2. Psikiatri - Dr. L. F J. Kandou, SpKJ - Gangguan Mental Pada Lanjut Usia(1)
SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...
Click here to load reader
Transcript of SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA ...
UNIVERSITAS INDONESIA
SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA
DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL
DISERTASI
TOTON WITONO 0906 507 204
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPOK, JULI 2015
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA
DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial
TOTON WITONO 0906 507 204
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPOK, JULI 2015
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
ii
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber, baik yang dikutip maupun
yang dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Toton Witono
NPM : 0906 507 204
Tanda Tangan :
Tanggal : 25 Juli 2015
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
iv
Untuk:
� Bapakku, alm. H. Mamat Muhammad. Allâh yaghfir...
Gelar Doktor ini ternyata tidak mampu saya peroleh dalam 4 tahun.
Mohon maaf atas keterlambatan ini.
� Putraku, alm. Sahih Maulana Witono, yang pernah datang,
dan kemudian kembali.
Allâh yarham...
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
v
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
vi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
vii
KATA PENGANTAR
Ketertarikan saya untuk mengkaji lebih jauh bagaimana agama dilibatkan dan diperlakukan dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial membawa saya ke penelitian tentang spiritualitas. Proses interaksi dan konsultasi yang cukup panjang, tidak saja dengan pembimbing, tetapi juga dengan para pengajar dan penguji, mengantarkan saya pada kajian tentang spiritualitas para praktisi kesejahteraan sosial dan klien lansia, terutama dalam bingkai disiplin ilmu pekerjaan sosial. Bagi saya, mengkaji spiritualitas dalam domain ini adalah ibarat sebuah pengembaraan (journey) yang serba tidak pasti ke mana arahnya dan tidak diketahui di mana muaranya. Teori-teori yang dicoba dikonstruksi di sini tidak dipretensikan sebagai sesuatu yang final. Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi dan klien dari segi pandangan dunia mereka, kepercayaan, keyakinan, nilai, sikap, tindakan, dan lain-lain. Penelitian ini berupaya menggali: (i) bagaimana para praktisi memahami spiritualitas; (ii) bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam interaksi mereka dengan klien lansia; (iii) bagaimana pula spiritualitas dihayati oleh klien; dan (iv) bagaimana pengalaman hidup dihadapi lansia. Berdasarkan berbagai perspektif yang akan tergali dari kedua kelompok informan tersebut, penelitian ini kemudian berupaya untuk: (v) mengonstruksi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang khas untuk masyarakat Indonesia; dan (vi) menentukan komponen-komponen spiritual yang relevan bagi kesehatan jiwa lansia. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 orang informan yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia yang tinggal di panti maupun yang memperoleh layanan home care. Pengelolaan data dan hasil coding menggunakan program software NVivo yang mempermudah akses untuk proses analisis. Dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para praktisi memiliki pandangan dan praktik spiritualitas baik yang berasal dari agama maupun non-agama. Namun, spiritualitas mereka tidak dipahami, tidak pula didefinisikan oleh mereka sendiri, dan spiritualitas tersebut tersusun dari beberapa kategori: afiliasi dan praktik agama, keyakinan dan nilai, penemuan makna dan hikmah di balik musibah, dan sejumlah komponen lain. Spiritualitas yang dihayati (living spirituality) seperti itu sejatinya dipraktikkan dalam keseharian dan ketika berinteraksi dengan klien, meskipun mereka mungkin menggunakannya tidak secara eksplisit dan sadar. Dalam interaksi, spiritualitas mereka terejawantahkan dalam motivasi melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual. Klien lansia juga memiliki sisi-sisi spiritual yang sebagian terekspresikan melalui cara mereka mempersepsikan dan merespons pengalaman hidup atau penderitaan. Penelitian ini mengonstruksi sejumlah kategori yang mencerminkan spiritualitas lansia sebagai berikut: keberagamaan, relasi dan keterhubungan, harapan dan kecemasan, tugas atau kebutuhan spiritual (spiritual tasks), persoalan eksistensial, persepsi tentang penderitaan, dan responsnya. Sejumlah tema dalam kategori-kategori ini bisa menjadi komponen spiritual yang dinilai penting bagi kondisi kesehatan mental lansia. Selanjutnya, living spirituality menurut praktisi punya peran penting sebagai inti dari model pelayanan sosial bagi kesehatan mental lansia berbasis spiritual.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
viii
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Al-hamd li-llâh rabb-il-‘âlamîn ‘alâ kulli hâl wa ni’mah. Shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlih wa shahbih. Penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa kontribusi banyak pihak. Semoga Allah membalas dan melipatgandakan setiap kebaikan yang telah diberikan. Melalui kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Ibu Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D. selaku promotor yang dengan sabar dan telaten mengarahkan saya sejak wawancara masuk kuliah, menjadi pembimbing akademik, masa kuliah, konsultasi proposal, dan menjadi promotor penelitian saya hingga selesai.
2. Prof. Adi Fahrudin, Ph.D. selaku ko-promotor yang telah menginspirasi saya mengambil isu penelitian yang penting ini dan, kemudian, sudi menjadi pembimbing yang sering memotivasi saya untuk berpikir sederhana dan bertindak cepat dan taktis baik dalam penelitian dan penulisan maupun penyelesaian akhir.
3. Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc. selaku ketua sidang promosi dan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. selaku ketua sidang pada tahap pra-promosi.
4. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. atas ilmu, bimbingan, wisdom, dan masukan berharga sejak wawancara masuk kuliah, masa kuliah, konsultasi proposal, dan hampir seluruh tahapan penelitian-penyusunan disertasi ini. Penelitian tingkat doktoral memang tidak lagi pada tahap bagaimana memahami atau mengaplikasikan teori, namun pada bagaimana mengembangkan atau menghasilkan teori dan berpikir di tataran filosofis.
5. Prof. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D. atas ilmu, bimbingan, dan masukan berharga sejak masa kuliah, penyusunan proposal, hingga serangkaian tahapan ujian/sidang sampai selesai. Berbagai referensi metodologi penelitian yang beliau tawarkan sangat membantu saya dalam upaya memahami alur penelitian ini.
6. Prof. Dr. (Romo) Mudji Sutrisno, SJ. yang telah terlibat sejak tahap ujian proposal hingga promosi. Terima kasih atas ilmu, kebaikan, saran, dan perspektif filosofis yang selalu menekankan hal-hal yang lebih esensial ketimbang formal-prosedural.
7. Dr. Jajang Gunawijaya, M.Si. atas tradisi Antropologi dan perspektif budaya yang seharusnya ditawarkan dan ditekankan sejak awal penelitian ini.
8. Dr. Elizabeth Endang P., M.Si. yang telah memberi masukan penting terkait kesehatan mental dan ragam perspektif spiritualitas.
9. Para pengajar program Doktoral Ilmu Kesejahateraan Sosial FISIP UI. Prof. Martha Haffey yang sempat menyediakan waktu untuk konsultasi pada saat penyusunan proposal, sehingga turut menentukan arah penelitian ini. Pak Bagus Aryo, Ph.D. atas masukan berharga dan referensi tambahan pada saat seminar proposal.
10. Pihak jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Pak Arif Wibowo, M.Hum. yang tidak saja tekun mengoreksi cara penulisan, tetapi juga sangat membantu dalam serangkaian tahap ujian/sidang. Pak Cece, mbak Valen, mas Tinton,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
x
dan seluruh staf jurusan yang telah banyak membantu selama masa kuliah dan proses penyelesaian studi.
11. Mantan kepala BBPPKS Padang, Drs. Dahnil Amry, M.Si., yang telah memberi izin untuk mengambil Tugas Belajar (TB). Kepala BBPPKS Regional I Sumatera saat ini, Drs. Manggana Lubis, M.Si., beserta sejumlah pegawainya yang rajin menyurati dan menelepon agar saya tidak lupa dan secepatnya balik ke kantor.
12. Dr. Agus Widiatmo, yang telah meluluskan saya untuk mengambil TB dan atas kebaikan dan perhatiannya. Pak Kanita, M.Si. atas perhatian, pengertian, dan bantuannya, terutama pada tahap penyelesaian TB.
13. Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial dan Kabag Program (yang telah silih berganti) beserta stafnya atas perhatian, pembinaan, dan biaya kuliah selama saya berstatus mahasiswa TB.
14. Teman-teman angkatan atas kebersamaan (urut abjad: pak Abu, bu Maria Ulfah, pak Masduki, mas Nur, Risna, mbak Sari, bu Siti Fauziah, bu Susi, pak Syahganda, bu Tini, bu Tri, & Widi) dan juga kakak-adik angkatan yang seringkali saling membantu.
15. Gate keepers dan seluruh informan penelitian (terutama simbah-simbah, oma, dan engkong) atas bantuan, doa, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
16. Istri tercinta, Widiyanti SL., atas dukungan, pengertian, kesabaran, dan doa yang telah diberikan sehingga saya mampu menuntaskan studi. Tak lupa dua putraku tercinta, Aidan & alm. Sahih, yang menjadi sumber semangat saya.
17. Keluarga (ibu & alm. bapak, ibu & bapak mertua, semua kakak-adik dan ipar, termasuk alm. Kang Ade, dan semua ponakan) atas dukungan dan doa. Untuk semua keluargaku, khususnya ibu, semoga selalu diberi kesehatan, umur panjang, dan hidup barokah.
18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan di sini, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, atas kontribusi yang tampak maupun tidak namun sangat berarti.
Akhirnya, saya sangat berharap penelitian ini dapat memberi banyak manfaat, khususnya untuk penelitian dan pengembangan profesi pemberian pertolongan bagi para pemerlu dalam rangka mewujudkan kondisi sejahtera dan kualitas hidup yang lebih baik. Âmîn yâ rabb-al-‘âlamîn....
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Toton Witono
NPM : 0906 507 204
Program Studi : Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial
Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya : Disertasi,
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 2015
Yang menyatakan
(Toton Witono)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xii
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xiii
ABSTRAK
Nama : Toton Witono
Program studi : Program Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial
Judul : Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial
Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi kesejahteraan sosial dan klien. Interaksi melibatkan banyak aspek, termasuk spiritualitas, maka penelitian ini menggali pemahaman spiritualitas praktisi dan praktiknya dalam pelayanan, bagaimana spiritualitas dihayati lansia, dan bagaimana lansia menghadapi penderitaan. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 informan praktisi dan klien dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen. Proses coding menggunakan NVivo untuk mempermudah analisis. Hasil penelitian menunjukkan spiritualitas praktisi dihayati dan diekspresikan dalam berbagai komponen dan dipraktikkan ketika berinteraksi dengan klien. Spiritualitas lansia juga tercermin dalam sejumlah kategori yang punya peran penting menjaga kesehatan mental ketika menghadapi penderitaan hidup.
Kata kunci: Spiritualitas, praktisi kesejahteraan sosial, lansia, dan kesehatan mental
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xiv
ABSTRACT
Name : Toton Witono
Study program : Doctoral Program, Department of Social Welfare
Title : Spirituality for the Elderly Mental Health in the Context of Social Service
Service quality for elderly mental health is influenced by interaction between practitioners and clients. The interaction involves spirituality, so this study explores practitioners’ understanding of spirituality and its implementation in service, how the elders live spirituality, and how they cope with sufferings. This qualitative study recruited 20 informants explored through interview, observation, and document review. NVivo software was used to organize coding results for analysis process. This study finds that practitioners’ spirituality is lived and expressed in various components that is used in interaction. The elders have also spiritual sides echoed through some categories having contributions to their mental health. Key words: Spirituality, social welfare practitioners, the elderly, and mental health
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vii
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................................ ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS .................................. xi
ABSTRAK ................................................................................................................... xiii
ABSTRACT ................................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xx
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xxi
1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................................... 14
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 17
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 17
1.5 Sistematika Penulisan ....................................................................................... 19
2. TINJAUAN LITERATUR ................................................................................... 21
2.1 Lansia dan Teori Perkembangan Manusia ........................................................ 22
2.2 Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia ..................................................... 26
2.2.1 Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait ......................................... 27 2.2.2 Kualitas Hidup Lansia............................................................................ 31
2.3 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 34
2.3.1 Death Anxiety ......................................................................................... 36
2.3.2 Grief dan Bereavement .......................................................................... 37
2.3.3 Neurosis ................................................................................................. 39
2.4 Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia .................................................. 41
2.4.1 Model Penanganan Lansia Indonesia ..................................................... 41
2.4.2 Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial ............................ 43
2.4.3 Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional .......................................... 47
2.4.4 Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik .................................................... 48
2.5 Spiritualitas dan Agama .................................................................................... 52
2.5.1 Spiritualitas ........................................................................................... 52
2.5.2 Agama ................................................................................................... 57
2.5.3 Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama .............................. 59
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xvi
2.6 Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial.................................................................. 62
2.6.1 Definisi dan Komponen Spiritualitas ...................................................... 62
2.6.2 Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia .................................... 69
2.6.3 Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas ....................................... 77
2.6.3.1 Asesmen berbasis spiritualitas ........................................................... 77
2.6.3.2 Intervensi berbasis spiritualitas ......................................................... 80
2.6.4 Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial............................................ 84
2.6.4.1 Perspektif eksistensial-humanis ......................................................... 85
2.6.4.2 Perspektif transpersonal ..................................................................... 93
3. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 97
3.1 Pendekatan dan Paradigma Penelitian ............................................................... 97
3.2 Grounded Theory ............................................................................................... 99
3.3 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ........................................................ 102
3.3.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 102
3.3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 104
3.4 Informan Penelitian ........................................................................................... 104
3.4.1 Pemilihan Informan ................................................................................ 104
3.4.2 Deskripsi Informan ................................................................................. 107
3.5 Pengumpulan Data ............................................................................................. 109
3.5.1 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 110
3.5.2 Proses Wawancara .................................................................................. 111
3.6 Analisis Data ..................................................................................................... 114
3.6.1 Teknik Analsis Data ............................................................................... 114
3.6.2 Proses Analisis Grounded Theory .......................................................... 118
3.7 Mutu Penelitian ................................................................................................. 121 3.8 Etika dan Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 123
4. SPIRITUALITAS PRAKTISI .............................................................................. 127
4.1 Pemahaman dan pengalaman Spiritualitas Praktisi ........................................... 128
4.1.1 Arti Spiritualitas ..................................................................................... 129
4.1.2 Afiliasi dan Praktik Kegamaan ............................................................... 132
4.1.3 Keyakinan dan Nilai Individu ................................................................ 134
4.1.4 “Di Balik Ujian Ada Hikmah” ............................................................... 135
4.1.5 Komponen Spiritualitas Penting Lain .................................................... 137
4.2 Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial ............................... 138
4.2.1 Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial .................................................. 139
4.2.2 Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial .................................................. 140
4.2.3 Asesmen ................................................................................................. 141
4.2.3.1 Asesmen spiritual minim ................................................................... 142
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xvii
4.2.3.2 Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin .......................... 143
4.2.3.3 Asesmen versi pendamping home care ............................................. 145
4.2.3.4 Menyinggung keagamaan klien ........................................................ 145
4.2.3.5 Pendekatan untuk menarik lansia home care .................................... 146
4.2.4 Intervensi................................................................................................ 147
4.2.4.1 Teknik-teknik intervensi ................................................................... 147
4.2.4.2 Lansia sedih atau patah semangat ..................................................... 149
4.2.4.3 Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan............... 150
4.2.4.4 Lansia bertengkar .............................................................................. 152
4.2.4.5 Intervensi yang dianggap berhasil .................................................... 152
4.2.4.6 Intervensi yang dianggap gagal ........................................................ 154
4.2.4.7 Pendekatan manusiawi atau sewajarnya ........................................... 155
4.2.4.8 Intervensi ala pendamping home care .............................................. 156
4.2.4.9 Membantu lansia menghadapi akhir hayat ....................................... 158
5. SPIRITUALITAS LANSIA ................................................................................. 163
5.1 Pengalaman Spiritualitas Lansia ....................................................................... 165
5.1.1 Keberagamaan Lansia ........................................................................... 165
5.1.1.1 Kegiatan dan afiliasi keagamaan ..................................................... 165
5.1.1.2 Keyakinan ........................................................................................ 167
5.1.2 Persoalan Eksistensial Lansia .............................................................. 170
5.1.2.1 Pandangan dan pertanyaan tentang hidup ....................................... 170
5.1.2.2 Makna dan tujuan hidup .................................................................. 171
5.1.3 Relasi dan Keterhubungan .................................................................... 172
5.1.3.1 Relasi, kedekatan, dan isolasi .......................................................... 172
5.1.3.2 Doa .................................................................................................. 178 5.1.4 Harapan dan Kecemasan ....................................................................... 181
5.1.4.1 Harapan dan semangat hidup .......................................................... 182
5.1.4.2 Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat ........................... 184
5.1.5 Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks) .................................................. 187
5.1.5.1 Merasa berperan, berguna, dan dicintai ........................................... 187
5.1.5.2 Kenangan masa lalu (reminiscence) ................................................ 189
5.1.5.3 “Mengheningkan cipta” ................................................................... 191
5.1.5.4 Memaafkan ...................................................................................... 192
5.1.5.5 Kegemaran, hobi, dan kreativitas .................................................... 193
5.2 Pengalaman Hidup dan Respons Lansia .......................................................... 194
5.2.1 Pengalaman Hidup dan Pemaknaan ..................................................... 194
5.2.1.1 Pengalaman dan penderitaan.......................................................... 194
5.2.1.2 Musibah, cobaan, atau peringatan .................................................. 197
5.2.1.3 “Ada musibah ada hikmah” ........................................................... 198
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xviii
5.2.2 Respons terhadap Penderitaan .............................................................. 199
5.2.2.1 Respons ........................................................................................... 199
5.2.2.2 Pasrah dan menerima ...................................................................... 201
5.2.2.3 Sabar dan tawakkal ......................................................................... 201
5.2.2.4 Bersyukur ....................................................................................... 202
6. MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL ............. 205
6.1 Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia ............................................. 205
6.1.1 Spiritualitas Praktisi ............................................................................... 206
6.1.1.1 Pemahaman spiritualitas .................................................................. 206
6.1.1.2 Living spirituality ............................................................................. 210
6.1.2 Praktik Pelayanan Sosial Lansia ............................................................ 212
6.1.2.1 Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial................................................................................................. 213
6.1.2.2 Asesmen spiritual ............................................................................. 215
6.1.2.3 Intervensi spiritual............................................................................ 217
6.2 Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia ........ 223
6.2.1 Tipologi Praktisi dan Lansia .................................................................. 223
6.2.1.1 Tipologi praktisi ............................................................................... 223
6.2.1.2 Tipologi lansia.................................................................................. 226
6.2.2 Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia ........................ 228
6.2.2.1 Asesmen spiritual ............................................................................. 229
6.2.2.2 Intervensi spiritual............................................................................ 232
7. KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA ...... 239
7.1 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 239 7.1.1 Perspektif Praktisi .................................................................................. 239
7.1.2 Perspektif Klien Lansia ......................................................................... 241
7.2 Respons terhadap Penderitaan ....................................................................... 242
7.3 Komponen Spiritual yang Relevan................................................................. 251
8 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ................................... 261
8.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 261
8.2 Implikasi ......................................................................................................... 265
8.2.1 Implikasi Teoretis-pengetahuan ............................................................ 265
8.2.2 Implikasi Praktis .................................................................................... 268
8.2.3 Implikasi Kebijakan ............................................................................... 272
8.3 Rekomendasi .................................................................................................. 274
DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 279
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Domain dan definisi pengalaman grief ..................................................... 39
Tabel 2.2. Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya ................................. 40
Tabel 2.3. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah ................. 41
Tabel 2.4. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing ................................................... 71
Tabel 2.5. Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing ................................ 75
Tabel 2.6. Skema asesmen spiritual ........................................................................... 80
Tabel 3.1. Timetable jadwal penelitian disertasi ........................................................ 104
Tabel 3.2. Kriteria menjadi informan dan informan penelitian ................................. 106
Tabel 3.3. Data demografi informan praktisi ............................................................. 108
Tabel 3.4. Data demografi informan klien lansia ....................................................... 109
Tabel 3.5. Inisial informan praktisi, kode wawancara, dan tanggal wawancara ........ 111
Tabel 3.6. Inisial informan lansia, kode wawancara, dan tanggal wawancara .......... 112
Tabel 5.1. Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya .......................................................................................... 195
Tabel 6.1. Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual bedasarkan tema yang muncul .............................................................................................. 218
Tabel 6.2. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual ........................ 221
Tabel 6.3. Bentuk-bentuk intervensi spiritual ............................................................ 222
Tabel 6.4. Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... 233
Tabel 6.5. Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... 237
Tabel 7.1. Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi .............................. 240 Tabel 7.2. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia ....................... 242
Tabel 7.3. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi ............. 247
Tabel 7.4. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia ............... 250
Tabel 7.5. Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia ......................... 253
Tabel 7.6. Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia ............ 255
Tabel 7.7. Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia ........................... 257
Tabel 7.8. Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia .................................... 258
Tabel 7.9. Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia ........................ 260
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Kerangka alur penelitian ....................................................................... 18
Gambar 2.1. Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur ................................... 22
Gambar 2.2. Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing WHO ... 31
Gambar 2.3. Model holistik spiritualitas ................................................................... 68
Gambar 2.4. Model operasional spiritualitas ............................................................. 70
Gambar 2.5. Model the spiritual task of ageing ........................................................ 71
Gambar 2.6. Model generik spiritual tasks and process of ageing ........................... 74
Gambar 2.7. Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan di panti werdha .................. 76
Gambar 2.8. Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro ................. 95
Gambar 3.1. Proses dan hasil dalam grounded theory .............................................. 101
Gambar 3.2. Lokasi penelitian ................................................................................... 103
Gambar 3.3. Alur analisis data dengan software NVivo 7 ........................................ 120
Gambar 3.4. Output keseluruhan proses analisis coding ........................................... 121
Gambar 3.5. Seluruh tahapan analisis coding ............................................................ 122
Gambar 4.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2 ........ 128
Gambar 5.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4 ........ 164
Gambar 6.1. Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan non-normatif ............... 223
Gambar 6.2. Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan ....... 227
Gambar 6.3. Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ................ 229
Gambar 6.4. Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ..................................................................................................... 230
Gambar 6.5. Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi ...................... 236
Gambar 7.1. Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia ..... 244
Gambar 7.2. Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup .................................... 246
Gambar 7.3. Konsep relasi segi tiga doa ................................................................... 250
Gambar 8.1. Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual ....... 270
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan
Lampiran 2 Data informan
Lampiran 3 Panduan wawancara (Interview Guide)
Lampiran 4 Pernyataan persetujuan menjadi informan (Consent Form)
Lampiran 5 Panduan observasi
Lampiran 6 Matriks all nodes vs inteview informan praktisi
Lampiran 7 Matriks all nodes vs inteview informan lansia
Lampiran 8 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi
Lampiran 9 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi
Lampiran 10 Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep
Lampiran 11 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi
Lampiran 12 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia
Lampiran 13 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi
Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia
Lampiran 15 Node summary report informan praktisi
Lampiran 16 Node summary report informan lansia
Lampiran 17 Coding summary report informan praktisi
Lampiran 18 Coding summary report informan lansia
Lampiran 19 Kumpulan kutipan doa informan lansia
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xxii
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini Indonesia sedang menghadapi isu penuaan penduduk (population
ageing) yang merupakan salah satu dampak keberhasilan pembangunan bidang
kesehatan. Dikatakan menua karena, menurut ADB (2011), kelompok usia tengah-
tengah (median) bertumbuh dan dibarengi rendahnya angka kelahiran, sehingga
struktur usia menjadi seragam. Fakta semakin naiknya angka harapan hidup juga
punya kontribusi terhadap penuaan penduduk.
Dari tahun ke tahun populasi lanjut usia (lansia) 60 tahun ke atas terus
membengkak. Hingga pertengahan abad ke-21 jumlahnya diproyeksikan berlipat dan
Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan lansia tercepat di dunia. Menurut
catatan ADB, tahun 1971 ada 5,3 juta lansia atau 4,48% dari jumlah penduduk
(Arifianto, 2006). Tiga dekade kemudian, BPS (n.d.) mencatat jumlah lansia naik
hampir tiga kali lipat menjadi 14,4 juta (7,18%). Jumlahnya terus naik merangkak
dari 16.805.294 jiwa (7,78%) pada 2005; 18.957.189 jiwa (8,42%) pada 2007;
19.318.029 jiwa (8,37%) pada 2009 (Komnas Lansia, 2010); menjadi sekitar 24 juta
jiwa (9,8%) pada 2010. Bank Dunia memrediksi jumlah lansia tahun 2025 sebesar
35,335 juta (13,04%), kemudian naik dua kali lipat pada 2050 menjadi sekitar 72,398
juta atau, menurut PBB, 71,592 juta. Angka ini tidak kurang dari seperempat jumlah
penduduk Indonesia saat itu (The World Bank, 2011; UN, 2009).
Isu penuaan dibarengi adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang
dapat berdampak buruk bagi kondisi lansia. Perubahan tersebut berupa migrasi
penduduk ke kota atau mancanegara, naiknya partisipasi perempuan dalam
pekerjaan, perubahan struktur/ukuran keluarga, dan lunturnya nilai-nilai dasar,
solidaritas, dan kohesi sosial (Noveria, 2006). Terkait perubahan struktur/ukuran
keluarga, Noveria menjelaskan ukuran keluarga semakin menyusut karena angka
kelahiran atau tingkat kesuburan menurun, sebagai satu bukti keberhasilan program
Keluarga Berencana (KB). Migrasi dan tingginya partisipasi kerja perempuan serta
kecenderungan anak yang telah menikah tinggal terpisah dari orang tua juga menjadi
sebab mengecilnya struktur keluarga luas (extended family).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
2
Perubahan-perubahan yang mengiringi penuaan penduduk dapat menyebab-
kan berkurangnya kualitas perawatan lansia (Noveria, 2006); minimnya penghasilan
tambahan atau ketiadaan jaminan hari tua (Arifianto, 2006; Noveria, 2006); dan
pudarnya sistem keluarga tradisional untuk perawatan dan dukungan finansial lansia
(Hugo, 2000). Perubahan itu, kata Hugo, menyebabkan lansia kehilangan dukungan
(loss of support) dalam pemenuhan kebutuhan.
Secara umum kondisi lansia Indonesia sama dengan Asia-Pasifik. Phillips
(2000, p. 14) mengatakan mereka terjepit di antara tiga faktor utama: kemampuan
negara yang minim; dukungan keluarga dan komunitas yang serba tidak pasti; dan
lingkungan kota/desa yang tidak ramah. Padahal, kondisi mental-emosional lansia
paling rentan terhadap berbagai faktor. Hugo (2000, p. 307) menegaskan well-being
lansia Indonesia dipengaruhi faktor-faktor yang saling mempengaruhi: penghasilan,
kondisi/pola hidup, kontak sosial, dan kesehatan fisik dan mental. Lansia juga lebih
rentan terhadap kemiskinan, ketidakmampuan atau kecacatan fisik, dan masalah-
masalah emosional lain dibanding kelompok usia yang lebih muda.
Kerentanan lansia umumnya mudah dijumpai di kota-kota besar di Indonesia.
Misalnya DKI Jakarta, dengan jumlah lansia sekitar 563.707 jiwa berdasarkan
Susenas BPS tahun 2009 (Komnas Lansia, 2010), memiliki angka persoalan lansia
yang cukup tinggi dan beragam. Secara langsung atau tidak, kondisi ini diakibatkan
atau dipicu oleh tingginya tuntutan dan tekanan hidup di ibu kota yang membuat
kaum urban tenggelam dalam rutinitas, kesibukan kerja, kemacetan lalu lintas, dan
persoalan sehari-hari. Belum lagi masalah kriminalitas, penyalahgunaan narkoba,
kebakaran, banjir, konflik antar kelompok, tawuran pelajar, kemiskinan, tindak
kekerasan, dan penelantaran yang menjadi berita keseharian.
Dalam satu seminar dikatakan penduduk Jakarta rentan mengalami gangguan
mental dan emosional seperti depresi dan perilaku agresif karena tingginya tekanan
hidup dan rendahnya kemampuan warga untuk beradaptasi terhadap perubahan
(Warga DKI, 2011). Masalah seperti itu dapat dialami semua lansia, baik yang
tinggal bersama keluarga dan komunitas maupun di panti. Sebagai contoh,
kecemasan yang dialami kebanyakan lansia luar panti di Jakarta, menurut penelitian
Favourita (1998), disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan atau hilangnya
penghasilan, ancaman penyakit, dan tindak kriminalitas. Sementara lansia panti,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
selain tidak baik bagi perkembangan psikologis, mereka merasa terbuang dan tidak
berguna dan mengalami penurunan gairah hidup (Sadli, 2002, p. 25). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Indriana et al. (2010) di sebuah panti wredha di Semarang
bahwa sebagian besar lansia penghuni mengalami tingkat stres tinggi dengan keluhan
berat. Di antara faktornya adalah perubahan aktivitas keseharian dan hubungan
dengan keluarga, kematian pasangan, dan kematian anggota keluarga.
Beragam sebab dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi aspek psikologis,
emosional, dan tingkah laku lansia sehingga dapat mengganggu fungsi dan perannya
dalam keseharian. Kalau kondisinya seperti itu, seorang lansia dikatakan mengalami
masalah atau gangguan kesehatan mental. Menurut Kirst-Ashman (2010, p. 348),
kesehatan mental berarti baik atau sehatnya kondisi individu secara psikologis dan
emosional sehingga mampu membuat keputusan rasional, mengatasi tekanan dari
dalam dan luar, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kesehatan mental
bagi MacKinlay (2006) tidak hanya berhubungan dengan baiknya kondisi psikologis
dan emosional, tetapi juga spiritual. Bahkan bagi lansia, keberfungsian mental punya
keterkaitan sangat erat dengan keberfungsian spiritual (MacKinlay, 2006; 2004a).
Angka lansia Jakarta dengan masalah mental ringan-berat sulit diperoleh.
Namun, proyeksinya bisa didapat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kementerian Kesehatan, data pasien, estimasi ahli, dan persentase lansia.
Riskesdas 2007 menunjukkan persentase penderita depresi dan kecemasan pada
orang dewasa di Indonesia sebesar 11,6%. Kalau jumlah orang dewasa sekitar 150
juta (Kecemasan, 2011), kurang-lebih ada 17.400.000 orang dengan gangguan
tersebut. Dengan patokan data lansia 2009, yakni 8,37% (Komnas Lansia, 2010),
angka penderita kelompok ini sebesar 1.456.380 jiwa. Jika persentase lansia di DKI
Jakarta sebesar 2,92% dari total lansia secara nasional, jumlah lansia yang
mengalami depresi dan kecemasan diperkirakan tidak kurang dari 42.526.
Angka berbeda diperoleh apabila memakai data Dinas Kesehatan DKI, yakni
ada 159.029 pasien mengalami gangguan jiwa ringan pada 2010, sementara hingga
pertengahan 2011 ada 306.621 orang (306.621 Warga, 2011). Dengan asumsi
sebaran penderita gangguan mental merata di semua kelompok usia, termasuk
kelompok lansia yang persentasenya sebesar 6,31% dari total penduduk ibu kota
pada 2009 (Komnas Lansia, 2010), jumlah minimal penderita gangguan jiwa ringan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
4
sebesar 10.035 jiwa pada 2010 dan 19.348 jiwa pada pertengahan 2011. Angka itu
semakin besar apabila memakai estimasi wakil direktur Rumah Sakit Jiwa di Jakarta
bahwa 20-30% dari penduduk perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan sampa
berat (Awas, 2008). Dengan estimasi tengah-tengah saja, yakni 25%, jumlah
penderita gangguan jiwa di Jakarta kira-kira menjadi 140.927 jiwa.
Namun demikian, angka penderita gangguan mental-emosional warga Jakarta
yang muncul serupa dengan fenomena pucuk gunung es. Jumlah sesungguhnya tentu
lebih besar lagi karena banyak penderita yang tidak melaporkan diri sehingga tidak
terpantau (Warga DKI, 2011). Banyak dari mereka atau keluarganya enggan datang
ke pengobatan karena malu atau ketiadaan biaya (Kesulitan Ekonomi, 2008). Selain
itu, proporsi lansia bisa lebih tinggi karena mereka lebih rentan menderita gangguan
mental ketimbang kelompok usia muda.
Dengan estimasi sebesar itu, hanya sebagian kecil saja yang mampu ditangani
baik oleh institusi pemerintah atau swasta. Secara nasional, lansia yang ditangani
institusi panti werda di seluruh Indonesia hanya berjumlah 3000-an, seperti
diinformasikan Direktur Bina Pelayanan Lansia Depsos (Santi, 2002). Walaupun
tidak secara khusus menangani masalah kesehatan mental lansia, informasi ini dapat
menjadi gambaran betapa terbatasnya kemampuan panti melayani lansia untuk
konteks Jakarta dan sekitarnya. Sebagian kecil lain ditangani non-institusi berbasis
keluarga atau komunitas maupun yang berbasis agama. Sebagian besar ditangani
secara mandiri dengan bergantung pada kemampuan masing-masing lansia dan
keluarga dekatnya atau bahkan dibiarkan karena dianggap masih lumrah.
Pelayanan sosial lansia di Indonesia diberikan pemerintah dan non-
pemerintah, baik secara institusi maupun non-institusional. Bentuknya cukup
beragam, seperti panti sosial, day care, home care, trauma center, posyandu lansia,
karang wredha/lansia, Pusaka (Pusat Santunan Keluarga), puskesmas ramah/santun
lansia, klinik geriatrik, dan layanan geriatri terpadu.
Pada prinsipnya, segala bentuk layanan tersebut memiliki tujuan utama
mewujudkan kesejahteraan lansia. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk ke
Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU
Kesejahteraan Lansia 1998) dan UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(UU Kessos 2009). UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2009)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
dan UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa 2014) juga
dapat menjadi acuan dari tujuan pelayanan bagi lansia karena, seperti dalam salah
satu konsideran UU ini, kesehatan merupakan salah satu unsur dalam konsep
kesejahteraan sosial.
UU Lansia mendefinisikan kesejahteraan sebagai ”suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan
sosial...” (Pasal 1). Definisi ini kurang-lebih mengacu ke UU No. 6 tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang telah diganti oleh
UU Kessos 2009. Dalam UU yang baru ini, kesejahteraan sosial adalah “kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup
layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya” (Pasal 1). Sementara, pelayanan mewujudkan kesehatan lansia merujuk ke
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya kesehatan diartikan sebagai
“keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dari beberapa definisi tersebut, kesejahteraan sosial mengacu ke suatu kondisi
baik atau terpenuhinya kebutuhan fisik, spiritual atau rohani, dan sosial. UU
Kesehatan bahkan menambahkan aspek mental. Akan tetapi aspek spiritual
seringkali tenggelam karena dominasi model pendekatan medikal dan psikososial
yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis, psikologis, dan sosial. Aspek ini juga
terkadang disebut secara bergantian atau beriringan dengan aspek mental dan/atau
psikologis. Dengan demikian, pemahaman aspek ini tampak ambigu karena terkesan
punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis.
Di samping itu, aspek spiritual juga terkadang disilihgantikan dengan religius.
Sebagai contoh, dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di
Panti Tresna Werdha, isu spiritualitas dibahas dalam “perspektif biopsikososial-
religius” (p. 7). Dimensi religius dimaknai seputar keyakinan akan Tuhan, harapan
hidup, “falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat
hidup,... dan ketegaran iman” ketika mendapat cobaan (p. 15). Uraian dari apa yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
6
dianggap dimensi religius adalah bagian dari spiritualitas. Menurut salah satu
penyusun pedoman ini, dimensi religius di situ sebenarnya memang merujuk ke
spiritual. Namun, pemakaian kata spiritual dikhawatirkan akan dipahami lain, seperti
hal-hal ghaib, makhluk supranatural, kebatinan, dan semacamnya. Akhirnya, setelah
melalui perdebatan para penyusun cenderung memilih kata religius.
Hal penting yang menjadi fokus di sini adalah masuknya aspek spiritual dalam
definisi kesejahteraan sosial dan kesehatan. Aspek ini menjadi salah satu dimensi
penting yang harus diperhatikan ketika menentukan apakah lansia telah mencapai
kondisi sejahtera dan sehat. Di samping kondisi ini, spiritualitas juga memiliki kaitan
erat dengan konsep kebahagiaan, well-being, dan kualitas hidup (quality of life).
Pentingnya melibatkan spiritualitas dalam pelayanan sosial tidak saja karena
aspek penting ini telah diamanatkan UU, namun juga karena sejumlah alasan yang
sebagian dijelaskan di sini. Pertama, pekerjaan sosial memiliki karakteristik sangat
menekankan pemanfaatan kekuatan dan potensi yang ada pada diri klien, keluarga,
atau komunitas. Cowger dan Snively (2008), misalnya, lebih memilih menggunakan
asesmen berbasis kekuatan ketimbang model praktik kekurangan (model defisit).
Menurutnya, asesmen kekuatan membuat relasi kuasa seimbang antara pekerja sosial
dan penerima manfaat. Asesmen kekuatan berarti mengakui kemampuan klien
(Cowger & Snively, 2008, p. 107). Di antara tujuannya adalah mengidentifikasi
kekuatan yang sebelumnya tidak terpikir dan memilih hal-hal positif yang
mendukung penyelesaian masalah (Cowger & Snively, 2008, p. 112). Dalam hal ini,
kekuatan dan hal positif yang dimaksud berupa spiritualitas dan keagamaan mereka.
Gotterer (2001) juga menganggap bahwa spiritualitas adalah bagian dari kekuatan
klien. Ia menyarankan pekerja sosial agar selalu menyesuaikan diri dengan klien
bagaimanapun keadaan mereka (“meet the clients where they are”) (p. 192).
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, gangguan mental beserta
penyembuhannya sangat terkait erat dengan sistem keyakinan yang sangat
dipengaruhi agama dan kultur setempat. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi para
penderita gangguan mental-emosional, tetapi juga bagi para praktisi penyembuhan
alternatif yang meyakini bahwa sumber gangguan mental berasal dari sesuatu yang
bersifat spiritual atau supranatural, sehingga proses penyembuhannya pun mesti
dengan jalan spiritual dan keagamaan. Hal ini sama halnya dengan apa yang pernah
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
dinyatakan beberapa akademisi dan praktisi seperti dikutip Nelson (2009) bahwa
masyarakat tradisional Muslim pada umumnya meyakini gangguan kesehatan mental
sebagai akibat dari masalah spiritual atau lemahnya iman si penderita, sehingga
mereka lebih memilih datang ke pemimpin spiritual atau imam mereka. Di samping
itu, mereka juga punya pandangan negatif terhadap psikologi dan sistem kesehatan
mental karena stigma negatif yang akan dilekatkan ke penderita gangguan mental
dan juga kekhawatiran kalau pandangan religius mereka tidak akan dihargai.
Kedua, saat ini muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik pekerjaan
sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang lebih holistik. Pekerjaan
sosial konvensional seringkali hanya fokus pada tiga aspek utama, khususnya pada
tahap asesmen dan intervensi, yaitu fisik, mental, dan sosial atau biasa disebut
biopsikososial. Sebagian hanya menekankan dua aspek, yaitu psikososial. Menurut
Turner (2008), terapi psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam
pekerjaan sosial. Meskipun banyak ahli menganggap terapi psikososial telah
ketinggalan zaman, “ia akan terus menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial
kontemporer,” kata Turner (2008, p. 174). Menurut Huguelet dan Koenig (2009),
model semacam ini bersifat reduksionistik, karena tidak melihat keseluruhan aspek
dalam diri manusia secara utuh ketika mendefinisikan seperti apa keberadaan
manusia yang baik atau sejahtera itu. WHO pun telah memasukkan aspek spiritual
bersama aspek-aspek penting manusia lain sejak lama. Menurut badan PBB ini,
kesehatan adalah “sebuah kondisi optimalnya kesehatan jasmani, intelektual,
emosional, sosial, dan spiritual dan tidak hanya hilangnya penyakit atau kelemahan”
(Meier, O’Connor, & vanKatwyk, 2005, p. 1).
Spiritualitas adalah satu dari beberapa dimensi manusia dan menjadi salah
satu faktor yang dipertimbangkan para teoretisi dan praktisi dalam memahami dan
memenuhi kesejahteraan manusia (human well-being). Sebelumnya, telah sekian
lama human well-being hanya dilihat dari pemenuhan terhadap keberfungsian tiga
aspek utama, yaitu fisik (bio), kejiwaan (psycho), dan sosial (social). Dalam
pekerjaan sosial konvensional atau tradisional, ketiga aspek itu biasa disebut sebagai
model biopsikososial. Hal ini pula yang menjadi tujuan utama penelitian disertasi
yang dilakukan Canda (1986) bahwa pekerjaan sosial perlu membangun sebuah
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
8
konsep kemanusiaan yang lebih holistik, tidak sekadar pandangan positivistik yang
sempit tentang manusia.
Ketiga, sebagian besar kode etik terbaru telah memasukkan unsur agama dan
sebagian juga spiritual sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki pekerja
sosial profesional. Kode etik NASW (National Association of Social Workers) di
Amerika Serikat, sebagai contoh, telah menekankan dimensi agama bersama 12
dimensi lain terkait kompetensi kultural dan keragaman sosial (cultural competence
and social diversity) yang harus dimiliki pekerja sosial sebagai tanggung jawab
etisnya terhadap klien (NASW, 2008). Namun, seperti dinyatakan juga oleh Kirst-
Ashman dan Hull, Jr. (2006), NASW belum menyebutkan dimensi spiritual secara
eksplisit dalam tanggung jawab etis pekerja sosial. Selain itu, agama yang sudah
disebut dalam NASW juga belum dirinci.
Tidak puas dengan hanya memasukkan agama dan tanpa penjelasan memadai
tentang agama tersebut mendorong Mattison dan koleganya, seperti dikutip Kirst-
Ashman dan Hull, Jr. (2006, p. 376-77), untuk menyerukan dua perubahan di level
makro dalam pembuatan panduan bagi pekerja sosial di wilayah spiritualitas.
Pertama, kode etik NASW harus dibuat lebih spesifik tentang bagaimana isu-isu
spiritualitas dan agama dijalankan. Isu-isu mengenai apakah asesmen terhadap
agama dan spiritualitas perlu dikerjakan secara rutin oleh pekerja sosial, harus
ditelaah. Perlu juga disusun standar tentang bagaimana melakukan asesmen dan
intervensi serta apakah pekerja sosial menginisiasi terlebih dahulu dalam interaksi
keduanya ataukah menunggu sampai klien sendiri yang menyinggungnya. Kedua,
pekerjaan sosial harus menjawab pertanyaan sampai sejauh mana profesi ini
memperkenalkan atau mengajarkan agama dan spiritualitas dalam pendidikan dan
pelatihan profesional, sehingga pekerja sosial akan lebih kompeten.
Di Indonesia, satu-satunya kode etik bagi para pekerja sosialnya telah dibuat
oleh Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) tahun 1998. Sebagai
catatan, kode etik IPSPI ini tampaknya terlalu banyak mengambil, kalau bukan
menerjemahkan, kode etik pekerja sosial Amerika Serikat. Seperti disimpulkan
Suradika dan Maskun (2005, p. 82-83) dalam hasil penelaahannya, kode etik IPSPI
memiliki kesamaan hingga 67,86% dengan kode etik Amerika Serikat; 17,86%
dikatakan sama secara substansial yang hanya berbeda dari sisi redaksional; dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
2,38%-nya adalah hasil adopsi. Bahkan ada 1,19% isi pasal yang diambil dari
Amerika Serikat menimbulkan pengertian kurang positif untuk konteks Indonesia.
Berbeda dengan NASW, kode etik IPSPI (1998) sama sekali tidak menyebut
secara eksplisit kata agama, apalagi spiritualitas. Padahal masyarakat dimana para
profesionalnya memberikan pertolongan adalah masyarakat yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang kental secara religius. Paling jauh, kode etik ini mendorong
agar pekerja sosial profesional “punya rasa hormat terhadap keanekaragaman budaya
bangsa” (Pasal 16). Agama dan spiritualitas memang bisa dimasukkan dalam aspek
budaya. Namun, tentu saja hal ini masih jauh dari cukup, seperti halnya Mattison dan
koleganya, sebagaimana dipetik Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006), yang masih
menyerukan untuk merinci aspek agama yang telah disebut kode etik NASW. Selain
itu, untuk sekadar menghormati keragaman budaya adalah berbeda dengan kompeten
secara kultural atau sensitif secara spiritual dan agama.
Keempat, dalam bidang pendidikan dan pelatihan, pekerjaan sosial yang
sensitif secara agama dan spiritualitas belum menjadi prioritas. Kurikulum yang
diajarkan di perguruan tinggi pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial juga belum
memperkenalkan spiritualitas dan agama secara lebih spesifik, baik di tingkat
diploma (IV) atau sarjana (S-1) maupun pendidikan spesialis (Sp.) atau Master dan
Doktoral yang baru ada di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran. Di
beberapa negara di Barat saja, pendidikan pekerjaan sosial untuk program master
(Master of Social Work atau MSW.), pengetahuan tentang spiritualitas dan agama
termasuk dalam kurikulum yang wajib diajarkan. Menurut Canda, Nakashima, dan
Furman (2004), ada 50 lebih perguruan tinggi yang menawarkan mata kuliah tentang
spiritualitas untuk MSW. Sebagai contoh, Massey University di New Zealand,
seperti pada lampiran paper Suharto (2006) dalam sebuah workshop, memasukkan
mata kuliah Spirituality and Social Work dalam program MSW.
Meskipun begitu, beberapa waktu yang lalu Ikatan Pendidikan Pekerjaan
Sosial Indonesia (IPPSI) mulai memasukkan nilai-nilai spiritualitas dan keragaman
(dalam hal ini religi) sebagai kompetensi utama. Akan tetapi, wujudnya dalam
kurikulum hanya sejauh “praktik pekerjaan sosial dalam masyarakat multikultur.”
Sementara itu, CSWE sebenarnya juga hampir sama dalam menggariskan sandar
kurikulum dan pedoman akreditasi pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Unsur agama
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
10
dan spiritualitas termasuk dalam kompetensi kurikulum yang menjadi dasar
pengembangan kurikulum (CSWE, 2008).
Begitu pula dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan
oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial sebagai induk semang profesi
pekerja sosial, kurikulum tentang agama dan spiritualitas dalam pekerjaan sosial
tidak ada. STKS Bandung sebagai sayap pengembangan keilmuan dan praktik
pekerjaan sosial seakan-akan menjadi kiblat akademik bagi penyelenggaraan diklat
di bawah Kementerian Sosial yakni Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan
Sosial (Pusdiklat) yang ada di Jakarta dan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan
Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) yang ada di Padang, Bandung, Banjarmasin,
Makasar, dan Jayapura, di samping beberapa penyelenggara diklat lain milik
pemerintah daerah seperti Medan dan Malang.
Kelima, kalaupun agama dan spiritualitas tidak termasuk dalam kurikulum
tersendiri dan dalam kode etik profesi, kedua aspek ini tetap penting diajarkan dalam
kerangka kompetensi kultural yang harus dimiliki pekerja sosial profesional.
Alasannya, spiritualitas dan agama bisa dimasukkan dalam lingkup budaya atau
kultural. Menurut Gray, Coates, dan Bird (2008), kultur punya posisi sentral bagi
pekerjaan sosial, dan aspek yang paling dekat dengan kultur adalah spiritualitas dan
agama. “Spiritualitas sangatlah penting bagi kehidupan semua kultur yang dianggap
aneh bagi pekerjaan sosial profesional yang berkarakter sekuler” (Gray, Coates, &
Bird, 2008, p. 9). Dengan demikian, pekerja sosial yang memiliki kompetensi atau
sensitivitas kultural berarti dia harus kompeten atau sensitif secara spiritual dan
agama pula. Dalam istilah Sheridan (2008, p. 278), “pekerjaan sosial yang sensitif
secara spiritual” adalah bentuk perkembangan dari “pekerjaan sosial yang sensitif
secara kebudayaan” atau termasuk dalam wujud “berkompeten secara kebudayaan.”
Kultur yang dimaksud di sini dapat merujuk ke definisi menurut Henry et al.
(1995) yang dikutip oleh Al-Krenawi dan Graham (2009, p. 9) yakni “keseluruhan
ide, kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan cara hidup sekelompok orang yang
memiliki kesamaan latar belakang sejarah, agama, ras, bahasa, etnis, atau sosial.”
Antropolog Clifford Geertz menjelaskan enam faset pokok kultur bahwa: (1) kultur
terkonstruk menurut sejarah dan sosial; (2) orang mencerna atau memahami diri
mereka sendiri menggunakan konsep dan struktur simbolik lain yang sudah ada; (3)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
orang membangun teori pikiran untuk memahami orang lain, yaitu teori bagaimana
pikiran bekerja; (4) orang punya keyakinan tentang dunia dan mereke bertindak
berdasarkan keyakinan tersebut; (5) orang terlibat untuk melakukan tindakan
bermakna; dan (6) kultur bersifat subjektif dan melibatkan pikiran dan imajinasi (Al-
Krenawi & Graham, 2009, p. 9). Dari dua definisi ini tampak bahwa spiritualitas dan
agama merupakan bagian penting dari kultur.
Keenam, pekerjaan sosial adalah bidang ilmu yang sangat kontekstual.
Artinya, teori dan metodenya terbentuk dan dipengaruhi oleh tatanan dan konteks
sosial dimana ia tumbuh (Payne, 2005). Asal mula profesi ini muncul dan berakar
dari tradisi Judeo-Kristiani masyarakat Barat, akan tetapi teori dan metodenya
kemudian berkembang secara sekuler. Model pekerjaan sosial yang sekuler inilah
yang diekspor ke Indonesia. Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki dasar
sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tradisi dan aktivitas masyarakatnya tidak bisa lepas
dari spiritualitas dan keagamaan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaann apabila
tardisi pekerjaan sosial yang dibangun harus merupakan produk dari konstruksi
masyarakatnya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sensitif secara spiritual
maupun agama, khususnya dalam penanganan kesehatan mental untuk lansia.
Di samping enam alasan penting yang telah diuraikan di atas, sejumlah
literatur dari berbagai profesi pemberian pertolongan, seperti pekerjaan sosial,
gerontologi, psikologi, psikiatri, pelayanan teologi/pastoral, keperawatan, konseling,
dan bahkan kedokteran, membahas pentingnya spiritualitas dalam kehidupan kaum
lansia. Semakin menua berarti semakin dekat pada kematian sehingga membuat
orang ingin mendapatkan jawaban tentang apa tujuan dan makna hidup ini. Pada
intinya, teori dan penelitian semakin menunjukkan keterkaitan antara pertanyaan-
pertanyaan spiritual seperti itu dengan penuaan (Murdock, 2005).
Menurut teori psikologi dan gerontologi, aktivitas spiritual seseorang semakin
naik seiring bertambah kedewasaan dan usia, khususnya pada tahap perkembangan
akhir (Lavretsky, 2010, p. 750). Contohnya teori perkembangan Erik Erikson yang
memandang spiritualitas lansia akan meningkat seiring datangnya penyakit, rasa
terasing, dan kecemasan akan kematian, sehingga mereka berupaya memaknai hidup,
menemukan inspirasi, atau memperoleh dukungan sosial melalui komunitas agama
(Nelson-Becker & Canda, 2008, p. 180; Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 252).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
12
Sejumlah besar penelitian tentang lansia di Barat telah membuktikan betapa
spiritualitas dan agama sangat penting bagi kelompok ini. Hasil eksplorasi Moberg
(2005) terhadap berbagai penelitian menunjukkan konsistensi hubungan tersebut.
Katanya, penelitian survei dan jajak pendapat sejak dekade 1930-an menghasilkan
temuan bahwa tingkat spiritualitas dan religiusitas tertinggi ditunjukkan kelompok
lansia 65 ke atas. Selain itu, lansia yang lebih spiritual dan religius berusia lebih
panjang ketimbang kelompok lansia lain (p. 15). Lebih jauh Moberg et al. (2001),
seperti dikutip Bookman dan Kimbrel (2011), menyatakan bahwa untuk menjaga
kondisi fisik dan mental lansia tetap sehat dan berusia panjang, pemenuhan
kebutuhan spiritual lansia sangatlah penting (p. 123).
Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012, p. 406) turut menegaskan bahwa kondisi
psikologis, keberfungsian sosial, kemampuan mengatasi stres, dan seluruh kualitas
hidup lansia dipengaruhi aktivitas agama dan spiritual yang mereka lakukan. Apalagi
kondisi kesehatan dan penyakit yang terkait keyakinan, keyakinan spiritual dan
pandangan agama sangatlah menentukan. Mereka mengutip contoh dari Gorder dan
Ellor (2008) bahwa kebanyakan Muslim berkeyakinan sehat atau sakit merupakan
ketentuan dan tanggung jawab Tuhan. Ketika sakit, itu adalah ujian dari Tuhan atas
keimanan mereka bahkan dianggap sebagai jalan untuk menguatkan kesabaran.
Nelson-Becker dan Canda (2008) menelusuri penelitian tentang lansia baru
muncul pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an, namun masih terbatas.
Topik yang dikaji di antaranya meliputi aspek spiritual dan agama pada tahap akhir
hidup, kehilangan (loss), kematian (death), dan hospice. Sampai saat ini kajian
spiritualitas dan agama lansia berkembang pesat. Tema kajian meliputi isu kesehatan,
mekanisme coping, asesmen dan direct practice, proses perkembangan menuju
kematian, kesehatan mental, pedoman etis, kolaborasi dengan komunitas gereja, dan
sedekah. Tema penelitian seperti itu masih muncul hingga saat ini terutama tentang
loss, death, proses kematian (dying), dan responsnya. Meskipun begitu, Mathews
(2009, p.57) berpendapat kajian spiritualitas dalam pelayanan lansia tidak lebih
berkembang dibanding bidang kesehatan mental dan perawatan paliatif, namun
masih lebih baik ketimbang kajian serupa dalam disabilitas dan kelompok rentan.
Spiritualitas dalam bidang kesehatan mental banyak dikaji dalam berbagai
literatur. Hasil eksplorasi Swinton dan Kettles (2001) terhadap sejumlah hasil kajian
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
menunjukkan aspek-aspek spiritual dan agama punya kaitan erat dengan kondisi
kesehatan mental yang baik. Sebagai contoh, Ellison dan Levin (1998) dalam
Swinton dan Kettles (2001) menyimpulkan bahwa baiknya kondisi spiritual (spiritual
well-being) “berkorelasi positif dengan ketegasan, kepercayaan diri, sikap tegas,
memberikan pujian, dan meminta pertolongan, namun berkorelasi negatif dengan
bentuk fisik dan pasif dari agresi, ketergantungan, dan kecenderungan pasif atau
menghindari konflik” (p.70-71).
Sejauh ini, signifikansi spiritualitas bagi masyarakat Indonesia masih terbatas
pada klaim di kalangan akademisi dan praktisi, sehingga belum sampai mengkristal
menjadi semacam model atau pendekatan praktik. Sebagai contoh, Andayani (2010,
p. 37) berpendapat aspek tersebut memang sangat relevan dalam keseharian, namun
tidak diiringi diskusi dan kajian ilmiah yang menghasilkan pendekatan/intervensi
yang sensitif secara spiritual. Katanya, praktik berbasis spiritual sebenarnya telah
dilakukan banyak lembaga layanan untuk masyarakat, namun masih tradisional.
Senada dengan hal ini, Fahrudin (2005, p. 6) menyarankan agar para pekerja sosial
mulai melakukan kajian teoretis dan praktis tentang spiritualitas dan keberagamaan
secara indigenous sesuai konteks kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Di tingkat praktik, Monggo (2010) menuliskan pengalaman menangani
penderita kanker ganas dan mencoba menghubungkannya dengan spiritualitas. Meski
menyadari perlunya konsep penyembuhan holistik dengan melibatkan aspek
spiritual, bisa dikatakan ia baru sampai tahap identifikasi masalah spiritual terkait
kemarahan klien terhadap Tuhan di satu sisi, dan kekuatan klien yang aktif dalam
kegiatan gereja di sisi lain. Karakteristik spiritualitas klien yang mungkin lebih
dalam dan kompleks tampaknya belum cukup terungkap.
Di Indonesia, penelitian dan publikasi tentang spiritualitas, khususnya dalam
pelayanan atau perawatan lansia, masih sangat minim. Sejumlah profesi pertolongan
mulai menunjukkan peningkatan perhatian terhadap isu ini. Di sini dapat disebutkan
beberapa penelitian dalam disiplin ilmu keperawatan, psikologi, dan psikiatri. Hasil
penelitian Rohman (2009) menyimpulkan faktor usia perawat, jenis kelamin, masa
kerja sebagai perawat, waktu pengasuhan, dan persepsi spiritual berkorelasi negatif
dengan pengasuhan spiritual (p. 141-2). Menurutnya, hanya faktor pendidikan
setingkat sarjana yang berpeluang memberikan pengasuhan spiritual yang baik.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
14
Susanti (2009) menggali pengalaman spiritual perempuan penderita kanker
serviks dan pemaknaannya dengan metode kualitatif fenomenologis. Para penderita
mengalami kehilangan secara fisik dan identitas; terstigma negatif bahwa penderita
kanker dekat dengan kematian; dan perubahan kehidupan sosial karena terganggunya
fungsi peran, citra diri, dan harga diri. Mereka memaknai penderitaan secara berbeda,
yakni sebagai ujian, teguran, nikmat, penebus dosa, dan bahkan hukuman Tuhan.
Jajak pendapat Jurnal Perempuan di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya, dan
Medan) dengan responden usia 18-50 tahun menunjukkan ada 18% responden
memilih memanfaatkan waktu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan ketika nanti
menginjak usia lanjut (Santi, 2002). Penelitian Indriana et al. (2011) menunjukkan
religiusitas memiliki korelasi positif terhadap kesejahteraan lansia. Intinya, aspek
spiritual dan agama punya kontribusi signifikan bagi kesejahteraan lansia dan
menjadi unsur penting dalam praktik layanan. Namun, pemahaman dan praktik
seperti apa yang memanfaatkan kedua aspek ini belum banyak diketahui melalui
penelitian atau kajian akademis.
Kalau dalam keperawatan dan psikologi mulai menunjukkan ketertarikan pada
spiritualitas, penelitian dalam pekerjaan sosial tampaknya masih terbatas. Sejauh
penelusuran, penelitian atau kajian tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan
sosial di Indonesia, khususnya terkait kesehatan mental lansia, masih langka. Sebagai
contoh, Napsiyah (2005) mengkaji isu-isu lansia di Indonesia, salah satunya terkait
pengaruh konteks lokal terhadap lansia, terutama peran agama. Penelitiannya
menunjukkan agama menambah kepercayaan diri bagi lansia dalam menghadapi
penyakit-penyakit menua (p.55). Agama juga punya peran penting dalam mengatur
bagaimana keluarga dan masyarakat bersikap atau bertindak terhadap kelompok usia
lanjut. Selain itu, kegiatan-kegiatan kelompok berbasis keagamaan, seperti arisan dan
majelis taklim, dapat menjadi wahana para lansia bersosialisasi, menjaga hubungan
silaturahim, dan berbagi pengetahuan atau kenangan masa lalu (p. 56-7).
1.2. Perumusan Masalah
Latar belakang di atas menunjukkan spiritualitas memiliki banyak alasan
untuk tampil ke permukaan masyarakat Indonesia. Aspek ini tidak diragukan lagi
memiliki signifikansi besar bagi kesejahteraan, kesehatan, atau kualitas hidup lansia.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
Masalahnya adalah kelangkaan teori dan materi untuk panduan praktik yang
dibangun dalam konteks pekerjaan sosial masyarakat Indonesia, terutama bagi para
praktisi yang menganggap atau mengidentifikasi spiritualitas sebagai isu. Hodge
(2011) juga menerangkan untuk konteks masyarakat Barat bahwa para praktisi tidak
memperoleh pelatihan secara memadai bagaimana menggunakan intervensi spiritual.
Teori atau bahan panduan yang dimaksud antara lain terkait bagaimana
mengenali spiritualitas yang dimiliki praktisi; mengetahui batas kemampuan diri
dalam penanganan dengan melibatkan aspek spiritual; mengidentifikasi pemahaman
dan pengalaman spiritualitas lansia, entah sebagai kekuatan atau jutsru menjadi
kelemahan; dan juga memahami bagaimana lansia memaknai penderitaan atau
pengalaman hidup yang telah dilalui. Terkait spiritualitas sebagai kekuatan atau
kelemahan, hal ini juga menyangkut bagaimana menentukan relevansi spiritualitas
untuk penanganan masalah kesehatan mental lansia. Apakah aspek ini bermanfaat
bagi penyelesaian masalah, pemenuhan kebutuhan, atau bahkan pengembangan dan
pertumbuhan kematangan spiritualitas lansia. Selanjutnya, apabila aspek ini
dipandang relevan, penting juga menggali bagaimana spiritualitas dimanfaatkan
ketika praktisi melakukan serangkaian tahapan praktik penanganan standar, terutama
pada tahap identifikasi awal, asesmen, dan intervensi terhadap klien.
Berdasarkan penelitian pendahuluan di dua lembaga pelayanan sosial lansia,
aspek spiritual beserta agama menjadi unsur penting dalam pelayanan. Banyak lansia
punya kecenderungan untuk memenuhi sisa akhir hayatnya dengan berbagai aktivitas
spiritual dan keagamaan. Sebagai gambaran, dijumpai beberapa lansia dalam kondisi
memiliki disabilitas tertentu, sakit-sakitan (renta), dan ada juga korban bencana alam
yang kehilangan harta dan sanak-saudaranya sehingga harus tinggal di panti.
Meskipun banyak yang merasa terbuang, disia-siakan, kesepian, frustrasi, kecemasan
menghadapi kematian, atau keputusasaan karena berbagai kondisi yang melatar-
belakanginya, mereka tetap menerima keadaan, sabar dan ikhlas; tidak ingin
merepotkan siapapun; atau menjadi lebih rajin beribadah. Respons lansia seperti ini
menunjukkan bahwa spiritualitas dan agama sangat memberi pengaruh.
Dijumpai pula sejumlah lansia yang pada awal masuk panti melalui trauma
center mengalami stres, marah-marah, dan depresi karena masalah perkawinan atau
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seiring waktu, sebagian di antara
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
16
mereka cenderung menjadi lebih tenang dan menerima keadaan karena intervensi
tertentu yang dilakukan praktisi, di samping karena telah melewati tahap-tahap
perkembangan secara wajar hingga tahap akhir kehidupan.
Penting untuk memperhatikan interaksi antara klien lansia dengan praktisi
ketika penanganan lansia berada dalam konteks pelayanan sosial, baik di panti
maupun non-panti. Satu sisi, klien lansia telah melewati sejumlah tahap hidup dan
mengalami berbagai peristiwa yang sedikit-banyak mempengaruhi cara untuk
menjawab dan menyikapi berbagai pertanyaan penting yang muncul dari dalam diri.
Pertanyaan yang bersifat eksistensial ini antara lain: apa sebenarnya makna dan
tujuan hidup ini; mengapa penderitaan atau pengalaman pahit tertentu terjadi pada
diri mereka; apa arti atau hikmah dari penderitaan itu; dan bagaimana mereka
memandang diri sendiri saat ini di sini. Pihak yang paling tahu jawabannya tentulah
diri mereka sendiri dan kebanyakan mencari jawaban ke agama atau mengembalikan
segala urusan kepada Tuhan. Di sisi lain, kebanyakan praktisi masih berusia muda,
punya pengalaman hidup berbeda dari klien, dan tidak punya hubungan kekerabatan
dengan klien. Praktisi juga tentu punya pemahaman dan pengalaman spiritualitas
tertentu yang mempengaruhi bagaimana menghadapi klien lansia.
Dengan begitu, spiritualitas masing-masing dan bagaimana interaksi keduanya
dalam setting pelayanan sangat penting digali. Hal ini kurang-lebih mengikuti alasan
penelitian MacKinlay (2004a) dalam bukunya, The Spiritual Dimension of Ageing.
Pertama, pengalaman religius antara lansia dan kelompok yang lebih muda tentu
berbeda. Kedua, karena tingkat kematangan lansia memiliki tahap perkembangan
keyakinan (faith development) berbeda dibanding kelompok muda, dalam hal ini
praktisi (p. 16). Sermabeikian (1994) juga telah lebih dulu menegaskan bahwa ketika
pekerja sosial dan klien terlibat dalam praktik pekerjaan sosial klinis, yang terjadi
adalah “pertukaran dua-arah terkait pikiran, perasaan, keyakinan, dan nilai” (p.178).
Berbicara integrasi spiritualitas ke dalam pekerjaan sosial, menurut McKernan
(2007), upaya memahami spiritualitas praktisi akan lebih baik dari pada hanya
melakukan asesmen spiritualitas klien. Alasannya, wujud praktik pekerjaan sosial
yang melibatkan spiritualitas sangat dipengaruhi keyakinan dan pengalaman praktisi,
sementara spiritualitas merupakan pengalaman subjektif. Senada dengan McKernan,
Barker (2008) juga melakukan penelitian disertasi yang bertujuan mengeksplorasi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
17
Universitas Indonesia
bagaimana praktisi pekerjaan sosial memahami spiritualitas dan, kemudian,
menggunakannya dalam praktik.
Dari uraian di atas, penelitian ini akan menjawab empat pertanyaan berikut:
1. Bagaimana aspek spiritual dipahami oleh para praktisi kesejahteraan sosial
dalam penanganan kesehatan mental lansia?
2. Bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam penanganan?
3. Bagaimana spiritualitas dialami menurut perspektif lansia?
4. Bagaimana pula lansia memahami penderitaan atau pengalaman hidup yang
menyebabkan masalah kesehatan mental?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari pertanyaan penelitian di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Menggali pemahaman para praktisi kesejahteraan sosial terhadap aspek
spiritual dalam penanganan kesehatan mental lansia.
2. Mengeksplorasi praktik dari pemahaman para praktisi terhadap aspek tersebut.
3. Menggali pengalaman spiritual menurut perspektif para lansia.
4. Menggali pemahaman lansia terkait pengalaman hidup yang menyebabkan
masalah kesehatan mental.
Berdasarkan hasil penelitian seperti dalam empat tujuan tersebut, penelitian
ini akan membangun model pelayanan sosial bagi lansia yang memanfaatkan aspek
spiritual berdasarkan teori atau konsep juga akan dibangun. Model tersebut
dimungkinkan juga sekaligus menghasilkan asesmen dan intervensi berbasis spiritual
sebagai hasil perpaduan dari pemahaman dan pengalaman spiritualitas praktisi dan
klien. Kemudian, penelitian ini juga berupaya menentukan komponen-komponen
spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia.
Tujuan penelitian ini dapat dilihat dalam kerangka alur penelitian, seperti
tampak pada Gambar 1.1 di halaman berikut ini, yang juga dapat menggambarkan
sebagian latar belakang dan masalah penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dijelaskan baik dari sisi praktis maupun
akademis. Manfaat praktisnya adalah tereksplorasinya ragam bentuk penanganan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
18
masalah mental lansia dengan melibatkan aspek spiritual dan agama, sehingga akan
memperkaya praktik pekerjaan sosial yang khas Indonesia. Dengan begitu, aspek
spiritualitas dan agama yang mampu tergali dalam praktik dapat menjadi bahan
referensi dalam pembuatan pedoman atau standarisasi tentang pelayanan lansia
telantar yang dihasilkan kementerian terkait.
Gambar 1.1. Kerangka alur penelitian
Sementara itu, manfaat akademis atau teoretis dari penelitian ini adalah
menghasilkan inovasi dalam pekerjaan sosial khususnya terkait dengan pemanfaatan
spiritualitas. Selain penelitian, sebagaimana disarankan Canda (2003), kolaborasi dan
penulisan yang bersifat multibahasa, internasional, dan lintas kultural juga
Konteks Pelayanan Sosial
Praktisi Klien
Pemahaman/pengalaman spiritualitas
Pengalaman spiritualitas
Interaksi
Penderitaan & respons
Praktik pemahaman spiritualitas
dalaminteraksi
Analisis grounded theory
Pemahaman & praktik spiritualitas praktisi
Spiritualitas lansia
Model pelayanan sosial berbasis spiritualitas
Spiritualitas untuk kesehatan mental lansia
Metode kualitatif
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
diharapkan berkembang melalui inovasi yang relevan dengan konteks kultur
masyarakat Indonesia melalui penelitian grounded theory. Dari penelitian ini juga
diharapkan dapat menggali tipe indigenisasi seperti apa yang telah dan sedang
berlangsung dalam praktik pelayanan sosial bagi lansia.
1.5. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 adalah pendahuluan
yang mengantarkan pembaca ke latar belakang, persoalan, tujuan, dan manfaat
penelitian ini. Bab 2 berupa tinjauan literatur sebagai lensa teori untuk meneropong
permasalahan atau tema tentang spiritualitas dan agama dalam penanganan lansia.
Dalam bab ini akan dijelaskan seputar masalah yang dihadapai lansia yang dapat
menjadi sebab atau akibat dari masalah kesehatan mental, teori-teori tertentu yang
dapat menjelaskan keterkaitan antar masalah tersebut. Pengertian spiritualitas dan
agama juga akan dijelaskan baik secara umum maupun dalam praktik pekerjaan
sosial untuk membuka cakrawala pengetahuan peneliti dan pembaca.
Bab 3 berisi metode terkait pendekatan dan paradigma, strategi grounded
theory, lokasi dan waktu pelaksanaan, informan, teknik pengumpulan data, teknik
analisis, teknik meningkatkan kualitas, isu-isu etika, dan keterbatasan penelitian.
Peningkatan mutu penelitian memakai teknik-teknik dalam kriteria trustworthiness.
Dua bab berikutnya (Bab 4 dan 5) menjabarkan hasil penelitian berupa
konstruksi teori spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia. Tiap bab dibagi menurut
kategori-kategori tertentu berdasarkan hasil identifikasi melalui proses analisis.
Dalam menjelaskan teori yang terbangun, di sini juga dijelaskan seputar bagaimana
proses analisis dilakukan; kategori-kategori yang muncul beserta alasan dan bukti
data mengapa kategori tersebut menjadi perhatian; dan uraian masing-masing
kategori beserta kutipan-kutipan relevan untuk mendukung teori yang terbangun.
Bab 6 dan 7 mengetengahkan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
dinilai relevan bagi dua tujuan tambahan. Hasil pembahasan tersebut berupa model
yang dibuat berdasarkan teori yang terbangun, yaitu model pelayanan sosial berbasis
spiritual dan komponen spiritualitas yang berkontribusi positif bagi kesehatan mental
lansia. Kedua pembahasan tersebut akan didialogkan dengan literatur dan hasil
penelitian yang sudah ada secara luas.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
20
Sebagai bagian terakhir, Bab 8 menguraikan kesimpulan, implikasi, dan saran
atau rekomendasi. Implikasi yang dibahas meliputi implikasi teoretis, praktis, dan
kebijakan bagi praktik pekerjaan sosial di Indonesia.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
21
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
Tinjauan literatur dalam penelitian kualitatif diperlukan sebagai lensa untuk
menuntun apa yang harus diobservasi di lapangan, apa yang ditanyakan kepada para
partisipan (Creswell, 2009, p. 49), dan bagaimana menganalisis data yang muncul.
Sejumlah konsep atau teori yang diuraikan dalam bab ini akan menjadi semacam titik
awal atau, dalam istilah Charmaz (2004, p. 501), “points of departure” untuk
membuka dan menambah horison pengetahuan peneliti.
Tinjauan literatur ini akan membentuk perspektif penelitian tentang
pemahaman spiritualitas dan bagaimana keduanya dipraktikkan dalam konteks
layanan sosial untuk lansia. Dalam grounded theory pandangan awal dalam
penelitian diperlukan bukan untuk membentuk pra-konsep atau melakukan penelitian
dalam kerangka teori tertentu (theory-driven), seperti dalam desain penelitian
tradisional yang bersifat logiko-deduktif. Tetapi, berbagai tema dan perspektif yang
relevan dengan penelitian lebih untuk mengembangkan atau membangun teori dari
para informan, ketimbang membatasi gagasan mereka (Glaser & Strauss, 1967;
Charmaz, 2004).
Untuk tujuan itu, di sini akan dijelaskan beberapa konsep pokok terkait kajian
spiritualitas untuk kesehatan mental lansia dalam konteks pelayanan sosial. Dalam
bab ini ada enam sub-bab berikut:
1. Lansia dan teori perkembangan manusia
2. Active ageing dan kualitas hidup lansia
3. Masalah kesehatan mental lansia
4. Upaya penanganan masalah kesehatan mental lansia
5. Spiritualitas dan agama
6. Spiritualitas dalam pekerjaan sosial
Keterkaitan atau sintesis dari keenam sub-bab atau tema literatur ini kurang
lebih dapat dijelaskan secara singkat berikut ini. Domain bidang disiplin ilmu
pekerjaan sosial dan kesehatan mental menjadi beririsan ketika hendak menangani
persoalan lansia atau isu penuaan (ageing). Dengan melibatkan spiritualitas (dan
agama), penanganan lansia meniscayakan pendekatan holistik dalam kerangka
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan/atau kualitas hidup
mereka. Pembahasan terhadap irisan dari ketiga domain tersebut mencakup sisi
teoretis dan juga sejarahnya. Meneliti masalah kesehatan mental lansia juga tidak
bisa lepas dari pemahaman terhadap teori-teori perkembangan manusia, khususnya
perkembangan tahap akhir. Kemudian, pemahaman terhadap kerangka penanganan
masalah mental lansia untuk mencapai kondisi kesejahteraan, kesehatan, dan kualitas
hidup yang baik yang didambakan setiap lansia pun harus menyinggung sejumlah
kebijakan di negeri ini, seperti Undang-undang terkait dan konsep active ageing dari
WHO yang melingkupi konsep kualitas hidup.
Gambar 2.1. Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur
2.1. Lansia dan Teori Perkembangan Manusia
Lansia adalah kelompok usia 60 tahun ke atas. Batasan usia ini secara tegas
diatur dalam UU Lansia (UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).
Lansia (older adulthood) menurut para ahli psikologi dapat merujuk ke dua periode
hidup, yakni usia pertengahan 50-an ke atas atau masa pertengahan hidup (midlife)
dan setelahnya. Masa lansia merupakan periode genting bagi perkembangan spiritual.
Spiritualitas maupun religiusitas punya peran penting dalam isu-isu terkait masa
akhir hidup, seperti kematian (death) dan prosesnya (dying) (Nelson, 2009, p. 301).
Social
work
Mental
health
Spirit-
uality
Kesejahteraan
Kesehatan
Kualitas hidup
Ageing Pendekatan holistik (Biopsikososial-
spiritual)
Konsep active ageing WHO
UU & penjelas-
annya
Developmental theories
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
Dalam perspektif teori perkembangan manusia (human development theories),
kelompok usia lanjut termasuk dalam rentang akhir dalam tahap perkembangan. Di
setiap tahap perkembangan terdapat sejumlah tugas yang harus diselesaikan atau
peran-peran yang mesti dijalankan masing-masing individu. Menurut McCormick,
Kuo, dan Masten (2010, p. 117), kriteria yang menjadi ukuran penilaian seberapa
berhasil seseorang melalui setiap tahap hidup disebut sebagai tugas atau peran
perkembangan (developmental tasks). Kriteria kesuksesan tersebut didasarkan pada
perkembangan normatif dan konteks kemajuan pengetahuan. Sebagai contoh, lansia
yang berada pada tahap akhir kehidupan diharapkan menyadari akan semakin
menurunnya kemampuan dan kesehatan mereka, sehingga sudah waktunya untuk
pensiun meski tetap menjalankan aktivitas lain yang bermakna.
Secara garis besar, Nelson (2009, p. 211-2) menggolongkan teori-teori
perkembangan dalam tiga metafora: hirarkis, rentang hidup (life-span), dan
penziarahan (pilgrimage). Dalam teori-teori yang bersifat hirarkis, perkembangan
manusia diumpamakan seperti menaiki tangga. Tidak semua orang mampu mencapai
puncak. Contohnya teori Jean Piaget dan Abraham Maslow. Metafora life-span
mengandaikan hidup laksana rantai proses yang terdiri dari serangkaian periode yang
dapat diprediksi. Masing-masing periode ada peran atau tugas hidup sesuai usia (age-
related tasks). Setiap orang yang sampai berusia lanjut menjalani tahap-tahap hidup
yang beragam. Contoh populer model ini adalah teori psikososial Erik Erikson.
Terakhir, metafora pilgrimage memandang perjalanan hidup manusia bagaikan
sebuah pengembaraan (journey). Berbeda dengan teori-teori tahapan sebelumnya,
setiap orang punya alur kehidupan unik. Tidak ada tahap tertentu yang dinilai lebih
tinggi dibanding yang lain, meski ada kesamaan tertentu yang dialami banyak orang.
Ada banyak ahli dengan perspektif berbeda-beda telah membangun sejumlah
teori untuk memahami proses perubahan dan perkembangan manusia sejak lahir
hingga akhir hayat. Pelaez, Gewirtz dan Wong (2008) menjelaskan beberapa teori
dari ahli psikologi perkembangan terkenal adalah Sigmund Freud (1940/1964), Erik
Erikson (1963), Jean Piaget (1970), dan Lawrence Kohlberg (1963). Freud dengan
model psikoseksual-nya memandang perkembangan manusia sebagai sebuah proses
sekuensial dari peningkatan libido (libidinal progression). Erikson (model
psikososial) mengembangkan pendekatan Freud dengan memasukkan peran
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
sosialisasi dan lingkungan dalam perkembangan manusia. Piaget (model kognitif)
dengan empat tahap proses kognitifnya menjelaskan perkembangan sebagai sebuah
proses diskontinyu dan monotonik. Kohlberg, yang juga menggunakan model
tahapan bernama teori penalaran moral (theory of moral reasoning), mengeksplorasi
perkembangan moral sebagai sebuah proses kognitif yang semakin mendewasa
seiring waktu. Kesamaan dari teori-teori tersebut, menurut Pelaez, Gewirtz dan
Wong, adalah bahwa semuanya memandang perkembangan sebagai proses yang
terdiri dari serangkaian tahapan yang tidak menerus (p. 503).
Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) berpendapat teori perkembangan
Erikson merupakan teori paling populer dan banyak diterima. Teorinya merupakan
hasil reformulasi teori Freud dengan sejumlah perbedaan prinsip. Teori Erikson
terdiri dari delapan tahap dimana setiap tahap dicirikan dengan krisis yang ditandai
dengan konflik antara dua sifat kepribadian yang berlawanan atau sikap dasar, yakni
antara ego syntonic dan ego dystonic. Delapan tahap yang dimaksud yakni: (1)
kepercayaan vs ketidakpercayaan awal atau dasar; (2) kemandirian vs malu dan ragu;
(3) inisiatif vs perasaan bersalah; (4) pertumbuhan atau perkembangan vs inferioritas;
(5) pencarian identitas vs bimbang menentukan peran; (6) kedekatan vs isolasi; (7)
meneruskan keturunan vs stagnasi; dan (8) integritas vs keputusasaan (Robbins,
Chatterjee, & Canda, 2006, p. 208-211).
Dari delapan tahap dalam model epigenetik Erikson, lima tahap pertama
masih mencerminkan pengaruh kuat Freud terkait unconscious dari struktur
kepribadian manusia. Masa lansia termasuk dalam tahap akhir dalam teori
perkembangan Erikson, yakni tahap integrity versus despair (50 tahun ke atas). Masa
akhir dewasa ini merupakan periode refleksi retrospektif terhadap kehidupan masa
lalu dan penerimaan masa tua. Apabila pada masa ini seseorang tinggal memetik
hasil dari pilihan atau peran masa sebelumnya dan mampu menemukan makna dan
kepuasan hidup (contentment), paham integritas (sense of integrity) akan tercapai.
Kebijaksanaan akan muncul apabila kualitas ego terpelihara. Sebaliknya, kegagalan
di tahap ini akan berujung pada keputusasaan (sense of despair) yang cirinya dapat
berupa rasa muak pada diri sendiri dan marah pada orang sekitar (Robbins,
Chatterjee, & Canda, 2006)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
Berbeda dari Freud, kata Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006), Erikson
meminimalisir peran dorongan id dan lebih fokus pada kualitas positif ego yang
sehat dan adaptif. Menurut Erikson, ego justru berperan utama dalam menguasai
psychosocial tasks dan lingkungan. Ego juga sangat penting dalam membangun dan
mempertahankan identitas seseorang, yang bagi Erikson sangat penting bagi
eksistensi manusia (Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 208). Menurut Roazen
(1976), dalam Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 208-9), Erikson tidak hanya
menepikan dorongan libidinal tetapi juga mendeseksualisasi konflik Oedipal karena
teori Freud ini mengakar ke konteks kultur Freud sendiri secara historis.
Lebih jauh Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) menjelaskan bahwa
Erikson adalah satu dari sedikit teoretisi perkembangan psikososial yang mengkaji
perkembangan keagamaan secara detail. Erikson menyebut orang yang secara intens
menjadikan tema spiritual sebagai fokus utama dalam hidup dan memberi perhatian
pada hal-hal eksistensial sebagai homo religiosus (the religious person), contohnya
Martin Luther dan Mohandas Gandhi (p. 211-12).
Kajian tentang perkembangan rentang hidup dan lansia, menurut Robbins,
Chatterjee, dan Canda, banyak terkait dengan personalitas (kepribadian), prediktor
kepuasan hidup (life satisfaction), dan tugas atau peran hidup (life tasks). Sebagai
contoh, Havighurts merinci enam developmental tasks of life (Robbins, Chatterjee, &
Canda, 2006, p. 221):
1. menyesuaikan (adjusting to) dengan penurunan kesehatan dan kekuatan fisik
2. menyesuaikan dengan pensiun dan penurunan penghasilan
3. menyesuaikan dengan perubahan pada kesehatan pasangan dan dirinya atau
kematian pasangan
4. membangun afiliasi dengan kelompok lansia
5. mengadopsi dan beradaptasi dengan peran sosial secara fleksibel
6. membuat keseharian hidup yang memuaskan.
Sama dengan Erikson, Havighurts percaya bahwa penerimaan terhadap
penurunan fisik seseorang diperlukan untuk penyesuaian di akhir hayat. Sebagai
adaptasi dari model Havighurst, Clark dan Anderson menggarisbawahi lima peran
normatif di akhir hayat dan lansia, yang lebih umum ketimbang Havighurst dan
dipandang perlu bagi keberfungsian adaptif (Robbins, Chatterjee, & Canda, p. 221):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
1. mengenal penuaan dan definisi keterbatasan instrumental seseorang
2. redefinisi rentang kehidupan sosial dan fisik
3. penggantian sumber alternatif dalam pemenuhan kebutuhan
4. reasesmen kriteria untuk mengevaluasi diri
5. reintegrasi nilai dan tujuan hidup seseorang.
McCormick, Kuo, dan Masten (2010) menyebutkan develomental task yang
paling umum dan menonjol, khususnya pada tahap lansia, sebagai berikut (p. 122):
1. menyesuaikan dengan perubahan-perubahan pada penuaan
2. transisi untuk pensiun dari kerja
3. menyesuaikan untuk bergantung pada orang lain
4. menyesuaikan dengan kemungkinan kematian pasangan atau teman dekat
5. bersiap-siap dengan proses kematian
6. penyelesaian berbagai masalah di akhir kehidupan (settling affairs).
Konsep ego transecendence di akhir hayat pertama kali dibuat Carl Jung
dengan menggambarkan perkembangan ego dan the Self. Berlawanan dengan Freud
dan Erikson yang melihat individuasi sebagai satu peran perkembangan awal, Jung
meyakini individuasi yang sesungguhnya terjadi setelah usia 40 dan berlanjut hingga
paruh hidup kedua. Sebagai reformulator Freudian yang pertama dalam
mengkonseptualisasi perkembangan dari lahir hingga mati, Jung berpendapat hidup
adalah “the story of self-realization of the unconscious” dan terjalin-kelindan dengan
komponen spiritual (berdasarkan pemikiran Timur dan Barat) ke dalam model
perkembangannya. Jung meyakini transendensi ego merupakan suatu peran penting
pada tahap perkembangan lansia (a critical developmental task of aging). Menurut
Jung, transendensi ego diperlukan untuk membangun sebuah tonggak baru dalam the
Self dimana penyatuan integral mengarah ke self-realization bahwa Tuhan ada dalam
diri dan memungkinkan kita untuk memahami misteri transpersonal “Thou”
(Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 222).
2.2. Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia
Sebelum ini telah dijelaskan tujuan utama pelayanan lansia adalah
kesejahteraan dan/atau kesehatan. Kesejahteraan sosial (social welfare), menurut
Kirst-Ashman (2010, p. 6), merupakan konsep luas terkait kondisi baik (well-being)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
yang didambakan setiap orang. Sebagai cita-cita (idea), pengertian konseptual
kesejahteraan sosial menurut UU terkait mengikuti definisi dari sejumlah ahli.
Contohnya James Midgley yang mendefinisikan social welfare atau social well-being
sebagai kondisi dimana masalah sosial terkelola, kebutuhan terpenuhi, dan
kesempatan untuk maju berkembang dimungkinkan (Midgley, 1995, p. 14).
Membahas tujuan pelayanan untuk lansia tidak bisa lepas dari konsep kualitas
hidup (quality of life, disingkat QoL). Menurut Fahrudin (2012, p. 44), kesejahteraan
sosial sering dihubungkan dengan konsep kualitas hidup karena dalam berbagai
disiplin ilmu konsep ini dipakai untuk merujuk ke kondisi kehidupan yang baik.
Hampir sama dengan kesejahteraan sosial, QoL mencakup segala dimensi seperti
fisik, sosial, emosional, intelektual, dan kognitif. Bahkan Fahrudin meyakini QoL
sangat relevan dengan definisi kesejahteraan menurut UU Lansia (p. 45).
Pendapat tersebut selaras dengan sejumlah strategi kebijakan Badan
Kesehatan Dunia WHO dalam menangani isu penuaan penduduk dunia, terutama
strategi penuaan sehat (healthy ageing) dan penuaaan aktif (active ageing). Oxley
(2009) menganggap keduanya sebagai konsep serupa. Keduanya juga menjadikan
QoL sebagai muara akhir dari upaya penanganan lansia dunia. Bagian berikut ini
akan menjelaskan strategi active ageing beserta sejumlah konsep terkait yang banyak
menyinggung QoL. Setelah itu uraian singkat tentang QoL turut dibahas.
2.2.1. Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait
Sebelumnya dijelaskan bahwa berdasarkan UU tujuan utama penanganan
lansia di Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan mereka.
Hal ini selaras dengan strategi penanganan lansia secara global. Oxley (2009)
menunjukkan bahwa meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk lansia
adalah tujuan dari strategi healthy ageing. Menurutnya, healthy ageing merupakan
konsep serupa dengan active ageing. Namun, Kalache dan Kickbush (1997), seperti
dikutip WHO (2002), menganggap konsep active ageing lebih inklusif ketimbang
healthy ageing karena melibatkan aspek-aspek penting lain di luar kesehatan yang
mempengaruhi proses penuaan.
Konsep active ageing dan healthy ageing memiliki keterkaitan dan
persinggungan dengan sejumlah konsep lain seperti penuaan positif (positive
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
ageing), penuaan sukses (successful ageing), dan penuaan produktif (productive
ageing) (Woo et al., 2008, Chong et al., 2006). Menurut Woo et al., istilah-istilah
tersebut sama-sama memromosikan kondisi baik lansia yang didambakan dari sisi
fisik, psikologis, sosial, dan finansial, meskipun masing-masing punya tekanan
berbeda pada dimensi tertentu. Perbedaaan ini menunjukkan variasi gambaran dari
QoL sebagai kondisi yang didambakan tersebut (p. 270).
QoL adalah konsep penting yang turut dipromosikan WHO bersama strategi
active ageing. Oleh WHO (2002), QoL dibahas dalam kaitannya sebagai salah satu
tujuan kebijakan active ageing. Aktif di sini maksudnya adalah menerusnya
partisipasi lansia dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, spiritual, dan urusan-
urusan kewarganegaraan (p. 12). Saat promosi awal kebijakan active ageing, QoL
juga telah menjadi perhatian utama bersama perspektif life course yang menekankan
kapasitas keberfungsian (Kalache & Keller, 1999, p. 20). Seperti akan dijelaskan,
perspektif life course menjadi landasan implementasi kebijakan active ageing.
Terkait dengan healthy ageing, SNIPH (2007), dalam Oxley (2009, p. 9),
mendefinisikannya sebagai “proses pengoptimalan kondisi kesehatan fisik, sosial,
dan mental untuk memungkinkan lansia turut ambil bagian dalam masyarakat tanpa
diskriminasi dan menikmati kualitas hidup mandiri dan layak.” Menurut SNIPH,
kebijakan ini lebih menekankan sisi pencegahan. Selain itu, strategi ini menempatkan
lansia sebagai bagian penting dari masyarakat ketimbang hanya dianggap sebagai
beban dan, untuk itu, otonomi dan kemampuan mengatur diri perlu dipelihara agar
harga diri dan martabat mereka tetap terjaga.
Bersama successful ageing, healthy ageing dalam strategi kebijakan sosial
lebih menekankan kemampuan dan fungsi fisik, terutama di negara-negara industri.
Terlebih lagi apabila strategi tersebut bersinggungan dengan paham neoliberal atau
rasionalitas pasar, kebijakan successful ageing, healthy ageing, dan juga productive
ageing sangat didominasi model biomedikal (Cardona, 2008, p. 477).
Konsep successful ageing diperkenalkan Rowe dan Kahn yang merujuk ke
upaya mencegah penyakit dan disabilitas; menjaga kebugaran fungsi fisik dan
kognitif; dan terus aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan produktif (Minichiello &
Coulson, 2006, p. xiii-xiv; Crowther et al., 2002, p. 615). Persisnya Rowe dan Kahn,
dalam MacKinlay (2008, p. 11), mendefinisikan successful ageing sebagai kondisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
“rendahnya kemungkinan terkena penyakit, disabilitas karena penyakit, kapasitas
fungsional secara kognitif dan fisik, dan keterlibatan dalam hidup secara aktif.” Tiga
upaya ini, menurut Crowther et al. (2002), dikatakan sebagai model tiga faktor. Fakta
adanya peningkatan angka harapan hidup dan kondisi kesehatan lansia di abad ke-21
ini dianggap Minichello dan Coulson (2006) sebagai bukti keberhasilan successful
ageing. Konsep ini umum digunakan dalam gerontologi dan geriatrik yang berupaya
mempertahankan kemampuan fisik dan mental (Oxley, 2009), bahkan menjadi
sebuah gerakan baru yang hendak menggantikan diskursus lama seputar kajian
penyakit dan disabilitas (Minichiello & Coulson, 2006).
Menurut Crowther et al. (2002), konsep successful ageing dikritik sejumlah
ahli, di antaranya karena tidak mempertimbangkan struktur sosial dan self-efficacy.
Mereka sendiri mengusulkan satu komponen penting dalam model tiga faktor di atas,
yaitu spiritualitas positif. MacKinlay (2008) juga sangat mengkritik gerakan ini,
apalagi jika dikaitkan dengan isu disabilitas dan spiritualitas. Menurutnya, penuaan
berarti harus tetap hidup secara penuh meski dengan disabilitas yang meniscayakan
bantuan orang lain. Dengan penekanan pada otonomi atau independensi lansia,
konsep successful ageing dianggap absurd oleh MacKinlay karena manusia hidup
harus saling bergantung atau interdependensi (p. 21).
Konsep lain terkait kebijakan global penanganan lansia adalah positive
ageing. Minichiello dan Coulson (2006) menjelaskan konsep ini dipromosikan juga
oleh displin ilmu gerontologi sebagai isu kontemporer yang muara akhirnya adalah
meningkatkan QoL lansia. Menurut Chong et al. (2006), istilah ini sering
disiligantikan dengan successful ageing. Meskipun ada sedikit perbedaan, keduanya
sama dalam hal fokus pada kombinasi kesehatan fisik dan fungsional, keberfungsian
kognitif, jaminan finansial, dan keterlibatan aktif di masyarakat. Komponen yang
utama adalah kondisi kesehatan prima yang mampu mengurangi kerentanan terhadap
penyakit dan disabilitas. Dari konsep Rowe dan Kahn, komponen tambahan lain
berupa keberfungsian psiko-sosial, menjaga independensi selama mungkin, dan
keterlibatan berarti dalam masyarakat melalui pekerjaan dan partisipasi sosial. Ada
juga yang menambahkan dimensi psikologis (semacam penerimaan diri, tujuan
hidup, dan kontrol diri) dan dimensi sosial (semacam solidaritas dan identifikasi
dengan masyarakat) (Chong et al., 2006, p. 245).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
Sementara itu, productive ageing mengacu ke “kontribusi lansia terhadap
kesejahteraan mereka sendiri, komunitas, dan masyarakat pada umumnya” (Caro et
al., 1993 dalam Chong et al., 2006, p. 244). Menurut Chong et al., konsep ini
termasuk dalam unsur ‘partisipasi’ dalam strategi active ageing karena menekankan
pada kemampuan lansia untuk terus bekerja dan memberi sumbangsih bagi diri dan
sekitarnya, entah dibayar atau tidak (p. 244).
Active ageing diadopsi WHO pada akhir 1990-an yang menandai pergeseran
strategi pelayanan lansia, yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needs-based”
approach) ke berbasis hak (“rights-based” approach) (Kalache & Kickbush, 1997
dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006). Tepatnya pada April 1995, menurut Kalache
dan Keller (1999), WHO mencanangkan satu program komprehensif tentang lansia
dan kesehatan (Ageing and Health, disingkat AHE) yang sekaligus mengganti
program sebelumnya, Health of the Elderly. AHE lebih berpatokan pada perspektif
life course daripada melengkapi perawatan kesehatan bagi lansia dan memromosikan
kesehatan yang menekankan penuaan aktif secara fisik, sosial, dan mental (p. 20).
Lebih jauh tentang pergerseran strategi PBB tersebut, Kalache dan Keller
(1999) menandai dua peringatan penting di tahun 1995 itu yang memromosikan
active ageing. Pertama, peringatan Hari Kesehatan Dunia pada April bertema “Active
ageing makes the difference” mengoreksi anggapan keliru tentang lansia seperti:
semua lansia itu sama; lansia itu renta atau jompo; lansia tidak punya kontribusi apa-
apa; dan lansia hanya menjadi beban ekonomi. Kedua, peringatan Hari Lansia
Internasional (tiap 1 Oktober) mendorong gerakan global untuk active ageing (p. 22).
Perspektif life course yang menjadi patokan untuk implementasi active ageing
pada intinya menekankan bahwa lansia tidaklah seragam dan seiring bertambahnya
usia, keragaman individu juga cenderung meningkat. Di setiap tahapan hidup yang
berbeda, yang paling penting adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang
mendukung dan menyediakan berbagai fasilitas kesehatan agar dapat
mempertahankan kapasitas fungsional mereka (WHO, 2002, p. 14). Gambar 2.2
menunjukkan grafik pendekatan life course.
Active ageing punya tiga pilar utama, yaitu partisipasi, kesehatan, dan jaminan
(WHO, 2002, p. 45). Bersama hak azasi lansia, active ageing menggunakan prinsip
PBB tentang independensi, partisipasi, harkat-martabat, kepedulian, dan pemenuhan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
diri (WHO, 2002, p. 13). Ada tujuh determinan dalam active ageing yang saling
bersilang-siur (cross-cutting determinants), yaitu: kultur dan gender; sistem
pelayanan sosial dan kesehatan; determinan perilaku; faktor personal (dari sisi
biologis, genetik, dan psikologis); lingkungan fisik; lingkungan sosial; dan
determinan ekonomi (WHO, 2002, p. 19).
Gambar 2.2. Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing Sumber: Kalache & Kickbush (1997) dalam WHO (2002, p. 14; 2008, p. 27)
Masih menurut WHO, seiring bertambahnya usia, QoL semakin ditentukan
oleh kemampuan seseorang mempertahankan otonomi dan independensi. Otonomi
dipahami sebagai “kemampuan mengontrol, mengatasi, dan membuat keputusan-
keputusan personal tentang bagaimana seseorang hidup dalam keseharian, menurut
aturan dan pilihannya sendiri” (p. 13). Sedangkan independensi adalah “kemampuan
menjalankan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti kapasitas hidup secara
independen tanpa atau dengan sedikit bantuan dari orang lain” (p. 13).
