Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut
-
Upload
ricky-adry -
Category
Documents
-
view
78 -
download
19
description
Transcript of Stratifikasi Dan Pembagian Kerja Masyarakat Pertanian Di Desa Pakenjeng, Garut
STRATIFIKASI DAN PEMBAGIAN KERJA MASYARAKAT PERTANIAN DESA
PAKENJENG
Indri Sinta Octari, M. Khoirul Anwar, Nur Amidah, Ricky Adryawan, Shella Firliana Putri,
Sulton Rahardiansyah.
Dr. Muhammad Zid, M. Si.
Ahmad Tarmiji Alkhudri, S.Pd., M.Si.
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun muka,
Jakarta, 13220.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana stratifikasi dan pembagian kerja di
masyarakat pertanian Desa Pakenjeng. Dari sisi metedologi, penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu para petani yang di Desa Pakenjeng.
Lokasi penelitian di Desa Pakenjeng kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut, dengan waktu
penelitian selama 3 hari, yaitu pada tanggal 20-22 November 2015. Hasil penelitan
menunjukan bahwa stratifikasi di Desa Pakenjeng didasarkan pada peguasaan kepemilikan
lahan dan terbagi menjadi tiga kelas yaitu, pemilik lahan tak bekerja (kelas atas), pemilik
lahan bekerja (kelas menengah), buruh tani (kelas bawah). Selain itu stratifikasi juga
menentukan sistem pembagian kerja bagi buruh dan pemilik lahan dengan faktor
kekeluargaan, rasa percaya, dan keahlian.
Kata Kunci : Stratifikasi, pembagian kerja, pertanian, desa
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dengan mata pencaharian terbanyak pada
bidang pertanian. Pertanian yang berbasis pada daerah pedesaan. Pertanian yang erat dengan
pedesaan karena faktor lahan di desa yang tergolong masih luas. Selain itu tenaga kerja baik
buruh maupun petani itu sendiri menjadi komoditas pendukung pertanian tersebut. Pertanian
merupakan sektor andalan pembangunan nasional, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan
pangan nasional, maka peningkatan pertanian harus terus diupayakan. Banyak pihak yang
hanya melihat pertanian sebagai sektor yang selalu dieksploitasi secara makro dan
mengesampingkan esensi budaya yang turut memberikan andil dalam proses pertanian.
Masyarakat luar (kota) hanya melihat petani dalam esensi produktifitas pangan nasional
namun melupakan bagaimana peran kearifan lokal seperti budaya solidaritas dan saling
menolong masyarakat desa juga mempengaruhi dalam sistem pertanian di desa.
Adanya desa dengan basis pertaniannya sangat membantu kehidupan masyarakat di
Indonesia. Khususnya padi, sebagai bahan pokok makanan masyarakat Indonesia. Walaupun
poros kehidupan masyarakat berada di kota, namun kota tak akan disebut demikian tanpa
adanya desa sebagai sumber kehidupan itu sendiri. Hubungan timbal balik yang timpang
seringkali dirasakan oleh masyarakat desa, karena pembangunan yang lebih difokuskan
dalam bidang prasarana perhubungan yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi
produktifitas pertanian di desa. Dengan iming-iming pembangunan ini masyarakat desa terus
saja dieksploitasi tanpa adanya realisasi pembangunan yang berbasis pada desa itu sendiri.
Untuk itu pembangunan desa sangat diperlukan agar membentuk desa yang mandiri. Desa
mandiri tak lain berawal dari masyarakat pertanian yang mampu mengolah pertaniannya
dengan baik, serta koordinasi elit desa yang mendukung. Seperti munculnya penyebaran
inovasi-inovasi dari lapisan atas ke lapisan bawah1. Seperti adanya penyuluhan pertanian
misalnya, maupun dengan inovasi pembagian kerja oleh sang petani terhadap buruhnya. Hal
ini bisa mengembangkan pertanian desa dengan mewujudkan petani yang mandiri.
Pendayagunaan seluruh kemampuan yang berasal dari manusia maupun teknologi tanam
diharapkan mampu menjadi sarana untuk membangun pertanian masyarakat desa.
Namun di sisi lain pembangunan desa, khusunya di bidang pertanian yang berkiblat
pada pembagian kerja antar petani pemilik sawah dengan petani buruh bisa menimbulkan
kesenjangan. Kesenjangan inilah yang akan berujung pada munculnya pelapisan masyarakat
atau biasa dikenal dengan stratifikasi sosial pada sistem pertanian. Akibatnya tumbuh
kerenggangan yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat. Kerenggangan ini
dampaknya begitu terasa dalam kehidupan masyarakat pertanian. Dimana banyak pemilik
tanah seakan tergdegradasi oleh kekuatan modal yang dimiliki perorangan dalam sistem
pengolahan lahan pertanian.
