Losing Control Brain vs Spinal Cord+Kemampuan Motorik Kaki Pada Stroke Tidak Seutuh Pada Cedera...
-
Upload
mahliqa-qara-masduki -
Category
Documents
-
view
53 -
download
6
Transcript of Losing Control Brain vs Spinal Cord+Kemampuan Motorik Kaki Pada Stroke Tidak Seutuh Pada Cedera...
1
Kehilangan Pengaturan
Otak Dibandingkan Medulla Spinalis
Pemeriksaan neurologik setelah cedera motorik fokal cenderung
berfokus pada kelemahan daripada pengaturan. Salah satu alasan ialah
anggapan bahwa kelemahan menghalangi pengaturan. Kebanyakan
ahli neurologi lebih akrab dengan penemuan klinis neurologis pada
pasien dengan hemiparesis pasca stroke. Pasien dapat meremas tangan
dengan kekuatanyang mengejutkan namun tidak dapat menghasilkan
gerakan jari secara sendiri-sendiri. Hal ini dapat terlihat ketika
membandingkan efek dari stroke salah satu hemisfer otak melalui
gerakan motorik pada lengan ipsilateral. Kekuatan tidak terpengaruh
namun keterampilan pergerakan melemah. Pemisahan antara
pengaturan pergerakan dan gaya isometrik memiliki tradisi yang
panjang dalam desain lengan robot dan fakta psikofisika yang
memberi kesan bahwa kedua tipe pengaturan kemungkinan dibagi di
dalam otak.
Persoalan ini oleh para ahli neurologi membuka pandangan
anatomis yang lebih jauh mengenai kekuatan/keterampilan pemisahan
dengan membandingkan defisit motorik tungkai kaki pasien dengan
cedera medula spinalis inkomplit (iSCI) dan pada pasien dengan
stroke hemisfer unilateral. Hipotesis utama ialah bahwa 2 kelompok
pasien tersebut menunjukkan tingkat keahlian yang berbeda meskipun
dengan tingkat kelemahan yang sebanding. Hipotesis tersebut
didasarkan pada pemikiran bahwa pada cedera medula spinalis
inkomplit (iSCI) seuruh jaras yang turun dari otak menuju segmen
2
medula spinalis di bawah lesi dipengaruhi dalam proporsi yang sama
dan pengaturan tersebut seharusnya melindungi kelemahan yang
diberikan. Pada pemberian kontras paska stroke, area kortikal sebaik
jaras descenden yang dilewati dan hal tersebut yang menyebabkan
hilangnya kemampuan. Kemampuan dapat melemah secara bilateral
dikarenakan area kortikal bilateral dibutuhkan untuk menggerakkan
anggota gerak. Penulis memperkirakan selanjutnya bahwa pada pasien
dengan iSCI akan mengalami kelamahan namun kemampuan yang
terpelihara secara relatif sedangkan pada pasien stroke kortikal
kelemahan dan penurunan kemampuan akan tampak dan pada
akhirnya secara bilateral.
Penelitian menggunakan ukuran gerakan dorsofleksi (DF) dan
plantarleksi (PF) kaki pasien secara maksimum dan mengevaluasi
kemampuan mereka dalam uji berjalan untuk mereka harus mengadu
tingkat kekuatan pandangan visual dengan menerapkan gerakan
dorsofleksi atau plantarfleksi kaki mereka ke dalam kebiasaan mereka.
Tugas tersebut dipilih untuk mengukur tingkat kelemahan otot pada
setiap pasien sehingga tingkat kemampuan tidak akan dikacaukan oleh
hilangnya kekuatan. Penampilan diukur dengan menghitung kesalahan
kaki rata-rata pangkat empat (RMSE) antara target dan lintasan. Pada
pasien dengan iSCI memiliki penurunan kekuatan pada tungkai
dominan mereka dibandingkan dengan kontrol orang sehat namun
kesalahan penampilan mereka dalam uji lintasan-putaran dimulai pada
tingkat yang sama dengan kontrol. Pasien dengan stroke kortikal
memiliti tingkat kelemahan yang sama pada tungkai mereka
dibandingkan dengan pasien iSCI. Namun penampilan awal mereka
3
pada uji kemampuan walaupun dengan sisi yang ditutupi secara
signifikan lebih buruk. Bagaimanapun tingkat belajar mereka pada
khususnya tidak lebih buruk daripada kelompok iSCI.
Penelitian tersebut menetapkan perkiraan peneliti mengenai
penguraian antara kekuatan dan kemampuan serta memberikan
dorongan untuk membedakan antara efek kerusakan pada area kortikal
dengan jaras descenden. Penelitian ini juga mengangkat masalah
penting mengenai bagaimana mengevaluasi latihan motorik pada
pasien neurologik. Meskipu rehabilitasi neurologik didasarkan pada
pendapat bahwa pasien masih dapat berlatih, beberapa penelitian
menguji efek dari kerusakan otak maupun medula spinalis pada fungsi
motorik dirinya sendiri. Hal ini merupakan tantangan yang berat untuk
membandingkan kapasitas fungsi antara kelompok dengan
kemampuan tingkat awal. Bila kurva fungsi dibandingkan seperti
halnya yang dilakukan pada peelitian ini, hasil yang diperoleh dapat
berlawanan tergantung pada langkah tambahan maupun langkah
multiplikasi yang digugankan untuk menilai fungsi. Sebagai contoh,
apabila seorang pasien memulai sesuai hipotesis dengan penampilan
tingkat 2 dan kontrol memulai pada tingkat 4 kemudian setelah latian
pasien mencapai level 4 dan kontrol mencapai level 7, siapa yang
lebih baik? Apabila skor tambahan yang digunakan maka kelompok
kontrol yang lebih baik. Mereka mendapatkan 3 poin dimana pasien
hanya mendapatkan 2 poin. Apabila skor multiplikasi yag digunakan,
maka pasien yang mendapat hasil lbih baik. Mereka memperoleh
100% sedangkan kelompok kontrol hanya memperoleh hasil 75%.
4
Jadi apa jawabannya? Tidak ada jawaban yang tepat, hal tersebut
tergantung pada teori yang digunakan.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan fungsi yang
berhubungan dengan subjek individu data RMSE serta transformasi
log, dengan kata lain mereka berpandangan bahwa proses multiplikasi
namunn kemudian menghasilkan ukuran tambahan (tidak ada teori
rasional yang diberikan utuk pilihan ini). Pada kelompok stroke
memperlihatkan kesamaan kurva yang melandai pada data
transformasi log dengan kelompok iSCI. Penemuan dengan
kemampuan dasar yang lemah namun fungsi yang utuh memberi
kesan berlawanan. Apabila pasien stroke sama lemahnya dengan
pasien iSCI dalam hal kemampuan belajar mereka, mengapa meraka
lebih lemah pada tingkat keterampilan? Salah satu kemungkinan
bahwa terdapat batasan yang ditentukan oleh kerusakan kortikal
masalah pada kapasitas saluran. Dengan kata lain berapa banyak
informasi yang dapat diproyeksikan pada medula spinalis dimana
fungsi tidak dapat teratasi. Kemungkinan lain yaitu bahwa hanya
dengan latihan yang luas pada fakta tugas yang sulit akan membawa
pasien stroke berada pada tingkat pasien iSCI, latihan berdasarkan
pengalaman setiap hari tidak cukup untuk membawa pasien stroke
berada pada tingkat awal pasien iSCI. Peroalan ini dapatdigeneralisasi
menjadi apakah hubungan antara keterampilan pada tugas khusus dan
keseluruhan ketangkasan.
Penelitian ini menyoroti 2 perbedaan secara kritis dan
memberikan petunjuk mengenai struktur anatomis yang tidak selalu
disadari oleh para ahli neurologi. Hal pertama ialah antara
5
kemampuan pergerakan dan kekuatan kontrol isometrik. Hal kedua
ialah antara penampilan dan latihan. Penelitian terhadap pasien seperti
yang dilakukan oleh van Hedel dkk ialah penting yaitu untuk
memahami pdan engaturan motorik normal serta memberi informasi
mekanisme tentang strategi rehabilitasi dasar yang disesuaikan dengan
macam-macam kelemahan motorik.
6
Kemampuan Motorik Pergelangan Kaki pada Stroke Tidak
Seutuh pada Cedera Tulang Belakang
Implikasi untuk Rehabilitasi
ABSTRAK
Latar Belakang. Setelah terjadi lesi tidak lengkap pada medulla
spinalis (iSCI) atau stroke, kerusakan dari kekuatan dan koordinasi
otot (waktu dan amplitudo) merupakan penemuan klinis yang sudah
diperkirakan, meskipun aspek-aspek tersebut tidak dikemukaan secara
jelas dengan uji klinis. Tujuannya adalah untuk menemukan apakah
pasien iSCI dengan kerusakan fungsi traktus kortikospinalis
(penurunan kekuatan dan pemanjangan stimulasi terpendam magnetic
transkranial) mengalami kerusakaan koordinasi otot yang serupa
dengan pasien stroke.
Metode. Peneliti menilai kekuatan dorso dan plantar fleksi mata
kaki , sebaik kemampuan untuk mengontrol secara tepat aktivasi dari
kelompok otot-otot ini, menggunakan visuomotor torque tracking
7
task. Tugas ini disesuaikan dengan kelemahan otot, yang
menunjukkan perbedaan antara kerusakan pada kekuatan dan
koordinasi.
Hasil. Nilai kekuatan dan performa kemampuan visuomotor diukur
pada 47 subyek. Pada 27 pasien iSCI dengan kelemahan otot yang
signifikan (dorso fleksi mata kaki 65 % dari nilai normal, plantar
fleksi 76 %), menunjukkan perbaikan pada tingkat yang hampir sama
dan pada tingkat hasil akhir disamakan pada subyek yang sehat.
Bagaimanapun, pada 10 subyek stroke performa kemampuan
menunjukkan kerusakan yang signifikan di kedua kaki, meskipun
kekuatan terutama menurun pada kaki yang terpengaruh.
Kesimpulan. Penemuan ini menunjukkan bahwa kekuatan secara
dominan mempengaruhi pada pasien dengan lesi tidak lengkap pada
medulla spinalis, meskipun aktivasi otot tepat tetap tidak dipengaruhi
secara luas. Pada pasien stroke, kerusakan koordinasi otot pada kedua
kaki, tidak dipengaruhi kelemahan otot. Maka dari itu, pasien iSCI
mungkin lebih bermanfaat pada perlakuan rahabilitasi yang
meningkatkan kekuatan otot dibandingkan pada pasien stroke, dimana
bagian supraspinal terlibat dalam kontrol motor yang mana biasanya
terpengaruh.
8
PENDAHULUAN.
Performa otot motorik yang terlatih dalam kehidupan sehari-hari
tergantung sampai batas kekuatantertentu , contohnya kemampuan
untuk menggerakkan ekstremitas melawan gravitasi. Penelitian pada
mamalia telah menunjukkan bahwa kemampuan untuk
9
mengkoordinasi aktivitas otot pada kebutuhan luar tergantung pada
cepat lambatnya transfer informasi sensorimotor antara korteks
serebral dan medulla spinalis cervical. Populasi neuron kortikospinal
di dalam traktus kortikospinal (CST) berasal dari berbagai area di otak
(misalnya area tambahan dan premotor) dan masing-masing populasi
berhubungan dengan semua segmen spinal dengan pola terminasi
yang berbeda.
Pertanyaan yang belum terjawab adalah apakah lesi inkomplit
pada medulla spinalis (iSCI) mempengaruhi akurasi koordinasi otot,
dengan memperhatikan waktu dan amplitudo, pada derajat yang
hampir sama seperti yang terjadi pada stroke. Pada penelitian
observasional ini, kami mengembangkan paradigma visuomotor
torque tracking task terhadap pergelangan kaki, yang dapat
ditunjukkan dalam rentang jumlah kekuatan yang memungkinkan
untuk subyek. (tidak tergantung dari tingkat kelemahan otot). Kerja
pergelangan kaki adalah perhatian berat untuk random dan pola non
ritmis dan memerlukan input visual yang luas. Diketahui bahwa
performa kerja yang membutuhkan perhatian lebih kompleks
dihubungkan dengan aktivasi kontra dan ipsilateral beberapa area
korteks. Kami mengemukakan hipotesis bahwa, kerja proporsional
traktus corticospinalis setelah lesi inkomplit pada medulla spinalis
(iSCI) secara relative tidak mempengaruhi aktivasi yang akurat dari
kelompok otot tertentu, sementara kekuatan otot bias saja tidak sesuai.
Lebih lanjut, kami mengemukakan hipotesis bahwa setelah terjadi
stroke pada daerah korteks, dimana terjadi kekacauan antara beberapa
(bihemisfer) area korteks, mungkin saja mempengaruhi hasil kerja
10
kelompok motor yang membutuhkan perhatian yang kompleks,
kerusakan dalam aktivasi otot terlatih bisa lebih luas daripada pasca-
iSCI, seperti bilateral, dan tidak menyebabkan kelemahan otot.
METODE
Subyek penelitian. Nilai baku diperoleh dari sukarelawan yang sehat.
Subyek dengan iSCI merupakan pasien rawat inap dan rawat jalan di
iSCI center yang memiliki setidaknya kontraksi nyata dari kelompok
otot Plantar Fleksi (PF) dan Dorsal Fleksi (DF) kaki (≥ grade 1
menurut American Spinal Injury Association).Subyek dengan lesi
sistem saraf perifer, berdasarkan data neurofisiologi,
dieksklusikan.Pasien stroke dari rumah sakit neurorehabilitasi Valens
and Wald, Swiss, diikutsertakan dalam penelitian ini.Kriteria inklusi
meliputi lesi otak sistemik (stroke pada A. cerebri media) atau
perdarahan intracranial dan skor diatas 24 pada Mini Mental State
Examination.Pasien stroke dengan letak lesi otak pada subkorteks
dieksklusi.
Persetujuan protokol standar, pencatatan, dan persetujuan
pasien.Protokol penelitian disetujui oleh IRB lokal Cantons of Zurich
and St.Gallon. Penelitian ini sudah memenuhi syarat penelitian yang
menggunakan manusia sebagai subyeknya seperti yang telah tertulis
pada Deklarasi Helsinski dan telah dilakukan inform konsen.
Langkah penelitian. Penelitian ini dilakukan pada kelompok otot DF
dan PF karena dapat diuji pada pasien tetraplegi dan paraplegi,
11
kelompok otot tersebut menerima proyeksi langsung dari
corticomotorneuron, dan merupakan penanda yang sesuai dari proses
berjalan. Subyek diposisikan supinasi selama pengujian untuk
memastikan pasien subakut dapat berpartisipasi. Tungkai bawah
ditempatkan pada sebuah kotak solid (ukuran 17x33x22,5 cm) dengan
posisi lutut difleksikan 30-45° untuk mengurangi spasme nonvolunter
otot ekstensor. Kaki ditempatkan pada alat pengukur putaran isometric
yang dapat merekam putaran PF dan DF dan tidak menekan aksis
longitudinal tungkai.Pengukur tegangan dikaitkan pada kedua sisi alat
perekam putaran yang diikatkan pada batang alumunium dan
dipengaruhi oleh putaran PF atau DF isometrik.Ukuran tegangan yang
dihasilkan direkam pada 50 Hz, diamplifikasi dan dikonversi dari V
menjadi Nm menggunakan software.
Setelah masing-masing subyek dijelaskan tentang apa saja yang harus
dikerjakan, Maximum Voluntary Contraction (MVC) ditetapkan.
Putaran DF dan PF maksimum yang diterapkan pada sebyek adalah
selama 2 sampai 3 detik, walaupun putaran hanya dihitung selama 0,2
detik.
Sebuah lintasan target biru ditampilkan pada monitor yang
merepresentasikan jumlah putaran PF dan DF yang harus diterapkan
oleh subyek seakurat mungkin dari waktu ke waktu (gb.e-1).
Amplitudo lintasan target (y-axis) dikalibrasi menjadi MVC PF dan
DF. Pengamat memulai percobaan dan para subyek diminta untuk
menunjukkan garis merah yang meningkat pada sisi kiri monitor
dengan cara melakukan putaran DF kaki atau menurun dengan
12
melakukan putaran PF kaki.Umpan balik lisan tentang ketidaksesuaian
muncul pada akhir dari lintasan pertama.
Setiap lintasan berisi 4 level konstan putaran DF dan 4 PF pada 20,
40, 60, dan 80% MVC (masing-masing selama 2 detik) dan 2 kondisi
cepat (96% DF maksimal yang langsung diikuti oleh 96% putaran PF
dan vice versa). Delapan lintasan yang berbeda dibuat dengan cara
menempatkan kondisi-kondisi tersebut pada perintah yang diacak dan
memisahkannya dengan beristirahat selama 4 detik. Masing-masing
lintasan kemudian dibagi menjadi dua dengan beristirahat selama 30
detik untuk mencegah kejang otot lokal.Percobaan ini berlangsung
selama 30 menit.
Subyek yang sehat dan subyek dengan iSCI melakukan semua yang
diperintahkan dengan tungkai yang dominan yang biasa mereka
gunakan untuk aktivitas sehari-hari, seperti menendang bola, kecuali
jika sisi tersebut benar-benar lumpuh.Subyek dengan stroke pertama-
tama melakukan dengan kaki yang tidak terkena stroke, kemudian
diikuti dengan kaki yang terkena stroke. Pengukuran disimpan di
dalam PC dan nilai RMS (Root Mean Square) dihitung antara lintasan
target dan lintasan respon dengan memperhitungkan data yang tidak
sesuai. Seluruh ketidaksesuaian data dihitung pada tiap lintasan.Kurva
eksponensial yang kuat cocok dengan poin-poin data pada tiap
subyek. Sebuah karakter dalam fungsi eksponensial adalah
transformasi logaritmik dari banyaknya percobaan dan
ketidaksesuaian tampilan yang menghasilkan sebuah persamaan linear
(y = ax + b), dimana koefisien regresi a menunjukkan tingkat
kemampuan.
13
Pengukuran klinis. Konduktivitas CST (CorticoSpinal Tract) dinilai
menggunakan Stimulasi Magnetik Transkranial (TMS) pada subyek
dengan stroke dan iSCI yang sudah diberi inform konsen dan
memenuhi syarat (tidak mempunyai riwayat epilepsi, besi yang
tertanam di dalam kepala, atau menggunakan pacemaker jantung).
Peneliti menggunakan sebuah protokol yang mempermudah respon
MEP (Motor Evoked Potential).Sebuah lilitan berbentuk angka 8
digunakan dan disambungkan pada stimulator magnetik MagPro
X100.Sebuah getaran tunggal 200µs diterapkan secara otomatis
setelah subyek meningkatkan putaran DF kaki secara perlahan
melebihi 20% MVC.Respon MEP direkam dari elektroda yang
diletakkan pada tibialis anterior (jarak antarelektroda 2cm). Onset
laten ditentukan jika terdapat sinyal diatas 5 MEP dan dinetralkan
dengan cara membaginya dengan tinggi badan (msec/m).
Propioseptif diukur dengan menetukan ambang getaran menggunakan
sebuah skala 8/8 garputala 64 Hz (0/8: tidak ada propioseptif; diatas 6:
propioseptif normal). Peneliti melaporkan nilai rata-rata malleolus
media dan sendi metatarsophalangeal pertama.Kapasitas berjalan
diukur menggunakan tes berjalan 10 meter (kecenderungan dan
kecepatan maksimum).
14
HASIL PENELITIAN
Subjek sehat. Dari 47 subjek penelitian yang sehat (18 wanita), rata-
rata berusia 49,6 + 18,3 tahun (berkisar antara 21-85 tahun), tingginya
1,74 + 0.09 m, dan mempunyai berat 74 + 14 kg. Kesalahan dari
percobaan terakhir mencapai 6,1+ 2,3 (mean + SD ; berkisar dari 2,7-
11,8). Untuk 3 peserta, kesalahan dari ketujuh metode yang termasuk
di dalamnya, merupakan sebuah kesalahan teknik dalam percobaan
terakhir.Jenis kelamin, umur, tinggi dan berat badan termasuk dalam
analisis regresi multiple. Kesalahan percobaan meningkat berkaitan
dengan umur (kesalahan = 2,2 + 0,078 x umur, p<0,001), dan umur
menjelaskan 37% dari variasi kesalahan percobaan. Karena itu, untuk
membandingkan hasil pemberian latihan antara subjek yang sehat
dengan subjek iSCI, subjek disamakan umurnya.
Nilai putaran maksimum dorsofleksi (DF) pada subjek sehat
tergantung dari tinggi badan dan jenis kelamin (Kontraksi volunter
maksimum dorsofleksi = -11,02 + 24,65 x tinggi badan + 4,49 x jenis
kelamin [perempuan = 0; laki-laki=1]). Nilai putaran maksimum
plantar fleksi tergantung dari umur dan berat badan (Kontraksi
volunter maksimum plantar fleksi = 30,2-0,32 x umur + 0,22 x berat
badan). Persamaan ini digunakan untuk menghitung persentase
kekuatan dari subjek dengan iSCI atau stroke dalam perbandingan
dengan subjek sehat.
15
Gambar 1. Kemampuan Tes Visuomotor pada Orang Sehat
The task error 9root mean square) of 47 healthy subjects become
reduced during practiced of consecutive trajectories (p<0,001). A
trend-line (power exponential function) was fitted through the data
points to visualize improvement in performance. The outcome of the
final task performance (Trial 8) was influenced by age.
Subjek sehat vs iSCI.Dari 27 subjek iSCI, terdiri dari subjek yang
mempunyai lesi traumatik (sebanyak 11 orang), penekanan oleh
karena stenosis kanal spinalis (sebanyak 6 orang), dan kerusakan
akibat iskemia atau tumor (sebanyak 10 orang). Subjek iSCI tidak
berbeda secara bermakna dalam hal umur, tinggi badan, atau berat
badan dari subjek yang sehat (p > 0,46, t test). Lesi dari traktus
16
kortikospinalis dibuktikan dengan gejala klinik dan MEP (Motor
Evoked Potential).Satu orang subjek iSCI tidak dites dengan MEP
karena ada riwayat epilepsi dan 2 orang subjek tidak dapat dipicu
MEPnya. Nilai rata-rata dari latensi MEP tibialis anterior normal di
atas batas patologik dibandingkan yang lain, yakni di atas 19,4
msec/m (1 kelompok t test, p = 0.01). Berdasarkan hasil t test,
Propiosepsi dan kecepatan berjalan maksimum berkurang secara
bermakna pada subjek iSCI (untuk semuanya nilai p<0,001).
Hasil Pemberian latihan tracking torsi meningkat sampai pada nilai
rata-rata yang dapat dibandingkan (subjek sehat : a = -0,310 + 0,123
[mean + SD]; subjek iSCI: a = -0,279 + 0,125; p = 0,37; t test).
Kesalahan penelitian dari percobaan terakhir tidak jauh berbeda antar
kelompok (subjek sehat: 6,7+ 2,5; subjek iSCI : 8,0 + 3.2; p = 0.09; t
test, gambar 2, Bc) dan tidak ada hubungan antara kesalahan
percobaan awal dan rata-rata perhitungan di antara 2 kelompok
(subjek sehat: r = -0.26, p = 0.24).
Sebaliknya, kekuatan otot DF dan PF meningkat pada subjek iSCI:
skore motor klinik ASIA (subjek iSCI: DF: 4.4 + 0.9, p = 0.001; PF;
4.5 + 0.9, p = 0.004), nilai putaran absolut (subjek sehat: DF: 34 + 7
Nm dan PF:29 + 11 Nm; subjek iSCI: DF: 23 + 10 Nm [p < 0.001]
dan PF: 21 + 9 Nm [p = 0.003]), dan nilai putaran normal (DF: p <
0.001; PF: p = 0.01; semua t test, lihat tabel, gambar 2, Ba dan Bb).
Rata-rata nilai putaran (DF dan PF) normal hanya sedikit terkait
dengan kesalahan penelitian (peserta sehat: r = -0.23, p = 0.24; subjek
iSCI: r = -0.33, p = 0.09, gambar 2Bd)
17
Stroke vs iSCI.Rata-rata skor Latihan Status Mini-Mental dari 10
subjek dengan stroke adalah 28.2 + 1.4 poin (berkisar antara 26-
30).Sepuluh subjek iSCI dicocokkan berdasarkan jenis kelamin, umur,
dan kekuatan DF dan PF (tungkai yang lemah).Berdasarkan hasil t
test, dalam hal umur, tinggi badan, dan berat badan tidak berbeda
secara bermakna (p > 0.34). Pemanjangan Latensi MEP tibialis
anterior ditemukan pada tungkai yang lemah pada subjek stroke ketika
dibandingkan dengan subjek iSCI (p = 0.026, t test), meskipun MEP
tidak dapat dipicu di dua tungkai dari subjek iSCI. Latensi MEP dari
kaki subjek dengan stroke yang sehat tidak jauh berbeda dengan nilai
ambang patologik dari 19.4 msec/m (p = 0.57, satu kelompok t test).
Dari hasil t test, tidak ada perbedaan antara 2 kelompok ini mengenai
kecepatan langkah kaki (kecepatan yang dipilih, p = 0.23; kecepatan
maksimum, p = 0.14).
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara 10 subjek iSCI (a = -0.223
+ 0.150) dan subjek stroke, yang menunjukkan permulaan latihan dari
kaki yang sehat (a = -0.150 + 0.160; p = 0.31; t test; gambar 3A). Di
antara subjek stroke, permulaan latihan tidak berkaitan dengan hasil
rata-rata penelitian (r = -0.16, p = 0.65).
Kekuatan DF mata kaki dari tungkai yang lemah dari subjek stroke
menjadi lebih lemah jika dibandingkan dengan tungkai yang sehat
pada subjek stroke dengan nilai p (DF) = 0.002 dan PF (p = 0.01).
Meskipun kekuatan otot DF dan PF dari subjek iSCI tidak berbeda
jauh dari nilai kekuatan tungkai stroke yang lemah (DF, p = 0.96; PF,
p = 0.36; gambar 3Ba dan Bb), tungkai yang dominan pada subjek
iSCI menunjukkan hasil latihan yang lebih baik bila dibandingkan
18
dengan subjek stroke (tungkai yang tidak lemah, p = 0.04, t test, lihat
gambar 3Bc). Pada subjek stroke, penelitian menunjukkan hasil
latihan yang hampir sama pada tungkai yang lemah (gambar 3A).
Skor latihan satus Mini-Mental tidak berkaitan dengan kesalahan
penelitian (tungkai yang tidak lemah : r = -0.09 dan tungkai yang
lemah: r = 0.06; lihat gambat 3Bd).
27 Subjek Sehat dan Subjek Isci
10 Subjek Stroke dan 10 Subjek Isci
Pengukuran Sehat Isci stroke Isci Karakteristik subjek Umur (th) 57 ± 14 57 ± 14 62 ± 12 62 ± 7 Wanita 8 8 4 4 Tinggi Badan (m) 1.73 ±
0.10 1.74 ± 0.08
170 ± 0.07 1.73 ± 0.06
Berat Badan (kg) 78 ± 15 75 ± 12 74 ± 14 72 ± 10 Karakteristik Klinik dan Pengukuran Lesi NA C3 - C8
: 16 Right Hemisphere : 9
C3 - C8 : 4
T1 - T6 : 4
Left Hemisphere : 1
T1 - T6 : 2
T7 - T12 : 7
T7 - T12 : 4
Waktu Lesi (th) NA 2.5 ± 3.9
2.3 ± 3.4 1.0 ± 2.9
MCV DF, % 99 ± 19 65 ± 27 87 ± 12/52 ± 23
51 ± 31
MCV PF, % 98 ± 30 76 ± 32 98 ± 37/71 ± 36
55 ± 40
Normalized MEP latency, msec/m
19.4ᵇ 23.0 ± 4.6
19.8 ± 2.0/24.4 ± 3.6
20.9 ± 2.6
Propioseptif 7.1 ± 1.3
4.5 ± 2.8
7.0 ± 0.8/6.9 ± 1.2
4.8 ± 2.5
19
Preferred walking speed, m/sec
1.51 ± 1.61
0.66 ± 0.54
0.78 ± 0.31 0.56 ± 0.49
Maximum walking speed, m/sec
2.43 ± 0.39
0.91 ± 0.77
1.11 ± 0.57 0.71 ± 0.59
Tabel 1. Karakteristik Subjek dan Pengukuran Klinis
Abbreviations : C = cervical; DF= Dorsal Flexion; iSCI = incomplete
spinal cord injury; MEP = motor evoked potential; MCV = maximal
voluntary contraction, expressed as a percentage of the expected
healthy value; PF = plantar flexion; T = thoracic.
ᵃThis table compares a group of 1) 27age- and gender – matched
healthy subjects vs 27 iSCI subjects and 2) 10 age- and gender-
matched stroke vs 10 iSCI subjects for various clinical measures, as
well as ankle dexterity and strength measures.
ᵇ19.4 is the upper limit of normalized tibialis anterior motor evoked
potential latency in healthy subjects as derived from the literature.
DISKUSI
Meskipun secara klinis fungsi gerak motorik kasar pada otot-otot yang
mengalami paralisis inkomplit secara klinis tampak lebih janggal,
pada penelitian ini ditunjukkan bahwa pasien iSCI masih dapat
mempertahankan keakuratan pengontrolan terhadap kekuatan otot-
ototnya.Hal ini berlawanan dengan pasien stroke, dimana kemampuan
ini menurun dengan cukup signifikan, baik pada ekstremitas yang
mengalami hemiparesis maupun pada ekstremitas yang tidak
mengalami kecacatan, hal ini nampaknya independen dari kelemahan
otot. Hilangnya kemampuan untuk menghasilkan pola aktivasi otot
spatial dan temporal memang dilaporkan setelah terjadinya stroke,
yaitu saat lengan yang mengalami hemiparesis diuji dengan
20
menggunakan uji penelusuran (tracking task) yang memerlukan
kemampuan sendi siku untuk melakukan fleksi dan ekstensi. Lebih
lanjut lagi, meskipun pada pasien iSCI mengalami defisit kekuatan
yang cukup besar, terungkap bahwa pemilihan waktu pergerakan
ritmik DF pergelangan kaki masih baik, sedangkan pasien-pasien
stroke menunjukkan kecacatan baik pada pemilihan waktu untuk
pergerakan maupun kekuatan gerakan.
Setelah terjadinya iSCi, Volume Kontraksi Maksimum dari otot yang
mengalami kecacatan sebagian menjadi terbatas, sebagai akibat
berkurangnya jumlah motoneuron (normalnya berjumlah 150 ± 40
pada muskulus tibialis anterior) yang dapat diaktifkan secara volunter.
Selain itu, tingkat kekuatan absolut otot menjadi berkurang, selain
sebagai akibat berkurangnya jumlah unit motorik, juga disebabkan
oleh modulasi frekuensi penghantaran impuls menjadi terbatas.Salah
satu kemungkinan mengapa hal ini tidak terlihat pada penelitian
sebelumnya adalah karena uji kekuatan gradasi dinormalkan oleh
adanya Volume Kontraksi Maksimum.
Tidak terdapat interaksi yang kompleks antara onset performa pada
pengujian dan tingkat kecepatan belajar pada subjek grup. Akan
tetapi, pada pasien stroke, uji performa mengalami pengaruh, yaitu
baik pada anggota badan yang mengalami hemiparesis maupun
tungkai yang tidak mengalami kecacatan pada pasien stroke, yang
dapat dijelaskan dengan kontrol kortikal bilateral dari pengujian yang
menuntut perhatian dengan tingkat ketepatan tinggi. Dengan
meningkatnya ketepatan dan tuntutan pada gradasi kekuatan
(misalnya, pada indeks genggaman jempol), korteks motorik
21
kontralateral, area motorik supplementer, serta area premotor dorsal
mengalami peningkatan aktivasi.Aktivasi bilateral tambahan pada area
korteks, terutama pada area motorik suplementer, dapat diamati pada
pergerakan pergelangan kaki saat dibandingkan dengan uji
penelusuran pergerakan jari.Memang, setelah stroke perbedaan dalam
pemulihan dapat diamati melalui kekuatan genggaman sederhana dan
tugas-tugas yang memerlukan kemampuan tinggi, menunjukkan
bahwa fungsi-fungsi ini beroperasi secara anatomis maupun
fungsional pada entitas yang berbeda.
Pada monyet rhesus, seperti yang juga telah disebutkan di atas,
distribusi proyeksi kortikospinal tampak lebih bilateral dan kompleks
dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.Baik anggota gerak atas
maupun bawah setelah stroke, yaitu pada sisi ‘yang tidak terpengaruh’
tidak benar-benar tidak terpengaruh.Akan tetapi, pada seseorang yang
mengalami iSCI, area kortikal ikut terlibat dalam pengontrolan gradasi
kekuatan tidak secara langsung terpengaruh dan tetap kompeten,
bahkan sampai suatu tingkat pada seseorang dengan SCI motorik
kronis komplit.
Makin buruknya performa pada subjek yang lebih tua mungkin dapat
mengindikasikan tingginya sensitivitas pada pola pikir pengujian ini.
Hal ini sejalan dengan temuan psikologik yang menunjukkan bahwa
sistem pemprosesan dan integrasi input sensorik menurun seiring
bertambahnya umur. Selain itu, pada orang-orang tua terdapat
penurunan modulasi rata-rata penghantaran impuls unit motorik dan
sebuah peningkatan perubahan kekuatan per perubahan tingkat
penghantaran impuls dan, sebagaimana test yang menuntut perhatian,
22
seperti yang telah diketahui, kapasitas memori menurun seiring
dengan pertambahan umur.
Gambar 2. Kemampuan Tes Visuomotor dan Kontrol Kekuatan pada Orang Sehat dan Orang Dengan iSCI
A.
B.a B.b
23
B.c B.d
(A) Kemampuan meningkat pada kedua kelompok. Kekuatan Dorsal (2.B.a) dan Plantar (2.B.b) Fleksi (Ditunjukkan oleh nilai persentasi sesuai dengan karakteristik subjek) yaitu berkurang bada subjek dengan iSCI. (2 B.c) Kesalahan kemampuan pada percobaan tes lintasan putaran visuomotor tidak berbeda di antara kelompok tersebut. (2 B.d) Rata-rata persentasi kekuatan tidak berhubungan dengan kesalahan kemampuan pada subjek dengan iSCI
Gambar 3. Kemampuan Tes Visuomotor dan Kontrol Kekuatan pada Orang Dengan Stroke dan Orang Dengan iSCI
24
A.
B.a B.b
B.c B.d
25
(A) Orang dengan iSCI meningkat dengan nilai yang lebih cepat dengan kesalahan kemampuan yang menurun dibandingkan dengan strokePutaran Dorsal (B.a) dan Plantar (B.b) fleksi (ditunjukkan sebagai persentasi yang diperkirakan dari peserta sehat ) dapat dibandingkan antara subjek dengan iSCI dan pada subjek stroke dengan tungkai yang terkena. Pada subjek stroke kekuatan kaki yang tidak terkena lebih besar daripada kaki yang terkena. (B.c) Tes kemampuan pada percobaan terakhir (percobaan ke delapan , tungkai tidak terkena, percobaan ke empat, tungkai terkena) lebih jelek pada subjek dengan stroke dibandingkan dengan iSCI , tapi tidak berbeda dengan tungkai yang terkena pada subjek dengan stroke. (B.d) Nilai “The Mini-Mental State Examination” tidak berhubungan dengan tes kemampuan pada orang dengan stroke
Beberapa pokok persoalan metodologik yang perlu dipertimbangkan
berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Pengaruh
kecacatan sensorik terhadap performa dalam pengujian dielakkan
dengan menyediakan input visual online, menyediakan strategi umpan
maju dan umpan balik untuk mengoptimalkan akurasi tugas. Khusus
pada subjek iSCI kronik, yang mungkin telah mengembangkan
strategi umpan maju untuk aktivitas sehari-hari, lebih sedikit
bergantung pada persepsi proprioseptik, sebagaimana hasil persepsi
proprioseptik dan error pada performa memiliki hubungan yang lebih
baik pada 15 subjek iSCI subakut (r=-0,57, p=0,03; waktu sejak
terjadinya lesi 12,8 hari; range 21-65 hari) bila dibandingkan dengan
subjek kronik (r=0,-28, p = 0,043; 6,6 ± 4,0 tahun setelah penyakit
terjadi). 2) Kekakuan otot jarang terjadi karena sendi lutut terus dijaga
dalam posisi fleksi selama test berlangsung. Spastisitas tidak melebihi
tingkat 1 pada orang-orang dengan iSCI pada Modified Ashworth
26
Scale dan tingkat 2 pada orang-orang dengan stroke.Fleksi sendi lutut
dapat membatasi aktivitas dasar sehari-hari secara keseluruhan dimana
spasme non volunteer dapat muncul.Lebih jauh lagi, fleksi sendi lutut
tidak berpengaruh pada reliabilitas PF MVC, dimana tenaga putaran
dua otot gastrocnemius dipengaruhi oleh sudut fleksi sendi lutut.
Penilaian berulang dari DF dan PF MVC pada 20 partisipan sehat
(interval tes: 9±4 hari) dan 24 orang dengan iSCI (16±23 hari; pasien
akut dievaluasi ulang dalam seminggu) menunjukkan bahwa terdapat
reliabilitas yang tinggi untuk DF MVC pada subjek yang sehat
(koefisien korelasi intra kelas [ICC]= 0,89) dan subjek dengan iSCI
(ICC=0,91; ICC kombinasi= 0,94) dan reliabilitas yang rendah pada
PF MVC (subjek sehat: ICC=0,63;iSCI: ICC = 0,82; ICC
kombinasi=0,85).
Perburukan fungsi kognitif (seperti demensia) pada subjek dengan
stroke tidak berpengaruh pada performa kerja yang rendah, karena
skor pada pemeriksaan Mini-Mental State Examination tinggi dan
tidak berpengaruh pada performa kerja yang kacau. Walaupun Mini-
Mental State Examination tidak menyediakan informasi yang detail
tentang proses yang dibutuhkan untuk pembelajaran motorik dan
performa, seperti visuopersepsi dan rencana motorik, orang dengan
stroke meningkatkan dan mempertahankan performa kerja sepanjang
waktu, mengindikasikan bahwa mereka mengerti tugas dan tetap
fokus selama percobaan.
Penemuan baru-baru ini dapat sangat berarti dalam protokol
rehabilitasi di bidang SCI, dimana kekuatan otot yang kembali dapat
membangun koordinasi motorik.Latihan otot menunjukkan efek yang
27
menguntungkan pada SCI kronik. Lebih jauh lagi, pembentukan
tenaga yang lebih tinggi dapat diinduksi dengan intervensi berbasis sel
atau obat-obatan mengembalikan serat yang rusak atau meningkatkan
pertumbuhan akson pada tempat lesi., oleh karena itu dapat
meningkatkan input supraspinal indirek pada lokasi motoneuron
spinal dengan cara penjalaran kolateral pada interneuron. Rangsangan
motoneuron spinal dapat ditingkatkan dengan stimulasi epidural. Pada
akhirnya intervensi dapat mencapai target pada unit motorik.
Penjalaran perifer dari serat otot yang terinervasi ke yang tidak
terinervasi mungkin dapat dtingkatkan melebihi tingkat yang
diobservasi secara spontan.