Soropati-Telomoyo-Rawa Pening_ Harmony Gravity Tectonics _ Geotrek Indonesia
-
Upload
indische-tuinbloemen -
Category
Documents
-
view
60 -
download
18
description
Transcript of Soropati-Telomoyo-Rawa Pening_ Harmony Gravity Tectonics _ Geotrek Indonesia
Geotrek Indonesia
“MEMANDANG ALAM DENGAN PENGERTIAN, JAUH LEBIH
BERARTI DAN MENYUKAKAN HATI DARIPADA HANYA
MENYAKSIKAN KEELOKANNYA.” (ALBERT HEIM, 1878)
Oleh: Awang Harun Satyana
Minggu lalu, bersama seorang rekan geologist, saya berencana hendak
ke Candi Borobudur melalui Solo dan Boyolali. Tujuannya adalah ingin
melihat muka Borobudur setelah disiram abu Merapi selama beberapa
minggu pada bulan lalu.
Borobudur, menurut Raffles (1817 -The History of Java, terjemahan
Indonesia PT Narasi 2008), pernah disiram dan ditutupi piroklastika
Merapi dan endapan lainnya pada abad ke-10 sampai ia lenyap dari
muka bumi. Raffles kemudian menugaskan ahli arkeologi Belanda,
Cornelius untuk memimpin penggalian kembali candi Budha terbesar di
dunia ini. Penggalian dilakukan oleh 200 penduduk desa di sekitar
Borobudur. Setelah 21 tahun dilakukan penggalian, seluruh bagian
candi baru tersingkap pada tahun 1835.
Mungkin, hidup dan mati Borobudur ditentukan oleh Merapi. Ia
dibangun oleh 1.600.000 batu balok andesit hasil muntahan Merapi
(Phil Grabsky, 2000, The Lost Temple of Java, penerbit Seven Dials)
dan ia pun hilang dari muka bumi selama lebih dari 800 tahun karena
ditutupi muntahan Merapi pula.
Dari Boyolali, Borobudur bisa dicapai melalui Cepogo, Selo, Ketep,
Sawangan dan Muntilan, yaitu jalan di lembah antara Gunung Merapi
dan Merbabu. Rencana ini terpaksa dibatalkan karena beberapa
jembatan di sekitar area Magelang ambrol diterjang lahar dingin Merapi
yang meluap keluar sungai. Kami lalu memutuskan menuju Borobudur
bukan dari arah timur, tetapi dari arah utara, yaitu memilih jalan dari
Salatiga ke arah baratdayanya melalui Kopeng di lereng Merbabu.
Soropati-Telomoyo-Rawa Pening: HarmonyGravity Tectonics
Jun
13
Rencana utama menuju Borobudur akhirnya harus ditunda sebab
keterbatasan waktu dan area baratdaya Salatiga, yaitu Gunung
Telomoyo , terlalu menarik secara geologi untuk ditinggalkan. Kami
memilih mengitari area sekitar Gunung Telomoyo, termasuk turun ke
area air terjun yang cukup tinggi, sekitar 150 meter, bernama Air
Terjun Kali Pancur. Dari ketinggian puncak air terjun di dekat Telomoyo
ini, pemandangan ke arah utara timurlaut sangat menakjubkan:
danau/telaga bernama Rawa Pening.
Acara yang semula hanya jalan-jalan menjadi lebih serius, kami turun
ke dasar air terjun melalui jalan setapak yang telah diperkeras dengan
batu/semen/paving block. Setelah sekitar 40 menit melalui jalan
setapak yang berbelok-belok curam, sampailah kami di dasar air
terjun. Pemandangan di sini memesona mata geologists: kami
diperhadapkan kepada formasi batuan volkanik dan sedimen yang
saling menumpuk lalu memotong. Beberapa sampel kami ambil untuk
penelitian lebih lanjut.
Naik lagi ke ketinggian yang sama dengan puncak air terjun, terlihat
lagi telaga Rawa Pening dari jauh. Lalu kami meneruskan perjalanan ke
Kopeng dan lereng baratlaut serta utara Merbabu untuk mendapatkan
orientasi medan. Di Kopeng, kami berkuda dan di sini mendapatkan
area yang lebih luas untuk melihat gunung-gunung Merbabu,
Telomoyo, dan satu gunung yang lain: Gunung Andong. Karena hari
menjelang sore, lalu kami memutuskan kembali ke Salatiga-Boyolali dan
Solo.
Evaluasi geologi regional dilakukan sesudahnya, ingin tahu apakah ada
hubungan antara Telaga Rawa Pening, Telomoyo, Andong dan
Merbabu. Dibantu dengan literatur-literatur lama dan peta google
serta DEM, akhirnya didapatlah gambaran padu hubungan di antara
mereka. Melihatnya ternyata harus jauh ke utara lagi: Gunung
Ungaran, dan sampai selatan: Gunung Merapi.
