Skripsi fajrin widyaningsih
Transcript of Skripsi fajrin widyaningsih
TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK
DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
FAJRIN WIDIYANINGSIH
NIM. 072211020
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
ii
Drs. H. Musahadi.,M.Ag
Jl. Permata Ngaliyan II No. 62
Muhammad Saifullah, M.Ag
Jl. Taman Karonsih 4. No.1181 Tambakaji Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdri. Fajrin Widiyaningsih IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Fajrin Widiyaningsih
Nomor Induk : 072211020
Judul Skripsi : TINDAK PIDANA PENGAKSESAN
SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU
NO.11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 4 Oktober 2011
Pembimbing I
Drs. H. Musahadi, M.Ag.
NIP. 19690709 199403 1003
Pembimbing II
H. Muhammad Saifullah, M.Ag
NIP. 19700321 199603 1003
iii
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudari : Fajrin Widiyaningsih
NIM : 072211020
Judul : Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam
UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :
16 Desember 2011
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 16 Desember 2011
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
H.Abdul Ghofur, M.Ag H. Muhammad Saifullah, M.Ag
NIP. 19670117 199703 1001 NIP. 19700321 199603 1003
Penguji I Penguji II
Drs. H. Nur Syamsudin, M.Ag Drs. H. Miftah AF, M.Ag
NIP. 19680505 199503 1002 NIP. 19530515 198403 1001
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Musahadi, M.Ag. H. Muhammad Saifullah, M.Ag
NIP. 19690709 199403 1003 NIP. 19z700321 199603 1003
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, 4 Oktober 2011
Deklarator,
Fajrin Widiyaningsih
NIM. 072211020
v
MOTTO
.
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. (Q.S Al-Fushshilat: 34)
vi
ABSTRAK
Seiring berkembangnya teknologi informasi membawa banyak
perubahan dalam kehidupan. Perubahan ini disamping membawa dampak
positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud
adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Salah satu sisi gelap
kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas
dalam segala bidang kehidupan saat ini lebih dikenal dengan cyber crime.
Sehingga para penegak hukum di Indonesia terdorong untuk memberikan
pengaturan hukum dengan memberlakukan cyber law melalui
pengesahan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu hukum pidana Islam yang
bersumber dari Al-Quran dan hadist perlu untuk memiliki dasar hukum
dalam permasalahan cyber crime ini. Untuk mengetahui apakah hukuman
yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 relevan dengan hukuman
dalam Fiqh Jinayah, maka masih harus dilakukan qiyas untuk
menentukan bahwa cyber crime dapat dikenakan hukuman yang sama
dengan jarimah yang telah ada. Dari permasalah diatas, penelitian ini
akan mengkaji tentang bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang
pengaksesan sistem elektronik dalam pasal 30 UU ITE 2008 ? pencurian
dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU ITE 2008 ? dan
perusakan dokumen elektronik dalam pasal 33 UU ITE 2008 ?
Data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks
(teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content
analysis.
Hasil studi penelitian menyimpulkan bahwa untuk tindak pidana
pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan perbuatan
memasuki rumah tanpa izin dengan illat memasuki rumah tanpa izin
maka hukumannya adalah ta’zir. Sehingga hukuman yang telah
diterapkan dalam UU ITE 2008 sama dengan fiqh jinayah. Sedangkan
untuk pencurian dokumen elektronik disamakan dengan sariqah dengan
illat mengambil barang orang lain secara diam-diam dari tempat
penyimpanan. Hukuman bagi pelaku pencurian dokumen elektronik ini
agak berbeda dengan UU ITE karena untuk kasus ini dilihat dari nisab
pencurian, bisa dihukum potong tangan atau tidak. Untuk perusakan
dokumen elektronik disamakan dengan hirabah dengan illat mengganggu
keamanan, maka hukuman nya potong tangan dan kaki secara bersilang
karena hirabah yang disamakan dalam kasus ini adalah mengambil harta
secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Tetapi pada
realitanya hukuman bagi pencuri dokumen elektronik dan perusakan
sistem elektronik tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena hukum
yang berlaku di Indonesia adalah UU ITE maka hukumannya turun
menjadi hukuman ta‟zir yaitu penjara dan denda.
Kata kunci : cyber crime, UU ITE, Fiqh Jinayah
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Bapak (Ali Said) dan Ibu (L. Tri Lestari Kusumaningrum S) tersayang
Saudara-saudaraku : Alista Setyaningrum, Putri Kumala Sari, Akbar
Suryo Wibowo, dan Arifian Ramadhan
Teruntuk seseorang yang selalu membantu dan memotivasi penulis
“Shohibul Ibad”
Teman-teman senasib seperjuanganku selama 4,5 tahun di IAIN
Walisongo : Cukong, Pak Menwa, Arip, Nita, Ms Faqeh, Pakde,
Fahri, Toheer, Kirun, Yanze, Hasan.
Teman-Teman Kos : Wulan, Ika, Anies, Nuriel, Anggi
Teman-Teman yang membantu terseleseikannya skripsi ini : Judin,
Qodir, Mas Hajir, Tegar , Nurul, Mustofa
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur Alhamdulillahirobbil‟alamin penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-
sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan
mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul: TINDAK PIDANA PENGAKSESAN
SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo
Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga
kini.
2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam
DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah
IAIN Walisongo Semarang.
3. Drs. H. Musahadi, M.Ag. dan H. Muhammad Saifullah, M.Ag. selaku
Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan
tulus ikhlas.
4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian
kata-kata.
ix
5. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi
ini. Dan doaku untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua amal kebaikan
mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku” amin.
6. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu,
terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan
Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, 3 Oktober 2011
Penulis
Fajrin Widiyaningsih
NIM. 072211020
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan
dan Menteri Kebudayaan RI
No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
Tertanggal 22 Januari 1988
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin N a m a
alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
- ba b ب
- ta t ت
sa s s (dengan titik di atas) ث
- jim j ج
ha‟ h h (dengan titik di bawah) ح
- kha‟ kh خ
- dal d د
zal ż z (dengan titik di atas) ذ
- ra r ر
- za ż ز
- sin s س
- syin sy ش
sad s s (dengan titik di bawah) ص
xi
dad d d (dengan titik di bawah) ض
ta t t (dengan titik di bawah) ط
za z z (dengan titik di bawah) ظ
ain „ koma terbalik ke atas„ ع
- gain g غ
- fa f ف
- qaf q ق
- kaf k ك
- lam l ل
- mim m م
- nun n ن
- wawu w و
- ha h ه
hamzah apostrof ء
ya‟ y ي
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh :
يــو حـمد ا ditulis Ahmadiyyah
C. Ta‟ Marbutah di Akhir Kata
1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap
menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :
xii
ditulis jama’ah جـما عـة
2. Bila dihidupkan ditulis t, contoh :
ونيـاء األ مـة كرا ditulis karamatul-auliya’
D. Vokal Pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.
E. Vokal Panjang
Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing
dengan tanda hubung (-) di atasnya.
F. Vokal Rangkap
1. Fathah + ya‟ mati ditulis ai, contoh :
,ditulis bainakum بيـنكـم
2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh :
ditulis qaul قـو ل
G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof („)
ditulis mu’annas مؤ نـج ditulis a’antum أانتـم
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh :
ditulis al-Qiyas انقيـاس ditulis al-Qur’an انقـران
2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.
ditulis asy-Syams انشـمس ditulis as-Sama انسـماء
I. Penulisan huruf kapital
Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang
berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata
sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.
xiii
J. Kata dalam rangkaian Frasa dan Kalimat
1. Ditulis kata per kata, contoh :
ditulis zawi al-furud ذوى انفـروض
2. Ditulis menurut bunyi atau pengucaspan dalam rangkaian tersebut,
contoh:
ditulis ahl as-Sunnah أىـم انسـنو
ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam شـيخ االسـالم
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iii
HALAMAN DEKLARASI ................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ........................................................................ v
HALAMAN ABSTRAK..................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................. viii
HALAMAN TRANSLITERASI ....................................................... x
HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..................................... 5
D. Telaah Pustaka ............................................................... 6
E. Metode Penelitian .......................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH
A. Pengertian Tindak Kejahatan ........................................ 13
a. Pengertian Jarimah ............................................. 13
b. Unsur-Unsur Jarimah ......................................... 14
B. Klasifikasi Jarimah ....................................................... 15
a. Jarimah Hudud ................................................... 15
b. Jarimah Qisas dan Diat...................................... 16
c. Jarimah Ta’zir .................................................... 19
C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah) ......... 26
a. Pengertian Qiyas ................................................. 26
b. Rukun Qiyas ....................................................... 27
c. Macam-macam Qiyas ......................................... 32
d. Qiyas dalam Menentukan Jarimah ..................... 34
xv
BAB III TINJAUAN UMUM CYBER CRIME
A. Pengertian Kejahatan..................................................... 37
B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) ............................ 38
C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime ....................... 41
BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM
ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI TRANSAKSI DAN
ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH
A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem
Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin pasal 30
UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh
Jinayah .............................................................................. 49
B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen
Elektronik pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
Perspektif Fiqh Jinayah ..................................................... 55
C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem
Elektronik pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
Perspektif Fiqh Jinayah ..................................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 70
B. Saran-saran .................................................................... 72
C. Penutup .......................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan internet di Indonesia saat ini sangat pesat, sehingga
tidak mengherankan apabila di kota maupun desa banyak ditemukan warung-
warung internet yang menyajikan banyak pelayanan internet. Di satu sisi
pengguna internet dapat memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia
maya, di sisi lain internet juga menghadirkan berbagai hal yang dapat
menimbulkan efek positif maupun negatif bagi para penggunanya. Internet
telah membangun sebuah dunia maya yang sebenarnya yaitu merupakan
dunia tanpa batas serta dunia yang dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh
siapa saja.
Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu
tindak pidana melalui dunia maya yang sering dikenal dengan nama cyber
crime. Cyber crime, yang selanjutnya disingkat CC, merupakan salah satu sisi
gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat
luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.1
Di Indonesia telah banyak terjadi kejahatan di dunia maya atau
cyber crime. Salah satu contoh kasus yang sempat menggegerkan Indonesia
adalah pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface
atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara
1 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.h. 1.
