STUDI EVALUASI PENYELENGGARAAN SISTEM RUJUKAN … · Kelas A sebagian besar adalah penderita...

5
1 PENDAHULUAN Dalam penyelenggaraan program JKN-KIS pola pembayaran pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan terhadap penyedia layanan kesehatan terdiri dari dua mekanisme, yaitu pembayaran kapitasi dan INA-CBGs. Pembayaran kapitasi diterapkan sebagai pola pembayaran terhadap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau dalam hal ini adalah Puskesmas, klinik, atau dokter praktik swasta. Prinsip pembayaran kapitasi adalah dengan membayarkan sejumlah uang kepada FKTP dengan berbasis bayaran per orang per bulan. Sebagai contoh, apabila sebuah FKTP memiliki wilayah cakupan 10.000 penduduk dan bayaran per orang per bulan sekitar Rp8.000,- maka dalam satu bulan FKTP tersebut akan mendapatkan pembayaran sebesar Rp80.000.000,- dari BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanaan kesehatan dasar kepada peserta JKN-KIS berapapun jumlah kunjungan pasien dalam satu bulan. Sementara pembayaran INA-CBGs adalah model pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan prinsip bayaran per grup diagnosis. Sebagai contoh, apabila pasien didiagnosis penyakit sirosis maka rumah sakit akan dibayar sesuai standar tarif pelayanan pada grup penyakit hati seperti hepatitis, dan sebagainya. Model pembayaran ini merupakan satu paket tarif atau bundling price yang sudah termasuk biaya obat, biaya dokter, biaya perawatan, dan sebagainya, berapapun hari rawat yang diberikan. Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 disebutkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam kendali mutu dan kendali biaya antara lain adalah proses penilaian pemanfaatan (Utilization review) layanan kesehatan, termasuk pada skema rujukan berjenjang yang diselenggarakan. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) telah menetapkan bahwa terdapat 144 jenis diagnosis yang merupakan kompetensi dasar Dokter Umum. Merujuk pada ketentuan tersebut, diasumsikan bahwa pada tingkat FKTP jenis-jenis diagnosis tersebut dapat selesai ditangani oleh dokter umum yang bertugas. Namun demikian, dalam praktiknya masih ada kasus- kasus dari 144 diagnosis tersebut yang dirujuk ke FKRTL, baik karena standar kompetensi tenaga medis di FKTP, ketersediaan sarana prasarana, maupun karena permintaan khusus pasien. Dalam jangka panjang kondisi ini akan menimbulkan beban ekonomi yang berarti terhadap pembiayaan program, sebab apabila kasus dapat terselesaikan pada level FKTP maka BPJS Kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan karena sudah termasuk dalam paket pembayaran kapitasi. Akan tetapi apabila pasien dirujuk ke FKRTL maka akan ada besaran klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dengan menggunakan mekanisme INA-CBGs. Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem rujukan berjenjang yang baik sangat penting untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pembiayaan program. TUJUAN STUDI Tujuan umum studi ini untuk mendapatkan gambaran efektivitas penyelenggaraan sistem rujukan berjenjang pada rujukan vertikal dan horizontal. Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut: Ringkasan Riset JKN-KIS STUDI EVALUASI PENYELENGGARAAN SISTEM RUJUKAN BERJENJANG ERA JKN-KIS Hasbullah Thabrany 1 , Ery Setiawan 1 , Gemala Chairunnisa Puteri 1 , Unun Khamida Qodarina 1 , Arinditya Septiandri Pujiastuti 1 , Wan Aisyah 2 , Welly Gadistina 2 , Dwi Martiningsih 2 1 Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 2 Kedeputian Bidang Risbang, BPJS Kesehatan Pusat Edisi 03 Bulan Oktober 2017

Transcript of STUDI EVALUASI PENYELENGGARAAN SISTEM RUJUKAN … · Kelas A sebagian besar adalah penderita...

