Strategi Ketahanana Pangan Mandiri

download Strategi Ketahanana Pangan Mandiri

of 55

Transcript of Strategi Ketahanana Pangan Mandiri

1

STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN RUMAHTANGGA PEDESAAN DI KABUPATEN PONOROGOI. PENDAHULUAN Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di tingkat mikro rumah-tangga penduduk. Produksi prtanian di lokasi tertentu pada musim panen mengakibatkan terjadinya konsentrasi ketersediaan pangan di daerah produksi selama musim panen. Pola konsumsi yang relatif sama di antara individu, antar-waktu dan antardaerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit (paceklik) dan lokasilokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan mengandalkan stok pangan, dapat berpengaruh terhadap kesetimbangan antara ketersediaan dan konsumsi, serta berdampak pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga juga terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Meskipun bahan pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi (dan daya beli rumah tangga rendah) akan mengakibatkan rumah tangga tidak dapat mengakses bahan pangan yang ada di pasar. Kondisi seperti ini dapat memicu timbulnya kerawanan pangan. Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di daerah rawan pangan biasanya juga cukup banyak. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan rumah tangga. Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun diversifikasi, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera; sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi dan menyediakan energi bagi

2

tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis pangan, jumlah / produksi pangan dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bahan pangan. Kualitas pangan mencerminkan zat gizi esensial yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Salah satu strategi penyediaan pangan dalam rumahtangga pedesaan di Kabupaten Ponorogo adalah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, khususnya rumahtangga miskin adalah pemanfaatan waktu dari masing-masing anggota keluarga pada kegiatan publik dan domestik yang dapat menghasilkan income. Tingkat partisipasi kerja isteri untuk kegiatan publik cukup besar, dapat mencapai hampir setengah dari tingkat partisipasi suami. Hal ini mencerminkan bahwa isteri merupakan pencari nafkah tambahan untuk rumahtangga sangat menentukan dalam memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga. Selain isteri ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik, anak laki-laki dan anak perempuan kadangkala juga ikut berpartisipasi dengan tingkat tingkat partisipasi yang sangat beragam.

II. KETAHANAN DAN KECUKUPAN PANGANDefinisi Ketahanan-Pangan menurut Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut paling tidak melingkupi lima unsur pokok, yaitu: (1) berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu; (2) Setiap saat bahan pangan tersedia dan dapat diakses; (3) mengutamakan aksesibilitas pangan bagi rumah tangga dan individu; baik secara fisik, maupun sosial-ekonomi; (4) bertujuan pada pemenuhan kebutuhan gizi secara aman; (5) sasaran akhir adalah hidup sehat dan produktif. Indikator terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga a.l. (1) tersedianya pangan secara cukup, kuantitas dan kualitasnya; (2) aman (dan halal); (3) merata (menurut ruang dan waktu); dan (4) terjangkau oleh individu dan/atau rumaghtangga. Upaya mewujudkan ketahanan pangan minimal harus melingkupi empat aspek berikut: a. Penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup, ketersediaan pangan dalam arti luas, meliputi bahan pangan nabati dan hewani / ikani untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein,

3

lemak, vitamin dan mineral beserta derivatifnya, yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. b. Pemenuhan pangan dengan kondisi yang aman, bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta baik dan halal. c. Penyediaan pangan dengan kondisi yang merata, dalam arti pangan yang harus tersedia menurut dimensi waktu dan ruang. d. Penyediaan pangan yang dapat dijangkau, bahan pangan mudah diperoleh rumah tangga dan / atau dengan harga yang terjangkau. Konsep ketahanan-pangan lazimnya melingkupi lima konsep utama, yaitu: (1). Ketersediaan Pangan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. (2). Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. (3). Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita. (4). Stabilitas pangan (food stability) merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial.

4

(5). Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian bayi. Di Indonesia, kebijakan ketahanan pangan meliputi empat aspek, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata (menurut dimensi ruang dan waktu), (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kesehatan, dan (iv) status gizi dan kesehatan masyarakat. 2.1. Food Security dan Food Adequacy Ketahanan pangan merupakan suatu wujud dimana masyarakat mempunyai pangan yang cukup di tingat wilayah dan juga di masingmasing rumah tangga, serta mampu mengakses pangan dengan cukup untuk semua anggota kelaurganya, sehingga mereka dapat hidup sehat dan bekerja secara produktif. Ada dua prinsip yang terkandung dalam ketahanan pangan, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan. Rumah tangga dalam konteks ini adalah semua rumah tangga masyarakat baik rumah tangga petani dan maupun rumahtangga non-petani. Ketahanan pangan mensyaratkan bahwa setiap rumah tangga dapat mengkonsumsi pangan secara cukup. Standar kecukupan dalam mengkonsumsi sekitar 2000 kalori dan ketersediaan 2.500 kalori. Standar kecukupan pangan dinyatakan dalam satuan kalori dan protein (akan terus direvisi standarnya); sedangkan pola pangan harapan merupakan kombinasi konsumsi (kalau dinilai dengan skor 100 berarti sudah cukup beragam dalam mengkonsumsi) bahan-bahan sumber karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dst. Prinsip utama dalam membangun ketahanan pangan adalah bertumpu pada kemampuan sumberdaya, budaya dan kelembagaan lokal. Pangan sedapat mungkin dihasilkan oleh produksi sumberdaya sendiri. Pembangunan pertanian diupayakan sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan keberkelanjutannya, dengan demikian kapabilitas sumberdaya alam harus dijaga kelestariannya. Dalam hubungan ini upaya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Prinsip utama dalam pemberdayaan ini adalah memfasilitasi masyarakat untuk membangun pertanian secara berkelanjutan dan memberikan pendapatan yang layak, memberikan perlindungan dari persaingan yang tidak adil dengan barang-barang dari pasar bebas.

5

Food adequacy can be defined as physical and economic access to sufficient, safe and nutritious foods which meet the individuals dietary needs and food preferences for an active and healthy life. There are three key dimensions to household food adequacy (food security): food availability, food access, and utilization of food by the body. 2.2. Kecukupan Pangan, Sandang dan Energi Rumah-Tangga Empat kondisi utama dalam konteks pemenuhan ketahanan pangan adalah (1) kecukupan pangan; (2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta ; dan (4) kualitas/keamanan pangan (baik dan halal). Keempat komponen ini dapat digunakan untuk mengukur ketahanan dan kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dihitung dengan cara menggabungkan keempat indikator tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan. 2.2.1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan pangan di pedesaan biasanya mempertimbangkan jarak waktu antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya. Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi masyarakat berimplikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, misalnya: (a) Di daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, dapat digunakan nilai 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan niulai ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama tiga kali dalam dua tahun. (b) Di daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, dapat digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Hal ini didasarkan pada masa panen jagung satu kali dalam setahun. Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jangka waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok (on farm dan off farm). Dengan kata lain, ukuran

6

ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor nonpertanian (non farm). Ketersediaan pangan dapat diukur dengan menggunakan setara beras sebagai makanan pokok: Jika persediaan pangan rumah tangga mencukupi selama 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup Jika persediaan pangan rumah tangga hanya mencukupi selama 1 239 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup. Ketersediaan pangan dapat diukur dengan menggunakan setara jagung sebagai makanan pokok: Jika persediaan pangan (jagung) rumah tangga dapat meliputi kurun waktu 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup Jika persediaan pangan (jagung) rumah tangga hanya mencapuk waktu antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan (jagung), berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup. 2.2.2. Stabilitas Ketersediaan Pangan Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam waktu satu hari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki ketersediaan pangan yang stabil jika mempunyai persediaan pangan dalam waktu lebih dari masa cutting point (misalnya 240 hari atau 365 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan tiga kali sehari sesuai dengan pola kebiasaan makan setempat. Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, maka frekuensi makan dalam sehari dapat menjadi indikator keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau diversifikasi bahan makanan pokok (misalnya beras dengan jagung atau ubikayu). Mengurangi frekuensi makan dalam sehari merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangannya. Penggunaan frekuensi makan sebanyak tiga kali dalam sehari sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di pedesaan, dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak tiga kali dalam sehari. Jika mayoritas

