sosiologi hukum

22
Nama : Muhammad Malichul Hadi NIM : 0950424404 Prodi : Pendidikan Teknik Otomotif Fakultas Teknik UNY HUKUM DAN STRATIFIKASI DALAM KENYATAAN SOSIAL Abstrak Stratifikasi dan Hukum pada masyarakat sangat lah erat berhungan dengan gejala social. Untuk itu dalam penulisan tugas ini kita akan melihat pemaparan hukum dan stratifikasi dari para ahli sosiologi. Kata kunci: Hukum Stratifikasi A. Pendahuluan 1. Rumusan Masalah a. Pengertian Stratifikasi Sosial b. Menyoal anarki dan penegakan hukum di Indonesia c. Hukum sebagai Variabel Kuantitatif

Transcript of sosiologi hukum

Page 1: sosiologi hukum

Nama : Muhammad Malichul Hadi

NIM : 0950424404

Prodi : Pendidikan Teknik Otomotif

Fakultas Teknik UNY

HUKUM DAN STRATIFIKASI DALAM KENYATAAN SOSIAL

Abstrak

Stratifikasi dan Hukum pada masyarakat sangat lah erat berhungan dengan gejala social. Untuk itu dalam penulisan tugas ini kita akan melihat pemaparan hukum dan stratifikasi dari para ahli sosiologi.

Kata kunci:

Hukum

Stratifikasi

A. Pendahuluan

1. Rumusan Masalah

a. Pengertian Stratifikasi Sosial

b. Menyoal anarki dan penegakan hukum di Indonesia

c. Hukum sebagai Variabel Kuantitatif

d. Hukum dan Gejala Sosial

2. Tujuan

a. Memenuhi penugasan mata kuliah sosio antropologi pendidikan

b. Menerangkan tentang stratifikasi dan masalah hukum dalam

kenyataan sosial

B. Pembahasan

Page 2: sosiologi hukum

1. Stratifikasi Sosial

Menurut Zainuddin Ali (2007::56) menyatakan stratifikasi social di sini

dapat diartikan sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam

kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Oleh karena itu, para

ahli sosiologi hokum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa

semakin komplek stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin

banyak hukum yang mengaturnya. Stratifikasi sosial yang kompleks

dimaksud, diartikan sebagai sesuatu keadaan yang mempunyai tolak

ukur yang banyak atau ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai

indicator untuk mendudukan seseorang di dalam posisi social tertentu.

Soerjono Soekanto (1981::133), menyatakan social stratification adalah

pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

bertingkat atau system berlapis-lapis dalam masyarakat. Stratifikasi

social merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan

menemukan masyararakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu

konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara

vertical menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah

berdasarkan criteria tertentu.

Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1992: 5 ) menyatakan bahwa

stratifikasi social merupakan system peringkat status dalam masyarakat.

Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertical dalam

status social yang ada dalam masyarakat.

Pendapat di atas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi

social sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat

bagaimanapun juga keberadaanya pasti akan di dapatkan pelapisan social

tersebut. Apa yang dikemukakan Aristoteles. Karl Marx adalah salah

satu bukti adanya stratifikasi social dalam masyarakat yang sederhana

sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan

Page 3: sosiologi hukum

criteria yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat

kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas.

Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang

semakin modern dan kompleks, stratifikasi social yang terjadi dalam

masyarakat akan semakin banyak. Mengapa terjadi stratisikasi social

uraian berikut ini akan menjelaskannya.

Menurut Soerjono Sokanto ( 1981 : 133) Selama dalam suatu

masyatrakat ada sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat

mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu itu akan

menjadi bibit yang dapat menimbulkan adanya system berlapis-lapis

yang ada dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam

masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai

ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasan, ilmu pengetahuan,

kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang

terhormat.

Terjadinya stratifikasi social dalam masyarakat dikarenakan sesuatu

yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibatnya

distribusinya di dalam masyarakat tidaklah merata. Mereka yang

memperoleh banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak

memperoleh menduduki kelas bawah. Barang sesuatu yang dihargai

tersebut menurut Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1989: 7- 12)

Kekayaan dan Penghasilan

Kekayaan dan penghasilan adalah dua hal yang berkaitan erat; dimana

pengahsilan banyak kekayaannya juga akan meningkat. Faktor ekonomi

ini akan menjadi salah satu ukuran dari stratifikasi social yang ada.

Mereka yang kaya dan memiliki penghasilan yang besar akan

Page 4: sosiologi hukum

menduduki kelas atas; sedangkan mereka yang miskin dan tidak

berpenghasilan berada pada kelas bawah.

