STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

15
DAPATKAH PAJAK TANAH MENJADI ALAT PENGENDALI ALIH GUNA LAHAN?: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN Tesis Untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah Diajukan oleh Ratih Purnamasari 2012/342446/PTK/08581 Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK

description

perencanaan kota dan daerah

Transcript of STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Page 1: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

DAPATKAH PAJAK TANAH MENJADI ALAT PENGENDALI ALIH GUNA LAHAN?:

STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

TesisUntuk memenuhi sebagai persyaratan

mencapai derajat Sarjana S-2

Program StudiMagister Perencanaan Kota dan Daerah

Diajukan olehRatih Purnamasari

2012/342446/PTK/08581

KepadaPROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA2015

Page 2: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN
Page 3: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

DAPATKAH PAJAK TANAH MENJADI ALAT PENGENDALI ALIH GUNA

LAHAN?:

STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH GUNA LAHAN

DI KABUPATEN SLEMAN

RatihPurnamasari1, LeksonoPrabuSubanu2,

RetnoWidodoDwiPramono3

Abstrak

Alih fungsi lahan pertanian di Aglomerasi Sleman menunjukkan angka perkembangan yang cukup tinggi sebesar 42 hektar selama tiga tahun terkahir yakni tahun 2011-2013, yang terjadi pada 9 Desa di Aglomerasi Sleman. Faktor geografis yakni berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan berada di dataran rendah mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Berangkat dari isu alih fungsi lahan dan NJOP pertanian maka hipotesa dalam penelitian adalah ada hubungan penetapan NJOP dan Harga Transaksi dengan alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Sleman.

Lokasi penelitian berada di Aglomerasi Sleman yang terdiri dari lima kecamatan dan sembilan desa yakni Kecamatan Depok: Desa Maguwoharjo, Condongcatur, Caturtunggal, dan Maguwoharjo, Kecamatan Mlati: Desa Sinduadi dan Sendangadi, Kecamatan Ngaglik: Desa Sariharjo, Kecamatan Godean: Desa Sidoarum, Kecamatan Gamping: Desa Trihanggo dan Nogotirto. Pendekatan penelitian ini kuantitatif, menggunakan analisis statistik Uji Korelasi Pearson dan analisis Model Gravitasi Hansen.

1Mahasiswapascasarjana Magister Perencanaan Kota dan Daerah UniversitasGadjahMada, Yogyakarta, 20152Dosen di Magister Perencanaan Kota dan Daerah, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta3Dosen di Magister Perencanaan Kota dan Daerah, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta

Untuk menjelaskan tingkat perubahan penggunaan lahan dilakukan teknik overlay peta guna lahan Aglomerasi Sleman Tahun 2011-2013.

Masing-masing analisis bertujuan untuk menjawab hipotesa dan rumusan masalah yakni hubungan pajak tanah (NJOP dan Harga Transaksi) dengan alih guna lahan pertanian, dan hubungan perubahan lahan dengan letak kawasan khusus (kampus dan pusat kota). Hasil penelitian akan menjelaskan dan menggambarkan tingkat signifikan hubungan antar variabel, perkembangan perubahan lahan dan besaran jarak (lokasi) dengan pertambahan NJOP dan alih guna lahan.

Kata kunci: aglomerasi sleman, alih fungsi lahan, lokasi, NJOP, UGM.

1. Pendahuluan

Konversi lahan pertanian terjadi secara massive di Aglomerasi Sleman, selama tahun 2000 sampai 2010. Pemicunya adalah pertumbuhan bisnis properti yang tumbuh secara signifikan. Sayangnya, pertumbuhan yang cepat dalam merespon tuntutan ini urbanisasi di rumah-rumah pribadi dan ruang hidup baru di dekat kota, memaksa beberapa pemilik lahan untuk melepaskan lahan mereka yang sebelumnya digunakan untuk bertani kemudian dikonversi menjadi daerah komersial.

Dalam lima tahun terakhir saja, sudah ada 10 bangunan komersial (kondominium-Hotel, apartemen, toko, mal dan rumah) dibangun di atas tanah yang dulunya sawah. Maraknya alih fungsi lahan pertanian disebabkan karena harga per meter relatif lebih rendah dibandingkan jenis penggunaan lahan yang lain. Konversi lahan pertanian ini terjadi hampir seluruh bagian dari Sleman, yang berada di dekat perbatasan kota, sehingga memicu peningkatan pajak tanah dan harga transaksi.