7

rumah tangga di satu desa, hanya makan dua kali setiap hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, mungkin rumah tangga tidak dapat bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga musim panen berikutnya. 2.2.3. Aksesibilitas Pangan Indikator aksesibilitas (keterjangkauan) dalam pengukuran kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari indikator pemilikan lahan pertanian, dan cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan usaha pertanian Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan usaha pertanian. Hasil pengukuran indikator aksesibilitas ini digabungkan dengan indikator stabilitas ketersedian pangan, untuk menduga indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah: Mempunyai persediaan pangan kontinyu Mempunyai persediaan pangan kurang kontinyu Mempunyai persediaan pangan tidak kontinyu. Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat disajikan berikut ini. Akses terhadap pangan Akses langsung Akses tidak langsung Stabilitas ketersediaan pangan rumah tangga Stabil Kurang stabil Tidak stabil Kontinyu Kurang kontinyu Kurang kontinyu Tidak kontinyu Tidakkontinyu Tidak kontinyu

Sumber: Tim penelitian Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi Puslit Kependudukan LIPI.

2.2.4. Kualitas (Keamanan) pangan Kualitas jenis pangan yang dikonsumsi dapat diukur dengan nilai gizinya. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena

8

melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda. Sehingga ukuran keamanan pangan hanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, ukuran kualitas pangan dapat didekati dari data pengeluaran untuk konsumsi lauk-pauk yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi: 1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja. 2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja. 3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati. 2.2.5. Indeks Ketahanan Pangan Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, Kontinyuitas/keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat disajikan seperti berikut ini.Kontinyuitas ketersediaan pangan Kualitas pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati Protein hewani dan nabati ; atau protein hewani saja Tahan Kurang tahan Tidak tahan Protein nabati saja Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak ada konsumsi protein (hewani dan /atau nabati) Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan

Kontinyu Kurang kontinyu Tidak kontinyu

Sumber: Tim penelitian Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi Puslit Kependudukan LIPI.

9

Rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu musim panen hingga panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja 2. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki: - Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu, tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja - Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati 3. Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh: - Ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati - Ketersediaan pangan kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya. - Ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati - Ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk keduaduanya. 2.3. Konsep Desa Mandiri Pangan: MAPAN Strategi perencanaan Desa Mandiri Pangan dapat ditempuh dalam beberapa tahapan. Pada tahapan kultural, perlu adanya penjelasan secara berkesinambungan tentang arti pentingnya kecukupan pangan. Dalam konteks ini, status kehormatan bagi petani atau pedagang tidak dipandang sebagai kelas sosial yang rendah, melainkan mereka sama hormatnya dengan warga masyarakat lain yang telah memberi sumbangan bermakna bagi masyarakatnya. Dengan penghormatan seperti itu, mereka tidak lagi mengukur segala aktivitasnya hanya pada pertimbangan ekonomi. Jadi, perlu ada perubahan paradigmatik yaitu kehormatan manusia diukur dari sumbangsihnya bukan pada status sosialnya. Tahapan ke dua ialah tahapan-sosial, di mana suatu aktivitas yang bermakna, baru akan memperoleh hasil yang optimal kalau tercipta sinergi di antara potensi-potensi yang ada. Dalam konteks ini, simpul-simpul sosial seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh di bidang profesinya masing-masing, dijadikan aktor-aktor penting untuk memikirkan secara bersama bagaimana mewujudkan kecukupan pangan. Proses seperti

10

ini melibatkan banyak pihak guna mengubah ide-ide personal menjadi ide kolektif. Apabila konsep tentang kecukupan pangan telah menjadi ide kolektif, maka prinsip yang harus dianut ialah semuanya mendapat untung sesuai dengan kuantitas dan kualitas sumbang-sih nya. Tahapan ke tiga adalah level action, tokoh-tokoh dan para aktivis desa diajak untuk membiasakan aktivitas dengan mengawali perencanaan yang matang sesuai dengan kemampuan bernalar (lintas sektoral), daya tahan mental (misalnya tahan kritik, mudah menerima masukan, dsb), dengan kerangka analisis yang elevan. 2.3.1. Lumbung di Desa Mandiri Pangan Dalam program pengembangan Desa Mandiri Pangan (DMP), Desa mendapatkan dana bantuan sosial (bansos) untuk mengembangkan lumbung pangan non komersial. Warga desa dapat meminjam pangan di lumbung desa tersebut. Ada tiga kegiatan yang dapat menggunakan dana bansos untuk Desa Mandiri Pangan. Pertama, dana bansos untuk kegiatan simpan pinjam. Pinjaman dapat digunakan untuk beragam kegiatan apapun. Misalnya untuk pengobatan keluarga sakit, keperluan anak sekolah, maupun untuk mengembangkan pertanian di desa. Ke dua, dana bansos tersebut dapat digunakan untuk kegiatan produktif usaha kecil pertanian. Ke tiga, untuk pengembangan lumbung pangan masyarakat non komersial di desa. Lumbung pangan desa diharapkan dapat menciptakan kemandirian pangan masyarakat perdesaan. Masyarakat dapat meminjam pangan yang tersimpan di lumbung itu, pada musim paceklik atau tidak punya pangan. Anggota masyarakat yang meminjam harus mengembalikan pada saat panen dengan tambahan yang disepakati. 2.4. Konsep Desa Mandiri Energi Desa mandiri energi adalah konsep baru yang sedang dikembangkan di Indonesia. Desa diharapkan dapat mencukupi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus bergantung terhadap BBM dan bahan energi yang tak terbarukan lainnya. Pengembangan desa mandiri energi merupakan usaha menuju swasembada energi dalam arti mencukupi kebutuhan energi di desa itu, tanpa harus mengimpor sumber energi dari luar. Desa mandiri energi adalah desa yang mampu memanfaatkan bahan sumber energi (misalnya minyak jarak) untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan kegiatan lain di rumah tangga, sebagai pengganti BBM. Energi terbarukan (renewable energy) harus dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan swasembada energi, salah satu syarat renewable adalah keberlanjutan, regional development, dan ramah lingkungan. Keberlanjutan berarti bahwa energi ini dapat dimanfaatkan secara terus menerus tanpa batas waktu, artinya generasi sekarang dan generasi yang akan datang dapat

11

menikmatinya tanpa kecuali (sesuai dengan definisi keberlanjutan dari Bruntland Commision). Sedangkan regional development itu merupakan pembangunan yang bersifat regional yaitu dengan mengembangkan usaha yang sesuai dengan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut tanpa harus bergantung dengan daerah lain. Konsep Desa mandiri energi ini sejalan dengan usaha pengembangan renewable energy yang saat ini sedang dikaji di penjuru dunia. Konsep Desa mandiri energi ini sesuai dengan kondisi geografi Indonesia, masyarakatnya terpencar di desa-desa yang tidak dapat mengakses pusat-pusat energi, seperti tidak adanya sambungan listrik, tidak ada jaringan distribusi BBM. Dalam Desa mandiri energi, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus membayar biaya transportasi yang tinggi dan dapat dialihkan sebagai opportunity cost untuk memproduksi energi sendiri. Dalam hal ini budidaya tanaman jarak sebagai bahan baku pembuatan minyak jarak atau penamanan tanaman kayu bakar. Opportunity cost yang berputar di lingkungan masyarakat desa sendiri memberikan manfaat berlipat ganda (multiplier effect). Selain meningkatkan kemandirian masyarakat terhadap energi, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat karena uang akan berputar di lingkup desa tersebut dengan menciptakan lapangan kerja baru yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian desa secara keseluruhan. Untuk mendukung konsep Desa mandiri energi diperlukan juga perangkat, peraturan, dan dukungan finansial yang memberikan kemudahan bagi pengembangan Desa mandiri energi. Selain itu perlu juga diwaspadai efek negatif yang mungkin timbul dari pengembangan BBN (bahan bakar nabati) karena program BBN dikhawatirkan dapat merusak lingkungan hidup, misalnya pembukaan hutan untuk lahan budidaya tanaman. Ada dua tipe Desa Mandiri Energi, yaitu (1) Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas; dan (2) Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau biofuel arau agrofuels. Melalui pengembangan Desa Mandiri Pangan diharapkan masyarakat desa rawan pangan akan kembali mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian pangan masyarakat. Tujuan program pengembangan Desa Mandiri Pangan adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi.

