Skripsi Suci Nurul Utami

127
1 Skripsi UJI EFEKTIVITAS MALATHION TERHADAP MORTALITAS NYAMUK Aedes Aegypti SUCI NURUL UTAMI K111111364 Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN

description

Penggunaan Malathion Pada Nyamuk

Transcript of Skripsi Suci Nurul Utami

1xiv

Skripsi

UJI EFEKTIVITAS MALATHION TERHADAP MORTALITAS NYAMUK Aedes AegyptiSUCI NURUL UTAMI

K111111364

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

ABSTRAK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

KESEHATAN LINGKUNGAN

SUCI NURUL UTAMIUJI EFEKTIVITAS MALATHION TERHADAP MORTALITAS NYAMUK Aedes aegyptiPenggunaan insektisida merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor penular penyakit DBD. Malathion insektisida kimia yang paling umum digunakan di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas antara malathion 0,8% dengan malathion 5%. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post-test only with control group design. Jumlah sampel yang digunakan sebesar 750 nyamuk Aedes aegypti yang berumur 2-5 hari dengan 9 kali replikasi yang didahului dengan uji pendahuluan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa malathion dengan konsentrasi 0,8% hanya dapat membunuh sebesar 61,7%. Malathion dengan konsentrasi 0,8% dianggap sudah resisten untuk membunuh nyamuk Aedes aegypit karena tidak mampu membunuh nyamuk Aedes aegypti sebesar 95% sesuai dengan persentase harapan yang telah dihitung menggunakan analisis probit. Sedangkan malathion dengan konsentrasi 5% dapat membunuh sebesar 95,1%. Malathion 5% dianggap masih efektif atau rentan untuk membunuh nyamuk Aedes aegypti karena masih mampu membunuh nyamuk Aedes aegypti sebesar 95% meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membunuh nyamuk 95%.Penelitian ini menyarankan untuk menggunakan variasi dosis malathion dalam operasional penyemprotan DBD disuatu wilayah (Kusnadi, 2006) tetapi konsentrasi malathion tidak bisa melebihi konsentrasi 5% sesuai dengan rekomendasi Depkes RI dalam aplikasi malathion paling tinggi adalah 5% dengan pertimbangan untuk keselamatan manusia dan lingkungan hidupnya dan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara yang dapat dilakukan agar air perasan dapat digunakan tanpa mengganggu kualitas fisik air.

Kata kunci : Aedes aegypti, malathion, demam berdarah

ABTRACT

HASANUDDIN UNIVERSITY

PUBLIC HEALTH FACULTY

ENVIRONMENTAL HEALTH DEPARTMENTSUCI NURUL UTAMIMALATHION EFFECTIVITY TEST OF AEDES AEGYPTI MOQUITO MORTALITY

Utilizing of insecticide was one of the way to eliminate Aedes aegypti larvae that can become a vector of dengue fever. Malathion is common chemical insecticide that always used by society. This research was made to know effectivity between malathion 0,8% with malathion 5%. The kind of this research was true experiment with posttest only with control group design. This research using 750 Aedes aegypti mosquito with 2-5 days on age and 9 replication preceeded by preceding test. The result of this research showed that malathion with 0,8% only could eradicate 61.7%. Malathion with 0,8% was supposed to resistant to eradicate Aedes aegypti mosquito because it could not eradicate Aedes aegypti mosquito which was 95% according to percentage of hope that has counted used probit analysis. Whereas malathion with 5% could eradicate 95.1%. Malathion 5% has stiil effective to eradicate Aedes aegypti mosquito because could eradiacate Aedes aegypti mosquito which was 95% although it takes longer to eradicate mosquito 95%.Through this research, researcher suggested to do dosage variaety to prevent resistant of malathion in fogging way to decrease dengue fever but malathion concentration could not above 5% according to recommendation from Health Unit of Indonesia. Because the highest concentration in fogging in 5% through considering health safety and environmental side.

Keywords : Aedes aegypti, malathion, dengue feverKATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi WabarakatuhSegala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang tiada lelah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dengan judul Uji Efektivitas Malathion terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti.Shalawat dan taslim sudah sepatutnya kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, sang suri tauladan segala zaman yang telah menggulung tikar kebatilan dan menebar cahaya ilahi di seantero muka bumi. Semoga semangat beliau senantiasa terpatri dalam hati kita.

Penulis menyadari, begitu banyak kendala ataupun hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat arahan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik meskipun tak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan didalamnya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc.,Ph.D selaku pembimbing I dan Dr. Agus Bintara Birawida, S.Kel.,M.Kes selaku pembimbing II atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga, semangat serta pikiran untuk senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat terealisasikan.

Dalam kesempatan kali ini penulis juga tak lupa menghaturkan terima kasih, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta segenap staf yang telah memberikan bantuan serta dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.2. Ibu Hj. Erniwati, SKM.,M.Kes selaku penguji bagian Kesehatan Lingkungan serta pembimbing akademik, Bapak Awaluddin, SKM.,M.Kes selaku penguji bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan ibu Shanti Riskiyani, SKM.,M.Kes penguji bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan banyak saran/ masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Anwar SKM.,M.Sc.,Ph.D selaku Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan serta dosen-dosen dan staff Bagian Kesehatan Lingkungan yang telah memudahkan penulis dalam segala urusan yang berhubungan dengan akademik. Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada mantan staff Bagian Kesehatan Lingkungan Kak Suti atas bantuannya selama ini.4. Lurah Antang beserta staff serta warga Kelurahan Antang Kecamatan Manggala yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan pengambilan sampel di wilayah Antang.5. Kakak-kakak di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran kak Nana, kak Hajar, Kak Wawan, Kak Putra serta dr. Isra Wahid, Ph.D yang telah memberi banyak masukan dan kemudahan untuk melaksanakan penelitian.6. Sahabat-sahabat seperjuangan Ranti, Irwin, Wana, Elni, Kak Lia, Kak Dewi yang senantiasa menemani penulis dalam melaksanakan penelitian. Tanpa mereka penulis belum tentu dapat menyelesaikan penelitian ini.7. Sahabat sekalugus saudara Niar Khadija, Chairuniza, dan Nur Arum yang telah memberikan dukungan semangat kepada penulis sehingga penyusunan skripsi dapat terselesaikan.8. Sahabat Mayang Amalia A, Nur Hidaya, Sriwahyu Ningsih yang memberi semangat dan selalu menginspirasi penulis untuk berjuang meraih apa yang dicita-citakan. 9. Teman-teman Kalasi dan teman-teman jurusan Kesehatan Lingkungan yang tergabung dalam Forkom KL yang telah menemani dan mengisi hari-hari penulis di FKM.10. Teman-teman PBL posko Ujungpandang Baru serta teman-teman KKN Kelurahan Tompobulu Kab. Maros atas kebersamaannya dalam merancang serta mengaplikasikan program pengabdian masyarakat.11. Semua pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan bantuan dalam rangka penyelesaian skripsi iniAkhirnya, dengan segala kerendahan serta ketulusan hati penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah nomor satu seluruh dunia Ir. Achmad Sahalim dan Ibunda tersayang Dra. Elly Rasmiany yang dengan penuh kasih sayang mendengarkan keluh kesah penulis dan tak pernah lelah memberikan semangat sehingga penyusunan skripsi dapat terselesaikan. Tak lupa pula penilis hanturkan terima kasih kepada adik tersayang Umuul Hasanah Hidayah dan seluruh keluarga besar Hj. Andi Manisa Amra yang terus memberikan doa dan dukungan guna penyelesaian penyusunan skripsi ini. Serta terima kasih kepada Achmad Sabirin yang telah mendampingi penulis dan memberikan bantuan moral, semangat serta dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.Semoga segala doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan tulisan ini dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu dengan segenap kerendahan hati, penulis meminta saran dan kritik demi penyempurnaan penulisan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.Makassar, Februari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK..KATA PENGANTAR.DAFTAR ISI ................................................................................................................DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR..DAFTAR DOKUMENTASI..BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ......................................................................................

B. Rumusan Masalah .................................................................................C. Tujuan Penelitian ...................................................................................D. Manfaat Penelitian .................................................................................BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD).1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) .2. Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) ....3. Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) ..4. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD)B. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti.........................1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti..........................................2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti...............................................3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti...........................................4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti................................................5. Pengendalian dan Pemberantasan Nyamuk Aedes aegypti..........C. Tinjauan Umum Tentang Insektisida........................1. Organofosfat2. Organoklorin...3. Karbamat....4. Sintetik Pateroid.D. Tinjauan Umum Tentang Malathion..BAB III KERANGKA KONSEPA. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ....................................................B. Pola Pikir Variabel yang diteliti ....C. Definisi Operasional dan Kriteria ObjektifD. Hipotesis Penelitian ...BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ......................................................................................B. Lokasi Penelitian ..................................................................C. Populasi Dan Sampel ............................................................................

