STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
-
Upload
phamkhuong -
Category
Documents
-
view
264 -
download
22
Transcript of STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU ...
STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA
PALANG PINTU BETAWI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMP
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Indah Wardah
NIM. 1111013000039
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
ABSTRAK
Indah Wardah, 1111013000039, “Struktur Pantun pada Seni Budaya Palang Pintu
Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP”, Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.
Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya
palang pintu Betawi dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di
SMP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan
pendekatan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pantun pada
seni budaya palang pintu Betawi mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ciri-
ciri pantun pada umumnya. Tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris,
namun ada juga yang terdiri dari satu bait dan tiga baris. Pemilihan kata dalam pantun
ini bersifat sederhana, unik, sindiran dan penuh dengan kata-kata menantang yang
bertujuan untuk menghibur pendengar. Imaji yang digunakan dalam pantun ini berupa
imaji penglihatan dan imaji pendengaran. Penggunaan kiasan juga terdapat dalam
pantun ini, yaitu sebagai kata konkret untuk melihat apa yang dilukiskan oleh
penyair. Gaya bahasa yang digunakan pantun ini adalah gaya bahasa percakapan,
repetisi, dan simile. Ritma atau irama dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa
membentuk ritma yang padu berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Selain
itu, terdapat rima berselang dan rima berangkai. Tema yang ditemui dalam pantun ini
berisi penyambutan tamu, perjuangan penyair, persaudaraan serta keagamaan.
Perasaan yang diungkapkan oleh penyair dalam pantun ini adalah senang, bangga,
optimis, marah dan sombong. Nada yang disampaikan dalam pantun ini terdapat nada
menerima, meminta, mengusir, menyindir dan menantang yang bertujuan untuk
menciptakan suasana riang, kagum, takjub, marah, kesal dan kecewa. Amanat yang
disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan karena
untuk menjadi seorang pemimpin harus mampu menjadi tempat berlindung dalam hal
keamanan dan juga mampu menjadi tempat berlindung dalam hal kerohanian.
Analisis pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat memenuhi Kompetensi
Dasar pembelajaran Sastra Indonesia tentang mengenali ciri-ciri umum puisi dari
buku antologi puisi. Dengan kegiatan menganalisis struktur pantun ini dapat
mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan struktural, menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia
Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan dapat menambah wawasan
dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Melayu Betawi.
Kata kunci: Struktur, Pantun Betawi, Palang Pintu, Implikasi Pendidikan
ii
ABSTRACT
Indah Wardah, 1111013000039, “Pantun Structure on the Cultural Arts of Palang Pintu
Betawi and the Implication on Indonesian Literature Learning in Junior High School”,
The Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic
University. Supervisor: Ahmad bahtiar, M. Hum.
This study is purposes to describe pantun structure of cultural arts of Palang Pintu
Betawi and the Implication on Language and Literature Learning in Junior High School.
The study method is description method with structural approach. This study result
indicate that pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi have similarities
and differences with the characteristics of pantun in general. This pantun typography
consists of one stanza and three lines. The selection of words in these pantun is simple,
unique, sarcasms and full of challenge which aim to entertain the audience. The image
in this pantun is vision and hearing images. The figurative usage is also in these pantun,
it is as concrete to see what was described by the poet. The style of language of pantun
is conversation, repetition, similes. Rhythm cut into two phrases form the coherent
phrases which serves to determine the pressure and pause. Other than, there are
intermittent rhyme and sequential rhyme. Theme encountered in these pantun contains
welcoming guests, the struggle of the poet, as well as of religious brotherhood. Feelings
expressed by the poet in these pantun are happy, proud, optimistic, angry and arrogant.
Tone conveyed in these pantun are receiving, requesting, expelling, insinuated and
challenge tones that aims to create cheerful, awe, amazement, angry, upset, and
disappointed moods. The message submitted in these pantun taught to be selective in
choosing a partner due to being a leader which is able to be a place of refuge in terms of
safety and also capable of being a shelter in spiritual matters. The analysis of pantun on
the cultural arts of Palang Pintu Betawi can fulfill the Basic Competition of Indonesian
Literature learning about recognizing the common traits of poem from the poem
anthology book. By the activity of analyzing pantun structure, students can appreciate
literature by the structural approach, appreciate and be proud of Indonesian literature as
Indonesian cultural treasure and human intellectual to know the culture of Betawi and
can add insight in the areas of language especially Malay Betawi language.
Keywords: Structure, Betawi Rhyme, Palang Pintu, Educational Implication.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim,
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat,
karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa penulis
panjatkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Muhammad Saw, keluarga dan para
sahabatnya, serta kepada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, hingga hari
akhir.
Skripsi ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi Tugas Akhir, sebagai syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya, yaitu
kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan
pikiran, tenaga dan telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada
penulis.
4. Dona Aji Karunia P., M.A., Penasehat Akademik yang telah memberikan
bimbingan selama perkuliahan.
5. Para dosen penguji (Nuryati Djihadah, M.A., M.Pd. dan Rosida Erowati,
M.Hum.) yang telah memberikan banyak masukkan guna perbaikan dan
kesempurnaan tulisan skripsi ini.
iv
6. Ahmad Darif, S.E., pimpinan pusat Sanggar SABA yang telah meluangkan
waktunya kepada penulis.
7. Dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan
kepada penulis.
8. Kedua orang tua (H. Sadeli dan Maisuroh), kakak-kakakku (Suaidi, Umu
Athiyah, Mashum, Ipah dan Lukman), serta adikku tercinta (Ilham Munzir) yang
selalu mendoakan penulis serta memberikan dorongan moril dan materil.
9. Pamanku (Muhammad Arif) yang telah membantu penulis selama penelitian.
10. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk
terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar di kampus tercinta.
Khusus untuk Devi Aristiyani, Ai Suaibah, Selviana Dewi, Tri Mutia Rahmah dan
Yayah Fauziah kebersamaan yang telah kita lalui selama menuntut ilmu dalam
suka dan duka merupakan suatu hal yang paling indah.
11. Sahabat-sahabatku (Syahid Khudri, Ali Ma’sum, Sri Mulyati dan Suasmi) terima
kasih untuk motivasinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi
ini. Di akhir kalimat, penulis memohon kepada Allah Swt, semoga orang-orang yang
telah bermurah hati membantu penulis mendapatkan balasan yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, November 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 4
C. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 4
D. Perumusan Masalah ........................................................................................ 4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 5
G. Metode Penelitian ........................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11
A. Struktur Fisik Puisi ......................................................................................... 11
1. Tipografi .................................................................................................. 11
2. Diksi ......................................................................................................... 12
3. Imaji ......................................................................................................... 13
a. Citra Penglihatan ............................................................................... 13
b. Citra Pendengaran ............................................................................... 14
c. Citra Gerak ......................................................................................... 14
d. Citra Perabaan ..................................................................................... 14
e. Citra Penciuman .................................................................................. 15
f. Citra Pencecapan ................................................................................. 15
g. Citra Suhu ........................................................................................... 15
4. Kata Konkret ............................................................................................. 16
5. Bahasa Figuratif ........................................................................................ 16
vi
a. Gaya Bahasa Percakapan .................................................................... 17
b. Repetisi ................................................................................................ 18
c. Simile ................................................................................................ 18
6. Versifikasi ................................................................................................ 19
a. Rima .................................................................................................... 19
b. Ritma .................................................................................................. 20
B. Struktur Batin Puisi ......................................................................................... 20
1. Tema .......................................................................................................... 21
2. Rasa .......................................................................................................... 21
3. Nada .......................................................................................................... 21
4. Amanat ...................................................................................................... 22
C. Sastra Lisan ..................................................................................................... 22
D. Pengertian Pantun............................................................................................ 24
E. Pantun Betawi ................................................................................................ 26
F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu ......................................................... 28
G. Sejarah Sanggar SABA ................................................................................... 29
H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ............................ 32
I. Penelitian Relevan ........................................................................................... 35
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 37
A. Pantun Pembukaan .......................................................................................... 37
B. Pantun Isi ........................................................................................................ 54
C. Pantun penutup ................................................................................................ 87
D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP ............................ 91
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 94
A. Simpulan ......................................................................................................... 94
B. Saran ................................................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 2. Data Hasil Wawancara
Lampiran 3. Skrip Palang Pintu Sanggar SABA
Lampiran 4. Kumpulan Foto Sanggar SABA
Lampiran 5. Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 7. Surat Pengesahan Observasi Penelitian Lapangan
Lampiran 8. Lembar Uji Referensi
Lampiran 9. Biodata Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pantun merupakan salah satu produk budaya Indonesia yang mempresentasikan
wilayah dan budaya masyarakatnya. Pantun termasuk produk budaya yang paling luas
penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial,
usia, dan agama. Selain itu, pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk
memberi nasihat dan melakukan kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan siapapun.
Sesungguhnya, bentuk pantun pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa
Indonesia sendiri.
Pantun merupakan bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi
sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama
pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris)
dengan pola persajakan a-b-a-b. dua larik pertama disebut sampiran, dua larik
berikutnya disebut isi.
Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku
bangsa. Maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi
apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai
suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi
sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat
yang berada di sekitarnya. Orang Jawa menyebutnya wangsalam atau ada pula yang
memasukkannya sebagai parikan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya ende-
ende, sedangkan orang Madura, pantun kadang kala disebut paparegan. Ada pula
yang menyebutnya kejbung, karena ekejbungangbi berarti dikidungkan. Tetapi secara
umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat
Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah
bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda
2
dengan pantun Melayu pada umumnya. Meskipun demikian, semuanya
memperlihatkan bahwa produk budaya mereka itu hakikatnya adalah pantun.1
Pantun memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Betawi. Keistimewaan ini
disebabkan meluasnya penggunaan pantun oleh orang Betawi, mulai dari anak-anak,
remaja, dewasa dan orang tua. Tidak hanya itu, penggunaan pantun Betawi juga
menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat sosial, mulai dari ulama, pejabat,
hingga rakyat kecil, sehingga tidak mengherankan jika berpantun atau berbalas
pantun kemudian menjadi ciri khas orang Betawi.
Satu hal yang paling utama dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang
menunjukkan ekspresi yang spontan. Jadi, semangat dan ekspresi yang spontanitas itu
didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu,
sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu
saja, lepas, bebas, tanpa beban. Berkenaan dengan isi pantun Betawi, pantun ini
mencoba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab,
sopan santun, dan ajaran-ajaran agama.
Dalam penelitian ini peneliti sengaja memilih salah satu genre sastra lama, yaitu
pantun. Pantun yang dijadikan objek penelitian ini adalah pantun Betawi yang
digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres Jakarta Barat. Pantun
Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA ini merupakan pantun
pada seni budaya palang pintu Betawi yang dipakai dalam acara perkawinan adat
Betawi dan menjadi salah satu kriteria dasar adanya syarat-syarat pantun, dalam hal
bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan yang disajikan sebagaimana adanya. Maka,
jika dicermati dengan benar, akan tampak seperti ketidakkonsistenan. Misalnya kata
kue, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga
kata reformasi, diucapkan sebagai repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata yang
dibiarkan sesuai pengucapannya.
1Maman S Mahayana, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah
Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. (Jawa Barat: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2008).
h.xiii-xiv.
3
Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan atau menjelaskan struktur yang
terkandung dalam pantun Betawi. Selain itu, penelitian ini dapat mengembangkan
respon siswa terhadap budaya bangsa Indonesia dan memotivasi siswa SMP untuk
dapat memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia. Mempelajari
karya sastra diharapkan terbentuk kepribadian siswa karena di dalam karya sastra
para siswa akan menentukan berbagai permasalahan hidup, dan pemecahannya yang
disajikan oleh pengarang. Dengan sastra diharapkan bertambahnya pengalaman siswa
karena sastra menyajikan fenomena kehidupan masyarakat yang dekat dengan
lingkungan kesehariannya. Dengan sastra pula diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan berbahasa, karena karya sastra disajikan dengan keterpaduan keempat
keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, menulis, berbicara, dan membaca.
Berdasarkan pernyataan Rahmanto dalam buku Metode Pengajaran Sastra.
Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka
pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut
menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara
yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar
untuk dipecahkan dalam masyarakat.2
Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam
membaca dan memahami isi pantun. Selain itu, dapat menuntun siswa
menghubungkan teks sastra dengan pengalaman bahasanya sendiri, sehingga dapat
memperluas pengetahuan dan pengalaman. Ditambah lagi, dapat memberikan
gambaran yang akan digunakan oleh guru bahasa Indonesia dalam upaya merangsang
siswa untuk menganalisis struktur dalam pantun.
2 Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h. 15.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat
diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Belum banyaknya yang meneliti tentang struktur pantun khususnya pantun pada
seni budaya palang pintu Betawi.
2. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap struktur pantun.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan, maka batasan
masalahnya terletak pada struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan
implikasinya pada pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas dapat diketahui rumusan masalah yang
timbul dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi?
2. Bagaimanakah implikasi analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu
Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.
2. Mendeskripsikan implikasi hasil analisis struktur pantun pada seni budaya palang
pintu Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
5
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek
teoretis maupun praktis, seperti:
1. Manfaat Teoretis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan
terutama bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya bagi pembaca dan
pencinta sastra sehingga menjadi acuan bahan dalam pembelajaran yang bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai edukatif.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi:
a. Manfaat bagi Peserta Didik
1) Dengan adanya penelitian ini, peserta didik dapat dengan mudah
memahami pantun, sehingga pada saat mendapatkan tugas menganalisis
struktur pantun, peserta didik tidak sulit untuk menganalisisnya.
2) Memotivasi siswa SMP untuk dapat lebih memahami, menghargai, dan
mencintai karya sastra Indonesia.
b. Manfaat bagi Pendidik
Memberikan masukan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP
mengenai pemahaman struktur pantun, sehingga dapat dijadikan sebagai
alternatif materi bahasa dan sastra di SMP.
c. Manfaat bagi Peneliti lain
1) Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian yang sejenis, terutama penelitian-
penelitian karya sastra mengenai pantun.
2) Sebagai salah satu metode analisis pembelajaran sastra (pantun) bagi
peneliti untuk melengkapi metode analisis yang sudah ada.
3) Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini menjadi dasar untuk penelitian
lanjutan.
6
G. Metode Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak pengesahan proposal pada tanggal 1 Desember 2014.
Waktu pengambilan data penelitian ini selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24
Januari 2015, yang berlokasi di pusat perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres,
Jakarta Barat.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3Dalam penelitian
kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang mendeskripsikan
setting penelitian, baik situasi maupun informan/responden yang umumnya berbentuk
narasi melalui perantara lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen pribadi,
atau catatan lapangan.4
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural. Endaswara mendefinisikan pendekatan struktural merupakan cara berpikir
tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-
struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang
memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.5
Sedangkan, Siswantoro mendefinisikan struktur berarti bentuk keseluruhan yang
kompleks. Setiap objek, atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari
3 Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013).
h.6.
4 Uhar Suharsaputra. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan. (Bandung: PT Refika
Aditama. 2014). h. 188.
5 Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013). h. 49.
7
berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah
sebuah objek, karena itu dia pasti punya sebuah struktur.6
Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan
struktural merupakan pendekatan yang menghubungkan unsur-unsur yang saling
berkaitan satu sama lain.
Sementara, metode yang digunakan adalah metode deskripsi. Metode deskripsi
adalah metode yang dilakukan dengan jalan menganalisis data yang sudah
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan
oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.7
Dengan metode deskriptif, seorang peneliti sastra dituntut mengungkap fakta-
fakta yang tampak atau data dengan cara memberikan deskripsi. Fakta atau data
merupakan sumber informasi yang menjadi basis analisis. Tetapi data harus diambil
berdasar parameter yang jelas, misalnya parameter struktur. Untuk sampai ke
pengambilan data yang akurat, dia harus melakukan pengamatan yang cermat dengan
bekal penguasaan konsep struktur secara baik.8
3. Sumber Data dan Data
Sumber data merupakan sumber data yang terkait dengan subjek penelitian dari
mana data diperoleh.9 Pada penelitian ini sumber data berasal dari Pimpinan sanggar
SABA, yaitu Ahmad Darif. Sementara, data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data primer (data utama), yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung
dari sumbernya tanpa perantara.10
Pada penelitian ini, data diperoleh langsung dari
pimpinan Sanggar SABA berupa dokumen pantun palang pintu adat Betawi yang
digunakan pada acara pernikahan adat Betawi.
6 Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar. 2010). h. 13.
7 Lexy J. Meleong. op.cit., h.11.
8 Siswantoro. op.cit., h. 57.
9 Ibid., h. 72.
10
Ibid., h. 70.
8
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara diikuti
dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik wawancara
adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11
Bentuk wawancara yang digunakan
adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan
sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang
menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis
kerja.12
Sedangkan teknik rekam dan teknik catat digunakan sebagai instrumen kunci
melakukan rekaman serta mencatat jawaban sesuai dengan pernyataan narasumber.
Dalam melakukan pencatatan, telah disertai data atau reduksi data. Yakni, data-data
yang tidak relevan dengan konstruk penelitian ditinggalkan. Sedangkan data yang
relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar memudahkan peneliti
menentukan indikator.13
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data di pusat perkumpulan Sanggar
SABA berupa dokumen pantun, untuk melengkapi penelitian ini peneliti melakukan
wawancara terstruktur kepada pimpinan pusat Sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif.
Kemudian peneliti merekam dan mencatat pernyataan dari narasumber. Hasil
wawancara tersebut diolah menjadi pelengkap penelitian ini. Sedangkan isi dokumen
pantun, peneliti melakukan analisis data serta menyimpulkannya.
11 Lexy J. Meleong. op.cit., h.186.
12
Ibid., h.190.
13
Suwardi Endraswara. op.cit., h.163.
9
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman.
Model Miles dan Huberman terdapat tiga macam kegiatan dalam analisis data, yaitu
reduksi data, model data dan kesimpulan.