1

PENDAHULUANDalam penyelenggaraan program JKN-KIS pola pembayaran pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan terhadap penyedia layanan kesehatan terdiri dari dua mekanisme, yaitu pembayaran kapitasi dan INA-CBGs. Pembayaran kapitasi diterapkan sebagai pola pembayaran terhadap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau dalam hal ini adalah Puskesmas, klinik, atau dokter praktik swasta. Prinsip pembayaran kapitasi adalah dengan membayarkan sejumlah uang kepada FKTP dengan berbasis bayaran per orang per bulan. Sebagai contoh, apabila sebuah FKTP memiliki wilayah cakupan 10.000 penduduk dan bayaran per orang per bulan sekitar Rp8.000,- maka dalam satu bulan FKTP tersebut akan mendapatkan pembayaran sebesar Rp80.000.000,- dari BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanaan kesehatan dasar kepada peserta JKN-KIS berapapun jumlah kunjungan pasien dalam satu bulan.

Sementara pembayaran INA-CBGs adalah model pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan prinsip bayaran per grup diagnosis. Sebagai contoh, apabila pasien didiagnosis penyakit sirosis maka rumah sakit akan dibayar sesuai standar tarif pelayanan pada grup penyakit hati seperti hepatitis, dan sebagainya. Model pembayaran ini merupakan satu paket tarif atau bundling price yang sudah termasuk biaya obat, biaya dokter, biaya perawatan, dan sebagainya, berapapun hari rawat yang diberikan.

Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 disebutkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam kendali mutu dan kendali biaya antara lain adalah proses penilaian pemanfaatan (Utilization review) layanan kesehatan, termasuk pada skema rujukan berjenjang yang diselenggarakan. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) telah menetapkan bahwa terdapat 144 jenis diagnosis yang merupakan kompetensi dasar Dokter Umum. Merujuk pada ketentuan tersebut, diasumsikan bahwa pada tingkat FKTP jenis-jenis diagnosis tersebut dapat selesai ditangani oleh dokter umum yang bertugas. Namun demikian, dalam praktiknya masih ada kasus-kasus dari 144 diagnosis tersebut yang dirujuk ke FKRTL, baik karena standar kompetensi tenaga medis di FKTP, ketersediaan sarana prasarana, maupun karena permintaan khusus pasien. Dalam jangka panjang kondisi ini akan menimbulkan beban ekonomi yang berarti terhadap pembiayaan program, sebab apabila kasus dapat terselesaikan pada level FKTP maka BPJS Kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan karena sudah termasuk dalam paket pembayaran kapitasi. Akan tetapi apabila pasien dirujuk ke FKRTL maka akan ada besaran klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dengan menggunakan mekanisme INA-CBGs. Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem rujukan berjenjang yang baik sangat penting untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pembiayaan program.

TUJUAN STUDITujuan umum studi ini untuk mendapatkan gambaran efektivitas penyelenggaraan sistem rujukan berjenjang pada rujukan vertikal dan horizontal. Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut:

Ringkasan Riset JKN-KIS

STUDI EVALUASI PENYELENGGARAAN SISTEM RUJUKAN BERJENJANG ERA JKN-KIS

Hasbullah Thabrany1, Ery Setiawan1, Gemala Chairunnisa Puteri1, Unun Khamida Qodarina1, Arinditya Septiandri Pujiastuti1, Wan Aisyah2, Welly Gadistina2, Dwi Martiningsih2

1Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia2Kedeputian Bidang Risbang, BPJS Kesehatan Pusat

Edisi 03 Bulan Oktober 2017

2 3

Gambar 2. Distribusi Jenis Sampel FKTP Gambar 3. Distribusi rata-rata cakupan peserta di FKTP

Gambar 4. Distribusi Penghasilan Responden Gambar 5. Distribusi Pendidikan Responden

Angka Kunjungan dan rujukanAngka kunjungan paling tinggi terdapat pada klinik yaitu sekitar 154 kunjungan per 1000 peserta JKN-KIS. Sedangkan angka kunjungan paling rendah terdapat di Puskesmas yaitu sekitar 73 kunjungan per 1000 peserta JKN-KIS. Di sisi lain, diketahui bahwa Puskesmas dan dokter praktik memiliki angka rujukan yang sama tinggi, yaitu sekitar 15 rujukan per 100 kunjungan, sedangkan klinik hanya memiliki rujukan 12 per 100 kunjungan. Angka rujukan ini kontras dengan angka kunjungan pada masing-masing fasilitas kesehatan. Angka kunjungan pada klinik diketahui paling tinggi, bahkan hampir dua kali lipat dibandingkan Puskesmas, namun angka rujukan di Puskesmas justru cenderung lebih tinggi dibandingkan klinik. Temuan ini menunjukkan bahwa faskes klinik memiliki efisiensi pelayanan yang paling baik dibandingkan dengan Puskesmas dan dokter praktik swasta.