D. Metode Pengukuran....E. Alur Penelitian........................................F. Pengumpulan Data.....G. Pengolahan dan Analisis DataH. Penyajian Data........................................................................................BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ......................................................................................B. Pembahasan ...........................................................................C. Keterbatasan Penelitian..........................................................................BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................B. Saran ......................................................................................DAFTAR PUSTAKALAMPIRANiiivviixi

xiiixv1

5

5

6

8

8

8

10

12

15

15

16

17

21

24

26

26

28

29

29

32

35

38

38

39

40

40

40

42

43

46

46

46

47

53

58

59

59

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Tabel 2.2

Tabel 2.3

Tabel 5.1

Tabel 5.2

Tabel 5.3

Tabel 5.4

Tabel 5.5

Tabel 5.6

Tabel 5.7

Tabel 5.8

Tabel 5.9

Tabel 5.10

Efektivitas Kulit Jeruk Manis terhadap Larva Aedes aegypti.......................

Efektivitas Temephos terhadap Aedes aegypti.......

Perbandingan Efektivitas Larvasida Organik dan Temephos terhadap Larva Aedes aegypti...

Hasil Analisis Probit Nilai LC untuk Air Perasan Kulit Jeruk Manis pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam.

Hasil Analisis Probit Nilai LC untuk Kulit Jeruk Manis pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam

Hasil Analisis Probit Nilai LT untuk Air Perasan Kulit Jeruk Manis pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam.

Hasil Analisis Probit Nilai LT untuk Kulit Jeruk Manis pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam

Hasil Analisis Probit Nilai LC untuk Temephos pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam..

Hasil Analisis Probit Nilai LT untuk Temephos pada Larva Aedes aegypti selama 1 x 24 jam..

Rata-Rata Populasi Mortalitas dan Lama Waktu yang Dibutuhkan (LT95) untuk Membunuh Larva Aedes aegypti Berdasarkan Jenis Kelompok Perlakuan...

Hasil Uji Anova Antara Pemberian Larvasida Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti.

Hasil Uji Independent-T-Sample Antara Temephos dan Air Perasan Kulit Jeruk Manis sebagai Larvaida Berdasarkan Rerata Mortalitas Larva Aedes aegypti.

Hasil Uji Independet-T-Sample Antara Temephos dan Air Perasan Kulit Jeruk Manis sebagai Larvasida Berdasarkan Rerata Waktu Kematian Larva Aedes aegypti.......27

32

33

54

56

59

62

64

67

68

70

71

72

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Gambar 2.2

Gambar 2.3

Gambar 2.4

Gambar 2.5

Gambar 2.6

Gambar 2.7

Gambar 5.1

Gambar 5.2

Gambar 5.3

Gambar 5.4

Gambar 5.5

Gambar 5.6

Gambar 5.7

Gambar 5.8

Gambar 5.9

Gambar 5.10

Gambar 5.11

Gambar 5.12

Gambar 5.13Telur Aedes aegypti...

Larva Aedes aegypti..

Pupa Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti..

Buah dan Isi Jeruk Manis.

Kulit Buah Jeruk Manis Tua dan Muda

Kemasan dan Isi Temephos 1%............................................

Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Air Perasan Kulit Jeruk Manis pada Uji Pendahuluan......

Analisis Probit untuk LC95 Air Perasan Kulit Jeruk Manis.....................................................................................

Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Kulit Jeruk Manis pada Uji Pendahuluan

Analisis Probit untuk LC95 Air Perasan Kulit Jeruk Manis..

Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Air Perasan Kulit Jeruk Manis pada Uji Sebenarnya ..............

Analisis Probit untuk LC95 Air Perasan Kulit JerukManis...

Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Kulit Jeruk Manis pada Uji Sebenarnya..

Analisis Probit untuk LT95 Kulit Jeruk Manis......................Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Temephos 1% Manis pada Uji Pendahuluan..

Analisis Probit untuk LT95 Temephos 1%.............................

Rata-Rata Mortalitas Larva Aedes aegypti Akibat Pemberian Temephos 1% pada Uji Sebenarnya...

Analisis Pobit untuk LT95 Temephos 1%

Mortalitas Larva Aedes aegypti pada kelompok Perlakuan dengan 10 Kali Replikasi..........................

12

14

15

16

22

23

28

53

54

55

56

58

59

61

62

63

64

66

67

69

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Surat Keterangan Telah Melakukan Pengambilan Sampel

3. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

4. Alat dan Bahan Pelaksanaan Uji

5. Tabel dan Hasil Uji Statistik

6. DokumentasiBAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangMasalah kesehatan masyarakat di Indonesia sampai saat ini ialah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang semakin lama semakin meningkat jumlah pasien serta penyebarannya semakin luas. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sering menimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan kematian yang besar. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik (WHO, 2004).Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti (Fathi, 2005). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menduduki posisi pertama dalam banyaknya jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertiggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes RI, 2010). DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, ditemukan sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3 %). Angka insiden DBD secara

nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya, pola epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan dengan periode antara 25 tahunan, sedangkan angka kematian cenderung menurun. Telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/ kota yang endemis DBD. Dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. (Kemenkes RI, 2010).Berdasarkan data dari P2PL Kemenkes RI tahun 2011, kasus DBD menurun dari tahun 2010 ke tahun 2011. Pada tahun 2010, jumlah kasus DBD sebesar 148.560 dengan Incidence Rate (IR) sebesar 62,5/100.000 penduduk (CFR = 0.87%) dan tahun 2011 jumlah kasus menjadi 49.868 dengan Incidence Rate (IR) sebesar 21/100.000 penduduk (CFR = 0.80%). Jumlah penderita DBD tahun 2012 kembali mengalami peningkatan sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian dengan Incidence Rate (IR) sebesar 37.27/100.000 penduduk (CFR= 0.905%). Sejalan dengan hal tersebut, P2PL (2012), menambahkan bahwa tingginya kasus DBD tidak lepas dari tingginya kepadatan larva. Angka Bebas Jentik (ABJ) di Indonesia masih jauh dibawah standar (95%), yakni tahun 2009 sebesar 71.1%, kemudian meningkat di tahun 2010 menjadi 80.2%. namun kembali menurun tahun 2011 dan 2012 berturut-turut sebesar 76.2% dan 79.3%. Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, pada tahun 2011 jumlah kasus DBD sebesar 1.520 kasus (IR=18,71) dengan 11 kematian (CFR=0,72%). Secara nasional, kasus DBD di Propinsi Sulawesi Selatan berada di bawah angka rata-rata nasional, namun tetap perlu mendapatkan perhatian karena DBD tetap endemis di beberapa kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2012).Pada tahun 2013 kasus DBD kembali tinggi, jumlah penderita DBD di seluruh wilayah Puskesmas di Kota Makassar sebanyak 265 kasus dengan Angka Kesakitan/IR = 19,6 per 100.000 penduduk diantaranya terdapat 11 kasus kematian karena DBD, jumlah tersebut meningkat dibanding tahun 2012 sebanyak 86 kasus dengan Angka Kesakita/IR 6,3 per 100.000 penduduk dan terdapat 2 kematian (Profil Kesehatan Kota Makassar, 2013). Dari beberapa kecamatan dengan kelurahan yang memiliki jumlah kasus tertinggi tahun 2013. Kelurahan Antang di Kecematan Manggala dengan jumlah kasus sebanyak 41 kasus. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah yang terjadi di Makassar tahun 2013 berlokasi di wilayah Puskesmas Antang Kecamatan Manggala dengan CFR 39 korban.Meningkatnya angka Demam Berdarah Dengue di berbagai kota di Indonesia khususnya di kota Makassar disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti (Achmadi, 2009). Sampai saat ini obat untuk pengobatan DBD maupun vaksin untuk mencegahnya belum ditemukan dan pengendalian vektor merupakan satu-satunya cara untuk memutus rantai penularannya. Upaya penanggulangan DBD telah dilakukan dengan fogging focus, fogging sebelum musim penularan, abatisasi massal dan abatisasi selektif serta pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan melibatkan seluruh potensi masyarakat (Ishak, 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian vektor DBD yang efisien dan efektif adalah memutuskan rantai penularan dengan membunuh vektornya dengan berbagai cara yaitu dapat secara mekanis, yaitu membunuh langsung nyamuk, dapat secara biologis, misalnya dengan memasukkan ikan pemakan jentik nyamuk ke dalam tempat perindukannya, dapat juga dengan menggunakan insektisida. Insektisida ini ada yang ditaburkan di air dan ada yang diasapkan ke udara sebagai kabut untuk membunuh nyamuk dewasa, karena lebih efektif, cepat dan mudah pemakaiannya (Hadi, 2006). Malathion merupakan salah satu insektisida yang digunakan untuk memberantas vektor DBD sampai sekarang. Departemen Kesehatan telah menggunakan insektisida malathion sejak tahun 1972 dan lamdasihalotrin (Icon 25 EC) digunakan sejak tahun 1991 untuk program pemberantasan nyamuk vektor penyakit DBD. Salah satu cara yang untuk mengendalikan vektor penyakit DBD adalah dengan menggunakan insektisida seperti malathion yang penggunaannya dengan cara thermal fogging.

