skripsi.pdf

79
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI WILAYAH PUSKESMAS JAGAKARSA TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Jurusan Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta oleh : Nama : Farah Sonya Anastasya NPM : 2010730036 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2013 i

Transcript of skripsi.pdf

  • HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN

    ISPA PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI WILAYAH PUSKESMAS

    JAGAKARSA TAHUN 2013

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada

    Jurusan Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

    Universitas Muhammadiyah Jakarta

    oleh :

    Nama : Farah Sonya Anastasya

    NPM : 2010730036

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

    2013

    i

  • HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BAYI

    USIA 6-12 BULAN DI PUSKESMAS JAGAKARSA TAHUN 2013. Farah Sonya Anastasya Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta

    ABSTRAK

    Latar belakang. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak dini terutama ASI eksklusif yang mempunyai berbagai manfaat yaitu akan memelihara pertumbuhan dan perkembangan otak bayi, sistem kekebalan tubuh, pencegahan penyakit diare dan infeksi saluran nafas. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Jagakarsa Tahun 2013. Metodologi Peneltian. Penelitian yang dilakukan bersifat kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 94 responden. Pengumpulan data dengan menggunakan data primer yang diambil dari kuisioner kepada ibu sebagai responden dan data sekunder dari puskesmas Jagakarsa. Analisis data menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan ()=0,05. Hasil. Berdasarkan hasil uji hipotesis, didapatkan nilai P=0,006 (P

  • EXCLUSIVE BREASTFEEDING RELATIONSHIP WITH THE INCIDENCE OF ACUTE

    RESPIRATORY INFECTION (ARI) IN INFANTS AGED 6-12 MONTHS IN THE JAGAKARSA CLINIC ON 2013

    Farah Sonya Anastasya Student Of Medical Programe, Faculty Of Medicine And Health, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Medical Programe, Faculty Of Medicine And Health, Universitas Muhammadiyah Jakarta

    ABSTRACT

    Backgound. Breastfeeding (breast milk) from an early age, especially exclusive breastfeeding has many benefits that will nurture the growth of baby's brain, immune system, prevention of diarrheal disease and respiratory tract infections. Aim. This study aims to determine is there any relationship between Exclusive breastfeeding with the incidence of acute respiratory infection (ARI) in infants aged 6-12 months in the Jakarsa clinic on 2013. Research methodology. Quantitative research conducted using cross-sectional approach. Sample was 94 respondents. Data collection using primary data taken from questionnaires to mothers as respondents and secondary data from Jagakarsa clinic. Data analysis using the chi square test with significance level () = 0.05. Result. Based on hipotesis test, it showed P=0,006 (P

  • LEMBAR PERSETUJUAN

    Disetujui untuk diajukan Sidang Skripsi pada prodi dokter, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

    Pada hari :

    Tanggal :

    Pembimbing utama

    dr. Andri Setiawan MKM

    iv

  • HALAMAN PENGESAHAN

    PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI

    HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BAYI

    USIA 6-12 BULAN DI PUSKESMAS JAGAKARSA TAHUN 2013

    Telah disusun dan dipersiapkan oleh

    Farah Sonya Anastasya

    TELAH DIUJI DAN DIPERTAHANKAN DIHADAPAN DEWAN PENGUJI

    TANGGAL

    Susunan dewan penguji

    Pendamping utama Penguji/Pembanding

    (.) ()

    Telah diterima sebagai salah satu persyaratan kelulusan pendidikan tahap sarjana

    ()

    Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan

    Universitas Muhammadiyah Jakarta

    v

  • KATA PENGANTAR

    Bismillahirahmanirrohim

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas

    rahmat dan karunia-Nya akhirnya penelitian ini dapat terwujud walaupun begitu banyak

    cobaan dan hambatan yang penulis hadapi. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan

    kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia menuju jalan lurus dan

    diridhoi Allah SWT.

    Alhamdulillah penulis akhirnya dapat menyelesaikan Laporan Penelitian ini yang

    berjudul Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 6-12

    Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Jagakarsa Tahun 2013, sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas

    Muhammadiyah Jakarta.

    Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan laporan penelitian ini banyak

    menemui hambatan baik yang datang dari faktor luar penulis maupun dari dalam diri penulis.

    Mengatasi hambatan-hambatan tersebut, penulis banyak mendapat dukungan, pengarahan,

    petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih

    kepada :

    1. Dr. dr. Toha Muhaimin, M.Sc selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

    Universitas Muhammadiyah Jakarta.

    vi

  • 2. dr. Andri Setiawan MKM sebagai dosen pembimbing saya, yang telah banyak

    meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan, bimbingan, dan

    nasihat kepada penulis selama penelitian dan penyusunan laporan ini.

    3. Ibu Tria Astika ep, SKM MKM sebagai pembimbing metodologi penelitian saya, yang

    telah memberikan arahan kepada penulis.

    4. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar penulis, terutama orang

    tua penulis H.Sonny Egie Husein dan Meity Fariany yang telah memberikan dukungan

    baik moril maupun materil serta kasih sayang dan doa yang tiada batas.

    5. Untuk kakak dan tante tercinta dr. Frans kausario muslihan dan dr. Mima sp.A yang

    telah memberikan motivasi serta pengertian selama penulis melakukan penelitian ini.

    6. Serta sahabat dan teman-teman beserta seluruh staf pengajar dari Program Studi

    Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah

    Jakarta.

    Terima kasih sebesar besarnya kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam

    penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, semoga segala amal

    kebaikan selalu diterima dan dibalas oleh Allah SWT. Besar harapan penulis agar skripsi ini

    dapat berguna bagi pihak yang memerlukan meskipun masih banyak kekurangan, untuk itu

    pada kesempatan ini penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi

    perbaikan di masa mendatang.

    Jakarta, Desember 2013

    Penulis

    vii

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................. Error! Bookmark not defined.

    ABSTRAK .............................................................................................................. ii

    HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................ iv

    HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

    DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiii

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiv

    BAB I Pendahuluan ............................................... Error! Bookmark not defined.

    1.1. Latar Belakang ......................................... Error! Bookmark not defined.

    1.2. Perumusan Masalah ................................................................................... 6

    1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6

    1.4. Ruang Lingkup .......................................................................................... 7

    1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7

    BAB II Tinjauan Pustaka, Kerangka Konsep, dan Hipotesis .................................. 8

    A. Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 8

    2.1. ISPA ........................................................................................................... 8

    viii

  • 2.1.1 Definisi ISPA ............................................................................................. 9

    2.1.2. Klasifikasi ISPA ........................................................................................ 9

    2.1.3 Anatomi Saluran Pernafasan .................................................................... 11

    2.1.4. Fisiologi Sistem Pernafasan ..................................................................... 12

    2.1.5 Mekanisme Pertahanan Sistem Pernafasan ............................................. 13

    2.1.6 Insidens dan Prevalensi ISPA ................................................................... 13

    2.1.7 Penyakit- penyakit ISPA .......................................................................... 14

    2.1.8 Infectious Agent ....................................................................................... 18

    2.1.9 Cara Penularan Penyakit ISPA ................................................................. 18

    2.1.10 Tanda dan Gejala ISPA ........................................................................... 18

    2.2. Faktor Risiko ISPA .................................................................................... 20

    2.2.1 Usia ............................................................................... 20

    2.2.2 Jenis Kelamin ........................................................................................... 20

    2.2.3 Status Gizi ................................................................................................. 20

    2.2.4 Pemberian Air Susu IBU (ASI) ............................................................... 21

    2.2.5 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) .......................................................... 21

    2.2.6 Imunisasi .................................................................................................. 21

    2.2.7 Pendidikan Orang Tua ............................................................................. 22

    2.2.8 Status Sosial Ekonomi ............................................................................. 22

    2.2.9 Penggunaan Fasilitas Kesehatan .............................................................. 22

    2.2.10 Lingkungan ............................................................................................. 23

    ix

  • 2.3 Pencegahan Penyakit ISPA ............................................. 24

    2.4 Air Susu Ibu ................................................................................................. 26

    2.4.1 Pengertian Air Susu Ibu ........................................................................... 26

    2.4.2 ASI Eksklusif ............................................................................................ 27

    2.4.3 Macam-macam ASI ................................................................................. 29

    2.4.4 Kandungan ASI ....................................................................................... 31

    2.4.5 Manfaat ASI ................................................................ 34

    2.4.6 Produksi ASI ............................................................... 34

    B. Kerangka Konsep .......................................................................................... 37

    C. Hipotesis ........................................................................................................ 37

    BAB III Metodologi Penelitian .............................................................................. 38

    3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 39

    3.2. Rancangan penelitian .................................................................................. 38

    3.3. Variabel dan Definisi Operasional .............................................................. 38

    3.4. Populasi dan Sampel .................................................................................. 40

    3.5. Pengukuran dan pengamatan variabel penelitian ........................................ 42

    3.6. Pengumpulan Data ..................................................................................... 42

    3.7. Analisa Data ................................................................................................ 42

    BAB IV Hasil Penelitian ........................................................................................ 44