2.2.2. Kualitas Hidup Lansia
Setelah menjelaskan latar belakang dan kebijakan active ageing beserta
sejumlah konsep terkait, bagian berikut akan menjelaskan konsep QoL secara
singkat. QoL merupakan istilah sangat populer yang dipakai dalam konteks dan
tujuan berbeda-beda, namun definisinya bermacam-macam. Ditambah lagi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
pemakaian oleh berbagai bidang disiplin dengan tradisi masing-masing, hal ini
semakin menguatkan QoL sebagai sebagai sebuah konsep yang masih sangat
diperdebatkan (Phillips, 2006, p. 1).
WHO juga menganggap QoL sebagai konsep luas, yang memadukan
kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat independensi, hubungan sosial, keyakinan
dan hubungan personal dengan faktor-faktor lingkungan sekitar (WHO, 1994 dalam
WHO, 2002, p. 13). WHO (2002) mendefinisikan QoL sebagai “persepsi individu
tentang kondisi hidup dalam konteks kultur dan sistem nilai dimana mereka tinggal
dan kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian mereka” (p. 13).
Meskipun ada banyak instrumen QoL yang telah dibuat, menurut Skevington et al.
(2004), belum ada konsensus tentang QoL di antara para peneliti.
Namun demikian, QoL bukanlah konsep yang baru muncul karena, menurut
Kaasa dan Loge (2003), istilah ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno yang telah
memiliki sistem pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan
QoL pasien. Kemudian, di masa setelah Perang Dunia II, menurut Phillips (2006),
Lord Beveridge membangun sistem layanan untuk menciptakan welfare state. Sistem
layanan tersebut difokuskan untuk memberantas lima musuh besar (the five giants)
yang sangat terkait erat dengan isu QoL. The five giants yang dimaksud adalah
kemiskinan (want), penyakit (disease), kebodohan (ignorance), lingkungan kumuh
atau rusak (squalor), dan pengangguran (idleness). Menurut Phillips, kelima masalah
utama tersebut menjadi inti dari konsep QoL yang bersifat sosial, sehingga di luar itu
tampaknya kurang menjadi perhatian para ahli (p. 40).
Secara umum, menurut Phillips (2006, p. 1), QoL punya tiga aspek yang
berbeda yaitu dua aspek di tingkat individu dan satu lagi di tingkat kolektif. Pada
tingkat individu, aspek pertama bersifat objektif, seperti penghasilan, kondisi hidup,
dan tingkat harapan hidup. Aspek kedua bersifat subjektif yang menyangkut
kebahagiaan dan pemenuhan emosional individu. Sementara, pada tingkat kolektif
juga dijumpai dua pendekatan berbeda yang dipengaruhi ideologi atau cara pandang
terhadap manusia, yakni libertarian (individualis) dan egalitarian (sosialis).
Dalam pandangan objektif di tingkat individu, QoL seseorang dinilai
berdasarkan ukuran atau standar tertentu yang ditetapkan para ahli. Phillips (2006)
menyebut pandangan ini sebagai pendekatan impersonal, saintifik, atau pendekatan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
“konsensus” atau “normatif” (p. 41). Berlawanan dengan posisi ini, pandangan
subjektif terhadap QoL individu menjadikan kebahagiaan, subjective well-being
(SWB) dan kepuasan hidup (life satisfaction), di samping sejumlah komponen lain,
sebagai patokan sekaligus menjadi komponen utama. Pandangan ini, kata Phillips
(2006), disebut sebagai pendekatan personal atau eksperiensial (p. 41) karena
mengacu pada keputusan masing-masing individu (people’s own verdicts) tentang
apa yang mempengaruhi QoL mereka (p. 1). Komponen-komponen utama dalam
pendekatan subjektif saling berkaitan, berhubungan erat dengan QoL, dan merupakan
konsep yang selalu menjadi perdebatan (highly contested constructs), terutama
konsep kebahagiaan. Kebahagiaan ditentukan lagi dari dua pandangan berbeda,
apakah secara subjektif atau objektif (Phillips, 2006, p.15). Meskipun begitu, banyak
ahli menilai SWB dan subjective happiness lebih mudah digunakan dan lebih
demokratis meskipun susah diverifikasi dan divalidasi (Phillips, 2006).
Dibanding kebahagiaan, SWB dianggap lebih kompleks dan bersifat multi-
dimensional, yang terdiri dari tiga komponen: pleasant affect, unpleasant affect, dan
kepuasan. Selain itu, kebermaknaan hidup sebagai dimensi dari spiritualitas atau self-
knowledge, juga termasuk di dalamnya (p. 18, 21). Menurut Saxena (2007), seperti
dikutip Swartz dan Tisdell (2008), WHO meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari
QOL, khususnya terkait keberagamaan (religiousness) dan keyakinan pribadi. Meski
tidak menyediakan definisi spiritualitas, WHO telah merancang suatu instrumen
untuk mengukur dimensi ini (p. 89).
QoL yang terkait kesehatan (health-related quality of life atau HRQOL) punya
kesamaan dengan QoL di tingkat individu, yakni memiliki dua pendekatan utama
atau ukuran yang berbeda, yaitu subjektif dan objektif. Ukuran objektif menekankan
pada status kesehatan fungsional, sementara ukuran subjektif lebih pada kesehatan
dan well-being (Phillips, 2006, p. 41; Skevington et al., 2004, p. 299).
HRQOL telah memiliki ratusan instrumen. Definisi kesehatan menurut WHO
secara luas diterima dan sesuai dengan ragam definisi QoL. Isu otonomi, yang sangat
diperdebatkan, juga termasuk di dalamnya (Phillips, 2006, p. 40). Instrumen untuk
asesmen dari WHO dibuat oleh WHOQOL Group dengan nama WHOQOL-100.
Instrumen ini terdiri dari 100 item yang dikelompokkan dalam 25 faset dan
dikelompokkan lagi dalam enam domain. Versi singkatnya disebut WHOQOL-BREF
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
yang terdiri dari empat domain QoL, yaitu fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan.
Di antara sejumlah item, dijumpai aspek spiritualitas dalam domain psikologis
(Skevington et al., 2004, p. 300, 307).
Dalam perawatan paliatif yang banyak dibutuhkan kelompok lansia, ada
sejumlah instrumen seperti SEIQOL (The Schedule for the Evaluation of Individual
Quality of Life), TIQ (The Therapy Impact Questionnaire), MQOL (The McGill
Quality of Life Questionnaire), The Misoula, LEQ (The Life Evaluation
Questionnaire), dan MQLS (The McMaster Quality of Life Scale). Menurut Kaasa
dan Loge (2003, p. 17), sebagian besar instrumen HRQOL yang telah dibuat
digunakan untuk keperluan penelitian dan tidak cocok untuk praktik klinis sehari-
hari. Sebagian instrumen yang tampaknya relevan akan dijelaskan secara singkat.
MQOL memiliki 17 item kuesioner yang berasal dari interview dengan
pasien, literatur, dan instrumen yang ada. Kuesioner terbagi dalam lima sub-skala:
physical wellbeing, simptom fisik, simptom psikologis, existential wellbeing, dan
dukungan atau hubungan. Instrumen ini telah divalidasi pusat-pusat kajian dengan
pasien dari layanan paliatif dan kemudian dikombinasikan dengan pasien penderita
kanker yang tidak dirawat di rumah sakit (oncology outpatients) dan dari layanan
paliatif (Kaasa & Loge, 2003, p. 15-6).
Instrumen the Misoula–vitas QOL index didesain untuk lansia dengan
penyakit berat dengan fokus pada tahap akhir hayat. The Misoula digunakan sebagai
definisi dasar untuk pengalaman subjektif individu yang menemui hambatan atau
tantangan interpersonal, psikologis, dan eksistensial atau spiritual. Instrumen ini
terdiri dari 25 item dan telah divalidasi di setting hospice, yang mencakup lima
domain: simptom, fungsi, interpersonal, wellbeing, dan spiritualitas. Instrumen ini
cocok digunakan untuk perencanaan perawatan dan kontrol kualitas, namun
validitasnya perlu diuji lebih jauh. Kemudian, MQLS dibuat untuk mengases QoL
dari perspektif pasien perawatan paliatif. Di dalamnya ada 32 item kuesioner untuk
mengukur domain fisik, emosional, sosial, dan spiritual (Kaasa & Loge, 2003, p. 16).
2.3. Masalah Kesehatan Mental Lansia
Tantangan yang dihadapi manusia dalam tahap akhir hidup sangatlah beragam
dan kompleks, baik secara biologis, psikologis, sosial, intelektual, spiritual (Setiti,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
n.d.), emosional, maupun tingkah laku. Pada prinsipnya, seperti diuraikan Agustina
(2002), proses penuaan tidak hanya berarti terjadinya perubahan biologis, tapi juga
proses kehilangan, entah kehilangan peran sosial, pendapatan, dan teman atau
kerabat karena perpisahan atau kematian. Selain itu, penuaan identik dengan
kecemasan akan sesuatu, seperti keamanan dan keselamatan, ketidakpastian
penghasilan, dan ketergantungan.
Kane, seperti dikutip Agustina (2002), menyebut masalah lansia, yang oleh
para ahli gerontologi dianggap sebagai the geriatric giants (masalah kesehatan utama
lansia), dengan serangkaian “I”. I yang dimaksud meliputi: immobilitas, instabilitas
(fisik/non-fisik), inkontinensi (ketidakmampuan menahan buang air), intellectual
impairment (penurunan daya ingat atau kemampuan intelektual), infeksi, impairment
of vision and hearing (penurunan penglihatan dan pendengaran), irritable colon
(gangguan usus besar), isolasi, inanition (malnutrisi), impaction (konstipasi atau
sembelit), iatrogenesis (penyakit karena obat), insomnia, immune deficiency
(gangguan sistem kekebalan tubuh), dan impotensi (p. 12).
Penelantaran (neglected) atau kekerasan terhadap lansia (parent abuse) secara
fisik maupun emosional sering dialami lansia (Kirst-Ashman, 2010; Zastrow, 2004).
Lansia juga rentan menjadi korban kejahatan, seperti perampokan, penyerangan,
pencurian, pencopetan, vandalisme, dan penipuan karena mereka mengalami
penurunan energi, kekuatan, dan kecerdasan (Zastrow, 2004, p. 486-7).
Masalah berat yang sering mengiringi proses penuaan adalah isu transisional
terkait kehilangan (loss), seperti kehilangan peran sosial, pendapatan, kerabat/teman,
pasangan hidup, dan keluarga atau orang-orang yang dicintai (Agustina, 2002;
Zastrow, 2004; Kirst-Ashman, 2010). Menurut Weinstein (2008), loss dapat terkait
dengan: kematian sesorang yang dicintai atau dianggap penting; disabilitas; kondisi
hidup terbatas; terserang penyakit berat atau kronis; penuaan; dan bencana yang
menimpa keluarga dan anak (p. 1).
Ragam permasalahan hidup yang dijelaskan di atas dapat menjadi penyebab
(stressors) atau pemicu (triggering factors) bagi masalah kesehatan mental lansia.
Seperti dijelaskan dalam Bab 1, masalah kesehatan mental yang banyak diderita
lansia berdasarkan kajian pendahuluan meliputi kecemasan atau ketakutan akan
kematian dan prosesnya (death anxiety); duka (grief) akibat loss beserta responsnya
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
(bereavement); dan neurosis. Sejumlah masalah yang menjadi subjek penelitian ini
masing-masing akan diuraikan secara singkat berikut ini.
2.3.1. Death Anxiety
Kecemasan terhadap sesuatu yang akan datang, yaitu kematian (death) atau
prosesnya (dying), umum menghantui lansia. Kondisi yang mengitarinya semacam
ketakutan akan disabilitas, kepedihan, dan lamanya penderitaan menjelang kematian
juga dapat menimbulkan kecemasan akan kematian. Disabilitas di sini bukan semata
merujuk ke kondisi kecacatan dalam pengertian umum, akan tetapi ke kondisi
penurunan fungsi fisik atau kognitif, seperti penglihatan, pendengaran, kelincahan
gerak tubuh, mobilitas, dan daya ingat. Lansia umumnya mengharapkan mati
terhormat/bermartabat (dignity), di rumah sendiri, dengan sedikit kesakitan, dengan
kesiapan mental, dan dikelilingi keluarga dan handai taulan (Zastrow, 2004). Tidak
tercapainya harapan meninggal dengan kondisi baik inilah yang seringkali
memunculkan kecemasan atau ketakutan mereka.
Menurut Weinstein (2008), death merujuk ke orang yang secara fisik hidup
namun kondisi yang mereka alami menyebabkan terisolasi dari keluarga atau sosial.
Dengan kata lain, mereka adalah orang yang sudah tidak berdaya (living death) atau
secara sosial sudah mati (social death), contohnya orang yang mengalami koma,
demensia, dihukum penjara (p. 3). Dying bagi pekerjaan sosial, menurut Currer
(dalam Weinstein, 2008), merujuk ke tiga pengertian terkait proses semakin
melemahnya atau matinya: (1) kondisi fisik; (2) emosional atau individual (yang juga
dapat terkait dengan dimensi spiritual); dan (3) interaksi sosial dengan lingkungan.
Ketika menghadapi dying, menurut Nowitz (2005), sebagian orang punya
kesulitan menyampaikan kebutuhan spiritual secara lugas kepada orang-orang
sekitar. Profesi semacam pekerja sosial atau care manager harus mampu menangkap
berbagai isyarat/perilaku seperti agitasi, komplain, apatis, depresi, isolasi, dan
kecemasan. Sikap care manager untuk mereka yang berada pada tahap akhir hidup
meliputi: (1) menerima kondisi kehidupan mereka sebagaimana mereka hidup selama
ini; (2) berupaya merekonsiliasi kekecawaan masa lalu penderita; (3) memahami rasa
sakit dan kesenangan si penderita saat itu; dan (4) menemukan makna (p. 199).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
Ketakutan akan kematian dan prosesnya juga dibahas beberapa ahli di
Indonesia dengan berbagai perspektif. Misalnya dari perspektif keagamaan,
Komaruddin Hidayat menulis sejumlah buku tentang kematian. Di samping
Berdamai dengan Kematian (2009), bukunya yang paling populer adalah Psikologi
Kematian (2013). Kedua buku ini membahas bagaimana seharusnya menghadapi dan
memaknai kematian yang niscaya akan dialami setiap orang. Meskipun ditujukan
untuk khalayak umum dan dengan bahasa populer yang mudah dicerna, bukunya
akan sangat bermanfaat dibaca oleh para praktisi atau profesi pekerjaan sosial yang
menangani lansia atau mereka yang menderita sakit berat.
2.3.2. Grief dan Bereavement
Bentuk respons atau reaksi dari kehilangan karena bermacam faktor yang
telah diuraikan di atas disebut bereavement. Respons semacam ini, menurut
Weinstein (2008, p.3), ada yang bersifat intrapersonal atau psikologis: berduka cita
atau sedih (grief); dan yang bersifat interpersonal atau ekspresi sosial: berkabung
(mourning). Menurut Allan (2005), grief merupakan pengalaman dan ekpresi yang
sangat dipengaruhi faktor personal dan lingkungan sosial-kultural.
Allan (2005) mengatakan konsep tentang grief sebagai sebuah proses banyak
dipengaruhi perspektif modernis Barat, seperti para teoretisi Freudian dan psiko-
analisis, stage theory, attachment theory, dan lain-lain. Dengan mengutip Sulverman
dan Klass (1996), Allan (2005) menyimpulkan beberapa karakteristik konsep tentang
grief dan bereavement yang dominan di Barat sebagai berikut (p. 288):
1. grief adalah tahap jangka pendek yang alurnya bersifat linier hingga berakhir;
2. orang yang sedang berduka (the bereaved) diharapkan membatasi ekspresi
grief pada saat dan tempat yang tepat;
3. waktulah yang diharapkan dapat menghapuskan grief;
4. ekspresi grief tidak boleh terlalu pendek, atau terlalu panjang, ditunda, terlalu
ditampakkan, atau malah kurang ditampakkan; dan
5. mempertahankan kelekatan yang menerus dengan almarhum adalah patologis.
Teori tentang grief umumnya berasosiasi dengan teori tentang loss. Pandangan
tradisional tentang loss dan grief, menurut Thompson (2002), banyak menerapkan
pendekatan teori tahapan (stage theory), yang telah sekian lama menyulut pro dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
kontra. Salah satu teori tentang loss populer yang memakai model tahapan (‘stages
model’) dibuat Elizabeth Kübler-Ross, dimana seseorang yang mengalami loss akan
melalui lima tahap berurutan dalam jangka waktu tertentu yaitu: penolakan, marah,
bimbang (bargaining), depresi, dan diakhiri dengan penerimaan (p. 3). Sementara
teori tentang grief yang juga mengadopsi stage theory dibangun oleh Collin Parkes
yang terdiri dari empat fase: kaget dan mati rasa (shock and numbness); merasa
kehilangan dan terkenang-kenang (yearning and searching); galau (disorganization)
dan putus asa; dan menata hati kembali (reorganization) (p. 4).
Dari pihak yang kontra dengan stage theory, Thompson (2002) mengambil
contoh dari William Worden yang menganggap grief lebih sebagai proses mencapai
atau menjalankan peran/tugas (‘tasks’). Hampir sama dengan teori psikologi
perkembangan manusia, Worden menetapkan empat tasks: (1) menerima kenyataan
tentang loss; (2) mengatasi derita dari grief; (3) menyesuaikan diri dengan
lingkungan dimana almarhum tiada; dan (4) secara emosional berupaya merelokasi
almarhum dan terus menjalani (move on) hidup (p. 4).
Pendekatan tradisional lain yang dipakai untuk memahami loss dan grief,
seperti dikatakan Thompson (2002), adalah attachment theory yang juga banyak
memunculkan pro dan kontra. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini terkait
asumsi-asumsi bias gender dan tidak mempertimbangkan keragaman kultur (p. 4-5).
Secara umum, Thompson menyimpulkan bahwa pendekatan-pendekatan tradisional
tersebut banyak dikritik karena sikap ‘reduksionisme psikologis’-nya yang
mereduksi kompleksitas individu (p. 5).
Menurut Altmaier (2011), grief merupakan fenomena umum, namun masih
belum cukup terkonseptualisasi dan ukuran-ukurannya pun tidak konsisten, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan kajian literatur tentang ukuran grief,
Schoulte dan Altmaier (2008) seperti dikutip Altmaier (2011) merinci karakteristik
umum pengalaman grief menyangkut domain dan definisi seperti dalam Tabel 2.1.
Allan (2005) melihat ada pengaruh pemikiran posmodernis dan teori sosial
konstruktivis dan naratif terhadap konsep grief. Terkait keterikatan menerus
(continuing bonds), seperti pada Tabel 2.1 atau sebagai karakteristik terakhir dari
konsep grief menurut perspektif modernis yang dominan, Allan berpendapat bahwa
continuing bonds tidak bisa diterapkan ke setiap orang yang mengalami kedukaan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
akibat kehilangan. Bagi sebagian orang, makna suatu kehilangan dapat dinegosiasi
dan renegosiasi sepanjang hayat. Dengan proses aktif, menurut Silverman dan Klass
(dalam Allan 2005), keterikatan menerus tersebut dapat dimungkinkan melalui
memorial seperti foto almarhum, peringatan hari wafatnya, mempertahankan
pengaruh-pengaruhnya, atau dengan memimpikan dan berbicara dengannya.
Tabel 2.1. Domain dan definisi pengalaman grief
Domain Definisi
Gejala fisik Reaksi somatis dan fisiologis
Kendala kognitif Kesulitan mengingat, belajar, atau berpikir
Masa depan tak pasti Kehilangan makna hidup dan pesimisme akan masa depan
Penolakan Tidak menerima kehilangan, dengan respons shock dan mati rasa
Interaksi interpersonal Berubahnya reaksi, kebutuhan, dan hubungan interpersonal
Respons emosional Serangkaian perasaan internal terkait kehilangan
Perasaan tidak adil terhadap kehilangan
Frustrasi karena kehilangan, merasa bahwa kehilangan yang di-alami tidak pantas ia terima, asumsi kacau akan ”dunia yang adil”
Ritual simbolis Perilaku dengan makna simbolis tertentu yang mungkin dilakukan seseorang selama proses kedukaan (grieving process)
Keterikatan menerus (continuing bonds)
Jalinan emosional, kognitif, dan perilaku yang tetap berlanjut dengan almarhum
Penemuan hikmah (benefit finding)
Perubahan positif tentang diri sebagai akibat dari pengalaman kehilangan
Sumber: Schoulte & Altmaier (2008) dalam Altmaier (2011, p. 38)
2.3.3. Neurosis
Konsep neurosis dapat merujuk ke Frankl (2004) yang juga dapat menjelaskan
sejumlah masalah yang saling mempengaruhi seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Frankl, penyebab masalah kesehatan mental dapat berasal dari aspek fisik
atau biologis (somatis) dan juga psikologis, dan gejalanya pun dapat berupa fisik
maupun psikologis. Neurosis merupakan masalah gangguan mental ringan, semacam
depresi atau kecemasan, yang dapat disebabkan oleh faktor psikologis namun
gejalanya bisa berupa psikologis maupun fisik.
Pada Tabel 2.2 tampak sumbu vertikal berupa simptomotologi atau
fenomenologi yaitu semacam gejala atau simptom yang menjelaskan cara suatu
penyakit muncul atau menggejala. Gejalanya yang bersifat psikologis dinamakan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
feno-psikologis, sementara yang bersifat fisik/biologis disebut feno-somatik.
Sedangkan, aksis horisontal merupakan etiologi yaitu penyebab atau asal-usul
(genesis) suatu penyakit. Apabila penyebabnya bersifat fisik disebut somatogenik,
sementara yang bersifat psikologis disebut psikogenik (Frankl, 2004).
Tabel 2.2. Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya
Simptomotologi
Feno-psikologis Feno-somatik
Etio
logi
Somatogenik Psikosis Penyakit fisik “biasa”
Psikogenik Psikoneurosis Neurosis somatis
Sumber: Frankl (2004, p. 44)
Menurut Frankl (2004, p. 41), neurosis dalam pengertian yang ketat atau tepat
adalah segala penyakit yang disebabkan faktor psikologis (psychogenic illness) dan
dengan gejala psikologis pula (feno-psikologis). Pada Tabel 2.2 di atas, pengertian
neurosis ini ditunjukkan oleh penyakit psikoneurosis. Dalam bukunya, istilah
neurosis ini seringkali dipakai Frankl (2004) untuk merujuk ke gejala-gejala neurotik
yang muncul oleh sebab-sebab ragawi, spiritual, dan juga sosial. Bentuk neurosis lain
berupa neurosis somatis atau psikosomatis, yakni jenis gangguan yang dipicu karena
faktor psikologis (psikogenik) namun gejalanya bersifat fisik (feno-somatik) (p. 41).
Di sini perlu dijelaskan juga dua gangguan lain, yaitu berupa psikosis dan
penyakit fisik “biasa”. Psikosis adalah penyakit yang disebabkan faktor fisik
(somatogenik) dengan gejala psikis (feno-psikologis). Untuk psikosis, Frankl lebih
memilih istilah gangguan psikotik (psychotic disorder). Istilah ini lebih umum
digunakan dan konsisten dengan sistem ICD-9 yang dipakai di Eropa ketimbang
istilah DSM yang digolongkan sebagai Major Depressive Disorders atau depresi
endogenus. Dengan demikian, psikosis ini merupakan gangguan mental berat. Untuk
“ordinary” illness (atau penyakit fisik biasa) tidak termasuk neurosis karena baik
gejala maupun penyebabnya berupa fisik, bukan psikologis (Frankl, 2004, p. 41).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
2.4. Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia
Sub-bab ini membahas model penanganan lansia secara umum di Indonesia,
penanganan kesehatan mental dengan pendekatan pekerjaan sosial, dan pendekatan
pekerjaan sosial baik secara konvensional maupun holistik.
2.4.1. Model Penanganan Lansia Indonesia
Penanganan lansia di Indonesia dibedakan menjadi dua model, institusional
dan non-institusional, baik yang diselengarakan oleh pemerintah maupun non-
pemerintah (Tabel 2.3). Dari pihak pemerintah, menurut Noveria (2006), ada tiga
institusi utama yang bertanggung jawab menyediakan layanan bagi lansia, yaitu:
Kemensos, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). Namun, Kemensos lah yang menjadi lembaga
terdepan dalam penanganan isu-isu lansia (Phillips, 2000, p. 7).
Tabel 2.3. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah
Model Institusional Non-institusional (berbasis keluarga dan masyarakat)
Pemerintah Panti sosial, Puskesmas Ramah/Santun Lansia, Klinik Geriatrik atau Layanan Geriatri Terpadu
Day care, home care, trauma center, Bina Keluarga Lansia
Non-pemerintah atau masyarakat
Panti werdha, Posyandu Lansia atau Posbindu Lansia, Sasana Tresna Werdha
Home care, trauma center, Karang Wredha, Karang Lansia
Panti adalah satu bentuk upaya pemerintah dan masyarakat dengan model
institusional. Contohnya Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) milik Kemensos dan
Dinas Sosial (Dinsos). Untuk panti pemerintah, persyaratan paling utama menjadi
pemanfaat layanan (benefeciaries atau klien) adalah lansia telantar, artinya lansia
yang benar-benar memerlukan layanan yang sama sekali tidak ada anggota keluarga
yang bakal merawatnya. Sedangkan, panti swasta kebanyakan untuk lansia yang
menolak tinggal bersama anak atau kerabatnya karena alasan tertentu.
Upaya pemerintah lain dengan model non-institusi adalah day care dan home
care. Layanan day care, menurut Noveria (2006), ditujukan bagi lansia yang tinggal
bersama keluarga, tapi keluarganya tergolong miskin atau mengalami kesulitan
finansial. Kegiatan day care biasanya dilakukan di tempat tertentu seperti panti dan
para lansia lah yang datang. Layanan yang diberikan berupa makanan dan perawatan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
kesehatan dengan menawarkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan oleh dokter.
Menurut Fahrudin (2007), jenis-jenis pelayanan standar lain juga diberikan, seperti
pelayanan psikososial, keterampilan, pendampingan, dan juga spiritual/keagamaan.
Layanan seperti itu juga diberikan oleh Pusaka (Pusat Santunan dalam
Keluarga) yang merupakan satu bentuk home care. Berbeda dengan day care, home
care dilakukan di lingkungan keluarga dimana para pendamping (care giver) atau
praktisi kesejahteraan datang ke tempat tinggal mereka. Lembaga non-institusional
luar panti di tingkat komunitas ini memberikan program permakanan bagi lansia
secara teratur. Selain itu, pusat ini juga memberikan bimbingan kerohanian dan
kesehatan. Di Jakarta terdapat 72 buah Pusaka di tingkat kelurahan.
Program lain Kemensos dari sisi perlindungan berupa Jaminan Sosial Lanjut
Usia (JSLU) untuk lansia miskin atau tidak potensial. Mulai tahun 2012 ini namanya
menjadi Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT). Landasan pijak program ini
terutama adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Uji
coba JSLU dimulai sejak 2008 untuk 5000 lansia yang diambil dari 15 provinsi.
Bantuan finansial Rp. 300.000,- per-orang perbulan diberikan kepada penerima
bantuan hingga meninggal dan hak ini akan diberikan kepada mereka yang masuk
daftar tunggu. Seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan diberikan langsung
kepada penerima melalui PT. Pos (Depsos, 2008; Uji Coba JSLU, 2008).
Model institusional dari Kemenkes adalah puskesmas, klinik geriatrik (di
rumah sakit tertentu seperti di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta), atau fasilitas
kesehatan lain. Layanan yang diberikan terutama berupa perawatan kesehatan dari
sisi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sementara, BKL (Bina Keluarga Lansia)
disediakan oleh BKKBN yang target layanannya tidak saja lansia, tapi juga keluarga
lansia. Melalui berbagai aktivitas, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran
anggota keluarga untuk memberikan dukungan bagi lansia, menghormati orang tua
mereka yang lansia, melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan, dan
meningkatkan kemampuan finansial keluarga yang memiliki lansia (Noveria, 2006).
Upaya penanganan kesehatan mental lansia, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan lansia, mengacu seperangkat kebijakan: UU kesejahteraan lansia, UU
Kessos, UU kesehatan, Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Kesejahteraan Lansia,
dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk mengawasi dan memastikan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
kesejahteraan mereka, pemerintah juga telah membentuk Komisi Nasional (Komnas)
Lansia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 tahun 2004. Tidak kurang,
bersama masyarakat internasional Indonesia juga ikut dalam upaya antisipasi
terhadap proyeksi ledakan penduduk lansia di dunia dengan menghasilkan berbagai
rencana aksi, seperti Vienna International Plan of Action on Aging 1982; Macao
Plan of Action on Aging for Asia and Pacific 1988; Madrid International Plan of
Action on Aging 2002; dan Shanghai Implementation Strategy 2002.
2.4.2. Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial
Penanganan masalah kesehatan mental lansia termasuk salah satu bidang
garapan dalam pembangunan kesejahteraan sosial karena punya tujuan mewujudkan
atau meningkatkan kesejahteraan sosial lansia. Satu disiplin ilmu yang terkait dengan
usaha kesejahteraan sosial lansia dan layanan kesehatan mental atau jiwa adalah
pekerjaan sosial. Adi (2013, p. 93-94), dengan mengutip sejumlah ahli,
mengelompokkan profesi ini sebagai salah satu bidang kesejahteraan sosial dalam
arti sempit. Dengan sudut pandang lain, isu kesehatan mental lansia juga termasuk
dalam klasifikasi bidang kesejahteraan sosial dalam arti luas, yakni apabila kesehatan
mental dilihat dari sisi kekhususan masalah yang ditangani dan pelayanan untuk
kelompok lansia dilihat dari sisi tingkat usia kelompok sasaran (p. 102).
Berdasarkan pengelompokkan Adi (2013) di atas, pembahasan tentang
kesehatan mental lansia di sini tampaknya lebih dikaitkan dengan bidang
kesejahteraan sosial dalam arti khusus, yakni pekerjaan sosial. Hal ini selaras dengan
sejumlah kebijakan yang melandasi upaya penanganan lansia. Dalam UU Kessos
2009, sebagian sumber daya penyelenggara kesejahteraan sosial adalah tenaga
kesejahteraan sosial dan pekerja sosial profesional (Pasal 33). Bahkan dalam UU
Kessos yang lama (UU No. 6/1974) disebutkan bahwa pekerjaan sosial menjadi
keterampilan teknis sebagai wahana bagi segala usaha kesejahteraan sosial. Intinya,
isu kesehatan mental yang dialami kelompok lansia dalam penelitian ini akan lebih
ditekankan pada upaya penanganan dengan pendekatan pekerjaan sosial.
Hubungan antara pekerjaan sosial dan kesehatan mental memiliki latar
belakang sejarah yang panjang atau hampir sama dengan kemunculan disiplin
pekerjaan sosial itu sendiri di masyarakat Barat, yakni sejak akhir abad ke-19.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
Menurut Heinonen dan Metteri (2005a), aktivitas pekerjaan sosial pada masa itu
telah terjalin-kelindan dengan praktik medis dan psikiatri, khususnya yang
menawarkan pertolongan dan konseling bagi pasien rumah sakit tidak mampu. Baik
dalam bidang kesehatan (fisik) maupun kesehatan mental, pekerja sosial berupaya
memromosikan kesehatan, kesejahteraan (well-being), pertumbuhan, dan perubahan
baik di tingkat individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas.
Meskipun sama-sama menangani masalah kesehatan mental, keduanya
berbeda dari sisi pendekatan atau model. Menurut Pritchard (2006), perbedaan inilah
yang menyebabkan hubungan panjang itu selalu diwarnai kontroversi antara dua
kubu yang berbeda, yaitu antara pendekatan medikal dan psikiatri dengan pendekatan
pekerjaan sosial. Kubu pertama menjelaskan kondisi terganggunya tingkah laku (atau
tingkah laku yang mengganggu) sebagai akibat dari gangguan fisik tertentu.
Sementara itu, kubu pekerjaan sosial dengan akar ilmu-ilmu sosial dan behavioral
menawarkan perspektif berbeda tentang mereka yang terstigma sebagai “outsiders”.
Senada dengan Pritchard (2006), Zastrow (2004) melihat ada dua pendekatan
dalam melihat masalah mental atau tingkah laku ini, yaitu model medikal dan
interaksional. Pertama, model medikal memandang masalah tersebut sebagai
penyakit mental, sebagaimana mereka menyebut penyakit fisik. Penyebabnya bisa
karena keturunan, kekacauan metabolik, penyakit menular, konflik batin,
penggunaan bawah sadar sebagai mekanisme bertahan, pengalam traumatik waktu
anak-anak, dan lain-lain.
Model kedua, model interaksional, merupakan bentuk kritik terhadap
pendekatan medikal. Kritik ini pertama kali muncul dekade 1950-an oleh Thomas
Szasz, yang menganggap penyakit mental hanyalah mitos. Teorinya menekankan
pada proses interaksi sosial sehari-hari dan pengaruh pemberian label. Menurut
Szasz, seperti dikutip Zastrow (2004), implikasi menyebut penyakit mental adalah
berarti ada penyakit dalam pikiran atau jiwa seseorang, dan itu sangat tidak tepat.
Szasz mengelompokkan penyakit mental ke dalam tiga kategori (p. 163-4):
1. Ketakmampuan personal (personal disabilities), seperti kecemasan berlebih,
depresi, dan ketakutan. Istilah lainnya adalah emosi yang tidak diinginkan.
Mental yang dimaksud mencakup wilayah pikiran dan perasaan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
2. Tindakan anti sosial, berupa penyimpangan sosial. Szasz memasukkan
homoseksualitas ke dalam kategori ini, tetapi tahun 1974 Asosiasi Psikiatrik
Amerika (APA) mengeluarkannya dari penyakit mental. Tindakan anti sosial
ini tidak termasuk wilayah mental, bukan pula penyakit.
3. Terganggunya kepribadian (personality changes) karena kerusakan otak.
Kategori “mental illness” di sini karena suatu penyakit seperti Alzheimer,
arteriosclerosis, chronic alcoholism, general paresis, AIDS, atau kerusakan
otak parah karena kecelakaan. Gejalanya seperti hilang ingatan, kelesuan atau
tanpa gairah, apatis, pikun, dan lain-lain. Kategori penyakit ini, menurut
Szasz, lebih tepat disebut penyakit otak, bukan penyakit mental atau pikiran.
Selaras dengan pendekatan pekerjaan sosial terhadap kesehatan mental yang
dimaksud Pritchard (2006) dan model interaksional Thomas Szasz, Kirst-Ashman
(2010) menyarankan para pekerja sosial untuk berpikir kritis terhadap panduan
diagnostik APA yang sangat bernuansa medikal. Ada dua hal yang menjadi alasan
Kirst-Ashman. Pertama, penekanan panduan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) pada patologi atau kelemahan individu berarti
mengabaikan kekuatan mereka. Pengategorian tersebut juga kurang memperhatikan
pentingnya lingkungan bagi individu. Kedua, masalah labeling menurut kriteria
tertentu, padahal belum tentu sama atau dipandang berbeda menurut standar lain.
Dalam DSM, ada banyak label yang menyebut penderita gangguan mental dengan
emosi atau tingkah laku yang dianggap berbeda atau tidak biasa dari umumnya. Cap
tersebut, menurut Zastrow (2004), terkadang kurang enak didengar, seperti sinting,
aneh, psikotik, neurotik, gila atau tidak waras, sakit, atau edan.
Model interaksional yang diusung Szaz atau kritisisme Kirst-Ashman terhadap
model medikal merupakan ciri khas pekerjaan sosial yang sangat menekankan sisi
kekuatan si penderita ketimbang sisi kelemahannya. Ciri khas lain adalah bahwa
praktik pekerjaan sosial tidak saja fokus pada si penderita masalah mental, namun
yang tidak kalah penting adalah lingkungan sosialnya. Model semacam ini dikenal
sebagai individu atau manusia dalam lingkungan atau person-in-environment (PIE).
Model PIE juga diadopsi Kode Etik NASW tahun 1999, seperti dikutip Lee et al.
(2009, p. xviii), yang di dalamnya dinyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah profesi
yang fokus pada kesejahteraan individu dalam konteks sosial. Perhatian terhadap
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
kekuatan lingkungan yang menimbulkan, berkontribusi, sekaligus mampu mengatasi
masalah hidup juga menjadi hal mendasar dalam pekerjaan sosial.
Penggunaan konsep PIE, termasuk dalam penanganan kesehatan mental,
merupakan satu ciri khas dan kelebihan pendekatan pekerjaan sosial. Lee et al.
(2009) menjelaskan bahwa PIE telah sekian lama dianggap sebagai perspektif yang
lebih menyeluruh dan integratif dalam memahami masalah klien dan proses
perubahan. Bahkan perspektif ekosistem ini telah menjadi ciri khas tersendiri bagi
pekerjaan sosial yang membedakan dengan profesi-profesi lain. Pendekatan-
pendekatan psikodinamika, behaviorisme, dan eksistensialisme yang sempat
mendominasi lebih mengandalkan aspek psikologis, biologis, dan perilaku individu
ketika menangani masalah individu. Namun pendekatan dan teori-teori dominan ini
kurang megakomodir peran individu dalam hubungannya dengan lingkungan.
Cara pekerjaan sosial menggunakan perspektif PIE juga berbeda dari profesi-
profesi lain. PIE yang diadopsi pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh perspektif
psikososial dan ekologis. Perspektif psikososial dikembangkan Florence Hollis, yang
memandang perilaku individu dipengaruhi oleh baik faktor psikologis maupun sosial.
Sementara perspektif ekologis digunakan Germain dan Gitterman untuk membangun
life model yang menekankan kesalingterkaitan (interrelationship) antara individu dan
lingkungan ekologis yang lebih luas serta implikasinya terhadap praktik pekerjaan
sosial (Lee at al., 2009, p. xxii).
Penerapan konsep PIE dalam pekerjaan sosial dapat dilihat dari model
intervensi kelompok dukungan (support group) ataupun swabantu (self-help group).
Arnold (2009) menunjukkan betapa pentingnya support group dan self-help group
dalam konseling dan pengasuhan akhir kehidupan, khususnya bagi individu yang
mengalami suatu penyakit tahap akhir (terminal illness). Menurut Stearns et al.
seperti dikutip Arnold (2009, p.185), intervensi dengan menggunakan kelompok
seperti itu bermanfaat untuk menghubungkan para klien yang memiliki kesamaan
kasus. Dengan difasilitasi pekerja sosial secara profesional, mereka akan saling
mendukung, menumbuhkan kebersamaan, berbagi informasi, dan menghindari
isolasi diri. Metode ini juga dapat diterapkan untuk anggota keluarga klien agar
mereka dapat berbagi perasaan frustrasi atau marah atas apa yang menimpa orang
yang mereka cintai dan dapat saling berbagi informasi sistem sumber di masyarakat.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
Di dalam pendekatan pekerjaan sosial itu sendiri, termasuk ketika menangani
kesehatan mental lansia, secara umum dijumpai dua pendekatan atau model utama,
yaitu konvensional dan holistik.
2.4.3. Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional
Pendekatan tradisional ini hanya melibatkan aspek psikososial atau biospsiko-
sosial. Meski cakupan aspeknya lebih luas ketimbang model biomedis, pendekatan
konvensional ini masih dianggap bersifat reduksionistik karena belum mencakup
aspek-aspek lain yang menggambarkan totalitas manusia, seperti aspek kultural,
struktural, intelektual, agama, dan spiritual. Menurut Turner (2008), terapi
psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam pekerjaan sosial. Meskipun
banyak ahli menganggap terapi psikososial telah ketinggalan zaman, “ia akan terus
menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial kontemporer,” katanya (p. 174).
Karena fokus pada aspek biopsikososial saja, muncul ketakpuasan masyarakat
terhadap praktik pekerjaan sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang
lebih holistik. Huguelet dan Koenig (2009) menilai praktik konvensional bersifat
reduksionistik karena tidak melihat keseluruhan aspek manusia secara utuh ketika
mendefinisikan seperti apa keberadaan manusia yang baik atau sejahtera itu.
Senada dengan penilaian ini, Hutchison (1999), seperti dikutip Murdock
(2005), keunikan sekaligus kelebihan pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi adalah
penekanannya pada perspektif PIE yang dapat menjadi kerangka asesmen dan
intervensi bagi praktik yang bersifat menyeluruh. Sayangnya, kata Murdock,
penekanan praktik pekerjaan sosial tradisional/konvensional hanya pada dimensi
fisik dan psikologis, sementara dimensi spiritual diabaikan, atau bahkan ditolak.
Lee et al. (2009) menjelaskan mengapa aspek spiritual tidak disentuh dalam
model-model tradisional PIE, padahal perspektif ekosistem ini dipandang lebih
menyeluruh dan integral yang menjadi ciri khas pekerjaan sosial dibanding profesi
lain. Menurutnya, hal itu karena perkembangan teori dan praktik pekerjaan sosial
selama ini sangat dipengaruhi oleh paradigma dominan positivisme, saintifisme,
rasionalisme, dan empirisisme. Paradigma yang tumbuh subur dalam cara pandang
sekular dan tradisi saintifik dan humanistik ini sangat sulit memasukkan aspek
spiritual dan juga agama dengan alasan: (1) sebagai sebuah profesi, pekerjaan sosial
harus objektif dan bebas nilai; (2) konsep spiritualitas terlalu tidak jelas apabila
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
dijadikan landasan ilmiah profesional bagi praktik, pengetahuan, dan penelitian
pekerjaan sosial; (3) spiritualitas dan agama sangat terkait dengan ide-ide
supranatural atau pengalaman pribadi yang tidak seharusnya dibawa ke domain
publik lembaga pekerjaan sosial; dan (4) agama bersifat dogmatis, kaku, menindas
(opresif), dan bersifat menilai/menghukum (benar/salah), yang berlawanan dengan
prinsip hak menentukan diri-sendiri (self-determination) klien (Clark, Sullivan, &
Weisman dalam Lee et al., 2009, p. xxiii-iv).
2.4.4. Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik
Seperti disampaikan sebelumnya, pendekatan ini disebut sebagai pendekatan
menyeluruh karena melibatkan aspek-aspek yang lebih komplit dari pada pendekatan
konvensional dan diklaim lebih berhasil mengatasi masalah kesehatan mental lansia.
Meski dianggap holistik, pendekatan ini juga tidak betul-betul melibatkan seluruh
aspek yang mampu menggambarkan totalitas manusia secara utuh karena eksistensi
manusia yang begitu rumit dan kompleks sampai sejauh ini masih misteri.
Dalam pendekatan yang dianggap lebih holistik ini, macam model yang telah
berkembang juga tidaklah homogen atau tidak hanya berupa model biopsikososial
spiritual/agama yang selama ini begitu sering dipromosikan. Sebagai contoh, ada
pendekatan biopsikososio-struktural yang diperkenalkan dalam sebuah buku antologi
editan Heinonen dan Metteri (2005a/b). Dalam kesimpulan, keduanya menjelaskan
bahwa pendekatan tersebut menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan
pendekatan medikal atau biomedis yang hanya melihat aspek fisik semata.
Pendekatan biomedis dianggap tidak mampu mengatasi berbagai masalah hidup si
penderita yang justru dapat menjadi penyebab atau bahkan dapat memperburuk
kondisi kesehatannya (Heinonen & Metteri, 2005b, p. 417).
Dengan mengombinasikan aspek-aspek biologis, psikologis, sosial, dan
struktural, pendekatan yang menggunakan perspektif kekuatan ini juga punya
komitmen untuk mendorong pertumbuhan, mewujudkan kondisi sejahtera, dan
memperkuat kapasitas seseorang untuk mengatasi berbagai kesulitan dan mampu
bertahan dalam situasi tanpa harapan. Menurut Heinonen dan Metteri (2005b),
pendekatan ini dibutuhkan pekerja sosial yang menangani orang-orang yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
mengalami gangguan kejiwaan, kesedihan (grief), atau merasa kehilangan (loss)
karena penyakit berat, bereavement, kekerasan, atau penyebab serius lain.
Richardson (2009) memromosikan suatu pendekatan yang menggabungkan
pekerjaan sosial tradisional dengan praktik biopsikososialkultural. Menurutnya,
pendekatan yang dianggap terpadu dan holistik tersebut diyakini lebih efektif untuk
menangani kompleksitas masalah yang dihadapi lansia (p. 327). Masalah umum
lansia dianggap kompleks karena melibatkan beragam dimensi yang saling terkait
seperti biologis, psikologis, sosial dan budaya. Masalah kesehatan fisik yang berat,
sebagai contoh, dapat memicu depresi dan kecemasan. Atau sebaliknya, kondisi
mentalnya juga dapat berpengaruh pada kondisi fisiknya. Dengan begitu, pekerja
sosial harus mempertimbangkan segala aspek untuk mengatasi keruwetan masalah
lansia baik tahap awal mendengarkan, asesmen, hingga tahap intervensi.
Menurut Musgrave (2005), berbagai kejadian hidup yang dialami lansia
seringkali berada di luar kemampuannya dan dapat mengubah pandangan hidupnya.
Apabila pengalaman tersebut sampai mengancam kedirian (ego) dan identitas
mereka, kondisi tersebut dapat menggiring lansia ke dalam kondisi krisis.
Berdasarkan teori intervensi krisis, kondisi tersebut bisa terjadi apabila seseorang
mengalami kejadian yang sangat tidak diharapkan dan menyebabkan guncangan atau
perubahan drastis dalam kehidupannya (p. 265-7). Ada tiga kemungkinan dalam
merespons krisis tersebut: menyerah putus asa (hopeless) dan tidak mampu
menghadapi masa depan; mampu bangkit kembali ke keseimbangan semula; atau
bahkan mampu tumbuh meningkat mencapai tingkat pemahaman diri (self-
understanding) dan ketahanan pribadi (Musgrave, 2005, p. 266).
Berbicara konteks masyarakat Indonesia, Romo Mudji menangkap sejumlah
fenomena yang terjadi yang dapat mengantarkan Indonesia ke kondisi krisis atau
lebih tepat dikatakan sebagai krisis nilai. Fenomena tersebut di antaranya adalah
masalah penderitaan dan kematian. Menurutnya, penderitaan bisa diketahui publik
karena diwartakan atau bisa juga diam-diam, seperti mereka yang berada di rumah
sakit, panti, atau rumah. Fakta kematian yang pasti akan dialami setiap orang juga
dapat menyebabkan krisis dengan memunculkan berbagai pertanyaan terkait tujuan
dan makna hidup yang sejauh ini dijalani (Sutrisno, 2001, p. 4-5).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
Menurut Romo Mudji, ada sejumlah ikhitiar untuk menjawab pertanyaan yang
muncul dari fenomena tersebut. Eksistensialis Jean Sartre menyebut krisis hidup
yang muncul dari absurditas dengan istilah Nausea (rasa muak), yakni hidup tanpa
arti dan hampa secara eksistensial. Albert Camus memandang absurditas hidup yang
tanpa arti dengan mengambil mitologi Yunani Sisyphus. Menurut Camus, manusia
hidup seperti dewa Sisyphus yang mencoba berkali-kali mengangkat batu bulat besar
ke bukit, namun selalu menggelinding lagi ke bawah begitu sampai ke atas. Meski
tahu resiko gagal, manusia tidak berhenti berupaya melakukannya. Viktor Frankl
menawarkan jawaban keluar dari krisis dengan cara menemukan makna hidup ini.
Erich Fromm juga turut menunjukkan jalan keluar dengan cinta kepada sesama yang
mampu melampaui cinta pada diri-sendiri (Sutrisno, 2001, p. 5-10).
Gotterer (2001) menggambarkan kondisi krisis sebagai berikut:
Tragedi seperti kematian mendadak orang yang dicintai mendorong seseorang
melakukan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Orang yang mendekati
kematian juga sering bertanya-tanya apakah ada kehidupan (akhirat) setelah
kematian. Ketika ditimpa musibah mereka mempertanyakan apa makna dan
tujuan hidup ini. Mereka yang menderita penyakit berat atau mengalami
penindasan panjang mencari-cari jalan untuk memahami apa yang
sesungguhnya terjadi (p. 187).
Dari gambaran Gotterer tersebut tampak orang-orang yang mengalami krisis
tersebut memiliki kecenderungan yang besar akan spiritualitas. Dengan demikian,
penanganan lansia dengan ragam masalah yang berat diperlukan pendekatan holistik
yang mengakomodir aspek spiritual yang mereka miliki.
Pendekatan holistik yang banyak dikembangkan dalam dua dekade akhir
dalam pekerjaan sosial adalah pendekatan biopsikososiospiritual/agama. Pendekatan
ini diajukan sebagai alternatif atas munculnya ketakpuasan terhadap penerapan
pekerjaan sosial konvensional dalam masyarakat industri dan pasca-industri yang
cenderung ke arah materialisme dan konsumerisme. Mereka butuh pendekatan
interdisiplin dan multilevel yang lebih holistik dan mencakup dua aspek itu.
Terkait model PIE dengan perspektif ekologisnya, menurut Lee et al. (2009),
penanganan kesehatan mental lebih baik jika memasukkan spiritualitas ke dalamnya,
sebagaimana disarankan Max Siporin sejak tiga dekade silam. Zapf (2007, p. 230-1)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
mempermasalahkan komponen environment (lingkungan) dalam konsep PIE yang
seringkali dipersempit hanya dalam konteks sosial. Menurutnya, penyempitan
tersebut tidaklah mengherankan karena pekerjaan sosial banyak mengadopsi disiplin
ilmu lain, terutama seperti psikologi, sosiologi, psikiatri, dan antropologi, yang
cenderung memberi penekanan lebih pada unsur masyarakat (sosial) beserta
individu. Lingkungan dalam konsep PIE harusnya punya cakupan lebih luas dari
sekadar sosial, yakni melingkupi semesta. Dari pemikiran Zapf ini, dapat dikatakan
bahwa cakupan luas itu dapat juga meliputi wilayah spiritualitas. Dan terkait wilayah
ini, Zapf (2007, p.231) juga menganalogikan reduksi konsep lingkungan hanya
dalam konteks sosial dengan pembahasan spiritualitas hanya pada tingkatan individu.
Menurutnya, pemanfaatan spiritualitas seharusnya diperluas ke hubungan individu
dan lingkungan (dalam hal ini unsur locus) sebagaimana dalam konsep PIE.
Perspektif holistik dengan melibatkan aspek spiritual dan agama telah banyak
menunjukkan efektivitasnya dalam berbagai penanganan. Sebagai contoh, Ho et al.
(2009) melakukan penelitian terhadap wanita yang didagnosis menderita kanker
payudara di Hongkong pada tahun 2004 dengan kajian kuantitatif. Penelitiannya
bertujuan menguji efektivitas penanganan dengan model “Integrative Body-Mind-
Spirit” (I-BMS) dibandingkan dengan kelompok dukungan sosial (Social Support
Group atau SS Group). Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang
ditangani dengan model I-BMS Group mengalami perbaikan yang lebih besar secara
signifikan dari sisi domain psikososial dibandingkan dengan kelompok yang
ditangani dengan SS Group. Domain psikososial yang diamati meliputi kontrol
emosional, kemampuan menghadapi kanker (cancer coping), kualitas hidup,
perkembangan pascatraumatik, dan salivary cortisol.
Paradigma baru yang lebih terpadu dapat berwujud dalam sejumlah model.
Untuk menyebut sebagian, Huguelet dan Koenig (2009) menamainya dengan model
“biopsychosocial-religious/spiritual” (p.2). Misalnya dalam Psikologi, Bastaman
(2007), menyebut metode psikoterapi yang mengakui totalitas manusia secara utuh
sebagai pendekatan “biopsychosocial-cultural-spiritual” (p. 97). Ada juga sebuah
model baru hasil integrasi Filsafat Timur, terutama China, dengan teknik-teknik
terapeutik yang dikembangkan the Center on Behavioral Health di Hongkong yakni
“ Integrative Body-Mind-Spirit Social Work” (Lee et al., 2009).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
2.5. Spiritualitas dan Agama
Bagian ini akan menjelaskan pengertian istilah spiritualitas dan padanannya,
ruhaniyah. Sebelum itu, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian etimologis dari
asal istilah ini yakni spirit atau ruh dan spiritual. Istilah lain terkait aspek ini, yakni
spiritisme atau spiritualisme, juga dijelaskan secara singkat. Penjelasan berikutnya
adalah agama yang mencakup pengertian dan komponen pentingnya. Agama turut
dibahas karena dalam masyarakat Indonesia spiritualitas banyak diekspresikan dalam
aspek agama. Terakhir akan dijelaskan hubungan antara kedua aspek tersebut.
2.5.1. Spiritualitas
Spiritual merupakan adjektif dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan
dari bahasa Inggris. Kata bendanya, spirit, berasal dari bahasa Latin spiritus atau
spiritualis yang artinya dekat dengan kata ruh, yang secara bahasa berarti nafas
(Bagus, 2000, p. 957, 1034; Swinton, 2001, p. 14; Hendrawan, 2009, p. 18; Glassè,
1999, p. 345). Kata spirit dalam beberapa bahasa di dunia, seperti ruach (Ibrani),
pneuma (Yunani), prana (Sansekerta), dan qi (China) juga berarti nafas dan kekuatan
vital (Canda & Furman, 1999, p. 290; 2010, p. 327). Kata ruh yang merupakan istilah
Arab, rûh, punya pengertian asal: nafas hidup, jiwa, atau spirit (Cowan, 1971, p.
365). Kata spirit, menurut Hendrawan berarti prinsip yang menghidupkan atau vital
yang menghidupkan organisme fisik; makhluk supranatural; dan kecerdasan atau
bagian non-materiil dari manusia (p. 18). Istilah Yunani untuk spirit adalah psyche
yang pengertiannya mengacu pada prinsip kehidupan (Bagus, 2000, p. 957).
Menurut Swinton (2001), spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial
yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Istilah
ini punya kaitan erat dengan spiritualitas, namun tidak sama. Untuk memahami
spiritualitas, karakteristik spirit manusia harus dimengerti terlebih dulu. Ketika
pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara
merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas (Swinton, 2001, p.14).
Kata spiritual itu sendiri bisa berarti sesuatu yang berhubungan dengan spirit,
yang suci, dan fenomena atau makhluk supranatural (Hendrawan, 2009, p. 18).
Dalam Kamus Filsafat karya Bagus, kata ini mengandung pengertian sesuatu yang
bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan-kemampuan mental, intelektual,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
estetik, dan religius. Pengertian lain mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang bersifat
nonmaterial seperti cinta, belas kasih, keindahan, kebaikan, kejujuran, dan
kebenaran, dan perasaan atau emosi keagamaan (p. 1034).
Tentang istilah ruh, Bagus (2000) menjelaskan beberapa pengertian di
antaranya yaitu nafas kehidupan dan jiwa atau sisi imaterial manusia sebagai sumber
kesadaran (dan kehendak) serta fungsi-fungsi kehidupan seperti pertumbuhan, selera,
dan perasaan (p. 957). Meski pengertiannya sepadan dengan kata spirit, menurut
Glassè (1999), ruh secara khusus terkait dengan aspek jiwa yang bersifat non-
individual, yakni intellect atau nous. Istilah Arabnya al-’aql al-fâ’il atau fâ’il (active
intellect), sebagai kebalikan dari istilah jiwa (psyche atau an-nafs). Jiwa manusia
berkedudukan lebih rendah ketimbang ruh. Ar-Rûh atau jiwa yang terdapat pada
individu senantiasa bersama dengan Being, al-Wujûd, atau al-‘Aql al-Awwal (Intelek
Pertama), sehingga hal ini menyebabkan derajat manusia lebih tinggi ketimbang
binatang dan bahkan dibanding Malaikat. Ar-Rûh juga mengandung pengertian
sebagai Hakikat (kenyataan), atau as-Sirr (rahasia) pada seorang individu (p. 345).
Beberapa pandangan filsuf tentang ruh dikutip Bagus (2000). Menurut para
filsuf kuno, ruh dianggap sebagai kegiatan pemikiran abstrak dan prinsip adirasional
yang ditangkap secara langsung dan intuitif. Aristoteles mengidentifikasi pemikiran
tentang pemikiran sebagai kegiatan ruh tertinggi, namun menurut agama ruh tertinggi
adalah Tuhan atau Ada Adikodrati yang hanya mampu dikenali melalui iman.
Sementara menurut Hartman, ruh adalah dimensi eksistensi manusia yang mampu
berhubungan dengan suatu realitas ideal dan berurusan dengan nilai-nilai (p. 958-59).
Spiritualitas punya padanan istilah Arab rûhiyyah atau rûhâniyyah dan telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ruhaniah atau rohaniah. Keduanya
berasal dari kata dasar rûh (jamaknya: arwâh) yang berarti mentalitas, perilaku
mental (mental attitude), atau kerangka berpikir (frame of mind) (Cowan, 1971, p.
365). Selain rûhâniyyah, Nasr (2002) menyebut istilah padanan lain yang berasal dari
bahasa Persia, yakni ma’nawiyyah (p.xxi). Dalam The Penguin Dictionary of
Religions, Hinnells (1995) menyatakan spiritualitas tidak punya definisi baku karena
pengertiannya berbeda-beda pada setiap konteks. Namun, berdasarkan berbagai
pengertian etimologis, Hendrawan menyimpulkan istilah ini terkait tiga hal: (1)
menghidupkan, tanpa spiritualitas organisme mati secara jasadiah atau kejiwaan; (2)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
memiliki status suci (sacred) dan lebih tinggi daripada yang materiil (profane); dan
(3) terkait dengan Tuhan sebagai causa prima kehidupan (p. 18).
Menurut Hinnels (1995), terdapat tiga tingkatan yang berbeda namun saling
berkaitan tentang pemahaman kontemporer spiritualitas: (1) spiritualitas sebagai
pengalaman atau praksis. Dalam konteks keagamaan hal ini dapat dilihat sebagai
kearifan iman yang dijalani atau dialami; (2) spiritualitas sebagai ajaran yang
menumbuhkan praksis dan kemudian menuntunnya; dan (3) kajian sistematis,
komparatif, dan kritis tentang pengalaman dan ajaran spiritual yang berkembang saat
ini dengan cara yang baru (p. 495). Apabila mengacu ke tingkatan pertama, yakni
dalam artian sebagai praksis yang dijumpai sepanjang sejarah manusia, bukan
sebagai satu konsep atau gagasan, spiritualitas selalu hadir di hati sanubari manusia
untuk menemukan totalitas, kedamaian, kebahagiaan, dan kesenangan.
Di samping tidak ada definisi baku, spiritualitas juga punya banyak ragam
ekspresi atau ungkapan. Ragam ekspresi tersebut bisa bersifat keagamaan maupun
non-keagamaan (Hugen, 2001) dan berbeda dari budaya ke budaya, dari agama ke
agama, dan dari waktu ke waktu. Di setiap tradisi keagamaan, misalnya, akan
dijumpai banyak aliran ataupun madzhab yang berbeda tentang spiritualitas, bahkan
di dalam satu agama sekalipun (Hinnels, 1995, p. 495).
Hinnels (1995) mengklaim istilah spiritualitas berakar dari tradisi Kristiani
yang tercermin dalam pandangan teologi dan praktik keagamaan yang panjang.
Banyak agama lain tidak memiliki istilah persis untuk spiritualitas. Nasr (2002) yang
mengedit ensiklopedi tentang spiritualitas Islam juga mengakui bahwa istilah ini
punya konotasi Kristen sangat kuat, namun tetap ada padanannya dalam tradisi
Islam. Meskipun begitu, menurut Hinnels, dalam konteks global saat ini istilah
tersebut menjadi universal yang mengacu ke upaya “pencarian tujuan dan makna.”
Pengertian ini digunakan untuk konteks dalam agama, di luar agama, antar-agama,
dan bahkan sekular (p. 494-5). Pencarian tersebut berorientasi ke dalam yang sering
dilawankan dengan aspek material, fisikal, atau eksternal.
Nasr (2002) menyimpulkan bahwa dalam konteks Islam padanan istilah
spiritualitas tersebut mengandung sejumlah pengertian. Pertama, terkait padanan
istilah rûhâniyyah, spiritualitas merujuk ke sesuatu yang berhubungan dengan “dunia
ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas, dan disamakan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
dengan hakiki...” yang bersifat abadi (p.xxii). Pengertian lain mengacu ke datangnya
barakah (berkah) atau anugerah ke alam raya dan kehidupan manusia sebagai akibat
dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Istilah tersebut juga berkaitan dengan
kesempurnaan moral dan keindahan jiwa; dan perasaan akan “kehadiran” dan
kedekatan dengan Tuhan dan dunia ruh. Sementara apabila mengacu ke padanan
ma’nawiyyah yang arti harfiahnya makna, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu
yang bersifat batin (dimensi esoteris), “yang hakiki”, dan ruh (p. xxii-iii).
Dalam konteks masyarakat Indonesia, bagi Romo Mudji makna spiritualitas
atau kerohanian seperti itu direpresentasikan dengan istilah religiositas (atau
keberagamaan). Menurutnya, istilah ini merujuk ke pengertian kesadaran nurani
manusia akan nilai dan tujuan hidup yang prosesnya tergantung pada hubungan
manusia dengan Yang Ilahi. Bahasa agama dari religiositas ini adalah keimanan.
Selain itu, istilah ini merupakan sesuatu yang bersifat “inti” atau “batin”, sebagai
lawan dari sesuatu yang “luar”, karena menyangkut perasaan manusia yang bersifat
“misterius dan mistikus” (Sutrisno, 2012, p. 105-6).
Makna asal dari kata Inggris “spiritual” itu sendiri merupakan lawan dari sifat
kehidupan gereja, yaitu kehidupan duniawi atau kebendaan/materialistik (Hinnels,
1995; Nelson, 2009). Kata Hinnels (1995), spiritualitas adalah upaya menumbuhkan
sensitivitas kepada diri-sendiri, orang lain, makhluk non-manusia, dan kepada Tuhan.
Spiritualitas juga berarti eksplorasi atau pencarian tentang segala sesuatu yang
diperlukan untuk menjadi manusia seutuhnya (p. 495). Dengan kata lain, seperti
disampaikan Nelson (2009), spiritualitas merupakan istilah yang umum digunakan
untuk menjelaskan upaya manusia mencari sesuatu yang transenden (p. 8).
Istilah lain terkait kata spirit adalah spiritisme dan spiritualisme. Spiritisme,
menurut Mudhofir (1996), adalah semacam kepercayaan kepada roh-roh yang berko-
eksistensi dengan alam manusia. Manusia dapat berhubungan atau berkomunikasi
dengan roh-roh melalui cara khusus untuk memanfaatkan kekuatannya. Perbuatan
atau respons yang dilakukan roh disebut kerasukan (spiriting). Kepercayaan atau
pemujaan terhadap roh-roh disebut polidaimonisme (p. 239-40).
Sedangkan spiritualisme mengandung beberapa pemahaman di antaranya
yaitu: (1) roh atau spirit (pneuma, Nous, Reason, Logos) merupakan lawan dari
materialisme, yaitu realitas terdalam dan berada dalam alam semesta yang menjadi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
dasar dan penjelasan rasional; dan (2) kepercayaan terhadap roh-roh orang yang
sudah meninggal, namun melalui perantara masih dapat berhubungan dengan orang
masih hidup dengan bentuk penjelmaan tertentu (p. 240). Pengertian kedua ini,
menurut Nelson (2009)p, pernah dipakai pada masa abad ke-19, yakni mengacu ke
upaya untuk berhubungan dengan roh-roh atau fenomena psikis lain. Menurutnya,
istilah spiritualitas juga masih belum umum digunakan pada masa itu (p. 8). Dua
abad sebelumnya, abad ke-17, istilah ini digunakan pertama kali, namun dengan
konotasi negatif yakni jika melalui pengalaman religius, semacam praktik mistisisme
(Kristiyanto, 2005, p. 2).
Dari uraian di atas dapat diringkas bahwa spiritualitas berasal dari kata benda
spirit, yang pengertiannya sepadan dengan istilah Arab ruh/roh (bahasa Indonesia:
ruhani/rohani), dan punya kata sifat spiritual. Spirit atau ruh berarti nafas yang vital
bagi kehidupan. Spirit juga sering dipadankan dengan istilah Yunani psyche atau
jiwa sebagai sisi imaterial manusia, sebagai sumber kesadaran, kehendak, dan fungsi
kehidupan manusia. Jiwa di sini, dengan mengacu ruh sebagai sebuah istilah Arab,
khusus terkait dengan aspek jiwa non-individual atau intelek (kecerdasan). Sehingga
ruh yang dimaksud berlawanan dengan jiwa (psyche) yang dalam bahasa Arabnya
setara dengan an-nafs. Ruh berkedudukan lebih tinggi ketimbang nafs, karena ruh
adalah Hakikat dan senantiasa bersama dengan Being atau al-Wujûd.
Spiritualitas menurut praktisi sebagai kerangka perspektif untuk penelitian ini
diperoleh dari ringkasan uraian sebelum ini. Kata spiritual berkaitan dengan sesuatu
yang bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan mental, intelektual, dan nilai-
nilai kemanusiaan seperti cinta, belas kasih, estetika, kejujuran, kebenaran, dan rasa
keagamaan. Spiritual juga bisa mengacu ke sesuatu yang suci atau sakral dan
fenomena supranatural. Sementara itu, spiritualitas atau ruhaniah/rohaniah terkait
dengan Tuhan sebagai causa prima, sehingga bersifat sakral. Ia berlawanan dengan
aspek material, fisik atau eksternal yang bersifat profan. Pengertian umumnya adalah
ikhtiar pencarian tujuan dan makna hidup manusia dan berkaitan dengan
transendensi atau ilahiah yang melampaui kehidupan dunia. Spiritualitas memiliki
ragam ekspresi atau ungkapan baik bersifat keagamaan ataupun non-keagamaan yang
berbeda-beda tergantung konteks budaya, agama, dan zaman.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
2.5.2. Agama
Agama terjemahan dari religion (Inggris) atau religie (Belanda) yang berasal
dari Latin, religio. Kata ini berasal dari kata kerja Latin religare, artinya mengikat
dengan kencang, atau kata kerja relegere, artinya membaca kembali atau membaca
berulang-ulang dan penuh perhatian (Bagus, 2000, p. 12). Dalam bahasa Arab, istilah
agama sering disepadankan dengan kata dîn. Menurut Glassè (1999), kata ini umum
digunakan untuk mengacu ke pengertian agama dan amalan-amalannya. Kata lain
dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan istilah agama adalah Millah (artinya:
sebuah jalan), yang digunakan untuk menyebut agama tertentu (p. 74).
Menurut Bagus (2000), agama mengatur urusan hubungan antara manusia,
dunia, dan Tuhan. Terkait dengan pengetahuan, agama membutuhkan ekspresi atau
ungkapan, entah dengan kata-kata, perilaku, atau simbol-simbol tertentu karena
agama ada untuk manusia yang terdiri atas tubuh dan perasaan. Seandainya agama
bersifat murni internal atau spiritual, maka tidak akan bertahan lama karena
berlawanan dengan kodrat manusia. Begitu pula kaitannya dengan kehidupan sosial,
kodrat manusia punya kecenderungan hidup bermasyarakat, maka agama tidak bisa
menjadi urusan pribadi atau individu semata. Namun, agama menjadi urusan
komunitas dan dengan begitu, agama sepatutnya ditopang oleh komunitas. Dari sini,
agama mengindikasikan suatu institusi atau lembaga yang di dalamnya terdapat
sekumpulan orang yang secara teratur melaksanakan suatu ibadah. Individu-individu
dalam kelompok ini juga menerima seperangkat ajaran yang menuntun mereka
berhubungan atau berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat
terdalam atau kenyataan tertinggi (p. 13-4).
Nelson (2009) menjelaskan bahwa sebelumnya pengertian agama mengacu ke
segala aspek dari hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat ilahiah atau
transenden. Transenden, menurut Meissner seperti dikutip Nelson (2009), berarti
sesuatu yang lebih besar ketimbang makhluk manapun yang menjadi “asal-mula dan
tujuan dari segenap hidup dan nilai manusia” (p. 3). Namun, saat ini agama lebih
dipahami sebagai sebuah jalan hidup yang tidak saja berkutat pada sesuatu yang
transenden, tetapi juga yang imanen atau yang kekal dalam kehidupan ragawi atau
pengalaman keseharian. Terkait dengan transendensi dan imanensi ini, Nelson (2009)
menyinggung perbedaan tradisi agama-agama besar di dunia bahwa Islam lebih
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
menekankan transendensi, sebaliknya agama-agama Timur lebih ke imanensi. Di
tengah-tengah ada Kristen yang secara imbang menekankan keduanya (p. 3-4).
Dari berbagai batasan pengertian agama di atas dapat disimpulkan agama ada
untuk manusia. Agama mengatur hubungan/komunikasi antar manusia, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Karena manusia adalah makhluk sosial
yang punya kecenderungan hidup bermasyarakat, agama tidak hanya menjadi urusan
pribadi, tapi juga urusan bersama komunitas. Agama akan terus lestari kalau
ditopang komunitas. Komunitas beserta sekumpulan individu mendukung keberlang-
sungan agama dengan menerima ajaran dan menjalankan ibadah melalui tradisi,
sehinga agama menjadi terlembaga. Di dalamnya juga terakumulasi berbagai
ekspresi/ungkapan dari keyakinan atau keimanan melalui kata-kata, perilaku, dan
simbol-simbol yang berupa teks kitab suci, aktivitas ritual atau upacara, mistisisme,
kepercayaan, teologi, bangunan, pakaian, perlengkapan, dan lain-lain.
Sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial juga tidak lepas dari
pengertian agama di atas. Dalam perspektif teori sistem sosial (social systems), Dale
et al. (2006), misalnya, menganggap agama sebagai “organisasi sosial yang
terlembaga yang berfungsi sebagai kohesi sosial dengan cara penyebaran nilai dan
keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya...” (p. 51). Tisdell (dalam Swartz &
Tisdell, 2008, p. 29) juga mendefinisikan agama sebagai “suatu komunitas keimanan
terlembaga yang memiliki doktrin dan tuntunan tingkah laku yang tertulis.”
Kajian sosiologis tentang agama lebih menekankan fungsi sosial atau,
sebaliknya, disfungsi sosial dari agama. Mengutip Loewenberg (1988), Hugen
(2001) menjelaskan fungsi dan disfungsi agama dalam tradisi pemikiran Durkheim
dan Weber. Menurut Loewenberg, agama punya fungsi (Hugen, 2001, p. 11):
1. integratif melalui penanaman norma dan nilai;
2. kontrol sosial dengan menerapkan tatanan, disiplin, dan otoritas;
3. dukungan emosional dari penganut lain ketika dibutuhkan;
4. pembentukan identitas;
5. sebagai sumber kesehatan fisik dan mental yang positif; dan
6. membuat keluarga, perkawinan, dan komunitas lebih bahagia atau stabil.
Sebaliknya, Loewenberg juga merinci disfungsi sosial agama sebagai berikut
(Hugen, 2001, p.11-2):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
1. menyuburkan fanatisisme, intoleransi,dan prasangka;
2. dalam masyarakat plural, agama bisa memecah-belah dan mengontraskan
masyarakat menjadi kelompok yang beriman dan yang tidak beriman; dan
3. agama lebih berpihak pada kemapanan, langsung atau tidak langsung, dengan
mengalihkan perhatian dari ketimpangan sosial.
Begitu juga dalam tradisi pemberian pertolongan profesional, pengertian
agama masih mencerminkan pengertian asal dan epistemologis. Contohnya, Kirst-
Ashman dan Hull, Jr. (2006) mendefinisikan agama sebagai “keyakinan spiritual
seseorang tentang asal-usul, sifat, dan alasan keberadaannya di dunia, yang biasanya
bersandar pada eksistensi Zat (-zat) yang lebih kuasa” (p. 376). Keyakinan tersebut
biasanya berupa ritual dan ajaran atau tuntunan moral atau kebenaran. Sedangkan,
Sheridan (2009) mendefinisikan agama sebagai “seperangkat keyakinan, praktik, dan
tradisi yang dialami di dalam suatu lembaga sosial yang spesifik yang terus-
menerus” (p. 278).
2.5.3. Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan kedua aspek itu memiliki
kesamaan maupun perbedaan dengan spiritualitas. Keduanya punya dimensi saling
beririsan (overlapping). Sampai tahap tertentu, spiritualitas terkandung dalam ajaran-
ajaran agama yang terlembaga (organized religion) semacam Islam, Kristen, Budha,
Hindu, atau Konghucu. Artinya penganut agama tertentu dapat mengamalkan
dimensi-dimensi spiritual berdasarkan keyakinan agama atau bersumber dari
penafisran kitab suci agama yang bersangkutan. Bagi yang aktif dalam tradisi
keagamaan, spiritualitas dan agama berkaitan, kata Tisdell (dalam Swartz & Tisdell,
2008). Bahkan melalui pengalaman keagamaan dan praktik mistisisme, spiritualitas
dianggap sebagai pusat dan inti terdalam dari agama (Hinnels, 1995, p. 495).
Namun, orang bisa dikatakan sangat spiritual tanpa memeluk atau meyakini
agama tertentu. Fenomena semacam ini banyak terjadi di masyarakat Barat. Menurut
Hidayat (2013), mereka enggan memeluk agama tertentu, namun gandrung terhadap
spiritualitas terkait cinta-kasih, kedamaian, dan kebaikan antar sesama. Sebaliknya,
tidak sedikit yang mengaku beragama yang hanya mengamalkan tradisi-tradisi
ekstrinsik tetapi kering akan spiritualitas. Pada wilayah ini, agama dan spiritualitas
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
menunjukkan perbedaan. Perbedaan lainnya adalah bahwa dibanding agama, aspek
spiritual lebih luas tapi kurang terlembaga.
Tentang hal itu, Nelson (2009) mengupas kaitan antara spiritualitas dan agama
dalam bukunya, Psychology, Religion, and Spirituality sebagai berikut. Para ahli
memiliki perbedaan pendapat mengenai keterkaitan spiritualitas dan agama.
Sebagian memandang bahwa spiritualitas dan agama berbeda dari sisi konsep. Untuk
masyarakat Barat yang individualistis, spiritualitas mungkin saja dapat dipisahkan
karena mereka cenderung mengamalkannya melalui pengalaman pribadi ketimbang
bersama-sama secara berjamaah dalam suatu komunitas keagamaan. Sejumlah
penelitian di Barat menunjukkan spiritualitas dan agama tumbuh tidak sejalan seiring
bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang, tingkat keberagamaan
mereka cenderung stabil, sementara kadar spiritualitas semakin meningkat,
khususnya usia 60 tahun ke atas.
Menurut Nelson, meskipun mungkin bagi seseorang menjadi spiritual tanpa
harus religius atau tidak di dalam keanggotaan formal kelompok agama tertentu,
pemisahan murni keduanya sangatlah sulit. Bahkan beberapa ahli mengatakan dalam
praktiknya tidak mungkin memisahkan spiritualitas dari agama, karena keduanya
membutuhkan satu sama lain. Dengan begitu, Nelson (2009) mengutip Emmons
(1999) yang berpendapat kajian spiritualitas terhadap mereka yang berada di luar
kelompok keagamaan akan menemui kesulitan (p. 11).
Lebih lanjut Nelson (2009, p. 11) menjelaskan tiga bentuk hubungan antara
spiritualitas dan agama yang memandang bahwa keduanya berbeda tetapi punya
keterkaitan. Pertama, agama dipandang sebagai konsep yang lebih luas dari pada
spiritualitas dan spiritualitas termasuk ke dalam agama, karena agama didefinisikan
oleh Pargament (1999), seperti juga dikutip Nelson (2009), sebagai “pencarian akan
arti penting dari hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral” (a search for
significance in ways related to the sacred). Kedua, kebalikan dari bentuk pertama,
yang ditawarkan oleh Stifoss-Hanssen, bahwa spiritualitas punya cakupan lebih luas
dari agama. Alasannya adalah bahwa kualitas dari kesakralan yang ditekankan dalam
agama tidak mungkin dialami oleh penganut ateis atau agnostik. Ketiga, agama
dipandang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, akan tetapi kesakralan atau
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
spiritualitas juga bisa didekati dengan cara-cara lain di luar agama. Perspektif ini
menegaskan bahwa spiritualitas dan agama memang berbeda tetapi beririsan.
Banyak yang berpendapat bahwa agama merupakan bagian dari spiritualitas
karena cakupannya yang sangat luas. Sejumlah ahli dalam pekerjaan sosial pun
kebanyakan memandang seperti itu. Contohnya Canda dan Furman (2010)
memasukkan agama dalam spiritualitas. Meskipun begitu, dalam hal ini harus diingat
bahwa keduanya berpendapat seperti itu dalam konteks membicarakan batasan
agama dan spiritualitas dari sisi positif, yakni keberagamaan yang sehat (healthy
religiousness) dan spiritualitas yang sehat (healthy spirituality).
Keberagamaan yang sehat merupakan ekspresi spiritualitas yang sehat pula.
Karena healthy religiousness, seorang penganut mungkin merasa bersalah atau malu
atas perbuatannya, tapi dengan perasaan bersalah yang tepat dan malu pada
tempatnya. Contoh lain, healthy religiousness dapat menjadi sumber pemecahan
masalah dan mendorong tumbuh-kembang karena kepedulian dan dukungan
komunitas agama. Bukan agama yang menyebabkan penganutnya merasa sangat
bersalah atau berdosa, rendah diri, delusi atau halusinasi, atau mendorong terjadinya
penindasan dan kekerasan terhadap kaum lemah (Canda & Furman, 2010, p. 77).
Sama halnya dengan agama, spiritualitas juga dapat diekspresikan dengan cara yang
tidak sehat, seperti keyakinan dan sikap yang membahayakan diri-sendiri dan orang
lain. Sebaliknya, spiritualitas yang sehat dapat menjadikan hidup seseorang begitu
bermakna, punya tujuan hidup yang mulia, berintegritas tinggi dan penuh tanggung
jawab, atau membuat hidup ini berkah, bahagia, dan sentosa (p. 75-6).
Gotterer (2001, p. 189) juga menyinggung spiritualitas dan agama yang dapat
berperan secara negatif maupun positif dalam praktik pemberian pertolongan,
khususnya penanganan kesehatan mental. Dikatakan negatif karena keduanya bisa
menjadi sumber masalah yang menyebabkan konflik dan bahkan menjadi penghalang
bagi proses penyembuhan itu sendiri. Kata Joseph, seperti dikutip Gotterer, agama
punya “sisi buruk” menghambat perubahan, menutup diri dari eksplorasi intelektual,
menyebabkan perasaan bersalah atau malu yang kurang perlu pada orang yang
berbuat salah, dan hanya berupa ritual-ritual mekanis tanpa makna. Sebaliknya,
spiritualitas dan keagamaan seseorang berperan positif karena justru menjadi sumber
kekuatan utama yang dapat mendatangkan inspirasi dan kenyamanan, meredam
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
62
Universitas Indonesia
emosi, atau memberikan bimbingan. Agama menjadi kekuatan bagi klien karena
dapat “menumbuhkan tanggung jawab pribadi, identitas, hormat terhadap kode etik,
ritual penuh makna, dan pembentukan komunitas” (p. 188).
2.6. Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial
Sub-bab spiritualitas dan agama ini menguraikan definisi dan komponen
spiritualitas, dimensi spiritual dalam kesehatan mental lansia, asesmen dan intervensi
spiritual, dan perspektif spiritual yang banyak dipakai dalam pekerjaan sosial.
2.6.1. Definisi dan Komponen Spiritualitas
Dalam konteks Indonesia, spiritualitas banyak diekspresikan dalam ajaran dan
tradisi keagamaan yang diamalkan secara pribadi maupun berjama’ah bersama
komunitas. Penggunaan istilah spiritualitas juga seringkali disilihgantikan dengan
agama atau keberagamaan (religiousity/religiousness). Seperti telah dibahas di awal,
penjelasan arti religius dalam regulasi pelayanan sosial lansia sebenarnya merujuk ke
makna spiritualitas. Senada dengan hal ini, Romo Mudji tampaknya lebih suka
menggunakan istilah “religiositas” (keberagamaan) untuk konteks masyarakat
Indonesia ketimbang spiritualitas atau kerohanian (Sutrisno, 2012).
Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan
Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan)
dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai
spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan
spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama
dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Oleh James (1958)
agama didefinisikan sebagai “perasaan, tindakan, dan pengalaman individu dalam
kesendirian mereka, sejauh mereka memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan
apa yang mereka anggap sebagai yang ilahiyah” (p. 42).
Pembahasan spiritualitas dalam praktik profesi pelayanan sosial (human
service practitioners), khususnya pekerja sosial, tidak bisa lepas dari agama. Oleh
karena itu, penjelasan tentang definisi dan komponen spiritualitas nanti seringkali
menyinggung agama untuk melihat perbedaan atau kesamaannya. Di akhir bagian
dijelaskan perspektif spiritualitas menurut siapa yang akan menjadi semacam
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
kerangka teori untuk mengarahkan bagaimana mencari dan meneropong data yang
muncul di lapangan.
Dalam profesi pekerjaan sosial, konsep tentang spiritualitas diartikan secara
beragam dari waktu ke waktu. Menurut Hugen (2001), penulis buku pekerjaan sosial
yang mencoba mendefinisikan spiritualitas dan agama pertama kali adalah Sue
Spencer tahun 1961. Spencer mengartikan spiritualitas sebagai “segala aspek rasa,
aspirasi, dan kebutuhan individu yang berkaitan dengan upaya manusia mencari
tujuan dan makna dalam pengalaman hidup, dan bisa terjadi meski seseorang tidak
harus berada dalam institusi gereja yang terlembaga atau menggunakan seperangkat
keyakinan dan praktik resmi” (Hugen, 2001, p.9; Canda & Furman, 2010, p.65).
Sementara agama dimengerti sebagai “seperangkat keyakinan atau praktik atau
sekelompok orang yang meyakini doktrin-doktrin tertentu tentang alam semesta dan
tentang manusia dalam kaitannya dengan alam semesta (Hugen 2001, p. 9-10).
Berbeda dengan Hugen, Canda dan Furman (2010) berpendapat upaya paling
awal memahami spiritualitas dilakukan oleh sarjana pekerjaan sosial Kristen. Seperti
dikatakan Charlotte Towle (1965), dalam Canda dan Furman (2010), tahun 1945
telah muncul pemahaman menyeluruh terhadap individu, yakni harus melingkupi
aspek-aspek material, psikologis, sosial, dan spiritual. Spiritual di sini mencakup
sumber (resource) berbasis gereja; pemahaman makna dan tujuan hidup; dan nilai
dan rasa tanggung jawab sosial. Setelah itu, baru Spencer yang menulis tahun 1956
dengan meyakini bahwa pendekatan non-sektarian untuk pekerjaan sosial dapat
diambil dari Kristenitas terkait nilai-nilai kebebasan, cinta, dan pelayanan. Tahun
1961, Spencer memunculkan definisi spiritualitas seperti telah disebutkan (p.65).
Pada dekade 1970-1980-an, menurut Canda dan Furman (2010), sejumlah ahli
tetap menekankan pentingnya spiritualitas, meskipun penelitian dan pendidikan agak
mengabaikan aspek spiritualitas dan agama. Pemahaman spiritualitas pada dekade ini
lebih inklusif dengan diperkaya perspektif eksistensialis, humanis, Buddha Zen, dan
shamanistik, di samping perspektif Kristen dan Yahudi yang telah dominan. Tahun
1985, Max Sipron memberi batasan spiritualitas dalam bukunya sebagai “aspek
moral seseorang, disebut jiwa (soul), yang berupaya mencapai keterkaitan
(relatedness) dengan sesama dan kekuatan supernatural, mencari pengetahuan
tentang realitas tertinggi, dan membentuk kerangka nilai.” Siporin telah menekankan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
ekspresi spiritualitas dapat dijumpai di dalam maupun di luar institusi agama. Tahun
1990, Siporin merevisi batasan tersebut bahwa spiritualitas tidak melulu hanya
terkait tentang Tuhan atau jiwa, karena ide-ide ini tidak selalu dijumpai dalam semua
perspektif spiritual (Canda dan Furman, 2010, p.65).
Joseph (1987), seperti dikutip Canda dan Furman (2010, p. 65), turut
mendefinisikan spiritualitas sebagai “dimensi kesadaran yang mendasari upaya
penemuan makna, kebersatuan dengan semesta, dan dengan segala sesuatu; dimensi
ini diperluas ke pengalaman tentang sesuatu yang transenden atau kekuatan yang
melampaui kita.” Tahun 1986, Canda selesai mengkaji ragam konsep spiritualitas
dalam pekerjaan sosial berdasarkan hasil penelitian dan publikasi di Amerika Serikat.
Dalam disertasinya, Canda (1986) menyebutkan sejumlah penulis yang berkontribusi
menghasilkan konsep tentang spiritualitas seperti Coughlin (1970), Brower (1984),
Hammond (1986), dan Siporin (1980, 1985).
Hasil konseptualisasi Canda tentang kepercayaan, nilai, dan praktik sejumlah
informan terkait spiritualitas dituangkan dalam artikel yang dikutip Canda dan
Furman (2010, p. 66):
... spiritualitas sebagai gestalt dari proses menyeluruh tentang kehidupan dan
perkembangan manusia yang mencakup aspek biologis, mental, sosial, dan
spiritual. Spiritualitas tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen,
namun merupakan keseluruhan sehingga disebut sebagai manusia. ... Spiritual
berkaitan dengan pencarian seseorang akan makna dan hubungan penuh
secara moral antara diri-sendiri, sesama, alam semesta, dan dasar ontologis
eksistensi, entah dipahami secara theistik, atheistik, atau kombinasi keduanya.
Berikutnya adalah Carroll (1988), seperti dikutip Canda dan Furman (2010),
yang menyimpulkan tiga gambaran umum tentang spiritualitas berdasarkan
kajiannya terhadap berbagai definisi dalam literatur pekerjaan sosial (p.66):
1. Kualitas manusia yang esensial/holistik sebagai kesatuan yang tak terbagi;
2. Suatu aspek dalam individu terkait perkembangan makna dan moralitas dan
hubungan dengan yang ilahi atau realitas tertinggi; dan
3. Pengalaman transpersonal, dimana kesadaran melampaui ego dan batas fisik,
seperti halnya pengalaman mistik.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
Hasil kajian literatur Carroll juga menunjukkan adanya upaya pembedaaan
spiritualitas dari agama. Menurutnya, “spiritualitas merujuk ke sifat dasar seseorang
dan proses pencarian makna dan tujuan sementara agama mencakup seperangkat
keyakinan yang tertata/terlembaga dan fungsi sosial sebagai cara ekspresi dan
pengalaman spiritual” (Stewart & Nash, 2002, p. 15).
Ronald Bullis (1996), seperti dikutip Hugen (2001, p. 12-3) mendefinisikan
spiritualitas sebagai “kondisi kesadaran yang terfokus dan teralihkan secara ilahiah”.
Definisi ini dianggap Hugen terlalu luas sehingga akan sulit membedakan mana
orang yang religius dan mana yang sekular. Hugen (2001) sendiri dalam bukunya
mendefinisikan seseorang dikatakan religius apabila “ia menganut atau mengiden-
tifikasikan dirinya dalam satu kelompok religius; menerima dan berkomitmen dalam
keyakinan, nilai, dan doktrin kelompok; dan berpartisipasi dalam amalan, seremoni,
dan ritual rutin kelompoknya” (p. 13).
Dari uraian di atas tampak bahwa pemahaman sejumlah ahli bidang pekerjaan
sosial tentang spiritualitas dipahami seputar pencarian makna, tujuan hidup,
hubungan dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga
memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan
maupun non-keagamaan.
Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau
penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar
mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau
komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian,
makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral
(Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow,
2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison,
2001dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti
transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun
hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi.
Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006),
terkait dengan sesuatu yang melampaui keterbatasan fisik dan menghubungkan
seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari dirinya. Sementara,
sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan, sesuatu yang ilahiah,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain” (Pargament, 2007,
p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang melampaui Tuhan"
(God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep personal Tuhan
Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat pedalaman juga
dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12).
Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam
konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009),
Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan
Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak
dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig,
McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament
(2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009).
Pemahaman umum tentang spiritualitas seperti telah diuraikan di atas juga
merupakan sebagian dari hasil review yang dilakukan Canda dan Furman (2010).
Menurut keduanya, spiritualitas banyak didefinisikan sebagai “satu aspek
individu/person yang bukan-manusia, yang disebut pencarian terhadap pemahaman
tentang makna, tujuan, keterhubungan (connectedness), dan moralitas yang secara
khusus merujuk ke apa yang dianggap sakral, transenden, dan tertinggi” (p.75).
Dari berbagai kajian, Canda dan Furman (2010) pada akhirnya mendefinisikan
spiritualitas sebagai “sebuah proses kehidupan dan perkembangan manusia yang: (1)
fokus pencarian makna, tujuan, dan moralitas, dan well-being; (2) bagaimanapun
juga dapat dipahami, dalam hubungannya dengan diri-sendiri, sesama, makhluk lain,
alam semesta, dan realitas tertinggi (misalnya dengan cara animistik, atheistik, non-
theistik, polytheistik, theistik, atau cara lain); (3) berorientasi pada prioritas-prioritas
yang paling penting; dan (4) memiliki pemahaman tentang transendensi yang dialami
secara sangat mendalam, sakral, dan transpersonal” (p. 75).
Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menggambarkan spiritualitas manusia
yang rumit dan beragam dengan metafora kain tenun. Tenunan spiritualitas manusia
tersusun dari ragam aspek yang terpintal bersama pengalaman, nilai, kepercayaan,
dan praktik spiritual. Jika spiritualitas manusia adalah kerangka atau strukturnya,
rajutan benang dari berbagai corak warna dan tekstur ikut dipintal membentuk kain
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
tenun utuh nan indah. Ragam rajutan itu bisa terdiri dari identitas, etnis, ras, kultur,
gender, umur, pandangan agama dan spiritual, dan sebagainya (p. 101-2).
Dengan kata lain, pengalaman spiritual manusia merupakan bentukan dari
berbagai aspek latar belakang manusia. Dapat dikatakan bahwa setiap tempat, kultur,
masa, dan kelompok, atau bahkan setiap individu membentuk “isi dari perspektif
spiritual yang bersifat keagamaan atau non-keagamaan” (contents of religious or
non-religious spiritual perspectives) tertentu pula (Canda dan Furman, 2010, p.103).
Menurut mereka, metafora ini berguna bagi pekerja sosial ketika hendak memahami
pola kesamaan dan perbedaan di antara pandangan spiritual yang beragam.
Agar spiritualitas dapat dibedakan dari agama, Canda dan Furman (2010)
memahami agama sebagai “seperangkat nilai, kepercayaan, simbol, perilaku, dan
pengalaman yang terlembaga yang meliputi: spiritualitas; komunitas penganut;
tradisi yang turun-temurun dari generasi ke generasi; dan fungsi dukungan komunitas
(seperti struktur organisasi, bantuan materi, dukungan emosi, atau advokasi politik)
yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan spiritualitas (p.76).
Dari sejumlah definisi atau deskripsi tentang spiritualitas, Canda dan Furman
(2010) tampaknya memberikan gambaran lengkap tentang pemahaman spiritualitas.
Senada dengan hal ini, menurut Moss (2002), buku mereka berdua mengeksplorasi
isu tersebut secara detail. Definisi spiritualitas oleh Canda dan Furman tersebut juga
membawa tantangan bagi para praktisi terkait motivasi dan dorongan mereka
terhadap tugas-tugas profesinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadikan
konsep Canda dan Furman sebagai semacam kerangka teori untuk meneropong dan
menganalisis pemahaman spiritualitas praktisi. Sebagai penelitian grounded theory,
kerangka teori di sini bukan berarti penelitian ini dipandu teori (theory-driven) atau
untuk melakukan verifikasi terhadap suatu teori secara deduktif. Akan tetapi, konsep-
konsep yang diutarakan di sini, seperti dikatakan Charmaz (2004), diharapkan dapat
“membuat peneliti menjadi peka (to sensitize) terhadap berbagai isu dan proses
tertentu yang muncul dari data” (p. 501).
Canda dan Furman (2010) membuat satu model holistik tentang spiritualitas
yang memandang manusia sebagai satu-kesatuan menyeluruh yang tidak dapat
direduksi jadi bagian-bagian. Seperti dalam Gambar 2.3, model ini menggunakan
tiga metafora: (1) spiritualitas sebagai satu aspek manusia; (2) spiritualitas sebagai
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
keseluruhan (wholeness); dan (3) spiritualitas sebagai pusat dari individu (p.87).
Metafora pertama memandang spiritualitas sebagai satu dari empat aspek, sementara
tiga yang lain berupa aspek biologis, psikologis, dan sosial. Spiritualitas berperan
sangat penting karena aspek inilah yang mampu mengarahkan manusia menemukan
makna, tujuan, keterkaitan (connectedness), dan transendensi (p.87).
Gambar 2.3. Model holistik spiritualitas
Sumber: Canda & Furman (2010, p. 87)
Metafora kedua memandang spiritualitas sebagai kualitas keberadaan manusia
yang tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian tapi justru menyatukan semua
aspek, seperti disebut metafora pertama, sebagai satu-kesatuan holistik (wholeness).
Wholeness di sini, menurut Canda dan Furman (2010, p.88), terkadang dikaitkan
dengan sesuatu yang sakral dan yang melampaui batas ego dan fisik manusia
(transenden). Sementara itu, metafora ketiga menempatkan spiritualitas sebagai pusat
dari individu (person), yang dapat dipahami sebagai jiwa (soul) atau kesadaran
manusia. Pusat ini berperan sebagai penghubung (koneksi) antara dan pusat orientasi
bagi segala aspek manusia. Dengan demikian, spiritualitas dapat menuntun seseorang
menyelam ke dalam dirinya (orientasi ke dalam) untuk berintrospeksi yang dapat
dilakukan melalui sembahyang, berdoa, meditasi, yoga, teknik pernafasan, dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
sebagainya (Canda dan Furman, 2010, p.89). Meski begitu, menurut Sheridan
(2008), sembahyang atau berdoa masih menjadi isu paling kontroversial di Barat
ketika hendak digunakan dalam intervensi pekerjaan sosial berbasis spiritual.
Terkait dengan ketiga metafora tersebut, Gambar 2.4 pada halaman berikut
menunjukkan model operasional tentang spiritualitas yang dibuat Canda dan Furman
(2010) yang akan digunakan sebagai panduan untuk meneropong dan menganalisis
pemahaman dan ekspresi spiritualitas praktisi. Dalam gambar tampak spiritualitas
dibahas baik sebagai satu-kesatuan utuh maupun sebagai satu dari aspek-aspek lain.
Kemudian, operasionalisasi spiritualitas dirinci dari sisi dorongan, pengalaman,
fungsi, proses perkembangan, komponen, dan ekspresi religius.
2.6.2. Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia
Konsep spiritualitas Canda dan Furman (2010) seperti telah dijelaskan di atas
digunakan sebagai perspektif untuk meneropong pemahaman dan praktik spiritualitas
para praktisi. Namun, untuk melihat pemahaman atau pengalaman spiritualitas lansia
dalam penelitian ini akan menggunakan konsep Elizabeth MacKinlay dan Albert
Jewell. Alasannya, penelitian dan tulisan keduanya secara khusus mengkaji
spiritualitas lansia. Konsep dan model mereka sangat relevan dan banyak dirujuk
penulis pekerjaan sosial, contohnya Mathews (2009). Adapun wilayah kesehatan
mental yang bersinggungan dengan wilayah lansia juga akan dibahas secara singkat,
terutama konsep John Swinton.
Model MacKinlay (2004a, b) dikatakan Mathews sebagai model pertama yang
mampu menangkap isu-isu spiritual lansia. Modelnya hampir sama dengan teori-teori
perkembangan, seperti teori Havighrust dan Erikson, karena berisi tahapan atau tugas
hidup (tasks) sekuensial yang mesti dicapai atau diselesaikan setiap orang di tiap
tahap (Mathews, 2009, p. 57). Akan tetapi, menurut Mathews, spiritual tasks dalam
model MacKinlay bukan merupakan fase atau tugas yang harus ditunaikan sebelum
seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti berurutan, tetapi
saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam sejumlah
kesempatan atau pengalaman hidup (p.58).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
70
Gambar 2.4. Model operasional spiritualitas Sumber: Canda & Furman (2010, p. 82)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
71
Dengan grounded theory, penelitian MacKinlay (2004a) terhadap lansia renta
(frail elders) di nursing home berhasil mengidentifikasi enam tema. Tabel 2.4
menunjukkan keenam tema beserta masing-masing gambaran tugas atau peran.
