Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

16
STRATIFIKASI DAN PEMBAGIAN KERJA MASYARAKAT PERTANIAN DESA PAKENJENG Indri Sinta Octari, M. Khoirul Anwar, Nur Amidah, Ricky Adryawan, Shella Firliana Putri, Sulton Rahardiansyah. Dr. Muhammad Zid, M. Si. Ahmad Tarmiji Alkhudri, S.Pd., M.Si. Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun muka, Jakarta, 13220. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana stratifikasi dan pembagian kerja di masyarakat pertanian Desa Pakenjeng. Dari sisi metedologi, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu para petani yang di Desa Pakenjeng. Lokasi penelitian di Desa Pakenjeng kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut, dengan waktu penelitian selama 3 hari, yaitu pada tanggal 20-22 November 2015. Hasil penelitan menunjukan bahwa stratifikasi di Desa Pakenjeng didasarkan pada peguasaan kepemilikan lahan dan terbagi menjadi tiga kelas yaitu, pemilik lahan tak bekerja (kelas atas), pemilik lahan bekerja (kelas menengah), buruh tani (kelas bawah). Selain itu stratifikasi juga menentukan sistem pembagian kerja bagi buruh dan pemilik lahan dengan faktor kekeluargaan, rasa percaya, dan keahlian. Kata Kunci : Stratifikasi, pembagian kerja, pertanian, desa Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dengan mata pencaharian terbanyak pada bidang pertanian. Pertanian yang berbasis pada daerah pedesaan. Pertanian yang erat dengan pedesaan karena faktor lahan di desa yang tergolong masih luas. Selain itu tenaga kerja baik buruh maupun petani itu sendiri menjadi komoditas pendukung pertanian tersebut. Pertanian merupakan sektor andalan pembangunan nasional, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pangan nasional, maka peningkatan pertanian harus terus diupayakan. Banyak pihak yang hanya melihat pertanian sebagai sektor yang selalu dieksploitasi secara makro dan mengesampingkan esensi budaya yang turut memberikan andil dalam proses pertanian. Masyarakat luar (kota) hanya melihat petani dalam esensi produktifitas pangan nasional namun melupakan bagaimana peran kearifan lokal seperti budaya solidaritas dan saling menolong masyarakat desa juga mempengaruhi dalam sistem pertanian di desa. Adanya desa dengan basis pertaniannya sangat membantu kehidupan masyarakat di Indonesia. Khususnya padi, sebagai bahan pokok makanan masyarakat Indonesia. Walaupun poros kehidupan masyarakat berada di kota, namun kota tak akan disebut demikian tanpa adanya desa sebagai sumber kehidupan itu sendiri. Hubungan timbal balik yang timpang seringkali dirasakan oleh masyarakat desa, karena pembangunan yang lebih difokuskan dalam bidang prasarana perhubungan yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi produktifitas pertanian di desa. Dengan iming-iming pembangunan ini masyarakat desa terus saja dieksploitasi tanpa adanya realisasi pembangunan yang berbasis pada desa itu sendiri. Untuk itu pembangunan desa sangat diperlukan agar membentuk desa yang mandiri. Desa

description

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana stratifikasi dan pembagian kerja di masyarakat pertanian Desa Pakenjeng. Dari sisi metedologi, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu para petani yang di Desa Pakenjeng. Lokasi penelitian di Desa Pakenjeng kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut, dengan waktu penelitian selama 3 hari, yaitu pada tanggal 20-22 November 2015. Hasil penelitan menunjukan bahwa stratifikasi di Desa Pakenjeng didasarkan pada peguasaan kepemilikan lahan dan terbagi menjadi tiga kelas yaitu, pemilik lahan tak bekerja (kelas atas), pemilik lahan bekerja (kelas menengah), buruh tani (kelas bawah). Selain itu stratifikasi juga menentukan sistem pembagian kerja bagi buruh dan pemilik lahan dengan faktor kekeluargaan, rasa percaya, dan keahlian.

Transcript of Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Page 1: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

STRATIFIKASI DAN PEMBAGIAN KERJA MASYARAKAT PERTANIAN DESA

PAKENJENG

Indri Sinta Octari, M. Khoirul Anwar, Nur Amidah, Ricky Adryawan, Shella Firliana Putri,

Sulton Rahardiansyah.

Dr. Muhammad Zid, M. Si.

Ahmad Tarmiji Alkhudri, S.Pd., M.Si.

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun muka,

Jakarta, 13220.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana stratifikasi dan pembagian kerja di

masyarakat pertanian Desa Pakenjeng. Dari sisi metedologi, penelitian ini menggunakan

metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu para petani yang di Desa Pakenjeng.

Lokasi penelitian di Desa Pakenjeng kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut, dengan waktu

penelitian selama 3 hari, yaitu pada tanggal 20-22 November 2015. Hasil penelitan

menunjukan bahwa stratifikasi di Desa Pakenjeng didasarkan pada peguasaan kepemilikan

lahan dan terbagi menjadi tiga kelas yaitu, pemilik lahan tak bekerja (kelas atas), pemilik

lahan bekerja (kelas menengah), buruh tani (kelas bawah). Selain itu stratifikasi juga

menentukan sistem pembagian kerja bagi buruh dan pemilik lahan dengan faktor

kekeluargaan, rasa percaya, dan keahlian.

