Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila ...
Transcript of Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila ...
1
Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila sebagai Materi
Inspiratif Pendidikan Seni Pertunjukan
Ririt Yuniar1
Pendahuluan
Pancasila sebagai dasar Negara menjadi Paradigma Nasional
sekaligus mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung
didalamnya menjadi pedoman bagi masyarakat. Nilai dasar ini acapkali
dianggap pedoman yang normative dan abstrak yang dapat dijadikan
landasan dalam kegiatan bernegara. Namun demikian, nilai-nilai ini dapat
di konkritkan menjadi sebuah aksi tindakan nyata dalam kehidupan
keseharian. Lebih mengerucut lagi kegiatan tersebut juga dapat
dipedomani oleh seluruh lapisan masyarakat dalam segala macam
profesinya. Hal tersebut sebagai contoh pada profesi pendidik atau guru
tentunya dalam kontek belajar mengajar yang merupakan salah satu
tugas professional pendidik sebaiknya mampu menerapkannya dan
menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tri darma perguruan tinggi
baik itu penelitian, pengajaran, maupun pengabdian masyarakat
hendaknya mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila baik dalam tataran
konseptual dan praktisnya.
Peran Guru atau pendidik sangatlah penting guna mewujudkan
cita-cita bangsa Indonesia demi mewujudkan amanah Presiden Republik
Indonesia yang mengatakan bahwa: “Guru bukan hanya sebuah
1 DR. RIRIT YUNIAR, S.SOS., M.HUM. Dosen Universitas Pancasila Fakultas Ilmu Komunikasi, IKAL 48 LEMHANNAS RI. Consultan, Kreator Art and Design, Writer dan Pengkaji Kebijakan.
2
pekerjaan, tetapi guru adalah menyiapkan sebuah masa depan”.(Joko
Widodo). Dimana guru dalam mewujudkan masa depat itu, menjadi aktor
penting dalam mewujudkan pendidikan karakter yang sejalan dengan
paradigma Nasional Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Terwujudnya
generasi milenial yang aware terhadap situasi kekayaan keberagaman
bangsa Indonesia menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dan
dimulai sejak dini didalam pendidikan generasi muda. Karakter tersebut
dapat diwujudkan pada kurikulum maupun praktek berkesenian. Dalam
konteks ini menjadi sebuah grand design penting pada substansi
pengajaran dalam setiap materi pendidikan seni pertunjukan. Berikut
pendidikan karakter yang perlu dibentuk pada generasi bangsa.
Dikti telah menetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa dan
sudah sangat tepat apabila Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhinneka Tunggal
Ika menjadi Paradigma Nasional dalam menerapkan Kebijakan Penguatan
Pendidikan Karakter. Sehingga dapat membangun dan membekali peserta
didik menjadi generasi emas dapat terwujud. Generasi yang nasionalis,
mengutamakan kepentingan bangsa Negara di atas kepentingan pribadi
dan golongan. Artinya generasi yang taat hukum, disiplin, cinta tanah air,
menghormati keragaman suku agama budaya, rela berkorban, mampu
mengapresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa,
unggul dan berprestasi, serta mampu menjaga lingkungan. Sekolah,
masyarakat dan keluarga adalah ekosistem pendidikan yang harus
bersinergi. Sekolah menjadi sentral lingkungan sekitar yang mampu
dujadukan sumber-sumber belajar. Semua itu dikalukan demu
mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas. Langkah-langkah yang
telah di konsepkan oleh pemerintah pusat adalah demikian:
3
Gambar: Dok. Kemendikbud.go.id
Tidak dapat dipungkiri bahwa pentingnya penerapan nilai-nilai
Pancasila disini menjadi sebuah keniscayaan yang menjadi wajib
hukumnya bila dipandang dari sudut yang berbeda. Dalam segala aktifitas
kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia tercinta ini, akhir-
akhir ini pro kontra dan konflik menjadi hal yang sering terjadi akibat
4
kebhinekaan. Oleh karena itu, dalam membangun karakter generasi masa
depan yang visioner, dinamis dan berkualitas diperlukan fondasi yang
kuat. Nilai-nilai Pancasila tidak akan dapat terimplementasikan secara
optimal jika tidak menggunakan strategi komunikasi yang tepat dalam
menyampaikannya. Peran komunikator yang dapat dijadikan teladan, juga
perlu menjadi perhatian. Jika tidak, yang ada hanya akan menjadi cibiran
dan bahkan cemoohan segelintir oknum yang apatis terhadap idealism
bangsa Indonesia.
Kesempatan ini menjadi langkah awal yang penting dimana
strategi komunikasi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila dapat menjadi
upaya mengatasi bagaimana menghadapi persoalan dinamika
Multikultural dan Kebhinnekaan yang acapkali dijadikan “alat” memecah
persatuan dan kesatuan bangsa. Suatu hal yang keliru dan perlu
dipertanyakan bila terjadi demikian terus menerus. Kemana Pancasila?