Insektisida yang digunakan pada thermal fogging berbentuk cairan dan biasanya dilarutkan dengan minyak, seperti solar atau minyak tanah. Formulasi larutan atau dosis aplikasi insektisida disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh produk penghasil insektisida tersebut (Sembiring, 2009).Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2006) menyatakan bahwa Fogging merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memutuskan rantai penularan penyakit demam berdarah. Hasil yang optimum dapat dicapai jika fogging dilaksanakan bersama-sama dengan PSN dan abatisasi.Penelitian lain yang dilakukan Milana Salim,dkk (2011) menyatakan bahwa Aedes aegypti dewasa masih rentan terhadap malathion dosis 5%. Sedangkan pada penetitian Shinta, dkk. (2008) mengatakan bahwa populasi Aedes aegypti terhadap insektisida malathion 0,8% adalah kebal. Dan nilai LT50 dan LT90 lebih tinggi. Berdasarkan fakta di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Uji Efektifitas Malathion terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah malathion masih efektif sebagai insektisida untuk nyamuk Aedes aegypti.B. RumusanMasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas malathion terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti.C. TujuanPenelitian1. Tujuan UmumMengetahui efektivitas malathion terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti.2. Tujuan Khususa. Mengetahui efektivitas malathion terhadap mortalitas nyamuk Aedes aegypti.b. Menghitung rata-rata populasi mortalitas nyamuk Aedes aegypti setelah pemberian malathion.c. Mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan malathion untuk mematikan nyamuk Aedes aegypti sebesar 95% (LT95).D. Manfaat PenelitianPeneliti berharap agar penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat baik bagi institusi pemerintah yang terkait maupun swasta, Perguruan Tinggi/ Universitas, khususnya dibidang kesehatan masyarakat dan termasuk bagi peneliti, diantaranya : 1. Manfaat IlmiahMemperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai referensi/rujukan bagi penelitian berikutya.2. Manfaat Bagi InstitusiDapat memberikan sumbangan informasi kepada institusi terkait, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Makassar maupun instansi kesehatan lain dalam arah penentuan kebijakan program pemberantasan penyakit DBD, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar secara kontinyu.3. Manfaat Praktis Pengalaman yang berharga dan memberikan tambahan pengetahuan dalam mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya mengenai vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) serta dalam menerapkan tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitan dan pengabdian kepada masyarakat yang merupakan peran bagi setiap mahasiswa.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD)1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypt melalui virus yang dimilikinya yaitu virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Virus ini berkembang biak di dalam kelenjar liur di pangkal belalai nyamuk dan berkembang subur di dalam darah manusia (Faiz, dkk, 2013).

Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam- ruam. Demam berdarah dengue/dengue hemorraghagic fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS) (Mardiana, 2010).

2. Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)

Tanda-tanda dan gejala Penyakit DBD adalah (Siregar, 2004):

a. Demam penyakit DBD di dahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik seperti: anorexia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan kepala

b. Manipestasi Pendarahan. Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa :1) techiae 2) Purpura 3) Echymosis4) Perdarahan cunjunctiva 5) Perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis) 6) Perdarahan gusi 7) Muntah darah (Hematenesis) 8) Buang air besar berdarah (melena) 9) Kencing berdarah (Hematuri) Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah Dengue. c. Pembesaran hati (Hepotonegali). Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain serotype virus dengue. d. Renjatan (ShocK). Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan: 1) Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jaridan kaki. 2) Penderita menjadi gelisah. 3) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tas teraba. 4) Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang)5) Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih buruk. e. Gejala Klinis Lain. Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah: anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang. 3. Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menghisap darah dari manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darah). Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari, sehingga kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus dapat disebarkan ketika nyamuk menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Dalam tubuh manusia, virus akan berkembang selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari).Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit (Widoyono, 2008).

Demam Berdarah Dengue (DBD), tergantung dari status imunitas setiap individu, ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, meskipun tidak mengalami tanda dan gejala sakit, orang tersebut merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu. Akan tetapi pada individu yang imunitasnya lemah, akan tampak gejala awal seperti demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan, dan gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit (Widoyono, 2008).

Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis dapat dibagi atas (Soegijanto, 2008) :a. Derajat I (ringan)

Demam mendadak 27 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi perdarahan dengan uji truniquet positif. b. Derajat II (sedang)Penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan lain.c. Derajat III (berat)Penderita dengan gejala shoch/kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.d. Derajat IV (berat)

Penderita shock berat dengan tensi yang tidak dapat diukur dan nadi yang tidak dapat diraba.

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat apabila vektor penularnya tersedia, adapun tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD, yaitu (Sitio, 2008):

a. Tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang. Beberapa orang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat umum yang dimaksud seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

b. Wilayah dengan jumlah kasus yang tinggi (endemis).

c. Pemukiman baru di pinggir kota dimana penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah sehingga memungkinkan terdapat penderita atau karies yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.

4. Pencegahan dan Pemberantasa Demam Berdarah Dengue (DBD)

a. Manajemen lingkungan Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang (WHO, 2005). Menurut Hadinegoro (2004) menjelaskan bahwa cara yang tepat guna menekan pertumbuhan vektor ialah dengan melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu menghindari menggantung pakaian dikamar yang gelap dan lembab karena dapat menjadi tempat perindukan bagi nyamuk serta meningkatkan kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam membasmi jentik nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M yaitu: menguras atau membersihkan secara teratur minimal seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air (bak mandi, kolam hias, drum, wadah airminum hewan, pot bunga) dan mengubur atau menyingkirkan barang bekas (ban, kaleng serta ember bekas) yang dapat menjadi sarang nyamuk.

b. Perlindungan diri

Pakaian mengurangi risiko tergigit nyamuk jika pakaian itu cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaus kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang merupakan tempat yang paling sering terkena gigitan nyamuk (WHO, 2005). Selain itu untuk menghindari gigitan nyamuk Aedes aegypti dapat menggunakan kelambu bila tidur, memasang kawat kassa pada ventilasi udara, memakai obat nyamuk bakar/semprot serta memakai obat nyamuk oles (repellent) di dalam maupun di luar rumah pada pagi dan sore hari (Depkes RI, 2012).c. Abatisasi

Abatisasi dilaksanakan didesa/kelurahan endemis terutama disekolah dan tempat-tempat umum. Semua tempat penampungan air dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik nyamuk ditaburi bubuk abate sesuai dengan dosis yaitu 10 gram abate untuk 100 liter air (WHO, 2005).

d. Pengendalian biologis

Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD ialah ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan salah satunya dikota Palembang adalah ikan cupang. (Depkes RI, 2012)

e. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

Pemantauan jentik berkala yang dilakukan setiap 3 bulan di rumah dan di tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala dirumah dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sebagai sampel untuk setiap desa/ kelurahan. Hasil PJB ini diinformasikan pihak kesehatan kepada kepala wilayah/ daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan angka bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan desa dapat mencapai lebih 95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD (Hadinegoro, 2004).

f. Fogging Focus

Fogging focus merupakan kegiatan menyemprotkan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dan merupakan salah satu cara yang cukup banyak dipakai di Indonesia, namun cara ini kurang efektif karena hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada suatu wilayah dengan radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif hanya untuk satu sampai dua hari. Kegiatan fogging ini tidak dapat membunuh larva nyamuk.

Menurut Bapelkes 2000, kegiatan pokok dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD meliputi:

a. Surveilans epidemiologi, meliputi kegiatan pengamatan, pengumpulan dan analisis data penyakit sehingga dapat diambil tindakan,b. Pengobatan penderita, baik yang bersifat pencegahan atau penyembuhan dalam rangka memutus rantai penularan,c. Pemberantasan vektor secara mekanis, kimiawis dan biologi,d. Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit yaitu peningkatan kejadian jumlah kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada waktu sebelumnya (jam, hari, minggu atau bulan).B. Tinjaun Umum Tentang Nyamuk Aedes Aegypti1. KlasifikasiMenurut Mullen dan Durden (2002), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Ordo

: Diptera

Sub Ordo

: Nematocera

Infra Ordo

: Culicomorpha

Superfamili

: Culicoidea

Famili

: Culicidae

Sub Famili

: Culicinae

Genus

: Aedes

Spesies

: Aedes aegypti2. Morfologi Nyamuk Aedes aegyptiNyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).

Menurut Widoyono (2008) vektor primer dan yang paling efektif terhadap penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) yang merupakan nyamuk tropis dan subtropis, akan tetapi distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian, biasanya tidak dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter dan vektor sekundernya yaitu nyamuk Aedes albopictus (di daerah pedesaan).