2
SQL (Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP
(Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update
daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack yakni melalui
teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP public PT
Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy
Anonymous Thailand 208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id
203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik
peserta pemilu. 2
Contoh kasus lainnya adalah dunia perbankan melalui Internet (e-
banking) Indonesia dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto,
seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini
dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank
Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip
www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-
bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com, dan klikbac.com. Isi situs-
situs plesetan ini nyaris sama. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli
maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven
sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal dapat
diketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut
pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia,
www.webmaster.or.id tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik
2detik.com digital live dalam http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/dani-
firmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.36 WIB
3
berhati-hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo
site), bukan untuk mengeruk keuntungan.3
Kasus-kasus tersebut sudah nyata terlihat kalau dunia maya
sebenarnya semakin membahayakan yang bahaya dan kerusakannya bagi
kehidupan manusia bisa melebihi dunia nyata. Dunia maya telah menjadi
tempat yang demikian bebas bagi kriminal-kriminal yang berteknologi canggih
untuk menjalankan aksinya.
Oleh karena itu upaya perlindungan hukum terhadap kegiatan yang
dilakukan di internet, baik merupakan kegiatan bisnis (e-bussines), birokrasi
pemerintahan, pribadi diperlukan pengaturan hukum terhadap dunia cyber.
Sehingga pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk
memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan
memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE 2008.4 Undang-undang
inilah yang selama ini sangat ditunggu oleh sebagian besar kalangan
masyarakat, karena dengan terwujudnya undang-undang tersebut diharapkan
dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh
cyber crime.
Cyber crime yang merupakan suatu kejahatan yang dilakukan tidak
secara fisik melainkan dalam ruang dunia maya (cyber space), yang dapat
3Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister Hukum, Bandung,
2010 dalam,
http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIAN_TERHADAP_CYBER_CRIM
E.pdf diakses tanggal 23 Juni 2011 pukul 21.41 WIB 4 UU ITE 2008 merupakan undang-undang baru, Undang-undang disahkan pada tanggal 25
Maret 2008. Secara garis besar undang-undang ini berjumlah 54 pasal, pada Bab KetentuanUmum
(pasal 1-2), Bab II-Asas dan tujuan (pasal 3-4), Bab III-Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan
Elektronik (pasal 5-12), Bab IV-Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik,Bab
V- Transaksi Elektronik (pasal 17-22), Bab VI - Nama Domain, Hak Intelektual, dan Perlindungan
Hak Pribadi (pasal 23-26), Bab VII- Perbuatan yang dilarang (pasal 27-37), Bab VIII
4
menimbulkan kerugian secara materi maupun non materi dan mengganggu
kehidupan privasi orang lain. Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak
milik itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakekatnya adalah milik
Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya.5 Islam
juga menekankan hak-hak azasi manusia salah satunya jaminan terhadap
pribadi seseorang. Oleh karenanya, apabila ada seseorang yang melakukan
tindak pidana cyber crime maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan
jarimah.
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-
larangan syara„ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang
sudah ada nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).6 Dengan
demikian, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hukum had dan
hukum ta’zir.7
Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas,
menarik minat penulis untuk mengetahui mengenai tindak pidana cyber crime
yang marak terjadi sekarang sehingga meresahkan dan merugikan banyak
pihak khususnya mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dalam
perspektif hukum pidana Islam (fiqh Jinayah), dengan membatasi
permasalahan dengan tiga macam kasus yaitu akses illegal sistem elektronik,
pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang terdapat
pada pasal 30, 32 ayat (2), 33 dalam UU ITE 2008. Kemudian penulis mencoba
menganalisis dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam skripsi yang
5 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 85-89
6 A. Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, h.121
7 Ibid.
5
berjudul: Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif
Fiqh Jinayah)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana
pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal
30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana
pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana
perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini :
1. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak
pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin
dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
6
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak
pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU
No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak
pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Cyber Crime yang
dapat melampaui belahan dunia manapun dan siapapun, karena
para pelaku kejahatan ini bersifat internasional. Selain itu dapat
memasuki perkembangan ilmu hukum dalam menciptakan hukum,
khususnya pidana Islam, dengan pengaplikasian yang mudah
dijangkau bagi semua kalangan.
2. Pemberian struktur keamanan lebih pada segala mediasi yang
mendukung terjadinya tindak pidana Cyber Crime, agar dapat
mengurangi jumlah angka tindak pidana ini.
3. Memberi pengetahuan lebih tentang tindak pidana cyber crime dan
hukum pidana Islam, karena selama ini masyarakat cenderung tidak
peduli selama dirinya tidak dirugikan. Sebenarnya, secara tidak
langsung masyarakat awam juga ikut dirugikan, dengan adanya
kerugian yang dialami oleh negara, baik secara materiil, maupun
moril.
7
D. Telaah Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya:
Pertama ialah yang dilakukan oleh Desi Tri Astutik mahasiswi
fakultas Syari‟ah program studi Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel dalam
skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber
Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”. Penelitian ini
dilakukan pada tahun 2008. Di dalam skripsinya memaparkan tentang cyber
crime pada dasarnya merupakan kejahatan dunia mayantara yang dilakukan
dengan melalui jaringan internet dengan menggunakan fasilitas komputer.
Dalam perspektif hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah) pemberlakuan UU ITE
dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang menjerat pelaku
kejahatan dunia mayantara (cyber crime), karena di dalam undang-undang
tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam aturan Fiqh Jinayah.
Adapun unsur-unsur tersebut yaitu unsur umum yang terdiri dari (unsur
formil, unsur materil, dan unsur moral) dan unsur khusus. Penerapan sanksi
yang diberikan kepada pelaku cyber crime yaitu dikenakan sanksi ta’zir,
dimana sanksi ta’zir meripakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Amri
dengan tujuan memberikan rasa jera kepada pelaku jarimah. 8
Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Eka Wiratama
mahasiswa fakultas hukum Universitas Brawijaya dalam skripsinya berjudul
8 Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam
Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Fiqih Jinayah”, Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008, h.86-88, t.d.
8
“Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum
Indonesia”. Penelitian ini dilakukan tahun 2009. Dalam penelitiannya tersebut
dia memaparkan pembuktian terhadap KUHAP secara formil tidak lagi dapat
menjangkau dan sebagai landasan hukum pembuktian terhadap perkara cyber
crime sebab modus operandi di bidang cyber crime tidak saja dilakukan
dengan alat-alat canggih tetapi kejahatan ini benar-benar sulit menentukan
secara cepat dan sederhana siapa pelaku tindak pidananya. Oleh karena itu di
butuhkan optimalisasi UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.9
Ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Gabe Ferdinal
Hutagalung mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul
“Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif
Hukum Pidana”. Penelitian ini dilakukan tahun 2010. Dalam penelitiannya
tersebut memparkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana terhadap
kejahatan mayantara saat ini adalah, sebelum disahkannya UU ITE terdapat
beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan
penanggulangan kejahatan mayantara, tetapi kebijakan formulasinya berbeda-
beda terutama dalam hal kebijakan kriminalisasi-nya belum mengatur secara
tegas dan jelas terhadap tindak pidana teknologi informasi, kebijakan
formulasi dalam UU ITE masih membutuhkan harmonisasi/sinkronisasi baik
9 Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum
Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009, h.68-69.t.d.
9
secara internal maupun secara eksternal terutama dengan instrumen hukum
internasional terkait dengan teknologi informasi.10
Dari kajian beberapa skripsi diatas, dapat diketahui bahwa penelitian
di atas menjelaskan bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang melanggar
batas wilayah. Semuanya membahas secara keseluruhan (global) tentang
tindak pidana cyber crime. Dalam skripsi Desi Tri Astutik membatasi
permasalahan mengenai tigas kasus yaitu mengenai kasus pencurian kartu
kredit secara on-line (carding), pornogarfi, dan pencemaran nama baik.
Sedangkan dalam skripsi yang kedua membahas tentang pembuktian cyber
crime secara normatif dalam ranah hukum di Indonesia dan skripsi ketiga
membahas tentang penanggulangan cyber crime di Indonesia dengan
mengoptimalisasi UU ITE 2008.
Dari penjelasan di atas maka pembahasan dalam skripsi ini sangat
berbeda dengan skripsi-skripsi sebelumnya karena dalam penelitian ini akan
membahas secara lebih khusus dan mendetail mengenai tindak pidana
pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin, pencurian
dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang berkaitan dengan
undang-undang tentang Informasi dan Transaksi elektronik khusunya pasal
30, 32 ayat (2), dan 33 yang akan di tinjau dalam perspektif fiqih jinayah.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
10
Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)
Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum, Sumatera Utara, 2010, h.156.t.d.
10
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, juga
disebut penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan
melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian
ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Bambang
Waluyo, adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian
hukum normatif.11
Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji
dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan bahan-bahan yang diperoleh
berdasarkan dari data-data hukum primer dan sekunder.
a. Data Primer : Konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan
cyber crime, dan cyber law yang mengatur tentang tindak
pidana virtual dan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana
Islam (Fiqh Jinayah) yang tercantum di dalam : Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) dan “Asas-Asas Hukum Pidana Islam” karya
Ahmad Hanafi.
b. Data Sekunder : Merupakan bahan-bahan hukum yang
diambil dari pendapat atau tulisan para ahli dalam bidang cyber
dan fiqih jinayah untuk digunakan dalam membuat konsep-
konsep hukum yang berkaitan dengan penelitian ini dan dianggap
sangat penting.
11
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 50.
11
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas
digunakan teknik sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (library research)
Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi,
menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-
bahan pustaka.
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis
akan menggunakan teknik content analysis, yaitu pengumpulan
bahan-bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum
dipakai interpretasi teleologis12
yaitu berdasar pada tujuan norma. Selain
itu juga digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan cyber
crime, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan metode tersebut, dapat kita
ketahui lebih mendalam tentang tindak pidana sistem pengaksesan
elektronik, pencurian dokumen elektronik, perusakan sistem elektronik
dalam hukum pidana Islam.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut :
12
Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju
pada tujuan tertentu. Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011
pukul 10.59 WIB
12
BAB I Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II Memberi gambaran tentang Tinjauan Umum Terhadap Kejahatan
dalam Fiqh Jinayah yang meliputi: Pengertian Jarimah, Unsur-
unsur Jarimah, Klasifikasi Jarimah yaitu Jarimah Hudud,
Jarimah Qishas dan Diyat dan Jarimah Ta’zir, Qiyas dalam
Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) yaitu Pengertian Qiyas,
Rukun Qiyas, Macam-macam Qiyas dan Qiyas dalam
Menentukan Jarimah.