Dimana fondasi itu? Ada apa dengan bangsa Indonesia? Sebagai generasi
bangsa yang bermartabat, tentunya melalui teladan guru dan para
pendidik, mampu memberikan inspirasi positif menangani segala macam
dinamika yang terjadi akibat keberagaman. Keberagaman dan
Kebhinekaan menjadi salah satu solusi alternative bagi terwujudya NKRI.
Nilai-nilai Pancasila yang termaktub dalam kelima sila nya dan butir-
butirnya, tentu dapat menjadi inspirasi kreatif dalam mewujudkan karya
seni pertunjukan yang beranekaragam. Melalui konsep ideal bangsa
tersebut sejalan dengan Visi Misi ISI Yogyakarta, …… dalam mewujudkan
penciptaan seni maupun menelorkan gernerasi pendidik seni pertunjukan
yang memegang teguh dan mengoptimalkan penerapan nilai-nilai
Pancasila dalam konsep dan karya nya. Yang mana karya seni di
Indonesia ini sangat beragam dan berkembang pesat.
5
Keanekaragaman seni telah berkembang menjadi berbagai macam
jenis dan karakteristik, seperti seni visual (visual art) antara lain seni
patung, seni lukis, seni instalasi, seni keramik, fotografi, karikatur dan
lain-lain, serta seni pertunjukan (performing art) di antaranya seni musik,
seni tari, drama atau teater, wayang orang, dan sebagainya. Akan tetapi,
bidang-bidang seni ini cenderung terkotak-kotakkan sesuai dengan
genrenya, sehingga hanya berkembang dari akarnya masing-masing. Hal
ini nampak menjadi seni yang terpisah-pisahkan dan adanya gap antara
satu sama lain. Selain itu, wadah kegiatan seni antara seni tradisi dengan
seni modern yang terpadu kurang terwadahi dengan optimal sehingga
mampu meleburkan, mengkolaborasikan, dan menginteraksikan berbagai
bidang seni tersebut menjadi suatu kesatuan bahkan dapat menciptakan
karya seni yang baru. Pembagian seni secara konvensional ke dalam Seni
Rupa dan Seni Pertunjukan juga dapat dituduh sebagai faktor pendorong
terkotak-kotakkannya seni di Indonesia.
Seiring perkembangannya, seni pertunjukkan terbagi menjadi seni
pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern. Seni berfungsi
sebagai edutainment artinya mengedukasi masyarakat dan juga memberi
hiburan pada masyarakat. Hal ini tidak lagi hanya bertugas pada tujuan
penyampaian informasi dengan tepat atau efisien. Seni sebagai hasil karya
manusia menempati kedudukan dan peran yang khusus, serta di dalam
setiap pementasannya karya seni dapat memuat pesan yang ingin
disampaikan kepada penonton atau audience. Pesan tersebut dapat
bersifat sosial, moral, politik, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
Ditegaskan pula oleh Soedarsono (2002) dengan mengkategorikan
fungsi seni pertunjukan menjadi dua, yaitu fungsi primer dan fungsi
sekunder. Yang dimaksud dengan fungsi primer adalah fungsi seni
pertunjukan itu ditampilkan untuk siapa. Disebut sebagai seni
6
pertunjukan bila ada yang mempertunjukan dan ada yang menikmatinya.
Fungsi sekunder seperti untuk propaganda agama, untuk pengikat
solidaritas sosial, untuk propaganda politik, untuk ajang pertemuan
seperti misalnya arisan, dan masih banyak lagi.2
Seni cenderung lebih mengarah pada tercapainya peningkatan dan
pemenuhan pengalaman manusia lewat perjumpaannya dengan realita
media seni. David Brain memandang nilai, fungsi, dan makna seni rupa
sebagai sesuatu yang dikonstruksi dan dibentuk, bukan “ditemukan” atau
bersemayam dalam wujud material seni.3 Senada dengan hal tersebut,
pemahaman berkaitan dengan performance studies yang menjadi
perspektif dalam tulisan ini, ingin mengupas persoalan pengkotak-
kotakkan seni tersebut mejadi sebuah karya seni yang “borderless”.
Dalam keberagaman itulah nilai-nilai Pancasila dapat mewujud sebagai
semuah konsep maupun konteks dalam penciptaan dan pengajaran seni
pertunjukan.
Korelasi Strategi Komunikasi dalam Karya Seni.
Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan (planning) yang
merupakan bagian dari manajemen (management) untuk mencapai suatu
tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi komunikasi harus dapat
menunjukkan arah dan taktik operasional tindakan yang paling tepat
dilakukan. 4 Effendy (2005) menjelaskan bahwa, strategi komunikasi
memiliki tujuan (1) To Secure Understanding yaitu untuk memastikan
bahwa terjadi suatu pengertian dalam berkomunikasi. (2) To Establish
Acceptance, yaitu bagaimana cara penerimaan itu terus dibina dengan
2 R.M. Soedarsono. 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi”. Jakarta: Depdikbud. Hal.118-270. 3 David Brain. 2004. “Material Agency and the Art of Artifacts: dalam Sosiologi of Arts, A Reader”. Jeremy Tanner (ed.). Taylor & Francis e-Library (first published 2001 by Routledge). 4 Onong U Effendy. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal. 59.