Depkes RI (2012) menjelaskan bahwa Nyamuk Aedes aegypti aktif menggigit pada waktu pagi hari (pukul 08.00-12.00) dan sore hari (pukul 15.0017.00). Nyamuk Aedes aegypti ini hidup dan berkembangbiak pada tempat- tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah seperti: vas bunga, toren air, bak mandi, tempayan, ban bekas, kaleng bekas, botol minuman bekas dll. 3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegyptiNyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines lain meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu (Parida, 2009) :

a. TelurTelur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam temat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.

b. LarvaLarva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

c. PupaPupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada (ceplohalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

d. DewasaNyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mlut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. 4. Bionomik Nyamuk Demam Aedes aegyptia. Tempat Perkembangbiakan

Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut (Depkes RI, 2005) dalam Nugroho (2009) yaitu:

1) TPA untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

2) TPA bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bamboo.

b. Kebiasaan Menggigit Kebiasaan menggigit/waktu menggigit nyamuk Aedes aegypti lebih banyak pada waktu siang hari dari pada malam hari, lebih banyak menggigit pukul 08.00 12.00 dan pukul 15.00 17.00 dan lebih banyak menggigit di dalam rumah dari pada diluar rumah. Setelah menggigit selama menunggu waktu pematangan telur nyamuk akan berkumpul di tempat-tempat di mana terdapat kondisi yang optimum untuk beristirahat, setelah itu akan bertelur dan menggigit lagi. Tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap istirahat selama menunggu waktu bertelur adalah tempat-tempat yang gelap, lembab, dan sedikit angin, nyamuk Aedes aegypti biasa hinggap beristirahat pada baju-baju yang bergantungan atau benda-benda lain di dalam rumah yang remang-remang (Sitio, 2008)c. Kebiasaan beristirahat

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, tempat tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk tempat tidur, kloset, kamar mandi dan dapur. Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang aga gelap dan lembab. Di tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2005 dalam Nugroho, 2009).

d. Jarak Terbang

Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas (Sitio, 2008)

Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegyptibersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah, endofilik. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008)

5. Pengendalian dan Pemberantasan Aedes aegyptiPerkembangan ilmu kedokteran yang maju juga belum dapat menanggulangi masalah penyakit demam berdarah dengan imunisasi. Oleh karena itu, pencegahan secara konvensional melalui program kebersihan lingkungan masih tetap dilakukan (Sembel, 2009: 66-68). Menurut Dantje T. Sembel, upaya-upaya pengendalian nyamuk adalah sebagai berikut:

a. Pengendalian Cara Sanitasi

Pengendalian melalui sanitasi lingkungan merupakan pengendalian secara tidak langsung, yaitu membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk. Contoh dari pengendalian ini adalah 3M (Menguras, Mengubur, dan Menutup).

b. Pengendalian Cara Mekanik

Pengendalian mekanik merupakan upaya pencegahan dari gigitan nyamuk dengan memakai pakaian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh, pengunaan net atau kawat kasa di rumah-rumah.

c. Pengendalian dengan Insektisida

Cara yang biasa digunakan untuk menurunkan populasi nyamuk dewasa adalah penyemprotan dengan ULV malathion, sedangkan pengendalian yang biasa digunakan untuk larva-larva nyamuk adalah dengan menggunakan larvasida atau abate.

d. Pengembangan Infrastruktur Kesehatan

Strategi pencegahan yang lebih baik perlu dilakukan terus melalui pemberdayaan dan peningkatan pendidikan kesehatan serta melibatkan tiap individu dalam keluarga, dan setiap lapisan masyarakat demi tercapainya tujuan dari program pencegahan suatu penyakit.

e. Penggunaan Zat Penolak Serangga

Zat penolak serangga seperti permethrin mengandung zat penolak seperti permanone atau deltamethrin yang direkomendasikan untuk pakaian, sepatu, kelambu, dan alat-alat untuk perkemahan. Obat nyamuk yang direkomendasikan saat ini adalah DEET (N,N-diethylmetatoluamide) sebagai ingridien aktif. Konsentrasi DEET 50% hanya untuk orang dewasa dan anak-anak di atas 2 bulan. Bila konsentrsi terlalu tinggi akan mengakibatkan blister.

f. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati dilakukan dengan cara penyebaran predator dan patogen. Patogen mikroba yang digunakan seperti Bacillus sphaericus, Bacillus thuringiensis, serta Mesotoma sp.

6. Pencegahan Demam Berdarah Dengue

Virus dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Cara mencegah demam berdarah dengue yang efektif adalah pengendalian vektor penyakit yaitu nyamuk Aedes agypti dengan jalan (Parida,2009):

a. Fogging, atau pengasapan insektisida. Cara ini memiliki kekurangan karena hanya dapat memberantas nyamuk dewasa, bukan larva; hanya memiliki jangkauan 100-200 m dari pusat pengasapan serta adanya kecenderungan nyamuk mengalami kekebalan terhadap insektisida.

b. Pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan selambu, atau obat-obat yang dioleskan ke kulit. Beberapa tanaman seperti zodia, geranium dan lavender ternyata disebutkan dapat mencegah gigitan nyamuk.

c. Pemberian obat-obatan pembasmi larva,seperti abate, pada tempat penampungan air.d. Pemberantasan sarang nyamuk, seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah melalui program 3 M.

C. Tinjauan Umum Tentang InsektisidaInsektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga sedangkan cide berarti membunuh. Dengan kata lain pengertian insektisida secara luas adalah semua bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membunuh, mengendalikan, mencegah, menolak atau mengurangi serangga (Hadi, 2006).

Ada bermacam-macam golongan insektisida yang berasal dari bahan sintetik yaitu:

1. OrganofosfatOrganofosfat (OP) adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya (Darmono, 2003).

Organofosfat merupakan insektisida yang mengandung fosfat dalam susunan kimianya. Ciri khas malathion adalah mempunyai kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat, toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah, dan terhadap vertebrata kurang stabil, korosif, berbau, dan memiliki rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun perut, sebagai racun kontak (contact poison) dan racun inhasi. Insektisida organofosfat merupakan racun yang bekerja dengan cara menghambat kolinestrase (ChE) yang mengakibatkan serangga sasaran mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati (Djojosumarto, 2008).

Adapun insektisida yang memiliki zat aktif malathion antara lain fumithion, gitanthion, drexelthion, rider dan sinothion (Deptan, 2008). Malathion adalah bahan teknis pestisida yang dapat diemulsikan untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti, nyamuk culex quin quefasciatus dan nyamuk anopheles sp di dalam dan di luar ruangan. Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang berarti berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf serangga. Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh, dan akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (Kasumbogo, 2004).

Adapun spesifikasi Malathion adalah sebagai berikut: Nama Dagang

: MalathionGolongan

: Organo fosfatRumus Molekul

: C10H19O6PS2

Kandungan bahan aktif: Malathion 95 % Dosis aplikasi

: 50 ml/liter solarNo.Reg.Komisi Pestisida: RI. 1246/ I 2002/ TSifat Fisik

: Cairan JernihWarna

: KecoklatanAplikasi

: Thermal Fogging, Cold FoggingSerangga Sasaran

: Aedes, Culex sp, Anopheles sp2. OrganoklorinOrganoklorin atau disebut Chlorinated hydrocarbon terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disintesis adalah Dichloro-diphenyl-trichloroethan atau disebut DDT. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10 mg akan dapat menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972.3. KarbamatInsektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat kolinesterase (ChE). Insektisida dari kelompok karbamat relatif mudah terurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak (Djojosumarto, 2008). Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh serangga. Insektisida ini dapat bertahan di dalam tubuh antara 124 jam dan diekskresikan secara cepat dari dalam tubuh.Pada serangga, target keracunan oleh karbamat adalah pada ganglion system saraf pusat 4. Sintetik PiretroidInsektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan tiruan atau analog dari piretrum. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif masing-masing. Kebanyakan piretroid yang memiliki efek sebagai racun kontak yang sangat kuat. Insektisida piretroid merupakan racun yang mempengaruhi saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam cara kerja pada susunan saraf sentral (Djojosumarto, 2008).

Ada beberapa bahan aktif yang berasal dari sintetik piretroid, yaitu:a. LamdasihalotrinLamdasihalotrin, merupakan racun kontak dan racun perut yang banyak dipergunakan untuk pengendalian serangga. Insektisida golongan ini seperti icon, kenanga, origin, dan procon yang tergolong racun dengan toksisitas rendah bila terpapar melalui kulit, tetapi sangat beracun bila terhirup. Insektisida golongan lamdasihalotrin, dilarutkan di dalam bahan pelarut bersama-sama dengan formulasi lainnya.

Icon adalah insektisida golongan sintetik piretroid terbaru yang mengandung bahan aktif 25 g/l lamdasihalotrin. Adapun kelebihan insektisida icon adalah (Syngenta, 2003)1) Pada dosis rendah dapat mematikan berbagai serangga pengganggu kesehatan masyarakat. 2) Memiliki daya pengendalian yang lama.

3) Menghemat biaya pengendalian.

4) Mempunyai persistensi yang bagus pada berbagai macam permukaan.

5) Tidak berbau.

6) Tidak meninggalkan bekas pada permukaan yang disemprot.

7) Mudah menggunakannya.

8) Sangat cocok untuk mengatasi gangguan kecoa, nyamuk dan lalat di rumah dan di lingku ngan tempat tinggal.

9) Diterima oleh pemilik rumah

b. SipermetrinSipermetrin merupakan racun kontak dan racun perut yang penggunaannya selain untuk pengendalian serangga juga untuk lahan pertanian. Penggunaan sipermetrin sangat populer karena efektifitasnya dan murah harganya. Di Indonesia sipermetrin digunakan untuk pengendalian serangga atau hama pemukiman seperti pengendalian nyamuk, lalat dan kecoa.

Adapun kelebihan insektisida seruni adalah (Damar, 2005):

1) Efektif mengendalikan nyamuk Aedes aegypti.

