Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

24
STRUKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI INDONESIA Dr. Miyasto Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang Semakin meningkatnya kebutuhan dana pembangunan mendorong pemerintah untuk menggali sumber-sumber pendapatannya secara lebih intensif. Salah satu sumber pendapatan pemerintah yang cukup potensial adalah pajak. Pajak bagi pemerintah tidak hanya merupakan sumber pendapatan, tetapi juga merupakan salah satu variabel kebijaksanaan yang digunakan untuk mengatur jalannya perekonomian. Dengan pajak pemerintah dapat mengatur alokasi sumber-sumber ekonorni, mengatur laju inflasi, dan sebagainya. Oleh karena itu pajak mempunyai fungsi strategis dalam suatu negara. Masalah penting yang selalu timbul dalam sistem perpajakan adalah keadilan distribusi beban pajak pada berbagai golongan pendapatan dalam masyarakat (Musgrave and Musgrave, 1984). Pada umumnya keadilan dalam sistem paijak seialu didasarkan pada tolok ukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak, atau dengan kata lain didasarkan pada tingkat pendapatan atau pengeluarannya. Sistem pajak yang ada harus dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin besar proporsi beban pajak yang harus ditanggungnya. Salah satu jenis pajak yang mempunyai peranan besar dalam penerimaan pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kontribusi PPN dalam penerimaan pajak pada tahun anggaran 1988/1989 kurang lebih sekitar 33,61 persen (Biro Pusat Statistik, 1989). Peranan ini diperkirakan akan semakin meningkat mengingat begitu besarnya usaha-usaha pemerintah untuk lebih mengefektifkan penerimaan PPN. PPN ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1983, yaitu Undang- undang mengenai Pajak Pertarnbahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang-Barang Mewah (PPnBM). Sistem

description

Tentang Struktur PPN Inonesia

Transcript of Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Page 1: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

STRUKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI INDONESIA

Dr. Miyasto Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

Semakin meningkatnya kebutuhan dana pembangunan mendorong pemerintah untuk menggali sumber-sumber pendapatannya secara lebih intensif. Salah satu sumber pendapatan pemerintah yang cukup potensial adalah pajak. Pajak bagi pemerintah tidak hanya merupakan sumber pendapatan, tetapi juga merupakan salah satu variabel kebijaksanaan yang digunakan untuk mengatur jalannya perekonomian. Dengan pajak pemerintah dapat mengatur alokasi sumber-sumber ekonorni, mengatur laju inflasi, dan sebagainya. Oleh karena itu pajak mempunyai fungsi strategis dalam suatu negara.

Masalah penting yang selalu timbul dalam sistem perpajakan adalah keadilan distribusi beban pajak pada berbagai golongan pendapatan dalam masyarakat (Musgrave and Musgrave, 1984). Pada umumnya keadilan dalam sistem paijak seialu didasarkan pada tolok ukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak, atau dengan kata lain didasarkan pada tingkat pendapatan atau pengeluarannya. Sistem pajak yang ada harus dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin besar proporsi beban pajak yang harus ditanggungnya.

Salah satu jenis pajak yang mempunyai peranan besar dalam penerimaan pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kontribusi PPN dalam penerimaan pajak pada tahun anggaran 1988/1989 kurang lebih sekitar 33,61 persen (Biro Pusat Statistik, 1989). Peranan ini diperkirakan akan semakin meningkat mengingat begitu besarnya usaha-usaha pemerintah untuk lebih mengefektifkan penerimaan PPN.

PPN ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1983, yaitu Undang- undang mengenai Pajak Pertarnbahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang-Barang Mewah (PPnBM). Sistem pajak ini diberlakukan untuk menggantikan sistem pajak penjualan (PPn), yang dirasa sudah tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dana bagi pembangunan. Dibandingkan dengan PPn, maka PPN memang lebih menyeluruh dan lebih sederhana. Hampir seluruh jenis barang dan jasa pada setiap tingkatan produksi dikenakan. PPN. Hal ini berbeda dengan PPn yang hanya dikenakan pada barang-barang di tingkat pabrikan dan beberapa jenis jasa tertentu. PPN dikatakan lebih sederhana karena hanya ada satu tarip pajak bagi seluruh jenis barang atau jasa kena pajak, yaitu sebesar 10 persen (Undang-undang No. 8/1983). Dalam sistem PPn kurang lebih ada enam jenis tarif pajak menurut berbagai golongan barang dan jasa, yaitu 0 persen, 1 persen, 2,5 persen, 5 persen, 10 persen dan 20 person (Saaduddin Ibrahim dan Pranoto Kartoatmodjo, 1981). Pengenaan PPn dengan berbagai tarip yang berbeda pada berbagai golongan barang dan jasa temyata mempersulit pengawasan pajak. Hal ini ditambah lagi dengan masih lemahnya administrasi perpajakan di Indonesia. Akibatnya sering terjadi manipulasi-manipulasi pajak yang dilakukan oleh pengusaha. Dari uraian dimuka diperkirakan  penerapan sistem PPN akan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini

Page 2: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

disebabkan disamping sistem pajak pertambahan nilai mempunyai rata-rata tarip yang lebih tinggi dan lebih menyeluruh, juga adanya penyederhanaan tarip pajak akan mempermudah pengawasan, sehingga akan dapat mengurangi usaha-usaha manipulasi wajib pajak untuk menghindari pajak.

