spiritualitas musik saluang sirompak dalam masyarakat taeh baruah ...
Transcript of spiritualitas musik saluang sirompak dalam masyarakat taeh baruah ...
78
BAB V
SPIRITUALITAS MUSIK SALUANG SIROMPAK
5.1 Sejarah Munculnya Saluang Sirompak
Istilah saluang sirompak, seperti telah disampaikan dalam bab
pendahuluan, terdiri atas dua kata: Saluang dan Sirompak. Boestanoel Arifin
Adam (1980: 97) mengatakan bahwa Sirompak berasal dari kata si dan kata
rompak, si berarti pelaku kegiatan; seperti dalam kata si-pemukul, si-penggesek,
dan si-peniup. Sementara itu rompak maksudnya adalah membuka atau
merompak. Pengertian rompak di sini bukanlah merompak melainkan membuka
hati seseorang yang masih tertutup (dalam kaitan percintaan). Kemudian istilah
Basirompak berasal dari kata ba dan Sirompak, ba berarti melakukan atau
menjalankan, dan Sirompak seperti yang telah disampaikan. Jadi berarti
membuka, Basirompak dapat diartikan sebagai kegiatan spiritualitas yang
menggunakan alat saluang sirompak untuk mengguna-gunai seorang perempuan
agar menjadi ―gila‖.
Latar belakang legenda saluang sirompak di Taeh Baruah berupa kisah
cinta yang tak terbalas seorang pemuda miskin, berpenyakit kulit (kusta), yang
bernama Simbabau. Simbabau jatuh cinta kepada seorang gadis kaya dan cantik
yang bernama Puti Losuang Batu. Besarnya hasrat ingin memiliki Puti Losuang
Batu, maka pada suatu hari Simbabau memberanikan diri untuk menyatakan
keinginannya. Tak diduga, setelah Simbabau menyampaikan hasrat keinginan
kepada Perempuan idaman hatinya, Simbabau ditolak oleh Puti Losuang Batu,
yang terjadi malahan didamprat dengan kata-kata kotor, rendah, hina, dan nista
79
sehingga hatinya tak tertahankan untuk melakukan pembalasan. Dengan perasaan
penuh malu dan kekecewaan yang mendalam, Simbabau pergi meninggalkan Puti
Losuang Batu tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa disadari, malam telah
menjelang dan Simbabau mulai melampiaskan segala kekesalannya dari jeritan
hatinya dengan berpantun.
Pantun yang didendangkan oleh Simbabau, menurut Datuk Mukhtar Ajo
Marajo, merupakan mantra-mantra (Wawancara: 25 Juli 2008). Mantra-mantra
tersebut berupa pemanggilan roh-roh atau setan-setan yang bergentayangan di
sekitarnya. Simbabau, setelah membaca mantra-mantra yang berulang-ulang tanpa
disadari, sampai ia tak sadarkan diri (trance) atau kerawuhan. Di dalam
kerawuhan Simbabau berhasil menjalin kerja sama dengan makhluk halus (roh)
dan setan yang ikut mendengar jeritan batinnya, kemudian mengadakan mufakat
dengan bantuan roh halus dan setan yang memang berniat ingin membantu
Simbabau dalam membalaskan sakit hatinya dengan Puti Losuang Batu.
Makhluk halus yang diajak kerja sama mampu memengaruhi atau
menaklukkan perasaan dan pikiran Puti Losuang Batu. Puti Losuang Batu berada
di luar alam sadar seperti layaknya insan yang normal, seperti tidak terjadi apa
pun dalam dirinya, yang sebenarnya telah dikuasai oleh guna-guna dari Simbabau.
Berdasarkan latar belakang ini, maka jelas saluang sirompak pada saat ini
mengalami penyempurnaan bentuk dan ciri spiritualitas yang ada pada
Basirompak, dengan penambahan-penambahan unsur spiritualitas sesuai dengan
pengaruh ajaran agama yang masuk dan berkembang di wilayah Taeh Baruah.
80
Pantun-pantun yang dilantunkan oleh Simbabau tersebut sekarang
dipergunakan dalam Basirompak sebagai mantra berbentuk pantun yang disajikan
dengan lagu yang disebut dendang. Selain mantra (pantun) yang menjadi pokok
sajian berupa dendang, ada beberapa penambahan agar Basirompak memiliki nilai
spiritualitas. Bentuk tambahan dari Basirompak berupa pembuatan instrumen
saluang sirompak dan gasiang tangkurak dengan berbagai pendukung dalam
pembuatannya, dan sesaji.
Kemunculan Basirompak berawal dari rasa sakit hati oleh pihak laki-laki
yang ditolak dengan kasar dalam niat pinangannya kepada pihak perempuan.
Untuk proses selanjutnya, agar masing-masing elemen dalam Basirompak
memiliki daya atau nilai spiritualitas yang tinggi, diperlukan proses yang cukup
rumit dan sakral termasuk proses persiapan bahan baku saluang sirompak yang
harus disiapkan dengan cara yang unik yaitu dengan cara pencarian bahan baku
oleh seorang bocah yang belum akil balig. Pembuatan nada-nada harus bersamaan
atau bertepatan dengan peristiwa kematian seseorang yang tidak wajar. Hal ini
diyakini oleh pelaku Basirompak sebagai saat yang tepat untuk memasukkan
nilai-nilai spiritualitas yang berkaitan dengan kesaktian/kemujaraban instrumen
tiup tersebut.
Pertunjukan Basirompak memiliki perjalanan sejarah yang begitu panjang,
dimulai dari generasi pertama kira-kira tahun 1870-an. Pengoordinasi pelaku
Basirompak yang ada sekarang adalah Datuk Mukhtar Ajo Marajo (merupakan
generasi ketiga). Apabila Datuk Mukhtar Ajo Marajo berhalangan, tugas tetua
pelaku Basirompak dilimpahkan kepada anaknya yang bernama Sayute. Akan
81
tetapi, setelah di lapangan Sayute bisa saja menunjuk pelaku yang lain untuk
menjadi tetua dalam sajian Basirompak. Basirompak sebagai aktivitas budaya
hanya ditemukan di Desa Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh Sumatera Barat.
Sebagai perbandingan antara Basirompak dan apa yang disebut dengan
Sijundai dapat dikemukakan hal yang berikut. Sijundai pada prinsipnya adalah
suatu usaha seseorang untuk menaklukkan seorang perempuan secara spiritualitas
atas permintaan seorang laki-laki. Dari hasil kegiatan Sijundai, pihak laki-laki
mau menerima perempuan yang diguna-gunai sebagai pasangan hidupnya.
Sementara itu dalam Basirompak perempuan menjadi gila dan pihak laki-laki
tidak mau menjadi pasangan hidupnya. Sementara itu untuk kegiatan Sijundai
hampir seluruh daerah kabupaten di Sumatera Barat banyak orang yang mampu
melakukan. Berbeda dengan jenis Basirompak, meskipun kegunaannya sama
untuk mengguna-gunai seorang perempuan, keberadaannya tidak ditemukan di
daerah lain selain di daerah Taeh Baruah, Kabupaten Payakumbuh, Sumatera
Barat.
Regenerasi pelaku Basirompak, menurut Sayute, tidak selalu kepada si
anak, namun bisa ke cucu, cicit, atau bisa juga keponakannya. Hal ini berarti
bahwa dalam regenerasi sulit untuk dipastikan siapa yang berhak menjadi generasi
berikutnya, karena dalam satu keluarga besar selalu ada kaitan garis keturunan.
Salah satu contoh, pelaku sekarang yang menjadi tetua adalah Datuk Mokhtar Ajo
Marajo, yang secara kebetulan untuk generasi berikutnya adalah anak kandungnya
yang bernama Sayute. Akan tetapi, anak kandung dari Sayute tidak ada yang
menjadi pelaku Basirompak hanya sebagai penari pada saat sajian Sirompak untuk
82
hiburan, justru cucu keponakan Datuk (anak dari Elmizarlis) yang mulai
menampakkan kemampuannya untuk memainkan saluang sirompak (Wawancara
dengan Sayute, tanggal 14 Juni 2013).
5.2 Instrumentasi
Dalam pertunjukan Basirompak instrumentasi terdiri atas instrumen
saluang sirompak, gasiang tangkurak, dan vokal (dendang). Dendang yang di
dalamnya terdapat mantra-mantra merupakan hal yang sangat pokok dalam sajian
Basirompak, meskipun elemen lainnya juga menjadi bagian yang tak dapat
dipisah-pisahkan. Dalam pertunjukan ini, ada perbedaan antara seni pertunjukan
yang disuguhkan untuk hiburan dan pertunjukan yang dimanfaatkan dalam
menghukum seorang perempuan yang dianggap bersalah karena telah menghina
laki-laki yang meminangnya. Untuk lebih jelasnya, berikut disampaikan rincian
instrumentasi yang dimaksud.
5.2.1 Saluang Sirompak
Saluang sirompak adalah sebuah instrumen tiup yang terbuat dari seruas
bambu tipis yang mempunyai ukuran panjang sekitar 76 cm, dan besar lingkaran 9
cm. Saluang ini mempunyai lubang nada sebanyak lima buah yang terletak pada
bagian bawah Saluang. Instrumen ini berupa instrumen tiup tanpa menggunakan
alat bantu/tambah lain untuk menghasilkan bunyi. Pemain Saluang biasanya
memainkan instrumen ini dalam posisi duduk, dan memosisikan Saluang secara
membujur (seperti suling Bali, Jawa, atau Sunda). Adapun jarak-jarak lubang
Saluang dibuat demikian rupa dengan ukuran yang tidak sama. Lubang pertama
83
berjarak 16,5 cm dari lubang bawah; lubang kedua 4,5 cm dari lubang pertama;
lubang ketiga 4,5 cm dari lubang kedua; lubang keempat 4,5 cm dari lubang
ketiga; dan lubang yang terakhir yaitu lubang kelima berjarak kira-kira 29,5 cm
dari lubang bawah, dan terletak di balik lubang pertama, kedua, ketiga, dan
keempat (Ikhwan, 2002:94). Hal ini adalah hasil pengukuran instrumen saluang
oleh peneliti dalam proses wawancara berdasarkan instrumen saluang milik M.
Mukhtar Datuk Ajomarajo (almarhum).
Pembuatan instrumen saluang sirompak melibatkan ritual yang unik dan
bersifat spiritualitas. M. Mukhtar Datuk Ajomarajo mengatakan bahwa proses
ritual spiritualitas ini merupakan langkah-langkah yang mutlak dan tidak boleh
terlambat atau tertinggal salah satu dari persyaratannya. Bambu terbaik untuk
dijadikan saluang sirompak, proses pemberian daya spiritualitas yang berupa
penggarapan, dan pemberian lubang-lubang nada. Setelah bambu tersebut
dipotong oleh pelaku sesuai dengan ukuran panjang saluang sirompak, kemudian
ditentukan jarak lubang sebagai simbol bersemayamnya roh-roh yang
direncanakan untuk menguasai nada-nada yang terdapat pada lubang saluang
sirompak tersebut (Wawancara dengan Sayute dan Erianto, tanggal 14 Juni 2013).
