Skripsi Triana Rachmaningsih

87
ANALISIS KETIMPANGAN ANTARDAERAH DI PULAU JAWA TAHUN 2001-2008 OLEH TRIANA RACHMANINGSIH H14104519 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Transcript of Skripsi Triana Rachmaningsih

Page 1: Skripsi Triana Rachmaningsih

ANALISIS KETIMPANGAN ANTARDAERAH DI PULAU JAWA TAHUN 2001-2008

OLEH TRIANA RACHMANINGSIH

H14104519

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 2: Skripsi Triana Rachmaningsih

RINGKASAN

TRIANA RACHMANINGSIH. Analisis Ketimpangan Antardaerah di Pulau Jawa Tahun 2001-2008 (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI).

Salah satu yang mempengaruhi pola pembangunan ekonomi di Indonesia adalah karakteristik wilayahnya. Indonesia sebagai negara kepulauan membuat pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga perbedaan kemampuan ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan antardaerah. Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi tidak hanya terjadi antara Jawa dengan Luar Jawa, melainkan juga terjadi di dalam daerah itu sendiri. Pulau Jawa yang merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB pun mempunyai ketimpangan antardaerah yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita setiap provinsi di Jawa. Beberapa studi mengatakan bahwa DKI Jakarta merupakan penyumbang terbesar ketimpangan di Jawa. Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di Jawa khususnya DKI Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Theil, mengklasifikasikan provinsi dan kabupaten/kota menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita dengan Tipologi Klassen, dan melihat hubungan antara indeks ketimpangan dengan PDRB per kapita sesuai dengan Hipotesis Kuznets. Penelitian ini juga menggunakan kriteria bank dunia untuk menganalisis ketimpangan pendapatan masyarakat sebagai pendukung terhadap ketimpangan antardaerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari BPS tahun 2001-2008 yang meliputi data PDRB, jumlah penduduk, dan data pendukung lainnya. Dalam penelitian ini, analisis dibedakan menjadi dua yaitu analisis Pulau Jawa secara keseluruhan dan analisis Pulau Jawa tanpa DKI Jakarta.

Hasil analisis mengatakan bahwa ketimpangan di Jawa lebih besar dibandingkan dengan ketimpangan di Jawa tanpa DKI Jakarta baik dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson maupun Indeks Theil. Trend ketimpangan di Jawa mengalami peningkatan dari tahun 2001-2008. Sedangkan trend ketimpangan antarkabupaten/kota di Jawa tanpa DKI Jakarta menurun dari tahun 2001-2008. Berdasarkan analisis tipologi klassen provinsi, Jawa diklasifikasikan menjadi tiga daerah yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal. Sedangkan menurut tipologi klassen kabupaten/kota, klasifikasi daerah dibagi menjadi empat daerah sesuai dengan konsep tipologi klassen. Teori Kuznets yang menyatakan bahwa pada tahap awal petumbuhan, ketimpangan meningkat kemudian tahap selanjutnya ketimpangan menurun, tidak berlaku di Jawa.

Page 3: Skripsi Triana Rachmaningsih

ANALISIS KETIMPANGAN ANTARDAERAH

DI PULAU JAWA TAHUN 2001-2008

OLEH

TRIANA RACHMANINGSIH H14104519

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 4: Skripsi Triana Rachmaningsih

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Antardaerah di Pulau Jawa Tahun 2001-2008

Nama : Triana Rachmaningsih

NRP : H14104519

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Lukytawati Anggraeni, Ph.D NIP. 19771213 200501 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Lulus:

Page 5: Skripsi Triana Rachmaningsih

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, November 2010

Triana Rachmaningsih H14104519

Page 6: Skripsi Triana Rachmaningsih

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Triana Rachmaningsih, dilahirkan di Klaten pada tanggal

15 Mei 1983 dari pasangan Samono dan Sri Lestari. Penulis merupakan anak

ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Joko Sarjito, dan dikaruniai

satu orang putri bernama Khansa Gaida Salsabila.

Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Tonggalan 1

Klaten pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1995, Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Negeri 2 Klaten pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1998, dan

Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Klaten pada tahun 1998 sampai dengan tahun

2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

Jakarta Jurusan Komputasi Statistik pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005.

Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Islam As-

Syafi’iyah Jurusan Matematika sampai dengan tahun 2007.

Sejak Februari 2006 penulis bekerja di BPS RI Jakarta di Subdit Rujukan

Statistik, Direktorat Diseminasi Statistik. Pada tahun 2010 penulis diterima

menjadi mahasiswa program alih jenis/matrikulasi di Sekolah Pasca Sarjana

Departemen Ilmu Ekonomi melalui program beasiswa kerjasama Badan Pusat

Statistik dengan Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.

Page 7: Skripsi Triana Rachmaningsih

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan

Antardaerah di Pulau Jawa Tahun 2001-2008”. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi tugas akhir dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

Ekonomi pada Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Ibu Lukytawati Anggraeni, selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Muhammad Findi Alexandi, selaku dosen penguji atas saran dan kritik

untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Rekan-rekan BPS khususnya Ari, Esya, Mbak Ida, Mbak Dewi, Pak Ghofar,

Pak Bawor, Pak Ulah, Pak Budi, Bu Panti, Pak Jacob, Mbak Nur, yang telah

membantu memberikan data pendukung.

4. Bapak, ibu, dan keluarga besar di Klaten, atas segala doa dan dukungan yang

telah diberikan.

5. Suamiku tercinta dan anakku tersayang, atas kesabaran dan dukungannya yang

setiap saat membantu penulis.

6. Semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua

pihak yang memerlukannya.

Bogor, November 2010

Triana Rachmaningsih H14104519

Page 8: Skripsi Triana Rachmaningsih

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 8

2.1. Tinjauan Pustaka................................................................................. 8

2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................. 8

2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi .................................................. 11

2.1.3. Teori Pembangunan Ekonomi ................................................ 12

2.1.4. Teori Ketimpangan ................................................................. 13

2.1.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................ 15

2.2. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 24

3.1. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 24

3.2. Metode Analisis .................................................................................. 24

3.2.1. Analisis Deskriptif .................................................................. 24

3.2.2. Analisis Ketimpangan ............................................................. 26

3.2.3. Tipologi Klassen ..................................................................... 30

3.2.4. Teori Kurva U Terbalik Kuznets ............................................ 31

IV. GAMBARAN UMUM PULAU JAWA ...................................................... 33

4.1. Keadaan Geografis dan Administratif Pulau Jawa ............................. 33

4.2. Keragaan Perekonomian Pulau Jawa .................................................. 34

4.2.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................. 34

Page 9: Skripsi Triana Rachmaningsih

ix  

4.2.2. PDRB per Kapita .................................................................... 35

4.2.3. Laju Pertumbuhan ................................................................... 36

4.2.4. Struktur Ekonomi .................................................................... 37

4.3. Jumlah Penduduk Pulau Jawa ............................................................ 40

4.4. Keadaan Sosial Pulau Jawa ................................................................ 41

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 43

5.1. Analisis Ketimpangan......................................................................... 43

5.1.1. Indeks Williamson antarprovinsi di Pulau Jawa ..................... 43

5.1.2. Indeks Williamson antarkabupaten/kota di Pulau Jawa ........ 45

5.1.3. Indeks Theil ........................................................................... 46

5.1.4. Kriteria Bank Dunia ................................................................ 50

5.2. Tipologi Klassen ................................................................................. 52

5.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Provinsi ............................................ 52

5.2.2. Klasifikasi Berdasarkan Kabupaten/Kota ............................... 54

5.3. Hipotesis Kuznets ............................................................................... 59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 63

6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 63

6.2. Saran ................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65

LAMPIRAN ........................................................................................................ 68

   

Page 10: Skripsi Triana Rachmaningsih

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Share PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2008 .... 3

3.1. Daftar Variabel yang Digunakan dalam Penelitian ........................... 24

3.2. Klasifikasi menurut Tipologi Klassen ............................................... 31

4.1. Pembagian Administratif Pulau Jawa ............................................... 33

4.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa Tahun 2001- 2008 .......................................................................................... 34

4.3. PDRB per Kapita Pulau Jawa Menurut Provinsi Tahun 2001-2008 . 36

4.4. Laju Pertumbuhan PDRB Riil Pulau Jawa Berdasarkan Provinsi Tahun 2001-2008 .............................................................................. 37

4.5. Struktur Ekonomi Pulau Jawa Tahun 2001-2008 ............................. 38

4.6. Persentase Penduduk Miskin di Pulau Jawa Tahun 2001-2008 ........ 42

5.1. Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB Provinsi Tahun 2001-2008 .............................................................................. 43

5.2. Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB Kabupaten/Kota Tahun 2001-2008 ................................................... 45

5.3. Indeks Theil Jawa Tahun 2001-2008 ................................................ 47

5.4. Indeks Theil Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ................. 48

5.5. Ketimpangan dalam Provinsi Pulau Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008 .............................................................................. 49

5.6. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita Pulau Jawa Tahun 2001-2007 ......................................................................................... 51

5.7. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Tahun 2001-2008....................... 54

5.8. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ......................................................................................... 57

   

Page 11: Skripsi Triana Rachmaningsih

 

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. PDRB per Kapita menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2008 5

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................ 23

3.1. Kurva U Terbalik Kuznets ................................................................... 32

5.1. Tipologi Klassen Jawa Tahun 2001-2008 ............................................ 52

5.2. Tipologi Klassen Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ............ 53

5.3. Kurva Kuznets Jawa dengan Indeks Williamson Tahun 2001-2008 ... 60

5.4. Kurva Kuznets Jawa dengan Indeks Theil Tahun 2001-2008 ....................... 61

Page 12: Skripsi Triana Rachmaningsih

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa Tahun 2001-2008 ............................................................................................. 69

2. Jumlah Penduduk Pulau Jawa Tahun 2001-2008 ................................. 73

 

 

 

Page 13: Skripsi Triana Rachmaningsih

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan ekonomi harus mencerminkan perubahan

total suatu masyarakat secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman

kebutuhan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya

untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik. Oleh

karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi

menjadi sasaran utama. Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa

proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam

negeri. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama suatu periode tertentu tidak

terlepas dari perkembangan masing-masing sektor atau subsektor yang ikut

membentuk nilai tambah perekonomian suatu daerah.

Salah satu yang mempengaruhi pola pembangunan ekonomi di Indonesia

adalah karakteristik wilayahnya. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri

dari 17.508 pulau, 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.651 kecamatan, dan 77.126

desa adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh Indonesia, sehingga tidak

mengherankan jika pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Beberapa

daerah mencapai pertumbuhan yang cepat, sementara beberapa daerah mengalami

pertumbuhan yang lambat. Selanjutnya, perbedaan kemampuan untuk tumbuh ini

akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antardaerah.

Page 14: Skripsi Triana Rachmaningsih

2  

Masalah ketimpangan antardaerah ini menjadi perhatian utama di negara-

negara berkembang yang sedang memacu pembangunan ekonomi. Hal ini

disebabkan karena adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang

mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya

tingkat ketimpangan yang terjadi. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh

Kuznets dalam Todaro dan Smith (2006) bahwa pada tahap pembangunan yang

masih awal terdapat pertentangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Semakin

tinggi usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi, semakin memburuk pula

tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, antara pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan terjadi trade-off, dimana pertumbuhan ekonomi yang pesat

akan meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-

sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang

besar dalam waktu yang tidak panjang. Pemusatan pembangunan ini didapatkan

di Jawa terutama Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya

kepercayaan penuh terhadap trickle down effect dimana kemajuan pembangunan

akan menetes dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan

berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai

kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan

ekonomi dan sosial secara lebih merata (Todaro dan Smith, 2006). Akan tetapi,

efek cucuran ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Sebagai

hasilnya, pesatnya pembangunan ternyata masih meninggalkan dominasi pusat-

pusat pertumbuhan di Jawa atau Jakarta.

Page 15: Skripsi Triana Rachmaningsih

3  

Seringkali dalam pembicaraan mengenai ketimpangan antardaerah

mengacu pada persoalan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Sementara, sebenarnya di

Jawa maupun luar Jawa sendiri pun terdapat kemungkinan terjadinya ketimpangan

antardaerah. Akar ketimpangan di luar Jawa lebih bersumber pada potensi sumber

daya alam yang belum dimanfaatkan secara langsung untuk keperluan akumulasi

modal produksi. Sedangkan ketimpangan antardaerah di Pulau Jawa lebih

bersumber pada keterbatasan sumber daya, keterbatasan tanah dan sebagainya.

Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat perekonomian suatu

daerah adalah dengan melihat besarnya Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB). Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa Pulau Jawa memberikan kontribusi

terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dibandingkan pulau-

pulau yang lain. Sedangkan jika dilihat dari level provinsi, tiga provinsi

penyumbang terbesar PDB ada di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan

Jawa Barat.

Tabel 1.1. Share PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2008 (%) PULAU 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Sumatera 21,88 21,74 21,59 21,34 21,87 21,88 21,74 21,59Jawa 60,25 60,54 60,71 60,78 59,91 60,25 60,54 60,71Bali dan NT 2,71 2,70 2,68 2,72 2,73 2,71 2,70 2,68Kalimantan 9,04 8,85 8,82 8,72 9,16 9,04 8,85 8,82Sulawesi 4,45 4,50 4,59 4,69 4,38 4,45 4,50 4,59Maluku dan Papua 1,67 1,66 1,61 1,76 1,95 1,67 1,66 1,61Sumber: PDRB Provinsi 2001-2008, BPS (Diolah)

Menurut Chrisyanto (2006) terjadinya ketimpangan antardaerah di Pulau

Jawa disebabkan oleh tingginya pendapatan per kapita DKI Jakarta, sedangkan

terjadinya ketimpangan ekonomi antardaerah di luar Jawa disebabkan oleh

tingginya pendapatan per kapita di Kalimantan Timur. DKI Jakarta merupakan

Page 16: Skripsi Triana Rachmaningsih

4  

pusat pemerintahan dan perekonomian sehingga mempunyai peranan yang besar

terhadap pembangunan ekonomi Indonesia khususnya Pulau Jawa. Di satu sisi

perekonomian Pulau Jawa ditopang oleh DKI Jakarta, namun di sisi lain terdapat

17 kabupaten di Pulau Jawa yang pada RPJM Nasional 2005-2009 dinyatakan

sebagai daerah tertinggal. Adapun 17 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah

tertinggal oleh Kementrian negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT)

tersebut antara lain Sukabumi, Garut, Banjarnegara, Wonogiri, Rembang, Kulon

Progo, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek, Situbondo, Bondowoso, Madiun,

Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Pandeglang, dan Lebak.

Ketimpangan antara pusat dan daerah telah memacu lahirnya kebijakan

otonomi daerah yang efektif berjalan sejak 1 Januari 2001 sehingga paradigma

pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model pembangunan yang

sentralistik menjadi model pembangunan yang desentralistik. Dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang

direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, memberikan akses yang

lebih luas terhadap pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan pembangunan

yang sesuai dengan harapan masing-masing daerah. Pelaksanaan otonomi daerah

diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di

bawahnya untuk melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut

pajak, membentuk dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh

DPRD dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.

Page 17: Skripsi Triana Rachmaningsih

5  

1.2. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, ketimpangan

dalam pembanguan ekonomi tidak hanya terjadi antara Pulau Jawa dengan luar

Pulau Jawa, melainkan juga terjadi di dalam kawasan itu sendiri. Pulau Jawa yang

merupakan penyumbang PDB terbesar pun masih mempunyai ketimpangan antar

provinsi yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita

provinsi di Pulau Jawa.

Sumber: BPS (Diolah) Gambar 1.1. PDRB per Kapita menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2008

(Juta Rupiah)

28.15181

29.26970

30.51142

31.83221

33.32481

34.90116

36.73318

38.67123

5.54947

5.64198

5.75608

5.95696

6.23332

6.49454

6.79858

7.09169

3.73805

3.84257

4.01445

4.17266

4.47343

4.68258

4.91380

5.14278

4.47027

4.63804

4.78305

5.00895

5.05761

5.17472

5.32576

5.53811

5.90594

6.07987

6.31058

6.63972

7.06378

7.41272

7.80078

8.22008

5.81130

5.89424

5.77348

6.01180

6.43572

6.65033

6.90271

7.16514

.000 10.000 20.000 30.000 40.000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

BANTEN

JAWA TIMUR

DI YOGYAKARTA

JAWA TENGAH

JAWA BARAT

DKI JAKARTA

Page 18: Skripsi Triana Rachmaningsih

6  

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa PDRB per kapita provinsi-provinsi di

pulau Jawa mempunyai perbedaan yang signifikan. Nilai PDRB per kapita DKI

Jakarta jauh diatas rata-rata dibandingkan dengan provinsi lainnya. Tingginya

nilai PDRB per kapita DKI Jakarta mengindikasikan adanya ketimpangan

antarprovinsi di Jawa. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

oleh Bhakti (2004) yang mengatakan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan

basis ekonomi yang sangat kuat dan luas jangkauannya, terutama di sektor jasa,

sehingga mempunyai peran yang sangat penting dan strategis terhadap

perekonomian yang luas terutama terhadap terjadinya ketimpangan antardaerah di

Pulau Jawa.

Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan

sebagai berikut:

1) Seberapa besar tingkat ketimpangan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota di

Pulau Jawa.

2) Bagaimana klasifikasi provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa

berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya.

3) Bagaimana trend ketimpangan antardaerah di Pulau Jawa.

4) Bagaimana hubungan antara PDRB per kapita dengan indeks ketimpangan di

Jawa menurut teori Kuznets.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini

bertujuan untuk:

Page 19: Skripsi Triana Rachmaningsih

7  

1) Menganalisis tingkat ketimpangan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota di

Pulau Jawa.