Permasalahan yang timbul dalam sistem PPN adalah apabila dilihat dari keadilan distribusi beban pajak. Pengenaan tarip pajak yang sama untuk setiap jenis komoditi menyebabkan golongan masyarakat berpendapatan rendah terkena proporsi beban pajak yang sama atau justru lebih tinggi dibandingkan dengan golongan masyarakat berpendapatan tinggi. Apabila hal ini terjadi berarti sistem pajak pertambahan nilai justru kurang mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Studi ini mencoba untuk mengkaji masalah keadilan dalam distribusi beban PPN. Dalam studi ini ingin dilihat apakah proporsi beban PPN lebih banyak ditanggung oleh masyarakat golongan pendapatan rendah atau tinggi.

Konsep-Konsep Dasar PPN

PPN adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah dari suatu komoditi. Nilai tambah suatu jenis komoditi dapat dihitung melalui dua pendekatan (Musgarve dan Musgrave, 1984). Pertama dihitung melalui selisih antara nilai suatu komoditi dengan nilai masukan-antara yang digunakan untuk menghasilkan komoditi tersebut Kedua, nilai tambah dapatjuga dihitung melalui penjumlahan dari seluruh nilai masukan- primer yang digunakan untuk menghasilkan suatu komoditi. Sistem PPN di Indonesia mendasarkan perhitungan nilai tambah pada selisih antara nilai suatu komoditi dengan nilai masukan-antara yang digunakannya.

PPN dipungut pada setiap tahapan produksi, oleh karena itu pajak ini disebut juga pajak pada berbagai tahapan produksi (multistage tax). Perhitungan PPN dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

Pertama, cara penjumlahan (addition method), cara ini dilakukan dengan menjumlahkan seluruh unsur nilai tambah, yaitu upah/gaji, biaya modal, penyusutan, dan biaya-biaya faktor produksi lain; kemudian hasilnya dikalikan dengan persons pajak.

Kedua, cara pengurangan (subtraction method), yaitu dengan cara mencari selisih antara penerimaan penjualan hasil produksi perusahaan dengan pengeluaran- pengeluaran untuk membeli masukan-antara bagi produk tersebut. Hasil pengurangan ini kemudian dikalikan dengan persentase pajak. Ketiga, metode kredit pajak (tax credit method), yaitu mencari selisih antara pajak yang dibayarkan dari penerimaan penjualan produk-produk perusahaan dengan pajak yang telah dibayar leveransir perusahaan tersebut pada saat pembelian masukan ntara bagi produk teisebut.. Jumlah pajak yang telah dibayar leveransirnya merupakan kredit pajak yang dapat diminta kembali dari pemerintah, karena walaupun pajak tersebut dibayar oleh leveransinya tetapi beban pajak dibebankan kepada pembeli dalam bentuk harga yang lebih tinggi.

Page 3: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Dari ketiga cara perhitungan tersebut metode kredit pajak merupakan cara yang paling praktis dan mudah untuk dilaksanakan. Metode ini lebih efektif untuk menanggulangi penyelundupan pajak. Dengan sistem kredit pajak, setiap perusahaan akan berusaha untuk memperoleh kredit pajak, sehingga pengusaha akan berusaha untuk melaporkan seluruh pembelian-pembeliannya. Pembelian suatu perusahaan adalah penjualan perusahaan lain yang menjadi lawan transaksinya. Sehingga dengan demikian instansi pajak akan dapat melakukan pengawasan slang terhadap pengusaha-pengusaha yang kena pajak. Alasan kepraktisan tersebut menyebabkan metode ini banyak dipergunakan oleh beberapa negara, termasuk Indonesia.

PPN pertama kali diterapkan di Perancis pada tahun 1954. Kemudian diikuti oleh beberapa negara industri lain seperti Jerman pada tahun 1968, Belanda tahun 1969, Luxemburg tahun 1970, Belgia tahun 1971, Ireland tahun 1972, Australia tahun 1973, Italia tahun 1973, dan Inggris tahun 1973 (Melure, 1973). Beberapa negara berkembang yang telah menerapkan pajak pertambahan nilai adalah Argentina tahun 1967 (Guerard, 1973), Colombia, Pilipina, Algeria, Ivorycoast, Malagasi, Maroko, Senegal, Tunisia (Lent dkk., 1973), dan Indonesia tahun 1983 (Undang-Undang No. 8/1983).

Salah satu faktor yang menyebabkan banyak negara menerapkan PPN adalah, karena PPN dapat menghindari timbulnya pajak ganda. Seperti telah diketengahkan di muka bahwa pajak ganda timbul pada sistem PPn. Hal ini mengingat pada sistem PPn pemungutan pajak didasarkan pada nilai jual dari komoditi yang dikenakan pajak. Akibatnya komoditi-komoditi yang telah dikenakan pajak pada tahap produksi sebelumnya dikenakan pajak lagi pada tahap produksi berikutnya. PPN tidak menimbulkan pajak ganda. Penetapan PPN yang hanya berdasarkan nilai tambah suatu komoditi, tidak akan menyebabkan komoditi yang telah dikenakan pajak pada tahap produksi sebelumnya dikenakan pajak lagi pada tahap produksi berikutnya. Dengan demikian diharapkan kenaikan tingkat harga yang disebabkan oleh pajak ganda dapatdihilangkan. Sehingga dampak negatif dari pajak ganda juga akan dapat dihilangkan.

Sampai seberapa jauh dampak pengenaan PPN, tergantung pada sampai seberapa jauh beban pajak dapat dialihkan ke muka. Dalam kaitan dengan pengalihan beban pajak ini, analisis-analisis yang berhubungan dengan PPN selalu mendasarkan pada asumsi bahwa began PPN seluruhnya dibebankan ke muka. Dalam General Agreement of Tariff and Trade, PPN yang dikenakan pada komoditi-komoditi ekspor dan impor terhadap perdagangan internasional juga menggunakan asumsi bahwa beban PPN seluruhnya dibehankan ke muka (Iindholm, 1970). Demikiin juga Dresch dkk., dalam studinya mengenai, Substituting a Value Added Tax for The Corporate Income Tax, menggunakan asumsi bahwa beban PPN seluruhnya dibebankan pada konsumen (Dresch dkk., 1977).