    4.1. Analisis Univariat ...................................................................................... 44

    4.2. Analisis Bivariat.......................................................................................... 46

    x

  • BAB V Pembahasan ............................................................................................. 48

    5.1. Penafsiran dan pembahasan temuan hasil penelitian ................................. 48

    5.2. Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 51

    BAB VI Kesimpulan dan Saran ............................................................................. 53

    6.1. Kesimpulan ................................................................................................ 53

    6.2. Saran-saran .................................................................................................. 53

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 55

    Lampiran ................................................................................................................ 59

    xi

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar a 2.1.3 anatomi respiratorius pada anak(maidelwita,2006).11

    Gambar b 2.13 anatomi saluran pernafasan atas dan bawah(ricky,2002) ................12

    xii

  • DAFTAR BAGAN

    Bagan 2.32. Skema Definisi Menyusui (Labbok dan Krasovec, 1990 dalam Lawrence, 1994)

    ..................................................................................................................................................28

    xiii

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1 Definisi Operasional .............................................................................................39

    Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Bayi Dengan Kejadian Ispa Di Wilayah

    Puskesmas Jagakarsa Tahun 2013 .......................................................................................44

    Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Bayi Di Wilayah Puskesmas

    Jagakarsa Tahun 2013 ..........................................................................................................45

    Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Asi Di Wilayah Puskesmas Jagakarsa

    Tahun 2013 ..........................................................................................................................45

    Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Ispa Di Wilayah Puskesmas

    Jagakarsa Tahun 2013 ..........................................................................................................46

    Tabel 4.5 Distribusi Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Ispa Pada Bayi

    Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Puskesmas Jagakarsa Tahun 2013 .......................................46

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Latar belakang

    Salah satu program MDGs yaitu menurunkan angka kematian bayi dan anak, pada

    tahun 2008 angka kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR) di Indonesia yaitu

    31,04/1000 kelahiran hidup. Diharapkan tahun 2015 Indonesia harus mampu menurunkan

    angka kematian bayi hingga 17/1000 kelahiran hidup, target yang masih sangat jauh untuk

    kurun waktu yang cukup singkat. Salah satu indikator untuk mencapai Indonesia sehat 2025

    adalah menurunkan angka kematian bayi (AKB) dari 32,3/1000 kelahiran hidup pada tahun

    2005 menjadi 15,5/1000 kelahiran hidup pada tahun 2025 (DepKes RI,2009).

    ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini

    disebabkan masih tingginya angka kematian karena ISPA, terutama pada bayi dan anak

    balita. Menurut WHO (2003), ISPA merupakan 10 penyakit utama dan salah satu penyebab

    kematian tersering pada anak di negara yang sedang berkembang. Infeksi saluran pernafasan

    akut ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun

    setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut terjadi pada bayi. Proporsi

    kematian bayi dan balita karena ISPA di dunia sebesar 19% sampai 26%.

    Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat

    terbanyak. Hal ini menunjukan angka kesakitan akibat ispa masih tinggi. Angka kematian

    balita akibat pneumonia juga masih tinggi, yaitu lebih kurang 5 per 1000 balita. Pemerintah

    telah merencanakan untuk menurunkannya hingga 3 per 1000 balita pada tahun 2010. Akan

  • 2

    tetapi, keberhasilannya bergantung pada banyaknya faktor risiko, terutama yang berhubungan

    dengan strategi baku penatalaksanaan kasus, imunisasi dan modifikasi faktor risiko.

    Angka kematian bayi yang cukup tinggi di dunia dapat dihindari salah satunya dengan

    pemberian ASI. Pemberian ASI semaksimal mungkin merupakan kegiatan yang berperan

    penting dalam pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus dimasa depan (DepKes RI,

    2009).

    ASI adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai

    untuk pertumbuhan dan perkembangan, komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang

    ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi, sehingga

    penggunanya perlu dilindungi dan ditingkatkan. ASI juga mengandung zat kekebalan tubuh

    yang sangat berguna bagi kesehatan bayi dan kehidupan berikutnya. Bahkan, organisasi

    kesehatan sedunia (WHO) menyatakan bahwa masalah ASI dianggap sebagai suatu Hak

    Asasi. ASI saja cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan

    lain yang dibutuhkan selama masa ini. Keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh

    (memberikan ASI Eksklusif).

    Kebutuhan bayi akan zat gizi jika dibandingkan dengan orang dewasa dapat dikatakan

    sangat kecil. Namun jika diukur berdasarkan persentase berat badan, kebutuhan bayi akan zat

    gizi melampaui kebutuhan orang dewasa, hampir dua kali lipat. Makanan pertama dan utama

    bayi adalah ASI. ASI cocok sekali untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam segala hal, yakni

    karbohidrat yang berupa laktosa, asam lemak tak jenuh ganda, protein laktalbumin yang

    mudah dicerna, kandungan vitamin dan mineralnya banyak, rasio kalsium-fosfat sebesar 2:1

    yang merupakan kondisi ideal bagi penyerapan kalsium, dan mengandung zat anti infeksi

    (Arisman, 2004).

  • 3

    Bayi yang mendapat ASI eksklusif ternyata akan lebih sehat dan jarang sakit

    dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang sehat tentu akan

    lebih berkembang kepandainya dibandingkan dengan bayi yang sering minum susu formula,

    terutama bila sakitnya berat. Manfaat lain pemberian ASI eksklusif bagi bayi meningkatkan

    daya tahan tubuh kerena mengandung berbagai zat anti kekebalan bayi terutama selama

    minggu pertama (4-6 hari) pada kolostrum sehingga akan lebih jarang sakit. ASI juga akan

    mengurangi terjadinya diare, sakit telinga dan infeksi saluran pernafasan (Roesli, 2010 ). Hal

    tersebut sependapat dengan Nur Elly (2011), penelitian menunjukan bahwa ASI memberikan

    kekebalan maksimal dan paling baik tidak hanya tahun-tahun awal kehidupan seorang. ASI

    juga memiliki banyak manfaat yang dapat menunjang kesehatan bayi. Manfaat tersebut antara

    lain terbukti bahwa pemberian ASI menurunkan resiko berbagai penyakit salah satunya

    adalah ISPA.

    Sistem imunitas adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk

    mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat

    ditimbulkan berbagai bahan di lingkungan sekitar (Prasetyono, 2009). Peningkatan sistem

    imunitas pada bayi biasanya dilihat dari frekuensi bayi yang mengalami sakit. Pada bayi yang

    sering mengalami sakit dapat diketahui pada saat bayi lahir sampai 6 bulan apakah diberikan

    ASI atau tidak, karena di dalam ASI terdapat kolostrum. Kolostrum merupakan cairan emas,

    cairan pelindung yang kaya zat antiinfeksi dan berprotein tinggi yang dikeluarkan pada hari

    pertama dan kedua setelah melahirkan. Kolostrum lebih banyak mengandung protein dan zat

    antiinfeksi 10-17 kali lebih banyak dibanding ASI matang (mature). Cairan emas yang encer

    dan berwarna kuning atau jernih yang lebih menyerupai darah dari pada susu, sebab

    mengandung sel hidup yang menyerupai sel darah putih yang dapat membunuh kuman

    penyakit (Roesli, 2005).

  • 4

    Menurut penelitian Horta et al (2007) menunjukkan bahwa semakin lama anak

    mendapatkan ASI, maka semakin kuat sistim imun tubuhnya. Hal ini dikarenakan ASI

    mengandung berbagai jenis antibodi yang melindungi si kecil dari serangan kuman penyebab

    infeksi. Antibodi tersebut mulai dari Immunoglobulin A (IgA), IgG, IgM, IgD dan IgE.

    Antibodi dalam ASI inilah yang hingga saat ini tidak pernah terdapat dalam susu formula

    jenis apapun. Atas dasar inilah maka badan kesehatan dunia WHO (World Health

    Organization) menyarankan agar diatas usia 6 bulan, ASI terus diberikan berdampingan

    dengan MPASI (Makanan Pendamping ASI) hingga berusia 2 tahun atau lebih (Bernardo

    L.Horta (2007) dalam Lely (2007).

    Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan tampaknya masih

    sulit untuk dilaksanakan maka pemerintah Indonesia telah menggalakan program pemberian

    ASI Eksklusif sejak tahun 1990 yang dikenal dengan Gerakan Nasional Peningkatan

    Pemberian Air Susu Ibu (PP-ASI). Sehubungan dengan itu telah ditetapkan dengan

    Keputusan Menteri Kesehatan No.450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara

    eksklusif pada bayi Indonesia.

    Cakupan ASI Eksklusif yang ditargetkan dalam Program Pembangunan Nasional Dan

    Strategi Nasional Adalah 80%. Sesuai dengan Program Millennium Development Goals

    (MDGS) membantu mengurangi kemiskinan, kelaparan, angka kematian bayi.

    Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and Health Surveillance

    System (NSS) bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International di 4 kota

    (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8 pedesaan (Sumatera Barat, Lampung, Banten,

    Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan), menunjukkan bahwa

    cakupan ASI Eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4-12%, sedangkan di pedesaan 4-25%.

