Skripsi fajrin widyaningsih

120
TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syariah Oleh : FAJRIN WIDIYANINGSIH NIM. 072211020 JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH IAIN WALISONGO SEMARANG 2011

Transcript of Skripsi fajrin widyaningsih

Page 1: Skripsi fajrin widyaningsih

TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK

DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh :

FAJRIN WIDIYANINGSIH

NIM. 072211020

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH

IAIN WALISONGO SEMARANG

2011

Page 2: Skripsi fajrin widyaningsih

ii

Drs. H. Musahadi.,M.Ag

Jl. Permata Ngaliyan II No. 62

Muhammad Saifullah, M.Ag

Jl. Taman Karonsih 4. No.1181 Tambakaji Ngaliyan Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

A.n. Sdri. Fajrin Widiyaningsih IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah skripsi saudari :

Nama : Fajrin Widiyaningsih

Nomor Induk : 072211020

Judul Skripsi : TINDAK PIDANA PENGAKSESAN

SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU

NO.11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI

ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih

Jinayah)

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera

dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang, 4 Oktober 2011

Pembimbing I

Drs. H. Musahadi, M.Ag.

NIP. 19690709 199403 1003

Pembimbing II

H. Muhammad Saifullah, M.Ag

NIP. 19700321 199603 1003

Page 3: Skripsi fajrin widyaningsih

iii

KEMENTRIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG

Jl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

PENGESAHAN

Skripsi Saudari : Fajrin Widiyaningsih

NIM : 072211020

Judul : Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam

UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah)

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama

Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat

cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :

16 Desember 2011

dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun

akademik 2011/2012.

Semarang, 16 Desember 2011

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

H.Abdul Ghofur, M.Ag H. Muhammad Saifullah, M.Ag

NIP. 19670117 199703 1001 NIP. 19700321 199603 1003

Penguji I Penguji II

Drs. H. Nur Syamsudin, M.Ag Drs. H. Miftah AF, M.Ag

NIP. 19680505 199503 1002 NIP. 19530515 198403 1001

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Musahadi, M.Ag. H. Muhammad Saifullah, M.Ag

NIP. 19690709 199403 1003 NIP. 19z700321 199603 1003

Page 4: Skripsi fajrin widyaningsih

iv

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi

materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang

lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini

tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang

menjadi bahan rujukan.

Semarang, 4 Oktober 2011

Deklarator,

Fajrin Widiyaningsih

NIM. 072211020

Page 5: Skripsi fajrin widyaningsih

v

MOTTO

.

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)

dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan

antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang

sangat setia. (Q.S Al-Fushshilat: 34)

Page 6: Skripsi fajrin widyaningsih

vi

ABSTRAK

Seiring berkembangnya teknologi informasi membawa banyak

perubahan dalam kehidupan. Perubahan ini disamping membawa dampak

positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud

adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Salah satu sisi gelap

kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas

dalam segala bidang kehidupan saat ini lebih dikenal dengan cyber crime.

Sehingga para penegak hukum di Indonesia terdorong untuk memberikan

pengaturan hukum dengan memberlakukan cyber law melalui

pengesahan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu hukum pidana Islam yang

bersumber dari Al-Quran dan hadist perlu untuk memiliki dasar hukum

dalam permasalahan cyber crime ini. Untuk mengetahui apakah hukuman

yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 relevan dengan hukuman

dalam Fiqh Jinayah, maka masih harus dilakukan qiyas untuk

menentukan bahwa cyber crime dapat dikenakan hukuman yang sama

dengan jarimah yang telah ada. Dari permasalah diatas, penelitian ini

akan mengkaji tentang bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang

pengaksesan sistem elektronik dalam pasal 30 UU ITE 2008 ? pencurian

dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU ITE 2008 ? dan

perusakan dokumen elektronik dalam pasal 33 UU ITE 2008 ?

Data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks

(teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content

analysis.

Hasil studi penelitian menyimpulkan bahwa untuk tindak pidana

pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan perbuatan

memasuki rumah tanpa izin dengan illat memasuki rumah tanpa izin

maka hukumannya adalah ta’zir. Sehingga hukuman yang telah

diterapkan dalam UU ITE 2008 sama dengan fiqh jinayah. Sedangkan

untuk pencurian dokumen elektronik disamakan dengan sariqah dengan

illat mengambil barang orang lain secara diam-diam dari tempat

penyimpanan. Hukuman bagi pelaku pencurian dokumen elektronik ini

agak berbeda dengan UU ITE karena untuk kasus ini dilihat dari nisab

pencurian, bisa dihukum potong tangan atau tidak. Untuk perusakan

dokumen elektronik disamakan dengan hirabah dengan illat mengganggu

keamanan, maka hukuman nya potong tangan dan kaki secara bersilang

karena hirabah yang disamakan dalam kasus ini adalah mengambil harta

secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Tetapi pada

realitanya hukuman bagi pencuri dokumen elektronik dan perusakan

sistem elektronik tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena hukum

yang berlaku di Indonesia adalah UU ITE maka hukumannya turun

menjadi hukuman ta‟zir yaitu penjara dan denda.

Kata kunci : cyber crime, UU ITE, Fiqh Jinayah

Page 7: Skripsi fajrin widyaningsih

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Bapak (Ali Said) dan Ibu (L. Tri Lestari Kusumaningrum S) tersayang

Saudara-saudaraku : Alista Setyaningrum, Putri Kumala Sari, Akbar

Suryo Wibowo, dan Arifian Ramadhan

Teruntuk seseorang yang selalu membantu dan memotivasi penulis

“Shohibul Ibad”

Teman-teman senasib seperjuanganku selama 4,5 tahun di IAIN

Walisongo : Cukong, Pak Menwa, Arip, Nita, Ms Faqeh, Pakde,

Fahri, Toheer, Kirun, Yanze, Hasan.

Teman-Teman Kos : Wulan, Ika, Anies, Nuriel, Anggi

Teman-Teman yang membantu terseleseikannya skripsi ini : Judin,

Qodir, Mas Hajir, Tegar , Nurul, Mustofa

Page 8: Skripsi fajrin widyaningsih

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur Alhamdulillahirobbil‟alamin penulis ucapkan kehadirat Allah

SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan

kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-

sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan

mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang berjudul: TINDAK PIDANA PENGAKSESAN

SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih

Jinayah), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih

payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari

usaha dan bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah

sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo

Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga

kini.

2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam

DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah

IAIN Walisongo Semarang.

3. Drs. H. Musahadi, M.Ag. dan H. Muhammad Saifullah, M.Ag. selaku

Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan

tulus ikhlas.

4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian

dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian

kata-kata.

Page 9: Skripsi fajrin widyaningsih

ix

5. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi

ini. Dan doaku untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua amal kebaikan

mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku” amin.

6. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu,

terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan

Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan

skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman

pada umumnya. Amin.

Semarang, 3 Oktober 2011

Penulis

Fajrin Widiyaningsih

NIM. 072211020

Page 10: Skripsi fajrin widyaningsih

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan

dan Menteri Kebudayaan RI

No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987

Tertanggal 22 Januari 1988

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin N a m a

alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا

- ba b ب

- ta t ت

sa s s (dengan titik di atas) ث

- jim j ج

ha‟ h h (dengan titik di bawah) ح

- kha‟ kh خ

- dal d د

zal ż z (dengan titik di atas) ذ

- ra r ر

- za ż ز

- sin s س

- syin sy ش

sad s s (dengan titik di bawah) ص

Page 11: Skripsi fajrin widyaningsih

xi

dad d d (dengan titik di bawah) ض

ta t t (dengan titik di bawah) ط

za z z (dengan titik di bawah) ظ

ain „ koma terbalik ke atas„ ع

- gain g غ

- fa f ف

- qaf q ق

- kaf k ك

- lam l ل

- mim m م

- nun n ن

- wawu w و

- ha h ه

hamzah apostrof ء

ya‟ y ي

B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh :

يــو حـمد ا ditulis Ahmadiyyah

C. Ta‟ Marbutah di Akhir Kata

1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap

menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :

Page 12: Skripsi fajrin widyaningsih

xii

ditulis jama’ah جـما عـة

2. Bila dihidupkan ditulis t, contoh :

ونيـاء األ مـة كرا ditulis karamatul-auliya’

D. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.

E. Vokal Panjang

Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing

dengan tanda hubung (-) di atasnya.

F. Vokal Rangkap

1. Fathah + ya‟ mati ditulis ai, contoh :

,ditulis bainakum بيـنكـم

2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh :

ditulis qaul قـو ل

G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan

apostrof („)

ditulis mu’annas مؤ نـج ditulis a’antum أانتـم

H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh :

ditulis al-Qiyas انقيـاس ditulis al-Qur’an انقـران

2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.

ditulis asy-Syams انشـمس ditulis as-Sama انسـماء

I. Penulisan huruf kapital

Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang

berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf

awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata

sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama

diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.

Page 13: Skripsi fajrin widyaningsih

xiii

J. Kata dalam rangkaian Frasa dan Kalimat

1. Ditulis kata per kata, contoh :

ditulis zawi al-furud ذوى انفـروض

2. Ditulis menurut bunyi atau pengucaspan dalam rangkaian tersebut,

contoh:

ditulis ahl as-Sunnah أىـم انسـنو

ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam شـيخ االسـالم

Page 14: Skripsi fajrin widyaningsih

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iii

HALAMAN DEKLARASI ................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ........................................................................ v

HALAMAN ABSTRAK..................................................................... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................. viii

HALAMAN TRANSLITERASI ....................................................... x

HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1

B. Rumusan Masalah ......................................................... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..................................... 5

D. Telaah Pustaka ............................................................... 6

E. Metode Penelitian .......................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................... 11

BAB II TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH

A. Pengertian Tindak Kejahatan ........................................ 13

a. Pengertian Jarimah ............................................. 13

b. Unsur-Unsur Jarimah ......................................... 14

B. Klasifikasi Jarimah ....................................................... 15

a. Jarimah Hudud ................................................... 15

b. Jarimah Qisas dan Diat...................................... 16

c. Jarimah Ta’zir .................................................... 19

C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah) ......... 26

a. Pengertian Qiyas ................................................. 26

b. Rukun Qiyas ....................................................... 27

c. Macam-macam Qiyas ......................................... 32

d. Qiyas dalam Menentukan Jarimah ..................... 34

Page 15: Skripsi fajrin widyaningsih

xv

BAB III TINJAUAN UMUM CYBER CRIME

A. Pengertian Kejahatan..................................................... 37

B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) ............................ 38

C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime ....................... 41

BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM

ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI TRANSAKSI DAN

ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH

A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem

Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin pasal 30

UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh

Jinayah .............................................................................. 49

B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen

Elektronik pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam

Perspektif Fiqh Jinayah ..................................................... 55

C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem

Elektronik pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dalam

Perspektif Fiqh Jinayah ..................................................... 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................... 70

B. Saran-saran .................................................................... 72

C. Penutup .......................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 16: Skripsi fajrin widyaningsih

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan internet di Indonesia saat ini sangat pesat, sehingga

tidak mengherankan apabila di kota maupun desa banyak ditemukan warung-

warung internet yang menyajikan banyak pelayanan internet. Di satu sisi

pengguna internet dapat memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia

maya, di sisi lain internet juga menghadirkan berbagai hal yang dapat

menimbulkan efek positif maupun negatif bagi para penggunanya. Internet

telah membangun sebuah dunia maya yang sebenarnya yaitu merupakan

dunia tanpa batas serta dunia yang dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh

siapa saja.

Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu

tindak pidana melalui dunia maya yang sering dikenal dengan nama cyber

crime. Cyber crime, yang selanjutnya disingkat CC, merupakan salah satu sisi

gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat

luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.1

Di Indonesia telah banyak terjadi kejahatan di dunia maya atau

cyber crime. Salah satu contoh kasus yang sempat menggegerkan Indonesia

adalah pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface

atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara

1 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di

Indonesia, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.h. 1.