12

Dalam pelaksanaannya, Program pengembangan Desa Mandiri Pangan difasilitasi antara lain: pembangunan instruktur, pendampingan dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana fisik, tenaga kerja, dan teknologi. Berbagai masukan ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan, antisipasi dan penanggulangan kerawanan pangan. Strategi yang digunakan dalam pelaksanaan program desa mandiri pangan antara lain melalui: (a) penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.

III. SISTEM RUMAH-TANGGA PETANIHousehold -farm models were first introduced to explain the counterintuitive empirical finding that an increase in the price of a staple did not significantly raise the marketed surplus in the rural sector. The search for an explanation led to a model in which production and consumption decisions are linked because the deciding entity is both a producer, choosing the allocation of labor and other inputs to crop-production, and a consumer, choosing the allocation of income from farm profits and labor sales to the consumption of commodities and services. Farm profit included implicit profits from goods produced and consumed by the same household, and consumption included both purchased and self-produced goods. As long as perfect markets for all goods, including labor, exist, the household is indifferent between consuming own-produced and marketpurchased goods. By consuming all or part of its own output, which could alternatively be sold at a given market price, the household implicitly purchases goods from itself. By demanding leisure or allocating its time to household production activities, it implicitly buys time, valued at the market wage, from itself. This model applies to all but agribusinessoperated commercial farms, which consume a very small share, if any, of their own output and supply few, if any, of their own inputs.

13

3.1. Sistem Rumahtangga Petani Perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat diabstraksikan sbb: (1) the net-surplus producing family farm, typical of small owneroperated farms of medium productivity; (2) the subsistence and sub-subsistence household farm, typical of small-scale, low productivity agriculture, frequently operating under marginal conditions and incomplete markets; (3) small-scale renter and share-cropper farms; and (4) the owner-operated commercial farms producing food for both domestic consumption and agro-industry and export markets. 3.2. Rumahtangga Petani Subsisten Pertanian subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, tidak dijual.

14

Sistem produksi pertanian Subsisten For the subsistence-oriented household, land and labour are the principal factors of production. Capital investment is limited to nonmonetary self-produced equipment, land improvement and livestock raised through natural reproduction. Increases in production are mainly dependent on the weather and on the quantity and quality of those factors of production controlled by the household. Beberapa contoh kegiatan adalah: Menggunakan kelebihan tenagakerja untuk kegiatan konservasi Menggunakan pupuk kandang untuk kesuburan tanah Memelihara ternak dengan lebih baik. Families living under these conditions rarely aim to maximise profit, since this would imply specialisation, with its attendant risks. Rather, the goal is to maximise the chances of survival. A mainly subsistence-oriented farmer will be reluctant to shift from a traditional practice to a new technology if doing so incurs greater risk of failure Dalam konteks seperti di atas, pertanian bukan hanya berkenaan dengan hal-hal teknis budidaya bertani, melainkan sebuah kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Karakteristik pertanian tradisional saat ini adalah sistem pertanian yang berlahan sempit, bermodal rendah, minim teknologi, jumah tenaga kerja yang banyak, dan merupakan satu-satunya penopang hidup bagi rumahtangga petani. Sistem pertanian tradisional seperti inilah yang diberi sebutan subsisten, atau Subsistensi Pertanian. Bagaimana pertanian dijalankan untuk memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga terlebih dahulu, sebagai bentuk pengamanan untuk ketahanan pangan bagi rumahtangga petani. Subsistensi pertanian dapat dilakukan pada sistem pertanian organik. Pertanian organik bukan hanya pada tingkat higienisitasnya saja, melainkan lebih bermakna harmonisasi sistem. Harmonis dalam kehidupan sosial ekonomi, dan siklus materi dan siklus energi yang terjadi di alam. Sistem pertanian organik menawarkan sesuatu yang berbeda dengan pertanian-industrial, namun harus hati-hati karena saat ini pertanian organik sendiri telah mengarah pada komersialisasi dan bukan pada spirit dasarnya yaitu kebersaman dan kemerataan bagi semua makhluk. Subsistensi dipilih sebagai alternatif solusi dalam pengembangan pertanian di Indonesia yang sebagain besar merupakan pertanian tradisional berskala kecil. Makna subsisten yang ditawarkan adalah mengubah paradigma pasar yang diberlakukan pada dunia pertanian. Pada kenyataannya, pertanian Indonesia sangat sulit untuk bersaing dengan produk-produk

15

pertanian negara-negara maju. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan keterbatasan penguasaan modal oleh petani, teknologi yang rendah, rendahnya proteksi negara, skill yang minim, lahan yang sempit, jumlah tenaga kerja yang besar, dan masalah-masalah lainnya; dan ini semua merupakan karakter pertanian tradisional berskala kecil di Indonesia. Semua hal tersebut akan menjadi masalah jika analisis pertanian mengacu pada paradigma pasar. Pada hakekat awal berkembangnya pertanian adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga atau sekelompok masyarakat. Artinya prioritas pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga dengan kualitas yang terbaik merupakan hal yang paling penting. Dalam perkembangannya pertanian dipaksa untuk memacu produktivitasnya setinggi-tingginya dengan jumlah panen yang besar kemudian dijual ke pasar dengan asumsi mendapat untung dan dapat menghidupi keluarga petani yang melakukan usaha peningkatan produktivitas tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya pernahkah petani, khususnya petani kecil, yang melakukan pola ini mendapat untung seperti yang dibayangkan? Selain itu, dampak sampingan dari pola ini adalah pemenuhan kebutuhan pangan untuk rumahtangga sendiri menjadi tersingkirkan dan tergantikan oleh pengejaran profit semata. Subsistensi dicoba dihadirkan untuk menggantikan logika pasar dalam pertanian. Logika subsisten bukan menempatkan keuntungan sebagai hal yang utama, tetapi pemenuhan terhadap kebutuhan diri sendiri yang utama. Inilah logika survivalitas dalam suasana ketidak-berdayaan pertanian. Jika seorang petani hanya memiliki luas lahan 2000 m2 dengan ratarata hasil panen padi 1,2 1,5 ton, maka dari mana petani tersebut bisa menghidupi seorang istri dan dua orang anaknya di zaman yang serba mahal ini? Oleh sebab itu, petani tersebut harus mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan pangannya dengan meminimkan transaksi pembelian pangan, namun semua kebutuhan pangan dipenuhi oleh lahan tersebut. Jika ada kelebihan produksi baru dijual. Hal ini mengharuskan penanaman berbagai jenis komoditas (kaidah biodiversitas), dan bukan satu jenis komoditas yang diorientasikan untuk memaksimumkan profit. Di samping itu juga, penanaman berbagai komoditas tanaman bahan makanan tidak hanya menguntungkan secara ekonomis namun juga ekologis. Logika subsisten ini sangat mungkin diimplementasikan dalam sistem pertanian organik. Dalam sistem ini biaya produksi dapat diminimumkan karena tidak harus membeli banyak input komersial. Kebutuhan modal usaha tidak besar, sehingga akan dapat dipenuhi oleh petani kecil. Pertanian organik menyerap tanaga kerja yang lebih besar dibanding dengan pertanian bergaya modern yang memperhitungkan efesiensi dan efektivitas. Penyerapan tenaga-kerja dalam pertanian organik cukup besar, dan dapat dikelola secara gotong-royong per kelompok. Tenaga-kerja petani yang bergotong royong tidak harus dikonversikan