    Pencapaian ASI Eksklusif 5-6 bulan di perkotaan antara 1-13%, sedangkan di pedesaan 2-

    13% (Depkes RI, 2004)

  • 5

    Organisasi kesehatan dunia WHO menganjurkan agar wanita hamil dan ibu yang baru

    melahirkan diberi tahu tentang manfaat dan keunggulan Air Susu Ibu (ASI), terutama karena

    ASI memberikan gizi terbaik untuk bayi serta perlindungan terhadap penyakit.

    Hasil riset terakhir dari penelitian di Indonesia menunjukan bahwa bayi yang

    mendapatkan MPASI sebelum ia berumur 6 bulan, lebih banyak terserang diare, sembelit,

    batuk-pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif.

    (http://asuh.wikia.com)

    Menurut data SDKI tahun 2002-2003, cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi

    sampai usia empat bulan hanya 55%, dan sampai usia 6 bulan sebesar 39,5%, padahal target

    Indonesia sehat 2010 sebesar 80%, bayi diberi ASI eksklusif sampai 6 bulan. Bayi dengan

    ASI eksklusif tiga kali lebih jarang risiko dirawat dengan sakit saluran pernafasan

    dibandingkan anak susu formula. Dan sekitar 16,7 kali lebih jarang pneumonia.

    Departemen kesehatan (depkes) RI telah meningkatkan kualitas tatalaksana pasien

    ISPA khususnya pneumonia dan bekerja sama dengan UNICEF dan WHO dalam

    menerapkan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Tujuannnya adalah agar

    dapat cepat menyaring penyakit yang memerlukan perawatan segera, sehingga dapat

    mengurangi angka kematian, dan dapat menapis keadaan yang hanya memerlukan perawatan

    dirumah.

    Di puskesmas Jagakarsa, cakupan ASI Eksklusif masih sekitar 57,9% pada tahun

    2012 dan angka kejadian ISPA masih tinggi. Kurangnya cakupan ASI Eksklusif dan

    tingginya kejadian ISPA tersebut, peneliti memutuskan untuk meneliti tentang hubungan

    antara pemberian ASI Eklsklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan di Wilayah

    kerja Puskesmas Jagakarsa tahun 2013.

  • 6

    1.2.Rumusan masalah

    Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah

    penelitian sebagai berikut :

    a. Apakah terdapat hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA

    pada bayi 6-12 bulan ?

    1.3.Tujuan Penelitian

    a. Tujuan Umum

    Diketahuinya gambaran dan hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan

    kejadian ISPA pasa bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Jagakarsa Tahun

    2013

    b. Tujuan khusus

    a. Diketahuinya cakupan ASI Eksklusif di wilayah kerja puskesmas Jagakarsa.

    b. Diketahuinya frekuensi bayi usia 6-12 bulan yang menderita ISPA di wilayah

    kerja puskesmas Jagakarsa.

    c. Diketahuinya bagaimana hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA

    pada bayi usia 6-12 bulan

    1.4.Ruang Lingkup

    Penelitian mengenai hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada

    bayi usia 6-12 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Jagakarsa Tahun 2013 dilakukan untuk

    mengetahui hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-12

    bulan di puskesmas Jagakarsa yang meliputi praktek pemberian ASI eksklusif dan kejadian

    ISPA. Jenis penelitian yang dilakukan adalah analitik deskriptif menggunakan metode

    kuantitatif, dengan mengambil data sekunder dari profil tahunan Puskesmas Jagakarsa dan

  • 7

    data primer melalui kuisioner dengan desain studi cross sectional, yang mempelajari

    hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

    1.5.Manfaat Penelitian

    I. Bagi Akademik

    a. Memberikan informasi dan untuk menambah pengetahuan tentang hubungan

    pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan bagi

    para pembacanya.

    b. Akan menjadi suatu sumbangan pemikiran dan wacana baru bagi mahasiswa

    Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Program Studi Pendidikan Dokter.

    II. Bagi masyarakat

    Memberikan informasi tentang hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian

    ISPA pada bayi usia 6-12 bulan, sehingga , masyarakat lebih mementingkan kepeduliannya

    terhadap pentingnya pemberian asi eksklusif sesuai dengan kondisi kebutuhan bayi.

    III. Bagi pemerintah

    Sebagai bahan masukan dalam upaya preventif terhadap kejadian ISPA, dan

    pelaksanaan program gerakan ASI Eksklusif.

    IV. Bagi peneliti lain

    Dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang lebih lanjut mengenai

    hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

    A. Tinjauan Pustaka

    2.1 ISPA

    Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas

    dan mortalitas pada anak. Sebagian besar ISPA biasanya terbatas pada ISPA atas saja, tapi

    sekitar 5% nya melibatkan laring dan respiratori bawah berikutnya, sehingga berpotensi

    menjadi serius.

    ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi. Daya tahan tubuh anak sangat berbeda

    dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu

    rumah ada anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan

    kondisi anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat. ISPA

    merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Menurut para ahli

    hampir semua kematian ISPA pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah.

    Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada anak dalam

    jumlah kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media yang merupakan penyebab

    ketulian sehingga dapat mengganggu aktifitas belajar pada anak.

    Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke

    sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari

    seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap di RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia

    diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Nasiti,2013)

  • 9

    2.1.1 Definisi ISPA (infeksi saluran pernafasan akut)

    ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. ISPA merupakan

    singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Yang dimaksud dengan infeksi saluran

    nafas adalah mulai dari infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim paru.

    Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari.

    Menurut DepKes RI (1998) Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran

    pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

    manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan

    adalah organ yang dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti

    sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

    Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung

    sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di

    setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernafasan

    yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan

    berlansungya proses akut.

    2.1.2 Klasifikasi ISPA

    I. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi

    Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu :

    Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah

    Akut (ISPbA).

    a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

    Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) adalah infeksi yang menyerang hidung

    sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga

  • 10

    tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas

    digolongkan ke dalam penyakit bukan pneumonia.

    b. Infeksi Saluran pernafasan bawah Akut (ISPbA)

    Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) adalah infeksi yang menyerang

    mulai dari bagian epiglotis atau laring sanpai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan

    organ saluran nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis, laryngotrachetis, bronchitis, bronchiolitis

    dan pneumonia.

    II. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Kelompok Umur

    Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

    Kelompok umur 2 bulan -

  • 11

    2.1.3 Anatomi saluran pernafasan

    sistem respiratorik : sistem yang berperan dalam proses respirasi; hidung s/d alveoli dan

    struktur terkait (sinus, telinga, pleura)

    a. Saluran respiratorik atas :

    y Hidung

    y Sinus

    y Faring sebelum laring

    b. Saluran respiratorik bawah :

    y Bronkus

    y Bronkiolus

    y Alveolus

    Saluran respiratorik atas dan bawah berhubungan erat karena merupakan 1 unit

    Gambar a 2.13 anatomi respiratorius pada anak (maidelwita,2006)

  • 12

    Gambar b 2.13 anatomi saluran pernafasan atas dan bawah (Ricky raditia,2002)

    2.1.4 Fisiologi sistem pernafasan

    Embriologi dan tumbuh kembang sistem respiratori :

    Perkembangan sistem respiratori terdiri dari 3 proses, yaitu morfogenesis atau

    pembentukan seluruh struktur yang diperlukan, adaptasi pernafasan pascanatal, dan

    pertumbuhan dimensional. Pada kebanyakan mamalia, morfogenesis dan adaptasi

    pernafasan pascanatal terjadi terutama sebelum atau tidak lama sesudah kelahiran.

    Sebaliknya, pertumbuhan dimensional berlanjut sesudah kelahiran, dengan kecepatan

    bergantung pada kebutuhan fungsional organ-organ lain dan aktivitas metabolik.

    Akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan (injury) sistem respiratori bergantung pada

    tingkat keparahan, kronisitas, dan waktu timbulnya kerusakan yang dikaitkan dengan masa

    perkembangannya. Kerusakan yang timbul selama masa morfogenesis misalnya, cenderung

    menghasilkan gangguan struktur dan fungsi respiratori yang berat dan ireversibel, dan sering

  • 13

    menurunkan kemampuan bertahan hidup (survival). Akan tetapi, kerusakan yang terjadi

    pada tahap lanjut pertumbuhan paru biasanya reversibel, dan jika tidak, dapat dikompensasi

    oleh proses pertumbuhan itu sendiri.

    2.1.5 Mekanisme pertahanan sistem pernafasan

    Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Berbagai mekanisme pertahanan

    yang efektif diperlukan oleh paru, karena sistem respiratori selalu terpajan dengan udara

    lingkungan yang sering kali terpolusi serta mengandung iritan, pathogen, dan allergen.

    Sistem pertahanan respiratorik terdiri dari 3 unsur, yaitu reflex batuk, yang bergantung pada

    integritas saluran respiratori, otot-otot pernafasan, dan pusat control pernafasan di sistem

    saraf pusat.