Page 4: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Nilai pajak pada tanah yang terletak di daerah strategis (pusat kota dan dekat Kampus UGM) berkisar di atas Rp.1.000.000 m / tahun. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yakni Perda Nomor 11 Tahun 2012 (PBB Perkotaan Dan Pedesaan), berupa regulasi untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian sebesar 21,113 hektar.

Melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No.11 Tahun 2012 Tentang PBB Perkotaan dan Pedesaan, disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

a. Lahan pertanian berkelanjutan sebesar 0,01%

b. Lahan pertanian non berkelanjutan sebesar: lahan dengan luas sampai 1.000 m² sebesar 0.01% lahan pertanian dengan luas sampai 2.000 m² sampai 5.000 m² sebesar 0.02% lahan pertanian dengan luas lebih 5.000 m² sebesar 0.03%Upaya pemerintah Kabupaten Sleman

mempertahankan lahan pertanian yakni dengan membebankan pajak cukup ringan bagi petani berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No.11 Tahun 2012. Keringanan tarif PBB bertujuan untuk melindungi petani dari beban pajak yang tinggi atas lahan pertaniannya.

Kontradiksi muncul karena kebijakan lain pemerintah daerah adalah mengejar target untuk meningkatkan pendapatan pajak yang berasal darikawasan komersial dan properti. Ketika lahan pertanian terus tergerus pertumbuhan yang cepat dari bangunan komersial, secara bersamaan semakin meningkatkan nilai ekonomis lahan pertanian yang ada disekitarnya. Ini adalah bentuk ketidakadilan pajak karena petani miskin harus membayar pajak dari sebelumnya hanya

karena perumahan dan baru toko yang dibangun di sekitar tanah pertanian mereka. Berdasarkan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana konversi lahan di aglomerasi Sleman selama 2010-2013?

b. Bagaimana hubungan antara pajak tanah dan konversi lahan di Aglomerasi Sleman?

c.2. Literatur

Faktor ekonomi yang dijelaskan (Isa:2007) mengemukakan bahwa tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non-pertanian, atau lainnya), seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.

Dalam rencana pemanfaatan lahan, Jayadinata (1999) menjelaskan bahwa intrumen pengawasan pemanfataan lahan dapat dilakukan dengan kebijaksanaan pertanahan. Kesatuan informasi mengenai pertanahan yang terorganisasi secara sistematis untuk menunjang kebutuhan perencanaan pemanfaatan, penggunaan, pengembangan, pengendalian dan pengawasan pembangunan lahan serta penetapan status hak tanah.

Page 5: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Upaya sistem pertanahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi bentuk alih fungsi lahan karena perilaku spekulan lahan dapat dilakukan dengan cara “Law Enforcement” yakni penetapan peraturan perundangan yang membatasi penguasaaan pemilikan tanah melampaui batas adanya keharusan mendaftarkan seluruh penguasaan dan pemilikan tanah perorangan atau badan hukum. Bila ternyata di kemudian hari terdapat manipulasi data penguasaan/pemilikan maka dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah tersebut dan disita untuk negara (Soehadi, 1993:5).

Sebagai gambaran,berikut kerangka teori dalam penelitian alih fungsi lahan di Aglomerasi Sleman:

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Source: Land theories compilation, 2013

3. Metode Analisis

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan deduktif

kuantitatif dan kualitatif. Metode campuran (Mixed method) yang dimaksud adalah berupa penggabungan teknik analisis data baik secara kuantitatif dan kualitatif agar diperoleh validasi dan dataanalisa yang komprehensif atas masalah penelitian (Creswell, 2012).

Lokasi penelitian berada di Aglomerasi Perkotaan Sleman yang terdiri dari Kecamatan Depok (Desa Maguwoharjo, Desa Condongcatur, Desa Caturtunggal), Kecamatan Mlati (Desa Sendangadi dan Desa Sinduadi), Kecamatan Ngaglik (Desa Sariharjo), Kecamatan Godean (Desa Sidoarum) dan Kecamatan Gamping (Desa Trihanggo dan Desa Nogotirito).

Teknik pengambilan sampel (cluster sampling) lokasi dilakukan dengan tahapan berikut ini:1. Melakukan overlay peta guna lahan

aglomerasi Sleman tahun 2011 dan 2013.

2. Menentukan persil sawah yang beralih fungsi menjadi sentra niaga, perumahan dan apartemen. Pertimbangannya karena alih fungsi sawah ke sektor niaga cenderung lebih cepat mempengaruhi harga tanah dan sawah sekitarnya.