2) Mengklasifikasikan provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan

tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya.

3) Menganalisis trend ketimpangan antardaerah di Pulau Jawa.

4) Menganalisis hubungan PDRB per kapita dengan indeks ketimpangan sesuai

dengan teori Kuznets.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1) Bagi penulis dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang

selama ini dimiliki.

2) Bagi pembaca dan pemerhati dapat memberikan informasi dan gambaran

mengenai kondisi ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa.

3) Bagi pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan bahan pertimbangan

dan masukan sebagai pengambil kebijakan dalam menyusun rencana-rencana

atau strategi pembangunan daerah dalam rangka mendorong pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.

4) Bagi peneliti dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (referensi) untuk

penelitian selanjutnya.

Page 20: Skripsi Triana Rachmaningsih

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang

diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu (Mankiw, 2007). 

Struktur PDRB dapat berbeda-beda tergantung dari sudut mana suatu

perekonomian ditinjau, antara lain (BPS, 2000):

a. PDRB menurut Lapangan Usaha

PDRB menurut lapangan usaha akan memberikan gambaran mengenai

peranan masing-masing sektor dalam menciptakan nilai tambah di daerah

tersebut. Untuk itu unit-unit produksi dikelompokkan menurut lapangan usaha

(sektor) kemudian disajikan nilai tambah bruto atas dasar harga pasar dari masing-

masing sektor tersebut.

PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam sembilan sektor.

1) Pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan

perikanan)

2) Pertambangan dan penggalian

3) Industri pengolahan

4) Listrik, gas, dan air minum

5) Konstruksi

6) Perdagangan, hotel dan restoran

Page 21: Skripsi Triana Rachmaningsih

9  

7) Pengangkutan dan komunikasi

8) Keuangan, persewaan bangunan dan jasa perusahaan

9) Jasa-jasa

Untuk tujuan penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan

dalam sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer terdiri atas pertanian dan

pertambangan, sektor sekunder terdiri atas industri pengolahan, listrik, dan

konstruksi, sedangkan sektor tersier terdiri dari perdagangan, pengangkutan,

keuangan, dan jasa-jasa.

b. PDRB menurut Andilnya Faktor Produksi

PDRB menurut andilnya faktor produksi dihitung menurut besarnya

balas jasa yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Balas jasa faktor

produksi tersebut adalah upah, pendapatan dari unit-unit produksi yang tidak

berbadan hukum, sewa tanah dan royalti, bunga, dan laba.

c. PDRB menurut Jenis Penggunaan Produk Akhir

Penyajian PDRB dalam bentuk ini menggambarkan bagaimana

penggunaan dari barang dan jasa akhir oleh berbagai kegiatan ekonomi. Dengan

kata lain, PDRB merupakan jumlah dari empat kelompok pengeluaran yaitu

konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto (Mankiw, 2007). Jika

dituliskan ke dalam suatu formula, dimana PDRB disimbolkan dengan Y, maka

Y = C + I + G + NX (2.1)

− Konsumsi (C) terdiri barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi

dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu barang tidak tahan lama, barang tahan

lama, dan jasa.

Page 22: Skripsi Triana Rachmaningsih

10  

− Investasi (I) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa

depan.

− Pembelian pemerintah (G) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah

pusat, negara bagian, dan daerah. Kelompok ini meliputi peralatan militer,

jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah.

− Ekspor neto (NX) memperhitungkan perdagangan dengan negara lain. Ekspor

neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai

barang dan jasa yang diimpor dari negara lain.

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menunjukkan pendapatan

yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai

tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun.

PDRB ADHB ini digunakan untuk melihat struktur ekonomi pada suatu tahun.

Perkembangan PDRB ADHB dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan

yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa

yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya. Oleh karenanya untuk

dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produktivitas

secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara

menghitung PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK).

Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam

perencanaan ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan maupun sektoral. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga

konstan apabila dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan barang modal

Page 23: Skripsi Triana Rachmaningsih

11  

yang dipakai dalam proses produksi, dapat memberikan gambaran tentang tingkat

produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan usaha tersebut.

PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa

diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi.

Nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan

jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk

mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut

disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

Menurut Jhingan (2010), kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak

menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat

akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan

tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang

miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka

atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu

untuk keperluan militer atau keperluan lain.

2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang

menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu

apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan

tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun

dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Page 24: Skripsi Triana Rachmaningsih

12  

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap

bangsa (Todaro dan Smith, 2006):

1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang

ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.

2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja.

3). Kemajuan teknologi.

Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi

dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan

karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula

pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan

tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat

(pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam

jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka

perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan

tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian,

salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah

tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk

(Sukirno, 2007).

2.1.3. Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktural sosial, sikap-sikap

Page 25: Skripsi Triana Rachmaningsih

13  

masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan

kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Jadi, pembangunan ekonomi dan

pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Suatu negara dikatakan

mengalami pertumbuhan ekonomi jika di negara tersebut terdapat lebih banyak

output dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya. Sedangkan suatu negara

dikatakan mengalami adanya pembangunan jika mengalami pertumbuhan

sekaligus juga terdapat perubahan dalam kelembagaan, pengetahuan, dan

pengurangan ketidakmerataan pendapatan. Jadi, pertumbuhan ekonomi adalah

bagian dari pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi adalah salah

satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi.

2.1.4. Teori Ketimpangan

Menurut Kuncoro (2003), ketimpangan mengacu pada standar hidup

relatif dari seluruh masyarakat. Ketimpangan antardaerah disebabkan karena

adanya perbedaan faktor anugerah awal. Perbedaan inilah yang menyebabkan

kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan di berbagai

wilayah berbeda-beda. Terjadinya ketimpangan antardaerah ini membawa

implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah yang pada

akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan. Karena itu, aspek ketimpangan

pembangunan antardaerah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi

kebijakan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Page 26: Skripsi Triana Rachmaningsih

14  

Menurut Emilia dan Imelia (2006), faktor-faktor penyebab ketimpangan

pembangunan ekonomi antara lain:

a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah; ekonomi dari daerah dengan

konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan dengan daerah yang

tingkat konsentrasi ekonomi rendah

b. Alokasi investasi; rendahnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan

ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut

rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

c. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah; kurang lancarnya

mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antar propinsi

merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional.

d. Perbedaan sumber daya alam antarwilayah; pembangunan ekonomi di daerah

yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih

makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam.

e. Perbedaan kondisi demografis antarwilayah; jumlah populasi yang besar

dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja

tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah; tidak lancarnya arus barang dan

jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi

suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran.

Perbedaaan kemajuan antardaerah berarti tidak samanya kemampuan

untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets

menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dengan

Page 27: Skripsi Triana Rachmaningsih

15  

mengemukakan hipotesis “Kurva U Terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui

kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara

pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi

maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti

dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.

Proses trade off ini, terjadi di negara sedang berkembang, dimana pada

saat proses pembangunan dilaksanakan, ketimpangan semakin meningkat. Hal ini

disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara

sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada pada

umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah

lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu

memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan saran serta

rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan

oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya

ketimpangan pembangunan antardaerah cenderung meningkat karena

pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih

baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan

(Sjafrizal, 2008).

2.1.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu

LIPI (2000) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Ketimpangan

Jawa dan Luar Jawa” menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji tentang

perkembangan penduduk, tenaga kerja, struktur ekonomi, keterbukaan ekonomi

Page 28: Skripsi Triana Rachmaningsih

16  

wilayah, investasi, dan pola pertumbuhan di Jawa dan Luar Jawa. Hasil penelitian

menyebutkan bahwa proporsi penduduk miskin, pendapatan per kapita, dan

tingkat keterbukaan ekonomi di Jawa lebih tinggi dibanding luar Jawa. Struktur

ekonomi luar Jawa didominasi oleh sektor primer, sedangkan di Jawa sektor

sekunder dan tersier yang lebih menonjol. Di bidang investasi, sebelum krisis

tahun 1998, luar Jawa lebih diminati oleh PMDN, sedangkan Jawa lebih diminati

oleh PMA.

Bhinadi (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Disparitas

Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Analisis yang digunakan adalah

analisis regresi data panel. Dengan PDRB migas riil, didapatkan bahwa nilai

efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih rendah daripada luar Jawa.

Sedangkan dengan PDRB non migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau

produktifitas faktor total Jawa lebih tinggi daripada luar Jawa.

Sutarno dan Kuncoro (2003) melakukan penelitan dengan mengambil

judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan: Kasus

Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan Tipologi

Daerah, Indeks Williamson, Indeks Entropy Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi

pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode pengamatan 1993-

2000, terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik di analisis dengan

Indeks Williamson maupun dengan Indeks Entropy Theil. Berdasarkan tipologi

daerah, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi

empat kelompok daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tapi

tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah yang relatif tertinggal. Dalam

Page 29: Skripsi Triana Rachmaningsih

17  

penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets berlaku di Kabupaten

Banyumas. Sedangkan berdasarkan perhitungan analisis korelasi Pearson antara

pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson dan Indeks Entropy Theil,

didapatkan bahwa ada korelasi yang kurang kuat.

Bhakti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Kesenjangan

Antardaerah Di Pulau Jawa Ditinjau Dari Perspektif Sektoral Dan Regional”. Alat

analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson dan Theil Inequality. Hasil

penelitian mengatakan bahwa tahun 1983-2001 masih terjadi kesenjangan

antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami trend kesenjangan antardaerah yang

relatif menaik. Kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi

sektor industri yang mampu mendorong terciptanya peran pada sektor jasa di

Pulau Jawa (derived demand). Secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa

telah terjadi transformasi stuktural. Kesenjangan antardaerah pasca pemekaran

wilayah di Pulau Jawa cenderung naik.

Khusaini (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Disparitas

Antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Provinsi Banten”. Dalam penelitiannya menggunakan Indeks

Williamson untuk mengukur ketimpangan dan model regresi persamaan tunggal

untuk mengetahui dampak kesenjangan dan variabel lain terhadap pertumbuhan

regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Indeks Williamson

ketimpangan tertinggi di Kota Cilegon pada tahun 2003, dan yang terendah di

Kota Tangerang pada tahun 2002. Sedangkan hasil estimasi menunjukkan variabel

aglomerasi dan kapital berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional.

Page 30: Skripsi Triana Rachmaningsih

18  

Sedangkan variabel tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi regional.

Caska dan Riadi (2005) melakukan penelitian yang berjudul

“Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di

Provinsi Riau”. Analisis data yang digunakan antara lain analisis Tipologi

Klassen, Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, dan kurva U terbalik. Selama

periode pengamatan 2003-2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang

tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson. Sedangkan menurut

Indeks entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang

berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama

periode pengamatan. Sebagai akibatnya hipotesis Kuznets tentang kurva U

terbalik tidak terbukti di Provinsi Riau.

Wijayanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Pertumbuhan

Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah Di Kabupaten Semarang (Tahun

1999-2003)”, menggunakan teknik perhitungan LQ, shift share dan Indeks

Williamson. Hasil penelitian mengatakan bahwa sektor unggulan di Semarang

yaitu sektor industri, sektor listrik, gas, dan air, sektor lembaga keuangan dan

persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Dengan perhitungan Indeks

Williamson dengan dan tanpa mengikutkan sektor industri dapat diketahui bahwa

sektor industri merupakan faktor penyebab terjadinya ketimpangan.

Chrisyanto (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Perekonomian Antar Daerah Di

Indonesia”. Untuk menganalisis ketimpangan digunakan Indeks Williamson dan

Page 31: Skripsi Triana Rachmaningsih

19  

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan digunakan

analisis regresi linier berganda. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terjadinya

ketimpangan ekonomi antardaerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per

kapita DKI Jakarta yang menyebabkan ketimpangan di Pulau Jawa dan tingginya

pendapatan perkapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan ketimpangan di

luar Jawa.

Saskara (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan

Pembangunan Ekonomi Antar Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali’,

menggunakan koefisien disparitas yang sudah dimodifikasi oleh Setyarini (1999).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karangasem merupakan kabupaten yang

memiliki kesenjangan yang paling lebar. Sedangkan kabupaten Badung dan Kota

Denpasar memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan berada di atas

pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.

Hartono (2008) dengan penelitiannya yang berjudul “Analisis

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah”, menggunakan

alat analisis Indeks Williamson dan analisis regresi linier sederhana. Hasil

penelitian ini menyimpulkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi di

Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan Indeks Williamson dalam kurun waktu

1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Berdasarkan analisis

regresi linier, diketahui bahwa variabel investasi swasta per kapita dan rasio

angkatan kerja berpengaruh negatif terhadap ketimpangan. Sedangkan alokasi

dana pembangunan per kapita berpengaruh positif terhadap ketimpangan.

Page 32: Skripsi Triana Rachmaningsih

20  

Prasetyo (2008) melakukan penelitian dengan judul “Ketimpangan dan

Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kawasan Barat

Indonesia”. Beberapa alat analisis yang digunakan antara lain Indeks Williamson,

Tipologi Klassen, analisis location quotient, dan analisis regresi data panel.

Ketimpangan ekonomi di wilayah KBI dari tahun 1995-2007 cukup besar.

Ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 tepat pada saat awal-awal mulai

diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kesiapan

masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dengan model fixed

effect ditemukan bahwa infrastruktur panjang jalan, listrik, dan air bersih

mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan

per kapita.

Priyanto (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Ketimpangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Provinsi Banten”, menggunakan alat analisis berupa Indeks Williamson, Tipologi

Klassen, analisis regresi data panel. Berdasarkan Indeks Williamson diketahui

bahwa pada tahun 2001-2008 di Provinsi Banten terjadi ketimpangan antar

kabupaten/kota yang meningkat. Sedangkan menurut tipologi klassen hanya Kota

Tangerang dan Kota Cilegon yang termasuk daerah maju dan cepat tumbuh. Hasil

analisis regresi menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh

nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun angka melek huruf tidak

signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.

Bhakti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Ketimpangan

Pendapatan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama

Page 33: Skripsi Triana Rachmaningsih

21  

Desentralisasi” menggunakan Tipologi Klassen, Indeks Williamson, dan Indeks

Theil dalam analisisnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan

selama desentralisasi relatif meningkat. Hal ini diduga lebih terkait dengan adanya

pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten

induknya, ketimpangannya tidak meningkat.

Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-

faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional

antar Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat” menggunakan Indeks Williamson,

Indeks Entropi Theil, dan Tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami fluktuasi dan menunjukkan arah

negatif jika dibandingkan pada awal penelitian. Menurut tipologi klassen, pada

umumnya kabupaten/kota di Jawa Barat termasuk klasifikasi daerah relatif

tertinggal. Sedangkan menurut Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil

ketimpangan antarkabupaten/kota meningkat.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud

menganalisis ketimpangan antardaerah di Jawa selama kurun waktu 2001-2008.

Dalam analisis ini dilakukan penghitungan sampai dengan level kabupaten/kota.

Untuk mengukur ketimpangan antardaerah digunakan alat analisis Indeks

Williamson dan Indeks Theil, dimana dalam analisis ini dibedakan antara Pulau

Jawa secara keseluruhan dengan Pulau Jawa tanpa DKI Jakarta. Penelitian ini

menggunakan kriteria bank dunia untuk menganalisis ketimpangan pendapatan

masyarakat sebagai pendukung terhadap ketimpangan antardaerah. Tipologi

Klassen digunakan untuk mengklasifikasi daerah berdasarkan laju pertumbuhan

Page 34: Skripsi Triana Rachmaningsih

22  

ekonomi dan PDRB per kapita. Dalam penelitian ini juga akan dianalisis

hubungan antara indeks ketimpangan dengan PDRB per kapita apakah sesuai

dengan teori kurva U terbalik Kuznets atau tidak. Data yang digunakan antara

lain data PDRB, jumlah penduduk, dan data pendukung lainnya.

2.2. Kerangka Pemikiran

Salah satu penyebab ketimpangan antardaerah adalah adanya perbedaan

potensi dan sumber daya dari masing-masing daerah. Beberapa studi mengatakan

bahwa terpusatnya pembangunan nasional di Jawa, khususnya di DKI Jakarta

sebagai ibukota negara, juga menjadi penyebab terjadinya ketimpangan di Jawa.

Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana

diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan

lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di suatu daerah yang

kuat potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menganalisis seberapa besar

ketimpangan pembangunan antardaerah di Jawa itu terjadi.

Penelitian ini menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Theil untuk

mengukur ketimpangan antarprovinsi maupun antarkabupaten/kota di Jawa.

Sebagai pendukung, penelitian ini juga menggunakan kriteria bank dunia untuk

menganalisis ketimpangan pendapatan masyarakat. Selanjutnya, dari hasil

perhitungan ketimpangan, akan dianalisis trend ketimpangan yang terjadi di Pulau

Jawa. Tipologi klassen digunakan untuk memberikan gambaran klasifikasi daerah

di Jawa berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Dalam

penelitian ini juga akan dianalisis hubungan antara PDRB per kapita dengan

Page 35: Skripsi Triana Rachmaningsih

23  

indeks ketimpangan Jawa sesuai dengan hipotesis Kuznets mengenai kurva U

terbalik. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi

kebijakan bagi pemerintah dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi disertai

dengan pemerataan (growth with equity).

Untuk memudahkan dalam mencermati alur pemikiran mengenai

penelitian ini, maka alur kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar

2.1.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

K etim pangan pem bangunan antardaerah di Pulau Jaw a

• Pem bangunan nasional terpusat di Jaw a, khususnya Jakarta.• A da perbedaan potensi daerah, term asuk antar daerah di Jaw a.• M ekanism e trickle dow n effect lam bat.• B erdasarkan studi sebelum nya, diduga terjadi ketim pangan

pendapatan antar daerah di Jaw a.