Kata Kunci : Stratifikasi, pembagian kerja, pertanian, desa

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dengan mata pencaharian terbanyak pada

bidang pertanian. Pertanian yang berbasis pada daerah pedesaan. Pertanian yang erat dengan

pedesaan karena faktor lahan di desa yang tergolong masih luas. Selain itu tenaga kerja baik

buruh maupun petani itu sendiri menjadi komoditas pendukung pertanian tersebut. Pertanian

merupakan sektor andalan pembangunan nasional, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan

pangan nasional, maka peningkatan pertanian harus terus diupayakan. Banyak pihak yang

hanya melihat pertanian sebagai sektor yang selalu dieksploitasi secara makro dan

mengesampingkan esensi budaya yang turut memberikan andil dalam proses pertanian.

Masyarakat luar (kota) hanya melihat petani dalam esensi produktifitas pangan nasional

namun melupakan bagaimana peran kearifan lokal seperti budaya solidaritas dan saling

menolong masyarakat desa juga mempengaruhi dalam sistem pertanian di desa.

Adanya desa dengan basis pertaniannya sangat membantu kehidupan masyarakat di

Indonesia. Khususnya padi, sebagai bahan pokok makanan masyarakat Indonesia. Walaupun

poros kehidupan masyarakat berada di kota, namun kota tak akan disebut demikian tanpa

adanya desa sebagai sumber kehidupan itu sendiri. Hubungan timbal balik yang timpang

seringkali dirasakan oleh masyarakat desa, karena pembangunan yang lebih difokuskan

dalam bidang prasarana perhubungan yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi

produktifitas pertanian di desa. Dengan iming-iming pembangunan ini masyarakat desa terus

saja dieksploitasi tanpa adanya realisasi pembangunan yang berbasis pada desa itu sendiri.

Untuk itu pembangunan desa sangat diperlukan agar membentuk desa yang mandiri. Desa

Page 2: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

mandiri tak lain berawal dari masyarakat pertanian yang mampu mengolah pertaniannya

dengan baik, serta koordinasi elit desa yang mendukung. Seperti munculnya penyebaran

inovasi-inovasi dari lapisan atas ke lapisan bawah1. Seperti adanya penyuluhan pertanian

misalnya, maupun dengan inovasi pembagian kerja oleh sang petani terhadap buruhnya. Hal

ini bisa mengembangkan pertanian desa dengan mewujudkan petani yang mandiri.

Pendayagunaan seluruh kemampuan yang berasal dari manusia maupun teknologi tanam

diharapkan mampu menjadi sarana untuk membangun pertanian masyarakat desa.

Namun di sisi lain pembangunan desa, khusunya di bidang pertanian yang berkiblat

pada pembagian kerja antar petani pemilik sawah dengan petani buruh bisa menimbulkan

kesenjangan. Kesenjangan inilah yang akan berujung pada munculnya pelapisan masyarakat

atau biasa dikenal dengan stratifikasi sosial pada sistem pertanian. Akibatnya tumbuh

kerenggangan yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat. Kerenggangan ini

dampaknya begitu terasa dalam kehidupan masyarakat pertanian. Dimana banyak pemilik

tanah seakan tergdegradasi oleh kekuatan modal yang dimiliki perorangan dalam sistem

pengolahan lahan pertanian.

Penentuan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Pakenjeng memiliki

sektor pertanian yang memiliki pola hubungan antara lapisan-lapisan sosial masyarakat Desa

di bidang pertanian yang ada di pedesaan dan pola kehidupannya. Di Desa ini, terlihat bahwa

terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang ada di dalam masyarakat Desa Pakenjeng.

Pelapisan-pelapisan tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Pitirim Sorokin tentang

stratifikasi sosial yaitu pembedaan penduduk dan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial

secara bertingkat, yaitu kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah.2

Berdasarkan kerangka pemikiran Pitirim A Sorokin sistem pelapisan itu merupakan

ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang

memiliki sesuatu yang berharga (seperti misalnya tanah, uang, ternak dan sebagainya) dalam

jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat berkedudukan dalam lapisan atasan,

mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga itu

dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.3 Hal ini juga terjadi pada

tatanan desa karena masih memiliki konsepsi tentang kepemilikan lahan yang menciptakan

struktur masyarakat pertanian di desa.

Selain munculnya stratifikasi yang disebabkan oleh perbedaan penguasaan lahan,

hewan ternak, maupun yang lainnya muncul juga suatu sistem dimana masyarakat melakukan

pekerjaan sesuai perjanjian yang telah disepakati dalam pandangan Durkheim hal ini

didasarkan pada solidaritas pada masyarakat itu sendiri. Menurut Emile Durkheim dalam

bukunya The Division of Labor bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara

orang –orang yang melalukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang

mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain.4 Menurut

Geertz hal ini lebih dikenal dengan involusi pertanian yaitu pembagian kerja ke dalam yang

lebih rumit.5 Karena fokus subjek penelitian ini adalah masyarakat pedesaan maka solidaritas

yang muncul adalah solidaritas mekanik yang menekankan pada ikatan darah dan hubungan

1 Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan jilid 1, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991), hlm.

194. 2 Yesmil Anwar, dkk, Sosiologi untuk Universitas. (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 215.

3 Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Op Cit., hlm. 204.

4 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. (Bantul : Kreasi Wacana, 2012), hlm. 89.

5 Darmawan Salman, Sosiologi Desa (Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas). (Makassar : Penerbit Ininnawa,

2012), hlm. 52.