BAB III Berisi tentang Tinjauan Umum Cyber Crime yang meliputi:
Pengertian Kejahatan, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dan
Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime.
BAB IV Berisi tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak
Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang
Meliputi: Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana
Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin
Dalam Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai
Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Dalam Pasal 32
ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dan Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak
13
Pidana Perusakan Sistem Elektronik Dalam Pasal 33 UU No.11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Bab V Adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang
berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH
A. Pengertian Tindak Kejahatan
a. Pengertian Jarimah
Secara bahasa jarimah berasal dari kata jadian masdar yang
berasal dari kata جرو yang artinya berbuat salah.13
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata jarimah adalah kejahatan yang dilarang
oleh syariat Islam dengan ancaman hudud atau ta’zir.14
Secara istilah
Imam Al-Mawardi memberikan definisi jarimah sebagaimana yang
dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya:
ها تحد ا نجرائى يحظو را خ شر عيح زجرهللا ذعم ع
ذعس ر Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.15
Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah
jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fuqaha (ahli fiqh) istilah
jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa
ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk
13
Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, h. 28 14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008. h.460 15
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah),
Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.9
15
menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota
badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.16
Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang dimaksud dengan
kata-kata “jarimah” ialah, larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh
Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut
adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan
kata-kata “Syara” adalah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap
jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat
tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila telah diancamkan
hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut
dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.17
Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian
tindak pidana (peristiwa pidana/delik) pada hukum pidana positif.
b. Unsur-Unsur Jarimah
Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan pidana
apabila telah memenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini ada yang umum
dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah,
sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan
berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum
untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:
16
NN, Jarimah http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal
30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 17
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986, h.1
16
a) Unsur formal ( ر ع انل yaitu adanya nash (ketentuan) yang (انرر
melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b) Unsur material ( ا ر ان yaitu adanya tingkah laku yang ( انرر
mebentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun
sikap tidak berbuat (negatif)
c) Unsur moral ( اا ت ر yaitu bahwa pelaku adalah orang yang ( انرر
mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukannya.18
B. Klasifikasi Jarimah
Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah
berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau
tidaknya oleh Al-Qur’an atau hadist. Atas dasar ini mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah
ta’zir.19
Mengenai uraian ataupun penjelasan tentang jarimah hudud,
jarimah qishas dan jarimah ta’zir serta penggolongan-penggolongannya,
akan diuraikan sebagai berikut:
a) Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman
had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-
18
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu,
2007, h.129-130 19
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1947, h.13
17
ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT.20
Dalam
hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah
mempunyai pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau
keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara.
Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina,
menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras,
mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan
pemberontakan (al-bagyu).
Salah satu bentuk contoh dari hukuman hudud yang
menyatakan sebagai hukuman yang di tentukan oleh syara‟ adalah
jarimah pencurian yang didasarkan pada firman Allah dalam surat
AL-Maidah ayat (38):
“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan
pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,
Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”21
b) Jarimah Qishas dan Diyat
Jarimah Qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya
20
NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada
tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 21
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992,
h.103-104
18
adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya
dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah,
sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Dalam arti
korban dan keluarganya berhak memberikan pengampunan terhdap
pelaku.22
Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang
telah ditentukan batasnya, dan tidak mepunyai batas terendah maupun
batas tertinggi.
Pengertian qishas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad
Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich
adalah sebagai berikut:
ا ح يثم ... انعقو تح ان سل تانجا ى ي هو
جى عهي سل تا ن . يا “Qishas adalah memberikan hukuman kepada pelaku
perbuatan persis seperti apa yang dilakukan terhadap
korban.” 23
Hukuman qishas didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah ayat 178-179:
22
Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.18 23
ibid, h. 154
19
“Hai orang-orang yang beriman, diperlukan atas kamu
qishas dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka,
sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan.
Barangsiapa mendapat maafdari sudaranya akan sesuatu,
maka hendaklah ia mengikut secara baik (ma‟ruf) dan
membayarkan (diyat) kepada saudaranya itu dengan baik-
baik. Demikian itu suatu keringanan dari Tuhanmu dan
rahmat-Nya. Barangsipa yang aniaya sesudah itu, maka
untuknya siksaan yang pedih. Kamu mendapat hidup
dengan (peraturan) qishas itu, hai orang-orang yang
mempunyai akal, mudah-mudahan kamu bertakwa.”24
Sedangkan Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan
karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya.
Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.25
Dasar
hukum wajib diyat yaitu berdasar pada surat An-Nisa‟ ayat 92:
...
“Tidak boleh orang mukmin membunuh orang mukmin
(yang lain), kecuali jika tersalah. Barangsiapa membunuh
orang mukmin dengan tersalah hendaklah memerdekakan
hamba yang mukmin, serta dibayarkan denda kepada
keluarga yang terbunuh itu, kecuali jika mereka
sedekahkan...”26
24
Departemen Agama RI, op.cit, h.25-26 25
The Reff All, Pengertian Diyat dalam
http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011
pukul 19.07 WIB 26
Departemen Agama RI, op.cit, h.84-85
20
Yang termasuk jarimah qishas-diyat ialah pembunuhan
sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja,
penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
c) Jarimah Ta’zir
Adapun jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari
„azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti
menguatkan, memuliakan, membantu.27
Sedangkan menurut istilah Abdul
Qadir Audah mengemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman
pendidikan atas dosa-dosa (tindak pidana-tindak pidana) yang belum
ditentukan oleh syara‟.28
Dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada hakim, baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menetukan hukuman
tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya
pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk
masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat-
beratnya.
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
a. Hukuman Mati
27
Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta‟zir, dalam
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB 28
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma
Ilmu, 2007, h.84
21
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah
hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir
tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa.
Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian
terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya
hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau
kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan
membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata,
penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.29
Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian
dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas
dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.
b. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam
hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud
dan hukuman ta’zir.
Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi
hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di
kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa
karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan
atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan
29
Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h. 87
22
Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam
ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali.30
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat.
Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf.
Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh
lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain
bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah
hudud.31
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya
sama denga pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat
mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah
tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah
lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain
yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman
ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.32
Alasannya ialah hadits dari Abu
Burdah yang diterima dari Rosululloh SAW, sebagai berikut :
عد انثى صم هللا صار قال ض اتى تر ج اال ع
عهي ضهى قول ال ذجهد ا فوق علرج اضواط االفى
حد هللا حد ي“Dari Abu Burdah Al-Anshori katanya: saya mendengar Nabi
Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mendera
diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu had Allah”33
30
Ahmad Hanafi, op.cit, h.306 31
Ibid, h.307 32
Ibid 33
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori juz VIII,
Semarang: CV. Asy Syifa, 1993, h.678
23
c. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam.
Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman
kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.34
Pertama,
hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah
satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟
Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.35
Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada
penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati
bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena
hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai
terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan
hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
d. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan
keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman
salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir
hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman
mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang
34
Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h.92 35
Ibid
24
makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan
menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini,
menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.
e. Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman
ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah
melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut
serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin
Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima
puluh hari tanpa diajak bicara.36
Sehingga turunlah firman Allah surat
At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga
apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun
dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta
mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari
Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima
taubat mereka agar mereka bertaubat”37
f. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
36
Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.98 37
Departemen Agama RI, op.cit, h.186
25
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan
syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja.
Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum
dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi.
Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang
hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman
teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar
yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam
dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup
membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an
sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan
berbuat nusyuz.
g. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai
hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih
tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali
harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan
perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap
orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha
berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan
hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.38
38
Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.101
26
C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah
mempersamakan suatu kasus dengan yang tidak ada nash
hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena
ada persamaan kedua itu dalam „illat hukumnya.39
Dajzuli menerangkan dalam bukunya Imam Syafi‟i
menyatakan tentang qiyas sebagai berikut „setiap
kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada
hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya.
Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya
(dalalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijitihad
itu adalah qiyas‟.40
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat
setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara
mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan
antara dua hal yang memiliki kesamaan „‘illat tetapi yang satu
belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.
انقياش هو يا طهة اندالئم انوافقح عهى خثر انرقدو ي انكراب انطح
“Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk
makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-
Qur‟an dan sunnah”.
39
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.66 40
A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja
Grafindo Persada, 2000, h. 121
27
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai
dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang
disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „‘illatnya.
Selanjutnya kita cari dan teliti „‘illat yang ada pada kasus yang
tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah
diyakini bahwa „‘illat yang ada dalam kedua kasus tersebut
ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada
kedua kasus itu berdasarkan keadaan „‘illat.41
2. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat
unsur berikut:42
a. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya
yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/
menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (االصم)
atau maqis ‘alaih ( انقيص عهي) atau musyabbah bih ( يلث ت).
Dalam menentukan ashal harus ada syarat-syarat
yang dipenuhi yaitu :
Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi
yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syarat-
syarat ashal itu adalah:43
41
Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h.107 42
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet.
II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada, 2000, h. 136-137
28
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan
tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟
c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d. Dalil yang menetapkan „‘illat pada ashal itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas
far’u.
b. Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan
hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di
dalam istilah ushul disebut al-far’u (انفرع) atau al-maqis
.(انلث ) atau al-musyabbah (انقيص)
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
menentukan far’u adalah sebagai berikut:
Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:44
a. ‘‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat
yang ada pada ashal.
b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c. Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum
far’u itu.
43
Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, h. 73 44
Ibid, h. 75-76
29
c. Hukum ashal ( yaitu hukum syara‟ yang ;(حكى االصم
dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi
hukum pula bagi cabang.
Syarat-syarat hukum ashal antara lain:45
Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang
amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Hal ini diperlukan karena yang akan
ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran
hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus
ma’qul al-ma’na, artinya pensyari‟atannya harus
rasional
Hukum ashl itu tidak merupakan hukum
pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk
peristiwa atau kejadian tertentu.
d. „‘illat (انعهح); yaitu sebab yang menyambungkan pokok
dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal
dan sifat yang dicari pada far’u.
