repository.radenintan.ac.idrepository.radenintan.ac.id/8125/7/THESIS SRIYANTO.docx · Web viewBAB I...

137
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakng Nubu>wwah 1 termasuk persoalan penting dalam agama. Dikatakan penting karena Nubu>wwah dalam pemahaman Islam adalah suatu jabatan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang hamba pilihan-Nya, dan mampu menerima syari„at untuk diamalkan dan dikembangkan. Karena, Nabi adalah manusia biasa yang diberikan kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan menyatakan kehendak-Nya. Di samping itu, persoalan nubu>wwah merupakan persoalan prinsip, karena 1 Nubu>wwah dalam Bahasa Arab diambil dari akar kata al-naba> yang maksudnya berita/memberitahukan (Q.S. 78:2), atau diambil dari akar kata al-nabwah, yang bermakna adalah sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi. Jika sesuatu itu meninggi, akan dikatakan naba> ‘al-sya’u, menurut istilah syari’at an-Nubu>wwah adalah penunjukan atau pemilihan Allah terhadap salah seorang daripada hamba-Nya dengan memberinya wahyu. Makna ini sangat relevan dan sesuai dengan ma>kna dari segi bahasa, karena definisi Nabi adalah hamba (manusia) yang dipilih Allah dengan diberi-Nya wahyu. Kata an-Nubuwwah terdapat dalam lima ayat al-Qur’an yaitu: pada surah Ali ‘Imra>n ayat 79, al-An’am ayat 89, al-Ankabu>t ayat 27, al-Jathiyah ayat 16 dan al-Hadid ayat 86. lihat Luis Ma’luf, al-Munjib, Beirut, tp, tt, h. 837. Abdurrahaman Habanakah, Pokok-pokok Aqidah Islam (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 224.

Transcript of repository.radenintan.ac.idrepository.radenintan.ac.id/8125/7/THESIS SRIYANTO.docx · Web viewBAB I...

86

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakng

Nubu>wwah[footnoteRef:1] termasuk persoalan penting dalam agama. Dikatakan penting karena Nubu>wwah dalam pemahaman Islam adalah suatu jabatan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang hamba pilihan-Nya, dan mampu menerima syari„at untuk diamalkan dan dikembangkan. Karena, Nabi adalah manusia biasa yang diberikan kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan menyatakan kehendak-Nya. Di samping itu, persoalan nubu>wwah merupakan persoalan prinsip, karena pengingkaran terhadap adanya Nabi atau Rasul berarti akan mengingkari pula adanya wahyu. [1: Nubu>wwah dalam Bahasa Arab diambil dari akar kata al-naba> yang maksudnya berita/memberitahukan (Q.S. 78:2), atau diambil dari akar kata al-nabwah, yang bermakna adalah sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi. Jika sesuatu itu meninggi, akan dikatakan naba> ‘al-sya’u, menurut istilah syari’at an-Nubu>wwah adalah penunjukan atau pemilihan Allah terhadap salah seorang daripada hamba-Nya dengan memberinya wahyu. Makna ini sangat relevan dan sesuai dengan ma>kna dari segi bahasa, karena definisi Nabi adalah hamba (manusia) yang dipilih Allah dengan diberi-Nya wahyu. Kata an-Nubuwwah terdapat dalam lima ayat al-Qur’an yaitu: pada surah Ali ‘Imra>n ayat 79, al-An’am ayat 89, al-Ankabu>t ayat 27, al-Jathiyah ayat 16 dan al-Hadid ayat 86. lihat Luis Ma’luf, al-Munjib, Beirut, tp, tt, h. 837. Abdurrahaman Habanakah, Pokok-pokok Aqidah Islam (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 224.]

Pengingkaran terhadap adanya wahyu sudah timbul sejak masa Nabi Muhammad, dimana orang-orang kafir tidak mengakui bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan, sebab Nabi Muhammad adalah manusia biasa. Dalam kaitan mengetahui Tuhan secara umum, seperti aliran Mutazilah,[footnoteRef:2] aliran Asyariyyah,[footnoteRef:3] dan aliran Maturidiyyah,[footnoteRef:4] mereka berpendapat bahwa akal dengan kemampuannya dapat mengetahui Tuhan tetapi mereka tetap saja memerlukan wahyu.[footnoteRef:5] Oleh karena itu, mereka tetap meyakini adanya Nabi atau Rasul[footnoteRef:6] yang menerima dan menyampaikan wahyu. [2: Salah satu Aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliyah (akal) dan lebih bersifat kefalsafahan, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soalan orang mukmin yang berdosa besar. Muhammad Abdul Karim Syahrastani. An-Nih wa al-Nih, 1984, h. 65. Lihat juga Harun Nasution. Theologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Pess, 1986), h. 38.] [3: Aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke X (awal abad ke IV H). pengikut aliran ini bersama pengikut Maturidiyah dan Salafiyah mengaku termasuk golongan ahlu Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini mengakui bahwa akal mampu mengetahui Tuhan, tetapi kewajiban untuk mengetahui Tuhan itu tidaklah ditetapkan oleh akal, wahyulah yang mewajibkan tugas tersebut kepada-Nya. Sekiranya wahyu tidak turun kepada manusia, maka manusia tidaklah wajib bersyukur kepada-Nya, bahkan sama sekali tidak ada kewajiban atas manusia. Harun Nasution, Theologi… , h. 100] [4: Aliran teologi Islam, termasuk ahl-Sunnah wa al-Jama’ah yang banyak dianut para pengikut Mazhab Hanafi. Aliran ini terbagi kepada dua kelompok; (1) Maturidiyyah Samarkand, di bawah pimpinan Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad Maturidi. Konsep teologis lebih dekat dengan Mu’tazilah (2) Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh al-Bazdawi yang secara teologis lebih dekat kepada al- Asy’ari. Harun Nasution, Theologi…, h. 78.] [5: Terhadap masalah wahyu dan akal dapat dilihat dalam buku Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam. (Jakarta UI Press, Cet. II, 1986), h . 5-16. Harun Nasution. Teologis…, h. 75-81; Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), h. 44-63.] [6: Adalah orang yang memiliki kemampuan intelektual yang dengan kemauannya mampu mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan pengajaran dari sumber-sumber luar. Musa al-Asy’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002) , h. 17]

Ibnu ar-Rawandi, dalam bukunya yang berjudul Az-Zamarudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad pada khususnya, mengkritik terhadap ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antara baik dengan buruk, dan petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi, sehingga dibawah bimbingan akal sama sekali tidak tidak dibutuhkan risalah..

Abu Bakar ar-Razi,[footnoteRef:7] adalah seorang dokter[footnoteRef:8] dan filosof, juga tidak kalah bahayanya karena ia menulis dua buku, yaitu: Makhariq al-Anbiya aw Hiyal al-MutaNabi-in dan Naqdl al-Adyan aw fi Nubuwwat (menentang agama-agama atau tentang kenabian).[footnoteRef:9] Menurut Masignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai dunia barat, dan untuk dunia ini, buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh rasionalis-rasionalis Eropa terhadap agama dan kenabian pada masa Frederick II. Buku kedua, beberapa bagiannya samapi kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi dalam bukunya A’lam an-nubuwwah yang dikarang untuk menolak ar-Razi. [7: Pertama, al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dilihatnya, ingin melihatnya lagi”. Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut. Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, dermawan dan ulet. Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa pelayanan sosial, daripada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elitintelektual/ budaya. Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemudian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dijelaskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran. Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astronomi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali matematika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M.Bahkan, al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles. Lihat Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 84-85. Sebagai perbandingan, satu lainnya adalah pendekatan sejarah spekulatif yang menekankan pada keseluruhan proses, makna dan tujuan sejarah menurut pola tertentu, untuk memaknai fenomena objeknya. Pendekatan ini mempunyai referensi pola garis lurus tunggal oleh Karl Marx, dan pola siklus oleh Toynbee. Zaki Najib Mahmud, al-Mausu`at al-Falsafiyyah al-Mukhtasarah (Kairo-Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1963), 154. Lihat juga Majid Fakhry, Sejarah..., 150; dan Ali, Perkembangan Pemikiran..., 34. Ali, Perkembangan Pemikiran..., 35. Lihat juga sebagai perbandingan Mahmud, al Mausu’at..., 154, menyebutkan tahun wafatanya 923/932 M.; dan Fakhry, Sejarah ..., 151, menyebutkan tahun wafatnya 925/932 M.; Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, ter.Joko S, Kahar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 282, menyebutkannya tahun 923 M./311 H.] [8: Kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemudian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dijelaskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran. Fakhry, Sejarah..., 151] [9: Karir al-Razi intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astronomi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali matematika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku sebagai karya terbesar tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M. Bahkan, al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles. Nasution, Islam Ditinjau... 72. Lihat juga Ali, Perkembangan Pemikiran.., 35. Fakhry, Sejarah..., 151. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 58.]

Serangan ar-Razi[footnoteRef:10] pada garis besarnya tidak jauh berbeda dengan ar-Rawandi, seolah-olah keduanya bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi dibelakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh pikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena setiap orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dari lainnya.[footnoteRef:11] [10: Al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dilihatnya, ingin melihatnya lagi”. Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut. Zaki Najib Mahmud, al-Mausu`at al-Falsafiyyah al-Mukhtasarah (Kairo-Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1963), 154. Lihat juga Majid Fakhry, Sejarah..., 150; dan Ali, Perkembangan Pemikiran..., 34. Ali, Perkembangan Pemikiran..., 35. Lihat juga –sebagai perbandingan Mahmud, al-Mausu’at..., 154, menyebutkan tahun wafatanya 923/932 M.; dan Fakhry, Sejarah ..., 151, menyebutkan tahun wafatnya 925/932 M.; Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, ter.Joko S, Kahar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 282, menyebutkannya tahun 923 M./311 H. Fakhry, Sejarah..., 151.] [11: Hanafi, Pengantar…, h. 105]

Pembahasan masalah an-Nubuwwah ini juga dibicarakan oleh Ibnu Miskawayh bahwa semua manusia memerlukan kepada Nabi, karena Nabi sebagai sumber informasi untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan sifat-sifat terpuji, Nabi adalah pembawa ajaran suci daripada Tuhan.[footnoteRef:12] Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, disebabkan pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat yang sama diperoleh juga oleh ahli falsafah. Perbedaan antara Nabi dan ahli falsafah terletak pada cara memperoleh kebenaran. Para ahli falsafah memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat kebenaran dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan.[footnoteRef:13] [12: Syarif M.M. Para Filosof Muslim, Terj Ilyas Hasan, Bandung: 1967) h. 469.] [13: Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-falsafah fi Ra’y Ibnu Rusyd wa Falsafah al-‘Ashr al-Wasith, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), h. 70.]