• M endeskripsikan gam baran kondisi ekonom i di Pulau Jaw a.• M engukur dan m enganalisis tingkat ketim pangan pendapatan di

Pulau Jaw a.• M em berikan gam baran klasifikasi ketim pangan di Pulau Jaw a.• M enganalisis trend ketim pangan di Pulau Jaw a.

Indeks W illiam son

Tipologi K lassen

R ekom endasi kebijakan peningkatan pertum buhan ekonom i disertai pem erataan (grow th w ith equity)

Indeks Theil

Page 36: Skripsi Triana Rachmaningsih

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000,

data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung

lainnya. Data yang digunakan ini berupa data deret waktu (series) dari tahun

2001-2008. Penjelasan lebih lengkap mengenai variabel yang digunakan dalam

penelitian ini ada dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Daftar Variabel yang Digunakan dalam Penelitian

No. Variabel Satuan Sumber

1. PDRB atas dasar harga berlaku Rupiah BPS

2. PDRB atas dasar harga konstan Rupiah BPS

3. Jumlah penduduk Jiwa BPS

4. Persentase penduduk miskin Persen BPS

5. Pengeluaran konsumsi rumah tangga Rupiah BPS

3.2. Metode Analisis

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan

mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan

pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Oleh karena itu, analisis

deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu bentuk

Page 37: Skripsi Triana Rachmaningsih

25  

analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar

sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen

atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk

analisis untuk menjadikan data mudah dikelola.

Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu

gambaran secara umum mengenai kondisi dari Pulau Jawa dilihat dari kondisi

geografis, penduduk, ekonomi, maupun sosial. Variabel-variabel pembangunan

ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat

pertumbuhan ekonomi.

Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan

menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK).

Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi

(Sukirno, 2007):

GPDRB1-PDRB0

PDRB0 100% (3.1)

dimana:

G = Laju pertumbuhan ekonomi

PDRB1 = PDRB pada suatu tahun

PDRB0 = PDRB pada tahun sebelumnya

PDRB juga dapat digunakan dalam melihat struktur ekonomi dari suatu

wilayah. Struktur ekonomi digunakan untuk menunjukkan peran sektor-sektor

ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan mempunyai

kedudukan paling atas dalam struktur tersebut dan akan menjadi ciri khas dari

suatu perekonomian. Struktur ekonomi merupakan rasio antara PDRB suatu

Page 38: Skripsi Triana Rachmaningsih

26  

sektor ekonomi pada suatu tahun dengan total PDRB tahun yang sama. Struktur

ekonomi dinyatakan dalam persentase. Penghitungan struktur ekonomi adalah

sebagai berikut:

Struktur EkonomiPDRB sektor itTotal PDRBt

100% (3.2)

3.2.2. Analisis Ketimpangan

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa suatu daerah memiliki

ketimpangan yang tinggi jika terdapat banyak orang miskin. Akan tetapi, ada juga

masyarakat yang berpendapat bahwa suatu daerah mengalami ketimpangan yang

tinggi jika ada sekelompok orang kaya di tengah-tengah masyarakat yang

umumnya masih miskin. Pendapat masyarakat tersebut lebih cenderung mengarah

ke distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antarkelompok masyarakat.

Sedangkan untuk ketimpangan pembangunan antardaerah lebih melihat ke

perbedaan antardaerah. Berikut ini adalah beberapa ukuran ketimpangan yang

digunakan dalam penelitian ini:

1) Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan koefisien variasi tertimbang yang dibuat

oleh Williamson pada tahun 1965. Indeks Williamson sangat sensitif untuk

mengukur perbedaan daerah dan mencermati trend kesenjangan yang terjadi.

Formula Indeks Williamson dapat ditulis sebagai berikut (Williamson dalam

Akita and Kataoka, 2003):

Page 39: Skripsi Triana Rachmaningsih

27  

1 1

2

antardaerah (between inequality) dan kesenjangan dalam suatu daerah (within

(3.3)

dimana:

V = Indeks Williamson

= PDRB per kapita di provinsi i

= PDRB per kapita rata-rata Jawa

Pi = Jumlah penduduk provinsi i

P = Jumlah penduduk Jawa

Apabila angka indeks ketimpangan Williamson semakin mendekati nol,

maka menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil dan bila angka indeks

menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan ketimpangan yang makin

melebar. Matolla dalam Puspandika (2007) menetapkan sebuah kriteria yang

digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan ada pada ketimpangan taraf

rendah, sedang, atau tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:

a. Ketimpangan taraf rendah, jika IW < 0,35

b. Ketimpangan taraf sedang, jika 0,35 ≤ IW ≤ 0,5

c. Ketimpangan taraf tinggi, jika IW > 0,5

2) Indeks Theil

Indeks theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam

menghitung dan menganalisis distribusi pendapatan regional. Karakter utama

indeks ini adalah kemampuannya untuk melihat terjadinya kesenjangan

Page 40: Skripsi Triana Rachmaningsih

28  

inequality) itu sendiri. Nilainya berkisar antara nol sampai dengan tak berhingga,

di mana nol menyatakan bahwa distribusi PDRB merata sempurna

antarkabupaten/kota, sedangkan apabila menjauhi nol artinya distribusi PDRB

tidak merata antarkabupaten/kota di suatu wilayah.

Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:

a. Sifatn terpengaruh oleh nilai-

erhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai

pok dan

a yang digunakan dalam penelitian ini

adalah

ya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak

nilai ekstrim.

b. Independen t

pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda.

c. Dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antarkelom

intrakelompok daerah secara simultan.

Adapun kelompok kabupaten/kot

provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Formula indeks theil dituliskan sebagai

berikut (Tadjoeddin, 2003):

ln (3.4)

(3.5)

(3.6)

(3.7)

dimana:

Page 41: Skripsi Triana Rachmaningsih

29  

T = Indeks Theil

Tw = Ketimpangan dalam provinsi

i

bupaten provinsi i

Y

provinsi i

3) riteria Bank Dunia

erataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi

pendapatan nasional yang

duk berpendapatan terendah

TB = Ketimpangan antarprovinsi

Yij = PDRB kabupaten j, provinsi

Y = Total PDRB Jawa ( ∑ ∑ )

= PDRB per kapita ka j,

= PDRB per kapita Jawa

i = PDRB provinsi i

= PDRB per kapita

K

Kriteria ketidakm

dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40%

penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta

20% penduduk berpendapatan tinggi. Adapun kategori ketimpangan ditentukan

dengan menggunakan kriteria sebagai berikut (Emilia dan Imelia, 2006):

a. Ketimpangan tinggi, apabila 40% penduduk berpendapatan terendah

menerima kurang dari 12% bagian pendapatan.

b. Ketimpangan sedang, apabila 40% penduduk berpendapatan terendah

menerima antara 12-17% bagian pendapatan.

c. Ketimpangan rendah, apabila 40% pendu

menerima lebih dari 17% bagian pendapatan.

Page 42: Skripsi Triana Rachmaningsih

30  

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat

memberikan gambaran tingkat pendapatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat

pendapatan maka porsi pengeluaran juga semakin tinggi. Asumsi ini menjadi

acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Sehingga,

dalam analisis ini besarnya tingkat pendapatan dilakukan pendekatan dengan

besarnya pengeluaran rumah tangga.

3.2.3. Tipologi Klassen

Alat analisis tipologi klassen digunakan untuk mengetahui gambaran

tentang pola dan klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu

pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata

pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita

sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat

klasifikasi, yaitu:

1) Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah

yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih

tinggi dibanding rata-rata Provinsi di Jawa

2) Daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), daerah yang

memiliki PDRB per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan

ekonominya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi di Jawa.

3) Daerah berkembang cepat (high growth but low income), adalah daerah yang

memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat PDRB per kapita lebih

rendah dibanding rata-rata Provinsi di Jawa.

Page 43: Skripsi Triana Rachmaningsih

31  

4) Daerah relatif tertinggal (low growth dan low income), adalah daerah yang

memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih

rendah dibandingkan dengan rata-rata provinsi di Jawa.

Tabel 3.2. Klasifikasi menurut Tipologi Klassen

Kuadran III

Daerah berkembang cepat

Kuadran I

Daerah cepat maju dan cepat tumbuh

Kuadran IV

Daerah relatif tertinggal

Kuadran II

Daerah maju tetapi tertekan

Sumber: Prasetyo, 2008

Keterangan:

Rij adalah laju pertumbuhan PDRB ADHK tiap provinsi di Jawa.

panjang. Dalam jangka pendek ada korelasi positif antara pertumbuhan

adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK Jawa.

Yij adalah PDRB per kapita tiap provinsi di Jawa.

adalah rata-rata PDRB per kapita Jawa.

3.2.4. Teori Kurva U Terbalik Kuznets

Teori pertumbuhan ekonomi Kuznets mengemukakan bahwa pada tahap-

tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan memburuk atau

ketimpangan membesar, namun pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan

menurun (Todaro dan Smith, 2006). Konsep inilah yang secara luas dikenal

dengan konsep kurva U terbalik seperti yang terlihat pada Gambar 3.1. Perlu

ditekankan bahwa sumbangan Kuznets ini berlaku untuk pola perubahan jangka

Page 44: Skripsi Triana Rachmaningsih

32  

Sumber: Todaro dan Smith, 2006 Gambar 3.1. Kurva U Terbalik Kuznets

ngan

pendapatan perkapita dengan ketimpangan pendapatan, namun dalam jangka

panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka

pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya ketimpangan

pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti

dengan penurunan ketimpangan pendapatan.

Inde

ks k

etim

pa

PDRB per kapita

Page 45: Skripsi Triana Rachmaningsih

BAB IV

GAMBARAN UMUM PULAU JAWA

4.1. Keadaan Geografis dan Administratif Pulau Jawa

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 tanggal

31 Januari 2008, luas daerah Pulau Jawa adalah 129.438,28 km2 atau sebesar

6,77% dari total luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009). Sebagai bagian dari

negara maritim, Pulau Jawa dikelilingi oleh perairan, baik samudera, laut maupun

selat. Pulau Jawa di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah selatan

berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Selat

Sunda, dan di sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali.

Secara administratif, sampai dengan tanggal 21 Juli 2008 dan

berdasarkan UU No. 33/2008 Departemen Dalam Negeri, Pulau Jawa terbagi ke

dalam beberapa provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa seperti yang

tertera pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Pembagian Administratif Pulau Jawa

Provinsi Daerah Tingkat II Kec Desa/Kelurahan Kab Kota Total

DKI Jakarta 1 5 6 44 267 Jawa Barat 17 9 26 602 5.871 Jawa Tengah 29 6 35 568 8.574 DIY 4 1 5 78 438 Jawa Timur 29 9 38 657 8.505 Banten 4 3 7 152 1.504 Total 84 33 117 2.101 25.159

Sumber: Statistik Indonesia 2009

Page 46: Skripsi Triana Rachmaningsih

34  

Selama kurun waktu penelitian yaitu tahun 2001-2008 terdapat dua

kabupaten yang mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Serang. Kabupaten Bandung pecah menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Bandung Barat pada tahun 2007. Sedangkan Kabupaten Serang pecah menjadi

Kabupaten Serang dan Kota Serang pada akhir tahun 2007. Oleh karena itu, dalam

analisis ini kabupaten/kota bentukan baru yakni Kabupaten Bandung Barat dan

Kota Serang digabung dengan kabupaten induknya. Sehingga jumlah

kabupaten/kota yang dianalisis dalam penelitian ini ada sebanyak 115

kabupaten/kota.

4.2. Keragaan Perekonomian Pulau Jawa

4.2.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam

melihat kondisi perekonomian suatu daerah di Pulau Jawa. Total PDRB Jawa

terus meningkat dari tahun 2001 sampai 2008 (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa Tahun 2001-2008 (Trilyun Rupiah)

PROVINSI 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 238,66 250,33 263,62 278,52 295,27 312,83 332,97 353,69 Jawa Barat 202,13 209,73 219,53 230,00 242,88 257,50 274,18 290,18 Jawa Tengah 118,82 123,04 129,17 135,79 143,05 150,68 159,11 167,79 DIY 14,06 14,69 15,36 16,15 16,91 17,54 18,29 19,21 Jawa Timur 210,45 218,45 228,88 242,23 256,37 271,25 287,81 304,92 Banten 47,50 49,45 51,96 54,88 58,11 61,34 65,05 68,80 TOTAL 831,60 865,69 908,52 957,57 1.012,60 1.071,14 1.137,41 1.204,60

Sumber: PDRB BPS

Provinsi DKI Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan

keuangan memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Jawa yaitu

Page 47: Skripsi Triana Rachmaningsih

35  

dengan rata-rata PDRB sebesar 290,74 trilyun rupiah atau dengan kontribusi rata-

rata sebesar 29,09%. Sedangkan penyumbang terkecil bagi pembentukan PDRB

Jawa adalah Provinsi DI Yogyakarta dengan rata-rata PDRB sebesar 16,52 trilyun

rupiah atau dengan rata-rata kontribusi sebesar 1,66%.

Jika dilihat dari tingkat PDRB kabupaten/kota di Jawa pada Lampiran 1,

kabupaten/kota yang memiliki PDRB tertinggi adalah Kota Jakarta Pusat. Rata-

rata kontribusi PDRB Kota Jakarta Pusat terhadap pembentukan PDRB Provinsi

DKI Jakarta adalah sebesar 25,87%. Hal ini disebabkan karena Kota Jakarta Pusat

adalah jantung perekonomian Indonesia. Setelah Kota Jakarta Pusat,

kabupaten/kota yang memiliki PDRB tertinggi di Pulau Jawa adalah Kota

Surabaya yaitu dengan rata-rata sebesar 59,07 trilyun rupiah. Hal ini sesuai

dengan sebutan Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta.

Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai PDRB terendah adalah Kota Blitar

yaitu dengan rata-rata PDRB dari tahun 2001-2008 sebesar 564,68 milyar rupiah.

Kontribusi rata-rata Kota Blitar bagi pembentukan PDRB provinsi adalah sebesar

0,23% sebagaimana jumlah penduduk Kota Blitar merupakan terkecil nomor tiga

di Jawa setelah Kepulauan Seribu dan Kota Mojokerto.

4.2.2. PDRB per Kapita

PDRB per kapita menunjukkan kemampuan nyata dari suatu wilayah

dalam menghasilkan barang/jasa dan kemakmuran yang diperoleh setiap

penduduk (per kapita) atas hasil itu. Meskipun PDRB per kapita tidak mampu

mencerminkan tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di

Page 48: Skripsi Triana Rachmaningsih

36  

suatu wilayah, namun PDRB per kapita tetap merupakan indikator yang cukup

penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah

dilaksanakan di wilayah tersebut.

Tabel 4.3. PDRB per Kapita Pulau Jawa Menurut Provinsi Tahun 2001-2008 (Juta Rupiah)

PROVINSI 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 28,15 29,27 30,51 31,83 33,32 34,90 36,73 38,67Jawa Barat 5,55 5,64 5,76 5,96 6,23 6,49 6,80 7,09Jawa Tengah 3,74 3,84 4,01 4,17 4,47 4,68 4,91 5,14DIY 4,47 4,64 4,78 5,01 5,06 5,17 5,33 5,54Jawa Timur 5,91 6,08 6,31 6,64 7,06 7,41 7,80 8,22Banten 5,81 5,89 5,77 6,01 6,44 6,65 6,90 7,17JAWA 6,73 6,91 7,13 7,44 7,88 8,24 8,65 9,07

Sumber: BPS (Diolah)

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa selama periode pengamatan Provinsi DKI

Jakarta mempunyai PDRB per kapita di atas PDRB per kapita Pulau Jawa, bahkan

jauh melampaui PDRB per kapita provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa. Gambaran

ini menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat konsentrasi

perekonomian yang paling tinggi di antara provinsi lain di Jawa. Kondisi ini

disebabkan karena kontribusi PDRB di sektor jasa yang cukup signifikan.

Sedangkan PDRB per kapita terendah ditunjukkan oleh Provinsi Jawa Tengah

dibandingkan dengan PDRB per kapita Jawa maupun dengan PDRB per kapita

provinsi-provinsi lain di Jawa.

4.2.3. Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa sebagai salah satu indikator

keberhasilan pembangunan yang dihitung berdasarkan Persamaan 3.1 mengalami

fluktuasi (Tabel 4.4). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Jawa relatif

Page 49: Skripsi Triana Rachmaningsih

37  

meningkat dari tahun 2001-2008. Hanya saja pada tahun 2006 dan 2008, laju

pertumbuhan Jawa melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Lambatnya laju

pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 dipengaruhi oleh adanya kenaikan bahan

bakar minyak pada tahun 2005. Sedangkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi

pada tahun 2008, diduga karena dampak dari krisis keuangan global.

Tabel 4.4. Laju Pertumbuhan PDRB Riil Pulau Jawa Berdasarkan Provinsi Tahun 2001-2008

Sumber: PDRB BPS (diolah)

NO. PROVINSI 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 RATA-RATA1 DKI JAKARTA 4,74 4,89 5,31 5,65 6,01 5,95 6,44 6,22 5,652 JAWA BARAT 3,16 3,76 4,67 4,77 5,60 6,02 6,48 5,84 5,043 JAWA TENGAH 3,59 3,55 4,98 5,13 5,35 5,33 5,59 5,46 4,874 DI YOGYAKARTA 4,26 4,50 4,58 5,12 4,73 3,70 4,31 5,02 4,535 JAWA TIMUR 3,76 3,80 4,78 5,83 5,84 5,80 6,11 5,94 5,236 BANTEN 3,95 4,11 5,07 5,63 5,88 5,57 6,04 5,77 5,25

RATA-RATA JAWA 3,91 4,10 4,90 5,35 5,57 5,39 5,83 5,71 5,10

Apabila dilihat dari provinsi, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi

tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena adanya

peningkatan sektor komunikasi yang memiliki laju pertumbuhan tinggi tiap

tahunnya yaitu dengan rata-rata 13,71%. Sedangkan provinsi yang memiliki laju

pertumbuhan ekonomi terendah adalah Provinsi DI Yogyakarta yaitu dengan rata-

rata 4,53%.

