Skripsi_Ari Bab I-V

54
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Pernafasan Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya dapat dipulihkan. PPOK meliputi empisema, bronkitis kronik atau kombinasi dari keduanya. Empisema digambarkan sebagai kondisi patologis pembesaran abnormal rongga udara di bagian distal bronkiolus dan kerusakan dinding alveoli, sedangkan bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut. Beberapa faktor risiko PPOK diantaranya adalah merokok (aktif / pasif), polusi udara, dan defisiensi enzim α-antitrypsin (Smeltzer & Bare, 2006). Menurut Wiyono (2009), prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara. Data prevalensi PPOK yang terkait dengan usia dan merokok bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Berdasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh British Thoracic Society (BTS) prevalensi PPOK sebesar 7,6%, sedangkan menurut Europe Respiratory Society (ERS) dan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) prevalensinya berkisar antara 14% 1

Transcript of Skripsi_Ari Bab I-V

Page 1: Skripsi_Ari Bab I-V

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Pernafasan Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang

ditandai oleh keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak

sepenuhnya dapat dipulihkan. PPOK meliputi empisema, bronkitis kronik atau

kombinasi dari keduanya. Empisema digambarkan sebagai kondisi patologis

pembesaran abnormal rongga udara di bagian distal bronkiolus dan kerusakan

dinding alveoli, sedangkan bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas

yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun,

sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut.

Beberapa faktor risiko PPOK diantaranya adalah merokok (aktif / pasif),

polusi udara, dan defisiensi enzim α-antitrypsin (Smeltzer & Bare, 2006). Menurut

Wiyono (2009), prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan

dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari

penyakit infeksi ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok

dan polusi udara. Data prevalensi PPOK yang terkait dengan usia dan merokok

bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Berdasarkan pada kriteria yang

ditetapkan oleh British Thoracic Society (BTS) prevalensi PPOK sebesar 7,6%,

sedangkan menurut Europe Respiratory Society (ERS) dan Global Initiative for

Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) prevalensinya berkisar antara 14%

1

Page 2: Skripsi_Ari Bab I-V

2

sampai 14,1%, sementara prevalensi PPOK yang ditetapkan oleh American

Thoracic Society (ATS) mencapai 34,1% (Lindberg et al. 2005). Di Asia Pasifik

rata-rata prevalensi PPOK adalah 6,3%, sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%

(Regional COPD Working Group, 2003). World Health Organization (WHO)

memprediksi, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-5 di seluruh

dunia akan menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 (Murray, 2010).

Data nasional Indonesia, hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat

Jenderal PPM & PL di Indonesia, pada tahun 2011 jumlah kasus PPOK berjumlah

183.000 kasus (72%), pada tahun 2012 penyakit PPOK menempati urutan pertama

penyumbang angka kesakitan (35%) dari keseluruhan penyakit pernafasan.

Sedangkan data tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan kejadian PPOK di

seluruh Rumah Sakit Indonesia yaitu sebesar 37%.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu jumlah kasus

PPOK di propinsi Bengkulu sebanyak 73.100 atau 66,6%. Sementara data Kasus

PPOK di setiap Kabupaten dan Kota di Propinsi Bengkulu menunjukkan bahwa

kasus PPOK terbanyak di Kabupaten Kepahiang, kemudian diikuti Rejang Lebong

dan selanjutnya Kota Bengkulu menjadi rangking ke-3 kasus PPOK. Kasus PPOK

di Kabupaten Kepahiang berjumlah 13.000 kasus per tahun (Profil, Dinkes

Propinsi Bengkulu, 2013).

Data dari RSUD Kepahiang tahun 2012 terdapat 90 kasus PPOK dan pada

tahun 2013 terdapat 92 kasus penyakit PPOK yang dirawat di ruang rawat inap

RSUD Kepahiang (Profil RSUD Kepahiang, 2013)

Page 3: Skripsi_Ari Bab I-V

3

Merokok merupakan hal yang biasa ditemukan, baik pada orang dewasa

maupun remaja, khususnya laki-laki. Membicarakan rokok tidak terlepas dari

unsur utama rokok itu sendiri yaitu tembakau. Penggunaan tembakau terus

berlanjut sebagai bahan yang menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia.

Menurut WHO, ada 1,3 Milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari

populasi Global yang berusia 15 tahun ke atas serta 84% diantaranya berasal dari

dunia ketiga (Supari, 2008).

Indonesia tetap menduduki posisi peringkat ke 5 konsumen rokok terbesar

setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang pada tahun 2007. Pada tahun

yang sama prevalensi merokok dewasa usia 15 tahun ke atas adalah sebesar 34,2%

meningkat dari 31,5% tahun 2001. Kenaikan yang sangat significant, 4 kali lipat

dari 1,3% menjadi 5,2% selama kurun waktu 2001 – 2007 terjadi pada perokok

perempuan.

Peningkatan perokok pada kelompok umur 15 – 19 tahun, dari 7,1% (1995)

menjadi 19,9% (2007) atau naik sebesar 180%. Peningkatan tertinggi terjadi pada

kelompok umur yang paling muda yaitu 10 – 14 tahun dari 0,3% menjadi 2,0%

atau meningkat 7 kali lipat selama kurun waktu 12 tahun (1995 – 2007).

Provinsi Bengkulu pada tahun 2007 adalah provinsi dengan prevalensi

perokok tertinggi di Indonesia (38,7%) sementara prevalensi perokok laki-laki

tertinggi 74,2% berada di Provinsi Gorontalo dan prevalensi perokok perempuan

tertinggi 11,7% adalah provinsi Papua. Kelompok perokok tidak sekolah/tidak

tamat SD naik dari 31,3% menjadi 35,4% pada tahun 2007. Hal ini perlu mendapat

Page 4: Skripsi_Ari Bab I-V

4

perhatian serius dari pemerintah untuk melindungi masyarakat berpendidikan

rendah tersebut (Profil Dinkes Propinsi Bengkulu, 2012).

Yang lebih mengkhawatirkan adalah umur mulai merokok yang semakin

muda. Anak-anak berusia 5 – 9 tahun sudah mulai merokok dengan prevalensi

tertinggi dari kelompok umur dibawah 15 tahun yaitu dari 0,4% tahun 2001

menjadi 1,9% tahun 2007 atau hampir 5 kali lipat.