Tabel 2.4. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing
Tema yang teridentifikasi Tugas individu
Makna tertinggi dalam hidup Mengidentifikasi sumber makna tertinggi
Respons terhadap makna tertinggi Menemukan cara tepat untuk merespons
Kepuasan-diri/Kerentanan Melampaui disabilitas, kehilangan (loss)
Kearifan/Makna final Mencari makna final
Hubungan/Isolasi Menemukan kedekatan dengan Tuhan dan/atau dengan yang lain
Harapan/Kecemasan Menemukan harapan
Sumber: MacKinlay (2004a, p. 223)
Dari tema dan tugas tersebut, MacKinlay (2004b) kemudian membuat satu
model spiritual task of ageing seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Masing-masing
tugas tampak saling berhubungan, namun yang menjadi pusat adalah makna tertinggi
(ultimate meaning) dalam hidup dan bagaimana meresponsnya.
Gambar 2.5. Model the spiritual task of ageing Sumber: MacKinlay (2004b, p. 84)
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
Penjelasan sangat baik tentang spiritual tasks of ageing menurut MacKinlay
tersebut dibuat Mathews (2009). Namun, Mathews mengelompokkannya menjadi
tiga task, yaitu: (1) menemukan kedekatan (intimacy) dan hubungan (relationships);
(2) melampaui kehilangan dan disabilitas; dan (3) menemukan makna final, dimana
hidup di-review dan ditimbang-timbang kembali.
Mathews (2009) menjelaskan bahwa masalah yang sering dialami lansia
adalah kehilangan pasangan dan teman-teman, hidup sendiri, atau (merasa)
diasingkan oleh keluarga mereka. Dengan begitu, menemukan kedekatan dan
menjaga atau membangun hubungan menjadi task utama dan pertama bagi lansia.
Kedekatan atau relasi seperti tampak pada gambar bisa dengan Tuhan dan juga
dengan sesama. Relasi atau koneksi dengan sesama tidak saja dengan orang lain,
tetapi juga dengan diri-sendiri, makhluk non-manusia, dan alam semesta.
Task pertama terkait juga dengan pencarian asa, yang menjadi salah satu unsur
penting bagi well-being (mencakup kebahagiaan dan kepuasan hidup). Mathews
(2009) menyebutkan sejumlah contoh asa yang umum didambakan setiap orang,
termasuk lansia, yaitu: menikmati waktu lebih baik; akan memiliki kesehatan baik;
akan bertemu dengan orang-orang tercinta lagi; akan terbebas dari sakit atau
kepedihan (p.58). MacKinlay (2004b, p.82) sendiri, seperti juga dikutip Mathews
(2009), menyebutkan contoh harapan: hasrat menggebu untuk melihat anak-cucu
mereka sukses dalam hidup. Kemudian, Mathews (2009) menjelaskan lawan dari
harapan adalah ketakutan dan kecemasan. Contohnya takut mati atau kehilangan
orang terdekat, takut kehilangan rumah, takut kehilangan memori tentang seseorang,
takut miskin, dan seterusnya (p.58).
Task berikutnya adalah upaya menghadapi kehilangan dan disabilitas.
Hilangnya independensi dan menjadi bergantung pada orang lain adalah salah satu
ketakutan nyata yang dirasakan lansia di Barat. Salah satu tantangan bagi mereka
adalah perjuangan melewati (workthrough) atau melampaui (transcend) pengalaman
kehilangan, merasa nyaman menjadi lebih tergantung kepada orang lain, sembari
tetap mempertahankan individualitas yang membentuk siapa diri mereka (Mathews,
2009, p. 58).
Terakhir, menemukan makna final dengan melihat dan menimbang kembali
hidup yang telah dijalani. MacKinlay (2004b, p.80), seperti dikutip Mathews juga,
mengatakan bahwa masa tua punya kesempatan untuk: “...kembali ke kehidupan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
sebelumnya dan menegaskan, membingkai kembali, untuk melihat siapa diri kita
berdasarkan apa yang telah kita lalui dan telah kita jalani dan belajar sepanjang
hayat.” Kata Mathews (2009), apabila pengalaman tersebut terasa menyakitkan dan
tidak bisa diterima, tentu sulit bagi mereka untuk memahaminya (p.58).
Memupuk asa dan tidak berputus asa seperti pada task pertama di atas selaras
dengan kemampuan lansia untuk bertahan hidup dalam kondisi sesulit apapun.
Kemampuan ini dapat terkait dengan semangat atau daya hidup yang mereka miliki.
Sangat tepat apabila Baskin (2007, p.194) mengatakan: “Spiritualitas bukan hanya
tentang kematian dan prosesnya–tetapi juga tentang kehidupan dan menjalani hidup”
(Spirituality is not only about death and dying–it is about life and living). Dari
pernyataan ini dapat dikatakan lansia yang memiliki spiritualitas positif akan berani
menghadapi hidup, bukannya menyerah untuk hidup dan pasrah menunggu kematian.
Selain itu, mereka juga akan mudah bersyukur atas apa yang terjadi dan
dialami. Ini dibuktikan Brennan, Laditka, dan Cohen (2005) yang mengeksplorasi
perasaan lansia ketika membuat kartu pos yang diandaikan dikirim ke Tuhan
(postcards to God) dan sereligius apakah anggapan tentang diri mereka. Hasilnya,
sebagian besar menunjukkan kepuasan dan mampu mengekspresikan rasa syukur
kepada Tuhan dan orang lain. Respons ini juga ada pada lansia yang cemas dan
frustrasi yang postcard-nya menggambarkan pengharapan akan kebahagiaan dan
kasih sayang terhadap sesama (p. 214-5). Lansia yang sangat religius memunculkan
tema-tema Tuhan yang Mahakuasa dan Mahatahu. Mereka yang merasa agak
religiuspun tetap merasakan berkah hidup dan kasih-sayang kepada Tuhan.
Sementara, kelompok yang tidak yakin akan religiusitasnya masih menunjukkan
cinta dan perhatian untuk sesama (h. 215-6).
Model the spiritual tasks of ageing di atas kemudian dikembangkan lagi oleh
MacKinlay (2006) menjadi semacam model yang lebih umum tentang tugas-tugas
spiritual dan proses penuaan (generic model of spiritual tasks and process of ageing)
seperti tampak pada Gambar 2.6.
Model baru tersebut, menurut MacKinlay (2006), harus dipahami sebagai
“model dinamis interaktif” dimana makna inti dan tertinggi, yang menjadi pusat
model, akan mempengaruhi dan berhubungan timbal-balik bagaimana merespons
empat tasks yang lain. Dinamai dinamis interaktif karena model tersebut dipahami
sebagai sebuah proses, dimana semua task bukanlah urut-urutan sekuensial dari
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
bawah ke atas dan harus dilalui setiap orang. Akan tetapi, hampir sama dengan
model psikososial Erikson, orang bisa saja maju-mundur dalam melalui tahap-tahap
tersebut. Dengan model ini, MacKinlay memandang bahwa setiap individu selalu
berada dalam “proses untuk menjadi” (the process of becoming). Kemudian, model
ini tidak saja untuk kelompok lansia, tetapi juga relevan bagi yang lebih muda,
khususnya mereka yang menderita penyakit berat dan penyakit mental semacam
Down Syndrome (p. 22).
Gambar 2.6. Model generik spiritual tasks and process of ageing
Sumber: MacKinlay (2006, p. 23)
Lebih jauh, MacKinlay (2006) membuat kerangka baru yang merinci
perawatan spiritual pada setiap spiritual task di atas, seperti tampak pada Tabel 2.5.
Khusus untuk perawatan lansia di panti werdha (residential aged care),
MacKinlay (2006) juga menawarkan satu model lain terkait spiritual tasks of ageing
seperti tampak pada Gambar 2.7. Model ini memfasilitasi kebutuhan utama bagi
lansia di panti yang terpisah dari keluarganya, yaitu kebutuhan akan kedekatan
(intimacy) dengan yang lain di panti dan juga dengah Tuhannya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
Tabel 2.5. Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing
Spiritual tasks of ageing Spiritual care
Menemukan makna tertinggi (bagi diri mereka)
• Memfasilitasi hubungan dengan lansia • Memfasilitasi rekonsiliasi sesama anggota keluarga • Membantu orang mengatasi perasaan bersalah • Memfasilitasi rekonsiliasi dengan Tuhan • Mendukung orang terkait perasaan dicintai orang lain/Tuhan
Transendensi: Membantu orang untuk bergerak dari self-centredness ke self-transcendence
• Menggapai rasa/kondisi penerimaan diri • Menerima dan menghadapi proses penuaan • Hidup dengan kondisi penyakit kronis dan disabilitas • Menemukan makna seiring bertambah renta • Mengatasi kemarahan • Mengatasi kesedihan (grief)
Strategi spiritual: Respons terhadap makna tertinggi
• Berdoa bersama klien • Membaca kitab suci dan buku-buku agama • Membantu lansia beribadah sesuai keyakinan • Membantu klien membangun strategi spiritual menurut
kebutuhan individu, termasuk memanfaatkan musik, seni, dan meditasi
• Merujuk orang yang membutuhkan pengampunan ke gereja atau layanan pastoral
Berada “dengan” klien: Kedekatan hubungan dengan Tuhan dan/atau makhluk lain
• Mendengarkan dan hadir dekat klien • Berhubungan dengan klien • Membangun hubungan rasa saling percaya dengan klien • Melayani lansia sepenuh hati • Menghargai integritas seseorang
Penemuan makna: Dari makna hidup sementara ke makna akhir
• Memfasilitasi mengenang masa lalu (reminiscence) dan me-review hidupnya
• Membantu lansia menemukan makna akhir • Membantu orang menemukan makna dalam penderitaan dan
kematian Asa/harapan • Membantu lansia yang sedang ketakutan akan masa depan
• Melayani orang yang sedang putus asa • Menegaskan orang dalam pencarian harapan • Mendukung orang yang dalam proses kematian (spiritualitas
dalam perawatan paliatif) • Mendukung orang akan harapannya di akhirat
Sumber: MacKinlay (2006, p. 36-7)
Menurut Jewell (2004), masa akhir kehidupan memiliki sejumlah kebutuhan
yang disebutnya sebagai enam ‘-asi’, yaitu: isolasi, afirmasi, selebrasi, konfirmasi,
rekonsiliasi, dan integrasi (p. 21-2). Mathews (2009) mengambil tiga dari kebutuhan
lansia menurut Jewell ini untuk melengkapi tasks menurut MacKinlay (2006) di atas,
yakni: afirmasi, selebrasi, dan konfirmasi (p.59). Menurut Mathews (2009), afirmasi
adalah menyatakan kembali baik secara kolektif maupun individu bahwa kehidupan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
mereka berharga dan/atau dihargai. Selebrasi berarti perayaan atas capaian dan
prestasi. Sementara, yang dimaksud konfirmasi adalah bahwa kepercayaan dan nilai-
nilai inti dalam hidup sangatlah berarti. Mathews mengilustrasikan, orang semakin
renta, rentan, dan pikiran tentang kematian sering memantik pertanyaan dan
keraguan dalam pikiran mereka. Contohnya: Apa cuma begini yang namanya hidup?
Sudahkah hidupku ini bermanfaat, berharga? (p.59).
Gambar 2.7. Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan panti Sumber: MacKinlay (2006, p. 178).
Swinton (2001) merinci dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan
sebagai berikut: (1) ketakutan akan konsekuensi dari perbuatan dosa; (2) kehilangan
makna hidup; (3) pikiran dan tindakan obsesional religius; (4) ketidakmampuan
mengingat Tuhan; (5) rasa keterasingan dan bimbang; (6) hilangnya keyakinan
spiritual sebelumnya; dan (7) tidak punya visi masa depan atau takut mati (p. 164).
Menurutnya, dimensi spiritual pada stres dan kecemasan kurang dikenali padahal
akibatnya cukup fatal apabila gangguan ini tidak ditangani secara cepat, yakni
terjadinya krisis eksistensial yang serius.
Pada gangguan depresi juga ada sejumlah dimensi spiritual yang harus
dikenali yaitu: (1) putus asa atau sedih; (2) kehilangan makna hidup; (3) kehilangan
hubungan atau tidak memiliki rasa mencintai atau dicintai; (4) alienasi dari Tuhan
atau kekuatan yang lebih besar; (5) hilangnya kekuatan batin; (6) kesepian atau
kesedihan; (7) putus asa, malu, dan merasa bersalah (Swinton (2001, p. 167).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
2.6.3. Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan spiritualitas memiliki ragam ekspresi
seperti halnya agama yang membutuhkan ungkapan kata-kata, perilaku, dan simbol
dalam komponen tradisi, praktik, kepercayaan dan-lain-lain. Menurut Fowler (dalam
Hugen, 2001), agama merupakan akumulasi dari tradisi-tradisi atau ekspresi dari
keimanan dan keyakinan seseorang, yakni berupa teks kitab suci, kepercayaan,
teologi, tradisi lisan, ritual, musik, pakaian, bangunan, dan lain-lain. Dalam istilah
Rippin (1990), model-model ekspresi seperti itu disebut “paraphernalia” yang juga
berfungsi sebagai identitas suatu agama (p. 86). Ketika dimanfaatkan dalam praktik
pekerjaan sosial terapeutik, kedua aspek tersebut juga memiliki ungkapan yang
sangat bervariasi, baik dalam asesmen maupun intervensi.
Bagian berikut menjelaskan sejumlah praktik terapeutik dalam penanganan
lansia yang mengalami masalah mental karena penyakit kronis atau yang mematikan,
kehilangan orang-orang yang dicintai, cacat karena kecelakaan, kecemasan akan
kematian, korban kekerasan dan lain-lain. Praktik terapeutik yang dimaksud secara
garis besar meliputi teknik asesmen dan intervensi yang dianggap relevan untuk
menangani masalah mental lansia. Asesmen dan intervensi penting dibahas di sini
karena salah satu tujuan penelitian ini adalah kemungkinan dibangunnya model
praktik pekerjaan sosial yang melibatkan spiritualitas. Sementara, asesmen dan
intervensi, menurut Holloway (2007), adalah inti pekerjaan utama (core business)
dalam profesi pekerjaan sosial.
2.6.3.1. Asesmen berbasis spiritualitas
MacKinlay (2004a) mengatakan bahwa asesmen spirritual sangatlah penting
bagi upaya mewujudkan kesehatan, baik untuk memulihkan maupun menjaga
kesehatan mereka. Gagal melakukan asesmen dengan baik akan berakibat kegagalan
dalam pemenuhan kebutuhan lansia. Menurutnya, untuk memahami bagaimana
melakukan asesmen dengan baik, khususnya terhadap lansia, di antaranya adalah
mengaitkan proses penuaan dengan spiritualitas lansia (p. 20).
Metode/pendekatan asesmen yang melibatkan aspek spiritual bervariasi, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Namun menurut Hodge (2001b), dengan mengutip
Franklin dan Jordan, metode kualitatif dianggap lebih baik karena “lebih holistik,
open-ended, individualistik, idiografik, dan berorientasi proses” (p. 204). Asesmen
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
open-ended umum digunakan dalam asesmen, termasuk untuk lansia yang menderita
penyakit kronis, untuk mengeksplorasi tema-tema: keterlibatan klien dalam
komunitas spiritual; gambaran klien tentang citra Tuhan; praktik spiritual klien
seperti berdoa, meditasi, dan membaca kitab suci (dan bagaimana dia melakukan
praktik-praktik ini terkait penyakit kronis yang diderita); dan kepercayaan dan nilai
dasar klien (Koenig, 2000 dalam Nichols & Hunt, 2011, p. 59).
Metode asesmen tersebut mirip dengan metode Hodge dalam penelusuran
sejarah keagamaan/spiritual klien. Eksplorasi itu meliputi tradisi keagamaan orang
tua klien, kepercayaan dan praktik spiritual klien, dan keterlibatan mereka dalam
komunitas/masyarakat dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan
tersebut. Spiritual history berupaya mengungkap tema-tema spiritual dan keagamaan
dengan dialog yang penuh empati. Asesmen spiritual biasanya memakai format
autobiografi-naratif, yakni dengan mengajukan serangkaian pertanyaan yang
tersusun secara kronologis. Instrumen yang bisa melengkapi spiritual history ini
berupa spiritual genogram atau spiritual map (Hodge, 2001b).
Spiritual genogram, menurut Hodge (2001a), dianggap penting karena
keyakinan spiritual dan agama klien sangat dipengaruhi keluarga, sehingga dengan
instrumen ini interaksi spiritual dan agama keluarga klien dari generasi ke generasi
(biasanya sampai tiga generasi) dapat dipetakan. Tema-tema pertanyaan untuk
membuat spiritual genogram di antaranya adalah tipe kelompok keberagamaan,
tingkat partisipasi keagamaan, cara mengekspresikan keyakinan spiritual dan agama,
kejadian penting secara spiritual dalam keluarga (misalnya perpindahan agama dan
pengalaman transpersonal) dan pengaruhnya atau reaksi anggota keluarganya,
perbedaan dan persamaan antar anggota keluarga dari sisi keyakinan, dan lain-lain.
Lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 1 dalam Hodge (2001a, p. 42).
Metode asesmen spiritual history, kata Hodge (2001b), terkadang diarahkan
untuk tujuan terapeutik. Contohnya kerangka yang dibuat Dombeck dan Karl (dalam
Hodge, 2001b) untuk mengeksplorasi tiga wilayah berikut (p. 205):
a. Keterlibatan atau afiliasi klien dalam komunitas keagamaan dari waktu ke
waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya.
b. Makna-makna personal tentang simbol, ritual, kepercayaan, dan figur
ilahiyah. Contoh pertanyaannya seperti, ibadah apa yang paling bermakna?
Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
c. Hubungan dengan Tuhan, seperti bagaimana hubunganmu dengan Tuhan?
Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah?.
Metode asesmen spiritual yang diajukan Mohr dan Huguelet (2009) juga
relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit berat. Ada
enam tema pokok yang dieksplorasi dalam praktik klinis, khususnya dalam psikiatri
yaitu: (a) sejarah keagamaan-spiritual; (b) pengaruh sakit bagi keagamaan-spiritual;
(c) kepercayaan dan praktik keagamaan atau spiritual saat ini; (d) pentingnya agama
dalam kehidupan secara subjektif; (e) pentingnya agama dalam mengatasi sakitnya
secara subjektif; dan (f) sinergi antara agama dengan perawatan psikiatrik.
Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat
eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum
dialami lansia, yang relevan dalam penanganan: (a) Apa yang membuat hidupmu
bermakna?; (b) Kemana Anda kembali di saat-saat stres?; (c) Apa yang membuatmu
damai dan tenang dalam hidupmu?; (d) Apa yang membuatmu senang dalam hidup?;
(e) Apa makna spiritualitas buatmu?; (f) Apa yang Anda pelajari tentang spiritualitas
di masa mudamu?; dan (g) Praktik spiritual apa yang biasa Anda lakukan? (p. 60).
Asesmen menyeluruh bagi lansia yang umum disebut comprehensive geriatric
assessment (CGA), seperti diinformasikan Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012), telah
banyak dikembangkan di beberapa negara maju, terutama alat ukur kuantitatif. CGA
mengeksplorasi tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi dan
sumber yang mereka miliki. Alat ukur yang dicontohkan berupa The Daily Spiritual
Experience Scale buatan Underwood dan Teresi tahun 2002 yang mengukur
pengalaman lansia, bukan kepercayaan atau perilakunya. Mengutip Kane dan Kane
(2000), Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012) merinci sepuluh domain utama dalam
asesmen sebagai berikut: psychological well-being and health, psychological well-
being and mental health, kapasitas kognitif, kemampuan melakukan aktivitas
keseharian, keberfungsian sosial, lingkungan fisik, asesmen pengasuh keluarga,
sumber ekonomi, nilai dan preferensi, dan asesmen spiritual (p.405). Terkait asesmen
spiritual, menurut Olson dan Kane (2000) seperti dikutip Diwan, Balaswamy, dan
Lee (2012, p. 406), aspek yang dapat dieksplorasi berupa afiliasi agama, keyakinan,
komitmen, partisipasi dalam kegiatan agama, dan pengalaman pribadi sehari-hari.
Beberapa contoh asesmen spiritual di atas mengandaikan spiritualitas sebagai
kekuatan klien. Namun, bagaimana kalau sebaliknya bahwa spiritualitas justru jadi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
kelemahan atau gangguan bagi klien. Moore (2003) membahas kemungkinan ini
sekaligus mengajukan panduan asesmen spiritual seperti pada Tabel 2.6. Inti dari
gagasan Moore ini, seperti juga disinggung Canda dan Furman (1999), hendak
memastikan bahwa pekerja sosial tidak boleh melampaui wilayah yang tidak ia
kuasai atau mempengaruhi klien mereka terlalu jauh (Moore, 2003, p. 559).
Tabel 2.6. Skema asesmen spiritual
• Buat asesmen awal berdasarkan informasi kasus lain yang relevan, kemudian putuskan bagaimana mengangkat isu secara sensitif.
• Apakah spiritualitas relevan dalam kasus ini?
TIDAK
Di sini tampaknya spiritualitas tidak
menjadi isu. Apa betul?
MUNGKIN
Perlukah kita menyinggung spiritualitas?
YA
Bagaimana spiritualitas Anda bersentuhan dengan
kerja kita. • Ases hubungan klien dengan spiritualitas mereka kemudian lanjutkan prosesnya Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai kekuatan:
• Bagaimana spiritualitas Anda berkaitan dengan tujuan yang kita tetapkan? • Ide, praktik, program, atau afiliasi spiritualitas apa yang mendukung atau memberi
infomasi untuk kerja kita? • Bagaimana memasukkan itu semua ke dalam kerja kita?
Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai masalah: • Perlukah kita mengatasinya sampai tahap tertentu? • Pertologan seperti apa yang dapat kita butuhkan? • Apakah Anda melihat situasinya berubah?
• Berdasarkan jawaban dari pertanyaan di atas, tandai spiritualitas sebagai isu untuk asesmen berikutnya selagi kasus dilanjutkan
Sumber: Moore (2003, p. 560)
2.6.3.2. Intervensi berbasis spiritualitas
Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011), mendefinisikan intervensi
spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan dimensi spiritual atau agama
sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149). Menurut Holloway (2007, p.
276), berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah banyak
dibuat. Contohnya oleh Canda dan Furman, Furman et al., Gilligan, Gilligan dan
Furness, Burton (teologi pastoral), Fowler (spiritual development and review),
Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’), Nouwen dan Campbell
(‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’), Thompson (pencarian eksistensial), dan
Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun menurut Holloway, di antara
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
banyak penulis tersebut, terutama di Amerika Serikat dan Australia, Canda dan
Furman (1999) adalah yang paling lengkap dan detail.
Canda dan Furman (1999/2010) merinci contoh-contoh teknik pemberian
pertolongan yang berorientasi spiritual, baik praktik dengan individu, keluarga,
kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas. Praktik di sini menyangkut
asesmen dan intervensi. Daftar bentuk-bentuk praktik tersebut meliputi tingkat
individu, keluarga, dan kelompok (Canda & Furman, 1999, p.291; Canda & Furman,
2010, p.360), serta tingkat organisasi dan komunitas (Canda & Furman, 1999, p.
291-2; Canda & Furman, 2010, p.361).
Menurut Canda dan Furman (1999, p. 282; 2010, p. 314), sebetulnya segala
bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat digunakan dalam praktik
yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam kerangka nilai dan konteks
pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang penting adalah bahwa praktisi
harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan spiritualitas ketika melakukan
praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau berbicara dengan klien. Sejumlah
teknik/terapi dengan intervensi spiritual dicontohkan oleh Sheridan (2009) seperti
acupressure dan acupuncture, Reiki, terapi craniosacral, refleksiologi, meditasi,
relaksasi, senam pernafasan holotropik, dan bahkan praktik cenayang atau dukun.
Terkait dengan peran pekerja sosial sebagai agen perubahan, Canda dan
Furman (2010) menawarkan praktik berorientasi spiritual dan bersifat transfor-
masional (spiritually oriented transformational practice). Maksudnya, praktik yang
sensitif secara spiritual berarti juga harus menciptakan kondisi dan aktivitas yang
kondusif bagi pertumbuhan dan transformasi individu dan komunitas serta
lingkungan. Praktik macam ini berarti menyangkut tidak hanya penyelesaian masalah
atau resolusi konflik dan tidak juga sekadar menawarkan cara menghadapi,
beradaptasi terhadap, atau mempertahankan kondisi yang sedang dihadapi. Selaras
dengan perspektif kekuatan, praktik berorientasi spiritual juga harus mampu
mengidentifikasi talenta, keterampilan, kapasitas, dan sumber klien kemudian
memanfaatkannya baik untuk tujuan jangka pendek maupun untuk aspirasi dan
potensi tertinggi mereka (p. 314-5).
Canda dan Furman (1999; 2010) mengingatkan bahwa banyak psikoterapi
atau pendekatan pekerjaan sosial yang berorientasi pertumbuhan spiritual memiliki
landasan teoretis tertentu baik dari perspektif keagamaan maupun nonsektarian
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
(tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya). Ada juga yang berakar dari
tradisi psikoterapeutik tertentu, seperti terapi kognitif-behavioral berorientasi
spiritual, psikoanalisis berorientasi spiritual, terapi eksistensial, atau terapi
transpersonal. Pada intinya, menurut Canda dan Furman, para praktisi harus jelas
betul tentang ketepatan praktik mereka dengan kultur, perspektif spiritual, dan
kenyamanan klien dan komunitas mereka. Mereka juga mesti sadar akan kecocokan
antara latarbelakang klien, praktik pertolongan yang dipilih, dan asumsi-asumsi
teoretis yang mendasarinya.
Prasyarat seperti ini juga hampir serupa dengan panduan yang dibuat Hodge
(2011) untuk praktisi yang hendak menggunakan intervensi spiritual. Panduan yang
dimaksud dibangun dari praktik berbasis bukti (evidence-based practice), yaitu:
preferensi klien; evaluasi penelitian yang relevan dengan kasus; penguasaan praktik
klinis; dan kompetensi kultural (p.150). Untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas
secara etis dan profesional, pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen
apakah spiritualitas relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini
dikuatkan dengan pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai
proses menerus yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah
(Hodge, 2011, p. 150-1).
Hodge lebih jauh menjelaskan bahwa preferensi klien harus didukung bukti
penelitian empiris yang menginformasikan intervensi spiritual seperti apa yang
paling efektif untuk kasus yang dihadapi. Penggunaan intervensi ini tentu tidak boleh
sembarangan karena praktisi harus punya keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan.
Setiap kode etik selalu memberi batasan bahwa pelayanan yang diberikan tidak boleh
di luar kemampuan dan kompetensi praktisi. Kompetensi intervensi spiritual, di
antaranya, didapat melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai (p. 151-3).
Kemudian, intervensi spiritual yang akan diberikan juga harus relevan dengan
kultur klien. Ini meniscayakan adanya kompetensi kultural, dimana spiritual
termasuk di dalamnya. Kompetensi spiritual praktisi, menurut Hodge dan Bushfield
(2006), seperti dikutip Hodge (2011, p. 153), dapat berwujud: (a) munculnya
kesadaran akan pandangan spiritual yang dipengaruhi nilai praktisi dan asumsi,
keterbatasan, dan bias dari pandangan tersebut; (b) pemahaman empatik terhadap
pandangan spiritual klien; dan (c) kemampuan merancang dan melaksanakan
intervensi agar nyambung dengan pandangan spiritual klien. Selain itu, kompetensi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
83
Universitas Indonesia
spiritual harus dipahami sebagai entitas (sikap, pengetahuan, dan keahlian) yang
dinamis atau lebih tepat sebagai konstruksi yang menerus. Selain itu, praktisi juga
harus sadar bahwa suatu intervensi spiritual yang cocok dan berhasil untuk satu
kultur, belum pasti cocok untuk kultur lain (p. 153-4).
Ada sejumlah teknik yang dipilih Canda dan Furman (1999, p. 290; 2010, p.
327) yang didasarkan atas beberapa kriteria bahwa teknik-teknik tersebut:
a. memromosikan perkembangan spiritual;
b. praktiknya menghasilkan persepsi atau keyakinan akan manfaat langsung;
c. kondusif bagi kesadaran dan pengalaman transpersonal;
d. sangat mendasar bagi eksistensi manusia;
e. bentuknya nonkeagamaan, meski sebagian berasal atau terinspirasi dari
tradisi-tradisi keagamaan;
f. dapat dihubungkan dengan berbagai versi keagamaan khusus;
g. dapat diterapkan pada berbagai situasi praktik yang berbeda;
h. relatif mudah dipelajari;
i. tidak memerlukan pelatihan formal yang lama;
j. beresiko rendah bagi klien; dan
k. efektivitasnya didukung bukti ilmiah dan/atau tradisi-tradisi kuat dan lestari.
Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menjelaskan ada empat unsur penting
yang ada dalam praktik terapeutik berorientasi spiritual, yaitu: memberi perhatian,
bernafas secara intensional, keseimbangan (equipoise), dan konsistensi. Ada juga
prasyarat yang harus ada untuk aktivitas pertolongan berorientasi spiritual lain, yaitu:
relaksasi terfokus, merawat atau menjaga tubuh, melakukan ritual dan seremoni, dan
mengamalkan sifat pemaaf.
Contoh strategi pekerjaan sosial berbasis spiritualitas, baik tahap asesmen
maupun intervensi, dapat dimanfaatkan dalam penanganan kesehatan mental lansia.
Di situ tampak bahwa ketika dimanfaatkan dalam praktik, khususnya yang bersifat
terapeutik, spiritualitas punya banyak manifestasi karena aspek ini punya ragam
ekspresi berupa tradisi (ungkapan kata, perilaku, dan simbol), ritual, kepercayaan,
dan lain-lain. Tanpa memahami esensi dari ekspresi atau manifestasinya, terutama
dalam praktik profesional, dapat berakibat pada kebingungan dalam menentukan
mana domain spiritualitas, mana agama, atau pada wilayah mana keduanya beririsan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
2.6.4. Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial
Perspektif spiritualitas yang mempengaruhi atau digunakan sebagai landasan
praktik pekerjaan sosial dapat berasal dari tradisi keagamaan dan juga dari pemikiran
intelektual yang bersifat sekular. Ini selaras dengan pengategorian oleh Canda dan
Furman (1999; 2010) yang membagi perspektif spiritualitas menjadi dua, yaitu
sektarian dan nonsektarian. Perspektif sektarian berarti pandangan atau konsep yang
berasal dari agama atau kitab suci. Perspektif ini bersifat parokial, dogmatik, atau
etnosentris. Sebaliknya, pandangan atau teori-teori yang berasal dari luar agama yang
berorientasi spiritual disebut sebagai perspektif nonsektarian.
Perspektif sektarian diambil dari tradisi agama-agama di dunia, baik Semit
seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun non-Semit dari Timur seperti Hindu,
Budha, Konghucu, dan Zen. Canda dan Furman membahas perspektif keagamaan
terkait pelayanan sosial dan pengaruhnya bagi praktik pekerjaan sosial, khususnya
dalam konteks masyarakat Amerika Utara. Pembahasan tersebut menyangkut asal-
usul dan perkembangannya, kepercayaan dasar, nilai-nilai dasar, dan implikasinya
bagi pekerjaan sosial. Lampiran 1 menunjukkan perbandingan enam perspektif
keagamaan dari buku edisi baru Canda dan Furman (2010), sedangkan perspektif
Shamanisme dari edisi lama (1999). Perspektif Agama-agama Asli Amerika Utara
seperti dalam buku yang baru tidak dikutip dengan alasan agama macam ini jarang
ditemui di masyarakat Indonesia. Sebaliknya, Shamanisme dimasukkan karena masih
banyak dijumpai di masyarakat pedalaman Indonesia.
Dalam peta teori praktik pekerjaan sosial menurut Payne (2005), teori-teori
sensitif spiritual seperti humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk
dalam pandangan refleksif-terapeutik. Lena Dominelli, seperti dikutip Payne (2005),
menyebutnya sebagai pendekatan pertolongan terapeutik (therapeutic helping).
Menurut Payne, pendekatan refleksif-terapeutik dalam pekerjaan sosial berupaya
mewujudkan kondisi sejahtera bagi individu, kelompok, atau komunitas dengan cara
memromosikan dan memfasilitasi pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan diri (p. 8-
9). Dikatakan refleksif karena ada proses interaksi saling mempengaruhi antara
pekerja sosial dan klien terkait pemahaman terhadap masalah yang mereka hadapi.
Pendekatan dalam humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk kategori
ini karena tujuan utamanya lebih pada peningkatan potensi dan mendorong
perkembangan ketimbang perubahan sosial (Payne, 2005, p. 181).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
Sementara menurut Healy (2005), pemanfaatan spiritualitas (dan agama)
dalam pekerjaan sosial dikatakan sebagai satu diskursus pelayanan alternatif dimana
pelayanan sosial diberikan berdasarkan hak-hak klien. Dikatakan diskursus alternatif
karena baru dan berbeda dari diskursus yang dominan (seperti biomedis, ekonomi,
dan hukum) dan diskursus pelayanan yang umum (seperti psikologi dan sosiologi),
meskipun ketiganya saling berinteraksi.
Sebetulnya ada beberapa teori yang relevan dalam menjelaskan signifikansi
spiritualitas bagi lansia. Seifert (2002) mencontohkan sejumlah teori psikologi
agama, teori life-span development, faith development karya Harms, tiga tahap faith
development James Fowler, atau beberapa bidang dalam gerontologi religius.
Namun, berikut ini hanya akan dijelaskan perspektif nonsektarian dari teori psikologi
humanis-eksistensialis, khususnya Logoterapi Viktor Frankl, dan teori transpersonal
Kenneth Wilber. Kedua teori ini dipilih karena, menurut Canda dan Furman (2010),
dianggap paling berpengaruh dalam pekerjaan sosial.
2.6.4.1. Perspektif eksistensial-humanis
Menurut Rakhmat (2003), psikologi humanis muncul bersamaan dengan
psikologi eksistensialis pada dekade 1960-an sebagai angkatan ketiga. Angkatan
pertama adalah psikoanalisis Freud; angkatan kedua psikologi behaviorisme yang
muncul di Amerika. Angkatan ketiga yang juga lahir di Amerika muncul akibat
kekosongan spiritual kelas menengah yang padahal makmur secara materi. Menurut
Abraham Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2003), kekosongan tersebut disebabkan
oleh kekosongan nilai (valuelessness) bahwa orang menjalani hidup tidak lagi
dilandasi nilai-nilai luhur yang patut dikagumi dan diperjuangkan.
Lebih jauh Maslow menjelaskan, dalam Rakhmat (2003), psikologi humanis
sangat berbeda dari dua angkatan sebelumnya yang sangat saintifik. Kalau
psikoanalisis menganggap kondisi bawah sadar sebagai dorongan utama manusia dan
behaviorisme sangat menekankan pengalaman objektif terkait hubungan stimulus-
respons, humanisme bertumpu pada pengalaman personal, yakni kehidupan spiritual,
yang menjadi unsur pokok dan dasar dari kehidupan jasmani. Upaya untuk
aktualisasi diri dalam kerangka nilai-nilai luhur dianggap Maslow sebagai kebutuhan
tertinggi kehidupan manusia. Dengan pandangan ini, Rakhmat (2003) menganggap
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
Maslow telah mendekatkan psikologi dengan agama, yang berbeda dengan dua aliran
pendahulunya yang kental sains modern.
Menurut Bastaman (1994), satu aliran psilkologi bercorak humanistik-
eksistensial yang sangat mempengaruhi pemikiran psikologi dewasa ini adalah
Logoterapi. Aliran ini dipelopori Viktor E. Frankl, yang mengembangkan corak
tersebut berdasarkan pengalamannya di kamp konsentrasi NAZI saat Perang Dunia
II. Frankl adalah Profesor neurologi dan psikiatri di Universitas Wina dan seorang
Yahudi berkebangsaan Austria. DuBois (2004), penerjemah sekaligus penulis kata
pengantar buku Frankl, An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis,
juga menyebut Frankl sebagai psikolog eksistensialis atau humanis. Oleh Rakhmat
(2003), Frankl bahkan dianggap sebagai wakil psikologi eksistensialis. Allport
(1992) menjuluki Logotherapi-nya sebagai “madzhab psikoterapi ketiga di kota
Wina” (the third Viennesse school of psychotherapy). Sementara, madzhab
pendahulunya adalah Psikoanalisis Freud dan Psikologi Individual Adler yang sama-
sama tumbuh dan berkembang di kota Wina, Austria.
Allport (1992) memberi pengantar pada buku terjemahan berjudul Man’s
Search for Meaning karya Viktor Frankl edisi ketiga. Judul asli buku ini adalah Ein
Psycholog erlebt das Konzentrationslager (dalam bahasa Inggris: From Death-Camp
to Existentialism). Buku ini terjual 9 juta kopi dan dikutip Stephen Covey dalam 7
Habits, kata DuBois (2004). Allport (1992) menjelaskan bahwa buku tersebut berisi
cerita pengalaman panjang Frankl di kamp konsentrasi. Saat itu dia telah kehilangan
segalanya, eksistensinya, tercerabutnya nilai-nilai, kelaparan, kedinginan, kebrutalan,
dan menunggu (dihukum) mati setiap saat. Sementara tahanan lain mati tidak saja
karena dihukum tapi juga tidak tahan menghadapi penderitaan, Frankl mampu
bertahan dan masih tetap hidup. Pengalaman inilah yang mendorong Frankl
menemukan Logoterapi. Frankl sendiri menyebutnya sebagai analisis eksistensial
modern (modern existential analysis). Allport lah yang menamainya Logoterapi.
Lebih jauh Allport (1992, p.8) menerangkan tema sentral eksistensialisme
Frankl berasal dari pengalaman sewaktu di kamp konsentrasi bahwa “ketika hidup
menderita, maka untuk bertahan harus menemukan makna dalam penderitaan” (to
live is to suffer, to survive is to find meaning in the suffering). Apabila ada tujuan
dalam hidup, pasti ada suatu maksud atau tujuan dalam penderitaan bahkan
kematian. Akan tetapi, tidak ada orang yang bisa menceritakan tujuan tersebut ke
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
orang lain. Setiap orang harus mengalami dan mencarinya sendiri. Eksistensialisme
Frankl sangat dipengaruhi Friederich Nietzsche (1844-1900), tokoh eksistensialis
yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan telah mati.” Frankl sangat terkesan dengan
aforisma Nietzsche yang berbunyi: “Dia yang punya jawaban mengapa dia hidup,
maka dia akan mampu menjawab hampir setiap tanya bagaimana menjalani hidup”
(He who has a why to live can bear with almost any how) (p. 9).
Di samping tema sentral tersebut, menurut DuBois (2004), tema-tema
eksistensial Frankl yang lain membahas kebebasan manusia, tanggung jawab, nilai,
spiritualitas, dan kematian. Semuanya merupakan tema umum yang juga dibahas
psikolog terkenal lain, seperti Allport, Maslow, Fromm, dan Rogers. Pendekatan
humanistik terhadap psikoterapi terkadang berlawanan dengan pendekatan psikiatrik
standar, karena memang kedua pendekatan ini seperti dua dunia yang berbeda.
Pendekatan humanistik adalah pendekatan subjektivis yang menekankan dunia
tentang hidup yang dialami subjek (the world of lived experience). Sedangkan
pendekatan psikiatrik adalah sangat saintifik objektif, yaitu ilmu dan praktik medikal.
Namun, teori tentang gangguan mental (mental disorders) yang dibangun Frankl
justru memakai keduanya (DuBois, 2004, p. ix).
Hal yang menarik dalam Logoterapi, menurut Bastaman (1994), adalah bahwa
aliran psikologi ini memberi perhatian khusus pada dimensi noetic atau spiritual
(yang berbeda dari dimensi psikis). Menurut Frankl (2004, p. 49), dimensi spiritual
atau Geistigen ini berada di atas dimensi psikologis yang menjadi penyebab
sesungguhnya dari neuroses tertentu yang gejalanya di antaranya depresi, cemas,
agresi, dan kecanduan. Gejala atau simptom seperti ini muncul ketika individu
mengalami krisis eksistensial atau spiritual (existential frustration), namun dibiarkan
atau bahkan dikekang Frankl (2004, p. 148, 151).
Menurut Bergin (1994), belakangan ini memang ada kecenderungan di bidang
psikologi (tepatnya psikoterapi) yakni meningkatnya perhatian terhadap nilai-nilai,
terutama nilai-nilai religius yang punya peranan penting dalam keberhasilan suatu
terapi. Pendulum diskursus mulai bergerak meninggalkan naturalisme, agnostisisme,
bahkan humanisme yang telah mendominasi sepanjang abad. Bergin mengemukakan
tesis yang menjelaskan pentingnya nilai dalam psikoterapi bahwa pada dasarnya
nilai-nilai adalah bagian mutlak dan berpengaruh pada psikoterapi. Selain itu, faktor-
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
faktor non-teknis yang sarat nilai mempengaruhi proses perubahan kepribadian
dalam lingkup terapi profesional.
Sebagai landasan filosofis bagi Logoterapi, menurut Bastaman (1994), konsep
manusia berdiri di atas tiga asumsi dasar yang saling berhubungan, yakni:
a) Kebebasan berkehendak (the freedom of will). Asumsi ini bertentangan
dengan pandangan-pandangan mengenai manusia yang bersifat deterministik,
seperti halnya pandangan Psikoanalisis.
b) Kehendak atau hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning).
Merupakan motivasi utama manusia untuk mencari, menemukan, dan
memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
c) Makna hidup (the meaning of life). Frankl sering bertolak dari kritiknya
terhadap the will to pleasure (Freud), yang menganggap tujuan utama dari
motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan, dan
terhadap the will to power (Adler) dimana motivasi utama manusia adalah
untuk memperoleh kekuasaan.
Dua yang terakhir dari tiga asumsi dasar tersebut, yaitu the will to meaning
dan the meaning of life menjadi motivasi utama untuk meraih hidup bermakna dan
Logoterapi menjadi metode untuk mengembangkan potensi spiritual manusia yang
luar biasa untuk meraihnya (Bastaman, 1994).
Selanjutnya, Bastaman (1994) menekankan pembahasan Logoterapi pada
masalah makna hidup (the meaning of life). Dalam pandangan Logoterapi, makna
hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, bagaimanapun kondisinya. Di
buku lain Bastaman (1996) mengungkapkan lebih rinci, bahwa makna hidup bila
berhasil ditemukan dan direalisasikan, hidup dirasakan sangat berarti (meaningful)
dan menimbulkan akibat sampingan (by product) berupa kebahagiaan (happiness).
Namun sebaliknya, bila tidak berhasil, akan menghayati hidupnya tanpa dan tak
bermakna (meaningless) yang biasanya merupakan gerbang menuju penderitaan.
Menurut Frankl, seperti disitir Bastaman (1996), Logoterapi menunjukkan
juga tiga bidang kegiatan dalam kehidupan ini yang secara potensial mengandung
nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Kemudian
Bastaman (1996) menjadikannya sebagai sumber-sumber Makna Hidup (Tri Nilai):
(a) creative values, bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan
keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan; (b) experiential values,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai
lain yang dianggap berharga; (c) attitudinal values, menerima dengan tabah dan
mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi
setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal.
Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Makna yang harus
dicapai setiap orang bersifat unik dan spesifik. Makna hidup berbeda bagi setiap
orang, dari waktu ke waktu. Tidak ada makna hidup yang umum, tapi makna spesifik
dalam hidup seseorang pada momen tertentu. Dalam hal eksistensi manusia, manusia
tidak bisa mencari makna atau arti hidup yang abstrak. Tiap orang punya pekerjaan
dan misi yang spesifik dalam hidup untuk melakukan tugas konkret yang harus
dipenuhi. Jadi, tugas setiap orang sama uniknya dengan peluang atau kesempatan
khusus untuk mengimplementasikannya (Frankl, 1992).
Metode Logoterapi untuk menemukan makna hidup disebut Logoanalisis
yang dikembangkan oleh James C. Crumbaugh (salah satu murid Frankl). Bastaman
(1996) memodifikasi keempat metode logoanalisis menjadi “Panca Cara Temuan
Makna” yakni: (a) pemahaman diri; (b) bertindak positif; (c) pengakraban hubungan;
(d) pendalaman dan penerapan Tri Nilai di atas; dan (e) ibadah.
Menurut Bastaman (1994), sebenarnya sebutan spiritualitas dalam Logoterapi
tidak mengandung konotasi keagamaan, tetapi lebih merupakan aspirasi manusia
untuk hidup secara bermakna dan sumber dari kualitas manusiawi. Frankl sendiri
menyatakan Logoterapi bersifat sekuler. Meski begitu, katanya, ajaran Logoterapi
berjasa menunjukkan adanya dimensi lain “di atas alam sadar” (supraconscious)
sebagai sumber kualitas manusiawi dengan segala potensialnya. Sementara psikologi
kontemporer belum menyentuhnya, Bastaman mencoba menawarkan ajaran tasawuf
yang banyak sekali mengkaji masalah-masalah spiritualitas manusia.
Agak berbeda dengan Bastaman, Rakhmat (2003) memandang bahwa aliran
eksistensialisme dalam psikoterapi Frankl bukanlah eksistensialisme sekuler yang
pada umumnya tidak memercayai adanya Tuhan. Eksistensialisme sekuler bahkan
dikritik oleh bapak eksistensialisme, Søren Kierkegaard, sebagai bentuk
keputusasaan dalam melakukan perlawanan. Agama, oleh Frankl seperti dikutip
Rakhmat (2003, p. 122), berkaitan dengan “pencarian makna akhir” (search for
ultimate meaning). Menurut Rakhmat (2003), “karena semua manusia mencari
makna, manusia pada fitrahnya beragama” (p. 122-3).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
Sebagai Muslim, Bastaman (1996) yang pengikut Frankl ini memasukkan
unsur-unsur keagamaan dengan menekankan pentingnya fungsi iman dan takwa.
Katanya, orang-orang beriman dan bertakwa akan tetap optimis dan mengharap
petunjuk-Nya dalam menghadapi segala situasi. Mereka selalu mensyukuri segala
kebaikan, kenikmatan, dan kebajikan yang diterimanya. Musibah dan penderitaan
yang dialami pun akan diterimanya dengan tabah dan penuh kesabaran.
Dalam bukunya, Frankl (1992) membandingkan Logoterapi dengan
Psikoanalisis Freud. Katanya, dengan psikoanalisis si pasien mesti duduk di sofa
sambil menceritakan hal-hal yang sangat tidak disukainya. Sebaliknya, ketika pasien
datang ke Logoterapi, dia tetap duduk tegak namun dia harus mendengarkan hal-hal
yang terkadang tidak dia setujui. Sehingga, dibanding Psikoanalisis, Logoterapi
kurang retrospektif sekaligus kurang introspektif.
Menurut Allport (1992), objek dan tantangan Logoterapi adalah mengalihkan
atau mengubah hidup berantakan menjadi pola yang tegas tentang makna dan
tanggung jawab. Frankl dan juga Freud sama-sama tertarik ke karakter dan
penyembuhan neurosis. Freud meyakini bahwa akar dari distressing disorders dalam
kecemasan seseorang disebabkan oleh dorongan-dorongan yang saling berkonflik
dan bawah sadar (conflicting and unconscious motives). Sementara Frankl mencoba
membedakan beberapa bentuk neurosis. Beberapa di antaranya berupa noögenic
neurosis yang menyebabkan kegagalan si penderita untuk menemukan makna dan
rasa tanggung jawab dalam eksistensi dirinya. Kalau Freud menekankan frustrasi
dalam kehidupan seksual seseorang, Frankl menekankan frustrasi pada kehendak
untuk menemukan makna (will-to-meaning). Meskipun demikian, Frankl tidak anti
terhadap aliran atau teori Psikologi/Psikoterapi lain.
Kata Frankl (1992), Logoterapi tidak fokus pada pembentukan lingkaran
setan dan mekanisme timbal-balik yang sangat berperan dalam perkembangan
neurosis. Sebaliknya, Logeterapi menekankan makna yang harus dicari pasien di
masa depan, ketimbang masa depannya. Perjuangan untuk menemukan makna hidup
seseorang adalah motif utama manusia. Dengan demikian, will to meaning
berlawanan dengan will to pleasure (the pleasure principle yang jadi fokus
Psikoanalisis Freudian) dan dengan will to power (psikologi Adlerian yang fokus
pada “striving for superiority”).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
Teknik terapi dalam Logoterapi di antaranya adalah paradoxical intentions,
dereflection, medical ministry, dan existential analysis. Paradoxical intentions dan
dereflection digunakan untuk psychogenic neuroses; medical ministry untuk somatic
neuroses; dan existential analysis sebagai psychotherapeutic anthropology untuk
noogenic neuroses (Frankl, 2004; Bastaman, 2007). Teknik-teknik ini, menurut
Bastaman (2007), pada intinya bertujuan membantu mengurangi atau menghilangkan
penderitaan yang tak terhindarkan, kemudian menggali potensi diri yang terutama
bersumber dari dimensi spiritualnya dan menghilangkan kendala dan kelemahan diri
yang menghambat proses menuju hidup bermakna.
Beberapa ahli berpendapat pendekatan eksistensial akan sangat relevan bagi
pekerja sosial yang menangani kelompok dengan penyakit berat, kekerasan,
kekacauan kultural, penderitaan pasca-perang, isolasi sosial, dan kematian, karena
pendekatan ini menekankan pada pencarian makna atas penderitaan yang mereka
alami (Canda & Furman, 2010, p. 190). Masalah-masalah seperti ini sangat umum
dialami kelompok lansia, seperti telah diuraikan juga di atas.
Psikologi eksistensial-humanis Frankl mulai dipakai dalam pekerjaan sosial
pada dekade 1950-an. Sebelumnya, menurut Lee et al. (2009), pekerjaan sosial klinis
masih didominasi teori psikodinamik. Eksistensialisme dan humanisme bisa masuk
ke pekerjaan sosial karena saat itu penerimaan para praktisi dan terapis terhadap
ragam teori atau pendekatan makin terbuka. Dominasi psikodinamik lama-kelamaan
akhirnya terganti pada dekade itu juga. Mengutip Frankl, Rogers, dan Lantz, Lee et
al. (2009, p. 96) menjelaskan eksistensialisme dan humanisme dalam psikoterapi
bercirikan pandangan positif tentang manusia dan menjadikan aktualisasi diri (self-
actualization) dan pencarian makna personal sebagai tujuan utama terapi. Caranya
adalah dengan tidak terlalu mengandalkan pemikiran rasional dan otonom, tapi lebih
fokus pada aspek pencarian dan pembuatan makna (meaning-searching dan
meaning-making) dari pikiran seseorang. Menurut Thompson (2010, p. 172), dalam
eksistensialisme, eksistensi manusia dipandang sebagai entitas yang selalu berubah
dan berkembang laksana arus air yang selalu berubah-ubah (‘flux’).
Eksistensialisme telah banyak disinggung dalam literatur pekerjaan sosial
selama lebih dari tiga dekade, sehingga berbagai pandangan dan nilainya juga
berdampak bagi praktik pekerjaan sosial. Donald Krill dan Jim Lantz adalah dua ahli
yang paling serius membahas teori ini dalam pekerjaan sosial. Namun yang banyak
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
mengaplikasikan pendekatan Logoterapi Frankl dalam pekerjaan sosial, terutama
untuk terapi keluarga, adalah Lantz (Canda & Furman, 2010, p. 186-7).
Canda dan Furman (2010) menjelaskan implikasi teori eksistensialisme bagi
pekerjaan sosial. Menurutnya, pekerja sosial eksistensial dapat membantu klien
tertindas dan tidak beruntung mengatasi segala bentuk penindasan dan rintangan
psikologis karena eksistensialisme sangat menekankan kebebasan dan harga diri.
Pendekatan eksistensialis yang menekankan spiritualitas juga memberi keuntungan
bagi pekerja sosial eksistensial agar sensitif dan responsif terhadap tema-tema
tentang makna, tujuan, keterkaitan, tanggung jawab, dan transendensi tanpa harus
membahas atau menyinggung agama dan spiritualitas secara langsung (p. 189).
Terkait masalah mental lansia yang dapat berujung pada kondisi krisis, dalam
Psikologi eksistensialis kondisi seperti itu dapat mengantarkan orang ke kondisi
kebosanan (state of boredom) dan gejala yang muncul contohnya depresi, agresi, dan
adiksi, atau bahkan bunuh diri. Menurut Frankl (1992), modus seperti ini bersifat
eksistensial dan manifestasi seperti itu disebut existential vacuum (p. 111-2). Selain
itu, berbagai tragedi atau penderitaan yang membawa seseorang berada dalam situasi
krisis dikarenakan orang tersebut gagal menyikapi atau memaknai penderitaan. Hal
ini juga bersifat eksistensial dan orang frustasi dalam pencariannya, sehingga kondisi
ini oleh Frankl disebut sebagai existential frustration. Secara umum istilah
eksistensial merujuk pada tiga kondisi sebagai berikut: (a) eksistensi itu sendiri,
khususnya cara orang mengada (human mode of being); (b) makna dari
keberadaannya; dan (c) perjuangan menemukan makna konkrit atas keberadaannya
secara personal, yaitu hasrat untuk bermakna (the will to meaning) (p. 106).
Baik kondisi existential frustration maupun existential vacuum, keduanya
menyebabkan neurosis, tepatnya noogenic neurosis (Frankl, 1992) atau noetic
neuroses (Frankl, 2004). Kedua krisis eksistensial atau nurani ini disebabkan oleh
sesuatu yang bersifat spiritual (noogenic), namun gejalanya berupa atau bersifat
gangguan psikologis (pheno-psychological disorders) (Frankl, 2004, p. 49, 148).
Noogenic neurosis, menurut Frankl (2004), merupakan gejala psikologis
karena sebab-sebab spiritual, seperti krisis nurani atau krisis eksistensial. Namun,
tidak semua krisis eksistensial/spiritual adalah penyakit (patologis) atau neurotik.
Sampai tahap tertentu krisis jadi bagian dari proses normal pendewasaan spiritual
seseorang. Krisis akan berkembang menjadi neurosis jika existential frustration
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
ditangani dengan cara yang salah, contohnya apabila karakter eksistensial/spiritual
dari krisis tersebut dibiarkan atau malah ditahan-tahan. Simptomnya bisa berupa
depresi, kecemasan, agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain (p. 148). Noogenic
neurosis juga terjadi saat ada ketegangan antara nurani yang saling bertentangan,
tekanan masalah spiritual atau sedang krisis eksistensial (Frankl, 2004, p. 151).
2.6.4.2. Perspektif transpersonal
Oleh Abraham Maslow, seperti dikutip Robbins, Chatterjee dan Canda (2006),
teori transpersonal dianggap sebagai sebuah gerakan baru atau angkatan keempat
psikologi (the forth force psychology) setelah tiga angkatan sebelumnya yang sangat
dominan, yaitu Freudianisme, behaviorisme, dan teori humanistik. Angkatan ini
merupakan perkembangan dari angkatan ketiga psikologi humanistik yang dirintis
Maslow. Menurut Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2007, p. xxvi), psikologi
humanistik dianggap ”sebagai persiapan atau peralihan menuju the forth psychology
yang lebih tinggi (transpersonal atau transhuman), yang berpusat pada kosmos
ketimbang sekadar kebutuhan dan kepentingan manusia, dan yang melampaui
kemanusiaan, identitas, aktualisasi diri, dan seterusnya.”
Rakhmat (2003) menjelaskan psikologi transpersonal bertumbuh-kembang di
Amerika pada dekade tahun 1960-an dan 1970-an. Saat itu sedang timbul gelombang
perubahan bidang politik, budaya, dan agama. Arus spiritualitas juga mengalir deras.
Tokoh perintis psikologi ini adalah Kenneth Wilber yang model spektrumnya tentang
perkembangan manusia banyak dirujuk karena dianggap sebagai teori transpersonal
yang paling komprehensif (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).
Menurut Robbins, Chatterjee dan Canda (2006), model Wilber menyatukan
konsep-konsep filosofis, agama, psikologi, sejarah, dan sosiologi Barat dan Timur
tentang perkembangan manusia, baik perkembangan individu dan masyarakat.
Modelnya juga banyak dipengaruhi aliran perkembangan struktural kognitif (seperti
Piaget dan Kohlberg), para teoretisi dinamika sistem (seperti von Bertalanffy dan
Jantsch), filsuf sosial posmodern (seperti Habermas), dan pandangan psikologi-
kosmologi Budhisme Vajrayana Tibet dan Zen. Konsepnya dibuat berdasar pada
pengalamannya melakukan meditasi Budha, kajian filsafat multidisipliner, dan
pengalaman hidupnya sendiri, termasuk kematian istrinya akibat kanker. Wilber
menamai konsepnya sebagai karya integral atau integratif, ketimbang transpersonal.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
Spektrum Wilber menggambarkan tingkat perkembangan kesadaran manusia
sebagai produk dari proses evolusi yang tidak saja secara biologis, namun juga dari
sisi kemampuan kognitif, pandangan dunia yang makin komprehensif, terlebih lagi
bentuk-bentuk spiritualitas, dan beragam organisasi sosial yang saling berhubungan
satu sama lain. Wilber memandang bahwa individu dan masyarakat lingkungan
sekitarnya memiliki kesamaan struktur dasar dan tingkat kesadaran secara paralel
sebagai sistem mikro dan makro. Perkembangan manusia dikatakan paralel karena
semua tingkatan sistem (disebut holon) akan menghadapi tantangan yang sama.
Semakin tinggi tingkatan, bentuk keberfungsian mentalnya semakin rumit pula.
Antar sistem manusia saling mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Wilber
menyebut model spektrumnya sebagai holarchy yang berarti urut-urutan yang
semakin tinggi tingkatannya semakin kompleks, rumit, dan komprehensif pula
struktur kesadaran dan organisasi sosialnya. Tiap tingkatan mencakup kapasitas dan
pengetahuan (meliputi aturan, asumsi, dan kepercayaan) tingkat di bawahnya
(Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).
Gambar 2.8 menunjukkan holarchy Wilber perkembangan manusia baik
secara mikro (individu) maupun makro (masyarakat). Tahapan paralel tersebut terdiri
dari sepuluh tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga fase utama, yaitu:
preegoik, egoik, dan transegoik. Antar fase terdapat tahap transisinya.
Terdapat berbagai bentuk penerapan dan implikasi teori transpersonal bagi
praktik pekerjaan sosial. Teori transpersonal sangat berguna bagi praktik pekerjaan
sosial untuk isu terkait perceraian, asesmen masalah mental, masa menjelang akhir
kehidupan (masa lansia), krisis perkembangan spiritual, konseling bagi pasangan,
penyakit kronis, layanan paliatif, dan juga pendidikan. Beberapa tahun belakangan,
kerangka praktik tertentu secara lebih detail dengan menggunakan teori transpersonal
juga telah dikembangkan untuk praktik pekerjaan sosial sensitif secara spiritual
(Canda & Furman, 1999; Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).
Terutama bagi prinsip praktik pekerjaan sosial, teori transpersonal sangat
berpengaruh. Cowley mencontohkan, prinsip saling menyayangi dan cinta tanpa
syarat memandang semua klien pasti punya manfaat dan potensi tak terbatas untuk
berkembang, terlepas dari masalah yang sedang membelitnya (Canda & Furman,
2010). Terlebih lagi melalui penanganan pekerjaan sosial secara profesional, klien
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
bersama pekerja sosial punya kesempatan berkembang mencapai potensi tertinggi
dan juga memperdalam wawasan (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).
Phase Individual Level Societal Level
Tra
nseg
oic
10 Nondual (as ultimate goal of development)
9 Causal None yet
Non
dual
(as
pro
cess
of d
evel
opm
ent)
8 Subtle None yet
7 Psychic None yet
Ego
ic
6 Vision-logic Planetary
5 Formal operational Rational egoic
4 Concrete operational Mythic-rational
Pre
egoi
c 3 Late preoperational Magic-mythic
2 Preoperational Magical
1 Sensoriphysical Archaic
0 Nondual (as source and potential of development)
Gambar 2.8. Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro Sumber: Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 403)
Sama halnya eksistensialisme Frankl, teori transpersonal cocok bagi kesehatan
mental lansia. Canda dan Furman (2010, p.194) mengurai dua cara mengatasi situasi
menderita dan kegalauan eksistensial dengan teori tersebut, yakni dengan: (a)
membangun pemahaman yang jelas akan harga diri dan identitas; dan (b) menolong
orang untuk berupaya melampaui lintas-batas identitas diri yang terikat ego.
Canda dan Furman (2010) juga mengutip beberapa ahli untuk menjelaskan
bahwa krisis dalam teori transpersonal dianggap punya kemampuan memecah
kebuntuan psikososial seseorang dan membuka kesempatan baru yang lebih luas,
sehingga kondisi tersebut harus dianggap sebagai kesempatan bertumbuh-kembang.
Sampai tahap tertentu, krisis punya hubungan langsung dengan perkembangan
spiritual, seperti krisis keyakinan, menggugat agama yang dianutnya, atau keraguan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
karena pengalaman kesadaran baru dari praktik meditasi, doa, atau ritual tertentu.
Bahkan proses menuju kematian dapat menjadi kesempatan untuk perkembangan
transpersonal. Dalam hal ini, pekerjaan sosial yang mengadopsi transpersonal
membantu klien mengoptimalkan kemungkinan melakukan transformasi mencapai
tahap kesadaran transpersonal dan membangun hubungan dengan sesama (p. 194-5).
Perspektif PIE dalam pekerjaan sosial bisa diperluas dengan mengambil
beberapa konsep dalam teori transpersonal. Canda dan Furman serta beberapa
akademisi lain memandang bahwa orang (person) dan lingkungan sosial memiliki
kesalingterkaitan satu sama lain dan merupakan satu-kesatuan fundamental. Dengan
demikian, person tidak lagi dipandang sebagai diri yang terbatas pada ego, dan
lingkungan tidak semata-mata terdiri dari sekelompok kecil hubungan dimana
seorang klien memiliki orang-orang terdekat yang bisa menolongnya (the significant
others). Misi dan komitmen pekerjaan sosial juga direvisi dengan teori ini. Upaya
pemenuhan kebutuhan personal sebagai misi pekerjaan sosial diperluas menjadi
kebutuhan akan transendensi diri (self-transcendence). Komitmen terhadap
dukungan sosial dan keadilan kemudian diperluas menjadi keadilan dan harmoni
global bagi seluruh semesta. Selain itu, kekuatan dan potensi personal harus meliputi
juga aspek intuisi, yang melampaui emosi dan pikiran egois. Kemudian, sistem
sumber lingkungan memasukkan keindahan dan inspirasi alam dan juga pengalaman
spiritual klien (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006; Canda & Furman, 2010).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
97
BAB 3
METODE PENELITIAN
Dalam bab metode penelitian ini dijelaskan pendekatan dan paradigma
penelitian dan grounded theory secara singkat. Uraian cukup detail diberikan untuk
kegiatan yang telah dilakukan selama penelitian ini, yaitu terkait lokasi dan waktu,
informan penelitian, pengumpulan data, analisis data, teknik meningkatkan mutu
penelitian, etika, dan keterbatasan penelitian.
3.1. Pendekatan dan Paradigma Penelitian
Tujuan utama penelitian ini hendak menangkap pemahaman dan pengalaman
batin tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan sosial lansia. Maka, penelitian ini
lebih tepat memakai pendekatan kualitatif karena fenomena yang akan dikaji bersifat
kompleks yang menyangkut pemahaman dan pengalaman individu atau kelompok.
Terkait pengalaman spiritualitas, menurut Nelson (2009), pendekatan kualitatif
sangat cocok digunakan karena dapat menghasilkan deskripsi dan pemahaman
menyeluruh yang tidak bisa dihasilkan dari pendekatan kuantitatif atau analisis
statistik. Swinton (2001, p.13) juga menegaskan bahwa bahasa atau pendekatan
ilmiah tidak akan mudah menganalisis dan mengkonseptualisasikan pengalaman atau
perasaan semacam makna, cinta, harapan, dan spiritualitas. Pendekatan ini juga
relevan ketika peneliti belum banyak mengetahui fenomena yang diteliti sehingga
perlu membangun pemahaman atau kerangka awal.
Pendekatan kualitatif menggunakan metode induktif dimana suatu model atau
pola praktik tertentu akan diperoleh dan disaring berdasarkan data lapangan. Oleh
karena itu, beberapa kasus yang relevan dipilih untuk memahami masalah penelitian
secara mendalam (idiografik) dari sisi kompleksitas dan konteksnya (Stake, 2003;
Rubin & Babbie, 2001; Yin, 2003; Hird, 2003). Selaras dengan asumsi-asumsi
filosofis pendekatan kualitatif, penelitian ini memakai kerangka penelitian grounded
theory yang akan membangun kerangka konseptual atau kategori tertentu. Konsep
yang akan dibangun merupakan pandangan atau pemaknaan partisipan, sehingga
letak pengetahuan dan keahlian ada pada partisipan sebagai subjek penelitian ini.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
Paradigma atau asumsi dasar penelitian dibahas dalam salah satu komponen
utama penelitian bersama strategi dan metode penelitian (Creswell, 2009, p.3).
Denzin dan Lincoln (2004) menambahkan satu komponen lagi, yaitu siapa atau apa
yang akan diteliti (p. 200). Asumsi dasar penelitian ini adalah konstruktivisme yang
berupaya memahami secara mendalam pengalaman hidup subjek penelitian. Makna
tentang spiritualitas yang diperoleh adalah makna subjektif partisipan. Makna itu
sangatlah beragam yang menyebabkan peneliti tidak hanya membatasi makna-makna
tertentu berdasarkan kategori yang dibuat, tapi harus menelusuri kompleksitasnya.
Makna diinterpretasi, kemudian dibangun suatu teori atau pola berdasarkan hasil
pemaknaan secara induktif. Ini berbeda dengan pandangan pospositivis yang
memulai dari suatu teori kemudian membuktikannya di lapangan (Creswell, 2009).
Creswell mengutip Crotty tentang asumsi-asumsi konstruktivisme. Pertama,
makna yang hendak diperoleh dari penelitian kualitatif merupakan hasil konstruk
manusia sebagaimana mereka memahami dunia. Peneliti menggunakan pertanyaan
open-ended sehingga partisipan dapat menyampaikan pandangan. Kedua, manusia
hidup di dunia dan memahaminya berdasarkan pemahaman historis dan sosial.
Pemahaman dibentuk kultur dimana mereka tinggal. Maka, peneliti harus memahami
konteks dan tatanan dimana partisipan berada dengan cara mengunjungi atau tinggal
bersama mereka dan menggali informasi secara personal. Peneliti juga akan meng-
interpretasi apa yang mereka temui di lapangan, dan ini akan dipengaruhi latar
belakang dan pengalaman peneliti. Ketiga, pemaknaan selalu bersifat sosial berdasar-
kan interaksi dengan masyarakat sekitar. Proses penelitian kualitatif sangat induktif,
dimana pemaknaan dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di lapangan (p. 8-9).
Konstruktivisme, menurut Guba dan Lincoln (1994), merupakan satu dari
empat paradigma utama dalam penelitian. Keempat paradigma itu dibedakan dari sisi
ontologi, epistemologi, dan metodologi. Secara ontologis, pemahaman praktisi dan
klien akan spiritualitas merupakan realitas relatif yang bisa dipahami dalam bentuk
konstruksi mental yang beragam dan tidak bisa ditangkap secara inderawi.
Konstruksi mental juga dibentuk secara sosial dan berdasarkan pengalaman sehingga
bersifat lokal dan khusus. Meskipun begitu, ada unsur-unsur tertentu yang sama-
sama dialami oleh berbagai individu dan kultur yang berbeda (p. 110). Itulah
mengapa penelitian ini lebih tepat menggunakan paradigma konstruktivisme.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
99
Dari sisi epistemologi, paradigma konstruktivisme bersifat transaksional dan
subjektivis. Pemahaman informan tentang aspek spiritual dan agama yang tertangkap
melalui penelitian merupakan hasil dari proses timbal-balik (transaksi) antara si
peneliti dan informan walaupun pemahaman itu diklaim didapat dari hasil
pemaknaan subjektif dari informan (subjektivis). Kemudian secara metodologis,
pemahaman yang nanti diperoleh dan dimasukkan dalam hasil penelitian sebenarnya
dapat dikatakan sebagai “konstruksi konsensus” yang telah diproses melalui
perbandingan secara dialektis dan dengan menggunakan teknik hermeneutik ketika
peneliti menafsirkan interaksinya dengan informan (Guba & Lincoln, 1994, p. 111).
3.2. Grounded Theory
Grounded theory dijadikan strategi penelitian ini karena spiritualitas dalam
pekerjaan sosial merupakan bidang yang relatif baru, khususnya di Indonesia. Di
dunia Barat kajian dan penelitian tema ini telah berkembang sejak lebih dari dua
dekade lalu. Meskipun begitu, Coholic (2007), yang menginvestigasi awal tentang
pengaruh spiritualitas pada kesadaran diri dan harga diri dalam kelompok,
mengklaim kerangka praktik pekerjaan sosial sensitif spiritual yang diterima luas
masih belum terbangun. Ini dikemukakan untuk mendukung penelitiannya yang
memakai grounded theory. Alasan lain Coholic, yang juga dipakai di sini, adalah
bahwa metode ini berguna untuk membangun teori dari dunia praktik yang nanti
pada gilirannya dapat dimanfaatkan para praktisi dan klien (p. 117).
Grounded theory diperkenalkan Glaser dan Strauss (1967), yaitu penelitian
yang dimulai dengan “observasi dan kemudian mengusulkan pola, tema, atau
kategori umum.” Namun, itu bukan berarti tanpa prakonsep (konsep-konsep atau
horison pemahaman yang sudah ada) atau ide-ide sebelumnya tentang apa yang
sedang dikaji (Babbie, 1998, p. 283; Rubin & Babbie, 2001, p. 392). Sherman dan
Reid (1994) menyebut pendekatan grounded theory sebagai metode yang “secara
khsusus menjanjikan bagi pengembangan teori dan pengetahuan pekerjaan sosial
indigenous” (p. 6). Shaw dan Gould (2001) juga menyebutnya sebagai “stimulus
yang berjalan bersama lapangan penelitian pekerjaan sosial” (p. 36). Begitu juga
dengan Gilgun (1994) yang mengatakan metode ini sangat bermanfaat untuk
mengembangkan ataupun membangun pengetahuan pekerjaan sosial, khususnya
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
dalam pelayanan sosial langsung (direct practice). Denzin dan Lincoln (1994)
bahkan menempatkan grounded theory sebagai revolusi dalam penelitian kualitatif.
Menurut Creswell (2009), grounded theory adalah suatu strategi penelitian
dimana si peneliti membangun teori umum yang bersifat abstrak tentang suatu
proses, tindakan, atau interaksi bedasarkan pandangan dari para partisipan. Prosesnya
meliputi pengumpulan data, pemilahan, dan membandingkan atau menghubung-
hubungkan antar kategori. Karakteristik utamanya adalah: (1) perbandingan data
secara konstan dengan beberapa kategori yang muncul; dan (2) pengambilan sampel
secara teoretis (theoretical sampling) dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk
menguatkan persamaan dan perbedaan informasi. Kategori utamanya ini merupakan
pendekatan yang dipakai dalam analisis grounded theory sehingga Glaser dan
Strauss menamainya sebagai “sebuah metode umum tentang analisis komparatif
(konstan)” atau “metode komparatif konstan” (Strauss & Corbin, 2004, p. 273).
Grounded theory menekankan proses induktif melalui perbandingan antar
kasus secara konstan menurut persamaan dan perbedaannya (iteratif) untuk
menemukan teori, konsep, hipotesis, atau proposisi (Sherman & Reid, 1994; Cherry,
2000; Shaw & Gould, 2001; Neuman, 2006). Menurut Neuman, grounded theory
banyak membuat penelitian kualitatif menjadi fleksibel. Peneliti tetap terbuka
terhadap hasil-hasil yang mungkin tidak diharapkan atau diantisipasi, sehingga harus
mengubah fokus atau arah penelitian di tengah penelitian. Pertanyaan penelitian yang
bersifat teoretis bahkan bisa menggantikan pertanyaan sebelumnya berdasarkan
temuan. Dengan karakteristiknya yang membiarkan data dan teori berinteraksi,
pengumpulan data dan pembentukan teori dilakukan bersama secara berselingan.
Meskipun bersifat induktif, menurut Rubin dan Babbie (2001), strategi ini
juga memakai proses deduktif terutama ketika melakukan perbandingan kasus secara
konstan. Proses induktif dipakai untuk menemukan pola-pola, kemudian dibangun
konsep dan hipotesis sementara (working hypothesis). Hipotesis ini lalu dikonfirmasi
atau dikonfrontasi dengan kasus-kasus serupa yang dipilih melalui theoretical
sampling. Pada saat inilah proses deduktif berjalan. Pencarian kasus terus dilakukan
hingga peneliti meyakini tidak ada lagi pandangan baru dari kasus-kasus serupa.
Temuan dari kasus-kasus baru tidak mengubah temuan yang ada. Setelah itu, peneliti
harus mencari kasus lain yang berbeda. Proses serupa diulang layaknya suatu siklus.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
101
Gambar 3.1. Proses dan hasil dalam grounded theory
Sumber: Bryman (2008, p. 545)
Gambar 3.1 menunjukkan 12 langkah dalam grounded theory yang diambil
dari Bryman (2008) terkait proses dan hasil. Namun demikian, 12 langkah tersebut
hanya berupa model yang tidak harus dilakukan langkah demi langkah secara persis.
Selain itu, penelitian ini tidak sampai menghasilkan teori formal seperti dihasilkan
langkah ke-12, akan tetapi hanya sampai upaya membangun teori substantif.
1. Pertanyaan penelitian
2. Theoretical sampling
3. Pengumpulan data
4. Coding
Proses Hasil
5. Perbandingan konstan
6. Saturasi kategori
Konsep
Kategori
Hipotesis 7. Eksplorasi hubungan antar kategori
8. Theoretical sampling
9. Pengumpulan data
10. Saturasi kategori
11. Tes hipotesis
12. Pengumpulan & analisis data dalam setting berbeda
Teori substantif
Teori formal
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
Penjelasan bagaimana proses untuk menghasilkan teori substantif ini akan diuraikan
pada sub-bab teknik analisis data.
3.3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
Lokasi penelitian dijelaskan mulai dari proses pencarian awal hingga lokasi
yang telah dipastikan menjadi lokasi penelitian. Kerangka waktu penelitian dari awal
pembuatan proposal hingga presentasi hasil dan revisi juga diurai singkat dengan
bantuan ilustrasi timetable.
3.3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di provinsi DKI Jakarta dan sekitarmya. Kawasan
ibukota dan penyangganya ini dipilih karena berpopulasi padat dimana angka
permasalahan sosial relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar lain di Indonesia,
termasuk masalah lansia. Penanganan lebih variatif dari sisi institusi penyelenggara
dan metode, termasuk yang memanfaatkan aspek spiritual dan agama. Selain itu,
praktisi datang dari berbagai latar belakang tradisi keagamaan, pandangan dunia, dan
pengalaman yang sangat mewarnai bagaimana melakukan penanganan lansia.
Lokasi dipilih berdasarkan ketersediaan klien lansia dan praktisi kessos
sebagai informan penelitian dengan kriteria tertentu. Untuk memeroleh kedua
kategori informan ini, langkah pertama yang dilakukan adalah menggali informasi
tentang lembaga-lembaga penyedia layanan sosial bagi lansia, baik yang berbasis
panti maupun komunitas. Informasi diperoleh dari penelusuran internet, lembaga
yang berkaitan dengan lansia, dan sejumlah informan kunci dengan teknik snowball.
Lembaga yang dimaksud misalnya Kementerian Sosial (Direktorat Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional), Perhimpunan Gerontologi
Indonesia (Pergeri), dan IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional). Selain itu, peneliti
juga sempat menghubungi beberapa orang yang dianggap punya informasi dan
keterkaitan dengan kegiatan pelayanan atau penelitian lansia.
Dari informasi tersebut, peneliti berupaya menghubungi sejumlah lembaga
pelayanan sosial lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya. Di antaranya ada PSTW Budhi
Dharma Bekasi, PSTW Budi Mulia 4 Jakarta Selatan, PSW Wisma Mulia Jakarta
Barat, Senior Club Indonesia Jakarta Utara, Yayasan Bhakti Putra Pratama
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
103
(pelayanan home care) Jakarta Selatan, Yayasan Tresna Werdha Nurul Ikhlas,
Sasana Tresna Werdha (STW) Hj. Hasmah Noor, STW Karya Kasih Kwitang Jakarta
Pusat, STW Karya Bhakti Jakarta Timur, dan Yayasan Pitrah Sejahtera (pelayanan
home care) Jakarta Utara.
Akhirnya hanya empat lembaga yang bisa ditindaklanjuti menjadi objek
penelitian ini karena dianggap dapat mewakili pelayanan dari penyedia layanan yang
berbeda. Sedangkan lembaga yang batal menjadi lokasi penelitian dikarenakan sudah
tidak ada (atau pindah alamat), ada yang tidak jelas apakah izin penelitian diterima
atau tidak, ada yang karena birokrasi yang agak rumit, dan ada juga karena alasan
ketiadaan praktisi berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial.
Keempat lembaga tersebut yaitu: (1) PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha)
Budhi Dharma Bekasi milik Kemensos (Panti Bekasi); (2) PSTW Budi Mulia 4
Margaguna, Jakarta Selatan milik Pemerintah DKI (Panti Margaguna); (3) Panti
Sosial Werda Wisma Mulia Grogol, Jakarta Barat (Panti Jelambar), sebuah panti
swasta milik Kowani khusus untuk lansia perempuan; dan (4) Yayasan Pitrah
Sejahtera, Cilincing, Jakarta Utara. Berbeda dengan ketiga lembaga pertama yang
berbentuk institusional panti, Yayasan Pitrah Sejahtera merupakan lembaga non-
panti berbasis masyarakat yang memberikan layanan home care bagi lansia. Keempat
lokasi penelitian tersebut tampak pada Gambar 3.2
Gambar 3.2. Lokasi penelitian
Sumber peta: https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
104
Universitas Indonesia
3.3.2. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu dua tahun lebih. Kegiatan pra-
penelitian berupa survei lapangan dan penjangkauan calon informan dilakukan sejak
awal hingga pertangahan tahun 2013. Seiring kegiatan ini, pengumpulan data sudah
mulai dilakukan dengan metode kajian dokumen, wawancara, dan observasi. Hampir
bersamaan dengan kurun waktu itu, analisis dan pemrosesan data sudah dilakukan di
lapangan. Menranskrip hasil wawancara dan melakukan analisis coding merupakan
kegiatan yang memakan waktu cukup panjang. Di pertengahan tahun 2014 sempat
dilakukan kembali wawancara terhadap informan praktisi demi tercapainya data yang
jenuh. Penyusunan tulisan juga sudah dimulai saat pengumpulan dan analisis data
sampai akhir 2014. Presentasi hasil dan revisi naskah dilakukan selama pertengahan
awal 2015. Tabel 3.1 menunjukkan kerangka waktu pelaksanaan penelitian.
Tabel 3.1. Timetable pelaksanaan penelitian
PELAKSANAAN 2013 2014 2015 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
1 Pra-penelitian • Survei lokasi • Outreaching informan 2 Pengumpulan data • Kajian dokumen • Interview lansia • Interview praktisi • Observasi 3 Analisis Data • Transkrip verbatim • Coding 4 Drafting 5 Presentasi hasil & revisi
3.4. Informan Penelitian
Dalam sub-bab ini dijelaskan proses pemilihan informan dengan teknik
theoretical sampling dan deskripsi (demografi) informan praktisi dan lansia yang
turut berpartisipasi dalam penelitian ini.
3.4.1. Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan yang dipakai adalah theoretical sampling, yang
merupakan satu bentuk atau variasi dalam purposive sampling usulan Glaser dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
105
Strauss (1967) dan Strauss dan Corbin (1998), seperti dikutip Bryman (2008), yang
khas untuk pendekatan grounded theory dalam konteks analisis data kualitatif.
Theoretical sampling adalah teknik pemilihan informan dalam proses pengumpulan
data dalam rangka membangun teori menurut kategori yang terbangun dan teori yang
muncul di lapangan (Coyne, 1997, p. 629). Menurut Coyne, dalam grounded theory,
theoretical sampling dapat diistilahkan sebagai sebuah “analisis yang dipandu atau
dikontrol oleh purposeful sampling” (p. 629). Sebagai sebuah proses, teknik ini
dilakukan tidak hanya dalam satu kali tahapan, tetapi beberapa tahap sebagai proses
menerus yang ditentukan atau dikontrol oleh dinamika data atau teori yang muncul.
Proses pemilihan informan dengan teknik theoretical sampling didasarkan
pada informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Pemahaman aspek spiritual dan bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan
dalam penanganan masalah mental lansia. Informasi ini akan digali dari
praktisi kessos yang terdiri dari pekerja sosial dan pendamping atau perawat.
2. Pengalaman subjektif tentang spiritualitas dan persepsi atau respons terhadap
masalah hidup lansia yang sedang ditangani atau sudah ditangani. Informan
utama untuk menggali informasi ini adalah klien lansia dalam konteks
pelayanan sosial. Orang-orang sekitar yang penting bagi klien (the significant
others), seperti keluarga atau kerabat yang masih berhubungan, teman sesama
panti, atau bahkan peksos dan staf panti, juga akan menjadi informan
tambahan untuk triangulasi sumber data.
Meskipun merupakan proses yang menerus, kriteria tentatif dibuat sebagai
patokan awal untuk pemilihan informan sebelum turun lapangan. Kriteria awal
tersebut dibuat berdasarkan subjek atau masalah penelitian secara umum, bukan
berdasarkan pra-konsep kerangka teori (Coyne, 1997). Penentuan kriteria ini intinya
bertujuan memperoleh informasi yang secara teoretis penting tentang konsep dan
kondisi tertentu yang diperlukan atau berbagai kategori yang mungkin muncul.
Kriteria theoretical sampling di tahap lanjutan telah diperbaiki berdasarkan temuan
agar data lebih fokus seiring munculnya tema atau kategori. Langkah-langkah
tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.1. Pada akhirnya, kriteria informan yang
ditetapkan ada sedikit perubahan seperti tampak pada Tabel 3.2.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
106
Universitas Indonesia
Tabel 3.2. Kriteria informan yang terlibat dalam penelitian
Kriteria informan Informan
• Pekerja sosial lulusan perguruan tinggi jurusan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau pekerja sosial fungsional
• Pendamping/perawat lulusan SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial) • Pendamping yang pernah ikut diklat kesejahteraan sosial atau bimbingan
teknis tentang pelayanan sosial untuk lansia • Sedang/pernah menangani lansia dengan pendekatan spiritual dan/atau agama
Praktisi kessos
• Sedang atau pernah mengalami masalah berat dan menderita gangguan depresi atau kecemasan, dan lain-lain
• Sedang ditangani atau yang telah pulih karena intervensi dengan pendekatan spiritual dan/atau agama
• Mampu berkomunikasi dan tidak menderita demensia semacam pikun atau alzheimer
• Tergolong masih mandiri atau independen
Klien lansia
Setelah menentukan lokasi penelitian seperti telah dijelaskan sebelum ini,
langkah berikutnya menjangkau dan memilih informan. Informan lansia dengan
kriteria seperti pada Tabel 3.2 ditelusuri melalui informasi menurut pekerja sosial,
psikolog, atau perawat yang menjadi semacam gatekeeper dan mengetahui kondisi
sejumlah lansia. Dari informasi mereka, peneliti mencoba melakukan observasi dan
berinteraksi langsung dengan klien. Untuk memastikan beberapa calon informan
lansia tersebut, peneliti juga menelusuri dokumen-dokumen terkait data biografi,
identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan tindakan intervensi yang
pernah dilakukan. Data demografis informan juga telah diperoleh berdasarkan
lembar pendataan (Lampiran 2).
Sewaktu masih berupaya mencari-cari lembaga layanan sosial lansia yang
akan diteliti, peneliti langsung melakukan kontak atau kunjungan dan mengurus
perizinan pada lembaga yang dianggap potensial. Ketika sudah ada kepastian bahwa
penelitian diizinkan, peneliti melakukan obeservasi dalam beberapa kali kunjungan
dan menemui gatekeeper, seperti kepala panti atau yayasan, kepala seksi, pekerja
sosial atau pendamping, atau kolega yang peneliti kenal. Di samping itu, informasi
dari berbagai sumber dan dokumen juga ditelusuri. Dari sini, peneliti mendapatkan
gambaran awal tentang sistem pelayanan panti dan calon informan yang potensial
dan sekiranya memenuhi kriteria.
Melalui observasi dan interaksi langsung, baik dengan praktisi maupun klien,
serta data panti (biografi, identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
107
perkembangan), peneliti kemudian menetapkan informan secara purposif (purposive
sampling) dengan meminta kesediaan mereka terlebih dahulu. Wawancara dilakukan
ketika hubungan baik (rapport) dengan informan telah terbangun, kepercayaan
(trust) mereka terhadap peneliti tumbuh, dan mereka bersedia untuk diwawancara.
Namun untuk kasus pelayanan home care, ada juga yang bisa langsung dilakukan
wawancara, terutama terhadap pendamping, karena peneliti didampingi gatekeeper
dan mereka telah memahami konteks atau terbiasa dengan penelitian.
Untuk calon informan praktisi, peneliti mengalami kesulitan menjangkau
mereka, terutama yang berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial.
Sejauh hasil penelusuran, sebagaian besar praktisi yang memberikan layanan
langsung kepada lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya hanya lulusan SMPS (Sekolah
Menengah Pekerjaan Sosial). Sementara mereka yang berlatar pendidikan sarjana
tidak secara langsung melayani lansia meskipun bekerja di setting lansia.
Kemudian, kalaupun ada sejumlah praktisi yang sekiranya memenuhi kriteria,
sebagian enggan untuk terlibat. Alasannya bisa jadi karena mereka khawatir bahwa
penelitian ini diasumsikan seperti sebuah ujian akan pengetahuan dan kompetensi
mereka. Padahal, peneliti selalu berupaya meyakinkan bahwa penelitian bertujuan
lebih pada penggalian pemahaman dan pengalaman spiritualitas mereka baik secara
personal maupun profesional ketika berinteraksi dengan klien. Ada pula beberapa
calon informan praktisi yang telah menyatakan kesediaan untuk berpartisipasi,
namun ketika ditanya kapan bisa diwawancara mereka cenderung menunda dan agak
menghindar. Untuk hal ini, ada empat praktisi (pekerja sosial fungsional) yang
akhirnya dibatalkan untuk berpartisipasi karena alasan kesukarelaan.
Ada satu lembaga yang pimpinannya mengizinkan peneliti hanya untuk
mewawancarai klien lansia, tapi tidak untuk praktisi. Satu lembaga milik pemerintah
bahkan tidak memiliki pekerja sosial fungsional ataupun profesional sama sekali.
Dalam memberikan layanan, panti ini banyak mengandalkan pramusosial, staf seksi
keperawatan, dan terkadang pelajar atau mahasiswa praktik kerja lapangan.
3.4.2. Deskripsi Informan
Secara keseluruhan ada 20 informan yang berpartisipasi dalam penelitian
yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia. Praktisi yang terlibat
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
108
Universitas Indonesia
terdiri dari empat orang pendamping (satu laki-laki dan tiga perempuan), dua staf
berjenis kelamin perempuan (satu dari seksi keperawatan dan satu lagi dari seksi
rehabilitasi sosial), dua orang pekerja sosial (satu laki-laki tingkat ahli dan seorang
perempuan tingkat terampil yang akan pensiun di akhir 2013), dan seorang penyuluh
sosial perempuan dengan latar belakang pendidikan spesialis (Sp-1) pekerjaan sosial.
Dilihat dari sisi tugas pokok dan fungsi di panti, posisi staf memang tidak berada di
ujung tombak pelayanan langsung untuk klien lansia, seperti halnya pekerja sosial.
Namun, kedua staf yang sukarela berpartisipasi memiliki pengalaman menangani
lansia secara langsung ketika menjadi pengasuh dan pramusosial. Saat ini selaku staf
pun mereka tetap berinteraksi dengan klien dan terkadang memberikan layanan
melalui berbagai bimbingan atau kegiatan keagamaan. Tabel 3.3 pada halaman
berikut adalah data demografi informan praktisi.
Tabel 3.3. Data demografi informan praktisi
Informan Jenis
kelamin Usia
Status kawin
Pendidikan Suku Agama Lembaga
YL P 47 Janda SMPS Jawa Islam Panti SM P 56 Nikah SMPS Jawa Islam Panti WN P 42 Nikah SMPS Sunda Islam Panti TY P 41 Nikah Sp-1 Kessos Jawa Islam Panti FS L 37 Nikah D-IV Kessos Aceh Islam Panti HN P 35 Nikah SMK Sunda Islam Home care ED L 32 Nikah S-1 Betawi-
Jawa Islam Home care
MM P 54 Janda MTs Sunda Islam Home care HT P 58 Nikah SMEA Batak Islam Home care
Pada tabel tersebut ditunjukkan kisaran usia praktisi dari 32 hingga 56 dan
semuanya beragama Islam. Mereka berasal dari suku Jawa (tiga orang), Sunda (tiga),
campuran Betawi-Jawa (satu), Aceh (satu) dan Batak (satu). Latar belakang
pendidikan mereka adalah lulusan SMPS (tiga orang), SMK (dua), MTs (satu), D-IV
(satu), S-1 (satu), dan Sp-1 (satu). Seorang praktisi lulusan D-IV merupakan Ahli
Madya Kesejahteraan Sosial lulusan STKS (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial)
Bandung. Seorang lagi merupakan Spesialis Pekerjaan Sosial (Sp-1) STKS (setingkat
strata 2). Lima orang informan yang bekerja di panti pemerintah adalah pegawai
negeri sipil (PNS), sedangkan pekerjaan para pendamping ada yang ibu rumah
tangga (dua orang), penata rias, dan karyawan sebuah perusahaan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
109
Informan lansia terdiri dari empat laki-laki dan tujuh perempuan. Dari sebelas
klien itu ada dua pasang suami-istri lansia, semantara sisanya janda atau duda.
Kebanyakan tinggal dan mendapat layanan di panti dan hanya dua dapat layanan
home care. Informan lansia cukup beragam dari sisi suku, agama, dan pendidikan.
Mayoritas informan beragama Islam, hanya dua lansia yang Protestan. Sebagian
besar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa
informan yang sering menggunakan istilah atau ungkapan bahasa daerahnya,
terutama bahasa Jawa dan Sunda. Namun, peneliti masih mampu memahami
maksudnya, sehingga tidak perlu melibatkan ko-peneliti yang ahli berbahasa daerah
tersebut. Tabel 3.4 merangkum data demografis informan lansia.
Tabel 3.4. Data demografi informan klien lansia
Infor-man
Jenis Kelamin
Usia Status kawin Pendidikan Suku Agama Setting layanan
Mrw L 71 Duda (cerai) SMP (kelas 2)
Betawi Islam Panti
Pnd L 76 Nikah SR (kelas 6)
Campuran Tionghoa-pribumi
Islam (sebelum-nya Budha, Protestan)
Panti
Gbg P 74 Nikah SR (tidak lulus)
Sunda Islam Panti
Rml L 78 Nikah SR Islam Aceh Islam Panti Nrn P 60 Nikah MI Negeri Aceh Islam Panti Est P 68 Tidak kawin SPG Tionghoa Protestan Panti Kntw P 77 Janda (di-
tinggal mati) SR (tidak lulus)
Jawa Protestan (sebelum-nya Islam)
Panti
Sgn L 67 Duda (di-tinggal mati)
STM Bangunan
Jawa Islam Panti
Alm P 63 Janda (cerai) SMP Jawa Islam Panti Bs P 77 Janda (di-
tinggal mati) SR (kelas 3)
Makassar Islam Home care
Msn P 73 Janda (di-tinggal mati)
SR (kelas 3)
Sunda Islam Home care
3.5. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, berikut ini diuraikan teknik pengumpulan data
yang telah dilakukan. Khusus untuk wawancara, teknik ini diuraikan secara lebih
detail dari sisi prosesnya karena lebih dominan digunakan dalam penelitian ini.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
110
Universitas Indonesia
3.5.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian dokumen/arsip,
observasi, dan interview. Penggunaan teknik berbeda dalam penelitian kualitatif
disebut triangulasi (interdisciplinary triangulation) dengan tujuan validasi data.
Berbagai temuan diperoleh melalui penggunaan dua sampai tiga teknik/pendekatan
berbeda yang tidak punya kelemahan serupa secara metodologis (Singleton & Straits,
1999; Janesick, 2003; Denzin & Lincoln, 2003). Menurut Denzin (1970), seperti
dikutip Bryman (2008, p. 379), penggunaan metode yang berbeda disebut sebagai
triangulasi dengan multiple methodologies. Tipe lain yang juga digunakan adalah
triangulasi dengan berbagai sumber data (multiple sources of data), yakni
menggunakan lebih dari satu sumber informasi untuk satu pertanyaan atau tema
penelitian yang sama untuk validasi data.
Kajian dokumen/arsip dilakukan untuk menelusuri berbagai informasi tentang
biografi dan demografi lansia dan praktisi. Dokumen atau arsip tentang klien yang
dimaksud bisa berasal dari hasil catatan identifikasi awal pada saat perujukan atau
penerimaan, hasil asesmen, catatan kasus atau peristiwa, catatan harian (jurnal), data
perkembangan, laporan kemajuan, dan lain-lain. Di samping itu, berbagai jenis
dokumen yang sekiranya relevan dan dapat dipertanggung-jawabkan (archives in the
bush) juga dicari dari berbagai sumber.
Observasi dilakukan langsung terhadap proses asesmen dan intervensi yang
dilakukan para praktisi atau pada saat kegiatan bimbingan. Selaku pengamat murni
(complete observer atau non-participant observation), peneliti membuat catatan yang
menggambarkan proses tersebut (Rubin & Babbie, 2001). Teknik observasi terutama
digunakan untuk menghimpun data tentang bagaimana spiritualitas dipraktikkan
dalam penanganan lansia yang sedang menghadapi masalah tertentu (panduan
observasi di Lampiran 5). Dari sisi peran, peneliti berusaha terlibat secara penuh
dalam setting penelitian. Ini dilakukan secara bertahap, dimulai sebagai pengamat
(observer), separuh partisipan, hingga menjadi complete participant. Pengumpulan
data dilakukan berkali-kali dan dengan keterlibatan penuh. Pada saat bersamaan,
dilakukan observasi terhadap apa yang sedang berlangsung (Patton, 2002, p. 277).
Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur (semi-structured interview).
Teknik ini digunakan untuk metode grounded theory dengan informan praktisi dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
111
klien. Protokol dan pedoman awal wawancara (initial interview guide) untuk masing-
masing informan disusun sebelum turun lapangan (lihat Lampiran 3). Pedoman awal
ini telah diadaptasikan secara menerus berdasarkan data yang ditemukan, entah
dengan menghilangkan atau menambah pertanyaan baru, karena pengumpulan data
dalam grounded theory dapat semakin fokus seiring analisis data (Charmaz, 2004, p.
503). Unsur-unsur pesan (message) dalam wawancara meliputi auditory dan visual.
Dalam open coding, keduanya sangat diperlukan untuk transkrip verbatim yang
mencakup apa yang disampaikan secara verbal (auditory) dan juga gerak-gerik dan
emosi yang muncul dari informan selama wawancara (visual). Pesan auditory
direkam dengan alat perekam, sementara pesan visual yang dinilai signifikan dicatat
(note taking) oleh peneliti sehingga unsur ini tidak terlupakan selama wawancara
berlangsung. Kedua unsur tersebut menjadi bahan penting untuk analisis.
Tabel 3.5. Inisial informan praktisi dan tanggal wawancara
Informan praktisi Tanggal wawancara
YL 30 Mei 2013 SM 12 Juni 2013 WN 13 Juni 2013 HN 16 Juni 2013 ED 16 Juni 2013 MM 16 Juni 2013 HT 16 Juni 2013 TY 26 Juni 2014 FS 1 Juli 2014
3.5.2. Proses Wawancara
Pelaksanaan wawancara menggunakan panduan awal (initial interview guide)
baik untuk informan praktisi maupun lansi (lihat Tabel 3.5 dan 3.6 tentang
pelaksanaan wawancara). Panduan awal wawancara ini tampak pada Lampiran 3.
