SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

373

Click here to load reader

Transcript of SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Page 1: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

UNIVERSITAS INDONESIA

SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA

DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL

DISERTASI

TOTON WITONO 0906 507 204

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPOK, JULI 2015

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 2: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

UNIVERSITAS INDONESIA

SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA

DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial

TOTON WITONO 0906 507 204

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPOK, JULI 2015

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 3: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

ii

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 4: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber, baik yang dikutip maupun

yang dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Toton Witono

NPM : 0906 507 204

Tanda Tangan :

Tanggal : 25 Juli 2015

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 5: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

iv

Untuk:

� Bapakku, alm. H. Mamat Muhammad. Allâh yaghfir...

Gelar Doktor ini ternyata tidak mampu saya peroleh dalam 4 tahun.

Mohon maaf atas keterlambatan ini.

� Putraku, alm. Sahih Maulana Witono, yang pernah datang,

dan kemudian kembali.

Allâh yarham...

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 6: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

v

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 7: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

vi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 8: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

vii

KATA PENGANTAR

Ketertarikan saya untuk mengkaji lebih jauh bagaimana agama dilibatkan dan diperlakukan dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial membawa saya ke penelitian tentang spiritualitas. Proses interaksi dan konsultasi yang cukup panjang, tidak saja dengan pembimbing, tetapi juga dengan para pengajar dan penguji, mengantarkan saya pada kajian tentang spiritualitas para praktisi kesejahteraan sosial dan klien lansia, terutama dalam bingkai disiplin ilmu pekerjaan sosial. Bagi saya, mengkaji spiritualitas dalam domain ini adalah ibarat sebuah pengembaraan (journey) yang serba tidak pasti ke mana arahnya dan tidak diketahui di mana muaranya. Teori-teori yang dicoba dikonstruksi di sini tidak dipretensikan sebagai sesuatu yang final. Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi dan klien dari segi pandangan dunia mereka, kepercayaan, keyakinan, nilai, sikap, tindakan, dan lain-lain. Penelitian ini berupaya menggali: (i) bagaimana para praktisi memahami spiritualitas; (ii) bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam interaksi mereka dengan klien lansia; (iii) bagaimana pula spiritualitas dihayati oleh klien; dan (iv) bagaimana pengalaman hidup dihadapi lansia. Berdasarkan berbagai perspektif yang akan tergali dari kedua kelompok informan tersebut, penelitian ini kemudian berupaya untuk: (v) mengonstruksi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang khas untuk masyarakat Indonesia; dan (vi) menentukan komponen-komponen spiritual yang relevan bagi kesehatan jiwa lansia. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 orang informan yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia yang tinggal di panti maupun yang memperoleh layanan home care. Pengelolaan data dan hasil coding menggunakan program software NVivo yang mempermudah akses untuk proses analisis. Dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para praktisi memiliki pandangan dan praktik spiritualitas baik yang berasal dari agama maupun non-agama. Namun, spiritualitas mereka tidak dipahami, tidak pula didefinisikan oleh mereka sendiri, dan spiritualitas tersebut tersusun dari beberapa kategori: afiliasi dan praktik agama, keyakinan dan nilai, penemuan makna dan hikmah di balik musibah, dan sejumlah komponen lain. Spiritualitas yang dihayati (living spirituality) seperti itu sejatinya dipraktikkan dalam keseharian dan ketika berinteraksi dengan klien, meskipun mereka mungkin menggunakannya tidak secara eksplisit dan sadar. Dalam interaksi, spiritualitas mereka terejawantahkan dalam motivasi melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual. Klien lansia juga memiliki sisi-sisi spiritual yang sebagian terekspresikan melalui cara mereka mempersepsikan dan merespons pengalaman hidup atau penderitaan. Penelitian ini mengonstruksi sejumlah kategori yang mencerminkan spiritualitas lansia sebagai berikut: keberagamaan, relasi dan keterhubungan, harapan dan kecemasan, tugas atau kebutuhan spiritual (spiritual tasks), persoalan eksistensial, persepsi tentang penderitaan, dan responsnya. Sejumlah tema dalam kategori-kategori ini bisa menjadi komponen spiritual yang dinilai penting bagi kondisi kesehatan mental lansia. Selanjutnya, living spirituality menurut praktisi punya peran penting sebagai inti dari model pelayanan sosial bagi kesehatan mental lansia berbasis spiritual.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 9: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

viii

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 10: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Al-hamd li-llâh rabb-il-‘âlamîn ‘alâ kulli hâl wa ni’mah. Shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlih wa shahbih. Penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa kontribusi banyak pihak. Semoga Allah membalas dan melipatgandakan setiap kebaikan yang telah diberikan. Melalui kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D. selaku promotor yang dengan sabar dan telaten mengarahkan saya sejak wawancara masuk kuliah, menjadi pembimbing akademik, masa kuliah, konsultasi proposal, dan menjadi promotor penelitian saya hingga selesai.

2. Prof. Adi Fahrudin, Ph.D. selaku ko-promotor yang telah menginspirasi saya mengambil isu penelitian yang penting ini dan, kemudian, sudi menjadi pembimbing yang sering memotivasi saya untuk berpikir sederhana dan bertindak cepat dan taktis baik dalam penelitian dan penulisan maupun penyelesaian akhir.

3. Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc. selaku ketua sidang promosi dan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. selaku ketua sidang pada tahap pra-promosi.

4. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. atas ilmu, bimbingan, wisdom, dan masukan berharga sejak wawancara masuk kuliah, masa kuliah, konsultasi proposal, dan hampir seluruh tahapan penelitian-penyusunan disertasi ini. Penelitian tingkat doktoral memang tidak lagi pada tahap bagaimana memahami atau mengaplikasikan teori, namun pada bagaimana mengembangkan atau menghasilkan teori dan berpikir di tataran filosofis.

5. Prof. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D. atas ilmu, bimbingan, dan masukan berharga sejak masa kuliah, penyusunan proposal, hingga serangkaian tahapan ujian/sidang sampai selesai. Berbagai referensi metodologi penelitian yang beliau tawarkan sangat membantu saya dalam upaya memahami alur penelitian ini.

6. Prof. Dr. (Romo) Mudji Sutrisno, SJ. yang telah terlibat sejak tahap ujian proposal hingga promosi. Terima kasih atas ilmu, kebaikan, saran, dan perspektif filosofis yang selalu menekankan hal-hal yang lebih esensial ketimbang formal-prosedural.

7. Dr. Jajang Gunawijaya, M.Si. atas tradisi Antropologi dan perspektif budaya yang seharusnya ditawarkan dan ditekankan sejak awal penelitian ini.

8. Dr. Elizabeth Endang P., M.Si. yang telah memberi masukan penting terkait kesehatan mental dan ragam perspektif spiritualitas.

9. Para pengajar program Doktoral Ilmu Kesejahateraan Sosial FISIP UI. Prof. Martha Haffey yang sempat menyediakan waktu untuk konsultasi pada saat penyusunan proposal, sehingga turut menentukan arah penelitian ini. Pak Bagus Aryo, Ph.D. atas masukan berharga dan referensi tambahan pada saat seminar proposal.

10. Pihak jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Pak Arif Wibowo, M.Hum. yang tidak saja tekun mengoreksi cara penulisan, tetapi juga sangat membantu dalam serangkaian tahap ujian/sidang. Pak Cece, mbak Valen, mas Tinton,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 11: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

x

dan seluruh staf jurusan yang telah banyak membantu selama masa kuliah dan proses penyelesaian studi.

11. Mantan kepala BBPPKS Padang, Drs. Dahnil Amry, M.Si., yang telah memberi izin untuk mengambil Tugas Belajar (TB). Kepala BBPPKS Regional I Sumatera saat ini, Drs. Manggana Lubis, M.Si., beserta sejumlah pegawainya yang rajin menyurati dan menelepon agar saya tidak lupa dan secepatnya balik ke kantor.

12. Dr. Agus Widiatmo, yang telah meluluskan saya untuk mengambil TB dan atas kebaikan dan perhatiannya. Pak Kanita, M.Si. atas perhatian, pengertian, dan bantuannya, terutama pada tahap penyelesaian TB.

13. Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial dan Kabag Program (yang telah silih berganti) beserta stafnya atas perhatian, pembinaan, dan biaya kuliah selama saya berstatus mahasiswa TB.

14. Teman-teman angkatan atas kebersamaan (urut abjad: pak Abu, bu Maria Ulfah, pak Masduki, mas Nur, Risna, mbak Sari, bu Siti Fauziah, bu Susi, pak Syahganda, bu Tini, bu Tri, & Widi) dan juga kakak-adik angkatan yang seringkali saling membantu.

15. Gate keepers dan seluruh informan penelitian (terutama simbah-simbah, oma, dan engkong) atas bantuan, doa, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

16. Istri tercinta, Widiyanti SL., atas dukungan, pengertian, kesabaran, dan doa yang telah diberikan sehingga saya mampu menuntaskan studi. Tak lupa dua putraku tercinta, Aidan & alm. Sahih, yang menjadi sumber semangat saya.

17. Keluarga (ibu & alm. bapak, ibu & bapak mertua, semua kakak-adik dan ipar, termasuk alm. Kang Ade, dan semua ponakan) atas dukungan dan doa. Untuk semua keluargaku, khususnya ibu, semoga selalu diberi kesehatan, umur panjang, dan hidup barokah.

18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan di sini, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, atas kontribusi yang tampak maupun tidak namun sangat berarti.

Akhirnya, saya sangat berharap penelitian ini dapat memberi banyak manfaat, khususnya untuk penelitian dan pengembangan profesi pemberian pertolongan bagi para pemerlu dalam rangka mewujudkan kondisi sejahtera dan kualitas hidup yang lebih baik. Âmîn yâ rabb-al-‘âlamîn....

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 12: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Toton Witono

NPM : 0906 507 204

Program Studi : Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial

Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis karya : Disertasi,

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 25 Juli 2015

Yang menyatakan

(Toton Witono)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 13: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xii

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 14: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xiii

ABSTRAK

Nama : Toton Witono

Program studi : Program Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul : Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial

Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi kesejahteraan sosial dan klien. Interaksi melibatkan banyak aspek, termasuk spiritualitas, maka penelitian ini menggali pemahaman spiritualitas praktisi dan praktiknya dalam pelayanan, bagaimana spiritualitas dihayati lansia, dan bagaimana lansia menghadapi penderitaan. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 informan praktisi dan klien dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen. Proses coding menggunakan NVivo untuk mempermudah analisis. Hasil penelitian menunjukkan spiritualitas praktisi dihayati dan diekspresikan dalam berbagai komponen dan dipraktikkan ketika berinteraksi dengan klien. Spiritualitas lansia juga tercermin dalam sejumlah kategori yang punya peran penting menjaga kesehatan mental ketika menghadapi penderitaan hidup.

Kata kunci: Spiritualitas, praktisi kesejahteraan sosial, lansia, dan kesehatan mental

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 15: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xiv

ABSTRACT

Name : Toton Witono

Study program : Doctoral Program, Department of Social Welfare

Title : Spirituality for the Elderly Mental Health in the Context of Social Service

Service quality for elderly mental health is influenced by interaction between practitioners and clients. The interaction involves spirituality, so this study explores practitioners’ understanding of spirituality and its implementation in service, how the elders live spirituality, and how they cope with sufferings. This qualitative study recruited 20 informants explored through interview, observation, and document review. NVivo software was used to organize coding results for analysis process. This study finds that practitioners’ spirituality is lived and expressed in various components that is used in interaction. The elders have also spiritual sides echoed through some categories having contributions to their mental health. Key words: Spirituality, social welfare practitioners, the elderly, and mental health

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 16: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i

PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................. vii

UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................................ ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS .................................. xi

ABSTRAK ................................................................................................................... xiii

ABSTRACT ................................................................................................................... xiv

DAFTAR ISI ................................................................................................................ xv

DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xx

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xxi

1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah .......................................................................................... 14

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 17

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 17

1.5 Sistematika Penulisan ....................................................................................... 19

2. TINJAUAN LITERATUR ................................................................................... 21

2.1 Lansia dan Teori Perkembangan Manusia ........................................................ 22

2.2 Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia ..................................................... 26

2.2.1 Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait ......................................... 27 2.2.2 Kualitas Hidup Lansia............................................................................ 31

2.3 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 34

2.3.1 Death Anxiety ......................................................................................... 36

2.3.2 Grief dan Bereavement .......................................................................... 37

2.3.3 Neurosis ................................................................................................. 39

2.4 Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia .................................................. 41

2.4.1 Model Penanganan Lansia Indonesia ..................................................... 41

2.4.2 Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial ............................ 43

2.4.3 Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional .......................................... 47

2.4.4 Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik .................................................... 48

2.5 Spiritualitas dan Agama .................................................................................... 52

2.5.1 Spiritualitas ........................................................................................... 52

2.5.2 Agama ................................................................................................... 57

2.5.3 Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama .............................. 59

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 17: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xvi

2.6 Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial.................................................................. 62

2.6.1 Definisi dan Komponen Spiritualitas ...................................................... 62

2.6.2 Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia .................................... 69

2.6.3 Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas ....................................... 77

2.6.3.1 Asesmen berbasis spiritualitas ........................................................... 77

2.6.3.2 Intervensi berbasis spiritualitas ......................................................... 80

2.6.4 Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial............................................ 84

2.6.4.1 Perspektif eksistensial-humanis ......................................................... 85

2.6.4.2 Perspektif transpersonal ..................................................................... 93

3. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 97

3.1 Pendekatan dan Paradigma Penelitian ............................................................... 97

3.2 Grounded Theory ............................................................................................... 99

3.3 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ........................................................ 102

3.3.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 102

3.3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 104

3.4 Informan Penelitian ........................................................................................... 104

3.4.1 Pemilihan Informan ................................................................................ 104

3.4.2 Deskripsi Informan ................................................................................. 107

3.5 Pengumpulan Data ............................................................................................. 109

3.5.1 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 110

3.5.2 Proses Wawancara .................................................................................. 111

3.6 Analisis Data ..................................................................................................... 114

3.6.1 Teknik Analsis Data ............................................................................... 114

3.6.2 Proses Analisis Grounded Theory .......................................................... 118

3.7 Mutu Penelitian ................................................................................................. 121 3.8 Etika dan Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 123

4. SPIRITUALITAS PRAKTISI .............................................................................. 127

4.1 Pemahaman dan pengalaman Spiritualitas Praktisi ........................................... 128

4.1.1 Arti Spiritualitas ..................................................................................... 129

4.1.2 Afiliasi dan Praktik Kegamaan ............................................................... 132

4.1.3 Keyakinan dan Nilai Individu ................................................................ 134

4.1.4 “Di Balik Ujian Ada Hikmah” ............................................................... 135

4.1.5 Komponen Spiritualitas Penting Lain .................................................... 137

4.2 Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial ............................... 138

4.2.1 Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial .................................................. 139

4.2.2 Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial .................................................. 140

4.2.3 Asesmen ................................................................................................. 141

4.2.3.1 Asesmen spiritual minim ................................................................... 142

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 18: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xvii

4.2.3.2 Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin .......................... 143

4.2.3.3 Asesmen versi pendamping home care ............................................. 145

4.2.3.4 Menyinggung keagamaan klien ........................................................ 145

4.2.3.5 Pendekatan untuk menarik lansia home care .................................... 146

4.2.4 Intervensi................................................................................................ 147

4.2.4.1 Teknik-teknik intervensi ................................................................... 147

4.2.4.2 Lansia sedih atau patah semangat ..................................................... 149

4.2.4.3 Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan............... 150

4.2.4.4 Lansia bertengkar .............................................................................. 152

4.2.4.5 Intervensi yang dianggap berhasil .................................................... 152

4.2.4.6 Intervensi yang dianggap gagal ........................................................ 154

4.2.4.7 Pendekatan manusiawi atau sewajarnya ........................................... 155

4.2.4.8 Intervensi ala pendamping home care .............................................. 156

4.2.4.9 Membantu lansia menghadapi akhir hayat ....................................... 158

5. SPIRITUALITAS LANSIA ................................................................................. 163

5.1 Pengalaman Spiritualitas Lansia ....................................................................... 165

5.1.1 Keberagamaan Lansia ........................................................................... 165

5.1.1.1 Kegiatan dan afiliasi keagamaan ..................................................... 165

5.1.1.2 Keyakinan ........................................................................................ 167

5.1.2 Persoalan Eksistensial Lansia .............................................................. 170

5.1.2.1 Pandangan dan pertanyaan tentang hidup ....................................... 170

5.1.2.2 Makna dan tujuan hidup .................................................................. 171

5.1.3 Relasi dan Keterhubungan .................................................................... 172

5.1.3.1 Relasi, kedekatan, dan isolasi .......................................................... 172

5.1.3.2 Doa .................................................................................................. 178 5.1.4 Harapan dan Kecemasan ....................................................................... 181

5.1.4.1 Harapan dan semangat hidup .......................................................... 182

5.1.4.2 Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat ........................... 184

5.1.5 Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks) .................................................. 187

5.1.5.1 Merasa berperan, berguna, dan dicintai ........................................... 187

5.1.5.2 Kenangan masa lalu (reminiscence) ................................................ 189

5.1.5.3 “Mengheningkan cipta” ................................................................... 191

5.1.5.4 Memaafkan ...................................................................................... 192

5.1.5.5 Kegemaran, hobi, dan kreativitas .................................................... 193

5.2 Pengalaman Hidup dan Respons Lansia .......................................................... 194

5.2.1 Pengalaman Hidup dan Pemaknaan ..................................................... 194

5.2.1.1 Pengalaman dan penderitaan.......................................................... 194

5.2.1.2 Musibah, cobaan, atau peringatan .................................................. 197

5.2.1.3 “Ada musibah ada hikmah” ........................................................... 198

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 19: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xviii

5.2.2 Respons terhadap Penderitaan .............................................................. 199

5.2.2.1 Respons ........................................................................................... 199

5.2.2.2 Pasrah dan menerima ...................................................................... 201

5.2.2.3 Sabar dan tawakkal ......................................................................... 201

5.2.2.4 Bersyukur ....................................................................................... 202

6. MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL ............. 205

6.1 Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia ............................................. 205

6.1.1 Spiritualitas Praktisi ............................................................................... 206

6.1.1.1 Pemahaman spiritualitas .................................................................. 206

6.1.1.2 Living spirituality ............................................................................. 210

6.1.2 Praktik Pelayanan Sosial Lansia ............................................................ 212

6.1.2.1 Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial................................................................................................. 213

6.1.2.2 Asesmen spiritual ............................................................................. 215

6.1.2.3 Intervensi spiritual............................................................................ 217

6.2 Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia ........ 223

6.2.1 Tipologi Praktisi dan Lansia .................................................................. 223

6.2.1.1 Tipologi praktisi ............................................................................... 223

6.2.1.2 Tipologi lansia.................................................................................. 226

6.2.2 Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia ........................ 228

6.2.2.1 Asesmen spiritual ............................................................................. 229

6.2.2.2 Intervensi spiritual............................................................................ 232

7. KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA ...... 239

7.1 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 239 7.1.1 Perspektif Praktisi .................................................................................. 239

7.1.2 Perspektif Klien Lansia ......................................................................... 241

7.2 Respons terhadap Penderitaan ....................................................................... 242

7.3 Komponen Spiritual yang Relevan................................................................. 251

8 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ................................... 261

8.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 261

8.2 Implikasi ......................................................................................................... 265

8.2.1 Implikasi Teoretis-pengetahuan ............................................................ 265

8.2.2 Implikasi Praktis .................................................................................... 268

8.2.3 Implikasi Kebijakan ............................................................................... 272

8.3 Rekomendasi .................................................................................................. 274

DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 279

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 20: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Domain dan definisi pengalaman grief ..................................................... 39

Tabel 2.2. Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya ................................. 40

Tabel 2.3. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah ................. 41

Tabel 2.4. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing ................................................... 71

Tabel 2.5. Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing ................................ 75

Tabel 2.6. Skema asesmen spiritual ........................................................................... 80

Tabel 3.1. Timetable jadwal penelitian disertasi ........................................................ 104

Tabel 3.2. Kriteria menjadi informan dan informan penelitian ................................. 106

Tabel 3.3. Data demografi informan praktisi ............................................................. 108

Tabel 3.4. Data demografi informan klien lansia ....................................................... 109

Tabel 3.5. Inisial informan praktisi, kode wawancara, dan tanggal wawancara ........ 111

Tabel 3.6. Inisial informan lansia, kode wawancara, dan tanggal wawancara .......... 112

Tabel 5.1. Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya .......................................................................................... 195

Tabel 6.1. Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual bedasarkan tema yang muncul .............................................................................................. 218

Tabel 6.2. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual ........................ 221

Tabel 6.3. Bentuk-bentuk intervensi spiritual ............................................................ 222

Tabel 6.4. Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... 233

Tabel 6.5. Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... 237

Tabel 7.1. Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi .............................. 240 Tabel 7.2. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia ....................... 242

Tabel 7.3. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi ............. 247

Tabel 7.4. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia ............... 250

Tabel 7.5. Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia ......................... 253

Tabel 7.6. Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia ............ 255

Tabel 7.7. Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia ........................... 257

Tabel 7.8. Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia .................................... 258

Tabel 7.9. Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia ........................ 260

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 21: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kerangka alur penelitian ....................................................................... 18

Gambar 2.1. Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur ................................... 22

Gambar 2.2. Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing WHO ... 31

Gambar 2.3. Model holistik spiritualitas ................................................................... 68

Gambar 2.4. Model operasional spiritualitas ............................................................. 70

Gambar 2.5. Model the spiritual task of ageing ........................................................ 71

Gambar 2.6. Model generik spiritual tasks and process of ageing ........................... 74

Gambar 2.7. Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan di panti werdha .................. 76

Gambar 2.8. Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro ................. 95

Gambar 3.1. Proses dan hasil dalam grounded theory .............................................. 101

Gambar 3.2. Lokasi penelitian ................................................................................... 103

Gambar 3.3. Alur analisis data dengan software NVivo 7 ........................................ 120

Gambar 3.4. Output keseluruhan proses analisis coding ........................................... 121

Gambar 3.5. Seluruh tahapan analisis coding ............................................................ 122

Gambar 4.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2 ........ 128

Gambar 5.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4 ........ 164

Gambar 6.1. Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan non-normatif ............... 223

Gambar 6.2. Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan ....... 227

Gambar 6.3. Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ................ 229

Gambar 6.4. Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ..................................................................................................... 230

Gambar 6.5. Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi ...................... 236

Gambar 7.1. Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia ..... 244

Gambar 7.2. Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup .................................... 246

Gambar 7.3. Konsep relasi segi tiga doa ................................................................... 250

Gambar 8.1. Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual ....... 270

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 22: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan

Lampiran 2 Data informan

Lampiran 3 Panduan wawancara (Interview Guide)

Lampiran 4 Pernyataan persetujuan menjadi informan (Consent Form)

Lampiran 5 Panduan observasi

Lampiran 6 Matriks all nodes vs inteview informan praktisi

Lampiran 7 Matriks all nodes vs inteview informan lansia

Lampiran 8 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi

Lampiran 9 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi

Lampiran 10 Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep

Lampiran 11 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi

Lampiran 12 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia

Lampiran 13 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi

Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia

Lampiran 15 Node summary report informan praktisi

Lampiran 16 Node summary report informan lansia

Lampiran 17 Coding summary report informan praktisi

Lampiran 18 Coding summary report informan lansia

Lampiran 19 Kumpulan kutipan doa informan lansia

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 23: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

xxii

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 24: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini Indonesia sedang menghadapi isu penuaan penduduk (population

ageing) yang merupakan salah satu dampak keberhasilan pembangunan bidang

kesehatan. Dikatakan menua karena, menurut ADB (2011), kelompok usia tengah-

tengah (median) bertumbuh dan dibarengi rendahnya angka kelahiran, sehingga

struktur usia menjadi seragam. Fakta semakin naiknya angka harapan hidup juga

punya kontribusi terhadap penuaan penduduk.

Dari tahun ke tahun populasi lanjut usia (lansia) 60 tahun ke atas terus

membengkak. Hingga pertengahan abad ke-21 jumlahnya diproyeksikan berlipat dan

Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan lansia tercepat di dunia. Menurut

catatan ADB, tahun 1971 ada 5,3 juta lansia atau 4,48% dari jumlah penduduk

(Arifianto, 2006). Tiga dekade kemudian, BPS (n.d.) mencatat jumlah lansia naik

hampir tiga kali lipat menjadi 14,4 juta (7,18%). Jumlahnya terus naik merangkak

dari 16.805.294 jiwa (7,78%) pada 2005; 18.957.189 jiwa (8,42%) pada 2007;

19.318.029 jiwa (8,37%) pada 2009 (Komnas Lansia, 2010); menjadi sekitar 24 juta

jiwa (9,8%) pada 2010. Bank Dunia memrediksi jumlah lansia tahun 2025 sebesar

35,335 juta (13,04%), kemudian naik dua kali lipat pada 2050 menjadi sekitar 72,398

juta atau, menurut PBB, 71,592 juta. Angka ini tidak kurang dari seperempat jumlah

penduduk Indonesia saat itu (The World Bank, 2011; UN, 2009).

Isu penuaan dibarengi adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang

dapat berdampak buruk bagi kondisi lansia. Perubahan tersebut berupa migrasi

penduduk ke kota atau mancanegara, naiknya partisipasi perempuan dalam

pekerjaan, perubahan struktur/ukuran keluarga, dan lunturnya nilai-nilai dasar,

solidaritas, dan kohesi sosial (Noveria, 2006). Terkait perubahan struktur/ukuran

keluarga, Noveria menjelaskan ukuran keluarga semakin menyusut karena angka

kelahiran atau tingkat kesuburan menurun, sebagai satu bukti keberhasilan program

Keluarga Berencana (KB). Migrasi dan tingginya partisipasi kerja perempuan serta

kecenderungan anak yang telah menikah tinggal terpisah dari orang tua juga menjadi

sebab mengecilnya struktur keluarga luas (extended family).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 25: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

2

Perubahan-perubahan yang mengiringi penuaan penduduk dapat menyebab-

kan berkurangnya kualitas perawatan lansia (Noveria, 2006); minimnya penghasilan

tambahan atau ketiadaan jaminan hari tua (Arifianto, 2006; Noveria, 2006); dan

pudarnya sistem keluarga tradisional untuk perawatan dan dukungan finansial lansia

(Hugo, 2000). Perubahan itu, kata Hugo, menyebabkan lansia kehilangan dukungan

(loss of support) dalam pemenuhan kebutuhan.

Secara umum kondisi lansia Indonesia sama dengan Asia-Pasifik. Phillips

(2000, p. 14) mengatakan mereka terjepit di antara tiga faktor utama: kemampuan

negara yang minim; dukungan keluarga dan komunitas yang serba tidak pasti; dan

lingkungan kota/desa yang tidak ramah. Padahal, kondisi mental-emosional lansia

paling rentan terhadap berbagai faktor. Hugo (2000, p. 307) menegaskan well-being

lansia Indonesia dipengaruhi faktor-faktor yang saling mempengaruhi: penghasilan,

kondisi/pola hidup, kontak sosial, dan kesehatan fisik dan mental. Lansia juga lebih

rentan terhadap kemiskinan, ketidakmampuan atau kecacatan fisik, dan masalah-

masalah emosional lain dibanding kelompok usia yang lebih muda.

Kerentanan lansia umumnya mudah dijumpai di kota-kota besar di Indonesia.

Misalnya DKI Jakarta, dengan jumlah lansia sekitar 563.707 jiwa berdasarkan

Susenas BPS tahun 2009 (Komnas Lansia, 2010), memiliki angka persoalan lansia

yang cukup tinggi dan beragam. Secara langsung atau tidak, kondisi ini diakibatkan

atau dipicu oleh tingginya tuntutan dan tekanan hidup di ibu kota yang membuat

kaum urban tenggelam dalam rutinitas, kesibukan kerja, kemacetan lalu lintas, dan

persoalan sehari-hari. Belum lagi masalah kriminalitas, penyalahgunaan narkoba,

kebakaran, banjir, konflik antar kelompok, tawuran pelajar, kemiskinan, tindak

kekerasan, dan penelantaran yang menjadi berita keseharian.

Dalam satu seminar dikatakan penduduk Jakarta rentan mengalami gangguan

mental dan emosional seperti depresi dan perilaku agresif karena tingginya tekanan

hidup dan rendahnya kemampuan warga untuk beradaptasi terhadap perubahan

(Warga DKI, 2011). Masalah seperti itu dapat dialami semua lansia, baik yang

tinggal bersama keluarga dan komunitas maupun di panti. Sebagai contoh,

kecemasan yang dialami kebanyakan lansia luar panti di Jakarta, menurut penelitian

Favourita (1998), disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan atau hilangnya

penghasilan, ancaman penyakit, dan tindak kriminalitas. Sementara lansia panti,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 26: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

3

Universitas Indonesia

selain tidak baik bagi perkembangan psikologis, mereka merasa terbuang dan tidak

berguna dan mengalami penurunan gairah hidup (Sadli, 2002, p. 25). Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Indriana et al. (2010) di sebuah panti wredha di Semarang

bahwa sebagian besar lansia penghuni mengalami tingkat stres tinggi dengan keluhan

berat. Di antara faktornya adalah perubahan aktivitas keseharian dan hubungan

dengan keluarga, kematian pasangan, dan kematian anggota keluarga.

Beragam sebab dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi aspek psikologis,

emosional, dan tingkah laku lansia sehingga dapat mengganggu fungsi dan perannya

dalam keseharian. Kalau kondisinya seperti itu, seorang lansia dikatakan mengalami

masalah atau gangguan kesehatan mental. Menurut Kirst-Ashman (2010, p. 348),

kesehatan mental berarti baik atau sehatnya kondisi individu secara psikologis dan

emosional sehingga mampu membuat keputusan rasional, mengatasi tekanan dari

dalam dan luar, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kesehatan mental

bagi MacKinlay (2006) tidak hanya berhubungan dengan baiknya kondisi psikologis

dan emosional, tetapi juga spiritual. Bahkan bagi lansia, keberfungsian mental punya

keterkaitan sangat erat dengan keberfungsian spiritual (MacKinlay, 2006; 2004a).

Angka lansia Jakarta dengan masalah mental ringan-berat sulit diperoleh.

Namun, proyeksinya bisa didapat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Kementerian Kesehatan, data pasien, estimasi ahli, dan persentase lansia.

Riskesdas 2007 menunjukkan persentase penderita depresi dan kecemasan pada

orang dewasa di Indonesia sebesar 11,6%. Kalau jumlah orang dewasa sekitar 150

juta (Kecemasan, 2011), kurang-lebih ada 17.400.000 orang dengan gangguan

tersebut. Dengan patokan data lansia 2009, yakni 8,37% (Komnas Lansia, 2010),

angka penderita kelompok ini sebesar 1.456.380 jiwa. Jika persentase lansia di DKI

Jakarta sebesar 2,92% dari total lansia secara nasional, jumlah lansia yang

mengalami depresi dan kecemasan diperkirakan tidak kurang dari 42.526.

Angka berbeda diperoleh apabila memakai data Dinas Kesehatan DKI, yakni

ada 159.029 pasien mengalami gangguan jiwa ringan pada 2010, sementara hingga

pertengahan 2011 ada 306.621 orang (306.621 Warga, 2011). Dengan asumsi

sebaran penderita gangguan mental merata di semua kelompok usia, termasuk

kelompok lansia yang persentasenya sebesar 6,31% dari total penduduk ibu kota

pada 2009 (Komnas Lansia, 2010), jumlah minimal penderita gangguan jiwa ringan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 27: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

4

sebesar 10.035 jiwa pada 2010 dan 19.348 jiwa pada pertengahan 2011. Angka itu

semakin besar apabila memakai estimasi wakil direktur Rumah Sakit Jiwa di Jakarta

bahwa 20-30% dari penduduk perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan sampa

berat (Awas, 2008). Dengan estimasi tengah-tengah saja, yakni 25%, jumlah

penderita gangguan jiwa di Jakarta kira-kira menjadi 140.927 jiwa.

Namun demikian, angka penderita gangguan mental-emosional warga Jakarta

yang muncul serupa dengan fenomena pucuk gunung es. Jumlah sesungguhnya tentu

lebih besar lagi karena banyak penderita yang tidak melaporkan diri sehingga tidak

terpantau (Warga DKI, 2011). Banyak dari mereka atau keluarganya enggan datang

ke pengobatan karena malu atau ketiadaan biaya (Kesulitan Ekonomi, 2008). Selain

itu, proporsi lansia bisa lebih tinggi karena mereka lebih rentan menderita gangguan

mental ketimbang kelompok usia muda.

Dengan estimasi sebesar itu, hanya sebagian kecil saja yang mampu ditangani

baik oleh institusi pemerintah atau swasta. Secara nasional, lansia yang ditangani

institusi panti werda di seluruh Indonesia hanya berjumlah 3000-an, seperti

diinformasikan Direktur Bina Pelayanan Lansia Depsos (Santi, 2002). Walaupun

tidak secara khusus menangani masalah kesehatan mental lansia, informasi ini dapat

menjadi gambaran betapa terbatasnya kemampuan panti melayani lansia untuk

konteks Jakarta dan sekitarnya. Sebagian kecil lain ditangani non-institusi berbasis

keluarga atau komunitas maupun yang berbasis agama. Sebagian besar ditangani

secara mandiri dengan bergantung pada kemampuan masing-masing lansia dan

keluarga dekatnya atau bahkan dibiarkan karena dianggap masih lumrah.

Pelayanan sosial lansia di Indonesia diberikan pemerintah dan non-

pemerintah, baik secara institusi maupun non-institusional. Bentuknya cukup

beragam, seperti panti sosial, day care, home care, trauma center, posyandu lansia,

karang wredha/lansia, Pusaka (Pusat Santunan Keluarga), puskesmas ramah/santun

lansia, klinik geriatrik, dan layanan geriatri terpadu.

Pada prinsipnya, segala bentuk layanan tersebut memiliki tujuan utama

mewujudkan kesejahteraan lansia. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk ke

Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU

Kesejahteraan Lansia 1998) dan UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

(UU Kessos 2009). UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2009)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 28: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

5

Universitas Indonesia

dan UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa 2014) juga

dapat menjadi acuan dari tujuan pelayanan bagi lansia karena, seperti dalam salah

satu konsideran UU ini, kesehatan merupakan salah satu unsur dalam konsep

kesejahteraan sosial.

UU Lansia mendefinisikan kesejahteraan sebagai ”suatu tata kehidupan dan

penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa

keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi

setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan

sosial...” (Pasal 1). Definisi ini kurang-lebih mengacu ke UU No. 6 tahun 1974

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang telah diganti oleh

UU Kessos 2009. Dalam UU yang baru ini, kesejahteraan sosial adalah “kondisi

terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup

layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi

sosialnya” (Pasal 1). Sementara, pelayanan mewujudkan kesehatan lansia merujuk ke

UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya kesehatan diartikan sebagai

“keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

Dari beberapa definisi tersebut, kesejahteraan sosial mengacu ke suatu kondisi

baik atau terpenuhinya kebutuhan fisik, spiritual atau rohani, dan sosial. UU

Kesehatan bahkan menambahkan aspek mental. Akan tetapi aspek spiritual

seringkali tenggelam karena dominasi model pendekatan medikal dan psikososial

yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis, psikologis, dan sosial. Aspek ini juga

terkadang disebut secara bergantian atau beriringan dengan aspek mental dan/atau

psikologis. Dengan demikian, pemahaman aspek ini tampak ambigu karena terkesan

punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis.

Di samping itu, aspek spiritual juga terkadang disilihgantikan dengan religius.

Sebagai contoh, dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di

Panti Tresna Werdha, isu spiritualitas dibahas dalam “perspektif biopsikososial-

religius” (p. 7). Dimensi religius dimaknai seputar keyakinan akan Tuhan, harapan

hidup, “falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat

hidup,... dan ketegaran iman” ketika mendapat cobaan (p. 15). Uraian dari apa yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 29: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

6

dianggap dimensi religius adalah bagian dari spiritualitas. Menurut salah satu

penyusun pedoman ini, dimensi religius di situ sebenarnya memang merujuk ke

spiritual. Namun, pemakaian kata spiritual dikhawatirkan akan dipahami lain, seperti

hal-hal ghaib, makhluk supranatural, kebatinan, dan semacamnya. Akhirnya, setelah

melalui perdebatan para penyusun cenderung memilih kata religius.

Hal penting yang menjadi fokus di sini adalah masuknya aspek spiritual dalam

definisi kesejahteraan sosial dan kesehatan. Aspek ini menjadi salah satu dimensi

penting yang harus diperhatikan ketika menentukan apakah lansia telah mencapai

kondisi sejahtera dan sehat. Di samping kondisi ini, spiritualitas juga memiliki kaitan

erat dengan konsep kebahagiaan, well-being, dan kualitas hidup (quality of life).

Pentingnya melibatkan spiritualitas dalam pelayanan sosial tidak saja karena

aspek penting ini telah diamanatkan UU, namun juga karena sejumlah alasan yang

sebagian dijelaskan di sini. Pertama, pekerjaan sosial memiliki karakteristik sangat

menekankan pemanfaatan kekuatan dan potensi yang ada pada diri klien, keluarga,

atau komunitas. Cowger dan Snively (2008), misalnya, lebih memilih menggunakan

asesmen berbasis kekuatan ketimbang model praktik kekurangan (model defisit).

Menurutnya, asesmen kekuatan membuat relasi kuasa seimbang antara pekerja sosial

dan penerima manfaat. Asesmen kekuatan berarti mengakui kemampuan klien

(Cowger & Snively, 2008, p. 107). Di antara tujuannya adalah mengidentifikasi

kekuatan yang sebelumnya tidak terpikir dan memilih hal-hal positif yang

mendukung penyelesaian masalah (Cowger & Snively, 2008, p. 112). Dalam hal ini,

kekuatan dan hal positif yang dimaksud berupa spiritualitas dan keagamaan mereka.

Gotterer (2001) juga menganggap bahwa spiritualitas adalah bagian dari kekuatan

klien. Ia menyarankan pekerja sosial agar selalu menyesuaikan diri dengan klien

bagaimanapun keadaan mereka (“meet the clients where they are”) (p. 192).

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, gangguan mental beserta

penyembuhannya sangat terkait erat dengan sistem keyakinan yang sangat

dipengaruhi agama dan kultur setempat. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi para

penderita gangguan mental-emosional, tetapi juga bagi para praktisi penyembuhan

alternatif yang meyakini bahwa sumber gangguan mental berasal dari sesuatu yang

bersifat spiritual atau supranatural, sehingga proses penyembuhannya pun mesti

dengan jalan spiritual dan keagamaan. Hal ini sama halnya dengan apa yang pernah

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 30: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

7

Universitas Indonesia

dinyatakan beberapa akademisi dan praktisi seperti dikutip Nelson (2009) bahwa

masyarakat tradisional Muslim pada umumnya meyakini gangguan kesehatan mental

sebagai akibat dari masalah spiritual atau lemahnya iman si penderita, sehingga

mereka lebih memilih datang ke pemimpin spiritual atau imam mereka. Di samping

itu, mereka juga punya pandangan negatif terhadap psikologi dan sistem kesehatan

mental karena stigma negatif yang akan dilekatkan ke penderita gangguan mental

dan juga kekhawatiran kalau pandangan religius mereka tidak akan dihargai.

Kedua, saat ini muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik pekerjaan

sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang lebih holistik. Pekerjaan

sosial konvensional seringkali hanya fokus pada tiga aspek utama, khususnya pada

tahap asesmen dan intervensi, yaitu fisik, mental, dan sosial atau biasa disebut

biopsikososial. Sebagian hanya menekankan dua aspek, yaitu psikososial. Menurut

Turner (2008), terapi psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam

pekerjaan sosial. Meskipun banyak ahli menganggap terapi psikososial telah

ketinggalan zaman, “ia akan terus menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial

kontemporer,” kata Turner (2008, p. 174). Menurut Huguelet dan Koenig (2009),

model semacam ini bersifat reduksionistik, karena tidak melihat keseluruhan aspek

dalam diri manusia secara utuh ketika mendefinisikan seperti apa keberadaan

manusia yang baik atau sejahtera itu. WHO pun telah memasukkan aspek spiritual

bersama aspek-aspek penting manusia lain sejak lama. Menurut badan PBB ini,

kesehatan adalah “sebuah kondisi optimalnya kesehatan jasmani, intelektual,

emosional, sosial, dan spiritual dan tidak hanya hilangnya penyakit atau kelemahan”

(Meier, O’Connor, & vanKatwyk, 2005, p. 1).

Spiritualitas adalah satu dari beberapa dimensi manusia dan menjadi salah

satu faktor yang dipertimbangkan para teoretisi dan praktisi dalam memahami dan

memenuhi kesejahteraan manusia (human well-being). Sebelumnya, telah sekian

lama human well-being hanya dilihat dari pemenuhan terhadap keberfungsian tiga

aspek utama, yaitu fisik (bio), kejiwaan (psycho), dan sosial (social). Dalam

pekerjaan sosial konvensional atau tradisional, ketiga aspek itu biasa disebut sebagai

model biopsikososial. Hal ini pula yang menjadi tujuan utama penelitian disertasi

yang dilakukan Canda (1986) bahwa pekerjaan sosial perlu membangun sebuah

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 31: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

8

konsep kemanusiaan yang lebih holistik, tidak sekadar pandangan positivistik yang

sempit tentang manusia.

Ketiga, sebagian besar kode etik terbaru telah memasukkan unsur agama dan

sebagian juga spiritual sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki pekerja

sosial profesional. Kode etik NASW (National Association of Social Workers) di

Amerika Serikat, sebagai contoh, telah menekankan dimensi agama bersama 12

dimensi lain terkait kompetensi kultural dan keragaman sosial (cultural competence

and social diversity) yang harus dimiliki pekerja sosial sebagai tanggung jawab

etisnya terhadap klien (NASW, 2008). Namun, seperti dinyatakan juga oleh Kirst-

Ashman dan Hull, Jr. (2006), NASW belum menyebutkan dimensi spiritual secara

eksplisit dalam tanggung jawab etis pekerja sosial. Selain itu, agama yang sudah

disebut dalam NASW juga belum dirinci.

Tidak puas dengan hanya memasukkan agama dan tanpa penjelasan memadai

tentang agama tersebut mendorong Mattison dan koleganya, seperti dikutip Kirst-

Ashman dan Hull, Jr. (2006, p. 376-77), untuk menyerukan dua perubahan di level

makro dalam pembuatan panduan bagi pekerja sosial di wilayah spiritualitas.

Pertama, kode etik NASW harus dibuat lebih spesifik tentang bagaimana isu-isu

spiritualitas dan agama dijalankan. Isu-isu mengenai apakah asesmen terhadap

agama dan spiritualitas perlu dikerjakan secara rutin oleh pekerja sosial, harus

ditelaah. Perlu juga disusun standar tentang bagaimana melakukan asesmen dan

intervensi serta apakah pekerja sosial menginisiasi terlebih dahulu dalam interaksi

keduanya ataukah menunggu sampai klien sendiri yang menyinggungnya. Kedua,

pekerjaan sosial harus menjawab pertanyaan sampai sejauh mana profesi ini

memperkenalkan atau mengajarkan agama dan spiritualitas dalam pendidikan dan

pelatihan profesional, sehingga pekerja sosial akan lebih kompeten.

Di Indonesia, satu-satunya kode etik bagi para pekerja sosialnya telah dibuat

oleh Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) tahun 1998. Sebagai

catatan, kode etik IPSPI ini tampaknya terlalu banyak mengambil, kalau bukan

menerjemahkan, kode etik pekerja sosial Amerika Serikat. Seperti disimpulkan

Suradika dan Maskun (2005, p. 82-83) dalam hasil penelaahannya, kode etik IPSPI

memiliki kesamaan hingga 67,86% dengan kode etik Amerika Serikat; 17,86%

dikatakan sama secara substansial yang hanya berbeda dari sisi redaksional; dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 32: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

9

Universitas Indonesia

2,38%-nya adalah hasil adopsi. Bahkan ada 1,19% isi pasal yang diambil dari

Amerika Serikat menimbulkan pengertian kurang positif untuk konteks Indonesia.

Berbeda dengan NASW, kode etik IPSPI (1998) sama sekali tidak menyebut

secara eksplisit kata agama, apalagi spiritualitas. Padahal masyarakat dimana para

profesionalnya memberikan pertolongan adalah masyarakat yang ber-Ketuhanan

Yang Maha Esa, yang kental secara religius. Paling jauh, kode etik ini mendorong

agar pekerja sosial profesional “punya rasa hormat terhadap keanekaragaman budaya

bangsa” (Pasal 16). Agama dan spiritualitas memang bisa dimasukkan dalam aspek

budaya. Namun, tentu saja hal ini masih jauh dari cukup, seperti halnya Mattison dan

koleganya, sebagaimana dipetik Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006), yang masih

menyerukan untuk merinci aspek agama yang telah disebut kode etik NASW. Selain

itu, untuk sekadar menghormati keragaman budaya adalah berbeda dengan kompeten

secara kultural atau sensitif secara spiritual dan agama.

Keempat, dalam bidang pendidikan dan pelatihan, pekerjaan sosial yang

sensitif secara agama dan spiritualitas belum menjadi prioritas. Kurikulum yang

diajarkan di perguruan tinggi pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial juga belum

memperkenalkan spiritualitas dan agama secara lebih spesifik, baik di tingkat

diploma (IV) atau sarjana (S-1) maupun pendidikan spesialis (Sp.) atau Master dan

Doktoral yang baru ada di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran. Di

beberapa negara di Barat saja, pendidikan pekerjaan sosial untuk program master

(Master of Social Work atau MSW.), pengetahuan tentang spiritualitas dan agama

termasuk dalam kurikulum yang wajib diajarkan. Menurut Canda, Nakashima, dan

Furman (2004), ada 50 lebih perguruan tinggi yang menawarkan mata kuliah tentang

spiritualitas untuk MSW. Sebagai contoh, Massey University di New Zealand,

seperti pada lampiran paper Suharto (2006) dalam sebuah workshop, memasukkan

mata kuliah Spirituality and Social Work dalam program MSW.

Meskipun begitu, beberapa waktu yang lalu Ikatan Pendidikan Pekerjaan

Sosial Indonesia (IPPSI) mulai memasukkan nilai-nilai spiritualitas dan keragaman

(dalam hal ini religi) sebagai kompetensi utama. Akan tetapi, wujudnya dalam

kurikulum hanya sejauh “praktik pekerjaan sosial dalam masyarakat multikultur.”

Sementara itu, CSWE sebenarnya juga hampir sama dalam menggariskan sandar

kurikulum dan pedoman akreditasi pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Unsur agama

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 33: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

10

dan spiritualitas termasuk dalam kompetensi kurikulum yang menjadi dasar

pengembangan kurikulum (CSWE, 2008).

Begitu pula dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan

oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial sebagai induk semang profesi

pekerja sosial, kurikulum tentang agama dan spiritualitas dalam pekerjaan sosial

tidak ada. STKS Bandung sebagai sayap pengembangan keilmuan dan praktik

pekerjaan sosial seakan-akan menjadi kiblat akademik bagi penyelenggaraan diklat

di bawah Kementerian Sosial yakni Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan

Sosial (Pusdiklat) yang ada di Jakarta dan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan

Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) yang ada di Padang, Bandung, Banjarmasin,

Makasar, dan Jayapura, di samping beberapa penyelenggara diklat lain milik

pemerintah daerah seperti Medan dan Malang.

Kelima, kalaupun agama dan spiritualitas tidak termasuk dalam kurikulum

tersendiri dan dalam kode etik profesi, kedua aspek ini tetap penting diajarkan dalam

kerangka kompetensi kultural yang harus dimiliki pekerja sosial profesional.

Alasannya, spiritualitas dan agama bisa dimasukkan dalam lingkup budaya atau

kultural. Menurut Gray, Coates, dan Bird (2008), kultur punya posisi sentral bagi

pekerjaan sosial, dan aspek yang paling dekat dengan kultur adalah spiritualitas dan

agama. “Spiritualitas sangatlah penting bagi kehidupan semua kultur yang dianggap

aneh bagi pekerjaan sosial profesional yang berkarakter sekuler” (Gray, Coates, &

Bird, 2008, p. 9). Dengan demikian, pekerja sosial yang memiliki kompetensi atau

sensitivitas kultural berarti dia harus kompeten atau sensitif secara spiritual dan

agama pula. Dalam istilah Sheridan (2008, p. 278), “pekerjaan sosial yang sensitif

secara spiritual” adalah bentuk perkembangan dari “pekerjaan sosial yang sensitif

secara kebudayaan” atau termasuk dalam wujud “berkompeten secara kebudayaan.”

Kultur yang dimaksud di sini dapat merujuk ke definisi menurut Henry et al.

(1995) yang dikutip oleh Al-Krenawi dan Graham (2009, p. 9) yakni “keseluruhan

ide, kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan cara hidup sekelompok orang yang

memiliki kesamaan latar belakang sejarah, agama, ras, bahasa, etnis, atau sosial.”

Antropolog Clifford Geertz menjelaskan enam faset pokok kultur bahwa: (1) kultur

terkonstruk menurut sejarah dan sosial; (2) orang mencerna atau memahami diri

mereka sendiri menggunakan konsep dan struktur simbolik lain yang sudah ada; (3)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 34: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

11

Universitas Indonesia

orang membangun teori pikiran untuk memahami orang lain, yaitu teori bagaimana

pikiran bekerja; (4) orang punya keyakinan tentang dunia dan mereke bertindak

berdasarkan keyakinan tersebut; (5) orang terlibat untuk melakukan tindakan

bermakna; dan (6) kultur bersifat subjektif dan melibatkan pikiran dan imajinasi (Al-

Krenawi & Graham, 2009, p. 9). Dari dua definisi ini tampak bahwa spiritualitas dan

agama merupakan bagian penting dari kultur.

Keenam, pekerjaan sosial adalah bidang ilmu yang sangat kontekstual.

Artinya, teori dan metodenya terbentuk dan dipengaruhi oleh tatanan dan konteks

sosial dimana ia tumbuh (Payne, 2005). Asal mula profesi ini muncul dan berakar

dari tradisi Judeo-Kristiani masyarakat Barat, akan tetapi teori dan metodenya

kemudian berkembang secara sekuler. Model pekerjaan sosial yang sekuler inilah

yang diekspor ke Indonesia. Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki dasar

sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tradisi dan aktivitas masyarakatnya tidak bisa lepas

dari spiritualitas dan keagamaan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaann apabila

tardisi pekerjaan sosial yang dibangun harus merupakan produk dari konstruksi

masyarakatnya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sensitif secara spiritual

maupun agama, khususnya dalam penanganan kesehatan mental untuk lansia.

Di samping enam alasan penting yang telah diuraikan di atas, sejumlah

literatur dari berbagai profesi pemberian pertolongan, seperti pekerjaan sosial,

gerontologi, psikologi, psikiatri, pelayanan teologi/pastoral, keperawatan, konseling,

dan bahkan kedokteran, membahas pentingnya spiritualitas dalam kehidupan kaum

lansia. Semakin menua berarti semakin dekat pada kematian sehingga membuat

orang ingin mendapatkan jawaban tentang apa tujuan dan makna hidup ini. Pada

intinya, teori dan penelitian semakin menunjukkan keterkaitan antara pertanyaan-

pertanyaan spiritual seperti itu dengan penuaan (Murdock, 2005).

Menurut teori psikologi dan gerontologi, aktivitas spiritual seseorang semakin

naik seiring bertambah kedewasaan dan usia, khususnya pada tahap perkembangan

akhir (Lavretsky, 2010, p. 750). Contohnya teori perkembangan Erik Erikson yang

memandang spiritualitas lansia akan meningkat seiring datangnya penyakit, rasa

terasing, dan kecemasan akan kematian, sehingga mereka berupaya memaknai hidup,

menemukan inspirasi, atau memperoleh dukungan sosial melalui komunitas agama

(Nelson-Becker & Canda, 2008, p. 180; Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 252).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 35: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

12

Sejumlah besar penelitian tentang lansia di Barat telah membuktikan betapa

spiritualitas dan agama sangat penting bagi kelompok ini. Hasil eksplorasi Moberg

(2005) terhadap berbagai penelitian menunjukkan konsistensi hubungan tersebut.

Katanya, penelitian survei dan jajak pendapat sejak dekade 1930-an menghasilkan

temuan bahwa tingkat spiritualitas dan religiusitas tertinggi ditunjukkan kelompok

lansia 65 ke atas. Selain itu, lansia yang lebih spiritual dan religius berusia lebih

panjang ketimbang kelompok lansia lain (p. 15). Lebih jauh Moberg et al. (2001),

seperti dikutip Bookman dan Kimbrel (2011), menyatakan bahwa untuk menjaga

kondisi fisik dan mental lansia tetap sehat dan berusia panjang, pemenuhan

kebutuhan spiritual lansia sangatlah penting (p. 123).

Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012, p. 406) turut menegaskan bahwa kondisi

psikologis, keberfungsian sosial, kemampuan mengatasi stres, dan seluruh kualitas

hidup lansia dipengaruhi aktivitas agama dan spiritual yang mereka lakukan. Apalagi

kondisi kesehatan dan penyakit yang terkait keyakinan, keyakinan spiritual dan

pandangan agama sangatlah menentukan. Mereka mengutip contoh dari Gorder dan

Ellor (2008) bahwa kebanyakan Muslim berkeyakinan sehat atau sakit merupakan

ketentuan dan tanggung jawab Tuhan. Ketika sakit, itu adalah ujian dari Tuhan atas

keimanan mereka bahkan dianggap sebagai jalan untuk menguatkan kesabaran.

Nelson-Becker dan Canda (2008) menelusuri penelitian tentang lansia baru

muncul pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an, namun masih terbatas.

Topik yang dikaji di antaranya meliputi aspek spiritual dan agama pada tahap akhir

hidup, kehilangan (loss), kematian (death), dan hospice. Sampai saat ini kajian

spiritualitas dan agama lansia berkembang pesat. Tema kajian meliputi isu kesehatan,

mekanisme coping, asesmen dan direct practice, proses perkembangan menuju

kematian, kesehatan mental, pedoman etis, kolaborasi dengan komunitas gereja, dan

sedekah. Tema penelitian seperti itu masih muncul hingga saat ini terutama tentang

loss, death, proses kematian (dying), dan responsnya. Meskipun begitu, Mathews

(2009, p.57) berpendapat kajian spiritualitas dalam pelayanan lansia tidak lebih

berkembang dibanding bidang kesehatan mental dan perawatan paliatif, namun

masih lebih baik ketimbang kajian serupa dalam disabilitas dan kelompok rentan.

Spiritualitas dalam bidang kesehatan mental banyak dikaji dalam berbagai

literatur. Hasil eksplorasi Swinton dan Kettles (2001) terhadap sejumlah hasil kajian

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 36: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

13

Universitas Indonesia

menunjukkan aspek-aspek spiritual dan agama punya kaitan erat dengan kondisi

kesehatan mental yang baik. Sebagai contoh, Ellison dan Levin (1998) dalam

Swinton dan Kettles (2001) menyimpulkan bahwa baiknya kondisi spiritual (spiritual

well-being) “berkorelasi positif dengan ketegasan, kepercayaan diri, sikap tegas,

memberikan pujian, dan meminta pertolongan, namun berkorelasi negatif dengan

bentuk fisik dan pasif dari agresi, ketergantungan, dan kecenderungan pasif atau

menghindari konflik” (p.70-71).

Sejauh ini, signifikansi spiritualitas bagi masyarakat Indonesia masih terbatas

pada klaim di kalangan akademisi dan praktisi, sehingga belum sampai mengkristal

menjadi semacam model atau pendekatan praktik. Sebagai contoh, Andayani (2010,

p. 37) berpendapat aspek tersebut memang sangat relevan dalam keseharian, namun

tidak diiringi diskusi dan kajian ilmiah yang menghasilkan pendekatan/intervensi

yang sensitif secara spiritual. Katanya, praktik berbasis spiritual sebenarnya telah

dilakukan banyak lembaga layanan untuk masyarakat, namun masih tradisional.

Senada dengan hal ini, Fahrudin (2005, p. 6) menyarankan agar para pekerja sosial

mulai melakukan kajian teoretis dan praktis tentang spiritualitas dan keberagamaan

secara indigenous sesuai konteks kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Di tingkat praktik, Monggo (2010) menuliskan pengalaman menangani

penderita kanker ganas dan mencoba menghubungkannya dengan spiritualitas. Meski

menyadari perlunya konsep penyembuhan holistik dengan melibatkan aspek

spiritual, bisa dikatakan ia baru sampai tahap identifikasi masalah spiritual terkait

kemarahan klien terhadap Tuhan di satu sisi, dan kekuatan klien yang aktif dalam

kegiatan gereja di sisi lain. Karakteristik spiritualitas klien yang mungkin lebih

dalam dan kompleks tampaknya belum cukup terungkap.

Di Indonesia, penelitian dan publikasi tentang spiritualitas, khususnya dalam

pelayanan atau perawatan lansia, masih sangat minim. Sejumlah profesi pertolongan

mulai menunjukkan peningkatan perhatian terhadap isu ini. Di sini dapat disebutkan

beberapa penelitian dalam disiplin ilmu keperawatan, psikologi, dan psikiatri. Hasil

penelitian Rohman (2009) menyimpulkan faktor usia perawat, jenis kelamin, masa

kerja sebagai perawat, waktu pengasuhan, dan persepsi spiritual berkorelasi negatif

dengan pengasuhan spiritual (p. 141-2). Menurutnya, hanya faktor pendidikan

setingkat sarjana yang berpeluang memberikan pengasuhan spiritual yang baik.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 37: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

14

Susanti (2009) menggali pengalaman spiritual perempuan penderita kanker

serviks dan pemaknaannya dengan metode kualitatif fenomenologis. Para penderita

mengalami kehilangan secara fisik dan identitas; terstigma negatif bahwa penderita

kanker dekat dengan kematian; dan perubahan kehidupan sosial karena terganggunya

fungsi peran, citra diri, dan harga diri. Mereka memaknai penderitaan secara berbeda,

yakni sebagai ujian, teguran, nikmat, penebus dosa, dan bahkan hukuman Tuhan.

Jajak pendapat Jurnal Perempuan di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya, dan

Medan) dengan responden usia 18-50 tahun menunjukkan ada 18% responden

memilih memanfaatkan waktu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan ketika nanti

menginjak usia lanjut (Santi, 2002). Penelitian Indriana et al. (2011) menunjukkan

religiusitas memiliki korelasi positif terhadap kesejahteraan lansia. Intinya, aspek

spiritual dan agama punya kontribusi signifikan bagi kesejahteraan lansia dan

menjadi unsur penting dalam praktik layanan. Namun, pemahaman dan praktik

seperti apa yang memanfaatkan kedua aspek ini belum banyak diketahui melalui

penelitian atau kajian akademis.

Kalau dalam keperawatan dan psikologi mulai menunjukkan ketertarikan pada

spiritualitas, penelitian dalam pekerjaan sosial tampaknya masih terbatas. Sejauh

penelusuran, penelitian atau kajian tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan

sosial di Indonesia, khususnya terkait kesehatan mental lansia, masih langka. Sebagai

contoh, Napsiyah (2005) mengkaji isu-isu lansia di Indonesia, salah satunya terkait

pengaruh konteks lokal terhadap lansia, terutama peran agama. Penelitiannya

menunjukkan agama menambah kepercayaan diri bagi lansia dalam menghadapi

penyakit-penyakit menua (p.55). Agama juga punya peran penting dalam mengatur

bagaimana keluarga dan masyarakat bersikap atau bertindak terhadap kelompok usia

lanjut. Selain itu, kegiatan-kegiatan kelompok berbasis keagamaan, seperti arisan dan

majelis taklim, dapat menjadi wahana para lansia bersosialisasi, menjaga hubungan

silaturahim, dan berbagi pengetahuan atau kenangan masa lalu (p. 56-7).

1.2. Perumusan Masalah

Latar belakang di atas menunjukkan spiritualitas memiliki banyak alasan

untuk tampil ke permukaan masyarakat Indonesia. Aspek ini tidak diragukan lagi

memiliki signifikansi besar bagi kesejahteraan, kesehatan, atau kualitas hidup lansia.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 38: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

15

Universitas Indonesia

Masalahnya adalah kelangkaan teori dan materi untuk panduan praktik yang

dibangun dalam konteks pekerjaan sosial masyarakat Indonesia, terutama bagi para

praktisi yang menganggap atau mengidentifikasi spiritualitas sebagai isu. Hodge

(2011) juga menerangkan untuk konteks masyarakat Barat bahwa para praktisi tidak

memperoleh pelatihan secara memadai bagaimana menggunakan intervensi spiritual.

Teori atau bahan panduan yang dimaksud antara lain terkait bagaimana

mengenali spiritualitas yang dimiliki praktisi; mengetahui batas kemampuan diri

dalam penanganan dengan melibatkan aspek spiritual; mengidentifikasi pemahaman

dan pengalaman spiritualitas lansia, entah sebagai kekuatan atau jutsru menjadi

kelemahan; dan juga memahami bagaimana lansia memaknai penderitaan atau

pengalaman hidup yang telah dilalui. Terkait spiritualitas sebagai kekuatan atau

kelemahan, hal ini juga menyangkut bagaimana menentukan relevansi spiritualitas

untuk penanganan masalah kesehatan mental lansia. Apakah aspek ini bermanfaat

bagi penyelesaian masalah, pemenuhan kebutuhan, atau bahkan pengembangan dan

pertumbuhan kematangan spiritualitas lansia. Selanjutnya, apabila aspek ini

dipandang relevan, penting juga menggali bagaimana spiritualitas dimanfaatkan

ketika praktisi melakukan serangkaian tahapan praktik penanganan standar, terutama

pada tahap identifikasi awal, asesmen, dan intervensi terhadap klien.

Berdasarkan penelitian pendahuluan di dua lembaga pelayanan sosial lansia,

aspek spiritual beserta agama menjadi unsur penting dalam pelayanan. Banyak lansia

punya kecenderungan untuk memenuhi sisa akhir hayatnya dengan berbagai aktivitas

spiritual dan keagamaan. Sebagai gambaran, dijumpai beberapa lansia dalam kondisi

memiliki disabilitas tertentu, sakit-sakitan (renta), dan ada juga korban bencana alam

yang kehilangan harta dan sanak-saudaranya sehingga harus tinggal di panti.

Meskipun banyak yang merasa terbuang, disia-siakan, kesepian, frustrasi, kecemasan

menghadapi kematian, atau keputusasaan karena berbagai kondisi yang melatar-

belakanginya, mereka tetap menerima keadaan, sabar dan ikhlas; tidak ingin

merepotkan siapapun; atau menjadi lebih rajin beribadah. Respons lansia seperti ini

menunjukkan bahwa spiritualitas dan agama sangat memberi pengaruh.

Dijumpai pula sejumlah lansia yang pada awal masuk panti melalui trauma

center mengalami stres, marah-marah, dan depresi karena masalah perkawinan atau

menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seiring waktu, sebagian di antara

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 39: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

16

mereka cenderung menjadi lebih tenang dan menerima keadaan karena intervensi

tertentu yang dilakukan praktisi, di samping karena telah melewati tahap-tahap

perkembangan secara wajar hingga tahap akhir kehidupan.

Penting untuk memperhatikan interaksi antara klien lansia dengan praktisi

ketika penanganan lansia berada dalam konteks pelayanan sosial, baik di panti

maupun non-panti. Satu sisi, klien lansia telah melewati sejumlah tahap hidup dan

mengalami berbagai peristiwa yang sedikit-banyak mempengaruhi cara untuk

menjawab dan menyikapi berbagai pertanyaan penting yang muncul dari dalam diri.

Pertanyaan yang bersifat eksistensial ini antara lain: apa sebenarnya makna dan

tujuan hidup ini; mengapa penderitaan atau pengalaman pahit tertentu terjadi pada

diri mereka; apa arti atau hikmah dari penderitaan itu; dan bagaimana mereka

memandang diri sendiri saat ini di sini. Pihak yang paling tahu jawabannya tentulah

diri mereka sendiri dan kebanyakan mencari jawaban ke agama atau mengembalikan

segala urusan kepada Tuhan. Di sisi lain, kebanyakan praktisi masih berusia muda,

punya pengalaman hidup berbeda dari klien, dan tidak punya hubungan kekerabatan

dengan klien. Praktisi juga tentu punya pemahaman dan pengalaman spiritualitas

tertentu yang mempengaruhi bagaimana menghadapi klien lansia.

Dengan begitu, spiritualitas masing-masing dan bagaimana interaksi keduanya

dalam setting pelayanan sangat penting digali. Hal ini kurang-lebih mengikuti alasan

penelitian MacKinlay (2004a) dalam bukunya, The Spiritual Dimension of Ageing.

Pertama, pengalaman religius antara lansia dan kelompok yang lebih muda tentu

berbeda. Kedua, karena tingkat kematangan lansia memiliki tahap perkembangan

keyakinan (faith development) berbeda dibanding kelompok muda, dalam hal ini

praktisi (p. 16). Sermabeikian (1994) juga telah lebih dulu menegaskan bahwa ketika

pekerja sosial dan klien terlibat dalam praktik pekerjaan sosial klinis, yang terjadi

adalah “pertukaran dua-arah terkait pikiran, perasaan, keyakinan, dan nilai” (p.178).

Berbicara integrasi spiritualitas ke dalam pekerjaan sosial, menurut McKernan

(2007), upaya memahami spiritualitas praktisi akan lebih baik dari pada hanya

melakukan asesmen spiritualitas klien. Alasannya, wujud praktik pekerjaan sosial

yang melibatkan spiritualitas sangat dipengaruhi keyakinan dan pengalaman praktisi,

sementara spiritualitas merupakan pengalaman subjektif. Senada dengan McKernan,

Barker (2008) juga melakukan penelitian disertasi yang bertujuan mengeksplorasi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 40: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

17

Universitas Indonesia

bagaimana praktisi pekerjaan sosial memahami spiritualitas dan, kemudian,

menggunakannya dalam praktik.

Dari uraian di atas, penelitian ini akan menjawab empat pertanyaan berikut:

1. Bagaimana aspek spiritual dipahami oleh para praktisi kesejahteraan sosial

dalam penanganan kesehatan mental lansia?

2. Bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam penanganan?

3. Bagaimana spiritualitas dialami menurut perspektif lansia?

4. Bagaimana pula lansia memahami penderitaan atau pengalaman hidup yang

menyebabkan masalah kesehatan mental?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari pertanyaan penelitian di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah:

1. Menggali pemahaman para praktisi kesejahteraan sosial terhadap aspek

spiritual dalam penanganan kesehatan mental lansia.

2. Mengeksplorasi praktik dari pemahaman para praktisi terhadap aspek tersebut.

3. Menggali pengalaman spiritual menurut perspektif para lansia.

4. Menggali pemahaman lansia terkait pengalaman hidup yang menyebabkan

masalah kesehatan mental.

Berdasarkan hasil penelitian seperti dalam empat tujuan tersebut, penelitian

ini akan membangun model pelayanan sosial bagi lansia yang memanfaatkan aspek

spiritual berdasarkan teori atau konsep juga akan dibangun. Model tersebut

dimungkinkan juga sekaligus menghasilkan asesmen dan intervensi berbasis spiritual

sebagai hasil perpaduan dari pemahaman dan pengalaman spiritualitas praktisi dan

klien. Kemudian, penelitian ini juga berupaya menentukan komponen-komponen

spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia.

Tujuan penelitian ini dapat dilihat dalam kerangka alur penelitian, seperti

tampak pada Gambar 1.1 di halaman berikut ini, yang juga dapat menggambarkan

sebagian latar belakang dan masalah penelitian.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dijelaskan baik dari sisi praktis maupun

akademis. Manfaat praktisnya adalah tereksplorasinya ragam bentuk penanganan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 41: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

18

masalah mental lansia dengan melibatkan aspek spiritual dan agama, sehingga akan

memperkaya praktik pekerjaan sosial yang khas Indonesia. Dengan begitu, aspek

spiritualitas dan agama yang mampu tergali dalam praktik dapat menjadi bahan

referensi dalam pembuatan pedoman atau standarisasi tentang pelayanan lansia

telantar yang dihasilkan kementerian terkait.

Gambar 1.1. Kerangka alur penelitian

Sementara itu, manfaat akademis atau teoretis dari penelitian ini adalah

menghasilkan inovasi dalam pekerjaan sosial khususnya terkait dengan pemanfaatan

spiritualitas. Selain penelitian, sebagaimana disarankan Canda (2003), kolaborasi dan

penulisan yang bersifat multibahasa, internasional, dan lintas kultural juga

Konteks Pelayanan Sosial

Praktisi Klien

Pemahaman/pengalaman spiritualitas

Pengalaman spiritualitas

Interaksi

Penderitaan & respons

Praktik pemahaman spiritualitas

dalaminteraksi

Analisis grounded theory

Pemahaman & praktik spiritualitas praktisi

Spiritualitas lansia

Model pelayanan sosial berbasis spiritualitas

Spiritualitas untuk kesehatan mental lansia

Metode kualitatif

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 42: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

19

Universitas Indonesia

diharapkan berkembang melalui inovasi yang relevan dengan konteks kultur

masyarakat Indonesia melalui penelitian grounded theory. Dari penelitian ini juga

diharapkan dapat menggali tipe indigenisasi seperti apa yang telah dan sedang

berlangsung dalam praktik pelayanan sosial bagi lansia.

1.5. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 adalah pendahuluan

yang mengantarkan pembaca ke latar belakang, persoalan, tujuan, dan manfaat

penelitian ini. Bab 2 berupa tinjauan literatur sebagai lensa teori untuk meneropong

permasalahan atau tema tentang spiritualitas dan agama dalam penanganan lansia.

Dalam bab ini akan dijelaskan seputar masalah yang dihadapai lansia yang dapat

menjadi sebab atau akibat dari masalah kesehatan mental, teori-teori tertentu yang

dapat menjelaskan keterkaitan antar masalah tersebut. Pengertian spiritualitas dan

agama juga akan dijelaskan baik secara umum maupun dalam praktik pekerjaan

sosial untuk membuka cakrawala pengetahuan peneliti dan pembaca.

Bab 3 berisi metode terkait pendekatan dan paradigma, strategi grounded

theory, lokasi dan waktu pelaksanaan, informan, teknik pengumpulan data, teknik

analisis, teknik meningkatkan kualitas, isu-isu etika, dan keterbatasan penelitian.

Peningkatan mutu penelitian memakai teknik-teknik dalam kriteria trustworthiness.

Dua bab berikutnya (Bab 4 dan 5) menjabarkan hasil penelitian berupa

konstruksi teori spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia. Tiap bab dibagi menurut

kategori-kategori tertentu berdasarkan hasil identifikasi melalui proses analisis.

Dalam menjelaskan teori yang terbangun, di sini juga dijelaskan seputar bagaimana

proses analisis dilakukan; kategori-kategori yang muncul beserta alasan dan bukti

data mengapa kategori tersebut menjadi perhatian; dan uraian masing-masing

kategori beserta kutipan-kutipan relevan untuk mendukung teori yang terbangun.

Bab 6 dan 7 mengetengahkan pembahasan terhadap hasil penelitian yang

dinilai relevan bagi dua tujuan tambahan. Hasil pembahasan tersebut berupa model

yang dibuat berdasarkan teori yang terbangun, yaitu model pelayanan sosial berbasis

spiritual dan komponen spiritualitas yang berkontribusi positif bagi kesehatan mental

lansia. Kedua pembahasan tersebut akan didialogkan dengan literatur dan hasil

penelitian yang sudah ada secara luas.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 43: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

20

Sebagai bagian terakhir, Bab 8 menguraikan kesimpulan, implikasi, dan saran

atau rekomendasi. Implikasi yang dibahas meliputi implikasi teoretis, praktis, dan

kebijakan bagi praktik pekerjaan sosial di Indonesia.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 44: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

21

BAB 2

TINJAUAN LITERATUR

Tinjauan literatur dalam penelitian kualitatif diperlukan sebagai lensa untuk

menuntun apa yang harus diobservasi di lapangan, apa yang ditanyakan kepada para

partisipan (Creswell, 2009, p. 49), dan bagaimana menganalisis data yang muncul.

Sejumlah konsep atau teori yang diuraikan dalam bab ini akan menjadi semacam titik

awal atau, dalam istilah Charmaz (2004, p. 501), “points of departure” untuk

membuka dan menambah horison pengetahuan peneliti.

Tinjauan literatur ini akan membentuk perspektif penelitian tentang

pemahaman spiritualitas dan bagaimana keduanya dipraktikkan dalam konteks

layanan sosial untuk lansia. Dalam grounded theory pandangan awal dalam

penelitian diperlukan bukan untuk membentuk pra-konsep atau melakukan penelitian

dalam kerangka teori tertentu (theory-driven), seperti dalam desain penelitian

tradisional yang bersifat logiko-deduktif. Tetapi, berbagai tema dan perspektif yang

relevan dengan penelitian lebih untuk mengembangkan atau membangun teori dari

para informan, ketimbang membatasi gagasan mereka (Glaser & Strauss, 1967;

Charmaz, 2004).

Untuk tujuan itu, di sini akan dijelaskan beberapa konsep pokok terkait kajian

spiritualitas untuk kesehatan mental lansia dalam konteks pelayanan sosial. Dalam

bab ini ada enam sub-bab berikut:

1. Lansia dan teori perkembangan manusia

2. Active ageing dan kualitas hidup lansia

3. Masalah kesehatan mental lansia

4. Upaya penanganan masalah kesehatan mental lansia

5. Spiritualitas dan agama

6. Spiritualitas dalam pekerjaan sosial

Keterkaitan atau sintesis dari keenam sub-bab atau tema literatur ini kurang

lebih dapat dijelaskan secara singkat berikut ini. Domain bidang disiplin ilmu

pekerjaan sosial dan kesehatan mental menjadi beririsan ketika hendak menangani

persoalan lansia atau isu penuaan (ageing). Dengan melibatkan spiritualitas (dan

agama), penanganan lansia meniscayakan pendekatan holistik dalam kerangka

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 45: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

22

Universitas Indonesia

mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan/atau kualitas hidup

mereka. Pembahasan terhadap irisan dari ketiga domain tersebut mencakup sisi

teoretis dan juga sejarahnya. Meneliti masalah kesehatan mental lansia juga tidak

bisa lepas dari pemahaman terhadap teori-teori perkembangan manusia, khususnya

perkembangan tahap akhir. Kemudian, pemahaman terhadap kerangka penanganan

masalah mental lansia untuk mencapai kondisi kesejahteraan, kesehatan, dan kualitas

hidup yang baik yang didambakan setiap lansia pun harus menyinggung sejumlah

kebijakan di negeri ini, seperti Undang-undang terkait dan konsep active ageing dari

WHO yang melingkupi konsep kualitas hidup.

Gambar 2.1. Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur

2.1. Lansia dan Teori Perkembangan Manusia

Lansia adalah kelompok usia 60 tahun ke atas. Batasan usia ini secara tegas

diatur dalam UU Lansia (UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

Lansia (older adulthood) menurut para ahli psikologi dapat merujuk ke dua periode

hidup, yakni usia pertengahan 50-an ke atas atau masa pertengahan hidup (midlife)

dan setelahnya. Masa lansia merupakan periode genting bagi perkembangan spiritual.

Spiritualitas maupun religiusitas punya peran penting dalam isu-isu terkait masa

akhir hidup, seperti kematian (death) dan prosesnya (dying) (Nelson, 2009, p. 301).

Social

work

Mental

health

Spirit-

uality

Kesejahteraan

Kesehatan

Kualitas hidup

Ageing Pendekatan holistik (Biopsikososial-

spiritual)

Konsep active ageing WHO

UU & penjelas-

annya

Developmental theories

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 46: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

23

Universitas Indonesia

Dalam perspektif teori perkembangan manusia (human development theories),

kelompok usia lanjut termasuk dalam rentang akhir dalam tahap perkembangan. Di

setiap tahap perkembangan terdapat sejumlah tugas yang harus diselesaikan atau

peran-peran yang mesti dijalankan masing-masing individu. Menurut McCormick,

Kuo, dan Masten (2010, p. 117), kriteria yang menjadi ukuran penilaian seberapa

berhasil seseorang melalui setiap tahap hidup disebut sebagai tugas atau peran

perkembangan (developmental tasks). Kriteria kesuksesan tersebut didasarkan pada

perkembangan normatif dan konteks kemajuan pengetahuan. Sebagai contoh, lansia

yang berada pada tahap akhir kehidupan diharapkan menyadari akan semakin

menurunnya kemampuan dan kesehatan mereka, sehingga sudah waktunya untuk

pensiun meski tetap menjalankan aktivitas lain yang bermakna.

Secara garis besar, Nelson (2009, p. 211-2) menggolongkan teori-teori

perkembangan dalam tiga metafora: hirarkis, rentang hidup (life-span), dan

penziarahan (pilgrimage). Dalam teori-teori yang bersifat hirarkis, perkembangan

manusia diumpamakan seperti menaiki tangga. Tidak semua orang mampu mencapai

puncak. Contohnya teori Jean Piaget dan Abraham Maslow. Metafora life-span

mengandaikan hidup laksana rantai proses yang terdiri dari serangkaian periode yang

dapat diprediksi. Masing-masing periode ada peran atau tugas hidup sesuai usia (age-

related tasks). Setiap orang yang sampai berusia lanjut menjalani tahap-tahap hidup

yang beragam. Contoh populer model ini adalah teori psikososial Erik Erikson.

Terakhir, metafora pilgrimage memandang perjalanan hidup manusia bagaikan

sebuah pengembaraan (journey). Berbeda dengan teori-teori tahapan sebelumnya,

setiap orang punya alur kehidupan unik. Tidak ada tahap tertentu yang dinilai lebih

tinggi dibanding yang lain, meski ada kesamaan tertentu yang dialami banyak orang.

Ada banyak ahli dengan perspektif berbeda-beda telah membangun sejumlah

teori untuk memahami proses perubahan dan perkembangan manusia sejak lahir

hingga akhir hayat. Pelaez, Gewirtz dan Wong (2008) menjelaskan beberapa teori

dari ahli psikologi perkembangan terkenal adalah Sigmund Freud (1940/1964), Erik

Erikson (1963), Jean Piaget (1970), dan Lawrence Kohlberg (1963). Freud dengan

model psikoseksual-nya memandang perkembangan manusia sebagai sebuah proses

sekuensial dari peningkatan libido (libidinal progression). Erikson (model

psikososial) mengembangkan pendekatan Freud dengan memasukkan peran

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 47: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

24

Universitas Indonesia

sosialisasi dan lingkungan dalam perkembangan manusia. Piaget (model kognitif)

dengan empat tahap proses kognitifnya menjelaskan perkembangan sebagai sebuah

proses diskontinyu dan monotonik. Kohlberg, yang juga menggunakan model

tahapan bernama teori penalaran moral (theory of moral reasoning), mengeksplorasi

perkembangan moral sebagai sebuah proses kognitif yang semakin mendewasa

seiring waktu. Kesamaan dari teori-teori tersebut, menurut Pelaez, Gewirtz dan

Wong, adalah bahwa semuanya memandang perkembangan sebagai proses yang

terdiri dari serangkaian tahapan yang tidak menerus (p. 503).

Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) berpendapat teori perkembangan

Erikson merupakan teori paling populer dan banyak diterima. Teorinya merupakan

hasil reformulasi teori Freud dengan sejumlah perbedaan prinsip. Teori Erikson

terdiri dari delapan tahap dimana setiap tahap dicirikan dengan krisis yang ditandai

dengan konflik antara dua sifat kepribadian yang berlawanan atau sikap dasar, yakni

antara ego syntonic dan ego dystonic. Delapan tahap yang dimaksud yakni: (1)

kepercayaan vs ketidakpercayaan awal atau dasar; (2) kemandirian vs malu dan ragu;

(3) inisiatif vs perasaan bersalah; (4) pertumbuhan atau perkembangan vs inferioritas;

(5) pencarian identitas vs bimbang menentukan peran; (6) kedekatan vs isolasi; (7)

meneruskan keturunan vs stagnasi; dan (8) integritas vs keputusasaan (Robbins,

Chatterjee, & Canda, 2006, p. 208-211).

Dari delapan tahap dalam model epigenetik Erikson, lima tahap pertama

masih mencerminkan pengaruh kuat Freud terkait unconscious dari struktur

kepribadian manusia. Masa lansia termasuk dalam tahap akhir dalam teori

perkembangan Erikson, yakni tahap integrity versus despair (50 tahun ke atas). Masa

akhir dewasa ini merupakan periode refleksi retrospektif terhadap kehidupan masa

lalu dan penerimaan masa tua. Apabila pada masa ini seseorang tinggal memetik

hasil dari pilihan atau peran masa sebelumnya dan mampu menemukan makna dan

kepuasan hidup (contentment), paham integritas (sense of integrity) akan tercapai.

Kebijaksanaan akan muncul apabila kualitas ego terpelihara. Sebaliknya, kegagalan

di tahap ini akan berujung pada keputusasaan (sense of despair) yang cirinya dapat

berupa rasa muak pada diri sendiri dan marah pada orang sekitar (Robbins,

Chatterjee, & Canda, 2006)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 48: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

25

Universitas Indonesia

Berbeda dari Freud, kata Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006), Erikson

meminimalisir peran dorongan id dan lebih fokus pada kualitas positif ego yang

sehat dan adaptif. Menurut Erikson, ego justru berperan utama dalam menguasai

psychosocial tasks dan lingkungan. Ego juga sangat penting dalam membangun dan

mempertahankan identitas seseorang, yang bagi Erikson sangat penting bagi

eksistensi manusia (Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 208). Menurut Roazen

(1976), dalam Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 208-9), Erikson tidak hanya

menepikan dorongan libidinal tetapi juga mendeseksualisasi konflik Oedipal karena

teori Freud ini mengakar ke konteks kultur Freud sendiri secara historis.

Lebih jauh Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) menjelaskan bahwa

Erikson adalah satu dari sedikit teoretisi perkembangan psikososial yang mengkaji

perkembangan keagamaan secara detail. Erikson menyebut orang yang secara intens

menjadikan tema spiritual sebagai fokus utama dalam hidup dan memberi perhatian

pada hal-hal eksistensial sebagai homo religiosus (the religious person), contohnya

Martin Luther dan Mohandas Gandhi (p. 211-12).

Kajian tentang perkembangan rentang hidup dan lansia, menurut Robbins,

Chatterjee, dan Canda, banyak terkait dengan personalitas (kepribadian), prediktor

kepuasan hidup (life satisfaction), dan tugas atau peran hidup (life tasks). Sebagai

contoh, Havighurts merinci enam developmental tasks of life (Robbins, Chatterjee, &

Canda, 2006, p. 221):

1. menyesuaikan (adjusting to) dengan penurunan kesehatan dan kekuatan fisik

2. menyesuaikan dengan pensiun dan penurunan penghasilan

3. menyesuaikan dengan perubahan pada kesehatan pasangan dan dirinya atau

kematian pasangan

4. membangun afiliasi dengan kelompok lansia

5. mengadopsi dan beradaptasi dengan peran sosial secara fleksibel

6. membuat keseharian hidup yang memuaskan.

Sama dengan Erikson, Havighurts percaya bahwa penerimaan terhadap

penurunan fisik seseorang diperlukan untuk penyesuaian di akhir hayat. Sebagai

adaptasi dari model Havighurst, Clark dan Anderson menggarisbawahi lima peran

normatif di akhir hayat dan lansia, yang lebih umum ketimbang Havighurst dan

dipandang perlu bagi keberfungsian adaptif (Robbins, Chatterjee, & Canda, p. 221):

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 49: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

26

Universitas Indonesia

1. mengenal penuaan dan definisi keterbatasan instrumental seseorang

2. redefinisi rentang kehidupan sosial dan fisik

3. penggantian sumber alternatif dalam pemenuhan kebutuhan

4. reasesmen kriteria untuk mengevaluasi diri

5. reintegrasi nilai dan tujuan hidup seseorang.

McCormick, Kuo, dan Masten (2010) menyebutkan develomental task yang

paling umum dan menonjol, khususnya pada tahap lansia, sebagai berikut (p. 122):

1. menyesuaikan dengan perubahan-perubahan pada penuaan

2. transisi untuk pensiun dari kerja

3. menyesuaikan untuk bergantung pada orang lain

4. menyesuaikan dengan kemungkinan kematian pasangan atau teman dekat

5. bersiap-siap dengan proses kematian

6. penyelesaian berbagai masalah di akhir kehidupan (settling affairs).

Konsep ego transecendence di akhir hayat pertama kali dibuat Carl Jung

dengan menggambarkan perkembangan ego dan the Self. Berlawanan dengan Freud

dan Erikson yang melihat individuasi sebagai satu peran perkembangan awal, Jung

meyakini individuasi yang sesungguhnya terjadi setelah usia 40 dan berlanjut hingga

paruh hidup kedua. Sebagai reformulator Freudian yang pertama dalam

mengkonseptualisasi perkembangan dari lahir hingga mati, Jung berpendapat hidup

adalah “the story of self-realization of the unconscious” dan terjalin-kelindan dengan

komponen spiritual (berdasarkan pemikiran Timur dan Barat) ke dalam model

perkembangannya. Jung meyakini transendensi ego merupakan suatu peran penting

pada tahap perkembangan lansia (a critical developmental task of aging). Menurut

Jung, transendensi ego diperlukan untuk membangun sebuah tonggak baru dalam the

Self dimana penyatuan integral mengarah ke self-realization bahwa Tuhan ada dalam

diri dan memungkinkan kita untuk memahami misteri transpersonal “Thou”

(Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 222).

2.2. Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia

Sebelum ini telah dijelaskan tujuan utama pelayanan lansia adalah

kesejahteraan dan/atau kesehatan. Kesejahteraan sosial (social welfare), menurut

Kirst-Ashman (2010, p. 6), merupakan konsep luas terkait kondisi baik (well-being)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 50: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

27

Universitas Indonesia

yang didambakan setiap orang. Sebagai cita-cita (idea), pengertian konseptual

kesejahteraan sosial menurut UU terkait mengikuti definisi dari sejumlah ahli.

Contohnya James Midgley yang mendefinisikan social welfare atau social well-being

sebagai kondisi dimana masalah sosial terkelola, kebutuhan terpenuhi, dan

kesempatan untuk maju berkembang dimungkinkan (Midgley, 1995, p. 14).

Membahas tujuan pelayanan untuk lansia tidak bisa lepas dari konsep kualitas

hidup (quality of life, disingkat QoL). Menurut Fahrudin (2012, p. 44), kesejahteraan

sosial sering dihubungkan dengan konsep kualitas hidup karena dalam berbagai

disiplin ilmu konsep ini dipakai untuk merujuk ke kondisi kehidupan yang baik.

Hampir sama dengan kesejahteraan sosial, QoL mencakup segala dimensi seperti

fisik, sosial, emosional, intelektual, dan kognitif. Bahkan Fahrudin meyakini QoL

sangat relevan dengan definisi kesejahteraan menurut UU Lansia (p. 45).

Pendapat tersebut selaras dengan sejumlah strategi kebijakan Badan

Kesehatan Dunia WHO dalam menangani isu penuaan penduduk dunia, terutama

strategi penuaan sehat (healthy ageing) dan penuaaan aktif (active ageing). Oxley

(2009) menganggap keduanya sebagai konsep serupa. Keduanya juga menjadikan

QoL sebagai muara akhir dari upaya penanganan lansia dunia. Bagian berikut ini

akan menjelaskan strategi active ageing beserta sejumlah konsep terkait yang banyak

menyinggung QoL. Setelah itu uraian singkat tentang QoL turut dibahas.

2.2.1. Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait

Sebelumnya dijelaskan bahwa berdasarkan UU tujuan utama penanganan

lansia di Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan mereka.

Hal ini selaras dengan strategi penanganan lansia secara global. Oxley (2009)

menunjukkan bahwa meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk lansia

adalah tujuan dari strategi healthy ageing. Menurutnya, healthy ageing merupakan

konsep serupa dengan active ageing. Namun, Kalache dan Kickbush (1997), seperti

dikutip WHO (2002), menganggap konsep active ageing lebih inklusif ketimbang

healthy ageing karena melibatkan aspek-aspek penting lain di luar kesehatan yang

mempengaruhi proses penuaan.

Konsep active ageing dan healthy ageing memiliki keterkaitan dan

persinggungan dengan sejumlah konsep lain seperti penuaan positif (positive

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 51: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

28

Universitas Indonesia

ageing), penuaan sukses (successful ageing), dan penuaan produktif (productive

ageing) (Woo et al., 2008, Chong et al., 2006). Menurut Woo et al., istilah-istilah

tersebut sama-sama memromosikan kondisi baik lansia yang didambakan dari sisi

fisik, psikologis, sosial, dan finansial, meskipun masing-masing punya tekanan

berbeda pada dimensi tertentu. Perbedaaan ini menunjukkan variasi gambaran dari

QoL sebagai kondisi yang didambakan tersebut (p. 270).

QoL adalah konsep penting yang turut dipromosikan WHO bersama strategi

active ageing. Oleh WHO (2002), QoL dibahas dalam kaitannya sebagai salah satu

tujuan kebijakan active ageing. Aktif di sini maksudnya adalah menerusnya

partisipasi lansia dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, spiritual, dan urusan-

urusan kewarganegaraan (p. 12). Saat promosi awal kebijakan active ageing, QoL

juga telah menjadi perhatian utama bersama perspektif life course yang menekankan

kapasitas keberfungsian (Kalache & Keller, 1999, p. 20). Seperti akan dijelaskan,

perspektif life course menjadi landasan implementasi kebijakan active ageing.

Terkait dengan healthy ageing, SNIPH (2007), dalam Oxley (2009, p. 9),

mendefinisikannya sebagai “proses pengoptimalan kondisi kesehatan fisik, sosial,

dan mental untuk memungkinkan lansia turut ambil bagian dalam masyarakat tanpa

diskriminasi dan menikmati kualitas hidup mandiri dan layak.” Menurut SNIPH,

kebijakan ini lebih menekankan sisi pencegahan. Selain itu, strategi ini menempatkan

lansia sebagai bagian penting dari masyarakat ketimbang hanya dianggap sebagai

beban dan, untuk itu, otonomi dan kemampuan mengatur diri perlu dipelihara agar

harga diri dan martabat mereka tetap terjaga.

Bersama successful ageing, healthy ageing dalam strategi kebijakan sosial

lebih menekankan kemampuan dan fungsi fisik, terutama di negara-negara industri.

Terlebih lagi apabila strategi tersebut bersinggungan dengan paham neoliberal atau

rasionalitas pasar, kebijakan successful ageing, healthy ageing, dan juga productive

ageing sangat didominasi model biomedikal (Cardona, 2008, p. 477).

Konsep successful ageing diperkenalkan Rowe dan Kahn yang merujuk ke

upaya mencegah penyakit dan disabilitas; menjaga kebugaran fungsi fisik dan

kognitif; dan terus aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan produktif (Minichiello &

Coulson, 2006, p. xiii-xiv; Crowther et al., 2002, p. 615). Persisnya Rowe dan Kahn,

dalam MacKinlay (2008, p. 11), mendefinisikan successful ageing sebagai kondisi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 52: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

29

Universitas Indonesia

“rendahnya kemungkinan terkena penyakit, disabilitas karena penyakit, kapasitas

fungsional secara kognitif dan fisik, dan keterlibatan dalam hidup secara aktif.” Tiga

upaya ini, menurut Crowther et al. (2002), dikatakan sebagai model tiga faktor. Fakta

adanya peningkatan angka harapan hidup dan kondisi kesehatan lansia di abad ke-21

ini dianggap Minichello dan Coulson (2006) sebagai bukti keberhasilan successful

ageing. Konsep ini umum digunakan dalam gerontologi dan geriatrik yang berupaya

mempertahankan kemampuan fisik dan mental (Oxley, 2009), bahkan menjadi

sebuah gerakan baru yang hendak menggantikan diskursus lama seputar kajian

penyakit dan disabilitas (Minichiello & Coulson, 2006).

Menurut Crowther et al. (2002), konsep successful ageing dikritik sejumlah

ahli, di antaranya karena tidak mempertimbangkan struktur sosial dan self-efficacy.

Mereka sendiri mengusulkan satu komponen penting dalam model tiga faktor di atas,

yaitu spiritualitas positif. MacKinlay (2008) juga sangat mengkritik gerakan ini,

apalagi jika dikaitkan dengan isu disabilitas dan spiritualitas. Menurutnya, penuaan

berarti harus tetap hidup secara penuh meski dengan disabilitas yang meniscayakan

bantuan orang lain. Dengan penekanan pada otonomi atau independensi lansia,

konsep successful ageing dianggap absurd oleh MacKinlay karena manusia hidup

harus saling bergantung atau interdependensi (p. 21).

Konsep lain terkait kebijakan global penanganan lansia adalah positive

ageing. Minichiello dan Coulson (2006) menjelaskan konsep ini dipromosikan juga

oleh displin ilmu gerontologi sebagai isu kontemporer yang muara akhirnya adalah

meningkatkan QoL lansia. Menurut Chong et al. (2006), istilah ini sering

disiligantikan dengan successful ageing. Meskipun ada sedikit perbedaan, keduanya

sama dalam hal fokus pada kombinasi kesehatan fisik dan fungsional, keberfungsian

kognitif, jaminan finansial, dan keterlibatan aktif di masyarakat. Komponen yang

utama adalah kondisi kesehatan prima yang mampu mengurangi kerentanan terhadap

penyakit dan disabilitas. Dari konsep Rowe dan Kahn, komponen tambahan lain

berupa keberfungsian psiko-sosial, menjaga independensi selama mungkin, dan

keterlibatan berarti dalam masyarakat melalui pekerjaan dan partisipasi sosial. Ada

juga yang menambahkan dimensi psikologis (semacam penerimaan diri, tujuan

hidup, dan kontrol diri) dan dimensi sosial (semacam solidaritas dan identifikasi

dengan masyarakat) (Chong et al., 2006, p. 245).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 53: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

30

Universitas Indonesia

Sementara itu, productive ageing mengacu ke “kontribusi lansia terhadap

kesejahteraan mereka sendiri, komunitas, dan masyarakat pada umumnya” (Caro et

al., 1993 dalam Chong et al., 2006, p. 244). Menurut Chong et al., konsep ini

termasuk dalam unsur ‘partisipasi’ dalam strategi active ageing karena menekankan

pada kemampuan lansia untuk terus bekerja dan memberi sumbangsih bagi diri dan

sekitarnya, entah dibayar atau tidak (p. 244).

Active ageing diadopsi WHO pada akhir 1990-an yang menandai pergeseran

strategi pelayanan lansia, yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needs-based”

approach) ke berbasis hak (“rights-based” approach) (Kalache & Kickbush, 1997

dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006). Tepatnya pada April 1995, menurut Kalache

dan Keller (1999), WHO mencanangkan satu program komprehensif tentang lansia

dan kesehatan (Ageing and Health, disingkat AHE) yang sekaligus mengganti

program sebelumnya, Health of the Elderly. AHE lebih berpatokan pada perspektif

life course daripada melengkapi perawatan kesehatan bagi lansia dan memromosikan

kesehatan yang menekankan penuaan aktif secara fisik, sosial, dan mental (p. 20).

Lebih jauh tentang pergerseran strategi PBB tersebut, Kalache dan Keller

(1999) menandai dua peringatan penting di tahun 1995 itu yang memromosikan

active ageing. Pertama, peringatan Hari Kesehatan Dunia pada April bertema “Active

ageing makes the difference” mengoreksi anggapan keliru tentang lansia seperti:

semua lansia itu sama; lansia itu renta atau jompo; lansia tidak punya kontribusi apa-

apa; dan lansia hanya menjadi beban ekonomi. Kedua, peringatan Hari Lansia

Internasional (tiap 1 Oktober) mendorong gerakan global untuk active ageing (p. 22).

Perspektif life course yang menjadi patokan untuk implementasi active ageing

pada intinya menekankan bahwa lansia tidaklah seragam dan seiring bertambahnya

usia, keragaman individu juga cenderung meningkat. Di setiap tahapan hidup yang

berbeda, yang paling penting adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang

mendukung dan menyediakan berbagai fasilitas kesehatan agar dapat

mempertahankan kapasitas fungsional mereka (WHO, 2002, p. 14). Gambar 2.2

menunjukkan grafik pendekatan life course.

Active ageing punya tiga pilar utama, yaitu partisipasi, kesehatan, dan jaminan

(WHO, 2002, p. 45). Bersama hak azasi lansia, active ageing menggunakan prinsip

PBB tentang independensi, partisipasi, harkat-martabat, kepedulian, dan pemenuhan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 54: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

31

Universitas Indonesia

diri (WHO, 2002, p. 13). Ada tujuh determinan dalam active ageing yang saling

bersilang-siur (cross-cutting determinants), yaitu: kultur dan gender; sistem

pelayanan sosial dan kesehatan; determinan perilaku; faktor personal (dari sisi

biologis, genetik, dan psikologis); lingkungan fisik; lingkungan sosial; dan

determinan ekonomi (WHO, 2002, p. 19).