Page 17: Skripsi fajrin widyaningsih

2

SQL (Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP

(Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update

daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack yakni melalui

teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP public PT

Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy

Anonymous Thailand 208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id

203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik

peserta pemilu. 2

Contoh kasus lainnya adalah dunia perbankan melalui Internet (e-

banking) Indonesia dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto,

seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini

dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank

Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip

www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-

bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com, dan klikbac.com. Isi situs-

situs plesetan ini nyaris sama. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli

maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven

sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal dapat

diketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut

pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia,

www.webmaster.or.id tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik

2detik.com digital live dalam http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/dani-

firmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.36 WIB

Page 18: Skripsi fajrin widyaningsih

3

berhati-hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo

site), bukan untuk mengeruk keuntungan.3

Kasus-kasus tersebut sudah nyata terlihat kalau dunia maya

sebenarnya semakin membahayakan yang bahaya dan kerusakannya bagi

kehidupan manusia bisa melebihi dunia nyata. Dunia maya telah menjadi

tempat yang demikian bebas bagi kriminal-kriminal yang berteknologi canggih

untuk menjalankan aksinya.

Oleh karena itu upaya perlindungan hukum terhadap kegiatan yang

dilakukan di internet, baik merupakan kegiatan bisnis (e-bussines), birokrasi

pemerintahan, pribadi diperlukan pengaturan hukum terhadap dunia cyber.

Sehingga pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk

memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan

memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE 2008.4 Undang-undang

inilah yang selama ini sangat ditunggu oleh sebagian besar kalangan

masyarakat, karena dengan terwujudnya undang-undang tersebut diharapkan

dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh

cyber crime.

Cyber crime yang merupakan suatu kejahatan yang dilakukan tidak

secara fisik melainkan dalam ruang dunia maya (cyber space), yang dapat

3Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister Hukum, Bandung,

2010 dalam,

http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIAN_TERHADAP_CYBER_CRIM

E.pdf diakses tanggal 23 Juni 2011 pukul 21.41 WIB 4 UU ITE 2008 merupakan undang-undang baru, Undang-undang disahkan pada tanggal 25

Maret 2008. Secara garis besar undang-undang ini berjumlah 54 pasal, pada Bab KetentuanUmum

(pasal 1-2), Bab II-Asas dan tujuan (pasal 3-4), Bab III-Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan

Elektronik (pasal 5-12), Bab IV-Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik,Bab

V- Transaksi Elektronik (pasal 17-22), Bab VI - Nama Domain, Hak Intelektual, dan Perlindungan

Hak Pribadi (pasal 23-26), Bab VII- Perbuatan yang dilarang (pasal 27-37), Bab VIII

Page 19: Skripsi fajrin widyaningsih

4

menimbulkan kerugian secara materi maupun non materi dan mengganggu

kehidupan privasi orang lain. Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak

milik itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakekatnya adalah milik

Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya.5 Islam

juga menekankan hak-hak azasi manusia salah satunya jaminan terhadap

pribadi seseorang. Oleh karenanya, apabila ada seseorang yang melakukan

tindak pidana cyber crime maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan

jarimah.

Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-

larangan syara„ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang

sudah ada nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).6 Dengan

demikian, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hukum had dan

hukum ta’zir.7

Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas,

menarik minat penulis untuk mengetahui mengenai tindak pidana cyber crime

yang marak terjadi sekarang sehingga meresahkan dan merugikan banyak

pihak khususnya mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dalam

perspektif hukum pidana Islam (fiqh Jinayah), dengan membatasi

permasalahan dengan tiga macam kasus yaitu akses illegal sistem elektronik,

pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang terdapat

pada pasal 30, 32 ayat (2), 33 dalam UU ITE 2008. Kemudian penulis mencoba

menganalisis dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam skripsi yang

5 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 85-89

6 A. Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, h.121

7 Ibid.

Page 20: Skripsi fajrin widyaningsih

5

berjudul: Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif

Fiqh Jinayah)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana

pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal

30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana

pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana

perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini :

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak

pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin

dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

Page 21: Skripsi fajrin widyaningsih

6

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak

pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU

No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak

pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Cyber Crime yang

dapat melampaui belahan dunia manapun dan siapapun, karena

para pelaku kejahatan ini bersifat internasional. Selain itu dapat

memasuki perkembangan ilmu hukum dalam menciptakan hukum,

khususnya pidana Islam, dengan pengaplikasian yang mudah

dijangkau bagi semua kalangan.

2. Pemberian struktur keamanan lebih pada segala mediasi yang

mendukung terjadinya tindak pidana Cyber Crime, agar dapat

mengurangi jumlah angka tindak pidana ini.

3. Memberi pengetahuan lebih tentang tindak pidana cyber crime dan

hukum pidana Islam, karena selama ini masyarakat cenderung tidak

peduli selama dirinya tidak dirugikan. Sebenarnya, secara tidak

langsung masyarakat awam juga ikut dirugikan, dengan adanya

kerugian yang dialami oleh negara, baik secara materiil, maupun

moril.

Page 22: Skripsi fajrin widyaningsih

7

D. Telaah Pustaka

Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa

sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya:

Pertama ialah yang dilakukan oleh Desi Tri Astutik mahasiswi

fakultas Syari‟ah program studi Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel dalam

skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber

Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”. Penelitian ini

dilakukan pada tahun 2008. Di dalam skripsinya memaparkan tentang cyber

crime pada dasarnya merupakan kejahatan dunia mayantara yang dilakukan

dengan melalui jaringan internet dengan menggunakan fasilitas komputer.

Dalam perspektif hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah) pemberlakuan UU ITE

dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang menjerat pelaku

kejahatan dunia mayantara (cyber crime), karena di dalam undang-undang

tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam aturan Fiqh Jinayah.

Adapun unsur-unsur tersebut yaitu unsur umum yang terdiri dari (unsur

formil, unsur materil, dan unsur moral) dan unsur khusus. Penerapan sanksi

yang diberikan kepada pelaku cyber crime yaitu dikenakan sanksi ta’zir,

dimana sanksi ta’zir meripakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Amri

dengan tujuan memberikan rasa jera kepada pelaku jarimah. 8

Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Eka Wiratama

mahasiswa fakultas hukum Universitas Brawijaya dalam skripsinya berjudul

8 Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam

Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan

Fiqih Jinayah”, Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008, h.86-88, t.d.

Page 23: Skripsi fajrin widyaningsih

8

“Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum

Indonesia”. Penelitian ini dilakukan tahun 2009. Dalam penelitiannya tersebut

dia memaparkan pembuktian terhadap KUHAP secara formil tidak lagi dapat

menjangkau dan sebagai landasan hukum pembuktian terhadap perkara cyber

crime sebab modus operandi di bidang cyber crime tidak saja dilakukan

dengan alat-alat canggih tetapi kejahatan ini benar-benar sulit menentukan

secara cepat dan sederhana siapa pelaku tindak pidananya. Oleh karena itu di

butuhkan optimalisasi UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.9

Ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Gabe Ferdinal

Hutagalung mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul

“Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif

Hukum Pidana”. Penelitian ini dilakukan tahun 2010. Dalam penelitiannya

tersebut memparkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana terhadap

kejahatan mayantara saat ini adalah, sebelum disahkannya UU ITE terdapat

beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan

penanggulangan kejahatan mayantara, tetapi kebijakan formulasinya berbeda-

beda terutama dalam hal kebijakan kriminalisasi-nya belum mengatur secara

tegas dan jelas terhadap tindak pidana teknologi informasi, kebijakan

formulasi dalam UU ITE masih membutuhkan harmonisasi/sinkronisasi baik

9 Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum

Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009, h.68-69.t.d.

Page 24: Skripsi fajrin widyaningsih

9

secara internal maupun secara eksternal terutama dengan instrumen hukum

internasional terkait dengan teknologi informasi.10

Dari kajian beberapa skripsi diatas, dapat diketahui bahwa penelitian

di atas menjelaskan bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang melanggar

batas wilayah. Semuanya membahas secara keseluruhan (global) tentang

tindak pidana cyber crime. Dalam skripsi Desi Tri Astutik membatasi

permasalahan mengenai tigas kasus yaitu mengenai kasus pencurian kartu

kredit secara on-line (carding), pornogarfi, dan pencemaran nama baik.

Sedangkan dalam skripsi yang kedua membahas tentang pembuktian cyber

crime secara normatif dalam ranah hukum di Indonesia dan skripsi ketiga

membahas tentang penanggulangan cyber crime di Indonesia dengan

mengoptimalisasi UU ITE 2008.

Dari penjelasan di atas maka pembahasan dalam skripsi ini sangat

berbeda dengan skripsi-skripsi sebelumnya karena dalam penelitian ini akan

membahas secara lebih khusus dan mendetail mengenai tindak pidana

pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin, pencurian

dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang berkaitan dengan

undang-undang tentang Informasi dan Transaksi elektronik khusunya pasal

30, 32 ayat (2), dan 33 yang akan di tinjau dalam perspektif fiqih jinayah.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

10

Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum, Sumatera Utara, 2010, h.156.t.d.

Page 25: Skripsi fajrin widyaningsih

10

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, juga

disebut penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan

melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian

ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Bambang

Waluyo, adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian

hukum normatif.11

Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji

dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan bahan-bahan yang diperoleh

berdasarkan dari data-data hukum primer dan sekunder.

a. Data Primer : Konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan

cyber crime, dan cyber law yang mengatur tentang tindak

pidana virtual dan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana

Islam (Fiqh Jinayah) yang tercantum di dalam : Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) dan “Asas-Asas Hukum Pidana Islam” karya

Ahmad Hanafi.

b. Data Sekunder : Merupakan bahan-bahan hukum yang

diambil dari pendapat atau tulisan para ahli dalam bidang cyber

dan fiqih jinayah untuk digunakan dalam membuat konsep-

konsep hukum yang berkaitan dengan penelitian ini dan dianggap

sangat penting.

11

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 50.

Page 26: Skripsi fajrin widyaningsih

11

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas

digunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi,

menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-

bahan pustaka.

4. Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis

akan menggunakan teknik content analysis, yaitu pengumpulan

bahan-bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum

dipakai interpretasi teleologis12

yaitu berdasar pada tujuan norma. Selain

itu juga digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan cyber

crime, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan metode tersebut, dapat kita

ketahui lebih mendalam tentang tindak pidana sistem pengaksesan

elektronik, pencurian dokumen elektronik, perusakan sistem elektronik

dalam hukum pidana Islam.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai

berikut :

12

Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju

pada tujuan tertentu. Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306

dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011

pukul 10.59 WIB

Page 27: Skripsi fajrin widyaningsih

12

BAB I Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II Memberi gambaran tentang Tinjauan Umum Terhadap Kejahatan

dalam Fiqh Jinayah yang meliputi: Pengertian Jarimah, Unsur-

unsur Jarimah, Klasifikasi Jarimah yaitu Jarimah Hudud,

Jarimah Qishas dan Diyat dan Jarimah Ta’zir, Qiyas dalam

Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) yaitu Pengertian Qiyas,

Rukun Qiyas, Macam-macam Qiyas dan Qiyas dalam

Menentukan Jarimah.

BAB III Berisi tentang Tinjauan Umum Cyber Crime yang meliputi:

Pengertian Kejahatan, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dan

Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime.

BAB IV Berisi tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak

Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun

2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang

Meliputi: Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana

Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin

Dalam Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai

Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Dalam Pasal 32

ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, dan Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak

Page 28: Skripsi fajrin widyaningsih

13

Pidana Perusakan Sistem Elektronik Dalam Pasal 33 UU No.11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Bab V Adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang

berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.