Pekerjaan

Pekerjaan disamping sebagai sarana dalam mengahsilkan pendapatan

juga merupakan status yang mengandung di dalamnya prestise

( penghargaan). Jenis pekerjaan akan menentukan penghasilan seseorang

dan juga penghargaan masyarakat akan seseorang yang memiliki

pekerjaan. Sperti Karl Mark yang membedakan kelas borjuis sebagai

orang yang memiliki modal atau capital dan proletariat sebagai otrang

yang hanya memiliki tenaga sasj atau sebagai buruh.

Pendidikan

Pendidikan secata bertingkat tingkat ada dalam masyarakat kita,

misalnya dibedakan menjadi Pendidikan Dasar, Pendidikan menengah

dan pendidikan tinggi. Penjenjangan ini sekaligus menyatakan bahwa

pendidikan adalah demensi vertical dari stratifikasi social. Mereka yang

lulus dari pendidikan tinggi biasanya diberikaan gelas sesuai dengan

keahliannya tersebut seperti gelar SE atau SH dibelakang nama

menunjukan bahwa mereka yang mencantumkan SE dan SH adalah

mereka yang lulus dari pendidikan tinggi dengan keahlian bidang

Ekonomi untuk SE ( kepanjangan dari Sarjana Ekonomi) dan gelar SH

bagi mereka yang tamat dari pendidikan tinggi dari Fakultas Hukum ,

SH ( Sarjana Hukum ). Mereka yang tamat dari Jurusan Sosiologi

menggunakan gelar S.Sos kepanjangan dari Sarjana Sosiologi. Gelar ini

pada jenjang pendidikan S1.

Mereka yang menamatkan diri di jenjang pendidikan menengah dan

pendidikan dasar belum memperoleh gelar karena belum memiliki

keahlian tertentu. Si pendidikan tinggi ada jenjang kelanjutan setelah

Sarjana yaitu Magister untuk jenjang S2 dan Doltor untuk jenjang S3.

Page 5: sosiologi hukum

Mereka yang memiliki gelar baik S1,S2,S3 akan memiliki jenjang

stratifikasi social atas dibandingkan dengan mereka yang tamat

pendidikan menengah ( SMP dan SMA) maupun yang tamat SD dan

bahkan tidak Tamat SD dan tidak sekolah.

Sosiolog lain yaitu Soerjono Soekantlo ( 1981 :141 - 142:) menyatakan

bahwa kriteria yang menjadikan masyarakat berlapis-lapis adalah :

Ukuran Kekayaan

Ukuran menyatakan adanya kuantitas atau jumlah dari sesuatu hal. Jika

ukuran kekayaan berarti ada jumlah tertentu tentang kekayaan yang

dapat dijadikan sebagai suatu tolak ukur; dari sini kita dapatkan ukuran

kekayaan yang tinggi atau banyak, ukurang sedang atau cukup dan

ukuran sedikit atau miskin.

Kakayaan sebagai ukuran dalam menentukan stratifikasi social walaupun

ada kuantitas tetapi pada dasarnya adalah relative untuk suatu

masyarajat. Ukuran orang kaya pada masyarakat pedesaan adalah luas

pemilikan dan penguasaan tanah dan sering di simbulkan dengan rumah

bebrbentuk Joglo ( di Jawa Timur dan Jawa Tengah ); tetapi berbeda

halnya dengan masyarakat perkotaan didamping gedung yang mewah

juga mobil yang mewah sebagai symbol kekayaan yang dimilikinya.

Kekayaan sebagai sebuah ukuran dari startifikasi social dalam

masyarakat tetap tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang

bersangkutan.

Ukuran Kekuasaan

Kekuasaan yang didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok orang agar

berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang

memeiliki kekuasaan menjadi tolok ukur dari startifikasi social yang ada

dalam masyarakat.

Page 6: sosiologi hukum

Ukuran kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas

sempitnya pengaruh yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya.

Semakin luas dan tinggi pengaruh yang dimiliki oleh seseorang semakin

tinggi stratifikasi yang dimilikinya dan semakin rendah dan sempit dan

bahkan tidak memiliki pengaruh keberadaan seseorang dalam

masyarakat semakin rendah stratifikasi sosialnya.

Kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat

formal saja seperti pejabat pemerintah setermpat maupun pejabat

pemerintah yang lain. Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan

ketaatan bagi seseorang untuk mengikuti apa yang menjadi saran atau

perintahnya. Seorang Kyai memberikan saran kepada seseorang untuk

menghentikan kebiasan minum miras atau merokok dan yang yang

bersangkutan langsung menghentikan tindakannya, maka kyai tersebut

memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat; demikian juga halnya kepada

orang lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya,

maka orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat.