Kekuatan spiritualitas dari nada-nada saluang sirompak bisa dicapai
melalui tahapan peristiwa kematian yang tidak wajar untuk dimanfaatkan dalam
penggarapan kelima lubang-lubang nada saluang sirompak. Setiap lubang dibuat
berdasarkan peristiwa-peristiwa kematian tertentu. Untuk mengetahui bentuk fisik
saluang sirompak lihat gambar berikut.
84
Gambar 5.1 Alat/Instrumen saluang sirompak
(Dokumen: Nil Ikhwan,14 Juni 2013)
Gambar 5.1 adalah instrumen saluang sirompak yang digunakan pada
ritual Basirompak ataupun dalam seni pertunjukan, dan instrumen ini telah ada
sejak generasi pertama. Generasi kedua (Datuk Mukhtar Ajo Marajo, wafat
Tanggal 20 Juni 2011) menceritakan kepada anaknya (generasi ketiga) bahwa
semenjak beliau masih kecil saluang sirompak ini sudah ada (Wawancara dengan
Sayute, 14 Juni 2013).
85
Gambar 5.2 Peneliti dengan Sayute (generasi ketiga)
(Dokumen: Nil Ikhwan, 14 Juni 2013)
Gambar 5.2 adalah Sayute yang merupakan generasi ketiga setelah wafat
ayahandanya, Datuk Mukhtar Ajo Marajo, pada tanggal 20 Juni 2011. Secara
administrasi, kepengurusan dari kelompok saluang sirompak berada di tangan
Sayute, namun pada awal tahun 2013 Sayute menunjuk Erianto untuk mengurus
secara administratif hal yang berkaitan dengan kegiatan saluang sirompak.
Masing-masing lubang pada instrumen itu memiliki sistem atau proses
pembuatan yang berbeda-beda. Perbedaannya terletak pada peristiwa kematian
yang tidak wajar yang berbeda-beda pula. Sistem pembuatan lubang seperti yang
telah disampaikan, yakni dari lubang pertama hingga lubang kelima. Di samping
sistem pembuatan lubang tersebut juga masih ada unsur yang menambah daya
86
spiritualitas instrumen saluang sirompak, yakni dengan menempatkan kemenyan
pada lubang bawah dengan kedalaman sekitar dua centimeter (cm) dari bawah
(luar bagian bawah).
Berikut penentuan pembuatan masing-masing lubang pada saluang
sirompak, dimulai dari pengukuran lubang pertama, diukur dari ujung bawah
saluang dengan jarak kira-kira16,5 cm, lubang kedua dengan jarak 4,5 cm dari
lubang pertama, lubang ketiga dengan jarak 4,5 cm dari lubang kedua, dan lubang
keempat dengan jarak 4,5 cm dari lubang ketiga. Sementara itu, jarak lubang
kelima hampir sejajar (lebih kurang 0,5 cm) dengan lubang keempat, hanya
tempatnya di belakang lubang keempat, dengan jarak dari ujung lubang bawah
kira-kira 29,5 cm.
6
5
4
3
2 29,5 cm
1
16,5 cm
Gambar 5.3 Saluang
87
Keterangan Gambar 5.3:
1 adalah lubang pertama, berjarak 16,5 cm dari ujung bawah.
Nada: a+40 mh atau nada la+40 mh. (lubang tertutup semua);
2 adalah lubang kedua berjarak 4,5 cm dari lubang pertama.
Nada: c1 none + 40 mh atau do 1 none + 40 mh. (lubang terbuka
satu);
3 adalah lubang ketiga berjarak 4,5 cm dari lubang kedua.
Nada: d 1 none + 5 mh atau nada re 1 none + 5 mh. (lubang terbuka
dua);
4 adalah lubang keempat berjarak 4,5 cm dari lubang ketiga.
Nada: e 1 none – 35 mh atau nada mi 1 none – 35 mh. (lubang
terbuka tiga);
5 adalah lubang kelima, kira-kira sejajar dengan lubang keempat atau
kurang 0,5 cm dari lubang keempat dan di belakang,
Nada: f 1 none + 20 mh atau nada fa 1 none + 20 mh. (lubang
terbuka empat);
6 adalah lubang tiup, lubang tiup untuk saluang ini tidak mempunyai alat
bantu seperti layaknya suling yang ada di Jawa dan Bali,
Nada: fis 1 none + 5 mh atau nada fi 1 none + 5 mh. (lima lubang
terbuka semua).
Catatan: none sama dengan scon atau tinggi rendahnya frekuensi dari nada
satu dan nada berikut, seperti nada c dan d yang berbeda sekitar 4,005 none atau
scon, kemudian untuk kelebihan atau kekurangan dari none atau scon dihitung
dengan mega hage (mh), seperti 0,005 disebut mega hage (mh). Saluang sirompak
mempunyai 6 nada pokok yang dalam istilah musik disebut hexa tonic. Peneliti
melakukan pengukuran tingkat ketinggian nada saat ditiup dengan menggunakan
alat Korg milik teman Nil Ikhsan (orang Jerman) pada tanggal 20 Agustus 2008
yang menghasilkan nada-nada: a + 40mh, c lnone + 40mh, d lnone + 5mh, e l
none– 35mh, f l none+ 20mh, dan fis l none+ 5mh, dimulai dari penutupan semua
lubang hingga membuka semua lubang. Perlu disampaikan bahwa nada-nada yang
dihasilkan oleh instrumen saluang sirompak tidak sama dengan nada-nada
88
diatonis ataupun nada-nada pentatonis yang telah ada di Indonesia pada
umumnya, maka dalam pengukuran hasil bunyi disampaikan dengan simbol nada
(f1none+ 20mh), karena realitas bunyi tidak sama persis dengan nada f1none
masih lebih tinggi sekitar 20 mh (ukuran nada). Seperti pegukuran frekuensi nada
yang terdapat pada http://afikriakbarhofa.blogspot.com/2012/02/menghitungnilai-
frekuensi-nada-nada.html disampaikan dalam bentuk tabel dari frekuensi terendah
hingga frekuensi tertinggi. Frekuensi terendah dari nada adalah c oktaf pertama
atau ke-1 yaitu 32,703 hz dan frekuensi tertinggi adalah b oktaf ke-7 adalah
3951,1 hz. Jadi, yang dimaksud dalam pengukuran nada saluang sirompak pada
a+40 mh adalah oktaf ke-4 nada a = 440 hz+40 mh, c l none + 40 mh = 523.25
hz+40 mh; jadi jika digabung dalam jumlah frekuensi menjadi 523 hz+65 mh.
Untuk nada d l none + 5 mh adalah dengan frekuensi nada d oktaf ke-5 dengan
tinggi nada 587.33, yang berarti jika digabung menjadi 587 hz + 38 mh. Nada e l
none – 35 mh, dimaksudkan oktaf ke-5 nada e dengan frekuensi 659.26 - 35 mh,
jika digabung tinggi frekuensinya = 658 hz 91 mh. Nada f l none + 20 mh, adalah
nada f oktaf ke 5 dengan frekuensi 698.46 + 20 mh, jika digabung tinggi frekuensi
nadanya menjadi 698 hz lebih 66 mh. Sementara itu nada fis l none + 5 mh sama
dengan nada f# + 5 mh adalah f# = 739.99 hz + 5 mh, yang berarti jika digabung
tinggi nada fis dalam saluang sirompak menjadi 740 hz lebih 0,04 mh. Untuk
lebih jelasnya, nada-nada saluang sirompak dalam oktaf sedang dan oktaf tinggi
(satu oktaf lebih tinggi) disampaikan dalam tabel sebagai berikut.
89
Tabel 5.1
Frekuensi Nada Saluang Sirompak
Oktaf FREKUENSI NADA (HZ)
a C d E F f#
Sedang 440,40 523,65 587,38 658,91 698,66 740,04
Tinggi 880,40 1046,45 1175.2 1317,7 1397.4 1480,5
Dalam tabel 5.1 di atas tampak tinggi nada atau frekuensi nada dalam saluang
sirompak yang telah dijumlahkan dengan frekuensi nada yang ada dalam
pengukuran frekuensi nada di:
http://afikriakbarhofa.blogspot.com/2012/02/menghitungnilai-frekuensi-nada-
nada.html
Pengukuran nada saluang sirompak juga dilakukan ulang pada 14 Juni
2013 oleh peneliti dengan menggunakan alat ―Tunner gstrings-Vl.0.12‖ salah satu
program yang ada pada IPhone. Hasil dari pengukuran tersebut memperlihatkan
dua motif tiupan, yaitu tiupan rendah dan tiupan tinggi atau dalam dua oktaf saja.
Nada-nada hasil tiupan saluang sirompak ternyata tidak bisa stabil karena
kekuatan tiupan dalam tiap nadanya memunculkan perbedaan yang menghasilkan
selisih beberapa mega hage (mh), sehingga dalam pengukuran ulang yang peneliti
lakukan terdapat rentangan antara terkuat dan terlemah dalam tiupan setiap nada.
Hasil pengukuran ulang saluang sirompak dapat diuraikan sebagai berikut.
Tiupan rendah/sedang pada saluang sirompak menghasilkan nada sebagai berikut:
90
1) Lubang bunyi tertutup semua dengan tiupan rendah menghasilkan nada
a+30 sampai dengan a+40 atau 440,30 hz hingga 440,40 hz.
2) Lubang bunyi terbuka satu dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara c1+30 mh sampai c 1+ 40 mh atau 523.55 hz sampai 523,65 hz.
3) Lubang bunyi terbuka dua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara d1 sampai d1 + 5 mh atau 586,62 hz sampai587,38 hz.
4) Lubang bunyi terbuka tiga dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara e1 – 25 mh sampai e1 – 35 mh atau 658,71 hz sampai 658,91 hz.
5) Lubang bunyi terbuka empat dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara f1 + 10 mh sampai f 1 + 20 mh atau 698,56 hz sampai 698,66 hz.
6) Lubang bunyi terbuka semua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara fis 1 - 5 mh sampai fis 1 + 5 mh atau 739,04 hz sampai 740,04 hz.
Jadi, yang dimaksud mh di sini adalah hz di belakang koma (,) seperti 740,04 hz
adalah 740 hz + 0,04 mh, dan rentangan antara tiupan kuat dan lemah rata-rata
0,10 mh atau 0,1 hz.
Untuk tiupan tinggi menghasilkan frekuensi sebagai berikut:
1) Lubang bunyi tertutup semua dengan tiupan rendah menghasilkan nada
a+30 sampai dengan a+40 atau 880,30 hz hingga 880,40 hz.
2) Lubang bunyi terbuka satu dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara c1+30 mh sampai c 1+ 40 mh atau 1046,35 hz sampai 1046,45 hz.
3) Lubang bunyi terbuka dua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara d1 sampai d1 + 5 mh atau 1174.7 hz sampai 1175.2 hz.
91
4) Lubang bunyi terbuka tiga dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara e1 – 25 mh sampai e1 – 35 mh atau 1317,5 hz sampai 1317,7 hz.
5) Lubang bunyi terbuka empat dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara f1 + 10 mh sampai f 1 + 20 mh atau 1397.3 hz sampai 1397.4 hz.
6) Lubang bunyi terbuka semua dengan tiupan rendah menghasilkan bunyi
antara fis 1 - 5 mh sampai fis 1 + 5 mh atau 1479,5 hz sampai 1480,5 hz.