Penentuan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Pakenjeng memiliki
sektor pertanian yang memiliki pola hubungan antara lapisan-lapisan sosial masyarakat Desa
di bidang pertanian yang ada di pedesaan dan pola kehidupannya. Di Desa ini, terlihat bahwa
terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang ada di dalam masyarakat Desa Pakenjeng.
Pelapisan-pelapisan tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Pitirim Sorokin tentang
stratifikasi sosial yaitu pembedaan penduduk dan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial
secara bertingkat, yaitu kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah.2
Berdasarkan kerangka pemikiran Pitirim A Sorokin sistem pelapisan itu merupakan
ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang
memiliki sesuatu yang berharga (seperti misalnya tanah, uang, ternak dan sebagainya) dalam
jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat berkedudukan dalam lapisan atasan,
mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga itu
dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.3 Hal ini juga terjadi pada
tatanan desa karena masih memiliki konsepsi tentang kepemilikan lahan yang menciptakan
struktur masyarakat pertanian di desa.
Selain munculnya stratifikasi yang disebabkan oleh perbedaan penguasaan lahan,
hewan ternak, maupun yang lainnya muncul juga suatu sistem dimana masyarakat melakukan
pekerjaan sesuai perjanjian yang telah disepakati dalam pandangan Durkheim hal ini
didasarkan pada solidaritas pada masyarakat itu sendiri. Menurut Emile Durkheim dalam
bukunya The Division of Labor bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara
orang –orang yang melalukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang
mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain.4 Menurut
Geertz hal ini lebih dikenal dengan involusi pertanian yaitu pembagian kerja ke dalam yang
lebih rumit.5 Karena fokus subjek penelitian ini adalah masyarakat pedesaan maka solidaritas
yang muncul adalah solidaritas mekanik yang menekankan pada ikatan darah dan hubungan
1 Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan jilid 1, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991), hlm.
194. 2 Yesmil Anwar, dkk, Sosiologi untuk Universitas. (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 215.
3 Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Op Cit., hlm. 204.
4 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. (Bantul : Kreasi Wacana, 2012), hlm. 89.
5 Darmawan Salman, Sosiologi Desa (Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas). (Makassar : Penerbit Ininnawa,
2012), hlm. 52.
emosional yang tinggi antara masing-masing individu. Dalam masyarakat pertanian muncul
kaum-kaum buruh miskin yang tak memiliki modal untuk membeli lahan maupun menyewa
lahan pertanian namun karena himpitan ekonomi yang tinggi mereka rela melakukan apapun
untuk mendapatkan uang.
Pada masyarakat pertanian muncul suatu konsepsi pembagian kerja yang didasarkan
atas rasa kekeluargaan. hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Dawam Rahardjo
tentang involusi pertanian yang terjadi pada masyarakat Indonesia yaitu, 1) pembagian kerja
ke dalam yang lebih rumit ( misalnya pada suatu proses pertanian muncul pembagian kerja
dimana seseorang menangani satu pekerjaan tertentu, seperti membajak, menyemai,
memanen, menumbuk padi, dll), 2) shared of poverty atau pembagian kemiskinan (yaitu
dimana proses pembagian kerja pada masyarakat pertanian dimaknai sebagai suatu cara
dalam membagi keuntungan yang merata) hal ini biasanya karena didasarkan pada solidaritas
yang kuat antar masyarakat yang merasa memiliki kesamaan nasib sebagai petani maupun
buruh miskin, 3) tidak berkembangnya sektor ekonomi non pertanian (sawah) karena adanya
sistem shared poverty, masyarakat pertanian seakan tidak mau untuk mencari solusi
pekerjaan lain sehingga banyak dari mereka maupun keturunan mereka lebih memilih untuk
membantu orang tuanya dalam proses pertanian dalam rangka menjaga sistem shared of
poverty tersebut.6 Oleh karena itu kami melakukan penelitian dengan judul “Stratifikasi dan
sistem pembagian kerja dalam masayakat pertanian di desa Pakenjeng”. Dengan penilitian ini
kami berharap mampu memaparkan hasil analisa mengenai stratifikasi sosial dan sistem
pembagian kerja pada masayarakat pertanian.
Metodologi
Dalam penelitian ini, Kami menggunakan penelitian deskriptif kualitatif untuk
membuktikan adanya pengaruh stratifikasi sosial terhadap sistem pertanian. Penelitian
kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai suatu gejala
atau perilaku tertentu dalam masyarakat atau kelompok masyarakat. Penelitian kualitatif
bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data kualitatif. Subyek penelitian yaitu warga
Desa Pakenjeng khususnya masyarakat yang bekerja di bidang pertanian. Lokasi penelitian di
Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Data yang ada kami dapatkan
dari hasil wawancara dan kuesioner terhadap masyarakat desa, khususnya masyarakat
pertanian.Wawancara dilakukan baik kepada masyarakat desa sebagai petani itu sendiri
maupun masyarakat desa sebagai buruh tani. Dalam hal ini juga kami akan membandingkan
proses pembagian kerja antara petani dan buruh. Kemudian dari proses tersebut dikaitkan
dengan stratifikasi sosial.