Penjelasan tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibn Maskawayh berusaha menghubungkan antara agama dan falsafah, sehingga keduanya mesti sesuai dan serasi karena sumber keduanya sama. Oleh karena itu, ahli falsafah adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai apa yang dibawa Nabi karena Nabi membawa ajaran yang tidak boleh ditolak oleh akal dan tidak pula bertentangan antara keduanya. Namun demikian, tidak berarti manusia tidak memerlukan Nabi karena dengan perantaraan Nabi dan wahyu manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat diketahui manusia kecuali oleh para ahli falsafah. Jadi menurut Ibnu Maskawayh bahwa sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan ahli falsafah adalah sama yaitu melalui akal aktif. Pemikiran ini sejalan dengan al-Fara>bi> bahwa kebenaran itu satu, baik pada Nabi maupun pada ahli falsafah karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal. Manusia perlu kepada Nabi untuk mengetahui perkara-perkara yang bermanfaat yang dapat membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Al-Ghaza>li> memberi pandangannya tentang konsep an-Nubuwwah yang merupakan anugerah Allah yang tidak boleh diperoleh dengan usaha. Walaupun demikian an-Nubuwwah itu bukanlah suatu kebetulan murni (tanpa kepatutan alamiah) sehingga setiap makhluk yang merayap dan berjalan dengan kakinya boleh menjadi penerimanya. Juga an-Nubu>wwah bukan pula diperoleh melalui upaya murni sehingga setiap orang yang berpikir boleh memperoleh. Hal ini dapat diumpamakan seperti kemanusiaan tidak diperoleh oleh individu-individu selain manusia, tidak pula malaikat diperoleh oleh anggota selain “species Malaikat”, tetapi tindakan-tindakan yang mengalir dari fitrah. Jadi an-Nubuwwah yang merupakan fitrah khusus para Nabi tidaklah diperoleh mereka, tetapi tindakan-tindakan yang mengalir dari bentuk-bentuk khusus mereka bergantung pada perolehan dan pilihan mereka untuk mempersiapkan diri menerima wahyu.[footnoteRef:14] [14: Al-Ghazali, tahkih Abdul Him Mahmud, 1976, h. 183. ]

Sependapat dengan al-Fara>bi> adalah Ibnu Si>na> yang ikut memberi penjelasan tentang konsep an-Nubu>wwah. Menurutnya, para Nabi atau Rasul adalah manusia yang paling utama. Tuhan menganugerahkan kepada mereka (Nabi) daya akal yang besar dan kuat serta memiliki daya suci. Dengan akal istimewa yang diperoleh tanpa melalui latihan, mereka dapat berhubungan dengan akal aktif,[footnoteRef:15] dan dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Maknanya menurut Ibnu Sīnā, bahwa manusia yang memiliki akal mustafa>d tanpa melalui usaha, lebih utama dan lebih unggul dari manusia yang memperolehnya melalui usaha. Orang yang memperoleh akal mustafa>d tanpa melalui usaha itulah manusia yang menerima an-Nubu>wwah yang selanjutnya disebut Nabi. [15: Akal Aktif juga disebut akal kesepuluh oleh al-Fara>bi> yang dalam falsafah emanasi adalah malaikat Jibril. Menurut Ibnu Sina akal manusia jika telah mencapi tingkat abstraksi tertinggi (akal mustafad) dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. M. Sa’id Syaikh, Kamus Falsafah Islam, terj. Machud Husein, (Jakarta: Raja Wali Press, 199), h. 92.]

Bagi Ibnu Sina an-Nubuwwah merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Pandangan ini menyatakan bahwa ajaran an-Nubuwwah adalah ajaran manusia yang biasa saja, punya nilai kebenaran tetapi juga memiliki kekurangan karena sumber an-Nubuwwah bukan hanya berasal dari atas (Tuhan), tetapi juga berasal dari bawah (manusia atau masyarakat).[footnoteRef:16] [16: Ibnu Sina , al-Najah fi al-Hikmah al-Mantiqiyyah wa al-Ilahiyyah, (Kairo: Matba’at al-Sa’adah, 1938), h. 165]

Dalam catatan Ibrahim Madkur, filsafat kenabian[footnoteRef:17] al-Fa>ra>bi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan ‘Aql Fa’’a>l.[footnoteRef:18] Motif lahirnya filsafat al-Fa>ra>bi> ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ah}mad ibn Ish}a>q al-Ruwa>ndi> (w. akhir abad III H) dan Abu> Bakr Muh}ammad ibn Zakariya al-Ra>zi> (865-925 M). Di mana menurut mereka, para filosof berkemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan ‘Aql Fa’’a>l.[footnoteRef:19] Ah}mad ibn al-Ruwa>ndi>, tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad SAW khususnya. Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: [17: Menurut Fazlur Rahman, doktrin para filosof Muslim mengenai nubuwwat (kenabian), sejauh menyangkut dasar-dasar psikologis-metafisisnya, didasarkan pada teoriteori Yunani tentang jiwa dan kekuatan-kekuatan kognisinya. Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam: Menurut Filosof dan Ortodoksi, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1434 H/2003 M), 1.] [18: Istilah “al-‘Aql al-Fa‘‘a>l” (Active Intellect) merupakan konsep “aktif” (active) atau “intelek agen” (agent intellect) memainkan peranan yang amat penting (pivotal role) dalam metafisika Islam dan psikologi, utamanya dalam tradisi peripatetik (peripatetic tradition). Peters S. Groff, Islamic Philosophy A-Z,(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), 4-5.] [19: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 44. Sejatinya, terdapat satu tokoh lagi yang menolak kenabian, yaitu: Abu > ‘Isa > ibn Har> un> al-Warraq>. Di mana menurut Imam ibn al-Jauzi, ia mengklaim telah menulis buku yang menghujat Rasulallah SAW dan mencacimakinya, serta menghujat al-Qur’an.]

Pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.

Kedua, Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya tawaf di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.

Ketiga, Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam Perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?

Keempat, Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luarbiasa (kha>riq al-‘a>dah). Orang non-Arab jelas heran dengan bala>ghah al-Qur’an, karena mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang paling fasih dikalangan orang Arab.

Justru karena hal-hal di atas, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika, serta obat-obatan.[footnoteRef:20] Tentu pandangan Ibn al-Ruwa>ndi> di atas tidak dapat dibenarkan, khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi pemikiran, arahnya sangat liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda dengan pandangan al-Fa>ra>bi> tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi dasar dari filsafat kenabiannya. Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam penjabaran berikut ini. [20: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafind Persada, Cet. I, 2009), 78-79]

Menurut al-Fa>ra>bi>, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql Fa‘‘a>l melalui dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.

Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘a>l itu adalah Jibril, maka yang dapat berhubungan secara langsung hanyalah para nabi. Manusia sekelas filosof pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika menggunakan logika sederhana bahwa nabi adalah filosof, dan filosof bukan nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara nabi dan filosof sangat berbeda, yakni filosof berada di bawah nabi.

Di dalam karyanya yang monumental, A’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, al-Fa>ra>bi> mengulas konsep kenabian ini dalam dua bagian penting: Fi> Sabab al-Mana>ma>t (Sebab Terjadinya Tidur) dan Fi> al-Wahyi wa Ru’yat al-Malak (Masalah Wahyu dan Melihat Malaikat). Kedua poros ulasannya ini dikaitkan oleh al-Fa>ra>bi> dengan teori kenabiannya (naz}ariyyat al-nubuwwah), yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika imaginasi yang dianggap sebagai kutub ruh berpisah ketika tidur, lalu masuk kepada simpanan-simpanan nalar dan berbagai gambar, maka ia saling mendekat lalu menyusun gambar-gambar baru dan menyatu dengan tidur dan keadaan psikologis yang siap untuk merespon dan dipengaruhi. Sehingga orang yang sedang tidur mengalami mimpi berenang, kalau campuran itu basah (lembab). Dan ia dapat mengalami mimpi perang, jika dalam kondisi psikologis yang berkecamuk. Dalam hal ini al-Fa>ra>bi> menyatakan: “Hubungan dengan ‘Aql Fa’a>l meskipun jarang terjadi, khususnya orang-orang besar, tetapi hal itu dapat mudah terjadi melalui dua jalan: (1) melalui jalur akal maupun imajinasi, atau (2) melalui jalan kontemplasi (al-ta’ammul) dan ilham (inspirasi).”

Dengan cara pandang yang kritis (al-naz}ar) dan kontemplasi, seorang manusia dapat sampai pada derajat “Akal Sepuluh”, sementara melalui studi dan penelitian jiwanya mampu sampai kepada “’Aql Mustafa>d” yang dapat menerima cahaya Ilahi (taqbal al-anwa>r al-Ila>hiyyah).[footnoteRef:21] Ketika dapat menerima cahaya Ilahi inilah jiwa telah sampai kepada derajat kenabian, yaitu derajat paling sempurna yang dicapai oleh kekuatan imajinasi. Dan kesempurnaan derajat ini dapat ditempuh oleh manusia melalui kekuatan imajinasi ini (al-quwwah al-mutakhayyilah).[footnoteRef:22] [21: Lihat, al-Fa>ra>bi>, A’ Ahl al-Madi>nah al-Fad}i>lah, 103-108.‘Aql Mustafa>d (Acquired Intellect) telah dapat menangkap bentuk-bentuk semata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal 10. Lihat, Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 40.] [22: Al-Fa>ra>bi>, A’ Ahl al-Madi>nah al-Fad}i>lah, 110.]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah serta kegelisahan akademik yang penulis paparkan, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah konsepsi Filsafat Kenabian Ibn ‘Arabi>, jika di ajukan dalam bentuk pertanyaan:

Pertama, Apakah yang dimaksud dengan Filsafat kenabian?.