Secara teoritis, apabila dilihat dari pemerataan beban pajak pada berbagai sektor usaha, PPN dinilai lebih merata dibandingkan dengan pajak penjuilan. Berlainan dengan PPn yang hanya dipungut pada sektor-sektor produksi tertentu, PPN dipungut pada hampir seluruh sektor produksi. Disamping itu juga berlainan dengan PPn yang mempunyai bermacam-macam tarip untuk berbagai kelompok komoditi, PPN hanya mempunyai satu

Page 4: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

macam tarip pajak untuk seturuh jenis komoditi. Dengan demikian maka pembagian beban pajak untuk berbagai sektor usaha akan lebih merata. Oleh karena itu dilihat dari sisi pengusaha, PPN drama lebih adif dibandingkan dengan PPn, karena setiap produk yang dijual dari berbagai industri dikenakan tarip pajak yang sama. Walaupun demikian mending beban pajak tersebut pada akhirnya dialihkan pada konsumen, maka perlu dilihat apakah proporsi beban PPN yang harus ditanggung konsumen juga lebih mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Seperti telah diketengahkan di muka bahwa berdasarkan prinsip kemampuan seseorang untuk membayar pajak, suatu pajak dikatakan adil apabila pajak tersebut mempunyai struktur yang progresif. Dalam struktur pajak yang progresif berarti masyarakat golongann pendapatan relatif tinggi harus menanggung proporsi beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat golongan pendapatan relatif rendah. Pada umumnya, struktur PPN demikian juga PPn cenderung bersifat regresif (Musgrave dan Musgrave,1984). Pernyataan Musgrave ini didukung juga oleh beberapa ahli lain yang telah membuktikan bahwa baik PPn maupun PPN adalah bersifat regresif (McLure, Jr., 1973). Dalam struktur pajak yang regresif, masyarakat golongan pendapatan rendah justru harus menanggung proporsi beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat golongan pendapatan tinggi.

Ada beberapa model yang dapat digunakan untuk mengukur struktur pajak apakah cenderung untuk regresif, proporsional atiu progresif. Pertama, dengan  menggunakan model statistik yaitu deviasi standar (S) dan koefisien variasi (Kv). Dengan membandingkan deviasi standar (S) atau koefisien variasi (Kv) distribusi pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah dikenakan pajak akan dapat diketahui apakah struktur pajak cenderung untuk regresif, proporsional atau progresit Apabila S atau Kv dari distribusi pendapatan setelah dipotong pajak lebih besar dibandingkan dengan sebelum pajak, berarti struktur pajak justru cenderung untuk regress. Artinya pengenaan pajak justru memperbesar ketimpangan distribusi pendapatan..Apabda S atau kv dari distribusi pendapatan sebelum dan sesudah dipotong pajak sama, maka struktur pajak bersifat proporsional. Hal ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan sebelum dan sesudah pengenaan pajak adalah relatif sama. Sebaliknya apabda S atau Kv dari distribusi pendapatan setelah dikenakan pajak lebih keeil dibandingkan dengan sebelum pajak, maka struktur pajak bersifat progresif. Hal ini berarti ketiinpangan distribusi pendapatan setelah pajak adalah lebih kecil dibandingkan dengan sebelum pajak. Cara ini mempunyai kelemahaan yaitu kurang memperhatikan peranan jumlah rumah tangga atau penduduk untuk setiap kelas pandapatan (Hananto Sigid, 1980).

Kedua, Suits (1977) mengukur indeks progresivitas dari suatu jenis pajak dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Sx = 1 - LX/K

Keterangan: SX = indeks Suits X K = 5000

Nilai LX. dapat dicari dengan menggunakan persamaan (2).

Page 5: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

 

Keterangan: TX = tarip pajak. y = pendapatan (setelah diperhitungkan dengan jumlah penduduk).

Dalam praktek nilai TX hanya diperoleh dari beberapa nilai y yang bersifat diskrit 'Oleh karena itu persamaan (2) dapat didekati dengan persamaan (3)

sebagai berikut:

Page 6: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Dengan melihat persamaan (1) dan persamaan (3), maka nilai S.dapat diukur melalui persamaan (4).

 

Page 7: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

 

Dengan menggunakan model ini dapat diketahui apakah struktur pajak bersifat regresif, proportional atau progresif. Apabila SX. < 0 berarti struktur pajak bersifat regresic SX = 0 struktur pajak bersifat proportional dan SX > 0 berarti struktur pajak bersifat progresif. Ketiga, Miyasto (1991) dalam disertasinya yang berjudul Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai: Studi Mengenai Dampak Terhadap Harga Penerimaan dan Struktur, telah mengukur indeks progresivitas PPn dan PPN. Dengan terlebih dahulu mengukur tarip efektif PPn dan PPN untuk masing- masing jenis komoditi, yaitu dengan menggunakan model "input-output", kemudian Miyasto menggunakan beberapa model indeks progresivitas untuk

mangukur struktur PPn dan PPN. Hasil temuannya menunjukkan bahwa struktur PPn dan PPN cenderung regresif. Salah satu model indeks progresivitas yang digunakan Miyasto adalah model Suits.

Pendekatan Yang Digunakan Dalam Mengukur Struktur PPN

Dari DirektoratJenderal Pajak diperoleh data mengenai undang-undang dan peraturan-peraturan PPN di Indonesia. Dari Direktorat Jenderal ini diperoleh juga informasi-informasi mengenai masalah-masalah PPN di Indonesia.