Penelitian ini kami lakukan dengan wawancara kepada masyarakat desa baik petani
maupun buruh dalam sistem pertanian desa tersebut. Kami wawancara tentang bagaimana
sistem pembagian kerja dalam masyarakat desa serta dampak apa yang akan terjadi. Kami
melakukan penelitian juga tentang terjadinya stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat
pertanian desa tersebut.
6 Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si.
Hasil dan Pembahasan
Profil Desa Pakenjeng dan Karakteristiknya
Desa Pakenjeng merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan pamulihan yang
mempunyai luas wilayah sekitar 2112 hektar yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya
membawahi 2 dusun 7 Rw dan 30 Rt. Berdasarkan statistik Desa Pakenjeng jumlah penduduk
di Desa ini sebanyak 3705 jiwa, terdiri dari 1327 KK dengan perbandingan sex ratio adalah
laki-laki sebanyak 2038 jiwa dan perempuan sebanyak 1667 jiwa.7
Kondisi geografis Desa Pakenjeng pada batas wilayah sebelah utara ada kecamatan
Cisurupan, di sebelah selatan ada Desa Wangunjaya Kecamatan Pakenjeng. Lalu di bagian
timur ada Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng. Sebelah barat ada Desa Garumukti
Kecamatan Pamulihan.
Tabel 1.1
Penduduk menurut mata pencaharian
Jenis pekerjaan Jumlah
Petani 319
buruh tani 481
pegawai negeri sipil 47
Pengrajin 15
Pedagang 113
Peternak 33
Bidan 2
perawat kesehatan 2
karyawan swasta 415
TNI/POLRI 1
Sumber : Profil desa Pakenjeng, 2015
7 Profil Desa Pakenjeng
Tabel 1.2
Luas wilayah menurut penggunaan
Wilayah Luas
Pemukiman 28,35 ha
Sawah 133,60 ha
Ladang 176,15 ha
Perkebunan 1041,2 ha
Kuburan 3,15 ha
fasilitas umum 2,35 ha
Perkantoran 2,20 ha
Hutan 948 ha
Sumber : Profil desa, 2015
Komoditi penggerak ekonomi di Desa Pakenjeng salah satu yang terbesar adalah dari
lahan pertanian (sawah) hal ini terlihat dalam statistik profil Desa berdasarkan luas wilayah
menurut penggunaan yaitu pemukiman sebesar 28,35 Ha dan sawah 133,60 Ha. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pertanian lebih besar dibandingkan dengan
penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk. Berarti berdasarkan hal tersebut tingkat
perekonomian warga Desa Pakenjeng hampir separuhnya bermata pencaharian dalam bidang
pertanian. Pernyataan ini sesuai dengan data profil penduduk menurut kelompok mata
pencaharian yaitu penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 319 jiwa dan
sebagai buruh tani sebesar 481 jiwa.
Penduduk Desa Pakenjeng kebanyakan berprofesi sebagai petani dan berkebun.
Seiring waktu, penduduk Desa Pakenjeng lambat laun terus bertambah dan berkembang
sehingga lahan pertanian masyarakat semakin tergerus dan berubah menjadi lahan
pemukiman. Gunawan dan Erwidodo menyatakan bahwa “di jawa hampir 60% penduduk
tidak memiliki lahan, sedangkan rata-rata luas pemilikan (termasuk sawah dan kahan kering)
hanya 0,62 ha menurut Sensus Pertanian tahun 1973 dan 0,61 ha menurut Sensus Pertanian
1983”.8 Dengan terjadinya degradasi pada lahan pertanian menyebabkan lahan menjadi suatu
faktor yang mampu menentukan tingkatan sosial pada masyarakat Desa Pakenjeng.
8 Muhammad Zid. M. Si, Pergeseran Dan Ketimpangan Pemilikan Tanah Di Perdesaan Pulau Jawa, (Jurnal
Geografi, Vol 2 No 2, 2004), hlm. 8.
Gambar 1.1
Kondisi pertanian Desa Pakenjeng
Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
1. Pemilik lahan tidak bekerja
Dalam bidang pertanian sawah di Desa Pakenjeng terbagi tiga tingkatan yang ada.
Pada tingkatan paling atas ada pemilik lahan tidak bekerja. Pemilik lahan tidak bekerja adalah
orang yang hanya mengelola lahannya secara tidak langsung atau memperkerjakan orang lain
untuk mengelola lahan miliknya.
