STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

142
STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU BETAWI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMP Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh: Indah Wardah NIM. 1111013000039 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

Transcript of STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Page 1: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA

PALANG PINTU BETAWI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMP

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Indah Wardah

NIM. 1111013000039

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 3: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 4: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 5: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 6: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

i

ABSTRAK

Indah Wardah, 1111013000039, “Struktur Pantun pada Seni Budaya Palang Pintu

Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP”, Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.

Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya

palang pintu Betawi dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di

SMP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan

pendekatan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pantun pada

seni budaya palang pintu Betawi mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ciri-

ciri pantun pada umumnya. Tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris,

namun ada juga yang terdiri dari satu bait dan tiga baris. Pemilihan kata dalam pantun

ini bersifat sederhana, unik, sindiran dan penuh dengan kata-kata menantang yang

bertujuan untuk menghibur pendengar. Imaji yang digunakan dalam pantun ini berupa

imaji penglihatan dan imaji pendengaran. Penggunaan kiasan juga terdapat dalam

pantun ini, yaitu sebagai kata konkret untuk melihat apa yang dilukiskan oleh

penyair. Gaya bahasa yang digunakan pantun ini adalah gaya bahasa percakapan,

repetisi, dan simile. Ritma atau irama dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa

membentuk ritma yang padu berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Selain

itu, terdapat rima berselang dan rima berangkai. Tema yang ditemui dalam pantun ini

berisi penyambutan tamu, perjuangan penyair, persaudaraan serta keagamaan.

Perasaan yang diungkapkan oleh penyair dalam pantun ini adalah senang, bangga,

optimis, marah dan sombong. Nada yang disampaikan dalam pantun ini terdapat nada

menerima, meminta, mengusir, menyindir dan menantang yang bertujuan untuk

menciptakan suasana riang, kagum, takjub, marah, kesal dan kecewa. Amanat yang

disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan karena

untuk menjadi seorang pemimpin harus mampu menjadi tempat berlindung dalam hal

keamanan dan juga mampu menjadi tempat berlindung dalam hal kerohanian.

Analisis pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat memenuhi Kompetensi

Dasar pembelajaran Sastra Indonesia tentang mengenali ciri-ciri umum puisi dari

buku antologi puisi. Dengan kegiatan menganalisis struktur pantun ini dapat

mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan struktural, menghargai dan

membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia

Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan dapat menambah wawasan

dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Melayu Betawi.

Kata kunci: Struktur, Pantun Betawi, Palang Pintu, Implikasi Pendidikan

Page 7: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

ii

ABSTRACT

Indah Wardah, 1111013000039, “Pantun Structure on the Cultural Arts of Palang Pintu

Betawi and the Implication on Indonesian Literature Learning in Junior High School”,

The Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic

University. Supervisor: Ahmad bahtiar, M. Hum.

This study is purposes to describe pantun structure of cultural arts of Palang Pintu

Betawi and the Implication on Language and Literature Learning in Junior High School.

The study method is description method with structural approach. This study result

indicate that pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi have similarities

and differences with the characteristics of pantun in general. This pantun typography

consists of one stanza and three lines. The selection of words in these pantun is simple,

unique, sarcasms and full of challenge which aim to entertain the audience. The image

in this pantun is vision and hearing images. The figurative usage is also in these pantun,

it is as concrete to see what was described by the poet. The style of language of pantun

is conversation, repetition, similes. Rhythm cut into two phrases form the coherent

phrases which serves to determine the pressure and pause. Other than, there are

intermittent rhyme and sequential rhyme. Theme encountered in these pantun contains

welcoming guests, the struggle of the poet, as well as of religious brotherhood. Feelings

expressed by the poet in these pantun are happy, proud, optimistic, angry and arrogant.

Tone conveyed in these pantun are receiving, requesting, expelling, insinuated and

challenge tones that aims to create cheerful, awe, amazement, angry, upset, and

disappointed moods. The message submitted in these pantun taught to be selective in

choosing a partner due to being a leader which is able to be a place of refuge in terms of

safety and also capable of being a shelter in spiritual matters. The analysis of pantun on

the cultural arts of Palang Pintu Betawi can fulfill the Basic Competition of Indonesian

Literature learning about recognizing the common traits of poem from the poem

anthology book. By the activity of analyzing pantun structure, students can appreciate

literature by the structural approach, appreciate and be proud of Indonesian literature as

Indonesian cultural treasure and human intellectual to know the culture of Betawi and

can add insight in the areas of language especially Malay Betawi language.

Keywords: Structure, Betawi Rhyme, Palang Pintu, Educational Implication.

Page 8: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim,

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat,

karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa penulis

panjatkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Muhammad Saw, keluarga dan para

sahabatnya, serta kepada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, hingga hari

akhir.

Skripsi ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi Tugas Akhir, sebagai syarat

untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang

telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya, yaitu

kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia.

3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan

pikiran, tenaga dan telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada

penulis.

4. Dona Aji Karunia P., M.A., Penasehat Akademik yang telah memberikan

bimbingan selama perkuliahan.

5. Para dosen penguji (Nuryati Djihadah, M.A., M.Pd. dan Rosida Erowati,

M.Hum.) yang telah memberikan banyak masukkan guna perbaikan dan

kesempurnaan tulisan skripsi ini.

Page 9: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

iv

6. Ahmad Darif, S.E., pimpinan pusat Sanggar SABA yang telah meluangkan

waktunya kepada penulis.

7. Dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan

kepada penulis.

8. Kedua orang tua (H. Sadeli dan Maisuroh), kakak-kakakku (Suaidi, Umu

Athiyah, Mashum, Ipah dan Lukman), serta adikku tercinta (Ilham Munzir) yang

selalu mendoakan penulis serta memberikan dorongan moril dan materil.

9. Pamanku (Muhammad Arif) yang telah membantu penulis selama penelitian.

10. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk

terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar di kampus tercinta.

Khusus untuk Devi Aristiyani, Ai Suaibah, Selviana Dewi, Tri Mutia Rahmah dan

Yayah Fauziah kebersamaan yang telah kita lalui selama menuntut ilmu dalam

suka dan duka merupakan suatu hal yang paling indah.

11. Sahabat-sahabatku (Syahid Khudri, Ali Ma’sum, Sri Mulyati dan Suasmi) terima

kasih untuk motivasinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini masih

terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis

menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi

ini. Di akhir kalimat, penulis memohon kepada Allah Swt, semoga orang-orang yang

telah bermurah hati membantu penulis mendapatkan balasan yang lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, November 2015

Penulis

Page 10: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

v

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ........................................................................................................... i

ABSTRACT ......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 4

C. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 4

D. Perumusan Masalah ........................................................................................ 4

E. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4

F. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 5

G. Metode Penelitian ........................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11

A. Struktur Fisik Puisi ......................................................................................... 11

1. Tipografi .................................................................................................. 11

2. Diksi ......................................................................................................... 12

3. Imaji ......................................................................................................... 13

a. Citra Penglihatan ............................................................................... 13

b. Citra Pendengaran ............................................................................... 14

c. Citra Gerak ......................................................................................... 14

d. Citra Perabaan ..................................................................................... 14

e. Citra Penciuman .................................................................................. 15

f. Citra Pencecapan ................................................................................. 15

g. Citra Suhu ........................................................................................... 15

4. Kata Konkret ............................................................................................. 16

5. Bahasa Figuratif ........................................................................................ 16

Page 11: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

vi

a. Gaya Bahasa Percakapan .................................................................... 17

b. Repetisi ................................................................................................ 18

c. Simile ................................................................................................ 18

6. Versifikasi ................................................................................................ 19

a. Rima .................................................................................................... 19

b. Ritma .................................................................................................. 20

B. Struktur Batin Puisi ......................................................................................... 20

1. Tema .......................................................................................................... 21

2. Rasa .......................................................................................................... 21

3. Nada .......................................................................................................... 21

4. Amanat ...................................................................................................... 22

C. Sastra Lisan ..................................................................................................... 22

D. Pengertian Pantun............................................................................................ 24

E. Pantun Betawi ................................................................................................ 26

F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu ......................................................... 28

G. Sejarah Sanggar SABA ................................................................................... 29

H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ............................ 32

I. Penelitian Relevan ........................................................................................... 35

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 37

A. Pantun Pembukaan .......................................................................................... 37

B. Pantun Isi ........................................................................................................ 54

C. Pantun penutup ................................................................................................ 87

D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ............................ 91

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 94

A. Simpulan ......................................................................................................... 94

B. Saran ................................................................................................................ 95

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96

Page 12: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 2. Data Hasil Wawancara

Lampiran 3. Skrip Palang Pintu Sanggar SABA

Lampiran 4. Kumpulan Foto Sanggar SABA

Lampiran 5. Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 7. Surat Pengesahan Observasi Penelitian Lapangan

Lampiran 8. Lembar Uji Referensi

Lampiran 9. Biodata Penulis

Page 13: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pantun merupakan salah satu produk budaya Indonesia yang mempresentasikan

wilayah dan budaya masyarakatnya. Pantun termasuk produk budaya yang paling luas

penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial,

usia, dan agama. Selain itu, pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk

memberi nasihat dan melakukan kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan siapapun.

Sesungguhnya, bentuk pantun pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa

Indonesia sendiri.

Pantun merupakan bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi

sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama

pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris)

dengan pola persajakan a-b-a-b. dua larik pertama disebut sampiran, dua larik

berikutnya disebut isi.

Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku

bangsa. Maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi

apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai

suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi

sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat

yang berada di sekitarnya. Orang Jawa menyebutnya wangsalam atau ada pula yang

memasukkannya sebagai parikan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya ende-

ende, sedangkan orang Madura, pantun kadang kala disebut paparegan. Ada pula

yang menyebutnya kejbung, karena ekejbungangbi berarti dikidungkan. Tetapi secara

umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat

Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah

bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda

Page 14: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

2

dengan pantun Melayu pada umumnya. Meskipun demikian, semuanya

memperlihatkan bahwa produk budaya mereka itu hakikatnya adalah pantun.1

Pantun memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Betawi. Keistimewaan ini

disebabkan meluasnya penggunaan pantun oleh orang Betawi, mulai dari anak-anak,

remaja, dewasa dan orang tua. Tidak hanya itu, penggunaan pantun Betawi juga

menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat sosial, mulai dari ulama, pejabat,

hingga rakyat kecil, sehingga tidak mengherankan jika berpantun atau berbalas

pantun kemudian menjadi ciri khas orang Betawi.

Satu hal yang paling utama dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang

menunjukkan ekspresi yang spontan. Jadi, semangat dan ekspresi yang spontanitas itu

didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu,

sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu

saja, lepas, bebas, tanpa beban. Berkenaan dengan isi pantun Betawi, pantun ini

mencoba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab,

sopan santun, dan ajaran-ajaran agama.

Dalam penelitian ini peneliti sengaja memilih salah satu genre sastra lama, yaitu

pantun. Pantun yang dijadikan objek penelitian ini adalah pantun Betawi yang

digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres Jakarta Barat. Pantun

Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA ini merupakan pantun

pada seni budaya palang pintu Betawi yang dipakai dalam acara perkawinan adat

Betawi dan menjadi salah satu kriteria dasar adanya syarat-syarat pantun, dalam hal

bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan yang disajikan sebagaimana adanya. Maka,

jika dicermati dengan benar, akan tampak seperti ketidakkonsistenan. Misalnya kata

kue, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga

kata reformasi, diucapkan sebagai repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata yang

dibiarkan sesuai pengucapannya.

1Maman S Mahayana, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah

Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. (Jawa Barat: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2008).

h.xiii-xiv.

Page 15: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

3

Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan atau menjelaskan struktur yang

terkandung dalam pantun Betawi. Selain itu, penelitian ini dapat mengembangkan

respon siswa terhadap budaya bangsa Indonesia dan memotivasi siswa SMP untuk

dapat memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia. Mempelajari

karya sastra diharapkan terbentuk kepribadian siswa karena di dalam karya sastra

para siswa akan menentukan berbagai permasalahan hidup, dan pemecahannya yang

disajikan oleh pengarang. Dengan sastra diharapkan bertambahnya pengalaman siswa

karena sastra menyajikan fenomena kehidupan masyarakat yang dekat dengan

lingkungan kesehariannya. Dengan sastra pula diharapkan dapat meningkatkan

keterampilan berbahasa, karena karya sastra disajikan dengan keterpaduan keempat

keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, menulis, berbicara, dan membaca.

Berdasarkan pernyataan Rahmanto dalam buku Metode Pengajaran Sastra.

Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka

pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut

menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara

yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar

untuk dipecahkan dalam masyarakat.2

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam

membaca dan memahami isi pantun. Selain itu, dapat menuntun siswa

menghubungkan teks sastra dengan pengalaman bahasanya sendiri, sehingga dapat

memperluas pengetahuan dan pengalaman. Ditambah lagi, dapat memberikan

gambaran yang akan digunakan oleh guru bahasa Indonesia dalam upaya merangsang

siswa untuk menganalisis struktur dalam pantun.

2 Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h. 15.

Page 16: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

4

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat

diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Belum banyaknya yang meneliti tentang struktur pantun khususnya pantun pada

seni budaya palang pintu Betawi.

2. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap struktur pantun.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan, maka batasan

masalahnya terletak pada struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan

implikasinya pada pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas dapat diketahui rumusan masalah yang

timbul dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi?

2. Bagaimanakah implikasi analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu

Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.

2. Mendeskripsikan implikasi hasil analisis struktur pantun pada seni budaya palang

pintu Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

Page 17: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

5

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek

teoretis maupun praktis, seperti:

1. Manfaat Teoretis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan

terutama bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya bagi pembaca dan

pencinta sastra sehingga menjadi acuan bahan dalam pembelajaran yang bertujuan

untuk menanamkan nilai-nilai edukatif.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi:

a. Manfaat bagi Peserta Didik

1) Dengan adanya penelitian ini, peserta didik dapat dengan mudah

memahami pantun, sehingga pada saat mendapatkan tugas menganalisis

struktur pantun, peserta didik tidak sulit untuk menganalisisnya.

2) Memotivasi siswa SMP untuk dapat lebih memahami, menghargai, dan

mencintai karya sastra Indonesia.

b. Manfaat bagi Pendidik

Memberikan masukan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP

mengenai pemahaman struktur pantun, sehingga dapat dijadikan sebagai

alternatif materi bahasa dan sastra di SMP.

c. Manfaat bagi Peneliti lain

1) Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian yang sejenis, terutama penelitian-

penelitian karya sastra mengenai pantun.

2) Sebagai salah satu metode analisis pembelajaran sastra (pantun) bagi

peneliti untuk melengkapi metode analisis yang sudah ada.

3) Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini menjadi dasar untuk penelitian

lanjutan.

Page 18: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

6

G. Metode Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak pengesahan proposal pada tanggal 1 Desember 2014.

Waktu pengambilan data penelitian ini selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24

Januari 2015, yang berlokasi di pusat perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres,

Jakarta Barat.

2. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3Dalam penelitian

kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang mendeskripsikan

setting penelitian, baik situasi maupun informan/responden yang umumnya berbentuk

narasi melalui perantara lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen pribadi,

atau catatan lapangan.4

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

struktural. Endaswara mendefinisikan pendekatan struktural merupakan cara berpikir

tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-

struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang

memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.5

Sedangkan, Siswantoro mendefinisikan struktur berarti bentuk keseluruhan yang

kompleks. Setiap objek, atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari

3 Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013).

h.6.

4 Uhar Suharsaputra. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan. (Bandung: PT Refika

Aditama. 2014). h. 188.

5 Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013). h. 49.

Page 19: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

7

berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah

sebuah objek, karena itu dia pasti punya sebuah struktur.6

Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan

struktural merupakan pendekatan yang menghubungkan unsur-unsur yang saling

berkaitan satu sama lain.

Sementara, metode yang digunakan adalah metode deskripsi. Metode deskripsi

adalah metode yang dilakukan dengan jalan menganalisis data yang sudah

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan

oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua dikumpulkan

berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.7

Dengan metode deskriptif, seorang peneliti sastra dituntut mengungkap fakta-

fakta yang tampak atau data dengan cara memberikan deskripsi. Fakta atau data

merupakan sumber informasi yang menjadi basis analisis. Tetapi data harus diambil

berdasar parameter yang jelas, misalnya parameter struktur. Untuk sampai ke

pengambilan data yang akurat, dia harus melakukan pengamatan yang cermat dengan

bekal penguasaan konsep struktur secara baik.8

3. Sumber Data dan Data

Sumber data merupakan sumber data yang terkait dengan subjek penelitian dari

mana data diperoleh.9 Pada penelitian ini sumber data berasal dari Pimpinan sanggar

SABA, yaitu Ahmad Darif. Sementara, data yang digunakan pada penelitian ini

adalah data primer (data utama), yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung

dari sumbernya tanpa perantara.10

Pada penelitian ini, data diperoleh langsung dari

pimpinan Sanggar SABA berupa dokumen pantun palang pintu adat Betawi yang

digunakan pada acara pernikahan adat Betawi.

6 Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. (Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Pelajar. 2010). h. 13.

7 Lexy J. Meleong. op.cit., h.11.

8 Siswantoro. op.cit., h. 57.

9 Ibid., h. 72.

10

Ibid., h. 70.

Page 20: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

8

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara diikuti

dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik wawancara

adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11

Bentuk wawancara yang digunakan

adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan

sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang

menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis

kerja.12

Sedangkan teknik rekam dan teknik catat digunakan sebagai instrumen kunci

melakukan rekaman serta mencatat jawaban sesuai dengan pernyataan narasumber.

Dalam melakukan pencatatan, telah disertai data atau reduksi data. Yakni, data-data

yang tidak relevan dengan konstruk penelitian ditinggalkan. Sedangkan data yang

relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar memudahkan peneliti

menentukan indikator.13

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data di pusat perkumpulan Sanggar

SABA berupa dokumen pantun, untuk melengkapi penelitian ini peneliti melakukan

wawancara terstruktur kepada pimpinan pusat Sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif.

Kemudian peneliti merekam dan mencatat pernyataan dari narasumber. Hasil

wawancara tersebut diolah menjadi pelengkap penelitian ini. Sedangkan isi dokumen

pantun, peneliti melakukan analisis data serta menyimpulkannya.

11 Lexy J. Meleong. op.cit., h.186.

12

Ibid., h.190.

13

Suwardi Endraswara. op.cit., h.163.

Page 21: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

9

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman.

Model Miles dan Huberman terdapat tiga macam kegiatan dalam analisis data, yaitu

reduksi data, model data dan kesimpulan.