Metode pengukuran

SPPN  = 1 - LPNN/K                                               (5)

Page 8: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Keterangan: SPPN = indeks Suits untuk pajak pertambahan nilai. K = 5000.

dan persamaan:

 

Keterangan:

TPPN = tarip pajak pertimbahan nilai.

Dengan diketernukannya SPPN, yaitu indeks suits dari pajak pertambahan nilai maka akan dapat diketahui apakah struktur pajak pertarnbahan nflai di Indonesia bersifat regresif, proportional atau progresif. Dengan demikian akan dapat diketahui pula apakah sistem pajak tersebut sudah mencerminkan pririsip keadilan dalam perpajakan atau belum. Seperti dikatakan di muka bahwa Miyasto (1991) dalam disertasinya mengenai Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai: Studi Mengenai Dampak Terhadap Harga, Penerirnaan dan Struktur juga telah mengukur mengenai struktur pajak pertambahan nilai tersebut. Salah satu model yang digunakan adalah model indeks progresivitas dari Suits. Satu hal yang berbeda dari studi ini dengan disertasi Miyasto tersebut adalah tarip pajak per komoditi yang digunakan untuk mengukur indeks Suits tersebut. Dalam disertasinya, Miyasto menggunakan tarip efektif, yaitu tarip yang diukur melaiui dampak harga akibat pengenaan pajak pertambahan nilai. Sedangkan studi ini adalah mengggunakan tarip nominal, yaitu tarip yang ditetapkan pemerintah. Maksud digunakannya tarip nominal dalam studi ini adalah untuk melihat sarnpai seberapa jauh atensi pernerintah dalam

Page 9: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

masalah distribusi began pajak pertambahan nilai pada masyarakat. Jadi dalam studi ini ingin diketahui lebihjauh, apakah kebijaksanaan penetapan beberapa jenis komoditi tidak kena pajak pertambahan nilai tersebut memang benar-benar diarahkan untuk menciptakan struktur pajak pertambahan nilai yang lebih adil. Dengan menggunakan tarip nominal (bukan tarip efektif, akan dapat diisolasi dampak penetapan pajak pertambahan nilai dari suatu jenis kornoditi terhadap jenis-jenis komoditi lainnya. Sehingga dainpak dari kebijaksanaan penentuan berbagai komoditi tidak kena pajak pertambahan nilai dapat dipantau secara murni.

Terminologi

1. PPN = Pajak pertarnbahan nilai. 2. PPNBM = Pajak penjualan atas barang mewah. 3. PPNI = Pajak pertambahan nilai yang berlaku sebelum PP No. 28 tahun 1988. 4. PPN2 = Pajak pertambahan nflai yang berlaku setelah PP No. 28 tahun 1988. 5. PPN3 = Sistem PPN yang berlaku setelah Januari 1992. 6. PPnBM1 = Pajak penjualan atas barang mewah yang berlaku sebelum PP No. 29

tahun 1988. 7. PPnBM2 = Pajak penjualan atas barang mewah yang berlaku setelah PP No. 29

tahun 1988. 8. PPnBM3 = Pajak penjualan atas barang mewah yang berlaku sejak Januari 1992. 9. PPN & PPnBM1 = Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang

mewah yang berlaku sebelum PP No. 28 dan No. 29 tabun 1988. 10. PPN & PPnBM2 = Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang

mewah yang berlaku setelah PP No. 28 dan No. 29 tahun 1988. 11. PPN & PPnBM3 = Pajak pertani bahan nilai dan pajak penjualan atas barang

mewah yang berlaku setelah Januari 1992.

 

PPN & PPNBM di Indonesia

Seperti telah diuraikan di muka bahwa penerapan sistem PPN dan PPNBM di Indonesia didasarkan pada UU No. 8 tahun 1983. Walaupun demikian sistem PPN dan PPNBM tersebut baru berlaku mulai tanggal 1 April 1985. Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan PP No. 28 dan PP No. 29, yaitu mengenai perluasan obyek pengenaan PPN dan peningkatan tarip PPNBM. Kemudian pada tahun 1992 pemerintah memperluas lagi obyek PPN sampai tingkat pengecer

berskala besar dan meningkatkan tarip PPNBM. Sampai saat ini PPN mempunyai tarip sebesar 10 persen untuk seluruh komoditi kena pajak, kecuali apabila komoditi tersebut diekspor. Untuk komoditi yang diekspor dikenakan tarip PPN nol persen. Pengenaan tarip nol persen untuk komoditi-komoditi yang diekspor dimaksudkan untuk meningkatkan ekspor non migas. Untuk barang-barang mewah di samping dikenakan PPN sebesar 10 persen juga dikenakan PPNBM dengan tarip sebesar 10, 20, 30 atau 35 persen tergantung dari jenis barang mewahnya (Peraturan Pemerintah No. 65/1992).

