Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan ... · ekstrovet dan konsep diri juga...
Transcript of Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan ... · ekstrovet dan konsep diri juga...
STRATEGI COPING KELUARGA YANG TERKENA MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SITI MARYAM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
2
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Strategi
coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya
sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar Doktor pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
Siti Maryam
NRP. A561020
3
ABSTRAK
SITI MARYAM . Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Bawah Bimbingan : DADANG SUKANDAR (KETUA), SUPRIHATIN GUHARDJA (ANGGOTA), PANG S. ASNGARI (ANGGOTA), DAN EUIS SUNARTI (ANGGOTA)
Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, dan (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga, (2) Mengidentifikasi sumberdaya coping yang dimiliki oleh keluarga, (3) Mengidentifikasi tingkat stres, (4) Mengidentifikasi strategi coping, (5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga, (6) Menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, strategi coping dan keberfungsian keluarga antar tipologi keluarga, (7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping, dan (8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga Disain penelitian ini adalah cross-sectional dan retrospective study. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraksa dengan pertimbangan kedua kecamatan di Kota Banda Aceh tersebut terkena musibah gempa dan tsunami terparah pada tanggal 26 Desember 2004, pengumpulan data berlangsung mulai bulan Mei sampai Juli 2006.
Populasi penelitian ini adalah keluarga yang wilayahnya terkena masalah gempa dan tsunami yang berada pada dua kecamatan tersebut di atas. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional (stratified random sampling). Lapis pertama adalah keluarga utuh, kedua keluarga duda dan ketiga keluarga janda. Total contoh yang diambil sejumlah 138 contoh. Data primer meliputi: (1) Masalah-masalah yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami, (2) Sumberdaya coping yang mencakup karakteristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga, pengeluaran, pendapatan, dan aset), ciri-ciri pribadi (umur, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial, (3) Strategi coping (coping berpusat pada masalah dan coping berpusat pada emosi), (4) Tingkat stres, dan (5) Keberfungsian keluarga. Data skunder meliputi propil Kecamatan dan daftar bantuan sosial. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS 10.1 dan program SAS. Analisis data yang digunakan adalah statistik dasar (elementary statistic analysis) dan regresi linear berganda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang masih dialami keluarga 1,5 tahun pasca tsunami antara lain: tidak adanya pangan hewani untuk dikonsumsi setiap hari, kesulitan dalam membayar obat-obatan, ketidakmampuan keluarga menyediakan fasilitas untuk keperluan belajar anak di rumah, tempat tinggal/rumah untuk tempat berlingdung anggota keluarga tidak memadai terutama bagi keluarga utuh, tidak memiliki cukup pakaian untuk aktivitas yang berbeda serta penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Sumberdaya coping yang dimiliki keluarga yakni: (1) karakteristik sosial ekonomi meliputi: jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang, 1.5 tahun pasca tsunami masih ada 15,2% kepala keluarga belum kembali bekerja. Rata-rata
4
pengeluaran keluarga perkapita untuk pangan dan non pangan masing-masing Rp 287.000 dan Rp 260.000 (52% dan 48%) dari total pendapatan. Rata-rata nilai aset yang dimiliki keluarga adalah Rp 20.442.237; (2) ciri-ciri pribadi kepala keluarga meliputi: umur rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan umumnya SLTA/sederajat. Tingkat kesehatan selama enam bulan terakhir sebagian besar (87%) cukup baik. Kepribadian kepala keluarga sebagian besar (87%) adalah ekstrovet dan konsep diri juga sebagian besar (93.5%) tergolong positif; dan (3) sebagian besar keluarga (86.2%) menerima dukungan sosial dari berbagai pihak.
Setahun pasca gempa dan tsunami, tingkat stres kepala keluarga dengan pendekatan metode Family Inventory of Life sebagian besar (88,4%) termasuk stres minor. Jika menggunakan metode Holmes dan Rahe, masih ada 44.9% kepala keluarga yang mengalami tingkat stres dengan katagori sedang. Pendekatan dengan menggunakan metode Holmes dan Rahe lebih tepat digunakan karena mampu mengungkap tingkat stres yang dialami saat ini yang diakibatkan oleh peristiwa setahun yang lalu.
Strategi coping yang dilakukan kepala keluarga pasca gempa dan tsunami adalah strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi. Namun demikian, strategi coping yang dilakukan oleh kepala keluarga belum maksimal, baik strategi coping berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada emosi masing-masing hanya 44,2% dan 19.1% yang termasuk katagori tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada masalah adalah masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial dan tipologi keluarga. Dan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada emosi adalah kepribadian, umur kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan dukungan sosial. Tingginya tingkat stres kognitif yang dilami kepala keluarga mengakibatkan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi sehingga upaya penyelesaian masalah menjadi rendah. Keluarga single perent lebih rendah melakukan strategi coping berfokus pada masalah dibandingkan keluarga utuh. Namun demikian, semakin tinggi masalah kesehatan yang dialami keluarga, maka upaya penyelesaian masalah melalui strategi coping berfokus masalah semakin tinggi. Begitu juga dengan kepribadian yang ekstrovet, umur yang semakin tua, jumlah anggota keluarga yang besar maka penyelesaian masalah melalui strategi coping berfokus pada emosi juga semakin baik.
Dalam hal keberfungsian keluarga, masih terdapat keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal, baik fungsi ekspresif maupun intrumental. Hal ini terbukti masih ada 37.7% keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsi intrumental untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, dan 8,7% keluarga tidak dapat melakukan fungsi ekspresif dengan baik. Fungsi ekspresif jauh lebih berfungsi dibandingkan dengan fungsi intrumental.
Pendidikan kepala keluarga dan konsep diri yang positif mengakibatkan fungsi ekspresif yang dilakukan semakin baik. Akan tetapi semakin tinggi masalah rumah yang dihadapi kepala keluarga, maka fungsi ekspresif yang dilakukan semakin rendah. Tingginya masalah pendidikan dan masalah pakaian yang dilami keluarga dan berbagai upaya penyelesaian masalah dilakukan, baik melalui pendekatan analitis atau yang mengandung resiko serta mencari berbagai dukungan sosial mengakibatkan fungsi instrumental yang dilakukan kepala keluarga semakin baik.
Kata Kunci : strategi coping, gempa dan tsunami, tingkat stres, sumberdaya coping, keberfungsian keluarga
5
ABSTRACT
SITI MARYAM . The Coping Strategies of Families after Earthquake and Tsunami Disaster in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under supervision of DADANG SUKANDAR, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, EUIS SUNARTI
In the end of December 2004, earthquake and tsunami disaster attacked
Nanggroe Aceh Darussalam Province and North Sumatera. The disaster caused : (a) great number of huge human victims; (b) the paralyzed of basic services; (c) basic infra structure disfunction; as well as (d) the destroy of social and economic system. The objectives of this research is to analyze the coping strategies of families after earthquake and tsunami disaster in Nanggroe Aceh Darussalam province. This research used cross-sectional design study, it’s was performed since May 2006 in Kuta Alam and Meuraxa sub districts. Number of samples were 138 families, which consist of 103 intact families, 20 widower families and 15 widow families. Sampling technique used proportional random sampling. Then, data was taken by using questionnaire. The stress level of families by using Family Live Inventory method indicated that most of families after the disaster belonged to minor stress, whereas the level stress with Holmes and Rahe method showed families belonged to moderate stress. Meanwhile, both coping problem-based strategy (44.2%) and emotion-based strategy (18.1%) of families were belonged into high level. Most of families are categorized into high category for expressive and instrumental. The significant variables which influenced the family’s expressive function were personality, widower typologi, seeking social support, planful problem solving and widows typology. Meanwhile, the variables influenced significantly on family’s instrumental function were health problem, housing problem, educational problems, plantful problem solving, self controlling, family size, social support. Key Words: coping strategies, family, earthquake and tsunami disaster
6
@ Hak Cipta miliki IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
STRATEGI COPING KELUARGA YANG TERKENA MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SITI MARYAM
Sebagai salah satu syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
8
Judul Disertasi : Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa
dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nama : Siti Maryam NRP : A 561020031 Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS Ketua Anggota Prof. Dr. Pang S. Asngari Dr. Ir. Euis Sunarti, MS
Anggota Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Dan Sumberdaya Keluarga
Prof. Dr. Ali Khomsan, MSc Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS Lulus Ujian : 22 Agustus 2007 Tanggal Lulus :
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang
Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan
Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang
cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur
dasar, serta (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar
pada kondisi psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti
pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, serta kurang berfungsinya
pemerintahan disebabkan oleh hancurnya sarana dan prasarana dasar dan
berkurangnya sumberdaya manusia aparatur. Kegiatan produksi termasuk
perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan memerlukan
pemulihan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami
gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi bencana dapat
segera diakses. Sistem sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat
memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan
tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak
yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian
mencapai 44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi,
sosial (perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama)
sebesar $1.657 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan
sanitasi, saluran irigasi) $877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan
pertambangan) $1.182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan
keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai
sektor diperkirakan sebesar US$ 4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun.
Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan
masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan
pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum
terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat
kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi
pasti jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002)
dan 1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya
10
gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65%
dari penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa.
Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang
Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama:
tahap tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan
restorasi fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan
dalam 6-20 bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan
dalam 1.5-2 tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun.
Sasaran dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a)
pembangunan dapur umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan
korban meninggal, dan (d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran
dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a)
pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c)
pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan
hukum dan ketertiban umum, dan (e) pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran
dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan
ekonomi melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan
kembali sistem ekonomi, (c) pembangunan kembali sistem infrastruktur regional
dan lokal, (d) revitalisasi sistem sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali
sistem kelembagaan, dan (f) pembangunan sistem peringatan dini untuk
meminimalisir dampak bencana. (BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2005-2009).
Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap
budaya masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan
keyakinan agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah
tamah, kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya
ditinggalkan. Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah
kemajuan menjadi indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki
ketinggalan budaya yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari
masyarakat lain (Kurdi, 2005). Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang
secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai
permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali,
membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di
masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian
11
yang penting, bahkan terpenting dalam pembangunan masyarakat dan keluarga
(Hikmat, 2001).
Masalah Penelitian
Tingginya angka kemiskinan di Aceh mempunyai korelasi positif terhadap
angka pengangguran. BKKBN Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 mencatat
300.000 jiwa menganggur, tahun 2002 sekitar 48.8 persen (1.073.600 jiwa) dari
2,2 juta angkatan kerja menganggur. Tentunya angka pengangguran di Aceh akan
bertambah pasca tsunami mengingat banyaknya masyarakat yang kehilangan
mata pencaharian terutama yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang yang
tempat tinggalnya dekat dengan pantai (coastal zone). Kehilangan pekerjaan
berarti tidak memiliki pendapatan dan akan berdampak langsung terhadap
kehidupan keluarga dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.
Kehilangan pekerjaan seperti nelayan dan petani tambak merupakan
masalah besar, nelayan tidak dapat ke laut karena perahu dan peralatan melaut
hancur dan hilang tanpa bekas, petani tambak juga merasakan bahwa tambaknya
rata seperti laut tanpa ada pembatas satu dengan lainnya. Hal yang sama juga
dirasakan oleh orang-orang yang profesinya sebagai pedagang, toko dan barang
dagangannya hancur berantakan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup
sehari-hari pemerintah dan LSM memberikan bantuan berupa bahan makanan,
pakaian, sarana kesehatan dan lain sebagainya serta uang yang jumlahnya Rp
90.000/orang/bulan. Selain itu pemerintah dan LSM juga membantu menata
kembali perekonomian masyarakat Aceh, mulai dari memberikan bantuan perahu,
menata kembali tambak yang berantakan dan memberikan pinjaman modal usaha
dengan tujuan supaya masyarakat dapat bekerja kembali sehingga perekonomian
mayarakat Aceh secara keseluruhan cepat stabil.
Dalam bidang pendidikan kerusakan yang terjadi adalah untuk tingkat
SD/MI 27 persen, SLTP/MTs 31 persen, dan SLTA/MA 38 persen. Jumlah
pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal/hilang sebanyak 1.400 orang,
peserta didik dan mahasiswa yang meninggal/hilang sebanyak 40.900 orang.
Rusak/hilangnya berbagai sarana dan prasarana tersebut membuat pendidikan di
Aceh pasca tsunami menjadi menurun. Jumlah guru yang minim, kurangnya
fasilitas prasarana dan sarana pendidikan, menjadi faktor penyebab turunnya
kualitas pendidikan di Aceh. Tidak dipungkiri kalau hilang/meninggalnya guru-guru
12
yang merupakan asset human resource di sekolah atau perguruan tinggi tertentu
juga menjadi pemicu semakin turunnya pendidikan di Aceh. Pemerintah telah
mengirimkan beberapa tenaga pendidik dari luar daerah untuk Aceh mengisi
kekosongan guru sehingga tidak ada alasan adanya proses pembelajaran yang
terhenti. Untuk saat ini, Aceh membutuhkan 12.000 guru tambahan yang akan
ditempatkan di seluruh kabupaten/kota. Kekurangan ini diharapkan bisa teratasi
apabila adanya perekrutan yang baru sekitar 5.000 orang.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), ketika
terjadi gempa dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, rumah sakit
yang rusak dan hancur 8 buah dan puskesmas 232 buah dan banyaknya tenaga
medis yang meninggal dan hilang yang menyebabkan pelayanan kesehatan
menurun. Untuk membantu pelayanan kesehatan masyarakat Menteri Kesehatan
telah mengirim 761 tenaga kesehatan (110 orang dokter PTT, 79 bidan desa, 110
sarjana kesehatan masyarakat, 48 ahli gizi, 55 ahli kesehatan lingkungan, 330
perawat dan 29 tenaga farmasi. Semua petugas kesehatan ini diharapkan bisa
memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan masyarakat pasca gempa dan
tsunami.
Masalah perumahan/tempat tinggal menjadi persoalan tersendiri yang
penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk sementara seluruh
pengungsi ditempatkan di barak-barak yang disediakan oleh pemerintah walaupun
dengan kondisi yang tidak memadai. Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani
Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari
musibah gempa dan tsunami ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, di tiap
kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar, posko-posko tersebut menampung
sebanyak 300-500 orang, ada juga yang menampung 1000 - 4000 pengungsi.
Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka akan pindah ke tempat lain
pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban
bencana juga ada yang menumpang di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.
Banyaknya permasalahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami seperti
yang telah disebutkan di atas akan berdampak terhadap kehidupan keluarga.
Kehidupan keluarga yang semula berjalan normal tiba-tiba terganggu dengan
berbagai persoalan seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan
terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah,
kehilangan aset dan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta
hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai. Semua permasalah ini terjadi
13
secara tiba-tiba dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat
keluarga menjadi kebingungan dan stres.
Untuk mengatasi stres yang dialami keluarga pasca gempa dan tsunami,
setiap keluarga dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Dengan demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi
yang memadai yang disebut strategi “coping”. Hal tersebut didukung oleh
Friedman (1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon
perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau
mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga
diharapkan mampu berperan dalam menyelesaikan masalah melalui strategi
coping yang efektif. Apabila keluarga mampu melakukan “coping” dengan baik,
akan berdampak positif terhadap keberfungsian keluarga. Sebagaimana
dinyatakan oleh Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga, kita harus
kembali pada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai
fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan, walaupun fungsi-fungsi tersebut
sangat beragam. Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini adalah :
(1) Masalah-masalah apa saja yang dihadapi keluarga pasca gempa tsunami ?
(2) Bagaimanakah tingkat stres yang dialami keluarga ?
(3) Sumberdaya coping apa saja yang dimiliki oleh keluarga ?
(4) Bagaimanakah strategi coping keluarga ?
(5) Bagaimanakah keberfungsian keluarga ?
(6) Apakah ada perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping,
strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga ?
(7) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi coping ?
(8) Bagaimana pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi
coping terhadap keberfungsian keluarga ?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi coping
keluarga yang terkena musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
14
Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga
(2) Mengidentifikasi tingkat stres yang dialami keluarga
(3) Mengidentifikasi sumberdaya coping keluarga
(4) Mengidentifikasi strategi coping keluarga
(5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga
(6) Untuk menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya
coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi
keluarga
(7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga
(8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi
coping terhadap keberfungsian keluarga
Manfaat Penelitian
Hasil penelian diharapkan dapat :
(1) Menyediakan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah baik ditingkat
daerah maupun ditingkat pusat dalam hal penanggulangan korban bencana
(2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam
memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat
dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara lebih mandiri, dengan
cara melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan
bencana
(3) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang teori dan konsep ilmu
keluarga, terutama dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana
alam.
(4) Sebagai bahan masukan bagi penelitian berikut yang relevan.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Keberfungsian Keluarga
Definisi Keluarga
Definisi keluarga menurut Mattesssich da Hill (Zetlin et al., 1995) adalah
suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan
hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu
hubungan intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk
beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan
memelihara tugas-tugas keluarga. Para ahli keluarga seperti Gelles (1995); Vosler
(1996); Day et al. (1995) dan UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10,
mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat
yang merupakan landasan dari semua institusi, yang merupakan kelompok primer
yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi
interpersonal, hubungan darah, hubungan darah dan adopsi.
Menurut BKKBN (1997), keluarga yang sejahtera diartikan sebagai
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar
anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang meliputi pendidikan, agama, kesehatan
dan lain sebagainya.
Ruang Lingkup Ilmu Keluarga
Ilmu keluarga secara ontologi membatasi lingkup penelaahan keilmuannya
pada jangkauan fenomena serta interpretasi atau penafsiran hakekat realitas dari
objek kegiatan organisasi kehidupan yang paling primer yang disebut keluarga.
Objek formal dari ilmu keluarga adalah (1) terjadinya/terbentuknya keluarga
(perkawinan); (2) memelihara keluarga (mengusahakan makanan, pakaian,
perumahan, pendidikan/pengasuhan, kesehatan, dan lain-lain); (3) meningkatkan
mutu/kualitas keluarga dan anggota-anggotanya (interaksi antar anggota dalam
keluarga, keluarga dengan keluarga lain dan masyarakat luas); (4) tingkat
16
kehidupan yang dicapai, kualitas individu-individu yang akan terjun ke masyarakat
luas dan/atau membentuk keluarga-keluarga baru (produk yang dihasilkan).
Dilihat dari segi epistemologi tampak bahwa ilmu keluarga dalam
memperoleh, menilai dan memahami fenomena serta realitas dari fenomena
obyek formalnya (misalnya, pola asuh anak dalam keluarga, interaksi antar
anggota dalam keluarga yang berakibat keharmonisan atau konflik, perilaku
keluarga pada setiap perubahan strukturnya) menerapkan metode-metode ilmiah
secara konsisten, sehingga dicapai hasil yang obyektif, rasional, logis, empiris,
pragmatis dan transparan. Secara aksiologi, ilmu keluarga merupakan alat untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seutuhnya dalam konteks kehidupan
keluarga dan interaksinya dengan lingkungan. Biasanya kajian dalam ilmu
keluarga akan berkaitan dengan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, hukum, bisnis
dan biologi/ekologi.
Landasan Teori (Struktural Fungsional)
Para sosiolog ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons
mengemukakan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan
keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomudasi dalam fungsi yang sesuai
dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi, 1999).
Newman dan Grauerholz (2002) mengatakan bahwa pendekatan teori struktural
fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran keluarga agar dapat
berfungsi dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Macionis
(1995) mengatakan pendekatan teori struktural fungsional juga menganalisis
adanya penyimpangan, misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma,
kemudian memperhitungkan seberapa besar penyimpangan dapat berkontribusi
pada stabilitas atau perubahan sosial.
Menurut Megawangi (1999), konsep teori struktural fungsional antara lain:
(1) Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai
peran dan konstribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan
(2) Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam
sebuah sistem (Interdepedensi)
(3) Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui konsensus
daripada konflik
17
(4) Untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan atau integrasi antar
subsistem, elemen atau individu
(5) Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara
evolusioner.
Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis,
berkelanjutan, dan senantiasa menuju kepada suatu keseimbangan, konsep dari
keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu
kemampuan untuk menjaga stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga
(Winton, 1995). Teori struktural fungsional menjadi keharusan yang harus ada
agar keseimbangan sistem tercapai baik pada tingkat masyarakat maupun pada
tingkat keluarga. Adanya struktur atau strata dalam keluarga dimana masing-
masing individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Menurut Megawangi
(1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu :
(1) Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya mencakup tiga struktur
utama, yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumahtangga), dan
anak-anak (balita, sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar
individu dengan status sosial berbeda.
(2) Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu menurut
status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran
instrumental (oleh suami/bapak) dan eksprensif (oleh istri/ibu) dalam keluarga
akan membuat keluarga tidak seimbang.
(3) Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan
sosialnya. Norma sosial berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang
merupakan bagian dari kebudayaan. Setiap keluarga dapat mempunyai norma
sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal
pembagian tugas dalam rumahtangga, yang merupakan bagian dari struktur
keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarga.
Fungsi Keluarga
Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah dalam
setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas,
fungsi tersebut terpolakan dalam sebuah struktur hirarkis yang harmonis, dan
komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah
18
sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga
sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem.
Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar
sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan,
integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga
(Megawangi, 1999). Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama
keluarga adalah “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan
dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”
(Megawangi, 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu
peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran
dimana sistem sosial dibangun.
Di Indonesia, PP Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut BKKBN (1997), fungsi keluarga
secara umum diarahkan sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh
anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan
agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka
ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orang tua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir
dan batin.
(4) Fungsi Melindungi, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan
kehangatan
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan takwa.
19
(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk
mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupan di masa depan.
(7) Fungsi Ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.
Menurut Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga kita harus
kembali kepada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai
fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan walaupun fungsi-fungsi tersebut
sangat beragam. Kesuksesan keluarga dapat dipandang sangat berfungsi dan
tidak sukses atau disfungsi. Keluarga yang mengalami stres berisiko mengalami
disfungsi kecuali mereka dapat memperoleh dukungan untuk berfungsi dengan
baik. Fungsi keluarga ada lima, yakni :
(1) Reproduksi. Keluarga menjamin bahwa populasi masyarakat akan stabil,
sehingga sejumlah anak akan terlahir dan dirawat untuk menggantikan
mereka yang telah meninggal
(2) Sosialisasi/Pendidikan. Keluarga menjamin bahwa nilai-nilai masyarakat,
kepercayaan, sikap, pengetahuan, keahlian dan teknologi akan ditransfer
kepada yang lebih muda
(3) Peran Sosial. Keluarga memberikan identitas bagi keturunannya (ras, etnis,
agama, sosial ekonomi dan peran gender). Sebuah identitas mencakup
perilaku dan kewajiban.
(4) Dukungan Ekonomi. Keluarga memberikan tempat berlindung, memelihara
dan melindungi. Pada beberapa keluarga, semua anggota keluarga kecuali
anak yang masih kecil memberikan kontribusi terhadap fungsi ekonomi melalui
produksi barang. Pada keluarga lainnya, salah satu atau kedua orang tua
membayar barang yang dibeli oleh semua anggota keluarga sebagai
konsumen
(5) Dukungan Emosional. Keluarga memberikan pengalaman pertama pada anak
dalam melakukan interaksi sosial. Interaksi ini dapat mengakrabkan,
mengasuh dan sekaligus memberikan jaminan emosional bagi anak, dan
perawatan keluarga bagi anggotanya ketika mereka sakit, luka dan tua.
20
Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian
anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya
orang tua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan kelu-
arga adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1) Pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan
tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus
dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan
merupakan sumber ekspresi bagi individu. Pangan yang cukup diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan gizi, sehingga mampu melaksanakan segala
aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga
(2) Perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar
dari anggota keluarga, maka kesempataan berkembang yang lebih luas dapat
dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan
mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual
dan aspek sosial dari kehidupan mereka
Rice dan Tucker (1986) membagi fungsi keluarga menjadi dua fungsi
utama, yakni fungsi instrumental seperti memberikan nafkah dan memenuhi
kebutuhan biologis dan fisik kepada para anggota keluarga. Fungsi kedua adalah
fungsi ekspresif yaitu memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan emosi serta
pemenuhan kebutuhan psikologis seperti kasih sayang, kehangatan, aktualisasi
dan pengembangan diri anak.
Parsons dan Bales (Megawangi, 1999) menyatakan bahwa peran orang
tua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh
suami atau bapak dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang
oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran pencari nafkah
untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga. Peran ini lebih
memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam
keluarga inti suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini
agar tujuan secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah
peran memberi dan menerima, mencintai dan dicintai, kelembutan dan kasih
sayang. Peran ini bertujuan untuk dapat mengintegrasikan atau mencip- takan
suasana harmonis dalam keluarga serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi
karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar
21
keluarga. Suami diharapkan berada di luar rumah untuk mencari nafkah, istri
biasanya tinggal di rumah, maka istri diharapkan berperan memberikan
kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.
Keseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif dalam keluarga perlu
dijaga dan dipertahankan.
Parsons dan Bales (Nye & Berardon, 1967) mengemukakan bahwa kajian
tentang hubungan internal dalam sebuah keluarga berfokus pada pembagian
tugas dalam keluarga secara seksual, yakni antara fungsi ekspresif dan
instrumental. Pembedaan fungsi sebenarnya bukan hanya terkait dengan jenis
kelamin, tetapi juga dengan proses interaksi dalam pengambilan keputusan.
Proses interaksi ini menyebabkan spesialisasi dua jenis aktivitas yang berbeda,
yakni ekspresif dan instrumental.
Fungsi instrumental secara primer berkaitan dengan hubungan keluarga
dengan situasi eksternal dan penetapan hubungan keluarga. Menurut Slater
(1974), keterkaitan fungsi ini dengan proses atau upaya adaptasi keluarga dengan
situasi eksternal menyebabkan penyebutan fungsi ini menjadi fungsi instrumental-
adaptif. Fungsi atau aktivitas ini menjadi peran utama dari ayah atau suami, dan
salah satu aspeknya adalah pencari nafkah (breadwinner).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ini dengan fungsi kontrol, yang
didasarkan pada penerapan otoritas dan tanggung jawab orangtua terhadap
kesejahteraan anaknya. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari
proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap
yang dianggap baik dan penting bagi anak untuk adaptasi (child adjustment)
dengan lingkungan eksternal. Berdasarkan penjelasan Winch, maka fungsi dan
aktivitas instrumental-adaptif ini lebih luas. Ayah bukan saja dominan sebagai
pencari nafkah, tetapi juga sebagai agen utama sosialisasi ini, perilaku, sikap, dan
norma sosial.
Fungsi ekspresif dikaitkan terutama dengan solidaritas keluarga, hubungan
internal antar anggota keluarga, dan pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional
anggota keluarga. Ibu atau istri dianggap paling dominan dalam melaksanakan
fungsi ini, karena itu dia dianggap menjadi simbol integratif keluarga. Penekanan
fungsi ini pada masalah integrasi keluarga menyebabkan ia disebut juga fungsi
ekspresif-integratif (Slater, 1974).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ekspresif dengan fungsi peng-
asuhan (nurturance). Fungsi ini secara sempit diartikan sebagai kegiatan atau
22
penanganan aspek pemeliharaan (maintenance) anak sehari-hari seperti makan,
memandikan, dan mengenakan baju. Dalam pengertian yang lebih luas
pengasuhan diartikan sebagai proses psikologis pemenuhan kebutuhan
emosional-afeksional anak melalui ucapan (termasuk bercerita, menyanyi), tinda-
kan, dan sentuhan fisik. Kegiatan ini sering dikaitkan dengan istilah penyediaan
kehangatan untuk anak.
Benson (Bigner, 1979) mengemukakan bahwa ibu yang baik juga melak-
sanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi instrumental, ayah yang baik
melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu yang bersifat ekspresif. Parke (1996)
menjelaskan bahwa akhir-akhir ini fatherhood ideology dalam parenting semakin
fenomenal. Ini menandai bangkitnya sebuah era yang mengakui pentingnya
parenting yang dilakukan oleh ayah. Kecenderungan ini harus dipahami tidak
dalam konteks pergantian fungsi (role replacement). Ayah tetap dianggap sebagai
pelaku utama dari fungsi instrumental, yang dalam momen-momen tertentu dia
juga bisa terlibat dalam fungsi ekspresif.
Dari beberapa fungsi keluarga yang telah dikemukakan di atas ada
beberapa persamaan antara fungsi keluarga yang dikemukaan oleh BKKBN
(1997), Berns (1997), Guhardja et al. (1989) dan Rice dan Tucker (1986) yaitu :
(1) sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang
selanjutnya melestarikan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2)
memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya
mulai dari sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan serta
kebutuhan emosional lainnya, dan (3) memberikan peran sosial dan keagamaan
dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan
norma-norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua
dalam keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan
Yang Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi keluarga yang telah disebutkan di atas terletak
pada peran orang tua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Rice dan
Tucker (1986) membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi
instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah
dan fungsi ekspresif diperankan oleh ibu. BKKBN (1997), Berns (1997), Guhardja
et al. (1989) tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga ke dalam
peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Dalam penelitian ini, fungsi keluarga yang digunakan adalah yang
23
dikemukakan oleh Rice dan Tucker (1986) dengan alasan peneliti ingin melihat
apakah kedua fungsi keluarga yaitu instrumental yang diperankan oleh ayah dan
ekspresif yang diperankan oleh ibu telah dapat dijalankan dengan baik pasca
terjadinya gempa dan tsunami.
Stres
Pengertian Stres
Pengertian stres (cekaman), menurut Haber dan Runyon (1984), adalah
konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya
dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman (1984) memberikan pengertian stres
adalah keadaan atau situasi yang rumit dan dinilai sebagai keadaan yang
menekan dan membahayakan individu serta telah melampui sumber daya yang
dimiliki individu untuk mengatasinya
Selye (1982) yang dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah stres,
mendefinisikan stres sebagai respon umum dan tidak spesifik terhadap setiap
tuntutan fisik maupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari
dalam diri (internal). Robins (2001) mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi
dinamik, dalam hal ini seorang individu dihadapkan dengan sebuah peluang yang
dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya. Stres tidak hanya mempunyai
nilai negatif, tetapi juga positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu
menawarkan perolehan yang potensial. Stres juga sebagai kendala jika dapat
menghambat seseorang mengerjakan apa yang diinginkannya.
Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy (Sarafino, 2002),
mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai suatu respon dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres
sebagai stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang
dapat mengancam atau berbahaya, sehingga menimbulkan ketegangan dan
perasaan tidak nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres
merupakan reaksi/respon individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan.
Stres sebagai suatu proses terjadi karena adanya interaksi antara individu dan
lingkungan.
Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres akut
(acute stres) dan stres kronis (chronic stres). Stres akut, yang berjangka waktu
tidak lama (short-item), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara
24
umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight).
Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah
sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada umumnya
meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya, infeksi, dan
membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang berbahaya.
Orang yang sering mengalami berbagai situasi yang sifatnya mencekam
secara terus menerus dalam waktu yang lama akan mendorong untuk bertindak
maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa
yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka
panjang, kesepian, dan kekhawatiran akan finansial karena kepala rumahtangga
sebagai pencari nafkah menjadi korban bencana. Ini banyak dialami oleh para
pengungsi, seperti di tempat penampungan atau barak-barak dalam jangka waktu
lama. Mereka berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya
di masa mendatang.
Sumber Stres
Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989), sumber
stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
(1) Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor). Kejadian yang dapat
menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh banyak
orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai, tsunami).
(2) Sumber stres dari pribadi (personal stressor). Perubahan yang terjadi dalam
kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres, misalnya:
pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau kehilangan
pekerjaan.
(3) Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa
ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan
gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi masalah
yang mengganggu dan menekan emosional, contohnya: lingkungan
rumah/kerja yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan sebagainya.
Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:
(1) Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang
disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres biologis
dapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.
25
(2) Sumber stres bersifat psikososial. Menurut Atwater (1983) stres psikologis
dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stres yang
bersifat psikososial yaitu :
(a) Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari
dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang tidak
berlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk dapat
berbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat merugikan
individu atau membuatnya tidak berdaya.
(b) Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau
tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula diakibatkan oleh
tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.
(c) Konflik. Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan
dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.
(d) Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman.
Dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuk
lebih menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan
dapat memperburuk perilaku individu.
Gejala Stres
Gejala stres mencakup gejala psikis, fisik dan perilaku, misalnya gejala
psikis kelelahan mental, diikuti gejala fisik seperti gangguan kulit, dan perubahan
perilaku yaitu penurunan kualitas hubungan interpersonal. Menurut Cox dan
Ferguson (1991), stres berkembang secara bertahap, tetapi gejala-gejalanya
dapat dikenali sejak dini. Tanda-tanda stres dapat dilihat dari beberapa aspek:
Kognitif:
(1) Ketidakmampuan untuk menghentikan berpikir tentang bencana.
(2) Kehilangan objektivitas
(3) Ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau mengekspresikan dirinya
baik secara verbal maupun tulisan
Fisik:
(1) Overwhelming/kelelahan kronik/gangguan tidur
(2) Gangguan pencernaan, sakit kepala, dan keluhan lainnya
(3) Adanya masalah makan, misalnya nafsu makan bertambah atau hilangnya
selera makan
26
Afektif:
(1) Timbul keinginan bunuh diri, depresi berat
(2) Mudah marah
(3) Sinisme dan atau pesimisme yang berlebihan
(4) Kekhawatiran yang berlebihan mengenai korban dan keluarganya
(5) Merasa cemburu melihat pihak lain yang sedang menangani korban
(6) Merasa ada tekanan/paksaan
(7) Adanya keresahan yang signifikan setelah mendapatkan penanganan
Tingkah laku:
(1) Mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat
(2) Menarik diri dari hubungan dengan teman, rekan kerja, dan keluarga.
(3) Bertingkah laku sesuka hatinya.
(4) Merasa tidak perlu untuk melakukan hubungan dengan korban lain
(5) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan atau bertanggung jawab atas
pekerjaan secara normal
(6) Berusaha untuk tidak tergantung kepada tim penanganan korban
Allen (2001) mengidentifikasi gejala-gejala (symptoms) orang mengalami
stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Simtom-simtom tersebut
adalah sebagai berikut:
(1) Pikiran-pikiran menakutkan (scary-thought)
(2) Ada gangguan (distraction)
(3) Pikiran bersaing (racing mind)
(4) Tidak yakin atau ragu-ragu (uncertainty)
(5) Tidak logis (illogic)
(6) Lupa (forgetfulness)
(7) Kecurigaan (suspicion)
(8) Lekas marah (irritability)
(9) Kecemasan (anxiety)
(10) Depresi (depression)
(11) Gusar atau marah-marah (anger)
(12) Kesepian (lonliness)
(13) Rendah diri (low-self esteem)
(14) Gangguan perut (upset stomach)
(15) Keletihan (fatigue)
(16) Sakit punggung (backache)
27
(17) Sakit kepala (headache)
(18) Sembelit (constipation)
(19) Diare (diarrhea)
(20) Dada sumpek (chest tightness)
(21) Kebiasaan tidur yang buruk (poor sleeping habits)
(22) Kebiasaan bangun yang buruk (poor calling habits)
(23) Berbicara cepat (rapid speech)
(24) Menggunakan obat-obatan (drug use)
(25) Mengendarai dengan sembrono (reckless driving)
(26) Merokok berlebihan (excessive smoking)
(27) Minum (Alkohol) berlebihan (excessive drinking)
Dari beberapa gejala stres yang telah disampaikan oleh para ahli ada
yang telah mengarah kepada coping yang tidak efektif (maladaptif) seperti
Kebiasaan tidur yang buruk, kebiasaan bangun yang buruk, berbicara cepat,
menggunakan obat-obatan, mengendarai dengan sembrono, merokok berlebihan
dan minum alkohol dan obat terlarang.
Pengukuran Tingkat Stres dengan Metode Holmes dan Rahe
Pada tahun 1967, Dr. Thomas H. Holmes dan Dr. Richard H. Rahe telah
mengembangkan alat ukur stres diri yang disebut “Social Readjusment Rating
Scale” (Tabel 1). Holmes dan Rahe mengkategorikan tingkat stres kedalam
empat katagori. Skor kurang dari 150 sebagai stres minor, skor 150-199 tergolong
stres ringan, skor 200-299 tergolong stres sedang dan skor di atas 300 tergolong
stres mayor/berat. Holmes dan Rahe memperkirakan bahwa 35 persen individu
dengan skor di bawah 150 akan mengalami sakit atau kecelakaan dalam dua
tahun, 51 persen individu dengan skor antara 150-300 dan mereka dengan skor di
atas 300 berpeluang 80% mengalami sakit atau kecelakaan. Dalam penelitian ini
tidak semua item yang dinyatakan oleh Holmes dan Rahe diadopsi, hanya 10 item
dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan yaitu: kematian pasangan,
perpisahan perkawinan, kehilangan aset, perubahan kondisi keuangan, kematian
anggota keluarga, luka atau sakit parah, kematian teman dekat, perubahan jenis
pekerjaan, pinjaman keuangan dan perubahan tempat tinggal. Pengkatagoriannya
tetap mengadopsi dari Holmes dan Rahe.
28
Tabel 1. Penyebab dan tingkat stres menurut metode Holmes dan Rahe
No Penyebab Stres Skor 1 Kematian pasangan 100 2 Perceraian 73 3 Perpisahan perkawinan 65 4 Masuk penjara 63 5 Kematian anggota keluarga 63 6 Luka atau sakit parah 53 7 Perkawinan 50 8 Dipecat dari pekerjaan/kehilangan aset 47 9 Pensiun 45 10 Rekonsiliasi perkawinan 45 11 Perubahan kesehatan atau perilaku anggota keluarga 44 12 Kehamilan 40 13 Masalah seksual 40 14 Memperoleh anggota keluarga baru lewat kelahiran atau adopsi 39 15 Penyesuaian bisnis secara besar-besaran 39 16 Perubahan kondisi keuangan 38 17 Kematian teman dekat 37 18 Perubahan jenis pekerjaan 36 19 Perubahan banyaknya argumen dengan rekan 35 20 Mengambil hipotek baru/pinjaman keuangan 31 21 Penyitaan hipotek atau pinjaman 30 22 Perubahan tanggung jawab 29 23 Anak meninggalkan rumah 29 24 Masalah dengan mertua 29 25 Prestasi individu yang luar biasa 28 26 Rekan mulai/berhenti bekerja 26 27 Mulai atau tamat sekolah 26 28 Perubahan kondisi kehidupan 25 29 Revisi kebiasaan individu 24 30 Masalah dengan pimpinan 23 31 Perubahan jam atau kondisi kerja 20 32 Perubahan tempat tinggal 20 33 Perubahan sekolah 20 34 Perubahan kebiasaan tamasya 19 35 Perubahan aktivitas gereja 19 36 Perubahan aktivitas sosial 18 37 Pembelian besar seperti mobil baru 17 38 Perubahan kebiasaan tidur 16 39 Perubahan pertemuan keluarga 15 40 Perubahan kebiasaan makan 15 41 Liburan 13 42 Ketaatan terhadap Natal atau liburan 12 43 Pelanggaran kecil pada hukum 11
Pengukuran Tingkat Stres Metode Family Inventory of Life Family Inventory Life Efents and Changes (FILE) mengukur setumpuk
peristiwa yang dialami keluarga dan dikembangkan sebagai indeks stres keluarga
(McCubbin, Patterson & Wilson, 1979). Versi pertama FILE (McCubbin, Patterson
29
& Wilson, 1979) terdiri dari 171 item yang secara konseptual dikelompokkan
menjadi delapan kategori yaitu perkembangan keluarga, pekerjaan, manajemen,
kesehatan, keuangan, aktivitas sosial, hukum dan hubungan keluarga luas.