Berdasarkan uraian tersebut di atas ditemukan bahwa setiap tahun kasus

PPOK di Propinsi Bengkulu terjadi peningkatan dan Kabupaten Kepahiang

merupakan kasus PPOK terbanyak maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti

“Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit paru obstruktif

kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian “Apakah ada

hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit paru obstruktif

kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014 ? ”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit

paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014.

Page 5: Skripsi_Ari Bab I-V

5

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada

pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada pasien rawat inap di

RSUD Kepahiang Tahun 2014.

3. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang

Tahun 2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dan informasi untuk

menambah dan meningkatkan pengetahuan bagi mahasiswa-mahasiswi tentang

hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit PPOK.

2. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan suatu masukan dan

evaluasi dalam pelaksanaan program sehingga dapat mengurangi kejadian

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

3. Bagi penulis

Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis dalam bidang

penlitian mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang

Tahun 2014.

Page 6: Skripsi_Ari Bab I-V

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit PPOK

1. Pengertian

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang

bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic

Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun 2005,

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh

adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.

Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan

respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang

berbahaya. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah

PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang

sama.

2. Etiologi 6

Page 7: Skripsi_Ari Bab I-V

7

PPOK sebagian besar disebabkan merokok dan mungkin terlihat pada

pasien yang berusia diatas 35 tahun (National Collaborating Centre for

Chronic Conditions NCCC, 2004), perokok pasif, polusi udara, paparan bahan

kimia industri, alergen, cuaca dan defisiensi enzim α-antitrypsin yang

mengakibatkan munculnya tanda dan gejala termasuk sesak saat beraktifitas,

batuk kronik, produksi sekret yang menetap, wheezing, barrel-shaped chest

dan kehilangan berat badan (Smeltzer & Bare, 2006).

Berbagai penyakit yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruksi

menahun antara lain :

a. Emfisema

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu

perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara

abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai

kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika

ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai

adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk

emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation". Emfisema akan

menyebabkan defek pada aliran udara.

b. Bronchitis kronik

Bronchitis adalah penyakit pernapasan dimana selaput lendir pada

saluran-saluran bronchial paru meradang. Ketika selaput yang teriritasi

membengkak dan tumbuh lebih tebal, hal ini menyebabkan penyempitan

Page 8: Skripsi_Ari Bab I-V

8

bronkus, berakibat pada serangan-serangan batuk yang disertai oleh dahak

dan sesak napas

c. Asma bronkiale

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas

cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan.

Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas

secara periodic dan reversible akibat bronkospasme

d. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang

mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan

obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari

saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang

berdilatasi dan pembesaran nodus limfe (Rab Tabrani, 2006)

3. Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.

Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup

kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil

penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta

selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien,

usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat

merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita

Page 9: Skripsi_Ari Bab I-V

9

dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki.

Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki

dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional)

tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki

merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak

92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,

ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian

besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.

Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK

menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru

yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada

periode Januari hingga Desember 2009 dari keseluruhan penyakit paru yang

ada.

4. Faktor Resiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang

menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor

risiko tersebut terdiri dari :

a. Perilaku merokok

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.

Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru

adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan

perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok

Page 10: Skripsi_Ari Bab I-V

10

akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor

genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor

risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang

cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002).

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose

response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan

lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang

ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat

dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari

dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10

bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka

seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun

merokok (Suradi, 2009).

b. Lingkungan

Lingkungan dengan polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan

(indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain,

polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang

kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat

kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain.

Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain

PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi

lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor

Page 11: Skripsi_Ari Bab I-V

11

polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan

untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status

sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK,

kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada

tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan

sosioekonomi (Helmersen, 2002).

c. Genetik

Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu

suatu serin protease inhibitor. Individu membawa sifat tertentu dari gen

orang tua yang menentukan arah ketahanan penyakit seseorang untuk lebih

beresiko terserang penyakit. Melalui kondisi-kondisi fisiologik yang

dibawah anak pada saat lahir.

d. Hiperesponsif jalan napas

Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok

atau polusi. Penyebaran secara hematogen Mekanisme daya tahan traktus

respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang

terdiri dari : Susunan anatomis rongga hidung Jaringan limfoid di

nasofaring Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus

respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

Refleks batuk. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret

yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar

limfe regional (Soemantri, 2008).

Page 12: Skripsi_Ari Bab I-V

12

Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.

Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang

bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak

kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli

yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.

Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : A. Stadium I (4 – 12 jam

pertama/kongesti) Sehinga terjadinya respon hiperesponsif jalan nafas yang

mengakibatkan PPOK (Soemantri, 2008).

e. Pertumbuhan paru.

Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan

pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan

pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK

(Helmersen, 2002). Pertumbuhan paru didapati pada satu atau beberapa

lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti

pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran

ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai pada beberapa kasus

PPOK (Hemersen, 2002).

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air

sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi,

difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari

Page 13: Skripsi_Ari Bab I-V

13

dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan

pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah

teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan

pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara

di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan

restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi

digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio

volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa

(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen

asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau

disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil

mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian

mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang

dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,

2009).

Page 14: Skripsi_Ari Bab I-V

14

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya

peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif

merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas

saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara

kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat

pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,

apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru

dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK

predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk

melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak

diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan

(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas

dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi

berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi,

dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi

hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan

ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research

Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

Page 15: Skripsi_Ari Bab I-V

15

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1

tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa

menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian

5. Patogenesis PPOK

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air

sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi,

difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari

dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan

pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah

teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan

pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara

di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan

restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi

digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio

Page 16: Skripsi_Ari Bab I-V

16

volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa

(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen

asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau

disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil

mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian

mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang

dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,

2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan

kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak

struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara

dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps

terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan

(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak

terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran

udara kolaps (GOLD, 2009).

Page 17: Skripsi_Ari Bab I-V

17

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK

predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk

melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi

dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010).

Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya

ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan

adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi

mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol

(Chojnowski, 2003).