Page 29: Skripsi fajrin widyaningsih

14

BAB II

TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH

A. Pengertian Tindak Kejahatan

a. Pengertian Jarimah

Secara bahasa jarimah berasal dari kata jadian masdar yang

berasal dari kata جرو yang artinya berbuat salah.13

Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), kata jarimah adalah kejahatan yang dilarang

oleh syariat Islam dengan ancaman hudud atau ta’zir.14

Secara istilah

Imam Al-Mawardi memberikan definisi jarimah sebagaimana yang

dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya:

ها تحد ا نجرائى يحظو را خ شر عيح زجرهللا ذعم ع

ذعس ر Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh

syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.15

Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah

jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fuqaha (ahli fiqh) istilah

jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap

perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa

ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk

13

Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, h. 28 14

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008. h.460 15

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah),

Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.9

Page 30: Skripsi fajrin widyaningsih

15

menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota

badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.16

Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang dimaksud dengan

kata-kata “jarimah” ialah, larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh

Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut

adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau

meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan

kata-kata “Syara” adalah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap

jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat

tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila telah diancamkan

hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut

dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.17

Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian

tindak pidana (peristiwa pidana/delik) pada hukum pidana positif.

b. Unsur-Unsur Jarimah

Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan pidana

apabila telah memenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini ada yang umum

dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah,

sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan

berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum

untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:

16

NN, Jarimah http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal

30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 17

Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986, h.1

Page 31: Skripsi fajrin widyaningsih

16

a) Unsur formal ( ر ع انل yaitu adanya nash (ketentuan) yang (انرر

melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

b) Unsur material ( ا ر ان yaitu adanya tingkah laku yang ( انرر

mebentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun

sikap tidak berbuat (negatif)

c) Unsur moral ( اا ت ر yaitu bahwa pelaku adalah orang yang ( انرر

mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas

tindak pidana yang dilakukannya.18

B. Klasifikasi Jarimah

Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan

aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah

berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau

tidaknya oleh Al-Qur’an atau hadist. Atas dasar ini mereka membaginya

menjadi tiga macam, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah

ta’zir.19

Mengenai uraian ataupun penjelasan tentang jarimah hudud,

jarimah qishas dan jarimah ta’zir serta penggolongan-penggolongannya,

akan diuraikan sebagai berikut:

a) Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman

had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-

18

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu,

2007, h.129-130 19

Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1947, h.13

Page 32: Skripsi fajrin widyaningsih

17

ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT.20

Dalam

hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah

mempunyai pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa

dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau

keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara.

Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina,

menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras,

mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan

pemberontakan (al-bagyu).

Salah satu bentuk contoh dari hukuman hudud yang

menyatakan sebagai hukuman yang di tentukan oleh syara‟ adalah

jarimah pencurian yang didasarkan pada firman Allah dalam surat

AL-Maidah ayat (38):

“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,

hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan

pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,

Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”21

b) Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah Qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya

20

NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada

tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 21

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992,

h.103-104

Page 33: Skripsi fajrin widyaningsih

18

adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya

dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah,

sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Dalam arti

korban dan keluarganya berhak memberikan pengampunan terhdap

pelaku.22

Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang

telah ditentukan batasnya, dan tidak mepunyai batas terendah maupun

batas tertinggi.

Pengertian qishas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad

Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich

adalah sebagai berikut:

ا ح يثم ... انعقو تح ان سل تانجا ى ي هو

جى عهي سل تا ن . يا “Qishas adalah memberikan hukuman kepada pelaku

perbuatan persis seperti apa yang dilakukan terhadap

korban.” 23

Hukuman qishas didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat

Al-Baqarah ayat 178-179:

22

Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.18 23

ibid, h. 154

Page 34: Skripsi fajrin widyaningsih

19

“Hai orang-orang yang beriman, diperlukan atas kamu

qishas dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka,

sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan.

Barangsiapa mendapat maafdari sudaranya akan sesuatu,

maka hendaklah ia mengikut secara baik (ma‟ruf) dan

membayarkan (diyat) kepada saudaranya itu dengan baik-

baik. Demikian itu suatu keringanan dari Tuhanmu dan

rahmat-Nya. Barangsipa yang aniaya sesudah itu, maka

untuknya siksaan yang pedih. Kamu mendapat hidup

dengan (peraturan) qishas itu, hai orang-orang yang

mempunyai akal, mudah-mudahan kamu bertakwa.”24

Sedangkan Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan

karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya.

Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.25

Dasar

hukum wajib diyat yaitu berdasar pada surat An-Nisa‟ ayat 92:

...

“Tidak boleh orang mukmin membunuh orang mukmin

(yang lain), kecuali jika tersalah. Barangsiapa membunuh

orang mukmin dengan tersalah hendaklah memerdekakan

hamba yang mukmin, serta dibayarkan denda kepada

keluarga yang terbunuh itu, kecuali jika mereka

sedekahkan...”26

24

Departemen Agama RI, op.cit, h.25-26 25

The Reff All, Pengertian Diyat dalam

http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011

pukul 19.07 WIB 26

Departemen Agama RI, op.cit, h.84-85

Page 35: Skripsi fajrin widyaningsih

20

Yang termasuk jarimah qishas-diyat ialah pembunuhan

sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja,

penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.

c) Jarimah Ta’zir

Adapun jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancam dengan

hukuman ta’zir. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari

„azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti

menguatkan, memuliakan, membantu.27

Sedangkan menurut istilah Abdul

Qadir Audah mengemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman

pendidikan atas dosa-dosa (tindak pidana-tindak pidana) yang belum

ditentukan oleh syara‟.28

Dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang

belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada hakim, baik

penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menetukan hukuman

tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya

pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-

masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk

masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat-

beratnya.

Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:

a. Hukuman Mati

27

Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta‟zir, dalam

http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB 28

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma

Ilmu, 2007, h.84

Page 36: Skripsi fajrin widyaningsih

21

Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah

hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir

tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa.

Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian

terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya

hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau

kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan

membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata,

penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.29

Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian

dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas

dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.

b. Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam

hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud

dan hukuman ta’zir.

Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi

hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di

kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa

karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan

atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan

29

Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h. 87

Page 37: Skripsi fajrin widyaningsih

22

Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam

ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali.30

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat.

Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan

Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf.

Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh

lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain

bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah

hudud.31

Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya

sama denga pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat

mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah

tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah

lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain

yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman

ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.32

Alasannya ialah hadits dari Abu

Burdah yang diterima dari Rosululloh SAW, sebagai berikut :

عد انثى صم هللا صار قال ض اتى تر ج اال ع

عهي ضهى قول ال ذجهد ا فوق علرج اضواط االفى

حد هللا حد ي“Dari Abu Burdah Al-Anshori katanya: saya mendengar Nabi

Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mendera

diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu had Allah”33

30

Ahmad Hanafi, op.cit, h.306 31

Ibid, h.307 32

Ibid 33

Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori juz VIII,

Semarang: CV. Asy Syifa, 1993, h.678

Page 38: Skripsi fajrin widyaningsih

23

c. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam.

Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman

kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.34

Pertama,

hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah

satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟

Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka

mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.35

Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada

penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati

bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena

hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai

terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan

hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang

berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.

d. Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan

keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman

salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir

hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman

mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang

34

Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h.92 35

Ibid

Page 39: Skripsi fajrin widyaningsih

24

makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan

menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini,

menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.

e. Hukuman Pengucilan

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman

ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah

melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut

serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin

Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima

puluh hari tanpa diajak bicara.36

Sehingga turunlah firman Allah surat

At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:

“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga

apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun

dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta

mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari

Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima

taubat mereka agar mereka bertaubat”37

f. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan

36

Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.98 37

Departemen Agama RI, op.cit, h.186

Page 40: Skripsi fajrin widyaningsih

25

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan

syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja.

Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum

dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi.

Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang

hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman

teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar

yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam

dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup

membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an

sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan

berbuat nusyuz.

g. Hukuman Denda

Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai

hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih

tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali

harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan

perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap

orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha

berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan

hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.38

38

Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.101

Page 41: Skripsi fajrin widyaningsih

26

C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah

mempersamakan suatu kasus dengan yang tidak ada nash

hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena

ada persamaan kedua itu dalam „illat hukumnya.39

Dajzuli menerangkan dalam bukunya Imam Syafi‟i

menyatakan tentang qiyas sebagai berikut „setiap

kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada

hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya.

Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya

(dalalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijitihad

itu adalah qiyas‟.40

Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat

setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara

mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan

antara dua hal yang memiliki kesamaan „‘illat tetapi yang satu

belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.

انقياش هو يا طهة اندالئم انوافقح عهى خثر انرقدو ي انكراب انطح

“Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk

makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-

Qur‟an dan sunnah”.

39

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.66 40

A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja

Grafindo Persada, 2000, h. 121

Page 42: Skripsi fajrin widyaningsih

27

Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai

dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang

disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „‘illatnya.

Selanjutnya kita cari dan teliti „‘illat yang ada pada kasus yang

tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah

diyakini bahwa „‘illat yang ada dalam kedua kasus tersebut

ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada

kedua kasus itu berdasarkan keadaan „‘illat.41

2. Rukun Qiyas

Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat

unsur berikut:42

a. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya

yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/

menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (االصم)

atau maqis ‘alaih ( انقيص عهي) atau musyabbah bih ( يلث ت).

Dalam menentukan ashal harus ada syarat-syarat

yang dipenuhi yaitu :

Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi

yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syarat-

syarat ashal itu adalah:43

41

Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h.107 42

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet.

II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2000, h. 136-137

Page 43: Skripsi fajrin widyaningsih

28

a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan

tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan

b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟

c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya

d. Dalil yang menetapkan „‘illat pada ashal itu adalah

dalil khusus, tidak bersifat umum

e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas

f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas

far’u.

b. Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan

hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di

dalam istilah ushul disebut al-far’u (انفرع) atau al-maqis

.(انلث ) atau al-musyabbah (انقيص)

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam

menentukan far’u adalah sebagai berikut:

Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa

syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:44

a. ‘‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat

yang ada pada ashal.

b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.

c. Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum

far’u itu.

43

Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, h. 73 44

Ibid, h. 75-76

Page 44: Skripsi fajrin widyaningsih

29

c. Hukum ashal ( yaitu hukum syara‟ yang ;(حكى االصم

dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi

hukum pula bagi cabang.

Syarat-syarat hukum ashal antara lain:45

Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang

amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan

nash. Hal ini diperlukan karena yang akan

ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran

hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus

ma’qul al-ma’na, artinya pensyari‟atannya harus

rasional

Hukum ashl itu tidak merupakan hukum

pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk

peristiwa atau kejadian tertentu.

d. „‘illat (انعهح); yaitu sebab yang menyambungkan pokok

dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal

dan sifat yang dicari pada far’u.

Secara etimologi „‘illat berarti nama bagi sesuatu

yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain

dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan

45

Muin Umar, dkk. Op.cit, h. 119-120

Page 45: Skripsi fajrin widyaningsih

30

„‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh

manusia berubah dari sehat menjadi sakit.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi „‘illat

yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada

makalah ini akan kami sebutkan definisi „‘illat menurut

imam al-Ghozali, yaitu:

ثر ف حكى تجعه ذعانى التانلاخ ان

“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena

dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”.

Menurutnya, „‘illat itu bukanlah hukum, tetapi

merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti:

adanya suatu „‘illat menyebabkan munculnya hukum.

Syarat-syarat „‘illat antara lain adalah:

a. „‘illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai

oleh panca indra.

b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani

dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak

mudah berubah.

c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada

persesuian antara hukum da sifatnya.

d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya,

tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan

hukum yang bukan ashal.

Page 46: Skripsi fajrin widyaningsih

31

Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi

„‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat

tertentu46

. Di antara bentuk sifat itu adalah:

1. Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal

dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada „urf

(kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat

memabukkan pada minuman keras.

2. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat

diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan

yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari

hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum

potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan,

seperti senang atau benci.

3. Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur,

namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk

dan baik, mulia dan hina.

4. Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam

penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya:

diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.

5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai

hukum syar‟i dijadikan alasan untuk menetapkan

46

Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 173

Page 47: Skripsi fajrin widyaningsih

32

sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya

mengagungkan barang milik bersama dengan alasan

bolehnya barang itu dijual.