Kedua, Bagaimana pandangan Ibn ‘Ara>bi> terhadap Filsafat Kenabian?. Pertanyaan ini terkait dengan bangunan epistemologi[footnoteRef:23] filsafat kenabian Ibn ‘Arabi>. [23: Secara historis istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Wilayah epistemologi ini setidaknya berkaitn dengan tiga disiplin, yaitu metafisika, logika dan psikologi. Lihat dalam Ledger Wood, “Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philosophy, New Jersey: Litlle Field, Adam &co, 1976, 94. Epistemologi dapat diartikan sebagai studi yang menganalisan dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan. Lihat Alvin I. Goldman, “Epistemics and Sciences of Knowledge” dalam The Open Curtain, A.U.S. Soviet Philosophy Summit, Boulder: Keith Lehrer and ernest Sosa (ed.), 1991. Persoalan epistemology menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang filosof muslim modern Muhammad Baqir ash-Shadr menyatakan, “Jika sumber-sumber pemikiran manusia, criteria-kriteria dan nilai-nilai pengetahuannya tidak dapat ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknhya.” Lihat dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna terj. M. Nur Mufid bin All. Bandung: Mizan, 1991, 25. Lihat juga dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan Publishing co., Inc, 1972 Vol. III.]

Dengan permasalahan yang diajukan ini, penulis berharap agar penelitian ini dapat mengungkap eksistensialis dan Teosofi transenden, baik dalam konsep ontologi, epistemologi maupun aksiologi secara deskriptif-analitik, dan kemudian dapat memberikan analisis epistemologis yang meliputi sumber epistemologi yang dijadikan rujukan, metode yang diikuti serta tingkat akurasi dan konsistensinya, dan pendekatan yang dipergunakan.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan kegelisahan akademik dan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menawarkan model pembacaan baru terhadap pemikiran Ibn ‘Arabi dalam persoalan Filsafat kenabian yang selama ini luput dari pembacaan sebagian besar pemerhati pemikiran Ibn ‘Arabi. Pembacaan baru yang dimaksud tersebut adalah;

Pertama, memahami konsep filsafat Kenabian yang digagas oleh Ibn ‘Arabi dalam filsafat Islam. Kedua, melakukan tipologi pemetakan pemahaman filsafat Ketuhanan Ibn ‘Arabi dan memahami pula bagaimana merasionalisasikan jenis epistemologi teosofi transenden ini sebagai tanggung jawab ilmiah serta menganalisis secara epistemologi dan hermeneutis model fisafat Kenabian Ibn ‘Arabi.

Pelacakan ini diharapkan dapat memberikan pelajaran pada kita bersama agar tidak melihat pemikiran Ibn ‘Arabi pada aspek wacana yang sudah jadi semata. Akan tetapi yang lebih penting adalah, bagaimana Ibn ‘Arabi melakukan proses yang begitu panjang dalam mencari kebenaran pengetahuan Teosofi yang tidak dapat diragukan lagi. Jika hal ini yang menjadi objeknya, maka tidak diragukan lagi bahwa Ibn ‘Arabi dianggap sebagai pemikir yang patut untuk ditiru dalam memajukan peradaban pengetahuan dalam Islam.

Penelitian terhadap filsafat kenabian Ibn ‘Arabi begitu urgen dan sangat penting mengingat selama ini banyak kalangan di tanah air yang menggeluti pemikiran Islam, baik yang beraliran tradisional maupun rasional, memahami pemikiran Ibn ‘Arabi secara berbeda.[footnoteRef:24] [24: Islam tidak pernah memisahkan secara taksonomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Tetapi studi pendidikan islam saat ini terjebak kedalam paradigma pola pikir bahwa keilmuan agama dan umum telah terpisah. Ada beberapa penyebab mengapa pola piker tersebut bisa terjadi, setidaknya Munir M. terjadi empat keragka. Pertama, karena mereka yang terjebak kedalam ilmu-ilmu sekuler. Kedua, mereka yang terjeba kdalam paradigma ulama-ulama fiqih klasik. Ketiga, mereka yang mencoba mengawinkan antara model berpikir sekuler dengan model berpikir ulama klasik. Dan keempat, mereka yang mencoba keluar dari ketiga jenis model  paradigm itu dan mencoba membangun paradigm baru yang disebut “paradigma Islam. Lihat, Munir M., Pendidikan Islam Dalam Persefektif Paradigm Islam; Mencari Model Alternative Bagi Konstruksi Keilmuan Pendidikan Islam, Jurnal Arah Baru Studi Islam Di Indonesia, (Yogyakarta; Arruszmedia, 2008), 111.]

D. Kerangka Teori

Perkara tugas an-Nubuwwah yang merupakan suatu pekerjaan yang amat besar dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain seperti harta benda, pangkat dan derajat kedudukan. Semua kebahagiaan dunia yang menjadi rebutan manusia itu adalah sangat rendah dan tiada nilai sama sekali. Oleh itu, yang demikian adalah wajar adalah tugas yang agung dan Maha berat tersebut itulah tugas nubuwwah dan tugas kerasulan di pikulkan ke atas segolongan manusia pilihan Allah saja dan tidak dibagi-bagikan kepada seluruh manusia untuk dikelola sesuka hati masing-masing sebagaimana Allah membagi-bagikan rezeki dan menetapkan kadarnya bagi setiap manusia. Pengertian di atas, dapat memberi pemahaman bahwa an-Nubuwwah adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil (memiliki akal teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu kepadanya. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran:

”Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, hikmah dan kenabian ” (al-An‟am: 88-89).

An-Nubuwwah adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan. an-Nubuwwah membuktikan superioritas dari aspek bathin seseorang atas orang lainnya. Seorang Nabi seperti cabang yang menjulur dari Ilahi ke dunia manusia. Dia memiliki intelek tertinggi yang menembus ke dalam realitas dari segala benda dan peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah makhluk yang ideal, sangat mulia dan aktif. Orang-orang biasa tidak dapat memperoleh pengetahuan seperti Nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa gelar nubuwwah hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada sembarang orang.

Terhadap dasar penerapan an-Nubuwwah dapat kita lihat dalam argumen bahwa Ibnu Si>na> mempercayai Nabi atau Rasul sebagai utusan Allah SWT. Dalam perkara ini penetapan kerasulan menurut Ibnu Sina> adalah suatu kemestian bagi Tuhan untuk mengirim Rasul, ini sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, diketahui Ibnu Si>na> adalah sejak kecil ia hidup di lingkungan mazhab yang menganut aliran Syi’ah Ismailiyyah dan aliran kebathinan dimana paham Syi’ah ini banyak persesuaian dengan paham Mu’tazilah. Apalagi Ibnu Si>na> dekat dengan penguasa. Dinasti Samani dan Dinasti Buwaihi yang berpaham Mu’tazilah. Argumen yang digunakan oleh Ibnu Si>na> dalam menetapkan perkara ini adalah karena kebutuhan manusia itu sendiri. Ibnu Si>na> berkeyakinan bahwa adanya para Rasul sebagai utusan Allah, perkara ini terlihat dari sisi dasar penetapan hakikat an-Nubuwwah. Ini membuktikan bahwa teori Ibnu Si>na> yang dimajukan adalah memang bukan ditujukan kepada golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang memang mengimani semua yang dibawa oleh al-Qur’an dan Hadits, tetapi teori ini ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak mengimani kepada an-Nubuwwah atau kenabian. Sasaran Ibnu Sina adalah kepada al-Razi>, Ibnu Rawandi, kaum Brahma dan lain-lain. Jadi hakikat an-Nubuwwah Ibnu Sina adalah memakai pendekatan filosofis dimana ia membuktikan kemungkinan dapatnya para Nabi atau Rasul memperoleh pancaran wahyu dari Tuhan.

Pentingnya gejala nubuwwah dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Pembicaraan perkara akal, ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibnu Sina diberi nama dengan al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah pula dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa inilah yang mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada Nabi-Nabi.

Terhadap dasar penerapan an-Nubuwwah dapat kita lihat bahwa Ibnu Sina mempercayai Nabi atau Rasul sebagai utusan Allah SWT. Dalam perkara ini penetapan kerasulan menurut Ibnu Sina adalah suatu kemestian bagi Tuhan untuk mengirim Rasul, ini sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, diketahui Ibnu Sina adalah sejak kecil ia banyak terpengaruh kepada aliran Syi’ah Ismailiyyah dan aliran kebathinan dimana paham Syi’ah ini banyak persesuaian dengan paham Mu’tazilah. Apalagi Ibnu Sina dekat dengan penguasa. Dinasti Samani dan Dinasti Buwaihi yang berpaham Mu’tazilah.30 Argumen yang digunakan oleh Ibnu Sina dalam menetapkan perkara ini adalah karena keperluan manusia itu sendiri. Dan Ibnu Sina berkeyakinan bahwa adanya para Rasul sebagai utusan Allah, perkara ini terlihat dari sisi dasar penetapan hakikat an-Nubuwwah. Ini membuktikan bahwa teori Ibnu Sina yang dimajukan adalah memang bukan ditujukan kepada golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang memang mengimani semua yang dibawa oleh al-Qur’an dan Hadits, tetapi teori ini ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak mengimani kepada an-Nubuwwah. Sasaran Ibnu Sina adalah kepada al-Razi, Ibnu Rawandi, kaum Brahma dan lain-lain. Jadi hakikat an-Nubuwwah Ibnu Sina adalah memakai pendekatan filosofis dimana ia membuktikan kemungkinan dapatnya para Nabi atau Rasul memperoleh pancaran/wahyu dari Tuhan.

Tesa di atas menggambarkan bahwa sebetulnya Ibnu Sina telah terikat dengan keyakinannya terhadap wahyu. Perkara ini dapat dipahami dengan mengikuti sejarah hidupnya Ibnu Sina bahwa beliau disebutkan dalam berbagai sumber sudah menghafal al-Qur’an semenjak berumur sepuluh tahun. Oleh karena itu, keyakinan Ibnu Sina terhadap wahyu telah ada dalam dirinya.