Disini kelompok kami mewawancarai salah seorang pemilik lahan pertanian yang
tidak bekerja langsung yang bernama Ibu Ning. Ibu Ning adalah warga asli Desa Pakenjeng
yang bertempat tinggal di Kecamatan Pamulihan, RT.03 RW.01. Lahan yang dimiliki Bu
Ning merupakan hasil warisan yang diberikan oleh orang tuanya untuk dibagi dengan 6
saudaranya yang lain. Hal ini sesuai dengan klasifikasi tanah untuk petani Jawa yang
dikemukakan oleh Kano dalam Tjondronegoro yaitu milik perorangan turun temurun.9 Secara
riil beliau mendapatkan bagian sawah seluas dua petak namun karena saudara-saudara yang
lainnya tak memiliki kehalian dalam mengelola sawah sehingga segala hal yang mengenai
kepengurusan tanah dilimpahkan kepada beliau.
Ibu Ning mengelola sawahnya dengan memperkerjakan tiga orang buruh tani yang
diperkerjakan atas dasar kepercayaan. Buruh tani yang mengelola lahan Bu Ning dibayar
dengan upah Rp. 15.000 – Rp. 20.000 dengan durasi waktu bekerja enam jam dalam sehari.
Beliau memanen lahannya pada kisaran waktu empat bulan sekali. Dalam sekali panen Bu
Ning mendapatkan hasil sekitar tiga kwintal beras. Beras hasil panen tersebut digunakan
untuk kebutuhan makan sehari-hari, jarang untuk dijual kembali. Namun apabila ada
kebutuhan mendesak yang harus dibayar, maka beras tersebut dijual kepada warung-warung
terdekat yang masih ada disekitar Desa Pakenjeng. Untuk memenuhi kebutuhan lainnya Bu
Ning mempunyai tabungan berupa hewan ternak yaitu ikan dan ayam yang cukup banyak.
Hal ini sesuai dengan apa disebutkan dalam kerangka pemikiran Pitirim Sorokin yaitu barang
siapa yang memiliki sesuatu yang berharga (seperti misalnya tanah, uang, ternak dan
sebagainya) dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat berkedudukan
dalam lapisan atasan.
9 Muhammad Zid, M.Si, Ibid., hlm. 10.
Dengan kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan persawahan
mampu menjadi satu faktor yang menentukan seseorang masuk ke kelas atas ataupun kelas
bawah selain itu kepemilikan tabungan berupa hewan ternak juga mampu mempengaruhi
penentuan kelas sosial di masyarakat pertanian. Pada masyarakat petani di Desa Pakenjeng
uang bukanlah suatu hal yang lebih ditonjolkan oleh masyarakatnya hal ini karena pada Desa
ini tidak mengenal sistem kulakan/tengkulak sehingga mereka lebih menonjolkan
kesejahteraannya pada patokan konsumsi beras. Hal ini sesuai dengan ungkapan salah
seorang narasumber yang mengatakan bahwa “lebih baik tidak punya uang daripada tidak
memiliki beras untuk dimakan”. Patokan beras sebagai penentu kesejahteraan tak terlepas
dari kebiasaan masyarakat petani disana yang terbiasa dengan kehidupan sederhana.
Gambar 1.2
Salah satu kondisi kolam ikan milik petani
Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
Namun tak bisa disangkal bahwa para masyarakat petani pun butuh uang dalam
menjalani kehidupannya. Guna menyiasati hal tersebut tak jarang setelah memanenan hasil
pertanian, mereka menjual hasil panennya ke warung-warung yang ada di sekitar Desa
Pakenjeng. Warung yang bisa menerima hasil panen tersebut bukanlah tengkulak atau
pengepul yang mengendalikan harga. Warung ini hanya menerima hasil panen dari petani
seharga Rp. 9.500/kg dan dijual kembali kepada masyarakat sekitar dengan seharga Rp.
9.700/kg.
Dalam pengamatan kami warung tersebut bukanlah bentuk lain dari tengkulak karena
warung ini tidak mencari hasil padi di daerah dusun satu melainkan dari dusun yang berbeda
dan dijual di dusun satu. Warung ini pun tidak selalu menerima hasil panen semua warga
karena kemampuan warung ini terbatas pada keperluan warga yang mendesak. Biasanya
warung ini menerima hasil panen dari petani sekitar 30 kilogram.
Gambar 1.3
Proses wawancara dengan Pemilik lahan yang tidak bekerja
Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
Alasan Ibu Ning mempekerjakan buruh tani dalam menggarap sawahnya dikarena
beliau merasa tidak sanggup untuk mengurus sawah yang ia miliki sendirian, karena faktor
usia dan tidak ada yang mengurus karena beliau hanya tinggal bersama kakanya yang
berjumlah satu orang dan anaknya yang juga berjumlah satu orang. Di dalam kehidupannya
Bu Ning yang hanya tinggal bersama kakaknya dan anaknya sangat bergantung kepada
keuntungan dari hasil pertanian yang berasal dari lahan miliknya. Dari hasil lahan sawah
tersebut, Bu Ning dapat membayar segala kebutuhannya, seperti listrik, air, dan hal-hal pokok
lainnya.