Teknik pertama, yaitu reduksi data. Reduksi data merupakan proses mengolah

data dari lapangan dengan memilah dan memilih, dan menyederhanakan data dengan

merangkum yang penting-penting sesuai dengan fokus masalah penelitian.14

Sebelum

data secara aktual dikumpulkan, reduksi data antisipasi terjadi sebagaimana

diputuskan oleh peneliti yang mana kerangka konseptual, situs, pertanyaan penelitian,

pendekatan pengumpulan data untuk dipilih.15

Teknik kedua, yaitu model data. Model data berupa menyajikan data (data

display) untuk lebih menyitematiskan data yang telah direduksi sehingga terlihat

sosoknya yang lebih utuh. Dalam display data laporan yang sudah direduksi dilihat

kembali gambaran secara keseluruhan, sehingga dapat tergambar konteks data secara

keseluruhan, dan dari situ dapat dilakukan penggalian data kembali apabila dipandang

perlu untuk mendalami masalahnya. Penyajian data ini amat penting dan menentukan

bagi langkah selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi karena dapat untuk

memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.16

Teknik ketiga, yaitu kesimpulan. Menarik kesimpulan dan verifikasi dilakukan

sejak awal terhadap data yang diperoleh, tetapi kesimpulannya masih kabur (bersifat

tentatif), diragukan tetapi semakin bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih

“grounded” (berbasis data lapangan). Kesimpulan harus diverifikasi selama penelitian

masih berlangsung.17

Pada tahap awal penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan untuk menyeleksi dan

mengidentifikasi data-data pada kategori isi pantun yang dipakai Sanggar SABA pada

14 Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 218.

15

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. (Jakarta: Rajawali Pers. 2011). h. 129.

16

Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 219.

17

Ibid.,

Page 22: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

10

acara pernikahan adat Betawi. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang

dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.

Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis pantun satu persatu

dalam satu unit. Terlebih dahulu peneliti menganalisis struktur fisik pantun seperti

tipografi, diksi, gaya bahasa, rima dan ritme, citraan, kata konkret. Kemudian

dilanjutkan dengan struktur batin pantun seperti tema, rasa, nada dan amanat. Hal

tersebut dilakukan agar peneliti dapat fokus dengan analisis struktur pantun. Setelah

selesai, peneliti melanjutkan analisis pantun berikutnya.

Langkah ketiga, peneliti menarik simpulan dan memberikan saran kepada peneliti

yang relevan dengan penelitian ini.

Page 23: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur Fisik Puisi

Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut metode puisi. Bentuk dan struktur

fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi, (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata

konkret, (5) majas dan bahasa figuratif, dan (6) verifikasi. Semua unsur tersebut

merupakan satu kesatuan yang utuh. Berikut akan dibicarakan satu per satu.1

1. Perwajahan puisi (Tipografi)

Ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah pewajahannya.

Pewajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Pada

puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris.

Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan pernyataan. Mungkin saja satu

pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi

tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik (.). Kumpulan

pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk bait. Sebuah

bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.2 Tipografi ini berkaitan

dengan bentuk penulisan puisi menyangkut pembaitan-enjembemen, penggunaan

huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui, secara konvensional, yang

membedakan puisi dari prosa sebagai genre sastra adalah pada aspek tipografi, yaitu

puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian,

penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk

mengungkapkan makna.3 Berikut ini merupakan contoh tipografi

4

1 Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: PT Grasindo. 2008). h. 113.

2 Ibid.,

3 Heru Kurniawan dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu.

2012). h. 36. 4 Wahyudi Siswanto. loc.cit.,

Page 24: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

12

PERAMBATAN HUTAN

Perambah hutan ialah kita

Yang berpesta

Yang menista

Yang menderita

Yang lupa membaca peta

Perambah hutan ialah kita

Yang tersuruk mencari jalan-Nya

Yang membius fatmorgana

Yang lupa bagaimana mengeja nama-Nya

2. Diksi

Pemilihan kata untuk menyampaikan suatu gagasan dan ketepatan disebut sebagai

diksi. Di samping itu, diksi juga berarti kemampuan (1) memilih kata dengan cermat

sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin

disampaikan dan (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan

situasi dan nilai rasa.5

Kreativitas menulis puisi adalah kreativitas memilih diksi karena kekuatan puisi

terletak pada kata-katanya (diksi), bagaimana kata-kata yang singkat, pendek, dan

sederhana, tetapi bisa menggambarkan pengalaman, perasaan, imajinasi, dan

keindahan yang banyak. Oleh karenanya, diksi dalam puisi harus sekonsentrat

mungkin, yaitu padat dan selalu menimbulkan makna lebih.6 Misalnya, kata-kata

klasik yang dipilih serta dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sajaknya “Candi

Mendut” seperti : candi, berhala, Budha, Bodhisatwa, jiwa, Maya, Nirwana,

mengingatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata mimbar, pikiran-

pikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani, sangkur baja,

panser, bren, barikade, demostran yang terdapat dalam “Tirani” karya Taufik Ismail,

5 Rachmat Djoko Pradopo, dkk. Puisi. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2007). h. 5.12.

6 Heru Kurniawan dan Sutardi. op.cit., h. 27.

LIRIK

BAIT

Page 25: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

13

membawa kita ke suasana perjuangan Angkatan 66 menumpas kezaliman dan

kediktatoran rezim orde lama.7

3. Imaji

Imagery biasa diartikan sebagai mental picture, yaitu gambar, potret, atau lukisan

angan-angan yang tercipta sebagai akibat dari reaksi seorang pembaca pada saat ia

memahami puisi. Imagery lahir sebagai proses kelanjutan pemekaran imajinasi

seorang pembaca yang aktif dan kreatif menelusuri makna yang tersurat pada teks.

Untuk menghadirkan imagery, seorang pembaca harus memiliki kekuatan membaca

yang baik dengan dukungan penguasaan kosakata, tata bahasa, dan aspek budaya

yang memadai. Kita sadar bahwa teks yang dihadapi bukanlah bahasa sendiri,

sehingga kita harus menyesuaikan diri dengan semangat teks yang berbahasa lain.

Dengan kata lain, imagery dapat dicapai manakala seorang pembaca mampu

berpartisipasi baik secara kognitif dan emosional.8

Jenis citra dalam puisi ada bermacam-macam sesuai dengan jenis indera yang

ingin digugah oleh penyair lewat puisinya. Berikut ini akan diuraikan satu demi satu:9

a. Citra Penglihatan.

Citra penglihatan adalah citra, yang ditimbulkan dengan memanfaatkan

pengalaman indera penglihatan. Citra penglihatan dapat dibangkitkan oleh kata-kata

penunjuk ini atau itu yang menyertai referen benda yang dapat diserap dengan indera

penglihatan maupun diksi atau pilihan kata secara konkret. Misalnya rumah ini,

kampus itu, matahari itu, kebun itu, buku itu, modul itu, dan sebagainya.

7 Henry Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. (Bandung: Angkasa. 2011). h.

30. 8 Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. (Surakarta: Muhammadiyah

University Press. 2002). h. 49. 9 Rachmat Djoko Pradopo, dkk. op.cit., h. 7.19-7.26.

Page 26: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

14

b. Citra Pendengaran

Citra pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan dengan menggunakan

pengalaman pada indera pendengaran. Citra pendengaran dapat dibangkitkan oleh

diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat diindera dengan telinga.

Pengalaman auditif manusia biasanya berhubungan dengan bunyi, kualitas bunyi

(kemerduan), intensitas bunyi, dan dengan nada (bunyi musikal). Kata-kata yang

menandai adanya citraan pendengaran antara lain adalah merdu, serak, nyaring, bisik,

gumam, mendesir, gaung, berbisik, deru, mendengar, bom, sunyi, kepak, mengerang,

meraung, dan sebagainya.

c. Citra Gerak

Citra gerak adalah citraan yang dibangkitkan oleh pengalaman akan pengamatan

terhadap gerak. Citraan gerak dibangkitkan oleh pengalaman sensoris hasil tanggapan

sejumlah alat indera, terutama oleh indra penglihatan dan pendengaran terhadap

gerak. Citraan gerak biasanya ditandai oleh kata-kata seperti berikut ini,

menghembus, mengepakkan, menderam, mengusap, berangkat, memahat, bertiup,

merayap, jalan, terhuyung, terbang, mengepak, menangkak, lari, duduk, berdiri,

mendorong, menangkap, dan sebagainya.

d. Citra Perabaan

Citra perabaan adalah citraan yang bercirikan adanya potensi pembangkitan

pengalaman sensoris indera peraba. Pengalaman indera peraba terutama berkaitan

dengan rasa bahan, yaitu ciri atau kualitas permukaan sesuatu yang dapat diraba.

Citraan perabaan biasanya ditandai dengan kata-kata yang berkaitan dengan indera

perabaan, yang antara lain adalah: basah, debu, kering, halus, kasar, keras, lunak,

lembut, dan sebagainya.

Page 27: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

15

e. Citra penciuman

Citra penciuman adalah citraan yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan

pengalaman indera penciuman. Pengalaman yang merupakan hasil penginderaan

indera penciuman, berkaitan dengan bau, dengan berbagai jenis sumber bau dan

kualitas bau juga merupakan penanda hadirnya citra penciuman. Citra penciuman

biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan indera

penciuman misalnya bau, amis, bacin, harum, wangi, busuk, basi, sedap dan

sebagainya.

f. Citra pencecapan

Citra pencecapan adalah citraan yang dapat dimunculkan dengan menggunakan

pengalaman indera pencecapan. Pengalaman sensoris yang berkaiatan dengan rasa

lidah menjadi sumber citraan pencecapan. Citra pencecapan biasanya ditandai dengan

kata-kata antara lain: manis, asin, masam, pahit, tazuar, gurih dan sebagainya.

g. Citra Suhu

Citra suhu adalah citra yang dapat dibangkitkan melalui pengalaman sensoris

yang berkaitan dengan suhu. Pengalaman sensoris akan suhu suatu objek atau suhu

lingkungan, sebenarnya merupakan hasil tanggapan indera peraba atau kulit. Citraan

suhu dalam suatu wacana biasanya ditandai dengan kata-kata berikut ini: dingin,

beku, hangat, suam, papas. Selain kata-kata tersebut, kehadiran citraan suhu juga

ditandai dengan adanya diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang memiliki

kualitas suhu tertentu, misalnya bara, api, salju, dan juga oleh diksi konkret yang

menunjuk pada sesuatu yang dapat menghasilkan efek suhu tertentu, misalnya selimut

dan perdiangan.

Page 28: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

16

4. Kata Konkret

Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus

diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti

yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat

hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir

memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau

merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh

secara batin ke dalam puisinya.10

Misalnya, untuk memperkonkret perasaan

penasaran karena belum berhasil menemukan rahasia Tuhan, Sutardji Calzoum

Bachri menggunakan kata-kata: kapak, hamuk, diancuk dan ungkapan-ungkapan :11

Semua orang membawa kapak/ semua orang begerak pergi/ menuju

langit/semua orang bersiap-siap nekad/kalau tak sampai langit/ mengapa tak

ditebang saja/ kapak-kapak mereka/ pukimak aku tak bisa tidur/ mimpi tertakik/

dan ranjang belah.

5. Bahasa Figuratif (Majas)

Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut

puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi

dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna. Oleh karena itu pola

tersebut dibicarakan di sini, walaupun juga dalam teks-teks naratif dan drama, bahkan

dalam bahasa sehari-hari pun, kita jumpai kiasan.12

Gaya bahasa (Majas) adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau

daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Ungkapan seperti “Gadis itu

sangat cantik”, di samping tidak jelas, juga tidak menarik; lagi pula ungkapan seperti

itu sudah terlalu sering kita dengar. Namun, isi ungkapan itu akan menjadi lebih jelas

10

Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga. 1987). h.81. 11

Ibid., h.82. 12

Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de

Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. (Jakarta: PT Gramedia. 1984). h. 187.

Page 29: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

17

serta menarik seandainya diucapkan seperti ini: “Gadis itu cantik seperti bunga

mawar”.13

Berikut ini beberapa jenis majas berikut contohnya:

a. Gaya Bahasa Percakapan

Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan.

Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata

percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak

resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam

pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan

masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila

dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.

Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari suatu diskusi yang direkam dengan

alat perekam dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1966 di Jakarta:14

Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak membedakan

antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech. Jadi ketiganya

saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata, jadi penggolongan

kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat dan dasar apa yang kita

pakai untuk menggolongkan…

Bahasa kutipan di atas adalah bahasa standar, tetapi berbeda dengan kutipan

sebelumnya mengenai gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan

terdapat banyak konstruksi yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi

tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat

dan bersifat fragmenter; sering kalimat-kalimat yang singkat itu terdengar seolah-olah

tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terus-

menerus.

13

Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. 1991). h.127. 14

Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008).

h.120-121.

Page 30: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

18

b. Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang

dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam

bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau

klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-

macam variasi repetisi.15

Banyaknya jenis atau variasi perulangan yang digunakan

oleh penyair dalam karya mereka menunjukkan bahwa gaya perulangan ini sangat

personal pula sifatnya, sebagaimana dengan gaya pengungkapan yang lain. Oleh

sebab itu tidak ada ketentuan yang mengikatnya. Perulangan yang dilakukan Ajip

Rosidi (KENANGAN).16

Yang paling indah adalah kenangan

Yang paling mengesan adalah kenangan

Yang paling menikam adalah kenangan

Yang paling terkenang adalah yang fana

Yang paling rapuh dalam hidup ini

Pada contoh di atas jelas bahwa repetisi mempunyai peranan yang penting dalam

membuat intensitas makna dan menghasilkan musikalitas dan daya magis.

c. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang

dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung

menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.17

Gaya bahasa ini digunakan

untuk membandingkan dua hal atau benda yang tidak sama esensinya.18

Untuk itu, ia

memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata:

seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya, kikirnya seperti

15

Ibid., h.127. 16

M. Atar Semi. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya Padang. 1988). h.129-132. 17

Gorys Keraf. loc.cit., h.138. 18

Mayang Hamdani, dkk. Kesastraan. (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987).

h. 1.22.

Page 31: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

19

kepiting batu. Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek

pertama yang mau dibandingkan. Contohnya, seperti menating minyak penuh.19

6. Versifikasi (Rima dan Ritma)

a. Rima

Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi.

Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang

bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini,

pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi.20

Selanjutnya, kita mengenal beberapa jenis rima; antara lain:21

1) Rima berangkai; dengan susunan/ rumus: aa, bb, cc, dd …

Dimata air, didasar kolam a

Kucari jawab teka-teki alam a

Di kawan awan kian kemari b

Disitu juga jawabnya kucari b

Diwarnai bunga yang kembang c

Kubawa jawab, penghalang bimbang c

Kepada gunung penjaga waktu d

Kutanya jawab kebenaran tentu d

2) Rima berselang, dengan rumus : abab, cdcd

Duduk dipantai waktu senja, a

Naik dirakit buaian ombak, b

Sambil bercermin diair-kaca, a

Lagi diayunkan lagu ombak b

Lautan besar bagai bermimpi c

Tiada gerak, tetap berbaring … d

Tapi pandang karang ditepi c

Disana ombak memecag nyaring … d

19

Gorys Keraf. loc.cit., 20

Herman J. Waluyo. op.cit., h. 90. 21

Henry Guntur Tarigan. op.cit., h.36-37.

Page 32: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

20

b. Ritma (Irama)

Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan

pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti

mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan

baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi

sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama

disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa berulang.

Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama :22

Dari mana/ punai melayang

Dari sawah/ turun ke kali

Dari mana/ kasih saying

Dari mata/ turun ke hati.

Pengaruh irama dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa

keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat

memperkuat pengertian. Pengaruh besar semacam itu akan muncul tentunya bila

irama itu terjalin secara padu dengan unsur-unsur lain. Untuk mengetahui irama suatu

puisi tidak terlepas pula dari pengenalan akan nada dan suasana puisi tersebut, karena

suasana dan nada puisi mempunyai kaitan yang amat padu dengan irama puisi

tersebut. Sebuah puisi biasa mempunyai nada dan suasana sendiri dan sekaligus

memiliki irama sendiri. Dengan mengetahui irama, pembaca puisi dengan mudah

terbantu menentukan tekanan dan jeda. Dengan demikian akan member bantuan yang

besar terhadap penikmatan dan pemahaman puisi yang bersangkutan.23

B. Struktur Batin Puisi

I.A. Richards di dalam buku Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa struktur batin

puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada

(tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).24

22 Herman J. Waluyo. op.cit., h.94.

23 M. Atar Semi. op.cit., h.121.

24 Wahyudi Siswanto. op.cit., h.124.

Page 33: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

21

1. Tema

Tema adalah ide dasar dari suatu puisi. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna

yang disampaikan oleh penyair.25

Dalam menyampaikan tema, penyair menggunakan

diksi, imaji dan gaya bahasa yang telah dipilihnya secara cermat dan kritis yang

disusun menjadi bentuk yang sesuai dan efektif. Tema menjelmakan pemahaman

penyair mengenai dirinya dan dunianya dan merupakan suatu pengamatan terhadap

aspek kehidupan atau pengalaman manusia.26

Misalnya, dalam puisi “Padamu Jua”

Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda

tapi tema yang digunakan sama, yakni kembali ke Tuhan.27

2. Rasa

Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang terdapat dalam puisinya.

Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan

psikologis penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas

sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis,

serta pengetahuan. Toto Sudarto Bachtiar dalam “Gadis Peminta-minta”, menyikapi

pengemis kecil dengan netral, tidak membenci dan tidak pula dengan rasa belas

kasihan yang berlebihan. Dia dapat merasakan kegembiran pengemis kecil dalam

dunianya sendiri, bukan merupakan dunia yang penuh penderitaan seperti yang

disangka orang.28

3. Nada

Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sehubungan dengan pokok pikiran

yang disampaikannya dalam puisinya.29

Jika nada merupakan sikap penyair terhadap

pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau

25

Kisyani Laksono, dkk. Membaca 2. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 8.20. 26

Mayang Hamdani, dkk. op.cit., h. 1.34. 27

Wahyudi Siswanto. loc.cit., 28

Ibid., h. 125. 29

Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.19.

Page 34: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

22

akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana

puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap

pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh

pergolakan batin bagi pembaca. Nada religus dapat menimbulkan suasana khusyuk.

Begitu seterusnya.30

Dalam puisi “Jalan Segara”, sikap Taufiq Ismail terhadap

penguasa sinis. Dalam puisi “Nyanyian Angsa”, Rendra seakan mengajak pembaca

untuk melihat perlakuan masyarakat, dokter, dan pastor terhadap pelacur.31

4. Amanat

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau

pendengar di dalam karyanya. Amanat dapat disampaikan secara langsung, tersurat,

dapat juga secara tidak langsung atau tersirat. Melalui puisi tersebut Abdul Hadi

W.M. menyampaikan amanat (pesan) bahwa kendati gaib dan tak terdeteksi alat indra

kita, Tuhan itu sebetulnya dekat sekali dengan hambanya. Tak ada jarak. Kalau ada

yang berpendapat bahwa Tuhan itu jauh, sebenarnya karena orang itu tidak pernah

mau mendekat kepada-Nya. Tuhan Mana Tahu, mendengar, dan merespons apa pun

yang disampaikan hamba-Nya.32

C. Sastra Lisan

Istilah sastra lisan tidak asing bagi orang Indonesia. Apapun makna dan referensi

yang diberikan kepada kata itu, secara umum ada makna yang kira-kira sama,

kegiatan lisan yang bukan percakapan sehari-hari, seperti puisi-puisi rakyat, cerita

lisan yang hidup di tengah masyarakat, mantera, juga pertunjukkan lisan. Artinya, ada

pengetahuan sastra lisan dalam kesadaran kolektif kita.