Adalah van Bemmelen (1941, 1943) yang telah memetakan area
baratdaya Salatiga ini meliputi Kopeng, Merbabu dan Merapi, dan
secara regional van Bemmelen (1949) juga yang mengatakan bahwa
Gunung Ungaran, Gunung Soropati-Telomoyo, Gunung Merbabu dan
Gunung Merapi adalah gunung-gunungapi yang muncul di sebuah sesar
besar yang menjadi batas timur bagian sempit Jawa Tengah. Sesar ini
berarah utara-baratlaut dan selatan-tenggara, kita sebut saja Sesar
Ungaran-Merapi. Umur gunung-gunung ini semakin muda ke arah
selatan, sehingga Gunung Ungaran adalah gunung yang tertua dan
Gunung Merapi yang termuda. Karena Merapi yang termuda, mungkin
pula itu penyebab mengapa gunungapi ini yang paling aktif di antara
deretan gunung yang duduk di Sesar Ungaran-Merapi.
Orang umumnya mengenal atau pernah mendengar Gunung Ungaran.
Teman-teman yang tinggal atau berasal dari Semarang, Ambarawa
atau Salatiga tentu mengenal gunung ini. Sementara teman-teman
yang berasal dari Solo atau Boyolali mengenal dengan baik pasangan
Gunung Merbabu dan Merapi. Bagaimana dengan Gunung Soropati,
Gunung Telomoyo dan Gunung Andong ? Tak banyak yang
mengenalnya, kadang-kadang orang masih mendengar Telomoyo
sebagai judul sebuah lagu keroncong atau juga Telomoyo terkenal
karena kabarnya dulu ada meteorit yang cukup besar jatuh di
permukaan Bumi di area Telomoyo.
Tulisan ini hendak menyoroti Soropati-Telomoyo-Andong dan Rawa
Pening. Apakah ada hubungan antara telaga Rawa Pening dan
kompleks Gunung Soropati-Telomoyo ? Mengapa mencari hubungan
antara antara Rawa Pening dan gunung Soropati-Tolomoyo ?
Penyebabnya adalah keingintahuan asal Rawa Pening. Setiap danau di
tempat tinggi bisa terjadi sebagai: sisa kawah (danau2 di Dieng, Toba)
atau pembendungan tektono-volkanik (“danau Bandung”). Apa jenis
Rawa Pening ini ?
Luas Rawa Pening 2.670 hektare, menempati wilayah Kecamatan
Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di
cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan
Gunung Ungaran. Menurut legenda, Rawa Pening terbentuk dari
muntahan air yang mengalir dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh
Baru Klinthing.
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat
mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng
gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di
bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan
melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok
dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
Rawa ini digemari sebagai obyek wisata pemancingan dan sarana
olahraga air. Namun akhir-akhir ini, perahu bergerak pun sulit.
Saya tertarik menghubungkan kejadian Rawa Pening dengan kompleks
Soropati-Telomoyo yang kelihatannya sudah mengalami runtuhan di
puncaknya. Gunung Soropati (1300 meter) adalah gunungapi di
deretan Ungaran-Soropati-Merbabu-Merapi. Pada saat aktifnya
(Plistosen tengah-atas) (van Bemmelen, 1941), gunung ini pernah
setinggi 2000 meter, tetapi 700 meter puncaknya telah runtuh karena
letusan dan collapse meninggalkan kawah besar yang disebut Kawah
Klegung. Gunung Soropati saat ini hanyalah sebagai dinding kawah.
Lalu mnjelang Holosen, gunung Telomoyo (1894 m) terjadi di kawah
runtuhan Soropati.
Bila kita dari Salatiga menuju Kopeng, akan tampaklah Gunung
Telomoyo. Di sekililingnya tampak puncak-puncak yang lebih rendah,
yang sebenarnya merupakan dinding kawah Gunung Soropati yang
lebih tua daripada Telomoyo. Dinding kawah yang lain disebut Gunung
Kendil (1273) meter. Di area Kopeng, nampak Gunung Andong, yang
tidak termasuk ke dalam area Soropati-Telomoyo. Gunung Andong
(1700 meter) merupakan puncak parasiter Merbabu.
Fenomena volkano-tektonik pembentukan kawah dan collapse
structure di puncak Soropati dengan gaya utama berupa tarikan
(tension) yang menyebabkan struktur runtuhan/terban dikuti dengan
kompensasi gaya isostatiknya berupa kompresi di kaki Soropati,
terutama ke arah timurlaut. Kompresi ini telah menyebabkan terjadinya
struktur punggungan bernama Payung-Rong pada jarak sekitar 10 km
dari puncak Soropati. Sebenarnya struktur2 kompresi di kaki Soropati-
Telomoyo tidak hanya terjadi di sebelah timurlaut, tetapi juga ke arah
timur dan tenggaranya, seperti beberapa lipatan landai yang terjadi di
area Ampel dan Karanggede pada jarak sekitar 30 km dari puncak
Soropati, yaitu area2 yang akan dilalui kalau kita berangkat dari
Boyolali menuju Salatiga.