Ibnu Rusyd[footnoteRef:25] adalah seorang filosof yang beraliran rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal pikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam wujud. Sebagai orang yang berfikir rasional, ia meafsirkan agama dengan penafsiran rasional, namun dia tetap berpegang teguh pada sumber agama itu sendiri yaitu Al-Qur'an.[footnoteRef:26] Menurutnya, bahwa meskipun teori kenabian dibuat oleh filosof-filosof Islam sendiri, namun dapat diterima keseluruhanya dan bagi al-Ghazali tidak ada alasan untuk menolaknya. Selama kita mengakui bahwa kesempurnaan-rohani tidak dapat terjadi kecuali dengan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka tidak aneh jika soal kenabian ditafsirkan dengan hubungan tersebut. Hanya saja tafsiran-tafsiran ilmiah semacam ini harus terbatas pada filosof-filosof dan orang-orang pandai saja karena orang-orang awam tidak dapat mengetahui hakekat persoalan. Kita berbicara dengan orang lain menurut kesanggupannya, karena untuk tiap-tiap orang ada hidangannya sendiri.[footnoteRef:27] [25: Ibn Rusyd dilahirkan di kota Cordova pada tahun 1126 M. / 520 H. nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Dia dilahirkan pada masa pemerntahan Al-Murafiyah yang kemudian digulingkan oleh Al-Muwahiddah di Marakisy. Ibnu Rusyd terkenal merupakan orang yang pandai dalam bidang Fiqh (dengan karyaya yang sangat terkenal, yaitu Bidayah a-Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid), kedokteran dan Filsafat. Dengan kecerdasannya tersebut, maka tidak heran jika Ibnul Abar mengatakan “Di Andalusia belum pernah ada seorang ilmuwan yang utama dan sempurna seperti dia sekalipun mulia ia sangat rendah hati dan tidak sombong.” Lihat dalam A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 283-284.] [26: Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 25-26] [27: Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 108]

Dilain pihak, adanya para Nabi merupakan perkara yang untuk mengetahuinya tidak membutuhkan argumen teoritis. Keberadaan para Nabi merupakan peristiwa kesejarahan: informasi mengenai adanya Nabi telah ada sejak dulu secara mutawatir. Seorang Nabi adalah manusia yang mempunyai karakter cerdas, mulia dan mendapatkan wahyu (syari’at-syariat dari Tuhannya), tidak mungkin setiap orang membawa syari’at sebagaimana syari’at yang dibawa oleh para Nabi. Dengan demikian, setiap orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi dan Rasul dari Allah dan dia membawa syari’at sebagaimana syari’at yang dibawa para Nabi, maka dia adalah Nabi.[footnoteRef:28] [28: Muhammad Abed Al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, terj. Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 162]

Sedangkan Al-Ghaza>li>[footnoteRef:29] dalam karangannya Tahafut Al-Falasifah ia bernada menentang teori kenabian dari al-Farabi, dengan mengatakan bahwa seorang Nabi dapat berhubungan dengan Tuhan dengan langsung atau dengan perantaraan malaikat, tanpa memerlukan kepada akal-faal atau daya imajinasi tertentu, atau cara-cara lain yang dikemukakan oleh filosof-filosof. Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Al-Munqidzu Min Ad-Dlalal, al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari segi pikiran, cukuplah diakui bahwa kenabian mirip dengan gejala-gejala kejiwaan yang diakui oleh kita semua, yaitu impian, dia berkata: [29: Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-ghazali al-Thusi al-Syafi’i. Dia ilahirkan di Thus, suatu kota kecil yang ada di Khurasan pada tahun 450 M. Dia merupakan orang yang ahli dalam bidang teologi, tasawuf, adab dan dapat juga dimasukkan sebagai ahli filsafat walaupun tidak semua filosof sepakat memasukkannya. Dia kemudian mendapat gelar sebagai Hujjatul Islam karena pembelaannya terhadap Islam terutama terhadap kaum Bathiniyah dan kaum filosuf. Akan tetapi, disisi lain al-Ghazali mendapatkan serangan dan cemoohan dengan istilah “Si penyembelih ayam yang bertelur emas”, h ini dikarenakan dia dianggap sebagai orang yang mengakibatkan kemandegkan pemikiran. Bandingkan dalam Ahmad Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: bulan Bintang, 1975), h. 28, Nur Cholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 31.]

“Tuhan telah mendekatkan demikian itu (kenabian) kepada hamba-hamba-Nya dengan jalan memberikan kepada mereka suatu contoh dari ciri khas kenabian, yaitu tidur, karena orang tidur dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan berbajukan perumpamaan yang akan terjadi, dengan jelas atau dengan berbajukan perumpamaan yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.”[footnoteRef:30] [30: Hanafi, Pengantar…,h. 108]

E. Tinjauan Pustaka.

Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam: Menurut Filosof dan Ortodoksi. Muhammad Labib Ahmad, Hakikat Nubuwwah. Selain itu terdapat pula tulisan Alparslan Acikgenc, seorang sarjana Turki kontemporer menulis Being and Existence in Sadra and Heidegger A Comparative Ontology[footnoteRef:31] yang secara khusus membahas tentang filsafat wujud dari pemikiran Mulla Shadra, tetapi pembahasannya lebih ditekankan kepada aspek perbandingan, yaitu mencari persamaan dan perbedaan antara pemikiran Mulla Shadra dan Heidegger, yang mewakili filosof eksistensialisme Barat. [31: Alparslan Acikgenc, Being and Existence in Sadra and Heidegger A Comparative Ontology, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilation (ISTAC), 1993.]

Arqom kuswanjono, Integrasi Ilmu & Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra[footnoteRef:32], dalam disertasi tersebut penulis menggunakan analisis pemikiran Mulla Sadra untuk memecahkan konflik yang terjadi antara ilmu dan agama, yang pada akhirnya penulis mengambil kesimpulan bahwa Mulla Sadra menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. [32: Arqom kuswanjono, Integrasi Ilmu & Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta: Lima Press, 2010.]

F. Metode Penelitian

Penelitian yang akan kami lakukan masuk dalam jenis Library research, nantinya penelitian ini mengurai pemikiran epistemologi integrasi antara sain dan agama. Sedangkan pendekatan yang di pakai oleh penulis adalah analisis-konstruktif-kritis. Untuk mengetahui Integrasi Epistemologi antara Sain dan agama maka harus meletakkan pemikiran sain dan agama pada posisi sosial-historisnya. Dengan begitu, problem teoritis-epistemologi didalamnya dapat dipahami secara objektif. Maka dalam kajian ini akan ditempuh tiga langkah analisis:

Pertama, menganalisis secara deskriptif pemikiran metafisika Ibn ‘Ara>bi> yang menjadi wacana besar dalam bangunan pemikiran keislamanya. Ini merupakan langkah awal yang dimulai dari teks utama, yakni seperti karya al-Fa>ra>bi> sebagai berikut: Maqa>lah fi> Aghra>d} al-H{aki>m fi> Kulli Maqa>lah min al-Kita>b al-Marsu>m bi al-H{uru>f. Buku ini merupakan verifikasi terhadap buku Aristoteles yang berjudul Tah}qi>q Ghard} Arist}a>t}a>li>s fi> Kita>bma> Ba‘da al-T}abi>‘ah, Risa>lah fi> Itsba>t al-Mufa>raqa>t, Syarh} Risa>lah Zainu>n al-Kabi>r al-Yu>na>ni>, Risa>lah fi> Masa>’il Mutafarriqah, Al-Ta‘li>qa>t, Al-Jam’u baina Ra’yai al-H{aki>main Aflat}u>n wa Arist}u>, Risa>lah fi>ma> Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah, Risa>lah Tah}si>l al-Sa‘a>dah, Kita>b A’ Ahl al-Madi>nah al-Fad}i>lah, Kita>b al-Siya>sa>t al-Madaniyyah, Kita>b al-Mu>si>qa> al-Kabi>r, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ‘Uyu>n al-Masa>’il, Al-Tanbi>h fi> Sabi>l al-Sa‘a>dah, Fus}u>s} al-H{ikam, Maqa>lah fi> Ma‘a>ni> al-‘Aql, Tajri>d Risa>lah al-Da‘a>wa> al-Qalbiyyah al-Mansu>bah li Arist}u>, Al-Nuqat fi>ma> Yas}ih}h}u wama> la> Yas}ih}h}u min Ahka>m al-Nuju>m, Risa>lah fi> Jawa>b Masa>’il Su’ila ‘Anha>, Talkhi>s} Nawa>mi>s Afla>t}u>n. Sementara karyanya yang secara khusus berbicara tentang logika (al-mant}iq) adalah: Al-Tawt}i’ah fi> al-Mant}iq, Khamsah Fus}u>l Tasytamilu ‘ala> Jami>‘ ma> Yad`t>arru ila> Ma‘rifatihi, min Ada>’ al-Syuru>‘ fi> S`ina>‘at al-Mant`iq.

Kedua, menganalisis fenomena sosial yang melatar belakangi filsafat Ibn ‘Ara>bi. Analisis ini menyangkut lingkup sosial keagamaan dimana Ibn ‘Ara>bi menuangkan pemikirannya, karena setiap pemikiran tidak pernah lepas dari latar belakang sosial.[footnoteRef:33] Langkah ini merupakan upaya mengkaitkan teks dengan konteks. Tujuannya adalah untuk mengetahui hal-hal yang mendasari pemikiran Ibn ‘Ara>bi. Pengaitan teks dengan konteks juga berfungsi untuk menguji validitas pemahaman atas teks sebagaimana pada langkah pertama. Misalnya, apa yang melatar belakangi pemikiran Ibn ‘Ara>bi serta apa yang menjadi tujuannya. [33: Mengurai tek dengan kontek ini menjadi pentik, karena setiap pemikiran selalu merupakan hasil pergumulan sang pemikir dengan realitas sosial yang dihadapinya. Setiap pemikiran selalu merupakan refleksi atas problem sosial yang berkembang pada masanya. Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Cet. Ke-2, Yogyakarta: Kanisius, 1993. H. 287.]

Ketiga, menganalisis bagaimana Ibn ‘Ara>bi> melakukan proses sintesa dalam rangka menggagas persoalan filsafat Kenabian.

Sedangkan pendekatannya, penulis memakai pendekatan hermeneutika teoritis dan epistemologis penulis rasa adalah pendekatan yang sangat tepat untuk mengungkap tipologi pemikiran Ibn ‘Ara>bi. Hermeneutika teoritis ini penulis gunakan untuk membaca dan mengungkap tipologi hubungan antara sain dan Islam. Hermenutika sendiri sering diartikan sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Persoalan hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif ataukah makna subjektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, dan pembaca menjadi titik beda dari masing-masing hermeneutika. Maka hermeneutika itu dibagi menjadi tiga kategori, yakni hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.