16

dalam bentuk uang, melainkan saling bantu membantu atau saling berkontribusi dalam bentuk tenaga dan waktu. Sehingga titik acuannya tidak lagi uang atau modal yang besar. Teknologi yang diterapkan merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diaplikasikan oleh petani kecil. 3.3. Rumahtangga Pertanian Komersial Pertanian komersial berada pada sisi dikotomis pertanian subsisten. Umumnya pertanian komersial menjadi karakter perusahaan pertanian (farm) dimana pengelola usahatani telah berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri. Kebanyakan usaha pertanian modern bersifat komersial. Usaha pertanian ini menggunakan pupuk-buatan yang banyak sekali, obat pembasmi hama, dan varietas benih yang produksi-tinggi. Umumnya juga digunakan mesin-mesin pertanian berukuran besar seperti traktor dan alat pemanen.

3.4. Ketahanan Pangan rumahtangga Pertanian Empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan rumahtangga adalah: 1. Kecukupan ketersediaan pangan bagi rumahtangga; 2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun. 3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta

17

4.

Kualitas/keamanan pangan .

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga dapat mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan biasanya mempertimbangkan jarak-waktu antara musim panen dengan musim panen berikutnya. Sustainabilitas mengandung makna kecukupan ketersediaan pangan dalam jangka panjang.

3.4.1. Kecukupan Pangan (Food Adequacy) Food adequacy is defined as physical and economic access to sufficient, safe and nutritious foods which meet the individuals dietary needs and food preferences for an active and healthy life. Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis,

18

psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi. Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi. 3.4.2. Ketersediaan Pangan (Food Availability) Food availability yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

19

3.4.3. Akses Pangan (Food Accessibility) Akses pangan, yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.

IV. STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGANPermasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal, yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Cara pandang administratif terhadap desentralisasi pangan di tingkat lokal bahwa permasalahan di tingkat lokal menuntut pendekatan-pendekatan yang fleksibel dan spesifik lokasi. Desentralisasi yang demokratik dapat memfasilitasi pemecahan masalah pangan secara partisipatif, perencanaan pangan yang efektif dan sekaligus implementasinya di tingkat lokal. Pengertian ini mengandung makna pemenuhan kebutuhan pangan di pedesaan tidak semata-mata didasarkan pada produksi tanaman pangan yang ada di wilayah tersebut namun lebih pada bagaimana masyarakat pedesaan mampu menyediakan kebutuhan pangannya. Ukuran normatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat lokal menyangkut pada permasalahan ketersediaan, keandalan, kemudahan dan kualitasnya. Berbagai faktor harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan pangan di tingkat lokal yang berbasis pada sistem sosial budaya setempat. Faktor-faktor tersebut adalah culture, religion, status, community, tradition, school, home & family, geography, history, economics, science, technology, agriculture, climate, medicine, genetics. Kebijakan bercocok tanam misalnya, tidak hanya memperhatikan masalah lahan yang cukup, iklim yang cocok, ilmu pengetahuan yang mendukung; tetapi juga memperhatikan masalah sosial budaya masyarakat setempat mengenai jenis tanaman yang diterima secara baik. Cara ini seharusnya merupakan bagian dari strategi keberlanjutan (sustainability) kebijakan pangan yang harus dilaksanakan. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena terkait dengan persediaan bahan pangan. Pangan, khususnya beras, di Indonesia menempati posisi strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akan tetapi petani sebagai penghasil beras ternyata basibnya belum makmur. Tekanan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani sangat beragam intensitas dan durasinya. Kemiskinan yang dialami oleh rumah tangga petani berpangkal pada

20

terbatasnya pemilikan dan penguasaan lahan, kegagalan panen, mahalnya biaya produksi dan keuntungan yang kecil, serta ketersediaan cadangan subsistesi yang terbatas. Kondisi ketidakpastian dan tekanan hidup yang dialami oleh rumah tangga petani, telah menimbulkan berbagai reaksi dan respon yang dilakukan oleh rumah tangga petani untuk menghadapinya. Untuk mengatasi kebutuhan hidup yang makin kompleks, rumah tangga petani menetapkan strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka, yaitu dengan cara mencari penghasilan tambahan, menghemat pengeluaran, mencari pinjaman (hutang), serta menjalin kehidupan gotong royong dengan tetangga dan kerabat. Manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pangannya. Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset dan sumberdaya produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya. Penghidupan berkelanjutan merupakan: suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup. Ada lima sumberdaya kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu: humane capital, yakni modal yang dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan; Social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang informal; Natural capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya; Physical capital adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya; Financial capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler. Hubungan individu atau rumahtangga terhadap pangan didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi. Ada beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu:

21

direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan; exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian; trade entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri; dan social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial.

Sistem pangan individu, rumahtangga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau rumahtangga dalam menghadapi perubahan. Penyebab kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya). Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti, seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim. Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan system penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Respons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism. Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu dan rumahtangga. 4.1. Strategi Produksi Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Sekitar 40 % penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, serta sebagian besar adalah petani tanaman pangan. Ciriciri petani tanaman pangan ini adalah : 1. Sebagian besar berada di daerah pedesaan Jawa 2. Mempunyai lahan yang sempit dan umumnya kurang dari 0.3 hektar 3. Tingkat pendidikan sangat rendah (umumnya di bawah SLTP) 4. Penguasaan modal sangat terbatas dan umumnya tergolong miskin

22

5. Sangat taat menanam tanaman pangan, dengan elastisitas penawaran terhadap perubahan harganya kurang dari 0.3. 6. Sangat minded terhadap penggunaan pupuk, terutama urea 7. Umumnya menggunakan tenaga kerja keluarga sendiri. 8. Dalam perhitungan usahataninya, tidak memperhitungkan sewa lahan dan tenaga kerja keluarga. Perilaku rumah tangga petani skala kecil ini umumnya bersifat semi komersial yang berperan sebagai produsen, konsumen dan pensuplai tenaga kerja, dimana keputusan dalam usahataninya tidak dapat terpisahkan dengan keputusan aktifitas rumah tangganya. Peran ganda yang dimiliki petani kecil ini, yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen menyebabkan adanya pola pengambilan keputusan yang unik dalam rumah tangga petani. Fenomena seperti ini ditandai oleh adanya alokasi silang penggunaan sumberdaya antara kebutuhan produksi dan kebutuhan konsumsi. Dengan kata lain tidak tampak tegas terpisah antara pengelolaan sektor produksi dengan pengelolaan sektor konsumsi dalam suatu rumah tangga petani. 4.1.1. Intensifikasi Produksi Pangan Intensifikasi merupakan usaha untuk menaikkan hasil pertanian tanpa menambah areal lahan pertanian, caranya antara lain dengan pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi yang baik, mencegah gangguan hama dsb. Intensifikasi pertanian juga dapat dimaknai sebagai usaha peningkatan produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam serta upaya peningkatan keunggulan daya saing dengan penerapan iptek dan sarana produksi yang efisien. Intensifikasi pertanian biasanya mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu: (1) pengembangan sumberdaya pertanian yang meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, dana, informasi, dan kelembagaan; (2) peningkatan produksi pertanian, agroindustri, sistem distribusi dan perdagangan, pengembangan wilayah, peningkatan kehidupan petani, dan optimalisasi investasi pertanian; (3) pengembangan manajemen pembangunan pertanian lintas sektoral dan lintas daerah. Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), adalah kredit untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan, dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan pendapatan petani. Program KUT dan KKP ini dimaksudkan untuk membantu petani yang belum mampu membiayai sendiri usahataninya agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya serta mewujudkan ketahanan pangan. Selain modal, tenaga kerja merupakan faktor penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Kelonggaran kualifikasi tenaga kerja di sektor pertanian memberikan daya serap yang tinggi terhadap tenaga kerja di sektor tersebut

