sosiologi hukum
-
Upload
iecool-noar -
Category
Documents
-
view
261 -
download
9
Transcript of sosiologi hukum
Nama : Muhammad Malichul Hadi
NIM : 0950424404
Prodi : Pendidikan Teknik Otomotif
Fakultas Teknik UNY
HUKUM DAN STRATIFIKASI DALAM KENYATAAN SOSIAL
Abstrak
Stratifikasi dan Hukum pada masyarakat sangat lah erat berhungan dengan gejala social. Untuk itu dalam penulisan tugas ini kita akan melihat pemaparan hukum dan stratifikasi dari para ahli sosiologi.
Kata kunci:
Hukum
Stratifikasi
A. Pendahuluan
1. Rumusan Masalah
a. Pengertian Stratifikasi Sosial
b. Menyoal anarki dan penegakan hukum di Indonesia
c. Hukum sebagai Variabel Kuantitatif
d. Hukum dan Gejala Sosial
2. Tujuan
a. Memenuhi penugasan mata kuliah sosio antropologi pendidikan
b. Menerangkan tentang stratifikasi dan masalah hukum dalam
kenyataan sosial
B. Pembahasan
1. Stratifikasi Sosial
Menurut Zainuddin Ali (2007::56) menyatakan stratifikasi social di sini
dapat diartikan sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam
kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Oleh karena itu, para
ahli sosiologi hokum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa
semakin komplek stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin
banyak hukum yang mengaturnya. Stratifikasi sosial yang kompleks
dimaksud, diartikan sebagai sesuatu keadaan yang mempunyai tolak
ukur yang banyak atau ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai
indicator untuk mendudukan seseorang di dalam posisi social tertentu.
Soerjono Soekanto (1981::133), menyatakan social stratification adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat atau system berlapis-lapis dalam masyarakat. Stratifikasi
social merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan
menemukan masyararakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu
konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara
vertical menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah
berdasarkan criteria tertentu.
Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1992: 5 ) menyatakan bahwa
stratifikasi social merupakan system peringkat status dalam masyarakat.
Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertical dalam
status social yang ada dalam masyarakat.
Pendapat di atas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi
social sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat
bagaimanapun juga keberadaanya pasti akan di dapatkan pelapisan social
tersebut. Apa yang dikemukakan Aristoteles. Karl Marx adalah salah
satu bukti adanya stratifikasi social dalam masyarakat yang sederhana
sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan
criteria yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat
kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas.
Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang
semakin modern dan kompleks, stratifikasi social yang terjadi dalam
masyarakat akan semakin banyak. Mengapa terjadi stratisikasi social
uraian berikut ini akan menjelaskannya.
Menurut Soerjono Sokanto ( 1981 : 133) Selama dalam suatu
masyatrakat ada sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat
mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu itu akan
menjadi bibit yang dapat menimbulkan adanya system berlapis-lapis
yang ada dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai
ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasan, ilmu pengetahuan,
kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang
terhormat.
Terjadinya stratifikasi social dalam masyarakat dikarenakan sesuatu
yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibatnya
distribusinya di dalam masyarakat tidaklah merata. Mereka yang
memperoleh banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak
memperoleh menduduki kelas bawah. Barang sesuatu yang dihargai
tersebut menurut Paul B Horton dan Chester L Hunt ( 1989: 7- 12)
Kekayaan dan Penghasilan
Kekayaan dan penghasilan adalah dua hal yang berkaitan erat; dimana
pengahsilan banyak kekayaannya juga akan meningkat. Faktor ekonomi
ini akan menjadi salah satu ukuran dari stratifikasi social yang ada.
Mereka yang kaya dan memiliki penghasilan yang besar akan
menduduki kelas atas; sedangkan mereka yang miskin dan tidak
berpenghasilan berada pada kelas bawah.
Pekerjaan
Pekerjaan disamping sebagai sarana dalam mengahsilkan pendapatan
juga merupakan status yang mengandung di dalamnya prestise
( penghargaan). Jenis pekerjaan akan menentukan penghasilan seseorang
dan juga penghargaan masyarakat akan seseorang yang memiliki
pekerjaan. Sperti Karl Mark yang membedakan kelas borjuis sebagai
orang yang memiliki modal atau capital dan proletariat sebagai otrang
yang hanya memiliki tenaga sasj atau sebagai buruh.