Pertama, hermeneutika teoritis, problem dari hermeneutika ini menitik beratkan pada pemahaman, yakni bagaimana memahami dengan benar.[footnoteRef:34] Sedangkan makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara objektif maksud dari penggagas maka hermeneutika model ini juga dianggap sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk melakukan rekonstruksi makna. Model hermeneutika teoritis inilah yang nantinya penulis gunakan untuk memahami secara objektif bagaimana pemikiran Ibn ‘Ara>bi dengan benar. [34: Joseph Bleicher, Contemporery Hermeneutis: hermeneutics as Method, Philosofhy and Critique, London: Raoutledge & Kegan Paul, 1980. H. 15. Lihat juga dalam Nasr Hamid abu Zaid, Al-Qur’an,, Hermeneutika, dan Kekuasaan, Bandung: RQiS. 2003. H. 46. Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa (Yogyakarta: IRCISOD, 2002), 29.]

Kedua, hermeneutika filosofis, problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan objektif sebagaimana hermeneutika teoritis, melainkan bagaimana tidakan memahami itu sendiri. Menurut Gadamer[footnoteRef:35], hermeneutika berhubungan dengan watak interpretasi, bukan teori intrepretasi. Oleh karena itu, dengan mengambil konsep fenomenologi Heidegger tentang (Dasein ke-Ada-annya di dunia), Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah Ontologi, bukan metodologi. [35: Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci hermeneutika. Pertama, kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Kedua, Situasi hermeneutika ini kemudian membentuk pra pemahaman pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merivisinya agar pembacanya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca harus menggabungkan dua horizon, yakni horizon pembaca ddan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan diantara dua horizon tersebut bisa diatasi. Keempat, menerapkan makna yang berarti dari teks, bukan makna objektif teks.lihat dalam nur kholis setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al-Qur’an, (Yogyakarta; El Saq, 2008), 67-73.]

Ketiga, hermeneutika kritis, problem utama hermeneutika ini adalah untuk mengungkap kepentingan[footnoteRef:36] dibalik teks. Hermeneutika ini juga menempatkan sesuatu yang berada diluar teks sebagai problem hermeneutikanya yang dalam kedua hermeneutika sebelumnya justru diabaikan, yakni dimensi ideologis penafsir dan teks. Dalam dimensi ini teks diandaikan bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Didalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. [36: Menurut Paul Ricoeur, ada tiga kepentingan yang ditelusuri oleh Habermas yang merupakan pendiri dari hermeneuutika ini. Pertama, kepentingan teknis atau kepentingan instrumental yang menguasai ilmu pengetahuan empiris-analitis; kedua, kepentingan tekhnis dan praktis, yakni ranah komunikasi intersubjektif yang menjadi wilayah ilmu pengetahuan historis-hermeneutis; ketiga, kepentingan emansipasi, yakni yang menjadi wilayah garapan ilmu sosial kritis. Liht dalam Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu sosial, (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2006), 111.]

Interpretasi dengan pendekatan hermeneutik sangat diperlukan dalam mencapai tujuan penelitian ini. Untuk itulah ada dua langkah utama yang akan dilakukan: pertama, mendiskripsikan dan merekonstruksi gagasan-gagasan integrasi sains dan agama secara cermat dan mendalam, sehingga diperoleh pengertian-pengertian, konsep-konsep dan teori-teori yang utuh dan jelas. Sebab konsep integrasi bermula dari sebuah pemikiran yang seringkali muncul dalam situasi yang berbeda-beda, dan terkadang tersusun tidak sistematis, bahkan tidak jarang tampak kontradiksi dan inkosistensi antara konsep satu dengan yang lainya. Inilah tugas hermeneutic untuk menyusun sehingga terbentuk gambaran yang jelas. Kedua, menginterpretasi gagasan-gagasan primer tadi. Dari isinilah diperlukan ulasan, komentar yang didasarkan pada argumen-argumen rasional dan mendekati pula secara kepada konsep integrasi yang utuh dalam mewujudkan transformasi yang di cita-citakan bersama.

Untuk memperoleh kesimpulan yang akurat, maka peneliti akan menggunakan alur pemikiran sebagai berikut: 1. Metode Deduktif, yaitu suatu pola pemahaman yang dimulai dengan mengambil kaidah-kaidah yang bersifat umum, untuk mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang bersifat khusus. 2. Lingkaran Hermeneutik, yaitu suatu analisa yang bergerak dari variable pemahaman yang satu pada variable yang lainya, karena ketiga variable pemahaman hermeneutic itu merupakan satu lingkaran sehingga semuanya menampakkan adanya hubungan. 3. Refleksi, yaitu suatu proses berfikir yang merujuk pada data dan fakta sebelumnya yang maknanya diterapkan pada setiap term kajian. Juga dalam arti berfikir secara serius dan tenang dengan merenungkan berbagai wawasan masa lampau, kini dan yang akan datang yang terkait dengan pola dan konsep tertentu yang rasional.

BAB II

PROBLEM FILSAFAT KENABIAN DALAM BINGKAI PEMIKIRAN ISLAM.

A. Definisi Kenabian.

Kata nubuwwah berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar (berita dan cerita) Kata “nubuwwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dalam al-Qur‟an kata ”nubuwwah” disebutkan sebanyak 5 kali, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.[footnoteRef:37] Nubuwwah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi untuk disampaikan kepada manusia. Jadi nubuwwah adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) Nabi, yang berkenaan dengan Nabi. Pengertian ini sesuai dengan Kamus Dewan yang menyebutkan nubuwwah adalah hal yang berhubungan dengan Nabi.[footnoteRef:38] Konsep Nabi dan Rasul adalah salah satu daripada prinsip utama dalam Islam, konsep ini berkaitan dengan konsep keadilan Tuhan karena Tuhan yang Maha Adil yang menciptakan sekalian makhluk terutama manusia. Nabi bertugas dan bertanggung jawab menyampaikan wahyu Tuhan. Nabi dipilih sendiri oleh Tuhan daripada kalangan manusia yang sempurna sifat-sifatnya. Kehadiran Nabi dan Rasul sangat penting khususnya kepada masyarakat manusia dan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Oleh karena itu Tuhan yang bersifat dengan segala sifat yang sempurna pencipta sekalian makhluk di muka bumi termasuk manusia. Untuk itulah Tuhan mengutus Nabi dan Rasul untuk membawa manusia kepada kebaikan, kejayaan dan kesempurnaan. Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan Allah SWT yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang keesaan Allah SWT dan membina mereka agar melaksanakan ajaran-Nya. Ciri-ciri mereka dikemukakan dalam Al-Qur‟an, sebagaimana firman Allah SWT artinya adalah: “… ialah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah. Mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (Q.S. Al Ahzab : 39).. [37: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2005), h. 618.] [38: Md. Nor bin Hj. Ab. Ghani Kamus Dewan, (Kuala Lumpur: 2005), h. 1086)]

Dalam kajian Ilmu Sosiologis, an-Nubuwwah merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa penggunaan akal. Rasulullah dan para Nabi diutus Tuhan adalah untuk membawa manusia dari zaman gelap-gulita menuju zaman yang terang benderang, masa tidak berpengetahuan kepada masa berpengetahuan, masa ini maksudnya adalah masa manusia dalam kebodohan yaitu masa-masa ini, bangsa Arab tidak memiliki aturan hukum yang menjadi pedoman bagi manusia seperti kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, masa penyimpangan akhlak dan keyakinan, manusia tidak berbudi, perempuan tidak dihargai masa inilah disebut dengan masa jahiliyah.[footnoteRef:39] [39: Kafrawi Ridwan (dkk) Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, cetakan pertama 2004, Karya adaptasi Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia 2004), h. 295.]

Nubuwwah adalah perkataan yang mengandung arti berita tentang Allah dan tentang urusan-urusan keagamaan, terutama tentang apa yang bakal terjadi di kemudian hari. Adapun nubuwwah itu ada bermacam-macam seperti halnya mimpi, penglihatan dan penyampaian. Biasanya para Nabi ketika melihat perkara-perkara yang akan terjadi tidak membedakan waktu. Dalam mimpi mereka melihat kejadian-kejadian yang lama akan terjadi. Kalau salah satu subjek nubuwwah itu dikatakan sebagai pemberitaan tentang masa yang akan datang maka yang dibawa Nabi Muhammad itu dalam al-Qur‟an lebih jelas, lebih terang dan jauh dari kemungkinan penafsiran yang bukan-bukan. Tidak ada ruang bagi orang-orang yang ragu atau ingkar kepada nubuwwah Muhammad SAW.

Nubuwwah merupakan jembatan dari masa Jahiliyah kepada masa berperadaban dalam pengertian bahwa akhir dari masa jahiliyah yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan terhadap penyembahan berhala, kemudian berganti dengan masa peradaban, dimana di masa ini manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal dalam segala aspek kehidupan. Setelah masa jahiliyah ini, maka berakhirlah pula masa an-Nubuwwah. Oleh karena itu, masa sekarang tentang kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak diperlukan lagi karena manusia pada masa ini sudah dapat menggunakan akalnya dalam segala perkara sehingga manusia dapat mengetahui mana yang baik dan harus dikerjakan dan mana yang buruk yang harus ditinggalkan. Dalam al-Qur‟an digambarkan nubuwwah adalah suatu anugerah ilahi atau pemberian rabbani kepada siapa saja manusia dari kalangan hamba-hambanya yang Dia kehendaki. Derajat an-Nubuwwah itu tidak bisa diperoleh dengan usaha yang maksimal, atau dengan menunjukkan seberapa banyak kepatuhan dari ibadah. Dengan kata lain nubuwwah itu hanyalah dianugerahkan kepada siapa saja manusia yang dipilih oleh Allah dari kalangan hamba-hambanya yang berhak dan layak memikulnya. Orang yang dianugerahkan dengannya dinamakan Nabi.

Nubuwwah bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh secara warisan atau melalui kekuatan atau darah keturunan dan kedudukan, hanya adalah hasil dari pemilihan Allah ke atas segolongan manusia yang dimuliakan dari kalangan-hamba-hamba-Nya. Sesuai dengan Firman Allah.

Artinya: Allah memilih dari kalangan Malaikat sebagai utusan-utusan dan juga dari kalangan manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. al-Hajj: 75.