Dalam mengurus sawahnya, selain karena faktor luasnya lahan yang harus beliau
garap tetapi karena faktor usia dan keterbatasan tenaga yang ia miliki juga berpengaruh.
Menurutnya, pemerintah dan elit desa kurang memberi perhatian kepada masyarakat petani
yang ada di pelosok. Belum ada bantuan yang diberikan kepada para petani. Bu Ning juga
menceritakan bahwa dulu pernah dijanjikan untuk diberi benih gratis. Tapi nyatanya sampai
saat ini belum ada juga bantuan apapun.
Berikut merupakan gambaran sistem pembagian kerja pada pemilik lahan tidak
bekerja.
Gambar 1.4
Bentuk pembagian kerja di desa Pakenjeng
Sumber : Koleksi Pribadi, 2015
2. Pemilik lahan dan sekaligus bekerja
Dalam tingkatan dibawah pemilik lahan yang tidak bekerja terdapat lapisan pemilik
lahan dan sekaligus bekerja di lahan yang mereka miliki. Pemilik lahan yang sekaligus
bekerja ini memperkerjakan orang pada saat-saat tertentu tapi juga ikut turun ke sawah dalam
mengelola sawahnya. Pada lapisan ini rata – rata pemilik lahan adalah wanita, sehingga
mereka hanya mampu mengerjakan pekerjaan yang ringan seperti menanam padi dan
memanen. Pekerjaan berat seperti mencangkul dan membajak sawah dilakukan oleh laki –
laki baik buruh tani maupun sang suami.
Pada cakupan ini pemilik lahan memiliki kapital yang lebih besar dibandingkan para
buruh walaupun sang pemilik ikut bekerja juga, hal ini menunjukkan pola pembagian kerja
ditentukan oleh sang pemilik lahan yang ikut bekerja. Jika dibandingkan dengan pemilik
lahan yang tidak bekerja tapi mempekerjakan buruh, kapital yang dimiliki oleh pemilik lahan
bekerja lebih besar dibandingkan dengan pemilik lahan tak bekerja. Hal ini terlihat pada
proses penentuan porsi kerja bagi buruh-buruh tani yang menggarap sawahnya. Pada pemilik
lahan tak bekerja penentuan porsi kerja ini dipercayakan sepenuhnya pada buruh tani yang
menggarap sawah tersebut, pada sistem pembagian kerja ini para buruh tanilah yang
menentukan porsi kerja mereka masing-masing. Berbeda dengan pemilik lahan yang ikut
bekerja menggarap lahannya, para pemilik lahan yang ikut bekerja, mereka secara langsung
menentukan dan memilih porsi kerja buruh sesuai keinginan mereka, sehingga sistem
pembagian kerja diatur oleh perseorangan yaitu pemilik lahan yang bekerja.
Pada pengamatan kami pemilihan ini didasarkan pada tiga faktor penentu yaitu rasa
percaya/kepercayaan, keahlian, dan kekeluargaan. Pada faktor keahlian para pemilik lahan
lebih memilih buruh tani yang memang sudah lama berkecimpung dalam bidang pertanian
hal ini ditujukan agar hasil tanam memuaskan sang pemilik lahan, ini biasanya terjadi pada
pemilik lahan yang bekerja. Pada faktor rasa percaya para pemilik lahan biasanya sudah
mengenal dan sudah lama menggunakan jasa para buruh tani tersebut sehingga rasa pecaya
telah dibangun dalam sistem pembagian kerja di dalamnya. Relasi yang dibangun oleh buruh
dengan pemilik lahan tumbuh dengan ikatan yang kuat. Sedangkan faktor kekeluargaan para
pemilik lahan lebih mengutamakan sistem kekeluargaan pada pemilihan buruh tani. Biasanya
hal ini didasarkan pada kemampuan ekonomi keluarga yang memang kekurangan sehingga
para pemilik lahan ada rasa ingin membantu kekurangan keluarganya.