Page 3: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

emosional yang tinggi antara masing-masing individu. Dalam masyarakat pertanian muncul

kaum-kaum buruh miskin yang tak memiliki modal untuk membeli lahan maupun menyewa

lahan pertanian namun karena himpitan ekonomi yang tinggi mereka rela melakukan apapun

untuk mendapatkan uang.

Pada masyarakat pertanian muncul suatu konsepsi pembagian kerja yang didasarkan

atas rasa kekeluargaan. hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Dawam Rahardjo

tentang involusi pertanian yang terjadi pada masyarakat Indonesia yaitu, 1) pembagian kerja

ke dalam yang lebih rumit ( misalnya pada suatu proses pertanian muncul pembagian kerja

dimana seseorang menangani satu pekerjaan tertentu, seperti membajak, menyemai,

memanen, menumbuk padi, dll), 2) shared of poverty atau pembagian kemiskinan (yaitu

dimana proses pembagian kerja pada masyarakat pertanian dimaknai sebagai suatu cara

dalam membagi keuntungan yang merata) hal ini biasanya karena didasarkan pada solidaritas

yang kuat antar masyarakat yang merasa memiliki kesamaan nasib sebagai petani maupun

buruh miskin, 3) tidak berkembangnya sektor ekonomi non pertanian (sawah) karena adanya

sistem shared poverty, masyarakat pertanian seakan tidak mau untuk mencari solusi

pekerjaan lain sehingga banyak dari mereka maupun keturunan mereka lebih memilih untuk

membantu orang tuanya dalam proses pertanian dalam rangka menjaga sistem shared of

poverty tersebut.6 Oleh karena itu kami melakukan penelitian dengan judul “Stratifikasi dan

sistem pembagian kerja dalam masayakat pertanian di desa Pakenjeng”. Dengan penilitian ini

kami berharap mampu memaparkan hasil analisa mengenai stratifikasi sosial dan sistem

pembagian kerja pada masayarakat pertanian.

Metodologi

Dalam penelitian ini, Kami menggunakan penelitian deskriptif kualitatif untuk

membuktikan adanya pengaruh stratifikasi sosial terhadap sistem pertanian. Penelitian

kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai suatu gejala

atau perilaku tertentu dalam masyarakat atau kelompok masyarakat. Penelitian kualitatif

bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data kualitatif. Subyek penelitian yaitu warga

Desa Pakenjeng khususnya masyarakat yang bekerja di bidang pertanian. Lokasi penelitian di

Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Data yang ada kami dapatkan

dari hasil wawancara dan kuesioner terhadap masyarakat desa, khususnya masyarakat

pertanian.Wawancara dilakukan baik kepada masyarakat desa sebagai petani itu sendiri

maupun masyarakat desa sebagai buruh tani. Dalam hal ini juga kami akan membandingkan

proses pembagian kerja antara petani dan buruh. Kemudian dari proses tersebut dikaitkan

dengan stratifikasi sosial.

Penelitian ini kami lakukan dengan wawancara kepada masyarakat desa baik petani

maupun buruh dalam sistem pertanian desa tersebut. Kami wawancara tentang bagaimana

sistem pembagian kerja dalam masyarakat desa serta dampak apa yang akan terjadi. Kami

melakukan penelitian juga tentang terjadinya stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat

pertanian desa tersebut.

6 Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si.

Page 4: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Hasil dan Pembahasan

Profil Desa Pakenjeng dan Karakteristiknya

Desa Pakenjeng merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan pamulihan yang

mempunyai luas wilayah sekitar 2112 hektar yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya

membawahi 2 dusun 7 Rw dan 30 Rt. Berdasarkan statistik Desa Pakenjeng jumlah penduduk

di Desa ini sebanyak 3705 jiwa, terdiri dari 1327 KK dengan perbandingan sex ratio adalah

laki-laki sebanyak 2038 jiwa dan perempuan sebanyak 1667 jiwa.7

Kondisi geografis Desa Pakenjeng pada batas wilayah sebelah utara ada kecamatan

Cisurupan, di sebelah selatan ada Desa Wangunjaya Kecamatan Pakenjeng. Lalu di bagian

timur ada Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng. Sebelah barat ada Desa Garumukti

Kecamatan Pamulihan.

Tabel 1.1

Penduduk menurut mata pencaharian

Jenis pekerjaan Jumlah

Petani 319

buruh tani 481

pegawai negeri sipil 47

Pengrajin 15

Pedagang 113

Peternak 33

Bidan 2

perawat kesehatan 2

karyawan swasta 415

TNI/POLRI 1

Sumber : Profil desa Pakenjeng, 2015

7 Profil Desa Pakenjeng

Page 5: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Tabel 1.2

Luas wilayah menurut penggunaan

Wilayah Luas

Pemukiman 28,35 ha

Sawah 133,60 ha

Ladang 176,15 ha

Perkebunan 1041,2 ha

Kuburan 3,15 ha

fasilitas umum 2,35 ha

Perkantoran 2,20 ha

Hutan 948 ha

Sumber : Profil desa, 2015

Komoditi penggerak ekonomi di Desa Pakenjeng salah satu yang terbesar adalah dari

lahan pertanian (sawah) hal ini terlihat dalam statistik profil Desa berdasarkan luas wilayah

menurut penggunaan yaitu pemukiman sebesar 28,35 Ha dan sawah 133,60 Ha. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pertanian lebih besar dibandingkan dengan

penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk. Berarti berdasarkan hal tersebut tingkat

perekonomian warga Desa Pakenjeng hampir separuhnya bermata pencaharian dalam bidang

pertanian. Pernyataan ini sesuai dengan data profil penduduk menurut kelompok mata

pencaharian yaitu penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 319 jiwa dan

sebagai buruh tani sebesar 481 jiwa.