Pemilihan item pertanyaan ditentukan oleh perubahan kehidupan individu
(Dohrenwend, Krasnoff, Askenasy & Dohrenwend, 1978; Coddington, 1972;
Holmes dan Rahe, 1967). Selain itu, dimasukkan pula perubahan situasional dan
perkembangan yang dialami keluarga pada tahapan yang berbeda pada siklus
kehidupan. Item-item tersebut berasal dari pengalaman klinis dan penelitian
tentang stres keluarga serta dari literatur tentang stresor yang diidentifikasi
selama dekade terakhir. Dalam penelitian ini item pertanyaan tidak semuanya
diadopsi, namun disesuaikan dengan kondisi sampel penelitian. Pertanyaan
terutama yang berhubungan dengan gejala-gejala stres yang dialami keluarga
baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku yang diakibatkan oleh bencana
gempa dan tsunami.
Model Stres Keluarga
Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980) merupakan bentuk
pengembangan dari teori ABCX-nya Hill. Mengingat teori Hill meliputi variabel-
variabel krisis, teori McCubbin dan Patterson menjelaskan perbedaan dalam
adaptasi keluarga pasca krisis. Setiap variabel asli (ABCX) diuji kembali dan
definisi-definisinya dimodifikasi. Setiap variabel dalam model digambarkan secara
ringkas pada Gambar 1. Dalam Model ABCX T ganda setumpuk stresor keluarga
(AA) yaitu beberapa stresor utama, yang bertumpuk menjadi “stresor keluarga",
ini berpengaruh penting dalam tingkat adaptasi keluarga, karena krisis keluarga
berkembang dan berubah dalam satu kurun waktu, penumpukan stresor (AA)
juga diakibatkan oleh perubahan siklus hidup dan ketegangan yang tidak terse-
lesaikan.
Persepsi keluarga terhadap stresor (CC) pada dasarnya menyangkut
penilaian keluarga terhadap stres yang dialami. Penilaian dan adanya tuntutan
keluarga, secara sadar atau tidak sadar memunculkan interpretasi dari
pengalaman sebelumnya. Untuk memenuhi berbagai tuntutan, keluarga memiliki
potensi yaitu sumberdaya dan kemampuan. Dalam model ABCX T ganda,
sumberdaya dan kemampuan keluarga terdiri dari sumberdaya pribadi anggota
keluarga dan sumber-sumber internal dan sistem keluarga (faktor BBB)
mencakup semua karakteristik, kompetensi dan makna personal termasuk
30
pendidikan, kesehatan, karakteristik kepribadian dan dukungan masyarakat
yang merupakan lembaga di luar keluarga yang dapat diakses untuk memenuhi
tuntutan keluarga
Keterangan : X = Krisis keluarga/masalah keluarga
R = Tingkat regeneratif keluarga T = Tipologi keluarga AA = Setumpuk stresor keluarga BB = Sumberdaya coping keluarga BBB = Dukungan sosial CC= Persepsi rumahtangga terhadap stresor CCC = Skema keluarga XX = Adaptasi Keluarga PSC = Penyelesaian masalah keluarga
Gambar 1. Model T ganda ABCX (McCubbin & Patterson, 1980)
.
Dalam model ABCX T ganda, faktor tipologi keluarga menjadi suatu hal
penting karena tipologi keluarga (faktor T) merupakan suatu kekuatan yang dapat
mempengaruhi bagaimana penyesuaian dan adaptasi keluarga dilakukan, karena
keluarga memegang teguh kepercayaan atau asumsi-asumsi yang disebut skema
keluarga yakni hubungan satu sama lain dan hubungan keluarga dengan
masyarakat dan sistem. Untuk mengatasi berbagai stresor dan krisis, keluarga
melakukan coping adaptif (PSC). Dalam proses coping keluarga mengalokasikan
sumberdaya dan kemampuan semua anggota keluarganya untuk memenuhi
berbagai tuntutan yang dihadapi keluarga.
Adaptasi Keluarga (XX) dalam model ABCX Ganda terdiri dari tiga tingkat
analisis yaitu anggota keluarga (individu), unit keluarga dan komunitas.
Masing-masing unit ini memiliki tuntutan dan kemampuan. Adaptasi keluarga
dicapai lewat hubungan timbal balik, tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi
lewat kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara
simultan pada dua tingkat interaksi primer antara individu dan sistem keluarga
dan antara sistem keluarga dengan komunitas diperlukan adanya adaptasi
X R T PSC XX
CC
BB BBB
CCC
AA
31
keluarga. Adaptasi keluarga (faktor XX) merupakan outcome dari upaya keluarga
untuk mencapai tingkatan baru dari keseimbangan dan penyesuaian setelah krisis
keluarga. Dalam penelitian ini Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980),
dijadikan sebagai kerangka konseptual yang melandasi pembuatan kerangka
berpikir operasional.
Coping
Pengertian Coping
Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan
seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam
kondisi yang penuh stres (Achir Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), coping
adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam
pandangan Haber dan Runyon (1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan
pikiran (negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani
individu agar tidak menimbulkan stres.
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang
dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik
secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif
ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan
yang diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi coping sering
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi
masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lain-lain
sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalahnya.
Dari beberapa pengertian coping yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa coping merupakan (1) respon perilaku dan fikiran terhadap
stres; (2) penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan
sekitarnya; (3) pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan (4)
bertujuan untuk mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri
pribadi dan di luar dirinya ( internal or external conflict), sehingga dapat
meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Perilaku coping dapat juga dikatakan
sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi atau mengurangi
berbagai tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan
mengganggu kelangsungan hidupnya.
32
Strategi Coping
Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa
menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang
dimiliki. Sumberdaya coping yang dimiliki mempengaruhi strategi coping. Menurut
John, Catherine dan MacArthur (1998), ada dua jenis mekanisme coping yang
dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem focused
form of coping mechanism/direct action) dan coping yang berpusat pada emosi
(emotion focused of coping/palliatif form).
Menurut Stuart dan Sundeen (1991), yang termasuk mekanisme coping
yang berpusat pada masalah adalah:
(1) Konfrontasi (Confrontative) adalah usaha-usaha untuk mengubah keadaan
atau menyelesaikan masalah secara agresif dengan menggambarkan tingkat
kemarahan serta pengambilan resiko.
(2) Isolasi. Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu
dengan masalah yang dihadapi.
(3) Kompromi. Mengubah keadaan secara hati-hati, meminta bantuan kepada
keluarga dekat dan teman sebaya atau bekerja sama dengan mereka.
Mekanisme coping yang berpusat pada emosi menurut Stuart dan
Sundeen (1991) adalah sebagai berikut:
(1) Denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada
dirinya.
(2) Rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan
diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan
rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan,
tetapi juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian secara adil.
(3) Kompensasi, menunjukkan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan
dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang
maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi
timbul karena adanya perasaan kurang mampu.
(4) Represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari
ingatannya dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan
(5) Sublimasi, yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau
kemampuan dengan sikap positif.
(6) Identifikasi, yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain.
33
(7) Regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap
seperti anak kecil
(8) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau
melampiaskan kesalahannya kepada orang lain
(9) Konversi, yaitu mentransfer reaksi psikologi ke gejala fisik.
(10) Displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan
kepada seseorang lain
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), secara umum strategi coping dapat
dibagi menjadi dua yakni:
(1) Strategi coping berfokus pada masalah. Strategi coping berfokus pada
masalah adalah suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah.
Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai
masalah yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan.
Yang termasuk strategi coping berfokus pada masalah adalah:
(a) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan
analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya seseorang yang
melakukan coping planful problem solving akan bekerja dengan penuh
konsentrasi dan perencanaan yang cukup baik serta mau merubah gaya
hidupnya agar masalah yang dihadapi secara berlahan-lahan dapat
terselesaikan.
(b) Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat
menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya seseorang
yang melakukan coping confrontative akan menyelesaikan masalah
dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku
walaupun kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.
(c) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak
luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.
Contohnya seseorang yang melakukan coping seeking social support akan
selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan cara mencari bantuan
dari orang lain di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil
kebijakan dan profesional, bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non
fisik.
Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika
individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi
34
tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi,
contoh penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping
yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan
akibat banjir besar di Bangladesh adalah strategi coping berpusat pada masalah
yaitu: melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan dengan kredit,
mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki.
(2) Strategi coping berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, 1984) adalah
melakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi
tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Yang termasuk
strategi coping berfokus pada emosi adalah:
(a) Positive reappraisal (memberi penilaian positif), adalah bereaksi dengan
menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan diri
termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya adalah
seseorang yang melakukan coping positive reappraisal akan selalu berfikir
positif dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan
tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang
masih dimilikinya
(b) Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi
dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan
yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana
mestinya. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping accepting
responsibility akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagai
nama mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang
sedang dialaminya
(c) Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya adalah
seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan
selalu berfikir sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan
sesuatu tindakan secara tergesa-gesa
(d) Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.
Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini dalam
penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap
persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-
olah tidak pernah terjadi apa-apa.
35
(e) Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah
yang dihadapi. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini
untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu
menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan
yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan
tidak mau bersosialisasi dengan orang lain
Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila
individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat
menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu
mengatasi situasi tersebut, contohnya masih dalam penelitian yang dilakukan oleh
Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumahtangga dalam
mengatasi masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh berpusat pada
emosi adalah pasrah menerima apa adanya, berdo’a dan mengharapkan bantuan,
simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah.
Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya,
sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Pada situasi
yang masih dapat berubah secara konstruktif (seperti mengalami kelaparan akibat
bencana) strategi yang digunakan adalah problem focused. Pada situasi yang sulit
seperti kematian pasangan, strategi coping yang dipakai adalah emotion focused,
karena diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan tawakkal.
Keberhasilan atau kegagalan dari coping tersebut akan menentukan apakah
reaksi terhadap stres akan menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan yang
diharapkan.
Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi coping keluarga, yaitu
internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi
coping internal, yaitu :
(1) Mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga. Untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk
menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki. Keluarga melakukan
strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam keluarga, yakni
dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota
keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat
lebih disiplin dan patuh, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat
memecahkan masalah, karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri
mereka sendiri.
36
(2) Penggunaan humor. Menurut Hott (Friedman, 1998), perasaan humor
merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan
perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga
diakui sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas
dan stres.
(3) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara untuk mengatasi
masalah dalam keluarga adalah: adanya wak-tu untuk bersama-sama dalam
keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam
bersama, adanya kegiatan bersama keluarga, beribadah bersama, bermain
bersama, bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman
pekerjaan maupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga. Cara
seperti ini dapat membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan
memelihara serta dapat mengatasi tingkat stres, ikut serta dengan aktivitas
setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan
yang kuat dalam sebuah keluarga.
(4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan coping yang
efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah
yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya
yang dialami. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling
efektif untuk mengatasi stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan
penilaian yang positif. Menurut Folkman et al. (Friedman, 1998), keluarga yang
menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian
yang penyebab stres.
(5) Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat
digambarkan sebagai suatu situasi dimana setiap anggota keluarga dapat
mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan
mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari
anggota keluarga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan.
(6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi coping yang
kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang
berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi coping fungsional yang
penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga.
(7) Normalisasi. Salah satu strategi coping keluarga yang biasa dilakukan untuk
menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan coping terhadap
sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan
37
keluarga. Knafl dan Deatrick (Friedman, 1998), mengatakan bahwa normali-
sasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga
mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat
menggambarkan respons keluarga terhadap stres.
Strategi coping eksternal ada empat yaitu:
(1) Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah rnemberikan respons
secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berubungan
dengan stresor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi
perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga
menilai stresor secara lebih akurat.
(2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Coping berbeda dengan coping
yang menggunakan sistem dukungan sosial. Coping ini merupakan suatu
coping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum,
bukan sebuah coping yang dapat meningkatkan stresor spesifik tertentu.
Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu
kelompok, organisasi dan kelompok komunitas.
(3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja
sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga,
kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan
pada kepentingan bersama. Menurut Caplan (Friedman, 1998), terdapat tiga
sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial
informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-
kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal yang
biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan
sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk
menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk
beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah.
Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dilakukan
melalui organisasi.
(4) Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha
mencari dukungan spiritual anggota keluarga untuk mengatasi masalah.
Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi
keluarga dalam mengatasi stres.
38
Strategi coping yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) dan
Lazarus dan Folkman (1984) memiliki beberapa persamaan yaitu secara garis
besar strategi coping dilakukan dengan dua cara yaitu berfokus pada masalah
dan berfokus pada emosi. Coping berfokus pada masalah menurut Stuart dan
Sundeen (1991) dapat dilakukan dengan cara konfrontasi dan kompromi, hal
yang sama juga dikatakan oleh Lazarus dan Folkman (1984) bahwa coping
berfokus pada masalah dapat dilakukan dengan confrontative dan seeking social
support. Kedua jenis strategi coping memiliki pengertian yang sama. Selain
persamaan ada juga perbedaan dari kedua pendapat tersebut yaitu pada coping
yang berfokus pada masalah yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991)
menambahkan strategi coping Isolasi dan Lazarus dan Folkman (1984)
memasukkan planful problem solving, kedua coping tersebut memiliki pengertian
yang bertolak belakang.
Persamaan coping yang berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh
Stuart dan Sundeen dengan Lazarus dan Folkman yaitu pada hal-hal yang positif
yakni identifikasi dan sublimasi dengan positive reappraisal, accepting
responsibility dan self controlling. Perbedaan kedua pendapat tersebut adalah
strategi coping berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen
lebih banyak yang mengarah kepada perilaku yang negatif atau tidak
menguntungkan seperti denial, rasionalisasi, kompensasi, represi, regresi,
konversi, proyeksi dan displacement. Strategi coping yang berfokus pada emosi
yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman lebih banyak hal-hal yang positif
seperti positive reappraisal, accenting responsibility dan self controlling.
Coping yang dikemukakan oleh Friedman tidak jauh berbeda dengan
coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Strategi coping dengan
cara memahami suatu masalah dan mencari dukungan spiritual memiliki
pengertian yang sama dengan coping positive reappraisal. Accepting
responsibility memiliki pengertian yang sama dengan pemecahan masalah
bersama. Mencari informasi sama dengan self controlling. Seeking social support
sama maksudnya dengan mencari pendukung sosial. Walaupun banyak
persamaan jenis coping yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut masih ada
perbedaan yaitu adanya perilaku coping yang negatif yang dikemukakan oleh
Lazarus dan Folkman dan semua coping yang dikemukakan oleh Friedman
bersifat positif.
39
Dalam penelitian ini, strategi coping yang digunakan adalah strategi coping
yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman karena dalam strategi coping ini
terlihat dengan jelas upaya penyelesaian masalah yang dilakukan melalui
starategi coping berfokus pada masalah yaitu melalui coping planful problem
solving. Selain itu strategi coping yang berfokus pada emosi lebih banyak ke arah
yang positif seperti positive reappraisal, accenting responsibility dan self
controlling. Hal ini sangat sesuai dengan lokasi penelitian yang masyarakatnya
yang sebagian besar beragama islam.
Sumberdaya Coping
Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang bermakna
sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat
dan tujuan. Dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai input dari proses produksi
(Suratman, 1994/1995). Menurut Firebaugh dan Deacon (1988), sumber- daya
diartikan sebagai:
(1) Alat atau bahan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi atau
mencapai tujuan
(2) Bahan yang tersedia atau kemampuan potensial untuk mengatasi keadaan.
Bahan tersebut dapat bersifat materi atau non materi.
Dengan demikian sumberdaya merupakan alat dan potensi yang digunakan untuk
mencapai kebutuhan. Dalam keluarga sumberdaya terdiri atas:
(1) Unsur manusia: jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, hubungan
antar anggota dalam keluarga dan hubungan antara keluarga dengan
keluarga lain, dan faktor-faktor yang ada pada manusia seperti pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skills) dan minat (intrest).
(2) Unsur materi: pendapatan berupa uang atau barang, kekayaan milik keluarga
dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah yang dihuni
(3) Unsur waktu. Menurut Steidl dan Bratton (1968), waktu adalah salah satu
sumberdaya, sehingga pemanfaatan waktu perlu dikelola agar seluruh
(4) kegiatan dapat dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan tujuan yang
diinginkan.
Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga
baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku coping. Sumberdaya
coping tersebut bersifat subjektif sehingga perilaku coping bisa bervariasi pada
setiap orang. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), cara seseorang atau
40
keluarga melakukan strategi coping tergantung pada sumberdaya yang
dimiliki. Adapun sumberdaya tersebut antara lain:
(1) Kondisi kesehatan. WHO (1984) mendefinisikan sehat sebagai status kenyamanan
menyeluruh dari jasmani, mental dan sosial, dan bukan hanya tidak adanya penyakit
atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan berfikir jernih dan
baik, dan kesehatan sosial memiliki kemampuan untuk berbuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain. Kesehatan jasmani adalah dimensi
sehat yang nyata dan memiliki fungsi mekanistik tubuh. Kondisi kesehatan sangat
diperlukan agar seseorang dapat melakukan coping dengan baik agar berbagai
permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
(2) Kepribadian adalah perilaku yang dapat diamati dan mempunyai ciri-ciri
biologi, sosiologi dan moral yang khas baginya yang dapat membedakannya
dari kepribadian yang lain (Littauer, 2002). Pendapat lain menyatakan bahwa
kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas
dikaitkan dengan diri seseorang. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu
bersumber dari bentukan-bentukan yang terima dari lingkungan, misalnya
bentukan dari keluarga pada masa kecil dan juga bawaan sejak lahir misalnya
orang tua membiasakan anak untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri,
menyelesaikan setiap permasalahan bersama-sama, tidak mudah
tersinggung/marah dan harus selalu bersikap optimis. Menurut Maramis
(1998), kepribadian dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (a) Introvert,
adalah orang yang suka memikirkan tentang diri sendiri, banyak fantasi,
lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi, lekas tersinggung dalam
diskusi, suka membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik terhadap diri
sendiri dan pesimis; dan (b) Ekstrovert, adalah orang yang melihat kenyataan
dan keharusan, tidak lekas merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan,
tidak begitu merasakan kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis dan
kritik terhadap diri sendiri, terbuka, suka berbicara dan optimis.
(3) Konsep diri. Menurut Maramis (1998), konsep diri adalah semua ide, pikiran,
kepercayaan dan pendirian seseorang yang diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan
pengalaman berhubungan dengan orang lain misalnya orang tua yang
menginginkan anak-anaknya tetap sekolah walaupun dalam keadaan
darurat, sehingga berupaya keras mencarikan sekolah untuk anaknya.
41
(4) Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan
masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari
orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional,
bantuan nyata dan bantuan informasi. Menurut Cronkite dan Moos (Holahan &
Moos, 1987), orang yang mempunyai cukup sumberdaya sosial cenderung
menggunakan strategi problem-focused coping dan meng- hindari strategi
avoidance coping dalam menyelesaikan berbagai masalah.
(5) Aset ekonomi. Keluarga yang memiliki aset ekonomi akan mudah dalam mela-
kukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Namun
demikian, tidak berimplikasi terhadap bagaimana keluarga tersebut dapat
menggunakannya (Lazarus & Folkman, 1984). Menurut Bryant (1990) aset
adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan
sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki
banyak aset cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga
yang memilki aset terbatas.
Dalam penelitian ini sumberdaya coping yang digunakan adalah karak-
teristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga, umur, pendidikan ayah/ibu,
pekerjaan, pendapatan keluarga, aset ekonomi, dan tingkat kesehatan), ciri-ciri
pribadi (kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial.
42
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berfikir Operasional
Permasalahan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami seperti
masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian dan pekerjaan
sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki keluarga dan coping staregi
yang dilakukan keluarga. Apabila sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat
terbatas, maka masalah yang dihadapi akan sulit terselesaikan dan akhirnya
dapat menimbulkan stres. Stres yang dialami keluarga dapat dilihat dari gejala-
gejala yang muncul baik fisik, psikis, perilaku dan kognitif. Gejala-gejala tersebut
mempunyai ciri adanya perasaan yang mencemaskan dan menegangkan yang
ditimbulkan oleh sumber stres. Sumber stres bagi seseorang bisa berbeda-beda,
sangat tergantung pada penilaian dan persepsi seseorang. Proses penilaian yang
dilakukan individu terhadap suatu kejadian yang penuh stres akan sangat
menentukan tingkat stres yang dialami keluarga. Untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi keluarga yang dapat mengakibatkan stres, keluarga
secara alamiah akan melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan
permasalahan disebut “strategi coping”.
Strategi coping yang dilakukan keluarga dalam penelitian ini diadopsi dari
model Lazarus dan Folkman (1984), yakni strategi coping berpusat pada masalah
dan strategi coping berpusat pada emosi. Strategi coping mana yang digunakan
sangat tergantung kepada masalah dan sumber stres sebagai penyebab
terjadinya suatu ketegangan. Strategi coping yang dilakukan sebagai upaya untuk
mengatasi stres sangat ditentukan oleh sumberdaya coping yang dimiliki keluarga.
Boss (Sussman & Steinmetz, 1988), mengatakan bahwa sumberdaya coping
keluarga merupakan kekuatan individual dan kekuatan bersama pada saat
menghadapi sesuatu kejadian sebagai penyebab stres. Sumberdaya coping
mencakup karakteristik sosial ekonomi keluarga, ciri-ciri pribadi dan dukungan
sosial. Karakteristik sosial ekonomi mencakup jumlah anggota keluarga,
pendapatan, aset dan pengeluaran. Ciri-ciri pribadi mencakup umur, pendidikan
pandidikan dan tingkat kesehatan, kepribadian, konsep diri dan dukungan sosial
terdiri dari bantuan yang berasal masyarakat sekitar, teman, pemerintah dan
LSM/NGO.
43
Strategi coping yang dilakukan keluarga akan sangat menentukan
keberlangsungan fungsi keluarga. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial
mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut
berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga (Megawangi, 1999). Keluarga adalah
sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan
fungsinya di masyarakat, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang
sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi, 1994). Agar fungsi
keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan
struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun.
Menurut Rice dan Tucker (1986) fungsi keluarga ada dua yakni fungsi ekspresif
yang diperankan oleh ibu untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosi, serta
kebutuhan psikologis seperti kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan
perkembangan diri anak serta fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah
yang berkewajiban memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan biologis dan
fisik kepada para anggota keluarga. Kehidupan keluarga akan sejahtera kalau
masing-masing peran dapat dijalan dengan baik. Kerangka fikir operasional
tentang strategi coping keluarga pasca gempa dan tsunami disajikan pada
Gambar 2.
Hipotesis Penelitian
(1) Masalah keluarga, tingkat stres dan sumberdaya coping berpengaruh nyata
terhadap strategi coping keluarga pasca gempa dan tsunami
(2) Masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping berpengaruh nyata
terhadap keberfungsian keluarga pasca gempa dan tsunami
METODE PENELITIAN
Disain, Waktu dan Tempat
Disain penelitian ini adalah cross-sectional dan retrospective study. Data
yang dikumpulkan adalah kondisi yang dialami keluarga setahun setelah terjadinya
gempa dan tsunami mencakup data tingkat stres dan strategi coping yang diambil
secara retrospektif. Data retrospektif lainnya yang diambil adalah tingkat kesehatan
yang diderita keluarga enam bulan terakhir. Data cross-sectional mencakup masalah
keluarga, sumberdaya coping dan keberfungsian keluarga. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner mulai bulan Mei sampai Juli 2006.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa Kota
Banda Aceh yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan kedua Kecamatan
tersebut terkena musibah gempa dan tsunami terparah pada tanggal 26 Desember
2004.
Teknik Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang wilayahnya terkena
masalah gempa dan tsunami yang berada pada dua Kecamatan yang telah
disebutkan di atas. Contoh yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan
metode penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) secara
proporsional sebagai representasi dari populasi. Lapis pertama adalah kumpulan
keluarga yang ada ayah dan ibu yang disebut tipologi keluarga utuh, lapis kedua
adalah keluarga ada ayah (tidak memiliki ibu) atau tipologi keluarga duda dan lapis
ketiga keluarga ada ibu (tidak memiliki ayah). atau tipologi keluarga janda
Selanjutnya pada tiap lapis dilakukan penarikan contoh menggunakan acak
sederhana.
Penentuan jumlah contoh dalam penelitian ini menurut Cochran (1982) dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
2
22/1 )1(d
ppZn
−= −α
Keterangan : n = jumlah contoh Z = nilai z tabel p = proporsi keluarga yang kehilangan rumah d = akurasi (perbedaan antara proporsi dengan penduganya)
Jika dalam penelitian ini digunakan nilai α = 0.05, p (kejadian kehilangan
rumah sebesar 90%) dan akurasi =0.05, maka jumlah contoh minimal yang
dibutuhkan sebesar :
(1.96)2 (0.9) (0.1) 0.346
n = = = 138 orang
(0.05)2 0.0025
Dengan demikian, ukuran contoh yang diambil adalah minimal 138 contoh. Proporsi
jumlah contoh yang diambil ditentukan dengan rumus berikut :
Ni ni = x n
N Keterangan : ni = Ukuran contoh Ni = Ukuran populasi pada tiap kelompok contoh N = Ukuran populasi keseluruhan n = Ukuran contoh yang diinginkan
Adapun kerangka penarikan contoh yang dilakukan dalam penelitian ini
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan penarikan contoh.
Provinsi NAD
Kota Banda Aceh
Kec. Kuta Alam (Kel 1)
Kec. Meuraxa (Kel 2)
Utuh (2378 kk)
Duda (368 kk)
Janda (226 kk)
Stratifikasi
Utuh (531 kk)
Duda (207 kk)
Janda (184kk)
Stratifikasi
Acak Acak Acak Acak Acak Acak Proporsi
84 kk 13 kk 8 kk 19 kk 7 kk 7 kk
Jumlah populasi di Kecamatan Kuta Alam lebih banyak dibandingkan
Kecamatan Meraxa, sehingga proporsi jumlah contoh yang berasal dari Kecamatan
Kuta Alam lebih banyak dibandingkan Kecamatan Meraxa. Secara umum, tipologi
keluarga utuh lebih banyak dibandingkan dengan tipologi keluarga duda dan tipologi
keluarga janda (Tabel 2).
Tabel 2 Ukuran contoh berdasarkan desa, tipologi keluarga dan populasi
Kecamatan Desa Jumlah Keluarga Tipologi keluarga Populasi Ukuran
contoh
Kuta Alam
Lampulo 1537 Ayah + Ibu (utuh) 1345 48 Ada Ayah (duda) 115 4 Ada Ibu (janda) 77 3
Lamdingin 618 Ayah + Ibu (utuh) 427 15 Ada Ayah (duda) 109 4 Ada Ibu (janda) 82 3
Lambaro Skep 817
Ayah + Ibu (utuh) 606 21 Ada Ayah (duda) 144 5 Ada Ibu (janda) 67 2
Sub Total 1 2972 2972 105
Meraxa
Lamjabat 193 Ayah + Ibu (utuh) 82 3 Ada Ayah (duda) 59 2 Ada Ibu (janda) 52 2
Lampaseh Aceh 459
Ayah + Ibu (utuh) 320 11 Ada Ayah (duda) 68 2 Ada Ibu (janda) 71 3
Surin 270 Ayah + Ibu (utuh) 129 5 Ada Ayah (duda) 80 3 Ada Ibu (janda) 61 2
Sub Total 2 922 922 33 Total (1+2) 3894 3894 138
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi: (1) Masalah-masalah yang dihadapi keluarga pasca
gempa dan tsunami; (2) Sumberdaya coping keluarga yang mencakup karakteristik
sosial ekonomi keluarga (jumlah anggota keluarga pendapatan, aset dan pekerjaan,
ciri-ciri pribadi (umur, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep
diri) dan dukungan sosial; (3) Tingkat stres; (4) Strategi coping (coping berpusat
pada masalah dan coping berpusat pada emosi); dan (5) Keberfungsian keluarga.
Data sekunder mencakup profil kedua Kecamatan dan data bantuan dari
pemerintah, NGO/LSM dan lainnya kepada korban gempa dan tsunami. Secara rinci
peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3 Peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran
No. Peubah Skala Responden Alat dan Cara Pengukuran
1 Masalah-masalah keluarga pasca gempa dan tsunami 1. Pangan 2. Kesehatan 3. Pendidikan 4. Perumahan/Tempat Tinggal 5. Pakaian 6. Pekerjaan/Pendapatan
Ordinal Ibu/Bapak Kuesioner/ wawancara
2 Sumberdaya coping keluarga Karakteristik Sosial Ekonomi
Keluarga: 1.Jumlah anggota keluarga 2.Pendapatan 3.Aset Ekonomi 4. Pekerjaan
Ciri-ciri Pribadi : 1. Umur 2. Pendidikan formal 3. Tingkat Kesehatan 4. Kepribadian 5. Konsep diri
Dukungan Sosial
Rasio Rasio
Rasio Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
Ibu/Bapak Kuesioner/ wawancara
3. Tingkat Stres (Family Inventory of Life) 1. Tingkat stres fisik 2. Tingkat stres psikis 3. Tingkat stres kognitif 4. Tingkat stres perilaku
Tingkat stres (Skala Holmes dan Rahe)
Ordinal Ibu/Bapak Kuesioner/ wawancara
4 Strategi coping keluarga: Coping berpusat pada masalah
1. Planful Problem Solving 2. Confrontatif coping 3. Seeking social support
Coping berpusat pada emosi 1. Positive reappraisal 2. Accepting responsibility 3. Self controlling 4. Distancing 5. Escape-Avoidance
Ordinal Ibu/Bapak
Kuesioner/ wawancara
dengan metode Ways
of Coping Scale (Lazarus
& Folkman, 1984)
5 Keberfungsian keluarga Ekspresif Instrumental
Ordinal Ibu/Bapak Kuesioner/wa
wancara
Definisi Operasional
(1) Masalah-masalah Keluarga adalah berbagai persoalan/ permasalahan yang
dialami keluarga sekitar 1.5 tahun setelah terjadinya gempa dan tsunami yang
dapat memicu terjadi stres yang mencakup masalah pangan, masalah
kesehatan, masalah pendidikan, masalah perumahan/tempat tinggal, masalah
pakaian dan masalah pekerjaan/pendapatan.
(2) Sumberdaya coping adalah sumberdaya yang dimiliki keluarga meliputi
karakteristik sosial ekonomi keluarga (jumlah anggota keluarga, pendapatan,
aset, pekerjaan), ciri-ciri pribadi adalah (umur, tingkat pendidikan, tingkat
kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial
(3) Jumlah anggota keluarga adalah semua individu yang tinggal di bawah satu
atap dan makan dari dapur yang sama.
(4) Pekerjaan adalah jenis profesi yang digeluti oleh ayah/ibu, anak maupun
anggota keluarga lain pasca gempa dan tsunami dan mencakup utama dan
sampingan yang mendapat imbalan berupa gaji/upah.
(5) Pendapatan adalah upah, gaji atau hasil yang diperoleh dari semua anggota
keluarga, baik berupa barang, jasa dan lain-lain yang dinilai dengan uang selama
satu bulan terakhir.
(6) Aset adalah seluruh kekayaan berupa uang, barang, modal atau sesuatu yang
dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh keluarga
(7) Umur adalah usia ayah/ibu pada saat penelitian berlangsung yang dinyatakan
dalam tahun
(8) Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh
ayah/ibu
(9) Tingkat kesehatan adalah tingkat kesehatan ayah/ibu selama 6 bulan terakhir
yang mencakup jenis penyakit yang diderita, frekuensi, lama sakit dan upaya
pengobatannya.
(10) Kepribadian adalah sikap dan perilaku ayah atau ibu dalam menangkapi
berbagai permasalahan yang dihadapi
(11) Konsep diri adalah pengetahuan dan persepsi ayah dan ibu terhadap dirinya
sendiri.
(12) Dukungan sosial adalah bantuan yang diterima keluarga baik berupa uang,
makanan, perumahan dan bantuan lainnya yang berasal dari masyarakat, teman,
pemerintah dan LSM baik dalam maupun luar negeri
(13) Tingkat stres adalah respon spesifik dari ibu/ayah akibat gempa dan tsunami
yang dialami 1 tahun pasca gempa dan tsunami yang diketahui dari gejala-gejala
yang muncul baik fisik, psikis, perilaku dan kognitif.
(14) Strategi coping keluarga adalah respon perilaku yang digunakan kepala
keluarga untuk memecahkan suatu masalah untuk mengurangi stres yang
diakibatkan oleh gempa dan tsunami. Strategi coping yang dilakukan mencakup
coping berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi.
(15) Strategi coping yang berfokus pada masalah adalah upaya yang dilakukan
untuk mengurangi tuntutan-tuntutan yang dapat menimbulkan stres dengan
mengembangkan sumberdaya untuk mengatasinya. Coping yang berpusat pada
masalah mencakup :
(1) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis
dalam menyelesaikan masalah.
(2) Confrontative yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat
menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil.
(3) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak
luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.
(16) Strategi coping berfokus pada emosi yaitu individu melakukan usaha-usaha
yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha untuk
mengubah stresor secara langsung. Strategi coping ini mencakup :
(1) Positive reappraisal, adalah bereaksi dengan menciptakan makna positif
dalam diri yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan
diri dalam hal-hal yang religius.
(2) Accepting responsibility yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran
akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha
mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
(3) Self controlling atau mengendalian diri yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan.
(4) Distancing atau menjauhkan diri yaitu tidak melibatkan diri dalam
permasalahan.
(5) Escape avoidance yaitu menghindari atau melarikan diri dari masalah yang
dihadapi.
(17) Keberfungsian Keluarga adalah berfungsinya keluarga sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, sosialisasi dan mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan perannya dalam keluarga serta
memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya
keluarga sejahtera. Dalam penelitian ini fungsi keluarga mencakup:
(1) Fungsi instrumental adalah fungsi yang berkaitan dengan hubungan
keluarga dengan situasi eksternal. Fungsi instrumental dikaitkan dengan
peran ayah sebagai pencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh
anggota keluarga
(2) Fungsi Ekspresif adalah fungsi keluarga yang dikaitkan terutama dengan
integritas dan solidaritas keluarga. Fungsi ekspresif dikaitkan dengan peran
ibu dalam pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anggota keluarga.
(18) Tipologi Keluarga adalah penggolongan keluarga contoh menjadi tiga
kelompok yakni keluarga utuh, duda dan janda.
Metode Pengukuran Peubah
Berikut diuraikan metode pengukuran peubah, sistem skoring dan
pengkategorian skor yang diperoleh dari variabel-variabel penelitian. Berdasarkan
peubah-peubah penelitian dan metode pengukuran yang dilakukan untuk
mengkuantifikasi data-data yang dikumpulkan yang selanjutnya akan digunakan
untuk analisis statistik. Untuk menyamakan satuan yang digunakan maka semua
skor yang diperoleh dikonversi dalam bentuk persen (0-100). Adapun rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :
X- Nilai Minimum X
Y = x 100
Nilai Maksimum X – Nilai Minimun X
Keterangan : Y= skor dalam persen x = skor yang diperoleh untuk tiap responden
(1) Masalah-masalah keluarga pasca gempa dan tsunami
Skoring jawaban terhadap masalah-masalah keluarga dilakukan dengan
memberi skor 0 jika contoh mengalami masalah dan diberi skor 1 jika tidak
mengalami masalah. Semua pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh
responden. Ada tujuh kelompok permasalahan yang digali dari contoh yakni :
(1) Masalah pangan diukur dengan tiga item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 3.
(2) Masalah kesehatan diukur dengan dua item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 2.
(3) Masalah pendidikan diukur dengan tiga item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 3.
(4) Masalah perumahan/tempat tinggal diukur dengan empat item pertanyaan
dengan skor 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor
maksimum 4.
(5) Masalah pakaian diukur dengan dua item pertanyaan dengan skor 0=tidak
dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 2.
(6) Masalah pekerjaan/pendapatan diukur dengan dua item pertanyaan dengan
skor 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor
maksimum 2.
Selanjutnya skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100
dengan menggunakan rumus yang telah disebut sebelumnya. Total skor yang
diperoleh dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelas interval yaitu rendah
(skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100.0)
(2) Sumberdaya coping
Sumberdaya coping mencakup karakteristik sosial ekonomi keluarga
(jumlah anggota keluarga, pendapatan, aset dan pekerjaan), ciri-ciri pribadi
(umur, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan
dukungan sosial
(1) Jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi
3 (tiga) yakni < 4 orang, 5-6 orang dan > 6 orang.
(2) Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga dibagi dengan jumlah anggota
keluarga sehingga diperoleh pendapatan per kapita per bulan. Adapun
kategori pendapatan yang digunakan adalah < Rp 100.000, > Rp 100.000 -
250.000, > Rp 250.000 - 500.000, > Rp 500.000 - 750.000, > Rp 750.000 -
1.000.000 dan > Rp 1.000.000.
(3) Aset adalah seluruh kekayaan berupa lahan, barang elektronik, perhiasan,
modal, asuransi/surat berharga atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang
yang dimiliki oleh keluarga. Untuk aset ekonomi yang dimiliki seperti
tabungan, rumah, tanah, emas dan aset lainnya yang dinilai dalam bentuk
uang, sehingga diperoleh nilai aset dalam rupiah
(4) Pekerjaan. Profesi contoh dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 6,
yakni : 1. Buruh; 2. Tidak Bekerja; 3. Pedagang/Wiraswasta; 4. Swasta; 5.
PNS/ABRI; dan 6. LSM/Relawan
(5) Umur. Usia contoh dikelompokkan menjadi 4 kategori yakni (1) < 21 tahun,
(2) 21-40 tahun, (3) 41-60 tahun dan (4) > 60 tahun.
(6) Tingkat pendidikan. Pendidikan ayah/ibu dikelompokkan menjadi: 1.Tidak
sekolah; 2. SD/sederajat; 3. SLTP/sederajat; 4. SLTA/sederajat dan 5. PT
(7) Tingkat kesehatan. Skor tingkat kesehatan diperoleh dengan cara
menjumlahkan frekuensi, lama sakit dan skor upaya pengobatan. Upaya
pengobatan dinilai berdasarkan kualitas pengobatan yang diterima semakin
rendah kualitas pengobatan yang dilakukan misalnya tidak diobati maka
skornya akan semakin tinggi. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka
tingkat kesehatan akan semakin tinggi. Skor yang diperoleh ditransformasi ke
dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus yang telah disebut
sebelumnya, kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelas
interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor
66.8-100.0)
(8) Kepribadian. Peubah ini mencakup 17 item pertanyaan. Kategori jawaban
untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum
0 dan skor maksimum 17. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala
0-100. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin baik kepribadian
contoh. Total skor yang diperoleh dibagi menjadi dua kategori yakni introvert
(skor 0-66.7%) dan ekstrovert (skor 66.8 -100.0%).