6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat

yang menjadi alasan adanya suatu hukum.

Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan

dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan

alasan berlakunya hukum qishos.

3. Macam-Macam Qiyas

Dilihat dari segi kekuatan „‘illat yang terdapat pada far’u

dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas

dibagi kepada tiga segi yaitu:47

a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u

lebih kuat daripada hukum ashl, karena „‘illat yang

terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl.

Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.

Dalam surat al-Isra‟:23 Allah berfirman:

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu

jangan menyembah selain Dia dan hendaklah

47

Nasrun Haroen, Op.cit, h. 75-76

Page 48: Skripsi fajrin widyaningsih

33

kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan

sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara

keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur

lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali

janganlah kamu mengatakan kepada keduanya

Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka

Perkataan yang mulia. (al-Isra‟:23).

b. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama

kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena

kualitas „‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah

berfirman dalam Qs. al-Nisa‟:2:

Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang

sudah balig) harta mereka, jangan kamu

menukar yang baik dengan yang buruk dan

jangan kamu Makan harta mereka bersama

hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan

(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang

besar.( al-Nisa‟:2).

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim

secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan

membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak

yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan

dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama

menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.

c. Qiyas al-adna, yaitu „‘illat yang ada pada far’u lebih

lemah dibandingkan dengan „‘illat yang ada pada ashl.

Page 49: Skripsi fajrin widyaningsih

34

Artinya ikatan „‘illat yang ada pada far’u sangat lemah

disbanding ikatan „‘illat yang ada pada ashl. Misalnya,

mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya

riba fadhl, karena keduanya mengandung „‘illat yang

sama yaitu sama-sama jenis makanan.

4. Penggunaan Qiyas dalam Menentukan Jarimah

Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh

diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi‟i sebagai

representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas

tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal

ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah.48

Dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh ada yang

sepakat menggunakan qiyas dan ada yang tidak sepakat

menggunakan itu. Mereka yang membolehka pemakaian qiyas

beralasan bahwa:49

a. Nabi membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya pada

sahabat Mu‟az. “Dengan apa engkau memutusi suatu perkara?”

jawabnya, “Dengan kitab Tuhan; kalau tidak saya dapati, maka

dengan sunnah rasul, dan kalau tidak saya dapati, maka saya

“berijtihad” dengan fikiran saya”. Rosulallah membenarkan

48 Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian Terhadap Status

Hukum Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/implementasi-metode-

qiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19

Desember 2011 jam 19.55 WIB 49

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. V.,

1993, h. 34.

Page 50: Skripsi fajrin widyaningsih

35

kata-kata Mu‟az yang mengenai ijtihad adalah mutlak yang

tidak ditentukan macamnya. Sedang qiyas adalah salah satu

cara ijtihad.

b. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had

bagi peminum minuman keras, disini sahabat Ali

mengqiyaskan hukuman minum-minuman keras dengan

memperbuat kebohongan (iftira).

Adapun sebagian mereka yang menentang qiyas dalam

aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :50

a. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batas-

batasnya, tetapi tidak dapat diketahui alasan penentuan batas-

batas tersebut sedang dasar qiyas ialah pengetahuan tentang

„‘illat (sebab alasan) hukum peristiwa “asal”. Apa yang tidak

dapat diketahui alasannya, maka qiyas tidak dapat diloakukan

terhadapnya.

b. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan

pada kifarat-kifarat juga terdapat sifat hukuman. Qiyas itu

sendiri bisa kemasukan salah, sedang hukuman menjadi

hapus disebabkan adanya syubhat (ketidak tegasan),

sedangkan hukuman-hukuman (hudud) menjadi hapus

disebabkan , karena kata-kata nabi: “Hindarkan hukuman

hudud karena adanya syubhat-syubhat.

50

Ibid, h. 35.

Page 51: Skripsi fajrin widyaningsih

36

c. Syara’ menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri

tetapi tidak menjatuhkannya atas pengirim surat kepada

orang-orang kafir musuh, sedang hukuman terhadap

perbuatan yang kedua tersebut lebih utama. Kalau hukuman

terhadap perbuatan lebih berbahaya tidak ada maka hal ini

tidak bolehnya pemakaian qiyas.

Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat dari pada alasan

golongan pertama yang memperbolehkan pemakaian qiyas. Akan tetapi

harus diketahui bahwa qiyas dalam hukuman harus diketahui qiyas

dalam jarimah terlebih dahulu. Kebolehan memakai qiyas dalam

jarimah tidak berarti membuat aturan-aturan baru atau jarimah-jarimah

baru melainkan hanya berarti memperluas lingkungan berlakunya

aturan yang telah ada. Jadi, penggunaan qiyas dalam soal-soal jarimah

dan hukuman tidak merupakan sumber hukum, melainkan sekedar

penafsiran yang dipakai untuk dapat menentukan perbuatan-perbuatan

mana yang bisa dicakup oleh sesuatu aturan yang telah ada.

Pemakaian qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari

kasus baru tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an, sunnah atau ijma’ yang

tergolong qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas

jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya

dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nushus dan ijma sajalah,

hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan

qiyas.

Page 52: Skripsi fajrin widyaningsih

37

BAB III

TINJAUAN UMUM CYBER CRIME

A. Pengertian Kejahatan

Berbicara tentang kejahatan sebenarnya tidak lepas dari dunia nyata

dalam kehidupan masyarakat itu berada. Kejahatan merupakan cap atau

sebutan yang digunakan oleh masyarakat dalam menilai suatu perbuatan

seseorang. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan

mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Dalam

KBBI kejahatan mempunyai pengertian perilaku yang bertentangan dengan

nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.51

Sedangkan secara empiris, definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tidak

sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara

sosiologis.

Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan

yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui

secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan

merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata

lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi

sosial dari masyarakat.52

Sedangkan Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan

perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa

51

Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. h. 450 52

Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Bandung:

PT Refika Aditama, 2005, h.37

Page 53: Skripsi fajrin widyaningsih

38

berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-

rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.53

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya

“Paradoks Dalam Kriminologi” yang dikutip oleh Syahrudin Husein

menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan

suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan

dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif

maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas

masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap

skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat

sesuai dengan ruang dan waktu.54

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan

bahwa unsur penting dari pengertian kejahatan adalah perbuatan yang

merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat dan bertentangan

dengan kepentingan umum. Seiring berjalannya waktu, cara pandang

terhadap nilai dan moral pun akan berubah yang merupakan salah satu tolak

ukur terhadap suatu perbuatan itu dianggap jahat atau tidak.

B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

Istilah cyber crime banyak bermunculan seiring dengan

berkembangnya teknologi. Cyber crime lebih sering disebut dengan tindak

kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) atau tindak

53

Nasrulloh, Pengertian Kejahatan,

http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html diakses pada tanggal 29

Juli 2011 pukul 11.21 WIB 54

Syahrudin Husein, “Kejahatan dalam Masyarakat dan Penanggulanggannya”, Sumatera

Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003, h.1, t.d.

Page 54: Skripsi fajrin widyaningsih

39

kejahatan menggunakan komputer. Ada beberapa pendapat yang

menyamakan antara tindak pidana kejahatan komputer dengan cyber crime,

dan ada pendapat yang membedakan antara keduannya. Meskipun belum ada

kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada

kesamaan pengertian mengenai kejahatan komputer.

Dalam laporan konggres PBB X/2000 dinyatakan cyber crime atau

computer-related crime, mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari

kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para

penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang

dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.55

Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European

Community Deveplopment, yaitu “any illegal, unethical or unauthorized

behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of

data”.56

Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam bukunya Cyber

Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi menyatakan bahwa “secara umum

yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber

(cybercrime) adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas

komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dengan melawan hukum dengan

55

Barda Nawawi Arief, loc.cit. h.259 56

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akdemik

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, November, 2003, h.25

dalam http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011

pukul 19.01 WIB

Page 55: Skripsi fajrin widyaningsih

40

atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas

komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut”.57

Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya (cyber crime)

adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi

informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah

rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi

dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh

pelanggan internet.58

Menurut Andi Hamzah, cyber crime merupakan kejahatan di

bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer

secara ilegal.59

Dari semua perumusan atau batasan yang diberikan mengenai

cyber crime dapat disimpulkan bahwa karakteristik cyber crime adalah:

a) Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari

pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas.

b) Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada

tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi.

Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet.

c) Perbuatan tersebut merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan di

masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat

57

Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h.8 58

Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam

http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm diakses pada tanggal 13

Juli 2011 pukul 20.05 WIB 59

Andi Hamzah, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,

1996, h.10

Page 56: Skripsi fajrin widyaningsih

41

d) Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan

lebih dari satu yurisdiksi hukum.

C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime

1. Klasifikasi Cyber crime

Cyber crime dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

a. Cyberpiracy yaitu penggunaan teknologi komputer untuk

mencetak ulang software atau informasi, lalu mendistribusikan

informasi atau software tersebut lewat teknologi komputer misalnya

pembajakan software.

b. Cybertrespass yaitu penggunaan teknologi komputer untuk

meningkatkan akses pada sistem komputer suatu organisasi atau

individu misalnya hacking exploit sytem dan seluruh kegiatan yang

berhubungan dengannya.

c. Cybervandalism yaitu penggunaan teknologi komputer untuk

membuat program yang menganggu proses transmisi elektronik, dan

menghancurkan data di sistem komputer misalnya virus, trojan,

worm, metode DoS, http attack, BruteForce Attack dan lain

sebagainya.60

2. Jenis-Jenis Cyber Crime

Dari klasifikasi kejahatan dunia maya di atas dapat diketahui

jenis-jenis cybercrime berdasarkan jenis aktivitasnya dan tentunya

60

Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya,

http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-internetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-

perniknya/ diakses tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB

Page 57: Skripsi fajrin widyaningsih

42

kegiatan ini yang marak di lakukan baik di Indonesia sendiri atau di

negara lain,yaitu:61

a. Cyber Espionage ialah kejahatan yang memanfaatkan jaringan

internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,

dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network

system) pihak sasaran

b. Data Forgery ialah kejahatan dengan memalsukan data pada

dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

document melalui internet.

c. Data Theft ialah kejahatan memperoleh data komputer secara

tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan

kepada orang lain.

d. Cyber Sabotage and Extortion ialah kejahatan yang paling

mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan,

perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program

komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan

internet.

e. Unauthorized Access to Computer System and Service ialah

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam

suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau

61

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, 2003, h.17 dalam

http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul

19.01 WIB

Page 58: Skripsi fajrin widyaningsih

43

tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang

dimasukinya.

f. Offense against Intellectual Property ialah Kejahatan ini

ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki

pihak lain di internet.

g. Illegal Contents ialah kejahatan dengan memasukkan data atau

informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak

etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu

ketertiban umum.

h. Carding ialah Kejahatan dengan menggunakan teknologi

computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan card

credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik

materil maupun non materil

i. Cracking ialah kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan

ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau

penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem

jaringan komputer yang terhubung dengan internet

Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada

tiga kasus yaitu pengakasesan sistem elektronik milik orang lain

tanpa izin, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem

elektronik. Selanjutnya kasusnya akan penulis paparkan dalam

uraian berikut:

Page 59: Skripsi fajrin widyaningsih

44

1. Unauthorized Access to Computer System and Service

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke

dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin

atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer

yang dimasukinya.62

Biasanya pelaku kejahatan (hacker)

melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian

informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang

melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba

keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat

proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan

berkembangnya teknologi internet/intranet. Bagi yang belum

pernah dengar, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh

hacker. Kisah seorang mahasiswa FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial

dan Politik) yang ditangkap gara-gara mengacak-acak data milik

KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan masih banyak contoh

lainnya.

Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu

melakukan akses secara tidak sah. Perbuatan ini sudah diatur

dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa:

“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain (

62

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, op.cit, h.17 dalam

http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul

19.01 WIB

Page 60: Skripsi fajrin widyaningsih

45

ayat (1)) dengan cara apapun, (ayat (2)) dengan cara apa pun

dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik, (ayat (3)) dengan cara apa pun dengan

melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem

pengamanan.” 63

Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur

dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk ayat (1), ketentuan

pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah). Sedangkan ayat (2) pasl 46 memberikan ketentuan pidana

paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara

paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

2. Data Theft

Merupakan kejahatan memperoleh data komputer secara

tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan

kepada orang lain.64

Identity theft merupakan salah satu jenis

kejahatan ini yang sering diikuti dengan kejahatan penipuan

(fraud). Kejahatan ini juga sering dikuti dengan kejahatan data

leakage (membocorkan data rahasia).

63

ibid, h.237 64

Dwi Eka Wiratama, op.cit, t.d, h.36

Page 61: Skripsi fajrin widyaningsih

46

Pencurian data merupakan perbuatan yang telah

mengganggu hak pribadi seseorang, terutama jika si pemilik data

tidak menghendaki ada orang lain yang mengambil atau bahkan

sekedar membaca datanya tersebut. Pasal 32 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dapat digunakan menjerat pelaku.

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik

Orang lain yang tidak berhak.”65

Dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaiman diatur dalam

pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah).

3. Cyber Sabotage and Extortion

Merupakan kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan

ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau

penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem

jaringan komputer yang terhubung dengan internet.66

Biasanya

kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb,

virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,

program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat

digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan

65

ibid, h.238 66

ibid

Page 62: Skripsi fajrin widyaningsih

47

sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus

setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut

menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program

komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase

tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering

disebut sebagai cyber-terrorism.

Untuk perusakan atau penghancuran terrhadap suatu sistem

atau pun data dari komputer. Dasar hukum nya diatur dalam pasal

33 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yaitu:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem

Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi

tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 67

Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).

4. Cracking

Kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer yang

dilakukan untuk merusak sistem keamanan suatu sistem komputer

dan biasanya melakukan pencurian, tindakan anarkis begitu

mereka mendapatkan akses. Biasanya kita sering salah

67

ibid, h.238

Page 63: Skripsi fajrin widyaningsih

48

menafsirkan antara seorang hacker dan cracker dimana hacker

sendiri identik dengan perbuatan negatif, padahal hacker adalah

orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi

adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat

dapat dipublikasikan dan rahasia. Sedangkan cracker identik

dengan orang yang mampu merubah suatu karakteristik dan

properti sebuah program sehingga dapat digunakan dan disebarkan

sesuka hati padahal program itu merupakan program legal dan

mempunyai hak cipta intelektual.

Dasar hukum nya diatur dalam pasal 33 Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

yaitu:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya

sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik

menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 68

Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).

68

ibid, h.238

Page 64: Skripsi fajrin widyaningsih

49

BAB IV

ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK

DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI

DAN ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH

A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang

Lain Tanpa Izin Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah

Saat ini berbagai macam kasus cyber crime semakin merajalela, salah

satu diantaranya masalah ilegal akses. Undang-undang yang mengatur tentang

hal tersebut sudah ada yaitu dalam pasal 30 Undang-Undang no.11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan

cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun

dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun

dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem

pengamanan.” 68

Untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 46 dalam Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Untuk ayat (1), ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Sedangkan ayat (2) pasal 46 memberikan ketentuan pidana paling lama 7

68

Siswanto Sunarso, op.cit, h.237

Page 65: Skripsi fajrin widyaningsih

50

(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta

rupiah).

Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah).

Kasus cyber crime ini merupakan kasus baru yang terjadi di zaman

sekarang. Jadi, hukum pidana Islam belum mengatur tentang hal ini. Tindak

pidana pengaksesan sistem elektronik merupakan kasus ilegal akses yaitu akses

secara tidak sah atau akses tanpa izin.

Penulis menggunakan metode ijtihad qiyas untuk menyamakan

perbuatan ini dengan memasuki rumah orang lain tanpa izin dan menentukan

hukuman bagi pelaku perbuatan ini. Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus

yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang sudah ada nash

hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam

illat hukumnya.69

Dalam metode ijtihad qiyas perbuatan tersebut harus memenuhi

rukun-rukun qiyas, yaitu:

1. Al-Aslu (sesuatu yang ada nash hukumnya)

Islam melarang memasuki rumah orang tanpa izin dari pemilik

rumah, apalagi sampai melakukan pencurian atau perusakan terhadap

barang milik orang lain karena itu sudah termasuk jarimah. Jarimah

(tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-larangan syara„

69

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha

Putra Group), 1994, h. 66

Page 66: Skripsi fajrin widyaningsih

51

yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada

nash-nya) atau ta ‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).70

Adapun dalil syar'i yang dapat dijadikan dasar melarang

memasuki rumah tanpa izin adalah sebagai berikut:

Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 27-28:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

masuk ke dalam ruang yang bukan rumahmu, sehingga kamu

minta izin dan mengucapkan salam (selamat) kepada yang

empunya. Demikian itu lebih baik bagimu, mudah-mudahan

kamu mendapat peringatan. Jika kamu tiada memperoleh

seseorang juga dalam rumah itu, maka janganlah masuk ke

dalamnya, sampai kamu mendapat izin lebih dahulu. Jika

dikatakan kepadamu: ‟Kembalilah‟, hendaklah kamu

kembali, demikian itu lebih baik bagimu. Allah Maha

Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nur :

27-28) 71

2. Al-Far’u (sesuatu yang tidak ada nash hukumnya)

Unauthorized Access to Computer System and Service adalah

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam

suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa

70

Ahmad Hanafi, op.cit, hlm.121 71

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992,

h.318-319

Page 67: Skripsi fajrin widyaningsih

52

sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang

dimasukinya. Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu

melakukan akses secara tidak sah.

Penulis menyamakan sistem dunia maya dengan rumah karena

di dunia maya juga mempunyai account-account atau ruang-ruang

yang mempunyai pintu dan dipasang kunci (password dan username)

untuk masuk ke dalamnya. Sama halnya dengan rumah yang memiliki

pintu dan kunci untuk masuk dan menjaga keamanan harta benda di

dalam rumah pemiliknya.

Salah satu contoh, kasus yang terjadi pada tahun 2004,

seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah

halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara SQL

(Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP

(Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil

meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam

meng-hack yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani

melakukan hacking dari IP public PT Danareksa (tempat dia bekerja)

202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy Anonymous Thailand

208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, dan

berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik peserta pemilu.

3. Hukum Al-Asl (hukum syara‟ yang ditentukan nash atau ijma’)

Dalam Surat An-Nur ayat 27-28 memberikan pemahaman,

bahwa isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah orang lain

Page 68: Skripsi fajrin widyaningsih

53

hukumnya wajib. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah kerusakan

moral. Sebagai contoh, bila seseorang memasuki rumah orang lain

tanpa permisi, kemudian melihat barang berharga. Setan bisa

memasukkan niat buruk ke dalam hati sang tamu. Banyak kerusakan

moral sejenis yang bisa dicegah bila mengikuti petunjuk Allah SWT.72

Jadi, dilarang memasuki rumah orang lain tanpa izin bahkan sampai

melakukan tindakan yang dilarang oleh syara‟ seperti pencurian atau

perusakan. Hal ini terbaca jelas dari bunyi ayat tersebut „...janganlah

kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin...’

4. Al-‘Illat ( sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk suatu hukum )

Dalam penentuan illat ada tiga cara untuk mengetahuinya yaitu

dengan nash, ijma atau as-sabr wa taqsim.73

Dalam kasus memasuki

rumah tanpa izin dengan akses secara tidak sah atau tanpa izin bisa

disamakan karena suatu illat, yaitu memasuki rumah tanpa izin.

Menentukannya dengan denagn melihat illat yang ditunjukan oleh

nash pada kata yang digunakan lam (ل) yang mengandung isyarah

larangan. Maka setiap perbuatan yang menyangkut milik orang lain

harus meminta izin, seperti meminjam atau meminta baik barang yang

sederhana ataupun barang yang lainya harus diizinkan oleh

pemiliknya.

Tetapi dalam hukum syara‟ tidak dijelaskan mengenai hukuman

bagi orang yang memasuki orang tanpa izin. Perbuatan yang belum

72

http://imtiazahmad.com/reminders/in_etika_bertamu.html diakses pada tanggal 12

Maret 2011 pukul 00.44 WIB 73

A.Djazuli dan Nurol Aen, Op.cit, h.148-150

Page 69: Skripsi fajrin widyaningsih

54

diatur dalam nash maka akan di beri hukuman ta’zir. Ahmad Wardi

Muslich juga menyatakan bahwa salah satu ciri khas dari jarimah

ta’zir adalah hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya

hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada batas minimal

dan ada batas maksimal.74

Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa tindak pidana

pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan memasuki rumah

orang lain tanpa izin karena telah memenuhi rukun-rukun yang telah

ditentukan dalam qiyas. Sehingga hukuman dalam perbuatan memasuki

rumah tanpa izin dapat pula dijadikan hukuman perbuatan cyber crime ini.

Dalam kasus memasuki rumah tanpa izin tidak ada nash ataupun

hadist yang menjelaskan hukuman terhadap perbuatan ini maka

hukumannya berupa ta’zir. Ta’zir merupakan suatu hukuman yang berupa

pemberian pelajaran kepada pelaku kejahatan, untuk memberikan rasa jera

kepada pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya dan

mencegah segala macam bentuk kejahatan.

Hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim baik penentuannya

maupun pelaksanaannya. Baik hukumannya itu berupa kurungan penjara,

pengasingan, cambuk, sampai pada hukuman mati sesuai dengan tingkat

mudharat yang telah dilakukannya. Hal ini sangat relevan jika diterapkan

di Indonesia, karena Indonesia sendiri dalam penerapannya banyak

menggunakan hukuman ta’zir.

74

Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.19

Page 70: Skripsi fajrin widyaningsih

55

Pemberlakuan undang-undang ITE ini dalam perspektif fiqih

jinayah dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang dapat

dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan dunia mayantara (cyber

crime). Sesuai dengan UU ITE 2008 bahwa hukuman terhadap orang

melakukan tindak pidana pengaksesan sistem elektronik akan dihukum

penjara atau denda seperti yang tercantum dalam pasal 46 UU ITE.

Dalam penerapan hukuman yang digunakan untuk menjerat pelaku

tindak pidana pengaksesan sistem elektronik, antara UU ITE dan Hukum

Pidana Islam memiliki persamaan. Seperti dalam macam-macam hukuman

ta’zir, dimana disitu terdapat hukuman yang berkaitan dengan

kemerdekaan yaitu dilakukan hukuman penjara dan hukuman ta’zir yang

berkaitan dengan perampasan harta, bagi orang yang melakukan perbuatan

jarimah. Hukuman ta’zir merupakan suatu hukuman pemberian pelajaran

kepada pelaku kejahatan agar timbul rasa jera dan tidak mengulangi

perbuatannya. Hal ini tentu sejalan dan relevan untuk diterapkan di

Indonesia, karena sesuai dengan hukum yang diterapkan dalam UU ITE.

B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Pasal 32 ayat (2)

UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

dalam Perspektif Fiqh Jinayah

Berbeda lagi mengenai kasus pencurian dokumen elektronik yang

diatur dalam pasal 32 ayat (2), sebagai berikut :

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan

cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik

Page 71: Skripsi fajrin widyaningsih

56

dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang

tidak berhak.”75

Perbuatan ini dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaimana

diatur dalam pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Kasus mengenai pencurian dokumen elektronik sudah banyak terjadi.

Modusnya pun bermacam-macam mulai dari pencurian data pribadi seseorang

sampai pencurian dokumen elektronik milik negara. Dampak dari tindak

kejahatan ini tentu akan sangat merugikan korbannya.