7
baik. (3) To Motivate Action, yaitu penggiatan untuk memotivasinya, dan (4)
To Goals Which Communicator Sought To Achieve, yaitu sebagai tujuan
yang hendak dicapai oleh pihak komunikator dari proses komunikasi
tersebut.
Dalam hal ini Performance Studies melihat empat strategi di atas
tepat dan cocok untuk diterapkan dalam karya seni. Selain itu, strategi
komunikasi juga memiliki fungsi ganda yaitu, (1) menyebarluaskan pesan
komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara
sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. (2)
Menjembatani “cultural gap”, yaitu kondisi yang terjadi akibat kemudahan
diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media yang bergitu
ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai yang dibangun.
Sebagai contoh kreativitas seni yang dibangun atau dibuat untuk mengisi
siaran hiburan, film, maupun talkshow baik yang live di media elektronik
on air maupun off air.
Dalam rangka menyusun suatu strategi komunikasi, teori Harold D.
Lasswell mengatakan bahwa terdapat beberapa komponen-komponen
komunikasi yang perlu diperhatikan yaitu (1) Komunikator, (2) Pesan, (3)
Media, (4) Komunikan, dan (5) Efek.5 Lasswell menunjukan bahwa pihak
pengirim pesan (komunikator) mempunyai suatu keinginan untuk
mempengaruhi pihak penerima, oleh karena itu komunikasi harus
dipandang sebagai upaya persuasi.
Quinn (1992) dalam buku kiat dan strategi kampanye PR
menyatakan agar suatu strategi komunikasi dapat efektif dilaksanakan,
maka harus mencakup beberapa hal di antaranya pertama, objektif guna
menentukan semua ikhtiar dalam mencapai pemahaman yang jelas dan
bisa mencapai keseluruhan tujuan. Kedua, memiliki strategi inisiatif
5 Onong U Effendy. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal. 34.
8
dalam menjaga kebebasan bertindak dan memperkaya komitmen. Strategi
harus menentukan langkah dan menetapkan tindakan terhadap peristiwa,
bukan bereaksi terhadap peristiwa. Ketiga, konsentrasi dengan
memusatkan kekuatan besar untuk waktu dan tempat yang ditentukan.
Keempat, fleksibilitas strategi hendaknya diniatkan untuk dilengkapi
penyangga dan dimensi untuk fleksibilitas dan manuver. Keenam, strategi
hendaknya dipersiapkan untuk memandaatkan kerahasiaan dan
kecerdasan untuk menyerang lawan pada saat yang tidak terduga. 6
Strategi ini dapat juga diterapkan dalam kreatifitas seni pertunjukan dan
seni rupa dengan mengkolaborasi performance studies dari pandangan
Richard Schechner. Tentunya konsepnya termuat atau terkandung-nilai-
nilai Pancasila yang mewujud dalam kehidupan keseharian, konsep
maupun hasil sebuah karya.
Oleh karena itu, dalam rangka menyusun strategi diperlukan suatu
pemikiran dengan mempertimbangkan komponen-komponen dari faktor-
faktor pendukung dan faktor penghambat dari strategi komunikasi seperti
(1) mengenali sasaran komunikasi dengan memperhatikan faktor
kerangka referensi, faktor situasi dan kondisi pada komunikan. (2)
Pemilihan media komunikasi yang digunakan guna mencapai tujuan
komunikasi. (3) pengkajian tujuan pesan komunikasi dengan menentukan
teknik yang akan digunakan baik teknik informasi, persuasi atau teknik
informasi instruksi. (4) Peranan komunikator dalam komunikasi akan
berhasil apabila memiliki daya tarik dan kredibilitas sebagai sumber.
Komponen-komponen tersebut di atas dapat dianalogikan dalam sebuah
dialektika seni yaitu ada pada aktor, audience, serta bentuk seni yang
6 Rosady Ruslan. 2002. “Kiat dan Strategi Kompanye Public Relations”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal.90-91.
9
ingin ditampilkan berikut isi pesan dalam performance yang ingin
ditampilkan
Terdapat empat faktor penting guna membuat perencaan yang baik
dalam menyusun strategi komunikasi, yaitu: (1) mengenal khalayak,
dalam seni diharapkan juga dapat mengenal audience atau khalayak
sebagai segmen pasar yang akan dituju. (2) menyusun pesan, setelah
khalayak dan situasinya jelas agar komunikasi dapat berjalan dengan
efektif. Hal ini sangat jelas dan konkrit dapat dilihat dari keberhasilan
seniman dalam mengkomunikasikan karya seninya. (3) menetapkan
metode, dalam sebuah karya seni dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara disesuaikan dengan kondisi audience dan jenis genrenya. Hal
ini dapat diwujudkan melalui bentuk metode redundancy, yaitu
mempengaruhi khalayak dengan mengulang pesan kepada khalayak.