(9) Konsep diri. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan. Kategori jawaban
untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor minimum
0 dan maksimum 5. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-
100. Semakin tinggi skor yang diperoleh semakin baik konsep diri contoh.
Total skor yang diperoleh dibagi menjadi dua kategori yakni negatif (skor 0-
66.7%) dan positif (skor 66.8 -100.0%).
(10) Dukungan sosial. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan. Kategori
jawaban untuk peubah ini adalah 0=tidak dan 1=ya, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 4. Skor yang diperoleh ditransformasi ke
dalam skala 0-100. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin baik
dukungan sosial yang diperoleh. Total skor yang diperoleh dibagi menjadi
dua kategori berdasarkan kelas interval yaitu mendukung dengan skor 0-66.7
dan tidak mendukung dengan skor 66.8-100.0.
(3) Tingkat Stres dengan metode Family Inventory of Life
Jumlah item pertanyaan adalah 30. Kategori jawaban untuk peubah
tingkat stres keluarga adalah “tidak pernah terjadi”, “kadang-kadang terjadi” dan
“sering terjadi” Pertanyaan yang diberikan adalah seputar gejala-gejala stres baik
fisik, psikis, kognitif dan perilaku yang dialami contoh pasca gempa dan tsunami.
Jawaban “tidak pernah terjadi” diberikan jika gejala stres tidak pernah dialami
pasca gempa dan tsunami dan diberi nilai 0. Jawaban “kadang-kadang terjadi”
diberikan jika gejala stres dialami kurang dari tiga kali selama pasca gempa dan
tsunami dan diberi nilai 1. Jawaban “sering terjadi” diberikan jika gejala stres
dialami lebih dari tiga kali selama pasca gempa dan tsunami dan diberi nilai 2.
Gejala stres yang dialami dapat saja dirasakan sekaligus oleh contoh sehingga
total skor yang diperoleh adalah minimal 0 dan maksimal 60, semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat stres yang dialami. Selanjutnya skor
yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan menggunakan
rumus yang telah disebut sebelumnya, kemudian dibagi menjadi empat kategori
tingkat stres yang diadopsi dari Holmes dan Rahe (1967) yakni stres minor (skor
< 35.3), stres ringan (skor 35.3-46.8), stres sedang (skor 46.9-70.4) dan stres
mayor/berat (skor > 70.4).
(1) Gejala stres fisik diukur dengan delapan item pertanyaan sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 16.
(2) Gejala stres psikis diukur dengan tujuh item pertanyaan dengan skor 0=tidak
pernah, 1=kadang-kadang dan 2=sering, sehingga diperoleh skor minimum 0
dan skor maksimum 14.
(3) Gejala stres kognitif diukur dengan lima item pertanyaan sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 10.
(4) Gejala stres perilaku diukur dengan sepuluh item pertanyaan sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 20.
(4) Tingkat Stres dengan metode Holmes dan Rahe
Peubah ini mencakup 10 item pertanyaan. Kategori jawaban untuk
peubah tingkat stres keluarga ini adalah 0=tidak dan 1=ya. Setiap pertanyaan
dibobot dengan menggunakan skala Holmes dan Rahe seperti disajikan pada
Tabel 4. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan akan diperoleh skor minimum 0
dan maksimum 425 apabila stres yang dirasakan contoh disebabkan oleh item
1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Tingginya skor ini diakibatkan adanya pembobotan
yang dilakukan pada setiap item pertanyaan berdasarkan derajat beratnya
stresor. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat stres
yang dialami. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan
menggunakan rumus yang telah disebutkan sebelumnya dan kemudian dibagi
menjadi empat kategori stres dengan mengadopsi dari Holmes dan Rahe (1967)
yakni stres minor (skor < 35.3), stres ringan (skor 35.3-46.8), stres sedang (skor
46.9-70.4) dan stres mayor/berat (skor > 70.4).
Tabel 4. Pembobotan pertanyaan penyebab stres menggunakan Skala Holmes dan Rahe
No Penyebab Stres Skor
1 Kematian pasangan 100 2 Perpisahan perkawinan 65 3 Kehilangan aset 47 4 Perubahan kondisi keuangan 63 5 Kematian anggota keluarga 53 6 Luka parah 53 7 Kematian teman dekat 37 8 perubahan jenis pekerjaan 36 9 Pinjaman keuangan 30 10 Perubahan tempat tinggal 20
(5) Strategi Coping
Instrumen yang digunakan untuk peubah strategi coping keluarga adalah
yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman (1984) yang diberi nama Ways
of Coping Scale. Alat ukur ini berupa kuesioner yang mengukur strategi coping
berfokus pada masalah dan coping berfokus pada emosi. Strategi coping yang
berfokus pada masalah ada tiga yaitu: planful problem solving, confrontatif dan
seeking social support, dan strategi coping berfokus pada emosi ada lima yaitu:
positive reappraisal, accepting responsibility, self controlling, distancing dan
escape avoidance. Skoring dilakukan dengan cara merangking jawaban
responden, dimana jawaban diberi skor 3 = sering sekali, 2 = sering, 1 = kadang-
kadang dan diberi skor 0 = tidak pernah, sehingga diperoleh data dengan skala
pengukuran ordinal. Pertanyaan peubah ini terdiri dari 36 item. Semua
pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh responden sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 108. Selanjutnya skor yang diperoleh
ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus yang telah
disebut sebelumnya dan kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan
kelas interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor
66.8-100.0).
Coping Berfokus pada Masalah
Peubah ini mencakup 16 item pertanyaan. sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 48.
(1) Planful Problem Solving. Peubah ini mencakup tujuh item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 21. Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(2) Confrontatif. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 12. Semakin tinggi skor yang
diperoleh maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(3) Seeking Social Support. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
Coping Berfokus pada Emosi
Peubah ini mencakup 20 item pertanyaan, sehingga diperoleh skor
minimum 0 dan skor maksimum 60.
(1) Positive reappraisal. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi skor yang
diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(2) Accepting responsibility. Peubah ini mencakup empat item pertanyaan,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 12. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(3) Self controlling. Peubah ini mencakup enam item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 18. Semakin tinggi skor yang
diperoleh maka semakin baik strategi coping yang dilakukan.
(4) Distancing. Peubah ini mencakup tiga item pertanyaan, sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 9. Semakin tinggi skor yang diperoleh
maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(5) Escape avoidance. Peubah ini mencakup lima item pertanyaan, sehingga
diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 15. Semakin tinggi skor yang
diperoleh maka semakin tidak baik strategi coping yang dilakukan.
(6) Keberfungsian Keluarga
Peubah keberfungsian keluarga terbagi menjadi dua, yakni fungsi
ekspresif dan fungsi instrumental. Total jumlah pertanyaan peubah
keberfungsian keluarga adalah 39 item. Skoring dilakukan dengan memberi skor
1 jika jawaban sangat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan peneliti dan
diberi skor 0 jika sangat tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti sehingga diperoleh data dengan skala pengukuran nominal. Semua
pertanyaan memungkinkan untuk dijawab oleh responden sehingga diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 39. Selanjutnya skor yang diperoleh
ditransformasi ke dalam skala 0-100 dan kemudian dibagi menjadi tiga kategori
berdasarkan kelas interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7)
dan tinggi (skor 66.8-100.0).
(1) Fungsi ekspresif. Jumlah pertanyaan peubah fungsi ekspresif adalah 17 item,
sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 17.
(2) Fungsi instrumental. Jumlah pertanyaan peubah fungsi instrumental adalah
22 item, sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 22.
Secara rinci, jenis data, peubah maupun cut off yang digunakan disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Jenis data, peubah dan skoring yang digunakan
No Peubah Jumlah
Item Skor Min
Skor Max
1 Masalah pasca gempa dan tsunami 19 0 19 2 Ciri-ciri pribadi
Kepribadian 17 0 17 Konsep Diri 5 0 5 Dukungan Sosial 4 0 4
3 Tingkat Stres Ibu (Family Inventory of Life) 30 0 60
- Fisik 8 0 16 - Psikis 7 0 14 - Kognitif 5 0 10 - Perilaku 10 0 20
4 Tingkat Stres (Holmes dan Rahe) 10 0 425 5 Coping
5.1
Coping Berfokus pada Masalah 16 0 48 - Planful Problem Solving 7 0 21 - Confrontatif Coping 4 0 12 - Seeking Social Support 5 0 15
5.2
Coping Berfokus pada Emosi 20 0 60 - Positive Reappraisal 5 0 15 - Accepting Responsibility 4 0 12 - Self Controlling 3 0 9 - Distancing. 3 0 9
No Peubah Jumlah
Item Skor Min
Skor Max
- Escape Avoidance 5 0 15
6
Keberfungsian Keluarga 39 0 39 - Fungsi Ekspresif 17 0 17 - Fungsi Instrumental 22 0 22
Validasi dan Reliabilitas Instrumen
Untuk pengelolaan data ada beberapa langkah yang akan dilakukan dengan
tujuan untuk mengontrol kualitas data, yakni:
(1) Validasi content pada saat pengembangan atau modifikasi instrumen. Menurut
Babbie (1992), bila koefisien korelasi antara skor suatu indikator dengan skor
total seluruh indikator positif dan lebih besar dari 0.3 (r <0.3), maka instrumen
tersebut valid.
(2) Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui
pilihan dan bentuk kuesioner (pernyataan atau pertanyaan), kedalaman
pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan
ditanyakan, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal
wawancara dan mengukur reliabilitas kuesioner (alpha cronbach)
Reliabilitas atau keterandalan menunjukan kekonsistensi suatu alat ukur
dalam mengukur hal yang sama. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995),
reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil
pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih.
Reliabilitas suatu alat ukur adalah sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan. Hasil pengukuran dapat dipercaya, bila beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama selama aspek yang diukur tidak berubah.
Pada penelitian ini, uji reliabilitas yang digunakan adalah metode Cronbach
atau Cr. Alpha berdasarkn skala Cr. Alpha 0 sampai dengan 1 dengan rumus:
−
−=
∑=
t
ii
v
v
nn 11
1α
Keterangan: a = koefisien Alpha Cronbach (koefisien realibilitas)
n = besar sampel pada uji instrumen
Vi = ragam bagian ke i kelompok indikator
Vt = ragam Skor total (perolehan)
Suatu instrumen (keseluruhan indikator) dianggap sudah cukup reliabel (reliabilitas
konsistensi internal ), bilamana a =0.6 (Babbie, 1992).
Selama penelitian penjajakan, pengumpulan data penelitian berjalan lancar
dan tidak ditemukan kendala yang berarti. Responden yang dijadikan contoh
dalam uji coba ini adalah keluarga yang menjadi korban gempa dan tsunami
yang saat ini berdomisili di Bogor. Karakteristik responden sangat beragam dari
yang statusnya sebagai mahasiswa sampai kepada pedagang kaki lima di pasar
Anyar Bogor. Dari 15 responden yang diambil selama penjajakan rata-rata waktu
yang dibutuhkan untuk pengisian kuesioner dan wawancara berkisar antara 30
sampai 45 menit. Hasil pengujian di lapangan menunjukkan bahwa reliabilitas
instrumen yang digunakan cukup handal dan signifikan dengan nilai α-cronbach
antara 0.6316 - 0.8573.
Pada peubah penelitian masalah-masalah keluarga pasca gempa secara
umum (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan/tempat tinggal, pakaian,
pekerjaan/pendapatan dan kehilangan anggota keluarga) nilai reliabilitas yang
diperoleh sudah cukup baik yakni lebih dari 0.7. Demikian pula untuk peubah ingkat
stres metode Family Inventory of Life dan tingkat stres Holmes dan Rahe nilai
cronbach alpha yang diperoleh relatif baik dengan nilai > 0.60.
Pada instrumen peubah kepribadian, konsep diri dan dukungan sosial perlu
dilakukan penghapusan terhadap pertanyaan yang dinilai kurang valid (nilai korelasi
negatif) karena nilai cronbach alpha yang diperoleh lebih kecil dari 0.6, tiga
pertanyaan pada peubah kepribadian yang dihapus yakni : no.10,12 13.
Peubah strategi coping keluarga mencakup dua sub peubah yakni berfokus
pada masalah dan berfokus pada emosi. Pada instrumen peubah strategi coping
keluarga dilakukan pengurangan lima pertanyaan yakni no. 8, 27, 30, 40, 41.
Penghapusan satu pertanyaan dilakukan pada sub peubah coping berfokus pada
masalah yakni no 8 pada coping confrontatif. Pada peubah coping berfokus pada
emosi dikurangi sebanyak empat pertanyaan yakni no. 27, 29, 40, 41 untuk
menghasilkan nilai cronbach = 0.60. Peubah keberfungsian keluarga dilakukan
pengurangan empat pertanyaan yaitu 16, 22, 24, 20 untuk menghasilkan nilai
cronbach = 0.60. Untuk lebih jelas nilai reliabilitas instrumen dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Setelah pengumpulan data pada penelitian utama, kembali dilakukan uji
reliabilitas peubah-peubah penelitian (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan nilai
cronbach alpha peubah penelitian berkisar antara 0.6124-0.9306. Dengan demikian,
hasil ini membuktikan bahwa instrumen yang digunakan benar-benar reliabel dan
handal. Nilai cronbach alpha yang diperoleh dari data penelitian utama sejalan
dengan hasil yang diperoleh pada saat uji coba instrumen penelitian.
Tabel 6. Hasil uji reliabilitas dan validitas peubah-peubah
penelitian saat penelitian utama
No Peubah Penelitian Jumlah
Item Nilai Cronbach
Alpha Validitas
1
Masalah keluarga 16 0.7279 0.220*-0.751*
1. Masalah Pangan 3 0.6377 0.507*-0.678*
2. Masalah Kesehatan 2 0.6620 0.305*-0.859*
3. Masalah Pendidikan 3 0.7446 0.776*-0.833*
4. Masalah Perumahan/Tempat Tinggal 4 0.8797 0.764*-0.886
5. Masalah Pakaian 2 0.6607 0.799*-0.815*
6. Masalah Pekerjaan/Pendapatan 2 0.6848 0.731*-0.893*
2
Ciri-Ciri Pribadi
a. Kepribadian 17 0.6707 0.186*-0.571* b. Konsep Diri 5 0.9211 0.705*-0.825*
3 4
Dukungan Sosial 4 0.7589 0.186*-0.571* Tingkat Stres (Family Inventory of Life) 30 0.9306 0.267*-0.671*
a. Fisik 8 0.8570 0.599*-0.758* b. Psikis 7 0.7600 0.517*-0.737* c. Kognitif 5 0.7874 0.610*-0.767* d. Perilaku 10 0.8827 0.394*-0.672*
5 Tingkat Stres (Holmes & Rahe) 10 0.6124 0.006-0.686*
6 Strategi Coping Keluarga
Berfokus pada masalah 16 0.6353 0.088-0.527* a. Planful Problem Solving 7 0.6291 0.241*-0.622* b. Confrontatif coping 4 0.6448 0.014-0.787* c. Seeking social support 5 0.6760 0.367-0.772* Berfokus pada emosi 20 0.7750 0.239*-0.571* a. Positive reappraisal 5 0.7757 0.584*-0.816* b. Accepting responsibility 4 0.6415 0.505*-0.735* c. Self controlling 3 0.7591 0.255*-0.453* d. Distancing 3 0.8573 0.832*-0.875* e. Escape-Avoidance 5 0.7835 0.541*-0.777*
7
Keberfungsian Keluarga 39 0.8610 0.017-0.709* a. Fungsi Ekspresif 17 0.8337 0.205*-0.528* b. Fungsi Instrumental 22 0.8175 0.086-0.747*
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 10.1 dan
SAS 6.12. Tahapan-tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini
mencakup :
(1) Penyusunan code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data
(2) Setelah data dientri, kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak
ada kesalahan dalam memasukkan data. Data dicek dengan menyajikan
statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai
minumun untuk setiap peubah
(3) Skoring terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian
(4) Transformasi skor dalam bentuk skala 0-100
(5) Kategorisasi terhadap data skor hasil transformasi
(6) Analisis deskriptif dan tabulasi silang
(7) Analisis statistik inferensia mencakup analisis regresi linier berganda program
SAS for Window.
Tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program SAS for Window.
Secara rinci, analisis data yang digunakan untuk menjawab masing-masing tujuan
adalah :
(1) Untuk menjawab tujuan 1 sampai 5 digunakan analisis statistik dasar
(elementary statistic analysis) yang meliputi frekuensi distribusi dan ukuran
sebaran (rata-rata dan standar deviasi) dan tabulasi.
(2) Untuk menjawab tujuan 6 yakni menganalisis perbedaan masalah keluarga,
tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga
berdasarkan tipologi keluarga digunakan analisis ragam (anova). Uji lanjut
(Post Hoc) yang digunakan adalah uji beda Duncan.
(3) Untuk menjawab tujuan 7 yakni menganalisis pengaruh masalah keluarga,
tingkat stres dan sumberdaya coping terhadap strategi coping keluarga
digunakan pendekatan analisis regresi linier berganda. Model analisis regresi
linier yang digunakan ada dua yakni model sub komposit untuk peubah x yakni
:
Y1-2 = α + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + ....+ β21 X21 + ∈
Keterangan: α = Konstanta β1, β2...β22 adalah parameter
Y1 = Coping berfokus pada masalah (skor) Y2 = Coping berfokus pada emosi (skor) X1 = Duda X2 = Janda X3 = Pendapatan (rasio) X4 = Umur (rasio) X5 = Jumlah anggota keluarga X6 = Aset (rasio) X7 = Pendidikan (ordinal) X8 = Kepribadian (skor) X9 = Konsep Diri (skor) X10 = Dukungan Sosial (skor) X11 = Tingkat kesehatan (skor) X12 = Masalah pangan (skor) X13 = Masalah kesehatan (skor) X14 = Masalah perumahan/tempat tinggal (skor) X15 = Masalah pendidikan (skor) X16 = Masalah pakaian (skor) X17 = Masalah pekerjaan/pendapatan (skor) X18 = Tingkat stres fisik (skor) X19 = Tingkat stres psikis (skor) X20 = Tingkat stres kognitif (skor) X21 = Tingkat stres perilaku (skor) X22 = Tingkat stres Holmes dan Rahe (skor) e = Galat
(4) Untuk menjawab Tujuan 8 yakni menganalisis pengaruh masalah keluarga,
sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga
digunakan analisis regresi linier berganda. Model analisis regresi linier yang
digunakan ada dua yakni model sub komposit untuk peubah x yakni :
Y 3-4 = α + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + ....+ β25 X25 + ∈
Keterangan: α = Konstanta β1, β2...β25 adalah parameter Y1 = Fungsi ekspresif keluarga (skor) Y2 = Fungsi instrumental keluarga (skor) X1 = Duda X2 = Janda X3 = Pendapatan (rasio) X4 = Umur (rasio) X5 = Jumlah anggota keluarga X6 = Aset (rasio) X7 = Pendidikan (ordinal) X8 = Kepribadian (skor) X9 = Konsep Diri (skor) X10 = Dukungan Sosial (skor)
X11 = Tingkat kesehatan (skor) X12 = Masalah pangan (skor) X13 = Masalah kesehatan (skor) X14 = Masalah perumahan/tempat tinggal (skor) X15 = Masalah pendidikan (skor) X16 = Masalah pakaian (skor) X17 = Masalah pekerjaan/pendapatan (skor) X18 = Coping Planful Problem Solving (skor) X19 = Coping Confrontatif (skor) X20 = Coping Seeking Social Support (skor) X21 = Coping Positive Reappraisal (skor) X22 = Coping Accepting Responsibility (skor) X23 = Coping Self Controlling (skor) X24 = Coping Distancing (skor) X25 = Coping Escape Avoidance (skor) e = Galat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Sarana Fisik Provinsi NAD Awal Pasca Gempa dan Tsunami
Bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam
pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa, luka-luka
dan hilang serta menyebabkan hancurnya harta benda dan rusaknya infrastruktur.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), jumlah korban
yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami mencapai 236.116 jiwa yang
tersebar diseluruh Nanggroe Aceh Darussalam, 18.761 km jalan dan 499 buah
jembatan yang putus yang mengakibatkan transportasi dari satu kabupaten ke
kabupaten lainnya terhambat dan 1.644 buah kantor pemerintah rusak dan hancur,
sehingga pelayanan publik terganggu.
Bencana yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan materi dan keluarga
dalam sekejap, apalagi dalam jumlah besar, sangat potensial menggoreskan trauma
dan menyisakan ketakutan luar biasa bagi yang mengalaminya, sehingga beberapa
hal dapat terjadi antara lain: (1) wajar jika orang menampilkan respon perilaku tidak
lazim menyusul suatu kejadian yang sangat di luar batas kewajaran. Ada yang
menyangkal bahwa keluarga besarnya hilang dan ditemukan tak bernyawa sehingga
merasa sangat bersalah karena ia hidup sendirian. Beberapa hari setelah bencana,
banyak orang merespon dengan cara-caranya sendiri diantaranya dengan menangis
atau justru diam seribu bahasa, berteriak-teriak memanggil anaknya yang tidak
ditemukan, tidak membolehkan jenazah orang terdekatnya diambil untuk
dimakamkan dan sebagainya; dan (2) manusia memiliki coping mechanism
alamiahnya sendiri sehingga dari sejumlah besar orang yang mengalami kekerasan
atau bencana, cukup banyak yang mampu bangkit dari keruntuhan bencana.
Beberapa hari setelah tsunami, masyarakat Aceh mulai “menggeliat” satu demi satu
perlahan bergerak, bangun, berjalan, bahkan mencoba berjualan lagi. Hal tersebut
menjadi contoh bahwa manusia dibekali dengan kemampuan menyelesaikan
masalah secara alamiah. Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan
masih terdapat korban bencana yang mengalami masalah-masalah lebih serius,
mengalami gangguan pasca trauma atau diagnosa lain, tetapi persentasenya relatif
kecil, mungkin 5 persen saja dari keseluruhannya.
Letak Geografis
Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Mauraxa adalah dua dari sembilan
kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Kecamatan Kuta Alam membawahi
sebelas kelurahan/gampong dan Kecamatan Meuraxa membawahi enam belas
kelurahan/gampong (Tabel 7). Batas-batas Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh
yaitu sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan
Baiturrahman, sebelah barat dengan Kecamatan Meuraxa dan sebelah timur dengan
Kecamatan Syiah Kuala. Adapun batas-batas Kecamatan Meuraxa sebelah utara
berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Jaya Baru,
sebelah timur dengan Kecamatan Kuta Raja dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Peukan Bada.
Tabel 7 Kelurahan/Gampong pada Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa
No Kecamatan Kuta Alam Kecamatan Meuraxa
1 Kota Baru Alue Deaah Tengoh 2 Bandar Baru Asonanggroe 3 Kuta Alam Blang Oi 4 Peunayong Cot Lamkuweuh 5 Mulia Deah Baro 6 Keuramat Deah Gampong 7 Laksana Gampong Baru 8 Beurawe Gampong Blang 9 Lampulo Gampong Pie 10 Lamdingin Lamjabat 11 Lambaro Skep Lampaseh Aceh 12 - Lambung 13 - Punge Ujong 14 - Punge Jurong 15 - Surin 16 - Ulhee-lhee
Penduduk
Sebelum terjadi gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga (KK) di
Kecamatan Kuta Alam adalah 11.731 KK, dengan jumlah penduduk 54.017 jiwa,
yaitu laki-laki 28.340 jiwa dan perempuan 26.673 jiwa. Pasca bencana gempa dan
tsunami jumlah kepala keluarga yang selamat sampai Desember 2005 adalah
10.810 KK, dengan jumlah penduduk 47.280 jiwa dengan rincian laki-laki 25.369 jiwa
dan perempuan 21.911 (Tabel 8).
Pasca bencana gempa dan tsunami, jumlah kepala keluarga yang selamat di
Kecamatan Meuraxa sampai Desember 2005 adalah 4.725 KK, dengan jumlah
penduduk 11.396 jiwa dengan rincian laki-laki 7210 jiwa dan perempuan 4.186 jiwa
(Tabel 9). Kalau diperhatikan jumlah penduduk yang tersisa di Kecamatan Meuraxa
pasca gempa dan tsunami hanya sekitar 25 persen dari jumlah penduduk
Kecamatan Kuta Alam, padahal sebelumnya wilayah ini merupakan wilayah padat
penduduk. Hal ini disebabkan hampir semua kelurahan/gampong yang ada di
Kecamatan Meuraxa berhadapan langsung dengan laut dan pelabuhan Ulele.
Tabel 8 Jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam pasca gempa dan tsunami
No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami KK LK PR ∑
1 Kota Baru 408 1.081 973 2.054 2 Bandar Baru 1.273 3.675 3.709 7.384 3 Kuta Alam 1.175 2.623 2.219 4.842 4 Peunayong 813 1.956 1.376 3.332 5 Mulia 805 1.839 1.320 3.159 6 Keuramat 934 2.494 2.536 5.030 7 Laksana 664 3.177 2.492 5.669 8 Beurawe 1.766 3.359 3.037 6.399 9 Lampulo 1.537 1.977 1.446 3.423 10 Lamdingin 618 1.270 991 2.261 11 Lambaro Skep 817 1.918 1.809 3.727
Jumlah 10.810 25.369 21.911 47.280 Laporan Camat Kuta Alam, 2006.
Tabel 9 Jumlah penduduk Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami
No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami KK LK PR ∑
1 Alue Deaah Tengoh 270 247 128 375 2 Asonanggroe 136 154 110 264 3 Blang Oi 417 735 446 1181 4 Cot Lamkuweuh 280 188 152 340 5 Deah Baro 165 210 102 312 6 Deah Gampong 193 205 155 360 7 Gampong Baru 285 300 237 537 8 Gampong Blang 93 143 71 214 9 Gampong Pie 93 132 40 172 10 Lamjabat 193 192 109 301 11 Lampaseh Aceh 459 750 450 1200 12 Lambung 309 677 313 990 13 Punge Ujong 300 786 229 1015 14 Punge Jurong 736 1432 1003 2435 15 Surin 270 324 247 571 16 Ulhee-lhee 526 735 394 1129 Jumlah 4725 7210 4186 11396
Laporan Yayasan Lamjabat, 2006
Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005),
anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa bumi dan tsunami
ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, ditiap kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko
besar yang menampung sebanyak 300-4.000 pengungsi. Jumlah pengungsi di
posko tidak tetap karena mereka pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan
atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang
masih tinggal di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.
Perumahan
Jumlah rumah yang hancur/hilang/rusak akibat bencana gempa dan tsunami
di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh 5.327 unit, dengan rincian rumah
hancur/hilang 2.586 unit, rusak berat 1.147 unit dan rusak ringan 1.310 unit. Di
Kecamatan Meuraxa Jumlah rumah yang rusak dan hancur hampir mencapai 100
persen dan yang tersisa hanyalah puing-puing dan bahkan tidak meninggalkan
bekas.
Adat dan Budaya Masyarakat Aceh
Budaya merupakan salah satu warisan masyarakat di suatu desa atau
daerah yang paling tinggi nilainya. Warisan ini tercipta dari hasil karya dan karsa
masyarakat yang diterima secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Budaya adalah milik rakyat, baik yang berdomisili di daerah terisolir
maupun masyarakat diperkotaan. Budaya akan selalu mengalami perubahan. Hal ini
disebabkan adanya dinamika sosial atau terjadinya proses perubahan sosial seiring
dengan berjalannya waktu (Nyakpha, 2004).
Dalam sebuah tradisi budaya, katakanlah dalam masalah saudara, bagi
masyarakat Aceh jika dikatakan, ”Saboh syehdara” atau “Saboh taloe darah,” artinya
diantara mereka mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan. Pada
“syedara lingka” dan “syedara gampoeng” didasarkan pada tempat tinggal atau
tempat menetap. “Syehdara kaweun” (kawin) merupakan kekeluargaan yang
dibangun melalui hubungan darah dan hubungan perkawinan (Kurdi, 2005).
Ketenteraman, keseimbangan, keamanan dan kedamaian merupakan hal-hal
yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka selalu
berupaya dan menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati
bersama atau aturan yang telah ditetapkan agama. “Seubakhe-bakhe ureung Aceh,
wate geusebut nan Allah dan Nabi teuiem atawa seungap,” artinya sebodoh-
bodohnya orang Aceh ketika disebut nama Allah dan nabinya mereka akan terdiam,
tak meneruskan pekerjaan yang sedang ia lakukan (Syahrizal, 2004). Budaya ini
masih dirasakan dan terlihat dalam kehidupan hari-hari. Dengan menghargai adat
masyarakat Aceh masih dapat bertahan hidup dalam kedamaian hati, ketenteraman
jiwa, keseimbangan dan teguh dalam pendirian (Kurdi, 2005).
Bagi orang Aceh mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan
bagian dari kehidupan budaya, seakan-akan diri mereka telah menyatu dengan
ajaran Islam (Husein, 1970). Ajaran itu memberi pengaruh terhadap perilaku
masyarakat Aceh dalam membina hubungan dengan Allah SWT, hubungan
masyarakat dengan alam sekitarnya dan hubungan dengan dirinya sendiri.
Struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari syedara saboh ma, syedara
saboh nek, syedara saboh aneuk, syedara lingka, syedara gampong dan kaoem.
Artinya, struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari saudara satu ibu, saudara satu
nenek, saudara sesama anak, tetangga, sekampung dan sesama kaum muslimin.
Latar belakang yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan
mengikat hubungan antara saudara adalah berdasarkan norma-norma agama. Oleh
karena itu, tatanan budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama di desa-
desa, sering terdengar ungkapan “han teupeh bak tajak han teupeh bak tawoe
saboeh nangroe Tuhan peulara” yang artinya kemanapun kita pergi dan pulang tidak
ada yang menghalangi, karena semua dijaga oleh Allah yang maha Kuasa. Kalimat
itu memiliki nilai sastra yang tinggi yang menunjukkan bahwa budaya orang Aceh
tidak mengalpakan nilai-nilai keagamaan dalam setiap kesempatan baik berkaitan
dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial budaya (Sufi, 2002).
Orang Aceh pada umumnya berkarakter keras, tidak mau didikte, tidak cepat
menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah.
Hal ini mungkin ada hubungannya dengan makanan yang di konsumsi dalam
keseharian. Orang Aceh gemar makanan yang pedas-pedas, seperti gulai pliek ue,
gulai kambing, ikan lele dan sambal yang terdiri dari asam sunti dan rempah-rempah
yang sebagian besar bumbunya itu adalah cabe dan lada. Daging merupakan
makanan yang mengandung protein yang dibutuhkan oleh tubuh apalagi ditambah
dengan bumbu cabe dan lada membuat orang jadi “panas dan pedas”. Begitu juga
dengan ikan lele dan ramuan-ramuan lainnya, jika kita perhatikan hampir semua
makanan dari masakan tradisional aceh itu dapat dikatakan tidak ada yang tidak
pedas (Sufi, 2002).
Menurut Hill (1960), sebelum tsunami, masyarakat Aceh memiliki banyak
rujukan budaya yang menjadi dasar pemikiran mereka seperti lembaga adat, Hadih
Maja, adat istiadat, seni budaya, hikayat, pantun, syair dan struktur-struktur adat
lainnya. Dalam karya seni tari, ditemukan gerak, likok, dan syair yang memuat pesan
dengan kandungan nilai yang bersifat implisit, seperti dalam Tari Laweuty, Tari Pho,
Tari Seudati, Tari Saman dan sebagainya. Pasca tsunami struktur lembaga dan
seni-seni budaya yang ada dalam masyarakat Aceh itu sudah tidak dapat dijadikan
rujukan karena di samping hancurnya lembaga adat, struktur budaya dari ketua-
ketua adat meninggal dunia, khususnya mereka yang berdomisili dekat pesisir Aceh
Barat dan Kota Banda Aceh.
Dalam beberapa kesempatan, ungkapan yang sering dijadikan rujukan
perilaku terkesan memiliki bukti yang nyata. Sebelumnya orang Aceh mengetahui
dan mempraktekkan adat-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, namun
sekarang sudah ditinggalkan. Mereka suka mengutip beberapa sumber nilai dalam
Hadih Maja, sehingga ditemukan sifat-sifat yang terpuji dengan konsekuensi buruk,
memperlihatkan bukti yang amat nyata. Sifat geumaseh (pemurah) dan seutia (loyal-
setia) adalah sifat dan perilaku yang amat terpuji dalam kurun waktu tertentu, namun
pada kurun waktu lain sifat itu menjadi buruk akibatnya.
Banyak orang yang terlibat ketika terjadi tsunami pada tanggal 26 Desember
2004 yang lalu. Masing-masing mereka lari menyelamatkan diri. Banyak orang yang
tidak setia kepada sanak keluarga apalagi kepada orang lain. Mayat bergelimpangan
dimana-mana dalam keadaan telanjang bulat hanya sedikit diantara mereka yang
memiliki budaya kesetiakawanan sosial. Di tempat lain ditemukan pula ungkapan
serupa, “Ta weueh ie mata gob saboh tima, rho ie mata droe teueh saboh blang,”
(untuk mencegah agar air mata orang lain jangan tumpah seember, akan boleh jadi
tumpah air mata sendiri satu hamparan sawah). Ungkapan ini memiliki arti bahwa
jika membantu orang, ingat-ingat nasib sendiri. Ini adalah suatu contoh bagaimana
sifat suka menolong dan membantu kesulitan orang lain, justru harus dibayar
dengan kerugian lebih besar pada diri sendiri, padahal sifat dan perilaku suka
menolong orang lain merupakan sifat sangat terpuji dalam tata kehidupan orang
Aceh (Kurdi, 2005).
Masalah-Masalah Keluarga Pasca Gempa dan Tsunami
Pengungsian, baik yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir,
gempa bumi, angin topan (tornado), gelombang pasang (tsunami), maupun yang
disebabkan oleh bencana sosial dan politik seperti tawuran antar warga, konflik antar
ras, peperangan, dan lain-lain menyisakan permasalahan yang perlu segera
ditangani. Permasalahan tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan
kebutuhan dasar, tercerai berainya anggota keluarga dan timbulnya masalah
psikososial yang pada akhirnya mempengaruhi keberfungsian sosial korban
bencana. Bantuan pangan, sandang dan pemukiman yang bersifat sementara dapat
saja diusahakan dengan segera untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan
dasar (fisiologis) korban bencana melalui bantuan pemerintah atau bantuan dari
organisasi-organisasi non pemerintah. Berbagai masalah dihadapi keluarga korban
bencana gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam
penelitian ini permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dikelompokkan
menjadi enam, yaitu masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian
dan pekerjaan/pendapatan.
Masalah Pangan
Permasalahan pangan yang masih dialami oleh 52.2 persen keluarga adalah
tidak adanya pangan hewani dalam menu yang disajikan setiap hari, dan makan
kurang dari 3 kali sehari dengan menu bukan empat sehat masih juga dialami oleh
26.8 persen keluarga (Lampiran 2).
Jika dicermati data pada Tabel 10, secara keseluruhan masih ada 12.3
persen keluarga mengalami masalah pangan walaupun bencana sudah berlalu 1.5
tahun. Rata-rata skor masalah pangan secara keseluruhan adalah 29.21.
Berdasarkan tipologi rata-rata masalah pangan paling tinggi dialami oleh keluarga
utuh (30.08) dan terendah dialami oleh keluarga janda (24.43). Rendahnya masalah
pangan yang dihadapi keluarga janda karena adanya bantuan-bantuan khusus untuk
anak yatim.
Tabel 10 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pangan
Kategori masalah Pangan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 90 87.4 18 90.0 13 86.7 121 87.7 Sedang 7 6.8 1 5.0 2 13.3 10 7.2 Tinggi 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 30.08 28.32 24.43 29.21 Standar deviasi 25.36 24.84 23.46 24.98 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 66.70 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.708
Pada saat data dikumpulkan, sebagian besar keluarga masih mendapatkan
bantuan bahan makanan berupa beras (10 kg/individu), minyak (1 kg/individu) mie
dan sarden yang diberikan tiap bulan yang jumlahnya berdasarkan banyaknya
anggota keluarga. Namun demikian, tidak semua keluarga bernasib baik karena
sebagian desa sudah tidak menerima bantuan apapun baik dari pemerintah maupun
dari LSM.
Masalah Kesehatan
Adanya fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah dan LSM dalam
dan luar negeri membuat keluarga tidak mengalami banyak masalah dalam hal
pengobatan. Petugas medis secara rutin datang ke barak-barak pengungsian untuk
memeriksa kesehatan tanpa dikenakan biaya. Namun demikian masih ada keluarga
yang mengalami kesulitan untuk membayar biaya pengobatan pada saat mereka
berobat ke dokter praktek. Hal ini dikarenakan mereka sakit pada saat petugas
medis tidak datang ke barak-barak sehingga harus berobat sendiri ke dokter atau ke
rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 47.8 persen contoh
menyatakan mengalami kesulitan dalam membayar obat-obatan. Jika dilihat
berdasarkan tipologinya, 65 persen keluarga duda menyatakan sulit membayar obat-
obatan dan hanya sebagian kecil (8.7%) keluarga yang menyatakan bahwa jika ada
anggota keluarga yang sakit tidak selalu dibawa berobat ke dokter atau puskesmas
(Lampiran 2).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor masalah kesehatan yang paling
rendah dijumpai pada tipologi keluarga utuh (25.73), dan skor tertinggi pada
keluarga duda (40.00). Tingginya skor masalah kesehatan yang dihadapi oleh
tipologi duda dimungkinkan karena contoh harus menghadapi sendiri masalah
kesehatan anggota keluarga yang sebelumnya dibantu oleh istri.
Tabel 11 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah kesehatan
Kategori masalah Kesehatan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 55 53.4 8 40.0 7 46.7 70 50.7 Sedang 43 41.7 8 40.0 7 46.7 58 42.0 Tinggi 5 4.9 4 20.0 1 6.7 10 7.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 25.73 40.00 30.00 28.26 Standar Deviasi 29.59 34.79 36.84 31.37 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar 0.173
tipologi keluarga
Pada keluarga utuh, adanya orang tua yang masih lengkap, permasalahan
kesehatan dapat ditanggulangi bersama-sama. Pada tipologi janda, peran ibu relatif
masih berfungsi terkait dengan kesehatan anggota keluarga. Namun demikian,
berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah
kesehatan antara ketiga tipologi keluarga.
Masalah Pendidikan
Pada bulan-bulan pertama pasca bencana, proses belajar-mengajar sulit
dilakukan. Bukan saja karena gedung sekolah rusak, tetapi juga karena sebagian
guru yang mengajar dan siswa juga tak jelas keberadaannya atau kehilangan
keluarga. Sekolah-sekolah di kawasan yang selamat dari amukan tsunami, masih
dimanfaatkan menjadi tempat pengungsian (Hidayati, 2005).