4.2.4. Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi dapat dilihat dari peran atau kontribusi dari masing-

masing sektor ekonomi. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor

menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam

suatu negara. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan

Page 50: Skripsi Triana Rachmaningsih

38  

basis perekonomian sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu

daerah. Namun, sektor yang mempunyai kontribusi kecil tidak bisa diabaikan,

sebab bisa jadi di masa mendatang sektor tersebut berkembang dan menjadi sektor

unggulan di daerah tersebut. Tabel 4.5 di bawah ini menunjukkan struktur

ekonomi yang terdiri dari sembilan sektor, dan untuk penyederhanaan sembilan

sektor tersebut dikelompokkan menjadi sektor primer, sekunder, dan tersier.

Tabel 4.5. Struktur Ekonomi Pulau Jawa Tahun 2001-2008 (%)

LAPANGAN USAHA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sektor Primer 14,57 13,99 13,10 12,92 12,54 12,49 12,51 12,12 1. Pertanian 12,81 12,49 11,64 11,44 10,98 10,96 11,07 10,67 2. Pertambangan dan

Penggalian 1,75 1,50 1,46 1,47 1,56 1,52 1,44 1,44

Sektor Sekunder 37,71 37,70 37,87 37,67 38,74 38,90 38,42 38,19 3. Industri Pengolahan 30,68 30,50 30,52 29,97 31,07 31,12 30,63 30,30 4. Listrik, Gas, dan Air

Bersih 1,50 1,75 1,94 2,08 1,97 1,94 1,92 1,87

5. Konstruksi 5,53 5,46 5,41 5,62 5,70 5,84 5,87 6,02Sektor Tersier 47,73 48,31 49,03 49,41 48,71 48,61 49,07 49,69 6. Perdagangan, Hotel,

dan Restoran 20,88 20,94 21,12 21,33 21,49 21,58 22,07 22,29

7. Pengangkutan dan Komunikasi

5,34 5,84 6,16 6,27 6,51 6,86 6,96 7,04

8. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

12,20 12,17 12,01 11,90 11,26 10,74 10,58 10,77

9. Jasa-Jasa 9,30 9,36 9,74 9,92 9,46 9,43 9,46 9,59TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: BPS (diolah)

Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa selama periode penelitian peranan

sektor primer terhadap pendapatan Jawa berkurang dan peran ini berpindah ke

sektor sekunder dan tersier. Tingginya peranan sektor primer khususnya pertanian

pada tahap-tahap awal pembangunan, disebabkan karena usaha-usaha di sektor

primer sebagian besar dikerjakan dengan skala-skala kecil atau usaha rakyat dan

Page 51: Skripsi Triana Rachmaningsih

39  

teknologinya belum berkembang seperti sekarang. Pada saat teknologi masih

terbatas, pilihan usaha di sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat karena

umumnya sektor pertanian dalam pengelolaannya dapat dengan teknologi yang

sederhana dan modal yang relatif kecil.

Berdasarkan komposisi nilai PDRB, dapat diketahui bahwa sektor yang

memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDRB Jawa adalah sektor

industri pengolahan. Meskipun kontribusi industri pengolahan mengalami

penurunan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008, namun secara absolut

PDRB industri pengolahan terus mengalami peningkatan. Tingginya peran sektor

industri pengolahan ini, didukung oleh beberapa sub-sektor yang menjadi

unggulan dari masing-masing daerah dalam meningkatkan nilai tambah.

Provinsi yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB

pada sektor industri pengolahan adalah Provinsi Jawa Barat. Tingginya kontribusi

industri pengolahan di Jawa Barat ini, sangat didukung oleh keberadaan sub-

sektor industri migas dan industri bukan migas. Di sub-sektor non migas, sebagai

penyumbang terbesar bagi industri pengolahan, Jawa Barat sangat didukung oleh

tingginya nilai tambah yang diberikan oleh industri tekstil, industri kimia, industri

kendaraan bermotor, serta industri makanan dan minuman. Sedangkan di sub-

sektor industri migas, kontribusi terbesar berasal dari Kabupaten Indramayu,

dimana di kabupaten ini terdapat satu unit kilang pengolahan minyak yaitu

Pertamina UP-VI Balongan dan satu unit kilang pengolahan dan pemurnian gas

yaitu Kilang LPG Mundu. Produksi unggulan dari kedua unit pengolahan minyak

dan gas bumi tersebut adalah Super TT, Premix dan LPG.

Page 52: Skripsi Triana Rachmaningsih

40  

Sektor kedua yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan

PDRB Jawa adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Barang diproduksi,

diperjualbelikan, dan didistribusikan. Dengan kata lain, dampak dari produksi

barang adalah adanya perdagangan. Hal ini dialami oleh Jawa, dimana kontribusi

PDRB di sektor perdagangan, hotel, dan restoran terus mengalami peningkatan

dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008. Semakin meningkatnya kontribusi di

sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di sub

sektor perdagangan besar dan eceran.

Provinsi yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB

Pulau Jawa untuk sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah Provinsi Jawa

Timur. Tingginya kontribusi PDRB Provinsi Jawa Timur didukung oleh Kota

Surabaya sebagai pusat aktivitas bisnis dan perdagangan. Kota Surabaya

merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dimana keberadaan kawasan

Pelabuhan Tanjung Perak merupakan sarana pendukung utama bagi  transaksi 

perdagangan dan sekaligus tempat bongkar muat barang antarnegara dan

antarpulau.

4.3. Jumlah Penduduk Pulau Jawa

Jumlah penduduk Pulau Jawa dari tahun 2001 sampai dengan 2008

mengalami peningkatan. Berdasarkan data proyeksi penduduk BPS, jumlah

penduduk Pulau Jawa tahun 2008 sebesar 58,14% dari total penduduk Indonesia

dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,01%.

Page 53: Skripsi Triana Rachmaningsih

41  

Dilihat dari data provinsi, pada tahun 2008 Provinsi Jawa Barat

merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Jawa dan Indonesia

yaitu sebesar 17,91% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi dengan jumlah penduduk

terkecil di Pulau Jawa yaitu sebesar 1,52% dari total penduduk di Indonesia.

Selanjutnya jika dilihat dari data kabupaten/kota pada tahun 2008,

Kabupaten Bogor adalah kabupaten yang jumlah penduduknya terbesar di Jawa

dan Indonesia yaitu sebesar 4.029.263 jiwa atau sebesar 1,76% dari total jumlah

penduduk di Indonesia. Sedangkan Kepulauan Seribu merupakan kabupaten

dengan jumlah penduduk terkecil di Pulau Jawa yaitu sebesar 19.423 jiwa atau

sebesar 0,01% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, data

jumlah penduduk dapat dilihat pada Lampiran 2.

Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Provinsi DKI Jakarta

merupakan provinsi yang paling padat dibandingkan provinsi-provinsi lain di

Indonesia. Pada tahun 2008, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 12.355

jiwa/km2. Sebaliknya, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan kepadatan

penduduk paling rendah yaitu sebesar 794 jiwa/km2.

4.4. Keadaan Sosial Pulau Jawa

Kemiskinan dan ketimpangan merupakan dua masalah dalam konteks

pembangunan setiap bangsa. Pengentasan kemiskinan sebagai upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan tidak dengan sendirinya mengatasi ketimpangan.

Begitupula sebaliknya, kemerataan kesejahteraan tidak senantiasa serta merta

Page 54: Skripsi Triana Rachmaningsih

42  

mengentaskan semua orang dari kemiskinan. Masalah kemiskinan muncul karena

ada sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai

peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai kehidupan yang layak

(Prayitno, 1996).

Tabel 4.6. Persentase Penduduk Miskin di Pulau Jawa Tahun 2001-2008

Provinsi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 3,14 3,42 3,42 3,18 3,61 4,57 4,61 4,29Jawa Barat 15,34 13,38 12,9 12,1 13,06 14,49 13,55 13,01Jawa Tengah 22,07 23,06 21,78 21,11 20,49 22,19 20,43 19,23DI Yogyakarta 24,53 20,14 19,86 19,14 18,95 19,15 18,99 18,32Jawa Timur 21,64 21,91 20,93 20,08 19,95 21,09 19,98 18,51Banten 17,24 9,22 9,56 8,58 8,86 9,79 9,07 8,15

Sumber: Statistik Indonesia, BPS

Pada tahun 2008, Pulau Jawa adalah penyumbang terbesar penduduk

miskin di Indonesia yaitu sebesar 19.975.900 jiwa atau sebesar 57,13% dari total

penduduk miskin di Indonesia. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa selama tahun 2001-

2008, persentase penduduk miskin setiap provinsi di Jawa mengalami penurunan,

kecuali DKI Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lapangan

pekerjaan yang tersedia di wilayah DKI Jakarta dimana tingkat partisipasi

angkatan kerjanya sebesar 68,68%.

 

Page 55: Skripsi Triana Rachmaningsih

  

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Ketimpangan

Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per

kapita Provinsi DKI Jakarta sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya

di Jawa. Hal tersebut mengindikasikan adanya ketimpangan antarprovinsi di Jawa.

Oleh karena itu, dalam analisis ini peneliti juga melakukan perhitungan

ketimpangan dengan tidak memasukkan Provinsi DKI Jakarta.

5.1.1. Indeks Williamson antarprovinsi di Pulau Jawa

Ketimpangan pembangunan antarprovinsi di Pulau Jawa pada tahun

2001-2008 dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Data yang

digunakan adalah data PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut

provinsi di Jawa. Hasil pengolahan data yang didapatkan dengan menggunakan

Indeks Williamson seperti pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB Provinsi Tahun 2001-2008

TAHUN IW IW tanpa DKI Jakarta 2001 0,7027 0,1799 2002 0,7088 0,1796 2003 0,7142 0,1725 2004 0,7152 0,1755 2005 0,7136 0,1746 2006 0,7156 0,1770 2007 0,7183 0,1796 2008 0,7212 0,1826

RATA-RATA 0,7137 0,1776 Sumber: Data diolah

Page 56: Skripsi Triana Rachmaningsih

44  

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaaan

ketimpangan yang cukup besar dengan mengeluarkan DKI Jakarta. Pada tahun

2001-2008, rata-rata ketimpangan di Jawa sebesar 0,7137, dan termasuk kategori

kesenjangan taraf tinggi. Sedangkan apabila DKI Jakarta dikeluarkan rata-rata

ketimpangannya hanya sebesar 0,1776 dan termasuk kategori kesenjangan taraf

rendah. Dengan kata lain, Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu penyebab

terjadinya ketimpangan di Jawa. Sebagai contoh adanya ketimpangan yang sangat

besar antara Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai PDRB per kapita sebesar

32,92 juta rupiah dengan Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai PDRB per

kapita sebesar 4,37 juta rupiah.

Trend ketimpangan pembangunan antarprovinsi di Jawa selama periode

pengamatan mengalami fluktuasi baik dengan menganalisis Jawa secara

keseluruhan maupun tanpa DKI Jakarta. Akan tetapi jika dilihat secara

keseluruhan dari tahun 2001-2008, ketimpangan di Jawa cenderung mengalami

peningkatan. Peningkatan ketimpangan ini salah satunya diakibatkan karena

konsentrasi aktivitas ekonomi pada suatu provinsi. Disamping itu pada tahun

2008, tingginya ketimpangan antarprovinsi disebabkan adanya krisis keuangan

global yang melanda dunia sepanjang 2008. Dampak krisis ini memicu persaingan

antarprovinsi untuk memperebutkan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas

baik yang disebabkan karena penurunan pendapatan maupun yang disebabkan

karena penurunan investasi swasta di daerah.

Page 57: Skripsi Triana Rachmaningsih

45  

5.1.2. Indeks Williamson antarkabupaten/kota di Pulau Jawa

Pada penelitian ini juga akan dilakukan analisis terhadap ketimpangan

pembangunan antarkabupaten/kota di Jawa. Dalam penghitungan indeks

ketimpangan Williamson antarkabupaten/kota, digunakan data Produk Domestik

Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 dari 115 kabupaten/kota di Jawa.

Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB Kabupaten/Kota Tahun 2001-2008

TAHUN IW IW TANPA DKI JAKARTA 2001 1,1968 0,9201 2002 1,2080 0,9020 2003 1,2383 0,9018 2004 1,2526 0,9099 2005 1,2653 0,9060 2006 1,2793 0,9126 2007 1,2912 0,9117 2008 1,3029 0,9137

RATA-RATA 1,2543 0,9097 Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 5.2, nilai rata-rata Indeks Williamson di Jawa di atas

satu yaitu 1,2543. Hal ini menunjukkan ketimpangan antarkabupaten/kota di Jawa

sangat tinggi. Sedangkan jika Provinsi DKI Jakarta dikeluarkan, nilai Indeks

Williamsonnya masih tinggi meskipun di bawah satu yaitu 0,9097. Dengan kata

lain, kabupaten/kota di DKI Jakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap

ketimpangan kabupaten/kota di Jawa.

Trend ketimpangan pembangunan antarkabupaten/kota di Jawa semakin

tinggi dari tahun 2001-2008. Hal ini disebabkan karena tiap tahunnya DKI Jakarta

memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap ketimpangan Jawa sebagai

akibat semakin berkembangnya pusat-pusat industri sekunder dan tersier

meninggalkan daerah yang masih mengandalkan industri primer.

Page 58: Skripsi Triana Rachmaningsih

46  

Akan tetapi jika kabupaten/kota di DKI Jakarta dikeluarkan dari analisis,

maka trend ketimpangan Jawa cenderung menurun. Tahun 2001 merupakan tahun

mulai diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah. Daerah yang

mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat

berkembang dibandingkan daerah lainnya. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah

ketimpangan antardaerah meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan

kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada

tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya

masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era

otonomi daerah. Sehingga selanjutnya ketimpangan berangsur-angsur turun,

sampai pada tahun 2008, nilai Indeks Williamson di Jawa tanpa DKI Jakarta

sebesar 0,9097.

Ketimpangan antarkabupaten/kota di Jawa lebih besar jika dibandingkan

dengan ketimpangan antarprovinsi di Jawa. Hal ini disebabkan dalam analisis

ketimpangan antarkabupaten/kota dengan Indeks Williamson tidak

dipertimbangkan pengelompokkan kabupaten/kotanya, sehingga nilai

ketimpangan antarkabupaten/kota sangat dipengaruhi oleh nilai ekstrim PDRB per

kapita suatu kabupaten/kota di Jawa tersebut.

5.1.3. Indeks Theil

Alat ukur kedua yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan adalah

dengan menggunakan Indeks Theil. Salah satu kelebihan dari Indeks Theil adalah

bisa melihat ketimpangan antarkelompok dan dalam kelompok yang ditentukan.

Page 59: Skripsi Triana Rachmaningsih

47  

Dalam analisis ini, digunakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000 menurut

kabupaten/kota di Jawa. 115 kabupaten/kota di Jawa dikelompokkan ke dalam 6

provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa

Timur, dan Banten. Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan menggunakan

Indeks Theil.

Tabel 5.3. Indeks Theil Jawa Tahun 2001-2008

Tahun Antarprovinsi Dalam provinsi Total Theil % Theil % Theil %

2001 0,24656 53,42 0,21498 46,58 0,46155 100 2002 0,24812 53,79 0,21314 46,21 0,46126 100 2003 0,25216 54,00 0,21482 46,00 0,46698 100 2004 0,25294 53,86 0,21667 46,14 0,46961 100 2005 0,25165 53,99 0,21444 46,01 0,46609 100 2006 0,25450 54,07 0,21618 45,93 0,47068 100 2007 0,25701 54,45 0,21501 45,55 0,47202 100 2008 0,25891 54,53 0,21593 45,47 0,47484 100

RATA-RATA 0,25273 54,01 0,21515 45,99 0,46788 100 Sumber: Data diolah

Dari Tabel 5.3 menunjukkan bahwa ketimpangan antarprovinsi dan

ketimpangan dalam provinsi memberikan kontribusi yang hampir sama terhadap

ketimpangan total di Jawa. Ketimpangan antarprovinsi menyumbang sekitar

54,01% dari total ketimpangan Jawa, sedangkan sisanya merupakan kontribusi

dari ketimpangan dalam provinsi. Hal ini berarti pola ketimpangan di Jawa

menyebar lebih merata baik dari level ketimpangan antarkabupaten/kota maupun

ketimpangan antarprovinsi.

Sama halnya pada analisis Indeks Williamson, selanjutnya dalam analisis

Indeks Theil ini Provinsi DKI Jakarta juga akan dikeluarkan. Jika DKI Jakarta

tidak dimasukkan ke dalam analisis, ketimpangan total Pulau Jawa didominasi

Page 60: Skripsi Triana Rachmaningsih

48  

oleh ketimpangan dalam provinsi yaitu dengan rata-rata sebesar 93,6% seperti

yang ditunjukkan oleh Tabel 5.4 di bawah ini.