23

dan membentuk karakteristik tertentu yang membedakannya dengan tenaga kerja di sektor perekonomian lainnya. Pada umumnya tenaga kerja di sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengandalkan skill yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri atau orang lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun. Kredit usahatani pada dasarnya merupakan dana bantuan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian dan taraf hidup petani, namun pada kenyataannya sebagian petani tidak dapat mengembalikan kredit sehingga terjadi kredit macet. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan petani untuk mengembalikan kredit. Beberapa faktor penting adalah faktor sumberdaya produksi, faktor karakter petani, dan faktor karakteristik lahan. Pemilikan lahan sempit menjadi kendala utama yang membatasi kemampuan petani untuk dapat mengembalikan kredit. 4.1.2. Diversifikasi Produksi Pangan Indikator diversifikasi pertanian yang lazim digunakan adalah: (1) multiple croppingindex (MCI) yang menunjukkan derajat intensitas tanam, (2) harvest diversity index (HDI) yang merefleksikan derajat diversifikasi pemanfaatan lahan, dan (3) diversity index (DI) yang menunjukkan derajat diversifikasi pendapatan. Semakin tinggi nilai ketiga indikator tersebut, makin tinggi derajat diversifikasi pertanian di tingkat wilayah dan di tingkat usaha tani. Secara umum, diversifikasi pertanian di daerah sentra produksi padi mengalami stagnasi, yang diindikasikan oleh relatif kecilnya perubahan MCI dan HDI selama periode waktu tertentu. Sementara derajat diversifikasi (MCI dan HDI) berjalan lambat, laju diversifikasi pendapatan bahkan menurun, terutama karena adanya perubahan harga relatif masukan dan keluaran komoditas pertanian. Rendahnya derajat diversifikasi biasanya berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu: (1) petani cenderung menanam padi, dan bila air tidak tersedia, lahan akan diberakan, (2) petani padi umumnya tidak memiliki akses informasi teknologi komoditas nonpadi, (3) keterbatasan modal dan ketidakberanian petani menanggung risiko usaha tani, dan 4) di samping aspek teknis dan ekonomi, faktor budaya juga berpengaruh terhadap rendah dan lambatnya implementasi diversifikasi. Pilihan untuk melakukan diversifikasi di lahan sawah ditentukan oleh kombinasi faktor teknis, ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Tingkat diversifikasi usahatani lahan sawah, yang direfleksikan dalam keragaan pola tanam dan ragam komoditas penyusunnya, menunjukkan bahwa tingkat diversifikasi usaha tani di lahan sawah bervariasi menurut lokasi dan tipe irigasi. Pemilihan jenis komoditas dan pola tanam oleh petani dipengaruhi oleh faktor teknis, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Tingginya tingkat pendapatan bukan merupakan satu-satunya penentu pengambilan keputusan. Secara umum usaha tani lahan sawah di desa-desa sentra produksi padi di

24

Jawa pada musim hujan didominasi oleh padi. Diversifikasi usaha tani umumnya dilakukan pada musim kemarau pertama dan/atau kedua. Tingkat pendapatan usaha tani petani yang melakukan diversifikasi lebih tinggi dari petani nondiversifikasi. Pengusahaan komoditas hortikultura memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada palawija, namun pengusahaan tanaman hortikultura membutuhkan modal yang besar dan risiko usahanya lebih tinggi. Pada lahan sawah irigasi teknis, diversifikasi usahatani mempunyai prospek pengembangan yang cukup baik. Secara umum peluang petani untuk memilih pola tanam monokultur padi lebih rendah daripada berdiversifikasi. Dalam berdiversifikasi, kecenderungan untuk memilih komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi lebih tinggi daripada komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Faktor-faktor yang kondusif untuk penerapan pola tanam diversifikasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usaha tani, kemampuan permodalan, peran usaha tani lahan sawah dalam ekonomi rumah tangga, tingkat kelangkaan air irigasi, dan kepemilikan pompa irigasi. Faktor yang tidak kondusif adalah fragmentasi lahan garapan. Pengembangan diversifikasi di lahan sawah harus didukung dengan upaya-upaya: (1) perbaikan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap teknologi usaha tani nonberas, (2) penguatan kapasitas manajemen petani melalui perbaikan pelayanan penyuluhan, khususnya dalam pengembangan komoditas nonberas, (3) perbaikan ketersediaan dan akses terhadap permodalan untuk mendukung pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti hortikultura, (4) pengembangan infrastruktur irigasi pompa untuk mempercepat perkembangan diversifikasi usaha tani, (5) peningkatan produktivitas usaha tani atau mengimplementasikan program stabilisasi harga untuk komoditas yang memiliki risiko tinggi tetapi tingkat profitabilitasnya tinggi, (6) pemberdayaan kelembagaan kelompok tani dan membangun jaringan kerja dengan investor dalam rangka mengatasi masalah permodalan dan pemasaran komoditas alternatif, dan (7) pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan) di tingkat usaha tani, pengolahan dan pemasaran, dan kerja sama dengan pihak terkait dalam rangka peningkatan efisiensi pemasaran dan stabilisasi harga khususnya untuk komoditas palawija dan hortikultura. 4.1.3. Kontinyuitas Produksi Pangan Apabila musim kemarau tiba, petani melakukan pergiliran tanaman. Mulai dengan menanam jagung, menanam kedelai juga kacang panjang, ada juga yang melakukan pola padi, jagung dan tembakau. Pergiliran tanaman difungsikan agar petani tetap produktif bercocok tanam meski pasokan air berkurang, sehingga dilakukan penanaman palawija. Selain itu juga dapat

25

mulai menanam aneka sayuran seperti mentimun, melon, kacang tanah, cabe dan bawang-merah dan lainnya. Pola pergiliran tanaman juga mempunyai fungsi penting yaitu untuk memutus siklus perkembang-biakan hama dan penyakit tanaman, selain itu juga untuk menekan terjadinya erosi dan mencegah terkurasnya unsur hara dari dalam tanah. Pergiliran tanaman diperlukan juga untuk mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah. Jika tanaman yang dipergilirkan adalah tanaman leguminosa (kacangkacangan), maka akan menambah kandungan Nitrogen (N) tanah yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Juga akan menjaga keseimbangan unsur hara karena adanya serapan unsur dari kedalaman yang berbeda. Pergiliran tanaman sangat disarankan agar petani tetap produktif dan terus dapat memetik hasil bercocok tanamnya meski musim kering. Pergiliran tanaman dapat mengatasi kemungkinan panen yang gagal, karena pergiliran tadi dapat memutus siklus hidup hama yang berjangkit pada suatu areal. Penanaman padi pada hamparan sawah diusahakan secara serentak, dengan maksud mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit. 4.1.4. Sustainabilitas Produksi Pangan Pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input). Konsep ini adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal. Pertanian berkelanjutan merupakan suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria (1) keuntungan ekonomi; (2) keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat; dan (3) konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pertanian berkelanjutan merupakan tahapan penting dalam menata ulang struktur agraria dan membangun sistem ekonomi pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi dalam kerangka pembaruan agraria.