Wawancara pertama kali terhadap masing-masing informan praktisi dan lansia
dianggap sebagai semacam uji coba (pilot). Sehabis wawancara pertama tersebut,
peneliti langsung melakukan revisi baik dari sisi tema atau konsep yang akan
diajukan maupun dari sisi urut-urutan pertanyaan. Ada sejumlah daftar pertanyaan
yang dikurangi, ada juga yang ditambahkan. Sebagai contoh, pada wawancara
dengan praktisi pertanyaan tentang kegiatan atau afiliasi keagamaan yang ada pada
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
112
Universitas Indonesia
saat wawancara pertama akhirnya dihilangkan. Pertanyaan ini cukup ditanyakan
dalam data informan, kecuali apabila memerlukan klarifikasi lebih jauh.
Tabel 3.6. Inisial informan lansia, frekuensi wawancara, dan tanggal wawancara
Informan lansia Frekuensi wawancara Tanggal wawancara
Mrw 2 kali 8 April; 6 Juni 2013 Pnd 4 kali 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 Gbg 4 kali 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 Rml 1 kali 27 Mei 2013 Nrn 1 kali 27 Mei 2013 Est 1 kali 31 Mei 2013
Kntw 1 kali 31 Mei 2013 Sgn 2 kali 5, 12 Juni 2013 Alm 1 kali 6 Juni 2013 Bs 1 kali 16 Juni 2013
Msn 1 kali 16 Juni 2013
Contoh lain ketika pertama kali mewawancarai klien lansia, eksplorasi awal
adalah berkaitan dengan aktivitas keagamaan sehari-hari klien kemudian diikuti
pertanyaan bagaimana cerita penderitaan atau pengalaman hidup, dan seterusnya.
Tampaknya pola urut-urutan pertanyaan seperti itu agak membingungkan lansia yang
kebanyakan berlatar pendidikan rendah. Hasil wawancarapun menjadi terkesan
bolak-balik atau berputar-putar. Dalam revisi panduan, terutama untuk lansia di
panti, pertanyaan awal bermula dari bagaimana perasaan atau ekspresi saat ini di
panti, sehingga mereka akan cerita hal-hal atau pengalaman yang membuat mereka
senang-tidak senang atau suka-tidak suka. Sehingga dari cerita itu peneliti
mengeksplorasi lebih jauh sambil tetap berpegang pada panduan wawancara yang
telah direvisi. Tidak menutup kemungkinan peneliti mengakomodir tema-tema baru
yang muncul, contohnya kasus lansia yang memakai susuk atau pemanis di waktu
mudanya dan akan menjadi masalah ketika mereka mendekati akhir hayat. Terkait
muncul atau hilangnya tema-tema dalam wawancara akan dijelaskan pada bab-bab
yang membahas hasil temuan dan analisisnya.
Selama wawancara berlangsung, peneliti membuka lebar kemungkinan
interaksi dengan informan. Interaksi dalam wawancara yang dimaksud bisa berupa
afirmasi (mengiyakan atau menegaskan), koreksi (membetulkan atau meluruskan),
merespons, probing, prompting, mengulangi pertanyaan dengan cara atau kalimat
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
113
berbeda, dan lain-lain. Probing yang dilakukan di sini maksudnya adalah berupaya
mendalami aspek tertentu untuk memperjelas jawaban informan dan mencari-cari
atau menyelediki sesuatu pada informan dengan mengajukan pertanyaan berbeda
atau menawarkan jawaban-jawaban yang memerlukan konfirmasi dari informan.
Bryman (2008) menjelaskan probing dapat dilakukan peneliti ketika informan tidak
memahami pertanyaan atau sebaliknya, ketika jawaban dari informan tidak dipahami
atau dianggap belum adekuat.
Sebagai contoh untuk probing dan prompting, pertanyaan tentang apa yang
dilakukan ketika sedang mengalami penderitaan atau masalah hidup yang begitu
berat, terkadang dijawab dengan kurang jelas dan mendalam. Oleh karena itu,
peneliti melakukan probing dengan berupaya menggali informasi lebih lengkap.
Atau, peneliti melakukan prompting dengan mengajukan kemungkinan jawaban,
sebagaimana dijelaskan Bryman (2008), atau pertanyaan lebih jauh, seperti apakah
dengan berdoa, sembahyang, berkeluh-kesah ke teman atau praktisi, dan lain-lain.
Wawancara dilakukan secara informal dan sebisa mungkin menghindari
kesan resmi yang menyebabkan informan menjadi kurang nyaman dan cenderung
memberi jawaban yang ideal dan normatif. Namun demikian, kesan formal ini
terkadang tidak bisa dihindari, terutama bagi informan lansia, karena ketika peneliti
mengeluarkan kertas panduan wawancara, bolpen, dan alat perekam, mereka menjadi
kurang natural. Sangat mungkin bila ada jawaban atau respons informan yang tidak
autentik atau dibuat-buat (fake). Namun, dalam penelitian kualitatif dengan
paradigma konstruktivisme ini, menemukan kebenaran bukanlah tujuan. Karena,
jawaban atau respons yang fake itu juga menjadi data yang harus turut dianalisis.
Terutama untuk informan lansia, pewawancara cenderung fleksibel dalam
mengajukan pertanyaan, meskipun telah memakai panduan wawancara yang telah
direvisi. Peneliti berupaya mengikuti alur pikiran informan, namun masih tetap
berpegang pada poin-poin seperti dalam panduan wawancara. Dalam hal ini, peneliti
berupaya untuk sangat terbuka (open mind) pada tema-tema baru yang mungkin
muncul atau sebaliknya, tidak memaksakan semua tema dalam panduan muncul atau
terjawab dari seorang informan.
Ketika informan merasa tidak paham dengan suatu pertanyaan atau istilah
spiritualitas misalnya, peneliti memberi contoh pemahaman atau pengalaman pribadi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
114
Universitas Indonesia
peneliti (self-disclosure). Ketika dia mengaku cukup paham, wawancara dilanjutkan.
Di sini peneliti sebenarnya sedang menegaskan satu ungkapan bahwa instrumen
utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, bukan kuisioner ataupun
panduan wawancara.
Semua wawancara direkam menjadi format mp3 untuk menangkap pesan
auditory. Peneliti juga mencatat (note taking) untuk menangkap pesan-pesan yang
diekspresikan informan secara visual, seperti gestur dan emosi ketika merespons
pertanyaan. Selama periode pengambilan data dari wawancara, tidak semua rekaman
langsung bisa ditranskrip begitu selesai tiap wawancara karena kegiatan ini cukup
memakan waktu. Terkait dengan prosedur penelitian grounded theory yang
mengharuskan proses pengambilan data dan analisis berlangsung secara simultan,
maka agar bisa melakukan kedua proses tersebut peneliti memutar kembali hasil
rekaman wawancara dan mencatat semua poin penting atau tema-tema yang muncul.
Peneliti juga menuliskan semua kegiatan interaksi dengan informan dan respons
mereka ketika wawancara berlangsung. Hasil pencatatan poin-poin tersebut menjadi
panduan untuk mengarahkan proses wawancara selanjutnya dan juga menentukan
informan berikutnya yang sekiranya relevan untuk membangun teori (theoretical
sampling).
3.6. Analisis Data
Berikut ini perlu dijelaskan teknik analisis data secara garis besar dan
bagaimana proses analisis dengan beberapa alat grounded theory.
3.6.1. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa dokumen/arsip, catatan hasil
observasi (field notes), foto, video, dan rekaman hasil wawancara. Pemrosesan hasil
penelitian ini dilakukan untuk analisis data. Pada tahap ini, manajemen data terkait
penataan dan penyajian (Huberman & Miles, 1994) tidak dapat dipisahkan dengan
analisis data (Berg, 2001). Secara garis besar, data diproses dan dianalisis melalui
tiga tahap: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) pengambilan kesimpulan dan
verifikasi (Huberman & Miles, 1994, p. 428-9). Dalam penelitian grounded theory
ini, tiga tahap tersebut tidak dilakukan secara linier tahap per-tahap, namun secara
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
115
berulang atau bahkan bersamaan yang dilakukan selama proses pengambilan data
lapangan. Strategi analisis grounded theory seperti ini dikatakan sebagai pendekatan
iteratif atau rekursif (Bryman, 2008) dimana kegiatan pengumpulan dan analisis data
dilakukan secara simultan untuk menghasilkan teori (Glaser & Strauss, 1967;
Charmaz, 2004).
Tahap reduksi data pada intinya adalah meringkas data yang diperoleh agar
”lebih siap untuk diakses, dipahami” dan mengembangkan atau menciptakan
”berbagai tema dan pola” (Berg, 2001, p. 35). Caranya adalah dengan memilih dan
memilah serta merangkum informasi yang relevan, baik dari hasil kajian dokumen
atau arsip, field notes, maupun hasil wawancara melalui kegiatan coding.
Pada tahap penyajian, data yang direduksi disajikan dalam bentuk
”serangkaian informasi yang tertata, ringkas, dan padat” (Huberman & Miles, 1994,
p. 429), kemudian dianalisis dan diinterpretasi. Intinya, peneliti berupaya agar tidak
“membiarkan data berbicara untuk dirinya-sendiri” (Singleton & Straits, 1999, p.
549). Keduanya dilakukan selama pengumpulan data, dan integrasi antara pengum-
pulan dan analisis data umum digunakan dalam grounded theory (Ezzy, 2002).
Sedangkan, tahap kesimpulan dan verifikasi dibuat berdasarkan temuan dan
kadang bahan literatur atau dokumen. Verifikasi meliputi: (1) konfirmasi kesimpulan
yang ditarik dari pola data; dan (2) jaminan bahwa “semua prosedur yang digunakan
dari awal sampai penarikan kesimpulan telah diartikulasikan secara gamblang”
(Berg, 2001, p. 36). Selain itu, rekomendasi terkait tindakan juga diajukan karena
penelitian pekerjaan sosial bertujuan membangun pengetahuan untuk aksi. Hal ini
berbeda dari penelitian teoretis atau murni yang lebih ditujukan untuk membangun
penjelasan atau pemahaman tentang realitas sosial, meskipun punya implikasi praktis
(Yeates, 2003).
Seperti telah diinformasikan, penelitian ini berupaya menghasilkan teori
substantif. Berikut akan dijelaskan proses pembentukan teori tersebut, terutama
terkait praktik penanganan kesehatan mental klien lansia oleh praktisi yang
melibatkan spiritualitas.
Wawancara dengan klien maupun praktisi direkam, yakni terkait pemahaman
spiritualitas dan bagaimana dipraktikkan, dan hasilnya ditranskrip secara verbatim
untuk tujuan analisis. Transkrip wawancara ini kemudian diolah menggunakan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
116
Universitas Indonesia
program komputer untuk analisis data kualitatif (CAQDAS –computer-assisted/aided
qualitative data software) (Bryman, 2008). Nama program yang digunakan adalah
QSR Nvivo versi 7 untuk membantu mengorganisasi berbagai jenis data dengan
melakukan coding dan pengelompokan ke dalam sejumlah tema atau topik dan untuk
mempermudah penampilan hubungan antar tema secara visual.
Hal yang dilakukan dengan Nvivo7 adalah menentukan konsep dengan
menghubungkannya dengan berbagai indikator yang dijumpai; mengklasifikasikan
ke dalam beberapa kategori tertentu; membanding-bandingkan kategori yang
diperoleh dari berbagai informan; kemudian menganalisis hasil perbandingan
tersebut atau mendialogkannya dengan teori yang relevan untuk kemudian dibangun
suatu teori. Dalam hal ini, teori atau konsep yang dipaparkan dalam Bab Tinjauan
Literatur juga digunakan untuk memahami atau mencari penjelasan atas temuan yang
muncul di lapangan.
Proses di atas dilakukan dengan pemberian kode (coding) menurut Strauss dan
Corbin (1990), seperti dikutip Bryman (2008, p. 543), yang terdiri dari tiga tipe: open
coding, axial coding, dan selective coding. Tiga tipe ini kemudian dikembangkan
oleh Charmaz (2006) untuk grounded theory konstruktivis, yang nanti akan
dijelaskan pada proses analisis.
Open coding merupakan transkrip wawancara verbatim yang menggambarkan
proses wawancara dan refleksi hasilnya (self reflection), seperti hal-hal yang belum
jelas dan perlu ditanyakan kembali pada wawancara berikutnya. Open coding
bertujuan untuk ”memadatkan data hasil wawancara ke dalam berbagai kategori atau
kode awal yang bersifat analitis” (Neuman, 2006, p. 461). Kode awal yang dimaksud
Neuman, oleh Strauss dan Corbin, disebut konsep yang nanti dikelompokkan ke
dalam kategori tertentu (Bryman, 2008, p. 543).
Dalam proses penentuan kode awal tersebut, dibuat panduan awal pengkodean
(initial coding guide) yang sekiranya muncul terkait pemahaman dan ekspresi
spiritual dari praktisi dan juga klien. Melalui proses ini, sekian banyak narasi dari
hasil wawancara dipilih sejumlah narasi dari masing-masing informan. Hasil
akhirnya berupa kutipan-kutipan penting dari praktisi dan klien yang dikaitkan atau
diikat dengan kode-kode tertentu.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
117
Dari kode-kode tersebut, proses berikutnya adalah melakukan axial coding.
Proses ini dilakukan dengan membanding-bandingkan hasil wawancara dengan
berbagai informan berdasarkan beberapa kategori tertentu terkait dengan tema
penelitian. Kategori yang muncul bisa saja dinamai berdasarkan istilah asli informan
(in vivo) yang dapat “mencerminkan definisi teoretis atau substantif tentang apa yang
terjadi dalam data” (Charmaz, 2004, p. 510). Inti proses axial coding ini adalah
”mengorganisir berbagai kategori, menghubung-hubungkan antar kategori tersebut,
dan menemukan kategori-kategori analisis kunci” (Neuman, 2006, p. 462). Caranya
adalah menghubungkan kode-kode yang telah dibuat dengan berbagai konteks,
sebab, akibat, atau pola interaksi (Bryman, 2008, p. 543).
Proses berikutnya berupa selective coding, yakni kegiatan menganalisis hasil
perbandingan pada axial coding dalam rangka membangun kategori inti atau, seperti
telah dijelaskan, menghasilkan semacam kode-kode in vivo atau substantif. Kategori
inti adalah isu sentral yang menghubungkan beberapa kategori yang serupa (Bryman,
2008, p. 543). Dalam selective coding ini ”peneliti melihat-lihat kembali kategori
yang telah dibuat untuk kemudian memilah dan memilih data yang mendukung
kategori-kategori konseptual yang telah dibangun” (Neuman, 2006, p. 464).
Hasil menghubung-hubungkan berbagai kategori tersebut memunculkan
hipotesis tertentu yang menuntut pengumpulan data dari sejumlah informan atau
kasus lain yang bebeda berdasarkan theoretical sampling. Proses ini dilakukan secara
berulang (iteratif) hingga jenuh secara teoretis (theoretical saturation), yakni ketika
tiada lagi temuan data relevan dengan kategori bersangkutan; kategori tadi makin
kokoh dari sisi variasi karakteristik/dimensi; dan hubungan antar kategori semakin
kokoh dan tervalidasi (Strauss & Corbin, 1998 dalam Bryman, 2008, p. 416).
Kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka menguji hipotesis yang muncul hingga
terbangun teori substantif. Alur penelitian seperti ini didasarkan pada diagram proses
dan hasil yang dibuat oleh Bryman (2008, p. 543) seperti tampak pada Gambar 3.1.
Setelah melakukan selective coding di atas, proses berikutnya adalah mulai
menyusun draf tulisan dengan melakukan penulisan memo (memo-writing). Proses
ini menghasilkan analisis lengkap tentang pemahaman dan pengalaman spiritualitas
para informan. Di samping menghasilkan semacam teori substantif tentang
pemahaman spiritualitas para praktisi dan pemahaman/pengalaman spiritualitas
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
118
Universitas Indonesia
lansia, dimungkinkan juga menghasilkan model penanganan lansia yang
memanfaatkan aspek spiritual atau semacam asesmen-intervensi berbasis spiritual
berdasarkan pemahaman atau pengalaman spiritualitas praktisi dan klien.
3.6.2. Proses Analisis Grounded Theory
Rekaman hasil wawancara ditranskrip secara verbatim, kecuali untuk
wawancara dengan pasangan lansia Pnd-Gbg. Alasannya, wawancara dengan
pasangan suami-istri Pnd-Gbg dilakukan dalam empat kali yang masing-masing
memakan waktu 1 sampai 2,5 jam (total berdurasi lebih dari 8,5 jam). Beberapa
wawancara untuk informan lain juga ada yang tidak ditranskrip karena berisi
informasi demografis yang bersangkutan atau cerita panjang yang dianggap kurang
relevan dengan penelitian. Untuk bagian-bagian yang tidak ditranskrip secara
verbatim, peneliti membuat ringkasan (resume) atau parafrase untuk cerita atau
narasi. Dalam transkrip, kata-kata yang tidak terucap dalam wawancara
dieksplisitkan dengan tanda kurung. Kondisi atau kejadian yang berlangsung pada
saat wawancara juga dituliskan dalam transkrip agar konteksnya tidak hilang. Hal ini
juga dilakukan ketika dilakukan coding secara manual (seperti akan dijelaskan di
bawah), yakni dengan menuliskannya di kolom refleksi.
Hasil transkrip kemudian dilakukan coding secara manual dengan cara
mencermati transkrip kata per-kata, baris per-baris, kalimat per-kalimat, atau insiden
per-insiden untuk mendefinisikan apa yang terjadi dan apa maknanya (Charmaz,
2006, p. 46). Dalam hal ini, peneliti berupaya menangkap berbagai kode, ide abstrak,
atau konsep yang muncul. Dari upaya ini dimungkinkan untuk menjadikan ungkapan
atau kata-kata informan sebagai konsep (kode in vivo). Dalam tahap coding yang
sering dipraktikkan peneliti konstruktivis grounded theory, tahapan ini dapat
dikatakan sebagai initial coding (Charmaz, 2006). Di sini peneliti lebih fokus pada
data itu sendiri (baik berupa transkrip, hasil observasi, dan aksi-interaksi antara
peneliti-informan) ketimbang mencocok-cocokkan data dengan sejumlah kategori
dalam tinjauan literatur (p. 47).
Tahap berikutnya adalah focused coding dimana, menurut Glaser,
pengkodean dilakukan “lebih terarah, selektif, dan konseptual” (Charmaz, 2006, p.
57) ketimbang dalam initial coding sebelumnya. Pada tahap ini mulai digunakan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
119
software NVivo 7 untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data dan hasil
coding pada tahap-tahap selanjutnya. Dengan NVivo, data dan hasil coding dapat
terkelola secara rapih, terlihat dengan tampilan visual yang menarik, dan diakses
dengan mudah ketika ingin melihat kembali atau mengomparasikan antar node, tema,
narasi, dan kutipan. Perubahan-perubahan tertentu terkait data, hasil coding, atau
klasifikasi nodes juga tetap dimungkinkan dan mudah dilakukan. Gambar 3.3
merupakan alur analisis dengan menggunakan NVivo 7.
Perlu dicatat bahwa penggunaan program NVivo tidak dilakukan sejak awal
karena peneliti merasa kesulitan untuk melakukan proses coding baris per-baris atau
kalimat per-kalimat seperti pada tahap initial coding. NVivo meniscayakan sudah
adanya pemilihan kode-kode atau konsep-konsep untuk digolongkan menjadi
sejumlah tema. Tema inilah yang nanti akan menjadi nodes dalam NVivo. Tema atau
nodes tersebut mewakili atau merujuk ke berbagai narasi atau kutipan yang ada
dalam transkrip. Saat pengkodean dengan NVivo, peneliti tidak semata melakukan
coding ulang seperti pada manual coding. Akan tetapi, peneliti juga berupaya
melakukannya secara lebih akurat dalam mengkode narasi atau kutipan. Selain itu
peneliti berkesempatan untuk membanding-bandingkan antara tema atau kategori
dengan data secara langsung dan berulang-ulang.
Kemudian, tema-tema yang ada dikelompokkan menjadi beberapa kategori
berdasarkan pola hubungan tertentu, seperti hubungan sebab-akibat, konsekuensi,
bagian atau cakupan, alasan, tujuan, uraian, dan atribut. Dengan demikian,
pengklasifikasian tersebut menghasilkan skema percabangan atau dalam program
NVivo berupa tree nodes, dimana kategori menjadi semacam node induk (parent
node). Terkadang tidak semua tema yang ada termasuk ke dalam kelompok kategori
tertentu, dan dalam NVivo disebut sebagai node bebas (free nodes).
Selanjutnya adalah tahap axial coding, yakni dengan cara menghubung-
hubungkan antara kategori dan sub-kategori, merinci dimensi atau atribut suatu tema
atau kategori, dan men-sintesiskan berbagai narasi atau kutipan dari data untuk
dilihat kesesuaiannya (koherensi) dengan kerangka analisis yang muncul (Charmaz,
2006). Untuk menempuh cara-cara tersebut, peneliti membuat sejumlah matrik untuk
membanding-bandingkan antar nodes dan kategori. Matriks melalui program NVivo
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
120
Universitas Indonesia
juga dibuat untuk membantu upaya perbandingan antar node atau kategori dalam satu
informan atau antar informan.
Gambar 3.3. Alur analisis data dengan software NVivo 7
Dalam rangka merinci dimensi atau atribut masing-masing tema, agar lebih
mudah peneliti mem-print semua node yang berisi sejumlah narasi atau kutipan dari
beberapa informan. Di sini peneliti seakan-akan melakukan coding ulang seperti
Rekaman wawancara
Transkrip Coding secara
manual
Coding
Input format MS Word
Bahan atau calon Nodes
Software NVivo 7
Konsep, tema sementara
Kategori sementara
Klasifikasi sementara
Codes
Tree nodes
Free nodes
Parent nodes
Nodes
Klasifikasi
Kategori
Tema
Konsep
Properties, atribut, dimensi
Tabel konsep – narasi/kutipan
Matrik Nodes
Drafting
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
121
pada tahap initial coding dan axial coding (dengan NVivo). Namun, coding yang
dilakukan lebih sistematis karena mengacu ke kerangka analisis yang telah terbentuk.
Sebagai salah satu hasil (output) dari tahap ini, peneliti membuat banyak tabel untuk
masing-masing kategori atau tema. Tabel tersebut berisi konsep (codes) dan semua
kutipan atau narasi. Dengan tabel-tabel ini, koherensi data dan konsep atau kategori
dicermati sehingga tetap dimungkinkan adanya sejumlah perubahan.
Tahap terakhir berupa theoretical coding yang, menurut Charmaz (2006, p.
63), bertujuan “untuk membuat lebih spesifik berbagai keumungkinan hubungan
antar kategori yang dibuat pada tahap focused coding.” Atau dengan menggunakan
kata-kata Glaser, tahap ini berupaya “merajut kembali cerita yang tercerai-berai” (p.
63) menjadi suatu bangunan konseptual atau teori yang utuh. Serangkaian upaya
pada tahap terakhir ini akan tampak pada Bab 4 dan 5. Output dari keseluruhan
proses analisis data dari awal sampai akhir ditunjukkan dalam Gambar 3.4.
Sementara keseluruhan tahap coding ini ditunjukkan dalam Gambar 3.5.
Gambar 3.4. Output keseluruhan proses analisis coding
3.7. Mutu Penelitian
Kriteria yang digunakan untuk meningkatkan mutu atau kualitas penelitian
dengan paradigma konstruktivisme ini adalah trustworthiness (derajat kepercayaan).
Kriteria ini merupakan satu dari dua kriteria yang diperkenalkan Lincoln dan Guba
(1985), seperti dikutip Guba dan Lincoln (1994), sementara kriteria lainnya adalah
autentisitas (authenticity). Kriteria trustworthiness meliputi kredibilitas (credibility),
transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), dan konfirmabilitas
(confirmability) (p. 114). Berikut akan dijelaskan beberapa teknik dalam rangka
mencapai kriteria tersebut.
Teknik pertama adalah triangulasi, baik melalui metode pengumpulan data
maupun sumber data. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan credibility (Bryman,
2008, p. 377). Triangulasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lebih
Transkrip Narasi/kutipan informan
Codes (konsep)
Nodes (tema)
Kategori Pertanyaan penelitian
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
122
Universitas Indonesia
dari satu metode. Contohnya, hasil observasi dicek kesahihannya melalui interview.
Sedangkan, triangulasi sumber data di antaranya dengan mengkonfirmasi hasil
interview satu informan terhadap informan lain tanpa harus mengkonfrontir satu
sama lain secara eksplisit.
Gambar 3.5. Seluruh tahapan analisis coding
Teknik berikutnya validasi responden atau anggota (respondent/member
validation) sebagai salah satu teknik dalam credibility. Teknik ini akan diupayakan
dengan melakukan proses korobasi atau cek dan recek antara temuan lapangan
dengan perspektif atau pengalaman partisipan yang menjadi subjek penelitian
Rekaman wawancara
Transkrip
Pengkodean secara manual
Pengklasifikasian
Membandingkan & merinci atribut tiap node
Memilah-memilih narasi/kutipan & merajut
kembali menjadi konstruk utuh secara konseptual teoretis
Dikaitkan dengan pertanyaan penelitian & tinjauan literatur
Tree nodes Free nodes
Codes atau konsep
Klasifikasi nodes
Matrik & Tabel
Teori
Model Drafting
--------- Initia
l codin
g ----->
Fo
cuse
d co
din
g ------->
Axia
l cod
ing
------------------> T
he
oretica
l cod
ing
---
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
123
(Bryman, 2008, p. 377). Tujuannya hampir sama dengan triangulasi yakni untuk
memperoleh data yang sahih atau dipercaya mendekati realitas sesungguhnya.
Satu teknik untuk strategi transferability adalah dengan melakukan interaksi
dengan subjek penelitian yang agak lama dan dalam beberapa kali atau konteks yang
berbeda-beda (Bryman, 2008, p. 378). Teknik ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan rapport dengan klien maupun praktisi. Metode wawancara dan
observasi dilakukan beberapa kali ketika rapport sudah terbangun dengan baik.
Kedua metode ini dilakukan dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika waktu
luang klien saat sendiri atau saat berinteraksi dengan klien lain dan juga ketika klien
trelibat dalam kegiatan atau bimbingan yang diarahkan oleh praktisi.
Teknik lain dalam strategi dependability menurut Bryman (2008, p. 378)
adalah pendekatan “auditing” . Proses penelitian dari awal sampai tahap analisis
diupayakan agar sebisa mungkin dapat diakses atau menurut istilah Bryman disebut
“accessible manner” sejauh tidak menyalahi etika penelitian. Proses penelitian yang
dimaksud yaitu sejak perumusan masalah, kriteria theoretical sampling dan
pemilihan informan, proses coding, dan hasil analisis data, hingga munculnya konsep
atau teori yang terbangun. Strategi grounded theory dalam penelitian ini memang
meniscayakan penjelasan detil tentang langkah-langkah dan metode penelitian.
Selain itu, proses dan hasil analisis data banyak mewarnai penulisan penelitian ini
yang dibantu dengan program NVivo.
Terakhir, deskripsi kental/padat (thick description) juga digunakan dalam
rangka strategi transferability. Teknik ini dilakukan dengan cara menyajikan narasi
pemahaman dan penggunaan dimensi spiritual dan agama dalam penanganan
masalah lansia. Deskripsi padat ini didapat dari hasil wawancara (yang meliputi
pesan-pesan auditory dan visual) dengan klien atau praktisi tentang apa yang mereka
pahami dan lakukan dan dari hasil pengamatan tentang apa yang para praktisi
praktikkan bersama klien. Deskripsi padat tentang metode penelitian menjadi salah
satu teknik dalam strategi transferability (Bryman, 2008).
3.8. Etika dan Keterbatasan Penelitian
Salah satu kelompok informan dalam penelitian ini adalah lansia dengan
masalah mental tertentu yang menderita karena penyakit, kehilangan orang yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
124
Universitas Indonesia
dicintai, atau karena ketelantarannya. Simptom yang ditunjukkan bisa berupa
depresi, kecemasan, merasa tidak berguna, hampa makna, atau bahkan keinginan
untuk cepat-cepat mengakhiri hidup.
Oleh karena itu, penelitian ini telah berupaya menaati sejumlah prinsip etika
penelitian yang umum. Contohnya adalah dengan menghindari kemungkinan adanya
ancaman fisik (physical harm) dan munculnya kembali gangguan psikologis
(psychological abuse) (Neuman, 2006; Rubin & Babbie, 2001), yang terkait juga
keselamatan peneliti dan orang-orang sekitar. Dalam wawancara, penelitian ini juga
telah berusaha menghindari mengajukan pertanyaan yang menimbulkan agresivitas
informan. Maksud psychological abuse di sini adalah kemungkinan membangkitkan
kembali gejala-gejala psikologis yang biasa muncul pada saat mengalami krisis atau
menderita. Caranya di antaranya dengan menghindari bertanya atau menyinggung
hal-hal krusial yang memanggil kembali memori atau ingatan akan penderitaan atau
kepedihan yang membuatnya sangat tertekan dan merasa tidak nyaman.
Di samping itu, dalam etika penelitian secara umum diharuskan melakukan
kontrak persetujuan dengan calon informan untuk berpartisipasi dalam penelitian
(informed consent) secara sukarela (voluntary participation). Format pernyataan
persetujuan partisipasi dari informan telah dibuat seperti pada Lampiran 4. Dengan
kata lain, peneliti harus mengungkapkan identitas diri atau peran di lapangan secara
penuh (overt) sejak awal (Patton, 2002), yakni sebagai peneliti. Ini dilakukan dalam
rangka menghindari melakukan kecurangan atau memperdayai informan (deceiving
subjects) (Rubin & Babbie, 2001).
Metode kualitatif memiliki kelebihan dalam memahami pemahaman dan
pengalaman informan yang kompleks, namun metode ini juga punya keterbatasan
tertentu. Ditambah lagi dengan keharusan untuk taat pada ketentuan etis penelitian.
Keterbatasan yang pertama adalah bahwa prinsip kehati-hatian untuk menghindari
kemungkinan physical harm or abuse dapat membatasi upaya peneliti untuk
mengeksplorasi lebih jauh atau dalam tentang pengalaman klien dan persepsi
spiritualitas dan agama mereka.
Keterbatasan berikutnya, ketaatan terhadap prinsip etis overt di atas
dikhawatirkan dapat mempengaruhi respons informan yang kurang otentik atau tidak
apa adanya (fake). Ini akan berbeda apabila metode wawancara diupayakan agar
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
125
sealamiah mungkin. Dengan setting natural, respons informan yang akan muncul,
baik secara verbal maupun emosional, diharapkan alamiah pula dan sejujur mungkin.
Kekhawatiran terhadap respons informan yang kurang apa adanya juga dapat
mengakibatkan penggolongan tipologi lansia dan praktisi menjadi tidak akurat.
Dengan kata lain, tipologi yang dihasilkan mungkin hanya menangkap latar depan
(front stage) pada saat penelitian, sementara sisi asli informan (back stage) tidak
banyak terungkap.
Kemudian, pendekatan kualitatif kerap dikritik oleh para pendukung
pendekatan kuantitatif atau positivis terkait hasil penelitian yang tidak bisa
digeneralisasi. Hal ini menyangkut jumlah informan yang terlibat yang bisa
dipertanyakan dari sisi keterwakilan populasi. Dalam penelitian ini, informan lansia
dapat dikatakan cenderung homogen karena berasal dari panti atau layanan home
care sebagai klien, sehingga hasil penelitian berupa konstruksi spiritualitas lansia
tidak menggambarkan lansia secara umum. Selain itu, spiritualitas yang digali lebih
dominan berasal dari penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia.
Padahal, spiritualitas tidak melulu soal kesusahan, kesedihan, kematian, atau
bagaimana menghadapinya. Spiritualitas juga hadir di saat bahagia atau gembira.
Seperti kata Baskin (2007), spiritualitas tidak hanya tentang kematian, namun juga
tentang bagaimana bertahan hidup dan menjalani hidup.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
126
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
127
BAB 4
SPIRITUALITAS PRAKTISI
Bab 4 ini (bersama Bab 5) merupakan bagian yang mengetengahkan hasil
(temuan) penelitian. Bab ini adalah jawaban dari pertanyaan penelitian (research
question, disingkat RQ) pertama dan kedua yang melibatkan informan praktisi
kesejahteraan sosial (kessos). Kedua pertanyaan ini meliputi pemahaman praktisi
tentang spiritualitas dan bagaimana pemahaman tersebut diterapkan atau
mempengaruhi mereka ketika berinteraksi dengan klien lansia dalam konteks
pelayanan sosial. Hasil dari penelitian yang dibahas dalam Bab 4 ini berupa
konstruksi tentang spiritualitas praktisi.
Data yang dihimpun untuk analisis tidak hanya dari hasil wawancara, akan
tetapi juga dari data (biografi) informan dan hasil observasi. Data yang terhimpun
dapat menjawab kedua pertanyaan penelitian di atas. Hasil analisis menunjukkan
beberapa kategori penting sebagai hasil pengelompokan dari sejumlah tema dan
konsep. Merujuk ke pertanyaan penelitian pertama, ada lima kelompok kategori yang
muncul yaitu: (i) arti spiritualitas, (ii) afiliasi dan aktivitas keagamaan, (iii)
keyakinan dan nilai keagamaan, (iv) pemaknaan terhadap pengalaman hidup praktisi,
dam (v) komponen spiritualitas penting lain. Kelima kategori ini terdiri dari sembilan
tema atau node yang berasal dari pengklasifikasian 171 hasil coding (referensi).
Sementara berdasarkan pertanyaan penelitian kedua dijumpai empat kategori,
yakni (i) motivasi personal dan profesional menjadi praktisi, (ii) nilai dan prinsip etis
pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Pengelompokan ini bisa dilihat
dalam Lampiran 10 (klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian) atau
bagannya (Lampiran 11). Empat kategori ini terdiri dari enam tema yang merupakan
hasil dari pengelompokan terhadap 175 referensi. (Lihat Gambar 4.1)
Di luar kategori-kategori penting tersebut, ada beberapa konsep (nodes) yang
kurang memiliki keterkaitan dengan isu spiritualitas praktisi, sehingga tidak turut
dijelaskan. Konsep yang tidak termasuk dalam salah satu parent nodes di atas disebut
sebagai node bebas atau free nodes. Free nodes yang dimaksud meliputi
keberagamaan lansia, lansia psikotik, catatan perkembangan lansia, kegiatan home
care, dan arti pekerjaan sosial.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
128
Gambar 4.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2
Semua tema atau node yang muncul dari pertanyaan penelitian pertama dan
kedua dan informan mana saja yang menyinggungnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Sementara untuk mengetahui seberapa banyak dan sering yang menyinggung
masing-masing node dapat dilihat pada node summary report seperti pada Lampiran
15. Kemudian sebarapa persentase sebaran node (coverage) pada masing-masing
informan dapat dilihat pada coding summary report pada Lampiran 17.
4.1. Pemahaman dan Pengalaman Spiritual Praktisi
Pertanyaan pertama penelitian adalah terkait pemahaman atau pengalaman
spiritual para praktisi. Sejumlah tema yang awalnya hendak dieksplorasi di antaranya
meliputi pemahaman spiritualitas, makna personal tentang ritual dan keyakinan
agama, afiliasi dan kegiatan keagamaan, pengalaman dan keyakinan spiritual, dan
ketakutan dan harapan. Namun sejumlah tema yang muncul adalah seputar arti
spiritualitas, afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, “di balik ujian ada
hikmah”, dan sejumlah komponen spiritual yang penting.
Dalam program NVivo, pengklasifikasian kategori dan tema tersebut disebut
tree nodes, dimana kelompok kategori #pemahaman-pengalaman praktisi disebut
parent nodes. Keempat tema tersebut tampak sebagai node @”di balik ujian ada
hikmah”, @afiliasi-praktik keagamaan, @arti spiritualitas, @keyakinan-nilai, dan
@komponen spiritualitas penting lain. Dan dalam skema tree nodes, kelimanya
termasuk dalam parent nodes pemahaman dan pengalaman praktisi. Perhatikan
Lampiran 8.
References Nodes (tema) Kategori RQ
171 9 5 RQ #1
175 6 4 RQ #2
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
129
Universitas Indonesia
4.1.1. Arti Spiritualitas
Seperti tampak pada Lampiran 8, node @arti spiritualitas menjadi parent
node tersendiri karena di bawahnya ada cabang tiga node: @pemahaman pribadi,
@pengaruh dari pendidikan-diklat, dan @spiritual dalam UU kessos.
Sejak awal penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum
menjadi isu penting dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Istilah
spiritualitas atau padanannya tidaklah familiar di telinga para praktisi, terutama
dalam konteks layanan. Sementara untuk kata spiritual, para informan yang pernah
mendengar kata ini cenderung mempersepsikan sama dengan pengertian mental atau
menyandingkannya dengan pengertian keagamaan. Dari sejumlah wawancara yang
dilakukan tampaknya tidak cukup menghasilkan konseptualisasi tentang spiritualitas
ataupun keagamaan.
Sebagai penelitian kualitatif konstruktivis, interaksi saling mempengaruhi dan
saling merespons antara peneliti dan informan sangat dimungkinkan. Pada saat
mengeksplorasi istilah ini peneliti kadang mengisyaratkan persetujuan, menguatkan,
menegaskan, melakukan probing (mendalami aspek tertentu, mencari-cari, atau
menebak-nebak kemungkinan jawaban yang dimaksud informan), dan mengajukan
pertanyaan yang sama dengan kalimat berbeda. Peneliti berupaya menghindari
memaksakan (imposing) pra-konsepsi peneliti terhadap informan. Peneliti juga tidak
memberikan pembekalan atau menyuplai informasi terlebih dahulu terhadap
informan terkait isu yang akan digali. Namun, di sejumlah wawancara peneliti
melakukan probing dengan mengangkat padanan dari istilah spiritualitas, yakni
ruhaniah atau batiniah yang mungkin lebih familiar di telinga sebagian informan.
Hasil wawancara menunjukkan sejumlah pengertian yang berasal dari
pemahaman pribadi dan dari pengaruh pendidikan dan/atau pendidikan dan latihan
(diklat). Pemahaman pribadi informan terkait istilah spiritualitas merujuk ke
sejumlah konsep. Seperti dugaan awal peneliti, pemahaman mereka tidak jauh dari
konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan, akhlak, dan hubungan
vertikal dengan Tuhan. Ada juga informan yang menyinggung aspek batin atau
batiniah dan dorongan hati nurani, namun ini tampaknya merupakan hasil dari
pengaruh interaksi dengan peneliti ketika informan menginginkan contoh atau
ilustrasi terkait istilah spiritualitas.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
130
Terkait aspek batin, seorang pendamping home care mengartikan spiritualitas
dengan “...hal-hal yang dari dalam... diri manusia. Batinlah istilahnya, ...” (HT,
16/6/2013). Sementara terkait dorongan dari dalam, seorang staf di panti dengan latar
belakang pendidikan menengah pekerjaan sosial dan punya pengalaman langsung
dan cukup lama menangani lansia mengatakan, “mungkin juga ya dorongan, ada
dorongan dari hati nurani... saya tuh kayaknya lebih tergerak melihat... permasalahan
sosial yang ada, gitu” (WN, 13/6/2013).
Uraian sangat menarik dan mampu menggambarkan pemahaman sejumlah
informan di atas muncul dari seorang informan dengan latar belakang pendidikan
agama dan spesialis pekerjaan sosial klinis. Sembari menyadari kompleksitas aspek
ini, ia menggambarkan spiritualitas sebagai:
Suatu dorongan, semangat dari dalam seseorang terkait dengan mentalitas dia
(dan) dengan ...cara pandang dia terhadap sesuatu itu, sehingga memotivasi
dari dalam... mewarnai kehidupan dia. Jadi spiritualitas itu... di dalamnya
terkait dengan agama, motivasi agama, terus motivasi dari dalam diri,
motivasi psikisnya gitu ya... (TY, 26/6/2014)
Kemudian eksplorasi terhadap istilah spiritualitas sebagai pengaruh dari
pendidikan atau diklat diperoleh sejumlah pengertian. Di antaranya merujuk ke
materi yang diajarkan dalam pelajaran agama, pembinaan atau bimbingan mental-
spiritual, pelayanan atau pertolongan terahadap sesama, dan nilai yang menganggap
lansia layaknya orang tua sendiri.
Semua informan yang berlatar belakang pendidikan menengah pekerjaan
sosial menganggap bahwa spiritualitas diajarkan dalam pendidikan menengah dalam
bentuk pelajaran agama. Seorang informan sebagai contoh mengatakan, “kalau
spiritual itu ya diajarkan di pelajaran Agama” (SM, 12/6/2013). Informan lain
menjelaskan, “... kalau di sekolah udah pernah (yaitu) agama Islam. Prakteknya juga
udah pernah, di sekolah prakteknya agama Islam, praktek sholat, praktek wudhu...”
(YL, 30/5/2013). Kaitannya dengan spiritualitas dalam materi pekerjaan sosial baik
pada saat pendidikan menengah maupun diklat, mereka merujuk ke pembinaan
mental-spiritual dan pertolongan terhadap orang yang membutuhkan.
Tidak jauh berbeda dengan lulusan sekolah menengah, spesialis pekerjaan
sosial pun mengakui bahwa spiritualitas yang diajarkan dalam pendidikan cenderung
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
131
Universitas Indonesia
diidentikkan dengan agama, khususnya terkait dengan “penerapan agama dalam
kehidupan seseorang” (TY, 26/6/2014). Informan ini juga memahami spiritualitas
sebagai bagian yang tidak tampak (batiniah) dari seseorang, yang berbeda dari aspek
sosial. Namun demikian, ia menyadari betapa aspek spiritual masih belum menjadi
sorotan dalam ilmu pekerjaan sosial yang cenderung masih berkutat pada aspek
biopsikososial. Padahal, menurutnya, spiritualitas punya posisi sentral bagi
perubahan perilaku individu. Aspek inilah yang berperan besar dalam “...memotivasi
seseorang itu melakukan perubahan fisik, perubahan psikis, maupun perubahan
sosial,” katanya (TY, 26/6/2014).
Sedangkan terkait makna kata spiritual dalam definisi kesejahteraan sosial
dalam UU No. 11/2009, para informan merujuk ke kebutuhan rohani (atau jiwa atau
hati), (pelayanan) keagamaan, pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan
hubungan vertikal dengan Tuhan. Menurut sebagian informan, dalam petunjuk
pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) pelayanan lansia, kebutuhan
spiritual tidak terlalu banyak dijabarkan. Namun arahnya lebih dominan ke
pelayanan keagamaan yang contohnya berbentuk penyediaan sarana ibadah dan
kegiatan keagamaan bagi para penganutnya.
Berdasarkan sejumlah konsep yang muncul bisa dikatakan bahwa spiritualitas
yang dipahami para informan lebih merujuk ke ritual keagamaan dan sejumlah kecil
ekspresi atau komponen spiritualitas. Itulah mengapa dalam penelitian ini dipandang
tidak cukup untuk menghasilkan konseptualisasi spiritualitas dari para praktisi
pekerjaan sosial. Namun demikian, spiritualitas mereka tidak saja digali dari
sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas
itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan,
sikap, maupun tindakan. Di sini peneliti menamainya sebagai spiritualitas yang
dijalani (living spirituality), bukan spiritualitas yang dipahami atau didefinisikan,
yang dalam penelitian ini tidak cukup menghasilkan konseptualisasi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini spiritualitas praktisi juga dipahami dari
bagaimana mereka menjalankan praktik keberagamaan, keyakinan dan nilai yang
mereka pegang, dan pengalaman hidup beserta respons atau pemaknaannya.
Setidaknya tiga kategori tersebut yang berhasil digali dan bagian berikut adalah
penjelasannya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
132
4.1.2. Afiliasi dan Praktik Keagamaan
Terkait afiliasi dan praktik keagamaan sehari-hari informan, data diperoleh
tidak hanya dari wawancara, tetapi juga dari data (dokumen) informan dan observasi.
Hampir semua informan praktisi memiliki kesamaan dalam hal keterlibatan mereka
dalam komunitas atau jamaah keagamaan beserta aktivitas ibadahnya. Sebagai
muslim, mereka terlibat aktif di majlis ta’lim, pengajian, yasinan, dan bentuk-bentuk
kelompok lain yang masih melestarikan tradisi keagamaan. Contoh tradisi itu adalah
tahlilan untuk mendoakan almarhum dan aqiqah atau membaca Barzanji untuk
kelahiran sang bayi.
Sebagian besar informan juga mengakui bahwa mereka hanya melaksanakan
praktik keagamaan secara standar, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama secara
berjama’ah. Misalnya sholat (wajib dan/atau sunnah), puasa, mengeluarkan zakat,
membaca al-Qur’an, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ada dua informan yang telah
menunaikan ibadah rukun Islam kelima, yakni berhaji ke tanah suci. Keduanya
sepakat berpendapat bahwa ziarah ke tanah suci merupakan perjalanan spiritual yang
punya pengaruh besar dalam kehidupan batin mereka dan untuk pengendalian diri
(SM, 12/6/2013).
Praktik standar di sini maksudnya tidak ada informan yang terlibat dalam
kegiatan keagamaan yang lebih mengutamakan aspek batin atau spiritual semacam
praktik tasawwuf atau tarekat. Standar di sini juga dapat dilihat dari sisi simbol
agama yang melekat pada diri informan, enam dari tujuh informan praktisi
perempuan memakai jilbab, sementara seorang pendamping lansia home care tidak.
Keenam informan tersebut memakai jilbab bersifat standar yang umum dipakai
masyarakat Indonesia, bukan jilbab panjang atau cadar yang merujuk ke penganut
Islam militan atau golongan tertentu.
Beberapa informan memandang praktik keagamaan atau ibadah tidak harus
merujuk ke kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima. Akan tetapi juga setiap
perbuatan baik yang terkadang kecil juga bisa dianggap ibadah seperti menyapa
klien, tersenyum ramah, menanyakan kabar, dan lain-lain. Agama yang tidak melulu
syari’at ini juga ditegaskan seorang informan bahwa “...agama itu tidak sebatas
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
133
Universitas Indonesia
kewajiban-kewajiban umum saja, sholat zakat dan sebagainya, tapi ada kewajiban-
kewajiban sosial yang harus kita lakukan..., muamalahanya...” (TY, 26/6/2014).
Selain konsep afiliasi dan praktik keagamaan, dalam kategori ini juga muncul
konsep keberagamaan praktisi. Dalam wawancara terkadang ada informan yang
cenderung normatif dan ideal dilihat dari cara menjawab setiap pertanyaan tentang
pandangan atau praktik keagamaan pribadi sehari-hari. Ketika peneliti mencoba
mengangkat pertanyaan eksistensial, jawaban normatif yang mengemuka seperti ini:
“Kalau kata kenapa, kita gak ini (berprasangka baik) sama Allah dong, iya kan?”
(YL, 30/5/2013). Sementara contoh ungkapan idealis seperti ditunjukkan dalam satu
wawancara, “Dalam apapun, sabar. Sakit kita gak boleh mengeluh, aduh sakit gini ya
Allah, enggak. Sabar aja, sabar. Terus kita berdzikir, subhânallâh wal-hamdulillâh
walâ ilâha illallâh wallâhu akbar, itu terus saya baca. Itu aja” (YL, 30/5/2013).
Ada juga yang cenderung apa adanya dalam menceritakan kondisi
keberagamaannya. Contohnya dengan cara menceritakan kekurangan diri dan kondisi
keimanan yang suka naik-turun. Seorang peksos fungsional bercerita seperti ini, “ya
kalau dibandingkan dulu dengan sekarang ya, insyaallah dan alhamdulillah ya.
Istilahnya kalau untuk baca al-Qur’an ya walaupun sedikit-sedikit ... kalau ada waktu
...sebelum tidur gitu kan. Kadang-kadang kalau lagi ... datang malasnya ya kadang
gak baca” (SM, 12/6/2013).
Informasi terkait pengaruh praktik dan afiliasi keagamaan terhadap pribadi
ataupun profesi praktisi berhasil digali dari seorang informan berlatar belakang
pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Ia menjelaskan pengaruh bagi pribadinya bahwa:
“...makin kita mengerti akan hal-hal... yang seharusnya... dalam kaitan hubungan
dengan yang di atas..., otomatis hal itu memang perlu disempurnakan. Dengan kita
tahu, ...yang tadinya mungkin setengah-setengah dalam pengerjaannnya, makin
merasa yakin, gitu kan.” (FS, 1/7/2014)
Pengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan tersebut juga diperkuat dengan
amalan khusus yang dipraktikkan informan dalam keseharian. Contohnya, dengan
membaca Ayat Kursi tiga kali sebelum berangkat dari rumah, ia merasa lebih
percaya diri terhadap apa yang akan dikerjakan seharian dan meyakini bahwa Tuhan
akan melindunginya dari segala bahaya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
134
4.1.3. Keyakinan dan Nilai
Sejumlah konsep yang membentuk kategori keyakinan dan nilai, sebagai
komponen spritualitas, muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang dalam
konteks narasi yang berbeda. Keyakinan dan nilai tersebut bisa mencakup pandangan
tentang diri, tentang klien, maupun tentang keterlibatannya dalam melayani lansia.
Keyakinan yang mencakup pandangan tentang diri tercermin dalam jawaban
informan terhadap pertanyaan bersifat eksistensial. Misalnya seorang staf panti
mengatakan, “Kalo ada kata-kata kenapa berarti kita gak ini (percaya) sama Allah.
Kita menyalahkan Allah dong? Kenapa sih Allah? Berarti ...kita ini (tidak percaya)
sama Allah dong?” Atau pernyataan ketika dia menyimpulkan, “Jadi kalo kita bilang
kenapa-kenapa, itu berarti kita gak percaya sama Allah dong” (YL, 30/5/2013).
Keyakinan tentang diri juga tercermin ketika informan mengalami suatu
masalah. Mereka menganggapnya sebagai ujian kesabaran dan meyakini bahwa
Tuhan tidak akan mengujinya di luar batas kemampuan dan akan memberi jalan
keluarnya. Seorang informan menjawab, “Umpama kita sakit kita dikasih ujian kita
mendekatkan diri... Allah juga pasti memberikan ujian ke kita ...(sesuai) kemampuan
kita kan, gitu. Terus kita juga percaya dengan kemukjizatan Allah. Allah itu pasti
ngasih jalan yang terbaik untuk kita, gitu.” (WN, 13/6/2013)
Sebaliknya, informan akan menganggap segala yang menimpanya sebagai
nasib atau takdir. Mereka akan menghadapnya dengan sikap pasrah, ikhlas, sabar,
tidak mengeluh, dan tetap bersyukur kepada Allah. Seorang informan bahkan
meyakini bahwa dengan sikap seperti itu hidupnya pasti akan bahagia. Bisa jadi
keyakinan-keyakinan pribadi seperti ini kemudian mempengaruhi persepsi tentang
penderitaan klien yang ditangani di panti.
Pandangan tentang klien yang dipengaruhi keyakinan pribadi tersebut tampak
dari komentar satu seorang staf panti, “Ya mungkin dulu sholatnya kurang atau
gimana kali ya. Mungkin karena kesibukan bisa juga. Mungkin dia lalai atau
bagaimana” (YL, 30/5/2013). Pernyataan lain datang dari seorang peksos ahli bahwa
“apa yang kita tanam kita petik” (FS, 1/7/2014). Maksudnya, apa yang saat ini
dialami atau diderita oleh klien lansia yang tinggal di panti merupakan akibat dari
perbuatan masa lalunya yang kurang baik.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
135
Universitas Indonesia
Sementara tentang keyakinan yang terkait keterlibatan dalam pelayanan
lansia, konsep yang tergali dari seorang peksos fungsional berupa keyakinan atau
nilai bahwa bekerja untuk melayani kaum lansia yang membutuhkan adalah memang
jalan hidupnya. Dengan begitu, pekerjaan tersebut dianggap sebagai ladang amal
ibadah untuk bekal di akhirat. Sementara seorang staf di panti lain tampak bersyukur
dan meyakini bahwa justru dengan bekerja melayani klien lansia hidupnya menjadi
berkah dan banyak dimudahkan. “Alhamdulillah ...bersyukurnya saya ngurusin
nenek-kakek, walaupun misalnya bau (atau) apa, tapi saya jalanin dengan ikhlas saya
kerjakan dengan ikhlas alhamdulillah Allah ngasih hadiah sama saya, gitu” (WN,
13/6/2013). Seorang pendamping home care juga meyakini hal senada, “Kalo ibu
ngurusin orang (atau) nengok, nggak papa, gitu aja... Alhamdulillahnya ibu mau
capek itu juga ibu kemana-mana juga nggak keluar uang, ...” (MM, 16/6/2013)
Keyakinan atau nilai lain yang tergali dari dua pendamping home care adalah
bahwa menolong orang lain, dalam hal ini membantu lansia, pasti akan ada balasan,
walaupun tidak harus langsung. Di samping pengaruh pribadi, nilai semacam ini bisa
berasal dari ajaran agama. pendamping yang telah berhaji membenarkan hal ini, “Ya
betul, kan kita diajarin juga kan. Ya kita bisa nolong orang siapa tahu suatu saat kan
kita ditolong orang” (ED, 16/6/2013). Keyakinan lain terkait dengan masalah rejeki
yang sudah diatur oleh Tuhan, meskipun ia bekerja sukarela membantu lansia setiap
hari tanpa menerima upah. Hal ini juga ada hubungannnya dengan keyakinan akan
keberkahan melayani lansia seperti telah dijelaskan di atas.
Keyakinan atau kepercayaan akan suatu tanda atau semacam firasat akan
terjadi sesuatu juga muncul. Kepercayaan yang sangat dipengaruhi dari lingkungan
masyarakat dan keluarga ini misalnya omongan yang bisa bertuah atau munculnya
kejadian nyata karena omongan yang terkadang dianggap sekadar kelakar. Hal itu
juga bisa muncul dari pertanda (firasat) atau isyarat alam, seperti nasi yang cepat
basi, bunyi burung “cuit”, atau mimpi tertentu.
4.1.4. “Di Balik Ujian Ada Hikmah”
Sub-judul ini diambil dari ungkapan seorang informan (in vivo coding)
karena cukup menggambarkan sejumlah konsep yang muncul dalam satu kategori.
Kategori ini muncul dari sejumlah pertanyaan terkait masalah hidup yang pernah
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
136
dialami atau diderita oleh para informan praktisi kemudian bagaimana mereka
menyikapi atau memaknainya. Pengalaman hidup tidak mengenakkan yang pernah
diderita praktisi cukup beragam, mulai dari persoalan rumah tangga, hidup susah,
sakit berat, kecelakaan, hingga ditinggal mati orang terdekat atau yang dicintai,
seperti anak, pasangan hidup, atau orang tua.
Kebanyakan praktisi menganggap pengalaman atau penderitaan hidup
sebagai musibah, ujian, atau peringatan. Misalnya seorang pendamping home care
yang baru kehilangan anaknya karena meninggal setelah satu hari lahir merespons
dengan mengatakan “Ya, sebagai ujian aja ...karena amanat anak..., mungkin masih
belum dipercaya sama Allah” (ED, 16/6/2013). Contoh informan lain mengatakan,
“Ya bisa juga peringatan, bisa juga ujian. Kita biar meningkatkan diri kepada Allah”
(YL, 30/5/2013). Informan ini juga menganggap setiap kejadian yang dialami
sebagai nasib atau takdir.
Respons yang ditunjukkan kebanyakan informan terhadap ujian atau
peringatan tersebut adalah dengan menerima nasib atau takdir tersebut dengan sabar,
ikhlas, tawakkal, dan bahkan tetap bersyukur. Sebagai contoh respons singkat
dikemukakan seorang informan, “Bersyukur, tawakal. Itu aja” (YL, 30/5/2013).
Ketimbang marah atau menyesali, mereka meyakini bahwa di balik ujian pasti ada
hikmahnya. Kata seorang informan, “Pasti ada, ada di balik ujian itu ada hikmahnya
semua. Itu aja. Dibalik ujian itu ada hikmahnya” (YL, 30/5/2013). Contoh respons
lain ditunjukkan informan yang pernah mengalami sakit berat:
Ya Allah, segala sesuatu itu sudah dalam rencana-Mu, dan segala sesuatu itu
sudah Engkau tentukan, dan kita hanya bisa menjalaninya dengan keikhlasan
dan ke depannya kita perbaiki, gitu kan. Kita lakukan yang lebih baik lagi.
Nah itu kita sadari barangkali memang saya lebih baik kok diberi sakit seperti
ini mungkin karena saat itu ...terlalu capek, ...sehingga udah diberikan yang
terbaik sakit untuk istirahat. Ada banyak hikmah yang bisa kita ...ambil
pelajaran dari kondisi seperti itu dengan kita menyikapi bahwa semuanya ...
kita ikhlaskan karena sudah ditakdirkan oleh Allah pada saat sesuatu itu
terjadi..., sehingga rasanya itu seperti ada cahaya itu langsung masuk ke...
kepala ... (TY, 26/6/2014).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
137
Universitas Indonesia
Respons positif seperti itu bisa jadi karena kejadian yang dialami sudah lama
berlalu sehingga pada saat ini cenderung telah berada pada tahap penerimaan atau
memahami. Hal ini juga ditunjukkan pendamping lain, seorang ibu rumah tangga,
yang menceritakan bahwa ia sempat goyah dan depresi karena merasa sangat
kehilangan anaknya 18 tahun akibat kecelakaan. Berkat dukungan dari keluarga dan
lingkungan, ia menjadi sadar bahwa semuanya adalah milik Tuhan. “Akhirnya saya
sadar, oh iya dia ada yang punya. Mungkin aku juga ada yang punya nanti akan
diambil” (HT, 16/6/2013). Pengecualian hanya pada seorang pendamping yang baru
seminggu anak bayinya meninggal, namun telah menunjukkan respons positif.
4.1.5. Komponen Spiritualitas Penting Lain
Beberapa konsep tidak dimasukkan dalam kategori tertentu, namun masih
cukup relevan sebagai komponen spiritualitas menurut sejumlah praktisi. Konsep
yang dimaksud meliputi panutan atau sumber inspirasi, hubungan (relationships),
dan kecemasan-harapan. Dalam NVivo, ketiga konsep atau tema tersebut tampak
sebagai node @kecemasan-harapan, @panutan-sumber inspirasi, dan @relationships
yang menjadi cabang dari parent node #komponen spiritualitas penting lain (lihat
Lampiran 8).
Konsep-konsep tersebut tidak konsisten muncul dari semua atau sejumlah
informan. Sebagai contoh, konsep tentang panutan atau sumber inspirasi memang
muncul dari informan pertama, tetapi selanjutnya pertanyaan tentang hal itu tidak
tampak relevan lagi ditanyakan. Terkait konsep ini, seorang informan mengakui
bahwa kakeknya lah yang selama ini menjadi panutan karena telah mengajarkan
agama, menanamkan keimanan, dan memberi nasehat agar selalu sabar dalam
menjalani hidup.
Konsep berikutnya yang muncul hanya pada seorang informan adalah terkait
hubungan (relationship) dengan Tuhan. Menurutnya, jauh-dekatnya Tuhan dengan
diri manusia sangat tergantung dari persepsi atau prasangka dan usaha manusia itu
sendiri. “Ya kita tergantung diri kita juga lah pak. Kalau kita ... mendekatkan diri kita
kepada Allah otomatis Allah juga dekat dengan kita. Tapi kalau kita jauh, kita nggak
inget sama Allah, ya Allah juga jauh sama kita” (WN, 13/6/2013). Tampaknya
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
138
pandangannya ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama karena memang prinsip
tersebut terdapat dalam kitab suci al-Qur’an.
Selanjutnya, satu komponen penting lain dalam spiritualitas adalah terkait
dengan konsep kecemasan atau ketakutan dan harapan. Hal-hal yang dicemaskan
oleh seorang informan adalah masa depan anaknya. Di samping kekhawatiran
terhadap masa depan anaknya yang memilik disabilitas, juga terhadap anak
perempuannya yang lain dalam pergaulan sehari-hari. Dengan kondisi ini ia berharap
ingin bekerja dengan baik demi membahagiakan keluarganya. Sementara seorang
peksos fungsional yang telah berada di ujung pengabdiannya berharap agar masih
diberi kesempatan untuk banyak beribadah.
Ada juga satu praktisi peksos yang mengungkapkan harapannya terhadap
lansia lansia yang ditangani. Ia berharap agar lansia menjalani sisa hidupnya dengan
bermakna dan punya arti. Menurutnya, lansia di panti harus diberi dihargai
keberadaannya, tidak sekadar menunggu kematian. Lebih jelasnya ia mengatakan:
...sekalipun mereka udah tua ataupun orang yang sudah tidak punya potensi
apa-apa lagi gitu, maunya saya, siapapun itu harus bermakna aja, itu. Dan di
mata kita pun tetap seperti itu. Mereka senior yang memang patut kita hargai.
Tanpa mereka kita tidak ada. Adapun dinamika beliau yang seperti ini seperti
ini, dengan karakter yang bebeda-beda, ya itulah manusia, .... Tak akan
mungkin sama satu sama lain, gitu kan? ...katakanlah tempat pelayanan lansia
ini, terutama di PSTW ini, sebagai tempat ...menunggu (kematian), saya
nggak setuju. ... Karena banyak hal yang masih bisa beliau lakukan. Cuman
nggak bisa disamakan dengan kita. Kalaupun memang katakanlah di lansia
tidak ada unsur edukasinya, ...siapa bilang nggak ada unsur edukasinya.
Cuma versi atau kemasannya aja yang berbeda, gitu. Itu yang saya ingin
tekankan. (FS, 1/7/2014)
4.2. Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial
Sama dengan sub-bab sebelumnya, bagian ini mengulas jawaban pertanyaan
penelitian kedua yang melibatkan praktisi sebagai informan. Pertanyaan tersebut
terkait praktik penanganan sosial lansia dalam sinaran pemahaman spiritualitas yang
mereka yakini. Tema-tema yang sempat diajukan pada saat wawancara berdasarkan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
139
Universitas Indonesia
panduan mencakup latar belakang memilih profesi pekerja sosial atau menjadi
pendamping home care beserta motivasinya, nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial
serta kaitan atau koherensinya dengan spiritualitas, dan pengalaman menangani klien
yang dianggap berbasis spiritualitas terutama pada asesmen dan intervensi.
Sejumlah tema yang diajukan tersebut muncul dalam hasil temuan penelitian
dan akan diuraikan dalam empat tema: (i) motivasi praktisi kessos; (ii) nilai dan
prinsip etis pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Seperti tampak pada
Lampiran 8, kelompok kategori sebagai judul sub-bab ini tampak dalam NVivo
sebagai parent nodes #praktik dalam layanan, yang terdiri dari node @asesmen,
@intervensi, @motivasi, dan @nilai-prinsip etis.
4.2.1. Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial
Sejumlah konsep yang berhasil digali dari semua informan dikelompokkan
dalam satu kategori tentang motivasi menjadi pekerja sosial atau pendamping.
Motivasi yang ditelusuri tidak saja dalam konteks pelayanan sosial, tetapi juga ketika
awal mereka memilih sekolah atau kuliah di bidang pekerjaan sosial atau
kesejahteraan sosial. Bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan tersebut, alasan
awal memilih adalah soal ketidaksukaan pada pelajaran eksakta dan matematika,
bukan karena ketertarikan mereka pada bidang pelayanan sosial. Namun seiring
waktu, mereka semakin menyukai bidang pendidikan kemanusiaan tersebut karena
diakui lebih cocok dengan jiwa sosial mereka.
Ketertarikan itu berlanjut ketika mereka bekerja di bidang yang sesuai dengan
latar belakang pendidikan. Alasan lainpun muncul seperti karena mencintai
pekerjaan, karena senang, atau bahkan karena rasa iba terhadap kaum lansia. Bagi
pendamping home care, tumbuhnya kepedulian mungkin tidak sedari awal aktif di
kegiatan yang sebagian karena diajak atau untuk mengisi waktu luang. Seorang
pendamping mengatakan, “Bener ibu mah cuman gitu aja kemampuan ibu tuh.
Sekolah mah ibu nggak tinggi lah, cuman biarain aja lah, ... dari pada di rumah
bengong ya” (MM, 16/6/2013). Pendamping lain menjawab, “Udah dari awal diajak
dulu... Lambat laun dan kebetulan juga berada di wilayah kita ya minimal ada lah
peduli... dorongannya kepedulianlah, kemanusiaan seperti itu. Gak ada yang lain”
(ED, 16/6/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
140
Yang menarik di sini terkait motivasi melayani lansia adalah bahwa hampir
semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek sendiri.
Contohnya seorang informan mengatakan, “...semakin ke sini kita rasakan bahwa
melayani... lansia itu sama aja kita melayani orang tua kita, harus penuh dengan
keikhlasan harus penuh dengan panggilan hati” (TY, 26/6/2014). Begitu juga seorang
pendamping home care dengan mengatakan, “Ya anggap mereka seperti nenek kita
sendiri, ya mungkin seperti itu.” (ED, 16/6/2013).
Motivasi lain yang tidak kalah penting adalah dorongan ibadah atau agama.
Sebagian besar informan menaganggap pekerjaannya menolong orang lain adalah
ibadah yang menjadi ladang amal untuk bekal di akhirat. Sebagian mengaku
melayani lansia karena Tuhan (lillahi ta’ala), bukan karena ingin memperoleh suatu
balasan. Meskipun begitu, ada seorang informan mengatakan bahwa membantu
lansia bukan karena anjuran agama, tetapi karena memang ikhlas ingin menolong.
4.2.2. Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial
Informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial meyakini
bahwa spiritualitas dan keagamaan memiliki kaitan dan keselarasan dengan sejumlah
nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial. Seorang staf panti mencontohkan sikap saling
menghargai, menghormati, dan mengerti antara sesama manusia, khususnya antara
pekerja dan klien, agar tidak ada yang merasa tersakiti. Secara implisit informan ini
memahami bahwa sikap-sikap etis tersebut merupakan bagian dari spiritualitas
dan/atau keagamaan.
Keselarasan tersebut juga ditunjukkan oleh informan lain yang menganggap
profesi pekerjaan sosial sebagai ibadah. Satu informan mengakui apabila berhasil
menolong lansia merasakan kepuasan tersendiri. “...suatu kepuasan bagi diri saya ya,
yang ngelayanin kalau berhasil gitu, terutama nenek-kakek yang mengalami
gangguan psikotik,” begitu katanya (WN, 13/6/2013). Ini juga tercermin dari
jawaban atas pertanyaan apa arti pekerjaan sosial secara pribadi, yaitu: “...pekerjaan
yang melayani ...orang-orang yang membutuhkan tanpa kita me.. (mengharap)
pamrih” (WN, 13/6/2013).
Terkait motivasi melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien
sebagai orang tua sendiri, seorang informan mengakui bahwa hal itu memang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
141
Universitas Indonesia
bersifat pribadi. Namun, profesi pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan
tidak bisa dipisahkan dengan nilai atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati
nurani. Alasannya, menurutnya, “ilmu-ilmu pekerjaan sosial yang pernah saya
pelajari itu sebenarnya ...memanggil hati bener, ...misalnya kita tidak boleh men-
judge klien, tidak boleh menghukumi klien, tidak boleh memihak salah satu ...” (TY,
26/6/2014).
Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama
dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial
sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak
hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang
masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia.
Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan
dalam hal ini pelayanan sosial. Ia menerangkan:
Agama itu... melayani manusia, ini sangat cocok sekali ...agama itu bukan
sesuatu yang melangit, tetapi ...harus bagaimana bisa dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari, dan itu bisa diwarnai dengan ilmu pekerjaan sosial.
...sehingga agama itu... bisa membumi lah, gitu. ... Dan agama itu tidak
sebatas kewajiban-kewajiban umum aja, (seperti) sholat, zakat, dan
sebagainya, tapi ada kewajiban-kewajiban sosial yang harus kita lakukan.
(TY, 26/6/2014)
4.2.3. Asesmen
Model pelayanan sosial bagi lansia yang disediakan panti, terutama milik
pemerintah, secara formal menerapkan sejumlah tahapan standar yang mengacu ke
praktik pekerjaan sosial generalis. Secara garis besar urutan tahapan untuk perubahan
terencana itu dimulai dari pendekatan awal, asesmen, rencana intervensi, intervensi,
evaluasi, sampai terminasi. Bahkan proses di tiap tahapan dilengkapi setumpuk
blangko atau formulir dokumen dari berbagai jenis yang berjumlah duapuluhan lebih.
Instrumen pendukung layanan tersebut di antaranya seperti formulir seleksi calon
klien, rujukan, data kondisi awal, identifikasi, biodata atau riwayat hidup, perjanjian
kontrak, asesmen atau penelaahan dan pengungkapan masalah, catatan kasus, catatan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
142
harian, hasil pembahasan kasus (case conference), data atau catatan perkembangan,
laporan kemajuan, dan sebagainya.
4.2.3.1. Asesmen spiritual minim
Dengan setumpuk instrumen tersebut, sejauh penelusuran peneliti tidak
semuanya terisi dengan baik dan bahkan beberapa formulir dibiarkan kosong. Dari
formulir yang telah terisi, peneliti mencoba menelusuri catatan yang terkait aspek
keagamaan dan/atau spiritualitas dari klien lansia, khususnya sejumlah lansia yang
menjadi calon informan. Sangat sulit diketemukan catatan yang menyinggung
spiritualitas klien, semisal proses pencarian makna oleh klien, perkembangan
spiritualnya, nilai atau keyakinan yang dipegang, atau upaya pencarian jawaban atas
pertanyaan eksistensial yang muncul dari si klien sendiri.
Namun yang ditemukan hanya sejauh nama agama klien dan kehidupan
beragamanya, yakni seputar ritual atau ibadah yang dilakukan, kemampuan teknis
melakukan ritual, atau keterampilan melafalkan bacaannya. Hal ini tercermin dari
jawaban mereka dalam wawancara. Seorang peksos fungsional mengatakan, “Kalau..
misalnya dia agamanya Islam, ...saya (tanya) langsung, suka sholat nggak? .. Ya
paling nanyanya, bisa nggak baca ini, baca al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca
apa. Surat-surat pendek misalnya, gitu“ (SM, 12/6/2013). Untuk klien yang berbeda
agama, informan tetap menanyakan pertanyaan standar, misalnya apakah suka pergi
ke gereja atau apakah suka berdoa. Untuk identifikasi agak lebih jauh, ada juga yang
mengarahkan ke praktisi lain yang seagama. Satu informan menceritakan, “..dari
identifikasi awal kita tahu kan, oh dia agamanya Islam, dia agama Kristen, dia agama
Budha. Nah yang Kristen itu saya sudah arahkan... Bu M, ini agama Kristen nih,
nenek ini kakek ini sambil saya tunjukin orangnya.” (WN, 13/6/2013).
Menurut seorang informan, asesmen juga dilakukan dengan metode observasi
dalam berbagai kesempatan, terutama ketika ada kegiatan bimbingan agama:
Nah, awal datang.. masuk observasi. Setelah diobservasi lamanya sebulan itu,
kita kan lihat perkembangan... Setelah dia bisa bersosialisasi, ...kita
masukkan ke barak renta, barak setengah renta, barak sehat,... Nah di situ kan
dilihat, ...sambil (di-) bimbing. ...Terus saya kalau di ruangan kan sama bu
Haji I, bu Haji A, kan itu (bimbingan), “Mak, coba deh Mak ...kalau istighfar
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
143
Universitas Indonesia
apa bacaannya, Mak?” gitu kan. “Mak, kalau baca al-Fatihah, Mak?” gitu.
“Terus Mak baca surat-surat apa yang hafal?” itu. Itu kan yang dites gitu.
...walaupun dia istilahnya di jalanan ya, ngemis gitu, tapi kalau dasar
agamanya dia ada kan pasti gak mungkin lupa ya, surat-surat yang kecil
(pendek) itu... Tapi kalau emang dia biasanya dasarnya dari kecil di jalanan...,
nggak ada bimbingan dari keluarga itu, itu yang susah. Jangankan untuk ...
(ngaji, sholat), al-Fatihah aja susah gitu. (WN, 13/6/2013).
Menyadari minimnya catatan asesmen dengan berbagai formatnya yang
memuat unsur keagamaan dan/atau spiritualitas, akhirnya peneliti lebih berupaya
menggali bagaimana praktisi melakukannya, bukan pada apa yang didapat dari hasil
asesmen tersebut. Sebagai catatan, semua informan praktisi lulusan pendidikan
pekerjaan sosial pastinya memahami tahapan-tahapan pelayanan beserta blangko
kelengkapannya. Dengan demikian, ketika dalam wawancara disinggung istilah
asesmen, mereka telah memahami maksudnya. Meskipun arah utamanya untuk
menggali bagaimana praktisi memahami spiritualitas dan keagamaan lansia,
informasi tentang proses asesmen secara umum juga turut terungkap.
Meskipun dalam formulir asesmen kurang disinggung, proses untuk menggali
masalah atau memahami spiritualitas klien bukan berarti tidak dilakukan oleh para
praktisi. Perlu dicatat bahwa proses penggalian masalah lebih kental dibanding
berupaya memahami klien secara mendalam. Melalui wawancara, spiritualitas dari
lansia sampai tingkat tertentu telah mereka gali namun tidak dicatat dalam formulir
yang tersedia. Informasi yang tergali terkadang hanya disimpan menjadi informasi
pribadi atau hanya dibicarakan dengan praktisi lain atau petugas panti. Karena para
praktisi seringkali lebih fokus pada upaya menyelesaikan masalah yang mungkin
sedang dihadapi klien ketimbang memahami klien secara utuh.
4.2.3.2. Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin
Satu teknik asesmen yang berhasil digali, baik untuk tujuan umum ataupun
tujuan mengenali spiritualitas klien, adalah apa yang disebut seorang praktisi sebagai
“asesmen berkelanjutan.” Asesmen semacam ini dilakukan secara terus-menerus
melalui interaksi yang inetensif dengan klien lansia. Menurutnya, hasil penggalian
yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali belum mengungkap masalah lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
144
atau faktor individu tertentu secara mendalam. Hal-hal ini akan tergali melalui
asesmen terus-menerus dan interaksi intensif. Tentang asesmen ini, ia mengatakan:
...memang kita ada asesmen berkelanjutan terus-menerus.. itu karena
seringnya interaksi itu aja. Dan memang sebagian juga ada catatannya, tapi
catatannya itu kan kebanyakan formalitas, ...istilahnya nggak mendetail
banget, gitu. Dan itu nanti lebih banyak masuk ke kasuistik, gitu kan. Nah
kalau di awal-awalnya biasanya belum begitu terlihat, hanya masalah-
masalah yang sifatnya fisik gitu loh, kebutuhan fisik dia, kebutuhan agama,
oh dia nggak sholat, oh berarti perlu bimbingan agama, titik. Gitu aja kalau
asesmen awal. Terus nanti semakin ke sini kita pahami, oh.. ini ternyata dia
suka marah, dia suka ini, dia males sholatnya. Ada juga yang kalau misalnya
diajarin sholat pun dia iya iya aja, tapi tidak menggunakannya bener, nah ini
sudah faktor... individu lansianya itu. Yang ibaratnya itu akan dengan
sendirinya ketahuan wataknya gitu loh. Ini asesmen awal itu yang kita
pahami sekilas, tapi begitu semakin sering kita lihat, semakin sering kita tahu
interaksinya dengan orang lain kesehariannya itu, jadi ketahuan wataknya.
(TY, 26/6/2014)
Asesmen spiritual lansia, masih menurut praktisi dari spesialis pekerjaan
sosial tersebut, harus dilakukan secara detail, intensif, dan profesional. Hal ini akan
lebih baik kalau dilakukan dengan kerjasama tim dari multidisiplin yang bisa terdiri
dari pekerja sosial, psikolog, pembimbing agama, dan lain-lain. Lebih jelasnya
praktisi ini mengatakan:
...bisa kita lihat memang spiritualitas itu harus dilakukan lebih intens, lebih
detail, dan ditekuni dengan... profesionalitas tersendiri gitu loh ya. Maksud
saya tuh harus betul-betul ada beberapa orang, tidak hanya satu orang, tidak
cukup gitu loh. Untuk bener-bener melakukan perubahan spiritualitas
seseorang itu menjadi... pribadi yang jauh lebih baik itu nggak cukup butuh
satu orang dan itu memang perlu kerja sama, yang peksosnya, ...pembimbing
agama, ...pembimbing pikososialnya, dan sebagainya. (TY, 26/6/2014)
Pada praktiknya, informan tersebut mengakui masih kurangnya komunikasi
antar praktisi karena kurang memanfaatkan formulir catatan yang sebenarnya sangat
menentukan dalam penyelesaian masalah lansia melalui kerja tim. Misalnya terkait
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
145
Universitas Indonesia
isu lansia dalam menghadapi hari akhir. Menurut salah seorang informan, bisa
diusulkan membuat form asesmen untuk mengakomodasi atau mendetailkan
keinginan atau harapan lansia dalam menghadapi kematian, seperi form wasiat,
warisan, pensiunan, mau dikubur dimana, dan lain-lain.
4.2.3.3. Asesmen versi pendamping home care
Dalam sistem pelayanan home care, tahapan layanan seperti di atas tidak
menjadi tradisi. Berbeda dengan para praktisi panti, empat pendamping home care
tidak berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial sehingga istilah tahapan asesmen
atau intervensi tidak cukup familiar buat mereka. Dengan demikian, pada saat
wawancara peneliti tidak memakai istilah teknis “asesmen” ketika menanyakan
proses asesmen yang sejatinya mereka lakukan juga.
Tanpa harus dicatat dalam formulir, para pendamping lansia home care
melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara
kekeluargaan. Seorang pendamping menjelaskan, “Sambil ngobrol aja. Apa kabar
Bu? Nek, apa kabar? Sambil ngobrol seperti keluarga sendiri. Jadi gak ada lagi tamu
..., seperti biasa aja. Keluarga juga udah kenal semua kalo saya dateng ke situ, ya
udah.” (ED, 16/6/2013). Dengan obrolan melalui kunjungan itu, pendamping sambil
berupaya menggali permasalahan yang sedang dihadapi lansia.
4.2.3.4. Menyinggung keagamaan klien
Dalam hal keagamaan lansia home care, sebagian pendamping tidak berani
menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu. Seperti
penuturan satu informan, “...kita nggak berani nanya-nanya... Takutnya ntar
tersinggung, ...Pokoknya kalo masalah gitu mah kayaknya riskan yah? Takut... Kalo
masalah itu (agama) mah ngeri aja. (Takut dibilang) ‘kayak udah bener aja kamu,’
gitu” (HN, 16/6/2013).
Ada juga sebagian praktisi yang menyinggung soal agama atau ibadah secara
langsung, terutama untuk klien yang seagama. Misalnya SM, seorang praktisi
Muslim di panti mengatakan, “... (yang) suka saya lihat, misalnya dia agamanya
Islam, ... saya (tanya) langsung, suka sholat nggak?” Atau “Ya paling nanyanya, ...
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
146
‘bisa nggak baca ... al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca apa, surat-surat
pendek?’ misalnya gitu.” (SM, 12/6/2013).
Pada prinsipnya, sebagian besar praktisi berupaya untuk bertindak hati-hati
dalam menyinggung hal-hal yang sekiranya sensitif bagi klien dengan melihat-lihat
kondisi mereka terlebih dahulu. Dalam melakukan asesmen maupun intervensi
secara bersamaan, seorang peksos di panti mengatakan bahwa ketika menyampaikan
soal keagamaan atau memberikan motivasi kepada klien, ia berupaya untuk
mengemas kata-katanya agar tidak sampai menyinggung perasaan klien.
Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte, tidak mengintervensi. Karena
apa, ... satu sisi walaupun dia warga binaan ataupun penerima manfaat, satu
sisi (lain) juga dia sebagai orang tua. Nah, bagaimana cara kita mengemas
bahasa itu supaya orang itu jangan tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal
seperti itu. Karena ada juga lansia yang merasa ‘ndak perlu Anda ajari saya,
saya udah lebih bisa,’ gitu kan. (FS, 1/7/2014)
4.2.3.5. Pendekatan untuk menarik lansia home care
Satu hal yang menarik dari apa yang dilakukan seorang pendamping adalah
pendekatan awal terhadap lansia untuk menarik mereka aktif dalam kegiatan agama
di masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang
bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan
pelan-pelan. Kemudian mereka dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya.
Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan. Tentang
strateginya ini, ia menjelaskan:
Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya,
ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak
ngamal, baru pada bisa. Kalau ..dikerasin harus bisa ngaji aja, itu mah nggak
ada orangnya mas... “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke majlis
ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke mesjid kan
deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya (jariyah) dari mana?” “Udah
itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalau nggak ditarik kayak gitu
kan susah ibu-ibu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya
alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini. ...Ibu
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
147
Universitas Indonesia
mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja gitu bisanya. Nggak bisa apa-apa.
Ibu mah cuman ngajak lah ya. (MM, 16/6/2013)
4.2.4. Intervensi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tahap setelah asesmen adalah intervensi
atau implementasi dari rencana yang tersusun berdasarkan hasil asesmen. Dalam
praktiknya, perencanaaan atau intervensi seringkali bukan merupakan tahapan
terpisah secara serial yang dilakukan setelah asesmen. Terkadang asesmen masih
terus dilakukan secara kontinyu seiring paralel dengan tahap intevensi. Asesmen
yang dilakukan para praktisi seperti diutarakan di atas juga bisa menjadi intervensi
itu sendiri. Tahapan ini juga tidak selalu didokumentasi atau dicatat dengan baik
dalam sejumlah formulir. Informasi terkait hal ini lebih dominan digali melalui
wawancara atau observasi partisipan ketika, misalnya, ada bimbingan agama atau
melakukan ibadah sholat di musholla.
Node @intervensi menjadi parent nodes tersendiri karena ada dua tema yang
dikelompokkan di dalamnya, yakni node @contoh kasus intervensi dan
@penanganan akhir kehidupan lansia (perhatikan Lampiran 8). Dari parent node dan
dua nodes, pembahasan akan dikelompokan dalam beberapa bagian.
4.2.4.1. Teknik-teknik intervensi
Teknik utama yang digunakan para praktisi umumnya berupa mendengarkan
cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang.
Teknik semacam ini tidak bisa dilakukan secara instan karena untuk bisa membuat
para lansia bebas bercerita para praktisi mesti berinteraksi secara intens, meskipun
tidak harus berlama-lama. Misalnya hanya dengan mengunjungi sebentar, menyapa,
tanya kabar, dan sebagainya.
Ketika melakukan intervensi, intinya harus sudah terbangun semacam
hubungan baik (rapport) dan unsur kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka akan
membuka diri (disclosure) kepada praktisi. Kepercayaan akan lebih mudah tumbuh
apabila hubungan itu terjalin karena motivasi dari kebanyakan praktisi yang
menganggap klien layaknya sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri.
Contohnya seorang informan peksos ahli menyatakan bahwa klien biasanya berani
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
148
menceritakan masalah pribadi secara terbuka setelah adanya unsur kepercayaan.
Sehingga dengan begitu peksos memanfaatkan teknik ventilasi untuk mengeluarkan
keluh-kesah klien. Meskipun dengan keterbukaan klien seperti apa, tentu saja peksos
tetap patuh terhadap kode etik porofesi, yakni menjaga kerahasiaan klien.
Bentuk dari intervensi oleh praktisi yang mereka nilai menggunakan
pendekatan spiritual atau agama cukup bervariasi, tergantung kondisi dari si lansia
dan sejauhmana hubungan yang telah dibangun. Misalnya dari mulai mengingatkan,
mengajak, menasehati, turut serta, sampai mengajari para lansia beribadah, berdoa,
atau dzikir. Sebagian informan mengaku turut mendampingi ketika ada bimbingan
agama. Bahkan bagi pendamping home care yang telah mengenal secara dekat
mereka bisa menyuruh langsung lansia untuk, misalnya, sholat. Berbagai bentuk
intervensi tersebut dilakukan dengan cara mengarahkan dengan penuh perhatian,
kasih sayang, kesabaran, keuletan, dan secara informal. Seorang staf mengatakan:
Ya kita kan mengarahkannya dengan bentuk suatu perhatian gitu, kasih
sayang gitu. Sambil kita bercanda-canda, seperti kita berteman, seperti apa
orang tua kita sendiri. Dan dia juga apa, merasa senang, merasa bangga gitu,
dia bisa juga dia inget ama anak, inget ama cucunya kan gitu sambil suatu
bentuk perhatian itu yang dia ingini. (WN, 13/6/2013)
Meskipun begitu, seorang peksos mengakui bahwa pendekatan spiritual yang
dimaksud tidak sampai menggunakan teknis khusus.
...hanya dengan secara lisan gitu ya, maksudnya. Tapi kalau penanganan
langsung kalau dengan doa-doa sendiri ya belum pernah. Cuman maksudnya,
memotivasi orang, ...supaya ...mencoba lah. ...kita tinggal nunggu waktu, ya
cobalah tingkatkan kesabaran, ...banyak sholat malam, banyak apa... Kayak
gitu aja. Banyak doa, banyak apa, dzikir, gitu. (SM, 12/6/2013)
Begitu juga dengan seorang informan peksos ahli. Ia hanya memberikan
dorongan bagi lansia dan membicarakan kewajiban-kewajiban bagi penganut agama
secara umum dengan menghindari kesan mendikte atau memaksa mereka.
Saya sederhana aja, mas. Kalau saya lebih kepada memberikan motivasi dan
memberikan pandangan-pandangan aja terhadap dia. Yah, pandangan yang
seharusnya diwajibkan kepada kita dari akil baligh sampai dengan tutup mata
apa sih, itu. Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte (atau) tidak
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
149
Universitas Indonesia
mengintervensi. Karena apa? Karena dia orang, satu sisi walaupun dia warga
binaan ataupun penerima manfaat, satu sisi juga dia sebagai orang tua. Nah,
bagaimana cara kita mengemas bahasa itu supaya orang itu jangan
tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal seperti itu (FS, 1/7/2014).
Intervensi dengan memberikan motivasi seperti itu tidak bisa dilakukan
secara kolektif melalui bimbingan kelompok atau misalnya pengajian agama.
Terutama untuk hal-hal yang sifatnya pribadi, bimbingan harus dilakukan secara
individu agar lebih bisa diterima. Seorang praktisi menjelaskan:
Tapi kalau yang sifatnya pribadi... kita harus agak lebih intensif mendekat
secara individu, agar lebih masuk gitu kan. Kita memberi motivasi,
mengingatkan, ya intinya kita bukan menggurui, tapi kita mengingatkan dan
kita sendiri juga belajar. Kita belajar dari orang tua yang pengalamannya
sudah ...banyak dan pengalaman dia dengan masalah yang seperti itu bagi
kita... yang masih muda itu pasti akan berpikir bahwa jangan sampai lah saya
seperti ini, gitu kan. Jadi, menjadi cermin juga bagi kita. (TY, 26/6/2014)
4.2.4.2. Lansia sedih atau patah semangat
Untuk lansia yang mungkin sedang murung atau patah semangat, praktisi
berupaya mendekati dengan mengajaknya ngobrol, bertanya, menghibur, atau
memberi semangat agar tidak berputus asa. Sebagai contoh kasus, seperti diceritakan
seorang praktisi di panti, pak S bisa dikatakan aktif karena mengikuti semua
kegiatan, dan suka bantu-bantu pekerjaan di panti. Tapi tiba-tiba pasif tidak mau ikut
kegiatan apapun. Ditanyakan apa sebabnya, klien tersebut mengaku sakit gigi.
Namun meski sudah dibawa ke dokter, belum ada perubahan sikap. Ketika digali
lebih dalam, ternyata sebab utamanya adalah bahwa pak S merasa selalu disalahkan
dan dimarahi oleh petugas (pramusosial) ketika ingin membantu.
Dari situ, praktisi mencoba memberi semangat dan memberi perhatian agar
aktif kegiatan lagi. Terkadang juga dengan meyakinkan lansia bersangkutan bahwa
dia masih berguna sehingga bisa membantu, bekerja, dan memberi manfaat bagi
orang lain. Ia mengatakan:
Bapak jangan putus asa, Bapak tuh masih bisa ... walaupun Bapak di sini
WBS tapi tenaga Bapak masih ...membantu ruang-ruangan nenek-kakek yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
150
renta itu.” Kadang kan ya adik-adik Pramu nggak ada, .... Nenek kan nggak
mungkin ngangkat galon. “Pak S tolongin dong,” itu kan ... suatu kebanggaan
Bapak.... kemarin waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia, ..karena dia
udah aktif lagi, udah timbul semangat diri lagi, ...dia membantu mandiin
jenazah, gitu. ... itu kan bagian dari ibadah kan, gitu. (WN, 13/6/2013).
Untuk klien lain yang dianggap psikotik oleh petugas panti, praktisi tersebut
memberi penekanan pada unsur perhatian dan kasih sayang bagi klien bersangkutan.
Karena dengan perlakuan ini, klien akan tumbuh kepercayaan diri dan merasa
dianggap ada dan dihormati orang lain. Katanya:
Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang (lain).
...kita sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa
dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya
dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... (WN, 13/6/2013)
Praktisi lain tidak jauh berbeda mengenai penanganan lansia yang sedang
sedih atau mengeluh karena merasa disingkirkan oleh keluarga. Karena kesamaan
gender, praktisi ini berupaya mendekati klien dengan sentuhan secara fisik seperti
mengelus atau menepuk pundaknya. Dengan kedekatan secara fisik seperti ini dan
kondisi psikis klien yang memungkinkan untuk diberi masukan, praktisi kemudian
mengajak bicara dari hati ke hati, mengingatkan untuk selalu sabar, dan berdoa.
...dengan pekerjaan sosial, kita... mendekat secara fisik, misalnya sama
perempuan, ...kemudian kita tepuk pundaknya, kita elus-elus pundaknya,
“Embah yang sabar.” Dan kita mengingatkan dengan kata sabar itu saja, itu
sudah dengan pendekatan agama juga kan. Jadi memang agama itu sudah
meliputi semuanya, dan lebih dipertajam dengan aspek sosial seperti itu lebih
kena banget, gitu loh... “Embah lebih banyak berdoa, berdoa untuk diri
Embah sendiri, dan doakan saja anak-cucunya itu diberikan kesehatan, mudah
mencari rizki, diberikan hidayah, diberikan petunjuk untuk senantiasa ingat
sama Embah,” gitu kan. (TY, 26/6/2014)
4.2.4.3. Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan
Satu hal menarik yang bisa diangkat dari informan tersebut adalah munculnya
konsep doa dan relasi segitiga antara Tuhan, klien, dan orang yang didoakan klien.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
151
Universitas Indonesia
Masih terkait dengan klien lansia di atas, dengan konsep doa dan relasi segitiga
tersebut kemudian praktisi berupaya sedemikian rupa untuk menumbuhkan
kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi apa yang dialami klien saat ini adalah
akibat dari sikap dan perilaku yang telah lampau. Ia menjelaskan:
Jadi itu... menanamkan nilai spiritualitas embah, nilai keagamaan yang terkait
dengan kerohaniannya gitu, kejiwaannya, ...bukan.. sekedar syariatnya, gitu
ya. Nah itu akan bisa membuat embah itu memiliki keyakinan bahwa, oh iya
yah, bahwa secara fisik saya terpisah dengan anak saya dengan cucu... Cucu
tidak bisa merawat saya karena kondisi tidak mampu dan sebagainya, tapi
dengan doanya embah, embah (harus) yakin bahwa ...hubungan manusia,
embah (atau) kita dengan Allah itu ibaratnya seperti segitiga. Kita yang
mendoakan di segitiga sudut kiri kemudian Allah berada di sudut atas,
kemudian yang kita doakan ada di sudut kanan bawah. Itu akan tersambung
bahwa Allah menyambungkan doa itu, kan. Menyambungkan, mengabulkan
doa itu, ... Dan hal ini bisa juga bagi embah itu ...menyadarkan pula membuat
mbah jadi banyak ber-istighfar juga. Barangkali kenapa sikap anak... ada
yang tidak mau merawatnya, ada yang membuangnya, ...bisa jadi... dulu
mudanya... ketika merawat anak itu... ada perasaan tidak ikhlas. (Hal-hal)
seperti itu sebenarnya saling terkait (TY, 26/6/2014).
Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia
mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar,
memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan
menjadi lebih baik. Praktisi tersebut menegaskan:
...semuanya itu Allah sudah Mahatahu bahwa kamu dulu itu seperti ini
terhadap anakmu. Kemudian saat ini kamu nggak dirawat sama anakmu
misalnya, itu jadi menjadikan embah itu mau mengevaluasi diri (atau)
mengoreksi. Sehingga dari situ embah mau lebih banyak ber-istighfar, lebih
banyak berdzikir, lebih banyak mendoakan juga untuk diri maupun anak-
cucunya itu agar dia istilahnya syukur mau mengambil untuk merawatnya
atau setidaknya kalau tidak bisa sering berkunjung untuk menjenguk seperti
itu, sehingga tersambung silaturahim keluarga (TY, 26/6/2014).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
152
4.2.4.4. Lansia bertengkar
Para praktisi mengakui bahwa kebanyakan lansia yang tinggal di panti sering
bertengkar antar sesama yang terkadang karena masalah sepele. Namun terkadang
juga terjadi pada lansia home care. Untuk menangani hal ini, lansia yang bertengkar
biasanya oleh praktisi dipanggil, diajak ngobrol, diingatkan tentang umur yang sudah
lanjut, ditanamkan kesadaran bahwa sama-sama hidup di panti adalah senasib,
sehingga harus saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran.
Sebagai contoh, salah seorang praktisi menceritakan pengalamannya:
...selalu yang ribut-ribut itu saya panggil. “Mak, sekarang Emak maunya apa
sih? Mak, apa sih yang diributin,” gitu. “Mak, sisa umur kita tinggal berapa?”
kan gitu. “Kita nggak tahu umur, Mak. Ya tahu saya duluan, tahu Emak
duluan, Mak. ...kita di sini ...bersaudara semua senasib sepenanggungan.” ...,
“nggak usah harus diributin, emak nanti kalau nggak ada umur, gimana...?
Kalau emak sakit, siapa yang mau nolongin emak kalau emak ribut terus? ...
Mak, di sini saling tolong-menolong.” ...saya selalu...nasehatinnya ke
masalah tentang umur. .., “di sini ini kita udah tua, kita dulu muda itu kita
udah banyak dosa kita, belum tentu sama Allah diampunkan dosa kita.
Sekarang kita di sini perbanyak ibadah,” kan gitu. “Untuk apa? Modal kita
nanti kalau kita nggak ada umur, untuk modal kita di akherat.” Ya itu saya
dorongan itunya ke situ. Kalau untuk lansia-lansia yang masih pada mandiri,
masih sehat. Karena kalau lansia mandiri itu lebih dominan pada ribut, pada
berantem, bertengkar, gitu. (WN, 13/6/2013)
4.2.4.5. Intervensi yang dianggap berhasil
Intervensi yang menurut penilaian praktisi sendiri berhasil biasanya
menghasilkan perubahan positif bagi lansia. Seorang praktisi menyampaikan,
“Alhamdulillah dengan kesabaran saya, Bu F. juga, keuletan, akhirnya nenek-kakek
...bisa beradaptasi lagi. Dia bisa timbul percaya diri lagi, dia bisa mengenal diri dia
sendiri, begitu. Alhamdulillah lah udah banyak yang dari awal mereka datang
mengalami depresi apa gitu.” (WN, 13/6/2013).