Gambar 2.2. Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing Sumber: Kalache & Kickbush (1997) dalam WHO (2002, p. 14; 2008, p. 27)

Masih menurut WHO, seiring bertambahnya usia, QoL semakin ditentukan

oleh kemampuan seseorang mempertahankan otonomi dan independensi. Otonomi

dipahami sebagai “kemampuan mengontrol, mengatasi, dan membuat keputusan-

keputusan personal tentang bagaimana seseorang hidup dalam keseharian, menurut

aturan dan pilihannya sendiri” (p. 13). Sedangkan independensi adalah “kemampuan

menjalankan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti kapasitas hidup secara

independen tanpa atau dengan sedikit bantuan dari orang lain” (p. 13).

2.2.2. Kualitas Hidup Lansia

Setelah menjelaskan latar belakang dan kebijakan active ageing beserta

sejumlah konsep terkait, bagian berikut akan menjelaskan konsep QoL secara

singkat. QoL merupakan istilah sangat populer yang dipakai dalam konteks dan

tujuan berbeda-beda, namun definisinya bermacam-macam. Ditambah lagi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 55: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

32

Universitas Indonesia

pemakaian oleh berbagai bidang disiplin dengan tradisi masing-masing, hal ini

semakin menguatkan QoL sebagai sebagai sebuah konsep yang masih sangat

diperdebatkan (Phillips, 2006, p. 1).

WHO juga menganggap QoL sebagai konsep luas, yang memadukan

kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat independensi, hubungan sosial, keyakinan

dan hubungan personal dengan faktor-faktor lingkungan sekitar (WHO, 1994 dalam

WHO, 2002, p. 13). WHO (2002) mendefinisikan QoL sebagai “persepsi individu

tentang kondisi hidup dalam konteks kultur dan sistem nilai dimana mereka tinggal

dan kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian mereka” (p. 13).

Meskipun ada banyak instrumen QoL yang telah dibuat, menurut Skevington et al.

(2004), belum ada konsensus tentang QoL di antara para peneliti.

Namun demikian, QoL bukanlah konsep yang baru muncul karena, menurut

Kaasa dan Loge (2003), istilah ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno yang telah

memiliki sistem pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan

QoL pasien. Kemudian, di masa setelah Perang Dunia II, menurut Phillips (2006),

Lord Beveridge membangun sistem layanan untuk menciptakan welfare state. Sistem

layanan tersebut difokuskan untuk memberantas lima musuh besar (the five giants)

yang sangat terkait erat dengan isu QoL. The five giants yang dimaksud adalah

kemiskinan (want), penyakit (disease), kebodohan (ignorance), lingkungan kumuh

atau rusak (squalor), dan pengangguran (idleness). Menurut Phillips, kelima masalah

utama tersebut menjadi inti dari konsep QoL yang bersifat sosial, sehingga di luar itu

tampaknya kurang menjadi perhatian para ahli (p. 40).

Secara umum, menurut Phillips (2006, p. 1), QoL punya tiga aspek yang

berbeda yaitu dua aspek di tingkat individu dan satu lagi di tingkat kolektif. Pada

tingkat individu, aspek pertama bersifat objektif, seperti penghasilan, kondisi hidup,

dan tingkat harapan hidup. Aspek kedua bersifat subjektif yang menyangkut

kebahagiaan dan pemenuhan emosional individu. Sementara, pada tingkat kolektif

juga dijumpai dua pendekatan berbeda yang dipengaruhi ideologi atau cara pandang

terhadap manusia, yakni libertarian (individualis) dan egalitarian (sosialis).

Dalam pandangan objektif di tingkat individu, QoL seseorang dinilai

berdasarkan ukuran atau standar tertentu yang ditetapkan para ahli. Phillips (2006)

menyebut pandangan ini sebagai pendekatan impersonal, saintifik, atau pendekatan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 56: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

33

Universitas Indonesia

“konsensus” atau “normatif” (p. 41). Berlawanan dengan posisi ini, pandangan

subjektif terhadap QoL individu menjadikan kebahagiaan, subjective well-being

(SWB) dan kepuasan hidup (life satisfaction), di samping sejumlah komponen lain,

sebagai patokan sekaligus menjadi komponen utama. Pandangan ini, kata Phillips

(2006), disebut sebagai pendekatan personal atau eksperiensial (p. 41) karena

mengacu pada keputusan masing-masing individu (people’s own verdicts) tentang

apa yang mempengaruhi QoL mereka (p. 1). Komponen-komponen utama dalam

pendekatan subjektif saling berkaitan, berhubungan erat dengan QoL, dan merupakan

konsep yang selalu menjadi perdebatan (highly contested constructs), terutama

konsep kebahagiaan. Kebahagiaan ditentukan lagi dari dua pandangan berbeda,

apakah secara subjektif atau objektif (Phillips, 2006, p.15). Meskipun begitu, banyak

ahli menilai SWB dan subjective happiness lebih mudah digunakan dan lebih

demokratis meskipun susah diverifikasi dan divalidasi (Phillips, 2006).

Dibanding kebahagiaan, SWB dianggap lebih kompleks dan bersifat multi-

dimensional, yang terdiri dari tiga komponen: pleasant affect, unpleasant affect, dan

kepuasan. Selain itu, kebermaknaan hidup sebagai dimensi dari spiritualitas atau self-

knowledge, juga termasuk di dalamnya (p. 18, 21). Menurut Saxena (2007), seperti

dikutip Swartz dan Tisdell (2008), WHO meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari

QOL, khususnya terkait keberagamaan (religiousness) dan keyakinan pribadi. Meski

tidak menyediakan definisi spiritualitas, WHO telah merancang suatu instrumen

untuk mengukur dimensi ini (p. 89).

QoL yang terkait kesehatan (health-related quality of life atau HRQOL) punya

kesamaan dengan QoL di tingkat individu, yakni memiliki dua pendekatan utama

atau ukuran yang berbeda, yaitu subjektif dan objektif. Ukuran objektif menekankan

pada status kesehatan fungsional, sementara ukuran subjektif lebih pada kesehatan

dan well-being (Phillips, 2006, p. 41; Skevington et al., 2004, p. 299).

HRQOL telah memiliki ratusan instrumen. Definisi kesehatan menurut WHO

secara luas diterima dan sesuai dengan ragam definisi QoL. Isu otonomi, yang sangat

diperdebatkan, juga termasuk di dalamnya (Phillips, 2006, p. 40). Instrumen untuk

asesmen dari WHO dibuat oleh WHOQOL Group dengan nama WHOQOL-100.

Instrumen ini terdiri dari 100 item yang dikelompokkan dalam 25 faset dan

dikelompokkan lagi dalam enam domain. Versi singkatnya disebut WHOQOL-BREF

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 57: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

34

Universitas Indonesia

yang terdiri dari empat domain QoL, yaitu fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan.

Di antara sejumlah item, dijumpai aspek spiritualitas dalam domain psikologis

(Skevington et al., 2004, p. 300, 307).

Dalam perawatan paliatif yang banyak dibutuhkan kelompok lansia, ada

sejumlah instrumen seperti SEIQOL (The Schedule for the Evaluation of Individual

Quality of Life), TIQ (The Therapy Impact Questionnaire), MQOL (The McGill

Quality of Life Questionnaire), The Misoula, LEQ (The Life Evaluation

Questionnaire), dan MQLS (The McMaster Quality of Life Scale). Menurut Kaasa

dan Loge (2003, p. 17), sebagian besar instrumen HRQOL yang telah dibuat

digunakan untuk keperluan penelitian dan tidak cocok untuk praktik klinis sehari-

hari. Sebagian instrumen yang tampaknya relevan akan dijelaskan secara singkat.

MQOL memiliki 17 item kuesioner yang berasal dari interview dengan

pasien, literatur, dan instrumen yang ada. Kuesioner terbagi dalam lima sub-skala:

physical wellbeing, simptom fisik, simptom psikologis, existential wellbeing, dan

dukungan atau hubungan. Instrumen ini telah divalidasi pusat-pusat kajian dengan

pasien dari layanan paliatif dan kemudian dikombinasikan dengan pasien penderita

kanker yang tidak dirawat di rumah sakit (oncology outpatients) dan dari layanan

paliatif (Kaasa & Loge, 2003, p. 15-6).

Instrumen the Misoula–vitas QOL index didesain untuk lansia dengan

penyakit berat dengan fokus pada tahap akhir hayat. The Misoula digunakan sebagai

definisi dasar untuk pengalaman subjektif individu yang menemui hambatan atau

tantangan interpersonal, psikologis, dan eksistensial atau spiritual. Instrumen ini

terdiri dari 25 item dan telah divalidasi di setting hospice, yang mencakup lima

domain: simptom, fungsi, interpersonal, wellbeing, dan spiritualitas. Instrumen ini

cocok digunakan untuk perencanaan perawatan dan kontrol kualitas, namun

validitasnya perlu diuji lebih jauh. Kemudian, MQLS dibuat untuk mengases QoL

dari perspektif pasien perawatan paliatif. Di dalamnya ada 32 item kuesioner untuk

mengukur domain fisik, emosional, sosial, dan spiritual (Kaasa & Loge, 2003, p. 16).

2.3. Masalah Kesehatan Mental Lansia

Tantangan yang dihadapi manusia dalam tahap akhir hidup sangatlah beragam

dan kompleks, baik secara biologis, psikologis, sosial, intelektual, spiritual (Setiti,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 58: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

35

Universitas Indonesia

n.d.), emosional, maupun tingkah laku. Pada prinsipnya, seperti diuraikan Agustina

(2002), proses penuaan tidak hanya berarti terjadinya perubahan biologis, tapi juga

proses kehilangan, entah kehilangan peran sosial, pendapatan, dan teman atau

kerabat karena perpisahan atau kematian. Selain itu, penuaan identik dengan

kecemasan akan sesuatu, seperti keamanan dan keselamatan, ketidakpastian

penghasilan, dan ketergantungan.

Kane, seperti dikutip Agustina (2002), menyebut masalah lansia, yang oleh

para ahli gerontologi dianggap sebagai the geriatric giants (masalah kesehatan utama

lansia), dengan serangkaian “I”. I yang dimaksud meliputi: immobilitas, instabilitas

(fisik/non-fisik), inkontinensi (ketidakmampuan menahan buang air), intellectual

impairment (penurunan daya ingat atau kemampuan intelektual), infeksi, impairment

of vision and hearing (penurunan penglihatan dan pendengaran), irritable colon

(gangguan usus besar), isolasi, inanition (malnutrisi), impaction (konstipasi atau

sembelit), iatrogenesis (penyakit karena obat), insomnia, immune deficiency

(gangguan sistem kekebalan tubuh), dan impotensi (p. 12).

Penelantaran (neglected) atau kekerasan terhadap lansia (parent abuse) secara

fisik maupun emosional sering dialami lansia (Kirst-Ashman, 2010; Zastrow, 2004).

Lansia juga rentan menjadi korban kejahatan, seperti perampokan, penyerangan,

pencurian, pencopetan, vandalisme, dan penipuan karena mereka mengalami

penurunan energi, kekuatan, dan kecerdasan (Zastrow, 2004, p. 486-7).

Masalah berat yang sering mengiringi proses penuaan adalah isu transisional

terkait kehilangan (loss), seperti kehilangan peran sosial, pendapatan, kerabat/teman,

pasangan hidup, dan keluarga atau orang-orang yang dicintai (Agustina, 2002;

Zastrow, 2004; Kirst-Ashman, 2010). Menurut Weinstein (2008), loss dapat terkait

dengan: kematian sesorang yang dicintai atau dianggap penting; disabilitas; kondisi

hidup terbatas; terserang penyakit berat atau kronis; penuaan; dan bencana yang

menimpa keluarga dan anak (p. 1).

Ragam permasalahan hidup yang dijelaskan di atas dapat menjadi penyebab

(stressors) atau pemicu (triggering factors) bagi masalah kesehatan mental lansia.

Seperti dijelaskan dalam Bab 1, masalah kesehatan mental yang banyak diderita

lansia berdasarkan kajian pendahuluan meliputi kecemasan atau ketakutan akan

kematian dan prosesnya (death anxiety); duka (grief) akibat loss beserta responsnya

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 59: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

36

Universitas Indonesia

(bereavement); dan neurosis. Sejumlah masalah yang menjadi subjek penelitian ini

masing-masing akan diuraikan secara singkat berikut ini.

2.3.1. Death Anxiety

Kecemasan terhadap sesuatu yang akan datang, yaitu kematian (death) atau

prosesnya (dying), umum menghantui lansia. Kondisi yang mengitarinya semacam

ketakutan akan disabilitas, kepedihan, dan lamanya penderitaan menjelang kematian

juga dapat menimbulkan kecemasan akan kematian. Disabilitas di sini bukan semata

merujuk ke kondisi kecacatan dalam pengertian umum, akan tetapi ke kondisi

penurunan fungsi fisik atau kognitif, seperti penglihatan, pendengaran, kelincahan

gerak tubuh, mobilitas, dan daya ingat. Lansia umumnya mengharapkan mati

terhormat/bermartabat (dignity), di rumah sendiri, dengan sedikit kesakitan, dengan

kesiapan mental, dan dikelilingi keluarga dan handai taulan (Zastrow, 2004). Tidak

tercapainya harapan meninggal dengan kondisi baik inilah yang seringkali

memunculkan kecemasan atau ketakutan mereka.

Menurut Weinstein (2008), death merujuk ke orang yang secara fisik hidup

namun kondisi yang mereka alami menyebabkan terisolasi dari keluarga atau sosial.

Dengan kata lain, mereka adalah orang yang sudah tidak berdaya (living death) atau

secara sosial sudah mati (social death), contohnya orang yang mengalami koma,

demensia, dihukum penjara (p. 3). Dying bagi pekerjaan sosial, menurut Currer

(dalam Weinstein, 2008), merujuk ke tiga pengertian terkait proses semakin

melemahnya atau matinya: (1) kondisi fisik; (2) emosional atau individual (yang juga

dapat terkait dengan dimensi spiritual); dan (3) interaksi sosial dengan lingkungan.

Ketika menghadapi dying, menurut Nowitz (2005), sebagian orang punya

kesulitan menyampaikan kebutuhan spiritual secara lugas kepada orang-orang

sekitar. Profesi semacam pekerja sosial atau care manager harus mampu menangkap

berbagai isyarat/perilaku seperti agitasi, komplain, apatis, depresi, isolasi, dan

kecemasan. Sikap care manager untuk mereka yang berada pada tahap akhir hidup

meliputi: (1) menerima kondisi kehidupan mereka sebagaimana mereka hidup selama

ini; (2) berupaya merekonsiliasi kekecawaan masa lalu penderita; (3) memahami rasa

sakit dan kesenangan si penderita saat itu; dan (4) menemukan makna (p. 199).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 60: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

37

Universitas Indonesia

Ketakutan akan kematian dan prosesnya juga dibahas beberapa ahli di

Indonesia dengan berbagai perspektif. Misalnya dari perspektif keagamaan,

Komaruddin Hidayat menulis sejumlah buku tentang kematian. Di samping

Berdamai dengan Kematian (2009), bukunya yang paling populer adalah Psikologi

Kematian (2013). Kedua buku ini membahas bagaimana seharusnya menghadapi dan

memaknai kematian yang niscaya akan dialami setiap orang. Meskipun ditujukan

untuk khalayak umum dan dengan bahasa populer yang mudah dicerna, bukunya

akan sangat bermanfaat dibaca oleh para praktisi atau profesi pekerjaan sosial yang

menangani lansia atau mereka yang menderita sakit berat.

2.3.2. Grief dan Bereavement

Bentuk respons atau reaksi dari kehilangan karena bermacam faktor yang

telah diuraikan di atas disebut bereavement. Respons semacam ini, menurut

Weinstein (2008, p.3), ada yang bersifat intrapersonal atau psikologis: berduka cita

atau sedih (grief); dan yang bersifat interpersonal atau ekspresi sosial: berkabung

(mourning). Menurut Allan (2005), grief merupakan pengalaman dan ekpresi yang

sangat dipengaruhi faktor personal dan lingkungan sosial-kultural.

Allan (2005) mengatakan konsep tentang grief sebagai sebuah proses banyak

dipengaruhi perspektif modernis Barat, seperti para teoretisi Freudian dan psiko-

analisis, stage theory, attachment theory, dan lain-lain. Dengan mengutip Sulverman

dan Klass (1996), Allan (2005) menyimpulkan beberapa karakteristik konsep tentang

grief dan bereavement yang dominan di Barat sebagai berikut (p. 288):

1. grief adalah tahap jangka pendek yang alurnya bersifat linier hingga berakhir;

2. orang yang sedang berduka (the bereaved) diharapkan membatasi ekspresi

grief pada saat dan tempat yang tepat;

3. waktulah yang diharapkan dapat menghapuskan grief;

4. ekspresi grief tidak boleh terlalu pendek, atau terlalu panjang, ditunda, terlalu

ditampakkan, atau malah kurang ditampakkan; dan

5. mempertahankan kelekatan yang menerus dengan almarhum adalah patologis.

Teori tentang grief umumnya berasosiasi dengan teori tentang loss. Pandangan

tradisional tentang loss dan grief, menurut Thompson (2002), banyak menerapkan

pendekatan teori tahapan (stage theory), yang telah sekian lama menyulut pro dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 61: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

38

Universitas Indonesia

kontra. Salah satu teori tentang loss populer yang memakai model tahapan (‘stages

model’) dibuat Elizabeth Kübler-Ross, dimana seseorang yang mengalami loss akan

melalui lima tahap berurutan dalam jangka waktu tertentu yaitu: penolakan, marah,

bimbang (bargaining), depresi, dan diakhiri dengan penerimaan (p. 3). Sementara

teori tentang grief yang juga mengadopsi stage theory dibangun oleh Collin Parkes

yang terdiri dari empat fase: kaget dan mati rasa (shock and numbness); merasa

kehilangan dan terkenang-kenang (yearning and searching); galau (disorganization)

dan putus asa; dan menata hati kembali (reorganization) (p. 4).

Dari pihak yang kontra dengan stage theory, Thompson (2002) mengambil

contoh dari William Worden yang menganggap grief lebih sebagai proses mencapai

atau menjalankan peran/tugas (‘tasks’). Hampir sama dengan teori psikologi

perkembangan manusia, Worden menetapkan empat tasks: (1) menerima kenyataan

tentang loss; (2) mengatasi derita dari grief; (3) menyesuaikan diri dengan

lingkungan dimana almarhum tiada; dan (4) secara emosional berupaya merelokasi

almarhum dan terus menjalani (move on) hidup (p. 4).

Pendekatan tradisional lain yang dipakai untuk memahami loss dan grief,

seperti dikatakan Thompson (2002), adalah attachment theory yang juga banyak

memunculkan pro dan kontra. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini terkait

asumsi-asumsi bias gender dan tidak mempertimbangkan keragaman kultur (p. 4-5).

Secara umum, Thompson menyimpulkan bahwa pendekatan-pendekatan tradisional

tersebut banyak dikritik karena sikap ‘reduksionisme psikologis’-nya yang

mereduksi kompleksitas individu (p. 5).

Menurut Altmaier (2011), grief merupakan fenomena umum, namun masih

belum cukup terkonseptualisasi dan ukuran-ukurannya pun tidak konsisten, baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan kajian literatur tentang ukuran grief,

Schoulte dan Altmaier (2008) seperti dikutip Altmaier (2011) merinci karakteristik

umum pengalaman grief menyangkut domain dan definisi seperti dalam Tabel 2.1.

Allan (2005) melihat ada pengaruh pemikiran posmodernis dan teori sosial

konstruktivis dan naratif terhadap konsep grief. Terkait keterikatan menerus

(continuing bonds), seperti pada Tabel 2.1 atau sebagai karakteristik terakhir dari

konsep grief menurut perspektif modernis yang dominan, Allan berpendapat bahwa

continuing bonds tidak bisa diterapkan ke setiap orang yang mengalami kedukaan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 62: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

39

Universitas Indonesia

akibat kehilangan. Bagi sebagian orang, makna suatu kehilangan dapat dinegosiasi

dan renegosiasi sepanjang hayat. Dengan proses aktif, menurut Silverman dan Klass

(dalam Allan 2005), keterikatan menerus tersebut dapat dimungkinkan melalui

memorial seperti foto almarhum, peringatan hari wafatnya, mempertahankan

pengaruh-pengaruhnya, atau dengan memimpikan dan berbicara dengannya.

Tabel 2.1. Domain dan definisi pengalaman grief

Domain Definisi

Gejala fisik Reaksi somatis dan fisiologis

Kendala kognitif Kesulitan mengingat, belajar, atau berpikir

Masa depan tak pasti Kehilangan makna hidup dan pesimisme akan masa depan

Penolakan Tidak menerima kehilangan, dengan respons shock dan mati rasa

Interaksi interpersonal Berubahnya reaksi, kebutuhan, dan hubungan interpersonal

Respons emosional Serangkaian perasaan internal terkait kehilangan

Perasaan tidak adil terhadap kehilangan

Frustrasi karena kehilangan, merasa bahwa kehilangan yang di-alami tidak pantas ia terima, asumsi kacau akan ”dunia yang adil”

Ritual simbolis Perilaku dengan makna simbolis tertentu yang mungkin dilakukan seseorang selama proses kedukaan (grieving process)

Keterikatan menerus (continuing bonds)

Jalinan emosional, kognitif, dan perilaku yang tetap berlanjut dengan almarhum

Penemuan hikmah (benefit finding)

Perubahan positif tentang diri sebagai akibat dari pengalaman kehilangan

Sumber: Schoulte & Altmaier (2008) dalam Altmaier (2011, p. 38)

2.3.3. Neurosis

Konsep neurosis dapat merujuk ke Frankl (2004) yang juga dapat menjelaskan

sejumlah masalah yang saling mempengaruhi seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Frankl, penyebab masalah kesehatan mental dapat berasal dari aspek fisik

atau biologis (somatis) dan juga psikologis, dan gejalanya pun dapat berupa fisik

maupun psikologis. Neurosis merupakan masalah gangguan mental ringan, semacam

depresi atau kecemasan, yang dapat disebabkan oleh faktor psikologis namun

gejalanya bisa berupa psikologis maupun fisik.

Pada Tabel 2.2 tampak sumbu vertikal berupa simptomotologi atau

fenomenologi yaitu semacam gejala atau simptom yang menjelaskan cara suatu

penyakit muncul atau menggejala. Gejalanya yang bersifat psikologis dinamakan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 63: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

40

Universitas Indonesia

feno-psikologis, sementara yang bersifat fisik/biologis disebut feno-somatik.

Sedangkan, aksis horisontal merupakan etiologi yaitu penyebab atau asal-usul

(genesis) suatu penyakit. Apabila penyebabnya bersifat fisik disebut somatogenik,

sementara yang bersifat psikologis disebut psikogenik (Frankl, 2004).

Tabel 2.2. Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya

Simptomotologi

Feno-psikologis Feno-somatik

Etio

logi

Somatogenik Psikosis Penyakit fisik “biasa”

Psikogenik Psikoneurosis Neurosis somatis

Sumber: Frankl (2004, p. 44)

Menurut Frankl (2004, p. 41), neurosis dalam pengertian yang ketat atau tepat

adalah segala penyakit yang disebabkan faktor psikologis (psychogenic illness) dan

dengan gejala psikologis pula (feno-psikologis). Pada Tabel 2.2 di atas, pengertian

neurosis ini ditunjukkan oleh penyakit psikoneurosis. Dalam bukunya, istilah

neurosis ini seringkali dipakai Frankl (2004) untuk merujuk ke gejala-gejala neurotik

yang muncul oleh sebab-sebab ragawi, spiritual, dan juga sosial. Bentuk neurosis lain

berupa neurosis somatis atau psikosomatis, yakni jenis gangguan yang dipicu karena

faktor psikologis (psikogenik) namun gejalanya bersifat fisik (feno-somatik) (p. 41).

Di sini perlu dijelaskan juga dua gangguan lain, yaitu berupa psikosis dan

penyakit fisik “biasa”. Psikosis adalah penyakit yang disebabkan faktor fisik

(somatogenik) dengan gejala psikis (feno-psikologis). Untuk psikosis, Frankl lebih

memilih istilah gangguan psikotik (psychotic disorder). Istilah ini lebih umum

digunakan dan konsisten dengan sistem ICD-9 yang dipakai di Eropa ketimbang

istilah DSM yang digolongkan sebagai Major Depressive Disorders atau depresi

endogenus. Dengan demikian, psikosis ini merupakan gangguan mental berat. Untuk

“ordinary” illness (atau penyakit fisik biasa) tidak termasuk neurosis karena baik

gejala maupun penyebabnya berupa fisik, bukan psikologis (Frankl, 2004, p. 41).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 64: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

41

Universitas Indonesia

2.4. Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia

Sub-bab ini membahas model penanganan lansia secara umum di Indonesia,

penanganan kesehatan mental dengan pendekatan pekerjaan sosial, dan pendekatan

pekerjaan sosial baik secara konvensional maupun holistik.

2.4.1. Model Penanganan Lansia Indonesia

Penanganan lansia di Indonesia dibedakan menjadi dua model, institusional

dan non-institusional, baik yang diselengarakan oleh pemerintah maupun non-

pemerintah (Tabel 2.3). Dari pihak pemerintah, menurut Noveria (2006), ada tiga

institusi utama yang bertanggung jawab menyediakan layanan bagi lansia, yaitu:

Kemensos, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN). Namun, Kemensos lah yang menjadi lembaga

terdepan dalam penanganan isu-isu lansia (Phillips, 2000, p. 7).

Tabel 2.3. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah

Model Institusional Non-institusional (berbasis keluarga dan masyarakat)

Pemerintah Panti sosial, Puskesmas Ramah/Santun Lansia, Klinik Geriatrik atau Layanan Geriatri Terpadu

Day care, home care, trauma center, Bina Keluarga Lansia

Non-pemerintah atau masyarakat

Panti werdha, Posyandu Lansia atau Posbindu Lansia, Sasana Tresna Werdha

Home care, trauma center, Karang Wredha, Karang Lansia

Panti adalah satu bentuk upaya pemerintah dan masyarakat dengan model

institusional. Contohnya Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) milik Kemensos dan

Dinas Sosial (Dinsos). Untuk panti pemerintah, persyaratan paling utama menjadi

pemanfaat layanan (benefeciaries atau klien) adalah lansia telantar, artinya lansia

yang benar-benar memerlukan layanan yang sama sekali tidak ada anggota keluarga

yang bakal merawatnya. Sedangkan, panti swasta kebanyakan untuk lansia yang

menolak tinggal bersama anak atau kerabatnya karena alasan tertentu.

Upaya pemerintah lain dengan model non-institusi adalah day care dan home

care. Layanan day care, menurut Noveria (2006), ditujukan bagi lansia yang tinggal

bersama keluarga, tapi keluarganya tergolong miskin atau mengalami kesulitan

finansial. Kegiatan day care biasanya dilakukan di tempat tertentu seperti panti dan

para lansia lah yang datang. Layanan yang diberikan berupa makanan dan perawatan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 65: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

42

Universitas Indonesia

kesehatan dengan menawarkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan oleh dokter.

Menurut Fahrudin (2007), jenis-jenis pelayanan standar lain juga diberikan, seperti

pelayanan psikososial, keterampilan, pendampingan, dan juga spiritual/keagamaan.

Layanan seperti itu juga diberikan oleh Pusaka (Pusat Santunan dalam

Keluarga) yang merupakan satu bentuk home care. Berbeda dengan day care, home

care dilakukan di lingkungan keluarga dimana para pendamping (care giver) atau

praktisi kesejahteraan datang ke tempat tinggal mereka. Lembaga non-institusional

luar panti di tingkat komunitas ini memberikan program permakanan bagi lansia

secara teratur. Selain itu, pusat ini juga memberikan bimbingan kerohanian dan

kesehatan. Di Jakarta terdapat 72 buah Pusaka di tingkat kelurahan.

Program lain Kemensos dari sisi perlindungan berupa Jaminan Sosial Lanjut

Usia (JSLU) untuk lansia miskin atau tidak potensial. Mulai tahun 2012 ini namanya

menjadi Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT). Landasan pijak program ini

terutama adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Uji

coba JSLU dimulai sejak 2008 untuk 5000 lansia yang diambil dari 15 provinsi.

Bantuan finansial Rp. 300.000,- per-orang perbulan diberikan kepada penerima

bantuan hingga meninggal dan hak ini akan diberikan kepada mereka yang masuk

daftar tunggu. Seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan diberikan langsung

kepada penerima melalui PT. Pos (Depsos, 2008; Uji Coba JSLU, 2008).

Model institusional dari Kemenkes adalah puskesmas, klinik geriatrik (di

rumah sakit tertentu seperti di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta), atau fasilitas

kesehatan lain. Layanan yang diberikan terutama berupa perawatan kesehatan dari

sisi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sementara, BKL (Bina Keluarga Lansia)

disediakan oleh BKKBN yang target layanannya tidak saja lansia, tapi juga keluarga

lansia. Melalui berbagai aktivitas, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran

anggota keluarga untuk memberikan dukungan bagi lansia, menghormati orang tua

mereka yang lansia, melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan, dan

meningkatkan kemampuan finansial keluarga yang memiliki lansia (Noveria, 2006).

Upaya penanganan kesehatan mental lansia, dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan lansia, mengacu seperangkat kebijakan: UU kesejahteraan lansia, UU

Kessos, UU kesehatan, Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Kesejahteraan Lansia,

dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk mengawasi dan memastikan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 66: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

43

Universitas Indonesia

kesejahteraan mereka, pemerintah juga telah membentuk Komisi Nasional (Komnas)

Lansia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 tahun 2004. Tidak kurang,

bersama masyarakat internasional Indonesia juga ikut dalam upaya antisipasi

terhadap proyeksi ledakan penduduk lansia di dunia dengan menghasilkan berbagai

rencana aksi, seperti Vienna International Plan of Action on Aging 1982; Macao

Plan of Action on Aging for Asia and Pacific 1988; Madrid International Plan of

Action on Aging 2002; dan Shanghai Implementation Strategy 2002.

2.4.2. Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial

Penanganan masalah kesehatan mental lansia termasuk salah satu bidang

garapan dalam pembangunan kesejahteraan sosial karena punya tujuan mewujudkan

atau meningkatkan kesejahteraan sosial lansia. Satu disiplin ilmu yang terkait dengan

usaha kesejahteraan sosial lansia dan layanan kesehatan mental atau jiwa adalah

pekerjaan sosial. Adi (2013, p. 93-94), dengan mengutip sejumlah ahli,

mengelompokkan profesi ini sebagai salah satu bidang kesejahteraan sosial dalam

arti sempit. Dengan sudut pandang lain, isu kesehatan mental lansia juga termasuk

dalam klasifikasi bidang kesejahteraan sosial dalam arti luas, yakni apabila kesehatan

mental dilihat dari sisi kekhususan masalah yang ditangani dan pelayanan untuk

kelompok lansia dilihat dari sisi tingkat usia kelompok sasaran (p. 102).

Berdasarkan pengelompokkan Adi (2013) di atas, pembahasan tentang

kesehatan mental lansia di sini tampaknya lebih dikaitkan dengan bidang

kesejahteraan sosial dalam arti khusus, yakni pekerjaan sosial. Hal ini selaras dengan

sejumlah kebijakan yang melandasi upaya penanganan lansia. Dalam UU Kessos

2009, sebagian sumber daya penyelenggara kesejahteraan sosial adalah tenaga

kesejahteraan sosial dan pekerja sosial profesional (Pasal 33). Bahkan dalam UU

Kessos yang lama (UU No. 6/1974) disebutkan bahwa pekerjaan sosial menjadi

keterampilan teknis sebagai wahana bagi segala usaha kesejahteraan sosial. Intinya,

isu kesehatan mental yang dialami kelompok lansia dalam penelitian ini akan lebih

ditekankan pada upaya penanganan dengan pendekatan pekerjaan sosial.

Hubungan antara pekerjaan sosial dan kesehatan mental memiliki latar

belakang sejarah yang panjang atau hampir sama dengan kemunculan disiplin

pekerjaan sosial itu sendiri di masyarakat Barat, yakni sejak akhir abad ke-19.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 67: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

44

Universitas Indonesia

Menurut Heinonen dan Metteri (2005a), aktivitas pekerjaan sosial pada masa itu

telah terjalin-kelindan dengan praktik medis dan psikiatri, khususnya yang

menawarkan pertolongan dan konseling bagi pasien rumah sakit tidak mampu. Baik

dalam bidang kesehatan (fisik) maupun kesehatan mental, pekerja sosial berupaya

memromosikan kesehatan, kesejahteraan (well-being), pertumbuhan, dan perubahan

baik di tingkat individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas.

Meskipun sama-sama menangani masalah kesehatan mental, keduanya

berbeda dari sisi pendekatan atau model. Menurut Pritchard (2006), perbedaan inilah

yang menyebabkan hubungan panjang itu selalu diwarnai kontroversi antara dua

kubu yang berbeda, yaitu antara pendekatan medikal dan psikiatri dengan pendekatan

pekerjaan sosial. Kubu pertama menjelaskan kondisi terganggunya tingkah laku (atau

tingkah laku yang mengganggu) sebagai akibat dari gangguan fisik tertentu.

Sementara itu, kubu pekerjaan sosial dengan akar ilmu-ilmu sosial dan behavioral

menawarkan perspektif berbeda tentang mereka yang terstigma sebagai “outsiders”.

Senada dengan Pritchard (2006), Zastrow (2004) melihat ada dua pendekatan

dalam melihat masalah mental atau tingkah laku ini, yaitu model medikal dan

interaksional. Pertama, model medikal memandang masalah tersebut sebagai

penyakit mental, sebagaimana mereka menyebut penyakit fisik. Penyebabnya bisa

karena keturunan, kekacauan metabolik, penyakit menular, konflik batin,

penggunaan bawah sadar sebagai mekanisme bertahan, pengalam traumatik waktu

anak-anak, dan lain-lain.

Model kedua, model interaksional, merupakan bentuk kritik terhadap

pendekatan medikal. Kritik ini pertama kali muncul dekade 1950-an oleh Thomas

Szasz, yang menganggap penyakit mental hanyalah mitos. Teorinya menekankan

pada proses interaksi sosial sehari-hari dan pengaruh pemberian label. Menurut

Szasz, seperti dikutip Zastrow (2004), implikasi menyebut penyakit mental adalah

berarti ada penyakit dalam pikiran atau jiwa seseorang, dan itu sangat tidak tepat.

Szasz mengelompokkan penyakit mental ke dalam tiga kategori (p. 163-4):

1. Ketakmampuan personal (personal disabilities), seperti kecemasan berlebih,

depresi, dan ketakutan. Istilah lainnya adalah emosi yang tidak diinginkan.

Mental yang dimaksud mencakup wilayah pikiran dan perasaan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 68: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

45

Universitas Indonesia

2. Tindakan anti sosial, berupa penyimpangan sosial. Szasz memasukkan

homoseksualitas ke dalam kategori ini, tetapi tahun 1974 Asosiasi Psikiatrik

Amerika (APA) mengeluarkannya dari penyakit mental. Tindakan anti sosial

ini tidak termasuk wilayah mental, bukan pula penyakit.

3. Terganggunya kepribadian (personality changes) karena kerusakan otak.

Kategori “mental illness” di sini karena suatu penyakit seperti Alzheimer,

arteriosclerosis, chronic alcoholism, general paresis, AIDS, atau kerusakan

otak parah karena kecelakaan. Gejalanya seperti hilang ingatan, kelesuan atau

tanpa gairah, apatis, pikun, dan lain-lain. Kategori penyakit ini, menurut

Szasz, lebih tepat disebut penyakit otak, bukan penyakit mental atau pikiran.

Selaras dengan pendekatan pekerjaan sosial terhadap kesehatan mental yang

dimaksud Pritchard (2006) dan model interaksional Thomas Szasz, Kirst-Ashman

(2010) menyarankan para pekerja sosial untuk berpikir kritis terhadap panduan

diagnostik APA yang sangat bernuansa medikal. Ada dua hal yang menjadi alasan

Kirst-Ashman. Pertama, penekanan panduan Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) pada patologi atau kelemahan individu berarti

mengabaikan kekuatan mereka. Pengategorian tersebut juga kurang memperhatikan

pentingnya lingkungan bagi individu. Kedua, masalah labeling menurut kriteria

tertentu, padahal belum tentu sama atau dipandang berbeda menurut standar lain.

Dalam DSM, ada banyak label yang menyebut penderita gangguan mental dengan

emosi atau tingkah laku yang dianggap berbeda atau tidak biasa dari umumnya. Cap

tersebut, menurut Zastrow (2004), terkadang kurang enak didengar, seperti sinting,

aneh, psikotik, neurotik, gila atau tidak waras, sakit, atau edan.

Model interaksional yang diusung Szaz atau kritisisme Kirst-Ashman terhadap

model medikal merupakan ciri khas pekerjaan sosial yang sangat menekankan sisi

kekuatan si penderita ketimbang sisi kelemahannya. Ciri khas lain adalah bahwa

praktik pekerjaan sosial tidak saja fokus pada si penderita masalah mental, namun

yang tidak kalah penting adalah lingkungan sosialnya. Model semacam ini dikenal

sebagai individu atau manusia dalam lingkungan atau person-in-environment (PIE).

Model PIE juga diadopsi Kode Etik NASW tahun 1999, seperti dikutip Lee et al.

(2009, p. xviii), yang di dalamnya dinyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah profesi

yang fokus pada kesejahteraan individu dalam konteks sosial. Perhatian terhadap

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 69: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

46

Universitas Indonesia

kekuatan lingkungan yang menimbulkan, berkontribusi, sekaligus mampu mengatasi

masalah hidup juga menjadi hal mendasar dalam pekerjaan sosial.

Penggunaan konsep PIE, termasuk dalam penanganan kesehatan mental,

merupakan satu ciri khas dan kelebihan pendekatan pekerjaan sosial. Lee et al.

(2009) menjelaskan bahwa PIE telah sekian lama dianggap sebagai perspektif yang

lebih menyeluruh dan integratif dalam memahami masalah klien dan proses

perubahan. Bahkan perspektif ekosistem ini telah menjadi ciri khas tersendiri bagi

pekerjaan sosial yang membedakan dengan profesi-profesi lain. Pendekatan-

pendekatan psikodinamika, behaviorisme, dan eksistensialisme yang sempat

mendominasi lebih mengandalkan aspek psikologis, biologis, dan perilaku individu

ketika menangani masalah individu. Namun pendekatan dan teori-teori dominan ini

kurang megakomodir peran individu dalam hubungannya dengan lingkungan.

Cara pekerjaan sosial menggunakan perspektif PIE juga berbeda dari profesi-

profesi lain. PIE yang diadopsi pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh perspektif

psikososial dan ekologis. Perspektif psikososial dikembangkan Florence Hollis, yang

memandang perilaku individu dipengaruhi oleh baik faktor psikologis maupun sosial.

Sementara perspektif ekologis digunakan Germain dan Gitterman untuk membangun

life model yang menekankan kesalingterkaitan (interrelationship) antara individu dan

lingkungan ekologis yang lebih luas serta implikasinya terhadap praktik pekerjaan

sosial (Lee at al., 2009, p. xxii).

Penerapan konsep PIE dalam pekerjaan sosial dapat dilihat dari model

intervensi kelompok dukungan (support group) ataupun swabantu (self-help group).

Arnold (2009) menunjukkan betapa pentingnya support group dan self-help group

dalam konseling dan pengasuhan akhir kehidupan, khususnya bagi individu yang

mengalami suatu penyakit tahap akhir (terminal illness). Menurut Stearns et al.

seperti dikutip Arnold (2009, p.185), intervensi dengan menggunakan kelompok

seperti itu bermanfaat untuk menghubungkan para klien yang memiliki kesamaan

kasus. Dengan difasilitasi pekerja sosial secara profesional, mereka akan saling

mendukung, menumbuhkan kebersamaan, berbagi informasi, dan menghindari

isolasi diri. Metode ini juga dapat diterapkan untuk anggota keluarga klien agar

mereka dapat berbagi perasaan frustrasi atau marah atas apa yang menimpa orang

yang mereka cintai dan dapat saling berbagi informasi sistem sumber di masyarakat.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 70: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

47

Universitas Indonesia

Di dalam pendekatan pekerjaan sosial itu sendiri, termasuk ketika menangani

kesehatan mental lansia, secara umum dijumpai dua pendekatan atau model utama,

yaitu konvensional dan holistik.

2.4.3. Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional

Pendekatan tradisional ini hanya melibatkan aspek psikososial atau biospsiko-

sosial. Meski cakupan aspeknya lebih luas ketimbang model biomedis, pendekatan

konvensional ini masih dianggap bersifat reduksionistik karena belum mencakup

aspek-aspek lain yang menggambarkan totalitas manusia, seperti aspek kultural,

struktural, intelektual, agama, dan spiritual. Menurut Turner (2008), terapi

psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam pekerjaan sosial. Meskipun

banyak ahli menganggap terapi psikososial telah ketinggalan zaman, “ia akan terus

menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial kontemporer,” katanya (p. 174).

Karena fokus pada aspek biopsikososial saja, muncul ketakpuasan masyarakat

terhadap praktik pekerjaan sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang

lebih holistik. Huguelet dan Koenig (2009) menilai praktik konvensional bersifat

reduksionistik karena tidak melihat keseluruhan aspek manusia secara utuh ketika

mendefinisikan seperti apa keberadaan manusia yang baik atau sejahtera itu.

Senada dengan penilaian ini, Hutchison (1999), seperti dikutip Murdock

(2005), keunikan sekaligus kelebihan pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi adalah

penekanannya pada perspektif PIE yang dapat menjadi kerangka asesmen dan

intervensi bagi praktik yang bersifat menyeluruh. Sayangnya, kata Murdock,

penekanan praktik pekerjaan sosial tradisional/konvensional hanya pada dimensi

fisik dan psikologis, sementara dimensi spiritual diabaikan, atau bahkan ditolak.

Lee et al. (2009) menjelaskan mengapa aspek spiritual tidak disentuh dalam

model-model tradisional PIE, padahal perspektif ekosistem ini dipandang lebih

menyeluruh dan integral yang menjadi ciri khas pekerjaan sosial dibanding profesi

lain. Menurutnya, hal itu karena perkembangan teori dan praktik pekerjaan sosial

selama ini sangat dipengaruhi oleh paradigma dominan positivisme, saintifisme,

rasionalisme, dan empirisisme. Paradigma yang tumbuh subur dalam cara pandang

sekular dan tradisi saintifik dan humanistik ini sangat sulit memasukkan aspek

spiritual dan juga agama dengan alasan: (1) sebagai sebuah profesi, pekerjaan sosial

harus objektif dan bebas nilai; (2) konsep spiritualitas terlalu tidak jelas apabila

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 71: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

48

Universitas Indonesia

dijadikan landasan ilmiah profesional bagi praktik, pengetahuan, dan penelitian

pekerjaan sosial; (3) spiritualitas dan agama sangat terkait dengan ide-ide

supranatural atau pengalaman pribadi yang tidak seharusnya dibawa ke domain

publik lembaga pekerjaan sosial; dan (4) agama bersifat dogmatis, kaku, menindas

(opresif), dan bersifat menilai/menghukum (benar/salah), yang berlawanan dengan

prinsip hak menentukan diri-sendiri (self-determination) klien (Clark, Sullivan, &

Weisman dalam Lee et al., 2009, p. xxiii-iv).

2.4.4. Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik

Seperti disampaikan sebelumnya, pendekatan ini disebut sebagai pendekatan

menyeluruh karena melibatkan aspek-aspek yang lebih komplit dari pada pendekatan

konvensional dan diklaim lebih berhasil mengatasi masalah kesehatan mental lansia.

Meski dianggap holistik, pendekatan ini juga tidak betul-betul melibatkan seluruh

aspek yang mampu menggambarkan totalitas manusia secara utuh karena eksistensi

manusia yang begitu rumit dan kompleks sampai sejauh ini masih misteri.

Dalam pendekatan yang dianggap lebih holistik ini, macam model yang telah

berkembang juga tidaklah homogen atau tidak hanya berupa model biopsikososial

spiritual/agama yang selama ini begitu sering dipromosikan. Sebagai contoh, ada

pendekatan biopsikososio-struktural yang diperkenalkan dalam sebuah buku antologi

editan Heinonen dan Metteri (2005a/b). Dalam kesimpulan, keduanya menjelaskan

bahwa pendekatan tersebut menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan

pendekatan medikal atau biomedis yang hanya melihat aspek fisik semata.

Pendekatan biomedis dianggap tidak mampu mengatasi berbagai masalah hidup si

penderita yang justru dapat menjadi penyebab atau bahkan dapat memperburuk

kondisi kesehatannya (Heinonen & Metteri, 2005b, p. 417).

Dengan mengombinasikan aspek-aspek biologis, psikologis, sosial, dan

struktural, pendekatan yang menggunakan perspektif kekuatan ini juga punya

komitmen untuk mendorong pertumbuhan, mewujudkan kondisi sejahtera, dan

memperkuat kapasitas seseorang untuk mengatasi berbagai kesulitan dan mampu

bertahan dalam situasi tanpa harapan. Menurut Heinonen dan Metteri (2005b),

pendekatan ini dibutuhkan pekerja sosial yang menangani orang-orang yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 72: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

49

Universitas Indonesia

mengalami gangguan kejiwaan, kesedihan (grief), atau merasa kehilangan (loss)

karena penyakit berat, bereavement, kekerasan, atau penyebab serius lain.

Richardson (2009) memromosikan suatu pendekatan yang menggabungkan

pekerjaan sosial tradisional dengan praktik biopsikososialkultural. Menurutnya,

pendekatan yang dianggap terpadu dan holistik tersebut diyakini lebih efektif untuk

menangani kompleksitas masalah yang dihadapi lansia (p. 327). Masalah umum

lansia dianggap kompleks karena melibatkan beragam dimensi yang saling terkait

seperti biologis, psikologis, sosial dan budaya. Masalah kesehatan fisik yang berat,

sebagai contoh, dapat memicu depresi dan kecemasan. Atau sebaliknya, kondisi

mentalnya juga dapat berpengaruh pada kondisi fisiknya. Dengan begitu, pekerja

sosial harus mempertimbangkan segala aspek untuk mengatasi keruwetan masalah

lansia baik tahap awal mendengarkan, asesmen, hingga tahap intervensi.

Menurut Musgrave (2005), berbagai kejadian hidup yang dialami lansia

seringkali berada di luar kemampuannya dan dapat mengubah pandangan hidupnya.

Apabila pengalaman tersebut sampai mengancam kedirian (ego) dan identitas

mereka, kondisi tersebut dapat menggiring lansia ke dalam kondisi krisis.

Berdasarkan teori intervensi krisis, kondisi tersebut bisa terjadi apabila seseorang

mengalami kejadian yang sangat tidak diharapkan dan menyebabkan guncangan atau

perubahan drastis dalam kehidupannya (p. 265-7). Ada tiga kemungkinan dalam

merespons krisis tersebut: menyerah putus asa (hopeless) dan tidak mampu

menghadapi masa depan; mampu bangkit kembali ke keseimbangan semula; atau

bahkan mampu tumbuh meningkat mencapai tingkat pemahaman diri (self-

understanding) dan ketahanan pribadi (Musgrave, 2005, p. 266).

Berbicara konteks masyarakat Indonesia, Romo Mudji menangkap sejumlah

fenomena yang terjadi yang dapat mengantarkan Indonesia ke kondisi krisis atau

lebih tepat dikatakan sebagai krisis nilai. Fenomena tersebut di antaranya adalah

masalah penderitaan dan kematian. Menurutnya, penderitaan bisa diketahui publik

karena diwartakan atau bisa juga diam-diam, seperti mereka yang berada di rumah

sakit, panti, atau rumah. Fakta kematian yang pasti akan dialami setiap orang juga

dapat menyebabkan krisis dengan memunculkan berbagai pertanyaan terkait tujuan

dan makna hidup yang sejauh ini dijalani (Sutrisno, 2001, p. 4-5).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 73: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

50

Universitas Indonesia

Menurut Romo Mudji, ada sejumlah ikhitiar untuk menjawab pertanyaan yang

muncul dari fenomena tersebut. Eksistensialis Jean Sartre menyebut krisis hidup

yang muncul dari absurditas dengan istilah Nausea (rasa muak), yakni hidup tanpa

arti dan hampa secara eksistensial. Albert Camus memandang absurditas hidup yang

tanpa arti dengan mengambil mitologi Yunani Sisyphus. Menurut Camus, manusia

hidup seperti dewa Sisyphus yang mencoba berkali-kali mengangkat batu bulat besar

ke bukit, namun selalu menggelinding lagi ke bawah begitu sampai ke atas. Meski

tahu resiko gagal, manusia tidak berhenti berupaya melakukannya. Viktor Frankl

menawarkan jawaban keluar dari krisis dengan cara menemukan makna hidup ini.

Erich Fromm juga turut menunjukkan jalan keluar dengan cinta kepada sesama yang

mampu melampaui cinta pada diri-sendiri (Sutrisno, 2001, p. 5-10).

Gotterer (2001) menggambarkan kondisi krisis sebagai berikut:

Tragedi seperti kematian mendadak orang yang dicintai mendorong seseorang

melakukan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Orang yang mendekati

kematian juga sering bertanya-tanya apakah ada kehidupan (akhirat) setelah

kematian. Ketika ditimpa musibah mereka mempertanyakan apa makna dan

tujuan hidup ini. Mereka yang menderita penyakit berat atau mengalami

penindasan panjang mencari-cari jalan untuk memahami apa yang

sesungguhnya terjadi (p. 187).

Dari gambaran Gotterer tersebut tampak orang-orang yang mengalami krisis

tersebut memiliki kecenderungan yang besar akan spiritualitas. Dengan demikian,

penanganan lansia dengan ragam masalah yang berat diperlukan pendekatan holistik

yang mengakomodir aspek spiritual yang mereka miliki.

Pendekatan holistik yang banyak dikembangkan dalam dua dekade akhir

dalam pekerjaan sosial adalah pendekatan biopsikososiospiritual/agama. Pendekatan

ini diajukan sebagai alternatif atas munculnya ketakpuasan terhadap penerapan

pekerjaan sosial konvensional dalam masyarakat industri dan pasca-industri yang

cenderung ke arah materialisme dan konsumerisme. Mereka butuh pendekatan

interdisiplin dan multilevel yang lebih holistik dan mencakup dua aspek itu.

Terkait model PIE dengan perspektif ekologisnya, menurut Lee et al. (2009),

penanganan kesehatan mental lebih baik jika memasukkan spiritualitas ke dalamnya,

sebagaimana disarankan Max Siporin sejak tiga dekade silam. Zapf (2007, p. 230-1)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 74: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

51

Universitas Indonesia

mempermasalahkan komponen environment (lingkungan) dalam konsep PIE yang

seringkali dipersempit hanya dalam konteks sosial. Menurutnya, penyempitan

tersebut tidaklah mengherankan karena pekerjaan sosial banyak mengadopsi disiplin

ilmu lain, terutama seperti psikologi, sosiologi, psikiatri, dan antropologi, yang

cenderung memberi penekanan lebih pada unsur masyarakat (sosial) beserta

individu. Lingkungan dalam konsep PIE harusnya punya cakupan lebih luas dari

sekadar sosial, yakni melingkupi semesta. Dari pemikiran Zapf ini, dapat dikatakan

bahwa cakupan luas itu dapat juga meliputi wilayah spiritualitas. Dan terkait wilayah

ini, Zapf (2007, p.231) juga menganalogikan reduksi konsep lingkungan hanya

dalam konteks sosial dengan pembahasan spiritualitas hanya pada tingkatan individu.

Menurutnya, pemanfaatan spiritualitas seharusnya diperluas ke hubungan individu

dan lingkungan (dalam hal ini unsur locus) sebagaimana dalam konsep PIE.

Perspektif holistik dengan melibatkan aspek spiritual dan agama telah banyak

menunjukkan efektivitasnya dalam berbagai penanganan. Sebagai contoh, Ho et al.

(2009) melakukan penelitian terhadap wanita yang didagnosis menderita kanker

payudara di Hongkong pada tahun 2004 dengan kajian kuantitatif. Penelitiannya

bertujuan menguji efektivitas penanganan dengan model “Integrative Body-Mind-

Spirit” (I-BMS) dibandingkan dengan kelompok dukungan sosial (Social Support

Group atau SS Group). Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang

ditangani dengan model I-BMS Group mengalami perbaikan yang lebih besar secara

signifikan dari sisi domain psikososial dibandingkan dengan kelompok yang

ditangani dengan SS Group. Domain psikososial yang diamati meliputi kontrol

emosional, kemampuan menghadapi kanker (cancer coping), kualitas hidup,

perkembangan pascatraumatik, dan salivary cortisol.

Paradigma baru yang lebih terpadu dapat berwujud dalam sejumlah model.

Untuk menyebut sebagian, Huguelet dan Koenig (2009) menamainya dengan model

“biopsychosocial-religious/spiritual” (p.2). Misalnya dalam Psikologi, Bastaman

(2007), menyebut metode psikoterapi yang mengakui totalitas manusia secara utuh

sebagai pendekatan “biopsychosocial-cultural-spiritual” (p. 97). Ada juga sebuah

model baru hasil integrasi Filsafat Timur, terutama China, dengan teknik-teknik

terapeutik yang dikembangkan the Center on Behavioral Health di Hongkong yakni

“ Integrative Body-Mind-Spirit Social Work” (Lee et al., 2009).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 75: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

52

Universitas Indonesia

2.5. Spiritualitas dan Agama

Bagian ini akan menjelaskan pengertian istilah spiritualitas dan padanannya,

ruhaniyah. Sebelum itu, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian etimologis dari

asal istilah ini yakni spirit atau ruh dan spiritual. Istilah lain terkait aspek ini, yakni

spiritisme atau spiritualisme, juga dijelaskan secara singkat. Penjelasan berikutnya

adalah agama yang mencakup pengertian dan komponen pentingnya. Agama turut

dibahas karena dalam masyarakat Indonesia spiritualitas banyak diekspresikan dalam

aspek agama. Terakhir akan dijelaskan hubungan antara kedua aspek tersebut.

2.5.1. Spiritualitas

Spiritual merupakan adjektif dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan

dari bahasa Inggris. Kata bendanya, spirit, berasal dari bahasa Latin spiritus atau

spiritualis yang artinya dekat dengan kata ruh, yang secara bahasa berarti nafas

(Bagus, 2000, p. 957, 1034; Swinton, 2001, p. 14; Hendrawan, 2009, p. 18; Glassè,

1999, p. 345). Kata spirit dalam beberapa bahasa di dunia, seperti ruach (Ibrani),

pneuma (Yunani), prana (Sansekerta), dan qi (China) juga berarti nafas dan kekuatan

vital (Canda & Furman, 1999, p. 290; 2010, p. 327). Kata ruh yang merupakan istilah

Arab, rûh, punya pengertian asal: nafas hidup, jiwa, atau spirit (Cowan, 1971, p.

365). Kata spirit, menurut Hendrawan berarti prinsip yang menghidupkan atau vital

yang menghidupkan organisme fisik; makhluk supranatural; dan kecerdasan atau

bagian non-materiil dari manusia (p. 18). Istilah Yunani untuk spirit adalah psyche

yang pengertiannya mengacu pada prinsip kehidupan (Bagus, 2000, p. 957).

Menurut Swinton (2001), spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial

yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Istilah

ini punya kaitan erat dengan spiritualitas, namun tidak sama. Untuk memahami

spiritualitas, karakteristik spirit manusia harus dimengerti terlebih dulu. Ketika

pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara

merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas (Swinton, 2001, p.14).

Kata spiritual itu sendiri bisa berarti sesuatu yang berhubungan dengan spirit,

yang suci, dan fenomena atau makhluk supranatural (Hendrawan, 2009, p. 18).

Dalam Kamus Filsafat karya Bagus, kata ini mengandung pengertian sesuatu yang

bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan-kemampuan mental, intelektual,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 76: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

53

Universitas Indonesia

estetik, dan religius. Pengertian lain mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang bersifat

nonmaterial seperti cinta, belas kasih, keindahan, kebaikan, kejujuran, dan

kebenaran, dan perasaan atau emosi keagamaan (p. 1034).

Tentang istilah ruh, Bagus (2000) menjelaskan beberapa pengertian di

antaranya yaitu nafas kehidupan dan jiwa atau sisi imaterial manusia sebagai sumber

kesadaran (dan kehendak) serta fungsi-fungsi kehidupan seperti pertumbuhan, selera,

dan perasaan (p. 957). Meski pengertiannya sepadan dengan kata spirit, menurut

Glassè (1999), ruh secara khusus terkait dengan aspek jiwa yang bersifat non-

individual, yakni intellect atau nous. Istilah Arabnya al-’aql al-fâ’il atau fâ’il (active

intellect), sebagai kebalikan dari istilah jiwa (psyche atau an-nafs). Jiwa manusia

berkedudukan lebih rendah ketimbang ruh. Ar-Rûh atau jiwa yang terdapat pada

individu senantiasa bersama dengan Being, al-Wujûd, atau al-‘Aql al-Awwal (Intelek

Pertama), sehingga hal ini menyebabkan derajat manusia lebih tinggi ketimbang

binatang dan bahkan dibanding Malaikat. Ar-Rûh juga mengandung pengertian

sebagai Hakikat (kenyataan), atau as-Sirr (rahasia) pada seorang individu (p. 345).

Beberapa pandangan filsuf tentang ruh dikutip Bagus (2000). Menurut para

filsuf kuno, ruh dianggap sebagai kegiatan pemikiran abstrak dan prinsip adirasional

yang ditangkap secara langsung dan intuitif. Aristoteles mengidentifikasi pemikiran

tentang pemikiran sebagai kegiatan ruh tertinggi, namun menurut agama ruh tertinggi

adalah Tuhan atau Ada Adikodrati yang hanya mampu dikenali melalui iman.

Sementara menurut Hartman, ruh adalah dimensi eksistensi manusia yang mampu

berhubungan dengan suatu realitas ideal dan berurusan dengan nilai-nilai (p. 958-59).

Spiritualitas punya padanan istilah Arab rûhiyyah atau rûhâniyyah dan telah

diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ruhaniah atau rohaniah. Keduanya

berasal dari kata dasar rûh (jamaknya: arwâh) yang berarti mentalitas, perilaku

mental (mental attitude), atau kerangka berpikir (frame of mind) (Cowan, 1971, p.

365). Selain rûhâniyyah, Nasr (2002) menyebut istilah padanan lain yang berasal dari

bahasa Persia, yakni ma’nawiyyah (p.xxi). Dalam The Penguin Dictionary of

Religions, Hinnells (1995) menyatakan spiritualitas tidak punya definisi baku karena

pengertiannya berbeda-beda pada setiap konteks. Namun, berdasarkan berbagai

pengertian etimologis, Hendrawan menyimpulkan istilah ini terkait tiga hal: (1)

menghidupkan, tanpa spiritualitas organisme mati secara jasadiah atau kejiwaan; (2)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 77: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

54

Universitas Indonesia

memiliki status suci (sacred) dan lebih tinggi daripada yang materiil (profane); dan

(3) terkait dengan Tuhan sebagai causa prima kehidupan (p. 18).

Menurut Hinnels (1995), terdapat tiga tingkatan yang berbeda namun saling

berkaitan tentang pemahaman kontemporer spiritualitas: (1) spiritualitas sebagai

pengalaman atau praksis. Dalam konteks keagamaan hal ini dapat dilihat sebagai

kearifan iman yang dijalani atau dialami; (2) spiritualitas sebagai ajaran yang

menumbuhkan praksis dan kemudian menuntunnya; dan (3) kajian sistematis,

komparatif, dan kritis tentang pengalaman dan ajaran spiritual yang berkembang saat

ini dengan cara yang baru (p. 495). Apabila mengacu ke tingkatan pertama, yakni

dalam artian sebagai praksis yang dijumpai sepanjang sejarah manusia, bukan

sebagai satu konsep atau gagasan, spiritualitas selalu hadir di hati sanubari manusia

untuk menemukan totalitas, kedamaian, kebahagiaan, dan kesenangan.

Di samping tidak ada definisi baku, spiritualitas juga punya banyak ragam

ekspresi atau ungkapan. Ragam ekspresi tersebut bisa bersifat keagamaan maupun

non-keagamaan (Hugen, 2001) dan berbeda dari budaya ke budaya, dari agama ke

agama, dan dari waktu ke waktu. Di setiap tradisi keagamaan, misalnya, akan

dijumpai banyak aliran ataupun madzhab yang berbeda tentang spiritualitas, bahkan

di dalam satu agama sekalipun (Hinnels, 1995, p. 495).

Hinnels (1995) mengklaim istilah spiritualitas berakar dari tradisi Kristiani

yang tercermin dalam pandangan teologi dan praktik keagamaan yang panjang.

Banyak agama lain tidak memiliki istilah persis untuk spiritualitas. Nasr (2002) yang

mengedit ensiklopedi tentang spiritualitas Islam juga mengakui bahwa istilah ini

punya konotasi Kristen sangat kuat, namun tetap ada padanannya dalam tradisi

Islam. Meskipun begitu, menurut Hinnels, dalam konteks global saat ini istilah

tersebut menjadi universal yang mengacu ke upaya “pencarian tujuan dan makna.”

Pengertian ini digunakan untuk konteks dalam agama, di luar agama, antar-agama,

dan bahkan sekular (p. 494-5). Pencarian tersebut berorientasi ke dalam yang sering

dilawankan dengan aspek material, fisikal, atau eksternal.

Nasr (2002) menyimpulkan bahwa dalam konteks Islam padanan istilah

spiritualitas tersebut mengandung sejumlah pengertian. Pertama, terkait padanan

istilah rûhâniyyah, spiritualitas merujuk ke sesuatu yang berhubungan dengan “dunia

ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas, dan disamakan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 78: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

55

Universitas Indonesia

dengan hakiki...” yang bersifat abadi (p.xxii). Pengertian lain mengacu ke datangnya

barakah (berkah) atau anugerah ke alam raya dan kehidupan manusia sebagai akibat

dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Istilah tersebut juga berkaitan dengan

kesempurnaan moral dan keindahan jiwa; dan perasaan akan “kehadiran” dan

kedekatan dengan Tuhan dan dunia ruh. Sementara apabila mengacu ke padanan

ma’nawiyyah yang arti harfiahnya makna, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu

yang bersifat batin (dimensi esoteris), “yang hakiki”, dan ruh (p. xxii-iii).

Dalam konteks masyarakat Indonesia, bagi Romo Mudji makna spiritualitas

atau kerohanian seperti itu direpresentasikan dengan istilah religiositas (atau

keberagamaan). Menurutnya, istilah ini merujuk ke pengertian kesadaran nurani

manusia akan nilai dan tujuan hidup yang prosesnya tergantung pada hubungan

manusia dengan Yang Ilahi. Bahasa agama dari religiositas ini adalah keimanan.

Selain itu, istilah ini merupakan sesuatu yang bersifat “inti” atau “batin”, sebagai

lawan dari sesuatu yang “luar”, karena menyangkut perasaan manusia yang bersifat

“misterius dan mistikus” (Sutrisno, 2012, p. 105-6).

Makna asal dari kata Inggris “spiritual” itu sendiri merupakan lawan dari sifat

kehidupan gereja, yaitu kehidupan duniawi atau kebendaan/materialistik (Hinnels,

1995; Nelson, 2009). Kata Hinnels (1995), spiritualitas adalah upaya menumbuhkan

sensitivitas kepada diri-sendiri, orang lain, makhluk non-manusia, dan kepada Tuhan.

Spiritualitas juga berarti eksplorasi atau pencarian tentang segala sesuatu yang

diperlukan untuk menjadi manusia seutuhnya (p. 495). Dengan kata lain, seperti

disampaikan Nelson (2009), spiritualitas merupakan istilah yang umum digunakan

untuk menjelaskan upaya manusia mencari sesuatu yang transenden (p. 8).

Istilah lain terkait kata spirit adalah spiritisme dan spiritualisme. Spiritisme,

menurut Mudhofir (1996), adalah semacam kepercayaan kepada roh-roh yang berko-

eksistensi dengan alam manusia. Manusia dapat berhubungan atau berkomunikasi

dengan roh-roh melalui cara khusus untuk memanfaatkan kekuatannya. Perbuatan

atau respons yang dilakukan roh disebut kerasukan (spiriting). Kepercayaan atau

pemujaan terhadap roh-roh disebut polidaimonisme (p. 239-40).

Sedangkan spiritualisme mengandung beberapa pemahaman di antaranya

yaitu: (1) roh atau spirit (pneuma, Nous, Reason, Logos) merupakan lawan dari

materialisme, yaitu realitas terdalam dan berada dalam alam semesta yang menjadi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 79: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

56

Universitas Indonesia

dasar dan penjelasan rasional; dan (2) kepercayaan terhadap roh-roh orang yang

sudah meninggal, namun melalui perantara masih dapat berhubungan dengan orang

masih hidup dengan bentuk penjelmaan tertentu (p. 240). Pengertian kedua ini,

menurut Nelson (2009)p, pernah dipakai pada masa abad ke-19, yakni mengacu ke

upaya untuk berhubungan dengan roh-roh atau fenomena psikis lain. Menurutnya,

istilah spiritualitas juga masih belum umum digunakan pada masa itu (p. 8). Dua

abad sebelumnya, abad ke-17, istilah ini digunakan pertama kali, namun dengan

konotasi negatif yakni jika melalui pengalaman religius, semacam praktik mistisisme

(Kristiyanto, 2005, p. 2).

Dari uraian di atas dapat diringkas bahwa spiritualitas berasal dari kata benda

spirit, yang pengertiannya sepadan dengan istilah Arab ruh/roh (bahasa Indonesia:

ruhani/rohani), dan punya kata sifat spiritual. Spirit atau ruh berarti nafas yang vital

bagi kehidupan. Spirit juga sering dipadankan dengan istilah Yunani psyche atau

jiwa sebagai sisi imaterial manusia, sebagai sumber kesadaran, kehendak, dan fungsi

kehidupan manusia. Jiwa di sini, dengan mengacu ruh sebagai sebuah istilah Arab,

khusus terkait dengan aspek jiwa non-individual atau intelek (kecerdasan). Sehingga

ruh yang dimaksud berlawanan dengan jiwa (psyche) yang dalam bahasa Arabnya

setara dengan an-nafs. Ruh berkedudukan lebih tinggi ketimbang nafs, karena ruh

adalah Hakikat dan senantiasa bersama dengan Being atau al-Wujûd.

Spiritualitas menurut praktisi sebagai kerangka perspektif untuk penelitian ini

diperoleh dari ringkasan uraian sebelum ini. Kata spiritual berkaitan dengan sesuatu

yang bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan mental, intelektual, dan nilai-

nilai kemanusiaan seperti cinta, belas kasih, estetika, kejujuran, kebenaran, dan rasa

keagamaan. Spiritual juga bisa mengacu ke sesuatu yang suci atau sakral dan

fenomena supranatural. Sementara itu, spiritualitas atau ruhaniah/rohaniah terkait

dengan Tuhan sebagai causa prima, sehingga bersifat sakral. Ia berlawanan dengan

aspek material, fisik atau eksternal yang bersifat profan. Pengertian umumnya adalah

ikhtiar pencarian tujuan dan makna hidup manusia dan berkaitan dengan

transendensi atau ilahiah yang melampaui kehidupan dunia. Spiritualitas memiliki

ragam ekspresi atau ungkapan baik bersifat keagamaan ataupun non-keagamaan yang

berbeda-beda tergantung konteks budaya, agama, dan zaman.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 80: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

57

Universitas Indonesia

2.5.2. Agama

Agama terjemahan dari religion (Inggris) atau religie (Belanda) yang berasal

dari Latin, religio. Kata ini berasal dari kata kerja Latin religare, artinya mengikat

dengan kencang, atau kata kerja relegere, artinya membaca kembali atau membaca

berulang-ulang dan penuh perhatian (Bagus, 2000, p. 12). Dalam bahasa Arab, istilah

agama sering disepadankan dengan kata dîn. Menurut Glassè (1999), kata ini umum

digunakan untuk mengacu ke pengertian agama dan amalan-amalannya. Kata lain

dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan istilah agama adalah Millah (artinya:

sebuah jalan), yang digunakan untuk menyebut agama tertentu (p. 74).

Menurut Bagus (2000), agama mengatur urusan hubungan antara manusia,

dunia, dan Tuhan. Terkait dengan pengetahuan, agama membutuhkan ekspresi atau

ungkapan, entah dengan kata-kata, perilaku, atau simbol-simbol tertentu karena

agama ada untuk manusia yang terdiri atas tubuh dan perasaan. Seandainya agama

bersifat murni internal atau spiritual, maka tidak akan bertahan lama karena

berlawanan dengan kodrat manusia. Begitu pula kaitannya dengan kehidupan sosial,

kodrat manusia punya kecenderungan hidup bermasyarakat, maka agama tidak bisa

menjadi urusan pribadi atau individu semata. Namun, agama menjadi urusan

komunitas dan dengan begitu, agama sepatutnya ditopang oleh komunitas. Dari sini,

agama mengindikasikan suatu institusi atau lembaga yang di dalamnya terdapat

sekumpulan orang yang secara teratur melaksanakan suatu ibadah. Individu-individu

dalam kelompok ini juga menerima seperangkat ajaran yang menuntun mereka

berhubungan atau berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat

terdalam atau kenyataan tertinggi (p. 13-4).

Nelson (2009) menjelaskan bahwa sebelumnya pengertian agama mengacu ke

segala aspek dari hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat ilahiah atau

transenden. Transenden, menurut Meissner seperti dikutip Nelson (2009), berarti

sesuatu yang lebih besar ketimbang makhluk manapun yang menjadi “asal-mula dan

tujuan dari segenap hidup dan nilai manusia” (p. 3). Namun, saat ini agama lebih

dipahami sebagai sebuah jalan hidup yang tidak saja berkutat pada sesuatu yang

transenden, tetapi juga yang imanen atau yang kekal dalam kehidupan ragawi atau

pengalaman keseharian. Terkait dengan transendensi dan imanensi ini, Nelson (2009)

menyinggung perbedaan tradisi agama-agama besar di dunia bahwa Islam lebih

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 81: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

58

Universitas Indonesia

menekankan transendensi, sebaliknya agama-agama Timur lebih ke imanensi. Di

tengah-tengah ada Kristen yang secara imbang menekankan keduanya (p. 3-4).

Dari berbagai batasan pengertian agama di atas dapat disimpulkan agama ada

untuk manusia. Agama mengatur hubungan/komunikasi antar manusia, manusia

dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Karena manusia adalah makhluk sosial

yang punya kecenderungan hidup bermasyarakat, agama tidak hanya menjadi urusan

pribadi, tapi juga urusan bersama komunitas. Agama akan terus lestari kalau

ditopang komunitas. Komunitas beserta sekumpulan individu mendukung keberlang-

sungan agama dengan menerima ajaran dan menjalankan ibadah melalui tradisi,

sehinga agama menjadi terlembaga. Di dalamnya juga terakumulasi berbagai

ekspresi/ungkapan dari keyakinan atau keimanan melalui kata-kata, perilaku, dan

simbol-simbol yang berupa teks kitab suci, aktivitas ritual atau upacara, mistisisme,

kepercayaan, teologi, bangunan, pakaian, perlengkapan, dan lain-lain.

Sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial juga tidak lepas dari

pengertian agama di atas. Dalam perspektif teori sistem sosial (social systems), Dale

et al. (2006), misalnya, menganggap agama sebagai “organisasi sosial yang

terlembaga yang berfungsi sebagai kohesi sosial dengan cara penyebaran nilai dan

keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya...” (p. 51). Tisdell (dalam Swartz &

Tisdell, 2008, p. 29) juga mendefinisikan agama sebagai “suatu komunitas keimanan

terlembaga yang memiliki doktrin dan tuntunan tingkah laku yang tertulis.”

Kajian sosiologis tentang agama lebih menekankan fungsi sosial atau,

sebaliknya, disfungsi sosial dari agama. Mengutip Loewenberg (1988), Hugen

(2001) menjelaskan fungsi dan disfungsi agama dalam tradisi pemikiran Durkheim

dan Weber. Menurut Loewenberg, agama punya fungsi (Hugen, 2001, p. 11):

1. integratif melalui penanaman norma dan nilai;

2. kontrol sosial dengan menerapkan tatanan, disiplin, dan otoritas;

3. dukungan emosional dari penganut lain ketika dibutuhkan;

4. pembentukan identitas;

5. sebagai sumber kesehatan fisik dan mental yang positif; dan

6. membuat keluarga, perkawinan, dan komunitas lebih bahagia atau stabil.

Sebaliknya, Loewenberg juga merinci disfungsi sosial agama sebagai berikut

(Hugen, 2001, p.11-2):

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 82: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

59

Universitas Indonesia

1. menyuburkan fanatisisme, intoleransi,dan prasangka;

2. dalam masyarakat plural, agama bisa memecah-belah dan mengontraskan

masyarakat menjadi kelompok yang beriman dan yang tidak beriman; dan

3. agama lebih berpihak pada kemapanan, langsung atau tidak langsung, dengan

mengalihkan perhatian dari ketimpangan sosial.

Begitu juga dalam tradisi pemberian pertolongan profesional, pengertian

agama masih mencerminkan pengertian asal dan epistemologis. Contohnya, Kirst-

Ashman dan Hull, Jr. (2006) mendefinisikan agama sebagai “keyakinan spiritual

seseorang tentang asal-usul, sifat, dan alasan keberadaannya di dunia, yang biasanya

bersandar pada eksistensi Zat (-zat) yang lebih kuasa” (p. 376). Keyakinan tersebut

biasanya berupa ritual dan ajaran atau tuntunan moral atau kebenaran. Sedangkan,

Sheridan (2009) mendefinisikan agama sebagai “seperangkat keyakinan, praktik, dan

tradisi yang dialami di dalam suatu lembaga sosial yang spesifik yang terus-

menerus” (p. 278).

2.5.3. Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan kedua aspek itu memiliki

kesamaan maupun perbedaan dengan spiritualitas. Keduanya punya dimensi saling

beririsan (overlapping). Sampai tahap tertentu, spiritualitas terkandung dalam ajaran-

ajaran agama yang terlembaga (organized religion) semacam Islam, Kristen, Budha,

Hindu, atau Konghucu. Artinya penganut agama tertentu dapat mengamalkan

dimensi-dimensi spiritual berdasarkan keyakinan agama atau bersumber dari

penafisran kitab suci agama yang bersangkutan. Bagi yang aktif dalam tradisi

keagamaan, spiritualitas dan agama berkaitan, kata Tisdell (dalam Swartz & Tisdell,

2008). Bahkan melalui pengalaman keagamaan dan praktik mistisisme, spiritualitas

dianggap sebagai pusat dan inti terdalam dari agama (Hinnels, 1995, p. 495).

Namun, orang bisa dikatakan sangat spiritual tanpa memeluk atau meyakini

agama tertentu. Fenomena semacam ini banyak terjadi di masyarakat Barat. Menurut

Hidayat (2013), mereka enggan memeluk agama tertentu, namun gandrung terhadap

spiritualitas terkait cinta-kasih, kedamaian, dan kebaikan antar sesama. Sebaliknya,

tidak sedikit yang mengaku beragama yang hanya mengamalkan tradisi-tradisi

ekstrinsik tetapi kering akan spiritualitas. Pada wilayah ini, agama dan spiritualitas

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 83: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

60

Universitas Indonesia

menunjukkan perbedaan. Perbedaan lainnya adalah bahwa dibanding agama, aspek

spiritual lebih luas tapi kurang terlembaga.

Tentang hal itu, Nelson (2009) mengupas kaitan antara spiritualitas dan agama

dalam bukunya, Psychology, Religion, and Spirituality sebagai berikut. Para ahli

memiliki perbedaan pendapat mengenai keterkaitan spiritualitas dan agama.

Sebagian memandang bahwa spiritualitas dan agama berbeda dari sisi konsep. Untuk

masyarakat Barat yang individualistis, spiritualitas mungkin saja dapat dipisahkan

karena mereka cenderung mengamalkannya melalui pengalaman pribadi ketimbang

bersama-sama secara berjamaah dalam suatu komunitas keagamaan. Sejumlah

penelitian di Barat menunjukkan spiritualitas dan agama tumbuh tidak sejalan seiring

bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang, tingkat keberagamaan

mereka cenderung stabil, sementara kadar spiritualitas semakin meningkat,

khususnya usia 60 tahun ke atas.

Menurut Nelson, meskipun mungkin bagi seseorang menjadi spiritual tanpa

harus religius atau tidak di dalam keanggotaan formal kelompok agama tertentu,

pemisahan murni keduanya sangatlah sulit. Bahkan beberapa ahli mengatakan dalam

praktiknya tidak mungkin memisahkan spiritualitas dari agama, karena keduanya

membutuhkan satu sama lain. Dengan begitu, Nelson (2009) mengutip Emmons

(1999) yang berpendapat kajian spiritualitas terhadap mereka yang berada di luar

kelompok keagamaan akan menemui kesulitan (p. 11).

Lebih lanjut Nelson (2009, p. 11) menjelaskan tiga bentuk hubungan antara

spiritualitas dan agama yang memandang bahwa keduanya berbeda tetapi punya

keterkaitan. Pertama, agama dipandang sebagai konsep yang lebih luas dari pada

spiritualitas dan spiritualitas termasuk ke dalam agama, karena agama didefinisikan

oleh Pargament (1999), seperti juga dikutip Nelson (2009), sebagai “pencarian akan

arti penting dari hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral” (a search for

significance in ways related to the sacred). Kedua, kebalikan dari bentuk pertama,

yang ditawarkan oleh Stifoss-Hanssen, bahwa spiritualitas punya cakupan lebih luas

dari agama. Alasannya adalah bahwa kualitas dari kesakralan yang ditekankan dalam

agama tidak mungkin dialami oleh penganut ateis atau agnostik. Ketiga, agama

dipandang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, akan tetapi kesakralan atau

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 84: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

61

Universitas Indonesia

spiritualitas juga bisa didekati dengan cara-cara lain di luar agama. Perspektif ini

menegaskan bahwa spiritualitas dan agama memang berbeda tetapi beririsan.

Banyak yang berpendapat bahwa agama merupakan bagian dari spiritualitas

karena cakupannya yang sangat luas. Sejumlah ahli dalam pekerjaan sosial pun

kebanyakan memandang seperti itu. Contohnya Canda dan Furman (2010)

memasukkan agama dalam spiritualitas. Meskipun begitu, dalam hal ini harus diingat

bahwa keduanya berpendapat seperti itu dalam konteks membicarakan batasan

agama dan spiritualitas dari sisi positif, yakni keberagamaan yang sehat (healthy

religiousness) dan spiritualitas yang sehat (healthy spirituality).

Keberagamaan yang sehat merupakan ekspresi spiritualitas yang sehat pula.

Karena healthy religiousness, seorang penganut mungkin merasa bersalah atau malu

atas perbuatannya, tapi dengan perasaan bersalah yang tepat dan malu pada

tempatnya. Contoh lain, healthy religiousness dapat menjadi sumber pemecahan

masalah dan mendorong tumbuh-kembang karena kepedulian dan dukungan

komunitas agama. Bukan agama yang menyebabkan penganutnya merasa sangat

bersalah atau berdosa, rendah diri, delusi atau halusinasi, atau mendorong terjadinya

penindasan dan kekerasan terhadap kaum lemah (Canda & Furman, 2010, p. 77).

Sama halnya dengan agama, spiritualitas juga dapat diekspresikan dengan cara yang

tidak sehat, seperti keyakinan dan sikap yang membahayakan diri-sendiri dan orang

lain. Sebaliknya, spiritualitas yang sehat dapat menjadikan hidup seseorang begitu

bermakna, punya tujuan hidup yang mulia, berintegritas tinggi dan penuh tanggung

jawab, atau membuat hidup ini berkah, bahagia, dan sentosa (p. 75-6).

Gotterer (2001, p. 189) juga menyinggung spiritualitas dan agama yang dapat

berperan secara negatif maupun positif dalam praktik pemberian pertolongan,

khususnya penanganan kesehatan mental. Dikatakan negatif karena keduanya bisa

menjadi sumber masalah yang menyebabkan konflik dan bahkan menjadi penghalang

bagi proses penyembuhan itu sendiri. Kata Joseph, seperti dikutip Gotterer, agama

punya “sisi buruk” menghambat perubahan, menutup diri dari eksplorasi intelektual,

menyebabkan perasaan bersalah atau malu yang kurang perlu pada orang yang

berbuat salah, dan hanya berupa ritual-ritual mekanis tanpa makna. Sebaliknya,

spiritualitas dan keagamaan seseorang berperan positif karena justru menjadi sumber

kekuatan utama yang dapat mendatangkan inspirasi dan kenyamanan, meredam

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 85: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

62

Universitas Indonesia

emosi, atau memberikan bimbingan. Agama menjadi kekuatan bagi klien karena

dapat “menumbuhkan tanggung jawab pribadi, identitas, hormat terhadap kode etik,

ritual penuh makna, dan pembentukan komunitas” (p. 188).

2.6. Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial

Sub-bab spiritualitas dan agama ini menguraikan definisi dan komponen

spiritualitas, dimensi spiritual dalam kesehatan mental lansia, asesmen dan intervensi

spiritual, dan perspektif spiritual yang banyak dipakai dalam pekerjaan sosial.

2.6.1. Definisi dan Komponen Spiritualitas

Dalam konteks Indonesia, spiritualitas banyak diekspresikan dalam ajaran dan

tradisi keagamaan yang diamalkan secara pribadi maupun berjama’ah bersama

komunitas. Penggunaan istilah spiritualitas juga seringkali disilihgantikan dengan

agama atau keberagamaan (religiousity/religiousness). Seperti telah dibahas di awal,

penjelasan arti religius dalam regulasi pelayanan sosial lansia sebenarnya merujuk ke

makna spiritualitas. Senada dengan hal ini, Romo Mudji tampaknya lebih suka

menggunakan istilah “religiositas” (keberagamaan) untuk konteks masyarakat

Indonesia ketimbang spiritualitas atau kerohanian (Sutrisno, 2012).

Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan

Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan)

dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai

spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan

spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama

dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Oleh James (1958)

agama didefinisikan sebagai “perasaan, tindakan, dan pengalaman individu dalam

kesendirian mereka, sejauh mereka memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan

apa yang mereka anggap sebagai yang ilahiyah” (p. 42).

Pembahasan spiritualitas dalam praktik profesi pelayanan sosial (human

service practitioners), khususnya pekerja sosial, tidak bisa lepas dari agama. Oleh

karena itu, penjelasan tentang definisi dan komponen spiritualitas nanti seringkali

menyinggung agama untuk melihat perbedaan atau kesamaannya. Di akhir bagian

dijelaskan perspektif spiritualitas menurut siapa yang akan menjadi semacam

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 86: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

63

Universitas Indonesia

kerangka teori untuk mengarahkan bagaimana mencari dan meneropong data yang

muncul di lapangan.

Dalam profesi pekerjaan sosial, konsep tentang spiritualitas diartikan secara

beragam dari waktu ke waktu. Menurut Hugen (2001), penulis buku pekerjaan sosial

yang mencoba mendefinisikan spiritualitas dan agama pertama kali adalah Sue

Spencer tahun 1961. Spencer mengartikan spiritualitas sebagai “segala aspek rasa,

aspirasi, dan kebutuhan individu yang berkaitan dengan upaya manusia mencari

tujuan dan makna dalam pengalaman hidup, dan bisa terjadi meski seseorang tidak

harus berada dalam institusi gereja yang terlembaga atau menggunakan seperangkat

keyakinan dan praktik resmi” (Hugen, 2001, p.9; Canda & Furman, 2010, p.65).

Sementara agama dimengerti sebagai “seperangkat keyakinan atau praktik atau

sekelompok orang yang meyakini doktrin-doktrin tertentu tentang alam semesta dan

tentang manusia dalam kaitannya dengan alam semesta (Hugen 2001, p. 9-10).

Berbeda dengan Hugen, Canda dan Furman (2010) berpendapat upaya paling

awal memahami spiritualitas dilakukan oleh sarjana pekerjaan sosial Kristen. Seperti

dikatakan Charlotte Towle (1965), dalam Canda dan Furman (2010), tahun 1945

telah muncul pemahaman menyeluruh terhadap individu, yakni harus melingkupi

aspek-aspek material, psikologis, sosial, dan spiritual. Spiritual di sini mencakup

sumber (resource) berbasis gereja; pemahaman makna dan tujuan hidup; dan nilai

dan rasa tanggung jawab sosial. Setelah itu, baru Spencer yang menulis tahun 1956

dengan meyakini bahwa pendekatan non-sektarian untuk pekerjaan sosial dapat

diambil dari Kristenitas terkait nilai-nilai kebebasan, cinta, dan pelayanan. Tahun

1961, Spencer memunculkan definisi spiritualitas seperti telah disebutkan (p.65).

Pada dekade 1970-1980-an, menurut Canda dan Furman (2010), sejumlah ahli

tetap menekankan pentingnya spiritualitas, meskipun penelitian dan pendidikan agak

mengabaikan aspek spiritualitas dan agama. Pemahaman spiritualitas pada dekade ini

lebih inklusif dengan diperkaya perspektif eksistensialis, humanis, Buddha Zen, dan

shamanistik, di samping perspektif Kristen dan Yahudi yang telah dominan. Tahun

1985, Max Sipron memberi batasan spiritualitas dalam bukunya sebagai “aspek

moral seseorang, disebut jiwa (soul), yang berupaya mencapai keterkaitan

(relatedness) dengan sesama dan kekuatan supernatural, mencari pengetahuan

tentang realitas tertinggi, dan membentuk kerangka nilai.” Siporin telah menekankan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 87: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

64

Universitas Indonesia

ekspresi spiritualitas dapat dijumpai di dalam maupun di luar institusi agama. Tahun

1990, Siporin merevisi batasan tersebut bahwa spiritualitas tidak melulu hanya

terkait tentang Tuhan atau jiwa, karena ide-ide ini tidak selalu dijumpai dalam semua

perspektif spiritual (Canda dan Furman, 2010, p.65).

Joseph (1987), seperti dikutip Canda dan Furman (2010, p. 65), turut

mendefinisikan spiritualitas sebagai “dimensi kesadaran yang mendasari upaya

penemuan makna, kebersatuan dengan semesta, dan dengan segala sesuatu; dimensi

ini diperluas ke pengalaman tentang sesuatu yang transenden atau kekuatan yang

melampaui kita.” Tahun 1986, Canda selesai mengkaji ragam konsep spiritualitas

dalam pekerjaan sosial berdasarkan hasil penelitian dan publikasi di Amerika Serikat.

Dalam disertasinya, Canda (1986) menyebutkan sejumlah penulis yang berkontribusi

menghasilkan konsep tentang spiritualitas seperti Coughlin (1970), Brower (1984),

Hammond (1986), dan Siporin (1980, 1985).

Hasil konseptualisasi Canda tentang kepercayaan, nilai, dan praktik sejumlah

informan terkait spiritualitas dituangkan dalam artikel yang dikutip Canda dan

Furman (2010, p. 66):

... spiritualitas sebagai gestalt dari proses menyeluruh tentang kehidupan dan

perkembangan manusia yang mencakup aspek biologis, mental, sosial, dan

spiritual. Spiritualitas tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen,

namun merupakan keseluruhan sehingga disebut sebagai manusia. ... Spiritual

berkaitan dengan pencarian seseorang akan makna dan hubungan penuh

secara moral antara diri-sendiri, sesama, alam semesta, dan dasar ontologis

eksistensi, entah dipahami secara theistik, atheistik, atau kombinasi keduanya.

Berikutnya adalah Carroll (1988), seperti dikutip Canda dan Furman (2010),

yang menyimpulkan tiga gambaran umum tentang spiritualitas berdasarkan

kajiannya terhadap berbagai definisi dalam literatur pekerjaan sosial (p.66):

1. Kualitas manusia yang esensial/holistik sebagai kesatuan yang tak terbagi;

2. Suatu aspek dalam individu terkait perkembangan makna dan moralitas dan

hubungan dengan yang ilahi atau realitas tertinggi; dan

3. Pengalaman transpersonal, dimana kesadaran melampaui ego dan batas fisik,

seperti halnya pengalaman mistik.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 88: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

65

Universitas Indonesia

Hasil kajian literatur Carroll juga menunjukkan adanya upaya pembedaaan

spiritualitas dari agama. Menurutnya, “spiritualitas merujuk ke sifat dasar seseorang

dan proses pencarian makna dan tujuan sementara agama mencakup seperangkat

keyakinan yang tertata/terlembaga dan fungsi sosial sebagai cara ekspresi dan

pengalaman spiritual” (Stewart & Nash, 2002, p. 15).

Ronald Bullis (1996), seperti dikutip Hugen (2001, p. 12-3) mendefinisikan

spiritualitas sebagai “kondisi kesadaran yang terfokus dan teralihkan secara ilahiah”.

Definisi ini dianggap Hugen terlalu luas sehingga akan sulit membedakan mana

orang yang religius dan mana yang sekular. Hugen (2001) sendiri dalam bukunya

mendefinisikan seseorang dikatakan religius apabila “ia menganut atau mengiden-

tifikasikan dirinya dalam satu kelompok religius; menerima dan berkomitmen dalam

keyakinan, nilai, dan doktrin kelompok; dan berpartisipasi dalam amalan, seremoni,

dan ritual rutin kelompoknya” (p. 13).

Dari uraian di atas tampak bahwa pemahaman sejumlah ahli bidang pekerjaan

sosial tentang spiritualitas dipahami seputar pencarian makna, tujuan hidup,

hubungan dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga

memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan

maupun non-keagamaan.

Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau

penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar

mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau

komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian,

makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral

(Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow,

2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison,

2001dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti

transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun

hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi.

Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006),

terkait dengan sesuatu yang melampaui keterbatasan fisik dan menghubungkan

seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari dirinya. Sementara,

sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan, sesuatu yang ilahiah,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 89: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

66

Universitas Indonesia

dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain” (Pargament, 2007,

p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang melampaui Tuhan"

(God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep personal Tuhan

Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat pedalaman juga

dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12).

Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam

konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009),

Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan

Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak

dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig,

McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament

(2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009).

Pemahaman umum tentang spiritualitas seperti telah diuraikan di atas juga

merupakan sebagian dari hasil review yang dilakukan Canda dan Furman (2010).

Menurut keduanya, spiritualitas banyak didefinisikan sebagai “satu aspek

individu/person yang bukan-manusia, yang disebut pencarian terhadap pemahaman

tentang makna, tujuan, keterhubungan (connectedness), dan moralitas yang secara

khusus merujuk ke apa yang dianggap sakral, transenden, dan tertinggi” (p.75).

Dari berbagai kajian, Canda dan Furman (2010) pada akhirnya mendefinisikan

spiritualitas sebagai “sebuah proses kehidupan dan perkembangan manusia yang: (1)

fokus pencarian makna, tujuan, dan moralitas, dan well-being; (2) bagaimanapun

juga dapat dipahami, dalam hubungannya dengan diri-sendiri, sesama, makhluk lain,

alam semesta, dan realitas tertinggi (misalnya dengan cara animistik, atheistik, non-

theistik, polytheistik, theistik, atau cara lain); (3) berorientasi pada prioritas-prioritas

yang paling penting; dan (4) memiliki pemahaman tentang transendensi yang dialami

secara sangat mendalam, sakral, dan transpersonal” (p. 75).

Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menggambarkan spiritualitas manusia

yang rumit dan beragam dengan metafora kain tenun. Tenunan spiritualitas manusia

tersusun dari ragam aspek yang terpintal bersama pengalaman, nilai, kepercayaan,

dan praktik spiritual. Jika spiritualitas manusia adalah kerangka atau strukturnya,

rajutan benang dari berbagai corak warna dan tekstur ikut dipintal membentuk kain

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 90: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

67

Universitas Indonesia

tenun utuh nan indah. Ragam rajutan itu bisa terdiri dari identitas, etnis, ras, kultur,

gender, umur, pandangan agama dan spiritual, dan sebagainya (p. 101-2).

Dengan kata lain, pengalaman spiritual manusia merupakan bentukan dari

berbagai aspek latar belakang manusia. Dapat dikatakan bahwa setiap tempat, kultur,

masa, dan kelompok, atau bahkan setiap individu membentuk “isi dari perspektif

spiritual yang bersifat keagamaan atau non-keagamaan” (contents of religious or

non-religious spiritual perspectives) tertentu pula (Canda dan Furman, 2010, p.103).

Menurut mereka, metafora ini berguna bagi pekerja sosial ketika hendak memahami

pola kesamaan dan perbedaan di antara pandangan spiritual yang beragam.

Agar spiritualitas dapat dibedakan dari agama, Canda dan Furman (2010)

memahami agama sebagai “seperangkat nilai, kepercayaan, simbol, perilaku, dan

pengalaman yang terlembaga yang meliputi: spiritualitas; komunitas penganut;

tradisi yang turun-temurun dari generasi ke generasi; dan fungsi dukungan komunitas

(seperti struktur organisasi, bantuan materi, dukungan emosi, atau advokasi politik)

yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan spiritualitas (p.76).

Dari sejumlah definisi atau deskripsi tentang spiritualitas, Canda dan Furman

(2010) tampaknya memberikan gambaran lengkap tentang pemahaman spiritualitas.

Senada dengan hal ini, menurut Moss (2002), buku mereka berdua mengeksplorasi

isu tersebut secara detail. Definisi spiritualitas oleh Canda dan Furman tersebut juga

membawa tantangan bagi para praktisi terkait motivasi dan dorongan mereka

terhadap tugas-tugas profesinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadikan

konsep Canda dan Furman sebagai semacam kerangka teori untuk meneropong dan

menganalisis pemahaman spiritualitas praktisi. Sebagai penelitian grounded theory,

kerangka teori di sini bukan berarti penelitian ini dipandu teori (theory-driven) atau

untuk melakukan verifikasi terhadap suatu teori secara deduktif. Akan tetapi, konsep-

konsep yang diutarakan di sini, seperti dikatakan Charmaz (2004), diharapkan dapat

“membuat peneliti menjadi peka (to sensitize) terhadap berbagai isu dan proses

tertentu yang muncul dari data” (p. 501).

Canda dan Furman (2010) membuat satu model holistik tentang spiritualitas

yang memandang manusia sebagai satu-kesatuan menyeluruh yang tidak dapat

direduksi jadi bagian-bagian. Seperti dalam Gambar 2.3, model ini menggunakan

tiga metafora: (1) spiritualitas sebagai satu aspek manusia; (2) spiritualitas sebagai

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 91: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

68

Universitas Indonesia

keseluruhan (wholeness); dan (3) spiritualitas sebagai pusat dari individu (p.87).

Metafora pertama memandang spiritualitas sebagai satu dari empat aspek, sementara

tiga yang lain berupa aspek biologis, psikologis, dan sosial. Spiritualitas berperan

sangat penting karena aspek inilah yang mampu mengarahkan manusia menemukan

makna, tujuan, keterkaitan (connectedness), dan transendensi (p.87).

Gambar 2.3. Model holistik spiritualitas

Sumber: Canda & Furman (2010, p. 87)

Metafora kedua memandang spiritualitas sebagai kualitas keberadaan manusia

yang tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian tapi justru menyatukan semua

aspek, seperti disebut metafora pertama, sebagai satu-kesatuan holistik (wholeness).

Wholeness di sini, menurut Canda dan Furman (2010, p.88), terkadang dikaitkan

dengan sesuatu yang sakral dan yang melampaui batas ego dan fisik manusia

(transenden). Sementara itu, metafora ketiga menempatkan spiritualitas sebagai pusat

dari individu (person), yang dapat dipahami sebagai jiwa (soul) atau kesadaran

manusia. Pusat ini berperan sebagai penghubung (koneksi) antara dan pusat orientasi

bagi segala aspek manusia. Dengan demikian, spiritualitas dapat menuntun seseorang

menyelam ke dalam dirinya (orientasi ke dalam) untuk berintrospeksi yang dapat

dilakukan melalui sembahyang, berdoa, meditasi, yoga, teknik pernafasan, dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 92: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

69

Universitas Indonesia

sebagainya (Canda dan Furman, 2010, p.89). Meski begitu, menurut Sheridan

(2008), sembahyang atau berdoa masih menjadi isu paling kontroversial di Barat

ketika hendak digunakan dalam intervensi pekerjaan sosial berbasis spiritual.

Terkait dengan ketiga metafora tersebut, Gambar 2.4 pada halaman berikut

menunjukkan model operasional tentang spiritualitas yang dibuat Canda dan Furman

(2010) yang akan digunakan sebagai panduan untuk meneropong dan menganalisis

pemahaman dan ekspresi spiritualitas praktisi. Dalam gambar tampak spiritualitas

dibahas baik sebagai satu-kesatuan utuh maupun sebagai satu dari aspek-aspek lain.

Kemudian, operasionalisasi spiritualitas dirinci dari sisi dorongan, pengalaman,

fungsi, proses perkembangan, komponen, dan ekspresi religius.

2.6.2. Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia

Konsep spiritualitas Canda dan Furman (2010) seperti telah dijelaskan di atas

digunakan sebagai perspektif untuk meneropong pemahaman dan praktik spiritualitas

para praktisi. Namun, untuk melihat pemahaman atau pengalaman spiritualitas lansia

dalam penelitian ini akan menggunakan konsep Elizabeth MacKinlay dan Albert

Jewell. Alasannya, penelitian dan tulisan keduanya secara khusus mengkaji

spiritualitas lansia. Konsep dan model mereka sangat relevan dan banyak dirujuk

penulis pekerjaan sosial, contohnya Mathews (2009). Adapun wilayah kesehatan

mental yang bersinggungan dengan wilayah lansia juga akan dibahas secara singkat,

terutama konsep John Swinton.