Teknik pertama, yaitu reduksi data. Reduksi data merupakan proses mengolah
data dari lapangan dengan memilah dan memilih, dan menyederhanakan data dengan
merangkum yang penting-penting sesuai dengan fokus masalah penelitian.14
Sebelum
data secara aktual dikumpulkan, reduksi data antisipasi terjadi sebagaimana
diputuskan oleh peneliti yang mana kerangka konseptual, situs, pertanyaan penelitian,
pendekatan pengumpulan data untuk dipilih.15
Teknik kedua, yaitu model data. Model data berupa menyajikan data (data
display) untuk lebih menyitematiskan data yang telah direduksi sehingga terlihat
sosoknya yang lebih utuh. Dalam display data laporan yang sudah direduksi dilihat
kembali gambaran secara keseluruhan, sehingga dapat tergambar konteks data secara
keseluruhan, dan dari situ dapat dilakukan penggalian data kembali apabila dipandang
perlu untuk mendalami masalahnya. Penyajian data ini amat penting dan menentukan
bagi langkah selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi karena dapat untuk
memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.16
Teknik ketiga, yaitu kesimpulan. Menarik kesimpulan dan verifikasi dilakukan
sejak awal terhadap data yang diperoleh, tetapi kesimpulannya masih kabur (bersifat
tentatif), diragukan tetapi semakin bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih
“grounded” (berbasis data lapangan). Kesimpulan harus diverifikasi selama penelitian
masih berlangsung.17
Pada tahap awal penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan untuk menyeleksi dan
mengidentifikasi data-data pada kategori isi pantun yang dipakai Sanggar SABA pada
14 Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 218.
15
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. (Jakarta: Rajawali Pers. 2011). h. 129.
16
Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 219.
17
Ibid.,
10
acara pernikahan adat Betawi. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang
dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.
Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis pantun satu persatu
dalam satu unit. Terlebih dahulu peneliti menganalisis struktur fisik pantun seperti
tipografi, diksi, gaya bahasa, rima dan ritme, citraan, kata konkret. Kemudian
dilanjutkan dengan struktur batin pantun seperti tema, rasa, nada dan amanat. Hal
tersebut dilakukan agar peneliti dapat fokus dengan analisis struktur pantun. Setelah
selesai, peneliti melanjutkan analisis pantun berikutnya.
Langkah ketiga, peneliti menarik simpulan dan memberikan saran kepada peneliti
yang relevan dengan penelitian ini.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Fisik Puisi
Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut metode puisi. Bentuk dan struktur
fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi, (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata
konkret, (5) majas dan bahasa figuratif, dan (6) verifikasi. Semua unsur tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh. Berikut akan dibicarakan satu per satu.1
1. Perwajahan puisi (Tipografi)
Ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah pewajahannya.
Pewajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Pada
puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris.
Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan pernyataan. Mungkin saja satu
pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi
tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik (.). Kumpulan
pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk bait. Sebuah
bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.2 Tipografi ini berkaitan
dengan bentuk penulisan puisi menyangkut pembaitan-enjembemen, penggunaan
huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui, secara konvensional, yang
membedakan puisi dari prosa sebagai genre sastra adalah pada aspek tipografi, yaitu
puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian,
penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk
mengungkapkan makna.3 Berikut ini merupakan contoh tipografi
4
1 Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: PT Grasindo. 2008). h. 113.
2 Ibid.,
3 Heru Kurniawan dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012). h. 36. 4 Wahyudi Siswanto. loc.cit.,
12
PERAMBATAN HUTAN
Perambah hutan ialah kita
Yang berpesta
Yang menista
Yang menderita
Yang lupa membaca peta
Perambah hutan ialah kita
Yang tersuruk mencari jalan-Nya
Yang membius fatmorgana
Yang lupa bagaimana mengeja nama-Nya
2. Diksi
Pemilihan kata untuk menyampaikan suatu gagasan dan ketepatan disebut sebagai
diksi. Di samping itu, diksi juga berarti kemampuan (1) memilih kata dengan cermat
sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin
disampaikan dan (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan
situasi dan nilai rasa.5
Kreativitas menulis puisi adalah kreativitas memilih diksi karena kekuatan puisi
terletak pada kata-katanya (diksi), bagaimana kata-kata yang singkat, pendek, dan
sederhana, tetapi bisa menggambarkan pengalaman, perasaan, imajinasi, dan
keindahan yang banyak. Oleh karenanya, diksi dalam puisi harus sekonsentrat
mungkin, yaitu padat dan selalu menimbulkan makna lebih.6 Misalnya, kata-kata
klasik yang dipilih serta dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sajaknya “Candi
Mendut” seperti : candi, berhala, Budha, Bodhisatwa, jiwa, Maya, Nirwana,
mengingatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata mimbar, pikiran-
pikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani, sangkur baja,
panser, bren, barikade, demostran yang terdapat dalam “Tirani” karya Taufik Ismail,
5 Rachmat Djoko Pradopo, dkk. Puisi. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2007). h. 5.12.
6 Heru Kurniawan dan Sutardi. op.cit., h. 27.
LIRIK
BAIT
13
membawa kita ke suasana perjuangan Angkatan 66 menumpas kezaliman dan
kediktatoran rezim orde lama.7
3. Imaji
Imagery biasa diartikan sebagai mental picture, yaitu gambar, potret, atau lukisan
angan-angan yang tercipta sebagai akibat dari reaksi seorang pembaca pada saat ia
memahami puisi. Imagery lahir sebagai proses kelanjutan pemekaran imajinasi
seorang pembaca yang aktif dan kreatif menelusuri makna yang tersurat pada teks.
Untuk menghadirkan imagery, seorang pembaca harus memiliki kekuatan membaca
yang baik dengan dukungan penguasaan kosakata, tata bahasa, dan aspek budaya
yang memadai. Kita sadar bahwa teks yang dihadapi bukanlah bahasa sendiri,
sehingga kita harus menyesuaikan diri dengan semangat teks yang berbahasa lain.
Dengan kata lain, imagery dapat dicapai manakala seorang pembaca mampu
berpartisipasi baik secara kognitif dan emosional.8
Jenis citra dalam puisi ada bermacam-macam sesuai dengan jenis indera yang
ingin digugah oleh penyair lewat puisinya. Berikut ini akan diuraikan satu demi satu:9
a. Citra Penglihatan.
Citra penglihatan adalah citra, yang ditimbulkan dengan memanfaatkan
pengalaman indera penglihatan. Citra penglihatan dapat dibangkitkan oleh kata-kata
penunjuk ini atau itu yang menyertai referen benda yang dapat diserap dengan indera
penglihatan maupun diksi atau pilihan kata secara konkret. Misalnya rumah ini,
kampus itu, matahari itu, kebun itu, buku itu, modul itu, dan sebagainya.
7 Henry Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. (Bandung: Angkasa. 2011). h.
30. 8 Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. (Surakarta: Muhammadiyah
University Press. 2002). h. 49. 9 Rachmat Djoko Pradopo, dkk. op.cit., h. 7.19-7.26.
14
b. Citra Pendengaran
Citra pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan dengan menggunakan
pengalaman pada indera pendengaran. Citra pendengaran dapat dibangkitkan oleh
diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat diindera dengan telinga.
Pengalaman auditif manusia biasanya berhubungan dengan bunyi, kualitas bunyi
(kemerduan), intensitas bunyi, dan dengan nada (bunyi musikal). Kata-kata yang
menandai adanya citraan pendengaran antara lain adalah merdu, serak, nyaring, bisik,
gumam, mendesir, gaung, berbisik, deru, mendengar, bom, sunyi, kepak, mengerang,
meraung, dan sebagainya.
c. Citra Gerak
Citra gerak adalah citraan yang dibangkitkan oleh pengalaman akan pengamatan
terhadap gerak. Citraan gerak dibangkitkan oleh pengalaman sensoris hasil tanggapan
sejumlah alat indera, terutama oleh indra penglihatan dan pendengaran terhadap
gerak. Citraan gerak biasanya ditandai oleh kata-kata seperti berikut ini,
menghembus, mengepakkan, menderam, mengusap, berangkat, memahat, bertiup,
merayap, jalan, terhuyung, terbang, mengepak, menangkak, lari, duduk, berdiri,
mendorong, menangkap, dan sebagainya.
d. Citra Perabaan
Citra perabaan adalah citraan yang bercirikan adanya potensi pembangkitan
pengalaman sensoris indera peraba. Pengalaman indera peraba terutama berkaitan
dengan rasa bahan, yaitu ciri atau kualitas permukaan sesuatu yang dapat diraba.
Citraan perabaan biasanya ditandai dengan kata-kata yang berkaitan dengan indera
perabaan, yang antara lain adalah: basah, debu, kering, halus, kasar, keras, lunak,
lembut, dan sebagainya.
15
e. Citra penciuman
Citra penciuman adalah citraan yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan
pengalaman indera penciuman. Pengalaman yang merupakan hasil penginderaan
indera penciuman, berkaitan dengan bau, dengan berbagai jenis sumber bau dan
kualitas bau juga merupakan penanda hadirnya citra penciuman. Citra penciuman
biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan indera
penciuman misalnya bau, amis, bacin, harum, wangi, busuk, basi, sedap dan
sebagainya.
f. Citra pencecapan
Citra pencecapan adalah citraan yang dapat dimunculkan dengan menggunakan
pengalaman indera pencecapan. Pengalaman sensoris yang berkaiatan dengan rasa
lidah menjadi sumber citraan pencecapan. Citra pencecapan biasanya ditandai dengan
kata-kata antara lain: manis, asin, masam, pahit, tazuar, gurih dan sebagainya.
g. Citra Suhu
Citra suhu adalah citra yang dapat dibangkitkan melalui pengalaman sensoris
yang berkaitan dengan suhu. Pengalaman sensoris akan suhu suatu objek atau suhu
lingkungan, sebenarnya merupakan hasil tanggapan indera peraba atau kulit. Citraan
suhu dalam suatu wacana biasanya ditandai dengan kata-kata berikut ini: dingin,
beku, hangat, suam, papas. Selain kata-kata tersebut, kehadiran citraan suhu juga
ditandai dengan adanya diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang memiliki
kualitas suhu tertentu, misalnya bara, api, salju, dan juga oleh diksi konkret yang
menunjuk pada sesuatu yang dapat menghasilkan efek suhu tertentu, misalnya selimut
dan perdiangan.
16
4. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus
diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti
yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat
hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir
memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau
merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh
secara batin ke dalam puisinya.10
Misalnya, untuk memperkonkret perasaan
penasaran karena belum berhasil menemukan rahasia Tuhan, Sutardji Calzoum
Bachri menggunakan kata-kata: kapak, hamuk, diancuk dan ungkapan-ungkapan :11
Semua orang membawa kapak/ semua orang begerak pergi/ menuju
langit/semua orang bersiap-siap nekad/kalau tak sampai langit/ mengapa tak
ditebang saja/ kapak-kapak mereka/ pukimak aku tak bisa tidur/ mimpi tertakik/
dan ranjang belah.
5. Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut
puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi
dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna. Oleh karena itu pola
tersebut dibicarakan di sini, walaupun juga dalam teks-teks naratif dan drama, bahkan
dalam bahasa sehari-hari pun, kita jumpai kiasan.12
Gaya bahasa (Majas) adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau
daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Ungkapan seperti “Gadis itu
sangat cantik”, di samping tidak jelas, juga tidak menarik; lagi pula ungkapan seperti
itu sudah terlalu sering kita dengar. Namun, isi ungkapan itu akan menjadi lebih jelas
10
Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga. 1987). h.81. 11
Ibid., h.82. 12
Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. (Jakarta: PT Gramedia. 1984). h. 187.
17
serta menarik seandainya diucapkan seperti ini: “Gadis itu cantik seperti bunga
mawar”.13
Berikut ini beberapa jenis majas berikut contohnya:
a. Gaya Bahasa Percakapan
Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan.
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata
percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak
resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam
pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan
masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila
dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.
Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari suatu diskusi yang direkam dengan
alat perekam dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1966 di Jakarta:14
Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak membedakan
antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech. Jadi ketiganya
saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata, jadi penggolongan
kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat dan dasar apa yang kita
pakai untuk menggolongkan…
Bahasa kutipan di atas adalah bahasa standar, tetapi berbeda dengan kutipan
sebelumnya mengenai gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan
terdapat banyak konstruksi yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi
tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat
dan bersifat fragmenter; sering kalimat-kalimat yang singkat itu terdengar seolah-olah
tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terus-
menerus.
13
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 1991). h.127. 14
Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008).
h.120-121.
18
b. Repetisi
Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam
bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau
klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-
macam variasi repetisi.15
Banyaknya jenis atau variasi perulangan yang digunakan
oleh penyair dalam karya mereka menunjukkan bahwa gaya perulangan ini sangat
personal pula sifatnya, sebagaimana dengan gaya pengungkapan yang lain. Oleh
sebab itu tidak ada ketentuan yang mengikatnya. Perulangan yang dilakukan Ajip
Rosidi (KENANGAN).16
Yang paling indah adalah kenangan
Yang paling mengesan adalah kenangan
Yang paling menikam adalah kenangan
Yang paling terkenang adalah yang fana
Yang paling rapuh dalam hidup ini
Pada contoh di atas jelas bahwa repetisi mempunyai peranan yang penting dalam
membuat intensitas makna dan menghasilkan musikalitas dan daya magis.
c. Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang
dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.17
Gaya bahasa ini digunakan
untuk membandingkan dua hal atau benda yang tidak sama esensinya.18
Untuk itu, ia
memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata:
seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya, kikirnya seperti
15
Ibid., h.127. 16
M. Atar Semi. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya Padang. 1988). h.129-132. 17
Gorys Keraf. loc.cit., h.138. 18
Mayang Hamdani, dkk. Kesastraan. (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987).
h. 1.22.
19
kepiting batu. Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek
pertama yang mau dibandingkan. Contohnya, seperti menating minyak penuh.19
6. Versifikasi (Rima dan Ritma)
a. Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi.
Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang
bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini,
pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi.20
Selanjutnya, kita mengenal beberapa jenis rima; antara lain:21
1) Rima berangkai; dengan susunan/ rumus: aa, bb, cc, dd …
Dimata air, didasar kolam a
Kucari jawab teka-teki alam a
Di kawan awan kian kemari b
Disitu juga jawabnya kucari b
Diwarnai bunga yang kembang c
Kubawa jawab, penghalang bimbang c
Kepada gunung penjaga waktu d
Kutanya jawab kebenaran tentu d
2) Rima berselang, dengan rumus : abab, cdcd
Duduk dipantai waktu senja, a
Naik dirakit buaian ombak, b
Sambil bercermin diair-kaca, a
Lagi diayunkan lagu ombak b
Lautan besar bagai bermimpi c
Tiada gerak, tetap berbaring … d
Tapi pandang karang ditepi c
Disana ombak memecag nyaring … d
19
Gorys Keraf. loc.cit., 20
Herman J. Waluyo. op.cit., h. 90. 21
Henry Guntur Tarigan. op.cit., h.36-37.
20
b. Ritma (Irama)
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan
pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti
mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan
baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi
sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama
disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa berulang.
Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama :22
Dari mana/ punai melayang
Dari sawah/ turun ke kali
Dari mana/ kasih saying
Dari mata/ turun ke hati.
Pengaruh irama dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa
keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat
memperkuat pengertian. Pengaruh besar semacam itu akan muncul tentunya bila
irama itu terjalin secara padu dengan unsur-unsur lain. Untuk mengetahui irama suatu
puisi tidak terlepas pula dari pengenalan akan nada dan suasana puisi tersebut, karena
suasana dan nada puisi mempunyai kaitan yang amat padu dengan irama puisi
tersebut. Sebuah puisi biasa mempunyai nada dan suasana sendiri dan sekaligus
memiliki irama sendiri. Dengan mengetahui irama, pembaca puisi dengan mudah
terbantu menentukan tekanan dan jeda. Dengan demikian akan member bantuan yang
besar terhadap penikmatan dan pemahaman puisi yang bersangkutan.23
B. Struktur Batin Puisi
I.A. Richards di dalam buku Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa struktur batin
puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada
(tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).24
22 Herman J. Waluyo. op.cit., h.94.
23 M. Atar Semi. op.cit., h.121.
24 Wahyudi Siswanto. op.cit., h.124.
21
1. Tema
Tema adalah ide dasar dari suatu puisi. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna
yang disampaikan oleh penyair.25
Dalam menyampaikan tema, penyair menggunakan
diksi, imaji dan gaya bahasa yang telah dipilihnya secara cermat dan kritis yang
disusun menjadi bentuk yang sesuai dan efektif. Tema menjelmakan pemahaman
penyair mengenai dirinya dan dunianya dan merupakan suatu pengamatan terhadap
aspek kehidupan atau pengalaman manusia.26
Misalnya, dalam puisi “Padamu Jua”
Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda
tapi tema yang digunakan sama, yakni kembali ke Tuhan.27
2. Rasa
Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan
psikologis penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas
sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis,
serta pengetahuan. Toto Sudarto Bachtiar dalam “Gadis Peminta-minta”, menyikapi
pengemis kecil dengan netral, tidak membenci dan tidak pula dengan rasa belas
kasihan yang berlebihan. Dia dapat merasakan kegembiran pengemis kecil dalam
dunianya sendiri, bukan merupakan dunia yang penuh penderitaan seperti yang
disangka orang.28
3. Nada
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sehubungan dengan pokok pikiran
yang disampaikannya dalam puisinya.29
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap
pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau
25
Kisyani Laksono, dkk. Membaca 2. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 8.20. 26
Mayang Hamdani, dkk. op.cit., h. 1.34. 27
Wahyudi Siswanto. loc.cit., 28
Ibid., h. 125. 29
Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.19.
22
akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana
puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap
pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh
pergolakan batin bagi pembaca. Nada religus dapat menimbulkan suasana khusyuk.
Begitu seterusnya.30
Dalam puisi “Jalan Segara”, sikap Taufiq Ismail terhadap
penguasa sinis. Dalam puisi “Nyanyian Angsa”, Rendra seakan mengajak pembaca
untuk melihat perlakuan masyarakat, dokter, dan pastor terhadap pelacur.31
4. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar di dalam karyanya. Amanat dapat disampaikan secara langsung, tersurat,
dapat juga secara tidak langsung atau tersirat. Melalui puisi tersebut Abdul Hadi
W.M. menyampaikan amanat (pesan) bahwa kendati gaib dan tak terdeteksi alat indra
kita, Tuhan itu sebetulnya dekat sekali dengan hambanya. Tak ada jarak. Kalau ada
yang berpendapat bahwa Tuhan itu jauh, sebenarnya karena orang itu tidak pernah
mau mendekat kepada-Nya. Tuhan Mana Tahu, mendengar, dan merespons apa pun
yang disampaikan hamba-Nya.32
C. Sastra Lisan
Istilah sastra lisan tidak asing bagi orang Indonesia. Apapun makna dan referensi
yang diberikan kepada kata itu, secara umum ada makna yang kira-kira sama,
kegiatan lisan yang bukan percakapan sehari-hari, seperti puisi-puisi rakyat, cerita
lisan yang hidup di tengah masyarakat, mantera, juga pertunjukkan lisan. Artinya, ada
pengetahuan sastra lisan dalam kesadaran kolektif kita.
