Struktur Komunitas Gastropoda di Padang Lamun Perairan ...repository.umrah.ac.id/2430/1/Rio...
Transcript of Struktur Komunitas Gastropoda di Padang Lamun Perairan ...repository.umrah.ac.id/2430/1/Rio...
1
Struktur Komunitas Gastropoda di Padang Lamun Perairan Tanjung Dua
Kecamatan Selayar Kabupaten Lingga
Rio Apriyandi, Ita Karlina, Fadhliyah Idris
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
APRIYANDI RIO. Struktur Komunitas Gastropoda Di Padang Lamun Perairan
Tanjung Dua Kecamatan Selayar Kabupaten Lingga. Tanjungpinang Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Pembimbing oleh Ita Karlina dan Fadhliyah Idris.
Penelitian mengenai struktur komunitas gastropoda di padang lamun telah
dilakukan di perairan Tanjung Dua Kecamatan Selayar Kabupaten Lingga. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas gastropoda di padang
lamun perairan Tanjung Dua Kecamatan Selayar Kabupaten Lingga. Penelitian ini
dilakukan dengan metode yang digunakan adalah teknik garis transek (line
transect technicue). Panjang transek di tetapkan 100 meter, jarak antar transek 20
meter dan pada masing-masing transek diletakkan plot berukuran 1x1 meter
dengan jarak antar plot 10 meter. Hasil penelitian di temui 4 jenis lamun yaitu:
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata, dengan nilai kerapatan lamun 73,45 (tegakan/m²) di stasiun I dan
70,77 (tegakan/m²) di stassiun II. Berdasarkan hasil untuk gastopoda ditemui 3
jenis yaitu: Strombus turturela, Strombus urceus dan Rhinociavis aspera. Hasil
analisis untuk nilai rata-rata Indeks Ekologi menunjukkan bahwa nilai indeks
keanekaragaman (H’) gastropoda mencapai 0,91 di stasiun I dan 0,86 di stasiun II
berada pada kategori rendah. indeks keseragaman (E) gastropoda mencapai 0,88
di stasiun I dan 0,81 di stasiun II berada dalam kategori tinggi serta nilai indeks
dominasi (C) gastropoda mencapai 0,44 di stasiun I dan 0,47 di stasiun II yang
termasuk dalam kategori rendah.
Kata Kunci : Struktur Komunitas, Gastropoda, Padang Lamun, Tanjung Dua
2
PENDAHULUAN
Gastropoda adalah hewan bertubuh lunak yang berjalan dengan menggunakan
perutnya dan dapat hidup pada berbagai tempat baik di darat, sungai, laut, maupun
pada daerah estuaria yang merupakan daerah paralihan antara darat dan laut.
Tetapi sebagian besar spesies gastropoda mendiami perairan laut dangkal
(Nuruddin et al. 2015). Kelompok gastropoda epifauna merupakan kelompok
hewan yang relatif menetap di dasar perairan dan kerap digunakan sebagai
petunjuk biologis (indikator) kualitas perairan. Pada saat ini penggunaan
bioindikator menjadi sangat penting untuk memperlihatkan hubungan antara
lingkungan biotik dengan non-biotik. Bioindikator atau indikator ekologis
merupakan taksa atau kelompok organisme yang sensitif dan dapat dijadikan
petunjuk bahwa mereka dipengaruhi oleh tekanan lingkungan akibat dari kegiatan
manusia (Zulkifliet al., 2009).
Secara ekologi, gastropoda merupakan komponen penting dalam rantai
makanan di ekosistem padang lamun dan bermanfaat terhadap pertumbuhan
padang lamun dalam proses fotosintesis (Kusnadi et al., 2009; Sianu et al., 2014).
Selain penting secara ekologi, beberapa gastropoda juga memiliki nilai ekonomis
yang tinggi karena cangkang gastropoda dimanfaatkan untuk kerajinan tangan
sedangkan dagingnya dimanfaatkan untuk dikonsumsi.
Perairan Tanjung Dua merupakan suatu perairan yang memiliki sebaran
vegetasi lamun mengelompok. Ekosistem lamun yang tersebar di perairan ini
biasanya sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bagian dari
aktivitas kesehariannya seperti mencari siput atau kerang, menjaring, dan
memasang pancang untuk tambatan perahu.
Dengan berbagai aktivitas masyarakat yang berada di sekitar perairan tersebut,
sehingga akan mempengaruhi struktur komunitas gastropoda di padang lamun
perairan Tanjung Hal ini dikarenakan gastropoda merupakan hewan yang sangat
berperan penting dalam ekosistem padang lamun. Ini terjadi karena kehidupan
gastropoda sangat ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem padang
lamun ,yaitu apabila salah satu komponen mata rantainya mengalami perubahan
maka akan merubah keadaan rantai makanan yang ada pada ekosistem padang
lamun tersebut .