Penduduk Desa Pakenjeng kebanyakan berprofesi sebagai petani dan berkebun.

Seiring waktu, penduduk Desa Pakenjeng lambat laun terus bertambah dan berkembang

sehingga lahan pertanian masyarakat semakin tergerus dan berubah menjadi lahan

pemukiman. Gunawan dan Erwidodo menyatakan bahwa “di jawa hampir 60% penduduk

tidak memiliki lahan, sedangkan rata-rata luas pemilikan (termasuk sawah dan kahan kering)

hanya 0,62 ha menurut Sensus Pertanian tahun 1973 dan 0,61 ha menurut Sensus Pertanian

1983”.8 Dengan terjadinya degradasi pada lahan pertanian menyebabkan lahan menjadi suatu

faktor yang mampu menentukan tingkatan sosial pada masyarakat Desa Pakenjeng.

8 Muhammad Zid. M. Si, Pergeseran Dan Ketimpangan Pemilikan Tanah Di Perdesaan Pulau Jawa, (Jurnal

Geografi, Vol 2 No 2, 2004), hlm. 8.

Page 6: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Gambar 1.1

Kondisi pertanian Desa Pakenjeng

Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015

1. Pemilik lahan tidak bekerja

Dalam bidang pertanian sawah di Desa Pakenjeng terbagi tiga tingkatan yang ada.

Pada tingkatan paling atas ada pemilik lahan tidak bekerja. Pemilik lahan tidak bekerja adalah

orang yang hanya mengelola lahannya secara tidak langsung atau memperkerjakan orang lain

untuk mengelola lahan miliknya.

Disini kelompok kami mewawancarai salah seorang pemilik lahan pertanian yang

tidak bekerja langsung yang bernama Ibu Ning. Ibu Ning adalah warga asli Desa Pakenjeng

yang bertempat tinggal di Kecamatan Pamulihan, RT.03 RW.01. Lahan yang dimiliki Bu

Ning merupakan hasil warisan yang diberikan oleh orang tuanya untuk dibagi dengan 6

saudaranya yang lain. Hal ini sesuai dengan klasifikasi tanah untuk petani Jawa yang

dikemukakan oleh Kano dalam Tjondronegoro yaitu milik perorangan turun temurun.9 Secara

riil beliau mendapatkan bagian sawah seluas dua petak namun karena saudara-saudara yang

lainnya tak memiliki kehalian dalam mengelola sawah sehingga segala hal yang mengenai

kepengurusan tanah dilimpahkan kepada beliau.

Ibu Ning mengelola sawahnya dengan memperkerjakan tiga orang buruh tani yang

diperkerjakan atas dasar kepercayaan. Buruh tani yang mengelola lahan Bu Ning dibayar

dengan upah Rp. 15.000 – Rp. 20.000 dengan durasi waktu bekerja enam jam dalam sehari.

Beliau memanen lahannya pada kisaran waktu empat bulan sekali. Dalam sekali panen Bu

Ning mendapatkan hasil sekitar tiga kwintal beras. Beras hasil panen tersebut digunakan

untuk kebutuhan makan sehari-hari, jarang untuk dijual kembali. Namun apabila ada

kebutuhan mendesak yang harus dibayar, maka beras tersebut dijual kepada warung-warung

terdekat yang masih ada disekitar Desa Pakenjeng. Untuk memenuhi kebutuhan lainnya Bu

Ning mempunyai tabungan berupa hewan ternak yaitu ikan dan ayam yang cukup banyak.

Hal ini sesuai dengan apa disebutkan dalam kerangka pemikiran Pitirim Sorokin yaitu barang

siapa yang memiliki sesuatu yang berharga (seperti misalnya tanah, uang, ternak dan

sebagainya) dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat berkedudukan

dalam lapisan atasan.

9 Muhammad Zid, M.Si, Ibid., hlm. 10.

Page 7: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Dengan kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan persawahan

mampu menjadi satu faktor yang menentukan seseorang masuk ke kelas atas ataupun kelas

bawah selain itu kepemilikan tabungan berupa hewan ternak juga mampu mempengaruhi

penentuan kelas sosial di masyarakat pertanian. Pada masyarakat petani di Desa Pakenjeng

uang bukanlah suatu hal yang lebih ditonjolkan oleh masyarakatnya hal ini karena pada Desa

ini tidak mengenal sistem kulakan/tengkulak sehingga mereka lebih menonjolkan

kesejahteraannya pada patokan konsumsi beras. Hal ini sesuai dengan ungkapan salah

seorang narasumber yang mengatakan bahwa “lebih baik tidak punya uang daripada tidak

memiliki beras untuk dimakan”. Patokan beras sebagai penentu kesejahteraan tak terlepas

dari kebiasaan masyarakat petani disana yang terbiasa dengan kehidupan sederhana.