Sastra lisan penting dikaji karena beberapa alasan. Alasan pertama, ia ada dan
terus hidup di tengah masyarakat, tidak saja dalam masyarakat Indonesia tetapi juga
30
Herman J. Waluyo. op. cit. h. 125. 31
Wahyudi Siswanto. op. cit. h.125. 32
Bustanul Arifin, dkk. Menyimak. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 6.8.
23
di banyak negara lain di dunia. Sastra lisan itu hidup pada masyarakat pertamanya,
yaitu masyarakat yang melahirkan dan menghidupkannya, di daerah kelahiran, di
kampung asal. Secara umum, suatu genre sastra lisan itu hidup di daerah asalnya saja.
Bila diambil contoh nyata, dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat terdapat
beberapa genre, antara lain rabab Pasisia, rabab Pariaman, dendang Pauah.
Yang kedua, sastra lisan menyimpan kearifan lokal kecendekiaan tradisional,
pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya. Semua tumbuh, berkembang, dan
diwariskan dalam masyarakat sastra itu secara lisan. Ketika berbicara tentang
pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber
karakter bangsa karena karakter bangsa yang disimpan di dalam sastra lisan itu sesuai
dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan.33
Kesenian dalam bentuk suara atau tradisi lisan yang berkembang dalam
masyarakat Betawi mempunyai beberapa karakter yang berbeda dengan kesenian dari
wilayah kebudayaan seperti Bali, Jawa, ataupun Melayu. Selain perbedaan bahasa,
hal yang membedakan kesenian Betawi dengan kesenian dari daerah lain adalah
bentuk penyajiannya. Sedyawati dalam buku Ragam Seni Budaya Betawi
menguraikan bahwa tradisi lisan terdapat empat bentuk penyajian, yaitu penyajian
yang hanya menggunakan unsur suara atau tuturan murni, menggabungkan tuturan
dengan musik, menggabungkan tuturan, musik, dan gerakan, serta tuturan yang
disertai dengan gerakan, musik, dialog. Jika diterapkan dalam tradisi lisan masyarakat
Betawi, pengelompokkannya dapat dikategorikan sebagai berikut.34
a) Pertunjukan dalam bentuk tuturan murni, contohnya sahibul hikayat dan
pembacaan ratib.
b) Tuturan yang disertai dengan instrumen musik, seperti yang terlihat pada buleng
dan pembacaan Maulid.
c) Tuturan yang disertai dengan gerakan, contohnya rancag.
33
Adriyetti Amir. Sastra Lisan Indonesia. (Yogyakarta: ANDI. 2013). h. 18-21. 34
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. (Jakarta:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012). h. 35-37.
24
d) Pertunjukan tuturan yang memadukan adegan-adegan, dialog, menari, dan sering
pula diiringi dengan musik, seperti pada lenong dan permainan tradisional anak
Betawi.
Dalam berbagai jenisnya, sejarah terbentuknya tradisi lisan dapat ditelusuri
seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Betawi. Setiap kesenian
mempunyai sejarah pembentuka dan dan masyarakat pendukung yang berbeda. Setiap
bentuk tradisi lisan di Betawi mempunyai karakteristik yang berbeda sebagai akibat
dari perjalanan historis dan wilayah geografis kesenian tersebut.
Dalam konteks tradisi lisan di Betawi, beberapa jenis kesenian juga mengalami
perubahan seiring perkembangan zaman. Ada yang bertahan dan berkembang sampai
saat ini, tetapi ada pula bentk seni yang sudah tidak dipentaskan lagi karena sudah
tidak ada yang dapat memainkannya. Selanjutnya, secara ringkas dalam paparan
berikutnya akan digambarkan peran bahasa Betawi dalam kesenian Betawi yang
membedakannya dengan jenis kesenian dari daerah lain di Indonesia serta uraian
mengenai jenis-jenis tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Betawi, khususnya
pantun dalam acara buka palang pintu.
D. Pengertian pantun
Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana.
Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan “Sepantun labah-labah,
meramu dalam badan sendiri”. Kata sepantun dalam susunan kalimat diatas
mengandung arti sama dengan semua yang diungkapkan di depan.35
Seperti halnya bidal, bentuk pantun ini pun merupakan kesusastraan hasil karya
bangsa Indonesia sendiri. Pantun telah lama tersebar dan mendarah daging dalam
kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Bentuk
yang sama dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia terdapat pula dalam bahasa-
35
Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000).
h.11.
25
bahasa daerah di Indonesia.36
Suku Jawa misalnya memiliki puisi rakyat yang harus
dinyanyikan atau di-tembang-kan, sedangkan menurut K.A.H. Hiding, pada suku
bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam
bahasa daerahnya disebut sisindiran. Orang Sunda membagi sisindiran menjadi dua
kategori, yakni yang disebut paparikan dan wawangsalan; dan selanjutnya paparikan
dapat dibagi lagi menjadi rarakitan dan sesebred.37
Sehingga pantun mempunyai
persyaratan, yaitu:38
1. Tiap bait terdiri atas empat baris.
2. Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata.
3. Sajaknya berumus a-b-a-b.
4. Kedua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan isinya terdapat pada kedua
baris terakhir.
Dari ciri-ciri yang telah diuraikan, pantun mestilah ditulis dengan mengikuti pola
yang telah disepakati tentang bagaimana sebuah pantun harus ditulis. Artinya, sebuah
pantun harus ditulis dengan mematuhi penulisan jumlah baris, jumlah kata,
persajakan, dan lain-lain. Jika tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka dianggap
menyalahi ketentuan penulisan pantun. Pola penulisan pantun mestilah memiliki pola
rima akhir, adanya bagian yang disebut sampiran dan ada bagian yang disebut isi atau
maksud. Dua baris pertama disebut sampiran, sedangkan dua baris terakhir disebut isi
atau maksud. Setiap baris terdapat pemenggalan, sewaktu membacanya. Lihat contoh
sebagai berikut.39
Pulau pandan jauh di tengah,
Gunung Daik bercabang tiga.
Hancur badan di kandung tanah,
Budi baik dikenang juga.
36
Ibid., 37
James Danandjaja. Folklor Indonesia. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002). h.46-
47. 38
Nursisto. loc.cit. 39
Hasanuddin WS. Membaca dan Menilai Sajak. (Bandung: Angkasa. 2012). h. 17.
26
E. Pantun Betawi
Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi juga mengenal
bentuk-bentuk puisi, yang disebut pantun. Pada pantun Betawi baris pertama dan
kedua disebut sampiran, baris ketiga dan keempat baru berupa isi pantun itu. Pola
persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a-b dan ada pola yang berpola a-a-a-a. simak
kedua pantun berikut dan perhatikan pola persajakan bunyi akhir setiap baris.
Ujan gerimis aje
Ikan bawal diasinin
Lu ngape nangis aje
Bulan syawal nanti dikawinin
Pantun di atas berpola persajakan akhir a-b-a-b
Indung-indung kepale lindung
Ujan di sono di sini mendung
Anak siapa pake kerudung
Mate melirik kaki kesandung
Pantun di atas berpola persajakan bunyi akhir baris a-a-a-a
Dari keterangan dan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pantun Betawi agak
berbeda dengan pantun dari daerah Melayu lain. Pantun dari daerah Melayu lain
selalu berpola persajakan bunyi akhir a-b-a-b, sedangkan pantun Betawi ada yang
berpola persajakan bunyi akhir a-a-a-a, di samping yang berpola a-b-a-b.40
Pantun Betawi juga mempunyai jenis yang beragam, antara lain pantun agama,
pantun nasihat, pantun teka-teki, pantun nelayan, pantun remaja, dan pantun anak-
anak. Akan tetapi, ada juga pantun Betawi yang terdiri atas tiga baris dan banyak
baris. Pantun tiga baris umumnya ada dalam permainan anak-anak. Pantun tiga baris
ini dibawakan dalam bentuk bernyanyi sambil bermain. Biasanya, dua baris pertama
menjadi sampiran, satu baris terakhir menjadi isi. Selain pantun empat baris dan tiga
baris, pantun Betawi juga memiliki jenis yang lain, yakni pantun banyak baris. Sama
seperti pantun tiga baris, pantun banyak baris digunakan dalam permainan anak-anak.
40
Abdul Chaer. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. (Jakarta:
Masup Jakarta. 2012). h.73-74.
27
Bedanya, pada pantun banyak baris agak sulit membedakan mana sampiran mana isi
karena mirip dengan mantra yang dinyanyikan dengan riang oleh anak-anak. Selain
jenis-jenis tersebut di atas, Betawi memiliki jenis pantun yang lain, yakni pantun
berkait atau rancag. Dinamakan pantun berkait karena antarbaitnya memiliki
keterkaitan isi. Biasanya, jenis pantun ini menyajikan sebuah cerita, semisal cerita
Pitung. Pada praktiknya, pantun berkait ini dibawakan sambil bernyanyi diiringi
musik gambang sehingga masyarakat Betawi mengenalnya sebagai gambang
rancag.41
Pantun Betawi termasuk folklor dalam masyarakat Betawi. Pantun sebagai folklor
menjadi karya seni tradisional karena adanya “kegemaran” bagi masyarakat Betawi
untuk menyampaikan suatu pendapat atau suatu pikiran yang diungkapkan selalu
melalui “sampiran” atau juga dengan menggunakan kekuatan adanya persamaan
bunyi atau persajakan.42
Pantun kerap digunakan dalam sastra lisan bahkan dalam
percakapan sehari-hari. Pantun menyimpan pesan yang penting untuk membangun
karakter individu dalam masyarakat, membangun karakter bangsa, yaitu membangun,
memakaikan, dan meningkatkan budi bangsa agar menjadi orang mulia dalam
pergaulan.43
Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek
itu tumbuh dari bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk
yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karena
itu struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung
unsur-unsur bahasa kelompok etnis pemakainya. Sistem fonologi dialek ini
mempunyai kekhususan yang tidak terdapat pada dialek-dialek Melayu lainnya,
antara lain tampilnya vokal e pada suku kata terakhir.44
Ciri menonjol ini dapat
memudahkan pendengar untuk membedakan bahasa Betawi dengan dialek Melayu
41
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. op.cit.,h. 13-19. 42
Abdul Chaer .op.cit., h. 199. 43
Adriyetti Amir. Op.cit., h. 22. 44
Anwarudin Harapan. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. (Jakarta: Asosiasi Pelatih
Pengembangan Masyarakat. 2006). h. 120.
28
lainnya. Misalnya kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti buaya, saya, dan dia. Bila
diucapkan dengan dialek Betawi akan berakhiran dengan [ε], seperti [ayε], [buayε],
dan [diε]. Tata ucap Betawi juga tidak mengenal diftong, seperti [ay] dan [aw]. Jadi,
kata-kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan diftong diucapkan oleh
masyarakat Betawi dengan akhiran [ε] dan [ᴐ ]. Misalnya, pulau dan pantai bila
dilafalkan dengan dialek Betawi akan menjadi [pulᴐ ] dan [pantε].45
Selain itu, Di
dalam percakapan bahasa Betawi, mempunyai berbagai variasi. Khususnya di dalam
kata sapaan, maksudnya pronomina lu, gua, saya, kita, nama diri dan istilah
kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan, meskipun tidak ada ikatan
kekerabatan.46
Ciri yang bersifat tata kalimat khususnya menonjol dengan munculnya berbagai
kata pertikel kalimat seperti sih, kek, dong, deh, dan sebagainya, seperti Nyai kek
perawan sini kek „(Tidak peduli), apakah Nyai atau gadis dari sini‟. Dua ciri lain
dalam tata kalimat ialah (1) frasa milik yang dinyatakan dengan kata punya di antara
dua kata benda yang memiliki dan yang dimiliki, seperti amat punya rumah untuk
„rumah Amat‟. (2) urutan kata benda dengan kata ini dan itu yang berurutan terbalik
dengan bahasa Indonesia seperti ini rumah, itu anak, masing-masing untuk anak itu
dan rumah itu.47
F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu
Buka palang pintu adalah salah satu acara dalam serangkaian acara perkawinan
menurut adat Betawi. Acara ini dilakukan ketika mempelai pria dengan
rombongannya datang ke rumah mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad
nikah. Rombongan mempelai pria dilengkapi dengan seorang juru pantun, seorang
jago silat dan seorang pembaca lagu sike. Sedangkan pihak mempelai wanita
45
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI .op.cit., h.37-38. 46
C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991).
h. 259. 47
Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2000). h. 67.
29
dilengkapi juga dengan seorang juru pantun dan seorang jago silat. Dalam berpantun,
si juru pantun mempelai pria berusaha menyatakan bahwa mempelai pria adalah
orang yang gagah, ganteng, hebat, dan dibandingkan dengan seorang artis beken yang
terkenal. Sedangkan juru pantun mempelai wanita akan dapat ditaklukkan oleh si jago
silat pihak rombongan pria.48
Secara umum, palang pintu merupakan sebuah aktivitas perkelahian atau main
pukul simbolik, namun sesungguhnya memiliki makna yang dalam dan luhur
terutama saat dijadikan bagian dalam prosesi pernikahan adat Betawi. Sebagai salah
satu rangkaian dari sebuah acara pernikahan, palang pintu merupakan sebuah
aktivitas pertarungan maen pukul yang bermakna simbolik yang di dalamnya calon
mempelai pria harus menghadapi para jawara dari pihak mempelai wanita sebelum
dapat diterima oleh pihak keluarga mempelai wanita. Adegan pertarungan maen
pukul ini bermakna bahwa pihak mempelai pria harus memiliki sifat berani, termasuk
dapat melindungi istri dan keluarganya kelak, dan hal tersebut harus dibuktikan di
hadapan para jawara dan keluarga sang mempelai perempuan.49
Seperti telah diuraikan di atas, sebelum rombongan pengantin pria diterima dan
dipersilahkan masuk ke dalam rumah pengantin perempuan, terdapat prosesi khas
Betawi yang dikenal dengan nama Buka Palang Pintu. Prosesi ini diawali dengan
adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan
pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. Tanya-
jawab yang terjadi dikemas dalam bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta
dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para
jawara yang menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji. Bila
para jawara pihak mempelai pria berhasil mengalahkan para jawara pihak mempelai
perempuan. Maka pihak mempelai perempuan, meminta syarat kedua, yaitu
permintaan untuk melantunkan lagu yang berisi salawat kepada Nabi Muhammad
48
Abdul Chaer. op.cit.,h. 85. 49
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara
di DKI Jakarta. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010). h.78- 79.
30
SAW yang diiringi dengan rebana, marawis dan kecipring. Hal tersebut menandai
bahwa sang calon suami telah memahami ilmu agama dan seorang yang ahli ibadah.50
G. Sejarah Sanggar SABA
Sanggar SABA didirikan oleh Ahmad Darif, SE yang lahir di Cengkareng Timur
Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1975 yang terletak di kampung Pendongkelan
Jakarta Timur. Beliau adalah lulusan managemen perusahaan sarjana ekonomi di
Universitas Mercu Buana tahun 1998. Beliau mulai mempelajari bela diri beksi pada
tahun 1991 di bangku Sekolah Menengah Atas oleh kakeknya bernama H. M. Aba
Bin Naming sampai 1993. Setelah menguasai ilmu bela diri beksi, Darif diberikan
kepercayaan oleh kakeknya untuk mengajar bela diri tersebut untuk generasi
berikutnya.
Pada tahun 1993 murid pertama Darif sebanyak sepuluh orang tapi dengan
kegigihannya, beliau mengajar ilmu tersebut dari tahun ke tahun, sehingga murid
beliau menjadi seribu murid. Kemudian Darif dan muridnya mempunyai inisiatif
mendirikan organisasi masyarakat Betawi yang diberi nama SABA (Solidaritas Anak
Betawi Asli/ Solidaritas Anak Batavia) yang diambil dari nama kakeknya Aba yang
terletak di jalan Wijaya I Jakarta Barat.
Darif mengajarkan ilmu beksi yang merupakan pertahanan dari empat penjuru
atau beksi juga berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan
Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak terlihat
dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel.
Adapun Jurus beksi Sanggar SABA terdiri dari sembilan jurus, yaitu:
1. Jurus beksi dasar (pembuka)
Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka pukulan dengan
tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan kiri dan tepak sikut ke depan.
50
Ibid., h.79-80.
31
Setiap jurus menggunakan hentakkan kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan
mematahkan tangan.
2. Jurus oleng badan
Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk sebuah sikut
diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk menghindari serangga.
3. Jurus junjung (tunjangan langit)
Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini
menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan penyerangan lawan.
4. Jurus rambet
Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan disertai
dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan tangan lawan disertai
dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar lawan tidak menyerang.
5. Jurus gedor
Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut atau tangan.
Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi dengan menggunakan
gerakan gedor di ulu hati.
6. Jurus broneng
Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk menjepit,
mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini bisa melawan lebih dari
satu orang lawan.
7. Jurus lokbe (cabut pisau)
Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah kiri dan
kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir lawan dibarengi
mencabut pisau dan diarahkan ke lawan.
8. Jurus cauk debug
Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak tangan.
Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah untuk
melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus tidak sportif, jurus ini
32
berfungsi untuk mempertahankan diri dimana saat kondisi terdesak baik debu atau
pasir dilemparkan ke mata lawan untuk membela diri.
9. Jurus loseng
Jurus loseng merupakan jurus yang diarahkan ke bagian kaki lawan. Jurus ini
berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun dalam posisi berdiri,
dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan tubuh lawan.
Selain beksi kesenian Betawi yang diajarkan oleh Darif adalah palang pintu.
Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan mempunyai tantangan
dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan tantangan dari ujian tersebut, dapat
dikatakan pantas untuk melakukan pernikahan bagi kedua mempelai. Jadi palang
pintu itu berisi tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai
wanita dan mempelai pria. Namun, tidak ada yang mengetahui sejarah dari palang
pintu, tetapi ada istilah palang pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai
perjuangan dalam pernikahan.
H. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP
Menurut Rahmanto, pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh
apabila cangkupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.51
Pada dasarnya belajar sastra adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra
harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan
kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan
diintegrasikan. Kita sadar bahwa tak ada informasi dari luar baik berupa pengantar,
komentar guru, cara membaca, gambar maupun kritik yang sebelumnya lebih dapat
menuntut perhatian siswa kecuali pengalaman siswa itu sendiri. Pengalaman dari
karya sastra bagaimanapun hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan mempelajari
51
Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h.
16.
33
analisis verbal. Karena kita banyak membaca, kita merasa mudah sekali menerima isi
bacaan. Padahal sebenarnya proses membaca itu sangat rumit karena kita dituntut
memahami dengan cepat kumpulan huruf yang merupakan simbol dari bahasa yang
dipakai. Walaupun demikian, kesulitan itu menjadi tidak terasa setelah kita menjalani
banyak latihan setiap kali kita membaca. Tapi bagaimanapun, sebagai guru sastra kita
sering dihadapkan pada simbol-simbol bahasa yang menuntut pemahaman dengan
lebih hati-hati daripada pembaca pada umumnya. Di samping harus mengerti minat
dan cara berfikir siswa, guru sastra diharapkan benar-benar dapat memahami seluk-
beluk kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra yang disajikan pada siswanya.52
Hazim Amir dalam buku membaca 2 karya Kisyani Laksono, dkk menjelaskan
bahwa ada beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai persiapan
pembacaan puisi, seperti dalam uraian berikut.53
a. Mempertimbangkan aspek kesastraan
Langkah awal yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah memilih puisi
yang akan dibacakannya. Puisi yang akan dibacakan harus mengandung nilai-nilai
kesastraan yang tinggi.
b. Pertimbangkan potensi oratoris
Langkah yang kedua dalam persiapan membaca puisi adalah mempertimbangkan
potensi puisi jika dibacakan. Pada tahap ini pembaca puisi mempertimbangkan
apakah larik-larik yang tertulis dalam sajak tersebut jika dibacakan memiliki
potensi satuan-satuan bunyi yang oratoris. Artinya, satuan-satuan bunyi yang
dapat menimbulkan efek kenikmatan, keharuan, dan menggiring pembaca pada
proses perenungan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
c. Pelatihan membaca puisi
Pada umumnya pelatihan membaca puisi dikerjakan secara berkelompok pada
tempat dan waktu tertentu. Untuk latihan, sebaiknya disepati jadwal tertentu.
52
Bernardus Rahmanto. op.cit., h. 38-39. 53
Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.29-8.31.
34
Misalnya, latihan dilaksanakan setiap akhir pecan pada sore hari. Latihan dapat
dilaksanakan di dalam maupun luar ruangan.
Adapun tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap
kegiatan pembelajaran. Tujuan ini sering kali dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:54
a. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Umum
Tujuan instruksional umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih
umum dan belum menggambarkan tingkah laku spesifik. Tujuan instruksional
umum ini dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu bidang studi yang
ada di dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran).
b. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Khusus
Tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan instruksional umum.
Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan instruksional umum
tersebut dapat lebih dispesifikkan dan mudah diukur tingkat ketercapaiannya.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan KTSP, yaitu untuk memandirikan dan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian wewenangan (otonomi)
kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.55
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:56
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas
pendidikan yang akan dicapai.
54
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan
Pembelajaran. (Jakarta: Rajawali Press.2012). h. 150. 55
E. Mulyana. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011). h. 22. 56
Ibid.,
35
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas VIII Sekolah
Menengah Pertama (SMP) semester 2, sesuai dengan tujuan KTSP dengan Standar
Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu: Memahami buku novel remaja (asli
atau terjemahan) dan antologi puisi, sedangkan Kompetensi Dasar (KD): 7.2
Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi, dengan indikator, sebagai
berikut.
1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi.
2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.
I. Penelitian Relevan
Penelitian yang baik, yaitu penelitian yang tidak menyerupai penelitian yang telah
dilakukan oleh orang lain dan menghasilkan informasi baru. Jadi, untuk menghindari
kesamaan penelitian perlu diadakan kajian terhadap penelitian yang telah dilakukan.
Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan
pada penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Rojab Dian Puspitasari
dari Universitas Indonesia (UI) dengan judul skripsi, “Pantun Betawi dalam Siaran
Bensradio: Tinjauan Fungsi dan Amanat”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2008.
Pada penelitian ini Puspitasari memberikan gambaran mengenai fungsi dan amanat
pantun. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu sama-sama
meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian
Puspitasari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Puspitasari meneliti pantun Betawi
dalam siaran bensradio: tinjauan fungsi dan amanat, sedangkan penulis meneliti
struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
Penelitian relevan yang kedua, Maman Mahayana dalam Jurnal Kritik 06/2013;
Volume 04, III (Januari-Juni 2013): 85-100; dengan judul “Pantun sebagai Potret
Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”.
Pada penelitian ini, Maman Mahayana membandingkan pantun Melayu, Jawa,
Madura, dan Betawi serta menunjukkan perbedaan dalam fungsi dan ekspresi dalam
36
konten dan sampiran. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Mahayana,
yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis
dengan penelitian Mahayana, yaitu subjek kajiannya berbeda. Mahayana meneliti
pantun sebagai potret sosial-budaya tempatan: perbandingan pantun Melayu, Jawa,
Madura, dan Betawi, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya
palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di
SMP.
Lalu penelitian relevan yang ketiga, Rostina Sari dari Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta dengan judul skripsi, “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam
Tayangan Pesbukers di Antv Tahun 2013”. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, 2014.
Pada penelitian ini Sari menggunakan metode analisis semiotika yang dimiliki oleh
Charles Sanders Peirce. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Sari, yaitu
sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan
penelitian Sari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Sari meneliti Representasi Budaya
Pantun Betawi Dalam Tayangan Pesbukers Di Antv Tahun 2013, sedangkan penulis
meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya
terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
37
BAB III
PEMBAHASAN
Pantun pada seni budaya palang pintu Betawi merupakan ragam puisi lama yang
digunakan untuk acara pernikahan adat Betawi. Selain itu, pantun ini mempunyai tiga
bagian, yaitu pantun pembukaan, pantun isi, dan pantun penutup. Setiap bagian dari
pantun ini memiliki struktur fisik dan struktur batin. Berikut ini uraian dari bagian-
bagian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.
A. Pantun Pembukaan
Pada bagian pantun pembukaan berisi tentang hadangan dari para jawara pihak
pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud
kedatangan rombongan tersebut.
METIK CEREME RAME-RAME
SIAPA ITU RAME-RAME
TAMU BARU NYAMPE
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan tiga baris. Baris pertama dan
kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga merupakan isi. Pada baris
pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri
atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris ketiga terdiri dari tiga
kata dengan jumlah enam suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun berikut.
Me-tik ce-re-me ra-me-ra-me
Si-a-pa i-tu- ra-me-ra-me
Ta-mu ba-ru nyam-pe
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan
mudah dimengerti oleh pendengar. Keserdehanaan itu terlihat ketika penutur pantun
memilih kata “metik cereme rame-rame” mempunyai arti bahwa penutur pantun ingin
38
mengajak semua orang yang hadir untuk menyambut tamunya dengan perasaan
senang. Untuk melukiskan perasaan senang, penutur pantun menggunakan imaji
penglihatan. Imaji penglihatan ini terlihat pada kalimat “metik cereme rame-rame”,
“tamu baru nyampe”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan
ungkapan metik cereme rame-rame.
Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“metik”, “cereme”, “rame-rame”, baris kedua terdapat kata “rame-rame”, dan baris
ketiga terdapat kata “nyampe”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat
ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya
adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa
percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan
oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara
padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk
menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Metik cereme/ rame-rame
Siapa itu/ rame-rame
Tamu/ baru nyampe
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada gembira dan terdapat persamaan vokal /e/ di setiap akhir baris pantun.
Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi vokal /e/
sebagai rima berangkai menciptakan perasaan senang, sehingga menimbulkan
suasana yang riang.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan penyambutan tamu dengan suasana meriah, sehingga pendengar
seakan-akan menyaksikan penyambutan tamu dengan suasana menyenangkan.
Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ajakan penutur
pantun untuk menyambut tamunya.
39
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penyambutan tamu. Hal
ini dapat dilihat pada pantun berikut.
Metik cereme rame-rame
Siapa itu rame-rame
Tamu baru nyampe
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa tamu harus disambut dengan baik dan
ramah oleh tuan rumahnya. Bahkan, penyambutan tamu juga harus diiringi dengan
rasa senang karena penyambutan tamu merupakan hal yang dimuliakan, sehingga
penutur pantun menggunakan nada gembira untuk mengajak pendengarnya
bergembira bersama-sama. Penggunaan nada gembira itu menciptakan suasana riang
bagi pendengar. Amanat yang disampaikan pantun ini adalah ajaran untuk
menyambut tamu dengan baik karena menyambut tamu dengan baik merupakan
perbuatan yang mulia.
UDEH TERSANGKUT PAKU
MALAH TERTIMPA DURI
KALAU AYE BOLEH TAU
APE TUJUAN ABANG DATENG KEMARI?
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku
kata, baris kedua terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku kata, baris ketiga
terdiri atas empat kata dengan jumlah tujuh suku kata, dan baris keempat terdiri atas
enam kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun
berikut.
U-deh ter-sang-kut pa-ku
Ma-lah ter-tim-pa du-ri
Ka-lau a-ye bo-leh tau-
40
A-pe tu-ju-an a-bang da-teng ke-ma-ri
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan
mudah dimengerti oleh pendengar. Untuk mengibaratkan kedatangan tamunya,
penutur pantun memilih kata “udeh tersangkut paku, malah tertimpa duri”. Kata-kata
tersebut dipilih oleh penutur pantun sebagai sampiran. Penutur pantun
menggambarkan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji
penglihatan terlihat pada kalimat “udeh tersangkut paku”, “malah tertimpa duri”.
Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh
tersangkut paku/ malah tertimpa duri.
Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“udeh”, baris kedua terdapat kata “malah”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “tau”,
dan baris keempat terdapat kata “ape”, “dateng”. Kata-kata tersebut merupakan kata-
kata yang dapat ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,
pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya
bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang
disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Udeh/ tersangkut paku
Malah/ tertimpa duri
Kalau/ aye boleh tau
Ape/ tujuan abang dateng kemari
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada bertanya dan terdapat persamaan vokal /u/ di akhir baris pertama dan ketiga.
Kemudian terdapat juga persamaan vokal /i/ terdapat di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan vokal u
dan i sebagai rima berselang menciptakan rasa penasaran, sehingga menimbulkan
suasana tanda tanya.
41
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan tujuan dari kedatangan mempelai pria, sehingga pendengar seakan-
akan ikut menyaksikan tujuan kedatangan mempelai pria tersebut. Sedangkan
penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan keingintahuan tuan rumah atas
kedatangan tamunya.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keingintahuan penutur
pantun. Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut.
Udeh tersangkut paku
Malah tertimpa duri
Kalau aye boleh tau
Ape tujuan abang dateng kemari
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa setiap kedatangan tamu pasti mempunyai
maksud dan tujuan, sehingga penutur pantun mencurigai kedatangan tamunya
tersebut. Kecurigaan penutur pantun disebabkan oleh kedatangan dari mempelai pria
beserta keluarganya. Hal tersebut membuat penutur pantun berfikir negatif tentang
kedatangan tamunya tersebut, sehingga penutur pantun menggunakan sampiran
negatif pada pantun ini. Oleh karena itu, penutur pantun menanyakan maksud
kedatangan tamunya karena ia ingin mengetahui secara jelas maksud kedatangan
tamunya tersebut. Hal tersebut menimbulkan rasa penasaran penutur pantun, sehingga
penutur pantun menggunakan nada bertanya untuk mengetahui secara jelas mengenai
maksud kedatangan tamunya. Penggunaan nada bertanya itu menciptakan suasana
tanda tanya bagi pendengar. Amanat yang terdapat dalam pantun ini bahwa
mengetahui maksud dan tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam
sirahturrahmi.
42
BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM
BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI
KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM
BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan
suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, baris
ketiga terdiri atas sembilan kata dengan jumlah delapan belas suku kata, dan baris
keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat
dibuktikan pada pantun berikut.
Bu-rung a-nis ter-bang-nye ma-lem
Bu-rung ke-na-ri ter-bang di- si-ang ha-ri
Ka-lau bu-kan lan-tar-an pe-ra-wan ma-nis yang- a-da di- da-lem
Be-lum ten-tu-nya a-ye da-teng ke-ma-ri
Pada pantun di atas penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis dan
sederhana. Kepuitisan itu terlihat saat penutur pantun menggunakan sampiran yang
kontradiksi dengan mengibaratkan seorang gadis yang berada dalam rumahnya,
dengan menggunakan kalimat “burung anis terbangnye malem”. Penutur pantun
menggunakan kata “malem”, karena kata “malem” mempunyai arti khas seorang
gadis tidak boleh keluar pada malam hari. Sedangkan kalimat “burung kenari terbang
disiang hari” diibaratkan sebagai tamu yang datang berkunjung. Penutur pantun
menggunakan kata “di siang hari”, karena kata “di siang hari” merupakan waktu yang
biasa untuk berkunjung ke rumah seseorang. Penutur pantun menggambarkan hal
tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada
kalimat “burung anis terbangnye malem”, “burung kenari terbang disiang hari”.
Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan burung
anis terbangnye malem/ burung kenari terbang disiang hari.
43
Adapun gaya bahasa yang terdapat penutur pantun dalam pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“malem”, baris ketiga terdapat “ade”, “di dalem”, dan baris keempat terdapat kata
“dateng”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.
Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Burung anis/ terbangnye malem
Burung kenari/ terbang di siang hari
Kalau bukan lantaran perawan manis/ yang ade di dalem
Belum tentunya/ aye dateng kemari
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /m/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /i/ juga dapat ditemui di akhir
baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah disebut dengan rima berselang.
Penggunaan konsonan /m/ dan vokal /i/ sebagai rima berselang menciptakan rasa
percaya diri sehingga menimbulkan suasana takjub.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan alasan kedatangan dari mempelai pria untuk meminang mempelai
wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan ketegasan mempelai pria
dalam menjawab pertanyaan dari tuan rumah. Sedangkan penggunaan kata konkret
dalam pantun ini melukiskan keberanian penutur pantun dalam menyampaikan
maksud kedatangannya.
44
2. Analisis Stuktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tujuan kedatangan tamu.
Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut.
Burung anis terbangnye malem
Burung kenari terbang di siang hari
Kalau bukan lantaran perawan manis yang ade di dalem
Belum tentunya aye dateng kemari
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun datang berkunjung untuk
meminang gadis tersebut. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan maksud
kunjungannya dengan rasa percaya diri. Pada baris ketiga dan keempat penutur
pantun menggunakan nada tegas sebagai tanda keseriusannya meminang gadis
tersebut. Penggunaan nada tegas itu menciptakan suasana takjub bagi para pendengar.
Pesan yang terkandung dalam pantun ini menyampaikan kepada pendengar agar
mengejar suatu impian dan tujuan harus didasari dengan keinginan yang kuat.
TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS
MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR
PERAWAN AYE EMANG MANIS
TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga
terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri
atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan
pada pantun berikut.
Ter-bang ke- a-wan si- bu-rung a-nis
Men-tok di- ka-rang ma-suk ke- ka-mar
Pe-ra-wan a-ye e-mang ma-nis
Ta-pi bu-kan sem-ba-rang per-ja-ke yang- bi-sa nge-la-mar
45
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik dan sederhana.
Keunikkannya itu terlihat dari penutur pantun memilih kata “mentok”, “perawan”,
dan “perjaka”. Kata-kata tersebut dapat dilukiskan penutur pantun dengan
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “terbang ke
awan si burung anis” “mentok di karang masuk ke kamar”. Sedangkan, penutur
pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan terbang ke awan si burung anis/
mentok di karang masuk ke kamar.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris ketiga terdapat kata “aye”,
“emang”, dan baris keempat terdapat kata “perjake”, “ngelamar”. Kata-kata tersebut
merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya
bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.
Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami
yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Terbang ke awan/ si burung anis
Mentok di karang/ masuk ke kamar
Perawan aye/ emang manis
Tapi bukan sembarang perjake/ yang bisa ngelamar
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada kehati-hatian dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di akhir baris pertama
dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris
kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang.
Penggunaan bunyi konsonan /s/ dan /r/ sebagai rima berselang menciptakan rasa
sombong sehingga menimbulkan suasana yang benci dan kesal.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan kehati-hatian penutur pantun dalam memilih calon menantu,
46
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kepemilihan penutur pantun
dalam memilih calon menantu. Sedangkan kata konkret dalam pantun ini melukiskan
kepemilihan penutur pantun terhadap memilih calon menantunya.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kepemilihan penutur
pantun untuk mencari calon menantu. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Terbang ke awan si burung anis
Mentok di karang masuk ke kamar
Perawan aye emang manis
Tapi bukan sembarang perjake yang bisa ngelamar
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun masih memilah-milih
calon menantu yang sesuai dengan keinginannya. Terlalu banyak memilih calon
menantu menimbulkan rasa sombong karena penutur pantun merasa anak gadisnya
itu sangat berharga bagi dirinya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada
kehati-hatiannya dalam memilih mempelai pria. Penggunaan nada hati-hati itu
menciptakan suasana kesal dan benci pada pendengar. Pesan yang disampaikan pada
pantun ini adalah ajaran untuk tidak sombong dan hati-hati dalm memilih pasangan.
DARI SEWAN KE SAWANGAN
ADE PERJAKE LAGI DIMANDIIN
BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN
TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan
suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris
ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat
47
terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat
dibuktikan pada pantun berikut.
Da-ri Se-wan ke- Sa-wa-ngan
A-de per-ja-ke la-gi di-man-di-in
Bi-ar ka-te pe-ra-wan a-bang bu-kan sem-ba-rang pe-ra-wan
Te-tep a-je ni- per-ja-ke ba-kal ja-di-in
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai bentuk
mempertahankan keinginannya untuk meminang mempelai wanita. Keunikkan
tersebut terlihat pada kalimat “ade perjake lagi dimandiin”. Kalimat itu dipilih oleh
penutur pantun bertujuan untuk menghibur pendengar. Penutur pantun menambah
keunikkannya tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan
terlihat pada kalimat “dari Sewan ke Sawangan”, “ade perjaka lagi dimandiin”.
Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan dari Sewan
ke Sawangan/ ade perjaka lagi dimandiin.
Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat kata
“ade”, “perjake”, “dimandiin”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “abang”, dan baris
keempat terdapat kata “tetep”, “aje”, “ni”, “perjake”, “jadiin”. Kata-kata tersebut
merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya
bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.
Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami
yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Dari Sewan/ ke Sawangan
Ade/ perjake lagi dimandiin
Biar kate/ perawan abang bukan sembarang perawan
Tetep aje/ ni perjake bakal jadiin
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di setiap akhir baris pantun.
48
Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi konsonan /n/
sebagai rima berangkai menciptakan rasa optimis sehingga menimbulkan suasana
yang takjub.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan perjuangan mempelai pria untuk meminang mempelai wanita,
sehingga pendengar seakan-akan meyaksikan perjuangan mempelai pria tersebut.
Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan perjuangan
penutur pantun agar mendapatkan mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketetapan pilihan dari
penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Dari sewan ke sawangan
Ade perjake lagi dimandiin
Biar kate perawan abang bukan sembarang perawan
Tetep aje ni perjake bakal jadiin
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun tetap mempertahankan
pilihannya untuk mendapatkan mempelai wanita. Hal tersebut membuat penutur
pantun merasa optimis, sehingga ia menggunakan nada tegas untuk menyampaikan
keinginannya. Penggunaan nada tegas yang diciptakan penutur pantun menimbulkan
suasana takjub bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun ini mengajarkan
agar bersikap optimis dan berusaha keras agar sesuatu yang diharapkan akan segera
tercapai.
49
MENDING ABANG PERGI KE CIKINI
DARI PADA KESENAYAN
MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI
DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Pada baris pertama terdiri atas sembilan kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris
kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri
atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris ketiga terdiri atas enam
kata dengan jumlah empat belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun
berikut.
Men-ding a-bang per-gi ke- Ci-ki-ni
da-ri pa-da ke- Se-na-yan
Men-ding a-bang ang-kat ka-ki da-ri si-ni
Da-ri pa-da ha-jat a-bang ka-ga ke-sam-pe-an
Pada pantun ini penutur pantun memberikan gambaran penolakkan terhadap
mempelai pria dengan memilih kata-kata “mending abang pergi ke Cikini, daripada
ke Senayan” sebagai sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini dengan
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “mending
abang pergi ke Cikini”, “daripada ke Senayan”. Sedangkan penutur pantun
mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan mending abang pergi ke Cikini/
daripada ke Senayan.
Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“mending”, “abang”, baris ketiga terdapat kata “mending”, “abang”, dan baris ketiga
terdapat kata “abang”, “kaga”, “kesampean”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata
yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan
katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa
percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh
50
penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini terdapat gaya
bahasa repetisi anafora. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut.
Mending abang pergi ke Cikini
Dari pada ke Senayan
Mending abang angkat kaki dari sini
Dari pada hajat abang kaga kesampean
Pada pantun di atas baris pertama dan ketiga terdapat pengulangan kata pertama
“mending abang”. Sedangkan baris kedua dan keempat terdapat pengulangan kata
pertama “daripada”. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara
padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk
menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Mending abang/ pergi ke Cikini
Dari pada/ ke Senayan
Mending abang/ angkat kaki dari sini
Dari pada/ hajat abang kaga kesampean
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk nada mengusir
dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian
terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua dan keempat.
Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /i/ dan
konsonan /n/ menciptakan rasa marah sehingga menimbulkan suasana yang kesal dan
kecewa.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan
repetisi pada kata “mending abang” dan “daripada” menunjukkan penolakan yang
jelas terhadap hajat dari tamu yang datang. Penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan ketidaksukaan penutur pantun terhadap mempelai pria, sehingga
pendengar seakan-akan menyaksikan pengusiran yang dilakukan oleh penutur pantun.
Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan penolakkan
penutur pantun atas ketidaksukaannya terhadap mempelai pria.
51
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penolakan penutur pantun.
Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Mending abang pergi ke Cikini
Dari pada ke Senayan
Mending abang angkat kaki dari sini
Dari pada hajat abang kaga kesampean
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menolak mempelai pria
untuk bersanding dengan mempelai wanita. Penolakan tersebut menimbulkan rasa
marah karena penutur pantun tidak menyukai mempelai pria tersebut, sehingga
penutur pantun menggunakan nada mengusir untuk menyampaikan rasa marahnya.
Penggunaan nada mengusir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana
kesal dan kecewa bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk
menghormati dan menyambut baik tamu yang datang ke rumah apapun tujuannya.
IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH
MASAK NASI JADI BUBUR
BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH
SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris
kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri
atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas
enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
Iba-rat ba-ju u-dah ke-pa-lang ba-sah
Ma-sak na-si ja-di bu-bur
Bi-ar ka-te a-ye ma-ti ber-ka-lang ta-nah
Se-jeng-kal ju-ga a-ye ka-ga ba-kal-an mun-dur
52
Pada awal pantun ini penutur pantun menggunakan kata perbandingan. Hal
tersebut dikarenakan penutur pantun ingin membandingkan perjuangannya dengan
menggunakan kata “Ibarat baju udah kepalang basah”. Selain itu, ia juga
membandingkan dengan menggunakan kata “masak nasi jadi bubur”. Penutur pantun
menggunakan imaji penglihatan dalam pantun ini. Imaji penglihatan terlihat pada kata
“baju udah kepalang basah”, “masak nasi jadi bubur”, “mati berkalang tanah”.
Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ibarat baju
udah kepalang basah/ masak nasi jadi bubur.
Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“udah”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “aye”, “mati”, dan baris keempat terdapat
kata “aye”, “kaga”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam
bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-
kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan
bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh pendengar. Selain
gaya bahasa percakapan, pada pantun ini juga terdapat gaya bahasa simile. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan pantun berikut.
Ibarat baju udah kepalang basah
Masak nasi jadi bubur
Pada baris pertama terdapat kata “ibarat” yang menunjukkan persamaan, yaitu
menyamakan baju yang terlanjur basah dengan tindakkan penutur pantun yang
terdapat dalam pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk
secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk
menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ibarat baju/ udah kepalang basah
Masak nasi/ jadi bubur
Biar kate aye mati/ berkalang tanah
Sejengkal juga/ aye kaga bakalan mundur
53
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /h/ di akhir baris pertama
dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris
kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang.
Penggunaan bunyi konsonan /h/ dan konsonan /r/ sebagai rima berselang
menciptakan rasa berani sehingga menimbulkan suasana yang tegang.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan
simile menunjukkan keberanian mempelai pria dalam memperjuangkan mempelai
wanita. Penggunaan imaji penglihatan menggambarkan keberanian penutur pantun
untuk melamar mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan menyaksikan
keberanian penutur pantun tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam
pantun ini melukiskan kegigihan penutur pantun dalam memperjuangkan mempelai
wanita.
2. Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Ibarat baju udah kepalang basah
Masak nasi jadi bubur
Biar kate aye mati berkalang tanah
Sejengkal juga aye kaga bakalan mundur
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi
segala kesulitan yang akan terjadi dengannya, sehingga rintangan tersebut
menimbulkan rasa berani bagi penutur pantun. Oleh karena itu, penutur pantun
menggunakan nada menantang untuk memperjuangkan mempelai wanita.
Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana
tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak
takut karena keberanian itu diperlukan untuk menghadapi suatu permasalahan yang
terjadi.
54
B. Pantun isi
Pada bagian ini berisi tanya-jawab dalam bentuk berbalas pantun dan sekaligus
meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria. Syarat pertama
mempelai pria mampu mengalahkan para jawara yang menghadangnya, sedangkan
syarat kedua mempelai pria menunjukkan kebolehannya dalam mengaji.
IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK
DALAM KUALI KUDU MASAKNYE
NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK
SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris
kedua terdiri atas empat dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas
delapan kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas
empat kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
I-kan sa-pu-sa-pu ma-ti di-tu-suk
Da-lam ku-a-li ku-du ma-sak-nye
Ni- pa-lang pin-tu ka-ga i-zin-in rom-bong-an pa-de ma-suk
Se-be-lum a-bang pe-nuh-in per-sya-rat-an-nye
Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan bentuk persyaratan pertama
dengan memilih kata “ikan sapu-sapu mati ditusuk, dalam kuali kudu masaknye”
sebagai sampiran. Agar persyaratan pertama dapat terlihat dengan jelas, maka penutur
pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat ”ikan
sapu-sapu mati ditusuk”, “dalam kuali kudu masaknye”, “ni palang pintu kaga izinin
rombongan pade masuk”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini
dengan ungkapan ikan sapu-sapu mati ditusuk/ dalam kuali kudu masaknye.
55
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat kata “kudu”,
“masaknye”, baris ketiga terdapat kata “ni”, “kaga”, “izinin”, “pade”, dan baris
keempat terdapat kata “abang”, “persyaratannye”. Kata-kata tersebut merupakan
kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,
pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya
bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang
disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Seperti pantun di bawah ini.
Ikan sapu-sapu/ mati ditusuk
Dalam kuali/ kudu masaknye
Ni palang pintu/ kaga izinin rombongan pade masuk
Sebelum abang/ penuhin persyaratannye
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu menghasilkan nada
meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /k/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan
ketiga. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi
konsonan /k/ dan vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa ketidakpuasaan
sehingga menimbulkan suasana kecewa.
Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan suatu persyaratan berupa adu ilmu bela diri yang harus dipenuhi
oleh mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah
mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan
tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan
permintaan penutur pantun kepada mempelai pria.
56
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persyaratan penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Ikan sapu-sapu mati ditusuk
Dalam kuali kudu masaknye
Ni palang pintu kaga izinin rombangan pade masuk
Sebelum abang penuhin persyaratannye
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta syarat pertama
kepada mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah
mempelai wanita. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasaan terhadap mempelai
pria karena penutur pantun ingin membuktikan keseriusan dari mempelai pria. Oleh
karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bukti keseriusan dari
mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun
menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini
mengajarkan untuk tidak merasa puas terhadap suatu hal karena masih banyak
rintangan yang harus dilewati.
KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO
JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE
KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO
SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris
ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat
terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata. Hal tersebut dapat
dibuktikan pada pantun berikut.
57
Ke- ta-nah a-bang mem-be-li li-mo
Ja-ngan lu-pe sam-bel ke-cap-nye
Ka-lo e-mang i-tu yang- a-bang ma-o
Se-bu-tin dah- sya-rat-sya-rat-nye
Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan penerimaan syarat dengan
memilih kata “ke tanah abang membeli limo, jangan lupe sambel kecapnye” sebagai
sampiran. Penutur pantun melukiskan penerimaan syarat dengan menggunakan imaji
penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ke tanah abang membeli limo”,
“jangan lupa sambel kecapnye”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan
pantun ini dengan ungkapan ke tanah abang membeli limo/ jangan lupa sambel
kecapnye.
Adapun Gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“abang”, “limo”, baris kedua terdapat kata “lupe”, “sambel”, “kecapnye”, baris ketiga
terdapat kata “kalo”, “emang”, “abang”, “mao”, dan baris keempat terdapat kata
“sebutin”, “dah”, “syaratnye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah
kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan ini
bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur
pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ke tanah abang/ membeli limo
Jangan lupe/ sambel kecapnye
Kalo/ emang itu yang abang mao
Sebutin dah/ syarat-syaratnye
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar
perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada
menerima dan juga terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
58
bunyi vokal /o/ dan bunyi vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak
takut sehingga menimbulkan suasana yang takjub.
Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan kesanggupan dari mempelai pria untuk memenuhi syarat dari orang
tua mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan
kesanggupan mempelai pria atas penerimaan syarat tersebut. Sedangkan, penggunaan
kata konkret dalam pantun ini menggambarkan penerimaan syarat yang diajukan oleh
orang tua mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat penutur pantun dalam pantun ini menggambarkan tentang
persyaratan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Ke tanah abang membeli limo
Jangan lupe sambel kecapnye
Kalo emang itu yang abang mao
Sebutin dah syarat-syaratnye
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menerima persyaratan
yang diberikan oleh orang tua dari mempelai wanita untuk menunjukkan bukti
keseriusannya meminang anak gadisnya. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak takut
penutur pantun dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, penutur pantun
menggunakan nada menerima saat menyanggupi persyaratan dari orang tua mempelai
wanita. Penggunaan nada menerima yang diciptakan penutur pantun menimbulkan
suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan
untuk selalu berusaha dalam menghadapi halangan dan rintangan agar tercapai segala
hasrat dan keinginan.
59
UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT
AYAM JAGO TERTIMPE BATU
PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT
NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris
ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris keempat terdiri
atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan
pada pantun berikut.
U-deh pe-lan-pe-lan ter-sang-kut ka-wat
A-yam ja-go ter-tim-pe ba-tu
Pa-sang ke-pe-lan a-bang bi-ar ku-at
Nih- long-ka-in du-lu ja-wa-ra a-ye sa-tu per-sa-tu
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai
bentuk tantangan yang harus dilewati oleh mempelai pria. Penutur pantun
menggambarkan tantangan tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji
penglihatan terlihat pada kalimat “udeh pelan-pelan tersangkut kawat”, “ayam jago
tertimpe batu”, “pasang kepelan abang biar kuat”. Sedangkan penutur pantun
mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh pelan-pelan tersangkut kawat/
ayam jago tertimpe batu.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat terlihat pada baris pertama
terdapat kata “udeh”, baris kedua terdapat kata “tertimpe”, baris ketiga terdapat kata
“kepelan”, “abang”, dan baris keempat terdapat kata “longkain”, “jawara”, “aye”.
Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan
sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan
60
kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar
dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau
irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun
menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana
terlihat di bawah ini.
Udeh pelan-pelan/ tersangkut kawat
Ayam jago/ tertimpe batu
Pasang kepelan abang/ biar kuat
Nih longkain dulu/ jawara aye satu persatu
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ diakhir baris pertama
dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ diakhir baris kedua
dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang.
Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan
rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang.
Jadi pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria, sehingga
pendengar seakan-akan ikut menyaksikan rintangan tersebut. Sedangkan, penggunaan
kata konkret dalam pantun ini melukiskan beratnya rintangan yang harus dilalui oleh
mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.
Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Udeh pelan-pelan tersangkut kawat
Ayam jago tertimpe batu
Pasang kepelan abang biar kuat
Nih longkain dulu jawara aye satu persatu
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria
untuk melawan jawaranya satu persatu. Tantangan tersebut menimbulkan rasa tidak
61
takut karena penutur pantun ingin mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh
mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang
sebagai bentuk persyaratan pertama yang harus dilalui oleh mempelai pria.
Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana
tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak
bersikap sombong meskipun mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang lain.
AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP
TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG
JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP
TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris
ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat
terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan
pada kutipan berikut.
A-yam ja-go a-bang e-mang ca-kep
Ta-pi sa-yang ja-lan-nya ba-plang
Ja-go-an a-bang ke-lia-tan-nye ca-kep
Te-tep a-je a-ye- ba-ka-lan kem-plang
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sindiran sebagai bentuk
keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita, “ayam
jago abang emang cakep, tapi sayang jalannya baplang”. Kata-kata tersebut dipilih
penutur pantun sebagai bentuk sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini
dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat
“Ayam jago abang emang cakep”, “jalannya baplang”, “jagoan abang keliatannye
62
cakep”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan
ayam jago abang emang cakep/ tapi sayang jalannya baplang.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“abang”, “emang”, “cakep”, baris kedua terdapat kata “baplang”, baris ketiga terdapat
kata “abang”, “keliatannye”, “cakep”, dan baris keempat terdapat kata “tetep”, “aje”,
“aye”, “bakalan”, “kemplang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah
kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan
bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun.
Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ayam jago abang/ emang cakep
Tapi sayang/ jalannya baplang
Jagoan abang/ keliatannye cakep
Tetep aje/ aye bakalan kemplang
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama
dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /g/ di akhir baris
kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
bunyi konsonan /p/ dan konsonan /g/ sebagai rima berselang menciptakan tidak takut
sehingga menimbulkan suasana yang tegang.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan keberanian mempelai pria untuk melawan jawara dari mempelai
wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian dari mempelai
pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan
ketidaktakutan mempelai pria dalam menghadapi tantangan dari mempelai wanita.
63
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Ayam jago abang emang cakep
Tapi sayang jalannya baplang
Jagoan abang keliatannye cakep
Tetep aje aye bakalan kemplang
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menyindir jawara dari
mempelai wanita dengan maksud untuk membuktikan keberaniannya, meskipun
lawannya terlihat lebih hebat. Keberaniannya tersebut menyebabkan rasa tidak takut
penutur pantun terhadap lawannya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan
nada menantang agar lawannya tidak berani menghadapi dirinya. Penggunaan nada
menatang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi
pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak memandang
sebelah mata kepada orang lain karena belum tentu kita lebih baik daripada orang itu.
SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT
SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN
JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT
COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri dari empat kata dengan jumlah sembilan
suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris
ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat
terdiri atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat
dibuktikan pada pantun berikut.
Se-mut rang-rang ka-ge ber-con-cot
Su-ka nge-ru-but-in ti-mun pu-an
Ja-di o-rang ja-ngan ba-nyak ba-cot
64
Co-ba tun-juk-in a-bang pu-nye ke-mam-pu-an
Pada pantun ini penutur pantun juga menggunakan kata-kata menantang sebagai
bentuk kekesalan penutur pantun atas sikap dari mempelai pria. Penutur pantun
memilih kata “semut rangrang kage berconcot, suka ngerubutin timun puan” sebagai
bentuk sampiran. Dalam pantun ini penutur pantun menggunakan imaji penglihatan.
Imaji penglihatan terlihat pada kata-kata “semut rangrang kage berconcot”,
“ngerubutin timun puan”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini
dengan ungkapan semut rangrang kage berconcot/ ngerubutin timun puan.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“kage”, “berconcot”, baris kedua terdapat kata “ngerubutin”, baris ketiga terdapat
kata “bacot”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “punye”. Kata-kata tersebut
merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya
bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.
Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami
yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Semut rangrang/ kage berconcot
Suka ngerubutin/ timun puan
Jadi orang/ jangan banyak bacot
Coba tunjukin/ abang punye kemampuan
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar
perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada
menantang dan juga terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris kedua
dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
bunyi konsonan /t/ dan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa marah sehingga
menimbulkan suasana yang tegang.