Artinya : Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Hajj: 75)

Artinya: Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi semesta alam. (Ali Imran: 33)

Gambaran ayat al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa an-Nubuwwah itu adalah pemberian Allah semata-mata bukan karena pangkat dan jabatan kehormatan. Oleh karena itu, kaum musyrikin Quraisy merasa terkejut dan keheranannya serta terus menentang ketika mengetahui bahwa Muhammad bin Abdullah SAW dipikulkan dengan tugas ini, sedangkan beliau seorang yatim piatu, miskin dan tidak mempunyai sembarang pengaruh dan kuasa di tengah-tengah masyarakat. Malah menurut pandangan mereka, Muhammad tidak mempunyai apa-apa yang boleh menjadikan baginda seorang yang terkemuka dan agung. Menurut pendapat orang-orang Quraisy tugas an-Nubuwwah hanyalah layak dipikul oleh seorang hartawan bangsawan dari kalangan pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kaum Quraisy saja.[footnoteRef:40] [40: Muhammad Labib Ahmad, Hakikat Nubuwwah, Pustaka Nasional, (Singapura: Pte LTD Singapura, 1985), h .4.]

Dalam perkara ini Allah telah mengecam sikap kaum Quraisy yang bodoh dan rendah di gambarkan dalam al- Qur‟an

Artinya: “ Dan mereka berkata Mengapa al-Qur‟an tidak diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua kota? Apakah mereka hendak membagi-bagikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan dunia ini dan tinggikan sebahagiannya dari yang lain beberapa derajat supaya sebahagiannya dapat bekerja untuk yang lain, rahmat Tuhanmu itu lebih baik dari kekayaan yang mereka kumpulkan. (Az- Zukhruf: 31,32).

Sedangkan menurut Murtadha Muthahhari, seseorang dapat disebut sebagai nabi, apabila memiliki beberapa karakteristik,34 di antaranya: Wahyu (yaitu nabi merupakan seseorang yang diberi wahyu oleh Allah) Istilah wahyu (al-wahy, revelation) dalam Islam adalah kata yang paling penting dari semua kata-kata Arab yang menunjukkan fenomena diturunkannya ayat-ayat Tuhan (Alquran).[footnoteRef:41] Berkaitan dengan pewahyuan Alquran, maka kata kunci yang sangat signifikan untuk diperhatikan, selain kata awḥā beserta kata turunannya, adalah inzāl dan tanzīl. Dalam Bahasa Arab, bertitik tolak dari asumsi Syahrur "bahwa tidak ada sinonim dalam bahasa", maka elaborasi setiap kata dalam Alquran menjadi sangat penting untuk mendapatkan pengertian secara utuh.[footnoteRef:42] Walaupun kata-kata itu simbolis, tapi makna primernya berbeda.Wahyu berarti 'pertunjukan' atau 'pernyataan' diri Tuhan.Tanzil ialah 'penurunan' nya dari langit ke bumi. Dalam QS. Maryam [19]: 11, awḥā (kata kerja) digunakan untuk Zakaria ketika mengalami bisu dan secara jelas berarti 'diperlihatkan' atau 'dipertunjukkan dengan suatu tanda. [41: Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein, dkk, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 171. ] [42: Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira'ah Mu'asirah (Damaskus: AlAhy, 1990), 47.]

Namun demikian, dalam makna sentralnya, wahyu adalah proses komunikasi antar dua pihak yang mengandung pemberian pesan secara samar, rahasia dan sangat pribadi.[footnoteRef:43] Wahyu ilahi merupakan suatu kenyataan yang universal, yang tidak hanya diterima oleh para nabi tertentu dan hanya dimiliki oleh umat keagamaan tertentu. Seperti halnya Nabi Muhammad yang menjadi pemimpin di Mekkah, “The Madina Charter is proof that Prophet Muhammad was a religious leader as well as a political leader”.[footnoteRef:44] [43: Tentang bagaimana proses komunikasi antar berbagai pihak berlangsung, terjadi perdebatan, karena pada dasarnya di antara pihak yang satu berbeda secara ontologis dengan pihak yang lain. Namun demikian, fenomena ini bisa dipahami dan dianggap lumrah oleh masyarakat Arab pada saat itu, di mana peradaban sebelum Islam telah mengenal pola dan mekanisme yang hampir sama dengan wahyu; yaitu komunikasi dengan jin (tajnin). Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an Kritik Terhadap Ulum al-Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), 34, 43.] [44: Fatmawati, “Inter-Religious Relations In The Period Of Prophet Muhammad,” Al-Albab 5, no. 2 (2016): 175–193]

Dalam Islam, kata "wahyu" banyak digunakan dalam Alquran dengan berbagai bentuk, baik dalam bentuk kata benda atau kata kerja. Apabila term wahyu ini dikembalikan kepada pengertian teologi Islam, tentunya dapat diambil dua pengertian dasar yaitu: Wahyu syari'ah dan wahyu bukan syari'ah atau identik dengan istilah ilham. Wahyu Syari'ah, dalam kepercayaan sebagian besar umat Islam, lebih berupa seluruh sabda Tuhan yang diterima oleh para nabi sebelum Muhammad yang berisi hukum-hukum (syari'ah) dan diyakini telah disempurnakan oleh kenabian Muhammad yang kemudian terkodifikasi dalam wujud Alquran. Sedangkan pengertian wahyu yang kedua ini sering oleh sementara kelompok dalam Islam lebih dianggap wahyu yang masih tetap akan turun walaupun sepeninggal Nabi Muhammad Saw.[footnoteRef:45] [45: Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), 108.]

1) Wahyu

Kata Wahyu adalah kata benda, dalam bentuk kata kerjanya adalah auha-yuhi, artinya adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat (i'lām al-khafī as-sarī').[footnoteRef:46] Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, dapat dinyatakan bahwa wahyu adalah kenyataan universal, yang tidak hanya diberikan kepada para nabi melainkan diberikan pula kepada semua ciptaannya, termasuk benda-benda tak bernyawa. Dalam pengertian ini, maka mereka membagi wahyu pada lima macam: yaitu, (a) wahyu Tuhan kepada langit dan bumi (QS. Fusjilat [41]: 1112; QS. Al-Zalzalah [99]: 15); (b) wahyu Tuhan kepada binatang (QS. an-Nahl [16]: 6869); (c) wahyu Tuhan kepada para malaikat (QS. Al-Anfal [8]: 12); (d) wahyu Tuhan kepada manusia biasa (QS. Al-Qashas [28]: 7; QS. Al-Maidah [5]: 111) dan (e) wahyu Tuhan kepada para nabi (QS. Al-Anbiya [21]: 7; QS. An-Nisa'[4]:164).[footnoteRef:47] [46: Muhammad Ismail Sya'ban, Ma' al-Qur‟an al-Karim (Kairo: Dar al-Ittihad al-'Arabi li at-Tiba'ah, 1978), 85.] [47: Mulyono, Bunga Rampai Paham Keagamaan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Darul Kutubil Islamiyah bekerjasama dengan LPMAT PIRI, 2003), 21-24.]

2) Mu'jizat

Nabi yang diangkat oleh Tuhan diberi anugerah kemampuan luar biasa yang mampu melakukan tindakan-tindakan tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Hal tersebut menunjukkan kebenaran kenabian dan firman Tuhan yang mereka sampaikan. Perbuatan luar biasa yang dikerjakan oleh para nabi dengan izin Tuhan tersebut, oleh Alquran dinamakan ayat atau tanda kenabian sedangkan para teolog Islam menyebutnya mu'jizat (harfiah: yang membuat orang lain lemah).[footnoteRef:48] [48: Muthahhari, Falsafah, 10.]

3) 'Ishmaḥ.

Bahwa para nabi itu terjaga dari perbuatan dosa dan kekeliruan yang disebabkan karena pemahaman dan kedalaman iman mereka. Semakin tinggi keimanan dan kesadaran mereka terhadap akibat buruk dari dosa, semakin berkurang kemungkinan melakukan perbuatan dosa. Para nabi memiliki derajat keimanan yang mencapai tingkat intuitif dan pandangan batin sehingga mampu membedakan dan menghindari perbuatan dosa.[footnoteRef:49] [49: Fahd, "Nubuwwa," 94-95.]

4) Kecerdasan.

Kecerdasan dan kemampuan menalar yang dimiliki para nabi berbeda dengan kemampuan orang jenius dalam hal yang sama. Perbedaan yang mendasar ialah bahwa jenius merupakan orang yang mempunyai kemampuan berpikir, daya menalar dan analisis yang tinggi sehingga mampu merumuskan teori-teori dan kemampuan membuat kesimpulan. Para nabi selain memiliki kemampuan di atas juga dilengkapi dengan kemampuan lain yang disebut wahyu. Inilah yang bisa membebaskan mereka dari kekeliruan.[footnoteRef:50] [50: Muthahhari, Falsafah, 14]

5) Kepemimpinan.

Berawal dari misi kenabian tentu akan berujung pada langkah kembali kepada masyarakat dan dunia luar untuk mengorgani-sasi dan memimpin kehidupan masyarakat pada jalan yang benar. Dalam pengalaman "bersatu" dengan Tuhan, para nabi kembali untuk terjun dalam arus waktu dengan niat untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah dan menciptakan dunia baru yang ideal. Konsekwensinya, memimpin manusia, ialah kemampuan untuk mengelola dan menggerakkan potensi-potensi manusia (masyarakat) ke arah kehendak Tuhan dan demi kebaikan umat manusia, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari misi kenabian. Sehingga penyusunan hadist pun tidak terlepas dari sosok nabi atau wali, seperti ungkapan Putra, “sunnah adalah sesuatu yang dipraktikkan secara kontinu (terus-menerus) oleh sosok yang menjadi panutan baik seorang Nabi atau wali.

6) Ketulusan niat.

Para nabi memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengemban misinya. Mereka tidak meminta imbalan jasa dalam membimbing umatnya menuju Tuhan (QS. Asy-Su'ara [26]: 127); Pesan-pesan mereka selalu bersifat keputusan akhir yang tidak dapat ditawar lagi.

7) Konstruktivitas.

Para nabi memberikan energi kepada kekuatan-kekuatan masyarakat dan mengo-rientasikan mereka agar melatih individu dan membimbingnya, dan membangun masyarakat manusia.

8) Konflik dan Perjuangan.