Secara etimologi „‘illat berarti nama bagi sesuatu
yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain
dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan
45
Muin Umar, dkk. Op.cit, h. 119-120
30
„‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh
manusia berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi „‘illat
yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada
makalah ini akan kami sebutkan definisi „‘illat menurut
imam al-Ghozali, yaitu:
ثر ف حكى تجعه ذعانى التانلاخ ان
“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena
dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”.
Menurutnya, „‘illat itu bukanlah hukum, tetapi
merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti:
adanya suatu „‘illat menyebabkan munculnya hukum.
Syarat-syarat „‘illat antara lain adalah:
a. „‘illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai
oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani
dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak
mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada
persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya,
tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan
hukum yang bukan ashal.
31
Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi
„‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu46
. Di antara bentuk sifat itu adalah:
1. Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal
dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada „urf
(kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat
memabukkan pada minuman keras.
2. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat
diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan
yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari
hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum
potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan,
seperti senang atau benci.
3. Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur,
namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk
dan baik, mulia dan hina.
4. Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam
penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya:
diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.
5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai
hukum syar‟i dijadikan alasan untuk menetapkan
46
Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 173
32
sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya
mengagungkan barang milik bersama dengan alasan
bolehnya barang itu dijual.
6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat
yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan
dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan
alasan berlakunya hukum qishos.
3. Macam-Macam Qiyas
Dilihat dari segi kekuatan „‘illat yang terdapat pada far’u
dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas
dibagi kepada tiga segi yaitu:47
a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u
lebih kuat daripada hukum ashl, karena „‘illat yang
terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam surat al-Isra‟:23 Allah berfirman:
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
47
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 75-76
33
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia. (al-Isra‟:23).
b. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena
kualitas „‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah
berfirman dalam Qs. al-Nisa‟:2:
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.( al-Nisa‟:2).
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim
secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan
membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak
yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama
menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
c. Qiyas al-adna, yaitu „‘illat yang ada pada far’u lebih
lemah dibandingkan dengan „‘illat yang ada pada ashl.
34
Artinya ikatan „‘illat yang ada pada far’u sangat lemah
disbanding ikatan „‘illat yang ada pada ashl. Misalnya,
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya
riba fadhl, karena keduanya mengandung „‘illat yang
sama yaitu sama-sama jenis makanan.
4. Penggunaan Qiyas dalam Menentukan Jarimah
Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh
diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi‟i sebagai
representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas
tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal
ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah.48
Dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh ada yang
sepakat menggunakan qiyas dan ada yang tidak sepakat
menggunakan itu. Mereka yang membolehka pemakaian qiyas
beralasan bahwa:49
a. Nabi membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya pada
sahabat Mu‟az. “Dengan apa engkau memutusi suatu perkara?”
jawabnya, “Dengan kitab Tuhan; kalau tidak saya dapati, maka
dengan sunnah rasul, dan kalau tidak saya dapati, maka saya
“berijtihad” dengan fikiran saya”. Rosulallah membenarkan
48 Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian Terhadap Status
Hukum Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/implementasi-metode-
qiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19
Desember 2011 jam 19.55 WIB 49
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. V.,
1993, h. 34.
35
kata-kata Mu‟az yang mengenai ijtihad adalah mutlak yang
tidak ditentukan macamnya. Sedang qiyas adalah salah satu
cara ijtihad.
b. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had
bagi peminum minuman keras, disini sahabat Ali
mengqiyaskan hukuman minum-minuman keras dengan
memperbuat kebohongan (iftira).
Adapun sebagian mereka yang menentang qiyas dalam
aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :50
a. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batas-
batasnya, tetapi tidak dapat diketahui alasan penentuan batas-
batas tersebut sedang dasar qiyas ialah pengetahuan tentang
„‘illat (sebab alasan) hukum peristiwa “asal”. Apa yang tidak
dapat diketahui alasannya, maka qiyas tidak dapat diloakukan
terhadapnya.
b. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan
pada kifarat-kifarat juga terdapat sifat hukuman. Qiyas itu
sendiri bisa kemasukan salah, sedang hukuman menjadi
hapus disebabkan adanya syubhat (ketidak tegasan),
sedangkan hukuman-hukuman (hudud) menjadi hapus
disebabkan , karena kata-kata nabi: “Hindarkan hukuman
hudud karena adanya syubhat-syubhat.
50
Ibid, h. 35.
36
c. Syara’ menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri
tetapi tidak menjatuhkannya atas pengirim surat kepada
orang-orang kafir musuh, sedang hukuman terhadap
perbuatan yang kedua tersebut lebih utama. Kalau hukuman
terhadap perbuatan lebih berbahaya tidak ada maka hal ini
tidak bolehnya pemakaian qiyas.
Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat dari pada alasan
golongan pertama yang memperbolehkan pemakaian qiyas. Akan tetapi
harus diketahui bahwa qiyas dalam hukuman harus diketahui qiyas
dalam jarimah terlebih dahulu. Kebolehan memakai qiyas dalam
jarimah tidak berarti membuat aturan-aturan baru atau jarimah-jarimah
baru melainkan hanya berarti memperluas lingkungan berlakunya
aturan yang telah ada. Jadi, penggunaan qiyas dalam soal-soal jarimah
dan hukuman tidak merupakan sumber hukum, melainkan sekedar
penafsiran yang dipakai untuk dapat menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang bisa dicakup oleh sesuatu aturan yang telah ada.
Pemakaian qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari
kasus baru tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an, sunnah atau ijma’ yang
tergolong qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas
jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya
dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nushus dan ijma sajalah,
hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan
qiyas.
37
BAB III
TINJAUAN UMUM CYBER CRIME
A. Pengertian Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan sebenarnya tidak lepas dari dunia nyata
dalam kehidupan masyarakat itu berada. Kejahatan merupakan cap atau
sebutan yang digunakan oleh masyarakat dalam menilai suatu perbuatan
seseorang. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan
mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Dalam
KBBI kejahatan mempunyai pengertian perilaku yang bertentangan dengan
nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.51
Sedangkan secara empiris, definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tidak
sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara
sosiologis.
Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui
secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan
merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata
lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi
sosial dari masyarakat.52
Sedangkan Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan
perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa
51
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. h. 450 52
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Bandung:
PT Refika Aditama, 2005, h.37
38
berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-
rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.53
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya
“Paradoks Dalam Kriminologi” yang dikutip oleh Syahrudin Husein
menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan
suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan
dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif
maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas
masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap
skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat
sesuai dengan ruang dan waktu.54
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan
bahwa unsur penting dari pengertian kejahatan adalah perbuatan yang
merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat dan bertentangan
dengan kepentingan umum. Seiring berjalannya waktu, cara pandang
terhadap nilai dan moral pun akan berubah yang merupakan salah satu tolak
ukur terhadap suatu perbuatan itu dianggap jahat atau tidak.
B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)
Istilah cyber crime banyak bermunculan seiring dengan
berkembangnya teknologi. Cyber crime lebih sering disebut dengan tindak
kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) atau tindak
53
Nasrulloh, Pengertian Kejahatan,
http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html diakses pada tanggal 29
Juli 2011 pukul 11.21 WIB 54
Syahrudin Husein, “Kejahatan dalam Masyarakat dan Penanggulanggannya”, Sumatera
Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003, h.1, t.d.
39
kejahatan menggunakan komputer. Ada beberapa pendapat yang
menyamakan antara tindak pidana kejahatan komputer dengan cyber crime,
dan ada pendapat yang membedakan antara keduannya. Meskipun belum ada
kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada
kesamaan pengertian mengenai kejahatan komputer.
Dalam laporan konggres PBB X/2000 dinyatakan cyber crime atau
computer-related crime, mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari
kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para
penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang
dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.55
Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European
Community Deveplopment, yaitu “any illegal, unethical or unauthorized
behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of
data”.56
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam bukunya Cyber
Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi menyatakan bahwa “secara umum
yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber
(cybercrime) adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas
komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dengan melawan hukum dengan
55
Barda Nawawi Arief, loc.cit. h.259 56
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akdemik
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, November, 2003, h.25
dalam http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011
pukul 19.01 WIB
40
atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas
komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut”.57
Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya (cyber crime)
adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi
informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah
rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi
dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh
pelanggan internet.58
Menurut Andi Hamzah, cyber crime merupakan kejahatan di
bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer
secara ilegal.59
Dari semua perumusan atau batasan yang diberikan mengenai
cyber crime dapat disimpulkan bahwa karakteristik cyber crime adalah:
a) Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari
pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas.
b) Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada
tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi.
Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet.
c) Perbuatan tersebut merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan di
masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat
57
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h.8 58
Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam
http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm diakses pada tanggal 13
Juli 2011 pukul 20.05 WIB 59
Andi Hamzah, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,
1996, h.10
41
d) Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan
lebih dari satu yurisdiksi hukum.