Pertama, metode canalizing yaitu dengan mengenal khalayaknya terlebih
dahulu kemudian menyampaikan pesan sesuai dengan kepribadian,
sikap, dan motif khalayak. Sama halnya dengan seni rupa maupun
pertunjukan, para pelaku seni memperhitungkan dan mempertimbangkan
audience, sekmen pasar maupun khalayak penontonya. Kedua, metode
Edukatif, yaitu diwujudkan dalam bentuk pesan yang berisi pendapat,
fakta, dan pengalaman yang merupakan kebenaran dan dapat
dipertanggung jawabkan. Kreatifitas seniman atau pelaku seni senantiasa
juga menjalankan metode edukatif ini. Hal ini tampak dalam setiap event
yang juga ada kaderisasi dan unsur pendidikan yang di terapkan. Ketiga,
metode koersif, yaitu dengan memaksa khalayak untuk menerima pesan
yang disampaikan. Mau tidak mau dan sadar atau tidak khalayak sering
terpersuasi oleh perform seniman melalui karya-karya yang
ditampilkannya. (4) seleksi dan penggunaan media, sebagai alat penyalur
10
pesan informasi maupun gagasan kepada khalayak secara selektif
menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi khalayak.7
Teori-teori komunikasi di atas sangat relevan jika mampu
diterapkan oleh creator seni dengan menggunakan pendekatan
performance studies guna meningkatkan kualitas dan kreativitas para
creator seni yang lebih mengutamakan nilai-nilai Pancasila sebagai
pedoman berkarya. Nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan melalui
karya seni yang “borderless” artinya tidak terbatas lintas ruang dan waktu
dalam konsep dan praktiknya.
Kontekstualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Seni Pertunjukan.
Pentingnya strategi komunikasi yang tepat dan matang dengan
melihat target audiens yang dituju. Sehingga penyampaian pesan dapat
dilakukan dengan maksimal dan diterima dengan baik. Seni yang menjadi
salah satu sarana atau saluran penyampaian pesan, dinilai sangat efektif
dalam tujuan komunikasi. Masyarakat lebih mudah menerima pesan
melalui performance sehingga seni menjadi sebuah media komunikasi
yang memiliki kedudukan dan peran khas di hati masyarakat. Ini juga
dapat ditampilkan dalam kearifan local masing-masing wilayah di seluruh
wilayah Indonesia yang kaya akan seni budaya. Hal itu sebegai wujud
representasi penerapan nilai-nilai Pancasila. Menurut Koentjaraningat
tujuh unsur kebudayaan yang salah satunya kesenian ini menjadi unsur
mendasar dalam memperkaya kreativitas para seniman untuk membuat
karya-karyanya. Tentunya fondasi nilai Pancasila sudah menjadi sebuah
syarat mutlak didalamnya.
Seni itu sendiri merupakan sebuah hasil kreativitas yang selalu
dinamis sesuai dengan perkembangan zamannya. Seni bukan hanya
7 Anwar Arifin. 1984. “Strategi Komunikasi”. Bandung: Armico.
11
sebatas bentuk dari kebudayaan semata, tetapi juga merupakan produk
dan aktivitas budaya yang memiliki potensi sebagai sarana penyebaran
informasi, pendidikan, penanaman nilai-nilai budaya, dan kontrol sosial
masyarakat serta menjadi sarana solidaritas sosial. Kehadiran seni
merupakan sebuah refleksi dari nilai-nilai lokal yang kini hadir sebagai
kritik terhadap perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Nilai-nilai
Pancasila yang mewujud dalam keseharian menjadi sangat penting untuk
dipedomani. Oleh karena itu, pihak-pihak berkepentingan memanfaatkan
seni sebagai media atau saluran komunikasi guna mengungkap masalah-
masalah sosial, ekonomi, propaganda politik, seksualitas atau gender,
keprihatinan, dan permasalahan rakyat secara holistik yang disampaikan
secara halus, dengan narasi yang wajar sesuai kultur, etika, logika dan
estetika.
Seni sebagai media luwes untuk menyebarluaskan informasi secara
faktual melalui pengalaman emosional para pelaku seni sehingga
informasi yang disampaikan dapat menjadi lebih bermakna. Tujuan
performance yang dilakukan oleh para seniman itu sendiri antara lain
untuk mengubah opini, sikap, dan perilaku, guna mencapai kesamaan
tentang persepsi yang dibangun oleh para seniman. Dalam konteks ini,
peran dan fungsi seni sebagai sarana media komunikasi memberikan arti
bahwa, seniman sebagai kreator dan penonton sekaligus sebagai
apresiator, antara pelaku seni dan penikmat seni, menjadi sesuatu yang
ditafsirkan oleh keduanya. Diciptakannya seni oleh para seniman dengan
tafsir makna tersendiri, yang kemudian diamati, ditonton, atau diapresiasi
oleh penikmat seni dengan tafsir makna tersendiri pula dapat menjadikan
kondisi panggung seni menjadi sangat dinamis. Dinamika inilah yang
mampu memperkaya ragam kajian seni dan dialektika seni di Indonesia.
12
Betapa dasyatnya jika dialektika seni tersebut berlandaskan Pancasila
dan Berbhinneka Tunggal Ika, dimana “Kita Bhinneka Kita Indonesia”.