26

Pelaksanaan pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan. Konsep Pertanian berkelanjutan berbasis rumahtangga petani, dikembangkan untuk membedakan dengan konsep pertanian organik berorientasi bisnis. Pertanian berkelanjutan merupakan sarana bagi terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga petani.4.2.

Strategi Income Rumah Tangga Petani

Income diversification means an attempt to widen the income base by exploring and adopting new economic opportunities. It can take place at an individual level or at household level, also an enterprise can diversify its portfolio of activities, or diversification of the economy can be a local strategy. Diversification is often a tool for risk management in the absence of insurances or credits. To protect the household against risks (e.g. weather, health, price), all eggs are not put in the same basket. Sometimes this may happen at the cost of losing the potential gains from specialisation but the poor rural households may have no choice. There are both push factors and pull factors driving to diversification. Push factors push the household members to look for new opportunities outside agriculture (or within agriculture). Such factors are e.g. poor harvest, poor prices, deteriorating environment, extra labour, sudden need for extra income, changes is agricultural policy. Pull factors can be e.g. attractive opportunities outside agriculture promising better returns or other rewards (status, access to resources and services .).

27

4.2.1. Diversifikasi Pendapatan On-farm Farm income consisted of crop production for sale and own consumption and livestock income. Crops constituted on average 50-60% of the income and livestock 10-20 %, total 70%. Most valuable crop was horticulture (for sale), followed by maize, cassava and sweet potato (both for sale and home consumption). Major problems were access to inputs and markets, also labour, low prices. Crop income generated most of the incomes, therefore size of cultivated land was the most important income determinant. Small cultivated dryland was attached to a need to look for additional income from forests and piece work (coping). 4.2.2. Diversifikasi Pendapatan Off-farm The farmer participation in off-farm work is influenced positively by higher levels of education and the presence of more than one farm operator associated with the farm operation, as well as by local and regional characteristics such as high local employment rate, low regional unemployment rate and a more diversified regional economy. The family, community and regional characteristics appear more relevant in determining the joint decision to work off-farm and operate a smaller holding, compared to the decision to work off-farm and operate a larger holding. For those farmers who do work off-farm, education increases the number of hours worked off-farm. In addition, a positive influence of wages in off-farm labour participation. Any factors suggest a negative effect on the probability of farmers participation in off-farm work. Some of these factors are: dairy production (dairy production is used as a proxy for labour intensive activities); size of the farm in terms of land area, capital investment and sales (the larger the farm the lower the probability of participation), and hired non-family labour (the operator usually has to be present for supervising farm work). Additionally, increasing the complexity of the business structure apparently increases the value of on-farm work by the operator and decreases the probability of off-farm employment compared to a sole proprietorship; this is particularly evident for corporations.

28

4.2.3. Diversifikasi Pendapatan Non-farmAgriculture is no longer the main source of income for a part of rural families in a certain areas of the Ponorogo Regency. Non-farm activities develop through both salaried employment outside agriculture and nonfarm self-employment activities. The rural population is risk-averse: they prefer working as salaried employees; do not think of changing their job; and yet fear losing the current position. These factors and the volatility of non-farm self-employment activities, which primarily depend on weather conditions, put high priority on policies that support non-farm activities.

In order to increase family income, rural households follow two strategies. First, they increase the number of income sources, primarily from self-employment activities. Second, family members

29

can increase family income if they work in different sectors of the rural economy. Self-employment is mainly represented by work on the household plot, but some of households are engaged in non-farm self-employment activities, such as picking and sale of any rural products. The development of the non-farm rural sector is taking place under distress-push conditions. These conditions push family members to find additional income sources, which are not regarded as a potential for future primary employment but rather as a stopgap. The aim of income diversification is to smooth the flow of income and consequently consumption across time (minimize fluctuations). Therefore diversification should preferably take place across sectors, space and time to reduce income variability, however, many of the nonfarm income sources have been found to be closely linked to agriculture. Link to agriculture can be either upstream or downstream (e.g. providing agricultural labour, processing of agricultural products).

RTP

Model RTPMemaksimumkan Utilitas Konsums i sendiriMarket production

Asset RTP

Opportunities

Non-farm income

Diversifikasi Income RTP

LeisureKetahanan pangan

30

Nonfarm income consisted of forest income, wage employment (piece work) income, business income, and transfers from relatives, about 20-30% of total. Forest income: selling of grass, firewood, charcoal, timber, mushrooms, etc. Wage income: working on other peoples farms. Business income: food handlings, shop keeping, trading, handycrafts, hunting. Transfer: cash and inkind from relatives, food aid, pensions, and others. 4.3. Strategi Diversifikasi Pangan: Makan BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN Makan beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep ketahanan pangan bagi setiap orang dan rumahtangga agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang; sebaliknya pangan yang beragam belum tentu dikonsumsi seimbang antar kelompok pangan dan antar waktu makan dalam memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan rumahtangga. Dalam konteks penganekaragaman konsumsi pangan, gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dilihat sebagai upaya: (1) peningkatan pemenuhan kalori masyarakat per kapita untuk mencapai kondisi ideal, (2) memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat bahwa pangan yang dikonsumsi secara beragam, bergizi seimbang dan aman sangat diperlukan, (3) untuk menumbuhkan dan menanamkan pola makan sehari-hari yang beragam, bergizi seimbang dan aman kepada lingkungan rumahtangga, dan (4) mendorong pengenalan, pengkajian dan pemanfaatan panganpangan lokal non-beras sebagai pangan alternatif yang memiliki nilai gizi dan nilai ekonomi yang cukup baik. Kerangka pikir gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dalam mencapai sasaran yang ditetapkan, dapat diperhatikan pada bagan berikut.

31

32

Adapun langkah-langkah operasional, daerah sasaran dan output yang diharapkan dari gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dapat dilihat pada bagan berikut.

33

V.

SISTEM PRODUKSI PANGAN BERKELANJUTAN

The farming and food industry has three key challenges: to compete successfully with the worlds best; care for the environment; and build public confidence in what it produces. The industry needs to achieve these aims to be sustainable, and for everyone else to see real improvements in the quality of life. Kriteria pertanian berkelanjutan di suatu daerah adalah: 1991) Memenuhi kebutuhan pangan. Meeting the food needs of present and future generations in terms of quantity and quality and the demand for other agricultural products. Menyediakan cukup kesempatan kerja. Providing enough jobs, securing income and creating human living and working conditions for all those engaged in agricultural production. Melestarikan kapasitas produksi. Maintaining, and where possible enhancing, the productive capacity of the natural resources base as a whole and the regenerative capacity of renewable resources, without impairing the function of basic natural cycles and ecological balance, destroying the sociocultural identity of rural communities or contaminating the environment. Ketahanan sektor pertanian. Making the agricultural sector more resilient against adverse natural and socio-economic factors and other risks, and strengthening the self-confidence of rural populations.

(FAO

Sustainable Agriculture = the process of maintaining an agricultural permanence through holistic soil management practices and integrated field crop production . Usahatani berkelanjutan artinya usahatani untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lahan dalam jangka panjang. Para petani yang menggunakan metode berkelanjutan berusaha untuk memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi, bagi rumahtangga dan komunitasnya, disamping menjalankan konservasi air, meningkatkan kesuburan tanah, dan menyimpan benih untuk masa depan.