    Silia dan apparatus mukosiliaris bergantung pada integritas bentuk dan fungsi silia

    serta epitel respiratorik. Pertahanan mekanis sistem respiratori yang berfungsi melindungi

    paru terdiri dari penyaringan partikel, penghangatan, dan pelembaban (humidifikasi) udara

    inspirasi, serta absorpsi asap dan gas berbahaya oleh saluran respiratori-atas yang banyak

    mengandung pembuluh darah. Penghentian napas secara sementara, pendangkalan nafas

    secara reflex, laringospasme, seerta bronkospasme, dapat mencegah masuknya benda asing

    lebih jauh dan lebih banyak kedalam saluran respiratori. Batuk juga merupakan mekanisme

    pertahanan yang penting. spasme ataupun penurunan pernapasan hanya dapat memberikan

    perlindungan sementara. Aspirasi makanan, secret, dan benda asing dapat dicegah dengan

    gerakan menelan dan penutupan epiglotis. Saluran respiratori di sebelah distal laring

    normalnya steril. Sistem imun sangat berperan untuk mencegah terjadi nya infeksi paru.

    2.1.6 Insidens dan prevalens ISPA

    Infeksi saluran pernafasan akut paling sering terjadi pada anak. kasus ispa merupakan

    50% dari seluruh penyakit anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12

  • 14

    tahun. Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran pernafasan-atas, tetapi sekitar 5% juga

    melibatkan saluran pernafasan-bawah terutama pneumonia. Anak berusia 1-6 tahun dapat

    mengalami episode ispa sebanyak 7-9 kali pertahun , tetapi biasanya ringan. Puncak insidens

    biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun (Respirologi anak FKUI,2013)

    2.1.7 Penyakit- penyakit ISPA

    Infeksi respiratorius atas terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis, dan

    otitis media. Sedangkan infeksi respiratorius bawah terdiri atas epiglotitis, croup

    (laringotrakeabronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia

    A. Rinitis

    Rinitis atau dikenal juga dengan common cold, coryza, cold atau salesma adalah salah

    satu dari penyakit ISPA-bagian atas tersering pada anak. Rinitis merupakan istilah

    konvensioanl untuk infeksi saluran pernafasan-atas ringan dengan gejala utama hidung

    buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok, dan batuk

    B. Faringitis, tonsillitis, tonsilofaringitis akut

    Faringitis juga merupakan salah satu ISPA bagian atas yang banyak terjadi pada anak.

    Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat

    beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di

    bawah 1 tahun. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya

    pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis Streptokokus tertinggi

    pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun, dan sebanding antara laki-laki dan

    perempuan.

    Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan

    strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan

    pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik, dan mencegah serta meminimalisasikan

  • 15

    penggunaan medikamentosa yang tidak perlu. Faringitis jarang tersendiri, biasanya

    kombinasi dengan organ di dekatnya : rinofaringitis, tonsilofaringitis ,rinotonsilofaringitis.

    Manifestasi klinis : demam dan nyeri tenggorokan,pilek dan batuk , faring hiperemis ,tonsil

    membesar

    C. Otitis media

    Infeksi saluran telinga meliputi infeksi saluran telinga luar (otitis eksterna), saluran

    telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan telinga bagian dalam (labyrinthitis).

    Otitis media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang

    merupakan penumpakan cairan ditengah tengah. Otorrhea merupakan discharge telinga yang

    dapat berasal dari membran timpani. Otitis media diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis,

    otoskopi, lama sakit dan komplikasi. Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang

    terganggu, biasanya disebabkan karena fungsi tuba eustachius yang terganggu. Diagnosis

    dan tatalaksana yang benar sangatlah penting, karena otitis media merupakan penyakit yang

    sering ditemukan dan dapat menyebabkan komplikasi penyebaran infeksi sampai ke

    intrakranial.

    D. Rinosinusitis

    Rinitis adalah radang pada mukosa hidung. Rinitis biasanya dibuat atas dasar adanya

    keluhan rinore, hidung tersumbat dan bersin-bersin atau hidung gatal. Sinusitis didefinisikan

    sebagai inflamasi pada sekurang-kurangnya satu sinus paranasal. Gejala sinusitis bervariasi

    mulai dari yang ringan sampai berat. Pasien anak dengan sinusitis biasanya datang dengan

    keluhan batuk kronik, post nasal drip, sakit kepala. Bila pasien mengeluh batuk yang

    produktif atau berdahak, diagnosis yang ditegakkan adalah bronkitis akut. Pada prakteknya,

    secara klinis ketiga penyakit tersebut seringkali muncul bersamaan dalam satu kesatuan.

    Selain itu sulit membedakan ketiganya dengan hanya berdasarkan klinis. Para ahli akhirnya

    menggunakan terminologi rinosinusitis atau bahkan rinosinobronkitis dengan

  • 16

    mempertimbangkan bahwa manifestasi inflamasi antara saluran respiratori atas (hidung,

    sinus, laring, trakea) dan saluran respiratori bawah (bronkus) merupakan satu kesatuan yang

    disebut united airway disease.

    E. Epiglotitis

    Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan struktur

    supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan menyebabkan kematian jika tidak

    diobati. Walaupun jarang, penyakit ini harus dipikirkan pada anak yang sesak hebat disertai

    stridor dan penampilan yang toksik. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh Haemophilus

    influenza tipe b (Hib).

    F. Croup (laringotrakeobronkitis akut)

    Sindroma croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk

    menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stress pernafasan. Penyakit

    inisering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti tangisan

    keras. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1928.

    Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukan lokasi inflamasi,

    yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai di bronkus

    digunakan istilah laringotrakeobronkitis.

    Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang

    menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran

    respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat.

    Sifat penyakit inu adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat

    bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup yang

    memerlukan perawatan di RS menurun drastis, dan intubasi endotrakea jarang dilakukan.

  • 17

    G. Bronkitis akut

    Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama

    dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa terapi

    dalam 2 minggu. Walaupun diagnosis bronkitis akut seringkali dibuat, pada anak keadaan ini

    agaknya bukan merupakan suatu penyakit tersendiri, tapi berhubungan dengan keadaan lain

    seperti asma dan fibrosis kistik. Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh virus. Bronkitis

    aku karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma pneumonia, Bordetella pertusis,

    Corynebacterium diphtheria.

    H. Bronkiolitis

    Bronkiolitis adalah penyakit ISPA bagian bawah yang ditandai dengan adanya

    inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis

    ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala ISPA.

    I. Pneumonia

    Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar

    disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain

    (aspirasi,radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan

    penting adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali

    dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.

    Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral.

    Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukan perbedaan nyata.

    Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bacterial awitannya cepat,

    batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan

    radiologis (Nasiti,2013)

  • 18

    2.1.8 Infectious Agent

    Infectious ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

    penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Strepcococcus, Stafilococcus, Pneumococcus,

    Haemophylus, Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA terbesar adalah virus

    pernafasan antara lain adalah group Mixovirus (Orthomyxovirus ; sug group Influenza virus,

    Paramyxovirus ; sug group Para Influenza virus dan Metamixovirus; sub group Rerpiratory

    sincytial virus/RS-virus), Adenovirus, Picornavirus, Coronavirus, Mixoplasma, Herpesvirus.

    Jamur Penyebab ISPA antara lain Aspergilus SP, Candida albicans, Histoplasma. Selain itu

    ISPA juga dapat disebabkan oleh karena aspirasi : makanan, Asap kendaraan bermotor,

    BBM (Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, benda asing seperti biji-bijian (jawetz

    dkk,2007).

    2.1.9 Cara Penularan Penyakit ISPA

    Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalui udara. Jasad renik yang

    berada di udara akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan menimbulkan

    infeksi, penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang kebetulan mengandung bibit

    penyakit, baik yang sedang jatuh sakit maupun karier. Jika jasad renik bersal dari tubuh

    manusia maka umumnya dikeluarkan melalui sekresi saluran pernafasan dapat berupa saliva

    dan sputum. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda

    yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission).

    Oleh Karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam

    tubuh melalui saluran pernafasan , maka penyakit ISPA termasuk golongan Air Borne

    Diseases.

    2.1.10 Tanda dan Gejala ISPA

    Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan

    gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.

  • 19

    I. Gejala dari ISPA Ringan

    n.

    Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih

    gejala-gejala sebagai berikut :

    a. Batuk

    b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada

    waktu berbicara atau menangis)

    c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

    d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC

    II. Gejala dari ISPA Sedang

    Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA

    ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

    a. Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang

    dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan

    -

  • 20

    c. Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

    d. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas

    e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba

    f. Tenggorokan berwarna merah

    2.2 FAKTOR RISIKO ISPA

    Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ispa pada anak. hal ini

    berhubungan dengan penjamu, agen penyakit, dan lingkungan. Diantaranya adalah :

    2.2.1 Usia

    Seperti telah dikemukakan sebelumnya, ispa dapat ditemukan pada 50% anak berusia

    diatas 5 tahun dan 30% anak berusia 5-12 tahun. Rahman dkk. Mendapatkan 23% kasus ispa

    berat dari seluruh kasus ispa pada anak berusia di atas 6 bulan. WHO melaporkan bahwa di

    Negara berkembang, ispa termasuk infeksi saluran pernafasan bawah (pneumonia,

    bronkiolitis, dan lain-lain) adalah penyebab kematian utama dari empat penyebab terbanyak

    kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.