Gambar 1.2

Salah satu kondisi kolam ikan milik petani

Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 November 2015

Namun tak bisa disangkal bahwa para masyarakat petani pun butuh uang dalam

menjalani kehidupannya. Guna menyiasati hal tersebut tak jarang setelah memanenan hasil

pertanian, mereka menjual hasil panennya ke warung-warung yang ada di sekitar Desa

Pakenjeng. Warung yang bisa menerima hasil panen tersebut bukanlah tengkulak atau

pengepul yang mengendalikan harga. Warung ini hanya menerima hasil panen dari petani

seharga Rp. 9.500/kg dan dijual kembali kepada masyarakat sekitar dengan seharga Rp.

9.700/kg.

Dalam pengamatan kami warung tersebut bukanlah bentuk lain dari tengkulak karena

warung ini tidak mencari hasil padi di daerah dusun satu melainkan dari dusun yang berbeda

dan dijual di dusun satu. Warung ini pun tidak selalu menerima hasil panen semua warga

karena kemampuan warung ini terbatas pada keperluan warga yang mendesak. Biasanya

warung ini menerima hasil panen dari petani sekitar 30 kilogram.

Page 8: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Gambar 1.3

Proses wawancara dengan Pemilik lahan yang tidak bekerja

Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015

Alasan Ibu Ning mempekerjakan buruh tani dalam menggarap sawahnya dikarena

beliau merasa tidak sanggup untuk mengurus sawah yang ia miliki sendirian, karena faktor

usia dan tidak ada yang mengurus karena beliau hanya tinggal bersama kakanya yang

berjumlah satu orang dan anaknya yang juga berjumlah satu orang. Di dalam kehidupannya

Bu Ning yang hanya tinggal bersama kakaknya dan anaknya sangat bergantung kepada

keuntungan dari hasil pertanian yang berasal dari lahan miliknya. Dari hasil lahan sawah

tersebut, Bu Ning dapat membayar segala kebutuhannya, seperti listrik, air, dan hal-hal pokok

lainnya.

Dalam mengurus sawahnya, selain karena faktor luasnya lahan yang harus beliau

garap tetapi karena faktor usia dan keterbatasan tenaga yang ia miliki juga berpengaruh.

Menurutnya, pemerintah dan elit desa kurang memberi perhatian kepada masyarakat petani

yang ada di pelosok. Belum ada bantuan yang diberikan kepada para petani. Bu Ning juga

menceritakan bahwa dulu pernah dijanjikan untuk diberi benih gratis. Tapi nyatanya sampai

saat ini belum ada juga bantuan apapun.

Berikut merupakan gambaran sistem pembagian kerja pada pemilik lahan tidak

bekerja.

Gambar 1.4

Bentuk pembagian kerja di desa Pakenjeng

Sumber : Koleksi Pribadi, 2015

Page 9: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

2. Pemilik lahan dan sekaligus bekerja

Dalam tingkatan dibawah pemilik lahan yang tidak bekerja terdapat lapisan pemilik

lahan dan sekaligus bekerja di lahan yang mereka miliki. Pemilik lahan yang sekaligus

bekerja ini memperkerjakan orang pada saat-saat tertentu tapi juga ikut turun ke sawah dalam

mengelola sawahnya. Pada lapisan ini rata – rata pemilik lahan adalah wanita, sehingga

mereka hanya mampu mengerjakan pekerjaan yang ringan seperti menanam padi dan

memanen. Pekerjaan berat seperti mencangkul dan membajak sawah dilakukan oleh laki –

laki baik buruh tani maupun sang suami.

Pada cakupan ini pemilik lahan memiliki kapital yang lebih besar dibandingkan para

buruh walaupun sang pemilik ikut bekerja juga, hal ini menunjukkan pola pembagian kerja

ditentukan oleh sang pemilik lahan yang ikut bekerja. Jika dibandingkan dengan pemilik

lahan yang tidak bekerja tapi mempekerjakan buruh, kapital yang dimiliki oleh pemilik lahan

bekerja lebih besar dibandingkan dengan pemilik lahan tak bekerja. Hal ini terlihat pada

proses penentuan porsi kerja bagi buruh-buruh tani yang menggarap sawahnya. Pada pemilik

lahan tak bekerja penentuan porsi kerja ini dipercayakan sepenuhnya pada buruh tani yang

menggarap sawah tersebut, pada sistem pembagian kerja ini para buruh tanilah yang

menentukan porsi kerja mereka masing-masing. Berbeda dengan pemilik lahan yang ikut

bekerja menggarap lahannya, para pemilik lahan yang ikut bekerja, mereka secara langsung

menentukan dan memilih porsi kerja buruh sesuai keinginan mereka, sehingga sistem

pembagian kerja diatur oleh perseorangan yaitu pemilik lahan yang bekerja.

Pada pengamatan kami pemilihan ini didasarkan pada tiga faktor penentu yaitu rasa

percaya/kepercayaan, keahlian, dan kekeluargaan. Pada faktor keahlian para pemilik lahan

lebih memilih buruh tani yang memang sudah lama berkecimpung dalam bidang pertanian

hal ini ditujukan agar hasil tanam memuaskan sang pemilik lahan, ini biasanya terjadi pada

pemilik lahan yang bekerja. Pada faktor rasa percaya para pemilik lahan biasanya sudah

mengenal dan sudah lama menggunakan jasa para buruh tani tersebut sehingga rasa pecaya

telah dibangun dalam sistem pembagian kerja di dalamnya. Relasi yang dibangun oleh buruh

dengan pemilik lahan tumbuh dengan ikatan yang kuat. Sedangkan faktor kekeluargaan para

pemilik lahan lebih mengutamakan sistem kekeluargaan pada pemilihan buruh tani. Biasanya

hal ini didasarkan pada kemampuan ekonomi keluarga yang memang kekurangan sehingga

para pemilik lahan ada rasa ingin membantu kekurangan keluarganya.