Maka dari itu perlu dilakukan penelitian tentang struktur komunitas
gastropoda yang ada di padang lamun perairan Tanjung Dua Kecamatan Selayar
Kabupaten Lingga.
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini di lakukan di perairan Tanjung Dua Kecamatan Selayar
Kabupaten Lingga. Penelitian ini di lakukan pada bulan Oktober 2018 sampai
November 2018.
3
2.3. Alat dan Bahan
Table 1 merupakan alat dan bahan yang di gunakan dalam penelitian tersebut.
Table 1. Alat dan bahan penelitian
No Nama Alat/Bahan Satuan Keterangan
Alat
1 Multi taster C Mengukur suhu
2 Refraktometer 0/00 Mengukur salinitas
3 GPS x0y’z” Menentukan posisi
4 Alat tulis - Mencatat hasil pengamatan
5 Multi taster mg/l Mengukur oksigen terlarut
6 Kamera - Dokumentasi
7 Multi taster - Mengukur pH
8 Transect Plot Pengamatan lamun
9 Transect Plot Pengamatan gastropoda
10 Kantong bening Kantong sampel
Bahan
1 Akuades dan Tisu Kalibrasi Alat
3.3. Prosedur Kerja
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu
metode penelitian yang tidak melakukan perubahan/perlakuan khusus terhadap
variabel yang akan diteliti dengan tujuan untuk memperoleh serta mencari
keterangan secara faktual tentang objek yang diteliti.
3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan stasiun penelitian atau titik lokasi pengamatan ditentukan
berdasarkan teknik Purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik
pengambilan sampel yang digunakan apabila sampel yang akan diambil
4
mempunyai pertimbangan tertentu (Fachrul, 2007). Dari hasil pertimbangan yang
dilakukan, diperoleh 2 (dua) titik stasiun pengamatan yaitu:
1. Stasiun 1 (Satu) merupakan kawasan yang memiliki ekosistem lamun yang
tergolong baik.
2. Stasiun 2 (Dua) merupakan kawasan yang dekat dengan aktifitas masyarakat.
Berdasarkan luasan habitat dan penyebaran padang lamun di perairan
Tanjung Dua, maka ditentukan sebanyak 3 transek dengan jarak antar transek
sejauh 20 meter. Panjang transek yang digunakan adalah sejauh 100 meter kearah
laut, dengan jarak antar plot sejauh 10 meter. Sedangkan ukuran plot pengamatan
adalah 1x1 meter.
3.3.2. Pengamatan Lamun
Metode yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada teknik garis
transek (line transect technicue) pada ekosistem lamun (Facrul, 2007). Dengan
panjang garis transek 100 m, jarak antar transek 20 meter dan jarak antar plot 10
meter. sedangkang ukuran plot pengamatan adalah 1x1 meter.
Lamun yang dijumpai didalam plot diambil 1 rimpang untuk diidentifikasi
jenisnya kemudian dilakukan perhitungan kerapatan lamun dengan menghitung
jumlah tegakan setiap jenisnya. Lamun yang terhitung kemudian dicatat dengan
menggunakan kertas underwater, data lamun siap untuk dianalisis.
Sampel lamun yang terdapat di lokasi penelitian diambil dengan menggunakan
tangan hingga akarnya (rhizoma) dan diidentifikasi jenisnya. Untuk identifikasi
jenis lamun dilakukan dengan acuan inventarisasi jenis lamun di Indonesia (Kep
Men LH No. 200 Tahun 2004). Untuk jenis lamun sulit untuk diidentifikasi di
lapangan dilakukan identifikasi lebih lanjut di Laboratorium Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji.
3.3.3. Pengamatan Gastropoda
Pengamatan Gastropoda menggunakan Petak contoh (Transect Plot) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah petak contoh berbentuk persegi yang dibuat
dengan pipa paralon ukuran ¾ inch dan dilubangi dengan ukuran 1x1m2. Menurut
Hitalessy et al., (2015). pengambilan contoh gastropoda dilakukan dengan
menggunakan metode transek linier kuadrat berukuran 1 x 1 m2, yang dilakukan
pada saat air surut.
Contoh (sampel) Gastropoda diambil langsung dengan menggunakan tangan
atau bantuan lainnya. Gastropoda yang diambil adalah Gastropoda yang berada
dalam petak contoh (plot) yang telah ditentukan sepanjang jarak pasang surut
(intertidal).