2) Hemat, dosis aplikasi yang rendah.

3) Beraroma lembut dan relative tidak berbahaya kepada operator.

4) Memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia. 5) Murah diaplikasikan dengan cold fogging/pengkabutan dan thermal fogging/pengasapan.

c. Zeta Sipermetrin

Zeta Sipermetrin merupakan insektisida piretroid hasil rekayasa teknologi tinggi yang ramah lingkungan. Salah satu insektisida tersebut adalah mustang 25 EC yang merupakan racun serangga yang bersifat kontak dan sangat efektif membunuh semut, kecoa, lalat dan nyamuk.

Mustang mempunyai efek knock down dan melumpuhkan serangga dengan cepat. Ada beberapa kelebihan mustang yaitu (Bina Kimia, 2001):

1) Mempunyai efek residu lebih lama sehingga dapat menjaga lebih lama area perlakuan dari investasi hama baru.

2) Mempunyai tekanan uap rendah sehingga bahaya terhirup oleh operator dan pemakai relatif rendah.

D. Tinjauan Umum Tentang MalathionProgram pemberantasan atau pengendalian vector dibeberapa Negara termasuk di Indonesia umumnya dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan insektisida. Insektisida yang digunakan seperti malathion dan themofos (abate). Di Indonesia sendiri masih menggunakan malathion untuk nyamuk dewasa (Syafaruddin, 2007).Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfor yang dipergunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap mammalia relatif rendah, sehingga banyak digunakan.Malathion digunakan bersama solar dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan teknik pengabutan pada suatu daerah. Percampuran dengan solar harus didasarkan dengan perhitungan yang matang menyangkut perbandingan masing-masing bagian. Pencampuran yang salah akan mengakibatkan nyamuk tidak terbunuh (resisten) terhadap insektisida yang digunakan dalam penyemprotan (Syafaruddin, 2007).

Bahan aktif malathion biasanya berbentuk cairan bening yang dapat menjadi formulasi, konsentrat emulsi, debu dan bubuk yang dapat dibasahkan. Berdasarkan pengalaman, penggunaan malathion secara residual dengan dosis 100-200 mg/square feet (standar aplikasi gal, malathion 2,5-5% per 1000 square) telah mampu membunuh nyamuk selama 3-5 bulan. Fogging dengan malathion dosis 1:19 atau dengan konsentrasi 95% dicampur dengan solar maka campuran tersebut harus jernih dan tidak ada endapan (Kusnadi, 2006).Malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak langsung dan dengan uap/pernapasan. Malathion mempunyai sifat yang sangat khas, dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Insektisida mengalami proses biotransformation di dalam darah dan hati. Sebagian malathion dapat dipecahkan dalam hati mammalia dan penurunan jumlah dalam tubuh terjadi melalui jalan hidrolisa esterase. Kadar insektisida di dalam bermacam-macam jaringan meningkat sesuai dengan lama waktu pemberian, kemudian (setelah 2 bulan) secara umum menunjukkan penurunan, walaupun masih diberikan terus.

Table 1.1

Efektivitas Malathion Terhadap Nyamuk Aedes aegyptiNoPeneliti dan Judul PenelitianVariabelMetode PenelitianHasil Penelitian

1

Shinta, dkk.(2008). Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor Terhadap Insektisida Malathion dan Lambdacyhalothrin.Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis insektisida malathion. Variabel terikat yaitu kerentanan nyamuk Aedes aegyptiMetode eksperimenpopulasi Aedes aegypti terhadap insektisida malathion 0,8% adalah kebal (resisten).

2Kadarismanto (2003). Efektivitas Daya Bunuh Malathion terhadap Nyamuk Aedes aegypti di Kota samarinda.Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis insektisida malathion. Variabel terikat yaitu daya bunuh nyamuk Aedes aegyptiMetode test Pengabutan LangsungDaya bunuh malathion 5% pada 5 menit 73,3%, 10 menit 80%, 15 menit 100%. Belum terjadi resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap malathion.

3.Zrimurti Mappau (2005). Bioassay Test Untuk Uji Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Malathion dan Efektivitas Tiga Jenis Insektisida Komersial yang Mengandung Propoksur Terhadap Populasi Aedes aegypti di Kota MakassarVariabel bebas dalam penelitian ini yaitu dosis dan jenis insektisida malathion. Variabel terikat yaitu populasi nyamuk Aedes aegyptiMetode eksperimen laboratorium / BioassayBelum terjadi resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap malathion. pada penelitian ini ditemukan mortalitas nyamuk 100% di Kelurahan Maricaya pada menit ke 15 sedangkan sekitar Kawasan Jalan Landak pada menit ke 10.

4Salim, M., dkk. 2011. Efektivitas Malathion Dalam Pengendalian Vektor DBD dan Uji Kerentanan Larva Aedes aegypti Terhadap Temephose di Kota PalembangVariabel bebas dalam penelitian ini yaitu dosis malathion dan temephose. Variabel terikat yaitu pengendalian vector DBD.Metode eksperimen laboratoriumAedes aegypti dewasa masih rentan terhadap malathion dengan dosis 5%.

5Syafaruddin (2007). Efektifitas Malathion dengan Variasi Dosis dalam Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti di Kota Bau-BauVariabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis malathion. Variabel terikat yaitu pengendalian nyamuk Aedes aegypti.Metode eksperimen laboratorium / SubsibilityBelum terjadi resistensi terhadap dosis aplikasi (4,75%) maupun dosis pengembangan (4,13%, 4,32%, 4,52%, dan 5%)

BAB IIIKERANGKA KONSEPA. Dasar Pemikiran Variabel PenelitianPenggunaan insektisida merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan vector nyamuk Aedes aegypti. Ada beberapa macam insektisida yang dapat digunakan, insektisida yang paling umum digunakan masyarakat adalah malathion. Insektisida ini juga digunakan dalam program fogging (mengasapan).Adapun variabel-variabel yang termasuk dalam pola piker penelitian, antara lain :1. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Kematian nyamuk Aedies aegypti berhubungan dengan angka kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Semakin tinggi populasi nyamuk Aedes aegypti maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya kasus DBD di Indonesia.2. Malathion Malathion temasuk insektisida yang banyak digunakan untuk membasmi vektor utama penyakit DBD dengan cara fogging. Fogging merupakan bagian dari program pemberantasan massal nyamuk Aedes aegypti di Indonesia.Berdasarkan studi pustaka yang disusun pada kerangka teori mengenai fungsi malathion, sebagai berikut

Adapun variabel-variabel yang termasuk dalam pola piker penelitian, antara lain :3. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Kematian nyamuk Aedes aegypti berhubungan dengan angka kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Semakin tinggi populasi nyamuk Aedes aegypti maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya kasus DBD di Indonesia.4. Malathion Malathion temasuk insektisida yang banyak digunakan untuk membasmi vektor utama penyakit DBD dengan cara fogging. Fogging merupakan bagian dari program pemberantasan massal nyamuk Aedes aegypti di IndonesiaB. Pola Pikir Variabel yang Diteliti

Keterangan:

C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif1. Nyamuk Aedes aegyptiYaitu nyamuk Aedes aegypti berasal dari larva Aedes aegypti yang diambil dari beberapa lingkungan rumah masyarakat lalu dikembangbiakkan hingga mencapai nyamuk dewasa yang berumur 2-5 hari.2. MalathionYaitu insektisida yang di campur dengan aceton kemudian di oleskan secara merasa ke dalam botol subsibility.Kriteria objektif :

Ada pengaruh: Apabila dalam dosis yang diberikan dapat

membunuh 95% sampel nyamuk Aedes aegypti.Tidak ada pengaruh: Apabila tidak memenuhi kriteria di atas.3. Mortalitas Nyamuk Aedes aegyptiYaitu kematian nyamuk Aedes aegypti akibat pemberian malathion, dimana nyamuk tidak lagi bergerak maupun memberi respon terhadap rangsang. D. Hipotesis Penelitian1. Hipotesi Nol (Ho)Tidak ada pengaruh pemberian malathion dengan mortalitas nyamuk Aedes aegypti.2. Hipotesis Alternatif (Ha)Tidak ada pengaruh pemberian malathion dengan mortalitas nyamuk Aedes aegypti.BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen murni (true experiment) dengan rancangan post test dengan kelompok control (post test only control group design). Desain ini dipilih karena tidak dilakukan pretest terhadap sampel sebelum perlakuan. Sampel yang digunakan pada kelompok eksperimen dan kelompok control dianggap sama sebelum mendapatkan perlakuan. Penelitian dengan cara ini memungkinkan peneliti untuk melakukan pengukuran pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen yang satu dengan cara membandingkannya dengan kelompok eksperimen yang lain dan kelompok kontrol. B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Tapi sebelumnya dilakukan pengambilan sampel telur nyamuk atau pemasangan ovitrap di Kelurahan Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypty dewasa. Nyamuk dewasa didapat dengan memelihara larva Aedes aegypti yang

diambil di daerah dengan kasus DBD yang tinggi yaitu Kelurahan Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang berumur 2-5 hari berdasarkan kriteria WHO. Jumlah sampel yang digunakan ialah masing-masing 25 ekor nyamuk untuk masing-masing pengujian (WHO, 2006). Dilakukan uji dengan tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok I (kontrol), kelompok II (malathion 0,8%), kelompok III (malathion 5%).