Page 10: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Berikut presentasi tiga faktor penentu dalam pemilihan buruh tani yang didapatkan

dari narasumber:

(Sumber : hasil olah data wawancara)

Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Dawam Rahardjo tentang involusi

pertanian yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Dalam penjelasan beliau salah satu bentuk

involusi adalah adanya sahred of peverty dalam pembagian kerja dan dikhususkan pada

sistem pembagian kerja dalam keluarga.10

Shrared poverty dalam sistem keluarga dikrenakan

tingkatan ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan sang pemilik lahan sehingga dengan

adanya shared poverty memungkinkan kesejahteraan masyarakat terbagi atas sistem

kekeluargaan tersebut. Menurut Geertz dibawah tekanan penduduk yang meningkat dan

sumber daya yang terbatas masayrakat Jawa tidak terbagi menjadi dua yaitu tuan tanah dan

golongan setengah budak. Malahan ia tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan

ekonomi yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikan rejeki yang ada terus-menerus

hingga menjadi keping-keping kecil.11

Salah seorang pemilik lahan dan sekaligus bekerja yang kami temui adalah Bu Suyati,

berumur 47 tahun yang tinggal di Desa Pakenjeng Rt 02 Rw 02 dan pendidikan terakhirnya

adalah SD. Beliau memiliki lahan sawah seluas 2 petak. Sudah 20 tahun lebih beliau menjadi

petani yang mewarisi lahan dari warisan orang tua. Selain bertani, ia juga mempunyai ternak

sebagai penghasilan tambahan. Hasil panen yang diperoleh biasanya sebagian untuk

keperluan makan sehari –hari, serta yang lainya untuk dijual jika ada keperluan yang

mendesak guna membeli keperluan –keperluan lain. Bentuk kekayaan yang didapat oleh

pemilik lahan bukanlah berupa uang namun berbentuk padi atau beras. Namun padi tersebut

tidak diperjual belikan kepada tengkulak sehingga mereka tidak memiliki tabungan yang

berbentuk uang melainkan berbentuk hewan ternak ataupun padi yang sewaktu-waktu bisa

mereka jual ke warung terdekat maupun mereka konsumsi sendiri.

10

Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si 11

Cliford Geertz, Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in Indonesia, (1983), hlm. 102

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Kepercayaan Keahlian Kekeluargaan

Page 11: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Gambar 1.5

Proses wawancara

Sumber : Dokumentasi pribadi, 25 November 2015

Kondisi kehidupan Bu Suyati sebagai pemilik lahan yang sekaligus bekerja ini tidak

jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Bu Ning sebagai pemilik lahan yang tidak berkerja.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi kami, jika diilihat dari pemenuhan kebutuhan

hidup keluarga Bu Suyati tergolong keluarga yang cukup sejahtera. Dari lahan yang dimilik

Bu Suyati yang berkisar 2 petak Bu Suyati memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain

dari sawah tersebut keluarga Bu Suyati juga mendapatkan pendapatan lain dari usahanya

membuka warung kecil-kecilan dan dari hasil anak-anaknya yang sudah bekerja.

Berikut adalah gambaran sistem pembagian kerja pada pemilik lahan yang ikut bekerja.

Gambar 1.6

Bentuk pembagian kerja di desa Pakenjeng

Sumber : Koleksi pribadi, 23 November 2015

Page 12: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

3. Petani penggarap dan Buruh

Buruh tani merupakan orang-orang yang bekerja pada para pemilik lahan namun

mereka tidak memiliki lahan sekali pun, sehingga mereka hanya mengandalkan kemampuan

dan keahlian mereka pada proses tanam maupun panen untuk mendapatkan uang. Sedangkan

petani penggarap merupakan petani yang tidak memiliki lahan namun menyewa lahan guna

mendapatkan uang. Pada lapisan ini petani penggarap bukanlah termasuk dalam lapisan kelas

bawah atau buruh karena petani penggarap mampu mempekerjakan para buruh tani tetapi dia

tidak memiliki lahan sekalipun.

Sistem pembagian hasil ditentukan berdasarkan besaran panen yang didapatkan oleh

petani penggarap lalu dibagi dua dengan pemilik lahan yang menyewakan. Penentuan

pembagian hasil merupakan salah satu pilihan bagi para petani untuk memenuhi kebutuhan

lahan yang terbatas atau sama sekali tidak memiliki lahan pertanian. Pembagian hasil panen

bukan berupa uang namun berupa beras atau gabah. Petani penggarap bertanggung jawab atas

pemberian upah pada buruh tani sehingga menurut kami petani penggarap termasuk lapisan

meso. lapisan meso berada satu tingkat di bawah lapisan atas atau pemilik lahan. Selain

karena tidak memiliki lahan pertanian sama sekali, beliau menjadi petani penggarap

merupakan karena sudah turun temurun dari keluarga petani. Hal ini mengindikasikan bahwa

kebiasaan bercocok tanam memang selalu diturunkan kepada generasi berikutnya, namun hal

yang disayangkan adalah dari warisan turun termurun tersebut tidak adanya kemajuan yang

dirasakan oleh generasi berikutnya. Jika hal ini terus saja berkanjut maka bukanlah sesuatu

yang tidak mungkin jika akan semakin banyak petani yang kehilangan lahannya karena harus

dibagikan ke anak cucunya.

