktu panjang.10
Gelombang besar revolusi bangsa Mesir yang mekar di dalam Revolusi
Arab Spring pada akhirnya membawa hasil yang memuaskan. Berakhirnya
kekuasaan rezim Husni Mubarak menandakan akhir dari kekuasaan militer dan
munculnya harapan baru bagi bangsa Mesir untuk menikmati sebuah
demokrasisasi yang lebih dari 30 tahun dibendung oleh kekuasaan rezim Mubarak.
8J. Stewart, The Middle East Today, 259-260.
9Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik,” 68-69.
10J. Stewart, The Middle East Today, 260.
82
Tepat tanggal 18 Februari 2011, Mubarak resmi mengundurkan diri sebagai
Presiden Mesir yang telah ia jabat dari tahun 1981. Pengunduran diri Mubarak itu
adalah bentuk jawaban pemerintahan Mesir atas tuntutan rakyat Mesir yang
tergerak di dalam demonstrasi besar 25 Januari 2011.11
Awalnya demontrasi itu
mengalami berbagai macam penolakan dari kubu pemerintahan Mubarak seperti
penggunaan aparatus keamanaan negara sampai kepada tindakan kekerasan serta
memutus jalur komunikasi masyarakat Mesir, namun keadaan itu tidak
menyurutkan semangat rakyat Mesir untuk terus melakukan aksi demonstrasi
sampai Mubarak turun dari kekuasaannya.12
Demonstrasi besar yang dilakukan oleh rakyat Mesir dalam menentang
rezim Mubarak bukan aksi penentang pertama yang terjadi di negara Mesir. Aksi-
aksi penentang itu sudah mulai terjadi jauh sebelum tahun 2011. Di tahun 2004,
sebuah gerakan politik yang bernama Kefayah (cukup sudah) digelar oleh para
aktifis politik yang terdiri dari berbagai spektrum ideologi. Gerakan Kefayah
memiliki tujuan untuk menentang rencana Mubarak untuk menunjuk anaknya
Gamal Mubarak sebagi penerus dan penggantinya berkuasa di dalam perpolitikan
negara Mesir. Gerakan Kefayah menjadi gerakan politik terkuat di dalam
penetangan terhadap rezim Mubarak, bahkan gerakan ini sempat membesar pada
tahun 2005. Pada akhirnya gerakan ini mengalami penurunan dan surut karena
11
Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 525. 12
Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (KomNasKDM), Buku
Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir (Jakarta: KomNasKDM, 2014), 7.
83
sikap represif yang dilakukan oleh pemerintahan Mesir semakin kuat terhadap
mereka.13
Di tahun 2010, gelombang protes terhadap pemerintahan Mubarak di
Mesir kembali muncul. Melalui media sosial di internet gerakan protes itu
kembali bangkit yang di awali dengan kematian seorang pemuda Mesir bernama
Khaleed Saeed.14
Revolusi Melati di Tunisia yang mengakibatkan tergulingnya
Presiden Zine El Abidine Ben Ali dari kekuasaanya. Peristiwa Revolusi Melati di
Tunisia menjadikan momentum besar untuk gerakan aksi penentangan rakyat
Mesir terhadap rezim Mubarak. Puncak dari aksi tersebut terjadi di dalam
demonstrasi besar pada tanggal 25 Januari 2011 yang meminta reformasi
perubahan di dalam politik Mesir dengan turunnya Mubarak sebagai Presiden
Mesir.15
Peristiwa demonstrasi besar tersebut membuat pemerintah Mubarak
bersikap secara represif untuk menghentikan gerakan tersebut. Ternyata sikap
represif pemerintahan tidak menghentikan aksi tersebut, melainkan terus berlanjut
dan membesar. Keadaan itu membuat Mubarak mulai menawarkan berbagai
konsesi kepada masyarakat Mesir yang melakukan aksi demonstrasi tersebut. Di
antara konsesi tersebut ialah menjanjikan kepada masyarakat Mesir bahwa ia tidak
akan maju lagi sebagai presiden pada pemilihan umum selanjutnya. Penawaran itu
bukan menghentikan massa demonstran untuk menghentikan aksinya namun
mereka terus melanjutkan aksi protes tersebut dan tetap meminta Mubarak untuk
13
Freedom House, “Egypt,” artikel diakses pada 20 Maret 2018 dari
https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2009/egypt?page=22&year=2009&country=7601 14
Clevend dan Buton, A Histroy of The Modern Middle East, 527. 15
Atep A Rofiq, “Melacak Dinamika Sipil-Militer Pasca Revolusi Mesir,” Salam 2 (Juni
2015): 104.
84
mundur sebagai Presiden Mesir. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 2011,
Presiden Mubarak mengundurkan diri sebagai Presiden Mesir.16
Merujuk pada beberapa pakar dalam demokratisasi dan transisi politik, di
antaranya Samuel P. Huntington yang menjelaskan bagaimana sebab transisi
demokrasi melanda suatu negera.17
Dalam kasus Mesir transisi demokrasi berawal
dari kejatuhan rezim Mubarak dan menurut Huntington penyebab jatuhnya sebuah
rezim ada tujuh penyebabnya dan yang sesuai dengan keadaan Mesir hanya tiga,
yaitu:
1. Hilangnya legitimasi yang dimiliki oleh rezim yang berkuasa, sehingga
rezim kehilangan pamornya di mata masyarakat. Penyebabnya karena
periode yang lama pemerintahan otoriter berkuasa di Mesir sehingga
menciptakan berbagai keadaan yang menghilangkan legitimasi pada rezim
tersebut. Keadaan itu berawal dari permasalahan ekonomi dan tertutupnya
akses di dalam aktivitas politik masyarakatnya yang mengarahkan pada
lunturnya legitimasi rezim otoriter di Mesir. Lihat bagaimana pemerintah
pertama militer Mesir melalui Presiden Nasser yang di masa akhirnya
sebagai Presiden Mesir, keadaan ekonomi mulai memburuk tapi
pemerintahan Nasser mampu meredam permasalahan konflik politik hanya
berada di dalam lingkaran utamanya dan tidak terjadi di dalam masyarakat.
Hal itu bisa terjadi karena aturan yang ketat diberlakukan di dalam
pemerintahan Nasser. Berbeda Nasser dengan Sadat tapi aturan ketat di
16
The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Unrest in 2011,” artikel diakes pada 20
Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-regime#ref308469 17
Ali Martin, “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia Ditengah
Demokrasi Pasar,” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.
85
dalam kebebasan politik masyarakat Mesir masih dibatasi melalui
Konstitusi 1970, walaupun partai-partai politik boleh dan bebas berdiri
dalam panggung politik Mesir. Hal itu masih berlaku di masa rezim
Mubarak berkuasa. Di masa akhirnya Mubarak berkuasa di Mesir,
keadaannya menjadi tidak stabil. Ketidak stabilan itu tercermin dari
banyaknya masyarakat Mesir yang menganggur atau tidak bekerja
ditambah dengan adanya permasalah ekonomi. Namun yang menjadi
penyebab lunturnya legitimasi razim Mubarak adalah korupsi dan
keterbatasan politik yang menyebabkan pelanggaran HAM di Mesir.
keterbatasan politik dan pelanggaran HAM membuat masyarakat Mesir
merasakan kerinduan pada sistem demokrasi yang tidak pernah hadir
dalam kehidupan politik masyarakat Mesir.18
2. Adanya kejatuhan atau keruntuhan rezim otoritarian, yang disebabkan oleh
menurunnya basis legitimasi yang menjadi unsur penopang rezim dan
keterbukaan komunikasi Dunia Internasional yang mempromosikan
demokratisasi oleh Negara-Negara Eropa Barat seperti Amerika dan
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Demonstrasi besar-besaran yang
terjadi di seluruh Mesir menuntut agar Presiden Husni Mubarak yang telah
berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Aksi ini
merupakan salah satu aksi revolusi seperti yang terjadi di Tunisia. Di
Mesir, gelombang aksi demontrasi besar berawal dari pesan-pesan yang
terdapat di internet. Masyarakat Mesir pun bergerak melalui pengguna
18
Zada, “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik,” 68-69.
86
jejaring sosial di internet. Pemerintah berusaha meredam para demonstran
yang menggalang aksinya dari internet dengan cara memberhentikan
saluran internet dan komunikasi hingga batas waktu yang tidak
ditentukan.19
Revolusi itu merupakan keterbukaan dari faktor komunikasi
global yang telah dikampanyekan oleh Negara-Negara Barat seperti Eropa
Barat atau Amerika Serikat.
3. Adanya demonstrasi besar yang terjadi di negara non-demokrasi.
Demonstrasi besar menyebabkan efek yang diantaranya adalah contagion
(penularan), diffusion (penyebaran), emulation (penyamaan atau emulasi),
snowballing (penggumpalan/efek bola salju), dan the dominio effect (efek
domino). Revolusi Arab Spring merupakan demonstrasi besar yang seperti
dijelaskan oleh penulis dalam sub-bab sebelumnya.