Secara keseluruhan, masih ada 21.0 persen keluarga mengalami masalah
pendidikan dengan kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga duda mengalami
masalah pendidikan paling tinggi dengan rata-rata 48.34, paling rendah dialami oleh
tipologi keluarga janda yakni 35.55 (Tabel 12). Berdasarkan analisis anova tidak ada
perbedaan yang nyata terkait masalah pendidikan antara ketiga tipologi keluarga.
Tabel 12 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pendidikan
Kategori masalah pendidikan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 63 61.2 13 65.0 10 66.7 86 62.3 Sedang 19 18.4 3 15.0 1 6.7 23 16.7 Tinggi 21 20.4 4 20.0 4 26.7 29 21.0 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 37.22 48.34 35.55 38.65 Standar Deviasi 40.24 38.21 38.77 39.72 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.496
Pada saat penelitian ini dilakukan masih ada 5.3 persen anak usia sekolah
yang tidak bersekolah pasca gempa dan tsunami. Untuk melaksanakan wajib belajar
bagi anak usia sekolah pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang serius
dengan memberikan biaya pendidikan gratis mulai dari TK hingga jenjang SLTA,
termasuk fasilitas sekolah seperti seragam, tas, sepatu, buku-buku dan snack gratis
yang dibagikan seminggu sekali di sekolah.
Selain pendidikan formal, saat ini banyak pendidikan non formal yang
bermunculan di Banda Aceh seperti yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat di
Kecamatan Meuraxa. Yayasan ini melaksanakan berbagai kegiatan seperti pelatihan
komputer, perbengkelan, menjahit, memasak dan pelatihan pertanian yang
dilakukan oleh BRR dan LSM dengan sasaran utama adalah para remaja yang tidak
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ibu-ibu yang tidak bekerja dan bapak-
bapak yang kehilangan pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan di Kecamatan Kuta
Alam. Namun demikian masih ada 33.9 persen anak keluarga contoh yang tidak
mengikuti pendidikan non formal dengan berbagai alasan antara lain: (1) tidak
sesuai dengan bakat; (2) tidak memiliki modal jika ingin buka usaha sendiri; (3)
kurangnya lapangan pekerjaan; dan (4) membosankan. Permasalahan pendidikan
lainnya yang dihadapi 48.6 persen keluarga adalah tidak mampu menyediakan
fasilitas belajar di rumah untuk keperluan sekolah anak. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar keluarga masih tinggal di barak pengungsian (Lampiran 2).
Masalah Perumahan/Tempat Tinggal
Masalah perumahan/tempat tinggal sangat dirasakan oleh karena keluarga
korban tsunami masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Sebagian besar keluarga
merasa tidak nyaman dengan fasilitas sangat tidak memadai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 34.8 persen keluarga
menyatakan rumah untuk tempat berlindung tidak memadai, 29.7 persen
menganggap rumah tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus),
31.4 persen menyatakan kurangnya ruangan untuk sekeluarga dan 25.4 persen
keluarga menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal saat ini tidak memiliki cukup
penerangan (Lampiran 2). Hal tersebut dimungkinkan karena keluarga tinggal di
barak-barak pengungsian karena pembangunan perumahan untuk para korban
bencana yang dijanjikan pemerintah belum semua selesai. Disamping itu juga
karena memang status mereka sebelum tsunami sebagai pengontrak yang tidak
memiliki lahan untuk perumahan, jadi terus bertahan tinggal di barak-barak
walaupun kondisi barak yang tidak memenuhi standar kesehatan. Hal ini dilakukan
karena tidak mampu mengeluarkan biaya kontrak yang harganya sangat tinggi. Di
tenda-tenda pengungsian, para pengungsi sering harus saling menyesuaikan diri,
terutama karena situasi yang serba darurat. Sebagian pengungsi mengalami
kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri karena mengalami perubahan status,
misalnya ibu rumahtangga yang menjadi janda, bapak-bapak yang menjadi duda
biasanya mengalami kekakuan dalam berperilaku.
Hasil pengkategorian skor masalah perumahan/tempat tinggal yang dihadapi
keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 25.4 persen keluarga mengalami masalah
perumahan dengan kategori tinggi (Tabel 13). Skor masalah perumahan paling tinggi
dialami oleh keluarga utuh (29.1 persen) dan paling rendah keluarga janda yaitu 6.7
persen. Tingginya skor permasalahan perumahan pada tipologi keluarga utuh
dimungkinkan karena barak yang disediakan hanyalah satu ruangan yang berukuran
4x4 m dimana seluruh anggota keluarga baik laki-laki dan perempuan harus
melakukan semua aktivitas dalam suatu ruangan tanpa ada dinding pembatas. Tidak
ada perbedaan yang nyata terkait masalah perumahan antara ketiga tipologi
keluarga.
Tabel 13 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah perumahan
Kategori masalah rumah
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 61 59.2 16 80.0 13 86.7 90 65.2 Sedang 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4 Tinggi 30 29.1 4 20.0 1 6.7 35 25.4 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 33.74 28.75 15.00 30.98 Standar Deviasi 40.78 39.96 28.03 39.68 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.225
Masalah Pakaian
Pada hari-hari pertama bencana gempa dan tsunami, masalah pakaian
sangat dirasakan oleh para korban yang selamat, 6 bulan pasca bencana bantuan
pakaian yang diterima oleh korban cukup memadai , hal ini terbukti saat penelitian ini
berlangsung hanya 16.7 persen anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang
memadai yaitu pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian (Lampiran 2). Bagi
keluarga yang bekerja di kantor pemerintahan dan swasta disediakan pakaian dinas
yang baru untuk menggantikan pakaian dinas yang hilang akibat tsunami.
Rendahnya masalah pakaian ini juga diperkuat oleh sebagian keluarga yang
menganggap masalah pakaian bukanlah masalah penting yang harus selalu
dipenuhi, dan sudah menjadi suatu kebiasaan bagi keluarga yang berpenghasilan
rendah pakaian baru hanya dibeli setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja.
Terkait dengan masalah pakaian, secara keseluruhan hanya 8.0 persen
keluarga tergolong dalam kategori tinggi (Tabel 14). Hasil analisis deskriptif
mengindikasikan bahwa rata-rata skor masalah pakaian terendah dijumpai pada
keluarga tipologi janda (10.00), tertinggi adalah pada tipologi keluarga duda (27.50).
Tingginya skor permasalahan pakaian pada tipologi keluarga duda dimungkinkan
karena tidak adanya istri yang mengurus masalah pakaian bagi seluruh anggota
keluarga
Tabel 14 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pakaian
Kategori masalah pakaian
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 75 72.8 17 85.0 12 80.0 104 75.4 Sedang 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7 Tinggi 10 9.7 0 0.0 1 6.7 11 8.0 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 15.05 27.50 10.00 16.30 Standar Deviasi 30.39 37.96 20.70 30.90 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 50.00 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.182
Masalah Pekerjaan/Pendapatan
Setelah 1.5 tahun pasca bencana, masih terdapat 15.2 persen contoh tidak
bekerja dan 24.6 persen contoh menyatakan bahwa penghasilan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari (Lampiran 2). Alasan contoh tidak bekerja
adalah karena tidak memiliki modal untuk memulai usaha kembali dan tidak memiliki
fasilitas untuk kelaut mencari ikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian
contoh bekerja sebagai buruh bangunan yang saat ini banyak dibutuhkan dan tidak
memerlukan modal.
Kehilangan pendapatan adalah salah satu gambaran adanya penurunan
sumberdaya material yang sangat berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga.
Beberapa LSM yang ada di Provinsi NAD berinisiatif membuka lapangan pekerjaan
bagi masyarakat yakni membersihkan puing-puing sisa bangunan yang sudah
hancur dengan gaji Rp 35.000/hari dan memperoleh makan siang gratis.
Secara keseluruhan masih ada 10.1 persen keluarga yang mengalami
permasalah pekerjaan dengan kategori tinggi (Tabel 15). Berdasarkan tipologi
masalah pekerjaan terendah dialami oleh keluarga utuh dengan rata-rata 18.45. dan
tertinggi dialami oleh keluarga janda dengan rata-rata 30.00. Tingginya skor masalah
pekerjaan/pendapatan pada keluarga janda disebabkan tidak adanya lagi penopang
nafkah keluarga yang sebelum tsunami umumnya dipegang oleh suami. Hilangnya
pencari nafkah utama keluarga membuat keluarga pada tipologi janda mengalami
masalah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tabel 15 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pekerjaan
Kategori masalah Pekerjaan
Utuh (n=103) Duda (n20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 72 69.9 16 80.0 9 60.0 97 70.3 Sedang 21 20.4 3 15.0 3 20.0 27 19.6 Tinggi 10 9.7 1 5.0 3 20.0 14 10.1 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 18.45 20.00 30.00 19.93 Standar Deviasi 32.83 34.03 36.84 33.39 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimal 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.460
Sumberdaya Coping
Karakteristik Sosial-Ekonomi Keluarga
Jumlah Anggota Keluarga
Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 4 orang.
Berdasarkan tipologi rata-rata jumlah anggota keluarga pada tipologi keluarga utuh
lebih banyak daripada keluarga duda dan janda. Kisaran jumlah anggota keluarga
pada tipologi keluarga utuh adalah 3 hingga 8 orang, keluarga duda 2 hingga 7
orang dan keluarga janda 2 hingga 4 orang (Tabel 16).
Tabel 16. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori jumlah anggota
Kategori Jumlah Anggota Keluarga
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % = 4 orang 70 68.0 18 90.0 15 100.0 103 74.6 5-6 orang 24 23.3 1 5.0 0 0.0 25 18.1 = 7 orang 9 8.7 1 5.0 0 0.0 10 7.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 4.28 (a) 2.75 (bc) 2.47(cd) 3.86 Standar Deviasi 1.34 1.29 0.64 1.46 Minimum 3.00 2.00 2.00 2.00 Maksimum 8.00 7.00 4.00 8.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.000
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Jumlah anggota keluarga pada keluarga utuh dengan keluarga duda dan
janda pasca gempa dan tsunami berbeda nyata (p<0.01). Hal ini berarti bencana
tersebut telah mengakibatkan berkurangnya jumlah anggota keluarga ketiga tipologi
keluarga. Secara umum, jumlah anggota keluarga setelah gempa dan tsunami
termasuk dalam kategori keluarga kecil yakni lebih kecil atau sama dengan empat
orang.
Pekerjaan
Pasca gempa dan tsunami banyak orang yang kehilangan pekerjaannya, setahun
setelah bencana sebagian besar telah kembali bekerja. Jenis pekerjaan utama
contoh sangat bervariasi, diantaranya buruh, PNS/ABRI, pedagang/wiraswasta,
karyawan swasta dan LSM/relawan. Dilihat dari jenis pekerjaannya, persentase
terbesar (30.4%) keluarga utuh berprofesi sebagai buruh dan keluarga duda (35%)
dan janda (46.7%) berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta dan ada 15.2 persen
contoh yang tidak memiliki pekerjaan. Sebagian besar (94.2%) contoh tidak
mempunyai pekerjaan tambahan yang dapat memberikan tambahan pemasukan
untuk keluarga. Hanya sebagian kecil (5.8%) contoh yang mempunyai pekerjaan
tambahan bekerja sebagai pedagang/wiraswasta, mengurus barak dan buruh.
Tabel 17. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama dan tambahan
Jenis Pekerjaan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Utama 1. Buruh 36 35 3 15 3 20 42 30.4 2. Tidak Bekerja 18 17.5 1 5 2 13.3 21 15.2 3. Pedagang/Wiraswasta 22 21.4 7 35 7 46.7 36 26.1 4. Swasta 13 12.6 4 20 1 6.7 18 13.0 5. PNS/ABRI 11 10.7 4 20 2 13.3 17 12.3 6. LSM/Relawan 3 2.9 1 5 0 0 4 2.9 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Tambahan 1. Tidak Bekerja 97 94.2 19 95.0 14 93.3 130 94.2 2. Pedagang/Wiraswasta 4 3.9 1 5.0 1 6.7 6 4.3 3. Mengurus barak 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 4. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Sebagian besar (90.6%) anak keluarga contoh tidak mempunyai pekerjaan
yang dapat membantu keuangan keluarga. Hanya 9.4 persen anak keluarga contoh
yang bekerja sebagai buruh, PNS/ABRI, swasta dan pedagang/wiraswasta.
Rendahnya persentase anak keluarga contoh yang bekerja dimungkinkan karena
usianya masih di bawah umur. Hal yang sama juga terjadi pada anggota keluarga
lain hanya 1.4 persen yang bekerja sebagai buruh dan pedagang/wiraswasta
Tabel 18. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama anak dan anggota keluarga lain
Pekerjaan Anak & Anggota Keluarga Lain
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Anak 1. Tidak Bekerja 92 89.3 19 95.0 14 93.3 125 90.6 2. Buruh 7 6.8 0 0.0 1 6.7 8 5.8 3. PNS/ABRI 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4 4. Swasta 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4 5. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Anggota keluarga lain 1. Tidak Bekerja 102 99.0 19 95.0 15 100.0 136 98.6 2. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 3. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Pengeluaran
Rata-rata pengeluaran keluarga secara keseluruhan adalah Rp 542.819.
Berdasarkan tipologi keluarga, rata-rata pengeluaran keluarga pada keluarga tipologi
duda paling tinggi (Rp 726.900) dibandingkan keluarga tipologi janda (Rp 611.892)
dan utuh (Rp 497.016) (Tabel 19).
Berdasarkan kategori pengeluaran, sebagian besar keluarga dari tipologi
utuh dan janda berada pada kisaran antara Rp 100.000-250.000/kapita/ bulan, dan
pada tipologi keluarga duda sebanyak 35 persen berada pada kategori Rp >
250.000-500.000/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbeda- an
pengeluaran antara ketiga kelompok tipologi keluarga. Analisis lanjut dengan
metode Duncan menunjukkan bahwa yang berbeda nyata adalah pengeluaran
tipologi keluarga utuh dan duda.
Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan Provinsi NAD pada tahun 1999
(BPS, 2002) yakni sebesar Rp 83.683 untuk wilayah perkotaan, maka rata-rata
pengeluaran keluarga dalam penelitian ini masih di atas ambang kemiskinan.
Bahkan bila dibandingkan dengan garis batas kemiskinan Indonesia pada tahun
2002 yakni sebesar Rp 130.499 maka pengeluaran rata-rata keluarga penelitian
masih berada di atas ambang kemiskinan. Hal ini mengindikasikan, keluarga dalam
masyarakat NAD, khususnya keluarga yang termasuk dalam penelitian ini
perekonomiannya telah bangkit kembali setelah bencana gempa dan tsunami
melanda.
Tabel 19. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran
Kategori Pengeluaran (Rp/kap/bulan)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
< 100.000 22 21.4 1 5.0 3 20.0 26 18.8 > 100.000 - 250.000 48 46.6 6 30.0 6 40.0 60 43.5 > 250.000 - 500.000 24 23.3 7 35.0 2 13.3 33 23.9 > 500.000 - 750.000 8 7.8 5 25.0 4 26.7 17 12.3 > 750.000 - 1.000.000 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 > 1.000.000 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 497.016.(ac) 726.900(bc) 611.892.(cb) 542.819 Standar Deviasi 288.282 23.871 25.000 328.564 Minimum 131.800 272.142 25.000 25.000 Maksimum 2.170.333 1.908.250 1.297.833 2.170.333 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.011
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Jenis pengeluaran keluarga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pengeluaran pangan dan non pangan. Secara naluri setiap keluarga lebih dahulu
memanfaatkan setiap pendapatannya untuk pangan, kemudian untuk kebutuhan non
pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala
keluarga, lokasi tempat tinggal dan musim (Mangkuprawira, 1989).
Secara umum, rata-rata pengeluaran pangan keluarga contoh adalah Rp
286.559/kap/bulan. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pengeluaran non pangan
yaitu Rp 260.221/kap/bulan. Hal ini sejalan dengan persentase pengeluaran pangan
51.9 persen yang lebih tinggi dibandingkan pengeluaran non pangan 48.1 persen.
Berdasarkan tipologi keluarga, maka pengeluaran pangan keluarga duda adalah
yang paling tinggi Rp 367.379 dibandingkan tipologi keluarga janda Rp
314.061/kap/bulan dan utuh Rp 267.646/kap/ bulan. Pengeluaran non pangan
tertinggi juga dijumpai pada tipologi keluarga duda yaitu Rp 377.890/kap/bulan diikuti
oleh tipologi keluarga janda sebesar Rp 319.105/kap/bulan dan keluarga utuh Rp
229.369/kap/bulan. Analisis anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata
pengeluaran non pangan antar ketiga tipologi keluarga. Selanjutnya uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya antara pengeluaran non pangan
keluarga utuh dan duda, pengeluaran pangan keluarga janda tidak berbeda dengan
dua tipologi lainnya (Tabel 20).
Tabel 20. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran pangan dan non pangan
Pengeluaran (Rp/bulan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) Pangan Rata-rata 267.646 367.379 314.061 286.559 Standar Deviasi 157.825 223.606 216.663 177.195 Minimum 79.000 94.285 25.000 25.000 Maksimum 1.232.000 975.000 827.000 1.232.000 Persentase 53.9 50.5 51.3 51.9 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.063
Non Pangan Rata-Rata 229.369 377.890 319.105 260.221 Standar Deviasi 169.657 286.008 229.410 202.880 Minimum 0.00 60.000 84.750 0.00 Maksimum 938.333 1.337.500 735.555 1.337.500 Persentase 46.1(ac) 49.5(bc) 48.7(cba) 48.1 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.005
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berart berbeda nyata
Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator yang dapat
memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi
pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan
ke pengeluaran non pangan (BPS, 1998). Hal ini sesuai dengan hukum Engel
mengenai hubungan pendapatan dan pengeluaran, persentase pengeluaran untuk
pangan akan menurun bila pendapatan semakin tinggi (Bryant, 1990). Pergeseran
pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada
umumnya rendah. Artinya konsumsi suatu barang akan menurun bila pendapatan
meningkat, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada
umumnya tinggi. Dengan demikian, kenaikan pendapatan berakibat pada kenaikan
permintaan terhadap suatu barang (BPS, 1998).
Pendapatan
Rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan pasca bencana gempa dan
tsunami disajikan pada Tabel 21. Secara umum, rata-rata pendapatan keluarga
adalah Rp 628.925/kap/bulan dengan kisaran Rp 96.000/kap/bulan hingga Rp
3.666.667/kap/bulan. Rata-rata pendapatan keluarga paling tinggi dijumpai pada
keluarga dengan tipologi duda yakni Rp 832.922/kap/bulan, selanjutnya keluarga
janda dengan rata-rata Rp 602.000/kap/bulan dan terendah pada keluarga utuh Rp
451.853/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(p<0.05) antar pendapatan pada ketiga tipologi keluarga. Banyak keluarga yang
kehilangan sumber penghasilannya pasca gempa dan tsunami sehingga mereka
harus merintis kembali usaha/pekerjaan yang dilakukan sebelumnya atau mencari
pekerjaan baru untuk menghidupi keluarganya
Tabel 21. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pendapatan
Kategori Pendapatan (Rp/kap/bulan)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
1. < 100.000 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4 2. > 100.000 - 250.000 17 16.5 4 20 1 6.7 22 15.9 3. > 250.000 - 500.000 57 55.3 4 20 7 46.7 68 49.3 4. > 500.000 - 750.000 17 16.5 8 40 5 33.3 30 21.7 5. > 750.000 -1.000.000 5 4.9 0 0 1 6.7 6 4.3 6. > 1.000.000 5 4.9 4 20 1 6.7 10 7.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 451.853(ac) 832.922 (bc) 602.000(cba) 628.925 Standar Deviasi 258.649 839.151 335.797 477.866 Minimum 96.000 150.000 150.000 96.000 Maksimum 1.500.000 3.666.667 1.500.000 3.666.667 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.001
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Aset
Berbagai aset yang masih dimiliki oleh keluarga pasca gempa dan tsunami mulai
dari rumah, tanah, kolam/tambah, ternak, kendaraan, perhiasan/barang berharga,
tabungan dan barang elektronika (Tabel 22). Data yang diperoleh menunjukkan ada
empat keluarga yang sama sekali tidak memiliki aset karena mereka kehilangan
seluruh harta benda yang dimiliki. Rata-rata nilai aset yang dimiliki keluarga secara
keseluruhan adalah Rp 20.442.237.06. Berdasarkan tipologi, nilai aset tertinggi
dimiliki keluarga janda (Rp 25.193.444) dan terendah dimiliki oleh keluarga utuh (Rp
19.810.416). Artinya meskipun keluarga utuh tidak mengalami kehilangan pasangan,
kehilangan ataupun kerusakan harta benda dampaknya dirasakan bersama dengan
keluarga janda dan duda. Namun, hasil analisis anova menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata antara aset pada keluarga utuh, duda dan janda.
Aset berupa ternak hanya dimiliki oleh keluarga utuh. Nilai aset terbesar
keluarga berasal dari kolam/tambak yang mengalami kerusakan yang sangat parah
pada saat bencana. Aset kendaraan lebih banyak dimiliki oleh keluarga utuh dan
keluarga duda. Dan aset berupa tabungan untuk anak dimiliki oleh semua tipologi
keluarga, tetapi tabungan khusus pendidikan hanya dimiliki oleh keluarga utuh.
Tabel 22. Rata-rata nilai aset yang masih dimiliki keluarga
Aset Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) 1. Rumah 56.038.461.5 51.250.000.0 65.571.428.6 57.619.963.4 2. Tanah 48.238.024.7 37.994.444.4 35.928.571.4 40.720.346.8 3. Kebun 0.0 60.000.000.0 0.0 20.000.000.0 4. Kolam/tambak 158.000.000.0 137.500.000.0 100.000.000.0 131.833.333.3 Ternak : 1. Kambing 3.750.000.0 0.0 0.0 1.250.000.0 2. Itik 205.000.0 0.0 0.0 68.333.3 3. Ayam 196.000.0 0.0 0.0 65.333.3 Kendaraan : 1. Mobil 41.166.666.7 112.500.000.0 0.0 51.222.222.2 2. Motor 9.567.641.0 11.785.714.3 7.666.666.7 9.673.340.7 3. Sepeda 2.241.875.0 250.000.0 0.0 830.625.0 4. Becak 11.000.000.0 14.000.000.0 0.0 8.333.333.3 Perhiasan dan Surat Berharga : 1. Emas 4.610.052.6 7.200.000.0 2.590.000.0 4.800.017.5 2. Investasi 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7 3. Surat Berharga 0.0 5.000.000.0 0.0 Tabungan : 0.0 1. Tabungan anak 11.000.000.0 2.000.000.0 9.000.000.0 7.333.333.3 2. Tabungan Penddk 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7 Barang Elektronik : 1. Radio 205.833.3 108.750.0 175.000.0 163.194.4 2. Televisi 1.605.084.8 1.362.500.0 1.357.142.9 1.441.575.9 3. Tape 315.882.4 650.000.0 0.0 321.960.8 4. Vcd 320.232.6 435.714.3 325.000.0 360.315.6 5. Rice cooker 253.510.6 290.000.0 265.000.0 269.503.5 6. Mesin cuci 1.050.000.0 0.0 0.0 350.000.0 7. Kipas angin 145.000.0 0.0 0.0 48.333.3 8. Dispenser 135.000.0 0.0 0.0 45.000.0 9. Komputer 3.000.000.0 0.0 0.0 1.000.000.0 10. Kulkas 1.575.000.0 0.0 1.750.000.0 1.108.333.3 11. Mesin jahit 1.900.000.0 0.0 0.0 633.333.3 Rata-Rata 19.810.416.32 20.132.708.35 25.193.444.44 20.442.237.06 Standar Deviasi 24.878.571.70 18.117.314.41 24.429.740.37 23.877.078.50 Minimum 0.00 0.00 2.500.000.00 0.00
Maksimum 145.325.000.00 69.750.000.00 81.075.000.00 45.325.000.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.718
Kepemilikan aset merupakan salah satu sumberdaya materi ataupun modal
yang dapat dimanfaatkan keluarga untuk memulai usaha yang mengalami
kehancuran pada saat gempa dan tsunami terjadi. Banyak diantara keluarga yang
menjual aset yang dimiliki untuk menopang kehidupannya meskipun mereka
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak seperti pemerintah, LSM dalam maupun
luar negeri.
Ciri-ciri Pribadi
Umur
Rata-rata umur kepala keluarga berkisar antara 41 sampai 45 tahun, dan masih
termasuk usia produktif. Bila dilihat berdasarkan kategori, 50.5 persen keluarga utuh
dan 55 persen keluarga duda berusia 41 - 60 tahun. Berbeda dengan keluarga
janda 66.7 persen berusia 21 - 40 tahun (Tabel 23). Namun demikian, hasil uji anova
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata umur antara kedua tipologi keluarga.
Masih tingginya persentase contoh yang tergolong dalam kelompok umur 21-40
tahun khususnya bagi contoh dari tipologi keluarga janda yang sebagian besar
masuk dalam usia reproduksi menunjukkan masih tingginya peluang untuk menikah
lagi dan memiliki anak. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya lost generation
akibat gempa dan tsunami tidak separah yang diperkirakan.
Tabel 23. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori umur
Kategori umur Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % < 21 tahun 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 21-40 tahun 46 44.7 8 40.0 10 66.7 64 46.4 41-60 tahun 52 50.5 11 55.0 4 26.7 67 48.6 > 60 tahun 4 3.9 1 5.0 1 6.7 132 95.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 42.31 44.85 41.60 42.60 Standar Deviasi 8.88 8.96 8.34 8.82 Minimum 20.00 31.00 30.00 20.00 Maksimum 68.00 71.00 62.00 71.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.452
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan kepala keluarga secara keseluruhan (60.9%) adalah
SLTA/sederajat. Meskipun demikian terdapat 11.7 persen pada tipologi keluarga
utuh dan 6.7 persen pada tipologi keluarga janda yang berpendidikan perguruan
tinggi Meskipun demikian. Tetapi masih ada 1.4% kepala keluarga utuh dan janda
yang tidak pernah menduduki bangku sekolah (Tabel 24). Tingkat pendidikan yang
semakin tinggi diharapkan dapat mempermudah keluarga dalam menata
kehidupannya kembali pasca gempa dan tsunami baik dari aspek ekonomi maupun
trauma psikologis yang dialaminya.
Tabel 24. Sebaran contoh menurut kategori pendidikan formal
Pendidikan Formal Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Tidak Sekolah 1 1.0 0 0.0 1 6.7 2 1.4 2. SD/sederajat 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1 3. SLTP/sederajat 20 19.4 2 10.0 3 20.0 25 18.1 4. SLTA/sederajat 60 58.3 16 80.0 8 53.3 84 60.9 5. PT 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100 138 100.0
Tingkat Kesehatan
Skor tingkat kesehatan merupakan indikator tingkat kesehatan yang dapat
menggambarkan kondisi kesehatan keluarga pasca enam bulan terakhir. Semakin
tinggi skor yang diperoleh maka tingkat kesehatan semakin rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kesehatan kepala keluarga selama enam terakhir
sebagian besar (87.0%) cukup baik (Tabel 25).
Tabel 25. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor kesehatan Selama enam bulan terakhir
Kategori Tingkat Kesehatan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 1 1.0 3 15.0 0 0.0 4 2.9
Sedang 11 10.7 3 15.0 0 0.0 14 10.1
Tinggi 91 88.3 14 70.0 15 100.0 120 87.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 13.73(ac) 28.35(b) 9.73(ca) 15.41 Standar Deviasi 14.10 27.79 6.50 17.02
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 68.80 100.00 23.90 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.001
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Hal ini dimungkinkan dengan semakin membaiknya sarana pelayanan
kesehatan yang disediakan oleh pemerintah maupun LSM yang sifatnya gratis. Di
tenda-tenda pengungsian yang masih ada, tersedia pelayanan kesehatan secara
cuma-cuma sehingga masyarakat dapat berobat tanpa memikirkan biaya yang harus
dikeluarkan. Hasil analisis anova menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p<0.05)
tingkat kesehatan antara ketiga tipologi. Uji lanjut Duncan mengindikasikan
perbedaan yang nyata antara tingkat kesehatan keluarga duda dengan keluarga
janda dan utuh. Hal ini dapat dimaknai bahwa pada keluarga utuh dan janda
perawatan kesehatan lebih baik dengan membawa anggota keluarga yang sakit ke
tempat pengobatan atau dengan adanya tindakan yang bersifat kuratif.
Jika dilihat berdasarkan jenis penyakit, terdeteksi 9 jenis penyakit yang
diderita oleh keluarga pada enam bulan terakhir (Tabel 26). Jenis penyakit yang
paling banyak diderita oleh ketiga tipologi keluarga adalah pilek/influenza (47.8%),
panas (29%) dan ISPA (25.4%).
Tabel 26. Sebaran keluarga menurut jenis penyakit yang diderita (hari) enam bulan terakhir
Jenis Penyakit Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Panas 30 29.1 6 30.0 4 26.7 40 29.0
Pilek/influenza 46 44.7 14 70.0 6 40.0 66 47.8
ISPA 25 24.3 8 40.0 2 13.3 35 25.4
Batuk Pilek 20 19.4 5 25.0 4 26.7 29 21.0
Diare (>5 kali) 6 5.8 2 10.0 0 0.0 8 5.8
Mencret biasa 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1
Asma 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
Malaria 8 7.8 0 0.0 2 13.3 10 7.2
Gatal-gatal/eksim 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1
Rata-rata lama sakit bagi sebagian besar keluarga adalah 2.58 hari untuk
jenis penyakit gatal-gatal/eksim. Hal ini dimungkinkan oleh sanitasi terutama
ketersediaan air bersih yang masih kurang memadai terutama untuk wilayah
pengungsian yang menyebabkan jenis penyakit ini mudah terjangkit (Tabel 27).
Tabel 27. Rata-rata lama sakit (hari) selama enam bulan terakhir
Jenis Penyakit Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
1. Panas demam 1.27 1.20 0.87 1.22
2. Pilek/influenza 1.78 2.25 1.27 1.79
3. Batuk biasa (ISPA) 1.25 1.90 0.60 1.28
4. Batuk pilek 1.06 0.85 1.00 1.02
5. Diare (>5 kali) 0.18 0.15 0.00 0.16
6. Mencret biasa 0.16 0.10 0.00 0.13
7. Asma 0.07 0.00 0.00 0.05
8. Malaria 1.36 0.00 2.47 1.28
9. Gatal-gatal/eksim 2.55 2.55 2.80 2.58
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu enam bulan terakhir frekuensi
penyakit gatal-gatal/eksim paling banyak (64.3%) dan malaria (50.0%) diderita keluarga
dengan frekuensi 4 kali/6 bulan (Tabel 28). Seringnya penyakit ini diderita keluarga
dapat diakibatkan oleh sanitasi air yang digunakan untuk mandi sangat rendah, apalagi
dengan adanya sisa-sisa air laut pada saat tsunami yang belum kering
Tabel 28. Sebaran keluarga menurut frekuensi penyakit yang diderita
selama dalam enam bulan terakhir
Jenis Penyakit Frekuensi (kali/6 bulan)/Persentase 1 2 3 4
1. Panas demam 40.0 37.5 5.0 17.5 2. Pilek/influenza 12.1 53.0 13.6 21.2 3. Batuk biasa (ISPA) 20.0 40.0 0.0 40.0 4. Batuk pilek 24.1 27.6 27.6 20.7 5. Diare (>5 kali) 50.0 12.5 0.0 37.5 6. Mencret biasa 28.6 42.9 14.3 14.3 7. Asthma 100.0 0.0 0.0 0.0 8. Malaria 20.0 30.0 0.0 50.0 9. Gatal-gatal/eksim 21.4 14.3 0.0 64.3
Upaya penanggulangan penyakit yang dilakukan oleh keluarga adalah
dengan berobat ke dokter praktek, mantri, rumah sakit umum, puskesmas, dan
posko kesehatan. Namun yang paling banyak dilakukan adalah berobat ke
puskesmas dan posko kesehatan. Pengobatan secara gratis yang tersedia di
puskesmas dan posko menjadi pilihan para keluarga karena disediakan secara
cuma-cuma (Tabel 29).
Tabel 29. Sebaran keluarga menurut upaya pengobatan penyakit yang dilakukan
Jenis Penyakit Puskes mas
Posko ke- sehatan RSU Dokter
Praktek Mantri
Beli di Apotik
Obat Sendiri
Tidak Diobati
1. Panas demam 38.1 21.4 26.2 9.5 2.4 0.0 0.0 2.4 2. Pilek/influenza 39.4 13.6 1.5 6.1 1.5 1.5 7.6 28.8 3. Batuk biasa (ISPA) 34.3 34.3 2.9 5.7 0.0 0.0 5.7 17.1 4. Batuk pilek 42.9 21.4 3.6 7.1 7.1 3.6 0.0 14.3 5. Diare (>5 kali) 12.5 37.5 12.5 0.0 0.0 0.0 0.0 37.5 6. Mencret biasa 12.5 37.5 12.5 12.5 0.0 12.5 12.5 0.0 7. Asthma 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8. Malaria 30.0 30.0 30.0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0 9. Gatal-gatal/eksim 36.0 28.0 20.0 12.0 0.0 4.0 0.0 0.0
Kepribadian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (87.0%) kepribadian kepala
keluarga tergolong pada kategori ekstrovert. Berdasarkan tipologi, persentase
contoh yang termasuk kategori ekstrovert pada keluarga utuh dan janda lebih besar
daripada keluarga duda. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata (p>0.05) kepribadian di antara ketiga tipologi (Tabel 30). Orang yang
ekstrovert dalam kesehariannya melihat kenyataan dan keharusan, tidak lekas
merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan
kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis, sifatnya yang terbuka dan kritik
terhadap diri sendiri. Pribadi yang intovert dengan ciri orang yang suka memikirkan
tentang diri sendiri, banyak fantasi, lekas merasakan kritikan, menahan ekspresi
emosi, sifatnya yang tertutup, lekas tersinggung dalam diskusi, suka
membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik diri menjadi buah pikirannya
(Lampiran 3).
Tabel 30. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor kepribadian
Kategori Skor Kepribadian Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Intovert 10 9.7 5 25.0 3 20.0 18 13.0
Ekstrovert 93 90.3 15 75.0 12 80.0 120 87.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 81.2 74.7 80 78.6
Standar Deviasi 12.1 11.9 13.8 12.6
Minimum 35.3 52.9 52.9 35.3
Maksimum 100 94.1 100 100 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.100
Konsep Diri
Konsep diri sebagian besar (93.5%) contoh termasuk dalam kategori positif. Pada
ketiga tipologi keluarga, persentase terbesar berada pada kategori konsep diri
positif. Dilihat dari rata-rata skor konsep diri, skor tertinggi ditemukan pada tipologi
keluarga utuh (93.4%), diikuti tipologi keluarga janda (91.7%) dan terakhir tipologi
keluarga duda (82.5%) (Tabel 31).
Tabel 31. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori skor konsep diri
Kategori Skor Konsep Diri Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Negatif 4 3.9 4 20.0 1 6.7 9 6.5
Positif 99 96.1 16 80.0 14 93.3 129 93.5
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 93.4 82.5 91.7 89.2
Standar Deviasi 17.8(ac) 32.5(bc) 15.4(cab) 21.9
Minimum 0 0 50 0
Maksimum 100 100 100 100 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.025
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Hasil analisis anova menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p<0.05)
konsep diri di antara ketiga tipologi. Selanjutnya, analisis Duncan menunjukkan
perbedaan konsep diri yang nyata antara tipologi keluarga utuh dan duda. Individu
yang mempunyai konsep diri yang negatif pada umumnya akan mudah sekali stres
Tingginya konsep diri terbukti dari beberapa pertanyaan yang diajukan, menurut
pandangan sebagian besar keluarga, mereka telah menjadi seorang yang baik
ketika menjadi orang tua, pasangan, teman, tetangga maupun dalam menjalankan
agamanya (Lampiran 4).
Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan
masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari
orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional, bantuan
nyata dan bantuan informasi. Dalam hal ini bantuan yang diterima keluarga baik dari
keluarga maupun lembaga pemberi bantuan seperti LSM maupun pemerintah.
Secara keseluruhan, dukungan sosial yang diterima oleh sebagian besar (86.2%)
keluarga dapat mendukung upaya keluarga dalam menyelesaikan masalah pasca
gempa dan tsunami (Tabel 32). Hal yang sama juga terjadi pada ketiga tipologi
keluarga. Rata-rata skor dukungan sosial tertinggi dijumpai pada tipologi keluarga
utuh (92.8), diikuti tipologi keluarga janda (84) dan keluarga duda (76).
Tabel 32. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor dukungan sosial
Kategori Skor Dukungan Sosial
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Tidak mendukung 10 9.7 6 30.0 3 20.0 19 13.8
Mendukung 93 90.3 14 70.0 12 80.0 119 86.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 92.8 76 84 84.3
Standar Deviasi 22.9 37 31.4 30.4
Minimum 0 0 0 0
Maksimal 100 100 100 100 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.093
Keluarga yang menerima bantuan sosial umumnya adalah keluarga yang
tidak memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan rendah, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sangat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak.
Sedangkan keluarga yang tidak menerima bantuan sosial adalah keluarga-keluarga
yang kehidupan ekonominya lebih baik. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (p>0.05) dukungan sosial di antara ketiga tipologi. Pada
Lampiran 5 disajikan pernyataan dukungan sosial yang ditanyakan kepada keluarga.
Secara umum, keluarga memperoleh bantuan fisik dan non fisik dari masyarakat,
teman, keluarga dan pemerintah serta LSM. Korban bencana yang secara ekonomi
tidak mencukupi, apabila tidak memperoleh dukungan sosial akan mengalami stres
lebih tinggi dibandingkan korban yang memperoleh dukungan sosial (Baum, 1990;
Fleming, Baum, Gisriel & Gatchel, 1982).
Bantuan dari berbagai pihak sangat dirasakan mulai hari pertama terjadinya
bencana sampai saat penelitian ini berlangsung masih berjalan terus walaupun
dalam jumlah terbatas. Jenis bantuan yang diterima sangat beragam mulai dari
pangan, kesehatan, beasiswa, perumahan, pakaian dan penyediaan lapangan kerja.
Berikut ini sebagian daftar bantuan yang diberikan kepada masyarakat di Kecamatan
Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa (Tabel 33).