Contoh (sampel) Gastropoda dimasukkan kedalam kantong plastik bening yang
telah diberi label sesuai untuk setiap titik dan plotnya. Kemudian bersihkan dari
lumpur/kotoran yang menempel dan sortir berdasarkan titik dan plotnya. Contoh
Gastropoda yang sudah bersih kemudian sebelum diidentifikasi
Contoh Gastropoda yang sudah di bersihkan, dilakukan identifikasi untuk
mengetahui jenis Gastropoda yang ditemukan. Identifikasi dilakukan dengan
melihat bentuk cangkang, warna, corak dan jumlah putaran cangkang. Setiap jenis
yang ditemukan dicocokan karakteristik morfologinya dengan melihat pada web
5
identifikasi biota. Web identifikasi yang digunakan yakni buku siput dan kerang
Indonesia Dharma, (1988).
3.4. Pengolahan dan Analisa Data
3.4.1. Pengamatan Lamun
Kerapatan Jenis (Ki), yaitu jumlah total individu jenis lamun suatu unit area
yang diukur. Kerapatan jenis lamun dihitung dengan rumus Fachrul, (2007). :
𝐾𝑖 =𝑛𝑖
𝐴
Ket:
Ki = kerapatan jenis ke-i
ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i
A = Luas area total pengambilan sampel (m2)
Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatannya dapat dilihat pada tabel
Tabel 2.
Tabel 2 Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan kerapatan
Skala Kerapatan (ind/m²) Kondisi
5 >175 Sangat rapat
4 125 – 175 Rapat
3 75 – 125 Agak rapat
2 25 – 75 Jarang
1 <25 Sangat jarang
Sumber: Gosari, Haris. (2012)
Kerapatan Relatif (KR), yaitu perbandingan antara jumlah individu jenis dan
jumlah total individu seluruh jenis. Kerapatan relatif lamun dihitung dengan
rumus Fachrul, (2007). :
𝐾𝑅 =𝑛𝑖
𝑁 ×100%
Ket :
KR = Kerapatan relatif
ni = Jumlah individu ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
3.4.2. Pengamatan Gastropoda
3.4.2.1.Indeks Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman suatu biota air dapat ditentukan dengan menggunakan teori
informasi shannon-wienner (H’) tujuan utama dari teori ini adalah untuk
mengukur tingkat keteraturan dan ketidak teraturan dalam suatu sistem. Adapun
rumus shannon-wienner (H’) adalah sebagai berikut (Fachrul, 2007).
𝐇′ = −∑ pi ln pi
6
Ket :
H = Indek keanekaragaman Shannoon-Wiener
Pi = ni/N
ni = Jumlah Individu ke-i
N = Jumlah total individu
Dengan kriteria penilaian :
H’<1 = Keanekaragaman rendah dengan jumlah individu tiap spesies tidak
seragam dan salah satu spesiesnya ada yang dominan.
1<H’<3 = Keanekaragaman sedang dengan jumlah individu tiap spesies tidak
seragam dan tidak ada yang dominan.
H’>3 = Keanekaragaman tinggi dengan jumlah individu tiap spesies tidak
seragam dan tidak ada yang dominan.
3.4.2.2.Indeks Keseragaman (E)
Keseragaman atau equitabilitas adalah penyebaran individu antar spesies yang
berbeda dan diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H’) dengan
keanekaragaman maksimalnya (Bengen, 2000) . Rumus indeks keseragaman
menurut Bengen (2000) dan Fachrul (2007) yaitu :
𝐸 =𝐻′
𝐻′𝑚𝑎𝑥=
𝐻′
𝑙𝑛(𝑠)
Ket :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah Jenis
Adapun nilai E berada di kisaran 0 dan 1. Jika nilai E mendekati 1 maka
menggambarkan suatu keadaan semua spesies cukup melimpah (keseragaman
seimbang). Sedangkan jika nilai E mendekati 0 maka keseragaman jenis spesies
tidak seimbang.
Berdasarkan pernyataan diatas maka, rincian kriteria penilaian indeks
keseragaman adalah :
E < 0,30 = Keseragaman rendah
0,30 > E < 0,60 = Keseragaman sedang
0,60 > E < 1,00 = Keseragaman tinggi
3.4.2.3.Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi (C) digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu
kelompok biota mendominansi kelompok lain. Dominansi yang cukup besar akan
mengarah pada komunitas yang lebih maupun yang tertekan. Dominansi ini
diperoleh dari rumus (Shannon-Wiener dalam Insafitri 2010):
Ket :
𝐶 = ∑ (𝑛𝑖
𝑁) ²
7
D = Indeks dominansi
ni = jumlah spesies suatu jenis
N = Jumlah seluruh spesies.