Page 10: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Penggantian PPn menjadi PPN di samping dimaksudkan untuk meningkatkan  penerimaan dari sektor pajak, juga untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem PPn. Dengan PPN pemerintah bermaksud juga untuk menghilangkan pajak ganda yang menimbulkan dampak kenaikan harga yang lebih besar dibandingkan dengan tarip pajaknya. Pembebanan PPN didasarkan pada nilai tambah dari suaatu komoditi, sedangkan PPn didasarkan pada nilai total dari komoditi tersebut. Oleh karena itu dilihat dari dasar pengenaan pajak, maka penggantian PPn menjadi PPN akan menghilangkan pajak ganda. Dengan hilangnya pajak ganda, maka wajib pajak banya membayar pajak sesuai dengan tarip yang telah ditentukan. Untuk menciptakan struktur PPN yang relatif-adil, pemerintah memberikan perlakuan- perlakuan khusus terhadap beberapa jenis komoditi dan pengusaha-pengusaha keeil. Perlakuan-perlakuan khusus tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, beberapa jenis komoditi seperti komoditi- komoditi hasil pertanian, perikanan, dan pertambangan dinyatakan sebagai komoditi tidak kena PPN. Untuk komoditi- komoditi tersebut pada saat penjualan, tidak dikenakan pajak. Tetapi pengusaha- pengusaha dari komoditi-komoditi tersebut tidak akan memperoleh kredit pajak, yaitu pajak masukan yang telah dibayar pada saat pembelian. Demikian juga pengusaha- pengusaha yang membeli komoditi- konioditi tersebut tidak akan memperoleh kredit pajak. Ternyata ketentuan dalam sistem kredit pajak ini justru menimbulkan-pajak ganda dalam sistem PPN. Pajak ganda te.rsebut timbul karena pengusaha-pengusaha yang menggunakan masukan antara tidak kena pajak di samping harus membayar pajak yang dihitung berdasarkan nilai jualnya, juga harus menanggung beban pajak masukan yang dilimpahkan oleh leveransirnya.

Misalnya ada tiga perusahaan yang berada pada jalur vertikal dari suatu industri, yaitu perusahaan A, B, dan C. Perusahaan A adalah importir kapas, perusaan B adalah perusahaan yang bergerak di bidang pemintaan, sedangkan perusahaan C adalah perusahaan pertenunan. Perusahaan A menjual kapas pada perusahaan B dengan nilai penjualan Rp 100 milyar. Perusahaan B menjual benang kepada perusahaan C dengan nilai penjualan sebesar Rp 150 milyar dan perusahaan C menjual benang tenun pada konsumen dengan nilai penjualan Rp 250 milyar. Apabila semua produk yang dihasilkan oleh ke tiga perusahaan tersebut adalah barang kena pajak, maka perhitungan PPN yang harus ditanggung ke tiga perusahaan tersebut adalah sebagai berikut. Perusahaan A akan terkena PPN sebesar 10 persen dari Rp 100 milyar, yaitu Rp 10 milyar. Perusahaan B pada waktu menjual barangnya pada perusahaan C, akan membayar pajak sebesar 10 persen dari Rp 150 milyar, yaitu sebesar Rp 15 milyar. Namun kemudian perusahaan tersebut akan memperoleh kredit pajak sebesar Rp 10 milyar. Hal ini disebabkan pada saat membeli benang dari perusahaan A, perusahaan B sudah menanggung pajak masukan sebesar Rp 10 milyar, yaitu pajak yang dibebankan oleh perusahaan A lewat harga benang. Jadi jumlah neto PPN yang dibayar oleh perusahaan B adalah Rp 5 milyar. Demikian juga perusahaan C, pada saat menjual kain tenun, perusahaan tersebut harus membayar pajak 10 persen dari Rp 250 milyar, yaitu Rp 25 milyar. Namun kemudian perusahan C akan menerima kredit pajak sebesar Rp 15 milyar, sehingga jumlah neto pajak yang dibayarnya adalah Rp 10 milyar. Oleh karena beban pajak tersebut selalu dialihkan ke muka, maka pada akhirnya konsumen kain tenun yang akan menanggung

Page 11: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

beban PPN. Konsumen tersebut akan terkena pajak sebesar Rp 10 milyar + Rp 5 milyar + Rp 10 milyar atau sebesar Rp 25 milyar. Jumlah ini adalah sebesar 10 persen dari nilai kain tenun yang dijual pada konsumen, yaitu Rp 250 milyar. Sekarang andaikata benang adalah barang tidak kena pajak. Dalam kasus ini PPN yang harus dibayar oleh importir adalah tetap, yaitu sebesar Rp 10 milyar. Perusahaan B, pada saat menjual produknya tidak dikenakan pajak, karena perusahaan tersebut menjual barang tidak kena pajak. Tetapi ddain pihak perusahaan B juga tidak mendapatkan kredit pajak, sehingga sebenarnya ia masih terkena pajak masukansebesar Rp 10 milyar, yaitu pajak yang dibebankan oleh perusahaan A melalui tingkat harga. Beban pajak masukan ini nantinya akan dialihkan lagi ke muka, yaitu pada perusahaan C melalui harga benang. Perusahaan C, pada saat menjual kain tenun, harus membayar pajak sebesar 10persen dari Rp 250 milyar, yaitu Rp 25 milyar, tetapi perusahaan tersebut tidak mendapatkan kredit pajak, karena menggunakan masukan-antara tidak kena pajak. Dengan demikian perusahaan C harus membayar pajak sebesar Rp 25 milyar. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan Rp 10 milyar, yaitu beban pajak masukan dari perusahaan B, sehingga jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan C adalah Rp 35 milyar. Jumlah pajak ini nantinya dibebankan pada konsumen. Dengan demikian, maka pada akhimya konsumen akan terkena pajak sebesar Rp 35 milyar, jadi lebih tinggi dari 10 persen. Padahal apabila seluruh jenis barang yang ada dalam jalur vertikal tersebut adalah barang kena pajak, konsumen hanya terkena pajak sebesar Rp 25 milyar. Jumlah Rp35 milyar ini adalah kumulatif dari Rp 25 milyar dan Rp10 milyar (yaitu pajak masukan yang harus ditanggung sebagai akibat penggunaan berbagai jenis masukan-antara tidak kena pajak.