Model MacKinlay (2004a, b) dikatakan Mathews sebagai model pertama yang

mampu menangkap isu-isu spiritual lansia. Modelnya hampir sama dengan teori-teori

perkembangan, seperti teori Havighrust dan Erikson, karena berisi tahapan atau tugas

hidup (tasks) sekuensial yang mesti dicapai atau diselesaikan setiap orang di tiap

tahap (Mathews, 2009, p. 57). Akan tetapi, menurut Mathews, spiritual tasks dalam

model MacKinlay bukan merupakan fase atau tugas yang harus ditunaikan sebelum

seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti berurutan, tetapi

saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam sejumlah

kesempatan atau pengalaman hidup (p.58).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 93: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

70

Gambar 2.4. Model operasional spiritualitas Sumber: Canda & Furman (2010, p. 82)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 94: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

71

Dengan grounded theory, penelitian MacKinlay (2004a) terhadap lansia renta

(frail elders) di nursing home berhasil mengidentifikasi enam tema. Tabel 2.4

menunjukkan keenam tema beserta masing-masing gambaran tugas atau peran.

Tabel 2.4. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing

Tema yang teridentifikasi Tugas individu

Makna tertinggi dalam hidup Mengidentifikasi sumber makna tertinggi

Respons terhadap makna tertinggi Menemukan cara tepat untuk merespons

Kepuasan-diri/Kerentanan Melampaui disabilitas, kehilangan (loss)

Kearifan/Makna final Mencari makna final

Hubungan/Isolasi Menemukan kedekatan dengan Tuhan dan/atau dengan yang lain

Harapan/Kecemasan Menemukan harapan

Sumber: MacKinlay (2004a, p. 223)

Dari tema dan tugas tersebut, MacKinlay (2004b) kemudian membuat satu

model spiritual task of ageing seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Masing-masing

tugas tampak saling berhubungan, namun yang menjadi pusat adalah makna tertinggi

(ultimate meaning) dalam hidup dan bagaimana meresponsnya.

Gambar 2.5. Model the spiritual task of ageing Sumber: MacKinlay (2004b, p. 84)

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 95: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

72

Universitas Indonesia

Penjelasan sangat baik tentang spiritual tasks of ageing menurut MacKinlay

tersebut dibuat Mathews (2009). Namun, Mathews mengelompokkannya menjadi

tiga task, yaitu: (1) menemukan kedekatan (intimacy) dan hubungan (relationships);

(2) melampaui kehilangan dan disabilitas; dan (3) menemukan makna final, dimana

hidup di-review dan ditimbang-timbang kembali.

Mathews (2009) menjelaskan bahwa masalah yang sering dialami lansia

adalah kehilangan pasangan dan teman-teman, hidup sendiri, atau (merasa)

diasingkan oleh keluarga mereka. Dengan begitu, menemukan kedekatan dan

menjaga atau membangun hubungan menjadi task utama dan pertama bagi lansia.

Kedekatan atau relasi seperti tampak pada gambar bisa dengan Tuhan dan juga

dengan sesama. Relasi atau koneksi dengan sesama tidak saja dengan orang lain,

tetapi juga dengan diri-sendiri, makhluk non-manusia, dan alam semesta.

Task pertama terkait juga dengan pencarian asa, yang menjadi salah satu unsur

penting bagi well-being (mencakup kebahagiaan dan kepuasan hidup). Mathews

(2009) menyebutkan sejumlah contoh asa yang umum didambakan setiap orang,

termasuk lansia, yaitu: menikmati waktu lebih baik; akan memiliki kesehatan baik;

akan bertemu dengan orang-orang tercinta lagi; akan terbebas dari sakit atau

kepedihan (p.58). MacKinlay (2004b, p.82) sendiri, seperti juga dikutip Mathews

(2009), menyebutkan contoh harapan: hasrat menggebu untuk melihat anak-cucu

mereka sukses dalam hidup. Kemudian, Mathews (2009) menjelaskan lawan dari

harapan adalah ketakutan dan kecemasan. Contohnya takut mati atau kehilangan

orang terdekat, takut kehilangan rumah, takut kehilangan memori tentang seseorang,

takut miskin, dan seterusnya (p.58).

Task berikutnya adalah upaya menghadapi kehilangan dan disabilitas.

Hilangnya independensi dan menjadi bergantung pada orang lain adalah salah satu

ketakutan nyata yang dirasakan lansia di Barat. Salah satu tantangan bagi mereka

adalah perjuangan melewati (workthrough) atau melampaui (transcend) pengalaman

kehilangan, merasa nyaman menjadi lebih tergantung kepada orang lain, sembari

tetap mempertahankan individualitas yang membentuk siapa diri mereka (Mathews,

2009, p. 58).

Terakhir, menemukan makna final dengan melihat dan menimbang kembali

hidup yang telah dijalani. MacKinlay (2004b, p.80), seperti dikutip Mathews juga,

mengatakan bahwa masa tua punya kesempatan untuk: “...kembali ke kehidupan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 96: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

73

Universitas Indonesia

sebelumnya dan menegaskan, membingkai kembali, untuk melihat siapa diri kita

berdasarkan apa yang telah kita lalui dan telah kita jalani dan belajar sepanjang

hayat.” Kata Mathews (2009), apabila pengalaman tersebut terasa menyakitkan dan

tidak bisa diterima, tentu sulit bagi mereka untuk memahaminya (p.58).

Memupuk asa dan tidak berputus asa seperti pada task pertama di atas selaras

dengan kemampuan lansia untuk bertahan hidup dalam kondisi sesulit apapun.

Kemampuan ini dapat terkait dengan semangat atau daya hidup yang mereka miliki.

Sangat tepat apabila Baskin (2007, p.194) mengatakan: “Spiritualitas bukan hanya

tentang kematian dan prosesnya–tetapi juga tentang kehidupan dan menjalani hidup”

(Spirituality is not only about death and dying–it is about life and living). Dari

pernyataan ini dapat dikatakan lansia yang memiliki spiritualitas positif akan berani

menghadapi hidup, bukannya menyerah untuk hidup dan pasrah menunggu kematian.

Selain itu, mereka juga akan mudah bersyukur atas apa yang terjadi dan

dialami. Ini dibuktikan Brennan, Laditka, dan Cohen (2005) yang mengeksplorasi

perasaan lansia ketika membuat kartu pos yang diandaikan dikirim ke Tuhan

(postcards to God) dan sereligius apakah anggapan tentang diri mereka. Hasilnya,

sebagian besar menunjukkan kepuasan dan mampu mengekspresikan rasa syukur

kepada Tuhan dan orang lain. Respons ini juga ada pada lansia yang cemas dan

frustrasi yang postcard-nya menggambarkan pengharapan akan kebahagiaan dan

kasih sayang terhadap sesama (p. 214-5). Lansia yang sangat religius memunculkan

tema-tema Tuhan yang Mahakuasa dan Mahatahu. Mereka yang merasa agak

religiuspun tetap merasakan berkah hidup dan kasih-sayang kepada Tuhan.

Sementara, kelompok yang tidak yakin akan religiusitasnya masih menunjukkan

cinta dan perhatian untuk sesama (h. 215-6).

Model the spiritual tasks of ageing di atas kemudian dikembangkan lagi oleh

MacKinlay (2006) menjadi semacam model yang lebih umum tentang tugas-tugas

spiritual dan proses penuaan (generic model of spiritual tasks and process of ageing)

seperti tampak pada Gambar 2.6.

Model baru tersebut, menurut MacKinlay (2006), harus dipahami sebagai

“model dinamis interaktif” dimana makna inti dan tertinggi, yang menjadi pusat

model, akan mempengaruhi dan berhubungan timbal-balik bagaimana merespons

empat tasks yang lain. Dinamai dinamis interaktif karena model tersebut dipahami

sebagai sebuah proses, dimana semua task bukanlah urut-urutan sekuensial dari

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 97: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

74

Universitas Indonesia

bawah ke atas dan harus dilalui setiap orang. Akan tetapi, hampir sama dengan

model psikososial Erikson, orang bisa saja maju-mundur dalam melalui tahap-tahap

tersebut. Dengan model ini, MacKinlay memandang bahwa setiap individu selalu

berada dalam “proses untuk menjadi” (the process of becoming). Kemudian, model

ini tidak saja untuk kelompok lansia, tetapi juga relevan bagi yang lebih muda,

khususnya mereka yang menderita penyakit berat dan penyakit mental semacam

Down Syndrome (p. 22).

Gambar 2.6. Model generik spiritual tasks and process of ageing

Sumber: MacKinlay (2006, p. 23)

Lebih jauh, MacKinlay (2006) membuat kerangka baru yang merinci

perawatan spiritual pada setiap spiritual task di atas, seperti tampak pada Tabel 2.5.

Khusus untuk perawatan lansia di panti werdha (residential aged care),

MacKinlay (2006) juga menawarkan satu model lain terkait spiritual tasks of ageing

seperti tampak pada Gambar 2.7. Model ini memfasilitasi kebutuhan utama bagi

lansia di panti yang terpisah dari keluarganya, yaitu kebutuhan akan kedekatan

(intimacy) dengan yang lain di panti dan juga dengah Tuhannya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 98: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

75

Universitas Indonesia

Tabel 2.5. Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing

Spiritual tasks of ageing Spiritual care

Menemukan makna tertinggi (bagi diri mereka)

• Memfasilitasi hubungan dengan lansia • Memfasilitasi rekonsiliasi sesama anggota keluarga • Membantu orang mengatasi perasaan bersalah • Memfasilitasi rekonsiliasi dengan Tuhan • Mendukung orang terkait perasaan dicintai orang lain/Tuhan

Transendensi: Membantu orang untuk bergerak dari self-centredness ke self-transcendence

• Menggapai rasa/kondisi penerimaan diri • Menerima dan menghadapi proses penuaan • Hidup dengan kondisi penyakit kronis dan disabilitas • Menemukan makna seiring bertambah renta • Mengatasi kemarahan • Mengatasi kesedihan (grief)

Strategi spiritual: Respons terhadap makna tertinggi

• Berdoa bersama klien • Membaca kitab suci dan buku-buku agama • Membantu lansia beribadah sesuai keyakinan • Membantu klien membangun strategi spiritual menurut

kebutuhan individu, termasuk memanfaatkan musik, seni, dan meditasi

• Merujuk orang yang membutuhkan pengampunan ke gereja atau layanan pastoral

Berada “dengan” klien: Kedekatan hubungan dengan Tuhan dan/atau makhluk lain

• Mendengarkan dan hadir dekat klien • Berhubungan dengan klien • Membangun hubungan rasa saling percaya dengan klien • Melayani lansia sepenuh hati • Menghargai integritas seseorang

Penemuan makna: Dari makna hidup sementara ke makna akhir

• Memfasilitasi mengenang masa lalu (reminiscence) dan me-review hidupnya

• Membantu lansia menemukan makna akhir • Membantu orang menemukan makna dalam penderitaan dan

kematian Asa/harapan • Membantu lansia yang sedang ketakutan akan masa depan

• Melayani orang yang sedang putus asa • Menegaskan orang dalam pencarian harapan • Mendukung orang yang dalam proses kematian (spiritualitas

dalam perawatan paliatif) • Mendukung orang akan harapannya di akhirat

Sumber: MacKinlay (2006, p. 36-7)

Menurut Jewell (2004), masa akhir kehidupan memiliki sejumlah kebutuhan

yang disebutnya sebagai enam ‘-asi’, yaitu: isolasi, afirmasi, selebrasi, konfirmasi,

rekonsiliasi, dan integrasi (p. 21-2). Mathews (2009) mengambil tiga dari kebutuhan

lansia menurut Jewell ini untuk melengkapi tasks menurut MacKinlay (2006) di atas,

yakni: afirmasi, selebrasi, dan konfirmasi (p.59). Menurut Mathews (2009), afirmasi

adalah menyatakan kembali baik secara kolektif maupun individu bahwa kehidupan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 99: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

76

Universitas Indonesia

mereka berharga dan/atau dihargai. Selebrasi berarti perayaan atas capaian dan

prestasi. Sementara, yang dimaksud konfirmasi adalah bahwa kepercayaan dan nilai-

nilai inti dalam hidup sangatlah berarti. Mathews mengilustrasikan, orang semakin

renta, rentan, dan pikiran tentang kematian sering memantik pertanyaan dan

keraguan dalam pikiran mereka. Contohnya: Apa cuma begini yang namanya hidup?

Sudahkah hidupku ini bermanfaat, berharga? (p.59).

Gambar 2.7. Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan panti Sumber: MacKinlay (2006, p. 178).

Swinton (2001) merinci dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan

sebagai berikut: (1) ketakutan akan konsekuensi dari perbuatan dosa; (2) kehilangan

makna hidup; (3) pikiran dan tindakan obsesional religius; (4) ketidakmampuan

mengingat Tuhan; (5) rasa keterasingan dan bimbang; (6) hilangnya keyakinan

spiritual sebelumnya; dan (7) tidak punya visi masa depan atau takut mati (p. 164).

Menurutnya, dimensi spiritual pada stres dan kecemasan kurang dikenali padahal

akibatnya cukup fatal apabila gangguan ini tidak ditangani secara cepat, yakni

terjadinya krisis eksistensial yang serius.

Pada gangguan depresi juga ada sejumlah dimensi spiritual yang harus

dikenali yaitu: (1) putus asa atau sedih; (2) kehilangan makna hidup; (3) kehilangan

hubungan atau tidak memiliki rasa mencintai atau dicintai; (4) alienasi dari Tuhan

atau kekuatan yang lebih besar; (5) hilangnya kekuatan batin; (6) kesepian atau

kesedihan; (7) putus asa, malu, dan merasa bersalah (Swinton (2001, p. 167).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 100: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

77

Universitas Indonesia

2.6.3. Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas

Di bagian sebelumnya telah dijelaskan spiritualitas memiliki ragam ekspresi

seperti halnya agama yang membutuhkan ungkapan kata-kata, perilaku, dan simbol

dalam komponen tradisi, praktik, kepercayaan dan-lain-lain. Menurut Fowler (dalam

Hugen, 2001), agama merupakan akumulasi dari tradisi-tradisi atau ekspresi dari

keimanan dan keyakinan seseorang, yakni berupa teks kitab suci, kepercayaan,

teologi, tradisi lisan, ritual, musik, pakaian, bangunan, dan lain-lain. Dalam istilah

Rippin (1990), model-model ekspresi seperti itu disebut “paraphernalia” yang juga

berfungsi sebagai identitas suatu agama (p. 86). Ketika dimanfaatkan dalam praktik

pekerjaan sosial terapeutik, kedua aspek tersebut juga memiliki ungkapan yang

sangat bervariasi, baik dalam asesmen maupun intervensi.

Bagian berikut menjelaskan sejumlah praktik terapeutik dalam penanganan

lansia yang mengalami masalah mental karena penyakit kronis atau yang mematikan,

kehilangan orang-orang yang dicintai, cacat karena kecelakaan, kecemasan akan

kematian, korban kekerasan dan lain-lain. Praktik terapeutik yang dimaksud secara

garis besar meliputi teknik asesmen dan intervensi yang dianggap relevan untuk

menangani masalah mental lansia. Asesmen dan intervensi penting dibahas di sini

karena salah satu tujuan penelitian ini adalah kemungkinan dibangunnya model

praktik pekerjaan sosial yang melibatkan spiritualitas. Sementara, asesmen dan

intervensi, menurut Holloway (2007), adalah inti pekerjaan utama (core business)

dalam profesi pekerjaan sosial.

2.6.3.1. Asesmen berbasis spiritualitas

MacKinlay (2004a) mengatakan bahwa asesmen spirritual sangatlah penting

bagi upaya mewujudkan kesehatan, baik untuk memulihkan maupun menjaga

kesehatan mereka. Gagal melakukan asesmen dengan baik akan berakibat kegagalan

dalam pemenuhan kebutuhan lansia. Menurutnya, untuk memahami bagaimana

melakukan asesmen dengan baik, khususnya terhadap lansia, di antaranya adalah

mengaitkan proses penuaan dengan spiritualitas lansia (p. 20).

Metode/pendekatan asesmen yang melibatkan aspek spiritual bervariasi, baik

kuantitatif maupun kualitatif. Namun menurut Hodge (2001b), dengan mengutip

Franklin dan Jordan, metode kualitatif dianggap lebih baik karena “lebih holistik,

open-ended, individualistik, idiografik, dan berorientasi proses” (p. 204). Asesmen

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 101: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

78

Universitas Indonesia

open-ended umum digunakan dalam asesmen, termasuk untuk lansia yang menderita

penyakit kronis, untuk mengeksplorasi tema-tema: keterlibatan klien dalam

komunitas spiritual; gambaran klien tentang citra Tuhan; praktik spiritual klien

seperti berdoa, meditasi, dan membaca kitab suci (dan bagaimana dia melakukan

praktik-praktik ini terkait penyakit kronis yang diderita); dan kepercayaan dan nilai

dasar klien (Koenig, 2000 dalam Nichols & Hunt, 2011, p. 59).

Metode asesmen tersebut mirip dengan metode Hodge dalam penelusuran

sejarah keagamaan/spiritual klien. Eksplorasi itu meliputi tradisi keagamaan orang

tua klien, kepercayaan dan praktik spiritual klien, dan keterlibatan mereka dalam

komunitas/masyarakat dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan

tersebut. Spiritual history berupaya mengungkap tema-tema spiritual dan keagamaan

dengan dialog yang penuh empati. Asesmen spiritual biasanya memakai format

autobiografi-naratif, yakni dengan mengajukan serangkaian pertanyaan yang

tersusun secara kronologis. Instrumen yang bisa melengkapi spiritual history ini

berupa spiritual genogram atau spiritual map (Hodge, 2001b).

Spiritual genogram, menurut Hodge (2001a), dianggap penting karena

keyakinan spiritual dan agama klien sangat dipengaruhi keluarga, sehingga dengan

instrumen ini interaksi spiritual dan agama keluarga klien dari generasi ke generasi

(biasanya sampai tiga generasi) dapat dipetakan. Tema-tema pertanyaan untuk

membuat spiritual genogram di antaranya adalah tipe kelompok keberagamaan,

tingkat partisipasi keagamaan, cara mengekspresikan keyakinan spiritual dan agama,

kejadian penting secara spiritual dalam keluarga (misalnya perpindahan agama dan

pengalaman transpersonal) dan pengaruhnya atau reaksi anggota keluarganya,

perbedaan dan persamaan antar anggota keluarga dari sisi keyakinan, dan lain-lain.

Lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 1 dalam Hodge (2001a, p. 42).

Metode asesmen spiritual history, kata Hodge (2001b), terkadang diarahkan

untuk tujuan terapeutik. Contohnya kerangka yang dibuat Dombeck dan Karl (dalam

Hodge, 2001b) untuk mengeksplorasi tiga wilayah berikut (p. 205):

a. Keterlibatan atau afiliasi klien dalam komunitas keagamaan dari waktu ke

waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya.

b. Makna-makna personal tentang simbol, ritual, kepercayaan, dan figur

ilahiyah. Contoh pertanyaannya seperti, ibadah apa yang paling bermakna?

Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan?

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 102: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

79

Universitas Indonesia

c. Hubungan dengan Tuhan, seperti bagaimana hubunganmu dengan Tuhan?

Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah?.

Metode asesmen spiritual yang diajukan Mohr dan Huguelet (2009) juga

relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit berat. Ada

enam tema pokok yang dieksplorasi dalam praktik klinis, khususnya dalam psikiatri

yaitu: (a) sejarah keagamaan-spiritual; (b) pengaruh sakit bagi keagamaan-spiritual;

(c) kepercayaan dan praktik keagamaan atau spiritual saat ini; (d) pentingnya agama

dalam kehidupan secara subjektif; (e) pentingnya agama dalam mengatasi sakitnya

secara subjektif; dan (f) sinergi antara agama dengan perawatan psikiatrik.

Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat

eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum

dialami lansia, yang relevan dalam penanganan: (a) Apa yang membuat hidupmu

bermakna?; (b) Kemana Anda kembali di saat-saat stres?; (c) Apa yang membuatmu

damai dan tenang dalam hidupmu?; (d) Apa yang membuatmu senang dalam hidup?;

(e) Apa makna spiritualitas buatmu?; (f) Apa yang Anda pelajari tentang spiritualitas

di masa mudamu?; dan (g) Praktik spiritual apa yang biasa Anda lakukan? (p. 60).

Asesmen menyeluruh bagi lansia yang umum disebut comprehensive geriatric

assessment (CGA), seperti diinformasikan Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012), telah

banyak dikembangkan di beberapa negara maju, terutama alat ukur kuantitatif. CGA

mengeksplorasi tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi dan

sumber yang mereka miliki. Alat ukur yang dicontohkan berupa The Daily Spiritual

Experience Scale buatan Underwood dan Teresi tahun 2002 yang mengukur

pengalaman lansia, bukan kepercayaan atau perilakunya. Mengutip Kane dan Kane

(2000), Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012) merinci sepuluh domain utama dalam

asesmen sebagai berikut: psychological well-being and health, psychological well-

being and mental health, kapasitas kognitif, kemampuan melakukan aktivitas

keseharian, keberfungsian sosial, lingkungan fisik, asesmen pengasuh keluarga,

sumber ekonomi, nilai dan preferensi, dan asesmen spiritual (p.405). Terkait asesmen

spiritual, menurut Olson dan Kane (2000) seperti dikutip Diwan, Balaswamy, dan

Lee (2012, p. 406), aspek yang dapat dieksplorasi berupa afiliasi agama, keyakinan,

komitmen, partisipasi dalam kegiatan agama, dan pengalaman pribadi sehari-hari.

Beberapa contoh asesmen spiritual di atas mengandaikan spiritualitas sebagai

kekuatan klien. Namun, bagaimana kalau sebaliknya bahwa spiritualitas justru jadi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 103: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

80

Universitas Indonesia

kelemahan atau gangguan bagi klien. Moore (2003) membahas kemungkinan ini

sekaligus mengajukan panduan asesmen spiritual seperti pada Tabel 2.6. Inti dari

gagasan Moore ini, seperti juga disinggung Canda dan Furman (1999), hendak

memastikan bahwa pekerja sosial tidak boleh melampaui wilayah yang tidak ia

kuasai atau mempengaruhi klien mereka terlalu jauh (Moore, 2003, p. 559).

Tabel 2.6. Skema asesmen spiritual

• Buat asesmen awal berdasarkan informasi kasus lain yang relevan, kemudian putuskan bagaimana mengangkat isu secara sensitif.

• Apakah spiritualitas relevan dalam kasus ini?

TIDAK

Di sini tampaknya spiritualitas tidak

menjadi isu. Apa betul?

MUNGKIN

Perlukah kita menyinggung spiritualitas?

YA

Bagaimana spiritualitas Anda bersentuhan dengan

kerja kita. • Ases hubungan klien dengan spiritualitas mereka kemudian lanjutkan prosesnya Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai kekuatan:

• Bagaimana spiritualitas Anda berkaitan dengan tujuan yang kita tetapkan? • Ide, praktik, program, atau afiliasi spiritualitas apa yang mendukung atau memberi

infomasi untuk kerja kita? • Bagaimana memasukkan itu semua ke dalam kerja kita?

Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai masalah: • Perlukah kita mengatasinya sampai tahap tertentu? • Pertologan seperti apa yang dapat kita butuhkan? • Apakah Anda melihat situasinya berubah?

• Berdasarkan jawaban dari pertanyaan di atas, tandai spiritualitas sebagai isu untuk asesmen berikutnya selagi kasus dilanjutkan

Sumber: Moore (2003, p. 560)

2.6.3.2. Intervensi berbasis spiritualitas

Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011), mendefinisikan intervensi

spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan dimensi spiritual atau agama

sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149). Menurut Holloway (2007, p.

276), berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah banyak

dibuat. Contohnya oleh Canda dan Furman, Furman et al., Gilligan, Gilligan dan

Furness, Burton (teologi pastoral), Fowler (spiritual development and review),

Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’), Nouwen dan Campbell

(‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’), Thompson (pencarian eksistensial), dan

Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun menurut Holloway, di antara

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 104: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

81

Universitas Indonesia

banyak penulis tersebut, terutama di Amerika Serikat dan Australia, Canda dan

Furman (1999) adalah yang paling lengkap dan detail.

Canda dan Furman (1999/2010) merinci contoh-contoh teknik pemberian

pertolongan yang berorientasi spiritual, baik praktik dengan individu, keluarga,

kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas. Praktik di sini menyangkut

asesmen dan intervensi. Daftar bentuk-bentuk praktik tersebut meliputi tingkat

individu, keluarga, dan kelompok (Canda & Furman, 1999, p.291; Canda & Furman,

2010, p.360), serta tingkat organisasi dan komunitas (Canda & Furman, 1999, p.

291-2; Canda & Furman, 2010, p.361).

Menurut Canda dan Furman (1999, p. 282; 2010, p. 314), sebetulnya segala

bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat digunakan dalam praktik

yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam kerangka nilai dan konteks

pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang penting adalah bahwa praktisi

harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan spiritualitas ketika melakukan

praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau berbicara dengan klien. Sejumlah

teknik/terapi dengan intervensi spiritual dicontohkan oleh Sheridan (2009) seperti

acupressure dan acupuncture, Reiki, terapi craniosacral, refleksiologi, meditasi,

relaksasi, senam pernafasan holotropik, dan bahkan praktik cenayang atau dukun.

Terkait dengan peran pekerja sosial sebagai agen perubahan, Canda dan

Furman (2010) menawarkan praktik berorientasi spiritual dan bersifat transfor-

masional (spiritually oriented transformational practice). Maksudnya, praktik yang

sensitif secara spiritual berarti juga harus menciptakan kondisi dan aktivitas yang

kondusif bagi pertumbuhan dan transformasi individu dan komunitas serta

lingkungan. Praktik macam ini berarti menyangkut tidak hanya penyelesaian masalah

atau resolusi konflik dan tidak juga sekadar menawarkan cara menghadapi,

beradaptasi terhadap, atau mempertahankan kondisi yang sedang dihadapi. Selaras

dengan perspektif kekuatan, praktik berorientasi spiritual juga harus mampu

mengidentifikasi talenta, keterampilan, kapasitas, dan sumber klien kemudian

memanfaatkannya baik untuk tujuan jangka pendek maupun untuk aspirasi dan

potensi tertinggi mereka (p. 314-5).

Canda dan Furman (1999; 2010) mengingatkan bahwa banyak psikoterapi

atau pendekatan pekerjaan sosial yang berorientasi pertumbuhan spiritual memiliki

landasan teoretis tertentu baik dari perspektif keagamaan maupun nonsektarian

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 105: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

82

Universitas Indonesia

(tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya). Ada juga yang berakar dari

tradisi psikoterapeutik tertentu, seperti terapi kognitif-behavioral berorientasi

spiritual, psikoanalisis berorientasi spiritual, terapi eksistensial, atau terapi

transpersonal. Pada intinya, menurut Canda dan Furman, para praktisi harus jelas

betul tentang ketepatan praktik mereka dengan kultur, perspektif spiritual, dan

kenyamanan klien dan komunitas mereka. Mereka juga mesti sadar akan kecocokan

antara latarbelakang klien, praktik pertolongan yang dipilih, dan asumsi-asumsi

teoretis yang mendasarinya.

Prasyarat seperti ini juga hampir serupa dengan panduan yang dibuat Hodge

(2011) untuk praktisi yang hendak menggunakan intervensi spiritual. Panduan yang

dimaksud dibangun dari praktik berbasis bukti (evidence-based practice), yaitu:

preferensi klien; evaluasi penelitian yang relevan dengan kasus; penguasaan praktik

klinis; dan kompetensi kultural (p.150). Untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas

secara etis dan profesional, pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen

apakah spiritualitas relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini

dikuatkan dengan pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai

proses menerus yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah

(Hodge, 2011, p. 150-1).

Hodge lebih jauh menjelaskan bahwa preferensi klien harus didukung bukti

penelitian empiris yang menginformasikan intervensi spiritual seperti apa yang

paling efektif untuk kasus yang dihadapi. Penggunaan intervensi ini tentu tidak boleh

sembarangan karena praktisi harus punya keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan.

Setiap kode etik selalu memberi batasan bahwa pelayanan yang diberikan tidak boleh

di luar kemampuan dan kompetensi praktisi. Kompetensi intervensi spiritual, di

antaranya, didapat melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai (p. 151-3).

Kemudian, intervensi spiritual yang akan diberikan juga harus relevan dengan

kultur klien. Ini meniscayakan adanya kompetensi kultural, dimana spiritual

termasuk di dalamnya. Kompetensi spiritual praktisi, menurut Hodge dan Bushfield

(2006), seperti dikutip Hodge (2011, p. 153), dapat berwujud: (a) munculnya

kesadaran akan pandangan spiritual yang dipengaruhi nilai praktisi dan asumsi,

keterbatasan, dan bias dari pandangan tersebut; (b) pemahaman empatik terhadap

pandangan spiritual klien; dan (c) kemampuan merancang dan melaksanakan

intervensi agar nyambung dengan pandangan spiritual klien. Selain itu, kompetensi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 106: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

83

Universitas Indonesia

spiritual harus dipahami sebagai entitas (sikap, pengetahuan, dan keahlian) yang

dinamis atau lebih tepat sebagai konstruksi yang menerus. Selain itu, praktisi juga

harus sadar bahwa suatu intervensi spiritual yang cocok dan berhasil untuk satu

kultur, belum pasti cocok untuk kultur lain (p. 153-4).

Ada sejumlah teknik yang dipilih Canda dan Furman (1999, p. 290; 2010, p.

327) yang didasarkan atas beberapa kriteria bahwa teknik-teknik tersebut:

a. memromosikan perkembangan spiritual;

b. praktiknya menghasilkan persepsi atau keyakinan akan manfaat langsung;

c. kondusif bagi kesadaran dan pengalaman transpersonal;

d. sangat mendasar bagi eksistensi manusia;

e. bentuknya nonkeagamaan, meski sebagian berasal atau terinspirasi dari

tradisi-tradisi keagamaan;

f. dapat dihubungkan dengan berbagai versi keagamaan khusus;

g. dapat diterapkan pada berbagai situasi praktik yang berbeda;

h. relatif mudah dipelajari;

i. tidak memerlukan pelatihan formal yang lama;

j. beresiko rendah bagi klien; dan

k. efektivitasnya didukung bukti ilmiah dan/atau tradisi-tradisi kuat dan lestari.

Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menjelaskan ada empat unsur penting

yang ada dalam praktik terapeutik berorientasi spiritual, yaitu: memberi perhatian,

bernafas secara intensional, keseimbangan (equipoise), dan konsistensi. Ada juga

prasyarat yang harus ada untuk aktivitas pertolongan berorientasi spiritual lain, yaitu:

relaksasi terfokus, merawat atau menjaga tubuh, melakukan ritual dan seremoni, dan

mengamalkan sifat pemaaf.

Contoh strategi pekerjaan sosial berbasis spiritualitas, baik tahap asesmen

maupun intervensi, dapat dimanfaatkan dalam penanganan kesehatan mental lansia.

Di situ tampak bahwa ketika dimanfaatkan dalam praktik, khususnya yang bersifat

terapeutik, spiritualitas punya banyak manifestasi karena aspek ini punya ragam

ekspresi berupa tradisi (ungkapan kata, perilaku, dan simbol), ritual, kepercayaan,

dan lain-lain. Tanpa memahami esensi dari ekspresi atau manifestasinya, terutama

dalam praktik profesional, dapat berakibat pada kebingungan dalam menentukan

mana domain spiritualitas, mana agama, atau pada wilayah mana keduanya beririsan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 107: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

84

Universitas Indonesia

2.6.4. Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial

Perspektif spiritualitas yang mempengaruhi atau digunakan sebagai landasan

praktik pekerjaan sosial dapat berasal dari tradisi keagamaan dan juga dari pemikiran

intelektual yang bersifat sekular. Ini selaras dengan pengategorian oleh Canda dan

Furman (1999; 2010) yang membagi perspektif spiritualitas menjadi dua, yaitu

sektarian dan nonsektarian. Perspektif sektarian berarti pandangan atau konsep yang

berasal dari agama atau kitab suci. Perspektif ini bersifat parokial, dogmatik, atau

etnosentris. Sebaliknya, pandangan atau teori-teori yang berasal dari luar agama yang

berorientasi spiritual disebut sebagai perspektif nonsektarian.

Perspektif sektarian diambil dari tradisi agama-agama di dunia, baik Semit

seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun non-Semit dari Timur seperti Hindu,

Budha, Konghucu, dan Zen. Canda dan Furman membahas perspektif keagamaan

terkait pelayanan sosial dan pengaruhnya bagi praktik pekerjaan sosial, khususnya

dalam konteks masyarakat Amerika Utara. Pembahasan tersebut menyangkut asal-

usul dan perkembangannya, kepercayaan dasar, nilai-nilai dasar, dan implikasinya

bagi pekerjaan sosial. Lampiran 1 menunjukkan perbandingan enam perspektif

keagamaan dari buku edisi baru Canda dan Furman (2010), sedangkan perspektif

Shamanisme dari edisi lama (1999). Perspektif Agama-agama Asli Amerika Utara

seperti dalam buku yang baru tidak dikutip dengan alasan agama macam ini jarang

ditemui di masyarakat Indonesia. Sebaliknya, Shamanisme dimasukkan karena masih

banyak dijumpai di masyarakat pedalaman Indonesia.

Dalam peta teori praktik pekerjaan sosial menurut Payne (2005), teori-teori

sensitif spiritual seperti humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk

dalam pandangan refleksif-terapeutik. Lena Dominelli, seperti dikutip Payne (2005),

menyebutnya sebagai pendekatan pertolongan terapeutik (therapeutic helping).

Menurut Payne, pendekatan refleksif-terapeutik dalam pekerjaan sosial berupaya

mewujudkan kondisi sejahtera bagi individu, kelompok, atau komunitas dengan cara

memromosikan dan memfasilitasi pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan diri (p. 8-

9). Dikatakan refleksif karena ada proses interaksi saling mempengaruhi antara

pekerja sosial dan klien terkait pemahaman terhadap masalah yang mereka hadapi.

Pendekatan dalam humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk kategori

ini karena tujuan utamanya lebih pada peningkatan potensi dan mendorong

perkembangan ketimbang perubahan sosial (Payne, 2005, p. 181).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 108: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

85

Universitas Indonesia

Sementara menurut Healy (2005), pemanfaatan spiritualitas (dan agama)

dalam pekerjaan sosial dikatakan sebagai satu diskursus pelayanan alternatif dimana

pelayanan sosial diberikan berdasarkan hak-hak klien. Dikatakan diskursus alternatif

karena baru dan berbeda dari diskursus yang dominan (seperti biomedis, ekonomi,

dan hukum) dan diskursus pelayanan yang umum (seperti psikologi dan sosiologi),

meskipun ketiganya saling berinteraksi.

Sebetulnya ada beberapa teori yang relevan dalam menjelaskan signifikansi

spiritualitas bagi lansia. Seifert (2002) mencontohkan sejumlah teori psikologi

agama, teori life-span development, faith development karya Harms, tiga tahap faith

development James Fowler, atau beberapa bidang dalam gerontologi religius.

Namun, berikut ini hanya akan dijelaskan perspektif nonsektarian dari teori psikologi

humanis-eksistensialis, khususnya Logoterapi Viktor Frankl, dan teori transpersonal

Kenneth Wilber. Kedua teori ini dipilih karena, menurut Canda dan Furman (2010),

dianggap paling berpengaruh dalam pekerjaan sosial.

2.6.4.1. Perspektif eksistensial-humanis

Menurut Rakhmat (2003), psikologi humanis muncul bersamaan dengan

psikologi eksistensialis pada dekade 1960-an sebagai angkatan ketiga. Angkatan

pertama adalah psikoanalisis Freud; angkatan kedua psikologi behaviorisme yang

muncul di Amerika. Angkatan ketiga yang juga lahir di Amerika muncul akibat

kekosongan spiritual kelas menengah yang padahal makmur secara materi. Menurut

Abraham Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2003), kekosongan tersebut disebabkan

oleh kekosongan nilai (valuelessness) bahwa orang menjalani hidup tidak lagi

dilandasi nilai-nilai luhur yang patut dikagumi dan diperjuangkan.

Lebih jauh Maslow menjelaskan, dalam Rakhmat (2003), psikologi humanis

sangat berbeda dari dua angkatan sebelumnya yang sangat saintifik. Kalau

psikoanalisis menganggap kondisi bawah sadar sebagai dorongan utama manusia dan

behaviorisme sangat menekankan pengalaman objektif terkait hubungan stimulus-

respons, humanisme bertumpu pada pengalaman personal, yakni kehidupan spiritual,

yang menjadi unsur pokok dan dasar dari kehidupan jasmani. Upaya untuk

aktualisasi diri dalam kerangka nilai-nilai luhur dianggap Maslow sebagai kebutuhan

tertinggi kehidupan manusia. Dengan pandangan ini, Rakhmat (2003) menganggap

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 109: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

86

Universitas Indonesia

Maslow telah mendekatkan psikologi dengan agama, yang berbeda dengan dua aliran

pendahulunya yang kental sains modern.

Menurut Bastaman (1994), satu aliran psilkologi bercorak humanistik-

eksistensial yang sangat mempengaruhi pemikiran psikologi dewasa ini adalah

Logoterapi. Aliran ini dipelopori Viktor E. Frankl, yang mengembangkan corak

tersebut berdasarkan pengalamannya di kamp konsentrasi NAZI saat Perang Dunia

II. Frankl adalah Profesor neurologi dan psikiatri di Universitas Wina dan seorang

Yahudi berkebangsaan Austria. DuBois (2004), penerjemah sekaligus penulis kata

pengantar buku Frankl, An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis,

juga menyebut Frankl sebagai psikolog eksistensialis atau humanis. Oleh Rakhmat

(2003), Frankl bahkan dianggap sebagai wakil psikologi eksistensialis. Allport

(1992) menjuluki Logotherapi-nya sebagai “madzhab psikoterapi ketiga di kota

Wina” (the third Viennesse school of psychotherapy). Sementara, madzhab

pendahulunya adalah Psikoanalisis Freud dan Psikologi Individual Adler yang sama-

sama tumbuh dan berkembang di kota Wina, Austria.

Allport (1992) memberi pengantar pada buku terjemahan berjudul Man’s

Search for Meaning karya Viktor Frankl edisi ketiga. Judul asli buku ini adalah Ein

Psycholog erlebt das Konzentrationslager (dalam bahasa Inggris: From Death-Camp

to Existentialism). Buku ini terjual 9 juta kopi dan dikutip Stephen Covey dalam 7

Habits, kata DuBois (2004). Allport (1992) menjelaskan bahwa buku tersebut berisi

cerita pengalaman panjang Frankl di kamp konsentrasi. Saat itu dia telah kehilangan

segalanya, eksistensinya, tercerabutnya nilai-nilai, kelaparan, kedinginan, kebrutalan,

dan menunggu (dihukum) mati setiap saat. Sementara tahanan lain mati tidak saja

karena dihukum tapi juga tidak tahan menghadapi penderitaan, Frankl mampu

bertahan dan masih tetap hidup. Pengalaman inilah yang mendorong Frankl

menemukan Logoterapi. Frankl sendiri menyebutnya sebagai analisis eksistensial

modern (modern existential analysis). Allport lah yang menamainya Logoterapi.

Lebih jauh Allport (1992, p.8) menerangkan tema sentral eksistensialisme

Frankl berasal dari pengalaman sewaktu di kamp konsentrasi bahwa “ketika hidup

menderita, maka untuk bertahan harus menemukan makna dalam penderitaan” (to

live is to suffer, to survive is to find meaning in the suffering). Apabila ada tujuan

dalam hidup, pasti ada suatu maksud atau tujuan dalam penderitaan bahkan

kematian. Akan tetapi, tidak ada orang yang bisa menceritakan tujuan tersebut ke

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 110: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

87

Universitas Indonesia

orang lain. Setiap orang harus mengalami dan mencarinya sendiri. Eksistensialisme

Frankl sangat dipengaruhi Friederich Nietzsche (1844-1900), tokoh eksistensialis

yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan telah mati.” Frankl sangat terkesan dengan

aforisma Nietzsche yang berbunyi: “Dia yang punya jawaban mengapa dia hidup,

maka dia akan mampu menjawab hampir setiap tanya bagaimana menjalani hidup”

(He who has a why to live can bear with almost any how) (p. 9).

Di samping tema sentral tersebut, menurut DuBois (2004), tema-tema

eksistensial Frankl yang lain membahas kebebasan manusia, tanggung jawab, nilai,

spiritualitas, dan kematian. Semuanya merupakan tema umum yang juga dibahas

psikolog terkenal lain, seperti Allport, Maslow, Fromm, dan Rogers. Pendekatan

humanistik terhadap psikoterapi terkadang berlawanan dengan pendekatan psikiatrik

standar, karena memang kedua pendekatan ini seperti dua dunia yang berbeda.

Pendekatan humanistik adalah pendekatan subjektivis yang menekankan dunia

tentang hidup yang dialami subjek (the world of lived experience). Sedangkan

pendekatan psikiatrik adalah sangat saintifik objektif, yaitu ilmu dan praktik medikal.

Namun, teori tentang gangguan mental (mental disorders) yang dibangun Frankl

justru memakai keduanya (DuBois, 2004, p. ix).

Hal yang menarik dalam Logoterapi, menurut Bastaman (1994), adalah bahwa

aliran psikologi ini memberi perhatian khusus pada dimensi noetic atau spiritual

(yang berbeda dari dimensi psikis). Menurut Frankl (2004, p. 49), dimensi spiritual

atau Geistigen ini berada di atas dimensi psikologis yang menjadi penyebab

sesungguhnya dari neuroses tertentu yang gejalanya di antaranya depresi, cemas,

agresi, dan kecanduan. Gejala atau simptom seperti ini muncul ketika individu

mengalami krisis eksistensial atau spiritual (existential frustration), namun dibiarkan

atau bahkan dikekang Frankl (2004, p. 148, 151).

Menurut Bergin (1994), belakangan ini memang ada kecenderungan di bidang

psikologi (tepatnya psikoterapi) yakni meningkatnya perhatian terhadap nilai-nilai,

terutama nilai-nilai religius yang punya peranan penting dalam keberhasilan suatu

terapi. Pendulum diskursus mulai bergerak meninggalkan naturalisme, agnostisisme,

bahkan humanisme yang telah mendominasi sepanjang abad. Bergin mengemukakan

tesis yang menjelaskan pentingnya nilai dalam psikoterapi bahwa pada dasarnya

nilai-nilai adalah bagian mutlak dan berpengaruh pada psikoterapi. Selain itu, faktor-

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 111: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

88

Universitas Indonesia

faktor non-teknis yang sarat nilai mempengaruhi proses perubahan kepribadian

dalam lingkup terapi profesional.

Sebagai landasan filosofis bagi Logoterapi, menurut Bastaman (1994), konsep

manusia berdiri di atas tiga asumsi dasar yang saling berhubungan, yakni:

a) Kebebasan berkehendak (the freedom of will). Asumsi ini bertentangan

dengan pandangan-pandangan mengenai manusia yang bersifat deterministik,

seperti halnya pandangan Psikoanalisis.

b) Kehendak atau hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning).

Merupakan motivasi utama manusia untuk mencari, menemukan, dan

memenuhi tujuan dan arti hidupnya.

c) Makna hidup (the meaning of life). Frankl sering bertolak dari kritiknya

terhadap the will to pleasure (Freud), yang menganggap tujuan utama dari

motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan, dan

terhadap the will to power (Adler) dimana motivasi utama manusia adalah

untuk memperoleh kekuasaan.

Dua yang terakhir dari tiga asumsi dasar tersebut, yaitu the will to meaning

dan the meaning of life menjadi motivasi utama untuk meraih hidup bermakna dan

Logoterapi menjadi metode untuk mengembangkan potensi spiritual manusia yang

luar biasa untuk meraihnya (Bastaman, 1994).

Selanjutnya, Bastaman (1994) menekankan pembahasan Logoterapi pada

masalah makna hidup (the meaning of life). Dalam pandangan Logoterapi, makna

hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, bagaimanapun kondisinya. Di

buku lain Bastaman (1996) mengungkapkan lebih rinci, bahwa makna hidup bila

berhasil ditemukan dan direalisasikan, hidup dirasakan sangat berarti (meaningful)

dan menimbulkan akibat sampingan (by product) berupa kebahagiaan (happiness).

Namun sebaliknya, bila tidak berhasil, akan menghayati hidupnya tanpa dan tak

bermakna (meaningless) yang biasanya merupakan gerbang menuju penderitaan.

Menurut Frankl, seperti disitir Bastaman (1996), Logoterapi menunjukkan

juga tiga bidang kegiatan dalam kehidupan ini yang secara potensial mengandung

nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Kemudian

Bastaman (1996) menjadikannya sebagai sumber-sumber Makna Hidup (Tri Nilai):

(a) creative values, bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan

keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan; (b) experiential values,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 112: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

89

Universitas Indonesia

meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai

lain yang dianggap berharga; (c) attitudinal values, menerima dengan tabah dan

mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi

setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal.

Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Makna yang harus

dicapai setiap orang bersifat unik dan spesifik. Makna hidup berbeda bagi setiap

orang, dari waktu ke waktu. Tidak ada makna hidup yang umum, tapi makna spesifik

dalam hidup seseorang pada momen tertentu. Dalam hal eksistensi manusia, manusia

tidak bisa mencari makna atau arti hidup yang abstrak. Tiap orang punya pekerjaan

dan misi yang spesifik dalam hidup untuk melakukan tugas konkret yang harus

dipenuhi. Jadi, tugas setiap orang sama uniknya dengan peluang atau kesempatan

khusus untuk mengimplementasikannya (Frankl, 1992).

Metode Logoterapi untuk menemukan makna hidup disebut Logoanalisis

yang dikembangkan oleh James C. Crumbaugh (salah satu murid Frankl). Bastaman

(1996) memodifikasi keempat metode logoanalisis menjadi “Panca Cara Temuan

Makna” yakni: (a) pemahaman diri; (b) bertindak positif; (c) pengakraban hubungan;

(d) pendalaman dan penerapan Tri Nilai di atas; dan (e) ibadah.

Menurut Bastaman (1994), sebenarnya sebutan spiritualitas dalam Logoterapi

tidak mengandung konotasi keagamaan, tetapi lebih merupakan aspirasi manusia

untuk hidup secara bermakna dan sumber dari kualitas manusiawi. Frankl sendiri

menyatakan Logoterapi bersifat sekuler. Meski begitu, katanya, ajaran Logoterapi

berjasa menunjukkan adanya dimensi lain “di atas alam sadar” (supraconscious)

sebagai sumber kualitas manusiawi dengan segala potensialnya. Sementara psikologi

kontemporer belum menyentuhnya, Bastaman mencoba menawarkan ajaran tasawuf

yang banyak sekali mengkaji masalah-masalah spiritualitas manusia.

Agak berbeda dengan Bastaman, Rakhmat (2003) memandang bahwa aliran

eksistensialisme dalam psikoterapi Frankl bukanlah eksistensialisme sekuler yang

pada umumnya tidak memercayai adanya Tuhan. Eksistensialisme sekuler bahkan

dikritik oleh bapak eksistensialisme, Søren Kierkegaard, sebagai bentuk

keputusasaan dalam melakukan perlawanan. Agama, oleh Frankl seperti dikutip

Rakhmat (2003, p. 122), berkaitan dengan “pencarian makna akhir” (search for

ultimate meaning). Menurut Rakhmat (2003), “karena semua manusia mencari

makna, manusia pada fitrahnya beragama” (p. 122-3).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 113: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

90

Universitas Indonesia

Sebagai Muslim, Bastaman (1996) yang pengikut Frankl ini memasukkan

unsur-unsur keagamaan dengan menekankan pentingnya fungsi iman dan takwa.

Katanya, orang-orang beriman dan bertakwa akan tetap optimis dan mengharap

petunjuk-Nya dalam menghadapi segala situasi. Mereka selalu mensyukuri segala

kebaikan, kenikmatan, dan kebajikan yang diterimanya. Musibah dan penderitaan

yang dialami pun akan diterimanya dengan tabah dan penuh kesabaran.

Dalam bukunya, Frankl (1992) membandingkan Logoterapi dengan

Psikoanalisis Freud. Katanya, dengan psikoanalisis si pasien mesti duduk di sofa

sambil menceritakan hal-hal yang sangat tidak disukainya. Sebaliknya, ketika pasien

datang ke Logoterapi, dia tetap duduk tegak namun dia harus mendengarkan hal-hal

yang terkadang tidak dia setujui. Sehingga, dibanding Psikoanalisis, Logoterapi

kurang retrospektif sekaligus kurang introspektif.

Menurut Allport (1992), objek dan tantangan Logoterapi adalah mengalihkan

atau mengubah hidup berantakan menjadi pola yang tegas tentang makna dan

tanggung jawab. Frankl dan juga Freud sama-sama tertarik ke karakter dan

penyembuhan neurosis. Freud meyakini bahwa akar dari distressing disorders dalam

kecemasan seseorang disebabkan oleh dorongan-dorongan yang saling berkonflik

dan bawah sadar (conflicting and unconscious motives). Sementara Frankl mencoba

membedakan beberapa bentuk neurosis. Beberapa di antaranya berupa noögenic

neurosis yang menyebabkan kegagalan si penderita untuk menemukan makna dan

rasa tanggung jawab dalam eksistensi dirinya. Kalau Freud menekankan frustrasi

dalam kehidupan seksual seseorang, Frankl menekankan frustrasi pada kehendak

untuk menemukan makna (will-to-meaning). Meskipun demikian, Frankl tidak anti

terhadap aliran atau teori Psikologi/Psikoterapi lain.

Kata Frankl (1992), Logoterapi tidak fokus pada pembentukan lingkaran

setan dan mekanisme timbal-balik yang sangat berperan dalam perkembangan

neurosis. Sebaliknya, Logeterapi menekankan makna yang harus dicari pasien di

masa depan, ketimbang masa depannya. Perjuangan untuk menemukan makna hidup

seseorang adalah motif utama manusia. Dengan demikian, will to meaning

berlawanan dengan will to pleasure (the pleasure principle yang jadi fokus

Psikoanalisis Freudian) dan dengan will to power (psikologi Adlerian yang fokus

pada “striving for superiority”).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 114: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

91

Universitas Indonesia

Teknik terapi dalam Logoterapi di antaranya adalah paradoxical intentions,

dereflection, medical ministry, dan existential analysis. Paradoxical intentions dan

dereflection digunakan untuk psychogenic neuroses; medical ministry untuk somatic

neuroses; dan existential analysis sebagai psychotherapeutic anthropology untuk

noogenic neuroses (Frankl, 2004; Bastaman, 2007). Teknik-teknik ini, menurut

Bastaman (2007), pada intinya bertujuan membantu mengurangi atau menghilangkan

penderitaan yang tak terhindarkan, kemudian menggali potensi diri yang terutama

bersumber dari dimensi spiritualnya dan menghilangkan kendala dan kelemahan diri

yang menghambat proses menuju hidup bermakna.

Beberapa ahli berpendapat pendekatan eksistensial akan sangat relevan bagi

pekerja sosial yang menangani kelompok dengan penyakit berat, kekerasan,

kekacauan kultural, penderitaan pasca-perang, isolasi sosial, dan kematian, karena

pendekatan ini menekankan pada pencarian makna atas penderitaan yang mereka

alami (Canda & Furman, 2010, p. 190). Masalah-masalah seperti ini sangat umum

dialami kelompok lansia, seperti telah diuraikan juga di atas.

Psikologi eksistensial-humanis Frankl mulai dipakai dalam pekerjaan sosial

pada dekade 1950-an. Sebelumnya, menurut Lee et al. (2009), pekerjaan sosial klinis

masih didominasi teori psikodinamik. Eksistensialisme dan humanisme bisa masuk

ke pekerjaan sosial karena saat itu penerimaan para praktisi dan terapis terhadap

ragam teori atau pendekatan makin terbuka. Dominasi psikodinamik lama-kelamaan

akhirnya terganti pada dekade itu juga. Mengutip Frankl, Rogers, dan Lantz, Lee et

al. (2009, p. 96) menjelaskan eksistensialisme dan humanisme dalam psikoterapi

bercirikan pandangan positif tentang manusia dan menjadikan aktualisasi diri (self-

actualization) dan pencarian makna personal sebagai tujuan utama terapi. Caranya

adalah dengan tidak terlalu mengandalkan pemikiran rasional dan otonom, tapi lebih

fokus pada aspek pencarian dan pembuatan makna (meaning-searching dan

meaning-making) dari pikiran seseorang. Menurut Thompson (2010, p. 172), dalam

eksistensialisme, eksistensi manusia dipandang sebagai entitas yang selalu berubah

dan berkembang laksana arus air yang selalu berubah-ubah (‘flux’).

Eksistensialisme telah banyak disinggung dalam literatur pekerjaan sosial

selama lebih dari tiga dekade, sehingga berbagai pandangan dan nilainya juga

berdampak bagi praktik pekerjaan sosial. Donald Krill dan Jim Lantz adalah dua ahli

yang paling serius membahas teori ini dalam pekerjaan sosial. Namun yang banyak

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 115: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

92

Universitas Indonesia

mengaplikasikan pendekatan Logoterapi Frankl dalam pekerjaan sosial, terutama

untuk terapi keluarga, adalah Lantz (Canda & Furman, 2010, p. 186-7).

Canda dan Furman (2010) menjelaskan implikasi teori eksistensialisme bagi

pekerjaan sosial. Menurutnya, pekerja sosial eksistensial dapat membantu klien

tertindas dan tidak beruntung mengatasi segala bentuk penindasan dan rintangan

psikologis karena eksistensialisme sangat menekankan kebebasan dan harga diri.

Pendekatan eksistensialis yang menekankan spiritualitas juga memberi keuntungan

bagi pekerja sosial eksistensial agar sensitif dan responsif terhadap tema-tema

tentang makna, tujuan, keterkaitan, tanggung jawab, dan transendensi tanpa harus

membahas atau menyinggung agama dan spiritualitas secara langsung (p. 189).

Terkait masalah mental lansia yang dapat berujung pada kondisi krisis, dalam

Psikologi eksistensialis kondisi seperti itu dapat mengantarkan orang ke kondisi

kebosanan (state of boredom) dan gejala yang muncul contohnya depresi, agresi, dan

adiksi, atau bahkan bunuh diri. Menurut Frankl (1992), modus seperti ini bersifat

eksistensial dan manifestasi seperti itu disebut existential vacuum (p. 111-2). Selain

itu, berbagai tragedi atau penderitaan yang membawa seseorang berada dalam situasi

krisis dikarenakan orang tersebut gagal menyikapi atau memaknai penderitaan. Hal

ini juga bersifat eksistensial dan orang frustasi dalam pencariannya, sehingga kondisi

ini oleh Frankl disebut sebagai existential frustration. Secara umum istilah

eksistensial merujuk pada tiga kondisi sebagai berikut: (a) eksistensi itu sendiri,

khususnya cara orang mengada (human mode of being); (b) makna dari

keberadaannya; dan (c) perjuangan menemukan makna konkrit atas keberadaannya

secara personal, yaitu hasrat untuk bermakna (the will to meaning) (p. 106).

Baik kondisi existential frustration maupun existential vacuum, keduanya

menyebabkan neurosis, tepatnya noogenic neurosis (Frankl, 1992) atau noetic

neuroses (Frankl, 2004). Kedua krisis eksistensial atau nurani ini disebabkan oleh

sesuatu yang bersifat spiritual (noogenic), namun gejalanya berupa atau bersifat

gangguan psikologis (pheno-psychological disorders) (Frankl, 2004, p. 49, 148).

Noogenic neurosis, menurut Frankl (2004), merupakan gejala psikologis

karena sebab-sebab spiritual, seperti krisis nurani atau krisis eksistensial. Namun,

tidak semua krisis eksistensial/spiritual adalah penyakit (patologis) atau neurotik.

Sampai tahap tertentu krisis jadi bagian dari proses normal pendewasaan spiritual

seseorang. Krisis akan berkembang menjadi neurosis jika existential frustration

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 116: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

93

Universitas Indonesia

ditangani dengan cara yang salah, contohnya apabila karakter eksistensial/spiritual

dari krisis tersebut dibiarkan atau malah ditahan-tahan. Simptomnya bisa berupa

depresi, kecemasan, agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain (p. 148). Noogenic

neurosis juga terjadi saat ada ketegangan antara nurani yang saling bertentangan,

tekanan masalah spiritual atau sedang krisis eksistensial (Frankl, 2004, p. 151).

2.6.4.2. Perspektif transpersonal

Oleh Abraham Maslow, seperti dikutip Robbins, Chatterjee dan Canda (2006),

teori transpersonal dianggap sebagai sebuah gerakan baru atau angkatan keempat

psikologi (the forth force psychology) setelah tiga angkatan sebelumnya yang sangat

dominan, yaitu Freudianisme, behaviorisme, dan teori humanistik. Angkatan ini

merupakan perkembangan dari angkatan ketiga psikologi humanistik yang dirintis

Maslow. Menurut Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2007, p. xxvi), psikologi

humanistik dianggap ”sebagai persiapan atau peralihan menuju the forth psychology

yang lebih tinggi (transpersonal atau transhuman), yang berpusat pada kosmos

ketimbang sekadar kebutuhan dan kepentingan manusia, dan yang melampaui

kemanusiaan, identitas, aktualisasi diri, dan seterusnya.”

Rakhmat (2003) menjelaskan psikologi transpersonal bertumbuh-kembang di

Amerika pada dekade tahun 1960-an dan 1970-an. Saat itu sedang timbul gelombang

perubahan bidang politik, budaya, dan agama. Arus spiritualitas juga mengalir deras.

Tokoh perintis psikologi ini adalah Kenneth Wilber yang model spektrumnya tentang

perkembangan manusia banyak dirujuk karena dianggap sebagai teori transpersonal

yang paling komprehensif (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).

Menurut Robbins, Chatterjee dan Canda (2006), model Wilber menyatukan

konsep-konsep filosofis, agama, psikologi, sejarah, dan sosiologi Barat dan Timur

tentang perkembangan manusia, baik perkembangan individu dan masyarakat.

Modelnya juga banyak dipengaruhi aliran perkembangan struktural kognitif (seperti

Piaget dan Kohlberg), para teoretisi dinamika sistem (seperti von Bertalanffy dan

Jantsch), filsuf sosial posmodern (seperti Habermas), dan pandangan psikologi-

kosmologi Budhisme Vajrayana Tibet dan Zen. Konsepnya dibuat berdasar pada

pengalamannya melakukan meditasi Budha, kajian filsafat multidisipliner, dan

pengalaman hidupnya sendiri, termasuk kematian istrinya akibat kanker. Wilber

menamai konsepnya sebagai karya integral atau integratif, ketimbang transpersonal.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 117: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

94

Universitas Indonesia

Spektrum Wilber menggambarkan tingkat perkembangan kesadaran manusia

sebagai produk dari proses evolusi yang tidak saja secara biologis, namun juga dari

sisi kemampuan kognitif, pandangan dunia yang makin komprehensif, terlebih lagi

bentuk-bentuk spiritualitas, dan beragam organisasi sosial yang saling berhubungan

satu sama lain. Wilber memandang bahwa individu dan masyarakat lingkungan

sekitarnya memiliki kesamaan struktur dasar dan tingkat kesadaran secara paralel

sebagai sistem mikro dan makro. Perkembangan manusia dikatakan paralel karena

semua tingkatan sistem (disebut holon) akan menghadapi tantangan yang sama.

Semakin tinggi tingkatan, bentuk keberfungsian mentalnya semakin rumit pula.

Antar sistem manusia saling mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Wilber

menyebut model spektrumnya sebagai holarchy yang berarti urut-urutan yang

semakin tinggi tingkatannya semakin kompleks, rumit, dan komprehensif pula

struktur kesadaran dan organisasi sosialnya. Tiap tingkatan mencakup kapasitas dan

pengetahuan (meliputi aturan, asumsi, dan kepercayaan) tingkat di bawahnya

(Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).

Gambar 2.8 menunjukkan holarchy Wilber perkembangan manusia baik

secara mikro (individu) maupun makro (masyarakat). Tahapan paralel tersebut terdiri

dari sepuluh tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga fase utama, yaitu:

preegoik, egoik, dan transegoik. Antar fase terdapat tahap transisinya.

Terdapat berbagai bentuk penerapan dan implikasi teori transpersonal bagi

praktik pekerjaan sosial. Teori transpersonal sangat berguna bagi praktik pekerjaan

sosial untuk isu terkait perceraian, asesmen masalah mental, masa menjelang akhir

kehidupan (masa lansia), krisis perkembangan spiritual, konseling bagi pasangan,

penyakit kronis, layanan paliatif, dan juga pendidikan. Beberapa tahun belakangan,

kerangka praktik tertentu secara lebih detail dengan menggunakan teori transpersonal

juga telah dikembangkan untuk praktik pekerjaan sosial sensitif secara spiritual

(Canda & Furman, 1999; Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).

Terutama bagi prinsip praktik pekerjaan sosial, teori transpersonal sangat

berpengaruh. Cowley mencontohkan, prinsip saling menyayangi dan cinta tanpa

syarat memandang semua klien pasti punya manfaat dan potensi tak terbatas untuk

berkembang, terlepas dari masalah yang sedang membelitnya (Canda & Furman,

2010). Terlebih lagi melalui penanganan pekerjaan sosial secara profesional, klien

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 118: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

95

Universitas Indonesia

bersama pekerja sosial punya kesempatan berkembang mencapai potensi tertinggi

dan juga memperdalam wawasan (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).

Phase Individual Level Societal Level

Tra

nseg

oic

10 Nondual (as ultimate goal of development)

9 Causal None yet

Non

dual

(as

pro

cess

of d

evel

opm

ent)

8 Subtle None yet

7 Psychic None yet

Ego

ic

6 Vision-logic Planetary

5 Formal operational Rational egoic

4 Concrete operational Mythic-rational

Pre

egoi

c 3 Late preoperational Magic-mythic

2 Preoperational Magical

1 Sensoriphysical Archaic

0 Nondual (as source and potential of development)

Gambar 2.8. Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro Sumber: Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 403)

Sama halnya eksistensialisme Frankl, teori transpersonal cocok bagi kesehatan

mental lansia. Canda dan Furman (2010, p.194) mengurai dua cara mengatasi situasi

menderita dan kegalauan eksistensial dengan teori tersebut, yakni dengan: (a)

membangun pemahaman yang jelas akan harga diri dan identitas; dan (b) menolong

orang untuk berupaya melampaui lintas-batas identitas diri yang terikat ego.

Canda dan Furman (2010) juga mengutip beberapa ahli untuk menjelaskan

bahwa krisis dalam teori transpersonal dianggap punya kemampuan memecah

kebuntuan psikososial seseorang dan membuka kesempatan baru yang lebih luas,

sehingga kondisi tersebut harus dianggap sebagai kesempatan bertumbuh-kembang.

Sampai tahap tertentu, krisis punya hubungan langsung dengan perkembangan

spiritual, seperti krisis keyakinan, menggugat agama yang dianutnya, atau keraguan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 119: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

96

Universitas Indonesia

karena pengalaman kesadaran baru dari praktik meditasi, doa, atau ritual tertentu.

Bahkan proses menuju kematian dapat menjadi kesempatan untuk perkembangan

transpersonal. Dalam hal ini, pekerjaan sosial yang mengadopsi transpersonal

membantu klien mengoptimalkan kemungkinan melakukan transformasi mencapai

tahap kesadaran transpersonal dan membangun hubungan dengan sesama (p. 194-5).

Perspektif PIE dalam pekerjaan sosial bisa diperluas dengan mengambil

beberapa konsep dalam teori transpersonal. Canda dan Furman serta beberapa

akademisi lain memandang bahwa orang (person) dan lingkungan sosial memiliki

kesalingterkaitan satu sama lain dan merupakan satu-kesatuan fundamental. Dengan

demikian, person tidak lagi dipandang sebagai diri yang terbatas pada ego, dan

lingkungan tidak semata-mata terdiri dari sekelompok kecil hubungan dimana

seorang klien memiliki orang-orang terdekat yang bisa menolongnya (the significant

others). Misi dan komitmen pekerjaan sosial juga direvisi dengan teori ini. Upaya

pemenuhan kebutuhan personal sebagai misi pekerjaan sosial diperluas menjadi

kebutuhan akan transendensi diri (self-transcendence). Komitmen terhadap

dukungan sosial dan keadilan kemudian diperluas menjadi keadilan dan harmoni

global bagi seluruh semesta. Selain itu, kekuatan dan potensi personal harus meliputi

juga aspek intuisi, yang melampaui emosi dan pikiran egois. Kemudian, sistem

sumber lingkungan memasukkan keindahan dan inspirasi alam dan juga pengalaman

spiritual klien (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006; Canda & Furman, 2010).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 120: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

97

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam bab metode penelitian ini dijelaskan pendekatan dan paradigma

penelitian dan grounded theory secara singkat. Uraian cukup detail diberikan untuk

kegiatan yang telah dilakukan selama penelitian ini, yaitu terkait lokasi dan waktu,

informan penelitian, pengumpulan data, analisis data, teknik meningkatkan mutu

penelitian, etika, dan keterbatasan penelitian.

3.1. Pendekatan dan Paradigma Penelitian

Tujuan utama penelitian ini hendak menangkap pemahaman dan pengalaman

batin tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan sosial lansia. Maka, penelitian ini

lebih tepat memakai pendekatan kualitatif karena fenomena yang akan dikaji bersifat

kompleks yang menyangkut pemahaman dan pengalaman individu atau kelompok.

Terkait pengalaman spiritualitas, menurut Nelson (2009), pendekatan kualitatif

sangat cocok digunakan karena dapat menghasilkan deskripsi dan pemahaman

menyeluruh yang tidak bisa dihasilkan dari pendekatan kuantitatif atau analisis

statistik. Swinton (2001, p.13) juga menegaskan bahwa bahasa atau pendekatan

ilmiah tidak akan mudah menganalisis dan mengkonseptualisasikan pengalaman atau

perasaan semacam makna, cinta, harapan, dan spiritualitas. Pendekatan ini juga

relevan ketika peneliti belum banyak mengetahui fenomena yang diteliti sehingga

perlu membangun pemahaman atau kerangka awal.

Pendekatan kualitatif menggunakan metode induktif dimana suatu model atau

pola praktik tertentu akan diperoleh dan disaring berdasarkan data lapangan. Oleh

karena itu, beberapa kasus yang relevan dipilih untuk memahami masalah penelitian

secara mendalam (idiografik) dari sisi kompleksitas dan konteksnya (Stake, 2003;

Rubin & Babbie, 2001; Yin, 2003; Hird, 2003). Selaras dengan asumsi-asumsi

filosofis pendekatan kualitatif, penelitian ini memakai kerangka penelitian grounded

theory yang akan membangun kerangka konseptual atau kategori tertentu. Konsep

yang akan dibangun merupakan pandangan atau pemaknaan partisipan, sehingga

letak pengetahuan dan keahlian ada pada partisipan sebagai subjek penelitian ini.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 121: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

98

Universitas Indonesia

Paradigma atau asumsi dasar penelitian dibahas dalam salah satu komponen

utama penelitian bersama strategi dan metode penelitian (Creswell, 2009, p.3).

Denzin dan Lincoln (2004) menambahkan satu komponen lagi, yaitu siapa atau apa

yang akan diteliti (p. 200). Asumsi dasar penelitian ini adalah konstruktivisme yang

berupaya memahami secara mendalam pengalaman hidup subjek penelitian. Makna

tentang spiritualitas yang diperoleh adalah makna subjektif partisipan. Makna itu

sangatlah beragam yang menyebabkan peneliti tidak hanya membatasi makna-makna

tertentu berdasarkan kategori yang dibuat, tapi harus menelusuri kompleksitasnya.

Makna diinterpretasi, kemudian dibangun suatu teori atau pola berdasarkan hasil

pemaknaan secara induktif. Ini berbeda dengan pandangan pospositivis yang

memulai dari suatu teori kemudian membuktikannya di lapangan (Creswell, 2009).

Creswell mengutip Crotty tentang asumsi-asumsi konstruktivisme. Pertama,

makna yang hendak diperoleh dari penelitian kualitatif merupakan hasil konstruk

manusia sebagaimana mereka memahami dunia. Peneliti menggunakan pertanyaan

open-ended sehingga partisipan dapat menyampaikan pandangan. Kedua, manusia

hidup di dunia dan memahaminya berdasarkan pemahaman historis dan sosial.

Pemahaman dibentuk kultur dimana mereka tinggal. Maka, peneliti harus memahami

konteks dan tatanan dimana partisipan berada dengan cara mengunjungi atau tinggal

bersama mereka dan menggali informasi secara personal. Peneliti juga akan meng-

interpretasi apa yang mereka temui di lapangan, dan ini akan dipengaruhi latar

belakang dan pengalaman peneliti. Ketiga, pemaknaan selalu bersifat sosial berdasar-

kan interaksi dengan masyarakat sekitar. Proses penelitian kualitatif sangat induktif,

dimana pemaknaan dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di lapangan (p. 8-9).

Konstruktivisme, menurut Guba dan Lincoln (1994), merupakan satu dari

empat paradigma utama dalam penelitian. Keempat paradigma itu dibedakan dari sisi

ontologi, epistemologi, dan metodologi. Secara ontologis, pemahaman praktisi dan

klien akan spiritualitas merupakan realitas relatif yang bisa dipahami dalam bentuk

konstruksi mental yang beragam dan tidak bisa ditangkap secara inderawi.

Konstruksi mental juga dibentuk secara sosial dan berdasarkan pengalaman sehingga

bersifat lokal dan khusus. Meskipun begitu, ada unsur-unsur tertentu yang sama-

sama dialami oleh berbagai individu dan kultur yang berbeda (p. 110). Itulah

mengapa penelitian ini lebih tepat menggunakan paradigma konstruktivisme.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 122: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

99

Dari sisi epistemologi, paradigma konstruktivisme bersifat transaksional dan

subjektivis. Pemahaman informan tentang aspek spiritual dan agama yang tertangkap

melalui penelitian merupakan hasil dari proses timbal-balik (transaksi) antara si

peneliti dan informan walaupun pemahaman itu diklaim didapat dari hasil

pemaknaan subjektif dari informan (subjektivis). Kemudian secara metodologis,

pemahaman yang nanti diperoleh dan dimasukkan dalam hasil penelitian sebenarnya

dapat dikatakan sebagai “konstruksi konsensus” yang telah diproses melalui

perbandingan secara dialektis dan dengan menggunakan teknik hermeneutik ketika

peneliti menafsirkan interaksinya dengan informan (Guba & Lincoln, 1994, p. 111).

3.2. Grounded Theory

Grounded theory dijadikan strategi penelitian ini karena spiritualitas dalam

pekerjaan sosial merupakan bidang yang relatif baru, khususnya di Indonesia. Di

dunia Barat kajian dan penelitian tema ini telah berkembang sejak lebih dari dua

dekade lalu. Meskipun begitu, Coholic (2007), yang menginvestigasi awal tentang

pengaruh spiritualitas pada kesadaran diri dan harga diri dalam kelompok,

mengklaim kerangka praktik pekerjaan sosial sensitif spiritual yang diterima luas

masih belum terbangun. Ini dikemukakan untuk mendukung penelitiannya yang

memakai grounded theory. Alasan lain Coholic, yang juga dipakai di sini, adalah

bahwa metode ini berguna untuk membangun teori dari dunia praktik yang nanti

pada gilirannya dapat dimanfaatkan para praktisi dan klien (p. 117).

Grounded theory diperkenalkan Glaser dan Strauss (1967), yaitu penelitian

yang dimulai dengan “observasi dan kemudian mengusulkan pola, tema, atau

kategori umum.” Namun, itu bukan berarti tanpa prakonsep (konsep-konsep atau

horison pemahaman yang sudah ada) atau ide-ide sebelumnya tentang apa yang

sedang dikaji (Babbie, 1998, p. 283; Rubin & Babbie, 2001, p. 392). Sherman dan

Reid (1994) menyebut pendekatan grounded theory sebagai metode yang “secara

khsusus menjanjikan bagi pengembangan teori dan pengetahuan pekerjaan sosial

indigenous” (p. 6). Shaw dan Gould (2001) juga menyebutnya sebagai “stimulus

yang berjalan bersama lapangan penelitian pekerjaan sosial” (p. 36). Begitu juga

dengan Gilgun (1994) yang mengatakan metode ini sangat bermanfaat untuk

mengembangkan ataupun membangun pengetahuan pekerjaan sosial, khususnya

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 123: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

100

Universitas Indonesia

dalam pelayanan sosial langsung (direct practice). Denzin dan Lincoln (1994)

bahkan menempatkan grounded theory sebagai revolusi dalam penelitian kualitatif.

Menurut Creswell (2009), grounded theory adalah suatu strategi penelitian

dimana si peneliti membangun teori umum yang bersifat abstrak tentang suatu

proses, tindakan, atau interaksi bedasarkan pandangan dari para partisipan. Prosesnya

meliputi pengumpulan data, pemilahan, dan membandingkan atau menghubung-

hubungkan antar kategori. Karakteristik utamanya adalah: (1) perbandingan data

secara konstan dengan beberapa kategori yang muncul; dan (2) pengambilan sampel

secara teoretis (theoretical sampling) dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk

menguatkan persamaan dan perbedaan informasi. Kategori utamanya ini merupakan

pendekatan yang dipakai dalam analisis grounded theory sehingga Glaser dan

Strauss menamainya sebagai “sebuah metode umum tentang analisis komparatif

(konstan)” atau “metode komparatif konstan” (Strauss & Corbin, 2004, p. 273).

Grounded theory menekankan proses induktif melalui perbandingan antar

kasus secara konstan menurut persamaan dan perbedaannya (iteratif) untuk

menemukan teori, konsep, hipotesis, atau proposisi (Sherman & Reid, 1994; Cherry,

2000; Shaw & Gould, 2001; Neuman, 2006). Menurut Neuman, grounded theory

banyak membuat penelitian kualitatif menjadi fleksibel. Peneliti tetap terbuka

terhadap hasil-hasil yang mungkin tidak diharapkan atau diantisipasi, sehingga harus

mengubah fokus atau arah penelitian di tengah penelitian. Pertanyaan penelitian yang

bersifat teoretis bahkan bisa menggantikan pertanyaan sebelumnya berdasarkan

temuan. Dengan karakteristiknya yang membiarkan data dan teori berinteraksi,

pengumpulan data dan pembentukan teori dilakukan bersama secara berselingan.

Meskipun bersifat induktif, menurut Rubin dan Babbie (2001), strategi ini

juga memakai proses deduktif terutama ketika melakukan perbandingan kasus secara

konstan. Proses induktif dipakai untuk menemukan pola-pola, kemudian dibangun

konsep dan hipotesis sementara (working hypothesis). Hipotesis ini lalu dikonfirmasi

atau dikonfrontasi dengan kasus-kasus serupa yang dipilih melalui theoretical

sampling. Pada saat inilah proses deduktif berjalan. Pencarian kasus terus dilakukan

hingga peneliti meyakini tidak ada lagi pandangan baru dari kasus-kasus serupa.

Temuan dari kasus-kasus baru tidak mengubah temuan yang ada. Setelah itu, peneliti

harus mencari kasus lain yang berbeda. Proses serupa diulang layaknya suatu siklus.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 124: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

101

Gambar 3.1. Proses dan hasil dalam grounded theory

Sumber: Bryman (2008, p. 545)

Gambar 3.1 menunjukkan 12 langkah dalam grounded theory yang diambil

dari Bryman (2008) terkait proses dan hasil. Namun demikian, 12 langkah tersebut

hanya berupa model yang tidak harus dilakukan langkah demi langkah secara persis.

Selain itu, penelitian ini tidak sampai menghasilkan teori formal seperti dihasilkan

langkah ke-12, akan tetapi hanya sampai upaya membangun teori substantif.

1. Pertanyaan penelitian

2. Theoretical sampling

3. Pengumpulan data

4. Coding

Proses Hasil

5. Perbandingan konstan

6. Saturasi kategori

Konsep

Kategori

Hipotesis 7. Eksplorasi hubungan antar kategori

8. Theoretical sampling

9. Pengumpulan data

10. Saturasi kategori

11. Tes hipotesis

12. Pengumpulan & analisis data dalam setting berbeda

Teori substantif

Teori formal

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 125: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

102

Universitas Indonesia

Penjelasan bagaimana proses untuk menghasilkan teori substantif ini akan diuraikan

pada sub-bab teknik analisis data.

3.3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Lokasi penelitian dijelaskan mulai dari proses pencarian awal hingga lokasi

yang telah dipastikan menjadi lokasi penelitian. Kerangka waktu penelitian dari awal

pembuatan proposal hingga presentasi hasil dan revisi juga diurai singkat dengan

bantuan ilustrasi timetable.

3.3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di provinsi DKI Jakarta dan sekitarmya. Kawasan

ibukota dan penyangganya ini dipilih karena berpopulasi padat dimana angka

permasalahan sosial relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar lain di Indonesia,

termasuk masalah lansia. Penanganan lebih variatif dari sisi institusi penyelenggara

dan metode, termasuk yang memanfaatkan aspek spiritual dan agama. Selain itu,

praktisi datang dari berbagai latar belakang tradisi keagamaan, pandangan dunia, dan

pengalaman yang sangat mewarnai bagaimana melakukan penanganan lansia.

Lokasi dipilih berdasarkan ketersediaan klien lansia dan praktisi kessos

sebagai informan penelitian dengan kriteria tertentu. Untuk memeroleh kedua

kategori informan ini, langkah pertama yang dilakukan adalah menggali informasi

tentang lembaga-lembaga penyedia layanan sosial bagi lansia, baik yang berbasis

panti maupun komunitas. Informasi diperoleh dari penelusuran internet, lembaga

yang berkaitan dengan lansia, dan sejumlah informan kunci dengan teknik snowball.

Lembaga yang dimaksud misalnya Kementerian Sosial (Direktorat Pelayanan Sosial

Lanjut Usia dan Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional), Perhimpunan Gerontologi

Indonesia (Pergeri), dan IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional). Selain itu, peneliti

juga sempat menghubungi beberapa orang yang dianggap punya informasi dan

keterkaitan dengan kegiatan pelayanan atau penelitian lansia.

Dari informasi tersebut, peneliti berupaya menghubungi sejumlah lembaga

pelayanan sosial lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya. Di antaranya ada PSTW Budhi

Dharma Bekasi, PSTW Budi Mulia 4 Jakarta Selatan, PSW Wisma Mulia Jakarta

Barat, Senior Club Indonesia Jakarta Utara, Yayasan Bhakti Putra Pratama

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 126: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

103

(pelayanan home care) Jakarta Selatan, Yayasan Tresna Werdha Nurul Ikhlas,

Sasana Tresna Werdha (STW) Hj. Hasmah Noor, STW Karya Kasih Kwitang Jakarta

Pusat, STW Karya Bhakti Jakarta Timur, dan Yayasan Pitrah Sejahtera (pelayanan

home care) Jakarta Utara.

Akhirnya hanya empat lembaga yang bisa ditindaklanjuti menjadi objek

penelitian ini karena dianggap dapat mewakili pelayanan dari penyedia layanan yang

berbeda. Sedangkan lembaga yang batal menjadi lokasi penelitian dikarenakan sudah

tidak ada (atau pindah alamat), ada yang tidak jelas apakah izin penelitian diterima

atau tidak, ada yang karena birokrasi yang agak rumit, dan ada juga karena alasan

ketiadaan praktisi berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial.

Keempat lembaga tersebut yaitu: (1) PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha)

Budhi Dharma Bekasi milik Kemensos (Panti Bekasi); (2) PSTW Budi Mulia 4

Margaguna, Jakarta Selatan milik Pemerintah DKI (Panti Margaguna); (3) Panti

Sosial Werda Wisma Mulia Grogol, Jakarta Barat (Panti Jelambar), sebuah panti

swasta milik Kowani khusus untuk lansia perempuan; dan (4) Yayasan Pitrah

Sejahtera, Cilincing, Jakarta Utara. Berbeda dengan ketiga lembaga pertama yang

berbentuk institusional panti, Yayasan Pitrah Sejahtera merupakan lembaga non-

panti berbasis masyarakat yang memberikan layanan home care bagi lansia. Keempat

lokasi penelitian tersebut tampak pada Gambar 3.2

Gambar 3.2. Lokasi penelitian

Sumber peta: https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 127: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

104

Universitas Indonesia

3.3.2. Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu dua tahun lebih. Kegiatan pra-

penelitian berupa survei lapangan dan penjangkauan calon informan dilakukan sejak

awal hingga pertangahan tahun 2013. Seiring kegiatan ini, pengumpulan data sudah

mulai dilakukan dengan metode kajian dokumen, wawancara, dan observasi. Hampir

bersamaan dengan kurun waktu itu, analisis dan pemrosesan data sudah dilakukan di

lapangan. Menranskrip hasil wawancara dan melakukan analisis coding merupakan

kegiatan yang memakan waktu cukup panjang. Di pertengahan tahun 2014 sempat

dilakukan kembali wawancara terhadap informan praktisi demi tercapainya data yang

jenuh. Penyusunan tulisan juga sudah dimulai saat pengumpulan dan analisis data

sampai akhir 2014. Presentasi hasil dan revisi naskah dilakukan selama pertengahan

awal 2015. Tabel 3.1 menunjukkan kerangka waktu pelaksanaan penelitian.

Tabel 3.1. Timetable pelaksanaan penelitian

PELAKSANAAN 2013 2014 2015 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2

1 Pra-penelitian • Survei lokasi • Outreaching informan 2 Pengumpulan data • Kajian dokumen • Interview lansia • Interview praktisi • Observasi 3 Analisis Data • Transkrip verbatim • Coding 4 Drafting 5 Presentasi hasil & revisi

3.4. Informan Penelitian

Dalam sub-bab ini dijelaskan proses pemilihan informan dengan teknik

theoretical sampling dan deskripsi (demografi) informan praktisi dan lansia yang

turut berpartisipasi dalam penelitian ini.

3.4.1. Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan yang dipakai adalah theoretical sampling, yang

merupakan satu bentuk atau variasi dalam purposive sampling usulan Glaser dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 128: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

105

Strauss (1967) dan Strauss dan Corbin (1998), seperti dikutip Bryman (2008), yang

khas untuk pendekatan grounded theory dalam konteks analisis data kualitatif.

Theoretical sampling adalah teknik pemilihan informan dalam proses pengumpulan

data dalam rangka membangun teori menurut kategori yang terbangun dan teori yang

muncul di lapangan (Coyne, 1997, p. 629). Menurut Coyne, dalam grounded theory,

theoretical sampling dapat diistilahkan sebagai sebuah “analisis yang dipandu atau

dikontrol oleh purposeful sampling” (p. 629). Sebagai sebuah proses, teknik ini

dilakukan tidak hanya dalam satu kali tahapan, tetapi beberapa tahap sebagai proses

menerus yang ditentukan atau dikontrol oleh dinamika data atau teori yang muncul.

Proses pemilihan informan dengan teknik theoretical sampling didasarkan

pada informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Pemahaman aspek spiritual dan bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan

dalam penanganan masalah mental lansia. Informasi ini akan digali dari

praktisi kessos yang terdiri dari pekerja sosial dan pendamping atau perawat.

2. Pengalaman subjektif tentang spiritualitas dan persepsi atau respons terhadap

masalah hidup lansia yang sedang ditangani atau sudah ditangani. Informan

utama untuk menggali informasi ini adalah klien lansia dalam konteks

pelayanan sosial. Orang-orang sekitar yang penting bagi klien (the significant

others), seperti keluarga atau kerabat yang masih berhubungan, teman sesama

panti, atau bahkan peksos dan staf panti, juga akan menjadi informan

tambahan untuk triangulasi sumber data.

Meskipun merupakan proses yang menerus, kriteria tentatif dibuat sebagai

patokan awal untuk pemilihan informan sebelum turun lapangan. Kriteria awal

tersebut dibuat berdasarkan subjek atau masalah penelitian secara umum, bukan

berdasarkan pra-konsep kerangka teori (Coyne, 1997). Penentuan kriteria ini intinya

bertujuan memperoleh informasi yang secara teoretis penting tentang konsep dan

kondisi tertentu yang diperlukan atau berbagai kategori yang mungkin muncul.

Kriteria theoretical sampling di tahap lanjutan telah diperbaiki berdasarkan temuan

agar data lebih fokus seiring munculnya tema atau kategori. Langkah-langkah

tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.1. Pada akhirnya, kriteria informan yang

ditetapkan ada sedikit perubahan seperti tampak pada Tabel 3.2.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 129: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

106

Universitas Indonesia

Tabel 3.2. Kriteria informan yang terlibat dalam penelitian

Kriteria informan Informan

• Pekerja sosial lulusan perguruan tinggi jurusan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau pekerja sosial fungsional

• Pendamping/perawat lulusan SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial) • Pendamping yang pernah ikut diklat kesejahteraan sosial atau bimbingan

teknis tentang pelayanan sosial untuk lansia • Sedang/pernah menangani lansia dengan pendekatan spiritual dan/atau agama

Praktisi kessos

• Sedang atau pernah mengalami masalah berat dan menderita gangguan depresi atau kecemasan, dan lain-lain

• Sedang ditangani atau yang telah pulih karena intervensi dengan pendekatan spiritual dan/atau agama

• Mampu berkomunikasi dan tidak menderita demensia semacam pikun atau alzheimer

• Tergolong masih mandiri atau independen

Klien lansia

Setelah menentukan lokasi penelitian seperti telah dijelaskan sebelum ini,

langkah berikutnya menjangkau dan memilih informan. Informan lansia dengan

kriteria seperti pada Tabel 3.2 ditelusuri melalui informasi menurut pekerja sosial,

psikolog, atau perawat yang menjadi semacam gatekeeper dan mengetahui kondisi

sejumlah lansia. Dari informasi mereka, peneliti mencoba melakukan observasi dan

berinteraksi langsung dengan klien. Untuk memastikan beberapa calon informan

lansia tersebut, peneliti juga menelusuri dokumen-dokumen terkait data biografi,

identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan tindakan intervensi yang

pernah dilakukan. Data demografis informan juga telah diperoleh berdasarkan

lembar pendataan (Lampiran 2).

Sewaktu masih berupaya mencari-cari lembaga layanan sosial lansia yang

akan diteliti, peneliti langsung melakukan kontak atau kunjungan dan mengurus

perizinan pada lembaga yang dianggap potensial. Ketika sudah ada kepastian bahwa

penelitian diizinkan, peneliti melakukan obeservasi dalam beberapa kali kunjungan

dan menemui gatekeeper, seperti kepala panti atau yayasan, kepala seksi, pekerja

sosial atau pendamping, atau kolega yang peneliti kenal. Di samping itu, informasi

dari berbagai sumber dan dokumen juga ditelusuri. Dari sini, peneliti mendapatkan

gambaran awal tentang sistem pelayanan panti dan calon informan yang potensial

dan sekiranya memenuhi kriteria.

Melalui observasi dan interaksi langsung, baik dengan praktisi maupun klien,

serta data panti (biografi, identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 130: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

107

perkembangan), peneliti kemudian menetapkan informan secara purposif (purposive

sampling) dengan meminta kesediaan mereka terlebih dahulu. Wawancara dilakukan

ketika hubungan baik (rapport) dengan informan telah terbangun, kepercayaan

(trust) mereka terhadap peneliti tumbuh, dan mereka bersedia untuk diwawancara.

Namun untuk kasus pelayanan home care, ada juga yang bisa langsung dilakukan

wawancara, terutama terhadap pendamping, karena peneliti didampingi gatekeeper

dan mereka telah memahami konteks atau terbiasa dengan penelitian.

Untuk calon informan praktisi, peneliti mengalami kesulitan menjangkau

mereka, terutama yang berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial.

Sejauh hasil penelusuran, sebagaian besar praktisi yang memberikan layanan

langsung kepada lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya hanya lulusan SMPS (Sekolah

Menengah Pekerjaan Sosial). Sementara mereka yang berlatar pendidikan sarjana

tidak secara langsung melayani lansia meskipun bekerja di setting lansia.

Kemudian, kalaupun ada sejumlah praktisi yang sekiranya memenuhi kriteria,

sebagian enggan untuk terlibat. Alasannya bisa jadi karena mereka khawatir bahwa

penelitian ini diasumsikan seperti sebuah ujian akan pengetahuan dan kompetensi

mereka. Padahal, peneliti selalu berupaya meyakinkan bahwa penelitian bertujuan

lebih pada penggalian pemahaman dan pengalaman spiritualitas mereka baik secara

personal maupun profesional ketika berinteraksi dengan klien. Ada pula beberapa

calon informan praktisi yang telah menyatakan kesediaan untuk berpartisipasi,

namun ketika ditanya kapan bisa diwawancara mereka cenderung menunda dan agak

menghindar. Untuk hal ini, ada empat praktisi (pekerja sosial fungsional) yang

akhirnya dibatalkan untuk berpartisipasi karena alasan kesukarelaan.

Ada satu lembaga yang pimpinannya mengizinkan peneliti hanya untuk

mewawancarai klien lansia, tapi tidak untuk praktisi. Satu lembaga milik pemerintah

bahkan tidak memiliki pekerja sosial fungsional ataupun profesional sama sekali.

Dalam memberikan layanan, panti ini banyak mengandalkan pramusosial, staf seksi

keperawatan, dan terkadang pelajar atau mahasiswa praktik kerja lapangan.

3.4.2. Deskripsi Informan

Secara keseluruhan ada 20 informan yang berpartisipasi dalam penelitian

yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia. Praktisi yang terlibat

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 131: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

108

Universitas Indonesia

terdiri dari empat orang pendamping (satu laki-laki dan tiga perempuan), dua staf

berjenis kelamin perempuan (satu dari seksi keperawatan dan satu lagi dari seksi

rehabilitasi sosial), dua orang pekerja sosial (satu laki-laki tingkat ahli dan seorang

perempuan tingkat terampil yang akan pensiun di akhir 2013), dan seorang penyuluh

sosial perempuan dengan latar belakang pendidikan spesialis (Sp-1) pekerjaan sosial.

Dilihat dari sisi tugas pokok dan fungsi di panti, posisi staf memang tidak berada di

ujung tombak pelayanan langsung untuk klien lansia, seperti halnya pekerja sosial.

Namun, kedua staf yang sukarela berpartisipasi memiliki pengalaman menangani

lansia secara langsung ketika menjadi pengasuh dan pramusosial. Saat ini selaku staf

pun mereka tetap berinteraksi dengan klien dan terkadang memberikan layanan

melalui berbagai bimbingan atau kegiatan keagamaan. Tabel 3.3 pada halaman

berikut adalah data demografi informan praktisi.

Tabel 3.3. Data demografi informan praktisi

Informan Jenis

kelamin Usia

Status kawin

Pendidikan Suku Agama Lembaga

YL P 47 Janda SMPS Jawa Islam Panti SM P 56 Nikah SMPS Jawa Islam Panti WN P 42 Nikah SMPS Sunda Islam Panti TY P 41 Nikah Sp-1 Kessos Jawa Islam Panti FS L 37 Nikah D-IV Kessos Aceh Islam Panti HN P 35 Nikah SMK Sunda Islam Home care ED L 32 Nikah S-1 Betawi-

Jawa Islam Home care

MM P 54 Janda MTs Sunda Islam Home care HT P 58 Nikah SMEA Batak Islam Home care

Pada tabel tersebut ditunjukkan kisaran usia praktisi dari 32 hingga 56 dan

semuanya beragama Islam. Mereka berasal dari suku Jawa (tiga orang), Sunda (tiga),

campuran Betawi-Jawa (satu), Aceh (satu) dan Batak (satu). Latar belakang

pendidikan mereka adalah lulusan SMPS (tiga orang), SMK (dua), MTs (satu), D-IV

(satu), S-1 (satu), dan Sp-1 (satu). Seorang praktisi lulusan D-IV merupakan Ahli

Madya Kesejahteraan Sosial lulusan STKS (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial)

Bandung. Seorang lagi merupakan Spesialis Pekerjaan Sosial (Sp-1) STKS (setingkat

strata 2). Lima orang informan yang bekerja di panti pemerintah adalah pegawai

negeri sipil (PNS), sedangkan pekerjaan para pendamping ada yang ibu rumah

tangga (dua orang), penata rias, dan karyawan sebuah perusahaan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 132: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

109

Informan lansia terdiri dari empat laki-laki dan tujuh perempuan. Dari sebelas

klien itu ada dua pasang suami-istri lansia, semantara sisanya janda atau duda.

Kebanyakan tinggal dan mendapat layanan di panti dan hanya dua dapat layanan

home care. Informan lansia cukup beragam dari sisi suku, agama, dan pendidikan.

Mayoritas informan beragama Islam, hanya dua lansia yang Protestan. Sebagian

besar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa

informan yang sering menggunakan istilah atau ungkapan bahasa daerahnya,

terutama bahasa Jawa dan Sunda. Namun, peneliti masih mampu memahami

maksudnya, sehingga tidak perlu melibatkan ko-peneliti yang ahli berbahasa daerah

tersebut. Tabel 3.4 merangkum data demografis informan lansia.

Tabel 3.4. Data demografi informan klien lansia

Infor-man

Jenis Kelamin

Usia Status kawin Pendidikan Suku Agama Setting layanan

Mrw L 71 Duda (cerai) SMP (kelas 2)

Betawi Islam Panti

Pnd L 76 Nikah SR (kelas 6)

Campuran Tionghoa-pribumi

Islam (sebelum-nya Budha, Protestan)

Panti

Gbg P 74 Nikah SR (tidak lulus)

Sunda Islam Panti

Rml L 78 Nikah SR Islam Aceh Islam Panti Nrn P 60 Nikah MI Negeri Aceh Islam Panti Est P 68 Tidak kawin SPG Tionghoa Protestan Panti Kntw P 77 Janda (di-

tinggal mati) SR (tidak lulus)

Jawa Protestan (sebelum-nya Islam)

Panti

Sgn L 67 Duda (di-tinggal mati)

STM Bangunan

Jawa Islam Panti

Alm P 63 Janda (cerai) SMP Jawa Islam Panti Bs P 77 Janda (di-

tinggal mati) SR (kelas 3)

Makassar Islam Home care

Msn P 73 Janda (di-tinggal mati)

SR (kelas 3)

Sunda Islam Home care

3.5. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, berikut ini diuraikan teknik pengumpulan data

yang telah dilakukan. Khusus untuk wawancara, teknik ini diuraikan secara lebih

detail dari sisi prosesnya karena lebih dominan digunakan dalam penelitian ini.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 133: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

110

Universitas Indonesia

3.5.1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian dokumen/arsip,

observasi, dan interview. Penggunaan teknik berbeda dalam penelitian kualitatif

disebut triangulasi (interdisciplinary triangulation) dengan tujuan validasi data.

Berbagai temuan diperoleh melalui penggunaan dua sampai tiga teknik/pendekatan

berbeda yang tidak punya kelemahan serupa secara metodologis (Singleton & Straits,

1999; Janesick, 2003; Denzin & Lincoln, 2003). Menurut Denzin (1970), seperti

dikutip Bryman (2008, p. 379), penggunaan metode yang berbeda disebut sebagai

triangulasi dengan multiple methodologies. Tipe lain yang juga digunakan adalah

triangulasi dengan berbagai sumber data (multiple sources of data), yakni

menggunakan lebih dari satu sumber informasi untuk satu pertanyaan atau tema

penelitian yang sama untuk validasi data.

Kajian dokumen/arsip dilakukan untuk menelusuri berbagai informasi tentang

biografi dan demografi lansia dan praktisi. Dokumen atau arsip tentang klien yang

dimaksud bisa berasal dari hasil catatan identifikasi awal pada saat perujukan atau

penerimaan, hasil asesmen, catatan kasus atau peristiwa, catatan harian (jurnal), data

perkembangan, laporan kemajuan, dan lain-lain. Di samping itu, berbagai jenis

dokumen yang sekiranya relevan dan dapat dipertanggung-jawabkan (archives in the

bush) juga dicari dari berbagai sumber.

Observasi dilakukan langsung terhadap proses asesmen dan intervensi yang

dilakukan para praktisi atau pada saat kegiatan bimbingan. Selaku pengamat murni

(complete observer atau non-participant observation), peneliti membuat catatan yang

menggambarkan proses tersebut (Rubin & Babbie, 2001). Teknik observasi terutama

digunakan untuk menghimpun data tentang bagaimana spiritualitas dipraktikkan

dalam penanganan lansia yang sedang menghadapi masalah tertentu (panduan

observasi di Lampiran 5). Dari sisi peran, peneliti berusaha terlibat secara penuh

dalam setting penelitian. Ini dilakukan secara bertahap, dimulai sebagai pengamat

(observer), separuh partisipan, hingga menjadi complete participant. Pengumpulan

data dilakukan berkali-kali dan dengan keterlibatan penuh. Pada saat bersamaan,

dilakukan observasi terhadap apa yang sedang berlangsung (Patton, 2002, p. 277).

Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur (semi-structured interview).

