spinal cord injury

30
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Definisi Spinal Cord Injury Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan. Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang (Mutttaqin, 2008). Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997). Spinal cord injury merupakan trauma pada medulla spinalis yang merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinal dengan quadriplegia. 5

description

laporan pendahuluan spinal cord injury

Transcript of spinal cord injury

Page 1: spinal cord injury

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Spinal Cord Injury

Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma

spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan.

Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera

yang mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang

mengenai tulang belakang (Mutttaqin, 2008).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis,

vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan

lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya yang dapat

menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra

sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).

Spinal cord injury merupakan trauma pada medulla spinalis yang

merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan

menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma

dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat

benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap

dari medulla spinal dengan quadriplegia.

Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,

meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen

tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan

ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih

tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (Price,

2005).

Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari

leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 8 buah tulang

servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang

sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua

5

Page 2: spinal cord injury

6

korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan

(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di

dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,

yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi

syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000)

B. Anatomi Fisiologi

Menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm. 3) medula spinalis

adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam

kanalis vertebralis, dikelilingi oleh 3 lapis selaput pembungkus yang

disebut meningen. Lihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.1 Anatomi Medula Spinalis

(Mahadewa, 2009, hlm. 136)

Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis

dari luar kedalam antara lain : Dinding kanalis vertebralis (terdiri atas

vertebrae dan ligamen), lapisan jaringan lemak (ekstradura)

yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh darah vena, Duramater,

Arachnoid,  Ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis)

yang berisi liquor cerebrospinalis, Piamater, yang kaya dengan

pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus

permukaan sebelah luar medula spinalis.

Page 3: spinal cord injury

7

Berikut ini dijelaskan segmen-segmen medula spinalis menurut

Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm.4) seperti pada gambar 2.2 dibawah

ini:

Gambar 2.2 Segmen-segmen Medula Spinalis

(Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 4)

Medula spinalis terbagi menjadi sedikitnya 30 segmen, yaitu 8

segmen servikal (C), 12 segmen thorax (T), 5 segmen lumbar (L), 5

segmen sacral (S), dan beberapa segmen coccygeal (Co). Dari tiap segmen

akan keluar beberapa serabut saraf. Medula spinalis Iebih pendek dari

pada kolumna vertebralis sehingga segmen medula spinalis yang

sesuai dengan segmen kolumna vertebralis terletak diatas segmen

kolumna vertebralis tersebut (Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 6).

Page 4: spinal cord injury

8

Dibawah ini dijelaskan mengenai penampang melintang medula

spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm.7), lihat pada

gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.3 Penampang melintang medula spinalis

(Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 7)

Dibawah ini mengenai dermatom di bagian anterior dam posterior,

lihat pada gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2.4 Dermatom Persyarafan

(sumber: www.jasper-sci.com)

Page 5: spinal cord injury

9

C. Mekanisme Cedera

Ada 4 mekanisme yang mendasari :

1. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan

paling berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang

tergeser ke belakang dan cedera hiperekstensi.

2. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan

gangguan jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada

medulla spinalis menurun sesuai usia yang meningkat.

3. Edema medulla spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan

sirkulasi kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena yang menyertai cedera

primer.

4. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur

lain pada system arteri spinal posterior atau anterior.

Kecelakaan mobil atau terjatuh olahraga, kecelakaan industry,

tertembak peluru, dan luka tusuk dapat menyebabkan trauma medulla

spinal. Sebagian besar pada medulla spinal servikal bawah (C4-C7, T1)

dan sambungan torakolumbal (T11-T12, L1). Medulla spinal torakal

jarang terkena.

D. Klasifikasi

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:

1. Cedera Cervikal

a. Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot

platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami

paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun

fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori

pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah

wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan

perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis.

Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya.

Page 6: spinal cord injury

10

Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis

tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

b. Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi

diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis

intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi

pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami

ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir

rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan

mulut yang lebih baik

c. Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena

paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya

akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan

pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya

pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri,

bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju

d. Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan

aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi

jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali.

Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan

dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan

melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi,

pekerjaan rumah yang ringan dan memasak

e. Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi

duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat

diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring

ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.

Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam

Page 7: spinal cord injury

11

berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat

rumah, dan perawatan diri

2. Cedera Torakal

a. Lesi T1-T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan

dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai

tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural

biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor

pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan

sensori sentuhan, nyeri, dan suhu

b. Lesi T6-T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks

adomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual

berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada.

Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan

lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas

atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

1) T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

2) T3 Aksilla

3) T5 Putting susu

4) T6 Prosesus xifoid

5) T7, T8 Margin kostal bawah

6) T10 Umbilikus

7) T12 Lipat paha

3. Cedera Lumbal

a. Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

1) L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha

& bagian belakang    dari bokong

2) L2  Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek

anterior paha

3) L3  Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel

Page 8: spinal cord injury

12

4) L4  Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha

5) L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas

bawah dan area sadel

4. Cedera Sakral

a. Lesi S1-S5

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa

perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis

dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan

glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan.

1. Klasifikasi Frankel:

a. Grade A : Motoris (-), sensoris (-)

b. Grade B : Motoris (-), sensoris (+)

c. Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

d. Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

e. Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)

2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

a. Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen

sacral

b. Grade B : Hanya sensoris (+)

c. Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

d. Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

e. Grade E : Motoris dan sensoris normal

Page 9: spinal cord injury

13

E. Etiologi Spinal Cord Injury

Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008),

antara lain:

1. Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)

Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup

kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina

2. Olahraga

3. Menyelam pada air yang dangkal

4. Luka tembak atau luka tikam

5. Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti

spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran

sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis

dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi;

osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra;

tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vascular

F. Patofisiologi Spinal Cord Injury

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus

terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera

dapat terjadi akibat hiperfelksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada

tulang belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang

sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada

cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang

laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan.

Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatif untuk melepaskan

mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan

respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal,

gangguan fungsi rectum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan

gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi,

bradikardia dan gangguan eliminasi.

Page 10: spinal cord injury

14

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada

lokasi yang terkena : jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan

mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau system

muscular total; jika cedera mengenai saraf C-4 sampai C-5 akan terjadi

tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan

total terhadap aktivitas sehari-hari; jika cedera mengenai pada C-6 sampai

C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan

atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas

sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang

akan mengalami tetraplegia degan keterbatasan menggunakan jari tangan,

meningkatkan kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan tejadi

paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal

dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau

dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan

sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

G. Pathway (terlampir)

H. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma

dan apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah

manifestasi berdasarkan lokasi trauma:

1. Antara C1 sampai C5

Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal

2. Antara C5 dan C6

Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang

lemah; kehilangan refleks brachioradialis.

3. Antara C6 dan C7

Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan

fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.

Page 11: spinal cord injury

15

4. Antara C7 dan C8

Paralisis kaki dan tangan

5. C8 sampai T1

Horner’s syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis

kaki.

6. Antara T11 dan T12

Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut

7. T12 sampai L1

Paralisis di bawah lutut

8. Cauda Equine

Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan sangat

sensitive terhadap sensasi, kehilangan control bowel dan baldder.

9. S3 sampai S5 atau Conus Medullaris pada L1

Kehilangan control bowel dan blodder secara total.

Gambar 2.5 manifestasi klinis dan lokasi spinal injury yang terjadi

(sumber: www.jasper-sci.com)

Page 12: spinal cord injury

16

Tanda dan gejala yang akan muncul:

1. Nyeri

Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan

adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan

jaringan sekitarnya.

2. Bengkak/edema

Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir

pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

3. Memar/ekimosis

Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah

di jaringan sekitarnya.

4. Spasme otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.

5. Penurunan sensasi

Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.

6. Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme

otot.

7. Mobilitas abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi

normalnya tidak terjadi pergerakkan. Ini terjadi pada fraktur tulang

panjang.