Pendidikan
Pendidikan secata bertingkat tingkat ada dalam masyarakat kita,
misalnya dibedakan menjadi Pendidikan Dasar, Pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi. Penjenjangan ini sekaligus menyatakan bahwa
pendidikan adalah demensi vertical dari stratifikasi social. Mereka yang
lulus dari pendidikan tinggi biasanya diberikaan gelas sesuai dengan
keahliannya tersebut seperti gelar SE atau SH dibelakang nama
menunjukan bahwa mereka yang mencantumkan SE dan SH adalah
mereka yang lulus dari pendidikan tinggi dengan keahlian bidang
Ekonomi untuk SE ( kepanjangan dari Sarjana Ekonomi) dan gelar SH
bagi mereka yang tamat dari pendidikan tinggi dari Fakultas Hukum ,
SH ( Sarjana Hukum ). Mereka yang tamat dari Jurusan Sosiologi
menggunakan gelar S.Sos kepanjangan dari Sarjana Sosiologi. Gelar ini
pada jenjang pendidikan S1.
Mereka yang menamatkan diri di jenjang pendidikan menengah dan
pendidikan dasar belum memperoleh gelar karena belum memiliki
keahlian tertentu. Si pendidikan tinggi ada jenjang kelanjutan setelah
Sarjana yaitu Magister untuk jenjang S2 dan Doltor untuk jenjang S3.
Mereka yang memiliki gelar baik S1,S2,S3 akan memiliki jenjang
stratifikasi social atas dibandingkan dengan mereka yang tamat
pendidikan menengah ( SMP dan SMA) maupun yang tamat SD dan
bahkan tidak Tamat SD dan tidak sekolah.
Sosiolog lain yaitu Soerjono Soekantlo ( 1981 :141 - 142:) menyatakan
bahwa kriteria yang menjadikan masyarakat berlapis-lapis adalah :
Ukuran Kekayaan
Ukuran menyatakan adanya kuantitas atau jumlah dari sesuatu hal. Jika
ukuran kekayaan berarti ada jumlah tertentu tentang kekayaan yang
dapat dijadikan sebagai suatu tolak ukur; dari sini kita dapatkan ukuran
kekayaan yang tinggi atau banyak, ukurang sedang atau cukup dan
ukuran sedikit atau miskin.
Kakayaan sebagai ukuran dalam menentukan stratifikasi social walaupun
ada kuantitas tetapi pada dasarnya adalah relative untuk suatu
masyarajat. Ukuran orang kaya pada masyarakat pedesaan adalah luas
pemilikan dan penguasaan tanah dan sering di simbulkan dengan rumah
bebrbentuk Joglo ( di Jawa Timur dan Jawa Tengah ); tetapi berbeda
halnya dengan masyarakat perkotaan didamping gedung yang mewah
juga mobil yang mewah sebagai symbol kekayaan yang dimilikinya.
Kekayaan sebagai sebuah ukuran dari startifikasi social dalam
masyarakat tetap tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang
bersangkutan.
Ukuran Kekuasaan
Kekuasaan yang didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok orang agar
berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang
memeiliki kekuasaan menjadi tolok ukur dari startifikasi social yang ada
dalam masyarakat.
Ukuran kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas
sempitnya pengaruh yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya.
Semakin luas dan tinggi pengaruh yang dimiliki oleh seseorang semakin
tinggi stratifikasi yang dimilikinya dan semakin rendah dan sempit dan
bahkan tidak memiliki pengaruh keberadaan seseorang dalam
masyarakat semakin rendah stratifikasi sosialnya.
Kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat
formal saja seperti pejabat pemerintah setermpat maupun pejabat
pemerintah yang lain. Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan
ketaatan bagi seseorang untuk mengikuti apa yang menjadi saran atau
perintahnya. Seorang Kyai memberikan saran kepada seseorang untuk
menghentikan kebiasan minum miras atau merokok dan yang yang
bersangkutan langsung menghentikan tindakannya, maka kyai tersebut
memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat; demikian juga halnya kepada
orang lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya,
maka orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat.