6. Diagnosis PPOK

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks

dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan

spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

a. Anamnesis

1) Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan

adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun

polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya

penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab

lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah

Page 18: Skripsi_Ari Bab I-V

18

pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas

perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),

yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan

lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-

200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).

2) Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini

harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala

yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang

timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang

diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus

menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala

yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang

bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk

menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran

sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council

(MRC)

Page 19: Skripsi_Ari Bab I-V

19

b. Pemeriksaan Fisik

1) Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada

seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti

orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas,

pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi

vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya

hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara

napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi

(PDPI, 2003).

2) Pemeriksaan Penunjang

a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) .

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri

tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang

tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian

pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

b) Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa

hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun

Page 20: Skripsi_Ari Bab I-V

20

kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK

ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk

menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan

diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).

c) Laboratorium darah rutin

d) Analisa gas darah

e) Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

3) Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan

klasifikasi (derajat) PPOK, (GOLD, 2009)

Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi Penyakit

Gejala Klinis Spirometri

PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2

-VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri) -VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat 3

-VEP1/KVP < 70% -50% ≤ VEP1 < 80% prediksi

PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 -Eksaserbasi lebih sering terjadi

-VEP1/KVP < 70% -30% ≤ VEP1 < 50% prediksi

PPOK Sangat Berat

Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik -Eksaserbasi lebih sering terjadi -Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

Page 21: Skripsi_Ari Bab I-V

21

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB

paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal

jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung

kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).

7. PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan

dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian

akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal

sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke

hari (GOLD, 2009).

Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya

karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli

paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan

obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik

(diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau

polusi udara aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi

(kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering

menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999)

terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.

Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20

kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas

Page 22: Skripsi_Ari Bab I-V

22

(kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran

gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44

mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18

mmHg.

Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan

faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat

akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi. Gejala

eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan

adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk.

(1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi

berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya

memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1

gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam

tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan

frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo,

2006).

8. Pengobatan PPOK

Menurut Barnett (2006), pengobatan PPOK berfokus pada penurunan atau

penghilangan gejala, mengurangi frekwensi eksaserbasi, meningkatkan kualitas

hidup dan aktifitas sehari-hari serta mencegah progresifitas penyakit. Jones (2001),

mengatakan beberapa hal yang perlu dievaluasi terkait dengan pengobatan pasien

diantaranya kemampuan bernafas pasien, penurunan gejala setelah pengobatan,

Page 23: Skripsi_Ari Bab I-V

23

peningkatan kemampuan melakukan aktifitas atau mengerjakan sesuatu,

peningkatan kualitas atau kuantitas tidur. Pengobatan dari PPOK terdiri dari :

a. Bronkodilatator

Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5 mg;

salmeterol atau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium

bromide 20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan

theophyllines 10-20 mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator

dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi

latihan/aktifitas dengan mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi

otot pernafasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala

yang muncul pada pasien. Reaksi merugikan yang dilaporkan meliputi sakit

kepala, insomnia, tremor, hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah

(Deglin & Vallerand, 2005).

b. Mukolitik

Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan memproduksi

sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4 x/hari dapat mengurangi

gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik semacam carbocysteine

dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine hydrochloride 200 mg 4x/hari

adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan memudahkan pengeluaran

sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare dan nyeri

lambung (Deglin & Vallerand, 2005).

Page 24: Skripsi_Ari Bab I-V

24

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid Barnes, (2000; Burge, 2000) menyatakan bahwa peradangan

yang nampak pada jalan nafas pasien PPOK berbeda dengan peradangan dan

respon terhadap kortikosteroid pada pasien asma. Meskipun belum terdapat

banyak bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat

ringan, namun ada yang menyatakan pemberian kortikosteroid pada PPOK

derajat sedang sampai berat dengan nilai FEV1 kurang dari 50% dapat

mengurangi frekwensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Mengingat pada pasien dapat mengalami eksaserbasi lebih dari satu kali,

maka pemberian steroid oral atau antibiotik selama periode 12 bulan

sebaiknya diresepkan juga asteroid inhaler dan kombinasi bronkodilator.

9. Penatalaksanaan

a. Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah :

1) Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada

fase akut, tetapi juga fase kronik.

2) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas

harian.

3) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat

dideteksi lebih awal.

b. Tindakan rehabilitasi yang meliputi :

1) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret

bronkus.

Page 25: Skripsi_Ari Bab I-V

25

2) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan

pernapasan yang paling efektif.

3) Latihan dengan beban olah raga tertentu, dengan tujuan untuk

memulihkan kesegaran jasmani.

4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita

dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

c. Penatalaksanaan Patogenesis (Medis)

1) Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara

2) Obat bisolvon

Bisolvon bekerja dengan mengencerkan sekret pada saluran pernafasan

dengan jalan menghilangkan serat-serat mukoprotein dan

mukopolisakaridayangterdapat pada sputum/dahaksehingga lebih

mudah dikeluarkan.

3) N-acetylcysteine (NAC).

NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai

antioksidan dan anti-inflamasi, serta imunomodulator. NAC sebagai

agen mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah

jembatan disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat

dalam sekresi bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta

bekerja dengan cara memperbaiki kerja silia saluran napas.

Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit

mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika

Page 26: Skripsi_Ari Bab I-V

26

ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi

kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari

NAC.

Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan

sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara

meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag

terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing.

4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik

5) Mukolitik dan ekspektoran

6) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal

napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)

7) Rehabilitasi pasien melalui kegiatan sosialisasi agar terhindar dari

depresi.

d. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK

1) Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya

2) Menghindari faktor pencetus

3) Vaksinasi Influenza

4) Rehabilitasi paru

5) Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator

kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja singkat), penggunaan

bronkodilator kerja lama (LABA, antikolinergik kerja lama), dan obat

Page 27: Skripsi_Ari Bab I-V

27

simtomatik. Pemberian kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan

derajat PPOK.

6) Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen

7) Reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS) atau endoskopi

(transbronkial) (BLVR)

10. Komplikasi

a. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55

mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan

mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada

tahap lanjut timbul cyanosis.

b. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang

muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

c. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi

mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.

Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya

dyspnea.

d. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),

harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi

Page 28: Skripsi_Ari Bab I-V

28

ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronik, tetapi klien dengan

emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

e. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau

asidosis respiratory.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma

bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan

seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.

Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali

terlihat.

B. Konsep Dasar Kebiasaan Merokok Merokok

1. Pengertian

Menurut Joly tahun 2008 (dalam Diantini, 2011) mengatakan bahwa,

kebiasaan merokok adalah tingkah laku seseorang yang dimulai dengan

membakar sebatang rokok yang terdiri dari bahan baku kertas, tembakau,

cengkeh dan saus dimana terkandung nikotin dan tar kemudian menghisap asap

yang berasal dari pembakaran rokok tersebut kemudian masuk ke dalam paru-

paru. Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap setiap hari, maka semakin

berat pula tingkah laku merokok seseorang.

Kebiasaan merokok adalah seseorang yang hingga sekarang masih terus

atau kadang-kadang merokok. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan

Page 29: Skripsi_Ari Bab I-V

29

bahwa rokok meningkatkan resiko PPOK. Faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku merokok adalah teman, kepribadian dan iklan (Muhammadun, 2010).

Merokok adalah suatu kebiasaan menghisap silinder dari kertas yang

dilakukan berulang-ulang hingga menyebabkan kecanduan. Rokok adalah

silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi

tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun

tembakau yang telah dicacah (Aryono, 2006).

Sedangkan menurut Aryono, dkk (2006), perokok aktif adalah orang yang

merokok setiap hari tanpa berhenti dan dilakukan selama bertahun-tahun atau

sepanjang hidupnya.

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebiasaan

merokok merupakan suatu kebiasaan menghisap rokok setiap hari (> 3 batang

rokok per hari) tanpa berhenti hingga menimbulkan kecanduan. Kebiasaan

merokok merupakan suatu ukuran perilaku merokok seseorang yang diukur dari

jumlah rokok yang dihisap, dalam satuan batang, bungkus, pak per hari dan

dibagi menjadi perokok ringan, sedang dan perokok berat (Bustan, 2007).

2. Jenis Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120

mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi

daun-daun tembakau yang telah dicacah (wikipedia.2005).

Rokok dibedakan menjadi dua, Pembedaan ini didasarkan atas penggunaan

filter pada rokok yaitu :

Page 30: Skripsi_Ari Bab I-V

30

a. Rokok Filter (RF)

Yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

b. Rokok Non Filter (RNF)

Yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.

3. Batasan Merokok

Prilaku merokok bisa menyebabkan PPOK jika dilakukan oleh perokok

aktif, lebih dari 3 batang/hari dan dilakukan lebih dari 3 bulan berturut-turut

tanpa berhenti. Dengan kata lain jika merokok kurang dari 3 batang /hari dan

dilakukan kurang dari 3 bulan bukan merupakan perokok aktif (Sheps, 2000).

Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari,

terbagi atas 3 kelompok yaitu :

a. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok

per hari.

b. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per

hari.

c. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per

hari (Bustan, 2007).

4. Bahan-Bahan Yang Terkandung Dalam Rokok

Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4.000 bahan

kimia beracun yang membahayakan dan boleh membawa kematian artinya

setiap hisapan itu menyerupai satu hisapan maut (Bustan, 2007).

Page 31: Skripsi_Ari Bab I-V

31

Apabila racun rokok itu memasuki tubuh manusia, akan membawa

kerusakan pada setiap organ yang dilaluinya, bermula dari hidung, mulut,

tenggorokan, saluran pernafasan, paru-paru, saluran darah, jantung, organ

reproduksi, sehingga ke saluran kencing dan kandung kemih, yaitu apabila

sebagian dari racun-racun itu dikeluarkan dari badan dalam bentuk air seni.

Kandungan rokok antara lain Nikotin, Karbon Monoksida, TAR dan Timah

Hitam (Pb) yang merupakan partikel asap rokok (Bustan, 2007).

C. Kesadaran Berhenti Merokok

Masyarakat tidak sepenuhnya sadar akan resiko penyakit dan kematian dini

akibat keputusannya membeli produk tembakau, karena beberapa faktor

penyebabnya antara lain butuh waktu 20-25 tahun sejak orang mulai merokok dan

timbulnya gejala penyakit. Sebagian besar perokok pemula adalah remaja yang

belum mempunyai kemampuan untuk menilai dengan benar informasi dampak

merokok dan mereka tidak menyadari efek adiktif nikotin yang sangat kuat yang

akan mengikat dan menyebabkan orang sulit berhenti merokok.

Program pencegahan merokok yang efektif bagi remaja apabila dikemas

dalam Program Pengendalian Tembakau yang komprehensif, tidak memposisikan

konsumsi tembakau sebagai kegiatan berkaitan dengan kedewasaan, tetapi sesuatu

yang mengenai semua umur, memberikan Dukungan terhadap peningkatan cukai

(dan harga), memberikan dukungan terhadap larangan total dari iklan rokok,

memberikan dukungan terhadap Kawasan Tanpa Rokok, melarang pemajangang

(display) produk tembakau dan membatasi rantai penjualan, menekankan bahwa

Page 32: Skripsi_Ari Bab I-V

32

nikotin adalah adiktif, mendiskusikan resiko merokok bagi semua umur dan

mendorong berhenti merokok pada semua perokok, tua dan muda. Sedangkan

salah satu sarana pendidikan masyarakat yang efektif dan tidak memerlukan biaya

dari pemerintah adalah Peringatan Kesehatan berbentuk gambar di Bungkus

Rokok.

Program berhenti merokok telah dirintis oleh Fakultas Kedokteran Universitas

Gajah Mada sejak beberapa tahun yang lalu, kemudian Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) juga menyelenggarakan pelatihan program berhenti merokok dan RSUP

Persahabatan membuat klinik Berhenti Merokok dengan menggunakan intervensi

farmako terapi.

D. Hubungan Merokok dengan PPOK

Menurut Tandra (2003) merokok terbukti merupakan faktor resiko untuk mati

mendadak. Zat kimia di dalam tembakau merusak jantung dan paru pada dinding

paru akan terjadinya akumulasi plak sehingga terjadinya hambatan aliran udara di

saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial,

sehingga terjadinya respons inflamasi paru terhadap nikotin dalam tembakau yang

menyebabkan terjadinya Penyakit paru obstruktif dan apabila dibiarkan terus

menerus hingga bertahun-tahun maka akan mengakibatkan terjadinya Penyakit

Paru Obstruktif Kronis (PPOK) (Sheps, 2000).