Gambar 6 Mohon diubah dengan gambar ini

ANGKA KUNJUNGAN (VISIT RATE) PER 1000 PESERTA JKN

Gambar 6. Angka Kunjungan per 1000 peserta JKN-KIS Gambar 7. Angka Rujukan per 100 Kunjungan

1. Diketahuinya gambaran pola kasus rujukan yang ada di FKTP.

2. Diketahuinya gambaran alur rujukan, baik vertikal dari fasilitas kesehatan primer ke sekunder maupun rujukan horizontal antar fasilitas kesehatan pada tingkatan yang sama.

3. Diketahuinya faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi penyelenggaraan sistem rujukan berjenjang.

METODEPenelitian ini menggunakan pendekatan mixed model (kuantitatif dan kualitatif). Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui proses pengumpulan data primer pada fasilitas kesehatan yang bersumber dari data PCare, sistem informasi Puskesmas, rekam medis dan dokumen pembayaran. Sementara pendekatan kualitatif yang digunakan berupa wawancara kepada pasien terkait persepsi dan pengalaman dalam mendapatkan layanan, meskipun tetap berupa data kualitatif yang dikuantifikasikan. Sehingga kuisioner yang digunakan terdiri dari dua bagian, dengan bagian pertama berisi pertanyaan terkait perspektif supply side dan bagian kedua berisi tentang perspektif demand side yang diperoleh dari pasien.

Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif terkait alur dan mekanisme rujukan berjenjang yang saat ini diselenggarakan maka proses pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dimulai dengan observasi lapangan hingga kemudian melakukan tindak lanjut di rumah sakit. Selain pengumpulan data primer, penelitian ini juga menggunakan beberapa data sekunder untuk mendukung proses analisis antara lain data klaim dan Susenas. Proses pengumpulan data pada masing-masing provinsi dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari satu orang koordinator lapangan dan empat orang enumerator. Unit analisis dalam penelitian ini merupakan fasilitas kesehatan, khususnya pada tingkat primer (FKTP), yaitu puskesmas, klinik, dan dokter praktik swasta yang diklasifikasikan berdasar area radius 3, 5, dan 10 km dari rumah sakit terdekat. Selain itu, dalam konteks analisis kasus maka unit analisis yang digunakan adalah individu (peserta JKN-KIS yang berobat dan dirujuk). Cakupan wilayah pengumpulan data meliputi 13 Provinsi yang mewakili masing-masing Divisi Regional, dan masing-masing provinsi terdiri dari dua kabupaten/kota untuk mewakili kondisi urban dan rural.

HASILTotal kasus yang diobservasi pada poli pelayanan adalah 12.930 kunjungan. Dari total kunjungan, diperoleh total pasien JKN-KIS yang dirujuk sebanyak 1472 atau 11,1% dari total kunjungan. Pasien yang dirujuk dari setiap FKTP menjadi sampel pada studi ini, kemudian dilakukan follow up beberapa hari kemudian di rumah sakit dan melalui telepon. Proses observasi di Rumah Sakit diawali dengan melakukan konfirmasi kehadiran pasien yang dirujuk dari FKTP sampel. Total pasien yang dikonfirmasi telah datang ke rumah sakit adalah 427 atau 29,8% dari total rujukan di FKTP. Untuk kasus pasien yang telah datang berobat ke rumah sakit dilakukan konfirmasi kesesuaian diagnosis antara diagnosis keluar di FKTP dengan diagnosis keluar (atau differential diagnosis jika masih dalam proses pelayanan) di rumah sakit. Apabila pasien belum datang berkunjung ke rumah sakit hingga hari ketiga setelah dirujuk, maka pasien akan dikonfirmasi melalui telepon. Upaya ini dilakukan untuk mengetahui alasan atau hambatan pasien tidak segera datang berkunjung ke rumah sakit sesuai arah rujukan. Selain itu proses exit poll survey juga dilakukan melalui telepon untuk menggali beberapa informasi karakteristik pasien, gambaran layanan, dan kepuasan. Total pasien yang dihubungi melalui telepon mencapai 954 atau sebanyak 66% dari total rujukan di FKTP. Berikut ini adalah gambaran capaian sampel pada setiap provinsi sampel di studi ini.