8. Defirmitas

Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau

trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi

abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

9. Shock hipovolemik

Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

Page 13: spinal cord injury

17

I. Penatalaksanaan Spinal Cord Injury

1. Penatalaksanaan kegawatdaruratan

a. Proteksi diri dan lingkungan, selalu utamakan A-B-C

b. Sedapat mungkin tentukan penyebab cedera (misalnya, tabrakan

mobil frontal tanpa sabuk pengaman)

c. Lakukan stabilisasi dengan tangan  untuk menjaga kesegarisan

tulang belakang.

d. Kepala dijaga agar tetap netral, tidak tertekuk ataupun mendongak.

e. Kepala dijaga agar tetap segaris, tidak menengok ke kiri atau

kanan.

Posisi netral-segaris ini harus tetap selalu dan tetap

dipertahankan, walaupun belum yakin bahwa ini cedera spinal.

Anggap saja ada cedera spinal (dari pada penderita menjadi

lumpuh)

1) Posisi netral : kepala tidak menekuk (fleksi), atau mendongak

(ekstensi)

2) Posisi segaris : kepala tidak menengok ke kiri atau kanan.

3) Pasang kolar servikal, dan penderita di pasang di atas Long

Spine Board

4) Periksa dan perbaiki A-B-C

5) Periksa akan adanya kemungkinan cedera spinal

6) Rujuk ke RS

7) Penatalaksanaan langsung pasien di tempat kejadian

kecelakaan sangat penting. Penanganan yang tidak tepat dapat

menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan penurunan fungsi

neurologis.

8) Pertimbangkan setiap korban kecelakaan sepeda motor atau

mengendarai kendaraan bermotor, cedera olahraga kontak

badan, terjatuh, atau trauma langsung ke kepala dan leher

sebagai cedera medulla spinalis sampai dapat ditegakkan.

Page 14: spinal cord injury

18

9) Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan

spinal (punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi

netral, untuk mencegah cedera komplit.

10) Salah satu anggota tim harus mengontrol kepala pasien untuk

mencegah fleksi, rotasi dan ekstensi kepala.

11) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk

mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinal

atau alat imobilisasi servikal dipasang.

12) Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan

hati-hati ke atas papan untuk memindahkan ke rumah sakit.

Adanya gerakan memuntir dapat merusak medulla spinalis

ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra

terputus, patah, atau memotong medulla komplet.

13) Pasien harus selalu dipertahankan dalam posisi ekstensi. Tidak

ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh

pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.

2. Penatalaksanaan cedera medulla spinalis (Fase Akut)

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla

spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan

defisit neurologis.

a. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi

dan kestabilan kardiovaskuler.

b. Farmakoterapi  : berikan steroid dosis tinggi (metilprednisolon)

untuk melawan edema medula .

c. Tindakan  Respiratori :

1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO₂ arterial yang

tinggi.

2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk

menghindari fleksi atau ekstensi leher bila diperlukan intubasi

endotrakeal.

3) Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf

frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.

Page 15: spinal cord injury

19

d. Reduksi dan Traksi Skeletal:

1) Cedera medulla spinalis membutuhkan imobilisasi, reduksi

dislokasi dan stabilisasi kolumna vertebra.

2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan

suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong/caliper skeletal

atau halo-vest.

3) Gantung pemberat dengan bebas sehingga tidak mengganggu

traksi.

e. Intervensi Bedah : Laminektomi

Dilakukan bila:

1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan traksi.

2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal.

3) Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal.

4) Status neurologis mengalami penyimpangan untuk mengurangi

fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla

(Baughman & Hackley, 2000).

J. Pemeriksaan Penunjang

1. CT SCAN

Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik

komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.

Akurasi pemeriksaan CT berkisar antara 72-91% dalam mendeteksi

adanya heniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96% bila

mengkombinasikan CT dengan myelografi.