65
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita terhadap mempelai pria,
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan dari jawara mempelai
wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan
ketidaksukaan jawara dari mempelai wanita atas sikap mempelai pria yang terlalu
banyak bicara.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.
Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Semut rangrang kage berconcot
Suka ngerubutin timun puan
Jadi orang jangan banyak bacot
Coba tunjukin abang punye kemampuan
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria
untuk menunjukkan ilmu bela dirinya. Hal ini dimaksudkan agar calon suami dari
mempelai wanita mampu melindungi calon istrinya. Namun, efek sindiran dari jawara
mempelai pria membuat penutur pantun menjadi marah karena penutur pantun hanya
melihat jawara dari mempelai pria terlalu banyak bicara tanpa adanya tindakan
apapun. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan pantun ini dengan
menggunakan nada menantang untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh
mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun
menimbulkan suasana yang tegang bagi pendengar. Amanat yang terkandung pada
pantun ini mengajarkan untuk sedikit berbicara banyak bekerja.
66
MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA
NAEK GETEK KE RAWA BUAYE
CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA
MASIH CETEK BUAT AYE
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga
terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat terdiri atas
empat kata dengan jumlah delapan suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
Ma-kan kue- pu-tu di- ba-gi ti-ga
Na-ek ge-tek ke- Ra-wa Bu-a-ye
Cu-man se-gi-tu yang- en-te bi-sa
Ma-sih ce-tek bu-at a-ye
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai
gambaran atas ketidakpuasan penutur pantun terhadap ilmu bela diri yang dimiliki
oleh mempelai pria. Penutur pantun melukiskan ketidakpuasan tersebut dengan
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “makan kue
putu di bagi tiga”, “naek getek ke Rawa Buaye”. Penutur pantun mengkonkretkan
pantun ini dengan ungkapan makan kue putu dibagi tiga/ naek getek ke Rawa Buaye.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat
kata “getek”, “Rawa Buaya”. Baris kedua terdapat kata “cuman”, “ente”, dan baris
keempat terdapat kata “cetek”, “aye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang
ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya
adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa
percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh
67
penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu
karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Makan kue putu/ di bagi tiga
Naek getek/ ke Rawa Buaye
Cuman segitu/ yang ente bisa
Masih cetek/ buat aye
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
bunyi vokal /a/ dan /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa sombong sehingga
menimbulkan suasana yang kesal.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita atas kemampuan yang
dimiliki oleh lawannya, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan
yang dilakukan oleh jawara mempelai wanita untuk menjatuhkan lawannya.
Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidakpuasan
jawara mempelai wanita atas kemampuan dari mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun.
Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Makan kue putu di bagi tiga
Naek getek ke Rawa Buaye
Cuman segitu yang ente bisa
Masih cetek buat aye
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang lawannya
karena ketidakpuasaanya dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawan.
Ketidakpuasaan tersebut menimbulkan rasa sombong penutur pantun karena
68
kemampuan bertarung yang dimiliki lawan tidak sebanding dengan kemampuan yang
penutur pantun miliki. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir
untuk menjatuhkan lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur
pantun menimbulkan suasana kesal bagi pendengar. Pesan yang ingin disampaikan
pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak menilai rendah orang lain.
NONTON LENONG PERGI KE MONAS
TANPA ALAS KAKI PUN PANAS
BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS
GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku
kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga
terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas
enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
Non-ton le-nong per-gi ke- mo-nas
Tan-pa a-las ka-ki pun- pa-nas
Bang- ka-lo ngo-mong ja-ngan pa-nas-pa-nas
Gue- be-lah pa-la lu- ka-ya na-nas
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai
bentuk rasa sakit hatinya terhadap perkataan jawara dari mempelai wanita. Rasa sakit
hati penutur pantun dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan, dan imaji
pendengaran. Pada imaji penglihatan terlihat pada kalimat “nonton lenong pergi ke
Monas” dan imaji pendengaran terlihat pada kalimat “kalo ngomong jangan panas-
panas”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan
nonton lenong pergi ke Monas/ tanpa alas kaki pun panas.
69
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan dan simile. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama
terdapat kata “lenong”, baris ketiga terdapat kata “bang”, “kalo”, “ngomong”, dan
baris keempat terdapat kata “gue”, “lu”, “kaya”. Kata-kata tersebut merupakan kata-
kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,
pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya
bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang
disampaikan oleh penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini
terdapat juga gaya bahasa simile. Gaya bahasa simile terlihat pada baris keempat ”gue
belah pala lu kaya nanas”. Di sini penutur pantun menunjukkan kesamaan membelah
kepala lawannya seperti membelah buah nanas. Selain itu, ritma atau irama dalam
pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua
frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di
bawah ini.
Nonton lenong/ pergi ke monas
Tanpa/ alas kaki pun panas
Bang/ kalo ngomong jangan panas-panas
Gue belah/ pala lu kaya nanas
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada marah dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di setiap akhir baris pantun.
Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan bunyi
konsonan /s/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa kesal sehingga menimbulkan
suasana takut.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan keinginan mempelai pria untuk membalas jawara dari mempelai
wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembalasan dari
mempelai pria tersebut. Selain itu, penggunaan imaji pendengaran mendengarkan
ucapan kasar yang terlontar dari mulut jawara mempelai wanita, sehingga seakan-
akan pendengar ikut mendengar ucapan-ucapan kasar tersebut. Sedangkan,
70
penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa marah mempelai pria atas
sindiran dari jawara mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemarahan penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Nonton lenong pergi ke monas
Tanpa alas kaki pun panas
Eh bang kalo ngomong jangan panas-panas
Gue belah pala lu kaya nanas
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun sangat marah ketika
ditantang oleh lawannya karena kemampuan yang ia miliki tidak sebanding dengan
lawannya. Hal tersebut membuat penutur pantun menjadi kesal karena tersinggung
atas ucapan dari jawara mempelai wanita. Oleh karena itu, penutur pantun
menyampaikan pantun ini dengan menggunakan nada marah untuk membalas rasa
sakit hatinya. Penggunaan nada marah yang diciptakan penutur pantun menimbulkan
suasana takut bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk menjaga
ucapan dalam setiap perkataan karena perkataan yang tidak baik dapat menimbulkan
pertingkaian.
AYE KATE JUGA APE BANG
ADE LINTAH LAGI NGAMBANG
AYE KATE JUGA APE BANG
PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku
kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris
ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat
71
terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan
pada pantun berikut.
A-ye ka-te ju-ga ape- bang-
A-de lin-tah la-gi ngam-bang
A-ye ka-te ju-ga ape- bang-
Pa-tah deh- le-her ja-go-an a-bang
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata pengulangan “aye kate
juga ape bang” di baris pertama dan ketiga. Kata pengulangan ini dipilih penutur
pantun sebagai pembuktiannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penutur
pantun melukiskan kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji
penglihatan terlihat pada kata “ade lintah lagi ngambang”, “patah deh leher jagoan
abang”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan aye
kate juga ape bang/ ade lintah lagi ngambang.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan dan repetisi. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama
terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, baris kedua terdapat kata “ade”,
“ngambang”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, dan baris
keempat terdapat kata “abang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah
kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan
bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur
pantun. Selain itu, terdapat gaya bahasa repetisi dalam pantun ini. Hal itu dapat
dilihat pada pantun berikut.
Aye kate juga ape bang
Ade lintah lagi ngambang
Aye kate juga ape bang
Patah deh leher jagoan abang
Gaya bahasa repetisi pada pantun di atas terlihat di baris pertama dan ketiga
dengan kata “aye kate juga ape bang”. Di sini terjadi perulangan bunyi pada bagian
baris yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
72
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Aye kate/ juga ape bang
Ade lintah/ lagi ngambang
Aye kate/ juga ape bang
Patah deh/ leher jagoan abang
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi konsonan /ang/ di akhir setiap baris
pantun. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan
bunyi konsonan /ang/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa sombong sehingga
menimbulkan suasana yang kesal.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan mempelai pria mengalahkan jawara dari mempelai wanita, sehingga
pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan mempelai pria dalam
mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Sedangkan penggunaan kata konkret
dalam pantun ini melukiskan kesombongan dari mempelai pria atas kemenangannya
melawan jawara mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang kemenangan
penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Aye kate juga ape bang
Ade lintah lagi ngambang
Aye kate juga ape bang
Patah deh leher jagoan abang
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun merasa dirinya hebat
karena mampu mengalahkan lawannya dengan mudah. Namun, kemenangannya itu
menimbulkan rasa sombong karena menganggap dirinya mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.
73
Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir untuk meremehkan
lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan
suasana kesal terhadap pendengar. Amanat dalam pantun di atas adalah ajaran untuk
tidak merendahkan kemampuan orang lain.
ADE LINTAH MAKAN PEPAYE
LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN
WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE
AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku
kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga
terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris keempat terdiri
atas tujuh kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada
pantun berikut.
A-de lin-tah ma-kan pe-pa-ye
Lin-tah ma-tok di- bung-kus ka-en
Wa-lau-pun pa-tah le-her ja-go-an a-ye
A-ye ma-sih pu-nya stok- ja-go-an yang- la-en
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai cara
untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Cara yang digunakan penutur pantun
untuk mengalahkan lawannya dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan.
Imaji penglihatan terlihat pada kata “ade lintah makan pepaye”, “lintah matok
dibungkus kaen”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan pantun ini dengan
ungkapan ade lintah makan pepaye/ lintah mantok dibungkus kaen.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“ade”, “pepaye”, baris kedua terdapat kata “matok”, “kaen”, baris ketiga terdapat kata
74
“aye”, dan baris keempat terdapat kata “aye”, “laen”. Kata-kata tersebut merupakan
kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini,
pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya
bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang
disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ade lintah/ makan pepaye
Lintah matok/ di bungkus kaen
Walaupun/ patah leher jagoan aye
Aye/ masih punya stok jagoan yang laen
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada sombong dan terdapat persamaan bunyi vokal /e/ diakhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua
dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang.
Penggunaan bunyi vokal /e/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan
rasa optimis sehingga menimbulkan suasana yang takjub.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan ketidakputusasaan mempelai pria untuk mengalahkan lawannya,
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan usaha yang dilakukan mempelai
pria untuk mengalahkan lawannya. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam
pantun ini melukiskan bentuk usaha dari mempelai pria untuk mengalahkan
lawannya,
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketidakputusasaan penutur
pantun. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut.
Ade lintah makan pepaye
Lintah matok di bungkus kaen
75
Walaupun patah leher jagoan aye
Aye masih punya stok jagoan yang laen
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai cara lain
untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Usahanya tersebut menimbulkan rasa
optimis karena penutur pantun merasa yakin dapat mengalahkan lawannya dengan
mudah. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada sombong sebagai
usahanya untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Penggunaan nada sombong
yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar.
Amanat yang terkandung dalam pantun ini adalah ajaran untuk tidak menyerah,
karena masih banyak cara lain untuk menghadapi berbagai permasalahan.
ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN
TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU
WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN
AYE ADEPIN SATU PERSATU
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku
kata, baris kedua terdiri atas lima kata dan jumlah dua belas suku kata, baris ketiga
terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri
atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
kutipan berikut.
A-de lin-tah di- bung-kus ka-en
Ta-pi a-ye i-tung-in be-ri-bu sa-tu
Wa-lau-pun a-bang pu-nye ja-go-an yang- la-en
A-ye a-dep-in sa-tu per-sa-tu
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai
gambaran atas keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai
wanita. Keberanian tersebut dilukiskan penutur pantun dengan menggunakan imaji
penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “lintah dibungkus kaen”, “aye
76
itungin beribu satu”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan
ungkapan ade lintah dibungkus kaen/ tapi aye itungin beribu satu.
Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah
gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama
terdapat kata “ade”, “kaen”, baris kedua terdapat kata “aye”, “itungin”, baris ketiga
terdapat kata “abang”, “punye”, “laen”, dan baris keempat terdapat kata “aye”,
“adepin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.
Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ade lintah/ di bungkus kaen
Tapi aye itungin/ beribu satu
Walaupun/ abang punye jagoan yang laen
Aye adepin/ satu persatu
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama
dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ di akhir baris kedua
dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
bunyi konsonan /n/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan rasa optimis
sehingga menimbulkan suasana yang takjub.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan keberanian mempelai pria dalam menghadapi jawara dari mempelai
wanita satu persatu, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian
dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini
melukiskan keberanian mempelai pria dalam menghadapi lawannya satu persatu.
77
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur
pantun. Hal tersebut dapat dilihat pantun berikut.
Ade lintah di bungkus kaen
Tapi aye itungin beribu satu
Walaupun abang punye jagoan yang laen
Aye adepin satu persatu
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi
lawan-lawannya satu persatu. Keberanian tersebut menimbulkan rasa optimis karena
penutur pantun mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada kemampuan yang
dimiliki oleh lawannya, sehingga ia yakin mampu mengalahkan lawannya satu
persatu. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang untuk
menghadapi lawannya. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun
menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang terkandung dalam pantun
ini mengajarkan agar mampu menghadapi suatu permasalahan yang rumit, karena
setiap permasalahan akan terpecahkan apabila yakin dengan kemampuan diri sendiri.
BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP
KARENA BERGURU DI HAJI ABA
JAGOAN AYE EMANG NGETOP
LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN SABA
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga
terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri
atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
78
Be-la-jar bek-si ja-ngan di- se-top
Ka-re-na ber-gu-ru di- ha-ji A-ba
Ja-go-an a-ye e-mang nge-top
Lan-ta-ran ber-gu-ru di- Pa-de-po-kan SA-BA
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan nama perguruan sebagai bentuk
kemenangannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Kemenangannya
tersebut ia raih karena berguru di Padepokan SABA. Penutur pantun melukiskan
kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat
pada kata “belajar beksi”, “berguru dihaji Aba”. Sedangkan penutur pantun
mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan belajar beksi jangan disetop/ karena
berguru di haji Aba.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama terdapat
kata “setop”, dan baris ketiga terdapat kata “aye”, “emang”, “ngetop”. Kata-kata
tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari.
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata
percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar paham
yang disampaikan oleh pengarang. Selain itu ritma atau irama dalam pantun ini
membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Belajar beksi/ jangan di setop
Karena berguru/ di haji aba
Jagoan aye/ emang ngetop
Lantaran berguru/ di Padepokan SABA
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada senang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
bunyi konsonan /p/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa bangga
sehingga menimbulkan suasana kagum.
79
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan kemenangan mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA,
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan penutur pantun
tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa
bangga mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemenangan penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Belajar beksi jangan di setop
Karena berguru di haji aba
Jagoan aye emang ngetop
Lantaran berguru di Padepokan SABA
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai kemampuan
yang hebat sehingga mampu mengalahkan lawannya. Kemampuan tersebut ia raih
karena berguru di Padepokan SABA, sehingga penutur pantun menunjukkan
kemenangannya tersebut dengan mengungkapkan rasa bangga karena penutur pantun
ingin membuktikan kepada orang lain bahwa kemampuan yang ia raih berguru di
Padepokan SABA. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada senang saat
berhasil mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penggunaan nada senang yang
diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kagum bagi pendengar. Amanat
pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak berhenti mencari ilmu dan tidak
mudah puas dengan kemampuan yang dimiliki sekarang.
80
IKAN GURAME ELU SIANGIN
KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA
SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN
TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh
suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris
ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat
terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat
pada pantun berikut.
I-kan gu-ra-me e-lu si-ang-in
Ka-lo u-deh tar- gua- yang- ba-wa
Sa-rat per-ta-me bo-leh u-dah lu- pe-nuh-in
Ta-pi ma-sih a-de sa-rat yang- ke-dua
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik. Penggunaan
Kata-kata unik tersebut sebagai bentuk permintaan penutur pantun mengenai syarat
yang kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria. Penutur pantun menggambarkan
permintaannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat
pada kata “ikan gurame elu siangin”, “kalo udeh tar gua yang bawa”. Sedangkan
penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ikan gurame elu
siangin/ kalo udeh tar gua yang bawa.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“elu”, baris kedua terdapat kata “kalo”, “udeh”, “tar”, “gua”, baris ketiga terdapat
kata “sarat”, “pertame”, “udah”, “lu”, dan baris keempat terdapat kata “ade”,
“syarat”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
81
agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.
Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Ikan gurame/ elu siangin
Kalo udeh/ tar gua yang bawa
Sarat pertame/ boleh udah lu penuhin
Tapi/ masih ade sarat yang kedua
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan inilah disebut dengan rima berselang. Penggunaan bunyi
konsonan /n/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak puas
sehingga menimbulkan suasana kecewa.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan suatu permintaan berupa pembacaan ayat suci Al-qur’an yang harus
dipenuhi oleh mempelai pria sebagai syarat kedua, sehingga pendengar seakan-akan
ikut menyaksikan permintaan dari orang tua mempelai wanita tersebut. Sedangkan
penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan dari orang tua
mempelai wanita mengenai syarat kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan permintaan penutur
pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Ikan gurame elu siangin
Kalo udeh tar gua yang bawa
Sarat pertame boleh udah lu penuhin
Tapi masih ade sarat yang kedua
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan
kedua kepada mempelai pria sebagai bukti keseriusannya untuk meminang mempelai
82
wanita, dengan penutur pantun meminta persyaratan yang kedua menimbulkan rasa
tidak puas karena penutur pantun merasa bukti keseriusan dari mempelai pria masih
kurang. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta untuk bukti
keseriusan dari mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur
pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Amanat dalam pantun tersebut
adalah mengajarkan untuk tidak boleh merasa puas terhadap sesuatu yang telah
diraih, karena masih banyak rintangan lainnya yang harus dilewati.
BURUNG DARA BURUNG KENARI
RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI
SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI
CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan
suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris
ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat
terdiri atas delapan kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat
dilihat pada pantun berikut.