C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime
1. Klasifikasi Cyber crime
Cyber crime dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
a. Cyberpiracy yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
mencetak ulang software atau informasi, lalu mendistribusikan
informasi atau software tersebut lewat teknologi komputer misalnya
pembajakan software.
b. Cybertrespass yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
meningkatkan akses pada sistem komputer suatu organisasi atau
individu misalnya hacking exploit sytem dan seluruh kegiatan yang
berhubungan dengannya.
c. Cybervandalism yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
membuat program yang menganggu proses transmisi elektronik, dan
menghancurkan data di sistem komputer misalnya virus, trojan,
worm, metode DoS, http attack, BruteForce Attack dan lain
sebagainya.60
2. Jenis-Jenis Cyber Crime
Dari klasifikasi kejahatan dunia maya di atas dapat diketahui
jenis-jenis cybercrime berdasarkan jenis aktivitasnya dan tentunya
60
Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya,
http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-internetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-
perniknya/ diakses tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB
42
kegiatan ini yang marak di lakukan baik di Indonesia sendiri atau di
negara lain,yaitu:61
a. Cyber Espionage ialah kejahatan yang memanfaatkan jaringan
internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,
dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network
system) pihak sasaran
b. Data Forgery ialah kejahatan dengan memalsukan data pada
dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless
document melalui internet.
c. Data Theft ialah kejahatan memperoleh data komputer secara
tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan
kepada orang lain.
d. Cyber Sabotage and Extortion ialah kejahatan yang paling
mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan,
perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program
komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan
internet.
e. Unauthorized Access to Computer System and Service ialah
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam
suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau
61
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, 2003, h.17 dalam
http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul
19.01 WIB
43
tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya.
f. Offense against Intellectual Property ialah Kejahatan ini
ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki
pihak lain di internet.
g. Illegal Contents ialah kejahatan dengan memasukkan data atau
informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak
etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu
ketertiban umum.
h. Carding ialah Kejahatan dengan menggunakan teknologi
computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan card
credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik
materil maupun non materil
i. Cracking ialah kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan
ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung dengan internet
Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada
tiga kasus yaitu pengakasesan sistem elektronik milik orang lain
tanpa izin, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem
elektronik. Selanjutnya kasusnya akan penulis paparkan dalam
uraian berikut:
44
1. Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke
dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin
atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer
yang dimasukinya.62
Biasanya pelaku kejahatan (hacker)
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian
informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang
melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba
keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat
proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan
berkembangnya teknologi internet/intranet. Bagi yang belum
pernah dengar, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh
hacker. Kisah seorang mahasiswa FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik) yang ditangkap gara-gara mengacak-acak data milik
KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan masih banyak contoh
lainnya.
Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu
melakukan akses secara tidak sah. Perbuatan ini sudah diatur
dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa:
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain (
62
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, op.cit, h.17 dalam
http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul
19.01 WIB
45
ayat (1)) dengan cara apapun, (ayat (2)) dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik, (ayat (3)) dengan cara apa pun dengan
melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.” 63
Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur
dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk ayat (1), ketentuan
pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah). Sedangkan ayat (2) pasl 46 memberikan ketentuan pidana
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
2. Data Theft
Merupakan kejahatan memperoleh data komputer secara
tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan
kepada orang lain.64
Identity theft merupakan salah satu jenis
kejahatan ini yang sering diikuti dengan kejahatan penipuan
(fraud). Kejahatan ini juga sering dikuti dengan kejahatan data
leakage (membocorkan data rahasia).
63
ibid, h.237 64
Dwi Eka Wiratama, op.cit, t.d, h.36
46
Pencurian data merupakan perbuatan yang telah
mengganggu hak pribadi seseorang, terutama jika si pemilik data
tidak menghendaki ada orang lain yang mengambil atau bahkan
sekedar membaca datanya tersebut. Pasal 32 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dapat digunakan menjerat pelaku.
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik
Orang lain yang tidak berhak.”65
Dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaiman diatur dalam
pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
3. Cyber Sabotage and Extortion
Merupakan kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan
ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung dengan internet.66
Biasanya
kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb,
virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,
program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat
digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan
65
ibid, h.238 66
ibid
47
sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus
setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut
menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program
komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase
tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering
disebut sebagai cyber-terrorism.
Untuk perusakan atau penghancuran terrhadap suatu sistem
atau pun data dari komputer. Dasar hukum nya diatur dalam pasal
33 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem
Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi
tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 67
Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).
4. Cracking
Kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer yang
dilakukan untuk merusak sistem keamanan suatu sistem komputer
dan biasanya melakukan pencurian, tindakan anarkis begitu
mereka mendapatkan akses. Biasanya kita sering salah
67
ibid, h.238
48
menafsirkan antara seorang hacker dan cracker dimana hacker
sendiri identik dengan perbuatan negatif, padahal hacker adalah
orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi
adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat
dapat dipublikasikan dan rahasia. Sedangkan cracker identik
dengan orang yang mampu merubah suatu karakteristik dan
properti sebuah program sehingga dapat digunakan dan disebarkan
sesuka hati padahal program itu merupakan program legal dan
mempunyai hak cipta intelektual.
Dasar hukum nya diatur dalam pasal 33 Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya
sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik
menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 68
Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).
68
ibid, h.238
49
BAB IV
ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK
DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI
DAN ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH
A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang
Lain Tanpa Izin Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah
Saat ini berbagai macam kasus cyber crime semakin merajalela, salah
satu diantaranya masalah ilegal akses. Undang-undang yang mengatur tentang
hal tersebut sudah ada yaitu dalam pasal 30 Undang-Undang no.11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.” 68
Untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 46 dalam Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk ayat (1), ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Sedangkan ayat (2) pasal 46 memberikan ketentuan pidana paling lama 7
68
Siswanto Sunarso, op.cit, h.237
50
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta
rupiah).
Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
Kasus cyber crime ini merupakan kasus baru yang terjadi di zaman
sekarang. Jadi, hukum pidana Islam belum mengatur tentang hal ini. Tindak
pidana pengaksesan sistem elektronik merupakan kasus ilegal akses yaitu akses
secara tidak sah atau akses tanpa izin.
Penulis menggunakan metode ijtihad qiyas untuk menyamakan
perbuatan ini dengan memasuki rumah orang lain tanpa izin dan menentukan
hukuman bagi pelaku perbuatan ini. Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus
yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang sudah ada nash
hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam
illat hukumnya.69
Dalam metode ijtihad qiyas perbuatan tersebut harus memenuhi
rukun-rukun qiyas, yaitu:
1. Al-Aslu (sesuatu yang ada nash hukumnya)
Islam melarang memasuki rumah orang tanpa izin dari pemilik
rumah, apalagi sampai melakukan pencurian atau perusakan terhadap
barang milik orang lain karena itu sudah termasuk jarimah. Jarimah
(tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-larangan syara„
69
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha
Putra Group), 1994, h. 66
51
yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada
nash-nya) atau ta ‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).70
Adapun dalil syar'i yang dapat dijadikan dasar melarang
memasuki rumah tanpa izin adalah sebagai berikut:
Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 27-28:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
masuk ke dalam ruang yang bukan rumahmu, sehingga kamu
minta izin dan mengucapkan salam (selamat) kepada yang
empunya. Demikian itu lebih baik bagimu, mudah-mudahan
kamu mendapat peringatan. Jika kamu tiada memperoleh
seseorang juga dalam rumah itu, maka janganlah masuk ke
dalamnya, sampai kamu mendapat izin lebih dahulu. Jika
dikatakan kepadamu: ‟Kembalilah‟, hendaklah kamu
kembali, demikian itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nur :
27-28) 71
2. Al-Far’u (sesuatu yang tidak ada nash hukumnya)
Unauthorized Access to Computer System and Service adalah
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam
suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
70
Ahmad Hanafi, op.cit, hlm.121 71
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992,
h.318-319
52
sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya. Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu
melakukan akses secara tidak sah.
Penulis menyamakan sistem dunia maya dengan rumah karena
di dunia maya juga mempunyai account-account atau ruang-ruang
yang mempunyai pintu dan dipasang kunci (password dan username)
untuk masuk ke dalamnya. Sama halnya dengan rumah yang memiliki
pintu dan kunci untuk masuk dan menjaga keamanan harta benda di
dalam rumah pemiliknya.
Salah satu contoh, kasus yang terjadi pada tahun 2004,
seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah
halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara SQL
(Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP
(Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil
meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam
meng-hack yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani
melakukan hacking dari IP public PT Danareksa (tempat dia bekerja)
202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy Anonymous Thailand
208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, dan
berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik peserta pemilu.
3. Hukum Al-Asl (hukum syara‟ yang ditentukan nash atau ijma’)
Dalam Surat An-Nur ayat 27-28 memberikan pemahaman,
bahwa isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah orang lain
53
hukumnya wajib. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah kerusakan
moral. Sebagai contoh, bila seseorang memasuki rumah orang lain
tanpa permisi, kemudian melihat barang berharga. Setan bisa
memasukkan niat buruk ke dalam hati sang tamu. Banyak kerusakan
moral sejenis yang bisa dicegah bila mengikuti petunjuk Allah SWT.72
Jadi, dilarang memasuki rumah orang lain tanpa izin bahkan sampai
melakukan tindakan yang dilarang oleh syara‟ seperti pencurian atau
perusakan. Hal ini terbaca jelas dari bunyi ayat tersebut „...janganlah
kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin...’
4. Al-‘Illat ( sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk suatu hukum )
Dalam penentuan illat ada tiga cara untuk mengetahuinya yaitu
dengan nash, ijma atau as-sabr wa taqsim.73
Dalam kasus memasuki
rumah tanpa izin dengan akses secara tidak sah atau tanpa izin bisa
disamakan karena suatu illat, yaitu memasuki rumah tanpa izin.
Menentukannya dengan denagn melihat illat yang ditunjukan oleh
nash pada kata yang digunakan lam (ل) yang mengandung isyarah
larangan. Maka setiap perbuatan yang menyangkut milik orang lain
harus meminta izin, seperti meminjam atau meminta baik barang yang
sederhana ataupun barang yang lainya harus diizinkan oleh
pemiliknya.
Tetapi dalam hukum syara‟ tidak dijelaskan mengenai hukuman
bagi orang yang memasuki orang tanpa izin. Perbuatan yang belum
72
http://imtiazahmad.com/reminders/in_etika_bertamu.html diakses pada tanggal 12
Maret 2011 pukul 00.44 WIB 73
A.Djazuli dan Nurol Aen, Op.cit, h.148-150
54
diatur dalam nash maka akan di beri hukuman ta’zir. Ahmad Wardi
Muslich juga menyatakan bahwa salah satu ciri khas dari jarimah
ta’zir adalah hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya
hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada batas minimal
dan ada batas maksimal.74
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa tindak pidana
pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan memasuki rumah
orang lain tanpa izin karena telah memenuhi rukun-rukun yang telah
ditentukan dalam qiyas. Sehingga hukuman dalam perbuatan memasuki
rumah tanpa izin dapat pula dijadikan hukuman perbuatan cyber crime ini.