Produktivitas dalam menciptakan ragam dan format sajian untuk
mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan masyarakat, penonton atau
audience menjadi sebuah syarat dalam berkarya. Pola interaksi tersebut
dilakukan oleh masyarakat dengan lingkungannya dimana setiap orang
atau masyarakat ingin melibatkan dirinya dengan cara menonton,
mengapresiasi, mengamati, menginterpretasi, mengkritisi dan bahkan
ingin melibatkan diri menjadi pelaku dalam peristiwa pertunjukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada tataran inilah nilai-nilai
Pancasila dapat diwujudkan pada sebuah karya seni.
Performance studies menjadi salah satu alternative perspektif yang
menjembatani kajian komunikasi melalui seni. Perspektif pagelaran
membuka peluang untuk memandang pengoleksian karya sebagai
tindakan yang lebih dari sekedar akuisisi dan penyimpanan karya seni.
Namun, digunakan untuk meraih tujuan sintetis, ekonomis, sosial,
kutural, spiritual ataupun politis tertentu sesuai dengan bagaimana cara
audiens atau penikmat seni menggunakan masing-masing karya seni.8
Kehidupan sehari-hari kita terstruktur berdasarkan berbagai
perilaku yang terulang-ulang serta secara sosial dan sanksinya, maka
dapat dikatakan bahwa semua aktivitas manusia dapat dianggap sebagai
performance atau ‘penampilan’. Schechner mengemukakan, bahwa banyak
kebudayaan yang tidak memiliki kata atau istilah atau kategori yang
disebut ‘seni’, walaupun mereka menciptakan ‘pertunjukan’ yang
mendemonstrasikan sentuhan estetis yang tinggi. Sebenarnya dalam
menciptakan seni bukan hanya menciptakan, tetapi juga menilainya.
Lebih lanjut lagi Schechner menegaskan bahwa, walaupun sebuah
8 Marvin Carlson. (1986), “Performance: A Critical Introduction”. New York: Routledge.
13
performance atau ‘penampilan’ memiliki dimensi estetik yang tinggi, ia
tidak harus merupakan sebuah karya seni yang terkotak-kotakkan tadi.
Dimana implementasi dari performance studies sangat tegas
dijelaskan dalam kipas performance yang dikemukakan oleh Schechner:9
Bahwa sebenarnya the real everyday life pun menjadi sebuah
performance itu sendiri. Selain itu, analisis model komunikasi itu baik
yang berupa kata-kata maupun relasi tanda dapat juga dikatakan sebagai
performance. Semakin jelas dan tegaslah bahwa, sebenarnya dialektika
seni ini sudah tidak dapat dikotak-kotakkan lagi.
Performance Studies sebagai sebuah Metode.
Schechner menjelaskan “… performance studies is that the field is
wide open. There is no finality in performance studies, either theoretically or
operationally. There are many voices, opinions, methods, and subjects,
anything at all can be studied as ‘performance’. Hal ini memiliki arti
9 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies: An Introduction”. London : Routledge. Hal.11
14
bahwa, performance studies sangat terbuka, tidak memiliki batasan baik
secara teoretis maupun operasional sehingga apapun dapat dikaji sebagai
sebuah performance studies.10
Performance studies (kajian pagelaran atau penampilan) bukan saja
meliputi musik, tari, drama, dan seni resitasi, tetapi juga pencak silat,
akrobat, sulap, parade, ritual, demonstrasi, perang, dan lain-lain. Yang
menjadikan performance studies menjadi khas adalah: (1) perilaku
manusia menjadi objek kajian, (2) praktik artistik merupakan bagian
besar dari proyek performance studies, (3) penelitian lapangan yang
berbentuk participant observation atau observasi terlibat yang dipinjam
dari disiplin antropologi sangat penting, (4) performance studies selalu
berada dalam lingkungan sosial. Schechner menegaskan bahwa
performance studies harus dipahami sebagai sebuah spectrum yang luas
atau dengan kata lain sebagai kontinum dari aksi atau perbuatan
manusia, yang meliputi ritual, drama, olahraga, hiburan populer, seni
pertunjukan yang meliputi teater, tari, dan musik, serta kehidupan
sehari-hari termasuk pula pengobatan, berbagai media, sampai ke
internet.11
Performance studies tidak hanya mengkaji teks, arsitektur, seni
rupa, atau artefak-artefak seni. Tetapi, ketika teks, arsitektur, seni rupa,
serta artefak-artefak itu disaksikan penampilannya, barulah semuanya itu
dapat di tempatkan sebagai performance atau ‘penampilan’. Kegiatan
tersebut dimaknai sebagai praktik, peristiwa, serta perilaku, dan bukan
sebagai objek atau benda. 12 Sebagai contoh tentang seni lukis; cara
interaksi antara pelukis, seni lukisnya, dan penikmat itulah yang dapat
disebut sebagai performance studies.