Dengan kriteria indeks dominansi:
0,00 - 0,50 = Rendah
0,50 - 0,75 = Sedang
0,75 - 1,00 = Tinggi
3.5. Parameter Fisika-Kimia Perairan
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sebagai data pendukung dalam
menggambarkan kondisi perairan pada lokasi penelitian. Pengukuran parameter
perairan yang dilakukan adalah salinitas, suhu, DO, pH, dan substrat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Lamun
4.1.1. Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Tanjung Dua
Kerapatan Jenis (Ki), Kerapatan Relatif (KR) yang di dapatkan pada penelitian
ini dapat di lihat pada Tabel 3
Tabel 3. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif
No Jenis Lamun Kerapatan (tegakan/m²) Kerapatan Relatif (%)
S 1 S 2 S 1 S 2
1 Enhalus acoroides 52,21 54,09 71 76
2 Thalassia hemprichii 13,63 9,84 18 14
3 Halodule uninervis 4,15 3,42 6 5
4 Cymodocea rotundata 3,48 3,42 5 5
Total 73,47 70,77 100 100
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Tanjung Dua
didapatkan data mengenai lamun yaitu terdapat 4 spesies lamun di perairan
tersebut. Spesies – spesies tersebut yaitu diantaranya Enhalus acoroides ,
Thalassia hemprichii , Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Dimana,
Spesies Enhalus acoroides pada stasiun I memiliki tinggat kerapatan sebesar
52,21 dengan kerapatan relatife sebesar 71%, begitupun pada stasiun II yang
memiliki tingkat kerapatan sebesar 54,09 dengan kerapatann relatife sebesar 76%.
Spesies Thalassia hemprichii pada staasiun I memiliki tingkat kerapatan sebesar
13,63 dengan kerapatan relatife sebesar 14% dan pada stasiun II memiliki tingkat
kerapatan sebesar 9,84 dengan tingkat kerapatan relatife sebesar 14%. Spesies
Halodule uninervis memiliki tingkat kerapatan sebesar 4,15 dengan tingkt
kerapatan relatife 6% yang terdapat pada stasiun I, sedangkan untuk stasiun II
memiliki tingkt kerapatan sebesar 3,42 dengan tingkat kerapatan relatif sebesar
5%. Selnjutnya, untuk spesies Cymodoncea rotundata pada stasiun I memiliki
tingkat kerapatan sebessaar 3,48 dengan persentase kerapatan relatife sebesar 5%.
Sedangkan untuk stasiun II memiliki tingkat kerapatan sebesar 3,42 tingkt
8
kerapatan relatif sebesar 5%. Merujuk pada sumber literatur Gosari dan Haris
(2012) mengatakan bahwa kelas kondisi padang lamun skala 5 memiliki nilai
kerapatan > 175 (sangat rapat), jumlah tegakan 125-175 (rapat), jumlah tegakan
75-125 (agak rapat), jumlah tegakan 25-75 (jarang), dan jumlah tegakan <25
(sangat jarang). Ita Riniatsih dan Munasik (2017), aktivitas lalu liantas perahu
nelayan dan aktifitas masyarakat nelayan yang sering memanfaatkan padang
lamun sebagai tempat mencari ikan diduga dapat mempengaruhi kondisi padang
lamun di lokasi tersebut. Alinaung F Firgonitha et al .(2015), keberadaan
organisme tergantung pada kemampuan beradaptasi organisme tersebut
Perbedaan tingkat kerapatan suatu lamun dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
diantaranya:
1. Suhu
Suhu mempengaruhi tingkat kerapatan dan tegakan dari lamun itu sendiri.
Hal ini karena perubahan suhu yang terjadi akan langsung berdampak pada
tingkat kelangsungan hidup dari lamun itu sendiri. Sehingga sistem
metabolisme dari tumbuhan lamun ini akan mengalami gangguan .
2. Salinitas
Salinitas mempengaruhi tingkat kerapatan lamun karena lamun memiliki
potensi kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas. Penurunan
salinitas akan terjadi jika perairan tersebut minim okesigen .
3. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman ini sangat berpengaruh pada ekosistem lamun. Hal ini
akan mempengaruhi kadar oksigen dalam lautan. Selain itu, kadar ini akan
sangat berguna untuk kondisi lamun tersebut apabila perairan tersebut masih
produktif sifatnya.
4. DO
Oksigen dalam perairan sangat berpengaruh dalam perairan. Hal ini
dikarenakan kandungan oksigren digunakan untuk reaksi foto sintesis dalam
perairan tersebut. Dimana hasil dari reaksi ini akan sangat berguna bagi sistem
mtabolisme yang terdapat pada lamun tsb .