Dalam kasus memasuki rumah tanpa izin tidak ada nash ataupun
hadist yang menjelaskan hukuman terhadap perbuatan ini maka
hukumannya berupa ta’zir. Ta’zir merupakan suatu hukuman yang berupa
pemberian pelajaran kepada pelaku kejahatan, untuk memberikan rasa jera
kepada pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya dan
mencegah segala macam bentuk kejahatan.
Hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim baik penentuannya
maupun pelaksanaannya. Baik hukumannya itu berupa kurungan penjara,
pengasingan, cambuk, sampai pada hukuman mati sesuai dengan tingkat
mudharat yang telah dilakukannya. Hal ini sangat relevan jika diterapkan
di Indonesia, karena Indonesia sendiri dalam penerapannya banyak
menggunakan hukuman ta’zir.
74
Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.19
55
Pemberlakuan undang-undang ITE ini dalam perspektif fiqih
jinayah dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang dapat
dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan dunia mayantara (cyber
crime). Sesuai dengan UU ITE 2008 bahwa hukuman terhadap orang
melakukan tindak pidana pengaksesan sistem elektronik akan dihukum
penjara atau denda seperti yang tercantum dalam pasal 46 UU ITE.
Dalam penerapan hukuman yang digunakan untuk menjerat pelaku
tindak pidana pengaksesan sistem elektronik, antara UU ITE dan Hukum
Pidana Islam memiliki persamaan. Seperti dalam macam-macam hukuman
ta’zir, dimana disitu terdapat hukuman yang berkaitan dengan
kemerdekaan yaitu dilakukan hukuman penjara dan hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan perampasan harta, bagi orang yang melakukan perbuatan
jarimah. Hukuman ta’zir merupakan suatu hukuman pemberian pelajaran
kepada pelaku kejahatan agar timbul rasa jera dan tidak mengulangi
perbuatannya. Hal ini tentu sejalan dan relevan untuk diterapkan di
Indonesia, karena sesuai dengan hukum yang diterapkan dalam UU ITE.
B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Pasal 32 ayat (2)
UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
dalam Perspektif Fiqh Jinayah
Berbeda lagi mengenai kasus pencurian dokumen elektronik yang
diatur dalam pasal 32 ayat (2), sebagai berikut :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
56
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang
tidak berhak.”75
Perbuatan ini dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Kasus mengenai pencurian dokumen elektronik sudah banyak terjadi.
Modusnya pun bermacam-macam mulai dari pencurian data pribadi seseorang
sampai pencurian dokumen elektronik milik negara. Dampak dari tindak
kejahatan ini tentu akan sangat merugikan korbannya.
Kasus pencurian dokumen elektronik ini juga merupakan kasus yang
baru terjadi di zaman modern saat ini. Dalam hukum pidana Islam tidak ada nash
ataupun hadist yang mengatur tentang hal ini. Untuk menentukan hukuman bagi
pelaku pencurian dalam hukum pidana Islam penulis menggunakan metode
ijtihad qiyas untuk menyamakan dengan kasus pencurian (sariqoh) yang terjadi
dalam dunia nyata. Oleh karena itu perbuatan tersebut harus memenuhi rukun-
rukun qiyas, yaitu:
1. Al-Aslu
Dalam Islam sudah nash yang mengatur tentang jarimah
pencurian yaitu surat Al-Maidah ayat 38:
“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan
75
Siswanto Sunarso, op.cit, h.238
57
pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,
Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”76
2. Al-Far’u
Data Theft (pencurian data/dokumen elektronik) merupakan
kejahatan memperoleh data komputer secara tidak sah baik untuk
digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain.
Pencurian data merupakan perbuatan yang telah mengganggu hak
pribadi seseorang, terutama jika pemilik data tidak menghendaki ada
orang lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya
tersebut.
Seperti kasus yang terjadi beberapa waktu lalu pada April 2011,
ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) mengalami sebuah
insiden pencurian yang terdiri dari berbagai barang terdiri dari laptop,
komputer dan CPU, hard disk eksternal, voice record, kamera dan
beberapa file penting yang kebanyakan berisi data-data advokasi.77
3. Hukum Al-Asl
Dalam ayat ini memberikan penjelasan bahwa setiap kejahatan ada
hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula
halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar
larangan mencuri. Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang
mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-
diam, dinamakan "pencuri".
76
Departemen Agama RI, op.cit, h.103-104 77
Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam
http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-di-kantor-anbti diakses pada tanggal 17
September 2011 pukul 10.03 WIB
58
Seorang yang telah akil baligh mencuri harta orang lain dari
tempatnya yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat dinar
dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa dan mengetahui bahwa
perbuatannya itu haram dan dilarang oleh Agama, maka orang itu
sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan
kanan, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam ayat ini.
4. Al-‘Illat
Dalam kasus pencurian dokumen elektronik degan kasus pencurian
bisa disamakan karena suatu illat yaitu mengambil harta orang lain
dari tempat yang layak secara diam-diam. Penentuan illat dalam kasus
ini dilihat dari nashnya yang terdapat pada kata as-sariqu was-
sariqotu ( ةالسرق والسرق ). Maka setiap pencurian dokumen elektronik
yang terdapat illat mengambil harta orang lain dari tempat yang layak
secara diam-diam dapat disamakan dengan pencurian mengenai
hukumnya dan termasuk perbuatan jarimah.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pencurian dokumen
elektronik dapat disamakan dengan sariqah karena telah memenuhi rukun-
rukun dalam qiyas. Tetapi ada yang berbeda antara kedua kasus ini
mengenai bentuk objek pencurian (harta curian) walaupun keduanya sama-
sama memiliki nilai. Sehingga hukuman yang diberikan kepada pelaku
pencurian dilihat dari harta curiannya mencapai nisab atau tidak.
Dalam bukunya Topo Santoso mendefinisikan pencurian sebagai
perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam (tanpa
59
sepengetahuan pemiliknya) dengan itikad tidak baik.78
Pencurian dokumen
elektronik sama halnya dengan pencurian harta karena dokumen elektronik
juga mempunyai nilai bagi pemiliknya. Topo Santoso juga menjelaskan
bahwa hukuman potong tangan dalam pencurian hanya bisa dijatuhkan
jika terpenuhi syarat, yaitu:79
1. Harta yang dicuri itu diambil secara diam-diam, dengan tanpa
diketahui
2. Barang yang dicuri harus memiliki nilai
3. Barang yang dicuri harus disimpan dalam tempat yang aman, baik
dalam penglihatan maupun di suatu tempat yang aman.
4. Barang yang dicuri harus milik orang lain
5. Pencurian itu harus mencapai nilai minimum tertentu (nisab).
Imam Malik mengukur nisab tadi sebesar ¼ dinar atau lebih.
Pendapat Imam Malik di atas sesuai dengan hadist berikut:
ان ع هللا هللا ن ع هللا ع ع ن ع ع ع ن ئ هللا ع ن الن ئ ي ع ع ع ائ ع ع ع ن لع ع ع هللا هللا ئ ئ ن ع ائ ن هللا ا ن ن ئ ع ن هللا ئ د ع ع ع هللا ئ ن الي ن ئ ن ع ع ن ع ر ع ئ الي ن ئ ن ع ئ ن ع ن هللا
Dari Aisyah r.a Nabi saw. Bersabda: “Tangan dipotong
dalm mencuri seperempat dinar ke atas”. Abdurrahman
bin Kholid, anak saudara Zukhri dan Ma‟mar telah
mengikutinya.80
78
Topo Santoso, op.cit, h.28 79
ibid, h.28-29 80
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII,
Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993, h.628
60
Pendapat Imam Syafi‟i sama dengan Imam Malik di atas, tetapi
terdapat perbedaan antara mereka yaitu pada penentuan nilai antara emas
dan perak. Dalam hal ini, Imam Syafi‟i menetapkan nilai emas sebagai
ukuran. Imam Syafi‟i mendasari pendapatnya ini kepada hadist Aisyah
r.a.81
Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu
10 dirham atau 1 dinar dan tidak wajib dikenai hukuman potong tangan
pada pencuri harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka
diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam
Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena
mencuri harta anaknya, cucunya sampai seterusnya ke bawah. Demikian
pula sebaliknya, anak tidak dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri
harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu
Hanifah tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara
suami istri.82
Penulis menggunakan nisab sebesar ¼ dinar karena dari beberapa
hadist yang penulis temukan menyatakan nisab pencurian sebesar ¼ dinar
dan ada sebagian yang menggunakan takaran sebesar 3 dirham. Apabila 1
dinar = 10 dirham, maka 3 dirham hampir setara dengan ¼ dinar. Apabila
melihat nisab pencurian yaitu sebesar ¼ dinar. Di Indonesia 1 dinar =
emas 4, 25 gram83
, maka ¼ dinar = 1, 0625 gram. Jika di hitung dalam
81
Mohc. Said Ishak, Hudud dalam Fiqh Islam, Johor Darul Ta‟zim: Universiti Teknologi
Malaysia, 2000, h.38 82
Djazuli, op.cit, h.76 83
http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.15 WIB
61
bentuk rupiah sekarang ini 1 gram emas = Rp 311.066,0084
maka ¼ dinar
senilai Rp 311.260,00. Oleh sebab itu benda yang dicuri harus senilai yang
telah disebutkan di atas. Sehingga dalam kasus pencurian hukumannya pun
akan berbeda, melihat dari kasusnya memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan atau tidak.
Untuk kasus pencurian dokumen elektronik dalam UU ITE 2008
semua syarat pencurian bisa terpenuhi kecuali syarat kelima yaitu
memenuhi nisab, karena masing-masing dokumen elektronik mempunyai
nilai berbeda. Tetapi tentu sulit untuk menentukan nilai dari suatu
dokumen elektronik, karena barangnya berupa benda maya dan tiap
dokumen elektronik mempunyai fungsi dan nilai yang berbeda.
Menurut penulis untuk menentukan nisab pencurian dokumen
elektronik dapat dilihat dari kerugian yang ditanggung oleh korbannya.
Adapun kerugian diderita oleh korban bisa berbentuk materil ataupun
immateril. Seperti contoh dokumen elektronik rahasia milik negara yang
dicuri oleh negara lain tentunya tindakan itu akan sangat merugikan negara
secara moril maupun materil, maka pelaku sudah memenuhi syarat-syarat
jarimah pencurian. Kemudian pencuri yang mengambil data diri seseorang
dan data tersebut digunakan untuk perbuatan yang tidak baik sebagai
contoh pencemaran nama baik. Hal tersebut juga merugikan pemiliknya
dari segi moral.