Dari hasil pengukuran ulang yang dilakukan, hasilnya berupa jumlah frekuensi,
seperti yang telah terinci dan disampaikan di atas.
Proses pembuatan saluang sirompak yang melibatkan peristiwa budaya, di
samping cara penyiapan bahan juga dalam pembuatan lubang yang membutuhkan
peristiwa kematian dalam setiap lubangnya. Nama-nama orang yang meninggal
dan menjadi bagian proses pembuatan lubang sering kali tidak dapat
teridentifikasi dengan jelas. Hal ini karena kerap nama orang meninggal tidak
dikenal karena tinggal di daerah lain, peristiwa kematiannya menjadi hal yang
lebih dipentingkan daripada nama orangnya. Dalam prosesi pembuatan tiap
lubang tersebut digunakan mantra-mantra khusus yang berupa ayat-ayat
pemanggil jin. Penguasaan pembacaan ayat-ayat ini hanya dimiliki oleh si pelaku
dengan aturan dan konsekuensi yang mereka yakini sebelumnya. Dengan
demikian, penulisan ayat-ayat khusus ini juga tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang dengan bermacam maksud dan tujuan. Peneliti mengakui juga
mendapat kesulitan untuk dapat mengetahui ayat-ayat khusus tersebut karena
masyarakat memahaminya sebagai kearifan lokal terkait simbol-simbol penilaian
moral dan etika. Simbol-simbol semacam ini bersifat tertutup dan meruang waktu
92
pada lingkup lokal masyarakat penggunanya. Terkait dengan hasil nada yang
dihasilkan, peneliti mengukurnya dengan menggunakan alat korg. Hal itu terurai
sebagai berikut.
1) Lubang pertama
Lubang pertama dapat digarap oleh pelaku setelah terjadinya satu
peristiwa kematian yang tidak wajar seorang penduduk setempat atau dari daerah
tetangga di sekitarnya, seperti bunuh diri melalui gantung diri. Nama yang
meninggal tidak dapat diinventarisasi karena meliputi daerah lain, juga dalam
kurun waktu yang tidak dapat dipastikan oleh si pelaku sendiri. Tanpa menunda
waktu yang ada, sang pelaku segera melakukan penggarapan lubang pertama
sambil membacakan mantra-mantra khusus yang berupa ayat-ayat pemanggil jin
(Ikhwan, 2002:95).
Dalam penggarapan lubang pertama, Sayute menyatakan bahwa setelah
terjadinya suatu kematian tidak wajar ritual dilakukan atas keyakinan pelaku
sirompak pada waktu seperti ini (ketika peristiwa bunuh diri terjadi) bahwa jin
dan setan bergentayangan di sekitar mayat, sehingga memudahkan si pelaku
melakukan komunikasi dengan mereka. Di samping itu, pelaku meyakini bahwa
arwah mayat tersebut masih berada di sekitarnya atau rumah mayat (Wawancara:
14 Juni 2013).
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pelaku dalam membantu
menyelesaikan hasratnya, yaitu Basirompak. Inti dari komunikasi antara pelaku
dan jin dan roh adalah pelaku berusaha untuk menempatkan pengaruh kekuatan
dari jin dan roh arwah ke dalam lubang pertama sebagai wilayah bunyi/nada
93
kekuasaannya untuk memengaruhi siapa saja yang akan dijadikan target
permainan Sirompak (diguna-gunai). Lubang pertama ini menghasilkan nada a +
40 mh atau la + 40mh atau 440,40 hz jika ditiup dan ditutup semua lubang, dengan
penunggu yang disebut dengan nama Simambau Hitam.
2) Lubang kedua
Pembuatan lubang kedua dapat dilakukan pada waktu ada seorang ibu
yang meninggal ketika melahirkan. Pencatatan nama si ibu yang meninggal juga
tidak dapat dilakukan karena kadang-kadang si pelaku tidak mengenal secara pasti
namanya, tetapi hanya peristiwa meninggal ketika melahirkannya yang pelaku
ketahui (Ikhwan, 2002:96). Para setan sangat berperan untuk memengaruhi
keluarga yang ditinggalkan agar selalu dalam suasana sedih. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengajak jin bekerja sama dalam kegiatannya
nanti, yaitu dengan menempatkan pengaruh kekuatan jin dan roh arwah tersebut
pada nada kedua sebagai daerah kekuasaanya yang bertujuan untuk
menyampaikan nilai-nilai sedih pada objek yang akan dikenai melalui sirompak.
Sama seperti halnya proses pembuatan lubang pertama, pencatatan prosesi secara
lengkap (termasuk pencatatan ayat-ayat sebagai mantra khusus) tidak dapat
dilakukan karena terkait dengan sistem kepercayaan dan nilai etik masyarakat
yang masih kuat dipegang. Bunyi nada yang dihasilkan d 1 none + 5 mh atau nada
re 1 none + 5 mh atau 523,65 hz jika ditiup dan dibuka satu lubang paling bawah,
penunggu Simambau Merah (Sirah).
94
3) Lubang ketiga
Pembuatan lubang ketiga dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan. Hal ini
diyakini sebagai peristiwa yang juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jin dan
setan yang berpengaruh mengatur emosi dari kedua belah pihak yang bertikai,
sehingga terjadilah pembuhuhan itu. Emosi marah dan perasaan ingin membunuh
merupakan sasaran utama yang diciptakan oleh jin dan setan. Pelaku beranggapan
bahwa jin dan setan ini sangat pintar dalam mengendalikan emosi jiwa seseorang.
Kematian dari seseorang dianggap suatu hal yang dapat mematikan hati seseorang
terhadap orang lain, dan hanya dapat berguna untuk orang yang dituju dalam
sirompak. Hal ini berarti bahwa pada lubang ketiga tersebut bersemayam kekuatan
jin dan roh arwah manusia yang terbunuh, sehingga mampu mengendalikan emosi
calon dari Basirompak (Ikhwan, 2002:97). Nada bunyi yang dihasilkan e 1 none –
35 mh (mi 1 none – 35 mh) atau 587,38 hz jika ditiup dan dibuka dua lubang di
bawahnya, penunggu Simambau Tungga.
4) Lubang keempat
Kematian akibat perkelahian antara dua orang jawara merupakan
peristiwa yang ditunggu-tunggu untuk pembuatan lubang keempat. Dalam
peristiwa perkelahian ini biasanya kedua belah pihak berusaha ingin menang
dengan menghalalkan segala cara untuk menundukkan lawan. Menurut pandangan
pelaku Basirompak, alam pikiran, emosi, dan kondisi mereka pada saat itu
sepenuhnya telah dikuasai oleh jin yang merasuk ke dalam alam pikiran, dan
mengatur emosinya. Jin pada waktu merasuk dalam alam pikiran dianggap
mempunyai satu kemampuan yang tinggi dalam memengaruhi kedua insan
95
tersebut. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku Basirompak untuk menjalin kerja sama
dengan jin dalam penempatan daerah kekuasaannya pada lubang keempat bersama
roh arwah orang yang kalah dari perkelahian jawara tersebut (Ikhwan, 2002:98).
Nada Bunyi yang dihasilkan f 1 none + 20 mh (2/re 1 none + 20 mh) atau 658,91
hz jika ditiup dan dibuka tiga lubang di bawahnya, penunggu Simambau Barantai.
5) Lubang kelima
Kematian akibat kecelakaan alam (mati terseret air atau tenggelam) adalah
peristiwa yang dinantikan untuk penggarapan lubang kelima dari saluang
sirompak. Kematian seperti ini dianggap sebagai sebuah kematian yang tidak
wajar. Roh mayat pada saat itu dianggap masih bergentayangan dan
membutuhkan pertolongan dari orang lain yang masih hidup. Kesempatan seperti
ini dimanfaatkan oleh si pelaku dan dijadikan sebagai pesuruh untuk menghuni
lubang kelima bersama jin pada saluang sirompak (Ikhwan, 2002:98). Nada yang
dimunculkan nada fis 1 none + 5 mh atau nada fi 1 none + 5 mh atau 698,66 hz
jika ditiup dan dibuka empat lubang lainnya, dengan penunggu Simambau Putih.
Berdasarkan lima peristiwa kematian yang ditunggu oleh pelaku
Basirompak, Datuk Mukhtar Ajo Marajo menyatakan bahwa pada instrumen
saluang sirompak tersebut telah ditempatkan roh-roh arwah dari orang yang telah
mati dan jin, yang setiap saat saluang sirompak dimanfaatkan dalam Basirompak
karena telah memiliki daya spiritualitas. Adapun untuk mempertahankan
keberadaan roh dan jin yang menunggu pada masing-masing lubang, telah
disediakan sesaji yang berupa kemenyan yang dibakar, lelehan dari pembakaran
kemenyan diteteskan pada lubang saluang sirompak di bagian bawah. Saluang
96
sirompak ini kemudian disimpan di tempat yang aman, terhindar dari jangkauan
orang yang ingin meniup atau iseng untuk memainkan instrumen atau yang ingin
memilikinya (Wawancara: 25 Juli 2008).
6) Teknik permainan saluang sirompak
Nada-nada yang dihasilkan dari masing-masing lubang tergantung pada
keras atau lembutnya tiupan. Setiap lubang memiliki dua suara nada apabila
dalam peniupan berbeda, misalnya untuk tiupan sedang dengan lubang tertutup
semua menghasilkan suara nada a+40 mh atau nada la+40 mh atau 440,40 hz,
kemudian apabila ditiup keras akan menghasilkan nada yang sama dengan jarak
satu oktaf lebih tinggi kira-kira 880,40 hz. Dari susunan lubang yang ada dengan
tiupan sedang mengahasilkan nada-nada a + 40 mh, c l none + 40 mh, d l none +
5 mh, e l none – 35 mh, f l none + 20 mh, dan fis l none + 5 mh. Untuk lebih
jelasnya, berikut disampaikan teknik tutupan dan nada yang dihasilkan:
1) Lubang tertutup semua menghasilkan suara nada a+40 mh atau nada
la+40 mh atau 440,40 hz atau 440 hz lebih 40 mh.
2) Lubang pertama (paling bawah) terbuka menghasilkan nada c1 none + 40
mh atau do 1 none + 40 mh atau523,65 hz atau 523 hz lebih 65 mh.
3) Lubang kedua terbuka menghasilkan nada d 1 none + 5 mh atau nada re 1
none + 5 mh 587,38 hz atau 587 hz lebih 38 mh.
4) Lubang ketiga terbuka menghasilkan nada e 1 none – 35 mh atau nada mi
1 none – 35 mh 658,91 hz atau 658 hz lebih 91 mh.
5) Lubang keempat terbuka menghasilkan nada f 1 none + 20 mh atau nada
fa 1 none + 20 mh 698,66 hz atau 698 hz lebih 66 mh.
6) Lubang kelima terbuka semua menghasilkan nada fis 1 none + 5 mh atau
nada fis 1 none + 5 mh atau 740,04 hz atau 740 hz lebih 0,4 mh.
Untuk tiupan keras, semua nada yang dihasilkan sama dengan nada yang
dihasilkan dengan tiupan sedang, namun hasil suara satu oktaf lebih tinggi.