Kasus pencurian dokumen elektronik ini juga merupakan kasus yang

baru terjadi di zaman modern saat ini. Dalam hukum pidana Islam tidak ada nash

ataupun hadist yang mengatur tentang hal ini. Untuk menentukan hukuman bagi

pelaku pencurian dalam hukum pidana Islam penulis menggunakan metode

ijtihad qiyas untuk menyamakan dengan kasus pencurian (sariqoh) yang terjadi

dalam dunia nyata. Oleh karena itu perbuatan tersebut harus memenuhi rukun-

rukun qiyas, yaitu:

1. Al-Aslu

Dalam Islam sudah nash yang mengatur tentang jarimah

pencurian yaitu surat Al-Maidah ayat 38:

“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,

hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan

75

Siswanto Sunarso, op.cit, h.238

Page 72: Skripsi fajrin widyaningsih

57

pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,

Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”76

2. Al-Far’u

Data Theft (pencurian data/dokumen elektronik) merupakan

kejahatan memperoleh data komputer secara tidak sah baik untuk

digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain.

Pencurian data merupakan perbuatan yang telah mengganggu hak

pribadi seseorang, terutama jika pemilik data tidak menghendaki ada

orang lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya

tersebut.

Seperti kasus yang terjadi beberapa waktu lalu pada April 2011,

ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) mengalami sebuah

insiden pencurian yang terdiri dari berbagai barang terdiri dari laptop,

komputer dan CPU, hard disk eksternal, voice record, kamera dan

beberapa file penting yang kebanyakan berisi data-data advokasi.77

3. Hukum Al-Asl

Dalam ayat ini memberikan penjelasan bahwa setiap kejahatan ada

hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula

halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar

larangan mencuri. Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang

mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-

diam, dinamakan "pencuri".

76

Departemen Agama RI, op.cit, h.103-104 77

Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam

http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-di-kantor-anbti diakses pada tanggal 17

September 2011 pukul 10.03 WIB

Page 73: Skripsi fajrin widyaningsih

58

Seorang yang telah akil baligh mencuri harta orang lain dari

tempatnya yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat dinar

dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa dan mengetahui bahwa

perbuatannya itu haram dan dilarang oleh Agama, maka orang itu

sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan

kanan, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam ayat ini.

4. Al-‘Illat

Dalam kasus pencurian dokumen elektronik degan kasus pencurian

bisa disamakan karena suatu illat yaitu mengambil harta orang lain

dari tempat yang layak secara diam-diam. Penentuan illat dalam kasus

ini dilihat dari nashnya yang terdapat pada kata as-sariqu was-

sariqotu ( ةالسرق والسرق ). Maka setiap pencurian dokumen elektronik

yang terdapat illat mengambil harta orang lain dari tempat yang layak

secara diam-diam dapat disamakan dengan pencurian mengenai

hukumnya dan termasuk perbuatan jarimah.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pencurian dokumen

elektronik dapat disamakan dengan sariqah karena telah memenuhi rukun-

rukun dalam qiyas. Tetapi ada yang berbeda antara kedua kasus ini

mengenai bentuk objek pencurian (harta curian) walaupun keduanya sama-

sama memiliki nilai. Sehingga hukuman yang diberikan kepada pelaku

pencurian dilihat dari harta curiannya mencapai nisab atau tidak.

Dalam bukunya Topo Santoso mendefinisikan pencurian sebagai

perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam (tanpa

Page 74: Skripsi fajrin widyaningsih

59

sepengetahuan pemiliknya) dengan itikad tidak baik.78

Pencurian dokumen

elektronik sama halnya dengan pencurian harta karena dokumen elektronik

juga mempunyai nilai bagi pemiliknya. Topo Santoso juga menjelaskan

bahwa hukuman potong tangan dalam pencurian hanya bisa dijatuhkan

jika terpenuhi syarat, yaitu:79

1. Harta yang dicuri itu diambil secara diam-diam, dengan tanpa

diketahui

2. Barang yang dicuri harus memiliki nilai

3. Barang yang dicuri harus disimpan dalam tempat yang aman, baik

dalam penglihatan maupun di suatu tempat yang aman.

4. Barang yang dicuri harus milik orang lain

5. Pencurian itu harus mencapai nilai minimum tertentu (nisab).

Imam Malik mengukur nisab tadi sebesar ¼ dinar atau lebih.

Pendapat Imam Malik di atas sesuai dengan hadist berikut:

ان ع هللا هللا ن ع هللا ع ع ن ع ع ع ن ئ هللا ع ن الن ئ ي ع ع ع ائ ع ع ع ن لع ع ع هللا هللا ئ ئ ن ع ائ ن هللا ا ن ن ئ ع ن هللا ئ د ع ع ع هللا ئ ن الي ن ئ ن ع ع ن ع ر ع ئ الي ن ئ ن ع ئ ن ع ن هللا

Dari Aisyah r.a Nabi saw. Bersabda: “Tangan dipotong

dalm mencuri seperempat dinar ke atas”. Abdurrahman

bin Kholid, anak saudara Zukhri dan Ma‟mar telah

mengikutinya.80

78

Topo Santoso, op.cit, h.28 79

ibid, h.28-29 80

Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII,

Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993, h.628

Page 75: Skripsi fajrin widyaningsih

60

Pendapat Imam Syafi‟i sama dengan Imam Malik di atas, tetapi

terdapat perbedaan antara mereka yaitu pada penentuan nilai antara emas

dan perak. Dalam hal ini, Imam Syafi‟i menetapkan nilai emas sebagai

ukuran. Imam Syafi‟i mendasari pendapatnya ini kepada hadist Aisyah

r.a.81

Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu

10 dirham atau 1 dinar dan tidak wajib dikenai hukuman potong tangan

pada pencuri harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka

diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam

Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena

mencuri harta anaknya, cucunya sampai seterusnya ke bawah. Demikian

pula sebaliknya, anak tidak dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri

harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu

Hanifah tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara

suami istri.82

Penulis menggunakan nisab sebesar ¼ dinar karena dari beberapa

hadist yang penulis temukan menyatakan nisab pencurian sebesar ¼ dinar

dan ada sebagian yang menggunakan takaran sebesar 3 dirham. Apabila 1

dinar = 10 dirham, maka 3 dirham hampir setara dengan ¼ dinar. Apabila

melihat nisab pencurian yaitu sebesar ¼ dinar. Di Indonesia 1 dinar =

emas 4, 25 gram83

, maka ¼ dinar = 1, 0625 gram. Jika di hitung dalam

81

Mohc. Said Ishak, Hudud dalam Fiqh Islam, Johor Darul Ta‟zim: Universiti Teknologi

Malaysia, 2000, h.38 82

Djazuli, op.cit, h.76 83

http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.15 WIB

Page 76: Skripsi fajrin widyaningsih

61

bentuk rupiah sekarang ini 1 gram emas = Rp 311.066,0084

maka ¼ dinar

senilai Rp 311.260,00. Oleh sebab itu benda yang dicuri harus senilai yang

telah disebutkan di atas. Sehingga dalam kasus pencurian hukumannya pun

akan berbeda, melihat dari kasusnya memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan atau tidak.

Untuk kasus pencurian dokumen elektronik dalam UU ITE 2008

semua syarat pencurian bisa terpenuhi kecuali syarat kelima yaitu

memenuhi nisab, karena masing-masing dokumen elektronik mempunyai

nilai berbeda. Tetapi tentu sulit untuk menentukan nilai dari suatu

dokumen elektronik, karena barangnya berupa benda maya dan tiap

dokumen elektronik mempunyai fungsi dan nilai yang berbeda.

Menurut penulis untuk menentukan nisab pencurian dokumen

elektronik dapat dilihat dari kerugian yang ditanggung oleh korbannya.

Adapun kerugian diderita oleh korban bisa berbentuk materil ataupun

immateril. Seperti contoh dokumen elektronik rahasia milik negara yang

dicuri oleh negara lain tentunya tindakan itu akan sangat merugikan negara

secara moril maupun materil, maka pelaku sudah memenuhi syarat-syarat

jarimah pencurian. Kemudian pencuri yang mengambil data diri seseorang

dan data tersebut digunakan untuk perbuatan yang tidak baik sebagai

contoh pencemaran nama baik. Hal tersebut juga merugikan pemiliknya

dari segi moral.

84

http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB

Page 77: Skripsi fajrin widyaningsih

62

Dalam pembuktian hukum pidana Islam mengenai tindak pidana

pencurian, ada beberapa macam yaitu dengan saksi, pengakuan dan

sumpah.85

Pertama, saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak

pidana pencurian, dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau dua orang

perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang laki-laki maka pencuri

tidak dikenakan hukuman. Untuk dapat diterimanya persaksian, harus

memenuhi syarat-syarat umum yang berlaku untuk semua jenis persaksian

dalam setiap jarimah. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

1. Baligh (dewasa)

2. Berakal

3. Kuat Ingatan

4. Dapat Berbicara

5. Dapat Melihat

6. Adil

7. Islam 86

Kedua, pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak

pidana pencurian. Menurut Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Abu

Hanifah pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang,

alasannya adalah bahwa suatu pengakuan ini merupakan suatu

pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah jika diulang-

ulang.87

Ketiga, dengan sumpah. Dikalangan ulama syafi‟iyah, ada

pendapat yang menyatakan bahwa pencurian bisa dibuktikan berdasarkan

85 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004, h.88

86 Ibid, h. 43-47

87 Ibid, h. 53

Page 78: Skripsi fajrin widyaningsih

63

sumpah yang dikembalikan (kepada penuduh). Tetapi pendapat tersebut

tidak mewajibkan hukuman potong tangan atas tindak pidana pencurian

kecuali berdasarkan kesaksian dan pengakuan. Pendapat ini sama dengan

pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Sebagian fukaha berpendapat pembuktian di atas dapat berlaku apabila ada

gugatan dari pemiliknya tetapi jika tidak ada gugatan dari pemiliknya tidak

bisa di hukum potong tangan, pelaku hanya dihukum ta’zir.88

Dalam surat Al-Maidah ayat 38 telah dijelaskan bahwa hukuman

bagi pencuri laki-laki ataupun perempuan adalah potong tangan. Tetapi

tidak semua pencurian dokumen elektronik bisa dihukum potong tangan.

Dilihat dari kasus pencuriannya itu memenuhi syarat-syarat pencurian atau

tidak dan juga dalam pembuktiannya. Tetapi pada realitanya karena di

Indonesia mempunyai hukum sendiri maka hukuman tersebut tidak bisa

terlaksana sebagaimana yang telah dinyatakan diatas. Sehingga hukuman

yang didapatkan oleh pelaku tindak pidana pencurian ini turun menjadi

hukuman ta’zir karena dalam penerapannya hukum di Indonesia menganut

UU ITE untuk menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian

dokumen elektronik diserahkan kepada hakim yang berwenang. Sesuai

dengan ketentuan pidana yang tertera dalam pasal 48 ayat (2) UU ITE

2008, yang didalamnya menyatakan hukuman bagi pelaku tindak pidana

ini penjara dan denda.

88

Abdul Qadir Audah,..... jilid V, Op.cit, h.165-166

Page 79: Skripsi fajrin widyaningsih

64

C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem Elektronik Pasal 33 UU

No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

dalam Perspektif Fiqh Jinayah

Sedangkan untuk kasus perusakan sistem elektronik merupakan

salah satu kasus yang paling mengerikan sekarang ini. Salah satu

contohnya perusakan sistem elektronik dengan cara memasukkan virus

atau suatu program, sehingga sistem yang ada didalamnya akan terganggu

dan berakibat pada rusaknya suatu sistem elektronik.

Dalam UU ITE 2008 telah diatur mengenai perbuatan tersebut

dalam pasal 33, yaitu:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem

Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak

bekerja sebagaimana mestinya.”89

Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).

Munculnya informasi tidak lepas dari upaya perusakan yang

berakibat fatal bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Dasar hukum Islam

mengenai perbuatan tersebut belum didapatkan karena dalil yang ada tidak

menyebutkan secara jelas perbuatan merusak sistem elektronik atau

komputer. Padahal akibat yang ditimbulkan kurang lebih sama dengan

89

Siswanto Sunarso, op.cit, h.238

Page 80: Skripsi fajrin widyaningsih

65

orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman.

Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian dari segi fisik atau materi.