Ukuran Kehormatan
Kehormatan yang diproleh oleh seseorang bukanlah dari dirinya,
melainkan penilaian yang dating dari orang lain. Apakah seseorang
dihormati atau tidak oleh orang lain sangat tergantung pada orang lain,
bukan bersumber pada dirinya. Penghormatan bagi seseorang buka
muncul sesaat, melainkan melalui proses waktu dan evaluasi yang
panjang.
Pemghormatam dengan demikian bersifat obyektif bukan bersifat
subyektif. Penghargaan bagi seseorang dalam wujud penghormatan
dapat bersumber pada kepribadian seseorang tersebut karena kejujuran,
ketaqwaan beragama, berani karena benar rendah hati maupun perilaku
yang ditunjukan dalam setiap harinya seperti suka menolong,
memberikan nasehat kepada yang membutuhkan dan sebagainya yang
setiap saat dievaluasi oleh anggota masyarakat yang lain. Penghormatan
tersebut diwujudkan orang lain akan memberikan hormat lebih dahulu
atau mengulurkan tangan untuk berjabat tangan atau menempatkan
duduk dalam suatu pesta atrau pertemuan didepan sendiri atau di tempat
yang pas dengan kehormatanya.
Misalnya : Kenduri di desa, biasanya mereka yang dihormati akan duduk
disebelah kiri paling Utara dari tempat duduk yang disediakan dan
disebelah Selatannya nanti akan di tempati oleh orang-orang yang
kehormatannya lebih kecil. Biasanya tempat ini di tempati oleh
pemimpin kenduri ( modin ) dan cikal bakal desa atau orang yang
terpandang di desanya. Sementara bagian Selatan paling kanan ditempati
oleh yang muda sebagai wakil orang tua yang tidak dapat hadir pada
kenduri tersebut.
Ukuran Ilmu Pengetahuan
Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu : pertama,
ukuran formal yaitu ijazah sebagai ukurannya. Semakin tinggi gelar atau
ijazah yang dimiliki semakin tinggi strata sosialnya dan semakin rendah
ijazah yang dimiliki semakin rendah strata sosialnya. Kedua, ukuran non
formal adalah professional atau keahlian yang mereka miliki melalui
ketrampilan yang dia lakukan. Mereka memperoleh keahlian tersebut
tidak melalui jalur pendidikan formal. Pakar pengobatan alternative,
mereka memperoleh keahliannya bukan belajar di fakultas Kedokteran,
melainkan diproleh dari luar pendidikan formal yang ada.
2. Menyoal Anarki dan Penegakan Hukum di Indonesia
Jauh-jauh hari Profesor Donald Black (dalam The Behavior of Law,
1976) merumuskan bahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah
yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari
pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak
suka, tindakan-tindakan individu maupun massa yang dari optik yuridis
dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting),
pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial oleh rakyat.
Berbagai tindakan anarki dalam wujud tindakan main hakim sendiri
maupun tawuran, pertikaian suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA) dan jenis riot lain, menjadi fenomena yang kini tampak di
berbagai tempat di Tanah Air. Terakhir yang paling mengerikan,
pembakaran lima sosok tersangka penodong oleh warga masyarakat
setempat.
Berbagai tindakan anarkis dan main hakim sendiri itu, celakanya, hanya
ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh penguasa
dan aparat penegak hukum, serta mengabaikan "akar masalah"-nya
sendiri. Padahal mestinya disadari, perilaku anarkis itu lahir dalam
suatu lingkungan yang kondusif, baik secara struktural maupun
situasional.
Setiap kasus dengan demikian merupakan suatu struktur kompleks
posisi-posisi dan hubungan-hubungan sosial. Para petinggi hukum hanya
bicara tentang keberadaan rambu-rambu hukum yang memang ada,
tetapi yang di dalam kenyataannya justru tidak berdaya (atau mungkin
sengaja tidak diberdayakan oleh sosok-sosok petinggi atau penegak
hukum tertentu). Kaum realis sering mengemukakan, generally
speaking,legal doctrine alone cannot adequately predict or explain how
cases are handled (secara umum, doktrin hukum semata tidak dapat
secara memadai meramalkan atau menjelaskan bagaimana kasus-kasus
ditangani). Memang di satu pihak penanganan situasional dibutuhkan,
misalnya diharapkan suatu tindakan tegas dan profesional oleh aparat
penegak hukum terhadap para pelaku anarkis, namun di pihak lain,
penanganan secara mendasar pada akar masalahnya, juga harus ditangani
secara nasional dan lebih dipikirkan penanganan yang lebih baik.