97
5.2.2 Gasiang tangkurak
Gasiang tangkurak (gasing tengkorak) adalah sejenis instrumen yang
berbentuk bulat lonjong (Ikhwan, 2002:107). Bahan dasar dari pembuatan gasiang
tangkurak adalah tulang yang diambil dari kening orang yang telah meninggal,
terutama orang yang meninggal tersebut memiliki ilmu kebatinan tinggi atau
teguh menjalankan nilai-nilai syari‘at agama Islam semasa hidupnya.
Pengambilan dilakukan setelah seratus hari penguburan oleh salah satu dari
pelaku Basirompak tanpa bantuan orang lain. Bagian yang diambil adalah kening
dari tengkorak mayat dengan menggunakan sebilah belati. Tulang kening
dianggap sebagai bagian terbaik dari orang tersebut, karena terkait dengan
kepercayaan bahwa tulang kening sebagai tempat atau simbol kualitas hidup
seseorang. Terlebih lagi jika syarat tulang kering tersebut adalah orang yang
memiliki ilmu kebatinan tinggi atau teguh menjalankan nilai-nilai syari‘at agama
Islam semasa hidupnya. Kemudian setelah berhasil diambil dari liang kubur,
bagian kening tengkorak digantung di atas pohon yang cukup tinggi, dengan
tujuan agar tidak diketahui orang lain. Proses berikutnya selama tujuh kali setiap
malam Jumat, kening tengkorak tersebut diambil dan diasapi dengan kemenyan
yang disertai dengan doa-doa si pelaku agar nilai spiritualitas tetap terjaga.
Setelah proses pengasapan dengan kemenyan, kening tengkorak dikembalikan
pada pohon (tempat semula). Setelah tujuh kali pengasapan dengan kemenyan
setiap malam Jumat dengan berturut-turut tanpa sela, malam Jumat terakhir
merupakan proses pembuatan gasing (gasiang) dari kening tengkorak hingga
proses pemberian tali pengikat gasing dari bahan benang pincono atau dari bahan
98
tali kafan pengikat bagian kepala atau bagian kaki mayat. Proses pengasapan
dengan kemenyan tidak dibenarkan ada yang tertinggal atau tertunda sekalipun
apalagi beberapa kali, karena diyakini bisa berdampak pada hilangnya atau tidak
bermanfaatnya gasiang tangkorak saat digunakan (Wawancara dengan Erianto, 27
Juli 2008).
Seluruh proses pengambilan, prosesi, ataupun pembuatan gasiang
tangkorak dilakukan secara rahasia (tidak dipublikasikan). Namun, apabila
seseorang mengetahui akan adanya proses tersebut maka ia diperbolehkan
mengikuti prosesi. Sejauh ini sangat jarang ritual tersebut diketahui oleh umum
sehingga dapat ditonton oleh orang banyak, hanya sebagian kecil orang yang
mengetahui dan boleh mengikutinya. Hal ini pada akhirnya terkait dengan gejolak
masyarakat yang berhasil dieliminasi jika mengetahui adanya prosesi ritual
Basirompak. Masyarakat jarang mengetahui adanya prosesi ini secara langsung,
termasuk sebagian masyarakat tidak mengetahui jika barang kali salah seorang
anggota keluarganya yang telah meninggal diambil tulang kening tengkoraknya
untuk pembuatan gasiang tangkurak. Masyarakat kebanyakan meyakini tidak
akan ada orang yang membuka lagi jenazah yang telah dikubur, apalagi hanya
untuk kepentingan memastikan pembuatan gasiang tangkurak. Dalam konteks
yang lebih luas, masyarakat mempunyai pandangan sebab akibat, basabab kok
bakarano, tidak ada suatu hal dilakukan jika tidak ada penyebab sebelumnya.
Cara pembuatan dari gasiang tangkurak dibuat dalam bentuk kembar siam
di tengah-tengahnya diberi dua buah lubang tempat memasukkan benang tujuh
warna yang telah dijalin menjadi satu untaian. Dalam sebutan masyarakat
99
setempat benang tujuh warna (ragam) tersebut dikenal dengan nama banang
pincono. Benang ini dapat diganti dengan tali yang lain yaitu berupa tali pengikat
mayat yang terdapat di bagian kepala atau bagian kaki. Pengambilannya dapat
dilakukan pada saat mayat telah dimasukkan ke dalam liang kubur. Satu kebiasaan
dalam upacara penguburan mayat di Minangkabau adalah saat mayat akan
dimasukkan ke dalam liang kubur tali pengikat yang ada pada bagian kepala dan
kaki dilepas. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku atau orang suruhan untuk
mengambil tali tersebut demi keperluan sang pelaku (Ikhwan, 2002:107).
Jarak antara satu lubang dan lubang berikutnya dalam gasiang tangkurak
berkisar antara 0,5 cm hingga 1 cm, dibuat secara vertikal antara lubang atas dan
lubang bawah pada pertengahan gasiang tangkurak. Panjang tali benang tujuh
ragam itu diperkirakan antara 95 cm hingga 100 cm. Setelah tali benang tersebut
dimasukkan ke dalam lubang, maka kedua ujung benang diikat ujung satu dengan
ujung lainnya. Ukuran panjang dari gasiang tangkurak dapat dibayangkan dari
besarnya tulang kening manusia dewasa, kira-kira sekitar 14 cm panjangnya, dan
lebar 8 cm (Ikhwan, 2002:108).Tidak berbeda dengan saluang sirompak, setelah
proses spiritualitas terlaksana, benda tersebut disimpan pada suatu tempat yang
aman, dan dijauhkan dari jangkauan orang yang ingin mengetahui asal usul gasing
tengkorak, atau mencoba memainkannya bahkan memilikinya (Wawancara: 28
Juli 2008). Untuk mengetahui fisik gasiang tangkurak tersebut perhatikan gambar
berikut.
100
Gambar/Photo 5.4 Replika Gasiang Tangkurak
(Dokumen: Nil Ikhwan, Juli 2008)
Gambar 5.4 adalah isntrumen duplikat gasiang tangkurak, cara
pembunyiannya ditarik di antara pucuk/ujung dua utas tali hingga berputar-putar,
dari bunyi yang dihasilkan gasiang tangkurak itu bertujuan untuk merusak saraf
otak besar dan otak kecil.
5.3 Bentuk Sajian
Dalam sajian saluang sirompak tidak dapat dipisahkan antara sajian yang
sifatnya estetis dan sajian yang sifatnya religius, yaitu sajian instrumen-instrumen
yang digunakan dalam saluang sirompak dan dibarengi dengan dendang yang
berupa mantram (mantra pokok) ataupun bunga mantra (tidak pokok) ini termasuk
sajian yang memiliki nilai estetis, sedangkan kelengkapan lain dalam sajian yang
101
tidak mungkin ketinggalan adalah sesaji. Berdasarkan uraian tersebut dapat diurai
hal sebagai berikut.
5.3.1 Dendang
Dalam penyajian teks lagu ditemukan pembentukan jalinan nada-nada
yang membentuk kalimat-kalimat lagu musik, yang ditentukan oleh banyaknya
teks-teks lagu yang diucapkan saat pertunjukan berlangsung. Teks-teks ini berupa
mantra yang keberadaannya telah tersusun dengan rapi yang mempunyai struktur
baku dari zaman dahulu hingga sekarang. Jalinan nada tersebut dikenal dengan
istilah melodi. Melodi ini akan berakhir setelah satu ide teks disampaikan, satu ide
teks terdiri atas satu bait syair. Dalam satu bait terdapat pemakaian kalimat lagu,
ataupun musik antara empat hingga tujuh baris kalimat. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa dendang merupakan perpaduan antara teks-teks lagu yang berupa
mantra-mantra dengan mengikuti garis-garis melodi yang disampaikan oleh
pendendang (Ikhwan, 2002:109-110).
Pendendang diperankan oleh seorang anggota dari grup sirompak tersebut,
yang ditunjuk oleh ketua kelompok (penghulu). Pelaku dendang (pendendang)
duduk di samping saluang sirompak dengan menundukkan kepala, yang bertujuan
agar dapat berkonsentrasi penuh dalam menyampaikan teks lagu yang dibawakan,
dan menyatukan pikiran dengan pelaku (pelaku) dari Basirompak. Berdasarkan
atas ungkapan syair yang dibawakan dapat dikatakan bahwa teks-teks tersebut
merupakan mantra-mantra yang ditujukan kepada sasaran. Kehadiran dari
penyampaian dendang ini melalui proses setelah pelaku (pelaku) bersorak ke arah
atas, yang kemudian disambut oleh pemain saluang sirompak dengan memainkan
102
melodi dalam beberapa frasa. Sajian selanjutnya, antara pendendang dan penyaji
saluang sirompak saling menjalin kerjasama dalam konteks menyelaraskan nada-
nada. Tujuan dari jalinan kerja sama untuk berkonsentrasi menyatukan pikiran
pada tujuan semula (Basirompak) (Ikhwan, 2002:110). Hal ini terlihat dari
kekompakan yang mereka capai saat pertunjukan berlangsung dengan menyatukan
alam pikiran, tingkah laku, jiwa, dan raga dalam lingkup Basirompak sebagai
kegiatan spiritualitas (Wawancara dengan Sayute, 26 Juli 2008 yang ditekankan
lagi pada wawancara tanggal 14 Juni 2013).
Teks yang didendangkan untuk mantra dalam ritual Basirompak berbentuk
pantun yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian bunga mantra dan mantra pokok
seperti uraian berikut, sesuai dengan yang dikatakan oleh Sayute, pendendang
dalam ritual Basirompak.