10 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies: An Introduction”. London : Routledge. Hal.1. 11 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies : An Introduction”. London : Routledge. Hal.2. 12 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies : An Introduction”. London : Routledge. Hal.2
15
Schechner menjelaskan “what is performance?” bahwa dalam bisnis,
olahraga, dan seks, yang dimaksud ‘to perform’ adalah mengerjakan
sesuatu dengan sebuah standart atau aturan. Dalam seni, ‘to perform’
adalah mengangkat sesuatu diatas panggung dalam wujud drama, tari,
dan konser musik. Dalam kehidupan sehari-hari ‘to perform’ dapat
dipahami sebagai, (1) being atau keberadaan, (2) doing atau melakukan,
(3) showing doing atau memperlihatkan tentang yang dilakukan, dan (4)
explaining showing doing atau menjelaskan tentang memperlihatkan yang
dilakukan.13
Schechner membagi performance (penampilan dan pertunjukan)
menjadi delapan macam, yaitu: (1) Dalam kehidupan sehari-hari seperti
memasak dsb; (2) Dalam seni; (3) Dalam olahraga; (4) Dalam bisnis; (5)
Dalam teknologi; (6) Dalam seks; (7) Dalam ritual, baik yang sakral,
maupun yang sekuler; dan (8) Dalam drama. Dari berbagai pengamatan
yang dilakukan oleh Schechner mengenai performance studies adalah
untuk menghibur; Membuat sesuatu menjadi indah; Memberi atau
mengubah identitas; Memperkuat komunitas; Menyembuhkan; Mengajar,
menganjurkan, atau menyadarkan; dan Berkaitan dengan yang sakral
serta makhluk-makhluk menakutkan.
Richard Schechner juga mengungkapkan bahwa pertunjukan
adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah
pertunjukan memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar
pertunjukan meliputi: (1) Persiapan bagi pemain maupun penonton, (2)
Pementasan, (3) Aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah
pertunjukan selesai.14 Pendapatnya bahwa pertunjukan diartikan sebagai
13 Tati Narawati. 2003. “Performance Studies: An Introduction (Sebuah Tinjauan Buku)”. Panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. Nomor XXVII. STSI Press: Bandung. Hal.4 14 Sal Murgianto. 1995. “Mengenai Kajian Pertunjukan” dalam Prudentia MPSS (Ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. hal.161.
16
“suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok lintas ruang
dan waktu”. Studi tentang pertunjukan tidaklah hanya mendekati suatu
peristiwa yang terjadi di dalam pentas saja, tetapi melibatkan seluruh
aspek yang merupakan akibat dari munculnya suatu ide sebagai
penyebab adanya suatu pertunjukan.
Praktiknya terjadi pada aktivitas pra pentas, saat pentas, dan pasca
pentas dimana masing-masing kejadian memiliki dinamika tersendiri yang
dapat diapresiasi, dikritisi, maupun dievaluasi menjadi sebuah kajian
performance. Adegan atau kegiatan para seniman di belakang layar dapat
menjadi konsumsi publik dan memiliki nilai jual tersendiri dengan segala
keunikan dan problematikanya. Begitu juga pasca pentas dimana
wartawan juga sering menjadikan mereka obyek pemberitaan yang tidak
kalah pentingnya dengan performance mereka saat pentas. Demikian juga
berlaku pada seni rupa atau genre lainnya di dalam seni lukis misalnya
saat pelukis mempersiapkan peralatan dan konsep, saat melukis, dan
saat finishing menjadi sebuah obyek tersendiri dalam performance studies.
Bahkan gathering yang terjadi antar seniman dapat menjadi kajian
tersendiri.
Oleh karena itu, media massa yang mengemas pemberintaan
berkaitan dengan aktivitas maupun produksi karya seni dapat
memperkaya masyarakat dengan cara menyebarkan karya kreatif terbaik
dari seniman, seperti karya sastra besar, musik, dan karya seni. Media
juga memuat hal-hal yang lebih ringan yang merefleksikan kebudayaan,
dan memberikan kontribusi terhadap hal-hal tersebut. Dari waktu ke
waktu, kreator menyusun kontinum yang meliputi rentang produksi
artistik yang beragam.15
15 John Vivian. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. (8th Ed). Jakarta: Kencana. Hal.505.
17
Seni menyampaikan pesan secara persuasif dan sugestif yang
mampu mempengaruhi opini publik, mampu menggerakkan emosi, sikap,
dan bahkan pilihan-pilihan publik atas realitas sosial pada suasana
kampanye atau propaganda politik bagi publik dalam menentukan
konstituennya. Seringkali seni juga digunakan sebagai instrument untuk
mencapai tujuan-tujuan politik. Seni dalam dinamika politik dapat juga
berfungsi menjadi lebih luas, yakni sebagai alat propaganda melalui
produk-produk kesenian yang dikemas dengan membawa pesan-pesan
politik kepada audience yang terlibat. Seni telah dijadikan sebagai sebuah
media untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada objek politik itu
sendiri. Ini karena seni dinilai memiliki pengaruh yang komplek dan
signifikan terhadap tercapainya tujuan politik.