2. SCAF dan Transisi Demokrasi
Mundurnya Mubarak sebagai Presiden Mesir mengarahkan Mesir menuju
transisi demokrasi. Menurut O‟Donnell dan Schimtter transisi adalah masa
interval atau periode waktu diantara rezim yang satu dengan rezim yang
berikutnya, atau dengan kata lain transisi diartikan sebagai suatu era-antara
(interval-period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu jelas sosoknya.
Kata ketidakjelasan ini, dapat dipahami sebagai rangkaian kemungkinan yang
19
Zada, “Revolusi dan Transisi Politik”, 68.
87
akan terjadi dalam tercipta bentuk orde politik. Hal ini seperti yang diungkapan
oleh O‟Donnell dan Schimtter sebagai berikut20
:
“Transisi dibatasi di satu sisi oleh dimulainya proses perpecahan sebuah
rezim otoritarian, dan di sisi yang lain, oleh pengesahaan beberapa bentuk
demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau
kemunculan suatu alternatif revolusioner.”
Penjelasan tersebut, memberikan gambaran tentang pemahaman mengenai
makna transisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa transisi ialah periode waktu
diantara berakhirnya atau hancurnya rezim otoriter menuju ke arah rezim
demokrasi yang dalam prosesnya mengalami ketidak pastian menuju demokrasi
atau bentuk rezim yang lain. Di tambahkan juga oleh O‟Donnell, bahwa proses
transisi ini tidak dapat diramalkan bagaimana akhirnya dan mengandung resiko
kegagalan demokrasi. Hal itu disebabkan karena di dalam transisi banyak
mengandung aspek dan faktor yang saling berkaitan dan bertentangan, sehingga
bisa dikatakan ketidak pastian dan kemungkinan akan selalu membayangi proses
demokrasi di suatu negara.21
Mubarak menyerahkan urusan negara kepada Dewan Tertinggi
Anggkatan Bersenjata (SCAF) mengarahkan Mesir menuju transisi demokrasi
seperti penjelasan O‟Donell dan Schimtter.22
Pindah kekusaan eksekutif ke tangan
para petinggi militer melalui SCAF, membuat para demonstran ragu terhadap
komitmen SCAF pada demokrasi. Keadaan tersebut, membuat massa terus
20
Guillermo O‟Donnell dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: The Johns Hopkins University
Press, 1986), 6. 21
O‟Donnell dan C. Schimtter, Transitions from Authoritarian Rule, 6. 22
Ellen Lust, ed., The Middle East, 13th
ed. (Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014), 456.
88
melakukan aksi demontrasi menuntut militer untuk menarik diri dari politik dan
segera menyelenggarakan pemilihan umum.23
Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) Mesir mulai menjalankan
roda pemerintahan negara Mesir pasca Mubarak memberikan tampung kekuasaan
kepada mereka. Kekuasaan politik saat itu mulai berada di tangan militer melalui
SCAF. Mereka pun mulai menjanjikan akan mengadakan pemilihan umum dan
membuat konstitusi sementara untuk negara Mesir. Mereka juga menjanjikan
kepada masyarakat Mesir untuk memberikan dan membuka demokrasi dalam
kehidupan masyarakat Mesir. Ternyata SCAF belum juga mengadakan pemilihan
umum dalam waktu dekat sehingga membuat publik semakin ragu dan mulai
bertanya-tanya tetang sikap politik SCAF. Keadaan tersebut mengakibatkan
publik kembali melakukan sebuah tekanan dan tuntutan secara terus menerus
terhadap SCAF supaya segera mengadakan pemilihan umum. Atas desakan publik
secara terus menerus, akhirnya pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen
Mesir mulai diselenggarakan pada bulan November 2011 sampai dengan bulan
Januari 2012.24
3. Pemilu Demokratis dan Kebangkitan Partai Islam
Pemilihan umum tersebut dimenangkan oleh kelompok Aliansi Demokrasi
untuk Mesir yang dipimpin oleh Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and
Justice party-FJP) yang merupakan sayap politik dari Ikhwanul Muslimin (IM).
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memperoleh kursi parlemen sebanyak 235
23
KomNasKDM, Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir, 7. 24
Britannica, “Unrest in 2011.”
89
kursi. Di bawah FJP ada blok islamis yang dipimpin oleh Partai An-Nour
(kelompok Salafi) dengan perolehan kursi sebanyak 121 kursi. Sementara itu,
untuk partai-partai lainnya yang berideologi sekuler (Nasseris, Sosialis, Liberal,
dan anasir rezim lama) mendapatkan perolehan kursi yang kurang memuaskan.
Keadaan itu juga dialami oleh partainya Mubarak, yaitu NDP yang memperoleh
hasil kurang maksimal dari pemilihan umum tersebut.25
Pemilihan umum Mesir dapat terlaksana dengan baik dan berikutnya
SCAF mulai mengadakan Pemilihan Presiden Mesir secara langsung. Pemilihan
Presiden Mesir secara langsung dilaksanakan sebanyak dua putaran. Itu terbukti
bahwa adanya persaingan yang ketat antara kelompok lama dengan kelompok
baru. Kelompok lama (bagian dari rezim Mubarak) diwakili oleh Ahmad Syafik
memperoleh suara sebesar 23,66%, yang menempatkan ia berada di bawah
Muhammad Mursi sebagai perwakilan dari kelompok baru. Mursi yang didukung
oleh FJP mendapatkan peroleh suara terbanyak dari seluruh kandidat calon
presiden yang bersaing di dalam pemilihan Presiden Mesir putaran pertama.
Perolehan suara Mursi mencapai 24,78% sehingga membuat ia dan Ahmad Syafik
harus kembali lagi bersaing di dalam putaran kedua pemilihan presiden secara
langsung.26
Di pemilihan presiden putaran kedua, persaingan ketat tetap terjadi antara
Muhammad Mursi dengan Ahmad Syafik. Persaingan ketat itu dapat terlihat dari
perolehan suara masing-masing calon kandidat. Di mana Muhammad Mursi
mendapatkan suara 51,78% sedangkan Ahmad Syafik mendapatkan suara 48,27%.
25
M Hamdan Basyar, Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan
Israel (Jakarta: UI Press, 2015), 28. 26
KomNasKDM, Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir, 8.
90
Hasil itu menunjukan bukti bahwa persaingan pengaruh antara kelompok lama
dan baru di dalam masyarakat Mesir sangat ketat. Selisih antara kedua pasangan
hanya berjarak 3,51%. Itu menjadi bukti bahwa pengaruh rezim Mubarak tidak
langsung mengalami penurunan atau memudar. Khususnya peran serta militer di
dalam perpolitikan dan masyarakat Mesir tidak langsung luntur pasca Mubarak
lengser dari kekuasaan. Perbedaan selisih yang kecil tersebut, tetap membawa
Mursi terpilih menjadi Presiden Mesir pertama yang dipilih melalui proses
pemilihan langsung. Memenangkan pemilihan Presiden Mesir, Mursi pun berjanji
untuk melibatkan berbagai kelompok di dalam menjalankan roda
pemerintahannya.27
B. Konflik dalam Pemerintahan Muhammad Mursi di Mesir Tahun 2013
Pergulatan kepemimpinan politik Mesir tidak mereda atau menghilang sedikit
pun, bahkan setelah pemilihan umum demokrasi pertama dilaksanakan. Keadaan
perpolitikan Mesir berjalan tidak mulus. Hal itu terjadi karena adanya fregmentasi
di antara kelompok-kelompok revolusioner yang berhaluan sekuler dengan
kelompok Islam membelah panggung politik Mesir. Di posisi transisi demokrasi
negara Mesir, tetap berada kekuatan kelompok lama atau kekuatan rezim lama
yang sering disebut sebagai “deep state” pun masih bercokol di birokrasi negara
Mesir. Keadaan-keadaan itu menyebabkan sebuah benturan di antara kekuatan-
kekuatan politik tersebut.28
27
Sita Hidriyah, “Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di Mesir,”
Hubungan Internasional 4 (Juli 2012): 5. 28
Amri Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi Mesir
Tahun 2011-2013,” politik 2 (Agustus 2016): 51.