Tabel 33. Daftar bantuan yang diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa
No Jenis bantuan Sumber bantuan
1
Pangan Ø Beras, indomie, sarden, minyak goreng, ikan asin, biskuit dan lain sebagainya Ø Peralatan masak
Depsos, Media group, Perindustrian, Masyarakat Indonesia
2 Kesehatan Ø Pembangunan rumah sakit dan
puskesmas Ø Tenaga medis Ø Pengobatan gratis Ø Makanan tambahan
Depkes, PMI, UNICEF, Media Group dan lain sebagainya
3 Pendidikan Ø Gedung sekolah Ø Perlengkapan sekolah Ø Beasiswa
Diknas, Palang Merah Irlandia (Irish Red Cross), PMI, Yayasan SUKMA, TPI, RCTV dan lain sebagainya
4 Perumahan (Rehabilitasi dan Rekonstruksi)
CARE, Aceh Relif, UN.Habitat, BRR, Wold Vasion, ADB, Peduli Bangsa, OXFAM, LION GROUP, Muslim ED dan lain sebagainya
5 Pakaian Depsos, Media Group dan seluruh masyarakat Indonesia
6 Pekerjaan/pendapatan Depsos, Bank Indonesia, Depnaker, Departemen perdagangan, Departemen pekerjaan umum dan lain sebagainya
Laporan Kantor Camat Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa Banda Aceh.
Korelasi antar Peubah Sumberdaya Coping
Hasil analisis korelasi antara peubah sumberdaya seperti yang disajikan pada
Tabel 34 mengindikasikan adanya hubungan negatif nyata antara pendapatan
dengan jumlah anggota keluarga dan hubungan positif nyata antara pendapatan
dengan tingkat kesehatan. Artinya semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
pendapatan akan semakin rendah, sedangkan semakin tinggi tingkat pendapatan
keluarga, maka tingkat kesehatan akan semakin baik. Kepribadian berhubungan
negatif nyata dengan tingkat kesehatan dan berhubungan positif nyata dengan
dukungan sosial yang berarti semakin ekstrovert kepribadian contoh semakin baik
tingkat kesehatan contoh, serta semakin ekstrovert kepribadian contoh maka
dukungan sosial yang diperoleh juga akan semakin tinggi. Konsep diri juga
berhubungan positif nyata dengan dukungan sosial, yang berarti semakin positif
konsep diri contoh, maka dukungan sosial juga akan semakin tinggi.
Tabel 34. Korelasi Spearman antar peubah sumberdaya coping
Peubah Jumlah anggota keluarga
Pendapatan Umur Kk
Pendidikan kk
Aset Tingkat kesehatan
Dukungan Sosial
Kepribadian Konsep Diri
Jumlah anggota keluarga
Pendapatan -.376(**)
Umur kk .317(**) -0.139
Pendidikan kk 0.145 0.13 -0.162
Aset -0.155 0.163 0.105 0.067
Tingkat Kesehatan 0.003 .174(*) -0.076 -0.009 0.051
Dukungan Sosial 0.154 -0.135 0 -0.097 -0.028 -0.086
Kepribadian 0.108 -0.100 0.098 -0.025 -0.086 -.193(*) .384(**)
Konsep Diri 0.014 0.079 -0.026 -0.004 0.095 -0.145 .275(**) 0.14
Pengaruh Sumberdaya Coping terhadap Masalah Keluarga
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping terhadap masalah keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel
35) Nilai R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.5175 artinya pengaruh sumberdaya
coping terhadap masalah keluarga adalah 51.75 persen, sisanya yakni 48.25 persen
adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada dua variabel yang secara nyata
berpengaruh terhadap masalah keluarga yakni kepribadian dan aset. Adapun
variabel yang paling tinggi pengaruhnya secara signifikan adalah kepribadian yakni
49.33 persen.
Tabel 35. Masalah keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 115.50509388 Kepribadian -0.98845851 0.4933 0.4933 0.0001 Aset -16.67505391 0.0242 0.5175 0.0103
Kepribadian berpengaruh negatif nyata terhadap masalah keluarga yang
bermakna semakin ekstrovert kepribadian yang dimiliki kepala keluarga akan
membuat masalah yang dihadapi semakin rendah. Hal ini dapat dipahami karena
orang yang ekstrovert akan lebih mampu menghadapi masalah, karena sikapnya
yang terbuka dan mau menerima setiap persoalan dengan hati terbuka.
Aset keluarga juga berpengaruh negatif nyata terhadap masalah keluarga,
artinya semakin banyak aset yang tersisa pasca gempa dan tsunami maka masalah
yang dihadapi keluarga akan semakin rendah. Aset merupakan salah satu
sumberdaya materi yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk mengatasi masalah yang
dihadapi keluarga.
Tingkat Stres
Tingkat Stres (Family Inventory of Life)
Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa yang sangat menekan
secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka panjang, kesepian, dan
kekhawatiran akan finansial karena suami menjadi korban bencana. Hal ini banyak
dialami oleh para pengungsi yang tinggal di barak-barak dalam jangka waktu yang
lama. Berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya di masa
mendatang.
Tingkat stres yang disajikan pada Tabel 36 merupakan kategori skor
komposit dari gejala stres fisik, psikis, kognitif dan perilaku. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa tingkat stres yang dialami oleh keluarga contoh setahun
pasca gempa dan tsunami sebagian besar (88.4%) termasuk stres minor yang
dicerminkan dengan rendahnya rata-rata skor stres contoh yakni 19.13. Hanya 0.7
persen contoh yang mengalami stres mayor/berat akibat bencana gempa dan
tsunami. Demikian pula jika dilihat berdasarkan tipologi keluarga, pada semua
tipologi terlihat bahwa persentase terbesar berada pada kategori stres minor. Hasil
temuan ini agak berbeda dengan data yang diproyeksikan WHO bahwa setahun
setelah bencana tsunami sebanyak 3-4 persen korban mengalami stres berat
(berupa psikosis, depresi berat, kelelahan yang berat), sekitar 20 persen mengalami
gangguan mental ringan atau moderat dalam bentuk depresi dan kelelahan), 30-50
persen mengalami stres moderat atau berat dan 20-40 persen mengalami stres
psikologi ringan (WHO, 2005).
Tingkat stres dengan metode Family Inventory of Life tertinggi ditemukan
pada tipologi keluarga duda dengan skor rata-rata 24.17 dan terendah keluarga utuh
18.12. Adanya dukungan keluarga yang memotivasi ternyata dapat mengurangi
tingkat stres keluarga. Rendahnya tingkat stres keluarga setahun pasca tsunami
dapat terlihat saat diwawancara, umumnya contoh mengatakan bahwa sudah dapat
dapat melupakan bencana yang pernah dialami, semua ini merupakan kehendak
dari Yang Maha Kuasa dan siapapun tidak bisa menyesalinya. Sikap mereka yang
tabah dan pasrah membuat mereka dapat mengendalikan diri dari stres yang
mereka alami, sehingga saat ini mereka dapat menata kembali kehidupan yang lebih
baik
Tabel 36. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres (metode Family Inventory of Life)
Kategori tingkat stres (Family Inventory of Life)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 91 88.3 17 85.0 14 93.3 122 88.4 Stres Ringan 5 4.9 1 5.0 0 0.0 6 4.3 Stres Sedang 7 6.8 1 5.0 1 6.7 9 6.5 Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 18.12 24.17 19.33 19.13
Standar Deviasi 15.28 18.81 11.21 15.50
Minimum 0.00 3.30 10.00 0.00
Maksimum 68.30 80.00 53.30 80.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.281
Rendahnya tingkat stres keluarga utuh menurut Potter & McKenzie (2000)
karena adanya dukungan keluarga yang dapat menciptakan penilaian positif
terhadap keberadaan keluarga sehingga memberikan kontribusi pada kemampuan
keluarga dalam menghadapi stres secara efektif. Dukungan keluarga akan
memberikan kontribusi pada kemampuan keluarga untuk menghadapi stres atau
krisis secara efektif. Sumberdaya yang memadai mampu mengatasi sebuah
kejadian, tingkat stres yang dialami akan relatif rendah atau bahkan tidak ada sama
sekali, tetapi jika seseorang merasa bahwa sumberdaya yang dimiliki tidak
mencukupi untuk menghadapi ancaman, tantangan atau situasi yang
membahayakan, maka ia akan mengalami tingkat stres yang tinggi (Anonim, 2006).
Gejala Stres Fisik
Secara keseluruhan (73.2%) tingkat stres fisik contoh setahun pasca tsunami
termasuk kategori stres minor dengan skor rata-rata 22.87. Tingkat stres fisik
terendah ditemukan pada tipologi keluarga utuh dengan skor rata-rata 22.09 dan
tertinggi pada tipologi keluarga duda dengan skor rata-rata 26.56 (Tabel 37). Gejala-
gejala stres fisik yang dialami oleh contoh setahun pasca gempa dan tsunami
disajikan pada Lampiran 6. Dari delapan gejala stres fisik yang ditanyakan, sebagian
besar keluarga menyatakan tidak pernah mengalaminya. Pada tipologi janda,
terdapat beberapa gejala yang sebagian besar kadang-kadang dirasakan yakni
pusing atau sakit kepala tanpa alasan, kejang otot/kram dan tangan gemetaran serta
merasa letih/lesu/lemas yang luar biasa atau terasa tenaga terkuras habis. Gejala
stres fisik yang sama juga dialami oleh keluarga utuh, meskipun persentasenya
masih di bawah 10 persen. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05)
tingkat stres fisik antara ketiga tipologi keluarga.
Tabel 37. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres fisik
Kategori tingkat stres fisik
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 77 74.8 12 60.0 12 80.0 101 73.2 Stres Ringan 10 9.7 4 20.0 1 6.7 15 10.9 Stres Sedang 14 13.6 4 20.0 2 13.3 20 14.5 Stres Mayor/Berat 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 22.09 26.56 23.33 22.87
Standar Deviasi 19.84 20.47 17.75 19.64
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 68.80 62.50 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.648
Gejala Stres Psikis
Pada awal bencana banyak pengungsi yang merasa putus asa, memandang
dirinya tidak berdaya dan tidak berguna lagi, karena kehilangan semua orang yang
dicintainya, suami atau isteri dan anak-anaknya, termasuk harta benda. Seiring
dengan berjalannya waktu, yakni setahun setelah bencana, umumnya korban
tsunami sudah dapat bangkit kembali dan tidak menunjukkan gejala stres psikis lagi.
Rendahnya tingkat stres psikis yang dialami contoh terlihat dari persentase
terbesar (76.8%) termasuk dalam kategori stres minor dengan skor rata-rata 22.46
Tingkat stres psikis tertinggi ditemukan pada keluarga duda dengan skor rata-rata
28.93, diikuti oleh keluarga janda 23.81 dan keluarga utuh 21.01 (Tabel 38). Tidak
ditemukan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) tingkat stres psikis antara ketiga
tipologi keluarga. Tingginya tingkat stres yang dialami keluarga duda karena
sebagian besar menyatakan kadang-kadang mengalami mimpi-mimpi buruk
(Lampiran 7). Menurut Hartiningsih (2005), dalam banyak kasus bencana dengan
jumlah korban yang banyak, sekitar 70 persen penduduk, gejala-gejala stres psikis
seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan hilang dalam satu sampai dua
bulan. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki mekanisme coping secara
alamiah. Sekitar 30 persen lainnya akan memperlihatkan gejala-gejala lain seperti
mimpi buruk terus-menerus, kehilangan semangat dan lain-lain setelah enam bulan.
Dari jumlah itu, sekitar 7-10 persennya mengalami disorientasi sosial-psikologis,
seperti agresif, tidak mau makan dan tidak mau bicara.
Tabel 38. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres psikis
Kategori tingkat stres psikis
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 80 77.7 14 70.0 12 80.0 106 76.8 Stres Ringan 9 8.7 2 10.0 2 13.3 13 9.4 Stres Sedang 13 12.6 3 15.0 1 6.7 17 12.3 Stres Mayor/Berat 1 1.0 1 5.0 0 0.0 2 1.4 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 21.01 28.93 23.81 22.46
Standar Deviasi 18.49 21.17 13.94 18.56
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 78.60 85.70 50.00 85.70 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.210
Gejala Stres Kognitif
Gejala stres kognitif adalah pengalaman subjektif yang didasarkan atas
persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan tingkat stres fisik dan psikis, tingkat
stres kognitif juga termasuk dalam kategori minor dengan skor rata-rata 15.87 yang
dialami oleh 82.6 persen contoh (Tabel 39). Demikian pula jika dilihat berdasarkan
tipologi sebagian besar keluarga pada ketiga tipologi juga tergolong kategori stres
minor. Rata-rata skor tingkat stres kognitif terendah adalah pada keluarga janda
(14.00), dan tertinggi pada tipologi keluarga duda (19.00). Tidak ditemukan adanya
perbedaan yang nyata (p>0.05) tingkat stres kognitif antara ketiga tipologi keluarga.
Rendahnya tingkat stres kognitif pada ketiga tipologi dapat dilihat dari lima item
gejala stres kognitif yang ditanyakan kepada keluarga, sebagian besar keluarga
menyatakan tidak mengalaminya (Lampiran 8).
Tabel 39. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres kognitif
Kategori tingkat stres kognitif
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 87 84.5 14 70.0 13 86.7 114 82.6
Stres Ringan 6 5.8 3 15.0 0 0.0 9 6.5 Stres Sedang 9 8.7 3 15.0 2 13.3 14 10.1 Stres Mayor/Berat 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 15.53 19.00 14.00 15.87
Standar Deviasi 19.13 19.17 18.82 19.02
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 80.00 50.00 60.00 80.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.701
Gejala Stres Perilaku
Rendahnya tingkat stres fisik, psikis dan kognitif, diikuti juga oleh tingkat stres
perilaku, karena sebagian besar (92.0%) contoh mengalami tingkat stres perilaku
yang termasuk kategori stres minor dengan skor rata-rata 15.44 (Tabel 40). Rata-
rata tingkat stres perilaku tertinggi ditemukan pada keluarga duda (21.50%) dan
terendah pada keluarga utuh (14.22%). Tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05)
tingkat stres perilaku antara ketiga tipologi. Rendahnya rata-rata skor tingkat stres
perilaku terlihat dari sepuluh item pertanyaan yang diajukan, sebagian besar contoh
menyatakan kadang-kadang mengalami sukar tidur atau tidur terlalu lama, hilang
nafsu makan atau sebaliknya nafsu makan tinggi dan kadang-kadang
melamun/termenung (Lampiran 9).
Menurut Joseph, Yule, Williams dan Hodkinson (1993), studi-studi yang
dilakukan di seluruh dunia selama lebih dari 25 tahun menunjukkan berbagai
dampak bencana alam seperti yang terjadi pada korban topan Andrew, gempa bumi
di Kota Mexico dan Armenia. Rasa shock dan kesedihan yang mendalam dirasakan
oleh hampir semua korban, perasaan menyalahkan diri sendiri dan takut peristiwa itu
terulang kembali, hal ini dapat menimbulkan ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan sehingga mempengaruhi perilaku seeorang dalam menyelesaikan
masalah secara tepat. Gangguan tidur dan kehilangan selera akan juga seringkali
terjadi. Untuk mengatasi kelelahan dan depresi, korban bencana mengkonsumsi
alkohol dan merokok dalam jumlah yang tinggi, minum pil tidur dan anti depresi.
Tabel 40. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori tingkat stres perilaku
Kategori tingkat stres perilaku
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 96 93.2 18 90.0 13 86.7 127 92.0
Stres Ringan 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4 Stres Sedang 3 2.9 0 0.0 2 13.3 5 3.6 Stres Mayor/Berat 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 14.22 21.50 15.67 15.44
Standar Deviasi 15.73 25.65 15.45 17.50
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 50.00 100.00 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.236
Tingkat Stres (Holmes dan Rahe)
Selain dengan menggunakan metode Family Inventory of Life untuk
mengukur tingkat stres keluarga, pengukuran tingkat stres dilakukan juga dengan
menggunakan metode Holmes dan Rahe. Hasil kategorisasi skor menunjukkan
bahwa tingkat stres contoh tersebar pada keempat kategori, persentase terbesar
yakni 44.9 persen termasuk dalamtingkat stres sedang. Berdasarkan tipologi,
keluarga duda mengalami tingkat stres tertinggi dengan rata-rata 65.02 dan terendah
dialami oleh keluarga utuh dengan rata-rata 35.63. (Tabel 41). Terdapat perbedaan
yang signifikan antara tingkat stres keluarga utuh dengan keluarga janda dan duda.
Pada keluarga utuh penyebab stres tertinggi adalah kehilangan aset, dan pada
keluarga duda dan janda penyebab stres tertinggi adalah kematian pasangan
(Lampiran 10).
Murphy (1984) peneliti korban ledakan gunung berapi Mount Saint Helen,
Washington pada tanggal 18 Mei 1980. Korban yang kehilangan kerabat atau
teman merupakan masalah besar yang mengakibatkan tingkat stres yang lebih tinggi
dan status kesehatan mental yang rendah dibandingkan dengan korban lain. Tetapi
korban tidak menunjukkan kondisi fisik yang lebih parah dibandingkan yang tidak
kehilangan. Korban yang kehilangan kerabat atau teman dekat namun belum pasti,
terlihat stres saat diwawancara. Mereka mengatakan bahwa “menunggu adalah
sebuah penderitaan”, “berharap mereka belum meninggal” dan bahwa ”sulit
menerima tanpa melihat fisik korban langsung”. Orang-orang yang kehilangan
rumah, dilaporkan menunjukkan tingkat stres yang sama dengan yang kehilangan
kerabat, namun tidak mengalami kesulitan emosional atau fisik yang lebih parah
dibandingkan yang tidak kehilangan. Mereka juga menunjukkan kemarahan yang
lebih besar, menyalahkan diri sendiri dan tidak puas terhadap bantuan yang
diterima. Sebagian besar korban menyatakan bahwa 11 bulan setelah bencana
mereka belum pulih.
Tabel 41. Statistik dan sebaran keluarga berdasarkan tingkat stres keluarga dengan menggunakan Skala Holmes dan Rahe
Kategori tingkat stres Holmes
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n % Stres Minor 43 41.7 0 0.0 1 6.7 44 31.9 Stres Ringan 21 20.4 1 5.0 1 6.7 23 16.7 Stres Sedang 39 37.9 13 65.0 10 66.7 62 44.9 Stres Mayor/Berat 0 0.0 6 30.0 3 20.0 9 6.5 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 35.63 (a) 65.02 (bc) 62.99 (cb) 42.86
Standar Deviasi 19.41 10.96 14.92 21.80
Minimum 0.00 35.30 30.70 0.00
Maksimum 65.90 82.90 83.60 83.60 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.000
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Freedy, Shaw, Jarrell, dan Masters (1992) dan Kaiser, Sattler, Bellack, dan
Dersin (1996) menemukan bahwa 1-2 bulan setelah bencana Hugo (Charleston,
1989), kehilangan harta benda paling berpengaruh terhadap tingkat stres. Sattler
(2001) menemukan bahwa satu bulan setelah gempa Northridge (Los Angeles
County, California, 1994) kehilangan harta benda adalah variabel yang paling
berpengaruh terhadap tingkat stres, diikuti oleh karakteristik demografi, coping
keluarga dan dukungan sosial. Orang-orang yang memiliki sumberdaya keuangan
terbatas dan jaringan dukungan sosial yang kurang akan mengalami kesulitan untuk
bangkit jika dibandingkan dengan orang yang memiliki sumberdaya dan jaringan
sosial yang kuat, mereka dengan cepat memperoleh ganti rugi dari kehilangan yang
dialami (Holahan, Moos, Holahan, & Cronkite, 1999; Kaniasty & Norris, 1995).
Pengaruh Sumberdaya Coping dan Masalah Keluarga terhadap Tingkat Stres
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap tingkat stres Family Inventory
of Life pasca gempa dan tsunami (Tabel 42). Nilai R2 yang diperoleh adalah
sebesar 0.2963 artinya pengaruh sumberdaya coping dan masalah keluarga
terhadap terhadap tingkat stres Family Inventory of Life adalah 29.63 persen,
sisanya yakni 71.37 persen adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada tiga
variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap tingkat stres Family Inventory of
Life yakni pekerjaan kepala keluarga, konsep diri dan aset. Adapun variabel yang
paling tinggi pengaruhnya secara signifikan adalah pekerjaan kepala keluarga yakni
14.03 persen (Tabel 42).
Tabel 42. Stres Family Inventory of Life sebagai peubah tidak bebas dengan masalah keluarga dan sumberdaya coping
sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 39.51888537 Pekerjaan KK -0.15128373 0.1403 0.1403 0.0001 Konsep diri -0.28228469 0.1224 0.2627 0.0001 Aset 0.00000003 0.0336 0.2963 0.0126
Pekerjaan kepala keluarga berpengaruh negatif terhadap tingkat stres kepala
keluarga, artinya semakin baik pekerjaan kepala keluarga mengakibatkan stres yang
dialami semakin rendah. Ini dapat dipahami bahwa kepala keluarga yang memiliki
pekerjaan tetap walaupun terjadi bencana tidak akan menpengaruhi pendapatan
keluarga. Dengan pendapatan yang cukup semua kebutuhan keluarga dapat
terpenuhi, sehingga tinggat stres yang dialami menjadi rendah.
Konsep diri berpengaruh negatif terhadap tingkat stres kepala keluarga,
artinya konsep diri yang positif yang dimiliki kepala keluarga dapat membantu
menurunkan tingkat stres yang dialami kepala keluarga akibat banyak permasalahan
yang dihadapi pasca gempa dan tsunami.
Aset keluarga berpengaruh positif terhadap masalah keluarga, artinya
semakin banyak aset yang hilang maka tingkat stres kepala keluarga cendrung lebih
meningkat. Hal ini dapat dipahami bahwa aset yang dimiliki keluarga merupakan
salah satu modal untuk kehidupan anggota keluarga di masa depan, baik untuk
berusaha maupun untuk biaya pendidikan. Dengan demikian kehilangan aset berarti
kehilangan masa depan baik untuk berusaha maupun untuk pendidikan.
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap tingkat stres Holmes dan Rahe
pasca gempa dan tsunami (Tabel 43). Nilai R2 yang diperoleh adalah sebesar
0.4568 artinya pengaruh sumberdaya coping dan masalah keluarga terhadap
terhadap tingkat stres Holmes dan Rahe adalah 45.68 persen, sisanya yakni 54.32
persen adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian. Ada empat variabel yang
secara nyata berpengaruh terhadap tingkat stres Holmes dan Rahe yakni tipologi
keluarga janda, kepribadian, masalah rumah dan masalah pekerjaan. Adapun
variabel yang paling tinggi pengaruhnya secara signifikan adalah tipologi keluarga
duda yakni 32.61 persen
Tabel 43. Stres Holmes dan Rahe sebagai peubah tidak bebas dengan masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 98.82476674 D1 24.54096483 0.3261 0.3261 0.0001 Kepribadian -0.43828369 0.0712 0.3973 0.0001 Masalah rumah 0.14213838 0.0411 0.4384 0.0021 Masalah pekerjaan 0.09485398 0.0184 0.4568 0.0354
Tipologi keluarga janda berpengaruhnya positif terhadap tingkat stres Holmes
dan Rahe, artinya dengan status keluarga single perent akan membuat tingkat stres
yang dialami semakin tinggi. Ini memiliki makna bahwa kehilangan pasangan
merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan sulit untuk dilupakan. Bagi
sorang istri, suami adalah orang yang bertanggung jawab untuk kehidupan keluarga,
suami sebagai tumpuan harapan untuk kehidupannya, tempat berbagi suka maupun
duka. Dengan demikian, kehilangan suami berarti semua tanggung jawab keluarga
beralih kepada istri. Istri yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya.
Kepribadian kepala keluarga berpengaruh negatif nyata terhadap tingkat
stres, artinya bahwa kepribadian yang ekstrovet mampu menurunkan tingkat stres.
Ini dapat dipahami bahwa orang yang ekstrovet lebih terbuka dalam menghadapi
suatu persoalan dan mau berbagi suka dan duka dengan orang lain.
Masalah rumah/tempat berpengaruh positif nyata terhadap tingkat stres, ini
memiliki makna bahwa semakin tinggi masalah rumah yang dihadapi kepala
keluarga maka tingkat stres juga semakin meningkat. Hal ini dapat dipahami
masalah perumahan menjadi suatu persolan yang cukup serius karena menyangkut
ketenangan dan kenyamanan bagi anggota keluarga. Rumah yang tidak memadai
dan tidak memenuhi standar kesehatan dapat mempengaruhi aktivitas anggota
keluarga sehari-hari.
Masalah pekerjaan kepala keluarga juga berpengaruh positif nyata terhadap
tingkat stres. Artinya hilangnya pekerjaan akibat gempa dan tsunami dapat
mengakibatkan tingkat stres semakin meningkat. Ini dapat dipahami bahwa kepala
keluarga yang tidak memiliki pekerjaan dapat mempengaruhi pendapatan keluarga
sehingga kebutuhan keluarga sehari-hari dapat terganggu.
Strategi Coping Keluarga
Strategi coping adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam
menyelesaikan masalah pasca gempa dan tsunami. Setiap keluarga memiliki strategi
coping masing-masing, ada yang berfungsi efektif dan ada yang tidak. Persepsi
keluarga terhadap masalah dapat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk
memecahkan masalah tersebut. Jika sebuah masalah dipandang berat dan sulit
untuk diatasi maka keluarga tersebut akan benar-benar sulit untuk memecahkan dan
sebaliknya (McCubbin, 1975).
Strategi coping yang dilakukan keluarga mencakup dua kelompok yakni
strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi.
Sebelum mencermati secara khusus kedua kelompok strategi coping, terlebih dahulu
akan dibahas strategi coping secara keseluruhan yakni skor coping komposit kedua
jenis strategi coping yang akan disebut sebagai strategi coping total. Pada Tabel 44
disajikan kategori strategi coping total yang dilakukan keluarga pasca gempa dan
tsunami. Data pada tabel tersebut menunjukkan hanya 21.7 persen keluarga yang
mampu melakukan strategi coping dengan kategori tinggi dan sisanya (78.3%)
termasuk kategori sedang dengan rata-rata 64.7. Berdasarkan tipologi secara
keseluruhan keluarga janda lebih tinggi melakukan strategi coping dengan rata-rata
66.2 dan paling rendah dilakukan oleh keluarga utuh dengan rata-rata 62.3. Namun
demikian hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05)
coping total di antara ketiga tipologi. Data ini juga memperlihatkan bahwa ketiga
tipologi keluarga belum mampu secara maksimal melakukan strategi coping untuk
penyelesaian masalah yang dihadapi.
Tabel 44. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping total
Kategori Coping Total Utuh
(n=103) Duda
(n=20) Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0 Sedang 83 80.6 13 65 12 80 108 78.3 Tinggi 20 19.4 7 35 3 20 30 21.7 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 62.3 65.6 66.2 64.7 Standar deviasi 9.4 11.9 12.4 11.2 Minimum 38.9 43.5 53.7 38.9
Maksimum 97.2 88.9 90.7 97.2 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.192
Strategi Coping Berfokus pada Masalah
Menurut Rice (1999), strategi coping berfokus pada masalah adalah strategi
coping yang dilakukan individu dengan mencoba mengembangkan perencanaan
langkah yang konkrit dan menggunakannya sebagai kontrol langsung. Menurut
Parker dan Endler (1996), coping berfokus pada masalah mempunyai lima dimensi
yakni perilaku aktif mengatasi stres, perencanaan, penekanan kegiatan, penundaan
kegiatan dan pencarian dukungan sosial
Secara keseluruhan, hanya 44.2 persen keluarga yang melakukan strategi
coping berfokus pada masalah yang tergolong ke dalam kategori tinggi dan sisanya
55.8 persen termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata secara keseluruhan
67.9 (Tabel 45). Tipologi keluarga janda lebih tinggi melakukan strategi coping
berfokus pada masalah (60%) jika dibandingkan dengan keluarga utuh yang hanya
(43.7%) dan duda (35%). Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata (p>0.05) coping berfokus pada masalah di antara ketiga tipologi. Tidak
maksimalnya strategi coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga
dimungkinkan karena sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat terbatas.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan diketahui bahwa sebagian
keluarga berusaha sendiri untuk menyelesaikan masalah, tidak mau terlalu
tergantung kepada pemberi bantuan yang sifatnya sementara, harus bisa berdiri di
atas kaki sendiri tanpa harus dibantu oleh orang lain. Orang yang selalu menerima
bantuan dari orang lain adalah orang pemalas yang selalu minta dikasihani. Namun
demikian masih banyak keluarga yang penghasilannya sangat tergantung kepada
bantuan pihak lain.
Tabel 45. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping berfokus pada masalah
Kategori Skor Coping Berfokus pada Masalah
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0 Sedang 58 56.3 13 65 6 40 77 55.8 Tinggi 45 43.7 7 35 9 60 61 44.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 67 66.3 70.4 67.9 Standar deviasi 9.5 10.8 12 10.8
Minimum 39.6 45.8 52.1 39.6 Maksimum 93.8 87.5 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.409
Planful problem solving
Planful problem solving merupakan upaya keluarga bereaksi dengan melakukan
usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan dan diikuti
pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Secara umum, (66.7%) keluarga
melakukan coping planful problem solving termasuk dalam kategori tinggi (Tabel 46).
Hal yang sama juga ditemukan pada ketiga tipologi keluarga, dimana persentase
terbesar adalah pada kategori tinggi. Meskipun tidak terlalu berbeda, rata-rata
coping planful problem solving yang dijumpai pada tipologi duda (75.7%) lebih tinggi
daripada keluarga janda dan utuh. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang
nyata untuk coping planful problem solving antar ketiga tipologi.
Tabel 46 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping planful problem solving
Kategori Skor Planful Problem Solving
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 1 1 0 0 0 0 1 0.7 Sedang 33 32 7 35 5 33.3 45 32.6 Tinggi 69 67 13 65 10 66.7 92 66.7 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 72.8 75.7 73.7 74.1 Standar deviasi 12.3 15.3 14.5 14.0 Minimum 28.6 42.9 42.9 28.6 Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.658
Strategi coping planful problem solving sering sekali dilakukan oleh kepala
keluarga untuk mengatasi permasalahan yang muncul pasca gempa dan tsunami,
walaupun hasil yang diperoleh tidak maksimal. Tidak maksimalnya hasil yang
dicapai karena upaya menjual aset/barang yang masih dimiliki dan mencari pinjaman
kepada tetangga yang masih memilikinya serta merubah gaya hidup tidak dilakukan
oleh sebagian keluarga (Lampiran 11).
Confrontatif Coping
Berbeda dengan coping planful problem solving yang sebagian besar tergolong
kategori tinggi, maka pada coping confrontatif dimana keluarga bereaksi untuk
mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil.
Hasil yang diperoleh sebanyak 64.5 persen keluarga yang melakukan coping
confrontatif termasuk dalam kategori sedang (Tabel 47). Berdasarkan tipologi, skor
rata-rata coping confrontatif keluarga janda lebih tinggi (55.6) dibandingkan dengan
keluarga utuh (51.9) dan duda (48.3). Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal
coping confrontatif diantara ketiga tipologi keluarga.
Upaya confrontatif coping yang dilakukan dengan berusaha menghubungi
orang yang bertanggung jawab dianggap oleh sebagian besar keluarga sangat
sering dilakukan, demikian pula dengan usaha untuk mencoba melakukan sesuatu
meskipun tidak yakin terhadap hasil yang akan diperoleh juga sering dilakukan oleh
sebagian besar keluarga (Lampiran 12). Coping dengan cara membiarkan perasaan
atau emosi keluar dan mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun itu
sangat berisiko tidak pernah dilakukan oleh sebagian besar keluarga.
Tabel 47. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping confrontatif
Kategori Skor Coping Confrontatif
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 19 18.4 4 20 1 6.7 24 17.4 Sedang 65 63.1 13 65 11 73.3 89 64.5 Tinggi 19 18.4 3 15 3 20 25 18.1 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 51.9 48.3 55.6 51.9 Standar deviasi 21.1 16.1 19.1 18.8 Minimum 0 16.7 33.3 0.0 Maksimum 100 75 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.577
Seeking Social Support
Coping dengan cara mencari dukungan sosial (seeking social support) dilakukan
keluarga dengan berupaya mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi,
bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Secara keseluruhan stretegi coping
dengan cara mencari dukungan sosial hanya 52.9 persen keluarga yang masuk
dalam kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga janda lebih tinggi melakukan
coping seeking social support dengan skor rata-rata 77.8, diikuti keluarga utuh (70.9)
dan yang terendah adalah pada keluarga duda (67.3). Tidak terdapat perbedaan
yang nyata antar ketiga tipologi keluarga. (Tabel 48).
Tidak maksimalnya upaya mencari dukungan sosial yang dilakukan keluarga
diketahui pada item pertanyaan yang sebagian keluarga menyatakan jarang
menerima bantuan, simpati dan pengertian dari orang lain. Namun demikian,
sebagian besar keluarga masih tetap berusaha mencari dukungan sosial dengan
berupaya untuk bertanya, berbicara ataupun meminta nasehat kepada saudara,
tetangga maupun profesional untuk mengatasi permasalahan pasca gempa dan
tsunami (Lampiran 13).
Tabel 48. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping seeking social support
Kategori Skor Seeking Social Support
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6 Sedang 46 44.7 9 45 5 33.3 60 43.5 Tinggi 52 50.5 11 55 10 66.7 73 52.9 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 70.9 67.3 77.8 72.0 Standar deviasi 17.6 18 15.3 17.0 Minimum 20 40 46.7 20.0 Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.211
Strategi Coping Berfokus pada Emosi
Menurut Rice (1999), strategi coping berfokus pada emosi adalah strategi
yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan
negatif (seperti kemarahan, frustasi, dan ketakutan) yang ditimbulkan oleh suatu
insiden. Parker dan Endler (1996) mengatakan bahwa coping berfokus pada emosi
memiliki lima dimensi yakni mencari dukungan sosial untuk alasan emosional,
interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri, penolakan, penerimaan
dan berpaling pada agama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan (81.9 persen)
keluarga melakukan strategi coping berfokus pada emosi tergolong dalam katagori
sedang dan hanya 18.1 persen keluarga melakukan coping berfokus pada emosi
dengan katagori tinggi. Berdasarkan tipologi strategi coping berfokus pada emosi
tertinggi dilakukan oleh keluarga duda dengan rata-rata (65.1%), dan yang terendah
adalah pada keluarga utuh (58.5%). Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal
coping berfokus pada emosi di antara ketiga tipologi keluarga (Tabel 49). Menurut
Lazarus dan Folkman (1984), strategi coping berfokus pada emosi cenderung
dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan
hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup
untuk menghadapi tuntutan sosial. Dari hasil wawancara di lapangan ditemukan
bahwa coping berfokus pada emosi dilakukan oleh sebagian keluarga karena
ketidakmampuan untuk berbuat atau bekerja, sehingga lebih banyak mengharapkan
belas kasihan dan bantuan dari orang lain.
Tabel 49. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori
coping berfokus pada emosi
Kategori Skor Coping Berfokus pada Emosi
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0.0 Sedang 89 86.4 12 60 12 80 113 81.9 Tinggi 14 13.6 8 40 3 20 25 18.1 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 58.5 65.1 62.9 62.2 Standar deviasi 11.6 14.8 15.2 13.9 Minimum 38.3 41.7 41.7 38.3 Maksimum 100 96.7 98.3 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.064
Positive Reappraisal
Positive reappraisal merupakan coping yang dilakukan oleh keluarga dengan cara
bereaksi menciptakan makna positif dalam diri dengan memfokuskan pada
pengembangan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Secara
keseluruhan sebanyak 86.2 persen keluarga melakukan coping positive reappraisal
dengan kategori tinggi dengan rata-rata 91.4 (Tabel 50).
Tabel 50. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori
coping positive reappraisal
Kateori Skor Positive Reappraisal
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 17 16.5 2 10.0 0 0.0 19 13.8 Tinggi 86 83.5 18 90.0 15 100.0 119 86.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 89.1 91.3 93.8 91.4 Standar deviasi 13.9 11.9 7.3 11.0 Minimum 40 66.7 80 40.0
Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.375
Upaya coping yang dilakukan oleh keluarga janda lebih tinggi dibandingkan
keluarga utuh dan duda meskipun secara statistik tidak ada perbedaan diantara
ketiga tipologi. Tingginya skor coping positive reappraisal dikarenakan dengan
terjadinya bencana ini, keluarga lebih memperbanyak shalat, berzikir, berdo’a dan
lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, karena Allah pasti mendengar do’a setiap
hambanya serta bersyukur dengan apa yang masih dimiliki.
Coping positive reappraisal dianggap oleh sebagian besar keluarga sangat
penting dan sering sekali dilakukan sebagai upaya pemulihan pasca gempa dan
tsunami (Lampiran 14). Keluarga menganggap bahwa dengan berserah diri kepada
Allah SWT dapat memacu mereka untuk bangkit kembali memulai kehidupan baru.
Accepting Responsibility
Coping menerima tanggung jawab (accepting responsibility) yaitu keluarga bereaksi
dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang
dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Hasil
penelitian menunjukkan secara keseluruhan coping accepting responsibility yang
dilakukan keluarga termasuk kategori tinggi dengan skor rata-rata 75.2 (Tabel 51).
Secara tipologi, coping accepting responsibility tertinggi dilakukan oleh keluarga
duda dengan rata-rata skor 78.8, diikuti oleh keluarga janda 77.8 dan yang terendah
adalah keluarga keluarga utuh 69. Hasil analisis anova menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata diantara ketiga tipologi keluarga dalam hal coping accepting
responsibility.
Tabel 51. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping accepting responsibility
Kategori Skor Accepting Responsibility Utuh
(n=103) Duda
(n=20) Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % Rendah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3 Sedang 48 46.6 8 40 5 33.3 61 44.2 Tinggi 49 47.6 12 60 10 66.7 71 51.4 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-rata 69 78.8 77.8 75.2 Standar deviasi 20.5 16.6 17.4 18.2 Minimum 0 50 41.7 0.0
Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.057
Tingginya skor coping accepting responsibility terjadi karena sebagian besar
keluarga sering melakukan kritik/introspeksi diri sendiri terhadap permasalahan yang
dihadapi, demikian pula dengan upaya belajar hidup dalam kondisi pasca bencana
dan bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak bisa dirubah kembali
(Lampiran 15). Dalam hal ini keluarga contoh mampu menyesuaikan diri dengan
kondisi apa adanya. Hal senada diungkapkan oleh Rice (1999) dan Lazarus (1993),
salah satu kemampuan yang penting yang harus dimiliki untuk menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini adalah kemampuan
menyesuaikan diri karena adaptasi terhadap perubahan merupakan salah satu
penyebab stres.
Self Controlling
Self controlling atau kendali diri merupakan reaksi keluarga dengan melakukan
pengaturan atau kontrol dalam perasaan maupun tindakan. Coping self controlling
yang dilakukan keluarga persentase terbesar (52.2%) termasuk kategori sedang
dengan skor rata-rata 74.4 (Tabel 52). Secara tipologi rata-rata skor coping self
controlling tertinggi ditemukan pada keluarga janda (80.8) dan terendah adalah
keluarga duda (71.1). Analisis uji beda anova tidak menghasilkan perbedaan yang
nyata dalam hal coping self controlling pada ketiga tipologi keluarga.