Berikut presentasi tiga faktor penentu dalam pemilihan buruh tani yang didapatkan
dari narasumber:
(Sumber : hasil olah data wawancara)
Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Dawam Rahardjo tentang involusi
pertanian yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Dalam penjelasan beliau salah satu bentuk
involusi adalah adanya sahred of peverty dalam pembagian kerja dan dikhususkan pada
sistem pembagian kerja dalam keluarga.10
Shrared poverty dalam sistem keluarga dikrenakan
tingkatan ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan sang pemilik lahan sehingga dengan
adanya shared poverty memungkinkan kesejahteraan masyarakat terbagi atas sistem
kekeluargaan tersebut. Menurut Geertz dibawah tekanan penduduk yang meningkat dan
sumber daya yang terbatas masayrakat Jawa tidak terbagi menjadi dua yaitu tuan tanah dan
golongan setengah budak. Malahan ia tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan
ekonomi yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikan rejeki yang ada terus-menerus
hingga menjadi keping-keping kecil.11
Salah seorang pemilik lahan dan sekaligus bekerja yang kami temui adalah Bu Suyati,
berumur 47 tahun yang tinggal di Desa Pakenjeng Rt 02 Rw 02 dan pendidikan terakhirnya
adalah SD. Beliau memiliki lahan sawah seluas 2 petak. Sudah 20 tahun lebih beliau menjadi
petani yang mewarisi lahan dari warisan orang tua. Selain bertani, ia juga mempunyai ternak
sebagai penghasilan tambahan. Hasil panen yang diperoleh biasanya sebagian untuk
keperluan makan sehari –hari, serta yang lainya untuk dijual jika ada keperluan yang
mendesak guna membeli keperluan –keperluan lain. Bentuk kekayaan yang didapat oleh
pemilik lahan bukanlah berupa uang namun berbentuk padi atau beras. Namun padi tersebut
tidak diperjual belikan kepada tengkulak sehingga mereka tidak memiliki tabungan yang
berbentuk uang melainkan berbentuk hewan ternak ataupun padi yang sewaktu-waktu bisa
mereka jual ke warung terdekat maupun mereka konsumsi sendiri.
10
Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si 11
Cliford Geertz, Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in Indonesia, (1983), hlm. 102
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Kepercayaan Keahlian Kekeluargaan
Gambar 1.5
Proses wawancara
Sumber : Dokumentasi pribadi, 25 November 2015
Kondisi kehidupan Bu Suyati sebagai pemilik lahan yang sekaligus bekerja ini tidak
jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Bu Ning sebagai pemilik lahan yang tidak berkerja.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi kami, jika diilihat dari pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga Bu Suyati tergolong keluarga yang cukup sejahtera. Dari lahan yang dimilik
Bu Suyati yang berkisar 2 petak Bu Suyati memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain
dari sawah tersebut keluarga Bu Suyati juga mendapatkan pendapatan lain dari usahanya
membuka warung kecil-kecilan dan dari hasil anak-anaknya yang sudah bekerja.
Berikut adalah gambaran sistem pembagian kerja pada pemilik lahan yang ikut bekerja.
Gambar 1.6
Bentuk pembagian kerja di desa Pakenjeng
Sumber : Koleksi pribadi, 23 November 2015
3. Petani penggarap dan Buruh
Buruh tani merupakan orang-orang yang bekerja pada para pemilik lahan namun
mereka tidak memiliki lahan sekali pun, sehingga mereka hanya mengandalkan kemampuan
dan keahlian mereka pada proses tanam maupun panen untuk mendapatkan uang. Sedangkan
petani penggarap merupakan petani yang tidak memiliki lahan namun menyewa lahan guna
mendapatkan uang. Pada lapisan ini petani penggarap bukanlah termasuk dalam lapisan kelas
bawah atau buruh karena petani penggarap mampu mempekerjakan para buruh tani tetapi dia
tidak memiliki lahan sekalipun.
Sistem pembagian hasil ditentukan berdasarkan besaran panen yang didapatkan oleh
petani penggarap lalu dibagi dua dengan pemilik lahan yang menyewakan. Penentuan
pembagian hasil merupakan salah satu pilihan bagi para petani untuk memenuhi kebutuhan
lahan yang terbatas atau sama sekali tidak memiliki lahan pertanian. Pembagian hasil panen
bukan berupa uang namun berupa beras atau gabah. Petani penggarap bertanggung jawab atas
pemberian upah pada buruh tani sehingga menurut kami petani penggarap termasuk lapisan
meso. lapisan meso berada satu tingkat di bawah lapisan atas atau pemilik lahan. Selain
karena tidak memiliki lahan pertanian sama sekali, beliau menjadi petani penggarap
merupakan karena sudah turun temurun dari keluarga petani. Hal ini mengindikasikan bahwa
kebiasaan bercocok tanam memang selalu diturunkan kepada generasi berikutnya, namun hal
yang disayangkan adalah dari warisan turun termurun tersebut tidak adanya kemajuan yang
dirasakan oleh generasi berikutnya. Jika hal ini terus saja berkanjut maka bukanlah sesuatu
yang tidak mungkin jika akan semakin banyak petani yang kehilangan lahannya karena harus
dibagikan ke anak cucunya.
Gambar 1.7
Proses wawancara dengan petani penggarap
Sumber : Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
Buruh tani, bekerja sesuai kesapakatan dengan sang pemilik lahan pada pengamatan
kami, buruh tani mendapatkan dua waktu kerja yaitu jam 06.00 – 12.00 atau jam 12.00 –
18.00 WIB. Permasalahan yang terjadi pada buruh tani adalah mereka tidak bekerja setiap
hari melainkan jika sudah masuk waktu tanam dan waktu panen. Karena keadaan ini mereka
memiliki kerja sampingan (khususnya laki-laki) sebagai kuli bangunan. Pola bertahan ini
menyebabkan hampir sebagian dari buruh laki-laki menjadi kuli bangunan di desanya.