Matrik, 5.1
Teks Bagian Bungo Mantra
No Syair (1) Arti Bebas (2)
1. Alu tataruang patah tigo
Alu tatumbuak pada tabiang
Den baluik luko jo kapeh
Indak den malu samalu nangko
Arang tacoreang pado kaniang
Alu tertarung patah tiga
Alu tertumbuk pada tebing
Saya balut luka dengan kapas
Tidak saya malu semalu ini
Arang tercoreng di kening
2. Kakak denai si Ui Bali
Da'ulu engkau nan tuo
Sakarang aku nan tuo
Angkau ka den suruah sarayo
Mancari Simambau Putiah
Duo jo Simambau Hitam,
Tigo jo Simambau Sirah
Kakak saya si Ui Bali
Dahulu engkau yang tua
Sekarang aku yang tua
Engkau saya suruh saya perintah
Mencari Simambau Putih
Dua Simambau Hitam,
Tiga Simambau Merah
3. Nan den huni tanjuang nan tujuah
Sampai ka Rawang Bancah Dalam
Nak den masuak ka dalam tubuah
Jantuang den huni siang dan malam
Yang saya huni tanjung yang tujuh
Sampai ke Rawang Bancah Dalam
Nak saya masuk ke dalam tubuh
Jantung saya huni siang dan malam
(Sumber: Nil Ikhwan, 2002:208)
103
(1) (2)
4. Nan pincono panjang duo heto
Den randang bareh sipuluik
Kok tak namuah adiak den bao
Nan sijundai datang manjapuik
Banang tujuh ragam panjang dua hasta
Akan saya rendang beras pulut
Kalau tak mau adik saya bawa
Yang "sijundai‖ datang menjemput
5. Simambau pai balayia
Mambawo ragi dalam lipatan
Kok tak lalu dandang di aia
Di gurun den tanjakkan
Simambau pergi berlayar
Membawa "ragi" dalam lipatan
Kalau tak lalu "dandang" di air
Di gurun saya tanjakkan
6. Sipasan baranak putiah
Jatuah ka lapiak duo tigo
Abih sampan ganti jo upiah
Namun pulau dijalang juo
Lipan beranak putih
Jatuh ke tikar dua tiga
Habis perahu ganti dengan "upih"
Namun pulau dijelang juga
7. Kubu Gadang jo Dalam Koto
Parik Dalam sawah satumpak
Pado diseso iko juo
Elok ka tanjuang Basirompak
Kubu Besar dengan Dalam Koto
Parit Dalam sawah sepetak
(Dari) Pada disiksa ini juga
Elok ke tanjuang bersirompak
8. Gasiang denai gasiang tangkurak
Ka den bari banang pincono
Nan kok lalok bawolah togak
Bawo ka muko badan ambo
Gasing saya gasing tengkorak
Akan saya beri benang "pincono"
Yang jika lelap bawalah tegak
Bawa ke muka badan saya
9. Taeh Baruah Kotonyo tigo
Tampak nan dari Gunuang Bungsu
Tibo di darah ka den timbo
Tibo di jantuang ka den putuih
Taeh Baruah Kotanya tiga
Tampak yang dari Gunung Bungsu
Tiba di darah akan saya timba
Tiba di Jantuang akan saya putus
10. Hati jo jantuang alah sakato
Kok jatuah basopiah-sopiah
Nan dijopuk kok tak tabawo
Mambang ka konai sumpah sotia
Hati dengan jantung telah sepakat
Jika jatuh berserpih-serpih
Yang dijemput tidak terbawa
Mambang akan kena sumpah setia
11. Di lauik baaia masin
Abih sampan ganti jo upiah
Lauk lah lamo dipacamin
Tagah balaia balun buliah
Di laut berair asin
Habis perahu ganti dengan "upiah"
Laut telah lama dijadikan cermin
Karena berlayar belum boleh
12. Nan taserak ka dikumpuakan
Nan taicia dipilih juo
Rindu lah lamo ditangguangkan
Rambuik tagerai tampak juo
Yang terserak akan dikumpulkan
Yang tercecer dipilih juga
Rindu sudah lama ditanggungkan
Rambut tergerai tampak jua
13. Ka langik manjamua padi
Ditumbuak badikik-dikik
Kok tak dapek nan dicinto hati
Tiok bulu manangguang sakik
Ke langit menjemur padi
Ditumbuk "badikik-dikik"
Jika tak dapat yang dicinta hati
Setiap bulu manangguang sakit
14. Ramo-ramo di ateh atok
Turun manyosok bungo pudiang
Kok mato dapek den pokok
Hati jo apo ka den dindiang
Rama-rama di atas atap
Turun menghisap bunga "pudiang"
Jika mata dapat saya tutup
Hati dengan apa akan saya dinding
104
(1) (2)
15. Ikan banamo sari aman
Panggang nan jauh dari api
Adiak den sangko ka pamenan
Kiro manjadi racun hati
Ikan bernama sari aman
Panggang yang jauh dari api
Adik saya sangka akan (jadi)
permainan
Kira(nya) menjadi racun hati
16. Kok kapeh bialah kapeh
Kok bonang tongah duo heto
Kok lopeh bialah lopeh
Kok tobang tali den helo
Kok kapas biarlah kapas
Kok Benang (panjang) dua hasta
Kok lepas biarlah lepas
Kok terbang tali saya tarik
17. Luruih jalan di tanjuang joriang
Nan ka suok ka Parak Juo
Tabayang adiak dalam piriang
Tiok manyuok tampak juo
Lurus jalan di Tanjung Jariang
Yang ke kanan ke Parak Jua
Terbayang adik dalam piring
Tiap menyuap tampak jua
18. Kikih dimalah ko nan tabang
Duo jo anak tiuang lampai
Sisiak dimalah ko nan malang
Tiok bagantuang tagurajai
"Kikih" manalah ini yang terbang
Dua dengan anak "tiung lampai"
Sirip manalah ni yang malang
Tiap bergantung "tagurajai"
19. Anak urang di Luak Anyia
Nan ka balai di hari patang
Dek iduik talampau pikia
Tingga kulik pambaluik tulang
Anak orang di Luhak Anyia
Yang ke balai di hari sore
Karena hidup terlampau pikir
Tinggal (lah) kulit pembalut tulang
20. Ka parak tanamlah jaguang
Ambiaklah buah sado nan mudo
Sapasai-pasai dek bagontuang
Dek adiak bagajaian juo
Ke ladang tanamlah jagung
Ambillah buah semua yang muda
Sepuas-puas karena bergantung
Karena adik "bagajaian" jua
21. Kok basayok tabang ka gunuang
Tiok tanjuang alah den jajak
Adiak tabayang dalam jantuang
Aia mato kakoriang indak
Kok bersayap terbang ke gunung
Tiap tanjung saya jajak
Adik terbayang dalam jantung
Air mata akan kekering tidak
22. Ka pondok bawolah lado
Lah kombang bungo ambocang
Pado bakariang aia mato
Eloklah dipanggialah Simambau
Ke gubuk bawalah lada
Sudah bunga bunga "ambacang"
(Dari) Pada kering air mata
Eloklah dipanggil Simambau
23. Adiak mandi denai manyauak
Nak samo basa-basa
Adiak mati denai mangamuak
Nak samo bakalang tanah
Adik mandi saya menyauk
Supaya sama basah-basah
Adik mati saya mengamuk
Supaya sama berkalang tanah
24. Jirak jilatang dalam rimbo
Sarai badaun molah dulu
Tulak balakang molah kita
Carai batuan molah dulu
"Jirak jilatang" dalam rimba
Serai berdauan malah dulu
Tolak belakang malah kita
Cerai bertuanmalah dulu
105
(1) (2)
25. Ayam kuriak rambaian taduang
Ikua manjelo masuak padi
Jo tampuruang borilah makan
Dalam daerah tujuah kampuang
Tuan surang nan cinto hati
Nan lain buliah den haramkan
Ayam kurik rambayan tadung
Ekor menjurai masuk padi
Dengan tempurung berilah makan
Dalam daerah tujuh kampung
Tuam seorang yang cinta hati
Yang lain boleh diharamkan
26. Itiak baronang dalam tobek
Ayam baronak ateh banto
Tuan tagomang lai bajawek
Denai tagomang lopeh sajo
Itik berenang dalam kolam
Ayam beranak (di) atas (daun) "banto"
Tuan tergemang ada berjawat
Saya tergemang lepas saja
27. Nan lah masak rambai nan manih
Nan tak mungkin mudo lai
Nan lah bongkak mato manangih
Nan tak mungkin basuo lai
Yang sudah masak rambai yang manis
Yang tak mungkin muda lagi
Yang sudah bengkak mata menangis
Yang tak mungkin bersua lagi
28. Nan dek pandai denai baladang
Nan saparak pisang manih
Nan dek pandai denai batenggang
Muluik galak hati manangih
Yang karena pandai saya berladang
Yang sekebun pisang manis
Yang karena pandai saya bertenggang
Mulut ketawa hati menangis
29. Nan kok mati anjiang paburu
Den kubua di padang data
Di sinan aua den andaikan
Kok mati adiak da'ulu
Nantikan denai di Padang Masya
Di situ sayang den sampaikan
Yang karena mati anjing pemburu
Saya kubur di padang datar
Di situ aur saya andaikan (tandakan)
Jika mati adik dahulu
Nantikan saya di Padang Masyar
Di situ sayang saya sampaikan
30. Manangih sapanjang jalan
Mamakiak sampai ka gunuang
Nan bak mambilang kayu mati
Tuan kanduang jopuiklah badan
Sakik nan tido tatangguangkan
Raso ka putuih rangkai ati
Menangis sepanjang jalan
Memekik sampai ke gunung
Yang bak membilang kayu mati
Tuan kandung jemputlah badan
Sakit yang tidak tertanggungkan
Rasa akan putus rangkai hati
31. Manari dibawo togak
Diambuih Saluang jo buluahnyo
Pamanggia dagang nak pulang
Dendang ko dendang sirompak
Warisan untuang da'ulunyo
Malang katimpo ka badan surang
Menari dibawa tegak
Dihembus "Saluang" dengan buluhnya
Pemanggil dagang supaya pulang
Dendang ini dendang "sirompak"
Warisan untung dahulunya
Malang menimpa ke badan seorang
32. Anak rang Taeh Simalonggang
Ka balai baduo-duo
Kapeh kok tido jadi bonang
Suri tagantung lapuak sajo
Anak orang Taeh Simalanggang
Ke balai berdua-dua
Kapas jika tidak jadi benang
Suri tergantung lapuk saja
33. Puyuah Nan urang Koto Nopan
Bawo bapikek molah dulu
Guruah kok tido jadi hujan
Bumi jo langik dapek malu
Puyuh yang (milik) orang Koto Nopan
Bawa berpikat malah dulu
Guruh jika tidak jadi hujan
Bumi dengan langit dapat malu
(Sumber: Sayute tanggal 14 Juni 2013)
106
Mantra yang terdapat dalam matrik, 5.1 berupa teks mantra pembuka yang
didendangkan dalam sajian Basirompak mempunyai tujuan-tujuan, seperti 1)
mengungkapkan perasaan yang dirasakan oleh seseorang yang memohon bantuan
dalam Basirompak, 2) menyuruh Ui Bali untuk memanggil para jin yang tinggal
di tujuh Tanjung/Tanjuang, 3) menyampaikan berbagai rasa dalam benak yang
gundah gulana.
Selain mantra pembuka yang tertuang dalam matrik, 5.1 juga ada mantra
pokok yang berupa pantun, seperti tertuang dalam matrik, 5.2 seperti berikut.
Matrik, 5.2
Mantra Pokok
No Mantra (1) Arti Bebas (2)
1. Ula godang menggulapai,
Baronak sambilan ikua,
Mangalombanglah ka lantai,
Satontang si anu tidua.
Ular besar menggelepar,
Beranak sembilan ekor,
Menggelombanglah ke lantai
Sejajar si ‖anu‖ tidur.
2. Si limau den si limau puruik
Masaknyo duo tagantuang
Imbau den Imbau bagaluik
Imbau manuntuk tali jantung
Si limau saya si limau purut
Masaknya dua tergantung
Himbau saya himbau bergelut
Himbau menuntut tali jantung
3. Uncang denai si rajo uncang
Uncang adiak sandang ka rimbo
Baok kapalo ka den kuncang
Darah di dado ka den timbo
Goncang saya si rajo goncang
Goncang adik bawa ke rimba
Bawa kepala akan saya goncang
Darah di dada akan saya timba
4. Nan si Mantuang maayun pucuak
Pucuak malepai awan biru
Sakali ayam bakutuak
Sodalah untuang badan kau
Nan si Mantuang mengayun pucuk
Pucuk (nya) menjurai (ke) awan biru
Sekali ayam berkokok
Sadarlah untung badan engkau
107
(1) (2)
5. Angku Haji babaju jubah
Sambayang ateh pamatang
Indak tolok konai pakasiah
Iko sijundai nan ka datang
Angku Haji berbaju jubah
Sembahyang (di) atas pematang
Tidak sanggup oleh ―pekasih‖
Ini ―sijundai‖ yang akan datang
(Sumber: Sayute, tanggal 14 Juni 2013)
Matrik, 5.2 berupa mantra pokok, inti dari mantra pokok adalah ungkapan rasa
marah dan ancaman terhadap Puti Lasuang Batu (perempuan yang akan jadi
korban).