Gambar 1. Response rate Gambar 1. Response rate

4 5

Ketentuan FKTP untuk dapat menangani 144 diagnosis penyakit ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Apabila dokter menemukan diagnosis di luar dari 144 diagnosis tersebut, maka pasien dapat dirujuk ke FKRTL untuk mendapatkan pelayanan lebih lanjut. Namun dalam praktiknya, masih terdapat FKTP yang merujuk pasien dalam kelompok 144 diagnosis penyakit. Variabel ini ditujukan untuk dapat menilai seberapa besar kesesuaian prosedur rujukan merujuk pada kompetensi untuk 144 diagnosis yang seharusnya dapat diatasi pada tingkat FKTP. Merujuk pada hasil analisis diketahui bahwa sebagian besar rujukan di seluruh provinsi sampel sudah sesuai dengan prosedur. Namun masih ada sekitar 25% diagnosis dalam 144 diagnosis yang tidak boleh dirujuk ternyata masih dirujuk ke Rumah Sakit. Masih adanya rujukan yang tidak sesuai dengan prosedur menjadi temuan penting, apakah ketidaksesuaian prosedur tersebut terjadi karena kurangnya sarana dan prasarana diagnosis atau tingkat kompetensi dokter.

Gambar 11. Kesesuaian kasus rujukan dalam 144 diagnosis (peraturan KKI)

Selain terkait dengan apakah kasus rujukan masih dalam kelompok 144 diagnosis atau tidak, analisis dalam studi ini juga diarahkan untuk menilai kesesuaian diagnosis keluar antara FKTP dan FKRTL. Secara prinsip, apabila kompetensi dokter umum yang bertugas di FKTP memadai maka diagnosis keluar antara FKTP dan FKRTL seharusnya tidak berbeda, minimal pada satu digit pertama.

Gambar 12. Kesesuaian diagnosis pada 1 digit awal kode ICD-X

Bagan di atas menunjukkan bahwa secara total terdapat sekitar 62% diagnosis yang dinilai sesuai antara diagnosis keluar dari FKTP dan diagnosis keluar FKRTL dan masih terdapat 38% kasus yang tidak sesuai. Hal tersebut dapat disebabkan dua hal, yaitu pola rujukan atas permintaan pasien dan kompetensi tenaga kesehatan di FKTP. Meskipun masih ditemukan pada salah satu provinsi dimana tidak ada satupun diagnosis yang sesuai antara FKTP dengan rumah sakit. Namun demikian, kecenderungan kesesuaian rujukan secara umum pada beberapa provinsi sampel menunjukkan bahwa lebih dari 50% diagnosis sesuai. Artinya diagnosis yang dikeluarkan oleh dokter di FKTP sudah sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan oleh dokter spesialis.

Pola Rujukan di FKRTLHasil observasi menunjukkan bahwa kecenderungan alasan pasien dirujuk ke rumah sakit paling tinggi adalah karena permintaan kontrol ke Rumah Sakit. Temuan ini penting dalam pertimbangan penetapan kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen (KBK) yang akan dilaksanakan. Dimana angka rujukan menjadi salah satu indikator penting perhitungan kapitasi, sementara rujukan karena permintaan kontrol ini pada dasarnya merupakan faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh FKTP.