Dalam penentuan hukuman pelaku jarimah ini penulis

menggunakan metode qiyas untuk menyamakan kasus perusakan sistem

elektronik dengan kasus perusakan atau kasus orang yang mengganggu

keamanan (hirabah) yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu

perbuatan tersebut harus memenuhi rukun qiyas, yaitu:

1. Al-Ashlu

Dalil mengenai orang yang berbuat kerusakan di dunia, dalam surat

Al-Maidah ayat 33:

“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi

Allah dan Rasul-Nya dan berusaha memperbuat bencana

di muka bumu, bahwa mereka itu dibunuh atau disalib,

atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal

balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).

Balasan itu adalah suatu kehinaan bagi mereka di dunia

dan untuk mereka itu dikahirat siksaan yang besar.”90

2. Al-Far’u

Cyber Sabotage and Extortion merupakan Kejahatan yang

dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran

90

Deparetemen Agama RI, op.cit, h.104

Page 81: Skripsi fajrin widyaningsih

66

terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer

yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan

dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu

program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem

jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana

mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

3. Hukum Ashl

Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau

ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat,

merusak kepentingan umum seperti membinasakan ternak, merusak

pertanian dan lain-lain, mereka dapat dibunuh, disalib, dipotong

tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan. Menurut

jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu

keamanan yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai

mati dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan

pembunuhan dan perampasan harta, hukuman potong tangan bagi

yang melakukan perampasan harta dengan hukuman terhadap

pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum buangan itu

boleh diganti dengan penjara. Hukuman pada surat Al-Maidah ayat 33

ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan

yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerap kali

mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan dan lain-lain.

Page 82: Skripsi fajrin widyaningsih

67

Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh

diberi ampunan.

4. Al-Illat

Kedua perbuatan ini dapat disamakan karena suatu illat yaitu

mengganggu keamanan. Penentuan illatnya berdasarkan nash yang

terlihat jelas pada kata ( ويسعون). Dilihat dari kasus tersebut, kerugian

yang ditimbulkan dari aktifitas ini (defacement, logicbomb, DoS) tidak

bisa dibilang kecil. Sebagai contoh bagaimana seandainya situs milik

bank diserang oleh black hat hacker dengan ketiga metode di atas,

berapa ribu nasabah akan dirugikan dan berapa kerugian dari bank

yang bersangkutan.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kasus perusakan

sistem elektronik dalam penjatuhan hukumannya dapat dihukum dengan

hukuman hirabah karena telah memenuhi rukun-rukun qiyas yang telah

ditentukan. Perbuatan merusak sistem elektronik dianggap sama dengan

pengacau keamanan yang menimbulkan kerugian moral maupun materil

bagi masyarakat umum.

Menurut sebagian pendapat hukuman bagi pelaku hirabah berbeda

sesuai dengan perbuatannya. Untuk perusakan sistem elektronik

hukumannya disamakan dengan pelaku hirabah yang mengambil harta

secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Memang dilihat

secara nyata perbuatan ini berbeda tetapi alasan penulis menyamakan

dengan mengambil harta secara terang-terangan karena pada tindak pidana

Page 83: Skripsi fajrin widyaningsih

68

perusakan sistem elektronik ini pelaku menghancurkan sistem elektronik

milik perorangan atau instansi dengan maksud yang tidak baik dan sistem

elektronik yang dirusak merupakan sistem yang menyimpan harta,

maksudnya perbuatan perusakan tersebut ditujukan untuk menguasai harta

yang ada pada sistem elektronik tersebut tanpa membunuh pemiliknya dan

juga dilihat dari kasusnya. Menurut penafsiran Imam Syafi‟i yaitu li tafsil (

penetapan jenis tindak pidana) yang diambil dari penafsiran kata aw (أو ),

maka ada empat macam tindak pidana hirabah yaitu keluar untuk

mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya

melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta tanpa membunuh, keluar

untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya

mengambil harta tanpa membunuh, keluar untuk mengambil harta secara

terang-terangan, kemudian pelaku hanya membunuh tanpa mengambil

harta dan keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian

pelaku mengambil harta dan melakukan pembunuhan.91

Seperti contohnya

apabila sistem yang diserang ini milik perbankan atau pemerintah yang

menyangkut kepentingan umum, maka kerugian yang dialami akan sangat

besar.

Hukuman bagi pelaku perbuatan tersebut dapat dihukum potong

tangan dan kaki secara bersilang. Topo Santoso menjelaskan dalam

bukunya, menurut Imam Zahiri sanksi hirabah diserahkan kepada Ulil

Amri untuk memilih hukuman mana yang sesuai dengan kemaslahatan

91

Achmad Wardi Muslich, Op.cit, h.95

Page 84: Skripsi fajrin widyaningsih

69

umum, tetapi tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ditentukan

dalam surat Al-Maidah ayat 33.92

Apabila melihat dari hukuman yang telah disebutkan di atas, dapat

diketahui bahwa hukuman tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia

karena dianggap tidak manusiawi sehingga hal tersebut bisa saja dianggap

melanggar hak azasi manusia. Indonesia merupakan negara yang

mempunyai hukum yang telah berlaku, sehingga hukuman yang

diterapkan sesuai dengan yang tertera dalam pasal 49 UU ITE 2008 dan

untuk penentuannya dan pelaksanaannya diserahkan kepada hakim,

dengan kata lain hukumannya turun menjadi hukuman ta’zir yang sesuai

dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam UU ITE 2008 pelaku perusakan sistem elektronik dikenai

hukuman penjara dan denda walaupun dengan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan kasus lainnya. Menurut penulis untuk pelaku

kejahatan ini hukuman yang terdapat dalam UU ITE tidak efektif dan

kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan ini karena

akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini menyangkut kemaslahatan

umum walaupun pelaku kejahatan ini mendapat hukuman dengan jangka

waktu penjara paling lama dibanding dengan tindak kejahatan cyber

lainnya. Dengan adanya UU ITE diharapkan mampu mencegah meluasnya

kejahatan dibidang cyber karena saat ini kemajuan teknologi telah

mencakup semua aspek dalam kehidupan masyarakat.

92

Topo Santoso, op.cit, h. 30

Page 85: Skripsi fajrin widyaningsih

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis bahas mengenai tindak pidana pengaksesan sistem

elektronik dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Dalam Islam tindak pidana pengakesan sistem elektronik milik orang

lain tanpa izin yang diatur dalam pasal 30 Undang-Undang No.11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diibaratkan

seperti memasuki rumah orang lain tanpa izin, perbuatan tersebut

merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Untuk menentukan

hukuman pelaku perbuatan tersebut, penulis menggunakan metode

ijtihad qiyas. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah memasuki

rumah tanpa izin dengan ketentuan surat An-Nur ayat 27-28. Yang

menjadi al-far’u adalah tindak pidana pengaksesan sistem elektronik.

Sedangkan yang menjadi hukum asl adalah larangan memasuki rumah

orang lain tanpa izin. Tindak pidana pengaksesan sistem elektronik

dapat disamakan dengan memasuki rumah tanpa izin karena

mempunyai persamaan illat yaitu tanpa izin. Dengan terpenuhinya

rukun-rukun qiyas maka hukuman bagi pelaku tindak pidana

pengaksesan sistem elektronik bisa di samakan dengan memasuki

rumah tanpa izin. Dalam nash tidak disebutkan hukuman bagi pelaku

tindak pidana ini maka hukumannya diserahkan kepada Ulil Amri

Page 86: Skripsi fajrin widyaningsih

71

yaitu ta’zir. Sesuai yang diterapkan dalam UU ITE hukumannya

berupa penjara atau denda.

2. Untuk kasus pencurian dokumen elektronik diatur dalam 32 ayat (2)

Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah sariqoh

dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 38. Yang menjadi al-far’u

adalah pencurian dokumen elektronik. Sedangkan hukum asl adalah

hukuman potong tangan. Pencurian dokumen elektronik dapat

disamakan dengan sariqoh karena mepunyai persamaan illat yaitu

mengambil harta dari tempat yang layak secara diam-diam. Hukuman

bagi pelaku pencurian dokumen elektronik dapat dihukum potong

tangan apabila harta curian mencapai nisab yaitu ¼ dinar, apabila

tidak mencapai nisab maka dikenai hukuman ta’zir. Untuk

menentukan nisabnya dilihat berdasarkan kerugian yang diderita

korban karena dokumen merupakan benda maya yang sulit untuk

menentukan nilai dari benda tersebut. Hukuman tersebut bisa

dijalankan apabila telah memenuhi syarat-syarat pencurian dan

pembuktiannya. Tetapi pada realitanya hukuman tersebut tidak bisa di

jalankan sehingga hukuman yang diberikan turun menjadi hukuman

ta’zir, sesuai dengan UU ITE yang berlaku di Indonesia.

3. Sedangkan kasus perusakan sistem elektronik diatur dalam pasal 33

Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah hirabah

Page 87: Skripsi fajrin widyaningsih

72

dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 33. Yang menjadi al-far’u

adalah perusakan sistem elektronik. Sedangkan hukum asl adalah

hukuman salib, potong tangan dan kaki secara bersilang atau dibunuh.

Perusakan sistem elektronik dapat disamakan dengan hirabah karena

mepunyai persamaan illat yaitu mengganggu keamanan. Untuk

penerapan hukuman perusakan sistem elektronik disamakan dengan

mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya

sehingga hukumannya adalah potong tangan dan kaki secara

bersilang. Tetapi hukuman tersebut tidak dapat diterapkan di

Indonesia karena bisa dianggap melanggar hak azasi manusia

sehingga hukum yang berlaku kemudian turun manjadi hukuman

ta’zir sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam UU ITE 2008.

B. Saran

Berdasarkan penelitian di atas maka disarankan kepada para

pengguna internet agar mematuhi norma–norma serta harus beretika

baik ketika sedang menjelajahi dunia maya. Selain itu saran juga

ditujukan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah

Indonesia melalui Departemen Informasi dan Teknologi agar

meningkatkan kinerja dibawah ini yakni :

1. Menerapkan UU ITE secara optimal di Indonesia, karena masih

banyak sekali kasus-kasus yang belum terjamah oleh aparat penegak

hukum di Indonesia.

Page 88: Skripsi fajrin widyaningsih

73

2. meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai

standar internasional.

3. meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum

mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-

perkara yang berhubungan dengan cyber crime.

4. meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cyber crime

serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.

5. meningkatkan kerjasama antarnegara, baik bilateral, regional maupun

multilateral, dalam upaya penanganan cyber crime.

C. Penutup

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat

dan hidayahnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik dalam Undang-

Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh sebab itu, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun,

guna menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Page 89: Skripsi fajrin widyaningsih

74

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994

Al-Bukhori, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail, Terjemah Shahih

Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993.

Arief , Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara (Perkembangan Kajian

Cyber Crime di Indonesia), Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2006.

Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.

As-Shiddieqy, Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Edisi Kedua),

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 2001.

Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT

Kharisma Ilmu, 2007.

------------------------, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta:

PT Kharisma Ilmu, 2007.

Bambang Waluyo, S.H. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar

Grafika, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-

Ma’arif, 1992.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber

Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008

Page 90: Skripsi fajrin widyaningsih

75

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”,

Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008.

Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt

Raja Grafindo Persada, 2000

Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947.

Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam

Perspektif Hukum Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009.

Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber

Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum,

Sumatera Utara, 2010.

Hamzah, Andi, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer,

Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Hanafi, Ahmad, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

2002.

Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995

Husein, Syahrudin, Kejahatan dalam Masyarakat dan

Penanggulanggannya, Sumatera Utara: Universitas Sumatera

Utara, 2003.

Ishak, Moch. Said, Hudud Dalam Fiqh Islam, Johor: Darul Ta’zim: 2000.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama

Semarang (Toha Putra Group), 1994.

Page 91: Skripsi fajrin widyaningsih

76

Mansur, Didik M.Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum

Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta :

Liberty, 1986.

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah

Ma’sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm.

351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2000

Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih

Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

---------------------------, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika

Offset, 2004.

Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi

Kasus Prita Mulyasari), Jakarta : Rineka Cipta, 2009.

Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan

Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.

Wahid, Abdul dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber

Crime), Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.

Page 92: Skripsi fajrin widyaningsih

77

B. Internet

Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian

Terhadap Status Hukum

Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/i

mplementasi-metode-qiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-

hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19 Desember

2011 jam 19.55 WIB

detik.com digital live dalam

http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/dani-

firmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3

Agustus 2011 pukul 10.36 WIB

Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h.

306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-

Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB

http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB

http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul

19.15 WIB

Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam

http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpida

na.htm diakses pada tanggal 13 Juli 2011 pukul 20.05 WIB

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah

Akdemik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang

Teknologi Informasi, November, 2003, h.25 dalam

Page 93: Skripsi fajrin widyaningsih

78

http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses

pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB

Nasrulloh, Pengertian Kejahatan,

http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-

kejahatan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 11.21

WIB

NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/

diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB

Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam

http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-di-

kantor-anbti diakses pada tanggal 17 September 2011 pukul 10.03

WIB

Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya,

http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-

internetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-perniknya/ diakses

tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB

The Reff All, Pengertian Diyat dalam

http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html

diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB

Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister

Hukum, Bandung, 2010 dalam

http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIA

Page 94: Skripsi fajrin widyaningsih

79

N_TERHADAP_CYBER_CRIME.pdf diakses tanggal 23 Juni

2011 pukul 21.41 WIB

Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir, dalam

http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada

tanggal 30 Juli 19.09 WIB

Page 95: Skripsi fajrin widyaningsih

1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang

berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap

berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;

b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia

sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga

mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai

pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat

nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat

dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh

lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;

c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi

yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan

kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara

langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk

perbuatan hukum baru;

d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi

harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan

memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;

e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting

dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian

nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan

Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan

pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi

dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya

dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya

masyarakat Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f,

perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik;

Mengingat :. . .

Page 96: Skripsi fajrin widyaningsih

2

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data

elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,

angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah

yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang

mampu memahaminya.

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang

dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan

Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk

mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,

mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan

informasi.

4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik

yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,

optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem

Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang

memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya.

5. Sistem . . .

Page 97: Skripsi fajrin widyaningsih

3

5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan

prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,

menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau

menyebarkan Informasi Elektronik.

6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan

Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang,

Badan Usaha, dan/atau masyarakat.

7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya

duaSistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup

ataupun terbuka.

8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem

Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan

terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara

otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.

9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat

elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan

identitas yang menunjukkan status subjek hukum para

pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan

oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.

10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan

hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak

dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat

Elektronik.

11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen

yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan

diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit

dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam

TransaksiElektronik.

12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri

atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau

terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang

digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan

atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.

14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,

magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi

logika, aritmatika, dan penyimpanan.

15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem

Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya

atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk

dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

lainnya.

17. Kontrak . . .

Page 98: Skripsi fajrin widyaningsih

4

17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang

dibuat melalui Sistem Elektronik.

18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.

20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara

negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang

dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,

yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik

untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.

21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara

Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.

22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau

perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum.

23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang

ditunjuk oleh Presiden.

Pasal 2

Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang

melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur

dalamUndang-Undang ini, baik yang berada di wilayah

hukumIndonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,

yang

memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/ataudi

luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan

kepentinganIndonesia.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,

kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih

teknologi atau netral teknologi.

Pasal 4 . . .

Page 99: Skripsi fajrin widyaningsih

5

Pasal 4

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari

masyarakat informasi dunia;

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian

nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat;

c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap

Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di

bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi

seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum

bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

BAB III

INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang

sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah

sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem

Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat

dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-

Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril

atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6 . . .

Page 100: Skripsi fajrin widyaningsih

6

Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur

dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu

informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah

sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat

diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat

dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Pasal 7

Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang

telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan

adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem

Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang

benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang

ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki

Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim.

(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di

bawah kendali Penerima yang berhak.

(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem

Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik,

penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem

Elektronik yang ditunjuk.

(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi

yang digunakan dalam pengiriman atau penerimaan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:

a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki

sistem informasi pertama yang berada di luar kendali

Pengirim;

b. waktu . . .

Page 101: Skripsi fajrin widyaningsih

7

b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

memasuki sistem informasi terakhir yang berada

di bawah kendali Penerima.

Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem

Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan

benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk

yang ditawarkan.

Pasal 10

(1) pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi

Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi

Keandalan.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi

Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum

dan akibat hukum yang sah selama memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait

hanya kepada Penanda Tangan;

b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada

saat proses penandatanganan elektronik hanya

berada dalam kuasa Penanda Tangan;

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan

Elektronik yang terjadi setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui;

d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang

terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut

setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk

mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa

Penanda Tangan telah memberikan persetujuan

terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

(2) Ketentuan . . .

Page 102: Skripsi fajrin widyaningsih

8

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik

berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan

Elektronik yang digunakannya.

(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak

berhak;

b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-

hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah

terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan

Elektronik;

c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda,

menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara

Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak

dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada

seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap

memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak

pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:

1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan

Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau

2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat

menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan

akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan

Elektronik; dan

d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk

mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan

harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua

informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik

tersebut.

(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab

atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

BAB IV . . .

Page 103: Skripsi fajrin widyaningsih

9

BAB IV

PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM

ELEKTRONIK

Bagian Kesatu

Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Pasal 13

(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara

Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan

Elektronik.

(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan

keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan

pemiliknya.

(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:

a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan

b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.

(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan

hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.

(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di

Indonesia harus terdaftar di Indonesia.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus

menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada

setiap pengguna jasa, yang meliputi:

a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda

Tangan;

b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri

pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan

c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan

dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.

Bagian Kedua . . .

Page 104: Skripsi fajrin widyaningsih

10

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Sistem Elektronik

Pasal 15

(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus

menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan

aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya

Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.

(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab

terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan

memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna

Sistem Elektronik.

Pasal 16

(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang

tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib

mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi

persyaratan minimum sebagai berikut:

a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai

dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan

Perundang-undangan;

b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,

kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik

dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk

dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang

diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol

yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan

dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

dan

e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga

kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur

atau petunjuk.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V . . .

Page 105: Skripsi fajrin widyaningsih

11

BAB V

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan

dalam lingkup publik ataupun privat.

(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik

dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi

berlangsung.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak

Elektronik mengikat para pihak.

(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum

yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang

dibuatnya.

(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam

Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku

didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum

pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa

alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa

yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik

internasional yang dibuatnya.

(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan

kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga

penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang

menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi

tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata

Internasional.

Pasal 19

Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus

menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.

Pasal 20 . . .

Page 106: Skripsi fajrin widyaningsih

12

Pasal 20

(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi

Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang

dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.

(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan

dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Pasal 21

(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi

Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya,

atau melalui Agen Elektronik.

(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum

dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung

jawab para pihak yang bertransaksi;

b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat

hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik

menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau

c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat

hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik

menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen

Elektronik.

(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal

beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga

secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat

hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen

Elektronik.

(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal

beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak

pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi

tanggung jawab pengguna jasa layanan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan

memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna

Sistem Elektronik.

Pasal 22 . . .

Page 107: Skripsi fajrin widyaningsih

13

Pasal 22

(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan

fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang

memungkinkan penggunanya melakukan perubahan

informasi yang masih dalam proses transaksi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen

Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN

PERLINDUNGAN HAK PRIBADI

Pasal 23

(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,

dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain

berdasarkan prinsip pendaftar pertama.

(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad

baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara

sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.

(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau

masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama

Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak

mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.

Pasal 24

(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau

masyarakat.

(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain

oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih

sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.

(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah

Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui

keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25 . . .

Page 108: Skripsi fajrin widyaningsih

14

Pasal 25

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya

intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak

Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-

undangan, penggunaan setiap informasi melalui media

elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus

dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas

kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB VII

PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan

dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan

dan/atau pengancaman.

Pasal 28 . . .

Page 109: Skripsi fajrin widyaningsih

15

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan

kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa

kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi

ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan

secara pribadi.

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,

melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam

suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik

Orang lain.

(2) Setiap . . .

Page 110: Skripsi fajrin widyaningsih

16

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer

dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik

yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang

menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau

penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka

penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,

dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan

berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,

mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,

memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik

publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum dengan cara apa pun memindahkan atau

mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak

berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi

dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak

sebagaimana mestinya.

Pasal 33

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat

terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan

Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana

mestinya.

Pasal 34 . . .

Page 111: Skripsi fajrin widyaningsih

17

Pasal 34

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk

digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,

atau memiliki:

a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang

dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk

memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;

b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis

dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik

menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

sampai dengan Pasal 33.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan

tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan

penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan

Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan

hukum.

Pasal 35

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,

penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap

seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan

kerugian bagi Orang lain.

Pasal 37

Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan

Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik

yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

BAB VIII . . .

Page 112: Skripsi fajrin widyaningsih

18

BAB VIII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 38

(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak

yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau

menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan

kerugian.

(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan

terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik

dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat

merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

Pasal 39

(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan.

(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa

alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

BAB IX

PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis

gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi

Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu

ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang

memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.

(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang

elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data

tertentu untuk kepentingan pengamanan data.

(5) Instansi . . .

Page 113: Skripsi fajrin widyaningsih

19

(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3)

membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang

elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data

yang dimilikinya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan

Teknologi Informasi melalui penggunaan dan

Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi

Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh

masyarakat.

(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 42

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan

ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan

dalam Undang-Undang ini.

Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan

Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di

bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi

wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk

melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik.

(2) Penyidikan . . .

Page 114: Skripsi fajrin widyaningsih

20

(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,

kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau

keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem

elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus

dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib

menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan

Undang-Undang ini;

b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk

didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau

saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di

bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan berkenaan dengan tindak pidana

berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan

Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana

berdasarkan Undang-Undang ini;

e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana

yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi

yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana

berdasarkan Undang-Undang ini;

f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu

yang diduga digunakan sebagai tempat untuk

melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan

Undang-Undang ini;

g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan

atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga

digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan

Perundang-undangan;

h. meminta . . .

Page 115: Skripsi fajrin widyaningsih

21

h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam

penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan

Undang-Undang ini; dan/atau

i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana

berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan

ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan,

penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan

ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali

dua puluh empat jam.

(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan

dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.

(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi

Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat

berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi

informasi dan alat bukti.

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah

sebagai berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Perundang-undangan; dan

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3).

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 45

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

(2) Setiap . . .

Page 116: Skripsi fajrin widyaningsih

22

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 47

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah).

Pasal 48

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap . . .

Page 117: Skripsi fajrin widyaningsih

23

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 50

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 51

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi

seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari

pidana pokok.

(2) Dalam . . .

Page 118: Skripsi fajrin widyaningsih

24

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau

Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang

digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana

pokok ditambah sepertiga.

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau

Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan

strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan,

bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional,

otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal

ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua

pertiga.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi

dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan

Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan

dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap

berlaku.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2

(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

Agar. . .

Page 119: Skripsi fajrin widyaningsih

25

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATA

Page 120: Skripsi fajrin widyaningsih

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI:

Nama Lengkap : Fajrin Widiyaningsih

Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 20 Mei 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Raya Moga-Pulosari RT/RW 04/06 No.116

Banyumudal-Moga, Pemalang 52354

No. HP : 085876136888

PENDIDIKAN FORMAL :

SD Negeri 07 Banyumudal, Pemalang lulus tahun 2001

SMP Negeri 01 Moga, Pemalang lulus tahun 2004

SMA Negeri 01 Randudongkal, Pemalang lulus tahun 2007

PENGALAMAN ORGANISASI :

Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2009

Bendahara HMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2010

Semarang, 7 November 2011

Penulis,

Fajrin Widiyaningsih

NIM. 072211020