Tabel 5.4. Indeks Theil Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008

Tahun Antarprovinsi Dalam Provinsi Total Theil % Theil % Theil %

2001 0,01869 6,87 0,25321 93,13 0,27190 100 2002 0,01777 6,64 0,24997 93,36 0,26774 100 2003 0,01625 6,07 0,25148 93,93 0,26773 100 2004 0,01694 6,25 0,25415 93,75 0,27109 100 2005 0,01637 6,12 0,25132 93,88 0,26769 100 2006 0,01676 6,20 0,25339 93,80 0,27015 100 2007 0,01769 6,58 0,25111 93,42 0,26880 100 2008 0,01810 6,71 0,25153 93,29 0,26963 100

RATA-RATA 0,01732 6,43 0,25202 93,57 0,26934 100 Sumber: Data diolah

Tingginya kontribusi ketimpangan dalam provinsi terhadap ketimpangan

total disebabkan karena masing-masing provinsi terdapat kabupaten/kota yang

memiliki PDRB per kapita sangat tinggi sebagai akibat dari adanya kekhususan

karakteristik ekonomi serta menjadikan kabupaten/kota tersebut sebagai daerah

kantong yang mempunyai peran sangat vital dalam memperparah ketimpangan

pendapatan antarkabupaten/kota. Dengan kata lain, masing-masing provinsi

memiliki sektor yang diunggulkan, sehingga ketimpangan antarprovinsi di Jawa

relatif lebih kecil. Adapun kontribusi ketimpangan dalam provinsi dari masing-

masing provinsi ditunjukkan oleh Tabel 5.5.

Page 61: Skripsi Triana Rachmaningsih

49  

Tabel 5.5. Ketimpangan dalam Provinsi Pulau Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008

Provinsi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Jawa Barat 0,0577 0,0578 0,0583 0,0584 0,0568 0,0571 0,0568 0,0572Jawa Tengah 0,0399 0,0413 0,0417 0,0427 0,0426 0,0422 0,0411 0,0409DIY 0,0018 0,0018 0,0019 0,0019 0,0017 0,0016 0,0016 0,0016Jawa Timur 0,1335 0,1282 0,1275 0,1286 0,1269 0,1285 0,1279 0,1278Banten 0,0203 0,0209 0,0220 0,0225 0,0234 0,0240 0,0238 0,0240Dalam Provinsi 0,2532 0,2500 0,2515 0,2542 0,2513 0,2534 0,2511 0,2515Sumber: Data diolah

Pada Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa provinsi yang memberikan

kontribusi terbesar bagi ketimpangan dalam provinsi adalah Provinsi Jawa Timur.

Menurut Tadjoeddin (2003), hal ini disebabkan oleh kekhususan karakteristik

ekonomi Kota Kediri sebagai sentra industri besar seperti industri rokok PT.

Gudang Garam, industri semen PT. Semen Gresik, industri pupuk PT. Petrokimia

Gresik, serta industri sarung PT. Behaestex dengan merk dagang Atlas, Rubat,

dan Marjan. Dilihat dari PDRB per kapita Kota Kediri sebesar 69,96 juta rupiah,

jauh lebih besar dibandingkan rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Timur

yang sebesar 6,22 juta rupiah.

Provinsi yang memberikan kontribusi terbesar nomor dua bagi

ketimpangan dalam provinsi setelah Jawa Timur adalah Provinsi Jawa Barat. Hal

ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan kabupaten/kota yang memiliki

karakteristik ekonomi yang unggul seperti Kabupaten Bekasi dan Kota Cirebon.

Kabupaten Bekasi merupakan daerah kantong industri pengolahan. Sedangkan

Kota Cirebon unggul di sektor industri pengolahan dan perdagangan termasuk

juga hotel dan restoran.

Page 62: Skripsi Triana Rachmaningsih

50  

Selanjutnya, penyumbang terbesar ketiga bagi ketimpangan dalam

provinsi di Jawa adalah Jawa Tengah. Menurut Tadjoeddin (2003), Provinsi Jawa

Tengah didukung oleh keberadaan Kabupaten Kudus yang memberikan kontribusi

yang tinggi terhadap ketimpangan di Jawa Tengah. Penyumbang utama PDRB

Kabupaten Kudus adalah sektor industri yang didominasi oleh industri rokok.

Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2001 juga memiliki

ketimpangan dalam provinsi. Kota Tangerang adalah daerah yang memberikan

kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Banten. Sedangkan

Kota Cilegon merupakan kota yang memiliki PDRB per kapita paling besar di

Banten, dimana sektor yang berpotensi adalah sektor industri pengolahan

diantaranya dengan keberadaan PT. Krakatau Steel.

Terakhir, Provinsi DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan

penyumbang ketimpangan dalam provinsi yang sangat kecil. Ini mengandung arti

pembangunan di DIY lebih merata jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi

lain di Jawa. Begitupula jika dilihat secara series dari tahun 2001-2008,

ketimpangan dalam Provinsi DI Yogyakarta cenderung stabil bahkan relatif

menurun jika dibandingkan antara tahun awal dan tahun akhir penelitian.

5.1.4. Kriteria Bank Dunia

Ketimpangan distribusi pendapatan diukur dengan menghitung

persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok 40% penduduk yang

berpendapatan terendah dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk.

Sebagaimana yang dilakukan oleh BPS, variabel pengeluaran konsumsi rumah

Page 63: Skripsi Triana Rachmaningsih

51  

tangga digunakan sebagai pendekatan terhadap pendapatan masyarakat. Berikut

ini adalah porsi pendapatan masyarakat yang didekati dengan tingkat pengeluaran

konsumsi rumah tangga.

Tabel 5.6. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita Pulau Jawa Tahun 2001-2007 (%)

Tahun 40% Penduduk Berpengeluaran

rendah

40% Penduduk Berpengeluaran

Sedang

20% Penduduk Berpengeluaran

Tinggi 2001 20,00190 37,49605 42,50205 2002 18,05354 35,38579 46,56066 2003 19,41120 37,34079 43,24801 2004 18,73033 36,80724 44,46243 2005 16,76788 34,40304 48,82909 2006 18,14440 36,03126 45,82434 2007 18,42372 37,09321 44,48307

Sumber: Susenas BPS (Diolah)

Pada Tabel 5.6 terlihat bahwa 20% penduduk yang berpendapatan tinggi

menggunakan porsi pendapatan Pulau Jawa yang besar. Sedangkan 40%

penduduk yang berpengeluaran rendah hanya menggunakan porsi pendapatan

Pulau Jawa jauh lebih sedikit. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam

distribusi pendapatan di Pulau Jawa. Akan tetapi, berdasarkan kategori

ketimpangan pendapatan seperti yang disebutkan di atas, ketimpangan pendapatan

di Pulau Jawa masih dikatakan rendah, kecuali pada tahun 2005 yang sudah

dikategorikan ketimpangan sedang. Kenaikan biaya produksi akibat kenaikan

harga BBM sejak tahun 2005 dan inflasi yang terjadi berdampak pada rendahnya

daya beli masyarakat dan pengeluaran investasi sehingga membuat iklim usaha

yang kurang menguntungkan terutama bagi usaha kecil dan rumahtangga, petani,

dan sektor informal. Turunnya pendapatan relatif bagi kelompok masyarakat

berpendapatan rendah (40% terendah) dan tingginya pendapatan relatif bagi

Page 64: Skripsi Triana Rachmaningsih

52  

masyarakat berpendapatan tinggi (20% tertinggi) membuat ketimpangan distribusi

meningkat khususnya pada tahun 2005.

5.2. Tipologi Klassen

5.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Provinsi

Klasifikasi daerah dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu

pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto per kapita daerah,

dengan alat analisis Tipologi Klassen. Sumbu horizontalnya (sumbu-x) adalah

rata-rata produk domestik regional bruto per kapita, sedangkan sumbu vertikalnya

(sumbu-y) adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi.

4.500

4.700

4.900

5.100

5.300

5.500

5.700

5.900

.0 10.0 20.0 30.0 40.0

Pertum

buha

n Ekon

omi

PDRB per Kapita

Tipologi Klassen Jawa

DKI JAKARTA

JAWA BARAT

JAWA TENGAH

DI YOGYAKARTA

JAWA TIMUR

BANTEN

RATA2

Kuadran I

Kuadran II

KuadranIII

KuadranIV

Gambar 5.1. Tipologi Klassen Jawa Tahun 2001-2008

Dari Gambar 5.1 di atas terlihat klasifikasi daerah di Jawa dibagi

menjadi tiga yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh, daerah berkembang

cepat, dan daerah relatif tertinggal. Satu-satunya provinsi yang diklasifikasikan ke

dalam daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah Provinsi DKI

Page 65: Skripsi Triana Rachmaningsih

53  

Jakarta. Hal ini dikarenakan rata-rata PDRB per kapita dan laju pertumbuhan

ekonomi DKI Jakarta lebih besar dibandingkan rata-rata Jawa yaitu sebesar

33,04 juta rupiah untuk PDRB per kapita DKI Jakarta dan sebesar 5,65% untuk

rata-rata laju pertumbuhan DKI Jakarta dari tahun 2001-2008. Sedangkan Provinsi

Jawa Timur dan Banten dikategorikan sebagai daerah berkembang cepat (Kuadran

III). Untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta

dikategorikan sebagai daerah relatif tertinggal (Kuadran IV), sebab ketiga provinsi

tersebut memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih

rendah dibandingkan dengan rata-rata provinsi di Jawa.

Selanjutnya, dalam analisis ini juga akan dibuat klasifikasi antardaerah di

Jawa tanpa mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta. Gambar 5.2 menunjukkan

bahwa Pulau Jawa tanpa DKI Jakarta diklasifikasikan menjadi tiga daerah yaitu

daerah cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tetapi tertekan, dan daerah

relatif tertinggal.

4.5

4.6

4.7

4.8

4.9

5

5.1

5.2

5.3

5.4

5.5

4.0 5.0 6.0 7.0 8.0

Pertum

buha

n Ekon

omi

PDRB per Kapita

Tipologi Klassen Jawa Tanpa DKI Jakarta

JAWA BARAT

JAWA TENGAH

DI YOGYAKARTA

JAWA TIMUR

BANTEN

RATA2

Gambar 5.2. Tipologi Klassen Jawa Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008

Page 66: Skripsi Triana Rachmaningsih

54  

Yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah

Provinsi Banten dan Jawa Timur. Sedangkan yang termasuk daerah maju tetapi

tertekan (Kuadran II) adalah Provinsi Jawa Barat. Dan yang termasuk daerah

relatif tertinggal adalah Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Hal ini

menunjukkan bahwa PDRB per kapita dan tingkat pertumbuhan di Jawa Tengah

dan DI Yogyakarta di bawah rata-rata Pulau Jawa.

5.2.2. Klasifikasi Berdasarkan Kabupaten/kota

Dalam analisis ini akan diklasifikasikan kabupaten/kota dengan

menggunakan tipologi klassen. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan

bahwa empat klasifikasi kabupaten/kota yaitu daerah cepat maju dan cepat

tumbuh, daerah maju tetapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif

tertinggal. Berikut ini adalah hasil analisis tipologi klassen yang disajikan dalam

Tabel 5.7.

Tabel 5.7. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Tahun 2001-2008 Kuadran I. Kabupaten/kota cepat maju dan cepat tumbuh 1. Kota Jakarta Selatan 2. Kota Jakarta Timur 3. Kota Jakarta Pusat 4. Kota Jakarta Barat 5. Kota Jakarta Utara

6. Bekasi 7. Kota Bandung 8. Cilacap 9. Gresik

10. Kota Mojokerto 11. Kota Surabaya 12. Kota Tangerang 13. Kota Cilegon

Kuadran II. Kabupaten/kota maju tetapi tertekan 1. Kep. Seribu 2. Indramayu 3. Kota Cirebon 4. Kota Cimahi

5. Kudus 6. Kota Semarang 7. Kota Yogyakarta

8. Sidoarjo 9. Kota Kediri 10. Kota Malang

   

Page 67: Skripsi Triana Rachmaningsih

55  

Kuadran III. Kabupaten/kota berkembang cepat 1. Bogor 2. Bandung 3. Subang 4. Karawang 5. Kota Bogor 6. Kota Sukabumi

7. Kota Bekasi 8. Kota Depok 9. Karanganyar 10. Kota Surakarta 11. Kota Tegal 12. Banyuwangi

13. Bojonegoro 14. Tuban 15. Kota Blitar 16. Kota Batu 17. Tangerang

Kuadran IV. Kabupaten/kota relatif tertinggal 1. Sukabumi 2. Cianjur 3. Garut 4. Tasikmalaya 5. Ciamis 6. Kuningan 7. Cirebon 8. Majalengka 9. Sumedang 10. Purwakarta 11. Kota Tasikmalaya 12. Kota Banjar 13. Banyumas 14. Purbalingga 15. Banjarnegar 16. Kebumen 17. Purworejo 18. Wonosobo 19. Magelang 20. Boyolali 21. Klaten 22. Sukoharjo 23. Wonogiri 24. Sragen 25. Grobogan

26. Blora 27. Rembang 28. Pati 29. Jepara 30. Demak 31. Semarang 32. Temanggung 33. Kendal 34. Batang 35. Pekalongan 36. Pemalang 37. Tegal 38. Brebes 39. Kota Magelang 40. Kota Salatiga 41. Kota Pekalongan 42. Kulon Progo 43. Bantul 44. Gunung Kidul 45. Sleman 46. Pacitan 47. Ponorogo 48. Trenggalek 49. Tulungagung 50. Blitar

51. Kediri 52. Malang 53. Lumajang 54. Jember 55. Bondowoso 56. Situbondo 57. Probolinggo 58. Pasuruan 59. Mojokerto 60. Jombang 61. Nganjuk 62. Madiun 63. Magetan 64. Ngawi 65. Lamongan 66. Bangkalan 67. Sampang 68. Pamekasan 69. Sumenep 70. Kota Probolinggo 71. Kota Pasuruan 72. Kota Madiun 73. Pandeglang 74. Lebak 75. Serang

Sumber: Data diolah

Pada Tabel 5.7 terlihat bahwa yang termasuk dalam Kuadran I atau

klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebagian besar adalah kota-kota

besar di Jawa termasuk seluruh kota di DKI Jakarta. Lebih tingginya pertumbuhan

ekonomi kota-kota di DKI Jakarta daripada pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa

Page 68: Skripsi Triana Rachmaningsih

56  

dikarenakan kuatnya sektor jasa dalam perekonomian daerah. Sedangkan Bekasi,

Kota Tangerang, dan Kota Cilegon yang berada di sekitar DKI Jakarta merupakan

pusat penyangga industri sehingga wilayah ini menjadi daerah penyedia lapangan

kerja yang cukup besar bagi penduduknya sendiri maupun bagi penduduk kota

Jakarta.

Kepulauan Seribu yang merupakan satu-satunya kabupaten di DKI

Jakarta termasuk dalam klasifikasi daerah maju tetapi tertekan. Kabupaten ini

memiliki keunggulan dengan minyak dan gas bumi. Akan tetapi meskipun

kontribusi PDRB di sektor minyak dan gas buminya besar terhadap Jawa,

pertumbuhan ekonominya masih dibawah rata-rata Pulau Jawa.

Pada Kuadran III, terdapat beberapa kota yang berada di sekitar DKI

Jakarta, antara lain Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan

Kabupaten Tangerang. Hal ini merupakan pencerminan bahwa wilayah di sekitar

DKI Jakarta atau yang sering dikenal dengan Bodetabek merupakan daerah

penyangga yang memiliki fungsi sebagai penyedia sarana pemukiman, penyerap

tenaga kerja maupun sebagai pemasok kebutuhan kota Jakarta. Tiap-tiap wilayah

di sekitar DKI Jakarta memiliki karakteristik dan keunggulan di bidang tertentu.

Wilayah Bogor memiliki keunggulan dibidang sarana pemukiman dan pariwisata.

Wilayah Depok memiliki keunggulan dalam sektor perdagangan. Sedangkan

wilayah Tangerang dan Bekasi memiliki keunggulan sebagai penyedia lahan yang

luas untuk industri.

Pada Kuadran IV, menunjukkan bahwa kabupaten/kota di Jawa sebagian

besar termasuk ke dalam klasifikasi daerah relatif tertinggal yaitu sebesar 75

Page 69: Skripsi Triana Rachmaningsih

57  

kabupaten/kota atau sebesar 65,2% dari total kabupaten/kota di Jawa. Banyaknya

kabupaten/kota yang masuk kategori daerah relatif tertinggal ini disebabkan

karena adanya ketimpangan yang sangat jauh dengan kota-kota di DKI Jakarta

tanpa ada pengelompokkan provinsi, sehingga 75 kabupaten/kota tersebut relatif

tertinggal dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain.

Diantara 75 kabupaten/kota tersebut, terdapat 17 kabupaten yang

dinyatakan sebagai daerah tertinggal oleh Kementrian negara Pembangunan

Daerah Tertinggal (KPDT) pada RPJMN 2005-2009. Penentuan 17 kabupaten

tertinggal tersebut berdasarkan enam kriteria utama, yaitu perekonomian

masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur (prasarana), kemampuan

keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah.