84
http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB
62
Dalam pembuktian hukum pidana Islam mengenai tindak pidana
pencurian, ada beberapa macam yaitu dengan saksi, pengakuan dan
sumpah.85
Pertama, saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak
pidana pencurian, dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau dua orang
perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang laki-laki maka pencuri
tidak dikenakan hukuman. Untuk dapat diterimanya persaksian, harus
memenuhi syarat-syarat umum yang berlaku untuk semua jenis persaksian
dalam setiap jarimah. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
1. Baligh (dewasa)
2. Berakal
3. Kuat Ingatan
4. Dapat Berbicara
5. Dapat Melihat
6. Adil
7. Islam 86
Kedua, pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak
pidana pencurian. Menurut Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang,
alasannya adalah bahwa suatu pengakuan ini merupakan suatu
pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah jika diulang-
ulang.87
Ketiga, dengan sumpah. Dikalangan ulama syafi‟iyah, ada
pendapat yang menyatakan bahwa pencurian bisa dibuktikan berdasarkan
85 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004, h.88
86 Ibid, h. 43-47
87 Ibid, h. 53
63
sumpah yang dikembalikan (kepada penuduh). Tetapi pendapat tersebut
tidak mewajibkan hukuman potong tangan atas tindak pidana pencurian
kecuali berdasarkan kesaksian dan pengakuan. Pendapat ini sama dengan
pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sebagian fukaha berpendapat pembuktian di atas dapat berlaku apabila ada
gugatan dari pemiliknya tetapi jika tidak ada gugatan dari pemiliknya tidak
bisa di hukum potong tangan, pelaku hanya dihukum ta’zir.88
Dalam surat Al-Maidah ayat 38 telah dijelaskan bahwa hukuman
bagi pencuri laki-laki ataupun perempuan adalah potong tangan. Tetapi
tidak semua pencurian dokumen elektronik bisa dihukum potong tangan.
Dilihat dari kasus pencuriannya itu memenuhi syarat-syarat pencurian atau
tidak dan juga dalam pembuktiannya. Tetapi pada realitanya karena di
Indonesia mempunyai hukum sendiri maka hukuman tersebut tidak bisa
terlaksana sebagaimana yang telah dinyatakan diatas. Sehingga hukuman
yang didapatkan oleh pelaku tindak pidana pencurian ini turun menjadi
hukuman ta’zir karena dalam penerapannya hukum di Indonesia menganut
UU ITE untuk menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian
dokumen elektronik diserahkan kepada hakim yang berwenang. Sesuai
dengan ketentuan pidana yang tertera dalam pasal 48 ayat (2) UU ITE
2008, yang didalamnya menyatakan hukuman bagi pelaku tindak pidana
ini penjara dan denda.
88
Abdul Qadir Audah,..... jilid V, Op.cit, h.165-166
64
C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem Elektronik Pasal 33 UU
No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
dalam Perspektif Fiqh Jinayah
Sedangkan untuk kasus perusakan sistem elektronik merupakan
salah satu kasus yang paling mengerikan sekarang ini. Salah satu
contohnya perusakan sistem elektronik dengan cara memasukkan virus
atau suatu program, sehingga sistem yang ada didalamnya akan terganggu
dan berakibat pada rusaknya suatu sistem elektronik.
Dalam UU ITE 2008 telah diatur mengenai perbuatan tersebut
dalam pasal 33, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem
Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya.”89
Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).
Munculnya informasi tidak lepas dari upaya perusakan yang
berakibat fatal bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Dasar hukum Islam
mengenai perbuatan tersebut belum didapatkan karena dalil yang ada tidak
menyebutkan secara jelas perbuatan merusak sistem elektronik atau
komputer. Padahal akibat yang ditimbulkan kurang lebih sama dengan
89
Siswanto Sunarso, op.cit, h.238
65
orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman.
Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian dari segi fisik atau materi.
Dalam penentuan hukuman pelaku jarimah ini penulis
menggunakan metode qiyas untuk menyamakan kasus perusakan sistem
elektronik dengan kasus perusakan atau kasus orang yang mengganggu
keamanan (hirabah) yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu
perbuatan tersebut harus memenuhi rukun qiyas, yaitu:
1. Al-Ashlu
Dalil mengenai orang yang berbuat kerusakan di dunia, dalam surat
Al-Maidah ayat 33:
“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan berusaha memperbuat bencana
di muka bumu, bahwa mereka itu dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Balasan itu adalah suatu kehinaan bagi mereka di dunia
dan untuk mereka itu dikahirat siksaan yang besar.”90
2. Al-Far’u
Cyber Sabotage and Extortion merupakan Kejahatan yang
dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran
90
Deparetemen Agama RI, op.cit, h.104
66
terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer
yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan
dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu
program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem
jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana
mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
3. Hukum Ashl
Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau
ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat,
merusak kepentingan umum seperti membinasakan ternak, merusak
pertanian dan lain-lain, mereka dapat dibunuh, disalib, dipotong
tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan. Menurut
jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu
keamanan yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai
mati dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan
pembunuhan dan perampasan harta, hukuman potong tangan bagi
yang melakukan perampasan harta dengan hukuman terhadap
pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum buangan itu
boleh diganti dengan penjara. Hukuman pada surat Al-Maidah ayat 33
ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan
yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerap kali
mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan dan lain-lain.
67
Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh
diberi ampunan.
4. Al-Illat
Kedua perbuatan ini dapat disamakan karena suatu illat yaitu
mengganggu keamanan. Penentuan illatnya berdasarkan nash yang
terlihat jelas pada kata ( ويسعون). Dilihat dari kasus tersebut, kerugian
yang ditimbulkan dari aktifitas ini (defacement, logicbomb, DoS) tidak
bisa dibilang kecil. Sebagai contoh bagaimana seandainya situs milik
bank diserang oleh black hat hacker dengan ketiga metode di atas,
berapa ribu nasabah akan dirugikan dan berapa kerugian dari bank
yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kasus perusakan
sistem elektronik dalam penjatuhan hukumannya dapat dihukum dengan
hukuman hirabah karena telah memenuhi rukun-rukun qiyas yang telah
ditentukan. Perbuatan merusak sistem elektronik dianggap sama dengan
pengacau keamanan yang menimbulkan kerugian moral maupun materil
bagi masyarakat umum.
Menurut sebagian pendapat hukuman bagi pelaku hirabah berbeda
sesuai dengan perbuatannya. Untuk perusakan sistem elektronik
hukumannya disamakan dengan pelaku hirabah yang mengambil harta
secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Memang dilihat
secara nyata perbuatan ini berbeda tetapi alasan penulis menyamakan
dengan mengambil harta secara terang-terangan karena pada tindak pidana
68
perusakan sistem elektronik ini pelaku menghancurkan sistem elektronik
milik perorangan atau instansi dengan maksud yang tidak baik dan sistem
elektronik yang dirusak merupakan sistem yang menyimpan harta,
maksudnya perbuatan perusakan tersebut ditujukan untuk menguasai harta
yang ada pada sistem elektronik tersebut tanpa membunuh pemiliknya dan
juga dilihat dari kasusnya. Menurut penafsiran Imam Syafi‟i yaitu li tafsil (
penetapan jenis tindak pidana) yang diambil dari penafsiran kata aw (أو ),
maka ada empat macam tindak pidana hirabah yaitu keluar untuk
mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya
melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta tanpa membunuh, keluar
untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya
mengambil harta tanpa membunuh, keluar untuk mengambil harta secara
terang-terangan, kemudian pelaku hanya membunuh tanpa mengambil
harta dan keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian
pelaku mengambil harta dan melakukan pembunuhan.91
Seperti contohnya
apabila sistem yang diserang ini milik perbankan atau pemerintah yang
menyangkut kepentingan umum, maka kerugian yang dialami akan sangat
besar.
Hukuman bagi pelaku perbuatan tersebut dapat dihukum potong
tangan dan kaki secara bersilang. Topo Santoso menjelaskan dalam
bukunya, menurut Imam Zahiri sanksi hirabah diserahkan kepada Ulil
Amri untuk memilih hukuman mana yang sesuai dengan kemaslahatan
91
Achmad Wardi Muslich, Op.cit, h.95
69
umum, tetapi tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ditentukan
dalam surat Al-Maidah ayat 33.92
Apabila melihat dari hukuman yang telah disebutkan di atas, dapat
diketahui bahwa hukuman tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia
karena dianggap tidak manusiawi sehingga hal tersebut bisa saja dianggap
melanggar hak azasi manusia. Indonesia merupakan negara yang
mempunyai hukum yang telah berlaku, sehingga hukuman yang
diterapkan sesuai dengan yang tertera dalam pasal 49 UU ITE 2008 dan
untuk penentuannya dan pelaksanaannya diserahkan kepada hakim,
dengan kata lain hukumannya turun menjadi hukuman ta’zir yang sesuai
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam UU ITE 2008 pelaku perusakan sistem elektronik dikenai
hukuman penjara dan denda walaupun dengan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan kasus lainnya. Menurut penulis untuk pelaku
kejahatan ini hukuman yang terdapat dalam UU ITE tidak efektif dan
kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan ini karena
akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini menyangkut kemaslahatan
umum walaupun pelaku kejahatan ini mendapat hukuman dengan jangka
waktu penjara paling lama dibanding dengan tindak kejahatan cyber
lainnya. Dengan adanya UU ITE diharapkan mampu mencegah meluasnya
kejahatan dibidang cyber karena saat ini kemajuan teknologi telah
mencakup semua aspek dalam kehidupan masyarakat.
92
Topo Santoso, op.cit, h. 30
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis bahas mengenai tindak pidana pengaksesan sistem
elektronik dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Dalam Islam tindak pidana pengakesan sistem elektronik milik orang
lain tanpa izin yang diatur dalam pasal 30 Undang-Undang No.11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diibaratkan
seperti memasuki rumah orang lain tanpa izin, perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Untuk menentukan
hukuman pelaku perbuatan tersebut, penulis menggunakan metode
ijtihad qiyas. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah memasuki
rumah tanpa izin dengan ketentuan surat An-Nur ayat 27-28. Yang
menjadi al-far’u adalah tindak pidana pengaksesan sistem elektronik.