4.2. Pengamatan Gastropoda
4.2.1. Jumlah spesies Gastropoda
Jumlah spesies Gastropoda tiap stasiun penelitian, jumlah spesies yang di
dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Spesies Gastropoda
No Famili Genus Spesies S I S II Total
1 Strombiadae Stombus Strombus turturela 86 73 159
2 Strombiadae Stombus Strombus urceus 130 143 273
3 Cerithiidae Rhinoclavis Rhinociavis aspera 21 19 40
Total stasiun 237 235 472
9
Melihat dari hasil penelitian di temukan 3 jenis sepsis, yaitu jenis Strombus
turturela, Strombus urceus dan Rhinociavis. Dimana jumlah spesies Srombus
turturela pada stasiun 1 86 dan pada stasiun 2 terdapat 73 sedangkan untuk
spesies Strombus urceus pada stasiun 1 berjumlah 130 dan pada stasiun 2
berjumlah 143 untuk spesies Rhinociavis aspera memiliki jumlah pada stasiun 1
sebnayak 21 dan pada stasiun 2 sebnyak 19 dari data tersebut dapoat diketahui
bahwa spesies yang mendominasi yaitu strombus urceus dimana spesies ini
memiliki jumlah terbesar yg terdapat pada stasiun 1 dan 2.
Tingkat keanekaragaman gastropoda dipengaruhi oleh tingkat kerapatan lamun
yang terdapat di perairan tersebut, dimana tingkat kerapatan lamun memiliki
keterkaitan dengan jumlah yang terdapat di perairan tersebut. Hal ini dikarenakan,
gastropoda menjadikan lamun sebagai habitat atau tempat tinggal. Dimana
semakin tinggi tingkat kerapatan suatu lamun dapat mempengaruhi jumlah
gastropoda yang akan mendiami kawasan tersebut. Hasil dari penelitian ini sangat
didukung dengan hasil penelitian dari Latuconsina et al. (2013), dimana hubungan
kerapatan lamun dengan kepadatan gastropoda di perairan Pulau Osi-Teluk
Kontania, Kabupaten Seram Barat memiliki hubungan yang kuat atau searah.
4.2.2. Indek Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat
pada Tabel 5.
Tabe 5. Indeks keanekaragaman Gastropoda
Indeks
Keanekaragaman
Stasiun
I II
TS I TS II TS III TS I TS II TS III
H 0,91 0,93 0,88 0,9 0,85 0,84
(Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah)
Rata-rata 0.91 0,86
Melihat dari hasil penelitian diketahui bahwa indek keanekaragaman
gastropoda di perairan Tanjung Dua, di stasiun I yaitu 0,91 dan stasiun II yaitu
0,86. Nilai indek keanekaragaman dari kedua stasiun masih dikategorikan rendah,
hal ini menunjukkan bahwa ekosistem berada dalam kondisi tidak stabil (Ridwan
et al. 2016). Menurut Imam et al. (2014), menyatakan bahwa keanekaragaman
spesies tergantung dari pemerataan individu dalam tiap spesiesnya, dinilai rendah
apabila penyebarannya tidak merata.
4.2.3. Indek Keseragaman
Indeks Keseragaman yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada
Tabel 6.
10
Tabe 6. Indeks keseragaman Gastropoda
Indeks
Keseragaman
Stasiun
I II
TS I TS II TS III TS I TS II TS III
E 0,83 0,93 0,88 0,82 0,78 0,84
(Tinggi) (Tinggi) (Tinggi) (Tinggi) (Tinggi) (Tinggi)
Rata-rata 0,88 0,81
Melihat dari hasil penelitian diketahui bahwa indek keseragaman organisme
gastropoda di perairan Tanjung Dua, di stasiun I yaitu 0,88 menunjukkan
keseragaman tinggi, hal ini dikarenakan penyebaran individu merata atau ditemui
di semua titik sampling. Pada stasiun II yaitu 0,81 hal ini menunjukkan bahwa
tingkat keseragaman tinggi, penyebaran indipidu tiap jenis di stasiun II merata dan
mempunyai keseragaman tinggi, hal ini dikarena di semua titik sampling ditemui
jenis gastropoda yang sama maka dari itu nilai indek keseragaman gastropoda
yang di dapatkan tergolong tinggi. Nilai indek keseragaman berbanding terbalik
dengan nilai indek dominansi, semakin tinggi nilai dominansi maka semakin
rendah nilai keseragaman. Indek keseragaman mendekati 0 berarti keseragaman
rendah kemungkinan ada spesies yang mendominan (Chorudin, 2014).