Selain dendang tersebut, juga ada pembacaan ayat-ayat dari kitab suci
Alquran yang tidak boleh disampaikan dalam tulisan ini, dikawatirkan akan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena kekuatan
spiritualitasnya, namun dikhawatirkan kepada pihak-pihak yang mempelajarinya
tanpa kontrol dari penghulu yang berwenang. Karena sulit dikontrol, seperti yang
dikatakan oleh Penghulu Nan Tuo, siapa saja yang ingin menggunakan mantra dan
ayat-ayat yang dipergunakan dalam Basirompak tanpa pertimbangan yang
matang, akan menyasar kepada pelaku (berbalik) atau orang yang minta
pertolongan (Wawancara dengan Datuk Ajo Marajo, tanggal 26 Juli 2008).
Dalam Basirompak, tidaklah semena-mena atau setiap perempuan dapat
diguna-gunai dengan spiritualitas saluang sirompak, tetapi perlu pertimbangan
yang matang, layak tidaknya calon korban dapat ditetapkan sebagai orang yang
telah berbuat tidak baik (sebagai korban) terhadap si laki-laki. Kebijaksanaan atas
peraturan ini peneliti memahaminya sebagai kearifan lokal terkait dengan simbol-
simbol penilaian moral dan etika. Simbol-simbol semacam ini bersifat tertutup
dan meruang waktu pada lingkup lokal masyarakat penggunanya, seperti yang
108
ditandaskan oleh Sayute bahwa amanat tetap harus dijaga dan dilaksanakan
dengan baik (Wawancara dengan Sayute, tanggal 14 Juni 2013).
5.3.2 Sesaji
Dalam Basirompak, unsur sesaji juga menjadi pokok sehingga tidak boleh
ada kekurangan, kesalahan, ataupun penggantian. Unsur-unsur sesaji yang
dipergunakan dalam Basirompak terdiri atas beberapa unsur, dari beberapa unsur
tidak boleh kurang atau diganti dengan unsur lain. Dalam sesaji, ada pelaku yang
menggunakan unsur bunga, ada ―dua jenis bunga‖ yang menjadi unsur sesaji,
kurang satu bunga atau digantikannya salah satu dari bunga itu akan memudarkan
semua unsur spiritualitas Basirompak. Sesaji yang berwujud ―telor itik‖,
digantikan dengan telor angsa meskipun lebih besar juga tidak memberikan daya
spiritualitas. Begitu juga unsur sesaji yang lainnya, ―beras kuning‖, ―kepala nasi‖,
dan tempat ―daun pisang batu‖, tidak akan dapat digantikan dengan yang lain,
apalagi dikurangi atau ditiadakan, serta ―kemenyan putih‖ sebagai sarana
menghantarkan sesaji ke tempat Basirompak (di Tanjung).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Datuk Mukhtar Ajo Marajo yang
bertindak sebagai pelaku tertua dalam Basirompak, bahwa Basirompak
membutuhkan sesaji (Ikhwan, 2002:106). Sesaji yang dibutuhkan berupa dua
jenis bunga, telor itik, bareh barandang, dan kepala nasi. Semua persyaratan
ditaruh di atas daun pisang batu, sebagai penghantarnya adalah pembakaran
kemenyan putih (kemenyan Arab). Berikut adalah rincian dari sesaji yang
dipergunakan dalam sajian Basirompak.
109
1) Bunga/Bungo
Dua jenis bunga yang dipergunakan untuk sesaji, yaitu bungo parindu atau
bungo sipanggia-panggia dan bungo tanjuang. Untuk mengetahui bunga tersebut,
perhatikan gambar berikut.
Gambar 5.5 Bunga Parindu
(Dokumen: Nil Ikhwan, 27 Juli 2008)
Gambar 5.5 berupa Bungo si parindu (bunga si perindu) atau sering juga
disebut bungo si panggia-panggia (bunga si panggil-panggil), yang dipercaya
oleh pelaku Basirompak ataupun masyarakat pendukung merupakan bunga
pemanggil roh dan setan yang akan diajak kerja sama dalam proses Basirompak.
Pemberian nama bungo si parindu secara etimologi, mengandung dua
makna penting. Pertama, atas dasar kebutuhan pelaku kekuatan bathiniah
hubungannya dengan makhluk halus dalam mewujudkan misinya. Pelaku harus
melengkapi sesaji sebagai syarat mutlak untuk keberhasilannya. Meskipun hanya
pelaku yang mengerti tentang isi dialog yang dilakukan, perantara dialog
110
menggunakan jenis bunga yang dibutuhkan sesuai dengan kesukaan makhluk
halus, jin, dan setan yang diundangnya. Makhluk halus memberikan gambaran
ciri-ciri bunga, tempat tumbuh bunga dan manfaat bunga tersebut. Kedua, bertolak
dari manfaat bunga dalam Basirompak berkaitan dengan si parindu dalam bahasa
Minangkabau, yaitu si-perindu. Kata si berarti menunjukkan kepada subjek,
sedangkan pa adalah kata sifat dari subjek seperti kata pe dalam kata pe-makan,
pe-minum, pe-malas, pe-mogok, dan sebagainya. Sementara itu, rindu artinya
kangen. Sifat kekuatan spiritualitas yang dimiliki bunga si perindu diasumsikan
sesuai dengan pemberian nama bunga tersebut. Pelaku dalam ritual Basirompak
tidak bekerja sendiri, namun selalu dibantu oleh anggotanya termasuk dalam
pencarian sesaji. Karena bahasa lokal yang digunakan, masyarakat Desa Taeh
Baruah mudah mengerti jenis bungo si parindu tersebut. Keberadaan bungo si
parindu atau bungo si panggia-panggia sebagai satu jenis bunga yang memiliki
dua sebutan.
Jenis bunga lainnya yang dipakai sesaji dalam Basirompak adalah bunga
Tanjung/Tanjuang. Bunga tanjung keberadaannya sangat mudah didapat karena
tidak akan pernah berhenti di setiap musimnya. Keberadaan bunga ini dalam
sesaji dipercaya dapat membantu pelaku dalam memanggil roh dan jin yang
dibutuhkan oleh pelaku. Untuk mengetahui bunga tanjung perhatikan gambar
berikut.
111
Gambar 5.6 Bunga Tanjuang/Tanjung
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2008)
Gambar 5.6 merupakan bunga tanjung yang buahnya berwarna merah
muda, wujudnya kecil atau semacam buah ―sawo kecik‖ yang bijinya coklat.
Bunga ini dipercaya oleh pelaku Sirompak dapat memanggil roh halus, jin, dan
setan, serta menebarkan bau wangi hingga mampu menembus ke tempat sasaran
berada. Dalam Basirompak, bila salah satu jenis bunga tidak ada, maka
Basirompak gagal dilaksanakan. Tanpa adanya bungo si parindu atau bungo si
panggia-panggia dan bungo tanjuang, dipercaya oleh pelaku bahwa rasa rindu
seseorang tidak dapat dibangkitkan atau tak dapat dipanggil. Semerbak wangi
bunga tanjung yang ditebarkan dianggap mampu memanggil roh, jin, dan setan
yang membantu dalam proses Basirompak.
112
Saat saluang sirompak ditiup, bunga-bunga itu terlihat tidak mengalami
perubahan bentuk secara kasat mata. Menurut pelaku Basirompak, orang yang
dapat merasakan manfaat dari bunga adalah anggota saluang sirompak dan
makhluk halus yang diundangnya (Wawancara: 28 Juli 2008). Bila dilihat secara
kasat mata hal ini memang demikian, tetapi dengan melihat hasil yang dicapai, hal
itu merupakan data empiris yang menjadi keyakinan oleh seluruh masyarakat
Payakumbuh sebagai pelaku Basirompak. Berikut adalah gambar setangkai bungo
tanjuang.
Gambar 5.7 Bunga Tanjuang/Tanjung
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2008)
Kedua jenis bunga dalam Basirompak itu memang tidak mengenal musim, yang
selalu berbunga sepanjang tahun. Kedua jenis bunga tidak dapat digantikan
dengan jenis bunga lainnya. Pencarian bunga tersebut dilakukan oleh pelaku
sendiri atas dasar pertimbangan pemenuhan spiritualitas.
113
3) Bareh barandang
Bareh barandang (beras matang yang sudah digoreng), yang dihasilkan
melalui proses menggoreng tanpa minyak (merendang) secangkir beras. Jenis
berasnya adalah beras pilihan yang mempunyai kualitas paling bagus. Di
Minangkabau jenis beras yang bermutu kelas satu disebut beras sokan. Sebagai
contoh, perhatikan beras dan kunyit dalam gambar berikut.
Gambar 5.8 Beras dan Kunyit
(Dokumen: Nil Ikhwan 28 Juli 2009)
Gambar 5.8 berupa beras dan kunyit yang dapat dijadikan bareh
barandang. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: kunyit diparut lalu
diperas dan diambil airnya lalu dicampurkan dengan beras dan digoreng. Setelah
digoreng beras ini disebut dengan bareh barandang. Beras yang sudah digoreng
114
ini dipergunakan dalam Basirompak dengan tujuan untuk mempermudah menarik
rasa simpati makhluk halus agar dapat diajak berdialog dan bekerja sama.
4) Tolua itiak
Persyaratan selanjutnya berupa tolua itiak (telor bebek/itik) sebanyak tiga
butir yang direbus hingga matang, telor ini juga tidak dapat digantikan dengan
yang lain. Umpamanya, telur itu digantikan dengan telor angsa, meskipun lebih
besar dan bermanfaat secara nutrisi lebih banyak di banding dengan telor itik, hal
itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai contoh, perhatikan telor itik seperti gambar
berikut.
Gambar 5.9 Tolua Itiak
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009)
Gambar 5.9 adalah gambar telor itik yang tidak dapat digantikan dengan
jenis telor yang lain. Hal itu disebabkan oleh telah diterimanya syarat-syarat atau
sesaji dari leluhur para pelaku Basirompak dengan jin dan setan yang menjadi
mitra kerja.
115
5) Nasi kunyit dan kepala nasi
Nasi kunyit (nasi kuning) dibuat dari campuran beras dengan kunyit yang
dimasak hingga matang. Nasi kuning ini tidak boleh dibuat dengan sembarang
pewarna, harus dengan pewarna dari kunyit yang ditambah sedikit daun pandan
harum (pandan wangi). Aroma nasi kuning ini berbeda dari nasi yang
menggunakan pewarna kimia, dari sisi rasa jauh lebih enak dibanding dengan
pewarna lain.
Kemudian, syarat yang disebut ―kepala nasi‖ adalah nasi yang diambil
dari bagian yang paling atas pada saat menanak nasi. Meskipun sedikit, apabila
diambilkan dari yang paling atas, maka hal itu dapat disebut sebagai kepala nasi.