3. Lokasi persil terpilih kemudian disesuaikan dengan peta blok tanah Dispenda Sleman untuk mengetahui besaran harga transaksi dan NJOP di persil tersebut.Metode analisis yang digunakan

dalam penelitian ini disesuaikan berdasarkan rumusan masalah yang akan

Page 6: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

diteliti. Terdapat dua metode analisis penelitian yang digunakan yaitu analisis kuantitatif dengan GIS dan SPSS serta deskripsi terhadap hasil analisis kuantitatif.

Analisis Kuantitatif1. Analisis Perubahan Penggunaan

Lahan

Analisis alih fungsi lahan menggunakan metode overlay peta penggunaan lahan pada tahun 2011 dan tahun 2013 dengan menggunakan citra Google Earth dan peta penggunaan lahan tahun 2013 yang diperoleh dari DPPD Kabupaten Sleman. Teknik super impose/overlay peta akan menunjukkan blok-blok lahan yang mengalami perubahan peruntukan dari sawah menjadi blok non-pertanian. Untuk menghasilkan peta perubahan lahan, software yang digunakan adalah Arcgis 10.1 yang dilakukan oleh peneliti sendiri lalu melakukan survei lapangan untuk memastikan perubahan lahan yang digambarkan dalam hasil overlay peta guna lahan.

2. AnalisisHubungan NJOP Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Analisis ini menggunakan software SPPS 17 dengan metode analisis uji Korelasi Pearson Product Momen. Analisis uji korelasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan NJOP dan alih fungsi lahan pertanian di Sleman.

3. Analisis Daya Tarik Kawasan Kampus Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Teknik analisis yang digunakan adalah teori Gravitasi, yang akan menunjukkan dan menjelaskan daya tarik kawasan kampus dan pusat kota terhadap alih fungsi lahan di Aglomerasi Sleman dalam radius tertentu.

4. Temuan Penelitian

Melalui serangkaian penelitian dan uji analisis untuk penelitian NJOP dan perubahan lahan pertanian di Aglomerasi Sleman dapat dijelaskan sebagai berikut:

Terdapat korelasi NJOP dan Harga transaksi dengan alih guna lahan pertanian di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Depok, Kecamatan Mlati, dan Kecamatan Ngaglik. Pergeseran dan pemusatan pasar bisnis properti menjadi daya tarik yang mempengaruhi perubahan NJOP. Permintaan unit rumah kos dan apartemen yang tinggi di kawasan pusat-pusat kampus memberi peluang kepada pengembang untuk membeli sawah yang akan dibanguni unit apartemen atau rumah kos.

Rumus:

D1(d 1.1) ³

D= Luasd = Jarak

Page 7: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Gambar 5.30 Grafik Perkembangan NJOP di Aglomerasi Sleman

Sumber: Hasil analisis, data NJOP dan jarak persil ke pusat kota dan UGM, 2015

Titik-titik persil seperti Babarsari, Ambarrukmo dan Seturan, Pogung, Jaten (Mlati), dan Palagan (Ngaglik) memberi kontribusi besar terhadap perubahan lahan karena kedekatannya dengan pusat-pusat pendidikan, kawasan pemukiman mahasiswa, dan kawasan belanja keluarga. Meskipun harga jual lahan meningkat tajam, permintaan akan unit rumah kos dan apartemen tetap tinggi mengikuti tingkat pertumbuhan penduduk dan pertambahan mahasiswa.

Akan tetapi, meskipun di tiga kecamatan di atas terlihat jelas korelasi NJOP dan Harga Jual Lahan dengan besaran alih fungsi lahan, hal ini tidak terjadi secara absolut di dua kecamatan lainnya, yakni Godean dan Gamping. Di Godean misalnya, besaran alih fungsi lahan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh tingginya permintaan atau karena unsur kedekatannya dengan pusat-pusat pendidikan atau kawasan belanja.

Tidak ada kampus besar atau pusat perbelanjaan yang memicu lonjakan jumlah penduduk. Meski begitu, beberapa pengembang tetap menyasar Godean sebagai lokasi pembangunan rumah-rumah sewa, perumahan KPR, dan ruko. Sementara di Gamping, terjadinya alih fungsi lahan pertanian tidak banyak dipicu oleh lonjakan harga tanah, meskipun kecamatan ini berbatasan dengan beberapa kampus cukup besar seperti UMY dan BSI. Besaran alih fungsi lahan di dua kecamatan ini tetap dipengaruhi oleh perubahan NJOP, tetapi pertambahannya tidak cukup untuk mengimbangi perubahan yang terjadi di tiga kecamatan lainnya di atas.