    2.2.2 Jenis kelamin

    Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ispa akibat virus atau bakteri pada laki-

    laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit

    perbedaan, yairu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun.

    2.2.3 Status gizi

    Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk

    merupakan faktor predisposisi terjadinya ispa pada anak. hal ini dikarenakan adanya

    gangguan respon imun. Deb SK menyatakan risk ratio (RR) anak malnutrisi dengan

    ispa/pneumonia adalah 2,3.

  • 21

    Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa

    anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ispa dua kali lebih banyak

    daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan

    gizi dan pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk

    mencegah ispa.

    2.2.4 Pemberian air susu ibu (ASI)

    Terdapat banyak penelitian yang menunjukan hubungan antara pemberian ASI

    dengan terjadinya ispa. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia,

    terutama selama 1 bulan pertama. Lopez mendapatkan bahwa prevalensi ispa berhubungan

    dengan lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami

    ispa dibandingkan dengan bayi yang diberi asi paling sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dkk.

    Melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami

    perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.

    Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai proteksi terhadap infeksi saluran

    pernafasan akut bagian bawah selama tahun pertama.

    2.2.5 Berat badan lahir rendah (BBLR)

    Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di Negara

    berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22%

    kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR. Meta analisis menunjukan

    bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9

    pada bayi berusia 6-11 bulan.

    2.2.6 Imunisasi

    Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena ispa

    dan memperberat ispa itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak

  • 22

    yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalamai ispa enam kali

    lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri

    bersama-sama menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ispa. Deb

    SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada kelompok anak yang tidak mendapatkan imunisasi.

    Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha

    global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka

    kematian ispa akibat kedua penyakit ini. Vaksin pneumokokus dan H.influenza tipe B saat

    ini sudah diberikan pada anak-anak dengan efektivitas cukup baik.

    2.2.7 Pendidikan orang tua

    Tingkat pendidikan orang tua menunjukan adanya hubungan terbalik antara angka

    kejadian dengan kematian ispa. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan

    sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan

    menyebabkan sebagian kasus ispa tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.

    2.2.8 Status sosial ekonomi

    Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti

    nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga

    dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ispa.

    Rahman menyatakan bahwa risiko mengalami ispa adalah 3,3 kali lipat lebih tinggi pada

    anak demgan status sosial ekonomi rendah.

    2.2.9 Penggunaan fasilitas kesehatan

    Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati

    diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat mencerminkan tingginya

    insidens ispa, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari

    kunjungan rawat jalan dan rawat inap di RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat

  • 23

    berpengaruh pada tingkat keparahan ispa. Di sebagian Negara berkembang, pemanfaatan

    fasilitas kesehatan masih rendah.

    2.2.10 Lingkungan

    a. Polusi udara

    Studi epidemiologi di Negara berkembang menunjukan bahwa polusi udara, baik dari

    dalam maupun luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ispa. Hal ini

    berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran

    respiratori. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insiden ispa

    yang lebih rendah daripada anak yang berada didalam rumah berventilasi buruk.

    Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia. Risiko

    (odd ratio,OR) mengalami ispa bagian bawah pada anak dengan durasi pemberian asi yang

    singkat oleh ibu perokok dibandingkan dengan anak dengan durasi pemberian asi yang lama

    oleh ibu nonperokok adalah lebih kurang 2,2.

    Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu faktor risiko pneumonia.

    Selain itu, musim juga dapat mempengaruhi ispa, misalnya pada bronkiolitis, karena pada

    musim dingin terlalu banyak orang berada di dalam suatu ruangan (overcrowded)

    b. Penyakitr lain

    Human immunodeficiency virus/AIDS serta penyakit-penyakit lain merupakan faktor

    risiko ispa. Ada juga yang menggolongkan HIV/AIDS ke dalam faktor lingkungan. Penyakit

    ini merupakan penyakit baru (new emerging disease) yang beberapa tahun terakhir

    menunjukan peningkatan yang mengkhawatirkan. Di beberapa Negara, HIV mulai menjadi

    masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien HIV. Penelitian

    menunjukan bahwa 25% dari kematian HIV disebabkan oleh ispa bagian bawah.

  • 24

    c. Bencana alam

    Bencana alam seperti tsunami (yang melanda aceh/Sumatra utara dan beberapa

    Negara lain di dunia) dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat ispa,

    khususnya pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah pneumonia aspirasi akibat

    masuknya cairan dan benda-benda asing lain ke dalam paru. Beratnya pneumonia

    bergantung pada banyaknya campuran bahan yang masuk ke dalam paru dan pertolongan

    yang diberikan. Keadaan ini mirip dengan hampir tenggelam (near drowing), yang juga

    merupakan salah satu faktor risiko timbulnya pneumonia aspirasi. Selain menyebabkan

    pneumonia tidak lama setelah bencana, tsunami juga dapat menyebabkan ispa pada anak-

    anak selama berada di tempat pengungsian. Hal ini di karenakan kepadatan tempat tinggal

    dan keadaan lingkungan yang kurang baik. Selain itu, bencana alam ini juga dapat

    menimbulkan penyakit lain (Jan M wantania,2013)

    2.3 Pencegahan Penyakit ISPA

    A. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

    Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion)

    dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini

    adalah :

    a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat

    mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan

    faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan

    penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi

    seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya

    rokok.

    b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan

    ISPA

  • 25

    c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi.

    d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.

    e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

    f. polusi di dalam maupun di luar rumah.

    B. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

    Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis

    sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya

    termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek,

    panas atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi

    pengobatan.

    Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau bukan pneumonia

    adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diberikan perawatan dirumah. Adapun beberapa

    hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :

    a. Mengatasi panas (demam)

    Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan

    menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

    b. Pemberian makanan dan minuman

    Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering. memberi ASI

    lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air buah) lebih banyak dari biasanya.

    C. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

    Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi

    lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir

    dengan kematian.Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan pneumonia

    pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala pneumonia seperti nafas menjadi

    sesak, anak tidak mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah

  • 26

    parah bawalah anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik

    di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.

    2.4 AIR SUSU IBU

    ASI adalah makanan untuk bayi. Air Susu Ibu khusus dibuat untuk bayi manusia.

    Kandungan gizi dari ASI sangat khusus dan sempurna serta sesuai dengan kebutuhan

    tumbuh kembang bayi. ASI mudah dicerna, karena selain mengandung zat gizi yang sesuai,

    juga mengandung enzim-enzim untuk mencernakan zat-zat gizi yang terdapat dalam ASI

    tersebut. ASI mengandung zat-zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan

    dan perkembangan kecerdasan bayi/anak. ASI mampu memberikan perlindungan bagi bayi

    untuk beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kematian seperti diare dan ISPA.

    Bayi dengan ASI tiga kali lebih jarang risiko dirawat dengan saluran pernafasan

    dibandingkan anak susu formula. Sekitar 16,7 kali lebih jarang pneumonia. Penelitian di

    Jerman juga ditemukan lamanya masa menyusui mempengaruhi IQ seorang anak; anak yang

    menyusu ASI lebih dari 6 bulan memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan anak yang menyusu

    kurang dari 1 bulan, karena ASI meningkatkan kepandaian. Pemberian ASI eksklusif

    mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa

    anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan

    membantu menjarangkan kelahiran (maryunani,2012)

    2.4.1 Pengertian Air Susu Ibu

    Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan hidup yang diciptakan tuhan khusus untuk bayi. Air

    susu ibu (ASI) disebut cairan hidup karena mengandung sel-sel darah putih, zat kekebalan,

    enzim, hormone, dan protein yang cocok untuk bayi. Ibu yang melahirkan bayi premature

    akan memproduksi asi dengan kandungan gizi yang berbeda dibandingkan dengan ASI yang

    diproduksi oleh ibu yang melahirkan cukup bulan.

  • 27

    Air Susu Ibu (ASI) merupakan cairan hidup yang tidak dapat ditiru oleh manusia.

    ASI merupakan karunia tuhan untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi sejak lahir sampai

    berumur 24 bulan, yang penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan

    hidupnya. Oleh karena itu, Air Susu Ibu (ASI) mengandung zat-zat gizi yang tidak

    ditemukan dalam makanan dan minuman apapun olahan manusia. Air Susu Ibu (ASI)

    mengandung asam amino dan DHA alamiah yang mudah diserap oleh bayi berkat adanya

    kandungan enzim lipase dalam air susu ibu (ASI). Air Susu Ibu (ASI) juga mengandung

    karbohidrat, protein, multivitamin, dan mineral secara lengkap yang mudah diserap secara

    sempurna dan sama sekali tidak mengganggu fungsi ginjal bayi yang masih sangat lemah

    (Depkes,2011).

    Air susu ibu sangat penting untuk membangun, menguatkan serta member kesehatan

    bagi bayi. Bahkan, tidak dipungkiri lagi dan diakui oleh pakar anak seluruh dunia, bahwa

    nutrisi yang terkandung dalam air susu ibu (ASI) jauh lebih baik karena merupakan antibody

    yang baik bagi perkembangan anak (Nur,2008:31).

    2.4.2 ksklusif asi e

    Pemberian ASI harus dilakukan segera setelah lahir dalam waktu 1 jam pertama.