Pada Lampiran 16 disajikan item-item pernyataan strategi coping self
controlling keluarga pasca gempa dan tsunami. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa sebagian besar keluarga sering memikirkan terlebih dahulu terhadap apa
yang ingin dilakukan, menolak atau menghindari untuk melakukan sesuatu secara
tergesa-gesa, memperhatikan seseorang yang dikagumi dalam menyelesaikan suatu
masalah dan mencoba untuk melupakan segalanya adalah hal yang tidak pernah
dilakukan oleh tipologi keluarga utuh dan janda. Tidak mau memikirkan
permasalahan terlalu serius kadang-kadang dilakukan oleh keluarga duda dan
janda, tetapi bagi sebagian keluarga utuh hal tersebut sering dilakukan untuk
mengurangi stres. Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa
dirasakan tidak membantu mengurangi stres
Tabel 52. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping self controlling
Kategori Skor Self Controlling
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 5 4.9 0 0.0 0 0.0 5 3.6
Sedang 53 51.5 13 65.0 6 40.0 72 52.2
Tinggi 45 43.7 7 35.0 9 60.0 61 44.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 74.1 71.1 80.8 74.4
Standar deviasi 19.3 12.2 13.6 18.0
Minimum 0.0 55.6 66.7 0.0
Maksimum 100.0 100.0 100.0 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.281
Distancing
Distancing adalah coping yang dilakukan dengan cara menjauhkan diri atau tidak
melibatkan diri dalam permasalahan. Secara keseluruhan, (50.7%) coping distancing
yang dilakukan keluarga termasuk dalam kategori rendah dengan rata-rata skor 45.2
(Tabel 53). Bila ditinjau berdasarkan tipologi, keluarga janda paling rendah
melakukan coping distancing dengan skor rata-rata 39.2 jika dibandingkan dengan
keluarga utuh dan keluarga duda. Hasil analisis anova mengindikasikan bahwa tidak
ada perbedaan yang nyata (p>0.1) coping distancing antara ketiga tipologi.
Rendahnya strategi coping ini dilakukan karena hampir 50% keluarga tidak mau
memikirkan hal itu terlalu serius, bersikap biasa-biasa saja seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa dan saya mencoba untuk melupakan segalanya (Lampiran 17).
Melarikan diri dari permasalahan yang dihadapi tidak dapat menyelesaikan masalah,
bahkan dapat menambah permasalahan baru.
Tabel 53. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping distancing
Kategori Skor Distancing Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 51 49.5 8 40.0 11 73.3 70 50.7
Sedang 31 30.1 10 50.0 0 0.0 41 29.7
Tinggi 21 20.4 2 10.0 4 26.7 27 19.6
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 46.2 44.4 39.2 45.2
Standar deviasi 33.6 25.5 38.7 33.0
Minimum 0.0 0.0 0.0 0.0
Maksimum 100.0 88.9 100.0 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.748
Escape Avoidance
Escape avoidance merupakan coping yang dilakukan keluarga dengan cara
menghindari atau melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah
untuk menghindari atau melarikan diri dari stresor, dan menetralkan emosi distres.
Strategi maladaptif yang dilakukan di antaranya adalah pengguna- an alkohol atau
obat-obatan, lari kepada fantasi atau mimpi-mimpi. Strategi coping escape
avoidance yang lebih konstruktif adalah menyibukkan diri dengan hobi atau
pekerjaan. Dalam jangka pendek strategi ini efektif, namun dalam jangka panjang
akan terjadi ketidaksesuaian dan muncul distres psikologi yang dimanifestasikan
sebagai kelelahan dan depresi (Anonim, 2006).
Coping escape avoidance dari sebagian besar (87.0%) keluarga tergolong
kategori rendah (Tabel 54). Berdasarkan tipologi, persentase tertinggi juga termasuk
kategori rendah. Rata-rata skor tertinggi ditemukan pada tipologi keluarga duda
yakni 27.7 dan skor terendah tipologi keluarga utuh yakni 19.2. Analisis uji beda
anova menunjukkan tidak ada perbedaan coping escape avoidance yang nyata
diantara ketiga tipologi keluarga. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa
rendahnya coping escape avoidance yang dilakukan terjadi karena adanya
kesadaran bahwa pelarian kepada perbuatan yang negatif hanya dirasakan sesaat
dan tidak dapat menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah dan dapat
merusak diri sendiri dan keluarga.
Tabel 54. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori coping escape avoidance
Kategori Skor Escape Avoidance
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % N % Rendah 90 87.4 17 85 13 86.7 120 87.0 Sedang 8 7.8 1 5 0 0 9 6.5 Tinggi 5 4.9 2 10 2 13.3 9 6.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 19.2 27.7 24 23.6 Standar deviasi 21.4 25.2 27.9 24.8
Minimum 0.0 0.0 0.0 0.0 Maksimum 100.0 100.0 100.0 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.274
Berharap ada keajaiban yang terjadi dianggap oleh sebagian besar keluarga
dari tipologi duda sering sekali dilakukan untuk mengurangi stres (Lampiran 18),
sebaliknya bagi keluarga dari tipologi keluarga utuh dan janda upaya ini tidak pernah
dilakukan. Upaya melarikan diri dari permasalahan dengan merokok, tidur terlalu
lama, melemparkan permasalahan kepada orang lain dan hanyut dalam
permasalahan dianggap oleh sebagian besar keluarga tidak dapat membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Folkman dan Lazarus (1985),
salah satu aspek kunci coping adalah upaya individu untuk menerima kenyataan
atau mengeliminir ketidakpuasan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu usaha
positif dalam menghadapi suatu kondisi yang menyebabkan stres, sehingga pada
akhirnya dapat menciptakan harapan baru yang lebih nyata.
Suls dan Fletcher (1985) mengumpulkan berbagai hasil studi melalui meta-
analisis yang menjelaskan efek strategi coping escape-avoidance. Kesimpulan yang
diperoleh adalah strategi coping escape-avoidance hanya memberikan manfaat
dalam waktu pendek. Studi satu tahun yang dilakukan Holahan dan Moos (1987)
pada keluarga yang menggunakan pendekatan coping escape-avoidance
menunjukkan bahwa keluarga yang mengalami stres yang masuk kategori tinggi
selama intervensi adalah mereka yang cenderung menggunakan metode escape-
avoidance. Pada akhir studi, banyak keluarga yang mengalami gejala psychosomatic
seperti sakit kepala dan maag.
Korelasi antar Peubah Coping Strategi
Hasil analisis korelasi Spearman antar peubah coping strategi
mengindikasikan bahwa adanya hubungan positif nyata yang erat (rs=0,407) antara
strategi scoping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi
(Tabel 55). Hal ini bermakna bahwa kedua jenis coping ini dilakukan secara
bersamaan oleh keluarga korban gempa dan tsunami. Fakta ini terlihat dengan
adanya hubungan positif nyata (p<0.01) antara plantful problem solving yang
tergolong ke dalam coping berfokus pada masalah dengan positive reappraisal dan
self controlling pada coping berfokus pada emosi. Coping seeking social support
berhubungan positif nyata (p<0.01) dengan positive reappraisal, accepting
responsibility dan escape avoidance. Cooper dan Payne (1991) mengatakan bahwa
individu tidak hanya menggunakan satu strategi coping saja melainkan beberapa
strategi coping yang dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri.
Tabel 55. Korelasi Spearman antar peubah coping strategi
Plantful Problem Solving
Confron-tatif
Coping
Seeking Social
Support
Positive Reap-praisal
Accenting Responsi-
bility
Distan-cing
Self Con-
trolling
Escape Avoi-dance
Coping Berfo-kus
pada Masa-lah
Coping Berfo-kus
pada Emosi
Plantful Problem Solving 1.000
Confrontatif Coping -0.127 1.000 Seeking Social
Support .198(*) 0.071 1.000 Positive
Reappraisal .219(**) -0.104 .304(**) 1.000 Accenting Responsi-
bility .177(*) 0.165 .436(**) .321(**) 1.000
Distancing 0.050 .256(**) -0.037 -0.075 0.165 1.000 Self
Controlling .280(**) 0.054 .375(**) 0.152 .320(**) .329(**) 1.000 Escape
Avoidance 0.096 0.081 .372(**) .306(**) .361(**) -0.081 .223(**) 1.000 Coping
Berfokus pada
Masalah .620(**) .386(**) .695(**) .233(**) .394(**) 0.127 .380(**) .286(**) 1.000 Coping
Berfokus pada Emosi 0.147 .182(*) .456(**) .519(**) .776(**) .416(**) .572(**) .526(**) .407(**) 1.000
Coping Total .432(**) .320(**) .669(**) .483(**) .701(**) .312(**) .554(**) .472(**) .787(**) .845(**)
Hubungan antara Tingkat Stres dan Strategi Coping Keluarga
Pada Tabel 56 disajikan sebaran keluarga berdasarkan strategi coping
berfokus pada masalah dan tingkat stres yang mengindikasikan adanya
kecenderungan coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga tidak
dipengaruhi tinggi rendahnya stres dengan metode family inventory of life. Dalam hal
ini proporsi terbesar keluarga pada kedua kategori coping yakni rendah dan tinggi
terbesar pada stres minor.
Pada kategori tingkat stres metode Holmes dan Rahe, terlihat pola yang
menyebar pada kedua kategori coping, dimana pada keempat kategori stres, coping
yang dilakukan keluarga tidak terlalu dipengaruhi oleh tingkat stres. Pada coping
berfokus pada emosi terlihat pola yang tidak jauh berbeda dengan coping berfokus
pada masalah. Keluarga yang melakukan coping yang tergolong rendah maupun
tinggi ternyata mempunyai tingkat stres minor.
Tabel 56. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada masalah dan Tingkat stres
Tingkat Stres
Coping Berfokus pada Masalah
Sedang Tinggi Total n % n % n %
Family Inventory of Life
Stres Minor 67 87.0 55 90.2 122 88.4 Stres Ringan 4 5.2 2 3.3 6 4.3
Stres Sedang 6 7.8 3 4.9 9 6.5
Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 1.6 1 0.7 Total 77 100.0 61 100.0 138 100.0
Holmes dan Rahe
Stres Minor 28 36.4 16 26.2 44 31.9 Stres Ringan 13 16.9 10 16.4 23 16.7
Stres Sedang 31 40.3 31 50.8 62 44.9
Stres Mayor/Berat 5 6.5 4 6.6 9 6.5 Total 77 100.0 61 100.0 138 100.0
Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya yang mengindikasikan
hubungan yang sangat erat antara coping berfokus pada masalah dan emosi
sehingga tidak mengherankan bahwa pola yang sama akan terlihat bila strategi
coping dihubungkan dengan tingkat stres. Meskipun demikian, ada satu hal yang
dapat dicermati pada Tabel 57 yakni terdapat 44.9 persen keluarga yang melakukan
coping berfokus pada emosi seiring semakin tingginya tingkat stres dengan metode
Holmes dan Rahe. Data ini mencerminkan bahwa upaya coping berfokus pada
emosi dari keluarga yang mengalami kehilangan keluarga dekat akan lebih besar
dibandingkan keluarga yang tidak mengalami kejadian ini.
Tabel 57. Sebaran keluarga berdasarkan coping berfokus pada emosi dan tingkat stres
Tingkat Stres Coping Berfokus pada Emosi
Sedang Tinggi Total n % n % n %
Family Inventory of Life Stres Minor 101 89.4 21 84.0 122 88.4 Stres Ringan 4 3.5 2 8.0 6 4.3 Stres Sedang 8 7.1 1 4.0 9 6.5 Stres Mayor/Berat 0 0.0 1 4.0 1 0.7 Total 113 100.0 25 100.0 138 100.0 Holmes dan Rahe Stres Minor 41 36.3 3 12.0 44 31.9
Stres Ringan 20 17.7 3 12.0 23 16.7 Stres Sedang 47 41.6 15 60.0 62 44.9 Stres Mayor/Berat 5 4.4 4 16.0 9 6.5
Total 113 100.0 25 100.0 138 100.0
Keberfungsian Keluarga
Keluarga sebagai suatu sistem harus memelihara homeostasis. Homeostasis
diartikan sebagai suatu keadaan seimbang atau keseimbangan, atau disebut juga
equilibrium. Keseimbangan diperlukan oleh sebuah sistem agar semua komponen-
komponennya atau subsistem-subsistemnya yang saling berinteraksi, saling
ketergantungan dan saling mempengaruhi sehingga memungkinkan untuk
memperoleh dan memelihara identitasnya sehingga keluarga sebagai suatu sistem
harus dapat berfungsi.
Menurut Epstein, Bishop, dan Baldwin (Zeitlin et al., 1995) keluarga berfungsi
efektif bila dapat memecahkan masalah-masalah dengan mudah, sebaliknya tidak
efektif bila tidak dapat memecahkan beberapa masalah yang dihadapi. Keluarga
berfungsi efektif bila dapat berkomunikasi secara jelas dan langsung, memiliki
peranan yang jelas dan beralasan, serta akuntabilitas, mampu mengekspresikan
sejumlah emosi sepenuhnya, terlibat dalam kegiatan-kegiatan keluarga dengan
penuh empati, memiliki perhatian terhadap individu-individu anggota keluarga, serta
fleksibel dalam mengontrol perilaku.
Keberfungsian keluarga yang terlebih dahulu akan dibahas adalah komposit
skor fungsi ekspresif dan instrumental pasca gempa dan tsunami yang disebut
sebagai keberfungsian keluarga total. Secara umum masih ada 16.6 persen
keluarga tidak dapat melakukan perannya dengan baik, dan ini banyak terjadi pada
tipologi keluarga duda dan janda (Tabel 58). Rata-rata skor keberfungsian keluarga
total seluruh keluarga adalah 77.4 dengan skor tertinggi dijumpai pada tipologi
keluarga utuh 81.6, diikuti oleh tipologi keluarga janda dan duda yang hampir sama
yakni masing-masing 75.7 dan 75. Data yang diperoleh tersebut bermakna bahwa
pada tipologi keluarga utuh fungsi keluarga yang dilakukan melalui peran ayah dan
ibu telah dapat berjalan lebih baik dibandingkan kedua tipologi lainnya. Secara
statistik, hasil analisis anova menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal
keberfungsian keluarga antara ketiga tipologi keluarga, uji lanjut Duncan tidak
menghasilkan perbedaan antar tipologi.
Tabel 58. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori keberfungsian total
Kategori Keberfungsian Keluarga total
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 0 0 1 5 0 0 1 0.7 Sedang 14 13.6 4 20 4 26.7 22 15.9 Tinggi 89 86.4 15 75 11 73.3 115 83.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 81.6 (ac) 75 (bc) 75.7 9 (cab) 77.4 Standar deviasi 11.6 18.1 12.6 14.1 Minimum 35.9 20.5 48.7 20.5 Maksimum 100 94.9 94.9 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.046
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Fungsi Ekspresif
Fungsi ekspresif keluarga berhubungan dengan pengembangan rasa kasih
sayang, rasa memiliki dan dimiliki, serta saling memberi dan menerima. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (91.3%) fungsi ekspresif keluarga
termasuk kategori tinggi dengan rata-rata 85.5 (Tabel 59). Rata-rata skor fungsi
ekspresif pada tipologi keluarga utuh lebih tinggi yakni 91.8 jika dibandingkan
dengan keluarga janda (85.9) dan keluarga duda (78.8). Hasil analisis anova
menunjukkan perbadaan fungsi ekspresif yang nyata antara ketiga tipologi keluarga.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa fungsi ekspresif tipologi keluarga utuh
berbeda dengan tipologi keluarga duda.
Pada Lampiran 19 yang berisi sebaran pernyataan fungsi ekspresif keluarga,
terlihat bahwa merencanakan untuk menambah anggota keluarga baru hanya ingin
dilakukan oleh kurang dari setengah contoh pada keluarga utuh dan hampir pada
semua pernyataan, lebih dari 80 persen keluarga menyatakan melakukan fungsi
ekspresif. Tipologi keluarga duda mempunyai kecenderungan persentasenya lebih
rendah melakukan fungsi ekspresif dibandingkan tipologi keluarga utuh dan janda.
Hal tersebut dapat dipahami bahwa fungsi ekspresif berhubungan dengan peran ibu,
sehingga keluarga duda merasa fungsi ini kurang mampu dilakukan secara
sempurna oleh ayah
Tabel 59. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi ekspresif
Kategori Keberfungsian Keluarga (ekspresif)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 0 0 1 5 0 0 1 0.7
Sedang 5 4.9 4 20 2 13.3 11 8.0 Tinggi 98 95.1 15 75 13 86.7 126 91.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 Rata-Rata 91.8 (ac) 78.8 (bc) 85.9 (cba) 85.5 Standar deviasi 10.4 22.8 13.1 15.4 Minimum 41.2 11.8 58.8 11.8 Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga 0.000
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Fungsi Instrumental
Fungsi instrumental adalah fungsi yang berkaitan dengan pengadaan dan
pengalokasian sumberdaya yang terbatas untuk mencapai berbagai tujuan keluarga.
Secara umum, masih ada 37.7 persen keluarga yang kurang mampu melakukan
fungsi instrumental melalui peran ayah untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarga (Tabel 60). Rata-rata skor terendah untuk fungsi instrumental ini dijumpai
pada tipologi keluarga janda yaitu 67.9 dan tertinggi pada keluarga utuh. Secara
statistik tidak ada perbedaan yang nyata diantara ketiga tipologi keluarga dalam hal
fungsi instrumental keluarga. Tidak maksimalnya fungsi instrumental dilakukan pada
keluarga janda dikarena fungsi ini umumnya diperankan oleh ayah/suami.
Sepeninggal suami akibat gempa dan tsunami peran pencari nafkah yang biasa
dilakukan oleh suami diambil alih oleh istri untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya. Seorang istri akan mengalami kesulitan melakukan peran ini yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan. Pada Lampiran 20 disajikan pernyataan fungsi
intrumental keluarga. Terdapat beberapa item pernyataan fungsi instrumental yang
persentasenya lebih rendah dibandingkan pernyataan lainnya pada ketiga tipologi
keluarga yakni selain pekerjaan tetap, juga memiliki pekerjaan sampingan, keluarga
memiliki asuransi untuk kesehatan, keluarga memiliki asuransi untuk pendidikan
nggota keluarga ke depan dan memutuskan untuk membeli barang berharga.
Tabel 60. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori fungsi instrumental
Kategori Skor fungsi instrumental keluarga
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) n % n % n % n %
Rendah 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2 Sedang 34 33 7 35 8 53.3 49 35.5 Tinggi 67 65 12 60 7 46.7 86 62.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 73.7 72 67.9 71.2 Standar deviasi 17.3 20.4 18.6 18.8 Minimum 22.7 27.3 40.9 22.7 Maksimum 100 100 100 100.0 Analisis Anova antar tipologi keluarga
0.498
Hubungan antara Coping dan Keberfungsian Keluarga
Pada Tabel 61 disajikan sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan
fungsi ekspresif yang mengindikasikan adanya kecenderungan tidak ada pola yang
terlalu ekstrim. Fungsi ekspresif keluarga pasca gempa dan tsunami hampir sama
pada ketiga kategori coping baik pada coping berfokus pada masalah maupun
berfokus pada emosi. Data yang dapat dicermati adalah persentase yang cukup
tinggi dari keluarga dengan fungsi ekspresif tinggi sebagai hasil dari upaya coping
berfokus pada emosi yang sedang.
Tabel 61. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi ekspresif
Coping Fungsi Ekspresif
Rendah Sedang Tinggi Total n % n % n % n %
Berfokus pada Masalah Sedang 1 100.0 6 54.5 70 55.6 77 55.8 Tinggi 0 0.0 5 45.5 56 44.4 61 44.2 Total 1 100.0 11 100.0 126 100.0 138 100.0 Berfokus pada Emosi Sedang 1 100.0 6 54.5 106 84.1 113 81.9 Tinggi 0 0.0 5 45.5 20 15.9 25 18.1 Total 1 100.0 11 100.0 126 100.0 138 100.0
Data pada Tabel 62 dapat memberikan satu kesimpulan bahwa umumnya
coping berfokus pada masalah dan emosi keluarga pasca gempa dan tsunami tidak
secara serta merta mengakibatkan tingginya fungsi instrumental keluarga. Terdapat
proporsi yang merata pada keluarga dengan fungsi instrumental yang sedang
maupun tinggi dengan sedangnya coping berfokus pada masalah dan emosi yang
dilakukan keluarga pasca gempa dan tsunami. Untuk melihat lebih jelas pengaruh
coping terhadap keberfungsian keluarga dapat ditelaah pada bagian analisi
pengaruh.
Tabel 62. Sebaran keluarga berdasarkan jenis coping dan fungsi instrumental
Coping Fungsi Instrumental
Rendah Sedang Tinggi Total n % n % N % n %
Berfokus pada Masalah Sedang 3 100.0 27 62.8 47 51.1 77 55.8 Tinggi 0 0.0 16 37.2 45 48.9 61 44.2 Total 3 100.0 43 100.0 92 100.0 138 100.0 Berfokus pada Emosi Sedang 3 100.0 39 90.7 71 77.2 113 81.9 Tinggi 0 0.0 4 9.3 21 22.8 25 18.1 Total 3 100.0 43 100.0 92 100.0 138 100.0
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping Keluarga
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh tingkat
stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada
masalah keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel 63). Nilai R2 yang diperoleh
adalah sebesar 0.2644 artinya pengaruh tingkat stres, masalah keluarga dan
sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada masalah adalah 26.44 persen,
sisanya yakni 73.56 persen adalah pengaruh variabel lain diluar penelitian.
Tabel 63. Coping berfokus pada masalah sebagai peubah tidak bebas dengan tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 76.01058148 Masalah kesehatan 0.12998797 0.0912 0.0912 0.0008 Stres Kognitif -0.15750541 0.0508 0.1420 0.0096 Dukungan sosial -0.10986383 0.0626 0.2046 0.0031 D1 -9.57078617 0.0341 0.2386 0.0252 D2 -4.73526717 0.0257 0.2644 0.0483
Ada lima variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi coping
berfokus pada masalah yakni masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial,
tipologi janda dan tipologi duda. Adapun variabel yang paling tinggi pengaruhnya
diantara kelima variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah masalah
kesehatan yakni 9.1 persen.
Masalah kesehatan memberikan pengaruh positif nyata terhadap coping
berfokus pada masalah artinya ada kecenderungan meningkatnya masalah
kesehatan akan membuat keluarga melakukan tindakan yang diarahkan kepada
pemecahan masalah. Keluarga yang bermasalah dengan kesehatan akan
melakukan upaya pengobatan dengan mengunjungi pusat pelayanan kesehatan dan
jika memerlukan biaya dapat diperoleh dengan cara meminjam. Permasalahan
kesehatan yang dialami menuntut tindakan nyata dan keluarga menilai masalah
yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan melalui upaya
konstruktif. Coping ini terlihat pula pada hasil penelitian Ninno et al. (1998) yang
memperlihatkan strategi coping berpusat pada masalah yang digunakan
rumahtangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir besar di
Bangladesh yaitu: (1) melakukan pinjaman/berhutang pada bank; (2) membeli
makanan dengan kredit; (3) mengubah perilaku makan; dan (4) menjual aset yang
masih dimiliki.
Tingkat stres kognitif berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus
pada masalah yang bermakna semakin tinggi tingkat stres kognitif akan semakin
rendah upaya coping berfokus pada masalah yang dilakukan keluarga. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingginya tingkat stres kognitif membuat keluarga tidak
dapat berpikir dengan jernih, tidak bisa konsentrasi dalam bekerja atau mencari
pemecahan masalahnya.
Dukungan sosial berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus pada
masalah menunjukkan bahwa keluarga dengan dukungan sosial yang tinggi
cenderung kurang melakukan coping berfokus pada masalah. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan banyak bantuan yang diterima, membuat keluarga
menjadi kurang berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Untuk
sementara waktu, bantuan yang diterima keluarga sangat terbantu, tetapi dalam
waktu yang lama akan mempersulit keluarga itu sendiri, membuat keluarga sangat
tergantung kepada orang lain dan tidak mampu berdiri sendiri. Di lain pihak bantuan
yang diterima sangat membantu keluarga-keluarga yang pendapatannya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hasil temuan di lapangan menunjukkan
bahwa satu tahun pasca gempa dan tsunami bantuan diberikan kepada semua
masyarakat yang menjadi korban, namun 1.5 tahun pasca tsunami bantuan mulai
berkurang dan hanya diberikan pada keluarga yang benar-benar membutuhkan.
Tipologi keluarga duda dan janda juga berpengaruh negatif nyata terhadap
coping berfokus pada masalah, artinya status kepala keluarga sebagai duda dan
janda cenderung kurang melakukan coping berfokus pada masalah. Kedua tipologi
keluarga ini mengalami ketimpangan struktur keluarga dengan hilangnya kepala
keluarga pada tipologi janda dan ibu rumah tangga pada keluarga duda sehingga
membuat upaya penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan dengan maksimal.
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh tingkat
stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping berfokus pada
emosi. Nilai adjusted R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.2445 persen, artinya
pengaruh tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping terhadap coping
berfokus pada emosi adalah 24.45 persen, sisanya yakni 75.55 persen adalah
pengaruh variabel di luar penelitian (Tabel 64).
Tabel 64. Coping berfokus pada emosi sebagai peubah tidak bebas dengan
tingkat stres, masalah keluarga dan sumberdaya coping sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 86.92638883 Kepribadian 0.29681547 0.1412 0.1412 0.0001 Dukungan sosial -0.12870525 0.0462 0.1874 0.0111 Umur kepala keluarga 0.34686839 0.0305 0.2140 0.0499 Jumlah anggota keluarga
1.63843430 0.0266 0.2445 0.0333
Ada empat variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi coping
berfokus pada emosi yakni kepribadian, dukungan sosial, umur kepala keluarga dan
jumlah anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Sussman dan Steinmetz
(1988), strategi coping individu dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
pengalaman, lingkungan, kepribadian, konsep diri dan faktor sosial. Menurut
Lazarus dan Folkman (1988b) coping berfokus pada emosi cenderung dilakukan bila
individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat
menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk
menghadapi tuntutan sosial. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa
coping berfokus pada emosi yang dilakukan oleh keluarga karena ketidakmampuan
mereka untuk berbuat atau bekerja, sehingga mereka lebih banyak mengharapkan
belas kasihan dan bantuan dari orang lain. Adapun variabel yang paling tinggi
pengaruhnya diantara keempat variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah
kepribadian yakni 14.12 persen.
Kepribadian berpengaruh positif nyata terhadap coping berfokus pada emosi
keluarga yang bermakna semakin ekstrovert kepribadian yang dimiliki keluarga akan
membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin tinggi. Hal ini dapat
dipahami karena orang yang ekstrovert akan lebih mampu melakukan coping
mengedepankan coping emosi. Strategi coping ditentukan oleh karakteristik yang
melekat pada individu, seperti ciri kepribadian (Bolger & Zuckerman, 1995; Costa,
Somerfield, & McCrae, 1996; Hewitt & Flett, 1996).
Dukungan sosial berpengaruh negatif nyata terhadap coping berfokus pada
emosi artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh keluarga akan
membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin rendah. Hal ini
memberikan suatu pengertian bahwa dukungan sosial yang diterima dapat
mengurangi upaya keluarga untuk melakukan berbagai hal yang bersifat positif,
seperti tidak mau mengembangkan diri, kurang melibatkan diri dalam permasalahan
yang dihadapi dan kurang mau mengendalikan diri baik dalam sikap maupun
tindakan. Namun demikian dukungan sosial juga dapat mengurangi tindakan-
tindakan yang bersifat negatif.
Umur kepala keluarga berpengaruh positif nyata terhadap coping berfokus
pada emosi, ini bermakna semakin tua umur kepala keluarga akan membuat
keluarga lebih melakukan upaya coping yang berfokus pada emosi. Hal ini dapat
dimengerti karena ada kecenderungan semakin tua umur seseorang akan membuat
ia lebih mengedepankan aspek spritual ataupun yang berkaitan dengan faktor emosi
yang positif dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap coping berfokus
pada emosi, maksudnya jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan
membuat upaya coping yang berfokus pada emosi akan semakin tinggi. Hal ini dapat
dipahami karena dengan banyaknya anggota keluarga yang selamat dari gempa dan
tsunami membuat keluarga lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta dan
bersyukur atas keselamatan mereka dari gempa dan tsunami.
Pengaruh Sumberdaya Coping, Masalah Keluarga dan
Strategi Coping terhadap Keberfungsian Keluarga
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh
sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi ekspresif
keluarga pasca gempa dan tsunami (Tabel 65). Ada empat variabel yang
berpengaruh secara nyata terhadap fungsi ekspresif keluarga yakni tingkat
pendidikan KK, masalah rumah, konsep diri dan jumlah anggota keluarga. Nilai
adjusted R2 yang diperoleh sebesar 0.4358, artinya pengaruh sumberdaya coping,
masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi ekspresif keluarga pasca
gempa dan tsunami adalah 43.58 persen, sisanya yakni 56.42 persen adalah
pengaruh variabel lain di luar model. Adapun variabel yang paling tinggi
pengaruhnya diantara sembilan variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah
tingkat pendidikan KK yakni 27.33 persen.
Tingkat pendidikan KK berpengaruh positif terhadap fungsi ekspresif
keluarga dapat berarti semakin tinggi pendidikan KK maka perannya akan semakin
tinggi dalam keberlangsungan fungsi ekspresif keluarga. Kepala keluarga yang
berpendidikan tinggi lebih dianggap lebih memahami dan menjalankan fungsi
ekspresif baik secara langsung maupun melalui transfer pengetahuan kepada istri.
Tabel 65. Fungsi ekspresif keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping
sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta 20.75287812 Tingkat pddk KK 0.59031062 0.2733 0.2733 0.0001 Masalah Rumah -0.09609684 0.0658 0.3391 0.0126 Konsep diri 0.20922815 0.0606 0.3997 0.0128 Jumlah anggota keluarga 1.72770310 0.0361 0.4358 0.0471
Masalah rumah berpengaruh negatif terhadap fungsi ekspresif keluarga
dapat berarti semakin besar masalah rumah yang dihadapi keluarga akan dapat
mengganggu fungsi ekspresif keluarga. Rumah yang tidak memadai dan tidak
kondusif dapat berpengaruh pada hubungan antar anggota keluarga dan pada
akhirnya berdampak pada tidak berjalannya fungsi ekspresif.
Konsep diri berpengaruh positif terhadap fungsi ekspresif keluarga dapat
berarti semakin positif konsep diri contoh maka fungsi ekspresif dalam keluarga akan
dapat berjalan dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Maramis (1998),
konsep diri yang baik akan menghasilkan hubungan yang baik pula dengan orang
lain.
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap fungsi ekspresif
keluarga yang bermakna jumlah anggota keluarga yang semakin besar mampu
mendorong fungsi ekspresif keluarga berjalan dengan baik. Ikatan diantara keluarga
yang selamat dari bencana akan semakin erat dibandingkan sebelum bencana yang
menimbulkan fungsi afektif, rasa memiliki dan dimiliki, serta saling memberi dan
menerima semakin kuat pula.
Analisis regresi linier berganda menunjukkan adanya pengaruh sumberdaya
coping, masalah keluarga dan strategi coping terhadap fungsi instrumental keluarga
pasca gempa dan tsunami. Ada 7 variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap
fungsi instrumental keluarga yakni seeking social support, tingkat kesehatan KK,
confrontatif, planful problem solving, jumlah anggota keluarga, masalah pendidikan
dan masalah pakaian. Nilai adjusted R2 yang diperoleh adalah sebesar 0.3683,
artinya pengaruh sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping
terhadap fungsi instrumental keluarga pasca gempa dan tsunami adalah 36.83
persen, sisanya yakni 63.17 persen adalah pengaruh variabel lain di luar penelitian
(Tabel 66). Adapun variabel yang paling tinggi pengaruhnya diantara keenam
variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah yakni seeking social support
12.73 persen.
Tabel 66. Fungsi instrumental keluarga sebagai peubah tidak bebas dengan sumberdaya coping, masalah keluarga dan strategi coping
sebagai peubah bebas
Variabel Koefisien R2 Parsial R 2 Model Peluang Konstanta -8.11036667 Seeking social support 0.38616450 0.1273 0.1273 0.0001 Tingkat kesehatan KK 0.30033987 0.0629 0.1902 0.0032 Confrontatif 0.20319866 0.0525 0.2427 0.0054 Planful Problem Solving 0.18628526 0.0324 0.2751 0.0254 Jumlah anggota Keluarga 0.00000004 0.0364 0.3114 0.0156 Masalah pendidikan 0.11491817 0.0311 0.3425 0.0227 Masalah pakaian 0.09746892 0.0257 0.3683 0.0348
Seeking social support berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental artinya upaya keluarga untuk melakukan coping dengan mencari
dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan
emosional membuat fungsi instrumental keluarga dapat berjalan dengan baik.
Menurut Caplan (Friedman, 1998), mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja
sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok
profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan
bersama.
Menurut Caplan (Friedman, 1998), terdapat tiga sumber dukungan sosial
yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial
formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem
dukungan sosial informal yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh
masyarakat. Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika
keluarga gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus
dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah.
Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dapat dilakukan
melalui organisasi.
Tingkat kesehatan kepala keluarga berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental yang bermakna semakin tinggi tingkat ksehatan kepala keluarga
sebagai pencari nafkah keluarga maka fungsi instrumental keluarga akan semakin
baik. Hal ini dapat dipahami karena kesehatan yang lebih baik akan membuat kepala
keluarga mampu melakukan tugasnya dengan lebih baik dan berupaya mencari
peluang-peluang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Coping Confrontative yang dilakukan keluarga berpengaruh positif nyata
terhadap fungsi instrumental, hal ini bermakna semakin tinggi upaya keluarga untuk
bereaksi dalam mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang
harus diambil membuat fungsi instrumental keluarga semakin baik. Hal ini dapat
dipahami apalagi dengan besarnya bencana yang terjadi membuat keluarga harus
melakukan coping confrontative untuk keberlangsungan fungsi instrumental
keluarga.
Plantful problem solving berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna upaya keluarga dalam bereaksi dengan
melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti
pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah membuat fungsi instrumental
keluarga semakin baik. Upaya coping yang dilakukan dengan menganalisis
permasalahan keluarga secara bersama-sama dapat membentuk hubungan yang
efektif dalam suatu ikatan moral yang kuat yang dapat membimbing anggota
keluarga untuk bekerja sama secara kooperatif dalam keluarga yang terintegrasi
(Slater, 1974).
Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna jumlah anggota keluarga yang semakin besar
mampu mendorong fungsi instrumental keluarga berjalan dengan baik. Dengan
anggota keluarga yang lebih lengkap, maka fungsi instrumental keluarga seperti
hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik pasca gempa dan tsunami dan
peran anggota keluarga dalam menjaga keberlangsungan keluarga dapat tetap
berjalan dengan baik.
Masalah pendidikan dan pakaian berpengaruh positif nyata terhadap fungsi
instrumental keluarga yang bermakna semakin banyak masalah pendidikan dan
masalah pakaian yang dialami keluarga justru membuat fungsi instrumental keluarga
semakin baik. Adanya masalah pendidikan dan pakaian yang dialami keluarga justru
lebih mendorong peran instrumental sebagai pencari nafkah untuk kelangsungan
hidup seluruh anggota keluarga.
PEMBAHASAN UMUM Bencana yang menimpa umat manusia bisa berupa bencana alam maupun
bencana akibat perilaku manusia. Bancana gempa dan tsunami salah satu dari
bencana alam. Bencana akibat perilaku manusia seperti pengundulan hutan yang
mengakibatkan banjir dan tanah longsor, selain itu bencana yang diakibatkan oleh
konflik yang berkepanjangan. Respon terhadap kedua jenis bencana tersebut
kemungkinan besar tidaklah sama.
Di Nanggroe Aceh Darussalam telah terjadi dua bencana sekaligus baik
bencana alam maupun bencana yang diakibatkan konflik bersenjata, kedua bencana
tersebut telah banyak menelan korban jiwa. Dalam penelitian ini lebih difokuskan
pada korban bencana alam yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami pada tanggal
26 Desember 2004. Kota Banda Aceh merupakan salah satu daerah yang tertimpa
bencana alam, tetapi tidak terkena bencana yang diakibatkan oleh konflik
bersenjata.
Bencana gempa dan tsunami menyisakan berbagai persoalan baikditingkat
pusat maupun daerah. Pada level keluarga persoalan yang dihadapi antara lain
masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian (sandang) dan
masakah pekerjaan/pendapatan. Pada awal terjadinya bencana masalah pangan
dialami hampir semua keluarga korban bahkan hampir seluruh masyarakat Banda
Aceh. Hal ini dikarenakan persediaan makanan di lokasi bencana terbatas dan juga
transfortasi yang terputus sehingga pasokan pangan dari daerah lain terhenti.
Beberapa hari setelah terjadi bencana bantuan pangan mulai berdatangan, sehingga
beberapa bulan pasca bencana banyak keluarga yang masih menerima bantuan
berupa beras, lauk pauk, minyak goreng, mie instan, gula pasir dan bantuan lainnya
yang bisa dikonsumsi. Selain itu keluarga juga menerima uang tunai Rp
90.000/orang/bulan. Kebutuhan pangan keluarga saat itu sangat tergantung kepada
bantuan orang lain.
Saat penelitian ini berlangsung yaitu 1.5 tahun pasca tsunami bantuan
pangan mulai berkurang dan hanya diprioritaskan kepada anak yatim dan orang-
orang yang benar-benar tidak mampu, sehingga masalah pangan mulai dirasakan
kembali oleh sebagian keluarga. Hasil temuan di lapangan masih ada 5.1 persen
keluarga yang mengalami masalah dengan pangan. Angka ini memang relatif kecil
jika dibandingkan dengan bencana yang luar biasa. Ada beberapa alasan mengapa
masalah pangan tidak begitu dirasakan oleh sebagian keluarga antara lain karena
banyaknya bantuan yang diterima. Selain itu kondisi kehidupan keluarga saat
sebelum bencana tidak termasuk dalam katagori penduduk miskin, terbukti sebagian
besar keluarga masih memiliki aset yang masih bisa dijual untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Masalah kesehatan setelah 1.5 tahun pasca tsunami hanya dialami oleh
sebagian kecil (7.2%) keluarga. Hal ini disebabkan karena masih adanya posko-
posko kesehatan yang menyediakan pengobatan gratis bagi keluarga korban yang
mengalami masalah kesehatan. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat luas di Kota Banda Aceh pasca tsunami, beberapa rumah sakit besar,
puskesmas, puskesmas pembantu dan klinik kesehatan telah mengalami perbaikan
baik dari segi fisiknya, penambahan tenaga medis dan perbaikan anministrasi. Kalau
diperhatikan secara tipologi, masalah kesehatan lebih tinggi dialami oleh keluarga
duda jika dibandingkan dengan keluarga utuh dan janda, ini disebabkan karena
pada keluarga duda masalah pengasuhan dan perawatan kesehatan lainnya
merupakan hal baru yang harus ditangani sendiri, dimana sebelumnya masalah ini
ditangani oleh istri.