Kebiasaan menanak nasi oleh masyarakat Taeh Baruah masih menggunakan alat
yang disebut pariuak (periuk), kalau di Jawa disebut kendil, dan di Bali disebut
cublukan. Alat ini biasanya terbuat dari tanah liat yang biasa disebut dengan
gerabah, dan juga bisa dari bahan alumunium, baik yang tebal maupun yang tipis.
6) Daun pisang batu
Daun pisang batu adalah sebutan pisang yang biasa dibuat kripik pisang,
sebutan biudang sabo (Bali) dan pisang kapok (Jawa). Daun pisang ini merupakan
syarat yang harus dilaksanakan, yaitu untuk tempat menaruh semua sesaji yang
telah disiapkan. Daun pisang batu ini, tidak boleh digantikan dengan jenis daun
pisang yang lain, karena apabila digantikan dengan daun pisang jenis lain, tidak
ada manfaat apa-apa sesaji yang telah dibuat atau dipersiapkan. Berikut adalah
contoh gambar daun pisang batu.
116
Gambar 5.10 Daun Pisang Batu
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009)
Gambar 5.10 adalah contoh daun pisang batu yang sengaja diperlihatkan dengan
buahnya agar mudah dimengerti karena masing-masing daerah menyebutnya
dengan nama yang berbeda. Daun pisang batu dipercaya oleh pelaku memiliki
tingkat kelembaban yang luar biasa, atau dipercaya bahwa daun yang dingin
merupakan kesenangan para roh halus dan setan.
7) Kemenyan putih/kemenyan arab
Jenis sesaji terakhir berupa kemenyan putih yang dibakar pada saat sesaji
telah disiapkan di atas daun pisang batu. Pembakaran kemenyan membutuhkan
sarabut kelapa kering yang mudah terbakar dan awet. Pembakaran ini dilakukan di
tempat sajian Basirompak, yaitu di salah satu dari tujuh tanjung di daerah terdekat
117
dari pelaku (daerah Kota Madya Payakumbuh). Untuk lebih jelasnya, berikut
disajikan gambar kemenyan yang biasa dipergunakan dalam Basirompak.
Gambar 5.11 Kemenyan putih
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009)
Gambar 5.11 adalah kemenyan putih dan tungku pembakaran kemenyan. Dalam
proses pembakaran, tungku diberi sabut kelapa yang dibakar hingga menjadi bara.
Setelah bara api dari sabut kelapa memerah, kemenyan dimasukkan dalam bara.
Dalam setiap menjalankan kegiatan selalu ada doa-doa, namun tidak boleh
ditulis dalam penelitian ini, yang pasti setiap pembacaan doa selalu diawali
dengan bacaan Basmalah, ―Bismillah hirohman nirokhim‖ (dengan nama Allah
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Hal ini diartikan bahwa semua
kegiatan dapat terlaksana atau gagal karena kemurahan dari Allah maha Pencipta.
Ketujuh tanjung tersebut oleh pelaku Basirompak dianggap sebagai
tanjung yang dihuni makhluk halus (jin) yang dikenal dengan nama Simambau
118
Hitam, Simambau Sirah, Simambau Tungga, Simambau Barantai, dan Simambau
Putih. Makhluk halus yang berwujud jin inilah yang akan diajak bekerja sama
untuk mencapai tujuan dalam Basirompak. Berkaitan dengan pandangan Islam
tentang jin, pada Alquran Surat ke-72 ―Al-Jin‖, terdapat ayat 1 yang berbunyi:
Katakanlah hai Muhammad: Telah diwahyukan kepadaku
bahwasannya sekumpulan Jin telah mendengarkan Al Qur’an, lalu
mereka berkata sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur’an
yang menakjupkan, selanjutnya ayat 5:dan sesungguhnya kami
mengira bahwa manusia dan Jin sekali-kali tidak akan mengatakan
perkataan yang dusta terhadap Allah, dan ayat 6:dan bahwasannya
ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa lelaki diantara Jin, maka Jin-Jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
Apabila dicermati bunyi ayat 1 tersebut bahwa jin juga bersaksi akan
adanya wahyu Allah yang berupa Alquran sebagai anutan hidup para Jin dan
manusia. Pada ayat ke-5, jin dan manusia tidak akan berkata dusta terhadap Allah.
Hal ini membuktikan bahwa jin dan manusia ada yang beriman. Pada ayat ke-6,
manusia yang meminta perlindungan kepada jin, maka manusia akan menambah
dosa dan kesalahannya karena ia sudah termasuk bersekutu dengan jin. Manusia
akan dijadikan kayu dalam neraka jahanam.
Peringatan Tuhan kepada manusia terdapat dalam Alquran Surat ke-15
―Al-Hijr‖, ayat ke-27 yang artinya: dan kami telah menciptakan Jin sebelum
(Adam) dari api yang sangat panas, kemudian pada surat ke-7 (Al-A‘raf), ayat
ke-27 telah memperingati manusia, yang artinya:
Hai anak Adam, janganlah kamu sekali-kali dapat ditipu oleh setan
sebagai mana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga,
ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan
kepada kedua auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya
melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka,
119
sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-
pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.
Ayat itu memberikan peringatan bagi manusia untuk berhati-hati pada godaan
atau tipu muslihat setan yang merupakan pemimpin bagi orang yang tidak
beriman. Hal ini dipertegas dalam ayat ke-50 surat ke-18 ―Al Kahfi‖ yang berarti:
dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah
kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah
dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah
kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain dari pada Ku. Sedang mereka adalah musuhmu amat buruklah
iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang Dzalim.
Jadi, ayat itu menggambarkan sifat iblis (jin yang ingkar dan tidak mau menuruti
perintah Allah). Selain itu, ayat itu juga menjelaskan bahwa jin ada yang beriman
kepada Tuhan. Hakikatnya ayat ini merupakan peringatan kepada manusia agar
tidak memilih jin (iblis) dan keturunannya untuk menjadi pemimpin karena akan
menyesatkan umat manusia dari hal yang menjadi perintah Allah.
Dalam dAl-Asyqar (2008:7-11) dikatakan bahwa jin memiliki dunia yang
lain dengan dunia manusia, dan dunia malaikat. Mereka memiliki beberapa hal
yang sama dengan manusia, dalam arti bahwa mereka memiliki akal dan
pemahaman, sehingga memiliki kemampuan untuk memilih antara yang baik dan
buruk. Sebutan ―Jin‖ diberikan karena mereka menyembunyikan diri (ijtinaan)
dari pandangan manusia. Jenis-jenis jin dan nama-nama dalam bahasa Arab, yaitu
jin itu disebut jinni, jika yang dimaksud adalah jin yang tinggal dengan manusia,
mereka disebut ‗Aamir (secara harfiah artinya penghuni), jika jin itu hinggap pada
anak kecil, mereka menyebutnya sebagai arwaah (jiwa), jika jin itu jahat dan
dapat menyebabkan bahaya, maka disebut syaitan. Jika jin itu lebih jahat lagi
120
maka disebut maarid (durhaka atau roh jahat). Jika jin itu lebih jahat dan lebih
kuat, maka disebut Ifrit (kuat). Rasulullah bersabda, jin itu terdiri atas tiga jenis,
yaitu satu jenis terbang di air, satu jenis berbentuk ular dan anjing, dan satu jenis
lainnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari jenis jin yang telah
disampaikan, maka sesuai dengan sabda Rasullullah berkaitan jenis jin, yang ada
di Basirompak menurut Datuak Mukhtar Ajo Marajo adalah jenis jin yang terbang
di air (Wawancara: 23 Juli 2008).
5.3.3 Lokasi Ritual
Dalam Basirompak ada tempat khusus yang dipergunakan dalam
melakukan ritual ini, yaitu pada tujuh tanjung. Ketujuh tanjung yang ada di Desa
Taeh Baruah adalah: (1) Tanjung Situkak, (2) Tanjung Lilin, (3) Tanjung Pia, (4)
Tanjung Joriang, (5) Tanjung Runggai, (6) Tanjung Bancah Palam, dan (7)
Tanjung Whak Dingin. Ketujuh tanjung itu oleh pelaku Sirompak dianggap
sebagai tanjung yang dihuni oleh makhluk halus, dikenal dengan nama Simambau
Hitam, Simambau Merah/Sirah, Simambau Tungga, Simambau Barantai, dan
Simambau putih, yang semuanya disebut setan penunggu lubang saluang
sirompak. Dengan adanya kepercayaan ini ritual sirompak dapat dilakukan di
salah satu tanjung yang ada di Taeh Baruah atau tidak harus dilakukan di semua
tanjung. Syarat dan langkah prosesi ataupun elemen-elemennya tetap sama seperti
yang telah disebutkan di atas.
121
Gambar 5.12 Lokasi Basirompak
(Dokumen: Nil Ikhwan, 28 Juli 2009)
Untuk mengenali tempat itu keramat atau tidak, dan sesaji itu diterima atau tidak,
ada tanda-tanda yang terjadi. Tanda-tanda tersebut adalah dimulai dari cuaca yang
tadinya cerah menjadi mendung, tempat di sekitar dingin, kulit dari masing-
masing pelaku terasa seperti ditusuk-tusuk jarum, disertai pula kedatangan
binatang-binatang kecil yang menyerupai belalang. Bagi yang menonton tidak
semua tanda-tanda itu ikut dirasakan, hanya pada cuaca dan udara dingin.
Dari kondisi tanjung yang didatangi di wilayah tersebut, akan timbul
pertanyaan, bagaimana jika sasaran Basirompak berada jauh dari desa tersebut (di
luar Taeh Baruah). Ternyata hal ini bukan faktor penghambat kegiatan Sirompak,
karena menurut keyakinan pelaku, di mana pun daerah yang berciri sama, seperti
yang digambarkan, dapat dipastikan bisa ditemukan penghuni dari tempat itu,
yaitu Simambau Hitam dan teman-temannya. Sudah barang tentu kendala yang
akan ditemukan pada proses kegiatan ini akan menelan waktu yang relatif lama,
122
dan akan menimbulkan permasalahan baru, seperti: keingintahuan penduduk
setempat, rasa ketidaknyamanan di lokasi baru, sulit berkonsentrasi, dan
sebagainya (Wawancara: 20 Juli 2008).
Datuk Ajomarajo mengatakan bahwa dalam pemilihan tempat pada
tanjung disebabkan oleh adanya ―risalah‖ tentang cerita sahabat Rasul
(Muhammad) yang ingkar. Pada suatu saat mereka pergi ke suatu tempat yang
disebut tanjung, mereka berhari-hari tidak tahu arah. Suatu saat Rasul datang
menghampiri sahabatnya itu, dan bersabda ―Hai sobat, ada apa dengan hatimu
sehingga berhari-hari engkau berdiri di tanjung?‖ Kemudian, Rasul
memerintahkan sahabatnya untuk duduk di atas pohon besar sambil melafalkan
ayat-ayat suci Alquran, yang maksud dari ayat itu ―Kekuatan jin dan setan ada
pada pohon itu‖. Kemudian sahabat disuruh melihat pohon itu, kemudian pohon
bergerak dengan kerasnya yang diikuti datangnya angin kencang. Pada saat itu,
juga sahabat mempercayai bahwa pohon tersebut merupakan tempat makhluk
halus jin dan setan. Dari peristiwa itu, sahabat kemudian sadar dan mulai
mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta, dengan membaca ayat-ayat suci
yang dapat menangkal godaan/keganasan jin dan setan.