    Sampai usia 6 bulan, bayi cukup mendapatkan asupan makanan dari ASI tanpa ditambah

    makanan dan minuman lain karena ASI mengandung semua zat gizi dan cairan yang

    dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan gizi bayi pada 6 bulan pertama

    kehidupannya. Hal ini dikenal dengan istilah ASI eksklusif (sulistyoningsih,2011:164).

    Menurut WHO, ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan

    tanpa tambahan cairan atau pun makanan lain. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2

    tahun.

  • 28

    Labbok dan Krasovec (1990) dalam Lawrence (1994) membuat beberapa definisi

    menyusui untuk membantu para peneliti dan lembaga-lembaga dalam menggambarkan dan

    menterjemahkan praktik menyusui. Menyusui dibagi menjadi 3 kategori, yaitu menyusui

    penuh selama 6 bulan, menyusui sebagian, dan menyusui terbatas. Lebih jelasnya terlihat

    pada Gambar 2.32

    Bagan 2.32. Skema Definisi Menyusui (Labbok dan Krasovec, 1990 dalam Lawrence, 1994)

    Menyusui

    Penuh Sebagian

    Rendah Menyusui kurang

    dari 20%

    Sedang Menyusui

    79%-20%

    Tinggi Menyusui lebih dari

    80%

    Hampir Eksklusif Vitamin, air putih, jus, dan makanan ritual yang diberikan tidak lebih dari 1 atau 2 kali per hari, tidak lebih dari 1-2 kali

    telan

    Eksklusif Tidak ada cairan lain dan makanan padat yang diberikan

    kepada bayi

    Terbatas

    Episode menyusui mempunyai kontribusi kalori yang tidak

    signifikan

  • 29

    Pemberian ASI eksklusif adalah menyusui bayi secara murni. Bayi hanya diberi ASI

    tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air the, air putih, dan tanpa

    pemberian makanan tambahan lain, seperti pisang, bubur susu, biscuit, bubur, atau nasi tim.

    Pemberian ASI secara eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu minimal hingga bayi

    berumur 6 bulan. (Danuatmaja&Meiliasari, 2003).

    ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh

    kembangnya, serta antibody yang bisa membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa

    pertumbuhannya. Sesungguhnya, lebih dari 100 jenis zat gizi terdapat dalam ASI. Di

    antaranya adalah AA, DHA, Taurin dan spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi.

    Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama

    didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan

    dan perkembangannya. Pemberian ASI ekslusif dapat mengurangi tingkat kematian bayi

    yang dikarenakan berbagai penyakit yang menimpanya seperti diare dan radang paru-paru

    (prasetyono,2009:26).

    Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi bayi sangat banyak diantaranya komposisi dan

    volume ASI cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan sampai dengan usia 6 bulan. ASI

    mudah dicerna karena mengandung zat-zat gizi yang tinggi yang diperlukan oleh bayi usia 0

    6 bulan. Pemberian ASI menjadi sarana menjalin hubungan kasih sayang ibu dengan anak.

    Bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi

    yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2001).

    2.4.3 acam-macam ASI M

    Asi dibedakan dalam tiga stadium yaitu : kolostrum, air susu transisi, dan air susu

    matur. Komposisi ASI hari 1-4 (kolostrum) berbeda dengan ASI hari ke 5-10 (transisi) dan

    ASI matur. Masing-masing ASI tersebut dijelaskan sebagai berikut :

  • 30

    1. Kolostrum

    Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh kelenjar mammae yang

    mengandung tissue debris dan residual material yang terdapat dalam alveoli dan duktus dari

    kelenjar mammae, sebelum dan segera sesudah melahirkan. Kolostrum ini disekresi oleh

    kelenjar payudara pada hari pertama sampai hari ke empat pasca persalinan. Kolostrum

    merupakan cairan dengan visikositas kental, lengket dan berwarna kekuningan. Banyak

    mengandung protein, mineral, garam, vitamin A ,antibody, dan immunoglobulin serta

    mengandung karbohidrat dan lemak rendah sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi

    pada hari-hari pertama kelahiran.

    Kolostrum berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi pada bayi karena

    mengandung zat kekebalan terutama igA. Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi

    tergantung dari hisapan bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Walaupun sedikit namun

    cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Volume kolostrum yang ada dalam payudara

    mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari. Volume kolostrum antara 150-300

    ml/24 jam. Kolostrum juga merupakan pencahar ideal untuk membersihkan zat yang tidak

    terpakai dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan bayi.

    Kolostrum lebih banyak mengandung protein dibandingkan ASI matur, tetapi berlainan

    dengan ASI matur dimana protein yang utama adalah casein pada kolostrum adalah

    globulin, sehingga dapat memberikan daya perlindungan bagi bayi sampai 6 bulan pertama.

    2. Air Susu Transisi/Peralihan

    Asi peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolustrum sampai sebelum ASI matang,

    yaitu sejak hari ke-4 sampai hari ke-10. Berisi karbohidrat dan lemak. Kadar protein

    semakin rendah, sedangkan kadar lemak dan karbohidrat semakin tinggi. Selama dua

    minggu, volume air susu bertambah banyak dan berubah warna serta komposisinya.

  • 31

    3. Air Susu Matur

    ` Merupakan makanan yang dianggap aman bagi bayi, bahkan ada yang mengatakan

    pada ibu yang sebat ASI merupakan makanan satu-satunya yang diberikan selama 6 bulan

    pertama bagi bayi. ASI matur disekresi pada hari ke sepuluh dan seterusnya. ASI matur

    tampak berwarna putih kekuning-kuningan, karena mengandung casineat, riboflaum, dan

    karotin. Kandungan ASI matur relative konstan, tidak menggumpal bila dipanaskan. Volume

    300-850ml/24 jam.terdapat antimikrobakterial faktor, yaitu antibody terhadap bakteri dan

    virus, sel (fagosit, granulosit, limfosit T), enzim (lisozim, lactoperoxidese), protein

    (laktoferin, B12 Ginding protein), faktor resistenterhadap staphylococcus, dan complement

    (C3 dan C4).

    2.4.4 Kandungan ASI

    Kandungan ASI nyaris tak tertandingi. ASI mengandung zat gizi yang secara khusus

    diperlukan untuk menunjang proses tumbuh kembang otak dan memperkuat daya tahan

    alami tubuhnya. Kandungan ASI yang utama terdiri dari :

    1. Laktosa (karbohidrat)

    Laktosa merupakan jenis karbohidrat utama dalam ASI yang berperan penting penting

    sebagai sumber energi. Laktosa (gula susu) merupakan satu-satunya karbohidrat yang

    terdapat dalam ASI murni. Sebagai sumber penghasil energi, sebagai karbohidrat utama,

    meningkatkan penyerapan kalsium dalam tubuh, merangsang tumbuhnya laktobasilus

    bifidus. Laktobasilus bifidus berfungsi menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam

    tubuh bayi yang dapat menyebabkan berbagai penyakit atau gangguan kesehatan. Selain itu

    laktosa juga akan diolah menjadi glukosa san galaktosa yang berperan dalam perkembangan

    sistem syaraf. Zat gizi ini membantu penyerapan kalsium dan magnesium di masa

    pertumbuhan bayi. Komposisi Laktosa dalam ASI : Laktosa-7gr/100ml.

  • 32

    2. Lemak

    Lemak merupakan zat gizi terbesar kedua di ASI dan menjadi sumber energi utama

    bayi serta berperan dalam pengaturan suhu tubuh bayi. Berfungsi sebagai pengasil

    kalori/energi utama, menurunkan risiko penyakit jantung di usia muda. Lemak di ASI

    mengandung komponen asam lemak esensial yaitu: asam linoleat dan asam alda linolenat

    yang akan diolah oleh tubuh bayi menjadi AA dan DHA. Arachidonic acid (AA) dan

    Decosahexanoic Acid (DHA) adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated

    fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA dan

    AA dalam ASI sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak.

    Disamping itu, DHA dan AA dalam tubuh dapat dibentuk/disintesa dari substansi

    pembentuknya (precursor) yaitu masing-masing dari omega 3 (asam linolenat) dan omega 6

    (asam linoleat).Lemak : 50% tinggi pada ASI prematur, asam lemak esensial.

    Komposisi dalam ASI : lemak-3,7-4,8gr/100ml. Kadar lemak dalam ASI pada

    mulanya rendah kemudian meningkat jumlahnya. Lemak dalam ASI berubah kadarnya

    setiap kali diisap oleh bayi dan hal ini terjadi secara otomatis. Komposisi lemak pada lima

    menit pertama isapan akan berbeda dengan 10 menit kemudian.Susu formula tidak

    mengandung enzim, karena enzim mudah rusak bila dipanaskan. Dengan tidak adanya

    enzim, bayi akan sulit menyerap lemak PASI sehingga bayi lebih mudah terkana diare.