Sastra lisan penting dikaji karena beberapa alasan. Alasan pertama, ia ada dan

terus hidup di tengah masyarakat, tidak saja dalam masyarakat Indonesia tetapi juga

30

Herman J. Waluyo. op. cit. h. 125. 31

Wahyudi Siswanto. op. cit. h.125. 32

Bustanul Arifin, dkk. Menyimak. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 6.8.

Page 35: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

23

di banyak negara lain di dunia. Sastra lisan itu hidup pada masyarakat pertamanya,

yaitu masyarakat yang melahirkan dan menghidupkannya, di daerah kelahiran, di

kampung asal. Secara umum, suatu genre sastra lisan itu hidup di daerah asalnya saja.

Bila diambil contoh nyata, dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat terdapat

beberapa genre, antara lain rabab Pasisia, rabab Pariaman, dendang Pauah.

Yang kedua, sastra lisan menyimpan kearifan lokal kecendekiaan tradisional,

pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya. Semua tumbuh, berkembang, dan

diwariskan dalam masyarakat sastra itu secara lisan. Ketika berbicara tentang

pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber

karakter bangsa karena karakter bangsa yang disimpan di dalam sastra lisan itu sesuai

dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan.33

Kesenian dalam bentuk suara atau tradisi lisan yang berkembang dalam

masyarakat Betawi mempunyai beberapa karakter yang berbeda dengan kesenian dari

wilayah kebudayaan seperti Bali, Jawa, ataupun Melayu. Selain perbedaan bahasa,

hal yang membedakan kesenian Betawi dengan kesenian dari daerah lain adalah

bentuk penyajiannya. Sedyawati dalam buku Ragam Seni Budaya Betawi

menguraikan bahwa tradisi lisan terdapat empat bentuk penyajian, yaitu penyajian

yang hanya menggunakan unsur suara atau tuturan murni, menggabungkan tuturan

dengan musik, menggabungkan tuturan, musik, dan gerakan, serta tuturan yang

disertai dengan gerakan, musik, dialog. Jika diterapkan dalam tradisi lisan masyarakat

Betawi, pengelompokkannya dapat dikategorikan sebagai berikut.34

a) Pertunjukan dalam bentuk tuturan murni, contohnya sahibul hikayat dan

pembacaan ratib.

b) Tuturan yang disertai dengan instrumen musik, seperti yang terlihat pada buleng

dan pembacaan Maulid.

c) Tuturan yang disertai dengan gerakan, contohnya rancag.

33

Adriyetti Amir. Sastra Lisan Indonesia. (Yogyakarta: ANDI. 2013). h. 18-21. 34

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. (Jakarta:

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012). h. 35-37.

Page 36: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

24

d) Pertunjukan tuturan yang memadukan adegan-adegan, dialog, menari, dan sering

pula diiringi dengan musik, seperti pada lenong dan permainan tradisional anak

Betawi.

Dalam berbagai jenisnya, sejarah terbentuknya tradisi lisan dapat ditelusuri

seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Betawi. Setiap kesenian

mempunyai sejarah pembentuka dan dan masyarakat pendukung yang berbeda. Setiap

bentuk tradisi lisan di Betawi mempunyai karakteristik yang berbeda sebagai akibat

dari perjalanan historis dan wilayah geografis kesenian tersebut.

Dalam konteks tradisi lisan di Betawi, beberapa jenis kesenian juga mengalami

perubahan seiring perkembangan zaman. Ada yang bertahan dan berkembang sampai

saat ini, tetapi ada pula bentk seni yang sudah tidak dipentaskan lagi karena sudah

tidak ada yang dapat memainkannya. Selanjutnya, secara ringkas dalam paparan

berikutnya akan digambarkan peran bahasa Betawi dalam kesenian Betawi yang

membedakannya dengan jenis kesenian dari daerah lain di Indonesia serta uraian

mengenai jenis-jenis tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Betawi, khususnya

pantun dalam acara buka palang pintu.

D. Pengertian pantun

Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana.

Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan “Sepantun labah-labah,

meramu dalam badan sendiri”. Kata sepantun dalam susunan kalimat diatas

mengandung arti sama dengan semua yang diungkapkan di depan.35

Seperti halnya bidal, bentuk pantun ini pun merupakan kesusastraan hasil karya

bangsa Indonesia sendiri. Pantun telah lama tersebar dan mendarah daging dalam

kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Bentuk

yang sama dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia terdapat pula dalam bahasa-

35

Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000).

h.11.

Page 37: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

25

bahasa daerah di Indonesia.36

Suku Jawa misalnya memiliki puisi rakyat yang harus

dinyanyikan atau di-tembang-kan, sedangkan menurut K.A.H. Hiding, pada suku

bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam

bahasa daerahnya disebut sisindiran. Orang Sunda membagi sisindiran menjadi dua

kategori, yakni yang disebut paparikan dan wawangsalan; dan selanjutnya paparikan

dapat dibagi lagi menjadi rarakitan dan sesebred.37

Sehingga pantun mempunyai

persyaratan, yaitu:38

1. Tiap bait terdiri atas empat baris.

2. Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata.

3. Sajaknya berumus a-b-a-b.

4. Kedua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan isinya terdapat pada kedua

baris terakhir.

Dari ciri-ciri yang telah diuraikan, pantun mestilah ditulis dengan mengikuti pola

yang telah disepakati tentang bagaimana sebuah pantun harus ditulis. Artinya, sebuah

pantun harus ditulis dengan mematuhi penulisan jumlah baris, jumlah kata,

persajakan, dan lain-lain. Jika tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka dianggap

menyalahi ketentuan penulisan pantun. Pola penulisan pantun mestilah memiliki pola

rima akhir, adanya bagian yang disebut sampiran dan ada bagian yang disebut isi atau

maksud. Dua baris pertama disebut sampiran, sedangkan dua baris terakhir disebut isi

atau maksud. Setiap baris terdapat pemenggalan, sewaktu membacanya. Lihat contoh

sebagai berikut.39

Pulau pandan jauh di tengah,

Gunung Daik bercabang tiga.

Hancur badan di kandung tanah,

Budi baik dikenang juga.

36

Ibid., 37

James Danandjaja. Folklor Indonesia. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002). h.46-

47. 38

Nursisto. loc.cit. 39

Hasanuddin WS. Membaca dan Menilai Sajak. (Bandung: Angkasa. 2012). h. 17.

Page 38: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

26

E. Pantun Betawi

Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi juga mengenal

bentuk-bentuk puisi, yang disebut pantun. Pada pantun Betawi baris pertama dan

kedua disebut sampiran, baris ketiga dan keempat baru berupa isi pantun itu. Pola

persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a-b dan ada pola yang berpola a-a-a-a. simak

kedua pantun berikut dan perhatikan pola persajakan bunyi akhir setiap baris.

Ujan gerimis aje

Ikan bawal diasinin

Lu ngape nangis aje

Bulan syawal nanti dikawinin

Pantun di atas berpola persajakan akhir a-b-a-b

Indung-indung kepale lindung

Ujan di sono di sini mendung

Anak siapa pake kerudung

Mate melirik kaki kesandung

Pantun di atas berpola persajakan bunyi akhir baris a-a-a-a

Dari keterangan dan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pantun Betawi agak

berbeda dengan pantun dari daerah Melayu lain. Pantun dari daerah Melayu lain

selalu berpola persajakan bunyi akhir a-b-a-b, sedangkan pantun Betawi ada yang

berpola persajakan bunyi akhir a-a-a-a, di samping yang berpola a-b-a-b.40

Pantun Betawi juga mempunyai jenis yang beragam, antara lain pantun agama,

pantun nasihat, pantun teka-teki, pantun nelayan, pantun remaja, dan pantun anak-

anak. Akan tetapi, ada juga pantun Betawi yang terdiri atas tiga baris dan banyak

baris. Pantun tiga baris umumnya ada dalam permainan anak-anak. Pantun tiga baris

ini dibawakan dalam bentuk bernyanyi sambil bermain. Biasanya, dua baris pertama

menjadi sampiran, satu baris terakhir menjadi isi. Selain pantun empat baris dan tiga

baris, pantun Betawi juga memiliki jenis yang lain, yakni pantun banyak baris. Sama

seperti pantun tiga baris, pantun banyak baris digunakan dalam permainan anak-anak.

40

Abdul Chaer. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. (Jakarta:

Masup Jakarta. 2012). h.73-74.

Page 39: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

27

Bedanya, pada pantun banyak baris agak sulit membedakan mana sampiran mana isi

karena mirip dengan mantra yang dinyanyikan dengan riang oleh anak-anak. Selain

jenis-jenis tersebut di atas, Betawi memiliki jenis pantun yang lain, yakni pantun

berkait atau rancag. Dinamakan pantun berkait karena antarbaitnya memiliki

keterkaitan isi. Biasanya, jenis pantun ini menyajikan sebuah cerita, semisal cerita

Pitung. Pada praktiknya, pantun berkait ini dibawakan sambil bernyanyi diiringi

musik gambang sehingga masyarakat Betawi mengenalnya sebagai gambang

rancag.41

Pantun Betawi termasuk folklor dalam masyarakat Betawi. Pantun sebagai folklor

menjadi karya seni tradisional karena adanya “kegemaran” bagi masyarakat Betawi

untuk menyampaikan suatu pendapat atau suatu pikiran yang diungkapkan selalu

melalui “sampiran” atau juga dengan menggunakan kekuatan adanya persamaan

bunyi atau persajakan.42

Pantun kerap digunakan dalam sastra lisan bahkan dalam

percakapan sehari-hari. Pantun menyimpan pesan yang penting untuk membangun

karakter individu dalam masyarakat, membangun karakter bangsa, yaitu membangun,

memakaikan, dan meningkatkan budi bangsa agar menjadi orang mulia dalam

pergaulan.43

Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek

itu tumbuh dari bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk

yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karena

itu struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung

unsur-unsur bahasa kelompok etnis pemakainya. Sistem fonologi dialek ini

mempunyai kekhususan yang tidak terdapat pada dialek-dialek Melayu lainnya,

antara lain tampilnya vokal e pada suku kata terakhir.44

Ciri menonjol ini dapat

memudahkan pendengar untuk membedakan bahasa Betawi dengan dialek Melayu

41

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. op.cit.,h. 13-19. 42

Abdul Chaer .op.cit., h. 199. 43

Adriyetti Amir. Op.cit., h. 22. 44

Anwarudin Harapan. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. (Jakarta: Asosiasi Pelatih

Pengembangan Masyarakat. 2006). h. 120.

Page 40: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

28

lainnya. Misalnya kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti buaya, saya, dan dia. Bila

diucapkan dengan dialek Betawi akan berakhiran dengan [ε], seperti [ayε], [buayε],

dan [diε]. Tata ucap Betawi juga tidak mengenal diftong, seperti [ay] dan [aw]. Jadi,

kata-kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan diftong diucapkan oleh

masyarakat Betawi dengan akhiran [ε] dan [ᴐ ]. Misalnya, pulau dan pantai bila

dilafalkan dengan dialek Betawi akan menjadi [pulᴐ ] dan [pantε].45

Selain itu, Di

dalam percakapan bahasa Betawi, mempunyai berbagai variasi. Khususnya di dalam

kata sapaan, maksudnya pronomina lu, gua, saya, kita, nama diri dan istilah

kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan, meskipun tidak ada ikatan

kekerabatan.46

Ciri yang bersifat tata kalimat khususnya menonjol dengan munculnya berbagai

kata pertikel kalimat seperti sih, kek, dong, deh, dan sebagainya, seperti Nyai kek

perawan sini kek „(Tidak peduli), apakah Nyai atau gadis dari sini‟. Dua ciri lain

dalam tata kalimat ialah (1) frasa milik yang dinyatakan dengan kata punya di antara

dua kata benda yang memiliki dan yang dimiliki, seperti amat punya rumah untuk

„rumah Amat‟. (2) urutan kata benda dengan kata ini dan itu yang berurutan terbalik

dengan bahasa Indonesia seperti ini rumah, itu anak, masing-masing untuk anak itu

dan rumah itu.47

F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu

Buka palang pintu adalah salah satu acara dalam serangkaian acara perkawinan

menurut adat Betawi. Acara ini dilakukan ketika mempelai pria dengan

rombongannya datang ke rumah mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad

nikah. Rombongan mempelai pria dilengkapi dengan seorang juru pantun, seorang

jago silat dan seorang pembaca lagu sike. Sedangkan pihak mempelai wanita

45

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI .op.cit., h.37-38. 46

C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991).

h. 259. 47

Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. 2000). h. 67.

Page 41: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

29

dilengkapi juga dengan seorang juru pantun dan seorang jago silat. Dalam berpantun,

si juru pantun mempelai pria berusaha menyatakan bahwa mempelai pria adalah

orang yang gagah, ganteng, hebat, dan dibandingkan dengan seorang artis beken yang

terkenal. Sedangkan juru pantun mempelai wanita akan dapat ditaklukkan oleh si jago

silat pihak rombongan pria.48

Secara umum, palang pintu merupakan sebuah aktivitas perkelahian atau main

pukul simbolik, namun sesungguhnya memiliki makna yang dalam dan luhur

terutama saat dijadikan bagian dalam prosesi pernikahan adat Betawi. Sebagai salah

satu rangkaian dari sebuah acara pernikahan, palang pintu merupakan sebuah

aktivitas pertarungan maen pukul yang bermakna simbolik yang di dalamnya calon

mempelai pria harus menghadapi para jawara dari pihak mempelai wanita sebelum

dapat diterima oleh pihak keluarga mempelai wanita. Adegan pertarungan maen

pukul ini bermakna bahwa pihak mempelai pria harus memiliki sifat berani, termasuk

dapat melindungi istri dan keluarganya kelak, dan hal tersebut harus dibuktikan di

hadapan para jawara dan keluarga sang mempelai perempuan.49

Seperti telah diuraikan di atas, sebelum rombongan pengantin pria diterima dan

dipersilahkan masuk ke dalam rumah pengantin perempuan, terdapat prosesi khas

Betawi yang dikenal dengan nama Buka Palang Pintu. Prosesi ini diawali dengan

adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan

pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. Tanya-

jawab yang terjadi dikemas dalam bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta

dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para

jawara yang menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji. Bila

para jawara pihak mempelai pria berhasil mengalahkan para jawara pihak mempelai

perempuan. Maka pihak mempelai perempuan, meminta syarat kedua, yaitu

permintaan untuk melantunkan lagu yang berisi salawat kepada Nabi Muhammad

48

Abdul Chaer. op.cit.,h. 85. 49

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara

di DKI Jakarta. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010). h.78- 79.

Page 42: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

30

SAW yang diiringi dengan rebana, marawis dan kecipring. Hal tersebut menandai

bahwa sang calon suami telah memahami ilmu agama dan seorang yang ahli ibadah.50

G. Sejarah Sanggar SABA

Sanggar SABA didirikan oleh Ahmad Darif, SE yang lahir di Cengkareng Timur

Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1975 yang terletak di kampung Pendongkelan

Jakarta Timur. Beliau adalah lulusan managemen perusahaan sarjana ekonomi di

Universitas Mercu Buana tahun 1998. Beliau mulai mempelajari bela diri beksi pada

tahun 1991 di bangku Sekolah Menengah Atas oleh kakeknya bernama H. M. Aba

Bin Naming sampai 1993. Setelah menguasai ilmu bela diri beksi, Darif diberikan

kepercayaan oleh kakeknya untuk mengajar bela diri tersebut untuk generasi

berikutnya.

Pada tahun 1993 murid pertama Darif sebanyak sepuluh orang tapi dengan

kegigihannya, beliau mengajar ilmu tersebut dari tahun ke tahun, sehingga murid

beliau menjadi seribu murid. Kemudian Darif dan muridnya mempunyai inisiatif

mendirikan organisasi masyarakat Betawi yang diberi nama SABA (Solidaritas Anak

Betawi Asli/ Solidaritas Anak Batavia) yang diambil dari nama kakeknya Aba yang

terletak di jalan Wijaya I Jakarta Barat.

Darif mengajarkan ilmu beksi yang merupakan pertahanan dari empat penjuru

atau beksi juga berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan

Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak terlihat

dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel.

Adapun Jurus beksi Sanggar SABA terdiri dari sembilan jurus, yaitu:

1. Jurus beksi dasar (pembuka)

Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka pukulan dengan

tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan kiri dan tepak sikut ke depan.

50

Ibid., h.79-80.

Page 43: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

31

Setiap jurus menggunakan hentakkan kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan

mematahkan tangan.

2. Jurus oleng badan

Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk sebuah sikut

diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk menghindari serangga.

3. Jurus junjung (tunjangan langit)

Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini

menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan penyerangan lawan.

4. Jurus rambet

Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan disertai

dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan tangan lawan disertai

dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar lawan tidak menyerang.

5. Jurus gedor

Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut atau tangan.

Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi dengan menggunakan

gerakan gedor di ulu hati.

6. Jurus broneng

Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk menjepit,

mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini bisa melawan lebih dari

satu orang lawan.

7. Jurus lokbe (cabut pisau)

Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah kiri dan

kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir lawan dibarengi

mencabut pisau dan diarahkan ke lawan.

8. Jurus cauk debug

Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak tangan.

Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah untuk

melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus tidak sportif, jurus ini

Page 44: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

32

berfungsi untuk mempertahankan diri dimana saat kondisi terdesak baik debu atau

pasir dilemparkan ke mata lawan untuk membela diri.

9. Jurus loseng

Jurus loseng merupakan jurus yang diarahkan ke bagian kaki lawan. Jurus ini

berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun dalam posisi berdiri,

dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan tubuh lawan.

Selain beksi kesenian Betawi yang diajarkan oleh Darif adalah palang pintu.

Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan mempunyai tantangan

dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan tantangan dari ujian tersebut, dapat

dikatakan pantas untuk melakukan pernikahan bagi kedua mempelai. Jadi palang

pintu itu berisi tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai

wanita dan mempelai pria. Namun, tidak ada yang mengetahui sejarah dari palang

pintu, tetapi ada istilah palang pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai

perjuangan dalam pernikahan.

H. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP

Menurut Rahmanto, pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh

apabila cangkupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan

berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan

menunjang pembentukan watak.51

Pada dasarnya belajar sastra adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra

harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan

kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan

diintegrasikan. Kita sadar bahwa tak ada informasi dari luar baik berupa pengantar,

komentar guru, cara membaca, gambar maupun kritik yang sebelumnya lebih dapat

menuntut perhatian siswa kecuali pengalaman siswa itu sendiri. Pengalaman dari

karya sastra bagaimanapun hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan mempelajari

51

Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h.

16.

Page 45: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

33

analisis verbal. Karena kita banyak membaca, kita merasa mudah sekali menerima isi

bacaan. Padahal sebenarnya proses membaca itu sangat rumit karena kita dituntut

memahami dengan cepat kumpulan huruf yang merupakan simbol dari bahasa yang

dipakai. Walaupun demikian, kesulitan itu menjadi tidak terasa setelah kita menjalani

banyak latihan setiap kali kita membaca. Tapi bagaimanapun, sebagai guru sastra kita

sering dihadapkan pada simbol-simbol bahasa yang menuntut pemahaman dengan

lebih hati-hati daripada pembaca pada umumnya. Di samping harus mengerti minat

dan cara berfikir siswa, guru sastra diharapkan benar-benar dapat memahami seluk-

beluk kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra yang disajikan pada siswanya.52

Hazim Amir dalam buku membaca 2 karya Kisyani Laksono, dkk menjelaskan

bahwa ada beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai persiapan

pembacaan puisi, seperti dalam uraian berikut.53

a. Mempertimbangkan aspek kesastraan

Langkah awal yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah memilih puisi

yang akan dibacakannya. Puisi yang akan dibacakan harus mengandung nilai-nilai

kesastraan yang tinggi.

b. Pertimbangkan potensi oratoris

Langkah yang kedua dalam persiapan membaca puisi adalah mempertimbangkan

potensi puisi jika dibacakan. Pada tahap ini pembaca puisi mempertimbangkan

apakah larik-larik yang tertulis dalam sajak tersebut jika dibacakan memiliki

potensi satuan-satuan bunyi yang oratoris. Artinya, satuan-satuan bunyi yang

dapat menimbulkan efek kenikmatan, keharuan, dan menggiring pembaca pada

proses perenungan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

c. Pelatihan membaca puisi

Pada umumnya pelatihan membaca puisi dikerjakan secara berkelompok pada

tempat dan waktu tertentu. Untuk latihan, sebaiknya disepati jadwal tertentu.

52

Bernardus Rahmanto. op.cit., h. 38-39. 53

Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.29-8.31.

Page 46: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

34

Misalnya, latihan dilaksanakan setiap akhir pecan pada sore hari. Latihan dapat

dilaksanakan di dalam maupun luar ruangan.

Adapun tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap

kegiatan pembelajaran. Tujuan ini sering kali dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:54

a. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Umum

Tujuan instruksional umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih

umum dan belum menggambarkan tingkah laku spesifik. Tujuan instruksional

umum ini dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu bidang studi yang

ada di dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran).

b. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan instruksional umum.

Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan instruksional umum

tersebut dapat lebih dispesifikkan dan mudah diukur tingkat ketercapaiannya.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan KTSP, yaitu untuk memandirikan dan

memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian wewenangan (otonomi)

kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan

keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.55

Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:56

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam

mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang

tersedia.

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan

kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.

3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas

pendidikan yang akan dicapai.

54

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan

Pembelajaran. (Jakarta: Rajawali Press.2012). h. 150. 55

E. Mulyana. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2011). h. 22. 56

Ibid.,

Page 47: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

35

Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas VIII Sekolah

Menengah Pertama (SMP) semester 2, sesuai dengan tujuan KTSP dengan Standar

Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu: Memahami buku novel remaja (asli

atau terjemahan) dan antologi puisi, sedangkan Kompetensi Dasar (KD): 7.2

Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi, dengan indikator, sebagai

berikut.

1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi.

2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.

I. Penelitian Relevan

Penelitian yang baik, yaitu penelitian yang tidak menyerupai penelitian yang telah

dilakukan oleh orang lain dan menghasilkan informasi baru. Jadi, untuk menghindari

kesamaan penelitian perlu diadakan kajian terhadap penelitian yang telah dilakukan.

Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan

pada penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Rojab Dian Puspitasari

dari Universitas Indonesia (UI) dengan judul skripsi, “Pantun Betawi dalam Siaran

Bensradio: Tinjauan Fungsi dan Amanat”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2008.

Pada penelitian ini Puspitasari memberikan gambaran mengenai fungsi dan amanat

pantun. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu sama-sama

meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian

Puspitasari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Puspitasari meneliti pantun Betawi

dalam siaran bensradio: tinjauan fungsi dan amanat, sedangkan penulis meneliti

struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap

pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

Penelitian relevan yang kedua, Maman Mahayana dalam Jurnal Kritik 06/2013;

Volume 04, III (Januari-Juni 2013): 85-100; dengan judul “Pantun sebagai Potret

Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”.

Pada penelitian ini, Maman Mahayana membandingkan pantun Melayu, Jawa,

Madura, dan Betawi serta menunjukkan perbedaan dalam fungsi dan ekspresi dalam

Page 48: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

36

konten dan sampiran. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Mahayana,

yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis

dengan penelitian Mahayana, yaitu subjek kajiannya berbeda. Mahayana meneliti

pantun sebagai potret sosial-budaya tempatan: perbandingan pantun Melayu, Jawa,

Madura, dan Betawi, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya

palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di

SMP.

Lalu penelitian relevan yang ketiga, Rostina Sari dari Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta dengan judul skripsi, “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam

Tayangan Pesbukers di Antv Tahun 2013”. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, 2014.

Pada penelitian ini Sari menggunakan metode analisis semiotika yang dimiliki oleh

Charles Sanders Peirce. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Sari, yaitu

sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan

penelitian Sari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Sari meneliti Representasi Budaya

Pantun Betawi Dalam Tayangan Pesbukers Di Antv Tahun 2013, sedangkan penulis

meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya

terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.

Page 49: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

37

BAB III

PEMBAHASAN

Pantun pada seni budaya palang pintu Betawi merupakan ragam puisi lama yang

digunakan untuk acara pernikahan adat Betawi. Selain itu, pantun ini mempunyai tiga

bagian, yaitu pantun pembukaan, pantun isi, dan pantun penutup. Setiap bagian dari

pantun ini memiliki struktur fisik dan struktur batin. Berikut ini uraian dari bagian-

bagian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.

A. Pantun Pembukaan

Pada bagian pantun pembukaan berisi tentang hadangan dari para jawara pihak

pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud

kedatangan rombongan tersebut.

METIK CEREME RAME-RAME

SIAPA ITU RAME-RAME

TAMU BARU NYAMPE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan tiga baris. Baris pertama dan

kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga merupakan isi. Pada baris

pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri

atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris ketiga terdiri dari tiga

kata dengan jumlah enam suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun berikut.

Me-tik ce-re-me ra-me-ra-me

Si-a-pa i-tu- ra-me-ra-me

Ta-mu ba-ru nyam-pe

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan

mudah dimengerti oleh pendengar. Keserdehanaan itu terlihat ketika penutur pantun

memilih kata “metik cereme rame-rame” mempunyai arti bahwa penutur pantun ingin

Page 50: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

38

mengajak semua orang yang hadir untuk menyambut tamunya dengan perasaan

senang. Untuk melukiskan perasaan senang, penutur pantun menggunakan imaji

penglihatan. Imaji penglihatan ini terlihat pada kalimat “metik cereme rame-rame”,

“tamu baru nyampe”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan

ungkapan metik cereme rame-rame.

Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“metik”, “cereme”, “rame-rame”, baris kedua terdapat kata “rame-rame”, dan baris

ketiga terdapat kata “nyampe”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat

ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya

adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa

percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan

oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara

padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk

menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Metik cereme/ rame-rame

Siapa itu/ rame-rame

Tamu/ baru nyampe

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada gembira dan terdapat persamaan vokal /e/ di setiap akhir baris pantun.

Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi vokal /e/

sebagai rima berangkai menciptakan perasaan senang, sehingga menimbulkan

suasana yang riang.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan penyambutan tamu dengan suasana meriah, sehingga pendengar

seakan-akan menyaksikan penyambutan tamu dengan suasana menyenangkan.

Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ajakan penutur

pantun untuk menyambut tamunya.

Page 51: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

39

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penyambutan tamu. Hal

ini dapat dilihat pada pantun berikut.

Metik cereme rame-rame

Siapa itu rame-rame

Tamu baru nyampe

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa tamu harus disambut dengan baik dan

ramah oleh tuan rumahnya. Bahkan, penyambutan tamu juga harus diiringi dengan

rasa senang karena penyambutan tamu merupakan hal yang dimuliakan, sehingga

penutur pantun menggunakan nada gembira untuk mengajak pendengarnya

bergembira bersama-sama. Penggunaan nada gembira itu menciptakan suasana riang

bagi pendengar. Amanat yang disampaikan pantun ini adalah ajaran untuk

menyambut tamu dengan baik karena menyambut tamu dengan baik merupakan

perbuatan yang mulia.

UDEH TERSANGKUT PAKU

MALAH TERTIMPA DURI

KALAU AYE BOLEH TAU

APE TUJUAN ABANG DATENG KEMARI?

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku

kata, baris kedua terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku kata, baris ketiga

terdiri atas empat kata dengan jumlah tujuh suku kata, dan baris keempat terdiri atas

enam kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun

berikut.

U-deh ter-sang-kut pa-ku

Ma-lah ter-tim-pa du-ri

Ka-lau a-ye bo-leh tau-

Page 52: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

40

A-pe tu-ju-an a-bang da-teng ke-ma-ri

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan

mudah dimengerti oleh pendengar. Untuk mengibaratkan kedatangan tamunya,

penutur pantun memilih kata “udeh tersangkut paku, malah tertimpa duri”. Kata-kata

tersebut dipilih oleh penutur pantun sebagai sampiran. Penutur pantun

menggambarkan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji

penglihatan terlihat pada kalimat “udeh tersangkut paku”, “malah tertimpa duri”.

Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh

tersangkut paku/ malah tertimpa duri.

Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“udeh”, baris kedua terdapat kata “malah”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “tau”,

dan baris keempat terdapat kata “ape”, “dateng”. Kata-kata tersebut merupakan kata-

kata yang dapat ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,

pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya

bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang

disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Udeh/ tersangkut paku

Malah/ tertimpa duri

Kalau/ aye boleh tau

Ape/ tujuan abang dateng kemari

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada bertanya dan terdapat persamaan vokal /u/ di akhir baris pertama dan ketiga.

Kemudian terdapat juga persamaan vokal /i/ terdapat di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan vokal u

dan i sebagai rima berselang menciptakan rasa penasaran, sehingga menimbulkan

suasana tanda tanya.

Page 53: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

41

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan tujuan dari kedatangan mempelai pria, sehingga pendengar seakan-

akan ikut menyaksikan tujuan kedatangan mempelai pria tersebut. Sedangkan

penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan keingintahuan tuan rumah atas

kedatangan tamunya.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keingintahuan penutur

pantun. Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut.

Udeh tersangkut paku

Malah tertimpa duri

Kalau aye boleh tau

Ape tujuan abang dateng kemari

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa setiap kedatangan tamu pasti mempunyai

maksud dan tujuan, sehingga penutur pantun mencurigai kedatangan tamunya

tersebut. Kecurigaan penutur pantun disebabkan oleh kedatangan dari mempelai pria

beserta keluarganya. Hal tersebut membuat penutur pantun berfikir negatif tentang

kedatangan tamunya tersebut, sehingga penutur pantun menggunakan sampiran

negatif pada pantun ini. Oleh karena itu, penutur pantun menanyakan maksud

kedatangan tamunya karena ia ingin mengetahui secara jelas maksud kedatangan

tamunya tersebut. Hal tersebut menimbulkan rasa penasaran penutur pantun, sehingga

penutur pantun menggunakan nada bertanya untuk mengetahui secara jelas mengenai

maksud kedatangan tamunya. Penggunaan nada bertanya itu menciptakan suasana

tanda tanya bagi pendengar. Amanat yang terdapat dalam pantun ini bahwa

mengetahui maksud dan tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam

sirahturrahmi.

Page 54: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

42

BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM

BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI

KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM

BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan

suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, baris

ketiga terdiri atas sembilan kata dengan jumlah delapan belas suku kata, dan baris

keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat

dibuktikan pada pantun berikut.

Bu-rung a-nis ter-bang-nye ma-lem

Bu-rung ke-na-ri ter-bang di- si-ang ha-ri

Ka-lau bu-kan lan-tar-an pe-ra-wan ma-nis yang- a-da di- da-lem

Be-lum ten-tu-nya a-ye da-teng ke-ma-ri

Pada pantun di atas penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis dan

sederhana. Kepuitisan itu terlihat saat penutur pantun menggunakan sampiran yang

kontradiksi dengan mengibaratkan seorang gadis yang berada dalam rumahnya,

dengan menggunakan kalimat “burung anis terbangnye malem”. Penutur pantun

menggunakan kata “malem”, karena kata “malem” mempunyai arti khas seorang

gadis tidak boleh keluar pada malam hari. Sedangkan kalimat “burung kenari terbang

disiang hari” diibaratkan sebagai tamu yang datang berkunjung. Penutur pantun

menggunakan kata “di siang hari”, karena kata “di siang hari” merupakan waktu yang

biasa untuk berkunjung ke rumah seseorang. Penutur pantun menggambarkan hal

tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada

kalimat “burung anis terbangnye malem”, “burung kenari terbang disiang hari”.

Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan burung

anis terbangnye malem/ burung kenari terbang disiang hari.

Page 55: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

43

Adapun gaya bahasa yang terdapat penutur pantun dalam pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“malem”, baris ketiga terdapat “ade”, “di dalem”, dan baris keempat terdapat kata

“dateng”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat ditemui dalam bahasa

percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata

populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan

agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.

Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Burung anis/ terbangnye malem

Burung kenari/ terbang di siang hari

Kalau bukan lantaran perawan manis/ yang ade di dalem

Belum tentunya/ aye dateng kemari

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /m/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /i/ juga dapat ditemui di akhir

baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah disebut dengan rima berselang.

Penggunaan konsonan /m/ dan vokal /i/ sebagai rima berselang menciptakan rasa

percaya diri sehingga menimbulkan suasana takjub.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan alasan kedatangan dari mempelai pria untuk meminang mempelai

wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan ketegasan mempelai pria

dalam menjawab pertanyaan dari tuan rumah. Sedangkan penggunaan kata konkret

dalam pantun ini melukiskan keberanian penutur pantun dalam menyampaikan

maksud kedatangannya.

Page 56: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

44

2. Analisis Stuktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tujuan kedatangan tamu.

Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut.

Burung anis terbangnye malem

Burung kenari terbang di siang hari

Kalau bukan lantaran perawan manis yang ade di dalem

Belum tentunya aye dateng kemari

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun datang berkunjung untuk

meminang gadis tersebut. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan maksud

kunjungannya dengan rasa percaya diri. Pada baris ketiga dan keempat penutur

pantun menggunakan nada tegas sebagai tanda keseriusannya meminang gadis

tersebut. Penggunaan nada tegas itu menciptakan suasana takjub bagi para pendengar.

Pesan yang terkandung dalam pantun ini menyampaikan kepada pendengar agar

mengejar suatu impian dan tujuan harus didasari dengan keinginan yang kuat.

TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS

MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR

PERAWAN AYE EMANG MANIS

TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga

terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri

atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada pantun berikut.

Ter-bang ke- a-wan si- bu-rung a-nis

Men-tok di- ka-rang ma-suk ke- ka-mar

Pe-ra-wan a-ye e-mang ma-nis

Ta-pi bu-kan sem-ba-rang per-ja-ke yang- bi-sa nge-la-mar

Page 57: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

45

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik dan sederhana.

Keunikkannya itu terlihat dari penutur pantun memilih kata “mentok”, “perawan”,

dan “perjaka”. Kata-kata tersebut dapat dilukiskan penutur pantun dengan

menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “terbang ke

awan si burung anis” “mentok di karang masuk ke kamar”. Sedangkan, penutur

pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan terbang ke awan si burung anis/

mentok di karang masuk ke kamar.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris ketiga terdapat kata “aye”,

“emang”, dan baris keempat terdapat kata “perjake”, “ngelamar”. Kata-kata tersebut

merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya

bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.

Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami

yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Terbang ke awan/ si burung anis

Mentok di karang/ masuk ke kamar

Perawan aye/ emang manis

Tapi bukan sembarang perjake/ yang bisa ngelamar

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada kehati-hatian dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di akhir baris pertama

dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris

kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang.

Penggunaan bunyi konsonan /s/ dan /r/ sebagai rima berselang menciptakan rasa

sombong sehingga menimbulkan suasana yang benci dan kesal.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan kehati-hatian penutur pantun dalam memilih calon menantu,

Page 58: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

46

sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kepemilihan penutur pantun

dalam memilih calon menantu. Sedangkan kata konkret dalam pantun ini melukiskan

kepemilihan penutur pantun terhadap memilih calon menantunya.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kepemilihan penutur

pantun untuk mencari calon menantu. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Terbang ke awan si burung anis

Mentok di karang masuk ke kamar

Perawan aye emang manis

Tapi bukan sembarang perjake yang bisa ngelamar

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun masih memilah-milih

calon menantu yang sesuai dengan keinginannya. Terlalu banyak memilih calon

menantu menimbulkan rasa sombong karena penutur pantun merasa anak gadisnya

itu sangat berharga bagi dirinya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada

kehati-hatiannya dalam memilih mempelai pria. Penggunaan nada hati-hati itu

menciptakan suasana kesal dan benci pada pendengar. Pesan yang disampaikan pada

pantun ini adalah ajaran untuk tidak sombong dan hati-hati dalm memilih pasangan.

DARI SEWAN KE SAWANGAN

ADE PERJAKE LAGI DIMANDIIN

BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN

TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan

suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris

ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat

Page 59: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

47

terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat

dibuktikan pada pantun berikut.

Da-ri Se-wan ke- Sa-wa-ngan

A-de per-ja-ke la-gi di-man-di-in

Bi-ar ka-te pe-ra-wan a-bang bu-kan sem-ba-rang pe-ra-wan

Te-tep a-je ni- per-ja-ke ba-kal ja-di-in

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai bentuk

mempertahankan keinginannya untuk meminang mempelai wanita. Keunikkan

tersebut terlihat pada kalimat “ade perjake lagi dimandiin”. Kalimat itu dipilih oleh

penutur pantun bertujuan untuk menghibur pendengar. Penutur pantun menambah

keunikkannya tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan

terlihat pada kalimat “dari Sewan ke Sawangan”, “ade perjaka lagi dimandiin”.

Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan dari Sewan

ke Sawangan/ ade perjaka lagi dimandiin.

Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat kata

“ade”, “perjake”, “dimandiin”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “abang”, dan baris

keempat terdapat kata “tetep”, “aje”, “ni”, “perjake”, “jadiin”. Kata-kata tersebut

merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya

bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.

Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami

yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Dari Sewan/ ke Sawangan

Ade/ perjake lagi dimandiin

Biar kate/ perawan abang bukan sembarang perawan

Tetep aje/ ni perjake bakal jadiin

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di setiap akhir baris pantun.

Page 60: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

48

Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi konsonan /n/

sebagai rima berangkai menciptakan rasa optimis sehingga menimbulkan suasana

yang takjub.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan perjuangan mempelai pria untuk meminang mempelai wanita,

sehingga pendengar seakan-akan meyaksikan perjuangan mempelai pria tersebut.

Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan perjuangan

penutur pantun agar mendapatkan mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketetapan pilihan dari

penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Dari sewan ke sawangan

Ade perjake lagi dimandiin

Biar kate perawan abang bukan sembarang perawan

Tetep aje ni perjake bakal jadiin

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun tetap mempertahankan

pilihannya untuk mendapatkan mempelai wanita. Hal tersebut membuat penutur

pantun merasa optimis, sehingga ia menggunakan nada tegas untuk menyampaikan

keinginannya. Penggunaan nada tegas yang diciptakan penutur pantun menimbulkan

suasana takjub bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun ini mengajarkan

agar bersikap optimis dan berusaha keras agar sesuatu yang diharapkan akan segera

tercapai.

Page 61: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

49

MENDING ABANG PERGI KE CIKINI

DARI PADA KESENAYAN

MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI

DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama

dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Pada baris pertama terdiri atas sembilan kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris

kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri

atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris ketiga terdiri atas enam

kata dengan jumlah empat belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun

berikut.

Men-ding a-bang per-gi ke- Ci-ki-ni

da-ri pa-da ke- Se-na-yan

Men-ding a-bang ang-kat ka-ki da-ri si-ni

Da-ri pa-da ha-jat a-bang ka-ga ke-sam-pe-an

Pada pantun ini penutur pantun memberikan gambaran penolakkan terhadap

mempelai pria dengan memilih kata-kata “mending abang pergi ke Cikini, daripada

ke Senayan” sebagai sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini dengan

menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “mending

abang pergi ke Cikini”, “daripada ke Senayan”. Sedangkan penutur pantun

mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan mending abang pergi ke Cikini/

daripada ke Senayan.

Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“mending”, “abang”, baris ketiga terdapat kata “mending”, “abang”, dan baris ketiga

terdapat kata “abang”, “kaga”, “kesampean”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata

yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan

katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa

percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh

Page 62: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

50

penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini terdapat gaya

bahasa repetisi anafora. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut.

Mending abang pergi ke Cikini

Dari pada ke Senayan

Mending abang angkat kaki dari sini

Dari pada hajat abang kaga kesampean

Pada pantun di atas baris pertama dan ketiga terdapat pengulangan kata pertama

“mending abang”. Sedangkan baris kedua dan keempat terdapat pengulangan kata

pertama “daripada”. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara

padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk

menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Mending abang/ pergi ke Cikini

Dari pada/ ke Senayan

Mending abang/ angkat kaki dari sini

Dari pada/ hajat abang kaga kesampean

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk nada mengusir

dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian

terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua dan keempat.

Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /i/ dan

konsonan /n/ menciptakan rasa marah sehingga menimbulkan suasana yang kesal dan

kecewa.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan

repetisi pada kata “mending abang” dan “daripada” menunjukkan penolakan yang

jelas terhadap hajat dari tamu yang datang. Penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan ketidaksukaan penutur pantun terhadap mempelai pria, sehingga

pendengar seakan-akan menyaksikan pengusiran yang dilakukan oleh penutur pantun.

Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan penolakkan

penutur pantun atas ketidaksukaannya terhadap mempelai pria.

Page 63: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

51

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penolakan penutur pantun.

Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Mending abang pergi ke Cikini

Dari pada ke Senayan

Mending abang angkat kaki dari sini

Dari pada hajat abang kaga kesampean

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menolak mempelai pria

untuk bersanding dengan mempelai wanita. Penolakan tersebut menimbulkan rasa

marah karena penutur pantun tidak menyukai mempelai pria tersebut, sehingga

penutur pantun menggunakan nada mengusir untuk menyampaikan rasa marahnya.

Penggunaan nada mengusir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana

kesal dan kecewa bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk

menghormati dan menyambut baik tamu yang datang ke rumah apapun tujuannya.

IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH

MASAK NASI JADI BUBUR

BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH

SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama

dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris

kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri

atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas

enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

Iba-rat ba-ju u-dah ke-pa-lang ba-sah

Ma-sak na-si ja-di bu-bur

Bi-ar ka-te a-ye ma-ti ber-ka-lang ta-nah

Se-jeng-kal ju-ga a-ye ka-ga ba-kal-an mun-dur

Page 64: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

52

Pada awal pantun ini penutur pantun menggunakan kata perbandingan. Hal

tersebut dikarenakan penutur pantun ingin membandingkan perjuangannya dengan

menggunakan kata “Ibarat baju udah kepalang basah”. Selain itu, ia juga

membandingkan dengan menggunakan kata “masak nasi jadi bubur”. Penutur pantun

menggunakan imaji penglihatan dalam pantun ini. Imaji penglihatan terlihat pada kata

“baju udah kepalang basah”, “masak nasi jadi bubur”, “mati berkalang tanah”.

Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ibarat baju

udah kepalang basah/ masak nasi jadi bubur.

Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“udah”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “aye”, “mati”, dan baris keempat terdapat

kata “aye”, “kaga”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam

bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-

kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan

bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh pendengar. Selain

gaya bahasa percakapan, pada pantun ini juga terdapat gaya bahasa simile. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan pantun berikut.

Ibarat baju udah kepalang basah

Masak nasi jadi bubur

Pada baris pertama terdapat kata “ibarat” yang menunjukkan persamaan, yaitu

menyamakan baju yang terlanjur basah dengan tindakkan penutur pantun yang

terdapat dalam pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk

secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk

menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ibarat baju/ udah kepalang basah

Masak nasi/ jadi bubur

Biar kate aye mati/ berkalang tanah

Sejengkal juga/ aye kaga bakalan mundur

Page 65: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

53

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /h/ di akhir baris pertama

dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris

kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang.

Penggunaan bunyi konsonan /h/ dan konsonan /r/ sebagai rima berselang

menciptakan rasa berani sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan

simile menunjukkan keberanian mempelai pria dalam memperjuangkan mempelai

wanita. Penggunaan imaji penglihatan menggambarkan keberanian penutur pantun

untuk melamar mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan menyaksikan

keberanian penutur pantun tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam

pantun ini melukiskan kegigihan penutur pantun dalam memperjuangkan mempelai

wanita.

2. Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ibarat baju udah kepalang basah

Masak nasi jadi bubur

Biar kate aye mati berkalang tanah

Sejengkal juga aye kaga bakalan mundur

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi

segala kesulitan yang akan terjadi dengannya, sehingga rintangan tersebut

menimbulkan rasa berani bagi penutur pantun. Oleh karena itu, penutur pantun

menggunakan nada menantang untuk memperjuangkan mempelai wanita.

Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana

tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak

takut karena keberanian itu diperlukan untuk menghadapi suatu permasalahan yang

terjadi.

Page 66: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

54

B. Pantun isi

Pada bagian ini berisi tanya-jawab dalam bentuk berbalas pantun dan sekaligus

meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria. Syarat pertama

mempelai pria mampu mengalahkan para jawara yang menghadangnya, sedangkan

syarat kedua mempelai pria menunjukkan kebolehannya dalam mengaji.

IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK

DALAM KUALI KUDU MASAKNYE

NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK

SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama

dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris

kedua terdiri atas empat dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas

delapan kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas

empat kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

I-kan sa-pu-sa-pu ma-ti di-tu-suk

Da-lam ku-a-li ku-du ma-sak-nye

Ni- pa-lang pin-tu ka-ga i-zin-in rom-bong-an pa-de ma-suk

Se-be-lum a-bang pe-nuh-in per-sya-rat-an-nye

Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan bentuk persyaratan pertama

dengan memilih kata “ikan sapu-sapu mati ditusuk, dalam kuali kudu masaknye”

sebagai sampiran. Agar persyaratan pertama dapat terlihat dengan jelas, maka penutur

pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat ”ikan

sapu-sapu mati ditusuk”, “dalam kuali kudu masaknye”, “ni palang pintu kaga izinin

rombongan pade masuk”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini

dengan ungkapan ikan sapu-sapu mati ditusuk/ dalam kuali kudu masaknye.

Page 67: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

55

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat kata “kudu”,

“masaknye”, baris ketiga terdapat kata “ni”, “kaga”, “izinin”, “pade”, dan baris

keempat terdapat kata “abang”, “persyaratannye”. Kata-kata tersebut merupakan

kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,

pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya

bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang

disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Seperti pantun di bawah ini.

Ikan sapu-sapu/ mati ditusuk

Dalam kuali/ kudu masaknye

Ni palang pintu/ kaga izinin rombongan pade masuk

Sebelum abang/ penuhin persyaratannye

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu menghasilkan nada

meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /k/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan

ketiga. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi

konsonan /k/ dan vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa ketidakpuasaan

sehingga menimbulkan suasana kecewa.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan suatu persyaratan berupa adu ilmu bela diri yang harus dipenuhi

oleh mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah

mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan

tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan

permintaan penutur pantun kepada mempelai pria.

Page 68: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

56

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persyaratan penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ikan sapu-sapu mati ditusuk

Dalam kuali kudu masaknye

Ni palang pintu kaga izinin rombangan pade masuk

Sebelum abang penuhin persyaratannye

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta syarat pertama

kepada mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah

mempelai wanita. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasaan terhadap mempelai

pria karena penutur pantun ingin membuktikan keseriusan dari mempelai pria. Oleh

karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bukti keseriusan dari

mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun

menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini

mengajarkan untuk tidak merasa puas terhadap suatu hal karena masih banyak

rintangan yang harus dilewati.

KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO

JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE

KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO

SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris

ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat

terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata. Hal tersebut dapat

dibuktikan pada pantun berikut.

Page 69: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

57

Ke- ta-nah a-bang mem-be-li li-mo

Ja-ngan lu-pe sam-bel ke-cap-nye

Ka-lo e-mang i-tu yang- a-bang ma-o

Se-bu-tin dah- sya-rat-sya-rat-nye

Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan penerimaan syarat dengan

memilih kata “ke tanah abang membeli limo, jangan lupe sambel kecapnye” sebagai

sampiran. Penutur pantun melukiskan penerimaan syarat dengan menggunakan imaji

penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ke tanah abang membeli limo”,

“jangan lupa sambel kecapnye”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan

pantun ini dengan ungkapan ke tanah abang membeli limo/ jangan lupa sambel

kecapnye.

Adapun Gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“abang”, “limo”, baris kedua terdapat kata “lupe”, “sambel”, “kecapnye”, baris ketiga

terdapat kata “kalo”, “emang”, “abang”, “mao”, dan baris keempat terdapat kata

“sebutin”, “dah”, “syaratnye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui

dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah

kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan ini

bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur

pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ke tanah abang/ membeli limo

Jangan lupe/ sambel kecapnye

Kalo/ emang itu yang abang mao

Sebutin dah/ syarat-syaratnye

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar

perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada

menerima dan juga terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

Page 70: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

58

bunyi vokal /o/ dan bunyi vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak

takut sehingga menimbulkan suasana yang takjub.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan kesanggupan dari mempelai pria untuk memenuhi syarat dari orang

tua mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan

kesanggupan mempelai pria atas penerimaan syarat tersebut. Sedangkan, penggunaan

kata konkret dalam pantun ini menggambarkan penerimaan syarat yang diajukan oleh

orang tua mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat penutur pantun dalam pantun ini menggambarkan tentang

persyaratan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ke tanah abang membeli limo

Jangan lupe sambel kecapnye

Kalo emang itu yang abang mao

Sebutin dah syarat-syaratnye

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menerima persyaratan

yang diberikan oleh orang tua dari mempelai wanita untuk menunjukkan bukti

keseriusannya meminang anak gadisnya. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak takut

penutur pantun dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, penutur pantun

menggunakan nada menerima saat menyanggupi persyaratan dari orang tua mempelai

wanita. Penggunaan nada menerima yang diciptakan penutur pantun menimbulkan

suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan

untuk selalu berusaha dalam menghadapi halangan dan rintangan agar tercapai segala

hasrat dan keinginan.

Page 71: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

59

UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT

AYAM JAGO TERTIMPE BATU

PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT

NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris

ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris keempat terdiri

atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada pantun berikut.

U-deh pe-lan-pe-lan ter-sang-kut ka-wat

A-yam ja-go ter-tim-pe ba-tu

Pa-sang ke-pe-lan a-bang bi-ar ku-at

Nih- long-ka-in du-lu ja-wa-ra a-ye sa-tu per-sa-tu

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai

bentuk tantangan yang harus dilewati oleh mempelai pria. Penutur pantun

menggambarkan tantangan tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji

penglihatan terlihat pada kalimat “udeh pelan-pelan tersangkut kawat”, “ayam jago

tertimpe batu”, “pasang kepelan abang biar kuat”. Sedangkan penutur pantun

mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh pelan-pelan tersangkut kawat/

ayam jago tertimpe batu.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat terlihat pada baris pertama

terdapat kata “udeh”, baris kedua terdapat kata “tertimpe”, baris ketiga terdapat kata

“kepelan”, “abang”, dan baris keempat terdapat kata “longkain”, “jawara”, “aye”.

Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan

sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan

Page 72: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

60

kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar

dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau

irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun

menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana

terlihat di bawah ini.

Udeh pelan-pelan/ tersangkut kawat

Ayam jago/ tertimpe batu

Pasang kepelan abang/ biar kuat

Nih longkain dulu/ jawara aye satu persatu

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ diakhir baris pertama

dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ diakhir baris kedua

dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang.

Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan

rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria, sehingga

pendengar seakan-akan ikut menyaksikan rintangan tersebut. Sedangkan, penggunaan

kata konkret dalam pantun ini melukiskan beratnya rintangan yang harus dilalui oleh

mempelai pria.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.

Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Udeh pelan-pelan tersangkut kawat

Ayam jago tertimpe batu

Pasang kepelan abang biar kuat

Nih longkain dulu jawara aye satu persatu

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria

untuk melawan jawaranya satu persatu. Tantangan tersebut menimbulkan rasa tidak

Page 73: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

61

takut karena penutur pantun ingin mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh

mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang

sebagai bentuk persyaratan pertama yang harus dilalui oleh mempelai pria.

Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana

tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak

bersikap sombong meskipun mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang lain.

AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP

TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG

JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP

TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris

ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat

terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada kutipan berikut.

A-yam ja-go a-bang e-mang ca-kep

Ta-pi sa-yang ja-lan-nya ba-plang

Ja-go-an a-bang ke-lia-tan-nye ca-kep

Te-tep a-je a-ye- ba-ka-lan kem-plang

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sindiran sebagai bentuk

keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita, “ayam

jago abang emang cakep, tapi sayang jalannya baplang”. Kata-kata tersebut dipilih

penutur pantun sebagai bentuk sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini

dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat

“Ayam jago abang emang cakep”, “jalannya baplang”, “jagoan abang keliatannye

Page 74: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

62

cakep”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan

ayam jago abang emang cakep/ tapi sayang jalannya baplang.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“abang”, “emang”, “cakep”, baris kedua terdapat kata “baplang”, baris ketiga terdapat

kata “abang”, “keliatannye”, “cakep”, dan baris keempat terdapat kata “tetep”, “aje”,

“aye”, “bakalan”, “kemplang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui

dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah

kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan

bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun.

Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ayam jago abang/ emang cakep

Tapi sayang/ jalannya baplang

Jagoan abang/ keliatannye cakep

Tetep aje/ aye bakalan kemplang

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama

dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /g/ di akhir baris

kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi konsonan /p/ dan konsonan /g/ sebagai rima berselang menciptakan tidak takut

sehingga menimbulkan suasana yang tegang.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan keberanian mempelai pria untuk melawan jawara dari mempelai

wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian dari mempelai

pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan

ketidaktakutan mempelai pria dalam menghadapi tantangan dari mempelai wanita.

Page 75: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

63

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ayam jago abang emang cakep

Tapi sayang jalannya baplang

Jagoan abang keliatannye cakep

Tetep aje aye bakalan kemplang

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menyindir jawara dari

mempelai wanita dengan maksud untuk membuktikan keberaniannya, meskipun

lawannya terlihat lebih hebat. Keberaniannya tersebut menyebabkan rasa tidak takut

penutur pantun terhadap lawannya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan

nada menantang agar lawannya tidak berani menghadapi dirinya. Penggunaan nada

menatang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi

pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak memandang

sebelah mata kepada orang lain karena belum tentu kita lebih baik daripada orang itu.

SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT

SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN

JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT

COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri dari empat kata dengan jumlah sembilan

suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris

ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat

terdiri atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat

dibuktikan pada pantun berikut.

Se-mut rang-rang ka-ge ber-con-cot

Su-ka nge-ru-but-in ti-mun pu-an

Ja-di o-rang ja-ngan ba-nyak ba-cot

Page 76: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

64

Co-ba tun-juk-in a-bang pu-nye ke-mam-pu-an

Pada pantun ini penutur pantun juga menggunakan kata-kata menantang sebagai

bentuk kekesalan penutur pantun atas sikap dari mempelai pria. Penutur pantun

memilih kata “semut rangrang kage berconcot, suka ngerubutin timun puan” sebagai

bentuk sampiran. Dalam pantun ini penutur pantun menggunakan imaji penglihatan.

Imaji penglihatan terlihat pada kata-kata “semut rangrang kage berconcot”,

“ngerubutin timun puan”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini

dengan ungkapan semut rangrang kage berconcot/ ngerubutin timun puan.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“kage”, “berconcot”, baris kedua terdapat kata “ngerubutin”, baris ketiga terdapat

kata “bacot”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “punye”. Kata-kata tersebut

merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya

bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.

Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami

yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Semut rangrang/ kage berconcot

Suka ngerubutin/ timun puan

Jadi orang/ jangan banyak bacot

Coba tunjukin/ abang punye kemampuan

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar

perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada

menantang dan juga terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris kedua

dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi konsonan /t/ dan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa marah sehingga

menimbulkan suasana yang tegang.

Page 77: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

65

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita terhadap mempelai pria,

sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan dari jawara mempelai

wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan

ketidaksukaan jawara dari mempelai wanita atas sikap mempelai pria yang terlalu

banyak bicara.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.

Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Semut rangrang kage berconcot

Suka ngerubutin timun puan

Jadi orang jangan banyak bacot

Coba tunjukin abang punye kemampuan

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria

untuk menunjukkan ilmu bela dirinya. Hal ini dimaksudkan agar calon suami dari

mempelai wanita mampu melindungi calon istrinya. Namun, efek sindiran dari jawara

mempelai pria membuat penutur pantun menjadi marah karena penutur pantun hanya

melihat jawara dari mempelai pria terlalu banyak bicara tanpa adanya tindakan

apapun. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan pantun ini dengan

menggunakan nada menantang untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh

mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun

menimbulkan suasana yang tegang bagi pendengar. Amanat yang terkandung pada

pantun ini mengajarkan untuk sedikit berbicara banyak bekerja.

Page 78: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

66

MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA

NAEK GETEK KE RAWA BUAYE

CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA

MASIH CETEK BUAT AYE

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga

terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat terdiri atas

empat kata dengan jumlah delapan suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

Ma-kan kue- pu-tu di- ba-gi ti-ga

Na-ek ge-tek ke- Ra-wa Bu-a-ye

Cu-man se-gi-tu yang- en-te bi-sa

Ma-sih ce-tek bu-at a-ye

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai

gambaran atas ketidakpuasan penutur pantun terhadap ilmu bela diri yang dimiliki

oleh mempelai pria. Penutur pantun melukiskan ketidakpuasan tersebut dengan

menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “makan kue

putu di bagi tiga”, “naek getek ke Rawa Buaye”. Penutur pantun mengkonkretkan

pantun ini dengan ungkapan makan kue putu dibagi tiga/ naek getek ke Rawa Buaye.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat

kata “getek”, “Rawa Buaya”. Baris kedua terdapat kata “cuman”, “ente”, dan baris

keempat terdapat kata “cetek”, “aye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang

ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya

adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa

percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh

Page 79: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

67

penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu

karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Makan kue putu/ di bagi tiga

Naek getek/ ke Rawa Buaye

Cuman segitu/ yang ente bisa

Masih cetek/ buat aye

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi vokal /a/ dan /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa sombong sehingga

menimbulkan suasana yang kesal.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita atas kemampuan yang

dimiliki oleh lawannya, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan

yang dilakukan oleh jawara mempelai wanita untuk menjatuhkan lawannya.

Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidakpuasan

jawara mempelai wanita atas kemampuan dari mempelai pria.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.

Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Makan kue putu di bagi tiga

Naek getek ke Rawa Buaye

Cuman segitu yang ente bisa

Masih cetek buat aye

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang lawannya

karena ketidakpuasaanya dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawan.

Ketidakpuasaan tersebut menimbulkan rasa sombong penutur pantun karena

Page 80: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

68

kemampuan bertarung yang dimiliki lawan tidak sebanding dengan kemampuan yang

penutur pantun miliki. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir

untuk menjatuhkan lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur

pantun menimbulkan suasana kesal bagi pendengar. Pesan yang ingin disampaikan

pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak menilai rendah orang lain.

NONTON LENONG PERGI KE MONAS

TANPA ALAS KAKI PUN PANAS

BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS

GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku

kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga

terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas

enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

Non-ton le-nong per-gi ke- mo-nas

Tan-pa a-las ka-ki pun- pa-nas

Bang- ka-lo ngo-mong ja-ngan pa-nas-pa-nas

Gue- be-lah pa-la lu- ka-ya na-nas

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai

bentuk rasa sakit hatinya terhadap perkataan jawara dari mempelai wanita. Rasa sakit

hati penutur pantun dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan, dan imaji

pendengaran. Pada imaji penglihatan terlihat pada kalimat “nonton lenong pergi ke

Monas” dan imaji pendengaran terlihat pada kalimat “kalo ngomong jangan panas-

panas”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan

nonton lenong pergi ke Monas/ tanpa alas kaki pun panas.

Page 81: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

69

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan dan simile. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama

terdapat kata “lenong”, baris ketiga terdapat kata “bang”, “kalo”, “ngomong”, dan

baris keempat terdapat kata “gue”, “lu”, “kaya”. Kata-kata tersebut merupakan kata-

kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,

pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya

bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang

disampaikan oleh penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini

terdapat juga gaya bahasa simile. Gaya bahasa simile terlihat pada baris keempat ”gue

belah pala lu kaya nanas”. Di sini penutur pantun menunjukkan kesamaan membelah

kepala lawannya seperti membelah buah nanas. Selain itu, ritma atau irama dalam

pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua

frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di

bawah ini.

Nonton lenong/ pergi ke monas

Tanpa/ alas kaki pun panas

Bang/ kalo ngomong jangan panas-panas

Gue belah/ pala lu kaya nanas

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada marah dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di setiap akhir baris pantun.

Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan bunyi

konsonan /s/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa kesal sehingga menimbulkan

suasana takut.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan keinginan mempelai pria untuk membalas jawara dari mempelai

wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembalasan dari

mempelai pria tersebut. Selain itu, penggunaan imaji pendengaran mendengarkan

ucapan kasar yang terlontar dari mulut jawara mempelai wanita, sehingga seakan-

akan pendengar ikut mendengar ucapan-ucapan kasar tersebut. Sedangkan,

Page 82: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

70

penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa marah mempelai pria atas

sindiran dari jawara mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemarahan penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Nonton lenong pergi ke monas

Tanpa alas kaki pun panas

Eh bang kalo ngomong jangan panas-panas

Gue belah pala lu kaya nanas

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun sangat marah ketika

ditantang oleh lawannya karena kemampuan yang ia miliki tidak sebanding dengan

lawannya. Hal tersebut membuat penutur pantun menjadi kesal karena tersinggung

atas ucapan dari jawara mempelai wanita. Oleh karena itu, penutur pantun

menyampaikan pantun ini dengan menggunakan nada marah untuk membalas rasa

sakit hatinya. Penggunaan nada marah yang diciptakan penutur pantun menimbulkan

suasana takut bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk menjaga

ucapan dalam setiap perkataan karena perkataan yang tidak baik dapat menimbulkan

pertingkaian.

AYE KATE JUGA APE BANG

ADE LINTAH LAGI NGAMBANG

AYE KATE JUGA APE BANG

PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku

kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris

ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat

Page 83: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

71

terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada pantun berikut.

A-ye ka-te ju-ga ape- bang-

A-de lin-tah la-gi ngam-bang

A-ye ka-te ju-ga ape- bang-

Pa-tah deh- le-her ja-go-an a-bang

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata pengulangan “aye kate

juga ape bang” di baris pertama dan ketiga. Kata pengulangan ini dipilih penutur

pantun sebagai pembuktiannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penutur

pantun melukiskan kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji

penglihatan terlihat pada kata “ade lintah lagi ngambang”, “patah deh leher jagoan

abang”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan aye

kate juga ape bang/ ade lintah lagi ngambang.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan dan repetisi. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama

terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, baris kedua terdapat kata “ade”,

“ngambang”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, dan baris

keempat terdapat kata “abang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui

dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah

kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan

bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur

pantun. Selain itu, terdapat gaya bahasa repetisi dalam pantun ini. Hal itu dapat

dilihat pada pantun berikut.

Aye kate juga ape bang

Ade lintah lagi ngambang

Aye kate juga ape bang

Patah deh leher jagoan abang

Gaya bahasa repetisi pada pantun di atas terlihat di baris pertama dan ketiga

dengan kata “aye kate juga ape bang”. Di sini terjadi perulangan bunyi pada bagian

baris yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang

sesuai. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

Page 84: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

72

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Aye kate/ juga ape bang

Ade lintah/ lagi ngambang

Aye kate/ juga ape bang

Patah deh/ leher jagoan abang

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi konsonan /ang/ di akhir setiap baris

pantun. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan

bunyi konsonan /ang/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa sombong sehingga

menimbulkan suasana yang kesal.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan mempelai pria mengalahkan jawara dari mempelai wanita, sehingga

pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan mempelai pria dalam

mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Sedangkan penggunaan kata konkret

dalam pantun ini melukiskan kesombongan dari mempelai pria atas kemenangannya

melawan jawara mempelai wanita.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang kemenangan

penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Aye kate juga ape bang

Ade lintah lagi ngambang

Aye kate juga ape bang

Patah deh leher jagoan abang

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun merasa dirinya hebat

karena mampu mengalahkan lawannya dengan mudah. Namun, kemenangannya itu

menimbulkan rasa sombong karena menganggap dirinya mempunyai kemampuan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.

Page 85: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

73

Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir untuk meremehkan

lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan

suasana kesal terhadap pendengar. Amanat dalam pantun di atas adalah ajaran untuk

tidak merendahkan kemampuan orang lain.

ADE LINTAH MAKAN PEPAYE

LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN

WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE

AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku

kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga

terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris keempat terdiri

atas tujuh kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada

pantun berikut.

A-de lin-tah ma-kan pe-pa-ye

Lin-tah ma-tok di- bung-kus ka-en

Wa-lau-pun pa-tah le-her ja-go-an a-ye

A-ye ma-sih pu-nya stok- ja-go-an yang- la-en

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai cara

untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Cara yang digunakan penutur pantun

untuk mengalahkan lawannya dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan.

Imaji penglihatan terlihat pada kata “ade lintah makan pepaye”, “lintah matok

dibungkus kaen”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan pantun ini dengan

ungkapan ade lintah makan pepaye/ lintah mantok dibungkus kaen.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“ade”, “pepaye”, baris kedua terdapat kata “matok”, “kaen”, baris ketiga terdapat kata

Page 86: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

74

“aye”, dan baris keempat terdapat kata “aye”, “laen”. Kata-kata tersebut merupakan

kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,

pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya

bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang

disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ade lintah/ makan pepaye

Lintah matok/ di bungkus kaen

Walaupun/ patah leher jagoan aye

Aye/ masih punya stok jagoan yang laen

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada sombong dan terdapat persamaan bunyi vokal /e/ diakhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua

dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang.

Penggunaan bunyi vokal /e/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan

rasa optimis sehingga menimbulkan suasana yang takjub.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan ketidakputusasaan mempelai pria untuk mengalahkan lawannya,

sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan usaha yang dilakukan mempelai

pria untuk mengalahkan lawannya. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam

pantun ini melukiskan bentuk usaha dari mempelai pria untuk mengalahkan

lawannya,

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketidakputusasaan penutur

pantun. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut.

Ade lintah makan pepaye

Lintah matok di bungkus kaen

Page 87: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

75

Walaupun patah leher jagoan aye

Aye masih punya stok jagoan yang laen

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai cara lain

untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Usahanya tersebut menimbulkan rasa

optimis karena penutur pantun merasa yakin dapat mengalahkan lawannya dengan

mudah. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada sombong sebagai

usahanya untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Penggunaan nada sombong

yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar.

Amanat yang terkandung dalam pantun ini adalah ajaran untuk tidak menyerah,

karena masih banyak cara lain untuk menghadapi berbagai permasalahan.

ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN

TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU

WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN

AYE ADEPIN SATU PERSATU

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku

kata, baris kedua terdiri atas lima kata dan jumlah dua belas suku kata, baris ketiga

terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri

atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

kutipan berikut.

A-de lin-tah di- bung-kus ka-en

Ta-pi a-ye i-tung-in be-ri-bu sa-tu

Wa-lau-pun a-bang pu-nye ja-go-an yang- la-en

A-ye a-dep-in sa-tu per-sa-tu

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai

gambaran atas keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai

wanita. Keberanian tersebut dilukiskan penutur pantun dengan menggunakan imaji

penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “lintah dibungkus kaen”, “aye

Page 88: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

76

itungin beribu satu”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan

ungkapan ade lintah dibungkus kaen/ tapi aye itungin beribu satu.

Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah

gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama

terdapat kata “ade”, “kaen”, baris kedua terdapat kata “aye”, “itungin”, baris ketiga

terdapat kata “abang”, “punye”, “laen”, dan baris keempat terdapat kata “aye”,

“adepin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa

percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata

populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan

agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.

Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ade lintah/ di bungkus kaen

Tapi aye itungin/ beribu satu

Walaupun/ abang punye jagoan yang laen

Aye adepin/ satu persatu

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama

dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ di akhir baris kedua

dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi konsonan /n/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan rasa optimis

sehingga menimbulkan suasana yang takjub.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan keberanian mempelai pria dalam menghadapi jawara dari mempelai

wanita satu persatu, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian

dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini

melukiskan keberanian mempelai pria dalam menghadapi lawannya satu persatu.

Page 89: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

77

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur

pantun. Hal tersebut dapat dilihat pantun berikut.

Ade lintah di bungkus kaen

Tapi aye itungin beribu satu

Walaupun abang punye jagoan yang laen

Aye adepin satu persatu

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi

lawan-lawannya satu persatu. Keberanian tersebut menimbulkan rasa optimis karena

penutur pantun mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada kemampuan yang

dimiliki oleh lawannya, sehingga ia yakin mampu mengalahkan lawannya satu

persatu. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang untuk

menghadapi lawannya. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun

menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang terkandung dalam pantun

ini mengajarkan agar mampu menghadapi suatu permasalahan yang rumit, karena

setiap permasalahan akan terpecahkan apabila yakin dengan kemampuan diri sendiri.

BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP

KARENA BERGURU DI HAJI ABA

JAGOAN AYE EMANG NGETOP

LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN SABA

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga

terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri

atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

Page 90: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

78

Be-la-jar bek-si ja-ngan di- se-top

Ka-re-na ber-gu-ru di- ha-ji A-ba

Ja-go-an a-ye e-mang nge-top

Lan-ta-ran ber-gu-ru di- Pa-de-po-kan SA-BA

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan nama perguruan sebagai bentuk

kemenangannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Kemenangannya

tersebut ia raih karena berguru di Padepokan SABA. Penutur pantun melukiskan

kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat

pada kata “belajar beksi”, “berguru dihaji Aba”. Sedangkan penutur pantun

mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan belajar beksi jangan disetop/ karena

berguru di haji Aba.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama terdapat

kata “setop”, dan baris ketiga terdapat kata “aye”, “emang”, “ngetop”. Kata-kata

tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata

percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar paham

yang disampaikan oleh pengarang. Selain itu ritma atau irama dalam pantun ini

membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Belajar beksi/ jangan di setop

Karena berguru/ di haji aba

Jagoan aye/ emang ngetop

Lantaran berguru/ di Padepokan SABA

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada senang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan

bunyi konsonan /p/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa bangga

sehingga menimbulkan suasana kagum.

Page 91: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

79

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan kemenangan mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA,

sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan penutur pantun

tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa

bangga mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemenangan penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Belajar beksi jangan di setop

Karena berguru di haji aba

Jagoan aye emang ngetop

Lantaran berguru di Padepokan SABA

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai kemampuan

yang hebat sehingga mampu mengalahkan lawannya. Kemampuan tersebut ia raih

karena berguru di Padepokan SABA, sehingga penutur pantun menunjukkan

kemenangannya tersebut dengan mengungkapkan rasa bangga karena penutur pantun

ingin membuktikan kepada orang lain bahwa kemampuan yang ia raih berguru di

Padepokan SABA. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada senang saat

berhasil mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penggunaan nada senang yang

diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kagum bagi pendengar. Amanat

pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak berhenti mencari ilmu dan tidak

mudah puas dengan kemampuan yang dimiliki sekarang.

Page 92: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

80

IKAN GURAME ELU SIANGIN

KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA

SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN

TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh

suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris

ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat

terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat

pada pantun berikut.

I-kan gu-ra-me e-lu si-ang-in

Ka-lo u-deh tar- gua- yang- ba-wa

Sa-rat per-ta-me bo-leh u-dah lu- pe-nuh-in

Ta-pi ma-sih a-de sa-rat yang- ke-dua

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik. Penggunaan

Kata-kata unik tersebut sebagai bentuk permintaan penutur pantun mengenai syarat

yang kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria. Penutur pantun menggambarkan

permintaannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat

pada kata “ikan gurame elu siangin”, “kalo udeh tar gua yang bawa”. Sedangkan

penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ikan gurame elu

siangin/ kalo udeh tar gua yang bawa.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“elu”, baris kedua terdapat kata “kalo”, “udeh”, “tar”, “gua”, baris ketiga terdapat

kata “sarat”, “pertame”, “udah”, “lu”, dan baris keempat terdapat kata “ade”,

“syarat”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa

percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata

populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan

Page 93: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

81

agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.

Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Ikan gurame/ elu siangin

Kalo udeh/ tar gua yang bawa

Sarat pertame/ boleh udah lu penuhin

Tapi/ masih ade sarat yang kedua

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan inilah disebut dengan rima berselang. Penggunaan bunyi

konsonan /n/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak puas

sehingga menimbulkan suasana kecewa.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan suatu permintaan berupa pembacaan ayat suci Al-qur’an yang harus

dipenuhi oleh mempelai pria sebagai syarat kedua, sehingga pendengar seakan-akan

ikut menyaksikan permintaan dari orang tua mempelai wanita tersebut. Sedangkan

penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan dari orang tua

mempelai wanita mengenai syarat kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan permintaan penutur

pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Ikan gurame elu siangin

Kalo udeh tar gua yang bawa

Sarat pertame boleh udah lu penuhin

Tapi masih ade sarat yang kedua

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan

kedua kepada mempelai pria sebagai bukti keseriusannya untuk meminang mempelai

Page 94: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

82

wanita, dengan penutur pantun meminta persyaratan yang kedua menimbulkan rasa

tidak puas karena penutur pantun merasa bukti keseriusan dari mempelai pria masih

kurang. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta untuk bukti

keseriusan dari mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur

pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Amanat dalam pantun tersebut

adalah mengajarkan untuk tidak boleh merasa puas terhadap sesuatu yang telah

diraih, karena masih banyak rintangan lainnya yang harus dilewati.

BURUNG DARA BURUNG KENARI

RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI

SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI

CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan

suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris

ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat

terdiri atas delapan kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat

dilihat pada pantun berikut.

Bu-rung da-ra bu-rung ke-na-ri

Ren-dah ter-bang-nye di- pu-un kra-nji

Se-la-en bi-sa bu-at ja-ga di-ri

Ca-lon man-tu ju-ra-gan aye- ju-ga ha-rus bi-sa nga-ji

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis. Penggunaan

Kata-kata puitis ini dipilih oleh penutur pantun sebagai bentuk permintaan yang

menginginkan calon menantunya untuk dapat mengaji. Penutur pantun

menggambarkan permintaannya tersebut, penutur pantun menggunakan imaji

penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “burung dara burung kenari”,

“rendah terbangnye di puun kranji”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan

Page 95: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

83

pantun ini dengan ungkapan burung dara burung kenari/ rendah terbangnye di puun

kranji.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“terbangnye”, “puun”, baris ketiga terdapat kata “selaen”, dan baris keempat terdapat

kata “mantu”, “aye”, “ngaji”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui

dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah

kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan

bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur

pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Burung dara/ burung kenari

Rendah terbangnye/ di puun kranji

Selaen bisa/ buat jaga diri

Calon mantu/ juragan aye juga harus bisa ngaji

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di setiap akhir baris pantun.

Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. penggunaan bunyi vokal

/i/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa tidak puas sehingga menimbulkan

suasana kecewa.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan suatu permintaan orang tua dari mempelai wanita kepada mempelai

pria untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sehingga pendengar seakan-akan

ikut menyaksikan permintaan orang tua dari mempelai wanita tersebut. Sedangkan

penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan orang tua dari

mempelai wanita kepada mempelai pria untuk mengaji.

Page 96: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

84

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam ini mengambarkan permintaan penutur pantun. Hal itu

dapat dilihat pada pantun berikut.

Burung dara burung kenari

Rendah terbangnye di puun kranji

Selaen bisa buat jaga diri

Calon mantu juragan aye juga harus bisa ngaji

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan

kedua kepada calon mempelai pria berupa kefasihannya dalam mengaji karena

penutur pantun berharap mempunyai calon menantu yang mampu melindungi

anaknya dan membawa anaknya menuju jalan yang dirodhoi oleh Allah SWT.

Namun, Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa tidak puas karena

penutur pantun menginginkan calon menantu yang mampu melindungi anaknya dan

membawa anaknya ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, penutur

pantun menggunakan nada meminta saat menginginkan calon menantunya mengaji.

Penggunaan nada meminta yang dipilih penutur pantun menimbulkan suasana kecewa

bagi pendengar. Amanat pantun di atas mengajarkan untuk selektif dalam memilih

pasangan.

KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI

GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN

NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI

NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN

1. Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas

suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris

Page 97: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

85

ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah lima belas suku kata, dan baris keempat

terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan

pada pantun berikut.

Ka-lo ma-o mo-tong ke-lam pa-ke ger-ga-ji

Ger-ga-ji-nya ku-du di-ta-jem-in

Na-ma-nya o-rang is-lam e-mang ha-rus bi-sa nga-ji

Nih- mu-rid-nya nga-ji e-lu de-nger-in

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana sebagai

bentuk pembuktian kepada calon mertua bahwa calon menantunya mempunyai

seorang murid yang dapat mengaji. Pembuktian tersebut digambarkan dengan

menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan dapat terlihat pada kata “kalo mao

motong kelam pake gergaji”, “gergajinya kudu ditajemin”. Sedangkan penutur pantun

mengkonkretkan dengan ungkapan kalo mao motong kelam pake gergaji/ gergajinya

kudu ditajemin.

Adapun gaya bahasa yang dipergunakan pada pantun ini adalah gaya bahasa

percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kalo”,

“mao”, “motong”, “pake”, baris kedua terdapat kata “kudu”, “ditajemin”, baris ketiga

terdapat kata “emang”, “ngaji”, dan baris keempat terdapat kata “ngaji”, “elu”,

“dengerin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa

percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata

populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan

agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu,

ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris

pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda.

Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Kalo/ mao motong kelam pake gergaji

Gergajinya/ kudu ditajemin

Namanya orang islam/ emang harus bisa ngaji

Nih muridnya ngaji/ elu dengerin

Pada kutipan pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu,

penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk

Page 98: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

86

menghasilkan nada bangga dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di akhir baris

pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir

baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang.

Penggunaan bunyi vokal /i/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan

rasa senang sehingga menimbulkan suasana kagum.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan kefasihan mempelai pria membacakan ayat-ayat suci Al-qur’an,

sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembacaan ayat-ayat suci Al-

qur’an tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan

kefasihan mempelai pria mengaji.

2. Analisis Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang keagamaan. Hal

itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Kalo mao motong kelam pake gergaji

Gergajinya kudu ditajemin

Namanya orang islam emang harus bisa ngaji

Nih muridnya ngaji elu dengerin

Pada pantun di atas menunjukkan bahwa penutur pantun membuktikan kepada

calon mertuanya kemahiran muridnya dalam mengaji karena mengaji merupakan

salah satu syari’at islam. Menunjukkan kemahirannya dalam mengaji menimbulkan

rasa senang karena penutur pantun membuktikan kepada semua orang bahwa orang

islam mampu membaca Ayat-ayat suci Al-qur’an. Sehingga, penutur pantun

menggunakan nada bangga saat membuktikan kefasihannya dalam mengaji.

Penggunaan nada bangga yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana

kagum bagi pendengar. Amanat pada pantun tersebut mengajarkan kita sebagai orang

muslim untuk dapat mengaji agar kelak dapat menuntun ke jalan yang ridhoi Allah

SWT.

Page 99: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

87

C. Pantun Penutup

Pada bagian penutup berisikan tentang harapan-harapan dari kedua mempelai pria

dan mempelai wanita. Harapan tersebut bertujuan untuk menyatukan kedua pihak

keluarga dalam satu ikatan pernikahan.

KAGA PUNTUNG KAGA BENDO

BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA

ADA UNTUNG ADA JODO

KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan

suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris

ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat

terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada

pantun berikut.

Ka-ga pun-tung ka-ga ben-do

Ba-jang-ba-jang di- pu-un ka-ra

A-da un-tung a-da jo-do

Ki-ta pan-jang-pan-jang sa-nak so-da-ra

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai

gambaran untuk mempererat tali persaudaraannya kepada mempelai pria. Gambaran

tersebut dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat

pada kata “kaga puntung kaga bendo”, “bajang-bajang di puun kara”. Sedangkan

penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan kaga puntung kaga

bendo/ bajang-bajang di puun kara.

Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya

bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata

“kaga”, baris kedua terdapat kata “puun”, baris ketiga terdapat kata “jodo”, dan baris

keempat terdapat kata “sodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui

Page 100: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

88

dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah

kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan

bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur

pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Kaga puntung/ kaga bendo

Bajang-bajang/ di puun kara

Ada untung/ ada jodo

Kita panjang-panjang/ sanak sodara

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan

keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi

vokal /o/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga

menimbulkan suasana yang gembira.

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan keinginan keluarga dari mempelai wanita untuk mempererat tali

persaudaraan kepada keluarga dari mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan

ikut menyaksikan keinginan keluarga mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan

kata konkret dalam pantun ini melukiskan harapan keluarga dari mempelai wanita

untuk mempererat tali persaudaraan kepada keluarga mempelai pria.

2. Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persaudaraan. Hal tersebut

dapat dilihat pada pantun berikut.

Kaga puntung kaga bendo

Bajang-bajang di puun kara

Ada untung ada jodo

Kita panjang-panjang sanak sodara

Page 101: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

89

Pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun berharap dapat mempererat dan

memperpanjang tali persaudaraan dengan menerima mempelai pria sebagai calon

menantunya. Penerimaan tersebut menimbulkan rasa senang karena penutur pantun

telah memilih pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Sehingga, penutur pantun

menggunakan nada meminta sebagai bentuk mempererat tali persaudaraan.

Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana

gembira bagi pendengar. Pesan yang terkandung pada pantun ini adalah ajaran dalam

mencari pasangan, karena dalam mencari pasangan merupakan salah satu usaha untuk

mempererat dan memperpanjang tali sirahturrahmi.

GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI

ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA

BIAR PUTUS AER DI KALI

JANGAN PUTUS KITA BERSODARA

1. Analisis Struktur Fisik

Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat

merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku

kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga

terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat terdiri atas

empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada

pantun berikut.

Gu-nung me-le-tus di- Me-dan De-li

A-sep-nya ke-lu-ar sam-pe mu-a-ra

Bi-ar pu-tus aer- di- ka-li

Ja-ngan pu-tus ki-ta ber-so-da-ra

Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sederhana sebagai bentuk

balasan permintaan dari keluarga mempelai wanita. Bentuk permintaan tersebut

berupa keinginan untuk mempererat tali sirahturrahmi meskipun sanak saudara telah

tiada. Oleh karena itu, penutur pantun melukiskan permintaan tersebut dengan

Page 102: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

90

menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “gunung

meletus di Medan Deli”, “asepnya keluar sampe muara”. Sedangkan penutur pantun

mengkonkretkan dengan ungkapan gunung meletus di Medan Deli/ asepnya keluar

sampe muara.

Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah

gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat

kata “sampe”, baris ketiga terdapat kata “aer”, dan baris keempat terdapat kata

“bersodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa

percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata

populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan

agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.

Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena

pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan

tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.

Gunung meletus/ di Medan Deli

Asepnya keluar/ sampe muara

Biar putus/ aer di kali

Jangan putus/ kita bersodara

Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur

pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan

nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan

ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ diakhir baris kedua dan

keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi

vokal /i/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga

menimbulkan suasana yang gembira .

Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan

menggambarkan keinginan mempelai pria untuk tetap menjaga hubungan

persaudaraan, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan permintaan dari

mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini

Page 103: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

91

melukiskan keinginan mempelai pria untuk menjaga hubungan persaudaraan dengan

keluarga mempelai wanita.

2. Struktur Batin

Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang persaudaraan. Hal

itu dapat dilihat pada pantun berikut.

Gunung meletus di Medan Deli

Asepnya keluar sampe muara

Biar putus aer di kali

Jangan putus kita bersodara

Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta kepada

mempelai wanita untuk tetap menjalin tali persaudaraan meskipun sanak saudara

sudah tiada. Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa senang karena

penutur pantun ingin menjalin tali persaudaraan dengan keluarga mempelai wanita.

Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bentuk ikatan

persaudaraan. Penggunaan nada meminta tersebut menimbulkan suasana gembira

bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun tersebut mengajarkan untuk tetap

menjaga tali sirahturrahmi kepada sanak saudara, meskipun mereka telah tiada.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP

Sesuai dengan amanat kurikulum 2006, pembelajaran sastra hendaknya digunakan

peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang hayat

yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman. Oleh

karena itu, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis,

dan menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak

melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya saja, tetapi langsung berhadapan

dengan karya sastranya. Mereka memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra

bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung memahami sendiri melalui

berhadapan dan membaca langsung karya sastranya.

Page 104: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

92

Berdasarkan penjelasan di atas, hal tersebut sesuai dengan yang diajarkan pada

kelas VIII SMP melalui Standar Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu:

Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi. Sedangkan,

Kompetensi Dasar (KD): 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi.

Dengan indikator sebagai berikut.

1. Mampu menyebutkan struktur fisik dari puisi.

2. Mampu menyebutkan struktur batin dari puisi.

Oleh karena itu, pengetahuan, pengenalan dan penguasaan terhadap ciri dan

bentuk puisi sangat penting. Penguasaan terhadap hal ini akan memudahkan peserta

didik membaca, menilai, dan memahami makna sebuah puisi. Dengan demikian,

pengetahuan tentang puisi secara lengkap akan membantu peserta didik dalam

memahami makna yang terkandung di dalam puisi yang dibacanya.

Pada penelitian ini puisi yang digunakan adalah pantun pada seni budaya palang

pintu Betawi. Penggunaan pantun ini dapat memudahkan peserta didik dalam

membaca, menilai dan memahami makna secara mendalam. Selain itu, penelitian ini

mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan membanggakan sastra Indonesia

sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal

kebudayaan Betawi. Kemudian, penelitian ini juga dapat menambah wawasan dalam

bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi.

Penelitian terhadap struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat

dijadikan sebagai objek dalam pembelajaran tentang puisi lama. Pantun ini

menggunakan bahasa sehari-hari yang unik dan mudah dimengerti oleh peserta didik,

sehingga dapat memudahkan peserta didik dalam memahami pantun. Selain itu,

penelitian ini mengajak peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra dengan

berbagai pendekatan, khususnya pendekatan struktural. Pendekatan struktural ini

memberikan gambaran kepada peserta didik dalam upaya merangsang minat peserta

didik dalam menganalisis struktur fisik dan struktur batin pantun. Berdasarkan

penelitian ini peserta didik dapat membedakan struktur fisik dan struktur batin yang

terdapat dalam pantun. Pemahaman peserta didik terhadap pantun berdasarkan

Page 105: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

93

analisis struktur fisik dan struktur batin memberikan wawasan pemahaman terhadap

pantun.

Page 106: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

94

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan pada bab III tentang

struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap

pembelajaran sastra di SMP maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut.

1. Tipografi yang terdapat dalam pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris.

Diksi yang digunakan penyair dalam pantun ini menggunakan kata-kata yang

sederhana, puitis, unik, sindiran, menantang dan mudah dimengerti oleh

pendengar. Imaji dalam pantun ini meliputi: imaji penglihatan dan pendengaran.

Kata konkret dilukiskan dengan bahasa kiasan. Gaya bahasa yang terdapat dalam

pantun ini adalah gaya bahasa percakapan, repetisi, dan simile. Ritma atau irama

dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa membentuk ritma yang padu yang

berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Rima dalam pantun ini adalah

rima berselang dan rima berangkai. Tema yang diangkat dalam pantun ini adalah

penyambutan tamu, perjuangan, kemarahan, kemenangan, persaudaraan serta

keagamaan. Rasa yang diungkapkan dalam pantun ini, meliputi: Rasa senang,

bangga, optimis, marah dan sombong. Nada pantun ini terdapat nada menerima,

meminta, mengusir dan menantang. Nada bertujuan untuk menimbulkan suasana

senang, takjub, kagum, gembira, kesal dan kecewa. Amanat dalam pantun ini

mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan.

2. Pembahasan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi ini dapat

memenuhi Kompetensi Dasar, yaitu mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku

antologi puisi. Pada penelitian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat

memudahkan peserta didik dalam membaca, menilai dan memahami makna

secara mendalam. Selain itu, pantun ini juga dapat mengajak peserta didik untuk

mengapresiasi karya sastra dengan berbagai pendekatan, khususnya pendekatan

struktural. Kemudian, mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan

Page 107: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

95

membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual

manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan penelitian ini dapat

menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi.

B. Saran

1. Penelitian ini hanya baru sampai merancang bahan ajar hasil analisis struktur

pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. Oleh karena itu, disarankan adanya

upaya tindak lanjut untuk mengujicobakan hasil penelitian ini. Uji coba ini dapat

dilakukan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang berminat terhadap

apresiasi sastra.

2. Penelitian ini perlu dilakukan analisis semiotik terhadap pantun pada seni budaya

palang pintu Betawi.

Page 108: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

96

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Adriyetti. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI. 2013.

Arifin, Bustanul, dkk. Menyimak. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008.

Chaer, Abdul. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta:

Masup Jakarta. 2012.

Danandjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002.

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013.

Grijns, C.D. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991.

Hamdani, Mayang, dkk. Kesastraan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987.

Harapan, Anwarudin. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. Jakarta: Asosiasi Pelatih

Pengembangan Masyarakat. 2006.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

2012.

Laksono, Kisyani, dkk. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008.

Luxemburg, Jan van, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de

Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. 1984.

Mahayana, Maman, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan

Sejarah Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. Jawa Barat: Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata. 2008.

Mahayana, Maman. “Pantun sebagai Potret Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan

Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”. Jurnal Kritik. Vol. 04. 2013. h.

85-100.

Page 109: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

97

Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2013.

Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. 2000.

Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2011.

Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000.

Puspitasari, Siti Rojab Dian. “Pantun Betawi dalam Siaran Bensradio: Tinjauan

Fungsi dan Amanat”. Skripsi pada Sarjana Universitas Indonesia (UI). Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya. 2008.

Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007.

Rahmanto, Bernardus . Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Sari, Rostina. “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam Tayangan Pesbukers di

Antv Tahun 2013”. Skripsi pada Sarjana Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. 2014.

Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya Padang. 1988.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah

University Press. 2002.

________. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Pelajar. 2010.

Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan.

Bandung: PT Refika Aditama. 2014.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. 1991.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 2011.

Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara

di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010.

Page 110: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

98

________________________________. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta:

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012.

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan

Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2012.

Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1987.

WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa. 2012.

Page 111: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

( RPP )

Sekolah : MTs Negeri 3 Jakarta

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas / Semester : VIII / 2

Alokasi Waktu : 2 X 40 ( 1x pertemuan )

Standar Kompetensi : Membaca

7. Memahami buku novel remaja (asli atau

terjemahan) dan antologi puisi

Kompentensi Dasar : 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku

antologi puisi

Indikator :

1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi.

2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah pembelajaran ini berakhir diharapkan:

1. Peserta didik mampu mendata hal-hal yang bersifat khusus dari puisi-puisi

dalam antologi.

2. Peserta didik mampu mengidentifikasi ciri-ciri umum puisi yang terdapat

didalam antologi puisi.

Karakter siswa yang diharapkan :

- Dapat dipercaya

- Rasa hormat dan perhatian

- Tekun

- Tanggung jawab

- Berani

Page 112: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

B. Materi Pembelajaran

Pengenalan ciri-ciri umum puisi

C. Metode Pembelajaran

- Ceramah

- Tanya jawab

- Latihan

D. Langkah-langkah Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi

Waktu

Pendahuluan Mengondisikan kelas untuk belajar.

Guru mengajak semua siswa berdo’a

Guru melakukan komunikasi tentang

kehadiran siswa

Guru menjelaskan standar kompetensi,

kompetensi dasar, indikator dan tujuan

pembelajaran

Apersepsi :

Guru memperlihatkan video pembacaan puisi

Memotivasi :

Guru memotivasi siswa dengan mengulas

pembelajaran sebelumnya

Kegiatan Inti Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi, guru:

Menggunakan beragam pendekatan

pembelajaran, media pembelajaran, dan

sumber belajar lain.

Menjelaskan kepada siswa tentang materi

pembelajaran.

Page 113: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Melibatkan peserta didik secara aktif dalam

setiap kegiatan pembelajaran.

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi, guru:

Memutarkan video pembacaan puisi

Meminta kepada siswa untuk mengamati dan

memahami video pembacaan puisi tersebut

Meminta kepada siswa mengidentifikasi ciri-

ciri umum puisi yang terdapat dalam antologi

puisi

Meminta kepada siswa untuk membuat

kesimpulan tentang ciri-ciri umum puisi dan

hal-hal yang bersifat khusus dalam antologi

puisi

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, guru

Memberikan umpan balik positif dan

penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, maupun

hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.

memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh

pengalaman yang bermakna dalam mencapai

kompetensi dasar:

Membantu menyelesaikan masalah;

Memberikan motivasi kepada peserta didik

yang kurang atau belum berpartisipasi

aktif.

Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang

belum diketahui siswa.

Guru bersama siswa bertanya jawab

meluruskan kesalahan pemahaman,

Page 114: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

memberikan penguatan dan penyimpulan.