Teknik ini digunakan untuk metode grounded theory dengan informan praktisi dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 134: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

111

klien. Protokol dan pedoman awal wawancara (initial interview guide) untuk masing-

masing informan disusun sebelum turun lapangan (lihat Lampiran 3). Pedoman awal

ini telah diadaptasikan secara menerus berdasarkan data yang ditemukan, entah

dengan menghilangkan atau menambah pertanyaan baru, karena pengumpulan data

dalam grounded theory dapat semakin fokus seiring analisis data (Charmaz, 2004, p.

503). Unsur-unsur pesan (message) dalam wawancara meliputi auditory dan visual.

Dalam open coding, keduanya sangat diperlukan untuk transkrip verbatim yang

mencakup apa yang disampaikan secara verbal (auditory) dan juga gerak-gerik dan

emosi yang muncul dari informan selama wawancara (visual). Pesan auditory

direkam dengan alat perekam, sementara pesan visual yang dinilai signifikan dicatat

(note taking) oleh peneliti sehingga unsur ini tidak terlupakan selama wawancara

berlangsung. Kedua unsur tersebut menjadi bahan penting untuk analisis.

Tabel 3.5. Inisial informan praktisi dan tanggal wawancara

Informan praktisi Tanggal wawancara

YL 30 Mei 2013 SM 12 Juni 2013 WN 13 Juni 2013 HN 16 Juni 2013 ED 16 Juni 2013 MM 16 Juni 2013 HT 16 Juni 2013 TY 26 Juni 2014 FS 1 Juli 2014

3.5.2. Proses Wawancara

Pelaksanaan wawancara menggunakan panduan awal (initial interview guide)

baik untuk informan praktisi maupun lansi (lihat Tabel 3.5 dan 3.6 tentang

pelaksanaan wawancara). Panduan awal wawancara ini tampak pada Lampiran 3.

Wawancara pertama kali terhadap masing-masing informan praktisi dan lansia

dianggap sebagai semacam uji coba (pilot). Sehabis wawancara pertama tersebut,

peneliti langsung melakukan revisi baik dari sisi tema atau konsep yang akan

diajukan maupun dari sisi urut-urutan pertanyaan. Ada sejumlah daftar pertanyaan

yang dikurangi, ada juga yang ditambahkan. Sebagai contoh, pada wawancara

dengan praktisi pertanyaan tentang kegiatan atau afiliasi keagamaan yang ada pada

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 135: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

112

Universitas Indonesia

saat wawancara pertama akhirnya dihilangkan. Pertanyaan ini cukup ditanyakan

dalam data informan, kecuali apabila memerlukan klarifikasi lebih jauh.

Tabel 3.6. Inisial informan lansia, frekuensi wawancara, dan tanggal wawancara

Informan lansia Frekuensi wawancara Tanggal wawancara

Mrw 2 kali 8 April; 6 Juni 2013 Pnd 4 kali 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 Gbg 4 kali 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 Rml 1 kali 27 Mei 2013 Nrn 1 kali 27 Mei 2013 Est 1 kali 31 Mei 2013

Kntw 1 kali 31 Mei 2013 Sgn 2 kali 5, 12 Juni 2013 Alm 1 kali 6 Juni 2013 Bs 1 kali 16 Juni 2013

Msn 1 kali 16 Juni 2013

Contoh lain ketika pertama kali mewawancarai klien lansia, eksplorasi awal

adalah berkaitan dengan aktivitas keagamaan sehari-hari klien kemudian diikuti

pertanyaan bagaimana cerita penderitaan atau pengalaman hidup, dan seterusnya.

Tampaknya pola urut-urutan pertanyaan seperti itu agak membingungkan lansia yang

kebanyakan berlatar pendidikan rendah. Hasil wawancarapun menjadi terkesan

bolak-balik atau berputar-putar. Dalam revisi panduan, terutama untuk lansia di

panti, pertanyaan awal bermula dari bagaimana perasaan atau ekspresi saat ini di

panti, sehingga mereka akan cerita hal-hal atau pengalaman yang membuat mereka

senang-tidak senang atau suka-tidak suka. Sehingga dari cerita itu peneliti

mengeksplorasi lebih jauh sambil tetap berpegang pada panduan wawancara yang

telah direvisi. Tidak menutup kemungkinan peneliti mengakomodir tema-tema baru

yang muncul, contohnya kasus lansia yang memakai susuk atau pemanis di waktu

mudanya dan akan menjadi masalah ketika mereka mendekati akhir hayat. Terkait

muncul atau hilangnya tema-tema dalam wawancara akan dijelaskan pada bab-bab

yang membahas hasil temuan dan analisisnya.

Selama wawancara berlangsung, peneliti membuka lebar kemungkinan

interaksi dengan informan. Interaksi dalam wawancara yang dimaksud bisa berupa

afirmasi (mengiyakan atau menegaskan), koreksi (membetulkan atau meluruskan),

merespons, probing, prompting, mengulangi pertanyaan dengan cara atau kalimat

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 136: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

113

berbeda, dan lain-lain. Probing yang dilakukan di sini maksudnya adalah berupaya

mendalami aspek tertentu untuk memperjelas jawaban informan dan mencari-cari

atau menyelediki sesuatu pada informan dengan mengajukan pertanyaan berbeda

atau menawarkan jawaban-jawaban yang memerlukan konfirmasi dari informan.

Bryman (2008) menjelaskan probing dapat dilakukan peneliti ketika informan tidak

memahami pertanyaan atau sebaliknya, ketika jawaban dari informan tidak dipahami

atau dianggap belum adekuat.

Sebagai contoh untuk probing dan prompting, pertanyaan tentang apa yang

dilakukan ketika sedang mengalami penderitaan atau masalah hidup yang begitu

berat, terkadang dijawab dengan kurang jelas dan mendalam. Oleh karena itu,

peneliti melakukan probing dengan berupaya menggali informasi lebih lengkap.

Atau, peneliti melakukan prompting dengan mengajukan kemungkinan jawaban,

sebagaimana dijelaskan Bryman (2008), atau pertanyaan lebih jauh, seperti apakah

dengan berdoa, sembahyang, berkeluh-kesah ke teman atau praktisi, dan lain-lain.

Wawancara dilakukan secara informal dan sebisa mungkin menghindari

kesan resmi yang menyebabkan informan menjadi kurang nyaman dan cenderung

memberi jawaban yang ideal dan normatif. Namun demikian, kesan formal ini

terkadang tidak bisa dihindari, terutama bagi informan lansia, karena ketika peneliti

mengeluarkan kertas panduan wawancara, bolpen, dan alat perekam, mereka menjadi

kurang natural. Sangat mungkin bila ada jawaban atau respons informan yang tidak

autentik atau dibuat-buat (fake). Namun, dalam penelitian kualitatif dengan

paradigma konstruktivisme ini, menemukan kebenaran bukanlah tujuan. Karena,

jawaban atau respons yang fake itu juga menjadi data yang harus turut dianalisis.

Terutama untuk informan lansia, pewawancara cenderung fleksibel dalam

mengajukan pertanyaan, meskipun telah memakai panduan wawancara yang telah

direvisi. Peneliti berupaya mengikuti alur pikiran informan, namun masih tetap

berpegang pada poin-poin seperti dalam panduan wawancara. Dalam hal ini, peneliti

berupaya untuk sangat terbuka (open mind) pada tema-tema baru yang mungkin

muncul atau sebaliknya, tidak memaksakan semua tema dalam panduan muncul atau

terjawab dari seorang informan.

Ketika informan merasa tidak paham dengan suatu pertanyaan atau istilah

spiritualitas misalnya, peneliti memberi contoh pemahaman atau pengalaman pribadi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 137: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

114

Universitas Indonesia

peneliti (self-disclosure). Ketika dia mengaku cukup paham, wawancara dilanjutkan.

Di sini peneliti sebenarnya sedang menegaskan satu ungkapan bahwa instrumen

utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, bukan kuisioner ataupun

panduan wawancara.

Semua wawancara direkam menjadi format mp3 untuk menangkap pesan

auditory. Peneliti juga mencatat (note taking) untuk menangkap pesan-pesan yang

diekspresikan informan secara visual, seperti gestur dan emosi ketika merespons

pertanyaan. Selama periode pengambilan data dari wawancara, tidak semua rekaman

langsung bisa ditranskrip begitu selesai tiap wawancara karena kegiatan ini cukup

memakan waktu. Terkait dengan prosedur penelitian grounded theory yang

mengharuskan proses pengambilan data dan analisis berlangsung secara simultan,

maka agar bisa melakukan kedua proses tersebut peneliti memutar kembali hasil

rekaman wawancara dan mencatat semua poin penting atau tema-tema yang muncul.

Peneliti juga menuliskan semua kegiatan interaksi dengan informan dan respons

mereka ketika wawancara berlangsung. Hasil pencatatan poin-poin tersebut menjadi

panduan untuk mengarahkan proses wawancara selanjutnya dan juga menentukan

informan berikutnya yang sekiranya relevan untuk membangun teori (theoretical

sampling).

3.6. Analisis Data

Berikut ini perlu dijelaskan teknik analisis data secara garis besar dan

bagaimana proses analisis dengan beberapa alat grounded theory.

3.6.1. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa dokumen/arsip, catatan hasil

observasi (field notes), foto, video, dan rekaman hasil wawancara. Pemrosesan hasil

penelitian ini dilakukan untuk analisis data. Pada tahap ini, manajemen data terkait

penataan dan penyajian (Huberman & Miles, 1994) tidak dapat dipisahkan dengan

analisis data (Berg, 2001). Secara garis besar, data diproses dan dianalisis melalui

tiga tahap: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) pengambilan kesimpulan dan

verifikasi (Huberman & Miles, 1994, p. 428-9). Dalam penelitian grounded theory

ini, tiga tahap tersebut tidak dilakukan secara linier tahap per-tahap, namun secara

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 138: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

115

berulang atau bahkan bersamaan yang dilakukan selama proses pengambilan data

lapangan. Strategi analisis grounded theory seperti ini dikatakan sebagai pendekatan

iteratif atau rekursif (Bryman, 2008) dimana kegiatan pengumpulan dan analisis data

dilakukan secara simultan untuk menghasilkan teori (Glaser & Strauss, 1967;

Charmaz, 2004).

Tahap reduksi data pada intinya adalah meringkas data yang diperoleh agar

”lebih siap untuk diakses, dipahami” dan mengembangkan atau menciptakan

”berbagai tema dan pola” (Berg, 2001, p. 35). Caranya adalah dengan memilih dan

memilah serta merangkum informasi yang relevan, baik dari hasil kajian dokumen

atau arsip, field notes, maupun hasil wawancara melalui kegiatan coding.

Pada tahap penyajian, data yang direduksi disajikan dalam bentuk

”serangkaian informasi yang tertata, ringkas, dan padat” (Huberman & Miles, 1994,

p. 429), kemudian dianalisis dan diinterpretasi. Intinya, peneliti berupaya agar tidak

“membiarkan data berbicara untuk dirinya-sendiri” (Singleton & Straits, 1999, p.

549). Keduanya dilakukan selama pengumpulan data, dan integrasi antara pengum-

pulan dan analisis data umum digunakan dalam grounded theory (Ezzy, 2002).

Sedangkan, tahap kesimpulan dan verifikasi dibuat berdasarkan temuan dan

kadang bahan literatur atau dokumen. Verifikasi meliputi: (1) konfirmasi kesimpulan

yang ditarik dari pola data; dan (2) jaminan bahwa “semua prosedur yang digunakan

dari awal sampai penarikan kesimpulan telah diartikulasikan secara gamblang”

(Berg, 2001, p. 36). Selain itu, rekomendasi terkait tindakan juga diajukan karena

penelitian pekerjaan sosial bertujuan membangun pengetahuan untuk aksi. Hal ini

berbeda dari penelitian teoretis atau murni yang lebih ditujukan untuk membangun

penjelasan atau pemahaman tentang realitas sosial, meskipun punya implikasi praktis

(Yeates, 2003).

Seperti telah diinformasikan, penelitian ini berupaya menghasilkan teori

substantif. Berikut akan dijelaskan proses pembentukan teori tersebut, terutama

terkait praktik penanganan kesehatan mental klien lansia oleh praktisi yang

melibatkan spiritualitas.

Wawancara dengan klien maupun praktisi direkam, yakni terkait pemahaman

spiritualitas dan bagaimana dipraktikkan, dan hasilnya ditranskrip secara verbatim

untuk tujuan analisis. Transkrip wawancara ini kemudian diolah menggunakan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 139: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

116

Universitas Indonesia

program komputer untuk analisis data kualitatif (CAQDAS –computer-assisted/aided

qualitative data software) (Bryman, 2008). Nama program yang digunakan adalah

QSR Nvivo versi 7 untuk membantu mengorganisasi berbagai jenis data dengan

melakukan coding dan pengelompokan ke dalam sejumlah tema atau topik dan untuk

mempermudah penampilan hubungan antar tema secara visual.

Hal yang dilakukan dengan Nvivo7 adalah menentukan konsep dengan

menghubungkannya dengan berbagai indikator yang dijumpai; mengklasifikasikan

ke dalam beberapa kategori tertentu; membanding-bandingkan kategori yang

diperoleh dari berbagai informan; kemudian menganalisis hasil perbandingan

tersebut atau mendialogkannya dengan teori yang relevan untuk kemudian dibangun

suatu teori. Dalam hal ini, teori atau konsep yang dipaparkan dalam Bab Tinjauan

Literatur juga digunakan untuk memahami atau mencari penjelasan atas temuan yang

muncul di lapangan.

Proses di atas dilakukan dengan pemberian kode (coding) menurut Strauss dan

Corbin (1990), seperti dikutip Bryman (2008, p. 543), yang terdiri dari tiga tipe: open

coding, axial coding, dan selective coding. Tiga tipe ini kemudian dikembangkan

oleh Charmaz (2006) untuk grounded theory konstruktivis, yang nanti akan

dijelaskan pada proses analisis.

Open coding merupakan transkrip wawancara verbatim yang menggambarkan

proses wawancara dan refleksi hasilnya (self reflection), seperti hal-hal yang belum

jelas dan perlu ditanyakan kembali pada wawancara berikutnya. Open coding

bertujuan untuk ”memadatkan data hasil wawancara ke dalam berbagai kategori atau

kode awal yang bersifat analitis” (Neuman, 2006, p. 461). Kode awal yang dimaksud

Neuman, oleh Strauss dan Corbin, disebut konsep yang nanti dikelompokkan ke

dalam kategori tertentu (Bryman, 2008, p. 543).

Dalam proses penentuan kode awal tersebut, dibuat panduan awal pengkodean

(initial coding guide) yang sekiranya muncul terkait pemahaman dan ekspresi

spiritual dari praktisi dan juga klien. Melalui proses ini, sekian banyak narasi dari

hasil wawancara dipilih sejumlah narasi dari masing-masing informan. Hasil

akhirnya berupa kutipan-kutipan penting dari praktisi dan klien yang dikaitkan atau

diikat dengan kode-kode tertentu.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 140: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

117

Dari kode-kode tersebut, proses berikutnya adalah melakukan axial coding.

Proses ini dilakukan dengan membanding-bandingkan hasil wawancara dengan

berbagai informan berdasarkan beberapa kategori tertentu terkait dengan tema

penelitian. Kategori yang muncul bisa saja dinamai berdasarkan istilah asli informan

(in vivo) yang dapat “mencerminkan definisi teoretis atau substantif tentang apa yang

terjadi dalam data” (Charmaz, 2004, p. 510). Inti proses axial coding ini adalah

”mengorganisir berbagai kategori, menghubung-hubungkan antar kategori tersebut,

dan menemukan kategori-kategori analisis kunci” (Neuman, 2006, p. 462). Caranya

adalah menghubungkan kode-kode yang telah dibuat dengan berbagai konteks,

sebab, akibat, atau pola interaksi (Bryman, 2008, p. 543).

Proses berikutnya berupa selective coding, yakni kegiatan menganalisis hasil

perbandingan pada axial coding dalam rangka membangun kategori inti atau, seperti

telah dijelaskan, menghasilkan semacam kode-kode in vivo atau substantif. Kategori

inti adalah isu sentral yang menghubungkan beberapa kategori yang serupa (Bryman,

2008, p. 543). Dalam selective coding ini ”peneliti melihat-lihat kembali kategori

yang telah dibuat untuk kemudian memilah dan memilih data yang mendukung

kategori-kategori konseptual yang telah dibangun” (Neuman, 2006, p. 464).

Hasil menghubung-hubungkan berbagai kategori tersebut memunculkan

hipotesis tertentu yang menuntut pengumpulan data dari sejumlah informan atau

kasus lain yang bebeda berdasarkan theoretical sampling. Proses ini dilakukan secara

berulang (iteratif) hingga jenuh secara teoretis (theoretical saturation), yakni ketika

tiada lagi temuan data relevan dengan kategori bersangkutan; kategori tadi makin

kokoh dari sisi variasi karakteristik/dimensi; dan hubungan antar kategori semakin

kokoh dan tervalidasi (Strauss & Corbin, 1998 dalam Bryman, 2008, p. 416).

Kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka menguji hipotesis yang muncul hingga

terbangun teori substantif. Alur penelitian seperti ini didasarkan pada diagram proses

dan hasil yang dibuat oleh Bryman (2008, p. 543) seperti tampak pada Gambar 3.1.

Setelah melakukan selective coding di atas, proses berikutnya adalah mulai

menyusun draf tulisan dengan melakukan penulisan memo (memo-writing). Proses

ini menghasilkan analisis lengkap tentang pemahaman dan pengalaman spiritualitas

para informan. Di samping menghasilkan semacam teori substantif tentang

pemahaman spiritualitas para praktisi dan pemahaman/pengalaman spiritualitas

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 141: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

118

Universitas Indonesia

lansia, dimungkinkan juga menghasilkan model penanganan lansia yang

memanfaatkan aspek spiritual atau semacam asesmen-intervensi berbasis spiritual

berdasarkan pemahaman atau pengalaman spiritualitas praktisi dan klien.

3.6.2. Proses Analisis Grounded Theory

Rekaman hasil wawancara ditranskrip secara verbatim, kecuali untuk

wawancara dengan pasangan lansia Pnd-Gbg. Alasannya, wawancara dengan

pasangan suami-istri Pnd-Gbg dilakukan dalam empat kali yang masing-masing

memakan waktu 1 sampai 2,5 jam (total berdurasi lebih dari 8,5 jam). Beberapa

wawancara untuk informan lain juga ada yang tidak ditranskrip karena berisi

informasi demografis yang bersangkutan atau cerita panjang yang dianggap kurang

relevan dengan penelitian. Untuk bagian-bagian yang tidak ditranskrip secara

verbatim, peneliti membuat ringkasan (resume) atau parafrase untuk cerita atau

narasi. Dalam transkrip, kata-kata yang tidak terucap dalam wawancara

dieksplisitkan dengan tanda kurung. Kondisi atau kejadian yang berlangsung pada

saat wawancara juga dituliskan dalam transkrip agar konteksnya tidak hilang. Hal ini

juga dilakukan ketika dilakukan coding secara manual (seperti akan dijelaskan di

bawah), yakni dengan menuliskannya di kolom refleksi.

Hasil transkrip kemudian dilakukan coding secara manual dengan cara

mencermati transkrip kata per-kata, baris per-baris, kalimat per-kalimat, atau insiden

per-insiden untuk mendefinisikan apa yang terjadi dan apa maknanya (Charmaz,

2006, p. 46). Dalam hal ini, peneliti berupaya menangkap berbagai kode, ide abstrak,

atau konsep yang muncul. Dari upaya ini dimungkinkan untuk menjadikan ungkapan

atau kata-kata informan sebagai konsep (kode in vivo). Dalam tahap coding yang

sering dipraktikkan peneliti konstruktivis grounded theory, tahapan ini dapat

dikatakan sebagai initial coding (Charmaz, 2006). Di sini peneliti lebih fokus pada

data itu sendiri (baik berupa transkrip, hasil observasi, dan aksi-interaksi antara

peneliti-informan) ketimbang mencocok-cocokkan data dengan sejumlah kategori

dalam tinjauan literatur (p. 47).

Tahap berikutnya adalah focused coding dimana, menurut Glaser,

pengkodean dilakukan “lebih terarah, selektif, dan konseptual” (Charmaz, 2006, p.

57) ketimbang dalam initial coding sebelumnya. Pada tahap ini mulai digunakan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 142: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

119

software NVivo 7 untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data dan hasil

coding pada tahap-tahap selanjutnya. Dengan NVivo, data dan hasil coding dapat

terkelola secara rapih, terlihat dengan tampilan visual yang menarik, dan diakses

dengan mudah ketika ingin melihat kembali atau mengomparasikan antar node, tema,

narasi, dan kutipan. Perubahan-perubahan tertentu terkait data, hasil coding, atau

klasifikasi nodes juga tetap dimungkinkan dan mudah dilakukan. Gambar 3.3

merupakan alur analisis dengan menggunakan NVivo 7.

Perlu dicatat bahwa penggunaan program NVivo tidak dilakukan sejak awal

karena peneliti merasa kesulitan untuk melakukan proses coding baris per-baris atau

kalimat per-kalimat seperti pada tahap initial coding. NVivo meniscayakan sudah

adanya pemilihan kode-kode atau konsep-konsep untuk digolongkan menjadi

sejumlah tema. Tema inilah yang nanti akan menjadi nodes dalam NVivo. Tema atau

nodes tersebut mewakili atau merujuk ke berbagai narasi atau kutipan yang ada

dalam transkrip. Saat pengkodean dengan NVivo, peneliti tidak semata melakukan

coding ulang seperti pada manual coding. Akan tetapi, peneliti juga berupaya

melakukannya secara lebih akurat dalam mengkode narasi atau kutipan. Selain itu

peneliti berkesempatan untuk membanding-bandingkan antara tema atau kategori

dengan data secara langsung dan berulang-ulang.

Kemudian, tema-tema yang ada dikelompokkan menjadi beberapa kategori

berdasarkan pola hubungan tertentu, seperti hubungan sebab-akibat, konsekuensi,

bagian atau cakupan, alasan, tujuan, uraian, dan atribut. Dengan demikian,

pengklasifikasian tersebut menghasilkan skema percabangan atau dalam program

NVivo berupa tree nodes, dimana kategori menjadi semacam node induk (parent

node). Terkadang tidak semua tema yang ada termasuk ke dalam kelompok kategori

tertentu, dan dalam NVivo disebut sebagai node bebas (free nodes).

Selanjutnya adalah tahap axial coding, yakni dengan cara menghubung-

hubungkan antara kategori dan sub-kategori, merinci dimensi atau atribut suatu tema

atau kategori, dan men-sintesiskan berbagai narasi atau kutipan dari data untuk

dilihat kesesuaiannya (koherensi) dengan kerangka analisis yang muncul (Charmaz,

2006). Untuk menempuh cara-cara tersebut, peneliti membuat sejumlah matrik untuk

membanding-bandingkan antar nodes dan kategori. Matriks melalui program NVivo

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 143: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

120

Universitas Indonesia

juga dibuat untuk membantu upaya perbandingan antar node atau kategori dalam satu

informan atau antar informan.

Gambar 3.3. Alur analisis data dengan software NVivo 7

Dalam rangka merinci dimensi atau atribut masing-masing tema, agar lebih

mudah peneliti mem-print semua node yang berisi sejumlah narasi atau kutipan dari

beberapa informan. Di sini peneliti seakan-akan melakukan coding ulang seperti

Rekaman wawancara

Transkrip Coding secara

manual

Coding

Input format MS Word

Bahan atau calon Nodes

Software NVivo 7

Konsep, tema sementara

Kategori sementara

Klasifikasi sementara

Codes

Tree nodes

Free nodes

Parent nodes

Nodes

Klasifikasi

Kategori

Tema

Konsep

Properties, atribut, dimensi

Tabel konsep – narasi/kutipan

Matrik Nodes

Drafting

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 144: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

121

pada tahap initial coding dan axial coding (dengan NVivo). Namun, coding yang

dilakukan lebih sistematis karena mengacu ke kerangka analisis yang telah terbentuk.

Sebagai salah satu hasil (output) dari tahap ini, peneliti membuat banyak tabel untuk

masing-masing kategori atau tema. Tabel tersebut berisi konsep (codes) dan semua

kutipan atau narasi. Dengan tabel-tabel ini, koherensi data dan konsep atau kategori

dicermati sehingga tetap dimungkinkan adanya sejumlah perubahan.

Tahap terakhir berupa theoretical coding yang, menurut Charmaz (2006, p.

63), bertujuan “untuk membuat lebih spesifik berbagai keumungkinan hubungan

antar kategori yang dibuat pada tahap focused coding.” Atau dengan menggunakan

kata-kata Glaser, tahap ini berupaya “merajut kembali cerita yang tercerai-berai” (p.

63) menjadi suatu bangunan konseptual atau teori yang utuh. Serangkaian upaya

pada tahap terakhir ini akan tampak pada Bab 4 dan 5. Output dari keseluruhan

proses analisis data dari awal sampai akhir ditunjukkan dalam Gambar 3.4.

Sementara keseluruhan tahap coding ini ditunjukkan dalam Gambar 3.5.

Gambar 3.4. Output keseluruhan proses analisis coding

3.7. Mutu Penelitian

Kriteria yang digunakan untuk meningkatkan mutu atau kualitas penelitian

dengan paradigma konstruktivisme ini adalah trustworthiness (derajat kepercayaan).

Kriteria ini merupakan satu dari dua kriteria yang diperkenalkan Lincoln dan Guba

(1985), seperti dikutip Guba dan Lincoln (1994), sementara kriteria lainnya adalah

autentisitas (authenticity). Kriteria trustworthiness meliputi kredibilitas (credibility),

transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), dan konfirmabilitas

(confirmability) (p. 114). Berikut akan dijelaskan beberapa teknik dalam rangka

mencapai kriteria tersebut.

Teknik pertama adalah triangulasi, baik melalui metode pengumpulan data

maupun sumber data. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan credibility (Bryman,

2008, p. 377). Triangulasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lebih

Transkrip Narasi/kutipan informan

Codes (konsep)

Nodes (tema)

Kategori Pertanyaan penelitian

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 145: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

122

Universitas Indonesia

dari satu metode. Contohnya, hasil observasi dicek kesahihannya melalui interview.

Sedangkan, triangulasi sumber data di antaranya dengan mengkonfirmasi hasil

interview satu informan terhadap informan lain tanpa harus mengkonfrontir satu

sama lain secara eksplisit.

Gambar 3.5. Seluruh tahapan analisis coding

Teknik berikutnya validasi responden atau anggota (respondent/member

validation) sebagai salah satu teknik dalam credibility. Teknik ini akan diupayakan

dengan melakukan proses korobasi atau cek dan recek antara temuan lapangan

dengan perspektif atau pengalaman partisipan yang menjadi subjek penelitian

Rekaman wawancara

Transkrip

Pengkodean secara manual

Pengklasifikasian

Membandingkan & merinci atribut tiap node

Memilah-memilih narasi/kutipan & merajut

kembali menjadi konstruk utuh secara konseptual teoretis

Dikaitkan dengan pertanyaan penelitian & tinjauan literatur

Tree nodes Free nodes

Codes atau konsep

Klasifikasi nodes

Matrik & Tabel

Teori

Model Drafting

--------- Initia

l codin

g ----->

Fo

cuse

d co

din

g ------->

Axia

l cod

ing

------------------> T

he

oretica

l cod

ing

---

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 146: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

123

(Bryman, 2008, p. 377). Tujuannya hampir sama dengan triangulasi yakni untuk

memperoleh data yang sahih atau dipercaya mendekati realitas sesungguhnya.

Satu teknik untuk strategi transferability adalah dengan melakukan interaksi

dengan subjek penelitian yang agak lama dan dalam beberapa kali atau konteks yang

berbeda-beda (Bryman, 2008, p. 378). Teknik ini dilakukan dalam rangka

meningkatkan rapport dengan klien maupun praktisi. Metode wawancara dan

observasi dilakukan beberapa kali ketika rapport sudah terbangun dengan baik.

Kedua metode ini dilakukan dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika waktu

luang klien saat sendiri atau saat berinteraksi dengan klien lain dan juga ketika klien

trelibat dalam kegiatan atau bimbingan yang diarahkan oleh praktisi.

Teknik lain dalam strategi dependability menurut Bryman (2008, p. 378)

adalah pendekatan “auditing” . Proses penelitian dari awal sampai tahap analisis

diupayakan agar sebisa mungkin dapat diakses atau menurut istilah Bryman disebut

“accessible manner” sejauh tidak menyalahi etika penelitian. Proses penelitian yang

dimaksud yaitu sejak perumusan masalah, kriteria theoretical sampling dan

pemilihan informan, proses coding, dan hasil analisis data, hingga munculnya konsep

atau teori yang terbangun. Strategi grounded theory dalam penelitian ini memang

meniscayakan penjelasan detil tentang langkah-langkah dan metode penelitian.

Selain itu, proses dan hasil analisis data banyak mewarnai penulisan penelitian ini

yang dibantu dengan program NVivo.

Terakhir, deskripsi kental/padat (thick description) juga digunakan dalam

rangka strategi transferability. Teknik ini dilakukan dengan cara menyajikan narasi

pemahaman dan penggunaan dimensi spiritual dan agama dalam penanganan

masalah lansia. Deskripsi padat ini didapat dari hasil wawancara (yang meliputi

pesan-pesan auditory dan visual) dengan klien atau praktisi tentang apa yang mereka

pahami dan lakukan dan dari hasil pengamatan tentang apa yang para praktisi

praktikkan bersama klien. Deskripsi padat tentang metode penelitian menjadi salah

satu teknik dalam strategi transferability (Bryman, 2008).

3.8. Etika dan Keterbatasan Penelitian

Salah satu kelompok informan dalam penelitian ini adalah lansia dengan

masalah mental tertentu yang menderita karena penyakit, kehilangan orang yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 147: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

124

Universitas Indonesia

dicintai, atau karena ketelantarannya. Simptom yang ditunjukkan bisa berupa

depresi, kecemasan, merasa tidak berguna, hampa makna, atau bahkan keinginan

untuk cepat-cepat mengakhiri hidup.

Oleh karena itu, penelitian ini telah berupaya menaati sejumlah prinsip etika

penelitian yang umum. Contohnya adalah dengan menghindari kemungkinan adanya

ancaman fisik (physical harm) dan munculnya kembali gangguan psikologis

(psychological abuse) (Neuman, 2006; Rubin & Babbie, 2001), yang terkait juga

keselamatan peneliti dan orang-orang sekitar. Dalam wawancara, penelitian ini juga

telah berusaha menghindari mengajukan pertanyaan yang menimbulkan agresivitas

informan. Maksud psychological abuse di sini adalah kemungkinan membangkitkan

kembali gejala-gejala psikologis yang biasa muncul pada saat mengalami krisis atau

menderita. Caranya di antaranya dengan menghindari bertanya atau menyinggung

hal-hal krusial yang memanggil kembali memori atau ingatan akan penderitaan atau

kepedihan yang membuatnya sangat tertekan dan merasa tidak nyaman.

Di samping itu, dalam etika penelitian secara umum diharuskan melakukan

kontrak persetujuan dengan calon informan untuk berpartisipasi dalam penelitian

(informed consent) secara sukarela (voluntary participation). Format pernyataan

persetujuan partisipasi dari informan telah dibuat seperti pada Lampiran 4. Dengan

kata lain, peneliti harus mengungkapkan identitas diri atau peran di lapangan secara

penuh (overt) sejak awal (Patton, 2002), yakni sebagai peneliti. Ini dilakukan dalam

rangka menghindari melakukan kecurangan atau memperdayai informan (deceiving

subjects) (Rubin & Babbie, 2001).

Metode kualitatif memiliki kelebihan dalam memahami pemahaman dan

pengalaman informan yang kompleks, namun metode ini juga punya keterbatasan

tertentu. Ditambah lagi dengan keharusan untuk taat pada ketentuan etis penelitian.

Keterbatasan yang pertama adalah bahwa prinsip kehati-hatian untuk menghindari

kemungkinan physical harm or abuse dapat membatasi upaya peneliti untuk

mengeksplorasi lebih jauh atau dalam tentang pengalaman klien dan persepsi

spiritualitas dan agama mereka.

Keterbatasan berikutnya, ketaatan terhadap prinsip etis overt di atas

dikhawatirkan dapat mempengaruhi respons informan yang kurang otentik atau tidak

apa adanya (fake). Ini akan berbeda apabila metode wawancara diupayakan agar

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 148: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

125

sealamiah mungkin. Dengan setting natural, respons informan yang akan muncul,

baik secara verbal maupun emosional, diharapkan alamiah pula dan sejujur mungkin.

Kekhawatiran terhadap respons informan yang kurang apa adanya juga dapat

mengakibatkan penggolongan tipologi lansia dan praktisi menjadi tidak akurat.

Dengan kata lain, tipologi yang dihasilkan mungkin hanya menangkap latar depan

(front stage) pada saat penelitian, sementara sisi asli informan (back stage) tidak

banyak terungkap.

Kemudian, pendekatan kualitatif kerap dikritik oleh para pendukung

pendekatan kuantitatif atau positivis terkait hasil penelitian yang tidak bisa

digeneralisasi. Hal ini menyangkut jumlah informan yang terlibat yang bisa

dipertanyakan dari sisi keterwakilan populasi. Dalam penelitian ini, informan lansia

dapat dikatakan cenderung homogen karena berasal dari panti atau layanan home

care sebagai klien, sehingga hasil penelitian berupa konstruksi spiritualitas lansia

tidak menggambarkan lansia secara umum. Selain itu, spiritualitas yang digali lebih

dominan berasal dari penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia.

Padahal, spiritualitas tidak melulu soal kesusahan, kesedihan, kematian, atau

bagaimana menghadapinya. Spiritualitas juga hadir di saat bahagia atau gembira.

Seperti kata Baskin (2007), spiritualitas tidak hanya tentang kematian, namun juga

tentang bagaimana bertahan hidup dan menjalani hidup.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 149: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

126

Universitas Indonesia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 150: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

127

BAB 4

SPIRITUALITAS PRAKTISI

Bab 4 ini (bersama Bab 5) merupakan bagian yang mengetengahkan hasil

(temuan) penelitian. Bab ini adalah jawaban dari pertanyaan penelitian (research

question, disingkat RQ) pertama dan kedua yang melibatkan informan praktisi

kesejahteraan sosial (kessos). Kedua pertanyaan ini meliputi pemahaman praktisi

tentang spiritualitas dan bagaimana pemahaman tersebut diterapkan atau

mempengaruhi mereka ketika berinteraksi dengan klien lansia dalam konteks

pelayanan sosial. Hasil dari penelitian yang dibahas dalam Bab 4 ini berupa

konstruksi tentang spiritualitas praktisi.

Data yang dihimpun untuk analisis tidak hanya dari hasil wawancara, akan

tetapi juga dari data (biografi) informan dan hasil observasi. Data yang terhimpun

dapat menjawab kedua pertanyaan penelitian di atas. Hasil analisis menunjukkan

beberapa kategori penting sebagai hasil pengelompokan dari sejumlah tema dan

konsep. Merujuk ke pertanyaan penelitian pertama, ada lima kelompok kategori yang

muncul yaitu: (i) arti spiritualitas, (ii) afiliasi dan aktivitas keagamaan, (iii)

keyakinan dan nilai keagamaan, (iv) pemaknaan terhadap pengalaman hidup praktisi,

dam (v) komponen spiritualitas penting lain. Kelima kategori ini terdiri dari sembilan

tema atau node yang berasal dari pengklasifikasian 171 hasil coding (referensi).

Sementara berdasarkan pertanyaan penelitian kedua dijumpai empat kategori,

yakni (i) motivasi personal dan profesional menjadi praktisi, (ii) nilai dan prinsip etis

pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Pengelompokan ini bisa dilihat

dalam Lampiran 10 (klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian) atau

bagannya (Lampiran 11). Empat kategori ini terdiri dari enam tema yang merupakan

hasil dari pengelompokan terhadap 175 referensi. (Lihat Gambar 4.1)

Di luar kategori-kategori penting tersebut, ada beberapa konsep (nodes) yang

kurang memiliki keterkaitan dengan isu spiritualitas praktisi, sehingga tidak turut

dijelaskan. Konsep yang tidak termasuk dalam salah satu parent nodes di atas disebut

sebagai node bebas atau free nodes. Free nodes yang dimaksud meliputi

keberagamaan lansia, lansia psikotik, catatan perkembangan lansia, kegiatan home

care, dan arti pekerjaan sosial.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 151: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

128

Gambar 4.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2

Semua tema atau node yang muncul dari pertanyaan penelitian pertama dan

kedua dan informan mana saja yang menyinggungnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Sementara untuk mengetahui seberapa banyak dan sering yang menyinggung

masing-masing node dapat dilihat pada node summary report seperti pada Lampiran

15. Kemudian sebarapa persentase sebaran node (coverage) pada masing-masing

informan dapat dilihat pada coding summary report pada Lampiran 17.

4.1. Pemahaman dan Pengalaman Spiritual Praktisi

Pertanyaan pertama penelitian adalah terkait pemahaman atau pengalaman

spiritual para praktisi. Sejumlah tema yang awalnya hendak dieksplorasi di antaranya

meliputi pemahaman spiritualitas, makna personal tentang ritual dan keyakinan

agama, afiliasi dan kegiatan keagamaan, pengalaman dan keyakinan spiritual, dan

ketakutan dan harapan. Namun sejumlah tema yang muncul adalah seputar arti

spiritualitas, afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, “di balik ujian ada

hikmah”, dan sejumlah komponen spiritual yang penting.

Dalam program NVivo, pengklasifikasian kategori dan tema tersebut disebut

tree nodes, dimana kelompok kategori #pemahaman-pengalaman praktisi disebut

parent nodes. Keempat tema tersebut tampak sebagai node @”di balik ujian ada

hikmah”, @afiliasi-praktik keagamaan, @arti spiritualitas, @keyakinan-nilai, dan

@komponen spiritualitas penting lain. Dan dalam skema tree nodes, kelimanya

termasuk dalam parent nodes pemahaman dan pengalaman praktisi. Perhatikan

Lampiran 8.

References Nodes (tema) Kategori RQ

171 9 5 RQ #1

175 6 4 RQ #2

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 152: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

129

Universitas Indonesia

4.1.1. Arti Spiritualitas

Seperti tampak pada Lampiran 8, node @arti spiritualitas menjadi parent

node tersendiri karena di bawahnya ada cabang tiga node: @pemahaman pribadi,

@pengaruh dari pendidikan-diklat, dan @spiritual dalam UU kessos.

Sejak awal penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum

menjadi isu penting dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Istilah

spiritualitas atau padanannya tidaklah familiar di telinga para praktisi, terutama

dalam konteks layanan. Sementara untuk kata spiritual, para informan yang pernah

mendengar kata ini cenderung mempersepsikan sama dengan pengertian mental atau

menyandingkannya dengan pengertian keagamaan. Dari sejumlah wawancara yang

dilakukan tampaknya tidak cukup menghasilkan konseptualisasi tentang spiritualitas

ataupun keagamaan.

Sebagai penelitian kualitatif konstruktivis, interaksi saling mempengaruhi dan

saling merespons antara peneliti dan informan sangat dimungkinkan. Pada saat

mengeksplorasi istilah ini peneliti kadang mengisyaratkan persetujuan, menguatkan,

menegaskan, melakukan probing (mendalami aspek tertentu, mencari-cari, atau

menebak-nebak kemungkinan jawaban yang dimaksud informan), dan mengajukan

pertanyaan yang sama dengan kalimat berbeda. Peneliti berupaya menghindari

memaksakan (imposing) pra-konsepsi peneliti terhadap informan. Peneliti juga tidak

memberikan pembekalan atau menyuplai informasi terlebih dahulu terhadap

informan terkait isu yang akan digali. Namun, di sejumlah wawancara peneliti

melakukan probing dengan mengangkat padanan dari istilah spiritualitas, yakni

ruhaniah atau batiniah yang mungkin lebih familiar di telinga sebagian informan.

Hasil wawancara menunjukkan sejumlah pengertian yang berasal dari

pemahaman pribadi dan dari pengaruh pendidikan dan/atau pendidikan dan latihan

(diklat). Pemahaman pribadi informan terkait istilah spiritualitas merujuk ke

sejumlah konsep. Seperti dugaan awal peneliti, pemahaman mereka tidak jauh dari

konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan, akhlak, dan hubungan

vertikal dengan Tuhan. Ada juga informan yang menyinggung aspek batin atau

batiniah dan dorongan hati nurani, namun ini tampaknya merupakan hasil dari

pengaruh interaksi dengan peneliti ketika informan menginginkan contoh atau

ilustrasi terkait istilah spiritualitas.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 153: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

130

Terkait aspek batin, seorang pendamping home care mengartikan spiritualitas

dengan “...hal-hal yang dari dalam... diri manusia. Batinlah istilahnya, ...” (HT,

16/6/2013). Sementara terkait dorongan dari dalam, seorang staf di panti dengan latar

belakang pendidikan menengah pekerjaan sosial dan punya pengalaman langsung

dan cukup lama menangani lansia mengatakan, “mungkin juga ya dorongan, ada

dorongan dari hati nurani... saya tuh kayaknya lebih tergerak melihat... permasalahan

sosial yang ada, gitu” (WN, 13/6/2013).

Uraian sangat menarik dan mampu menggambarkan pemahaman sejumlah

informan di atas muncul dari seorang informan dengan latar belakang pendidikan

agama dan spesialis pekerjaan sosial klinis. Sembari menyadari kompleksitas aspek

ini, ia menggambarkan spiritualitas sebagai:

Suatu dorongan, semangat dari dalam seseorang terkait dengan mentalitas dia

(dan) dengan ...cara pandang dia terhadap sesuatu itu, sehingga memotivasi

dari dalam... mewarnai kehidupan dia. Jadi spiritualitas itu... di dalamnya

terkait dengan agama, motivasi agama, terus motivasi dari dalam diri,

motivasi psikisnya gitu ya... (TY, 26/6/2014)

Kemudian eksplorasi terhadap istilah spiritualitas sebagai pengaruh dari

pendidikan atau diklat diperoleh sejumlah pengertian. Di antaranya merujuk ke

materi yang diajarkan dalam pelajaran agama, pembinaan atau bimbingan mental-

spiritual, pelayanan atau pertolongan terahadap sesama, dan nilai yang menganggap

lansia layaknya orang tua sendiri.

Semua informan yang berlatar belakang pendidikan menengah pekerjaan

sosial menganggap bahwa spiritualitas diajarkan dalam pendidikan menengah dalam

bentuk pelajaran agama. Seorang informan sebagai contoh mengatakan, “kalau

spiritual itu ya diajarkan di pelajaran Agama” (SM, 12/6/2013). Informan lain

menjelaskan, “... kalau di sekolah udah pernah (yaitu) agama Islam. Prakteknya juga

udah pernah, di sekolah prakteknya agama Islam, praktek sholat, praktek wudhu...”

(YL, 30/5/2013). Kaitannya dengan spiritualitas dalam materi pekerjaan sosial baik

pada saat pendidikan menengah maupun diklat, mereka merujuk ke pembinaan

mental-spiritual dan pertolongan terhadap orang yang membutuhkan.

Tidak jauh berbeda dengan lulusan sekolah menengah, spesialis pekerjaan

sosial pun mengakui bahwa spiritualitas yang diajarkan dalam pendidikan cenderung

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 154: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

131

Universitas Indonesia

diidentikkan dengan agama, khususnya terkait dengan “penerapan agama dalam

kehidupan seseorang” (TY, 26/6/2014). Informan ini juga memahami spiritualitas

sebagai bagian yang tidak tampak (batiniah) dari seseorang, yang berbeda dari aspek

sosial. Namun demikian, ia menyadari betapa aspek spiritual masih belum menjadi

sorotan dalam ilmu pekerjaan sosial yang cenderung masih berkutat pada aspek

biopsikososial. Padahal, menurutnya, spiritualitas punya posisi sentral bagi

perubahan perilaku individu. Aspek inilah yang berperan besar dalam “...memotivasi

seseorang itu melakukan perubahan fisik, perubahan psikis, maupun perubahan

sosial,” katanya (TY, 26/6/2014).

Sedangkan terkait makna kata spiritual dalam definisi kesejahteraan sosial

dalam UU No. 11/2009, para informan merujuk ke kebutuhan rohani (atau jiwa atau

hati), (pelayanan) keagamaan, pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan

hubungan vertikal dengan Tuhan. Menurut sebagian informan, dalam petunjuk

pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) pelayanan lansia, kebutuhan

spiritual tidak terlalu banyak dijabarkan. Namun arahnya lebih dominan ke

pelayanan keagamaan yang contohnya berbentuk penyediaan sarana ibadah dan

kegiatan keagamaan bagi para penganutnya.

Berdasarkan sejumlah konsep yang muncul bisa dikatakan bahwa spiritualitas

yang dipahami para informan lebih merujuk ke ritual keagamaan dan sejumlah kecil

ekspresi atau komponen spiritualitas. Itulah mengapa dalam penelitian ini dipandang

tidak cukup untuk menghasilkan konseptualisasi spiritualitas dari para praktisi

pekerjaan sosial. Namun demikian, spiritualitas mereka tidak saja digali dari

sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas

itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan,

sikap, maupun tindakan. Di sini peneliti menamainya sebagai spiritualitas yang

dijalani (living spirituality), bukan spiritualitas yang dipahami atau didefinisikan,

yang dalam penelitian ini tidak cukup menghasilkan konseptualisasi.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini spiritualitas praktisi juga dipahami dari

bagaimana mereka menjalankan praktik keberagamaan, keyakinan dan nilai yang

mereka pegang, dan pengalaman hidup beserta respons atau pemaknaannya.

Setidaknya tiga kategori tersebut yang berhasil digali dan bagian berikut adalah

penjelasannya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 155: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

132

4.1.2. Afiliasi dan Praktik Keagamaan

Terkait afiliasi dan praktik keagamaan sehari-hari informan, data diperoleh

tidak hanya dari wawancara, tetapi juga dari data (dokumen) informan dan observasi.

Hampir semua informan praktisi memiliki kesamaan dalam hal keterlibatan mereka

dalam komunitas atau jamaah keagamaan beserta aktivitas ibadahnya. Sebagai

muslim, mereka terlibat aktif di majlis ta’lim, pengajian, yasinan, dan bentuk-bentuk

kelompok lain yang masih melestarikan tradisi keagamaan. Contoh tradisi itu adalah

tahlilan untuk mendoakan almarhum dan aqiqah atau membaca Barzanji untuk

kelahiran sang bayi.

Sebagian besar informan juga mengakui bahwa mereka hanya melaksanakan

praktik keagamaan secara standar, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama secara

berjama’ah. Misalnya sholat (wajib dan/atau sunnah), puasa, mengeluarkan zakat,

membaca al-Qur’an, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ada dua informan yang telah

menunaikan ibadah rukun Islam kelima, yakni berhaji ke tanah suci. Keduanya

sepakat berpendapat bahwa ziarah ke tanah suci merupakan perjalanan spiritual yang

punya pengaruh besar dalam kehidupan batin mereka dan untuk pengendalian diri

(SM, 12/6/2013).

Praktik standar di sini maksudnya tidak ada informan yang terlibat dalam

kegiatan keagamaan yang lebih mengutamakan aspek batin atau spiritual semacam

praktik tasawwuf atau tarekat. Standar di sini juga dapat dilihat dari sisi simbol

agama yang melekat pada diri informan, enam dari tujuh informan praktisi

perempuan memakai jilbab, sementara seorang pendamping lansia home care tidak.

Keenam informan tersebut memakai jilbab bersifat standar yang umum dipakai

masyarakat Indonesia, bukan jilbab panjang atau cadar yang merujuk ke penganut

Islam militan atau golongan tertentu.

Beberapa informan memandang praktik keagamaan atau ibadah tidak harus

merujuk ke kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima. Akan tetapi juga setiap

perbuatan baik yang terkadang kecil juga bisa dianggap ibadah seperti menyapa

klien, tersenyum ramah, menanyakan kabar, dan lain-lain. Agama yang tidak melulu

syari’at ini juga ditegaskan seorang informan bahwa “...agama itu tidak sebatas

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 156: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

133

Universitas Indonesia

kewajiban-kewajiban umum saja, sholat zakat dan sebagainya, tapi ada kewajiban-

kewajiban sosial yang harus kita lakukan..., muamalahanya...” (TY, 26/6/2014).

Selain konsep afiliasi dan praktik keagamaan, dalam kategori ini juga muncul

konsep keberagamaan praktisi. Dalam wawancara terkadang ada informan yang

cenderung normatif dan ideal dilihat dari cara menjawab setiap pertanyaan tentang

pandangan atau praktik keagamaan pribadi sehari-hari. Ketika peneliti mencoba

mengangkat pertanyaan eksistensial, jawaban normatif yang mengemuka seperti ini:

“Kalau kata kenapa, kita gak ini (berprasangka baik) sama Allah dong, iya kan?”

(YL, 30/5/2013). Sementara contoh ungkapan idealis seperti ditunjukkan dalam satu

wawancara, “Dalam apapun, sabar. Sakit kita gak boleh mengeluh, aduh sakit gini ya

Allah, enggak. Sabar aja, sabar. Terus kita berdzikir, subhânallâh wal-hamdulillâh

walâ ilâha illallâh wallâhu akbar, itu terus saya baca. Itu aja” (YL, 30/5/2013).

Ada juga yang cenderung apa adanya dalam menceritakan kondisi

keberagamaannya. Contohnya dengan cara menceritakan kekurangan diri dan kondisi

keimanan yang suka naik-turun. Seorang peksos fungsional bercerita seperti ini, “ya

kalau dibandingkan dulu dengan sekarang ya, insyaallah dan alhamdulillah ya.

Istilahnya kalau untuk baca al-Qur’an ya walaupun sedikit-sedikit ... kalau ada waktu

...sebelum tidur gitu kan. Kadang-kadang kalau lagi ... datang malasnya ya kadang

gak baca” (SM, 12/6/2013).

Informasi terkait pengaruh praktik dan afiliasi keagamaan terhadap pribadi

ataupun profesi praktisi berhasil digali dari seorang informan berlatar belakang

pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Ia menjelaskan pengaruh bagi pribadinya bahwa:

“...makin kita mengerti akan hal-hal... yang seharusnya... dalam kaitan hubungan

dengan yang di atas..., otomatis hal itu memang perlu disempurnakan. Dengan kita

tahu, ...yang tadinya mungkin setengah-setengah dalam pengerjaannnya, makin

merasa yakin, gitu kan.” (FS, 1/7/2014)

Pengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan tersebut juga diperkuat dengan

amalan khusus yang dipraktikkan informan dalam keseharian. Contohnya, dengan

membaca Ayat Kursi tiga kali sebelum berangkat dari rumah, ia merasa lebih

percaya diri terhadap apa yang akan dikerjakan seharian dan meyakini bahwa Tuhan

akan melindunginya dari segala bahaya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 157: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

134

4.1.3. Keyakinan dan Nilai

Sejumlah konsep yang membentuk kategori keyakinan dan nilai, sebagai

komponen spritualitas, muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang dalam

konteks narasi yang berbeda. Keyakinan dan nilai tersebut bisa mencakup pandangan

tentang diri, tentang klien, maupun tentang keterlibatannya dalam melayani lansia.

Keyakinan yang mencakup pandangan tentang diri tercermin dalam jawaban

informan terhadap pertanyaan bersifat eksistensial. Misalnya seorang staf panti

mengatakan, “Kalo ada kata-kata kenapa berarti kita gak ini (percaya) sama Allah.

Kita menyalahkan Allah dong? Kenapa sih Allah? Berarti ...kita ini (tidak percaya)

sama Allah dong?” Atau pernyataan ketika dia menyimpulkan, “Jadi kalo kita bilang

kenapa-kenapa, itu berarti kita gak percaya sama Allah dong” (YL, 30/5/2013).

Keyakinan tentang diri juga tercermin ketika informan mengalami suatu

masalah. Mereka menganggapnya sebagai ujian kesabaran dan meyakini bahwa

Tuhan tidak akan mengujinya di luar batas kemampuan dan akan memberi jalan

keluarnya. Seorang informan menjawab, “Umpama kita sakit kita dikasih ujian kita

mendekatkan diri... Allah juga pasti memberikan ujian ke kita ...(sesuai) kemampuan

kita kan, gitu. Terus kita juga percaya dengan kemukjizatan Allah. Allah itu pasti

ngasih jalan yang terbaik untuk kita, gitu.” (WN, 13/6/2013)

Sebaliknya, informan akan menganggap segala yang menimpanya sebagai

nasib atau takdir. Mereka akan menghadapnya dengan sikap pasrah, ikhlas, sabar,

tidak mengeluh, dan tetap bersyukur kepada Allah. Seorang informan bahkan

meyakini bahwa dengan sikap seperti itu hidupnya pasti akan bahagia. Bisa jadi

keyakinan-keyakinan pribadi seperti ini kemudian mempengaruhi persepsi tentang

penderitaan klien yang ditangani di panti.

Pandangan tentang klien yang dipengaruhi keyakinan pribadi tersebut tampak

dari komentar satu seorang staf panti, “Ya mungkin dulu sholatnya kurang atau

gimana kali ya. Mungkin karena kesibukan bisa juga. Mungkin dia lalai atau

bagaimana” (YL, 30/5/2013). Pernyataan lain datang dari seorang peksos ahli bahwa

“apa yang kita tanam kita petik” (FS, 1/7/2014). Maksudnya, apa yang saat ini

dialami atau diderita oleh klien lansia yang tinggal di panti merupakan akibat dari

perbuatan masa lalunya yang kurang baik.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 158: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

135

Universitas Indonesia

Sementara tentang keyakinan yang terkait keterlibatan dalam pelayanan

lansia, konsep yang tergali dari seorang peksos fungsional berupa keyakinan atau

nilai bahwa bekerja untuk melayani kaum lansia yang membutuhkan adalah memang

jalan hidupnya. Dengan begitu, pekerjaan tersebut dianggap sebagai ladang amal

ibadah untuk bekal di akhirat. Sementara seorang staf di panti lain tampak bersyukur

dan meyakini bahwa justru dengan bekerja melayani klien lansia hidupnya menjadi

berkah dan banyak dimudahkan. “Alhamdulillah ...bersyukurnya saya ngurusin

nenek-kakek, walaupun misalnya bau (atau) apa, tapi saya jalanin dengan ikhlas saya

kerjakan dengan ikhlas alhamdulillah Allah ngasih hadiah sama saya, gitu” (WN,

13/6/2013). Seorang pendamping home care juga meyakini hal senada, “Kalo ibu

ngurusin orang (atau) nengok, nggak papa, gitu aja... Alhamdulillahnya ibu mau

capek itu juga ibu kemana-mana juga nggak keluar uang, ...” (MM, 16/6/2013)

Keyakinan atau nilai lain yang tergali dari dua pendamping home care adalah

bahwa menolong orang lain, dalam hal ini membantu lansia, pasti akan ada balasan,

walaupun tidak harus langsung. Di samping pengaruh pribadi, nilai semacam ini bisa

berasal dari ajaran agama. pendamping yang telah berhaji membenarkan hal ini, “Ya

betul, kan kita diajarin juga kan. Ya kita bisa nolong orang siapa tahu suatu saat kan

kita ditolong orang” (ED, 16/6/2013). Keyakinan lain terkait dengan masalah rejeki

yang sudah diatur oleh Tuhan, meskipun ia bekerja sukarela membantu lansia setiap

hari tanpa menerima upah. Hal ini juga ada hubungannnya dengan keyakinan akan

keberkahan melayani lansia seperti telah dijelaskan di atas.

Keyakinan atau kepercayaan akan suatu tanda atau semacam firasat akan

terjadi sesuatu juga muncul. Kepercayaan yang sangat dipengaruhi dari lingkungan

masyarakat dan keluarga ini misalnya omongan yang bisa bertuah atau munculnya

kejadian nyata karena omongan yang terkadang dianggap sekadar kelakar. Hal itu

juga bisa muncul dari pertanda (firasat) atau isyarat alam, seperti nasi yang cepat

basi, bunyi burung “cuit”, atau mimpi tertentu.

4.1.4. “Di Balik Ujian Ada Hikmah”

Sub-judul ini diambil dari ungkapan seorang informan (in vivo coding)

karena cukup menggambarkan sejumlah konsep yang muncul dalam satu kategori.

Kategori ini muncul dari sejumlah pertanyaan terkait masalah hidup yang pernah

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 159: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

136

dialami atau diderita oleh para informan praktisi kemudian bagaimana mereka

menyikapi atau memaknainya. Pengalaman hidup tidak mengenakkan yang pernah

diderita praktisi cukup beragam, mulai dari persoalan rumah tangga, hidup susah,

sakit berat, kecelakaan, hingga ditinggal mati orang terdekat atau yang dicintai,

seperti anak, pasangan hidup, atau orang tua.

Kebanyakan praktisi menganggap pengalaman atau penderitaan hidup

sebagai musibah, ujian, atau peringatan. Misalnya seorang pendamping home care

yang baru kehilangan anaknya karena meninggal setelah satu hari lahir merespons

dengan mengatakan “Ya, sebagai ujian aja ...karena amanat anak..., mungkin masih

belum dipercaya sama Allah” (ED, 16/6/2013). Contoh informan lain mengatakan,

“Ya bisa juga peringatan, bisa juga ujian. Kita biar meningkatkan diri kepada Allah”

(YL, 30/5/2013). Informan ini juga menganggap setiap kejadian yang dialami

sebagai nasib atau takdir.

Respons yang ditunjukkan kebanyakan informan terhadap ujian atau

peringatan tersebut adalah dengan menerima nasib atau takdir tersebut dengan sabar,

ikhlas, tawakkal, dan bahkan tetap bersyukur. Sebagai contoh respons singkat

dikemukakan seorang informan, “Bersyukur, tawakal. Itu aja” (YL, 30/5/2013).

Ketimbang marah atau menyesali, mereka meyakini bahwa di balik ujian pasti ada

hikmahnya. Kata seorang informan, “Pasti ada, ada di balik ujian itu ada hikmahnya

semua. Itu aja. Dibalik ujian itu ada hikmahnya” (YL, 30/5/2013). Contoh respons

lain ditunjukkan informan yang pernah mengalami sakit berat:

Ya Allah, segala sesuatu itu sudah dalam rencana-Mu, dan segala sesuatu itu

sudah Engkau tentukan, dan kita hanya bisa menjalaninya dengan keikhlasan

dan ke depannya kita perbaiki, gitu kan. Kita lakukan yang lebih baik lagi.

Nah itu kita sadari barangkali memang saya lebih baik kok diberi sakit seperti

ini mungkin karena saat itu ...terlalu capek, ...sehingga udah diberikan yang

terbaik sakit untuk istirahat. Ada banyak hikmah yang bisa kita ...ambil

pelajaran dari kondisi seperti itu dengan kita menyikapi bahwa semuanya ...

kita ikhlaskan karena sudah ditakdirkan oleh Allah pada saat sesuatu itu

terjadi..., sehingga rasanya itu seperti ada cahaya itu langsung masuk ke...

kepala ... (TY, 26/6/2014).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 160: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

137

Universitas Indonesia

Respons positif seperti itu bisa jadi karena kejadian yang dialami sudah lama

berlalu sehingga pada saat ini cenderung telah berada pada tahap penerimaan atau

memahami. Hal ini juga ditunjukkan pendamping lain, seorang ibu rumah tangga,

yang menceritakan bahwa ia sempat goyah dan depresi karena merasa sangat

kehilangan anaknya 18 tahun akibat kecelakaan. Berkat dukungan dari keluarga dan

lingkungan, ia menjadi sadar bahwa semuanya adalah milik Tuhan. “Akhirnya saya

sadar, oh iya dia ada yang punya. Mungkin aku juga ada yang punya nanti akan

diambil” (HT, 16/6/2013). Pengecualian hanya pada seorang pendamping yang baru

seminggu anak bayinya meninggal, namun telah menunjukkan respons positif.

4.1.5. Komponen Spiritualitas Penting Lain

Beberapa konsep tidak dimasukkan dalam kategori tertentu, namun masih

cukup relevan sebagai komponen spiritualitas menurut sejumlah praktisi. Konsep

yang dimaksud meliputi panutan atau sumber inspirasi, hubungan (relationships),

dan kecemasan-harapan. Dalam NVivo, ketiga konsep atau tema tersebut tampak

sebagai node @kecemasan-harapan, @panutan-sumber inspirasi, dan @relationships

yang menjadi cabang dari parent node #komponen spiritualitas penting lain (lihat

Lampiran 8).

Konsep-konsep tersebut tidak konsisten muncul dari semua atau sejumlah

informan. Sebagai contoh, konsep tentang panutan atau sumber inspirasi memang

muncul dari informan pertama, tetapi selanjutnya pertanyaan tentang hal itu tidak

tampak relevan lagi ditanyakan. Terkait konsep ini, seorang informan mengakui

bahwa kakeknya lah yang selama ini menjadi panutan karena telah mengajarkan

agama, menanamkan keimanan, dan memberi nasehat agar selalu sabar dalam

menjalani hidup.

Konsep berikutnya yang muncul hanya pada seorang informan adalah terkait

hubungan (relationship) dengan Tuhan. Menurutnya, jauh-dekatnya Tuhan dengan

diri manusia sangat tergantung dari persepsi atau prasangka dan usaha manusia itu

sendiri. “Ya kita tergantung diri kita juga lah pak. Kalau kita ... mendekatkan diri kita

kepada Allah otomatis Allah juga dekat dengan kita. Tapi kalau kita jauh, kita nggak

inget sama Allah, ya Allah juga jauh sama kita” (WN, 13/6/2013). Tampaknya

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 161: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

138

pandangannya ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama karena memang prinsip

tersebut terdapat dalam kitab suci al-Qur’an.

Selanjutnya, satu komponen penting lain dalam spiritualitas adalah terkait

dengan konsep kecemasan atau ketakutan dan harapan. Hal-hal yang dicemaskan

oleh seorang informan adalah masa depan anaknya. Di samping kekhawatiran

terhadap masa depan anaknya yang memilik disabilitas, juga terhadap anak

perempuannya yang lain dalam pergaulan sehari-hari. Dengan kondisi ini ia berharap

ingin bekerja dengan baik demi membahagiakan keluarganya. Sementara seorang

peksos fungsional yang telah berada di ujung pengabdiannya berharap agar masih

diberi kesempatan untuk banyak beribadah.

Ada juga satu praktisi peksos yang mengungkapkan harapannya terhadap

lansia lansia yang ditangani. Ia berharap agar lansia menjalani sisa hidupnya dengan

bermakna dan punya arti. Menurutnya, lansia di panti harus diberi dihargai

keberadaannya, tidak sekadar menunggu kematian. Lebih jelasnya ia mengatakan:

...sekalipun mereka udah tua ataupun orang yang sudah tidak punya potensi

apa-apa lagi gitu, maunya saya, siapapun itu harus bermakna aja, itu. Dan di

mata kita pun tetap seperti itu. Mereka senior yang memang patut kita hargai.

Tanpa mereka kita tidak ada. Adapun dinamika beliau yang seperti ini seperti

ini, dengan karakter yang bebeda-beda, ya itulah manusia, .... Tak akan

mungkin sama satu sama lain, gitu kan? ...katakanlah tempat pelayanan lansia

ini, terutama di PSTW ini, sebagai tempat ...menunggu (kematian), saya

nggak setuju. ... Karena banyak hal yang masih bisa beliau lakukan. Cuman

nggak bisa disamakan dengan kita. Kalaupun memang katakanlah di lansia

tidak ada unsur edukasinya, ...siapa bilang nggak ada unsur edukasinya.

Cuma versi atau kemasannya aja yang berbeda, gitu. Itu yang saya ingin

tekankan. (FS, 1/7/2014)

4.2. Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial

Sama dengan sub-bab sebelumnya, bagian ini mengulas jawaban pertanyaan

penelitian kedua yang melibatkan praktisi sebagai informan. Pertanyaan tersebut

terkait praktik penanganan sosial lansia dalam sinaran pemahaman spiritualitas yang

mereka yakini. Tema-tema yang sempat diajukan pada saat wawancara berdasarkan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 162: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

139

Universitas Indonesia

panduan mencakup latar belakang memilih profesi pekerja sosial atau menjadi

pendamping home care beserta motivasinya, nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial

serta kaitan atau koherensinya dengan spiritualitas, dan pengalaman menangani klien

yang dianggap berbasis spiritualitas terutama pada asesmen dan intervensi.

Sejumlah tema yang diajukan tersebut muncul dalam hasil temuan penelitian

dan akan diuraikan dalam empat tema: (i) motivasi praktisi kessos; (ii) nilai dan

prinsip etis pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Seperti tampak pada

Lampiran 8, kelompok kategori sebagai judul sub-bab ini tampak dalam NVivo

sebagai parent nodes #praktik dalam layanan, yang terdiri dari node @asesmen,

@intervensi, @motivasi, dan @nilai-prinsip etis.

4.2.1. Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial

Sejumlah konsep yang berhasil digali dari semua informan dikelompokkan

dalam satu kategori tentang motivasi menjadi pekerja sosial atau pendamping.

Motivasi yang ditelusuri tidak saja dalam konteks pelayanan sosial, tetapi juga ketika

awal mereka memilih sekolah atau kuliah di bidang pekerjaan sosial atau

kesejahteraan sosial. Bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan tersebut, alasan

awal memilih adalah soal ketidaksukaan pada pelajaran eksakta dan matematika,

bukan karena ketertarikan mereka pada bidang pelayanan sosial. Namun seiring

waktu, mereka semakin menyukai bidang pendidikan kemanusiaan tersebut karena

diakui lebih cocok dengan jiwa sosial mereka.

Ketertarikan itu berlanjut ketika mereka bekerja di bidang yang sesuai dengan

latar belakang pendidikan. Alasan lainpun muncul seperti karena mencintai

pekerjaan, karena senang, atau bahkan karena rasa iba terhadap kaum lansia. Bagi

pendamping home care, tumbuhnya kepedulian mungkin tidak sedari awal aktif di

kegiatan yang sebagian karena diajak atau untuk mengisi waktu luang. Seorang

pendamping mengatakan, “Bener ibu mah cuman gitu aja kemampuan ibu tuh.

Sekolah mah ibu nggak tinggi lah, cuman biarain aja lah, ... dari pada di rumah

bengong ya” (MM, 16/6/2013). Pendamping lain menjawab, “Udah dari awal diajak

dulu... Lambat laun dan kebetulan juga berada di wilayah kita ya minimal ada lah

peduli... dorongannya kepedulianlah, kemanusiaan seperti itu. Gak ada yang lain”

(ED, 16/6/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 163: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

140

Yang menarik di sini terkait motivasi melayani lansia adalah bahwa hampir

semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek sendiri.

Contohnya seorang informan mengatakan, “...semakin ke sini kita rasakan bahwa

melayani... lansia itu sama aja kita melayani orang tua kita, harus penuh dengan

keikhlasan harus penuh dengan panggilan hati” (TY, 26/6/2014). Begitu juga seorang

pendamping home care dengan mengatakan, “Ya anggap mereka seperti nenek kita

sendiri, ya mungkin seperti itu.” (ED, 16/6/2013).

Motivasi lain yang tidak kalah penting adalah dorongan ibadah atau agama.

Sebagian besar informan menaganggap pekerjaannya menolong orang lain adalah

ibadah yang menjadi ladang amal untuk bekal di akhirat. Sebagian mengaku

melayani lansia karena Tuhan (lillahi ta’ala), bukan karena ingin memperoleh suatu

balasan. Meskipun begitu, ada seorang informan mengatakan bahwa membantu

lansia bukan karena anjuran agama, tetapi karena memang ikhlas ingin menolong.

4.2.2. Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial

Informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial meyakini

bahwa spiritualitas dan keagamaan memiliki kaitan dan keselarasan dengan sejumlah

nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial. Seorang staf panti mencontohkan sikap saling

menghargai, menghormati, dan mengerti antara sesama manusia, khususnya antara

pekerja dan klien, agar tidak ada yang merasa tersakiti. Secara implisit informan ini

memahami bahwa sikap-sikap etis tersebut merupakan bagian dari spiritualitas

dan/atau keagamaan.

Keselarasan tersebut juga ditunjukkan oleh informan lain yang menganggap

profesi pekerjaan sosial sebagai ibadah. Satu informan mengakui apabila berhasil

menolong lansia merasakan kepuasan tersendiri. “...suatu kepuasan bagi diri saya ya,

yang ngelayanin kalau berhasil gitu, terutama nenek-kakek yang mengalami

gangguan psikotik,” begitu katanya (WN, 13/6/2013). Ini juga tercermin dari

jawaban atas pertanyaan apa arti pekerjaan sosial secara pribadi, yaitu: “...pekerjaan

yang melayani ...orang-orang yang membutuhkan tanpa kita me.. (mengharap)

pamrih” (WN, 13/6/2013).

Terkait motivasi melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien

sebagai orang tua sendiri, seorang informan mengakui bahwa hal itu memang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 164: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

141

Universitas Indonesia

bersifat pribadi. Namun, profesi pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan

tidak bisa dipisahkan dengan nilai atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati

nurani. Alasannya, menurutnya, “ilmu-ilmu pekerjaan sosial yang pernah saya

pelajari itu sebenarnya ...memanggil hati bener, ...misalnya kita tidak boleh men-

judge klien, tidak boleh menghukumi klien, tidak boleh memihak salah satu ...” (TY,

26/6/2014).

Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama

dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial

sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak

hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang

masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia.

Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan

dalam hal ini pelayanan sosial. Ia menerangkan:

Agama itu... melayani manusia, ini sangat cocok sekali ...agama itu bukan

sesuatu yang melangit, tetapi ...harus bagaimana bisa dilaksanakan dalam

kehidupan sehari-hari, dan itu bisa diwarnai dengan ilmu pekerjaan sosial.

...sehingga agama itu... bisa membumi lah, gitu. ... Dan agama itu tidak

sebatas kewajiban-kewajiban umum aja, (seperti) sholat, zakat, dan

sebagainya, tapi ada kewajiban-kewajiban sosial yang harus kita lakukan.

(TY, 26/6/2014)

4.2.3. Asesmen

Model pelayanan sosial bagi lansia yang disediakan panti, terutama milik

pemerintah, secara formal menerapkan sejumlah tahapan standar yang mengacu ke

praktik pekerjaan sosial generalis. Secara garis besar urutan tahapan untuk perubahan

terencana itu dimulai dari pendekatan awal, asesmen, rencana intervensi, intervensi,

evaluasi, sampai terminasi. Bahkan proses di tiap tahapan dilengkapi setumpuk

blangko atau formulir dokumen dari berbagai jenis yang berjumlah duapuluhan lebih.

Instrumen pendukung layanan tersebut di antaranya seperti formulir seleksi calon

klien, rujukan, data kondisi awal, identifikasi, biodata atau riwayat hidup, perjanjian

kontrak, asesmen atau penelaahan dan pengungkapan masalah, catatan kasus, catatan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 165: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

142

harian, hasil pembahasan kasus (case conference), data atau catatan perkembangan,

laporan kemajuan, dan sebagainya.

4.2.3.1. Asesmen spiritual minim

Dengan setumpuk instrumen tersebut, sejauh penelusuran peneliti tidak

semuanya terisi dengan baik dan bahkan beberapa formulir dibiarkan kosong. Dari

formulir yang telah terisi, peneliti mencoba menelusuri catatan yang terkait aspek

keagamaan dan/atau spiritualitas dari klien lansia, khususnya sejumlah lansia yang

menjadi calon informan. Sangat sulit diketemukan catatan yang menyinggung

spiritualitas klien, semisal proses pencarian makna oleh klien, perkembangan

spiritualnya, nilai atau keyakinan yang dipegang, atau upaya pencarian jawaban atas

pertanyaan eksistensial yang muncul dari si klien sendiri.

Namun yang ditemukan hanya sejauh nama agama klien dan kehidupan

beragamanya, yakni seputar ritual atau ibadah yang dilakukan, kemampuan teknis

melakukan ritual, atau keterampilan melafalkan bacaannya. Hal ini tercermin dari

jawaban mereka dalam wawancara. Seorang peksos fungsional mengatakan, “Kalau..

misalnya dia agamanya Islam, ...saya (tanya) langsung, suka sholat nggak? .. Ya

paling nanyanya, bisa nggak baca ini, baca al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca

apa. Surat-surat pendek misalnya, gitu“ (SM, 12/6/2013). Untuk klien yang berbeda

agama, informan tetap menanyakan pertanyaan standar, misalnya apakah suka pergi

ke gereja atau apakah suka berdoa. Untuk identifikasi agak lebih jauh, ada juga yang

mengarahkan ke praktisi lain yang seagama. Satu informan menceritakan, “..dari

identifikasi awal kita tahu kan, oh dia agamanya Islam, dia agama Kristen, dia agama

Budha. Nah yang Kristen itu saya sudah arahkan... Bu M, ini agama Kristen nih,

nenek ini kakek ini sambil saya tunjukin orangnya.” (WN, 13/6/2013).

Menurut seorang informan, asesmen juga dilakukan dengan metode observasi

dalam berbagai kesempatan, terutama ketika ada kegiatan bimbingan agama:

Nah, awal datang.. masuk observasi. Setelah diobservasi lamanya sebulan itu,

kita kan lihat perkembangan... Setelah dia bisa bersosialisasi, ...kita

masukkan ke barak renta, barak setengah renta, barak sehat,... Nah di situ kan

dilihat, ...sambil (di-) bimbing. ...Terus saya kalau di ruangan kan sama bu

Haji I, bu Haji A, kan itu (bimbingan), “Mak, coba deh Mak ...kalau istighfar

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 166: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

143

Universitas Indonesia

apa bacaannya, Mak?” gitu kan. “Mak, kalau baca al-Fatihah, Mak?” gitu.

“Terus Mak baca surat-surat apa yang hafal?” itu. Itu kan yang dites gitu.

...walaupun dia istilahnya di jalanan ya, ngemis gitu, tapi kalau dasar

agamanya dia ada kan pasti gak mungkin lupa ya, surat-surat yang kecil

(pendek) itu... Tapi kalau emang dia biasanya dasarnya dari kecil di jalanan...,

nggak ada bimbingan dari keluarga itu, itu yang susah. Jangankan untuk ...

(ngaji, sholat), al-Fatihah aja susah gitu. (WN, 13/6/2013).

Menyadari minimnya catatan asesmen dengan berbagai formatnya yang

memuat unsur keagamaan dan/atau spiritualitas, akhirnya peneliti lebih berupaya

menggali bagaimana praktisi melakukannya, bukan pada apa yang didapat dari hasil

asesmen tersebut. Sebagai catatan, semua informan praktisi lulusan pendidikan

pekerjaan sosial pastinya memahami tahapan-tahapan pelayanan beserta blangko

kelengkapannya. Dengan demikian, ketika dalam wawancara disinggung istilah

asesmen, mereka telah memahami maksudnya. Meskipun arah utamanya untuk

menggali bagaimana praktisi memahami spiritualitas dan keagamaan lansia,

informasi tentang proses asesmen secara umum juga turut terungkap.

Meskipun dalam formulir asesmen kurang disinggung, proses untuk menggali

masalah atau memahami spiritualitas klien bukan berarti tidak dilakukan oleh para

praktisi. Perlu dicatat bahwa proses penggalian masalah lebih kental dibanding

berupaya memahami klien secara mendalam. Melalui wawancara, spiritualitas dari

lansia sampai tingkat tertentu telah mereka gali namun tidak dicatat dalam formulir

yang tersedia. Informasi yang tergali terkadang hanya disimpan menjadi informasi

pribadi atau hanya dibicarakan dengan praktisi lain atau petugas panti. Karena para

praktisi seringkali lebih fokus pada upaya menyelesaikan masalah yang mungkin

sedang dihadapi klien ketimbang memahami klien secara utuh.

4.2.3.2. Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin

Satu teknik asesmen yang berhasil digali, baik untuk tujuan umum ataupun

tujuan mengenali spiritualitas klien, adalah apa yang disebut seorang praktisi sebagai

“asesmen berkelanjutan.” Asesmen semacam ini dilakukan secara terus-menerus

melalui interaksi yang inetensif dengan klien lansia. Menurutnya, hasil penggalian

yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali belum mengungkap masalah lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 167: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

144

atau faktor individu tertentu secara mendalam. Hal-hal ini akan tergali melalui

asesmen terus-menerus dan interaksi intensif. Tentang asesmen ini, ia mengatakan:

...memang kita ada asesmen berkelanjutan terus-menerus.. itu karena

seringnya interaksi itu aja. Dan memang sebagian juga ada catatannya, tapi

catatannya itu kan kebanyakan formalitas, ...istilahnya nggak mendetail

banget, gitu. Dan itu nanti lebih banyak masuk ke kasuistik, gitu kan. Nah

kalau di awal-awalnya biasanya belum begitu terlihat, hanya masalah-

masalah yang sifatnya fisik gitu loh, kebutuhan fisik dia, kebutuhan agama,

oh dia nggak sholat, oh berarti perlu bimbingan agama, titik. Gitu aja kalau

asesmen awal. Terus nanti semakin ke sini kita pahami, oh.. ini ternyata dia

suka marah, dia suka ini, dia males sholatnya. Ada juga yang kalau misalnya

diajarin sholat pun dia iya iya aja, tapi tidak menggunakannya bener, nah ini

sudah faktor... individu lansianya itu. Yang ibaratnya itu akan dengan

sendirinya ketahuan wataknya gitu loh. Ini asesmen awal itu yang kita

pahami sekilas, tapi begitu semakin sering kita lihat, semakin sering kita tahu

interaksinya dengan orang lain kesehariannya itu, jadi ketahuan wataknya.

(TY, 26/6/2014)

Asesmen spiritual lansia, masih menurut praktisi dari spesialis pekerjaan

sosial tersebut, harus dilakukan secara detail, intensif, dan profesional. Hal ini akan

lebih baik kalau dilakukan dengan kerjasama tim dari multidisiplin yang bisa terdiri

dari pekerja sosial, psikolog, pembimbing agama, dan lain-lain. Lebih jelasnya

praktisi ini mengatakan:

...bisa kita lihat memang spiritualitas itu harus dilakukan lebih intens, lebih

detail, dan ditekuni dengan... profesionalitas tersendiri gitu loh ya. Maksud

saya tuh harus betul-betul ada beberapa orang, tidak hanya satu orang, tidak

cukup gitu loh. Untuk bener-bener melakukan perubahan spiritualitas

seseorang itu menjadi... pribadi yang jauh lebih baik itu nggak cukup butuh

satu orang dan itu memang perlu kerja sama, yang peksosnya, ...pembimbing

agama, ...pembimbing pikososialnya, dan sebagainya. (TY, 26/6/2014)

Pada praktiknya, informan tersebut mengakui masih kurangnya komunikasi

antar praktisi karena kurang memanfaatkan formulir catatan yang sebenarnya sangat

menentukan dalam penyelesaian masalah lansia melalui kerja tim. Misalnya terkait

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 168: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

145

Universitas Indonesia

isu lansia dalam menghadapi hari akhir. Menurut salah seorang informan, bisa

diusulkan membuat form asesmen untuk mengakomodasi atau mendetailkan

keinginan atau harapan lansia dalam menghadapi kematian, seperi form wasiat,

warisan, pensiunan, mau dikubur dimana, dan lain-lain.

4.2.3.3. Asesmen versi pendamping home care

Dalam sistem pelayanan home care, tahapan layanan seperti di atas tidak

menjadi tradisi. Berbeda dengan para praktisi panti, empat pendamping home care

tidak berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial sehingga istilah tahapan asesmen

atau intervensi tidak cukup familiar buat mereka. Dengan demikian, pada saat

wawancara peneliti tidak memakai istilah teknis “asesmen” ketika menanyakan

proses asesmen yang sejatinya mereka lakukan juga.

Tanpa harus dicatat dalam formulir, para pendamping lansia home care

melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara

kekeluargaan. Seorang pendamping menjelaskan, “Sambil ngobrol aja. Apa kabar

Bu? Nek, apa kabar? Sambil ngobrol seperti keluarga sendiri. Jadi gak ada lagi tamu

..., seperti biasa aja. Keluarga juga udah kenal semua kalo saya dateng ke situ, ya

udah.” (ED, 16/6/2013). Dengan obrolan melalui kunjungan itu, pendamping sambil

berupaya menggali permasalahan yang sedang dihadapi lansia.

4.2.3.4. Menyinggung keagamaan klien

Dalam hal keagamaan lansia home care, sebagian pendamping tidak berani

menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu. Seperti

penuturan satu informan, “...kita nggak berani nanya-nanya... Takutnya ntar

tersinggung, ...Pokoknya kalo masalah gitu mah kayaknya riskan yah? Takut... Kalo

masalah itu (agama) mah ngeri aja. (Takut dibilang) ‘kayak udah bener aja kamu,’

gitu” (HN, 16/6/2013).

Ada juga sebagian praktisi yang menyinggung soal agama atau ibadah secara

langsung, terutama untuk klien yang seagama. Misalnya SM, seorang praktisi

Muslim di panti mengatakan, “... (yang) suka saya lihat, misalnya dia agamanya

Islam, ... saya (tanya) langsung, suka sholat nggak?” Atau “Ya paling nanyanya, ...

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 169: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

146

‘bisa nggak baca ... al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca apa, surat-surat

pendek?’ misalnya gitu.” (SM, 12/6/2013).

Pada prinsipnya, sebagian besar praktisi berupaya untuk bertindak hati-hati

dalam menyinggung hal-hal yang sekiranya sensitif bagi klien dengan melihat-lihat

kondisi mereka terlebih dahulu. Dalam melakukan asesmen maupun intervensi

secara bersamaan, seorang peksos di panti mengatakan bahwa ketika menyampaikan

soal keagamaan atau memberikan motivasi kepada klien, ia berupaya untuk

mengemas kata-katanya agar tidak sampai menyinggung perasaan klien.

Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte, tidak mengintervensi. Karena

apa, ... satu sisi walaupun dia warga binaan ataupun penerima manfaat, satu

sisi (lain) juga dia sebagai orang tua. Nah, bagaimana cara kita mengemas

bahasa itu supaya orang itu jangan tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal

seperti itu. Karena ada juga lansia yang merasa ‘ndak perlu Anda ajari saya,

saya udah lebih bisa,’ gitu kan. (FS, 1/7/2014)

4.2.3.5. Pendekatan untuk menarik lansia home care

Satu hal yang menarik dari apa yang dilakukan seorang pendamping adalah

pendekatan awal terhadap lansia untuk menarik mereka aktif dalam kegiatan agama

di masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang

bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan

pelan-pelan. Kemudian mereka dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya.

Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan. Tentang

strateginya ini, ia menjelaskan:

Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya,

ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak

ngamal, baru pada bisa. Kalau ..dikerasin harus bisa ngaji aja, itu mah nggak

ada orangnya mas... “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke majlis

ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke mesjid kan

deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya (jariyah) dari mana?” “Udah

itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalau nggak ditarik kayak gitu

kan susah ibu-ibu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya

alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini. ...Ibu

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 170: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

147

Universitas Indonesia

mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja gitu bisanya. Nggak bisa apa-apa.

Ibu mah cuman ngajak lah ya. (MM, 16/6/2013)

4.2.4. Intervensi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tahap setelah asesmen adalah intervensi

atau implementasi dari rencana yang tersusun berdasarkan hasil asesmen. Dalam

praktiknya, perencanaaan atau intervensi seringkali bukan merupakan tahapan

terpisah secara serial yang dilakukan setelah asesmen. Terkadang asesmen masih

terus dilakukan secara kontinyu seiring paralel dengan tahap intevensi. Asesmen

yang dilakukan para praktisi seperti diutarakan di atas juga bisa menjadi intervensi

itu sendiri. Tahapan ini juga tidak selalu didokumentasi atau dicatat dengan baik

dalam sejumlah formulir. Informasi terkait hal ini lebih dominan digali melalui

wawancara atau observasi partisipan ketika, misalnya, ada bimbingan agama atau

melakukan ibadah sholat di musholla.

Node @intervensi menjadi parent nodes tersendiri karena ada dua tema yang

dikelompokkan di dalamnya, yakni node @contoh kasus intervensi dan

@penanganan akhir kehidupan lansia (perhatikan Lampiran 8). Dari parent node dan

dua nodes, pembahasan akan dikelompokan dalam beberapa bagian.

4.2.4.1. Teknik-teknik intervensi

Teknik utama yang digunakan para praktisi umumnya berupa mendengarkan

cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang.

Teknik semacam ini tidak bisa dilakukan secara instan karena untuk bisa membuat

para lansia bebas bercerita para praktisi mesti berinteraksi secara intens, meskipun

tidak harus berlama-lama. Misalnya hanya dengan mengunjungi sebentar, menyapa,

tanya kabar, dan sebagainya.

Ketika melakukan intervensi, intinya harus sudah terbangun semacam

hubungan baik (rapport) dan unsur kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka akan

membuka diri (disclosure) kepada praktisi. Kepercayaan akan lebih mudah tumbuh

apabila hubungan itu terjalin karena motivasi dari kebanyakan praktisi yang

menganggap klien layaknya sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri.

Contohnya seorang informan peksos ahli menyatakan bahwa klien biasanya berani

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 171: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

148

menceritakan masalah pribadi secara terbuka setelah adanya unsur kepercayaan.

Sehingga dengan begitu peksos memanfaatkan teknik ventilasi untuk mengeluarkan

keluh-kesah klien. Meskipun dengan keterbukaan klien seperti apa, tentu saja peksos

tetap patuh terhadap kode etik porofesi, yakni menjaga kerahasiaan klien.

Bentuk dari intervensi oleh praktisi yang mereka nilai menggunakan

pendekatan spiritual atau agama cukup bervariasi, tergantung kondisi dari si lansia

dan sejauhmana hubungan yang telah dibangun. Misalnya dari mulai mengingatkan,

mengajak, menasehati, turut serta, sampai mengajari para lansia beribadah, berdoa,

atau dzikir. Sebagian informan mengaku turut mendampingi ketika ada bimbingan

agama. Bahkan bagi pendamping home care yang telah mengenal secara dekat

mereka bisa menyuruh langsung lansia untuk, misalnya, sholat. Berbagai bentuk

intervensi tersebut dilakukan dengan cara mengarahkan dengan penuh perhatian,

kasih sayang, kesabaran, keuletan, dan secara informal. Seorang staf mengatakan:

Ya kita kan mengarahkannya dengan bentuk suatu perhatian gitu, kasih

sayang gitu. Sambil kita bercanda-canda, seperti kita berteman, seperti apa

orang tua kita sendiri. Dan dia juga apa, merasa senang, merasa bangga gitu,

dia bisa juga dia inget ama anak, inget ama cucunya kan gitu sambil suatu

bentuk perhatian itu yang dia ingini. (WN, 13/6/2013)

Meskipun begitu, seorang peksos mengakui bahwa pendekatan spiritual yang

dimaksud tidak sampai menggunakan teknis khusus.

...hanya dengan secara lisan gitu ya, maksudnya. Tapi kalau penanganan

langsung kalau dengan doa-doa sendiri ya belum pernah. Cuman maksudnya,

memotivasi orang, ...supaya ...mencoba lah. ...kita tinggal nunggu waktu, ya

cobalah tingkatkan kesabaran, ...banyak sholat malam, banyak apa... Kayak

gitu aja. Banyak doa, banyak apa, dzikir, gitu. (SM, 12/6/2013)

Begitu juga dengan seorang informan peksos ahli. Ia hanya memberikan

dorongan bagi lansia dan membicarakan kewajiban-kewajiban bagi penganut agama

secara umum dengan menghindari kesan mendikte atau memaksa mereka.

Saya sederhana aja, mas. Kalau saya lebih kepada memberikan motivasi dan

memberikan pandangan-pandangan aja terhadap dia. Yah, pandangan yang

seharusnya diwajibkan kepada kita dari akil baligh sampai dengan tutup mata

apa sih, itu. Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte (atau) tidak

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 172: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

149

Universitas Indonesia

mengintervensi. Karena apa? Karena dia orang, satu sisi walaupun dia warga

binaan ataupun penerima manfaat, satu sisi juga dia sebagai orang tua. Nah,

bagaimana cara kita mengemas bahasa itu supaya orang itu jangan

tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal seperti itu (FS, 1/7/2014).

Intervensi dengan memberikan motivasi seperti itu tidak bisa dilakukan

secara kolektif melalui bimbingan kelompok atau misalnya pengajian agama.

Terutama untuk hal-hal yang sifatnya pribadi, bimbingan harus dilakukan secara

individu agar lebih bisa diterima. Seorang praktisi menjelaskan:

Tapi kalau yang sifatnya pribadi... kita harus agak lebih intensif mendekat

secara individu, agar lebih masuk gitu kan. Kita memberi motivasi,

mengingatkan, ya intinya kita bukan menggurui, tapi kita mengingatkan dan

kita sendiri juga belajar. Kita belajar dari orang tua yang pengalamannya

sudah ...banyak dan pengalaman dia dengan masalah yang seperti itu bagi

kita... yang masih muda itu pasti akan berpikir bahwa jangan sampai lah saya

seperti ini, gitu kan. Jadi, menjadi cermin juga bagi kita. (TY, 26/6/2014)

4.2.4.2. Lansia sedih atau patah semangat

Untuk lansia yang mungkin sedang murung atau patah semangat, praktisi

berupaya mendekati dengan mengajaknya ngobrol, bertanya, menghibur, atau

memberi semangat agar tidak berputus asa. Sebagai contoh kasus, seperti diceritakan

seorang praktisi di panti, pak S bisa dikatakan aktif karena mengikuti semua

kegiatan, dan suka bantu-bantu pekerjaan di panti. Tapi tiba-tiba pasif tidak mau ikut

kegiatan apapun. Ditanyakan apa sebabnya, klien tersebut mengaku sakit gigi.

Namun meski sudah dibawa ke dokter, belum ada perubahan sikap. Ketika digali

lebih dalam, ternyata sebab utamanya adalah bahwa pak S merasa selalu disalahkan

dan dimarahi oleh petugas (pramusosial) ketika ingin membantu.

Dari situ, praktisi mencoba memberi semangat dan memberi perhatian agar

aktif kegiatan lagi. Terkadang juga dengan meyakinkan lansia bersangkutan bahwa

dia masih berguna sehingga bisa membantu, bekerja, dan memberi manfaat bagi

orang lain. Ia mengatakan:

Bapak jangan putus asa, Bapak tuh masih bisa ... walaupun Bapak di sini

WBS tapi tenaga Bapak masih ...membantu ruang-ruangan nenek-kakek yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 173: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

150

renta itu.” Kadang kan ya adik-adik Pramu nggak ada, .... Nenek kan nggak

mungkin ngangkat galon. “Pak S tolongin dong,” itu kan ... suatu kebanggaan

Bapak.... kemarin waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia, ..karena dia

udah aktif lagi, udah timbul semangat diri lagi, ...dia membantu mandiin

jenazah, gitu. ... itu kan bagian dari ibadah kan, gitu. (WN, 13/6/2013).

Untuk klien lain yang dianggap psikotik oleh petugas panti, praktisi tersebut

memberi penekanan pada unsur perhatian dan kasih sayang bagi klien bersangkutan.

Karena dengan perlakuan ini, klien akan tumbuh kepercayaan diri dan merasa

dianggap ada dan dihormati orang lain. Katanya:

Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang (lain).

...kita sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa

dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya

dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... (WN, 13/6/2013)

Praktisi lain tidak jauh berbeda mengenai penanganan lansia yang sedang

sedih atau mengeluh karena merasa disingkirkan oleh keluarga. Karena kesamaan

gender, praktisi ini berupaya mendekati klien dengan sentuhan secara fisik seperti

mengelus atau menepuk pundaknya. Dengan kedekatan secara fisik seperti ini dan

kondisi psikis klien yang memungkinkan untuk diberi masukan, praktisi kemudian

mengajak bicara dari hati ke hati, mengingatkan untuk selalu sabar, dan berdoa.

...dengan pekerjaan sosial, kita... mendekat secara fisik, misalnya sama

perempuan, ...kemudian kita tepuk pundaknya, kita elus-elus pundaknya,

“Embah yang sabar.” Dan kita mengingatkan dengan kata sabar itu saja, itu

sudah dengan pendekatan agama juga kan. Jadi memang agama itu sudah

meliputi semuanya, dan lebih dipertajam dengan aspek sosial seperti itu lebih

kena banget, gitu loh... “Embah lebih banyak berdoa, berdoa untuk diri

Embah sendiri, dan doakan saja anak-cucunya itu diberikan kesehatan, mudah

mencari rizki, diberikan hidayah, diberikan petunjuk untuk senantiasa ingat

sama Embah,” gitu kan. (TY, 26/6/2014)

4.2.4.3. Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan

Satu hal menarik yang bisa diangkat dari informan tersebut adalah munculnya

konsep doa dan relasi segitiga antara Tuhan, klien, dan orang yang didoakan klien.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 174: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

151

Universitas Indonesia

Masih terkait dengan klien lansia di atas, dengan konsep doa dan relasi segitiga

tersebut kemudian praktisi berupaya sedemikian rupa untuk menumbuhkan

kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi apa yang dialami klien saat ini adalah

akibat dari sikap dan perilaku yang telah lampau. Ia menjelaskan:

Jadi itu... menanamkan nilai spiritualitas embah, nilai keagamaan yang terkait

dengan kerohaniannya gitu, kejiwaannya, ...bukan.. sekedar syariatnya, gitu

ya. Nah itu akan bisa membuat embah itu memiliki keyakinan bahwa, oh iya

yah, bahwa secara fisik saya terpisah dengan anak saya dengan cucu... Cucu

tidak bisa merawat saya karena kondisi tidak mampu dan sebagainya, tapi

dengan doanya embah, embah (harus) yakin bahwa ...hubungan manusia,

embah (atau) kita dengan Allah itu ibaratnya seperti segitiga. Kita yang

mendoakan di segitiga sudut kiri kemudian Allah berada di sudut atas,

kemudian yang kita doakan ada di sudut kanan bawah. Itu akan tersambung

bahwa Allah menyambungkan doa itu, kan. Menyambungkan, mengabulkan

doa itu, ... Dan hal ini bisa juga bagi embah itu ...menyadarkan pula membuat

mbah jadi banyak ber-istighfar juga. Barangkali kenapa sikap anak... ada

yang tidak mau merawatnya, ada yang membuangnya, ...bisa jadi... dulu

mudanya... ketika merawat anak itu... ada perasaan tidak ikhlas. (Hal-hal)

seperti itu sebenarnya saling terkait (TY, 26/6/2014).

Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia

mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar,

memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan

menjadi lebih baik. Praktisi tersebut menegaskan:

...semuanya itu Allah sudah Mahatahu bahwa kamu dulu itu seperti ini

terhadap anakmu. Kemudian saat ini kamu nggak dirawat sama anakmu

misalnya, itu jadi menjadikan embah itu mau mengevaluasi diri (atau)

mengoreksi. Sehingga dari situ embah mau lebih banyak ber-istighfar, lebih

banyak berdzikir, lebih banyak mendoakan juga untuk diri maupun anak-

cucunya itu agar dia istilahnya syukur mau mengambil untuk merawatnya

atau setidaknya kalau tidak bisa sering berkunjung untuk menjenguk seperti

itu, sehingga tersambung silaturahim keluarga (TY, 26/6/2014).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 175: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

152

4.2.4.4. Lansia bertengkar

Para praktisi mengakui bahwa kebanyakan lansia yang tinggal di panti sering

bertengkar antar sesama yang terkadang karena masalah sepele. Namun terkadang

juga terjadi pada lansia home care. Untuk menangani hal ini, lansia yang bertengkar

biasanya oleh praktisi dipanggil, diajak ngobrol, diingatkan tentang umur yang sudah

lanjut, ditanamkan kesadaran bahwa sama-sama hidup di panti adalah senasib,

sehingga harus saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran.

Sebagai contoh, salah seorang praktisi menceritakan pengalamannya:

...selalu yang ribut-ribut itu saya panggil. “Mak, sekarang Emak maunya apa

sih? Mak, apa sih yang diributin,” gitu. “Mak, sisa umur kita tinggal berapa?”

kan gitu. “Kita nggak tahu umur, Mak. Ya tahu saya duluan, tahu Emak

duluan, Mak. ...kita di sini ...bersaudara semua senasib sepenanggungan.” ...,

“nggak usah harus diributin, emak nanti kalau nggak ada umur, gimana...?

Kalau emak sakit, siapa yang mau nolongin emak kalau emak ribut terus? ...

Mak, di sini saling tolong-menolong.” ...saya selalu...nasehatinnya ke

masalah tentang umur. .., “di sini ini kita udah tua, kita dulu muda itu kita

udah banyak dosa kita, belum tentu sama Allah diampunkan dosa kita.

Sekarang kita di sini perbanyak ibadah,” kan gitu. “Untuk apa? Modal kita

nanti kalau kita nggak ada umur, untuk modal kita di akherat.” Ya itu saya

dorongan itunya ke situ. Kalau untuk lansia-lansia yang masih pada mandiri,

masih sehat. Karena kalau lansia mandiri itu lebih dominan pada ribut, pada

berantem, bertengkar, gitu. (WN, 13/6/2013)

4.2.4.5. Intervensi yang dianggap berhasil

Intervensi yang menurut penilaian praktisi sendiri berhasil biasanya

menghasilkan perubahan positif bagi lansia. Seorang praktisi menyampaikan,

“Alhamdulillah dengan kesabaran saya, Bu F. juga, keuletan, akhirnya nenek-kakek

...bisa beradaptasi lagi. Dia bisa timbul percaya diri lagi, dia bisa mengenal diri dia

sendiri, begitu. Alhamdulillah lah udah banyak yang dari awal mereka datang

mengalami depresi apa gitu.” (WN, 13/6/2013).