Ukuran Kehormatan

Kehormatan yang diproleh oleh seseorang bukanlah dari dirinya,

melainkan penilaian yang dating dari orang lain. Apakah seseorang

dihormati atau tidak oleh orang lain sangat tergantung pada orang lain,

bukan bersumber pada dirinya. Penghormatan bagi seseorang buka

muncul sesaat, melainkan melalui proses waktu dan evaluasi yang

panjang.

Pemghormatam dengan demikian bersifat obyektif bukan bersifat

subyektif. Penghargaan bagi seseorang dalam wujud penghormatan

dapat bersumber pada kepribadian seseorang tersebut karena kejujuran,

ketaqwaan beragama, berani karena benar rendah hati maupun perilaku

Page 7: sosiologi hukum

yang ditunjukan dalam setiap harinya seperti suka menolong,

memberikan nasehat kepada yang membutuhkan dan sebagainya yang

setiap saat dievaluasi oleh anggota masyarakat yang lain. Penghormatan

tersebut diwujudkan orang lain akan memberikan hormat lebih dahulu

atau mengulurkan tangan untuk berjabat tangan atau menempatkan

duduk dalam suatu pesta atrau pertemuan didepan sendiri atau di tempat

yang pas dengan kehormatanya.

Misalnya : Kenduri di desa, biasanya mereka yang dihormati akan duduk

disebelah kiri paling Utara dari tempat duduk yang disediakan dan

disebelah Selatannya nanti akan di tempati oleh orang-orang yang

kehormatannya lebih kecil. Biasanya tempat ini di tempati oleh

pemimpin kenduri ( modin ) dan cikal bakal desa atau orang yang

terpandang di desanya. Sementara bagian Selatan paling kanan ditempati

oleh yang muda sebagai wakil orang tua yang tidak dapat hadir pada

kenduri tersebut.

Ukuran Ilmu Pengetahuan

Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu : pertama,

ukuran formal yaitu ijazah sebagai ukurannya. Semakin tinggi gelar atau

ijazah yang dimiliki semakin tinggi strata sosialnya dan semakin rendah

ijazah yang dimiliki semakin rendah strata sosialnya. Kedua, ukuran non

formal adalah professional atau keahlian yang mereka miliki melalui

ketrampilan yang dia lakukan. Mereka memperoleh keahlian tersebut

tidak melalui jalur pendidikan formal. Pakar pengobatan alternative,

mereka memperoleh keahliannya bukan belajar di fakultas Kedokteran,

melainkan diproleh dari luar pendidikan formal yang ada.

2. Menyoal Anarki dan Penegakan Hukum di Indonesia

Jauh-jauh hari Profesor Donald Black (dalam The Behavior of Law,

1976) merumuskan bahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah

Page 8: sosiologi hukum

yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari

pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak

suka, tindakan-tindakan individu maupun massa yang dari optik yuridis

dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting),

pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial oleh rakyat.

Berbagai tindakan anarki dalam wujud tindakan main hakim sendiri

maupun tawuran, pertikaian suku, agama, ras dan antargolongan

(SARA) dan jenis riot lain, menjadi fenomena yang kini tampak di

berbagai tempat di Tanah Air. Terakhir yang paling mengerikan,

pembakaran lima sosok tersangka penodong oleh warga masyarakat

setempat.

Berbagai tindakan anarkis dan main hakim sendiri itu, celakanya, hanya

ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh penguasa

dan aparat penegak hukum, serta mengabaikan "akar masalah"-nya

sendiri. Padahal mestinya disadari, perilaku anarkis itu lahir dalam

suatu lingkungan yang kondusif, baik secara struktural maupun

situasional.

   

Setiap kasus dengan demikian merupakan suatu struktur kompleks

posisi-posisi dan hubungan-hubungan sosial. Para petinggi hukum hanya

bicara tentang keberadaan rambu-rambu hukum yang memang ada,

tetapi  yang di dalam kenyataannya justru tidak berdaya (atau mungkin

sengaja  tidak diberdayakan oleh sosok-sosok petinggi atau penegak

hukum  tertentu). Kaum realis sering mengemukakan, generally

speaking,legal doctrine alone cannot adequately predict or explain how

cases are  handled (secara umum, doktrin hukum semata tidak dapat

secara memadai  meramalkan atau menjelaskan bagaimana kasus-kasus

ditangani). Memang di satu pihak penanganan situasional dibutuhkan,

Page 9: sosiologi hukum

misalnya diharapkan suatu tindakan tegas dan profesional oleh aparat

penegak hukum terhadap para pelaku anarkis, namun di pihak lain,

penanganan secara mendasar pada akar masalahnya, juga harus ditangani

secara nasional dan lebih dipikirkan penanganan yang lebih baik.