Sedangkan yang menjadi hukum asl adalah larangan memasuki rumah
orang lain tanpa izin. Tindak pidana pengaksesan sistem elektronik
dapat disamakan dengan memasuki rumah tanpa izin karena
mempunyai persamaan illat yaitu tanpa izin. Dengan terpenuhinya
rukun-rukun qiyas maka hukuman bagi pelaku tindak pidana
pengaksesan sistem elektronik bisa di samakan dengan memasuki
rumah tanpa izin. Dalam nash tidak disebutkan hukuman bagi pelaku
tindak pidana ini maka hukumannya diserahkan kepada Ulil Amri
71
yaitu ta’zir. Sesuai yang diterapkan dalam UU ITE hukumannya
berupa penjara atau denda.
2. Untuk kasus pencurian dokumen elektronik diatur dalam 32 ayat (2)
Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah sariqoh
dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 38. Yang menjadi al-far’u
adalah pencurian dokumen elektronik. Sedangkan hukum asl adalah
hukuman potong tangan. Pencurian dokumen elektronik dapat
disamakan dengan sariqoh karena mepunyai persamaan illat yaitu
mengambil harta dari tempat yang layak secara diam-diam. Hukuman
bagi pelaku pencurian dokumen elektronik dapat dihukum potong
tangan apabila harta curian mencapai nisab yaitu ¼ dinar, apabila
tidak mencapai nisab maka dikenai hukuman ta’zir. Untuk
menentukan nisabnya dilihat berdasarkan kerugian yang diderita
korban karena dokumen merupakan benda maya yang sulit untuk
menentukan nilai dari benda tersebut. Hukuman tersebut bisa
dijalankan apabila telah memenuhi syarat-syarat pencurian dan
pembuktiannya. Tetapi pada realitanya hukuman tersebut tidak bisa di
jalankan sehingga hukuman yang diberikan turun menjadi hukuman
ta’zir, sesuai dengan UU ITE yang berlaku di Indonesia.
3. Sedangkan kasus perusakan sistem elektronik diatur dalam pasal 33
Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah hirabah
72
dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 33. Yang menjadi al-far’u
adalah perusakan sistem elektronik. Sedangkan hukum asl adalah
hukuman salib, potong tangan dan kaki secara bersilang atau dibunuh.
Perusakan sistem elektronik dapat disamakan dengan hirabah karena
mepunyai persamaan illat yaitu mengganggu keamanan. Untuk
penerapan hukuman perusakan sistem elektronik disamakan dengan
mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya
sehingga hukumannya adalah potong tangan dan kaki secara
bersilang. Tetapi hukuman tersebut tidak dapat diterapkan di
Indonesia karena bisa dianggap melanggar hak azasi manusia
sehingga hukum yang berlaku kemudian turun manjadi hukuman
ta’zir sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam UU ITE 2008.
B. Saran
Berdasarkan penelitian di atas maka disarankan kepada para
pengguna internet agar mematuhi norma–norma serta harus beretika
baik ketika sedang menjelajahi dunia maya. Selain itu saran juga
ditujukan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah
Indonesia melalui Departemen Informasi dan Teknologi agar
meningkatkan kinerja dibawah ini yakni :
1. Menerapkan UU ITE secara optimal di Indonesia, karena masih
banyak sekali kasus-kasus yang belum terjamah oleh aparat penegak
hukum di Indonesia.
73
2. meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai
standar internasional.
3. meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum
mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-
perkara yang berhubungan dengan cyber crime.
4. meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cyber crime
serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.
5. meningkatkan kerjasama antarnegara, baik bilateral, regional maupun
multilateral, dalam upaya penanganan cyber crime.
C. Penutup
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik dalam Undang-
Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun,
guna menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
74
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994
Al-Bukhori, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail, Terjemah Shahih
Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993.
Arief , Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara (Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia), Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2006.
Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.
As-Shiddieqy, Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Edisi Kedua),
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 2001.
Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT
Kharisma Ilmu, 2007.
------------------------, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta:
PT Kharisma Ilmu, 2007.
Bambang Waluyo, S.H. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1992.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber
Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008
75
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”,
Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008.
Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt
Raja Grafindo Persada, 2000
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947.
Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam
Perspektif Hukum Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009.
Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber
Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum,
Sumatera Utara, 2010.
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Hanafi, Ahmad, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
2002.
Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995
Husein, Syahrudin, Kejahatan dalam Masyarakat dan
Penanggulanggannya, Sumatera Utara: Universitas Sumatera
Utara, 2003.
Ishak, Moch. Said, Hudud Dalam Fiqh Islam, Johor: Darul Ta’zim: 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama
Semarang (Toha Putra Group), 1994.
76
Mansur, Didik M.Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta :
Liberty, 1986.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah
Ma’sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm.
351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada, 2000
Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih
Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
---------------------------, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2004.
Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi
Kasus Prita Mulyasari), Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan
Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.
Wahid, Abdul dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber
Crime), Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
77
B. Internet
Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian
Terhadap Status Hukum
Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/i
mplementasi-metode-qiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-
hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19 Desember
2011 jam 19.55 WIB
detik.com digital live dalam
http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/dani-
firmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3
Agustus 2011 pukul 10.36 WIB
Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h.
306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-
Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB
http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB
http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul
19.15 WIB
Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam
http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpida
na.htm diakses pada tanggal 13 Juli 2011 pukul 20.05 WIB
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah
Akdemik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang
Teknologi Informasi, November, 2003, h.25 dalam
78
http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses
pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB
Nasrulloh, Pengertian Kejahatan,
http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-
kejahatan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 11.21
WIB
NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/
diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB
Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam
http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-di-
kantor-anbti diakses pada tanggal 17 September 2011 pukul 10.03
WIB
Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya,
http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-
internetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-perniknya/ diakses
tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB
The Reff All, Pengertian Diyat dalam
http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html
diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB
Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister
Hukum, Bandung, 2010 dalam
http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIA
79
N_TERHADAP_CYBER_CRIME.pdf diakses tanggal 23 Juni
2011 pukul 21.41 WIB
Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir, dalam
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada
tanggal 30 Juli 19.09 WIB
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang
berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap
berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga
mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat
nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat
dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi
yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk
perbuatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan
memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;
e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting
dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan
Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya
masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
Mengingat :. . .
2
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik
yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
5. Sistem . . .
3
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan
Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya
duaSistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup
ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem
Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan
terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat
elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para
pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan
oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan
hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak
dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit
dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam
TransaksiElektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri
atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau
terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang
digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan
atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi
logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya
atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk
dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
lainnya.
17. Kontrak . . .
4
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang
dibuat melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik
untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara
Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau
perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang
ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur
dalamUndang-Undang ini, baik yang berada di wilayah
hukumIndonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,
yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/ataudi
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentinganIndonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi.
Pasal 4 . . .
5
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian
nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di
bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang
sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril
atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6 . . .
6
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu
informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan
adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem
Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang
benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang
ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki
Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di
bawah kendali Penerima yang berhak.
(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem
Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik,
penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik yang ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi
yang digunakan dalam pengiriman atau penerimaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
sistem informasi pertama yang berada di luar kendali
Pengirim;
b. waktu . . .
7
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
memasuki sistem informasi terakhir yang berada
di bawah kendali Penerima.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi
Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi
Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi
Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum yang sah selama memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait
hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada
saat proses penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan
Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
Penanda Tangan telah memberikan persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan . . .
8
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan
Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak
berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-
hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah
terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda,
menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara
Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak
dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada
seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap
memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak
pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat
menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan
akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk
mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan
harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua
informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik
tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab
atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
BAB IV . . .
9
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM
ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan
keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan
pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan
hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di
Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus
menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada
setiap pengguna jasa, yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri
pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan
dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
Bagian Kedua . . .
10
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab
terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai
dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik
dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur
atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V . . .
11
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi
berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam
Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa
yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi
tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus
menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
Pasal 20 . . .
12
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi
Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang
dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi
Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya,
atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen
Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga
secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen
Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak
pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Pasal 22 . . .
13
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan
fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang
memungkinkan penggunanya melakukan perubahan
informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen
Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN
PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,
dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain
berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad
baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara
sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau
masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama
Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak
mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.
Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain
oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih
sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah
Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui
keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25 . . .
14
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya
intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak
Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-
undangan, penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas
kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
Pasal 28 . . .
15
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
(2) Setiap . . .
16
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau
mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi
dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak
sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat
terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan
Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
Pasal 34 . . .
17
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,
atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang
dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis
dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik
menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan
penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan
Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan
hukum.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap
seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik
yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
BAB VIII . . .
18
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak
yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan
kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan
terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat
merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu
ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang
memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data
tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi . . .
19
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3)
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data
yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan
Teknologi Informasi melalui penggunaan dan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan . . .
20
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau
keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem
elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus
dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk
didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau
saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di
bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan
Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana
yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu
yang diduga digunakan sebagai tempat untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan
atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
h. meminta . . .
21
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam
penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan,
penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan
ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali
dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat
berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi
informasi dan alat bukti.
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah
sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3).
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Setiap . . .
22
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap . . .
23
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi
seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari
pidana pokok.
(2) Dalam . . .
24
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang
digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana
pokok ditambah sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan
strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan,
bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional,
otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal
ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua
pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi
dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan
dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap
berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
Agar. . .
25
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI:
Nama Lengkap : Fajrin Widiyaningsih
Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 20 Mei 1989
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Moga-Pulosari RT/RW 04/06 No.116
Banyumudal-Moga, Pemalang 52354
No. HP : 085876136888
PENDIDIKAN FORMAL :
SD Negeri 07 Banyumudal, Pemalang lulus tahun 2001
SMP Negeri 01 Moga, Pemalang lulus tahun 2004
SMA Negeri 01 Randudongkal, Pemalang lulus tahun 2007
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2009
Bendahara HMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2010
Semarang, 7 November 2011
Penulis,
Fajrin Widiyaningsih
NIM. 072211020