34

Bahan-bahan pangan dihasilkan dari lahan pertanian, tetapi banyak orang yang tidak punya lahan usaha yang cukup, atau bahkan tidak punya sama sekali, untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Usahatani berkelanjutan, koperasi pemasaran pangan, dan distribusi pangan yang merata dapat membantu mengatasi kesulitan ini. Petani mengembangkan metode usahatani berkelanjutan, lalu mengubah dan menyesuaikan metode ini untuk melayani kebutuhan komunitas dan kondisi lahan usahanya. Usahatani berkelanjutan yang dilakukan di lokasi yang memang sudah dipakai bertani selama beberapa generasi, membantu menyelesaikan masalah-masalah kelaparan, migrasi, kehilangan kesuburan tanah, dan masalah pencemaran air. Metode usahatani yang berkelanjutan tidak hanya menghasilkan bahan makanan, tetapi juga membuat tanah menjadi subur, melindungi pasokan air, mempertahankan benih-benih yang berharga, memelihara keanekaragaman hayati, dan membuat tanah tetap dapat memberi hidup bagi generasi selanjutnya. Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk tanaman pangan, para petani dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit, dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida anorganik. Hal ini akan menghasilkan pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual, biaya memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara, air, tanah, dan tubuh kita.Usahatani berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat karena: 1. mengurangi ancaman kekeringan melalui konservasi air. 2. mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan membangun kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani tanpa bahan agrokimia mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan kimia pada petani, pekerja di lahan pertanian, dan semua orang yang mengkonsumsikan makanan yang diproduksi atau meminum air dari sumber air setempat.

35

3. menurunkan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan pangan bila metode yang berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan membuat pupuk hijau, kompos dan pupuk kandang. Usahatani yang berkelanjutan paling baik dilakukan bila petani belajar menyesuaikan diri dengan kondisi setempat, dan membagi apa yang telah dipelajarinya kepada petani lain. Beberapa panduan umum usahatani berkelanjutan adalah: 1. Tanaman yang sehat membutuhkan tanah yang sehat. Pupuk alami digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan untuk melindungi tanah dari erosi. 2. Menghemat air dan melindungi sumber-sumber air. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk konservasi air tanah. 3. Menyimpan benih dari penanaman setiap musim untuk ditanam dimusim berikutnya. 4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami. 5. Menanam bermacam-macam jenis tanaman. Menanam tanaman campuran dan mengganti lokasi penanamannya setiap tahun.Dengan demikian dapat mempertahankan unsur hara di dalam tanah disamping meningkatkan kesehatan masyarakat dengan memberikan variasi pangan yang dimakan. Selain itu juga mengendalikan hama dan penyakit tanaman. 6. Mula-mula lakukan perubahan kecil. Kebanyakan benih tanaman pangan unggul telah diperbaiki selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh para petani yang mencoba metode-metode baru. 5.1. Sistem Usahatani Terpadu Integrasi Peternakan dengan lahan Pertanian Salah satu upaya untuk mewujudkan pengembangan ekonomi pedesaan adalah dengan cara pembangunan kawasan produksi berbasis komoditas unggulan. Peternakan sapi potong dapat menjadi salah satu komoditas unggulan yang layak dikembangkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Selama ini, sebagian besar pola peternakan sapi potong rakyat masih menggunakan pola tradisional dan belum tersentuh inovasi teknologi tepat guna. Masyarakat masih menganggap ternak sapi hanya sebagai alat bantu dalam pengolahan lahan pertanian. Pertanian organik terpadu berbasis peternakan terbukti sangat menguntungkan. Integrasi ternak dengan lahan pertanian merupakan upaya percepatan pengembangan peternakan dengan penerapan keterpaduan antar komoditas ternak dengan usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang saling menguntungkan berupa limbah usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang digunakan sebagai pakan ternak untuk

36

ternak dan kotoran ternak dalam bentuk kompos yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan lahan pertanian. Kegiatan pertanian terpadu membutuhkan bahan organik dalam jumlah banyak. Dari kegiatan penggemukan sapi potong dapat dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandang dan pupuk cair. Sebagai gambaran, dari 3 ekor sapi dapat dihasilkan kotoran yang dapat dipakai untuk memupuk 5 ha sawah per tahun. Selain itu, dengan teknologi sederhana kotoran ternak dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif menjadi biogas. Pada beberapa peternakan sapi rakyat di Pangalengan pemanfaatan kotoran ternak sudah digunakan sebagai bahan bakar alternatif.

Pertanian terpadu atau integrated farming adalah usaha pertanian dengan kelola bersinambungan, sehingga tidak dikenal limbah sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping dari salah satu sub bidang usaha menjadi bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih terkait. Ilustrasi sederhana adalah usaha budidaya jagung, produk bukan hanya jagung pipilan kering

37

sedangkan biaya pembuangan batangnya dilahan dan dibakar menjadi beban/ cost, tetapi dalam pertanian terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage (pakan ternak ruminansia) atau disimpan sebagai pakan kering, sehingga untuk jumlah yang memenuhi criteria ekonomis justru akan membuka cluster ekonomis baru. Sapi adalah mahluq yang luar biasa, limbah-limbah pertanian seperti jerami, tebon (batang dan daun jagung), tinten (batang dan daun kedelai) serta rerumputan dan hiajauan di sekitar rumah dimakan dirubah menjadi daging dan susu sebagai sumber protein makanan bergizi dan yang tidak kalah penting sapi juga mengasilkan kotoran yang bila diolah akan menjadi pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman, sekaligus memperbaiki ciriciri fisika tanah. Dalam membuat kompos dihasilkan gas methan yang akan mencukupi kebutuhan energi sehari-hari bagi rumah petani. Oleh karena itu seyogyanya peternakan tidak semata untuk menghasilkan daging, susu dan anakan sapi tapi juga sebagai pabrik pupuk kandang tang produktif. Dalam pelaksanaannya yang perlu diperhatikan adalah teknologi pendukung yang memungkinkan pertumbuhan berat sapi maksimal dengan menyertakan teknologi probiotik dan lain-lain, pupuk yang dihasilkan harus berkualitas tinggi dengan didukung teknologi pengomposan dan gas yang dihasilkan dirancang untuk bisa mencukupi standard kebutuhan sehingga hasilnya maksimal dan benar-benar menciptakan keluarga petani yang makmur dan mandiri. 5.2. Mixed Farming System Mixed farming systems can be classified in many ways - based on land size, type of crops and animals, geographical distribution, market orientation, etc. Three major categories, in four different modes of farming, are distinguished here. The categories are: On-farm versus between-farm mixing Mixing within crops and/or animal systems Diversified versus integrated systems. On-farm mixing refers to mixing on the same farm, and between-farm mixing refers to exchanging resources between different farms. On-farm mixing occurs where individual farmers will be keen to recycle the resources they have on their own farm. Between-farm mixing is used to mitigate the waste disposal problems of specialized farming. Crop farmers use dung from animal farms, a process that involves transport and negotiation between farmers and even politicians. Between-farm mixing also occurs at the regional level, animals are raised in one area to be fattened in another area where plenty of grain is available. Manure may be

38

transported from livestock farms to farmers and vegetable cropping areas where manure is in short supply. 5.3. Sustainable Agroforestry Management Penanaman berbagai macam pohon dengan/atau tanpa tanaman semusim pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani di wilayah pedesaan. Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, ada yang bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni, ada pula yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

Sistem agroforestri yang lebih kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan beragam jenis pohon (berbasis pohon), baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola yang menyerupai hutan. Dalam sistem ini, terdapat beraneka jenis pohon, perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman semusim dan rerumputan dalam jumlah banyak. Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian

39

komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utamanya bukanlah semata-mata produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal petani. Agroforestri seringkali menjadi satu-satunya sumber income bagi rumahtangga petani. Agroforestri mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produkproduknya, baik langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan aktivitas pengumpulan hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.