Asap rokok juga berbahaya bagi perokok pasif. Perokok pasif adalah asap

rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap

rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima

Page 33: Skripsi_Ari Bab I-V

33

kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak

mengandung tar dan nikotin yang juga akan mengakibatkan hambatan aliran udara

pada jalan nafas dan pada akhirnya juga dapat menyebabkan terjadinya Penyakit

Paru Obstruktif Kronis (PPOK) (Wardoyo, 2006).

E. Kerangka Teori

Keterangan :

Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Kebiasaan Merokok

Genetik

Lingkungan

Pertumbuhan

Responsif Jalan Nafas

PPOK

Page 34: Skripsi_Ari Bab I-V

34

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang di bahas, kejadian penyakit paru obstruktif kronik

tidak terlepas dari faktor resiko seperti kebiasaan merokok. Berdasarkan latar

belakang dan teori diatas maka kerangka konseptual tentang kejadian penyakit

paru obstruktif kronik pada penelitian ini adalah :

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

B. Definisi Opersional

Definisi operasional adalah defenisi berdasarkan karakteristik yang di

amati dari sesuatu yang di defenisikan tersebut, karakteristik yang di amati (di

ukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional (Nursalam, 2009).

Adapun definisi operasional yang dibuat meliputi seluruh variabel yang ada di

kerangka konsep.

Kebiasaan Merokok

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK

34

Page 35: Skripsi_Ari Bab I-V

35

Tabel 3.3 Definisi Operasional variabel

Variabel Defenisi Operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil ukur Skala

Kebiasaan merokok

suatu kebiasaan menghisap rokok setiap hari (> 3 batang /hari) tanpa berhenti hingga menimbulkan kecanduan

Kuesioner

Wawancara 0 = Perokok 1 = Tidak Perokok

Ordinal

PPOK

Pasien yang dinyatakan menderita PPOK berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.

Catatan/diagnosa medis pada saat penelitian

Studi Dokumentasi

/Rigester

0 = PPOK 1 = Tidak PPOK

Ordinal

F. Hipotesis

1. Terdapat Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit

Paru Obstruktif Kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang tahun

2013.

2. Tidak Terdapat Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada pasien rawat inap di RSUD

Kepahiang tahun 2013.

Page 36: Skripsi_Ari Bab I-V

36

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey analitik

dengan Case Control, yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana

faktor risiko dipelajari dengan menggunakan retrospective (Soekidjo

Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini, sekelompok kasus (pasien dengan PPOK)

dibandingkan dengan kelompok kontrol (pasien tidak PPOK). Kemudian secara

retrospektif (penelusuran ke belakang) diteliti faktor risiko (Kebiasaan merokok)

yang dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol terkena efek atau tidak.

Gambar 3.2 Desain Penelitian

36

Kelompok Kasus

Kebiasaan Merokok

PPOK

Kelompok Kontrol

Perokok

Tdk Perokok

Tidak PPOK

Perokok

Tdk Perokok

Kebiasaan Merokok

Page 37: Skripsi_Ari Bab I-V

37

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan

menentukan keakuratan hasil penelitian (Saryono, 2011). Populasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Populasi Kasus, yaitu seluruh pasien PPOK di Ruang rawat inap penyakit

dalam RSUD Kepahiang Tahun 2013 yang berjumlah 92 orang.

2. Populasi Kontrol, yaitu seluruh pasien yang tidak PPOK di Ruang rawat inap

penyakit dalam RSUD Kepahiang Tahun 2013.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi yang

merupakan bagian dari populasi terjangkau (Saryono, 2011). Menurut

Notoatmodjo (2002), sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan

objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.

Besarnya sampel dan cara pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu

a. Untuk kelompok kasus

Adapun besar sampel diambil dengan rumus studi kasus kontrol untuk

pengujian hipotesis terhadap Odds Ratio :

n = (Z1-α√2PQ+Z1-ß√P1Q1+√P2Q2)² (P1-P2)²

Page 38: Skripsi_Ari Bab I-V

38

Keterangan :

n = Besar sampel minimum pada kasus dan kontrol

Z1-α = Nilai baku normal berdasarkan α yang ditentukan (α = 0,10) = 1,282

Z1-β = Nilai baku normal berdasarkan β yang ditentukan (β = 0,20) = 0,842

P1 = Proporsi efek pada kelompok dengan faktor risiko

P2 = Proporsi efek pada kelompok tanpa faktor risiko

P = (P1+P2)/2

OR = Odds Ratio yang dianggap bermakna secara klinis. Penentuan besar

sampel berdasarkan variabel paritas dengan OR = 3 (Berdasarkan penelitian

Sarwono, 2008 dengan variabel dan desain penelitian yang sama)

P1 = 0,69 diambil dari penelitian terdahulu (Junaidi, 2008),

sehingga didapat P2 :

P1 = (OR)P2 (OR) P2+(1- P2) 0,69 = (3) P2 (3) P2 + (1- P2) 3 P2 = 2,07 P2+0,69-0,69 P2 1,62 P2 = 0,69 P2 = 0,43 n = [1,282√2x0,56x0,44+0,842√{(0,69x0,31)+(0,43xo,57)}]²

(0,69-0,43)² n = (0,8999+0,5705)² 0,0676 n = 2,1621 0,0676 n = 32

Page 39: Skripsi_Ari Bab I-V

39

Jadi sampel untuk kelompok kasus berjumlah 32 orang, dengan kriteria :

1) Pasien Penderita PPOK

2) Data catatan medik lengkap

3) Tercatat dalam buku registrasi ruang Penyakit Dalam

4) Usia > 30 tahun

Cara pengambilan sampel kasus dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode Purposive Sampling atau sampel pertimbangan.

Purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai

dengan persyaratan sampel yang diperlukan.

b. Untuk kelompok kontrol

Cara pengambilan sampel kontrol adalah dengan menggunakan metode

Accidental sampling, dimana penelitian ini hanya di lakukan dengan

mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia. Besarnya kelompok

kontrol dihitung dengan menggunakan perbandingan 1 : 1, sehingga hasil

yang didapat 32 orang. Jadi sampel untuk kelompok kontrol berjumlah 32

orang, dengan kriteria :

1) Pasien yang tidak PPOK

2) Bersedia menjadi responden

3) Usia > 30 Tahun

C. Tempat Penelitian Dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Ruang rawat inap Penyakit Dalam RSUD

Kepahiang, waktu penelitian mulai dari bulan Juni s/d Juli 2014 sedangkan objek

Page 40: Skripsi_Ari Bab I-V

40

penelitian adalah penderita PPOK dan yang bukan PPOK di ruang rawat inap

RSUD Kepahiang.

D. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara kepada klien

yang dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Kepahiang.

Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan

kebiasaan merokok yang dilakukan oleh pasien.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku registrasi dari ruang

rawat inap penyakit dalam dan dari catatan medik RSUD Kepahiang

tentang alamat pasien.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data yang ada di buku

register rawat inap penyakit dalam, kemudian sampel kasus diambil

berdasarkan pertimbangan dan untuk kelompok kontrol sampel diambil dengan

mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia.

2. Pengolahan Data

Data yang terkumpul akan diolah secara manual maupun menggunakan

komputer, adapun pengolahan data dilakukan dengan tahapan;

Page 41: Skripsi_Ari Bab I-V

41

a. Pemeriksaan data (Editing), merupakan kegiatan pengecekan isian angket,

apakah jawaban yang ada diangket sudah lengkap, jelas, relevan dan

konsisten.

b. Pemberian Kode (Coding), yaitu pengkodean data menjadi bentuk kategori,

variabel dependen dan independen dengan dilakukannya tahap ini maka

proses pengolahan dan entry data menjadi mudah

c. Pemberian Skor (Scoring)

Pemberian nilai skor pada data yang memerlukan scoring.

d. Memasukkan Data (Entry Data), yaitu data yang telah diedit dan koding

dimasukkan kedalam komputer untuk dilakukan analisis.

e. Membersihkan Data (Cleaning), yaitu pengecekan data (variabel data) yang

telah dimasukkan kedalam program komputer sebelum dilakukan analisis

lebih lanjut. Tahapan ini dimasukkan untuk menghindari kesalahan,

sehingga hasil analisa data nantinya sesuai data sebenarnya.

3. Analisis Data

Tekhnik analisis data yang digunakan adalah

a. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007).

F P = x 100 % n

Page 42: Skripsi_Ari Bab I-V

42

Keterangan :

P : Jumlah persentase yang dicari F : Jumlah frekuensi untuk setiap alternatif n : Jumlah responden.

Dari rumus diatas nilai proporsi yang didapatkan dalam bentuk persentase

dapat diinterprestasikan dengan menggunakan data :

0% : Tidak satupun dari responden

1%-25% : Sebagian kecil dari responden

26%-49% : Hampir sebagian dari responden

50% : Setengah dari responden

51%-75% : Sebagian besar dari responden

76%-99% : Hampir seluruh dari responden

100% : Seluruh responden

b. Analisis Bivariat

Analisis ini untuk menguji hipotesa antara variabel dependen dan variabel

independen dengan menggunakan uji Chi-Square (X2) dengan derajat

kepercayaan 95% dan α = 0,05.

Untuk melihat keeratan hubungan dua variabel yaitu :

1. Jika P value ≤ α (0,05), Ho ditolak, berarti ada hubungan bermakna

antara variabel dependen dengan independen.

2. Jika P value > α (0,05), Ho diterima, berarti tidak ada hubungan

bermakna antara variabel dependen dengan independen.

(Arikunto, 2005)

Arikunto, 2005

Page 43: Skripsi_Ari Bab I-V

43

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian dilakukan melalui Izin penelitian yang

diperoleh dari RSUD Kepahiang dengan cara mengurus izin penelitian dari

STIKES Dehasen Bengkulu yang diteruskan ke Kesbanglinmas Propinsi

Bengkulu dengan melampirkan proposal yang sudah diuji, setelah itu diteruskan

ke Rumah Sakit Umum Daerah Kepahiang. Surat masuk ke ruang Tata Usaha

untuk diagendakan, kemudian dilanjutkan ke Ruang rawat inap penyakit dalam

yang ada di RSUD Kepahiang.

Peneliti mempersiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan pada saat akan

melakukan penelitian seperti Surat izin penelitian surat persetujuan responden

dan perlengkapan alat tulis serta kuesioner yang telah siap diisi.

Pengumpulan data dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli

2014, dimana tempat penelitian adalah di RSUD Kabupaten Kepahiang.

43

Page 44: Skripsi_Ari Bab I-V

44

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian, penulis melakukan penelitian di ruang

rawat inap penyakit dalam. Peneliti bertemu langsung dengan pasien kemudian

memberikan pengarahan serta lembar persetujuan responden, lalu memberikan

responden kuesioner untuk diisi dengan dibantu oleh peneliti, Kemudian

peneliti mencatat semua kunjungan pasien yang berhubungan dengan penyakit

PPOK, kermudian di sesuaikan kembali dengan catatan medis yang ada.

Untuk kelompok kasus peneliti langsung datang ke rumah pasien dari

data alamat pasien yang telah dicatat peneliti. Sampel kasus diambil dengan

pertimbangan tempat sampel dekat dengan peneliti. Selama seminggu peneliti

melakukan kunjungan kepada responden kasus (penderita PPOK) sehingga

genap sampai 32 sampel

Untuk kelompok kontrol peneliti menunggu di Ruang rawat inap

penyakit dalam, responden yang memenuhi kriteria kelompok kontrol (bukan

PPOK) diambil untuk dijadikan sampel. Pengambilan sampel untuk kelompok

kontrol rata-rata sehari didapat sebanyak 3 orang sehingga selama 1 bulan

jumlah sampel untuk kelompok kontrol terpenuhi yaitu sebanyak 32 orang.