Sebagai contoh kasus lansia yang patah semangat, seorang praktisi meyakini
bahwa mereka hanya butuh perhatian, teman, dan kasih sayang. Katanya:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
153
Universitas Indonesia
Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang. ...kita
sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa
dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya
dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... Dia butuh
perhatian, dia butuh ada teman. Kan gitu kalau udah (tua) itu, iya. Kadang
kan kalau di rumah itu orang tua dicuekin. ...dia mudah tersinggung kan kalau
orang tua, karena kembali lagi sifatnya seperti anak-anak, nah kitanya yang
muda itu harus mengerti. (WN, 13/6/2013)
Setelah serangkaian intervensi, muncul perasaan positif, seperti tumbuhnya
kepercayaan diri, semangat hidup kembali, mampu mengenali diri-sendiri, bisa
beradaptasi, merasa ada yang memperhatikan, merasa masih berguna, dan bahkan
merasa bangga bisa membantu sesama. Hal ini disampaikan oleh seorang praktisi:
...dengan itu dia akhirnya bersemangat lagi, kan itu kan suatu dorongan
spiritual dia juga kan? Eeh. Terus timbul rasa dari diri-sendiri, oh aku itu dari
sebanyak orang di sini, ...ternyata masih ada yang memperhatikan aku, gitu
kan. Wah aku ini berarti... masih berguna untuk orang lain, aku. ...kemarin
waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia..., karena dia udah aktif lagi,
udah timbul semangat diri lagi, tanpa kita harus (menyuruh)..., dia membantu
mandiin jenazah, gitu. Gini-in (mengurus jenazah) itu kan bagian dari ibadah
kan, gitu. (WN, 13/6/2013)
Untuk menilai apakah suatu intervensi berhasil menghasilkan perubahan pada
klien atau tidak memanglah sulit, terlebih lagi intervensi yang berbau spiritual. Hal
ini diakui oleh seorang informan dengan mengatakan (TY, 26/6/2014):
...nggak terlalu kelihatan banget gitu perubahan itu. Tapi setidaknya akan
terlihat yang mungkin awalnya kelihatan jiwanya nggak tenang, ...pikirannya
nggak tenang, semakin ke sini ...kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi, pangan-
sandangnya terpenuhi, ...nah tingkat spiritualitasnya ini yang... belum ada
pengukuran tersendiri. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan kita
tentang bagaimana mengukur spiritualitas seseorang itu. Jadi ya, paling hanya
kelihatan secara sekilas saja, oh sekarang dia lebih seger ya, sekarang lebih
bergembira ya. Yang dulunya murung sekarang jadi agak lebih mau terbuka,
dulunya diam, nggak mau gaul, sekarang mau ngobrol, seperti itu.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
154
4.2.4.6. Intervensi yang dianggap gagal
Di samping banyaknya keberhasilan ada juga yang dianggap gagal, terutama
untuk lansia yang menurut praktisi sudah tidak responsif. Seorang peksos terampil
mengatakan, “Ya, kalau yang nggak ada pengaruh biasanya orang-orang yang sudah
ini sih, hanya orang-orang yang... nge-blank” (SM, 12/6/2013). Kondisi
keberagamaan lansia seperti itu tergantung dari kebiasaan masa mudanya, misalnya
terkait ibadahnya. Menurutnya, “Ya, yang orangnya ya misalnya error-error. Kalau
yang memang dari muda... sudah terbiasa ibadahnya bagus, mungkin lain” (SM,
12/6/2013). Senada dengan hal ini, praktisi lain mengatakan:
...itu juga tergantung dari dasar agama dari lansia itu sendiri. Dasar dari
spiritualitas dari lansia itu sendiri dari awalnya, dari dininya, gitu ya. Kalau
memang lansia itu sendiri dari dini ...dari dewasanya nggak pernah dia
terpanggil dengan... motivasi keagamaan dia, itu juga sedikit sekali
pengaruhnya, terapi untuk agama itu. (TY, 26/6/2014)
Agak berbeda dengan dua informan di atas, seorang peksos ahli berpendapat
bahwa kegagalan dalam menggunakan pendekatan spiritual atau agama itu sebagian
disebabkan oleh klien itu sendiri. Pendapat ini tampaknya berangkat dari sejumlah
kecil kasus atau lansia yang cenderung antipati terhadap agama karena latar belakang
tertentu atau pengalaman masa lalu. Lebih terang peksos ini berkesimpulan:
Saya melihat kepada motivasi orang yang bersangkutan aja yang tidak punya
keinginan. Dia udah apa ya, ya tidak memaknai hidupnya aja gitu. Sehingga
dia tidak perlu, ibaratnya, hidup ini tidak perlu bertuhan tidak apa-apa
mungkin. Dia tidak pernah merasa udara (untuk) ...nafas yang ditarik itu
punya siapa, gitu. Bumi ini yang dipijak punya siapa, gitu. (FS, 1/7/2014)
Ketidakberhasilan praktisi dalam menggunakan pendekatan spiritual untuk
klien atau kasus tertentu, menurut sebagian praktisi, bukan berarti pendekatan ini
tidak berguna sama sekali. Akan tetapi, seorang informan berpendapat, meski hanya
punya pengaruh sesedikit apapun pendekatan agama harus tetap dipakai, karena
muara dari pelayanan lansia pasti ke agama. Dia berargumen bahwa masa lansia
berada pada fase paling akhir kehidupan seorang manusia sebelum meninggal.
Kematian menandakan permulaan manusia untuk mempertanggungjawabkan setiap
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
155
Universitas Indonesia
perbuatan di dunia di hadapan Tuhan. Persoalan ini diajarkan dan diatur dalam
agama. Dalam alur pikir seorang informan, lebih lengkapnya seperti ini:
...sedikit maupun banyak itu harus kita pakai, karena sebenarnya ujung-
ujungnya kan kita ini mau melayani lanjut usia ...inti utamanya adalah ke
agama. Ke agama. Ujung-ujungnya bukan berarti gimana ya, mati setiap
orang (pasti mengalami), kita nggak tahu umurnya. Tapi mau (kemana lagi),
sudah umur sekian itu sudah tanda-tanda bahwa dia mau kemana lagi, gitu
loh. Kita harus lebih banyak ke agama, ...apapun yang kita lakukan itu selalu
kita memiliki dorongan motivasi untuk ibadah, untuk agama, gitu loh. Seperti
itu. Mau kegiatan (apapun atau) memiliki keahlian apapun mungkin (bagi)
lansia yang masih potensial, tapi jangan pernah melupakan hakekatnya ...
bahwa kita ini harus banyak beribadah kepada Allah. Seperti itu. (TY,
26/6/2014)
Para praktisi mengakui tidaklah mudah untuk mempraktikkan intervensi
bermuatan agama dan/atau spiritual, karena lansia memiliki dasar agama yang
berbeda-beda. Teknik yang dilakukan adalah bimbingan agama secara berkelompok
atau klasikal, seperti lewat pengajian rutin di musholla, kemudian ditindaklanjuti
dengan bimbingan yang relatif lebih intensif dalam skala kecil untuk individu,
pasangan lansia, atau lansia satu wisma. Seorang praktisi yang juga fungsional
penyuluh sosial menginformasikan bahwa ketika melakukan penyuluhan sosial ia
menggunakan teknik-teknik pekerjaan sosial dan juga dengan cara agama. Terkait
cara maupun konten agama ini, ia sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan
sarjana agama Islam.
4.2.4.7. Pendekatan manusiawi atau sewajarnya
Ketika misalnya terjadi penolakan karena pengaruh masa dulunya atau sebab
lain, selain harus melihat-lihat kondisi klien, seorang praktisi tidak langsung masuk
dengan menyinggung agama. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan semacam
pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si klien
melalui penalaran ringan. Misalnya, seperti dicontohkan praktisi dalam TY,
26/6/2014: “Coba pantes nggak Pak, kalau kira-kira seperti ini?”; “Kira-kira sih
kalau misalnya Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
156
contoh, mungkin jadi kurang pantes Pak seandainya begini.” Terkait dengan
pendekatan tersebut, praktisi ini menyebutnya sebagai pendekatan secara
“manusiawi” atau “wajarnya”. Lebih jelasnya, ia menguraikan:
Kita melihat kondisi seperti itu ya kita panggil secara manusiawi aja, secara
wajarnya, secara wajarnya manusia itu seperti apa. Karena belum tentu
dengan kita sentuh dengan kesadaran keagamaan dia itu belum tentu masuk
karena beda, gitu. Jadi kita menggunakan kewajarannya sebagai manusia
sebagai makhluk sosial sebagai makhuk yang ...memiliki kebutuhan apapun,
kebutuhan hidup, kebutuhan sosial, ataupun kebutuhan ini itu kita paskan
dulu ...sesuai dengan kewajarannya dia sebagai manusia lah, seperti itu. (TY,
26/6/2014)
Untuk mengantisipasi penolakan yang mungkin terjadi secara tidak terduga,
sejumlah praktisi punya semacam trik tersendiri bagaimana cara untuk masuk atau
memulai intervensi. Sebelum masuk melakukan pendekatan, mereka berusaha
melihat-lihat terlebih dahulu kondisi klien seperti telah disinggung di atas, tidak serta
merta langsung dengan pendekatan agama. Ketika klien misalnya masih dalam
kondisi marah karena habis bertengkar dengan sesama klien atau sebab lain, praktisi
hanya mencoba menenangkan yang terkadang sudah dengan sedikit muatan ajaran
agama, seperti disuruh beristighfar dan sabar. Ketika kondisi klien tenang dan
sendiri, praktisi baru mulai masuk untuk melakukan penyadaran dan menggunakan
pendekatan spiritual-keagamaan.
4.2.4.8. Intervensi ala pendamping home care
Para pendamping home care tampaknya tidak berpretensi untuk menggali dan
menyelesaikan segala masalah yang dihadapi lansia. Mereka sadar bahwa
kewenangan untuk mengurus lansia yang tinggal bersama keluarganya sangatlah
terbatas, terutama terkait urusan internal keluarga lansia. Kecuali apabila masalah
tampak muncul atau lansia itu sendiri atau keluarganya yang meminta tolong.
Misalnya ketika seorang lansia sering sendiri di rumah karena ditinggal bekerja,
anaknya meminta pendamping untuk diawasi atau didampingi. Untuk kasus tertentu
terkadang juga pendamping tidak langsung menangani sendiri, tapi hanya
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
157
Universitas Indonesia
mengarahkan atau mendorong anggota keluarganya dan memberi tahu agar tidak
dimarahi atau dilarang-larang untuk mengerjakan sesuatu.
Sejauh yang bisa dilakukan pendamping adalah memastikan terpenuhinya
kebutuhan lansia dan baiknya kondisi jasmani dan rohani mereka. Terkait kebutuhan
sosial lansia, peran pendamping juga sangatlah vital. Oleh pendamping, lansia
diupayakan dengan berbagai cara agar tidak kesepian di rumah, namun tetap
bersosialisasi dengan lingkungan melalui berbagai aktivitas, terutama keagamaan.
Pendekatan yang dilakukan terhadap lansia home care agar aktif dalam kegiatan
agama semacam pengajian dan istighotsah yakni dengan mengajak pelan-pelan,
membujuk atau merayu, atau mengajak semua lansia tanpa pilih-pilih. Seorang ibu
pendamping misalnya menceritakan:
Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya
ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak
ngamal, baru pada bisa. Kalau kita namanya dikerasin “harus bisa ngaji aja,”
itu mah nggak ada orangnya mas. “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke
majlis ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke
mesjid kan deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya dari mana?”
“Udah itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalo nggak ditarik kayak
gitu kan susah ibu-bu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya
alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini.
Jadinya sekarang alhamdulillah. Ibu mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja
gitu bisanya. ..Wajar ibu mah ngajak. “Nek, nenek mau nggak ikut saya?”
gitu pertamanya. “Mau kemana sih, Bu R?” “Nggak, nggak diapa-apain.”
“Kalo kita diajak, dikasih ginian mau nggak?” “Eh maulah.” Ntar ini dipilih
yang lainnya sirik,” gitu. Kalo namanya bu J kan kita hanya diambil dua.
(MM, 16/6/2013)
Agak berbeda dengan yang di panti, para pendamping home care juga punya
teknik-teknik sendiri. Praktisi, misalnya, seringkali mengajak ngobrol lansia,
mendengarkan curhat (cerita dan keluh-kesah), sekadar menyapa, tanya kabar,
mengakrabi, atau memberi perhatian. Sebagai contoh, seorang pendamping
mengatakan:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
158
Makanya kalo itu kan satu jam menemani lansia, nggak mungkin sejam kalo
saya mah hampir tiap hari tuh. Hampir tiap hari ke situ, nengok, kadang
sepuluh menit, kadang lima menit tapi tiap hari. Kadang cuman nyolek
pipinya “apa kabar..” gitu. “Mih, gimana sehat?” cuman gitu doang ... Begitu
aja udah seneng banget apalagi kalo dicium “Mih gimana kabarnya Mih?”
seneng udah. ...Itu kita cuman ngobrol paling nemenin dia nyanyi tepuk
tangan... Kalo Mang R ...laki-laki kan nggak begitu. Dia lagi ngituin ayam
paling kita nyamperin, “gede-gede ya Mbah ya telornya Mbah ya?” Paling
gitu doang, nggak mungkin kita, namanya laki-laki. (HN, 16/6/2013)
Namun terkait pendekatan dengan agama atau spiritual, sebagian pendamping
tidak mengakui menggunakan hal itu. Menurut seorang pendamping, pendekatan
yang dipakai bersifat standar. Katanya, “saat ini belum, karena tingkatannya kan
belum nyampe situ ya. Karena masih yang standar-standar aja.” (ED, 16/6/2013)
4.2.4.9. Membantu lansia menghadapi akhir hayat
Satu tema menarik muncul dari hasil wawancara, yakni tentang bagaimana
lansia menghadapi masa-masa akhir hayatnya. Hal-hal yang terkait dengan persiapan
menghadapi masa akhir hayat di antaranya adalah preferensi pihak yang dihubungi
ketika lansia meninggal, menghantarkan lansia menghadapi sakrotul-maut, persiapan
mengumpulkan bekal, sare’at untuk menghilangkan susuk, membereskan urusan
yang belum selesai, dan rukun kematian bagi lansia home care.
Terkait preferensi dikubur dimana ketika meninggal, urusan pemakaman bagi
lansia panti yang sebatang kara akan diserahkan di Dinas Pemakaman Umum.
Namun bagi yang masih punya keluarga atau kerabat mereka ditanya ingin diurus
oleh siapa atau dikubur dimana dengan dikonsultasikan juga ke anak atau anggota
keluarganya. Persoalan keinginan lansia ingin dikubur dimana terkadang tidak terlalu
jelas sejak identifikasi atau asesmen di awal, namun kejelasan ini dapat tergali
seiring interaksi yang panjang dengan lansia selama di panti.
Peran praktisi yang lain dalam membantu lansia menghadapi akhir hayat
adalah menghantarkannya menghadapi sakrotul-maut. Biasanya untuk lansia muslim
dibacakan surat Yasin dan dibantu melafalkan syahadat agar meninggal dengan cara
yang baik (husnul-khotimah). Sebagian praktisi sengaja menceritakan pengalaman
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
159
Universitas Indonesia
mendampingi mereka yang menghadapi kematian kepada lansia yang lain dengan
tujuan agar mereka selalu ingat dan siap menghadapinya kapanpun. Selain itu,
praktisi dan pembimbing agama sering mengingatkan para lansia tentang kematian
dan untuk itu mereka diajari untuk berdizikir menyebut nama Allah dengan cara
mudah sesuai kemampuan lansia. Seorang praktisi mencontohkan cara tersebut:
Sering kita ingatkan untuk Mbah itu setiap saat setiap nafas ...untuk selalu
menyebut nama Allah, biar dia agak lebih mudah untuk berdzikir langsung.
Ya katakanlah misalnya mau lâ ilâha illallâh agak susah kan, lama, panjang,
misalnya. “Mbah langsung sebut nama Allah, Allah, Allah, astaghfirullâh,
astaghfirullâh, banyak-banyak istighfar dan menyebut nama Allah.” Ya
maksudnya dzikir yang singkat tapi mudah diucapkan, mudah dirasakan oleh
embah. Itu agar memudahkan embah juga untuk ketika sewaktu-waktu
sakaratul-maut... (TY, 26/6/2014).
Menyadari kematian bisa datang kapan saja, sebagian lansia, terutama yang
tidak punya keluarga, berupaya mengumpulkan bekal sebagai biaya persiapan
menghadapi kematian. Bekal yang dikumpulkan biasanya diperoleh dari uang jajan,
pemberian (angpau) dari pengunjung saat hari-hari besar keagamaan. Terkadang juga
lansia menyimpan barang berharga seperi cincin atau kalung emas. Bekal persiapan
untuk menghadapi kematian yang dimaksud contohnya untuk membayar (lebih)
tukang gali kubur agar liang lahatnya digali lebih dalam; atau biaya untuk
mendoakan dirinya, misal dengan slametan, tahlilan, atau Yasinan.
Terkait keinginan atau persiapan lansia menghadapi kematian tersebut,
praktisi berperan sebagai pihak yang dimintai bantuan lansia menjaga dan mengelola
bekal untuk menjalankan keinginan atau wasiat lansia bersangkutan sebelum
meninggal. Hal ini seperti diceritakan seorang informan:
“...ntar kalau umpama itu (meninggal), emak tolong slametin (didoakan/di-
tahlil), buat selama tujuh hari emak, 40 hari emak,” lah itulah kita kalau ada
nenek-kakek kita yang nggak ada (keluarga). ...dia nyimpen uang di kita, gitu.
Nyimpen barang emas, ...uang itu kalau dia nggak ada umur kita pakai untuk
tahlilan (atau) untuk slametan dia... (WN, 13/6/2013)
Di panti lain, menurut penuturan satu praktisi, kebanyakan lansia pasrah
menghadapi kematian. Artinya mereka tidak berupaya mengumpulkan bekal untuk
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
160
biaya Tahlilan atau Yasinan, karena acara tersebut sudah menjadi tradisi yang
dilakukan bersama-sama di musholla. Namun, menurut praktisi tersebut, dari sisi
ritual doa untuk almarhum lansia yang baru meninggal kurang diperhatikan, sehingga
kegiatan Tahlilan dan Yasinan di panti hanya rutinitas semata. Praktisi ini
menerangkan:
...di (panti) sini kan ada kebiasaan juga untuk (lansia) yang meninggal itu tiga
hari dibacakan doa. Ya budayanya sini kan Tahlilan dan Yasinan, gitu ya.
Tapi kalau saya bilang, ini berdoa untuk arwah gitu, untuk almarhum-
almarhumah, cuman ritualnya kan beda-beda. Kalau saya ritualnya kita
langsung mohon doa, sudah. Sholat ghoib (kemudian) doa, udah. Tapi kan
ada sebagian yang lain kan ritualnya dengan membaca (surat) Yasin (atau)
membaca Tahlil dan (tapi) kadang-kadang terlupa dengan (doa) Allâhumma-
ghfir lahu atau Allâhumma-ghfir laha-nya itu. Saya perhatiin kebiasaan itu.
Hanya ...rutinitas untuk baca Yasin (dan) Tahlil. (TY, 26/6/2014)
Satu konsep penting yang muncul dari para praktisi panti adalah sejumlah
lansia yang masih memakai susuk, pemanis, atau pegangan tertentu yang dipasang di
badan pada saat masih muda. Pemakaian hal-hal ini diyakini punya tujuan untuk
mempercantik wajih, agar menarik lawan jenis, menjaga daya tahan tubuh, atau
untuk tujuan lain. Banyak yang meyakini bahwa susuk yang tertanam di tubuh atau
benda yang masih dipegang itulah yang menyebabkan lansia mengalami kesusahan
pada saat sakrotul-maut atau memperlama prosesnya.
Lamanya proses kematian akibat susuk tersebut dihindari atau diantisipasi
dengan membuangnya melalui ritual tertentu. Cara atau jalan berikhtiar yang harus
ditempuh semacam ini biasa disebut sare’at. Tentang hal ini, seorang praktisi
menjelaskan:
Nah saat dia mau nggak ada umur, saat dia (masih) sadar, “Eh, Neng
...hubungin anak Emak, Neng, yang di Bogor,” katanya gitu. ...sesudah itu
nah baru dia cerita gini, “Emak biar meninggal Emak tenang,” katanya,
“nggak ada halangan, Emak dulu makai pemanis di muka di bibir,” gitu kan...
“Emak syareat-e apaan?” (saya tanya) gitu. “...selama ini Emak tuh nggak
boleh, nggak makan telor asin. Kalau makan telor asin luntur gitu, susuk
Emak gitu.” ...Pas habis dimakan telor asin, eh besoknya tuh nggak ada
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
161
Universitas Indonesia
(meninggal), udah nggak ada. ...kita percaya nggak percaya sih, tapi itulah
kenyataannya orang tua dulu begitu. (WN, 13/6/2013)
Terkadang ada pula lansia pemakai yang tidak berterus terang atau berpesan
seperti di atas. Karena masalah ini cukup sensitif dan tergolong tidak lazim,
kebanyakan praktisi menahan diri untuk menanyakan secara langsung atau terus
terang terhadap setiap lansia. Mereka lebih memilih menunggu sampai lansia sendiri
yang bercerita sesuatu yang terkadang dianggap aib oleh lansia sendiri. Namun
demikian, sebagai bentuk antisipasi, praktisi terkadang menanyakan langsung kepada
lansia yang dicurigai memakai ketika masih dalam kondisi sehat atau belum pikun.
Karena alasan sensitivitas tadi, ada juga praktisi yang menanyakannya dengan cara
bercanda agar lansia yang bersangkutan tidak tersinggung. Katanya seperti ini:
“...kalau saya kan tesnya kan beda, sama-sama laki-laki... Wah, ...heran saya nih,
udah tua begini masih enerjik banget. Ada pegangan apa sih? Apa sih khasiatnya?
Gitu kan, suka sambil guyon gitu ya” (FS, 1/7/2014).
Namun, apabila tidak diketahui dan seorang lansia sudah terlanjur dalam
kondisi sakrotul-maut yang susah, praktisi memberi tindakan intervensi memberikan
sare’at atas inisiatifnya. Seorang praktisi menceritakan satu kasus lansia yang sudah
kaku tidak berdaya berhari-hari, tapi masih mampu makan banyak layaknya orang
sehat. Oleh pengasuh dicarikan daun kelor kemudian dikibaskan sambil dibacakan
ayat Kursi, surat Yasin, dan doa-doa. Tujuannya biar si nenek tidak kelamaan
menderita sakit. Dua hari setelah diberi sare’at, si nenek meninggal. Tindakan
seperti itu diambil ketika kondisinya dianggap tidak masuk akal atau tidak logis.
Tema lain yang tergali terkait masalah akhir hayat lansia adalah penyelesaian
urusan yang belum beres semisal permohonan maaf, perkara utang-pituang, wasiat,
warisan, atau soal pensiunan. Perkara-perkara ini juga dapat terungkap dari lansia
melalui dua kemungkinan seperti soal pemakaian susuk di atas, yakni entah lansia
sendiri yang berterus terang atau praktisi yang menanyakan. Khusus tentang wasiat,
seorang praktisi mengaku pernah mengusulkan ke pantinya agar disediakan formulir
catatan wasiat, namun belum terealisasi. Dengan adanya formulir seperti itu, klien
lansia dimungkinkan atau difasilitasi untuk menyampaikan (barangkali ada)
semacam pesan terakhir atau keinginan tertentu dan/atau menginformasikan suatu
kepemilikan barang (atau harta peninggalan) kepada keluarga yang ditinggalkan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
162
Tujuan dari penyediaan blangko catatan wasiat tersebut adalah untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan perkara yang muncul selepas kepergian klien
lansia. Seorang informan mengangkat satu contoh kasus akibat ketiadaan blangko:
Ada juga kasus yang ketika di sininya (panti) nggak dirawat anaknya, begitu
meninggal anaknya cari-cari surat-surat pensiun... Kan masih ada satu dua
yang pensiun karena dulunya suaminya veteran kan. Nah jadi ibaratnya kok
tuanya jadinya nggak mau ngurusin begitu matinya kenapa rebutan warisan...
Nah itu untuk antisipasi seperti itulah sebenarnya. Kita inginkan ada
realisasinya bahwa setiap mbah itu kita suruh untuk menuliskan wasiat saya
ingin dirawat di sini sampai meninggal, saya ingin dan seterusnya. Itu baru
satu dua sih yang kita dengar seperti itu. (TY, 26/6/2014).
Untuk lansia home care, kekhawatiran dalam menghadapi masalah akhir
hayat lumayan terbantu dengan adanya Rukun Kematian (Rukma). Rukma adalah
satu sistem gotong-royong di tingkat RT dan RW untuk membantu mengurus
kematian anggota warganya, termasuk lansia, mulai dari memandikan, mengafani,
men-sholatkan, memastikan ingin dikubur dimana, mengurus ambulans, sampai
mengubur. Biaya Rukma berasal dari iuran bulanan setiap keluarga dengan dibantu
para pendamping home care. Seorang pendamping menceritakan bagaimana seorang
lansia ditenangkan dengan Rukma ini:
Kan dia seumpamanya... udah sakit: “aduh bu R, saya sakit begini-begini.”
“Mak, tenang aja. Emak sakit juga anak Emak ikut Rukma. Udah tenang aja,
yang penting ibu nyebut aja. Mudah-mudahan si ibu sehat lagi.” Ya digituin
kan dia girang. ... “Udah sih mbah, nggak ada umur mah ada saya ada anak
mbah, masa nggak diurusin?” ...kan ikut Rukma juga. Iya. Jadi kan ama
dianya semanget ya. “Udah nggak usah dipikirin,” ibu mah kalo ke manula
juga gitu.” (MM, 16/6/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
163
BAB 5
SPIRITUALITAS LANSIA
Bab hasil (temuan) penelitian ini membahas tujuan penelitian ketiga dan
keempat yang melibatkan informan klien lansia dari setting panti dan home care.
Hasilnya berupa suatu konstruksi tentang spiritualitas lansia. Kedua tujuan penelitian
yang dimaksud terkait penggalian perspektif para lansia tentang spiritualitas dan
bagaimana pandangan dan respons mereka terhadap pengalaman hidup yang dilalui.
Di samping wawancara, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui
observasi dan telaah dokumen untuk mencapai dua tujuan penelitian tersebut.
Observasi dilakukan secara non-partisipan, sementara dokumen yang ditelaah
meliputi segala catatan terkait informan, seperti data identifikasi awal, biografi
lansia, surat rujukan, catatan kasus, catatan perkembangan, dan sebagainya.
Terkait teknik wawancara, rentetan wawancara dalam pedoman awal (initial
interview guide) dibuat berdasarkan penjabaran dari pertanyaan penelitian. Secara
garis besar, peneliti mengajukan dua pertanyaan seperti tercermin pada tujuan
penelitian di atas yakni pemahaman spiritualitas lansia, pengalaman atau penderitaan
hidup, kemudian bagaimana respons dan pemaknaan mereka terhadap pengalaman-
penderitaan tersebut. Namun pada wawancara awal, urut-urutan pertanyaan tersebut
tampak membingungkan informan karena terkesan bolak-balik. Oleh karena itu,
pertanyaan kemudian diubah dengan dimulai dari kondisi lansia saat itu, apa
perasaan enak dan tidak enaknya, ceritanya bagaimana, apa yang dilakukan, dan
seterusnya. Pada intinya, wawancara disesuaikan dengan alur pikir informan dan
mengikuti jalan cerita mereka. Dengan demikian, hasil dan urutan wawancara setiap
informan menjadi variatif.
Perlu dicatat bahwa upaya penggalian pemahaman lansia tentang spiritualitas
tentu berbeda dengan praktisi. Mayoritas informan berpendidikan rendah, hanya dua
orang yang lulusan pendidikan menengah. Maka, cara eksplorasinya tidak langsung
menyinggung atau menyebut istilah spiritualitas atau spiritual yang sangat abstrak
tersebut. Akan tetapi, pertanyaannya lebih konkrit tentang apa yang mereka alami
dan apa yang mereka lakukan. Paling jauh adalah pertanyaan tentang bagaimana
mereka melihat atau memandang sesuatu, mengapa sesuatu bisa terjadi, atau
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
164
mengapa hal itu dilakukan. Ketika analisis, baru kemudian peneliti berupaya menarik
ide-ide abstrak dari jawaban mereka dan mengonstruknya menjadi suatu konsep,
tema, hingga kategori melalui perbandingan secara konstan.
Berdasarkan ragam hasil dan alur cerita dari informan di atas kemudian
dilakukan analisis coding dan menghasilkan sejumlah besar konsep dan tema.
Sejumlah besar konsep dan tema yang dicerai-beraikan melalui kegiatan coding
tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Berdasarkan tujuan
penelitian ketiga, beberapa kategori yang terbentuk meliputi: (i) keberagaamaan
lansia, (ii) persoalan eksistensial, (iii) relasi atau keterhubungan, (iv) kecemasan dan
harapan, dan (v) kebutuhan spiritual (spiritual tasks). Lima kategori ini berasal dari
494 referensi (hasil coding) yang dikelompokkan dalam 16 tema atau nodes.
Sedangkan dari tujuan penelitian keempat ada dua kategori yang terbentuk, yakni: (i)
penderitaan hidup dan pemaknaan dan (ii) respons. Kedua kategori ini terdiri dari
tujuh tema atau nodes yang merupakan hasil pengelompokan dari 204 referensi.
Perhatikan Gambar 5.1 berikut ini.
Gambar 5.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4
Dalam NVivo, kategori-kategori tersebut merupakan parent nodes yang
tampak sebagai #keberagaamaan lansia, #persoalan eksistensial, #relasi &
keterhubungan, #harapan & kecemasan, #spiritual tasks, #penderitaan hidup &
pemaknaan, dan #respons terhadap penderitaan. Kenampakan dari semua kategori
tersebut dalam NVivo dapat dilihat pada Lampiran 9. Pengklasifikasian ini tampak
juga dalam klasifikasi dan bagannya seperti tampak pada Lampiran 10 dan 12.
Masing-masing kategori akan menjadi sub-bab tersendiri dalam bab ini.
References Nodes (tema) Kategori RQ
494 16 5 RQ #3
204 7 2 RQ #4
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
165
Universitas Indonesia
Informasi terkait informan mana saja yang menyinggung tema-tema dalam
masing-masing kategori di atas dapat dipastikan pada Lampiran 7. Lampiran 16
tentang node summary report menginformasikan seberapa banyak dan sering
masing-masing node dibicarkan. Sementara Lampiran 17 tentang coding summary
report menggambarkan persentase sebaran node (coverage) untuk masing-masing
informan.
5.1. Pengalaman Spiritualitas Lansia
Kategori besar ini terdiri dari sejumlah kategori atau tema, yaitu:
keberagamaan lansia, persoalan eksistensial lansia, relasi dan keterhubungan,
harapan dan kecemasan, dan kebutuhan spiritual.
5.1.1. Keberagamaan Lansia
Ada tiga tema yang termasuk dalam kategori ini yaitu: kegiatan dan afilasi
keagamaan lansia, keyakinan agama, dan kondisi keberagamaan mereka. Dalam
NVivo, ketiga tema ini dinamakan sebagai node @kegiatan-afiliasi agama,
@keyakinan, dan @kondisi keberagamaan. Perhatikan lagi Lampiran 7 dan 10.
5.1.1.1. Kegiatan dan afiliasi keagamaan
Dari 11 informan lansia yang terlibat, sembilan lansia beragama Islam dan
sisanya beragama Kristen (Protestan). Salah satu penganut Kristen lebih banyak
mengikuti ibadah dengan tradisi Katolik. Ia mengaku sering mengikuti kebaktian dan
bisa ikut makan komuni dalam perjamuan kudus, meskipun belum pernah dibaptis.
Ya Est orang Kristen kan pergi ke gereja Katolik. Di sana tidak boleh makan
itu komuni, karena Est bukan orang Katolik karena belum dibaptis secara
Katolik. Jadi Est senangnya di sini nih di aula ini kan ada kebaktian hari
minggu setengah dua, setiap hari minggu.Nah jadi Est bisa makan perjamuan
kudus di sini, dilayani oleh pendeta yang ini di sini. (Est, 31/5/2013)
Hampir semua lansia Muslim tergolong penganut yang cukup taat
menjalankan perintah agama, meskipun tergolong standar. Mereka memraktikkan
ajaran agama secara sendiri ataupun berjama’ah, baik yang sifatnya wajib maupun
yang dianjurkan (sunnah), misalnya sholat, puasa, membaca al-Qur’an (mengaji),
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
166
menghapal surat-surat (al-Qur’an) pendek, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ibadah
sholat yang dijalankan lansia tidak hanya terbatas pada sholat wajib lima waktu,
namun sebagian rajin menjalankan sholat sunnah secara berkala, seperti sunnah
rawatib (sebelum dan sesudah sholat wajib), tahajud, dluha, awwabin, tarawih, dan
sholat ‘id (Idul Fitri atau Idul Adha). Puasa juga tidak hanya pada saat Ramadlan,
tetapi juga puasa Senin dan Kamis atau sunnah-sunnah yang lain. Di samping ibadah
yang sifatnya vertikal tersebut, sebagian lansia juga tergolong rajin melakukan
ibadah sosial seperti sedekah, membantu teman sepanti atau tetangga, dan lain-lain.
Sementara itu, afiliasi atau kelompok agama yang mereka ikuti tidak terlalu
beragam. Terutama lansia yang tinggal di panti, mereka hanya mengikuti kelompok
dan rutinitas yang diselenggarakan pihak panti. Namun, tidak semua informan rajin
mengikuti secara berkala setiap ada kegiatan, misalnya bimbingan agama berupa
pengajian, Yasinan, Tahlilan, jama’ah sholat lima waktu di musholla panti,
peringatan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Sementara lansia home care lebih
banyak pilihan dan aktivitas keagamaan di lingkungannya, seperti Yasinan,
pengajian, majlis ta’lim, dan lain-lain. Namun karena kondisi yang sudah renta,
mereka mulai mengurangi kegiatan luar rumah bersama jama’ah.
Dua penganut Kristen juga sangat rajin melakukan ibadah secara berkala,
seperti kebaktian, berdoa, baca Alkitab, menghapal ayat-ayat Alkitab, menyanyi
pujian, atau kadang berpuasa. Sama halnya dengan penganut Muslim, afiliasi agama
yang diikuti lansia penganut Kristen ini juga hanya mengikuti kegiatan agama secara
berjama’ah yang diadakan panti saja, seperti kebaktian, komuni, peringatan hari
besar Kristen, dan sebagainya. Namun, informan Est juga rajin beribadah ke gereja
Petrus yang kebetulan lokasinya dekat dengan panti setiap hari Minggu.
Tingkat ketaatan agama lansia secara garis besar ada yang stabil dan ada yang
berubah-ubah fluktuatif. Lansia yang memiliki tingkat keimanan yang stabil adalah
mereka yang sejak muda memang punya ketaatan yang baik dan pondasi agama yang
kuat. Hal ini misalnya ditunjukkan sepasang informan suami-istri yang sudah hampir
10 tahun tinggal di panti karena menjadi korban tsunami Aceh 2004 dan kehilangan
rumah dan harta-benda serta seorang putri kesayangan mereka. Ini bisa jadi
dipengaruhi kultur Aceh dan kuatnya pondasi agama mereka, namun ketika ditanya
perbandingan ketaatan agama antara sebelum dan setelah kejadian tsunami mereka
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
167
Universitas Indonesia
menjawab sama saja. Bagi mereka, bencana tsunami yang sangat mengubah hidup
mereka secara drastis tampaknya tidak mengakibatkan perubahan berarti bagi kondisi
keimanan mereka.
Stabilnya kondisi keberagamaan lansia di atas umumnya tergantung pada
pondasi keimanan mereka di saat muda. Hal ini pernah disinggung oleh informan
praktisi bahwa apabila telah terbiasa ibadahnya bagus sejak muda, di masa lansia saat
ini juga tetap kelihatan (SM, 12/6/2013). Akan tetapi, kebanyakan informan merasa
bahwa seiring usianya yang semakin senja ibadah mereka semakin rajin. Sebagian
mengakui ibadah mereka semakin meningkat setelah tinggal di panti, paling tidak
dari sisi ibadah ritual yang wajib. Ketika ditanya, seorang informan menjawab, “Iya
karena apa, ... ya masih sibuk dalam kerjaan saya dulu kan... Sholat kadang-kadang
masih ditinggalkan, masih belang-belang lah. Alhamdulillah saya di sini, diam di
panti, bersyukur kepada Allah karena bisa mengerjakan (sholat) setiap waktu.”
(Mrw, 8/4/2013)
Ada juga informan lansia Protestan lainnya lebih menekankan esensi dari
beragama, meski dari sisi ibadah ritual bisa dikatakan standar, bahwa beragama itu
adalah berbuat baik terhadap sesama dan saling mengasihi. “Kita ...ama (sama) orang
harus ...sumeh (senang). Ngasihin, saling mengasihin (saling mengasihi). Sayang,
saling menyayang.” (Kntw, 31/5/2013)
5.1.1.2. Keyakinan
Keyakinan yang dipegang informan bisa bersumber dari ajaran agama
maupun dari luar agama, meski tanpa dieksplisitkan atau disadari informan, seperti
pengaruh lingkungan sosial-budaya, keluarga, ataupun pribadi. Keyakinan yang
bersumber dari agama yang sempat muncul dalam wawancara misalnya soal hidup-
mati manusia, rejeki, takdir dan kehendak Tuhan, doa untuk orang yang sudah
meninggal, larangan berdoa untuk cepet-cepat mati, dan keinginan implisit untuk
meninggal di malam Jum’at.
Hampir semua informan baik secara eksplisit ataupun implisit memegang
teguh keyakinan bahwa soal rejeki, umur, dan jalan hidup, Tuhanlah yang
menentukan. Sebagai contoh, seorang klien lansia yang tinggal di panti sejak tahun
2007 masih mensyukuri kondisinya, meski dengan disabilitas tuna netra dan tanpa
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
168
kontak dengan mantan istri dan anak-anaknya sekian lama. Ia beryakinan bahwa:
“Rejeki itu pasti ada aja. Itu Allah sudah ngatur (mengatur)” (Mrw, 8/4/2013). Soal
umur ia juga berpasrah diri karena, menurutnya, umur ada di tangan Tuhan sambil
menyitir satu ayat al-Qur’an, ‘kullu nafsin dzâ’iqotul-maut’ (artinya: setiap yang
bernafas pasti akan mati). (Mrw, 6/6/2013)
Keyakinan lain yang datang dari ajaran agama adalah mendoakan orang dekat
yang sudah meninggal. Dalam agama Islam sebagaimana dianut peneliti, umumnya
sangat dianjurkan untuk mendoakan orang-orang yang telah pergi meninggalkan
dunia dengan harapan agar dosa-dosa almarhum atau almarhumah diampuni,
diterima semua amalnya, dimasukkan ke surga, dan seterusnya. Begitu pula agama
Katolik yang menganjurkan untuk mendoakan bagi sesama, meskipun telah tiada.
Menurut seorang informan penganut Kristen, namun sering mengikuti ibadah
kebaktian Katolik dan mengaku belum dibaptis, Kristen Protestan tidak mengajarkan
hal yang sama, yakni mendoakan orang yang sudah meninggal karena sudah tidak
ada gunanya. “Kalau Kristen... selama masih bernapas buru-buru deh mencari
Tuhan... Kalo udah (sudah) jadi mayat gak (tidak) ada gunanya (didoakan). ... jadi,
doa di kuburan juga gak ada gunanya. ...Orang udah mati, ...dia jadi apa gak tahu di
dalam (kuburan)” (Est, 31/5/2013).
Selanjutnya, seorang lansia beragama Kristen Protestan yang pindah agama
dari Islam beberapa kali bercerita bahwa kalau sedang sedih karena teringat
almarhum suaminya yang meninggal enam tahun silam, ia kadang terpikir untuk
ingin cepat mati menyusul almarhum. Namun, ia tetap memegang teguh kepercayaan
agama bahwa umur ada di tangan Tuhan. “Iya, udah pengen (sudah ingin) buru-buru
ngikut (ikut) bapak gitu. Tapi orang begituan tuh umur adanya di tangan Tuhan,
bukan di tangan saya. Di tangan Tuhan yang Kuasa” (Kntw, 31/5/2013). Selain itu,
pikiran negatif seperti itu juga tertahan oleh keyakinan agamanya yang melarang
penganutnya berdoa ingin cepat mati.
Itu dalam doa nggak boleh kita pengen nyusul (ingin menyusul) bapak
(almarhum suami). ... Kalau kita berdoa minta panjang umur, badan saya
sehat, (itu) boleh. Tapi kalau kita minta dalam doa, ‘Ya Tuhan Yesus cepat-
cepat saya diambil, saya pengen ketemu suami saya,’ itu nggak bisa. (Kntw,
31/5/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
169
Universitas Indonesia
Ada juga satu keinginan yang sangat dipengaruhi kepercayaan agama.
Seorang lansia Muslim secara implisit mendambakan meninggal pada malam Jum’at
atau hari Jum’at karena ia meyakini bahwa orang yang meninggal hari itu akan
dibebaskan dari siksa kubur. “Syukur kalau ngambilnya (nyawa dicabut) malam
Jum’at atau hari Jum’at kita bebas siksa kubur ya?” (Alm, 6/6/2013). Di kalangan
kaum Muslim memang ada kepercayaan bahwa meninggal pada malam atau hari
Jum’at menandakan meninggal yang baik atau husnul-khâtimah.
Kepercayaan lain dipegang seorang lansia home care yang banyak
menghabiskan waktu sendiri di rumah tanpa anak atau cucu. Ia mengungkapkan
bahwa ketika sedang sedih atau marah, ia diajarkan membaca Ayat Kursi atau
mengucap istighfar untuk menghilangkan kesedihan atau marahnya.
Saya suka ingat juga, katanya (ustadz/-ah atau kyai) kalau lagi sedih, kalau
lagi marah, ...baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang (hilang)
sendiri. ... kita baca istighfar, katanya. Kita harus tabah, kuat mental, kuat
iman, kuat Islam, tabah hati, katanya gitu. Kita udah mesti berusaha, udah
(nasib) milik kita begini, mau bagaimana lagi. Mau minta tolong ke siapa
lagi, lian (selain) kepada Allah. (Msn, 16/6/2013)
Keyakinan yang dikatakan dibentuk baik faktor pribadi maupun lingkungan
misalnya menolong orang sama dengan menolong diri-sendiri, firasat atau mimpi
akan kehilangan orang yang dicintai, atau keyakinan bahwa keluarga korban tsunami
yang tidak bisa menemukan anggotanya yang hilang adalah rahasia Tuhan.
Di masyarakat Indonesia, umum berkembang satu kepercayaan bahwa suatu
kehilangan besar, seperti ditinggal orang terdekat, biasanya didahului atau ditandai
dengan firasat atau mimpi tertentu. Kepercayaan semacam ini juga ada pada
pasangan lansia korban tsunami Aceh, walaupun mimpi itu justru datang pada
putrinya yang akan menjadi korban. Setelah kejadian tsunami, pasangan lansia ini
tidak menemukan kembali jasad putrinya. Menurut mereka, hal yang sama banyak
dialami oleh keluarga korban yang lain sehingga muncul satu keyakinan umum
bahwa tidak diketemukannya anggota keluarga mereka yang menjadi korban adalah
memang rahasia Tuhan yang pasti ada hikmahnya. Istri dari pasangan tersebut
mengatakan, “Yang lain gitu juga nggak ketemu keluarga sendiri, ...memang Allah
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
170
kehendaki nggak dikasih lihat (jasad korban) ke keluarganya... Ya nggak papa (tidak
apa-apa), rahasia Allah. Allah Maha Tahu.” (Nrn, 27/5/2013)
5.1.2. Persoalan Eksistensial Lansia
Dalam setiap individu, termasuk lansia, terkadang muncul pertanyaan dari
dalam diri, seperti siapakah aku, kehadiran di dunia ini untuk apa, apa tujuannya, dan
seterusnya. Terlebih lagi lansia, serangkaian pengalaman dan penderitaan hidup bisa
membuat mereka merasa sedih, marah, depresi, tersingkir dari keluarga, terasing dari
lingkungan masyarakat, dan sebagainya. Respons seperti ini seringkali membuat
mereka bertanya-tanya pada diri-sendiri: mengapa hidup seperti ini, mengapa harus
dirinya yang menderita, apa makna di balik semua yang dialami, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini merupakan persoalan eksistensial.
Dalam penelitian ini, persoalan eksistensial lansia tercermin dalam tema
tentang ‘pandangan dan pertanyaan tentang hidup’ dan ‘makna dan tujuan hidup’.
Kedua tema ini muncul dalam NVivo sebagai cabang node @makna-tujuan hidup
dan @pandangan-pertanyaan tentang hidup (lihat Lampiran 7). Meskipun begitu,
pandangan atau pertanyaan yang bersifat eksistensial tidak bisa tergali dari semua
informan lansia. Sebagian mengaku tidak mau ambil pusing dengan memikirkan atau
bertanya-tanya atas apa yang dialami atau diderita. Namun peneliti masih tetap yakin
bahwa pemikiran-pemikiran eksistensial seperti di atas sebenarnya ada. Bisa jadi
karena keterbatasan peneliti yang tidak mampu menggali mereka lebih dalam.
Di samping itu, kedua tema tersebut hanya dibangun dari hasil wawancara
yang pertanyaannya terkait hidup lansia secara keseluruhan, bukan dari respons atas
penderitaan yang mereka alami. Terkait respons dan pemaknaan atas penderitaan
yang dialami akan dibahas dalam sub-bab berikutnya. Karena pertanyaan wawancara
lebih bersifat konkrit tentang apa yang mereka alami, di situ cukup banyak jawaban
lansia yang bersifat eksistensial.
5.1.2.1. Pandangan dan pertanyaan tentang hidup
Tema ini mencakup sejumlah konsep seperti pandangan tentang diri mereka,
tentang hidup yang mereka jalani, pencarian jawaban atas pertanyaan mengapa
nasibnya seperti itu, dan kepuasan mereka hidup di dunia ini.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
171
Universitas Indonesia
Sorang lansia perempuan memandang hidup dan keberadaannya di dunia ini
begitu berharga, sehingga ia merasa sudah cukup dan tidak ada keinginan atau
harapan lebih lagi. Ia juga tetap bersyukur meskipun telah mengalami cobaan luar
biasa berupa kehilangan seluruh harta-benda dan seorang putrinya karena tsunami
Aceh 2004.
Berharga banget (sekali). Kita kan bisa sampai, alhamdulillah, bisa ngaji, bisa
shalat kan. ...alhamdulillah bisa ngurus (mengurus) anak juga. Anak juga
dikasih juga (cucu), alhamdulillah lah... Sempurna lah. Bersyukur banyak
daripada kita mandang (memandang) orang lain macam-macam lah (yang
lebih beruntung dan berhasil). (Nrn, 27/5/2013)
Sementara lansia lain yang memperoleh layanan home care mengaku
terkadang suka bertanya-tanya dalam hati tentang nasibnya, terutama ketika datang
kesedihan karena sering sendiri dan merasa hidup sebatang kara. “Jadi saya ya,
sakapeung (kadang-kadang) suka sadar gitu, dek. Kalau sakapeung ya suka sedih
juga. Ya sedih mah begitu, dek. Kata saya, nasib saya kenapa begini amat...?” (Msn,
16/6/2013). Atau terkadang merenungi hidup dan menggambarkan kesedihannya
seperti ini:
Kalau begitu kenapa saya susah amat, menderita begini, kata saya. Dilahirkan
saya kenapa pas begini. Ibu ama bapak nggak ada, saudara nggak ada, anak
nggak ada. Saya idup semata wayang, kata saya gitu dek. Nggak punya siapa-
siapa. Sedih gitu dek. Suka sedihnya begitu tuh. (Msn, 16/6/2013)
Meskipun hidup menderita, nenek ini berupaya berpikir positif dan bersyukur
bahwa ada banyak orang lain yang hidupnya lebih susah dibanding dirinya. Selain
itu, seperti halnya informan lansia di atas, ia pun tidak lagi punya keinginan atau
harapan lebih dalam hidup ini dan merasa cukup dengan penderitaannya. Kata-kata
yang diungkapkan seperti ini, “Ya puas sih puas. Menderitanya udah kenyang” (Msn,
16/6/2013).
5.1.2.2. Makna dan tujuan hidup
Ketika misalnya ditanyakan bagaimana memandang hidup ini secara
keseluruhan, seorang lansia dengan disabilitas mengaku tidak mau memikirkannya.
Lengkapnya ia menjawab:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
172
Ya justru itu, saya, pikiran saya nggak ada kesimpulan ke situ sih. Saya pikir
dari remaja ampe sekarang udah berumah tangga, punya anak, dan dikasih
cobaan ama Allah ya, ...pikiran saya tetap aja nggak ada. Pikiran gimana ya,
pikiran tafsiran pusing-pusing saya nggak pikirin sih, iya. Terlalu pusing juga
nggak, terlalu sedih ini nggak. Kalau saya gitu sifatnya. (Mrw, 8/4/2013)
Lebih jauh ia mengatakan ingin menjalani hidup apa adanya dan menerima apapun
yang telah menjadi kehendak Tuhan.
Ada pula lansia yang menjawab secara normatif ketika ditanya apa tujuan
dari hidup ini. Sepasang lansia suami-istri bersepakat menjawab, “tujuan hidup untuk
beribadah” (Rml & Nrn, 27/5/2013). Terkait hal ini, dalam Islam memang ada ayat
al-Qur’an yang menyebutkan bahwa tujuan manusa diciptakan adalah tidak lain
hanya untuk ibadah kepada Tuhan. Begitu pula seorang informan beragama Kristen
yang menjawab bahwa “sebagai hamba Tuhan, kami melayani (Tuhan)” (Est,
31/5/2013). Melayani yang ia maksud bisa dengan “berdoa..., atau menyanyi,
membaca Alkitab...” yang menurutnya, kesemuanya itu termasuk ibadah.
5.1.3. Relasi dan Keterhubungan (Relationships)
Secara sederhana, kategori relasi dan keterhubungan di sini meliputi
hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horisontal antar manusia. Tema atau
konsep yang dapat menggambarkan kedua hubungan tersebut adalah node @relasi-
kedekatan-isolasi dan @doa (perhatikan Lampiran 7). Berikut akan dijelaskan
masing-masing.
5.1.3.1. Relasi, kedekatan, dan isolasi
Kebanyakan informan lansia Muslim menyatakan hubungan vertikal dengan
Tuhan tersambung ketika melakukan ibadah sholat dan berdoa. Terutama ketika
sholat Tahajud, kehadiran Tuhan dirasakan seakan-akan hadir begitu dekat. Misalnya
seorang informan yang tinggal di panti mengatakan, “...sholat setiap waktu kita
kerjakan, dan sholat Tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya
minta ampun, saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, ...
(Mrw, 8/4/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
173
Universitas Indonesia
Di samping sembahyang, berdoa bisa menjadi sarana untuk mengadu segala
keluh-kesah lansia. Sebagian lansia meyakini bahwa terkabulnya doa tergantung
pada keyakinan akan perasaan kedekatan hubungan dengan Tuhan. Seorang lansia
Kristen, misalnya, begitu yakin bahwa banyak doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh
Tuhan. Seringkali doanya hanya bersifat praktis yang menyangkut kebutuhan atau
keinginan sehari-hari. Ia percaya bahwa dengan “...sering berdoa kan berarti dekat
ama Tuhan hubungannya” (Est, 31/5/2013).
Sementara itu, hubungan horisontal maksudnya adalah kondisi
keterhubungan klien lansia dengan keluarga atau orang-orang sekitar baik secara
langsung bertemu muka maupun tidak langsung dengan cara mengingat mereka atau
melalui kontak batin. Keterhubungan secara horisontal di sini juga termasuk dengan
orang yang sudah meninggal.
Hampir semua informan lansia di panti masih memiliki keluarga atau sekadar
keluarga angkat yang karena suatu alasan menyerahkan mereka ke panti. Namun
hanya sejumlah lansia (tiga orang) yang dikunjungi anak atau cucunya secara
berkala, entah seminggu sekali atau sebulan sekali. Sebagian besar yang lain (enam
lansia) jarang dikunjungi atau kontak dengan keluarganya. Ada yang ditengok hanya
pada setiap hari besar keagamaan (seperti Idul Fitri dan Natal) dan bahkan ada yang
mengaku sudah tidak pernah ditengok lagi. Perbedaan kondisi tersebut membentuk
kondisi keterhubungan dan pada gilirannya mempengaruhi kondisi mental mereka.
Bagi lansia pada umumnya, keberadaan keluarga sangat penting. Sepasang
lansia suami-istri di panti yang hampur seminggu sekali bertemu dengan anak-cucu
mereka membenarkan hal itu. Salah satunya mengakui, “Iya, keluarga (bagi) ibu itu
yang paling penting” (Nrn, 27/5/2013). Begitu juga dengan seorang lansia home care
yang telah lama merantau ke Jakarta sejak tahun 1975. Meskipun kampung
halamannya ada di Makassar dan masih memiliki sejumlah kerabat di sana, ketika
ditawari saudaranya untuk kembali ke Makassar Nek Bs menolak karena
keterikatannya yang kuat dengan keluarga (anak-cucu) dan segala hal di seputarnya.
“Itu, keponakan saya di sana (Makassar) katanya: “(pulang) ke sini aja.” Bukannya
saya nggak mau pulang ke kampung, tapi kan bagaimana kita punya rumah di sini,
banyak cucu. Mudah-mudahan saya pada lihat kawin cucu saya” (Bs, 16/6/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
174
Keluarga bagi kebanyakan lansia merujuk ke keluarga inti yang memiliki
hubungan darah dan perkawinan secara langsung, seperti suami-istri, anak, atau
cucu. Sementara dengan keluarga besar, seperti kakak atau adik yang sudah
berkeluarga, keponakan, sepupu, dan seterusnya, mereka tidak terlalu banyak
menaruh harapan. Sebagai contoh, seorang oma yang memutuskan sendiri untuk
tinggal di panti menjelaskan, “...kalo cuma adik itu biasanya gak terlalu bisa
mendapatkan ...kasih sayang, apa-apa yang memuaskan ya jangan berharap, sebab itu
bukan anak sendiri... Adik itu memberikan kasih sayangnya terbatas ya, karena dia
juga punya tanggung jawab...” (Est, 31/5/2013).
Contoh seperti itu juga terjadi pada seorang lansia home care yang telah
ditinggal mati suami dan anaknya yang sudah berkeluarga. Meski dekat dengan cucu,
tinggal sendiri di rumah bedeng yang berdampingan dengan mantan menantu yang
telah menikah lagi tidak membuatnya bisa mengusir perasaan sepi dan terisolasi.
Sebagian besar waktunya dihabiskan sendiri di rumah meski terkadang cucunya yang
masih kecil datang main. Di saat sendiri ia sering merasa kesepian yang kadang
membuatnya menjadi teringat-ingat almarhum suami dan anaknya. Kondisi seperti
ini seringkali membuatnya sedih dan merasa tersingkir. Contoh lansia home care ini
intinya menunjukkan bahwa orang terdekat yang lebih mewakili kondisi
keterhubungannya adalah dengan keluarga inti, yakni almarhum suami dan anaknya.
Keterhubungan mereka dengan anak-cucu atau orang yang telah tiada juga
hadir ketika berdoa sehabis sholat atau setiap saat. Dengan berdoa mereka tidak saja
memanjatkan segala keinginan baik untuk orang yang mereka cintai, tetapi juga
merupakan saat untuk mengingat dan merasakan kedekatan dengan mereka. Bahkan
ada seorang lansia yang tinggal di panti menyatakan harapannya agar kelak dikubur
di samping kuburan almarhum istrinya yang meninggal tahun 2009 di Maluku.
“...kalo mati di sana (Maluku) ya alhamdulillah, hehe...” ia berharap (Sgn, 5/6/2013).
“Mudah-mudahan (ketika saya dikubur) bisa kumpul (di samping kuburannya)... Ya
namanya mati dimana saja,” ia menegaskan keinginannya pada kesempatan lain
(12/6/2013). Terkait harapan ini, sebelumnya ia pernah menyampaikan alasan:
...kemana-mana itu kan ikut istri saya itu. ...wis (sudah) pokoknya selalu inget
dia lah, kebaikan dia itu, ... Saya ke rumah sakit nunggu, sampe begitu
(sebaliknya kalau) dia sakit ya saya tunggu. ...saya belum pernah nyuci nih,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
175
Universitas Indonesia
(mencuci) pakaian itu belum (pernah). ...Gak pernah ribut, gak pernah apa
sama istri (Sgn, 5/6/2013)
Keterhubungan lansia dengan orang-orang sekitar juga sangat penting, di
antaranya dengan para tetangga, sesama penghuni panti, petugas panti atau
pendamping, atau dengan teman-teman lama sebelum di panti. Seorang klien panti
misalnya merasa tersingkir dan sedih karena terpisah dengan teman-teman di sekitar
tempatnya tinggalnya dahulu yang sangat membantu sebelum di panti. Ketika awal
tinggal di panti, ia pernah mengeluh, “Ya kalau (ketika) saya sampai di panti sini
sih... Ya Allah saya nggak bisa lihat kawan-kawan lagi, ... tetangga yang biasa..
(ngobrol atau membantu)” (Mrw, 8/4/2013). Kemudian ketika sudah di panti selama
tujuh tahun, ia mengaku tidak punya teman yang bisa diajak ngobrol.
Sekarang udah diem di panti memang merasa agak tersingkir sedikit dari
teman dan tetangga-tetangga, gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh
dari pada teman. Di sini walaupun banyak teman, saya pikir ...nggak ada sih.
Karena apa, karena yang ditempatin saya, orang error semua. (Mrw,
8/4/2013)
Lebih jauh ia bercerita bahwa petugas panti atau pramusosial pun jarang yang
bisa menjadi teman ngobrol. Namun diakui bahwa mereka kadang-kadang masih
menyapa atau menanyakan kabar, meski hanya seperlunya. Sehingga ia mengakui
perlunya sahabat atau teman yang bisa diajak ngobrol dan bertukar pikiran. “Tidak
enaknya saya memang... kurang sahabat lah ya... Kita di sini mau teman ngobrol, iya
kan. Maunya begitu saya. Ya kita tukar pikir maksudnya, iya kan.” (Mrw, 6/6/2013)
Padahal, keterhubungan dengan sesama penghuni dapat menjadi salah satu
faktor yang menentukan betah atau tidaknya lansia tinggal di panti. Kakek (engkong)
Pnd misalnya bercerita bahwa awal-mula ia merasa tidak betah tinggal di panti
karena jarang berinteraksi dengan lansia lain, bahkan dengan penghuni satu wisma.
“Jarang. Cuek aja, elu elu gua gua (urusanmu adalah urusanmu, urusanku ya
urusanku)” (Pnd, 27/5/2013). Sebelum itu, informan Pnd menjelaskan:
Kalau dulu engkong, kalau dulu nih, kumpul-kumpul gitu ama embah-embah
gitu, dimana aja di sini (panti). Nah, (itu) pertama betahnya tuh, ... Udah 4
bulan nggak betah tuh, nah ke-5 bulannya mulai mekar nih kalau kayak
bunga (itu) mekar. Senengnya gitu di panti. (27/5/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
176
Di sisi lain, ada juga sejumlah lansia lebih merasa senang tinggal di panti
terkait hubungannya dengan orang-orang sekitar. Seorang nenek, misalnya, yang
keluarganya jauh di Yogyakarta namun masih dikunjungi setahun sekali pas lebaran
oleh adik sepupu yang tinggal di Jakarta, merasa senang tinggal di panti karena
banyak teman. Di samping itu, ia mengatakan ibu-ibu pegawai kantor sering main ke
baraknya (Alm, 6/6/2013). Sementara ada juga lansia yang masih lebih senang di
panti, meskipun punya sedikit teman akrab, karena alasan bahwa tinggal di panti
adalah keinginannya dan merasa lebih bebas melakukan apa saja yang ia sukai.
Berbeda dengan saat ia masih tinggal di rumah adik lelakinya yang sudah
berkeluarga karena ia merasa dikekang dan memiliki hubungan yang kurang baik
dengan adik iparnya (Est, 31/5/2013).
Masalah paling umum yang dihadapi penghuni panti adalah pertengkaran
antar lansia sehingga mengurangi keterhubungan mereka dengan sesama penghuni.
Ketika ditanya apa hal-hal yang tidak mengenakkan tinggal di panti, seorang nenek
lansia menganggap bahwa banyak teman pantinya yang tidak baik atau bahkan jahat
kepadanya. Meskipun begitu, oma ini tampaknya masih cukup merasa senang karena
memiliki satu atau dua teman ngobrol yang bisa saling tolong-menolong ketika ada
kebutuhan atau masalah.
Pertengkaran antar lansia biasanya terjadi karena adanya perbedaan kebiasaan
yang dibawa sebelum masuk panti atau tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan
pribadi yang menyebabkan mereka, misalnya, menjadi mudah tersinggung. Konflik
antar lansia terkadang dipicu oleh hal-hal yang sifatnya sangat sepele, misalnya
karena hanya kesalahpahaman, salah bicara, atau omongan tertentu yang dianggap
menyinggung perasaan. Untuk menghindari pertengkaran, banyak lansia panti yang
membatasi kontak atau berbicara dengan lansia lain. Sebagai contoh, ketika ditanya
bagaimana tentang teman-teman pantinya, seorang nenek lansia malah menunjukkan
kejengkelannya.
Aduh teman sini dikatakan..., teman di sini malah bagaimana ya, saya nggak
bisa ngomong (komentar) deh. Maklum orang banyak mulut. Ada yang baik
ada yang nggak, saya lebih baik kita diem. Banyak yang pada berantem. Yang
pada ceng-cong (bertengkar) banyak, tapi saya biarin. (Kntw, 31/5/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
177
Universitas Indonesia
Padahal dalam keseharian, berdasarkan observasi, lansia ini sering duduk
depan kamar panti sambil ngobrol dengan satu-dua orang sesama penghuni dan tetap
bertegur sapa dengan penghuni lain yang lewat di depannya. Meski begitu, ia
berkomentar seperti ini:
Saya kalau mau ngobrol lihat situasi mulutnya orang. Mulut orang baik nggak
kita ajak ngobrol. Kalau mulut orang tuh kira-kira nih rusak aku nggak mau,
mendingan aku jauh... (Bisa bikin) penyakit (buat) saya. Nggak disahutin
(tidak diladeni) di sini panas, disahutin jadinya ribut. (Kntw, 31/5/2013).
Lebih jauh, ia mengatakan,”Saya nggak suka ngobrol kemana-mana. Kalau saya
capek di luar mendingan (lebih baik) saya masuk ke dalam, gulang-guling, gulang
guling” (Kntw, 31/5/2013).
Jadi, hal seperti itulah yang menyebabkan tingkat keterhubungan lansia di
panti menjadi kurang bagus, padahal justru soal relasi dan kedekatan ini menjadi
salah kebutuhan penting lansia. Menyadari kebutuhan akan hubungan dengan sesama
atau perlunya kedekatan (intimacy), sejumlah lansia menyiasatinya dengan menikahi
penghuni lansia lain. Jalan ini ditempuh oleh pasangan lansia Pnd dan Gbg yang
keduanya sama-sama hidup terpisah dari anak-cucunya. Pertemuan di tahun 2009
tersebut mereka akui sebagai sesuatu yang menyenangkan di panti di tengah kondisi
ketidakterhubungan mereka dengan keluarga. “Jadi tinggal di panti itu enaknya dari
tahun 2009 sampai sekarang,” kata kakek Pnd (27/5/2013).
Dengan kondisi hubungan antar penghuni panti yang kurang bagus seperti itu,
kebanyakan penghuni akhirnya mengalihkan perhatian dan lebih semangat untuk
menerima kedatangan keluarga yang menengok atau tamu-tamu yang datang.
Semangat seperti ini ditunjukkan seorang penghuni panti dengan menyebut sesama
penghuni panti sebagai ‘orang dalam’ dan pengunjung sebagai ‘orang luar’.
Orang dalem sama orang luar jangan disamain (disamakan)... Orang luar
harus kita ngormatin (hormati). Kita bicara mulut kita jangan asem (kecut).
Kudu (harus) ada sumeh-sumeh (gembira), tersenyum, jadi pengunjung
senang... Kalau saya malah senang ada pengunjung dari luar. Kita bisa bicara
baek-baek (baik-baik). Kita bisa bicara pelan-pelan... Kita bisa tuker (tukar)
pikiran secara baek, secara pelan. Begitu. ... Saya tuh kalau ada kunjungan
dari luar saya lebih senang, lebih gembira. Sabdene ati (menurut kata hati)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
178
saya pun gembira.. Koyo (seperti) tadi tuh kunjungan dari luar, itu senang
saya. (Kntw, 31/5/2013)
Dalam konteks yang berbeda, lansia home care juga menunjukkan hal yang
sama. Dalam kesehariannya yang sepi, seorang nenek lansia home care mengaku
sangat senang apabila ada pendamping atau tamu yang datang. “...Seneng, seneng
(senang). Karena kita ...bertukar-pikiran. Ibu kan udah tua begini kan, ama anak
yang muda... barangkali aja nenek-nenek bisa sedikit kasih saran gitu, barangkali ya
keambil (terambil) sedikit...” (Msn, 16/6/2013).
5.1.3.2. Doa
Kategori relasi dan keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya
direpresentasikan juga dengan konsep doa. Konsep ini punya irisan dengan tema
sebelumnya, relasi-kedekatan-isolasi, seperti ditunjukkan ketika menyinggung doa.
Doa di sini menyangkut harapan atau keinginan untuk diri lansia sendiri, terutama
terkait akhir hayat, dan relasi mereka dengan orang-orang terdekat baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal. Karena menyangkut harapan dan keinginan,
doa juga punya wilayah yang bertampalan dengan tema ‘harapan’. Karena memang
kata doa berarti permintaan, keinginan, atau harapan.
Dengan demikian, penjelasan konsep doa dalam node @relasi-kedekatan-
isolasi ini lebih difokuskan pada doa yang memiliki nuansa keterhubungan, kontak,
atau kedekatan lansia secara batiniah dengan sesuatu di luar dirinya, baik secara
vertikal dengan Tuhannya maupun secara horisontal dengan orang-orang yang
dicintai. Kumpulan dari seluruh kutipan doa yang dipanjatkan lansia tertera pada
Lampiran 19.
Ketika mendoakan diri-sendiri, lansia memanjatkan sejumlah keinginan atau
permohonan seperti ampunan dari Tuhan, badan sehat, kemurahan rejeki, umur
panjang, keselamatan dunia-akhirat, diberi kekuatan untuk mengerjakan kewajiban,
berharap agar selalu dekat dengan Tuhan, dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang
lansia beragama Protestan yang sebelumnya menganut Islam berdoa, “Allah Bapak
yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami
mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa
kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami ...” (Kntw, 31/5/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
179
Universitas Indonesia
Doa agar panjang umur, sehat badan, hidup berkah, dan dosa diampuni juga
dipanjatkan nenek Gbg sebagai berikut:
‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih
dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta
diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu.
‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena
anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar,
Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri
hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi)
ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013)
Doa yang paling sering dipanjatkan lansia adalah agar meninggal dengan
mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnul-khâtimah). Doa
dari seorang informan beragama Kristen adalah satu contoh.
Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est.
Berdoa, “Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih
sakit dulu baru dibawa.” Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama
Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe
Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil
Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya,
dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013)
Sejumlah permohonan dan harapan dalam doa juga dicontohkan oleh seorang
nenek lansia yang beragama Islam:
Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di
akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur,
diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja.
Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm,
6/6/2013)
Mendoakan orang-orang yang dicintai yang masih hidup biasanya
menyangkut kesuksesan di dunia, kesehatan, usahanya lancar, tetap dalam iman, dan
diberi perlindungan keselamatan di dunia-akhirat. Sebagai contoh, sepasang lansia
korban tsunami Aceh yang kehilangan putrinya tetap memberi perhatian dengan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
180
mendoakan kebaikan bagi kelima anak mereka yang sebagian besar telah berumah
tangga. Istri dari pasangan ini, Nrn, mengatakan:
... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang
lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang
yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita
mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya
serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi
yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa
depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013)
Hal yang sama dilakukan emak Gbg dengan mendoakan anak bungsunya
yang tinggal jauh di Surabaya dan lama tidak ketemu. “Ya emak sih tetep aja ama dia
gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama
emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. Kan dia baru punya anak
satu.” (Gbg, 5/6/2013).
Ada juga yang mendoakan setiap selesai sholat agar cucunya nanti ingat
kepadanya, menyayanginya, dan mampu membalasnya. Katanya:
Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah
mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan)
saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek.
... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu.
(Msn, 16/6/2013)
Bahkan ada lansia Kristen yang rajin berdoa untuk harapan-harapan praktis
jangka pendek dalam keseharian. Misalnya, “selalu doain, minta sama Tuhan supaya
ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa,
temen-temen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan)
gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaan” (Est, 31/5/2013). Kemudian
untuk doa sehari-hari setiap akan melakukan sesuatu ia tak pernah lupa memanjatkan
doa, seperti “...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan
pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah
membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi
kemampuan) bikin havermut” (Est, 31/5/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
181
Universitas Indonesia
Selain itu, informan tersebut juga sering mendoakan orang-orang yang
pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah, entah berupa uang atau
barang. Bahkan ia mampu mengingat dalam doanya nama-nama orang yang pernah
memberinya atau macam-macam harapan yang pernah disampaikan ketika
berkunjung. Misalnya ia pernah diminta untuk mendoakan dua orang:
Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan)
terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari
didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari
supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus.
Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl.
(Est, 31/5/2013).
Sedangkan, doa-doa yang dipanjatkan untuk orang-orang terdekat yang sudah
tiada umumnya berupa permohonan agar diampuni segala dosanya, diterima amal
ibadahnya, diberi jalan yang terang, dihindarkan dari siksaan, dan seterusnya. Di
samping selalu mendoakan cucu, anak menantu, atau yang lain, seorang lansia home
care juga mendoakan almarhum suami, anak, dan keluarga yang sudah tiada.
(Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu per-satu,
kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Se-
anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya
ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam
kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan
segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya.
(Msn, 16/6/2013)
5.1.4. Harapan dan Kecemasan
Kategori #harapan & kecemasan meliputi tema (i) harapan dan semangat
hidup dan (ii) harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat. Tema pertama
merupakan gabungan dari node @harapan dan @semangat hidup, sementara tema
kedua menguraikan node @kekhawatiran-ketakutan dan @menyikapi akhir hayat.
Pada Lampiran 7 di antaranya menunjukkan klasifikasi kategori dan tema-tema
tersebut.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
182
5.1.4.1. Harapan dan semangat hidup
Seperti telah dijelaskan bahwa konsep atau tema tentang harapan punya
wilayah yang sama dengan doa. Namun tema harapan yang akan dijelaskan di sini
tidak mencakup masalah keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya. Tema
harapan di sini lebih pada keinginan dalam menjalani sisa hidup para informan
lansia. Oleh karenanya, harapan-harapan dalam hidup mereka terkait juga dengan
tema semangat hidup.
Sejumlah harapan yang diutarakan para informan meliputi keinginan agar
panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, banyak ibadah, diringankan penderitaan,
bertemu atau berkumpul dengan anak-cucu atau dengan teman-teman, dan hidup
selamat serta berkah. Hampir semua lansia yang turut berpartisipasi dalam penelitian
ini berharap agar panjang umur dan dikaruniai kesehatan. Harapan agar diberi
kemudahan rejeki juga diinginkan oleh sebagian besar informan. Sebagai contoh,
seorang lansia panti berharap: “Hanya, kita ...minta kepada Allah supaya
dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, ... ya kan? gitu. Sehat badannya, gitu”
(Mrw, 6/6/2013).
Harapan panjang umur dan badan sehat diungkapkan untuk tujuan harapan
lain, yakni memanfaatkan sisa umur untuk banyak beribadah. “Kalau saya sih
maunya ya kesatu dipanjangkan umurnya, iya kan. Karena amal ibadah kita belum
begitu ini (baik), iya kan? ... Kita pengen mendoa dulu, pengen sholat dulu yang
baik, gitu. Kalau umur kita nggak tahu ya?” (Mrw, 6/6/2013). Dengan umur panjang
dan sehat, lansia lain berharap agar masih bisa bertemu dengan anak-cucunya. Ketika
ditanya tentang harapan diberi umur panjang dan badan sehat, lansia tersebut
menjawab: “Ya tetap (ingin umur panjang dan sehat), tetap. Kadang-kadang
kepengen ketemu lagi sama cucunya sekali-sekali gitu. ... Iya sekalian (anak-cucu)
yang jauh misalnya.. Kalau yang jauh juga kepengen lagi ketemu sekali-sekali.”
(Rml, 27/5/2013)
Di samping harapan untuk diri-sendiri seperti di atas, sebagian informan
punya harapan untuk keluarga, misalnya harapan untuk anak dan cucunya agar hidup
layak dan cukup rejeki. “Ya, kita doakan supaya dia hidupnya bisa layak, gitu aja.
Selalu inget sama orang tuanya... Ya mudah-mudahan aja dikasih rejeki yang berkah
sama Allah gitu,” kata nenek Alm yang tinggal di panti (Alm, 6/6/2013). Sementara,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
183
Universitas Indonesia
sebagian lansia lain berharap agar anak-cucu mereka paham agama sehingga bisa
mendoakan dirinya, tetap mengingat, membalas, dan menyayanginya. Misalnya
seorang lansia home care meminta-minta kepada Tuhan setiap selesai sholat: “Ya
Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya bebales (membalas kebaikan)
saya, anak saya” (Msn, 16/6/2013).
Nenek Bs yang memperoleh layanan home care juga beberapa kali
menceritakan bahwa selagi masih hidup ia ingin menyaksikan cucu-cucunya yang
perempuan cepat menikah. Misalnya ia pernah mengatakan, “Iya, sering ngomong
(ke cucu) sama ini aja, mudah-mudahan ada... (yang) ngasih uang jajan, uang belanja
25 juta, biar puas sana makan kue, haha.. eh ketawa itu (cucu), haha... (Bs,
16/6/2013). Di bagian lain dalam satu wawancara Nek Bs juga bercerita:
Banyak cucu (sering main) di sini dekat. Kalau hajatan, kita disuruh ke sana
ya hadir. Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka
berdoa dalam hati), “ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada
kawin, selagi saya... dikasih umur sama Allah.” (Bs, 16/6/2013)
Fakta bahwa hampir semua informan tetap berharap ingin diberi umur
panjang menunjukkan masih adanya semangat hidup di kalangan lansia. Meskipun
dengan kondisi dan kualitas hidup yang tidak ideal di akhir hayat, mereka tetap
menerima keadaan, tidak putus asa, semangat menghadapi dan melanjutkan hidup,
dan ingin terus mengerjakan atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang
lain. Misalnya seorang nenek lansia di panti yang sering mengisi waktu dengan
membuat kerajinan boneka sulaman mengatakan: “Saya pokoknya tetep (semangat),
tetep aja.. Minta umur panjang, terus sehat walafiat. Masih bisa bikin beginian
(boneka sulaman). Supaya.. kita kepingin jajan ya, nggak usah bingung (nganggur),
gitu aja. ...Ya semangat hidup mah masih mas saya...” (Alm, 6/6/2013)
Semangat dan ketiadaan rasa putus asa juga ditunjukkan oleh pasangan lansia
engkong Pnd dan emak Gbg yang menikah di panti, walaupun sepanjang hayat
mereka penuh dengan apa yang mereka anggap sebagai cobaan atau ujian. Engkong
Pnd hidup susah dan serba kekurangan sehingga ia harus berpisah dengan anak-cucu
untuk hidup di panti dengan subsidi penuh dari pemerintah. Emak Gbg juga
mengalami hal yang sama. Sebelum di panti ia lama menjanda sementara kelima
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
184
anaknya yang sudah berumah tangga juga tidak cukup mampu untuk menampung
dan memenuhi kebutuhannya.
Tidak itu saja, semasa hidupnya baik sebelum maupun selama di panti, emak
Gbg sering disakiti atau mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa orang
saudara, teman, atau tetangganya. Di sepanjang hidupnya, tiap tempat yang ia tinggal
tinggali seakan-akan menjadi episode tersendiri yang harus dijalani dengan
penderitaan. “Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini,
pindah ke sini gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2)
begitu, di sini begini, haha...” Pada kesempatan lain, ia menyimpulkan, “Jadi
pengalaman emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti)
dihina orang. Udah datang di Tanjung Gede Emak tu, mulai dagang nasi uduk bari
(dan) lontong (diusir)” (Gbg, 30/5/2013).
Ditanya apa yang menjadi pegangan atau kunci untuk menjalani hidup yang
tidak mengenakkan sehingga mampu bertahan sampai saat ini, emak Gbg menjawab:
Iya, sabar, tabah, tawakkal. Koncinya gitu. Ya kalau mau ngeladenin
(meladeni) sih itu, kayak bu I menghinanya ama emak nggak kira-kira. Tapi
nggak (ngajak) berantem, emak. Diomong dikatain [....], diapain, emak diem
aja. Cuman (bisa berkata dalam hati), “ya Allah, alhamdulillah ya Allah.
Mungkin kalau saya [....] bapak saya [....]?” Tapi karena emak tuh gini dek,
waktu dulu ya itu lagi bapak mau meninggal kan ngomongnya gitu, “kalau
diapa-apain orang jangan melawan, jangan. Tapi ngucap alhamdulillah dalam
ati,” itu. “Nanti juga orang mah Allah juga yang bales.” (Gbg, 30/5/2013)
5.1.4.2. Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat
Kategori harapan dan kecemasan paling kental tercermin dalam persoalan
lansia menghadapi akhir hayat. Menjelang tutup usia, hampir semua informan lansia
memiliki banyak harapan baik. Di antaranya berupa harapan agar meninggal dengan
baik dan mudah atau husnul-khâtimah, meninggal di kampung halaman sendiri
dengan harapan banyak yang mendoakan, meninggal ada yang mengurus dan
mendoakan, diberi ampunan sebelum datang kematian, terbebas dari siksa kubur, dan
sebagainya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
185
Universitas Indonesia
Terkait harapan meninggal dengan husnul-khâtimah, hampir semua informan
Muslim menyatakannya baik secara eksplisit maupun tidak. Seorang lansia
penyandang disabilitas yang tinggal di panti berharap, “Ya, (harapan saya)
meninggalnya dalam husnul-khâtimah lah, ...nggak (mau menyusahkan orang lain)
lah. Jauh-jauh, na’ûdzubillâh” (Mrw, 6/6/2013).
Sementara itu, kecemasan lansia dalam menghadapi akhir hayat adalah tidak
terwujudnya harapan-harapan baik seperti telah disebutkan di atas. Di antaranya
berupa kekhawatiran meninggal dalam keadaan tidak baik (sû’ul-khâtimah), tidak
ada yang mendoakan, tidak ada yang mengurus kematiannya, atau dalam keadaan
sedang berbuat dosa. Sebagai contoh kekhawatiran yang terakhir ini, seorang oma
beragama Kristen berharap:
Est berusaha ya supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan
(sampai) Est kedapatan sedang berbuat dosa. ... Jangan sampe Est membuat
Tuhan berduka cita ya. ... Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci
ya, hidup kudus ya, deket sama Tuhan ya, setia berdoa ya, dan lain
sebagainya. (Est, 31/5/2013)
Begitu juga dengan seorang nenek lansia Muslim yang menyampaikan
harapannya agar terlebih dahulu diampuni segala dosanya sebelum meninggal:
Iya, barangkali kan seumur kita ini ...masih banyak dosanya. ...sebelum
diampun dosanya jangan meninggal dulu lah, gitu. Kepinginnya
(keinginannya) gitu. Banyak istighfar. Ya Allah mudah-mudahan (diampuni)
banyak dosa yang dulu, waktu kita muda barangkali banyak dosa (dan) dosa
sama anak (almarhum) (Nrn, 27/5/2013).
Selain itu, hal-hal yang dicemaskan lansia di antaranya adalah bahwa ketika
sebelum meninggal mereka takut kalau sampai menyusahkan orang lain, menderita
sakit yang berat dan/atau lama sehingga sampai merepotkan orang atau membuat
orang lain jijik, meninggal tidak ketahuan siapa-siapa atau tidak ada keluarga dan
kerabat yang mengurus, mengalami sakratul-maut yang lama hingga tersiksa, dan
seterusnya. Misalnya seorang nenek penerima layanan home care yang tinggal
sendiri di rumah bedengnya berharap:
Saya misalna udah tua kayak gini, kalau mau diambil, kata saya, nyawa saya
jangan (sampai) saya disiksa. Saya mah pokoknya asal, mau sore mau pagi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
186
udah pasrah ...ama Yang Kuasa. Asal saya ...jangan di.. (-biarkan) nggak ada
yang ngurusin saya, nggak ada yang itu (mau mengurus jenazahnya) dek,
jangan dikasih penyakit yang berat-berat gitu dah. (Msn, 16/6/2013)
Pada bagian wawancara yang lain nenek tersebut menambahkan harapannya:
Minta (meninggal dengan cara) yang gampang karena saya nggak ada yang
ngurusin, karena saya ...nggak punya anak. Jangan ngarepotin (merepotkan)
tetangga, jangan ngarepotin cucu, itu udah. Jangan sampe ngageuleuhan
(bikin jijik) gitu, ama jijik-jijikan. Suka ada dek, kan yang sakit segala..... ah
na’ûdzubillâh min dzâlik. Ada yang lumpuh, ada yang ah macem-macem dek,
kan yah? Ya semua juga nggak pengen begitu, tapi kan udah karena Allah.
(Msn, 16/6/2013)
Di samping berbagai kecemasan dan harapan ketika menjelang kematian,
sebagian lansia ada juga yang menghadapinya dengan santai, tidak takut datangnya
kematian, pasrah, atau meninggal dimana pun asal imannya masih terjaga. Sebagai
contoh, seorang oma beragama Kristen mengaku bahwa ia sama sekali tidak takut
akan datangnya kematian.
Oh, saya mati nggak takut. Saya mati nggak takut. Umur saya di tangan
Tuhan, ngapain mati takut? Sekarang mati bisa mati kok... Sekarang kita mati
besok ya mati, aku nggak takut mati... Yang penting kita di muka bumi
waspada mulut, dijaga mulut, nomor satu ini ye.. (jari menunjuk ke
mulutnya). (Kntw, 31/5/2013)
Sebagai contoh lain, sementara suaminya mendambakan untuk meninggal di
kampung halaman, nenek korban tsunami Aceh yang tinggal di panti justru berkata
sebaliknya, “kalau saya ... (meninggal) dimana aja, yang penting saya (di-) doain
selamat iman itu aja” (Nrn, 27/5/2013). Bahkan ada juga seorang nenek yang masih
punya keluarga menginginkan tetap di panti sampai ajalnya. “Ya saya mah udah
ikhlas aja di sini, mas. Pokoknya hidup matilah di sini nanti. Kalau bisa mati di sini
juga nggak apa-apa” (Alm, 6/6/2013). Pasangan lansia yang menikah di panti
mengatakan hal yang sama, “Tapi kalau emak sih udah pasrah aja lah, gitu. Mati di
panti ya lillâhi ta’âlâ” (Gbg, 5/6/2013). Kemudian suaminya turut menegaskan,
“Kita ini di panti ini udah kontrak...” (Pnd, 5/6/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
187
Universitas Indonesia
5.1.5. Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks)
Kategori kebutuhan spiritual di sini tidak saja merujuk ke kebutuhan, tapi
juga peran atau tugas lansia yang bersifat eksistenisal. Dalam program NVivo,
sejumlah tema atau konsep yang mencerminkan kategori #spiritual tasks ini
tergambar dalam beberapa node berikut: @kegemaran-hobi-kreativitas,
@memaafkan, @mengheningkan cipta, @merasa berperan-berguna-dicintai, dan
@reminiscence (perhatikan kembali Lampiran 7). Masing-masing tema node ini akan
dijelaskan sebagai berikut.
5.1.5.1. Merasa berperan, berguna, dan dicintai
Di ujung usianya, kebanyakan informan lansia masih ingin berperan dan
berguna bagi orang-orang sekitar. Terutama lansia yang tinggal di panti, peran-peran
yang dijalankan banyak terkait dengan kegiatan keagamaan, misalnya
membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, adzan dan iqomat, menjadi imam
sholat jama’ah, atau melayani Tuhan untuk lansia Kristiani. Selain dianggap sebagai
suatu kewajiban agama, dengan tugas-tugas tersebut mereka merasa senang karena
masih bisa berperan dan berguna bagi orang lain. Hal ini diakui oleh seorang lansia
yang memiliki keterbatasan fisik:
Ya, saya pikir begini, ...kalau adzan-iqomat itu memang (bagi) seorang laki-
laki udah kewajiban ya. Habis yang lain kagak bisa, yang lain nggak ada
yang mau. ... Ya, boleh dikatakan penting gak penting lah ya. Kalau nggak
ada atau saya telat datangnya, ya pak Drm, gitu kan. ... Saya juga senang.
Senang banget saya. Iya, hehe.., senang. Nenek-nenek juga senang. ... Saya
kan ada peran ...adzan, qomat, iya kan. Sholawatan. (Mrw, 8/4/2013)
Pentingnya perasaan berperan dan bermanfaat bagi orang lain berlaku juga
bagi sejumlah informan lansia di panti lain, seperti kakek Sgn, Rml, dan Engk.
Meskipun seringkali hanya menggantikan kakek kebagian piket untuk adzan atau
iqomat namun berhalangan, kakek Sgn tetap mengaku senang (12/6/2013). Kakek
Rml juga tampak senang dan bangga karena “Biasanya, kalau di sini (panti) saya
sudah tujuh tahun ...ngimamin (menjadi imam sholat di musholla) (Rml, 27/5/2013).
Kakek Pnd juga rajin ke musholla untuk adzan-iqomat, meskipun berdasarkan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
188
observasi dan penuturan informan lain, kakek Pnd cenderung lebih rajin datang ke
musholla ketika kebagian piket dibanding ketika tidak sedang piket.
Di luar kegiatan keagamaan di atas, lansia lain yang juga punya disabilitas
fisik merasa senang karena sering diajak petugas panti mengikuti acara-acara luar
panti. Meski dengan keterbatasan fisik harus memakai tongkat tripod, nenek lansia
ini memang sering menjadi semacam model lansia yang masih bisa berkarya dan
berguna di usia senja karena membikin kerajinan boneka dari pintalan benang wol.
Sebagai contoh, dia menceritakan pernah diundang di satu acara: “...di sana suruh
meragain ini (memeragakan membuat boneka). Orang direkturnya nggak bisa bahasa
Indonesia, hehe, pakai juru bahasa.... Akhirnya saya senang sekali, jadi saya poto
sama itu, direkturnya” (Alm, 6/6/2013). Tidak berhenti sampai di situ, ia juga tampak
senang dapat menyisihkan sebagian rejeki dari hasil kerajinanya, yakni dengan
memberi sedekah untuk lansia yang membutuhkan atau untuk kotak amal.
Perasaan berguna atau dibutuhkan juga ditunjukkan engkong Pnd ketika
mengatakan “...nah ke-5 bulannya mulai mekar nih, kalau kayak bunga (itu) mekar.”
‘Mekar’ yang dimaksud engkong terkait dengan soal peran dan kebergunaan dengan
membantu penghuni lain, terutama nenek-nenek yang sering butuh bantuan.
Misalnya ia pernah diminta pasang kunci gembok oleh nenek lansia yang lebih
senior, “Kamu bisa nggak masang gembok, Pnd? Lemari aku pengen pasang
gembok... Nah, mulai mekar tuh. Besoknya dia datang ke wisma. (Pnd, 27/5/2013).
Aktivitas tolong-menolong seperti itu tidak saja menumbuhkan perasaan berguna,
tetapi juga menciptakan interaksi antar lansia yang dapat menumbuhkan hubungan
antar sesama, misalnya dalam bentuk ngobrol, disediakan kopi, rokok, atau makanan
kecil. Hal-hal seperti ini dapat terkait dengan persoalan eksistensinya bahwa dia
dianggap ada, meski hanya hidup di panti.
Di samping merasa berperan dan berguna untuk sesama, kebutuhan penting
lansia yang lain adalah perasaan dicintai oleh keluarga. Ini juga dialami engkong Pnd
dengan membandingkan saat sebelum dan sesudah menikah dengan nenek Gbg di
panti. Sebelum menikah, engkong mengaku, “...tadinya nggak betah,” sehingga kata
nek Gbg, “...engkong sering pulang nengok cucunya. Setahun tuh dua kali pulang”
(27/5/2013). Nek Gbg lebih jauh menjelaskan bahwa sebelum nikah dengannya,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
189
Universitas Indonesia
pulang ke mantan istrinya karena ingin nengok cucu. Sejak menikah tahun 2009
engkong baru dua kali pulang ke kampung halaman, itupun ke rumah kakaknya.
5.1.5.2. Kenangan masa lalu (reminiscence)
Kebutuhan lain kebanyakan individu di ujung usia mereka adalah mengingat
atau mengenang masa lalu mereka terkait peristiwa, orang-orang yang dicintai,
ataupun tempat. Pasangan lansia korban tsunami yang tinggal di panti, misalnya,
suka terkenang dengan almarhum putrinya yang hilang saat tsunami Aceh tahun
2004 ketika melihat anak sekolah seusianya. Suami dari pasangan ini mengakui hal
tersebut, “Kadang-kadang saya (teringat almarhum) kalau ngeliat (melihat) anak
perempuan, anak-anak lagi sekolah” (Rml, 27/5/2013). Istrinya menerangkan:
Dulu kan waktu baru-baru ke sini saya kan dulu kan jarang orang pakai helm
yang ada kaca, dulu. Cuma anak saya pakai helm yang ada kacanya itu.
...saya asal lihat anak perempuan... yang pakai helm ada kacanya itu pakai
sarung tangan kayak mana.. (entah bagaimana) perasaan tuh (langsung
teringat almarhum)... (Nrn, 27/5/2013).
Lebih jauh, istri dari pasangan ini juga suka terkenang-kenang tingkah dan
kebiasaan anak putrinya yang sering membantu mengantar orang tuanya dengan
sepeda motor untuk keperluan tertentu.
Saya juga kemana-mana (diantar) sama dia. Kalau bapak kan ke kota kerja,
tapi kalau dia libur (suka bertanya), “Mak, hari ini saya libur, mau kemana?”
... Anak-anak lain juga jauh. Sama bapak juga kalau bapak sakit dia nggak
nunggu adeknya. Kan adeknya laki cowok tapi dia nggak nunggu adeknya
kalau sakit, “yuk pak ke rumah sakit.” Kadang-kadang kalau kita sakit malem
ato muntahlah inilah dia nggak bisa tidur tanya terus, “Mak, kayak mana
(bagaimana kondisinya)?” Pagi-pagi nggak ditunggu nggak ini jam 7 belum
buka dokternya kita udah ke rumah sakit. Kadang-kadang kalau mikir gitu ya,
...saya pikir itu anak yang saleh bener-bener (Nrn, 27/5/2013).
Hal yang sama terjadi pada seorang nenek penghuni panti yang sering
terbayang almarhum suaminya karena kebaikan, kecintaan, atau kebersamaannya.
Bebayang (terbayang) ama suami tuh bebayang kebaikannya, bebayang
kecintaannya, bebayang die tekun kepada saya, nggak pernah mukul, nggak
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
190
pernah bentak, nggak pernah galak, nggak pernah ngepret (menampar),
nggak pernah ngomel lah. ... Tapi kalau malem saya jarang tidur. ... Kita ingat
jaman muda. (Kntw, 31/5/2013)
Meskipun begitu, mengingat atau mengenang sesuatu yang terjadi di masa lalu atau
orang yang telah tiada bisa membuatnya sedih. Nenek ini melanjutkan ceritanya:
Jadi kita tuh malam nggak bisa tidur tuh hawanya hawa sedih. Inget... saya
punya suami yang nomer dua, itu ini saya punya tivi besar, video (player)
besar, motor besar, pembantu ada, prabotan kumplit. Jadi itu yang metakan
(membuat) larut otak itu tuh. Saya.. sering ngelamun gitu. Laki saya yang ke
dua juga sayang ama saya orang Bandung. (31/5/2013)
Begitu juga dengan nenek home care yang tinggal seorang diri. Terkadang
begitu saja teringat almarhum suami dan anaknya dan kadang sengaja mengenang
mereka dengan memandangi foto-foto yang sebagian masih terpasang di dinding
rumah bedengnya. “Ya, suka teringat aja, dek, ama anak-anak, ama suami. ...
Kadang-kadang (sengaja mengingatnya), dek” (Msn, 16/6/2013). Ia menambahkan:
Ada (foto) suami saya. Maaf dek (Bu Msn berdiri menunjukkan dan
mengambil foto yang dipasang di dinding ruang tamu). Ini tapi saya lagi
masih muda, dek. Ada suami saya sama saya ini nih, dek. Suami saya ama
saya. (Saya) suka ngeliat itu... saja. Kata saya, dulu mah begini. Iya. Dulu
mah saya suka ngeliat aja itu, dek. ....inget masa lalu ya dek, baik sekali
suami saya, dek. Saba....r sekali suami saya, orang Jawa, orang Solo. ...kalau
di-inget-inget masa lalu mah dek, sedih gitu, banyak sedih saya waktu dia
masih ada, ...masih seneng-senengnya. (Msn, 16/6/2013)
Sementara nenek home care lain, yang juga sering sendiri karena anak-cucu
lebih banyak menghabiskan waktu di luar karena sibuk kerja, mengenang saat-saat
ketika masih bersama almarhum suami yang meninggal pada awal 2009. Nenek Bs
ini menceritakan:
Alhamdulillah itu ingat kebaikannya. ...saya nggak kaya, tetapi nggak pernah
(disuruh kerja). Kebanyakan itu istri disuruh kerja, tapi saya nggak. Kalau
saya kerja, eh dimarahin. ... (Saya) nggak pernah dimarah-marahi. Kadang-
kadang saya lebih sering memarahi (alm. suami). Dia sering ngalah itu. Ini
selama sakit ini, kalau dia nonton (tv di ruang tamu) sini, saya bawa keluar
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
191
Universitas Indonesia
air panas, nasi, ...katanya: “seribu satu ini perempuan kayak kamu ini,
ngurusi suami (yang) nggak ada kerjanya.” Saya bilang, “ya kan dulu kan
kerja juga, saya di-enak-enaki jadi kan kalau sampai waktunya nggak bisa
kerja lagi mau diapain?” (Bs, 16/6/2013)
Kecenderungan mengulang-ulang cerita atau kenangan masa lalu
(reminiscence), meski lebih banyak kenangan buruk ketimbang yang baik, juga
kentara dilakukan oleh pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd. Selama
interaksi, baik ketika masih tahap membangun rapport maupun dalam pelaksanaan
empat kali wawancara yang berdurasi 1 sampai 2,5 jam, keduanya bercerita tentang
jalan hidupnya masing-masing. Baik engkong maupun emak begitu terbuka bercerita
tentang masa lalu dan keluarganya dengan detail alur peristiwa, nama orang, tempat,
waktu kejadian, dan lain-lain, walaupun sebagian ceritanya kadang diulang-ulang.
5.1.5.3. “Mengheningkan cipta”
Kebutuhan reminiscence seperti di atas juga tercermin dalam konsep
‘mengheningkan cipta’ sebagaimana ditunjukkan sejumlah lansia sebagai satu cara
untuk memanfaatkan keberadaannya di panti, yang terpisah dari keluarga. Konsep ini
diutarakan oleh seorang lansia yang hidup sendiri karena istri meninggal dan tinggal
terpisah jauh dari anak-cucu yang ada di Lampung dan Sorong. Dalam perjalanan
naik bus menuju Lampung untuk menengok anak-cucu, ia dibius orang dan sebagian
besar barang bawaan hilang, sehingga kemudian dikirim ke panti oleh petugas.
Mengheningkan cipta maksudnya ingin menikmati kesendirian untuk mencari
ketenangan dan sengaja mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang sudah
meninggal ataupun mengenang masa lalu. “Ya daripada di apa tuh istilahnya (hidup
sendiri jauh dari) anak tuh, lebih baik di sini (di panti) dulu. Sementara
mengheningkan, istilahnya, mengheningkan cipta hehe..” Di samping itu,
mengheningkan cipta juga “...sambil sembahyang atau bagaimana itu supaya
menghadap Tuhan itu enak.” (Sgn, 5/6/2013)
Lansia lain mengakui bahwa tinggal di panti dapat membuatnya lebih baik
ketimbang sebelumnya. “Ya, di sini lebih tenang lebih damai,” akunya (Mrw,
8/4/2013). Hal yang sama dirasakan oleh lansia korban tsunami dengan mengatakan:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
192
Tapi kalau mau kita pikir satu sisi itu di sini (panti) kayaknya aman nggak
ada misalnya kemana ya? Aman karena nggak..., pikirannya kita nggak kalut,
gitu. Kalau misalnya kalau tinggal di kampung musti pakai kemarin
barangkali kita kan ke mana ya. ... Iya ini kan menghilangkan itu (trauma atau
kenangan buruk), sekarang alhamdulillah lah sudah baik ya kan? (Nrn,
27/5/2013)
5.1.5.4. Memaafkan
Hubungan yang tidak baik dengan orang-orang sekitar, terutama orang dekat,
di masa lalu maupun saat ini mempengaruhi kondisi batin individu lansia yang harus
berpikir mengakhiri dunia dengan cara yang baik. Memaafkan adalah salah satu
pintu masuk untuk memperbaiki hubungan agar tenang di akhir masa hidup.