Pada umumnya komoditi-komoditi yang tidak dikenakan PPN adalah komoditi- komoditi yang diperlukan oleh masyarakat golongan pendapatan rendah seperti, barang-barang hasil pertanian (misalnya, padi, jagung, dan ubi), peternakan, perikanan, dan pertambangan. Dengan demikian diharapkan penetapan beberapa jenis komoditi tidak kena pajak tersebut dapat menciptakan struktur PPN yang lebih adil. Tetapi dilihat dari pajak ganda yang timbul sebagai akibat penetapan beherapa jenis komoditi tidak kena pajak tersebut perlu dipersoalkan sampai seberapa jauh penetapan beberapa jenis komoditi tidak kena pajak tersebut dapat menciptakan struktur pajak yang lebih menceminkan keadilan bagi masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar komoditi- komoditi yang terkena pajak ganda tersebut adalah komoditi-komoditi yang diperlukan juga oleh masyarakat golongan pendapatan rendah.

Kedua, pengusaha- pengusaba kecil, yaitu pengusaha- pengusaha yang mempunyai peredaran bruto di'bawah Rp 60.000.000,--atau mempunyai modal usaha maksimum Rp 10.000.000,-- setahun, diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengusaha kena pajak (PKP) atau tidak menjadi pengusaha kena pajak (Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 967/KMK. 04/ 1983). Bagi pengusaha- pengusaha yang memilih menjadi PKP, maka seperti subyek pajak yang lain mereka dikenakan pajak berdasarkan nilai jual dari komoditi yang diusahakannya. Kemudian mereka akan memperoleh kredit pajak sebesar pajak masukan yang telah dibayarnya. Bagi pengusaha-pengusaha yang tidak memilih menjadi PKP, tidak dikenakan pajak atas penjualan komoditi yang diusahakannya, tetapi juga tidak akan memperoleh kredit pajak. Hal ini mengingat kredit

Page 12: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

pajak hanya diberikan kepada PKP yang membeli komoditi kena pajak dari pengusaha kena pajak.

Maksud utama pemerintah memberikan kebebasan kepada pengusaha- pengusaha kecil untuk tidak menjadi PKP ada]ah untuk membantu meringankan biaya operasi dari pengusaha- pengusaha tersebut. Dengan memilih menjadi pengusaha tidak kena pajak, biaya operasi mereka akan relatif rendah, sehingga harga jualnya juga dapat relatif rendah. Dengan harga jual yang relatif rendah diharapkan pengusaha- pengusaha kecil tersebut dapat bersaing dengan pengusaha- pengusaha menengah dan besar.

Dampak yang tidak menguntungkan akan dirasakan oleh PKP yang membeli komoditi bukan dari PKP. Pengusaha-pengusaha tersebut tidak akan memperoleh kredit pajak, walaupun mereka adaah PKP. Jadi pengusaha-pengusaha tersebut di samping harus membayar pajak yang dihitung berdasarkan nilai penjualan, juga harus menanggung beban pajak masukan. Hal ini membawa konsekuensi PKP akan memilih membeli komoditi dari sesama PKP, karena dengan cara demikian mereka akan memperoleh kredit pajak. Jadi sebenarnya pengusaha- pengusaha kecil menghadapi dilema yaitu, menjadi subyek pajak dengan konsekuensi harus membayar pajak atau tidak menjadi subyek pajak dengan konsekuensi menghadapi kemungkinan kehilangan langganan-langganannya. Apabila pengusaha-pengusaha keeil tersebut dapat menjual komoditinya kepada konsumen atau kepada pengusaha bukan PKIP, maka mereka dapat memanfaatkan kesempatan untuk menjadi pengusaha tidak kena pajak tanpa khawatir akan kehilangan langganan- langganannya.

Pengusaha-pengusaha kecil yang memilih tidak menjadi PKP, sebenarnya tidak bebas sama sekali dari beban PPN. Dengan tidak memperoleh kredit pajak sebenarnya pengusaha-pengusaha tersebut masih harus menanggung pajak masukan yang dibebankan leveransirnya melalui harga komoditi. Beban pajak masukan ini justru mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan pajak pertambahan nilai yang harus dibayar, apabila pengusaha keeil tersebut memilih menjadi PKP. Jadi dengan melihat adanya dilema tersebut maka perlakuan khusus pada pengusaha- pengusaha kecil belum sepenuhnya dapat menjamin keadilan dalam sistem PPN.

Struktur PPN dan PPNBM

Berdasarkan persamaan (5) dan persamaan (6), dapat dihitung indeks progresivitas dari Suits (Iihat Tabel 1). Tabel tersebut menunjukkan bahwa indeks progresivitas PPN bertanda negatif. Tanda negatif pada indeks tersebut mempunyai makna bahwa pajak pertambahan nilai (baik PPN1, PPN2 maupun PPN3) adalah bersifat regresif.

Dalam sistem PPN dapat dilihat bahwa tingkat regresivitas dari PPN1 dan PPN2 adalah lebih kecil dibandingkan dengan tingkat regresivitas dari PPN3. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan beberapa jenis komoditi tidak kena PPN, telah dapat meningkatkan indeks progresivitas dari PPN. Jadi memang usaha pemerintah untuk mengurangi tingkat regresivitas struktur PPN melalui penetapan beberapa komoditi tidak kena PPN, mencapai sasaran. Dari Tabel yang disajikan juga dapat ditarik kesimpulan bahwa

Page 13: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

semakin luas obyek PPN, semakin regresif strukturnya. Dengan memasukkan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), tingkat regresivitas PPN temyata turun.

Tabel 1. lndeks Suits dari PPN dan PPNBM

Keterangan Indeks Suits

PPN1 -0,0432

PPN2 -0,0901

PPN3 -0,0911

PPN   PPnBM1 -0,0404

PPN   PPnBM2 -0,0760

PPN   PPnBM3 -0,0792

Sumber: Hasil perhitungan peneliti.