   

Seyogianya disadari bahwa berbagai tindakan anarkis yang terjadi

belakangan ini, merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh

Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile

frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan warga

masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law

enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang

universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum

itu memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri akan

meningkat, demikian sebaliknya. Untuk itulah sangat beralasan

dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa

dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Apa

yang dimaksudkan sebagai strategi raksasa ialah pengembalian

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penegakan hukum.

   

Bagaimana mungkin masyarakat akan pulih kepercayaannya jika yang

mereka saksikan dalam proses penegakan hukum, terutama yang

berkaitan dengan kasus-kasus KKN kelas kakap, masih seperti yang

dialunkan oleh syair aku masih seperti yang dulu. Berbagai sikap

diskriminatif, dilakonkan para penegak hukum negeri ini. Tampak benar

oleh mata hati masyarakat bahwa asas equal justice under law masih

merupakan lips service. Hanya bahan retorika belaka para

petinggi. Pengembalian kepercayaan itu tentu saja harus dimulai dengan

pelengseran para petinggi hukum dan penegak hukum yang tergolong

sosok-sosok sapu kotor. Dari sekitar 80-an calon hakim agung yang kini

akan dipilih DPR, seyogianya 20 orang bakal tersisa, yang notabene

benar-benar orang baru dan dengan paradigma baru, yang tak pernah

Page 10: sosiologi hukum

bersentuhan dengan sistem pemerintahan di masa lalu. Dan, memiliki

catatan prestasi yang baik, khususnya yang mempunyai komitmen tinggi

terhadap upaya menjadikan hukum sebagai panglima di republik ini.

Kejaksaan Agung pun tak terkecuali, harus dibersihkan.

Ada baiknya, dari level Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung hingga

ke lapisan petinggi hukum di tingkat daerah, ditempati sosok-sosok

nonpartisan, sehingga kebijakannya tidak bias oleh kepentingan partai

politiknya, sebab secara teoretis dikatakan since intimacy breeds

partisanship. Secara ilmiah, faktor stratifikasi dan morfologi, sangat

kental mempengaruhi penegak hukum, bahkan menurut Donald: Even

the smallest degree of intimacy, such as eye contact with jurors,

strengthens a case (bahkan kadar keintiman yang paling kecil,

seperti kontak mata dengan para anggota dewan juri akan memperkuat

suatu kasus).

   

Kondisi keterpurukan hukum di Indonesia saat ini, hanya mungkin

diatasi, jika para penegak hukum lebih banyak bertanya kepada hati

nuraninya, daripada perutnya, sehingga apa yang disebut benar dan adil

oleh masyarakat mampu diimplementasikan oleh para penegak hukum

menurut Achmad Ali, Menyoal Anarki dan Penegakan Hukum,dikutip

dari internet tanggal 5 Juni 2010.

3. Hukum sebagai Variabel Kuantatif

Suatu variable adalah karateristik dari suatu gejala yang berubah-ubah,

tergantung dari situasi atau kondisi di mana keadaan tersebut berada atau

terjadi. Ada suatu pendapat dalam sosiologi yang melihat hukum sebagai

suatu variabel kuantatif, oleh karena menurut situasi dan kondisi, hukum

dapat bertambah atau bahkan berkurang di dalam perwujudannya. Suatu

pengaduan di kantor polisi misalnya, adalah peristiwa hukum apabila

Page 11: sosiologi hukum

dibandingkan dengan suatu kantor polisi yang sama sekali tidak ada

pengaduan semacam itu.

Secara kauntatif terjadi lebih banyak proses hukum apabila frekuensi

gugatan pada suatu pengadilan negeri adalah tinggi, bila dibandingkan

dengan keadaan suatu pengadilan yang sam sekali kerang terjadi

gugatan-gugatan. Kalu penguasa pada suatu masa mengeluarkan lebih

banyak peraturan tertulis daripada masa lain, maka terdapat lebih banyak

hukum. Suatu contoh konkret adalah peraturan-peraturan tertulis

mengenai peruntukan tanah yang dikeluarkan oleh Gubernur/Kepala

Daerah Khusus ibukota Jakarta, selama periode anatara tahun 1966

sampai 1970. Pada tahun 1968 dikeluarkan tiga peraturan, pada tahun

1969 dikeluarkan tujuh peraturan, pada tahun 1970, 1971, dan 1972

tidak ada peraturan yang dikeluarkan; sedangakan pada tahun tahun

1973 dan 1974, masing-masing satu peraturan ( Pemerintah DKI

Jakarta, Himpunan Peraturan Pertanahan DKI Jakarta 1976 ).