91
1. Konflik Antar Lembaga Pemerintahan
Terpilihnya Mursi menjadi penanda akhir dari kekuasaan rezim militer, akan
tetapi periode ini sebenarnya menyimpan beragam persoalan yang memperburuk
situasi Mesir setelahnya. Permasalahan yang sebenarnya terjadi di masa SCAF
berkuasa adalah pembentukan Majelis Konstituen oleh parlemen Mesir yang baru
terpilih. Posisi mayoritas yang dimiliki kelompok berideologi Islam membuat
kelompok yang berideologi sekuler tidak dapat menerima kenyataan bahwa
jumlah anggota Majelis Konstituen Mesir didominasi oleh kelompok berideologi
Islam. Keadaaan itu membuat pemilihan anggota Majelis Konstituen Mesir harus
dilaksanakan sebanyak dua kali demi menyelesaikan perselisihan yang terjadi di
dalam anggota parlemen Mesir. Meski demikian konflik yang terjadi di antara
mereka tidak terselesaikan bahkan berlanjut pada pembuatan naskah konstitusi
Mesir yang baru. Permasalahan lain yang terjadi pada masa kepemimpinan SCAF
adalah dibubarkannya parlemen terpilih Mesir oleh Mahkamah Konstitusi Mesir
atau Supreme Constitutional Court (SCC). Pembubaran itu terjadi pada tanggal 14
Juni 2012, setelah Majelis Konstituen Mesir dibentuk.29
Alasan SCC membubarkan parlemen Mesir disebabkan oleh mekanisme
pemilihan anggota parlemen yang dianggap menyalahi konstitusi sementara Mesir.
Kesalahan tersebut berkaitan dengan pasal yang menyatakan bahwa siapapun
berhak mengikuti pemilihan umum. Sementara aturan pemilu tidak memberi
tempat bagi calon independen untuk terpilih melalui pendaftaran dengan jalur
29
Maria Haimerl, “The Supreme Constitusional Court of Egypt (SCC) After Mubarak:
Rethinking The Role of An Established Court In An Unconstitutional Setting.” In The ECPR
General Conference Glasgow, Glasgow 3-6 September 2014 (Glasgow: The ECPR, 2014), 1-2
92
partai politik. Sebaliknya, calon dari partai politik dapat terpilih dengan melalui
jalur independen. Meskipun demikian, pembubaran ini lebih memiliki motif
politik dari pada hukum.30
Hal ini disebabkan karena keputusan SCC disambut baik oleh SCAF dengan
mengeluarkan addendum Deklarasi Konstitusional 30 Maret 2011 pada 17 Juni
2012 yang berisi tentang, 1) keistimewaan militer dalam hal pembahasan apapun
yang berkaitan langsung dengan militer, 2) kewenangan kepada badan di
bawahnya sendiri untuk mengambil kekuasaan legislatif karena dibubarkannya
Majlis Ashaab oleh SCC, 3) hak SCAF menunjuk 100 anggota Majelis Konstituen
karena parlemen sebelumnya dianggap tidak mampu menyelesaikan berbagai
perseteruan di internal parlemen dalam merumuskan hal tersebut, 4) kekuasaan
SCAF bersama dengan partai-partai untuk merumuskan naskah konstitusi, dan 5)
penyusunan ulang jadwal transisi termasuk pemilihan umum parlemen ulang.31
Hal ini memperlihatkan bagaimana militer ingin tetap memiliki pengaruh dalam
politik Mesir meskipun presiden baru telah terpilih. Bukan hanya itu, tapi
permasalahan itu membuktikan bahwa lembaga politik lama Mesir tidak bisa
dihancurkan atau dihilangkan. Telah diketahui bahwa lembaga politik di masa
rezim militer berkuasa adalah militer sebagai pembentuk lembaga eksekutif Mesir
yang nasionalis. Tidak dapat terlepaskan artinya Militer Mesir tidak pernah
meninggalkan ranah politik sekali pun perubahan melanda Mesir.
30
Carter Center, “Presidential Election in Egypt: Final Report May – June 2012,” artikel
diakses pada 19 April 2018 dari
https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/egypt-final-
presidential-elections-2012/ 31
Carter, “Presidential Election in Egypt.”
93
Peristiwa pembubaran parlemen Mesir hasil dari perolehan pemilihan umum
yang diselenggrakan secara demokrasi membuat Ikhwanul Muslimin dan Mursi
merasa khawatir terhadap penyusunan dan perumusan konstitusi baru negara
Mesir. kekhawatiran tersebut didasarkan pada ketakutan akan pembatalannya
rumusan konstitusi baru oleh Mahkamah Konstitusi Mesir yang merupakan legasi
dari rezim Mubarak. Kekhawatiran itu juga membuat Muhammad Mursi bereaksi
dengan mengelurkan dekrit presiden.32
Dekrit itu dikeluarkan pada bulan November, yang isinya memberikan sebuah
wewenang besar dan menempatkan ia (sebagai Presiden Mesir) berada pada posisi
yang tidak dapat disentuh oleh hukum sampai batas waktu tertentu. Dekrit itu juga
memberikan gerak luas kepada Presiden Mursi untuk melakukan berbagai usaha
untuk melindungi jalannya Revolusi Mesir dan menjaga demokrasi yang sudah
tercipta di Mesir. Selain itu, penunjukan jaksa penuntut umum yang baru
disebabkan oleh kegagalan Jaksa Abdel Maguid Mahmoud yang menduduki
jabatannya sejak era Mubarak dalam menangani kasus pembunuhan terhadap
demonstran pada peristiwa “Battle of Camel”. Kegagalan tersebut membuat
keadilan terhadap korban dianggap tidak terpenuhi sehingga Presiden Mursi
Memberhentikan Mahmoud dari jabatannya dan kemudian diberi jabatan sebagai
Duta Besar Mesir untuk Vatikan.33
32
BBC, “Egyptian President Mursi Reverses Paliament Dissolution,” artikel diakses pada
20 April 2018 dari https://www.bbc.com/news/world-middle-east-18761403 33
BBC, “Mursi Reverses Paliament Dissolution,”
94
2. Konstitusi Baru (Islam)
Pada 30 Juni 2012 Mursi resmi dilantik dan diambil sumpah sebagai Presiden
Mesir yang baru. Langkah pertama yang dia lakukan sebagai Presiden Mesir
adalah mengeluarkan dekrit untuk mengembalikan posisi Majlis Ashaab untuk
dapat kembali bersidang. Selain itu, melalui dekrit tersebut Mursi juga
mengatakan bahwa pemilihan umum akan diadakan dalam waktu 60 hari setelah
konstitusi selesai dibuat oleh Majelis Konstituen yang telah terpilih sebelumnya.
Namun, upaya ini dianggap tidak sah oleh SCC. Mahkamah Konstitusi Mesir
tersebut memperingatkan Mursi bahwa langkah yang diambilnya adalah tidak sah
dan jika melawan akan dianggap sebuah tindakan pelanggaran hukum. SCAF
kemudian juga menanggapi dekrit ini dengan mengadakan pertemuan darurat
namun tidak ada keterangan apapun yang dibagikan ke publik terkait pertemuan
tersebut.34
Majelis Konstituen masih menjalankan fungsinya, namun masa kerja badan
tersebut dibatasi oleh SCC yang akan berakhir pada 24 September 2012. Di lain
pihak, SCAF menyatakan siap mengambil perannya sesuai dengan addendum 17
Juni bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mengambil alih legislatif dan
melakukan veto terhadap konstitusi apabila Majelis Konstituen Mesir tidak
berjalan dengan benar.35
Adanya dekrit ini presiden dapat memberikan waktu tambahan jika memang
diperlukan. Alasan Mursi mengeluarkan dekrit tersebut adalah adanya keinginan
dari otoritas lembaga yudikatif Mesir, yaitu SCC yang merencanakan untuk
34
BBC, “Mursi Reverses Paliament Dissolution.” 35
Ivan, Watson, “Court Overrules Egypt „s President on Parliament,” artikel diakses pada
20 April 2018 dari https://edition.cnn.com/2012/07/10/world/meast/egypt-politics/index.html.
95
membubarkan Majelis Konstituen yang dianggap tidak dapat menyelesaikan
perdebatan karena dominasi kelompok Islam yang terlalu kuat.36
Penyebab utama Majelis Konstituen gagal bersatu karena koalisi yang
dibangun oleh Mursi sebelum dilantik sebagai presiden, yaitu koalisi besar
penetang rezim lama (Mubarak). Koalisi besar yang melibatkan hampir seluruh
elemen oposisi tersebut terancam bubar akibat gesekan yang tidak kunjung
berakhir dalam Majelis Konstituen. Perpecahan di antara kelompok oposisi
Mubarak terjadi terkait dengan penyusunan konstitusi dalam isu penerapan syariat
Islam. Kondisi deadlock yang terjadi dalam pembahasan konstitusi memicu aksi
walkout dan boikot yang dilakukan kelompok sekuler. Hal ini membuat hubungan
koalisi tersebut terpecah belah dan konstitusi terancam gagal dibuat. Kondisi
pembahasan konstitusi yang tidak menemui titik terang tersebut ditanggapi oleh
Mursi dengan Dekrit Presiden 22 November 2012 yang isinya menyatakan
bahwa37
:
1. Investigasi kasus pembunuhan dan aksi kekerasan terhadap demonstran
akan dilaksanakan dan proses pengadilan akan dilakukan kembali.