Dari Tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa indeks progresivitas PPN & PPnBM1, temyata lebih besar dibandingkan dengan indeks progresivitas PPN1. Demikian juga indeks progresivitas PPN & PPnBM2 adalah lebih besar dibandingkan dengan Indeks progresivitas PPN2 dan indeks progresivitas PPN dan PPnBM3 lebih besar dibandingkan dengan indeks progresivitas PPN3. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa pengenaan pajak penjualan atas barang-barang mewah, baik sebelum PP. No. 28 dan 29 tahun 1988 maupun sesudahnya, temyata memang dapat menurunkan tingkat regresivitas pajak pertamhahan nilai. Walaupun demikian penurunan tersebut adalah relatif kecil, kar,na tidak dapat menghadangkan sifat regresivitas dari struktur pajak pertambahan nilai.

Dibandingkan dengan PPN & PPnBM1, dikeluarkannya PP No. 28 dan 29 tahun 1988 ternyata menurunkan indeks progresivitas PPN & PPNBM. Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa indeks progresivitas dari PPN & PPnBM1 adalah lebih besar dibandingkan dengan indeks progresivitas PPN & PPnBM2. Demikian juga temyata indeks progresivitas PPN & PPnBM2 lebih besar dibandingkan dengan indeks progresivitas PPN & PPnBM3. Penurunan indeks progresivitas ini disebabkan pengaruh perluasan obyek PPN pada setiap perubahan Peraturan Pemerintah tersebut yang lebih besar dibandingkan dengan pengaruh peningkatan tarip PPNBM.

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa walaupun pengenaan pajak penjualan atas barang-barang mewah dapat menurunkan tingkat regresivitas pajak pertambahan nilai, tapi penurunan tingkat regresivitas tersebut belum dapat menunjukkan bahwa pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang- barang mewah mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Struktur pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang-barang mewah masih tetap regresil Bahkan dengan adanya PP 28 dan 29 tahun 1988, PP No. 65 tahun 1992, tingkat regresivitas pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang-barang mewah tersebut justru meningkat dibandingkan dengan

Page 14: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

sebelumnya. Ini berarti bahwa beban pajak yang ditanggung oleh golongan rumah tangga berpendapatan rendah relatif meningkat.

Salah satu hal yang menyebabkan pajak penjualan atas barang-barang mewah tersebut belum dapat berperan banyak dalam menurunkan tingkat regresivitas struktur pajak pertambahan nilai, adalah berkaitan dengan penetapan jenis-jenis barang yang dikategorikan sebagai barang-barang mewah. Beberapa jenis barang seperti Teh botol, Coca Cola, Pepsi Cola, dan Fanta sebenarnya tidak tepat apabila dimasukkan dalam kategori barang mewah. Barang-barang tersebut harganya relatif murah, sehingga banyak dikonsunisi oleh masyarakat golongan pendapatan rendah. Perhitungan indeks Suits untuk jenis minuman ringan tidak mengandung alkohol tersebut adalah  0,110. Jadi pengunaan pajak penjualan atas barang-barang mewah untuk jenis-jenis produk tersebut temyata mempunyai struktur yang regresif Hal ini menunjukkan bahwa beban pajak tersebut lebih banyak ditanggung masyarakat golongan pendapatan rendah.

Dalam PPNBM itu sendiri temyata belum semua konsumsi mewah dikenakan PPNBM. Sesuai dengan istilahnya, yaitu pajak penjualan atas barang mewah, maka PPNBM hanya dikenakan pada barang-barang mewah. Jasa-jasa mewah seperti fitness centre, night club, dan mandi uap belum dikenakan PPNBM. Padahal jasa-jasa ini pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat golongan pendapatan menengah ke atas.

Penutup

Dari tutisan tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diketengahkan dalam studi ini yaitu: Pertama, dalam rangka menurunkan tingkat regresivitas PPN, pemerintah hendaknya mengevaluasi kembali penetapan jenis-jenis barang yang dikategorikan dalam barang-barang mewah. Beberapa jenis minuman dalam botol yang tidak mengandung alkohol, seperti tch botol, Fanta, dan Coca Cola sebaiknya dikeluarkan dari kategori barang-barang mewah. Jenis-jenis barang tersebut harganya relatif murah, sehingga banyak juga dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah. Sebaliknya barang-barang yang bersifat eksklusif yang harganya sangat mahal dapat dimasukkan dalam golongan barang-barang mewah. Sebaiknya dalam menentukan apakah barang-barang tersebut masuk dalam  kelompok barang mewah atau tidak, pemerintah lebih mengkaitkan dengan harga relatif dari barang-barang tersebut dengan barang-barang yang sejenisnya. Sebagai contoh, kain wool impor yang harganya sampai sepuluh kali lipat dari harga kain Caterina atau Bellini dapat dimasukkan dalam kategori barang- barang mewah.

Untuk jenis-jenis barang tertentu, pengenaan PPNBM hendaknya tidak hanya didasarkan pada jenis barang tersebut tetapi juga ditentukan secara progresif berdasarkan jumlahnya. Sebuah keluarga yang memiliki mobil mewah lebih dari satu, maka ia harus dikenakan tarif PPNBM yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebuah keluarga yang hanya memiliki satu mobil mewah. Pengenaan ini adalah wajar, karena untuk masyarakat Indonesia sampai saat ini, memiliki mobil lebih dari satu dalam sebuah keluarga adalah lebih cenderung pada kemewahan dibandingkan dengan kebutuhan. Pengenaan PPNBM dengan cara demikian, di samping akan membuat struktur PPN dan PPNBM lebih

Page 15: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

progresif, juga dapat menghemat penggunaan prasarana dan energi riasional untuk tujuan- tujuan yang lebih produktif.