Bu-rung da-ra bu-rung ke-na-ri
Ren-dah ter-bang-nye di- pu-un kra-nji
Se-la-en bi-sa bu-at ja-ga di-ri
Ca-lon man-tu ju-ra-gan aye- ju-ga ha-rus bi-sa nga-ji
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis. Penggunaan
Kata-kata puitis ini dipilih oleh penutur pantun sebagai bentuk permintaan yang
menginginkan calon menantunya untuk dapat mengaji. Penutur pantun
menggambarkan permintaannya tersebut, penutur pantun menggunakan imaji
penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “burung dara burung kenari”,
“rendah terbangnye di puun kranji”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan
83
pantun ini dengan ungkapan burung dara burung kenari/ rendah terbangnye di puun
kranji.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“terbangnye”, “puun”, baris ketiga terdapat kata “selaen”, dan baris keempat terdapat
kata “mantu”, “aye”, “ngaji”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah
kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan
bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur
pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Burung dara/ burung kenari
Rendah terbangnye/ di puun kranji
Selaen bisa/ buat jaga diri
Calon mantu/ juragan aye juga harus bisa ngaji
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di setiap akhir baris pantun.
Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. penggunaan bunyi vokal
/i/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa tidak puas sehingga menimbulkan
suasana kecewa.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan suatu permintaan orang tua dari mempelai wanita kepada mempelai
pria untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sehingga pendengar seakan-akan
ikut menyaksikan permintaan orang tua dari mempelai wanita tersebut. Sedangkan
penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan orang tua dari
mempelai wanita kepada mempelai pria untuk mengaji.
84
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam ini mengambarkan permintaan penutur pantun. Hal itu
dapat dilihat pada pantun berikut.
Burung dara burung kenari
Rendah terbangnye di puun kranji
Selaen bisa buat jaga diri
Calon mantu juragan aye juga harus bisa ngaji
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan
kedua kepada calon mempelai pria berupa kefasihannya dalam mengaji karena
penutur pantun berharap mempunyai calon menantu yang mampu melindungi
anaknya dan membawa anaknya menuju jalan yang dirodhoi oleh Allah SWT.
Namun, Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa tidak puas karena
penutur pantun menginginkan calon menantu yang mampu melindungi anaknya dan
membawa anaknya ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, penutur
pantun menggunakan nada meminta saat menginginkan calon menantunya mengaji.
Penggunaan nada meminta yang dipilih penutur pantun menimbulkan suasana kecewa
bagi pendengar. Amanat pantun di atas mengajarkan untuk selektif dalam memilih
pasangan.
KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI
GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN
NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI
NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN
1. Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas
suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris
85
ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah lima belas suku kata, dan baris keempat
terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan
pada pantun berikut.
Ka-lo ma-o mo-tong ke-lam pa-ke ger-ga-ji
Ger-ga-ji-nya ku-du di-ta-jem-in
Na-ma-nya o-rang is-lam e-mang ha-rus bi-sa nga-ji
Nih- mu-rid-nya nga-ji e-lu de-nger-in
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana sebagai
bentuk pembuktian kepada calon mertua bahwa calon menantunya mempunyai
seorang murid yang dapat mengaji. Pembuktian tersebut digambarkan dengan
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan dapat terlihat pada kata “kalo mao
motong kelam pake gergaji”, “gergajinya kudu ditajemin”. Sedangkan penutur pantun
mengkonkretkan dengan ungkapan kalo mao motong kelam pake gergaji/ gergajinya
kudu ditajemin.
Adapun gaya bahasa yang dipergunakan pada pantun ini adalah gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kalo”,
“mao”, “motong”, “pake”, baris kedua terdapat kata “kudu”, “ditajemin”, baris ketiga
terdapat kata “emang”, “ngaji”, dan baris keempat terdapat kata “ngaji”, “elu”,
“dengerin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu,
ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris
pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda.
Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Kalo/ mao motong kelam pake gergaji
Gergajinya/ kudu ditajemin
Namanya orang islam/ emang harus bisa ngaji
Nih muridnya ngaji/ elu dengerin
Pada kutipan pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu,
penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk
86
menghasilkan nada bangga dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di akhir baris
pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir
baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang.
Penggunaan bunyi vokal /i/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan
rasa senang sehingga menimbulkan suasana kagum.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan kefasihan mempelai pria membacakan ayat-ayat suci Al-qur’an,
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembacaan ayat-ayat suci Al-
qur’an tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan
kefasihan mempelai pria mengaji.
2. Analisis Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang keagamaan. Hal
itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Kalo mao motong kelam pake gergaji
Gergajinya kudu ditajemin
Namanya orang islam emang harus bisa ngaji
Nih muridnya ngaji elu dengerin
Pada pantun di atas menunjukkan bahwa penutur pantun membuktikan kepada
calon mertuanya kemahiran muridnya dalam mengaji karena mengaji merupakan
salah satu syari’at islam. Menunjukkan kemahirannya dalam mengaji menimbulkan
rasa senang karena penutur pantun membuktikan kepada semua orang bahwa orang
islam mampu membaca Ayat-ayat suci Al-qur’an. Sehingga, penutur pantun
menggunakan nada bangga saat membuktikan kefasihannya dalam mengaji.
Penggunaan nada bangga yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana
kagum bagi pendengar. Amanat pada pantun tersebut mengajarkan kita sebagai orang
muslim untuk dapat mengaji agar kelak dapat menuntun ke jalan yang ridhoi Allah
SWT.
87
C. Pantun Penutup
Pada bagian penutup berisikan tentang harapan-harapan dari kedua mempelai pria
dan mempelai wanita. Harapan tersebut bertujuan untuk menyatukan kedua pihak
keluarga dalam satu ikatan pernikahan.
KAGA PUNTUNG KAGA BENDO
BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA
ADA UNTUNG ADA JODO
KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan
suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris
ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat
terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada
pantun berikut.
Ka-ga pun-tung ka-ga ben-do
Ba-jang-ba-jang di- pu-un ka-ra
A-da un-tung a-da jo-do
Ki-ta pan-jang-pan-jang sa-nak so-da-ra
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai
gambaran untuk mempererat tali persaudaraannya kepada mempelai pria. Gambaran
tersebut dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat
pada kata “kaga puntung kaga bendo”, “bajang-bajang di puun kara”. Sedangkan
penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan kaga puntung kaga
bendo/ bajang-bajang di puun kara.
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata
“kaga”, baris kedua terdapat kata “puun”, baris ketiga terdapat kata “jodo”, dan baris
keempat terdapat kata “sodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
88
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah
kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan
bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur
pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Kaga puntung/ kaga bendo
Bajang-bajang/ di puun kara
Ada untung/ ada jodo
Kita panjang-panjang/ sanak sodara
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan
keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi
vokal /o/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga
menimbulkan suasana yang gembira.
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan keinginan keluarga dari mempelai wanita untuk mempererat tali
persaudaraan kepada keluarga dari mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan
ikut menyaksikan keinginan keluarga mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan
kata konkret dalam pantun ini melukiskan harapan keluarga dari mempelai wanita
untuk mempererat tali persaudaraan kepada keluarga mempelai pria.
2. Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persaudaraan. Hal tersebut
dapat dilihat pada pantun berikut.
Kaga puntung kaga bendo
Bajang-bajang di puun kara
Ada untung ada jodo
Kita panjang-panjang sanak sodara
89
Pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun berharap dapat mempererat dan
memperpanjang tali persaudaraan dengan menerima mempelai pria sebagai calon
menantunya. Penerimaan tersebut menimbulkan rasa senang karena penutur pantun
telah memilih pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Sehingga, penutur pantun
menggunakan nada meminta sebagai bentuk mempererat tali persaudaraan.
Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana
gembira bagi pendengar. Pesan yang terkandung pada pantun ini adalah ajaran dalam
mencari pasangan, karena dalam mencari pasangan merupakan salah satu usaha untuk
mempererat dan memperpanjang tali sirahturrahmi.
GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI
ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA
BIAR PUTUS AER DI KALI
JANGAN PUTUS KITA BERSODARA
1. Analisis Struktur Fisik
Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat
merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku
kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga
terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat terdiri atas
empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
pantun berikut.
Gu-nung me-le-tus di- Me-dan De-li
A-sep-nya ke-lu-ar sam-pe mu-a-ra
Bi-ar pu-tus aer- di- ka-li
Ja-ngan pu-tus ki-ta ber-so-da-ra
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sederhana sebagai bentuk
balasan permintaan dari keluarga mempelai wanita. Bentuk permintaan tersebut
berupa keinginan untuk mempererat tali sirahturrahmi meskipun sanak saudara telah
tiada. Oleh karena itu, penutur pantun melukiskan permintaan tersebut dengan
90
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “gunung
meletus di Medan Deli”, “asepnya keluar sampe muara”. Sedangkan penutur pantun
mengkonkretkan dengan ungkapan gunung meletus di Medan Deli/ asepnya keluar
sampe muara.
Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah
gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat
kata “sampe”, baris ketiga terdapat kata “aer”, dan baris keempat terdapat kata
“bersodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun.
Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan
tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini.
Gunung meletus/ di Medan Deli
Asepnya keluar/ sampe muara
Biar putus/ aer di kali
Jangan putus/ kita bersodara
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur
pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan
nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan
ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ diakhir baris kedua dan
keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi
vokal /i/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga
menimbulkan suasana yang gembira .
Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan imaji penglihatan
menggambarkan keinginan mempelai pria untuk tetap menjaga hubungan
persaudaraan, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan permintaan dari
mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini
91
melukiskan keinginan mempelai pria untuk menjaga hubungan persaudaraan dengan
keluarga mempelai wanita.
2. Struktur Batin
Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang persaudaraan. Hal
itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Gunung meletus di Medan Deli
Asepnya keluar sampe muara
Biar putus aer di kali
Jangan putus kita bersodara
Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta kepada
mempelai wanita untuk tetap menjalin tali persaudaraan meskipun sanak saudara
sudah tiada. Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa senang karena
penutur pantun ingin menjalin tali persaudaraan dengan keluarga mempelai wanita.
Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bentuk ikatan
persaudaraan. Penggunaan nada meminta tersebut menimbulkan suasana gembira
bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun tersebut mengajarkan untuk tetap
menjaga tali sirahturrahmi kepada sanak saudara, meskipun mereka telah tiada.
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP
Sesuai dengan amanat kurikulum 2006, pembelajaran sastra hendaknya digunakan
peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang hayat
yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman. Oleh
karena itu, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis,
dan menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak
melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya saja, tetapi langsung berhadapan
dengan karya sastranya. Mereka memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra
bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung memahami sendiri melalui
berhadapan dan membaca langsung karya sastranya.
92
Berdasarkan penjelasan di atas, hal tersebut sesuai dengan yang diajarkan pada
kelas VIII SMP melalui Standar Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu:
Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi. Sedangkan,
Kompetensi Dasar (KD): 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi.
Dengan indikator sebagai berikut.
1. Mampu menyebutkan struktur fisik dari puisi.
2. Mampu menyebutkan struktur batin dari puisi.
Oleh karena itu, pengetahuan, pengenalan dan penguasaan terhadap ciri dan
bentuk puisi sangat penting. Penguasaan terhadap hal ini akan memudahkan peserta
didik membaca, menilai, dan memahami makna sebuah puisi. Dengan demikian,
pengetahuan tentang puisi secara lengkap akan membantu peserta didik dalam
memahami makna yang terkandung di dalam puisi yang dibacanya.
Pada penelitian ini puisi yang digunakan adalah pantun pada seni budaya palang
pintu Betawi. Penggunaan pantun ini dapat memudahkan peserta didik dalam
membaca, menilai dan memahami makna secara mendalam. Selain itu, penelitian ini
mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal
kebudayaan Betawi. Kemudian, penelitian ini juga dapat menambah wawasan dalam
bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi.
Penelitian terhadap struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat
dijadikan sebagai objek dalam pembelajaran tentang puisi lama. Pantun ini
menggunakan bahasa sehari-hari yang unik dan mudah dimengerti oleh peserta didik,
sehingga dapat memudahkan peserta didik dalam memahami pantun. Selain itu,
penelitian ini mengajak peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra dengan
berbagai pendekatan, khususnya pendekatan struktural. Pendekatan struktural ini
memberikan gambaran kepada peserta didik dalam upaya merangsang minat peserta
didik dalam menganalisis struktur fisik dan struktur batin pantun. Berdasarkan
penelitian ini peserta didik dapat membedakan struktur fisik dan struktur batin yang
terdapat dalam pantun. Pemahaman peserta didik terhadap pantun berdasarkan
93
analisis struktur fisik dan struktur batin memberikan wawasan pemahaman terhadap
pantun.
94
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan pada bab III tentang
struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di SMP maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut.
1. Tipografi yang terdapat dalam pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris.
Diksi yang digunakan penyair dalam pantun ini menggunakan kata-kata yang
sederhana, puitis, unik, sindiran, menantang dan mudah dimengerti oleh
pendengar. Imaji dalam pantun ini meliputi: imaji penglihatan dan pendengaran.
Kata konkret dilukiskan dengan bahasa kiasan. Gaya bahasa yang terdapat dalam
pantun ini adalah gaya bahasa percakapan, repetisi, dan simile. Ritma atau irama
dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa membentuk ritma yang padu yang
berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Rima dalam pantun ini adalah
rima berselang dan rima berangkai. Tema yang diangkat dalam pantun ini adalah
penyambutan tamu, perjuangan, kemarahan, kemenangan, persaudaraan serta
keagamaan. Rasa yang diungkapkan dalam pantun ini, meliputi: Rasa senang,
bangga, optimis, marah dan sombong. Nada pantun ini terdapat nada menerima,
meminta, mengusir dan menantang. Nada bertujuan untuk menimbulkan suasana
senang, takjub, kagum, gembira, kesal dan kecewa. Amanat dalam pantun ini
mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan.
2. Pembahasan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi ini dapat
memenuhi Kompetensi Dasar, yaitu mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku
antologi puisi. Pada penelitian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat
memudahkan peserta didik dalam membaca, menilai dan memahami makna
secara mendalam. Selain itu, pantun ini juga dapat mengajak peserta didik untuk
mengapresiasi karya sastra dengan berbagai pendekatan, khususnya pendekatan
struktural. Kemudian, mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan
95
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan penelitian ini dapat
menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi.
B. Saran
1. Penelitian ini hanya baru sampai merancang bahan ajar hasil analisis struktur
pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. Oleh karena itu, disarankan adanya
upaya tindak lanjut untuk mengujicobakan hasil penelitian ini. Uji coba ini dapat
dilakukan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang berminat terhadap
apresiasi sastra.
2. Penelitian ini perlu dilakukan analisis semiotik terhadap pantun pada seni budaya
palang pintu Betawi.
96
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI. 2013.
Arifin, Bustanul, dkk. Menyimak. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008.
Chaer, Abdul. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta:
Masup Jakarta. 2012.
Danandjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013.
Grijns, C.D. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991.
Hamdani, Mayang, dkk. Kesastraan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987.
Harapan, Anwarudin. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. Jakarta: Asosiasi Pelatih
Pengembangan Masyarakat. 2006.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.
Laksono, Kisyani, dkk. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008.
Luxemburg, Jan van, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. 1984.
Mahayana, Maman, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan
Sejarah Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. Jawa Barat: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata. 2008.
Mahayana, Maman. “Pantun sebagai Potret Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan
Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”. Jurnal Kritik. Vol. 04. 2013. h.
85-100.
97
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2013.
Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2000.
Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011.
Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000.
Puspitasari, Siti Rojab Dian. “Pantun Betawi dalam Siaran Bensradio: Tinjauan
Fungsi dan Amanat”. Skripsi pada Sarjana Universitas Indonesia (UI). Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya. 2008.
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007.
Rahmanto, Bernardus . Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Sari, Rostina. “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam Tayangan Pesbukers di
Antv Tahun 2013”. Skripsi pada Sarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. 2014.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya Padang. 1988.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah
University Press. 2002.
________. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar. 2010.
Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan.
Bandung: PT Refika Aditama. 2014.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 1991.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 2011.
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara
di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010.
98
________________________________. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012.
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2012.
Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1987.
WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa. 2012.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( RPP )
Sekolah : MTs Negeri 3 Jakarta
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : VIII / 2
Alokasi Waktu : 2 X 40 ( 1x pertemuan )
Standar Kompetensi : Membaca
7. Memahami buku novel remaja (asli atau
terjemahan) dan antologi puisi
Kompentensi Dasar : 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku
antologi puisi
Indikator :
1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi.
2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah pembelajaran ini berakhir diharapkan:
1. Peserta didik mampu mendata hal-hal yang bersifat khusus dari puisi-puisi
dalam antologi.
2. Peserta didik mampu mengidentifikasi ciri-ciri umum puisi yang terdapat
didalam antologi puisi.
Karakter siswa yang diharapkan :
- Dapat dipercaya
- Rasa hormat dan perhatian
- Tekun
- Tanggung jawab
- Berani
B. Materi Pembelajaran
Pengenalan ciri-ciri umum puisi
C. Metode Pembelajaran
- Ceramah
- Tanya jawab
- Latihan
D. Langkah-langkah Pembelajaran
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi
Waktu
Pendahuluan Mengondisikan kelas untuk belajar.
Guru mengajak semua siswa berdo’a
Guru melakukan komunikasi tentang
kehadiran siswa
Guru menjelaskan standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator dan tujuan
pembelajaran
Apersepsi :
Guru memperlihatkan video pembacaan puisi
Memotivasi :
Guru memotivasi siswa dengan mengulas
pembelajaran sebelumnya
Kegiatan Inti Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
Menggunakan beragam pendekatan
pembelajaran, media pembelajaran, dan
sumber belajar lain.
Menjelaskan kepada siswa tentang materi
pembelajaran.
Melibatkan peserta didik secara aktif dalam
setiap kegiatan pembelajaran.
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
Memutarkan video pembacaan puisi
Meminta kepada siswa untuk mengamati dan
memahami video pembacaan puisi tersebut
Meminta kepada siswa mengidentifikasi ciri-
ciri umum puisi yang terdapat dalam antologi
puisi
Meminta kepada siswa untuk membuat
kesimpulan tentang ciri-ciri umum puisi dan
hal-hal yang bersifat khusus dalam antologi
puisi
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru
Memberikan umpan balik positif dan
penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, maupun
hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.
memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh
pengalaman yang bermakna dalam mencapai
kompetensi dasar:
Membantu menyelesaikan masalah;
Memberikan motivasi kepada peserta didik
yang kurang atau belum berpartisipasi
aktif.
Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang
belum diketahui siswa.
Guru bersama siswa bertanya jawab
meluruskan kesalahan pemahaman,
memberikan penguatan dan penyimpulan.