2. Semua deklarasi konstitusional, aturan dan dekrit yang dikeluarkan oleh
Mursi tidak dapat dibatalkan oleh siapapun termasuk individu, badan
pemerintahan dan organisasi politik.
36
David D Kirkpatrick dan Mayy El Sheikh, “Citing Deadlock, Egypt‟s Leader Seizes
New Power and Plans Mubarak Retrial,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.nytimes.com/2012/11/23/world/middleeast/egyptspresidentmorsigiveshimselfnewpo
wers.html. 37
Ahram Online, “English Text of Morsi‟s Constitutional Declaration,” artikel diakses
pada 20 April dari https://english.ahram.org.eg/News/58947/
96
3. Presiden akan menunjuk jaksa penuntut umum baru yang akan ditugaskan
oleh presiden untuk masa jabatan empat tahun dan berusia paling tidak 40
tahun.
4. Majelis Konstituen Mesir mendapatkan waktu tambahan 2 bulan untuk
menyelesaikan naskah konstitusi.
5. Tidak adanya otoritas yudikatif yang dapat membubarkan parlemen.
6. Presiden dapat mengambil tindakan apapun yag diperlukan untuk
melindungi revolusi, melindungi persatuan nasional ataupun untuk
melindungi ketertiban nasional.
Di tengah ketegangan tersebut, Majelis Konstituen yang didominasi kelompok
Islam menyelesaikan naskah konstitusi baru yang siap untuk direferendum.
Menanggapi hal ini, gabungan oposisi terhadap Mursi yang bernama NSF
(National Salvation Front) menolak konstitusi tersebut dan mengampanyekan
untuk memilih “tidak” dalam referendum konstitusi. Salah satu tokoh popular
yang tergabung dalam NFS, Mohamed el-Baradei, mengatakan bahwa konstitusi
tersebut sama seperti sampah yang harus dibuang. Amr Moussa, mantan
Sekretaris Umum Liga Arab yang juga merupakan anggota NSF
mengatakan38
:“Dikeluarkannya konstitusi tersebut tidak dapat dibenarkan,
apalagi dengan banyaknya protes yang diterima oleh Majelis Konstituen.”
Khaled Dawoud selaku juru bicara NSF mempertegas penolakan tersebut melalui
38
Umar Farooq, “Seeking New Leadership, Millions of Egyptians Take to the Streets,”
artikel diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.theatlantic.com/international/archive/2013/06/seeking-new-leadership-millions-of-
egyptians-take-to-the-streets/277419/
97
pernyataannya pada 12 Desember 2012 yang mengatakan39
: “Kami meminta
semua warga memilih „tidak‟ dalam referendum konstitusi.” Meskipun demikian,
seruan-seruan tersebut tampak tidak mempengaruhi hasil dari referendum karena
konstitusi berhasil disetujui dan kemudian ditandatangani oleh Mursi pada 26
Desember 2012. Setelah konstitusi baru disahkan, situasi justru semakin
memburuk. Mursi masih terus dihujat atas konstitusi yang dianggap tidak sah
tersebut. Kelompok anti-Mursi terus melakukan protes. Kondisi yang semakin
kacau memunculkan satu gerakan yang terlahir untuk melakukan protes terhadap
pemerintah dan meminta Mursi untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden
Mesir. Gerakan tersebut bernama Tamarrod (berontak).
Gerakan Tamarrod mengampanyekan kepada masyarakat Mesir untuk
meminta Mursi mundur dari jabatan sebagai presiden dengan cara mengumpulkan
15 juta tanda tangan. Angka ini diambil karena kemenangan Mursi sebagai
presiden hanya didukung oleh 13,2 juta pemilih sehingga dengan angka tersebut
mayoritas rakyat yang meminta Mursi untuk turun lebih besar dari pada
pendukungnya. Hingga tanggal 29 Juni 2013, gerakan ini mengklaim telah
mengumpulkan 22 juta tanda tangan. Selain mengumpulkan tanda tangan, gerakan
ini juga mengajak masyarakat Mesir untuk melakukan aksi demonstrasi di hari
peringatan satu tahun pemerintahan Mursi berkuasa pada tanggal 30 Juni 2013.
Seruan aksi ini kemudian ditanggapi oleh Ikhwanul Muslimin yang melakukan
39
Farooq, “Seeking New Leadership.”
98
aksi tandingan. Kelompok Ikhwanul Muslimin mengumpulkan masanya di
wilayah Rabaa al Adawiya.40
3. Kudeta Militer 3 Juli
Pada 30 Juni 2013 protes besar kembali terjadi di hampir seluruh Kairo
bahkan menyebar ke Iskandariah, El Mahalla dan kota-kota di sekitara Terusan
Suez. Pihak militer mengklaim terdapat 14 juta orang dari 84 juta total penduduk
Mesir yang berada di jalanan pada 30 Juni 2013. Menanggapi kekacauan yang
terjadi, Al-Sisi memutuskan bahwa Mursi harus mengundurkan diri dan seluruh
kegiatan presiden diawasi oleh badan intelijen. Mursi kemudian mencoba
melakukan lobi untuk mendapatkan dukungan kelompok militer, namun usaha itu
mengalami kegagalan. Militer malah mengeluarkan ultimatum terhadap presiden
dan seluruh partai penguasa untuk turun dari jabatan dalam waktu 48 jam
terhitung sejak 1 Juli 2013. Ikhwanul Muslimin mengatakan bahwa ini merupakan
upaya kudeta, namun militer menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan
bahwa militer hanya menjalankan keinginan rakyat.41
Gerakan Tamarrod dan
National Salvation Front (NSF) sebagai oposisi Mursi pun menganggap bahwa
hal ini bukanlah kudeta melainkan upaya militer untuk melindungi rakyat Mesir.42
Pada 3 Juli 2013. Al-Sisi mengajak FJP, Gerakan Tamarrod, Al Nour Party,
Imam Besar Al Azhar, Pemimpin Ortodok Koptik, dan Muhammad El Baradei
40
Farooq, “Seeking New Leadership.” 41
Al Jazeera English, “Egypt‟s Morsi says he will not step down-Middle East,” artikel
diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/07/20137222343142718.html. 42
Daily News Egypt, “National Salvation Front and Tamarrod call on Army to Intervene,”
artikel diakses pada 20 April 2018 dari http://www.dailynewsegypt.com/2013/07/03/national-
salvation-front-and-tamrrod-call-on-army-to-intervene/
99
untuk melakukan pertemuan. Di waktu yang sama, kelompok pro-Mursi menolak
negosiasi dengan militer. Sementara tokoh-tokoh yang lainnya memenuhi
permintaan tersebut. Pertemuan tersebut kemudian membahas tentang roadmap
masa depan Mesir. Akhirnya, pada pukul 21.00 waktu setempat, Al-Sisi
memberikan pidato langsung melalui televisi yang berisi roadmap masa depan
Mesir termasuk mengakomodasi tuntutan oposisi untuk menurunkan Mursi dari
jabatan Presiden Mesir. Militer dengan cepat mengambil alih kekuasaan dan
menggantikan dengan pemerintahan sementara. Pengumuman pergantian
kekuasaan, dilakukan oleh Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi. Di mana Presiden Mursi
digantikan oleh Ady Mansour sebagai pejabat presiden sementara. Ady Mansour
sebelum ditunjuk sebagai presiden sementara Mesir menjabat sebagai ketua
Mahkamah Konstitusi Mesir. Militer juga bukan hanya mengganti posisi Presiden
Mesir tapi juga mengganti posisi Perdana Menteri Mesir. Di mana posisi Perdana
Menteri Mesir masa Mursi dijabat oleh Hisyam Qandil dan setalah kudeta posisi
itu diberikan kepada Hazem al Beblawi.43
Tindakan yang dilakukan oleh Militer bukan hanya mengganti Presiden dan
Perdana Menteri Mesir setelah mereka melakukan aksi kudeta. Militer juga mulai
membekukan konstitusi baru Mesir yang dibuat di masa pemerintahan Mursi
setelah proses penggulingan pemerintahan Mursi. Menjanjikan akan mengadakan
pemilihan umum yang akan dilaksanakan dan dipimpin oleh pemerintahan
sementara Mesir. Tindakan lebih jauh dilakukan oleh militer terhadap para
petinggi Ikhwanul Muslimin dengan melakukan penangkapan dan pelarangan
43
The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Transition to an elected government,” artikel
diakes pada 20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-
regime#ref308469
100
perjalanan (travel ban) kepada mereka. Terakhir tindakan yang diambil oleh
militer adalah pembubaran Majeslis Syuro (MPR) dan penutupan sejumlah media
Mesir.44
C. Analisis Kejatuhan Pemerintahan Mursi di Mesir Tahun 2013
Pada 3 Juli 2013 gelombang demonstrasi kembali tumpah-ruah di Mesir yang
nantinya melengserkan Mursi dari kursi kepresidenan. Dalam pergolakan politik
tersebut sebagian masyarakat Mesir meliputi kelompok Sekuler, Liberal, dan
Kristen Koptik atau anti Islam ikut serta dalam penggulingan Muhammad Mursi.
Menurut mereka Presiden Mursi dinilai bersikap diskriminatif karena sebagian
besar pemerintahan dipegang oleh Ikhwanul Muslimin.45
Gelombang besar itu
mengakibatkan gejolak politik yang mengakibatkan jatuh atau tumbangnya
pemerintahan Mursi di Mesir.
Merujuk pada pendapat Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan yang
membahas tentang sebab-sebab bertahan dan jatuhannya sebuah pemerintahan
yang demokratis atau rezim otoriter di Negara-Negara Amerika Latin dari tahun
1945-2010. Menurut mereka teori perubahan rezim disebabkan beberapa alasan
mendasar yang mengakibatkan rezim itu mampu bertahan atau gagal (jatuh).
Beberapa penyebab bertahan atau jatuh rezim menurut mereka adalah kebijakan
yang radikal, nilai-nilai yang dimiliki para elit politik, terjalinnya kesepakatan
44
Britannica, “Transition to an elected government.” 45
Rosy Prameswari K, “Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penggulingan Muhammad
Mursi di Mesir Tahun 2013,” Journal Hubungan Internasional 3 (2015): 361-362.
101
antara elit, dan pengaruh dunia Internasional.46
Ke-empat penyebab itu yang
sangat berhubungan dengan kejatuhan pemerintahan Mursi dari sisi institusi
politik ada dua, yaitu kebijakan yang radikal dan pengaruh dunia Internasional. Di
samping pengguna teori perubahan rezim, penulis juga menggunakan teori
institusionalisme di dalam mengkaji kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun
2013. Teori institusionalisme dari Hungtinton yang digunakan oleh penulis untuk
menganalisis sebab-sebab kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.
Melalui pandangnya, penulis berharap dapat menemukan jawaban dari penyebab
kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013 dari sisi institusionalisme.
1. Kebijakan yang Radikal
Menurut mereka kebijakan yang radikal dapat membuat kehancuran dari
kemungkinan pemerintahan yang kompetitif (rezim yang kompetitif47
) dan
sebaliknya kebijakan yang moderat atau tidak berlebihan mampu membuat
pemerintahan yang kompetitif dapat bertahan. Pada kasus kejatuhan pemerintahan
Mursi di Mesir tahun 2013, Konstitusi Islam dan Dekrit Presiden 22 November
2012 yang digagas oleh Ikhwanul Muslimin dan kelompok Partai Islam lainnya
dipandang berbeda oleh kalangan oposisi yaitu kelompok sekuler. Dekrit yang
dikeluarkan Mursi adalah upaya untuk menumpuk kekuasaan pada presiden
sehingga tidak ada yang dapat menghalangi pembahasan konstitusi yang
dilaksanakan di dalam majelis yang didominasi oleh kelompok Islam tersebut.
46
Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Linan, Democracies and Dictatorships In Latin
America (New York: Cambridge University Press, 2013), 61. 47
Istilah yang digunakan oleh Scott Mainwaring dan Anibal Perez-Lisan dalam
mengkategorikan pemerintahan yang demokratis dan semi-demokrasi. (Lihat Mainwaring dan
Linan, Democracies and Dictatorships, 4-5.)
102
Perpanjangan waktu tidak akan ada artinya selagi kelompok Islam masih
mendominasi majelis sehingga tujuan utama dari protes yang dilakukan kelompok
sekuler adalah menuntut Mursi untuk segera membatalkan dekrit tersebut.48
Dekrit Presiden 22 November 2012 menjadi kebijakan yang radikal di dalam
pemerintahan Mursi, sehingga dektrit ini membuat konflik yang terjadi di dalam
Majelis Konstituen Mesir terbawa sampai ke ranah masyarakat. Konflik itu yang
memunculkan gerakan-gerakan demonstrasi penentang Mursi semakin kuat. Apa
lagi ditambah dengan telah disahkan konstitusi baru Mesir pada 26 Desember
2012 yang selalu menjadi perdebatan kesahannya oleh kalangan oposisi.
Bergulirnya Konstitusi 2012 maka menandai gejolak politik Mesir yang tidak
mereda ditambah dengan mulai banyaknya masyarakat yang terlibat di dalam
Gerakan Tamarrod (Berontak). Gerakan yang bertujuan untuk menuntut Mursi
mundur dari Presiden Mesir. Gerakan yang pada akhirnya menciptakan konflik di
dalam masyarakat sehingga Militer Mesir mulai bertindak dengan melakukan aksi
kudeta terhadap Mursi dan membatalkan Konstitusi 2012.49
Dekrit dan konstitusi 2012 Mesir menjadi langkah awal dari hilangnya
legitimasi pemerintahan Mursi di mata masyarakat Mesir. Merujuk pada makna
dan fungsi lembaga eksekutif yaitu sebagai pelaksana terhadap keinginan rakyat,
maka lembaga eksekutif memiliki beberapa tanggung jawab yang utama.
Keutamaan dari tanggung jawab lembaga eksekutif ialah menjalankan hukum,
48
Max Fisher, “Egypt‟s constitutional crisis, explained as a simple timeline,” artikel
diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2012/12/06/egypts-constitutional-crisis-
explained-as-a-simple-timeline/ 49
Eko Huda Setyawan, “Militer Cabut Konstitusi Mesir, Istana Presiden Dikepung,”
artikel diakses pada 20 April 2018 dari https://global.liputan6.com/read/629765/militer-cabut-
konstitusi-mesir-istana-presiden-dikepung
103
membuat hukum, mengelola partai, dan mengelola konstitusi negara.50
Seharusnya Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir dengan melihat fungsi dan
tanggung jawabnya sebagai pemimpin dari lembaga eksekutif Mesir mampu
menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, yaitu melaksanakan keinginan rakyat
dengam membuat konstitusi yang lebih adil, bukan konstitusi yang memihak
segelintir kelompok. Hal ini tidak terlihat dari pemerintahan Muhammad Mursi di
Mesir, bahkan Mursi tetap gigih untuk mempertahankan keputusan menetapkan
konstitusi baru Mesir yang berwajah Islam, dan mendapat banyak tentangan dari
masyarakat Mesir. Fungsi utama dari lembaga eksekutif yang tidak dijalankan
dengan baik oleh Mursi mengakibatkan ia harus dijatuhkan oleh kudeta militer
dan demonstrasi rakyat.
2. Kegagalan Pelembagaan Politik di Masa Transisi
Kejatuhan Mubarak pada tahun 2011 membawa perubahan besar di dalam
perpolitikan Mesir. Duduknya Mursi di bangku kekuasaan Presiden Mesir dan
kemenangan partai Islam pada pemilu Mesir, tidak menjadi jaminan untuk mereka
mampu mengontrol dan merubah peta perpolitikan bangsa Mesir. Bahkan keadaan
yang tadinya menguntungkan mereka pada akhirnya berbalik menjadi sesuatu
yang merugikan mereka. Kudeta 3 Juli 2013 menjadi akhir dari perjalanan manis
politik Islam khususnya Ikhwanul Muslimin dan Muhammad Mursi di dalam
perpolitikan Mesir.
50
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi (Jakarta:
LP3ES, 1988), 149.
104
Kejatuhan pemerintahan Mursi berawal dari keadaan politik dan lembaganya
tidak berjalan dengan baik. Pada keadaan tersebut bisa dikatakan bahwa
kelembagaan politik yang terjadi setelah Mubarak menggundurkan diri terjadi
kegagalan di dalam pelembagaannya. Keadaan itulah yang menyebabkan
ketegangan politik tidak kunjung reda bahkan setelah Mursi menduduki kursi
Presiden Mesir. Seperti yang dijelaskan oleh Huntington bahwa perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah
komunitas politik yang sederhana namun dengan perkembangan masyarakat yang
semakin kompleks dan majemuk, maka untuk mengatur sebuah komunitas politik
itu dibutuhkan sepak terjang dari lembaga-lembaga politik.51
Keadaan yang komplek terjadi di dalam masyarakat Mesir dengan tercipta
kelompok oposisi Mubarak dalam aksi demonstran tersebut mengakibatkan
terlahirnya komunitas politik Mesir baru. Komunitas politik yang terdiri dari
kelompok Islam, nasionalis, Kristen, dan sekuler Mesir mewarnai arah jalannya
transisi politik di Mesir pasca jatuhnya rezim Mubarak.52
Terciptanya komunitas politik Mesir maka dibutuhkan sebuah lembaga politik
baru Mesir yang dapat memenuhi keinginan dari komunitas politik Mesir baru.