4.2.4. Indek Dominansi
Indeks Dominansi yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada
Tabel 7.
Tabe 7. Indeks dominansi Gastropoda
Indeks
Dominansi
Stasiun
I II
TS I TS II TS III TS I TS II TS III
C 0,44 0,43 0,45 0,46 0,47 0,49
(Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah) (Rendah)
Rata-rata 0,44 0,47
Melihat dari hasil penelitian diketahui bahwa indek dominansi pada stasiun I
yaitu 0,44 menunjukkan kategori rendah. Pada stasiun II yaitu 0,47 menunjukkan
kategori rendah. Menurut Rahayu et al. (2015) adanya individu jenis tertentu yang
lebih banyak, hal ini diduga berkitan dengan keadaan perairan atau jenis substrat
yang mendukung bagi populasinya.
4.3. Parameter Fisika-Kimia Perairan
4.3.1. Salinitas
Nilai salinitas yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 8.
11
Tabe 8. Nilai salinitas yg diperoleh
No Stasiun TS Salinitas
( 0/00 )
Rata-rata Keterangan
1
I
I
II
III
34,6
34,9
34,7
34,73
Cuaca Cerah
2
II
I
II
III
33,7
34,5
34,7
34,3
Cuaca Cerah
Hasil pengukuran salinitas menunjukkan bahwa nilai salinitas pada perairan
Tanjung Dua berada pada rata – rata stasiun I 34,73 dan stasiun II 34,3. Salinitas
yang terdapat di perairan Tanjung Dua, jika dibandingkan dengan Kepmen LH No
51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut berada di atas ambang batas baku mutu.
Tingginya nilai salinitas ini diduga karena pengaruh suhu atau lamanya
penyinaran matahari di perairan Tanjung Dua yang menggakibatkan salinitas
tinggi.
4.3.2. Suhu
Nilai suhu yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 9.
Tabe 9. Nilai suhu yg diperoleh
No Stasiun TS Suhu ( 0c ) Rata-rata Keterangan
1
I
I
II
III
30,8
31,8
31,6
31,4
Cuaca Cerah
2
II
I
II
III
30.6
31,2
31,2
31
Cuaca Cerah
Dari hasil pengukuran suhu di perairan Tanjung Dua pada setiap stasiun
pengamatan adalah dengan rata – rata 31,4 ºC pada stasiun I dan 31 ºC pada
stasiun II. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi suatu
organisme. Kisaran suhu yang terdapat di setiap stasiun penelitian merupakan
kisaran suhu yang mampu mendukung kehidupan gastropoda yang berada di
perairan, dan jenis-jenis gastropoda yang ada di perairan tersebut lah yang mampu
beradaptasi dengan suhu yang terdapat di perairan tersebut. Hal ini juga
disebabkan oleh intensitas cahaya matahari di wilayah perairan Tanjung Dua yang
panas, hal itu dapat dirasakan peneliti saat melakukan penelitian di perairan. Pada
saat peneliti meneliti di lokasi cuaca sangat cerah tidak ada mendung sedikitpun
dan cahaya matahari terasa sangat panas hal itu dirasakan langsung oleh peneliti
selama penelitian tidak pernah terjadi hujan di lokasi titik sampling maupun di
seluruh daratan Tanjung Dua.
4.3.3. Oksigen Terlarut (DO)
Nilai DO yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 10.
12
Tabe 10. Nilai DO yg diperoleh
No Stasiun TS Do (Mg/L) Rata-rata Keterangan
1
I
I
II
III
6
6,13
6,08
6,07
Cuaca Cerah
2
II
I
II
III
6.06
6,53
6,56
6,38
Cuaca Cerah
Dari hasil pengukuran DO di perairan Tanjung Dua pada setiap stasiun
pengamatan adalah dengan rata – rata 6,07 pada stasiun I dan 6,38 pada stasiun II.
Mengacu pada Kepmen LH (2004) kandungan Oksigen terlarut (DO) yang sesuai
untuk kehidupan organisme akuatik adalah sebesar > 5 mg/L. Maka perairan
Tanjung Dua masih dalam kondisi DO yang baik bagi tumbuhan atau hewan yang
hidup di dalamnya. Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor yang sangat penting
bagi kehidupan hewan seperti gastropoda. Tingginya nilai DO di perairan Tanjung
Dua dikarenakan kondisi lingkungan yang belum tercemar oleh aktivitas
pemukiman penduduk sekitar. Karena penduduk Tanjung Dua mayoritas
bertempat tinggal di darat. Dan limbah hasil rumah tangga tidak di buang
langsung ke perairan.
4.3.4. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH yang di dapatkan pada penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 11.