Melalui seni kampanye, gerakan anti narkoba dan dampak
pergaulan bebas pun dapat dijadikan topik untuk membuat ide kreatif
seni dalam rangka menggerakkan massa dalam menentukan atau
mempengaruhi perilaku audiens untuk hidup sehat. Seni yang
ditampilkan tidak hanya menekankan persoalan teknis dan estetika,
melainkan terfokus pada substansi isi pesannya yang terkait dengan
kondisi sosial masyarakat yang up to date sebagai contoh kampanye anti
narkoba, gerakan disaster management, dan isu-isu lainnya yang sedang
marak diperbincangkan. Selain itu juga dapat membahas terkait dengan
behind the scene karya seni tersebut. Seni dalam hal ini memiliki
kekuatan secara verbal maupun non verbal. Mengkomunikasikan
kepentingan atau propaganda politik demi menjaring massa
pendukungnya melalui media seni juga harus memperhatikan gagasan
dan nilai-nilai estetika dan komposisi artistik sesuai dengan kaidah yang
berlaku.
18
Pendekatan melalui jalur seni pertunjukan dapat dilakukan dengan
musikalisasi puisi, pagelaran musik, ataupun berbagai lomba seni
maupun festival dan pagelaran budaya. Seni dapat dijadikan sebagai
hiburan sekaligus informasi dengan menyelipkan pesan-pesan tertentu
melalui isi pesan. Komunikasi seni sebagai contoh dalam drama musikal
gerakan anti narkoba dilakukan oleh Teater Tanah Air dengan
menyampaikan pesan mengenai bahaya serta ancaman penyalahgunaan
serta peredaran narkoba. Melalui drama musikal diharapkan dapat
menyampaikan pesan anti narkoba dengan menyentuh hati pemirsanya
serta berusaha memunculkan kesadaran masing-masing individu untuk
melindungi diri dan lingkungannya melalui pagelaran drama musikal
tersebut. Ini juga dapat dilihas sebagai perwujudan penerapan nilai-nilai
Pancasila silah ke-4. Komunikasi melalui seni drama musikal ini
diharapkan dapat mendukung Gerakan Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dan juga
mengembangkan dan melestarikan perkembangan seni dari masa ke
masa. Di dalam masa depan generasi muda yang sehat tertanam
mentalitas dan semangat kebangsaan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Sebagai contoh teoritis Skema di bawah ini menunjukkan bahwa,
performance dalam perspektif politik dapat dilihat dari empat dimensi.
Pertama, menyangkut hubungannya dengan kekuasaan. Kedua, menyang-
kut hubungan antara performance dengan ideologi, yaitu bagaimana
performance mereproduksi, memungkinkan, melanjutkan, menantang,
mengkritik dan menetralkan ideologi. Ketiga, menyangkut hubungan
performance dengan hegemoni yaitu bagaimana pertunjukan secara
simultan mereproduksi dan meresistensi atau menolak hegemoni.
19
Keempat, menyangkut hubungan pertunjukan dengan dominasi, yaitu
bagaimana performance mengakomodasi dan mengkontestasi dominasi.16
Visible berupa sosial drama yang pada saat performance teknik
berada di dalam staging, dia memiliki aesthetic performance yang tampil
dalam wujud karya seni aktual itu sendiri. Baik itu fotografi, teater, seni
lukis, musik, wayang, pedalangan, maupun genre-genre lainnya.
Pertunjukan wayang menjadi salah satu contoh bentuk seni
pertunjukan yang dapat digunakan berbagai pihak untuk berbagai
keperluan seperti upacara ritual perorangan maupun kelompok
(masyarakat), penyebaran (ajaran) agama, pendidikan (karakter building),
kontemplasi, sarana propaganda produk komersial, propaganda program
pemerintah, alat politik, hiburan, alat pencari nafkah dan juga sampai
sebuah bentuk ekspresi estetik murni kesenian dengan berbagai usaha
eksploratif dan imajinatif yang kreatif. Idiom-idiom atau ungkapan dalam
wayang sangat khusus dan menarik, mampu menjadi salah satu sarana
yang efektif dan efisien dalam penyampaian pesan.17
Contoh konkrit penerapan nilai-nilai Pancasila dalam rangka
memeriahkan HUT TNI ke-71, TNI menyajikan seni pagelaran wayang
orang yang dapat disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Penampilan wayang tersebut dipentaskan di Taman Ismail Marzuki 16 Dwight Conquergood. 1991. “Rethinking Ethnography: Towards a Critical Cultural Politics”. Communication
Monographs 58, June: 179-194 17 Budi Susanto. 2008. “Membaca Poskolonialitas (di) Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius. Hal.149.
20
disiarkan oleh NET TV dan TVRI. Berawal dari kegelisahan pimpinan TNI
yaitu Jenderal Gatot Nurmantyo dalam wawancaranya dengan media yang
merasakan kesenian wayang orang kurang dilestarikan dan terancam
punah, sehingga beliau berkeinginan membuat kolaborasi antara TNI
dengan para tokoh seniman, seniwati, serta para pakar di bidang seni baik
tari, musik, dan sebagainya. Penggalan-penggalan cerita tersebut
berkaitan tentang manusia, bertutur tentang nilai, konflik, intrik, dan
cinta kasih melalui penampilan wayang orang. Hal ini bertujuan memberi
pemahaman bahwa, melalui pagelaran seni wayang orang diharapkan
pada hakikatnya manusia senantiasa mengutamakan kasih sayang dan
menghargai sesama demi mencapai kehidupan yang aman, tentram, dan
damai. Hal ini wujud nyata sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana
hakikat nyata manusia berTuhan adalah menyayangi sesama nya,
menghargai juga wujud nyata sila ke-2, aman tentram dan damai juga
wujud sila ke-,3,4, dan 5.