Penelitian ini dilakukan dengan 3 perlakuan yang masing-masing dilakukan 9 kali replikasi. Total sampel nyamuk yang digunakan berjumlah 675 nyamuk. Adapun jumlah replikasi didapatkan dengan menggunakan rumus Federer berikut:

(t-1) (r-1) > 15

Keterangan :

t = Jumlah Perlakuan

r = Jumlah Replikasi

Sehingga :

(t-1) (r-1) > 15

(3-1) (r-1) > 15

2 (r-1) > 15

2r-2 > 15

r > 9

Maka jumlah replikasi minimum adalah 9.

D. Metode Pengukuran

1. Untuk mengukur dosis malathion digunakan ml.

2. Untuk mengukur suhu ruangan dengan C.

3. Untuk mengukur kelembaban dengan satuan persen %.

E. Alur Penelitian

Adapun prosedur penelitian secara rinci dapat dilihat di bawah ini

1. Tahap penangkapan dan pembiakan larva Aedes aegyptiNyamuk dewasa diperoleh dengan memelihara larva Aedes aegypti yang diperoleh dari daerah dengan kasus DBD yang tinggi. Adapun proses pemeliharaannya adalah sebagai berikut:

a. Larva dipipet menggunakan pipet tetes dari beberapa tempat penampungan air masyarakat dan disimpan di dalam botol plastik.

b. Larva dipindahkan ke nampan dan diberi makanan larva.

c. Apabila telah menjadi pupa, larva dipindahkan ke dalam gelas palstik lalu dimasukkan ke dalam kandang.

d. Pupa akan berkembangbiak menjadi nyamuk dewasa dan dipelihara hingga berusia 2-5 hari.

2. Tahap pembuatan malathion

a. Siapkan wadah/ gelas plastik.

b. Campurkan malathion dengan aceton menggunakan perbandingan 1 : 19.

c. Homogenkan hingga tercampur rata

3. Tahap uji pendahuluan

a. 25 ekor Aedes aegypti dewasa berusia antara 2-5 hari di masukkan ke dalam masing-masing tabung subsibility.b. Dilakukan pengolesan berbagai konsentrasi malathion ke bagian dalam tabung.

c. Tabung subsibility yang telah diolesi malathion diangin-anginkan selama 30-45 menit.

d. Pengamatan dilakukan setiap 3 menit sekali sampai 27 menit.

e. Catat nyamuk yang mati untuk menghitu Lethal dose dan Lethal time.

4. Tahap uji penelitian

a. 25 ekor Aedes aegypti dewasa berusia antara 2-5 hari di masukkan ke dalam masing-masing tabung subsibility

b. Dilakukan pengolesan berbagai konsentrasi malathion ke bagian dalam tabung.

c. Tabung subsibility yang telah diolesi malathion diangin-anginkan selama 30-45 menit.

d. Pengamatan dilakukan setiap 3 menit sekali sampai 27 menit.

e. Dilakukan 9 replikasi untuk masing-masing konsentrasi.

f. Apabila angka kematian pada kelompok kontrol 5-15% dilakukan pengkoreksian dengan menggunakan rumus abbott untuk mengkoreksi angka kematian pada kelompok kontrol.

(A - C)

A1 = x 100%

100 C

Keterangan :

A1 = angka kematian setelah dikoreksi

A = angka kematianpada perlakuan

C = angka kematian pada kontrolF. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Dalam penelitian ini proses pengumpulan data diperoleh dari hasil pencatatan nyamuk yang mati disetiap perlakuan setiap 3 menit sekali sampai 27 menit.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber berupa buku, jurnal penelitian, artikel ilmiah,, dan hasil penelitian sebelumnya (KTI, skripsi, dan tesis) dengan cara mengutip langsung maupun browsing dari internet untuk mendukung jalannya penelitian.

G. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari kelompok perlakuan dianalisa menggunakan. analisis probit untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 95% nyamuk dari masing-masing perlakuan yang disebut dengan lethal time (LT95).H. Penyajian Data

Pada penelitian ini, data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel disertai narasi kemudian diberikan uraian untuk memperjelas pemberian malathion terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti.BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada tanggal 5 Januari 2015 24 April 2015 dengan pengambilan sampel telur nyamuk Aedes aegypti dilaksanakan di Kelurahan Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar dengan cara pemasangan ovitrap di dalam rumah warga.

1. Pengaruh Pemberian Malathion Terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti pada Uji Pendahuluan.a. Lethal Time (LT)

Lethal time (LT) merupakan lama waktu yang dibutuhkan untuk membunuh nyamuk pada persentase tertentu. Lethal time (LT) diketahui pada uji pendahuluan. Adapun variasi waktu yang digunakan untuk menemukan Lethal time adalah 5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit dimana nilai LT yang ingin diketahui adalah nilai dari LT50 dan LT95.

1) Malathion 0,8%

Uji pendahuluan terhadap malathion dilaksanakan pada suhu 27,8C dan kelembaban 76%, adapun hasil dari uji pendahuluan disajikan dalam analisis probit pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1.Tabel 5.1Hasil Analisis Probit Nilai LT95 untuk Malathion 0,8% LT (menit)EstimasiBatas BawahBatas Atas

LT5019,5118,5120,91

LT9025,2923,3428,58

LT9526,9324,6630,81

LT9930,0027,1035,02

Sumber: Data primer, 2015

Gambar 5.1Hasil Analisis Probit untuk Nilai LT95 Malathion 0,8%

Sumber

: Data primer, 2015Keterangan :

Berdasarkan Tabel 5.1 dan Gambar 5.1 di atas dapat diketahui bahwa nilai LT50 adalah 19,51 menit dan nilai LT95 adalah 26,93 menit. Nilai LT95 merupakan nilai yang digunakan untuk melaksanakan uji sebenarnya dimana 27 menit dengan variasi waktu 3 menit, 6 menit, 9 menit, 12 menit, 15 menit, 18 menit, 21 menit, 24 menit, dan 27 menit.

2) Malathion 5%

Uji pendahuluan terhadap malathion dilaksanakan pada suhu 27,8C dan kelembaban 76%, adapun hasil dari uji pendahuluan disajikan dalam analisis probit pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.2.Tabel 5.2Hasil Analisis Probit Nilai LT untuk Malathion 5% LT (menit)EstimasiBatas BawahBatas Atas

LT5010,499,7111,24

LT9015,5414,5716,80

LT9516,9815,8518,47

LT9919,6618,2121,64

Sumber: Data primer, 2015Gambar 5.2Hasil Analisis Probit untuk Nilai LT95 Malathion 5%

Sumber: Data primer, 2015

Keterangan :

Berdasarkan Tabel 5.2 dan Gambar 5.2 di atas dapat diketahui bahwa nilai LT50 adalah 10,49 menit dan nilai LC95 adalah 16,98 menit. Namun, nilai yang digunakan untuk melaksanakan uji sebenarnya adalah 27 menit, disesuaikan dengan LT50 pada malathion 0,8%.2. Pengaruh Pemberian Malathion Terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti pada Uji Sebenarnya pada Masing-Masing Replikasi.

a. Malathin 0,8%

Adapun hasil dari uji sebenarnya dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3

Rata-Rata Mortalitas Nyamuk aedes aegypti Akibat Pemberian Malathion 0,8% Pada Uji Sebenarnya

Sumber: Data primer, 2015Berdasarkan Gambar 5.3, diketahui bahwa mortalitas nyamuk Aedes aegypti berfluktuatif dimana nilai terendah terdapat pada replikasi ke VII sebesar 44% (12) dan nilai tertinggi terdapat pada replikasi ke IV sebesar 80% (20). Adapun rata-rata kematian nyamuk setelah diberikan malathion 0,8% sebanyak 0,7 ml adalah 61,7%, dengan rata-rata suhu ruangan sebesar 28,9C dan rata-rata kelembaban sebesar 76,4%.b. Malathion 5%

Adapun hasil dari uji sebenarnya dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4

Rata-Rata Mortalitas Nyamuk aedes aegypti Akibat Pemberian Malathion 5% Pada Uji Sebenarnya

Sumber: Data primer, 2015Berdasarkan Gambar 5.4, diketahui bahwa mortalitas nyamuk Aedes aegypti berfluktuatif dimana nilai terendah terdapat pada replikasi ke VII sebesar 76% (21) dan nilai tertinggi terdapat pada replikasi ke II, III, IV, dan V sebesar 100% (25). Adapun rata-rata kematian nyamuk setelah diberikan malathion 5% sebanyak 0,2 ml adalah 95,1%, dengan rata-rata suhu ruangan sebesar 28,9C dan rata-rata kelembaban sebesar 76,4%.3. Uji Statistik Setelah Pemberian Insektisida malathion terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegyptiPerbandingan rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti antara ketiga kelompok perlakuan ditunjukkan pada Tabel 5.3.Tabel 5.3

Rata-rata Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti Berdasarkan

Jenis Kelompok Perlakuan

Kelompok PerlakuanReplikasi (n)Rata-rata%Satandar Deviasi

Kontrol9000

Malathion 0,8%915,461,74,5

Malathion 5%923,795,13,9

Sumber: Data primer, 2015

Berdasarkn Tabel 5.3 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata kematian nyamuk yang diakibatkan oleh malathion 5% lebih tinggi yaitu 95,1% dibandingkan malathion 0,8% yaitu 61,7% dalam masing-masing waktu 27 menit. Adapun grafik mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada kelompok perlakuan dengan 9 kali replikasi dapat dilihat pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5

Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti pada Kelompok Perlakuan

dengan 9 Kali Replikasi

Sumber: Data primer, 2015

Berdasarkan Gambar 5.5 dapat dilihat bahwa terdapat daya bunuh yang bervariasi antara kedua jenis insektisida.namun, insektisida malathion 5% memiliki daya bunuh yang lebih tinggi disetiap replikasi.