Masalah lain yang dialami oleh sebagian besar keluarga di Aceh adalah
masalah pendidikan yang mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem
pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan
warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang
menghancurkan sarana pendidikan dan tenaga pendidik. Membangun kembali
prasarana dan sarana pendidikan pasca-bencana disatu sisi memberi semacam
keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang
menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan
yang menghargai harkat kemanuasiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang
memecah akar-akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan
untuk merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang
berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar
dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan. Secara tipologi
masalah pendidikan lebih banyak dialami oleh keluarga janda karena ketiadaan
orang yang mencari nafkah untuk keperluan pendidikan.
Namun demikian satu hal yang cukup membanggakan bagi masyarakat Aceh
saat ini yaitu perhatian PEMDA dengan memberikan pendidikan gratis mulai dari TK
sampai SLTA. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan semua anak-anak usia
sekolah dapat mengikuti wajib belajar 9 tahun. Di samping itu, banyak beasiswa
yang diberikan kepada mahasiswa yang sedang mengikuti pendidikan baik di Aceh
maupun luar Aceh mulai dari Diploma sampai Program Doktor (S3).
Masalah perumahan/tempat tinggal dialami hampir semua korban, karena
keluarga tinggal di tenda atau barak pengungsian yang kondisinya tidak memenuhi
standar kesehatan. Di barak ruangan yang disiapkan hanya satu ruangan yang
berukuran 4x4 meter persegi yang harus dihuni untuk satu keluarga. Semua aktivitas
harus dilakukan dalam satu ruangan tanpa ada pembatas. Di samping itu juga tidak
tersedianya MCK yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Untuk
mengatasi permasalahan perumahan yang dialami sebagian besar keluarga di Kota
Banda Aceh, BRR berusaha membangun kembali rumah-rumah penduduk yang
hancur, namun usaha itu belum seluruhnya terpenuhi, karena terkendala dengan
permasalahan hak kepemilikan tanah. Banyak sertifikat yang hilang sehingga
menyulitkan penetaan kembali tanah-tanah penduduk yang pemiliknya hilang. Di
samping itu, masalah pembangunan rumah juga pada awal pelaksanaannya tidak
melibatkan masyarakat setempat, pembangunan dilakukan oleh para kontraktor dan
buruh bangunan dari luar Aceh. Masyarakat setempat menjadi penonton di negeri
sendiri tanpa bisa berbicara sepatahpun dan dipaksa untuk menerima apa adanya.
Banyak rumah yang sudah siap, tetapi tidak layak untuk ditempati, tidak memiliki
MCK, berlantaikan tanah dan tidak memiliki kamar. Secara tipologi masalah
perumahan lebih banyak dialami oleh keluarga utuh jika dibandingkan dengan
keluarga duda dan janda, ini dikarenakan pada keluarga utuh kehidupan keluarga
sedikit berbeda, sehingga barak yang hanya disediakan satu ruangan dirasakan
sangat tidak memadai.
Awal terjadinya bencana masalah pakaian merupakan masalah besar, namun
beberapa hari kemudian hal tersebut dapat segera diatasi karena banyaknya
bantuan. Pada saat penelitian ini dilakukan masalah pakaian ini tidak menjadi suatu
permasalahan yang besar, karena banyaknya bantuan pakaian yang diterima
keluarga. Selain itu bagi keluarga yang kehidupannya biasa-biasa saja pakaian
bukanlah hal pokok yang harus selalu terpenuhi untuk berbagai kesempatan.
Pakaian baru hanya dibeli pada saat-saat tertentu saja misalnya saat lebaran.
Saat ini yang menjadi satu permasalahan besar adalah masalah pekerjaan.
Hilangnya pekerjaan berarti tidak memilki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari, hal ini dapat mempengaruhi tingkat stres keluarga. Saat
penelitian ini berlangsung ada 10.1 persen keluarga kehilangan pekerjaan yang
dikarenakan tidak memiliki modal untuk usaha, kehilangan peralatan untuk ke laut
bagi para nelayan dan hancurnya tambak. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah dan LSM untuk mengatasi masalah pekerjaan ini misalnya memberikan
pinjaman modal usaha, memberikan bantuan perahu dan menata kembali tambak-
tambak penduduk yang hancur. Di samping itu juga banyak dilakukan pelatihan
untuk membantu para remaja yang tidak melanjutkan pendidikan, ibu-ibu yang tidak
bekerja dengan tujuan agar para remaja dan ibu-ibu memiliki keterampilan dan
dapat bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Secara tipologi masalah
pekerjaan lebih banyak dialami oleh keluarga janda. Ini disebabkan keluarga janda
harus bekerja sendiri untuk menggantikan suami mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Tingkat Stres Keluarga
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan keberhasilan program
pembangunan di Aceh saat ini, adalah faktor psikologi dan sosiologi masyarakat
Aceh agar bisa keluar dari trauma kehilangan keluarga dan harta untuk masuk ke
dalam kehidupan yang penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Sikap ini
juga harus didukung oleh semangat solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan
kita semua untuk membangun Aceh kembali.
Banyak permasalahan yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami
yang tidak dapat diselesaikan dapat menimbulkan stres. Kemampuan individu dalam
melakukan tindakan yang kongkrit dan membuat suatu keputusan yang dapat
memberikan hasil yang menyenangkan, serta menghindari diri dari situasi yang
menyulitkan. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat stres yang dialami
keluarga setelah 1 tahun pasca bencana diperlihat dari gejala-gejala stres yang
dialami keluarga relatif kecil baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku.
Rendahnya tingkat stres tidak berarti telah melupakan semua peristiwa yang pernah
dialami. Peristiwa itu tidak pernah terlupakan seumur hidup, tetapi masyarakat Aceh
umumnya dapat menerima segala sesuatu yang sudah kehendak Yang Maha Kuasa
siapapun tidak dapat menyangkalnya.
Pengukuran tingkat stres dengan menggunakan pendekatan Family
Inventory of Life dalam penelitian ini tidak dapat menggungkap tingkat stres yang
dialami kepala keluarga yang disebabkan oleh mata-mata peristiwa yang lalu,
karena gejala-gejala yang dirasakan sekarang sebagai penyebab stres sudah tidak
dirasakan lagi oleh sebagian besar kepala keluarga, sehingga tingkat stres yang
diperlihatkan menjadi rendah, namun dengan menggunakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Holmes dan Rahe mampu mengungkap tingkat stres sebagai
akibat peristiwa masa lalu, karena di dalam instrumen tersebut tercantum butir-butir
yang menyebabkan stres seperti kehilangan pasangan, kehilangan aset, kematian
keluarga dekat, perubahan kondisi keuangan dan kematian teman dekat, perubahan
tempat tinggal dan lain sebagainya adalah sesuatu hal yang masih dapat memicu
stres keluarga dengan skor yang telah ditentukan, sehingga satu tahun pasca
gempa dan tsunami stres kepala keluarga masih tetap dirasakan.
Secara tipologi, kematian pasangan merupakan penyebab stres terbesar
yang dirasakan oleh keluarga duda dan janda, tetapi pada keluarga utuh penyebab
stres terbesar adalah kehilangan aset. Temuan ini diperkuat oleh Darmaningtyas
(2005) yang menyatakan bahwa kematian merupakan dimensi utama kehilangan
dan merupakan kejadian paling traumatis yang dialami oleh seorang individu. Stres
paling berat yang dirasakan orang dewasa adalah karena kehilangan orang-orang
dekat yang dicintai sekaligus kehilangan rumah dan harta benda. Lebih lanjut
Freedy, Saladin, Kilpatrick, Resnick, dan Saunders (1994) dalam penelitiannya
menemukan bahwa kehilangan sumberdaya adalah prediktor yang lebih penting dari
stres psikologi dibandingkan ancaman hidup yang dirasakan 4-7 bulan setelah
gempa Sierra Madre (Los Angeles County, California, 1991).
Strategi Coping
Keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang
menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Setiap individu tidak akan
membiarkan efek-efek negatif itu terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan
untuk mengatasi permasalahan yang disebut dengan coping. Respon coping
individu itu akan diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu perilaku
coping dengan tujuan: (1) mengurangi bahaya dari lingkungan sekitar: (2) mengatur
dan bertahan pada realitas yang ada; (3) memelihara self-image yang positif; (4)
mengatur keseimbangan emosi dan (5) membina hubungan baik dengan pihak lain
(Lazarus, 1993).
Pada dasarnya, manusia melakukan perilaku coping dengan tujuan untuk
keluar dari situasi yang tidak menyenangkan dan mengembalikan fungsi psikologis
(menstabilkan atau menetralisir kembali keadaan yang mengganggu). Tingkah laku
ini timbul dari sejumlah tahap, pertama menilai sumber stres yang dihadapi serta
sumber-sumber yang dimiliki untuk mengatasinya dan kemudian baru bertindak.
Penilaian terhadap suatu situasi tidak dapat digeneralisasikan sama pada semua
individu. Setiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap suatu sumber
stres (termasuk sumber stres yang sama). Situasi tertentu dapat dapat dinilai
sebagai ancaman atau sebagai tantangan tergantung pada pengalaman individu
yang bersifat internal dan eksternal. Berdasarkan penilaian tersebut akan terjadi
perilaku yang sesuai dengan penilaian tersebut, Misalnya masalah pangan yang
dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami dinilai dapat mengakibat kebutuhan
gizi keluarga dapat terganggu, maka masalah ini harus segera dicarikan jalan
keluarnya.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga melakukan berbagai
coping strategi baik yang berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hanya 44.2 persen keluarga melakukan strategi
coping yang berfokus pada masalah yang tergolong tinggi. Upaya keluarga
mengatasi permasalahan yang dihadapi melalui strategi coping berfokus pada
masalah yang paling banyak dilakukan adalah merubah gaya hidup. Untuk
mengatasi masalah kesehatan selain memperoleh bantuan dari pemerintah dan
LSM, keluarga juga berusaha lebih dari biasanya bila perlu meminjam pada tetangga
yang masih memilikinya. Dan untuk mengatasi masalah perumahan selain
melakukan hal-hal tersebut diatas, kepala keluarga juga membuat perencanaan agar
apa yang dilakukan lebih terkonsentrasi. Begitu juga upaya yang dilakukan keluarga
untuk mengatasi masalah melalui strategi coping yang berfokus pada emosi, coping
ini dilakukan dengan tidak melakukan sesuatu secara tergesa-gesa, memperhatikan
seseorang yang dikagumi menyelesaikan masalah dan mencoba melupakan
segalanya.
Rendahnya kemampuan keluarga dalam melakukan coping tidak saja
dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar keluarga cukup memiliki sumberdaya baik dari segi sosial ekonomi
maupun dari faktor ciri-ciri pribadi dan dukungan sosial, tetapi coping yang dilakukan
sebagian besar tergolong dalam katagori rendah. Ini terjadi karena ada faktor
ketidaktahuan keluarga terhadap apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi. Di samping itu, pembinaan yang dilakukan belum
sepenuhnya menjangkau seluruh permasalahan yang dihadapi keluarga. Individu
lebih banyak menerima bantuan material sehingga kurang mau berusaha sendiri
untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi.
Cooper dan Payne (1991), untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu
tidak hanya melakukan satu strategi coping saja, melainkan beberapa strategi yang
dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri. Jenis coping mana yang akan
digunakan dan bagaimana dampaknya tergantung pada jenis stressor yang
dialaminya. Berdasarkan hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan
positif nyata sebesar 40.7 persen antara coping berfokus pada masalah dan coping
berfokus pada emosi. Hal ini menunjukkan bahwa coping yang dilakukan individu
selalu berdampingan dan beriringan. Misalnya seseorang akan melakukan suatu
tindakan sambil memohon petunjuk semoga usaha yang dilakukan mencapai tujuan
yang diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan
strategi coping dilakukan karena mengalami tingkat stres tinggi, tetapi coping tetap
dilakukan walaupun tingkat stres minor dengan metode family inventory of life. Hasil
penelitian tersebut menjelaskan bahwa coping bukan saja keberhasilan individu
dalam mengatasi stresnya, tetapi usaha yang dilakukan untuk keluar dari situasi
yang menekan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkah laku coping adalah
berdiri sendiri, terpisah dari keberhasilan atau kegagalan individu dalam mengatasi
stresnya.
Menurut Caplan (Friedman 1998), mencari pendukung sosial dalam jaringan
kerja sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok
profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan
bersama. Terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan
dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan
kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal
biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem
sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani
masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada
profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri
sebagai bentuk dukungan sosial dapat dilakukan melalui organisasi (Friedman,
1998).
Di Propinsi NAD sudah lama dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam
tata kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat difungsikan untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan lainnya. Perilaku sosial yang
telah lama dikenal itu diwujudkan dalam falsafah saling asih, saling asuh dan saling
asah. Secara harfiah arti falsafah hidup yang sangat tinggi adalah saling mengasihi,
saling mengasuh dan saling memberikan pengetahuan antar warga masyarakat,
baik dalam kehidupan keluarga, tetangga, kelompok, maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun
tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan
tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan
mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah
menjadi gagasan strategis sebagai bagian yang penting, bahkan terpenting dalam
pembangunan masyarakat dan keluarga. Dengan demikian kendati pun gempa dan
tsunami menimpa sebagian penduduk yang pekerjaan utamanya ada di sektor
pertanian, namun sebagian masyarakat masih dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya meskipun dalam kondisi yang kurang memadai. Salah satu
penyebabnya adalah adanya sikap kepedulian yang cukup tinggi antar warga dalam
berbagai hal.
Sikap kepedulian yang dimiliki warga Aceh sudah menjadi suatu budaya
yang tercermin jelas dalam berbagai adat atau kebiasaan masyarakat, dalam
pergaulan sehari-hari. Beberapa perilaku sosial tersebut antara lain:
(1) Kerja sama yang harmonis dalam mengerjakan kegiatan pembangunan sosial
dan gotong royong dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungan
tempat tinggal. Kerja sama ini terlihat dalam kegiatan kerja bakti untuk
pembangunan mesjid, jembatan, MCK dan perbaikan saluran air yang hancur
akibat tsunami
(2) Musyawarah dalam memecahkan masalah kemasyarakatan misalnya rapat-
rapat atau pengajian antar warga, antar tokoh agama, tokoh masyarakat dan
aparat desa atau kelurahan. Media rapat difungsikan untuk mendiskusikan
kegiatan keagamaan dan menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan.
Biasanya pada akhir pertemuan selalu dirumuskan hasil musyawarah atas dasar
sumbangan pemikiran dari warga yang hadir
(3) Saling menolong antar tetangga (kesetiakawanan sosial) yang terlihat jelas dari
spontanitas masyarakat dalam menolong anggota masyarakat lainnya, misalnya
saat terjadi gempa dan tsunami bagi warga yang rumahnya tidak hancur
bersedia menampung tetangganya yang rumahnya hancur dan rela berbagi
dalam hal makanan, dan pakaian
(4) Saling mengingatkan jika tetangga melakukan kegiatan yang merugikan
masyarakat.
Keberfungsian keluarga
Pada awal terjadi bencana gempa dan tsunami kehidupan keluarga sempat
terganggu akibat tercerai berainya anggota keluarga, orang tua kehilangan anak, istri
kehilangan suami dan lain sebagainya yang mengakibatkan fungsi keluarga tidak
dapat berjalan dengan baik. Dalam rangka mengembalikan fungsi keluarga dalam
pembentukan SDM, perlu strategi peningkatan fungsi keluarga yang baik menuju
terbentuknya ketahanan keluarga. Menurut Chapman (2000) ada lima tanda adanya
keluarga berfungsi dengan baik (funcsional family), yaitu: (1) sikap melayani sebagai
tanda mulia; (2) keakraban antara suami-istri menuju kualitas perkawinan yang baik;
(3) orang tua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif,
pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan; (4) suami-istri yang
menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan (5) anak-anak yang mentaati dan
menghormati orang tua. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eyree (1995)
menyatakan ada tiga langkah menuju keluarga menuju keluarga harmonis, yaitu
membangun dasar tata hukum keluarga, mengatur ekonomi keluarga dan
memelihara tradisi keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi keluarga melalui peran ayah dan
ibu secara keseluruhan belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini terlihat dari rata-
rata skor fungsi keluarga adalah 79.9. Berdasarkan tipologi, fungsi instrumental dan
ekspresif pada keluarga utuh lebih baik jika dibandingkan dengan keluarga duda
dan janda. Hal ini disebabkan pada keluarga utuh fungsi instrumental yang
diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu dapat dilakukan
secara bersama-sama sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dengan satu
tujuan yaitu kesejahteraan anggota keluarga.
Belum berfungsinya secara baik fungsi instrumental maupun ekspresif pada
keluarga duda atau janda karena ayah dan ibu yang menjadi janda atau duda
membutuhkan penyesuaian dalam menjalankan peran ganda. Seorang ibu yang
harus berperan sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan biologis dan fisik
anggota keluarganya. Seorang ibu belum terbiasa harus bekerja keras di luar rumah.
Begitu juga dengan seorang ayah akan merasa bingung bagaimana memenuhi
kebutuhan psikologis, sosial dan emosi, kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan
pengembangan diri anak dapat berjalan dengan baik. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa tingginya strategi coping yang dilakukan keluarga tidak serta
merta mengakibatkan membaiknya fungsi instrumental.
Berfungsinya keluarga dengan baik merupakan dambaan setiap anak,
karena keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Seperti yang
diungkapkan oleh Spencer dan Inkeles (1982) dan Macionis (1995) bahwa tempat
sosialisasi yang paling penting bagi seorang anak adalah keluarganya yang
berfungsi untuk memberikan dukungan emosi dengan penuh kehangatan dan
intimasi sepanjang kehidupan anak. Keluarga juga sangat penting dalam
mentransfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak belajar
secara kontinyu pada orang tuanya. Pengasuhan sangat penting dalam
perkembangan sosial anak dan bervariasi dari satu keluaga dengan keluarga
lainnya. Pengasuhan meliputi kontak fisik, stimulasi verbal dan tanggap terhadap
lingkungan di sekitarnya.
Implikasi terhadap Kebijakan
(1) Pada hakikatnya, permasalahan yang terjadi pasca tsunami adalah masalah
yang terjadi di lingkungan masyarakat lokal. Untuk itu, penanganan masalah
tersebut harus berbasiskan masyarakat karena masyarakatlah yang paling tahu
kondisi permasalahannya. Penanganan permasalahan yang sentralistik dan
sektoral hanya mengakibatkan masyarakat semakin tidak peduli terhadap
permasalahan yang berkembang di lingkungannya
(2) Strategi pemberdayaan keluarga lebih cenderung mengembangkan program-
program yang ditujukan untuk mengoptimalkan program-program pemba-ngunan
yang bercirikan sistem sosial budaya setempat. Dengan cara demikian, selain
lebih tepat sasaran, juga dapat meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan
penduduk umumnya hingga mencapai standar minimum. Mereka juga
diharapkan dapat meraih kesempatan-kesempatan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh
masyarakat.
(3) Strategi pemberdayaan keluarga berbasiskan sistem sosial budaya lokal perlu
diformulasikan secara tepat. Karena itu, penyelesaian permasalahan yang
dihadapi harus dibatasi sampai pada tahap mobilisasi sosial atau penyadaran
(kosientasi) kepada masyarakat. Sementara itu, proses pember- dayaannya
harus sepenuhnya dilimpahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Dalam
hal ini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, sistem
pendukung, pengakses sumber sosial, dan peran-peran lain yang bersifat tidak
langsung (indirect services)
(4) Strategi pembangunan masyarakat berada dalam satu kesatuan sistem
pembangunan sosial yang berinteraksi. Apabila pembangunan nasional secara
menyeluruh berupaya untuk meningkatkan kemajuan, kemampuan,
kesejahteraan dan keadilan sosial, pelaksanaannya harus diupayakan secara
sistematis dan berkesinambungan agar setiap orang memiliki kesempatan untuk
menikmati pembangunan. Selain itu setiap orang dapat berperan aktif dalam
proses pelaksanaan pembangunan. Kondisi ini merupakan tujuan yang ingin
dicapai dari proses aktualisasi institusi tradisi yang telah tumbuh berkembang
secara turun-temurun yang hingga kini masih kuat berakar di masyarakat.
(5) Keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai
potensi yang pemanfaatannya belum optimal dalam proses pembangunan
masyarakat. Padahal, sistem sosial budaya lokal merupakan modal sosial (social
capital) yang besar yang telah tumbuh berkembang secara turun-temurun yang
hingga kini masih kuat berakar di masyarakat
(6) Aktualisasi sistem sosial budaya lokal menjadi masalah yang sangat strategis
untuk didiskusikan kembali. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan keadaan
Indonesia yang berada dalam proses demokrasi dan reformasi di segala bidang
pembangunan. Ketika Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi
yang berkepanjangan, strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat
agaknya membutuhkan perubahan yang sangat mendasar, dari pendekatan
yang karitas atau residual menjadi sistem pemberdayaan masyarakat
Implikasi terhadap Keilmuan
(1) Perlu adanya suatu pengenalan fungsi keluarga ekspresif dan instrumental
melalui peran ayah dan ibu. Pengenalan ini dapat dilakukan melalui pendidikan
formal dengan memasukkan materi pendidikan kesejahteraan keluarga ke dalam
kurikulum baik di tingkat perguruan tinggi atau di tingkat menengah. Selain itu
dapat juga dilakukan melalui pendidikan non formal dengan memberikan
penyuluhan PKK bagi remaja yang putus sekalah. Penyuluhan ini dapat
dilakukan melalui perkumpulan remaja mesjid, karang taruna dan perkumpulan
remaja lainnya.
(2) Melalui pembelajaran ini para remaja yang akan melakukan pernikahan bisa
mengintrospeksi diri akan kemampuannya baik secara material maupun spiritual
(3) Bagi remaja sebagai generasi penerus yang nantinya akan membangun
keluarga, perlu memahami akan fungsi ekspresif dan intrumental melalui peran
ayah atau ibu yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan material dan
spiritual anggota keluarganya
Keterbatasan Penelitian
(1) Penelitian ini tidak dapat dilakukan secara tuntas, tetapi baru sampai tahap
proses, karena situasi kehidupan masyarakat saat penelitian ini dilakukan belum
stabil/belum cukup kondusif
(2) Sampel pada tipologi duda dan janda sangat terbatas, karena sangat sulit
mendapatkan keluarga yang bersedia untuk dijadikan sampel, ini disebabkan
kekecewaan keluarga terhadap janji-janji dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
. (1) Permasalahan yang dialami keluarga 1,5 tahun pasca tsunami antara lain: tidak
adanya pangan hewani untuk dikonsumsi setiap hari, kesulitan dalam membayar
obat-obatan, ketidakmampuan keluarga menyediakan fasilitas untuk keperluan
belajar anak di rumah, tempat tinggal/rumah untuk tempat berlingdung anggota
keluarga tidak memadai, tidak memiliki cukup pakaian untuk aktivitas yang
berbeda serta penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari
(2) Sumberdaya coping yang dimiliki keluarga yakni: (1) karakteristik sosial ekonomi
meliputi: jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang, 1.5 tahun pasca tsunami
masih ada 15,2% kepala keluarga belum kembali bekerja. Rata-rata pengeluaran
keluarga perkapita untuk pangan dan non pangan masing-masing Rp 287.000
dan Rp 260.000 (52% dan 48%) dari total pendapatan. Rata-rata nilai aset yang
dimiliki keluarga adalah Rp 20.442.237; (2) ciri-ciri pribadi kepala keluarga
meliputi: umur rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan umumnya
SLTA/sederajat. Tingkat kesehatan selama enam bulan terakhir sebagian besar
(87%) cukup baik. Kepribadian kepala keluarga sebagian besar (87%) adalah
ekstrovet dan konsep diri juga sebagian besar (93.5%) tergolong positif; dan (3)
sebagian besar keluarga (86.2%) menerima dukungan sosial dari berbagai
pihak..
(3) Tingkat stres kepala keluarga dengan pendekatan metode Family Inventory of
Life sebagian besar (88,4%) termasuk stres minor, dan jika menggunakan
metode Holmes dan Rahe, masih ada 44.9% kepala keluarga yang mengalami
tingkat stres dengan katagori sedang. Tingkat stres keluarga single parent lebih
tinggi dibandingkan dengan keluarga utuh
(4) Strategi coping yang dilakukan kepala keluarga pasca gempa dan tsunami
adalah strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada
emosi. Namun demikian, strategi coping yang dilakukan oleh kepala keluarga
belum maksimal, baik strategi coping berfokus pada masalah maupun yang
berfokus pada emosi masing-masing hanya 44,2% dan 19.1% yang termasuk
katagori tinggi.
(5) Dalam hal keberfungsian keluarga, masih terdapat keluarga yang tidak mampu
menjalankan fungsinya secara optimal, baik fungsi ekspresif maupun
intrumental. Hal ini terbukti masih ada 37.7% keluarga yang tidak mampu
menjalankan fungsi intrumental untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya, dan hanya 8,7% keluarga yang tidak mampu melakukan fungsi
ekspresif dengan baik. Fungsi ekspresif jauh lebih berfungsi dibandingkan
dengan fungsi intrumental.
(6) Hasil regresi menunjukkan dukungan sosial berpengaruh negatif nyata terhadap
strategi coping baik yang berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada
emosi. Selain itu tingkat stres kognitif dan keluarga single parent juga
berpengaruh negatif nyata terhadap strategi coping berfokus pada masalah,
berbeda dengan masalah kesehatan yang memberikan pengaruh positif nyata
terhadap strategi coping berfokus pada masalah. Kepribadian, umur kepala
keluarga dan jumlah anggota keluarga berpengaruh positif nyata terhadap
strategi coping berfokus pada emosi.
(7) Hasil regresi menunjukkan jumlah anggota keluarga, berpengaruh positif nyata
terhadap fungsi keluarga baik fungsi ekspresif maupun instrumental, selain itu
pendidikan kepala keluarga dan konsep diri juga berpengaruh positif nyata
terhadap fungsi ekspresif, tetapi masalah perumahan berpengaruh negatif nyata
terhadap fungsi ekspresif. Seeking social support, tingkat kesehatan kepala
keluarga, confrontatif, flanful problem solving, masalah pendidikan dan pakaian
berpengaruh positif nyata terhadap fungsi intrumental.
Saran
(1) Sebaiknya penyelesaian masalah yang dihadapi keluarga pasca gempa dan
tsunami lebih mengutamakan kepada penyelesaian masalah untuk pemenuhan
kebutuhan dasar keluarga, sehingga tidak lagi ditemukan keluarga yang
kekurangan pangan, kesulitan dalam hal pengobatan, anak yang tidak sekolah,
tinggal di rumah yang tidak memenuhi standar kesehatan dan penghasilan yang
didapat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari
(2) Dalam penanganan masalah korban bencana khususnya dalam hal tempat
penampungan seperti barak, sebaiknya memperhatikan tipologi keluarga karena
aktivitas keluarga janda dan duda akan berbeda dengan keluarga utuh.
(3) Setahun pasca bencana masih terdapat kepala keluarga yang mengalami stres
dengan katagori sedang, untuk itu masih perlu adanya pendampingan dari pihak
psikolog untuk membantu mengatasi stres yang dialami keluarga.
(4) Untuk membantu keluarga agar dapat melakukan strategi coping secara
maksimal perlu adanya perhatian, pembinaan dan arahan dari pihak-pihak yang
terkait (Pemerintah dan LSM). Pembinaan dan arahan yang dilakukan
hendaknya memperhatikan juga masalah tipologi keluarga, karena strategi
coping yang dilakukan keluarga janda berbeda dengan strategi coping yang
dilakukan keluarga duda dan keluarga utuh. Pada keluarga janda lebih
mengedepankan penyelesaian masalah dengan cara mencari dukungan sosial
(seeking social support). Keluarga duda melakukan penyelesaian masalah
dengan penuh resiko (confrontative), dan keluarga utuh menyelesaikan masalah
dengan penuh pertimbangan dan perencanaan (planful problem solving). Dalam
melakukan strategi coping secara keseluruhan keluarga janda lebih aktif
dibandingkan dengan keluarga duda dan keluarga utuh.
(5) Untuk mengoptimalkan fungsi keluarga baik ekspresif maupun intrumental perlu
adanya program intervensi yang diarahkan untuk pemberdayaan keluarga.
Program intervensi dapat saja dilakukan oleh pihak pemerintah dan LSM.
(6) Coping yang dilakukan oleh masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami
dipengaruhi oleh berbagai masalah, sumberdaya coping dan tingkat stres. Untuk
itu, pemerintah dan LSM yang sedang melakukan program rekonstruksi Aceh
harus memperhatikan aspek-aspek tersebut, serta tidak hanya memberikan
bantuan fisik yang sifatnya insidentil, namun menanamkan kemandirian kepada
masyarakat.
(7) Bantuan yang berlebihan akan berdampak kurang baik bagi masa depan
keluarga. Untuk itu perlu adanya program bantuan sosial yang tepat dan akurat
sehingga sasaran yang diharapkan tercapai. Untuk penelitian yang sama perlu
adanya kajian yang lebih mendalam dan terperinci mengenai instrumen
dukungan sosial.
(8) Berfungsi tidaknya keluarga pasca gempa dan tsunami sangat tergantung
kepada masalah yang dihadapi, sumberdaya yang dimiliki dan strategi coping
yang dilakukan. Untuk itu pada keluarga yang tidak memiliki cukup sumberdaya
untuk menyelesaikan masalah perlu perhatian dan dukungan dari berbagai pihak
agar keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Achir Yani S. 1997. Analisis Konsep Koping: Suatu Pengantar Jurnal Keperawatan
Indonesia. Jakarta
Allen, T. 2001. “Job Stress, the Individual, and the Organization.” http://academic.Emporia.edu/smithwil/001smmg443/eja/all en.html. (2001).
Alva, I. 2003. Stres. http://www.doctorshealthsupplements.com/article/ stres.htm.
Anonim. 2006. Chapter 12 Stress, Health, and Coping http://www.delmar.edu/ socsci/Faculty/Weir/chapter12.htm. Diakses 2 November 2006
Atwater, E. 1983. Psycology of Adjustment. (2 nd ed) New Jersey: Prentice-Hall., Englewood Cliffs
Babbie, E. 1992. The Practice of Social Research. Sixth Edition. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Baum, A. 1990. Stress, Intrusive imagery and chronic stress. Health Opsychology, 9, 653-675.
Berns, RM. 1997. Childs, Family, School, Community: Socialization and Support. Florida : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Bian, J. 1996. “Parental Monetary Investments in Children: A Focus on China”. Journal of Family and Economic Issues, Vol 17.
Bigner, J. J. 1979. Parents-Child Relation: An Introduction to Parenting. Inc. New York : Macmillan Publishing Co.
BKKBN. 1992. Undang-Undan Republik Indonesia nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Jakarta: BKKBN.
BKKBN. 1997. Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Provinsi Jawa Barat.
Bolger, N., dan A. Zuckerman. 1995. A framework for studying personality in the stres process. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 890-902.
Boos P. 1987. “Family Stres” Dalam Handbook of Marriage and the Family. Diedit oleh Marvin B, Sussman, K. Suzanne dan Steinmetz. New York and London : Plenum Press.
Bryant, W. K. 1990. The Economic Organization of The Household. Cambridge University Press.
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 1998. Jakarta : BPS.
2002. Jakarta : BPS.
BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009).
Chapman, G. 2000. Five Signs of a Functional Family (Lima tanda Keluarga yang Mantap). Batam: Interaksara.
Coddington, R. D. 1972. “The significance of life events as an etiologic factor in the diseases of children II : A study of the normal population”.Journal of Psychosomatic Research, 16, 205-213.
Cooper, L. Payne. 1991. Personality and Stres : Individual Differences in the Stres Process New York : John Willey & Sons
Costa, P.T., M. R. Somerfield., R.R. McCrae.1996. Personality and coping. Diedit oleh M. Zeidner & N. S. Endler. Handbook of coping: Theory, research, applications (pp. 45-61). New York: John Wiley.
Cox, T dan E. Ferguson. 1991. “Individual Differences, Stress and Coping” dalam Personality and Stres : Individual Differences in the Stres Process. Diedit oleh C. L Cooper dan R. Payne. England : John Wiley & Son.
Darmaningtyas. 2005. Menyelamatkan Pendidikan Anak-anak Aceh. Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Jumat, 7 Januari 2005 (p 481). Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Day, R.D., KR. Gilbert., BH. Settles. dan WR. Burr. 1995. Research and Theory in Family Science, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Dohrenwend, B.S., L. Krasnoff., ASR. Askenasy., BP. Dohrenwend. 1978. Exemplification of a method of scaling life events : the PERI life events scale. Journal of Health dan Social Behaviour, 19, 205-229.
Eyree, RL. 1995. 3 Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis: Teaching Your Dhildren Values. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Firebaugh, M.F dan R.E. Deacon. 1988. “Family Resource Management Principles and Aplications”. Atlantic Avenue. Boston.
Fleming, R., A. Baum., M.M. Gisriel., dan R.J. Gatchel.1982. “Mediating influences of social support on stres at three Mile Island”. Journal of Human Stres, 8, 14-22
Folkman, S dan R.S. Lazarus. 1985. If it changes it must be a process: “Study of emotion and coping during three stages of a college examination”. Journal of Personality and Social Psychology, 48, 150-170.
1988b. The relationship between coping and emotion: Implications for theory and research. Social Science in Medicine, 26, 309-317.
Freedy, J.R dan D.G. Kilpatrick. 1994. “Everything you ever wanted to know about natural disasters and mental health”. National Center for Post-Traumatic Stres Disorder Clinical Quarterly, 4, 6–9.
Freedy, J.R., D. Shaw., M. P. Jarrell dan C. Masters. 1992. “Towards anunderstanding of the psychological impact of natural disaster: An application of the conservation resources stres model”. Journal of Traumatic Stres, 5, 441–454.
Freedy, J.R., ME. Saladin., DG. Kilpatrick., HS. Resnick dan BE. Saunders. 1994. “Understanding acute psychological distres following natural disaster”. Journal of Traumatic Stres, 7, 257–273.
Friedmann, J. 1998. “Family Nursing: Theory and Practice” 3rd ed. California : Appleton & Lange.
1992. Empowerment: The Politics of Alternati Development. Massachusetts: Blackwell Publishers
Gatchel, R.J., A. Baum dan DS. Krantz. 1989. “An Introduction to Health Psyhology “ (2 nd ed). New York : Mc Graw Hill, Inc.
Gelles, R.J.1995. “Contemporary Families”: A Sociological Viuw. SAGE Publication. London.
Gempa dan Tsunami. 2005. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Goldsmith, E.B. 1996. “Resource Management for Individuals and Families: Management Stres and Fatigue”. USA: West Publishing Company.
Guhardja, S., Hartoyo., D. Hastuti dan H. Puspitawati. 1989. “Manajemen Sumberdaya Keluarga”. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor.
Haber, A dan R.P. Runyon. 1984. Psycology of Adjustment. Ilionis : The Dorsev Press Homewood.
Hartiningsih, M. 2005. “Penting, Dukungan Psikososial untuk Korban Tsunami”. Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Selasa 4 Januari 2005 (p 216). Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hewitt, PL dan GL. Flett. 1996. “Personality traits and the coping process”. In M. Zeidner & N. S. Endler (Eds.), Handbook of coping: Theory, research, applications (pp. 410-433). New York: John Wiley.
Hidayati, N. 2005. ”Minta air. Air Sedikit saja Cukuplah: Saya tak tahan lagi” Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Sabtu, 1 Januari 2005 (p 170). Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hikmat, H. 2001. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat”. Humaniora Utama Press Bandung.
Hill, A.H. 1960. “Hikayat Raja-raja Pasai”. Journal of The Malayan Branch Royal Asiatic Sociaty, Vol. XXXIII, Part 2. JMBRAS.
Holahan, C.J., RH. Moos., CK. Holahan dan RC. Cronkite. 1999. “Resource loss, resource gain, and depressive symptoms: A 10-year model”. Journal of Personality and Social Psychology, 77, 620-629.
Holahan, S dan R. Moss 1987. “Personal and Contextual Determinant of Coping Strategies.” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 52, no.5.
Holmes, T.H dan R. Rahe. 1967. “The social readjusment rating scale”. Journal of Psychosomatic Reserach, 11, 213-218.
HTI, 2005. Tabanni Masholih Aceh. Hizbut Tahrir Indonesia.
Husein, M. 1970. Adat Atjeh. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh
John, D., T. Catherine, dan MacArthur. 1998. “Coping Strategies.” Summary Prepared by Shelley Taylor in Collaboration With the Psychosocial Working Group. Research Network on Sosioeconomic Status and Health.
Joseph, S., W. Yule., R. Williams dan P. Hodgkinson. 1993. “Increased substance use in survivors of the Herald of Free Enterprise Disaster”. British Journal of Medical Psychology, 66. 185-191
Kaiser, C.F., DN. Sattler., DR. Bellack dan J. Dersin. 1996. ”A conservation of resources approach to a natural disaster: Sense of coherence and psychological distress”. Journal of Social Behavior and Personality, 11, 459-476.
Kaniasty, K dan F.H. Norris. 1995. “In search of altruistic community: Patterns of social support mobilization following Hurricane Hugo”. American Journal of Community Psychology, 23, 447–477.
Kurdi, M. 2005. “Menelusuri karakteristik masyarakat desa : Pendekatan sosiologi budaya dalam masyarakat Atjeh”. Banda Aceh : Yayasan Pena
Landis, J.R. 1989. “Sociology: Concepts and Characteristics” (6 th Ed), California: Wadsworth Inc
Laporan Camat Kuta Alam Tentang Kondisi Kecamatan Kuta Alam Tahun 2006.
Laporan Yayasan Lamjabat Tentang Kondisi Kacamatan Meuraxa Tahun 2006
Lazarus, R.S. 1993. “From psychological stres to the emotions: A history of changing outlooks”. Annual Review of Psychology, 44, 1-21.
Lazarus, R.S dan S. Folkman. 1984. Stres, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill, Inc.
Lazarus, R.S. 1976. “Pattern of Adjustment (2nd ed)”. Kogakhusha : McGraw-Hill, Inc.
Littauer, F. 2002. “Personality Plus For Parents”. Binarupa Aksara, Jakarta
Macionis, J.J. 1995. “Annotated Instructor’s Edition Sosiology” (5thEd), New Jesey Prentice Hall, Englewood Cliffts
Mangkuprawira, S. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah Industri Tenun Perdesaan”. Media Gizi dan Keluarga. Vol.25 No.2.
Maramis, W.F. 1998. “Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa”. Edisi VII. Surabaya : Universitas Airlangga.
McCubbin, H.I dan J.M. Patterson. 1987. Family Inventory of Live Events and Changes. Dalam Family Assessment Inventories for Research and Practice. McCubbin HI, Thompson AI. Wisconsin-Madison : The University of Wisconsin-Madison.
McCubbin, HI., JM. Patterson dan L. Wilson. 1979. CHIP-Coping health inventory for parents : An assessment of parental coping patterns in the care of the chronically ill child. Journal of marriage and the Family, 45, 359-370.