Dalam praktiknya, banyaknya pilihan lahan di Godean dan Gamping mengurangi urgensinya dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang lahannya lebih sedikit. Di dua kecamatan ini, terjadinya alih fungsi lahan didasari oleh proyeksi pertumbuhan penduduk, dan proyeksi pertumbuhan kawasan bisnis di masa yang akan datang. Jadi meskipun NJOP di masa sekarang tidak lebih tinggi dari kawasan lain, pengembang tetap mengokupasi lahan di Godean dan Gamping dengan asumsi bahwa kawasan ini akan tumbuh sebagai pusat pemukiman dan pusat bisnis dalam tahun-tahun mendatang, ataupun proyeksi pembangunan infrastruktur penting melewati kawasan-kawasan tersebut.

5. Pembahasaan

NJOP selalu mengikuti perubahan lahan khususnya sawah yang terletak di daerah perkotaan, tapi sebaliknya khusus

Page 8: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

untuk sawah di pedesaan (Sleman Utara) NJOP tidak selalu mengikuti perubahan lahan melainkan menjadi pemicu melonjaknya harga sawah akibat penguasaan lahan oleh spekulan dan pengembang. Kasus yang kedua ini terjadi di sawah pedesaan khususnya di bagian utara Kecamatan Mlati, karena harga sawah di daerah ini tergolong masih rendah sehingga terjadi penguasaan sawah dalam jumlah besar.

Dalam praktik di lapangan, nilai sawah dari taksiran pasar lahan menyebabkan harganya terus melambung tinggi. Kondisi ini menyebabkan tingginya permintaan tanah pada kawasan strategis untuk kepentingan pembangunan sektor niaga sehingga NJOP mengikuti perubahan ekonomi kawasan tersebut. Informasi harga lahan belum menjadi alat kontrol dalam pengendalian pemanfaatan ruang, tapi sebaliknya informasi harga tanah justru menjadi alat bagi spekulan lahan untuk menguasai sawah berpajak rendah dalam jumlah besar dan dijadikan komoditi dagang tanah berdasarkan pertumbuhan investasi jangka panjang.

Sejalan dengan temuan ini, Nasucha (1995:228) menjelaskan jika nilai tanah di daerah yang intensitas kegiatannya tinggi cenderung meningkat berkali lipat. Penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai tata guna tanah dan informasi nilai tanah yang diatur dan dikeluarkan oleh pemerintah. Kepastian informasi diperlukan baik dalam bentuk regulasi dan pemetaan konfigurasi harga tanah setiap daerah agar nilai tanah dapat dikendalikan.

Pajak tanah dalam kasus alih guna lahan di aglomerasi Sleman memiliki dua ciri yakni 1) investasi sekarang dan 2) investasi kemudian. Proses alih guna lahan untuk kepentingan yang pertama akan memanfaatkan kesempatan menjual tanah untuk penawaran harga tertinggi. Sedangkan ciri yang kedua, akan memanfaatkan kesempatan menjual tanah pada saat harga tanah melambung tinggi. Jadi perbedaannya terlihat cukup jelas, melepas tanah dengan harga tinggi dan menjual tanah pada saat harga melonjak tinggi.

Alih guna lahan untuk ciri kedua telah terjadi saat ini, dimana harga lahan melonjak tinggi sedangkan jumlah sawah yang telah dikeringkan masih terbatas. Itulah alasan yang menyebabkan tingkat alih fungsi lahan selama kurun waktu 2011-2013 tidak sebanyak tahun 2006-2010, karena alih fungsi lahan dalam jumlah besar telah terjadi di tahun 2006-2010 (investasi sekarang). Sedangkan yang terjadi di tahun 2011-2013 merupakan gabungan investasi sekarang dan investasi nanti, yang menyebabkan harga lahan melonjak tinggi.

Ciri selanjutnya yang merupakan dampak dari model investasi sekarang dan nanti dalam pola ruang adalah ciri sentripetal dan sentrifugal. Ciri sentripetal ini menunjukkan alih guna lahan pertanian di dalam/mendekati pusat kota, contohnya yang terjadi di Desa Caturtunggal dan Sinduadi. Sendangkan ciri sentrifugal dimana perubahan lahan terjadi di pinggiran kota terjadi Desa Sinduadi dan Maguwoharjo.