Gambar 1.7

Proses wawancara dengan petani penggarap

Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015

Buruh tani, bekerja sesuai kesapakatan dengan sang pemilik lahan pada pengamatan

kami, buruh tani mendapatkan dua waktu kerja yaitu jam 06.00 – 12.00 atau jam 12.00 –

18.00 WIB. Permasalahan yang terjadi pada buruh tani adalah mereka tidak bekerja setiap

hari melainkan jika sudah masuk waktu tanam dan waktu panen. Karena keadaan ini mereka

memiliki kerja sampingan (khususnya laki-laki) sebagai kuli bangunan. Pola bertahan ini

menyebabkan hampir sebagian dari buruh laki-laki menjadi kuli bangunan di desanya.

Page 13: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Gambar 1.8

Bersama petani yang kerja sambilan menjadi tukang bangunan

Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 November 2015

Pada buruh tani mereka mendapatkan gaji tambahan dengan menjadi kuli bangunan

maupun berjualan makanan disekitar kampung. Dengan gaji 15.000 rupiah sehari mereka

harus memutar otak demi kelangsungan hidup mereka.

Tabel 1.3

Tipe Stratifikasi dan Pembagian Kerja

No Tipe Petani Stratifikasi Pembagian Kerja

1. Pemilik Lahan tidak bekerja Lapisan atas Segala proses pertanian

dikerjakan buruh tani, petani

hanya pengawas

2. Pemilik lahan dan sekaligus

bekerja

Lapisan tengah Pemilik hanya membantu pada

proses penanaman dan panen

padi, selebihnya dilakukan

buruh tani.

3. Petani Penggarap dan Buruh Lapisan Bawah Petani tidak memiliki lahan dan

bekerja pada proses pertanian

sesuai perintah sang pemilik

lahan.

Dampak dari adanya stratifikasi dan pembagian kerja terhadap kehidupan masyarakat

petani

Dalam tatanan kehidupan masyarakat petani stratifikasi tidak memiliki pengaruh yang

mencolok di masyarakat. Hal ini karena tingkat kesejahteraan masyarakat petani tidak

didasarkan pada nominal uang dari hasil panen yang didapat melainkan tanah, bangunan,

maupun kepemilikan hewan ternak sesuai apa yang telah diungkapkan salah seorang

narasumber pada halaman sebelumnya. Selain itu stratifikasi lebih terlihat pada otoritas desa

dibandingkan masayrakat petani, hal ini karena otoritas desa memiliki kekuasaan dan sosial

kapital yang lebih tinggi dari masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan

oleh Weber dalam pandangannya melihat stratifikasi sebagai sesuatu yang bersifat

Page 14: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

multidimensional.12

Dengan kata lain stratifikasi pada masyarakat petani di Desa Pakenjeng

hanya berpengaruh sebagai pemberian status tertentu dan labeling pada masyarakat petani

lainnya.

Lain halnya dengan Stratifikasi pada masyarakat petani, sistem pembagian kerja

terhadap masyarakat petani cenderung memiliki pengaruh yang mencolok. Selain itu

pembagian kerja juga mempengaruhi pembagian kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat

petani atau yang disebut Geertz sebagai shared poverty. Pembagian kerja (involusi pertanian)

dan shared poverty merupakan salah satu langkah dari masyarakat petani guna

mempertahankan homogenitasnya. Berbagi kemiskinan dan pembagian kerja demi lestarinya

homogenitas merupakan implikasi yang lebih jauh dari nilai kesederhanaan dan nilai

kebersamaan yang dianut masyarakat desa Pakenjeng.

Selain itu shared poverty atau berbagi kemiskinan dan involusi juga dapat dilihat

sebagai respon atas dinamika perubahan. Hal ini merupakan pilihan sadar akan strategi

adaptasi terhadap tekanan penduduk yang ditempuh petani dalam hal memelihara

homogenitasnya. Menurut Marzali involusi dan shared poverty sebagai strategi menghadapi

tekanan penduduk secara dinamis, sebagai kelanjutan dari strategi ekspansi statis dan

pembatasan kebutuhan yang ditempuh sebelumnya.13

Dengan demikian shared poverti dan

pembagian kerja (involusi pertanian) merupakan cara sadar yang dilakukan oleh masyarakat

petani dalam membagi kemakmuran dengan masyarakat petani yang tak memiliki lahan dan

harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dengan pembagian kerja pulalah muncul suatu ikatan solidaritas yang bersifat positif

di dalam masyarakat petani. Ikatan yang saling mempererat hubungan masyarakat petani

dalam tatanan pekerjaan. Semakin luas pembagian kerja maka semakin erat pula

ketergantungan indivudu masyarakat. dengan masayrakat akan semakin mampu bergerak

bersama-sama dan sekaligus masing-masing unsur semakin dapat bergerak sendiri.14

Dengan

kata lain pembagian kerja ini mampu menjadi satu alat untuk mempererat hubungan

masyarakat petani selain itu dengan kebiasaan-kebiasaan bercocok tanam dan pengetahuan

tanaman yang sudah melekat mampu menjadi pemicu bagi masyarakat petani guna bergerak

sendiri dan berinisiatif untuh mengolah lahan pertaniannya sendiri.