Kegiatan

Akhir

Dalam kegiatan penutup, guru:

Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau

sendiri membuat rangkuman/simpulan

pelajaran;

Melakukan penilaian dan/atau refleksi

terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan

secara konsisten dan terprogram;

Guru menutup kegiatan pembelajaran dengan

mengucapkan salam

E. Media Pembelajaran

1. Media

a. Power point

b. Video

2. Alat

a. Komputer

b. LCD Projector

c. Speaker

F. Sumber Pembelajaran

1. Buku paket Bahasa Indonesia

2. Buku referensi / materi lain yang sesuai dengan mata pelajaran yang

diajarkan

3. Kumpulan pantun Betawi

Page 115: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

G. Penilaian

Penilaian proses dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung

Indikator Pencapaian

Kompetensi

Penilaian

Teknik

Penilaian

Bentuk

Penilaian Instrumen

Disajikan sebuah puisi

siswa mampu mendata

hal-hal yang bersifat

khusus dari puisi-puisi

dalam antologi

Disajikan sebuah puisi

siswa mampu

mengidentifikasi ciri-

ciri umum puisi yang

terdapat didalam

antologi puisi.

Tes tertulis

Tes tertulis

Essai

Essai

Temukanlah hal-

hal yang bersifat

khusus dari puisi-

puisi dalam

antologi!

Temukalah ciri-

ciri umum puisi

yang terdapat

didalam antologi

puisi!

Penilaian membaca puisi

No. Aspek yang dinilai Skor Skor

Maksimum

1. Menemukan tipografi 1

2. Menemukan diksi 1

3. Menemukan pencintraan 1

1. Menemukan gaya bahasa 1

2. Menemukan rima 1

6. Menemukan tema 1

7. Menemukan rasa 1

8. Menemukan nada 1

9. Menemukan amanat 2

Page 116: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

10. Menemukan hal-hal khusus dari

puisi

5

Jumlah Skor Maksimum 15

Penilaian = Jumlah skor maksimum x 2 = 10

3

Kunci Jawaban

No. Pantun 1 Pantun 2 Skor

Maksimum

1. Tipografi terdiri atas empat

larik. Dua larik pertama

merupakan sampiran,

sedangkan dua larik kedua

merupakan isi.

Tipografi terdiri atas empat larik.

Dua larik pertama merupakan

sampiran sedangkan dua larik

kedua merupakan isi.

1

2. Diksi yang digunakan

bermakna konotatif atau

bukan makna sebenarnya

karena tidak mungkin

seseorang ditiup sampai

meriang, hal tersebut hanya

bersifat menghina.

Diksi yang digunakan bermakna

konotatif atau bukan makna yang

sebenarnya karena tidak mungkin

seseorang dapat menendang

seekor kerbau ke atap rumah, hal

tersebut hanya bersifat marah.

B

1

3. Citraan yang digunakan

penglihatan

Citraan yang digunakan

penglihatan

1

4. Gaya bahasa yang

digunakan majas

personifikasi yang terdapat

pada larik kedua.

Gaya bahasa yang digunakan

majas repetisi yang terdapat

pengulangan pada larik kedua dan

keempat.

1

5. Rima yang digunakan rima Rima yang digunakan rima 1

Page 117: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

berselang, yaitu a-b-a-b. berangkai, yaitu a-a-a-a.

6. Tema pada pantun tersebut

tentang penghinaan

seseorang

Tema pada pantun tersebut

tentang seseorang membanggakan

dirinya.

1

7. Perasaan yang disampaikan

penutur, yaitu perasaan

kesal.

Perasaan yang disampaikan

penutur, yaitu perasaan marah.

1

8. Nada yang digunakan pada

pantun tersebut bernada

menghina

Nada yang digunakan pada

pantun tersebut bernada

sombong.

1

9. Amanat yang terdapat pada

pantun mengajarkan untuk

tidak menghina orang lain.

Amanat yang terdapat pada

pantun mengajarkan untuk tidak

merendahkan orang lain.

2

10.

- Menggunakan bahasa

sehari-hari

- Mudah dipahami

- Terdapat nilai moral di

dalam pantun tersebut.

- Menggunakan bahasa sehari-

hari

- Mudah dipahami

- Terdapat nilai moral di dalam

pantun tersebut.

5

Penilaian sikap dalam pelajaran membaca

No. Nama

Siswa

Kemampuan Membaca

Nilai

K

e

t

Dapat

dipercaya

Rasa

hormat dan

perhatian

Tekun Tanggung

Jawab Berani

1.

2.

3.

Page 118: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Dst.

Catatan :

a. Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.

1 = sangat kurang

2 = kurang

3 = sedang

4 = baik

5 = amat baik

b. Nilai merupakan jumlah dari skor-skor tiap indikator.

c. Keterangan diisi dengan kriteria berikut.

1) Nilai 18-20 berarti amat baik

2) Nilai 14-17 berarti baik

3) Nilai 10-13 berarti sedang

4) Nilai 6-9 berarti kurang

5) Nilai 0-5 berarti sangat kurang

Jakarta, 16 April 2015

Mengetahui,

Guru Pamong Guru Mata Pelajaran

Dra. Jayuni Indah Wardah

NIP. 196310201993032001 NIM.1111013000039

Page 119: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

LATIHAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 3 JAKARTA 2014/2015

Nama : Kelas :

Pilihlah salah satu puisi (pantun) berikut ini!

Pantun 1

Pohon cemara batangnya lurus

Ketiup angin pohon bergoyang-goyang

Abang punya jawara badannya kurus

Aye tiup juga dia meriang

Pantun 2

Biar kurus-kurus gue centeng

Tujuh hari tujuh malem betapa di genteng

Biar kate gue kurus jangan anggap enteng

Kebo gue tending nyangsang di genteng

No. Aspek yang dinilai Jawaban Skor

Maksimum

1. Temukanlah tipografi pada pantun

diatas!

1

2. Temukanlah diksi pada pantun

diatas!

1

3. Temukanlah citraan pada pantun

diatas!

1

4. Temukanlah gaya bahasa pada

pantun diatas!

1

5. Temukanlah rima pada pantun

diatas!

1

6. Temukanlah tema pada pantun

diatas!

1

7. Temukalah rasa pada pantun diatas!

1

8. Temukanlah nada pada pantun

diatas!

1

9. Temukanlah amanat pada pantun

diatas!

2

Page 120: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

10. Apa hal-hal khusus (menarik) yang

terdapat di pantun tersebut?

5

Page 121: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

DATA HASIL WAWANCARA

Waktu : Kamis, 22 Januari 2015

Tempat : Sanggar Seni dan Kebudayaan Betawi SABA Pusat dan Cabang

Pewawancara : Menurut abang, apa arti dari palang pintu?

Narasumber : Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan

mempunyai tantangan dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan

tantangan dari ujian tersebut, dapat dikatakan pantas untuk melakukan

pernikahan bagi kedua mempelai. Nah, jadi palang pintu itu berisi

tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai

wanita dan mempelai pria.

Pewawancara : Sejak kapan ada tradisi buka palang pintu ditanah Betawi?

Narasumber : Untuk sejarahnya, saya tidak tahu. Saya rasa mungkin zaman

Belanda juga ada. Tapi namanya “ngerudat” artinya itu dari pihak

mempelai wanita bertarung dengan mempelai pria. Ada istilah palang

pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai perjuangan dalam

pernikahan.

Pewawancara : Bagaimana urutan untuk buka palang pintu?

Narasumber : Pertama, pihak laki-laki diiringi alat kecipring, kalau sekarang

memakai marawis diiringi lagu islami. Kedua, mengucapkan salam.

Ketiga, adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan

terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud

kedatangan rombongan tersebut. Kemudian terjadi tanya-jawab dalam

bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta dua syarat yang harus

dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para jawara yang

menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji.

Pewawancara : Apa persyaratan agar dapat memainkan palang pintu sanggar SABA?

Page 122: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Narasumber : Tidak ada persyaratan semua orang bisa memainkan palang pintu.

Bahkan anak kecil usia 5 tahun bisa memainkan palang pintu.

Pewawancara : Apa tarian yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar

SABA?

Narasumber : Beksi

Pewawancara : Arti dari beksi sendiri itu apa?

Narasumber : Beksi itu artinya pertahanan dari empat penjuru atau beksi juga

berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan

Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak

terlihat dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel.

Adapun untuk jurus-jurusnya, kami memakai sembilan jurus, seperti:

1. Jurus beksi dasar (pembuka)

Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka

pukulan dengan tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan

kiri dan tepak sikut ke depan. Setiap jurus menggunakan hentakkan

kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan mematahkan tangan.

2. Jurus oleng badan

Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk

sebuah sikut diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk

menghindari serangga.

3. Jurus junjung (tunjangan langit)

Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini

menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan

penyerangan lawan.

4. Jurus rambet

Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan

disertai dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan

tangan lawan disertai dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar

lawan tidak menyerang.

Page 123: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

5. Jurus gedor

Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut

atau tangan. Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi

dengan menggunakan gerakan gedor di ulu hati.

6. Jurus broneng

Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk

menjepit, mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini

bisa melawan lebih dari satu orang lawan.

7. Jurus lokbe (cabut pisau)

Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah

kiri dan kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir

lawan dibarengi mencabut pisau dan diarahkan ke lawan.

8. Jurus cauk debug

Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak

tangan. Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah

untuk melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus

tidak sportif, jurus ini berfungsi untuk mempertahankan diri dimana

saat kondisi terdesak baik debu atau pasir dilemparkan ke mata lawan

untuk membela diri.

9. Jurus loseng

Jurus loseng merupakan jurus yang di arahkan ke bagian kaki lawan.

Jurus ini berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun

dalam posisi berdiri, dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan

tubuh lawan.

Pewawancara : Selain pernikahan adat Betawi, palang pintu biasanya digunakan

dalam acara apa?

Narasumber : Acara sambutan penjabat, acara pembukaan gedung dan kesenian

Betawi.

Page 124: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Pewawancara : Untuk pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar

SABA berasal darimana?

Narasumber : Pantunnya sendiri berasal dari karya ciptaan saya sendiri, internet dan

buku-buku pantun palang pintu.

Pewawancara : Berapa jumlah pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu

sanggar SABA?

Narasumber : Jumlah pantunnya sekitar kurang lebih 20an pantun.

Pewawancara : Apa ciri khas pantun dalam palang pintu sanggar SABA?

Narasumber : Adanya kesamaan akhir ab-ab, aa-aa.

Pewawancara : Pertanyaan terakhir, Apa harapan abang untuk para generasi penerus

budaya Betawi?

Narasumber : Harapan saya agar orang Betawi mempunyai nilai-nilai budaya

Betawi tinggi dan orang Betawi jangan selalu terpinggirkan artinya

orang Betawi bisa menjadi seorang pemimpin di tanahnya sendiri.

Page 125: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

SKRIP PALANG PINTU SABA

TAMU

ASSALAMU’ALAIKUM…

TUAN RUMAH

WA’ALAIKUM SALAM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

TAMU

METIK CEREME RAME-RAME..

TUAN RUMAH

SIAPA ITU RAME-RAME ???

TAMU

TAMU BARU NYAMPE…

TUAN RUMAH

OH…ADA TAMU BARU NYAMPE..

UDEH TERSANGKUT PAKU

MALAH TERTIMPA DURI…

KALAU AYE BOLEH TAU

APE TUJUAN ABANG DATENG KE MARI ???

TAMU

OH..ABANG MAU TAU MAKSUD TUJUAN AYE DATENG KE MARI ???

BEGINI BANG !!! BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM

BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI …

KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM

BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI…

TUAN RUMAH

OH MAKSUD TUJUAN ABANG DATENG KEMARI LANTARAN

PERAWAN AYE YANG MANIS ???

TAMU

IYE BANG..

TUAN RUMAH

EH DENGERIN NI BANG…

TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS…

MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR

PERAWAN AYE EMANG MANIS

TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR

TAMU

OH…BEGITU BANG !!!

JADI PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN ???

DENGERIN NI BANG…

DARI SEWAN KE SAWANGAN

ADE PERJAKE LAGI DI MANDIIN

BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN

TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN…

Page 126: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

TUAN RUMAH

EH BANG ANE BILANGIN YE..

MENDING ABANG PERGI KE CIKINI DARI PADA KESENAYAN

EHH MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI

DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN..

TAMU

WADUHHH NGUSIR DIA..

EH BANG IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH

MASIK NASI JADI BUBUR

BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH

SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR..

TUAN RUMAH

JADI ENTE KAGA MAO MUNDUR ???

TAMU

LAH PEGIMANA MAO MUNDUR..ORANG DIBELAKANG ADA

ROMBONGAN BESAN

TUAN RUMAH

IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK

DALAM KUALI KUDU MASAKNYE..

NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK

SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE..

TAMU

OHH JADI KALO MAO DEPETIN NI PERAWAN ADA SYARATNYE BANG

???

TUAN RUMAH

ADALAH..MAO JADI PELAYAN AJE ADA SYARATNYE..

APALAGI MAO AMBIL ANAK PERAWAN ORANG..

TAMU

BANG..KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO..

JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE..

KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO

SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE..

TUAN RUMAH

BEGINI PERATURANNYE BANG …

UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT

AYAM JAGO TERTIMPE BATU…

PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT…

NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU..

TAMU

OH…BEGITU PERATURANNYE BANG …

AYE TERIMA ABANG PUNYE PERATURAN…

TAPI DENGERIN DULU NI BANG…

AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP

TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG..

JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP

TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG…

Page 127: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

TUAN RUMAH

EH BANG… SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT..

SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN…

JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT

COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN…

TAMU

OH…ABANG PENGEN TAU JAGOAN AYE PUNYE KEMAMPUAN ???

TUAN RUMAH

IYE BANG…

TAMU

COBA DEH ENTE TUNJUKIN KALAU ENTE PUNYE KEMAMPUAN …

# JAWARA (TUAN RUMAH) #

MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA

NAEK GETEK KE RAWABUAYE..

CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA

MASIH CETEK BUAT AYE..

# JAWARA (TAMU) #

BANG..NONTON LENONG PERGI KE MONAS

TANPA ALAS KAKI PUN PANAS..

EH BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS

GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS

# JAWARA (TUAN RUMAH) #

BUSE…LUH NANTANGIN…MAJULUH…

TAMU

YAHHHH BANG… AYE KATE JUGA APE BANG…

ADE LINTAH LAGI NGAMBANG..

AYE KATE JUGA APE BANG…

PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG…

TUAN RUMAH

PAYAH LUH…BEGITU AJE KALAH…

LU KAN UDEH DITES TIDUR DI ATAS GERGAJI KAGA’ APE-

APE…NGAPA BISE KALAH…

EH BANG…JANGAN SENENG DULU…

ADE LINTAH MAKAN PEPAYE..

LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN..

WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE

AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN…

# JAWARA (TAMU) #

EMANG BENER BANG ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN…

TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU…

WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN

AYE ADEPIN SATU PERSATU…

# JAWARA (TUAN RUMAH) #

UDEH BANG JANGAN BANYAK BACOT…MAJU LUH KEDEPAN

TAMU

Page 128: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP…KARENA BERGURU DI HAJI

ABA…

JAGOAN AYE EMANG NGETOP LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN

SABA…

BAGAIMANA BANG…ABANG TENTUNYE UDAH LIAT KEMAMPUAN

JAGOAN AYE…

TUAN RUMAH

OK DEH BANG…AYE AKUIN KEMAMPUAN JAGOAN ABANG…

TAMU

OH…JADI AYE BOLEH MASUK NI…

TUAN RUMAH

EEIITT!! ENTAR DULU!!

TAMU

ENTAR DULU MULU, NUNGGU APAAN LAGI??

TUAN RUMAH

TADI KAN LU KATA LAPAR??

NOH IKAN GURAME ELU SIANGIN

KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA

SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN

TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA

TAMU

JADI MASIH ADA SARAT LAGI?

TUAN RUMAH

MASIH ADE BANG!

BURUNG DARA BURUNG KENARI

RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI

SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI

CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI

ITU TUAN RAJA LU BISA NGAJI KAGA?

TAMU

JADI ITU SARAT YANG KEDUA? KAGA SALAH BANG, NIH TUAN RAJA

AYE UMUR 2TAUN AJA UDAH BISA BACA PATEHAH BANG, UMUR

5TAUN UDAH NGIKUT MIMPIN TAHLIL!

TUAN RUMAH

DIA YANG MIMPIN?

TAMU

BUKAN, PAK USTAD! DIA MAH NENTENG BERKAT DOANK!

BANG, KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI

GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN

NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI

NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN

TUAN RUMAH

SUBHANALLAH, PINTER BENER MURIDNYA NGAJI,,

TAMU

ITU BARU MURIDNYE YANG PERTAMA BANG!

TUAN RUMAH

Page 129: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

OWHH JADI ADA MURIDNYE YANG LAEN?

TAMU

KAGA ADA BANG, DIA DOANK SATU-SATUNYA!! JADI PEGIMANE

BANG? APA MASIH ADA SARAT LAGI?

TUAN RUMAH

AYE KIRA CUKUP BANG, CALON MANTU BEGINI YANG JURAGAN

AYE CARI..

TAMU

JADI UDAH BOLEH MASUK?

TUAN RUMAH

UDEH BANG..

KAGA PUNTUNG KAGA BENDO

BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA

ADA UNTUNG ADA JODO

KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA

TAMU

KALO BEGITU BANG,

GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI

ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA

BIAR PUTUS AER DI KALI

JANGAN PUTUS KITA BERSODARA

TUAN RUMAH

AHLAN WA SAHLAN BIDHUHURIKUM!!

TAMU

ASSALAAMU'ALAIKUM

TUAN RUMAH

WA'ALAIKUM SALAAM

Page 130: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

KUMPULAN FOTO SANGGAR SABA

Latihan beksi Sanggar SABA Latihan beksi Sanggar SABA

Rombongan dari mempelai pria Rombongan dari mempelai wanita

Page 131: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

Pertarungan antara Pertarungan antara

jawara mempelai pria dan wanita jawara mempelai pria dan wanita

Page 132: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 133: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 134: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 135: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 136: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 137: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 138: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 139: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 140: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 141: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
Page 142: STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...

BIODATA PENULIS

INDAH WARDAH dilahirkan di Jakarta pada 15 Februari

1992. Anak keempat dari lima bersaudara, pasangan Sadeli

dan Maisuroh ini tinggal di jalan darma wanita V Rt/Rw

05/01 Rawa Buaya Cengkareng Jakarta Barat 11740.

Riwayat pendidikan, penulis pernah sekolah di MI Shirathul

Rahman tahun 1998, kemudian melanjutkan di sekolah MTs Annida Al-Islami tahun

2005, dan di sekolah SMA Negeri 94 Jakarta tahun 2008. Pada tahun 2011

meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang

penulis sedang menyelesaikan skripsi dengan judul “Struktur Pantun pada Seni

Budaya Palang Pintu Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di SMP” sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.