Pagelaran wayang orang “Satha Kurawa” juga diharapkan mampu
menjadikan TNI bersatu padu dengan rakyat menjunjung tinggi harkat
dan martabat karsa dan karya kebudayaan bangsa Indonesia. Dari
seniman wayang orang, para prajurit dan perwira TNI menimba ilmu dan
sukma pagelaran wayang orang. Dari TNI, para seniman belajar
kedisiplinan dan penjadwalan tugas secara militer tanpa kompromi atas
kekeliruan sekecil apapun.
Dibalik pagelaran wayang “Satha Kurawa” tersebut juga bertujuan
memberikan pemahaman bahwa, TNI dalam upayanya membangun
kekuatan, kemampuan, dan gelar secara keseluruhan sebagai wujud
profesionalisme. Menjelaskan bahwa TNI tidak disiapkan untuk
menciptakan peperangan, namun untuk memberikan rasa aman, damai,
dan tentram kepada seluruh bangsa Indonesia agar bangkit, tumbuh, dan
21
berkembang menjadi bangsa pemenang yang berdaulat mandiri dan
berkepribadian.
Penutup
Bentuk dari perkembangan kebudayaan yang merefleksikan
fenomena sosial dan daily life atau kehidupan keseharian dengan
menunjukkan kondisi saat ini dapat diterapkan melalui karya seni.
Berbagai pendekatan komunikasi dilakukan melalui seni karena
mempunyai sifat yang lebih mudah ditangkap, dicerna, dan diapresiasi
sehingga lebih mudah diminati oleh masyarakat luas. Menyampaikan
pesan melalui seni dinilai tidak hanya persoalan memperhatikan
bagaimana isi pesan dibuat, namun bagaimana karya besar dihasilkan,
ditampilkan, dilestarikan, dan diapresiasi oleh massa atau audience
sehingga tujuan utama pesan tersebut dapat sampai dengan tepat. Pesan
moral melalui pendidikan karakter yang substansinya adalah nilai-nilai
Pancasila perlu dilestarikan dan menjadi sebuah konsep yang popular
bagi para pencipta dan penikmat seni.
Berbagai bentuk kolaborasi dan kontribusi antara berbagai genre
dilebur agar tidak terkotak-kotakkan, sehingga diharapkan tidak lagi
adanya batasan ranah kajian seni. Performance studies memberikan atau
menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif, integral, dan holistik,
dalam dunia seni. Bahkan everyday life seperti pidato, olahraga,
kampanye politik, propaganda, permainan, art making process, ritual,
adalah the part of art sehingga kini seni tidak terikat lintas batas ruang
dan waktu. Melalui karya seni bangsa Indonesia kaya akan sarana
penyampaian pesan yang creative dan innovative. Dengan seni pesan
dapat menerobos batasan-batasan institusional yang sulit terjangkau
menjadi mudah diterima, luwes, damai dan dinamis. Semoga karya tulis
22
ini dapat menginspirasi para pembaca dalam mendidik, mencipta, dan
mengabdi.
Daftar Pustaka
Arifin, Anwar. 1984. “Strategi Komunikasi”. Bandung: Armico.
Brain, David. 2004. “Material Agency and the Art of Artifacts: dalam
Sosiologi of Arts, A Reader”. Jeremy Tanner (ed.). Taylor & Francis e-
Library (first published 2001 by Routledge).
Carlson. Marvin (1986), “Performance: A Critical Introduction”. New York:
Routledge.
Effendy, Onong U. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Mulyana, Deddy. 2004. “Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas
Budaya”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Murgianto, Sal. 1995. “Mengenai Kajian Pertunjukan” dalam Prudentia
MPSS (Ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Narawati, Tati. 2003. “Performance Studies: An Introduction (Sebuah
Tinjauan Buku). Panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. Nomor XXVII.
STSI Press: Bandung.
Ruslan, Rosady. 2002. “Kiat dan Strategi Kompanye Public Relations”.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sastropoetro, Santoso, RA. 1983. “Propaganda Salah Satu Bentuk
Komunikasi Massa”. Bandung: Alumni.
Schechner, Richard. 2003. “Performance Studies: An Introduction”.
London:Routledge.
Soedarsono, R.M. 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi”.
Jakarta: Depdikbud. Hal.118-270.
23
Susanto, Budi. 2008. “Membaca Poskolonialitas (di) Indonesia”. Yogyakarta:
Kanisius.
Vivian, John. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. (8th Ed). Jakarta: Kencana.
Yuniar, Ririt. 2011. “Reproduksi Realitas Politik dalam Foto Jurnalistik:
Pada Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”. Yogyakarta:
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.