Gambar 1.8
Bersama petani yang kerja sambilan menjadi tukang bangunan
Sumber: Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
Pada buruh tani mereka mendapatkan gaji tambahan dengan menjadi kuli bangunan
maupun berjualan makanan disekitar kampung. Dengan gaji 15.000 rupiah sehari mereka
harus memutar otak demi kelangsungan hidup mereka.
Tabel 1.3
Tipe Stratifikasi dan Pembagian Kerja
No Tipe Petani Stratifikasi Pembagian Kerja
1. Pemilik Lahan tidak bekerja Lapisan atas Segala proses pertanian
dikerjakan buruh tani, petani
hanya pengawas
2. Pemilik lahan dan sekaligus
bekerja
Lapisan tengah Pemilik hanya membantu pada
proses penanaman dan panen
padi, selebihnya dilakukan
buruh tani.
3. Petani Penggarap dan Buruh Lapisan Bawah Petani tidak memiliki lahan dan
bekerja pada proses pertanian
sesuai perintah sang pemilik
lahan.
Dampak dari adanya stratifikasi dan pembagian kerja terhadap kehidupan masyarakat
petani
Dalam tatanan kehidupan masyarakat petani stratifikasi tidak memiliki pengaruh yang
mencolok di masyarakat. Hal ini karena tingkat kesejahteraan masyarakat petani tidak
didasarkan pada nominal uang dari hasil panen yang didapat melainkan tanah, bangunan,
maupun kepemilikan hewan ternak sesuai apa yang telah diungkapkan salah seorang
narasumber pada halaman sebelumnya. Selain itu stratifikasi lebih terlihat pada otoritas desa
dibandingkan masayrakat petani, hal ini karena otoritas desa memiliki kekuasaan dan sosial
kapital yang lebih tinggi dari masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan
oleh Weber dalam pandangannya melihat stratifikasi sebagai sesuatu yang bersifat
multidimensional.12
Dengan kata lain stratifikasi pada masyarakat petani di Desa Pakenjeng
hanya berpengaruh sebagai pemberian status tertentu dan labeling pada masyarakat petani
lainnya.
Lain halnya dengan Stratifikasi pada masyarakat petani, sistem pembagian kerja
terhadap masyarakat petani cenderung memiliki pengaruh yang mencolok. Selain itu
pembagian kerja juga mempengaruhi pembagian kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat
petani atau yang disebut Geertz sebagai shared poverty. Pembagian kerja (involusi pertanian)
dan shared poverty merupakan salah satu langkah dari masyarakat petani guna
mempertahankan homogenitasnya. Berbagi kemiskinan dan pembagian kerja demi lestarinya
homogenitas merupakan implikasi yang lebih jauh dari nilai kesederhanaan dan nilai
kebersamaan yang dianut masyarakat desa Pakenjeng.
Selain itu shared poverty atau berbagi kemiskinan dan involusi juga dapat dilihat
sebagai respon atas dinamika perubahan. Hal ini merupakan pilihan sadar akan strategi
adaptasi terhadap tekanan penduduk yang ditempuh petani dalam hal memelihara
homogenitasnya. Menurut Marzali involusi dan shared poverty sebagai strategi menghadapi
tekanan penduduk secara dinamis, sebagai kelanjutan dari strategi ekspansi statis dan
pembatasan kebutuhan yang ditempuh sebelumnya.13
Dengan demikian shared poverti dan
pembagian kerja (involusi pertanian) merupakan cara sadar yang dilakukan oleh masyarakat
petani dalam membagi kemakmuran dengan masyarakat petani yang tak memiliki lahan dan
harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Dengan pembagian kerja pulalah muncul suatu ikatan solidaritas yang bersifat positif
di dalam masyarakat petani. Ikatan yang saling mempererat hubungan masyarakat petani
dalam tatanan pekerjaan. Semakin luas pembagian kerja maka semakin erat pula
ketergantungan indivudu masyarakat. dengan masayrakat akan semakin mampu bergerak
bersama-sama dan sekaligus masing-masing unsur semakin dapat bergerak sendiri.14
Dengan
kata lain pembagian kerja ini mampu menjadi satu alat untuk mempererat hubungan
masyarakat petani selain itu dengan kebiasaan-kebiasaan bercocok tanam dan pengetahuan
tanaman yang sudah melekat mampu menjadi pemicu bagi masyarakat petani guna bergerak
sendiri dan berinisiatif untuh mengolah lahan pertaniannya sendiri.