Keberadaan struktur-struktur antiklin/punggungan di kaki gunung-
gunungapi Jawa harus dicurigai sebagai akibat collapse structure di
puncaknya. Gunung Soropati-Telomoyo diperkirakan van Bemmelen
(1941) telah menghasilkan piroklastika berupa breksi volkanik
(Notopuro beds) lebih dari satu juta ton. Gunung ini muncul di atas
basement berupa sedimen Neogen marin yang didominasi lempung dan
napal. Basement lempung dan napal ini bisa menjadi bidang gelincir.
Ketika tubuh Soropati semakin besar dan berat karena pembubungan
magma, maka sebagian puncaknya menggelincir membuat struktur
runtuhan (collapse) dan gaya deformasi menyebar ke sekelilingnya,
tetapi terutama ke arah timurlaut dan timur. Di sisi inilah terjadi
lipatan2 berupa punggungan2 berbentuk sabit.
Lipatan-lipatan di area Payung-Rong di sebelah baratlaut Salatiga
telah membentuk overthrust wedge berupa punggungan yang
terbentuk dari breksi volkanik Notopuro yang tersesarkan. Salah satu
puncak tertinggi di blok naiknya membentuk Gunung Rong (668 meter).
Punggungan Payung-Rong inilah yang lalu di sebelah selatannya
menjadi tanggul alam yang membendung Kali Tuntang sampai menjadi
Rawa Pening (ketinggian muka air sekitar 463 meter). Hubungan
puncak dan kaki, hubungan collapse structure yang tension di puncak
dan punggungan antiklin atau sesar naik yang compression di kaki
telah menunjukkan suatu proses gravitational tectogenesis melalui
mekanisme gliding tectonics.
Rawa Pening dibentuk oleh permainan gliding tectonics collapse
structure Gunung Soropati pada Plistosen Atas. Rawa Pening
terbentuk karena Sungai Tuntang terbendung punggungan Payung-
Rong karena puncak Soropati di sebelah selatannya runtuh dan gaya
kompensasinya menyebar ke timurlaut melalui gliding tectonics.
Sementara itu, Danau Bandung terbentuk karena aliran sungai Citarum
terbendung material letusan Gunung Sunda dan Gunung
Tangkubanparahu pada Plistosen Atas juga. Kesamaan pembendungan
← Junghuhn: Bukan Hanya
Karena Kina
Plato Gamping Ayamaru, Papua
dan Hunian Prasejarah →
Leave a Reply
Share this:
Like this:
Be the first to like this.
Like
dengan mekanisme volkano-tektonik yang berbeda.
Posted in Geo-Histori, Geologi, Geotrek Indonesia, Indonesia, Sejarah
Tagged Awang Harun Satyana, Borobudur, gliding tectonics, Gunung
Andong, Gunung Rong, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, History of
Java, Kopeng, Raffles, Rawa Pening, Soropati, van Bemmelen
Edit
Press This Twitter 1 Facebook
Related
Merapi dan Danau Bor… Geotrek Merapi: Merapi… Sekali Lagi tentang Bo…
In "Geo-Histori" In "Geo-Histori" In "Geo-Histori"
Enter your comment here...
My Tweets
Search Search
REC ENT POSTS
The Molluca Sea Collisional Orogen
Lima Puluh Tahun Eksplorasi Angkasa Luar
Flora Pegunungan Jawa (van Steenis, 1972, 2006)
Cekungan Pembuang Dibuang Sayang: Fenomena Terbaru
Mengeluarkan Meratus dan Bayat dari Jalur Subduksi Kapur Akhir (?)
Geotrek Pacet, 23-24 November 2013
Di Atas Wajah Merapi
Gumuk Pasir Pantai Parangkusumo, Yogyakarta: Pahami, Cintai, Jaga
Indonesia: A Mozaic of Puzzles, A Mozaic of Terranes
Terangkat dari Lautan 16-8 Juta Tahun yang Lalu
Kaitan Tektonik Madura – Sidoarjo (?)
Pulau Madura: Kerumitan Deformasi Geologi
Ekstremitas Van der Tuuk (1824-1894)
Metta: Arkeolog Sangiran Pertama Kelahiran Sangiran
Right Understanding of Regional Geology will Result in Right Steps
of Exploration
Meneliti Geologi, Menggali Artefak dan Fosil (Sangiran, 6-8
September 2013)
Kepulauan Seribu
Sidik Jari Batu
Dibelah-belah Sesar Sumatra
Konglomerat Bancuh FM., Menanga, Lampung: Benturan Kapur Tengah
Terrane Woyla Vs. Mergui (?)
ARC HIVES
Select Month
TOPIC S
Buku
Geo-Histori
Geologi
Geotrek Indonesia
Gunung Api
Ilmu Alam
Indonesia
Sejarah
Tokoh
REC ENT COMMENTS
wispaten on Relasi Hominid dan “Adam…
wispaten on Kronologi “Manusia Perta…
Oi on Sultan Agung 1628-1629 M: Meng…
agus on Perbukitan Menoreh dan Nanggul…
Herman Moechtar on Relasi S1 – S2 – S3 dan P…
META
Site Admin
Log out
Entries RSS
Comments RSS
WordPress.com
Blog at WordPress.com. | The Reddle Theme.