Respon cepat coba diberikan oleh SCAF selaku pengganti pemerintahan Mesir
sementara dengan berhasil menjalankan pemilu dan pilpres Mesir. Namun
disayangkan hasil dari pemilu tersebut tidak bisa memenuhi permintaan dari
komunitas politik Mesir baru untuk menciptakan konstitusi baru yang tidak
51
Samuel P. Huntington, Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa.
Penerjemah Sahat Simamora (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 1-15. 52
Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 42.
105
memihak kelompok tertentu.53
Keadaan semakin parah dengan dibubarkan
parlemen Mesir oleh Makhamah Konstitusi Mesir, seperti yang dijelaskan dalam
sub-bab “Konflik Antara Lembaga”.
Komunitas politik dan pembubaran parlemen Mesir menjadi persoalan yang
harus diselesaikan Muhammad Mursi ketika ia berhasil menjadi pemenang dalam
pilpres Mesir. Kedua permasalahan itu tidak dapat diselesaikan dan
mengakibatkan pelemahan atau kegagalan pelembagaan politik di masa transisi
atau tepatnya di masa pemerintahan Mursi. Seperti yang dijelaskan oleh
Huntington, tingkat pelembagaan setiap sistem politik dapat ditentukan dari segi
kemampuan untuk menyesuaikan diri, kompleksitas, otonomi dan keterpaduan
organisasi berserta tata cara-nya.54
Empat penilaian dalam tingkat pelembagaan politik tidak terlihat di dalam
masa pemerintahan Mursi di Mesir. Sehingga dapat diartikan bahwa pelembagaan
politik di masa transisi mengalami kegagalan. Penyebab kegagalannya adalah:
1. Lembaga politik Mesir tidak bisa menyesuaikan diri, khususnya di
masa Mursi berkuasa. Telah diketahui bahwa keadaan politik yang
terjadi di Mesir mengakibatkan komunitas politik yang terbentuk pasca
rezim Mubarak mengundurkan diri terpecah menjadi dua kelompok
yang sama kuatnya. Namun yang terpenting bagaimana perminta dari
komunitas politik Mesir baru dapat didengar dan dipertimbangkan di
dalam penyusunan konstitusi baru Mesir. Untuk memenuhi permintaan
tersebut maka terciptalah lembaga Konstituen Mesir tetapi seiring
53
Nathan J. Brown, “Tracking The Arab Spring: Egypt‟s Failed Transition,” Journal of
Democracy 24 (Oktober 2013): 49. 54
Huntington, Tertib Politik, 16-17.
106
berjalannya waktu lembaga tersebut dikuasai oleh kelompok Islam
karena kemenangan partai Islam di pemilu Mesir. Keadaan itu
membuat kelompok sekuler merasa terhimpit dan menciptakan konflik
baru di dalam penyusunan konstitusi baru Mesir. Ketidak mampuan
lembaga politik di masa pemerintahan Mursi adalah permintaan untuk
menyusun ulang anggota Majelis Konstituen Mesir secara adil dan
proposonal di antara kelompok Islam dan sekuler. Pada kenyataannya
permintaan itu tidak dilakukan oleh pemerintahan Mursi dan hanya
menempatkan sedikit anggota kelompok sekuler di Majelis Konstituen
Mesir.55
2. Tidak terciptanya lembaga politik Mesir yang kompleksitas. Penyabab
itu didasarkan dengan tidak adanya sub-unit perancang konstitusi baru
di dalam lembaga legislatif Mesir sehingga memutuskan untuk
menciptakan lembaga tersendiri yaitu Majelis Konstituen, yang
akhirnya majelis itu menjadi arena konflik politik antara kepentingan.
Ditambah lagi dengan adanya SCAF sebagai pengganti Mubarak untuk
menjalankan pemerintahan di masa transisi yang setelah terpilihnya
Mursi pun kekuasaaan SCAF tidak tergantikan bahkan mengalami
penguatan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Mesir.56
Keadaan
itulah yang mengakibatkan konflik di pemerintahan Mursi tidak reda
dan membuat Mursi harus dikudeta.
55
Brown, “Tracking The Arab Spring”, 51-52. 56
Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 49-51.
107
3. Tidak ada lembaga politik Mesir yang benar-benar otonomi. Hal itu
dapat terlihat dengan adanya campur tangan SCC (Mahkamah
Konstitusi) Mesir yang dapat melakukan pembubaran terhadap
parlemen Mesir dan keterlibatan pemerintah Mursi di dalam
penyusunan kembali anggota Majelis Konstituen. Jika lebih jauh lagi
adanya keterlibtan kelompok Ikhwanul Muslimin di dalam setiap
keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Mursi.
Keadaan juga diperparah dengan adanya SCAF dalam lingkaran
kekuasaan politik Mesir pasca setelah pilpres Mesir yang memiliki
kekuasaan lembaga legislatif Mesir setelah parlemen dibubarkan dan
wewenang SCAF ditambah oleh Mahkamah Konstitusi Mesir.57
Jenis
kewenangan itu seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab
sebelumnya.
4. Tidak adanya keterpaduan atau kesatuan antara lembaga politik Mesir
dengan lingkungannya. Ketidak terpaduan itu dapat terlihat dengan
adanya konflik anatara lembaga, yaitu pemerintahan Mursi dengan
SCC (Mahkamah Konstitusi) Mesir atau lembaga eksekutif dengan
yudikatif. Lembaga legislatif Mesir yang terwakili melalui parlemen
Mesir yang berkonflik dengan badan yudikatif Mesir, khususnya
Mahkamah Konstitusi Mesir. Ketidak terpaduan itu terjadi karena
57
Brown, “Tracking The Arab Spring”, 55-56.
108
perebutan di dalam Majelis Konstituen, pembubaran parlemen Mesir,
Dekrit Presiden Mursi dan Konstitusi Islam.58
3. Pengaruh Dunia Internasional
Pengaruh dari dunia Internasional yang mendukung pemerintahan demokrasi
dapat memberikan kemungkinan bertahannya pemerintahan yang kompetitif dan
mampu meningkatkan transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju kepada
pemerintahan yang demokratis. Menghubungkan dengan teori institusionalisme,
maka pengaruh dunia Internasional sangat berhubungan dengan sikap yang
diambil oleh pemimpin lembaga eksekutif atau yang sangat berperan adalah
presiden dan para menterinya. Melihat pada fungsi dan tanggung jawab lembaga
eksekutif terhadap pemenuhan keinginan rakyat, maka kekuasaan lembaga
eksekutif meliputi beberapa bidang.59
1. Administrasi, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan
peraturan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya
dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan
dalam negeri.
4. Yudikatif, artinya memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.
58
Mushlih dan Hurriyah, “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi”, 53-54. 59
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, 4th
ed. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010), 296-297.
109
5. Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain.
Dari kelima tugas lembaga eksekutif yang sangat berhubungan dengan pengaruh
dunia Internasional adalah tugas diplomatik, yaitu menjalin hubungan baik dengan
negara-negara lain. Hubungan itu dapat terlihat dari kebijakan luar negeri yang
diterapkan oleh negara melalui pemerintah.
Pada kasus Mesir, terutama pemerintahan Mursi saat berkuasa kebijakan
politik luar negeri yang diambilnya adalah sikap tegas dan menolak tunduk
terhadap Negara-Negara Barat yang merugikan Mesir dan Islam. Kebijakan itu
berhubungan dengan dukungan pemerintahan Mursi terhadap negara Palestina dan
Suriah. Kebijakan ini membuat Amerika Serikat dan sekutunya Israel menjadi
gerah.60
Kebijakan itu juga membuat Amerika Serikat memilih untuk bersikap
ganda terhadap persoalan kejatuhan Presiden Mursi di Mesir. Sikap itu terlihat
dari awal bermulanya Arab Spring di Mesir membawa pesan yang bercampur dari
pemerintahan Obama, yang mana pertama sekali Obama memberikan dukungan
penuh kepada rezim Mubarak. Kemudian dukungan berpindah kepada demonstran
atau para protes yang ingin menurunkan Mubarak. Namun, pada tahun 2013
setelah Mursi dilengserkan lagi oleh sisa-sisa pewaris Mubarak juga lewati aksi
yang serupa yaitu demonstrasi tapi ditambah dengan kudeta oleh Militer Mesir.
Amerika Serikat lewat Hillary Clinton bahkan mengatakan bahwa Mesir berada
dalam keadaan yang stabil. Presiden Obama bahkan menyerukan reformasi dan
transisi untuk sesegera mungkin dijalankan. Amerika Serikat seperti menutup
60
Linda Nur Ramly dan Rr. Terry Irenewaty, “Kebijakan Muhammad Mursi sebagai
Presiden Mesir (2012-2013),” Socia 12 (September 2016): 96-97.