Istilah pajak penjualan atas barang mewah lebih baik diganti dengan pijak penjualan atas konsumsi mewah, schingga pengenaannya tidak terbatas pada barang-barang mewah saja tetapi juga pada jasa-jasa mewah. Konsumsi jasa- jasa mewah seperti "night club", mandi uap, "fitness centre", dan sejenisnya dapat dikenakan pajak penjualan atas konsumsi mewah. Konsumsi tersebut pada umumnya dilakukan olch golongan masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi, sehingga dengan dikenakannya pajak penjualan atas korksumsi mewah diharapkan struktur PPN akan berkurang tingkat regresivitasnya. Hal ini tentu saja dengan pengertian bahwa conforcement-nya dapat dilaksanakan.

Kedua, pemerintah sebaiknya memberikan ketentuan tambahan dalam sistem kredit pajak sebagai berikut. PKP yang membeli komoditi kena pajak dari pengusaha- pengusaha kecil, akan mendapatkan kredit pijak, walaupun pengusaha- pengusaha tersebut membeli dari pengusaha-pengusaha kecil bukan PKP.

Besarnya pajak hendaknya sama dengan kredit pajak yang akan diperolehnya, apabila mereka membeli komoditi yang sama dari PKP. Dengan ketentuan tambahan ini maka pengusaha-pengusaha kecil akan dapat memilih tidak menjadi PKP tanpa khawatirakan kehilangan langganan. Hal ini juga akan mendorong pengusaha- pengusaha kecil untuk memiliki administrasi yang lebih baik. Sebagai contoh, agar langganan dapat memperoleh kredit pajak, maka pengusaha-pengusaha kecil tersebut dituntut untuk selalu memberikan nota penjualan kepada pembeli- pembelinya. Mereka juga dituntut untuk mempunyai pembukuan yang baik, terutama yang berkaitan dengan posisi dan perkembangan keuangan perusahaan. Pembukuan yang baik ini diperlukan untuk membuktikan bahwa pengusaha tersebut memang masih dapat dikategorikan sebagai pengusaha kecil.

Ketiga, pengusaha-pengusaha kecil letap dinyatakan sebagai pengusaha kena pajak, tetapi dengan tarip khusus, misalnya 5 persen. Dengan menyatakan bahwa pengusaha-pengusaha tersebut sebagai PKP, maka mereka akan memperoleh kredit pajak. Demikian juga pengusaha-pengusaha yang membeli produk dari pengusaha- pengusaha tersebut akan memperoleh kredit pajak. Dengan demikian, kekhawatiran pengusaha-pengusaha kecil akan kehilangan langganan-langganannya sebagai akibat pengenaan PPN tidak akan terjadi. Yang perlu diperhatikan dalam kasus ini adalah agar dampak restitusi yang diakibatkan oleh ketentuan dalam sistem kredit pajak tersebut tidak lebih besar dibandingkan .dengan jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah.

 

Daftar Pustaka

Boediono, B. (1972). Pajak Penjualan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak.

Page 16: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Boediono. (1981). Mengenal Beberapa Metode Kwantitatif dalam Ilmu Ekinomi. Yogyakarta: BPFG UGM.

Biro Pusat Statistik. (1 99 1). Statistik Indonesia 1990. Jaka rta.

Dresch, S.P., Lin An-Loh, and Stout D.K. 1977. Substituting a Value Added   Taxfor The Corporate Income Tax. FirstAroundAnalysis. Cambridge, Massachusetts. National Bureau of Economic Research, Inc.

Guerard, M. (1 973, March). The Brazilian State Value Added Tax. IMF-SP 20,

Hananto, Sigid. (1980, Januari). Masalah Penghitungan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Prisma, (1).

Ibrahim, Saadudin dan Kartoatmodjo, Pranoto. (1981). Klasifikasi Pajak Penjualan dalam Negeri Jakarta: Jaya Persada.

Kakwani, N. C. (1977). Measurement of tax progressivity: An International Comparison. Economic Journal, 87, 71-80.

Kunbur, M.G., and Liras, P. (1985). VAT Substitution and Its Effects on Domesticof Pricesof Greek Economy. Unpublished DiscussionPaper. University of Birmingham.

Lent G.E., Casanegara M., and Guemrd, M. (1973, July). The ValueAdded Tax in Developing Countries. IMF-SP. 20, 318-378.

Leontief, W. (1951). Input Output Economics. Dalam Townsen, Harry (ed.). Reading Price Theory. Middlesex: Penguin Book Ltd., Harmondsworth.

McLure, Jr., Charles, E. (1973). Economic Effects of Taying ValueAdded. dalam Musgrave, Richard A. (ed.). Broad Based Taxes: New Options and Sources. Baltiinore dan London: The Johns Hopkins University Press.

Miyasto. (1991). Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai.. Studi Mengenai Dampak terhadap Harga,Penerimaan dan Struktur. Disertasi yang Tidak Dipublikasikan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Munawir, S. (1 985). Pokok-Pokok Perpajakan. Yogyakarta: Liberty.

Musgrave, R.A., and MiLsgrave, P.B. (1984). Public Finance in Theory and Practice. London: McGraw-Hill Book Company.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun (1 988). Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun (1988). Jakarta.

Page 17: Struktur Pajak Pertambahan Nilai Di Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun (1992). Jakarta.

Singer, Ncil M. (1 976). Public Microeconomics an Introduction to Government Finance. Boston Toronto: Little, Brown and Company.

Suits, D.B., (1977). Measurement of Tax Progressivity. American Economic Review, 67,747-52.

Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 97O/KMK. 041 198-3, Jakarta.

Yotopoulus, Paul A., and Nugent Jeffrey B. (1976). Economics of Development., Empirical Investigations. New York: Harper & Row Publishers

Undang-Undang No. 8 Tahun 1983, Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta.