Sotziale Vol 1 : Publik

23
Sebuah terbitan semaunya dari "Tiang Bendera" ISH Saluran: tibenish.org, issuu.com/tibenish Vol 1: Publik KONTEN Bringing Home Project #1: Kesederhanaan Atmosfir Rumah Dalam Halte Malfungsi >> Azizi Al Majid No Exit? >> A Haris W Mixtibe #1 >> Senartogok Dimensi Manusia dalam Perencanaan: Dioscuri dan Overdosis Ruang Publik >> Naufal Rofi Indriansyah Trotoar >> A Haris W Bringing Home Project #1: Kesederhanaan Atmosfir Rumah Dalam Halte Malfungsi Azizi Al Majid Dulu guru Bahasa Inggris saya memberikan pertanyaan, apa yang membedakan house dan home? Lalu setelah beberapa siswa menjawab, guru saya menimpali, bahwa House adalah satu bangunan rumah, sedang Home adalah sebuah atmosfir yang ada membuat orang merasa ada di rumah, sebuah struktur bangunan rumah belum tentu menghadirkan atmosfir “rumah” bagi orang yang berada di dalamnya. Sedangkan atmosfir home dapat hadir dimanapun, karena atmosfir rumah dibangun oleh orang-orang didalamnya dan didukung penuh oleh ruanganya, seperti apapun. Bringing Home Project #1, merupakan sebuah proyek yang dilaksanakan oleh Muhammad Sabil Waso, Fajar Nurhadi, Hari Setyo Utomo, Azizi Al Majid, dan Dani Rachman, proyek yang dilaksanakan pada Jumat malam tanggal 13 Mei 2016 ini merupakan sebuah respon terhadap hilangnya fungsi sebuah fasilitas umum buatan pemerintah, salah satunya sebuah halte bus, tepatnya di depan Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung. Acara tersebut dilaksanakan dengan sederhana, dengan menggunakan teks H-O-M-E sederhana, lampu-lampu yang berkelap-kelip secara sederhana, menggunakan teks berjalan yang secara sederhana hadir – entah bisa dapat darimana, tamu-tamu pengisi acara yang sederhana yang membawa cerita hangat, dan tentunya pengunjung yang datang secara sederhana dan bersahaja. Acara ini berjalan dengan tidak begitu ambisius, karena hanya ingin menemukan kehangatan satu malam, menghadirkan atmosfir rumah pada satu bangunan yang hilang fungsinya, kadang menjadi rumah sementara orang-orang tunawisma, tempat teduh, atau penghadang jalan pejalan kaki yang selalu terdiskriminasi. Acara ini di isi oleh Das Kopital yang diwakili oleh bilal yang memberikan satu wacana mengenai sejarah dan “adab” memilih kopi, meminum kopi, dan tradisi dalam kopi. Lalu ada teman dari karna kayana yang membacakan puisi merespon kegiatan tersebut diiringi beatbox dan dawaian biola. Lalu bagus alias Hyang Iman bersama temannya membawakan cerpen Sutardji Calzoem Bachri mengenai hujan, cerpen nya yang bernada absurd jika dibaca dikala senggang namun jadi romantis dan mengenyuhkan ketika Hyang Iman bacakan, apalagi setelah bacanya, hujan rintik mengikuti. Lalu Fajar Abadi, seorang seniman performans, yang membawakan tiga buah lagu yang membuat suasana tenang dan hangat malam itu, sedikit-sedikit ada sentuhan sentimentil romantisnya yang menyambar pengunjung malam itu. Lalu Senartogok alias Tarjo, yang diperkenalkan sebagai pengamen asal jerman (dan diikuti sorak soray pengunjung dan kerabatnya), menyanyi lagu-lagu puitis nan keras, dan diakhiri dengan aksi improvisasinya yang mencoret halte tanpa banyak ba-bi- bu, satu aksi yang kita anggap sebagai aksi panggung – toh akhir acara bisa dibersihkan, tanpa mengurangi rasa kagum dan keren aksi panggung senar togok. Lalu penampilan berikutnya ditutup oleh kelompok penyanyi mayonaise, yang membawakan lagu-lagu sederhana yang menggelitik penontonnya, salah satunya lagu berjudul “tahu bulat”, satu pembawaan lagu yang didasari fenomena sosial terdekat yang paling dekat ditelinga penonton, penonton bahkan meminta encore

description

Sebuah terbitan sesukanya dari "Tiang Bendera" ISH. Kali ini secara tidak spesifik membahas ruang-ruang publik. Terkhusus terdapat catatan (kuratorial?) pada Bringin Home Project #1, 13 Mei Lalu. Kontributor diantaranya Azizi Al Majid, Naufal Rofi Indriansyah, Abdul Haris Wirabrata, dan Senartogok.

Transcript of Sotziale Vol 1 : Publik

Page 1: Sotziale Vol 1 : Publik

Sebuah terbitan semaunya dari "Tiang Bendera" ISH Saluran: tibenish.org, issuu.com/tibenishVol 1: Publik

KONTENBringing Home Project #1: Kesederhanaan Atmosfir Rumah Dalam Halte Malfungsi >> Azizi Al MajidNo Exit? >> A Haris WMixtibe #1 >> Senartogok Dimensi Manusia dalam Perencanaan: Dioscuri dan Overdosis Ruang Publik >> Naufal Rofi IndriansyahTrotoar >> A Haris W

Bringing Home Project #1: Kesederhanaan Atmosfir Rumah Dalam Halte MalfungsiAzizi Al Majid

Dulu guru Bahasa Inggris saya memberikan pertanyaan, apa yang membedakan house dan home? Lalu setelah beberapa siswa menjawab, guru saya menimpali, bahwa House adalah satu bangunan rumah, sedang Home adalah sebuah atmosfir yang ada membuat orang merasa ada di rumah, sebuahstruktur bangunan rumah belum tentu menghadirkan atmosfir “rumah” bagi orang yang berada di dalamnya. Sedangkan atmosfir home dapat hadir dimanapun, karena atmosfir rumah dibangun oleh orang-orang didalamnya dan didukung penuh oleh ruanganya, seperti apapun.

Bringing Home Project #1, merupakan sebuah proyek yang dilaksanakan oleh Muhammad Sabil Waso, Fajar Nurhadi, Hari Setyo Utomo, Azizi Al Majid, dan Dani Rachman, proyek yang dilaksanakan pada Jumat malam tanggal 13 Mei 2016 ini merupakan sebuah respon terhadap hilangnya fungsi sebuah fasilitas umum buatan pemerintah, salah satunya sebuah halte bus, tepatnyadi depan Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung. Acara tersebut dilaksanakan dengan sederhana, dengan menggunakan teks H-O-M-E sederhana, lampu-lampu yang berkelap-kelip secara sederhana, menggunakan teks berjalan yang secara sederhana hadir – entah bisa dapat darimana, tamu-tamu pengisi acara yang sederhana yang membawa cerita hangat, dan tentunya pengunjung yang datang secara sederhana dan bersahaja. Acara ini berjalan dengan tidak begitu ambisius, karena hanya ingin menemukan kehangatan satu malam, menghadirkan atmosfir rumah pada satu bangunan yang hilang fungsinya, kadang menjadi rumah sementara orang-orang tunawisma, tempat teduh, atau penghadang jalan pejalan kaki yang selalu terdiskriminasi.

Acara ini di isi oleh Das Kopital yang diwakili oleh bilal yang memberikan satu wacana mengenai sejarah dan “adab” memilih kopi, meminum kopi, dan tradisi dalam kopi. Lalu ada teman dari karnakayana yang membacakan puisi merespon kegiatan tersebut diiringi beatbox dan dawaian biola. Lalu bagus alias Hyang Iman bersama temannya membawakan cerpen Sutardji Calzoem Bachri mengenai hujan, cerpen nya yang bernada absurd jika dibaca dikala senggang namun jadi romantis dan mengenyuhkan ketika Hyang Iman bacakan, apalagi setelah bacanya, hujan rintik mengikuti. Lalu Fajar Abadi, seorang seniman performans, yang membawakan tiga buah lagu yang membuat suasana tenang dan hangat malam itu, sedikit-sedikit ada sentuhan sentimentil romantisnya yang menyambar pengunjung malam itu. Lalu Senartogok alias Tarjo, yang diperkenalkan sebagai pengamen asal jerman (dan diikuti sorak soray pengunjung dan kerabatnya), menyanyi lagu-lagu puitis nan keras, dan diakhiri dengan aksi improvisasinya yang mencoret halte tanpa banyak ba-bi-bu, satu aksi yang kita anggap sebagai aksi panggung – toh akhir acara bisa dibersihkan, tanpa mengurangi rasa kagum dan keren aksi panggung senar togok. Lalu penampilan berikutnya ditutup oleh kelompok penyanyi mayonaise, yang membawakan lagu-lagu sederhana yang menggelitik penontonnya, salah satunya lagu berjudul “tahu bulat”, satu pembawaan lagu yang didasari fenomena sosial terdekat yang paling dekat ditelinga penonton, penonton bahkan meminta encore

Page 2: Sotziale Vol 1 : Publik

buat lagu ini.

Penampilan para pengisi dan dekorasi halte sesungguhnya berhasil menemui ekspetasi kami, menghadirkan atmosfir rumah. Pengunjung yang malam itu membludak memenuhi halte malfungsi itu, sebagian terpana dan dihangatkan oleh bacaan puisi, cerpen, dan nyanyian dari penampil, sebagian pula dihangatkan oleh kopi dari Das Kopital, sebagian lagi menikmati malam dengan mengobrol, berkenalan, dan berbagi kasih – kalau tidak salah ada. Halte itu penuh tapi tidak gerah –aneh memang, halte itu tidak lagi gelap tapi menjadi gemerlap dan berkelap-kelip. Halte itu hidup kembali untuk malam itu.

Acara itu berakhir sekitar pukul sebelas malam, ditutup seadanya, kopi dari das kopital sudah tinggal sedikit, sudah perlahan-lahan diseruput teman-teman yang hadir dan penasaran akan kopi arabika yang pahit karena memang pada dasarnya kopi itu pahit. Ada puluhan orang yang datang, dari teman kami, temannya teman kami, temannya pengisi, dan mungkin orang yang tidak sengaja lewat hingga akhirnya bersinggah. Hingga larut beberapa masih menikmati kelap-kelip dan jalan raya yang sudah sepi, jarang sekali.

Halte yang malfungsi itu sudah habis kami vandal, kami vandal secara cantik dan menggemaskan, kami isi kekosongannya dengan atmosfir yang ingin seideal atmosfir rumah. Vandalisme tidak mestimerusak dan corat-coret hanya demi nampang, vandalisme bisa saja dibuat dengan memberikan momen, yang ephemeral sekalipun.

Pembangunan nanggung

Halte yang kami pakai merupakan satu dari banyak fasilitas publik yang terlantar, terlantar bukan karena tidak dirawat, tetapi terlantar karena pembangunannya yang tidak jelas, asal bangun, biar terlihat bagus saja. Halte itu lumayan sekali, dibangun diatas struktur beton dengan struktur alumunium, dan tempat duduk yang cukup nyaman, namun pembangunan nya cukup aneh, karena dibangun di bahu jalan yang sepertinya sepi pengguna bus. Jalan gedung Indonesia Menggugat itu berada di posisi yang nanggung, terlihat dekat tapi cukup jauh untuk ditempuh pejalan kaki dari Pasar Baru, lebih jauh lagi bagi pejalan kaki di Stasion. Ia dibangun tidak didasarkan pada pemetaandengan tepat. Jadilah halte itu tempat tidur tuna-wisma, penghadang jalan pejalan kaki, atau tempat mangmang ojek menunggu pelanggan. Tidak salah rasanya kami satu malam memberikan keindahan lain disana, atmosfir baru.

Pembangunan fasilitas yang baik di Bandung banyak sekali tidak berada di posisi yang tepat, tidak pada publik yang tepat. Apalah artinya ruang publik tanpa publiknya? Ruang kesia-siaan belaka. Misal saja Taman Film yang terdenga keren, foto nya juga keren, tidak nanggung ada tv raksasa, ia dibangun dibawah jembatan pasupati dan dekat dengan masyarakat kawasan kampung pulosari. Tentu saja ini akhirnya adalah suatu pembangunan fasilitas yang baik namun di ruang yang salah, dipublik yang salah. Pertanyaanya, apakah ruang tersebut dibutuhkan warga di sekitar sana? Apakah ruang publik itu mendukung penuh laju ruang-ruang disekitarnya? Apakah ruang tersebut memberikan dampak baik sesuai dengan warga sekitarnya? Terakhir saya kesana adalah taman yangterlihat indah dengan rumput sintetisnya, ternyata berbau pesing, jelas saja ruang untuk publik itu tidak diberi toilet umum disekitarnya, saat ada screening disana, warga sekitar ternyata terganggu; bising, ramai, belum lagi keluar masuk orang tidak dikenal yang tidak lapor RT/RW setempat. Lalu televisi raksasanya sudah tidak bisa hidup karena komponen televisinya raib, mungkin warga lebih butuh komponennya untuk dijual, dibanding taman film yang mengundang keberisikan. Masih banyak lagi ruang dan fasilitas publik yang “gagal” dan butuh perhatian dari kita, masyarakat, dan pemerintah.

Epilogue

Bringing home project #1 ini selain diharapkan pula dapat memberikan pandangan baru terhadap pemaknaan ulang ruang publik, dapat membuka mata teman-teman bahwa pembangunan fasilitas publik haruslah diawasi dan tidak mudah jatuh cinta pada pembangunan karena terlihat keren saja

Page 3: Sotziale Vol 1 : Publik

(saya kira ini fenomena saat ini sekali). Melalui proyek ini, kami memaknai ulang ruang kosong yang malfungsi dan sia-sia itu dan berharap memberikan kehangatan, kebahagiaan, dan inspirasi bagi pengunjung. Pemberian tanda #1 semata-mata kami berikan atas dasar harapan project ini dapat berlangsung kembali, di ruang-ruang lain, dengan suasana home yang lebih baik.

NB: Penghargaan atas kontribusi terbesar dan terima kasih terbesar kami haturkan kepada bapak pedagang nasi goreng di depan GIM, pedagang di kios depan GIM, pengurus GIM, seluruh pengisiacara yang sudah menyukseskan acara, dan semua pengunjung yang budiman.

Presentasi kegiatan ini akan dipamerkan dalam bentuk artefak, tulisan, poster, dan dokumentasi, dalam pameran Seni Desain Lingkungan, “SAPA Peradaban” yang akan berlangsung pada tanggal20 Mei 2016 di Pendopo Kota Bandung, Jl. Dalem Kaum Bandung �ٚ��-

//\

Catatan editor : Tulisan ini sebelumnya dimuat sebagai note pada laman pribadi penulis, Azizi Al Majid

No Exit?*A Haris Wirabrata 

Dua minggu lalu sabil bertandang ke tiben dalam rangka mengajak senartogok untuk berkolaborasi dalam "Bringing Home Project #1" (BHP#1) yang telah dihadirkan jumat lalu. Tulisan ini datang sebagai pembayaran hutang karena menjanjikannya dua minggu lalu untuk dibagikan pada BHP#1 jumat itu. Alasan berhutang sederhana saja, tiben bisa mengundang sabil untuk mengisi diskusi kecil di tiben yang entah kapan. Nah, lalu hendak apa tulisan ini memanjang-lebarkan persoalan?

BHP#1 adalah kejadian di halte, yang direncanakan tetapi berjalan mengalir menjadi sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin kita bayangkan. Ketidakmampuan itu bukan sebab terjadi sesuatu yang luar biasa melainkan BHP#1 terjadi pada tiap titik di halte dan sekitar halte, dalam frame berdurasi yang terus bermain sampai pukul dua puluh tiga lebih.

Untung tidak dibubarkan satpam itb. Yah, itu juga karena dia berlangsung di halte depan Gedung Indonesia Menggugat (GIM).

Bahasan harus berhenti sekarang juga kalau kita tidak menjawab apa itu BHP#1. Itu dibutuhkan sebagai syarat utama pertanyaan penulis "Akan jadi apakah tulisan ini?"

Di atas telah dipertegas bahwa BHP#1 adalah serangkai pertumbuhan kejadian. BHP#1 juga adalah kejadian secara keseluruhan, tetapi itu saja tidak cukup.

Sebelum sampai lokasi, saya hanya dapat membayangkan halte (trans?) bandung. Sebentuk kotak yang berdiri lebih tinggi dari trotoar yang memiliki lebar sekitar tiga meter. Di belakangnya dindingatau pagar pembatas sebuah bangunan yang diantara mereka terdapat lintasan kecil, muat dua orang berjajar. Kotak itu memiliki bentuk balok (emang kue?) dengan enam sisi, delapan rusuk, dan delapan sudut. Ia melintang pada trotoar, dua sisi vertikal menghadap lintasan arah arus pejalan kakidengan pintu pada keduanya. Ia tidak dibangun dengan batu-bata melainkan susunan rangka aluminium yang mengikat berlembar-lembar kaca bening. Luasannya tidak mungkin seperti alun-alun bandung, hanya sekitar dua kali enam meter. Secara peruntukan formal yang ditetapkan oleh pengelola kota, ia adalah tempat menunggu bus yang semestinya lewat. Yang mungkin berada disana adalah orang-orang bermuka masam, atau ber-masker yang sedang menunggu bus berhenti di

Page 4: Sotziale Vol 1 : Publik

pintu yang lebih tinggi dari trotoar.

Sampai di lokasi, saya dihadapkan pada lampu led kecil-kecil bersambung pada seutas kabel. Mereka kerlap kerlip mengitari interior halte dengan membentuk suatu pola. Sebuah papan menggantung–di atas pintu perpindahan halte ke bus yang menghadap jalan aspal lintasan kendaraan–menampilkan tulisan merah "Bringin Home Project #1" yang berjalan dari batas kiri danlenyap di batas kanan, begitu terus berulang (abadi?) sepanjang Saya memandangnya. Tulisan besar "HOME" menampang keluar menghadap jalan aspal. Saya sampai di sana disambut oleh Mr. Aji yang sedang memotret-motret. Saya temukan pula wajah familiar dan banyak lagi diluar mereka yang tak saya kenal. Tidak lupa, bahwa di belakang halte berdiri satu kedai nasi goreng dengan stensil seorang tokoh di muka gerobaknya. Pada gerbang masuk GIM terpampang sebuah spanduk sebuah acara yang juga sedang berlangsung di dalam gedung, kalau tidak salah seputar feminisme.

Di dalam halte, cubicle kasir pembelian tiket disulap menjadi dapur kecil tempat Das Kopital menyeduh kopi manual brew yang dapat dinikmati oleh sesiapa yang hadir dengan cuma-cuma. Di sebelahnya satu tempat sampah berdiri gagah setengah penuh. Lalu Sejajar dengan cubicle tersebut, dua bangku panjang permanen–tempat para pesinggah halte duduk–membentang. Panjangnya cukup untuk Saya atau pembaca merebahkan badan dan berguling-guling sesuka hati. Tepat di atas keduanya selimut oranye menggantung dengan membentang, menggoda. Lantas di depan bangku halte, berjarak sekitar satu meter, terdapat satu pengeras suara mungil bersama mikrofonnya. Tak lupa satu kamera kecil (go pro?)–bertengger di satu sudut langit-langit halte–sedang mengintai kamisemua.

Cukup, terlalu panjang. Begitulah kira-kira BHP#1 dalam deskripsi “gambar beku” tiga paragraf.

Pada tiap detik hadir bermacam kejadian–yang tiapnya adalah unik–secara bersamaan di dalam dan sekitar halte. Kejadian-kejadian itu Saya kumpulkan dalam satu kelompok. Tidak hanya pada satu instan saja, kelompok kejadian hadir lagi dalam waktu yang terus merentang. Kelompok kejadian itu hanyalah mungkin dalam batasan kesadaran pengalaman tiap manusia sehingga tulisan ini pun mampu mem-panjang-lebar-kan dirinya. Manusia-manusia itu dapat saja telah merencanakan untuk terlibat pada apa yang akan hadir di dalam halte, dengan membuka dirinya lewat indera dan interaksi yang ia buat–tetapi tidak terbatas pada itu. Interaksi dapat dilakukan pada apa saja, tidak terbatas pada manusia. Batasan antar kelompok dapat saya rasakan, setidaknya saya ketahui dengan betapa sedikit kenalan yang saya dapatkan dan bagaimana Saya memilih untuk berbicara dengan siapa dan tentang apa. Saya mengenal beberapa kelompok di sana dan tiap kali gembira dengan saling sapa, saya mesti mengacuhkan yang lain dahulu. Pembicaraan pun menjadi merepotkan kalau-kalau dua kawan saya tidak saling kenal, berasal dari kelompok pertemanan yang berbeda. Pada tiap kesempatan seperti itu, saya mesti mengenalkan satu dan lainnya, atau saling dikenalkan. Mungkin karena saya "terkenal"? atau kami semua terkenal?

Kesibukan berbincang hadir di tiap sudut halte, manusia di dalamnya memiliki ruang gerak yang dapat dibilang sanat terbatas (ya namanya halte. Mau luas? di alun-alun aja! kalau boleh). Udara terasa berat, pengap, badan terasa gerah dan itu belum lagi mengikutkan aroma sambal dari warung nasi goreng dan asap peserta yang merokok (termasuk saya dan beberapa kali saya bersin-bersin). Keramaian sempat sedikit redam saat Sabil mengambil mikrofon. Ia memberikan beberapa pengantar tentang apa itu BHP#1, harapannya agar apa-apa yang terjadi di halte tersebut dapat menjadi tempat kita bertemu wajah, kenalan, obrolan, kesan, atau rencana-rencana baru; supaya BHP#1 dapat menjadi tempat kita menemukan kemungkinan Home yang baru. Kemudian setelahnya terselenggara lah sebuah panggung tanpa tinggi melebihi tempat berpijak kawan-kawan yang hadir.

Page 5: Sotziale Vol 1 : Publik

Panggung diisi dengan workshop soal kopi, tentang beda antara kopi saset cerobong kapal dan kopi yang khusus diproses mandiri dari bijih-bijih yang telah dipanggang (saya tak tahu dimana). Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi, cerita pendek, beberapa lagu (diantaranya juga dinyanyikan serentak oleh beberapa manusia), lantas disusul oleh tindakan menulis “House-Art” oleh Senartogok di muka kaca yang menghadap ke jalan.

Pengungkapan pembuka oleh Sabil tersebut menjadi penting sebab itu adalah batasan rentang durasipanggung yang berlangsung sampai ditutup oleh Mr. Aji pada pukul sebelas. Kesemua kejadian tidaklah dapat saya ungkapkan sebab itu bukan tugas manusia, itu tugas video. Hanya sebagaian momen yang dapat saya ikutkan dalam tulisan ini sehingga nanti dapat membentuk suatu gagasan tentang bagaimana dinamika di dalam halte dan hubungannya dengan manusia serta elemen pilihan apapun di luar seluruh kejadian di dalamnya. Namun dalam tujuan ini, tidakkah Saya telah melanggar ketentuan yang ditetapkan di awal tulisan yaitu untuk mengetahui apa itu BHP#1 terlebihdahulu baru menentukan bagaimana tulisan ini sehingga "menjadi" respon padanya. Agaknya Saya perlu menetapkan ulang, bahwa akhir tulisan ini adalah menjawab pertanyaan "Apa itu Bringing Home Project #1?"

Saya akan memulai dengan membawa pemahaman awal penyelenggaraan Bringin Home Project. Seperti dalam pembukaan sabil, BHP#1 adalah pemanfaatan bangunan yang ditinggalkan. Kali kesempatan ini adalah sebuah halte yang dibuat untuk tempat akses pejalan kaki ke bus sebagai moda transportasi umum. Sejak awal sampai saya mengikuti BHP#1 dan dalam hari-hari sebelumnya saat menyambangi GIM, tidak saya lihat Bus lewat. Halte disini berhubungan erat dengan publik pengguna jasa transportasi. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain menggunakan itu sebagai satu-satunya cara, selain berjalan kaki atau menggunakan kendaraan pribadi. Sebab bagaimana halte ditinggalkan, bahkan tidak terdapat penyedia tiket di dalamnya tidaklah menjadi soal. Disini halte adalah benda terlantar, terbengkalai, dan tak terawat. Keterlantaran halte ini merupakan syarat utama BHP#1 menjadi mungkin. Tanpa itu, dengan halte berjalan sebagaimana mestinya, BHP#1 mungkin akan diselenggarakan di (entah dimana).

Pemilihan halte GIM tidak bisa dianggap sebagai hal arbitrer yang dapat diabaikan. Penyelenggaraan sesuatu, apapun bentuknya apalagi memiliki potensi menghasilkan suara keras dankeramaian, mesti memerhatikan lingkungan sekitar kegiatan bertempat. Dalam hal ini GIM adalah tetangga yang dalam keberadaannya selama ini adalah penyedia tempat dan pelaksanaan berbagai jenis kegiatan. Akan berbeda bila saja BHP#1 diselenggarakan di depan suatu gedung atau luasan yang menuntut trotoar dan sekitarnya bersih dari apapun yang menghambat arus keluar-masuk manusia dari gedung tersebut. Hal ini terutama bila gedung atau luasan "ruang publik" dikelola olehagen yang beroperasi secara otonom dengan standar operasional tertentu yang hanya meng-iya-kan kegiatan tertentu menurut selera mereka dan dengan birokrasi super jlimet.

Batasan kini dapat digariskan pada BHP#1 sehingga kita mungkin mendapatkan pokok bahasan secara umum. Pertama, bagaimana hubungan antara BHP#1 yang membuat sesuatu pada Halte dan pencipta halte yang sekaligus menelantarkannya. Itu didapat dari keniscayaan bahwa halte diciptakan dan ditelantarkan sekaligus oleh pengelola kota. Kedua–dari penggambaran beku BHP#1yang saya ajukan, kita menemukan manusia dan interaksinya yang mana memang diniatkan sejak awal oleh kawan-kawan penyelenggara dengan berbagai harapan yang mereka bawa sepanjang kegiatan–interaksi apa yang terbangun dalam keseluruhan proses terjadinya BHP#1. Masalah keduaakan dibahas lebih dulu sebagai keperluan menangkap dirinya sehingga nanti akan dijadikan patokan dalam melihat hubungan antara BHP#1 dan elemen di luarnya.

Dalam rentang durasi tiga jam panggung berjalan, manusia-manusia di dalam halte tidak diam di tempat. Meskipun penampil sedang khidmat membawakan penampilan terbaik mereka, saya dapat temukan manusia-manusia berpindah posisi berdiri atau tempat duduk. Beberapa dari mereka yang

Page 6: Sotziale Vol 1 : Publik

berdekatan dengan pintu keluar halte pun dapat mengalir bebas keluar-masuk, untuk sejenak ke trotoar menghirup udara segar. Memang, hari itu cukup hangat bahkan di luar. Sedikit angin sepoi dapat terasa, sweater yang Saya persiapkan bilamana dingin tiba-tiba menyerang pun akhirnya tak terpakai sampai pulang.

Kopi yang disajikan Das Kopital satu per satu diseruput hadirin dan dapur kecil tempat menyeduh kopi tak berhenti sibuk sampai akhir kegiatan. Begitu banyak kejadian di halte yang tak mampu kutangkap dalam tulisan ini namun tak masalah untuk sedikit berspekulasi. Tiap kejadian tentunya adalah pengalaman yang terbatas pada tiap pribadi di sana. Mereka-mereka yang membawa dirinya ke sana menemukan kawan yang sudah lama tak jumpa. Percakapan mengalir kemanapun membangkitkan banyak pengalaman. Ini dapat kita lihat sebagai reuni tiap-tiap ikatan pertemanan yang sudah terjalin sebelumnya. Dalam perjumpaan singkat itu lah muncul kemungkinan untuk melanjutkan berbagai rencana yang tertunda, bertanya kabar kenalan mereka yang tidak hadir, atau sebagai kesempatan menagih hutang. Banyak yang saling bertanya, antara soal kopi, siapa penampilitu sebenarnya, bagaimana pendapat masing-masing tentang BHP#1 sendiri, dan mungkin banyak lagi yang dialami selain saya. Juga banyak tawa, canda, sampai bahasan serius berseliweran memenuhi ruangan halte yang kecil itu. Saya yang juga kebetulan mendapat beberapa kenalan dan serta merta memunculkan beberapa ide untuk project lain (ini tak penting, abaikan!).

Diluar lingkaran pertemanan yang telah terjalin, tiap interaksi di halte dapat memungkinkan perkenalan-perkenalan baru, saling bertanya kegiatan satu yang lain, dan bukan tak mungkin membangun rencana-rencana baru. Ruang kecil dan interaksi menjadi kata kunci. Analogi pelajaran kimia dasar dapat Saya gunakan disini, wadah kecil yaitu halte dapat meningkatkan kemungkinan interaksi partikel yaitu manusia itu sendiri. Oleh ruang kecil halte lah penjalinan relasi baru menjadimungkin. Namun tidak setiap dari kami mengenal tiap yang lain, beberapa batasan pun kentara hadir dalam kesadaran. Bahwa diantara tiap kami membawa pula wilayah pergulatan masing-masing, fokus perhatian, jalur kekaryaan sendiri; begitu pula selera pada berbagai hal, toleransi tema obrolan, kebiasaan aneh, dan tak luput juga pandangan politik masing-masing.

Keragaman tiap individu dengan keunikannya serta kemungkinan interaksi yang tinggi dalam ruanghalte yang kecil–mengantarkan kita pada dua kutub jenis interaksi, keselarasan dan pertentangan. Keselarasan ini dalam arti sensasi tiap manusia pada tiap kejadian diantaranya kegembiraan, kehangatan, rasa penasaran yang memungkinkan reaksi muncul, dan pengambilan kedekatan jarak. Sedangkan pertentangan dapat mewujud dalam bentuk rasa cemas, keterasingan, atau ketidaksukaanpada hal tertentu; dan ia juga mewujud dalam interaksi seperti penegasan batas tindakan, perdebatan, atau pengungkapan statement politik masing-masing ke lainnya. Pun begitu, kedua kutub tersebut hanyalah kemungkinan kejadian–dapat hadir dalam bentuk dan taraf tertentu–yang tidak dapat dibayangkan semuanya. Kejutan-kejutan dapat saja hadir dalam situasi di halte GIM tersebut.

Kutub kedua kali ini dapat kesempatan menjadi sorotan. Formasi posisi panggung dan penonton di dalam halte kecil tidaklah dua lapis dengan penonton tepat berhadapan dengan penampil. Tempat berpijak penonton dan penampil yang sama tinggi serta panjang halte membuat formasi sebentuk elipse. Bentuk elipse ini membuat satu penonton dapat berhadapan dengan yang lainnya, sehingga saat mengarahkan pandang pada penampil, terkadang muncul kesadaran seperti kita dilihat atau sedang melihat yang kebetulan berada di depan kita. Ini tentu membuat Saya merasa tak nyaman.

Senartogok, pada bagian akhir bagian membuat aksi panggung dengan menyemprot kaca halte dengan spray can, membuat tulisan besar House-Art tepat di sebelah instalasi “HOME”. Sekejap saat itu Saya melempar perhatian pada berbagai reaksi yang muncul. Muncul beberapa pengucapan seperti “Aduh”, “widih”, “fail”, dan beberapa saran tentang cara menghapusnya. Reaksi ekspresi pun beragam–beberapa yang mengantuk, sedang berbincang, atau sedang melihat ke luar halte

Page 7: Sotziale Vol 1 : Publik

memandangi jalanan dengan kendaraan berlalu-lalang–pun tersentak, bingung, langsung memasang fokus, tersenyum, mengangguk-angguk, posisi torso tegak, memajukan badan, atau sekedar terdiam.Setelah aksi panggung kecil itu, Senartogok pun keluar halte, pulang dan meninggalkan gitarnya.

Kejadian di akhir acara itu adalah kemungkinan menjadinya suatu pertentangan yang hadir di permukaan, yang mengikat tiap-tiap manusia. Reaksi masing-masing individu tersebut lantas membuat kluster kelompok-kelompok pendapat dan batas diantara mereka. Kelompok-kelompok tersebut tidaklah bertentangan dikotomis saja, jenisnya merentang sebagai spektrum luas. Batas dan kluster yang muncul itu tidaklah baik atau buruk, tetapi tidakkah itu niscaya dalam sebuah interaksi sosial? Batasan menjadi jelas sebab luasan halte begitu kecil sehingga tidak ada kesempatan untuk mengabaikan satu hal saja.

Untuk merangkum persoalan pertama ini, dua hal akan diambil sebagai pusat perhatian yaitu (1) “gambaran beku” halte dengan segala benda dan manusia yang menempatinya atau berlalu-lalang diantaranya; lalu (2) rentetan kejadian yang dapat dirangkum dalam sepektrum keselarasan dan pertentangan. Yang pertama menjadi wadah yang kedua. Wadah tidak saja sebagai fasilitas dan berbagai aturan main pada kedua, melainkan keduanya menjadi kesatuan sebuah proyeksi harapan kejadian. Proyeksi ini berupa kejadian dalam artian interaksi manusia, benda, dan kejadian itu sendiri. Proyeksi ini tidak terkendali namun menjadi esensi, tanpanya Bringing Home Project #1 tidak mungkin. Sekarang saya dapat mengajukan jawaban,

“Bringing Home Project #1 adalah proyeksi** kejadian oleh benda-benda yang menjadi wadahnya, setiap manusia dan benda adalah aktor dan mereka pula yang menjadi penontonnya.”

Keseluruhan BHP#1 di kota bandung mungkin tidak disadari oleh banyak manusia, namun ia hadir dalam tempat dan rentang waktu dengan menampilkan dinamikanya. Halte yang diciptakan lalu ditinggalkan menjadi benda saja, pemasangan benda-benda dan manusia yang berinteraksi di dalamnya, melebar ke luar. Terjadi transaksi jual beli antara aktor dengan penjual nasi goreng. Juga beberapa orang yang kebetulan lewat lantas bertanya apa yang sedang berlangsung di halte, beberapa melihat-lihat dan lainnya berlalu saja. Tentu muncul batas juga antara BHP#1 dan manusialain yang berlalu dan enggan terikutkan; juga kendaraan-kendaraan yang terus saja melaju tanpa berhenti, alih-alih ikut menjadi aktor. BHP#1 sendiri menjadi kluster benda dan manusia sendiri, membuat batas pada kelompok manusia yang lebih luas di kota bandung.

Garis batas itu menjadi begitu jelas pada pembuat halte. Fungsi yang ia atur dalam dokumen tertulismenjadi tak berarti oleh kehadiran keseluruhan BHP#1. Bagi satu kluster manusia, BHP#1 adalah oase dimana interaksi manusia hari ini begitu minim dengan lingkaran masing-masing yang tertutup. Di halte kecil tersebut, manusia mau tak mau terpapar berbagai kejadian dan tertuntut (olehkejadian sendiri) memberikan respon, rekasi, dan akti. Bagi pembuat halte yang sekaligus yang menelantarkannya, BHP#1 adalah annihilator keberadaan mereka. Tetapi tidak sebatas itu, bahwa iamempercontohkan satu alternatif modifikasi benda terlantar, membuat keberadaan baru yang terbatas pada tempat dan rentang durasi. Penempatan benda-benda–yang merupakan dekorasi ataupun alat fungsional supaya proyeksi berlangsung–menjadi elemen esensial sebab halte GIM tidak lagi adalah halte (saja), tetapai tempat manusia menemukan kemungkinan menemukan home atau lapangan pertentangan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, kecuali penyingkiran salah satu akanmengubah benar-benar diri BHP#1 sendiri. Namun tidakkah pengaturan penyingkiran menjadikannya tidak publik lagi?

BHP#1 sebagai kejadian dapat menjadi oase dan kritik sekaligus. Ia hadir pada pengelola kota dan kita sebagai kritik bagaimana selama ini kota dikelola. Tetapi persoalan bagi sesiapa yang berupaya menjadi kritik adalah kecemasan bahwa kejadian sebagai kritik akan dihentikan atau lebih buruk:

Page 8: Sotziale Vol 1 : Publik

diklaim sebagai gagasan dan kejadia tersendiri oleh pengelola kota. Tetapi disini, dengan membangun kombinasi benda-benda pada bangunan yang terlantar sehingga menafikan fungsi dan tujuan ia dibangun dapat menghadapkan pengelola kota pada paradoks pilihan tindakan. Paradoks ini bekerja dengan pertama–bahwa jika mereka membuat klaim pada BHP#1, mereka melanggar rencana dan tujuan mereka sendiri yang mana pasti memperkuat BHP#1 sendiri. Mereka akan menuntut diri mereka sendiri untuk menjelaskan klaim sepihak mereka. Lalu jika mereka menolak keberadaan BHP#1 dengan menghentikannya, tidakkah mereka telah membuat pertentangan denganpublik yang hari ini makin rindu dengan ruang-ruang alternatif baru, dengan “seni kejadian” yang setiap manusia dapat berperan dan menonton sekaligus?

Kedua jalan dikotomis tersebut adalah sama-sama buntu bagi pengelola kota. Apa yang tersisa bagimereka adalah memfungsikan apa yang terlantar dengan serius dan tepat sasaran, yang mana adalah (baik?) untuk publik. Atau terakhir adalah diam yang mana baik juga untuk kawan-kawan dimanapun, mereka dapat mencipta yang terlantar dan membuat kreasi lainnya dengan bahkan makin asik dan sederhana.

/ / /\

Ucapan terima kasih sebesarnya kepada kawan-kawan Bringing Home Project #1 sehingga tulisan ini dan tulisan satu lagi mengenai trotoar mungkin selesai. Terima kasih telah karena telah membuat karya yang begitu menarik namun tetap sederhana, saya sebagai pejalan kaki jadi senang. Terakhir, saya ga mau minta maaf kalau ada penilaian-penilaian Saya yang cacat atau buruk.

Catatan Kaki:

* Judul adalah re-mix dari judul sebuah play oleh Jean Paul Sartre tahun 1944 (sedang baca): Huis Clos (fra) atau No Exit (eng). Terima kasih penyair Asra yang telah memperkenalkan play tersebut.

** Istilah proyeksi, aktor, dan penonton saya pinjam dari tulisan Bruno Latour (From Realpolitik to Dingpolitik or How to Make Things Public, 2005; pengantar pameran Making Things Public at the ZKM | Center for art and Media, Karlsruhe )

Page 9: Sotziale Vol 1 : Publik

MixTibe #1Senartogok

kolase 1, pustaka senartogok

Hip means to know, it's a form of intelligence

To be hip is to be update and relevant

Hop is a form of movement

You can't just observe a hop,

you gotta hop up and do it

(KRS One - Hip-Hop Lives)

Diobok-obok, koleksinya diobok-obok. Terdapatlah 17 biang kerok yang mengubah kedataran emosi hari ini. Didasari kesengajaan sungguh, bass speaker dipaksa rusak, maka hip hop meminta

Page 10: Sotziale Vol 1 : Publik

blueprint-nya. Menurut hematku, rap mirip dengan prosa liris, katakanlah Arsilokus sebagai tokohnya, yang dalam penalaran Nietzsche, mengandung nilai dewa Apollo yang menekankan principium indivuduationis. Citra yang ditampilkan seni ini meluap-luap, proklamasi penuh gelora, ketelitian, keteraturan, dan kontrol diri yang rapi. Berkebalikan dengan Dionysian yang merayap bersama kemabukan lalu menoreh proses pelupaan diri. Ciri khas yang paling jelas adalah beat dan teknik looping dalam kegiatan sampling-nya. Sekilas musiknya konseptual, sehingga mengedepankan ego bukanlah hal aneh dalam genre ini, seolah berkata “Ini gue! Mana punya lu?”. Namun, apabila penjelasan barusan terkesan mengada-ngada coba bandingkan segerombol track berikut dengan pelantun sinden atau lagu-lagu rakyat minimalis tapi membuat bulu kudukmu berdiri. Semoga ada perbedaan...

1. Anarchist Academy - Revolution

Berbicara anarkis, aku teringat dengan rapper rilisan crimethinc, Test Their Logik. Aku masih percaya bahwa konten politik yang radikal juga harus seimbang dengan estetika musiknya. Masalahnya ini hip hop, ranah dimana bukan Mikhail Bakunin yang berkutat di dalamnya, tak heran banyak rapper yang memasukkan politik ke dalam karyanya namun lupa memfokuskan diri dengan komposisi musiknya. Anarchist Academy lain pula ceritanya, Revolution ini sedikit

menyerempet identitas Public Enemy. Coba dengarkan beat-nya, dan tak usah ditanya lirik-lirik mereka membahas apa.

2. Cage - I Never Knew You

Lagu ini kelam, ada hubungannya dengan persoalan hati. Cage menggendong perasaannya ke lubang hitam paling gelap, dikiaskan dengan lugas dalam liriknya. Rapalan dalam I Never Know You ini bisa dikenali lewat lagu Stan milik Eminem. Flowtidak terlalu ketara, seperti spoken word berperban ketukan dan distorsi pengiring. Belum beranjak argumenku, lagu ini benar-benar kelam.

3. Cypress Hill - Insane In The Brain

Untung saja hasil download untuk file ini 320 kbps kualitasnya. Tombol bass mentok habis, maka hentakannya terasa berdegup di jantung. Beat monoton khas Muggs denganbreaks dempulan penuh kekerasan, telah merusak keutuhan rumah tangga pendengaranku. Selain aktivis ganja, Cypress punya segudang track berkualitas surga, lihat album awalnya.

Lagu ini contoh barang...

Page 11: Sotziale Vol 1 : Publik

4. Diabolic Feat. Immortal Technique – Frontlines

Rapper terbaik hari ini diundang Diabolic bertamu di track Frontlines nya. Mereka berdua tidak akan berbicara mengenai berapa harga bling-bling sekilo. Kemarahan siap menggempur stabilitas ruang kerjaku, karena di bar terakhir Tech menampar jejaring hasrat agar bangkit kembali. Brutal!

5. El-P - How To Serve Man

El-P terbaru akan bersuara seperti track ini, meskipun low-fi drum khasnya tak berubah. Dengan campuran elektronik dan tune luar angkasa membuat track ini bising. Tapi, bukan El-P namanya tanpa menyenggol lirik yang ia repetkan di How To Serve Man. Membayangkan dirimu sedang mengendarai piring terbang sambil memaki-maki pemilu yang akan datang, sebelum torpedo menghancurkan kotak suara yang kau incar. Shit!

6. Eric B. & Rakim - Juice (Know The Ledge)

Si ECS hitam penghasil suara PC-ku ini sudah marah-marah sejak tadi, apalagi bassline dari Eric B & Rakim ini menjelma jadi siluman. Salah satu lagu hip hop terbaik versi telingaku sepanjang masa. Mengenai rap-nya, semua orang meyakini Rakim sebagai pujangga nomor satu. Baiklah, tak ada keraguan,santap Juice berikut.

7. Eyedea & Abilities – Smile

Track terakhir sebelum Eyedea meninggal di usia 29 tahun. Penerus Eminem dengan kecepatan jam terbang merapal diluar batas kebiasaan. Smile menandai gelombang baru rapper semodel Aesop Rock, Sage Francis dengan gaya rapalan khas seperti lagu ini. Immortal Technique menyematkan influens padanya, dan kenapa ia tak lazim di lembah hip hop dalam sejarahnya. Mutan!

Page 12: Sotziale Vol 1 : Publik

8. Gangstarr – Full Clip

Tribute untuk Big L bersama monotonnya beat ciamik a la Preemo. Setelah Guru wafat, Gangstarr tidak bisa lagi dikendarakan dengan baik. Keduanya seperti buah pinang dibelah dua. Tipikal grup tua yang tak pernah buruk, berbeda dengan Onyx atau PE sekalipun. Membuktikannya? Miliki diskografinya.

9. House of Pain - Shamrocks and Shenanigans

Track paling amboi dari H.O.P, beat paling HIP juga. Permadaniyang cocok ditunggangi jika ingin melintasi waktu sekitaran SMA. Lagu wajib mengiringi breakdance dulu, selain Jump Around. Mereka mengambil potongan tepat dari lagu John Lee Hooker yang berjudulI Come To You Baby sambil memberi pujian bahwa track ini jelita.

10. Keny Arkana – La Rage

Sample riff guitar yang nantinya diikuti para rapper anarkis di beberapa belahan dunia, La Rage mengulang Anarchist Academy di posisi pertama tadi. Sugesti tepat untuk menginfus tema anti-otoritarian dalam bentuk lagu. Keny Arkana, rapper perempuan muda yang lebih banyak mengorganisir komunitas ketimbang membuat album. Meskipun begitu, track ini jadi bukti berbunyi kenapa ia sangar.

11. Krs One & Marley Marl - Hip Hop Lives

Waktunya dikuliahi tentang hip hop oleh dua rapper gaek, seputar penjelasan kenapa genre ini punya falsafah tersendiri. Hip berarti pengetahuan, sementara Hop adalah pergerakan. Hip membutuhkan pembelajaran panjang, mendalami sejarahnya, menguliti pula album-album yang menandai masanya. Hop berarti tak sekedar teori, ia merupakan manifestasi dari teori. Selain itu Hip juga pencarian ilmu

tentang realitas sekitar, dilema keseharian yang komplit, lalu merealisasikannya dalam tindakan mengatasi pula.

Page 13: Sotziale Vol 1 : Publik

12. Non Phixion - Say Goodbye To Yesterday

Curhatan dari supergroup yang sangat disayangkan hanya beberapa biji mengeluarkan album, padahal kualitas mereka langit. Mengemas masa lalu ke dalam nostalgia yang penuh penebusan Non-Phixion telah menghasilkan alumni sejak Ill Bill, Necro, dan semacamnya. Album The Future Is Now dari mana lagu ini berasal fardu ain dikoleksi bagi hiphop head, karena rilisan itu salah satu artefak langka hip hop.

13. NWA - Fuck Tha Police

Lagu anti-polisi terbaik dari lembah hip-hop. N.W.A akan mengajarimu bagaimana mengumpat polisi sambil bergoyang lewat beat kurang ajar mereka. Betapa gagahnya engkau, wahai Ice Cube. Itu dulu, sayangnya.

14.Osdorp Posse – Ghettotje Spelen

Pioner hardcore Rap dari negeri Belanda. Osdorp Posse disegani sebagai dedengkot yang membawa wabah hip hop ke negeri itu. Perhatikan contohnya dalam lagu ini, betapa dahsyatnya dentuman keributan yang mereka ciptakan. Di sample dari lagu Pixies untuk film Fight Club yang berjudul Where Is My Mind, membuat onar di telingamu. Coba buktikan.

15.Run D.M.C - Walk This Way

Pertama kali tahu dari MTV, lalu kaget dengan trio berpakaian rapih ini. Kala itu masih terheran sambil kagum bahwa bisa menggabungkan rock dengan rap seperti itu. Run DMC mengundang Steven Tyler dan Joe Perry bertamu menyempurnakan Walk This Way.Kontribusi kedua pendekar Aerosmith itu menjadikan tembang berikut diawasi ketat oleh pujian.

16. Saul Williams - Coded Language

Sertakan lirik untuk mendengar spoken word dari pria cerdas Saul Williams ini dan kita tahu segera kehebatannya. Coded Languange akan mengajari kita bagaimana membuat puisi.

Page 14: Sotziale Vol 1 : Publik

17. Zack de la Rocha & Krs One & Last Emperor – CIA

Teacha mengajak dua pemuda pemarah lain untuk membicarakan C.I.A. Alhasil track salome ini mengalun denganidentitas gaduh masing-masing. Aku sangat terhibur dengan flow Last Emperor di bagian tengah.

Akhirul Kalam,

Hip and hop is more than music

Hip is the knowledge,

hop is the movement

Hip and Hop is intelligent movement

Or relevant movement we sellin the music

(KRS One - Hip-Hop Lives)

Dimensi Manusia dalam Perencanaan: Dioscuri dan Overdosis Ruang PublikNaufal Rofi Indriansyah

“And when that sky is opened to the eyes of this young insight, there in the foreground were standing not the the divinities of Olympus—not Zeus, Hephaestus, Hermes, or Hera, Artemis, and    Athena—but the Dioscuri”   

Dioscuri merupakan sebutan untuk si kembar Castor dan Pollux. Dioscuri berasal dari bahasa Yunani “Diouskouroi” yang artinya “Sons of Zeus”. Dalam mitologi Yunani, merekalah yang membantu pelaut-pelaut yang kapalnya karam dan juga diberi pengorbanan untuk angin yang menguntungkan (angin laut). Mereka memiliki ibu yang sama, yakni Leida (anak dari raja Aetolia, Thestius), namun memiliki ayah yang berbeda. Castor merupakan anak dari suami Leida, Tyndareus, sedangkan Pollux merupakan anak dari Zeus (yang mendekati Leida dalam bentuk bangau). Seringkali mereka diasosiasikan dalam bentuk konstelasi Gemini.

Pollux merupakan petinju ulung, hampir tidak memiliki lawan sepadan di masanya. Sedangkan Castor merupakan penunggang kuda yang hebat. Kisah akhir mereka cukup tragis, Castor yang seorang manusia biasa mati terbunuh dalam sebuah pertempuran dendam, sedangkan Pollux berhasil selamat. Zeus lalu menawarkan pilihan antara Pollux hidup abadi di Olympus, atau membagi keabadiannya dengan Castor. Pollux memilih membagi keabadiannya, dengan akhirnya mereka berdua menghabiskan sisa hidup di Olympus sebagai dewa.

Sebagai saudara kembar, Castor dan Pollux merupakan satu keutuhan, meski Castor adalah manusia

Page 15: Sotziale Vol 1 : Publik

biasa, dan Pollux adalah manusia setengah dewa. Jika diasosiasikan dengan Gemini, Castor dan Pollux memiliki dualitas sifat. Dualitas ini juga melambangkan pertukaran ide atau komunikasi, saling melengkapi, dan dialektis.

Dioscuri dan Ruang PublikKutipan pada awal tulisan diambil dari sebuah manuskrip yang ditulis oleh Walter Benjamin berjudul The Paris Arcade Project. Manuskrip ini merupakan sebuah cerita kagum sekaligus kritik terhadap apa yang disebut arcade di Paris, yakni jalur teduh yang menghubungkan beberapa jalan utama di kota ini, yang dibangun pada tahun 1920an. Dalam jalur tersebut, Benjamin melihat elemen yang melawan pemikiran utopis tentang sebuah kota. Para utopis seperti Thomas More, Francis Bacon, atau Thomas Campanella membayangkan sebuah kota atas prinsip rasional, bahwasanya semua yang ada harus memiliki tujuan tertentu.

Dalam manuskripnya ia menyatakan bahwa keberadaan ruang publik sepertiarcades yang ada di Paris menegasikan sekaligus mendukung beberapa hal yang hendak diwujudkan dalam pemikiran tersebut. Keberadaan arcades ini menciptakan ruang interaksi antara warga kota. Di satu sisi ia menghilangkan sekat-sekat individualistik antara warga kota, meski tanpa adanya obrolan-obrolan atau bahkan sekedar berkenalan satu sama lain. Namun di satu sisi, konsep arcades menghilangkan konsep rasionalitas dan keteraturan, serta menimbulkan budaya konsumerisme, apalagi di Paris dalam waktu ini, arcades tersebut berubah jadi etalase-etalase bagi fashion brand terkemuka—sebuah surga belanja bagi kaum menengah ke atas.

Dioscuri di Paris Van JavaMenjamurnya ruang publik seperti taman-taman tematik di Kota Bandung juga tidak bisa dilepaskan dari Dioscuri. Keberadaan ruang publik ini juga menciptakan sebuah intimasi baru bagi warga-warga kota yang seharusnya cenderung individualistik. Dengan alasan untuk membuat sebuah ruang rekreasi dan sosialisasi warga kota, taman-taman ini dibangun. Beberapa didesain ulang dan beberapa dibangun dari nol. Dengan menjamurnya mall, resort, dan sebagainya, ruang rekreasi dan bersantai tidak lagi bisa diakses dengan mudah, terutama oleh warga kota yang kondisi ekonominya tidak mampu mengusahakan ruang tersebut. Kehadiran taman di Kota Bandung ibarat menjadi sebuah obat bagi penyakit kurang piknik ini.

Tapi di satu sisi, beberapa dampak negatif bermunculan. Pengadaan taman tidak diiringi dengan sarana dan prasarana penunjang yang cukup. Contohnya saja tempat parkir. Beberapa taman di KotaBandung berada tepat di sisi jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Tidak adanya area parkir yang memadai membuat masalah baru: kemacetan. Sudah cukuplah warga Bandung menghabiskan waktu pergi-pulang kerja di jalan, dan taman-taman ini makin membuat masalah jadi runyem.

Selain itu, keberadaan taman-taman ini ternyata overdosis. Kenapa? Sebagai obat kurang piknik, dosis yang diberikan ternyata terlalu banyak. Warga kota yang seharusnya paham akan kebutuhan dasar atas kotanya sendiri, menjadi terlalu menikmati indahnya kota dengan sejuta taman ini. Alhasil, konsumerisme era Parisian Arcade terulang lagi. Yang dilahap bukan lagi sekedar uang, tapi komoditas visual dan rasa bangga akan kotanya yang telah menjadi lebih indah dibanding kota lain. Dosis yang terlalu banyak tadi membuat warganya berhalusinasi, membutakan mata warga

Page 16: Sotziale Vol 1 : Publik

kota Bandung dengan kebijakan-kebijakan yang harusnya lebih mengakomodasi kebutuhan dasar warga kota. Tentunya bukan warga kota secara individu ataupun kelas tertentu, tapi warga kota secara keseluruhan, terutama mereka yang aksesnya kurang dan terbatas secara sumber daya. Ada mereka yang terlena berpiknik, merasa puas, dan ada mereka yang tersiksa menyambung hidup, merasa putus asa.

Dampak-dampak negatif tersebut merupakan sebuah hal-hal diluar rasionalitas untuk mengatur kota. Maksudnya, jika perencanaan adalah juga untuk mengantisipasi dampak-dampak merugikan yang bisa terjadi, maka rasionalitas dalam perencanaan dan mengatur kota adalah sebuah kegagalan.

Bukan Hanya TamanWalter Benjamin menyampaikan pandangan negatif dan kritiknya terhadapParisian Arcade setelah sebelumnya memuja-muji hal tersebut. Ia sadar bahwa keberadaan ruang publik seperti arcade diperlukan dalam hal menghilangkan individualitas warga kota, bahwa setidaknya perlu adanya kontak sosial antar warga kota. Tapi di satu sisi, ruang tersebut juga menciptakan dampak-dampak yang beberapa diantaranya tidak bisa dilihat secara kasat mata. Apa sebenarnya hubungan ruang publik dan Dioscuri ini?

Mungkin perlu studi lebih lanjut, ataupun penafsiran kita masing-masing tentang apa makna Pollux dan apa makna Castor (atau lebih tepatnya “yang mana” bukan “apa”). Tapi inti dari Dioscuri yang coba diasosikan Benjamin dengan ruang publik (arcade) adalah bahwa keberadaan ruang ini seharusnya memberikan sebuah keseimbangan, kota dan warganya sebagai sesuatu yang harus teratur dan rasional, serta mereka sebagai sesuatu yang tidak harus diatur dan irasional. Dan tentunya ruang publik bukan hanya determinan atas keseimbangan yang harus dicapai. Ruang publik adalah tempat dimana seharusnya terjadi keselarasan untuk menciptakan kota yang inklusif, menunjukkan bahwa kontak manusia merupakan hal-hal yang bisa menjadi awal irasionalitas-untuk-membangun-rasionalitas-tandingan. Mungkin dalam tataran yang lebih teknis hal ini akan sulit untuk dilakukan, perlu adanya penyadaran lebih mendalam terhadap warga kota atas kebijakan yang diambil dengan dasar rasionalitas (oleh pemegang kuasa atas kota) dan juga atas kebutuhan dasar akan kota itu sendiri, yang beberapa diantaranya tidak bisa ditakar dengan rasionalitas belaka. Lagi-lagi, permasalahannya bukan pada keberadaan ruang publik saja, tapi bagaimana kita—warga    kota—memaknai kota kita secara keseluruhan.   

Ya, saya tahu tulisannya berat, saya juga ga ngerti nulis apaan. Tapi bodo amat. Kalau bingung kita diskusi saja, kamerad, saya mungkin akan lebih senang. Dan daripada kalian juga stres ini maksudnya apaan kan gitu. Ya gak. Ya gak. Nying.

/ / /\Catatan editor : Tulisan ini dimuat sebelumnya di laman web pribadi penulis: www.medium.com/@naufalrofi pada 28 April 2016. Terima kasih banyak pada Naufal yang bersedia tulisannya dimuat dalam terbitan ini.

Page 17: Sotziale Vol 1 : Publik

TrotoarA Haris Wirabrata

Trotoar adalah benda aneh. Sebagai benda, ia–seperti pohon, batu, manusia–menempati “ruang”. Dalam sebuah lanskap kota, ia hadir dengan lebar tertentu, memiliki batas dengan jalan aspal dan (sekumpulan) bangunan yang ia kelilingi. Dalam kota dimana tiap luasan tanah telah dipetakkan dan memiliki batas berdasarkan dokumen-dokumen institusi yang memayungi hubungan sosial, trotoar adalah salah satu saja benda yang di-guna-kan manusia untuk melintas, berpindah antar lokasi. Ia sebagai lintasan membutuhkan pra-anggapan tentang kepemilikannya yang tidak melekat pada semua orang, namun ia dapat dipergunakan oleh siapapun.

Artikel ini akan mempersoalkan cara pandang Kita terhadap trotoar dan berbagai hal tentangnya (termasuk masalah antar manusia) yang selama ini diselesaikan dan diputuskan. Trotoar hadir saja di hadapan tiap manusia yang melintasinya, sebagai kumpulan berbagai benda dimana hal dipersoalkan dan diperhatikan. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan melahirkan berbagai pengalaman. Pengalaman traumatik, termasuk di dalamnya konflik dan antagonisme kelas dalam hirarki sosial, juga mungkin muncul. Pengalaman itu Kita permasalahkan dengan pendekatan nilai-nilai tinggi dan gagasan, lantas Kita mengajukan berbagai argumen. Penulis disini mengambil posisipada benda, nilai adalah hal terakhir yang akan diperhatikan.

Artikel ini berusaha hadir sebagai cara pandang alternatif terhadap trotoar sebagai kumpulan benda-benda yang memengaruhi wajah dan dinamika apa yang berlaku di dalamnya. Ini diperlukan sebagai persiapan untuk mengajukan pertanyaan secara tepat tentang bagaimana hal bekerja, diselesaikan, dan diputuskan di atas trotoar. Apa yang Kita harapkan dari serangkaian perenungan yang akan Kita jalani ini? Tentu bukan sebuah penyelesaian untuk masalah tertentu, melainkan adalah formulasi alternatif tentang trotoar.

Trotoar sebagai LintasanTrotoar hadir dalam keseharian Kita sebagai sebuah lintasan yang dapat Kita lalui. Ia memungkinkan Kita berpindah antar lokasi, jauh atau dekat. Dengan pengertian seperti itu, Kita dapat memandang trotoar memiliki jenis yang sama dengan jalan dan jembatan. Namun apa yang melintas dan peruntukan serta bagaimana lintasan-lintasan itu dibangun Kita alami secara berbeda. Jembatan seperti jembatan penyeberangan akan Kita kesampingkan tetapi tidak untuk jalan raya. Jalan raya perlu diperhatikan yaitu untuk lebih memahami trotoar karena pertama-tama mereka selalu dan harus berdampingan walaupun sering juga Kita temukan jalan raya tanpa trotoar.

Kita melakukan berbagai tindakan rekayasa pada lintasan untuk memperkecil hambatan sebisa mungkin. Hari ini tidak hanya manusia saja yang melintasi jalur yang ia buat, sesuatu bernama kendaraan juga telah lama hadir dalam kenyataan sehari-hari yang Kita hadapi. Apa yang melintas pada merekalah yang menjadi pemisah utama antara jalan aspal dan trotoar.

Lalu-lalang kendaraan besar dan yang mungkin melaju dengan kecepatan tinggi mendesak Kita untuk memisahkan jalur kendaraan dan jalur manusia. Walaupun kendaraan digunakan manusia sebagai alat berpindah, ia tak dapat dianggap sebagai manusia. Manusia pejalan kaki dan manusia berkendaraan tidak memiliki hubungan interaksi komunikatif, selain mungkin hanya dengan klakson, perhitungan jarak lewat pandangan, atau teriakan. Kendaraan dengan ukurannya lebih banyak menggunakan lebar jalan dapat menjadi ancaman keselamatan manusia pejalan kaki. Mari ingat jalan tol. Tidak mungkin satu manusia berdiam disana tanpa meresikokan diri untuk terlukai.

Dari penjabaran tersebut, Kita menemukan keberadaan trotoar sebagai lintasan manusia, yang dimungkinkan oleh keberadaan kendaraan secara bersamaan. Namun trotoar tidak bisa direduksi dengan penggambaran sederhana seperti di atas saja. Beragam manusia, dalam penggambaran

Page 18: Sotziale Vol 1 : Publik

kategorisnya yang jamak, hadir bersama di atas trotoar. Tidak hanya itu, trotoar juga mungkin dipergunakan oleh papan luncur, troli, grobak, kereta bayi, kucing, dan anjing. Berbagai hal dapat melintas di atas trotoar. Kumpulan benda-benda yang kadang tak terbayangkan dapat menghadirkanberbagai pengalaman, belum mengikutkan yang mungkin nampak dan terjadi–yaitu hal yang di luar kategori benda berwujud. Kehadiran berbagai macam benda tersebut membuat Kita tidak dapat menganggap trotoar sebagai makhluk sederhana bernama lintasan karena bentuk yang Kita tangkap dalam pengalaman Kita adalah kombinasi serentak benda-benda dan kejadian yang jamak.

Kehadiran secara bersamaan ini bersifat bertempat dan temporal dalam pengalaman Kita. Sejak trotoar adalah lintasan berpindah dari benda-benda bergerak, setiap persinggungan antara mereka pun bersifat sekejap. Manusia tidaklah terbatas sebagai benda yang melalui sebuah lintasan namun dapat melakukan berbagai tindakan diluar itu (masih dalam statusnya sebagai pejalan kaki) dan pada trotoar sendiri. Manusia dapat beristirahat, mungkin menetap sejenak, atau membuat dan membangun sesuatu di atas trotoar demi pemenuhan hasratnya. Dari penambahan ini seakan terciptakesan bahwa trotoar adalah sebuah luasan seakan segalanya dapat dilakukan. Pengertian tersebut dapat saja cocok pada suatu realita tertentu yang Kita temukan sehari-hari.

Trotoar berbeda dari sebuah luasan tempat banyak manusia hadir serentak di dalamnya –biasa disebut “ruang publik” seperti taman, plaza, pusat retail, stasiun, dan terminal. Luasan itu adalah tempat tujuan, seseorang dapat memilih untuk pergi ke sana atau tidak. Meskipun dalam luasan tersebut terdapat lintasan, lintasan manapun di dalam luasan tersebut tidak dapat dikatakan trotoar sebab ia tidak berdampingan dengan lintasan kendaraan. Lagi pula, dalam setiap luasan tersebut telah ditentukan berbagai peruntukannya dimana pada tiap yang melewati batas kewajaran--ditetapkan pengelola–dapat saja keluar dari sana. Trotoar, dengan pengertiannya sebagai lintasan, adalah satu-satunya yang dapat dilalui manusia yang berpindah. Oleh karenanya pengertian Kita pada trotoar–tidak dimiliki semua namun sekaligus dapat digunakan siapapun–menjadi mungkin.

Status kepemilikannya itu dapat menjadi masalah dalam bergitu kompleksnya interaksi antar manusia dan benda yang berdiri di atas trotoar.

Karena status itu pula, manusia dan hubungan diantara mereka yang sebelumnya berada dalam wilayah yang berbeda dari trotoar dapat pula terikutkan, dari institusi-institusi tempat mereka menetap dan mendapatkan tempat dalam hirarki sosial, ekonomi, dan politik. Hubungan tersebut mencakup pula antagonisme yang terdapat dalam masyarakat. Antagonisme ini melebar ke trotoar, pertama, sebagai sensasi-sensasi yang didapatkan saat bertemu manusia lain. Prasangka dapat muncul–kesukaan, kekaguman, kebencian, rasa jijik, ketidaksepakatan–pada tindakan dan kejadian tertentu. Pada kesempatan tersebut, berbagai macam penilaian dapat dilakukan. Tetapi dengan mengingat bahwa kehadiran tiap manusia di atas trotoar ialah temporal dan persinggungan terjadi secara sekejap, Antagonisme yang bekerja dalam wilayah tangkapan indera dan pengalaman tidaklah menjadi soal sebab mereka yang saling menentang dapat melanjutkan pertikaian dan keteganan di tempat atau saat sekembalinya mereka ke dalam wilayah pertarungan mereka yang asali–seperti institusi-institusi dimana diantara mereka saling berpengaruh pada keberadaan satu yang lainnya.

“Masalah” muncul ketika temporalitas kehadiran sekumpulan tindakan (moda keberadaan) satu ataulebih manusia diperpanjang, sehingga persinggungan dengan musuh potensialnya terjadi terus menerus sampai menciptakan wilayah baru pertentangan yang berpengaruh secara langsung pada moda keberadaan masing-masing. Pertentangan perlu diselesaikan supaya dapat mengetahui apakahkeberadaan bersama menjadi mungkin. Berbagai prosedur dapat digunakan untuk memberi pe-nilai-an pada moda keberadaan mana yang lebih prioritas diantara yang dianggap bertentangan. Tetapi, tidakkah sulit untuk menentukan “hal yang dipersoalkan” sehingga dapat memunculkan sebuah keputusan, alih-alih menyelesaikan, di atas trotoar. Tidakkah sekaligus dalam proses penyelesaian

Page 19: Sotziale Vol 1 : Publik

terlibat pula lain yang lebih superior dalam tatanan masyarakat yang menghubungkan mereka. Pada kasus pertentangan tersebut, satu moda keberadaan dapat tersingkir, secara terpaksa menghilangkan keberadaannya.

Tetapi kemudian tidak serta merta moda keberadaan yang bertentangan dengan yang hilang lantas dapat hadir dalam benda dan langsung saja dialami. Pengalaman menjadi mungkin di atas trotoar–dari penampakan yang Kita alami melalui muka trotoar: kombinasi benda dengan bentuk dan rupa spesifiknya–sejauh terjadi interaksi antara Kita dan mereka. Kita dapat melihat pada pengalaman sehari-hari bahwa setelah pertentangan selesai dan saat salah satu moda keberadaan tertentu menghilang, wajah trotoar tidak serta merta berubah. Paling tidak Kita melihat ia menjadi “telanjang” kembali, hadir tanpa benda-benda yang sebelumnya. Dari ilustrasi perubahan pada muka trotoar tersebut, Kita akan melihat apakah penghilangan tersebut hanyalah sebatas pengembalian wajah trotoar pada bentuk dan rupa polosnya.

Dalam antagonisme hubungan antar manusia dimana dalam perlakuannya pada trotoar, manusia sedang dalam proses mewujudkan keberadaannya. Dalam hal apa, Yang menghilangkan lantas mewujudkan moda keberadaannya dalam dan untuk dirinya sendiri. Gambaran kecil ini mesti Kita tangguhkan terlebih dahulu, Kita mesti menambahkan beberapa benda yang hadir berdampingan dengan trotoar untuk melihat bahwa tindak pengembalian rupa polos trotoar juga melahirkan “sesuatu” yang baru dan memberikan wajah baru pada trotoar. Namun apa yang Kita alami dalam keseharian tidaklah sebatas itu saja, pertentangan dapat berlanjut. Trotoar yang polos dapat terisi kembali dengan benda-benda lain. Namun saat satu jenis saja bentuk dan rupa trotoar menjadi langgeng, Kita patut curiga apakah pertentangan telah tiada.

Luasan Lahan dalam Transformasi dan Manusia KetigaPenghilangan tersebut mestilah Kita mengerti dalam istilah yang mengikutkan luasan lahan dan manusia serta moda keberadaan yang masing-masing mereka bawa dalam fenomena bertahan dan penghilangan. Saya mengajukan istilah transformasi, sebuah alih fungsi luasan lahan dalam hubungannya dengan antar manusia. transformasi yang diniatkan menetapkan determinasi positif secara anggapan yang diterima saja. Namun ia berperilaku berbeda pada mereka yang mengalami transformasi yang mana ia hadir sebagai, bahkan hampir mirip, takdir yang muskil untuk diubah. Determinasi/keyakinan positif pada transformasi, dalam dan untuk diri pelaku adalah sebuah moda partikular aktualisasi/keberadaannya yang dipaksakan pada moda lain yang kontradiktif. Dorangan aktualisasi tersebut adalah hasrat yang dapat mewujud dalam wilayah kehidupan yang begitu jamak.Sedangkan untuk yang dikenai langsung oleh transformasi, mereka yang moda keberadaannya dalam berbagai aspek akan berubah secara drastis, memandang transformasi sebagai pilihan dikotomis. Pilihan tersebut adalah menolaknya demi kelanjutan moda keberadaannya yang sedang “menjadi” atau meng-iya-kan transformasi dan lantas menjadi abu. Posisi berdiri yang tersedia sangat mungkin untuk ter-peta-kan. Peng-iya-an terhadap transformasi dikesampingkan sebab, kesiapan pada sebuah moda kehidupan yang baru manjadi pra-anggapan yang telah diterima sejak penolakan terhadap transformasi telah ditolak. Pemilihan penolakan terhadap transformasi selanjutnya menghadirkan masalah yang kemudian dapat membuka kemungkinan sebuah penyelesaian.

Penyelesaian yang Kita maksud adalah pada masalah lain, yaitu mengenai moda keberadaan yang selama ini dijalani. Penolakan tidak serta merta dapat dilancarkan pada transformasi yang datang. Penolakan setidaknya mencari-cari landasan, entah emosinal atau rasional. Pencarian landasan mau-tidak-mau menengok dan menilai kembali moda kehidupan yang telah dijalani. Pencarian tersebut hadir sebagai gejala terguncangnya keberadaan, sekaligus secara instan melahirkan sebuah introspeksi. Introspeksi membuka kemungkinan keberadaan yang memiliki kebaruan namun mungkin tetap melekat pada hal yang dipertahankan dari ancaman transformasi.

Page 20: Sotziale Vol 1 : Publik

Dalam kasus transformasi penggunaan/peruntukan lahan, introspeksi diarahkan pada peruntukan selama ini dan bagaimana ia berhubungan dengan penggagas/pelaku tindakan transformasi. Dalam bahasan kita, bagaimana benda-benda diletakkan di atas luasan, bentuk dan rupa-nya kita perhatikan. Aspek sejarah, budaya, politik dan ekonomi mengikutkan dirinya. Keempatnya menjadi penting untuk dilihat yang mungkin adalah landasan penilaian.

Pemisahan manusia dalam kaitannya dengan sebuah transformasi yang telah Kita renungkan diatas masihlah belum cukup bila Kita ingin mengungkap perilaku transformasi dalam kaitannya dengan jamaknya posisi manusia yang terlibat. Kita dapat suatu waktu menangkap kehadiran manusia ketiga, yaitu ia yang tidak menjadi keduanya namun terseret, ditarik oleh keadaan untuk terlibat atau tidak. Manusia ketiga hadir sebagai yang berlalu dan memandang sekilas, sekaligus dipandang oleh kedua yang pertama sebagai yang harus terlibat. Manusia ketiga tidaklah serta-merta dapat memutuskan untuk terlibat pada pertentangan yang muncul. transformasi determinasi positif hadir pada manusia ketiga sebagai yang telah menjadi, dalam proses perwujudan dirinya dalam kenyataan. Penolakan atau penolakan terhadap penolakan transformasi tidak dapat serta merta menjadi pertimbangan sebab ia tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan hal dalam transformasi dan transformasi itu sendiri.

Namun dalam hubungan sosial di bawah payung sebuah institusi, manusia ketiga tidaklah benar-benar terpisah dari transformasi. Gagasan-gagasan yang menjadikan transformasi mungkin dapat telah hadir dalam manusia ini. Sehingga pengetahuan yang ia simpan berubah menjadi praanggapanyang dapat langsung mengambil alih “pengucapan” setuju atau tidak, memihak yang mana, atau berbagai argumen hasil penalaran. Prasangka itu dapat saja berupa gagasan, pemikiran yang telah dianggap benar, diyakini, sebagai landasan keberadaan si manusia ketiga (yang juga jamak dalam isidan bentuknya).

Selubung BangunanSejak batas digariskan di atas suatu bentang tanah, disitu pembedaan antara privat dan yang tidak privat lahir. Batas itu–mewujud sebuah selubung yang menjadi penampang permukaan sebuah bangunan–menegaskan arus keluar-masuk berbagai macam benda. Selubung ini, dalam pemahamansebuah rumah adalah pintu, jendela, kabel-kabel dan pipa. Komponen suatu selubung mengatur keluar masuk cahaya, air, listrik, dan kotoran.

Bangunan–sebuah idea yang diwujudkan dalam dunia benda–saat diselesaikan, menciptakan makhluk sendiri yang dibatasi oleh sebuah selubung. Ruang independen ini Kita sebut sebagai dalam-an. Kemudian dalam hubungannya dengan bentangan sebelum ia mewujud, Kita menemukanluaran. Semenjak bangunan dibangun untuk suatu kepentingan badaniah manusia, perlindungan dankenyamanan, selubung berperan penting sebagai saluran keluar-masuk benda-benda dari dan ke dalam bangunan tersebut.

Selubung menjadi penting bagi sebuah bangunan sebab berbagai macam kebutuhan (air, listrik, udara segar, cahaya, dan pemandangan ke luar) dan pembuangan (kotoran, sampah dapur, dan debu)merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia di dalam ruangan tersebut. Dengan landasan efisiensi, keindahan, kerapihan, sampai kesehatan; mereka disembunyikan di celah tembokdan bawah tanah. Saluran dan sistem pembuangan bekerja sebagai alat untuk mengusir segala hal yang tidak berguna, atau masuk dalam kategori selera yang harus disingkirkan. Tetapi, ada suatu waktu dimana saluran tersebut tersumbat, kotoran dan sampah muncul kembali sebagai sebuah sosok horor yang membuat penghuni bangunan mengalami trauma dan cemas sepanjang waktu.

Selubung adalah yang pertama-tama diperhatikan manusia. Ia merupakan sebentuk lapisan sederhana yang mula-mula dapat berupa papan dan dalam berbagai moda kehidupan berbagai jenis

Page 21: Sotziale Vol 1 : Publik

masyarakat ia mengambil bentuk berbeda secara fungsi dan ketersediaan material tempat mereka hidup. Namun papan atau bentuk lain itu adalah esensial sebab ia mengikat berbagai lubang, saluran, dan penyaring sehingga arus keluar-masuk benda menjadi mungkin. Dalam proses perkembangannya, teknologi melahirkan berbagai cara pengaturan selubung dengan “alat-alat” tertentu. Bersama dengannya, pengetahuan desain, psikologi memungkinkan rekayasa perilaku manusia yang terwujud dalam rancangan selubung. Cara pandang seperti itu memiliki pra-anggapanbahwa “manusia lain” dimasukkan dalam kategori benda yang mengalir pada selubung. Dengan begitu, selubung tidak lagi Kita pandang sebagai dinding batas pengusir, ia pula berlaku sebagai yang mengundang suatu benda untuk datang. Kemudian, lebih jauh, selubung tidak lagi berupa dinding yang didekorasi juga melainkan peletakan benda-benda yang berada dekat di sekitar sebuahbangunan supaya rekayasa dapat bekerja.

Keterbelahan Wajah TrotoarKembali ke trotoar. Perubahan wajah trotoar dapat kita pandang sebagai transformasi, pertantangan dua atau lebih keberadaan, dan keberadaan bersama. Pengertian kita tentang trotoar di awal perlu dipertanyakan ketika mengingat bahwa transformasi luasan lahan memungkinkan hilangnya suatu keberadaan. Saat suatu moda keberadaan–yang mewujud dalam peletakan benda–lantas hilang namun Kita tidak mengalami benda-benda baru sebagai perwujudan moda lain, kita dapat mengikutkan bangunan yang berdampingan dengan trotoar untuk melihat persoalan lebih jelas.

Setelah trotoar berubah menjadi polos–benda-benda yang diletakkan dan tindakan suatu keberadaantertentu dihilangkan–lintasan dapat berubah lancar. Perlintasan bersih dan hanya manusia bergerak lah yang hadir, bangunan yang diitari trotoar dapat dengan mudah dilalui. Sejak suatu keberadaan dapat merekayasa benda-manusia mengalir mengikuti prinsip-prinsip ilmu perancangan selubung, kita dapat melihat bahwa trotoar tidaklah lagi menjadi polos, kembali pada hakikatnya sebagai lintasan yang kita bayangkan. Bangunan dan benda-benda berpengaruh pada manusia yang melintaspada selubung yang tidak lagi berupa dinding, tetapi juga perantara batas mereka dan trotoar. Disini,kategori yang memungkinkan itu terjadi pada manusia (kenyamanan, kenikmatan, dan sensasi dari keterpenuhan hasrat) menjadi landasan utama penghilangan keberadaan tertentu. Saat itu juga, trotoar mematuhi logika bangunan atau benda-benda, dengan kata lain menjadi perluasan selubung, menjadi selubung bangunan itu sendiri.

Apa yang terjadi disini adalah penguatan suatu keberadaan tertentu yang berdampingan dengan, atau terletak di atas trotoar. Penguatan tidak terbatas pada perubahan trotoar ke bentuk polosnya namun juga dapat dengan peletakan benda-benda, penerapan teknik dekorasi, dan pemberlakukan aturan dalam tatanan hubungan antar manusia. Tanpa penguatan itu, apakah keberadaan dengan penghilangan menjadi muskil?

Ragam persoalan akan berbeda dari satu bagian trotoar dengan lainnya di suatu kota. Sebagai pengingat, penulis tidak berharap untuk menunjukkan hak apa yang dimiliki suatu benda (termasuk manusia) pada trotoar sehingga kita dapat menentukan tingkatan prioritas pengaturan berbagai kebaradaan yang hadir pada trotoar. Dengan sikap seperti penulis, kita akan menganggap trotoar–yang tidak dimiliki semua namun dapat digunakan siapapun–sebagai sebuah medan pertentangan keberadaan. Tetapi untuk menentukan penyelesaikan persoalan yang pembaca dan penulis pilih sendiri, opini dan argumen yang berseliweran tidaklah ditentukan di atas luasan tersebut. Bila begitukasusnya, saluran komunikasi yang tersedia di trotoar yaitu komunikasi langsung dapat saja menyelesaikan persoalan di tempat. Proses penyelesaian dapat saja terjadi di meja yang tidak kita

Page 22: Sotziale Vol 1 : Publik

ketahui dimana dan keberadaan–yang bersoal dan dipersoalkan–mungkin saja tidak diikutkan.

Pertentangan antar keberadaan termanifestasi dalam wajah trotoar, yaitu benda-benda yang sedang, yang hilang, dan yang akan hadir di atas trotoar. Benda-benda yang terkumpul membangun komposisi, mereka secara keseluruhan menjadi pengalaman dalam keseharian Kita. Suatu pihak dapat saja menentukan wajah trotoar dengan pertimbangan, rencana, dan aturannya; tetapi kenyataan Kita sehari-hari tidaklah terbatas pada apa yang mereka pikirkan saja. Oleh sebab itu mereka membuat berbagai perlakuan pada benda (trotoar) untuk menjaga gagasannya, atau mengaplikasikan gagasan baru pada yang telah terberi itu.

Untuk menyimpulkan, persoalan yang mungkin diperhatikan setelah ini bukanlah tentang milik siapa trotoar itu melainkan apa bentuk trotoar yang Kita harus buat? Lebih spesifik, bagaimana komposisi benda-benda diatur di atas trotoar sehingga mungkin untuk menentukan dan menyelesaikan persoalan dengan ragam keberadaan yang memiliki spektrum begitu luas. Tentu saja bila kita mengikutkan pula beragam lapisan antagonisme sosial, mengatur benda-benda di dalamnyamerujuk pada batasan material pada trotoar sendiri. Apa yang telah kita lakukan pada trotoar kali ini, penulis mencoba yakin, adalah mengumpulkan benda-benda yang hadir di atas trotoar dalam koridor pertentangan di dalamnya.

Bagaimana membayangkan dan merancang trotoar adalah satu urusan, sedangkan bagaimana membawa rancangan pengaturan itu ke meja yang berpengaruh secara efektif dan lalu mewujudkannya adalah hal lain. Satu hal tidak Kita ikutkan dalam analisa deskriptif ini yaitu dimensi politik yang berlaku (dulu, kini, dan nanti) dan bagaimana dinamika di dalam mereka. Ini akan dibiarkan dahulu terbuka, dan penulis rasa telah banyak yang telah dan akan membahasnya.

/ / /\Referensi:1. Polo, Alejandro Zaera. The Politics of the Envelope: A Political Critique of Materialism. Log,No. 13/14, Aftershocks: Generation(s) since 1968 (Fall 2008), pp. 193-207. 2. Latour, Bruno. From Realpolitik to Dingpolitik or How to Make Things Public, 2005. Center for Art and Media Karlsruhe, 2005.

Page 23: Sotziale Vol 1 : Publik

Nature is a temple where living pillarsSometimes emit confused words;There man passes through the forests of symbolsWhich observe him with familiar looks.

CHARLES BAUDELAIRE, Correspondences