Tabel 5.8. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001-2008

Kuadran I. Kabupaten/kota cepat maju dan cepat tumbuh 1. Bogor 2. Karawang 3. Bekasi 4. Kota Bandung 5. Kota Bekasi

6. Cilacap 7. Kota Surakarta 8. Tulungagung 9. Gresik 10. Kota Malang

11. Kota Mojokerto 12. Kota Surabaya 13. Kota Tangerang 14. Kota Cilegon

Kuadran II. Kabupaten/kota maju tetapi tertekan 1. Indramayu 2. Purwakarta 3. Kota Cirebon 4. Kota Cimahi 5. Kudus

6. Kota Magelang 7. Kota Semarang 8. Kota Pekalongan 9. Kota Yogyakarta

10. Sidoarjo 11. Kota Kediri 12. Kota Probolinggo

Kuadran III. Kabupaten/kota berkembang cepat 1. Bandung 2. Subang 3. Kota Bogor 4. Kota Sukabumi 5. Kota Depok 6. Karanganyar

7. Tegal 8. Kota Tegal 9. Banyuwangi 10. Pasuruan 11. Jombang

12. Bojonegoro 13. Tuban 14. Kota Blitar 15. Kota Batu 16. Tangerang

   

Page 70: Skripsi Triana Rachmaningsih

58  

Kuadran IV. Kabupaten/kota relatif tertinggal 1. Sukabumi 2. Cianjur 3. Garut 4. Tasikmalaya 5. Ciamis 6. Kuningan 7. Cirebon 8. Majalengka 9. Sumedang 10. Kota Tasikmalaya 11. Kota Banjar 12. Banyumas 13. Purbalingga 14. Banjarnegara 15. Kebumen 16. Purworejo 17. Wonosobo 18. Magelang 19. Boyolali 20. Klaten 21. Sukoharjo 22. Wonogiri 23. Sragen

24. Grobogan 25. Blora 26. Rembang 27. Pati 28. Jepara 29. Demak 30. Semarang 31. Temanggung 32. Kendal 33. Batang 34. Pekalongan 35. Pemalang 36. Brebes 37. Kota Salatiga 38. Kulon Progo 39. Bantul 40. Gunung Kidul 41. Sleman 42. Pacitan 43. Ponorogo 44. Trenggalek 45. Blitar 46. Kediri

47. Malang 48. Lumajang 49. Jember 50. Bondowoso 51. Situbondo 52. Probolinggo 53. Mojokerto 54. Nganjuk 55. Madiun 56. Magetan 57. Ngawi 58. Lamongan 59. Bangkalan 60. Sampang 61. Pamekasan 62. Sumenep 63. Kota Pasuruan 64. Kota Madiun 65. Pandeglang 66. Lebak 67. Serang

Sumber: Data diolah

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa jika DKI Jakarta tidak dimasukkan dalam

analisis, beberapa kabupaten/kota di sekitar DKI Jakarta mengalami pergeseran

menuju klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I), diantaranya

yaitu Bogor, Karawang, dan Kota Bekasi. Kota Malang yang pada awalnya masuk

klasifikasi daerah maju tetapi tertekan, namun setelah DKI Jakarta dikeluarkan

dari analisis, Kota Malang masuk ke daerah cepat maju dan cepat tumbuh.

Pada klasifikasi kabupaten/kota maju tetapi tertekan (Kuadran II), terlihat

beberapa kabupaten/kota yang pada awalnya masuk klasifikasi kabupaten/kota

relatif tertinggal, pada saat DKI Jakarta dikeluarkan dari analisis bergeser menuju

klasifikasi kabupaten/kota maju tetapi tertekan. Beberapa kabupaten/kota tersebut

Page 71: Skripsi Triana Rachmaningsih

59  

diantaranya Purwakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan, dan Kota

Probolinggo.

Beberapa kabupaten/kota yang mengalami pergeseran dari klasifikasi

kabupaten/kota relatif tertinggal (Kuadran IV) menjadi kabupaten/kota

berkembang cepat (Kuadran III) antara lain Tegal, Pasuruan, dan Jombang.

Terakhir, yang termasuk sebagai kabupaten/kota relatif tertinggal berkurang dari

75 kabupaten/kota menjadi 67 kabupaten/kota. Akan tetapi, 17 kabupaten yang

ditetapkan sebagai daerah tertinggal oleh KPDT tidak mengalami pergeseran ke

kuadran diatasnya. Sebanyak 67 kabupaten/kota yang diklasifikasikan sebagai

kabupaten/kota relatif tertinggal ini menunjukkan bahwa meskipun DKI Jakarta

telah dikeluarkan dari analisis, masih terdapat ketimpangan yang besar

antarkabupaten/kota di Jawa.

5.3. Hipotesis Kuznets

Teori Kurva U Terbalik dari Kuznets dapat dibuktikan dengan

membuat grafik antara PDRB per kapita dengan tingkat ketimpangan antardaerah.

Gambar 5.3a merupakan kurva hubungan antara Indeks Williamson sebagai

sumbu vertikal dengan PDRB per kapita sebagai sumbu horizontal di Pulau Jawa.

Berdasarkan gambar tersebut didapatkan bahwa hipotesis Kuznets yang

menggambarkan hubungan antara indeks ketimpangan dengan PDRB per kapita

yang berbentuk U terbalik tidak berlaku di Pulau Jawa.

Page 72: Skripsi Triana Rachmaningsih

60  

Gambar 5

P

hipotesis

ketimpang

pembangu

tahap beri

pada pene

ketimpang

ekonomi

meningkat

sekunder d

dampak d

kata lain, h

(a)

.3. Kurva K

Pada Gamb

Kuznets

gan pemban

unan cende

ikutnya ada

elitian ini, t

gan menuru

dari tahun

t terus. H

dan tersier

dari kenaika

hipotesis Ku

Kuznets Jaw

bar 5.3a di

berlaku ya

ngunan men

rung menu

alah pertum

ahun 2004

un. Kemud

2006 samp

Hal ini dise

dan mening

an BBM, be

uznets tenta

0,167

0,169

0,171

0,173

0,175

0,177

5,00

Indeks Williamson

Kurvaa Kuznets Jawa Tanp

wa dengan In

i atas terlih

aitu pada

ningkat dan

urun. Selanj

mbuhan den

ketimpanga

dian seiring

pai dengan

ebabkan se

ggalkan sek

encana alam

ang Kurva U

ndeks Willia

hat bahwa

tahap aw

n pada taha

jutnya sesu

ngan diserta

an kembali

g dengan m

n tahun 200

emakin ber

ktor primer.

m dan krisi

U Terbalik t

(b)

amson

pada tiga

wal pertumb

ap berikutny

uai hipotesi

ai pemerata

meningkat

meningkatny

08 ketimpa

rkembangny

. Selain itu

s keuangan

tidak berlak

5,50 6,00

PDRB per

Tahun 2001-20

pa DKI Jakarta

008

0 6,50

a tahun per

buhan eko

ya ketimpa

is Kuznets

aan. Akan t

dan tahun

ya pertumb

angan cende

ya sektor-s

juga diseba

n global. De

ku di Jawa.

r Kapita

7,00

rtama

onomi

angan

pada

tetapi

2005

buhan

erung

sektor

abkan

engan

Page 73: Skripsi Triana Rachmaningsih

61  

Ji

tinggi laju

pada titik

yang pada

Sehingga

Kuznets ti

terbalik K

ika Provins

u pertumbuh

tertentu ke

a akhirnya

meskipun

idak berlak

Kuznets terse

si DKI Jaka

hannya, ket

etimpangan

ketimpang

DKI Jakar

ku di Jawa.

ebut lebih b

arta dikeluar

timpangan

naik kemb

gan cenderu

rta tidak di

Satu hal ya

berlaku untu

rkan, maka

pembangun

bali dan beg

ung mening

ilakukan an

ang perlu d

uk jangka p

bisa dilihat

nan semakin

gitu seterus

gkat terus

nalisis, teta

diingat bahw

anjang.

t bahwa sem

n rendah h

snya berfluk

(Gambar 5

ap saja hipo

wa teori kur

makin

ingga

ktuasi

5.4b).

otesis

rva U

Gambar 5

S

mengguna

yaitu 200

ketimpang

yaitu diaw

sampai pa

Berdasark

pertumbuh

(a

.4. Kurva K

Selanjutnya,

akan Indeks

01-2002, ter

gan. Kemud

wali dengan

ada suatu tah

kan hipotesi

han dengan

a)

Kuznets Jaw

0,267

0,268

0,269

0,270

0,271

0,272

0,273

5,00

Ind

eks

Th

eil

Kurva Kuznets Jawa Tanpa

, pada Gam

s Theil di Ja

rjadi penin

dian dari jan

n adanya t

hap maksim

is Kuznets

n disertai p

wa dengan In

mbar 5.4a m

awa. Pada ja

ngkatan per

ngka waktu

trade off a

mal, kemudi

seharusnya

pemerataan,

ndeks Theil

menunjukk

angka waktu

rtumbuhan

u 2002-2005

antara pertu

ian terjadin

tahap selan

, namun p

(b

kan Kurva

u satu tahun

diiringi de

5, hipotesis

umbuhan d

ya penurun

njutnya ada

ada penelit

5,50 6PDRB pe

a DKI Jakarta, 2001-2

b)

Kuznets de

n awal pene

ngan penur

Kuznets be

dan ketimpa

nan ketimpa

alah pening

tian ini tah

6,00 6,50er Kapita

2008

7,00

engan

elitian

runan

erlaku

angan

angan.

gkatan

hapan

Page 74: Skripsi Triana Rachmaningsih

62  

terakhir adalah peningkatan pertumbuhan dengan disertai peningkatan

ketimpangan (growth with inequity). Sehingga, secara keseluruhan hipotesis

Kuznets tentang Kurva U Terbalik tidak terbukti di Jawa.

Begitupula dengan Kurva Kuznets Pulau Jawa dengan Indeks Theil tanpa

DKI Jakarta. Pada jangka waktu penelitian awal yaitu tahun 2001-2002 terjadi

peningkatan pertumbuhan dengan disertai penurunan ketimpangan. Kemudian

jangka waktu 2002-2003, ketimpangan cenderung stabil seiring dengan

pertumbuhan PDRB per kapita. Kurun waktu 2003-2004 terjadi trade off antara

pertumbuhan ekonomi dengan tingkat ketimpangan, begitu seterusnya kurva

Kuznets berfluktuasi seperti pada Gambar 5.4b.

Page 75: Skripsi Triana Rachmaningsih

 

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis dan pembahasan

yang diuraikan di atas, yaitu:

1. Berdasarkan analisis Indeks Williamson dapat disimpulkan bahwa

ketimpangan antarprovinsi maupun antarkabupaten/kota di Jawa lebih

besar jika dibandingkan dengan ketimpangan antarprovinsi maupun

antarkabupaten/kota di Jawa tanpa DKI Jakarta.

2. Berdasarkan analisis Indeks Theil dapat disimpulkan bahwa ketimpangan

antarprovinsi dan dalam provinsi di Jawa memberikan kontribusi yang

hampir sama terhadap ketimpangan total di Jawa. Sedangkan ketimpangan

total Jawa tanpa DKI Jakarta didominasi oleh ketimpangan dalam provinsi

dengan rata-rata sebesar 93,57%.

3. Provinsi DKI Jakarta mempunyai peran perekonomian yang sangat

penting terhadap pembangunan ekonomi sehingga mempunyai peranan

yang besar terhadap ketimpangan di Jawa.

4. Berdasarkan analisis Tipologi Klassen provinsi, Pulau Jawa

diklasifikasikan menjadi tiga daerah yaitu daerah cepat maju dan cepat

tumbuh, daerah berkembang cepat, serta daerah relatif tertinggal.

5. Berdasarkan analisis Tipologi Klassen kabupaten/kota, Pulau Jawa

diklasifikasikan menjadi empat daerah yaitu daerah cepat maju dan cepat

Page 76: Skripsi Triana Rachmaningsih

64  

6. Hipotesis Kuznets yang menggambarkan hubungan antara tingkat

ketimpangan dengan pertumbuhan PDRB yang berbentuk kurva U terbalik

tidak berlaku di Jawa.

6.2. Saran

Beberapa saran yang dapat digunakan antara lain:

1. Basis ekonomi antardaerah perlu mendapatkan perhatian serius.

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu seperti DKI

Jakarta merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya

ketimpangan pembangunan antardaerah. Oleh karena itu, perlu adanya

pemisahan antara pemerintahan, industri, dan perdagangan.

2. Diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara kabupaten/kota, terutama

dalam satu kelompok Pulau Jawa untuk mengejar ketertinggalan

pembangunan antarwilayah.

3. Diperlukan upaya terencana dan berkesinambungan untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan (growth with

equity) khususnya bagi daerah relatif tertinggal.

4. Hasil penelitian ini akan lebih berarti bilamana dikaitkan dengan masalah-

masalah sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan, kesehatan, angkatan

kerja, dan lain-lain. Untuk itu penulis menyarankan adanya penelitian

lanjutan yang diharapkan dapat meninjau berbagai isu yang berkembang

secara lebih luas dan mendalam.

Page 77: Skripsi Triana Rachmaningsih

65  

DAFTAR PUSTAKA

Akita, T and Kataoka, M. 2003. Regional Income Inequality in the Post War Japan. 43rd Congress of the European Regional Science Association, Jyvaskyla, Finland.

Badan Pusat Statistik. 2000. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB

Kabupaten/Kotamadya: Pengertian Dasar: Buku 1, Jakarta. _______. 2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2003-2007, Jakarta. _______. 2008. Statistik Indonesia 2009, Jakarta. _______. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2004-2008, Jakarta. Bhakti, A.S.A.S. 2004. Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari

Perspektif Sektoral dan Regional [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Bhakti, D. 2009. Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sebelum dan Selama Desentralisasi [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bhinadi, A. 2002. “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”.

Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 1: 39-48.

Caska dan RM. Riadi. 2005. “Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan

Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau”. Universitas Riau, Pekanbaru. Chrisyanto, C. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan

Perekonomian antar Daerah di Indonesia [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Emilia dan Imelia. 2006. Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi, Universitas

Jambi, Jambi. Hartono, B. 2008. Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi

Jawa Tengah [thesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Jhingan, M.L. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers,

Jakarta.

Page 78: Skripsi Triana Rachmaningsih

66  

Khusaini. 2004. Analisis Disparitas Antar Daerah Kabupaten/Kota Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Provinsi Banten [tesis]. Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Erlangga, Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2000. Kajian Ketimpangan

Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Indonesia. Jakarta. _______. 2000. “Kajian Ketimpangan Jawa dan Luar Jawa”. Jurnal Ekonomi dan

Pembangunan, Volume IX, Nomor 2:97-110. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Erlangga, Jakarta. Masli, L. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi dan Ketimpangan Regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat”. Jurnal Sains Manajemen dan Akuntansi STIE STAN-IM. Volume 1, Nomor 1.

Prasetyo, R.B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap

Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prayitno, H. dan B. Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia,

Jakarta. Priyanto, A. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saskara, I.A. 2007. “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi antar Daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. Forum Manajemen, Volume 5, Nomor 1: 91-97.

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar

Kebijakan. Kencana, Jakarta. Sutarno dan M. Kuncoro. 2003. “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar

Kecamatan di Kabupaten Banyumas”. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 2:97-110.

Tadjoeddin, M.Z. 2003. Aspiration To Inequality:Regional Disparity And Centre-

Regional Conflicts In Indonesia. United Nations University, Tokyo.

Page 79: Skripsi Triana Rachmaningsih

67  

Todaro, M.P. dan Smith, S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi ke-9.

Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Wijayanto, D.Y. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah

di Kabupaten Semarang [skripsi]. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Page 80: Skripsi Triana Rachmaningsih
Page 81: Skripsi Triana Rachmaningsih

69 Lampiran 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Jawa (Juta Rupiah) 

 

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20081 Kep. Seribu 1,428,746.01 1,383,390.57 1,189,123.18 1,118,223.87 1,050,064.29 1,072,123.71 1,081,737.43 1,092,440.242 Jakarta Selatan 53,327,936.57 55,784,706.93 58,900,108.37 62,191,038.91 65,772,296.36 69,896,625.59 74,377,052.10 78,997,462.573 Jakarta Timur 40,791,229.79 42,784,904.00 45,033,276.35 47,621,546.09 50,495,912.00 53,489,027.63 56,886,294.12 60,123,980.874 Jakarta Pusat 61,327,015.80 64,234,136.69 67,559,195.05 71,609,431.78 75,964,761.76 80,548,626.42 85,780,643.12 91,228,665.295 Jakarta Barat 35,780,190.27 37,522,151.33 39,496,181.56 41,659,237.38 44,169,682.46 46,798,827.28 49,762,617.74 52,734,937.776 Jakarta Utara 45,160,743.61 47,318,896.80 49,793,908.00 52,659,304.47 55,829,604.34 59,123,442.00 62,880,809.57 66,533,400.23

7 Kab. Bogor 20,464,359.05 21,385,612.91 22,421,165.08 23,671,429.21 25,056,365.22 26,546,186.63 28,151,318.85 29,721,698.048 Kab. Sukabumi 6,097,295.40 6,331,391.75 6,568,259.18 6,828,320.51 7,125,599.90 7,404,870.48 7,714,652.99 8,015,201.039 Kab. Cianjur 5,875,030.43 6,094,911.49 6,318,986.09 6,569,796.50 6,820,520.45 7,048,228.89 7,342,965.05 7,639,658.34