Kegiatan
Akhir
Dalam kegiatan penutup, guru:
Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau
sendiri membuat rangkuman/simpulan
pelajaran;
Melakukan penilaian dan/atau refleksi
terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan
secara konsisten dan terprogram;
Guru menutup kegiatan pembelajaran dengan
mengucapkan salam
E. Media Pembelajaran
1. Media
a. Power point
b. Video
2. Alat
a. Komputer
b. LCD Projector
c. Speaker
F. Sumber Pembelajaran
1. Buku paket Bahasa Indonesia
2. Buku referensi / materi lain yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan
3. Kumpulan pantun Betawi
G. Penilaian
Penilaian proses dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung
Indikator Pencapaian
Kompetensi
Penilaian
Teknik
Penilaian
Bentuk
Penilaian Instrumen
Disajikan sebuah puisi
siswa mampu mendata
hal-hal yang bersifat
khusus dari puisi-puisi
dalam antologi
Disajikan sebuah puisi
siswa mampu
mengidentifikasi ciri-
ciri umum puisi yang
terdapat didalam
antologi puisi.
Tes tertulis
Tes tertulis
Essai
Essai
Temukanlah hal-
hal yang bersifat
khusus dari puisi-
puisi dalam
antologi!
Temukalah ciri-
ciri umum puisi
yang terdapat
didalam antologi
puisi!
Penilaian membaca puisi
No. Aspek yang dinilai Skor Skor
Maksimum
1. Menemukan tipografi 1
2. Menemukan diksi 1
3. Menemukan pencintraan 1
1. Menemukan gaya bahasa 1
2. Menemukan rima 1
6. Menemukan tema 1
7. Menemukan rasa 1
8. Menemukan nada 1
9. Menemukan amanat 2
10. Menemukan hal-hal khusus dari
puisi
5
Jumlah Skor Maksimum 15
Penilaian = Jumlah skor maksimum x 2 = 10
3
Kunci Jawaban
No. Pantun 1 Pantun 2 Skor
Maksimum
1. Tipografi terdiri atas empat
larik. Dua larik pertama
merupakan sampiran,
sedangkan dua larik kedua
merupakan isi.
Tipografi terdiri atas empat larik.
Dua larik pertama merupakan
sampiran sedangkan dua larik
kedua merupakan isi.
1
2. Diksi yang digunakan
bermakna konotatif atau
bukan makna sebenarnya
karena tidak mungkin
seseorang ditiup sampai
meriang, hal tersebut hanya
bersifat menghina.
Diksi yang digunakan bermakna
konotatif atau bukan makna yang
sebenarnya karena tidak mungkin
seseorang dapat menendang
seekor kerbau ke atap rumah, hal
tersebut hanya bersifat marah.
B
1
3. Citraan yang digunakan
penglihatan
Citraan yang digunakan
penglihatan
1
4. Gaya bahasa yang
digunakan majas
personifikasi yang terdapat
pada larik kedua.
Gaya bahasa yang digunakan
majas repetisi yang terdapat
pengulangan pada larik kedua dan
keempat.
1
5. Rima yang digunakan rima Rima yang digunakan rima 1
berselang, yaitu a-b-a-b. berangkai, yaitu a-a-a-a.
6. Tema pada pantun tersebut
tentang penghinaan
seseorang
Tema pada pantun tersebut
tentang seseorang membanggakan
dirinya.
1
7. Perasaan yang disampaikan
penutur, yaitu perasaan
kesal.
Perasaan yang disampaikan
penutur, yaitu perasaan marah.
1
8. Nada yang digunakan pada
pantun tersebut bernada
menghina
Nada yang digunakan pada
pantun tersebut bernada
sombong.
1
9. Amanat yang terdapat pada
pantun mengajarkan untuk
tidak menghina orang lain.
Amanat yang terdapat pada
pantun mengajarkan untuk tidak
merendahkan orang lain.
2
10.
- Menggunakan bahasa
sehari-hari
- Mudah dipahami
- Terdapat nilai moral di
dalam pantun tersebut.
- Menggunakan bahasa sehari-
hari
- Mudah dipahami
- Terdapat nilai moral di dalam
pantun tersebut.
5
Penilaian sikap dalam pelajaran membaca
No. Nama
Siswa
Kemampuan Membaca
Nilai
K
e
t
Dapat
dipercaya
Rasa
hormat dan
perhatian
Tekun Tanggung
Jawab Berani
1.
2.
3.
Dst.
Catatan :
a. Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.
1 = sangat kurang
2 = kurang
3 = sedang
4 = baik
5 = amat baik
b. Nilai merupakan jumlah dari skor-skor tiap indikator.
c. Keterangan diisi dengan kriteria berikut.
1) Nilai 18-20 berarti amat baik
2) Nilai 14-17 berarti baik
3) Nilai 10-13 berarti sedang
4) Nilai 6-9 berarti kurang
5) Nilai 0-5 berarti sangat kurang
Jakarta, 16 April 2015
Mengetahui,
Guru Pamong Guru Mata Pelajaran
Dra. Jayuni Indah Wardah
NIP. 196310201993032001 NIM.1111013000039
LATIHAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 3 JAKARTA 2014/2015
Nama : Kelas :
Pilihlah salah satu puisi (pantun) berikut ini!
Pantun 1
Pohon cemara batangnya lurus
Ketiup angin pohon bergoyang-goyang
Abang punya jawara badannya kurus
Aye tiup juga dia meriang
Pantun 2
Biar kurus-kurus gue centeng
Tujuh hari tujuh malem betapa di genteng
Biar kate gue kurus jangan anggap enteng
Kebo gue tending nyangsang di genteng
No. Aspek yang dinilai Jawaban Skor
Maksimum
1. Temukanlah tipografi pada pantun
diatas!
1
2. Temukanlah diksi pada pantun
diatas!
1
3. Temukanlah citraan pada pantun
diatas!
1
4. Temukanlah gaya bahasa pada
pantun diatas!
1
5. Temukanlah rima pada pantun
diatas!
1
6. Temukanlah tema pada pantun
diatas!
1
7. Temukalah rasa pada pantun diatas!
1
8. Temukanlah nada pada pantun
diatas!
1
9. Temukanlah amanat pada pantun
diatas!
2
10. Apa hal-hal khusus (menarik) yang
terdapat di pantun tersebut?
5
DATA HASIL WAWANCARA
Waktu : Kamis, 22 Januari 2015
Tempat : Sanggar Seni dan Kebudayaan Betawi SABA Pusat dan Cabang
Pewawancara : Menurut abang, apa arti dari palang pintu?
Narasumber : Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan
mempunyai tantangan dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan
tantangan dari ujian tersebut, dapat dikatakan pantas untuk melakukan
pernikahan bagi kedua mempelai. Nah, jadi palang pintu itu berisi
tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai
wanita dan mempelai pria.
Pewawancara : Sejak kapan ada tradisi buka palang pintu ditanah Betawi?
Narasumber : Untuk sejarahnya, saya tidak tahu. Saya rasa mungkin zaman
Belanda juga ada. Tapi namanya “ngerudat” artinya itu dari pihak
mempelai wanita bertarung dengan mempelai pria. Ada istilah palang
pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai perjuangan dalam
pernikahan.
Pewawancara : Bagaimana urutan untuk buka palang pintu?
Narasumber : Pertama, pihak laki-laki diiringi alat kecipring, kalau sekarang
memakai marawis diiringi lagu islami. Kedua, mengucapkan salam.
Ketiga, adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan
terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud
kedatangan rombongan tersebut. Kemudian terjadi tanya-jawab dalam
bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta dua syarat yang harus
dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para jawara yang
menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji.
Pewawancara : Apa persyaratan agar dapat memainkan palang pintu sanggar SABA?
Narasumber : Tidak ada persyaratan semua orang bisa memainkan palang pintu.
Bahkan anak kecil usia 5 tahun bisa memainkan palang pintu.
Pewawancara : Apa tarian yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar
SABA?
Narasumber : Beksi
Pewawancara : Arti dari beksi sendiri itu apa?
Narasumber : Beksi itu artinya pertahanan dari empat penjuru atau beksi juga
berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan
Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak
terlihat dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel.
Adapun untuk jurus-jurusnya, kami memakai sembilan jurus, seperti:
1. Jurus beksi dasar (pembuka)
Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka
pukulan dengan tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan
kiri dan tepak sikut ke depan. Setiap jurus menggunakan hentakkan
kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan mematahkan tangan.
2. Jurus oleng badan
Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk
sebuah sikut diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk
menghindari serangga.
3. Jurus junjung (tunjangan langit)
Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini
menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan
penyerangan lawan.
4. Jurus rambet
Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan
disertai dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan
tangan lawan disertai dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar
lawan tidak menyerang.
5. Jurus gedor
Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut
atau tangan. Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi
dengan menggunakan gerakan gedor di ulu hati.
6. Jurus broneng
Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk
menjepit, mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini
bisa melawan lebih dari satu orang lawan.
7. Jurus lokbe (cabut pisau)
Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah
kiri dan kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir
lawan dibarengi mencabut pisau dan diarahkan ke lawan.
8. Jurus cauk debug
Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak
tangan. Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah
untuk melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus
tidak sportif, jurus ini berfungsi untuk mempertahankan diri dimana
saat kondisi terdesak baik debu atau pasir dilemparkan ke mata lawan
untuk membela diri.
9. Jurus loseng
Jurus loseng merupakan jurus yang di arahkan ke bagian kaki lawan.
Jurus ini berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun
dalam posisi berdiri, dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan
tubuh lawan.
Pewawancara : Selain pernikahan adat Betawi, palang pintu biasanya digunakan
dalam acara apa?
Narasumber : Acara sambutan penjabat, acara pembukaan gedung dan kesenian
Betawi.
Pewawancara : Untuk pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar
SABA berasal darimana?
Narasumber : Pantunnya sendiri berasal dari karya ciptaan saya sendiri, internet dan
buku-buku pantun palang pintu.
Pewawancara : Berapa jumlah pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu
sanggar SABA?
Narasumber : Jumlah pantunnya sekitar kurang lebih 20an pantun.
Pewawancara : Apa ciri khas pantun dalam palang pintu sanggar SABA?
Narasumber : Adanya kesamaan akhir ab-ab, aa-aa.
Pewawancara : Pertanyaan terakhir, Apa harapan abang untuk para generasi penerus
budaya Betawi?
Narasumber : Harapan saya agar orang Betawi mempunyai nilai-nilai budaya
Betawi tinggi dan orang Betawi jangan selalu terpinggirkan artinya
orang Betawi bisa menjadi seorang pemimpin di tanahnya sendiri.
SKRIP PALANG PINTU SABA
TAMU
ASSALAMU’ALAIKUM…
TUAN RUMAH
WA’ALAIKUM SALAM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
TAMU
METIK CEREME RAME-RAME..
TUAN RUMAH
SIAPA ITU RAME-RAME ???
TAMU
TAMU BARU NYAMPE…
TUAN RUMAH
OH…ADA TAMU BARU NYAMPE..
UDEH TERSANGKUT PAKU
MALAH TERTIMPA DURI…
KALAU AYE BOLEH TAU
APE TUJUAN ABANG DATENG KE MARI ???
TAMU
OH..ABANG MAU TAU MAKSUD TUJUAN AYE DATENG KE MARI ???
BEGINI BANG !!! BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM
BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI …
KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM
BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI…
TUAN RUMAH
OH MAKSUD TUJUAN ABANG DATENG KEMARI LANTARAN
PERAWAN AYE YANG MANIS ???
TAMU
IYE BANG..
TUAN RUMAH
EH DENGERIN NI BANG…
TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS…
MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR
PERAWAN AYE EMANG MANIS
TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR
TAMU
OH…BEGITU BANG !!!
JADI PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN ???
DENGERIN NI BANG…
DARI SEWAN KE SAWANGAN
ADE PERJAKE LAGI DI MANDIIN
BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN
TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN…
TUAN RUMAH
EH BANG ANE BILANGIN YE..
MENDING ABANG PERGI KE CIKINI DARI PADA KESENAYAN
EHH MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI
DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN..
TAMU
WADUHHH NGUSIR DIA..
EH BANG IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH
MASIK NASI JADI BUBUR
BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH
SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR..
TUAN RUMAH
JADI ENTE KAGA MAO MUNDUR ???
TAMU
LAH PEGIMANA MAO MUNDUR..ORANG DIBELAKANG ADA
ROMBONGAN BESAN
TUAN RUMAH
IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK
DALAM KUALI KUDU MASAKNYE..
NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK
SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE..
TAMU
OHH JADI KALO MAO DEPETIN NI PERAWAN ADA SYARATNYE BANG
???
TUAN RUMAH
ADALAH..MAO JADI PELAYAN AJE ADA SYARATNYE..
APALAGI MAO AMBIL ANAK PERAWAN ORANG..
TAMU
BANG..KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO..
JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE..
KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO
SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE..
TUAN RUMAH
BEGINI PERATURANNYE BANG …
UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT
AYAM JAGO TERTIMPE BATU…
PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT…
NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU..
TAMU
OH…BEGITU PERATURANNYE BANG …
AYE TERIMA ABANG PUNYE PERATURAN…
TAPI DENGERIN DULU NI BANG…
AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP
TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG..
JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP
TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG…
TUAN RUMAH
EH BANG… SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT..
SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN…
JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT
COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN…
TAMU
OH…ABANG PENGEN TAU JAGOAN AYE PUNYE KEMAMPUAN ???
TUAN RUMAH
IYE BANG…
TAMU
COBA DEH ENTE TUNJUKIN KALAU ENTE PUNYE KEMAMPUAN …
# JAWARA (TUAN RUMAH) #
MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA
NAEK GETEK KE RAWABUAYE..
CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA
MASIH CETEK BUAT AYE..
# JAWARA (TAMU) #
BANG..NONTON LENONG PERGI KE MONAS
TANPA ALAS KAKI PUN PANAS..
EH BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS
GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS
# JAWARA (TUAN RUMAH) #
BUSE…LUH NANTANGIN…MAJULUH…
TAMU
YAHHHH BANG… AYE KATE JUGA APE BANG…
ADE LINTAH LAGI NGAMBANG..
AYE KATE JUGA APE BANG…
PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG…
TUAN RUMAH
PAYAH LUH…BEGITU AJE KALAH…
LU KAN UDEH DITES TIDUR DI ATAS GERGAJI KAGA’ APE-
APE…NGAPA BISE KALAH…
EH BANG…JANGAN SENENG DULU…
ADE LINTAH MAKAN PEPAYE..
LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN..
WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE
AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN…
# JAWARA (TAMU) #
EMANG BENER BANG ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN…
TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU…
WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN
AYE ADEPIN SATU PERSATU…
# JAWARA (TUAN RUMAH) #
UDEH BANG JANGAN BANYAK BACOT…MAJU LUH KEDEPAN
TAMU
BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP…KARENA BERGURU DI HAJI
ABA…
JAGOAN AYE EMANG NGETOP LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN
SABA…
BAGAIMANA BANG…ABANG TENTUNYE UDAH LIAT KEMAMPUAN
JAGOAN AYE…
TUAN RUMAH
OK DEH BANG…AYE AKUIN KEMAMPUAN JAGOAN ABANG…
TAMU
OH…JADI AYE BOLEH MASUK NI…
TUAN RUMAH
EEIITT!! ENTAR DULU!!
TAMU
ENTAR DULU MULU, NUNGGU APAAN LAGI??
TUAN RUMAH
TADI KAN LU KATA LAPAR??
NOH IKAN GURAME ELU SIANGIN
KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA
SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN
TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA
TAMU
JADI MASIH ADA SARAT LAGI?
TUAN RUMAH
MASIH ADE BANG!
BURUNG DARA BURUNG KENARI
RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI
SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI
CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI
ITU TUAN RAJA LU BISA NGAJI KAGA?
TAMU
JADI ITU SARAT YANG KEDUA? KAGA SALAH BANG, NIH TUAN RAJA
AYE UMUR 2TAUN AJA UDAH BISA BACA PATEHAH BANG, UMUR
5TAUN UDAH NGIKUT MIMPIN TAHLIL!
TUAN RUMAH
DIA YANG MIMPIN?
TAMU
BUKAN, PAK USTAD! DIA MAH NENTENG BERKAT DOANK!
BANG, KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI
GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN
NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI
NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN
TUAN RUMAH
SUBHANALLAH, PINTER BENER MURIDNYA NGAJI,,
TAMU
ITU BARU MURIDNYE YANG PERTAMA BANG!
TUAN RUMAH
OWHH JADI ADA MURIDNYE YANG LAEN?
TAMU
KAGA ADA BANG, DIA DOANK SATU-SATUNYA!! JADI PEGIMANE
BANG? APA MASIH ADA SARAT LAGI?
TUAN RUMAH
AYE KIRA CUKUP BANG, CALON MANTU BEGINI YANG JURAGAN
AYE CARI..
TAMU
JADI UDAH BOLEH MASUK?
TUAN RUMAH
UDEH BANG..
KAGA PUNTUNG KAGA BENDO
BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA
ADA UNTUNG ADA JODO
KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA
TAMU
KALO BEGITU BANG,
GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI
ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA
BIAR PUTUS AER DI KALI
JANGAN PUTUS KITA BERSODARA
TUAN RUMAH
AHLAN WA SAHLAN BIDHUHURIKUM!!
TAMU
ASSALAAMU'ALAIKUM
TUAN RUMAH
WA'ALAIKUM SALAAM
KUMPULAN FOTO SANGGAR SABA
Latihan beksi Sanggar SABA Latihan beksi Sanggar SABA
Rombongan dari mempelai pria Rombongan dari mempelai wanita
Pertarungan antara Pertarungan antara
jawara mempelai pria dan wanita jawara mempelai pria dan wanita
BIODATA PENULIS
INDAH WARDAH dilahirkan di Jakarta pada 15 Februari
1992. Anak keempat dari lima bersaudara, pasangan Sadeli
dan Maisuroh ini tinggal di jalan darma wanita V Rt/Rw
05/01 Rawa Buaya Cengkareng Jakarta Barat 11740.
Riwayat pendidikan, penulis pernah sekolah di MI Shirathul
Rahman tahun 1998, kemudian melanjutkan di sekolah MTs Annida Al-Islami tahun
2005, dan di sekolah SMA Negeri 94 Jakarta tahun 2008. Pada tahun 2011
meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang
penulis sedang menyelesaikan skripsi dengan judul “Struktur Pantun pada Seni
Budaya Palang Pintu Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMP” sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.