McCubbin, H.I. 1975. “Family Assesment Inventories for Research and Practice”. The University of Wisconsin-Madison. Madison Wisconsin.
Megawangi, R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood care and Development in Indonesia, The Consultative group on early childhood care and Development, Indonesia.
l999. “Membiarkan Berbeda”, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Jakarta: Penerbit Mizan.
Murphy, S.A. 1984. Stres level and health status of victims of a natural disaster. Research in Nursing and health, 7. 2005-215.
Newman, D.M dan L. Grauerholz. 2002. Sosioly of Families (2nd Ed) California: Fine Forge Press.
Ninno, C., P.A. Dorosh., LC. Smith dan DK. Roy. 1998. Floods in Bangladesh: Disaster Impacts, Household Coping Strategies, and Response. Washinton, D.C. : International Food Folicy Research Institute
Nyakpha, M.H. 2004. Makalah Disampaikan pada Seminar Budaya, Pekan Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh pada tanggal 24 – 27 Agustus 2004.
Nye, F.I dan F.M. Berardon. 1967. Emerging conceptual frameworks in family analysis. The Macmillan Colmpany, New York.
Parke, R.D. 1996. Fatherhood. Cambridge : Harvard University Press.
Parker, J.D.A dan N.S. Endler. 1996. Coping and Defense: A historical overview. In M. Zeidner & N. S. Endler (Eds.), Handbook of coping: Theory, research, applications (pp. 3-23). New York: John Wiley.
Poerwandari, K. 2005. “Harapan masih ada”. Dalam Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Sabtu, 8 Januari 2005 (p 495). Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Potter, L dan S. McKenzie. 2000. “Profesional Callaboration With Parents of Children with Disabilities”. Sydney: MacLennan & Petty Pty Limited
Priyono, O.S dan A.M.W. Pranarka. 1996. “Pemberdayaan Konsep, Kebijakan,dan Imolementasi”. Centre For Strategic and International Studies. Jakarta
Rice, P.L. 1999. “Stres and Health”. 3rd ed. California : Brooks/Cole Publishing Company.
Rice, A.S dan SM. Tucker. 1986. “Family Life Management”. Macmillan Publishing Company. New York.
Robins, S.P. 2001. Organizational Behavior (9th Ed). New Jersey : Prentice Hall International.
Sarafino, E. 2002. “Health Psycology”. England: John Willey and Sons.
Sattler, D.N. 2001. Psychological distres following the Northridge earthquake. Manuscript submitted for publication.
Selye, H. 1982. Guide to Stres. Volume 3. New York.
Sianipar, H. 1997. Kajian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Karyawan PT, Ika Nusa Fishtama di Kecamatan Wonosobo Lampung. Skripsi tidak dipublikasikan. Program Studi Sosial ekonomi Perikanan, Faperikan, IPB. Bogor.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Slater. 1974. Parental Role Differentiation. Dalam The Family: its Structure and Functions. Diedit oleh R.L. Coser ST Martin’s Press, New York
Spencer, M dan A. Inkeles. 1982. Foundation of Modern Sociology Third Edition. Prentice,
Steidl, R.E dan E.C. Bratton 1968. Work in The Home. John Willey & Sons. New York
Stuart dan Sundeen. 1991 Pocket Guide to Psyhiatric Nursing. Third Edition. The Mosby Company : Toronto.
Sufi, R. 2002. Adat Istiadat Masyarakat Atjeh. Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Suls dan Fletcher 1985. http://www.garysturt.free-online.co.uk/coping.htm. Coping. Diakses 2 November 2006.
Sunarti, E. 2006. Teori Ekologi Keluarga : Sejarah, Konsep dan Tantangan Penelitian dalam Adiwibowo, S. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, IPB Bogor.
Suratman, E. 1994/1995. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia dalam Fatimah (Ed), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sussman, B.M dan K.S. Steinmetz. 1988. Handbook of Marriage and the Family. New York and London : Plenum Press.
Syahrizal. 2004. “Dayat dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Atjeh” dalam Media Syariah, Vol.VI. No. 11 Januari 2004
Taylor, S.E. 1995. Health Psychology (3rd ed). New York : McGraw-Hill Inc.
Vosler, N.R. 1996. New Approaches to Family Practice Confronting Economic Stres, California: Sage Publications Inc.
Wahana Komputer. 2005. 10 Model Penelitian dan Pengolahannya dengan SPSS 10.0 Jogyakarta.
Winton, C.A. 1995). Frameworks for Studying Families. The Duskin Publishing Group, Inc. Connecticut, USA
World Health Organization. 2005. Tsunami dan Health. Situation Report.
Zeitlin, M.F., R. Megawangi., EM. Kramer., D Nancy dan ED. Colletta. Babatunde, Gorman D.1995. Strengthening the Family : Implications for International Development. The United Nations University Press. New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji reliabilitas instrumen penelitian pada saat uji coba
No Peubah Penelitian Jumlah Item
Jumlah Item
Setelah di
hapus
No Item yang dihapus
α Cronbach sebelum di hapus
α Cronbach setelah di hapus
Pertanyaan yang dihapus
1
Masalah-masalah keluarga pasca gempa
16 10 .7369 .7369
a. Pangan 3 3 .8008 .8008 b. Kesehatan 2 2 .7500 .7500 c. Pendidikan 3 3 .8027 .8027 d. Perumahan/Tempat Tinggal
4 4 .7813 .7813
e. Pakaian 2 2 - - f. Pekerjaan/Pendapatan
2 2 .7500 .7500
2 Tingkat Stress Ibu (Family Live Inventory)
30 30 .7416 .7416
a. Fisik 8 8 .7392 .7392 b. Psikis 7 7 .7788 .7788 c. Kognitif 5 5 .8021 .8021 d. Perilaku 10 10 .7403 .7403
3 Tingkat Stress Ibu (Holmes & Rahe)
10 10 .6474 .6474
4 Kepribadian, Konsep Diri & Dukungan Sosial
29 26 10,12, 13 .5610 .6519
a. Kepribadian 20 17 10,12,13 .6519
10, Saya senang teman saya banyak
12. Saya mudah bingung 13. Cepat merasa sedih
b. Konsep Diri 5 5 .7500 .7500 c. Dukungan Sosial 4 4 .7771 .7771
5 Strategi Coping Keluarga
41 36 8,27,30,40,41 .7112
Berfokus pada masalah 17 16 8 .7342 a. Plantul Problem Solving
7 7 .7732 .7732
b. Confrontatif coping 4 3 8 .5385 .7682 8. Saya bertahan pada pendirian dan berjuang terhadap yang saya inginkan
c. Seeking social support
5 5 .7505 .7505
Berfokus pada emosi 24 20 27,30,40,41 ..5978 .6788 a. Positive reappraisal 5 5 .7254 .7254
b.Accenting responsibility
4 4 .7947 .7947
c. Self controlling 5 3
27, 30 5230 .
.6337
27. Saya menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dan menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya
30. Saya menjaga agar orang lain tidak mengetahui buruknya keadaan yang saya hadapi
d. Distancing 3 3 .8573 e. Escape-Avoidance 7 5
40, 41
5001
. .6667
40. Saya tidak percaya bahwa hal itu terjadi pada diri saya
41. Saya putus asa dan tidak dapat menjalankan
No Peubah Penelitian Jumlah Item
Jumlah Item
Setelah di
hapus
No Item yang dihapus
α Cronbach sebelum di hapus
α Cronbach setelah di hapus
Pertanyaan yang dihapus
kehidupan lagi 6 Keberfungsian
Keluarga 43 39 16,22, 24,20 .5209 .7018
a. Fungsi Ekspresif 20 17 16,22, 24 .4385
6825 .
17. Apakah anda tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi anggota keluarga ?
22. Apakah anda memberikan perlakuan berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya ?
24. Apakah anda mengajarkan anggota keluarga untuk saling menghormati baik sesama saudara atau teman ?
b. Fungsi Instrumental 23 22 20 .6201 .7307 20. Apakah anda juga membina hubungan baik dengan pengelola koperasi setempat ?
Lampiran 2. Sebaran contoh berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi keluarga
Masalah-masalah pasca gempa dan tsunami
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=15)
n % n % n % n % A. Pangan 1. Keluarga makan 3 kali sehari
dengan menu empat sehat setiap hari 30 29.1 4 20.0 3 20.0 37 26.8
2. Dalam menu setiap saat terdapat pangan yang berasal dari hewani 6 5.8 4 20.0 2 13.3 12 8.7
3. Setiap hari menu makan berubah 7 6.8 3 15.0 2 13.3 12 8.7 B. Kesehatan 1. Jika anggota keluarga yang sakit
selalu dibawa berobat ke dokter/puskesmas 57 55.3 7 35.0 8 53.3 72 52.2
2. Memiliki kesulitan dalam membayar obat-obatan 46 44.7 13 65.0 7 46.7 66 47.8
C. Pendidikan 1. Anak tetap sekolah pasca gempa
dan tsunami 5 4.9 1 5.0 1 6.7 7 5.1 2. Disamping pendidikan formal anak
juga mengikuti pendidikan non formal 37 35.9 6 30.0 4 26.7 47 34.1 3. Mampu menyediakan semua
fasilitas untuk keperluan sekolah anak 55 53.4 8 40.0 4 26.7 67 48.6
D. Perumahan/Tempat Tinggal 1. Ada rumah untuk tempat berlindung
keluarga yang memadai 35 34.0 4 20.0 2 13.3 41 29.7 2. Rumah dilengkapi dengan pasilitas
MCK 38 36.9 7 35.0 2 13.3 47 34.1 3. Ada ruangan yang cukup untuk
sekeluarga 26 25.2 6 30.0 3 20.0 35 25.4 4. Rumah memiliki cukup penerangan 53 51.5 10 50.0 10 66.7 73 52.9 E. Pakaian 1. Anggota keluarga memiliki pakaian
yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda 13 12.6 4 20.0 4 26.7 21 15.2
F. Pekerjaan/Pendapatan 1. Tetap bekerja pasca gempa dan
tsunami 25 24.3 4 20.0 5 33.3 34 24.6 2. Penghasilan cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sehari hari 56 54.4 10 50.0 8 53.3 74 53.6
Lampiran 3. Sebaran contoh berdasarkan kepribadian
Pernyataan Kepribadian Utuh
(n=103) Duda (n=20) Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Dengan bekerja keras pasti kehidupan keluarga saya akan lebih baik
102 99.0 19 95.0 15 100.0 136 98.6
2. Saya selalu optimis dengan masa depan keluarga saya 98 95.1 18 90.0 15 100.0 131 94.9
3. Saya yakin teman-teman pasti membantu saya 97 94.2 18 90.0 14 93.3 129 93.5
4. Saya tidak boleh menyerah 100 97.1 20 100.0 14 93.3 134 97.1 5. Saya yakin dibalik musibah ini
pasti ada sesuatu yang sangat berharga
102 99.0 18 90.0 14 93.3 134 97.1
6. Saya merasa hidup saya tidak berarti 15 14.6 1 5.0 2 13.3 18 13.0
7. Saya merasa usaha saya sia-sia saja 9 8.7 3 15.0 1 6.7 13 9.4
8. Kerja keras saya tidak dihargai 11 10.7 2 10.0 2 13.3 15 10.9
9. Saya gampang untuk rileks 41 39.8 2 10.0 7 46.7 50 36.2 10. Penting bagi saya untuk
menjaga kesibukan 69 67.0 14 70.0 10 66.7 93 67.4
11. Cepat tersinggung 26 25.2 6 30.0 3 20.0 35 25.4
12. Cepat marah 26 25.2 6 30.0 4 26.7 36 26.1
13. Cenderung tertutup 20 19.4 6 30.0 4 26.7 30 21.7
14. Cepat bosan 19 18.4 4 20.0 2 13.3 25 18.1 15. Tabah menghadapi berbagai
permasalahan 101 98.1 15 75.0 13 86.7 129 93.5
16. Cepat melupakan sesuatu kejadian 32 31.1 1 5.0 2 13.3 35 25.4
17. Suka mengeluh 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7
Lampiran 4. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan konsep diri
Pernyataan Konsep Diri Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total
(n=138) n % n % n % n %
1. Merasa telah menjadi ayah/ibu yang baik 95 92.2 14 70 13 86.7 122 88.4
2. Merasa telah menjadi suami/isteri yang baik 96 93.2 13 65 13 86.7 122 88.4
3. Merasa telah menjadi teman yang baik 95 92.2 16 80 12 80 123 89.1
4. Merasa telah menjadi tetangga yang baik 95 92.2 16 80 12 80 123 89.1
5. Merasa telah menjadi muslim yang baik 97 94.2 17 85 13 86.7 127 92.0
Lampiran 5. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan dukungan sosial
Pernyataan Dukungan Sosial Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Mendapatkan bantuan (fisik dan
non fisik) dari masyarakat 94 91.3 17 85 14 93.3 125 90.6
dimana tinggal 2. Teman-teman dekat peduli dan
memberikan bantuan (fisik dan non fisik)
98 95.1 17 85 15 100 130 94.2
3. Mendapatkan bantuan (fisik dan non fisik) dari orangtua dan keluarga lainnya
93 90.3 15 75 13 86.7 121 87.7
4. Mendapatkan bantuan (fisik dan non fisik) dari pemerintah dan LSM dalam negeri maupun luar negeri
100 97.1 17 85 13 86.7 130 94.2
Lampiran 6. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik
Pernyataan Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan
Tidak pernah 56 54.4 11 55 7 46.7 74 53.6 Kadang-kadang 41 39.8 9 45 8 53.3 58 42.0 Sering 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Merasa pegal-pegal pada leher, punggung dan bahu
Tidak pernah 32 31.1 5 25 3 20 40 29.0 Kadang-kadang 63 61.2 15 75 11 73.3 89 64.5 Sering 8 7.8 0 0 1 6.7 9 6.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Perut terasa kembung/mulas/ mual/diare pada saat akan melakukan pekerjaan
Tidak pernah 75 72.8 11 55 12 80 98 71.0 Kadang-kadang 25 24.3 9 45 3 20 37 26.8 Sering 3 2.9 0 0 0 0 3 2.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Mengalami kejang otot/kram dan tangan gemetaran
Tidak pernah 57 55.3 9 45 6 40 72 52.2 Kadang-kadang 37 35.9 10 50 8 53.3 55 39.9 Sering 9 8.7 1 5 1 6.7 11 8.0 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Mengalami sembelit/susah buang air besar dan lebih sering buang air kecil
Tidak pernah 83 80.6 15 75 11 73.3 109 79.0 Kadang-kadang 17 16.5 4 20 4 26.7 25 18.1 Sering 3 2.9 1 5 0 0 4 2.9 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
6. Jantung terasa berdenyut lebih cepat dari biasanya atau tensi tinggi
Tidak pernah 76 73.8 12 60 11 73.3 99 71.7 Kadang-kadang 25 24.3 7 35 4 26.7 36 26.1 Sering 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
7. Merasa letih/ lesu/lemas yang luar biasa atau terasa tenaga terkuras habis
Tidak pernah 54 52.4 7 35 7 46.7 68 49.3 Kadang-kadang 44 42.7 11 55 7 46.7 62 44.9 Sering 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
8. Tekanan darah menjadi naik
Tidak pernah 67 65 11 55 11 73.3 89 64.5 Kadang-kadang 32 31.1 8 40 3 20 43 31.2 Sering 4 3.9 1 5 1 6.7 6 4.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 7. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikis
Pernyataan Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Mengalami mimpi- Tidak pernah 57 55.3 5 25 6 40 68 49.3
mimpi buruk Kadang-kadang 40 38.8 14 70 6 40 60 43.5
Sering 6 5.8 1 5 3 20 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Merasa tidak tenang/tegang/ cemas/ terancam/gelisah
Tidak pernah 47 45.6 6 30 4 26.7 57 41.3
Kadang-kadang 49 47.6 12 60 9 60 70 50.7
Sering 7 6.8 2 10 2 13.3 11 8.0 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Merasa putus asa sehingga ingin mengakhiri hidup
Tidak pernah 88 85.4 15 75 13 86.7 116 84.1
Kadang-kadang 12 11.7 3 15 2 13.3 17 12.3 Sering 3 2.9 2 10 0 0 5 3.6
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Merasa pesimis tentang masa depan
Tidak pernah 71 68.9 13 65 13 86.7 97 70.3 Kadang-kadang 27 26.2 5 25 2 13.3 34 24.6
Sering 5 4.9 2 10 0 0 7 5.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Merasa gugup/ grogi/bingung bila berhadapan dengan tamu
Tidak pernah 79 76.7 16 80 12 80 107 77.5
Kadang-kadang 23 22.3 4 20 3 20 30 21.7
Sering 1 1 0 0 0 0 1 0.7 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
6. Merasa sedih sekali dan ingin menangis
Tidak pernah 49 47.6 3 15 4 26.7 56 40.6
Kadang-kadang 40 38.8 16 80 8 53.3 64 46.4 Sering 14 13.6 1 5 3 20 18 13.0
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
7. Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab
Tidak pernah 70 68 12 60 11 73.3 93 67.4 Kadang-kadang 26 25.2 5 25 4 26.7 35 25.4
Sering 7 6.8 3 15 0 0 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 8. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres kognitif
Pernyataan Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Merasa sukar
berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan
Tidak pernah 13 65 12 80 72 69.9 97 70.3 Kadang-kadang 7 35 3 20 26 25.2 36 26.1 Sering 0 0 0 0 5 4.9 5 3.6 Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
2. Tidak memiliki keinginan untuk bekerja
Tidak pernah 13 65 11 73.3 84 81.6 108 78.3 Kadang-kadang 7 35 3 20 16 15.5 26 18.8 Sering 0 0 1 6.7 3 2.9 4 2.9 Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
3. Daya ingat menurun
Tidak pernah 13 65 11 73.3 81 78.6 105 76.1 Kadang-kadang 7 35 4 26.7 21 20.4 32 23.2 Sering 0 0 0 0 1 1 1 0.7 Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
4. Pikiran hanya tertuju pada satu persoalan saja
Tidak pernah 13 65 13 86.7 70 68 96 69.6 Kadang-kadang 7 35 2 13.3 30 29.1 39 28.3 Sering 0 0 0 0 3 2.9 3 2.2 Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
5. Cepat merasa jenuh
Tidak pernah 10 50 10 66.7 64 62.1 84 60.9 Kadang-kadang 10 50 3 20 35 34 48 34.8 Sering 0 0 2 13.3 4 3.9 6 4.3 Total 20 100 15 100 103 100 138 100.0
Lampiran 9. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres perilaku yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami
Pernyataan Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Merokok lebih dari satu bungkus
Tidak pernah 73 70.9 7 35.0 13 86.7 93 67.4 Kadang-kadang 26 25.2 8 40.0 1 6.7 35 25.4 Sering 4 3.9 5 25.0 1 6.7 10 7.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
2. Melemparkan persoalan yang dihadapi kepada orang lain
Tidak pernah 91 88.3 17 85.0 12 80.0 120 87.0 Kadang-kadang 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1 Sering 2 1.9 1 5.0 1 6.7 4 2.9 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
3. Mengalami kehilangan minat untuk melakukan hubungan intim dengan suami/istri
Tidak pernah 83 80.6 15 75.0 13 86.7 111 80.4 Kadang-kadang 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7 Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
4. Mengalami sukar tidur atau tidur terlalu lama
Tidak pernah 55 53.4 10 50.0 7 46.7 72 52.2 Kadang-kadang 43 41.7 7 35.0 7 46.7 57 41.3 Sering 5 4.9 3 15.0 1 6.7 9 6.5 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
5. Tidak mau bersosialisasi dengan orang lain
Tidak pernah 83 80.6 15 75.0 10 66.7 108 78.3 Kadang-kadang 18 17.5 4 20.0 5 33.3 27 19.6 Sering 2 1.9 1 5.0 0 0.0 3 2.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
6. Kehilangan nafsu makan atau sebaliknya nafsu makan tinggi
Tidak pernah 54 52.4 9 45.0 8 53.3 71 51.4 Kadang-kadang 43 41.7 9 45.0 7 46.7 59 42.8 Sering 6 5.8 2 10.0 0 0.0 8 5.8 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
7. Berbicara sendiri
Tidak pernah 92 89.3 18 90.0 14 93.3 124 89.9 Kadang-kadang 8 7.8 0 0.0 1 6.7 9 6.5 Sering 3 2.9 2 10.0 0 0.0 5 3.6 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
8. Sering melamun/termenung
Tidak pernah 54 52.4 9 45.0 5 33.3 68 49.3 Kadang-kadang 41 39.8 9 45.0 7 46.7 57 41.3 Sering 8 7.8 2 10.0 3 20.0 13 9.4 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
9. Mudah melakukan kecelakaan (memecahkan piring. gelas. tertusuk jarum dan sebagainya
Tidak pernah 92 89.3 18 90.0 14 93.3 124 89.9 Kadang-kadang 9 8.7 0 0.0 1 6.7 10 7.2 Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
10. Mencelakakan diri sendiri
Tidak pernah 96 93.2 18 90.0 13 86.7 127 92.0 Kadang-kadang 5 4.9 0 0.0 2 13.3 7 5.1 Sering 2 1.9 2 10.0 0 0.0 4 2.9 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
)
Lampiran 10. Sebaran contoh berdasarkan penyebab stres yang dihadapi keluarga dengan menggunakan skala Holmes dan Rahe
Penyebab Stres Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Kematian pasangan 0 0 20 100 15 100 35 25.4 2. Kehilangan anggota keluarga
seluruhnya 0 0 4 20 2 13.3 6 4.3 3. Kehilangan aset seluruhnya 73 70.9 17 85 11 73.3 101 73.2 4. Kehilangan sebagian asset 62 60.2 15 75 9 60 86 62.3 5. Kematian anggota keluarga dekat 64 62.1 18 90 15 100 97 70.3 6. Cedera serius atau penyakit 17 16.5 5 25 7 46.7 29 21.0 7. Kematian teman dekat 61 59.2 14 70 10 66.7 85 61.6 8. Kehilangan pekerjaan 47 45.6 10 50 7 46.7 64 46.4 9. Pinjaman keuangan 23 22.3 4 20 7 46.7 34 24.6 10. Pindah tempat tinggal 50 48.5 10 50 5 33.3 65 47.1
Lampiran 11. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping plantul problem solving
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Saya berusaha
lebih dari biasanya supaya saya bisa berhasil menyelesaikan masalah saya
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4 Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7 Sering 13 12.6 3 15 5 33.3 21 15.2 Sering Sekali 88 85.4 16 80 10 66.7 114 82.6 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Membuat perencanaan dan melaksanakannya
Tidak Pernah 0 0 2 10 0 0 2 1.4 Kadang-Kadang 1 1 1 5 0 0 2 1.4 Sering 21 20.4 0 0 4 26.7 25 18.1 Sering Sekali 81 78.6 17 85 11 73.3 109 79.0 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya berkonsentrasi pada apa yang harus saya lakukan
Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7 Sering 18 17.5 2 10 6 40 26 18.8 Sering Sekali 84 81.6 18 90 9 60 111 80.4 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Mencari posko-posko bantuan dari pemerintah dan swasta
Tidak Pernah 3 2.9 0 0 0 0 3 2.2 Kadang-Kadang 9 8.7 0 0 1 6.7 10 7.2 Sering 17 16.5 1 5 2 13.3 20 14.5 Sering Sekali 74 71.8 19 95 12 80 105 76.1 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Menjual aset/barang yang masih dimiliki
Tidak Pernah 42 40.8 7 35 5 33.3 54 39.1 Kadang-Kadang 30 29.1 3 15 5 33.3 38 27.5 Sering 15 14.6 5 25 3 20 23 16.7 Sering Sekali 16 15.5 5 25 2 13.3 23 16.7 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
6. Mencari pinjaman kepada tetangga yang masih memilikinya
Tidak Pernah 40 38.8 8 40 6 40 54 39.1 Kadang-Kadang 31 30.1 5 25 4 26.7 40 29.0 Sering 15 14.6 3 15 2 13.3 20 14.5 Sering Sekali 17 16.5 4 20 3 20 24 17.4 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
7. Mengubah gaya hidup supaya segala sesuatu akan menjadi lebih baik
Tidak Pernah 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8 Kadang-Kadang 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8 Sering 54 52.4 9 45 6 40 69 50.0 Sering Sekali 37 35.9 8 40 8 53.3 53 38.4 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 12. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping confrontatif
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Berusaha menghubungi orang yang bertanggung jawab terhadap masalah
Tidak Pernah 3 2.9 1 5 1 6.7 5 3.6 Kadang-Kadang 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2 Sering 12 11.7 0 0 0 0 12 8.7 Sering Sekali 86 83.5 18 90 14 93.3 118 85.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya membiarkan perasaan atau emosi saya keluar
Tidak Pernah 57 55.3 12 60 8 53.3 77 55.8 Kadang-Kadang 16 15.5 1 5 0 0 17 12.3 Sering 13 12.6 5 25 5 33.3 23 16.7 Sering Sekali 17 16.5 2 10 2 13.3 21 15.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun itu sangat beresiko
Tidak Pernah 60 58.3 11 55 10 66.7 81 58.7 Kadang-Kadang 20 19.4 8 40 2 13.3 30 21.7 Sering 14 13.6 1 5 2 13.3 17 12.3 Sering Sekali 9 8.7 0 0 1 6.7 10 7.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Saya mencoba melakukan sesuatu walau tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak saya telah berbuat
Tidak Pernah 19 18.4 4 20 0 0 23 16.7 Kadang-Kadang 2 1.9 3 15 1 6.7 6 4.3 Sering 59 57.3 8 40 10 66.7 77 55.8 Sering Sekali 23 22.3 5 25 4 26.7 32 23.2 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 13. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping seeking social support
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Saya berusaha bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4
Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
Sering 16 15.5 1 5 1 6.7 18 13.0
Sering Sekali 84 81.6 18 90 14 93.3 116 84.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya berusaha meminta nasehat kepada saudara atau tetangga apa yang harus dilakukan
Tidak Pernah 6 5.8 4 20 0 0 10 7.2
Kadang-Kadang 6 5.8 2 10 2 13.3 10 7.2
Sering 31 30.1 4 20 2 13.3 37 26.8
Sering Sekali 60 58.3 10 50 11 73.3 81 58.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari informasi dan dapat membantu saya secara konkrit
Tidak Pernah 4 3.9 1 5 0 0 5 3.6
Kadang-Kadang 5 4.9 2 10 2 13.3 9 6.5
Sering 50 48.5 8 40 5 33.3 63 45.7
Sering Sekali 44 42.7 9 45 8 53.3 61 44.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 4. Saya berusaha
membicarakan permasalahan yang saya hadapi kepada orang lebih profesional seperti psikolog atau psikiater
Tidak Pernah 27 26.2 5 25 3 20 35 25.4
Kadang-Kadang 7 6.8 4 20 1 6.7 12 8.7
Sering 29 28.2 5 25 4 26.7 38 27.5
Sering Sekali 40 38.8 6 30 7 46.7 53 38.4
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Saya menerima simpati dan pengertian dari orang lain
Tidak Pernah 38 36.9 6 30 5 33.3 49 35.5
Kadang-Kadang 15 14.6 5 25 1 6.7 21 15.2
Sering 26 25.2 3 15 2 13.3 31 22.5
Sering Sekali 24 23.3 6 30 7 46.7 37 26.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 14. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping positive reappraisal
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Saya lebih banyak
shalat, berdo'a, berzikir dan lebih dekat diri pada Allah SWT
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.4 Sering 17 16.5 2 10 0 0 19 13.8 Sering Sekali 85 82.5 17 85 15 100 117 84.8 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya percaya Allah mendengarkan do’a saya
Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4 Sering 17 16.5 1 5 0 0 18 13.0 Sering Sekali 84 81.6 19 95 15 100 118 85.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya bersyukur dengan apa yang masih saya miliki
Kadang-Kadang 1 1 0 0 0 0 1 0.7 Sering 16 15.5 4 20 2 13.3 22 15.9 Sering Sekali 86 83.5 16 80 13 86.7 115 83.3 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Saya mendapat ilham untuk melakukan sesuatu yang lebih kreatif
Tidak Pernah 5 4.9 1 5 2 13.3 8 5.8 Kadang-Kadang 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8 Sering 34 33 4 20 4 26.7 42 30.4 Sering Sekali 57 55.3 14 70 9 60 80 58.0 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Pengalaman ini merubah saya menjadi orang yang lebih baik
Tidak Pernah 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4 Kadang-Kadang 2 1.9 1 5 0 0 3 2.2 Sering 37 35.9 5 25 2 13.3 44 31.9 Sering Sekali 62 60.2 14 70 13 86.7 89 64.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 15. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping accepting responsibility
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Mengeritik/introspeksi diri sendiri
Tidak Pernah 5 4.9 0 0 1 6.7 6 4.3
Kadang-Kadang 8 7.8 2 10 1 6.7 11 8.0
Sering 36 35 6 30 3 20 45 32.6
Sering Sekali 54 52.4 12 60 10 66.7 76 55.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya menyadari permasalahan ini terjadi karena kesalahan saya sendiri
Tidak Pernah 40 38.8 6 30 6 40 52 37.7
Kadang-Kadang 15 14.6 3 15 4 26.7 22 15.9
Sering 24 23.3 2 10 0 0 26 18.8
Sering Sekali 24 23.3 9 45 5 33.3 38 27.5
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya belajar hidup dalam kondisi seperti ini
Tidak Pernah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
Kadang-Kadang 0 0 1 5 0 0 1 0.7
Sering 36 35 5 25 2 13.3 43 31.2
Sering Sekali 61 59.2 14 70 13 86.7 88 63.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Saya bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak bisa dirubah kembali
Tidak Pernah 6 5.8 0 0 0 0 6 4.3
Kadang-Kadang 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6
Sering 60 58.3 8 40 4 26.7 72 52.2
Sering Sekali 32 31.1 12 60 11 73.3 55 39.9
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 16. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping self controlling
Perilaku Coping Jawaban Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Saya berfikir terlebih dahulu apa yang ingin saya lakukan
Tidak Pernah 1 1 1 5 0 0 2 1.5
Kadang-Kadang 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
Sering 25 24.3 2 10 2 13.3 29 21.0 Sering Sekali 75 72.8 17 85 13 86.7 105 76.1
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2. Saya menolak /menghindari untuk melakukan sesuatu secara tergesa-gesa
Tidak Pernah 4 3.9 1 5 0 0 5 3.6 Kadang-Kadang 7 6.8 1 5 0 0 8 5.8
Sering 30 29.1 3 15 3 20 36 26.1
Sering Sekali 62 60.2 15 75 12 80 89 64.5 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya memperhatikan seseorang yang saya kagumi menyelesaikan suatu masalah
Tidak Pernah 36 35 5 25 6 40 47 34.1
Kadang-Kadang 12 11.7 4 20 2 13.3 18 13.0 Sering 28 27.2 3 15 4 26.7 35 25.4
Sering Sekali 27 26.2 8 40 3 20 38 27.5
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 17. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping
Distancing
Perilaku Coping Jawaban Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Saya tidak mau memikirkan permasalahan itu terlalu serius
Tidak Pernah 26 25.2 4 20 1 6.7 31 22.5
Kadang-Kadang 28 27.2 7 35 6 40 41 29.7
Sering 32 31.1 1 5 3 20 36 26.1 Sering Sekali 17 16.5 8 40 5 33.3 30 21.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
2 Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa
Tidak Pernah 36 35 6 30 8 53.3 50 36.2 Kadang-Kadang 30 29.1 6 30 3 20 39 28.3
Sering 22 21.4 2 10 1 6.7 25 18.1
Sering Sekali 15 14.6 6 30 3 20 24 17.4 Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Saya mencoba untuk melupakan segalanya
Tidak Pernah 31 30.1 7 35 8 53.3 46 33.3
Kadang-Kadang 21 20.4 1 5 2 13.3 24 17.4 Sering 26 25.2 4 20 1 6.7 31 22.5
Sering Sekali 25 24.3 8 40 4 26.7 37 26.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 18. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan strategi coping escape avoidance
Perilaku Coping Jawaban Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Saya berharap ada keajaiban yang terjadi
Tidak Pernah 41 39.8 5 25 6 40 52 37.7
Kadang-Kadang 8 7.8 0 0 1 6.7 9 6.5
Sering 31 30.1 5 25 4 26.7 40 29.0
Sering Sekali 23 22.3 10 50 4 26.7 37 26.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0 2. Saya berusaha
menenangkan perasaan dengan merokok, mendengarkan musik, menonton, mabuk dan minum obat penenang
Tidak Pernah 88 85.4 13 65 12 80 113 81.9
Kadang-Kadang 7 6.8 2 10 0 0 9 6.5
Sering 1 1 2 10 1 6.7 4 2.9
Sering Sekali 7 6.8 3 15 2 13.3 12 8.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
3. Melemparkan permasalahan kepada orang lain
Tidak Pernah 88 85.4 18 90 11 73.3 117 84.8
Kadang-Kadang 7 6.8 0 0 0 0 7 5.1
Sering 2 1.9 1 5 1 6.7 4 2.9
Sering Sekali 6 5.8 1 5 3 20 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
4. Melupakan permasalahan dengan tidur lebih lama dari biasanya
Tidak Pernah 57 55.3 10 50 9 60 76 55.1
Kadang-Kadang 30 29.1 7 35 4 26.7 41 29.7
Sering 7 6.8 1 5 1 6.7 9 6.5
Sering Sekali 9 8.7 2 10 1 6.7 12 8.7
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
5. Saya menyadari kalau saya kecewa dan saya membiarkan diri saya hanyut dalam kekecewaan tersebut
Tidak Pernah 89 86.4 17 85 13 86.7 119 86.2
Kadang-Kadang 5 4.9 0 0 0 0 5 3.6
Sering 4 3.9 1 5 1 6.7 6 4.3
Sering Sekali 5 4.9 2 10 1 6.7 8 5.8
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Lampiran 19. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi ekspresif
Pernyataan fungsi ekspresif keluarga Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Pasca gempa dan tsunami keluarga lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT
102 99 20 100 13 86.7 135 97.8
2. Mengajarkan anggota keluarga untuk shalat tepat waktu 102 99 19 95 13 86.7 134 97.1
3. Kasih sayang antara contoh dan keluarga tetap dirasakan pasca gempa dan tsunami
101 98.1 19 95 14 93.3 134 97.1
4. Merencanakan untuk menambah anggota keluarga baru 50 48.5 11 55 4 26.7 65 47.1
5. Komunikasi antara suami- istri, ayah-anak dan ibu-anak tetap berjalan baik pasca gempa dan tsunami
99 96.1 13 65 14 93.3 126 91.3
6. Jika berpergian, contoh selalu pulang tepat waktu 96 93.2 14 70 12 80 122 88.4
7. Memberitahukan ke rumah kalau pulang terlambat 98 95.1 14 70 13 86.7 125 90.6
8. Anggota keluarga selalu berbuat sesuai dengan apa yang diucapkannya
99 96.1 17 85 15 100 131 94.9
9. Mengajak anak-anak untuk peduli kepada sesama yang ditimpa musibah atau yang mengalami kesulitan
97 94.2 17 85 14 93.3 128 92.8
10. Pernah memberikan tanggung jawab terhadap sesuatu pekerjaan kepada anggota keluarga
85 82.5 14 70 12 80 111 80.4
11. Mendengarkan dengan seksama keluhan atau protes terhadap ketetapan yang dibuat
95 92.2 13 65 13 86.7 121 87.7
12. Menghargai setiap pilihan yang dilakukan oleh anggota keluarga 97 94.2 15 75 15 100 127 92.0
13. Mengajari anggota keluarga untuk menghargai pendapat orang lain 100 97.1 16 80 13 86.7 129 93.5
14. Pernah minta maaf kepada anggota keluarga atas kesalahan yang contoh lakukan
95 92.2 16 80 13 86.7 124 89.9
15. Menyuruh anggota keluarga minta maaf atas kesalahan yang dilakukan baik kepada orang tua, saudara dan temannya
98 95.1 16 80 13 86.7 127 92.0
16. Mengerti keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga 95 92.2 16 80 14 93.3 125 90.6
17. Menghargai pendapat anggota keluarga dalam mengatasi masalah keluarga
99 96.1 18 90 14 93.3 131 94.9
Lampiran 20. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan fungsi instrumental
Pernyataan Fungsi Instrumental Keluarga Utuh
(n=103) Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n % 1. Hubungan kekeluargaan tetap
terjalin dengan baik pasca gempa dan tsunami
101 98.1 19 95 14 93.3 134 97.1
2. Tetap berhubungan baik dengan kerabat pasca gempa dan tsunami 102 99 20 100 14 93.3 136 98.6
3. Mewakili keluarga untuk mengikuti kegiatan sosial 63 61.2 15 75 7 46.7 85 61.6
4. Berusaha untuk membangun atau merenovasi kembali rumah yang hancur akibat gempa dan tsunami
90 87.4 16 80 9 60 115 83.3
5. Bertanggung jawab terhadap keamanan di rumah 99 96.1 19 95 14 93.3 132 95.7
6. Berusaha mencari sekolah terbaik untuk anak 78 75.7 14 70 9 60 101 73.2
7. Selain sekolah, juga mencarikan tempat yang terbaik untuk anak mengikuti pendidikan keagamaan
79 76.7 16 80 13 86.7 108 78.3
8. Berusaha mencari bantuan/beasiswa untuk sekolah anak 64 62.1 11 55 8 53.3 83 60.1
9. Selain beasiswa, mencari bantuan lain seperti makanan, kesehatan, perumahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga keluarga
77 74.8 16 80 12 80 105 76.1
10. Membantu mencarikan pekerjan bagi anggota keluarga yang sudah tidak bersekolah/ dewasa
75 72.8 15 75 11 73.3 101 73.2
11. Membina hubungan baik dengan guru dan kepala sekolah 72 69.9 15 75 12 80 99 71.7
12. Membina hubungan baik dengan masyarakat sekitar 101 98.1 19 95 15 100 135 97.8
13. Membina hubungan baik dengan LSM yang sedang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat gempa dan tsunami
97 94.2 17 85 14 93.3 128 92.8
14. Mengajarkan sesuatu keterampilan kepada anggota keluarga 83 80.6 13 65 11 73.3 107 77.5
15. Anggota keluarga ikut membantu pekerjaan di rumah 91 88.3 17 85 12 80 120 87.0
16. Selain pekerjaan tetap, juga memiliki pekerjaan sampingan 45 43.7 6 30 5 33.3 56 40.6
17. Masih bisa menabung 62 60.2 16 80 7 46.7 85 61.6 18. Keluarga memiliki asuransi untuk
kesehatan 28 27.2 5 25 3 20 36 26.1
19. Keluarga memiliki asuransi untuk pendidikan anggota keluarga ke depan
23 22.3 4 20 3 20 30 21.7
20. Mengelola/mengatur keuangan keluarga dengan baik 95 92.2 17 85 14 93.3 126 91.3
21. Memutuskan berapa besar anggaran yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari
96 93.2 18 90 12 80 126 91.3
22. Memutuskan untuk membeli barang berharga 48 46.6 9 45 5 33.3 62 44.9