    3. Protein

    Memiliki fungsi pengatur dan pembangun tubuh bayi. Komponen dasar dari protein

    adalah asam amino, berfungsi sebagai pembentuk struktur otak. Protein dalam susu adalah

    whey dan casein/kasein. Asi memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai

    untuk bayi. Rasio whey dengan casein merupakan salah satu keunggulan asi dibandingan

    susu sapi. Asi mengandung whey lebih banyak yaitu 65:35. Komposisi ini menyebabkan

    protein asi lebih mudah diserap. Sedangkan pada susu sapi mempunyai perbandingan whey :

  • 33

    casein adalah 20:80 sehingga tidak mudah diserap. Beberapa jenis asam amino tertentu,

    yaitu sistin, taurin, triptofan, dan fenilalanin merupakan senyawa yang berperan dalam

    proses ingatan. Sistin dan taurin merupakan dua macam asam amino yang tidak terdapat

    dalam susu sapi. Sistin diperlukan untuk pertumbuhan somatic. Taurin merupakan

    neurotransmitter yang baik untuk perkembangan otak anak. Percobaan pada binatang

    menunjukan bahwa defisiensi taurin akan berakibat terjadinya gangguan pada retina mata.

    Komposisi protein dalam ASI sekitar 0,8-1,0gr/100ml.

    4.Garam dan mineral

    ASI mengandung mineral yang lengkap walaupun kadarnya relatif rendah, tetapi bisa

    mencukupi kebutuhan bayi sampai berumur 6 bulan. Zat besi dan kalsium dalam ASI

    merupakan mineral yang sangat stabil dan mudah diserap dan jumlahnya tidak dipengaruhi

    oleh diet ibu. Zat besi adalah zat yang membantu pembentukan darah untuk menghindarkan

    bayi dari penyakit dari penyakit kurang darah atau anemia. Ferum merupakan Fe rendah tapi

    mudah diserap. Dalam PASI kandungan mineral jumlahnya tinggi, tetapi sebagian besar

    tidak dapat diserap hal ini akan memperberat kerja usus bayi serta mengganggu

    keseimbangan dalam usus dan meningkatkan pertumbuhan bakteri yang merugikan sehingga

    mengakibatkan kontraksi usus tidak normal. Bayi akan kembung, gelisah karena obstipasi

    atau gangguan metabolisme.

    5. Vitamin

    ASI mengandung berbagai vitamin yang diperlukan bayi. ASI mengandung vitamin

    yang lengkap yang dapat mencukupi kebutuhan bayi sampai 6 bulan kecuali vitamin K,

    karena bayi lahir ususnya belum mampu membentuk vitamin K. Vitamin-vitamin tersebut

    adalah ADEK (anik maryunani,2012).

  • 34

    2.4.5 anfaat ASI M

    Menyusui dapat m

    andung zat makanan yang jumlah dan komposisinya dapat berubah-ubah

    sesuai dengan pertum

    gai penyakit

    ASI mudah disi

    ASI mempunya

    ASI dapat meng

    Ibu yang memb nkan berat badannya lebih

    cepat

    Menyusui dapat m

    rangkan kehamilan

    Lebih ekonomis

    m ASI mempunyai kecerdasan lebih tinggi secara bermakna,

    gizi yang baik p ulasi mental

    ng memadai dan r kelak tumbuh kembangnya optimal.

    ama

    bercabang m kecil yang berakhir pada sekelompok sel-sel yang

    Adapun manfaat dan keuntungan yang dapat dirasakan dari pemberian ASI bagi ibu dan

    bayi menurut Roesli, 2005 yaitu :

    a. eningkatkankan jalinan kasih antara ibu dan bayi

    b. ASI meng

    buhan bayi yang tidak mungkin dibuat oleh manusia

    c. ASI mencegah reaksi alergi dan asma

    d. ASI melindungi bayi dari berba

    e. apkan dan lebih mudah di cerna oleh bayi

    f. i suhu yang tepat

    g. hindarkan bayi dari kegemukan

    h. erikan ASI pada bayinya dapat menuru

    i. empercepat pemulihan ukuran rahim kembali sebelum hamil

    j. Pemberian ASI dapat menja

    k.

    Terbukti bayi yang minu

    selain ada masa periode kritis, anak juga harus mendapat stim

    dini ya di jaga kesehatannya aga

    2.4.6 Produksi ASI

    Payudara wanita dirancang untuk memproduksi ASI. Pada tiap payudara terdapat

    sekitar 20 lobus (lobe), dan setiap lobus memiliki sistem saluran (duct system). Saluran ut

    enjadi saluran-saluran

    memproduksi susu, disebut alveoli. Saluran melebar menjadi penyimpanan susu dan bertemu

    pada puting susu (anik maryunani, 2012).

  • 35

    Pada seorang ibu yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan

    sebagai pembentukan dan pengeluaran air susu, yaitu refleks prolaktin dan refleks let down

    (Soetjiningsih, 1997).

    1) Refleks prolaktin

    Menjelang akhir kehamilan, hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat

    ivitas prolaktin dihambat oleh hormon estrogen dan progesteron yang

    ggi, jumlah kolostrum terbatas. Setelah melahirkan, sehubungan dengan

    su. Kadarprolaktin pada ibu yang menyusui akan menjadi

    rmal

    ri. Jika bayi sedikit

    enyu

    kolostrum. Karena akt

    memang kadarnya tin

    lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum, maka estrogen dan progestron

    sangat berkurang, ditambah lagi dengan adanya isapan bayi yang merangsang puting susu

    dan kalang payudara (areola mammae), akan merangsang ujung-ujung syaraf sensoris yang

    berfungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui

    medula spinalis dan mesensephalon. Hipotalamus merangsang pengeluaran faktor-faktor

    yang memacu sekresi prolaktin.

    Faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise

    (hipofise anterior) sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang

    berfungsi untuk membuat air su

    no 3 bulan setelah melahirkan sampai masa penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak

    ada peningkatan prolaktinwalaupun ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap

    berlangsung. Pada ibu yang melahirkan anak tapi tidak menyusui, kadar prolaktin akan

    menjadi normal pada minggu kedua sampai ketiga (Soetjiningsih, 1997).

    Jika bayi lapar atau haus dan dia menyusu lebih sering dan lebih lama, maka ibu akan

    memproduksi ASI lebih banyak. Jika ibu ingin meningkatkan produksi ASI, maka dia harus

    membiarkan bayi menyusu lebih sering dan lebih lama untuk beberapa ha

    m su karena telah mengkonsumsi makanan atau minuman lain, atau karena ibu jauh dari

    bayi untuk beberapa waktu atau ibu ingin menyimpan ASI-nya, maka payudara akan

  • 36

    memproduksi sedikit ASI. Prolaktin lebih banyak diproduksisaat malam hari sehingga

    menyusui saat malam hari membantu mempertahankan produksi ASI (King dan

    Burgess,1996).

    2) Refleks let down

    Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise, rangsangan yang

    berasal dari isapan bayi ada yang dilanjutkan ke neurohipofise (hipofise posterior) yang

    nnya oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus

    bingung atau

    an bayi harus

    lajar mengisap. Pada usia 20-30

    enit,

    n

    kemudian dikeluarka

    yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ tersebut.

    Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel mioepitelium. Kontraksi dari sel

    akan memeras air susu yang telah terbuat keluar dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus

    yang selanjutnya akan mengalir melalui duktus laktiferus masuk ke mulut bayi.

    Faktor-faktor yang meningkatkan refleks let down adalah melihat bayi, mendengarkan

    suara bayi, mencium bayi, dan memikirkan untuk menyusui bayi. Sedangkan

    faktor-faktor yang menghambat refleks let down adalah stress seperti keadaan

    pikiran kacau, takut, dan cemas (WHO dan UNICEF, 1993).

    Pemberian ASI pertama harus dimulai di ruang persalinan. Ibu d

    diselimuti agar tetap hangat. Biarkan ibu mendekap bayinya dan bayi akan segera mengisap

    payudara ibu karena ini adalah saat terbaik bagi bayi untuk be

    m refleks isap bayi sangat kuat. Isapan pertama merangsang produksi oksitosin yang

    membantu menghentikan pendarahan setelah persalinan. Selain itu bayi juga aka

    mendapatkan kolostrum yang sangat bermanfaat baginya. Jam-jam pertama adalah saat

    terpenting menjalin ikatan antara ibu dan anak. Menyusui segera setelah melahirkan akan

    membuat ibu mencintai dan merawat bayinya. Ibu akan lebih mudah menyusui untuk jangka

    waktu yang lama. Bila terjadi keterlambatan, walaupun hanya beberapa jam,

  • 37

    proses menyusui menjadi lebih sering gagal. Pemberian ASI pertama bagi bayi tidak

    dimaksudkan untuk pemberian makan awal, tetapi lebih pada pengenalan (Roesli, 2001).

    onsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus.

    arena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak da an

    ati atau diukur melalui konstruk atau yang lebih dikenal

    Variabel independen variabel dependen

    Dilakukan penelitian

    Tidak dilakukan penelitian

    IS

    erdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi

    usia 6-12 bulan.

    B. KERANGKA KONSEP

    K

    Oleh k pat langsung diamati d

    diukur. Konsep hanya dapat diam

    dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukan nilai atau

    bilangan dari konsep. Variabel adalah sesuatu yang bervariasi (Notoatmojo,2010).