Sebagai contoh kasus lansia yang patah semangat, seorang praktisi meyakini

bahwa mereka hanya butuh perhatian, teman, dan kasih sayang. Katanya:

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 176: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

153

Universitas Indonesia

Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang. ...kita

sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa

dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya

dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... Dia butuh

perhatian, dia butuh ada teman. Kan gitu kalau udah (tua) itu, iya. Kadang

kan kalau di rumah itu orang tua dicuekin. ...dia mudah tersinggung kan kalau

orang tua, karena kembali lagi sifatnya seperti anak-anak, nah kitanya yang

muda itu harus mengerti. (WN, 13/6/2013)

Setelah serangkaian intervensi, muncul perasaan positif, seperti tumbuhnya

kepercayaan diri, semangat hidup kembali, mampu mengenali diri-sendiri, bisa

beradaptasi, merasa ada yang memperhatikan, merasa masih berguna, dan bahkan

merasa bangga bisa membantu sesama. Hal ini disampaikan oleh seorang praktisi:

...dengan itu dia akhirnya bersemangat lagi, kan itu kan suatu dorongan

spiritual dia juga kan? Eeh. Terus timbul rasa dari diri-sendiri, oh aku itu dari

sebanyak orang di sini, ...ternyata masih ada yang memperhatikan aku, gitu

kan. Wah aku ini berarti... masih berguna untuk orang lain, aku. ...kemarin

waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia..., karena dia udah aktif lagi,

udah timbul semangat diri lagi, tanpa kita harus (menyuruh)..., dia membantu

mandiin jenazah, gitu. Gini-in (mengurus jenazah) itu kan bagian dari ibadah

kan, gitu. (WN, 13/6/2013)

Untuk menilai apakah suatu intervensi berhasil menghasilkan perubahan pada

klien atau tidak memanglah sulit, terlebih lagi intervensi yang berbau spiritual. Hal

ini diakui oleh seorang informan dengan mengatakan (TY, 26/6/2014):

...nggak terlalu kelihatan banget gitu perubahan itu. Tapi setidaknya akan

terlihat yang mungkin awalnya kelihatan jiwanya nggak tenang, ...pikirannya

nggak tenang, semakin ke sini ...kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi, pangan-

sandangnya terpenuhi, ...nah tingkat spiritualitasnya ini yang... belum ada

pengukuran tersendiri. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan kita

tentang bagaimana mengukur spiritualitas seseorang itu. Jadi ya, paling hanya

kelihatan secara sekilas saja, oh sekarang dia lebih seger ya, sekarang lebih

bergembira ya. Yang dulunya murung sekarang jadi agak lebih mau terbuka,

dulunya diam, nggak mau gaul, sekarang mau ngobrol, seperti itu.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 177: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

154

4.2.4.6. Intervensi yang dianggap gagal

Di samping banyaknya keberhasilan ada juga yang dianggap gagal, terutama

untuk lansia yang menurut praktisi sudah tidak responsif. Seorang peksos terampil

mengatakan, “Ya, kalau yang nggak ada pengaruh biasanya orang-orang yang sudah

ini sih, hanya orang-orang yang... nge-blank” (SM, 12/6/2013). Kondisi

keberagamaan lansia seperti itu tergantung dari kebiasaan masa mudanya, misalnya

terkait ibadahnya. Menurutnya, “Ya, yang orangnya ya misalnya error-error. Kalau

yang memang dari muda... sudah terbiasa ibadahnya bagus, mungkin lain” (SM,

12/6/2013). Senada dengan hal ini, praktisi lain mengatakan:

...itu juga tergantung dari dasar agama dari lansia itu sendiri. Dasar dari

spiritualitas dari lansia itu sendiri dari awalnya, dari dininya, gitu ya. Kalau

memang lansia itu sendiri dari dini ...dari dewasanya nggak pernah dia

terpanggil dengan... motivasi keagamaan dia, itu juga sedikit sekali

pengaruhnya, terapi untuk agama itu. (TY, 26/6/2014)

Agak berbeda dengan dua informan di atas, seorang peksos ahli berpendapat

bahwa kegagalan dalam menggunakan pendekatan spiritual atau agama itu sebagian

disebabkan oleh klien itu sendiri. Pendapat ini tampaknya berangkat dari sejumlah

kecil kasus atau lansia yang cenderung antipati terhadap agama karena latar belakang

tertentu atau pengalaman masa lalu. Lebih terang peksos ini berkesimpulan:

Saya melihat kepada motivasi orang yang bersangkutan aja yang tidak punya

keinginan. Dia udah apa ya, ya tidak memaknai hidupnya aja gitu. Sehingga

dia tidak perlu, ibaratnya, hidup ini tidak perlu bertuhan tidak apa-apa

mungkin. Dia tidak pernah merasa udara (untuk) ...nafas yang ditarik itu

punya siapa, gitu. Bumi ini yang dipijak punya siapa, gitu. (FS, 1/7/2014)

Ketidakberhasilan praktisi dalam menggunakan pendekatan spiritual untuk

klien atau kasus tertentu, menurut sebagian praktisi, bukan berarti pendekatan ini

tidak berguna sama sekali. Akan tetapi, seorang informan berpendapat, meski hanya

punya pengaruh sesedikit apapun pendekatan agama harus tetap dipakai, karena

muara dari pelayanan lansia pasti ke agama. Dia berargumen bahwa masa lansia

berada pada fase paling akhir kehidupan seorang manusia sebelum meninggal.

Kematian menandakan permulaan manusia untuk mempertanggungjawabkan setiap

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 178: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

155

Universitas Indonesia

perbuatan di dunia di hadapan Tuhan. Persoalan ini diajarkan dan diatur dalam

agama. Dalam alur pikir seorang informan, lebih lengkapnya seperti ini:

...sedikit maupun banyak itu harus kita pakai, karena sebenarnya ujung-

ujungnya kan kita ini mau melayani lanjut usia ...inti utamanya adalah ke

agama. Ke agama. Ujung-ujungnya bukan berarti gimana ya, mati setiap

orang (pasti mengalami), kita nggak tahu umurnya. Tapi mau (kemana lagi),

sudah umur sekian itu sudah tanda-tanda bahwa dia mau kemana lagi, gitu

loh. Kita harus lebih banyak ke agama, ...apapun yang kita lakukan itu selalu

kita memiliki dorongan motivasi untuk ibadah, untuk agama, gitu loh. Seperti

itu. Mau kegiatan (apapun atau) memiliki keahlian apapun mungkin (bagi)

lansia yang masih potensial, tapi jangan pernah melupakan hakekatnya ...

bahwa kita ini harus banyak beribadah kepada Allah. Seperti itu. (TY,

26/6/2014)

Para praktisi mengakui tidaklah mudah untuk mempraktikkan intervensi

bermuatan agama dan/atau spiritual, karena lansia memiliki dasar agama yang

berbeda-beda. Teknik yang dilakukan adalah bimbingan agama secara berkelompok

atau klasikal, seperti lewat pengajian rutin di musholla, kemudian ditindaklanjuti

dengan bimbingan yang relatif lebih intensif dalam skala kecil untuk individu,

pasangan lansia, atau lansia satu wisma. Seorang praktisi yang juga fungsional

penyuluh sosial menginformasikan bahwa ketika melakukan penyuluhan sosial ia

menggunakan teknik-teknik pekerjaan sosial dan juga dengan cara agama. Terkait

cara maupun konten agama ini, ia sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan

sarjana agama Islam.

4.2.4.7. Pendekatan manusiawi atau sewajarnya

Ketika misalnya terjadi penolakan karena pengaruh masa dulunya atau sebab

lain, selain harus melihat-lihat kondisi klien, seorang praktisi tidak langsung masuk

dengan menyinggung agama. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan semacam

pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si klien

melalui penalaran ringan. Misalnya, seperti dicontohkan praktisi dalam TY,

26/6/2014: “Coba pantes nggak Pak, kalau kira-kira seperti ini?”; “Kira-kira sih

kalau misalnya Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 179: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

156

contoh, mungkin jadi kurang pantes Pak seandainya begini.” Terkait dengan

pendekatan tersebut, praktisi ini menyebutnya sebagai pendekatan secara

“manusiawi” atau “wajarnya”. Lebih jelasnya, ia menguraikan:

Kita melihat kondisi seperti itu ya kita panggil secara manusiawi aja, secara

wajarnya, secara wajarnya manusia itu seperti apa. Karena belum tentu

dengan kita sentuh dengan kesadaran keagamaan dia itu belum tentu masuk

karena beda, gitu. Jadi kita menggunakan kewajarannya sebagai manusia

sebagai makhluk sosial sebagai makhuk yang ...memiliki kebutuhan apapun,

kebutuhan hidup, kebutuhan sosial, ataupun kebutuhan ini itu kita paskan

dulu ...sesuai dengan kewajarannya dia sebagai manusia lah, seperti itu. (TY,

26/6/2014)

Untuk mengantisipasi penolakan yang mungkin terjadi secara tidak terduga,

sejumlah praktisi punya semacam trik tersendiri bagaimana cara untuk masuk atau

memulai intervensi. Sebelum masuk melakukan pendekatan, mereka berusaha

melihat-lihat terlebih dahulu kondisi klien seperti telah disinggung di atas, tidak serta

merta langsung dengan pendekatan agama. Ketika klien misalnya masih dalam

kondisi marah karena habis bertengkar dengan sesama klien atau sebab lain, praktisi

hanya mencoba menenangkan yang terkadang sudah dengan sedikit muatan ajaran

agama, seperti disuruh beristighfar dan sabar. Ketika kondisi klien tenang dan

sendiri, praktisi baru mulai masuk untuk melakukan penyadaran dan menggunakan

pendekatan spiritual-keagamaan.

4.2.4.8. Intervensi ala pendamping home care

Para pendamping home care tampaknya tidak berpretensi untuk menggali dan

menyelesaikan segala masalah yang dihadapi lansia. Mereka sadar bahwa

kewenangan untuk mengurus lansia yang tinggal bersama keluarganya sangatlah

terbatas, terutama terkait urusan internal keluarga lansia. Kecuali apabila masalah

tampak muncul atau lansia itu sendiri atau keluarganya yang meminta tolong.

Misalnya ketika seorang lansia sering sendiri di rumah karena ditinggal bekerja,

anaknya meminta pendamping untuk diawasi atau didampingi. Untuk kasus tertentu

terkadang juga pendamping tidak langsung menangani sendiri, tapi hanya

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 180: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

157

Universitas Indonesia

mengarahkan atau mendorong anggota keluarganya dan memberi tahu agar tidak

dimarahi atau dilarang-larang untuk mengerjakan sesuatu.

Sejauh yang bisa dilakukan pendamping adalah memastikan terpenuhinya

kebutuhan lansia dan baiknya kondisi jasmani dan rohani mereka. Terkait kebutuhan

sosial lansia, peran pendamping juga sangatlah vital. Oleh pendamping, lansia

diupayakan dengan berbagai cara agar tidak kesepian di rumah, namun tetap

bersosialisasi dengan lingkungan melalui berbagai aktivitas, terutama keagamaan.

Pendekatan yang dilakukan terhadap lansia home care agar aktif dalam kegiatan

agama semacam pengajian dan istighotsah yakni dengan mengajak pelan-pelan,

membujuk atau merayu, atau mengajak semua lansia tanpa pilih-pilih. Seorang ibu

pendamping misalnya menceritakan:

Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya

ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak

ngamal, baru pada bisa. Kalau kita namanya dikerasin “harus bisa ngaji aja,”

itu mah nggak ada orangnya mas. “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke

majlis ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke

mesjid kan deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya dari mana?”

“Udah itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalo nggak ditarik kayak

gitu kan susah ibu-bu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya

alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini.

Jadinya sekarang alhamdulillah. Ibu mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja

gitu bisanya. ..Wajar ibu mah ngajak. “Nek, nenek mau nggak ikut saya?”

gitu pertamanya. “Mau kemana sih, Bu R?” “Nggak, nggak diapa-apain.”

“Kalo kita diajak, dikasih ginian mau nggak?” “Eh maulah.” Ntar ini dipilih

yang lainnya sirik,” gitu. Kalo namanya bu J kan kita hanya diambil dua.

(MM, 16/6/2013)

Agak berbeda dengan yang di panti, para pendamping home care juga punya

teknik-teknik sendiri. Praktisi, misalnya, seringkali mengajak ngobrol lansia,

mendengarkan curhat (cerita dan keluh-kesah), sekadar menyapa, tanya kabar,

mengakrabi, atau memberi perhatian. Sebagai contoh, seorang pendamping

mengatakan:

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 181: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

158

Makanya kalo itu kan satu jam menemani lansia, nggak mungkin sejam kalo

saya mah hampir tiap hari tuh. Hampir tiap hari ke situ, nengok, kadang

sepuluh menit, kadang lima menit tapi tiap hari. Kadang cuman nyolek

pipinya “apa kabar..” gitu. “Mih, gimana sehat?” cuman gitu doang ... Begitu

aja udah seneng banget apalagi kalo dicium “Mih gimana kabarnya Mih?”

seneng udah. ...Itu kita cuman ngobrol paling nemenin dia nyanyi tepuk

tangan... Kalo Mang R ...laki-laki kan nggak begitu. Dia lagi ngituin ayam

paling kita nyamperin, “gede-gede ya Mbah ya telornya Mbah ya?” Paling

gitu doang, nggak mungkin kita, namanya laki-laki. (HN, 16/6/2013)

Namun terkait pendekatan dengan agama atau spiritual, sebagian pendamping

tidak mengakui menggunakan hal itu. Menurut seorang pendamping, pendekatan

yang dipakai bersifat standar. Katanya, “saat ini belum, karena tingkatannya kan

belum nyampe situ ya. Karena masih yang standar-standar aja.” (ED, 16/6/2013)

4.2.4.9. Membantu lansia menghadapi akhir hayat

Satu tema menarik muncul dari hasil wawancara, yakni tentang bagaimana

lansia menghadapi masa-masa akhir hayatnya. Hal-hal yang terkait dengan persiapan

menghadapi masa akhir hayat di antaranya adalah preferensi pihak yang dihubungi

ketika lansia meninggal, menghantarkan lansia menghadapi sakrotul-maut, persiapan

mengumpulkan bekal, sare’at untuk menghilangkan susuk, membereskan urusan

yang belum selesai, dan rukun kematian bagi lansia home care.

Terkait preferensi dikubur dimana ketika meninggal, urusan pemakaman bagi

lansia panti yang sebatang kara akan diserahkan di Dinas Pemakaman Umum.

Namun bagi yang masih punya keluarga atau kerabat mereka ditanya ingin diurus

oleh siapa atau dikubur dimana dengan dikonsultasikan juga ke anak atau anggota

keluarganya. Persoalan keinginan lansia ingin dikubur dimana terkadang tidak terlalu

jelas sejak identifikasi atau asesmen di awal, namun kejelasan ini dapat tergali

seiring interaksi yang panjang dengan lansia selama di panti.

Peran praktisi yang lain dalam membantu lansia menghadapi akhir hayat

adalah menghantarkannya menghadapi sakrotul-maut. Biasanya untuk lansia muslim

dibacakan surat Yasin dan dibantu melafalkan syahadat agar meninggal dengan cara

yang baik (husnul-khotimah). Sebagian praktisi sengaja menceritakan pengalaman

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 182: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

159

Universitas Indonesia

mendampingi mereka yang menghadapi kematian kepada lansia yang lain dengan

tujuan agar mereka selalu ingat dan siap menghadapinya kapanpun. Selain itu,

praktisi dan pembimbing agama sering mengingatkan para lansia tentang kematian

dan untuk itu mereka diajari untuk berdizikir menyebut nama Allah dengan cara

mudah sesuai kemampuan lansia. Seorang praktisi mencontohkan cara tersebut:

Sering kita ingatkan untuk Mbah itu setiap saat setiap nafas ...untuk selalu

menyebut nama Allah, biar dia agak lebih mudah untuk berdzikir langsung.

Ya katakanlah misalnya mau lâ ilâha illallâh agak susah kan, lama, panjang,

misalnya. “Mbah langsung sebut nama Allah, Allah, Allah, astaghfirullâh,

astaghfirullâh, banyak-banyak istighfar dan menyebut nama Allah.” Ya

maksudnya dzikir yang singkat tapi mudah diucapkan, mudah dirasakan oleh

embah. Itu agar memudahkan embah juga untuk ketika sewaktu-waktu

sakaratul-maut... (TY, 26/6/2014).

Menyadari kematian bisa datang kapan saja, sebagian lansia, terutama yang

tidak punya keluarga, berupaya mengumpulkan bekal sebagai biaya persiapan

menghadapi kematian. Bekal yang dikumpulkan biasanya diperoleh dari uang jajan,

pemberian (angpau) dari pengunjung saat hari-hari besar keagamaan. Terkadang juga

lansia menyimpan barang berharga seperi cincin atau kalung emas. Bekal persiapan

untuk menghadapi kematian yang dimaksud contohnya untuk membayar (lebih)

tukang gali kubur agar liang lahatnya digali lebih dalam; atau biaya untuk

mendoakan dirinya, misal dengan slametan, tahlilan, atau Yasinan.

Terkait keinginan atau persiapan lansia menghadapi kematian tersebut,

praktisi berperan sebagai pihak yang dimintai bantuan lansia menjaga dan mengelola

bekal untuk menjalankan keinginan atau wasiat lansia bersangkutan sebelum

meninggal. Hal ini seperti diceritakan seorang informan:

“...ntar kalau umpama itu (meninggal), emak tolong slametin (didoakan/di-

tahlil), buat selama tujuh hari emak, 40 hari emak,” lah itulah kita kalau ada

nenek-kakek kita yang nggak ada (keluarga). ...dia nyimpen uang di kita, gitu.

Nyimpen barang emas, ...uang itu kalau dia nggak ada umur kita pakai untuk

tahlilan (atau) untuk slametan dia... (WN, 13/6/2013)

Di panti lain, menurut penuturan satu praktisi, kebanyakan lansia pasrah

menghadapi kematian. Artinya mereka tidak berupaya mengumpulkan bekal untuk

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 183: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

160

biaya Tahlilan atau Yasinan, karena acara tersebut sudah menjadi tradisi yang

dilakukan bersama-sama di musholla. Namun, menurut praktisi tersebut, dari sisi

ritual doa untuk almarhum lansia yang baru meninggal kurang diperhatikan, sehingga

kegiatan Tahlilan dan Yasinan di panti hanya rutinitas semata. Praktisi ini

menerangkan:

...di (panti) sini kan ada kebiasaan juga untuk (lansia) yang meninggal itu tiga

hari dibacakan doa. Ya budayanya sini kan Tahlilan dan Yasinan, gitu ya.

Tapi kalau saya bilang, ini berdoa untuk arwah gitu, untuk almarhum-

almarhumah, cuman ritualnya kan beda-beda. Kalau saya ritualnya kita

langsung mohon doa, sudah. Sholat ghoib (kemudian) doa, udah. Tapi kan

ada sebagian yang lain kan ritualnya dengan membaca (surat) Yasin (atau)

membaca Tahlil dan (tapi) kadang-kadang terlupa dengan (doa) Allâhumma-

ghfir lahu atau Allâhumma-ghfir laha-nya itu. Saya perhatiin kebiasaan itu.

Hanya ...rutinitas untuk baca Yasin (dan) Tahlil. (TY, 26/6/2014)

Satu konsep penting yang muncul dari para praktisi panti adalah sejumlah

lansia yang masih memakai susuk, pemanis, atau pegangan tertentu yang dipasang di

badan pada saat masih muda. Pemakaian hal-hal ini diyakini punya tujuan untuk

mempercantik wajih, agar menarik lawan jenis, menjaga daya tahan tubuh, atau

untuk tujuan lain. Banyak yang meyakini bahwa susuk yang tertanam di tubuh atau

benda yang masih dipegang itulah yang menyebabkan lansia mengalami kesusahan

pada saat sakrotul-maut atau memperlama prosesnya.

Lamanya proses kematian akibat susuk tersebut dihindari atau diantisipasi

dengan membuangnya melalui ritual tertentu. Cara atau jalan berikhtiar yang harus

ditempuh semacam ini biasa disebut sare’at. Tentang hal ini, seorang praktisi

menjelaskan:

Nah saat dia mau nggak ada umur, saat dia (masih) sadar, “Eh, Neng

...hubungin anak Emak, Neng, yang di Bogor,” katanya gitu. ...sesudah itu

nah baru dia cerita gini, “Emak biar meninggal Emak tenang,” katanya,

“nggak ada halangan, Emak dulu makai pemanis di muka di bibir,” gitu kan...

“Emak syareat-e apaan?” (saya tanya) gitu. “...selama ini Emak tuh nggak

boleh, nggak makan telor asin. Kalau makan telor asin luntur gitu, susuk

Emak gitu.” ...Pas habis dimakan telor asin, eh besoknya tuh nggak ada

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 184: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

161

Universitas Indonesia

(meninggal), udah nggak ada. ...kita percaya nggak percaya sih, tapi itulah

kenyataannya orang tua dulu begitu. (WN, 13/6/2013)

Terkadang ada pula lansia pemakai yang tidak berterus terang atau berpesan

seperti di atas. Karena masalah ini cukup sensitif dan tergolong tidak lazim,

kebanyakan praktisi menahan diri untuk menanyakan secara langsung atau terus

terang terhadap setiap lansia. Mereka lebih memilih menunggu sampai lansia sendiri

yang bercerita sesuatu yang terkadang dianggap aib oleh lansia sendiri. Namun

demikian, sebagai bentuk antisipasi, praktisi terkadang menanyakan langsung kepada

lansia yang dicurigai memakai ketika masih dalam kondisi sehat atau belum pikun.

Karena alasan sensitivitas tadi, ada juga praktisi yang menanyakannya dengan cara

bercanda agar lansia yang bersangkutan tidak tersinggung. Katanya seperti ini:

“...kalau saya kan tesnya kan beda, sama-sama laki-laki... Wah, ...heran saya nih,

udah tua begini masih enerjik banget. Ada pegangan apa sih? Apa sih khasiatnya?

Gitu kan, suka sambil guyon gitu ya” (FS, 1/7/2014).

Namun, apabila tidak diketahui dan seorang lansia sudah terlanjur dalam

kondisi sakrotul-maut yang susah, praktisi memberi tindakan intervensi memberikan

sare’at atas inisiatifnya. Seorang praktisi menceritakan satu kasus lansia yang sudah

kaku tidak berdaya berhari-hari, tapi masih mampu makan banyak layaknya orang

sehat. Oleh pengasuh dicarikan daun kelor kemudian dikibaskan sambil dibacakan

ayat Kursi, surat Yasin, dan doa-doa. Tujuannya biar si nenek tidak kelamaan

menderita sakit. Dua hari setelah diberi sare’at, si nenek meninggal. Tindakan

seperti itu diambil ketika kondisinya dianggap tidak masuk akal atau tidak logis.

Tema lain yang tergali terkait masalah akhir hayat lansia adalah penyelesaian

urusan yang belum beres semisal permohonan maaf, perkara utang-pituang, wasiat,

warisan, atau soal pensiunan. Perkara-perkara ini juga dapat terungkap dari lansia

melalui dua kemungkinan seperti soal pemakaian susuk di atas, yakni entah lansia

sendiri yang berterus terang atau praktisi yang menanyakan. Khusus tentang wasiat,

seorang praktisi mengaku pernah mengusulkan ke pantinya agar disediakan formulir

catatan wasiat, namun belum terealisasi. Dengan adanya formulir seperti itu, klien

lansia dimungkinkan atau difasilitasi untuk menyampaikan (barangkali ada)

semacam pesan terakhir atau keinginan tertentu dan/atau menginformasikan suatu

kepemilikan barang (atau harta peninggalan) kepada keluarga yang ditinggalkan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 185: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

162

Tujuan dari penyediaan blangko catatan wasiat tersebut adalah untuk

mengantisipasi berbagai kemungkinan perkara yang muncul selepas kepergian klien

lansia. Seorang informan mengangkat satu contoh kasus akibat ketiadaan blangko:

Ada juga kasus yang ketika di sininya (panti) nggak dirawat anaknya, begitu

meninggal anaknya cari-cari surat-surat pensiun... Kan masih ada satu dua

yang pensiun karena dulunya suaminya veteran kan. Nah jadi ibaratnya kok

tuanya jadinya nggak mau ngurusin begitu matinya kenapa rebutan warisan...

Nah itu untuk antisipasi seperti itulah sebenarnya. Kita inginkan ada

realisasinya bahwa setiap mbah itu kita suruh untuk menuliskan wasiat saya

ingin dirawat di sini sampai meninggal, saya ingin dan seterusnya. Itu baru

satu dua sih yang kita dengar seperti itu. (TY, 26/6/2014).

Untuk lansia home care, kekhawatiran dalam menghadapi masalah akhir

hayat lumayan terbantu dengan adanya Rukun Kematian (Rukma). Rukma adalah

satu sistem gotong-royong di tingkat RT dan RW untuk membantu mengurus

kematian anggota warganya, termasuk lansia, mulai dari memandikan, mengafani,

men-sholatkan, memastikan ingin dikubur dimana, mengurus ambulans, sampai

mengubur. Biaya Rukma berasal dari iuran bulanan setiap keluarga dengan dibantu

para pendamping home care. Seorang pendamping menceritakan bagaimana seorang

lansia ditenangkan dengan Rukma ini:

Kan dia seumpamanya... udah sakit: “aduh bu R, saya sakit begini-begini.”

“Mak, tenang aja. Emak sakit juga anak Emak ikut Rukma. Udah tenang aja,

yang penting ibu nyebut aja. Mudah-mudahan si ibu sehat lagi.” Ya digituin

kan dia girang. ... “Udah sih mbah, nggak ada umur mah ada saya ada anak

mbah, masa nggak diurusin?” ...kan ikut Rukma juga. Iya. Jadi kan ama

dianya semanget ya. “Udah nggak usah dipikirin,” ibu mah kalo ke manula

juga gitu.” (MM, 16/6/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 186: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

163

BAB 5

SPIRITUALITAS LANSIA

Bab hasil (temuan) penelitian ini membahas tujuan penelitian ketiga dan

keempat yang melibatkan informan klien lansia dari setting panti dan home care.

Hasilnya berupa suatu konstruksi tentang spiritualitas lansia. Kedua tujuan penelitian

yang dimaksud terkait penggalian perspektif para lansia tentang spiritualitas dan

bagaimana pandangan dan respons mereka terhadap pengalaman hidup yang dilalui.

Di samping wawancara, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui

observasi dan telaah dokumen untuk mencapai dua tujuan penelitian tersebut.

Observasi dilakukan secara non-partisipan, sementara dokumen yang ditelaah

meliputi segala catatan terkait informan, seperti data identifikasi awal, biografi

lansia, surat rujukan, catatan kasus, catatan perkembangan, dan sebagainya.

Terkait teknik wawancara, rentetan wawancara dalam pedoman awal (initial

interview guide) dibuat berdasarkan penjabaran dari pertanyaan penelitian. Secara

garis besar, peneliti mengajukan dua pertanyaan seperti tercermin pada tujuan

penelitian di atas yakni pemahaman spiritualitas lansia, pengalaman atau penderitaan

hidup, kemudian bagaimana respons dan pemaknaan mereka terhadap pengalaman-

penderitaan tersebut. Namun pada wawancara awal, urut-urutan pertanyaan tersebut

tampak membingungkan informan karena terkesan bolak-balik. Oleh karena itu,

pertanyaan kemudian diubah dengan dimulai dari kondisi lansia saat itu, apa

perasaan enak dan tidak enaknya, ceritanya bagaimana, apa yang dilakukan, dan

seterusnya. Pada intinya, wawancara disesuaikan dengan alur pikir informan dan

mengikuti jalan cerita mereka. Dengan demikian, hasil dan urutan wawancara setiap

informan menjadi variatif.

Perlu dicatat bahwa upaya penggalian pemahaman lansia tentang spiritualitas

tentu berbeda dengan praktisi. Mayoritas informan berpendidikan rendah, hanya dua

orang yang lulusan pendidikan menengah. Maka, cara eksplorasinya tidak langsung

menyinggung atau menyebut istilah spiritualitas atau spiritual yang sangat abstrak

tersebut. Akan tetapi, pertanyaannya lebih konkrit tentang apa yang mereka alami

dan apa yang mereka lakukan. Paling jauh adalah pertanyaan tentang bagaimana

mereka melihat atau memandang sesuatu, mengapa sesuatu bisa terjadi, atau

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 187: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

164

mengapa hal itu dilakukan. Ketika analisis, baru kemudian peneliti berupaya menarik

ide-ide abstrak dari jawaban mereka dan mengonstruknya menjadi suatu konsep,

tema, hingga kategori melalui perbandingan secara konstan.

Berdasarkan ragam hasil dan alur cerita dari informan di atas kemudian

dilakukan analisis coding dan menghasilkan sejumlah besar konsep dan tema.

Sejumlah besar konsep dan tema yang dicerai-beraikan melalui kegiatan coding

tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Berdasarkan tujuan

penelitian ketiga, beberapa kategori yang terbentuk meliputi: (i) keberagaamaan

lansia, (ii) persoalan eksistensial, (iii) relasi atau keterhubungan, (iv) kecemasan dan

harapan, dan (v) kebutuhan spiritual (spiritual tasks). Lima kategori ini berasal dari

494 referensi (hasil coding) yang dikelompokkan dalam 16 tema atau nodes.

Sedangkan dari tujuan penelitian keempat ada dua kategori yang terbentuk, yakni: (i)

penderitaan hidup dan pemaknaan dan (ii) respons. Kedua kategori ini terdiri dari

tujuh tema atau nodes yang merupakan hasil pengelompokan dari 204 referensi.

Perhatikan Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4

Dalam NVivo, kategori-kategori tersebut merupakan parent nodes yang

tampak sebagai #keberagaamaan lansia, #persoalan eksistensial, #relasi &

keterhubungan, #harapan & kecemasan, #spiritual tasks, #penderitaan hidup &

pemaknaan, dan #respons terhadap penderitaan. Kenampakan dari semua kategori

tersebut dalam NVivo dapat dilihat pada Lampiran 9. Pengklasifikasian ini tampak

juga dalam klasifikasi dan bagannya seperti tampak pada Lampiran 10 dan 12.

Masing-masing kategori akan menjadi sub-bab tersendiri dalam bab ini.

References Nodes (tema) Kategori RQ

494 16 5 RQ #3

204 7 2 RQ #4

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 188: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

165

Universitas Indonesia

Informasi terkait informan mana saja yang menyinggung tema-tema dalam

masing-masing kategori di atas dapat dipastikan pada Lampiran 7. Lampiran 16

tentang node summary report menginformasikan seberapa banyak dan sering

masing-masing node dibicarkan. Sementara Lampiran 17 tentang coding summary

report menggambarkan persentase sebaran node (coverage) untuk masing-masing

informan.

5.1. Pengalaman Spiritualitas Lansia

Kategori besar ini terdiri dari sejumlah kategori atau tema, yaitu:

keberagamaan lansia, persoalan eksistensial lansia, relasi dan keterhubungan,

harapan dan kecemasan, dan kebutuhan spiritual.

5.1.1. Keberagamaan Lansia

Ada tiga tema yang termasuk dalam kategori ini yaitu: kegiatan dan afilasi

keagamaan lansia, keyakinan agama, dan kondisi keberagamaan mereka. Dalam

NVivo, ketiga tema ini dinamakan sebagai node @kegiatan-afiliasi agama,

@keyakinan, dan @kondisi keberagamaan. Perhatikan lagi Lampiran 7 dan 10.

5.1.1.1. Kegiatan dan afiliasi keagamaan

Dari 11 informan lansia yang terlibat, sembilan lansia beragama Islam dan

sisanya beragama Kristen (Protestan). Salah satu penganut Kristen lebih banyak

mengikuti ibadah dengan tradisi Katolik. Ia mengaku sering mengikuti kebaktian dan

bisa ikut makan komuni dalam perjamuan kudus, meskipun belum pernah dibaptis.

Ya Est orang Kristen kan pergi ke gereja Katolik. Di sana tidak boleh makan

itu komuni, karena Est bukan orang Katolik karena belum dibaptis secara

Katolik. Jadi Est senangnya di sini nih di aula ini kan ada kebaktian hari

minggu setengah dua, setiap hari minggu.Nah jadi Est bisa makan perjamuan

kudus di sini, dilayani oleh pendeta yang ini di sini. (Est, 31/5/2013)

Hampir semua lansia Muslim tergolong penganut yang cukup taat

menjalankan perintah agama, meskipun tergolong standar. Mereka memraktikkan

ajaran agama secara sendiri ataupun berjama’ah, baik yang sifatnya wajib maupun

yang dianjurkan (sunnah), misalnya sholat, puasa, membaca al-Qur’an (mengaji),

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 189: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

166

menghapal surat-surat (al-Qur’an) pendek, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ibadah

sholat yang dijalankan lansia tidak hanya terbatas pada sholat wajib lima waktu,

namun sebagian rajin menjalankan sholat sunnah secara berkala, seperti sunnah

rawatib (sebelum dan sesudah sholat wajib), tahajud, dluha, awwabin, tarawih, dan

sholat ‘id (Idul Fitri atau Idul Adha). Puasa juga tidak hanya pada saat Ramadlan,

tetapi juga puasa Senin dan Kamis atau sunnah-sunnah yang lain. Di samping ibadah

yang sifatnya vertikal tersebut, sebagian lansia juga tergolong rajin melakukan

ibadah sosial seperti sedekah, membantu teman sepanti atau tetangga, dan lain-lain.

Sementara itu, afiliasi atau kelompok agama yang mereka ikuti tidak terlalu

beragam. Terutama lansia yang tinggal di panti, mereka hanya mengikuti kelompok

dan rutinitas yang diselenggarakan pihak panti. Namun, tidak semua informan rajin

mengikuti secara berkala setiap ada kegiatan, misalnya bimbingan agama berupa

pengajian, Yasinan, Tahlilan, jama’ah sholat lima waktu di musholla panti,

peringatan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Sementara lansia home care lebih

banyak pilihan dan aktivitas keagamaan di lingkungannya, seperti Yasinan,

pengajian, majlis ta’lim, dan lain-lain. Namun karena kondisi yang sudah renta,

mereka mulai mengurangi kegiatan luar rumah bersama jama’ah.

Dua penganut Kristen juga sangat rajin melakukan ibadah secara berkala,

seperti kebaktian, berdoa, baca Alkitab, menghapal ayat-ayat Alkitab, menyanyi

pujian, atau kadang berpuasa. Sama halnya dengan penganut Muslim, afiliasi agama

yang diikuti lansia penganut Kristen ini juga hanya mengikuti kegiatan agama secara

berjama’ah yang diadakan panti saja, seperti kebaktian, komuni, peringatan hari

besar Kristen, dan sebagainya. Namun, informan Est juga rajin beribadah ke gereja

Petrus yang kebetulan lokasinya dekat dengan panti setiap hari Minggu.

Tingkat ketaatan agama lansia secara garis besar ada yang stabil dan ada yang

berubah-ubah fluktuatif. Lansia yang memiliki tingkat keimanan yang stabil adalah

mereka yang sejak muda memang punya ketaatan yang baik dan pondasi agama yang

kuat. Hal ini misalnya ditunjukkan sepasang informan suami-istri yang sudah hampir

10 tahun tinggal di panti karena menjadi korban tsunami Aceh 2004 dan kehilangan

rumah dan harta-benda serta seorang putri kesayangan mereka. Ini bisa jadi

dipengaruhi kultur Aceh dan kuatnya pondasi agama mereka, namun ketika ditanya

perbandingan ketaatan agama antara sebelum dan setelah kejadian tsunami mereka

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 190: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

167

Universitas Indonesia

menjawab sama saja. Bagi mereka, bencana tsunami yang sangat mengubah hidup

mereka secara drastis tampaknya tidak mengakibatkan perubahan berarti bagi kondisi

keimanan mereka.

Stabilnya kondisi keberagamaan lansia di atas umumnya tergantung pada

pondasi keimanan mereka di saat muda. Hal ini pernah disinggung oleh informan

praktisi bahwa apabila telah terbiasa ibadahnya bagus sejak muda, di masa lansia saat

ini juga tetap kelihatan (SM, 12/6/2013). Akan tetapi, kebanyakan informan merasa

bahwa seiring usianya yang semakin senja ibadah mereka semakin rajin. Sebagian

mengakui ibadah mereka semakin meningkat setelah tinggal di panti, paling tidak

dari sisi ibadah ritual yang wajib. Ketika ditanya, seorang informan menjawab, “Iya

karena apa, ... ya masih sibuk dalam kerjaan saya dulu kan... Sholat kadang-kadang

masih ditinggalkan, masih belang-belang lah. Alhamdulillah saya di sini, diam di

panti, bersyukur kepada Allah karena bisa mengerjakan (sholat) setiap waktu.”

(Mrw, 8/4/2013)

Ada juga informan lansia Protestan lainnya lebih menekankan esensi dari

beragama, meski dari sisi ibadah ritual bisa dikatakan standar, bahwa beragama itu

adalah berbuat baik terhadap sesama dan saling mengasihi. “Kita ...ama (sama) orang

harus ...sumeh (senang). Ngasihin, saling mengasihin (saling mengasihi). Sayang,

saling menyayang.” (Kntw, 31/5/2013)

5.1.1.2. Keyakinan

Keyakinan yang dipegang informan bisa bersumber dari ajaran agama

maupun dari luar agama, meski tanpa dieksplisitkan atau disadari informan, seperti

pengaruh lingkungan sosial-budaya, keluarga, ataupun pribadi. Keyakinan yang

bersumber dari agama yang sempat muncul dalam wawancara misalnya soal hidup-

mati manusia, rejeki, takdir dan kehendak Tuhan, doa untuk orang yang sudah

meninggal, larangan berdoa untuk cepet-cepat mati, dan keinginan implisit untuk

meninggal di malam Jum’at.

Hampir semua informan baik secara eksplisit ataupun implisit memegang

teguh keyakinan bahwa soal rejeki, umur, dan jalan hidup, Tuhanlah yang

menentukan. Sebagai contoh, seorang klien lansia yang tinggal di panti sejak tahun

2007 masih mensyukuri kondisinya, meski dengan disabilitas tuna netra dan tanpa

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 191: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

168

kontak dengan mantan istri dan anak-anaknya sekian lama. Ia beryakinan bahwa:

“Rejeki itu pasti ada aja. Itu Allah sudah ngatur (mengatur)” (Mrw, 8/4/2013). Soal

umur ia juga berpasrah diri karena, menurutnya, umur ada di tangan Tuhan sambil

menyitir satu ayat al-Qur’an, ‘kullu nafsin dzâ’iqotul-maut’ (artinya: setiap yang

bernafas pasti akan mati). (Mrw, 6/6/2013)

Keyakinan lain yang datang dari ajaran agama adalah mendoakan orang dekat

yang sudah meninggal. Dalam agama Islam sebagaimana dianut peneliti, umumnya

sangat dianjurkan untuk mendoakan orang-orang yang telah pergi meninggalkan

dunia dengan harapan agar dosa-dosa almarhum atau almarhumah diampuni,

diterima semua amalnya, dimasukkan ke surga, dan seterusnya. Begitu pula agama

Katolik yang menganjurkan untuk mendoakan bagi sesama, meskipun telah tiada.

Menurut seorang informan penganut Kristen, namun sering mengikuti ibadah

kebaktian Katolik dan mengaku belum dibaptis, Kristen Protestan tidak mengajarkan

hal yang sama, yakni mendoakan orang yang sudah meninggal karena sudah tidak

ada gunanya. “Kalau Kristen... selama masih bernapas buru-buru deh mencari

Tuhan... Kalo udah (sudah) jadi mayat gak (tidak) ada gunanya (didoakan). ... jadi,

doa di kuburan juga gak ada gunanya. ...Orang udah mati, ...dia jadi apa gak tahu di

dalam (kuburan)” (Est, 31/5/2013).

Selanjutnya, seorang lansia beragama Kristen Protestan yang pindah agama

dari Islam beberapa kali bercerita bahwa kalau sedang sedih karena teringat

almarhum suaminya yang meninggal enam tahun silam, ia kadang terpikir untuk

ingin cepat mati menyusul almarhum. Namun, ia tetap memegang teguh kepercayaan

agama bahwa umur ada di tangan Tuhan. “Iya, udah pengen (sudah ingin) buru-buru

ngikut (ikut) bapak gitu. Tapi orang begituan tuh umur adanya di tangan Tuhan,

bukan di tangan saya. Di tangan Tuhan yang Kuasa” (Kntw, 31/5/2013). Selain itu,

pikiran negatif seperti itu juga tertahan oleh keyakinan agamanya yang melarang

penganutnya berdoa ingin cepat mati.

Itu dalam doa nggak boleh kita pengen nyusul (ingin menyusul) bapak

(almarhum suami). ... Kalau kita berdoa minta panjang umur, badan saya

sehat, (itu) boleh. Tapi kalau kita minta dalam doa, ‘Ya Tuhan Yesus cepat-

cepat saya diambil, saya pengen ketemu suami saya,’ itu nggak bisa. (Kntw,

31/5/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 192: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

169

Universitas Indonesia

Ada juga satu keinginan yang sangat dipengaruhi kepercayaan agama.

Seorang lansia Muslim secara implisit mendambakan meninggal pada malam Jum’at

atau hari Jum’at karena ia meyakini bahwa orang yang meninggal hari itu akan

dibebaskan dari siksa kubur. “Syukur kalau ngambilnya (nyawa dicabut) malam

Jum’at atau hari Jum’at kita bebas siksa kubur ya?” (Alm, 6/6/2013). Di kalangan

kaum Muslim memang ada kepercayaan bahwa meninggal pada malam atau hari

Jum’at menandakan meninggal yang baik atau husnul-khâtimah.

Kepercayaan lain dipegang seorang lansia home care yang banyak

menghabiskan waktu sendiri di rumah tanpa anak atau cucu. Ia mengungkapkan

bahwa ketika sedang sedih atau marah, ia diajarkan membaca Ayat Kursi atau

mengucap istighfar untuk menghilangkan kesedihan atau marahnya.

Saya suka ingat juga, katanya (ustadz/-ah atau kyai) kalau lagi sedih, kalau

lagi marah, ...baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang (hilang)

sendiri. ... kita baca istighfar, katanya. Kita harus tabah, kuat mental, kuat

iman, kuat Islam, tabah hati, katanya gitu. Kita udah mesti berusaha, udah

(nasib) milik kita begini, mau bagaimana lagi. Mau minta tolong ke siapa

lagi, lian (selain) kepada Allah. (Msn, 16/6/2013)

Keyakinan yang dikatakan dibentuk baik faktor pribadi maupun lingkungan

misalnya menolong orang sama dengan menolong diri-sendiri, firasat atau mimpi

akan kehilangan orang yang dicintai, atau keyakinan bahwa keluarga korban tsunami

yang tidak bisa menemukan anggotanya yang hilang adalah rahasia Tuhan.

Di masyarakat Indonesia, umum berkembang satu kepercayaan bahwa suatu

kehilangan besar, seperti ditinggal orang terdekat, biasanya didahului atau ditandai

dengan firasat atau mimpi tertentu. Kepercayaan semacam ini juga ada pada

pasangan lansia korban tsunami Aceh, walaupun mimpi itu justru datang pada

putrinya yang akan menjadi korban. Setelah kejadian tsunami, pasangan lansia ini

tidak menemukan kembali jasad putrinya. Menurut mereka, hal yang sama banyak

dialami oleh keluarga korban yang lain sehingga muncul satu keyakinan umum

bahwa tidak diketemukannya anggota keluarga mereka yang menjadi korban adalah

memang rahasia Tuhan yang pasti ada hikmahnya. Istri dari pasangan tersebut

mengatakan, “Yang lain gitu juga nggak ketemu keluarga sendiri, ...memang Allah

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 193: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

170

kehendaki nggak dikasih lihat (jasad korban) ke keluarganya... Ya nggak papa (tidak

apa-apa), rahasia Allah. Allah Maha Tahu.” (Nrn, 27/5/2013)

5.1.2. Persoalan Eksistensial Lansia

Dalam setiap individu, termasuk lansia, terkadang muncul pertanyaan dari

dalam diri, seperti siapakah aku, kehadiran di dunia ini untuk apa, apa tujuannya, dan

seterusnya. Terlebih lagi lansia, serangkaian pengalaman dan penderitaan hidup bisa

membuat mereka merasa sedih, marah, depresi, tersingkir dari keluarga, terasing dari

lingkungan masyarakat, dan sebagainya. Respons seperti ini seringkali membuat

mereka bertanya-tanya pada diri-sendiri: mengapa hidup seperti ini, mengapa harus

dirinya yang menderita, apa makna di balik semua yang dialami, dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini merupakan persoalan eksistensial.

Dalam penelitian ini, persoalan eksistensial lansia tercermin dalam tema

tentang ‘pandangan dan pertanyaan tentang hidup’ dan ‘makna dan tujuan hidup’.

Kedua tema ini muncul dalam NVivo sebagai cabang node @makna-tujuan hidup

dan @pandangan-pertanyaan tentang hidup (lihat Lampiran 7). Meskipun begitu,

pandangan atau pertanyaan yang bersifat eksistensial tidak bisa tergali dari semua

informan lansia. Sebagian mengaku tidak mau ambil pusing dengan memikirkan atau

bertanya-tanya atas apa yang dialami atau diderita. Namun peneliti masih tetap yakin

bahwa pemikiran-pemikiran eksistensial seperti di atas sebenarnya ada. Bisa jadi

karena keterbatasan peneliti yang tidak mampu menggali mereka lebih dalam.

Di samping itu, kedua tema tersebut hanya dibangun dari hasil wawancara

yang pertanyaannya terkait hidup lansia secara keseluruhan, bukan dari respons atas

penderitaan yang mereka alami. Terkait respons dan pemaknaan atas penderitaan

yang dialami akan dibahas dalam sub-bab berikutnya. Karena pertanyaan wawancara

lebih bersifat konkrit tentang apa yang mereka alami, di situ cukup banyak jawaban

lansia yang bersifat eksistensial.

5.1.2.1. Pandangan dan pertanyaan tentang hidup

Tema ini mencakup sejumlah konsep seperti pandangan tentang diri mereka,

tentang hidup yang mereka jalani, pencarian jawaban atas pertanyaan mengapa

nasibnya seperti itu, dan kepuasan mereka hidup di dunia ini.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 194: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

171

Universitas Indonesia

Sorang lansia perempuan memandang hidup dan keberadaannya di dunia ini

begitu berharga, sehingga ia merasa sudah cukup dan tidak ada keinginan atau

harapan lebih lagi. Ia juga tetap bersyukur meskipun telah mengalami cobaan luar

biasa berupa kehilangan seluruh harta-benda dan seorang putrinya karena tsunami

Aceh 2004.

Berharga banget (sekali). Kita kan bisa sampai, alhamdulillah, bisa ngaji, bisa

shalat kan. ...alhamdulillah bisa ngurus (mengurus) anak juga. Anak juga

dikasih juga (cucu), alhamdulillah lah... Sempurna lah. Bersyukur banyak

daripada kita mandang (memandang) orang lain macam-macam lah (yang

lebih beruntung dan berhasil). (Nrn, 27/5/2013)

Sementara lansia lain yang memperoleh layanan home care mengaku

terkadang suka bertanya-tanya dalam hati tentang nasibnya, terutama ketika datang

kesedihan karena sering sendiri dan merasa hidup sebatang kara. “Jadi saya ya,

sakapeung (kadang-kadang) suka sadar gitu, dek. Kalau sakapeung ya suka sedih

juga. Ya sedih mah begitu, dek. Kata saya, nasib saya kenapa begini amat...?” (Msn,

16/6/2013). Atau terkadang merenungi hidup dan menggambarkan kesedihannya

seperti ini:

Kalau begitu kenapa saya susah amat, menderita begini, kata saya. Dilahirkan

saya kenapa pas begini. Ibu ama bapak nggak ada, saudara nggak ada, anak

nggak ada. Saya idup semata wayang, kata saya gitu dek. Nggak punya siapa-

siapa. Sedih gitu dek. Suka sedihnya begitu tuh. (Msn, 16/6/2013)

Meskipun hidup menderita, nenek ini berupaya berpikir positif dan bersyukur

bahwa ada banyak orang lain yang hidupnya lebih susah dibanding dirinya. Selain

itu, seperti halnya informan lansia di atas, ia pun tidak lagi punya keinginan atau

harapan lebih dalam hidup ini dan merasa cukup dengan penderitaannya. Kata-kata

yang diungkapkan seperti ini, “Ya puas sih puas. Menderitanya udah kenyang” (Msn,

16/6/2013).

5.1.2.2. Makna dan tujuan hidup

Ketika misalnya ditanyakan bagaimana memandang hidup ini secara

keseluruhan, seorang lansia dengan disabilitas mengaku tidak mau memikirkannya.

Lengkapnya ia menjawab:

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 195: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

172

Ya justru itu, saya, pikiran saya nggak ada kesimpulan ke situ sih. Saya pikir

dari remaja ampe sekarang udah berumah tangga, punya anak, dan dikasih

cobaan ama Allah ya, ...pikiran saya tetap aja nggak ada. Pikiran gimana ya,

pikiran tafsiran pusing-pusing saya nggak pikirin sih, iya. Terlalu pusing juga

nggak, terlalu sedih ini nggak. Kalau saya gitu sifatnya. (Mrw, 8/4/2013)

Lebih jauh ia mengatakan ingin menjalani hidup apa adanya dan menerima apapun

yang telah menjadi kehendak Tuhan.

Ada pula lansia yang menjawab secara normatif ketika ditanya apa tujuan

dari hidup ini. Sepasang lansia suami-istri bersepakat menjawab, “tujuan hidup untuk

beribadah” (Rml & Nrn, 27/5/2013). Terkait hal ini, dalam Islam memang ada ayat

al-Qur’an yang menyebutkan bahwa tujuan manusa diciptakan adalah tidak lain

hanya untuk ibadah kepada Tuhan. Begitu pula seorang informan beragama Kristen

yang menjawab bahwa “sebagai hamba Tuhan, kami melayani (Tuhan)” (Est,

31/5/2013). Melayani yang ia maksud bisa dengan “berdoa..., atau menyanyi,

membaca Alkitab...” yang menurutnya, kesemuanya itu termasuk ibadah.

5.1.3. Relasi dan Keterhubungan (Relationships)

Secara sederhana, kategori relasi dan keterhubungan di sini meliputi

hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horisontal antar manusia. Tema atau

konsep yang dapat menggambarkan kedua hubungan tersebut adalah node @relasi-

kedekatan-isolasi dan @doa (perhatikan Lampiran 7). Berikut akan dijelaskan

masing-masing.

5.1.3.1. Relasi, kedekatan, dan isolasi

Kebanyakan informan lansia Muslim menyatakan hubungan vertikal dengan

Tuhan tersambung ketika melakukan ibadah sholat dan berdoa. Terutama ketika

sholat Tahajud, kehadiran Tuhan dirasakan seakan-akan hadir begitu dekat. Misalnya

seorang informan yang tinggal di panti mengatakan, “...sholat setiap waktu kita

kerjakan, dan sholat Tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya

minta ampun, saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, ...

(Mrw, 8/4/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 196: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

173

Universitas Indonesia

Di samping sembahyang, berdoa bisa menjadi sarana untuk mengadu segala

keluh-kesah lansia. Sebagian lansia meyakini bahwa terkabulnya doa tergantung

pada keyakinan akan perasaan kedekatan hubungan dengan Tuhan. Seorang lansia

Kristen, misalnya, begitu yakin bahwa banyak doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh

Tuhan. Seringkali doanya hanya bersifat praktis yang menyangkut kebutuhan atau

keinginan sehari-hari. Ia percaya bahwa dengan “...sering berdoa kan berarti dekat

ama Tuhan hubungannya” (Est, 31/5/2013).

Sementara itu, hubungan horisontal maksudnya adalah kondisi

keterhubungan klien lansia dengan keluarga atau orang-orang sekitar baik secara

langsung bertemu muka maupun tidak langsung dengan cara mengingat mereka atau

melalui kontak batin. Keterhubungan secara horisontal di sini juga termasuk dengan

orang yang sudah meninggal.

Hampir semua informan lansia di panti masih memiliki keluarga atau sekadar

keluarga angkat yang karena suatu alasan menyerahkan mereka ke panti. Namun

hanya sejumlah lansia (tiga orang) yang dikunjungi anak atau cucunya secara

berkala, entah seminggu sekali atau sebulan sekali. Sebagian besar yang lain (enam

lansia) jarang dikunjungi atau kontak dengan keluarganya. Ada yang ditengok hanya

pada setiap hari besar keagamaan (seperti Idul Fitri dan Natal) dan bahkan ada yang

mengaku sudah tidak pernah ditengok lagi. Perbedaan kondisi tersebut membentuk

kondisi keterhubungan dan pada gilirannya mempengaruhi kondisi mental mereka.

Bagi lansia pada umumnya, keberadaan keluarga sangat penting. Sepasang

lansia suami-istri di panti yang hampur seminggu sekali bertemu dengan anak-cucu

mereka membenarkan hal itu. Salah satunya mengakui, “Iya, keluarga (bagi) ibu itu

yang paling penting” (Nrn, 27/5/2013). Begitu juga dengan seorang lansia home care

yang telah lama merantau ke Jakarta sejak tahun 1975. Meskipun kampung

halamannya ada di Makassar dan masih memiliki sejumlah kerabat di sana, ketika

ditawari saudaranya untuk kembali ke Makassar Nek Bs menolak karena

keterikatannya yang kuat dengan keluarga (anak-cucu) dan segala hal di seputarnya.

“Itu, keponakan saya di sana (Makassar) katanya: “(pulang) ke sini aja.” Bukannya

saya nggak mau pulang ke kampung, tapi kan bagaimana kita punya rumah di sini,

banyak cucu. Mudah-mudahan saya pada lihat kawin cucu saya” (Bs, 16/6/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 197: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

174

Keluarga bagi kebanyakan lansia merujuk ke keluarga inti yang memiliki

hubungan darah dan perkawinan secara langsung, seperti suami-istri, anak, atau

cucu. Sementara dengan keluarga besar, seperti kakak atau adik yang sudah

berkeluarga, keponakan, sepupu, dan seterusnya, mereka tidak terlalu banyak

menaruh harapan. Sebagai contoh, seorang oma yang memutuskan sendiri untuk

tinggal di panti menjelaskan, “...kalo cuma adik itu biasanya gak terlalu bisa

mendapatkan ...kasih sayang, apa-apa yang memuaskan ya jangan berharap, sebab itu

bukan anak sendiri... Adik itu memberikan kasih sayangnya terbatas ya, karena dia

juga punya tanggung jawab...” (Est, 31/5/2013).

Contoh seperti itu juga terjadi pada seorang lansia home care yang telah

ditinggal mati suami dan anaknya yang sudah berkeluarga. Meski dekat dengan cucu,

tinggal sendiri di rumah bedeng yang berdampingan dengan mantan menantu yang

telah menikah lagi tidak membuatnya bisa mengusir perasaan sepi dan terisolasi.

Sebagian besar waktunya dihabiskan sendiri di rumah meski terkadang cucunya yang

masih kecil datang main. Di saat sendiri ia sering merasa kesepian yang kadang

membuatnya menjadi teringat-ingat almarhum suami dan anaknya. Kondisi seperti

ini seringkali membuatnya sedih dan merasa tersingkir. Contoh lansia home care ini

intinya menunjukkan bahwa orang terdekat yang lebih mewakili kondisi

keterhubungannya adalah dengan keluarga inti, yakni almarhum suami dan anaknya.

Keterhubungan mereka dengan anak-cucu atau orang yang telah tiada juga

hadir ketika berdoa sehabis sholat atau setiap saat. Dengan berdoa mereka tidak saja

memanjatkan segala keinginan baik untuk orang yang mereka cintai, tetapi juga

merupakan saat untuk mengingat dan merasakan kedekatan dengan mereka. Bahkan

ada seorang lansia yang tinggal di panti menyatakan harapannya agar kelak dikubur

di samping kuburan almarhum istrinya yang meninggal tahun 2009 di Maluku.

“...kalo mati di sana (Maluku) ya alhamdulillah, hehe...” ia berharap (Sgn, 5/6/2013).

“Mudah-mudahan (ketika saya dikubur) bisa kumpul (di samping kuburannya)... Ya

namanya mati dimana saja,” ia menegaskan keinginannya pada kesempatan lain

(12/6/2013). Terkait harapan ini, sebelumnya ia pernah menyampaikan alasan:

...kemana-mana itu kan ikut istri saya itu. ...wis (sudah) pokoknya selalu inget

dia lah, kebaikan dia itu, ... Saya ke rumah sakit nunggu, sampe begitu

(sebaliknya kalau) dia sakit ya saya tunggu. ...saya belum pernah nyuci nih,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 198: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

175

Universitas Indonesia

(mencuci) pakaian itu belum (pernah). ...Gak pernah ribut, gak pernah apa

sama istri (Sgn, 5/6/2013)

Keterhubungan lansia dengan orang-orang sekitar juga sangat penting, di

antaranya dengan para tetangga, sesama penghuni panti, petugas panti atau

pendamping, atau dengan teman-teman lama sebelum di panti. Seorang klien panti

misalnya merasa tersingkir dan sedih karena terpisah dengan teman-teman di sekitar

tempatnya tinggalnya dahulu yang sangat membantu sebelum di panti. Ketika awal

tinggal di panti, ia pernah mengeluh, “Ya kalau (ketika) saya sampai di panti sini

sih... Ya Allah saya nggak bisa lihat kawan-kawan lagi, ... tetangga yang biasa..

(ngobrol atau membantu)” (Mrw, 8/4/2013). Kemudian ketika sudah di panti selama

tujuh tahun, ia mengaku tidak punya teman yang bisa diajak ngobrol.

Sekarang udah diem di panti memang merasa agak tersingkir sedikit dari

teman dan tetangga-tetangga, gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh

dari pada teman. Di sini walaupun banyak teman, saya pikir ...nggak ada sih.

Karena apa, karena yang ditempatin saya, orang error semua. (Mrw,

8/4/2013)

Lebih jauh ia bercerita bahwa petugas panti atau pramusosial pun jarang yang

bisa menjadi teman ngobrol. Namun diakui bahwa mereka kadang-kadang masih

menyapa atau menanyakan kabar, meski hanya seperlunya. Sehingga ia mengakui

perlunya sahabat atau teman yang bisa diajak ngobrol dan bertukar pikiran. “Tidak

enaknya saya memang... kurang sahabat lah ya... Kita di sini mau teman ngobrol, iya

kan. Maunya begitu saya. Ya kita tukar pikir maksudnya, iya kan.” (Mrw, 6/6/2013)

Padahal, keterhubungan dengan sesama penghuni dapat menjadi salah satu

faktor yang menentukan betah atau tidaknya lansia tinggal di panti. Kakek (engkong)

Pnd misalnya bercerita bahwa awal-mula ia merasa tidak betah tinggal di panti

karena jarang berinteraksi dengan lansia lain, bahkan dengan penghuni satu wisma.

“Jarang. Cuek aja, elu elu gua gua (urusanmu adalah urusanmu, urusanku ya

urusanku)” (Pnd, 27/5/2013). Sebelum itu, informan Pnd menjelaskan:

Kalau dulu engkong, kalau dulu nih, kumpul-kumpul gitu ama embah-embah

gitu, dimana aja di sini (panti). Nah, (itu) pertama betahnya tuh, ... Udah 4

bulan nggak betah tuh, nah ke-5 bulannya mulai mekar nih kalau kayak

bunga (itu) mekar. Senengnya gitu di panti. (27/5/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 199: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

176

Di sisi lain, ada juga sejumlah lansia lebih merasa senang tinggal di panti

terkait hubungannya dengan orang-orang sekitar. Seorang nenek, misalnya, yang

keluarganya jauh di Yogyakarta namun masih dikunjungi setahun sekali pas lebaran

oleh adik sepupu yang tinggal di Jakarta, merasa senang tinggal di panti karena

banyak teman. Di samping itu, ia mengatakan ibu-ibu pegawai kantor sering main ke

baraknya (Alm, 6/6/2013). Sementara ada juga lansia yang masih lebih senang di

panti, meskipun punya sedikit teman akrab, karena alasan bahwa tinggal di panti

adalah keinginannya dan merasa lebih bebas melakukan apa saja yang ia sukai.

Berbeda dengan saat ia masih tinggal di rumah adik lelakinya yang sudah

berkeluarga karena ia merasa dikekang dan memiliki hubungan yang kurang baik

dengan adik iparnya (Est, 31/5/2013).

Masalah paling umum yang dihadapi penghuni panti adalah pertengkaran

antar lansia sehingga mengurangi keterhubungan mereka dengan sesama penghuni.

Ketika ditanya apa hal-hal yang tidak mengenakkan tinggal di panti, seorang nenek

lansia menganggap bahwa banyak teman pantinya yang tidak baik atau bahkan jahat

kepadanya. Meskipun begitu, oma ini tampaknya masih cukup merasa senang karena

memiliki satu atau dua teman ngobrol yang bisa saling tolong-menolong ketika ada

kebutuhan atau masalah.

Pertengkaran antar lansia biasanya terjadi karena adanya perbedaan kebiasaan

yang dibawa sebelum masuk panti atau tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan

pribadi yang menyebabkan mereka, misalnya, menjadi mudah tersinggung. Konflik

antar lansia terkadang dipicu oleh hal-hal yang sifatnya sangat sepele, misalnya

karena hanya kesalahpahaman, salah bicara, atau omongan tertentu yang dianggap

menyinggung perasaan. Untuk menghindari pertengkaran, banyak lansia panti yang

membatasi kontak atau berbicara dengan lansia lain. Sebagai contoh, ketika ditanya

bagaimana tentang teman-teman pantinya, seorang nenek lansia malah menunjukkan

kejengkelannya.

Aduh teman sini dikatakan..., teman di sini malah bagaimana ya, saya nggak

bisa ngomong (komentar) deh. Maklum orang banyak mulut. Ada yang baik

ada yang nggak, saya lebih baik kita diem. Banyak yang pada berantem. Yang

pada ceng-cong (bertengkar) banyak, tapi saya biarin. (Kntw, 31/5/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 200: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

177

Universitas Indonesia

Padahal dalam keseharian, berdasarkan observasi, lansia ini sering duduk

depan kamar panti sambil ngobrol dengan satu-dua orang sesama penghuni dan tetap

bertegur sapa dengan penghuni lain yang lewat di depannya. Meski begitu, ia

berkomentar seperti ini:

Saya kalau mau ngobrol lihat situasi mulutnya orang. Mulut orang baik nggak

kita ajak ngobrol. Kalau mulut orang tuh kira-kira nih rusak aku nggak mau,

mendingan aku jauh... (Bisa bikin) penyakit (buat) saya. Nggak disahutin

(tidak diladeni) di sini panas, disahutin jadinya ribut. (Kntw, 31/5/2013).

Lebih jauh, ia mengatakan,”Saya nggak suka ngobrol kemana-mana. Kalau saya

capek di luar mendingan (lebih baik) saya masuk ke dalam, gulang-guling, gulang

guling” (Kntw, 31/5/2013).

Jadi, hal seperti itulah yang menyebabkan tingkat keterhubungan lansia di

panti menjadi kurang bagus, padahal justru soal relasi dan kedekatan ini menjadi

salah kebutuhan penting lansia. Menyadari kebutuhan akan hubungan dengan sesama

atau perlunya kedekatan (intimacy), sejumlah lansia menyiasatinya dengan menikahi

penghuni lansia lain. Jalan ini ditempuh oleh pasangan lansia Pnd dan Gbg yang

keduanya sama-sama hidup terpisah dari anak-cucunya. Pertemuan di tahun 2009

tersebut mereka akui sebagai sesuatu yang menyenangkan di panti di tengah kondisi

ketidakterhubungan mereka dengan keluarga. “Jadi tinggal di panti itu enaknya dari

tahun 2009 sampai sekarang,” kata kakek Pnd (27/5/2013).

Dengan kondisi hubungan antar penghuni panti yang kurang bagus seperti itu,

kebanyakan penghuni akhirnya mengalihkan perhatian dan lebih semangat untuk

menerima kedatangan keluarga yang menengok atau tamu-tamu yang datang.

Semangat seperti ini ditunjukkan seorang penghuni panti dengan menyebut sesama

penghuni panti sebagai ‘orang dalam’ dan pengunjung sebagai ‘orang luar’.

Orang dalem sama orang luar jangan disamain (disamakan)... Orang luar

harus kita ngormatin (hormati). Kita bicara mulut kita jangan asem (kecut).

Kudu (harus) ada sumeh-sumeh (gembira), tersenyum, jadi pengunjung

senang... Kalau saya malah senang ada pengunjung dari luar. Kita bisa bicara

baek-baek (baik-baik). Kita bisa bicara pelan-pelan... Kita bisa tuker (tukar)

pikiran secara baek, secara pelan. Begitu. ... Saya tuh kalau ada kunjungan

dari luar saya lebih senang, lebih gembira. Sabdene ati (menurut kata hati)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 201: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

178

saya pun gembira.. Koyo (seperti) tadi tuh kunjungan dari luar, itu senang

saya. (Kntw, 31/5/2013)

Dalam konteks yang berbeda, lansia home care juga menunjukkan hal yang

sama. Dalam kesehariannya yang sepi, seorang nenek lansia home care mengaku

sangat senang apabila ada pendamping atau tamu yang datang. “...Seneng, seneng

(senang). Karena kita ...bertukar-pikiran. Ibu kan udah tua begini kan, ama anak

yang muda... barangkali aja nenek-nenek bisa sedikit kasih saran gitu, barangkali ya

keambil (terambil) sedikit...” (Msn, 16/6/2013).

5.1.3.2. Doa

Kategori relasi dan keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya

direpresentasikan juga dengan konsep doa. Konsep ini punya irisan dengan tema

sebelumnya, relasi-kedekatan-isolasi, seperti ditunjukkan ketika menyinggung doa.

Doa di sini menyangkut harapan atau keinginan untuk diri lansia sendiri, terutama

terkait akhir hayat, dan relasi mereka dengan orang-orang terdekat baik yang masih

hidup maupun yang sudah meninggal. Karena menyangkut harapan dan keinginan,

doa juga punya wilayah yang bertampalan dengan tema ‘harapan’. Karena memang

kata doa berarti permintaan, keinginan, atau harapan.

Dengan demikian, penjelasan konsep doa dalam node @relasi-kedekatan-

isolasi ini lebih difokuskan pada doa yang memiliki nuansa keterhubungan, kontak,

atau kedekatan lansia secara batiniah dengan sesuatu di luar dirinya, baik secara

vertikal dengan Tuhannya maupun secara horisontal dengan orang-orang yang

dicintai. Kumpulan dari seluruh kutipan doa yang dipanjatkan lansia tertera pada

Lampiran 19.

Ketika mendoakan diri-sendiri, lansia memanjatkan sejumlah keinginan atau

permohonan seperti ampunan dari Tuhan, badan sehat, kemurahan rejeki, umur

panjang, keselamatan dunia-akhirat, diberi kekuatan untuk mengerjakan kewajiban,

berharap agar selalu dekat dengan Tuhan, dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang

lansia beragama Protestan yang sebelumnya menganut Islam berdoa, “Allah Bapak

yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami

mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa

kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami ...” (Kntw, 31/5/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 202: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

179

Universitas Indonesia

Doa agar panjang umur, sehat badan, hidup berkah, dan dosa diampuni juga

dipanjatkan nenek Gbg sebagai berikut:

‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih

dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta

diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu.

‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena

anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar,

Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri

hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi)

ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013)

Doa yang paling sering dipanjatkan lansia adalah agar meninggal dengan

mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnul-khâtimah). Doa

dari seorang informan beragama Kristen adalah satu contoh.

Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est.

Berdoa, “Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih

sakit dulu baru dibawa.” Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama

Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe

Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil

Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya,

dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013)

Sejumlah permohonan dan harapan dalam doa juga dicontohkan oleh seorang

nenek lansia yang beragama Islam:

Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni

dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di

akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur,

diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja.

Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm,

6/6/2013)

Mendoakan orang-orang yang dicintai yang masih hidup biasanya

menyangkut kesuksesan di dunia, kesehatan, usahanya lancar, tetap dalam iman, dan

diberi perlindungan keselamatan di dunia-akhirat. Sebagai contoh, sepasang lansia

korban tsunami Aceh yang kehilangan putrinya tetap memberi perhatian dengan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 203: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

180

mendoakan kebaikan bagi kelima anak mereka yang sebagian besar telah berumah

tangga. Istri dari pasangan ini, Nrn, mengatakan:

... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang

lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang

yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita

mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya

serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi

yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa

depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013)

Hal yang sama dilakukan emak Gbg dengan mendoakan anak bungsunya

yang tinggal jauh di Surabaya dan lama tidak ketemu. “Ya emak sih tetep aja ama dia

gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama

emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. Kan dia baru punya anak

satu.” (Gbg, 5/6/2013).

Ada juga yang mendoakan setiap selesai sholat agar cucunya nanti ingat

kepadanya, menyayanginya, dan mampu membalasnya. Katanya:

Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah

mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan)

saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek.

... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu.

(Msn, 16/6/2013)

Bahkan ada lansia Kristen yang rajin berdoa untuk harapan-harapan praktis

jangka pendek dalam keseharian. Misalnya, “selalu doain, minta sama Tuhan supaya

ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa,

temen-temen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan)

gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaan” (Est, 31/5/2013). Kemudian

untuk doa sehari-hari setiap akan melakukan sesuatu ia tak pernah lupa memanjatkan

doa, seperti “...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan

pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah

membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi

kemampuan) bikin havermut” (Est, 31/5/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 204: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

181

Universitas Indonesia

Selain itu, informan tersebut juga sering mendoakan orang-orang yang

pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah, entah berupa uang atau

barang. Bahkan ia mampu mengingat dalam doanya nama-nama orang yang pernah

memberinya atau macam-macam harapan yang pernah disampaikan ketika

berkunjung. Misalnya ia pernah diminta untuk mendoakan dua orang:

Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan)

terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari

didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari

supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus.

Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl.

(Est, 31/5/2013).

Sedangkan, doa-doa yang dipanjatkan untuk orang-orang terdekat yang sudah

tiada umumnya berupa permohonan agar diampuni segala dosanya, diterima amal

ibadahnya, diberi jalan yang terang, dihindarkan dari siksaan, dan seterusnya. Di

samping selalu mendoakan cucu, anak menantu, atau yang lain, seorang lansia home

care juga mendoakan almarhum suami, anak, dan keluarga yang sudah tiada.

(Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu per-satu,

kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Se-

anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya

ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam

kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan

segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya.

(Msn, 16/6/2013)

5.1.4. Harapan dan Kecemasan

Kategori #harapan & kecemasan meliputi tema (i) harapan dan semangat

hidup dan (ii) harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat. Tema pertama

merupakan gabungan dari node @harapan dan @semangat hidup, sementara tema

kedua menguraikan node @kekhawatiran-ketakutan dan @menyikapi akhir hayat.

Pada Lampiran 7 di antaranya menunjukkan klasifikasi kategori dan tema-tema

tersebut.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 205: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

182

5.1.4.1. Harapan dan semangat hidup

Seperti telah dijelaskan bahwa konsep atau tema tentang harapan punya

wilayah yang sama dengan doa. Namun tema harapan yang akan dijelaskan di sini

tidak mencakup masalah keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya. Tema

harapan di sini lebih pada keinginan dalam menjalani sisa hidup para informan

lansia. Oleh karenanya, harapan-harapan dalam hidup mereka terkait juga dengan

tema semangat hidup.

Sejumlah harapan yang diutarakan para informan meliputi keinginan agar

panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, banyak ibadah, diringankan penderitaan,

bertemu atau berkumpul dengan anak-cucu atau dengan teman-teman, dan hidup

selamat serta berkah. Hampir semua lansia yang turut berpartisipasi dalam penelitian

ini berharap agar panjang umur dan dikaruniai kesehatan. Harapan agar diberi

kemudahan rejeki juga diinginkan oleh sebagian besar informan. Sebagai contoh,

seorang lansia panti berharap: “Hanya, kita ...minta kepada Allah supaya

dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, ... ya kan? gitu. Sehat badannya, gitu”

(Mrw, 6/6/2013).

Harapan panjang umur dan badan sehat diungkapkan untuk tujuan harapan

lain, yakni memanfaatkan sisa umur untuk banyak beribadah. “Kalau saya sih

maunya ya kesatu dipanjangkan umurnya, iya kan. Karena amal ibadah kita belum

begitu ini (baik), iya kan? ... Kita pengen mendoa dulu, pengen sholat dulu yang

baik, gitu. Kalau umur kita nggak tahu ya?” (Mrw, 6/6/2013). Dengan umur panjang

dan sehat, lansia lain berharap agar masih bisa bertemu dengan anak-cucunya. Ketika

ditanya tentang harapan diberi umur panjang dan badan sehat, lansia tersebut

menjawab: “Ya tetap (ingin umur panjang dan sehat), tetap. Kadang-kadang

kepengen ketemu lagi sama cucunya sekali-sekali gitu. ... Iya sekalian (anak-cucu)

yang jauh misalnya.. Kalau yang jauh juga kepengen lagi ketemu sekali-sekali.”

(Rml, 27/5/2013)

Di samping harapan untuk diri-sendiri seperti di atas, sebagian informan

punya harapan untuk keluarga, misalnya harapan untuk anak dan cucunya agar hidup

layak dan cukup rejeki. “Ya, kita doakan supaya dia hidupnya bisa layak, gitu aja.

Selalu inget sama orang tuanya... Ya mudah-mudahan aja dikasih rejeki yang berkah

sama Allah gitu,” kata nenek Alm yang tinggal di panti (Alm, 6/6/2013). Sementara,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 206: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

183

Universitas Indonesia

sebagian lansia lain berharap agar anak-cucu mereka paham agama sehingga bisa

mendoakan dirinya, tetap mengingat, membalas, dan menyayanginya. Misalnya

seorang lansia home care meminta-minta kepada Tuhan setiap selesai sholat: “Ya

Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya bebales (membalas kebaikan)

saya, anak saya” (Msn, 16/6/2013).

Nenek Bs yang memperoleh layanan home care juga beberapa kali

menceritakan bahwa selagi masih hidup ia ingin menyaksikan cucu-cucunya yang

perempuan cepat menikah. Misalnya ia pernah mengatakan, “Iya, sering ngomong

(ke cucu) sama ini aja, mudah-mudahan ada... (yang) ngasih uang jajan, uang belanja

25 juta, biar puas sana makan kue, haha.. eh ketawa itu (cucu), haha... (Bs,

16/6/2013). Di bagian lain dalam satu wawancara Nek Bs juga bercerita:

Banyak cucu (sering main) di sini dekat. Kalau hajatan, kita disuruh ke sana

ya hadir. Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka

berdoa dalam hati), “ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada

kawin, selagi saya... dikasih umur sama Allah.” (Bs, 16/6/2013)

Fakta bahwa hampir semua informan tetap berharap ingin diberi umur

panjang menunjukkan masih adanya semangat hidup di kalangan lansia. Meskipun

dengan kondisi dan kualitas hidup yang tidak ideal di akhir hayat, mereka tetap

menerima keadaan, tidak putus asa, semangat menghadapi dan melanjutkan hidup,

dan ingin terus mengerjakan atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang

lain. Misalnya seorang nenek lansia di panti yang sering mengisi waktu dengan

membuat kerajinan boneka sulaman mengatakan: “Saya pokoknya tetep (semangat),

tetep aja.. Minta umur panjang, terus sehat walafiat. Masih bisa bikin beginian

(boneka sulaman). Supaya.. kita kepingin jajan ya, nggak usah bingung (nganggur),

gitu aja. ...Ya semangat hidup mah masih mas saya...” (Alm, 6/6/2013)

Semangat dan ketiadaan rasa putus asa juga ditunjukkan oleh pasangan lansia

engkong Pnd dan emak Gbg yang menikah di panti, walaupun sepanjang hayat

mereka penuh dengan apa yang mereka anggap sebagai cobaan atau ujian. Engkong

Pnd hidup susah dan serba kekurangan sehingga ia harus berpisah dengan anak-cucu

untuk hidup di panti dengan subsidi penuh dari pemerintah. Emak Gbg juga

mengalami hal yang sama. Sebelum di panti ia lama menjanda sementara kelima

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 207: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

184

anaknya yang sudah berumah tangga juga tidak cukup mampu untuk menampung

dan memenuhi kebutuhannya.

Tidak itu saja, semasa hidupnya baik sebelum maupun selama di panti, emak

Gbg sering disakiti atau mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa orang

saudara, teman, atau tetangganya. Di sepanjang hidupnya, tiap tempat yang ia tinggal

tinggali seakan-akan menjadi episode tersendiri yang harus dijalani dengan

penderitaan. “Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini,

pindah ke sini gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2)

begitu, di sini begini, haha...” Pada kesempatan lain, ia menyimpulkan, “Jadi

pengalaman emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti)

dihina orang. Udah datang di Tanjung Gede Emak tu, mulai dagang nasi uduk bari

(dan) lontong (diusir)” (Gbg, 30/5/2013).

Ditanya apa yang menjadi pegangan atau kunci untuk menjalani hidup yang

tidak mengenakkan sehingga mampu bertahan sampai saat ini, emak Gbg menjawab:

Iya, sabar, tabah, tawakkal. Koncinya gitu. Ya kalau mau ngeladenin

(meladeni) sih itu, kayak bu I menghinanya ama emak nggak kira-kira. Tapi

nggak (ngajak) berantem, emak. Diomong dikatain [....], diapain, emak diem

aja. Cuman (bisa berkata dalam hati), “ya Allah, alhamdulillah ya Allah.

Mungkin kalau saya [....] bapak saya [....]?” Tapi karena emak tuh gini dek,

waktu dulu ya itu lagi bapak mau meninggal kan ngomongnya gitu, “kalau

diapa-apain orang jangan melawan, jangan. Tapi ngucap alhamdulillah dalam

ati,” itu. “Nanti juga orang mah Allah juga yang bales.” (Gbg, 30/5/2013)

5.1.4.2. Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat

Kategori harapan dan kecemasan paling kental tercermin dalam persoalan

lansia menghadapi akhir hayat. Menjelang tutup usia, hampir semua informan lansia

memiliki banyak harapan baik. Di antaranya berupa harapan agar meninggal dengan

baik dan mudah atau husnul-khâtimah, meninggal di kampung halaman sendiri

dengan harapan banyak yang mendoakan, meninggal ada yang mengurus dan

mendoakan, diberi ampunan sebelum datang kematian, terbebas dari siksa kubur, dan

sebagainya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 208: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

185

Universitas Indonesia

Terkait harapan meninggal dengan husnul-khâtimah, hampir semua informan

Muslim menyatakannya baik secara eksplisit maupun tidak. Seorang lansia

penyandang disabilitas yang tinggal di panti berharap, “Ya, (harapan saya)

meninggalnya dalam husnul-khâtimah lah, ...nggak (mau menyusahkan orang lain)

lah. Jauh-jauh, na’ûdzubillâh” (Mrw, 6/6/2013).

Sementara itu, kecemasan lansia dalam menghadapi akhir hayat adalah tidak

terwujudnya harapan-harapan baik seperti telah disebutkan di atas. Di antaranya

berupa kekhawatiran meninggal dalam keadaan tidak baik (sû’ul-khâtimah), tidak

ada yang mendoakan, tidak ada yang mengurus kematiannya, atau dalam keadaan

sedang berbuat dosa. Sebagai contoh kekhawatiran yang terakhir ini, seorang oma

beragama Kristen berharap:

Est berusaha ya supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan

(sampai) Est kedapatan sedang berbuat dosa. ... Jangan sampe Est membuat

Tuhan berduka cita ya. ... Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci

ya, hidup kudus ya, deket sama Tuhan ya, setia berdoa ya, dan lain

sebagainya. (Est, 31/5/2013)

Begitu juga dengan seorang nenek lansia Muslim yang menyampaikan

harapannya agar terlebih dahulu diampuni segala dosanya sebelum meninggal:

Iya, barangkali kan seumur kita ini ...masih banyak dosanya. ...sebelum

diampun dosanya jangan meninggal dulu lah, gitu. Kepinginnya

(keinginannya) gitu. Banyak istighfar. Ya Allah mudah-mudahan (diampuni)

banyak dosa yang dulu, waktu kita muda barangkali banyak dosa (dan) dosa

sama anak (almarhum) (Nrn, 27/5/2013).

Selain itu, hal-hal yang dicemaskan lansia di antaranya adalah bahwa ketika

sebelum meninggal mereka takut kalau sampai menyusahkan orang lain, menderita

sakit yang berat dan/atau lama sehingga sampai merepotkan orang atau membuat

orang lain jijik, meninggal tidak ketahuan siapa-siapa atau tidak ada keluarga dan

kerabat yang mengurus, mengalami sakratul-maut yang lama hingga tersiksa, dan

seterusnya. Misalnya seorang nenek penerima layanan home care yang tinggal

sendiri di rumah bedengnya berharap:

Saya misalna udah tua kayak gini, kalau mau diambil, kata saya, nyawa saya

jangan (sampai) saya disiksa. Saya mah pokoknya asal, mau sore mau pagi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 209: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

186

udah pasrah ...ama Yang Kuasa. Asal saya ...jangan di.. (-biarkan) nggak ada

yang ngurusin saya, nggak ada yang itu (mau mengurus jenazahnya) dek,

jangan dikasih penyakit yang berat-berat gitu dah. (Msn, 16/6/2013)

Pada bagian wawancara yang lain nenek tersebut menambahkan harapannya:

Minta (meninggal dengan cara) yang gampang karena saya nggak ada yang

ngurusin, karena saya ...nggak punya anak. Jangan ngarepotin (merepotkan)

tetangga, jangan ngarepotin cucu, itu udah. Jangan sampe ngageuleuhan

(bikin jijik) gitu, ama jijik-jijikan. Suka ada dek, kan yang sakit segala..... ah

na’ûdzubillâh min dzâlik. Ada yang lumpuh, ada yang ah macem-macem dek,

kan yah? Ya semua juga nggak pengen begitu, tapi kan udah karena Allah.

(Msn, 16/6/2013)

Di samping berbagai kecemasan dan harapan ketika menjelang kematian,

sebagian lansia ada juga yang menghadapinya dengan santai, tidak takut datangnya

kematian, pasrah, atau meninggal dimana pun asal imannya masih terjaga. Sebagai

contoh, seorang oma beragama Kristen mengaku bahwa ia sama sekali tidak takut

akan datangnya kematian.

Oh, saya mati nggak takut. Saya mati nggak takut. Umur saya di tangan

Tuhan, ngapain mati takut? Sekarang mati bisa mati kok... Sekarang kita mati

besok ya mati, aku nggak takut mati... Yang penting kita di muka bumi

waspada mulut, dijaga mulut, nomor satu ini ye.. (jari menunjuk ke

mulutnya). (Kntw, 31/5/2013)

Sebagai contoh lain, sementara suaminya mendambakan untuk meninggal di

kampung halaman, nenek korban tsunami Aceh yang tinggal di panti justru berkata

sebaliknya, “kalau saya ... (meninggal) dimana aja, yang penting saya (di-) doain

selamat iman itu aja” (Nrn, 27/5/2013). Bahkan ada juga seorang nenek yang masih

punya keluarga menginginkan tetap di panti sampai ajalnya. “Ya saya mah udah

ikhlas aja di sini, mas. Pokoknya hidup matilah di sini nanti. Kalau bisa mati di sini

juga nggak apa-apa” (Alm, 6/6/2013). Pasangan lansia yang menikah di panti

mengatakan hal yang sama, “Tapi kalau emak sih udah pasrah aja lah, gitu. Mati di

panti ya lillâhi ta’âlâ” (Gbg, 5/6/2013). Kemudian suaminya turut menegaskan,

“Kita ini di panti ini udah kontrak...” (Pnd, 5/6/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 210: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

187

Universitas Indonesia

5.1.5. Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks)

Kategori kebutuhan spiritual di sini tidak saja merujuk ke kebutuhan, tapi

juga peran atau tugas lansia yang bersifat eksistenisal. Dalam program NVivo,

sejumlah tema atau konsep yang mencerminkan kategori #spiritual tasks ini

tergambar dalam beberapa node berikut: @kegemaran-hobi-kreativitas,

@memaafkan, @mengheningkan cipta, @merasa berperan-berguna-dicintai, dan

@reminiscence (perhatikan kembali Lampiran 7). Masing-masing tema node ini akan

dijelaskan sebagai berikut.

5.1.5.1. Merasa berperan, berguna, dan dicintai

Di ujung usianya, kebanyakan informan lansia masih ingin berperan dan

berguna bagi orang-orang sekitar. Terutama lansia yang tinggal di panti, peran-peran

yang dijalankan banyak terkait dengan kegiatan keagamaan, misalnya

membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, adzan dan iqomat, menjadi imam

sholat jama’ah, atau melayani Tuhan untuk lansia Kristiani. Selain dianggap sebagai

suatu kewajiban agama, dengan tugas-tugas tersebut mereka merasa senang karena

masih bisa berperan dan berguna bagi orang lain. Hal ini diakui oleh seorang lansia

yang memiliki keterbatasan fisik:

Ya, saya pikir begini, ...kalau adzan-iqomat itu memang (bagi) seorang laki-

laki udah kewajiban ya. Habis yang lain kagak bisa, yang lain nggak ada

yang mau. ... Ya, boleh dikatakan penting gak penting lah ya. Kalau nggak

ada atau saya telat datangnya, ya pak Drm, gitu kan. ... Saya juga senang.

Senang banget saya. Iya, hehe.., senang. Nenek-nenek juga senang. ... Saya

kan ada peran ...adzan, qomat, iya kan. Sholawatan. (Mrw, 8/4/2013)

Pentingnya perasaan berperan dan bermanfaat bagi orang lain berlaku juga

bagi sejumlah informan lansia di panti lain, seperti kakek Sgn, Rml, dan Engk.

Meskipun seringkali hanya menggantikan kakek kebagian piket untuk adzan atau

iqomat namun berhalangan, kakek Sgn tetap mengaku senang (12/6/2013). Kakek

Rml juga tampak senang dan bangga karena “Biasanya, kalau di sini (panti) saya

sudah tujuh tahun ...ngimamin (menjadi imam sholat di musholla) (Rml, 27/5/2013).

Kakek Pnd juga rajin ke musholla untuk adzan-iqomat, meskipun berdasarkan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 211: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

188

observasi dan penuturan informan lain, kakek Pnd cenderung lebih rajin datang ke

musholla ketika kebagian piket dibanding ketika tidak sedang piket.

Di luar kegiatan keagamaan di atas, lansia lain yang juga punya disabilitas

fisik merasa senang karena sering diajak petugas panti mengikuti acara-acara luar

panti. Meski dengan keterbatasan fisik harus memakai tongkat tripod, nenek lansia

ini memang sering menjadi semacam model lansia yang masih bisa berkarya dan

berguna di usia senja karena membikin kerajinan boneka dari pintalan benang wol.

Sebagai contoh, dia menceritakan pernah diundang di satu acara: “...di sana suruh

meragain ini (memeragakan membuat boneka). Orang direkturnya nggak bisa bahasa

Indonesia, hehe, pakai juru bahasa.... Akhirnya saya senang sekali, jadi saya poto

sama itu, direkturnya” (Alm, 6/6/2013). Tidak berhenti sampai di situ, ia juga tampak

senang dapat menyisihkan sebagian rejeki dari hasil kerajinanya, yakni dengan

memberi sedekah untuk lansia yang membutuhkan atau untuk kotak amal.

Perasaan berguna atau dibutuhkan juga ditunjukkan engkong Pnd ketika

mengatakan “...nah ke-5 bulannya mulai mekar nih, kalau kayak bunga (itu) mekar.”

‘Mekar’ yang dimaksud engkong terkait dengan soal peran dan kebergunaan dengan

membantu penghuni lain, terutama nenek-nenek yang sering butuh bantuan.

Misalnya ia pernah diminta pasang kunci gembok oleh nenek lansia yang lebih

senior, “Kamu bisa nggak masang gembok, Pnd? Lemari aku pengen pasang

gembok... Nah, mulai mekar tuh. Besoknya dia datang ke wisma. (Pnd, 27/5/2013).

Aktivitas tolong-menolong seperti itu tidak saja menumbuhkan perasaan berguna,

tetapi juga menciptakan interaksi antar lansia yang dapat menumbuhkan hubungan

antar sesama, misalnya dalam bentuk ngobrol, disediakan kopi, rokok, atau makanan

kecil. Hal-hal seperti ini dapat terkait dengan persoalan eksistensinya bahwa dia

dianggap ada, meski hanya hidup di panti.

Di samping merasa berperan dan berguna untuk sesama, kebutuhan penting

lansia yang lain adalah perasaan dicintai oleh keluarga. Ini juga dialami engkong Pnd

dengan membandingkan saat sebelum dan sesudah menikah dengan nenek Gbg di

panti. Sebelum menikah, engkong mengaku, “...tadinya nggak betah,” sehingga kata

nek Gbg, “...engkong sering pulang nengok cucunya. Setahun tuh dua kali pulang”

(27/5/2013). Nek Gbg lebih jauh menjelaskan bahwa sebelum nikah dengannya,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 212: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

189

Universitas Indonesia

pulang ke mantan istrinya karena ingin nengok cucu. Sejak menikah tahun 2009

engkong baru dua kali pulang ke kampung halaman, itupun ke rumah kakaknya.

5.1.5.2. Kenangan masa lalu (reminiscence)

Kebutuhan lain kebanyakan individu di ujung usia mereka adalah mengingat

atau mengenang masa lalu mereka terkait peristiwa, orang-orang yang dicintai,

ataupun tempat. Pasangan lansia korban tsunami yang tinggal di panti, misalnya,

suka terkenang dengan almarhum putrinya yang hilang saat tsunami Aceh tahun

2004 ketika melihat anak sekolah seusianya. Suami dari pasangan ini mengakui hal

tersebut, “Kadang-kadang saya (teringat almarhum) kalau ngeliat (melihat) anak

perempuan, anak-anak lagi sekolah” (Rml, 27/5/2013). Istrinya menerangkan:

Dulu kan waktu baru-baru ke sini saya kan dulu kan jarang orang pakai helm

yang ada kaca, dulu. Cuma anak saya pakai helm yang ada kacanya itu.

...saya asal lihat anak perempuan... yang pakai helm ada kacanya itu pakai

sarung tangan kayak mana.. (entah bagaimana) perasaan tuh (langsung

teringat almarhum)... (Nrn, 27/5/2013).

Lebih jauh, istri dari pasangan ini juga suka terkenang-kenang tingkah dan

kebiasaan anak putrinya yang sering membantu mengantar orang tuanya dengan

sepeda motor untuk keperluan tertentu.

Saya juga kemana-mana (diantar) sama dia. Kalau bapak kan ke kota kerja,

tapi kalau dia libur (suka bertanya), “Mak, hari ini saya libur, mau kemana?”

... Anak-anak lain juga jauh. Sama bapak juga kalau bapak sakit dia nggak

nunggu adeknya. Kan adeknya laki cowok tapi dia nggak nunggu adeknya

kalau sakit, “yuk pak ke rumah sakit.” Kadang-kadang kalau kita sakit malem

ato muntahlah inilah dia nggak bisa tidur tanya terus, “Mak, kayak mana

(bagaimana kondisinya)?” Pagi-pagi nggak ditunggu nggak ini jam 7 belum

buka dokternya kita udah ke rumah sakit. Kadang-kadang kalau mikir gitu ya,

...saya pikir itu anak yang saleh bener-bener (Nrn, 27/5/2013).

Hal yang sama terjadi pada seorang nenek penghuni panti yang sering

terbayang almarhum suaminya karena kebaikan, kecintaan, atau kebersamaannya.

Bebayang (terbayang) ama suami tuh bebayang kebaikannya, bebayang

kecintaannya, bebayang die tekun kepada saya, nggak pernah mukul, nggak

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 213: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

190

pernah bentak, nggak pernah galak, nggak pernah ngepret (menampar),

nggak pernah ngomel lah. ... Tapi kalau malem saya jarang tidur. ... Kita ingat

jaman muda. (Kntw, 31/5/2013)

Meskipun begitu, mengingat atau mengenang sesuatu yang terjadi di masa lalu atau

orang yang telah tiada bisa membuatnya sedih. Nenek ini melanjutkan ceritanya:

Jadi kita tuh malam nggak bisa tidur tuh hawanya hawa sedih. Inget... saya

punya suami yang nomer dua, itu ini saya punya tivi besar, video (player)

besar, motor besar, pembantu ada, prabotan kumplit. Jadi itu yang metakan

(membuat) larut otak itu tuh. Saya.. sering ngelamun gitu. Laki saya yang ke

dua juga sayang ama saya orang Bandung. (31/5/2013)

Begitu juga dengan nenek home care yang tinggal seorang diri. Terkadang

begitu saja teringat almarhum suami dan anaknya dan kadang sengaja mengenang

mereka dengan memandangi foto-foto yang sebagian masih terpasang di dinding

rumah bedengnya. “Ya, suka teringat aja, dek, ama anak-anak, ama suami. ...

Kadang-kadang (sengaja mengingatnya), dek” (Msn, 16/6/2013). Ia menambahkan:

Ada (foto) suami saya. Maaf dek (Bu Msn berdiri menunjukkan dan

mengambil foto yang dipasang di dinding ruang tamu). Ini tapi saya lagi

masih muda, dek. Ada suami saya sama saya ini nih, dek. Suami saya ama

saya. (Saya) suka ngeliat itu... saja. Kata saya, dulu mah begini. Iya. Dulu

mah saya suka ngeliat aja itu, dek. ....inget masa lalu ya dek, baik sekali

suami saya, dek. Saba....r sekali suami saya, orang Jawa, orang Solo. ...kalau

di-inget-inget masa lalu mah dek, sedih gitu, banyak sedih saya waktu dia

masih ada, ...masih seneng-senengnya. (Msn, 16/6/2013)

Sementara nenek home care lain, yang juga sering sendiri karena anak-cucu

lebih banyak menghabiskan waktu di luar karena sibuk kerja, mengenang saat-saat

ketika masih bersama almarhum suami yang meninggal pada awal 2009. Nenek Bs

ini menceritakan:

Alhamdulillah itu ingat kebaikannya. ...saya nggak kaya, tetapi nggak pernah

(disuruh kerja). Kebanyakan itu istri disuruh kerja, tapi saya nggak. Kalau

saya kerja, eh dimarahin. ... (Saya) nggak pernah dimarah-marahi. Kadang-

kadang saya lebih sering memarahi (alm. suami). Dia sering ngalah itu. Ini

selama sakit ini, kalau dia nonton (tv di ruang tamu) sini, saya bawa keluar

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 214: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

191

Universitas Indonesia

air panas, nasi, ...katanya: “seribu satu ini perempuan kayak kamu ini,

ngurusi suami (yang) nggak ada kerjanya.” Saya bilang, “ya kan dulu kan

kerja juga, saya di-enak-enaki jadi kan kalau sampai waktunya nggak bisa

kerja lagi mau diapain?” (Bs, 16/6/2013)

Kecenderungan mengulang-ulang cerita atau kenangan masa lalu

(reminiscence), meski lebih banyak kenangan buruk ketimbang yang baik, juga

kentara dilakukan oleh pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd. Selama

interaksi, baik ketika masih tahap membangun rapport maupun dalam pelaksanaan

empat kali wawancara yang berdurasi 1 sampai 2,5 jam, keduanya bercerita tentang

jalan hidupnya masing-masing. Baik engkong maupun emak begitu terbuka bercerita

tentang masa lalu dan keluarganya dengan detail alur peristiwa, nama orang, tempat,

waktu kejadian, dan lain-lain, walaupun sebagian ceritanya kadang diulang-ulang.

5.1.5.3. “Mengheningkan cipta”

Kebutuhan reminiscence seperti di atas juga tercermin dalam konsep

‘mengheningkan cipta’ sebagaimana ditunjukkan sejumlah lansia sebagai satu cara

untuk memanfaatkan keberadaannya di panti, yang terpisah dari keluarga. Konsep ini

diutarakan oleh seorang lansia yang hidup sendiri karena istri meninggal dan tinggal

terpisah jauh dari anak-cucu yang ada di Lampung dan Sorong. Dalam perjalanan

naik bus menuju Lampung untuk menengok anak-cucu, ia dibius orang dan sebagian

besar barang bawaan hilang, sehingga kemudian dikirim ke panti oleh petugas.