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum pada tahun

1969, apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tahun-tahun

sesudahnya.

Hal di atas ditemukan melalui pendekatan sosiologis sebagai salah satu

dasar perikelakuan yang nyata ataupun fakta yang terlihat. Hali ini

mungkin berarti pada suatu ketika jenis-jenis social control laninnya

lebih menonjol perannya daripada hukum. Sebab, integrasi dan

keteraturan dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh adanya

hukum, akan tetapi justru mungkin karena adanya jenis-jenis social

control lain, seperti kaidah-kaidah kesusilaan, sopan santun, dan

seterusnya. Maka adakalanya para sosiolog bertitik tolak pada hipotesis,

bahwa bertambahnya hukum adalah sesuai dengan berkurangnya jenis-

jenis social control lainnya; atau berkurangnya hukum adalah sejalan

dengan bertambahnya jenis-jenis control social selain hukum.

Page 12: sosiologi hukum

Donald Black, The Behavior of Law, (New York: Academic Press,1976),

hal 33.

4. Hukum dan Gejala Sosial

Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan

di hadapan hukum, yaitu setiap warga Negara harus tunduk kepada

hukum. Demikian pengertian yang dapat dipahami dari suatu Negara

hukum. Namun demikian, terdapat kecenderungan keterkaitan antara

hukum dengan gejala-gejala social, dalam hal ini stratifikasi sosial yang

terdapat pada setiap masyarakat. Tujuan kajiannya tidak lain hanya

untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada manfaatnya di dalam

pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak dipersoalkan oleh

masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami wilayah

perkotaan. Kasus-kasus semacaman ini dapat diungkapkan, misalnya

peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan Universitas Tadulako

oknum aparat keamanan ketika melakukan aksi demonstrasi atas protes

terhadap situasi kondisi perekonomian Negara, Dwifungsi ABRI dan

semacamnya, baik di Jakarta, Makasar, maupun Palu.

Terhadap kasus penembakan tersebut, muncul pertanyaan mengapa

oknum aparat POLRI dan/atau TNI melakukan penembakan terhadap

mahasiswa? Mungkin akan dapat diungkapkan latar belakang sosialnya,

sehingga kita semua akan lebih mengerti mengapa peristiwa-peristiwa

tersebut terjadi dinegara hukum yang berdasarkan Pancasila.

Selama ini memang terjadi banyak peristiwa yang agaknya

“mengejutkan”, datangnya sedemikian bertubi-tubi, sehingga kelihatan

bahwa mekanisme hukum memang kurang efektif; seolah-olah terjadi

anarki di dalam kesibukan penegakan hukum. Untuk praktisnya, di

dalam tulisan ini hukum diartikan sebagai peraturan yang ditetapkan

oleh penguasa. Peraturan-peraturan tadi dapat bersifat umum dan dapat

Page 13: sosiologi hukum

juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya. Hal itu

kemudian dihubungkan dengan stratifikasi sosial, oleh karena masih

memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Jadi, hukum di sini

diartikan sebagai sesuatu jenis social control yang diterapkan oleh

pengusa.

C. Penutup

Kesimpulan

Pada kenyataannya masyarakat kita melihat hukum sebagai suatu peraturan

yang dibuat oleh pengusa, sehingga kebanyakan dari mereka melanggar

peraturan tersebut. Di mata masyarakat hukum tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. Orang yang memiliki stratifikasi lebih tinggi lebih mendapatkan

perlakuan yang “mudah” dimata hukum. Padahal pada hakikatnya

kedudukan semua orang di hadapan hukum adalah sama. Lalu, banyak

aparat penegak hukum lebih mementingkan perutnya daripada keadilan

dalam hukum. Hal inilah yang membuat masyarakat menjadi tidak percaya

pada sistem penegakan hukum di Indonesia.

D. Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin.2007. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Bouman, P.1985. Sosiologi Pengertian-Pengertian dan Masalah-masalah.

Yogyakarta: Kanisius

Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York: Academic Press

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/06/25/0070.html