10 Kab. Bandung 18,582,686.85 19,501,563.68 20,473,789.68 21,574,729.45 22,772,640.74 24,105,798.94 25,495,211.63 26,832,127.8711 Kab. Garut 7,581,018.88 7,880,905.43 8,093,894.41 8,418,445.43 8,768,410.50 9,128,807.90 9,563,128.46 10,011,296.1812 Kab. Tasikmalaya 3,785,154.65 3,901,465.81 4,035,622.53 4,177,562.24 4,337,406.06 4,511,372.24 4,883,981.54 5,080,500.0413 Kab. Ciamis 4,973,056.79 5,185,406.32 5,396,452.35 5,631,737.68 5,889,671.26 6,115,834.64 6,422,150.01 6,739,795.4114 Kab. Kuningan 2,741,011.62 2,852,880.97 2,953,394.13 3,072,812.51 3,198,189.04 3,329,844.21 3,470,198.67 3,619,216.3515 Kab. Cirebon 5,325,137.14 5,544,641.40 5,768,836.08 6,038,363.81 6,343,778.91 6,669,999.63 7,026,563.79 7,371,621.5416 Kab. Majalengka 3,051,462.36 3,152,036.92 3,254,183.36 3,387,039.35 3,538,226.77 3,686,235.93 3,865,690.52 4,042,240.2917 Kab. Sumedang 3,827,066.05 3,979,480.63 4,133,002.92 4,311,330.91 4,506,200.56 4,694,276.21 4,911,883.03 5,136,819.7218 Kab. Indramayu 12,913,620.41 13,812,336.63 12,775,269.32 13,369,131.43 12,323,269.39 12,621,074.47 12,956,044.05 13,233,522.0419 Kab. Subang 4,555,654.36 4,889,793.86 5,209,017.21 5,633,680.03 6,026,462.33 6,173,853.79 6,473,285.04 6,779,801.9420 Kab. Purwakarta 4,992,195.46 5,191,883.28 5,348,158.96 5,547,110.48 5,741,814.05 5,963,995.28 6,196,747.91 6,506,042.3021 Kab. Karawang 11,011,754.00 11,386,620.00 11,803,041.00 13,423,736.19 14,479,920.56 15,568,184.09 16,558,530.64 18,353,975.0922 Kab. Bekasi 33,276,384.47 35,066,761.76 36,732,895.55 38,976,643.97 41,319,270.04 43,793,374.65 46,481,291.50 49,302,484.5823 Kota Bogor 2,823,430.21 2,986,837.37 3,168,185.54 3,361,438.93 3,567,230.91 3,782,273.71 4,012,743.17 4,252,821.7824 Kota Sukabumi 1,141,864.78 1,202,798.55 1,267,582.78 1,340,714.16 1,420,505.39 1,509,018.71 1,607,222.90 1,705,461.5825 Kota Bandung 16,080,000.03 17,226,732.09 18,490,720.67 19,874,812.60 21,370,696.00 23,043,103.74 24,941,516.65 26,978,908.9226 Kota Cirebon 4,122,353.24 4,297,231.67 4,481,548.13 4,690,384.59 4,919,849.75 5,192,353.79 5,512,869.37 5,823,528.1027 Kota Bekasi 9,531,352.75 10,019,135.93 10,545,455.20 11,112,519.42 11,739,945.23 12,453,012.95 13,255,153.53 14,042,404.1928 Kota Depok 3,694,722.33 3,924,054.35 4,169,755.44 4,440,876.83 4,750,034.10 5,066,129.06 5,422,760.39 5,770,827.6329 Kota Cimahi 4,331,201.11 4,505,787.28 4,694,208.57 4,898,150.91 5,121,599.93 5,368,656.06 5,638,909.76 5,908,068.1430 Kota Tasikmalaya 2,479,073.31 2,584,132.14 2,698,635.23 2,833,366.59 2,947,228.42 3,097,968.38 3,283,255.81 3,470,241.9031 Kota Banjar 500,256.52 516,751.15 538,477.50 562,184.33 588,215.84 615,936.27 646,323.90 677,455.67

32 Kab. Cilacap 14,748,667.52 16,015,937.33 17,029,165.06 18,162,397.84 19,565,221.07 20,564,936.12 21,108,693.94 22,390,015.9233 Kab. Banyumas 3,113,408.02 3,227,485.20 3,347,157.94 3,486,633.69 3,598,399.16 3,759,547.61 3,958,645.95 4,171,468.9534 Kab. Purbalingga 1,661,656.60 1,730,318.81 1,784,928.21 1,844,532.07 1,921,653.92 2,018,808.10 2,143,746.23 2,257,392.77

Page 82: Skripsi Triana Rachmaningsih

70 Lampiran 1. (Lanjutan) 

 

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 200835 Kab. Banjarnegara 2,032,775.82 2,050,087.27 2,110,732.68 2,191,162.85 2,277,617.86 2,376,694.59 2,495,785.82 2,619,989.6136 Kab. Kebumen 2,117,547.15 2,199,785.05 2,264,331.25 2,291,022.40 2,364,385.90 2,460,816.97 2,572,062.88 2,721,254.0937 Kab. Purworejo 1,955,370.81 2,050,804.73 2,125,411.75 2,214,137.28 2,321,543.04 2,442,927.31 2,591,535.38 2,737,087.1338 Kab. Wonosobo 1,423,801.85 1,453,827.30 1,487,044.15 1,521,807.31 1,570,347.69 1,621,132.33 1,679,149.65 1,741,148.3139 Kab. Magelang 2,752,751.79 2,867,361.54 2,982,476.10 3,102,727.38 3,245,978.81 3,405,369.22 3,582,647.65 3,761,388.5940 Kab. Boyolali 2,984,872.32 3,062,304.14 3,211,066.50 3,320,736.82 3,456,062.13 3,601,225.20 3,748,102.11 3,899,372.8641 Kab. Klaten 3,477,045.38 3,612,899.26 3,791,474.35 3,975,792.87 4,158,205.16 4,253,788.00 4,394,688.02 4,567,200.9642 Kab. Sukoharjo 3,397,537.25 3,490,382.02 3,629,051.38 3,786,212.72 3,941,788.46 4,120,437.35 4,330,992.90 4,540,751.5343 Kab. Wonogiri 2,115,449.88 2,182,648.94 2,237,790.02 2,329,465.32 2,429,869.63 2,528,851.78 2,657,068.89 2,770,435.7844 Kab. Karanganyar 3,360,714.37 3,546,613.14 3,746,320.10 3,970,278.92 4,188,330.50 4,401,301.74 4,654,054.50 4,900,690.4045 Kab. Sragen 1,963,635.75 2,030,754.80 2,104,533.12 2,208,294.40 2,322,239.43 2,442,570.43 2,582,492.48 2,729,450.3246 Kab. Grobogan 2,195,206.73 2,321,920.48 2,372,922.55 2,462,661.26 2,579,283.26 2,682,467.18 2,799,700.55 2,948,793.8047 Kab. Blora 1,511,781.47 1,544,785.32 1,598,570.83 1,659,635.43 1,731,375.92 1,803,169.23 1,871,131.42 1,979,627.2248 Kab. Rembang 1,583,725.62 1,637,136.95 1,686,409.73 1,762,799.91 1,825,560.59 1,926,563.25 1,999,951.16 2,093,412.5949 Kab. Pati 3,161,503.83 3,256,362.76 3,331,575.28 3,473,080.90 3,609,798.36 3,770,330.52 3,966,062.17 4,162,082.3750 Kab. Kudus 8,429,424.56 8,887,863.35 9,354,366.26 10,198,527.38 10,647,407.99 10,881,159.80 11,243,359.38 11,683,819.7351 Kab. Jepara 2,915,878.15 3,032,806.32 3,146,838.55 3,272,708.72 3,411,159.47 3,554,051.11 3,722,677.82 3,889,988.8552 Kab. Demak 2,177,849.20 2,237,835.55 2,301,218.90 2,379,485.66 2,471,258.72 2,570,573.50 2,677,366.77 2,787,524.0253 Kab. Semarang 3,915,169.47 4,128,481.21 4,283,284.51 4,345,991.15 4,481,358.29 4,652,041.80 4,871,444.25 5,079,003.7454 Kab. Temanggung 1,733,922.59 1,788,905.77 1,850,422.13 1,917,584.33 1,994,172.89 2,060,140.23 2,143,221.22 2,219,155.6355 Kab. Kendal 3,818,784.14 3,949,051.74 4,061,726.90 4,167,626.21 4,277,354.27 4,434,408.16 4,625,455.57 4,822,465.2856 Kab. Batang 1,794,227.52 1,833,190.97 1,880,020.18 1,918,980.13 1,972,776.85 2,022,301.42 2,092,973.93 2,169,854.5557 Kab. Pekalongan 2,247,048.20 2,311,516.63 2,396,116.15 2,501,229.52 2,600,855.96 2,710,378.32 2,834,685.01 2,970,214.9858 Kab. Pemalang 2,391,574.72 2,473,721.82 2,556,576.12 2,654,777.51 2,762,252.29 2,865,095.20 2,993,296.76 3,142,808.7059 Kab. Tegal 2,296,261.23 2,414,200.05 2,547,921.29 2,682,689.71 2,809,340.21 2,955,259.71 3,120,395.64 3,286,263.4460 Kab. Brebes 3,590,343.21 3,773,041.37 3,956,229.45 4,147,511.33 4,346,424.44 4,551,196.99 4,769,145.46 4,998,528.1961 Kota Magelang 759,504.24 782,362.46 811,631.44 841,736.15 878,160.76 899,564.97 946,098.16 993,835.2062 Kota Surakarta 3,113,668.99 3,268,559.54 3,468,276.94 3,669,373.45 3,858,169.67 4,067,529.94 4,304,287.37 4,549,342.9563 Kota Salatiga 611,506.07 637,991.58 665,086.52 693,286.63 722,063.94 752,149.22 792,680.44 832,154.8864 Kota Semarang 13,628,649.59 14,218,499.38 14,793,047.80 15,402,671.37 16,194,264.63 17,118,705.29 18,142,639.97 19,156,814.2965 Kota Pekalongan 1,487,360.85 1,516,206.87 1,574,763.64 1,638,791.54 1,701,324.24 1,753,405.74 1,820,001.21 1,887,853.7066 Kota Tegal 814,469.19 853,697.25 903,421.50 956,243.56 1,002,821.99 1,054,499.45 1,109,438.21 1,166,587.87

67 Kab. Kulon Progo 1,234,011.00 1,284,808.00 1,338,700.00 1,398,743.90 1,465,477.00 1,524,848.29 1,587,630.00 1,662,370.0068 Kab. Bantul 2,681,329.39 2,800,955.18 2,932,377.26 3,080,311.60 3,234,172.86 3,299,645.85 3,448,948.76 3,618,060.4969 Kab. Gunung Kidul 2,367,099.13 2,444,305.64 2,526,516.07 2,613,238.00 2,726,388.71 2,830,582.92 2,941,287.99 3,070,297.61

Page 83: Skripsi Triana Rachmaningsih

71 Lampiran 1. (Lanjutan) 

 

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 200870 Kab. Sleman 4,171,269.93 4,374,022.46 4,596,226.61 4,837,376.08 5,080,564.31 5,309,059.21 5,553,593.02 5,838,246.0971 Kota Yogyakarta 3,648,181.85 3,812,425.47 3,993,837.15 4,195,392.00 4,397,849.00 4,572,503.90 4,776,401.00 5,021,149.06

72 Kab. Pacitan 1,058,981.12 1,054,627.59 1,083,514.11 1,121,289.93 1,162,300.55 1,211,931.91 1,274,457.26 1,345,501.2073 Kab. Ponorogo 2,193,864.62 2,271,917.60 2,362,406.72 2,464,589.74 2,573,609.41 2,694,520.70 2,871,341.71 3,034,363.5474 Kab. Trenggalek 1,518,131.37 1,567,418.65 1,620,079.19 1,682,764.52 1,753,906.01 1,837,946.75 1,938,067.72 2,046,833.4875 Kab. Tulungagung 4,852,754.02 5,080,611.40 5,320,887.99 5,588,457.30 5,874,962.78 6,196,735.17 6,552,885.24 6,936,741.7976 Kab. Blitar 3,651,369.19 3,771,936.81 3,947,300.04 4,124,787.31 4,338,529.37 4,571,842.88 4,836,204.93 5,128,535.2477 Kab. Kediri 4,481,049.48 4,635,463.03 4,815,356.38 5,017,086.67 5,232,029.80 5,471,105.73 5,713,217.77 5,962,064.8478 Kab. Malang 9,194,525.65 9,537,799.81 9,923,823.15 10,466,449.27 10,987,067.99 11,617,936.65 12,325,207.43 13,034,488.4679 Kab. Lumajang 4,024,415.28 4,172,514.94 4,353,045.04 4,570,180.20 4,793,733.63 5,044,176.39 5,321,481.75 5,610,679.2680 Kab. Jember 6,912,406.88 7,185,061.97 7,473,399.52 7,821,292.24 8,236,276.67 8,705,996.37 9,226,767.89 9,783,828.1381 Kab. Banyuwangi 6,788,903.62 7,431,229.63 7,725,704.20 8,029,336.49 8,414,262.77 8,815,927.14 9,309,065.68 9,845,052.9982 Kab. Bondowoso 1,498,800.15 1,545,576.30 1,604,261.61 1,684,859.73 1,772,844.07 1,871,753.00 1,974,898.45 2,079,742.5983 Kab. Situbondo 2,300,214.81 2,372,999.54 2,468,599.58 2,573,128.01 2,703,988.41 2,852,394.95 3,013,285.64 3,171,090.9484 Kab. Probolinggo 4,316,779.52 4,500,481.72 4,683,601.65 4,894,982.91 5,126,680.92 5,418,554.86 5,742,265.63 6,073,913.6685 Kab. Pasuruan 4,257,094.64 4,426,500.66 4,617,793.72 4,847,570.50 5,101,155.29 5,403,934.51 5,737,509.89 6,075,291.8886 Kab. Sidoarjo 16,710,242.79 17,380,423.64 18,144,068.42 19,110,831.66 20,201,363.97 21,287,726.59 22,386,181.46 23,431,672.7487 Kab. Mojokerto 3,829,199.61 3,973,883.39 4,132,789.51 4,341,533.35 4,574,703.71 4,825,150.21 5,111,149.58 5,411,938.5388 Kab. Jombang 3,952,998.85 4,109,738.16 4,311,449.12 4,531,339.96 4,773,509.61 5,047,094.89 5,353,300.63 5,673,483.5989 Kab. Nganjuk 3,060,921.23 3,177,534.23 3,320,952.34 3,492,408.48 3,691,208.27 3,913,021.49 4,152,601.53 4,400,779.5290 Kab. Madiun 1,830,967.78 1,895,358.48 1,954,805.26 2,022,086.08 2,115,603.56 2,212,871.48 2,329,838.15 2,452,601.9291 Kab. Magetan 2,154,260.91 2,219,008.93 2,297,109.30 2,392,632.56 2,507,673.01 2,639,069.03 2,776,572.47 2,920,176.0792 Kab. Ngawi 2,076,059.58 2,122,888.84 2,187,262.88 2,282,391.93 2,385,681.99 2,510,075.52 2,639,717.89 2,785,335.4393 Kab. Bojonegoro 3,918,933.95 4,060,242.03 4,202,968.31 4,608,476.29 5,329,967.28 5,267,341.73 6,675,879.75 7,505,833.1694 Kab. Tuban 4,172,106.54 4,344,996.62 4,529,416.29 4,736,251.45 4,998,869.99 5,314,227.21 5,659,252.28 6,039,563.5695 Kab. Lamongan 3,325,775.84 3,412,124.82 3,537,722.65 3,695,793.74 3,883,701.78 4,092,914.89 4,328,739.32 4,598,166.8196 Kab. Gresik 9,600,031.34 10,043,999.76 10,487,376.42 11,102,199.28 11,892,606.44 12,702,413.51 13,553,685.95 14,412,941.4997 Kab. Bangkalan 2,293,543.51 2,366,800.38 2,462,808.91 2,575,129.14 2,697,572.26 2,827,144.75 2,969,195.88 3,115,331.2198 Kab. Sampang 1,842,289.42 1,886,435.72 1,945,290.96 2,021,642.86 2,101,077.26 2,187,483.76 2,279,628.67 2,384,149.5799 Kab. Pamekasan 1,399,123.75 1,437,461.32 1,491,976.74 1,551,602.66 1,621,138.27 1,694,484.13 1,775,107.44 1,873,185.89

100 Kab. Sumenep 3,868,467.96 3,990,589.98 4,138,194.58 4,250,267.32 4,381,014.06 4,567,317.34 4,786,946.28 5,014,543.53101 Kota Kediri 17,609,569.19 17,069,064.88 17,726,378.63 18,745,979.83 18,792,298.38 19,768,496.40 20,660,129.01 21,623,890.29102 Kota Blitar 458,527.62 486,806.52 513,456.97 543,401.81 574,442.04 608,298.10 645,936.36 686,549.15103 Kota Malang 8,398,065.72 8,684,854.46 9,063,136.48 9,593,857.30 10,136,320.71 10,745,067.46 11,412,769.63 12,118,269.47104 Kota Probolinggo 1,248,319.77 1,303,696.68 1,356,238.14 1,432,569.75 1,513,804.23 1,603,445.99 1,705,841.88 1,808,452.67

Page 84: Skripsi Triana Rachmaningsih

72 Lampiran 1. (Lanjutan) 

 

 

 

   

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008105 Kota Pasuruan 703,963.02 731,483.49 765,629.40 809,581.70 856,746.45 905,174.47 954,628.55 1,006,823.61106 Kota Mojokerto 754,227.73 793,515.84 838,305.42 887,077.04 935,647.65 987,173.15 1,046,188.09 1,101,295.70107 Kota Madiun 742,600.07 773,497.25 807,873.94 846,174.40 889,322.53 937,574.10 995,215.21 1,057,364.29108 Kota Surabaya 48,989,883.71 50,942,757.11 53,125,899.88 56,312,931.76 59,877,994.44 63,677,389.53 67,695,819.92 71,913,820.46109 Kota Batu 773,466.44 814,228.12 848,669.97 895,261.94 952,545.24 1,018,209.86 1,087,389.59 1,162,186.88

110 Kab. Pandeglang 2,779,131.04 2,919,599.34 3,052,872.34 3,211,069.95 3,398,589.82 3,510,268.02 3,667,467.40 3,824,711.66111 Kab. Lebak 2,848,261.94 2,943,833.77 3,046,905.45 3,170,530.64 3,289,215.00 3,392,776.01 3,559,031.99 3,703,579.42112 Kab. Tangerang 13,173,440.30 13,787,391.66 14,401,066.58 15,323,646.74 16,445,456.12 17,576,747.54 20,042,591.44 21,309,004.85113 Kab. Serang 6,781,749.99 7,020,647.75 7,317,283.70 7,638,401.10 7,973,370.70 8,357,679.63 8,785,786.50 9,172,970.52114 Kota Tangerang 16,762,663.12 17,758,912.75 18,987,715.02 20,079,268.53 21,462,167.93 22,932,602.88 24,505,118.02 26,066,992.52115 Kota Cilegon 7,208,186.57 7,720,263.47 8,281,367.51 8,886,737.29 9,440,708.14 9,972,846.95 10,518,939.33 11,047,320.64