Seyogianya disadari bahwa berbagai tindakan anarkis yang terjadi
belakangan ini, merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh
Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile
frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan warga
masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law
enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang
universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum
itu memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri akan
meningkat, demikian sebaliknya. Untuk itulah sangat beralasan
dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa
dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Apa
yang dimaksudkan sebagai strategi raksasa ialah pengembalian
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penegakan hukum.
Bagaimana mungkin masyarakat akan pulih kepercayaannya jika yang
mereka saksikan dalam proses penegakan hukum, terutama yang
berkaitan dengan kasus-kasus KKN kelas kakap, masih seperti yang
dialunkan oleh syair aku masih seperti yang dulu. Berbagai sikap
diskriminatif, dilakonkan para penegak hukum negeri ini. Tampak benar
oleh mata hati masyarakat bahwa asas equal justice under law masih
merupakan lips service. Hanya bahan retorika belaka para
petinggi. Pengembalian kepercayaan itu tentu saja harus dimulai dengan
pelengseran para petinggi hukum dan penegak hukum yang tergolong
sosok-sosok sapu kotor. Dari sekitar 80-an calon hakim agung yang kini
akan dipilih DPR, seyogianya 20 orang bakal tersisa, yang notabene
benar-benar orang baru dan dengan paradigma baru, yang tak pernah
bersentuhan dengan sistem pemerintahan di masa lalu. Dan, memiliki
catatan prestasi yang baik, khususnya yang mempunyai komitmen tinggi
terhadap upaya menjadikan hukum sebagai panglima di republik ini.
Kejaksaan Agung pun tak terkecuali, harus dibersihkan.
Ada baiknya, dari level Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung hingga
ke lapisan petinggi hukum di tingkat daerah, ditempati sosok-sosok
nonpartisan, sehingga kebijakannya tidak bias oleh kepentingan partai
politiknya, sebab secara teoretis dikatakan since intimacy breeds
partisanship. Secara ilmiah, faktor stratifikasi dan morfologi, sangat
kental mempengaruhi penegak hukum, bahkan menurut Donald: Even
the smallest degree of intimacy, such as eye contact with jurors,
strengthens a case (bahkan kadar keintiman yang paling kecil,
seperti kontak mata dengan para anggota dewan juri akan memperkuat
suatu kasus).
Kondisi keterpurukan hukum di Indonesia saat ini, hanya mungkin
diatasi, jika para penegak hukum lebih banyak bertanya kepada hati
nuraninya, daripada perutnya, sehingga apa yang disebut benar dan adil
oleh masyarakat mampu diimplementasikan oleh para penegak hukum
menurut Achmad Ali, Menyoal Anarki dan Penegakan Hukum,dikutip
dari internet tanggal 5 Juni 2010.
3. Hukum sebagai Variabel Kuantatif
Suatu variable adalah karateristik dari suatu gejala yang berubah-ubah,
tergantung dari situasi atau kondisi di mana keadaan tersebut berada atau
terjadi. Ada suatu pendapat dalam sosiologi yang melihat hukum sebagai
suatu variabel kuantatif, oleh karena menurut situasi dan kondisi, hukum
dapat bertambah atau bahkan berkurang di dalam perwujudannya. Suatu
pengaduan di kantor polisi misalnya, adalah peristiwa hukum apabila
dibandingkan dengan suatu kantor polisi yang sama sekali tidak ada
pengaduan semacam itu.
Secara kauntatif terjadi lebih banyak proses hukum apabila frekuensi
gugatan pada suatu pengadilan negeri adalah tinggi, bila dibandingkan
dengan keadaan suatu pengadilan yang sam sekali kerang terjadi
gugatan-gugatan. Kalu penguasa pada suatu masa mengeluarkan lebih
banyak peraturan tertulis daripada masa lain, maka terdapat lebih banyak
hukum. Suatu contoh konkret adalah peraturan-peraturan tertulis
mengenai peruntukan tanah yang dikeluarkan oleh Gubernur/Kepala
Daerah Khusus ibukota Jakarta, selama periode anatara tahun 1966
sampai 1970. Pada tahun 1968 dikeluarkan tiga peraturan, pada tahun
1969 dikeluarkan tujuh peraturan, pada tahun 1970, 1971, dan 1972
tidak ada peraturan yang dikeluarkan; sedangakan pada tahun tahun
1973 dan 1974, masing-masing satu peraturan ( Pemerintah DKI
Jakarta, Himpunan Peraturan Pertanahan DKI Jakarta 1976 ).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum pada tahun
1969, apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tahun-tahun
sesudahnya.