Misalnya seorang oma menceritakan kemarahan kepada almarhum bapaknya yang,
menurutnya, tidak berpikir panjang atas upaya mengakhiri hidup yang walaupun
gagal namun membuatnya sakit-sakitan sehingga tidak mampu bekerja untuk
menghidupi anak-anak dan istrinya. Meskipun begitu, pada akhirnya ia telah
memaafkan selagi bapaknya masih ada. “Dia gak mikir akibatnya buat keluarga Est.
Est sih udah ngampunin (memaafkan) dia ya. Est udah baik lagi ya sama dia ya, tapi
efek sampingan kerjaan dia itu gak tau, tuh” (Est, 31/5/2013).
Tindakan memaafkan tersebut juga dilakukan setelah di panti terkait
hubungannya dengan sesama penghuni dan perawat. Misalnya ia pernah dimarahi
perawat, yang menurutnya, karena kesalahpahaman. Meskipun meyakini bahwa yang
bersangkutan lah yang bersalah, ia justru lebih dulu minta maaf. “Terus akhirnya Est
yang minta maaf tau gak. Padahal dia yang salah tau gak? Salah atau enggak biar aja
Est yang dapat pahalanya. ... Iya Est yang minta maaf ama dia. Est minta maaf,”
begitu katanya (Est, 31/5/2013). Begitu juga ketika merasa sering disakiti oleh
beberapa penghuni, ia lebih memilih untuk mendoakan “...temen-temen yang suka
nyakitin hati. ...pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka” (Est, 31/5/2013).
Emak Gbg juga melakukan hal yang sama terhadap orang-orang berbuat tidak
baik atau bahkan jahat terhadapnya, baik pada saat sebelum maupun sesudah di
panti. Emak sendiri mengaku bahwa ia tidak memiliki dendam terhadap siapapun.
“Alhamdulillah dek, Emak nggak dikasih dendem gitu, ama orang, gitu.” Bahkan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
193
Universitas Indonesia
terhadap menantunya sendiri yang pernah berkata tidak mengenakkan ketika ia ikut
tinggal bersama dalam satu rumah. “Emak sih nggak ada dendam sama temen ge,
demi (Allah)... apalagi ama anak-mantu.“ Selaku orang tua ia tetap mendoakan
kebaikan bagi anaknya. “Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan
kasih selamet lahir-batin (dan) dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi
emak, hati emak, tetep deket ama dia, gitu” (Gbg, 5/6/2013).
5.1.5.5. Kegemaran, hobi, dan kreativitas
Perubahan tempat tinggal ke panti meniscayakan terjadinya perubahan hidup
terkait kebiasaan, aktivitas, atau orang-orang yang biasa dijumpai sebelumnya.
Terutama ketika baru datang di panti, banyak lansia merasa terasing, terbuang,
bosan, dan seterusnya. Nenek Alm, misalnya, mengalami kejenuhan pada dua atau
tiga bulan pertama di panti karena belum punya banyak aktivitas selain kegiatan-
kegiatan rutin panti. “Ya waktu pertama kali mah nggak punya kegiatan mah ya saya
kaya nggak betah begitu. Kalau pagi-pagi duduk aja didepan kantor” (Alm,
6/6/2013). Selain mengembangkan kreativitas dengan belajar bikin boneka, nenek ini
juga bisa melakukan hobinya membaca novel dengan difasilitasi petugas panti.
Beberapa lansia lain yang tinggal di panti masih menjalankan sebagian hobi
dan kegemaran yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Misalnya kakek Mrw punya
hobi mendengarkan radio dan musik dangdut di stasiun radio RRI kesayangannya.
Iya, saya tidur-tidur kadang-kadang jam 10 jam 11. Kalau bisa tidur, kalau
nggak tidur saya matiin aja radio. Saya tidur ah, niat tidur sore. Tidur ah gitu.
Kalau saya kan radio hanya buat (mengetahui) waktu. Setiap waktu saya stel
RRI, saya stel gitu. ... Saya dulu senangnya (lagu) dangduut mulu, hehe. ...
Kadang-kadang kalau masih sore ya, pulang sholat Isya, ...saya stel (lagu)
dangdut. Banyak kan dangdut, ya kan? Banyak dah, lagu apa aja. Cuman,
saya stel juga (volumenya) nggak terlalu besar. (Mrw, 8/4/2013)
Lansia lain ada yang suka jalan-jalan ke luar panti, hobi bernyanyi dan
berjoget, dan ada juga yang hobi berkebun atau bercocok tanam. Oma Est, misalnya,
mengakui ketika ada waktu luang suka jalan-jalan ke luar yang padahal sebelumnya
tidak sebebas seperti di panti saat ini.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
194
Di sini Est bisa jalan-jalan, bisa pergi, bisa pergi ke tempat lain.... Bisa ke
gereja ya, bisa ke pasar ya, bisa kemana ya kalo Est mau ya. Apa ke pasar
Kopro ya, atau ke pasar Inpres ya, eeh. Bisa pergi yah pokoknya, bisa ke
Citraland, eeh yang deket-deket ya. Jadi Est udah lebih enak sebetulnya
daripada di rumah. (Est, 31/5/2013)
Sementara kakek Sgn mengaku bisa menyalurkan hobinya bercocok tanam
sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Ketika ditanya apa tujuannya, ia menjawab:
“Ya begitulah, daripada bengong di sini (panti), ...daripada inget masa lalu. Kita
sambil-sambilan (bercocok tanam).” Katanya lagi, “Ah, terus daripada saya bengong
di STW terus cari-cari tanaman pendek-pendek itu, buah-buahan seperti sawo,
kelengkeng, durian ...”. Kakek ini memang punya keahlian budi daya tanaman, oleh
karenanya tanaman bisa tumbuh dan terawat. “Alhamdulillah dondong (kedondong)
semi. Oh, terus ...saya cabut, saya pindah bedeng. Saya dulu kan bisa nyambung-
nyambung... Terus apa itu, batang mangga itu 10 hari bisa tumbuh, 15 hari tumbuh.”
(Sgn, 5/6/2013).
5.2. Pengalaman Hidup dan Respons Lansia
Sub-bab pengalaman hidup dan respons lansia ini merupakan jawaban dari
pertanyaan penelitian keempat yang menyangkut pengalaman atau penderitaan yang
dialami lansia bagaimana mereka memberikan respons. Di sini ada dua kategori
besar yang dibangun, yaitu: (i) pengalaman hidup dan pemaknaan; dan (ii) respons
terhadap penderitaan.
5.2.1. Pengalaman Hidup dan Pemaknaan
Kategori pertama ini tersusun dari tiga tema yang berhasil digali, yaitu: (i)
pengalaman dan penderitaan; (ii) musibah, cobaan, atau peringatan; dan (iii) “ada
musibah ada hikmah.” Dalam program NVivo, klasifikasinya tampak sebagai
kategori #penderitaan hidup dan pemaknaan yang terdiri dari node @ada musibah
ada hikmah, @musibah-cobaan-peringatan, dan @pengalaman-penderitaan.
5.2.1.1. Pengalaman dan penderitaan
Sebelas informan lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki
penderitaan dan pengalaman hidup yang berbeda-beda dan unik (lihat Tabel 5.1).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
195
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya
Informan Pengalaman atau penderitaan
Mrw (Panti) • Disabilitas fisik (tuna netra) karena glaukoma • Berpisah dari anak-anak dan mantan istri
Pnd (Panti) • Berpisah dari anak-cucu • Hidup menderita berkepanjangan • Sering sakit
Gbg (Panti) • Hidup terpisah dari anak-cucu-buyut • Pernah kehilangan anak dan suami (meninggal) • Hidup menderita berkepanjangan • Merasa sering disakiti (dicelakakan) oleh orang sekitar • Sering sakit-sakitan
Rml (Panti) • Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 204 • Kehilangan seorang putri karena tsunami • Keluarga besar banyak yang menjadi korban
Nrn (Panti) • Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 2004 • Kehilangan seorang putri karena tsunami • Keluarga besar banyak yang menjadi korban
Est (Panti) • Hidup terpisah dari saudara (adik, ipar, dan ponakan) • Disabilitas fisik (tremor)
Kntw (Panti) • Suami meninggal • Sudah tidak punya famili, meski punya anak angkat • Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod)
Sgn (Panti) • Istri meninggal • Hidup sendiri di Jawa, anak-cucu hidup di Lampung dan Sorong • Dibius dan kehilangan barang dalam perjalanan di bus hingga
akhirnya terdampar di panti Alm (Panti) • Hidup terpisah dari anak-cucu. Punya famili (adik tiri &
keluarga) tapi hubungannya jauh • Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod)
Bs (home care) • Suami meninggal 5 tahun yang lalu • Sering tinggal sendiri di rumah karena anak/menantu dan cucu
sibuk bekerja dari pagi hingga malam Msn (home care) • Suami dan putra semata wayang meninggal.
• Tinggal sendiri di rumah bedeng. • Cucu dan mantan menantu ada tapi hubungan agak jauh • Punya adik yang sudah berkeluarga tapi sibuk/susah untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri • Cucu paling besar sudah bekerja (serabutan) sehingga hanya
bisa membantu ala kadarnya dan tidak pasti
Gambaran penderitaan atau pengalaman hidup yang dirasakan informan
lansia sebagian dapat tergali melalui wawancara dan sebagian yang lain diperoleh
melalui penelusuran dokumen dan observasi. Sebagai contoh, perasaan keterpisahan
dengan keluarga diungkapkan oleh lansia Kntw, “... di Jakarta saya mblangsak
(hidup sengsara). ...Mblangsak-nya nggak ada sanak famili” (Kntw, 31/5/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
196
Keterpisahan dengan keluarga di kampung juga dirasakan nenek Alm yang tinggal di
panti, sehingga ia terpaksa menahan rasa ingin bertemu anak-cucu:
Ya kalau pengen liat (anak-cucu) ya kita kemungkinan kecil juga nggak bisa
ya, mas. (Keadaan) saya begini ya kan nggak mungkin bisa. Kalau
keadaannya di kampung (sama-sama susah) begitu ya nggak mungkin sampai
di sini kalau nggak ada yang bawa, hehe.. (Alm, 6/6/2013)
Hidup susah dan serba kekurangan juga dapat menciptakan perasaan
menderita berkepanjangan bagi lansia. Kemalangan ini pada gilirannya menyebabkan
kesedihan bagi nek Msn yang tinggal seorang diri.
... kalau ngeliat orang-orang mah makan itu makan ini, kita mah boro-boro.
Pengen sedih itu dek kalau ngeliat orang-orang itu, kadang-kadang yah.
Susahnya, ya Allah kata saya, kalau ada anak saya, ada suami saya,
barangkali saya nggak begini-begini amat begitu, dek. Barangkali ada yang
ngasih. Nggak (bakal) saya begini aja. Ini mah ngandelin (mengandalkan)
dari orang-orang, pengasih (belas-kasihan) orang-orang aja. Apa-apa juga
kalau orang-orang pada ngerti gitu, namanya orang itu ngasih, kalau nggak
mah ya, begitu lah dek. Jadi susahnya, sedihnya gitu. ... Tapi kalau udah abis
nggak ada yang ngasih, ya Allah, uang dari mana, gitu. Ya ada seneng ada
susah, ya namanya juga orang hidup ya dek ya. (Msn, 16/6/2013)
Penderitaan hidup berkepanjangan juga dialami emak Gbg yang berkali-kali
pindah tempat tinggal karena ada tetangga yang tidak senang. “Jadi pengalaman
emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti) dihina orang.
Udah datang di Tanjung Gede Emak tuh, mulai dagang nasi uduk bari lontong
(diusir)”. Katanya lagi, “Jadi kudu (harus) sabar seteruse (tiada henti) dek, emak tuh.
Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini, pindah ke sini
gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2) begitu, di sini
begini, haha...” (Gbg, 30/5/2013)
Ditinggal mati oleh orang-orang tercinta menimbulkan rasa kehilangan yang
begitu besar bagi informan. Pengalaman kehilangan semacam ini pernah dirasakan
pasangan lansia korban tsunami Aceh 2004. Selain kehilangan harta-benda dan
sejumlah besar kerabat, informan lansia Rml dan Nrn kehilangan seroang putri yang
telah dewasa. Pak Rml menceritakan, “Kalau saya 200 lebih saudara nggak ada lagi”
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
197
Universitas Indonesia
(Rml, 27/5/2013). Sementara bu Nrn mengungkapkan, “Saya dari uwak pertama juga habis,
uwak kedua habis, uwak ketiga habis, (yang) selamat anak-anak doang.” Hanya satu putri
dari pasangan ini yang menjadi korban tsunami dan tidak diketemukan jasadnya (Nrn,
27/5/2013).
5.2.1.2. Musibah, cobaan, atau peringatan
Dalam memaknai berbagai peristiwa atau pengalaman hidup, informan lansia
memiliki sejumlah pandangan. Secara umum, penderitaan yang dialami pada masa
lampau ataupun saat ini mereka anggap sebagai semacam musibah, cobaan, ujian,
ataupun peringatan. Sebagai contoh, seorang lansia yang mengalami disabilitas fisik
karena glaukoma dan harus hidup di panti terpisah dari anak-anak dan mantan
istrinya mengatakan bahwa “Itu saya anggap sebagai cobaan aja. Ya, sebagai cobaan
dari Allah. Saya terima apa adanya. Iya kan? Itu aja.” Dengan cobaan itu, ia tidak
lantas membuatnya marah terhadap Tuhan, namun malah bersyukur atas apa yang
telah menimpanya. “Ya, iya lah. Allah nggak usah dimarahin. Allah tidak bisa
dimarahin. Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan?
saya anggap cobaan lah dari Allah.” (Mrw, 8/4/2013)
Musibah, cobaan, ataupun peringatan tersebut lebih jauh diyakini seorang
lansia home care sebagai nasib atau takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari.
Ya udah ah, barangkali takdir saya, udah nasib saya aja gitu, dek. Barangkali
udah takdir saya. (Kalau) nasib, habis mau diapain lagi? Suka inget-inget
kata-kata orang tua, kita walaupun sedih, mengejerit (menjerit), nyaratan
(merintih menengadah ke) langit kita ngeliat ya, siapa yang mau nolongin?
(Msn, 16/6/2013)
Begitu juga halnya dengan pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd yang
menganggap segala peristiwa menyakitkan atau penderitaan dalam hidup sebagai
cobaan atau ujian. “Iya, ujian. Semua orang diuji. Orang kaya diuji dengan
kekayaannya. Orang miskin diuji dengan kemiskinannya. Orang sakit diuji dengan
kesakitannya,” engkong Pnd menegaskan (30/5/2013). Emak Gbg yang sering
menceritakan penderitaan hidup baik sebelum maupun semasa di panti juga
menganggapnya sebagai cobaan. “Jadi emak tuh gitu, jadi pindah kemana-mana tuh
cobaa.....n aja” (Gbg, 30/5/2013). Misalnya ketika sering disakiti oleh sesama
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
198
penghuni panti dengan kata-kata kasar, emak hanya diam bersedih sembari meratap
dan berdoa dalam hati:
Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, Emak
dikatain macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari sapu lidi, Emak pengen
marah sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar,
astaghfirullâh al-‘adzîm, inget ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al-
‘adzîm ya Allah paringi kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri
hamba ya Allah. (Gbg, 30/5/2013)
Ketika dikasih sakit, engkong menganggapnya sebagai peringatan, karena ia
meyakini bahwa sakit datangnya dari Allah sehingga kesembuhannya pun adalah
atas kuasa-Nya.
Kalau engkong ...sakit nih ya, (engkong yakin) sakit Allah punya, sehat Allah
punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata
bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu
kasih peringatan, gitu. Ya Allah mohon sembuhkan. (Pnd, 30/5/2013)
Hal yang sama dikatakan emak Gbg sembari mengingat pesan dari seorang
ustadz, pembimbing agama di panti:
Jadi si emak tuh gitu. Enggak dimarahin orang dicobanya sakit, gitu kata
ustadz. Jadi emak tuh lagi diuji terus, Engkong lagi diuji sabar apa nggak. Iya
kan sajeb bari (sejak bersama menikah dengan) engkong, emak tiga tahun
sakit melulu. Jadi, (selain) nguji kesabaran engkong, (juga) nguji diri emak,
sabar apa nggak, gitu. Jadi (seandainya) sabar seteruse (seterusnya) emak
lulus, gitu. Kata ustadz gitu. Tapi kalau emak misale (misalnya) sekarang-
sekarang dihina orang terus emak marah-marah ngelawan, emak nggak lulus.
(Gbg, 30/5/2013)
5.2.1.3. “Ada musibah ada hikmah”
Pemaknaan terhadap penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan di
atas kemudian dibarengi keyakinan bahwa di balik itu pasti ada manfaat atau hikmah
tertentu. Keyakinan semacam ini tampaknya cukup terwakili dengan ungkapan dari
salah satu informan yang dihasilkan dari proses coding (atau disebut invivo code),
yaitu “ada musibah ada hikmah.” Ungkapan ini dinyatakan oleh seorang informan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
199
Universitas Indonesia
lansia korban tsunami Aceh dalam satu wawancara. Ketika dieksplorasi lebih jauh,
kira-kira apa hikmah atau manfaat tersembunyi dari semua kejadian yang menimpa,
ia menjawab bahwa melalui peristiwa tsunami itu Tuhan mengingatkan manusia agar
“bertambah taqwa lagi.” (Nrn, 27/5/2013)
Selain itu, musibah atau cobaan tersebut ditimpakan agar ia dapat melakukan
semacam introspeksi terhadap kesalahan yang telah diperbuat baik secara sengaja
ataupun tidak. “Barangkali kita kadang-kadang kita salah apa ya? Kita kan nggak tau
ya? Kesalahan kita masing-masing kan nggak tau, yang ...Maha ...Tahu kan Allah”.
Ia menambahkan, “Barangkali kita ada salah apa tapi kita nggak sadar. ... (atau)
barangkali ada Allah yang nggak ridhoin gitu” (Nrn, 27/5/2013).
Informan lain mengakui adanya hikmah lain di balik cobaan yang dialami.
Dengan hidup di panti dan kondisi tuna netra, seorang lansia malah bersyukur karena
saat ini ia makin rajin beribadah di musholla. “Ya udah bisa bersyukur, saya terima
apa adanya. Walaupun saya nggak bisa ngeliat ya saya bersyukur masih bisa sholat,
bisa ke musholla. Bersyukurnya di situ. Itu sebagai cobaan bagi saya” (Mrw,
8/4/2013).
5.2.2. Respons terhadap Penderitaan
Sama dengan sub-bab di atas, bagian ini merupakan bagian dari jawaban
untuk pertanyaan penelitian keempat, khususnya terkait bagaimana mereka bereaksi,
menentukan sikap, atau memberikan tindakan atas penderitaan yang dialami. Secara
teoretis, reaksi-reaksi seperti ini disebut sebagai coping dan berdasarkan analisis
coding dihasilkan sejumlah tema dalam node berikut: @respons, @pasrah-menerima,
@sabar & tawakkal, dan @bersyukur. Keempat node tersebut terhimpun dalam
kategori #respons terhadap penderitaan.
5.2.2.1. Respons
Berbagai bentuk respons para informan lansia cukup beragam, dari mulai
enggan memikirkan atau merasakannya, bereaksi secara negatif, hingga sikap positif
menerima. Seorang informan terkadang menunjukkan respons yang berbeda pada
satu kesempatan wawancara. Misalnya lansia Mrw di awal wawancara mengaku
tidak menyesali atas semua cobaan yang menimpanya. “Ya, ya bukan mau dikatakan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
200
sakit (hati). Kalau dikatakan sakit (hati) ya kagak juga ya saya. Cuma maksudnya,
iya, saya nggak menyesali sebetulnya, Ton. Nggak menyesali. Itu makanya saya
bilang, saya anggap sebagai cobaan” (Mrw, 8/4/2013). Bahkan lebih jauh ia
mengaku tidak pernah sedih dan tidak mau mengingat sesuatu atau orang-orang
terdekat yang mungkin bisa mendatangkan kesedihan. “Saya nggak pernah sedih.
Udah deh...” Katanya lagi, “Ya, saya mengingat-ingat untuk sedih anak-istri, nggak
(pernah).” (Mrw, 8/4/2013)
Meskipun begitu, ketika ditanya tentang kondisi disabilitas fisiknya saat ini
dan keterpisahan dari keluarga atau teman-temannya yang dulu, ia mengakui bahwa
hati kecilnya terkadang merasa tidak berguna.
Memang ya dalam hati kecil saya. Memang saya pribadi, saya bilang...
perasaan saya tidak berguna. ... Perasaan saya, saya nggak berguna lagi nih,
gitu, iya kan? Karena Saya nggak bisa liat, tidak punya daya-upaya. Dan saya
mempunyai tanggungan, (tapi) tidak bisa (memenuhinya). Istri saya anak
saya, siapa yang ngempanin (memberi makan)? Itu. Siapa yang memberi
nafkah? Itu. (Mrw, 8/4/2013)
Dulu masih remaja, ya istilahnya masih di kampung, masih di rumah itu
istilahnya kawan, teman (masih banyak). Sekarang udah diem di panti
memang merasa agak tersingkir sedikit dari teman dan tetangga-tetangga,
gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh dari pada teman. Di sini
walaupun banyak teman, saya pikir, anggap, nggak ada sih. (Mrw, 8/4/2013)
Respons negatif yang ditunjukkan lansia lain misalnya kangen dengan
keluarga atau sering teringat anggota keluarga yang telah tiada. Hal ini dialami oleh
lansia korban tsunami yang saat ini tinggal di paviliun panti dengan mengatakan, “Di
sini nggak enaknya gini, kita kadang-kadang kangen sama keluarga, gitu” (Nrn,
27/5/2013). Ia juga terkadang masih teringat putrinya yang menjadi korban tsunami,
“Tapi kalau udah malem tuh, udah susah, saya kadang-kadang mikir ...itu masih ada
(almarhum) anak di situ, ya” (Nrn, 27/5/2013).
Sikap positif lain yang mereka tunjukkan atas kemalangan yang dialami di
antaranya berupa sikap pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan tetap
mensyukuri. Tema-tema ini akan dijelaskan secara tersendiri di bagian berikut.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
201
Universitas Indonesia
5.2.2.2. Pasrah dan menerima
Respons positif terhadap penderitaan hidup yang dialami berupa sikap pasrah
dan menerima. Respons seperti ini muncul karena keyakinan bahwa semua yang
terjadi dalam hidup sudah menjadi ketentuan atau takdir Tuhan. Kalaupun ketentuan
itu berupa musibah atau cobaan, hal itu tetap diterima sebagai nasib dan jalan hidup
yang harus dilalui. Sebagai contoh, kakek Mrw mengatakan, “Ya udah bisa
bersyukur, saya terima apa adanya. ... Jadi, saya diem aja lah. Nggak, nggak usah
dipikirin gitu. Mungkin nasib saya begini, iya.” (Mrw, 8/4/2013)
Begitu juga dengan lansia korban tsunami, “Ya kita kan gini, kehendak Allah
milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja udah” (Nrn, 27/5/2013). Sementara
seorang nenek yang mendapat layanan home care merespons:
...paling-paling juga jawabannya, ya.. barangkali saya udah nasib aja gitu,
dek. Barangkali udah nasib saya, mau diapain lagi. Takdir. Katanya nggak
kena dipungkir, ... Udah dari (Allah)... harusnya begini kali saya dek, mau
gimana lagi. Hanya Allah kan, hanya (Allah) yang menentukan nasib kita. ...
Habis marah-marah juga, marah ama siapa? ... Eeh. Udah nerima aja dek,
nasib saya begini. Barangkali mau marah, ama siapa? Namanya udah Takdir
Allah, katanya kan. (Msn, 16/6/2013)
Dalam menyikapi penderitaan hidup, nenek Kntw juga bersikap pasrah
kepada Tuhan. “Pokoknya jiwa raga saya, saya serahin kepada Gusti yang Maha
Agung. Hidup mati sehat sakit (saya pasrah kepada) Gusti yang Maha Agung”
(Kntw, 31/5/2013).
5.2.2.3. Sabar dan tawakkal
Respons ini ditunjukkan oleh pasangan lansia engkong Pnd dan emak Gbg
tatkala diberi cobaan atau ujian. “Dicoba, sabar,” cetus engkong. “Iya, kudu (harus)
sabar terus,” emak menegaskan. Emak bercerita ketika keluarganya beberapa kali
diusir oleh pemilik kontrakan atau dijahati oleh pesaingnya karena tidak suka dengan
keberhasilan usaha dagangnya. “Emak bilang, astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah
paringi sabar kek, tawakkal diri hamba. (Di-)mana-mana ada aja cobaan. Ngontrak di
Ciganjur, dagang enak-enak, gede, minyak aja drum-an, ujug-ujug pe....ss. Nggak
laku, dek.” (Pnd & Gbg, 30/5/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
202
Kesabaran luar biasa yang ditunjukkan emak Gbg diakui sebagai pengaruh
dari keluargnya, terutama dari almarhum bapaknya yang pernah berpesan sebelum
meninggal. Emak mengatakan setiap kali mendapat cobaan atau ujian ia selalu ingat
pesan bapaknya agar selalu sabar. “Ya Allah, hamba kudu gimana (harus bagaimana)
ya Allah. Nggak dilawan keenakan, dilawan tapi hamba inget riwayat (pesan) bapak
(alm.) hamba ya Allah. Ya Allah lindungin ke hamba ya Allah. Emak nangis
sendirian, ...” (Gbg, 30/5/2013). Di cerita sebelumnya ia juga mengisahkan:
Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, emak dikatain
macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari (pakai) sapu lidi, emak pengin marah
sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar, ... Inget
ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah paringi (berilah)
kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri hamba ya Allah. Kalau
emak nyambat (minta bantuan), mama (bapak), doain saya. (30/5/2013)
Ya.... cobaan dari Yang Maha Kuasa, jadi supaya Emak tuh sabar tawakkal.
Jadi Allah tuh nyoba terus karena Emak tuh orang sabar, jadi katanya ustadz
gitu, “dicoba dengan kesabarannya, sampe dimana. Dicoba dengan
kesusahannya sampai dimana” gitu. Jadi kalau misale Emak separoh-paroh
nih, lagi muda diapa-apain orang nggak ngelawan, udah tua bangkotan kayak
gini emak ngelawan itu dosa, katanya. Itu, jadi begitu, dek. Jadi emak tuh
kudu sabar. (30/5/2013)
5.2.2.4. Bersyukur
Seiring dengan sikap pasrah dan menerima, respons positif lain terhadap
cobaan yang dialami yang dilakukan kebanyakan informan di antaranya berupa tetap
mensyukuri. Kakek Mrw misalnya mengatakan:
Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan? ... Ya,
bersyukurnya saya masih bisa berjalan, bisa menuju ke musholla. Saya
bersyukurnya situ. walaupun saya nggak lihat. ... Kalau sekarang ini saya
lebih senang di sini lah. Kalau dulu kan saya mengerjakan (sholat) masih
belang-bentong. Ya kan? Masih belang-belang. Kalau di sini saya
alhamdulillah. Saya bersyukurnya di situ. (Mrw, 8/4/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
203
Universitas Indonesia
Lansia lain menunjukkan rasa bersyukurnya dengan cara membandingkan
dengan orang lain yang lebih susah. Lansia korban tsunami misalnya masih merasa
beruntung hanya kehilangan satu anak putri karena bencana tsunami dibanding orang
lain yang kehilangan lebih banyak anggota keluarga. Istri dari pasangan lansia ini
mengatakan:
Ya kita kan gini, kehendak Allah milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja
udah. Terus mikir lagi gini, oh cuman saya satu, kalau orang lain pada habis.
Ngeliat keliling kita, sekeliling kita. ... Masih bersyukur alhamdulillah saya
Cuma satu, kakak saya tuh enam orang. Kakak saya enam orang: suami,
anak, cucu, mantu, iya. Terus mikir lagi yang lain-lain lagi itu yang habis
total, habis total. Terus mikir itu hilang lagi. Dia udah udah barangkali orang
tuh udah kan mati syahid. (Nrn, 27/5/2013)
Hal yang sama ditunjukkan lansia home care yang tinggal sendiri dan banyak
bergantung pada orang lain. Meskipun hidupnya susah, nenek Msn berupaya berpikir
positif bahwa bagaimanapun hidupnya tidak lebih buruk dari orang lain.
Ya kalau ini dek. Ya saya suka itu-na. Asal ngeliat tetangga saya, lebih-lebih
saya susahna. Tuh saya suka itu ya, oh orang-orang juga ada yang kayak
lebih-lebih kayak saya, kata saya juga. Rumah ngontrak, kata saya gitu, saya
suka itu (merenung) dek.. sudah susah kayak kita, ya bukan saya aja yang
nggak punya suami, ada juga yang pada punya suami yang masih pada muda
juga, rumah pada ngontrak. Kerjanya pada, ya begitu dek, ngupas udang,
ngupas ikan, ngupas kerang ya, itu tuh, dek. Suka rada mendingan gitu, ah
kita.. nggak pernah, alhamdulillah, kata saya, jangan sampe minta-minta ama
yang kuasa, kata saya jawab saya, hidup susah juga saya (jangan) sampe...
kata saya, kayak gitu dek, udah tua, kata saya. (Msn, 16/6/2013)
Di balik rasa kesepian dan keterisolasian dengan keluarga, sebagian lansia
masih bersyukur tinggal di panti. Nenek Alm misalnya mensyukuri karena berkat di
panti ia punya keterampilan dan kesibukan membuat boneka dari anyaman benang
yang bisa dijual.
Iya, masih ada hasilnya. Apalagi kalau banyak anak-anak (pengunjung dan
praktek di panti) kemaren. Banyak-anak-anak mas, ...saya bisa setor 300
(ribu), bisa setor 250, bisa setor 170. Aduh kayaknya, ya Allah saya di sini
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
204
asal (selalu mengucap) alhamdulillah. Di sini hidup saya bisa meningkat
(secara ekonomi) gitu kan, walaupun... dikasih makan pemerintah. ...
Bersyukur saya bisa ngasih temen-temen yang bener-bener nggak ada yang
nengok dan bener-bener nggak ada duit... (Alm, 6/6/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
205
BAB 6
MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL
Bab 6 ini (bersama Bab 7) merupakan bagian pembahasan terhadap hasil
penelitian. Bab 6 ini membahas hasil penelitian dari jawaban pertanyaan penelitian
pertama dan kedua yang memiliki relevansi bagi pembuatan model pelayanan sosial
berbasis spiritual bagi lansia. Dalam mengonstruksi model, pada bab ini juga dibuat
tipologi untuk masing-masing praktisi dan lansia. Berikutnya diuraikan kompetensi
praktisi yang diperlukan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang
sadar akan spiritualitas diri praktisi dan klien lansia. Pada bagian terakhir dibahas
pula sejumlah implikasi dari sisi teori, praktik, dan kebijakan.
Pembahasan hasil temuan di sini merupakan refleksi terhadap konsep atau
kategori yang muncul dalam analisis yang sekiranya relevan bagi model-model yang
akan diketengahkan dalam bab ini. Bahan-bahan untuk pembahasan terhadap
sejumlah kategori atau tema dan pembuatan model dalam bab ini diambil tidak saja
dari spiritualitas praktisi, spiritualitas lansia juga turut dipertimbangkan.
6.1. Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia
Seperti telah dijelaskan dalam latar belakang penelitian, kualitas pelayanan
sosial sangat ditentukan oleh interaksi antara praktisi dan klien. Spiritualitas
keduanya menjadi komponen penting, di antara ragam komponen penting lain, yang
turut menentukan karakteristik suatu interaksi. Meskipun demikian, realitas praktik
layanan mengindikasikan bahwa sampai tahap tertentu spiritualitas praktisi lebih
mewarnai interaksi tersebut sehingga menentukan arah dan tujuan dari suatu layanan.
Sejalan dengan hal ini, sebagai langkah awal dalam pembuatan model pelayanan
sosial, sejumlah tema atau kategori yang terekspresikan secara dominan dari
informan praktisi dapat dijadikan sebagai bahan model pelayanan berbasis spiritual
bagi lansia.
Sejumlah kategori atau tema dari informan praktisi, seperti tampak pada
Lampiran 13 (Tabel 13.1), dinilai cukup signifikan (outstanding) untuk membangun
model. Kategori atau node yang dimaksud, dengan mengacu ke pertanyaan penelitian
pertama, adalah: (1) kategori #arti spiritualitas, yang terdiri dari node @pemahaman
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
206
pribadi dan @pengaruh dari diklat; (2) @afiliasi-praktik keagamaan; (3)
@keyakinan-nilai; (4) @“di balik ujian ada hikmah”; dan (5) kategori #komponen
spiritualitas lain, terutama node @kecemasan-harapan. Sementara kalau mengacu
pertanyaan penelitian kedua, tema pentingnya berupa: (1) @motivasi; (2) @nilai-
prinsip etis; (3) @asesmen; (4) kategori #intervensi, yang terbentuk dari node
@intervensi, @contoh kasus intervensi, dan @penanganan akhir kehidupan lansia.
Bagian berikut membahas kategori atau tema tersebut menurut pembagian di
atas, yakni spiritualitas praktisi dan praktik pelayanan.
6.1.1. Spiritualitas Praktisi
Konstruksi spiritualitas praktisi mencakup pemahaman (perspektif) dan
implementasinya, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai living spirituality.
6.1.1.1. Pemahaman spiritualitas
Arti spiritualitas menurut perspektif praktisi diklasifikasikan menurut node
@pemahaman pribadi, @pengaruh dari diklat, dan @spiritual dalam UU kessos.
Seperti tampak pada Tabel 13.1 dalam Lampiran 13, masing-masing node
menunjukkan reference dan coverage yang berbeda. Namun, node @pemahaman
pribadi dan node @pengaruh dari pendidikan-diklat lebih dominan dibanding
@spiritual dalam UU Kessos. Kedua node awal diutarakan oleh delapan atau tujuh
informan, sementara node yang terakhir hanya disinggung oleh empat praktisi. Di
antara sembilan praktisi, informan SM selalu menyinggung ketiga node dan paling
banyak. (Lihat Tabel 13.2 dalam Lampiran 13)
Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa para informan praktisi memahami
spiritualitas sebagai konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan,
akhlak, dan hubungan vertikal dengan Tuhan. Ada juga yang menyinggung aspek
batin, batiniah, atau bagian yang tidak tampak dan dorongan hati nurani, meskipun
hal ini tampaknya merupakan hasil dari pengaruh interaksi dengan peneliti ketika
informan menginginkan contoh atau ilustrasi terkait istilah spiritualitas..
Pemahaman spiritualitas para praktisi dalam konteks layanan bagi lansia
jamakanya dibentuk oleh pendidikan dan institusi beserta kebijakannya. Namun,
hasil eksplorasi menunjukkan tidak ada perbedaan berarti dengan pengertian awam
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
207
Universitas Indonesia
di atas, misalnya agama, keagamaan, penerapan agama, hubungan vertikal,
pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan kebutuhan rohani. Singkatnya,
spiritualitas yang dipahami para praktisi kessos lebih merujuk ke ritual keagamaan
dan sebagian ekspresi spiritualitas. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa kebijakan
pelayanan tetap menunjukkan pengaruh terhadap pemahaman praktisi, meskipun
sedikit. Di antaranya terkait penjelasan regulasi pelayanan sosial lansia tentang arti
religius yang sebenarnya merujuk ke makna spiritualitas.
Tidak dijumpainya perbedaan berarti antara pemahaman awam dengan
praktisi dalam konteks pelayanan tidaklah mengherankan. Alasannya, sejak awal
penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum menjadi isu penting
dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Itulah mengapa di sini tidak
cukup menghasilkan konseptualisasi spiritualitas praktisi seperti halnya penelitian
Canda (1986) terhadap sejumlah pekerja sosial Amerika Utara.
Seperti juga telah dijelaskan dalam Bab 4, istilah spiritualitas belum cukup
familiar di telinga para praktisi. Istilah ini dipandang tidak memiliki perbedaan arti
secara signifikan dengan kata spiritual. Padahal kalau merujuk ke sejumlah literatur,
kedua istilah tersebut punya perbedaan makna. Kata spiritual berarti sesuatu yang
bersifat imaterial (Bagus, 2000) atau berhubungan dengan spirit, yang suci
(Hendrawan, 2009). Menurut Swinton (2001), istilah ini punya kaitan erat dengan
spiritualitas, namun tidak sama. Spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial
yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Ketika
pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara
merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas.
Seperti telah dijelaskan di atas, penggunaan istilah spiritualitas seringkali
disilihgantikan dengan agama atau keberagamaan (religiousity atau religiousness).
Hal in terutama ditunjukkan dalam aturan kebijakan pelayanan sosial lansia yang
kemudian mempengaruhi pemahaman praktisi tentang spiritualitas.
Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan
Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan)
dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai
spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan
spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
208
dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Definisi James (1958)
ini telah disampaikan pada Bab 3 dimana agama diartikan sebagai “perasaan,
tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka, sejauh mereka
memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan apa yang mereka anggap sebagai
yang ilahiyah” (p. 42).
Patut disinggung sedikit di sini tentang perbedaan tradisi kesarjanaan
Amerika dan Eropa. Pargament beserta sejumlah besar sarjana Amerika mengambil
definisi agama menurut James yang tampak begitu luas. Perubahan dan perbedaan
dalam mendefinisikan agama dan spiritualitas berakibat pula pada penamaan bidang
disiplin Psikologi Agama. Pargament (1999) berpendapat bahwa karena pengertian
agama juga mencakup sakralitas, maka spiritualitas termasuk di dalamnya.
Singkatnya, spiritualitas didefinisikan Pargament sebagai “pencarian terhadap
sesuatu yang sakral”, sedangkan keberagamaan (religiousness) adalah “pencarian
terhadap hal-hal penting melalui cara-cara yang berhubungan dengan sesuatu yang
sakral” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35).
Sebaliknya, Stifoss-Hanssen, yang mewakili sarjana Eropa kebanyakan,
mendefinisikan spiritualitas dengan cakupan yang lebih luas dibanding agama
(Stifoss-Hanssen, 1999). Pandangan Stifoss-Hanssen ini selaras dengan apa dipegang
oleh Zinnbauer yang mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian pribadi ataupun
berjamaah terhadap sesuatu yang sakral” sementara religiousness diartikan sebagai
“pencarian pribadi atau berjamaah terhadap sesuatu yang sakral yang terkandung
dalam konteks tradisional terkait sakralitas” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35).
Sebagai perbandingan, Hugen (2001, p.13) mengartikan religiousness sebagai
“kadar dan pola ekspresi spiritualitas seseorang dalam konteks agama formal.” Ini
tidak terlepas dari posisi yang dipegang Hugen bahwa agama lebih merujuk ke kulit
luar dari keyakinan, sementara spiritualitas adalah esensinya, yakni perasaan batin
dan pengalaman pribadi tentang kehadiran Tuhan (p.12).
Dalam penelitian ini, terkait cakupan mana yang lebih luas antara agama atau
spiritualitas, peneliti mengambil posisi yang sama dengan kesarjanaan Eropa secara
umum, yakni spiritualitas memiliki cakupan lebih luas ketimbang agama.
Dalam berbagai literatur, spiritualitas dipahami dan didefinisikan secara
beragam dari waktu ke waktu. Bagaimana istilah ini beserta religiousness dipahami
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
209
Universitas Indonesia
dan didefinisikan tergantung warisan agama leluhur, kultur, generasi, dan
kebangsaan (Gall, Malette, & Guirguis-Younger, 2011, p. 180). Dalam disiplin ilmu
pekerjaan sosial, istilah ini dimaknai seputar pencarian makna, tujuan hidup,
hubungan, dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga
memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan
maupun non-keagamaan.
Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau
penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar
mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau
komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian,
makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral
(Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow,
2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison, 2001
dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti
transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun
hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi.
Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr.
(2006), terkait dengan sesuatu yang melampaui keterbatasan fisik dan
menghubungkan seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari
dirinya. Sementara, sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan,
sesuatu yang ilahiah, dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain”
(Pargament, 2007, p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang
melampaui Tuhan" (God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep
personal Tuhan Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat
pedalaman juga dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12).
Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam
konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009),
Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan
Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak
dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig,
McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament
(2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
210
Berbeda dengan tradisi akademis di Barat yang telah sangat maju, dunia
akademik dan masyarakat Indonesia pada umumnya lebih familiar dengan istilah
agama, keagamaan (religiositas), atau keberagamaan dibanding spiritualitas. Sebagai
contoh, Romo Mudji tampaknya lebih sering menggunakan istilah “religiositas”
(keberagamaan) untuk konteks masyarakat Indonesia ketimbang spiritualitas atau
kerohanian. Menurutnya, religiositas merupakan kesadaran batin manusia akan nilai
dan tujuan hidup yang dalam prosesnya tergantung pada hubungan mereka dengan
Tuhan (Sutrisno, 2012). Hal ini menandakan bahwa sebagian dari makna religiositas
menurut Romo juga merepresentasikan spiritualitas.
Di sisi lain, sebagai perbandingan, ada juga sebagian ahli yang sering
menyinggung istilah spiritualitas. Komaruddin Hidayat kerap menggunakan istilah
spiritualitas dan juga keagamaan, keberagamaan, dan moral atau moralitas. Sejumlah
buku karyanya, seperti dalam Hidayat (2009, 2012, & 2013), secara intens
menyinggung istilah-istilah tersebut dengan mengangkat isu-isu eksistensial, seperti
mati, kematian, sakit, penderitaan, keterasingan, pengalaman mistik, hidup
bermakna, dan kebahagiaan. Tanpa mendefinisikan spiritualitas dari segi bahasa atau
makna yang memang tidak mudah, Hidayat menggambarkan istilah ini melalui
berbagai isu keseharian tersebut. Spiritualitas yang digambarkan dalam bukunya
dapat bersumber dari agama dan luar agama. Ia mengatakan bahwa spiritualitas tidak
sepatutnya menjadi sekadar objek kajian semata, akan tetapi aspek dengan domain
yang sangat luas ini harus ditempatkan pada posisi sentral sebagai “inti dari denyut
iman dan keberagamaan” (Hidayat, 2013, p. 42).
6.1.1.2. Living spirituality
Seiring dengan cara sejumlah ahli di Indonesia dalam menggambarkan
spiritualitas melalui isu-isu kemanusiaan, seperti Romo Mudji dan Komaruddin
Hidayat di atas, penelitian ini telah berupaya mengeksplorasi tidak saja bagaimana
mereka memahami aspek ini dan menjalankan agamanya, tetapi juga bagaimana
mereka menghadapi dan memaknai persoalan kehidupan. Hasil temuan menunjukkan
sejumlah komponen yang mengekspresikan spiritualitas praktisi, seperti keterlibatan
dalam kelompok agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk
respons ketika menghadapi musibah, kecemasan, dan harapan. Spiritualitas juga
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
211
Universitas Indonesia
banyak diekspresikan dalam ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara
pribadi maupun berjamaah bersama komunitas.
Komponen-komponen tersebut sebagian ditunjukkan oleh hasil identifikasi
pada awal bab ini berupa tema atau kategori yang dinilai signifikan. Selain kategori
arti spiritualitas yang telah dibahas sebelum ini, ada tiga node lain yang membentuk
kategori besar pemahaman dan pengalaman spiritual praktisi, sebagaimana tampak
pada Bab 4, yakni node @afiliasi-praktik keagamaan, @keyakinan-nilai, dan @”Di
balik ujian ada hikmah”. Di antara ketiganya, node @keyakinan-nilai adalah yang
paling banyak dibicarakan informan praktisi dan yang paling sering disinggung
dalam interview dengan informan YL, namun tidak lebih intens dari informan HN
dan FS. Node yang disinggung terbanyak kedua adalah @”di balik ujian ada
hikmah”, yakni oleh tujuh informan. Sementara yang paling rendah di antara
ketiganya adalah node @afiliasi-praktik keagamaan yang diungkap enam informan.
Perhatikan Tabel 13.3 pada Lampiran 13.
Node berikutnya yang masuk kriteria sebagai tema/konsep yang relevan
dalam spiritualitas praktisi adalah @kecemasan-harapan, sebagai salah satu node
dalam kategori #komponen spiritualitas lain. Tema ini dibicarakan oleh hanya lima
orang informan sebanyak 13 kali. Di antara semua informan, YL adalah praktisi yang
paling sering menyinggung soal kecemasan dan harapan, yakni lima kali. Namun
dari sisi cakupan dalam wawancara, FS paling intens membahasnya. (Tabel 13.4,
Lampiran 13)
Seperti telah dijelaskan di atas, spiritualitas praktisi tidak saja digali dari
sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas
itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan,
sikap, maupun tindakan.
Bagi sebagian besar informan praktisi, istilah spiritualitas tidak cukup dikenal
dan pemahaman yang dipegang kurang menyentuh pengertian universal, yakni
pencarian makna dan tujuan hidup (Hinnels, 1995). Meskipun begitu, pada
kenyataannya mereka bukan berarti tidak punya sisi spiritualitas, karena spiritualitas
yang mereka miliki tidaklah dipahami atau didefinisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu
diamalkan atau dijalani dalam keseharian dan interaksi mereka dengan klien lansia.
Dalam tingkatan spiritualitas menurut Hinnels, spiritualitas semacam ini termasuk
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
212
pada tingkatan praksis atau pengalaman, yang dapat bersumber dari agama maupun
non-agama. Dalam penelitian ini, spiritualitas yang diamalkan atau dijalani
diistilahkan sebagai ‘living spirituality’.
Berdasarkan tema atau kategori yang teridentifikasi, dapat dikatakan bahwa
living spirituality para praktisi dipengaruhi oleh dan sekaligus terpantul dalam
praktik dan afiliasi keagamaan, keyakinan dan nilai yang dipegang, pemaknaan
terhadap pengalaman hidup, serta sejumlah komponen spiritualitas lain. Dalam
penelitian ini, living spirituality diposisikan sebagai konsep sentral dalam model
pelayanan sosial lansia yang sadar secara spiritual. Konsep sentral yang dimaksud
dapat mengacu pada konsep Canda dan Furman (2010) yang menjadikan spiritualitas
sebagai inti atau jantung dari pertolongan. Selaij itu, keduanya mengibaratkan
spiritualitas, seperti juga dikutip Moss (2002, p. 37), “sebagai jantung dari sikap
empati dan perhatian, denyut nadi rasa belas-kasihan, aliran darah dari kearifan
praktik, dan tenaga yang menggerakkan tindakan melayani.”
6.1.2. Praktik Pelayanan Sosial Lansia
Selanjutnya, terkait implementasi dari pemahaman atau sisi-sisi spiritualitas
praktisi dalam pelayanan, node @motivasi dianggap penting karena secara konsisten
disinggung hampir merata oleh seluruh informan, kecuali praktisi TY yang
menyinggung hanya sekali. Node @nilai-prinsip etis juga cukup signifikan dalam
pelayanan, meski hanya sepuluh kali dibicarakan oleh enam informan. (Tabel 13.5,
Lampiran 13)
Komponen spiritualitas praktisi berikutnya yang sangat penting dalam
pembentukan model adalah asesmen dan intervensi karena keduanya menjadi
tahapan utama dalam layanan. Kedua tema ini selalu dibahas oleh setiap informan.
Meski tidak semasif node @intervensi, tema asesmen dalam node @asesmen muncul
dengan frekuensi cukup tinggi dalam wawancara (lihat Tabel 13.5, Lampiran 13).
Sementara node @intervensi disampaikan praktisi sebanyak 55 kali kepada peneliti.
Walaupun tidak sebanyak informan YL dalam menyinggung soal intervensi (sebelas
kali), informan TY relatif lebih banyak membahas tema ini sepanjang wawancara.
(Tabel 13.6, Lampiran 13)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
213
Universitas Indonesia
Dalam kategori intervensi terdapat node @contoh kasus intervensi dan
@penanganan akhir kehidupan lansia. Node pertama disinggung tujuh informan
dalam 19 kali, sedangkan node kedua oleh delapan informan dalam 23 kali. Dalam
wawancara dengan informan YL yang dilakukan pertama kali, kedua tema ini belum
muncul selama wawancara. Sementara pada praktisi home care HT, node @contoh
kasus intervensi tidak pernah dibicarakan, sebaliknya praktisi WN paling sering
menyinggung kedua tema ini. (Tabel 13.6, Lampiran 13)
6.1.2.1. Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial
Living spirituality beserta sejumlah komponen spiritualitas yang telah dibahas
di atas sangat membentuk bagaimana motivasi praktisi memberikan layanan dan
membantu lansia. Dari hasil wawancara, motivasi para praktisi cukup bervariasi dari
mulai karena mencintai pekerjaan, menyukai bidang kemanusiaan, jiwa sosial,
hingga dorongan ibadah karena Tuhan tanpa mengharap imbalan (lillâhi ta’âlâ).
Canda dan Furman (2010) menganggap serangkaian motivasi melayani lansia seperti
ini dapat muncul dari adanya dorongan atau hasrat yang bersifat spiritual (spiritual
drive). Menurut Canda dan Furman (2010, p. 81), spiritual drive merupakan salah
satu kategori manifestasi spiritualitas yang mendasari praktisi dalam memaknai
pengalaman batin; menemukan makna dan tujuan hidup; dan mencari
keterhubungan, integritas, dan totalitas.
Dengan demikian, living spirituality pada gilirannya, entah langsung atau
tidak langsung, mempengaruhi dan membentuk wujud praktik penanganan lansia.
Sebagai contoh, konsep penemuan makna dan hikmah sebagai salah satu ekspresi
living spirituality akan membentuk bagaimana interaksi praktisi-klien dan intervensi
seperti apa yang muncul. Penderitaan yang dilalui dianggap praktisi sebagai takdir
Tuhan yang harus diterima dan memandangnya sebagai ujian atau peringatan. Salah
seorang informan mengatakan “di balik ujian ada hikmah”. Keyakinan dan
pemaknaan seperti itu bisa jadi akan diproyeksikan terhadap lansia yang mereka
tangani. Dari pengalaman hidupnya, praktisi tahu bagaimana harus berempati
terhadap penderitaan lansia, memahami kesulitannya walaupun tidak sama,
memperlakukannya seperti orang tua sendiri, dan menawarkan cara atau jalan keluar
untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Hal-hal seperti itu kadang tidak
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
214
dipelajari dalam pendidikan atau pelatihan pekerjaan sosial, namun justru
pengalaman hidupnya lah yang lebih berperan bagaimana menghadapi lansia.
Dari contoh tersebut, wujud praktik pelayanan yang didasari spiritualitas
dipengaruhi oleh praktik pekerjaan sosial profesional dan juga akan membentuk
seperti apa asesmen dan intervensi yang dilakukan praktisi ketika menangani klien
lansia. Hal ini kurang-lebih dapat terbangun dari berbagai elemen pokok yang
berasal dari sejumlah tema atau kategori yang muncul dari informan praktisi. Dengan
demikian, kategori penting yang telah dibahas sebelum ini dapat dijadikan sebagai
bagian-bagian yang dapat membentuk struktur pelayanan sosial lansia berbasis
spiritualitas.
Terkait motivasi praktisi melayani lansia, yang menarik di sini adalah bahwa
hampir semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek
sendiri. Satu sisi, menganggap klien laksana orang tua atau nenek-kakek sendiri tentu
akan lebih mengintensifkan interaksi praktisi-klien, meningkatkan kepercayaan klien,
dan pada gilirannya akan membuat pelayanan lansia semakin efektif. Namun, di sisi
lain motivasi tersebut tentu sudah melibatkan unsur emosi-perasaan dan bersifat
personal. Kondisi seperti ini bisa dilihat sebagai pelanggaran tersendiri di hadapan
pekerjaan sosial konvensional yang menganut paradigma medikal.
Terkait paradigma medikal dalam pekerjaan sosial, Shulman (1991)
menganggap bahwa menolong secara profesional itu tidak termasuk proses dimana
pekerja sosial diharapkan mempengaruhi intervensi. Intervensi dipandang sebagai
hasil kajian dan diagnosis semata. Praktik pekerjaan sosial medikal menggunakan
paradigma diagnostik tiga langkah, yang hanya fokus pada bagaimana memahami
klien, bukan pada proses interaksi antara pekerja sosial dengan klien. Tiga langkah
yang dimaksud berupa diagnosis, penanganan (treatment), dan evaluasi. Dengan kata
lain, paradigma ini hanya fokus pada masalah atau kekurangan klien (patologis),
sementara kekuatannya (strength) kurang menjadi perhatian (p.13-4). Selain itu,
paradigma ini didominasi oleh dikotomi atau dualisme antara pekerja sosial sebagai
profesional dengan pekerja sosial selaku personal. Artinya, pekerja sosial harus
bersikap berbeda selaku individu dengan ketika ia berhadapan dengan klien yang
mesti menunjukkan sikap-sikap profesional (p. 15).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
215
Universitas Indonesia
Terkait dikotomi praktisi sebagai profesional atau personal itulah yang bisa
menjadi masalah bagi motivasi melayani lansia yang bersifat personal atau dorongan
ibadah seperti di atas. Dengan begitu, spiritualitas menjadi tampak tidak koheren
dengan profesi pekerjaan sosial yang harus memegang teguh nilai dan prinsip etis.
Namun, bagi Shulman (1991, p. 15) yang memromosikan paradigma interaksional,
justru dengan anggapan tentang dikotomi atau dualisme personal dan profesional
tersebut, pekerja sosial sebenarnya tidak memraktikkan beberapa prinsip etis dalam
pekerjaan sosial, seperti genuineness (kesejatian, apa adanya, atau tidak berpura-
pura) dan spontanitas (spontaneity) ketika berinteraksi dengan klien. Paradigma atau
model interaksional ini memang merupakan ciri khas pekerjaan sosial sebagai bentuk
kritik terhadap pendekatan medikal dalam menangani masalah kesehatan mental.
Model interaksional pertama kali diusung oleh Thomas Szasz pada dekade 1950-an
(Zastrow, 2004; Pritchard, 2006).
Koherensi antara spiritualitas dan pekerjaan sosial diakui oleh sejumlah
informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Terkait motivasi
melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien sebagai orang tua sendiri,
seorang informan mengakui bahwa hal itu memang bersifat pribadi. Namun, profesi
pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan tidak bisa dipisahkan dengan nilai
atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati nurani.
Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama
dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial
sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak
hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang
masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia.
Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan
dalam hal ini pelayanan sosial (TY, 26/6/2014).
6.1.2.2. Asesmen spiritual
Selama penelitian, peneliti telah melakukan penelusuran terhadap catatan
dalam formulir yang ada kaitannya dengan aspek keagamaan dan/atau spiritualitas
dari sejumlah klien lansia, terutama yang menjadi calon informan. Namun cukup
sulit diketemukan catatan yang relevan dengan tema spiritualitas. Bahkan melalui
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
216
serangkaian wawancara, para praktisi tidak pernah menyinggung contoh metode atau
instrumen asesmen spiritual tertentu untuk menggali spiritualitas klien.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa mereka begitu asing dengan metode
yang sebenarnya sudah umum digunakan, terutama di dunia Barat. Contohnya seperti
spiritual history menurut David Hodge yang instrumennya berupa spiritual map atau
spiritual genogram (Hodge, 2001a/b). Belum lagi sejumlah metode lain untuk
konteks tertentu atau klien khusus. Untuk menyebut sebagian, Mohr dan Huguelet
(2009) juga relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit
berat dan Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat
eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum
dialami lansia. Pada intinya, sejauhmana spiritualitas praktisi terekspresikan dalam
melakukan asesmen sangatlah tergantung pada pemahaman dan kapabilitas praktisi
untuk mengartikulasikannya dalam interaksi.
Karena minimnya asesmen spiritual, peneliti lebih berupaya mengeksplorasi
bagaimana praktisi melakukannya. Sampai tingkat tertentu, spiritualitas lansia telah
digali namun tidak dicatat dalam formulir yang tersedia. Ditemui paling tidak dua
konsep utama yang menarik terkait asesmen spiritual di kalangan praktisi. Pertama
adalah asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin. Asesmen semacam ini
dilakukan secara terus-menerus melalui interaksi yang intensif dengan klien lansia.
Menurutnya, hasil penggalian yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali
belum mengungkap masalah lansia atau faktor individu tertentu secara mendalam,
termasuk dimensi spiritual. Hal-hal ini akan tergali melalui asesmen terus-menerus
dan interaksi intensif. Kedalaman spiritualitas dalam asesmen sangat tergantung dari
living spirituality praktisi beserta komponen spiritual yang mempengaruhi.
Kedua terkait asesmen yang dilakukan pendamping home care. Mereka
melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara
kekeluargaan. Hasil asesmen seringkali tidak dicatat dalam formulir. Ketika
menyinggung soal keagamaan klien, sebagian pendamping tidak berani
menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu, hingga si
lansia sendiri yang memulai. Apabila merujuk ke model skema asesmen spiritual
yang ditawarkan Moore (2003, p. 560), hal ini tampak agak sesuai meskipun tidak
sistematis dan dalam konteks yang lebih sempit. Aspek yang dimaksud terkait
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
217
Universitas Indonesia
asesmen relevansi spiritualitas bagi klien dengan melihat-lihat kondisi apakah
praktisi memulai menyinggung soal agama dan spiritualitas atau cenderung
menunggu sampai klien sendiri yang menyinggung.
Begitupun dengan salah satu prinsip evidence-based practice ala Hodge
(2011), untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas secara etis dan profesional,
pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen apakah spiritualitas
relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini dikuatkan dengan
pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai proses menerus
yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah (p. 150-1).
Satu hal menarik lain tentang apa yang dilakukan seorang pendamping home
care adalah pendekatan awal untuk menarik lansia aktif dalam kegiatan agama di
masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang
bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan
pelan-pelan. Kemudian mereka juga dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya.
Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan.
Menyadari minimnya asesmen spiritual yang dilakukan para informan
praktisi, upaya menyusun daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual dilakukan
berdasarkan data temuan dari informan klien lansia. Oleh karena itu, daftar
pertanyaan tersebut disusun berdasarkan sejumlah tema spiritual yang teridentifikasi,
seperti telah dibahas pada bab sebelumnya. Tabel 6.1 menghimpun pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Penggunaannya disesuaikan dengan tipologi praktisi dan klien
yang akan dibuat pada bagian berikutnya.
6.1.2.3. Intervensi spiritual
Setelah asesmen, tahap berikutnya adalah rencana intervensi dan
implementasinya. Asesmen dan intervensi kadang bukan tahapan terpisah, namun
bisa dilakukan secara paralel beriringan. Bahkan asesmen dapat menjadi bagian dari
intervensi itu sendiri. Teknik utama yang umum para praktisi berupa mendengarkan
cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang.
Sebagian praktisi mengakui hal ini tidak bisa dilakukan secara instan, namun harus
melalui interaksi intensif agar para lansia bebas bercerita. Selain itu, intervensi
dilakukan ketika telah terbangun semacam hubungan baik (rapport) dan unsur
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
218
kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka merasa nyaman membuka diri (self-
disclosure) kepada praktisi.
Tabel 6.1. Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual berdasarkan tema yang muncul
Tema Contoh daftar pertanyaan Keberagamaan lansia • Apa saja ibadah atau ritual yang rutin dilakukan setiap hari,
baik sendiri maupun dengan berjamaah? • Apa saja kegiatan agama yang diikuti di panti atau sebelum di
panti? • Adakah peran atau tanggung jawab dalam kegiatan keagamaan
tersebut? Sebutkan apa saja! • Ibadah atau kegiatan agama apa yang paling disukai?
Mengapa? • Adakah amalan, selain ibadah atau aktivitas agama di atas,
yang dilakukan secara khusus? Mengapa atau untuk apa amalan tersebut dilakukan?
• Adakah keyakinan atau kepercayaan tertentu yang pernah atau sampai saat ini dipegang? Bisa disebutkan dan darimana keyakinan itu didapat?
Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup
• Dengan pengalaman atau penderitaan hidup yang dilalui hingga saat ini di sini, bagaimana melihat atau menilai diri-sendiri?
• Apakah sudah merasa puas dengan hidup yang sudah dijalani sejauh ini hingga saat ini? Mengapa?
• Adakah pertanyaan yang muncul terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasib seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada diri ini? Bisa disebutkan pertanyaan tersebut?
• Dari pertanyaan yang muncul dari dalam diri, apakah sudah ditemukan jawabannya? Apa itu?
Relasi, kedekatan, dan isolasi
• Seberapa sering keluarga (kalau masih punya) datang berkunjung? Kalau sering, seberapa penting kehadiran mereka? Kalau jarang atau tidak pernah, bisa dijelaskan mengapa?
• Tinggal di panti terpisah dari keluarga, bagaimana perasaan saat ini?
• Adakah teman atau teman dekat di sini yang biasa ngonrol atau dimintai bantuan? Bisa dijelaskan?
• Ketika merasa kesepian, apa yang dilakukan? Bisa dijelaskan? • Ketika sedih, kepada siapa mengadu? • Ketika mengingat (atau dzikir) dan mengadu kepada Tuhan,
bagaimana perasaannya setelah itu? Doa • Doa apa saja yang biasa dipanjatkan?
• Adakah doa khusus untuk diri sendiri, keluarga, atau orang-orang terdekat yang sudah meninggal? Bagaimana doanya?
Harapan dan kecemasan • Adakah hal-hal yang diharapkan atau diinginkan lebih dalam hidup ini?
• Adakah sesuatu yang dicemaskan atau ditakutkan dalam kehidupan yang dijalani?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
219
Universitas Indonesia
Harapan dalam menghadapi akhir hayat
• Apa saja harapan nanti kalau seandainya kematian akan datang menjemput?
• Seandainya tidak ada umur, dimana ingin dikubur dan siapa yang mengurus?
• Adakah harapan tertentu ketika meninggal dan setelah meninggal? Apa saja?
Merasa berguna dan dicintai
• Hal-hal apa saja yang bisa membuat senang atau bangga di sini? Mengapa hal itu membat senang dan bangga?
• Apakah sering diminta atau memberi bantuan untuk sesama penghuni atau petugas panti? Bagaimana perasaannya ketika memberi bantuan? Mengapa?
• Apakah merasa senang ketika keluarga datang menengok? Mengapa?
• Sebaliknya, bagaimana perasannya ketika keluarga jarang atau tidak pernah menjenguk? Mengapa?
Mengenang masa lalu (reminiscence)
• Apakah suka menceritakan masa lalu? • Hal-hal apa saja yang sering diceritakan? • Kepada siapa suka berbagi cerita? Mengapa?
“Mengheningkan cipta” • Apakah senang tinggal di panti? Mengapa? • Apakah menerima keberadaan di sini tinggal di panti?
Mengapa? • Apa yang ingin dilakukan di panti agar membuat senang dan
marasa tenang dan nyaman di sini? Memaafkan • Barangkali mungkin pernah melaukan suatu kesalahan di masa
lalu, apakah memaafkan diri sendiri? Mengapa? • Atau mungkin orang-orang terdekat pernah menyakiti atau
membuat kecewa, apakah telah memaafkannya? Mengapa? Kegemaran, hobi, dan kreativitas
• Adakah kegemaran atau hobi di masa lalu masih bisa dilakukan di sini? Kalau ya, sebutkan dan mengapa? Kalau tidak, mengapa?
• Apakah di sini belajar keterampilan baru atau mengembangkan kreativitas? Bisa diceritakan?
• Dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, adakah manfaatnya? Jelaskan.
Respons terhadap penderitaan
• Bagaimana melihat penderitaan hidup yang dialami? Atau, penderitaan tersebut dianggap sebagai apa?
• Bagaimana menyikapi penderitaan tersebut? • Dengan hidup menderita berkepanjangan, apakah marah
kepada orang lain? Atau marah dengan Tuhan? Mengapa? • Adakah makna atau pelajaran yang bisa dipetik dari
pengalaman tidak mengenakkan itu?
Sejumlah praktisi mengatakan teknik intervensi yang dilakukan hanyalah
standar, tidak sampai menggunakan teknis khusus. Seorang informan peksos ahli
mencontohkan hanya memberikan dorongan bagi lansia dan membicarakan
kewajiban-kewajiban bagi penganut agama secara umum dengan menghindari kesan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
220
mendikte atau memaksa mereka. Pemberian motivasi juga dinilai lebih efektif dan
mudah diterima apabila dilakukan secara individu, ketimbang secara kolektif melalui
bimbingan kelompok atau pengajian agama, misalnya.
Untuk menghindari penolakan dari klien karena pengaruh masa lalu atau
sebab lain, seorang praktisi tidak langsung masuk dengan menyinggung agama,
selain harus melihat-lihat kondisi klien. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan
semacam pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si
klien melalui penalaran ringan (common-sensing). Praktisi ini menyebutnya sebagai
pendekatan secara “manusiawi” atau “wajarnya”. Misalnya, seperti dicontohkan
praktisi TY yang menyentil lansia melalui pertanyaan: “Kira-kira sih kalau misalnya
Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi contoh, mungkin jadi
kurang pantes Pak seandainya begini” (TY, 26/6/2014)
Berbagai bentuk intervensi oleh para informan tersebut, baik yang mereka
anggap sebagai berbasis spiritual-agama maupun tidak, dapat dikatakan sebagai
intervensi spiritual. Seperti halnya Canda dan Furman (1999/2010) yang berpendapat
bahwa sebetulnya segala bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat
digunakan dalam praktik yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam
kerangka nilai dan konteks pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang
penting adalah bahwa praktisi harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan
spiritualitas ketika melakukan praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau
berbicara dengan klien.
Senada dengan di atas, Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011),
mendefinisikan intervensi spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan
dimensi spiritual atau agama sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149).
Berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah dibuat oleh
banyak ahli. Holloway (2007, p. 276) mencontohkan Canda dan Furman; Furman et
al.; Gilligan, Gilligan dan Furness; Burton (teologi pastoral); Fowler (spiritual
development and review); Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’);
Nouwen dan Campbell (‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’); Thompson
(pencarian eksistensial); dan Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun,
Holloway menganggap Canda dan Furman sebagai yang paling lengkap dan detail.
Dalam buku mereka, Spiritual Diversity in Social Work Practice (diterbitkan 1999
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
221
Universitas Indonesia
dan telah direvisi 2010), Canda dan Furman memang merinci contoh-contoh teknik
pemberian pertolongan yang berorientasi spiritual secara lengkap, baik praktik
dengan individu, keluarga, kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas.
Dari persoalan spiritual lansia dan spiritual tasks yang telah dibahas di bab
sebelumnya, di sini dirinci sejumlah contoh intervensi yang bisa dianggap sensitif
secara spiritual didasarkan atas pengalaman dan ungkapan informan itu sendiri.
Perhatikan Tabel 6.2 berikut ini:
Tabel 6.2. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual
Masalah lansia Spiritual tasks Contoh intervensi spiritual (spiritual care)
Sedih, murung, patah semangat, putus asa
• Afirmasi • Semangat, daya hidup • Asa/harapan • Reminiscence
� Mengajak ngobrol, bertanya, menghibur � Diberi tugas atau tanggung jawab tertentu
agar lansia merasa berguna � Memberi semangat, perhatian, & kasih
sayang � Memposisikan diri sebagai teman/anak
untuk mengobrol � Melakukan berbagai aktivitas yang
menjadikan lansia merasa dianggap ada (eksistensi)
Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)
• Relationship atau connectedness
• Rekonsiliasi
� Menggunakan sentuhan fisik, eg., mengelus atau menepuk pundaknya.
� Memberi masukan, � Mengajak bicara dari hati ke hati, � Mengingatkan untuk selalu sabar. � Mengajak Doa dan menerangkan fungsi
doa Pertengkaran antar lansia panti
• Masa usia senja yang aman, nyaman & terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti
� Dipanggil, diajak ngobrol, atau diingatkan tentang umur
� Ditanamkan kesadaran hidup senasib di panti agar saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran.
Kecemasan menghadapi akhir hayat
• Preferensi tempat dikubur dan siapa yang mengurus
� Menanyakan secara hati-hati bagi lansia yang masih punya keluarga terkait tempat dan pihak yang mengurus.
� Mencatat & memfasilitasi mereka dengan pihak bersangkutan, terutama apabila saat meninggal ingin diurus keluarga
• Mengumpulkan bekal � Memastikan/mencari tahu lansia yang mengumpulkan/menyimpan bekal materi
� Menanyakan keinginan/tujuan pengumpulan bekal (eg. biaya tambahan untuk penggali kubur agar liang lahat dalam, untuk biaya mendoa/tahlilan/Yasinan)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
222
� Memfasilitasi pelaksanaan keinginan tersebut
• Menghadapi sakrotul-maut
� Mengajari lansia membaca lafadz-lafadz sederhana untuk menghadapi sakrotul-maut
� Mendampingi lansia saat sakrotul-maut � Membacakan Yasin � Menuntun lansia melafadzkan syahadat
• Kematian yang baik dan mudah
� Mencari tahu lansia pemakai susuk melalui berbagai cara
� Mencarikan & mengusahakan sare’at untuk menghilangkan susuk
• Kekhawatiran tidak ada yang urus kematiannya
� Mengikutsertakan lansia home care dalam Rukun Kematian (Rukma)
� Menjelaskan fungsi Rukma dalam membantu mengurus kematian
Urusan yang belum selesai dan harapan sebelum-setelah meninggal
• Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs)
� Membantu mengurus dan memfasilitasi perkara yang belum beres
� Mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya perkara selepas kepergiannya
� Menyediakan form wasiat atau pesan terakhir
� Menjalankan/mewujudkan wasiat dan harapan mereka
Sementara sejumlah bentuk intervensi spiritual, yang memungkinkan untuk
dilakukan dalam konteks pelayanan sosial di Indonesia berdasarkan temuan di
lapangan, ditunjukkan oleh Tabel 6.3 di bawah ini.
Tabel 6.3. Bentuk-bentuk intervensi spiritual
• Ibadah/ritual rutin • Mendengarkan cerita • Sembahyang • Mengobrol ringan secara berkala • Doa • Saling tegur sapa • Wirid dan dzikir • Rekreasi • Baca al-Qur’an atau Alkitab • Ziarah ke tempat-tempat suci • Memberi peran dan tugas dalam kegiatan
keagamaan • Memberikan perhatian kepada setiap
lansia tanpa kecuali • Saling meminta maaf ketika ada salah
atau salahpaham dan bermaaf-maafan di hari lebaran atau acara Syawalan
• Memberikan penghargaan atau hadiah melalui kegiatan atau lomba-lomba ringan
• Menciptakan kemungkinan atau kesempatan agar lansia saling berinteraksi
• Memfasilitasi kegemaran, hobi, dan kreativitas
• Memberi tugas dan tanggung jawab secara individu atau kelompok sesuai kemampuan
• Mendampingi lansia dalam menghadapi kematian dan membekali mereka selagi sehat dengan bacaan saat sakrotul-maut
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
223
Universitas Indonesia
6.2. Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia
Untuk mendukung pembuatan model pelayanan sosial yang sadar secara
spiritual, di sini perlu ada pembedaan tipologi untuk masing-masing praktisi dan
lansia. Asumsinya adalah praktisi dengan tipe tertentu memiliki kecenderungan
menerapkan cara atau model praktik tertentu pula. Begitupun tipologi lansia, suatu
model akan lebih selaras diterapkan untuk suatu tipe lansia ketimbang model lain.
6.2.1. Tipologi Praktisi dan Lansia
Tipologi praktisi dibuat berdasarkan cara mereka merespons pertanyaan
wawancara dan berinteraksi dengan klien, terutama terkait isu spiritualitas atau
keagamaan. Sementara tipologi lansia diklasifikasikan dari sisi pengetahuan agama
dan ketaatannya menjalankan agama. Untuk mempermudah pembahasan, tipologi
praktisi dan lansia diuraikan secara tersendiri.
6.2.1.1. Tipologi praktisi
Ada tiga tipe praktisi dari sisi karakteristik mereka ketika menjawab
pertanyaan dalam wawancara, berinteraksi dengan klien, dan mengekspresikan
keberagamaannya (kapasitas agama dan cara menggunakannya). Karakteristik kedua
dan ketiga juga mempertimbangkan hasil observasi dan dengan menafsirkan
jawaban-jawaban mereka (inferring) pada saat wawancara. Ketiga tipe praktisi
tersebut adalah tipe normatif, fleksibel, dan kearifan diri. Perhatikan Gambar 6.1
berikut ini.
Normatif Fleksibel Kearifan diri
YL, HT, dan SM ED, FS, TY, dan WN MM & HN
Gambar 6.1. Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan self-wisdom sentris
Pengelompokan tipe praktisi ini bersifat kontinum (menerus) karena
perbedaan antar tipe tidak betul-betul terpisah secara tegas. Oleh karena itu,
pemisahan antar tipe ditunjukkan sebagai garis putus-putus. Sebagai contoh, praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
224
SM diklasifikasikan dalam tipe normatif, namun berdasarkan karakteristik
spiritualnya dapat digolongkan juga ke dalam tipe fleksibel.
a) Tipe normatif (praktisi YL, HT, dan SM)
Normatif di sini dilihat dari karakteristik atau kecenderungan jawaban
praktisi dalam wawancara. Misalnya ketika ditanya apa ibadah rutin yang
dirasa paling bermakna, jawabannya adalah semua Rukun Islam. Atau
misalnya pertanyaan bagaimana respons ketika ditimpa kemalangan, ia
mengatakan bahwa ia menerimanya sebagai ketentuan Tuhan. Ia mengatakan
pantang untuk bertanya-tanya kenapa kemalangan tersebut menimpanya,
karena hal itu diartikan sebagai tidak bersyukur atau marah kepada Tuhan.
Ketika misalnya sakitpun tidak boleh mengeluh kepada Tuhan (YL,
30/5/2013)
Praktisi tipe ini punya semacam pretensi untuk menggambarkan atau
menyampaikan informasi lebih tentang diri dan prinsip atau nilai yang
dipegang. Misalnya menceritakan hal-hal yang baik dan ideal tentang diri dan
keluarganya yang taat beribadah. Beberapa jawaban dalam wawancara juga
terkesan kurang apa adanya. Dalam berinteraksi dengan klien, praktisi yang
bersangkutan cenderung agak formal dan berjarak.
Kemudian ada kecenderungan lain bahwa keyakinan dan nilai yang dipegang
ingin diproyeksikan ke klien lansia (self-centred). Hal ini terlihat dari cara
praktisi tipe ini ketika memandang kemalangan yang menimpa klien. Sebagai
contoh, lansia yang di akhir hayatnya banyak ditimpa kemalangan dipandang
praktisi karena mungkin ibadah si klien kurang. Contoh lain misalnya ketika
melihat lansia yang sulit ditangani, menurutnya karena memang lansianya
yang error. Hal ini dapat dilihat dalam hasil coding berupa tema intervensi
yang gagal, terutama untuk praktisi YL dan SM. Sebagai contoh, praktisi SM
beranggapan bahwa lansia yang sudah nge-blank atau error biasanya sudah
tidak pengaruh. Tetapi apabila masa mudanya sudah punya dasar dan
terbiasa, menurutnya akan lebih mudah (SM, 12/6/2013).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
225
Universitas Indonesia
b) Tipe fleksibel (praktisi FS, ED, TY, dan WN)
Dari sisi kapasitas agama (praktik dan ekspresi), praktisi kelompok menengah
ini dapat dikatakan lumayan. Meskipun begitu, ketika menjawab berbagai
pertanyaan dalam wawancara mereka tidak terlalu normatif dengan
pengetahuan agamanya. Sebagai contoh, seperti telah dijelaskan di awal,
meskipun digolongkan dalam tipe normatif, praktisi SM dapat dimasukkan ke
tipe fleksibel apabila dilihat dari sisi ekspresi spiritualitas dalam keseharian.
Menurutnya, meskipun ibadahnya semakin membaik, ia tetap mengakui
mengalami naik-turun dalam menjalankan ibadah, seperti dalam hal sholat
sunnah atau baca al-Qur’an (SM, 12/6/2013).
Mereka cukup seimbang dalam menggunakan ajaran agama atau
menunjukkan ekspresi keagamaan dengan pertimbangan konteks atau situasi
yang melingkupi klien lansia. Dengan kata lain, porsi pertimbangan
akal/rasional dan ajaran/norma agama cukup seimbang.
Selain itu, mereka tampak cukup bijak dalam melihat dan memutuskan
sesuatu. Mereka cenderung bersikap luwes, tidak kaku, dan bisa
memposisikan diri tergantung kondisi atau tipe lansia. Mereka juga memiliki
visi memadukan dan menyelaraskan spiritualitas dan agama dengan profesi
pekerja sosial beserta prinsip etisnya. Lebih jauh, mereka sadar akan
kapasitas diri, sehingga ketika melampaui batas kemampuan diri dalam
menangani lansia, mereka akan merujukkan ke pihak yang lebih mampu.
c) Tipe kearifan diri (praktisi MM dan HN)
Berseberangan dengan tipe normatif, praktisi tipe ini tidak terlalu sering
menyinggung ajaran dan norma agama, namun bukan berarti tidak paham
atau tidak punya kapasitas. Pengetahuan agama mereka dapat dikatakan
standar dan ekspresi keagamaan tidak terlalu ketat, misalnya sebagian praktisi
tidak mengenakan jilbab dan tidak banyak mengutip ajaran atau istilah-istilah
agama. Jawaban-jawaban dalam wawancara terkesan apa adanya, tidak
berpretensi untuk menggambarkan diri sebagai sosok yang ideal (jaga image).
Meskipun dari sisi pengetahuan agama dikatakan standar, mereka tetap
memegang ajaran agama, namun tidak menjadi acuan utama atau satu-
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
226
satunya dalam penanganan. Dalam menangani lansia, praktisi tipe ini lebih
mengandalkan pengalaman atau kearifan diri nya atau yang dimiliki lansia
(lessons learned dari kasus-kasus lansia). Mereka lebih mengutamakan
konteks masalah klien untuk mencarikan jalan keluar. Oleh karena itu,
praktisi tipe ini dapat dikatakan sebagai praktisi yang berpusat pada kearifan
diri (self-wisdom centred).
Keyakinan dan nilai lebih dominan berasal dari pribadi dan keluarga (atau
sosial) dibanding dari agama. Misalnya terkait dorongan atau motivasi
melayani lansia, sebagian praktisi tipe ini menjawab karena alasan
kemanusiaan atau hanya ingin membantu, bukan karena ajaran agama.
Misalnya, ketika ditanya apa motivasi menolong lansia, seorang pendamping
home care menjawab bukan karena anjuran agama, tetapi karena ia ingat
dengan almarhumah ibunya yang semasa hidpnya suka menolong orang lain
(HN, 16/6/2013). Motivasi lain yaitu, misalnya sebagian mengaku, bahwa
dari pada bengong lebih baik mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat.
Ketika menyinggung soal agama atau mengajak lansia beribadah, mereka
melihat-lihat kondisi lansia terlebih dulu. Untuk hal-hal yang sensitif,
misalnya soal agama atau kematian, mereka berupaya tidak menyinggung
lebih dulu hingga lansia sendiri yang memulai berbicara.
6.2.1.2. Tipologi lansia
Tipologi lansia dibuat berdasarkan kapasitas pengetahuan agama dan praktik
agama (ibadah atau keberagamaan). Perlu diingat bahwa pembagian seperti ini bukan
dilihat dari sisi spiritualitas mereka karena dua dimensi kapasitas tersebut tidak bisa
sepenuhnya merepresentasikan spiritualitas praktisi. Untuk mempermudah tampilan
visual, di sini menggunakan koordinat Cartesius dimana sumbu vertikal mewakili
dimensi praktik agama lansia, sementara sumbu horisontal untuk dimensi
pengetahuan agama. Dengan demikian, ada empat kuadran (kuadran I-IV) yang
menggambarkan empat tipe lansia yang berbeda.
Dari keempat kuadran tersebut, hanya dijumpai kuadran I sampai III yang
dijumpai di lapangan, dimana kuadran I mewakili tipe lansia salih, kuadran II untuk
tipe pengikut, dan kuadran III untuk tipe awam. Sementara tipe lansia dalam kuadran
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
227
Universitas Indonesia
IV tidak ditemukan yang menunjukkan kurangnya kapasitas lansia baik dari sisi
ibadah maupun pengetahuan agama. (Perhatikan Gambar 6.2)
Praktik agama (keberagamaan) (sumbu vertikal)
Pen
geta
huan
ag
ama
(s
umbu
hor
ison
tal)
Kuadran II
TIPE PENGIKUT
(Sgn, Mrw,
Gbg, Pnd, Alm)
+
Kuadran I
TIPE SALIH
(Bs, Rml,
Nrn, Est)
-
(Kntw, Msn)
TIPE AWAM
Kuadran III
-
+
-
Kuadran IV
Gambar 6.2. Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan
Dari sisi pengetahuan agama, kesebelas informan lansia menunjukkan ada
yang baik (positif) dan ada yang kurang. Namun dari sisi ibadah, semua informan
lansia dapat dikatakan baik atau positif, karena mereka cenderung religius. Baik atau
positif yang dimaksud di sini lebih menggambarkan kerajinan melaksanakan ibadah
atau kehadiran dalam kegiatan keagamaan bersama kelompok. Sebaliknya, nilai
negatif pada sumbu horisontal menunjukkan kurangnya kapasitas pengetahuan
agama. Berikut adalah ketiga tipe lansia yang ada dalam penelitian ini:
a) Lansia tipe salih (informan Bs, Rml, Nrn, dan Est). Kelompok ini memiliki
pengetahuan agama dan praktik ibadah yang baik.
b) Lansia tipe pengikut (informan Sgn, Mrw, Gbg, Pnd, dan Alm). Tipe lansia
ini kurang memiliki pengetahuan agama, namun baik dari sisi praktik atau
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
228
keberagamaan. Dengan kata lain, meski tidak terlalu paham agama, mereka
taat beribadah.
c) Lansia tipe awam (informan Kntw dan Msn). Lansia tipe ini memiliki
pengetahuan agama dan ketaatan yang relatif kurang terhadap agama.
Di samping pembagian berdasarkan dua dimensi tersebut, kesebelas informan
lansia juga dapat digolongkan dalam dua tipe, dari sisi perbandingan keberagamaan
mereka antara dahulu masa muda dan masa tua saat ini. Seperti halnya tipologi di
atas, tipologi ini bukan terkait dengan tinggi-rendahnya spiritualitas mereka. Kedua
tipe tersebut adalah tipe stabil dan semakin meningkat.
Tipe stabil berarti keberagamaan yang mereka miliki cenderung konsisten
sejak masa muda, namun tetap menunjukkan peningkatan. Mereka juga memiliki
pondasi agama yang relatif baik. Dalam wawancara, sebagian mengaku bahwa
ibadah mereka tidak tambah meningkat karena kejadian musibah, penderitaan yang
pernah dialami, atau kondisi tinggal di panti. Tipe ini terdiri dari lansia yang juga
termasuk dalam tipe salih dalam pembagian di atas. Sementara tipe semakin
meningkat adalah mereka yang memiliki keberagamaan cenderung meningkat
dibanding sebelumnya, yakni masa sebelum tinggal di panti atau pada masa
mudanya. Berdasarkan tipologi sebelumnya, lansia tipe pengikut dan tipe awam
termasuk dalam tipe yang keberagamaannya semakin meningkat ini.
6.2.2. Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia
Praktisi dengan tipologi tertentu dapat melakukan penanganan bagi lansia
dengan tipologi tertentu pula. Interaksi antara tiga tipe praktisi dan tiga atau dua tipe
lansia menghasilkan sejumlah kombinasi tertentu yang sekiranya cocok dan dengan
model yang berbeda. Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa istilah model yang
dimaksud di sini dapat merujuk ke Rodgers (2010), seperti dikutip Friedman et al.
(2011), bahwa suatu model diupayakan dibuat agar “sesuai dengan realitas yang
hendak dijelaskan melalui cara-cara penting,” oleh karenanya “model tentu saja lebih
sederhana ketimbang realitas itu sendiri” (p. 81). Definisi model menurut Friedman
et al. (2011) dirujuk dalam penelitian ini karena mereka sendiri mengeksplorasi
ragam model perkembangan spiritual dalam artikelnya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
229
Universitas Indonesia
Pengikut
Seperti tampak pada Gambar 6.3, tipe praktisi normatif hanya dapat
memberikan pelayanan untuk lansia tipe salih atau tipe stabil. Tipe praktisi fleksibel-
kondisional dapat melakukan asesmen dan intervensi untuk semua jenis tipe lansia,
namun tetap ada batasan tertentu ketika menangani lansia salih (pada Gambar 6.3
ditandai dengan tanda panah garis putus). Sedangkan, tipe kearifan diri dipandang
cocok untuk menangani lansia tipe pengikut dan awam atau tipe semakin meningkat.
TIPE PRAKTISI TIPE LANSIA
Dari sisi karakteristik mengekspresikan agama
Dari sisi pengetahuan dan praktik agama
Dari sisi keberagamaan waktu muda dan tua
Gambar 6.3. Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia
6.2.2.1. Asesmen spiritual
Tipe praktisi normatif, yang disarankan untuk menangani lansia tipe salih
atau yang keagamaannya stabil, cocok untuk memakai model asesmen yang bersifat
formalistik (perhatikan Gambar 6.4). Asesmen formalistik menggunakan cara
identifikasi yang bersifat formal operasional melalui wawancara. Dari sisi proses,
model ini sering bersifat satu arah (top-down) yang menunjukkan hubungan kurang
setara antara praktisi dan klien, sehingga klien menjadi cenderung pasif atau akan
menjawab hanya ketika ditanya praktisi. Untuk hal-hal yang bersifat sensitif bagi
lansia, seperti isu spiritual atau soal-soal keagamaan, praktisi juga lebih suka
Normatif
Fleksibel-kondisional
Kearifan diri
Salih
Awam
Stabil
Semakin meningkat
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
230
langsung bertanya ke inti permasalahan (to the point), tanpa harus melihat-lihat
kondisi klien lebih dulu.
Gambar 6.4. Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia
Identifikasi spiritualitas klien dalam model formalistik kurang mendalam
karena hanya mengungkap permukaan. Praktisi memiliki kecenderungan melengkapi
blangko formulir, catatan identifikasi, ataupun asesmen. Akibatnya, hasil asesmen ini
hanya berupa latar muka (front stage) dari lansia karena lebih dominan mengungkap
sisi formal-prosedural keagamaan, seperti agama klien, kemampuan mengaji al-
Qur’an, hapalan surat pendek, wudlu, sholat, baca Alkitab, doa, dan lain-lain.
Dengan demikian, asesmen dengan model ini cocok untuk identifikasi awal ketika
lansia masuk ke panti atau masuk dalam pelayanan home care. Eksplorasi lebih
mendalam harus dilanjutkan dengan model dialogis-resiprokal, sekaligus sebagai
konfirmasi terhadap hasil identifikasi awal tadi.
Terkait asesmen formalistik sebagai asesmen tahap awal ini, praktisi TY telah
menegaskan bahwa sebagian ada catatan asesmen, namun lebih bersifat formalitas
dan tidak mendetail. Selain itu, menurutnya, karakteristik asli dari klien di awal-awal
biasanya belum begitu terlihat, karena lebih banyak berupa identifikasi masalah dan
kebutuhan fisik atau agama secara formal (TY, 26/6/2014).
Salah satu kelebihan model ini adalah waktu yang diperlukan untuk
melakukan identifikasi atau asesmen lebih singkat. Namun, kekurangan model ini
hanya dimungkinkan untuk lansia yang lancar berkomunikasi dan mampu
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
231
Universitas Indonesia
mengartikulasikan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, untuk mereka yang tidak lancar
atau memiliki disabilitas tertentu, semisal pikun atau alzheimer, model ini kurang
aplikatif.
Sementara tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri lebih tepat
menggunakan asesmen yang bersifat dialogis-resiprokal untuk menangani semua tipe
lansia (perhatikan lagi Gambar 6.4). Asesmen model ini tidak hanya menggunakan
cara formal dalam melakukan identifikasi terhadap klien, tetapi juga informal atau
natural melalui berbagai kesempatan. Dari sisi metode tidak hanya wawancara,
namun juga menggunakan observasi, baik sebagai partisipan maupun insider. Hal ini
dijelaskan oleh seorang praktisi di panti bahwa semakin lama melalui interaksi
keseharian, karakteristik atau watak klien biasanya semakin dapat dipahami (TY,
26/6/2014).
Selain itu, model ini meniscayakan kedudukan yang setara antara praktisi dan
klien dan adanya dialog dua arah secara resiprokal (timbal-balik), sehingga klien
tidak pasif. Kemudian, terkait isu-isu sensitif bagi klien, praktisi kadang tidak
langsung bertanya, namun melihat-lihat kondisi terlebih dulu. Dengan kata lain,
praktisi tidak memulai membicarakan hal-hal yang sensitif sampai klien sendiri yang
menyinggungnya.
Sebagai contoh, ketika memberikan motivasi dan pandangan soal keagamaan,
seorang peksos di panti berupaya melakukannya secara hati-hati. Menurut praktisi
ini, cara penyampaian kepada klien lansia harus dikemas sedemikian rupa dan tidak
dengan cara mendikte atau terlalu mencampuri agar jangan sampai menyinggung
perasaan mereka. Alasannya, persoalan kagamaan bagi lansia merupakan hal sensitif.
Sebaliknya, ia tidak mencoba memulai membicarakan persoalan yang sensitif
tersebut hingga mereka sendiri yang menyinggungnya (FS, 1/7/2014).
Berbeda dengan model formalistik, dalam melakukan eksplorasi model
dialogis-resiprokal ini lebih variatif dan mendalam, seperti tentang pandangan, nilai,
keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain. Dikatakan cukup mendalam karena
model ini berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau hal-hal terkait
pengalaman dan perasaan. Hasil asesmen diupayakan mampu menggali back-stage
dari lansia. Dengan begitu, model ini cocok untuk asesmen lanjutan dengan tujuan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
232
menggali tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi/kekuatan
dalam rangka memahami lansia secara menyeluruh.
Dari segi waktu, model dialogis ini memang memakan waktu lebih lama dan
membutuhkan interaksi yang lebih intensif dibanding model formalistik di atas.
Namun, model ini bisa diterapkan untuk semua lansia, baik yang lancar atau tidak
lancar berkomunikasi atau menyampaikan pikiran dan perasaan. Lansia dengan
disabilitas tertentu juga masih sangat memungkinkan.
Hal lain yang menjadi kelebihan model ini adalah bahwa, tidak seperti model
formalistik yang serial berurutan dan linier, tahap asesmen dapat dilakukan paralel
dengan tahap intervensi secara overlapping atau bahkan spiral/iteratif. Pada saat
tahap intervensi dilakukan, tindakan asesmen juga masih bisa dilakukan. Misalnya,
kebutuhan lansia untuk menceritakan kenangan atau kisah masa lalunya
(reminiscence) dapat dipenuhi dengan intervensi oleh praktisi berupa mendengarkan
dan memberikan tanggapan sekadarnya. Mendengarkan cerita mereka dilakukan
secara intens, meskipun ceritanya sering kali hanya diulang-ulang. Pada saat yang
bersamaan, praktisi juga bisa sambil melakukan asesmen dalam kerangka memahami
latar belakang si klien secara lebih lengkap.
Karakteristik masing-masing model asesmen spiritual yang telah diuraikan di
atas terangkum dalam Tabel 6.4 halaman berikutnya.
6.2.2.1. Intervensi spiritual
Tipe praktisi normatif, yang dikatakan pas menggunakan asesmen bersifat
formalistik, cocok mengaplikasikan intervensi yang bersifat direktif (Gambar 6.5).
Dengan intervensi model ini, praktisi tipe normatif seringkali memegang kendali
kemana arah dan tujuan intervensi. Dengan kata lain, intervensi yang dilakukan
cenderung bersifat direktif atau top-down. Praktisi dianggap atau diposisikan lebih
tahu atau memahami yang terbaik bagi klien. Dengan begitu, sifat relasi antara
praktisi dan klien tidaklah setara, yakni semacam relasi expert–client.
Model intervensi ini juga berorientasi pada penyelesaian masalah (problem-
solving) dan pemenuhan kebutuhan klien. Selain itu, tahap intervensi dilakukan
secara terpisah setelah tahap asesmen dilakukan, karena tahap penanganannya
bersifat linier atau serial. Intervensi model direktif lebih tepat dijadikan sebagai
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
233
Universitas Indonesia
kelanjutan dari model asesmen formalistik. Oleh karena itu, penanganan lansia
dengan model direktif sebenarnya lebih terencana dan terstruktur.
Tabel 6.4. Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien
Karakteristik Model Formalistik Model Dialogis-resiprokal
Metode Formal operasional (pen-and-paper questionnaires)
Formal atau informal (natural) melalui berbagai kesempatan
Proses Sering bersifat satu arah (top-down), kurang setara, klien pasif, hanya menjawab pertanyaan
Lebih bersifat dialogis dua arah, timbal-balik (resiprokal), klien tidak pasif, kedudukan setara
Menyinggung perkara sensitif
To the point bertanya soal keagamaan atau isu spiritual, tanpa harus melihat-lihat kondisi klien lebih dl
Melihat-lihat kondisi lebih dulu; tidak memulai membicarakan hal-hal sensitif sampai klien sendiri yg menyinggungnya
Materi Hal-hal formal-prosedural, misal agama klien, baca Qur’an, hapalan surat, doa, pendek, baca Alkitab, wudlu, sholat
Lebih variatif & mendalam, misal tentang pandangan, nilai, keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain.
Kedalaman eksplorasi
Kurang mendalam, hanya mengungkap permukaan (mengisi formulir/catatan identifikasi/asesmen). Hasil asesmen berupa front stage
Cukup mendalam karena berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau pengalaman & perasaan. Hasil asesmen berupa back-stage
Asesmen lanjut
Cocok untuk identifikasi awal yang bertujuan menggali masalah dan kebutuhan
Asesmen lanjutan lebih bertujuan menggali potensi/kekuatan dalam rangka memahami totalitas
Asumsi Tahap asesmen dan intervensi bersifat linier/serial (berurutan)
Asesmen -intervensi tidak harus serial, tapi paralel dan bahkan spiral/iteratif.
Untuk tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri, lebih tepat
melakukan intervensi bersifat reflective-partnership untuk semua tipe lansia. Namun,
khusus untuk tipe praktisi kearifan diri tampaknya kurang cocok apabila hendak
menangani lansia tipe salih atau stabil (perhatikan lagi Gambar 6.4).
Berbeda dengan model direktif, intervensi bersifat reflective-partnership
mensyaratkan adanya hubungan yang setara antara praktisi dan klien lansia.
Hubungan kesetaraan ini diharapkan menciptakan hubungan pertemanan layaknya
partner yang dapat menghilangkan sekat antar keduanya dan atribut praktisi sebagai
ahli, pekerja sosial, pendamping, petugas, atau pegawai panti. Terkait dengan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
234
hubungan setara dan adanya partnership, intervensi dengan model ini sangat cocok
dengan motivasi praktisi yang menganggap klien lansia sebagai orang tua atau
nenek-kakek mereka sendiri.
Praktisi WN termasuk dalam tipe ini karena menggunakan intervensi dengan
corak partnership seperti itu. WN menceritakan bahwa apabila mengarahkan lansia
dengan cara memaksa, kemungkinan besar lansia yang bersangkutan akan menolak.
Sebaliknya, praktisi ini lebih memilih memberikan perhatian dan kasih-sayang atau
misalnya dengan cara bercanda seperti layaknya antar teman atau dengan orang tua
sendiri, sehingga dengan begitu, lansia juga merasa senang dan bangga (WN,
13/6/2013). Dengan cara penanganan seperti itu, praktisi WN mencatat keberhasilan
dalam menangani sejumlah lansia. Katanya, dengan kesabaran dan keuletannya
beserta praktisi lain, klien lansia yang awalnya mengalami depresi menunjukkan
perbaikan dengan mampu beradaptasi, tumbuhnya kepercayaan diri, mengenal diri-
sendiri (13/6/2013).