Kerja sama antara pelaku (pelaku) dan setan dimanfaatkan dalam
membuka dan mengunci serta menikam rantaian hati dan jantung serta seluruh
raga pada si korban. Karena korban (manusia) bergerak atau melakukan aktivitas
dari hati yang mendahului berkuasa dari individunya. Di mana pun korban itu
berada, baik dibatasi gunung, laut maupun pulau, akan tetap kena oleh spiritualitas
saluang sirompak. Meskipun si korban telah menyiapkan segala sesuatu untuk
123
memagari dirinya dengan jampi-jampi oleh orang pintar (pelaku ), tetap dalam
kurun waktu dua puluh empat jam ada detik yang bisa ditembus oleh kekuatan
spiritualitas saluang sirompak. Istilah perempuan, selain yang telah dipagari dan
juga sulit ditembus dengan sesuatu yang gaib, disebut ―baju putih lengan biru‖,
pertanda perempuan itu keras bahwa mereka telah kuat dalam iman, dan mungkin
dipagari secara gaib dan sebagainya.
5.4 Estetika Saluang Sirompak
Estetika saluang sirompak memiliki keterkaitan dengan dendang yang
melantunkan mantra yang berbentuk pantun. Keterkaitan tersebut terletak pada
alunan musikal dari instrumen saluang sirompak, pada bagian tertentu saluang
sirompak memberikan ilustrasi pada lagu dendang. Nada-nada yang terdapat
dalam saluang sirompak terdiri atas enam nada, sepeti telah disebutkan dalam
cara pembuatan isntrumen dalam masing-masing lubang. Urutan nada dari a—–
c—– d—e— f – fis atau dalam pembacaan la – do – re – mi – fa – fi. Dalam
istilah musik, perbedaan interval yang dihasilkan instrumen saluang sirompak
dengan nada-nada diatonis yang telah memiliki standar baku disebut dissonan
atau diskordan (Djohan, 2003:260). Sistem notasi dalam musik biasa
menggunakan notasi angka atau solmisasi dan notasi balok. Namun, dalam
penulisan dengan sistem penotasian yang menggunakan notasi balok sulit untuk
mencari simbol-simbol nada yang tepat, seperti di mana letak penulisan c1 none +
40 mh, atau d1 none + 5 mh. Jadi, dalam penulisan notasi masih tetap digunakan
sistem notasi balok dengan simbol-simbol yang ada. Perlu disampaikan bahwa
melodi lagu Dendang dan melodi saluang sirompak menggunakan sistem ketukan
124
bebas (nonmetris). Sementara itu, dalam sistem notasi balok sulit untuk dibuat
sistem penulisan dengan sistem ketukan bebas (nonmetris).
Lagu saluang sirompak dalam konteks ritual terdiri atas dua bagian besar,
sesuai dengan lagu sajian dendang. Dalam lagu ada bagian lagu yang disebut
dengan ilustrasi atau istilah musiknya interlute atau dalam istilah pelaku
Basirompak disebut ibauan (imbauan) sebelum saluang sirompak mengikuti atau
memberikan ilustrasi lagu dendang. Bagian-bagian lagu yang disebut Imbauan
dalam saluang sirompak adalah bagian lagu saluang sirompak yang belum ada
sajian dendang, notasi imbauan, atau bagian I, sebagai berikut.
125
Larghetto (M.M. 60-63 Transkrip : Nil Ikhsan
5.4.2 Melodi Dendang
126
Bagian I. Imbauan (Himbauan)
Pada awal melodi, saluang sirompak yang disebut bagian Imbauan, terdiri
atas sembilan frasa yang terbagi dalam empat frasa pertama hingga frasa ke-empat
disajikan overlute atau satu oktaf lebih tinggi dari penulisan notasi. Sementara itu,
untuk frasa ke-lima hingga frasa ke-sembilan disajikan sesuai dengan penulisan
notasi (sedang). Pada bagian lagu imbauan disajikan nada-nada tinggi sebanyak
empat frasa, secara berturut-turut dilakukan mulai frasa pertama sampai frasa ke-
empat. Ketukan nada dari masing-masing frasa tidak sama (asymmetrical) seperti
layaknya komposisi-komposisi musik Barat (symmetrical). Bila dikaitkan dengan
saat berlangsungnya pertunjukan spiritualitas saluang sirompak, hasil bunyi dari
saluang sirompak melengking yang bisa memecahkan suasana malam, dan
mengganggu kenyamanan orang yang sedang tidur. Untuk menghindari
terganggunya masyarakat yang sedang istirahat pada malam hari, pertunjukan ini
dilakukan di salah satu tanjung yang jauh dari pemukiman masyarakat, hal inilah
dapat dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa kegiatan dilakukan di tanjung.
127
Berikut adalah frasa penggalan dari bagian Imbauan.
Frasa Melodi Pertama
128
Keempat frasa tersebut disajikan dengan nada tinggi atau overlute (satu oktaf
lebih tinggi) dalam penulisan musik yang diberi simbol 8-va. Menurut Elmizarlis
peniup saluang sirompak mengatakan bahwa nada-nada tinggi menghasilkan suara
yang lebih keras. terang, cemerlang, dan unggul (Wawancara dengan Elmizarlis,
tanggal 14 Juni 2013). Simbol 8-va itu mempunyai arti bahwa nada-nada yang
dimainkan tersebut dinaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada yang tertulis.
Sebagai pembanding dari pernyataan tersebut dapat dilihat pembagian wilayah
nada dengan realitas suara dari instrumen flute dengan sifat wilayah nada yang
dihasilkannya. Untuk mudah melihat klasifikasi sifat bunyi yang dimaksud diberi
tanda lingkar dibubuhkan dalam penotasian, seperti terlihat pada contoh berikut.
Disebabkan oleh sifat-sifat kekuatan nada yang dimiliki dalam penyuaraan
flute menghasilkan nada lebih keras, cemerlang, terang, dan unggul. Dari hasil
suara flute dengan realitas tulisan dalam notasi yang ada dengan simbol 8-va
memunculkan nada satu oktaf lebih tinggi dari standar penulisan notasi yang
menggunakan kunci G.
Pada kesempatan berikutnya, nada-nada tinggi itu tidak dimunculkan lagi.
Frasa-frasa melodi yang dimulai dan kelima hingga berakhirnya bagian imbauan
itu secara dominan hanya memanfaatkan nada-nada yang terdapat dalam notasi
129
rendah dan tenang (weak and brighter). Jumlah dari frasa melodi itu sebanyak
lima buah, dan kemudian disambung dengan bagian kedua dari bentuk komposisi
saluang sirompak (paduan vokal) dengan saluang sirompak.
Berikut adalah frasa kelima hingga frasa ke sembilan bagian Imbauan
dalam sistem notasi.
Frasa Melodi Kelima
130
Frasa Melodi Kesembilan
Frasa kelima hingga frasa kesembilan adalah sajian lagu yang sudah
masuk dalam lagu-lagu rendah, atau permainan saluang sirompak menyuarakan
nada-nada sama dengan notasi yang ada. Lagu dalam tulisan yang tidak
menggunakan simbol 8 va adalah penyuaraan flute atau saluang sirompak sesuai
dengan nada yang tertulis dengan menggunakan standar penulisan kunci G.
Dasar dari lagu dendang mengikuti nada yang ada pada nada-nada pada
saluang sirompak, dengan susunan a—– c—– d—e— f – fis atau la – do – re – mi
– fa – fi. Lagu bagian Imbauan merupakan tuntunan untuk pengambilan nada bagi
pendendang, karena saluang sirompak telah memberikan imbauan dalam frasa
kelima hingga frasa kesembilan atau akhir dari bagian lagu Imbauan. Dalam
dendang ada dua jenis lagu, yaitu dengan nada sedang dan nada tinggi atau satu
oktaf lebih tinggi dari nada sedang. Mantra yang berupa pantun juga ada dua
motif, ada yang terdiri atas empat baris setiap baitnya dan ada pula yang terdiri
atas enam baris setiap baitnya. Perbedaan jumlah baris dalam setiap barisnya akan
mengubah pula motif lagu yang dilantunkan. Lagu untuk melantunkan syair yang
terdiri atas enam baris dalam satu bait pada dasarnya sama dengan lagu yang
dipergunakan dalam pantun yang terdiri atas empat baris. Kemudian untuk
melantunkan lagu yang terdiri dari enam baris dalam satu bait dilagukan dengan
menggunakan baris ketiga dan baris keempat yang dipergunakan dalam lantunan
131
baris kelima dan keenam, atau lagu baris ketiga dipergunakan untuk lagu baris
kelima dan lagu baris keempat dipergunakan untuk melagukan syair baris keenam.
Dalam praktiknya dendang terdiri atas dendang mantra pembuka dan
dendang mantra pokok, mantra pembuka terdiri atas 33 bait dan mantra pokok
terdiri lima bait. Dalam mantra pokok kebetulan terdiri atas empat baris dalam
setiap baitnya, sedangkan untuk mantra pembuka ada yang terdiri atas empat baris
sampai dengan tujuh baris dalam setiap baitnya.
132
133
134
Bagian II. Lagu Saluang Sirompak
135
Bagian II tersebut merupakan gabungan lagu dendang dengan lagu
saluang sirompak, yaitu pada notasi yang terdiri atas dua baris notasi. Baris notasi
yang di atas merupakan notasi untuk lagu dendang, sedangkan untuk baris yang
kedua untuk lagu saluang sirompak. Untuk kata-kata/syair yang suku katanya
sedikit cenderung digunakan teknik melismatis, yaitu beberapa buah not yang
diperuntukkan bagi satu suku kata (lihat garis lengkung). Melodi pada bagian
kedua tersebut dinyanyikan secara berulang-ulang dalam mantra yang berbeda,
mulai dari awal vokal didendangkan hingga berakhirnya sajian, yang dikenal
dengan istilah stropik.
Bentuk pengulangan juga ada penyesuaian jumlah suku kata dari masing-
masing barisnya, dan jumlah baris dari setiap baitnya. Dalam sajiannya, apabila
dalam satu baris terdapat lebih banyak suku kata yang disampaikan dalam
dendang, maka pendendang menggunakan nada-nada di tengah frasa untuk
diulang dalam beberapa suku kata. Kemudian untuk sajian yang terdiri atas lebih
dari empat baris dalam satu bait maka pendendang menggunakan frasa akhir
bagian untuk melantunkan dendangnya. Seperti bait yang terdiri atas lima baris,
maka pada baris terakhir digunakan frasa keempat, kemudian untuk menyajikan
dendang yang terdiri atas enam baris setiap baitnya, frasa ketiga dan keempat
dipergunakan untuk melantunkan baris kelima dan keenam. Sementara itu apabila
dalam satu bait terdiri atas tujuh baris maka pendendang menggunakan frasa
ketiga dan keempat yang diulang dua kali (frasa keempat).