110
mata kepada implikasi dari kudeta militer yang bahkan tidak diakui oleh Amerika
sendiri.61
Alasan utama Amerika Serikat tidak melakukan atau bahkan tidak
mengusulkan kasus HAM berat di Mesir untuk diinternasionalkan dan
diintervensi baik militer maupun non-militer karena pengaruh yang kuat dari Arab
Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel. Pada kasus Mesir, Amerika Serikat bersikap
ganda dalam menjalankan kebijakan luar negerinya.
Kebijakan luar negeri yang rasional bagi Amerika Serikat terlihat dari setiap
sikap pernyataan politik Amerika Serikat, baik lewat Menteri Luar Negerinya
ataupun lewat Presiden Obama sendiri tidak pernah menyebutkan kata kudeta
dalam membicarakan masalah Mesir. Amerika Serikat tidak mengakui adanya
kudeta di Mesir. Logikanya, jika merumuskan apakah yang terjadi di Mesir
kudeta atau bukan tidak mencapai konsensus, maka dengan ini Amerika Serikat
tidak harus mendukung atau menolak kudeta itu sendiri dan yang terpenting
segala kepentingan Amerika di Mesir dapat terjaga.62
Kepentingan Amerika
tersebut bisa terjalin dengan baik apabila hubungan diplomatik dan kebijakan luar
negeri pemerintahan Mursi tidak merugikan atau mengacam kepentingan Amerika
di Mesir. Pada kenyataannya kebijakan luar negeri pemerintahan Mursi terlihat
sangat merugikan Amerika sehingga membuatnya harus bersikap ganda terhadap
permasalahan di Mesir.
61
Prameswari, “Keterlibatan Amerika Serikat,” 364-365. 62
Prameswari, “Keterlibatan Amerika Serikat,” 365.
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Revolusi Arab Spring 2011 telah membawa angin perubahan di sebagian
Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Mesir Revolusi Arab
Spring 2011 telah membuat rezim Militer Mubarak yang berkuasa hampir
selama 30 tahun lebih harus tumbang. Tumbangnya rezim Mubarak membawa
Mesir pada transisi demokrasi keduanya. Transisi demokrasi pertama negara
Mesir terjadi setelah Mesir mendapatkan kemerdekaan dari negara Inggris
tahun 1923. Namun sangat disayangkan proses demokrasitisasi di masa awal
negara Mesir harus dirampas oleh kekuatan asing dan para elit politik yang
korup sehingga membuat sebagian Militer Mesir menjadi berang dan kesal.
Kekesalan mereka diluapkan dalam proses kudeta militer yang disebut sebagai
Revolusi 1952. Selanjutnya negara Mesir berada di dalam kekuasaan para
militer hingga sampai revolusi menjatuhkan penguasa militer ketiga Husni
Mubarak dari singgasana Presiden Mesir.
Kejatuhan Mubarak melalui Revolusi Arab Spring disebabkan karena tiga
hal, yaitu:
1. Pemerintahan yang kehilangan legitimasi.
2. Pengaruh kuat media internet dalam menggerak massa untuk
berkumpul dan melakukan unjuk rasa menentang pemerintahan
Mubarak.
112
3. Demonstrasi besar yang berawal di Tunisia yang menghancurkan
rezim militer di sana sehingga membuat masyarakat Mesir terinspirasi
serta mengikuti jejak negara Tunisa.
Semua penyebab itu bersumber pada permasalahan ekonomi dan politik di
masa rezim Mubarak. Ekonomi di masa berakhirnya Mubarak keadaannya
sangat mengkhawatirkan. Itu terlihat dari banyaknya masyarakat Mesir yang
menganggur dan tidak memiliki pekerjaan. Keadaan diperparah dengan
pemerintahan yang korup dan otoriter sehingga membuat masyarakat
melakukan perlawan untuk menurunkan rezim Mubarak.
11 Februari 2011 rezim Militer Mubarak jatuh. Di awali dengan
pengunduran dirinya dan penyerahan pemerintahan Mesir kepada Dewan
Tertinggi Militer (SCAF). Melalui mereka negara Mesir mulai memasuki masa
transisi demokrasi. Pada masa itu keadaan politik tidak mengalami kepastian
bahkan ketidakstabilan. Institusi politik Mesir saat masa transisi demokrasi
berada pada kekuasaan militer melalui SCAF dan Mahkamah Konstitusi Mesir
(SCC). Di tangan mereka lah politik Mesir diatur bahkan konflik yang terjadi
dalam ruang legislatif Mesir juga akibat dari kuatnya lembaga politik yang
diwariskan oleh Mubarak.
Pada proses transisi demokrasi, Mesir mendapatkan Presiden pertama dari
kalangan Islam dan sipil. Presiden itu adalah Muhammad Mursi. Bukan hanya
Presiden Mursi yang mendapatkan keuntungan dari transisi demokrasi tapi
partai-partai yang berideologi Islam juga mengalami kebangkitan. Di tambah
dengan meningkatnya kekuatan politik Ikhwanul Muslimin yang berhasil
113
menguasai parlemen Mesir dan menempatkan kadernya pada posisi Presiden
Mesir.
Kekuasaan Mursi tidak selama kekuasaan seorang Presiden Mesir
sebelumnya. Ia berkuasa hanya satu tahun. Ia mengakhiri kekuasaannya
karena faktor keadaan politik yang tidak stabil dan situasi ekonomi Mesir
yang menurun. Keadaan-keadaan itu membawa pemerintahan Mursi harus
berakhir cepat dengan proses kudeta militer. Kudeta militer adalah akibat dari
pemerintahan Mursi tidak mampu meredam demonstrasi besar yang kembali
melanda negara Mesir dan mengalami bentrokan berdarah dengan kelompok
pendukung Pemerintahan Mursi. Gelombang demonstrasi besar itu kemudian
dikenal sebagai Gerakan Tamarrod (Berontak). Kejatuhan pemerintahan
Mursi disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Kebijakan yang radikal, yang berupa Dekrit Presiden 22 November
2012 dan konstitusi baru Mesir yang lebih Islamis. Konstitusi dan
dekrit presiden Mursi menyebabkan perpecahan dikalangan elit poltik
Mesir semakin tajam dan bahkan sudah mulai terbawa ke dalam
masyarakat sipil Mesir. Kebijakan itu menyebabkan masyarakat Mesir
terbelah menjadi dua kubu yang saling berbenturan sehingga membuat
jalan Militer Mesir untuk melakukan kudeta dengan upaya untuk
menjaga persatuan dan keamanan negara Mesir.
2. Gagalnya pelembagaan politik di masa transisi, khususnya pada saat
Muhammad Mursi berkuasa di Mesir. Kegagalan itu disebabkan oleh
empat faktor yaitu pertama, tidak bisanya lembaga politik Mesir di
114
masa Mursi menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Kedua,
tidak tercipta lembaga yang kompleksitas dalam menghadapi tantang
dan permintaan dari perubahan masyarakat berserta komunitas politik
Mesir. Ketiga, tidak adanya lembaga politik Mesir di masa Mursi yang
memiliki otonomi sendiri sehingga membuat beberapa lembaga politik
dikendalikan oleh lembaga yang lain. Dan keempat, tidak adanya
keterpaduan atau kesatuan di dalam lembaga politik Mesir,
3. Tidak adanya dukungan pemerintahan atau komunitas Internasional
terhadap peristiwa kudeta yang terjadi di Mesir. Hal itu terjadi karena
kebijakan luar negeri Mesir di masa Mursi lebih berpihak pada
kalangan Islam dan Palestina, sehingga Negara-negara pendukung
Israel, khususnya Amerika Serikat merasa terancam atas segala
kepentingannya yang ada di Mesir dan membuat Amerika bersikap
ganda terhadap keadaan yang terjadi di Mesir. Terutama pada kasus
pengkudetaan pemerintah Mursi. Ketiga hal itu menjadi penyebab
dasar dari kejatuhan pemerintahan Mursi di Mesir tahun 2013.
B. Saran
Kajian-kajian dalam analisa kejatuhan pemerintah demokrasi atau pun
sebaliknya telah cukup banyak di dalam khazannah ilmu politik. Penelitian ini
juga menjadi bagian dari hal tersebut. Melihat apa yang ada dalam penelitian
ini dan perkembangan dunia poltik khususnya kajian dalam ranah institusi
politik dan kejatuhan rezim yang besifat dinamis. Meyakini bahwa penelitian
115
ini bisa dikembangkan lebih mendalam dan diekspor lebih jauh lagi. Variable-
variable yang masih banyak dalam kajian tersebut menjadikan dasar dan saran
untuk para penelitian lain yang mencoba menggali dan meneliti sebuah proses
kejatuhan pemerintahan. Melihat kasus kejatuhan dan perkembangan dunia
penelitian ini akan selalu tetap dan sesuai untuk membahas kasus-kasus
kejatuhan pemerintahan atau rezim di masa yang akan datang.