Dikatakan sebagai model reflektif karena tindakan intervensi tidak selalu
ditentukan oleh praktisi, namun dapat dihasilkan dari dialog atau kesepakatan dengan
klien, sebagai hasil keputusan bersama. Dengan meniscayakan adanya proses dialog,
intervensi membutuhkan interaksi yang intensif sehingga dari segi waktu bisa lebih
lama dibanding model direktif. Seorang praktisi di panti mencontohkan bentuk
intervensi terhadap lansia secara individu yang membutuhkan interaksi secara
intensif. Praktisi ini menegaskan bahwa bentuk intervensinya harus dengan
bimbingan individu agar lebih bisa diterima, misalnya dalam bentuk memberi
motivasi dan mengingatkan, bukan seakan-akan menggurui mereka. Sementara,
bimbingan yang sifatnya klasikal dilakukan untuk tujuan terapi, misalnya agar
membuat lansia gembira (TY, 26/6/2014).
Asesmen yang cocok disandingkan dengan model intervensi ini adalah model
dialogis-resiprokal. Kemudian, berbeda dengan model direktif, tahap asesmen dan
intervensi tidak harus dilaksanakan secara serial berurutan, tapi bisa paralel
bersamaan secara overlapping atau spiral/iteratif. Artinya, pada saat tahap intervensi
dilakukan, tindakan asesmen masih bisa dilakukan. Intervensi dengan model ini juga
tidak hanya bertujuan untuk problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tetapi juga
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
235
Universitas Indonesia
berupaya memahami lansia secara utuh dalam rangka perkembangan spiritual
(spiritual growth).
Dalam literatur, model reflektif-partnership dapat merujuk ke pendekatan
client-centred yang bersifat non-directive menurut Howe (1987, p. 98). Pendekatan
ini berupaya mengikuti bagaimana klien memahami diri-sendiri, terkait masalah dan
kebutuhannya. Selain itu, Howe berpendapat bahwa ketika menggali perasaan,
persepsi, dan pemaknaaan mereka, upaya penggalian itu sendiri sudah dianggap
sebagai suatu pemberiaan pertolongan bagi klien karena tindakan ini bersifat
terapeutik dan bermanfaat bagi klien. Pendekatan client-centred juga dapat
digambarkan dengan kata-kata Gotterer (2001, p. 192) bahwa penanganan harus
mengikuti klien apapun yang menjadi masalah atau kebutuhannya (“meet the client
where they are”).
Secara keseluruhan berdasarkan tipologi, contoh-contoh penanganan yang
dilakukan masing-masing tipe praktisi terhadap lansia tampak pada Gambar 6.5.
bentuk-bentuk penanganan tersebut diidentifikasi dengan melihat tingkat
keberhasilan penanganan dan kecenderungan kecocokan antara tipe pratisi dan tipe
lansia. Dalam gambar tersebut tampak sejumlah intervensi dapat dilakukan oleh
semua tipe praktisi, ada yang hanya cocok dilakukan oleh satu tipe, dan ada juga
yang dapat diberikan oleh dua tipe. (Perhatikan juga Gambar 6.3 di awal)
Beberapa bentuk intervensi dapat dilakukan oleh semua tipe praktisi,
contohnya seperti mendampingi lansia dalam kegiatan rekreasional, hiburan, lomba,
atau kegiatan seni; memfasilitasi penyaluran hobi dan kreativitas; dan mendampingi
sejumlah bimbingan yang diadakan lembaga. Praktisi YL, misalnya, yang walaupun
bertipe normatif, tidak hanya melulu mengajak klien lansia untuk beribadah, tetapi
juga kegiatan kesenian, misalnya dengan mendengarkan musik atau bernyanyi
diiringi musik organ, agar membuat lansia senang dan terhibur (YL, 30/5/2013).
Bentuk intervensi yang lebih cocok ditangani oleh satu kelompok praktisi,
sebagai contoh tipe normatif, adalah dengan memberi nasehat atau masukan kepada
lansia dan menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan yang diadakan
lembaga panti atau home care. Sebagai contoh, praktisi YL sering menasehati,
mengingatkan, atau mengajak klien untuk beribadah, menjaga kebersamaan,
menghindari pertengkaran, dan selalu mengingatkan kematian yang bisa datang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
236
TIPE NORMATIF
TIPE
FLEKSIBEL
TIPE KEARIFAN DIRI
• Memberi nasehat, masukan
• Menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan
• Mengajari & mengajak praktik ibadah • Mengajari doa, dzikir • Mengingatkan untuk sabar, ikhlas, dll. • Memberi peran/tugas dalam kegiatan
agama • Pendampingan untuk menghadapi atau
ketika sakrotul-maut • Memfasilitasi keinginan lansia
sebelum & sesudah meninggal
• Memberi peran/tugas terkait tanggung jawab, kegiatan keseharian, atau upaya membantu lansia lain
• Memotivasi lansia untuk sabar, tawakal, & banyak ibadah
• Mendampingi kegiatan rekreasional/hiburan (lomba, menyanyi, rekreasi, dll)
• Mendampingi kegiatan terapeutik yang diadakan panti/lembaga home care
• Memfasilitasi penyaluran hobi, kegemaran, kreativitas, dll.
• Memosisikan diri atau berperan sebagai teman ngobrol, curhat, dll.
• Menciptakan kesempatan/kemungkinan bagi lansia untuk berinteraksi
• Mencarikan sare’at untuk lansia yang masih pasang susuk
• Memberikan penyadaran soal agama dan masa akir hayat
• Menghibur • Mendengar cerita
/kenangan masa lalu • Memberi perhatian-
perhatian kecil
setiap saat (YL, 30/5/2013). Dari sisi tingkat keberhasilan, dengan cara sering
memberi nasehat dan mengingatkan seperti itu, praktisi tersebut mengakui adanya
perubahan positif pada lansia. Misalnya perubahan dari yang tadinya malas
beribadah, malas sholat menjadi rajin (YL, 30/5/2013).
Gambar 6.5. Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi
Sementara, intervensi yang dapat diberikan oleh dua tipe praktisi, misalnya
oleh tipe normatif dan fleksibel. Mereka dapat memberikan intervensi berupa:
mengajari tata cara ibadah sekaligus mengajak praktik pelaksanaannya dalam
keseharian; mengajari doa, dzikir, atau wirid; mengingatkan secara verbal untuk
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
237
Universitas Indonesia
sabar, ikhlas, dan tawakkal; membagi peran atau tugas dalam kegiatan agama, misal
sebagai muadzin, petugas iqomat, imam sholat, menyanyi di kebaktian dan lain-lain;
mengajari lafadz atau kalimat tahlil sederhana untuk menghadapi kematian dan
melakukan pendampingan pada saat lansia sedang sakrotul-maut; dan memfasilitasi
sekaligus mewujudkan keinginan lansia sebelum dan sesudah meninggal, seperti
tahlil atau mendoakan keselamatan bersama penghuni panti (slamatan). Karakteristik
untuk masing-masing model intervensi spiritual di atas tampak dalam Tabel 6.5.
Tabel 6.5. Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien
Karakteristik Model Direktif Model Reflective-partnership
Pendekatan Bersifat langsung (directive) dari praktisi untuk klien
Bersifat tidak langsung (non-directive), namun berpusat pada klien (client-centred)
Hubungan praktisi-klien
• Expert – client • Tindakan lebih dominan
ditentukan praktisi karena dianggap lebih tahu yang terbaik untuk klien (top-down)
• Setara • Tidak selalu ditentukan oleh
praktisi, tapi dapat dihasilkan dari dialog/kesepakatan dengan klien, sebagai hasil keputusan bersama.
Asumsi Tahap intervensi terpisah setelah asesmen dilakukan (linier/serial)
Bisa paralel dengan asesmen (overlapping atau spiral/iteratif). Saat intervensi, tindakan asesmen masih bisa dilakukan.
Tujuan Berorientasi problem-solving atau pemenuhan kebutuhan
Tidak hanya problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tapi juga memahami lansia secara utuh untuk tujuan spiritual growth
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
239
BAB 7
KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA
Bab ini merupakan pembahasan terkait komponen spiritual pada lansia yang
relevan untuk kesehatan kondisi mental mereka. Bab ini juga sekaligus sebagai
pembahasan hasil penelitian terkait tujuan penelitian ketiga dan keempat. Namun,
sebagian juga membahas hasil penelitian dari pertanyaan penelitian kedua,
khususnya terkait perspektif praktisi tentang masalah kesehatan mental lansia. Untuk
itu, sebelum membahas komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental
lansia, segala permasalahan yang dihadapi lansia yang dapat mempengaruhi kondisi
mental dan bagaimana mereka merespons akan diidentifikasi terlebih dahulu.
7.1. Masalah Kesehatan Mental Lansia
Sub-bab ini berupaya mengidentifikasi sejumlah masalah kesehatan mental
lansia yang muncul baik dari penuturan informan praktisi maupun lansia melalui
wawancara. Di samping dari hasil wawancara, informasi tentang permasalahan
mental-emosional yang diderita klien lansia diperoleh dari hasil observasi dan
penelusuran dokumen. Hasil identifikasi tersebut menunjukkan sejumlah perbedaan
karena hasil penilaian atau perspektif orang kedua tentang subjek dibanding
perspektif si subjek itu sendiri yang mengalami tentu akan berbeda. Oleh karena itu,
masalah kesehatan mental lansia akan dibahas menurut perspektif kedua kelompok
informan tersebut.
7.1.1. Perspektif Praktisi
Perlu ditegaskan kembali bahwa permasalahan lansia di sini didasarkan atas
perspektif dari informan praktisi, bukan dari lansia itu sendiri. Berdasarkan
penuturan mereka, masalah yang dialami lansia, yang dapat menjadi masalah
kesehatan mental ataupun dapat memmpengaruji kondisi mental mereka, meliputi
marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa, perasaan tersingkir atau terisolasi,
kecemasan akan kematian, kecemasan terhadap urusan yang tidak selesai di akhir
hayat, dan lain-lain.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
240
Lansia dengan masalah emosional tertentu yang dimaksud praktisi tidak
melulu terkait dengan lansia yang menjadi informan penelitian ini, namun klien
lansia yang mereka secara umum. Serangkain masalah tersebut muncul di antaranya
dari tema atau node: @asesmen, @intervensi, @contoh kasus intervensi,
@penanganan akhir kehidupan, dan @keyakinan-nilai praktisi. Tema keyakinan dan
nilai di sini terkait pandangan praktisi tentang masalah atau penderitaan lansia yang
mereka tangani.
Dalam node @asesmen, misalnya, praktisi YL menceritakan upayanya
mendekati klien lansia dan menggali penyebab kesedihan yang sedang dialami lansia
bersangkutan kemudian berupaya membantu menghilangkan kesedihan tersebut (YL,
30/5/2013). Contoh lain muncul dari node @contoh kasus intervensi, yakni
kemarahan seorang klien terhadap anaknya. Menurut pengakuan lansia itu, anaknya
yang waktu itu sedang hamil 7 bulan telah membuang dan menelantarkannya
sehingga saat ini si nenek harus hidup di panti. Informasi ini diceritakan oleh praktisi
WN yang kemudian berupaya mengingatkan klien agar tidak menjelek-balikkan si
anak. Bahkan praktisi ini menasehati bahwa sebaiknya lansia tersebut mendoakan
anaknya agar hatinya terbuka dan ingat kepada dirinya (WN, 13/6/2013). Contoh
selanjutnya berasal dari praktisi home care ED yang menceritakan lansia J yang
merasa sepi terisolasi karena semua anaknya bekerja agak jauh di luar rumah,
sehingga semua pekerjaan rumah dilakukannya sendiri (ED, 16/6/2013).
Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kategori dan node di atas, Tabel
7.1 di bawah merangkum hasil identifikasi tersebut kaitannya dengan masalah-
masalah lansia yang dapat mengganggu kondisi mental lansia.
Tabel 7.1. Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi
Masalah lansia
Marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa
Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)
Pertengkaran antar lansia panti
Kecemasan menghadapi akhir hayat
Urusan yang belum selesai dan tidak terwujudnya harapan sebelum-setelah meninggal
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
241
Universitas Indonesia
7.1.2. Perspektif Klien Lansia
Sementara itu, ada beragam pengalaman atau penderitaan yang dirasakan dan
dituturkan oleh lansia sendiri yang berakibat terganggunya kondisi kesehatan mental.
Ragam pengalaman dan penderitaan tersebut muncul dari sejumlah kategori atau
sub-kategori sebagai berikut: @pengalaman-penderitaan, @kekhawatiran-ketakutan,
@respons, @menyikapi akhir hayat, @harapan, dan @mengheningkan cipta.
Node @pengalaman-penderitaan merupakan tema yang cukup banyak
memilah informasi tentang permasalahan atau penderitaan yang dialami lansia,
meskipun hanya lima informan yang menuturkan pengalaman tidak menyenangkan
tersebut kepada peneliti melalui wawancara (perhatikan Tabel 14.2, Lampiran 14).
Sebagai contoh, lansia Msn menceritakan hidupnya yang susah dan perasaan
terisolasi karena suami dan anak sudah meninggal serta hubungannya dengan
saudara agak jauh (Msn, 16/6/2013)
Sedangkan untuk node @respons, @kekhawatiran-ketakutan, dan
@menyikapi akhir hayat, dari sisi nama node-nya dapat menggambarkan penderitaan
hidup dan masalah kesehatan lansia itu sendiri. Referensi untuk node @respons dan
@menyikapi akhir hayat lumayan tinggi yang berasal dari sepuluh informan. Untuk
node @kekhawatiran-ketakutan dibicarakan oleh delapan informan dan dengan
cakupan (coverage) yang tidak terlalu tinggi. (Tabel 14.4 & 14.8, Lampiran 14)
Dalam node @harapan dan @mengheningkan cipta juga menggambarkan
reaksi atau coping terhadap penderitaan yang mereka alami. Khusus untuk node
@harapan, seluruh informan lansia menyinggungnya dan nenek Msn adalah yang
paling sering. Dari gambaran ini, node @harapan menjadi tema penting dalam
spiritualitas lansia. (Tabel 14.6 dan 14.8 dalam Lampiran 14)
Hasil identifikasi terhadap sejumlah kategori dan serangkaian nodes di atas,
Tabel 7.2 berikut merangkum masalah kesehatan mental lansia menurut perspektif
lansia itu sendiri dengan dilengkapi hasil observasi dan penelusuran dokumen terkait.
Meski tampak berbeda, dua hasil identifikasi masalah lansia menurut
perspektif praktisi dan lansia, seperti dirangkum dalam Tabel 7.1 dan 7.2, dijumpai
sejumlah titik temu. Contohnya adalah soal keterpisahan, isolasi, dan relasi yang
tidak baik (Tabel 7.2) yang identik dengan soal perasaan dibuang atau disingkirkan
oleh keluarga dan pertengkaran antar lansia di panti (Tabel 7.1). Selain itu,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
242
kecemasan lansia terhadap akhir hayat yang ada pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.1
tampak memiliki benang merah.
Tabel 7.2. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia
Masalah lansia Dimensi
Disabilitas • Keterbatasan fisik • Menderita sakit-sakitan
Keterpisahan • Terpisah dari anak-cucu atau saudara • Kesepian karena anak/menantu sibuk bekerja
Isolasi • Hidup sendiri jauh dari anak-cucu • Merasa terasing
Relasi yang tidak baik • Hubungan jauh dengan keluarga • Pertengkaran antar lansia
Penderitaan hidup • Hidup serba kekurangan • Sering disakiti orang sekitar
Kehilangan (loss) • Kehilangan orang terdekat (suami/istri, anak, saudara dekat) • Kehilangan harta-benda
Kecemasan • Kecemasan terhadap akhir hayat • Kecemasan akan masa depan anak-cucu
Dari kedua tabel tersebut juga tampak belum ada pemilahan antara masalah
atau penderitaan hidup dengan kesehatan mental lansia. Secara teoretis, kemalangan
hidup dapat menjadi penyebab terganggunya kondisi mental mereka (marah, sedih,
depresi, dan lain-lain). Atau bisa sebaliknya, gangguan mental dapat menimbulkan
penderitaan hidup. Hal ini dapat dirujukkan ke konsep psikosis dan neurosis menurut
Frankl (2004). Seperti dijelaskan pada Bab 3 dan Tabel 3.2, baik penyebab (etiologi)
maupun gejala (simptomotologi) dari kondisi kesehatan mental yang terganggu dapat
disebabkan oleh aspek fisik-biologis (somatis) dan juga aspek psikologis.
7.2. Respons terhadap Penderitaan
Pengalaman atau penderitaan hidup di atas disikapi oleh lansia dengan
pemaknaan dan respons positif yang membuat mereka bertahan dan mampu
menjalani hidup dengan berkualitas. Respons semacam ini tampak dari beberapa
kategori atau sub-kategori, di antaranya adalah: kategori #pemaknaan terhadap
penderitaan (node @musibah-cobaan-peringatan dan @“ada musibah ada hikmah”),
@respons, @pasrah-menerima, @sabar dan tawakkal, dan @bersyukur.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
243
Universitas Indonesia
Dari sisi jumlah sebaran dan pembicaraan oleh informan, masing-masing
node menunjukkan angka yang cukup signifikan. Di antara sejumlah node ini,
@respons adalah yang paling signifikan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Memaknai penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan ditunjukkan oleh
tujuh informan lansia. Sedangkan pencarian hikmah dibalik musibah atau cobaan
yang dialami ditunjukkan oleh hanya dua informan. (Tabel 14.4, Lampiran 14)
Selain respons positif dalam node @respons yang telah dibahas, ada juga
respons pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan bersyukur. Sikap pasrah dan
menerima, seperti pada node @pasrah-menerima, merupakan respons yang paling
dominan setelah node @respons. Selain pasangan lansia Pnd dan Gbg, semua
informan menunjukkan sikap ini. Sebaran tertinggi diberikan oleh informan nenek
Msn yang bercerita cukup panjang. (Tabel 14.3, Lampiran 14)
Node berikutnya yang paling sering dibicarakan informan dan memiliki
sebaran tertinggi setelah node @respons dan @pasrah-menerima adalah node
@bersyukur. Sikap bersyukur meski ditimpa musibah diperlihatkan oleh hampir
semua informan, selain pasangan lansia Pnd-Gbg dan nenek Bs. Di antara lansia
yang menyinggungnya, informan kakek Mrw adalah yang paling sering
mengungkapkannya. Terakhir, node @sabar & tawakkal adalah respons yang paling
jarang karena hanya tiga informan yang menyinggungnya, dimana pasangan lansia
Pnd dan Gbg adalah yang paling kental menunjukkan sikap sabar dan tawakkal.
(Tabel 14.3, Lampiran 14)
Pembahasan tentang pemaknaan dan respons terhadap penderitaan hidup
lansia yang juga saling mempengaruhi terhadap kondisi kesehatan mentalnya secara
sederhana dapat diilustrasikan pada Gambar 7.1.
Apabila dikaitkan dengan teori coping, pemaknaan dan respons yang
ditunjukkan lansia di atas dapat digolongkan sebagai bentuk coping yang bersumber
dari spiritualitas dan agama. Sermabeikian (1994, p.178) berpendapat bahwa
spiritualitas bisa menjadi salah satu sumber penting dalam melakukan coping.
Berbicara tentang konsep coping, para ahli banyak merujuk ke Lazarus dan
Folkman (1984) yang secara garis besar dibahas menurut dua tradisi, yakni
eksperimentasi hewan dan ego psychology. Dalam tradisi ego psychology, khususnya
model psikoanalisis, coping didefinisikan sebagai “pikiran dan tindakan yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
244
realistis dan fleksibel yang dapat menyelesaikan masalah sehingga mengurangi stres”
(p.118). Folkman dan Moskowitz (2004, p.745) melengkapi definisi coping ini
bahwa pikiran dan perilaku tersebut berguna untuk mengelola faktor dari dalam dan
luar terhadap situasi yang dianggap dapat menimbulkan ketegangan. Gambar 7.1 di
atas menunjukkan bahwa informan lansia dapat bertahan hidup dengan menunjukkan
pemikiran melalui pemaknaan positif dan tindakan berupa respons yang positif
terhadap tekanan yang muncul karena kesusahan yang diderita.
Gambar 7.1. Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia
Pargament (1997), Wong-McDonald dan Gorush (2000), dan beberapa ahli
lain, seperti dikutip Lydon-Lam (2012, p.19-20), mengajukan hipotesis bahwa
bentuk-bentuk religious coping dapat meliputi, (namun tidak terbatas pada):
kepasrahan aktif pada Tuhan, menganggap sebagai Takdir Tuhan, dan
mempertanyakan Tuhan atau keimanan seseorang selama perjuangan untuk lepas
dari tekanan. Bentuk religious coping yang pertama dan kedua tersebut ditunjukkan
oleh informan lansia dalam merespons kemalangan yang dialami. Bentuk-bentuk
religious coping tersebut termasuk dalam komponen spiritualitas sehingga dapat
dikatakan sebagai spiritual coping. Selain itu, salah satu pengusul hipotesis di atas,
yaitu Pargament, memosisikan spiritualitas sebagai bagian dari agama, sebagaimana
definisi klasik agama menurut James (1958) yang sangat luas (Pargament, 1999;
Zinnbauer & Pargament, 2005).
Seperti halnya Pargament, Folkman dan Moskowitz (2004) secara eksplisit
menjelaskan bahwa religious coping juga meliputi spiritual coping, khususnya
Masalah Hidup atau Penderitaan Lansia
Masalah Kesehatan Mental Lansia
Pemaknaan: • Dianggap sebagai takdir,
musibah, cobaan, ujian, atau peringatan
• “Ada musibah ada hikmah” Respons:
• Respons umum yang positif • Pasrah dan menerima • Sabar dan tawakkal • Bersyukur
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
245
Universitas Indonesia
terkait upaya pencarian makna, tujuan hidup, dan hubungan dengan Zat yang lebih
tinggi, yang ilahiah. Menurut mereka, upaya untuk berhubungan dengan sesuatu
yang melampaui dirinya dapat bersifat religius ataupun non-religius (p.760). Konsep
spiritual coping sebagai bagian dari religious coping ini juga bisa dipahami karena
Folkman dan Moskowitz (p.760) meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari agama,
namun spiritualitas juga dapat berada di luar agama formal.
Dalam teori krisis, berbagai masalah atau kejadian dalam hidup yang
melampaui daya tahan seseorang dapat menggiring ke dalam krisis dan
menyebabkan guncangan hebat. Menurut Musgrave (2005), ada tiga kemungkinan
respons terhadap kondisi krisis tersebut, yakni putus asa tidak mau menjalani hidup;
bangkit kembali menuju keseimbangan; atau bahkan tumbuh berkembang mencapai
tingkat pemahaman dan ketahanan pribadi (p. 266).
Berdasarkan refleksi terhadap teori tersebut, beragam pemaknaan dan respons
yang ditunjukkan informan lansia tampaknya tidak sekadar mampu kembali ke
keseimbangan semula. Akan tetapi, dengan memaknai krisis yang dialami sebagai
semacam cobaan atau ujian dan menunjukkan berbagai respons positif, lebih tepat
dikatakan bahwa informan lansia telah berhasil melewati krisis dan menunjukkan
respons kemungkinan ketiga atau, paling tidak, kemungkinan kedua dalam konsep
Musgrave. Pencarian hikmah di balik musibah, pasrah, menerima, sabar, tawakkal,
dan bahkan bersyukur atas peringatan yang mereka terima menandakan bahwa
informan mampu mencapai tingkat kematangan spiritual tertentu.
Gambar 7.2 di bawah ini kurang-lebih mengilustrasikan hasil refleksi temuan
penelitian ini terhadap teori krisis. Pada gambar tampak bahwa secara umum setiap
individu menunjukkan peningkatan sisi spiritualitas (spiritual growth, pada sumbu
vertikal) secara konstan seiring bertambahnya usia (age, pada sumbu horisontal).
Namun, ketika suatu peristiwa atau gangguan (disruptions) terjadi pada fase hidup
tertentu, respons umum yang ditunjukkan adalah terhentinya pertumbuhan spiritual
yang lamanya tergantung dari karakteristik individu. Peristiwa atau gangguan yang
dimaksud dapat berupa kehilangan orang yang dicintai, keterpisahan dengan
keluarga, disabilitas, penderitaan, dan lain-lain. Terhentinya pertumbuhan spiritual
selama masa tertentu karena adanya disruptions, dalam gambar, dalam penelitian ini
disebut sebagai gap atau hiatus (semacam diskontinyuitas).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
246
Gambar 7.2. Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup
Selepas keterputusan tersebut, respons yang ditunjukkan terhadap disruptions
ada tiga kemungkinan, sebagaimana dikemukakan Musgrave (2005), yakni: (1) jatuh
dalam keputusasaan yang ditandai dengan kurva menurun (penurunan kematangan
spiritual); (2) kembali ke keseimbangan dan menunjukkan peningkatan kematangan
spiritual secara normal; atau bahkan (3) bertumbuhnya spiritualitas secara cepat.
Perhatikan nomor 1, 2, dan 3 pada masing-masing anak panah dalam Gambar 7.2.
Teori lain yang menjelaskan kemungkinan perkembangan setelah disruptions
tersebut ditawarkan oleh Calhoun dan Tedeschi. Menurut keduanya, seperti dikutip
Thompson (2007), kehilangan dan trauma dapat mengakibatkan tiga kemungkinan
perubahan pada individu, yakni: (i) berubahnya pemahaman atau pandangan
terhadap diri-sendiri; (ii) berubahnya hubungan; dan (iii) pertumbuhan eksistensial
dan spiritual (p. 77). Perubahan di wilayah pemahaman diri dan relasi (baik dengan
sesama maupun dengan Tuhan) bisa menjadi buruk atau malah membaik. Apabila
perubahan itu berupa perkembangan positif bersama pertumbuhan eksistensial-
spiritual, ilustrasinya digambarkan pada busur panah ke-3 pada Gambar 7.2 di atas.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah lansia menurut perspektif praktisi dan
lansia itu sendiri seperti tampak pada Tabel 7.1 dan 7.2 sebelum ini, selanjutnya
berbagai peran dan kebutuhan yang bersifat spiritual (spiritual tasks/needs), yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
247
Universitas Indonesia
telah ditunjukkan baik oleh para informan praktisi maupun lansia untuk mengatasi
masalah tersebut, kemudian diidentifikasi. Spiritual tasks masing-masing akan dibuat
berdasarkan kedua tabel tersebut.
Di sini perlu dijelaskan tentang spiritual tasks atau spiritual needs menurut
sejumlah ahli. Tasks mengacu pada penjelasan MacKinlay (2006) yang merujuk ke
model Erikson tentang perkembangan psikososial. Tasks di situ bukanlah sekadar
“tugas atau peran individu yang harus dicapai dan dilalui” (p.22). Mathews (2009)
turut menjelaskan bahwa spiritual tasks bukanlah fase atau tugas yang harus
ditunaikan sebelum seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti
berurutan, tetapi saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam
sejumlah kesempatan atau pengalaman hidup (p.58). Mackinlay (2006) menyebutnya
sebagai “proses untuk menjadi” yang dialami setiap orang (p. 22).
Hasil identifikasi spiritual tasks berdasarkan masalah lansia dari perspektif
praktisi ditunjukkan pada Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi
Masalah lansia Spiritual tasks
Sedih, murung, patah semangat, putus asa
• Harapan atau asa • Reminiscence • Afirmasi • Semangat atau daya hidup • Doa
Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu)
• Relationship atau connectedness • Rekonsiliasi • Doa
Pertengkaran antar lansia panti • Masa usia senja yang aman, nyaman dan terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti
Kecemasan menghadapi akhir hayat • Doa • Sudah punya preferensi tempat dikubur
dan siapa yang mengurus • Mengumpulkan bekal • Siap dan pasrah menghadapi sakrotul-
maut • Kematian yang baik dan mudah • Hilangnya kekhawatiran tidak ada yang
urus kematiannya Urusan yang belum selesai dan harapan sebelum-setelah meninggal
• Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs)
• Doa
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
248
Di samping diidentifikasi dari data penelitian, sebagian spiritual task pada
Tabel 7.3 merujuk ke penelitian yang sudah ada dan teori yang dibuat sejumlah ahli,
sehingga di sini perlu dijelaskan secara singkat. Sejumlah konsep seperti tampak
dalam tabel tersebut merujuk ke model “spiritual tasks of ageing” menurut
MacKinlay (2004a) dan juga kaitannya dengan spiritual care yang patut dilakukan
praktisi (MacKinlay, 2006). Konsep-konsep tersebut meliputi harapan, reminiscence,
dan keterhubungan.
Harapan atau asa merupakan salah satu tema yang berhasil diidentifikasi dari
hasil penelitian Mackinlay (2004a) terhadap lansia dalam menghadapi kecemasan
atau ketakutan terhadap sesuatu. Harapan tersebut misalnya terkait dengan hasrat
bertemu anak-cucu atau melihat mereka sukses dalam hidup. Sebagai tambahan,
konsep semangat hidup atau daya hidup dalam penelitian ini dapat diperkuat dengan
pendapat Baskin (2007, p. 194) bahwa spiritualitas tidak melulu terkait soal kematian
dan menghadapai kematian. Sebaliknya, spiritualitas untuk lansia justru harus
berbicara tentang bagaimana melanjutkan hidup dan menghadapinya.
Mengenang masa lalu (reminiscence) dianggap MacKinlay (2004b) sebagai
salah satu task penting bagi lansia ketika memasuki tahap akhir dalam karir dan
menghadapi kematian. Dengan mengingat-ingat masa lalu, ada upaya lansia untuk
“kembali ke masa lalu, mengafirmasi, membingkai kembali, dan melihat siapa
sesungguhnya diri mereka atas semua yang telah dilalui dan dialami kemudian
berupaya mengambil pelajaran” (p. 80). Reminiscence juga disinggung MacKinlay
(2006, p. 37) sebagai salah satu tindakan spiritual care bersama life review untuk
pemenuhan kebutuhan pencarian makna hidup.
Relasi dan keterhubungan (relationships atau connectedness) merupakan
komponen terpenting dalam spiritualitas yang disinggung oleh hampir semua ahli.
Dalam model MacKinlay (2004a/b), task ini berupa pencarian kedekatan (intimacy)
baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Menemukan kedekatan, membangun
hubungan dan menjaganya merupakan kebutuhan paling utama bagi lansia.
Selain MacKinlay, model yang dibuat Jewell (2004) terkait empat kebutuhan
penting lansia juga dirujuk dalam Tabel 7.3 di atas, khususnya terkait kebutuhan
afirmasi dan rekonsiliasi. Afirmasi adalah satu dari empat kebutuhan manusia di
akhir hayat (Jewell, 2004). Menurutnya, kebutuhan ini adalah semacam pengakuan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
249
Universitas Indonesia
terhadap lansia atas kontribusi atau jasa dalam hidup mereka (p. 20). Dalam
penjelasan Mathews (2009), afirmasi berarti pengakuan secara kolektif atau individu
bahwa kehidupan mereka berharga dan berguna bagi sesama (p. 59). Intinya, lansia
punya kebutuhan merasa berguna bagi sesama dan dibutuhkan oleh orang lain.
Selanjutnya, rekonsiliasi merupakan salah satu harapan lansia yang sering tak
terungkap. Sebelum menghadapi akhir hayat, lansia membutuhkan “rekonsiliasi
dengan orang-orang terdekat, dengan diri sendiri, dengan Tuhan” agar meninggal
dengan tenang (Jewell, 2004, p.21). Dalam hidupnya lansia sangat mungkin
mengalami hubungan pasang-surut dengan orang-orang yang dicintai, tindakan yang
menimbulkan penyesalan sepanjang hayat, atau perbuatan dosa terhadap Tuhan,
sehingga mereka harus saling memaafkan, memaafkan diri-sendiri, dan bertobat.
Kebutuhan rekonsiliasi tersebut juga ada kaitannya dengan harapan lansia
agar segala urusan di akhir hayat dapat terselesaikan sehingga tidak ada beban yang
dipikul dan “terbawa” sampai mati. Harapan seperti ini, dalam konsep McCormick,
Kuo, dan Masten (2010), disebut sebagai settling affairs. Menurut mereka, settling
affairs dianggap sebagai salah satu developmental tasks yang paling umum dan
menonjol pada kelompok lansia (p. 122).
Khusus terkait dengan doa, di sini perlu dijelaskan secara singkat satu konsep
yang dipegang seorang lulusan spesialis pekerjaan sosial tersebut. Menurutnya,
berdoa berarti berupaya menghubungkan antara Tuhan, klien, dan orang yang
didoakan klien. Dia juga menjelaskan hal ini kepada klien sambil berupaya
sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi
apa yang dialami klien saat ini adalah akibat dari sikap dan perilaku yang telah
lampau. Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia
mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar,
memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan
menjadi lebih baik. (Perhatikan Gambar 7.3)
Berikutnya, spiritual tasks untuk masing-masing masalah lansia menurut
perspektif dan pengalaman lansia itu sendiri ditunjukkan dalam Tabel 7.4. Beberapa
spiritual tasks pada tabel tersebut juga mengacu ke hasil penelitian dan konsep-
konsep yang telah dikembangkan sejumlah ahli.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
250
Gambar 7.3. Konsep relasi segi tiga doa
Tabel 7.4. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia
Masalah lansia Spiritual tasks
Disabilitas • Melampaui disabilitas (to transcend dissability) • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Harapan/doa • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup
Keterpisahan • Relationships/connectedness • Harapan/doa
Isolasi • Relationships/connectedness • Harapan/doa
Relasi yang tidak baik
• Rekonsiliasi • Harapan/doa
Penderitaan hidup • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup
Kehilangan (loss) • Melampaui kehilangan (to transcend loss) • Menemukan makna dan hikmah • Semangat/daya hidup
Kecemasan • Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan • Harapan/doa • Rekonsiliasi • Afirmasi • Settling affairs
Sebagian spiritual tasks telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan task yang
belum adalah kebutuhan melampaui (to transcend). Kebutuhan untuk melampaui (to
transcend) yang muncul pada masalah lansia disabilitas dan kehilangan tersebut
mengacu pada salah satu task dalam model MacKinlay (2004a, p. 224-5) yakni
‘melampaui kehilangan dan disabilitas’ (to transcend loss or disability). Melampaui
disabilitas dan kehilangan yang ia maksud adalah bahwa ketika muncul ketakutan
Tuhan
Lansia Orang yang didoakan
DOA
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
251
Universitas Indonesia
atau kecemasan akan keterbatasan fisik atau kehilangan orang-orang yang dicintai
maka hal itu harus menjadi tantangan tersendiri bagi lansia untuk melaluinya (to
move beyond). Dengan begitu, alih-alih takut atau cemas, mereka akan menemukan
perasaan tenang atau nyaman untuk menghadapinya.
7.3. Komponen Spiritualitas yang Relevan
Daya tahan lansia dalam menghadapi masalah hidup dan masalah kesehatan
jiwa tampak dari cara mereka merespons dan mengekspresikan spiritualitas yang
dihayati. Di samping berbagai respons positif lansia yang sudah dibahas sebelum ini,
ada sejumlah komponen spiritual yang relevan dalam membantu lansia bangkit dari
keterpurukan. Relevansi di sini, sebagaimana hasil eksplorasi Swinton dan Kettles
(2001), dilihat dari seberapa jauh spiritualitas menunjukkan sumbangsih positif bagi
terwujudnya kondisi mental yang baik. Menurut istilah Canda dan Furman (2010),
spiritualitas dari sisi positif disebut sebagai spiritualitas yang sehat (healthy
spirituality). Dengan demikian, kesehatan mental yang ditimbulkannya atau
terdampak oleh spiritualitas yang positif atau sehat pun bersifat positif (positive
mental health).
Sejumlah node atau tema dapat menjadi komponen spiritual yang secara
teoretis dinilai relevan mempengaruhi kondisi kesehatan mental lansia. Penilaian ini
juga mempertimbangkan seberapa banyak informan membicarakannya dan seberapa
sering suatu node disinggung informan. Seperti pada Tabel 14.1 dalam Lampiran 14,
node yang tampak signifikan meliputi: @kegiatan-afiliasi, @keyakinan, @relasi-
kedekatan-isolasi, @doa, @merasa berperan-berguna-dicintai, @harapan, dan
@menyikapi akhir hayat. Sementara node yang tidak terlalu tinggi namun masih
cukup relevan yang dibicarakan oleh lima atau enam informan adalah: @semangat
hidup, @kekhawatiran-ketakutan, @reminiscence, dan @kegemaran-hobi-kreativitas.
Node @kegiatan-afiliasi agama dan @keyakinan yang tercakup dalam
kategori keberagamaan lansia merupakan dua node penting. Kedua node ini begitu
sering disinggung dimana hampir semua informan lansia memperlihatkan sebaran
merata. Pasangan lansia Pnd dan Gbg memang tidak menunjukkan node @kegiatan-
afiliasi agama, namun berdasarkan observasi keduanya aktif melakukan aktivitas
keagamaan di panti, baik secara pribadi maupun bersama-sama, seperti sholat
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
252
berjamaah dan pengajian di musholla. Sementara untuk node @keyakinan, semua
informan menyinggungnya dimana yang paling kental menunjukkan keyakinan ini
adalah pasangan lansia Rml dan Nrn. (Perhatikan Tabel 14.5, Lampiran 14).
Kondisi keberagamaan lansia ada yang naik turun (semakin menua cenderung
menaik) dan ada juga yang baik dan stabil sejak muda. Ini menguatkan satu survei
yang pernah dilakukan di US (lihat Nelson, 2009). Sejumlah lansia yang mengaku
atau menunjukkan tingkat keimanan yang semakin meningkat, bisa dipengaruhi
berbagai faktor, seperti faktor usia semakin senja mendekati kematian, faktor
pengalaman atau penderitaan hidup yang mereka anggap sebagai sebuah peringatan
untuk mengingat Tuhan dan menaati perintah-nya, atau karena lingkungan yang
mendukung. Sehingga perlu ditelusuri lebih jauh apakah juga yang mereka akui
semakin meningkat itu keagamaan mereka ataukah spiritualitasnya.
Pada dekade 1990-an, menurut Folkman dan Moskowitz (2004), keterlibatan
seseorang dalam agama (religious involvement), bersama komponen religiositas dan
sembahyang, termasuk dalam variabel penting untuk mengukur tingkat religious
coping. Namun, keduanya berpendapat bahwa keterlibatan seseorang dalam agama,
seperti pada tema kegiatan dan afiliasi agama di atas belum tentu termasuk dalam
religious coping. Mereka menegaskan, “keterlibatan dalam keagamaan tidak sama
dengan religious coping” (p. 759). Lebih jauh mereka mengatakan, keterlibatan
seseorang dalam keagamaan bisa jadi hanya suatu cara atau bentuk coping terhadap
masalah yang sedang dihadapi, bukan religious coping itu sendiri.
Tema kegiatan dan afiliasi agama merupakan salah satu bentuk ekspresi
spiritualitas dalam agama formal atau terlembaga. Dalam pendekatan struktural-
behavioral, menurut Swinton (2007), spiritualitas yang menghubungkan seseorang
untuk terlibat dalam kelompok keagamaan melalui kegiatan tertentu dapat
mendorong mereka berperilaku yang mendatangkan kesehatan, baik secara fisik
maupun mental. Kegiatan yang dimaksud, seperti dicontohkan Swinton (p. 294),
dapat berupa kehadiran di gereja, afiliasi agama, ibadah individu (seperti
sembahyang, baca kitab, puasa, dan lain-lain), perasaan memiliki identitas kelompok
agama tertentu, dan lain-lain, seperti halnya yang ditunjukkan para informan
penelitian ini. Sedangkan untuk tema keyakinan dapat mengacu ke pendekatan
pedoman nilai (value guidance) dimana spiritualitas tidak selalu datang dari agama
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
253
Universitas Indonesia
formal, namun juga dari luar agama. Spiritualitas di sini lebih bersifat individual dan
pribadi, seperti pencarian akan makna, harapan, tujuan, kebahagiaan, kenyamanan,
dan lain-lain (Swinton, 2007).
Spiritualitas yang diekspresikan dalam agama formal dan yang bersifat
individual di atas tetap berkaitan dan saling membutuhkan. Seperti dikatakan Hugen
(2001), kebanyakan orang saat ini (dalam konteks masyarakat Barat) menjalankan
spiritualitas individu dalam konteks jamaah dan institusi keagamaan. Dengan kata
lain, Hugen menegaskan, “partisipasi dalam agama yang terlembaga beserta ritual-
ritual yang menyertainya merupakan pengalaman spiritual” (p. 13).
Dengan demikian, tema kegiatan-afiliasi agama dan keyakinan, yang
dikelompokkan dalam kategori keberagamaan lansia, dapat menjadi task individu
lansia yang penting bagi kesehatan jiwa mereka. Kegiatan dan afiliasi agama tersebut
tidak hanya yang termasuk religious atau spiritual coping, tetapi juga keterlibatan
dalam agama yang sekadar menjadi coping bagi lansia bersangkutan. Tabel 7.5 di
bawah ini merinci individual tasks terkait kategori ini berdasarkan hasil penelitian.
Tabel 7.5. Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia
Tema yang muncul Individual tasks
Keberagamaan lansia • Melakukan ritual/ibadah rutin baik secara individu atau berjamaah
• Terlibat dalam aktivitas/tradisi keagamaaan secara kolektif dan punya peran/tanggung jawab di dalamnya
• Memiliki dan mengamalkan keyakinan baik bersumber dari agama atau di luar agama (pribadi, keluarga, kultur, atau masyarakat)
Sebagai penguat adanya hubungan kuat antara kedua tema ini sebagai
religious coping dengan kesehatan mental, Mohan (2004, p. 176-77) mengutip
sejumlah hasil penelitian yang dilakukan para ahli. Sebagai contoh, hasil penelitian
Mookherjee tahun 1994 menunjukkan bahwa persepsi terhadap kondisi mental yang
baik sangat dipengaruhi, di antaranya, oleh keanggotaan jamaah gereja dan frekuensi
kehadiran dalam kegiatan gereja. Berdasarkan berbagai penelitian yang ia akses,
pada intinya Mohan menegaskan bahwa kadar stres pada kelompok religius dan non-
religius sebenarnya sama, namun orang kelompok pertama lebih baik dalam
menghadapi kesulitan hidup dan tekanan yang diakibatkannya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
254
Kategori berikutnya yang banyak dibicarakan adalah #relasi dan
keterhubungan yang terdiri dari node @relasi-kedekatan-isolasi dan node @doa.
Node @relasi-kedekatan-isolasi memperlihatkan tinggi dan masifnya pembicaraan
yang ditunjukkan oleh semua informan saat wawancara. Begitu juga dengan node
@doa yang disinggung semua informan. (Perhatikan Tabel 14.4, Lampiran 14).
Relasi dan keterhubungan merupakan karakteristik utama spiritualitas dalam
berbagai istilah, seperti relationships (Mathews, 2009), connecting (Gilbert, 2007;
Marstoff dan Mickley, 1998 dan Buck, 2006 dalam Lydon-Lam, 2012), relatedness
(Swinton, 2001), atau connectedness (Thompson, 2010; Swinton, 2001). Tema ini
juga kerap menjadi komponen dalam definisi. Sebagai contoh, Sheridan (2009, p.
278) mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian akan tujuan, makna, dan
hubungan antar diri-sendiri, orang lain, alam, dan kenyataan akhir, yang dapat
dialami baik di dalam suatu kerangka keagamaan maupun bukan keagamaan.”
Contoh lain datang dari Swinton dan Pattison (2001), dalam Gilbert (2007), yang
mengatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan “pertanyaan manusai tentang
makna, tujuan, pengetahuan transendensi-diri, hubungan penuh arti, cinta dan
kehadiran yang suci” (p. 24-25).
Manfaat komponen relasi dan keterhubungan bagi peningkatan kesehatan
mental dirinci oleh Swinton (2001). Menurutnya, keterkaitan (relatedness) dan
keterhubungan (connectedness) diri dengan sesama dan dengan Tuhan akan
berkontribusi positif bagi kondisi baik (well-being). Di samping itu, relasi atau
keterhubungan dengan sesama yang membuat lansia tidak merasa sendiri juga dapat
membantu mereka mendatangkan rasa nyaman, memelihara asa, menciptakan nilai,
dan menemukan makna (p.82-3). Tidak baiknya relasi dan keterhubungan dengan
sesama atau dengan Tuhan bisa mengakibatkan hilangnya rasa mencintai dan dicintai
atau menyebabkan rasa teralienasi dari Tuhan. Menurut Swinton, kedua akibat ini
merupakan dimensi spiritual pada gangguan depresi (p. 167).
Berdasarkan hasil penelitian, tugas atau peran individu di masa usia lanjut
yang terkait dengan tema ini ditunjukkan dalam Tabel 7.6.
Keterhubungan dengan orang-orang tercinta yang telah tiada bisa melalui
(ekspresi) doa, tradisi tahlilan atau Yasinan, memasang/menyimpan foto atau barang-
barang milik almarhum, atau sengaja mengingat atau mengenang almarhum,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
255
Universitas Indonesia
sebagaimana dilakukan sebagian besar informan lansia. Upaya-upaya seperti ini
dapat menciptakan keterikatan batin secara menerus dengan almarhum yang oleh
Allan (2005) disebut sebagai continuing bonds. Menurut Allan, dalam teori modern
continuing bonds dapat dikatakan sebagai patologis, namun hal ini tidak bisa
diterapkan ke setiap orang. Hal itu justru punya sisi positif, yakni sebagai sumber
penyemangat, memupuk harapan, dan dapat menjadi salah satu cara pemenuhan
kebutuhan spiritual.
Tabel 7.6. Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia Tema yang muncul Individual tasks
Relasi, kedekatan, dan isolasi
• Menyadari pentingnya hubungan atau kedekatan dengan Tuhan dan manusia
• Menjaga hubungan vertikal dengan Tuhan melalui ibadah & doa • Menjalin hubungan horisontal yang besifat positif dengan sesama
(orang tercinta, keluarga, atau orang lain) • Menjaga hubungan dengan sesama (termasuk dengan orang-
orang terdekat yang sudah meninggal) • Menghindari hubungan negatif atau pertengkaran dengan sesama
penghuni panti • Mengatasi rasa keterasingan, kesepian, keterpisahan dari
keluarga, di antaranya dengan melakukan aktivitas positif, hobi, atau kreativitas baik secara individu atau bersama
Doa • Memanjatkan harapan atau keinginan melalui doa untuk kebaikan diri-sendiri,
• Berdoa untuk kebaikan di akhir hayat, seperti mati dalam keadaan husnul khotimah
• Berdoa untuk kebaikan orang-orang terdekat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
• Sering berdoa untuk orang-orang terdekat tersebut agar selalu memiliki keterikatan atau kontak batin (continuing bonds)
Untuk kategori #harapan dan kecemasan yang terdiri dari node @harapan,
@menyikapi akhir hayat, @kekhawatiran-ketakutan, dan @semangat hidup, terkait
sebaran dan intensitas informan lansia menyinggung tema tersebut, telah dibahas di
bagian awal, kecuali node @semangat hidup. Sebaran dan frekuensi node yang
terakhir ini tidak setinggi tiga tema yang lain, yakni disinggung oleh enam informan
dan kurang intens dibicarakan. (Perhatikan Tabel 14.7, Lampiran 14)
Dalam model spiritualitas yang dibuat MHA (Methodist Homes for the Aged)
Care Group yang berada di UK, seperti dijelaskan Jewell (2004), harapan dan
kecemasan dimasukkan sebagai dua kondisi yang berbeda, meski tidak saling
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
256
berlawanan. Bersama cinta, kebahagiaan, kreativitas, dan kedamaian, harapan
termasuk sebagai komponen yang menggambarkan kondisi baik yang didambakan
setiap lansia (well-being) (p.23). Jewell menyebut kelima komponen ini sebagai
kebutuhan spiritual (spiritual needs) (p.18-19). Sedangkan kecemasan (anxiety)
termasuk dalam kondisi sakit (ill-being) bersama dengan keterisolasian (merana),
putus asa, kesedihan, dan kebosanan. Dalam model tersebut tampak harapan
berkebalikan dengan putus asa, sementara kecemasan dilawankan dengan kedamaian
(Jewell, 2004, p. 23). Dengan begitu, tema semangat hidup cocok diasosiasikan
dengan harapan karena kondisi kebalikannya juga berupa putus asa.
Swinton (2001) juga memasukkan tema harapan sebagai salah satu komponen
untuk mewujudkan well-being. Bersama tema keterkaitan/keterhubungan dengan
sesama atau Tuhan dan harga diri (self-esteem), harapan merupakan cara utama
dimana spiritualitas dapat memberikan kontribusi positif untuk mencapai kondisi
mental yang sehat (Swinton, 2001, p. 82). Hilangnya harapan yang menyebabkan
keputusasaan dan kesedihan dan hilangnya kekuatan batin, menurut Swinton,
termasuk dimensi spiritual yang harus dikenali pada penderita gangguan depresi
(p.167). Perasaan kekhawatiran atau takut terhadap kematian juga merupakan gejala
yang memiliki dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan (p.164).
Tabel 7.7 halaman berikut ini merinci individual tasks untuk masing-masing
tema yang muncul dalam kategori harapan dan kecemasan, sebagai kategori penting
yang menentukan kondisi kesehatan mental lansia.
Komponen penting berikutnya adalah node @merasa berperan-berguna-
dicintai dan node @reminiscence. Perasaan berperan, berguna, atau dicintai
ditunjukkan beberapa kali oleh informan lansia dalam wawancara. Dibanding
informan lain, kakek Sgn adalah yang paling sering mengekspresikan perasaan ini.
Kemudian kecenderungan mengenang masa lalu, seperti dalam node @reminiscence,
juga cukup sering dilakukan informan. Dalam hal ini kakek Sgn juga paling suka
menceritakan masa lalunya ketika masih bersama almarhum istri. (Perhatikan Tabel
14.6, Lampiran 14).
Tema penting lain dalam kategori #spiritual tasks, meski kurang sering
disinggung lansia, adalah seperti ditunjukkan oleh node @kegemaran-hobi-kreativitas,
@”mengheningkan cipta”, dan @memaafkan. Node pertama disinggung oleh lima
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
257
Universitas Indonesia
informan dan node kedua disinggung oleh tiga informan. Di antara kesebelas
informan, lansia Mrw dan Sgn selalu menyinggung kedua tema ini. Sementara untuk
tema memaafkan, hanya ada seorang informan yang pernah membicarakannya, yakni
lansia Est (Perhatikan Tabel 14.6, dan 14.7, Lampiran 14).
Tabel 7.7. Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia
Tema yang muncul Individual tasks
Harapan dan semangat hidup
• Berharap agar panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, dan diringankan dari penderitaan
• Berharap agar dapat rajin beribadah dan hidup selamat serta berkah
• Memupuk harapan agar masih bisa ketemu anak-cucu atau dengan teman-teman lama
• Tidak berputus asa dan tetap memiliki semangat untuk hidup Harapan dalam menghadapi akhir hayat
• Berharap agar meninggal dengan baik dan mudah (husnul khotimah)
• Berharap meninggal di kampung halaman dan banyak yang melayat (takziyah)
• Berharap ada yang mengurus dan mendoakan ketika meninggal
• Berdoa agar tidak sedang berbuat dosa ketika meninggal, diberi ampunan sebelum meninggal, dan terbebas dari siksa/azab kubur
Sebagian tema dalam kategori spiritual tasks yang muncul dari penelitian ini
juga merupakan komponen penting yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan
mental menurut Swinton (2001). Komponen yang dimaksud adalah perasaan berguna
dan diperhatikan dimana tema ini, bersama tema tujuan dan makna dalam hidup, rasa
nyaman di saat sulit, perasaan tidak sendiri, dan harapan yang terpelihara ketika
keputusasaan menyerang, dinilai dapat mendatangkan kenyamanan, harapan, nilai,
dan makna (p. 83). Sebaliknya, ketiadaan perasaan berguna dan dicintai oleh
keluarga atau kerabat bisa menjadi tanda yang punya dimensi spiritual pada
gangguan depresi.
Tabel 7.8 di bawah ini merinci individual tasks bagi lansia untuk masing-
masing tema dalam kategori spiritual tasks.
Ada pula kategori atau tema yang secara teoretis menjadi salah satu
komponen sangat penting dalam spiritualitas, yaitu kategori #persoalan eksistensial
lansia yang terdiri dari node @makna-tujuan hidup, dan @pandangan-pertanyaan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
258
tentang hidup. Akan tetapi, hal yang menarik di sini adalah bahwa, meskipun
dipandang penting, kedua tema tersebut kurang dipandang sebagai sesuatu yang
harus dicari atau yang harus diperjuangkan oleh lansia. Kedua tema tersebut kurang
menjadi perhatian informan lansia. Tema pertama disinggung oleh tiga informan
sementara yang kedua hanya oleh dua informan dengan intensitas yang rendah.
(Perhatikan Tabel 14.9, Lampiran 14).
Tabel 7.8. Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia
Tema yang muncul Individual tasks
Merasa berguna dan dicintai
• Menerima/mengambil peran atau tugas dan menjalankan dalam aktivitas bersama, terutama terkait aktivitas keagamaan, misal adzan-iqomat, membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, sholawatan, menjadi imam, atau melayani Tuhan (nyanyian atau pujian).
• Memiliki karya yang bisa dibanggakan • Punya tekad atau keinginan untuk membantu orang lain yang
perlu bantuan • Menjalin relasi dengan sesama secara lebih bermakna, misal
menikahi lansia lawan jenis (selama memang memungkinkan) agar tumbuh saling mencintai
• Menjaga hubungan baik dan saling mencintai dengan orang-orang terdekat dan keluarga
Mengenang masa lalu (reminiscence)
• Mengingat atau mengenang masa lalu terkait peristiwa, orang-orang tercinta, tempat favorit, dan lain-lain
• Menceritakan kenangan-kenangan tersebut kepada orang-orang terdekat atau orang lain yang mau diajak ngobrol
• Mengambil pelajaran/hikmah dari apa yang terjadi di masa lalu • Membingkai kembali (reframing) kenangan lama tersebut,
tanpa harus memanipulasi, menjadi narasi/cerita yang menyenangkan dan membanggakan
“Mengheningkan cipta”
• Memanfaatkan keberadaannya di panti sebagai tempat untuk menikmati kesendirian dan mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang tinggal terpisah atau yang sudah meninggal
• Menerima keberadaannya di panti sebagai tempat yang lebih aman, nyaman, dan terjamin dibanding tinggal di luar sana, di tempat yang tidak mengenakkan
Memaafkan • Memaafkan kesalahan masa lalu yang diperbuat diri-sendiri agar tidak dihantui perasaan bersalah
• Memaafkan orang-orang sekitar, terutama yang terdekat, untuk memperbaiki hubungan agar tenang di usia senja
Kegemaran, hobi, dan kreativitas
• Melakukan kembali sebagian kegemaran atau hobi yang dulu biasa dilakukan sebelum di panti, sejauh memungkinkan
• Mengembangkan keterampilan dan kreativitas untuk mengusir kebosanan dan mengisi waktu, sehingga bisa produktif
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
259
Universitas Indonesia
Keduanya memang muncul dan dibahas dalam temuan karena diangkat dalam
serangkain wawancara terhadap sebagian informan lansia. Akan tetapi jawaban yang
muncul berupa pengakuan bahwa mereka enggan memikirkan hal-hal yang rumit dan
hanya ingin menjalani hidup apa adanya atau menerima apapun yang menjadi
kehendak Tuhan (Mrw, 8/4/2013). Ada lagi tiga lansia yang menjawab secara
normatif bahwa tujuan hidup ini hanya untuk beribadah (Rml & Nrn, 27/5/2013) dan
melayani Tuhan (Est, 31/5/2013).
Kurang tereksplorasinya tema-tema penting ini bisa jadi sebagai salah satu
keterbatasan penelitian terkait metode pengumpulan data. Makna, tujuan, atau arti
hidup ini mungkin terlalu abstrak bagi para informan. Oleh karena itu, mesti ada
semacam bahasa yang lebih familiar di telinga lansia untuk menerjemahkan tema-
tema tersebut dan dengan menggunakan teknik khusus agar mampu mengeksplorasi
secara mendalam.
Makna dan tujuan hidup atau pandangan dan pertanyaan tentang hidup
merupakan komponen penting dalam spiritualitas. Tema-tema ini juga seringkali
disinggung dan dimasukkan dalam definisi spiritualitas. Sehingga, pencarian makna
dan tujuan hidup selalu ada dalam definisi universal spiritualitas (Hinnels, 1995).
Contoh definisi spiritualitas yang dapat mencakup seluruh tema dalam kategori
persoalan eksistensial dalam penelitian ini adalah Lindsay (2002) yang
mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pencarian makna dan tujuan dalam hidup
dan suatu pemahaman akan kebaradaan diri di antara alam semesta” (dalam Healy
(2005, p. 83).
Dalam perspektif eksistensialis-humanis, pencarian makna dan tujuan hidup
menjadi tema sentral untuk mengatasi kondisi existential frustration dan existential
vacuum yang dapat menyebabkan noogenic neurosis atau noetic neurosis. Gejala dari
frustrasi atau kekosongan eksistensial tersebut dapat berupa depresi, kecemasan,
agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain. Frankl menawarkan pendekatan
Logoterapi untuk menemukan makna yang unik bagi setiap individu (Frankl, 1992;
2004).
Bastaman (1994), sebagai salah satu penganut utama Frankl di Indonesia,
mengusulkan tiga nilai, yaitu nilai-nilai kreatif, eksperiensial, dan sikap, untuk
menemukan makna hidup (the meaning of life) atau membuat hidup ini penuh makna
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
260
(meaningful life). Bastaman (1996) juga menekankan pentingnya iman dan takwa
agar setiap individu tetap optimis dalam menghadapi hidup, mensyukuri segala
nikmat dan kebaikan yang diterima, dan tetap tabah dan sabar ketika menderita atau
menerima musibah.
Sebegitu pentingnya tema makna, tujuan hidup, dan pandangan atau
pertanyaan tentang hidup bagi kesehatan mental, tugas dan/atau peran individu lansia
terkait kategori ini perlu ditekankan. Tabel 7.9 berikut ini merinci tugas dan peran
yang dimaksud.
Tabel 7.9. Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia
Tema yang muncul Individual tasks
Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup
• Menemukan pandangan tentang diri-sendiri dan hidup yang telah dan sedang dijalani
• Mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasibnya seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada dirinya
• Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut
• Menilai sejauh mana kepuasan diri mereka dalam menjalani hidup
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
261
BAB 8
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Bagian paling akhir ini mengetengahkan kesimpulan, implikasi, dan saran
atau rekomendasi. Kesimpulan lebih fokus pada hasil atau jawaban dari pertanyaan
penelitian. Implikasi yang dibahas bersifat teoretis, praktis, dan kebijakan. Sementara
rekomendasi yang diajukan di sini lebih bersifat praktis sebagai saran perbaikan ke
depan atas kekurangan yang dijumpai di lapangan atau dalam praktik.
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada beberapa bab sebelum ini,
di sini dapat diambil sejumlah kesimpulan.
Pertama, pemahaman praktisi tentang spiritualitas atau padanannya tidak
jauh berbeda dari pemahaman umum, yakni terkait tentang mental, batin, batiniah,
bagian yang tidak tampak, dorongan hati nurani, agama atau keagamaan, ketakwaan,
akhlak, hubungan vertikal dengan Tuhan, dan juga ritual keagamaan. Dari sini dapat
ditegaskan bahwa:
1. Spiritualitas yang dipahami praktisi merupakan hasil konstruksi sosial yang
dibentuk oleh kultur (budaya) masyarakat Indonesia. Sebagai anak zaman
(zeitgest), pemahaman mereka tidak dapat dilepaskan dari pemahaman secara
umum.
2. Pemahaman seperti itu hanya menyentuh sebagian kecil pengertian universal
terkait pencarian makna dan tujuan hidup. Namun dari sisi ekspresi,
komponen spiritualitas yang ditunjukkan justru lebih kaya, yakni berupa
ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara individu maupun
kelompok. Spiritualitas yang terekspresikan ini juga bersumber baik dari
agama maupun dari luar agama.
3. Ekspresi spiritualitas yang dimaksud meliputi keterlibatan dalam kelompok
agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk respons
ketika menghadapi musibah, panutan dan sumber inspirasi, keterhubungan
dengan sesama, kecemasan, dan harapan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
262
4. Spiritualitas yang ditunjukkan praktisi lebih dominan pada tingkatan praksis
atau pengalaman. Spiritualitas yang dimiliki mungkin tidak mereka pahami
atau definisikan, melainkan mereka hayati dan amalkan dalam seluruh aspek
kehidupan, termasuk dalam interaksi mereka dengan klien lansia. Penelitian
ini menyebutnya sebagai ‘living spirituality’. Namun, spiritualitas yang
menjadi perhatian mereka dalam praktik pelayanan sosial adalah lebih
dominan spiritualitas yang berkonotasi dengan agama, baik dari sisi sumber
maupun ekspresi.
Kedua terkait spiritualitas praktisi di tingkat praktik. Pemahaman spiritualitas
yang dipegang praktisi termanifestasi dalam empat kategori, yaitu motivasi praktisi
melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual.
Masing-masing kategori dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Motivasi paling umum dan menonjol yang sangat dipengaruhi spiritualitas
atau keagamaan praktisi adalah bahwa menolong lansia dijadikan sebagai
ladang amal dalam rangka beribadah karena Allah (lillâhi ta’âlâ). Selain itu,
hampir semua informan menganggap klien lansia yang dilayani layaknya
sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri.
2. Nilai dan prinsip etis yang dibicarakan sejumlah praktisi terkait dengan
kecocokan spiritualitas dan agama dengan nilai dan prinsip etis profesi
pekerjaan sosial.
3. Terkait asesmen spiritual, sejumlah temuan menunjukkan bahwa asesmen
spiritual sangat minim dicatat oleh praktisi. Mereka juga tidak familiar
dengan beberapa format asesmen spiritual yang umum di kalangan praktisi,
terutama dari dunia internasional. Adapun hasil asesmen yang dilakukan
umumnya hanya berupa identifikasi terhadap agama klien, praktik ibadah
keseharian, dan pengetahuan atau kemampuan menjalankan ibadahnya.
4. Untuk intervensi spiritual, kebanyakan praktisi mengaku tidak menggunakan
teknik khusus, tetapi hanya teknik yang standar, seperti mengingatkan,
mengajak, memberi nasihat, atau mengajari klien lansia untuk sembahyang,
berdoa, atau berdzikir. Sejumlah metode atau pendekatan intervensi spiritual
tampaknya merupakan inisiatif dari sebagian praktisi yang dipengaruhi
pengetahuan agama dan kompetensi personal yang bersangkutan. Misal,
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
263
Universitas Indonesia
seorang praktisi menggunakan pendekatan “wajarnya” ketika berupaya
menyentil kesadaran lansia agar ingat akan usia dan masa akhir hayat.
5. Terkait upaya praktisi memahami spiritualitas lansia, asesmen dan intervensi
adalah tahap penting bagi upaya memahami tersebut. Kalaupun tahap
asesmen hanya mampu menggali spiritualitas lansia pada kulit luar, tahap
intervensi sejatinya telah dimanfaatkan praktisi untuk memahami spiritualitas
klien secara agak lebih mendalam seiring waktu dan interaksi yang makin
intensif.
Ketiga, spiritualitas lansia mampu tergali di antaranya melalui pengalaman
hidup yang telah atau sedang dilalui. Seperti halnya praktisi, spiritualitas lansia yang
kebanyakan tidak memiliki pendidikan tinggi berada di tingkatan praksis atau
pengalaman. Karakteristik pengalaman spiritualitas lansia ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Sejumlah kategori atau tema yang dapat menggambarkan kedalaman
spiritualitas mereka mencakup: keberagaamaan lansia (kegiatan dan afiliasi
keagamaan serta keyakinan agama); persoalan eksistensial (pandangan-
pertanyaan tentang hidup dan makna/tujuan hidup); relasi atau keterhubungan
(relasi, kedekatan, isolasi, dan doa); kecemasan dan harapan; dan kebutuhan
spiritual (spiritual tasks/needs).
2. Kentalnya spiritualitas yang dimiliki tercermin dalam ragam komponen yang
ekspresinya baik bersifat keagamaan maupun non-keagamaan. Spiritualitas
mereka juga bisa bersumber dari agama maupun dari luar agama. Namun,
ekspresi keagamaan dan sumber yang berasal dari agama lebih dominan.
Keempat, pengalaman hidup lansia dan bagaimana mereka merespons dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Ragam pengalaman dan penderitaan hidup lansia dimaknai sebagai musibah,
cobaan, takdir, atau peringatan yang diyakini akan mendatangkan hikmah
atau manfaat, sebagaimana ungkapan salah satu informan, “ada musibah ada
hikmah.”
2. Terhadap kemalangan yang dialami, berbagai respons positif yang bersifat
spiritual ditunjukkan informan, seperti pasrah, sabar, menerima, tawakkal,
bersyukur, dan berupaya mengambil hikmahnya.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
264
3. Cara memandang penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia dan
bagaimana mereka merespons secara positif tersebut merupakan bentuk
religious coping atau spiritual coping.
Seiring keempat kesimpulan di atas di sini dapat ditegaskan bahwa masing-
masing individu, baik praktisi maupun lansia, memiliki karakteristik dan keunikan
tersendiri bagaimana menghayati dan mengekspresikan spiritualitas. Spiritualitas
mereka tentu dibentuk oleh kultur dan sistem religi dimana mereka hidup. Meski
berbeda dan unik, ada kesamaan karakteristik tertentu (shared characteristics). Para
ahli dari Barat telah mendefinisikan shared characteristic tersebut tentunya untuk
konteks kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, karakteristik spiritualitas yang
dianggap universal adalah berupa proses pencarian akan makna dan tujuan hidup,
sesuatu yang terkait dengan yang sakral atau transenden, kemudian keterhubungan
antara diri dengan sesama, alam semesta, dan Tuhan.
Namun untuk konteks masyarakat Indonesia, shared spirituality menurut
informan praktisi dan lansia dalam penelitian ini mungkin tidak dapat mereka
definisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu dilakukan, diamalkan, dijalankan, dan
dihayati dalam keseharian mereka (living spirituality). Makna hidup yang dicari
masyarakat Barat, misalnya, oleh praktisi dan lansia di sini diekspresikan dalam
keyakinan yang mereka nyatakan dengan ungkapan (invivo coding) “di balik ujian
ada hikmah” atau “ada musibah ada hikmah.”
Living spirituality dinilai sangat membentuk motivasi praktisi dalam
memberikan layanan sosial bagi lansia, sehingga pada gilirannya akan memiliki
dampak signifikan terhadap praktik pelayanan, terutama pada tahap asesmen dan
intervensi yang berbasis spiritual. Bagi praktisi berlatar belakang pendidikan
kesejahteraan sosial, pengetahuan profesi banyak membentuk wujud praktik layanan.
Masalah dilema etis yang mungkin muncul terkait pemanfaatan aspek spiritual dalam
praktik dapat diatasi dengan tidak terpaku pada pendekatan medikal pekerjaan sosial,
namun dengan memromosikan pendekatan yang lebih inklusif bagi spiritualitas,
contohnya seperti paradigma interaksional.
Model layanan sosial untuk lansia dibangun berdasarkan tipologi praktisi dan
lansia. Praktisi bertipe normatif hanya cocok untuk menangani lansia tipe salih atau
tipe stabil dengan model asesmen formalistik dan intervensi yang bersifat direktif.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
265
Universitas Indonesia
Berbeda dengan tipe sebelumnya, praktisi fleksibel-kondisional dapat melakukan
penanganan untuk tipe lansia pengikut dan awam. Sedangkan, tipe kearifan diri
dianggap cocok memberikan layanan bagi lansia dengan tipe pengikut dan awam
atau tipe semakin meningkat. Kedua tipe praktisi ini lebih cocok menggunakan
model asesmen dialogis-resiprokal dan intervensi yang bersifat reflektif dimana
praktisi harus memposisikan diri sejajar dengan klien lansia secara kemitraan
(partnership), entah sebagai teman, cucu, atau sebagai anak.
Terkait komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia,
penderitaan hidup lansia yang sangat mempengaruhi kondisi mental mereka meliputi
disabilitas (fisik dan karena sakit-sakitan), keterpisahan, isolasi, hubungan yang tidak
baik, penderitaan hidup berkepanjangan, kematian orang-orang terdekat (loss), dan
kecemasan menghadapi kematian (death anxiety) dan masa depan anak-cucu mereka.
Sebagian besar tema atau komponen yang menggambarkan kedalaman spiritualitas
lansia seperti telah dijelaskan di atas, secara teoretis dan hasil penelitian, memiliki
kontribusi positif untuk mencapai dan memelihara kondisi mental yang baik. Dengan
kata lain, spiritualitas yang sehat dan positif memiliki kontribusi bagi kesehatan
mental yang positif pula. Sebagian komponen tersebut dijadikan sebagai spiritual
tasks untuk masalah-masalah lansia yang memiliki dimensi spiritual. Spiritual tasks
ini termasuk dalam teori perkembangan manusia dengan metafora life-span, seperti
halnya teori psikososial Erikson, Havighurts, Clark dan Anderson, atau
developmental tasks menurut McCormick, Kuo, dan Masten.
8.2. Implikasi
Penelitian ini didesain untuk menghasilkan konstruksi tentang spiritualitas
praktisi dan lansia dalam konteks pelayanan sosial. Oleh karena itu, implikasi secara
teoretis atau pengetahuan, praktis, dan kebijakan di sini lebih banyak dibahas pada
wilayah disiplin ilmu pekerjaan sosial.
8.2.1. Implikasi Teoretis-pengetahuan
Terkait implikasi teoretis dan pengetahuan, penelitian ini mendorong praktisi
dan lembaga pelayanan untuk merivisi perspektif PIE (person in environment atau
individu dalam lingkungan), yakni dengan memperluas cakupan konsep individu dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
266
lingkungan sosial dengan melibatkan konsep spiritualitas di dalamnya. Seperti
diketahui bersama bahwa konsep PIE telah sekian lama menjadi panduan praktik dan
ciri khas pekerjaan sosial. Bahkan menurut Robbins, Chatterjee, dan Canda (2008),
konsep yang berasaskan perspektif ekologis ini telah menjadi semacam meta-teori
bagi praktik pekerjaan sosial. Meskipun dianggap sulit, sejumlah ahli menyarankan
untuk memasukkan spiritualitas ke dalam perspektif PIE (Lee et al., 2009).
Sebagian ahli bahkan telah berupaya mengintegrasikan spiritualitas ke dalam
konsep PIE. Dengan perspektif spiritualitas, Zapf (2007), misalnya, mengusulkan
agar memperluas cakupan individu dan lingkungan. Menurutnya, dengan konsep
spiritualitas, wilayah individu tidak hanya berpusat pada diri, namun diperluas ke
arah hubungan antar individu atau individu dengan lingkungan. Sementara konsep
lingkungan harusnya tidak terbatas hanya pada lingkungan sosial, namun diperluas
hingga mencakup alam semesta. Dengan teori transpersonal, Canda dan Furman
(2010) juga turut merekomendasikan bahwa individu seharusnya tidak terbatas hanya
pada ego dan lingkungan tidak hanya berupa sekelompok hubungan sosial yang
terbatas. Namun, konsep keduanya harus direvisi dimana kebutuhan individu
diperluas menjadi kebutuhan akan transendensi diri dan misi sosial pekerjaan sosial
tentang dukungan sosial dan keadilan diperluas menjadi keharmonisan dan keadilan
global bagi alam semesta.
Sejumlah lansia yang menjadi informan penelitian ini memiliki potensi
konsep diri yang dapat diperluas. Mereka telah menunjukkan kemampuan adanya
transendensi diri ketika mengalami serangkaian kemalangan dalam hidup, seperti
penderitaan tak berujung, penyakit, atau disabilitas karena faktor penuaan. Mereka
menganggap penderitaan tersebut sebagai musibah, cobaan, peringatan, atau takdir
yang harus diterima dengan sabar, tawakkal, dan bahkan harus disyukuri.
Transendensi diri juga telah mereka tunjukkan dengan sikap tidak menginginkan hal-
hal lebih di sisa akhir hidupnya. Dengan kata lain, mereka telah selesai dengan
dirinya atau kebutuhan dirinya.
Sementara, potensi konsep lingkungan yang dapat diperluas ditunjukkan dari
tema keterhubungan yang tidak hanya dengan orang-orang sekitar yang berinteraksi,
keluarga atau kerabat yang masih berkunjung, dan dengan mereka yang masih hidup.
Akan tetapi, hubungan secara batin masih mereka jaga melalui doa untuk keluarga
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
267
Universitas Indonesia
yang sudah tidak pernah bertemu dan berkunjung atau hubungan menerus dengan
orang-orang tercinta yang telah tiada (continuing bonds). Selain itu, hubungan
vertikal dengan Tuhan juga merupakan bukti adanya potensi konsep lingkungan yang
lebih jauh melampaui konsep lingkungan sosial yang sempit.
Implikasi berikutnya adalah bahwa penelitian ini dapat berkontribusi terhadap
pengembangan pengetahuan, dari sisi teori maupun metodologi. Dengan grounded
theory, konsep tentang spiritualitas praktisi dan lansia tergali secara indigenous.
Model pelayanan sosial untuk lansia (asesmen dan intervensi) yang sensitif secara
spiritual dan khas masyarakat Indonesia juga terbangun. Sedangkan dari sisi
metodologis, penggunaan strategi grounded theory dan program NVivo7 untuk
analisis data kualitatif, yang masih langka digunakan dalam disiplin Ilmu
Kesejahteraan Sosial, khususny di Indonesia, juga akan sangat bermanfaat bagi
penelitian mendatang. Pada intinya, penelitian ini dapat menjadi rintisan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya yang bertujuan memperbaiki pelayanan sosial bagi
lansia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan dan meningkatkan
kualitas hidup mereka.
Penelitian dengan grounded theory ini berhasil mengonstruksi teori tentang
spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia dalam konteks pelayanan sosial lansia.
Hasil konstruksi ini juga telah diupayakan didialogkan, seperti pada bagian
pembahasan (Bab 6 dan 7), dengan penelitian atau teori yang relevan yang sebagian
besar berasal dari Barat. Di situ tampak bahwa sejumlah model dan sintesis yang
diajukan tetap menampakan warna atau perspektif dari Barat, namun substansi atau
materi tetap merupakan “perasan” hasil eksplorasi terhadap lokalitas Indonesia.
Dengan demikian, tidak berlebihan apabila tipe transformasi pekerjaan sosial
yang cocok untuk konteks tersebut berupa perpaduan antara indigenisasi menurut
Midgley (1981) dan otentisisasi (authenticization) atau ta’shîl menurut Ibrahim
Ragab (dalam Walton & Nasr, 1988; Al-Krenawi & Graham, 2009). Indigenisasi
merupakan satu prinsip dalam pendekatan pragmatis yang diusulkan Midgley (1981)
untuk penerapan pekerjaan sosial yang khas bagi Dunia Ketiga. Prinsip ini mengacu
pada ketepatan atau kecocokan (appropriateness) peran-peran pekerjaan sosial
profesional dan pendidikan profesi tersebut (Midgley, 1981, p. 170) atau bisa juga
sebagai upaya atau proses “mengadaptasikan gagasan impor agar sesuai dengan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
268
kebutuhan lokal,” sebagaimana dimaknai oleh Shawky (1973), seperti dikutip
Walton dan Nasr (1988, p. 148) dan Gray, Coates, dan Bird (2008, p. 5). Sementara,
otentisisasi yang diusulkan Ragab, seperti dikutip Al-Krenawi & Graham (2009, p.
6), berarti ”kembali ke akar atau asal untuk mencari petunjuk, untuk mengembalikan
kemurnian atau orisinalitas, atau untuk menjadi asli.”
Untuk konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia saat ini, khususnya
terkait isu spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia, tampaknya masih berada pada
tahap awal, yakni fase transmisi, menurut kerangka tiga fase yang dibuat oleh
Walton dan Nasr (1988). Menurut menurut Walton & Nasr (1988), fase ini kurang
lebih sama dengan tipe tradisional menurut Ragab, dimana pekerjaan sosial atau
kesejahteraan sosial masih dicangkokkan dan upaya indigenisasi lebih dominan
ketimbang autentisasi.
Namun demikian, melalui hasil penelitian dan model atau konsep yang
terbangun, penelitian ini mendorong agar proses transformasi diupayakan menapaki
pada fase kedua dimana proses indigenisasi dan autentisisasi sudah mulai berimbang.
Fase kedua atau “tahap indigenisasi” merupakan tanggapan balik atas kurang
efektifnya imitasi pekerjaan sosial model Barat di negara-negara berkembang. Para
pendukungnya meyakini bahwa pendekatan dan filosofi dasar pekerjaan sosial
memang sangat berguna, namun perlu dimodifikasi berdasarkan relevansinya dengan
nilai, kebutuhan, dan masalah masyarakat negara berkembang. Artinya, spiritualitas
praktisi dan lansia memang merupakan materi lokal, namun baik metodologi
grounded theory dan perspektif spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini
masih berasal dari Barat. Keterbatasan ini menyebabkan upaya untuk menciptakan
indigenous social work atau mencapai tahap ketiga autentisisasi, khususnya
spiritualitas untuk kesehatan mental lansia, masih terbatas dan butuh waktu.
8.2.2. Implikasi Praktis
Implikasi pertama yang bersifat praktis adalah terkait orientasi praktik yang
hanya bersifat problem-solving dan pemenuhan kebutuhan. Tahap asesmen dalam
praktik pekerjaan sosial generalis masih berorientasi pada penyelesaian masalah
(problem-solving), bukan untuk memahami individu lansia secara utuh. Hal ini juga
dilakukan ketika praktisi mencoba melakukan asesmen terkait isu-isu spiritualitas
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
269
Universitas Indonesia
lansia (atau dari sisi ekspresinya). Penggunaan deficit-model dalam menerapkan
praktik yang sensitif secara spiritual malah dapat menghasilkan pemahaman yang
tidak utuh terhadap individu lansia. Potensi atau kekuatan spiritual, seperti sistem
kepercayaan, keyakinan, nilai, ritual, harapan, cinta, perasaan dicintai dan dihargai,
keterhubungan, dan seterusnya, sulit tergali ketika melakukan asesmen hanya pada
masalah spiritual yang sedang menimpanya. Padahal segala potensi tersebut bisa
menjadi modal berharga tidak saja ketika lansia ada masalah, tetapi juga dapat
menumbuhkan kematangan spiritualnya demi memperoleh kualitas hidup yang baik
di hari tua.
Dengan demikian, praktik berorientasi problem-solving harus diubah menjadi
praktik yang berorientasi pada kekuatan (strength-based), dimana aspek spiritual
tercakup di dalamnya. Dalam penanganan kesehatan mental, sudah seharusnya
pekerjaan sosial mengambil penekanan pada sisi kekuatan klien, sebagai ciri model
interaksional. Dalam sejarah, model ini memang menjadi perspektif pekerjaan sosial
sebagai jalan yang berbeda dari model medikal. Selain itu, bersama dengan
perspektif yang menekankan kekuatan berbagai aspek, praktik pekerjaan sosial yang
holistik dengan pendekatan atau model biopsikososial-spiritual sangat penting untuk
dipromosikan.
Implikasi berikutnya adalah terkait tentang living spirituality, yang telah
menjadi konsep sentral model pelayanan sosial yang sadar spiritual dalam penelitian
ini. Living spirituality yang dimiliki para praktisi termanifestasi dalam sejumlah
komponen, seperti afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, konsep “di
balik ujian ada hikmah”, dan sejumlah komponen penting lain. Spiritualitas mereka
juga tercermin ketika mereka memberikan praktik layanan bagi lansia. Motivasi
memberikan pertolongan, sebagai salah satu wujud spiritualitas, juga berdampak
ketika praktisi melakukan asesmen dan intervensi yang bersifat spiritual, sebagai
bagian dari upaya praktisi untuk memahami spiritualitas yang dimiliki lansia.
Dengan demikian, sebagai implikasi praktisnya, living spirituality yang dimiliki
praktisi dapat menjadi dasar bagi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang
skemanya tampak pada Gambar 8.1 halaman berikut.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
270
Gambar 8.1 Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual
Selanjutnya, implikasi praktis yang patut dibahas di sini terkait kompetensi
praktisi yang dibutuhkan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang
sadar spiritual. Kompetensi yang dimaksud berupa penguasaan terhadap tiga struktur
bangunan disiplin profesi pekerjaan sosial, yaitu pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skills), dan nilai (values). Beberapa kompetensi dasar memang harus
dimiliki, seperti kemampuan melakukan komunikasi yang baik dan efektif, empati,
dan simpati. Namun ada sejumlah kompetensi yang dipandang penting bagi praktisi
yang hendak menangani klien dengan pendekatan spiritual.
Dari sisi pengetahuan, praktisi selayaknya: paham tentang keagamaan dan
spiritualitas secara umum; mengetahui dan memahami ragam kultur dan adat-istiadat
yang ada di Indonesia, meski tidak harus detail dan mendalam; mengetahui ajaran-
ajaran agama lain secara umum akan menjadi nilai tambah tersendiri; memahami
juga paham multikulturalisme, meski tidak harus mendalam, namun paham tentang
pluralisme bisa jadi akan memberi lebih banyak manfaat; dan memahami
kemungkinan-kemungkinan timbulnya dilema etis terkait penggunaan spiritualitas.
Kemudian dari sisi keterampilan, praktisi harus memiliki: penalaran
(reasoning atau penggunaan commonsense) dan logika yang baik; punya kemampuan
Afiliasi & praktik
keagamaan
Living spirituality
Keyakinan & nilai
“Di balik ujian ada hikmah”
Komponen spiritualitas lain
Praktik layanan
Asesmen spiritual
Intervensi spiritual
Praktik profesional
pekerjaan sosial
Motivasi melayani klien lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
271
Universitas Indonesia
mendengarkan klien lansia (a good listener) ketika mereka bercerita atau berkeluh-
kesah dan, bahkan, tidak menuntut banyak bicara karena terlalu banyak bicara malah
harus dihindari; kemampuan bekerja sama secara tim atau multidisiplin, terus-terus-
menerus, dan intensif; kemampuan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi dilema
etis yang mungkin timbul terkait penggunaan aspek spiritual; dan mampu dan cukup
berani membuat keputusan ketika muncul dilema etis dengan mempertimbangkan
berbagai resiko, yang di antaranya memakai prinsip memilih yang paling ringan
mudaratnya (berupaya mendapatkan manfaat besar dengan mengambil resiko sekecil
mungkin).
Selain berbagai kemampuan tersebut, praktisi juga harus menyadari batas
kemampuan diri dan ketika sudah di luar kapasitas atau kompetensinya, maka harus
dikonsultasikan atau dirujukkan ke pihak lain (praktisi atau lembaga) yang lebih
berwenang atau lebih berpengalaman. Berikutnya adalah kreatif, inisiatif, dan
inovatif untuk melakukan asesmen dan intervensi; punya orientasi asesmen tidak
hanya menggunakan model diagnostik patologis, tetapi berupaya memahami klien
secara utuh, terutama potensi dan kekuatannya; dan berorientasi intervensi tidak
sekadar problem-solving, tetapi juga pertumbuhan spiritualitas lansia (spiritual
growth).
Skill lain yang tidak kalah penting adalah ketika menghadapi lansia yang
pasang susuk dan yang menghadapi kematian. Untuk menghadapi lansia yang pernah
pasang susuk dan belum sempat dicabut, praktisi harus punya kemampuan menggali
dengan pendekatan tertentu yang efektif namun tidak sampai menyinggung perasaan
mereka. Namun, ini bukan berarti praktisi harus memiliki kemampuan indera ke-6,
karena kemampuan semacam ini lebih banyak sebagai pemberian (given), meski bisa
dipelajari. Terakhir, untuk praktisi yang didelegasikan untuk menangani lansia yang
sedang menghadapi kematian (dying, sakrotul maut) harus punya bekal atau
kemampuan dengan mental yang kuat untuk mendampingi dan kemampuan
menjalankan ritual keagamaan, seperti membacakan Surat Yasin, menuntun
membaca syahadat, kalimat Tahlil, atau asma Tuhan, namun apabila tidak mampu
diserahkan ke ustadz/ahli agama.
Terakhir tentang kompetensi terkait nilai, setiap praktisi yang melakukan
penanganan secara spiritual harus memiliki sifat penyayang, penuh perhatian, dan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
272
tidak judes/galak; berpikiran terbuka (open-minded) dan inklusif atau tidak picik;
bersikap respek dan toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan (dari sisi agama,
keyakinan, aliran, madzhab, golongan, etnis, suku, ras, adat, kultur, dan lain-lain);
tidak mudah menghukumi (judging) atau menyalahkan orang lain terkait benar atau
salah, atau tidak mengklaim kebenaran secara sepihak di depan klien (truth claim);
dan punya kepekaan (sensitivitas) terhadap sisi-sisi spiritualitas klien, baik yang
bersumber dari agama maupun luar agama. Kompetensi nilai yang terakhir ini dapat
terkait dengan kemampuan semacam sensory spiritual atau to sensitize spirituality.
8.2.3. Implikasi Kebijakan
Isu yang tercakup dalam penelitian ini meliputi spiritualitas, kesehatan
mental, dan lansia. Sejumlah UU bisa menjadi landasan pijak bagi penanganan
kesehatan mental lansia, yaitu UU Kessos 2009, UU Kesejahteraan Lansia 1998, UU
Kesehatan 2009, dan UU Kesehatan Jiwa 2014. Kondisi kejahteraan atau
kesejahteraan sosial, kesehatan, dan kesehatan jiwa sebagai tujuan utama
penanganan, seperti didefinisikan dalam keempat UU ini, semuanya melibatkan
aspek spiritual, bersama beberapa aspek lain, seperti fisik, mental, dan sosial.
Namun demikian, baik di dalam UU itu sendiri ataupun berbagai aturan
penjelasnya, aspek spiritual seringkali disamakan dengan aspek religius atau agama.
Bahkan, istilah ini sering disilihgantikan dengan aspek mental dan psikologis.
Akibatnya, pemahaman terhadap aspek ini menjadi tampak ambigu karena terkesan
punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis. Selain itu, aspek spiritual juga
kurang mendapat penekanan dan sering tenggelam karena dominasi model
pendekatan medikal dan psikososial yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis,
psikologis, dan sosial.
Dari uraian tersebut, kajian tentang spiritualitas dan konstruksi spiritual
menurut praktisi dan lansia dalam penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan
untuk memperjelas makna aspek spiritual dan/atau spiritualitas dan membedakannya
dengan aspek religius, agama, mental, atau psikologis. Selain itu, sejumlah pedoman
dalam bentuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), yang
menjelaskan aspek spiritual pada UU Kessos atau UU Kesejahteraan Lansia, patut
diperkaya berbagai teori, kajian, dan hasil penelitian. Hasil penelitian dan usulan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
273
Universitas Indonesia
model dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber masukan. Tinjauan
literatur dalam penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi yang kaya bagi
perbaikan pedoman semacam itu.
Implikasi kebijakan berikutnya berupa pengarusutamaan (mainstreaming)
spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia melalui konsep penuaan aktif (active
ageing) yang dipromosikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk semua
negara. Selain kesehatan, spiritualitas merupakan satu di antara sejumlah aspek
penting yang ikut dilibatkan dalam konsep active ageing. Menurut Kalache dan
Kickbush (1997), seperti dikutip WHO (2002), konsep ini lebih inklusif dibanding
konsep serupa yang dipromosikan WHO, yakni healthy ageing.
Menurut WHO (2002), aktif dalam konsep tersebut juga diartikan sebagai
kontinyuitas partisipasi lansia dalam segala apek kehidupan, seperti sosial, ekonomi,
budaya, dan spiritual. Partisipasi merupakan satu dari tiga pilar utama dalam konsep
active ageing, sementara dua yang lain berupa kesehatan dan keamanan (p.45).
Partisipasi juga menjadi salah satu prinsip dalam konsep ini bersama beberapa
prinsip lain, seperti hak azasi, independensi, harkat-martabat, kepedulian, dan
pemenuhan diri (p. 13). Konsep penuaan aktif memiliki tujuh determinan yang saling
berjalin dan berkelindan, yakni sosial, ekonomi, layanan kesehatan dan sosial,
perilaku, personal, dan fisik. Sementara determinan ketujuh yang berupa kultur dan
gender merupakan determinan penting yang melingkupi dan menjadi konteks bagi
enam determinan lain (p.19).
Dimasukkannya aspek spiritual ke dalam konsep active ageing selaras pula
dengan adanya pergeseran pendekatan untuk penanganan lansia pada dekade 1990-
an. Pergeseran yang dimaksud yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needs-
based” approach) menuju pendekatan berbasis hak (“rights-based” approach)
(Kalache & Kickbush, 1997 dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006).
Dengan demikian, konsep active ageing beserta pendekatan berbasis hak
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendorong pemangku kepentingan, khususnya
pemerintah, agar lebih serius melibatkan aspek spiritual dalam memberikan
pelayanan sosial untuk mewujudkan keseimbangan hidup lansia. Alasannya, di
samping aspek ini jelas-jelas tercakup dalam konsep active ageing, spiritualitas yang
dimiliki lansia merupakan hak yang harus dihormati dan dipenuhi dalam layanan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
274
Selain itu, pemenuhan kebutuhan spiritual lansia juga dapat diakomodasi melalui
prinsip pemenuhan diri. Lebih jauh lagi, determinan kultur juga dapat dijadikan
legitimasi agar spiritualitas tercakup dalam sistem pelayanan sosial dan kesehatan
bagi lansia, karena pengertian kultur juga mencakup aspek spiritual.
8.3. Rekomendasi
Sebagai bagian terakhir, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang
dianggap penting untuk perkembangan disiplin ilmu pekerjaan sosial di tanah air.
Pertama, lembaga-lembaga penyedia layanan untuk lansia secara umum
menerapkan praktik generalis pekerjaan sosial dimana setiap tahapan dilengkapi
beragam blangko atau formulir yang mencatat segala informasi tentang klien, baik
sebelum maupun pada saat di panti. Namun sebagian panti tidak terlalu lengkap dari
sisi blangko di tiap tahapan, sementara sebagian yang lain dapat dikatakan lumayan
lengkap, namun tidak sedikit yang ternyata praktisi tidak mengisi atau melengkapi
ragam blangko yang ada. Terkait dengan spiritualitas atau agama klien, catatan yang
ada lebih bersifat formalitas atau keagamaan secara ekstrinsik.
Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan agar spiritualitas dan/atau
keagamaan intrinsik mereka dieksplorasi secara lebih mendalam. Catatan tentang
biografi lansia juga sebaiknya melibatkan sejarah spiritualitas (spiritual history) atau
sejarah afiliasi keagamaan mereka. Selain itu, perlu ada satu blangko yang dinilai
cukup penting diadakan yaitu semacam blangko wasiat atau blangko keinginan dan
harapan. Tujuan adanya blangko ini adalah untuk mengantisipasi banyak klien lansia
yang menyimpan rahasia ataupun keinginan yang tak tersampaikan yang seringkali
memiliki sangkut-paut dengan ahli waris/kerabat dan juga keinginan tertentu selepas
kematiannya kelak (settling affairs). Blangko seperti ini bisa diisi sendiri oleh klien
ataupun (dibantu) oleh praktisi.
Kedua, lansia yang tinggal dan memperoleh layanan di panti pasti mengalami
banyak perubahan hidup. Perubahan yang mereka alami, sebagaimana dalam hasil
penelitian ini, misalnya berupa perubahan suasana, kebiasaan, kegemaran, hobi,
peran dan tanggung jawab, relasi, dan sebagainya. Perubahan tersebut sebagian besar
bersifat spiritual, sehingga harus diantisipasi dan difasilitasi oleh para praktisi, tidak
hanya mengandalkan kemampuan penyesuaian diri (adjustment) yang dimiliki klien.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
275
Universitas Indonesia
Berbagai kegiatan atau bimbingan untuk mendukung adjustment lansia
memang telah dilakukan, namun kebanyakan hanya berupa rutinitas kurang makna.
Kebanyakan praktisi juga melakukannya secara mekanis yang kurang sadar secara
spiritual. Sebagai contoh, praktisi memang membantu memfasilitasi klien lansia
dalam penyaluran hobi atau kreativitas, akan tetapi mereka kurang sadar atau
mungkin tidak tahu bahwa kegiatan menyalurkan hobi atau bakat yang dulu mungkin
biasa dilakukan lansia sangatlah penting dan bermakna apabila dilakukan kembali
saat ini, tidak hanya sekadar mengisi waktu. Karena melalui penyaluran itu, klien
lansia merasa ada sesuatu yang berguna yang masih bisa mereka lakukan. Ada
pemaknaan tertentu di balik aktivitas tersebut dan, dengan begitu, mereka merasa ada
dan dihargai. Pemaknaan terhadap sesuatu dan merasa ada itu bersifat eksistensial-
spiritual. Jadi, intinya terletak pada orientasi dan intensi praktisi dalam memberikan
bimbingan penyaluran hobi.
Ketiga, dalam pelayanan home care, perlu ada upaya pembagian peran
pendamping dengan berbagai tipe, sebagaimana dihasilkan penelitian ini yaitu tipe
normatif, kondisional atau fleksibel, dan kearifan diri. Pembagian peran berdasarkan
tipologi praktisi tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik dari semua
pendamping yang ada. Meskipun kebetulan lembaga home care yang diteliti
memiliki ketiga tipe praktisi, rekomendasi ini tetap relevan diajukan untuk lembaga-
lembaga berbasis komunitas yang lain.
Keempat, lembaga panti dan home care memang berbeda dari sisi setting
tempat lansia hidup dan tinggal, fasilitas, kelembagaan, syarat menjadi klien, tujuan
pelayanan, pendanaan, tatanan sosial, nilai dan norma, dan lain-lain. Masing-masing
tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari sisi tujuannya, panti hanya
menampung lansia yang telantar atau keluarga dan kerabatnya tidak mampu
memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, panti di Indonesia merupakan
pilihan terakhir dan menjadi semacam jaring pengaman untuk mereka yang
dikhawatirkan tidak mampu bertahan apabila dibiarkan hidup di tengah masyarakat
tanpa penanganan khusus.
Jadi, lembaga panti sejatinya tidak saja berfungsi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan klien, namun juga hendak mengondisikan lansia layaknya hidup normal
dan seimbang secara sosial. Kehidupan yang normal secara sosial ini sebenarnya
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
276
merupakan kelebihan dan potensi yang dimiliki pelayanan home care, karena
sebelum menjadi klien para lansia sudah hidup dengan kelebihan dan potensi
tersebut, yang tidak dimiliki oleh lansia yang menjadi klien panti. Alasan
diadakannya layanan home care bagi lansia di antaranya adalah untuk melengkapi
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang masih kurang.
Dengan demikian, untuk pengembangan di masa depan, panti perlu diatur
sedemikian rupa sehingga kondisinya menyerupai suatu komunitas dimana setting
lingkungan panti diatur seperti layaknya sebuah masyarakat kecil. Di sana ada
pembagian peran dan tanggung jawab, berbagai kegiatan atau bimbingan
diselenggarakan dengan cara tertentu sehingga menciptakan interaksi dan
keterhubungan yang natural dan bermakna, pembentukan keluarga baru, dan
seterusnya. Selanjutnya sistem pelayanan yang disediakan juga menyerupai layanan
home care dengan batasan tertentu.
Kelima, unsur spiritualitas dan juga agama perlu dieksplisitkan dan dirinci
dalam kode etik profesi pekerjaan sosial. Seperti telah dijelaskan dalam Bab
Pendahuluan, kode etik IPSPI tidak menyebut secara eksplisit istilah agama dan/atau
spiritualitas, apalagi rincian penjelasannya. Pasal 16 yang mendorong profesi ini
menghormati keanekaragaman budaya tidak cukup kuat menjadi legitimasi bahwa
aspek penting tersebut telah dilibatkan. Selain itu, rasa hormat terhadap keragaman
budaya tidaklah sama dengan kompeten secara kultural atau sensitif spiritual/agama.