Mengheningkan cipta maksudnya ingin menikmati kesendirian untuk mencari

ketenangan dan sengaja mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang sudah

meninggal ataupun mengenang masa lalu. “Ya daripada di apa tuh istilahnya (hidup

sendiri jauh dari) anak tuh, lebih baik di sini (di panti) dulu. Sementara

mengheningkan, istilahnya, mengheningkan cipta hehe..” Di samping itu,

mengheningkan cipta juga “...sambil sembahyang atau bagaimana itu supaya

menghadap Tuhan itu enak.” (Sgn, 5/6/2013)

Lansia lain mengakui bahwa tinggal di panti dapat membuatnya lebih baik

ketimbang sebelumnya. “Ya, di sini lebih tenang lebih damai,” akunya (Mrw,

8/4/2013). Hal yang sama dirasakan oleh lansia korban tsunami dengan mengatakan:

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 215: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

192

Tapi kalau mau kita pikir satu sisi itu di sini (panti) kayaknya aman nggak

ada misalnya kemana ya? Aman karena nggak..., pikirannya kita nggak kalut,

gitu. Kalau misalnya kalau tinggal di kampung musti pakai kemarin

barangkali kita kan ke mana ya. ... Iya ini kan menghilangkan itu (trauma atau

kenangan buruk), sekarang alhamdulillah lah sudah baik ya kan? (Nrn,

27/5/2013)

5.1.5.4. Memaafkan

Hubungan yang tidak baik dengan orang-orang sekitar, terutama orang dekat,

di masa lalu maupun saat ini mempengaruhi kondisi batin individu lansia yang harus

berpikir mengakhiri dunia dengan cara yang baik. Memaafkan adalah salah satu

pintu masuk untuk memperbaiki hubungan agar tenang di akhir masa hidup.

Misalnya seorang oma menceritakan kemarahan kepada almarhum bapaknya yang,

menurutnya, tidak berpikir panjang atas upaya mengakhiri hidup yang walaupun

gagal namun membuatnya sakit-sakitan sehingga tidak mampu bekerja untuk

menghidupi anak-anak dan istrinya. Meskipun begitu, pada akhirnya ia telah

memaafkan selagi bapaknya masih ada. “Dia gak mikir akibatnya buat keluarga Est.

Est sih udah ngampunin (memaafkan) dia ya. Est udah baik lagi ya sama dia ya, tapi

efek sampingan kerjaan dia itu gak tau, tuh” (Est, 31/5/2013).

Tindakan memaafkan tersebut juga dilakukan setelah di panti terkait

hubungannya dengan sesama penghuni dan perawat. Misalnya ia pernah dimarahi

perawat, yang menurutnya, karena kesalahpahaman. Meskipun meyakini bahwa yang

bersangkutan lah yang bersalah, ia justru lebih dulu minta maaf. “Terus akhirnya Est

yang minta maaf tau gak. Padahal dia yang salah tau gak? Salah atau enggak biar aja

Est yang dapat pahalanya. ... Iya Est yang minta maaf ama dia. Est minta maaf,”

begitu katanya (Est, 31/5/2013). Begitu juga ketika merasa sering disakiti oleh

beberapa penghuni, ia lebih memilih untuk mendoakan “...temen-temen yang suka

nyakitin hati. ...pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka” (Est, 31/5/2013).

Emak Gbg juga melakukan hal yang sama terhadap orang-orang berbuat tidak

baik atau bahkan jahat terhadapnya, baik pada saat sebelum maupun sesudah di

panti. Emak sendiri mengaku bahwa ia tidak memiliki dendam terhadap siapapun.

“Alhamdulillah dek, Emak nggak dikasih dendem gitu, ama orang, gitu.” Bahkan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 216: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

193

Universitas Indonesia

terhadap menantunya sendiri yang pernah berkata tidak mengenakkan ketika ia ikut

tinggal bersama dalam satu rumah. “Emak sih nggak ada dendam sama temen ge,

demi (Allah)... apalagi ama anak-mantu.“ Selaku orang tua ia tetap mendoakan

kebaikan bagi anaknya. “Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan

kasih selamet lahir-batin (dan) dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi

emak, hati emak, tetep deket ama dia, gitu” (Gbg, 5/6/2013).

5.1.5.5. Kegemaran, hobi, dan kreativitas

Perubahan tempat tinggal ke panti meniscayakan terjadinya perubahan hidup

terkait kebiasaan, aktivitas, atau orang-orang yang biasa dijumpai sebelumnya.

Terutama ketika baru datang di panti, banyak lansia merasa terasing, terbuang,

bosan, dan seterusnya. Nenek Alm, misalnya, mengalami kejenuhan pada dua atau

tiga bulan pertama di panti karena belum punya banyak aktivitas selain kegiatan-

kegiatan rutin panti. “Ya waktu pertama kali mah nggak punya kegiatan mah ya saya

kaya nggak betah begitu. Kalau pagi-pagi duduk aja didepan kantor” (Alm,

6/6/2013). Selain mengembangkan kreativitas dengan belajar bikin boneka, nenek ini

juga bisa melakukan hobinya membaca novel dengan difasilitasi petugas panti.

Beberapa lansia lain yang tinggal di panti masih menjalankan sebagian hobi

dan kegemaran yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Misalnya kakek Mrw punya

hobi mendengarkan radio dan musik dangdut di stasiun radio RRI kesayangannya.

Iya, saya tidur-tidur kadang-kadang jam 10 jam 11. Kalau bisa tidur, kalau

nggak tidur saya matiin aja radio. Saya tidur ah, niat tidur sore. Tidur ah gitu.

Kalau saya kan radio hanya buat (mengetahui) waktu. Setiap waktu saya stel

RRI, saya stel gitu. ... Saya dulu senangnya (lagu) dangduut mulu, hehe. ...

Kadang-kadang kalau masih sore ya, pulang sholat Isya, ...saya stel (lagu)

dangdut. Banyak kan dangdut, ya kan? Banyak dah, lagu apa aja. Cuman,

saya stel juga (volumenya) nggak terlalu besar. (Mrw, 8/4/2013)

Lansia lain ada yang suka jalan-jalan ke luar panti, hobi bernyanyi dan

berjoget, dan ada juga yang hobi berkebun atau bercocok tanam. Oma Est, misalnya,

mengakui ketika ada waktu luang suka jalan-jalan ke luar yang padahal sebelumnya

tidak sebebas seperti di panti saat ini.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 217: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

194

Di sini Est bisa jalan-jalan, bisa pergi, bisa pergi ke tempat lain.... Bisa ke

gereja ya, bisa ke pasar ya, bisa kemana ya kalo Est mau ya. Apa ke pasar

Kopro ya, atau ke pasar Inpres ya, eeh. Bisa pergi yah pokoknya, bisa ke

Citraland, eeh yang deket-deket ya. Jadi Est udah lebih enak sebetulnya

daripada di rumah. (Est, 31/5/2013)

Sementara kakek Sgn mengaku bisa menyalurkan hobinya bercocok tanam

sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Ketika ditanya apa tujuannya, ia menjawab:

“Ya begitulah, daripada bengong di sini (panti), ...daripada inget masa lalu. Kita

sambil-sambilan (bercocok tanam).” Katanya lagi, “Ah, terus daripada saya bengong

di STW terus cari-cari tanaman pendek-pendek itu, buah-buahan seperti sawo,

kelengkeng, durian ...”. Kakek ini memang punya keahlian budi daya tanaman, oleh

karenanya tanaman bisa tumbuh dan terawat. “Alhamdulillah dondong (kedondong)

semi. Oh, terus ...saya cabut, saya pindah bedeng. Saya dulu kan bisa nyambung-

nyambung... Terus apa itu, batang mangga itu 10 hari bisa tumbuh, 15 hari tumbuh.”

(Sgn, 5/6/2013).

5.2. Pengalaman Hidup dan Respons Lansia

Sub-bab pengalaman hidup dan respons lansia ini merupakan jawaban dari

pertanyaan penelitian keempat yang menyangkut pengalaman atau penderitaan yang

dialami lansia bagaimana mereka memberikan respons. Di sini ada dua kategori

besar yang dibangun, yaitu: (i) pengalaman hidup dan pemaknaan; dan (ii) respons

terhadap penderitaan.

5.2.1. Pengalaman Hidup dan Pemaknaan

Kategori pertama ini tersusun dari tiga tema yang berhasil digali, yaitu: (i)

pengalaman dan penderitaan; (ii) musibah, cobaan, atau peringatan; dan (iii) “ada

musibah ada hikmah.” Dalam program NVivo, klasifikasinya tampak sebagai

kategori #penderitaan hidup dan pemaknaan yang terdiri dari node @ada musibah

ada hikmah, @musibah-cobaan-peringatan, dan @pengalaman-penderitaan.

5.2.1.1. Pengalaman dan penderitaan

Sebelas informan lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki

penderitaan dan pengalaman hidup yang berbeda-beda dan unik (lihat Tabel 5.1).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 218: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

195

Universitas Indonesia

Tabel 5.1. Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya

Informan Pengalaman atau penderitaan

Mrw (Panti) • Disabilitas fisik (tuna netra) karena glaukoma • Berpisah dari anak-anak dan mantan istri

Pnd (Panti) • Berpisah dari anak-cucu • Hidup menderita berkepanjangan • Sering sakit

Gbg (Panti) • Hidup terpisah dari anak-cucu-buyut • Pernah kehilangan anak dan suami (meninggal) • Hidup menderita berkepanjangan • Merasa sering disakiti (dicelakakan) oleh orang sekitar • Sering sakit-sakitan

Rml (Panti) • Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 204 • Kehilangan seorang putri karena tsunami • Keluarga besar banyak yang menjadi korban

Nrn (Panti) • Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 2004 • Kehilangan seorang putri karena tsunami • Keluarga besar banyak yang menjadi korban

Est (Panti) • Hidup terpisah dari saudara (adik, ipar, dan ponakan) • Disabilitas fisik (tremor)

Kntw (Panti) • Suami meninggal • Sudah tidak punya famili, meski punya anak angkat • Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod)

Sgn (Panti) • Istri meninggal • Hidup sendiri di Jawa, anak-cucu hidup di Lampung dan Sorong • Dibius dan kehilangan barang dalam perjalanan di bus hingga

akhirnya terdampar di panti Alm (Panti) • Hidup terpisah dari anak-cucu. Punya famili (adik tiri &

keluarga) tapi hubungannya jauh • Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod)

Bs (home care) • Suami meninggal 5 tahun yang lalu • Sering tinggal sendiri di rumah karena anak/menantu dan cucu

sibuk bekerja dari pagi hingga malam Msn (home care) • Suami dan putra semata wayang meninggal.

• Tinggal sendiri di rumah bedeng. • Cucu dan mantan menantu ada tapi hubungan agak jauh • Punya adik yang sudah berkeluarga tapi sibuk/susah untuk

memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri • Cucu paling besar sudah bekerja (serabutan) sehingga hanya

bisa membantu ala kadarnya dan tidak pasti

Gambaran penderitaan atau pengalaman hidup yang dirasakan informan

lansia sebagian dapat tergali melalui wawancara dan sebagian yang lain diperoleh

melalui penelusuran dokumen dan observasi. Sebagai contoh, perasaan keterpisahan

dengan keluarga diungkapkan oleh lansia Kntw, “... di Jakarta saya mblangsak

(hidup sengsara). ...Mblangsak-nya nggak ada sanak famili” (Kntw, 31/5/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 219: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

196

Keterpisahan dengan keluarga di kampung juga dirasakan nenek Alm yang tinggal di

panti, sehingga ia terpaksa menahan rasa ingin bertemu anak-cucu:

Ya kalau pengen liat (anak-cucu) ya kita kemungkinan kecil juga nggak bisa

ya, mas. (Keadaan) saya begini ya kan nggak mungkin bisa. Kalau

keadaannya di kampung (sama-sama susah) begitu ya nggak mungkin sampai

di sini kalau nggak ada yang bawa, hehe.. (Alm, 6/6/2013)

Hidup susah dan serba kekurangan juga dapat menciptakan perasaan

menderita berkepanjangan bagi lansia. Kemalangan ini pada gilirannya menyebabkan

kesedihan bagi nek Msn yang tinggal seorang diri.

... kalau ngeliat orang-orang mah makan itu makan ini, kita mah boro-boro.

Pengen sedih itu dek kalau ngeliat orang-orang itu, kadang-kadang yah.

Susahnya, ya Allah kata saya, kalau ada anak saya, ada suami saya,

barangkali saya nggak begini-begini amat begitu, dek. Barangkali ada yang

ngasih. Nggak (bakal) saya begini aja. Ini mah ngandelin (mengandalkan)

dari orang-orang, pengasih (belas-kasihan) orang-orang aja. Apa-apa juga

kalau orang-orang pada ngerti gitu, namanya orang itu ngasih, kalau nggak

mah ya, begitu lah dek. Jadi susahnya, sedihnya gitu. ... Tapi kalau udah abis

nggak ada yang ngasih, ya Allah, uang dari mana, gitu. Ya ada seneng ada

susah, ya namanya juga orang hidup ya dek ya. (Msn, 16/6/2013)

Penderitaan hidup berkepanjangan juga dialami emak Gbg yang berkali-kali

pindah tempat tinggal karena ada tetangga yang tidak senang. “Jadi pengalaman

emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti) dihina orang.

Udah datang di Tanjung Gede Emak tuh, mulai dagang nasi uduk bari lontong

(diusir)”. Katanya lagi, “Jadi kudu (harus) sabar seteruse (tiada henti) dek, emak tuh.

Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini, pindah ke sini

gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2) begitu, di sini

begini, haha...” (Gbg, 30/5/2013)

Ditinggal mati oleh orang-orang tercinta menimbulkan rasa kehilangan yang

begitu besar bagi informan. Pengalaman kehilangan semacam ini pernah dirasakan

pasangan lansia korban tsunami Aceh 2004. Selain kehilangan harta-benda dan

sejumlah besar kerabat, informan lansia Rml dan Nrn kehilangan seroang putri yang

telah dewasa. Pak Rml menceritakan, “Kalau saya 200 lebih saudara nggak ada lagi”

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 220: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

197

Universitas Indonesia

(Rml, 27/5/2013). Sementara bu Nrn mengungkapkan, “Saya dari uwak pertama juga habis,

uwak kedua habis, uwak ketiga habis, (yang) selamat anak-anak doang.” Hanya satu putri

dari pasangan ini yang menjadi korban tsunami dan tidak diketemukan jasadnya (Nrn,

27/5/2013).

5.2.1.2. Musibah, cobaan, atau peringatan

Dalam memaknai berbagai peristiwa atau pengalaman hidup, informan lansia

memiliki sejumlah pandangan. Secara umum, penderitaan yang dialami pada masa

lampau ataupun saat ini mereka anggap sebagai semacam musibah, cobaan, ujian,

ataupun peringatan. Sebagai contoh, seorang lansia yang mengalami disabilitas fisik

karena glaukoma dan harus hidup di panti terpisah dari anak-anak dan mantan

istrinya mengatakan bahwa “Itu saya anggap sebagai cobaan aja. Ya, sebagai cobaan

dari Allah. Saya terima apa adanya. Iya kan? Itu aja.” Dengan cobaan itu, ia tidak

lantas membuatnya marah terhadap Tuhan, namun malah bersyukur atas apa yang

telah menimpanya. “Ya, iya lah. Allah nggak usah dimarahin. Allah tidak bisa

dimarahin. Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan?

saya anggap cobaan lah dari Allah.” (Mrw, 8/4/2013)

Musibah, cobaan, ataupun peringatan tersebut lebih jauh diyakini seorang

lansia home care sebagai nasib atau takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari.

Ya udah ah, barangkali takdir saya, udah nasib saya aja gitu, dek. Barangkali

udah takdir saya. (Kalau) nasib, habis mau diapain lagi? Suka inget-inget

kata-kata orang tua, kita walaupun sedih, mengejerit (menjerit), nyaratan

(merintih menengadah ke) langit kita ngeliat ya, siapa yang mau nolongin?

(Msn, 16/6/2013)

Begitu juga halnya dengan pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd yang

menganggap segala peristiwa menyakitkan atau penderitaan dalam hidup sebagai

cobaan atau ujian. “Iya, ujian. Semua orang diuji. Orang kaya diuji dengan

kekayaannya. Orang miskin diuji dengan kemiskinannya. Orang sakit diuji dengan

kesakitannya,” engkong Pnd menegaskan (30/5/2013). Emak Gbg yang sering

menceritakan penderitaan hidup baik sebelum maupun semasa di panti juga

menganggapnya sebagai cobaan. “Jadi emak tuh gitu, jadi pindah kemana-mana tuh

cobaa.....n aja” (Gbg, 30/5/2013). Misalnya ketika sering disakiti oleh sesama

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 221: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

198

penghuni panti dengan kata-kata kasar, emak hanya diam bersedih sembari meratap

dan berdoa dalam hati:

Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, Emak

dikatain macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari sapu lidi, Emak pengen

marah sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar,

astaghfirullâh al-‘adzîm, inget ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al-

‘adzîm ya Allah paringi kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri

hamba ya Allah. (Gbg, 30/5/2013)

Ketika dikasih sakit, engkong menganggapnya sebagai peringatan, karena ia

meyakini bahwa sakit datangnya dari Allah sehingga kesembuhannya pun adalah

atas kuasa-Nya.

Kalau engkong ...sakit nih ya, (engkong yakin) sakit Allah punya, sehat Allah

punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata

bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu

kasih peringatan, gitu. Ya Allah mohon sembuhkan. (Pnd, 30/5/2013)

Hal yang sama dikatakan emak Gbg sembari mengingat pesan dari seorang

ustadz, pembimbing agama di panti:

Jadi si emak tuh gitu. Enggak dimarahin orang dicobanya sakit, gitu kata

ustadz. Jadi emak tuh lagi diuji terus, Engkong lagi diuji sabar apa nggak. Iya

kan sajeb bari (sejak bersama menikah dengan) engkong, emak tiga tahun

sakit melulu. Jadi, (selain) nguji kesabaran engkong, (juga) nguji diri emak,

sabar apa nggak, gitu. Jadi (seandainya) sabar seteruse (seterusnya) emak

lulus, gitu. Kata ustadz gitu. Tapi kalau emak misale (misalnya) sekarang-

sekarang dihina orang terus emak marah-marah ngelawan, emak nggak lulus.

(Gbg, 30/5/2013)

5.2.1.3. “Ada musibah ada hikmah”

Pemaknaan terhadap penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan di

atas kemudian dibarengi keyakinan bahwa di balik itu pasti ada manfaat atau hikmah

tertentu. Keyakinan semacam ini tampaknya cukup terwakili dengan ungkapan dari

salah satu informan yang dihasilkan dari proses coding (atau disebut invivo code),

yaitu “ada musibah ada hikmah.” Ungkapan ini dinyatakan oleh seorang informan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 222: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

199

Universitas Indonesia

lansia korban tsunami Aceh dalam satu wawancara. Ketika dieksplorasi lebih jauh,

kira-kira apa hikmah atau manfaat tersembunyi dari semua kejadian yang menimpa,

ia menjawab bahwa melalui peristiwa tsunami itu Tuhan mengingatkan manusia agar

“bertambah taqwa lagi.” (Nrn, 27/5/2013)

Selain itu, musibah atau cobaan tersebut ditimpakan agar ia dapat melakukan

semacam introspeksi terhadap kesalahan yang telah diperbuat baik secara sengaja

ataupun tidak. “Barangkali kita kadang-kadang kita salah apa ya? Kita kan nggak tau

ya? Kesalahan kita masing-masing kan nggak tau, yang ...Maha ...Tahu kan Allah”.

Ia menambahkan, “Barangkali kita ada salah apa tapi kita nggak sadar. ... (atau)

barangkali ada Allah yang nggak ridhoin gitu” (Nrn, 27/5/2013).

Informan lain mengakui adanya hikmah lain di balik cobaan yang dialami.

Dengan hidup di panti dan kondisi tuna netra, seorang lansia malah bersyukur karena

saat ini ia makin rajin beribadah di musholla. “Ya udah bisa bersyukur, saya terima

apa adanya. Walaupun saya nggak bisa ngeliat ya saya bersyukur masih bisa sholat,

bisa ke musholla. Bersyukurnya di situ. Itu sebagai cobaan bagi saya” (Mrw,

8/4/2013).

5.2.2. Respons terhadap Penderitaan

Sama dengan sub-bab di atas, bagian ini merupakan bagian dari jawaban

untuk pertanyaan penelitian keempat, khususnya terkait bagaimana mereka bereaksi,

menentukan sikap, atau memberikan tindakan atas penderitaan yang dialami. Secara

teoretis, reaksi-reaksi seperti ini disebut sebagai coping dan berdasarkan analisis

coding dihasilkan sejumlah tema dalam node berikut: @respons, @pasrah-menerima,

@sabar & tawakkal, dan @bersyukur. Keempat node tersebut terhimpun dalam

kategori #respons terhadap penderitaan.

5.2.2.1. Respons

Berbagai bentuk respons para informan lansia cukup beragam, dari mulai

enggan memikirkan atau merasakannya, bereaksi secara negatif, hingga sikap positif

menerima. Seorang informan terkadang menunjukkan respons yang berbeda pada

satu kesempatan wawancara. Misalnya lansia Mrw di awal wawancara mengaku

tidak menyesali atas semua cobaan yang menimpanya. “Ya, ya bukan mau dikatakan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 223: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

200

sakit (hati). Kalau dikatakan sakit (hati) ya kagak juga ya saya. Cuma maksudnya,

iya, saya nggak menyesali sebetulnya, Ton. Nggak menyesali. Itu makanya saya

bilang, saya anggap sebagai cobaan” (Mrw, 8/4/2013). Bahkan lebih jauh ia

mengaku tidak pernah sedih dan tidak mau mengingat sesuatu atau orang-orang

terdekat yang mungkin bisa mendatangkan kesedihan. “Saya nggak pernah sedih.

Udah deh...” Katanya lagi, “Ya, saya mengingat-ingat untuk sedih anak-istri, nggak

(pernah).” (Mrw, 8/4/2013)

Meskipun begitu, ketika ditanya tentang kondisi disabilitas fisiknya saat ini

dan keterpisahan dari keluarga atau teman-temannya yang dulu, ia mengakui bahwa

hati kecilnya terkadang merasa tidak berguna.

Memang ya dalam hati kecil saya. Memang saya pribadi, saya bilang...

perasaan saya tidak berguna. ... Perasaan saya, saya nggak berguna lagi nih,

gitu, iya kan? Karena Saya nggak bisa liat, tidak punya daya-upaya. Dan saya

mempunyai tanggungan, (tapi) tidak bisa (memenuhinya). Istri saya anak

saya, siapa yang ngempanin (memberi makan)? Itu. Siapa yang memberi

nafkah? Itu. (Mrw, 8/4/2013)

Dulu masih remaja, ya istilahnya masih di kampung, masih di rumah itu

istilahnya kawan, teman (masih banyak). Sekarang udah diem di panti

memang merasa agak tersingkir sedikit dari teman dan tetangga-tetangga,

gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh dari pada teman. Di sini

walaupun banyak teman, saya pikir, anggap, nggak ada sih. (Mrw, 8/4/2013)

Respons negatif yang ditunjukkan lansia lain misalnya kangen dengan

keluarga atau sering teringat anggota keluarga yang telah tiada. Hal ini dialami oleh

lansia korban tsunami yang saat ini tinggal di paviliun panti dengan mengatakan, “Di

sini nggak enaknya gini, kita kadang-kadang kangen sama keluarga, gitu” (Nrn,

27/5/2013). Ia juga terkadang masih teringat putrinya yang menjadi korban tsunami,

“Tapi kalau udah malem tuh, udah susah, saya kadang-kadang mikir ...itu masih ada

(almarhum) anak di situ, ya” (Nrn, 27/5/2013).

Sikap positif lain yang mereka tunjukkan atas kemalangan yang dialami di

antaranya berupa sikap pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan tetap

mensyukuri. Tema-tema ini akan dijelaskan secara tersendiri di bagian berikut.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 224: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

201

Universitas Indonesia

5.2.2.2. Pasrah dan menerima

Respons positif terhadap penderitaan hidup yang dialami berupa sikap pasrah

dan menerima. Respons seperti ini muncul karena keyakinan bahwa semua yang

terjadi dalam hidup sudah menjadi ketentuan atau takdir Tuhan. Kalaupun ketentuan

itu berupa musibah atau cobaan, hal itu tetap diterima sebagai nasib dan jalan hidup

yang harus dilalui. Sebagai contoh, kakek Mrw mengatakan, “Ya udah bisa

bersyukur, saya terima apa adanya. ... Jadi, saya diem aja lah. Nggak, nggak usah

dipikirin gitu. Mungkin nasib saya begini, iya.” (Mrw, 8/4/2013)

Begitu juga dengan lansia korban tsunami, “Ya kita kan gini, kehendak Allah

milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja udah” (Nrn, 27/5/2013). Sementara

seorang nenek yang mendapat layanan home care merespons:

...paling-paling juga jawabannya, ya.. barangkali saya udah nasib aja gitu,

dek. Barangkali udah nasib saya, mau diapain lagi. Takdir. Katanya nggak

kena dipungkir, ... Udah dari (Allah)... harusnya begini kali saya dek, mau

gimana lagi. Hanya Allah kan, hanya (Allah) yang menentukan nasib kita. ...

Habis marah-marah juga, marah ama siapa? ... Eeh. Udah nerima aja dek,

nasib saya begini. Barangkali mau marah, ama siapa? Namanya udah Takdir

Allah, katanya kan. (Msn, 16/6/2013)

Dalam menyikapi penderitaan hidup, nenek Kntw juga bersikap pasrah

kepada Tuhan. “Pokoknya jiwa raga saya, saya serahin kepada Gusti yang Maha

Agung. Hidup mati sehat sakit (saya pasrah kepada) Gusti yang Maha Agung”

(Kntw, 31/5/2013).

5.2.2.3. Sabar dan tawakkal

Respons ini ditunjukkan oleh pasangan lansia engkong Pnd dan emak Gbg

tatkala diberi cobaan atau ujian. “Dicoba, sabar,” cetus engkong. “Iya, kudu (harus)

sabar terus,” emak menegaskan. Emak bercerita ketika keluarganya beberapa kali

diusir oleh pemilik kontrakan atau dijahati oleh pesaingnya karena tidak suka dengan

keberhasilan usaha dagangnya. “Emak bilang, astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah

paringi sabar kek, tawakkal diri hamba. (Di-)mana-mana ada aja cobaan. Ngontrak di

Ciganjur, dagang enak-enak, gede, minyak aja drum-an, ujug-ujug pe....ss. Nggak

laku, dek.” (Pnd & Gbg, 30/5/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 225: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

202

Kesabaran luar biasa yang ditunjukkan emak Gbg diakui sebagai pengaruh

dari keluargnya, terutama dari almarhum bapaknya yang pernah berpesan sebelum

meninggal. Emak mengatakan setiap kali mendapat cobaan atau ujian ia selalu ingat

pesan bapaknya agar selalu sabar. “Ya Allah, hamba kudu gimana (harus bagaimana)

ya Allah. Nggak dilawan keenakan, dilawan tapi hamba inget riwayat (pesan) bapak

(alm.) hamba ya Allah. Ya Allah lindungin ke hamba ya Allah. Emak nangis

sendirian, ...” (Gbg, 30/5/2013). Di cerita sebelumnya ia juga mengisahkan:

Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, emak dikatain

macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari (pakai) sapu lidi, emak pengin marah

sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar, ... Inget

ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah paringi (berilah)

kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri hamba ya Allah. Kalau

emak nyambat (minta bantuan), mama (bapak), doain saya. (30/5/2013)

Ya.... cobaan dari Yang Maha Kuasa, jadi supaya Emak tuh sabar tawakkal.

Jadi Allah tuh nyoba terus karena Emak tuh orang sabar, jadi katanya ustadz

gitu, “dicoba dengan kesabarannya, sampe dimana. Dicoba dengan

kesusahannya sampai dimana” gitu. Jadi kalau misale Emak separoh-paroh

nih, lagi muda diapa-apain orang nggak ngelawan, udah tua bangkotan kayak

gini emak ngelawan itu dosa, katanya. Itu, jadi begitu, dek. Jadi emak tuh

kudu sabar. (30/5/2013)

5.2.2.4. Bersyukur

Seiring dengan sikap pasrah dan menerima, respons positif lain terhadap

cobaan yang dialami yang dilakukan kebanyakan informan di antaranya berupa tetap

mensyukuri. Kakek Mrw misalnya mengatakan:

Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan? ... Ya,

bersyukurnya saya masih bisa berjalan, bisa menuju ke musholla. Saya

bersyukurnya situ. walaupun saya nggak lihat. ... Kalau sekarang ini saya

lebih senang di sini lah. Kalau dulu kan saya mengerjakan (sholat) masih

belang-bentong. Ya kan? Masih belang-belang. Kalau di sini saya

alhamdulillah. Saya bersyukurnya di situ. (Mrw, 8/4/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 226: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

203

Universitas Indonesia

Lansia lain menunjukkan rasa bersyukurnya dengan cara membandingkan

dengan orang lain yang lebih susah. Lansia korban tsunami misalnya masih merasa

beruntung hanya kehilangan satu anak putri karena bencana tsunami dibanding orang

lain yang kehilangan lebih banyak anggota keluarga. Istri dari pasangan lansia ini

mengatakan:

Ya kita kan gini, kehendak Allah milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja

udah. Terus mikir lagi gini, oh cuman saya satu, kalau orang lain pada habis.

Ngeliat keliling kita, sekeliling kita. ... Masih bersyukur alhamdulillah saya

Cuma satu, kakak saya tuh enam orang. Kakak saya enam orang: suami,

anak, cucu, mantu, iya. Terus mikir lagi yang lain-lain lagi itu yang habis

total, habis total. Terus mikir itu hilang lagi. Dia udah udah barangkali orang

tuh udah kan mati syahid. (Nrn, 27/5/2013)

Hal yang sama ditunjukkan lansia home care yang tinggal sendiri dan banyak

bergantung pada orang lain. Meskipun hidupnya susah, nenek Msn berupaya berpikir

positif bahwa bagaimanapun hidupnya tidak lebih buruk dari orang lain.

Ya kalau ini dek. Ya saya suka itu-na. Asal ngeliat tetangga saya, lebih-lebih

saya susahna. Tuh saya suka itu ya, oh orang-orang juga ada yang kayak

lebih-lebih kayak saya, kata saya juga. Rumah ngontrak, kata saya gitu, saya

suka itu (merenung) dek.. sudah susah kayak kita, ya bukan saya aja yang

nggak punya suami, ada juga yang pada punya suami yang masih pada muda

juga, rumah pada ngontrak. Kerjanya pada, ya begitu dek, ngupas udang,

ngupas ikan, ngupas kerang ya, itu tuh, dek. Suka rada mendingan gitu, ah

kita.. nggak pernah, alhamdulillah, kata saya, jangan sampe minta-minta ama

yang kuasa, kata saya jawab saya, hidup susah juga saya (jangan) sampe...

kata saya, kayak gitu dek, udah tua, kata saya. (Msn, 16/6/2013)

Di balik rasa kesepian dan keterisolasian dengan keluarga, sebagian lansia

masih bersyukur tinggal di panti. Nenek Alm misalnya mensyukuri karena berkat di

panti ia punya keterampilan dan kesibukan membuat boneka dari anyaman benang

yang bisa dijual.

Iya, masih ada hasilnya. Apalagi kalau banyak anak-anak (pengunjung dan

praktek di panti) kemaren. Banyak-anak-anak mas, ...saya bisa setor 300

(ribu), bisa setor 250, bisa setor 170. Aduh kayaknya, ya Allah saya di sini

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 227: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

204

asal (selalu mengucap) alhamdulillah. Di sini hidup saya bisa meningkat

(secara ekonomi) gitu kan, walaupun... dikasih makan pemerintah. ...

Bersyukur saya bisa ngasih temen-temen yang bener-bener nggak ada yang

nengok dan bener-bener nggak ada duit... (Alm, 6/6/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 228: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

205

BAB 6

MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL

Bab 6 ini (bersama Bab 7) merupakan bagian pembahasan terhadap hasil

penelitian. Bab 6 ini membahas hasil penelitian dari jawaban pertanyaan penelitian

pertama dan kedua yang memiliki relevansi bagi pembuatan model pelayanan sosial

berbasis spiritual bagi lansia. Dalam mengonstruksi model, pada bab ini juga dibuat

tipologi untuk masing-masing praktisi dan lansia. Berikutnya diuraikan kompetensi

praktisi yang diperlukan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang

sadar akan spiritualitas diri praktisi dan klien lansia. Pada bagian terakhir dibahas

pula sejumlah implikasi dari sisi teori, praktik, dan kebijakan.

Pembahasan hasil temuan di sini merupakan refleksi terhadap konsep atau

kategori yang muncul dalam analisis yang sekiranya relevan bagi model-model yang

akan diketengahkan dalam bab ini. Bahan-bahan untuk pembahasan terhadap

sejumlah kategori atau tema dan pembuatan model dalam bab ini diambil tidak saja

dari spiritualitas praktisi, spiritualitas lansia juga turut dipertimbangkan.

6.1. Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia

Seperti telah dijelaskan dalam latar belakang penelitian, kualitas pelayanan

sosial sangat ditentukan oleh interaksi antara praktisi dan klien. Spiritualitas

keduanya menjadi komponen penting, di antara ragam komponen penting lain, yang

turut menentukan karakteristik suatu interaksi. Meskipun demikian, realitas praktik

layanan mengindikasikan bahwa sampai tahap tertentu spiritualitas praktisi lebih

mewarnai interaksi tersebut sehingga menentukan arah dan tujuan dari suatu layanan.

Sejalan dengan hal ini, sebagai langkah awal dalam pembuatan model pelayanan

sosial, sejumlah tema atau kategori yang terekspresikan secara dominan dari

informan praktisi dapat dijadikan sebagai bahan model pelayanan berbasis spiritual

bagi lansia.

Sejumlah kategori atau tema dari informan praktisi, seperti tampak pada

Lampiran 13 (Tabel 13.1), dinilai cukup signifikan (outstanding) untuk membangun

model. Kategori atau node yang dimaksud, dengan mengacu ke pertanyaan penelitian

pertama, adalah: (1) kategori #arti spiritualitas, yang terdiri dari node @pemahaman

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 229: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

206

pribadi dan @pengaruh dari diklat; (2) @afiliasi-praktik keagamaan; (3)

@keyakinan-nilai; (4) @“di balik ujian ada hikmah”; dan (5) kategori #komponen

spiritualitas lain, terutama node @kecemasan-harapan. Sementara kalau mengacu

pertanyaan penelitian kedua, tema pentingnya berupa: (1) @motivasi; (2) @nilai-

prinsip etis; (3) @asesmen; (4) kategori #intervensi, yang terbentuk dari node

@intervensi, @contoh kasus intervensi, dan @penanganan akhir kehidupan lansia.

Bagian berikut membahas kategori atau tema tersebut menurut pembagian di

atas, yakni spiritualitas praktisi dan praktik pelayanan.

6.1.1. Spiritualitas Praktisi

Konstruksi spiritualitas praktisi mencakup pemahaman (perspektif) dan

implementasinya, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai living spirituality.

6.1.1.1. Pemahaman spiritualitas

Arti spiritualitas menurut perspektif praktisi diklasifikasikan menurut node

@pemahaman pribadi, @pengaruh dari diklat, dan @spiritual dalam UU kessos.

Seperti tampak pada Tabel 13.1 dalam Lampiran 13, masing-masing node

menunjukkan reference dan coverage yang berbeda. Namun, node @pemahaman

pribadi dan node @pengaruh dari pendidikan-diklat lebih dominan dibanding

@spiritual dalam UU Kessos. Kedua node awal diutarakan oleh delapan atau tujuh

informan, sementara node yang terakhir hanya disinggung oleh empat praktisi. Di

antara sembilan praktisi, informan SM selalu menyinggung ketiga node dan paling

banyak. (Lihat Tabel 13.2 dalam Lampiran 13)

Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa para informan praktisi memahami

spiritualitas sebagai konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan,

akhlak, dan hubungan vertikal dengan Tuhan. Ada juga yang menyinggung aspek

batin, batiniah, atau bagian yang tidak tampak dan dorongan hati nurani, meskipun

hal ini tampaknya merupakan hasil dari pengaruh interaksi dengan peneliti ketika

informan menginginkan contoh atau ilustrasi terkait istilah spiritualitas..

Pemahaman spiritualitas para praktisi dalam konteks layanan bagi lansia

jamakanya dibentuk oleh pendidikan dan institusi beserta kebijakannya. Namun,

hasil eksplorasi menunjukkan tidak ada perbedaan berarti dengan pengertian awam

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 230: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

207

Universitas Indonesia

di atas, misalnya agama, keagamaan, penerapan agama, hubungan vertikal,

pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan kebutuhan rohani. Singkatnya,

spiritualitas yang dipahami para praktisi kessos lebih merujuk ke ritual keagamaan

dan sebagian ekspresi spiritualitas. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa kebijakan

pelayanan tetap menunjukkan pengaruh terhadap pemahaman praktisi, meskipun

sedikit. Di antaranya terkait penjelasan regulasi pelayanan sosial lansia tentang arti

religius yang sebenarnya merujuk ke makna spiritualitas.

Tidak dijumpainya perbedaan berarti antara pemahaman awam dengan

praktisi dalam konteks pelayanan tidaklah mengherankan. Alasannya, sejak awal

penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum menjadi isu penting

dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Itulah mengapa di sini tidak

cukup menghasilkan konseptualisasi spiritualitas praktisi seperti halnya penelitian

Canda (1986) terhadap sejumlah pekerja sosial Amerika Utara.

Seperti juga telah dijelaskan dalam Bab 4, istilah spiritualitas belum cukup

familiar di telinga para praktisi. Istilah ini dipandang tidak memiliki perbedaan arti

secara signifikan dengan kata spiritual. Padahal kalau merujuk ke sejumlah literatur,

kedua istilah tersebut punya perbedaan makna. Kata spiritual berarti sesuatu yang

bersifat imaterial (Bagus, 2000) atau berhubungan dengan spirit, yang suci

(Hendrawan, 2009). Menurut Swinton (2001), istilah ini punya kaitan erat dengan

spiritualitas, namun tidak sama. Spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial

yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Ketika

pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara

merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas.

Seperti telah dijelaskan di atas, penggunaan istilah spiritualitas seringkali

disilihgantikan dengan agama atau keberagamaan (religiousity atau religiousness).

Hal in terutama ditunjukkan dalam aturan kebijakan pelayanan sosial lansia yang

kemudian mempengaruhi pemahaman praktisi tentang spiritualitas.

Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan

Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan)

dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai

spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan

spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 231: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

208

dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Definisi James (1958)

ini telah disampaikan pada Bab 3 dimana agama diartikan sebagai “perasaan,

tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka, sejauh mereka

memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan apa yang mereka anggap sebagai

yang ilahiyah” (p. 42).

Patut disinggung sedikit di sini tentang perbedaan tradisi kesarjanaan

Amerika dan Eropa. Pargament beserta sejumlah besar sarjana Amerika mengambil

definisi agama menurut James yang tampak begitu luas. Perubahan dan perbedaan

dalam mendefinisikan agama dan spiritualitas berakibat pula pada penamaan bidang

disiplin Psikologi Agama. Pargament (1999) berpendapat bahwa karena pengertian

agama juga mencakup sakralitas, maka spiritualitas termasuk di dalamnya.

Singkatnya, spiritualitas didefinisikan Pargament sebagai “pencarian terhadap

sesuatu yang sakral”, sedangkan keberagamaan (religiousness) adalah “pencarian

terhadap hal-hal penting melalui cara-cara yang berhubungan dengan sesuatu yang

sakral” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35).

Sebaliknya, Stifoss-Hanssen, yang mewakili sarjana Eropa kebanyakan,

mendefinisikan spiritualitas dengan cakupan yang lebih luas dibanding agama

(Stifoss-Hanssen, 1999). Pandangan Stifoss-Hanssen ini selaras dengan apa dipegang

oleh Zinnbauer yang mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian pribadi ataupun

berjamaah terhadap sesuatu yang sakral” sementara religiousness diartikan sebagai

“pencarian pribadi atau berjamaah terhadap sesuatu yang sakral yang terkandung

dalam konteks tradisional terkait sakralitas” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35).

Sebagai perbandingan, Hugen (2001, p.13) mengartikan religiousness sebagai

“kadar dan pola ekspresi spiritualitas seseorang dalam konteks agama formal.” Ini

tidak terlepas dari posisi yang dipegang Hugen bahwa agama lebih merujuk ke kulit

luar dari keyakinan, sementara spiritualitas adalah esensinya, yakni perasaan batin

dan pengalaman pribadi tentang kehadiran Tuhan (p.12).

Dalam penelitian ini, terkait cakupan mana yang lebih luas antara agama atau

spiritualitas, peneliti mengambil posisi yang sama dengan kesarjanaan Eropa secara

umum, yakni spiritualitas memiliki cakupan lebih luas ketimbang agama.

Dalam berbagai literatur, spiritualitas dipahami dan didefinisikan secara

beragam dari waktu ke waktu. Bagaimana istilah ini beserta religiousness dipahami

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 232: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

209

Universitas Indonesia

dan didefinisikan tergantung warisan agama leluhur, kultur, generasi, dan

kebangsaan (Gall, Malette, & Guirguis-Younger, 2011, p. 180). Dalam disiplin ilmu

pekerjaan sosial, istilah ini dimaknai seputar pencarian makna, tujuan hidup,

hubungan, dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga

memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan

maupun non-keagamaan.

Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau

penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar

mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau

komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian,

makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral

(Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow,

2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison, 2001

dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti

transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun

hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi.

Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr.

(2006), terkait dengan sesuatu yang melampaui keterbatasan fisik dan

menghubungkan seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari

dirinya. Sementara, sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan,

sesuatu yang ilahiah, dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain”

(Pargament, 2007, p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang

melampaui Tuhan" (God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep

personal Tuhan Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat

pedalaman juga dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12).

Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam

konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009),

Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan

Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak

dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig,

McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament

(2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 233: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

210

Berbeda dengan tradisi akademis di Barat yang telah sangat maju, dunia

akademik dan masyarakat Indonesia pada umumnya lebih familiar dengan istilah

agama, keagamaan (religiositas), atau keberagamaan dibanding spiritualitas. Sebagai

contoh, Romo Mudji tampaknya lebih sering menggunakan istilah “religiositas”

(keberagamaan) untuk konteks masyarakat Indonesia ketimbang spiritualitas atau

kerohanian. Menurutnya, religiositas merupakan kesadaran batin manusia akan nilai

dan tujuan hidup yang dalam prosesnya tergantung pada hubungan mereka dengan

Tuhan (Sutrisno, 2012). Hal ini menandakan bahwa sebagian dari makna religiositas

menurut Romo juga merepresentasikan spiritualitas.

Di sisi lain, sebagai perbandingan, ada juga sebagian ahli yang sering

menyinggung istilah spiritualitas. Komaruddin Hidayat kerap menggunakan istilah

spiritualitas dan juga keagamaan, keberagamaan, dan moral atau moralitas. Sejumlah

buku karyanya, seperti dalam Hidayat (2009, 2012, & 2013), secara intens

menyinggung istilah-istilah tersebut dengan mengangkat isu-isu eksistensial, seperti

mati, kematian, sakit, penderitaan, keterasingan, pengalaman mistik, hidup

bermakna, dan kebahagiaan. Tanpa mendefinisikan spiritualitas dari segi bahasa atau

makna yang memang tidak mudah, Hidayat menggambarkan istilah ini melalui

berbagai isu keseharian tersebut. Spiritualitas yang digambarkan dalam bukunya

dapat bersumber dari agama dan luar agama. Ia mengatakan bahwa spiritualitas tidak

sepatutnya menjadi sekadar objek kajian semata, akan tetapi aspek dengan domain

yang sangat luas ini harus ditempatkan pada posisi sentral sebagai “inti dari denyut

iman dan keberagamaan” (Hidayat, 2013, p. 42).

6.1.1.2. Living spirituality

Seiring dengan cara sejumlah ahli di Indonesia dalam menggambarkan

spiritualitas melalui isu-isu kemanusiaan, seperti Romo Mudji dan Komaruddin

Hidayat di atas, penelitian ini telah berupaya mengeksplorasi tidak saja bagaimana

mereka memahami aspek ini dan menjalankan agamanya, tetapi juga bagaimana

mereka menghadapi dan memaknai persoalan kehidupan. Hasil temuan menunjukkan

sejumlah komponen yang mengekspresikan spiritualitas praktisi, seperti keterlibatan

dalam kelompok agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk

respons ketika menghadapi musibah, kecemasan, dan harapan. Spiritualitas juga

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 234: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

211

Universitas Indonesia

banyak diekspresikan dalam ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara

pribadi maupun berjamaah bersama komunitas.

Komponen-komponen tersebut sebagian ditunjukkan oleh hasil identifikasi

pada awal bab ini berupa tema atau kategori yang dinilai signifikan. Selain kategori

arti spiritualitas yang telah dibahas sebelum ini, ada tiga node lain yang membentuk

kategori besar pemahaman dan pengalaman spiritual praktisi, sebagaimana tampak

pada Bab 4, yakni node @afiliasi-praktik keagamaan, @keyakinan-nilai, dan @”Di

balik ujian ada hikmah”. Di antara ketiganya, node @keyakinan-nilai adalah yang

paling banyak dibicarakan informan praktisi dan yang paling sering disinggung

dalam interview dengan informan YL, namun tidak lebih intens dari informan HN

dan FS. Node yang disinggung terbanyak kedua adalah @”di balik ujian ada

hikmah”, yakni oleh tujuh informan. Sementara yang paling rendah di antara

ketiganya adalah node @afiliasi-praktik keagamaan yang diungkap enam informan.

Perhatikan Tabel 13.3 pada Lampiran 13.

Node berikutnya yang masuk kriteria sebagai tema/konsep yang relevan

dalam spiritualitas praktisi adalah @kecemasan-harapan, sebagai salah satu node

dalam kategori #komponen spiritualitas lain. Tema ini dibicarakan oleh hanya lima

orang informan sebanyak 13 kali. Di antara semua informan, YL adalah praktisi yang

paling sering menyinggung soal kecemasan dan harapan, yakni lima kali. Namun

dari sisi cakupan dalam wawancara, FS paling intens membahasnya. (Tabel 13.4,

Lampiran 13)

Seperti telah dijelaskan di atas, spiritualitas praktisi tidak saja digali dari

sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas

itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan,

sikap, maupun tindakan.

Bagi sebagian besar informan praktisi, istilah spiritualitas tidak cukup dikenal

dan pemahaman yang dipegang kurang menyentuh pengertian universal, yakni

pencarian makna dan tujuan hidup (Hinnels, 1995). Meskipun begitu, pada

kenyataannya mereka bukan berarti tidak punya sisi spiritualitas, karena spiritualitas

yang mereka miliki tidaklah dipahami atau didefinisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu

diamalkan atau dijalani dalam keseharian dan interaksi mereka dengan klien lansia.

Dalam tingkatan spiritualitas menurut Hinnels, spiritualitas semacam ini termasuk

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 235: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

212

pada tingkatan praksis atau pengalaman, yang dapat bersumber dari agama maupun

non-agama. Dalam penelitian ini, spiritualitas yang diamalkan atau dijalani

diistilahkan sebagai ‘living spirituality’.

Berdasarkan tema atau kategori yang teridentifikasi, dapat dikatakan bahwa

living spirituality para praktisi dipengaruhi oleh dan sekaligus terpantul dalam

praktik dan afiliasi keagamaan, keyakinan dan nilai yang dipegang, pemaknaan

terhadap pengalaman hidup, serta sejumlah komponen spiritualitas lain. Dalam

penelitian ini, living spirituality diposisikan sebagai konsep sentral dalam model

pelayanan sosial lansia yang sadar secara spiritual. Konsep sentral yang dimaksud

dapat mengacu pada konsep Canda dan Furman (2010) yang menjadikan spiritualitas

sebagai inti atau jantung dari pertolongan. Selaij itu, keduanya mengibaratkan

spiritualitas, seperti juga dikutip Moss (2002, p. 37), “sebagai jantung dari sikap

empati dan perhatian, denyut nadi rasa belas-kasihan, aliran darah dari kearifan

praktik, dan tenaga yang menggerakkan tindakan melayani.”

6.1.2. Praktik Pelayanan Sosial Lansia

Selanjutnya, terkait implementasi dari pemahaman atau sisi-sisi spiritualitas

praktisi dalam pelayanan, node @motivasi dianggap penting karena secara konsisten

disinggung hampir merata oleh seluruh informan, kecuali praktisi TY yang

menyinggung hanya sekali. Node @nilai-prinsip etis juga cukup signifikan dalam

pelayanan, meski hanya sepuluh kali dibicarakan oleh enam informan. (Tabel 13.5,

Lampiran 13)

Komponen spiritualitas praktisi berikutnya yang sangat penting dalam

pembentukan model adalah asesmen dan intervensi karena keduanya menjadi

tahapan utama dalam layanan. Kedua tema ini selalu dibahas oleh setiap informan.

Meski tidak semasif node @intervensi, tema asesmen dalam node @asesmen muncul

dengan frekuensi cukup tinggi dalam wawancara (lihat Tabel 13.5, Lampiran 13).

Sementara node @intervensi disampaikan praktisi sebanyak 55 kali kepada peneliti.

Walaupun tidak sebanyak informan YL dalam menyinggung soal intervensi (sebelas

kali), informan TY relatif lebih banyak membahas tema ini sepanjang wawancara.

(Tabel 13.6, Lampiran 13)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 236: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

213

Universitas Indonesia

Dalam kategori intervensi terdapat node @contoh kasus intervensi dan

@penanganan akhir kehidupan lansia. Node pertama disinggung tujuh informan

dalam 19 kali, sedangkan node kedua oleh delapan informan dalam 23 kali. Dalam

wawancara dengan informan YL yang dilakukan pertama kali, kedua tema ini belum

muncul selama wawancara. Sementara pada praktisi home care HT, node @contoh

kasus intervensi tidak pernah dibicarakan, sebaliknya praktisi WN paling sering

menyinggung kedua tema ini. (Tabel 13.6, Lampiran 13)

6.1.2.1. Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial

Living spirituality beserta sejumlah komponen spiritualitas yang telah dibahas

di atas sangat membentuk bagaimana motivasi praktisi memberikan layanan dan

membantu lansia. Dari hasil wawancara, motivasi para praktisi cukup bervariasi dari

mulai karena mencintai pekerjaan, menyukai bidang kemanusiaan, jiwa sosial,

hingga dorongan ibadah karena Tuhan tanpa mengharap imbalan (lillâhi ta’âlâ).

Canda dan Furman (2010) menganggap serangkaian motivasi melayani lansia seperti

ini dapat muncul dari adanya dorongan atau hasrat yang bersifat spiritual (spiritual

drive). Menurut Canda dan Furman (2010, p. 81), spiritual drive merupakan salah

satu kategori manifestasi spiritualitas yang mendasari praktisi dalam memaknai

pengalaman batin; menemukan makna dan tujuan hidup; dan mencari

keterhubungan, integritas, dan totalitas.

Dengan demikian, living spirituality pada gilirannya, entah langsung atau

tidak langsung, mempengaruhi dan membentuk wujud praktik penanganan lansia.

Sebagai contoh, konsep penemuan makna dan hikmah sebagai salah satu ekspresi

living spirituality akan membentuk bagaimana interaksi praktisi-klien dan intervensi

seperti apa yang muncul. Penderitaan yang dilalui dianggap praktisi sebagai takdir

Tuhan yang harus diterima dan memandangnya sebagai ujian atau peringatan. Salah

seorang informan mengatakan “di balik ujian ada hikmah”. Keyakinan dan

pemaknaan seperti itu bisa jadi akan diproyeksikan terhadap lansia yang mereka

tangani. Dari pengalaman hidupnya, praktisi tahu bagaimana harus berempati

terhadap penderitaan lansia, memahami kesulitannya walaupun tidak sama,

memperlakukannya seperti orang tua sendiri, dan menawarkan cara atau jalan keluar

untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Hal-hal seperti itu kadang tidak

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 237: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

214

dipelajari dalam pendidikan atau pelatihan pekerjaan sosial, namun justru

pengalaman hidupnya lah yang lebih berperan bagaimana menghadapi lansia.

Dari contoh tersebut, wujud praktik pelayanan yang didasari spiritualitas

dipengaruhi oleh praktik pekerjaan sosial profesional dan juga akan membentuk

seperti apa asesmen dan intervensi yang dilakukan praktisi ketika menangani klien

lansia. Hal ini kurang-lebih dapat terbangun dari berbagai elemen pokok yang

berasal dari sejumlah tema atau kategori yang muncul dari informan praktisi. Dengan

demikian, kategori penting yang telah dibahas sebelum ini dapat dijadikan sebagai

bagian-bagian yang dapat membentuk struktur pelayanan sosial lansia berbasis

spiritualitas.

Terkait motivasi praktisi melayani lansia, yang menarik di sini adalah bahwa

hampir semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek

sendiri. Satu sisi, menganggap klien laksana orang tua atau nenek-kakek sendiri tentu

akan lebih mengintensifkan interaksi praktisi-klien, meningkatkan kepercayaan klien,

dan pada gilirannya akan membuat pelayanan lansia semakin efektif. Namun, di sisi

lain motivasi tersebut tentu sudah melibatkan unsur emosi-perasaan dan bersifat

personal. Kondisi seperti ini bisa dilihat sebagai pelanggaran tersendiri di hadapan

pekerjaan sosial konvensional yang menganut paradigma medikal.

Terkait paradigma medikal dalam pekerjaan sosial, Shulman (1991)

menganggap bahwa menolong secara profesional itu tidak termasuk proses dimana

pekerja sosial diharapkan mempengaruhi intervensi. Intervensi dipandang sebagai

hasil kajian dan diagnosis semata. Praktik pekerjaan sosial medikal menggunakan

paradigma diagnostik tiga langkah, yang hanya fokus pada bagaimana memahami

klien, bukan pada proses interaksi antara pekerja sosial dengan klien. Tiga langkah

yang dimaksud berupa diagnosis, penanganan (treatment), dan evaluasi. Dengan kata

lain, paradigma ini hanya fokus pada masalah atau kekurangan klien (patologis),

sementara kekuatannya (strength) kurang menjadi perhatian (p.13-4). Selain itu,

paradigma ini didominasi oleh dikotomi atau dualisme antara pekerja sosial sebagai

profesional dengan pekerja sosial selaku personal. Artinya, pekerja sosial harus

bersikap berbeda selaku individu dengan ketika ia berhadapan dengan klien yang

mesti menunjukkan sikap-sikap profesional (p. 15).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 238: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

215

Universitas Indonesia

Terkait dikotomi praktisi sebagai profesional atau personal itulah yang bisa

menjadi masalah bagi motivasi melayani lansia yang bersifat personal atau dorongan

ibadah seperti di atas. Dengan begitu, spiritualitas menjadi tampak tidak koheren

dengan profesi pekerjaan sosial yang harus memegang teguh nilai dan prinsip etis.

Namun, bagi Shulman (1991, p. 15) yang memromosikan paradigma interaksional,

justru dengan anggapan tentang dikotomi atau dualisme personal dan profesional

tersebut, pekerja sosial sebenarnya tidak memraktikkan beberapa prinsip etis dalam

pekerjaan sosial, seperti genuineness (kesejatian, apa adanya, atau tidak berpura-

pura) dan spontanitas (spontaneity) ketika berinteraksi dengan klien. Paradigma atau

model interaksional ini memang merupakan ciri khas pekerjaan sosial sebagai bentuk

kritik terhadap pendekatan medikal dalam menangani masalah kesehatan mental.

Model interaksional pertama kali diusung oleh Thomas Szasz pada dekade 1950-an

(Zastrow, 2004; Pritchard, 2006).

Koherensi antara spiritualitas dan pekerjaan sosial diakui oleh sejumlah

informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Terkait motivasi

melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien sebagai orang tua sendiri,

seorang informan mengakui bahwa hal itu memang bersifat pribadi. Namun, profesi

pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan tidak bisa dipisahkan dengan nilai

atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati nurani.

Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama

dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial

sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak

hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang

masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia.

Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan

dalam hal ini pelayanan sosial (TY, 26/6/2014).

6.1.2.2. Asesmen spiritual

Selama penelitian, peneliti telah melakukan penelusuran terhadap catatan

dalam formulir yang ada kaitannya dengan aspek keagamaan dan/atau spiritualitas

dari sejumlah klien lansia, terutama yang menjadi calon informan. Namun cukup

sulit diketemukan catatan yang relevan dengan tema spiritualitas. Bahkan melalui

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 239: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

216

serangkaian wawancara, para praktisi tidak pernah menyinggung contoh metode atau

instrumen asesmen spiritual tertentu untuk menggali spiritualitas klien.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa mereka begitu asing dengan metode

yang sebenarnya sudah umum digunakan, terutama di dunia Barat. Contohnya seperti

spiritual history menurut David Hodge yang instrumennya berupa spiritual map atau

spiritual genogram (Hodge, 2001a/b). Belum lagi sejumlah metode lain untuk

konteks tertentu atau klien khusus. Untuk menyebut sebagian, Mohr dan Huguelet

(2009) juga relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit

berat dan Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat

eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum

dialami lansia. Pada intinya, sejauhmana spiritualitas praktisi terekspresikan dalam

melakukan asesmen sangatlah tergantung pada pemahaman dan kapabilitas praktisi

untuk mengartikulasikannya dalam interaksi.

Karena minimnya asesmen spiritual, peneliti lebih berupaya mengeksplorasi

bagaimana praktisi melakukannya. Sampai tingkat tertentu, spiritualitas lansia telah

digali namun tidak dicatat dalam formulir yang tersedia. Ditemui paling tidak dua

konsep utama yang menarik terkait asesmen spiritual di kalangan praktisi. Pertama

adalah asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin. Asesmen semacam ini

dilakukan secara terus-menerus melalui interaksi yang intensif dengan klien lansia.

Menurutnya, hasil penggalian yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali

belum mengungkap masalah lansia atau faktor individu tertentu secara mendalam,

termasuk dimensi spiritual. Hal-hal ini akan tergali melalui asesmen terus-menerus

dan interaksi intensif. Kedalaman spiritualitas dalam asesmen sangat tergantung dari

living spirituality praktisi beserta komponen spiritual yang mempengaruhi.

Kedua terkait asesmen yang dilakukan pendamping home care. Mereka

melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara

kekeluargaan. Hasil asesmen seringkali tidak dicatat dalam formulir. Ketika

menyinggung soal keagamaan klien, sebagian pendamping tidak berani

menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu, hingga si

lansia sendiri yang memulai. Apabila merujuk ke model skema asesmen spiritual

yang ditawarkan Moore (2003, p. 560), hal ini tampak agak sesuai meskipun tidak

sistematis dan dalam konteks yang lebih sempit. Aspek yang dimaksud terkait

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 240: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

217

Universitas Indonesia

asesmen relevansi spiritualitas bagi klien dengan melihat-lihat kondisi apakah

praktisi memulai menyinggung soal agama dan spiritualitas atau cenderung

menunggu sampai klien sendiri yang menyinggung.

Begitupun dengan salah satu prinsip evidence-based practice ala Hodge

(2011), untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas secara etis dan profesional,

pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen apakah spiritualitas

relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini dikuatkan dengan

pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai proses menerus

yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah (p. 150-1).

Satu hal menarik lain tentang apa yang dilakukan seorang pendamping home

care adalah pendekatan awal untuk menarik lansia aktif dalam kegiatan agama di

masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang

bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan

pelan-pelan. Kemudian mereka juga dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya.

Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan.

Menyadari minimnya asesmen spiritual yang dilakukan para informan

praktisi, upaya menyusun daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual dilakukan

berdasarkan data temuan dari informan klien lansia. Oleh karena itu, daftar

pertanyaan tersebut disusun berdasarkan sejumlah tema spiritual yang teridentifikasi,

seperti telah dibahas pada bab sebelumnya. Tabel 6.1 menghimpun pertanyaan-

pertanyaan tersebut. Penggunaannya disesuaikan dengan tipologi praktisi dan klien

yang akan dibuat pada bagian berikutnya.

6.1.2.3. Intervensi spiritual

Setelah asesmen, tahap berikutnya adalah rencana intervensi dan

implementasinya. Asesmen dan intervensi kadang bukan tahapan terpisah, namun

bisa dilakukan secara paralel beriringan. Bahkan asesmen dapat menjadi bagian dari

intervensi itu sendiri. Teknik utama yang umum para praktisi berupa mendengarkan

cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang.

Sebagian praktisi mengakui hal ini tidak bisa dilakukan secara instan, namun harus

melalui interaksi intensif agar para lansia bebas bercerita. Selain itu, intervensi

dilakukan ketika telah terbangun semacam hubungan baik (rapport) dan unsur

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 241: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

218

kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka merasa nyaman membuka diri (self-

disclosure) kepada praktisi.

Tabel 6.1. Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual berdasarkan tema yang muncul

Tema Contoh daftar pertanyaan Keberagamaan lansia • Apa saja ibadah atau ritual yang rutin dilakukan setiap hari,

baik sendiri maupun dengan berjamaah? • Apa saja kegiatan agama yang diikuti di panti atau sebelum di

panti? • Adakah peran atau tanggung jawab dalam kegiatan keagamaan

tersebut? Sebutkan apa saja! • Ibadah atau kegiatan agama apa yang paling disukai?

Mengapa? • Adakah amalan, selain ibadah atau aktivitas agama di atas,

yang dilakukan secara khusus? Mengapa atau untuk apa amalan tersebut dilakukan?

• Adakah keyakinan atau kepercayaan tertentu yang pernah atau sampai saat ini dipegang? Bisa disebutkan dan darimana keyakinan itu didapat?

Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup

• Dengan pengalaman atau penderitaan hidup yang dilalui hingga saat ini di sini, bagaimana melihat atau menilai diri-sendiri?

• Apakah sudah merasa puas dengan hidup yang sudah dijalani sejauh ini hingga saat ini? Mengapa?

• Adakah pertanyaan yang muncul terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasib seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada diri ini? Bisa disebutkan pertanyaan tersebut?

• Dari pertanyaan yang muncul dari dalam diri, apakah sudah ditemukan jawabannya? Apa itu?

Relasi, kedekatan, dan isolasi

• Seberapa sering keluarga (kalau masih punya) datang berkunjung? Kalau sering, seberapa penting kehadiran mereka? Kalau jarang atau tidak pernah, bisa dijelaskan mengapa?

• Tinggal di panti terpisah dari keluarga, bagaimana perasaan saat ini?

• Adakah teman atau teman dekat di sini yang biasa ngonrol atau dimintai bantuan? Bisa dijelaskan?

• Ketika merasa kesepian, apa yang dilakukan? Bisa dijelaskan? • Ketika sedih, kepada siapa mengadu? • Ketika mengingat (atau dzikir) dan mengadu kepada Tuhan,

bagaimana perasaannya setelah itu? Doa • Doa apa saja yang biasa dipanjatkan?

• Adakah doa khusus untuk diri sendiri, keluarga, atau orang-orang terdekat yang sudah meninggal? Bagaimana doanya?

Harapan dan kecemasan • Adakah hal-hal yang diharapkan atau diinginkan lebih dalam hidup ini?

• Adakah sesuatu yang dicemaskan atau ditakutkan dalam kehidupan yang dijalani?

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 242: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

219

Universitas Indonesia

Harapan dalam menghadapi akhir hayat

• Apa saja harapan nanti kalau seandainya kematian akan datang menjemput?

• Seandainya tidak ada umur, dimana ingin dikubur dan siapa yang mengurus?

• Adakah harapan tertentu ketika meninggal dan setelah meninggal? Apa saja?

Merasa berguna dan dicintai

• Hal-hal apa saja yang bisa membuat senang atau bangga di sini? Mengapa hal itu membat senang dan bangga?

• Apakah sering diminta atau memberi bantuan untuk sesama penghuni atau petugas panti? Bagaimana perasaannya ketika memberi bantuan? Mengapa?

• Apakah merasa senang ketika keluarga datang menengok? Mengapa?

• Sebaliknya, bagaimana perasannya ketika keluarga jarang atau tidak pernah menjenguk? Mengapa?

Mengenang masa lalu (reminiscence)

• Apakah suka menceritakan masa lalu? • Hal-hal apa saja yang sering diceritakan? • Kepada siapa suka berbagi cerita? Mengapa?

“Mengheningkan cipta” • Apakah senang tinggal di panti? Mengapa? • Apakah menerima keberadaan di sini tinggal di panti?

Mengapa? • Apa yang ingin dilakukan di panti agar membuat senang dan

marasa tenang dan nyaman di sini? Memaafkan • Barangkali mungkin pernah melaukan suatu kesalahan di masa

lalu, apakah memaafkan diri sendiri? Mengapa? • Atau mungkin orang-orang terdekat pernah menyakiti atau

membuat kecewa, apakah telah memaafkannya? Mengapa? Kegemaran, hobi, dan kreativitas

• Adakah kegemaran atau hobi di masa lalu masih bisa dilakukan di sini? Kalau ya, sebutkan dan mengapa? Kalau tidak, mengapa?

• Apakah di sini belajar keterampilan baru atau mengembangkan kreativitas? Bisa diceritakan?

• Dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, adakah manfaatnya? Jelaskan.

Respons terhadap penderitaan

• Bagaimana melihat penderitaan hidup yang dialami? Atau, penderitaan tersebut dianggap sebagai apa?

• Bagaimana menyikapi penderitaan tersebut? • Dengan hidup menderita berkepanjangan, apakah marah

kepada orang lain? Atau marah dengan Tuhan? Mengapa? • Adakah makna atau pelajaran yang bisa dipetik dari

pengalaman tidak mengenakkan itu?

Sejumlah praktisi mengatakan teknik intervensi yang dilakukan hanyalah

standar, tidak sampai menggunakan teknis khusus. Seorang informan peksos ahli

mencontohkan hanya memberikan dorongan bagi lansia dan membicarakan

kewajiban-kewajiban bagi penganut agama secara umum dengan menghindari kesan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 243: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

220

mendikte atau memaksa mereka. Pemberian motivasi juga dinilai lebih efektif dan

mudah diterima apabila dilakukan secara individu, ketimbang secara kolektif melalui

bimbingan kelompok atau pengajian agama, misalnya.

Untuk menghindari penolakan dari klien karena pengaruh masa lalu atau

sebab lain, seorang praktisi tidak langsung masuk dengan menyinggung agama,

selain harus melihat-lihat kondisi klien. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan

semacam pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si

klien melalui penalaran ringan (common-sensing). Praktisi ini menyebutnya sebagai

pendekatan secara “manusiawi” atau “wajarnya”. Misalnya, seperti dicontohkan

praktisi TY yang menyentil lansia melalui pertanyaan: “Kira-kira sih kalau misalnya

Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi contoh, mungkin jadi

kurang pantes Pak seandainya begini” (TY, 26/6/2014)

Berbagai bentuk intervensi oleh para informan tersebut, baik yang mereka

anggap sebagai berbasis spiritual-agama maupun tidak, dapat dikatakan sebagai

intervensi spiritual. Seperti halnya Canda dan Furman (1999/2010) yang berpendapat

bahwa sebetulnya segala bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat

digunakan dalam praktik yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam

kerangka nilai dan konteks pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang

penting adalah bahwa praktisi harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan

spiritualitas ketika melakukan praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau

berbicara dengan klien.

Senada dengan di atas, Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011),

mendefinisikan intervensi spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan

dimensi spiritual atau agama sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149).

Berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah dibuat oleh

banyak ahli. Holloway (2007, p. 276) mencontohkan Canda dan Furman; Furman et

al.; Gilligan, Gilligan dan Furness; Burton (teologi pastoral); Fowler (spiritual

development and review); Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’);

Nouwen dan Campbell (‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’); Thompson

(pencarian eksistensial); dan Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun,

Holloway menganggap Canda dan Furman sebagai yang paling lengkap dan detail.

Dalam buku mereka, Spiritual Diversity in Social Work Practice (diterbitkan 1999

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 244: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

221

Universitas Indonesia

dan telah direvisi 2010), Canda dan Furman memang merinci contoh-contoh teknik

pemberian pertolongan yang berorientasi spiritual secara lengkap, baik praktik

dengan individu, keluarga, kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas.

Dari persoalan spiritual lansia dan spiritual tasks yang telah dibahas di bab

sebelumnya, di sini dirinci sejumlah contoh intervensi yang bisa dianggap sensitif

secara spiritual didasarkan atas pengalaman dan ungkapan informan itu sendiri.

Perhatikan Tabel 6.2 berikut ini:

Tabel 6.2. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual

Masalah lansia Spiritual tasks Contoh intervensi spiritual (spiritual care)

Sedih, murung, patah semangat, putus asa

• Afirmasi • Semangat, daya hidup • Asa/harapan • Reminiscence

� Mengajak ngobrol, bertanya, menghibur � Diberi tugas atau tanggung jawab tertentu

agar lansia merasa berguna � Memberi semangat, perhatian, & kasih

sayang � Memposisikan diri sebagai teman/anak

untuk mengobrol � Melakukan berbagai aktivitas yang

menjadikan lansia merasa dianggap ada (eksistensi)

Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)

• Relationship atau connectedness

• Rekonsiliasi

� Menggunakan sentuhan fisik, eg., mengelus atau menepuk pundaknya.

� Memberi masukan, � Mengajak bicara dari hati ke hati, � Mengingatkan untuk selalu sabar. � Mengajak Doa dan menerangkan fungsi

doa Pertengkaran antar lansia panti

• Masa usia senja yang aman, nyaman & terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti

� Dipanggil, diajak ngobrol, atau diingatkan tentang umur

� Ditanamkan kesadaran hidup senasib di panti agar saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran.

Kecemasan menghadapi akhir hayat

• Preferensi tempat dikubur dan siapa yang mengurus

� Menanyakan secara hati-hati bagi lansia yang masih punya keluarga terkait tempat dan pihak yang mengurus.

� Mencatat & memfasilitasi mereka dengan pihak bersangkutan, terutama apabila saat meninggal ingin diurus keluarga

• Mengumpulkan bekal � Memastikan/mencari tahu lansia yang mengumpulkan/menyimpan bekal materi

� Menanyakan keinginan/tujuan pengumpulan bekal (eg. biaya tambahan untuk penggali kubur agar liang lahat dalam, untuk biaya mendoa/tahlilan/Yasinan)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 245: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

222

� Memfasilitasi pelaksanaan keinginan tersebut

• Menghadapi sakrotul-maut

� Mengajari lansia membaca lafadz-lafadz sederhana untuk menghadapi sakrotul-maut

� Mendampingi lansia saat sakrotul-maut � Membacakan Yasin � Menuntun lansia melafadzkan syahadat

• Kematian yang baik dan mudah

� Mencari tahu lansia pemakai susuk melalui berbagai cara

� Mencarikan & mengusahakan sare’at untuk menghilangkan susuk

• Kekhawatiran tidak ada yang urus kematiannya

� Mengikutsertakan lansia home care dalam Rukun Kematian (Rukma)

� Menjelaskan fungsi Rukma dalam membantu mengurus kematian

Urusan yang belum selesai dan harapan sebelum-setelah meninggal

• Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs)

� Membantu mengurus dan memfasilitasi perkara yang belum beres

� Mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya perkara selepas kepergiannya

� Menyediakan form wasiat atau pesan terakhir

� Menjalankan/mewujudkan wasiat dan harapan mereka

Sementara sejumlah bentuk intervensi spiritual, yang memungkinkan untuk

dilakukan dalam konteks pelayanan sosial di Indonesia berdasarkan temuan di

lapangan, ditunjukkan oleh Tabel 6.3 di bawah ini.

Tabel 6.3. Bentuk-bentuk intervensi spiritual

• Ibadah/ritual rutin • Mendengarkan cerita • Sembahyang • Mengobrol ringan secara berkala • Doa • Saling tegur sapa • Wirid dan dzikir • Rekreasi • Baca al-Qur’an atau Alkitab • Ziarah ke tempat-tempat suci • Memberi peran dan tugas dalam kegiatan

keagamaan • Memberikan perhatian kepada setiap

lansia tanpa kecuali • Saling meminta maaf ketika ada salah

atau salahpaham dan bermaaf-maafan di hari lebaran atau acara Syawalan

• Memberikan penghargaan atau hadiah melalui kegiatan atau lomba-lomba ringan

• Menciptakan kemungkinan atau kesempatan agar lansia saling berinteraksi

• Memfasilitasi kegemaran, hobi, dan kreativitas

• Memberi tugas dan tanggung jawab secara individu atau kelompok sesuai kemampuan

• Mendampingi lansia dalam menghadapi kematian dan membekali mereka selagi sehat dengan bacaan saat sakrotul-maut

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 246: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

223

Universitas Indonesia

6.2. Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia

Untuk mendukung pembuatan model pelayanan sosial yang sadar secara

spiritual, di sini perlu ada pembedaan tipologi untuk masing-masing praktisi dan

lansia. Asumsinya adalah praktisi dengan tipe tertentu memiliki kecenderungan

menerapkan cara atau model praktik tertentu pula. Begitupun tipologi lansia, suatu

model akan lebih selaras diterapkan untuk suatu tipe lansia ketimbang model lain.

6.2.1. Tipologi Praktisi dan Lansia

Tipologi praktisi dibuat berdasarkan cara mereka merespons pertanyaan

wawancara dan berinteraksi dengan klien, terutama terkait isu spiritualitas atau

keagamaan. Sementara tipologi lansia diklasifikasikan dari sisi pengetahuan agama

dan ketaatannya menjalankan agama. Untuk mempermudah pembahasan, tipologi

praktisi dan lansia diuraikan secara tersendiri.

6.2.1.1. Tipologi praktisi

Ada tiga tipe praktisi dari sisi karakteristik mereka ketika menjawab

pertanyaan dalam wawancara, berinteraksi dengan klien, dan mengekspresikan

keberagamaannya (kapasitas agama dan cara menggunakannya). Karakteristik kedua

dan ketiga juga mempertimbangkan hasil observasi dan dengan menafsirkan

jawaban-jawaban mereka (inferring) pada saat wawancara. Ketiga tipe praktisi

tersebut adalah tipe normatif, fleksibel, dan kearifan diri. Perhatikan Gambar 6.1

berikut ini.

Normatif Fleksibel Kearifan diri

YL, HT, dan SM ED, FS, TY, dan WN MM & HN

Gambar 6.1. Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan self-wisdom sentris

Pengelompokan tipe praktisi ini bersifat kontinum (menerus) karena

perbedaan antar tipe tidak betul-betul terpisah secara tegas. Oleh karena itu,

pemisahan antar tipe ditunjukkan sebagai garis putus-putus. Sebagai contoh, praktisi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 247: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

224

SM diklasifikasikan dalam tipe normatif, namun berdasarkan karakteristik

spiritualnya dapat digolongkan juga ke dalam tipe fleksibel.

a) Tipe normatif (praktisi YL, HT, dan SM)

Normatif di sini dilihat dari karakteristik atau kecenderungan jawaban

praktisi dalam wawancara. Misalnya ketika ditanya apa ibadah rutin yang

dirasa paling bermakna, jawabannya adalah semua Rukun Islam. Atau

misalnya pertanyaan bagaimana respons ketika ditimpa kemalangan, ia

mengatakan bahwa ia menerimanya sebagai ketentuan Tuhan. Ia mengatakan

pantang untuk bertanya-tanya kenapa kemalangan tersebut menimpanya,

karena hal itu diartikan sebagai tidak bersyukur atau marah kepada Tuhan.

Ketika misalnya sakitpun tidak boleh mengeluh kepada Tuhan (YL,

30/5/2013)

Praktisi tipe ini punya semacam pretensi untuk menggambarkan atau

menyampaikan informasi lebih tentang diri dan prinsip atau nilai yang

dipegang. Misalnya menceritakan hal-hal yang baik dan ideal tentang diri dan

keluarganya yang taat beribadah. Beberapa jawaban dalam wawancara juga

terkesan kurang apa adanya. Dalam berinteraksi dengan klien, praktisi yang

bersangkutan cenderung agak formal dan berjarak.

Kemudian ada kecenderungan lain bahwa keyakinan dan nilai yang dipegang

ingin diproyeksikan ke klien lansia (self-centred). Hal ini terlihat dari cara

praktisi tipe ini ketika memandang kemalangan yang menimpa klien. Sebagai

contoh, lansia yang di akhir hayatnya banyak ditimpa kemalangan dipandang

praktisi karena mungkin ibadah si klien kurang. Contoh lain misalnya ketika

melihat lansia yang sulit ditangani, menurutnya karena memang lansianya

yang error. Hal ini dapat dilihat dalam hasil coding berupa tema intervensi

yang gagal, terutama untuk praktisi YL dan SM. Sebagai contoh, praktisi SM

beranggapan bahwa lansia yang sudah nge-blank atau error biasanya sudah

tidak pengaruh. Tetapi apabila masa mudanya sudah punya dasar dan

terbiasa, menurutnya akan lebih mudah (SM, 12/6/2013).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 248: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

225

Universitas Indonesia

b) Tipe fleksibel (praktisi FS, ED, TY, dan WN)

Dari sisi kapasitas agama (praktik dan ekspresi), praktisi kelompok menengah

ini dapat dikatakan lumayan. Meskipun begitu, ketika menjawab berbagai

pertanyaan dalam wawancara mereka tidak terlalu normatif dengan

pengetahuan agamanya. Sebagai contoh, seperti telah dijelaskan di awal,

meskipun digolongkan dalam tipe normatif, praktisi SM dapat dimasukkan ke

tipe fleksibel apabila dilihat dari sisi ekspresi spiritualitas dalam keseharian.

Menurutnya, meskipun ibadahnya semakin membaik, ia tetap mengakui

mengalami naik-turun dalam menjalankan ibadah, seperti dalam hal sholat

sunnah atau baca al-Qur’an (SM, 12/6/2013).

Mereka cukup seimbang dalam menggunakan ajaran agama atau

menunjukkan ekspresi keagamaan dengan pertimbangan konteks atau situasi

yang melingkupi klien lansia. Dengan kata lain, porsi pertimbangan

akal/rasional dan ajaran/norma agama cukup seimbang.

Selain itu, mereka tampak cukup bijak dalam melihat dan memutuskan

sesuatu. Mereka cenderung bersikap luwes, tidak kaku, dan bisa

memposisikan diri tergantung kondisi atau tipe lansia. Mereka juga memiliki

visi memadukan dan menyelaraskan spiritualitas dan agama dengan profesi

pekerja sosial beserta prinsip etisnya. Lebih jauh, mereka sadar akan

kapasitas diri, sehingga ketika melampaui batas kemampuan diri dalam

menangani lansia, mereka akan merujukkan ke pihak yang lebih mampu.

c) Tipe kearifan diri (praktisi MM dan HN)

Berseberangan dengan tipe normatif, praktisi tipe ini tidak terlalu sering

menyinggung ajaran dan norma agama, namun bukan berarti tidak paham

atau tidak punya kapasitas. Pengetahuan agama mereka dapat dikatakan

standar dan ekspresi keagamaan tidak terlalu ketat, misalnya sebagian praktisi

tidak mengenakan jilbab dan tidak banyak mengutip ajaran atau istilah-istilah

agama. Jawaban-jawaban dalam wawancara terkesan apa adanya, tidak

berpretensi untuk menggambarkan diri sebagai sosok yang ideal (jaga image).

Meskipun dari sisi pengetahuan agama dikatakan standar, mereka tetap

memegang ajaran agama, namun tidak menjadi acuan utama atau satu-

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 249: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

226

satunya dalam penanganan. Dalam menangani lansia, praktisi tipe ini lebih

mengandalkan pengalaman atau kearifan diri nya atau yang dimiliki lansia

(lessons learned dari kasus-kasus lansia). Mereka lebih mengutamakan

konteks masalah klien untuk mencarikan jalan keluar. Oleh karena itu,

praktisi tipe ini dapat dikatakan sebagai praktisi yang berpusat pada kearifan

diri (self-wisdom centred).

Keyakinan dan nilai lebih dominan berasal dari pribadi dan keluarga (atau

sosial) dibanding dari agama. Misalnya terkait dorongan atau motivasi

melayani lansia, sebagian praktisi tipe ini menjawab karena alasan

kemanusiaan atau hanya ingin membantu, bukan karena ajaran agama.

Misalnya, ketika ditanya apa motivasi menolong lansia, seorang pendamping

home care menjawab bukan karena anjuran agama, tetapi karena ia ingat

dengan almarhumah ibunya yang semasa hidpnya suka menolong orang lain

(HN, 16/6/2013). Motivasi lain yaitu, misalnya sebagian mengaku, bahwa

dari pada bengong lebih baik mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat.

Ketika menyinggung soal agama atau mengajak lansia beribadah, mereka

melihat-lihat kondisi lansia terlebih dulu. Untuk hal-hal yang sensitif,

misalnya soal agama atau kematian, mereka berupaya tidak menyinggung

lebih dulu hingga lansia sendiri yang memulai berbicara.

6.2.1.2. Tipologi lansia

Tipologi lansia dibuat berdasarkan kapasitas pengetahuan agama dan praktik

agama (ibadah atau keberagamaan). Perlu diingat bahwa pembagian seperti ini bukan

dilihat dari sisi spiritualitas mereka karena dua dimensi kapasitas tersebut tidak bisa

sepenuhnya merepresentasikan spiritualitas praktisi. Untuk mempermudah tampilan

visual, di sini menggunakan koordinat Cartesius dimana sumbu vertikal mewakili

dimensi praktik agama lansia, sementara sumbu horisontal untuk dimensi

pengetahuan agama. Dengan demikian, ada empat kuadran (kuadran I-IV) yang

menggambarkan empat tipe lansia yang berbeda.

Dari keempat kuadran tersebut, hanya dijumpai kuadran I sampai III yang

dijumpai di lapangan, dimana kuadran I mewakili tipe lansia salih, kuadran II untuk

tipe pengikut, dan kuadran III untuk tipe awam. Sementara tipe lansia dalam kuadran

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 250: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

227

Universitas Indonesia

IV tidak ditemukan yang menunjukkan kurangnya kapasitas lansia baik dari sisi

ibadah maupun pengetahuan agama. (Perhatikan Gambar 6.2)

Praktik agama (keberagamaan) (sumbu vertikal)

Pen

geta

huan

ag

ama

(s

umbu

hor

ison

tal)

Kuadran II

TIPE PENGIKUT

(Sgn, Mrw,

Gbg, Pnd, Alm)

+

Kuadran I

TIPE SALIH

(Bs, Rml,

Nrn, Est)

-

(Kntw, Msn)

TIPE AWAM

Kuadran III

-

+

-

Kuadran IV

Gambar 6.2. Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan

Dari sisi pengetahuan agama, kesebelas informan lansia menunjukkan ada

yang baik (positif) dan ada yang kurang. Namun dari sisi ibadah, semua informan

lansia dapat dikatakan baik atau positif, karena mereka cenderung religius. Baik atau

positif yang dimaksud di sini lebih menggambarkan kerajinan melaksanakan ibadah

atau kehadiran dalam kegiatan keagamaan bersama kelompok. Sebaliknya, nilai

negatif pada sumbu horisontal menunjukkan kurangnya kapasitas pengetahuan

agama. Berikut adalah ketiga tipe lansia yang ada dalam penelitian ini:

a) Lansia tipe salih (informan Bs, Rml, Nrn, dan Est). Kelompok ini memiliki

pengetahuan agama dan praktik ibadah yang baik.

b) Lansia tipe pengikut (informan Sgn, Mrw, Gbg, Pnd, dan Alm). Tipe lansia

ini kurang memiliki pengetahuan agama, namun baik dari sisi praktik atau

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 251: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

228

keberagamaan. Dengan kata lain, meski tidak terlalu paham agama, mereka

taat beribadah.

c) Lansia tipe awam (informan Kntw dan Msn). Lansia tipe ini memiliki

pengetahuan agama dan ketaatan yang relatif kurang terhadap agama.

Di samping pembagian berdasarkan dua dimensi tersebut, kesebelas informan

lansia juga dapat digolongkan dalam dua tipe, dari sisi perbandingan keberagamaan

mereka antara dahulu masa muda dan masa tua saat ini. Seperti halnya tipologi di

atas, tipologi ini bukan terkait dengan tinggi-rendahnya spiritualitas mereka. Kedua

tipe tersebut adalah tipe stabil dan semakin meningkat.

Tipe stabil berarti keberagamaan yang mereka miliki cenderung konsisten

sejak masa muda, namun tetap menunjukkan peningkatan. Mereka juga memiliki

pondasi agama yang relatif baik. Dalam wawancara, sebagian mengaku bahwa

ibadah mereka tidak tambah meningkat karena kejadian musibah, penderitaan yang

pernah dialami, atau kondisi tinggal di panti. Tipe ini terdiri dari lansia yang juga

termasuk dalam tipe salih dalam pembagian di atas. Sementara tipe semakin

meningkat adalah mereka yang memiliki keberagamaan cenderung meningkat

dibanding sebelumnya, yakni masa sebelum tinggal di panti atau pada masa

mudanya. Berdasarkan tipologi sebelumnya, lansia tipe pengikut dan tipe awam

termasuk dalam tipe yang keberagamaannya semakin meningkat ini.

6.2.2. Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia

Praktisi dengan tipologi tertentu dapat melakukan penanganan bagi lansia

dengan tipologi tertentu pula. Interaksi antara tiga tipe praktisi dan tiga atau dua tipe

lansia menghasilkan sejumlah kombinasi tertentu yang sekiranya cocok dan dengan

model yang berbeda. Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa istilah model yang

dimaksud di sini dapat merujuk ke Rodgers (2010), seperti dikutip Friedman et al.

(2011), bahwa suatu model diupayakan dibuat agar “sesuai dengan realitas yang

hendak dijelaskan melalui cara-cara penting,” oleh karenanya “model tentu saja lebih

sederhana ketimbang realitas itu sendiri” (p. 81). Definisi model menurut Friedman

et al. (2011) dirujuk dalam penelitian ini karena mereka sendiri mengeksplorasi

ragam model perkembangan spiritual dalam artikelnya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 252: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

229

Universitas Indonesia

Pengikut

Seperti tampak pada Gambar 6.3, tipe praktisi normatif hanya dapat

memberikan pelayanan untuk lansia tipe salih atau tipe stabil. Tipe praktisi fleksibel-

kondisional dapat melakukan asesmen dan intervensi untuk semua jenis tipe lansia,

namun tetap ada batasan tertentu ketika menangani lansia salih (pada Gambar 6.3

ditandai dengan tanda panah garis putus). Sedangkan, tipe kearifan diri dipandang

cocok untuk menangani lansia tipe pengikut dan awam atau tipe semakin meningkat.

TIPE PRAKTISI TIPE LANSIA

Dari sisi karakteristik mengekspresikan agama

Dari sisi pengetahuan dan praktik agama

Dari sisi keberagamaan waktu muda dan tua

Gambar 6.3. Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia

6.2.2.1. Asesmen spiritual

Tipe praktisi normatif, yang disarankan untuk menangani lansia tipe salih

atau yang keagamaannya stabil, cocok untuk memakai model asesmen yang bersifat

formalistik (perhatikan Gambar 6.4). Asesmen formalistik menggunakan cara

identifikasi yang bersifat formal operasional melalui wawancara. Dari sisi proses,

model ini sering bersifat satu arah (top-down) yang menunjukkan hubungan kurang

setara antara praktisi dan klien, sehingga klien menjadi cenderung pasif atau akan

menjawab hanya ketika ditanya praktisi. Untuk hal-hal yang bersifat sensitif bagi

lansia, seperti isu spiritual atau soal-soal keagamaan, praktisi juga lebih suka

Normatif

Fleksibel-kondisional

Kearifan diri

Salih

Awam

Stabil

Semakin meningkat

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 253: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

230

langsung bertanya ke inti permasalahan (to the point), tanpa harus melihat-lihat

kondisi klien lebih dulu.

Gambar 6.4. Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia

Identifikasi spiritualitas klien dalam model formalistik kurang mendalam

karena hanya mengungkap permukaan. Praktisi memiliki kecenderungan melengkapi

blangko formulir, catatan identifikasi, ataupun asesmen. Akibatnya, hasil asesmen ini

hanya berupa latar muka (front stage) dari lansia karena lebih dominan mengungkap

sisi formal-prosedural keagamaan, seperti agama klien, kemampuan mengaji al-

Qur’an, hapalan surat pendek, wudlu, sholat, baca Alkitab, doa, dan lain-lain.

Dengan demikian, asesmen dengan model ini cocok untuk identifikasi awal ketika

lansia masuk ke panti atau masuk dalam pelayanan home care. Eksplorasi lebih

mendalam harus dilanjutkan dengan model dialogis-resiprokal, sekaligus sebagai

konfirmasi terhadap hasil identifikasi awal tadi.

Terkait asesmen formalistik sebagai asesmen tahap awal ini, praktisi TY telah

menegaskan bahwa sebagian ada catatan asesmen, namun lebih bersifat formalitas

dan tidak mendetail. Selain itu, menurutnya, karakteristik asli dari klien di awal-awal

biasanya belum begitu terlihat, karena lebih banyak berupa identifikasi masalah dan

kebutuhan fisik atau agama secara formal (TY, 26/6/2014).

Salah satu kelebihan model ini adalah waktu yang diperlukan untuk

melakukan identifikasi atau asesmen lebih singkat. Namun, kekurangan model ini

hanya dimungkinkan untuk lansia yang lancar berkomunikasi dan mampu

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 254: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

231

Universitas Indonesia

mengartikulasikan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, untuk mereka yang tidak lancar

atau memiliki disabilitas tertentu, semisal pikun atau alzheimer, model ini kurang

aplikatif.

Sementara tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri lebih tepat

menggunakan asesmen yang bersifat dialogis-resiprokal untuk menangani semua tipe

lansia (perhatikan lagi Gambar 6.4). Asesmen model ini tidak hanya menggunakan

cara formal dalam melakukan identifikasi terhadap klien, tetapi juga informal atau

natural melalui berbagai kesempatan. Dari sisi metode tidak hanya wawancara,

namun juga menggunakan observasi, baik sebagai partisipan maupun insider. Hal ini

dijelaskan oleh seorang praktisi di panti bahwa semakin lama melalui interaksi

keseharian, karakteristik atau watak klien biasanya semakin dapat dipahami (TY,

26/6/2014).

Selain itu, model ini meniscayakan kedudukan yang setara antara praktisi dan

klien dan adanya dialog dua arah secara resiprokal (timbal-balik), sehingga klien

tidak pasif. Kemudian, terkait isu-isu sensitif bagi klien, praktisi kadang tidak

langsung bertanya, namun melihat-lihat kondisi terlebih dulu. Dengan kata lain,

praktisi tidak memulai membicarakan hal-hal yang sensitif sampai klien sendiri yang

menyinggungnya.

Sebagai contoh, ketika memberikan motivasi dan pandangan soal keagamaan,

seorang peksos di panti berupaya melakukannya secara hati-hati. Menurut praktisi

ini, cara penyampaian kepada klien lansia harus dikemas sedemikian rupa dan tidak

dengan cara mendikte atau terlalu mencampuri agar jangan sampai menyinggung

perasaan mereka. Alasannya, persoalan kagamaan bagi lansia merupakan hal sensitif.

Sebaliknya, ia tidak mencoba memulai membicarakan persoalan yang sensitif

tersebut hingga mereka sendiri yang menyinggungnya (FS, 1/7/2014).

Berbeda dengan model formalistik, dalam melakukan eksplorasi model

dialogis-resiprokal ini lebih variatif dan mendalam, seperti tentang pandangan, nilai,

keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain. Dikatakan cukup mendalam karena

model ini berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau hal-hal terkait

pengalaman dan perasaan. Hasil asesmen diupayakan mampu menggali back-stage

dari lansia. Dengan begitu, model ini cocok untuk asesmen lanjutan dengan tujuan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 255: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

232

menggali tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi/kekuatan

dalam rangka memahami lansia secara menyeluruh.

Dari segi waktu, model dialogis ini memang memakan waktu lebih lama dan

membutuhkan interaksi yang lebih intensif dibanding model formalistik di atas.

Namun, model ini bisa diterapkan untuk semua lansia, baik yang lancar atau tidak

lancar berkomunikasi atau menyampaikan pikiran dan perasaan. Lansia dengan

disabilitas tertentu juga masih sangat memungkinkan.

Hal lain yang menjadi kelebihan model ini adalah bahwa, tidak seperti model

formalistik yang serial berurutan dan linier, tahap asesmen dapat dilakukan paralel

dengan tahap intervensi secara overlapping atau bahkan spiral/iteratif. Pada saat

tahap intervensi dilakukan, tindakan asesmen juga masih bisa dilakukan. Misalnya,

kebutuhan lansia untuk menceritakan kenangan atau kisah masa lalunya

(reminiscence) dapat dipenuhi dengan intervensi oleh praktisi berupa mendengarkan

dan memberikan tanggapan sekadarnya. Mendengarkan cerita mereka dilakukan

secara intens, meskipun ceritanya sering kali hanya diulang-ulang. Pada saat yang

bersamaan, praktisi juga bisa sambil melakukan asesmen dalam kerangka memahami

latar belakang si klien secara lebih lengkap.

Karakteristik masing-masing model asesmen spiritual yang telah diuraikan di

atas terangkum dalam Tabel 6.4 halaman berikutnya.

6.2.2.1. Intervensi spiritual

Tipe praktisi normatif, yang dikatakan pas menggunakan asesmen bersifat

formalistik, cocok mengaplikasikan intervensi yang bersifat direktif (Gambar 6.5).

Dengan intervensi model ini, praktisi tipe normatif seringkali memegang kendali

kemana arah dan tujuan intervensi. Dengan kata lain, intervensi yang dilakukan

cenderung bersifat direktif atau top-down. Praktisi dianggap atau diposisikan lebih

tahu atau memahami yang terbaik bagi klien. Dengan begitu, sifat relasi antara

praktisi dan klien tidaklah setara, yakni semacam relasi expert–client.

Model intervensi ini juga berorientasi pada penyelesaian masalah (problem-

solving) dan pemenuhan kebutuhan klien. Selain itu, tahap intervensi dilakukan

secara terpisah setelah tahap asesmen dilakukan, karena tahap penanganannya

bersifat linier atau serial. Intervensi model direktif lebih tepat dijadikan sebagai

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 256: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

233

Universitas Indonesia

kelanjutan dari model asesmen formalistik. Oleh karena itu, penanganan lansia

dengan model direktif sebenarnya lebih terencana dan terstruktur.

Tabel 6.4. Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien

Karakteristik Model Formalistik Model Dialogis-resiprokal

Metode Formal operasional (pen-and-paper questionnaires)

Formal atau informal (natural) melalui berbagai kesempatan

Proses Sering bersifat satu arah (top-down), kurang setara, klien pasif, hanya menjawab pertanyaan

Lebih bersifat dialogis dua arah, timbal-balik (resiprokal), klien tidak pasif, kedudukan setara

Menyinggung perkara sensitif

To the point bertanya soal keagamaan atau isu spiritual, tanpa harus melihat-lihat kondisi klien lebih dl

Melihat-lihat kondisi lebih dulu; tidak memulai membicarakan hal-hal sensitif sampai klien sendiri yg menyinggungnya

Materi Hal-hal formal-prosedural, misal agama klien, baca Qur’an, hapalan surat, doa, pendek, baca Alkitab, wudlu, sholat

Lebih variatif & mendalam, misal tentang pandangan, nilai, keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain.

Kedalaman eksplorasi

Kurang mendalam, hanya mengungkap permukaan (mengisi formulir/catatan identifikasi/asesmen). Hasil asesmen berupa front stage

Cukup mendalam karena berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau pengalaman & perasaan. Hasil asesmen berupa back-stage

Asesmen lanjut

Cocok untuk identifikasi awal yang bertujuan menggali masalah dan kebutuhan

Asesmen lanjutan lebih bertujuan menggali potensi/kekuatan dalam rangka memahami totalitas

Asumsi Tahap asesmen dan intervensi bersifat linier/serial (berurutan)

Asesmen -intervensi tidak harus serial, tapi paralel dan bahkan spiral/iteratif.

Untuk tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri, lebih tepat

melakukan intervensi bersifat reflective-partnership untuk semua tipe lansia. Namun,

khusus untuk tipe praktisi kearifan diri tampaknya kurang cocok apabila hendak

menangani lansia tipe salih atau stabil (perhatikan lagi Gambar 6.4).

Berbeda dengan model direktif, intervensi bersifat reflective-partnership

mensyaratkan adanya hubungan yang setara antara praktisi dan klien lansia.

Hubungan kesetaraan ini diharapkan menciptakan hubungan pertemanan layaknya

partner yang dapat menghilangkan sekat antar keduanya dan atribut praktisi sebagai

ahli, pekerja sosial, pendamping, petugas, atau pegawai panti. Terkait dengan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 257: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

234

hubungan setara dan adanya partnership, intervensi dengan model ini sangat cocok

dengan motivasi praktisi yang menganggap klien lansia sebagai orang tua atau

nenek-kakek mereka sendiri.

Praktisi WN termasuk dalam tipe ini karena menggunakan intervensi dengan

corak partnership seperti itu. WN menceritakan bahwa apabila mengarahkan lansia

dengan cara memaksa, kemungkinan besar lansia yang bersangkutan akan menolak.

Sebaliknya, praktisi ini lebih memilih memberikan perhatian dan kasih-sayang atau

misalnya dengan cara bercanda seperti layaknya antar teman atau dengan orang tua

sendiri, sehingga dengan begitu, lansia juga merasa senang dan bangga (WN,

13/6/2013). Dengan cara penanganan seperti itu, praktisi WN mencatat keberhasilan

dalam menangani sejumlah lansia. Katanya, dengan kesabaran dan keuletannya

beserta praktisi lain, klien lansia yang awalnya mengalami depresi menunjukkan

perbaikan dengan mampu beradaptasi, tumbuhnya kepercayaan diri, mengenal diri-

sendiri (13/6/2013).