Tabe 11. Nilai pH yg diperoleh
No Stasiun TS Ph Rata-rata Keterangan
1
I
I
II
III
7,35
7,21
7,23
7,26
Cuaca Cerah
2
II
I
II
III
7,14
7,2
7,06
7,13
Cuaca Cerah
Dari hasil pengukuran pH di perairan Tanjung Dua pada setiap stasiun
pengamatan adalah dengan rata – rata 7,26 pada stasiun I dan 7,13 pada stasiun II.
Jika mengacu pada ketetapan Kepmen LH (2004) yang menentukan bahwa nilai
derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupan biota perairan adalah pada
kisaran 7 – 8,5. Maka nilai pH perairan Tanjung Dua masih dalam nilai yang
cukup bagus untuk kelangsungan hidup biota gastropoda. Pada saat peneliti
meneliti di perairan Tanjung Dua, mayoritas penduduk Tanjung Dua lebih banyak
bermukim atau bertempat tinggal di darat di bandingkan di daerah pantai.
Kebanyakan penduduk Tanjung Dua tidak membuang limbah sisa rumah tangga
langsung ke laut, baik limbah organik maupun nonorganik. pH merupakan faktor
penting untuk mengontrol kelangsungan hidup dan distribusi organisme yang
hidup di suatu perairan, Ahmad Mundzir Romdhani et al (2016).
13
4.3.5. Substrat
Dari hasil penelitian jenis substrat yang di temui ialah substrat berpasir baik
stasiun I maupun stasiun II. Hal ini di karenakan keadaan lokasi penelitian. Jenis
substrat sangat mempengaruhi pola penyebaran biota akuatik, substrat pasir
cenderung memudahkan biota untuk bergerak ketempat – tempat yang lain
(Lindawaty et al., 2016).
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Tanjung Dua dapat
disimpulkan bahwa struktur komunitas gastropoda yang terdapat di perairan
Tanjung Dua Kecamatan Selayar Kabupaten Lingga terdiridari 3 jenis gastropoda
yaitu: strombus turturela, strombus urceus dan rhinociavis aspera. untuk spesies
strombus urceus dengan jumlah spesies 130 di stasiun I dan 143 di stasiun II,
untuk spesies strombus turturela 86 di stasiun I dan 73 di stasiun II, dan untuk
spesies rhinociavis aspera 21 di stasiun I dan 19 di stasiun II. Untuk nilai indeks
keanekaragaman ( H’ ) = 0,91 di stasiun I dan 0,9 di stasiun II, Untuk nilai
keseragaman ( E ) = 0,83 di stasiun I dan 0,82 di stasiun II dan untuk nilai indeks
dominansi ( C ) = 0,44 di stasiun I dan 0,46 di stasiun II.
5.2. Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas gastropoda di perairan
Tanjung Dua di dominansi paling tinggi oleh gastropoda jenis Strombus urceus
walaupun masih tergolong kategori rendah. Makadari itu disarankan untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan spesies jenis Strombus urceus baik itu cara
makannya atau kandungan yang terdapat di dalam tubuh Strombus urceus di
ekosistem lamun di perairan Tanjung Dua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mundzir Romdhani, Sukarsono, dan Rr. Eko Susetyarini. 2016.
Keanekaragaman Gastropoda Hutan Mangrove Desa Baban Kecamatan Gapura
Kabupaten Sumenep Sebagai Sumber Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan
Biologi Indonesia. 2 (2): 161-167 hal.
Alinaung F Firgonitha, Anneke V. Lohoo, Alex D. 2015. Struktur Komunitas
Gastropoda Di Pantai Desa Mokupa Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa Sulawesi Utara. JurnalIlmiahPlatax. 3 (1) : 23-35 hal
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 58 hal.
Choirudin, I. R., Supardjo, M.N., Muskananpola, M.R. 2014. Biologi Edisi
Kelima Jilid 3, Erlangga, Jakarta.
14
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesia Shella). Penerbit PT.
Sarana Graha. Jakarta. 107 hal.
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor. 42-81 hal .
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 249 hal.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 198 hal.
Gosari, B.A.J., Haris,A., 2012. Studi Kearapatan dan Penutupan Jenis Lamun di
Kepulauan Spermonde. Torani (Jurnal Kelautan dan Perikanan. 22 (3) : 156 –
162 hal.
Harminto, S., 2003, Taksonomi Avertebrata, Penerbit Universitas Terbuka,
Jakarta. 24-26 hal.
Hasniar., Litaay, M., Priosambodo, D., 2013. Biodiversitas Gastropoda di Padang
Lamun Perairan Mara’Bombanf Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Torani
(Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 23 (3) : 127 – 136 hal.