Gambar 8. Alasan rujukan pasien

Bagan di bawah menunjukkan bahwa sebagian besar (76%) alasan rujukan pasien yang langsung dirujuk ke RS kelas A adalah permintaan kontrol. Hal ini dapat dipahami sebab, karakteristik pasien yang pernah dirawat di RS Kelas A sebagian besar adalah penderita penyakit kronis yang perlu membutuhkan perawatan jangka panjang. Namun demikian terdapat sekitar 16% pasien yang langsung dirujuk ke RS Kelas A karena keperluan diagnostik. Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa jenis diagnosis yang dirujuk untuk kasus ini antara lain angina pectoris, CAD, Vertigo, dan beberapa prosedur operasi. Merujuk pada jenis diagnosis dan tindakan tersebut secara prinsip memang memiliki indikasi kebutuhkan untuk dirujuk ke RS Kelas A. Dalam kasus rujukan horizontal, menunjukkan pola yang menarik dari kecenderungan rujukan pasien dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain (rujukan horizontal). Hipotesis awal terhadap pola rujukan horizotal di rumah sakit adalah rumah sakit dengan kelas yang lebih rendah akan cenderung merujuk ke Rumah Sakit dengan kelas yang lebih tinggi karena alasan kompetensi dan kelengkapan sarana. Namun demikian dalam praktiknya, pada setiap kelas rumah sakit menunjukkan pola rujukan yang paling besar pada tingkatan yang sama. Artinya rujukan dari rumah sakit dengan kelas tertentu sebagian besar diarahkan ke rumah sakit dengan kriteria kelas yang sama.

Gambar 10 Mohon diubah dengan gambar ini

Pemeriksaan penunjang

Gambar 10. Alasan rujukan untuk pasien yang langsung dirujuk di RS Kelas A

6 7

permintaan pasien pribadi untuk dirujuk paling signifikan pada peserta JKN-KIS yang sebelumnya telah memiliki jaminan ASKES Pegawai Negeri/TNI/Polri.

Tabel 2. Analisis Determinan Rujukan Atas Permintaan Pasien

Logistic regression

Rujukan Permintaan Pasien Coef. Std Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

JKN-KIS ex ASKES 0.65 0.233 2.77 0.006 0.189 1.103Konstanta -2.49 0.107 -23.27 0.000 -2.708 -2.287

KESIMPULANMerujuk pada hasil perhitungan angka kunjungan peserta JKN-KIS di masing-masing jenis FKTP menunjukkan bahwa klinik memiliki angka kunjungan tertinggi (154/1000 peserta) sedangkan Puskesmas justru yang terendah (73/1000 peserta). Kondisi ini secara umum dapat memberikan ilustrasi beban kerja yang dimiliki oleh masing-masing jenis FKTP dibandingkan dengan jumlah peserta JKN-KIS yang menjadi peserta fasilitas terkait. Namun demikian, angka rujukan yang dihasilkan dari studi ini justru menunjukkan pola yang kontradiktif. Puskesmas memiliki angka rujukan tertinggi (15/100 kunjungan), sementara angka rujukan pada klinik sekitar (11/100 kunjungan). Kondisi ini berarti bahwa jenis FKTP klinik mampu memberikan pelayanan yang lebih efisien, yaitu ditunjukkan oleh tingginya angka rujukan namun tetap dapat menekan angka rujukan tidak terlalu tinggi.

Gambaran efektivitas pola rujukan secara umum dapat disimpulkan dari kecenderungan alasan rujukan dan kesesuaian prosedur rujukan. Pada poin pertama, peneliti mencoba menggali latar belakang pasien dirujuk ke rumah sakit yang didapatkan dari proses observasi secara langsung pada tingkat layanan primer. Hasil observasi menunjukkan bahwa kecenderungan paling tinggi dalam pola rujukan adalah karena permintaan kontrol ke rumah sakit. Tingginya permintaan rujukan oleh peserta menunjukkan potensi moral hazard untuk kasus-kasus RJTL di FKRTL. Dalam hal ini, upaya yang perlu dilakukan adalah dengan terlebih dahulu melakukan perbaikan dalam mekanisme administrasi rujukan di rumah sakit. Jika tidak, maka penetapan kebijakan KBK dengan salah satu indikatornya angka rujukan akan sangat memberatkan FKTP.