B. Pembahasan1. Pengaruh Pemberian Malathion terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegyptiMalathion merupakan jenis insektisida golongan organofosfat berupa racun kontak, racun perut ataupun racun fumigant. Senyawa dari golongan organofosfat berpenetrasi kedalam tubuh serangga melalui kutikula, selanjutnya racun tersebut akan menghambat aktivitas enzim Cholinesterase (Che) dalam system syaraf serangga. Insektisida malathion yang digunakan dilingkungan menggunakan konsentrasi 0,8% tp karena 0,8% dianggap sudah resisten jadi konsentrasi malathion dinaikkan menjadi 5%. Konsentrasi 5% digunakan untuk menyesuaikan dengan konsentrasi insektisida lainnya.Pada penelitian ini digunakan 9 kali replikasi dimana penelitian ini dilakukan selama 3 hari, setiap harinya dilakukan 3 kali replikasi. Masing-masing botol sampel berisi 25 ekor nyamuk dan setiap konsentrasi diamati 3 menit sekali hingga menit ke 27, sambil mengukur suhu udara dan kelembabannya. a. Malathion 0,8%Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti setelah terkontaminasi malathion 0,8% adalah sebesar 61,7%. Persentase ini tidak sesuai dengan persentase harapan yang telah dihitung menggunakan analisi probit dimana diperkirakan bahwa malathion 5% mampu membunuh 95% nyamuk Aedes aegypti.

Persentase mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada uji sebenarnya mengalami fluktuasi bahkan terdapat mortalitas nyamuk hanya sebesar 44%, bahkan tidak terdapat mortalitas nyamuk diatas 95%. Mortalitas nyamuk tersebasar hanya 80% pada menit 27. Ini menandakan bahwa malathion 0,8% sudah tidak efektif atau sudah resisten.Hal ini terjadi karena kondisi nyamuk yang digunakan pada 9 kali replikasi berbeda-beda. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Shinta, dkk. (2008) yang mengatakan bahwa populasi Aedes aegypti terhadap insektisida malathion 0,8% adalah kebal (resisten). Meskipun pada penelitian ini tidak terdapat mortalitas nyamuk sebesar 95% tetapi malathion 0,8% memiliki waktu yang lebih cepat dan daya bunuh yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian Shinta hanya terdapat mortalitas nyamuk sebesar 16% dalam waktu 24 jam.

Resistensi insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang diberi perlakuan insektisida secara terus-menerus. Mekanisme resistensi insektisida terhadap serangga pada serangga pada umumnya didasarkan pada mekanisme biokimmia (Syafaruddin, 2007).Pada dasarnya resistensi nyamuk terhadap insektisida termasuk malathion dapat terjadi dalam beberapa bentuk yaitu kekebalan secara fisiologis (physiological resitensce). Populasi nyamuk sebagai makhluk hidup agar tetap survive akan mengadakan reaksi sebagai akibat adanya tekanan racun serangga. Misalnya dengan cara menghasilkan enzim untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam tubuh atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya.

Selain itu terdapat kekebalan pada nyamuk yang dikarenakan oleh perilaku (behaviouristic resitensce). Kekebalan yang disebabkan oleh kepekaan terhadap adanya rangsangan dari racun serangga yang menyebabkan nyamuk menghindari kontak racun serangga.selanjutnya kekebalan bersifat toleransi (toleransi resitensce). Kekebalan ini bukan karena faktor genetik tetapi dikarenakan variasi musiman seperti bentuknya yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan kandungan lemak dan lain-lain sehingga tidak memperoleh cukup dosis racun serangga untuk mematikannya. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya resistensi adalah menggunakan variasi dosis malathion dalam operasional penyemprotan DBD disuatu wilayah (Kusnadi, 2006).

b. Malathion 5%Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti setelah terkontaminasi malathion 5% adalah sebesar 95,1%. Persentase ini sesuai dengan persentase harapan yang telah dihitung menggunakan analisi probit dimana diperkirakan bahwa malathion 5% mampu membunuh 95% nyamuk Aedes aegypti. Persentase mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada uji sebenarnya mengalami fluktuasi bahkan terdapat mortalitas nyamuk terendah sebesar 84% dan terdapat mortalitas nyamuk sebesar 100% pada menit 27. Ini menandakan bahwa malathion 5% masih efektif atau masih rentan.Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kadarismanto di samarinda dengan menggunakan pengabutan langsung yang menemukan hasil nyamuk di Samarinda masih rentan terhadap insektisida malathion pada dosis 5% karena semua nyamuk mengalami kematian 100% pada menit ke 20.Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan Milana Salim,dkk (2011) menyatakan bahwa Aedes aegypti dewasa masih rentan terhadap malathion dosis 5%. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zrimurti Mappau di Kota Makassar tahun 2005 menemukan bahwa nyamuk di Kota Makassar tepatnya di Kelurahan Maricaya dan Kawasan Jalan Landak Masih rentan atau belum resisten terhadap insektisida malathion dosis 5% karena pada penelitian ini ditemukan mortalitas nyamuk 100% di Kelurahan Maricaya pada menit ke 15 sedangkan sekitar Kawasan Jalan Landak pada menit ke 10.

Meskipun malathion 5% masih rentan dan masih mampu membunuh nyamuk Aedes aegypti sebesar 95%, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama dan daya bunuh yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya. Walaupun demikian, konsentrasi malathion yang digunakan dilingkungan tidak bisa dinaikkan lagi sesuai dengan rekomendasi Depkes RI dalam aplikasi malathion paling tinggi adalah 5% dengan pertimbangan untuk keselamatan manusia dan lingkungan hidupnya. C. Keterbatasan PenelitiDalam penelitian ini terdapat berbagai keterbatasan yang dihadapi, yaitu :

1. Wadah (botol) yang digunakan dalam penelitian tergolong kecil, sangat jauh berbeda dengan keadaan di lingkungan jadi menyebabkan ruang gerak nyamuk terbatas.

2. Kondisi fisik nyamuk disetiap botol uji berbeda-beda sehingga mempengaruhi daya bunuh nyamuk.

3. Jumlah aceton yang digunakan terlalu banyak sebagai pelarut dan jumlah aceton yang menguap disetiap botol tidak dapat diprediksi sehingga berpengaruh pada kematian nyamuk.

4. Malathion yang dioleskan ke masing-masing dinding botol sampel di 9 replikasi mungkin tidak sama rata sehingga mempengaruhi kematian nyamuk.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dapat disimpulkan bahwa :1. Malathion 0,8% dianggap resisten atau tidak efektif karena tidak dapat membunuh 95% nyamuk Aedes aegypti. 2. Malathion 5% dianggap masih rentan atau masih efektif karena dapat membunuh 95% nyamuk Aedes aegypti.3. Rata-rata populasi mortalitas nyamuk Aedes aegypti akibat pemberian malathion dengan konsentrasi 0,8% sebesar 61,7%.4. Rata-rata populasi mortalitas nyamuk Aedes aegypti akibat pemberian malathion dengan konsentrasi 5% sebesar 95,1%.5. Lama waktu yang dibutuhkan malathion 0,8% untuk mematikan nyamuk Aedes aegypti sebesar 95% (LT95) adalah 26,9 menit.6. Lama waktu yang dibutuhkan malathion 0,8% untuk mematikan nyamuk Aedes aegypti sebesar 95% (LT95) adalah 16,9 menit.

B. Saran1. Kepada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas malathion terhadap nyamuk Aedes aegypti.

2. Kepada pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan agar dalam penyemprotan di lapangan menggunakan variasi malathion untuk menghindari terjadinya resistensi.DAFTAR PUSTAKAAchmadi, 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. PT Rajagafindo Persada: Jakarta. Skripsi. [Online]. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5668/jurnal%20skripsi.pdf?sequence=1. [Diakses pada tanggal 14 November 2014].

Ambarwati, dkk. 2006. Fogging Sebagai Upaya Untuk Memberantas Nyamuk Penyebar Demam Berdarah di Dukuh Tuwak Desa Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. [Online]. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/1094/3.%20AMBARWATI.pdf?sequence=1. [Diakses pada tanggal 8 Desember 2014].