Kesimpulan

Pada rentang lama kerja responden, 30 % responden telah bekerja di bidang pertanian

selama lebih dari 8 tahun. Hal ini dikarenakan banyak para petani yang lebih memilih untuk

meneruskan apa yang telah ditinggal oleh orang tua mereka seperti apa yang telah

diungkapkan oleh Ibu Ning kepada kami bahwa ia meneruskan pekerjaan orang tuanya

karena orang tuanya telah meninggal dan tidak ada orang lain yang meneruskan. Lalu 70 %

sisanya sudah bekerja lebih dari 15 tahun karena pekerjaan pokok mereka dari awal adalah

sebagai petani. Mereka memiliki pekerjaan tani selama itu dikarenakan terbatasnya

keterampilan yang mereka miliki. Kurangnya keterampilan yang dimiliki buruh tani,

dikarenakan tingkat pendidikan yang mereka miliki tergolong sangat rendah, maka buruh tani

12

George Ritzer dan Goodman. J Douglas, Op Cit., hlm. 138. 13

Darmawan Salman, Op.Cit., hlm. 53. 14

Taufik Abdullah & A.C. Van der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (... : PT. Temprint, 1986),

hlm. 147.

Page 15: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

ini tidak dapat mengelola potensi yang ada secara maksimal untuk menciptakan jembatan

mobilisasi agar memiliki lahan.

Pembagian kerja dapat terjadi dikarenakan adanya proses stratifikasi pada sistem

pertanian di daerah ini dalam bentuk pembagian porsi kerja. Hal ini menggambarkan bahwa

pada proses stratifikasi sangat berkaitan dengan sistem pembagian kerja khususnya pada

relasi antara pemilik lahan tidak bekerja dengan buruh tani dan pemilik lahan bekerja dengan

buruh yang membantunya. Sistem pembagian kerja yang ada di Desa Pakenjeng lebih banyak

ditemukan di lapisan menengah kebawah, yakni pemilik lahan bekerja dan buruh. Pembagian

kerja secara kompleks dapat dibagi-bagi sesuai porsi keahlian dan sistem keluarga. Pemilik

lahan bekerja menggunakan sistem memilah-milih keahlian atau kemampuan untuk

mengelola lahannya sesuai kapital yang dimiliki si pemilik lahan bekerja. Kemudian pemilik

lahan tak bekerja menggunakan sistem kepercayaan. Jadi pemilik lahan tidak menentukan

porsi kerja bagi si buruh tani, melainkan buruh tani tersebut yang menentukan porsi kerja

mereka masing-masing dalam proses pertanian. Petani penggarap juga memiliki sistem

pembagian kerja yang didasarkan pada sistem keluarga. Biasanya keadaan ekonomi keluarga

tersebut tidak berbeda jauh dengan keadaan ekonomi petani penggarap. Jadi petani penggarap

tadi dapat membagi kesejahteraannya kepada keluarga tersebut.

Dapat dipahami bahwa penguasaan lahan di Desa Pakenjeng merupakan salah satu

faktor penentu kekayaan atau tingginya derajat seseorang dalam masyarakat pertanian di

Desa Pakenjeng. Selain sistem pelapisan tersebut yang berpengaruh pada hubungan sosial

antar masyarakat di Desa Pakenjeng, stratifikasi juga menciptakan suatu pola sistem

pembagian kerja yang berbeda antara basis-basis lapisan, khususnya lapisan menengah

kebawah yang didasarkan tiga faktor, yaitu faktor keahlian, kekeluargaan, dan rasa percaya.

Dengan adanya stratifikasi dan pembagian kerja di Desa Pakenjeng, menimbulkan

dampak kepada pelaku pertanian. Ini dikarenakan adanya pembagian kerja yang kompleks

menimbulkan adanya saling kepercayaan yang tinggi antar pelaku pertanian di Desa

Pakenjeng. Kepercayaan sangat penting perannya dalam keberlangsungan jalannya pertanian

di Desa Pakenjeng, ini disebabkan kepengurusan dari lahan-lahan di Desa Pakenjeng masih

diawasi dengan cara konvensional dan masih belum tersentuh adanya teknologi. Secara tidak

langsung sistem kepercayaan ini menjadi kebiasaan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat

Desa Pakenjeng, yang awalnya sistem kepercayaan ini dikhususkan dalam menjalani sistem

pertanian, sekarang ini sudah melebur kedalam hal lain, seperti menitipkan suatu hal diluar

konteks pertanian dan juga hal-hal lainnya.

Page 16: Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik & A.C. Van der Leeden. 1986. Durkheim Dan Pengantar Sosiologi

Moralitas. PT. Temprint.

Anwar, Yesmil, dkk. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung : PT Refika Aditama.

Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si.

Geertz, Cliford. 1983. Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in

Indonesia.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi. New York : McGraw-Hill.

Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. 1991. Sosiologi Pedesaan jilid 1. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Salman, Darmawan. 2012. Sosiologi Desa (Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas).

Makassar : Penerbit Ininnawa.

Zid, Muhammad. M. Si, Pergeseran Dan Ketimpangan Pemilikan Tanah Di Perdesaan

Pulau Jawa, (Jurnal Geografi, Vol. 2 No. 2, 2004).