Tanda lain dari ketulusan seorang nabi dalam klaimnya adalah bahwa ia berjuang menentang politheisme, tahayul, kebodohan, kepalsuan, penindasan, kekejaman dan ketidakadilan. \Setiap nabi adalah berjuang meneguhkan monotheisme (tauhid), kebijaksanaan dan keadilan.46lazimnya, umat Islam merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki nabi adalah: shiddīq (benar), amānah (bisa dipercaya), tablīgh (mampu menyampaikan) dan fathanah (cerdas).

9) Aspek manusiawi.

Meskipun para nabi memiliki karakteristik seperti di atas, namun mereka adalah manusia biasa. Artinya, mereka memiliki semua karakteristik yang dimiliki oleh seorang manusia; mereka tidak akan hidup selamanya (QS. Al-Anbiya [21] : 8), makan dan minum, pergi ke pasar, serta mempunyai anak dan 'isteri' (QS. Al-Furqan [25]: 7). Dari kriteria yang disebutkan oleh ulama maupun diindikasikan oleh Alquran, menurut penulis, kriteria utama yang harus dipenuhi seseorang untuk disebut sebagai nabi, minimal ada 3, yaitu: (1) seorang manusia; (2) mendapat wahyu; (3) memiliki mukjizat.

B. An-Nubuwwah Menurut ahli Pikir.

Menurut para ulama Ahlus-Sunnah, Nubuwwah adalah pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya tanpa diusahakan dan dengan jalan memberikan wahyu kepadanya. Namun mengenai nubuwwah sebagai ”sesuatu yang datang tanpa diusahakan”, perkara ini mengundang pertentangan dari para ahli falsafah, mereka menyatakan bahwa an-Nubuwwah adalah perkara yang dapat diusahakan karena an-Nubuwwah itu merupakan hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari keutamaan budi pekerti. Selain itu, para ahli falsafah juga berpendapat bahwa an-Nubuwwah adalah perkara yang dapat diperoleh oleh manusia dengan usaha bersungguh-sungguh dan karena sebab-sebab tertentu. Jadi menurut pandangan mereka, an-Nubuwwah merupakan perkara yang bukan semata-mata anugerah (pemberian) dari Allah tetapi manusia juga bila berusaha sungguh-sungguh bisa mendapatkannya.[footnoteRef:51] [51: Al-Farbi, Ara‟ Ahl al-madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat, Mathaba‟at Muhammad Ali, t.t), H. 20-23.]

Di sisi lain Abū Hasan al-Ashari berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh kepada-Nya akan memperoleh hukuman yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan di dunia. Jadi menurut al-Ash’ari akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh manusia, untuk itulah wahyu diperlukan. Wahyu disampaikan oleh seorang Nabi yang merupakan pilihan dari Allah dan diberikan kepada hamba mana yang Ia kehendaki.[footnoteRef:52] Sependapat dengan al-Ashy’ari adalah al-Baghdadi, yang berpendapat bahwa walaupun akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi dalam konteks pahala dan siksa, baik dan buruk ditentukan oleh wahyu. Kemudian pandangan ini juga mendapat tempat dalam pemikiran Imam al-Haramain al-Juwainy Menurutnya dalam masalah di luar syari’at atau hukum tidak dapat diketahui akal manusia tetapi harus melalui perantaraan wahyu.[footnoteRef:53] Wahyu disampaikan oleh seorang Nabi, oleh itu, menurut al-Juwainy pengiriman Nabi atau Rasul adalah hak Allah semata-mata. Nubuwwah adalah pemberian Allah kepada hamba, yaitu hamba-hamba-Nya yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya kepada makhluknya-Nya. [52: Muhammad Ibn Abd Al-Karim Ahmad Al-Syahrastin. AlNihayah al-Iqdam film al-Kalam, (London: t,t ), h. 371.] [53: Al- Baghdadi, Abu Mansur, Abd al-Qahir ibn Tahir Tamimi, Kitab Usul al-Din, (Constatinople: Madrasah al-Ilahiyat, 1928), h. 24.]

Menurut Pandangan al-Afghani[footnoteRef:54] beliau memberikan suatu perumpamaan berkaitan dengan persoalan nubuwwah bahwa masyarakat adalah seperti sebuah badan, di mana seluruh anggota badan saling berhubungan dan setiap anggota badan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Al-Afghani meng-umpamakan bahwa kalau badan tidak boleh hidup tanpa adanya roh, maka demikian pula masyarakat. [54: Seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam. Pemikiran pembaharuan didasarkan pada keyakinan bahwa agama sesuai untuk semua bangsa, zaman dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dengan keadaan yang disebabkan perubahan zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan antara keduanya dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur‟an dan hadits. Untuk mencapai h ini ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap terbuka (Kafrawi Ridwan (dkk) 2004; 299).]

Roh masyarakat adalah an-Nubuwwah atau hikmah (falsafah. Jadi Nabi dan ahli falsafah (al-Hakim) bagi masyarakat sama kedudukannya dengan roh bagi badan Bagaimana ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT, tentang persoalan ini Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan langkah-langkah atau persiapan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menerima nubuwwah dan risalah adalah seperti suatu ibarat tentang ruh beliau yang mulia laksana cermin yang mengkilat.

Allah mengutus Rasulnya untuk membawa ajaran kepada manusia. Agama yang dibawa Nabi kepada umatnya adalah sebagai petunjuk terhadap segala urusan baik perkara di dunia maupun di akhirat.

Sedangkan Zakaria Al Razi berpendapat Buah Filsafat al-Razi Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal.[footnoteRef:55] Setelah itu, moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya. Jiwa merupakan titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato. Untuk ini ada ilustrasi indah untuk menggambarkan substansi pokok filsafat Plato [55: Yunasir Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Buku ini memapan bahasannya secara historis-ketokohan.]

(Platonik) sebagaimana dipresentasikan oleh Gaarder: “... suatu kerinduan untuk kembali ke alam jiwa...”.[footnoteRef:56] [56: Mahmud, Mausu’ah..., 155; al-Ra'is Sharil Hu, Mausu`ah A`lam al-Falsafah, Juz I (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 155.]

1. Lima yang Kekal.

Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.[footnoteRef:57] Ali memberikan penjelasan secara pasrial demikian:1) Sang Pencipta adalah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. [57: Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (Bandung: Mizan, 1996), 98.]

2. Jiwa universal adalah jiwa yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.

3. Materi pertama adalah materi yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Tanah merupakan atom yang paling padat, kemudian air, hawa dan api.

4. Ruang absolut adalah adalah ruang yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.

5. Masa absolut adalah masa yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.[footnoteRef:58] [58: Ali, Perkembangan Pemikiran ..., 37. Hu, Mausu’ah..., 155.]

Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas. Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof sejak zaman Plato, sebagaimana dipaparkan pada bagian akhir sub tulisan ini.

Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa menciptakan kesatuan dengan bentuk-bentuk material. Kemudian, materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, yang tidak lain adalah ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan sekaligus kekal. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang partikular/ tertentu tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati.

Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbeda dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular dapat diukur dan terbatas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan terdorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki. Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafisika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebingungan para filosof. Dalam hal ini Fakhry menjelaskan bahwa persoalan yang dihadapi oleh mereka bukan sekadar “apakah dunia ini diciptakan atau tidak?”, akan tetapi lebih rumit ketika melewati batas-batas risalah polemik teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Kristen –apakah Tuhan menciptakan dunia, melalui “keniscayaan alam” (necessity of nature) atau melalui tindakan bebas?. Persoalan ini pernah dinyatakan oleh kaum Skolastik Latin.

C. An-Nubuwwah Menurut Filosof Islam.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pandangan Ahlussunnah, an-Nubuwwah adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Karena an-Nubuwwah sebagai anugerah maka gelar an-Nubuwwah boleh diberikan kepada siapa saja. Pandangan ini menyatakan bahwa ajaran an-Nubuwwah merupakan ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya karena berasal dari wahyu Tuhan.

Sedangkan menurut ahli falsafah, perkara al-Nubuwwah al- Farabi berpijak kepada sendi-sendi ilmu jiwa dan metafisik dan ini rapat hubungannya dengan politik dan moral. Artinya al-Farabi dalam menafsirkan al-Nubuwwah secara psikologi dan menurutnya ini sebagai sarana untuk menghubungkan alam bumi dengan alam langit, hal ini didasarkan dari pada teori Mimpi. Menurutnya jika imajinasi telah terlepas dari perbuatan-perbuatannya ketika jaga, maka di masa tidurpun ia masih mempergunakan sebagai fenomena psikologi. Kemudian Farabi menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru, jika kemampuan-kemampuan imajinasi manusia telah mencapai puncak kesempurnaan, berarti beliau telah mencapai kesempurnaannya, maka beliau akan dapat menerima sesuatu yang mendetail (secara terperinci) baik dalam masa sekarang maupun masa depan dari aql faal.[footnoteRef:59] Seterusnya menirukannya melalui fakta empirik secara menerima penalaran akal yang tidak ada pada benda dan wujud, benda-benda lain, sehingga bagaimana objek pemikiran yang diterimanya menjadi an-Nubuwwah baginya melalui perkara-perkara yang ghaib. Ini adalah tingkat paling sempurna yang boleh dicapai oleh kekuatan imajinasi dan merupakan tingkat paling sempurna pula yang boleh dicapai oleh manusia melalui potensi imajinasi ini.[footnoteRef:60] [59: Akal yang aktif atau akal pendorong, yaitu akal yang paling rendah dalam benda-benda langit yang memberi bentuk kepada setiap benda yang disebut wahibus suwar yaitu pemberi berbagai macam bentuk. Akal aktif secara terus menerus melakukan kegiatan dan menimbulkan akal material atau akal potensial dengan mengaktifkan dalam dirinya pemikiran terhadap bentuk-bentuk universal dan kebenaran-kebenaran abadi. H ini mentransformasikan akal material atau akal potensial itu menjadi akal aktif yang semakin lama semakin aktual melalui pancaran cahaya dari aql fa’al sehingga menyamai dan dengan demikian ia memperoleh status akal mustafad (Sa’id Syaikh, Kamus filsafat Islam, terj. Machmud Husein, (Jakarta: Raja Wali Press, 1999), h. 91-92. Akal aktif juga disebut akal kesepuluh oleh al-Farabi dalam falsafah emanasi adalah Malaikat Jibril. Menurut Ibnu Sina akal ini apabila telah mencapai tingkat abstrak tertinggi dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. Akal ini juga sebagai akal terakhir dalam urutan falsafah emanasi. Akal aktif memberi “bentuk” kepada setiap benda, terus menerus melakukan kegiatan dan menimbulkan akal material (atau akal potensial) dari kondisi latinnya dengan mengaktifkan dalam dirinya pemikiran tentang bentuk-bentuk universal dan kebenaran-kebenaran abadi. Akal Aktif merupakan locus yaitu gudang sempurna dari bentuk-bentuk pengetahuan. Intelek Aktif merupakan perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Wahyu dimungkinkan apabila akal perolehan (al-„aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi bersenyawa dengan intelek aktif. (Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 40-81] [60: Ibrahim Madkour , Fi al-Falsafah al-Islamiyyah manhaj wa tathbiquh, Terj. Oleh Yudian Wahyudi (Filsafat Islam: Metode dan Penerapan), (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 92.]