Setelah semua data telah didisi (terpenuhi) maka langkah selanjutnya

peneliti melakukan tahapan pengolahan data yaitu pemeriksaan data, pemberian

kode, pemberian nilai skor, memasukkan data dan membersihkan data

Page 45: Skripsi_Ari Bab I-V

45

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui pengisian kuesioner kemudian

diolah dengan bantuan komputer dengan analisa data menggunakan uji statistik

Chi Square Test diperoleh hasil analisis sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi

variabel yang diteliti berdasarkan subjek penelitian :

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Kejadian PPOK dan Kebiasaan Merokok Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Kepahiang

No Variabel F %

1

2

PPOK

a. Kasus (PPOK)

b. Kontrol (Tidak PPOK)

Total

Kebiasaan Merokok

a. Perokok

b. Tidak Perokok

Total

32

32

64

36

28

64

50

50

100

56,3

43,8

100

Pada tabel diatas menunjukkan dari 64 responden di Ruang rawat inap

penyakit dalam RSUD Kepahiang yang diambil terdiri dari 32 responden dari

kelompok kasus (PPOK) dan 32 responden lagi dari kelompok kontrol (Bukan

penderita PPOK). Sebagian besar responden (56,3%) adalah perokok dan

hampir sebagian responden (43,8%) bukan perokok.

Page 46: Skripsi_Ari Bab I-V

46

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen (kebiasaan merokok,) dengan variabel dependen (PPOK)

dengan menggunakan uji Chi-Square. Selengkapnya hasil analisis bivariat

disajikan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian PPOK

Kebiasaan

Merokok

PPOK

Jumlah X² p

OR (95%

CI)

Kasus

(PPOK)

Kontrol

(Tdk PPOK)

n % n % n %

Perokok

Tidak Perokok

23

9

71,9

28,1

13

19

40,6

59,4

36

28

56,3

43,8

5,143

0,023

3,735

(1,31-10,6)

Jumlah 32 100 32 100 64 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 32 orang responden

yang mengalami PPOK, sebagian besar (71,9%) adalah perokok, sedangkan

dari 32 orang responden yang tidak mengalami PPOK, sebagian besar yaitu

59,4% adalah responden yang tidak merokok. Hasil uji Chi Square nilai

X² Hitung = 5,143 > X² Tabel = 3,841 (df=2 dan α= 0,05) atau nilai p=0,023

< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang

berarti ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK pada

pasien rawat inap di RSUD Kepahiang tahun 2014. Nilai Odds Ratio

(OR)=3,73 menunjukkan bahwa pasien yang merokok berisiko mengalami

kejadian PPOK sebesar 3,73 kali dibandingkan pasien yang tidak merokok.

Page 47: Skripsi_Ari Bab I-V

47

C. Pembahasan

1. Gambaran Tentang PPOK

Hasil penelitian menunjukkan dari 64 responden di RSUD Kepahiang

yang diambil terdiri dari 32 responden dari kelompok kasus (PPOK) dan 32

responden lagi dari kelompok kontrol (Bukan penderita PPOK). Mudahnya

untuk mencari sampel responden yang PPOK menunjukkan tingginya angka

PPOK di RSUD Kepahiang tahun 2014.

Hasil penelitian yang dilakukan Sudirman (2008) menunjukkan

tingginya angka persentase kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Moewardi yaitu 65% mengalami

PPOK.

2. Gambaran Tentang Kebiasaan Merokok

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa responden yang memiliki

kebiasaan merokok berjumlah lebih banyak (56,3%) dibandingkan responden

yang tidak merokok (43,8%).

Menurut WHO (2005) persentase kebiasaan merokok yang terjadi di

seluruh dunia adalah sebagian besar 58% memiliki riwayat merokok.

Sementara hasil penelitian Suryati (2006) persentase antara responden

yang merokok dan tidak merokok yaitu 55% merokok dan 45% yang tidak

merokok.

Page 48: Skripsi_Ari Bab I-V

48

3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan PPOK

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 32 orang responden yang

mengalami PPOK, sebagian besar yaitu 71,9% adalah perokok, sedangkan

dari 32 orang responden yang tidak mengalami PPOK, sebagian besar yaitu

59,4% adalah responden yang tidak merokok. Hasil uji Chi Square nilai

X² Hitung = 5,143 > X² Tabel = 3,841 (df=1 dan α= 0,05) atau nilai p=0,023

< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang

berarti ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK pada

pasien rawat inpa di RSUD Kepahiang Tahun 2014. Nilai Odds Ratio

(OR)=3,73 menunjukkan bahwa pasien yang merokok berisiko mengalami

kejadian PPOK sebesar 3,73 kali dibandingkan pasien yang tidak merokok.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok

memberikan pengaruh besar terhadap penyakit PPOK. Orang yang

mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko untuk mengalami PPOK

dibanding orang yang tidak merokok karena dampak negatif dari asap rokok

yang dihisap oleh perokok. Asap rokok mengandung bahan kimia beracun

yang sangat berbahaya bagi paru-paru seperti Nikotin, Karbon Monoksida,

TAR dan Timah Hitam (Pb).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Jefi (2011) dengan nilai p=0,042 artinya ada hubungan yang bermakna antara

kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK. Penelitian ini juga sejalan dengan

Page 49: Skripsi_Ari Bab I-V

49

hasil penelitian Suryati (2006) yang menyatakan ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK dengan nilai p=0,002

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh State Mutual Life Insurance Co,

yaitu sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat disimpulkan bahwa

angka kematian pada perokok 2-4 kali lebih tinggi jika di bandingkan dengan

orang yang tidak merokok, karena akibat buruk dari merokok dapat

menimbulkan sakit jantung, hipertensi dan kanker paru (Kus Irianto, 2004).

Penelitian yang di lakukan oleh Boedi Darmojo, R. Sutejo dkk masing-masing

mendapatkan penderita PPOK yang merokok dari seluruh kasus pada laki-laki

sebanyak 60% merokok.

Penelitian lain menunjukkan bahwa orang yang tidak merokok juga

bisa terkena PPOK hal ini disebabkan karena PPOK terjadi akibat banyak

faktor diantaranya disebabkan oleh debu, kondisi lingkungan, cuaca yang juga

dapat menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Suryati, 2006).

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose

response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih

lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan

lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks

Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari

lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika

seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita

bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).