    C. HIPOTES

    y Usia

    y Status gizi

    dikan orang tua onomi

    fasilit an

    T

    y Jenis kelamin

    y BLR y unisasi

    BIm

    y Pendiy Status sosial eky Penggunaan as

    kesehaty lingkungan

    Kejadian ISPA pada Bayi usia 6-12 bulan

    y Pemberian asi eksklusif

  • 38

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3. 1 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan rsa (poli imunisasi dan

    MTBS) pada bulan November 2013.

    3. 2 Rancangan Penelitian

    nakan adalah penelitian kuantitatif yang bersifat analitik

    deskriptif dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan pemberian ASI

    A pada bayi usia 6-12 bulan di Wilayah kerja Puskesmas

    Jagaka

    atau kasus yang terjadi pada objek peneli

    (dalam aan) (Notoatmodjo,2010:33).

    3. 3 Variabel dan Definisi operasional

    iliki

    tentang suatu konsep pengertian tertentu

    0: 42). Berdasarkan pada kerangka konsep penelitian diatas maka penulis

    diwilayah kerja Puskesmas Jagaka

    Jenis penelitian yang dipergu

    eksklusif dengan kejadian ISP

    rsa.

    Cross sectional merupakan penelitian dimana variabel sebab atau risiko dan akibat

    tian diukur atau dikumpulkan secara simultan

    waktu yang bersam

    a. Variabel

    Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dim

    atau didapatkan oleh satuan penelitian

    (Notoatmojo,201

    mengelompokan variabel menjadi dua bagian, yaitu :

    1. Variabel Independen

    Variebel independen dalam penelitian ini adalah praktek pemberian ASI

    eksklusif.

  • 39

    2.

    ependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada bayi usia

    -12 bulan.

    variabe ndari kesalahan persepsi, diperlukan batasan yang ditetapkan

    tersebut sehingga diperlukan definisi operasional yang meliputi

    No. Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala

    Variabel Dependen

    Variabel d

    6

    b. Definisi Operasional

    Penelitian dilakukan dengan melakukan pengumpulan data mengenai beberapa

    l. Untuk menghi

    dari variabel-variabel

    definisi variabel dalam penelitian maupun alat, cara, hasil serta skala ukur. Definisi

    operasional dari masing-masing variabel tercantum pada tabel 3.1

    1

    ASI

    eksklusif

    ASI saja tanpa

    makanan

    Kuesioner

    I

    Eksklusif

    2. Non asi

    usif

    Nominal Pemberian Praktek pemberian Wawancara 1. AS

    tambahan sampai

    usia 6 bulan

    ekskl

    2 ISPA Penyakit infeksi

    akut yang

    menyerang saluran

    1. Kuesioner

    2. Data

    sekunder

    smas

    2.Tidak mengalami

    inal

    pernapasan dan

    bisa bermanifestasi

    batuk pilek.

    p

    dari

    uske

    1. Mengalami Nom

    Tabel 3.1

    isi operasional Defin

  • 40

    2.4 Populasi dan

    a. Populasi

    Populasi merupakan u subjek yang berada pada suatu

    wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian,

    nit atau individu dalam ruang lingkup yang akan di teliti

    011: 27). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai subjek

    b.

    an prosedur tertentu sehingga diharapkan

    wakili populasi (Martono,2011: 30). Sedangkan menurut (Notoatmodjo,

    SI eksklusif, ASI parsial , ataupun non ASI di wilayah kerja

    2.

    Sampel

    keseluruhan objek ata

    atau keseluruhan u

    (Martono,2

    kasus adalah ibu-ibu yang memiliki anak usia 6-12 bulan yang tercatat di wilayah

    kerja Puskesmas Jagakarsa tahun 2013.

    Sampel

    Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau keadaan

    tertentu yang akan diteliti, atau sampel dapat didefinisikan sebagai anggota

    populasi yang dipilih dengan menggunak

    dapat me

    2010: 47) sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

    diteliti yang dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang digunakan

    sebanyak sampel, sampel berikut sudah memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:

    1. Kriteria Inklusi

    Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

    populasi, suatu target dan terjangkau akan diteliti. Adapun kriteria inklusi

    sampel yang akan diteliti adalah : ibu yang mempunyai bayi usia 6-12 bulan

    dan bayi diberi A

    Puskesmas Jagakarsa.

    Kriteria Eksklusi

  • 41

    Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek memenuhi

    kriteria inklusi namun tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian (Chandra,

    c. Pen ntuan

    penelitian ini cara penghitungan sampel adalah sebagai berikut :

    1995: 45)

    e Besar Sampel

    Proses pengambilan sampel dilakukan setelah data populasi didapatkan, dalam

    N Z1 /2. p. q1 p

    d

    Keterangan :

    n = Besar sample

    Z1 /22 distribusi normal baku (tabel Z) pada tingkat kepercayaan 95%= 1,96 pada 0,05

    ang diberi ASI Eksklusif 57,9%

    q

    Berdasarka pada memerlukan

    el min l se

    1,9

    n = ______

    sample pada penelitian ini 94 orang.

    = Nilai

    P = Proporsi anak y

    = 1-p : (1-0,579= 0,421)

    d2 = Presisi ditetapkan 10% (0,1)

    n perhitungan rumus diatas, maka penelitian ini

    samp ima jumlah :

    62 . 0,579 . 0,421

    _________________

    0,12

    =93,642

    Dengan demikian, jumlah

  • 42

    2.5

    Pengukuran dan pengamatan variabel penelitian digunakan kuisioner

    ampiran 1) yang isi nya tentang pola pemberian susu dan riwayat ISPA dan data

    dan usia bayi di wilayah kerja

    2.6

    adap responden dengan menggunakan

    ah disiapkan.

    r

    gan dengan penelitian.

    a.

    atmodjo,2010: 169) :

    data

    ra, angket atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan

    puter.

    ta

    Pengukuran Dan Pengamatan Variabel Penelitian

    (l

    sekunder di Puskesmas untuk melihat riwayat ISPA

    puskesmas Jagakarsa.

    Pengumpulan Data

    a. Data Primer

    Dilakukan melalui wawancara terh

    kuesioner yang tel

    b. Data Sekunde

    Data sekunder diperoleh dari puskesmas, data berupa profil gambaran umum

    dan informasi lain yang berhubun

    2.7 Analisa Data

    Pengolahan data

    Langkah langkah pengolahan data sebagai berikut (Noto

    1. Editing

    Hasil wawanca

    penyuntingan atau editing terlebih dahulu.

    2. Coding data

    Mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau

    bilangan.

    3. Entry data

    Setelah mengubah data dalam bentuk kode, kemudian memasukan data ke

    dalam kom

    4. Cleaning da

  • 43

    Data yang sudah dimasukan, perlu di cek kembali untuk melihat

    kemungkinan-kemungkinan adanya keslahan kode, ketidaklengkapan< dan

    udian dilakukan pembetukan atau koreksi.

    b. An

    usi frekuensi pada

    penden dan variebel dependen yang diteliti. Variabel independen

    ASI eksklusif, sedangkan variebel dependen yaitu

    Analisis bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara variebel

    bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen) dan untuk melihat

    el. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square. Bila

    P value 0,05 adalah bermakna

    P value > 0,05 adalah tidak bermakna

    sebagainya, kem

    alisi Data

    1) Analisis Univariat

    Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distrib

    variebel inde

    adalah praktek pemberian

    ISPA.

    2) Analisis Bivariat

    kemaknaan antara variab

    P value 0,05 maka hasil uji statistik bermakna atau adanya hubungan antara

    variabel independen dengan variabel dependen. Bila P value > 0,05 maka hasil uji

    statistik tidak bermakna atau tidak adanya hubungan antara variabel independen

    dengan variabel dependen.

    Uji kemaknaan statistik tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan

    kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan adalah :

  • 44

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    4.1 ANALISIS UNIV

    Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi pada

    variab yang diteliti. Selanjutnya hasil analisis univariat

    akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini:

    Usia Bayi

    Kejadian Total

    ARIAT

    el independen dan variabel dependen

    1. Usia Bayi

    Ispa Tidak Ispa

    N % N % N %

    6 Bulan 12 38,7 61,3 31 100 19

    7 Bulan 4 0,0 6 10 0 4 60,0 10

    8 Bulan 75,0 25,0 100 6 2 8

    9 Bulan 14 70,0 6 30,0 20 100

    10 Bulan 8 72,7 3 27,3 11 100

    11 Bulan 5 62,5 3 37,5 8 100

    12 Bulan 4 66,7 2 33,3 6 100

    Total 53 56,4 41 43,6 94 100

    TabDistribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Bayi Dan Kejadian Ispa Di Wilayah

    Tabel di atas memperlihatkan, bayi yang berumur 6 bulan, sebanyak 12 bayi (38,7%)

    pernah yi

    berumur 7 bulan, sebanyak 4 bayi (40%) pern n 6 bayi (60%) tidak

    pernah mengalami ISPA. Bayi yang berumur 8 bulan, 6 bayi (75%) pernah mengalami

    ISPA dan 2 bayi (25%) tidak pernah mengalami ISPA. Sedangkan un