Kesimpulan
Pada rentang lama kerja responden, 30 % responden telah bekerja di bidang pertanian
selama lebih dari 8 tahun. Hal ini dikarenakan banyak para petani yang lebih memilih untuk
meneruskan apa yang telah ditinggal oleh orang tua mereka seperti apa yang telah
diungkapkan oleh Ibu Ning kepada kami bahwa ia meneruskan pekerjaan orang tuanya
karena orang tuanya telah meninggal dan tidak ada orang lain yang meneruskan. Lalu 70 %
sisanya sudah bekerja lebih dari 15 tahun karena pekerjaan pokok mereka dari awal adalah
sebagai petani. Mereka memiliki pekerjaan tani selama itu dikarenakan terbatasnya
keterampilan yang mereka miliki. Kurangnya keterampilan yang dimiliki buruh tani,
dikarenakan tingkat pendidikan yang mereka miliki tergolong sangat rendah, maka buruh tani
12
George Ritzer dan Goodman. J Douglas, Op Cit., hlm. 138. 13
Darmawan Salman, Op.Cit., hlm. 53. 14
Taufik Abdullah & A.C. Van der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (... : PT. Temprint, 1986),
hlm. 147.
ini tidak dapat mengelola potensi yang ada secara maksimal untuk menciptakan jembatan
mobilisasi agar memiliki lahan.
Pembagian kerja dapat terjadi dikarenakan adanya proses stratifikasi pada sistem
pertanian di daerah ini dalam bentuk pembagian porsi kerja. Hal ini menggambarkan bahwa
pada proses stratifikasi sangat berkaitan dengan sistem pembagian kerja khususnya pada
relasi antara pemilik lahan tidak bekerja dengan buruh tani dan pemilik lahan bekerja dengan
buruh yang membantunya. Sistem pembagian kerja yang ada di Desa Pakenjeng lebih banyak
ditemukan di lapisan menengah kebawah, yakni pemilik lahan bekerja dan buruh. Pembagian
kerja secara kompleks dapat dibagi-bagi sesuai porsi keahlian dan sistem keluarga. Pemilik
lahan bekerja menggunakan sistem memilah-milih keahlian atau kemampuan untuk
mengelola lahannya sesuai kapital yang dimiliki si pemilik lahan bekerja. Kemudian pemilik
lahan tak bekerja menggunakan sistem kepercayaan. Jadi pemilik lahan tidak menentukan
porsi kerja bagi si buruh tani, melainkan buruh tani tersebut yang menentukan porsi kerja
mereka masing-masing dalam proses pertanian. Petani penggarap juga memiliki sistem
pembagian kerja yang didasarkan pada sistem keluarga. Biasanya keadaan ekonomi keluarga
tersebut tidak berbeda jauh dengan keadaan ekonomi petani penggarap. Jadi petani penggarap
tadi dapat membagi kesejahteraannya kepada keluarga tersebut.
Dapat dipahami bahwa penguasaan lahan di Desa Pakenjeng merupakan salah satu
faktor penentu kekayaan atau tingginya derajat seseorang dalam masyarakat pertanian di
Desa Pakenjeng. Selain sistem pelapisan tersebut yang berpengaruh pada hubungan sosial
antar masyarakat di Desa Pakenjeng, stratifikasi juga menciptakan suatu pola sistem
pembagian kerja yang berbeda antara basis-basis lapisan, khususnya lapisan menengah
kebawah yang didasarkan tiga faktor, yaitu faktor keahlian, kekeluargaan, dan rasa percaya.
Dengan adanya stratifikasi dan pembagian kerja di Desa Pakenjeng, menimbulkan
dampak kepada pelaku pertanian. Ini dikarenakan adanya pembagian kerja yang kompleks
menimbulkan adanya saling kepercayaan yang tinggi antar pelaku pertanian di Desa
Pakenjeng. Kepercayaan sangat penting perannya dalam keberlangsungan jalannya pertanian
di Desa Pakenjeng, ini disebabkan kepengurusan dari lahan-lahan di Desa Pakenjeng masih
diawasi dengan cara konvensional dan masih belum tersentuh adanya teknologi. Secara tidak
langsung sistem kepercayaan ini menjadi kebiasaan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat
Desa Pakenjeng, yang awalnya sistem kepercayaan ini dikhususkan dalam menjalani sistem
pertanian, sekarang ini sudah melebur kedalam hal lain, seperti menitipkan suatu hal diluar
konteks pertanian dan juga hal-hal lainnya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik & A.C. Van der Leeden. 1986. Durkheim Dan Pengantar Sosiologi
Moralitas. PT. Temprint.
Anwar, Yesmil, dkk. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung : PT Refika Aditama.
Bahan Kuliah Sosiologi Pembangunan oleh Asep Suryana, M.Si.
Geertz, Cliford. 1983. Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in
Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi. New York : McGraw-Hill.
Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. 1991. Sosiologi Pedesaan jilid 1. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Salman, Darmawan. 2012. Sosiologi Desa (Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas).
Makassar : Penerbit Ininnawa.
Zid, Muhammad. M. Si, Pergeseran Dan Ketimpangan Pemilikan Tanah Di Perdesaan
Pulau Jawa, (Jurnal Geografi, Vol. 2 No. 2, 2004).