Hal di atas ditemukan melalui pendekatan sosiologis sebagai salah satu
dasar perikelakuan yang nyata ataupun fakta yang terlihat. Hali ini
mungkin berarti pada suatu ketika jenis-jenis social control laninnya
lebih menonjol perannya daripada hukum. Sebab, integrasi dan
keteraturan dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh adanya
hukum, akan tetapi justru mungkin karena adanya jenis-jenis social
control lain, seperti kaidah-kaidah kesusilaan, sopan santun, dan
seterusnya. Maka adakalanya para sosiolog bertitik tolak pada hipotesis,
bahwa bertambahnya hukum adalah sesuai dengan berkurangnya jenis-
jenis social control lainnya; atau berkurangnya hukum adalah sejalan
dengan bertambahnya jenis-jenis control social selain hukum.
Donald Black, The Behavior of Law, (New York: Academic Press,1976),
hal 33.
4. Hukum dan Gejala Sosial
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan
di hadapan hukum, yaitu setiap warga Negara harus tunduk kepada
hukum. Demikian pengertian yang dapat dipahami dari suatu Negara
hukum. Namun demikian, terdapat kecenderungan keterkaitan antara
hukum dengan gejala-gejala social, dalam hal ini stratifikasi sosial yang
terdapat pada setiap masyarakat. Tujuan kajiannya tidak lain hanya
untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada manfaatnya di dalam
pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak dipersoalkan oleh
masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami wilayah
perkotaan. Kasus-kasus semacaman ini dapat diungkapkan, misalnya
peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan Universitas Tadulako
oknum aparat keamanan ketika melakukan aksi demonstrasi atas protes
terhadap situasi kondisi perekonomian Negara, Dwifungsi ABRI dan
semacamnya, baik di Jakarta, Makasar, maupun Palu.
Terhadap kasus penembakan tersebut, muncul pertanyaan mengapa
oknum aparat POLRI dan/atau TNI melakukan penembakan terhadap
mahasiswa? Mungkin akan dapat diungkapkan latar belakang sosialnya,
sehingga kita semua akan lebih mengerti mengapa peristiwa-peristiwa
tersebut terjadi dinegara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Selama ini memang terjadi banyak peristiwa yang agaknya
“mengejutkan”, datangnya sedemikian bertubi-tubi, sehingga kelihatan
bahwa mekanisme hukum memang kurang efektif; seolah-olah terjadi
anarki di dalam kesibukan penegakan hukum. Untuk praktisnya, di
dalam tulisan ini hukum diartikan sebagai peraturan yang ditetapkan
oleh penguasa. Peraturan-peraturan tadi dapat bersifat umum dan dapat
juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya. Hal itu
kemudian dihubungkan dengan stratifikasi sosial, oleh karena masih
memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Jadi, hukum di sini
diartikan sebagai sesuatu jenis social control yang diterapkan oleh
pengusa.
C. Penutup
Kesimpulan
Pada kenyataannya masyarakat kita melihat hukum sebagai suatu peraturan
yang dibuat oleh pengusa, sehingga kebanyakan dari mereka melanggar
peraturan tersebut. Di mata masyarakat hukum tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Orang yang memiliki stratifikasi lebih tinggi lebih mendapatkan
perlakuan yang “mudah” dimata hukum. Padahal pada hakikatnya
kedudukan semua orang di hadapan hukum adalah sama. Lalu, banyak
aparat penegak hukum lebih mementingkan perutnya daripada keadilan
dalam hukum. Hal inilah yang membuat masyarakat menjadi tidak percaya
pada sistem penegakan hukum di Indonesia.
D. Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin.2007. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Bouman, P.1985. Sosiologi Pengertian-Pengertian dan Masalah-masalah.
Yogyakarta: Kanisius
Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York: Academic Press
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/06/25/0070.html