Dikatakan sebagai model reflektif karena tindakan intervensi tidak selalu

ditentukan oleh praktisi, namun dapat dihasilkan dari dialog atau kesepakatan dengan

klien, sebagai hasil keputusan bersama. Dengan meniscayakan adanya proses dialog,

intervensi membutuhkan interaksi yang intensif sehingga dari segi waktu bisa lebih

lama dibanding model direktif. Seorang praktisi di panti mencontohkan bentuk

intervensi terhadap lansia secara individu yang membutuhkan interaksi secara

intensif. Praktisi ini menegaskan bahwa bentuk intervensinya harus dengan

bimbingan individu agar lebih bisa diterima, misalnya dalam bentuk memberi

motivasi dan mengingatkan, bukan seakan-akan menggurui mereka. Sementara,

bimbingan yang sifatnya klasikal dilakukan untuk tujuan terapi, misalnya agar

membuat lansia gembira (TY, 26/6/2014).

Asesmen yang cocok disandingkan dengan model intervensi ini adalah model

dialogis-resiprokal. Kemudian, berbeda dengan model direktif, tahap asesmen dan

intervensi tidak harus dilaksanakan secara serial berurutan, tapi bisa paralel

bersamaan secara overlapping atau spiral/iteratif. Artinya, pada saat tahap intervensi

dilakukan, tindakan asesmen masih bisa dilakukan. Intervensi dengan model ini juga

tidak hanya bertujuan untuk problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tetapi juga

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 258: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

235

Universitas Indonesia

berupaya memahami lansia secara utuh dalam rangka perkembangan spiritual

(spiritual growth).

Dalam literatur, model reflektif-partnership dapat merujuk ke pendekatan

client-centred yang bersifat non-directive menurut Howe (1987, p. 98). Pendekatan

ini berupaya mengikuti bagaimana klien memahami diri-sendiri, terkait masalah dan

kebutuhannya. Selain itu, Howe berpendapat bahwa ketika menggali perasaan,

persepsi, dan pemaknaaan mereka, upaya penggalian itu sendiri sudah dianggap

sebagai suatu pemberiaan pertolongan bagi klien karena tindakan ini bersifat

terapeutik dan bermanfaat bagi klien. Pendekatan client-centred juga dapat

digambarkan dengan kata-kata Gotterer (2001, p. 192) bahwa penanganan harus

mengikuti klien apapun yang menjadi masalah atau kebutuhannya (“meet the client

where they are”).

Secara keseluruhan berdasarkan tipologi, contoh-contoh penanganan yang

dilakukan masing-masing tipe praktisi terhadap lansia tampak pada Gambar 6.5.

bentuk-bentuk penanganan tersebut diidentifikasi dengan melihat tingkat

keberhasilan penanganan dan kecenderungan kecocokan antara tipe pratisi dan tipe

lansia. Dalam gambar tersebut tampak sejumlah intervensi dapat dilakukan oleh

semua tipe praktisi, ada yang hanya cocok dilakukan oleh satu tipe, dan ada juga

yang dapat diberikan oleh dua tipe. (Perhatikan juga Gambar 6.3 di awal)

Beberapa bentuk intervensi dapat dilakukan oleh semua tipe praktisi,

contohnya seperti mendampingi lansia dalam kegiatan rekreasional, hiburan, lomba,

atau kegiatan seni; memfasilitasi penyaluran hobi dan kreativitas; dan mendampingi

sejumlah bimbingan yang diadakan lembaga. Praktisi YL, misalnya, yang walaupun

bertipe normatif, tidak hanya melulu mengajak klien lansia untuk beribadah, tetapi

juga kegiatan kesenian, misalnya dengan mendengarkan musik atau bernyanyi

diiringi musik organ, agar membuat lansia senang dan terhibur (YL, 30/5/2013).

Bentuk intervensi yang lebih cocok ditangani oleh satu kelompok praktisi,

sebagai contoh tipe normatif, adalah dengan memberi nasehat atau masukan kepada

lansia dan menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan yang diadakan

lembaga panti atau home care. Sebagai contoh, praktisi YL sering menasehati,

mengingatkan, atau mengajak klien untuk beribadah, menjaga kebersamaan,

menghindari pertengkaran, dan selalu mengingatkan kematian yang bisa datang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 259: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

236

TIPE NORMATIF

TIPE

FLEKSIBEL

TIPE KEARIFAN DIRI

• Memberi nasehat, masukan

• Menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan

• Mengajari & mengajak praktik ibadah • Mengajari doa, dzikir • Mengingatkan untuk sabar, ikhlas, dll. • Memberi peran/tugas dalam kegiatan

agama • Pendampingan untuk menghadapi atau

ketika sakrotul-maut • Memfasilitasi keinginan lansia

sebelum & sesudah meninggal

• Memberi peran/tugas terkait tanggung jawab, kegiatan keseharian, atau upaya membantu lansia lain

• Memotivasi lansia untuk sabar, tawakal, & banyak ibadah

• Mendampingi kegiatan rekreasional/hiburan (lomba, menyanyi, rekreasi, dll)

• Mendampingi kegiatan terapeutik yang diadakan panti/lembaga home care

• Memfasilitasi penyaluran hobi, kegemaran, kreativitas, dll.

• Memosisikan diri atau berperan sebagai teman ngobrol, curhat, dll.

• Menciptakan kesempatan/kemungkinan bagi lansia untuk berinteraksi

• Mencarikan sare’at untuk lansia yang masih pasang susuk

• Memberikan penyadaran soal agama dan masa akir hayat

• Menghibur • Mendengar cerita

/kenangan masa lalu • Memberi perhatian-

perhatian kecil

setiap saat (YL, 30/5/2013). Dari sisi tingkat keberhasilan, dengan cara sering

memberi nasehat dan mengingatkan seperti itu, praktisi tersebut mengakui adanya

perubahan positif pada lansia. Misalnya perubahan dari yang tadinya malas

beribadah, malas sholat menjadi rajin (YL, 30/5/2013).

Gambar 6.5. Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi

Sementara, intervensi yang dapat diberikan oleh dua tipe praktisi, misalnya

oleh tipe normatif dan fleksibel. Mereka dapat memberikan intervensi berupa:

mengajari tata cara ibadah sekaligus mengajak praktik pelaksanaannya dalam

keseharian; mengajari doa, dzikir, atau wirid; mengingatkan secara verbal untuk

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 260: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

237

Universitas Indonesia

sabar, ikhlas, dan tawakkal; membagi peran atau tugas dalam kegiatan agama, misal

sebagai muadzin, petugas iqomat, imam sholat, menyanyi di kebaktian dan lain-lain;

mengajari lafadz atau kalimat tahlil sederhana untuk menghadapi kematian dan

melakukan pendampingan pada saat lansia sedang sakrotul-maut; dan memfasilitasi

sekaligus mewujudkan keinginan lansia sebelum dan sesudah meninggal, seperti

tahlil atau mendoakan keselamatan bersama penghuni panti (slamatan). Karakteristik

untuk masing-masing model intervensi spiritual di atas tampak dalam Tabel 6.5.

Tabel 6.5. Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien

Karakteristik Model Direktif Model Reflective-partnership

Pendekatan Bersifat langsung (directive) dari praktisi untuk klien

Bersifat tidak langsung (non-directive), namun berpusat pada klien (client-centred)

Hubungan praktisi-klien

• Expert – client • Tindakan lebih dominan

ditentukan praktisi karena dianggap lebih tahu yang terbaik untuk klien (top-down)

• Setara • Tidak selalu ditentukan oleh

praktisi, tapi dapat dihasilkan dari dialog/kesepakatan dengan klien, sebagai hasil keputusan bersama.

Asumsi Tahap intervensi terpisah setelah asesmen dilakukan (linier/serial)

Bisa paralel dengan asesmen (overlapping atau spiral/iteratif). Saat intervensi, tindakan asesmen masih bisa dilakukan.

Tujuan Berorientasi problem-solving atau pemenuhan kebutuhan

Tidak hanya problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tapi juga memahami lansia secara utuh untuk tujuan spiritual growth

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 261: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

239

BAB 7

KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA

Bab ini merupakan pembahasan terkait komponen spiritual pada lansia yang

relevan untuk kesehatan kondisi mental mereka. Bab ini juga sekaligus sebagai

pembahasan hasil penelitian terkait tujuan penelitian ketiga dan keempat. Namun,

sebagian juga membahas hasil penelitian dari pertanyaan penelitian kedua,

khususnya terkait perspektif praktisi tentang masalah kesehatan mental lansia. Untuk

itu, sebelum membahas komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental

lansia, segala permasalahan yang dihadapi lansia yang dapat mempengaruhi kondisi

mental dan bagaimana mereka merespons akan diidentifikasi terlebih dahulu.

7.1. Masalah Kesehatan Mental Lansia

Sub-bab ini berupaya mengidentifikasi sejumlah masalah kesehatan mental

lansia yang muncul baik dari penuturan informan praktisi maupun lansia melalui

wawancara. Di samping dari hasil wawancara, informasi tentang permasalahan

mental-emosional yang diderita klien lansia diperoleh dari hasil observasi dan

penelusuran dokumen. Hasil identifikasi tersebut menunjukkan sejumlah perbedaan

karena hasil penilaian atau perspektif orang kedua tentang subjek dibanding

perspektif si subjek itu sendiri yang mengalami tentu akan berbeda. Oleh karena itu,

masalah kesehatan mental lansia akan dibahas menurut perspektif kedua kelompok

informan tersebut.

7.1.1. Perspektif Praktisi

Perlu ditegaskan kembali bahwa permasalahan lansia di sini didasarkan atas

perspektif dari informan praktisi, bukan dari lansia itu sendiri. Berdasarkan

penuturan mereka, masalah yang dialami lansia, yang dapat menjadi masalah

kesehatan mental ataupun dapat memmpengaruji kondisi mental mereka, meliputi

marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa, perasaan tersingkir atau terisolasi,

kecemasan akan kematian, kecemasan terhadap urusan yang tidak selesai di akhir

hayat, dan lain-lain.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 262: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

240

Lansia dengan masalah emosional tertentu yang dimaksud praktisi tidak

melulu terkait dengan lansia yang menjadi informan penelitian ini, namun klien

lansia yang mereka secara umum. Serangkain masalah tersebut muncul di antaranya

dari tema atau node: @asesmen, @intervensi, @contoh kasus intervensi,

@penanganan akhir kehidupan, dan @keyakinan-nilai praktisi. Tema keyakinan dan

nilai di sini terkait pandangan praktisi tentang masalah atau penderitaan lansia yang

mereka tangani.

Dalam node @asesmen, misalnya, praktisi YL menceritakan upayanya

mendekati klien lansia dan menggali penyebab kesedihan yang sedang dialami lansia

bersangkutan kemudian berupaya membantu menghilangkan kesedihan tersebut (YL,

30/5/2013). Contoh lain muncul dari node @contoh kasus intervensi, yakni

kemarahan seorang klien terhadap anaknya. Menurut pengakuan lansia itu, anaknya

yang waktu itu sedang hamil 7 bulan telah membuang dan menelantarkannya

sehingga saat ini si nenek harus hidup di panti. Informasi ini diceritakan oleh praktisi

WN yang kemudian berupaya mengingatkan klien agar tidak menjelek-balikkan si

anak. Bahkan praktisi ini menasehati bahwa sebaiknya lansia tersebut mendoakan

anaknya agar hatinya terbuka dan ingat kepada dirinya (WN, 13/6/2013). Contoh

selanjutnya berasal dari praktisi home care ED yang menceritakan lansia J yang

merasa sepi terisolasi karena semua anaknya bekerja agak jauh di luar rumah,

sehingga semua pekerjaan rumah dilakukannya sendiri (ED, 16/6/2013).

Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kategori dan node di atas, Tabel

7.1 di bawah merangkum hasil identifikasi tersebut kaitannya dengan masalah-

masalah lansia yang dapat mengganggu kondisi mental lansia.

Tabel 7.1. Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi

Masalah lansia

Marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa

Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)

Pertengkaran antar lansia panti

Kecemasan menghadapi akhir hayat

Urusan yang belum selesai dan tidak terwujudnya harapan sebelum-setelah meninggal

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 263: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

241

Universitas Indonesia

7.1.2. Perspektif Klien Lansia

Sementara itu, ada beragam pengalaman atau penderitaan yang dirasakan dan

dituturkan oleh lansia sendiri yang berakibat terganggunya kondisi kesehatan mental.

Ragam pengalaman dan penderitaan tersebut muncul dari sejumlah kategori atau

sub-kategori sebagai berikut: @pengalaman-penderitaan, @kekhawatiran-ketakutan,

@respons, @menyikapi akhir hayat, @harapan, dan @mengheningkan cipta.

Node @pengalaman-penderitaan merupakan tema yang cukup banyak

memilah informasi tentang permasalahan atau penderitaan yang dialami lansia,

meskipun hanya lima informan yang menuturkan pengalaman tidak menyenangkan

tersebut kepada peneliti melalui wawancara (perhatikan Tabel 14.2, Lampiran 14).

Sebagai contoh, lansia Msn menceritakan hidupnya yang susah dan perasaan

terisolasi karena suami dan anak sudah meninggal serta hubungannya dengan

saudara agak jauh (Msn, 16/6/2013)

Sedangkan untuk node @respons, @kekhawatiran-ketakutan, dan

@menyikapi akhir hayat, dari sisi nama node-nya dapat menggambarkan penderitaan

hidup dan masalah kesehatan lansia itu sendiri. Referensi untuk node @respons dan

@menyikapi akhir hayat lumayan tinggi yang berasal dari sepuluh informan. Untuk

node @kekhawatiran-ketakutan dibicarakan oleh delapan informan dan dengan

cakupan (coverage) yang tidak terlalu tinggi. (Tabel 14.4 & 14.8, Lampiran 14)

Dalam node @harapan dan @mengheningkan cipta juga menggambarkan

reaksi atau coping terhadap penderitaan yang mereka alami. Khusus untuk node

@harapan, seluruh informan lansia menyinggungnya dan nenek Msn adalah yang

paling sering. Dari gambaran ini, node @harapan menjadi tema penting dalam

spiritualitas lansia. (Tabel 14.6 dan 14.8 dalam Lampiran 14)

Hasil identifikasi terhadap sejumlah kategori dan serangkaian nodes di atas,

Tabel 7.2 berikut merangkum masalah kesehatan mental lansia menurut perspektif

lansia itu sendiri dengan dilengkapi hasil observasi dan penelusuran dokumen terkait.

Meski tampak berbeda, dua hasil identifikasi masalah lansia menurut

perspektif praktisi dan lansia, seperti dirangkum dalam Tabel 7.1 dan 7.2, dijumpai

sejumlah titik temu. Contohnya adalah soal keterpisahan, isolasi, dan relasi yang

tidak baik (Tabel 7.2) yang identik dengan soal perasaan dibuang atau disingkirkan

oleh keluarga dan pertengkaran antar lansia di panti (Tabel 7.1). Selain itu,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 264: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

242

kecemasan lansia terhadap akhir hayat yang ada pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.1

tampak memiliki benang merah.

Tabel 7.2. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia

Masalah lansia Dimensi

Disabilitas • Keterbatasan fisik • Menderita sakit-sakitan

Keterpisahan • Terpisah dari anak-cucu atau saudara • Kesepian karena anak/menantu sibuk bekerja

Isolasi • Hidup sendiri jauh dari anak-cucu • Merasa terasing

Relasi yang tidak baik • Hubungan jauh dengan keluarga • Pertengkaran antar lansia

Penderitaan hidup • Hidup serba kekurangan • Sering disakiti orang sekitar

Kehilangan (loss) • Kehilangan orang terdekat (suami/istri, anak, saudara dekat) • Kehilangan harta-benda

Kecemasan • Kecemasan terhadap akhir hayat • Kecemasan akan masa depan anak-cucu

Dari kedua tabel tersebut juga tampak belum ada pemilahan antara masalah

atau penderitaan hidup dengan kesehatan mental lansia. Secara teoretis, kemalangan

hidup dapat menjadi penyebab terganggunya kondisi mental mereka (marah, sedih,

depresi, dan lain-lain). Atau bisa sebaliknya, gangguan mental dapat menimbulkan

penderitaan hidup. Hal ini dapat dirujukkan ke konsep psikosis dan neurosis menurut

Frankl (2004). Seperti dijelaskan pada Bab 3 dan Tabel 3.2, baik penyebab (etiologi)

maupun gejala (simptomotologi) dari kondisi kesehatan mental yang terganggu dapat

disebabkan oleh aspek fisik-biologis (somatis) dan juga aspek psikologis.

7.2. Respons terhadap Penderitaan

Pengalaman atau penderitaan hidup di atas disikapi oleh lansia dengan

pemaknaan dan respons positif yang membuat mereka bertahan dan mampu

menjalani hidup dengan berkualitas. Respons semacam ini tampak dari beberapa

kategori atau sub-kategori, di antaranya adalah: kategori #pemaknaan terhadap

penderitaan (node @musibah-cobaan-peringatan dan @“ada musibah ada hikmah”),

@respons, @pasrah-menerima, @sabar dan tawakkal, dan @bersyukur.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 265: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

243

Universitas Indonesia

Dari sisi jumlah sebaran dan pembicaraan oleh informan, masing-masing

node menunjukkan angka yang cukup signifikan. Di antara sejumlah node ini,

@respons adalah yang paling signifikan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Memaknai penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan ditunjukkan oleh

tujuh informan lansia. Sedangkan pencarian hikmah dibalik musibah atau cobaan

yang dialami ditunjukkan oleh hanya dua informan. (Tabel 14.4, Lampiran 14)

Selain respons positif dalam node @respons yang telah dibahas, ada juga

respons pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan bersyukur. Sikap pasrah dan

menerima, seperti pada node @pasrah-menerima, merupakan respons yang paling

dominan setelah node @respons. Selain pasangan lansia Pnd dan Gbg, semua

informan menunjukkan sikap ini. Sebaran tertinggi diberikan oleh informan nenek

Msn yang bercerita cukup panjang. (Tabel 14.3, Lampiran 14)

Node berikutnya yang paling sering dibicarakan informan dan memiliki

sebaran tertinggi setelah node @respons dan @pasrah-menerima adalah node

@bersyukur. Sikap bersyukur meski ditimpa musibah diperlihatkan oleh hampir

semua informan, selain pasangan lansia Pnd-Gbg dan nenek Bs. Di antara lansia

yang menyinggungnya, informan kakek Mrw adalah yang paling sering

mengungkapkannya. Terakhir, node @sabar & tawakkal adalah respons yang paling

jarang karena hanya tiga informan yang menyinggungnya, dimana pasangan lansia

Pnd dan Gbg adalah yang paling kental menunjukkan sikap sabar dan tawakkal.

(Tabel 14.3, Lampiran 14)

Pembahasan tentang pemaknaan dan respons terhadap penderitaan hidup

lansia yang juga saling mempengaruhi terhadap kondisi kesehatan mentalnya secara

sederhana dapat diilustrasikan pada Gambar 7.1.

Apabila dikaitkan dengan teori coping, pemaknaan dan respons yang

ditunjukkan lansia di atas dapat digolongkan sebagai bentuk coping yang bersumber

dari spiritualitas dan agama. Sermabeikian (1994, p.178) berpendapat bahwa

spiritualitas bisa menjadi salah satu sumber penting dalam melakukan coping.

Berbicara tentang konsep coping, para ahli banyak merujuk ke Lazarus dan

Folkman (1984) yang secara garis besar dibahas menurut dua tradisi, yakni

eksperimentasi hewan dan ego psychology. Dalam tradisi ego psychology, khususnya

model psikoanalisis, coping didefinisikan sebagai “pikiran dan tindakan yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 266: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

244

realistis dan fleksibel yang dapat menyelesaikan masalah sehingga mengurangi stres”

(p.118). Folkman dan Moskowitz (2004, p.745) melengkapi definisi coping ini

bahwa pikiran dan perilaku tersebut berguna untuk mengelola faktor dari dalam dan

luar terhadap situasi yang dianggap dapat menimbulkan ketegangan. Gambar 7.1 di

atas menunjukkan bahwa informan lansia dapat bertahan hidup dengan menunjukkan

pemikiran melalui pemaknaan positif dan tindakan berupa respons yang positif

terhadap tekanan yang muncul karena kesusahan yang diderita.

Gambar 7.1. Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia

Pargament (1997), Wong-McDonald dan Gorush (2000), dan beberapa ahli

lain, seperti dikutip Lydon-Lam (2012, p.19-20), mengajukan hipotesis bahwa

bentuk-bentuk religious coping dapat meliputi, (namun tidak terbatas pada):

kepasrahan aktif pada Tuhan, menganggap sebagai Takdir Tuhan, dan

mempertanyakan Tuhan atau keimanan seseorang selama perjuangan untuk lepas

dari tekanan. Bentuk religious coping yang pertama dan kedua tersebut ditunjukkan

oleh informan lansia dalam merespons kemalangan yang dialami. Bentuk-bentuk

religious coping tersebut termasuk dalam komponen spiritualitas sehingga dapat

dikatakan sebagai spiritual coping. Selain itu, salah satu pengusul hipotesis di atas,

yaitu Pargament, memosisikan spiritualitas sebagai bagian dari agama, sebagaimana

definisi klasik agama menurut James (1958) yang sangat luas (Pargament, 1999;

Zinnbauer & Pargament, 2005).

Seperti halnya Pargament, Folkman dan Moskowitz (2004) secara eksplisit

menjelaskan bahwa religious coping juga meliputi spiritual coping, khususnya

Masalah Hidup atau Penderitaan Lansia

Masalah Kesehatan Mental Lansia

Pemaknaan: • Dianggap sebagai takdir,

musibah, cobaan, ujian, atau peringatan

• “Ada musibah ada hikmah” Respons:

• Respons umum yang positif • Pasrah dan menerima • Sabar dan tawakkal • Bersyukur

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 267: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

245

Universitas Indonesia

terkait upaya pencarian makna, tujuan hidup, dan hubungan dengan Zat yang lebih

tinggi, yang ilahiah. Menurut mereka, upaya untuk berhubungan dengan sesuatu

yang melampaui dirinya dapat bersifat religius ataupun non-religius (p.760). Konsep

spiritual coping sebagai bagian dari religious coping ini juga bisa dipahami karena

Folkman dan Moskowitz (p.760) meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari agama,

namun spiritualitas juga dapat berada di luar agama formal.

Dalam teori krisis, berbagai masalah atau kejadian dalam hidup yang

melampaui daya tahan seseorang dapat menggiring ke dalam krisis dan

menyebabkan guncangan hebat. Menurut Musgrave (2005), ada tiga kemungkinan

respons terhadap kondisi krisis tersebut, yakni putus asa tidak mau menjalani hidup;

bangkit kembali menuju keseimbangan; atau bahkan tumbuh berkembang mencapai

tingkat pemahaman dan ketahanan pribadi (p. 266).

Berdasarkan refleksi terhadap teori tersebut, beragam pemaknaan dan respons

yang ditunjukkan informan lansia tampaknya tidak sekadar mampu kembali ke

keseimbangan semula. Akan tetapi, dengan memaknai krisis yang dialami sebagai

semacam cobaan atau ujian dan menunjukkan berbagai respons positif, lebih tepat

dikatakan bahwa informan lansia telah berhasil melewati krisis dan menunjukkan

respons kemungkinan ketiga atau, paling tidak, kemungkinan kedua dalam konsep

Musgrave. Pencarian hikmah di balik musibah, pasrah, menerima, sabar, tawakkal,

dan bahkan bersyukur atas peringatan yang mereka terima menandakan bahwa

informan mampu mencapai tingkat kematangan spiritual tertentu.

Gambar 7.2 di bawah ini kurang-lebih mengilustrasikan hasil refleksi temuan

penelitian ini terhadap teori krisis. Pada gambar tampak bahwa secara umum setiap

individu menunjukkan peningkatan sisi spiritualitas (spiritual growth, pada sumbu

vertikal) secara konstan seiring bertambahnya usia (age, pada sumbu horisontal).

Namun, ketika suatu peristiwa atau gangguan (disruptions) terjadi pada fase hidup

tertentu, respons umum yang ditunjukkan adalah terhentinya pertumbuhan spiritual

yang lamanya tergantung dari karakteristik individu. Peristiwa atau gangguan yang

dimaksud dapat berupa kehilangan orang yang dicintai, keterpisahan dengan

keluarga, disabilitas, penderitaan, dan lain-lain. Terhentinya pertumbuhan spiritual

selama masa tertentu karena adanya disruptions, dalam gambar, dalam penelitian ini

disebut sebagai gap atau hiatus (semacam diskontinyuitas).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 268: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

246

Gambar 7.2. Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup

Selepas keterputusan tersebut, respons yang ditunjukkan terhadap disruptions

ada tiga kemungkinan, sebagaimana dikemukakan Musgrave (2005), yakni: (1) jatuh

dalam keputusasaan yang ditandai dengan kurva menurun (penurunan kematangan

spiritual); (2) kembali ke keseimbangan dan menunjukkan peningkatan kematangan

spiritual secara normal; atau bahkan (3) bertumbuhnya spiritualitas secara cepat.

Perhatikan nomor 1, 2, dan 3 pada masing-masing anak panah dalam Gambar 7.2.

Teori lain yang menjelaskan kemungkinan perkembangan setelah disruptions

tersebut ditawarkan oleh Calhoun dan Tedeschi. Menurut keduanya, seperti dikutip

Thompson (2007), kehilangan dan trauma dapat mengakibatkan tiga kemungkinan

perubahan pada individu, yakni: (i) berubahnya pemahaman atau pandangan

terhadap diri-sendiri; (ii) berubahnya hubungan; dan (iii) pertumbuhan eksistensial

dan spiritual (p. 77). Perubahan di wilayah pemahaman diri dan relasi (baik dengan

sesama maupun dengan Tuhan) bisa menjadi buruk atau malah membaik. Apabila

perubahan itu berupa perkembangan positif bersama pertumbuhan eksistensial-

spiritual, ilustrasinya digambarkan pada busur panah ke-3 pada Gambar 7.2 di atas.

Berdasarkan hasil identifikasi masalah lansia menurut perspektif praktisi dan

lansia itu sendiri seperti tampak pada Tabel 7.1 dan 7.2 sebelum ini, selanjutnya

berbagai peran dan kebutuhan yang bersifat spiritual (spiritual tasks/needs), yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 269: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

247

Universitas Indonesia

telah ditunjukkan baik oleh para informan praktisi maupun lansia untuk mengatasi

masalah tersebut, kemudian diidentifikasi. Spiritual tasks masing-masing akan dibuat

berdasarkan kedua tabel tersebut.

Di sini perlu dijelaskan tentang spiritual tasks atau spiritual needs menurut

sejumlah ahli. Tasks mengacu pada penjelasan MacKinlay (2006) yang merujuk ke

model Erikson tentang perkembangan psikososial. Tasks di situ bukanlah sekadar

“tugas atau peran individu yang harus dicapai dan dilalui” (p.22). Mathews (2009)

turut menjelaskan bahwa spiritual tasks bukanlah fase atau tugas yang harus

ditunaikan sebelum seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti

berurutan, tetapi saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam

sejumlah kesempatan atau pengalaman hidup (p.58). Mackinlay (2006) menyebutnya

sebagai “proses untuk menjadi” yang dialami setiap orang (p. 22).

Hasil identifikasi spiritual tasks berdasarkan masalah lansia dari perspektif

praktisi ditunjukkan pada Tabel 7.3.

Tabel 7.3. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi

Masalah lansia Spiritual tasks

Sedih, murung, patah semangat, putus asa

• Harapan atau asa • Reminiscence • Afirmasi • Semangat atau daya hidup • Doa

Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)

• Relationship atau connectedness • Rekonsiliasi • Doa

Pertengkaran antar lansia panti • Masa usia senja yang aman, nyaman dan terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti

Kecemasan menghadapi akhir hayat • Doa • Sudah punya preferensi tempat dikubur

dan siapa yang mengurus • Mengumpulkan bekal • Siap dan pasrah menghadapi sakrotul-

maut • Kematian yang baik dan mudah • Hilangnya kekhawatiran tidak ada yang

urus kematiannya Urusan yang belum selesai dan harapan sebelum-setelah meninggal

• Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs)

• Doa

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 270: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

248

Di samping diidentifikasi dari data penelitian, sebagian spiritual task pada

Tabel 7.3 merujuk ke penelitian yang sudah ada dan teori yang dibuat sejumlah ahli,

sehingga di sini perlu dijelaskan secara singkat. Sejumlah konsep seperti tampak

dalam tabel tersebut merujuk ke model “spiritual tasks of ageing” menurut

MacKinlay (2004a) dan juga kaitannya dengan spiritual care yang patut dilakukan

praktisi (MacKinlay, 2006). Konsep-konsep tersebut meliputi harapan, reminiscence,

dan keterhubungan.

Harapan atau asa merupakan salah satu tema yang berhasil diidentifikasi dari

hasil penelitian Mackinlay (2004a) terhadap lansia dalam menghadapi kecemasan

atau ketakutan terhadap sesuatu. Harapan tersebut misalnya terkait dengan hasrat

bertemu anak-cucu atau melihat mereka sukses dalam hidup. Sebagai tambahan,

konsep semangat hidup atau daya hidup dalam penelitian ini dapat diperkuat dengan

pendapat Baskin (2007, p. 194) bahwa spiritualitas tidak melulu terkait soal kematian

dan menghadapai kematian. Sebaliknya, spiritualitas untuk lansia justru harus

berbicara tentang bagaimana melanjutkan hidup dan menghadapinya.

Mengenang masa lalu (reminiscence) dianggap MacKinlay (2004b) sebagai

salah satu task penting bagi lansia ketika memasuki tahap akhir dalam karir dan

menghadapi kematian. Dengan mengingat-ingat masa lalu, ada upaya lansia untuk

“kembali ke masa lalu, mengafirmasi, membingkai kembali, dan melihat siapa

sesungguhnya diri mereka atas semua yang telah dilalui dan dialami kemudian

berupaya mengambil pelajaran” (p. 80). Reminiscence juga disinggung MacKinlay

(2006, p. 37) sebagai salah satu tindakan spiritual care bersama life review untuk

pemenuhan kebutuhan pencarian makna hidup.

Relasi dan keterhubungan (relationships atau connectedness) merupakan

komponen terpenting dalam spiritualitas yang disinggung oleh hampir semua ahli.

Dalam model MacKinlay (2004a/b), task ini berupa pencarian kedekatan (intimacy)

baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Menemukan kedekatan, membangun

hubungan dan menjaganya merupakan kebutuhan paling utama bagi lansia.

Selain MacKinlay, model yang dibuat Jewell (2004) terkait empat kebutuhan

penting lansia juga dirujuk dalam Tabel 7.3 di atas, khususnya terkait kebutuhan

afirmasi dan rekonsiliasi. Afirmasi adalah satu dari empat kebutuhan manusia di

akhir hayat (Jewell, 2004). Menurutnya, kebutuhan ini adalah semacam pengakuan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 271: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

249

Universitas Indonesia

terhadap lansia atas kontribusi atau jasa dalam hidup mereka (p. 20). Dalam

penjelasan Mathews (2009), afirmasi berarti pengakuan secara kolektif atau individu

bahwa kehidupan mereka berharga dan berguna bagi sesama (p. 59). Intinya, lansia

punya kebutuhan merasa berguna bagi sesama dan dibutuhkan oleh orang lain.

Selanjutnya, rekonsiliasi merupakan salah satu harapan lansia yang sering tak

terungkap. Sebelum menghadapi akhir hayat, lansia membutuhkan “rekonsiliasi

dengan orang-orang terdekat, dengan diri sendiri, dengan Tuhan” agar meninggal

dengan tenang (Jewell, 2004, p.21). Dalam hidupnya lansia sangat mungkin

mengalami hubungan pasang-surut dengan orang-orang yang dicintai, tindakan yang

menimbulkan penyesalan sepanjang hayat, atau perbuatan dosa terhadap Tuhan,

sehingga mereka harus saling memaafkan, memaafkan diri-sendiri, dan bertobat.

Kebutuhan rekonsiliasi tersebut juga ada kaitannya dengan harapan lansia

agar segala urusan di akhir hayat dapat terselesaikan sehingga tidak ada beban yang

dipikul dan “terbawa” sampai mati. Harapan seperti ini, dalam konsep McCormick,

Kuo, dan Masten (2010), disebut sebagai settling affairs. Menurut mereka, settling

affairs dianggap sebagai salah satu developmental tasks yang paling umum dan

menonjol pada kelompok lansia (p. 122).

Khusus terkait dengan doa, di sini perlu dijelaskan secara singkat satu konsep

yang dipegang seorang lulusan spesialis pekerjaan sosial tersebut. Menurutnya,

berdoa berarti berupaya menghubungkan antara Tuhan, klien, dan orang yang

didoakan klien. Dia juga menjelaskan hal ini kepada klien sambil berupaya

sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi

apa yang dialami klien saat ini adalah akibat dari sikap dan perilaku yang telah

lampau. Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia

mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar,

memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan

menjadi lebih baik. (Perhatikan Gambar 7.3)

Berikutnya, spiritual tasks untuk masing-masing masalah lansia menurut

perspektif dan pengalaman lansia itu sendiri ditunjukkan dalam Tabel 7.4. Beberapa

spiritual tasks pada tabel tersebut juga mengacu ke hasil penelitian dan konsep-

konsep yang telah dikembangkan sejumlah ahli.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 272: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

250

Gambar 7.3. Konsep relasi segi tiga doa

Tabel 7.4. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia

Masalah lansia Spiritual tasks

Disabilitas • Melampaui disabilitas (to transcend dissability) • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Harapan/doa • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup

Keterpisahan • Relationships/connectedness • Harapan/doa

Isolasi • Relationships/connectedness • Harapan/doa

Relasi yang tidak baik

• Rekonsiliasi • Harapan/doa

Penderitaan hidup • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup

Kehilangan (loss) • Melampaui kehilangan (to transcend loss) • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup

Kecemasan • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Harapan/doa • Rekonsiliasi • Afirmasi • Settling affairs

Sebagian spiritual tasks telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan task yang

belum adalah kebutuhan melampaui (to transcend). Kebutuhan untuk melampaui (to

transcend) yang muncul pada masalah lansia disabilitas dan kehilangan tersebut

mengacu pada salah satu task dalam model MacKinlay (2004a, p. 224-5) yakni

‘melampaui kehilangan dan disabilitas’ (to transcend loss or disability). Melampaui

disabilitas dan kehilangan yang ia maksud adalah bahwa ketika muncul ketakutan

Tuhan

Lansia Orang yang didoakan

DOA

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 273: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

251

Universitas Indonesia

atau kecemasan akan keterbatasan fisik atau kehilangan orang-orang yang dicintai

maka hal itu harus menjadi tantangan tersendiri bagi lansia untuk melaluinya (to

move beyond). Dengan begitu, alih-alih takut atau cemas, mereka akan menemukan

perasaan tenang atau nyaman untuk menghadapinya.

7.3. Komponen Spiritualitas yang Relevan

Daya tahan lansia dalam menghadapi masalah hidup dan masalah kesehatan

jiwa tampak dari cara mereka merespons dan mengekspresikan spiritualitas yang

dihayati. Di samping berbagai respons positif lansia yang sudah dibahas sebelum ini,

ada sejumlah komponen spiritual yang relevan dalam membantu lansia bangkit dari

keterpurukan. Relevansi di sini, sebagaimana hasil eksplorasi Swinton dan Kettles

(2001), dilihat dari seberapa jauh spiritualitas menunjukkan sumbangsih positif bagi

terwujudnya kondisi mental yang baik. Menurut istilah Canda dan Furman (2010),

spiritualitas dari sisi positif disebut sebagai spiritualitas yang sehat (healthy

spirituality). Dengan demikian, kesehatan mental yang ditimbulkannya atau

terdampak oleh spiritualitas yang positif atau sehat pun bersifat positif (positive

mental health).

Sejumlah node atau tema dapat menjadi komponen spiritual yang secara

teoretis dinilai relevan mempengaruhi kondisi kesehatan mental lansia. Penilaian ini

juga mempertimbangkan seberapa banyak informan membicarakannya dan seberapa

sering suatu node disinggung informan. Seperti pada Tabel 14.1 dalam Lampiran 14,

node yang tampak signifikan meliputi: @kegiatan-afiliasi, @keyakinan, @relasi-

kedekatan-isolasi, @doa, @merasa berperan-berguna-dicintai, @harapan, dan

@menyikapi akhir hayat. Sementara node yang tidak terlalu tinggi namun masih

cukup relevan yang dibicarakan oleh lima atau enam informan adalah: @semangat

hidup, @kekhawatiran-ketakutan, @reminiscence, dan @kegemaran-hobi-kreativitas.

Node @kegiatan-afiliasi agama dan @keyakinan yang tercakup dalam

kategori keberagamaan lansia merupakan dua node penting. Kedua node ini begitu

sering disinggung dimana hampir semua informan lansia memperlihatkan sebaran

merata. Pasangan lansia Pnd dan Gbg memang tidak menunjukkan node @kegiatan-

afiliasi agama, namun berdasarkan observasi keduanya aktif melakukan aktivitas

keagamaan di panti, baik secara pribadi maupun bersama-sama, seperti sholat

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 274: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

252

berjamaah dan pengajian di musholla. Sementara untuk node @keyakinan, semua

informan menyinggungnya dimana yang paling kental menunjukkan keyakinan ini

adalah pasangan lansia Rml dan Nrn. (Perhatikan Tabel 14.5, Lampiran 14).

Kondisi keberagamaan lansia ada yang naik turun (semakin menua cenderung

menaik) dan ada juga yang baik dan stabil sejak muda. Ini menguatkan satu survei

yang pernah dilakukan di US (lihat Nelson, 2009). Sejumlah lansia yang mengaku

atau menunjukkan tingkat keimanan yang semakin meningkat, bisa dipengaruhi

berbagai faktor, seperti faktor usia semakin senja mendekati kematian, faktor

pengalaman atau penderitaan hidup yang mereka anggap sebagai sebuah peringatan

untuk mengingat Tuhan dan menaati perintah-nya, atau karena lingkungan yang

mendukung. Sehingga perlu ditelusuri lebih jauh apakah juga yang mereka akui

semakin meningkat itu keagamaan mereka ataukah spiritualitasnya.

Pada dekade 1990-an, menurut Folkman dan Moskowitz (2004), keterlibatan

seseorang dalam agama (religious involvement), bersama komponen religiositas dan

sembahyang, termasuk dalam variabel penting untuk mengukur tingkat religious

coping. Namun, keduanya berpendapat bahwa keterlibatan seseorang dalam agama,

seperti pada tema kegiatan dan afiliasi agama di atas belum tentu termasuk dalam

religious coping. Mereka menegaskan, “keterlibatan dalam keagamaan tidak sama

dengan religious coping” (p. 759). Lebih jauh mereka mengatakan, keterlibatan

seseorang dalam keagamaan bisa jadi hanya suatu cara atau bentuk coping terhadap

masalah yang sedang dihadapi, bukan religious coping itu sendiri.

Tema kegiatan dan afiliasi agama merupakan salah satu bentuk ekspresi

spiritualitas dalam agama formal atau terlembaga. Dalam pendekatan struktural-

behavioral, menurut Swinton (2007), spiritualitas yang menghubungkan seseorang

untuk terlibat dalam kelompok keagamaan melalui kegiatan tertentu dapat

mendorong mereka berperilaku yang mendatangkan kesehatan, baik secara fisik

maupun mental. Kegiatan yang dimaksud, seperti dicontohkan Swinton (p. 294),

dapat berupa kehadiran di gereja, afiliasi agama, ibadah individu (seperti

sembahyang, baca kitab, puasa, dan lain-lain), perasaan memiliki identitas kelompok

agama tertentu, dan lain-lain, seperti halnya yang ditunjukkan para informan

penelitian ini. Sedangkan untuk tema keyakinan dapat mengacu ke pendekatan

pedoman nilai (value guidance) dimana spiritualitas tidak selalu datang dari agama

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 275: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

253

Universitas Indonesia

formal, namun juga dari luar agama. Spiritualitas di sini lebih bersifat individual dan

pribadi, seperti pencarian akan makna, harapan, tujuan, kebahagiaan, kenyamanan,

dan lain-lain (Swinton, 2007).

Spiritualitas yang diekspresikan dalam agama formal dan yang bersifat

individual di atas tetap berkaitan dan saling membutuhkan. Seperti dikatakan Hugen

(2001), kebanyakan orang saat ini (dalam konteks masyarakat Barat) menjalankan

spiritualitas individu dalam konteks jamaah dan institusi keagamaan. Dengan kata

lain, Hugen menegaskan, “partisipasi dalam agama yang terlembaga beserta ritual-

ritual yang menyertainya merupakan pengalaman spiritual” (p. 13).

Dengan demikian, tema kegiatan-afiliasi agama dan keyakinan, yang

dikelompokkan dalam kategori keberagamaan lansia, dapat menjadi task individu

lansia yang penting bagi kesehatan jiwa mereka. Kegiatan dan afiliasi agama tersebut

tidak hanya yang termasuk religious atau spiritual coping, tetapi juga keterlibatan

dalam agama yang sekadar menjadi coping bagi lansia bersangkutan. Tabel 7.5 di

bawah ini merinci individual tasks terkait kategori ini berdasarkan hasil penelitian.

Tabel 7.5. Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia

Tema yang muncul Individual tasks

Keberagamaan lansia • Melakukan ritual/ibadah rutin baik secara individu atau berjamaah

• Terlibat dalam aktivitas/tradisi keagamaaan secara kolektif dan punya peran/tanggung jawab di dalamnya

• Memiliki dan mengamalkan keyakinan baik bersumber dari agama atau di luar agama (pribadi, keluarga, kultur, atau masyarakat)

Sebagai penguat adanya hubungan kuat antara kedua tema ini sebagai

religious coping dengan kesehatan mental, Mohan (2004, p. 176-77) mengutip

sejumlah hasil penelitian yang dilakukan para ahli. Sebagai contoh, hasil penelitian

Mookherjee tahun 1994 menunjukkan bahwa persepsi terhadap kondisi mental yang

baik sangat dipengaruhi, di antaranya, oleh keanggotaan jamaah gereja dan frekuensi

kehadiran dalam kegiatan gereja. Berdasarkan berbagai penelitian yang ia akses,

pada intinya Mohan menegaskan bahwa kadar stres pada kelompok religius dan non-

religius sebenarnya sama, namun orang kelompok pertama lebih baik dalam

menghadapi kesulitan hidup dan tekanan yang diakibatkannya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 276: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

254

Kategori berikutnya yang banyak dibicarakan adalah #relasi dan

keterhubungan yang terdiri dari node @relasi-kedekatan-isolasi dan node @doa.

Node @relasi-kedekatan-isolasi memperlihatkan tinggi dan masifnya pembicaraan

yang ditunjukkan oleh semua informan saat wawancara. Begitu juga dengan node

@doa yang disinggung semua informan. (Perhatikan Tabel 14.4, Lampiran 14).

Relasi dan keterhubungan merupakan karakteristik utama spiritualitas dalam

berbagai istilah, seperti relationships (Mathews, 2009), connecting (Gilbert, 2007;

Marstoff dan Mickley, 1998 dan Buck, 2006 dalam Lydon-Lam, 2012), relatedness

(Swinton, 2001), atau connectedness (Thompson, 2010; Swinton, 2001). Tema ini

juga kerap menjadi komponen dalam definisi. Sebagai contoh, Sheridan (2009, p.

278) mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian akan tujuan, makna, dan

hubungan antar diri-sendiri, orang lain, alam, dan kenyataan akhir, yang dapat

dialami baik di dalam suatu kerangka keagamaan maupun bukan keagamaan.”

Contoh lain datang dari Swinton dan Pattison (2001), dalam Gilbert (2007), yang

mengatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan “pertanyaan manusai tentang

makna, tujuan, pengetahuan transendensi-diri, hubungan penuh arti, cinta dan

kehadiran yang suci” (p. 24-25).

Manfaat komponen relasi dan keterhubungan bagi peningkatan kesehatan

mental dirinci oleh Swinton (2001). Menurutnya, keterkaitan (relatedness) dan

keterhubungan (connectedness) diri dengan sesama dan dengan Tuhan akan

berkontribusi positif bagi kondisi baik (well-being). Di samping itu, relasi atau

keterhubungan dengan sesama yang membuat lansia tidak merasa sendiri juga dapat

membantu mereka mendatangkan rasa nyaman, memelihara asa, menciptakan nilai,

dan menemukan makna (p.82-3). Tidak baiknya relasi dan keterhubungan dengan

sesama atau dengan Tuhan bisa mengakibatkan hilangnya rasa mencintai dan dicintai

atau menyebabkan rasa teralienasi dari Tuhan. Menurut Swinton, kedua akibat ini

merupakan dimensi spiritual pada gangguan depresi (p. 167).

Berdasarkan hasil penelitian, tugas atau peran individu di masa usia lanjut

yang terkait dengan tema ini ditunjukkan dalam Tabel 7.6.

Keterhubungan dengan orang-orang tercinta yang telah tiada bisa melalui

(ekspresi) doa, tradisi tahlilan atau Yasinan, memasang/menyimpan foto atau barang-

barang milik almarhum, atau sengaja mengingat atau mengenang almarhum,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 277: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

255

Universitas Indonesia

sebagaimana dilakukan sebagian besar informan lansia. Upaya-upaya seperti ini

dapat menciptakan keterikatan batin secara menerus dengan almarhum yang oleh

Allan (2005) disebut sebagai continuing bonds. Menurut Allan, dalam teori modern

continuing bonds dapat dikatakan sebagai patologis, namun hal ini tidak bisa

diterapkan ke setiap orang. Hal itu justru punya sisi positif, yakni sebagai sumber

penyemangat, memupuk harapan, dan dapat menjadi salah satu cara pemenuhan

kebutuhan spiritual.

Tabel 7.6. Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia Tema yang muncul Individual tasks

Relasi, kedekatan, dan isolasi

• Menyadari pentingnya hubungan atau kedekatan dengan Tuhan dan manusia

• Menjaga hubungan vertikal dengan Tuhan melalui ibadah & doa • Menjalin hubungan horisontal yang besifat positif dengan sesama

(orang tercinta, keluarga, atau orang lain) • Menjaga hubungan dengan sesama (termasuk dengan orang-

orang terdekat yang sudah meninggal) • Menghindari hubungan negatif atau pertengkaran dengan sesama

penghuni panti • Mengatasi rasa keterasingan, kesepian, keterpisahan dari

keluarga, di antaranya dengan melakukan aktivitas positif, hobi, atau kreativitas baik secara individu atau bersama

Doa • Memanjatkan harapan atau keinginan melalui doa untuk kebaikan diri-sendiri,

• Berdoa untuk kebaikan di akhir hayat, seperti mati dalam keadaan husnul khotimah

• Berdoa untuk kebaikan orang-orang terdekat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal

• Sering berdoa untuk orang-orang terdekat tersebut agar selalu memiliki keterikatan atau kontak batin (continuing bonds)

Untuk kategori #harapan dan kecemasan yang terdiri dari node @harapan,

@menyikapi akhir hayat, @kekhawatiran-ketakutan, dan @semangat hidup, terkait

sebaran dan intensitas informan lansia menyinggung tema tersebut, telah dibahas di

bagian awal, kecuali node @semangat hidup. Sebaran dan frekuensi node yang

terakhir ini tidak setinggi tiga tema yang lain, yakni disinggung oleh enam informan

dan kurang intens dibicarakan. (Perhatikan Tabel 14.7, Lampiran 14)

Dalam model spiritualitas yang dibuat MHA (Methodist Homes for the Aged)

Care Group yang berada di UK, seperti dijelaskan Jewell (2004), harapan dan

kecemasan dimasukkan sebagai dua kondisi yang berbeda, meski tidak saling

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 278: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

256

berlawanan. Bersama cinta, kebahagiaan, kreativitas, dan kedamaian, harapan

termasuk sebagai komponen yang menggambarkan kondisi baik yang didambakan

setiap lansia (well-being) (p.23). Jewell menyebut kelima komponen ini sebagai

kebutuhan spiritual (spiritual needs) (p.18-19). Sedangkan kecemasan (anxiety)

termasuk dalam kondisi sakit (ill-being) bersama dengan keterisolasian (merana),

putus asa, kesedihan, dan kebosanan. Dalam model tersebut tampak harapan

berkebalikan dengan putus asa, sementara kecemasan dilawankan dengan kedamaian

(Jewell, 2004, p. 23). Dengan begitu, tema semangat hidup cocok diasosiasikan

dengan harapan karena kondisi kebalikannya juga berupa putus asa.

Swinton (2001) juga memasukkan tema harapan sebagai salah satu komponen

untuk mewujudkan well-being. Bersama tema keterkaitan/keterhubungan dengan

sesama atau Tuhan dan harga diri (self-esteem), harapan merupakan cara utama

dimana spiritualitas dapat memberikan kontribusi positif untuk mencapai kondisi

mental yang sehat (Swinton, 2001, p. 82). Hilangnya harapan yang menyebabkan

keputusasaan dan kesedihan dan hilangnya kekuatan batin, menurut Swinton,

termasuk dimensi spiritual yang harus dikenali pada penderita gangguan depresi

(p.167). Perasaan kekhawatiran atau takut terhadap kematian juga merupakan gejala

yang memiliki dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan (p.164).

Tabel 7.7 halaman berikut ini merinci individual tasks untuk masing-masing

tema yang muncul dalam kategori harapan dan kecemasan, sebagai kategori penting

yang menentukan kondisi kesehatan mental lansia.

Komponen penting berikutnya adalah node @merasa berperan-berguna-

dicintai dan node @reminiscence. Perasaan berperan, berguna, atau dicintai

ditunjukkan beberapa kali oleh informan lansia dalam wawancara. Dibanding

informan lain, kakek Sgn adalah yang paling sering mengekspresikan perasaan ini.

Kemudian kecenderungan mengenang masa lalu, seperti dalam node @reminiscence,

juga cukup sering dilakukan informan. Dalam hal ini kakek Sgn juga paling suka

menceritakan masa lalunya ketika masih bersama almarhum istri. (Perhatikan Tabel

14.6, Lampiran 14).

Tema penting lain dalam kategori #spiritual tasks, meski kurang sering

disinggung lansia, adalah seperti ditunjukkan oleh node @kegemaran-hobi-kreativitas,

@”mengheningkan cipta”, dan @memaafkan. Node pertama disinggung oleh lima

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 279: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

257

Universitas Indonesia

informan dan node kedua disinggung oleh tiga informan. Di antara kesebelas

informan, lansia Mrw dan Sgn selalu menyinggung kedua tema ini. Sementara untuk

tema memaafkan, hanya ada seorang informan yang pernah membicarakannya, yakni

lansia Est (Perhatikan Tabel 14.6, dan 14.7, Lampiran 14).

Tabel 7.7. Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia

Tema yang muncul Individual tasks

Harapan dan semangat hidup

• Berharap agar panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, dan diringankan dari penderitaan

• Berharap agar dapat rajin beribadah dan hidup selamat serta berkah

• Memupuk harapan agar masih bisa ketemu anak-cucu atau dengan teman-teman lama

• Tidak berputus asa dan tetap memiliki semangat untuk hidup Harapan dalam menghadapi akhir hayat

• Berharap agar meninggal dengan baik dan mudah (husnul khotimah)

• Berharap meninggal di kampung halaman dan banyak yang melayat (takziyah)

• Berharap ada yang mengurus dan mendoakan ketika meninggal

• Berdoa agar tidak sedang berbuat dosa ketika meninggal, diberi ampunan sebelum meninggal, dan terbebas dari siksa/azab kubur

Sebagian tema dalam kategori spiritual tasks yang muncul dari penelitian ini

juga merupakan komponen penting yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan

mental menurut Swinton (2001). Komponen yang dimaksud adalah perasaan berguna

dan diperhatikan dimana tema ini, bersama tema tujuan dan makna dalam hidup, rasa

nyaman di saat sulit, perasaan tidak sendiri, dan harapan yang terpelihara ketika

keputusasaan menyerang, dinilai dapat mendatangkan kenyamanan, harapan, nilai,

dan makna (p. 83). Sebaliknya, ketiadaan perasaan berguna dan dicintai oleh

keluarga atau kerabat bisa menjadi tanda yang punya dimensi spiritual pada

gangguan depresi.

Tabel 7.8 di bawah ini merinci individual tasks bagi lansia untuk masing-

masing tema dalam kategori spiritual tasks.

Ada pula kategori atau tema yang secara teoretis menjadi salah satu

komponen sangat penting dalam spiritualitas, yaitu kategori #persoalan eksistensial

lansia yang terdiri dari node @makna-tujuan hidup, dan @pandangan-pertanyaan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 280: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

258

tentang hidup. Akan tetapi, hal yang menarik di sini adalah bahwa, meskipun

dipandang penting, kedua tema tersebut kurang dipandang sebagai sesuatu yang

harus dicari atau yang harus diperjuangkan oleh lansia. Kedua tema tersebut kurang

menjadi perhatian informan lansia. Tema pertama disinggung oleh tiga informan

sementara yang kedua hanya oleh dua informan dengan intensitas yang rendah.

(Perhatikan Tabel 14.9, Lampiran 14).

Tabel 7.8. Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia

Tema yang muncul Individual tasks

Merasa berguna dan dicintai

• Menerima/mengambil peran atau tugas dan menjalankan dalam aktivitas bersama, terutama terkait aktivitas keagamaan, misal adzan-iqomat, membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, sholawatan, menjadi imam, atau melayani Tuhan (nyanyian atau pujian).

• Memiliki karya yang bisa dibanggakan • Punya tekad atau keinginan untuk membantu orang lain yang

perlu bantuan • Menjalin relasi dengan sesama secara lebih bermakna, misal

menikahi lansia lawan jenis (selama memang memungkinkan) agar tumbuh saling mencintai

• Menjaga hubungan baik dan saling mencintai dengan orang-orang terdekat dan keluarga

Mengenang masa lalu (reminiscence)

• Mengingat atau mengenang masa lalu terkait peristiwa, orang-orang tercinta, tempat favorit, dan lain-lain

• Menceritakan kenangan-kenangan tersebut kepada orang-orang terdekat atau orang lain yang mau diajak ngobrol

• Mengambil pelajaran/hikmah dari apa yang terjadi di masa lalu • Membingkai kembali (reframing) kenangan lama tersebut,

tanpa harus memanipulasi, menjadi narasi/cerita yang menyenangkan dan membanggakan

“Mengheningkan cipta”

• Memanfaatkan keberadaannya di panti sebagai tempat untuk menikmati kesendirian dan mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang tinggal terpisah atau yang sudah meninggal

• Menerima keberadaannya di panti sebagai tempat yang lebih aman, nyaman, dan terjamin dibanding tinggal di luar sana, di tempat yang tidak mengenakkan

Memaafkan • Memaafkan kesalahan masa lalu yang diperbuat diri-sendiri agar tidak dihantui perasaan bersalah

• Memaafkan orang-orang sekitar, terutama yang terdekat, untuk memperbaiki hubungan agar tenang di usia senja

Kegemaran, hobi, dan kreativitas

• Melakukan kembali sebagian kegemaran atau hobi yang dulu biasa dilakukan sebelum di panti, sejauh memungkinkan

• Mengembangkan keterampilan dan kreativitas untuk mengusir kebosanan dan mengisi waktu, sehingga bisa produktif

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 281: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

259

Universitas Indonesia

Keduanya memang muncul dan dibahas dalam temuan karena diangkat dalam

serangkain wawancara terhadap sebagian informan lansia. Akan tetapi jawaban yang

muncul berupa pengakuan bahwa mereka enggan memikirkan hal-hal yang rumit dan

hanya ingin menjalani hidup apa adanya atau menerima apapun yang menjadi

kehendak Tuhan (Mrw, 8/4/2013). Ada lagi tiga lansia yang menjawab secara

normatif bahwa tujuan hidup ini hanya untuk beribadah (Rml & Nrn, 27/5/2013) dan

melayani Tuhan (Est, 31/5/2013).

Kurang tereksplorasinya tema-tema penting ini bisa jadi sebagai salah satu

keterbatasan penelitian terkait metode pengumpulan data. Makna, tujuan, atau arti

hidup ini mungkin terlalu abstrak bagi para informan. Oleh karena itu, mesti ada

semacam bahasa yang lebih familiar di telinga lansia untuk menerjemahkan tema-

tema tersebut dan dengan menggunakan teknik khusus agar mampu mengeksplorasi

secara mendalam.

Makna dan tujuan hidup atau pandangan dan pertanyaan tentang hidup

merupakan komponen penting dalam spiritualitas. Tema-tema ini juga seringkali

disinggung dan dimasukkan dalam definisi spiritualitas. Sehingga, pencarian makna

dan tujuan hidup selalu ada dalam definisi universal spiritualitas (Hinnels, 1995).

Contoh definisi spiritualitas yang dapat mencakup seluruh tema dalam kategori

persoalan eksistensial dalam penelitian ini adalah Lindsay (2002) yang

mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pencarian makna dan tujuan dalam hidup

dan suatu pemahaman akan kebaradaan diri di antara alam semesta” (dalam Healy

(2005, p. 83).

Dalam perspektif eksistensialis-humanis, pencarian makna dan tujuan hidup

menjadi tema sentral untuk mengatasi kondisi existential frustration dan existential

vacuum yang dapat menyebabkan noogenic neurosis atau noetic neurosis. Gejala dari

frustrasi atau kekosongan eksistensial tersebut dapat berupa depresi, kecemasan,

agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain. Frankl menawarkan pendekatan

Logoterapi untuk menemukan makna yang unik bagi setiap individu (Frankl, 1992;

2004).

Bastaman (1994), sebagai salah satu penganut utama Frankl di Indonesia,

mengusulkan tiga nilai, yaitu nilai-nilai kreatif, eksperiensial, dan sikap, untuk

menemukan makna hidup (the meaning of life) atau membuat hidup ini penuh makna

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 282: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

260

(meaningful life). Bastaman (1996) juga menekankan pentingnya iman dan takwa

agar setiap individu tetap optimis dalam menghadapi hidup, mensyukuri segala

nikmat dan kebaikan yang diterima, dan tetap tabah dan sabar ketika menderita atau

menerima musibah.

Sebegitu pentingnya tema makna, tujuan hidup, dan pandangan atau

pertanyaan tentang hidup bagi kesehatan mental, tugas dan/atau peran individu lansia

terkait kategori ini perlu ditekankan. Tabel 7.9 berikut ini merinci tugas dan peran

yang dimaksud.

Tabel 7.9. Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia

Tema yang muncul Individual tasks

Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup

• Menemukan pandangan tentang diri-sendiri dan hidup yang telah dan sedang dijalani

• Mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasibnya seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada dirinya

• Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut

• Menilai sejauh mana kepuasan diri mereka dalam menjalani hidup

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 283: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

261

BAB 8

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Bagian paling akhir ini mengetengahkan kesimpulan, implikasi, dan saran

atau rekomendasi. Kesimpulan lebih fokus pada hasil atau jawaban dari pertanyaan

penelitian. Implikasi yang dibahas bersifat teoretis, praktis, dan kebijakan. Sementara

rekomendasi yang diajukan di sini lebih bersifat praktis sebagai saran perbaikan ke

depan atas kekurangan yang dijumpai di lapangan atau dalam praktik.

8.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada beberapa bab sebelum ini,

di sini dapat diambil sejumlah kesimpulan.

Pertama, pemahaman praktisi tentang spiritualitas atau padanannya tidak

jauh berbeda dari pemahaman umum, yakni terkait tentang mental, batin, batiniah,

bagian yang tidak tampak, dorongan hati nurani, agama atau keagamaan, ketakwaan,

akhlak, hubungan vertikal dengan Tuhan, dan juga ritual keagamaan. Dari sini dapat

ditegaskan bahwa:

1. Spiritualitas yang dipahami praktisi merupakan hasil konstruksi sosial yang

dibentuk oleh kultur (budaya) masyarakat Indonesia. Sebagai anak zaman

(zeitgest), pemahaman mereka tidak dapat dilepaskan dari pemahaman secara

umum.

2. Pemahaman seperti itu hanya menyentuh sebagian kecil pengertian universal

terkait pencarian makna dan tujuan hidup. Namun dari sisi ekspresi,

komponen spiritualitas yang ditunjukkan justru lebih kaya, yakni berupa

ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara individu maupun

kelompok. Spiritualitas yang terekspresikan ini juga bersumber baik dari

agama maupun dari luar agama.

3. Ekspresi spiritualitas yang dimaksud meliputi keterlibatan dalam kelompok

agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk respons

ketika menghadapi musibah, panutan dan sumber inspirasi, keterhubungan

dengan sesama, kecemasan, dan harapan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 284: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

262

4. Spiritualitas yang ditunjukkan praktisi lebih dominan pada tingkatan praksis

atau pengalaman. Spiritualitas yang dimiliki mungkin tidak mereka pahami

atau definisikan, melainkan mereka hayati dan amalkan dalam seluruh aspek

kehidupan, termasuk dalam interaksi mereka dengan klien lansia. Penelitian

ini menyebutnya sebagai ‘living spirituality’. Namun, spiritualitas yang

menjadi perhatian mereka dalam praktik pelayanan sosial adalah lebih

dominan spiritualitas yang berkonotasi dengan agama, baik dari sisi sumber

maupun ekspresi.

Kedua terkait spiritualitas praktisi di tingkat praktik. Pemahaman spiritualitas

yang dipegang praktisi termanifestasi dalam empat kategori, yaitu motivasi praktisi

melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual.

Masing-masing kategori dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Motivasi paling umum dan menonjol yang sangat dipengaruhi spiritualitas

atau keagamaan praktisi adalah bahwa menolong lansia dijadikan sebagai

ladang amal dalam rangka beribadah karena Allah (lillâhi ta’âlâ). Selain itu,

hampir semua informan menganggap klien lansia yang dilayani layaknya

sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri.

2. Nilai dan prinsip etis yang dibicarakan sejumlah praktisi terkait dengan

kecocokan spiritualitas dan agama dengan nilai dan prinsip etis profesi

pekerjaan sosial.

3. Terkait asesmen spiritual, sejumlah temuan menunjukkan bahwa asesmen

spiritual sangat minim dicatat oleh praktisi. Mereka juga tidak familiar

dengan beberapa format asesmen spiritual yang umum di kalangan praktisi,

terutama dari dunia internasional. Adapun hasil asesmen yang dilakukan

umumnya hanya berupa identifikasi terhadap agama klien, praktik ibadah

keseharian, dan pengetahuan atau kemampuan menjalankan ibadahnya.

4. Untuk intervensi spiritual, kebanyakan praktisi mengaku tidak menggunakan

teknik khusus, tetapi hanya teknik yang standar, seperti mengingatkan,

mengajak, memberi nasihat, atau mengajari klien lansia untuk sembahyang,

berdoa, atau berdzikir. Sejumlah metode atau pendekatan intervensi spiritual

tampaknya merupakan inisiatif dari sebagian praktisi yang dipengaruhi

pengetahuan agama dan kompetensi personal yang bersangkutan. Misal,

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 285: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

263

Universitas Indonesia

seorang praktisi menggunakan pendekatan “wajarnya” ketika berupaya

menyentil kesadaran lansia agar ingat akan usia dan masa akhir hayat.

5. Terkait upaya praktisi memahami spiritualitas lansia, asesmen dan intervensi

adalah tahap penting bagi upaya memahami tersebut. Kalaupun tahap

asesmen hanya mampu menggali spiritualitas lansia pada kulit luar, tahap

intervensi sejatinya telah dimanfaatkan praktisi untuk memahami spiritualitas

klien secara agak lebih mendalam seiring waktu dan interaksi yang makin

intensif.

Ketiga, spiritualitas lansia mampu tergali di antaranya melalui pengalaman

hidup yang telah atau sedang dilalui. Seperti halnya praktisi, spiritualitas lansia yang

kebanyakan tidak memiliki pendidikan tinggi berada di tingkatan praksis atau

pengalaman. Karakteristik pengalaman spiritualitas lansia ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Sejumlah kategori atau tema yang dapat menggambarkan kedalaman

spiritualitas mereka mencakup: keberagaamaan lansia (kegiatan dan afiliasi

keagamaan serta keyakinan agama); persoalan eksistensial (pandangan-

pertanyaan tentang hidup dan makna/tujuan hidup); relasi atau keterhubungan

(relasi, kedekatan, isolasi, dan doa); kecemasan dan harapan; dan kebutuhan

spiritual (spiritual tasks/needs).

2. Kentalnya spiritualitas yang dimiliki tercermin dalam ragam komponen yang

ekspresinya baik bersifat keagamaan maupun non-keagamaan. Spiritualitas

mereka juga bisa bersumber dari agama maupun dari luar agama. Namun,

ekspresi keagamaan dan sumber yang berasal dari agama lebih dominan.

Keempat, pengalaman hidup lansia dan bagaimana mereka merespons dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Ragam pengalaman dan penderitaan hidup lansia dimaknai sebagai musibah,

cobaan, takdir, atau peringatan yang diyakini akan mendatangkan hikmah

atau manfaat, sebagaimana ungkapan salah satu informan, “ada musibah ada

hikmah.”

2. Terhadap kemalangan yang dialami, berbagai respons positif yang bersifat

spiritual ditunjukkan informan, seperti pasrah, sabar, menerima, tawakkal,

bersyukur, dan berupaya mengambil hikmahnya.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 286: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

264

3. Cara memandang penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia dan

bagaimana mereka merespons secara positif tersebut merupakan bentuk

religious coping atau spiritual coping.

Seiring keempat kesimpulan di atas di sini dapat ditegaskan bahwa masing-

masing individu, baik praktisi maupun lansia, memiliki karakteristik dan keunikan

tersendiri bagaimana menghayati dan mengekspresikan spiritualitas. Spiritualitas

mereka tentu dibentuk oleh kultur dan sistem religi dimana mereka hidup. Meski

berbeda dan unik, ada kesamaan karakteristik tertentu (shared characteristics). Para

ahli dari Barat telah mendefinisikan shared characteristic tersebut tentunya untuk

konteks kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, karakteristik spiritualitas yang

dianggap universal adalah berupa proses pencarian akan makna dan tujuan hidup,

sesuatu yang terkait dengan yang sakral atau transenden, kemudian keterhubungan

antara diri dengan sesama, alam semesta, dan Tuhan.

Namun untuk konteks masyarakat Indonesia, shared spirituality menurut

informan praktisi dan lansia dalam penelitian ini mungkin tidak dapat mereka

definisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu dilakukan, diamalkan, dijalankan, dan

dihayati dalam keseharian mereka (living spirituality). Makna hidup yang dicari

masyarakat Barat, misalnya, oleh praktisi dan lansia di sini diekspresikan dalam

keyakinan yang mereka nyatakan dengan ungkapan (invivo coding) “di balik ujian

ada hikmah” atau “ada musibah ada hikmah.”

Living spirituality dinilai sangat membentuk motivasi praktisi dalam

memberikan layanan sosial bagi lansia, sehingga pada gilirannya akan memiliki

dampak signifikan terhadap praktik pelayanan, terutama pada tahap asesmen dan

intervensi yang berbasis spiritual. Bagi praktisi berlatar belakang pendidikan

kesejahteraan sosial, pengetahuan profesi banyak membentuk wujud praktik layanan.

Masalah dilema etis yang mungkin muncul terkait pemanfaatan aspek spiritual dalam

praktik dapat diatasi dengan tidak terpaku pada pendekatan medikal pekerjaan sosial,

namun dengan memromosikan pendekatan yang lebih inklusif bagi spiritualitas,

contohnya seperti paradigma interaksional.

Model layanan sosial untuk lansia dibangun berdasarkan tipologi praktisi dan

lansia. Praktisi bertipe normatif hanya cocok untuk menangani lansia tipe salih atau

tipe stabil dengan model asesmen formalistik dan intervensi yang bersifat direktif.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 287: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

265

Universitas Indonesia

Berbeda dengan tipe sebelumnya, praktisi fleksibel-kondisional dapat melakukan

penanganan untuk tipe lansia pengikut dan awam. Sedangkan, tipe kearifan diri

dianggap cocok memberikan layanan bagi lansia dengan tipe pengikut dan awam

atau tipe semakin meningkat. Kedua tipe praktisi ini lebih cocok menggunakan

model asesmen dialogis-resiprokal dan intervensi yang bersifat reflektif dimana

praktisi harus memposisikan diri sejajar dengan klien lansia secara kemitraan

(partnership), entah sebagai teman, cucu, atau sebagai anak.

Terkait komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia,

penderitaan hidup lansia yang sangat mempengaruhi kondisi mental mereka meliputi

disabilitas (fisik dan karena sakit-sakitan), keterpisahan, isolasi, hubungan yang tidak

baik, penderitaan hidup berkepanjangan, kematian orang-orang terdekat (loss), dan

kecemasan menghadapi kematian (death anxiety) dan masa depan anak-cucu mereka.

Sebagian besar tema atau komponen yang menggambarkan kedalaman spiritualitas

lansia seperti telah dijelaskan di atas, secara teoretis dan hasil penelitian, memiliki

kontribusi positif untuk mencapai dan memelihara kondisi mental yang baik. Dengan

kata lain, spiritualitas yang sehat dan positif memiliki kontribusi bagi kesehatan

mental yang positif pula. Sebagian komponen tersebut dijadikan sebagai spiritual

tasks untuk masalah-masalah lansia yang memiliki dimensi spiritual. Spiritual tasks

ini termasuk dalam teori perkembangan manusia dengan metafora life-span, seperti

halnya teori psikososial Erikson, Havighurts, Clark dan Anderson, atau

developmental tasks menurut McCormick, Kuo, dan Masten.

8.2. Implikasi

Penelitian ini didesain untuk menghasilkan konstruksi tentang spiritualitas

praktisi dan lansia dalam konteks pelayanan sosial. Oleh karena itu, implikasi secara

teoretis atau pengetahuan, praktis, dan kebijakan di sini lebih banyak dibahas pada

wilayah disiplin ilmu pekerjaan sosial.

8.2.1. Implikasi Teoretis-pengetahuan

Terkait implikasi teoretis dan pengetahuan, penelitian ini mendorong praktisi

dan lembaga pelayanan untuk merivisi perspektif PIE (person in environment atau

individu dalam lingkungan), yakni dengan memperluas cakupan konsep individu dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 288: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

266

lingkungan sosial dengan melibatkan konsep spiritualitas di dalamnya. Seperti

diketahui bersama bahwa konsep PIE telah sekian lama menjadi panduan praktik dan

ciri khas pekerjaan sosial. Bahkan menurut Robbins, Chatterjee, dan Canda (2008),

konsep yang berasaskan perspektif ekologis ini telah menjadi semacam meta-teori

bagi praktik pekerjaan sosial. Meskipun dianggap sulit, sejumlah ahli menyarankan

untuk memasukkan spiritualitas ke dalam perspektif PIE (Lee et al., 2009).

Sebagian ahli bahkan telah berupaya mengintegrasikan spiritualitas ke dalam

konsep PIE. Dengan perspektif spiritualitas, Zapf (2007), misalnya, mengusulkan

agar memperluas cakupan individu dan lingkungan. Menurutnya, dengan konsep

spiritualitas, wilayah individu tidak hanya berpusat pada diri, namun diperluas ke

arah hubungan antar individu atau individu dengan lingkungan. Sementara konsep

lingkungan harusnya tidak terbatas hanya pada lingkungan sosial, namun diperluas

hingga mencakup alam semesta. Dengan teori transpersonal, Canda dan Furman

(2010) juga turut merekomendasikan bahwa individu seharusnya tidak terbatas hanya

pada ego dan lingkungan tidak hanya berupa sekelompok hubungan sosial yang

terbatas. Namun, konsep keduanya harus direvisi dimana kebutuhan individu

diperluas menjadi kebutuhan akan transendensi diri dan misi sosial pekerjaan sosial

tentang dukungan sosial dan keadilan diperluas menjadi keharmonisan dan keadilan

global bagi alam semesta.

Sejumlah lansia yang menjadi informan penelitian ini memiliki potensi

konsep diri yang dapat diperluas. Mereka telah menunjukkan kemampuan adanya

transendensi diri ketika mengalami serangkaian kemalangan dalam hidup, seperti

penderitaan tak berujung, penyakit, atau disabilitas karena faktor penuaan. Mereka

menganggap penderitaan tersebut sebagai musibah, cobaan, peringatan, atau takdir

yang harus diterima dengan sabar, tawakkal, dan bahkan harus disyukuri.

Transendensi diri juga telah mereka tunjukkan dengan sikap tidak menginginkan hal-

hal lebih di sisa akhir hidupnya. Dengan kata lain, mereka telah selesai dengan

dirinya atau kebutuhan dirinya.

Sementara, potensi konsep lingkungan yang dapat diperluas ditunjukkan dari

tema keterhubungan yang tidak hanya dengan orang-orang sekitar yang berinteraksi,

keluarga atau kerabat yang masih berkunjung, dan dengan mereka yang masih hidup.

Akan tetapi, hubungan secara batin masih mereka jaga melalui doa untuk keluarga

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 289: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

267

Universitas Indonesia

yang sudah tidak pernah bertemu dan berkunjung atau hubungan menerus dengan

orang-orang tercinta yang telah tiada (continuing bonds). Selain itu, hubungan

vertikal dengan Tuhan juga merupakan bukti adanya potensi konsep lingkungan yang

lebih jauh melampaui konsep lingkungan sosial yang sempit.

Implikasi berikutnya adalah bahwa penelitian ini dapat berkontribusi terhadap

pengembangan pengetahuan, dari sisi teori maupun metodologi. Dengan grounded

theory, konsep tentang spiritualitas praktisi dan lansia tergali secara indigenous.

Model pelayanan sosial untuk lansia (asesmen dan intervensi) yang sensitif secara

spiritual dan khas masyarakat Indonesia juga terbangun. Sedangkan dari sisi

metodologis, penggunaan strategi grounded theory dan program NVivo7 untuk

analisis data kualitatif, yang masih langka digunakan dalam disiplin Ilmu

Kesejahteraan Sosial, khususny di Indonesia, juga akan sangat bermanfaat bagi

penelitian mendatang. Pada intinya, penelitian ini dapat menjadi rintisan untuk

penelitian-penelitian selanjutnya yang bertujuan memperbaiki pelayanan sosial bagi

lansia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan dan meningkatkan

kualitas hidup mereka.

Penelitian dengan grounded theory ini berhasil mengonstruksi teori tentang

spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia dalam konteks pelayanan sosial lansia.

Hasil konstruksi ini juga telah diupayakan didialogkan, seperti pada bagian

pembahasan (Bab 6 dan 7), dengan penelitian atau teori yang relevan yang sebagian

besar berasal dari Barat. Di situ tampak bahwa sejumlah model dan sintesis yang

diajukan tetap menampakan warna atau perspektif dari Barat, namun substansi atau

materi tetap merupakan “perasan” hasil eksplorasi terhadap lokalitas Indonesia.

Dengan demikian, tidak berlebihan apabila tipe transformasi pekerjaan sosial

yang cocok untuk konteks tersebut berupa perpaduan antara indigenisasi menurut

Midgley (1981) dan otentisisasi (authenticization) atau ta’shîl menurut Ibrahim

Ragab (dalam Walton & Nasr, 1988; Al-Krenawi & Graham, 2009). Indigenisasi

merupakan satu prinsip dalam pendekatan pragmatis yang diusulkan Midgley (1981)

untuk penerapan pekerjaan sosial yang khas bagi Dunia Ketiga. Prinsip ini mengacu

pada ketepatan atau kecocokan (appropriateness) peran-peran pekerjaan sosial

profesional dan pendidikan profesi tersebut (Midgley, 1981, p. 170) atau bisa juga

sebagai upaya atau proses “mengadaptasikan gagasan impor agar sesuai dengan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 290: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

268

kebutuhan lokal,” sebagaimana dimaknai oleh Shawky (1973), seperti dikutip

Walton dan Nasr (1988, p. 148) dan Gray, Coates, dan Bird (2008, p. 5). Sementara,

otentisisasi yang diusulkan Ragab, seperti dikutip Al-Krenawi & Graham (2009, p.

6), berarti ”kembali ke akar atau asal untuk mencari petunjuk, untuk mengembalikan

kemurnian atau orisinalitas, atau untuk menjadi asli.”

Untuk konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia saat ini, khususnya

terkait isu spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia, tampaknya masih berada pada

tahap awal, yakni fase transmisi, menurut kerangka tiga fase yang dibuat oleh

Walton dan Nasr (1988). Menurut menurut Walton & Nasr (1988), fase ini kurang

lebih sama dengan tipe tradisional menurut Ragab, dimana pekerjaan sosial atau

kesejahteraan sosial masih dicangkokkan dan upaya indigenisasi lebih dominan

ketimbang autentisasi.

Namun demikian, melalui hasil penelitian dan model atau konsep yang

terbangun, penelitian ini mendorong agar proses transformasi diupayakan menapaki

pada fase kedua dimana proses indigenisasi dan autentisisasi sudah mulai berimbang.

Fase kedua atau “tahap indigenisasi” merupakan tanggapan balik atas kurang

efektifnya imitasi pekerjaan sosial model Barat di negara-negara berkembang. Para

pendukungnya meyakini bahwa pendekatan dan filosofi dasar pekerjaan sosial

memang sangat berguna, namun perlu dimodifikasi berdasarkan relevansinya dengan

nilai, kebutuhan, dan masalah masyarakat negara berkembang. Artinya, spiritualitas

praktisi dan lansia memang merupakan materi lokal, namun baik metodologi

grounded theory dan perspektif spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini

masih berasal dari Barat. Keterbatasan ini menyebabkan upaya untuk menciptakan

indigenous social work atau mencapai tahap ketiga autentisisasi, khususnya

spiritualitas untuk kesehatan mental lansia, masih terbatas dan butuh waktu.

8.2.2. Implikasi Praktis

Implikasi pertama yang bersifat praktis adalah terkait orientasi praktik yang

hanya bersifat problem-solving dan pemenuhan kebutuhan. Tahap asesmen dalam

praktik pekerjaan sosial generalis masih berorientasi pada penyelesaian masalah

(problem-solving), bukan untuk memahami individu lansia secara utuh. Hal ini juga

dilakukan ketika praktisi mencoba melakukan asesmen terkait isu-isu spiritualitas

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 291: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

269

Universitas Indonesia

lansia (atau dari sisi ekspresinya). Penggunaan deficit-model dalam menerapkan

praktik yang sensitif secara spiritual malah dapat menghasilkan pemahaman yang

tidak utuh terhadap individu lansia. Potensi atau kekuatan spiritual, seperti sistem

kepercayaan, keyakinan, nilai, ritual, harapan, cinta, perasaan dicintai dan dihargai,

keterhubungan, dan seterusnya, sulit tergali ketika melakukan asesmen hanya pada

masalah spiritual yang sedang menimpanya. Padahal segala potensi tersebut bisa

menjadi modal berharga tidak saja ketika lansia ada masalah, tetapi juga dapat

menumbuhkan kematangan spiritualnya demi memperoleh kualitas hidup yang baik

di hari tua.

Dengan demikian, praktik berorientasi problem-solving harus diubah menjadi

praktik yang berorientasi pada kekuatan (strength-based), dimana aspek spiritual

tercakup di dalamnya. Dalam penanganan kesehatan mental, sudah seharusnya

pekerjaan sosial mengambil penekanan pada sisi kekuatan klien, sebagai ciri model

interaksional. Dalam sejarah, model ini memang menjadi perspektif pekerjaan sosial

sebagai jalan yang berbeda dari model medikal. Selain itu, bersama dengan

perspektif yang menekankan kekuatan berbagai aspek, praktik pekerjaan sosial yang

holistik dengan pendekatan atau model biopsikososial-spiritual sangat penting untuk

dipromosikan.

Implikasi berikutnya adalah terkait tentang living spirituality, yang telah

menjadi konsep sentral model pelayanan sosial yang sadar spiritual dalam penelitian

ini. Living spirituality yang dimiliki para praktisi termanifestasi dalam sejumlah

komponen, seperti afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, konsep “di

balik ujian ada hikmah”, dan sejumlah komponen penting lain. Spiritualitas mereka

juga tercermin ketika mereka memberikan praktik layanan bagi lansia. Motivasi

memberikan pertolongan, sebagai salah satu wujud spiritualitas, juga berdampak

ketika praktisi melakukan asesmen dan intervensi yang bersifat spiritual, sebagai

bagian dari upaya praktisi untuk memahami spiritualitas yang dimiliki lansia.

Dengan demikian, sebagai implikasi praktisnya, living spirituality yang dimiliki

praktisi dapat menjadi dasar bagi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang

skemanya tampak pada Gambar 8.1 halaman berikut.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 292: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

270

Gambar 8.1 Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual

Selanjutnya, implikasi praktis yang patut dibahas di sini terkait kompetensi

praktisi yang dibutuhkan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang

sadar spiritual. Kompetensi yang dimaksud berupa penguasaan terhadap tiga struktur

bangunan disiplin profesi pekerjaan sosial, yaitu pengetahuan (knowledge),

keterampilan (skills), dan nilai (values). Beberapa kompetensi dasar memang harus

dimiliki, seperti kemampuan melakukan komunikasi yang baik dan efektif, empati,

dan simpati. Namun ada sejumlah kompetensi yang dipandang penting bagi praktisi

yang hendak menangani klien dengan pendekatan spiritual.

Dari sisi pengetahuan, praktisi selayaknya: paham tentang keagamaan dan

spiritualitas secara umum; mengetahui dan memahami ragam kultur dan adat-istiadat

yang ada di Indonesia, meski tidak harus detail dan mendalam; mengetahui ajaran-

ajaran agama lain secara umum akan menjadi nilai tambah tersendiri; memahami

juga paham multikulturalisme, meski tidak harus mendalam, namun paham tentang

pluralisme bisa jadi akan memberi lebih banyak manfaat; dan memahami

kemungkinan-kemungkinan timbulnya dilema etis terkait penggunaan spiritualitas.

Kemudian dari sisi keterampilan, praktisi harus memiliki: penalaran

(reasoning atau penggunaan commonsense) dan logika yang baik; punya kemampuan

Afiliasi & praktik

keagamaan

Living spirituality

Keyakinan & nilai

“Di balik ujian ada hikmah”

Komponen spiritualitas lain

Praktik layanan

Asesmen spiritual

Intervensi spiritual

Praktik profesional

pekerjaan sosial

Motivasi melayani klien lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 293: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

271

Universitas Indonesia

mendengarkan klien lansia (a good listener) ketika mereka bercerita atau berkeluh-

kesah dan, bahkan, tidak menuntut banyak bicara karena terlalu banyak bicara malah

harus dihindari; kemampuan bekerja sama secara tim atau multidisiplin, terus-terus-

menerus, dan intensif; kemampuan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi dilema

etis yang mungkin timbul terkait penggunaan aspek spiritual; dan mampu dan cukup

berani membuat keputusan ketika muncul dilema etis dengan mempertimbangkan

berbagai resiko, yang di antaranya memakai prinsip memilih yang paling ringan

mudaratnya (berupaya mendapatkan manfaat besar dengan mengambil resiko sekecil

mungkin).

Selain berbagai kemampuan tersebut, praktisi juga harus menyadari batas

kemampuan diri dan ketika sudah di luar kapasitas atau kompetensinya, maka harus

dikonsultasikan atau dirujukkan ke pihak lain (praktisi atau lembaga) yang lebih

berwenang atau lebih berpengalaman. Berikutnya adalah kreatif, inisiatif, dan

inovatif untuk melakukan asesmen dan intervensi; punya orientasi asesmen tidak

hanya menggunakan model diagnostik patologis, tetapi berupaya memahami klien

secara utuh, terutama potensi dan kekuatannya; dan berorientasi intervensi tidak

sekadar problem-solving, tetapi juga pertumbuhan spiritualitas lansia (spiritual

growth).

Skill lain yang tidak kalah penting adalah ketika menghadapi lansia yang

pasang susuk dan yang menghadapi kematian. Untuk menghadapi lansia yang pernah

pasang susuk dan belum sempat dicabut, praktisi harus punya kemampuan menggali

dengan pendekatan tertentu yang efektif namun tidak sampai menyinggung perasaan

mereka. Namun, ini bukan berarti praktisi harus memiliki kemampuan indera ke-6,

karena kemampuan semacam ini lebih banyak sebagai pemberian (given), meski bisa

dipelajari. Terakhir, untuk praktisi yang didelegasikan untuk menangani lansia yang

sedang menghadapi kematian (dying, sakrotul maut) harus punya bekal atau

kemampuan dengan mental yang kuat untuk mendampingi dan kemampuan

menjalankan ritual keagamaan, seperti membacakan Surat Yasin, menuntun

membaca syahadat, kalimat Tahlil, atau asma Tuhan, namun apabila tidak mampu

diserahkan ke ustadz/ahli agama.

Terakhir tentang kompetensi terkait nilai, setiap praktisi yang melakukan

penanganan secara spiritual harus memiliki sifat penyayang, penuh perhatian, dan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 294: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

272

tidak judes/galak; berpikiran terbuka (open-minded) dan inklusif atau tidak picik;

bersikap respek dan toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan (dari sisi agama,

keyakinan, aliran, madzhab, golongan, etnis, suku, ras, adat, kultur, dan lain-lain);

tidak mudah menghukumi (judging) atau menyalahkan orang lain terkait benar atau

salah, atau tidak mengklaim kebenaran secara sepihak di depan klien (truth claim);

dan punya kepekaan (sensitivitas) terhadap sisi-sisi spiritualitas klien, baik yang

bersumber dari agama maupun luar agama. Kompetensi nilai yang terakhir ini dapat

terkait dengan kemampuan semacam sensory spiritual atau to sensitize spirituality.

8.2.3. Implikasi Kebijakan

Isu yang tercakup dalam penelitian ini meliputi spiritualitas, kesehatan

mental, dan lansia. Sejumlah UU bisa menjadi landasan pijak bagi penanganan

kesehatan mental lansia, yaitu UU Kessos 2009, UU Kesejahteraan Lansia 1998, UU

Kesehatan 2009, dan UU Kesehatan Jiwa 2014. Kondisi kejahteraan atau

kesejahteraan sosial, kesehatan, dan kesehatan jiwa sebagai tujuan utama

penanganan, seperti didefinisikan dalam keempat UU ini, semuanya melibatkan

aspek spiritual, bersama beberapa aspek lain, seperti fisik, mental, dan sosial.

Namun demikian, baik di dalam UU itu sendiri ataupun berbagai aturan

penjelasnya, aspek spiritual seringkali disamakan dengan aspek religius atau agama.

Bahkan, istilah ini sering disilihgantikan dengan aspek mental dan psikologis.

Akibatnya, pemahaman terhadap aspek ini menjadi tampak ambigu karena terkesan

punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis. Selain itu, aspek spiritual juga

kurang mendapat penekanan dan sering tenggelam karena dominasi model

pendekatan medikal dan psikososial yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis,

psikologis, dan sosial.

Dari uraian tersebut, kajian tentang spiritualitas dan konstruksi spiritual

menurut praktisi dan lansia dalam penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan

untuk memperjelas makna aspek spiritual dan/atau spiritualitas dan membedakannya

dengan aspek religius, agama, mental, atau psikologis. Selain itu, sejumlah pedoman

dalam bentuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), yang

menjelaskan aspek spiritual pada UU Kessos atau UU Kesejahteraan Lansia, patut

diperkaya berbagai teori, kajian, dan hasil penelitian. Hasil penelitian dan usulan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 295: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

273

Universitas Indonesia

model dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber masukan. Tinjauan

literatur dalam penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi yang kaya bagi

perbaikan pedoman semacam itu.

Implikasi kebijakan berikutnya berupa pengarusutamaan (mainstreaming)

spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia melalui konsep penuaan aktif (active

ageing) yang dipromosikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk semua

negara. Selain kesehatan, spiritualitas merupakan satu di antara sejumlah aspek

penting yang ikut dilibatkan dalam konsep active ageing. Menurut Kalache dan

Kickbush (1997), seperti dikutip WHO (2002), konsep ini lebih inklusif dibanding

konsep serupa yang dipromosikan WHO, yakni healthy ageing.

Menurut WHO (2002), aktif dalam konsep tersebut juga diartikan sebagai

kontinyuitas partisipasi lansia dalam segala apek kehidupan, seperti sosial, ekonomi,

budaya, dan spiritual. Partisipasi merupakan satu dari tiga pilar utama dalam konsep

active ageing, sementara dua yang lain berupa kesehatan dan keamanan (p.45).

Partisipasi juga menjadi salah satu prinsip dalam konsep ini bersama beberapa

prinsip lain, seperti hak azasi, independensi, harkat-martabat, kepedulian, dan

pemenuhan diri (p. 13). Konsep penuaan aktif memiliki tujuh determinan yang saling

berjalin dan berkelindan, yakni sosial, ekonomi, layanan kesehatan dan sosial,

perilaku, personal, dan fisik. Sementara determinan ketujuh yang berupa kultur dan

gender merupakan determinan penting yang melingkupi dan menjadi konteks bagi

enam determinan lain (p.19).

Dimasukkannya aspek spiritual ke dalam konsep active ageing selaras pula

dengan adanya pergeseran pendekatan untuk penanganan lansia pada dekade 1990-

an. Pergeseran yang dimaksud yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needs-

based” approach) menuju pendekatan berbasis hak (“rights-based” approach)

(Kalache & Kickbush, 1997 dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006).

Dengan demikian, konsep active ageing beserta pendekatan berbasis hak

tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendorong pemangku kepentingan, khususnya

pemerintah, agar lebih serius melibatkan aspek spiritual dalam memberikan

pelayanan sosial untuk mewujudkan keseimbangan hidup lansia. Alasannya, di

samping aspek ini jelas-jelas tercakup dalam konsep active ageing, spiritualitas yang

dimiliki lansia merupakan hak yang harus dihormati dan dipenuhi dalam layanan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 296: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

274

Selain itu, pemenuhan kebutuhan spiritual lansia juga dapat diakomodasi melalui

prinsip pemenuhan diri. Lebih jauh lagi, determinan kultur juga dapat dijadikan

legitimasi agar spiritualitas tercakup dalam sistem pelayanan sosial dan kesehatan

bagi lansia, karena pengertian kultur juga mencakup aspek spiritual.

8.3. Rekomendasi

Sebagai bagian terakhir, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang

dianggap penting untuk perkembangan disiplin ilmu pekerjaan sosial di tanah air.

Pertama, lembaga-lembaga penyedia layanan untuk lansia secara umum

menerapkan praktik generalis pekerjaan sosial dimana setiap tahapan dilengkapi

beragam blangko atau formulir yang mencatat segala informasi tentang klien, baik

sebelum maupun pada saat di panti. Namun sebagian panti tidak terlalu lengkap dari

sisi blangko di tiap tahapan, sementara sebagian yang lain dapat dikatakan lumayan

lengkap, namun tidak sedikit yang ternyata praktisi tidak mengisi atau melengkapi

ragam blangko yang ada. Terkait dengan spiritualitas atau agama klien, catatan yang

ada lebih bersifat formalitas atau keagamaan secara ekstrinsik.

Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan agar spiritualitas dan/atau

keagamaan intrinsik mereka dieksplorasi secara lebih mendalam. Catatan tentang

biografi lansia juga sebaiknya melibatkan sejarah spiritualitas (spiritual history) atau

sejarah afiliasi keagamaan mereka. Selain itu, perlu ada satu blangko yang dinilai

cukup penting diadakan yaitu semacam blangko wasiat atau blangko keinginan dan

harapan. Tujuan adanya blangko ini adalah untuk mengantisipasi banyak klien lansia

yang menyimpan rahasia ataupun keinginan yang tak tersampaikan yang seringkali

memiliki sangkut-paut dengan ahli waris/kerabat dan juga keinginan tertentu selepas

kematiannya kelak (settling affairs). Blangko seperti ini bisa diisi sendiri oleh klien

ataupun (dibantu) oleh praktisi.

Kedua, lansia yang tinggal dan memperoleh layanan di panti pasti mengalami

banyak perubahan hidup. Perubahan yang mereka alami, sebagaimana dalam hasil

penelitian ini, misalnya berupa perubahan suasana, kebiasaan, kegemaran, hobi,

peran dan tanggung jawab, relasi, dan sebagainya. Perubahan tersebut sebagian besar

bersifat spiritual, sehingga harus diantisipasi dan difasilitasi oleh para praktisi, tidak

hanya mengandalkan kemampuan penyesuaian diri (adjustment) yang dimiliki klien.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 297: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

275

Universitas Indonesia

Berbagai kegiatan atau bimbingan untuk mendukung adjustment lansia

memang telah dilakukan, namun kebanyakan hanya berupa rutinitas kurang makna.

Kebanyakan praktisi juga melakukannya secara mekanis yang kurang sadar secara

spiritual. Sebagai contoh, praktisi memang membantu memfasilitasi klien lansia

dalam penyaluran hobi atau kreativitas, akan tetapi mereka kurang sadar atau

mungkin tidak tahu bahwa kegiatan menyalurkan hobi atau bakat yang dulu mungkin

biasa dilakukan lansia sangatlah penting dan bermakna apabila dilakukan kembali

saat ini, tidak hanya sekadar mengisi waktu. Karena melalui penyaluran itu, klien

lansia merasa ada sesuatu yang berguna yang masih bisa mereka lakukan. Ada

pemaknaan tertentu di balik aktivitas tersebut dan, dengan begitu, mereka merasa ada

dan dihargai. Pemaknaan terhadap sesuatu dan merasa ada itu bersifat eksistensial-

spiritual. Jadi, intinya terletak pada orientasi dan intensi praktisi dalam memberikan

bimbingan penyaluran hobi.

Ketiga, dalam pelayanan home care, perlu ada upaya pembagian peran

pendamping dengan berbagai tipe, sebagaimana dihasilkan penelitian ini yaitu tipe

normatif, kondisional atau fleksibel, dan kearifan diri. Pembagian peran berdasarkan

tipologi praktisi tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik dari semua

pendamping yang ada. Meskipun kebetulan lembaga home care yang diteliti

memiliki ketiga tipe praktisi, rekomendasi ini tetap relevan diajukan untuk lembaga-

lembaga berbasis komunitas yang lain.

Keempat, lembaga panti dan home care memang berbeda dari sisi setting

tempat lansia hidup dan tinggal, fasilitas, kelembagaan, syarat menjadi klien, tujuan

pelayanan, pendanaan, tatanan sosial, nilai dan norma, dan lain-lain. Masing-masing

tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari sisi tujuannya, panti hanya

menampung lansia yang telantar atau keluarga dan kerabatnya tidak mampu

memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, panti di Indonesia merupakan

pilihan terakhir dan menjadi semacam jaring pengaman untuk mereka yang

dikhawatirkan tidak mampu bertahan apabila dibiarkan hidup di tengah masyarakat

tanpa penanganan khusus.

Jadi, lembaga panti sejatinya tidak saja berfungsi untuk memenuhi berbagai

kebutuhan klien, namun juga hendak mengondisikan lansia layaknya hidup normal

dan seimbang secara sosial. Kehidupan yang normal secara sosial ini sebenarnya

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 298: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

276

merupakan kelebihan dan potensi yang dimiliki pelayanan home care, karena

sebelum menjadi klien para lansia sudah hidup dengan kelebihan dan potensi

tersebut, yang tidak dimiliki oleh lansia yang menjadi klien panti. Alasan

diadakannya layanan home care bagi lansia di antaranya adalah untuk melengkapi

kebutuhan-kebutuhan tertentu yang masih kurang.

Dengan demikian, untuk pengembangan di masa depan, panti perlu diatur

sedemikian rupa sehingga kondisinya menyerupai suatu komunitas dimana setting

lingkungan panti diatur seperti layaknya sebuah masyarakat kecil. Di sana ada

pembagian peran dan tanggung jawab, berbagai kegiatan atau bimbingan

diselenggarakan dengan cara tertentu sehingga menciptakan interaksi dan

keterhubungan yang natural dan bermakna, pembentukan keluarga baru, dan

seterusnya. Selanjutnya sistem pelayanan yang disediakan juga menyerupai layanan

home care dengan batasan tertentu.

Kelima, unsur spiritualitas dan juga agama perlu dieksplisitkan dan dirinci

dalam kode etik profesi pekerjaan sosial. Seperti telah dijelaskan dalam Bab

Pendahuluan, kode etik IPSPI tidak menyebut secara eksplisit istilah agama dan/atau

spiritualitas, apalagi rincian penjelasannya. Pasal 16 yang mendorong profesi ini

menghormati keanekaragaman budaya tidak cukup kuat menjadi legitimasi bahwa

aspek penting tersebut telah dilibatkan. Selain itu, rasa hormat terhadap keragaman

budaya tidaklah sama dengan kompeten secara kultural atau sensitif spiritual/agama.

Keenam, spiritualitas menjadi isu sentral dalam penelitian ini dan dalam

praktik pekerjaan sosial, spiritualitas untuk masyarakat Indonesia dapat diposisikan

baik sebagai jantung atau inti dari pelayanan (the heart of helping) maupun sebagai

satu dari sejumlah aspek penting dalam pelayanan. Meskipun dinilai sebegitu

penting, spiritualitas harus diposisikan secara seimbang dan proporsional.