Keenam, spiritualitas menjadi isu sentral dalam penelitian ini dan dalam
praktik pekerjaan sosial, spiritualitas untuk masyarakat Indonesia dapat diposisikan
baik sebagai jantung atau inti dari pelayanan (the heart of helping) maupun sebagai
satu dari sejumlah aspek penting dalam pelayanan. Meskipun dinilai sebegitu
penting, spiritualitas harus diposisikan secara seimbang dan proporsional.
Keseimbngan antar berbagai aspek yang relevan adalah kata kuncinya. Terlebih lagi
dalam penelitian ini dijumpai tipe praktisi maupun klien lansia yang cukup
bervariasi, yang tidak semua menganggap aspek ini di atas segalanya. Tipe praktisi
dan klien, konteks masalah, dan kondisi yang melingkupi harus betul-betul
dipertimbangkan. Dengan demikian, ketika pada kondisi tertentu spiritualitas
dianggap tidak relevan, sangat tidak bijak apabila aspek ini dipaksakan harus
dilibatkan dalam pelayanan. Hal ini agar tidak sampai terjebak pada “spiritualisasi”
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
277
Universitas Indonesia
dalam pekerjaan sosial, seperti halnya kekeliruan di masa lalu melalui upaya
“psikologisasi” dalam pertolongan profesional, meski hal ini mungkin kurang
disadari.
Ketujuh, seperti telah diuraikan pada temuan dan pembahasan hasil
penelitian, spiritualitas lansia dipandang cukup signifikan bagi kondisi mental yang
baik. Di sisi yang lain, praktisi memiliki living spirituality, namun tidak banyak
diekspresikan dalam interaksi dengan lansia. Sejauhmana living spirituality yang
dimiliki praktisi dipraktikkan bergantung pada itikad dan kemampuan personal,
sementara pengaruh atau dampak dari pendidikan dan/atau pelatihan tidak begitu
kelihatan. Terkait dengan hal ini, tampaknya materi spiritualitas dan agama dalam
pekerjaan sosial penting untuk ditambahkan dalam kurikulum pendidikan formal dan
diklat (pendidikan dan pelatihan) kesejahteraan sosial.
Kedelapan, model spiritualitas lansia yang dihasilkan di sini hanya
menggambarkan spiritualitas klien lansia yang mendapat pelayanan sosial, baik di
lembaga panti maupun non-panti. Tampaknya sangat perlu dilakukan penelitian
lanjutan tentang spritualitas lansia secara umum di luar konteks pelayanan sosial
dengan metode serupa (grounded theory). Salah satu tujuannya adalah untuk
perbandingan dan juga untuk memperluas gambaran lansia Indonesia. Selanjutnya,
penelitian lebih jauh terhadap hubungan antara spiritualitas dengan lansia yang
mengalami berbagai masalah kesehatan mental secara lebih spesifik juga sangat
direkomendasikan. Misalnya lansia dengan penyakit kronis, kehilangan pasangan
atau orang terdekat, kecemasan, depresi, atau gangguan kesehatan mental lain.
Terakhir, kajian spiritualitas ini merupakan upaya untuk menangkap realitas
di ranah pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan pendekatan kualitatif dan
metode grounded theory, sesuatu yang tidak tampak (intangible) berupa data
kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan diperas hingga menghasilkan sejumlah
konsep atau kategori penting yang seakan-akan menjadi tampak (tangible). Dengan
demikian, konsep atau kategori penting ini dapat dijadikan sebagai variabel untuk
penelitian lanjutan dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengenai
spiritualitas dalam domain pekerjaan sosial, khususnya direct practice, sangat
diperlukan karena akan memberikan gambaran secara kuantitatif yang dapat
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
278
digeneralisasi untuk konteks Indonesia. Apalagi sampai saat ini, angka masih
dianggap keramat bagi kebanyakan orang, termasuk dalam penelitian.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
279
DAFTAR REFERENSI
306.621 Warga DKI Sakit Jiwa (2011, 10 Oktober). 10 November 2011. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/10/13050483/306.621.Warga.DKI.Sakit.Jiwa
ADB (2011). Asian Development Outlook 2011 Update: Preparing for Demographic Transition. Philippines: Asian Development Bank.
Adi, I.R. (2013). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan). Jakarta: Rajawali Pers.
Agustina, N. (2002). Permasalahan dan Akses Kesehatan Lansia. Jurnal Perempuan 25, 7-18.
Al-Krenawi, A. dan Graham, J. R. (2009). Helping Professional Practice with Indigenous Peoples: The Bedouin-Arab Case. Maryland: University Press of America, Inc.
Allan, J. (2005). The Role of Meaning Construction in Living with Grief. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 282-99). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Allport, G. W. (1992). Preface. Dalam Viktor E. Frankl. Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. 4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press, pp. 7-10.
Altmaier, E.M. (2011). Best Practices in Counseling Grief and Loss. Finding Benefit from Trauma. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 33-45.
Andayani (2010). Signifikansi Spiritualitas dan Praktek Pekerjaan Sosial. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 37-47). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Arifianto, A. (2006). Public Elderly Towards the Elderly in Indonesia: Current Policy and Future Directions. SMERU.
Arnold, E.M. (2009). Konseling dan Pengasuhan Akhir Kehidupan: Asesmen, Intervensi, dan Isu Klinis. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.), Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 2 (Social Workers’ Desk Reference) (pp. 176-91). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: Gunung Mulia.
Atchley, R.C. (1997). Everyday Mysticism: Spiritual development in Later Adulthood. Journal of Adult Development 4 (2), 123-134.
Atchley, R.C. (2008). Spirituality, Meaning, and the Experience of Aging. Generations 32 (2), 12-16.
Awas, Makin Banyak Orang Sakit Jiwa! (2008, 9 Juli). 8 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2008/07/09/19571595/Awas.Makin.Banyak.Orang.Sakit.Jiwa
Babbie, E. (1998). The Practice of Social Research. 8th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company.
Bagus, L. (2000). Kamus Filsafat. Cetakan kedua. Jakarta: Gramedia. Barker, S.L. (2008). How Social Work Practitioners Understand and Utilize
Spirituality in the Practice Context. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Case Western Reserve University.
Baskin, C. (2007). Circles of Resistance: Spirituality and Transformative Change in Social Work Education and Practice. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
280
Universitas Indonesia
Swartzentruber, & B. Ouellette (Eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 191-204). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Bastaman, H.D. (1994). Dimensi “Spiritual” dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Viktor E. Frankl. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 14-21.
Bastaman, H.D. (1996). Makna Hidup Bagi Manusia Modern: Tinjauan Psikologis. Dalam Muhamad Wahyuni Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Berg, B. (2001). Qualitative Research Methods for the Social Sciences. 4th Edition. Toronto: Allyn and Bacon.
Bergin, A.E. (1994). Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius. Terj. M. Darmin Ahmad dan Afifah Inayati. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 4-6.
Bookman, A. & Kimbrel, D. (2011). Families and Elder Care in the Twenty-First Century. The Future of Children, Vol. 21, No. 2, 117-140.
BPS (n.d.), Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1995, 2000 dan 2010. 25 Januari 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1& id_subyek=12¬ab=1
Brennan, M., Laditka, S.B., & Cohen, A. (2005). Postcards to God: Exploring Spiritual Expression Among Disabled Older Adults. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 203-22). New York: The Haworth Social Work Practice Press.
Bryman, A. (2008). Social Research Methods. 3rd Edition. New York: Oxford University Press.
Canda, E. R. (1986). A Conceptualization of Spirituality for Social Work: Its Issues and Implications. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Ohio State University.
Canda, E. R., Nakashima, M. dan Furman, L. D. (2004). Ethical Considerations about Spirituality in Social Work: Insights from a National Qualitative Survey. Families in Society, 85 (1), 27-35.
Canda, E.R. & Furman, L.D. (1999). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. New York: The Free Press.
Canda, E.R. & Furman, L.D. (2010). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. 2nd Edition. New York: Oxford University Press, Inc.
Canda, E.R. (2003). Heed Your Calling and Follow It Far: Suggestions for Authors Who Write about Spirituality or Other Innovations for Social Work. Families in Society, 84 (1), 80-5.
Cardona, B. (2008). ‘Healthy Ageing’ Policies and Anti-Ageing Ideologies and Practices: On the Exercises of Responsibilities. Med Health Care and Philos 11, 475–483.
Charmaz, K. (2004). Grounded Theory. Dalam S.N. Hesse-Biber & P. Leavy (Eds.), Approaches to Qualitative Research: A Reader on Theory and Practice (pp. 496-521). New York & Oxford: Oxford University Press.
Charmaz, K. (2006). Constructing Grounded Theory: A Practical Guide through Qualitative Analysis. London: Sage Publication.
Cherry, A. (2000). A Research Primer for the Helping Professions: Methods, Statistics and Writing. Canada: Brooks/Cole Thomson Learning.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
281
Chong, A.ML, Ng, SH., Woo, J., & Kwan, A. YH. (2006). Positive Ageing, the Views of Middle-aged and Older Adults in Hong Kong. Ageing & Society 26, 243-65.
Coholic, D. (2007). The Helpfulness of Spirituality Influenced Group Work in Developing Self-Awareness and Self-Esteem: A Preliminary Investigation. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 111-34). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Cowan, J.M. (1971). Hans Wehr: A Dictionary of Modern Written Arabic. 3rd Printing London: George Allen & Unwin Ltd.
Cowger, C. D. dan Snively, C. A. (2008). Mengases Kekuatan Klien. Dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 1 (Social Workers’ Desk Reference). Terj. Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina. Jakarta: Gunung Mulia, pp. 107-116.
Coyne, I.T. (1997). Sampling in Qualitative Research. Purposeful & Theoretical Sampling; Merging or Clear Boundaries?. Dalam Journal of Advanced Nursing, 26, 623–630.
Creswell, J.W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3rd Edition. California: Sage Publications, Inc.
Crowther, M.R., Parker, M.W., Achenbaum, W.A., Larimore, W.L., & Koenig, H.G. (2002). Rowe and Kahn's Model of Successful Aging Revisited: Positive Spirituality--The Forgotten Factor. The Gerontologist, 52 (5), 613-20.
CSWE (2008). Educational Policy and Accreditation Standards. 28 September 2012. https://www.fau.com/ssw/field-education/at-a-glance/cswe-educational-policy -and-accreditation-standards.pdf
Dale, O., Smith, R., Norlin, J.M. & Chess, W.A. (2006). Human Behavior and the Social Environment: Social Systems Theory. 5th Edition. USA: Pearson Education, Inc.
Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (1994). Introduction: Entering the Field of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 1-17). California: Sage Publications, Inc.
Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2003). Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd.
Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2004), Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications, Inc.
Depsos (2008). Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia.
Diwan, S., Balaswamy, S., & Lee, S.E. (2012). Social Work with Older Adults in Health-Care Settings. Dalam Gehlert, S. & Browne, T. (Eds.). Handbook of Health Social Work (pp. 392-425). 2nd edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
DuBois, J. (2004). Understanding Viktor Frankl’s Theory and Therapy of Mental Disorders. Dalam Viktor E. Frankl. On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis (pp. ix-xliv). 8th Edition. (James M. DuBois, Penerjemah). New York dan Hove: Bruner-Routledge.
Ezzy, D. (2002). Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
282
Universitas Indonesia
Fahrudin, A. (2005). Spritualitas dan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial: Sebuah Konsepsi. Makalah disajikan dalam Diskusi Buku Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice, Anjuran Instalasi Pendidikan Agama, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, 5 Desember 2005.
Fahrudin, A. (2007). Day Care Services. Bahan Pembinaan dan Pemantapan Petugas yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Departemen Sosial RI di Hotel Satelit Surabaya, 16-19 April 2007.
Fahrudin, A. (2012). Pengantar Kesejaheraan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Favourita, L. (1998). Kebutuhan Lanjut Usia di DKI Jakarta (Suatu Studi Deskripsi).
Thesis pada Universitas Indonesia. Folkman, S. & Moskowitz, J.T. (2004). Coping: Pitfalls and Promise. Annual Review
of Psychology 55, 745-74. Frankl, V.E. (1992). Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy.
4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press. Frankl, V.E. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An
Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. 8th Edition. Terj. James M. DuBois. New York dan Hove: Bruner-Routledge.
Friedman, H. Krippner, S., Riebel, L., & Johnson, C. (2011). Transpersonal and Other Models of Spiritual Development. International Journal of Transpersonal Studies, 29 (1), 79-94.
Gall, T. L., Malette, J., & Guirguis-Younger, M. (2011). Spirituality and Religiousness: A Diversity of Definitions. Journal of Spirituality in Mental Health, 13 (3), 158-181.
Gilbert, G. (2007). The Spiritual Foundation: Awareness and Context for People’s Lives Today. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values and Mental Health (pp. 19-44). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Gilgun, J.F. (1994). Hand into Glove: The Grounded Theory Approach and Social Work Practice Research. In E. Sherman & W. J. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 115-25). New York: Columbia Uiversity Press.
Glaser, B.G. & Straus, A.L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research [Reprinted 2006]. New Brunswick & London: Aldine Transaction.
Glassè, C. (1999). Ensiklopedi Islam: Ringkas. Cetakan kedua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Gotterer, R. (2001). The Spiritual Dimension in Clinical Social Work: A Client Perspective. Families in Society, 82 (2), 187-93.
Gray, M., Coates, J. dan Bird, M. Y. (2008). Introduction. Dalam Mel Gray, John Coates and Michael Yellow Bird (Eds.). Indigenous Social Work around the World: Towards Culturally Relevant Education and Practice. Hampshire-Burlington: Ashgate Publishing Company, pp. 1-10.
Guba, E.G. & Lincoln, Y.S. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 105-17). California: Sage Publications, Inc.
Healy, K. (2005). Social Work Theories in Context: Creating Frameworks for Practice. New York: Palgrave MacMillan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
283
Heinonen T. & Metteri, A. (2005a). Introduction. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 1-5 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Heinonen T. & Metteri, A. (2005b). Conclusion. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 416-21 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Hendrawan, S. (2009). Spiritual Management: From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance. Bandung: Penerbit Mizan.
Hidayat, K. (2009). Berdamai dengan Kematian. Bandung: Hikmah. Hidayat, K. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books Hidayat, K. (2013). Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme.
Cetakan IV. Jakarta: Noura Books. Hinnells, J.R. (1995). The Penguin Dictionary of Religions, 2nd edition. England:
Penguin Books. Hird, M. (2003). Case Study. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social
Research (pp. 22-4). London: Sage Publications, Ltd. Ho, R.T.H., Chan, C.L.W., Lo, P.H.Y. & Leung, P.P.Y. (2009). The Efficacy of
Integrative Body-Mind-Spirit Group and Social Support Group on Female Breast Cancer Patients. Dalam Mo Yee Lee, et al. (Eds.). Integrative Body-Mind-Spirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment (pp. 217-35). New York: Oxford University Press.
Hodge, D. (2011). Using Spiritual Interventions in Practice: Developing Some Guidelines from Evidenca-based Practice. Social Work 56 (2), 149-58.
Hodge, D.R. (2001a). Spiritual Genograms. A Generational Approach to Assessing Spirituality. Families in Society, 82 (1), 35-48.
Hodge, D.R. (2001b). Spiritual Assessment. A Review of Major Qualitative Methods and a New Framework for Assessing Spirituality. Social Work, 46 (3), 203-14.
Holloway (2007). Spiritual Need and the Core Business of Social Work. British Journal of Social Work (2007) 37, 265–280.
Howe, D. (1987). An Introduction to Social Work Theory. England: Wildwood House Limited.
https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en (diakses 17 Maret 2013)
Huberman, A.M. & Miles, M.B. (1994). Data Management and Analysis Methods. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 428-444). California: Sage Publications, Inc.
Hugen, B. (2001). Spirituality and Religion in Social Work Practice: A Conceptual Model. Dalam M. van Hook, B. Hugen, & M. Aguilar (Eds.), Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice (pp. 9-17). Canada: Brooks/Cole.
Hugo, G. (2000). Lansia-Elderly People in Indonesia at the Turn of the Century. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 299-321). London: Routledge.
Huguelet, P. & Koenig, P.G. (2009). Introduction: Key Concepts. Dalam P. Huguelet & P.G. Koenig (Eds.), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 1-5). New York: Cambridge University Press.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
284
Universitas Indonesia
Indriana, Y., Desiningrum, D.R., & Kristiana, I.F. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan Sosial (Social Well-being) pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No.2, 184-193.
Indriana, Y., Kristiana, I.F., Sonda, A.A. & Intanirian, A. (2010), Tingkat Stres Lansia di Panti Wredha “Pucang Gading” Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 8 No. 2, 87-96.
IPSPI (1998). Kode Etik Pekerjaan Sosial Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia.
James, W. (1958). The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature. 1st printing. USA: The New American Library.
Janesick, V. (2003). The Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd.
Jewell, A. (2004). Nourishing the Inner Being: A Spirituality Model. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 11-26). London & New York: Jessica Kingsley Publishers.
Kaasa, S. & Loge, J.H. (2003). Review Quality of Life in Palliative Care: Principles and Practices. Dalam Palliatve Medicine (17), 11-20.
Kalache, A. & Keller, I. (1999). The WHO Perspective on Active Ageing. Promotion & Education 6 (4), 20-23.
Kecemasan dan Depresi Capai 11,6 Persen (2011, 29 September). 7 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Sakit.Jiwa
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di Panti Tresna Werdha.
Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia. Kesulitan Ekonomi Picu Gangguan Jiwa (2008, 4 Agustus). 8 Oktober
2011.http://health.kompas.com/read/2008/08/04/17263295/Kesulitan.Ekonomi.Picu.Gangguan.Jiwa
Kirst-Ashman, K.K. & Hull, Jr., G.H. (2006). Generalist Practice with Organizations and Communities. 3rd Edition. USA: Thomson Brooks/Cole.
Kirst-Ashman, K.K. (2010). Introduction to Social Work dan Social Welfare: Critical Thinking Perspective. 3rd Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Komnas Lansia (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta. Kristiyanto, E. (2005). Spiritualitas Kristen. Dalam A.E. Kristiyanto (ed.).
Spiritualitas dan Masalah Sosial (pp. 1-16). Jakarta: Penerbit Obor. Lavretsky, H. (2010). Spirituality and Aging. Aging Health 6 (6), 749-69. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York:
Springer Publishing Company. Lee, M.Y., Ng, S., Leung, P.P.Y. & Chan, C.L.W. (2009). Integrative Body-Mind-
Spirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment. New York: Oxford University Press.
Lydon-Lam, J. (2012). Models of Spirituality and Consideration of Spiritual Assessment. International Journal of Childbirth Education 27 (1), 18-22.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
285
MacKinlay, E. (2004a). The Spiritual Dimension of Ageing. 2nd printing. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
MacKinlay, E. (2004b). The Spiritual Dimension of Ageing. Dalam Albert Jewell (ed.). Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 72-85). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
MacKinlay, E. (2006). Spiritual Growth and Care in the Fourth Age of Life. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Mackinlay, E. (2008). Introduction: Ageing, Disability and Spirituality. Dalam E. Mackinlay (ed.). Ageing, Disability and Spirituality (pp. 11-21). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Mathews, I. (2009). Social Work and Spirituality (Transforming Social Work Practice). Glasgow: Learning Matters.
McCormick, C.M., Kuo, S.I., & Masten, A.S. (2010). Developmental Tasks Across the Life Span. Dalam K.L. Fingerman, C.A. Berg, J. Smith. & T.C. Antonucci (eds.). Handbook of Life-Span Development (pp. 117-140). New York: Springer Publishing Company.
McKernan (2007). Exploring the Spiritual Dimension of Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 93-110). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Meier, A., O’Connor, T., dan vanKatwyk, P. L. (2005). Introduction. Dalam A. Meier, T. S. O’Connor, dan P. L. vanKatwyk (Eds.). Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations. Ontario: Wilfred Laurier University Press, pp. 1-8.
Midgley, J. (1981). Professional Imperialism: Social Work in the Third World. London: Heinemann Educational Books Ltd.
Midgley, J. (1995). Social Development: The developmental Perspective in Social Welfare. Guildford: Safe Publications Ltd.
Minichiello, V. & Coulson, I. (2006). Preface: The Context of Promoting Positive Ageing. Dalam V. Minichiello & I. Coulson (eds.). Contemporary Issues in Gerontology Promoting Positive Ageing (pp. xi-xvi). NSW: Allen & Unwin.
Moberg, D.O. (2005). Research in Spirituality, Religion, and Aging. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 11-40). New York: The Haworth Social Work Practice Press.
Mohan, K. (2004). Eastern Perspectives and Implications for the West. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 161-179). London & New York: Jessica Kingsley Publishers.
Mohr, S. & Huguelet, P. (2009). Religious and Spiritual Assessment in Clinical Practice. Dalam P. Huguelet & H.G. Koenig (Eds), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 232-43). New York: Cambridge University Press.
Monggo, M. (2010). Sesama yang Kita Layani. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 11-36). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Moore, R.J. (2003). Spiritual Assessment. Social Work 48 (4), 558-61. Moss, B. (2002). Spirituality: A personal Perspective. Dalam Neil Thompson (ed).
Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp.34-44). New York: Palgrave Macmillan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
286
Universitas Indonesia
Mudhofir, A. (1996). Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murdock, V. (2005). Guided by Ethics: Religion and Spirituality in Gerontological Social Work Practice. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 131-54). New York: The Haworth Social Work Practice Press.
Musgrave, B. (2005). Life-Threatening Illness: A Dangerous Opportunity. Dalam A. Meier, T.S. O’Connor, & P.L. vanKatwyk (Eds.), Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations (pp. 265-84). Ontario: Wilfred Laurier University Press.
Napsiyah, S. (2005). Understanding Aging Issues in Indonesia. Tidak dipublikasikan. Thesis at McGill University.
Nasr, S.H. (2002). Pendahuluan. Dalam S.H. Nasr (ed.). Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Buku Pertama) (pp. xix-xxxix). (Rahmani Astuti, Penerjemah). Bandung: Mizan.
NASW (2008). Code of Ethics of the National Association of Social Workers. 28 September 2012. http://www.socialworkers.org/pubs/code/code.asp?print=1&
Nelson, J.M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valparaiso, USA: Springer Science + Business Media, LLC.
Nelson-Becker, H. & Canda, E.R. (2008). Spirituality, Religion, and Aging Research in Social Work: State of the Art and Future Possibilities. Journal of Religion, Spirituality & Aging, Vol. 20 (3), 177-93.
Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 6th Edition. USA: Pearson Education, Inc.
Nichols, L.M. & Hunt, B. (2011). The Significance of Spirituality for Individuals with Chronic Illness. Implications for Mental Health Counseling. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 51-66.
Noveria, M. (2006). Challenges of Population Ageing in Indonesia. Paper yang dipresentasikan dalam Konferensi “Impact of Ageing: A Common Challenge for Europe and Asia”, Vienna, 7-9 June, 2006
Nowitz, L. (2005). Geriatric Care Management: Spiritual Challenges. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 185-201). New York: The Haworth Social Work Practice Press.
Oxley, H. (2009). Policies for Healthy Ageing. An overview. 6 Januari 2013. OECD Health Working Papers, No. 42, OECD publsihing, ©OECD. http://dx.doi.org/10.1787/226757488706.
Pargament, K. I. (1999). The Psychology of Religion and Spirituality? Yes and No. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 3-16.
Pargament, K.I. (2007). Spiritually Integrated Psychotherapy: Understanding and Addressing the Sacred. New York-London: The Guilford Press.
Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. 3rd Edition. London: Sage Publications, Inc.
Payne, M. (2005). Modern Social Work Theory. 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan.
Pelaez, M., Gewirtz, J. & Wong, S.E. (2008). A Critique of Stage Theories of Human Development. Dalam Bruce A. Thyer (ed.). Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare, Vol. 2 HBSE (pp. 503-18). USA: John Wiley & Sons.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
287
Phillips, D. (2006). Quality of Life. Concept, Policy and Practice. London & New York: Routledge.
Phillips, D.R. (2000). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues, Policies and Contexts. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 1-34). London: Routledge.
Pritchard, C. (2006). Mental Health Social Work: Evidence-Based Practice. London dan New York: Routledge.
Rakhmat, J. (2003). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Rakhmat, J. (2007). SQ: Psikologi dan Agama. Dalam D. Zohar dan I. Marshall, SQ
Kecerdasan Spiritual (pp. xi-xxviii). Cetakan XI. Terj. Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan.
Richardson, V. (2009). Psikoterapi dengan orang Lanjut Usia. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 326-34). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Rippin, A. (1990). Muslims: Their Religious Beliefs and Practices Volume 1: The Formative Period. London & New York: Routledge.
Robbins, S.P., Chatterjee, P. & Canda, E.R. (2006). Contemporary Human Behavior Theory: A Critical Perspective for Social Work. 2nd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Rohman (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Asuhan Spiritual oleh Perawat di RS Islam Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI.
Rubin, A. & Babbie, E. (2001). Research Methods in Social Work. 4th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company.
Sadli, S. (2002). “…Keadilan diperlukan bagi perempuan berusia lanjut.” Jurnal Perempuan, 25, 20-6.
Santi, B. (2002). Lanjut Usia di Mata Perempuan: Pandangan Perempuan Usia 18-50 Tahun di Jakarta, Medan dan Surabaya. Jurnal Perempuan, 25, 88-93.
Seifert, L.S. (2002). Toward a Psychology of Religion, Spirituality, Meaning-Search, and Aging: Past Research and a Practice Application. Journal of Adult Development, 9 (1), 61-70.
Seinfeld, J. (2012). Spirituality in Social Work Practice. Clinical Social Work Journal 40 (2012), 240-4.
Sermabeikian, P. (1994). Our Clients, Ourselves: The Spiritual Perspective and Social Work Practice. Social Work, Vol. 39, No. 2 (March 1994). 178-183.
Setiti, S.G. (n.d.), Pelayanan Lansia Berbasis Kekerabatan. 7 November 2011. http://www.depsos.go.id/unduh/06_PELAYANAN%20LANJUT%20USIA%20BERBASIS%20KEKERABATAN.pdf
Shaw, I. & Gould, N. (2001). A Review of Qualitative Research in Social Work. Dalam I. Shaw and N. Gould (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 32-46). London: Sage Publications, Ltd.
Sheridan, M.J. (2008). The Use of Prayer in SW, Implications for Professional Practice & Education. 21 Oktober 2010. Presented at the Third North American Conference on Spirituality and Social Work. Juni 2008. Dalam http://w3.stu.ca/stu/sites/spirituality/documents/MichaelSheridan-TheUseof PrayerinSocialWork_000.pdf
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
288
Universitas Indonesia
Sheridan, M.J. (2009). Isu Spiritual dan Keagamaan dalam Praktik. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 278-87). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sherman, E. & Reid, W. (1994). Introduction: Coming of Age in Social Work - The Emergence of Qualitative Research. Dalam E. Sherman and W. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 1-15). New York: Columbia University Press.
Shulman, L. (1991). Interactional Social Work Practice: Toward an Empirical Theory. Itasca, Illinios: F.E. Peacock Publishers, Inc.
Singleton, Jr., R. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. 3rd Edition. Oxford: Oxford University Press.
Skevington, S.M., Lotfy, M. & O’Connell, K.A. (2004). The World Health Organization’s WHOQOL-BREF Quality of Life Assessment. Psychometric Properties and Results of the International Feld Trial: A Report from WHOQOL Group. Quality of Life Research (13), 299-310.
Stake, R. (2003). Case Studies. Dalam N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 132-64). 2nd Edition. California: Sage Publications.
Stewart, B. & Nash, M. (2002). Introduction. Dalam M. Nash & B. Stewart (Eds.), Sprituality and Social Care: Contributing to Personal and Community Well-Being (pp. 11-27). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Stifoss-Hanssen, H. (1999). Religion and Spirituality: What a European Ear Hears. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 25-33.
Strauss, A. & Corbin, J. (2004). Grounded Theory Methodology: An Overview. Dalam N. Denzin dan Y. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 273-85). California: Sage Publications, Inc.
Suharto, E. (2006). Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru. Paper disampaikan pada Workshop Program Pendidikan Spesialis-1 Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung 19 Januari 2006.
Suradika, A. dan Maskun, B. I. (2005). Etika Profesi Pekerjaan Sosial. Jakarta: Balatbangsos, Departemen Sosial RI.
Susanti, D.D. (2009). Pengalaman Spiritual Perempuan dengan Kanker Serviks di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI.
Sutrisno, M. (2001). Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta: Jakarta: Penerbit Obor.
Sutrisno, M. (2012). Pedulikah Kita pada Hidup? Yogyakarta: Kanisius. Swartz, A.L. & Tisdell, E.J. (2008). A Spiritually Grounded and Culturally
Responsive Approach to Health Education. Dalam M.A. Pérez & R.R. Luquis (Eds.), Cultural Competence in Health Education and Health Promotion (pp. 87-103). San Francisco: Jossey-Bass.
Swinton, J. & Kettles, A. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Exploring the Literature. Dalam J. Swinton. Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension (pp. 64-92). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Swinton, J. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Swinton, J. (2007). Researching Spirituality and Mental Health – A Perspective from the Research. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
289
Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 292-305). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
The World Bank (2011). Indonesia. 25 Januari 2012. http://web.worldbank.org/ WEBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTHEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/EXTDATASTATISTICSHNP/EXTHNPSTATS/0,,contentMDK:21737699~menuPK:3385623~pagePK:64168445~piPK:64168309~theSitePK:3237118~isCURL:Y,00.html
Thompson, N. (2007). Loss and Grief: Spiritual Aspects. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 70-81). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Thompson, N. (2010). Theorizing Social Work Practice. New York: Palgrave MacMillan.
Thompson, N. (2002). Introduction. Dalam N.Thompson (Ed.), Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp. 1-20). New York: Palgrave Macmillan.
Turner, F. (2008). Terapi Psikososial. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 1 (pp. 168-75). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Uji Coba JSLU 2008 – Program Unggulan Depsos (2008, 27 Februari). 2 Agustus 2011. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=New&file=article&sid= 588
UN (2009). Population Aged 60 Years or Over. 25 Januari 2012. http://www.un.org/ esa/population/publications/ageing/ageing2009.htm
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Lanjut Usia. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Walton, R. G. & Nasr, M. W. A. E. (1988). The Indigenization and Authentization of
Social Work in Egypt. Community Development Journal 23 (3), 148-155. Warga DKI Rentan Sakit Jiwa (2011, 6 Oktober). 7 Oktober 2011.
http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Sakit.Jiwa
Weinstein, J. (2008). Working with Loss, Death, and Bereavement: A Guide for Social Workers. London: Sage Publication Ltd.
WHO (2002). Active Ageing: A Policy Framework. Madrid: Second United Nations World Assembly on Ageing.
WHO (2008). Older Persons in Emergencies: An Active Ageing Perspective. Geneva: WHO Press.
Woo, J., Ng, SH., Chong, A.ML., Kwan, A.YH, Lai, S., & Sham, A. (2008). Contribution of Lifestyle to Positive Ageing in Hong Kong. Ageing Int 32, 269-78.
Yeates, N. (2003). Policy Research. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social Research (pp. 233-35). London: Sage Publications, Ltd.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
290
Universitas Indonesia
Yin, R. (2003). Case Study Research: Design and Methods. 3rd Edition. California: Sage Publications, Ltd.
Zapf, M.K. (2007). Profound Connections between Person and Place: Exploring Location, Spirituality, and Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 229-42). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.
Zastrow, C. (2004). Introduction to Social Work and Social Welfare. 8th Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole-Thomson Learning.
Zinnbauer, B.J. & Pargament, K.I. (2005). Religiousness and Spirituality. Dalam R.F. Paloutzian & C.L. Park (eds.). Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (pp. 21-42). New York-London: The Guilford Press.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 1 (Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan)
Perspektif Kepercayaan Nilai Pelayanan
Budha (Zen)
1. Alam Budha Nonteistik 2. Keyakinan bersumber dari tradisi, sutra,
pengalaman spiritual langsung; tidak terikat kepercayaan
3. Eksistensi adalah penderitaan, disebabkan oleh hasrat dan ilusi diri yang terpisah; penderitaan berakhir dengan pola hidup disiplin, meditasi, dan pencerahan
1. Tugas hidup yang utama adalah mencari pencerahan
2. Komitmen menyayangi dan menolong seluruh makhluk
3. Transendensi dikotomi diri/liyan dalam hidup suci.
1. Mutualitas dan harmoni dalam hubungan saling menolong
2. Bertujuan menolong klien meningkatkan kesadaran, bertindak realistis; pada akhirnya mencapai pencerahan.
3. Dapat menggunakan meditasi dan berhubungan dengan wihara atau pusat meditasi berbasis sistem dukungan.
Konghucu 1. Dao Nonteistik. 2. Keyakinan bersumber dari China klasik, guru-
guru bijak dan religius, dan tradisi lokal. 3. Sifat manusia yang penuh kebaikan harus
dipupuk demi kebaikan individu, keluarga, masyarakat, dan dunia.
1. Tugas hidup yang utama adalah memupuk kebijaksanaan dan bermanfaat bagi masyarakat.
2. Komitmen untuk belajar sepanjang hayat, pelayanan publik, keharmonisan keluarga/sosial.
3. Kesalehan anak dan hubungan timbal-balik yang saling melengkapi.
1. Hubungan tolong-menolong didasarkan pada kebajikan dan harmoni.
2. Bertujuan menolong klien untuk belajar dari situasi hidup dan keharmonisan hubungan.
3. Bisa dengan melakukan duduk diam/tenang, praktik refleksi-diri, qigong, acupuncture, herbal.
Hindu (Vedanta)
1. Nondualistik, dengan bentuk teistik/bentuk lain. 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Upanishad dan
Weda, para guru religius, dan tradisi lokal atau keluarga.
3. Ikatan Karma pada penderitaan dan reinkarnasi dapat terbebas melalui latihan spiritual (seperti yoga); pembebasan datang lewat penyatuan dengan kedewaan (Brahman).
1. Tugas hidup yang utama adalah mencapai kebebasan (moksha)
2. Komitmen terhadap layanan tak terikat yang penuh respek.
3. Sarana dan tujuan antikekerasan demi pencapaian kebenaran dan kebebasan setiap orang.
1. Hubungan tolong-menolong menghargai yang ilahiah dalam segala hal.
2. Bertujuan mewujudkan kesejahteraan bagi semua.
3. Bisa menggunakan yoga, ritual, dan aksi komunitas antikekerasan dan kooperatif.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Yahudi 1. Teistik. 2. Keyakinan bersumber dari tanakh, halakah,
umat Yahudi. 3. Manusia diciptakan dalam pencitraan Tuhan
namun dapat terdistorsi karena pengalaman/perbuatan; perbuatan dosa perlu rekonsiliasi.
1. Tugas hidup utama adalah mencintai Tuhan dan manusia, menegakkan komunitas atau masyarakat Yahudi.
2. Komitmen mencintai kejujuran dan keadilan.
3. Menyayangi baik kualitas batin individu maupun tingkah laku.
1. Pertolongan dilakukan dalam pola Saya-Engkau (I-Thou) dan secara komunal.
2. Bertujuan menolong klien pemecahan masalah klien dalam konteks umat Yahudi.
3. Bisa menggunakan modeling peran orang Yahudi, refleksi keagamaan.
Kristen 1. Teistik dan trinitarian 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Perjanjian
Lama dan Baru, tradisi gereja, pengalaman iman 3. Manusia cenderung pada dosa; relasi mencintai
Tuhan menghasilkan hubungan baik (rekonsiliasi), makna, dan tujuan.
1. Tugas hidup yang utama adalah mencintai Tuhan dan umat manusia.
2. Komitmen untuk memberi dan keadilan.
3. Hubungan moral antara kebutuhan individu, kesejahteraan sosial, dan kehendak Tuhan.
1. Hubungan tolong-menolong berdasarkan cinta yang tulus.
2. Bertujuan mambantu klien memenuhi kebutuhan spiritual, membangun hubungan baik dengan sesama dan Tuhan.
3. Dapat menggunakan pengakuan, doa, sakramen, perujukan kependetaan/jemaat.
Islam 1. Monoteistik. 2. Keyakinan bersumber dari al-Qur’an, tradisi dan
ulama, syari’ah. 3. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah; Kebahagiaan individu dan sosial dicapai dengan kepasrahan diri kepada Allah dalam segala hal.
1. Tugas hidup yang utama adalah menjalani hidup sesuai kehendak Allah dan umat Muslim.
2. Berkomitmen mengamalkan sholat dan keadilan.
3. Umat punya kewajiban zakat dan melindungi yang tidak beruntung.
1. Hubungan pertolongan dilakukan demi Tuhan dan mendukung klien dalam konteks komunitas.
2. Bertujuan menolong klien memenuhi kebutuhan dasar, agar mampu beribadah kepada Tuhan dan hidup bersama komunitas.
Shaman-isme
1. Teistik/animistik 2. Keyakinan, bersumber dari tradisi kultural dan
visi spiritual. 3. Kebahagiaan manusia memerlukan
keharmonisan dengan alam dan roh-roh.
1. Tugas hidup utama adalah menjun-jung harmoni dalam alam dan kebahagiaan manusia.
2. Komitmen menolong orang dan menghargai kekuatan bumi-langit.
3. Melatih keterampilan, kearifan, dan cinta-kasih.
1. Melayani dan hubungan pertolongan yang sangat direktif.
2. Bertujuan menolong klien ke arah kebersatuan dan harmoni dengan alam, termasuk roh-roh.
3. Dapat menggunakan meditasi, ritual, dan pelestarian alam.
Sumber: Canda & Furman (2010, p. 149-150; 1999, p. 152).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 2
DATA INFORMAN
A. Praktisi Kesejahteraan Sosial
1. Nama : .....................................
2. Usia : .....................................
3. Jenis kelamin : .....................................
4. Suku asal : .....................................
5. Agama : .....................................
6. Status perkawinan: .....................................
7. Pendidikan : .....................................
8. Jabatan/profesi sekarang:
a. Fungsional : .....................................
b. Struktural : .....................................
9. Pengalaman praktik dalam wilayah/bidang pelayanan (berapa lama):
a. .............................................................................................. (..................tahun)
b. .............................................................................................. (..................tahun)
c. .............................................................................................. (..................tahun)
10. Praktik dalam bidang pelayanan sosial lansia sejak: .....................................
11. Pengalaman diklat atau pendidikan non-formal :
a. ..........................................................................................................
b. ..........................................................................................................
c. ..........................................................................................................
d. ..........................................................................................................
e. ..........................................................................................................
12. Keterlibatan dalam komunitas keagamaan/spiritual (jama’ah atau jemaat, majlis
ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi, dll.):
a. ..........................................................................................................
b. ..........................................................................................................
c. ..........................................................................................................
13. Informasi lain (kalau ada):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
B. Klien Lansia
1. Nama : .....................................
2. Usia : .....................................
3. Jenis kelamin : .....................................
4. Suku asal : .....................................
5. Agama : .....................................
6. Status perkawinan : .....................................
7. Pendidikan terakhir : .....................................
8. Pekerjaan sebelumnya : .....................................
9. Kegiatan keagamaan (jama’ah atau jemaat, majlis ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi,
dll.):
a. Dahulu : ...........................................................................................................
b. Saat ini : ...........................................................................................................
.................................................................................................................
10. Adakah keluarga atau kerabat yang masih kontak atau berkunjung:
a. Siapa saja : ..............................................................................................
b. Seberapa sering : ..............................................................................................
c. ..........................................................................................................................
11. Informasi lain (kalau ada):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 3 PANDUAN WAWANCARA (INTERVIEW GUIDE) PENDAHULUAN Pertama, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya sangat menghargai waktu yang disediakan untuk wawancara. Wawancara ini berkaitan dengan pemahaman aspek spiritual dan bagaimana itu diekspresikan dan/atau dipraktikkan dalam keseharian maupun dalam konteks pelayanan sosial. Pengalaman hidup dan bagaimana pengalamn tersebut dimaknai juga akan digali. Hal ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan penelitian untuk disertasi program Doktoral di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP, UI dengan judul: Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial. Saya sangat berharap penelitian ini mampu memahami spiritualitas kelompok lanjut usia (lansia) dan para praktisi sehingga dapat berkontribusi meningkatkan kesejahteraan lansia di Indonesia. Wawancara ini akan dilakukan dalam kondisi santai dan nyaman, bukan seperti tes/ujian serta tidak ada kaitannya dengan persoalan benar atau salah. Wawancara ini juga dapat dihentikan setiap saat apabila informan menginginkan karena alasan tertentu atau ada kebutuhan di tengah wawancara, dan kemudian dilanjutkan di lain waktu. Selain itu, sangat dimungkinkan bagi informan untuk tidak menjawab pertanyaan, mengoreksi pertanyaan atau jawaban sendiri, meminta keterangan lebih jauh apabila ada pertanyaan yang kurang jelas atau tidak dipahami, atau menambahkan informasi berguna yang sekiranya relevan bagi penelitian. Sebelum wawancara dimulai, saya mengingatkan kembali bahwa partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga setiap saat keikutsertaan Bapak/Ibu dapat dibatalkan. Selama wawancara berlangsung, saya akan merekam dan mencatat informasi penting. Begitu selesai, saya akan mengkonfirmasi bagian atau informasi tertentu yang tidak ingin dimunculkan dalam penelitian nanti, jika ada. Terakhir, saya menekankan bahwa kerahasiaan (confidentiality) wawancara ini akan dijaga, termasuk identitas Bapak/Ibu terkait jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
PANDUAN WAWANCARA A. Spiritualitas Praktisi Kessos
1. Pemahaman spiritualitas a. Kapan pertama kali mendengar istilah spiritual atau spiritualitas?
Probing: Bagaimana dengan istilah rohani atau rohaniah? b. Ketika mendengar istilah spiritualitas, apa artinya buat Anda pribadi? c. Apakah istilah tersebut diajarkan sewaktu kuliah, diklat, atau bimbingan
teknis (bimtek)? Kalau ya, bagaimana itu diajarkan atau disampaikan? d. Bagaimana dengan definisi kessos dalam UU Kessos (tahun 1974 atau
2009) dimana disana disebutkan aspek spiritual? Dan juga penjabarannya dalam pedoman, juklak, atau juknis pelayanan lansia?
e. Bagaimana menjelaskan istilah tersebut ke orang lain yang mungkin baru mendengar pertama kali?
2. Makna personal tentang simbol keagamaan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan?
Probing: Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah? d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti?
3. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya?
4. Praktik spiritual apa saja yang sering Anda lakukan? (seperti berdoa, meditasi, membaca kitab suci, dll.). Bagaimana Anda melakukan praktik-praktik tersebut dalam keseharian?
5. Ceritakan perjalanan spiritual Anda. Pengalaman apa saja yang sangat mempengaruhi pemahaman Anda tentang spiritualitas? Probing: Adakah tokoh atau seseorang, tempat, kejadian, pengalaman, buku, atau apa saja yang mempengaruhi pemahaman spiritualitas?
6. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan
datang? Apa saja? Mengapa? b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa
harapan Anda? B. Praktik Spiritualitas Praktisi dalam Pelayanan Sosial Lansia
1. Ceritakan bagaimana Anda menjadi pekerja sosial/pendamping/perawat? Probing: Mengapa Anda memutuskan untuk memilih profesi tersebut? Apa motivasinya? Adakah orang, kejadian, atau pengalaman yang menginspirasi Anda memilih profesi tersebut?
2. Nilai atau prinsip etis pekerjaan sosial hubungannya dengan spiritualitas a. Bisakah Anda uraikan secara singkat nilai-nilai atau prinsip etis utama
dalam profesi pekerja sosial?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
b. Bagaimana nilai-nilaia atau prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan motivasi dan nilai-nilai pribadi Anda?
c. Adakah nilai atau prinsip tersebut berkaitan dengan isu spiritualitas? Bagaimana kaitannya?
d. Dengan cara bagaimana spiritualitas penting atau relevan bagi nilai-nilai profesional?
3. Ceritakan tentang pengalaman Anda ketika memadukan atau memanfaatkan aspek spiritual dalam praktik pelayanan sosial lansia? Kapan berhasil? Tidak berhasil?
4. Keahlian atau teknik-teknik apa saja yang paling penting untuk mengatasi kebutuhan spiritual atau mengembangkan spiritualitas yang dimiliki klien? Probing: - Dalam kegiatan bimbingan rohani/keagamaan atau bimbingan sosial-
psikologis, seperti ketika melakukan terapi relaksasi. - Studi kasus klien lansia yang terjadi, bagaimana praktisi mengatasi atau
meresponsnya? 5. Apakah dalam penanganan lansia Anda menggunakan teknik tertentu yang
berhubungan dengan pengalaman keagamaan atau mistis (seperti berdoa, meditasi, praktik tasawuf/sufi atau tarekat, dll.)? Bagaimana itu dilakukan?
6. Kapan spiritualitas yang Anda pahami sangat membantu bagi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir itu membantu dan berhasil? Sebaliknya, pada saat kapan spiritualitas yang Anda pahami justru menghalangi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir seperti itu?
7. Bisakah memberi contoh ketika Anda memanfaatkan spiritualitas dalam tahap asesmen, catatan kasus, catatan perkembangan, atau intervensi?
8. Adakah masalah atau dilema etis ketika mengintegrasikan spiritualitas ke dalam praktik?
C. Spiritualitas Klien Lansia
1. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan dan tingkat keterlibatan klien. a. Sebelum masuk panti (atau dulu) aktif di kegiatan agama (jama’ah) apa
saja? Sampai sejauh mana? b. Kalau sekarang aktif kegiatan agama dimana? Kegiatannya apa saja?
Sampai sejauh mana? 2. Kepercayaan, nilai dasar, dan makna personal klien tentang simbol
keagamaan. Bagaimana hal-hal tersebut diekspresikan. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan?
Probing: Bagaimana persangkaanmu terhadap Tuhan? Bagaimana Tuhan memperlakukanmu?
c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan? Caranya bagaimana? Contohnya seperti apa?
d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
3. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan
datang? Apa saja? Mengapa? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll.
b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa harapan Anda? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll.
4. Semangat hidup. Seandainya diberi pilihan oleh Tuhan, apakah ingin diberi umur panjang atau cepat dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa? Mengapa? Probing: Sewaktu mendapat musibah (sebutkan contoh peristiwa yang pernah dialami klien), bagaimana Anda masih dapat bertahan hingga saat ini?
D. Pengalaman Hidup/Penderitaan dan Pemaknaan/Respons Klien Lansia
1. Bisa diceritakan masalah hidup (seperti penyakit, kehilangan orang yang dicintai, disabilitas, dll.) yang Anda derita. Sejak kapan menderita? Probing: Dikaitkan dengan peristiwa hidup yang pernah dialaminya (sebagaimana dalam riwayat hidup).
2. Ketika mengalami masalah tersebut, apakah hidupmu berubah? Bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu?
3. Apakah masalah Anda mengubah bagaimana Anda memandang atau merasakan diri Anda? Bagaimana?
4. Siapa saja orang yang telah membantu atau yang tidak membantu Anda dengan masalah yang Anda derita? Apa saja hal-hal yang paling membantu atau paling tidak membantu dari apa yang telah dilakukan orang-orang tersebut?
5. Apakah dengan mengalami penderitaan seperti itu telah mengubah hubungan Anda secara positif/negatif dengan orang lain? Bagaimana?
6. Kemana Anda kembali di saat-saat seperti itu? 7. Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah berat? 8. Apa saja yang sering Anda lakukan sewaktu mengalami masalah berat?
Probing: Apakah dengan berdoa, meditasi, atau membaca kitab suci? Bagaimana Anda melakukannya?
9. Ketika Anda melakukan perenungan terhadap penderitaan Anda saat ini, apakah artinya bagi Anda? Apakah arti itu berubah dari waktu ke waktu?
10. Apakah penderitaan Anda mempengaruhi cara Anda menemukan hidup bermakna? Bagaimana?
11. Apakah agama memainkan peran dalam hidupmu? Apakah itu berubah semenjak Anda mengalami penderitaan tersebut? Bagaimana?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 4 PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN (Consent Form) Informan: Saya telah diberi penjelasan singkat tentang penelitian ini dan saya memahami tujuannya. Saya juga telah dipastikan bahwa identitas saya dalam penelitian ini akan dirahasiakan sehingga harga diri dan keselamatan saya atau pihak lain dapat terjamin. Saya mengizinkan peneliti merekam dan mendokumentasikan hasil wawancara untuk tujuan analisis dan penulisan hasil penelitian. Peneliti juga telah menjamin bahwa rekaman wawancara dan hasil transkripnya akan dirahasiakan dan tidak mengizinkan pihak lain mengaksesnya, kecuali untuk keperluan akademik secara terbatas sejauh tidak melanggar etika penelitian. Saya sadar bahwa partisipasi saya dalam penelitian ini sepenuhnya sukarela dan saya dapat membatalkan partisipasi tersebut sewaktu-waktu. Dengan ini, saya menyatakan persetujuan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Tanda tangan : __________________________ N a m a : __________________________ Peneliti: Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan gambaran singkat penelitian beserta tujuannya. Saya juga telah memastikan bahwa informan memahami manfaat dan resiko dari partisipasi mereka dalam penelitian ini. Tanda tangan : __________________________ Tanggal: __________________ N a m a : Toton Witono Alamat e-mail : [email protected]; [email protected] No. telepon : 081 399 829 399 Promotor : Fentiny Nugroho, Ph.D. Co-Promotor : Adi Fahrudin, Ph.D.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 5 PANDUAN OBSERVASI
1. Setting dan lokasi
a. Di wisma/barak atau di rumah (foto keluarga atau almarhum di
dinding, gambar masjid atau ka’bah di dinding, kitab suci, buku/bacaan
agama, dll)
b. Di tempat ibadah, misal di musholla atau masjid (misal: jadwal piket
menjadi imam, mu’adzin, petugas iqomat, buku/bacaan agama, dan
perlengkapan ritual-religius lain)
2. Kegiatan
a. Kegiatan bimbingan (keagamaan dan non-keagamaan)
b. Kegiatan rekreasional (menyanyi dan lain-lain)
c. Ibadah (kehadiran/kerajinan, sholat berjamaah, kebaktian, doa,
Yasinan, Tahlilan, dan peran dalam kegiatan ibadah, misal menjadi
imam, mu’adzin, dsb.)
3. Interaksi
a. Interaksi dengan sesama penghuni panti (atau dengan tetangga)
b. Interaksi dengan petugas/pegawai panti, pekerja sosial, pramusosial,
atau dengan pendamping home care
c. Interaksi dengan peneliti
4. Informan
a. Cara berpakaian (hijab/jilbab, peci/kopiah, tasbih, aksesoris keagamaan
lain)
b. Perilaku
c. Tutur kata (ungkapan-ungkapan religius, misal apakah sering menyebut
nama Tuhan, kalimat-kalimat thoyibah, eg.basmalah, hamdalah,
istighfar, dll.)
d. Cara menjawab atau merespons
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 6 (Matriks all nodes vs inteview informan praktisi)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 7 (Matriks all nodes vs inteview informan lansia)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 8
Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 9
Klasifikasi kategori (parent node) dan tema (node) dalam spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 10 (Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep)
Research Question (RQ) Kategori (Tree Nodes, Free Nodes) Tema atau Konsep (Nodes)
RQ #1 Pemahaman-pengalaman spiritual praktisi #Arti spiritualitas @Pemahaman pribadi
@Pengaruh pendidikan-diklat @Spiritual dalam UU Kessos
Afiliasi dan praktik keagamaan @Afiliasi-praktik keagamaan Keyakinan dan nilai @Keyakinan-nilai “Di balik ujian ada hikmah” @“Di balik ujian ada hikmah” #Komponen spiritualitas lain @Panutan-sumber inspirasi
@Relationships @Kecemasan-Harapan
RQ #2 Praktik spiritual dalam layanan Motivasi praktisi kessos @Motivasi
Nilai-prinsip etis @Nilai-prinsip etis #Asesmen @Asesmen:
- Asesmen spiritual minim - Asesmen berkelanjutan, intensif, multidisiplin - Asesmen versi pendamping home care - Menyinggung keagamaan klien - Pendekatan untuk menarik lansia home care
#Intervensi @Intervensi: - Teknik umum intervensi - Lansia sedih/patah semangat - Doa dan konsep relasi segitiga - Lansia bertengkar - Intervensi yang dianggap berhasil - Intervensi yang dianggap gagal - Pendekatan manusiawi, sewajarnya - Intervensi ala pendamping home care @Contoh kasus intervensi @Penanganan akhir kehidupan lansia:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
- Membantu lansia menghadapi akhir hayat Free nodes @Keberagamaan lansia
@Lansia psikotik @Catatan perkembangan lansia @Kegiatan home care @Arti pekerjaan sosial
RQ #3 Pengalaman spiritualitas lansia #Keberagamaan Lansia @Kegiatan-afiliasi agama
@Kondisi Keberagamaan @Keyakinan
#Relasi dan keterhubungan @Relasi-kedekatan-isolasi @Doa
#Harapan dan kecemasan @Harapan @Semangat hidup @Kekhawatiran-ketakutan @Menyikapi akhir hayat
#Spiritual tasks @Reminiscence @“Mengheningkan cipta” @Memaafkan @Merasa berperan-berguna-dicintai @Kegemaran-hobi-kreativitas
#Persoalan eksistensial lansia @Pandangan-pertanyaan tentang hidup @Makna-tujuan hidup
RQ #4 Pengalaman hidup dan respons lansia #Penderitaan hidup dan pemaknaan @Pengalaman-penderitaan
@Musibah-cobaan-peringatan @“Ada musibah ada hikmah”
#Respons terhadap penderitaan @Respons @Bersyukur @Pasrah-menerima @Sabar & tawakkal
Free nodes @Perubahan hidup
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 11 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi)
Spiritualitas praktisi
Pemahaman-pengalaman
Arti spiritualitas
Pemahaman pribadi
Pengaruh pendidikan-diklat
Spiritual dalam UU Kessos
Afiliasi & praktik
Keyakinan & nilai individu
“Di balik ujian ada hikmah”
Komponen penting lain
Panutan-sumber inspirasi
Relationships
Kecemasan & harapan
Praktik dalam layanan
Motivasi melayani
Nilai-prinsip etis
Asesmen
Intervensi
Intervensi umum
Contoh kasus intervensi
Penanganan akhir kehidupan lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 12 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia)
Sp
irit
ua
lita
s La
nsi
a
Pengalaman spiritualitas
Keberagamaan lansia Kegiatan-afiliasi
Keyakinan agama
Persoalan eksistensial Pandangan-pertanyaan ttg hidup
Makna & tujuan hidup
Relationships Relasi, kedekatan, dan isolasi
D o a
Harapan & kecemasan Harapan & semangat hidup
Harapan/kecemasan thd akhir hayat
Spiritual tasks
Merasa berguna, berperan, & dicintai
Reminiscence
“Mengheningkan cipta”
Memaafkan
Kegemaran, hobi, & kreativitas
Pengalaman hidup dan respons
Penderitaan dan pemaknaan
Pengalaman & penderitaan
Musibah, cobaan, & peringatan
“Ada musibah ada hikmah”
Respons terhadap penderitaan
Respons umum
Pasrah dan menerima
Sabar dan tawakkal
Bersyukur
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 13
Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi
Tabel 13.1. Perbandingan jumlah source & references antar node
#Kategori atau @nodes Sources References
#Arti spiritualitas - -
• @Pemahaman pribadi 8 25
• @Pengaruh pendidikan-diklat 7 14
• @Spiritual dalam UU Kessos 4 7
@Afiliasi-praktik keagamaan 6 27
@Keyakinan-nilai 8 43
@“Di balik ujian ada hikmah” 7 39
@Motivasi 9 39
@Nilai-prinsip etis 6 10
@Asesmen 9 29
#Intervensi - -
• @Intervensi 9 55
• @Contoh kasus intervensi 7 19
• @Penanganan akhir kehidupan lansia 8 23
#Komponen spiritualitas lain - -
• @Panutan-sumber inspirasi 1 2
• @Relationships 1 1
• @Kecemasan-Harapan 5 13
Tabel 13.2. Rerence & coverage pada kategori #Arti spiritualitas
Informan @Pemahaman pribadi @Pengaruh dari diklat
@Spiritual dalam UU Kessos
References Coverage References Coverage References Coverage YL 2 1,08% 1 0,51% 2 0,54% SM 5 1,3% 5 2,69% 2 0,61% WN 2 1,2% 1 0,99% 0 0 HN 2 0,58% 0 0 0 0 ED 3 5,35% 1 3,25% 0 0 MM 0 0 0 0 0 0 HT 5 3,81% 1 0,95% 0 0 TY 5 4,5% 4 3,97% 2 2,22% FS 1 0,55% 1 0,51% 1 0,17 Jumlah 25 14 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 13.3. Node @Afiliasi-praktik, @Keyakinan-nilai, dan @”Di balik ujian ada hikmah”
Informan @Afiliasi-praktik
keagamaan @Keyakinan-nilai
@“Di balik ujian ada hikmah”
References Coverage References Coverage References Coverage YL 7 3,62% 14 10,35% 8 5,91% SM 4 3,26% 3 2,12% 0 0 WN 1 0,43% 3 3,37% 2 3,39% HN 6 2,06% 8 19,48% 15 20,63% ED 0 0 1 0,81% 2 1,52% MM 0 0 2 2,21% 0 0 HT 0 0 0 0 5 5,08% TY 5 3,21% 2 2,3% 5 11,53% FS 4 5,79% 10 12,83% 2 5,41% Jumlah 27 43 39
Tabel 13.4. Reference & coverage pada kategori #Komponen spiritualitas penting lain
Informan @Kecemasan-harapan
@Panutan-sumber inspirasi
@Relationships
References Coverage References Coverage References Coverage YL 5 3,53% 2 0,6% 0 0 SM 2 1,57% 0 0 0 0 WN 2 2,97% 0 0 1 1,04% HN 0 0 0 0 0 0 ED 0 0 0 0 0 0 MM 0 0 0 0 0 0 HT 0 0 0 0 0 0 TY 2 3,51% 0 0 0 0 FS 2 4,49% 0 0 0 0 Jumlah 13 2 1
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 13.5. Reference & coverage pada node @Motivasi, @Nilai-prinsip etis, dan @Asesmen
Informan @Motivasi @Nilai-prinsip etis @Asesmen
References Coverage References Coverage References Coverage YL 7 4,72% 0 0 1 1,98% SM 7 5,88% 2 1,02% 3 9,16% WN 3 1,68% 2 2,54% 4 6,46% HN 4 3,36% 0 0 3 4,15% ED 4 9,32% 1 2,58% 4 8,03% MM 4 5,89% 0 0 4 10,19% HT 2 3,55% 1 1,27% 2 4,98% TY 1 1,47% 2 4,88% 4 9,36% FS 7 11,65% 2 2,72% 4 4,73% Jumlah 39 10 29
Tabel 13.6. Reference & coverage masing-masing node pada kategori #Intervensi
Informan @Intervensi
@Contoh kasus intervensi
@Penanganan akhir kehidupan lansia
References Coverage References Coverage References Coverage YL 11 8,2% 0 0 0 0 SM 6 6,55% 1 8,39% 1 1,5% WN 6 7,85% 7 15,22% 6 20% HN 4 5,91% 2 2,01% 2 2,11% ED 2 5,65% 1 1,43% 1 1,69% MM 5 10,9% 3 5,35% 3 6,75% HT 6 10,01% 0 0 1 3,7% TY 8 16,86% 1 1,21% 5 6,36% FS 7 8,3% 4 9,41% 4 9,35% Jumlah 55 19 23
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia
Tabel 14.1. Perbandingan jumlah source & references antar node
#Kategori atau @node Sources References
#Keberagamaan - -
• @Kegiatan-afiliasi agama 8 65
• @Kondisi Keberagamaan 4 8
• @Keyakinan 9 47
#Respons terhadap penderitaan - -
• @Respons 8 58
• @Bersyukur 7 24
• @Pasrah-menerima 8 31
• @Sabar & tawakkal 2 11
#Persoalan eksistensial lansia - -
• @Pandangan-pertanyaan tentang hidup 2 8
• @Makna-tujuan hidup 3 8
#Relasi dan keterhubungan - -
• @Relasi-kedekatan-isolasi 9 87
• @Doa 9 63
#Harapan dan kecemasan - -
• @Harapan 9 73
• @Semangat hidup 6 7
• @Kekhawatiran-ketakutan 6 13
• @Menyikapi akhir hayat 8 40
#Spiritual tasks - -
• @Reminiscence 6 31
• @“Mengheningkan cipta” 3 6
• @Memaafkan 1 6
• @Merasa berperan-berguna-dicintai 8 19
• @Kegemaran-hobi-kreativitas 5 13
#Penderitaan hidup dan pemaknaan - -
• @Pengalaman-penderitaan 8 51
• @Musibah-cobaan-peringatan 5 19
• @“Ada musibah ada hikmah” 3 10
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.2. Reference & coverage pada kategori # Penderitaan hidup dan pemaknaan
Informan @Pengalaman-
penderitaan @Musibah-cobaan-
peringatan @”Ada musibah ada
hikmah” References Coverage References Coverage References Coverage
Mrw 5 1,35% 5 1,66% 0 0 Pnd-Gbg 8 7,6% 7 6,32% 0 0 Rml-Nrn 0 0 4 0,34% 8 1,14% Est 0 0 0 0 0 0 Kntw 0 0 0 0 0 0 Sgn 2 1,12% 1 0,77% 1 0,43% Alm 0 0 0 0 0 0 Bs 0 0 0 0 0 0 Msn 9 13,01% 2 1,45% 1 1,52% Jumlah 24 19 10
Tabel 14.3. Reference & coverage pada kategori #Reaksi terhadap penderitaan
Informan @Pasrah-menerima @Sabar dan tawakkal @Bersyukur
References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 7 1,72% 0 0 9 3,67% Pnd-Gbg 0 0 9 9,97% 0 0 Rml-Nrn 3 0,66% 0 0 2 0,81% Est 2 0,56% 0 0 2 0,53% Kntw 6 2,38% 0 0 2 0,64% Sgn 1 0,8% 0 0 2 0,9% Alm 2 0,49% 0 0 3 1,24% Bs 1 1,07% 0 0 0 0 Msn 9 7,03% 2 1,13% 4 4,22% Jumlah 31 11 24
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.4. Reference & coverage pada node @Respons, @Relasi-kedekatan-isolasi, dan @Doa
Informan @Respons @Relasi-kedekatan-isolasi @Doa
References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 12 6,12% 20 8,73% 6 3,07% Pnd-Gbg 13 11,12% 8 8,88% 5 4,66% Rml-Nrn 14 4,97% 6 2,03% 7 2,66% Est 4 2,04% 13 6,82% 16 9,53% Kntw 6 2,78% 16 9,61% 7 2,93% Sgn 1 1,3% 5 3,92% 3 2,37% Alm 0 0 12 4,07% 12 5,19% Bs 2 4,89% 5 6,01% 1 0,78% Msn 6 5,09% 2 2,14% 6 5,34% Jumlah 58 87 63
Tabel 14.5. Reference & coverage pada kategori #Keberagamaan
Informan @Kegiatan-afiliasi
agama @Keyakinan @Kondisi
keberagamaan References Coverage References Coverage References Coverage
Mrw 9 2,78% 4 1,05% 3 1,89% Pnd-Gbg 0 0 2 0,79% 0 0 Rml-Nrn 11 0,88% 16 5,5% 2 0,63% Est 15 3,77% 5 1,68% 0 0 Kntw 1 0,06% 9 2,88% 1 1,29% Sgn 7 4,94% 4 3,58% 0 0 Alm 10 3,34% 4 0,58% 2 1,49% Bs 2 14,81% 1 2,55% 0 0 Msn 10 5,66% 2 2,8% 0 0 Jumlah 65 47 8
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.6. Reference & coverage pada node @Merasa berperan-berguna-dicintai, @Reminiscence, dan @”Mengheningkan cipta”
Informan @Merasa berperan-
berguna-dicintai @Reminiscence
@”Mengheningkan cipta”
References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 5 1,62% 0 0 1 0,3% Pnd-Gbg 0 0 0 0 0 0 Rml-Nrn 1 0,11% 8 4,14% 2 0,51% Est 1 0,36% 1 0,18% 0 0 Kntw 0 0 4 3,19% 0 0 Sgn 6 5,99% 11 10,26% 3 1,92% Alm 3 2,12% 0 0 0 0 Bs 1 1,03% 4 9,12% 0 0 Msn 1 1,17% 3 3,71% 0 0 Jumlah 18 31 6
Tabel 14.7. Reference & coverage pada node @Kegemaran-hobi-kreativitas, @Memaafkan, dan @Semangat hidup
Informan @Kegemaran-hobi-
kreativitas @Memaafkan @Semangat hidup
References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 4 2,29% 0 0 1 0,12% Pnd-Gbg 0 0 0 0 0 0 Rml-Nrn 0 0 0 0 1 0,18% Est 1 0,69% 6 1,63% 1 0,14% Kntw 2 0,95% 0 0 1 0,29% Sgn 4 1,21% 0 0 0 0 Alm 2 1,44% 0 0 2 0,83% Bs 0 0 0 0 0 0 Msn 0 0 0 0 1 0,73% Jumlah 13 6 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.8. Reference & coverage pada node @Harapan, @Kekhawatiran-ketakutan, dan @Menyikapi akhir hayat
Informan @Harapan
@Kekhawatiran-ketakutan
@Menyikapi akhir hayat
References Coverage References Coverage References Coverage Mrw 8 2,05% 1 0,48% 4 1,06% Pnd-Gbg 4 2,17% 2 1,87% 1 0,81% Rml-Nrn 8 2,12% 2 0,65% 6 1,09% Est 12 8,47% 0 0 2 1,88% Kntw 4 1,22% 2 0,67% 8 3,68% Sgn 12 6,92% 0 0 2 2,15% Alm 11 4,19% 4 1,4% 7 3,1% Bs 4 4,64% 0 0 0 0 Msn 10 12,21% 2 3,12% 10 13,83% Jumlah 73 13 40
Tabel 14.9. References & coverage pada kategori #Persoalan eksistensial lansia
Informan @Makna-tujuan hidup @Pandangan-pertanyaan tentang hidup References Coverage References Coverage
Mrw 3 1,67% 0 0 Pnd-Gbg 0 0 0 0 Rml-Nrn 2 0,61% 2 0,6% Est 3 1,28% 0 0 Kntw 0 0 0 0 Sgn 0 0 0 0 Alm 0 0 0 0 Bs 0 0 0 0 Msn 0 0 6 4,43% Jumlah 8 8
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 15
Node summary report spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Project:
Generated:
Spiritualitas Praktisi
Node Summary Report
31/03/2015 4:07
Arti pekerjaan sosial Free Node
Nickname 102Words Coded
9Paragraphs Coded
4Coding References
2Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
28/10/2014 2:00
28/10/2014 2:00
Catatan perkembangan lansia Free Node
Nickname 165Words Coded
7Paragraphs Coded
3Coding References
2Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 12:17
11/05/2014 17:49
Keberagamaan lansia Free Node
Nickname 355Words Coded
6Paragraphs Coded
4Coding References
2Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 1:32
15/12/2014 0:15
Kegiatan home care Free Node
Nickname 739Words Coded
16Paragraphs Coded
11Coding References
3Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 23:50
11/05/2014 17:51
Lansia psikotik Free Node
Nickname 212Words Coded
1Paragraphs Coded
3Coding References
1Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 11:49
10/05/2014 11:52
Node Summary Report Page 1 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
“Di balik ujian ada hikmah” Tree Node
Nickname 2.941Words Coded
92Paragraphs Coded
39Coding References
7Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:40
16/12/2014 2:28
Afiliasi-praktik keagamaan Tree Node
Nickname 1.129Words Coded
40Paragraphs Coded
27Coding References
6Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:43
14/12/2014 17:26
Asesmen Tree Node
Nickname 3.053Words Coded
72Paragraphs Coded
29Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:48
15/12/2014 0:21
Contoh kasus intervensi Tree Node
Nickname 2.845Words Coded
28Paragraphs Coded
19Coding References
7Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 2:44
15/12/2014 0:14
Intervensi Tree Node
Nickname 4.306Words Coded
75Paragraphs Coded
55Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:49
15/12/2014 0:16
Kecemasan-Harapan Tree Node
Nickname 1.062Words Coded
13Paragraphs Coded
13Coding References
5Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
28/10/2014 0:05
14/12/2014 18:43
Node Summary Report Page 2 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Keyakinan-nilai Tree Node
Nickname 3.030Words Coded
91Paragraphs Coded
43Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:41
15/12/2014 0:15
Motivasi Tree Node
Nickname 2.337Words Coded
58Paragraphs Coded
39Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:44
15/12/2014 0:25
Nilai-prinsip etis Tree Node
Nickname 879Words Coded
24Paragraphs Coded
10Coding References
6Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
07/05/2014 17:47
15/12/2014 0:24
Panutan-sumber inspirasi Tree Node
Nickname 29Words Coded
2Paragraphs Coded
2Coding References
1Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
28/10/2014 0:05
28/10/2014 0:05
Pemahaman pribadi Tree Node
Nickname 818Words Coded
33Paragraphs Coded
25Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
09/05/2014 23:04
14/12/2014 17:20
Penanganan akhir kehidupan lansia Tree Node
Nickname 3.482Words Coded
64Paragraphs Coded
23Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
10/05/2014 2:56
15/12/2014 0:21
Node Summary Report Page 3 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Pengaruh dari pendidikan-diklat Tree Node
Nickname 649Words Coded
28Paragraphs Coded
14Coding References
7Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
09/05/2014 23:05
14/12/2014 17:21
Relationships Tree Node
Nickname 86Words Coded
1Paragraphs Coded
1Coding References
1Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
28/10/2014 0:05
28/10/2014 0:05
Spiritual dalam UU Kessos Tree Node
Nickname 220Words Coded
8Paragraphs Coded
7Coding References
4Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
09/05/2014 23:10
14/12/2014 17:21
Node Summary Report Page 4 of 4Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 16
Node summary report spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Project:
Generated:
Spiritualitas Lansia
Node Summary Report
31/03/2015 4:10
Perubahan hidup Free Node
Nickname 571Words Coded
33Paragraphs Coded
11Coding References
4Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 2:22
16/05/2014 6:18
Ada musibah ada hikmah Tree Node
Nickname 235Words Coded
16Paragraphs Coded
10Coding References
3Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 17:18
30/03/2015 1:47
Bersyukur Tree Node
Nickname 921Words Coded
37Paragraphs Coded
25Coding References
7Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:35
14/01/2015 23:55
Doa Tree Node
Nickname 3.043Words Coded
192Paragraphs Coded
63Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:34
14/01/2015 23:39
Harapan Tree Node
Nickname 3.293Words Coded
232Paragraphs Coded
73Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:38
14/01/2015 23:31
Node Summary Report Page 1 of 5
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Kegemaran-hobi-kreativitas Tree Node
Nickname 592Words Coded
29Paragraphs Coded
13Coding References
5Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:36
16/12/2014 20:18
Kegiatan-afiliasi agama Tree Node
Nickname 2.318Words Coded
210Paragraphs Coded
65Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 1:53
15/01/2015 0:07
Kekhawatiran-ketakutan Tree Node
Nickname 632Words Coded
20Paragraphs Coded
13Coding References
6Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:38
15/12/2014 2:38
Keyakinan Tree Node
Nickname 1.773Words Coded
96Paragraphs Coded
44Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
25/10/2014 0:35
15/01/2015 0:18
Kondisi Keberagamaan Tree Node
Nickname 492Words Coded
37Paragraphs Coded
8Coding References
4Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 1:53
16/05/2014 22:08
Makna-tujuan hidup Tree Node
Nickname 296Words Coded
20Paragraphs Coded
8Coding References
3Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:29
15/12/2014 2:29
Node Summary Report Page 2 of 5
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Memaafkan Tree Node
Nickname 159Words Coded
13Paragraphs Coded
6Coding References
1Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:36
15/12/2014 2:36
Mengheningkan cipta Tree Node
Nickname 188Words Coded
16Paragraphs Coded
6Coding References
3Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:36
16/12/2014 20:26
Menyikapi akhir hayat Tree Node
Nickname 2.130Words Coded
115Paragraphs Coded
40Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:38
15/01/2015 0:02
Merasa berperan-berguna-dicintai Tree Node
Nickname 986Words Coded
74Paragraphs Coded
19Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:36
14/01/2015 23:51
Musibah-cobaan-peringatan Tree Node
Nickname 671Words Coded
25Paragraphs Coded
19Coding References
5Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:26
30/03/2015 1:45
Pandangan-pertanyaan tentang hidup Tree Node
Nickname 354Words Coded
17Paragraphs Coded
7Coding References
2Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:29
30/03/2015 1:54
Node Summary Report Page 3 of 5
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Pasrah-menerima Tree Node
Nickname 1.083Words Coded
43Paragraphs Coded
31Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:26
14/01/2015 23:34
Pengalaman-penderitaan Tree Node
Nickname 3.213Words Coded
140Paragraphs Coded
50Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 2:30
14/01/2015 23:46
Relasi-kedekatan-isolasi Tree Node
Nickname 4.064Words Coded
270Paragraphs Coded
87Coding References
9Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:34
30/03/2015 2:26
Reminiscence Tree Node
Nickname 2.020Words Coded
126Paragraphs Coded
31Coding References
6Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:36
14/01/2015 23:33
Respons Tree Node
Nickname 2.661Words Coded
121Paragraphs Coded
58Coding References
8Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
14/05/2014 2:30
16/12/2014 20:01
Sabar & tawakkal Tree Node
Nickname 676Words Coded
17Paragraphs Coded
11Coding References
2Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 3:24
15/12/2014 3:41
Node Summary Report Page 4 of 5
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Semangat hidup Tree Node
Nickname 213Words Coded
18Paragraphs Coded
7Coding References
6Sources Coded
0Cases Coded
Created
Modified
15/12/2014 2:38
15/12/2014 2:38
Node Summary Report Page 5 of 5
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 17
Coding summary report spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coding Summary Report
Spiritualitas Praktisi Project:
Generated: 31/03/2015 1:18
WN Document
Nodes Coding References Coverage
Free Nodes\Arti pekerjaan sosial 1 0,84 %
Free Nodes\Catatan perkembangan lansia 1 0,80 %
Free Nodes\Lansia psikotik 3 2,60 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
2 3,39 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
1 0,43 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman
pribadi
2 1,20 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari
pendidikan-diklat
1 0,99 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
3 3,37 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting
lain\Kecemasan-Harapan
2 2,97 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting
lain\Relationships
1 1,04 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 6,46 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
6 7,85 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
7 15,22 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir
kehidupan lansia
6 20,00 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 3 1,68 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2 2,54 %
Total References 45
HT Document
Nodes Coding References Coverage
Free Nodes\Catatan perkembangan lansia 2 4,26 %
Coding Summary Report Page 1 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Free Nodes\Kegiatan home care 2 4,60 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 5 5,08 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman
pribadi
5 3,81 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1 0,95 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 2 4,98 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi 6 10,01 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir
kehidupan lansia
1 3,70 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 2 3,55 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
1 1,27 %
Total References 27
ED Document
Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Kegiatan home care 7 16,69 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 2 1,52 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
3 5,35 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1 3,25 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Keyakinan-nilai 1 0,81 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 8,03 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
2 5,65 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 1 1,43 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
1 1,69 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 9,32 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
1 2,58 %
Coding Summary Report Page 2 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Total References 27
YL Document
Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 8 5,91 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
7 3,62 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
2 1,08 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1 0,51 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
2 0,54 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Keyakinan-nilai 14 10,35 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
5 3,53 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Panutan-sumber inspirasi
2 0,60 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 1 1,98 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi 11 8,20 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 4,72 %
Total References 60
SM Document
Nodes Coding References Coverage
Free Nodes\Arti pekerjaan sosial 3 0,72 %
Free Nodes\Keberagamaan lansia 1 1,71 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
4 3,26 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
5 1,30 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari
pendidikan-diklat
5 2,69 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU
Kessos
2 0,61 %
Coding Summary Report Page 3 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Keyakinan-nilai 3 2,12 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2 1,57 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 3 9,16 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
6 6,55 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
1 8,39 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
1 1,50 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 5,88 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2 1,02 %
Total References 45
FS Document
Nodes Coding References Coverage
Free Nodes\Keberagamaan lansia 3 3,63 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
2 5,41 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
4 5,79 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
1 0,55 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari
pendidikan-diklat
1 0,51 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU
Kessos
1 0,17 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
10 12,83 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting
lain\Kecemasan-Harapan
2 4,49 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 4,73 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
7 8,30 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
4 9,41 %
Coding Summary Report Page 4 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir
kehidupan lansia
4 9,35 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 7 11,65 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2 2,72 %
Total References 52
HN Document
Nodes Coding References Coverage
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah” 15 20,63 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
6 2,06 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
2 0,58 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Keyakinan-nilai 8 19,48 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 3 4,15 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
4 5,91 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 2 2,01 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir
kehidupan lansia
2 2,11 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 3,36 %
Total References 46
MM Document
Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Kegiatan home care 2 5,55 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
2 2,21 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 10,19 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
5 10,90 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
3 5,35 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir
kehidupan lansia
3 6,75 %
Coding Summary Report Page 5 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 4 5,89 %
Total References 23
TY Document
Nodes Coding References Coverage
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
5 11,53 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan 5 3,21 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman
pribadi
5 4,50 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari
pendidikan-diklat
4 3,97 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
2 2,22 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
2 2,30 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman
Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2 3,51 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen 4 9,36 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
8 16,86 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi 1 1,21 %
Tree Nodes\Praktik dalam
layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
5 6,36 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi 1 1,47 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2 4,88 %
Total References 46
Coding Summary Report Page 6 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 18
Coding summary report spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coding Summary Report
Spiritualitas Lansia Project:
Generated: 31/03/2015 1:19
Pnd-Gbg Document
Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 2,17 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2 1,87 %
Tree Nodes\Harapan &
Kecemasan\Menyikapi akhir hayat 1 0,81 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 2 0,79 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup &
Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan 7 6,32 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
8 7,60 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 5 4,66 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
8 8,88 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Respons 13 11,12 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Sabar & tawakkal
9 9,97 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1 1,32 %
Total References 60
Mrw Document
Nodes Coding References Coverage
Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,28 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 8 2,05 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
1 0,48 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
4 1,06 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1 0,12 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
9 2,78 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 1,05 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
3 1,89 %
Coding Summary Report Page 1 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Penderitaan Hidup &
Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan 5 1,66 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
5 1,35 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
3 1,67 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 6 3,07 %
Tree Nodes\Relasi &
Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 20 8,73 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
9 3,67 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
7 1,72 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Respons 12 6,12 %
Tree Nodes\Spiritual
Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 4 2,29 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
1 0,30 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa
berperan-berguna-dicintai 5 1,62 %
Total References 110
Msn Document
Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 10 12,21 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2 3,12 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
10 13,83 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1 0,73 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
10 5,66 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 2 2,80 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup &
Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah 1 1,52 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
2 1,45 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
9 13,01 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial
Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang hidup
5 4,45 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 6 5,34 %
Coding Summary Report Page 2 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
2 2,14 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Bersyukur 4 4,22 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
9 7,03 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
6 5,09 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Sabar & tawakkal 2 1,13 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1 1,17 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 3 3,71 %
Total References 85
Rml-Nrn Document
Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,06 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 8 2,12 %
Tree Nodes\Harapan &
Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan 2 0,65 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
6 1,09 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1 0,18 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi
agama 11 0,88 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 13 6,08 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi
Keberagamaan 2 0,63 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah
8 1,14 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
4 0,34 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
6 4,35 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
2 0,61 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial
Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang
hidup
2 0,60 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 7 2,66 %
Tree Nodes\Relasi &
Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 6 2,03 %
Coding Summary Report Page 3 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
2 0,81 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Pasrah-menerima 3 0,66 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
14 4,97 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
2 0,51 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa
berperan-berguna-dicintai 1 0,11 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 8 4,14 %
Total References 111
Sgn Document
Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 12 7,03 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
2 2,15 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
7 4,83 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 3,58 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah
1 0,43 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
1 0,77 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup &
Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan 2 1,12 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 3 2,37 %
Tree Nodes\Relasi &
Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 5 3,92 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
3 0,93 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
1 0,80 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
1 1,30 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
4 1,21 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
3 1,92 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
6 5,98 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 11 10,26 %
Coding Summary Report Page 4 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Total References 66
Alm Document
Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 3 1,99 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 11 4,19 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
4 1,40 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
7 3,10 %
Tree Nodes\Harapan &
Kecemasan\Semangat hidup 2 0,83 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi
agama 10 3,34 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 4 0,58 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
2 1,49 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup &
Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan 12 8,54 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 12 5,19 %
Tree Nodes\Relasi &
Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 12 4,07 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
3 1,24 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
2 0,49 %
Tree Nodes\Spiritual
Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 2 1,44 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
3 2,12 %
Total References 89
Kntw Document
Nodes Coding References Coverage
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 1,22 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2 0,67 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
8 3,68 %
Tree Nodes\Harapan &
Kecemasan\Semangat hidup 1 0,29 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
1 0,06 %
Coding Summary Report Page 5 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 9 2,88 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi
Keberagamaan 1 1,29 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
5 1,61 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 7 2,93 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
16 9,61 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
2 0,64 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Pasrah-menerima 6 2,38 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
6 2,78 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
2 0,95 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 4 3,19 %
Total References 74
Est Document
Nodes Coding References Coverage Free Nodes\Perubahan hidup 2 1,09 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 12 8,47 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
2 1,88 %
Tree Nodes\Harapan &
Kecemasan\Semangat hidup 1 0,14 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi
agama 15 3,77 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 5 1,68 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
3 1,03 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
3 1,28 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 16 9,53 %
Tree Nodes\Relasi &
Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi 13 6,82 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Bersyukur 2 0,53 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
2 0,56 %
Tree Nodes\Respons terhadap
Penderitaan\Respons 4 2,04 %
Coding Summary Report Page 6 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Spiritual
Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas 1 0,69 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Memaafkan 6 1,63 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1 0,36 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 1 0,18 %
Total References 89
Bs Document
Nodes Coding References Coverage Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan 4 4,64 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi
agama 2 14,81 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan 1 2,55 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa 1 0,78 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
5 6,01 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
1 1,07 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
2 4,89 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1 1,03 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence 4 9,12 %
Total References 21
Coding Summary Report Page 7 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 19
Kumpulan Kutipan Doa Klien Lansia
1. Doa untuk diri sendiri
Tema doa Contoh kutipan
- Ampunan (dosa) dari Tuhan
- Kekuatan iman
- Badan sehat - Panjang
umur - Kemurahan
rejeki - Hidup
berkah - Kekuatan
untuk mengerjakan kewajiban
- Berharap agar selalu dekat dengan Tuhan
- Keselamatan di dunia dan akhirat
Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur, diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja. Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm, 6/6/2013)
Saya kan nggak apal ya mas, kita cuman (hapal) itu apa, Ayat Kursi, sama.. doa keselamatan dunia akherat. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn.... itu. (Alm, 6/6/2013)
Pokoknya itu aja Ayat Kursi, sama.. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn, wa’âfiyatan fil-jasadi, wa ziyâdatan fil-’ilmi, wa barokatan fir-rizqi, wa taubatan qoblal-maut, wa rohmatan ‘indal-maut, wa maghfirotan ba’dal-maut. Allâhumma hawwin ‘alainâ fî sakarôtil-maut, wan najâta minan-nâr wal-‘afwa ‘indal-hisâb. Robbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadaytanâ wa hablanâ min-ladunka rohmatan innaka antal-wahhâb. Robbanâ âtinâ fid-dunyâ hasanah, wa fil-âkhiroti hasanah, waqinâ ‘adzâban-nâr.. Terus, Allâhummaghfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ robbayânî soghîro... 2 kali.. (Alm, 6/6/2013)
Robbanâ dholamnâ anfusanâ, wain-lam taghfirlanâ wa tarhamnâ lanakûnana minal-khôsirîn... (Alm, 6/6/2013)
Iya bacaannya panjang. Terus nanti kalau udah, itu ya, Allâhumma antas-salâm wa minkas-salâm tabârokta robbanâ yâ dzal-jalâli wal-ikrôm. Terus baca yang itu, subhanallâh subhanallâh dulu 33 (kali), dzikirnya. Baru baca doa apa yang diminta gitu aja toh ya mas? (Alm, 6/6/2013)
Hehehe, mudah-mudahan ya itu selalu mendekat sama Allah.. Jangan lupa suka berdoa itu yang penting ya yang buat diri sendiri aja yang deket sama Allah gitu dulu, ya kan? Perkara yang belakang-belakang mah nanti doa itu yang penting e.. kita sama Allah itu nanti di dunianya juga ikut... Rejeki juga paling kalau kita banyak berdoa rejeki pasti ada. ... Kan kalau orang berdoa segala macem-segala macem ujung-ujungannya minta diberi rejeki yang berkah dan melimpah. Itu nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa juga ada. ... Iya nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa. Allah juga tahu. (Alm, 6/6/2013)
‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu. ‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar, Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi) ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013)
Ya kita paling berdoanya begini, ‘Allah Bapak yang di sorga yang Maha
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.’ Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013)
Allah bapak kami terima kasih. Kami mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, juru selamat kami.. Terima kasih Tuhan Yesus, kami mengucap syukur. Haleluyah, amin.. (Kntw, 31/5/2013)
Sekarang kita, sekarang-sekarang ini kita begini, ya Allah bapa yang di sorga Tuhan Yesus jiwa raga saya saya serahkan kepada Tuhan Yesus semua-muanya, kebusukan saya, kebaekan saya, kejelekan saya. Saya pasrah kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus kan lebih tahu. (Kntw, 31/5/2013)
Iya, itu Allah yang tahu. Hanya kita, sebab, minta kepada Allah supaya dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, dipanjangkan umurnya, ya kan? Gitu. Sehat badannya, gitu. (Mrw, 8/4/2013)
Ya sebetulnya kalau masalah sholat setiap waktu ya kita kerjakan, dan sholat tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya minta ampun,saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, dosa saya. Ya, setiap habis sholat sih saya minta doa. (Mrw, 8/4/2013)
Iya tapi apalagi kita kan habis sholat, habis sholat kan kita jangan harap kita udah diterima kita berdoa lagi, ya kan? ... Kalau saya alah dimana aja yang penting saya doain selamat iman itu aja. ... Ndak usah mikir kita dikuburan dimana, yang penting saya mintain selamat iman. (Nrn, 27/5/2013)
Saya ini sekarang, apa lagi, ‘ya Allah selamatkanlah aku dalam iman, selamatkan aku di akherat,’ yah.. (Rml, 27/5/2013)
Oh, ya pokokna mah doa minta berkah selamet aja, supaya sehat badan, gitu dek. Supaya dapat milik rejeki dari mana aja.. milik rejeki datangnya gitu dek. Milik dari Allah, rejeki dari Allah barangkali ada yang kasihan ama saya orag miskin gitu dek. (Msn, 16/6/2013)
Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)
- Meninggal dengan mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnul-khâtimah).
Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est. Berdoa, ‘Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih sakit dulu baru dibawa.’ Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya, dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013)
Itu saya na’ûdzubillâh min dzâlik, jangan sampai begitu ya saya. Makannya saya kalau habis sholat itu doanya ya Allah, di akhir hayatku nanti semoga dalam keadaan husnul khotimah. (Alm, 6/6/2013)
Jangan sampai kaya temen temennya begitu.. Dua hari, tiga hari, sampai merepotkan. Pramu-pramu juga pada cerita di sini, ‘si A begini, penyakitnya begini-begini-begini, masa saya sampai nggak doyan makan, apah.... ngerawat dia nggak doyan makan.’ Itu kan berarti menjijikkan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
itu. ... Nah itu saya jangan sampai begitu.. Saya pokoknya selalu berdoa.. ‘Mudah-mudahan.. saya jangan merepotkan oranglah,’ gitu. Istilahnya ya masuk angin... terus diambil gitu aja. (Alm, 6/6/2013)
- Harapan-harapan praktis jangka pendek dalam keseharian.
Selalu doain, minta sama Tuhan supaya ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa, temen-temen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan) gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaa. (Est, 31/5/2013).
...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi kemampuan) bikin havermut. ... Iya, dua, dua cangkir... (Est, 31/5/2013)
Selalu Est doain, minta sama Tuhan supaya Est ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang Est lagi menyanyi lagu baru. (Est, 31/5/2013).
- Doa atau wirid ketika sedang ditimpa masalah, sakit, atau merasa sedih
Iya. Saya suka ingat juga. Katanya kalau lagi sedih, kalau lagi marah, katanya, baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang sendiri. Saya suka baca itu aja, dek. Kalau malam-malam kalau apa juga saya, suka kayak gitu. Kalau habis sholat itu, saya wiridan, ayat kursi, ama Yasin, ama segala saya... Sebisa-bisa saya gitu, dek, di-ituin, dibacain semua. Karena, kata saya, kalau habis sholat Maghrib, kalau belum Isya saya belum pernah batal, dek. Masih duduk aja di situ, apa aja saya baca, kan... (Msn, 16/6/2013)
Kalo Engkong, kalau sakit nih ya (berkeyakinan) sakit Allah punya, sehat Allah punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu kasih peringatan, gitu. ‘Ya Allah mohon sembuhkan. Sakit Allah punya, sehat Allah punya, saya tidak punya apa-apa. Siang-malam saya digerakkan sama Allah.’ Dikasih sehat, sehat aja. Udah pernah nih, di bawah perut nih saki....t banget mau sholat maghrib tuh. .... Sholat maghrib, mohon sama Allah ama wirid sampe Isya. Nah begitu adzan Isya, sholat Isya, udah sholat Isya nge-wirid lagi, alhamdulillah (sembuh). (Pnd, 30/5/2013)
(Wirid) apa aja sebisanya. Subhanallâh, wal-hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâh allâhu akbar. Kalau nggak, ya Allah, ya Allah, ya Allah, ya Allah... (Pnd, 30/5/2013)
2. Doa untuk orang-orang yang dicintai yang masih hidup atau untuk sesama
Tema doa Contoh kutipan
- Kesuksesan di dunia,
- Kesehatan, - Usahanya
lancar, - Tetap dalam
iman, - Diberi
perlindungan
Ya saya serah(-kan) sama Allah ta’ala saya doain. ... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013)
Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
keselamatan di dunia-akhirat
lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. (Gbg, 5/6/2013).
Ama mantu juga emak tetep ngedoain... Iya, emak juga ama mantu, kan namanya Yl, (berdoa), ya Allah mudah-mudahan rumah tanggae sakînah mawaddah wa rohmah, Sn bari Yl, gitu. Cucu emak, Ac bn Ikhs. Emak sih nggak ada dendam sama temen, geh. Demi. .. Apalagi ama anak-mantu. (Gbg, 5/6/2013).
Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka berdoa dalam hati), ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada kawin, selagi saya diumur sama... dikasih umur sama Allah. (Bs, 16/6/2013) Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)
Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013)
Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisi-Nya. (Sgn, 5/6/2013)
- Agar cucunya nanti ingat kepadanya, menyayanginya, dan mampu membalasnya
Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan) saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek. ... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu. (Msn, 16/6/2013)
Kalau.. ya kita didoakan supaya dia ya hidupnya bisa layak gitu aja. Selalu inget sama orang tuanya. (Alm, 6/6/2013)
Ya anu, alhamdulillah ya mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi sama anak, makanya tiap malam kita berdoa itu, ya supaya anak itu ngerti sama orang tua, gitu aja. (Sgn, 12/6/2013)
- Doa untuk teman sesama penghuni atau petugas panti
Ya biar..biar..Tuhan..Tuhan itu apa Tuhan apa ya..pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka. ... Terus supaya ringan penderitaan Est. (Est, 31/5/2013)
Iya, terus..terus itu apa namanya minta kesembuhan ya buat temen-temen ya.. (Est, 31/5/2013)
Buat temen-temen di sini ya. Minta kesembuhan buat suster Endang ya... Terus minta lulus ujian ya sama buat..buat anaknya ya... Anaknya ujian biar lulus ya. Biar nilainya bagus ya. Kalo bisa jadi juara ya... (Est, 31/5/2013)
Kalo berdoa sepotong-sepotong kan gak ada gunanya ya. ... Nanti besok sambung lagi 3 ayat lagi. Gitu. Terus aja saban hari 3 ayat 3 ayat. ... Ee salah satunya E.... pake dalam doa sekarang. ... Misalnya ee ini jadi apa ee lumbung-lumbungmu biar dipenuhi dengan hasil bumi yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
melimpah-limpah. Bejana pemerahanmu meluap dengan buah anggurnya. Dari Amsal. ... Iya dijadiin doa Est. ... biar dikasih rejeki berlimpahan. (Est, 31/5/2013)
- Mendoakan saudara atau orang-orang yang pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah (uang atau barang)
Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan) terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus. Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl. (Est, 31/5/2013).
Iya Est doain, si Wwn sama si Ivn di Amerika. Si Isk supaya kakinya tuh jangan kumat lagi. Supaya sembuh betul-betul. ... Jadi Est sampe sekarang masih doain walaupun Est. dia jalan, setir mobil, beli sepatu buat Est, tapi Est masih doain terus kakinya itu (sembuh). Supaya kalo misalnya ven-nya dicabut atau gimana. Kan supaya bisa jalan... Iya, terus si Mrt sama suaminya. ... Terus suaminya biar bantu keuangan Est. ... Jangan adek terus yang ngongkosin. (Est, 31/5/2013)
Yang ngasih.. Yang mengasih kami dari tangan Tuhan Yesus melalui tangan Tuhan Yesus, semoga mereka sehat wal-afiat.. Usahanya lancar, perjalanannya biar bener.. Biar jangan ada musibah apa-apa di jalan, ya begitu pan? (Kntw, 31/5/2013)
Ya dek, orang tua mah jangan lagi jeh ke anak ya, ke temen ke si adek, ke anak-anak Akper, emak tetep berdoa. Kalau ke anak Akper mudah-mudahan kamu sing pada lulus yah. Kalau udah lulus sing inget orang tua. Orang tua kamu tuh mati-matian mbiayain kamu, ‘iya mak.’ Tapi kata anak-anak Akper, yang embah-embah bisa nasehatin emak doang di sini. Yang laine nggak pernah nasehatin. (Gbg, 5/6/2013)
... Terus bapak juga didoain ama emak, semuah mahasiswa juga didoakeun ama emak. Yang udah pada kenal-kenal ama emak, praktek-praktek di sini, apalagi ama si adek. Hehe kemaren gah ditanyain ama si engkong .... Semua, biar nggak dipintah ama emak didoain. Iya, biar pegawai biar apa didoain ama emak. Kan kata yang ngarti katanya, kalau doa orang tua itu mustajab, gitu katanya. (Gbg, 5/6/2013)
3. Doa untuk orang-orang terdekat yang telah tiada
Tema doa Contoh kutipan
- Agar diampuni segala dosanya,
- Diterima amal ibadahnya,
- Diberi jalan yang terang,
- Dihindarkan dari siksaan
(Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya. (Msn, 16/6/2013)
Kita berdoa... Untuk die.. Die pulang ke sorga. Pan dia ngilangnya pan die pulang ke sorga. ... Ya kita doain... Minta ama Tuhan Yesus.. Di kasih jalan yang terang yang enak.. Diampuni dosanya.. Diampuni kesalahannya.. Apa yang dia berbuat di muka bumi tolonglah minta ampunin.. Dosa-dosanya minta ampunin ama Tuhan Yesus, begitu..
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Berdoanya.. Hei bapak... (Kntw, 31/5/2013)
Ya kita paling berdoanya begini, “Allah Bapak yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.” Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013)
Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013)
Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013)
Ya begitu aja.. Ya kan kita kalaupun kita ingat-ingat yang sebenarnyakan ndak usah juga kan? Selain mendoakan keselamatannya kan? Mudah-mudahan diberi Allah kelapangan kuburnya, lepas dari pada azab kuburan gitu, dilapangkan kubur gitu, diampunkan dosanya.. Ya kan? ... Iya berdoa. Kalau biar nggak inget selalu.. Salalu nggak pernah lupa berdoa. ... Nggak putus-putus berdoa. (Nrn, 27/5/2013)
Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisi-Nya. (Sgn, 5/6/2013)
... Ya mudah-mudahan lah dia (almarhum istri) di sana bisa di tempat disisi-Nya. (Sgn, 12/6/2013)
Berkirim doa Ya doa itu baca bismillah aja.. apa, (surat) al-Fâtihah aja.. Itu 3 kali, Qulhu (surat al-Ikhlâsh) 3 kali, Falaq (surat al-Falaq) 3 kali, Nas (surat an-Nâs) 3 kali. (Alm, 6/6/2013)
E eh. Yang udah nggak ada ya (kirim) al-Fatihah, Nas, Falaq, Qulhu aja. (Alm, 6/6/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.