Arsin, A., 2013. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Makassar : Masagena Press.Bapelkes, 2000. Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja Di Puskesmas, Podorejo Offset, Magelang, 2000. Skripsi. [Online]. http://eprints.uns.ac.id/5343/1/135150908201009591.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Bina Kimia, 2001. Mustang 25 EC, PT. Bina Guna Kimia, Jakarta. Skripsi. [Online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7011/1/09E02235.pdf. [Diakses pada tanggal 13 November 2014].

Damar Tri Boewono, 2005, Efikasi Insektisida Seruni 100 EC terhadap Nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus Metode Pengasapan, Badan Litbangkes Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga. Skripsi. [Online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7011/1/09E02235.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].Deptan, 2008. Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor Penyakit pada Manusia, Pusat Perizinan dan Investasi Sekjen Departemen Pertanian, Koperasi Pegawai Deptan, Jakarta. Skripsi. [Online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7011/1/09E02235.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].Djojosumarto Panut, 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian, Kanisius, Yogyakarta. Skripsi. [Online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7011/1/09E02235.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Dwinata, I., 2012. Kajian Lapangan Penggunaan Autocidal Ovitrap terhadap Penurunan Angka Populasi Nyamuk Aedes di Kabupaten Gunungkidul. Tesis. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Fathi, dkk. 2005. Peran faktor lingkungan dan prilaku terhadap penularan demam berdarah dengue dikota mataram, jurnal kesehatan lingkungan. [Online]. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-01.pdf. [Diakses pada tanggal 14 November 2014]

Hadi UK dan Sigit, 2006. Hama Pemukiman Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. [Online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7011/1/09E02235.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Hadinegoro, 2004. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004. Skripsi [Online]. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24109/1/UMMI%20ZULAIKHAH-fkik.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. [Online]. www.depkes.go.id /download .php?file=download/pusdatin/...dbd. [diakses 15 November 2014].

Kusnadi, SC, 2006. Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu (Vektor Control Manual), Makassar.

Mappau, Z, 2005. Bioassay Test Untuk Uji Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Malathion dan Efektivitas Tiga Jenis Insektisida Komersial yang Mengandung Propoksur Terhadap Populasi Aedes aegypti di Kota Makassar. Tesis PPs Unhas, Makassar.

Mardiana, 2010. Panduan Lengkap Kesehatan: Mengenal, Mencegah dan Mengobati Penularan Penyakit dari Infeksi. Yogjakarta : Citra Pustaka. 2010. Skripsi. [Online]. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24109/1/UMMI%20ZULAIKHAH-fkik.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Nugroho, F. S. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Di Rw Iv Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. [Online]. http://etd.eprints.ums.ac.id/5957/1/J410050002.PDF. [Diakses pada 08 Mei 2014].

P2PL Kemenkes RI. 2012. Situasi penyakit tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. [Online]. http://pppl.depkes.go.id/upt?id=90 [diakses tanggal 14 November 2014].

P2Pl Kemenkes RI. 2013. Evaluasi indicator program PP dan PL tahun 2010 s.d 2012. [Online]. http://www.slideshare.net/budi_hermawan_a/buku-evaluasi-indikator-2010-2012[diakses tanggal 14 November 2014].

Parida, S. 2012. Hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M plus dengan kejadian penyakit DBD di lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012. Skripsi. [Online]. digilib.unimus.ac.id/download.php?id=9548. [Diakses pada tanggal 13 November 2014].

Profil Kesehatan Kota Makassar. 2013. Pemerintah Kota Makassar Dinas Kesehatan 2014. [Online]. http://dinkeskotamakassar.net/download/ 718Gabung% 20profil%202013.pdf. [diakses 15 November 2014].Salim, M., dkk. 2011. Efektivitas Malathion Dalam Pengendalian Vektor DBD dan Uji Kerentanan Larva Aedes aegypti Terhadap Temephose di Kota Palembang. [Online]. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=efektivitas%20malathion%20terhadap%20nyamuk%20aedes%20aegypti&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.litbang.depkes.go.id%2Findex.php%2FBPK%2Farticle%2Fdownload%2F75%2F64&ei=2--FVIXABYOruQT_1oGgBA&usg=AFQjCNGE1XTDH8iadSDCq8J3avls0SXaag&bvm=bv.80642063,d.c2E. [Diakses pada tanggal 8 Desember 2014].

Sembel, D.T. 2009. Entomologi kedokteran.Yogyakarta : Penerbit Andi.

Shinta, dkk. 2008. Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor Terhadap Insektisida Malathion dan Lambdacyhalothrin. [Online]. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/viewFile/1648/pdf. [Diakses pada tanggal 8 Desember 2014].

Siregar, 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. [Online[. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah3.pdf. [Diakses pada tanggal 14 November 2014].

Sitio, A. 2008. Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Kebiasaan Keluarga Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008. Tesisi. [Online]. http://eprints.undip.ac.id/16497/1/ANTON_SITIO.pdf. [Diakses pada tanggal 09 Mei 2014].

Soegijanto, S. 2008. Demam berdarah dengue. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press.

WHO, 2004. Paduan lengkap pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah dengue, haemorrhagie fever in south-east asia ragon: report of WHO consultation new delhi regional office fo south-east asia; 2004. [Online]. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5544/JURNAL.pdf?sequence=1. [Diakses pada tanggal 14 November 2014]

WHO, 2012. Dengue and severe dengue. Skripsi. [Online]. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24109/1/UMMI%20ZULAIKHAH-fkik.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Widoyono. 2008. PENYAKIT TROPIS; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2008. Skripsi [Online]. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24109/1/UMMI%20ZULAIKHAH-fkik.pdf. [Diakses pada tanggal 15 November 2014].

Gambar 2.1 Telur Aedes Aegypti

Sumber ( HYPERLINK "http://dc464.4shared.com/doc/NbMbhueY/" http://dc464.4shared.com/doc/NbMbhueY/

preview_html_m438e3001.jpg)

Gambar 2.2. Larva Aedes aegypti

Sumber ( HYPERLINK "http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/aedes_aegypti_larvae2.jpg" http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos /aedes_aegypti_larvae2.jpg)

Gambar 2.3. Pupa Aedes aegypti

Sumber ( HYPERLINK "http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/

photos/aedes_" http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/

photos/aedes_ aegypti_pupa.jpg

Gambar 2.4 Nyamuk Aedes Aegypti

Sumber ( HYPERLINK "https://pemerhatibencana.files.wordpress.com/2011/" https://pemerhatibencana.files.wordpress.com/2011/

10/aedes-aegypti.jpg)

Faktor sosial ekonomi

Pendidikan keluarga

Pekerjaan keluarga

Jumlah anggota keluarga

Faktor prilaku

Kebiasaan masyarakat

Pengetahuan dan sikap

Faktor lingkungan

a. Keadaan lingkungan

b. Fasilitas TPA

Perilaku bertelur nyamuk Aedes aegypti

Kejadian DBD

Kepadatan telur

Kepadatan larva

Kepadatan pupa

Kelangsungan hidup nyamuk

Kepadatan nyamuk

Hidup

Mati

Agen (Virus dengue)

Penggunaan malathion

Malathion 0,8%

Malathion 5%

Gambar 3.1. Kerangka Teori Faktor yang Berperan dalam Kejadian DBD

Modifikasi (Dwinata, 2012) (Arsin, 2013)

Gambar 3.1. Kerangka Teori Faktor yang Berperan dalam Kejadian DBD

Modifikasi (Dwinata, 2012) (Arsin, 2013)

Gambar 3.1. Kerangka Teori Faktor yang Berperan dalam Kejadian DBD

Modifikasi (Dwinata, 2012) (Arsin, 2013)

Kelompok I

(Kontrol)

Selang waktu 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27 menit

Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti

LD95 untuk malathion 0,8 % dan 5%

LT95 untuk malathion 0,8% dan 5%

Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti

Kelompok II

(Pemberian Malathion 0,8%)

Kelompok III

(Pemberian Malathion 5%)

Suhu

Kelembaban

: Variabel Terikat

: Variabel Bebas

: Variabel Kendali

Telur Aedes aegypti

Pemeliharaan telur menjadi nyamuk dewasa

Randominasi sampel

Botol perlakuan diisi masing-masing 25 ekor Aedes aegypti dewasa betina yang berusia antara 2-5 hari dari kontak pemeliharaan.

Dilakukan pengolesan pada botol dengan malathion

Kontrol

Malathion 0,8%

Malathion 5%

Observasi dan analisa jumlah nyamuk yang mati setiap 3 menit sampai 27 menit

Suhu dan kelembaban diukur

Dilakukan replikasi sebanyak 9 kali

Dilakukan koreksi persentase kematian nyamuk bila kematian pada kontrol 5-15% menggunakan rumus Abbot

Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian

: Simbol letak nilai LT50 dan LT95

: Simbol yang menandakan variasi data semakin baik apabila semakin banyak titik biru mendekati garis merah yang berada di tengah

: Garis yang menunjukkan nilai estimasi, batas atas dan batas bawah dari nilai estimasi

: Simbol letak nilai LT50 dan LT95

: Simbol yang menandakan variasi data semakin baik apabila

:semakin banyak titik biru mendekati garis merah yang berada di tengah

: Garis yang menunjukkan nilai estimasi, batas atas dan batas bawah dari nilai estimasi

1