Keseimbngan antar berbagai aspek yang relevan adalah kata kuncinya. Terlebih lagi

dalam penelitian ini dijumpai tipe praktisi maupun klien lansia yang cukup

bervariasi, yang tidak semua menganggap aspek ini di atas segalanya. Tipe praktisi

dan klien, konteks masalah, dan kondisi yang melingkupi harus betul-betul

dipertimbangkan. Dengan demikian, ketika pada kondisi tertentu spiritualitas

dianggap tidak relevan, sangat tidak bijak apabila aspek ini dipaksakan harus

dilibatkan dalam pelayanan. Hal ini agar tidak sampai terjebak pada “spiritualisasi”

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 299: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

277

Universitas Indonesia

dalam pekerjaan sosial, seperti halnya kekeliruan di masa lalu melalui upaya

“psikologisasi” dalam pertolongan profesional, meski hal ini mungkin kurang

disadari.

Ketujuh, seperti telah diuraikan pada temuan dan pembahasan hasil

penelitian, spiritualitas lansia dipandang cukup signifikan bagi kondisi mental yang

baik. Di sisi yang lain, praktisi memiliki living spirituality, namun tidak banyak

diekspresikan dalam interaksi dengan lansia. Sejauhmana living spirituality yang

dimiliki praktisi dipraktikkan bergantung pada itikad dan kemampuan personal,

sementara pengaruh atau dampak dari pendidikan dan/atau pelatihan tidak begitu

kelihatan. Terkait dengan hal ini, tampaknya materi spiritualitas dan agama dalam

pekerjaan sosial penting untuk ditambahkan dalam kurikulum pendidikan formal dan

diklat (pendidikan dan pelatihan) kesejahteraan sosial.

Kedelapan, model spiritualitas lansia yang dihasilkan di sini hanya

menggambarkan spiritualitas klien lansia yang mendapat pelayanan sosial, baik di

lembaga panti maupun non-panti. Tampaknya sangat perlu dilakukan penelitian

lanjutan tentang spritualitas lansia secara umum di luar konteks pelayanan sosial

dengan metode serupa (grounded theory). Salah satu tujuannya adalah untuk

perbandingan dan juga untuk memperluas gambaran lansia Indonesia. Selanjutnya,

penelitian lebih jauh terhadap hubungan antara spiritualitas dengan lansia yang

mengalami berbagai masalah kesehatan mental secara lebih spesifik juga sangat

direkomendasikan. Misalnya lansia dengan penyakit kronis, kehilangan pasangan

atau orang terdekat, kecemasan, depresi, atau gangguan kesehatan mental lain.

Terakhir, kajian spiritualitas ini merupakan upaya untuk menangkap realitas

di ranah pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan pendekatan kualitatif dan

metode grounded theory, sesuatu yang tidak tampak (intangible) berupa data

kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan diperas hingga menghasilkan sejumlah

konsep atau kategori penting yang seakan-akan menjadi tampak (tangible). Dengan

demikian, konsep atau kategori penting ini dapat dijadikan sebagai variabel untuk

penelitian lanjutan dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengenai

spiritualitas dalam domain pekerjaan sosial, khususnya direct practice, sangat

diperlukan karena akan memberikan gambaran secara kuantitatif yang dapat

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 300: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

278

digeneralisasi untuk konteks Indonesia. Apalagi sampai saat ini, angka masih

dianggap keramat bagi kebanyakan orang, termasuk dalam penelitian.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 301: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

279

DAFTAR REFERENSI

306.621 Warga DKI Sakit Jiwa (2011, 10 Oktober). 10 November 2011. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/10/13050483/306.621.Warga.DKI.Sakit.Jiwa

ADB (2011). Asian Development Outlook 2011 Update: Preparing for Demographic Transition. Philippines: Asian Development Bank.

Adi, I.R. (2013). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan). Jakarta: Rajawali Pers.

Agustina, N. (2002). Permasalahan dan Akses Kesehatan Lansia. Jurnal Perempuan 25, 7-18.

Al-Krenawi, A. dan Graham, J. R. (2009). Helping Professional Practice with Indigenous Peoples: The Bedouin-Arab Case. Maryland: University Press of America, Inc.

Allan, J. (2005). The Role of Meaning Construction in Living with Grief. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 282-99). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Allport, G. W. (1992). Preface. Dalam Viktor E. Frankl. Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. 4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press, pp. 7-10.

Altmaier, E.M. (2011). Best Practices in Counseling Grief and Loss. Finding Benefit from Trauma. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 33-45.

Andayani (2010). Signifikansi Spiritualitas dan Praktek Pekerjaan Sosial. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 37-47). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Arifianto, A. (2006). Public Elderly Towards the Elderly in Indonesia: Current Policy and Future Directions. SMERU.

Arnold, E.M. (2009). Konseling dan Pengasuhan Akhir Kehidupan: Asesmen, Intervensi, dan Isu Klinis. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.), Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 2 (Social Workers’ Desk Reference) (pp. 176-91). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: Gunung Mulia.

Atchley, R.C. (1997). Everyday Mysticism: Spiritual development in Later Adulthood. Journal of Adult Development 4 (2), 123-134.

Atchley, R.C. (2008). Spirituality, Meaning, and the Experience of Aging. Generations 32 (2), 12-16.

Awas, Makin Banyak Orang Sakit Jiwa! (2008, 9 Juli). 8 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2008/07/09/19571595/Awas.Makin.Banyak.Orang.Sakit.Jiwa

Babbie, E. (1998). The Practice of Social Research. 8th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company.

Bagus, L. (2000). Kamus Filsafat. Cetakan kedua. Jakarta: Gramedia. Barker, S.L. (2008). How Social Work Practitioners Understand and Utilize

Spirituality in the Practice Context. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Case Western Reserve University.

Baskin, C. (2007). Circles of Resistance: Spirituality and Transformative Change in Social Work Education and Practice. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 302: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

280

Universitas Indonesia

Swartzentruber, & B. Ouellette (Eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 191-204). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Bastaman, H.D. (1994). Dimensi “Spiritual” dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Viktor E. Frankl. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 14-21.

Bastaman, H.D. (1996). Makna Hidup Bagi Manusia Modern: Tinjauan Psikologis. Dalam Muhamad Wahyuni Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Paramadina.

Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Berg, B. (2001). Qualitative Research Methods for the Social Sciences. 4th Edition. Toronto: Allyn and Bacon.

Bergin, A.E. (1994). Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius. Terj. M. Darmin Ahmad dan Afifah Inayati. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 4-6.

Bookman, A. & Kimbrel, D. (2011). Families and Elder Care in the Twenty-First Century. The Future of Children, Vol. 21, No. 2, 117-140.

BPS (n.d.), Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1995, 2000 dan 2010. 25 Januari 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1& id_subyek=12&notab=1

Brennan, M., Laditka, S.B., & Cohen, A. (2005). Postcards to God: Exploring Spiritual Expression Among Disabled Older Adults. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 203-22). New York: The Haworth Social Work Practice Press.

Bryman, A. (2008). Social Research Methods. 3rd Edition. New York: Oxford University Press.

Canda, E. R. (1986). A Conceptualization of Spirituality for Social Work: Its Issues and Implications. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Ohio State University.

Canda, E. R., Nakashima, M. dan Furman, L. D. (2004). Ethical Considerations about Spirituality in Social Work: Insights from a National Qualitative Survey. Families in Society, 85 (1), 27-35.

Canda, E.R. & Furman, L.D. (1999). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. New York: The Free Press.

Canda, E.R. & Furman, L.D. (2010). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. 2nd Edition. New York: Oxford University Press, Inc.

Canda, E.R. (2003). Heed Your Calling and Follow It Far: Suggestions for Authors Who Write about Spirituality or Other Innovations for Social Work. Families in Society, 84 (1), 80-5.

Cardona, B. (2008). ‘Healthy Ageing’ Policies and Anti-Ageing Ideologies and Practices: On the Exercises of Responsibilities. Med Health Care and Philos 11, 475–483.

Charmaz, K. (2004). Grounded Theory. Dalam S.N. Hesse-Biber & P. Leavy (Eds.), Approaches to Qualitative Research: A Reader on Theory and Practice (pp. 496-521). New York & Oxford: Oxford University Press.

Charmaz, K. (2006). Constructing Grounded Theory: A Practical Guide through Qualitative Analysis. London: Sage Publication.

Cherry, A. (2000). A Research Primer for the Helping Professions: Methods, Statistics and Writing. Canada: Brooks/Cole Thomson Learning.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 303: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

281

Chong, A.ML, Ng, SH., Woo, J., & Kwan, A. YH. (2006). Positive Ageing, the Views of Middle-aged and Older Adults in Hong Kong. Ageing & Society 26, 243-65.

Coholic, D. (2007). The Helpfulness of Spirituality Influenced Group Work in Developing Self-Awareness and Self-Esteem: A Preliminary Investigation. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 111-34). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Cowan, J.M. (1971). Hans Wehr: A Dictionary of Modern Written Arabic. 3rd Printing London: George Allen & Unwin Ltd.

Cowger, C. D. dan Snively, C. A. (2008). Mengases Kekuatan Klien. Dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 1 (Social Workers’ Desk Reference). Terj. Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina. Jakarta: Gunung Mulia, pp. 107-116.

Coyne, I.T. (1997). Sampling in Qualitative Research. Purposeful & Theoretical Sampling; Merging or Clear Boundaries?. Dalam Journal of Advanced Nursing, 26, 623–630.

Creswell, J.W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3rd Edition. California: Sage Publications, Inc.

Crowther, M.R., Parker, M.W., Achenbaum, W.A., Larimore, W.L., & Koenig, H.G. (2002). Rowe and Kahn's Model of Successful Aging Revisited: Positive Spirituality--The Forgotten Factor. The Gerontologist, 52 (5), 613-20.

CSWE (2008). Educational Policy and Accreditation Standards. 28 September 2012. https://www.fau.com/ssw/field-education/at-a-glance/cswe-educational-policy -and-accreditation-standards.pdf

Dale, O., Smith, R., Norlin, J.M. & Chess, W.A. (2006). Human Behavior and the Social Environment: Social Systems Theory. 5th Edition. USA: Pearson Education, Inc.

Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (1994). Introduction: Entering the Field of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 1-17). California: Sage Publications, Inc.

Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2003). Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd.

Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2004), Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications, Inc.

Depsos (2008). Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia.

Diwan, S., Balaswamy, S., & Lee, S.E. (2012). Social Work with Older Adults in Health-Care Settings. Dalam Gehlert, S. & Browne, T. (Eds.). Handbook of Health Social Work (pp. 392-425). 2nd edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

DuBois, J. (2004). Understanding Viktor Frankl’s Theory and Therapy of Mental Disorders. Dalam Viktor E. Frankl. On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis (pp. ix-xliv). 8th Edition. (James M. DuBois, Penerjemah). New York dan Hove: Bruner-Routledge.

Ezzy, D. (2002). Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 304: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

282

Universitas Indonesia

Fahrudin, A. (2005). Spritualitas dan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial: Sebuah Konsepsi. Makalah disajikan dalam Diskusi Buku Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice, Anjuran Instalasi Pendidikan Agama, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, 5 Desember 2005.

Fahrudin, A. (2007). Day Care Services. Bahan Pembinaan dan Pemantapan Petugas yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Departemen Sosial RI di Hotel Satelit Surabaya, 16-19 April 2007.

Fahrudin, A. (2012). Pengantar Kesejaheraan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Favourita, L. (1998). Kebutuhan Lanjut Usia di DKI Jakarta (Suatu Studi Deskripsi).

Thesis pada Universitas Indonesia. Folkman, S. & Moskowitz, J.T. (2004). Coping: Pitfalls and Promise. Annual Review

of Psychology 55, 745-74. Frankl, V.E. (1992). Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy.

4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press. Frankl, V.E. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An

Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. 8th Edition. Terj. James M. DuBois. New York dan Hove: Bruner-Routledge.

Friedman, H. Krippner, S., Riebel, L., & Johnson, C. (2011). Transpersonal and Other Models of Spiritual Development. International Journal of Transpersonal Studies, 29 (1), 79-94.

Gall, T. L., Malette, J., & Guirguis-Younger, M. (2011). Spirituality and Religiousness: A Diversity of Definitions. Journal of Spirituality in Mental Health, 13 (3), 158-181.

Gilbert, G. (2007). The Spiritual Foundation: Awareness and Context for People’s Lives Today. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values and Mental Health (pp. 19-44). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Gilgun, J.F. (1994). Hand into Glove: The Grounded Theory Approach and Social Work Practice Research. In E. Sherman & W. J. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 115-25). New York: Columbia Uiversity Press.

Glaser, B.G. & Straus, A.L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research [Reprinted 2006]. New Brunswick & London: Aldine Transaction.

Glassè, C. (1999). Ensiklopedi Islam: Ringkas. Cetakan kedua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Gotterer, R. (2001). The Spiritual Dimension in Clinical Social Work: A Client Perspective. Families in Society, 82 (2), 187-93.

Gray, M., Coates, J. dan Bird, M. Y. (2008). Introduction. Dalam Mel Gray, John Coates and Michael Yellow Bird (Eds.). Indigenous Social Work around the World: Towards Culturally Relevant Education and Practice. Hampshire-Burlington: Ashgate Publishing Company, pp. 1-10.

Guba, E.G. & Lincoln, Y.S. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 105-17). California: Sage Publications, Inc.

Healy, K. (2005). Social Work Theories in Context: Creating Frameworks for Practice. New York: Palgrave MacMillan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 305: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

283

Heinonen T. & Metteri, A. (2005a). Introduction. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 1-5 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Heinonen T. & Metteri, A. (2005b). Conclusion. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 416-21 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Hendrawan, S. (2009). Spiritual Management: From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance. Bandung: Penerbit Mizan.

Hidayat, K. (2009). Berdamai dengan Kematian. Bandung: Hikmah. Hidayat, K. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books Hidayat, K. (2013). Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme.

Cetakan IV. Jakarta: Noura Books. Hinnells, J.R. (1995). The Penguin Dictionary of Religions, 2nd edition. England:

Penguin Books. Hird, M. (2003). Case Study. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social

Research (pp. 22-4). London: Sage Publications, Ltd. Ho, R.T.H., Chan, C.L.W., Lo, P.H.Y. & Leung, P.P.Y. (2009). The Efficacy of

Integrative Body-Mind-Spirit Group and Social Support Group on Female Breast Cancer Patients. Dalam Mo Yee Lee, et al. (Eds.). Integrative Body-Mind-Spirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment (pp. 217-35). New York: Oxford University Press.

Hodge, D. (2011). Using Spiritual Interventions in Practice: Developing Some Guidelines from Evidenca-based Practice. Social Work 56 (2), 149-58.

Hodge, D.R. (2001a). Spiritual Genograms. A Generational Approach to Assessing Spirituality. Families in Society, 82 (1), 35-48.

Hodge, D.R. (2001b). Spiritual Assessment. A Review of Major Qualitative Methods and a New Framework for Assessing Spirituality. Social Work, 46 (3), 203-14.

Holloway (2007). Spiritual Need and the Core Business of Social Work. British Journal of Social Work (2007) 37, 265–280.

Howe, D. (1987). An Introduction to Social Work Theory. England: Wildwood House Limited.

https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en (diakses 17 Maret 2013)

Huberman, A.M. & Miles, M.B. (1994). Data Management and Analysis Methods. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 428-444). California: Sage Publications, Inc.

Hugen, B. (2001). Spirituality and Religion in Social Work Practice: A Conceptual Model. Dalam M. van Hook, B. Hugen, & M. Aguilar (Eds.), Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice (pp. 9-17). Canada: Brooks/Cole.

Hugo, G. (2000). Lansia-Elderly People in Indonesia at the Turn of the Century. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 299-321). London: Routledge.

Huguelet, P. & Koenig, P.G. (2009). Introduction: Key Concepts. Dalam P. Huguelet & P.G. Koenig (Eds.), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 1-5). New York: Cambridge University Press.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 306: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

284

Universitas Indonesia

Indriana, Y., Desiningrum, D.R., & Kristiana, I.F. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan Sosial (Social Well-being) pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No.2, 184-193.

Indriana, Y., Kristiana, I.F., Sonda, A.A. & Intanirian, A. (2010), Tingkat Stres Lansia di Panti Wredha “Pucang Gading” Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 8 No. 2, 87-96.

IPSPI (1998). Kode Etik Pekerjaan Sosial Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia.

James, W. (1958). The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature. 1st printing. USA: The New American Library.

Janesick, V. (2003). The Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd.

Jewell, A. (2004). Nourishing the Inner Being: A Spirituality Model. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 11-26). London & New York: Jessica Kingsley Publishers.

Kaasa, S. & Loge, J.H. (2003). Review Quality of Life in Palliative Care: Principles and Practices. Dalam Palliatve Medicine (17), 11-20.

Kalache, A. & Keller, I. (1999). The WHO Perspective on Active Ageing. Promotion & Education 6 (4), 20-23.

Kecemasan dan Depresi Capai 11,6 Persen (2011, 29 September). 7 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Sakit.Jiwa

Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di Panti Tresna Werdha.

Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia. Kesulitan Ekonomi Picu Gangguan Jiwa (2008, 4 Agustus). 8 Oktober

2011.http://health.kompas.com/read/2008/08/04/17263295/Kesulitan.Ekonomi.Picu.Gangguan.Jiwa

Kirst-Ashman, K.K. & Hull, Jr., G.H. (2006). Generalist Practice with Organizations and Communities. 3rd Edition. USA: Thomson Brooks/Cole.

Kirst-Ashman, K.K. (2010). Introduction to Social Work dan Social Welfare: Critical Thinking Perspective. 3rd Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning.

Komnas Lansia (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta. Kristiyanto, E. (2005). Spiritualitas Kristen. Dalam A.E. Kristiyanto (ed.).

Spiritualitas dan Masalah Sosial (pp. 1-16). Jakarta: Penerbit Obor. Lavretsky, H. (2010). Spirituality and Aging. Aging Health 6 (6), 749-69. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York:

Springer Publishing Company. Lee, M.Y., Ng, S., Leung, P.P.Y. & Chan, C.L.W. (2009). Integrative Body-Mind-

Spirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment. New York: Oxford University Press.

Lydon-Lam, J. (2012). Models of Spirituality and Consideration of Spiritual Assessment. International Journal of Childbirth Education 27 (1), 18-22.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 307: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

285

MacKinlay, E. (2004a). The Spiritual Dimension of Ageing. 2nd printing. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

MacKinlay, E. (2004b). The Spiritual Dimension of Ageing. Dalam Albert Jewell (ed.). Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 72-85). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

MacKinlay, E. (2006). Spiritual Growth and Care in the Fourth Age of Life. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Mackinlay, E. (2008). Introduction: Ageing, Disability and Spirituality. Dalam E. Mackinlay (ed.). Ageing, Disability and Spirituality (pp. 11-21). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Mathews, I. (2009). Social Work and Spirituality (Transforming Social Work Practice). Glasgow: Learning Matters.

McCormick, C.M., Kuo, S.I., & Masten, A.S. (2010). Developmental Tasks Across the Life Span. Dalam K.L. Fingerman, C.A. Berg, J. Smith. & T.C. Antonucci (eds.). Handbook of Life-Span Development (pp. 117-140). New York: Springer Publishing Company.

McKernan (2007). Exploring the Spiritual Dimension of Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 93-110). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Meier, A., O’Connor, T., dan vanKatwyk, P. L. (2005). Introduction. Dalam A. Meier, T. S. O’Connor, dan P. L. vanKatwyk (Eds.). Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations. Ontario: Wilfred Laurier University Press, pp. 1-8.

Midgley, J. (1981). Professional Imperialism: Social Work in the Third World. London: Heinemann Educational Books Ltd.

Midgley, J. (1995). Social Development: The developmental Perspective in Social Welfare. Guildford: Safe Publications Ltd.

Minichiello, V. & Coulson, I. (2006). Preface: The Context of Promoting Positive Ageing. Dalam V. Minichiello & I. Coulson (eds.). Contemporary Issues in Gerontology Promoting Positive Ageing (pp. xi-xvi). NSW: Allen & Unwin.

Moberg, D.O. (2005). Research in Spirituality, Religion, and Aging. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 11-40). New York: The Haworth Social Work Practice Press.

Mohan, K. (2004). Eastern Perspectives and Implications for the West. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 161-179). London & New York: Jessica Kingsley Publishers.

Mohr, S. & Huguelet, P. (2009). Religious and Spiritual Assessment in Clinical Practice. Dalam P. Huguelet & H.G. Koenig (Eds), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 232-43). New York: Cambridge University Press.

Monggo, M. (2010). Sesama yang Kita Layani. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 11-36). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Moore, R.J. (2003). Spiritual Assessment. Social Work 48 (4), 558-61. Moss, B. (2002). Spirituality: A personal Perspective. Dalam Neil Thompson (ed).

Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp.34-44). New York: Palgrave Macmillan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 308: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

286

Universitas Indonesia

Mudhofir, A. (1996). Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murdock, V. (2005). Guided by Ethics: Religion and Spirituality in Gerontological Social Work Practice. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 131-54). New York: The Haworth Social Work Practice Press.

Musgrave, B. (2005). Life-Threatening Illness: A Dangerous Opportunity. Dalam A. Meier, T.S. O’Connor, & P.L. vanKatwyk (Eds.), Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations (pp. 265-84). Ontario: Wilfred Laurier University Press.

Napsiyah, S. (2005). Understanding Aging Issues in Indonesia. Tidak dipublikasikan. Thesis at McGill University.

Nasr, S.H. (2002). Pendahuluan. Dalam S.H. Nasr (ed.). Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Buku Pertama) (pp. xix-xxxix). (Rahmani Astuti, Penerjemah). Bandung: Mizan.

NASW (2008). Code of Ethics of the National Association of Social Workers. 28 September 2012. http://www.socialworkers.org/pubs/code/code.asp?print=1&

Nelson, J.M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valparaiso, USA: Springer Science + Business Media, LLC.

Nelson-Becker, H. & Canda, E.R. (2008). Spirituality, Religion, and Aging Research in Social Work: State of the Art and Future Possibilities. Journal of Religion, Spirituality & Aging, Vol. 20 (3), 177-93.

Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 6th Edition. USA: Pearson Education, Inc.

Nichols, L.M. & Hunt, B. (2011). The Significance of Spirituality for Individuals with Chronic Illness. Implications for Mental Health Counseling. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 51-66.

Noveria, M. (2006). Challenges of Population Ageing in Indonesia. Paper yang dipresentasikan dalam Konferensi “Impact of Ageing: A Common Challenge for Europe and Asia”, Vienna, 7-9 June, 2006

Nowitz, L. (2005). Geriatric Care Management: Spiritual Challenges. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 185-201). New York: The Haworth Social Work Practice Press.

Oxley, H. (2009). Policies for Healthy Ageing. An overview. 6 Januari 2013. OECD Health Working Papers, No. 42, OECD publsihing, ©OECD. http://dx.doi.org/10.1787/226757488706.

Pargament, K. I. (1999). The Psychology of Religion and Spirituality? Yes and No. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 3-16.

Pargament, K.I. (2007). Spiritually Integrated Psychotherapy: Understanding and Addressing the Sacred. New York-London: The Guilford Press.

Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. 3rd Edition. London: Sage Publications, Inc.

Payne, M. (2005). Modern Social Work Theory. 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan.

Pelaez, M., Gewirtz, J. & Wong, S.E. (2008). A Critique of Stage Theories of Human Development. Dalam Bruce A. Thyer (ed.). Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare, Vol. 2 HBSE (pp. 503-18). USA: John Wiley & Sons.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 309: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

287

Phillips, D. (2006). Quality of Life. Concept, Policy and Practice. London & New York: Routledge.

Phillips, D.R. (2000). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues, Policies and Contexts. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 1-34). London: Routledge.

Pritchard, C. (2006). Mental Health Social Work: Evidence-Based Practice. London dan New York: Routledge.

Rakhmat, J. (2003). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Rakhmat, J. (2007). SQ: Psikologi dan Agama. Dalam D. Zohar dan I. Marshall, SQ

Kecerdasan Spiritual (pp. xi-xxviii). Cetakan XI. Terj. Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan.

Richardson, V. (2009). Psikoterapi dengan orang Lanjut Usia. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 326-34). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Rippin, A. (1990). Muslims: Their Religious Beliefs and Practices Volume 1: The Formative Period. London & New York: Routledge.

Robbins, S.P., Chatterjee, P. & Canda, E.R. (2006). Contemporary Human Behavior Theory: A Critical Perspective for Social Work. 2nd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Rohman (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Asuhan Spiritual oleh Perawat di RS Islam Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI.

Rubin, A. & Babbie, E. (2001). Research Methods in Social Work. 4th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company.

Sadli, S. (2002). “…Keadilan diperlukan bagi perempuan berusia lanjut.” Jurnal Perempuan, 25, 20-6.

Santi, B. (2002). Lanjut Usia di Mata Perempuan: Pandangan Perempuan Usia 18-50 Tahun di Jakarta, Medan dan Surabaya. Jurnal Perempuan, 25, 88-93.

Seifert, L.S. (2002). Toward a Psychology of Religion, Spirituality, Meaning-Search, and Aging: Past Research and a Practice Application. Journal of Adult Development, 9 (1), 61-70.

Seinfeld, J. (2012). Spirituality in Social Work Practice. Clinical Social Work Journal 40 (2012), 240-4.

Sermabeikian, P. (1994). Our Clients, Ourselves: The Spiritual Perspective and Social Work Practice. Social Work, Vol. 39, No. 2 (March 1994). 178-183.

Setiti, S.G. (n.d.), Pelayanan Lansia Berbasis Kekerabatan. 7 November 2011. http://www.depsos.go.id/unduh/06_PELAYANAN%20LANJUT%20USIA%20BERBASIS%20KEKERABATAN.pdf

Shaw, I. & Gould, N. (2001). A Review of Qualitative Research in Social Work. Dalam I. Shaw and N. Gould (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 32-46). London: Sage Publications, Ltd.

Sheridan, M.J. (2008). The Use of Prayer in SW, Implications for Professional Practice & Education. 21 Oktober 2010. Presented at the Third North American Conference on Spirituality and Social Work. Juni 2008. Dalam http://w3.stu.ca/stu/sites/spirituality/documents/MichaelSheridan-TheUseof PrayerinSocialWork_000.pdf

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 310: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

288

Universitas Indonesia

Sheridan, M.J. (2009). Isu Spiritual dan Keagamaan dalam Praktik. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 278-87). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sherman, E. & Reid, W. (1994). Introduction: Coming of Age in Social Work - The Emergence of Qualitative Research. Dalam E. Sherman and W. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 1-15). New York: Columbia University Press.

Shulman, L. (1991). Interactional Social Work Practice: Toward an Empirical Theory. Itasca, Illinios: F.E. Peacock Publishers, Inc.

Singleton, Jr., R. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. 3rd Edition. Oxford: Oxford University Press.

Skevington, S.M., Lotfy, M. & O’Connell, K.A. (2004). The World Health Organization’s WHOQOL-BREF Quality of Life Assessment. Psychometric Properties and Results of the International Feld Trial: A Report from WHOQOL Group. Quality of Life Research (13), 299-310.

Stake, R. (2003). Case Studies. Dalam N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 132-64). 2nd Edition. California: Sage Publications.

Stewart, B. & Nash, M. (2002). Introduction. Dalam M. Nash & B. Stewart (Eds.), Sprituality and Social Care: Contributing to Personal and Community Well-Being (pp. 11-27). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Stifoss-Hanssen, H. (1999). Religion and Spirituality: What a European Ear Hears. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 25-33.

Strauss, A. & Corbin, J. (2004). Grounded Theory Methodology: An Overview. Dalam N. Denzin dan Y. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 273-85). California: Sage Publications, Inc.

Suharto, E. (2006). Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru. Paper disampaikan pada Workshop Program Pendidikan Spesialis-1 Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung 19 Januari 2006.

Suradika, A. dan Maskun, B. I. (2005). Etika Profesi Pekerjaan Sosial. Jakarta: Balatbangsos, Departemen Sosial RI.

Susanti, D.D. (2009). Pengalaman Spiritual Perempuan dengan Kanker Serviks di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI.

Sutrisno, M. (2001). Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta: Jakarta: Penerbit Obor.

Sutrisno, M. (2012). Pedulikah Kita pada Hidup? Yogyakarta: Kanisius. Swartz, A.L. & Tisdell, E.J. (2008). A Spiritually Grounded and Culturally

Responsive Approach to Health Education. Dalam M.A. Pérez & R.R. Luquis (Eds.), Cultural Competence in Health Education and Health Promotion (pp. 87-103). San Francisco: Jossey-Bass.

Swinton, J. & Kettles, A. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Exploring the Literature. Dalam J. Swinton. Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension (pp. 64-92). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Swinton, J. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Swinton, J. (2007). Researching Spirituality and Mental Health – A Perspective from the Research. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 311: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Universitas Indonesia

289

Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 292-305). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

The World Bank (2011). Indonesia. 25 Januari 2012. http://web.worldbank.org/ WEBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTHEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/EXTDATASTATISTICSHNP/EXTHNPSTATS/0,,contentMDK:21737699~menuPK:3385623~pagePK:64168445~piPK:64168309~theSitePK:3237118~isCURL:Y,00.html

Thompson, N. (2007). Loss and Grief: Spiritual Aspects. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 70-81). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Thompson, N. (2010). Theorizing Social Work Practice. New York: Palgrave MacMillan.

Thompson, N. (2002). Introduction. Dalam N.Thompson (Ed.), Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp. 1-20). New York: Palgrave Macmillan.

Turner, F. (2008). Terapi Psikososial. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 1 (pp. 168-75). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Uji Coba JSLU 2008 – Program Unggulan Depsos (2008, 27 Februari). 2 Agustus 2011. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=New&file=article&sid= 588

UN (2009). Population Aged 60 Years or Over. 25 Januari 2012. http://www.un.org/ esa/population/publications/ageing/ageing2009.htm

Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Lanjut Usia. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Walton, R. G. & Nasr, M. W. A. E. (1988). The Indigenization and Authentization of

Social Work in Egypt. Community Development Journal 23 (3), 148-155. Warga DKI Rentan Sakit Jiwa (2011, 6 Oktober). 7 Oktober 2011.

http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Sakit.Jiwa

Weinstein, J. (2008). Working with Loss, Death, and Bereavement: A Guide for Social Workers. London: Sage Publication Ltd.

WHO (2002). Active Ageing: A Policy Framework. Madrid: Second United Nations World Assembly on Ageing.

WHO (2008). Older Persons in Emergencies: An Active Ageing Perspective. Geneva: WHO Press.

Woo, J., Ng, SH., Chong, A.ML., Kwan, A.YH, Lai, S., & Sham, A. (2008). Contribution of Lifestyle to Positive Ageing in Hong Kong. Ageing Int 32, 269-78.

Yeates, N. (2003). Policy Research. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social Research (pp. 233-35). London: Sage Publications, Ltd.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 312: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

290

Universitas Indonesia

Yin, R. (2003). Case Study Research: Design and Methods. 3rd Edition. California: Sage Publications, Ltd.

Zapf, M.K. (2007). Profound Connections between Person and Place: Exploring Location, Spirituality, and Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 229-42). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Zastrow, C. (2004). Introduction to Social Work and Social Welfare. 8th Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole-Thomson Learning.

Zinnbauer, B.J. & Pargament, K.I. (2005). Religiousness and Spirituality. Dalam R.F. Paloutzian & C.L. Park (eds.). Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (pp. 21-42). New York-London: The Guilford Press.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 313: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 1 (Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan)

Perspektif Kepercayaan Nilai Pelayanan

Budha (Zen)

1. Alam Budha Nonteistik 2. Keyakinan bersumber dari tradisi, sutra,

pengalaman spiritual langsung; tidak terikat kepercayaan

3. Eksistensi adalah penderitaan, disebabkan oleh hasrat dan ilusi diri yang terpisah; penderitaan berakhir dengan pola hidup disiplin, meditasi, dan pencerahan

1. Tugas hidup yang utama adalah mencari pencerahan

2. Komitmen menyayangi dan menolong seluruh makhluk

3. Transendensi dikotomi diri/liyan dalam hidup suci.

1. Mutualitas dan harmoni dalam hubungan saling menolong

2. Bertujuan menolong klien meningkatkan kesadaran, bertindak realistis; pada akhirnya mencapai pencerahan.

3. Dapat menggunakan meditasi dan berhubungan dengan wihara atau pusat meditasi berbasis sistem dukungan.

Konghucu 1. Dao Nonteistik. 2. Keyakinan bersumber dari China klasik, guru-

guru bijak dan religius, dan tradisi lokal. 3. Sifat manusia yang penuh kebaikan harus

dipupuk demi kebaikan individu, keluarga, masyarakat, dan dunia.

1. Tugas hidup yang utama adalah memupuk kebijaksanaan dan bermanfaat bagi masyarakat.

2. Komitmen untuk belajar sepanjang hayat, pelayanan publik, keharmonisan keluarga/sosial.

3. Kesalehan anak dan hubungan timbal-balik yang saling melengkapi.

1. Hubungan tolong-menolong didasarkan pada kebajikan dan harmoni.

2. Bertujuan menolong klien untuk belajar dari situasi hidup dan keharmonisan hubungan.

3. Bisa dengan melakukan duduk diam/tenang, praktik refleksi-diri, qigong, acupuncture, herbal.

Hindu (Vedanta)

1. Nondualistik, dengan bentuk teistik/bentuk lain. 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Upanishad dan

Weda, para guru religius, dan tradisi lokal atau keluarga.

3. Ikatan Karma pada penderitaan dan reinkarnasi dapat terbebas melalui latihan spiritual (seperti yoga); pembebasan datang lewat penyatuan dengan kedewaan (Brahman).

1. Tugas hidup yang utama adalah mencapai kebebasan (moksha)

2. Komitmen terhadap layanan tak terikat yang penuh respek.

3. Sarana dan tujuan antikekerasan demi pencapaian kebenaran dan kebebasan setiap orang.

1. Hubungan tolong-menolong menghargai yang ilahiah dalam segala hal.

2. Bertujuan mewujudkan kesejahteraan bagi semua.

3. Bisa menggunakan yoga, ritual, dan aksi komunitas antikekerasan dan kooperatif.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 314: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Yahudi 1. Teistik. 2. Keyakinan bersumber dari tanakh, halakah,

umat Yahudi. 3. Manusia diciptakan dalam pencitraan Tuhan

namun dapat terdistorsi karena pengalaman/perbuatan; perbuatan dosa perlu rekonsiliasi.

1. Tugas hidup utama adalah mencintai Tuhan dan manusia, menegakkan komunitas atau masyarakat Yahudi.

2. Komitmen mencintai kejujuran dan keadilan.

3. Menyayangi baik kualitas batin individu maupun tingkah laku.

1. Pertolongan dilakukan dalam pola Saya-Engkau (I-Thou) dan secara komunal.

2. Bertujuan menolong klien pemecahan masalah klien dalam konteks umat Yahudi.

3. Bisa menggunakan modeling peran orang Yahudi, refleksi keagamaan.

Kristen 1. Teistik dan trinitarian 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Perjanjian

Lama dan Baru, tradisi gereja, pengalaman iman 3. Manusia cenderung pada dosa; relasi mencintai

Tuhan menghasilkan hubungan baik (rekonsiliasi), makna, dan tujuan.

1. Tugas hidup yang utama adalah mencintai Tuhan dan umat manusia.

2. Komitmen untuk memberi dan keadilan.

3. Hubungan moral antara kebutuhan individu, kesejahteraan sosial, dan kehendak Tuhan.

1. Hubungan tolong-menolong berdasarkan cinta yang tulus.

2. Bertujuan mambantu klien memenuhi kebutuhan spiritual, membangun hubungan baik dengan sesama dan Tuhan.

3. Dapat menggunakan pengakuan, doa, sakramen, perujukan kependetaan/jemaat.

Islam 1. Monoteistik. 2. Keyakinan bersumber dari al-Qur’an, tradisi dan

ulama, syari’ah. 3. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad

utusan Allah; Kebahagiaan individu dan sosial dicapai dengan kepasrahan diri kepada Allah dalam segala hal.

1. Tugas hidup yang utama adalah menjalani hidup sesuai kehendak Allah dan umat Muslim.

2. Berkomitmen mengamalkan sholat dan keadilan.

3. Umat punya kewajiban zakat dan melindungi yang tidak beruntung.

1. Hubungan pertolongan dilakukan demi Tuhan dan mendukung klien dalam konteks komunitas.

2. Bertujuan menolong klien memenuhi kebutuhan dasar, agar mampu beribadah kepada Tuhan dan hidup bersama komunitas.

Shaman-isme

1. Teistik/animistik 2. Keyakinan, bersumber dari tradisi kultural dan

visi spiritual. 3. Kebahagiaan manusia memerlukan

keharmonisan dengan alam dan roh-roh.

1. Tugas hidup utama adalah menjun-jung harmoni dalam alam dan kebahagiaan manusia.

2. Komitmen menolong orang dan menghargai kekuatan bumi-langit.

3. Melatih keterampilan, kearifan, dan cinta-kasih.

1. Melayani dan hubungan pertolongan yang sangat direktif.

2. Bertujuan menolong klien ke arah kebersatuan dan harmoni dengan alam, termasuk roh-roh.

3. Dapat menggunakan meditasi, ritual, dan pelestarian alam.

Sumber: Canda & Furman (2010, p. 149-150; 1999, p. 152).

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 315: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 2

DATA INFORMAN

A. Praktisi Kesejahteraan Sosial

1. Nama : .....................................

2. Usia : .....................................

3. Jenis kelamin : .....................................

4. Suku asal : .....................................

5. Agama : .....................................

6. Status perkawinan: .....................................

7. Pendidikan : .....................................

8. Jabatan/profesi sekarang:

a. Fungsional : .....................................

b. Struktural : .....................................

9. Pengalaman praktik dalam wilayah/bidang pelayanan (berapa lama):

a. .............................................................................................. (..................tahun)

b. .............................................................................................. (..................tahun)

c. .............................................................................................. (..................tahun)

10. Praktik dalam bidang pelayanan sosial lansia sejak: .....................................

11. Pengalaman diklat atau pendidikan non-formal :

a. ..........................................................................................................

b. ..........................................................................................................

c. ..........................................................................................................

d. ..........................................................................................................

e. ..........................................................................................................

12. Keterlibatan dalam komunitas keagamaan/spiritual (jama’ah atau jemaat, majlis

ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi, dll.):

a. ..........................................................................................................

b. ..........................................................................................................

c. ..........................................................................................................

13. Informasi lain (kalau ada):

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 316: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

B. Klien Lansia

1. Nama : .....................................

2. Usia : .....................................

3. Jenis kelamin : .....................................

4. Suku asal : .....................................

5. Agama : .....................................

6. Status perkawinan : .....................................

7. Pendidikan terakhir : .....................................

8. Pekerjaan sebelumnya : .....................................

9. Kegiatan keagamaan (jama’ah atau jemaat, majlis ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi,

dll.):

a. Dahulu : ...........................................................................................................

b. Saat ini : ...........................................................................................................

.................................................................................................................

10. Adakah keluarga atau kerabat yang masih kontak atau berkunjung:

a. Siapa saja : ..............................................................................................

b. Seberapa sering : ..............................................................................................

c. ..........................................................................................................................

11. Informasi lain (kalau ada):

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 317: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 3 PANDUAN WAWANCARA (INTERVIEW GUIDE) PENDAHULUAN Pertama, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya sangat menghargai waktu yang disediakan untuk wawancara. Wawancara ini berkaitan dengan pemahaman aspek spiritual dan bagaimana itu diekspresikan dan/atau dipraktikkan dalam keseharian maupun dalam konteks pelayanan sosial. Pengalaman hidup dan bagaimana pengalamn tersebut dimaknai juga akan digali. Hal ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan penelitian untuk disertasi program Doktoral di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP, UI dengan judul: Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial. Saya sangat berharap penelitian ini mampu memahami spiritualitas kelompok lanjut usia (lansia) dan para praktisi sehingga dapat berkontribusi meningkatkan kesejahteraan lansia di Indonesia. Wawancara ini akan dilakukan dalam kondisi santai dan nyaman, bukan seperti tes/ujian serta tidak ada kaitannya dengan persoalan benar atau salah. Wawancara ini juga dapat dihentikan setiap saat apabila informan menginginkan karena alasan tertentu atau ada kebutuhan di tengah wawancara, dan kemudian dilanjutkan di lain waktu. Selain itu, sangat dimungkinkan bagi informan untuk tidak menjawab pertanyaan, mengoreksi pertanyaan atau jawaban sendiri, meminta keterangan lebih jauh apabila ada pertanyaan yang kurang jelas atau tidak dipahami, atau menambahkan informasi berguna yang sekiranya relevan bagi penelitian. Sebelum wawancara dimulai, saya mengingatkan kembali bahwa partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga setiap saat keikutsertaan Bapak/Ibu dapat dibatalkan. Selama wawancara berlangsung, saya akan merekam dan mencatat informasi penting. Begitu selesai, saya akan mengkonfirmasi bagian atau informasi tertentu yang tidak ingin dimunculkan dalam penelitian nanti, jika ada. Terakhir, saya menekankan bahwa kerahasiaan (confidentiality) wawancara ini akan dijaga, termasuk identitas Bapak/Ibu terkait jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 318: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

PANDUAN WAWANCARA A. Spiritualitas Praktisi Kessos

1. Pemahaman spiritualitas a. Kapan pertama kali mendengar istilah spiritual atau spiritualitas?

Probing: Bagaimana dengan istilah rohani atau rohaniah? b. Ketika mendengar istilah spiritualitas, apa artinya buat Anda pribadi? c. Apakah istilah tersebut diajarkan sewaktu kuliah, diklat, atau bimbingan

teknis (bimtek)? Kalau ya, bagaimana itu diajarkan atau disampaikan? d. Bagaimana dengan definisi kessos dalam UU Kessos (tahun 1974 atau

2009) dimana disana disebutkan aspek spiritual? Dan juga penjabarannya dalam pedoman, juklak, atau juknis pelayanan lansia?

e. Bagaimana menjelaskan istilah tersebut ke orang lain yang mungkin baru mendengar pertama kali?

2. Makna personal tentang simbol keagamaan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan?

Probing: Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah? d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti?

3. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya?

4. Praktik spiritual apa saja yang sering Anda lakukan? (seperti berdoa, meditasi, membaca kitab suci, dll.). Bagaimana Anda melakukan praktik-praktik tersebut dalam keseharian?

5. Ceritakan perjalanan spiritual Anda. Pengalaman apa saja yang sangat mempengaruhi pemahaman Anda tentang spiritualitas? Probing: Adakah tokoh atau seseorang, tempat, kejadian, pengalaman, buku, atau apa saja yang mempengaruhi pemahaman spiritualitas?

6. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan

datang? Apa saja? Mengapa? b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa

harapan Anda? B. Praktik Spiritualitas Praktisi dalam Pelayanan Sosial Lansia

1. Ceritakan bagaimana Anda menjadi pekerja sosial/pendamping/perawat? Probing: Mengapa Anda memutuskan untuk memilih profesi tersebut? Apa motivasinya? Adakah orang, kejadian, atau pengalaman yang menginspirasi Anda memilih profesi tersebut?

2. Nilai atau prinsip etis pekerjaan sosial hubungannya dengan spiritualitas a. Bisakah Anda uraikan secara singkat nilai-nilai atau prinsip etis utama

dalam profesi pekerja sosial?

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 319: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

b. Bagaimana nilai-nilaia atau prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan motivasi dan nilai-nilai pribadi Anda?

c. Adakah nilai atau prinsip tersebut berkaitan dengan isu spiritualitas? Bagaimana kaitannya?

d. Dengan cara bagaimana spiritualitas penting atau relevan bagi nilai-nilai profesional?

3. Ceritakan tentang pengalaman Anda ketika memadukan atau memanfaatkan aspek spiritual dalam praktik pelayanan sosial lansia? Kapan berhasil? Tidak berhasil?

4. Keahlian atau teknik-teknik apa saja yang paling penting untuk mengatasi kebutuhan spiritual atau mengembangkan spiritualitas yang dimiliki klien? Probing: - Dalam kegiatan bimbingan rohani/keagamaan atau bimbingan sosial-

psikologis, seperti ketika melakukan terapi relaksasi. - Studi kasus klien lansia yang terjadi, bagaimana praktisi mengatasi atau

meresponsnya? 5. Apakah dalam penanganan lansia Anda menggunakan teknik tertentu yang

berhubungan dengan pengalaman keagamaan atau mistis (seperti berdoa, meditasi, praktik tasawuf/sufi atau tarekat, dll.)? Bagaimana itu dilakukan?

6. Kapan spiritualitas yang Anda pahami sangat membantu bagi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir itu membantu dan berhasil? Sebaliknya, pada saat kapan spiritualitas yang Anda pahami justru menghalangi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir seperti itu?

7. Bisakah memberi contoh ketika Anda memanfaatkan spiritualitas dalam tahap asesmen, catatan kasus, catatan perkembangan, atau intervensi?

8. Adakah masalah atau dilema etis ketika mengintegrasikan spiritualitas ke dalam praktik?

C. Spiritualitas Klien Lansia

1. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan dan tingkat keterlibatan klien. a. Sebelum masuk panti (atau dulu) aktif di kegiatan agama (jama’ah) apa

saja? Sampai sejauh mana? b. Kalau sekarang aktif kegiatan agama dimana? Kegiatannya apa saja?

Sampai sejauh mana? 2. Kepercayaan, nilai dasar, dan makna personal klien tentang simbol

keagamaan. Bagaimana hal-hal tersebut diekspresikan. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan?

Probing: Bagaimana persangkaanmu terhadap Tuhan? Bagaimana Tuhan memperlakukanmu?

c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan? Caranya bagaimana? Contohnya seperti apa?

d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti?

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 320: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

3. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan

datang? Apa saja? Mengapa? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll.

b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa harapan Anda? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll.

4. Semangat hidup. Seandainya diberi pilihan oleh Tuhan, apakah ingin diberi umur panjang atau cepat dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa? Mengapa? Probing: Sewaktu mendapat musibah (sebutkan contoh peristiwa yang pernah dialami klien), bagaimana Anda masih dapat bertahan hingga saat ini?

D. Pengalaman Hidup/Penderitaan dan Pemaknaan/Respons Klien Lansia

1. Bisa diceritakan masalah hidup (seperti penyakit, kehilangan orang yang dicintai, disabilitas, dll.) yang Anda derita. Sejak kapan menderita? Probing: Dikaitkan dengan peristiwa hidup yang pernah dialaminya (sebagaimana dalam riwayat hidup).

2. Ketika mengalami masalah tersebut, apakah hidupmu berubah? Bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu?

3. Apakah masalah Anda mengubah bagaimana Anda memandang atau merasakan diri Anda? Bagaimana?

4. Siapa saja orang yang telah membantu atau yang tidak membantu Anda dengan masalah yang Anda derita? Apa saja hal-hal yang paling membantu atau paling tidak membantu dari apa yang telah dilakukan orang-orang tersebut?

5. Apakah dengan mengalami penderitaan seperti itu telah mengubah hubungan Anda secara positif/negatif dengan orang lain? Bagaimana?

6. Kemana Anda kembali di saat-saat seperti itu? 7. Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah berat? 8. Apa saja yang sering Anda lakukan sewaktu mengalami masalah berat?

Probing: Apakah dengan berdoa, meditasi, atau membaca kitab suci? Bagaimana Anda melakukannya?

9. Ketika Anda melakukan perenungan terhadap penderitaan Anda saat ini, apakah artinya bagi Anda? Apakah arti itu berubah dari waktu ke waktu?

10. Apakah penderitaan Anda mempengaruhi cara Anda menemukan hidup bermakna? Bagaimana?

11. Apakah agama memainkan peran dalam hidupmu? Apakah itu berubah semenjak Anda mengalami penderitaan tersebut? Bagaimana?

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 321: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 4 PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN (Consent Form) Informan: Saya telah diberi penjelasan singkat tentang penelitian ini dan saya memahami tujuannya. Saya juga telah dipastikan bahwa identitas saya dalam penelitian ini akan dirahasiakan sehingga harga diri dan keselamatan saya atau pihak lain dapat terjamin. Saya mengizinkan peneliti merekam dan mendokumentasikan hasil wawancara untuk tujuan analisis dan penulisan hasil penelitian. Peneliti juga telah menjamin bahwa rekaman wawancara dan hasil transkripnya akan dirahasiakan dan tidak mengizinkan pihak lain mengaksesnya, kecuali untuk keperluan akademik secara terbatas sejauh tidak melanggar etika penelitian. Saya sadar bahwa partisipasi saya dalam penelitian ini sepenuhnya sukarela dan saya dapat membatalkan partisipasi tersebut sewaktu-waktu. Dengan ini, saya menyatakan persetujuan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Tanda tangan : __________________________ N a m a : __________________________ Peneliti: Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan gambaran singkat penelitian beserta tujuannya. Saya juga telah memastikan bahwa informan memahami manfaat dan resiko dari partisipasi mereka dalam penelitian ini. Tanda tangan : __________________________ Tanggal: __________________ N a m a : Toton Witono Alamat e-mail : [email protected]; [email protected] No. telepon : 081 399 829 399 Promotor : Fentiny Nugroho, Ph.D. Co-Promotor : Adi Fahrudin, Ph.D.

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 322: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 5 PANDUAN OBSERVASI

1. Setting dan lokasi

a. Di wisma/barak atau di rumah (foto keluarga atau almarhum di

dinding, gambar masjid atau ka’bah di dinding, kitab suci, buku/bacaan

agama, dll)

b. Di tempat ibadah, misal di musholla atau masjid (misal: jadwal piket

menjadi imam, mu’adzin, petugas iqomat, buku/bacaan agama, dan

perlengkapan ritual-religius lain)

2. Kegiatan

a. Kegiatan bimbingan (keagamaan dan non-keagamaan)

b. Kegiatan rekreasional (menyanyi dan lain-lain)

c. Ibadah (kehadiran/kerajinan, sholat berjamaah, kebaktian, doa,

Yasinan, Tahlilan, dan peran dalam kegiatan ibadah, misal menjadi

imam, mu’adzin, dsb.)

3. Interaksi

a. Interaksi dengan sesama penghuni panti (atau dengan tetangga)

b. Interaksi dengan petugas/pegawai panti, pekerja sosial, pramusosial,

atau dengan pendamping home care

c. Interaksi dengan peneliti

4. Informan

a. Cara berpakaian (hijab/jilbab, peci/kopiah, tasbih, aksesoris keagamaan

lain)

b. Perilaku

c. Tutur kata (ungkapan-ungkapan religius, misal apakah sering menyebut

nama Tuhan, kalimat-kalimat thoyibah, eg.basmalah, hamdalah,

istighfar, dll.)

d. Cara menjawab atau merespons

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 323: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 6 (Matriks all nodes vs inteview informan praktisi)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 324: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 7 (Matriks all nodes vs inteview informan lansia)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 325: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 8

Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 326: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 9

Klasifikasi kategori (parent node) dan tema (node) dalam spiritualitas lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 327: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 10 (Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep)

Research Question (RQ) Kategori (Tree Nodes, Free Nodes) Tema atau Konsep (Nodes)

RQ #1 Pemahaman-pengalaman spiritual praktisi #Arti spiritualitas @Pemahaman pribadi

@Pengaruh pendidikan-diklat @Spiritual dalam UU Kessos

Afiliasi dan praktik keagamaan @Afiliasi-praktik keagamaan Keyakinan dan nilai @Keyakinan-nilai “Di balik ujian ada hikmah” @“Di balik ujian ada hikmah” #Komponen spiritualitas lain @Panutan-sumber inspirasi

@Relationships @Kecemasan-Harapan

RQ #2 Praktik spiritual dalam layanan Motivasi praktisi kessos @Motivasi

Nilai-prinsip etis @Nilai-prinsip etis #Asesmen @Asesmen:

- Asesmen spiritual minim - Asesmen berkelanjutan, intensif, multidisiplin - Asesmen versi pendamping home care - Menyinggung keagamaan klien - Pendekatan untuk menarik lansia home care

#Intervensi @Intervensi: - Teknik umum intervensi - Lansia sedih/patah semangat - Doa dan konsep relasi segitiga - Lansia bertengkar - Intervensi yang dianggap berhasil - Intervensi yang dianggap gagal - Pendekatan manusiawi, sewajarnya - Intervensi ala pendamping home care @Contoh kasus intervensi @Penanganan akhir kehidupan lansia:

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 328: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

- Membantu lansia menghadapi akhir hayat Free nodes @Keberagamaan lansia

@Lansia psikotik @Catatan perkembangan lansia @Kegiatan home care @Arti pekerjaan sosial

RQ #3 Pengalaman spiritualitas lansia #Keberagamaan Lansia @Kegiatan-afiliasi agama

@Kondisi Keberagamaan @Keyakinan

#Relasi dan keterhubungan @Relasi-kedekatan-isolasi @Doa

#Harapan dan kecemasan @Harapan @Semangat hidup @Kekhawatiran-ketakutan @Menyikapi akhir hayat

#Spiritual tasks @Reminiscence @“Mengheningkan cipta” @Memaafkan @Merasa berperan-berguna-dicintai @Kegemaran-hobi-kreativitas

#Persoalan eksistensial lansia @Pandangan-pertanyaan tentang hidup @Makna-tujuan hidup

RQ #4 Pengalaman hidup dan respons lansia #Penderitaan hidup dan pemaknaan @Pengalaman-penderitaan

@Musibah-cobaan-peringatan @“Ada musibah ada hikmah”

#Respons terhadap penderitaan @Respons @Bersyukur @Pasrah-menerima @Sabar & tawakkal

Free nodes @Perubahan hidup

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 329: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 11 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi)

Spiritualitas praktisi

Pemahaman-pengalaman

Arti spiritualitas

Pemahaman pribadi

Pengaruh pendidikan-diklat

Spiritual dalam UU Kessos

Afiliasi & praktik

Keyakinan & nilai individu

“Di balik ujian ada hikmah”

Komponen penting lain

Panutan-sumber inspirasi

Relationships

Kecemasan & harapan

Praktik dalam layanan

Motivasi melayani

Nilai-prinsip etis

Asesmen

Intervensi

Intervensi umum

Contoh kasus intervensi

Penanganan akhir kehidupan lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 330: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 12 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia)

Sp

irit

ua

lita

s La

nsi

a

Pengalaman spiritualitas

Keberagamaan lansia Kegiatan-afiliasi

Keyakinan agama

Persoalan eksistensial Pandangan-pertanyaan ttg hidup

Makna & tujuan hidup

Relationships Relasi, kedekatan, dan isolasi

D o a

Harapan & kecemasan Harapan & semangat hidup

Harapan/kecemasan thd akhir hayat

Spiritual tasks

Merasa berguna, berperan, & dicintai

Reminiscence

“Mengheningkan cipta”

Memaafkan

Kegemaran, hobi, & kreativitas

Pengalaman hidup dan respons

Penderitaan dan pemaknaan

Pengalaman & penderitaan

Musibah, cobaan, & peringatan

“Ada musibah ada hikmah”

Respons terhadap penderitaan

Respons umum

Pasrah dan menerima

Sabar dan tawakkal

Bersyukur

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 331: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 13

Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi

Tabel 13.1. Perbandingan jumlah source & references antar node

#Kategori atau @nodes Sources References

#Arti spiritualitas - -

• @Pemahaman pribadi 8 25

• @Pengaruh pendidikan-diklat 7 14

• @Spiritual dalam UU Kessos 4 7

@Afiliasi-praktik keagamaan 6 27

@Keyakinan-nilai 8 43

@“Di balik ujian ada hikmah” 7 39

@Motivasi 9 39

@Nilai-prinsip etis 6 10

@Asesmen 9 29

#Intervensi - -

• @Intervensi 9 55

• @Contoh kasus intervensi 7 19

• @Penanganan akhir kehidupan lansia 8 23

#Komponen spiritualitas lain - -

• @Panutan-sumber inspirasi 1 2

• @Relationships 1 1

• @Kecemasan-Harapan 5 13

Tabel 13.2. Rerence & coverage pada kategori #Arti spiritualitas

Informan @Pemahaman pribadi @Pengaruh dari diklat

@Spiritual dalam UU Kessos

References Coverage References Coverage References Coverage YL 2 1,08% 1 0,51% 2 0,54% SM 5 1,3% 5 2,69% 2 0,61% WN 2 1,2% 1 0,99% 0 0 HN 2 0,58% 0 0 0 0 ED 3 5,35% 1 3,25% 0 0 MM 0 0 0 0 0 0 HT 5 3,81% 1 0,95% 0 0 TY 5 4,5% 4 3,97% 2 2,22% FS 1 0,55% 1 0,51% 1 0,17 Jumlah 25 14 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 332: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 13.3. Node @Afiliasi-praktik, @Keyakinan-nilai, dan @”Di balik ujian ada hikmah”

Informan @Afiliasi-praktik

keagamaan @Keyakinan-nilai

@“Di balik ujian ada hikmah”

References Coverage References Coverage References Coverage YL 7 3,62% 14 10,35% 8 5,91% SM 4 3,26% 3 2,12% 0 0 WN 1 0,43% 3 3,37% 2 3,39% HN 6 2,06% 8 19,48% 15 20,63% ED 0 0 1 0,81% 2 1,52% MM 0 0 2 2,21% 0 0 HT 0 0 0 0 5 5,08% TY 5 3,21% 2 2,3% 5 11,53% FS 4 5,79% 10 12,83% 2 5,41% Jumlah 27 43 39

Tabel 13.4. Reference & coverage pada kategori #Komponen spiritualitas penting lain

Informan @Kecemasan-harapan

@Panutan-sumber inspirasi

@Relationships

References Coverage References Coverage References Coverage YL 5 3,53% 2 0,6% 0 0 SM 2 1,57% 0 0 0 0 WN 2 2,97% 0 0 1 1,04% HN 0 0 0 0 0 0 ED 0 0 0 0 0 0 MM 0 0 0 0 0 0 HT 0 0 0 0 0 0 TY 2 3,51% 0 0 0 0 FS 2 4,49% 0 0 0 0 Jumlah 13 2 1

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 333: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 13.5. Reference & coverage pada node @Motivasi, @Nilai-prinsip etis, dan @Asesmen

Informan @Motivasi @Nilai-prinsip etis @Asesmen

References Coverage References Coverage References Coverage YL 7 4,72% 0 0 1 1,98% SM 7 5,88% 2 1,02% 3 9,16% WN 3 1,68% 2 2,54% 4 6,46% HN 4 3,36% 0 0 3 4,15% ED 4 9,32% 1 2,58% 4 8,03% MM 4 5,89% 0 0 4 10,19% HT 2 3,55% 1 1,27% 2 4,98% TY 1 1,47% 2 4,88% 4 9,36% FS 7 11,65% 2 2,72% 4 4,73% Jumlah 39 10 29

Tabel 13.6. Reference & coverage masing-masing node pada kategori #Intervensi

Informan @Intervensi

@Contoh kasus intervensi

@Penanganan akhir kehidupan lansia

References Coverage References Coverage References Coverage YL 11 8,2% 0 0 0 0 SM 6 6,55% 1 8,39% 1 1,5% WN 6 7,85% 7 15,22% 6 20% HN 4 5,91% 2 2,01% 2 2,11% ED 2 5,65% 1 1,43% 1 1,69% MM 5 10,9% 3 5,35% 3 6,75% HT 6 10,01% 0 0 1 3,7% TY 8 16,86% 1 1,21% 5 6,36% FS 7 8,3% 4 9,41% 4 9,35% Jumlah 55 19 23

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 334: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia

Tabel 14.1. Perbandingan jumlah source & references antar node

#Kategori atau @node Sources References

#Keberagamaan - -

• @Kegiatan-afiliasi agama 8 65

• @Kondisi Keberagamaan 4 8

• @Keyakinan 9 47

#Respons terhadap penderitaan - -

• @Respons 8 58

• @Bersyukur 7 24

• @Pasrah-menerima 8 31

• @Sabar & tawakkal 2 11

#Persoalan eksistensial lansia - -

• @Pandangan-pertanyaan tentang hidup 2 8

• @Makna-tujuan hidup 3 8

#Relasi dan keterhubungan - -

• @Relasi-kedekatan-isolasi 9 87

• @Doa 9 63

#Harapan dan kecemasan - -

• @Harapan 9 73

• @Semangat hidup 6 7

• @Kekhawatiran-ketakutan 6 13

• @Menyikapi akhir hayat 8 40

#Spiritual tasks - -

• @Reminiscence 6 31

• @“Mengheningkan cipta” 3 6

• @Memaafkan 1 6

• @Merasa berperan-berguna-dicintai 8 19

• @Kegemaran-hobi-kreativitas 5 13

#Penderitaan hidup dan pemaknaan - -

• @Pengalaman-penderitaan 8 51

• @Musibah-cobaan-peringatan 5 19

• @“Ada musibah ada hikmah” 3 10

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 335: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 14.2. Reference & coverage pada kategori # Penderitaan hidup dan pemaknaan

Informan @Pengalaman-

penderitaan @Musibah-cobaan-

peringatan @”Ada musibah ada

hikmah” References Coverage References Coverage References Coverage

Mrw 5 1,35% 5 1,66% 0 0 Pnd-Gbg 8 7,6% 7 6,32% 0 0 Rml-Nrn 0 0 4 0,34% 8 1,14% Est 0 0 0 0 0 0 Kntw 0 0 0 0 0 0 Sgn 2 1,12% 1 0,77% 1 0,43% Alm 0 0 0 0 0 0 Bs 0 0 0 0 0 0 Msn 9 13,01% 2 1,45% 1 1,52% Jumlah 24 19 10

Tabel 14.3. Reference & coverage pada kategori #Reaksi terhadap penderitaan

Informan @Pasrah-menerima @Sabar dan tawakkal @Bersyukur

References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 7 1,72% 0 0 9 3,67% Pnd-Gbg 0 0 9 9,97% 0 0 Rml-Nrn 3 0,66% 0 0 2 0,81% Est 2 0,56% 0 0 2 0,53% Kntw 6 2,38% 0 0 2 0,64% Sgn 1 0,8% 0 0 2 0,9% Alm 2 0,49% 0 0 3 1,24% Bs 1 1,07% 0 0 0 0 Msn 9 7,03% 2 1,13% 4 4,22% Jumlah 31 11 24

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 336: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 14.4. Reference & coverage pada node @Respons, @Relasi-kedekatan-isolasi, dan @Doa

Informan @Respons @Relasi-kedekatan-isolasi @Doa

References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 12 6,12% 20 8,73% 6 3,07% Pnd-Gbg 13 11,12% 8 8,88% 5 4,66% Rml-Nrn 14 4,97% 6 2,03% 7 2,66% Est 4 2,04% 13 6,82% 16 9,53% Kntw 6 2,78% 16 9,61% 7 2,93% Sgn 1 1,3% 5 3,92% 3 2,37% Alm 0 0 12 4,07% 12 5,19% Bs 2 4,89% 5 6,01% 1 0,78% Msn 6 5,09% 2 2,14% 6 5,34% Jumlah 58 87 63

Tabel 14.5. Reference & coverage pada kategori #Keberagamaan

Informan @Kegiatan-afiliasi

agama @Keyakinan @Kondisi

keberagamaan References Coverage References Coverage References Coverage

Mrw 9 2,78% 4 1,05% 3 1,89% Pnd-Gbg 0 0 2 0,79% 0 0 Rml-Nrn 11 0,88% 16 5,5% 2 0,63% Est 15 3,77% 5 1,68% 0 0 Kntw 1 0,06% 9 2,88% 1 1,29% Sgn 7 4,94% 4 3,58% 0 0 Alm 10 3,34% 4 0,58% 2 1,49% Bs 2 14,81% 1 2,55% 0 0 Msn 10 5,66% 2 2,8% 0 0 Jumlah 65 47 8

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 337: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 14.6. Reference & coverage pada node @Merasa berperan-berguna-dicintai, @Reminiscence, dan @”Mengheningkan cipta”

Informan @Merasa berperan-

berguna-dicintai @Reminiscence

@”Mengheningkan cipta”

References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 5 1,62% 0 0 1 0,3% Pnd-Gbg 0 0 0 0 0 0 Rml-Nrn 1 0,11% 8 4,14% 2 0,51% Est 1 0,36% 1 0,18% 0 0 Kntw 0 0 4 3,19% 0 0 Sgn 6 5,99% 11 10,26% 3 1,92% Alm 3 2,12% 0 0 0 0 Bs 1 1,03% 4 9,12% 0 0 Msn 1 1,17% 3 3,71% 0 0 Jumlah 18 31 6

Tabel 14.7. Reference & coverage pada node @Kegemaran-hobi-kreativitas, @Memaafkan, dan @Semangat hidup

Informan @Kegemaran-hobi-

kreativitas @Memaafkan @Semangat hidup

References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 4 2,29% 0 0 1 0,12% Pnd-Gbg 0 0 0 0 0 0 Rml-Nrn 0 0 0 0 1 0,18% Est 1 0,69% 6 1,63% 1 0,14% Kntw 2 0,95% 0 0 1 0,29% Sgn 4 1,21% 0 0 0 0 Alm 2 1,44% 0 0 2 0,83% Bs 0 0 0 0 0 0 Msn 0 0 0 0 1 0,73% Jumlah 13 6 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 338: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tabel 14.8. Reference & coverage pada node @Harapan, @Kekhawatiran-ketakutan, dan @Menyikapi akhir hayat

Informan @Harapan

@Kekhawatiran-ketakutan

@Menyikapi akhir hayat

References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 8 2,05% 1 0,48% 4 1,06% Pnd-Gbg 4 2,17% 2 1,87% 1 0,81% Rml-Nrn 8 2,12% 2 0,65% 6 1,09% Est 12 8,47% 0 0 2 1,88% Kntw 4 1,22% 2 0,67% 8 3,68% Sgn 12 6,92% 0 0 2 2,15% Alm 11 4,19% 4 1,4% 7 3,1% Bs 4 4,64% 0 0 0 0 Msn 10 12,21% 2 3,12% 10 13,83% Jumlah 73 13 40

Tabel 14.9. References & coverage pada kategori #Persoalan eksistensial lansia

Informan @Makna-tujuan hidup @Pandangan-pertanyaan tentang hidup References Coverage References Coverage

Mrw 3 1,67% 0 0 Pnd-Gbg 0 0 0 0 Rml-Nrn 2 0,61% 2 0,6% Est 3 1,28% 0 0 Kntw 0 0 0 0 Sgn 0 0 0 0 Alm 0 0 0 0 Bs 0 0 0 0 Msn 0 0 6 4,43% Jumlah 8 8

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 339: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 15

Node summary report spiritualitas praktisi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 340: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 341: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Project:

Generated:

Spiritualitas Praktisi

Node Summary Report

31/03/2015 4:07

Arti pekerjaan sosial Free Node

Nickname 102Words Coded

9Paragraphs Coded

4Coding References

2Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

28/10/2014 2:00

28/10/2014 2:00

Catatan perkembangan lansia Free Node

Nickname 165Words Coded

7Paragraphs Coded

3Coding References

2Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 12:17

11/05/2014 17:49

Keberagamaan lansia Free Node

Nickname 355Words Coded

6Paragraphs Coded

4Coding References

2Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 1:32

15/12/2014 0:15

Kegiatan home care Free Node

Nickname 739Words Coded

16Paragraphs Coded

11Coding References

3Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 23:50

11/05/2014 17:51

Lansia psikotik Free Node

Nickname 212Words Coded

1Paragraphs Coded

3Coding References

1Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 11:49

10/05/2014 11:52

Node Summary Report Page 1 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 342: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

“Di balik ujian ada hikmah” Tree Node

Nickname 2.941Words Coded

92Paragraphs Coded

39Coding References

7Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:40

16/12/2014 2:28

Afiliasi-praktik keagamaan Tree Node

Nickname 1.129Words Coded

40Paragraphs Coded

27Coding References

6Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:43

14/12/2014 17:26

Asesmen Tree Node

Nickname 3.053Words Coded

72Paragraphs Coded

29Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:48

15/12/2014 0:21

Contoh kasus intervensi Tree Node

Nickname 2.845Words Coded

28Paragraphs Coded

19Coding References

7Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 2:44

15/12/2014 0:14

Intervensi Tree Node

Nickname 4.306Words Coded

75Paragraphs Coded

55Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:49

15/12/2014 0:16

Kecemasan-Harapan Tree Node

Nickname 1.062Words Coded

13Paragraphs Coded

13Coding References

5Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

28/10/2014 0:05

14/12/2014 18:43

Node Summary Report Page 2 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 343: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Keyakinan-nilai Tree Node

Nickname 3.030Words Coded

91Paragraphs Coded

43Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:41

15/12/2014 0:15

Motivasi Tree Node

Nickname 2.337Words Coded

58Paragraphs Coded

39Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:44

15/12/2014 0:25

Nilai-prinsip etis Tree Node

Nickname 879Words Coded

24Paragraphs Coded

10Coding References

6Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

07/05/2014 17:47

15/12/2014 0:24

Panutan-sumber inspirasi Tree Node

Nickname 29Words Coded

2Paragraphs Coded

2Coding References

1Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

28/10/2014 0:05

28/10/2014 0:05

Pemahaman pribadi Tree Node

Nickname 818Words Coded

33Paragraphs Coded

25Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

09/05/2014 23:04

14/12/2014 17:20

Penanganan akhir kehidupan lansia Tree Node

Nickname 3.482Words Coded

64Paragraphs Coded

23Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

10/05/2014 2:56

15/12/2014 0:21

Node Summary Report Page 3 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 344: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Pengaruh dari pendidikan-diklat Tree Node

Nickname 649Words Coded

28Paragraphs Coded

14Coding References

7Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

09/05/2014 23:05

14/12/2014 17:21

Relationships Tree Node

Nickname 86Words Coded

1Paragraphs Coded

1Coding References

1Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

28/10/2014 0:05

28/10/2014 0:05

Spiritual dalam UU Kessos Tree Node

Nickname 220Words Coded

8Paragraphs Coded

7Coding References

4Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

09/05/2014 23:10

14/12/2014 17:21

Node Summary Report Page 4 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 345: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 16

Node summary report spiritualitas lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 346: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 347: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Project:

Generated:

Spiritualitas Lansia

Node Summary Report

31/03/2015 4:10

Perubahan hidup Free Node

Nickname 571Words Coded

33Paragraphs Coded

11Coding References

4Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 2:22

16/05/2014 6:18

Ada musibah ada hikmah Tree Node

Nickname 235Words Coded

16Paragraphs Coded

10Coding References

3Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 17:18

30/03/2015 1:47

Bersyukur Tree Node

Nickname 921Words Coded

37Paragraphs Coded

25Coding References

7Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:35

14/01/2015 23:55

Doa Tree Node

Nickname 3.043Words Coded

192Paragraphs Coded

63Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:34

14/01/2015 23:39

Harapan Tree Node

Nickname 3.293Words Coded

232Paragraphs Coded

73Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:38

14/01/2015 23:31

Node Summary Report Page 1 of 5

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 348: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Kegemaran-hobi-kreativitas Tree Node

Nickname 592Words Coded

29Paragraphs Coded

13Coding References

5Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:36

16/12/2014 20:18

Kegiatan-afiliasi agama Tree Node

Nickname 2.318Words Coded

210Paragraphs Coded

65Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 1:53

15/01/2015 0:07

Kekhawatiran-ketakutan Tree Node

Nickname 632Words Coded

20Paragraphs Coded

13Coding References

6Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:38

15/12/2014 2:38

Keyakinan Tree Node

Nickname 1.773Words Coded

96Paragraphs Coded

44Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

25/10/2014 0:35

15/01/2015 0:18

Kondisi Keberagamaan Tree Node

Nickname 492Words Coded

37Paragraphs Coded

8Coding References

4Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 1:53

16/05/2014 22:08

Makna-tujuan hidup Tree Node

Nickname 296Words Coded

20Paragraphs Coded

8Coding References

3Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:29

15/12/2014 2:29

Node Summary Report Page 2 of 5

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 349: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Memaafkan Tree Node

Nickname 159Words Coded

13Paragraphs Coded

6Coding References

1Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:36

15/12/2014 2:36

Mengheningkan cipta Tree Node

Nickname 188Words Coded

16Paragraphs Coded

6Coding References

3Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:36

16/12/2014 20:26

Menyikapi akhir hayat Tree Node

Nickname 2.130Words Coded

115Paragraphs Coded

40Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:38

15/01/2015 0:02

Merasa berperan-berguna-dicintai Tree Node

Nickname 986Words Coded

74Paragraphs Coded

19Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:36

14/01/2015 23:51

Musibah-cobaan-peringatan Tree Node

Nickname 671Words Coded

25Paragraphs Coded

19Coding References

5Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:26

30/03/2015 1:45

Pandangan-pertanyaan tentang hidup Tree Node

Nickname 354Words Coded

17Paragraphs Coded

7Coding References

2Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:29

30/03/2015 1:54

Node Summary Report Page 3 of 5

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 350: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Pasrah-menerima Tree Node

Nickname 1.083Words Coded

43Paragraphs Coded

31Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:26

14/01/2015 23:34

Pengalaman-penderitaan Tree Node

Nickname 3.213Words Coded

140Paragraphs Coded

50Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 2:30

14/01/2015 23:46

Relasi-kedekatan-isolasi Tree Node

Nickname 4.064Words Coded

270Paragraphs Coded

87Coding References

9Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:34

30/03/2015 2:26

Reminiscence Tree Node

Nickname 2.020Words Coded

126Paragraphs Coded

31Coding References

6Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:36

14/01/2015 23:33

Respons Tree Node

Nickname 2.661Words Coded

121Paragraphs Coded

58Coding References

8Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

14/05/2014 2:30

16/12/2014 20:01

Sabar & tawakkal Tree Node

Nickname 676Words Coded

17Paragraphs Coded

11Coding References

2Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 3:24

15/12/2014 3:41

Node Summary Report Page 4 of 5

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 351: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Semangat hidup Tree Node

Nickname 213Words Coded

18Paragraphs Coded

7Coding References

6Sources Coded

0Cases Coded

Created

Modified

15/12/2014 2:38

15/12/2014 2:38

Node Summary Report Page 5 of 5

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 352: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 353: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 17

Coding summary report spiritualitas praktisi

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 354: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Coding Summary Report

Spiritualitas Praktisi Project:

Generated: 31/03/2015 1:18

WN Document

Nodes Coding References Coverage

Free Nodes\Arti pekerjaan sosial 1 0,84 %

Free Nodes\Catatan perkembangan lansia 1 0,80 %

Free Nodes\Lansia psikotik 3 2,60 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”

2 3,39 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan

1 0,43 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman

pribadi

2 1,20 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari

pendidikan-diklat

1 0,99 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai

3 3,37 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting

lain\Kecemasan-Harapan

2 2,97 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting

lain\Relationships

1 1,04 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 6,46 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

6 7,85 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi

7 15,22 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir

kehidupan lansia

6 20,00 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 3 1,68 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

2 2,54 %

Total References 45

HT Document

Nodes Coding References Coverage

Free Nodes\Catatan perkembangan lansia 2 4,26 %

Coding Summary Report Page 1 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 355: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Free Nodes\Kegiatan home care 2 4,60 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 5 5,08 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman

pribadi

5 3,81 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat

1 0,95 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 2 4,98 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi 6 10,01 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir

kehidupan lansia

1 3,70 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 2 3,55 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

1 1,27 %

Total References 27

ED Document

Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Kegiatan home care 7 16,69 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 2 1,52 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi

3 5,35 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat

1 3,25 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Keyakinan-nilai 1 0,81 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 8,03 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

2 5,65 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 1 1,43 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia

1 1,69 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 9,32 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

1 2,58 %

Coding Summary Report Page 2 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 356: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Total References 27

YL Document

Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 8 5,91 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan

7 3,62 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi

2 1,08 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat

1 0,51 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos

2 0,54 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Keyakinan-nilai 14 10,35 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan

5 3,53 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Panutan-sumber inspirasi

2 0,60 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 1 1,98 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi 11 8,20 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 4,72 %

Total References 60

SM Document

Nodes Coding References Coverage

Free Nodes\Arti pekerjaan sosial 3 0,72 %

Free Nodes\Keberagamaan lansia 1 1,71 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan

4 3,26 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi

5 1,30 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari

pendidikan-diklat

5 2,69 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU

Kessos

2 0,61 %

Coding Summary Report Page 3 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 357: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Keyakinan-nilai 3 2,12 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan

2 1,57 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 3 9,16 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

6 6,55 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi

1 8,39 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia

1 1,50 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 5,88 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

2 1,02 %

Total References 45

FS Document

Nodes Coding References Coverage

Free Nodes\Keberagamaan lansia 3 3,63 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”

2 5,41 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan

4 5,79 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi

1 0,55 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari

pendidikan-diklat

1 0,51 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU

Kessos

1 0,17 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai

10 12,83 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting

lain\Kecemasan-Harapan

2 4,49 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 4,73 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

7 8,30 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi

4 9,41 %

Coding Summary Report Page 4 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 358: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir

kehidupan lansia

4 9,35 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 11,65 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

2 2,72 %

Total References 52

HN Document

Nodes Coding References Coverage

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 15 20,63 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan

6 2,06 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi

2 0,58 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Keyakinan-nilai 8 19,48 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 3 4,15 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

4 5,91 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 2 2,01 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir

kehidupan lansia

2 2,11 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 3,36 %

Total References 46

MM Document

Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Kegiatan home care 2 5,55 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai

2 2,21 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 10,19 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

5 10,90 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi

3 5,35 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir

kehidupan lansia

3 6,75 %

Coding Summary Report Page 5 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 359: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 5,89 %

Total References 23

TY Document

Nodes Coding References Coverage

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”

5 11,53 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan 5 3,21 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman

pribadi

5 4,50 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari

pendidikan-diklat

4 3,97 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos

2 2,22 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai

2 2,30 %

Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman

Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan

2 3,51 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 9,36 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi

8 16,86 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 1 1,21 %

Tree Nodes\Praktik dalam

layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia

5 6,36 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 1 1,47 %

Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis

2 4,88 %

Total References 46

Coding Summary Report Page 6 of 6

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 360: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 18

Coding summary report spiritualitas lansia

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 361: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Coding Summary Report

Spiritualitas Lansia Project:

Generated: 31/03/2015 1:19

Pnd-Gbg Document

Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 2,17 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan

2 1,87 %

Tree Nodes\Harapan &

Kecemasan\Menyikapi akhir hayat 1 0,81 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 2 0,79 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup &

Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan 7 6,32 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

8 7,60 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 5 4,66 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi

8 8,88 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Respons 13 11,12 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Sabar & tawakkal

9 9,97 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

1 1,32 %

Total References 60

Mrw Document

Nodes Coding References Coverage

Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,28 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 8 2,05 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan

1 0,48 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

4 1,06 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup

1 0,12 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama

9 2,78 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 1,05 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan

3 1,89 %

Coding Summary Report Page 1 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 362: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Penderitaan Hidup &

Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan 5 1,66 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

5 1,35 %

Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup

3 1,67 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 6 3,07 %

Tree Nodes\Relasi &

Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 20 8,73 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur

9 3,67 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

7 1,72 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Respons 12 6,12 %

Tree Nodes\Spiritual

Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 4 2,29 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta

1 0,30 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa

berperan-berguna-dicintai 5 1,62 %

Total References 110

Msn Document

Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 10 12,21 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan

2 3,12 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

10 13,83 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup

1 0,73 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama

10 5,66 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 2 2,80 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup &

Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah 1 1,52 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan

2 1,45 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

9 13,01 %

Tree Nodes\Persoalan Eksistensial

Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang hidup

5 4,45 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 6 5,34 %

Coding Summary Report Page 2 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 363: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi

2 2,14 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Bersyukur 4 4,22 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

9 7,03 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons

6 5,09 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Sabar & tawakkal 2 1,13 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

1 1,17 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 3 3,71 %

Total References 85

Rml-Nrn Document

Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,06 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 8 2,12 %

Tree Nodes\Harapan &

Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan 2 0,65 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

6 1,09 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup

1 0,18 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi

agama 11 0,88 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 13 6,08 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi

Keberagamaan 2 0,63 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah

8 1,14 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan

4 0,34 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

6 4,35 %

Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup

2 0,61 %

Tree Nodes\Persoalan Eksistensial

Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang

hidup

2 0,60 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 7 2,66 %

Tree Nodes\Relasi &

Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 6 2,03 %

Coding Summary Report Page 3 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 364: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur

2 0,81 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Pasrah-menerima 3 0,66 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons

14 4,97 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta

2 0,51 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa

berperan-berguna-dicintai 1 0,11 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 8 4,14 %

Total References 111

Sgn Document

Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 12 7,03 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

2 2,15 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama

7 4,83 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 3,58 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah

1 0,43 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan

1 0,77 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup &

Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan 2 1,12 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 3 2,37 %

Tree Nodes\Relasi &

Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 5 3,92 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur

3 0,93 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

1 0,80 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons

1 1,30 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas

4 1,21 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta

3 1,92 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

6 5,98 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 11 10,26 %

Coding Summary Report Page 4 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 365: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Total References 66

Alm Document

Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,99 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 11 4,19 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan

4 1,40 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

7 3,10 %

Tree Nodes\Harapan &

Kecemasan\Semangat hidup 2 0,83 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi

agama 10 3,34 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 0,58 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan

2 1,49 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup &

Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan 12 8,54 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 12 5,19 %

Tree Nodes\Relasi &

Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 12 4,07 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur

3 1,24 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

2 0,49 %

Tree Nodes\Spiritual

Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 2 1,44 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

3 2,12 %

Total References 89

Kntw Document

Nodes Coding References Coverage

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 1,22 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan

2 0,67 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

8 3,68 %

Tree Nodes\Harapan &

Kecemasan\Semangat hidup 1 0,29 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama

1 0,06 %

Coding Summary Report Page 5 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 366: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 9 2,88 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi

Keberagamaan 1 1,29 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

5 1,61 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 7 2,93 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi

16 9,61 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur

2 0,64 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Pasrah-menerima 6 2,38 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons

6 2,78 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas

2 0,95 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 4 3,19 %

Total References 74

Est Document

Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 2 1,09 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 12 8,47 %

Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat

2 1,88 %

Tree Nodes\Harapan &

Kecemasan\Semangat hidup 1 0,14 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi

agama 15 3,77 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 5 1,68 %

Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan

3 1,03 %

Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup

3 1,28 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 16 9,53 %

Tree Nodes\Relasi &

Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 13 6,82 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Bersyukur 2 0,53 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

2 0,56 %

Tree Nodes\Respons terhadap

Penderitaan\Respons 4 2,04 %

Coding Summary Report Page 6 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 367: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Tree Nodes\Spiritual

Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 1 0,69 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Memaafkan 6 1,63 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

1 0,36 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 1 0,18 %

Total References 89

Bs Document

Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 4,64 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi

agama 2 14,81 %

Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 1 2,55 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 1 0,78 %

Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi

5 6,01 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima

1 1,07 %

Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons

2 4,89 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai

1 1,03 %

Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 4 9,12 %

Total References 21

Coding Summary Report Page 7 of 7

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 368: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Lampiran 19

Kumpulan Kutipan Doa Klien Lansia

1. Doa untuk diri sendiri

Tema doa Contoh kutipan

- Ampunan (dosa) dari Tuhan

- Kekuatan iman

- Badan sehat - Panjang

umur - Kemurahan

rejeki - Hidup

berkah - Kekuatan

untuk mengerjakan kewajiban

- Berharap agar selalu dekat dengan Tuhan

- Keselamatan di dunia dan akhirat

Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur, diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja. Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm, 6/6/2013)

Saya kan nggak apal ya mas, kita cuman (hapal) itu apa, Ayat Kursi, sama.. doa keselamatan dunia akherat. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn.... itu. (Alm, 6/6/2013)

Pokoknya itu aja Ayat Kursi, sama.. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn, wa’âfiyatan fil-jasadi, wa ziyâdatan fil-’ilmi, wa barokatan fir-rizqi, wa taubatan qoblal-maut, wa rohmatan ‘indal-maut, wa maghfirotan ba’dal-maut. Allâhumma hawwin ‘alainâ fî sakarôtil-maut, wan najâta minan-nâr wal-‘afwa ‘indal-hisâb. Robbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadaytanâ wa hablanâ min-ladunka rohmatan innaka antal-wahhâb. Robbanâ âtinâ fid-dunyâ hasanah, wa fil-âkhiroti hasanah, waqinâ ‘adzâban-nâr.. Terus, Allâhummaghfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ robbayânî soghîro... 2 kali.. (Alm, 6/6/2013)

Robbanâ dholamnâ anfusanâ, wain-lam taghfirlanâ wa tarhamnâ lanakûnana minal-khôsirîn... (Alm, 6/6/2013)

Iya bacaannya panjang. Terus nanti kalau udah, itu ya, Allâhumma antas-salâm wa minkas-salâm tabârokta robbanâ yâ dzal-jalâli wal-ikrôm. Terus baca yang itu, subhanallâh subhanallâh dulu 33 (kali), dzikirnya. Baru baca doa apa yang diminta gitu aja toh ya mas? (Alm, 6/6/2013)

Hehehe, mudah-mudahan ya itu selalu mendekat sama Allah.. Jangan lupa suka berdoa itu yang penting ya yang buat diri sendiri aja yang deket sama Allah gitu dulu, ya kan? Perkara yang belakang-belakang mah nanti doa itu yang penting e.. kita sama Allah itu nanti di dunianya juga ikut... Rejeki juga paling kalau kita banyak berdoa rejeki pasti ada. ... Kan kalau orang berdoa segala macem-segala macem ujung-ujungannya minta diberi rejeki yang berkah dan melimpah. Itu nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa juga ada. ... Iya nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa. Allah juga tahu. (Alm, 6/6/2013)

‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu. ‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar, Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi) ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013)

Ya kita paling berdoanya begini, ‘Allah Bapak yang di sorga yang Maha

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 369: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.’ Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013)

Allah bapak kami terima kasih. Kami mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, juru selamat kami.. Terima kasih Tuhan Yesus, kami mengucap syukur. Haleluyah, amin.. (Kntw, 31/5/2013)

Sekarang kita, sekarang-sekarang ini kita begini, ya Allah bapa yang di sorga Tuhan Yesus jiwa raga saya saya serahkan kepada Tuhan Yesus semua-muanya, kebusukan saya, kebaekan saya, kejelekan saya. Saya pasrah kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus kan lebih tahu. (Kntw, 31/5/2013)

Iya, itu Allah yang tahu. Hanya kita, sebab, minta kepada Allah supaya dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, dipanjangkan umurnya, ya kan? Gitu. Sehat badannya, gitu. (Mrw, 8/4/2013)

Ya sebetulnya kalau masalah sholat setiap waktu ya kita kerjakan, dan sholat tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya minta ampun,saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, dosa saya. Ya, setiap habis sholat sih saya minta doa. (Mrw, 8/4/2013)

Iya tapi apalagi kita kan habis sholat, habis sholat kan kita jangan harap kita udah diterima kita berdoa lagi, ya kan? ... Kalau saya alah dimana aja yang penting saya doain selamat iman itu aja. ... Ndak usah mikir kita dikuburan dimana, yang penting saya mintain selamat iman. (Nrn, 27/5/2013)

Saya ini sekarang, apa lagi, ‘ya Allah selamatkanlah aku dalam iman, selamatkan aku di akherat,’ yah.. (Rml, 27/5/2013)

Oh, ya pokokna mah doa minta berkah selamet aja, supaya sehat badan, gitu dek. Supaya dapat milik rejeki dari mana aja.. milik rejeki datangnya gitu dek. Milik dari Allah, rejeki dari Allah barangkali ada yang kasihan ama saya orag miskin gitu dek. (Msn, 16/6/2013)

Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)

- Meninggal dengan mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnul-khâtimah).

Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est. Berdoa, ‘Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih sakit dulu baru dibawa.’ Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya, dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013)

Itu saya na’ûdzubillâh min dzâlik, jangan sampai begitu ya saya. Makannya saya kalau habis sholat itu doanya ya Allah, di akhir hayatku nanti semoga dalam keadaan husnul khotimah. (Alm, 6/6/2013)

Jangan sampai kaya temen temennya begitu.. Dua hari, tiga hari, sampai merepotkan. Pramu-pramu juga pada cerita di sini, ‘si A begini, penyakitnya begini-begini-begini, masa saya sampai nggak doyan makan, apah.... ngerawat dia nggak doyan makan.’ Itu kan berarti menjijikkan

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 370: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

itu. ... Nah itu saya jangan sampai begitu.. Saya pokoknya selalu berdoa.. ‘Mudah-mudahan.. saya jangan merepotkan oranglah,’ gitu. Istilahnya ya masuk angin... terus diambil gitu aja. (Alm, 6/6/2013)

- Harapan-harapan praktis jangka pendek dalam keseharian.

Selalu doain, minta sama Tuhan supaya ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa, temen-temen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan) gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaa. (Est, 31/5/2013).

...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi kemampuan) bikin havermut. ... Iya, dua, dua cangkir... (Est, 31/5/2013)

Selalu Est doain, minta sama Tuhan supaya Est ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang Est lagi menyanyi lagu baru. (Est, 31/5/2013).

- Doa atau wirid ketika sedang ditimpa masalah, sakit, atau merasa sedih

Iya. Saya suka ingat juga. Katanya kalau lagi sedih, kalau lagi marah, katanya, baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang sendiri. Saya suka baca itu aja, dek. Kalau malam-malam kalau apa juga saya, suka kayak gitu. Kalau habis sholat itu, saya wiridan, ayat kursi, ama Yasin, ama segala saya... Sebisa-bisa saya gitu, dek, di-ituin, dibacain semua. Karena, kata saya, kalau habis sholat Maghrib, kalau belum Isya saya belum pernah batal, dek. Masih duduk aja di situ, apa aja saya baca, kan... (Msn, 16/6/2013)

Kalo Engkong, kalau sakit nih ya (berkeyakinan) sakit Allah punya, sehat Allah punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu kasih peringatan, gitu. ‘Ya Allah mohon sembuhkan. Sakit Allah punya, sehat Allah punya, saya tidak punya apa-apa. Siang-malam saya digerakkan sama Allah.’ Dikasih sehat, sehat aja. Udah pernah nih, di bawah perut nih saki....t banget mau sholat maghrib tuh. .... Sholat maghrib, mohon sama Allah ama wirid sampe Isya. Nah begitu adzan Isya, sholat Isya, udah sholat Isya nge-wirid lagi, alhamdulillah (sembuh). (Pnd, 30/5/2013)

(Wirid) apa aja sebisanya. Subhanallâh, wal-hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâh allâhu akbar. Kalau nggak, ya Allah, ya Allah, ya Allah, ya Allah... (Pnd, 30/5/2013)

2. Doa untuk orang-orang yang dicintai yang masih hidup atau untuk sesama

Tema doa Contoh kutipan

- Kesuksesan di dunia,

- Kesehatan, - Usahanya

lancar, - Tetap dalam

iman, - Diberi

perlindungan

Ya saya serah(-kan) sama Allah ta’ala saya doain. ... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013)

Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 371: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

keselamatan di dunia-akhirat

lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. (Gbg, 5/6/2013).

Ama mantu juga emak tetep ngedoain... Iya, emak juga ama mantu, kan namanya Yl, (berdoa), ya Allah mudah-mudahan rumah tanggae sakînah mawaddah wa rohmah, Sn bari Yl, gitu. Cucu emak, Ac bn Ikhs. Emak sih nggak ada dendam sama temen, geh. Demi. .. Apalagi ama anak-mantu. (Gbg, 5/6/2013).

Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka berdoa dalam hati), ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada kawin, selagi saya diumur sama... dikasih umur sama Allah. (Bs, 16/6/2013) Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)

Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013)

Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisi-Nya. (Sgn, 5/6/2013)

- Agar cucunya nanti ingat kepadanya, menyayanginya, dan mampu membalasnya

Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan) saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek. ... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu. (Msn, 16/6/2013)

Kalau.. ya kita didoakan supaya dia ya hidupnya bisa layak gitu aja. Selalu inget sama orang tuanya. (Alm, 6/6/2013)

Ya anu, alhamdulillah ya mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi sama anak, makanya tiap malam kita berdoa itu, ya supaya anak itu ngerti sama orang tua, gitu aja. (Sgn, 12/6/2013)

- Doa untuk teman sesama penghuni atau petugas panti

Ya biar..biar..Tuhan..Tuhan itu apa Tuhan apa ya..pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka. ... Terus supaya ringan penderitaan Est. (Est, 31/5/2013)

Iya, terus..terus itu apa namanya minta kesembuhan ya buat temen-temen ya.. (Est, 31/5/2013)

Buat temen-temen di sini ya. Minta kesembuhan buat suster Endang ya... Terus minta lulus ujian ya sama buat..buat anaknya ya... Anaknya ujian biar lulus ya. Biar nilainya bagus ya. Kalo bisa jadi juara ya... (Est, 31/5/2013)

Kalo berdoa sepotong-sepotong kan gak ada gunanya ya. ... Nanti besok sambung lagi 3 ayat lagi. Gitu. Terus aja saban hari 3 ayat 3 ayat. ... Ee salah satunya E.... pake dalam doa sekarang. ... Misalnya ee ini jadi apa ee lumbung-lumbungmu biar dipenuhi dengan hasil bumi yang

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 372: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

melimpah-limpah. Bejana pemerahanmu meluap dengan buah anggurnya. Dari Amsal. ... Iya dijadiin doa Est. ... biar dikasih rejeki berlimpahan. (Est, 31/5/2013)

- Mendoakan saudara atau orang-orang yang pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah (uang atau barang)

Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan) terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus. Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl. (Est, 31/5/2013).

Iya Est doain, si Wwn sama si Ivn di Amerika. Si Isk supaya kakinya tuh jangan kumat lagi. Supaya sembuh betul-betul. ... Jadi Est sampe sekarang masih doain walaupun Est. dia jalan, setir mobil, beli sepatu buat Est, tapi Est masih doain terus kakinya itu (sembuh). Supaya kalo misalnya ven-nya dicabut atau gimana. Kan supaya bisa jalan... Iya, terus si Mrt sama suaminya. ... Terus suaminya biar bantu keuangan Est. ... Jangan adek terus yang ngongkosin. (Est, 31/5/2013)

Yang ngasih.. Yang mengasih kami dari tangan Tuhan Yesus melalui tangan Tuhan Yesus, semoga mereka sehat wal-afiat.. Usahanya lancar, perjalanannya biar bener.. Biar jangan ada musibah apa-apa di jalan, ya begitu pan? (Kntw, 31/5/2013)

Ya dek, orang tua mah jangan lagi jeh ke anak ya, ke temen ke si adek, ke anak-anak Akper, emak tetep berdoa. Kalau ke anak Akper mudah-mudahan kamu sing pada lulus yah. Kalau udah lulus sing inget orang tua. Orang tua kamu tuh mati-matian mbiayain kamu, ‘iya mak.’ Tapi kata anak-anak Akper, yang embah-embah bisa nasehatin emak doang di sini. Yang laine nggak pernah nasehatin. (Gbg, 5/6/2013)

... Terus bapak juga didoain ama emak, semuah mahasiswa juga didoakeun ama emak. Yang udah pada kenal-kenal ama emak, praktek-praktek di sini, apalagi ama si adek. Hehe kemaren gah ditanyain ama si engkong .... Semua, biar nggak dipintah ama emak didoain. Iya, biar pegawai biar apa didoain ama emak. Kan kata yang ngarti katanya, kalau doa orang tua itu mustajab, gitu katanya. (Gbg, 5/6/2013)

3. Doa untuk orang-orang terdekat yang telah tiada

Tema doa Contoh kutipan

- Agar diampuni segala dosanya,

- Diterima amal ibadahnya,

- Diberi jalan yang terang,

- Dihindarkan dari siksaan

(Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya. (Msn, 16/6/2013)

Kita berdoa... Untuk die.. Die pulang ke sorga. Pan dia ngilangnya pan die pulang ke sorga. ... Ya kita doain... Minta ama Tuhan Yesus.. Di kasih jalan yang terang yang enak.. Diampuni dosanya.. Diampuni kesalahannya.. Apa yang dia berbuat di muka bumi tolonglah minta ampunin.. Dosa-dosanya minta ampunin ama Tuhan Yesus, begitu..

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.

Page 373: SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...

Berdoanya.. Hei bapak... (Kntw, 31/5/2013)

Ya kita paling berdoanya begini, “Allah Bapak yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.” Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013)

Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)

Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013)

Ya begitu aja.. Ya kan kita kalaupun kita ingat-ingat yang sebenarnyakan ndak usah juga kan? Selain mendoakan keselamatannya kan? Mudah-mudahan diberi Allah kelapangan kuburnya, lepas dari pada azab kuburan gitu, dilapangkan kubur gitu, diampunkan dosanya.. Ya kan? ... Iya berdoa. Kalau biar nggak inget selalu.. Salalu nggak pernah lupa berdoa. ... Nggak putus-putus berdoa. (Nrn, 27/5/2013)

Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisi-Nya. (Sgn, 5/6/2013)

... Ya mudah-mudahan lah dia (almarhum istri) di sana bisa di tempat disisi-Nya. (Sgn, 12/6/2013)

Berkirim doa Ya doa itu baca bismillah aja.. apa, (surat) al-Fâtihah aja.. Itu 3 kali, Qulhu (surat al-Ikhlâsh) 3 kali, Falaq (surat al-Falaq) 3 kali, Nas (surat an-Nâs) 3 kali. (Alm, 6/6/2013)

E eh. Yang udah nggak ada ya (kirim) al-Fatihah, Nas, Falaq, Qulhu aja. (Alm, 6/6/2013)

Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.