Page 9: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Kesulitan mengakses informasi harga tanah berdampak pada kebijkaan rencana tata ruang. Sinkronisasi data nilai tanah dengan rencana tata ruang berperan penting dalam mengatur setiap jengkal pemanfaatan tanah, dan yang paling utama dapat meminimalisir tindak spekulan lahan. Bagan berikut ini menjelaskan rangkuman temuan lapangan hubungan pajak tanah dengan alih guna lahan di Aglomerasi Perkotaan Sleman:

Gambar 5.1 Temuan Penelitian dan Diskusi Teoritik

Sumber: Hasil analisis dan studi literatur, 2015

Peraturan zonasi dapat mencegah spekulan dan makelar tanah agar tidak leluasa mengendalikan harga tanah, karena pajak tanah yang ditetapkan pemerintah sejalan dengan zonasi fungsi kawasan dalam RDTR. Namun dalam praktiknya terlihat jika pengendalian tata ruang untuk perkotaan sangat sulit dikendalikan terutama setelah diterbitkannya kebijakan

DPPD tentang batas konversi lahan sebesar 100 ha/tahun.

Melalui RDTR, pemerintah dapat memberikan kepastian informasi yang mudah bagi masyarakat mengenai tata guna dan rencana pemanfaatan lahan di perkotaan. Persoalan PBB yang tinggi.

6. KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan pada

Bab V “Penetapan Instrumen Pajak Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian di Aglomerasi Sleman” dapat disimpulkan temuan sebagai berikut:

Perubahan besar NJOP pada persil sawah di sebagian desa Aglomerasi Sleman oleh DISPENDA menunjukkan jika harga ril transaksi sawah lebih rendah dibandingkan dengan harga transaksi pekarangan. Alih fungsi sawah berada di lokasi strategis, berada di jalur Ring-Road Utara, Jalan Magelang, sekitar kawasan Kampus UGM, Bandara dan pusat kota Yogyakarta. Pertambahan NJOP menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti jenis alih guna lahan yang berada di sekitar lahan pertanian. Sehingga dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak tanah belum menjadi representasi alat pengendali perubahan lahan, khususnya pada sawah di daerah pedesaan.

7. Daftar Pustaka BIBLIOGRAPHY Alonso, J. F. (1975). Regional

Policy, Reading In Theory And Aplication. Massachusetts: MIT Press.

Bourne, L. (1981). The Geography Of Housing. London: Edward Arnold Ltd.

Butler S.J, L. R. (2009). Quantifiying The Impact Of Land Use Change To European Farmland. ELSEVIER, 349-350.

Cahyono, B. T. (1982). Ekonomi Pertanahan. Yogyakarta: Liberty.

Page 10: STUDI HUBUNGAN PAJAK TANAH DENGAN ALIH  GUNA LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

Christiana, S. S. (1993). Peranan Pajak Bumi Dan Bangunan Dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Dati II Sleman. Fakultas Ekonomi UGM (p. 28). Yogyakarta: UGM.

Colby, C. (1959). Centrifugal and Centripetal Forces in Urban Geography. Chicago: University of Chicago.

Doxiadis, C. (1968). Eksistics An Introduction To The Science Of Human Settlements. London: Island Press.

Drs.Sohadi. (1993). Beberapa Aspek Ekonomi Dalam Pembatasan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan. Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Hukum UGM dan Badan Pertanahan Nasional.

Ginting, E. (2008). Implementabilitas Rencana Detail Tata Ruang (RDTRK) Kawasan Aglomerasi Sleman Pada Penggunaan Lahan Pertanian dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Sleman: UGM.

Harini, R. (2012). Yogyakarta: UGM.Henderson, J. (2009). The Effect Residential Land

Market Regulation. New York: Springer.Isa, I. (2006). Strategi Pengendalian Alih Fungsi

Lahan Pertanian. Balitbang. Bogor.Jayadinata, J. T. (1999). Tata Guna Tanah Dalam

Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB.

Krueckeberg, D. A. (1976). Urban Planning Analysis: Methods And Models. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Maryatun, E. (2005). Efektifitas Perizinan Sebagai Salah Satu Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Sleman: UGM.

Moleong, L. (2000). Metodologi Penelitian. Bandung: PT.Remaja Posadakarya.

Nasucha, C. (1995). Politik Ekonomi Pertanahan. Jakarta: Megapoin.

Obeng, F. O. (2013). Urban Property Taxation, Revenue Generation And Redistribution In A Frontier Oil City. ELSEVIER, 58.

Sutaryono. (2012). Marjinalisasi Petani di D.I.Yogyakarta: Acuan Khusus Pada Kontestasi Lahan Pertanian di Pedesaan. Yogyakarta: UGM.

Tarigan, R. (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Webster, N. (1996). Webster's Third New International Dictionary Springfield. Meriam Company Publisher.

Yunus, H. S. (2000). Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yunus, H. S. (2001). Perubahan Pemanfaatan Lahan Di Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta. Yogyakarta: UGM.

Zulkaidi, D. (2002). Pemikiran dan Praktik Perencanaan Dalam Era Transformasi Indonesia. Bandung: Departemen Teknik Planologi.