Penulis juga menyarankan bagi para penelitian yang mencoba mengkaji
kasus yang sama akan lebih baik jika para penulis lain menggunaka metode
wawancara kepada ahlinya untuk mendapatkan jawaban dan hasil penelitian
yang lebih baik dari penelitian ini. Pembahasan secara literatur dan
pemahaman para ahli dalam menjelaskan fenomena kasus ini akan
memperkaya penelitian-penelitian lainnya yang memiliki tema sama.
Eksporasi yang dalam pada data-data penelitian akan memberikan hasil yang
baik untu penelitaian selanjutnya dan bisa menjelaskan secara komperensif
dari penelitian ini.
116
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Penerjemah Setiawan Abadi. Jakarta:
LP3ES, 1988.
Bannerman, J. P. Islamic in Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and
Law. New York: Routledge, 1988.
Basyar, M Hamdan. Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki,
dan Israel. Jakarta: UI Press, 2015.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010.
Clevend, William L dan Martin Buton. A Histroy of The Modern Middle East.
Boulder: Westview Press, 2013.
Cook, Steven A. The Struggle for Egypt: from Nasser to Tahrir Square Oxford
University Press: New York, 2012.
Huntington, Samuel P. Tertib Politik di tengah Pergeseran Kepentingan Massa.
Penerjemah Sahat Simamora Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: Erlangga, 2009.
Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (KomNasKDM).
Buku Putih: Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Militer Di Mesir.
Jakarta: KomNasKDM, 2014.
Lust, Ellen ed., The Middle East. Los Angeles: Sage & CQ Press, 2014.
117
Mainwaring, Scott dan Anibal Perez-Linan. Democracies and Dictatorships In
Latin America. New York: Cambridge University Press, 2013.
Marsh, David dan Gerry Stoker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.
Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah. Bandung: Nusa Media, 2010.
Marsot, Afaf Lutfi Al-Sayyid. A Short History of Modern Egypt. Cambridge:
Cambridge University Press, 1985.
Mitchell, Richard P. The Society of the Muslim Brothers. New York: Oxford
University Press, 1993.
Nadj, E. Shobirin ed., Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi
Nasional: Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 2003.
Ochsenwald, William dan Sydney Nettleton Fisher. The Middle East a History.
New York: McGraw-Hill, 2004.
O‟Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schimtter, Transitions from Authoritarian
Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore:
The Johns Hopkins University Press, 1986.
Palmer, Monte. The Politic Of The Middle East. Belmont CA: Thomson
Wadsworth, 2012.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4th ed. Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Rhodes, Rod. Understanding Governance. Buckingham: Open University Press,
1997.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001.
118
Sahdan, Gregorius. Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto. Bantul: Pondok
Edukasi, 2004.
Stewart, Dona J. The Middle East Today: Political, Geographical and Cultural
Perspective, 2nd ed. New York: Routledge, 2013.
JURNAL DAN KARYA ILMIAH :
Baderan, Suprisno. “Pola Transisi Demokrasi yang Terjadi Di Indonesia dan
Brasil.” Farabi 11 (Juni 2014): 43-44.
Brown, Nathan J. “Tracking The Arab Spring: Egypt‟s Failed Transition.”
Journal of Democracy 24 (Oktober 2013): 47-48.
Hidriyah, Sita. “Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di
Mesir.” Hubungan Internasional 4 (Juli 2012): 5.
Haimerl, Maria. “The Supreme Constitusional Court of Egypt (SCC) After
Mubarak: Rethinking The Role of An Established Court In An
Unconstitutional Setting.” In The ECPR General Conference Glasgow,
Glasgow 3-6 September 2014 (Glasgow: The ECPR, 2014), 1-2.
Hungtinton, Samuel P. “Democracy‟s Third Wave.” Journal of Democracy 2
(Mei 1991): 12.
Kapstein, Ethan B dan Nathan Converse. “Why Democracies Fall.” Journal of
Democracy 19 (Oktober 2018): 57-58.
Martin, Ali. “Quo Vadis Transisi Demokrasi: Arah Demokratisasi Indonesia
Ditengah Demokrasi Pasar.” Specktrum 7 (Januari 2010): 30.
119
Mushlih, Amri dan Hurriyah. “Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi
Mesir Tahun 2011-2013.” politik 2 (Agustus 2016): 51.
Prameswari, Rosy. “Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penggulingan
Muhammad Mursi Di Mesir Tahun 2013.” Jurnal Hubungan Internasional
3 (2015): 361-362.
Ramly, Linda Nur dan Rr. Terry Irenewaty, “Kebijakan Muhammad Mursi
sebagai Presiden Mesir (2012-2013),” Socia 12 (September 2016): 96-97.
Rofiq, Atep A. “Melacak Dinamika Sipil-Militer Pasca Revolusi Mesir.” Salam 2
(Juni 2015): 104.
Zada, Khamami. “Gelombang Revolusi dan Transisi Politik Di Timur Tengah dan
Afrika Utara,” Salam 2 (Juni 2015): 69.
WEBSITE :
Ahram Online. “English Text of Morsi‟s Constitutional Declaration,” artikel
diakses pada 20 April dari https://english.ahram.org.eg/News/58947/
Al Jazeera English. “Egypt‟s Morsi says he will not step down-Middle East,”
artikel diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/07/20137222343142718
.html.
BBC. “Egyptian President Mursi Reverses Paliament Dissolution,” artikel diakses
pada 20 April 2018 dari https://www.bbc.com/news/world-middle-east-
18761403
120
Carter Center. “Presidential Election in Egypt: Final Report May – June 2012,”
artikel diakses pada 19 April 2018 dari
https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/elect
ion_reports/egypt-final-presidential-elections-2012/
Daily News Egypt. “National Salvation Front and Tamarrod call on Army to
Intervene,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari
http://www.dailynewsegypt.com/2013/07/03/national-salvation-front-and-
tamrrod-call-on-army-to-intervene/
Freedom House. “Egypt,” artikel diakses pada 20 Maret 2018 dari
https://freedomhouse.org/report/freedom-
world/2009/egypt?page=22&year=2009&country=7601
Farooq, Umar. “Seeking New Leadership, Millions of Egyptians Take to the
Streets,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.theatlantic.com/international/archive/2013/06/seeking-new-
leadership-millions-of-egyptians-take-to-the-streets/277419/
Fisher, Max. “Egypt‟s constitutional crisis, explained as a simple timeline,” artikel
diakses pada 20 April 2018 dari
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2012/12/06/egypts
-constitutional-crisis-explained-as-a-simple-timeline/
“Government and Society Egypt,” arikel diakses pada 7 September 2017 dari
https://www.britannica.com/place/Egypt/Government-and-society
Kirkpatrick, David D dan Mayy El Sheikh. “Citing Deadlock, Egypt‟s Leader
Seizes New Power and Plans Mubarak Retrial,” artikel diakses pada 20
121
April 2018 dari
https://www.nytimes.com/2012/11/23/world/middleeast/egyptspresidentm
orsigiveshimselfnewpowers.html.
“Kronologis Jatuhnya Pemerintahan Muhammad Mursi,” artikel diakses pada 21
November 2015 dari http://internasional.kontan.co.id/news/kronologis-
jatuhnya-pemerintahan-muhammad-mursi
“Pemilu Pertama Mesir Pasca Mubarak Digelar,” artikel diakses pada 20
November 2015 dari
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/11/111128_egyptpoll.shtml
Setyawan, Eko Huda. “Militer Cabut Konstitusi Mesir, Istana Presiden
Dikepung,” artikel diakses pada 20 April 2018 dari
https://global.liputan6.com/read/629765/militer-cabut-konstitusi-mesir-
istana-presiden-dikepung
Susilo, Mohamad. “Setelah Demo Besar Antipemerintah di Iran, Sulit
Memastikan Apa Yang Akan Terjadi Namun Rakyat Sudah Bersuara,”
artikel diakses pada 2 Pebruari 2018 dari
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42604143
The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Egypt Uprising of 2011,” artikel
diakses pada 20 Maret 2018 dari https://www.britannica.com/event/Egypt-
Uprising-of-2011
The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Transition to an elected government,”
artikel diakes pada 20 Maret 2018 dari
https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-regime#ref308469
122
The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Unrest in 2011,” artikel diakes pada 20
Maret 2018 dari https://www.britannica.com/place/Egypt/The-Mubarak-
regime#ref308469
Watson, Ivan. “Court Overrules Egypt „s President on Parliament,” artikel diakses
pada 20 April 2018 dari
https://edition.cnn.com/2012/07/10/world/meast/egypt-politics/index.html.
WD. “Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan,” artikel diakses pada 21
November 2015 dari
https://m.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/empat-alasan-
presiden-mesir-digulingkan