2. MRI

Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk

daerah servikal. MRI dapat mendeteksi kelainan ligament maupun

diskus. Seluruh daerah medulla spinalis, radiks saraf dan tulang

vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian

didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar

10% subjek tanpa keluhan, sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus

Page 16: spinal cord injury

20

dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit, keluhan maupun

pemeriksaan klinis.

3. EMG

Pemeriksaan elektromiografi mengetahui apakah suatu

gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme

otot, arthritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk

menentukan level dari iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks

dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.

K. Komplikasi

1. Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik

yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan

kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada

jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral

serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan

konsekuensinya terjadi hipotensi.

2. Syok spinal

Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat

setelah terjadi cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan

tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.

3. Hipoventilasi

Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang

merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di

daerah servikal bawah atau torakal atas

4. Hiperfleksia autonomik

Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak,

kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.

Page 17: spinal cord injury

21

L. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury

1. Pengkajian

a. Pengkajian Primer

Data subyektif

1) Riwayat Penyakit Sekarang

a) Mekanisme cedera

b) Kemampuan neurologi

c) Status neurologi

d) Kestabilan bergerak

2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

a) Keadaan jantung dan pernapasan

b) Penyakit kronis

Data Obyektif

1) Airway

Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera

spinal sehingga mengganggu jalan napas

2) Breathing

Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan,

pergerakan dinding dada

3) Circulation

Hipotensi (biasanya systole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi,

kulit teraba hangat dan kering, poikilotermi (ketidakmampuan

mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada

suhu lingkungan)

4) Disability

Kaji kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan

bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot.

Page 18: spinal cord injury

22

b. Pengkajian Sekunder

1) Exposure

Adanya deformitas tulang belakang

2) Five intervensi

a) Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan

upaya ventilasi

b) CT Scan untuk menetukan tempat luka atau jejas

c) MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal

d) Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru

e) Sinar-X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera

tulang (Fraktur/Dislokasi)

3) Give Comfort

Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak

4) Head to Toe

a) System pernafasan : Gangguan pernafasan, menurunnya

vital kapasitas, menggunakan otot-otot pernafasan

tambahan.

b) System kardiovaskuler : bardikardia, hipotensia, disritmia,

orthostatic hipotensi.

c) Status neurologi : nilai GCS karena 20% cedera medulla

spinalis disertai cedera kepala.

d) Fungsi motorik : kehilangan sebagian atau seluruh gerakan

motorik dibawah garis kerusakan, adanya quadriplegia,

paraplegia.

e) Refleks tendon : adanya spinal shock seperti hilangnya

reflex dibawah garis kerusakan, post spinal shock seperti

adanya hiperefleksia (pada gangguan upper motor

neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor

neuron/LMN.

f) Fungsi sensorik : hilangnya sensasi sebagian atau seluruh

bagian dibawah garis kerusakan.

Page 19: spinal cord injury

23

g) Fungsi otonom : hilangnya tonus vasomotor, kerusakan

termoreguler

h) Autonomic hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas) :

adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah,

bradikardia, hidung tersumbat, pucat dibawah garis

kerusakan, cemas, dan gangguan penglihatan.

i) System gastrointestinal : pengosongan lambung yang lama,

ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress ulcer, feses

keras atau inkontinensia.

j) System urinaria : retensi urine, inkontinensia

k) System muskuloskletal : atropi otot, kontraktur,

menurunnya gerak sendi (ROM)

l) Kulit : adanya kemerahan pada daerah yang tertekan (tanda

awal dekubitus)

m) Fungsi seksual : impoten, gangguan ereksi, ejakulasi,

menstruasi tidak teratur.

n) Psikososial : reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan,

hubungan dengan masyarakat.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot

diafragma, kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan

interkostal serta ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan,

sensorik dan motorik

c. Nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan dan lamanya

imobilitas

d. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi berhubungan dengan gangguan

persarafan pada usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat

gangguan autonomic.

Page 20: spinal cord injury

24

e. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan

syaraf perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,

kehilangan sensori dan mobilitas.