Page 50: Skripsi_Ari Bab I-V

50

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Tom Smith (2005), jika

seseorang merokok, berarti dia telah memasukkan kedalam tubuhnya 1500

bahan kimiawi. Unsur-unsur yang paling penting antara lain nikotin,

denzopirin, metilkloride, aseton, amonia, karbonmonoksida. Rokok di anggap

sebagai faktor resiko penting yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan

atau kerusakan paru-paru yang menyebabkan penyakit PPOK.

Menurut Depkes RI (2003) terjadinya PPOK disebabkan oleh beberapa

factor diantaranya empisema, bronchitis kronis, asma bronciale, bronkitasis dan

lain-lain. Sedangkan faktor predisposisi disebabkan oleh merokok, kopi,

aktifitas fisik dan stres.

Menurut Tandra (2003) merokok terbukti merupakan faktor resiko untuk

mati mendadak. Faktor resiko bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain seperti

PPOK, kadar lemak atau gula darah yang tinggi terhadap pencetusnya penyakit

jantung coroner dan sebagainya. Proses terjadinya PPOK akibat kebiasaan

merokok yaitu zat kimia di dalam tembakau merusak jantung dan paru pada

dinding paru akan terjadinya akumulasi plak sehingga terjadinya hambatan

aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau

reversibel parsial, sehingga terjadinya respons inflamasi paru terhadap nikotin

dalam tembakau yang menyebabkan terjadinya penyakit paru obstruktif.

Page 51: Skripsi_Ari Bab I-V

51

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara kebiasaan merokok

dengan kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD

Kepahiang Tahun 2013, maka Peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Distribusi frequensi menunjukkan dari 64 responden di RSUD Kepahiang

yang diambil terdiri dari 32 responden dari kelompok kasus (PPOK) dan 32

responden lagi dari kelompok kontrol (bukan penderita PPOK)

2. Sebagian besar responden 56,3% adalah perokok dan Hampir sebagian

responden 43,8% bukan perokok

3. Terdapat hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan kejadian penyakit

paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun

2013.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan sebelumnya di atas maka saran

yang diajukan pada penelitian ini adalah :

1. Bagi Pendidikan

Diharapkan penelitian ini bisa menambah referensi bagi perpustakaan

Dehasen Bengkulu tentang hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan

51

Page 52: Skripsi_Ari Bab I-V

52

kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD

Kepahiang Tahun 2013.

2. Bagi Rumah Sakit

Hendaknya petugas kesehatan dapat meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan pasien terutama dalam menanggulangi dan mencegah kejadian

PPOK dengan cara meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang

kesadaran untuk berhenti merokok.

3. Bagi Penulis

Tersusunya skripsi ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi penulis

didalam menerapkan ilmunya kepada masyarakat khususnya yang berkaitan

dengan hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan kejadian penyakit paru

obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2013

Page 53: Skripsi_Ari Bab I-V

53

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, P.J. 2010; Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Effects beyond the

Lungs. Plos Medicine. Barnett, M. 2006; Management of end-stage chronic obstructive pulmonary disease.

British Journal of Nursing. ______2009; Improving nursing management of nutrition in COPD patient. Journal

of Community Nursing. Beddoe, A.E. 2010; Pulmonary Disease, Chronic Obstructive (COPD): Gender

differences. Evidence Base Care Sheet Bustan, 2007; Rokok: http://neila staf.ugm.ac.id.[Di Akses Desember 2013]. Dinkes Propinsi Bengkulu; 2013. Pencegahan Penyakit tidak Menular Tahun 2008.

Bengkulu: Dinkes Propinsi Bengkulu. Hastono Priyo, S, 2007, Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, Jakarta Lee J.S., dkk, 2006; Factors Associated with Impaired Appetite in Well-Functioning

Community-Dwelling Older Adults. Journal of Nutrition for the Elderly. Lindberg, 2005; Prevalence of Chronic Obstructive Pulmonary Disease according to

BTS, ERS, GOLD and ATS Criteria in Relation to Doctor’s Diagnosis, Symptoms, Age, Gender, and Smoking Habits, Respiration.

Locher, et all, 2005; Comfort foods: an exploratory journey into the social and

emotional significance of food. Food and Foodways. Mader, S.S, 2004; Understanding Human Anatomy & Physiology Fifth Edition, : IV.

Maintenance the body. Chapter 15: Digestive system. The McGraw−Hill Companies

Mahan, L.K., & Stump, S.E, 2000; Krause’s Food, Nutrition, Diet Therapy, 10th ed.

Philadhelphia: W.B Saunders Company McDonald, 2004; The Progression from Physiological Aging To Disease: The Impact

of Nutrition. In Handbook of Clinical Nutrition and Aging. chapter 3.

Page 54: Skripsi_Ari Bab I-V

54

Miravitlles, et al, 2010; Colour of sputum is a marker for bacterial colonisation in chronic obstructive pulmonary disease. Respiratory Research.

Moore, M.C., 2009; Pocket guide to nutritional assessment and care. 6th ed.

St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier Morley, J.E, et al, 2004; Cytokine-related aging process. J Gerontol A Biol Sci Med

Sci. Murray, J.F. 2010; The Year of The Lung. Int J Tuberc Lung Dis. Nagaya, N., Itoh,H.,

Murakami,S., Ova, H., Uematsu, M., Miyatake, K. et al, 2005; . Treatment of cachexia with ghrelin in patients with COPD.

Chest. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. (2004). ‘Chronic obstructive pulmonary disease; national clinical guideline in adults in primary and secondary care.

Notoatmodjo, Soekidjo; 2005; Metodologi Penelitian Kesehatan. EGC; Jakarta. Profil RSUD Kepahiang Tahun 2013 Salma, 2009; Sehat Bugar (Diakses 20 Desember 2013), di unduh dari

www//http;blogspot.com.net.id. Sitepoe, 2000; Kategori Rokok: http://neila staf.ugm.ac.id.[Di Akses Desember

2013]. Sheps, 2000; Rokok : http//:google.com: [Diakses Desember 2013] Saryono, 2011; Metodologi Penelitian Kesehatan, Mitra Cendikia Press, Jokjakarta Supari, S.F, 2008; Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik :

Kepmenkes RI NOMOR 1022/MENKES/SK/XI/2008, Jakarta. Wiyono, H.W, 2009; Penyakit Paru Obstruktif Kronik: Tantangan dan peluang.

Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Tidak dipublikasikan.