TOTAL KAB/KOTA 807,274,259.23 843,281,382.40 881,368,659.80 929,860,607.22 979,864,320.42 1,033,835,944.89 1,096,154,400.05 1,159,315,571.26

PDRB MENURUT PROVINSI DI JAWA (JUTA RUPIAH)NO. PROVINSI 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 DKI JAKARTA 238,656,137.26 250,331,156.55 263,624,241.89 278,524,822.22 295,270,543.61 312,826,712.76 332,971,254.83 353,694,057.172 JAWA BARAT 202,131,382.92 209,731,189.42 219,525,220.65 230,003,495.86 242,883,881.74 257,499,445.75 274,180,307.83 290,180,021.063 JAWA TENGAH 118,816,400.29 123,038,541.13 129,166,462.45 135,789,872.31 143,051,213.88 150,682,654.74 159,110,253.77 167,790,369.854 DI YOGYAKARTA 14,055,070.59 14,687,284.33 15,360,408.85 16,146,423.77 16,910,876.87 17,535,749.31 18,291,511.71 19,208,937.535 JAWA TIMUR 210,448,570.19 218,452,389.09 228,884,458.54 242,228,892.17 256,374,726.78 271,249,316.68 287,814,183.92 304,922,688.106 BANTEN 47,495,383.36 49,449,321.34 51,957,457.73 54,880,406.50 58,106,948.22 61,341,658.64 65,046,775.77 68,802,910.30

TOTAL 831,602,944.60 865,689,881.86 908,518,250.11 957,573,912.84 1,012,598,191.10 1,071,135,537.88 1,137,414,287.81 1,204,598,984.00

Page 85: Skripsi Triana Rachmaningsih

73

Lampiran 2. Jumlah Penduduk Pulau Jawa  

 

   

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20081 Kep. Seribu 18,365 19,027 19,947 20,113 18,644 18,925 19,203 19,4232 Jakarta Selatan 1,809,930 1,833,280 1,867,028 1,895,887 2,007,172 2,053,770 2,100,679 2,141,7733 Jakarta Timur 2,385,121 2,417,082 2,447,412 2,487,328 2,404,127 2,414,021 2,423,065 2,428,2134 Jakarta Pusat 889,000 885,000 883,462 897,118 889,448 891,907 894,045 894,7405 Jakarta Barat 1,947,625 1,962,900 2,012,343 2,027,608 2,093,185 2,131,863 2,170,459 2,202,6726 Jakarta Utara 1,427,430 1,435,280 1,409,992 1,421,726 1,447,805 1,452,732 1,457,140 1,459,360

7 Kab. Bogor 3,630,400 3,762,220 3,796,789 3,797,875 3,835,563 3,903,650 3,971,128 4,029,2638 Kab. Sukabumi 2,112,039 2,152,241 2,178,681 2,190,080 2,171,398 2,190,590 2,208,941 2,221,6529 Kab. Cianjur 1,974,804 2,005,693 2,052,372 2,063,682 2,082,323 2,110,055 2,137,178 2,159,020

10 Kab. Bandung 3,815,111 3,916,479 4,046,415 4,097,366 4,044,117 4,112,027 4,179,163 4,236,34911 Kab. Garut 2,087,400 2,122,263 2,200,056 2,204,175 2,198,767 2,228,953 2,258,520 2,282,52712 Kab. Tasikmalaya 1,292,223 1,309,242 1,595,483 1,616,858 1,619,052 1,644,513 1,669,610 1,690,68113 Kab. Ciamis 1,473,093 1,486,132 1,505,149 1,506,833 1,512,358 1,522,184 1,531,372 1,536,60914 Kab. Kuningan 988,582 994,413 1,037,940 1,038,596 1,045,804 1,058,167 1,070,186 1,079,52715 Kab. Cirebon 1,956,459 1,984,444 2,046,450 2,058,625 2,045,320 2,068,411 2,090,805 2,107,94516 Kab. Majalengka 1,124,851 1,130,658 1,156,774 1,161,785 1,169,616 1,179,136 1,188,189 1,194,19817 Kab. Sumedang 981,405 994,910 1,019,360 1,025,572 1,018,887 1,028,923 1,038,582 1,045,60518 Kab. Indramayu 1,604,098 1,616,929 1,655,520 1,656,647 1,689,961 1,710,227 1,729,944 1,745,33719 Kab. Subang 1,339,956 1,351,894 1,373,626 1,387,511 1,383,238 1,393,796 1,403,792 1,410,18220 Kab. Purwakarta 713,715 728,271 751,608 763,743 757,645 769,501 781,185 790,98421 Kab. Karawang 1,814,634 1,846,097 1,888,900 1,902,537 1,929,208 1,958,381 1,987,085 2,010,96622 Kab. Bekasi 1,739,734 1,815,414 1,870,270 1,934,004 1,985,145 2,054,795 2,125,915 2,193,77623 Kota Bogor 762,677 776,404 816,911 907,614 898,492 931,092 964,434 996,37124 Kota Sukabumi 255,335 258,590 269,987 275,550 293,544 302,459 311,502 319,98125 Kota Bandung 2,157,835 2,183,491 2,231,139 2,239,757 2,303,913 2,338,359 2,372,234 2,400,34026 Kota Cirebon 275,705 278,365 273,311 275,228 309,728 317,732 325,794 333,19127 Kota Bekasi 1,726,206 1,796,799 1,846,920 1,941,065 1,997,525 2,071,427 2,147,080 2,219,70828 Kota Depok 1,186,684 1,228,578 1,319,990 1,320,773 1,378,937 1,431,186 1,484,735 1,536,28229 Kota Cimahi 453,432 465,141 473,234 504,772 548,450 572,463 597,254 621,49830 Kota Tasikmalaya 799,185 809,202 568,121 575,732 582,911 585,669 588,171 589,14731 Kota Banjar 157,957 159,467 162,959 164,495 163,538 164,927 166,252 167,151

32 Kab. Cilacap 1,685,024 1,692,263 1,646,372 1,659,960 1,620,153 1,621,737 1,623,176 1,626,79533 Kab. Banyumas 1,491,912 1,503,917 1,505,855 1,519,226 1,485,368 1,491,469 1,495,981 1,503,26234 Kab. Purbalingga 841,183 849,813 849,406 856,720 811,602 816,813 821,870 828,12535 Kab. Banjarnegara 867,455 875,441 887,259 895,828 855,211 859,178 864,148 869,77736 Kab. Kebumen 1,171,329 1,176,822 1,196,095 1,202,651 1,197,769 1,203,876 1,208,716 1,215,80137 Kab. Purworejo 765,788 768,405 709,859 711,132 715,487 717,326 719,396 722,29338 Kab. Wonosobo 741,374 748,181 762,107 771,261 749,832 752,309 754,447 757,74639 Kab. Magelang 1,108,407 1,117,366 1,146,034 1,158,067 1,145,246 1,153,915 1,161,278 1,170,89440 Kab. Boyolali 925,219 929,342 928,097 935,091 923,652 928,712 932,698 938,46941 Kab. Klaten 1,261,950 1,268,403 1,123,165 1,131,476 1,123,484 1,125,650 1,128,852 1,133,01242 Kab. Sukoharjo 790,087 799,230 812,029 825,281 807,736 814,018 819,621 826,69943 Kab. Wonogiri 1,114,311 1,130,367 1,005,690 1,008,403 977,486 978,651 980,132 982,73044 Kab. Karanganyar 804,031 810,088 815,077 824,636 793,771 800,595 805,462 812,42345 Kab. Sragen 848,187 850,405 861,301 865,112 854,751 856,271 857,844 860,50946 Kab. Grobogan 1,331,383 1,341,703 1,304,304 1,319,474 1,310,208 1,318,145 1,326,414 1,336,32247 Kab. Blora 827,240 831,372 828,768 834,837 827,587 830,201 831,909 835,16048 Kab. Rembang 562,815 569,378 578,136 583,301 568,868 570,842 572,879 575,64049 Kab. Pati 1,176,678 1,185,488 1,191,564 1,203,180 1,162,702 1,165,004 1,167,621 1,171,60550 Kab. Kudus 710,915 716,664 741,472 750,707 754,424 764,633 774,838 786,26951 Kab. Jepara 984,773 1,002,381 1,041,005 1,059,638 1,042,723 1,057,635 1,073,631 1,090,83952 Kab. Demak 990,600 996,384 1,031,654 1,051,736 1,010,435 1,017,471 1,025,388 1,034,28653 Kab. Semarang 836,334 839,512 881,972 888,430 881,477 891,046 900,420 911,22354 Kab. Temanggung 662,648 667,600 698,149 707,834 689,103 694,447 700,845 707,70755 Kab. Kendal 881,025 885,732 884,405 891,116 913,291 926,125 938,115 952,01156 Kab. Batang 665,482 671,215 695,506 704,413 673,406 675,574 678,909 682,561

Page 86: Skripsi Triana Rachmaningsih

74

Lampiran 2. (Lanjutan)

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 200857 Kab. Pekalongan 806,334 813,104 834,201 846,832 831,631 838,090 844,228 851,70058 Kab. Pemalang 1,269,731 1,276,146 1,324,829 1,348,386 1,330,394 1,343,992 1,358,952 1,375,24059 Kab. Tegal 1,390,223 1,405,639 1,435,337 1,453,318 1,403,311 1,406,858 1,410,290 1,415,62560 Kab. Brebes 1,702,034 1,707,969 1,771,026 1,793,184 1,755,250 1,766,347 1,775,939 1,788,68761 Kota Magelang 115,117 115,847 121,079 126,169 127,764 129,854 132,177 134,61562 Kota Surakarta 489,881 489,386 492,325 513,024 508,281 511,731 517,557 522,93563 Kota Salatiga 145,101 145,485 160,592 168,113 167,865 171,277 174,699 178,45164 Kota Semarang 1,322,052 1,334,696 1,396,059 1,416,227 1,448,217 1,468,268 1,488,645 1,511,23665 Kota Pekalongan 262,250 263,224 272,208 274,626 270,283 271,786 273,342 275,24166 Kota Tegal 236,808 240,927 242,423 243,397 239,200 239,549 239,860 240,502

67 Kab. Kulon Progo 370,728 370,474 375,628 376,055 373,770 374,112 374,445 374,78368 Kab. Bantul 790,114 799,236 815,972 818,764 862,961 879,825 896,994 909,81269 Kab. Gunung Kidul 672,422 674,273 686,306 687,412 681,554 683,389 685,210 686,77270 Kab. Sleman 915,081 928,579 941,281 945,045 990,130 1,008,295 1,026,767 1,040,22071 Kota Yogyakarta 395,775 394,140 392,239 396,238 435,236 443,112 451,118 456,915

72 Kab. Pacitan 532,726 535,674 538,640 540,026 547,091 551,155 555,262 557,02973 Kab. Ponorogo 864,424 866,995 869,438 869,912 878,305 885,377 892,527 895,92174 Kab. Trenggalek 663,790 667,582 669,685 671,022 667,975 671,281 674,620 675,38075 Kab. Tulungagung 949,197 954,853 960,479 962,825 969,767 977,415 985,147 988,73176 Kab. Blitar 1,100,663 1,105,902 1,111,075 1,113,170 1,069,151 1,069,462 1,069,798 1,070,12277 Kab. Kediri 1,454,244 1,464,954 1,475,561 1,479,687 1,439,885 1,445,474 1,451,119 1,451,63078 Kab. Malang 2,322,699 2,331,120 2,341,598 2,355,405 2,357,442 2,379,402 2,401,624 2,413,77979 Kab. Lumajang 987,939 993,971 999,929 1,002,131 1,005,734 1,013,483 1,021,317 1,024,84980 Kab. Jember 2,205,492 2,219,175 2,233,325 2,242,222 2,278,307 2,295,610 2,313,100 2,320,84481 Kab. Banyuwangi 1,526,870 1,533,679 1,540,050 1,540,429 1,517,432 1,522,382 1,527,384 1,531,75382 Kab. Bondowoso 700,692 704,831 708,973 710,822 701,105 703,233 705,384 707,24283 Kab. Situbondo 613,778 617,570 621,407 623,362 616,505 618,754 621,026 623,04284 Kab. Probolinggo 1,017,365 1,027,181 1,037,555 1,045,184 1,032,310 1,037,292 1,042,323 1,043,67185 Kab. Pasuruan 1,381,027 1,401,079 1,422,820 1,441,383 1,422,352 1,432,977 1,443,716 1,448,37086 Kab. Sidoarjo 1,592,385 1,638,669 1,690,266 1,738,899 1,702,372 1,730,740 1,759,623 1,781,40587 Kab. Mojokerto 938,758 954,161 970,576 982,989 971,313 983,949 996,774 1,005,48688 Kab. Jombang 1,152,962 1,163,083 1,173,519 1,179,900 1,228,212 1,248,843 1,269,851 1,285,73989 Kab. Nganjuk 1,015,318 1,022,050 1,028,444 1,029,392 991,313 994,369 997,458 1,000,13290 Kab. Madiun 653,421 655,243 657,024 657,660 642,159 642,271 642,398 642,51891 Kab. Magetan 621,738 621,222 621,142 623,396 622,384 623,474 624,581 625,42492 Kab. Ngawi 833,944 837,072 840,173 841,519 827,728 830,198 832,696 834,84793 Kab. Bojonegoro 1,195,706 1,204,542 1,213,418 1,217,508 1,230,312 1,243,032 1,255,914 1,263,55194 Kab. Tuban 1,061,529 1,069,618 1,078,083 1,083,874 1,069,935 1,072,964 1,076,027 1,078,64195 Kab. Lamongan 1,221,528 1,229,000 1,236,169 1,237,616 1,187,504 1,188,017 1,188,559 1,189,08796 Kab. Gresik 1,026,488 1,043,747 1,062,415 1,077,976 1,124,061 1,148,776 1,174,063 1,194,82197 Kab. Bangkalan 864,279 875,584 886,843 891,296 900,209 920,040 940,331 956,99698 Kab. Sampang 812,575 823,498 834,279 837,958 845,050 864,969 885,379 902,42999 Kab. Pamekasan 722,148 731,487 741,083 746,545 779,945 799,031 818,604 835,101

100 Kab. Sumenep 1,016,812 1,024,843 1,032,873 1,038,706 1,008,446 1,012,438 1,016,471 1,016,907101 Kota Kediri 251,697 251,872 252,126 252,673 261,329 264,680 268,081 270,374102 Kota Blitar 122,683 123,027 123,327 123,808 127,750 129,423 131,121 132,278103 Kota Malang 756,294 762,155 770,483 775,909 796,648 804,381 812,209 816,637104 Kota Probolinggo 196,591 198,493 200,465 201,737 213,556 218,137 222,822 226,643105 Kota Pasuruan 172,840 174,859 176,987 178,532 172,450 173,191 173,940 174,073106 Kota Mojokerto 110,100 111,087 112,137 112,966 111,964 112,517 113,075 113,201107 Kota Madiun 169,595 169,536 170,408 176,073 173,408 175,266 177,148 178,291108 Kota Surabaya 2,633,067 2,647,283 2,689,728 2,698,792 2,622,024 2,625,036 2,628,113 2,630,079109 Kota Batu 170,030 173,763 177,436 178,505 180,847 183,396 185,986 187,813

110 Kab. Pandeglang 1,018,438 1,032,980 1,088,215 1,101,876 1,064,535 1,074,762 1,085,042 1,092,527111 Kab. Lebak 1,032,375 1,039,379 1,128,674 1,134,066 1,156,773 1,183,184 1,210,149 1,234,459

Page 87: Skripsi Triana Rachmaningsih

75

Lampiran 2. (Lanjutan)

 

No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008112 Kab. Tangerang 2,827,342 2,928,320 3,187,671 3,227,087 3,262,727 3,366,423 3,473,271 3,574,048113 Kab. Serang 1,660,941 1,702,340 1,794,717 1,836,133 1,764,183 1,786,223 1,808,464 1,826,146114 Kota Tangerang 1,335,756 1,381,249 1,471,396 1,499,911 1,455,185 1,481,591 1,508,414 1,531,666115 Kota Cilegon 298,081 305,161 328,654 329,705 325,413 331,667 338,027 343,599

TOTAL JAWA 123,637,119 125,232,392 127,434,201 128,737,542 128,470,536 129,996,254 131,527,393 132,856,644

TOTAL PENDUDUK KAB/KOTANO PROVINSI 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 DKI JAKARTA 8,477,471 8,552,569 8,640,184 8,749,780 8,860,381 8,963,218 9,064,591 9,146,1812 JAWA BARAT 36,423,520 37,173,337 38,137,965 38,610,875 38,965,440 39,648,623 40,329,051 40,918,2903 JAWA TENGAH 31,785,681 32,019,895 32,175,360 32,542,786 31,977,968 32,179,395 32,380,279 32,626,3904 DI YOGYAKARTA 3,144,120 3,166,702 3,211,426 3,223,514 3,343,651 3,388,733 3,434,534 3,468,5025 JAWA TIMUR 35,633,394 35,930,460 36,269,939 36,481,809 36,294,280 36,592,435 36,895,571 37,094,8366 BANTEN 8,172,933 8,389,429 8,999,327 9,128,778 9,028,816 9,223,850 9,423,367 9,602,445