Hitalessy, R.B., Leksono, A.S., Herawati, E.Y., 2015. Struktur Komunitas dan
Asosiasi Gastropoda dengan Tumbuhan Lamun di Perairan Pesisir Lamongan
Jawa Timur. J-PAL. 6 (1 ): 64 – 73 hal.
Imam, S., Santoso, A., Pribad, R. 2014. Struktur Komunitas Gastropoda Di
Kemujan, Taman Nasional, Karimunjawa. Jurnal Of Marine Research. 3(4):
595-604
Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, Dan Dominansi Bivalvia Di Area
Buangan Lumpur Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan 3 (1) : 54-59 hal.
Ira., Rahmadani., Irawati, N., 2015. Keanekaragaman dan Kepadatan Gastropoda
di Perairan Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan). 3 (2) : 265 –
271 hal.
Ita Riniatsih, Munasik. 2017. Keanekaragaman Megabentos yang Berasosiasi di
Ekosistem Padang Lamun Perairan Wailiti, Maumere Kabupaten Sikka, Nusa
Tenggara Timur. Jurnal Kelautan Tropis. 20 (1) : 55–59 hal.
Kementerian Lingkungan Hidup., 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran III Baku Mutu Air Laut
Untuk Biota Laut. Jakarta.
15
Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No.200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku
Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun
Kusnadi, A., Hernawan, U.E., Triandiza, T., 2009. Molluska Padang Lamun
Kepulauan Kei Kecil. Penerbit LIPI Press. Jakarta. 187 hal.
Latuconsina, H., Sangadji, M., Dawar, L., 2013. Asosiasi Gastropoda pada
Habitat Lamun Berbeda di Perairan Pulau Osi Teluk Kontania Kabupaten
Seram Barat. Ilmu Kelautan dan Perikanan. 23 (2) : 67 -78 hal.
Lindawaty., Dewiyanti, I., Karina, S., 2016. Distribusi dan Kepadatan Kerang
Darah (Anadara sp) Berdasarkan Tekstur Substrat di Perairan Ulee Lheue
Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Peikanan Unsyiah. 1 (1) :
114-123 hal.
McKenzie, L.J., Campbell, S.J., 2003. Manual For Community (Citizen)
Monitoring Of Seagrass Habitat Wester Pasific Edition. Seagrass-Wach.
Department Of Primary Industries Queensland. 40 hal.
Nontji. A. 2005. Lautan Nusantara. Djambatan. Jakarta. 574 hal
Nuruddin, Hamidah. A, dan Kartika. W. D., 2015. Keanekaragaman Jenis
Gastropoda di Sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Parit 7 Desa Tungkal I
Tanjung Jabung Barat. Biospecies 8 (2) : 51-60 hal.
Nybakken. J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan : M.
Edman, D. G. Bengen, Koesoebiono, M. Hutomo dan Sukristijono. Penerbit PT
Gramedia. Jakarta. 459 hal
Rahayu, S., Mahatma, R., Khairijon. 2015. Kelimpahan dan Keanekaragaman
Makrozoobentos di Beberapa Anak Sungai Bantang Lubuh Kecamatan
Rambah Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Online Mahasiswa MIPA. 2(1); 198-
208 hal.
Rahmawati, S., Supriyadi, I.H., Azkab, M.H., Kiswara, W., 2014. Panduan
Monitoring Padang Lamun. Coremap Cti Lipi. Jakarta. 47 hal.
Ridwan 1, M., Fathoni, R., Fatihah, I., Pagestu, D.A. 2016. Struktur komunitas
Makrozoobentos Di Empat Muara Sungai Cagar Alam Pulau Dua, Serang,
Banten.Al-Kauniyah Jurnal Biologi. 9(1): 57-65 hal.
Setyobudiandi, I., Sulistiono., Yulianda, F., Kusmana, C., Haryadi, S., Damar, A.,
Sembiring, A., Bahtiar., 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan
Kelautan. Bogor. Makaira-FPIK. 313 hal.
Sianu, N.E., Sahami, F.M., Kasim, F., 2014. Keanekaragaman dan Asosiasi
Gastropoda dengan Ekosistem Lamun di Perairan Teluk Tomini. Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 2(4): 156 – 163 hal.
16
Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Pendekatan Ekologis,
Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional.
Surabaya. 412 hal.
Zulkifli. H, Zazili Hanafiah dan Dian Asih Puspitawati. 2009. Struktur dan Fungsi
Komunitas Gastropoda di Peraian Sungai Musi Kota Palembang: Telaah
Indikator Pencemaran Air. Seminar Nasional Biologi. 586-595 hal.