Kesesuaian prosedur rujukan ditelusuri melalui dua komponen analisis, yaitu kesesuaian diagnosis yang dirujuk masuk dalam kelompok 144 diagnosis, dan kecenderungan arah rujukan pasien dari FKTP. Pada komponen pertama diketahui bahwa masih terdapat sekitar 25% kasus yang sebenarnya masuk dalam kelompok 144 diagnosis tetapi masih dapat dirujuk. Hal ini dalam konteks ekonomi tentu akan berdampak pada meningkatnya klaim layanan, dimana seharusnya kasus-kasus tersebut dapat ditangani pada tingkat FKTP. Sedangkan komponen kedua yaitu terkait dengan kecenderungan arah rujukan, menunjukkan bahwa pola arah rujukan sudah tepat sebagian besar ditujukan pada RS Kelas C/D. Namun demikian, masih ada beberapa kasus yang langsung dirujuk ke Rumah Sakit Kelas A. Tim peneliti mencoba untuk menulusuri mekanisme yang melatarbelakangi kasus tersebut dengan menilai alasan rujukan pasien. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar alasan rujukan untuk kasus ini adalah karena permintaan kontrol. Meskipun ada alasan rujukan karena keperluan diagnosis, namun masih dapat diterima karena jenis diagnosis yang dirujuk memang diperlukan pelayanan spesialistik/sub-spesialistik

REKOMENDASI KEBIJAKANMerujuk pada hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan meliputi tiga hal sebagai berikut:

1. Merujuk pada proporsi rujukan untuk pemeriksaan penunjang yang cukup tinggi (29%) pada tingkat FKTP, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan berperan aktif dalam menjamin pemenuhan fasilitas dasar (khususnya laboratorium dasar dan tenaga analis) pada fasilitas kesehatan primer. Fasilitas kesehatan tingkat primer yang dimaksud bukan hanya ditujukan untuk fasilitas kesehatan milik publik (Puskesmas) melainkan juga Klinik Swasta. Skema pembiayaan untuk pemenuhan fasilitas dasar tersebut dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, melalui mekanisme bantuan, pinjaman, maupun insentif. Tujuan dari pemenuhan fasilitas dasar ini adalah untuk memperkuat fungsi fasilitas kesehatan primer sebagai gate keeper.

Gambar 13. Kesesuaian diagnosis pada 3 digit awal kode ICD-X

Bagan di atas menunjukkan hasil penilaian kesesuaian diagnosis pada tiga digit awal kode ICD-X. Terjadi kecenderungan penurunan kesesuaian diagnosis pada tiga digit awal kode ICD-X ini, dari yang sebelumnya sekitar 62% diagnosis sesuai dari FKTP dengan rumah sakit menjadi hanya 40%. Namun demikian, distribusi ini hanya menunjukkan pola kesesuaian diagnosis antara FKTP dan FKRTL. Sebab untuk menilai kompetensi dokter umum diperlukan analisis lebih lanjut pada tingkat FKTP. Sebagai contoh, apabila rujukan dikarenakan permintaan pasien maka Pcare secara sistem akan menolak rujukan jika diagnosis ada dalam 144 kelompok diagnosis yang seharusnya diselesaikan di FKTP. Dalam praktiknya, dokter akan menuliskan kode diagnosis di luar 144 tersebut agar pasien dapat dirujuk. Maka dalam kasus ini, tentu ketidaksesuaian diagnosis antara FKTP dan FKRTL belum dapat disimpulkan bahwa semua kasus tersebut karena kompetensi dokter yang tidak memadai. Premis tersebut dapat diinterpretasikan untuk kasus rujukan yang memang dikarenakan oleh keperluan diagnosis lebih lanjut.

Analisis Faktor Kesesuaian Prosedur RujukanUntuk menguji faktor-faktor yang dapat memicu ketidaksesuaian kasus rujukan, maka tim peneliti mencoba menguji melalui analisis statistik, dengan variabel dependen kesesuaian rujukan. Kesesuaian rujukan yang dimaksud dalam hal ini adalah apakah diagnosis yang dirujuk termasuk dalam 144 diagnosis yang tidak boleh dirujuk atau tidak. Sementara explanatory variables dalam pengujian ini antara lain kepesertaan asuransi sebelum skema JKN-KIS, alasan rujukan, jenis pekerjaan, dan penghasilan. Model logit adalah model regresi non-linier yang menghasilkan sebuah persamaan di mana variabel dependen bersifat kategorikal

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan estimasi stepwise pada alpha 10%, diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap ketidaksesuaian prosedur rujukan adalah jenis rujukan yang didorong oleh permintaan pasien. Artinya, pola alasan rujukan yang didorong oleh permintaan pasien cenderung menyebabkan ketidaksesuaian prosedur rujukan merujuk pada kebijakan 144 diagnosis yang seharusnya tidak dirujuk.

Tabel 1. Analisis Determinan Rujukan

Logistic regression

Sesuai prosedur Coef. Std Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

Rujukan Permintaan Pasien 0.62 0.203 3.08 0.002 0.227 1.021Konstanta -1.18 0.666 -17.73 0.000 -1.310 -1.049

Kemudian, untuk menelusuri mekanisme atau faktor yang mempengaruhi kejadian permintaan pasien pribadi untuk dirujuk, maka peneliti mencoba melakukan pengujian dengan model lain. Pada model kedua, peneliti menetapkan jenis rujukan karena permintaan pasien sebagai variabel terikat (dependen). Kemudian variabel bebas yang dilibatkan adalah karakteristik individu pasien seperti tingkat pendapatan, pendidikan, jenis pekerjaan, dan pengalaman pasien sebelum JKN-KIS dalam memanfaatkan skema jaminan kesehatan. Menunjukkan pola korelasi antara variabel terikat yaitu kasus permintaan pasien pribadi dengan variabel bebas yang merepresentasikan karakteristik individu. Melalui estimasi stepwise pada alpha 10% diketahui bahwa Karakteristik individu yang paling signifikan untuk mempengaruhi kasus permintaan pasien untuk dirujuk adalah variabel asuransi yaitu pasien JKN-KIS yang sebelumnya telah memiliki jaminan ASKES Pegawai Negeri/TNI/Polri. Artinya, sebagian besar

8

2. Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan perlu melakukan koordinasi untuk membangun sistem informasi puskesmas yang terintegrasi antara Pcare dan Simpus (Sistem Informasi Puskesmas), terutama untuk menyertakan informasi alasan rujukan pada database pasien. Informasi ini nantinya akan menjadi dasar penilaian angka rujukan yang dapat dijadikan acuan dalam perhitungan kapitasi berbasis pemenuhan komitmen (KBK).

3. Pada beberapa kasus follow up pasien, ditemukan kendala rujukan ke Rumah Sakit karena batasan zonasi fasilitas kesehatan, terutama bagi peserta (pasien) yang berdomisili di wilayah perbatasan kota/kabupaten/provinsi. Sebab beberapa peraturan daerah hanya memperkenankan pasien untuk merujuk ke fasilitas kesehatan tingkat tersier yang umumnya berada di ibukota provinsi. Arah kebijakan ke depan perlu didorong untuk mengatur skema rujukan berdasarkan kompetensi, baik dalam hal spesialisasi maupun infrastruktur Rumah Sakit tanpa dibatasi wilayah administrasi pemerintah daerah.

Tim Redaksi:Penanggungjawab : Direktur Utama BPJS KesehatanPemimpin Umum : Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS KesehatanPemimpin Redaksi : Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS KesehatanRedaktur Pelaksana : Asisten Deputi Bidang Riset JKN-KIS BPJS KesehatanTim Redaksi : Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan BPJS KesehatanTim Editor : Humas BPJS Kesehatan

Disclaimer:Isi publikasi ini disarikan dari hasil Studi Evaluasi Penyelenggaraan Sistem Rujukan Berjenjang Era JKN-KIS yang dilakukan Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan bekerja sama dengan PKEKK FKM UI pada tahun 2016.Isi publikasi menjadi tanggung jawab penulis, tidak mencerminkan pandangan BPJS Kesehatan.

Saran dan masukan dapat dikirim ke email:[email protected]