Keunikan sistem agroforestri adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies tanaman saja. Usaha memperoleh produk ekonomi ternyata sejalan dengan fungsi ekologis yang lebih luas. Aneka hasil agroforestri dapat berfungsi sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari sistem agroforestri ini dapat memenuhi

40

kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur, misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lainlain. Selain itu, agroforestri juga dapat membantu memenuhi kebutuhan tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Kelenturan sistem agroforestri juga penting di daerahdaerah dimana akses kredit sangat sulit. Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditinggalkan saja, hingga suatu saat harga produknya baik kembali. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem agroforestri. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditinggalkan akan tetap hidup dalam struktur agroforestri, dan dapat dipanen kembali sewaktu-waktu. Spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada. Valuasi ekonomi pertanian biasanya ditujukan pada jenis tanaman dan pola penanaman monokultur yang teratur rapi. Valuasi ekonomi masih belum banyak dolakukan terhadap nilai pepohonan dan tanaman nonkomersial. Biasanya tidak dimiliki latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak. Sistem agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil dari sebidang lahan pertanian secara berkelanjutan. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya degradasi lingkungan. Kondisi seperti ini merupakan refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam yang optimal oleh sistem agroforestri. Dalam hubungan ini, sistem agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga dan sumberdaya rumahtangga sendiri (internal). Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi, khususnya di daerah pedesaan. Beberapa manfaat ekonomi dan ekologi berikut menjadi acuan dalam pengelolaan sistem agroforestri.

41

1. Penyediaan kebutuhan kecukupan pangan Meningkatkan persediaan pangan yang bersifat tahunan dan musiman; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri. Diversifikasi produk dan meminimumkan risiko gagal panen. Keterjaminan pangan secara berkesinambungan. 2. Penyediaan energi lokal, aneka ragam agrofuels: Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin) 3. Kualitatas dan diversitas produk hasil kehutanan dan pertanian: = Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obatobatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai. = Diversifikasi produk. d. Kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai: = Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik. = Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan. = Memelihara nilai-nilai budaya. e. Pelestarian kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat: = Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan. = Perlindungan keanekaragaman hayati. = Perbaikan tanah melalui fungsi pompa pohon dan perdu, mulsa dan perdu. = Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence). = Pengelolaan sumber air secara lebih baik. 5.4. Pengelolaan Tanaman Secara Terpadu (PTT) Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT),

42

dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. PTT komoditas dapat dirancang berdasarkan pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi yang pernah dikembangkan di Indonesia, hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar lahan telah mengalami kemunduran kesuburan, dan adopsi filosofi Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification) yang semula dikembangkan di Madagaskar. Tujuan penerapan PTT komoditas (misalnya jagung) adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi, interaksi, dinamis, dan partisipatif. Integrasi Dalam implementasinya di lapangan, PTT mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani. Interaksi PTT berlandaskan pada hubungan sinergis atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. Dinamis PTT bersifat dinamis karena selalu mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani. Oleh karena itu, PTT selalu bercirikan spesifik lokasi. Teknologi yang dikembangkan melalui pendekatan PTT senantiasa mempertimbangkan lingkungan fisik, biofisik, iklim, dan kondisi sosialekonomi petani setempat. Partisipatif PTT juga bersifat partisipatif, yang membuka ruang bagi petani untuk memilih, mempraktekkan, dan bahkan memberikan saran kepada penyuluh dan peneliti untuk menyempurnakan PTT, serta menyampaikan pengetahuan yang dimiliki kepada petani yang lain.

1

Dalam menerapkan pengelolaan tanaman secara terpadu ternyata teknologi tepat guna memegang peran sangat penting. Agar komponen teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Participatory Rural Appraisal). Dari hasil PRA dapat teridentifikasi masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi. Untuk memecahkan masalah yang ada dipilih teknologi yang akan diintroduksikan, baik dari komponen teknologi dasar maupun pilihan. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar jika hasil PRA memprioritaskan penerapan komponen teknologi tersebut untuk pemecahan masalah utama di wilayah setempat. Komponen teknologi dasar (compulsory) adalah komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum di wilayah yang luas, antara lain: 1) Varietas unggul, baik dari jenis hibrida maupun komposit atau bersari bebas, 2) Bibit bermutu dan sehat (perlakuan benih), 3) Populasi tanaman sekitar 66.600 tanaman/ha, benih ditanam dua biji per lubang dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 4) Pemupukan berimbang, pupuk N diberikan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman dan menggunakan bagan warna daun (BWD) untuk menentukan waktu dan takaran pemupukan. Pupuk P dan K diberikan berdasarkan hasil analisis tanah,

2

5)

Saluran drainase (lahan kering) atau irigasi (lahan sawah).

Komponen teknologi pilihan yaitu komponen teknologi yang lebih bersifat spesifik lokasi, antara lain: 1) Penyiapan lahan dengan teknologi tanpa olah tanah (TOT) atau teknologi pengolahan tanah, bergantung pada tekstur tanah setempat, 2) Bahan organik, pupuk kandang, dan amelioran, 3) Penyiangan dengan herbisida atau secara manual, 4) Pengendalian hama dan penyakit yang tepat sasaran, 5) Penanganan panen dan pascapanen. MENUJU PENGELOLAAN KEBUN KOPI RAKYAT BERKELANJUTAN Produktivitas perkebunan kopi sekala besar, baik milik swasta maupun pemerintah cenderung terus menurun, demikian pula luas arealnya. Cukup banyak areal perkebunan besar kopi yang kurang terawat, bahkan dikonversi menjadi tanaman lainnya karena mengalami kerugian besar selama beberapa tahun. Di perkebunan kopi rakyat, kondisinya tidak jauh berbeda. Dewasa ini cukup banyak kebun kopi rakyat yang kondisinya makin memprihatinkan akibat minimumnya perawatan. Di beberapa sentra produksi kopi bahkan cukup banyak yang dikonversi ke komoditas lain atau ditumpangsarikan dengan komoditas lain, seperti kakao dengan konsekuensi mengurangi populasi tanaman kopinya. Maksimalisasi biodiversitas kebun kopi merupakan upaya penanaman beberapa jenis tanaman dalam kebun kopi yang saling kompatibel satu sama lain. Sebagai contoh adalah penggunaan penaung produktif seperti pete yang sekaligus dapat digunakan sebagai penyangga tanaman lada. Sebagai penaung juga dapat dipakai pinang yang memiliki nilai ekonomi cukup baik. Selain itu, kopi juga dapat ditumpangsarikan dengan kakao yang membutuhkan kondisi lingkungan yang sama, sehingga di antara kedua jenis tanaman pokok tersebut saling kompatibel. Pemilihan jenis tanaman dan pengaturan tata tanam yang optimal dalam pola tanam tumpangsari tersebut menjadi kunci keberhasilan tumpangsari. Fakta di lapangan membuktikan bahwa petani kopi yang melakukan tumpangsari memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap gejolak harga komoditas. Pola tumpangsari kopi dengan beberapa jenis tanaman lain yang kompatibel sangat menguntungkan ditinjau dari pencegahan degradasi lingkungan fisik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa strata tajuk tanaman dan tingkat kedalaman akar dari beberapa jenis tanaman yang ditumpangsarikan lebih menguntungkan dalam pemanfaatan air maupun hara dari dalam tanah, mitigasi aliran permukaan, erosi dan banjir serta jenis degradasi lahan lainnya. Makin tinggi

3

biodiversitas tanaman di atas permukaan tanah juga menyebabkan makin tingginya biodiversitas di bawah permukaan tanah dan makin baiknya kesehatan tanah. 5.5. Sustainable Soil-Water Management Sustainable soil management (SSM) must take a multidisciplinary approach. It is not limited only to soil science. Basically, we can consider three aspects of this management system: Bio-physical aspects: Sustainable soil management must maintain and improve the physical and biological soil conditions for plant production and biodiversity. Socio-cultural aspects: Sustainable soil management must satisfy the needs of human beings in a soci