An-Nubuwwah yang digambarkan oleh al-Farabi dalam berbagai manifestasi merupakan hasil interaksi antara akal dan kemampuan meniru daya imajinasi. Apa yang membuat pengetahuan an-Nubuwwah itu unik, bukan karena isi intelektualnya tapi karena itu adalah merupakan milik bersama antara ahli falsafah dan Nabi. An-Nubuwwah yang sejati adalah sebagaimana agama yang didasarkan padanya, merupakan simbolisasi atau imitasi dari kebenaran yang sama yang diketahui secara demonstratif dan intelektual dalam filsafat.

Semua Nabi menurut al-Farabi mempunyai kapasitas intelektual yang luar biasa juga memiliki daya imajinasi yang sangat peka. Daya ini memungkinkan imajinasi mereka menerima arus pancaran atau emanasi. Abstrak ma‟qulāt dari akal aktif, sebuah emanasi yang biasanya hanya dicadangkan bagi intelektual saja. Namun, karena imajinasi sesuai dengan tabiatnya, tidak boleh menerima ma‟qulāt yang abstrak. Maka Nabi memanfaatkan kemampuan atau memetik imajinasinya untuk mempresentasikan ma’qult tersebut dalam bentuk “Simbolis konkrit”. Dengan cara demikian, apa yang biasanya diperoleh hanya sebahagian kecil orang terpilih yang telah mencapai tingkat akal mustafad.

Karena menurut al-Farabi Nabi adalah orang-orang yang memiliki daya imajinasi amat kuat yang dengan imajinasi tersebut seseorang memungkinkan dapat berhubungan dengan aqal fa‟āl, baik di waktu jaga atau di waktu tidur. Dengan imajinasi, seorang Nabi sampai pada semua persepsi dan realitas yang boleh diraihnya yang nampak dalam bentuk wahyu atau mimpi yang benar.[footnoteRef:61] Sementara wahyu adalah pancaran dari Allah melalui aqal fa‟āl, ada orang mempunyai imajinasi yang amat kuat, mereka tidak berhubungan dengan aqal fa‟āl dalam keadaan tidur, kadang-kadang orang ini mengalami kesulitan dalam mengungkapkan apa yang mereka ketahui. Menurut al-Farābī orang ini adalah kelompok para wali.[footnoteRef:62] Sedangkan bagi orang awam, karena imajinasi sangat lemah maka mereka tidak boleh berhubungan dengan aqal fa‟al. [61: Al- Farabi , Ara> Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Kairo: Maktabat, Mathaba>’at Muhammad Al`, t.t)., h. 68-69 20 ] [62: Wali jamak dari kata wali adalah auliya’ berarrti orang-orang suci (Wali Allah). Walayat adalah secara etimologi adalah kuasa untuk menentukan (tasharruf) kekuatan untuk mendidik (rububiyyat) memiliki perintah (imara) dan cinta (mahabbah). Kata wali disebutkan sebanyak 46 kali dan auliya adalah 42 kali. Kata wali digunakan beberapa kali adalah untuk menggambarkan kualitas Tuhan dalam arti sebagai penyokong bagi orang-orang yang beriman. Bagi kelompok Syi’ah kata wali dibatasi penggunaannya hanya kepada Ali Bin Abi> Tha>lib dan keluarganya. Menurut At-Tirmizi walayat terdiri dari dua jenis yaitu walayat umum dimiliki oleh semua orang yang beriman, merupakan hasil dari keyakinan mereka pada satu Tuhan dan biasa disebut dengan walayat at-Tauhid. Kemudian walayat khusus yang karenanya mereka keluar dari ketidak-percayaan di mata Allah SWT. Walayat ini juga dibagi kepada dua macam yaitu aulia dan Wali Allah. Makna lain dari auliya adalah mereka yang diberi tugas (tawalla) oleh Allah, dengan membantu mereka dalam peperangan melawan empat musuh yaitu nafsu, ego, dunia dan setan. (Ibnu „Arabi, Al-Futuhat al-Makiyyah, (Kairo: tp., 1911), h. 53.]

Pembahasan masalah an-Nubuwwah ini juga dibicarakan oleh Ibnu Miskawayh bahwa semua manusia memerlukan kepada Nabi, karena Nabi sebagai sumber informasi untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan sifat-sifat terpuji, Nabi adalah pembawa ajaran suci daripada Tuhan.[footnoteRef:63] Menurut Ibnu Miskawayh, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, disebabkan pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat yang sama diperoleh juga oleh ahli falsafah. Perbedaan antara Nabi dan ahli falsafah terletak pada cara memperoleh kebenaran. Para ahli falsafah memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat kebenaran dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan.[footnoteRef:64] [63: Syarif M.M. Para Filosof Muslim, Terj Ilyas Hasan, Bandung : 1967) h. 469.] [64: Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-falsafah fi Ra’y Ibnu Rusyd wa Falsafah al-‘Ashr al-Wasith, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), h. 70.]

Penjelasan tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibn Maskawayh berusaha menghubungkan antara agama dan falsafah, sehingga keduanya mesti sesuai dan serasi karena sumber keduanya sama. Oleh karena itu, ahli falsafah adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai apa yang dibawa Nabi karena Nabi membawa ajaran yang tidak boleh ditolak oleh akal dan tidak pula bertentangan antara keduanya. Namun demikian, tidak berarti manusia tidak memerlukan Nabi karena dengan perantaraan Nabi dan wahyu manusia dapatmengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat diketahui manusia kecuali oleh para ahli falsafah. Jadi menurut Ibnu Maskawayh bahwa sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan ahli falsafah adalah sama yaitu melalui akal aktif. Pemikiran ini sejalan dengan al-Farabi bahwa kebenaran itu satu, baik pada Nabi maupun pada ahli falsafah karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal. Manusia perlu kepada Nabi untuk mengetahui perkara-perkara yang bermanfaat yang dapat membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Sedangkan menurut Zakaria al Razi Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya. Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi manusia. Kebenaran wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak merupakan mu’jizat bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti daripada membaca buku-buku agama.[footnoteRef:65] [65: Ibid., 35-36.]

Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain.[footnoteRef:66] [66: Madkour, Filsafat Islam ..., 115.]

Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradiktif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.[footnoteRef:67] [67: Ibid., 115.]

Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa dalam pandangan al-Razi, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka al-Razi dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri. Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi— dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah.[footnoteRef:68] [68: Kitab ini merupakan hasil kodifikasi perdebatan-perdebatan tajam antara Abu al-Hatim dengan al-Razi yang dihadiri oleh para ulama dan pemimpin politik. Ibid., 114.]

Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleg al-Rowandi. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.[footnoteRef:69] [69: Ibid., 114-115.]

Sebenarnya al-Rowandi rekan sezaman dengan al-Razi amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi.[footnoteRef:70] [70: Majid Fakhry, Sejarah..., 150]

Dalam hemat penulis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.

BAB III

EVOLUSI PEMIKIRAN DAN PERJALANAN INTELEKTUAL

IBN ‘ARABI.

A. Biografi Ibn ‘Ara>bi.

Syaikh Muhyi al Din Muhammad Ibnu Ali, umumnya dikenal sebagai Ibnu Arabi, dilahirkan di Murcia (sebuah kota di Spanyol Tenggara) pada tahun 560 H (1165 M). Dia dikenal di Barat sebagai Ibnu al Arabi, dan di Spanyol sebagai Ibnu Suraqa. Akan tetapi di Timur dia dikenal sebagai Ibnu Arabi tanpa “al” untuk membedakannya dengan Abu Bakar, seorang Qadi di Seville yang juga terkenal dengan sebutan Ibnu al Arabi (Husaini, 1977: 2). Ia keturunan dari suku Arab Tayy dan berasal dari keluarga yang saleh. Ayah dan kedua pamannya adalah sufi. Pada umur 8 tahun, Ibnu Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon. Di sana ia menerima pendidikan Agama Islam. Ia mengkaji al Quran dan Fiqih dari Syeikh Abu Bakar Ibnu Khalaf. Kemudian ia pindah ke Seville yang pada saat itu merupakan pusat Sufi di Spanyol, dan menetap di sana selama 30 tahun untuk mempelajari Hadist dan Ilmu Kalam serta Fiqih. Kemudian ia mengunjungi Kordova, di sana ia bersahabat erat dengan Ibnu Rusyd (Affifi, 1989: 92). Kemudian mengunjungi Tunisia pada tahun 1194 M, ia masuk aliran Sufi (Nasution, 1973: 92). Di Tunisia, Ibnu Arabi mempelajari karya Ibnu Qoyi Khal’an-Na’layn, sebuah buku yang menurut Ibnu Khaldun seharusnya dibakar atau dicuci bersih gagasannya yang bid’ah (Schimmel, 1986: 272).

Ibnu Arabi mempelajari karya-karya Ibnu Masarra dari Kordova yang membahas tentang cahaya yang menyucikan. Pada abad ke 13 H/ 19 M, nama Ibn ‘Arabi> terbang ke Barat. Di mula dengan terjemahan terhadap buku-buku karyanya, selesainya terjemahan kitab “Risa>lah Al-Ahadiyah” -yang diduga ditulis Ibn ‘Arabi>-, dalam bahasa Inggris dan Perancis, merupakan awal persentuhan namanya dengan dunia Barat. Kemudian Orientalis asal Isbania, Miguel Asin Palacios melakukan terjemahan terhad